Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 384

Buku 384

Ketika kemudian terdengar isyarat yang ke-dua, maka setiap prajurit pun telah bersiap untuk bergerak maju dalam gelarnya masing-masing. Beberapa saat kemudian, terdengar isyarat ke-tiga mengumandang di seluruh medan. Kedua pasukan pun mulai bergerak. Namun yang agak berbeda adalah pasukan Demak. Demikian mereka mulai bergerak, maka terdengar sorak yang bagaikan mengguncang bukit-bukit.

“Ada apa dengan pasukan Demak?” bertanya setiap prajurit Mataram.

Sebenarnyalah yang mula-mula bersorak adalah mereka yang menyebut dirinya murid-murid dari perguruan terbesar di bumi Mataram, Perguruan Kedung Jati. Pada saat itu, orang yang mengaku pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung jati telah memimpin langsung pasukannya. Ki Saba Lintang telah berada di sisi Kanjeng Adipati sebagai Senapati Pengapit, bersama Ki Patih Tandanegara. Sementara itu orang-orang berilmu tertinggi dari Perguruan Kedung Jati berada bersama dengan Ki Saba Lintang pula.

Dalam pada itu, pasukan Mataram telah dipimpin langsung oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Seperti yang sudah dikatakannya, maka Ki Patih Mandaraka yang tua itu berada di belakang Kanjeng Panembahan, sementara Ki Tumenggung Derpayuda dan Ki Tumenggung Suradigdaya berada di sebelah-menyebelahnya sebagai Senapati Pengapit.

Di perkemahan, Pangeran Singasari yang terluka menjadi sangat gelisah. Meskipun Kanjeng Pangeran Puger sendiri tetap bersikap sebagai seorang ksatria Mataram, namun ada orang-orang di sekelilingnya yang dapat saja berbuat licik.

“Mudah-mudahan Ki Tumenggung Derpayuda dan Ki Tumenggung Suradigdaya tidak lengah.”

Dalam pada itu, dengan ijin Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berusaha untuk dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang. Pada hari itu, menurut perhitungan Ki Lurah Agung Sedayu, sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer maka Ki Saba Lintang akan langsung memimpin pasukannya, di samping Kanjeng Adipati.

Demikianlah, beberapa saat kemudian kedua pasukan itu pun segera bertemu di medan yang luas. Seperti di hari-hari sebelumnya, maka para prajurit pun telah berusaha menghentak lawannya. Pangeran Puger muda dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil telah memerintahkan pasukan yang membawa busur dan anak panah berada di ujung supit dalam gelar Supit Urang mereka. Sementara itu di ujung ekornya, keduanya juga menyiapkan pasukan yang bersenjata busur dan anak panah.

Mereka sejak awal sudah berniat untuk merubah gelar Supit Urang mereka menjadi gelar Kala Saba. Gelar yang mirip sekali, namun yang kemudian memanfaatkan ekor gelar untuk membuat kejutan dengan langsung menyengat induk pasukan lawan dari samping kepala udang dalam gelar Supit Urang.

Ketika kedua gelar sebelah-menyebelah pasukan induk itu berbenturan dengan pasukan lawan, maka pasukan lawan sudah dikejutkan dengan serangan anak panah, justru dari ujung-ujung supit gelar Supit Urang.

“Gila orang-orang Mataram,” geram Senapati Demak yang memimpin gelar pasukan di lambung medan itu, “kenapa mereka masih sempat bermain-main dalam keadaan yang gawat seperti ini?”

Namun sebenarnyalah bahwa permainan pasukan Mataram itu telah menimbulkan korban di antara lawan-lawan mereka. Para prajurit Demak, apalagi para Wiratani yang berada di ujung sayap, harus dengan tangkas mengatasi serangan anak panah yang datang seperti hujan. Para prajurit dari pasukan khusus yang berperisai harus dengan cepat bergeser ke depan untuk melindungi kawan-kawan mereka, yang menjadi sangat sibuk menepis anak panah yang meluncur sederas hujan itu dengan senjata-senjata mereka.

Sementara itu untuk mengimbangi kesibukan di ujung sayap-sayap gelarnya, maka pasukan Demak itu pun telah menghentak lawannya dengan hentakan di pusat gelar mereka. Senapati Demak yang berada di paruh garudanya segera berusaha mengoyak induk gelar pasukan Mataram yang nampak agak lemah.

Namun mereka pun terkejut pula, bahwa dari samping pusat gelar Supit Urang itu telah muncul sekelompok pasukan pemanah yang dengan serta-merta menghujani pasukan Demak itu dengan anak panah.

“Gila,” geram Senapati Demak itu, “mereka menjadikan gelar mereka gelar Kala Saba.”

Senapati Demak itu pun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk segera bertempur pada jarak dekat. Pasukan Demak pun kemudian mendesak maju, sehingga kedua pasukan itu benar-benar telah berbenturan. Pada induk pasukan telah terjadi pertempuran yang sangat sengit. Senjata pun berdentangan beradu, sehingga bunga api pun berloncatan ke udara.

Namun Pangeran Puger yang muda itu benar benar seorang yang berilmu tinggi. Bersama Senapati Pengapitnya, serta ekor gelarnya dalam gelar Kala Saba yang tiba-tiba saja telah menyengat pasukan induk lawan, maka pasukan Mataram itu pun setapak-setapak bergerak maju.

Demikian pula gelar yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Pangeran Demang Tanpa Nangkil sendiri telah mengamuk seperti banteng yang terluka. Para Senapati Pengapitnya harus menyesuaikan dirinya bersama para prajurit pilihan yang lain. Di kedua gelar itu, Ki Tumenggung Utara yang bertempur di dalam pasukan Pangeran Demang Tanpa Nangkil harus menyesuaikan diri dengan irama perang yang telah ditabuh oleh kedua Pangeran yang masih muda itu.

Namun baik Ki Tumenggung Untara maupun Ki Tumenggung Ranawira adalah Senapati-Senapati yang sudah sangat berpengalaman serta berbekal ilmu yang tinggi, sehingga karena itu maka pasukan mereka pun meskipun setapak demi setapak telah bergerak maju.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di induk pasukan pun menjadi semakin sengit, kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan mereka. Dan bahkan Demak telah menggerakkan seluruh pasukan cadangannya. Sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, sebenarnyalah bahwa Kanjeng Adipati Demak menjadi agak gelisah, meskipun pada hari itu Ki Saba Lintang telah berada di antara pasukannya yang terhitung besar, serta Ki Patih Tandanegara yang di saat-saat terakhir seakan-akan telah terdesak ke tepi oleh keberadaan Ki Tumenggung Gending serta Ki Tumenggung Panjer, telah berada di medan itu pula.

Pertempuran kedua pasukan di induk pasukan itu bagaikan benturan antara amuk angin ribut di penghujung musim basah dengan arus angin prahara di permukaan lautan. Para prajurit pilihan telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak lawan.

Dalam pada itu, telah terjadi gejolak di sisi kiri gelar Gajah Meta. Senapati yang bagaikan merupakan ujung gading seekor gajah yang sedang mengamuk telah memporak-porandakan gigi gelar Cakra Byuha yang sedang berusaha menggilasnya. Ketika kesulitan itu didengar oleh Panembahan Hanyakrawati, maka ia pun segera memerintahkan Ki Tumenggung Derpayuda untuk mengatasinya.

Tetapi langkah Ki Tumenggung Derpayuda itu terhenti, ketika ia bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Terjadi gejolak di medan sebelah kiri induk pasukan ini, Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda.

“Kami menunggu saat seperti ini, Ki Tumenggung.”

“Maksudmu?”

“Seorang penghubung telah memberitahukan bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari mereka yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati berada di tempat itu. Mereka, dengan kemampuan mereka, telah mengacaukan pasukan Mataram di arah itu. Karena itu maka kami akan pergi ke sana untuk meredamnya. Selain itu, keinginan kami untuk bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang mudah-mudahan dapat terpenuhi.”

“Baik. Marilah kita lihat.”

“Sebaiknya Ki Tumenggung jangan meninggalkan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Ki Tumenggung Suradigdaya ada bersama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Tetapi sebaiknya Ki Tumenggung Suradigdaya tidak sendiri.”

“Baik. Aku akan segera kembali. Tetapi karena aku diperintahkan untuk mengatasi gejolak itu, maka biarlah aku melihat apa yang terjadi. Mungkin benar bahwa di tempat itu telah diamuk oleh Ki Saba Lintang dengan para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati. Maka demikian Ki Lurah dan yang lain memasuki arena, aku akan kembali kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

Ki Lurah tidak mengelak lagi. Ia pun kemudian bersama dengan Ki Tumenggung Derpayuda pergi ke sisi yang sedang bergejolak itu.

Sebenarnyalah mereka pun kemudian menyaksikan bagaimana Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari apa yang mereka sebut Perguruan Kedung Jati itu telah memporak-porandakan pasukan Mataram.

Seorang Senapati Mataram yang memimpin sekelompok prajurit mengalami kesulitan untuk menghadapi beberapa orang berilmu tinggi dari Kedung Jati bersama sekelompok orang, yang meskipun juga mengaku keluarga Perguruan Kedung Jati, namun mereka bersumber dari beberapa perguruan yang lain. “Setan orang-orang itu. Mereka tentu orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati.”

“Ya, Ki Tumenggung. Seorang di antara mereka adalah Ki Saba Lintang sendiri.”

“Aku akan menghentikannya.”

“Ki Tumenggung, biarlah orang yang mengaku pemimpin Perguruan Kedung Jati itu bertemu dengan sesama pemimpin Perguruan Kedung Jati.”

“Maksud Ki Lurah?”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian dengan hati-hati ia pun berkata, “Ki Tumenggung, istriku adalah salah seorang yang memiliki pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati, yang diterimanya langsung dari gurunya, Ki Sumangkar, yang memang merupakan salah seorang pemimpin Perguruan Kedung Jati. Karena itu, biarlah istriku bertemu dengan Ki Saba Lintang yang mengaku sebagai pemimpin Perguruan Kedung Jati, namun yang ternyata telah menghimpun berbagai kekuatan yang sekarang dipergunakannya untuk melawan Mataram. Tentu ada kesepakatan antara Ki Saba Lintang dengan Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, yang bahkan mungkin bagian-bagiannya yang terperinci tidak diketahui oleh Kanjeng Adipati Demak.”

Ki Tumenggung Derpayuda pun mengangguk-angguk. Namun ia pun berkata, “Tetapi aku telah mendapat perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Kami telah mendapat ijin dari Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Ya. Aku juga tahu.”

“Karena itu sebaiknya jangan tinggalkan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Mungkin Demak mengerahkan semua kekuatannya di sekitar Kanjeng Adipati di Demak.”

Ki Tumenggung Derpayuda menarik nafas panjang. Yang bicara kepadanya itu tidak lebih dari seorang lurah prajurit. Tetapi pendapatnya itu ternyata memberikan kesan yang dalam bagi Ki Tumenggung Derpayuda. Ternyata Ki Tumenggung Derpayuda itu sama sekali tidak merasa tersinggung. Karena itu maka Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku serahkan kepada Ki Lurah untuk mengatasi gejolak itu. Mungkin Nyi Lurah mempunyai kepentingan khusus dengan Ki Saba Lintang. Tetapi orang-orang di sekitarnya juga memerlukan penanganan.”

“Baiklah, Ki Tumenggung. Kami akan mencoba melaksanakannya, mengatasi gejolak yang terjadi bersama para Senapati yang berada di lingkungan gejolak itu.”

“Berhati-hatilah, Ki Lurah. Aku akan melaporkannya kepada Kanjeng Panembahan. Aku pun kemudian akan berada di sisi Kanjeng Panembahan itu bersama Ki Tumenggung Suradigdaya.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Derpayuda pun segera kembali untuk mendampingi Kanjeng Panembahan Hanyakrawati yang sedang menghadapi beberapa orang Senapati dari Demak. Keberadaan Ki Tumenggung Derpayuda itu pun telah memperingan beban para Senapati yang ada di sekitar Kanjeng Panembahan.

Sementara itu, Kanjeng Adipati Demak sendiri masih bertempur di antara para Senapatinya. Agaknya Kanjeng Adipati Demak memang menunggu gejolak yang terjadi di bagian samping induk pasukannya, untuk menyibak pasukan yang rapat pada gelar pasukan Mataram yang bergerak perlahan. Gejolak yang ditimbulkan oleh Ki Saba Lintang memang berhasil menghentikan putaran gelar Pasukan Mataram, terutama pada gerak berputar Senapati-Senapati yang khusus.

Ki Tumenggung Derpayuda yang kembali ke sebelah Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun kemudian melaporkan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah telah berada di tempat itu.

“Bagus,” berkata Panembahan Hanyakrawati, “mudah-mudahan mereka dapat mengatasinya. Nyi Lurah itulah yang sangat berkepentingan dengan Ki Saba Lintang.”

“Mudah-mudahan Nyi Lurah itu mampu mengimbangi ilmu orang yang menyebut dirinya pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati itu.”

“Bukankah ia berada dalam pengawasan suaminya?”

“Ya, Panembahan. Tetapi bukankah orang yang bernama Ki Saba Lintang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi?”

Pembicaraan itu pun terputus. Mereka masing-masing harus menghadapi beberapa orang Senapati yang datang melanda induk pasukan Mataram itu bersama sekelompok prajuritnya.

Namun Pasukan Khusus Pengawal Istana dan Pengawal Raja itu dengan sigapnya telah menahan mereka. Sementara itu Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri telah merintis jalan menguak pertempuran yang seru bersama beberapa orang kepercayaannya, untuk dapat bertemu langsung dengan Kanjeng Adipati Demak.

Di bagian sisi pasukan induk itu, Ki Saba Lintang yang menjadi ujung gading gelar Gajah Meta yang garang itu tiba-tiba saja tertegun. Hatinya pun berdesir ketika ia melihat seorang perempuan yang telah menyibak pertempuran. Beberapa orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun terpelanting menepi. Sebatang tongkat baja putih berkilat terayun-ayun mengerikan.

“Sekar Mirah,” desis Ki Saba Lintang. Bahkan iapun melihat Ki Lurah Agung Sedayu serta dua orang yang ikut memimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Satu daerah yang beberapa kali telah didatanginya, tetapi tidak pernah dapat dikalahkannya.

Demikianlah, maka Nyi Lurah Agung Sedayu, Ki Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyibak orang-orang yang berada di sekitar Ki Saba Lintang. Mereka-lah yang telah menimbulkan gejolak di satu sisi permukaan pasukan induk dari Mataram itu.

“Kita bertemu kembali, Ki Saba Lintang,” berkata Sekar Mirah.

“Aku sudah mengira bahwa kau tentu akan mencari aku,” sahut Ki Saba Lintang.

“Apakah orang-orangmu tidak mengatakan kepadamu?”

Ki Saba Lintang itu mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Aku sudah berpesan kepada mereka yang sempat berpapasan di medan perang, bahwa aku ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang.”

“Ya. Mereka sudah mengatakannya. Nah, sekarang kita sudah bertemu. Apakah kau akan mengeroyokku bersama suamimu dan saudara-saudaramu itu?”

“Tidak. Aku akan bertempur seorang melawan seorang. Suamiku serta saudara-saudaraku akan menjadi saksi. Selain itu mereka akan mencegah orang-orangmu yang berniat licik. Sementara itu mereka pun bertugas untuk menenangkan gejolak yang terjadi di sisi ini.”

“Baiklah. Aku pun berharap akan dapat bertempur melawanmu tanpa gangguan orang lain. Tetapi sayang bahwa kau adalah seorang perempuan. Kenapa kau tidak minta suamimu bertempur melawan aku?”

“Kenapa jika aku seorang perempuan?”

“Sebenarnya aku tidak tertarik untuk bertempur melawan perempuan. Jika aku menang, tidak akan ada yang memujiku karena aku hanya menang terhadap seorang perempuan.”

Jantung Sekar Mirah terasa berdesir. Tetapi Sekar Mirah pun menyadari, bahwa Ki Saba Lintang mulai menggelitik perasaannya agar ia menjadi marah dan bahkan kehilangan kendali, sehingga pertarungan yang terjadi kemudian akan lepas dari segala perhitungan, selain didorong oleh gejolak perasaan. Kesadarannya itulah yang justru telah mengekang Sekar Mirah untuk menjadi lebih berhati-hati, agar ia tidak terperosok ke dalam jebakan jiwani yang dilakukan oleh Ki Saba Lintang.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu berdiri beberapa langkah di belakang Sekar Mirah. Meskipun Ki Lurah percaya kemampuan Sekar Mirah yang sudah menjadi jauh meningkat, namun jantungnya masih tetap merasa ketegangan yang mencengkam.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah berusaha untuk meredakan gejolak yang terjadi. Orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang merasa memiliki ilmu yang tinggi, tengah berusaha untuk memporak-porandakan tatanan pasukan Mataram di dalam gelarnya.

Semula para Senapati serta pemimpin kelompok prajurit Mataram sempat terdesak. Namun keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di arena pertempuran itu telah membuat mereka menjadi semakin mapan. Bagaimanapun, orang-orang yang merasa memiliki ilmu yang tinggi di antara mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati harus mengakui, betapa Glagah Putih dan Rara Wulan justru telah menimbulkan gejolak di antara mereka.

Dalam pada itu, Sekar Mirah yang masih tetap mampu mengendalikan dirinya itu pun berkata, “Ki Saba Lintang. Marilah kita lupakan, apakah aku seorang perempuan atau seorang laki-laki. Yang penting adalah, bahwa aku pun memiliki tongkat baja putih seperti yang kau miliki. Bahkan aku telah menerima tongkat baja putih ini langsung dari yang berhak. Bukan mencuri, sebagaimana tongkat baja putih yang ada di tanganmu.”

“Kau tentu tidak tahu bagaimana aku mendapatkan tongkat baja putihku ini, Sekar Mirah. Tetapi itu tidak penting. Sekarang kita berhadapan di medan perang. Kita akan bertempur untuk membuktikan siapakah yang terbaik di antara kita. Aku pun akan berusaha melupakan apakah kau seorang laki-laki atau seorang perempuan.”

“Bagus, Ki Saba Lintang. Kita tidak mempunyai waktu banyak. Kita akan segera mulai.”

Ki Saba Lintang justru tertawa. Katanya, “Aku tidak akan memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan perlawananmu, Sekar Mirah. Pada saat aku berada di Tanah Perdikan waktu itu, mungkin sekali aku akan menjadi silau melihat kau, Agung Sedayu dan saudara-saudaramu itu. Tetapi sekarang tidak lagi. Aku sudah memiliki bekal yang lebih dari cukup untuk menghentikan perlawananmu pada langkah-langkah pertamamu.”

“Jika demikian, maka kau tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi kita masih harus membuktikan, apakah kau sekedar membual atau kau memang benar-benar berilmu sangat tinggi.”

“Sekar Mirah. Aku akui bahwa pada waktu itu ilmuku berada di bawah ilmu suamimu. Tetapi sekarang aku ingin menunjukkan kepadanya, bahwa ilmunya bukan apa-apa lagi bagiku.”

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera bergeser setapak.

Ketika Sekar Mirah itu menengadahkan wajahnya ke langit, dilihatnya matahari sudah naik lebih dari sepenggalah. Karena itu maka Sekar Mirahpun telah mengambil sebutir reramuan yang diberikan oleh Agung Sedayu kepadanya. Reramuan yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Kiai Gringsing yang menguasai ilmu pengobatan.

Seperti pesan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun segera menelan sebutir dari reramuan obat itu. Seperti pada saat-saat ia menelan reramuan itu sebelumnya, terasa tubuhnya menjadi hangat. Rasa-rasanya darahnya menjadi semakin lancar mengalir di urat-urat nadinya. Sementara itu tubuhnya terasa menjadi semakin lentur. Sesaat kemudian, Sekar Mirah pun telah siap bertempur menghadapi Ki Saba Lintang.

Dalam pada itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Dimana-mana terdengar dentang senjata beradu. Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak dapat tinggal diam menunggui Sekar Mirah yang bertempur melawan Ki Saba Lintang. Mereka mempercayakannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu, yang memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Ki Lurah Agung Sedayu dengan waspada memperhatikan tidak saja mereka yang bertempur, tetapi juga orang-orang yang bertempur di sekitarnya.

Ketika Ki Saba Lintang telah terikat dalam pertempuran melawan Sekar Mirah, serta keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di lingkaran pertempuran itu, maka gejolak pun segera mereda. Para Senapati Mataram serta para prajurit yang berada di lingkaran pertempuran itu tidak lagi mengalami banyak kesulitan. Glagah Putih dan Rara Wulan yang berilmu sangat tinggi itu pun berhasil meredam amuk orang-orang yang mengaku para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati.

Tiba-tiba saja seseorang telah meloncat langsung menghadapi Rara Wulan sambil menggeram, “Aku pernah melihatmu, Genduk.”

Rara Wulan terkejut. Ia pun segera meloncat surut. Tetapi Rara Wulan pun segera mengenali orang itu. Orang itu ada di antara mereka yang bertempur melawan Pasukan Khusus Mataram yang melindungi kelima orang utusan pada saat mereka menghadap Kanjeng Adipati di Demak.

“Kau yang pernah bermimpi untuk merampas tongkat baja putih Mbokayu Sekar Mirah.”

“Ya.”

“Nah, lihat. Mbokayu Sekar Mirah sekarang berhadapan langsung dengan orang yang mengaku sebagai pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati. Apakah kau masih tetap menginginkan tongkat baja putih itu? Jika kau masih menginginkannya, usir Ki Saba Lintang dan ambil alih Mbokayu Sekar Mirah.”

“Persetan kau, perempuan iblis. Lidahmu benar-benar beracun. Tetapi kau tidak akan dapat meninggalkan arena pertempuran ini. Hari ini aku tidak ingin merampas tongkat baja putih itu, karena hal itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Saba Lintang. Tetapi aku akan memotong lidahmu yang beracun itu. Aku ingin tahu, apakah kau dapat hidup tanpa lidahmu?”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Ternyata kau suka bercanda, Ki Sanak. Jika kau ingin melihat apakah aku dapat hidup tanpa lidahku, aku justru ingin melihat apakah kau juga dapat hidup tanpa kepalamu.”

“Kau benar-benar anak iblis,” geram orang itu, “bersiaplah. Aku benar-benar akan memotong lidahmu.”

Rara Wulan tersenyum. Namun ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang berniat merampas tongkat baja putih Sekar Mirah itu merasa bahwa sulit baginya untuk mengimbangi ilmu perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu. Tetapi ia merasa bahwa ia akan dapat dengan segera menguasai perempuan yang masih terlihat muda itu. Tetapi orang itu pun terkejut ketika di antara mereka mulai terjadi benturan-benturan. Ternyata tenaga Rara Wulan jauh melampaui dugaannya. Demikian pula kecepatannya bergerak.

Karena itu maka orang itu pun tidak lagi mau bermain-main dengan taruhan yang sangat mahal. Ia pun kemudian telah mencabut senjata pusakanya. Senjata yang diandalkannya bukan saja karena kokoh dan tajamnya melampaui tajamnya pisau pencukur kumis dan jenggot, tetapi orang itu percaya bahwa ada semacam tenaga ajaib yang ada di dalam pusakanya itu, yang dapat melindunginya sekaligus mempunyai pengaruh yang sangat buruk bagi lawannya.

“Aku hampir tidak pernah mencabut kerisku ini,” geram orang itu.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Keris itu seakan-akan memang memancarkan cahaya kemerah-merahan.

“Keris ini adalah keris pusaka turun-temurun yang saat ini berada di tanganku. Perempuan iblis, nasibmu adalah nasib yang sangat buruk. Kekuatan dan kemampuanmu akan segera dihisap oleh kerisku ini, sehingga kau tidak akan berdaya lagi untuk melawanku. Dengan mudah aku dapat membunuhmu atau memperlakukanmu sekehendak hatiku. Misalnya memotong lidahmu.”

Namun Rara Wulan itu pun kemudian tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Kita adalah makhluk yang menguasai bumi yang gemelar ini seisinya, termasuk kerismu itu. Jika kerismu itu mempunyai kuasa yang hadir di dalamnya, tentu juga karena pengaruh makhluk seperti kita, yang membuat keris itu. Tetapi seberapapun tinggi kuasa benda-benda seperti kerismu itu, namun kuasanya tidak akan dapat mengalahkan kuasa makhluk seperti kita yang disebut manusia.”

“Tutup mulutmu!”

“Karena itu maka pengaruh kuasa kerismu itu tidak akan dapat melampaui kuasaku. Sehingga dengan demikian, maka kerismu itu tidak akan berarti apa-apa tanpa kau sendiri berbuat sesuatu. Nah, apapun senjatamu, yang berhadapan dalam perang ini adalah kau dan aku. Kau bersenjata keris, dan aku pun akan mempergunakan senjataku.”

Rara Wulan pun kemudian mengurai selendangnya. Kemudian memutar sebelah ujungnya.

“Marilah, Ki Sanak. Pusakamu atau pusakaku yang akan lebih berkuasa.”

Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat marah. Perempuan itu ternyata telah meremehkan pusakanya yang bertuah itu. Bahkan Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sebenarnya aku akan lebih ngeri melihat kau mempermainkan golokmu yang besar dan panjang itu. Golok yang juga kau anggap sebagai pusakamu itu.”

“Perempuan iblis,” geram orang itu, “keris ini memang jauh lebih kecil dari golokku itu. Tetapi keris ini yang nanti akan dapat mengantarkan nyawamu ke alam langgeng.”

“Alam langgeng? Apa yang kau maksud dengan alam langgeng?”

“Kau benar-benar iblis yang tidak mengenal alam langgeng.”

“Bukan begitu. Aku justru menjadi heran bahwa kau masih juga menyebut alam langgeng. Sebenarnya kau percaya atau tidak dengan alam langgeng? Jika kau menyebut dan percaya pada alam langgeng, kenapa kau sama sekali tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk memasuki alam langgeng itu? Kenapa kau justru melakukan perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak menuju ke alam langgeng itu dalam kesempurnaannya?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Persetan dengan pemahamanmu yang berbelit-belit itu. Sekarang, aku akan membunuhmu dengan kerisku, yang jauh lebih berbahaya bagimu daripada golokku yang besar itu.”

“Bagus. Lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku akan menari di hadapanmu dengan selendangku.”

Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang bersenjata keris pusakanya itu menyangka bahwa dengan kerisnya ia akan dapat memotong selendang lawannya. Tetapi dugaannya salah. Ketika ia berhasil menebas selendang Rara Wulan yang sedang meluncur menyambarnya, ternyata selendang itu tidak tersangkut dan justru kerisnya hampir saja terlepas dari tangannya. Untunglah orang itu cepat menggenggam hulu keris itu. Meskipun tangannya menjadi panas, tetapi ia masih mampu menyelamatkan kerisnya.

Orang itu mengumpat kasar. Namun kemudian ia pun berloncatan dengan garangnya menyerang Rara Wulan dari segala arah. Tetapi kembali orang itu terkejut. Rara Wulan pun mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Bahkan selendangnya yang berputaran itu telah berhasil mematuk lambungnya.

Orang itu menyeringai menahan sakit sambil meloncat mundur mengambil jarak. Selendang yang mematuk itu terasa bagaikan ujung tongkat besi yang terjulur mengenai lambungnya itu.

“Gila perempuan itu. Ia masih terhitung muda, tetapi ilmunya telah membuatku menjadi gelisah.”

Sebenarnyalah sulit bagi orang itu mengimbangi ilmu Rara Wulan. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak, namun perempuan yang masih muda itu ilmunya memang sangat tinggi.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata orang itu, “aku harus membinasakannya dengan aji pamungkasku. Aji Lapak Naga.”

Dalam keadaan yang semakin terdesak, maka orang itu pun telah meloncat mengambil jarak. Ia pun segera memusatkan nalar budinya, mengetrapkan Aji Lapak Naga. Kerisnya yang seakan-akan bercahaya kemerahan itu pun diangkatnya di depan wajahnya. Kedua belah tangannya memegangi hulu keris itu, seakan-akan keris itu akan melepaskan diri dari genggamannya. Sejenak kemudian, maka orang itu dengan satu hentakan telah menjulurkan kerisnya. Ujungnya mengarah ke dada Rara Wulan. Namun pada saat yang bersamaan, Rara Wulan telah melepaskan ilmunya, Aji Namaskara.

Ketika dari ujung keris itu seakan-akan meluncur sinar yang kemerah-merahan, maka dari telapak tangan Rara Wulan telah meluncur sederet sinar yang hijau kebiru-biruan. Dua kekuatan ilmu yang tinggi itu pun kemudian saling berbenturan dengan dahsyatnya, sehingga medan pertempuran itu seakan-akan telah diguncang.

Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Namun Rara Wulan itu masih tetap saja berdiri tegak.

Ternyata selisih kekuatan ilmu mereka, terpaut agak jauh. Orang yang bersenjata keris itu terpelanting beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh ke tanah. Seisi dadanya rasa-rasanya telah runtuh oleh getar benturan kekuatan ilmu mereka.

Rara Wulan masih berdiri tegak sambil memandangi tubuh orang yang terbaring diam itu. Beberapa orang pun kemudian berlarian mendekatinya. Mereka pun kemudian berlutut di sisinya, Sedangkan tiga orang yang lain berdiri dengan tombak pendek yang teracu. Dari antara mereka yang berjongkok di sisi orang terbaring itu, Rara Wulan mendengar ia memanggil, “Ki Naga Tengara? Ki Naga Tengara?”

Tetapi orang yang dipanggil Ki Naga Tengara itu sama sekali tidak bergerak. Beberapa orang itu pun kemudian telah mengusung tubuh Ki Naga Tengara itu ke belakang garis pertempuran.

Ketika Ki Saba Lintang masih bertempur dengan sengitnya melawan Sekar Mirah, maka gejolak kematian Ki Naga Tengara itu dirasakannya. Seorang penghubung pun kemudian datang memberikan laporan kepadanya, bahwa seorang Senapati telah terbunuh.

Ki Saba Lintang itu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sekar Mirah pun sengaja tidak memburunya, karena sebenarnyalah ia juga ingin tahu, siapakah yang terbunuh.

“Siapa?” bertanya Ki Saba Lintang.

Penghubung itu pun mendekatinya sambil berkata perlahan, “Ki Naga Tengara.”

“Ki Naga Tengara?”

“Ya, Ki Saba Lintang.”

Ki Saba Lintang itu pun menggeram. Ki Naga Tengara adalah salah seorang senapati terpilihnya. Bahkan Ki Naga Tengara pernah menyatakan kesediaannya untuk mengambil tongkat baja putih yang satu lagi dari tangan perempuan yang kini bertempur melawannya. Namun ternyata Ki Naga Tengara telah terbunuh.

“Siapa yang membunuhnya?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Seorang perempuan yang masih terhitung muda. Ia telah bertempur melawan Ki Naga Tengara dan membunuhnya.”

“Setelah membunuh perempuan yang membawa tongkat baja putih tiruan ini, biarlah aku membunuhnya.”

“Kau sebut tongkat bajaku ini tiruan?” sahut Sekar Mirah.

“Lalu harus kusebut apa?”

“Bagus. Jika demikian, kita akan melihat apakah tongkat baja tiruan ini akan dapat meretakkan tulang tengkorakmu.”

Ki Saba Lintang pun menggeram, sementara Sekar Mirah pun berkata, “Ki Saba Lintang. Bagaimanapun juga orang-orangmu telah terbunuh satu demi satu dalam perang ini. Karena itu, kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Demikian pula Kanjeng Adipati Demak. Sepeninggal Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, maka tidak ada lagi kekuatannya.”

“Omong kosong. Masih ada aku dan Ki Patih Tandanegara. Masih ada beberapa Tumenggung yang berilmu tinggi dari Demak, serta para pemimpin dari perguruanku. Sementara itu jumlah pasukanku masih melimpah dibanding para prajurit Mataram, yang semakin lama menjadi semakin sedikit jumlahnya.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Kau mencoba untuk membesarkan hatimu sendiri. Setiap orang di medan pertempuran ini menyadari bahwa pasukan Demak-lah yang susut begitu cepat. Lebih-lebih pada hari ini, pada saat Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri yang menjadi Senapati Agung Pasukan Mataram.”

“Persetan kau, perempuan iblis,” geram Ki Saba Lintang sambil meloncat menyerang.

Tetapi Sekar Mirah sudah siap sepenuhnya, sehingga ayunan tongkat baja putih Ki Saba Lintang yang mengarah ke pelipisnya telah ditangkisnya, sehingga terjadi benturan yang sangat keras. Telapak tangan kedua orang itu pun terasa menjadi panas pada saat mereka mempertahankan tongkat mereka agar tidak terloncat dari genggaman.

Demikianlah, mereka berdua pun telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Kedua belah pihak memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga pertempuran di antara mereka pun telah membuat para prajurit dari kedua belah pihak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun menyibak.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat kembali dalam pertempuran melawan para Senapati Demak, serta mereka yang mengaku pemimpin dari Perguruan Kedung Jati. Namun para Senapati dari Mataram pun telah melibas lawan-lawan mereka pula, sehingga ketika terjadi gejolak maka pasukan Demak-lah yang telah terguncang.

Demikianlah, pertempuran pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat mendesak lawan-lawannya. Sementara itu Pangeran Puger muda yang garang itu pun telah berhasil beringsut maju setapak demi setapak. Sedangkan Pangeran Demang Tanpa Nangkil pun berusaha pula untuk menguasai medan, meskipun ia agaknya mengalami kesulitan. Tetapi prajurit-prajuritnya adalah prajurit yang berpengalaman, sehingga akhirnya, pasukannya pun mampu beringsut pula meskipun sangat perlahan.

Di induk pasukan, masih saja terasa gejolak yang terjadi di sekitar arena pertempuran antara Ki Saba Lintang melawan Sekar Mirah, yang selalu diamati oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan bersama para Senapati Mataram yang lain berusaha untuk menggilas pasukan Demak yang terdiri dari para prajurit, para Wiratani serta mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Sementara itu di sisi lain di induk pasukan itu, Ki Patih Tandanegara yang mengamuk seperti harimau terluka telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Suradigdaya.

Sementara itu Kanjeng Adipati Demak sendiri bertempur dengan garangnya. Siapapun yang berani mendekatinya, segera disapunya dengan tombak pendek pusakanya. Para prajurit dan para Senapati dari Mataram sangat mengalami kesulitan untuk mendekatinya. Selain Kanjeng Adipati Demak sendiri, para pengawalnya yang terpercaya telah mengamuk menyapu medan. Kanjeng Panembahan Hanyakrawati akhirnya merasa perlu untuk langsung berhadapan dengan Kanjeng Adipati Demak yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Para prajurit dari Pasukan Khusus Pengawal Raja telah membuka jalan menyibak para pengawal Kanjeng Adipati Demak, sehingga Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun dapat langsung berhadapan dengan Kanjeng Adipati di Demak.

“Kau, Dimas,” geram Kanjeng Adipati Demak.

“Aku sengaja berniat menjumpai Kangmas Adipati di medan pertempuran ini.”

Wajah Kanjeng Adipati Demak itu menjadi tegang. Dengan nada berat Kanjeng Adipati itu berkata, “Dimas. Sebaiknya Dimas menghindar agar tidak langsung bertemu dengan aku di arena pertempuran ini.”

“Kenapa Kangmas? Kangmas adalah Senapati Agung dari Demak, dan aku adalah Senapati Mataram. Bukankah wajar kalau kita bertemu dalam arena pertempuran ini?”

“Tetapi apakah mungkin terjadi, bahwa kita akan bertempur di medan ini?”

“Aku berharap mudah-mudahan tidak terjadi, Kangmas.”

“Karena itu minggirlah, Dimas Panembahan. Aku akan menghadapi semua Senapati dari Mataram yang maju ke medan perang ini. Sedangkan Dimas harus menghadapi para prajurit Demak yang lain.”

“Bukankah pada akhirnya kita juga akan berjumpa, Kangmas?”

“Belum tentu, Dimas. Jika perjalananmu terhenti oleh Senapatiku, baik prajurit Demak maupun dari lingkungan murid Perguruan Kedung Jati, maka kita tidak akan bertemu.”

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk, “Atau mungkin dapat terjadi sebaliknya, Kangmas. Jika Kangmas gagal melampaui para Senapatiku, maka Kangmas pun akan terhenti.”

“Karena itu, biarlah kita berselisih jalan, Dimas.”

“Tidak, Kangmas. Aku sengaja menemui Kangmas. Persoalan ini sebenarnya adalah persoalanku dengan Kangmas Pangeran. Kangmas merasa berhak untuk menduduki tahta Mataram karena Kangmas merasa lebih tua dari aku. Sedangkan aku, meskipun lebih muda, tetapi kebetulan aku dilahirkan oleh permaisuri Mataram. Karena itu maka seharusnya kita-lah yang akan menyelesaikan persoalan di antara kita. Jika salah seorang di antara kita sudah mati, maka tidak akan ada lagi yang berebut.”

“Belum tentu. Kita mempunyai saudara cukup banyak. Mungkin beberapa orang Pangeran yang lain juga merasa berhak atas tahta Mataram.”

“Jadi menurut Kangmas?”

“Aku akan menghancurkan Mataram. Jika aku berhasil, maka tidak akan ada lagi yang akan berani melawanku, karena aku tentu akan mematahkan perlawanannya.”

“Mungkin Kangmas. Tetapi sekarang ini pusat dari perselisihan ini adalah aku dan Kangmas Pangeran Puger. Jika salah seorang dari kita sudah kalah, maka peperangan akan selesai. Dimas Pangeran Puger muda serta Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak akan berbuat apa-apa lagi. Demikian pula Paman Pangeran Singasari yang sekarang terluka.”

“Tetapi sekali lagi aku peringatkan, Dimas, minggirlah. Agar kita tidak bertarung di medan pertempuran ini.”

“Korban sudah terlalu banyak, Kangmas. Pertarungan antara kita akan mengakhiri perang. Siapapun yang menang dan siapapun yang kalah. Setiap malam kita tidak perlu lagi memakamkan anak-anak terbaik kita yang gugur. Salah seorang dari kita-lah yang akan dimakamkan pada upacara yang terakhir.”

“Baik, baik. Agaknya kau lebih senang bertarung daripada menghindar, sehingga perang antara Demak dan Mataram akan segera berakhir, siapapun yang menang dan siapapun yang kalah.”

“Sebenarnya aku juga tidak menginginkan kita bertemu dalam pertarungan antara hidup dan mati. Tetapi setelah mendapat peringatan dari banyak pihak, Kangmas masih tetap pada pendirian Kangmas, maka aku tidak melihat jalan lain untuk mempercepat berakhirnya perang ini. Hari ini pasukan Demak telah dilanda kekalahan demi kekalahan. Pasukan yang dipimpin oleh Dimas Pangeran Puger muda telah mendapat kemajuan yang pesat. Sedangkan kemajuan dari pasukan yang dipimpin oleh Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil memang agak lamban. Namun pasti pasukannya juga mendapat kemajuan. Sementara itu Senapati Pengapitmu yang kau banggakan, Ki Saba Lintang, telah mendapat lawannya yang sepadan. Sedangkan Ki Patih Tandanegara juga sudah terikat dalam pertempuran. Para Senapati Mataram di segala sudut pertempuran ini semakin menguasai keadaan, sehingga para Senapati dari Demak tidak mendapat tempat lagi.”

“Itu hanyalah angan-anganmu saja, Dimas. Tetapi kenyataannya sangat jauh berbeda. Ki Saba Lintang telah membunuh lawan-lawannya. Ia bertempur seperti membabat batang ilalang dengan parang yang tajamnya tujuh kali pisau pencukur.”

“Baiklah. Aku atau Kangmas yang bermimpi.”

Keduanya pun kemudian segera bersiap. Ketika Kanjeng Pangeran Puger merundukkan tombak pendeknya, maka Kanjeng Panembahan Hanyakrawati telah mengacungkan senjatanya pula. Sebatang canggah dengan landean sepanjang landean tombak bertangkai pendek.

Dengan demikian maka kedua orang Senapati Agung itu pun telah bertempur dengan mempergunakan senjata yang lebih panjang dari pedang.

Kanjeng Pangeran Puger memang menjadi agak berdebar melihat canggah bermata rangkap di tangan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Namun Pangeran Puger sendiri adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun adalah seorang yang sudah tuntas mempelajari berbagai macam ilmu. Karena itu maka pertempuran di antara mereka pun merupakan pertempuran yang sangat seru. Senjata mereka berputaran seperti baling-baling. Terayun mendatar, menebas dan sekali-sekali mematuk seperti ular.

Para prajurit dari Demak dan Mataram tanpa mereka sadari telah menyibak. Mereka memberikan tempat yang lebih leluasa kepada keduanya untuk berperang tanding. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus Pengawal Raja tetap berhati-hati mengawasi keadaan. Tidak boleh terjadi sebagaimana Pangeran Singasari, yang telah diserang dengan licik oleh para Senapati Demak. Tetapi mereka yakin bahwa Kanjeng Pangeran Puger sendiri adalah seorang yang tetap berpegang teguh pada sifat dan sikap seorang ksatria, sehingga tidak akan berbuat licik. Tetapi tidak semua Senapati Demak mempunyai sifat sebagaimana Kanjeng Pangeran Puger sendiri.

Benturan-benturan senjata pun telah terjadi. Namun pertahanan keduanya pun demikian rapatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan lubang seujung rambut sekalipun. Tanah tempat mereka bertarung telah teraduk bagaikan baru saja di bajak. Debu berhamburan, sehingga udara pun menjadi muram. Di langit, matahari merangkak perlahan-lahan. Sekali-sekali awan melintas menutup wajah matahari yang cemas, menyaksikan dua orang ksatria yang berilmu sangat tinggi bertempur di antara perang yang dahsyat antara prajurit Mataram dan prajurit Demak.

Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Puger muda yang memimpin pasukan Mataram yang berada di lambung barisan, telah semakin mendesak lawannya. Prajurit Demak mengalami sedikit kesulitan ketika Pangeran Puger itu dengan garangnya langsung bertempur di kepala gelar pasukannya.

“Aku sudah mulai jemu dengan perang yang tidak berkesudahan ini,” geram Pangeran Puger muda.

Sementara itu Pangeran Demang Tanpa Nangkil pun telah menemukan landasan yang mapan. Pasukannya pun bergerak maju, meskipun tidak secepat gerak pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Puger muda. Namun kemajuan Pangeran Demang Tanpa Nangkil ternyata berpengaruh pula atas pasukan induk kedua belah pihak.

Serangan-serangan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun semakin lama menjadi semakin sengit. Beberapa kali canggahnya yang bercabang itu telah menyentuh tubuh Kanjeng Adipati Demak. Tetapi perlawanan Kanjeng Adipati Demak itu masih tetap berbahaya bagi Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Ki Saba Lintang telah bertempur dengan garangnya melawan Sekar Mirah. Tongkat baja putih di tangan mereka pun terayun-ayun mengerikan. Sekali-kali kedua tongkat baja putih itu pun telah beradu dengan dahsyatnya, sehingga bunga api yang terloncat bagaikan bayangan kilat yang menyambar-nyambar.

Di sekitar Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah yang sedang bertarung antara hidup dan mati itu pun pertempuran seakan-akan telah menyibak. Para prajurit Demak masih saja sibuk bertempur melawan prajurit Mataram. Demikian pula mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Sedang para Wiratani yang diambil dari antara para petani di padukuhan-padukuhan yang terlibat dalam pertempuran itu, hatinya telah menyusut. Mereka yang hanya mengalami latihan-latihan perang sekadarnya, melihat betapa para prajurit bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka.

Berbeda dengan para petani yang dihimpun dari sekitar Gunung Kendeng serta daerah-daerah di sekitarnya, para petani yang tergabung dalam Pasukan Pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, telah memiliki bekal sebagaimana seorang prajurit.

Para petani dari sekitar Gunung Kendeng yang disertakan dalam pasukan Demak, baru sempat berlatih beberapa lama. Mereka belum berpengalaman sama sekali menghadapi perang yang sebenarnya. Meskipun mereka mampu dan bahkan tampak terampil memamerkan perang gelar dalam latihan-latihan yang besar, tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, jantung mereka masih bergetar. Di dalam pertempuran yang sebenarnya mereka melihat tubuh-tubuh yang terbaring memancarkan darah dari luka-lukanya. Wajah-wajah yang geram membayangkan kemarahan, serta muka-muka yang kecut dan ketakutan, berbaur menjadi satu.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di antara para Senapati Mataram telah berhasil mengacaukan sisi gelar induk pasukan Demak. Para Senapati Demak serta para pemimpin dari mereka yang mengaku murid-murid Perguruan Kedung Jati, telah bergejolak. Ternyata mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati telah menjadi bingung ketika mereka melihat seorang perempuan yang bersenjatakan selendang mampu menunjukkan ciri-ciri dari aliran Kedung Jati yang sebenarnya.

Sementara itu, di sisi yang lain, Ki Patih Tandanegara ternyata mengalami kesulitan ketika Ki Tumenggung Ranadigdaya semakin meningkatkan kemampuannya. Sehingga karena itu maka Ki Patih Tandanegara pun telah memberikan isyarat kepada para Senapati pengawalnya untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu.

Namun para Senapati Mataram dalam pasukan Ki Tumenggung Ranadigdaya itu pun tanggap pula, sehingga dengan cepat mereka pun telah berada di sebelah-menyebelah Ki Tumenggung Ranadigdaya.

Demikianlah, gelar Gajah Meta di induk pasukan Demak itu telah terguncang-guncang. Sementara itu induk pasukan Mataram telah menghentikan putaran gelarnya.

Dalam pada itu, mengingat keseluruhan pertempuran di induk pasukan, maka masing-masing harus menghentakkan kekuatan. Dalam keadaan yang gelisah itu, seorang penghubung telah mendekati arena pertempuran antara Kanjeng Adipati Demak melawan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Dengan lantang penghubung itu berteriak, “Ki Patih Mandaraka minta ijin untuk merubah gelar dari Gelar Cakra Byuha menjadi gelar Wulan Tumanggal!”

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati yang mengetahui wawasan Ki Patih serta pengalaman yang sangat luas, tidak berpikir panjang. Sambil meloncat memutar canggahnya, Kanjeng Panembahan Hanyakrawati itu pun menyahut, “Lakukan!”

Penghubung itu pun segera berlari kembali menghadap Ki Patih Mandaraka, yang kemudian melalui para Senapati penghubung telah memerintahkan atas nama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati yang memegang kendali seluruh pasukan Mataram, merubah gelar Cakra Byuha yang karena suasana medan tidak memungkinkan untuk berputar, menjadi gelar Wulan Tumanggal.

Perubahan itu memang menimbulkan geseran-geseran yang agak tajam. Namun ternyata bahwa para Senapati Mataram dengan terampil telah bergerak dengan cepat mengatur pasukannya, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, gelar Cakra Byuha itu telah berubah menjadi gelar yang lebih lebar dan lengkung. Gelar Wulan Tumanggal.

Namun induk pasukan Mataram yang sedang berubah itu telah terdesak mundur beberapa langkah. Ternyata para Senapati Demak cepat mengambil langkah. Mereka memanfaatkan perubahan yang sedang terjadi di induk pasukan Mataram, sehingga mereka berhasil mendesak gelar Wulan Tumanggal itu surut. Tetapi para Senapati Demak itu tidak berhasil memecahkan gelar yang sedang berubah itu.

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati dan Kanjeng Adipati Demak seakan-akan tidak terpengaruh oleh perubahan yang sedang terjadi. Mereka masih saja bertempur seorang melawan seorang. Ayunan senjata mereka yang terhitung agak panjang, telah menimbulkan desir angin yang semakin lama semakin keras, sehingga kemudian kedua senjata Senapati Agung dari Mataram dan Senapati Agung dari Demak itu seakan-akan telah menimbulkan angin pusaran yang keras. Debu pun membubung tinggi. Bahkan kemudian dedaunan kering yang terhampar di arena telah ikut berterbangan pula. Pepohonan yang ada di sekitar arena pun telah terguncang serta ranting-rantingnya berpatahan.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pada saat-saat keduanya meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka udara pun rasa-rasanya menjadi semakin panas.

Ternyata beberapa puluh langkah dari arena yang mendebarkan itu bagaikan telah bertiup prahara pula. Ki Saba Lintang yang telah mengerahkan kemampuannya, membentur kemampuan Sekar Mirah yang telah meningkatkan ilmunya hingga tuntas.

Dua batang tongkat baja putih yang berputaran di sekitar tubuh mereka masing-masing bagaikan awan putih yang bergumpal menyelubungi tubuh mereka itu. Meskipun awan putih itu tembus pandang, namun seakan-akan udara pun tidak dapat menembusnya.

Setiap kali tongkat baja putih mereka membentur gumpalan-gumpalan awan itu, sehingga terdengar suaranya berdentangan serta bunga api pun berhamburan.

Namun akhirnya keseimbangan di antara keduanya pun mulai berguncang ketika tongkat baja putih Sekar Mirah mulai menguak pertahanan Ki Saba Lintang dan menyentuh lengannya. Ki Saba Lintang pun terkejut. Sentuhan itu rasa-rasanya bagaikan hentakan yang meretakkan tulang-tulangnya.

Karena itu maka Ki Saba Lintang itu pun meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Kemudian dirabanya lengannya yang telah tersentuh tongkat baja putih Sekar Mirah, untuk meyakinkan apakah lengannya itu benar-benar telah tersentuh tongkat baja putih lawannya.

Sebenarnyalah usapan tangan yang perlahan itu terasa bagaikan himpitan yang sangat menyakitkan pada tulangnya yang seakan-akan telah retak.

“Gila kau, perempuan iblis,” geram Ki Saba Lintang.

Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Namun ia sudah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Ki Saba Lintang pun kemudian telah meloncat sambil mengayunkan baja putihnya ke arah ubun-ubun Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah pun segera menyilangkan tongkat baja putihnya di atas kepalanya, sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang membentur tongkat Sekar Mirah. Namun Ki Saba Lintang bergerak cepat sekali. Tongkatnya itu bagaikan menggeliat, kemudian terayun mendatar ke arah lambung.

Sekali lagi Sekar Mirah membenturkan tongkatnya menangkis serangan Ki Saba Lintang. Bahkan kemudian Sekar Mirah-lah yang memutar tongkatnya, kemudian mematuk dengan cepat mengarah ke dadanya. Ketika Ki Saba Lintang mengelak, maka Sekar Mirah pun menarik tongkatnya. Namun kemudian tongkat itu menebas mendatar dengan cepatnya.

Ki Saba Lintang dengan cepat pula meloncat surut, sehingga tongkat baja Sekar Mirah tidak mengenainya. Tetapi pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Saba Lintang-lah yang terayun dengan derasnya mengarah ke kening. Sekar Mirah sempat merendah. Pada saat tongkat Ki Saba Lintang terayun di atas kepalanya, Sekar Mirah justru menjulurkan tongkatnya.

Ki Saba Lintang terkejut. Dengan cepat ia pun meloncat surut menghindari patukan tongkat Sekar Mirah. Namun tongkat Sekar Mirah yang mematuk ke arah lambung itu lebih cepat dari loncatan Ki Saba Lintang, sehingga ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu telah menyentuh lagi tubuh Ki Saba Lintang di lambungnya.

Ki Saba Lintang menyeringai menahan sakit. Sekali lagi ia meloncat mengambil jarak sambil berdesah tertahan.

Sekar Mirah tidak memberinya waktu. Dengan cepat pula Sekar Mirah meloncat memburunya sambil mengayunkan tongkatnya. Tetapi Ki Saba Lintang berhasil menghindari ayunan tongkat Sekar Mirah. Bahkan Ki Saba Lintang-lah yang kemudian mengayunkan tongkatnya pula.

Sekar Mirah sempat menangkis tongkat Ki Saba Lintang. Namun ayunan yang deras itu masih saja menyentuh bahu Sekar Mirah. Sekar Mirah-lah yang kemudian meloncat surut. Bahunya terasa sakit sekali. Rasa-rasanya tongkat baja Ki Saba Lintang itu langsung menyentuh tulangnya.

Demikianlah, pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Beberapa orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati menjadi sangat berdebar-debar. Ternyata ilmu dari Perguruan Kedung Jati itu jauh lebih rumit daripada apa yang dikenal, meskipun mereka mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati.

Namun akhirnya Ki Saba Lintang yang mulai merasa bahwa tingkat kemampuan Sekar Mirah yang diwarisinya dari Perguruan Kedung Jati tidak dapat ditandinginya, maka Ki Saba Lintang pun mulai merambah ke ilmunya dari aliran perguruan yang lain. Meskipun Ki Saba Lintang tetap berlandaskan kepada ilmu dari aliran Perguruan Kedung jati, namun kemudian telah dilengkapi dengan unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari seorang pertapa di Bukit Telamaya.

Sekar Mirah memang agak terkejut melihat beberapa perubahan pada sikap dan unsur-unsur gerak Ki Saba Lintang. Sekar Mirah pun segera melihat bahwa unsur gerak Ki Saba Lintang sudah tidak murni lagi. Beberapa unsur gerak yang disadapnya dari aliran yang berbeda, namun yang telah luluh dan saling mengisi dengan landasan ilmunya, telah membuat Ki Saba Lintang menjadi semakin berbahaya. Sekali-sekali Sekar Mirah pun terdesak beberapa langkah surut, sehingga justru karena itu maka serangan-serangan Ki Saba Lintang pun menjadi semakin garang.

Ki Lurah Agung Sedayu yang berada di luar arena pertempuran itu pun melihat pula bahwa ada unsur gerak dari aliran perguruan lain yang mengisi, namun sudah menjadi luluh dan menyatu dengan ilmu dasar Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak tahu, dari aliran perguruan manakah yang telah melengkapi ilmu Ki Saba Lintang itu, sehingga menjadi ilmu yang sangat berbahaya. Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian berharap bahwa Sekar Mirah pun dapat mengetahui bahwa ada unsur-unsur lain dalam ilmu Ki Saba Lintang, sehingga ilmunya menjadi semakin rumit.

Pada saat Sekar Mirah mengalami beberapa kesulitan menghadapi ilmu Ki Saba Lintang yang menjadi semakin rumit, maka Sekar Mirah pun merasa tidak terikat lagi pada kemurnian ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati. Karena itulah maka pada saat-saat ilmu Ki Saba Lintang menjadi semakin rumit, Sekar Mirah pun telah melakukan hal yang sama. Unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kiai Gringsing pun mulai menyusup dalam unsur-unsur gerak Sekar Mirah. Namun unsur-unsur gerak itu telah luluh menyatu pula.

Bahkan unsur-unsur gerak yang lembut dan cepat dari aliran perguruan Ki Sadewa pun telah mewarnai ilmu Sekar Mirah itu pula. Sehingga dengan demikian maka unsur-unsur gerak Sekar Mirah itu pun tidak kalah rumitnya dari unsur-unsur gerak Ki Saba Lintang.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Serangan demi serangan telah saling berbenturan. Ayunan tongkat baja putih dari kedua orang itu telah menimbulkan hembusan angin yang berputaran, sehingga para prajurit yang bertempur di sekitarnya merasakan bagaikan terkena tusukan-tusukan ujung duri pada tubuh mereka.

Demikianlah, pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin dahsyat. Sentuhan-sentuhan tongkat baja putih pun semakin sering pada kedua belah pihak. Namun semakin lama semakin terasa pada Ki Saba Lintang bahwa tekanan Sekar Mirah menjadi semakin berat. Sentuhan-sentuhan tongkat bajanya seakan-akan telah membuat tulang-tulangnya retak dimana-mana.

Ki Saba Lintang memang agak menyesal bahwa ia tidak mempergunakan waktunya lebih banyak untuk mematangkan ilmu yang disadapnya dari pertapa di Bukit Telamaya, sehingga ilmunya menjadi semakin tinggi. Namun dalam keadaan yang mendesak, Ki Saba Lintang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempergunakan ilmu puncaknya untuk menghentikan perlawanan Sekar Mirah.

“Aku yakin bahwa Sekar Mirah masih belum memiliki puncak ilmu aliran Perguruan Kedung Jati sematang ilmuku. Didorong oleh kemampuan pertapa di goa yang ada di Bukit Telamaya, maka aku telah menguasai dan mematangkan ilmu puncak Perguruan Kedung Jati, meskipun tidak murni lagi. Tetapi aku akan membuktikan bahwa akulah orang terbaik dari Perguruan Kedung Jati.”

Demikianlah, maka Ki Saba Lintang pun kemudian telah menghentakkan ilmunya. Dipusatkannya nalar dan budinya pada pelepasan ilmu puncaknya. Ilmu puncak dari Perguruan Kedung Jati yang sudah dikembangkan oleh seorang pertapa di goa Bukit Telamaya.

Agung Sedayu pun menjadi tegang karenanya. Ia sadar bahwa kedua orang yang bersumber pada aliran Perguruan Kedung Jati yang berkembang dalam lingkungan yang berbeda itu akan segera melepaskan ilmu puncak mereka.

Sebenarnyalah ketika Sekar Mirah melihat sikap Ki Saba Lintang, maka Sekar Mirah pun segera mempersiapkan dirinya. Hampir berbareng keduanya pun telah mencapai tataran ilmu puncak. Keduanya telah memegang leher tongkat baja putih mereka tepat di bawah pangkalnya, sebuah bentuk tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.

Ketika keduanya mengangkat tongkat baja putih mereka, maka dari pangkal tongkat baja putih mereka memancar seleret sinar yang tajam. Namun ternyata sinar yang memancar dari kedua tongkat baja putih itu warnanya tidak sama. Seleret sinar yang memancar dari tongkat baja putih Ki Saba Lintang itu seakan-akan telah memancarkan cahaya yang berwarna merah keunguan. Sedangkan sinar yang memancar dari tongkat baja putih Sekar Mirah menyiratkan warna putih kebiruan.

Kedua ilmu yang diluncurkan oleh kedua orang yang telah menuntaskan ilmu dari aliran perguruan yang sama, yang berkembang dalam lingkungan dan suasana yang berbeda itu pun telah saling berbenturan. Arena pertempuran itu pun seakan-akan telah berguncang. Sinar yang silau memancar seperti kilat di langit, diiringi oleh suara gemuruh seperti gunung yang runtuh.

Orang-orang yang bertempur di sekitar lingkaran pertempuran antara Sekar Mirah dan Ki Saba Lintang itu pun seakan-akan telah terlempar satu dua langkah. Mereka pun terpelanting dan berjatuhan, bahkan berguling-guling di tanah.

Sekar Mirah pun telah terpelanting beberapa langkah surut. Namun Ki Lurah Agung Sedayu yang mengamati pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran, dengan cekatan menangkap tubuh Sekar Mirah itu, sehingga tubuh itu tidak terbanting di tanah.

Namun ternyata tubuh Sekar Mirah itu pun kemudian terkulai di tangan Ki Lurah Agung Sedayu.

“Mirah? Sekar Mirah?” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

Tetapi Sekar Mirah tidak menyahut. Ternyata Sekar Mirah itu telah menjadi pingsan. Tongkat baja putihnya masih tetap erat di dalam pegangannya.

Agung Sedayu yang sudah sejak lama mempersiapkan segala-galanya atas segala kemungkinan, termasuk kemungkinan seperti yang benar-benar telah terjadi, segera mengambil obat dari kantong bajunya. Obat yang disimpannya dalam sebuah bumbung kecil yang disumbat dengan gabus. Obat itu adalah obat yang diramunya sendiri sesuai dengan petunjuk pada kitab peninggalan Kiai Gringsing, gurunya yang selain mumpuni dalam olah kanuragan, Kiai Gringsing pun mumpuni pula dalam ilmu obat-obatan.

Ki Lurah Agung Sedayu pun telah memasukkan dua butir obat ke mulut Sekar Mirah. Wajah Sekar Mirah nampak menjadi sangat pucat. Matanya terpejam, sementara nafasnya menjadi tersengal-sengal. Namun kedua butir obat itu agaknya telah sangat menolongnya.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun telah terlempar pula beberapa langkah surut. Namun tubuhnya itu pun kemudian telah berada di tangan seorang tua yang rambut, kumis dan janggutnya telah memutih.

Sementara itu pertempuran di sekitar arena pertarungan yang dahsyat itu pun seakan-akan telah terhenti. Orang-orang yang semula terpelanting telah terbangun kembali dengan senjata mereka masing-masing tetap di tangan.

Orang yang rambutnya, kumisnya dan janggutnya sudah memutih itu meletakkan tubuh Ki Saba Lintang di tanah. Disentuhnya nadi di bawah telinganya. Namun kemudian orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Namun orang yang sudah ubanan itu pun kemudian bangkit berdiri sambil menggeram, “Perempuan itu telah membunuh muridku.”

Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba saja terdengar prajurit Mataram bersorak gemuruh bagaikan akan meruntuhkan langit. Mereka pun berteriak-teriak dengan girang, “Saba Lintang mati! Saba Lintang mati!”

Orang yang berambut ubanan itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja di bekas arena pertempuran antara Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah itu telah berputar angin pusaran. Bukan sekedar karena ayunan tongkat baja putih Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah, namun benar-benar angin pusaran yang berputaran dengan dahsyatnya. Meskipun tidak ada angin, tidak ada mendung di langit, tetapi cleret tahun itu menjadi semakin lama semakin melebar.

“Kalian akan dihanyutkan oleh angin pusaran itu!” teriak orang berambut ubanan itu. Suaranya pun gemuruh seperti gemuruhnya cleret tahun itu sendiri. “Kalian akan terangkat dan kemudian terbanting jatuh di tanah. Kalian akan mati bersama-sama.”

Orang-orang yang sedang berteriak itu pun terkejut. Jantung mereka pun kemudian telah tergetar.

Agung Sedayu yang berjongkok di samping tubuh Sekar Mirah yang terbaring, melihat angin pusaran yang menjadi semakin lama semakin lebar, Sampah, dedaunan dan bahkan bebatuan pun telah terangkat dan diputar oleh kekuatan yang sangat besar. Bahkan seperti yang dikatakan oleh orang itu dengan suaranya yang gemuruh, bahwa orang-orang pun akan terangkat pula. Diterbangkan, diputar dan kemudian dibanting di tanah.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Karena itu maka ia pun segera bangkit berdiri. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mendekatinya pula.

“Pusaran angin itu harus dihentikan, Kakang,” berkata Glagah Putih.

“Jagalah mbokayumu,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, “aku akan menghentikan permainan yang gila itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjongkok pula di samping Sekar Mirah yang mulai membuka matanya.

“Apa yang terjadi?” desis Sekar Mirah.

“Kakang Agung Sedayu akan mengatasinya, Mbokayu. Beristirahatlah. Ini aku, Glagah Putih dan Rara Wulan.”

Sekar Mirah pun menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa pedih. Meskipun demikian, reramuan yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu agaknya banyak menolongnya.

Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu pun melangkah maju mendekati angin pusaran yang menjadi semakin keras dan semakin cepat. Warnanya pun menjadi hitam, berbaur dengan segala macam benda yang telah terangkat.

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian segera mengurai cambuknya. Sejenak ia memandangi angin cleret tahun yang menjadi semakin besar itu.

Sejenak kemudian Ki Lurah itu pun telah memusatkan nalar budinya. Ia sadar sepenuhnya, jika ia tidak menghentikan angin pusaran yang menjadi semakin besar itu, maka prajurit Mataram yang ada di sekitarnya akan mengalami kesulitan. Salah satu sisi dari wajah gelar Wulan Tumanggal yang baru saja tersusun itu akan mengalami goncangan yang gawat.

Ketika angin puting beliung itu menjadi semakin besar, maka Ki Lurah Agung Sedayu itu pun melangkah maju setapak demi setapak. Kemudian diputarnya cambuknya yang berjuntai panjang itu. Sejenak Ki Lurah membuat ancang-ancang dengan putaran cambuk di atas kepalanya. Namun kemudian dengan mengerahkan segenap kemampuannya serta tenaga dalamnya, Ki Lurah pun menghentakkan cambuknya, mengarah ke angin pusaran yang naik semakin tinggi itu.

Cambuk itu sama sekali tidak meledak. Bahkan nyaris tidak bersuara. Tetapi akibatnya dahsyat sekali. Getar hentakan cambuk itu telah menerpa angin pusaran yang telah mengangkat segala macam benda yang berada di arena pertempuran itu. Bahkan senjata-senjata yang terlepas dari tangan para prajurit yang sedang bertempur itu.

Seketika itu juga angin pusaran itu seakan-akan telah diledakkan oleh kekuatan yang sangat besar, melampaui kekuatan angin pusaran itu sendiri. Debu, sampah, bebatuan dan segala macam benda yang terangkat itu pun telah runtuh berhamburan seperti hujan yang turun dari langit. Sementara itu debu pun membuat udara di medan pertempuran itu menjadi gelap.

Sekali lagi Ki Lurah Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Seolah-olah angin prahara yang kencang telah bertiup di arena yang gelap itu, sehingga debu pun telah dihanyutkan bertebaran ke segala arah.

Perlahan-lahan arena itu pun menjadi terang. Para prajurit yang menutup hidung mereka dengan telapak tangan serta memejamkan matanya dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat itu pun mulai melihat dua orang yang berdiri tegak di bekas arena pertempuran yang dahsyat antara Ki Saba Lintang dengan Nyi Lurah Agung Sedayu.

Dengan wajah yang geram, orang yang berambut, berjanggut dan berkumis putih itu pun memandang Ki Lurah Agung Sedayu yang berdiri tegak sambil memegangi cambuknya pada ujung dan pangkalnya.

“Kau siapa, yang sudah dengan sombong memberanikan diri menghentikan langkahku untuk menghancurkan Mataram?”

“Aku adalah prajurit Mataram, Ki Sanak. Adalah kewajibanku untuk melawan setiap orang yang memusuhi Mataram. Jika kau berpihak kepada Ki Saba Lintang, itu berarti bahwa kau telah berpihak kepada Kanjeng Adipati di Demak, yang telah memberontak melawan Mataram. Karena itu, sebagai seorang prajurit Mataram, maka aku pun berkewajiban untuk melawanmu.”

“Bagus. Ternyata ada juga prajurit Mataram yang mempunyai keberanian yang tinggi dan bahkan mampu menghentikan angin pusaranku. Tetapi yang kau lakukan itu akan menyeretmu ke dalam kesulitan. Kau akan mati di arena pertempuran ini.”

“Hidup atau mati seseorang sudah ditentukan takdirnya oleh Yang Kuasa Di Atas Segala Kuasa. Tetapi seseorang wajib untuk berusaha mempertahankan hidupnya. Karena itu, siapakah di antara kita yang sudah berada di tangan takdirnya hari ini. Aku, atau sebaliknya kau sendiri, Ki Sanak.”

“Ternyata kau memang seorang yang sangat sombong. Tidak seorangpun yang dapat mengalahkan aku di negeri ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menjawab, “Yang aku lakukan bukannya kesombongan. Tetapi kewajibanku sebagai seorang prajurit.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Bertahun-tahun aku menunggu satu kesempatan untuk menghancurkan Mataram lewat Ki Saba Lintang. Tetapi perempuan iblis itu telah membunuh muridku yang sedang melakukan tugas yang aku bebankan kepadanya. Karena itu, perempuan itu harus mati. Jika kau mau menyerahkan perempuan itu, maka kau akan aku ampuni, sehingga kau akan tetap hidup.”

“Ki Saba Lintang telah berani mengaku sebagai pemimpin Perguruan Kedung Jati. Di medan pertempuran ini telah ditentukan, siapakah yang memiliki kemampuan tertinggi di Perguruan Kedung Jati itu. Ternyata Ki Saba Lintang telah terbunuh.”

“Persetan dengan Perguruan Kedung Jati. Yang penting bagiku, aku harus menghancurkan Mataram. Jika Ki Saba Lintang gagal, maka aku sendiri-lah yang akan menghancurkannya. Setelah membunuh perempuan iblis itu, aku akan membunuh Panembahan Hanyakrawati. Kemudian siapapun yang akan membela Mataram, aku akan musnahkan. Dendamku kepada Mataram tidak akan pernah padam.”

“Kenapa kau membenci Mataram?”

“Guruku yang bertapa di Bukit Telamaya telah dibunuh oleh Raden Rangga. Karena itu, Mataram harus menerima hukumanku.”

“Raden Rangga? Raden Rangga sudah meninggal. Jika yang terbunuh itu benar gurumu, bukankah ia sudah tua ketika ia bertemu dengan Raden Rangga?”

“Persetan dengan Raden Rangga. Karena Raden Rangga sekarang sudah tidak ada, maka aku akan membunuh saudara-saudaranya, termasuk Panembahan Hanyakrawati.”

“Umurmu agaknya sudah lebih tua dari Raden Rangga. Jadi, bagaimana dengan gurumu?”

“Cukup! Minggirlah! Biar aku membunuh perempuan itu, sebelum aku membunuh Hanyakrawati.”

“Pangeran Puger yang menjadi Adipati Demak itu juga saudara Raden Rangga.”

“Tetapi ia orang yang baik, sangat berbeda dengan Raden Rangga dan saudara-saudaranya yang lain.”

“Sudahlah. Pergilah. Jangan mengigau di sini.”

“Iblis jahanam kau! Kau berani bersikap kasar kepadaku?”

“Hari-harimu sudah lewat. Jangan bermimpi untuk dapat berbuat terlalu banyak.”

“Kau mengukur umurku dengan warna rambut, kumis dan janggutku?”

“Ya.”

“Persetan! Bersiaplah untuk mati.”

Namun sebelum mereka mulai bertempur, tiba-tiba saja terdengar suara sangkakala, disambut dengan gaung bende yang mengumandang di seluruh medan pertempuran.

“Sayang sekali,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “tetapi besok masih ada hari. Besok kita dapat bertemu lagi di sini.”

“Persetan dengan suara sangkakala dan suara bende itu. Aku tidak peduli. Aku bukan prajurit Demak yang terikat pada ketentuan perang. Aku adalah seorang pertapa yang akan menggulung seluruh kekuatan Mataram. Jika mereka berhenti, maka mereka akan mengalami nasib buruk malam ini. Aku akan membunuh semua prajurit Mataram dengan kesaktianku. Termasuk Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Kau tidak dapat menyimpang dari ketentuan perang yang berlaku.”

“Aku tidak peduli. Aku akan menyimpang. Jika kau mampu, hentikan lakuku. Jika tidak, maka aku akan menyapu prajurit Mataram dalam semalam.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi nampaknya orang yang rambut, kumis dan janggutnya berwarna putih itu bersungguh-sungguh. Ia tidak akan menunda sampai esok.

Sementara itu kedua pasukan Mataram dan Demak mulai menarik pasukan mereka. Kanjeng Adipati Demak telah memerintahkan pertempuran dihentikan. Demikian pula Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Sementara itu seorang tabib dengan tergesa-gesa telah berusaha mendampingi Kanjeng Adipati Demak yang terluka lengan dan bahunya. Meskipun luka itu tidak seberapa, tetapi luka itu harus mendapat perawatan yang sebaik-baiknya, karena besok Kanjeng Adipati masih harus turun ke medan, dan bahkan mungkin masih harus menghadapi Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Namun sementara itu, dada sebelah kanan Kanjeng Panembahan pun telah tergores ujung tombak pendek Kanjeng Adipati. Goresan kecil itu pun harus mendapat perawatan yang sebaik-baiknya pula. Bahkan harus dibersihkan dengan cairan yang dapat meredam racun, yang mungkin terdapat dalam warangan pada mata tombak Kanjeng Pangeran Puger.

Tetapi ternyata bahwa pertapa dari Bukit Telamaya itu tetap berniat untuk melanjutkan pertempuran. Apapun yang akan dilakukan oleh para prajurit Mataram dan Demak, orang itu tidak peduli. Baginya, secepatnya ia harus membalaskan dendam kematian gurunya yang telah dibunuh oleh Raden Rangga, dan bahkan muridnya yang menjadi tumpuan harapannya pun telah dibunuh oleh seorang perempuan.

Ki Lurah Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang.

Sebenarnyalah bahwa guru Ki Saba Lintang dari Bukit Telamaya itu benar-benar berniat menyerang pasukan Mataram. Sehingga karena itu maka Ki Lurah Agung Sedayu pun tidak berniat meninggalkan medan. Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu telah memerintahkan para penghubung untuk menghadap para pemimpin pasukan Mataram, terutama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, untuk melaporkan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat meninggalkan medan.

“Laporkan semuanya yang kau ketahui tentang orang yang mengaku guru Ki Saba Lintang itu, sepeninggal Ki Saba Lintang sendiri.”

Demikianlah, maka para penghubung yang mendapat tugas itu pun segera pergi meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu.

Sementara itu Nyi Lurah Agung Sedayu yang masih lemah, meskipun keadaannya menjadi berangsur baik setelah Nyi Lurah itu menelan reramuan obat yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tidak mau meninggalkan medan.

“Aku akan tetap bersama Kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak memaksanya. Tetapi bersama beberapa orang Senapati dan prajurit Mataram, Glagah Putih dan Rara Wulan menunggui Sekar Mirah, yang kemudian duduk agak menjauhi arena.

Ketika Prastawa mendapat laporan tentang sikap orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu harus menghadapinya, maka ia pun segera pergi ke arena pertempuran itu pula.

“Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, setelah ia berdiri beberapa langkah di hadapan pertapa dari Bukit Telamaya itu. “Kita akan bertempur sampai tuntas. Kita tidak akan terikat oleh pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Demak, meskipun kita harus bertempur tiga hari tiga malam.”

“Bagus. Jarang ada prajurit yang tanggon seperti kau, Ki Lurah. Namun aku berharap bahwa kau bertempur dengan jujur. Kita berjanji untuk berperang tanding. Baru kemudian setelah kau mati, maka aku akan menghadapi para prajurit Mataram. Aku tidak peduli apakah mereka akan bertempur bersama-sama, berkelompok, atau Senapati Agung Mataram itulah yang akan melawan aku.”

“Kita belum berjanji untuk berperang tanding. Tetapi jika itu yang kau kehendaki, maka aku pun akan menerima tantanganmu untuk berperang tanding.”

“Bagus. Bersiaplah. Kita tidak akan terlalu banyak membuang waktu. Kita akan segera mulai. Aku tidak akan memerlukan waktu terlalu lama untuk membunuhmu. Kemudian malam ini pasukan Mataram sudah akan aku hancurkan. Besok pagi, pasukan Demak tinggal membersihkan saja sisa-sisa prajurit Mataram yang malam ini sempat bersembunyi. Sedangkan mereka yang sempat lari dari medan adalah orang-orang yang bernasib baik.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Ki Lurah itu pun kemudian justru mengikatkan cambuknya di lambungnya. Kemudian melangkah beberapa langkah maju mendekati orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu.

“Kau lekatkan kembali ke lambungmu senjatamu itu?”

“Tidak seharusnya aku melawan orang yang tidak bersenjata, dengan mempergunakan senjata.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kau sombong sekali. Tetapi baiklah. Akhirnya kau akan tahu dengan siapa kau berhadapan.”

Ki Lurah tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun telah bersiap untuk bertempur.

Ternyata beberapa orang Senapati Mataram dan Senapati Demak telah berdatangan. Mereka ingin menyaksikan pertempuran antara dua orang yang berilmu sangat tinggi. Beberapa orang di antara mereka justru membawa oncor untuk menerangi medan yang mulai menjadi gelap.

Beberapa orang prajurit Demak pun segera mengenal Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun ia tidak lebih dari seorang lurah prajurit, tetapi ia memiliki banyak kelebihan dari para Senapati yang memiliki pangkat lebih tinggi. Sementara itu di sisi lain, para prajurit yang bertugas tetap saja menjalankan tugas mereka mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah serta yang gugur di pertempuran.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran yang rumit. Orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu pun agaknya tidak mau kehilangan banyak waktu. Ia berharap pada malam itu ia sudah akan dapat menyapu seluruh pasukan Mataram. Sepeninggal prajurit Mataram yang memberanikan diri melawannya itu, maka ia akan mengerahkan semua murid dari Perguruan Kedung Jati untuk bangkit menuntut kematian pemimpin besar mereka. Seandainya prajurit Demak tidak bergerak, maka bersama para murid dari Perguruan Kedung Jati itu, pertapa dari Bukit Temalaya itu merasa bahwa ia akan dapat menyapu bersih seluruh prajurit Mataram, termasuk Senapati Agungnya.

Karena itu maka pertapa dari Bukit Telamaya itu pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia memperhitungkan bahwa dalam waktu yang singkat ia sudah dapat membunuh prajurit yang sombong itu. Kemudian perempuan yang telah membunuh Ki Saba Lintang. Yang ia tahu bahwa perempuan itu tidak meninggalkan medan. Baru kemudian pertapa itu akan beramai-ramai membantai orang-orang Mataram bersama para murid dari Kedung Jati.

Tetapi pertapa itu ternyata tidak segera dapat menguasai Ki Lurah Agung Sedayu. Pertempuran di antara mereka pun justru menjadi semakin sengit, ketika kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Orang-orang yang merasa dirinya murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun merasa yakin, bahwa guru Ki Saba Lintang itu akan dapat segera menyelesaikan lawannya, seorang prajurit Mataram yang sombong, yang merasa dirinya mampu mengimbangi kemampuan guru Ki Saba Lintang itu dalam perang tanding.

Di mata mereka, Ki Saba Lintang adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, meskipun akhirnya mereka harus melihat kenyataan bahwa perempuan yang memiliki tongkat kepemimpinan Perguruan Kedung Jati yang satu lagi, ternyata mampu mengalahkan Ki Saba Lintang dan bahkan membunuhnya. Tetapi yang kemudian tampil adalah guru, Ki Saba Lintang. Jika ia kemudian dapat membunuh prajurit Mataram dan kemudian perempuan bertongkat baja putih itu, maka mereka akan minta agar pertapa itu memimpin Perguruan Kedung Jati.

Tetapi pertempuran di antara pertapa itu dengan prajurit Mataram itu berlangsung semakin lama semakin seru.

Serangan pun datang silih berganti. Sementara itu pertahanan kedua belah pihak ternyata sangat rapatnya, sehingga untuk beberapa lama mereka masih belum berhasil menembus pertahanan masing-masing.

Keadaan pun semakin lama menjadi semakin tegang. Orang-orang yang mengerumuni perang tanding itu menjadi semakin banyak dari kedua belah pihak. Bahkan para Senapati pun seakan-akan telah berkumpul.

Pertapa yang tidak segera dapat mengalahkan Agung Sedayu itu pun telah menghentakkan ilmunya pula. Serangan-serangannya menjadi semakin deras seperti arus banjir bandang. Ketika kemudian datang serangan beruntun, maka dengan kecepatan yang sangat tinggi akhirnya pertapa itu berhasil menembus pertahanan Ki Lurah Agung Sedayu. Ketika ia melihat satu kemungkinan, maka dengan cepat orang itu menyambar Ki Lurah Agung Sedayu di lambungnya.

Ki Lurah Agung Sedayu tergetar beberapa langkah surut. Namun serangan itu tidak menyakitinya. Dalam perang tanding yang keras itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya.

Ketika pertapa itu memburunya dengan menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka Ki Lurah pun sempat meloncat ke samping. Justru pada saat tangan pertapa itu terjulur, maka Ki Lurah menghentakkan tangannya lurus ke bagian samping dada pertapa itu. Pertapa itulah yang kemudian tergetar ke samping. Namun kemudian orang itu justru melenting tinggi sambil berputar di udara.

Ternyata kaki orang itu telah menyambar kening Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu telah terdorong beberapa langkah surut. Namun dengan perlindungan ilmu kebalnya, maka serangan itu tidak terlalu menyakitinya. Bahkan ketika orang itu mengulangi serangannya, maka Ki Lurah justru telah menjatuhkan dirinya. Kakinya dengan keras menjepit kaki lawannya yang satu lagi. Ketika kemudian Ki Lurah itu berputar, maka pertapa itu telah terbanting jatuh di tanah.

Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Dengan cepat ia berusaha untuk bangkit berdiri. Namun demikian ia tegak, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Ternyata kau telah melindungi dirimu dengan ilmu kebal,” geram pertapa itu, “jangan kau kira bahwa hanya kau sajalah yang dapat melindungi dirimu. Aku juga mampu membuat perisai dengan ilmu Lembu Sekilan.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia sadar bahwa ilmu Lembu Sekilan adalah ilmu yang memiliki kemampuan melindungi tubuh seseorang, sehingga setiap serangan tidak akan mampu menyentuhnya. Tetapi kekuatan ilmu Lembu Sekilan, sebagaimana juga kekuatan ilmu kebalnya, bukannya berarti sama sekali tidak dapat tertembus serangan. Serangan-serangan yang memiliki kekuatan serta dorongan tenaga dalam yang besar, maka kekuatan itu akan dapat menembus berbagai jenis ilmu kebal.

Demikianlah, keduanya pun telah terlibat dalam pertarungan yang sangat rumit. Mereka masing-masing telah melindungi dirinya dengan ilmu kebal. Pertapa itu pun akhirnya harus mengakui bahwa prajurit Mataram itu benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapinya. Pertapa itu tidak lagi ingin mempergunakan ilmu angin pusarannya. Ilmunya itu akan sia-sia saja untuk melawan prajurit Mataram itu, karena dengan cambuknya prajurit Mataram itu dapat memecah ilmu angin pusarannya.

Pertempuran pun berlangsung semakin dahsyat. Serangan-serangan mereka pun menjadi semakin mengerikan. Hanya karena perlindungan ilmu kebal masing-masing sajalah, mereka masih tetap mampu bertahan.

Dalam saat-saat yang rumit, pertapa itu tiba-tiba saja telah melemparkan tiga ekor ular kecil yang berwarna hitam ke tubuh Agung Sedayu. Ular yang diambilnya dari kantung yang tergantung di pinggangnya. Karena serangan-serangannya tidak lagi banyak berpengaruh karena perlindungan ilmu kebalnya, maka orang itu telah menyerang Ki Lurah dengan cara yang lain.

Ki Lurah terkejut mendapat serangan sejenis senjata rahasia yang hidup itu. Dengan cepat ia berusaha mengelak. Dua ekor ular lepas tanpa menyentuhnya, tetapi seekor yang lain justru tepat mengenai lehernya.

Ular kecil itu dengan cepat membelit dan menggigit leher Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu dengan tangkasnya Ki Lurah pun menangkap ular itu dan kemudian membantingnya di tanah. Dengan serta-merta Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menginjak kepala ular itu sehingga kepala ular itu pun telah diremukkannya, meskipun ular itu masih juga sempat mematuk tumitnya.

Terdengar pertapa dari Bukit Telamaya itu tertawa. Dengan lantang ia pun berkata, “Ternyata mudah sekali membunuh prajurit Mataram yang sombong. Yang sesumbar seakan-akan dapat menangkap petir.”

Ki Lurah itu pun berdiri tegak. Kemudian selangkah demi selangkah ia pun bergerak maju mendekati lawannya.

“Kita belum selesai, Ki Sanak,” geram Ki Lurah Agung Sedayu.

“Tidak ada yang dapat melawan racun ular bandotan jantan itu. Ular itu telah menggigitmu. Maka sebentar lagi kau akan mati. Para prajurit dan Senapati Mataram yang sempat menyaksikan perang tanding ini akan melihat bagaimana kau berlutut, kemudian berguling jatuh di tanah. Mereka pun akan menyaksikan bagaimana aku membunuh perempuan yang telah membunuh murid yang aku harapkan dapat membalaskan dendamku itu. Kemudian para prajurit dan Senapati itu sendiri-lah yang akan mati.”

“Bersiaplah, Ki Sanak. Jalan yang akan kita lalui masih jauh. Mungkin aku, tetapi mungkin kau yang akan terkapar mati di sini.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia mulai menjadi berdebar-debar. Prajurit Mataram yang telah digigit ularnya itu tidak segera menjadi lemah dan jatuh berguling, tetapi ia masih saja berdiri dengan tegapnya. Bahkan Ki Lurah Agung Sedayu itu pun telah mulai bergeser dan siap untuk menyerang.

Pertapa dari Bukit Telamaya itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dengan geram orang itu pun berkata, “Iblis kau. Agaknya kau telah memiliki bukan saja ilmu kebal yang melindungi tubuhmu, tetapi kau juga kebal dari bisa yang sangat tajam. Kau mampu membebaskan dirimu dari bisa ularku.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang pertapa yang mengaku guru Ki Saba Lintang itu. Api pertarungan pun segera berkobar lagi. Keduanya berloncatan saling menyerang.

Seperti yang terjadi sebelumnya, maka sekali-sekali mereka dapat menembus pertahanan lawannya. Namun serangan-serangan mereka pun telah membentur ilmu kebal masing-masing.

Tetapi serangan-serangan yang dilambari dengan tenaga dalam yang besar, ternyata telah berhasil menggoyang pertahanan mereka, sehingga ilmu mereka pun menjadi goyah. Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin dahsyat. Para prajurit dan Senapati yang menyaksikan pertempuran itu pun berdiri termangu-mangu. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.

Dalam pada itu, pertapa dari Bukit Telamaya yang tidak dapat mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu dengan bisa-bisa ularnya, telah berusaha untuk menembus ilmu kebalnya dengan api. Dari tubuhnya seakan-akan telah mengepul uap yang berwarna putih kehitam-hitaman. Di dalamnya nampak peletik-peletik merah, yang telah membuat uap yang putih kehitam-hitaman itu menjadi sepanas bara api.

Perlahan-lahan uap itu bergerak bergulung-gulung mendekati Ki Lurah Agung Sedayu. Namun demikian gumpalan uap yang bergulung itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja uap itu bagaikan masuk ke dalam hembusan perlahan asap yang sangat tipis. Namun asap itu seakan-akan telah mengisap seluruh udara panas yang timbul oleh uap yang putih kehitam-hitaman itu. Sehingga dengan demikian maka panas itu tidak dapat membakar tubuh Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ilmu kebal prajurit itu rasa-rasanya hampir sempurna,” geram pertapa dari bukit Telamaya itu. Ternyata bahwa kekuatan api yang diembuskannya, tidak mampu menembus tirai yang melindungi tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Kekuatan air dalam ilmu kebalnya yang menjadi semakin mapan, telah berhasil menyerap panas yang terpancar pada serangan pertapa dari Bukit Telamaya itu.

Pertapa itu mengumpat di dalam hati. Beberapa jenis ilmunya yang ditumpahkan, dapat dipatahkan oleh prajurit Mataram yang sombong itu. Namun pertapa itu tidak kehabisan cara untuk mencoba mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu.

Ketika keduanya kemudian terlibat dalam pertarungan yang sangat menegangkan, tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Lawannya yang berloncatan di dalam keremangan cahaya oncor di sekitar arena itu, tiba-tiba menjadi semakin samar.

“Permainan apa lagi yang akan dilakukannya?” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Oncor serta obor yang berada di sekitar arena masih menyala, yetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat melihat lawannya dengan jelas. Apalagi ketika lawannya itu mulai berloncatan menyerangnya, Ki Lurah Agung Sedayu sering menjadi terlambat, sehingga serangan-serangan lawannya beberapa kali dapat mengenainya.

Untuk memperjelas penglihatannya, Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Sesaat penglihatannya menjadi lebih jelas, sehingga ia mampu mengikuti gerak-gerik lawannya. Tetapi penglihatannya meskipun sudah dengan Aji Sapta Pandulu, semakin lama menjadi semakin kabur pula. Bahkan lawannya itu kadang-kadang saja kelihatan samar. Tetapi kadang malahan tidak nampak sama sekali.

“Aji Panglimunan,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

Kembali Ki Lurah menjadi lebih sering terlambat. Serangan-serangan lawannya lebih banyak mengenai tubuhnya. Sementara Ki Lurah sendiri nampaknya sering menjadi bingung. Untuk membantu penglihatannya yang kabur meskipun ia sudah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu, Ki Lurah pun mengetrapkan Aji Sapta Panggraita. Meskipun ia tidak melihat dimana lawannya itu berloncatan, namun panggraitannya menjadi sangat tajam. Ia dapat merasakan getar keberadaan lawannya.

Meskipun demikian, Ki Lurah masih saja sering terlambat menanggapi serangan-serangan lawannya. Bahkan Ki Lurah sendiri seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk menyerang. Untuk mengatasi keadaan, maka Ki Lurah pun telah meningkatkan ilmu kebalnya, sehingga serangan-serangan lawannya tidak terlalu terasa menyakitinya karena tertahan oleh ilmu kebal Ki Lurah yang semakin meningkat. Bahkan sejalan dengan meningkatnya ilmu kebalnya, maka di sekitar tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan udara telah menjadi panas.

Panas di sekitar tubuh Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin tinggi. Namun panas itu tidak begitu berpengaruh terhadap lawannya, meskipun lawannya kadang-kadang harus dengan tergesa-gesa berloncatan menjauh.

Orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu menjadi tegang. Sekar Mirah yang masih lemah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Seperti Ki Lurah Agung Sedayu, mereka pun kadang-kadang melihat pertapa itu samar-samar. Namun kadang-kadang orang itu sama-sekali tidak dapat dilihatnya.

Tetapi Ki Lurah pun masih berusaha meningkatkan ilmu kebalnya lagi sejalan dengan peningkatan Aji Sapta Panggraita. Dengan Aji Sapta Panggraita, Ki Lurah Agung Sedayu menjadi agak tertolong. Serangan-serangannya pun mulai mengarah. Bahkan dibantu oleh Aji Sapta Pangrungu yang membuat pendengarannya menjadi sangat tajam, maka Ki Lurah menjadi semakin yakin akan keberadaan lawannya.

Namun sekali-sekali Ki Lurah Agung Sedayu masih mendengar pertapa itu mentertawakannya. Jika serangan Ki Lurah tidak tepat mengarah ke sasaran, maka pertapa itu pun tertawa berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang di sela-sela derai tertawanya, terdengar kata-kata hinaannya. Dalam keadaan yang rumit itu, maka Ki Lurah pun berusaha untuk mengaburkan dirinya pula. Dalam keremangan cahaya oncor di sekitar arena pertempuran, maka tiba-tiba saja ujud Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menjadi rangkap tiga.

“Gila,” geram pertapa dari Bukit Telamaya itu, “kau memiliki Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari?”

Ketiga sosok Agung Sedayu itu pun berdiri di tiga arah dalam arena pertempuran itu. Terdengar ketiganya tertawa berkepanjangan sebagaimana pertapa itu tertawa. Sebenarnyalah suara tertawa pertapa itu telah membantu Ki Lurah Agung Sedayu mengenal arah serta keberadaannya. Apalagi orang itu masih juga melontarkan kata-kata hinaan dan umpatan.

Dengan demikian maka Ki Lurah Agung Sedayu berhasil menghambat gerakan-gerakan serta serangan-serangan lawannya. Pertapa itu masih memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat mengenali Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah sekedar ujud-ujud semu saja. Dengan demikian, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan Ki Lurah dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian maka Aji Panglimunan itu tidak lagi banyak berarti. Dengan ujud-ujud semu itu maka pertapa dari Bukit Telamaya itu pun menjadi sama bingungnya dengan Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu maka beberapa saat kemudian, akhirnya keduanya tidak lagi bersembunyi di balik Aji Panglimunan serta Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari. Tetapi mereka pun telah berdiri tegak dalam ujud mereka masing-masing.

Pertempuran selanjutnya justru menjadi semakin dahsyat. Mereka telah meningkatkan tenaga dalam mereka sampai ke puncak. Tanah di seputar arena itu pun menjadi bagaikan di bajak. Pepohonan dan tanaman-tanaman perdu menjadi layu. Dahan dan ranting-rantingnya menjadi kering, sehingga daunnya pun berguguran jatuh di tanah. Di bentangan lembah yang luas itu, rasa-rasanya telah bertiup angin prahara. Hentakan-hentakan dan benturan-benturan ilmu membuat lembah itu bagaikan diguncang gempa.

Ternyata keduanya benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan para Senapati dari Mataram dan Demak pun menjadi terheran-heran. Sementara itu, malam pun menjadi semakin malam. Bahkan tengah malam pun telah dilampaui. Bintang Gubug Penceng sudah bergeser agak jauh ke barat. Demikian pula bintang Waluku.

Kedua orang yang bertempur itu telah mengerahkan segenap daya dan kekuatan mereka. Bahkan mereka telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, sehingga dengan demikian maka tenaga mereka pun bagaikan terkuras. Betapapun tinggi ilmu mereka, namun mereka tetap saja memerlukan dukungan kewadagan mereka.

Semakin malam maka suasana pun menjadi semakin tegang. Mereka yang berada di seputar arena pertarungan antara hidup dan mati itu bagaikan larut dalam gejolak yang tidak terkendali. Namun dalam pada itu, meskipun daya tahan kedua orang yang sedang bertempur itu sangat tinggi, namun setelah mereka melepaskan berbagai macam ilmu puncak mereka maka kemampuan mereka pun mulai terpengaruh oleh tenaga mereka yang menyusut. Karena itu maka pertapa dari Bukit Telamaya itu pun tidak mau menunggu lebih lama lagi. Jika tenaganya menjadi semakin menyusut, maka kemampuannya untuk melepaskan ilmu pamungkasnya pun akan menyusut pula.

Dengan demikian maka pertapa itu tidak lagi berpikir lebih panjang. Meskipun ia mengakui bahwa lawannya pun berilmu sangat tinggi, tetapi ia masih saja yakin bahwa ilmu pamungkasnya akan dapat menyelesaikan pertarungan antara hidup dan mati itu. Sebenarnyalah bahwa pertapa itu jarang sekali merambah sampai ke ilmu pamungkasnya itu. Biasanya ia sudah dapat mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya dengan berbagai macam ilmu yang telah dilepaskan sebelumnya. Namun sampai pada Aji Panglimunan, lawannya dari Mataram itu masih dapat mengimbanginya. Karena itu maka pertapa itu tidak mempunyai pilihan lain daripada menghancurkannya dengan puncak dari segala ilmunya.

Demikianlah, maka ketika keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar, pertapa itu telah meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Demikian tinggi ilmunya, sehingga ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk melepaskan ilmu puncaknya. Demikian ia berdiri tegak dengan kaki renggang, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dengan kaki sedikit merendah pada lututnya. Dari telapak tangannya yang menghadap kepada Ki Lurah Agung Sedayu, orang itu telah melontarkan seleret sinar yang berwarna putih kehitam-hitaman.

Ki Lurah Agung Sedayu memang terkejut. Tetapi ia pun memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia tidak memerlukan waktu yang lebih lama untuk membentur ilmu puncak pertapa itu dengan ilmu puncaknya.

Dengan tajamnya Ki Lurah Agung Sedayu memandang telapak tangan lawannya yang terbuka dan mengarah kepadanya. Demikian seleret sinar meluncur dari telapak tangan itu, maka dari sepasang mata Ki Lurah pun telah memancar pula sinar yang kebiru-biruan, meluncur membentur seleret sinar yang meluncur dari telapak tangan pertapa itu.

Terjadi benturan yang amat dahsyat. Sinar yang menyilaukan memancar menerangi langit dan seluruh lembah yang menjadi ajang pertempuran yang dahsyat antara pasukan Mataram dan pasukan Demak itu di siang hari. Seperti kilat yang memancar di udara, maka cahaya yang menyilaukan itu pun diikuti oleh gelegar yang mengguncang lembah itu.

Ki Lurah Agung Sedayu pun terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Lurah itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia pun terjatuh pada lututnya. Namun Ki Lurah itu pun kemudian telah terduduk. Sekar Mirah yang masih sangat lemah itu tiba-tiba saja telah bangkit dan berlari ke samping Ki Luruh Agung Sedayu itu duduk.

“Mbokayu! Mbokayu!” Rara Wulan pun dengan cepat menyusul, “Mbokayu masih terlalu lemah untuk berlari.”

Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarkannya. Sementara itu Glagah Putih pun telah menyusulnya pula.

Ki Lurah pun segera mengatur pernafasannya. Ia pun segera mengambil reramuan obatnya dua butir. Kemudian obat itu pun ditelannya. Reramuan itu adalah reramuan sebagaimana telah diberikan kepada Sekar Mirah.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di seputar arena pun telah bergejolak. Sebagian berlari mendekati Ki Lurah Agung Sedayu, sedangkan yang lain berlari-lari dan berjongkok di sisi tubuh pertapa dari Bukit Telamaya.

Dalam benturan yang dahsyat itu, ternyata pertapa dari Bukit Telamaya itu telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting di atas tanah berbatu-batu padas. Namun pertapa itu tidak pernah dapat bangkit lagi.

Ketika orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati mengerumuninya, maka pertapa itu masih dapat berdesis, “Dimana prajurit Mataram itu?”

“Ia terpelanting beberapa langkah dari arena, Kiai,” jawab salah seorang dari para murid itu.

“Apakah ia mati?”

“Agaknya belum, Kiai. Tetapi kami tidak tahu seberapa parah luka di dalam tubuhnya.”

“Ternyata ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Aku tidak tahu apakah ilmunya dapat menyamai Raden Rangga yang pernah membunuh guruku.”

“Ya, Kiai,” jawab orang itu.

Namun pertapa itu pun menjadi semakin lemah. Dengan suara yang kadang-kadang terdengar tetapi kadang-kadang hilang, ia pun berkata, “Jika ada dua atau tiga orang prajurit Mataram yang memiliki ilmu setinggi orang itu, maka tidak ada gunanya Demak melanjutkan perang ini.”

“Tidak, Kiai. Tidak ada orang lain yang dapat menyamainya.”

Suara orang itu semakin lambat, “Tentu ada. Yang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram adalah Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri. Aku dengar di pasukan Mataram terdapat juga Ki Patih Mandaraka. Tanpa menyebut orang lain, maka Demak harus berpikir ulang. Kanjeng Adipati Demak sekarang tinggal sendiri. Ki Patih Tandanegara tidak akan dapat berbuat banyak. Saba Lintang sudah tidak ada. Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer juga sudah tidak ada lagi.”

“Tetapi masih banyak para Tumenggung serta para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati berada dalam pasukan Demak.”

Pertapa itu tidak menjawab. Tetapi baginya, Demak tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi.

Ternyata pertapa itu tidak lagi mampu bertahan lebih lama pula. Nafasnya menjadi tersendat-sendat. Pandangan matanya menjadi semakin kabur. Nyala oncor di sekitar arena itu semakin lama nampak menjadi semakin redup. Pertapa itu memejamkan matanya. Ternyata pertapa itu telah meninggalkan dunia itu untuk selama-lamanya.

Para pemimpin dari Demak pun segera meninggalkan arena dengan membawa tubuh pertapa yang menjadi semakin dingin di dinginnya malam. Sementara itu orang-orang Mataram pun telah membawa Ki Lurah Agung Sedayu yang terluka di dalam, serta Sekar Mirah yang juga terluka, kembali ke induk pasukan. Yang pasti Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah besok tidak akan sanggup turun ke medan. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan akan mengambil alih keberadaan mereka di medan. Glagah Putih dan Rara Wulan besok telah mempersiapkan diri untuk memburu orang-orang yang mengaku pemimpin dari Perguruan Kedung Jati.

Ketika berita kematian Ki Saba Lintang, bahkan kemudian gurunya, pertapa dari Bukit Telamaya itu, sampai ke telinga Kanjeng Adipati Demak, maka Kanjeng Adipati pun menjadi gelisah. Baginya Ki Saba Lintang merupakan lambang keikutsertaan sepasukan yang kuat dari Perguruan Kedung Jati untuk bertempur bersama-sama, meskipun perguruan itu pernah mengganggu Kanjeng Pangeran Puger pada saat Kanjeng Pangeran Puger berangkat ke Demak.

Beberapa orang Senapati Demak serta beberapa orang pemimpin dari Perguruan Kedung Jati ternyata masih tetap berpengharapan. “Bukankah Demak masih memiliki beberapa Tumenggung yang dapat dibanggakan? Sedangkan masih ada beberapa orang pemimpin Perguruan Kedung Jati yang berilmu tinggi?”

Kanjeng Adipati itu menarik nafas panjang sambil berdesis, “Ya. Kita masih mempunyai banyak Senapati pilihan.”

Demikianlah, Kanjeng Adipati Demak masih juga berniat untuk meneruskan perang. Meskipun sebenarnya batinnya sudah menjadi bimbang. Malam itu Kanjeng Adipati Demak hanya beristirahat beberapa saat. Menjelang dini hari Kanjeng Adipati sempat tertidur sejenak. Namun kemudian ia pun segera bangun. Kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan serta membenahi diri, lahir dan batinnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa sudah ada sedikit keraguan yang membayang di hatinya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian langit pun menjadi semakin terang. Kanjeng Adipati Demak yang kemudian keluar dari pesanggrahannya masih melihat wajah para Senapati Demak serta para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati itu menyala. Dengan demikian maka api di hatinya yang sempat menjadi agak redup itu pun telah menyala menjadi semakin besar. Dengan geram ia pun berkata kepada diri sendiri, “Hancurkan Panembahan Hanyakrawati. Aku adalah saudara yang lebih tua. Aku akan dapat mengalahkannya. Baik secara pribadi maupun seluruh pasukanku.”

Karena itu maka Kanjeng Adipati Demak itu pun telah berada di antara para Senapatinya pula.

Sementara itu Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun telah mempersiapkan dirinya pula. Demikian pula seluruh pasukannya. Para Senapatinya pun telah berada di antara pasukan masing-masing.

Sejenak kemudian telah terdengar suara sangkakala serta disusul oleh gaung bende untuk yang pertama kalinya. Para prajurit dari kedua belah pihak pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka serta kelengkapan-kelengkapan perang yang akan dibawanya ke medan.

Sejenak kemudian telah terdengar suara sangkakala, disusul oleh suara bende untuk yang kedua kalinya. Para prajurit pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya di kesatuan mereka masing-masing, serta siap untuk bergerak. Baru sejenak kemudian terdengar suara sangkakala serta bende untuk yang ketiga kalinya. Maka kedua pasukan pun mulai berderap maju memasuki arena pertempuran.

Kedua pasukan itu masih mempergunakan gelar sebagaimana mereka pergunakan sehari sebelumnya. Keduanya masih membawa ciri-ciri kebesaran mereka masing-masing. Tidak hanya di induk pasukan. Tetapi pasukan di lambung yang membuat gelarnya sendiri, juga dihiasi dengan ciri-ciri kebesaran kesatuan yang ada di gelar itu. Rontek, umbul-umbul, kelebet yang terikat pada tunggul-tunggulnya. Kedua pasukan itu bergerak dengan cepat. Bahkan seperti hari-hari sebelumnya, mereka pun mulai bersorak gemuruh. Semakin dekat jarak kedua pasukan itu, sorak-sorai pun menjadi semakin membahana.

Demikianlah, beberapa saut kemudian kedua pasukan itu pun telah berbenturan. Kedua gelar pasukan induk yang berada di tengah. Kemudian kedua gelar yang ada di lambung kiri dan kanan pun telah bertemu dengan pasukan lawan pula. Pangeran Puger muda dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih tetap memimpin gelar di lambung. Jika pada hari sebelumnya pasukan mereka berhasil mendesak setapak demi setapak, maka kedua pangeran itu pun telah menghentakkan pasukannya sejak awal untuk menguasai garis pertempuran.

Tetapi Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak melupakan keharusan untuk menyimpan tenaga. Sehingga kedua pasukan itu dalam gelarnya masih menyimpan tenaga cadangan di ekornya. Meskipun para prajurit yang berada di garis pertempuran mulai mengerahkan tenaganya sejak terjadi benturan antara pasukan Mataram dengan pasukan Demak, namun pada saat tertentu pasukan cadangan yang ada di ekor gelar itu akan mengambil alih medan di garis pertempuran.

Di induk pasukan, pasukan Mataram yang kembali pada gelar Cakra Byuha telah berbekal rencana, bahwa pada saat tertentu gelar itu pun akan berubah lagi menjadi gelar Wulan Tumanggal, jika dipandang menguntungkan pada satu saat yang tepat. Demikianlah, ketika matahari mulai naik, maka pertempuran pun mulai menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak yang masih segar itu pun bertempur dengan mengerahkan segala kemampuan.

Dalam pada itu, Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun telah menempatkan dirinya untuk dapat bertemu kembali dengan Kanjeng Adipati Demak. Kanjeng Panembahan Hanyakrawati telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Luka yang tergores kemarin telah tidak mempengaruhinya lagi. Demikian pula goresan-goresan pada tubuh Kanjeng Adipati Demak. Ia pun benar-benar telah siap untuk bertempur menghadapi adiknya, Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Tetapi kedua orang Senapati Agung itu masih belum dapat bertemu. Para prajurit di bawah Senapati masing-masing masih tetap saja bertempur dengan garangnya di garis benturan kedua pasukan itu. Sementara gelar Cakra Byuha yang masih ditrapkan prajurit Mataram itu mulai berputar perlahan-lahan.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta keringat mulai membasahi pakaian para prajurit di kedua pasukan itu, maka pertempuran pun menjadi semakin garang. Darah pun mulai mengalir dari luka. Tubuh pun mulai jatuh terbaring, sehingga kawan-kawannya berusaha untuk menyingkirkannya ke belakang garis pertempuran.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah tidak mengikuti Sekar Mirah memburu Ki Saba Lintang, telah berada kembali dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan. Sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah hari itu masih belum dapat turun ke arena pertempuran. Namun ternyata bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengacaukan medan. Bersama dengan Prastawa serta pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, mereka telah memporak-porandakan pasukan lawan.

Namun Glagah Putih itu pun terkejut ketika ia melihat seseorang yang bersenjata tongkat baja putih. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Wajahnya yang keras serta matanya yang cekung menandai hatinya yang keras serta kecerdasannya mengurai setiap persoalan yang dihadapinya. Orang itu pun tentu dengan cepat mengambil keputusan jika ia menghadapi permasalahan yang rumit.

“Rara,” berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan, “bukankah kita belum menyelesaikan tugas kita untuk menguasai tongkat baja putih itu dan menyerahkannya kepada Mataram?”

“Tetapi kenapa tiba-tiba saja tongkat baja putih itu ada di tangannya?”

“Di lingkungan orang-orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu pun tentu telah terjadi persaingan untuk memperebutkan tongkat baja putih itu. Agaknya orang itu kemarin dengan serta-merta menguasai tongkat baja putih itu, yang langsung diambilnya dari tangan Ki Saba Lintang. Sekarang orang itu ingin membuktikan bahwa ia akan benar-benar mampu menjadi pemimpin dari Perguruan Kedung Jati sepeninggal Ki Saba Lintang.”

“Lalu, apa yang akan Kakang lakukan?”

“Aku akan mengambil tongkat baja putih itu. Sebaiknya kau pergi bersamaku, dan mengamati jika ada orang lain yang berniat berbuat curang.”

“Baik, Kakang. Aku akan mengamati usaha Kakang mengambil tongkat baja putih itu. Sebaiknya kita memberitahukan lebih dahulu kepada Kakang Prastawa.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah menemui Prastawa untuk memberitahukan niat mereka menemui orang yang bersenjata tongkat baja putih itu.

“Silahkan,” berkata Prastawa, “mudah-mudahan kalian berhasil. Kami akan meneruskan tugas kami di sini.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menyibak para prajurit yang sedang bertempur, untuk mendekati orang yang bersenjata tongkat baja putih itu.

Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang itu mengamuk seperti harimau yang terluka. Ketika kemudian Glagah Putih mendekatinya, maka orang itu pun memandanginya dengan tajamnya. Matanya yang cekung itu menyorotkan sinar kemarahannya. Ia memang merasa agak terganggu dengan kehadiran orang yang masih terhitung muda itu.

Glagah Putih pun kemudian minta agar para prajurit yang berusaha menahan gerak maju orang yang bersenjata tongkat baja putih itu menyingkir.

“Apakah kau sengaja ingin melawan aku?” berkata orang itu.

“Ya,” jawab Glagah Putih tanpa basa-basi, “aku akan mengambil tongkat baja putih di tanganmu itu. Apakah tongkat baja putih itu asli atau tiruan?”

“Aku ingin mengoyakkan mulutmu, bocah edan,” geram orang itu.

Glagah Putih melangkah maju. Katanya, “Kita bertemu di medan perang. Kau tidak usah sesumbar. Kita akan bertempur.”

“Bagus. Tetapi aku ingin tahu namamu, sebelum aku mematahkan lehermu.”

“Aku Glagah Putih. Aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kau seorang pengawal Tanah Perdikan? Kenapa kau berani mencoba menghalangiku? Kau tidak tahu siapa aku?”

“Aku memang ingin bertanya kepadamu. Kau siapa, dan kenapa tongkat baja putih itu berada di tanganmu, kecuali jika tongkat baja putih itu palsu.”

“Anak iblis. Namaku Wiradipa. Sepeninggal Ki Saba Lintang, aku-lah pemimpin Perguruan Kedung Jati.”

“Jika demikian, serahkan tongkat itu kepadaku. Aku akan menyerahkan tongkat itu kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, yang sekarang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram.”

“Apakah kau gila?” geram orang itu, “Katakan sekali lagi. Maka aku akan mematahkan lehermu dengan tongkat baja putih ini.”

“Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku.”

Orang itu pun tiba-tiba berteriak nyaring. Kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga rasa-rasanya darahnya telah mendidih dan memanasi seluruh tubuhnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, orang itu pun segera meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya mengarah ke leher Glagah Putih. Tetapi dengan tangkas Glagah Putih pun telah merendah, sehingga tongkat baja putih itu terayun di atas kepalanya. Ketika Glagah Putih kemudian berdiri tegak, maka di tangannya telah tergenggam ikat pinggangnya yang telah diurainya.

“Apa yang kau lakukan?” teriak orang yang menggenggam tongkat baja putih itu.

“Kita akan bertempur. Siapakah di antara kita yang akan sempat keluar dari lingkaran pertempuran ini.”

“Kau benar-benar seorang yang sombong dan tidak tahu diri. Apa arti ikat pinggangmu itu, dibandingkan dengan tongkat baja putih ini?”

“Kita akan melihatnya.”

Sekali lagi orang itu meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya. Kali ini mengarah ke pelipis Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak merendahkan diri untuk menghindari ayunan tongkat baja putih itu. Tetapi Glagah Putih dengan sengaja telah membentur tongkat baja putih itu dengan ikat pinggangnya, dengan keyakinan yang tinggi bahwa ikat pinggangnya akan mampu mengimbangi kekuatan tongkat baja putih itu.

Sebenarnyalah telah terjadi benturan yang sangat keras. Getar dari benturan tongkat baja putih yang diayunkan dengan kekuatan serta tenaga dalam yang sangat besar itu telah membentur ikat pinggang Glagah Putih. Terasa telapak tangan Glagah Putih menjadi panas. Namun ikat pinggangnya terap berada di tangannya. Bahkan ikat pinggangnya itu mampu menahan benturan tongkat baja putih itu.

Sebagaimana telapak tangan Glagah Putih yang menjadi panas, maka telapak tangan orang bertubuh tingi dan bermata cekung itu pun terasa menjadi pedih. Bahkan hampir saja tongkat baja putih itu terlepas dari tangannya, sehingga orang itu terpaksa memeganginya dengan kedua belah tangannya.

Namun Glagah Putih sempat tertawa. Katanya, “Kemampuanmu tidak dapat diperbandingkan dengan Ki Saba Lintang, yang sudah sangat terbiasa dengan tongkat baja putih itu, sehingga tongkat baja putih itu seakan-akan telah menjadi bagian dari anggota tubuhnya. Tetapi kau masih sangat gagap bagaimana caranya mempergunakan tongkat baja putih itu.”

“Persetan kau, Glagah Putih. Hanya namamu yang akan keluar dari arena pertempuran mi.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap untuk bertempur melawan orang bertubuh tinggi, berdada bidang dengan wajah yang keras serta mata yang cekung dan mengaku bernama Wiradipa itu.

Demikianlah, keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tongkat baja putih di tangan Wiradipa itu pun terayun-ayun mengerikan. Sementara itu di tangan Glagah Putih berputaran ikat pinggang yang merupakan senjata andalannya. Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang keras dari kedua senjata itu. Namun Wiradipa harus mengakui bahwa orang yang masih terhitung muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya pula.

Tetapi Wiradipa yang telah melanglang bukan saja sepanjang Pesisir Utara, tetapi ia pun pernah menjelajahi daerah Selatan sampai ke Lautan Kidul, telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia telah bertemu dan bertempur melawan orang-orang yang berilmu tinggi. Namun Wiradipa itu rasa-rasanya sangat sulit untuk dikalahkan, sehingga pada suatu saat ia telah bergabung dengan Ki Saba Lintang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Wiradipa dengan cepat dapat merebut hati Ki Saba Lintang, sehingga menjadi salah satu dari beberapa orang yang dekat dengan pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati itu. Dan bahkan telah masuk ke dalam sekelompok orang yang bersaing untuk menjadi orang kedua di Perguruan Kedung Jati itu.

Namun selagi Ki Saba Lintang masih ada, maka mereka masing-masing masih harus menahan diri, karena mereka masih tetap menghormati kuasa Ki Saba Lintang. Tetapi demikian Ki Saba Lintang tidak ada, maka mereka pun seakan berebut untuk menguasai tongkat baja putihnya. Demikian Ki Wiradipa sempat mendahului yang lain memiliki tongkat baja putih itu, maka ia pun ingin membuktikan bahwa ia memang seorang yang pantas untuk menggantikan Ki Saba Lintang.

Tetapi demikian ia turun di medan pertempuran, Ki Wiradipa telah bertemu dengan Glagah Putih. Seorang yang meskipun masih terhitung muda, tetapi ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sebenarnyalah dalam umurnya yang masih terhitung muda, Glagah Putih telah mempunyai pengalaman yang tidak kalah luasnya dengan lawannya. Bahkan selain berbekal pengalaman, landasan ilmu Glagah Putih pun cukup tinggi. Terakhir ia telah membekali dirinya serta melengkapi ilmunya dengan ilmu yang diserapnya dari kitab Kiai Namaskara, yang telah mengikatnya dalam laku Tapa Ngidang di tengah-tengah hutan yang lebat.

Dengan demikian kedua orang yang berilmu tinggi itu pun telah bertempur dengan sengitnya mewarnai perang yang sedang berkecamuk itu.

Sementara itu, pasukan Mataram perlahan-lahan mulai mendesak lawannya. Beberapa orang Senapati yang sangat berpengaruh dari Demak telah tidak ada lagi. Bahkan Ki Saba Lintang pun sudah terbunuh di pertempuran. Sehingga dengan demikian maka gelora di dalam jiwa para prajurit Demak, mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati, apalagi para Wiratani, menjadi semakin menyusut.

Sementara itu, gelar yang dipimpin oleh Pangeran Puger muda pun bergerak semakin maju pula. Bahkan pasukan yang dipimpin Pangeran Demang Tanpa Nangkil pun telah bergeser lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Di induk pasukan, Kanjeng Adipati Demak merasakan tekanan yang semakin berat dari pasukan Mataram. Maka Kanjeng Adipati itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali langsung berhadapan dengan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Jika Kanjeng Adipati berhasil menguasai Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, maka pasukannya akan dapat menguasai pasukan Mataram. Tetapi yang terjadi sebenarnyalah mempunyai pengaruh yang besar pada perang antara Demak dan Mataram itu. Terbunuhnya beberapa orang Senapati terpercaya dari Demak, ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Beberapa saat kemudian, Kanjeng Adipati Demak pun telah menguak medan. Sehingga akhirnya ia pun telah bertemu dengan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

“Dimas Panembahan,” berkata Kanjeng Adipati Demak, “kita akan menyelesaikan persoalan di antara kita.”

“Kangmas Pangeran, sebaiknya Kangmas sempat menilai apa yang telah terjadi. Pasukan Demak telah terguncang. Para prajurit yang merasa telah kehilangan orang-orang yang mereka banggakan, telah membuat hati mereka menyusut. Bahkan orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati pun telah kehilangan pemimpin tertinggi mereka.”

“Para murid dari Perguruan Kedung Jati telah menemukan pemimpin mereka yang baru.”

“Anak Tanah Perdikan itu telah menghambatnya. Bahkan orang yang mengaku pengganti Ki Saba Lintang itu tidak akan mampu menembus pertahanan anak Tanah Perdikan itu.”

“Tidak, Dimas. Kami akan menembus pertahanan Dimas Panembahan. Kami akan memecahkan gelar pasukan Dimas. Meskipun beberapa orang kami telah tewas, tetapi kami masih akan sanggup melakukannya.”

Namun belum lagi getar kata-kata Kanjeng Adipati Demak itu reda, telah terjadi goncangan yang keras di induk pasukan itu. Ternyata beberapa orang Senapati Mataram menghentakkan pasukannya mendesak pasukan Demak, sehingga garis pertempuran itu bergeser.

Kanjeng Adipati Demak pun tidak mau kehilangan banyak waktu. Ia pun segera bersiap sambil berkata, “Aku masih memberimu waktu, Dimas Panembahan. Jika kau memerintahkan pasukanmu berhenti bertempur, maka kau akan selamat.”

“Maaf, Kangmas Adipati. Aku-lah yang seharusnya menawarkan pengampunan.”

Kanjeng Adipati Demak pun tidak berbicara lagi. Ia pun segera memutar senjatanya. Dengan garangnya Kanjeng Adipati itu pun menyerang Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, yang pada saat itu bersenjata sebatang tombak pendek yang ujungnya bercabang dua. Sebuah canggah.

Demikianlah, pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Namun bersamaan dengan itu maka pasukan Demak yang sudah kehilangan beberapa orang Senapati terpentingnya, menjadi lebih mudah goyah.

Sementara itu, Glagah Putih masih bertempur dengan garangnya melawan Wiradipa, yang telah mengangkat dirinya menggantikan Ki Saba Lintang. Bahkan dengan lantang ia pun berkata, “Bocah edan. Jangan samakan aku dengan Ki Saba Lintang yang terlalu banyak berada di padepokan induk Perguruan Kedung Jati, sehingga wawasan serta pengalamannya menjadi sempit. Tetapi aku adalah pengembara yang telah menjelajahi Tanah ini. Aku telah bertempur dan bahkan membunuh puluhan orang berilmu tinggi, sehingga pengalaman serta landasan ilmuku jauh lebih tinggi dari Ki Saba Lintang.”

“Tetapi ilmumu tentu belum setinggi orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu.”

“Apakah kau merasa mampu menandingi orang itu?”

“Tentu saja aku merasa mampu.”

“Anak iblis. Bersiaplah untuk mati.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar