Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 382

Buku 382

Ki Patih Mandaraka tertawa. Ki Patih pun kemudian berkata kepada Kanjeng Pangeran Puger, “Wayah, bagaimana sikap yang akan Wayah ambil? Aku tahu bahwa di sekitar Wayah sekarang terdapat orang-orang pintar seperti Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Panjer, serta beberapa orang Narpacundaka serta para pemimpin yang lain, yang mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda dengan tatanan dan paugeran yang ada. Tetapi aku yakin bahwa Wayah Pangeran Puger bukan seorang Pangeran yang kehilangan pegangan sehingga tidak lagi mengenali tatanan dan paugeran.”

“Ampun, Kanjeng Adipati,” berkata Ki Tumenggung Gending, “hamba tidak dapat dipaksa untuk berdiam diri seperti patung di pertemuan seperti ini. Karena itu maka dibenarkan atau tidak dibenarkan, hamba ingin mendukung pendapat Ki Tumenggung Panjer. Mungkin cara hamba berbicara agak berbeda. Tetapi tegasnya, sikap Kanjeng Adipati tidak akan berubah.”

“Ki Adipati Gending,” sahut Pangeran Singasari, “Paman Patih Mandaraka berbicara dengan Anakmas Pangeran Puger. Karena itu kau tidak usah memotong pembicaraan itu.”

“Aku adalah seorang yang dituakan di sini. Selama ini Kanjeng Adipati selalu mendengarkan pendapatku dan pendapat Ki Tumenggung Panjer.”

Tetapi Ki Patih Mandaraka seakan-akan tidak mendengar semua kata-kata Ki Tumenggung Gending dan bahkan Ki Tumenggung Panjer. Karena itu maka Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Wayah Pangeran, segala keputusan ada di tangan Wayah. Segala perintah Wayah akan ditaati oleh setiap prajurit di Demak.”

“Tetapi di dalam pasukan Demak tidak hanya terdiri dari para prajurit Demak. Di dalam pasukan Demak juga terdapat para murid dari perguruan terbesar yang murid-muridnya tersebar di seluruh Tanah ini, bahkan sampai ke Bang Wetan, Pesisir Lor dan tlatah-tlatah yang lain,” sahut Ki Tumenggung Gending.

Tetapi Ki Patih masih saja tidak menghiraukannya. Katanya, “Karena itu, Wayah, marilah. Aku mengemban perintah Wayah Panembahan Hanyakrawati untuk memanggil Wayah Pangeran Puger untuk menghadap. Wayah Panembahan Hanyakrawati ingin berbicara langsung dengan Wayah Pangeran Puger.”

Wajah Kanjeng Pangeran Puger menjadi sangat tegang. Rasa-rasanya Pangeran Puger itu berdiri di persimpangan jalan, yang kedua-duanya menuju ke pusaran angin prahara yang akan menggilasnya dan melemparkannya ke dalam kegelapan. Dalam keadaan yang kalut itu, terdengar suara Ki Tumenggung Gending, “Kanjeng Adipati sudah tidak mempunyai pilihan.”

Kemudian Ki Tumenggung Panjer pun berkata, “Di luar menunggu Ki Saba Lintang, yang telah membawa seluruh kekuatannya ke dalam pasukan Demak. Mereka-lah yang akan menggilas kekuatan Mataram yang tidak seberapa banyaknya itu. Apalagi kita yakin bahwa secara pribadi, para murid dari Perguruan Kedung Jati memiliki kelebihan dari para prajurit Mataram.”

Kanjeng Adipati Demak benar-benar menjadi sangat bingung. Angin prahara itu rasa-rasanya semakin besar dan semakin dekat, sehingga akhirnya dari kedua sisi jalan simpang itu datang bergulung-gulung badai yang sangat dahsyat.

Kanjeng Pangeran Puger itu seakan-akan telah kehilangan pegangan. Namun tiba-tiba saja Pangeran Puger itu pun berkata, “Eyang Patih Mandaraka, Paman Pangeran Singasari dan Dimas Raden Mas Kedawung. Aku sudah kehilangan diriku sendiri.”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Dipandanginya Kanjeng Adipati Puger dengan kerut di dahi. Namun Kanjeng Adipati itu pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Eyang. Jangan cari Pangeran Puger di sini. Pangeran Puger sudah pergi ke tempat yang tidak diketahui. Yang ada sekarang adalah bayang-bayang kegelapan, yang sudah terlanjur mencengkam dan membenamkan akar-akarnya sampai ke segenap sudut hati dan jantung.” Pangeran Puger itu berhenti sejenak. Pandangan matanya pun kemudian menerawang jauh sekali, “Silahkan kembali kepada Adimas Panembahan Hanyakrawati. Katakan kepada Adimas, bahwa aku tidak datang menghadap.”

“Tidak, Wayah. Wayah hanya menjadi bingung karena orang-orang yang ada di sekitar Wayah adalah orang-orang yang dengan sengaja menjerumuskan Wayah ke dalam keadaan yang kalut. Jika Wayah berniat pergi menghadap Wayah Panembahan Hanyakrawati, maka Wayah dapat melakukannya. Para prajurit akan melindungi Wayah. Jika mereka tidak mau mentaati perintah Wayah, maka itu berarti bahwa mereka telah melakukan pemberontakan ganda. Setiap prajurit tahu, hukuman apa yang akan mereka terima atas pemberontakan ganda itu. Meskipun demikian bukannya berarti tanpa pernah ada pengampunan.”

Kebingungan yang sangat telah mencengkam jantung Kanjeng Pangeran Puger. Namun dalam keadaan yang rumit itu terdengar suara Ki Tumenggung Gending, “Pergilah, Ki Patih, Pangeran Singasari dan Raden Mas Kedawung. Jika kalian tidak mau pergi, maka kami akan terpaksa mengusir kalian dengan kekerasan.”

“Siapa yang akan melakukan kekerasan? Kau?” geram Pangeran Singasari.

“Sudahlah, Ngger,” berkata Ki Patih Mandaraka, “jangan layani orang-orang yang tidak tahu diri. Sekarang kita akan minta Kanjeng Pangeran Puger untuk menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Tidak. Kanjeng Adipati tidak akan melakukannya.”

“Marilah, Wayah,” ajak Ki Patih Mandaraka.

“Cukup!” teriak Ki Tumenggung Gending.

Tetapi Ki Patih Mandaraka tidak menghiraukannya. Bahkan Ki Patih itu pun kemudian bangkit berdiri. Selangkah ia maju mendekati Kanjeng Adipati Demak yang berdiri seperti patung.

“Jangan mendekat!” teriak Ki Tumenggung Gending.

Namun Ki Patih Mandaraka tidak menghiraukannya. Selangkah lagi Ki Patih itu bergerak maju.

Namun Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak membiarkannya. Bahkan Narpacundaka Kanjeng Adipati yang memasuki ruangan itu pula siap membantu menyingkirkan ketiga orang utusan dari Mataram itu.

Ketika Ki Patih Mandaraka bergeser lagi selangkah maju, maka Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer serentak meloncat. Mereka berniat untuk mendorong Ki Patih Mandaraka agar tidak menjadi semakin dekat dengan Kanjeng Adipati Demak.

Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer itu terlempar dan jatuh terpelanting menimpa dinding ruangan. Sementara itu Narpacundaka yang juga bergerak maju, tiba-tiba saja telah menjadi pingsan.

“Tidak ada yang dapat menghalangi aku,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Aku, Eyang,” sahut Pangeran Puger dengan suara gemetar. “Eyang jangan memaksa aku. Aku akan menjalani kodratku. Biarlah aku menjalani keharusan yang akan terjadi padaku. Aku telah menyatakan diri, sadar atau tidak sadar, yang terlontar dari hati yang rapuh, bahwa aku telah menyatakan diri memberontak terhadap Mataram.”

“Tetapi Wayah Pangeran belum terlambat untuk merubahnya.”

“Kodratku tidak akan berubah. Telah terucapkan dari mulutku, bahwa aku akan merebut tahta dari Adimas Panembahan Hanyakrawati. Eyang pun tidak akan dapat merubahnya, bahwa aku harus berperang melawan adikku sendiri.”

Wajah Ki Patih Mandaraka menjadi merah. Debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Hampir saja orang tua itu kehilangan kesabaran. Tetapi nalar budinya yang sudah mengendap mampu mengendalikannya.

Dengan nada berat Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Wayah Pangeran Puger. Aku sudah mencoba. Tetapi Wayah telah mengeraskan hati Wayah Pangeran. Baiklah, aku akan kembali kepada Wayah Panembahan Hanyakrawati. Aku akan memberikan kesaksian atas peristiwa yang telah terjadi di sini.”

Ki Patih Mandaraka tidak menunggu jawaban Kanjeng Adipati Demak. Kepada Pangeran Singasari dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil, Ki Patih itu pun berdesis, “Marilah kita pergi.”

Ketiga orang itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu.

Sementara itu Pangeran Puger itu pun telah terduduk kembali. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya. Giginya gemeretak menahan gejolak perasaannya. Sebangsal penyesalan telah menjejali dada Kanjeng Adipati Demak. Tetapi ia memang tidak akan mungkin surut kembali.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer pun perlahan-lahan telah bangkit kembali. Mereka berusaha menyadarkan Narpacundaka yang telah menjadi pingsan. Namun Kanjeng Adipati Demak itu pun tidak lagi berbicara apa-apa. Ia pun telah bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu.

Dengan geram Ki Tumenggung Gendhing itu pun berkata, “Iblis tua itu hampir saja mengguncangkan tekad Kanjeng Adipati.”

“Orang itulah yang pantas mati. Kita dapat mengirimkan sekelompok prajurit pilihan untuk membunuh iblis tua itu, serta Pangeran Singasari dan Raden Mas Kedawung,” sahut Ki Tumenggung Panjer.

“Sulit untuk membunuh iblis tua itu. Biarlah ia kembali kepada Panembahan Hanyakrawati. Biarlah pada saatnya ia melihat pasukan Mataram dihancur-leburkan oleh pasukan Demak bersama-sama dengan pasukan Perguruan Kedung Jati. Mungkin orang itu sendiri tidak akan terbunuh. Tetapi ia akan mati karena bersedih atas kehancuran pasukan Mataram. Bahkan kita akan membunuh Panembahan Hanyakrawati yang berani turun langsung ke medan perang.”

Ki Tumenggung Panjer termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan kembali ke pasukanku.” Lalu katanya kepada Narpacundaka yang baru sadar dari pingsannya itu, “Hati-hati. Awasi Kanjeng Adipati sebaik-baiknya. Jika ada yang mencurigakan, beritahu kami. Pesan kanpula kepada Narpacundaka yang akan bertugas berikutnya.”

“Baik, Ki Tumenggung,” jawab Narpacundaka itu.

Sementara itu, Kanjeng Adipati Demak pun telah masuk ke dalam biliknya. Ia pun segera duduk di pembaringan, tepekur dengan menyilangkan tangannya di dadanya. Pangeran Puger itu rasa-rasanya sedang berusaha menilai kembali segala tingkah lakunya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat. Kanjeng Pangeran Puger itu tidak dapat lagi melangkah kembali. Ia sudah terjun sampai ke tengah sungai. Karena itu maka Kanjeng Pangeran Puger itu pun harus tetap menyeberang.

Namun tiba-tiba saja Kanjeng Pangeran Puger itu memanggil Narpacundakanya. Dengan lantang Kanjeng Pangeran Puger itu memberikan perintah, “Siapkan kudaku. Aku akan melihat persiapan-persiapan yang sudah dilakukan. Aku ingin melihat langsung kekuatan pasukan Demak.”

Narpacundaka itu tidak dapat mengelak lagi. Karena itu maka iapun segera memerintahkan prajurit untuk memanggil kembali Ki Tumenggung Gendhing, Ki Tumenggung Panjer dan bahkan para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati.

Selain menghubungi para Tumenggung itu, Narpacundaka itu pun telah memerintahkan para prajurit yang bertugas untuk menyampaikan pemberitahuan bahwa Kanjeng Adipati Demak akan meneliti pasukan Demak, termasuk pasukan dari Perguruan Kedung Jati.

Beberapa saat kemudian, para prajurit itu pun telah menghubungi para Senapati. Karena itulah maka para Senapati pun dengan tergesa-gesa telah menyiapkan pasukan mereka di perkemahan. Perkemahan para prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati yang membujur memanjang dari barat ke timur di sebelah selatan Pegunungan Ungaran.

Perkemahan prajurit Demak serta pasukan dari Perguruan Kedung Jati itu menempati beberapa kademangan. Mereka tinggal di banjar-banjar padukuhan, di rumah Ki Bekel dan para bebahu. Mereka juga tinggal di rumah penduduk. Bahkan mereka membebankan keperluan mereka sehari-hari kepada rakyat yang lingkungannya dipergunakan sebagai ajang perkemahan. Tidak seorangpun yang dapat menolak. Bahkan mereka yang kehabisan beras, harus berhutang kepada tetangga-tetangga, agar ia dapat menyediakan makan bagi orang-orang yang dibebankan kepadanya.

Keinginan Kanjeng Adipati Demak untuk melihat kesiagaan para prajurit Demak serta pasukan dari Perguruan Kedung Jati itu telah menimbulkan gejolak di perkemahan. Para prajurit dan para murid dari Perguruan Kedung Jati nampaknya lebih cepat menyiapkan diri daripada pasukan Wiratani yang terdiri dari anak-anak muda serta laki-laki yang masih kuat untuk berperang, namun yang sehari-harinya adalah petani. Tetapi para Senapati di Demak dan para murid Perguruan Kedung Jati telah memberikan latihan-latihan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan jika pada suatu saat mereka harus berada di medan pertempuran.

Ketika terik matahari yang sudah mulai menurun itu rasa-rasanya masih membakar tubuh, maka Kanjeng Adipati Demak diiringi dua orang Narpacundaka, Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Panjer serta beberapa orang Senapati pilihan, telah meneliti keadaan pasukannya yang sangat besar.

Kanjeng Adipati Demak dan para pengiringnya itu berkuda tetapi tidak terlalu cepat, dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Pasukan yang berada di setiap padukuhan telah dipersiapkan di halaman banjar padukuhan yang rata-rata cukup luas.

Ternyata pasukan Demak telah benar-benar siap. Pasukan yang sangat besar itu telah membuat perasaan Kanjeng Adipati Demak itu mekar. Dengan berusaha melupakan penyelesalan yang sempat menyesakkan dadanya, Pangeran Puger itu pun berkata, “Aku bangga. Besok atau lusa, pasukan Mataram akan hancur berkeping-keping. Kita akan langsung menerobos masuk ke Mataram. Aku akan duduk di atas tahta Mataram.”

“Kami semuanya akan mengorbankan apa yang dapat kami korbankan bagi keberhasilan Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Gending.

Sementara itu, Ki Patih Mandaraka telah menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrawati di perkemahan. Dengan wajah yang muram Ki Patih Mandaraka menceritakan hasil perjalanannya menemui Kanjeng Adipati di Demak.

“Kanjeng Pangeran Puger telah terbelenggu oleh keberadaan beberapa orang di sekitarnya. Sulit bagi Wayah Pangeran Puger untuk berusaha melepaskan diri. Akar benalu itu telah menyusup sampai ke dasar jantungnya.”

“Jadi Kakangmas Pangeran Puger sudah benar-benar tidak mau mendengarkan pendapat Eyang?” bertanya Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

“Ya, Wayah. Pada saat-saat kata-kataku sempat menyentuh jantung Kanjeng Pangeran Puger, Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer telah membujuknya untuk tetap mengeraskan hatinya. Keduanya benar-benar iblis dalam ujudnya sebagai pemimpin yang sangat berpengaruh di Demak. Wayah Pangeran Puger benar-benar telah kehilangan pribadinya.”

“Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan, menurut Eyang?”

“Tidak ada jalan lain, Wayah, kecuali memisahkan Kanjeng Pangeran Puger dari para pemimpin yang telah mempengaruhinya itu.”

“Dengan kekerasan?”

Jantung Ki Patih Mandaraka berdesir. Namun kemudian perlahan-lahan sekali ia berdesis, “Ya. Dengan kekerasan.”

Kata-kata Ki Patih Mandaraka yang diucapkan dengan berat hati itu berarti perang. Tetapi memang sudah tidak ada pilihan lain. Mataram harus berperang melawan Demak. Dua kekuatan yang dipimpin oleh dua orang saudara yang di masa kecilnya selalu bermain bersama.

“Apa boleh buat,” terdengar Kanjeng Panembahan Hanyakrawati berdesis, “tidak ada pilihan lain. Kecuali jika aku bersedia menyerahkan tahta kepada Kakangmas Pangeran Puger. Namun bagiku yang penting bukan tahta itu sendiri bagi aku pribadi, tetapi Mataram harus menegakkan paugeran yang menjadi pegangannya.”

Pada saat itu pula, maka telah jatuh perintah Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, bahwa pasukan Mataram supaya berada dalam kesiagaan tertinggi.

“Mungkin kita harus bergerak ke utara,” berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Dalam pada itu, kedua pasukan yang besar itu masing-masing sudah berada dalam kesiagaan tertinggi. Ternyata Kanjeng Adipati Demak telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak lebih ke selatan. Akhirnya pasukan Demak itu pun berhenti di Tambak Uwos dan membuat perkemahan di daerah itu. Sebuah perkemahan yang sangat luas yang memenuhi beberapa padukuhan, karena pasukan Demak memang sebuah pasukan yang sangat besar.

Para petugas sandi di Mataram pun kemudian telah memberikan laporan kepada para Senapati, bahwa pasukan Demak telah berkemah di Tambak Uwos. Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun kemudian mengumpulkan para Senapatinya. Kanjeng Panembahan Hanyakrawati kemudian memberikan gambaran tentang keberadaan pasukan Demak serta kekuatannya.

“Eyang Patih Mandaraka sudah kehabisan akal untuk membujuk Kakangmas Pangeran Puger agar bersedia datang menemui aku. Bahkan ternyata Kakangmas Pangeran Puger telah maju ke selatan sampai ke Tambak Uwos. Dengan demikian maka segala kemungkinan untuk membicarakan persoalan yang timbul antara Demak dan Mataram sudah tertutup rapat. Karena itu, maka satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan antara Demak dan Mataram adalah perang.”

Para Senapati pun menerima perintah itu dengan hati yang berdebar-debar. Yang mereka lakukan kemudian adalah mempersiapkan pasukan sebaik-baiknya. Para prajurit Mataram pun kemudian digelar dari ujung sampai ke ujung. Kemudian di sela-sela pasukan prajurit Mataram, terdapat para prajurit Pajang.

Kemudian terselip di antaranya adalah rakyat Pajang dan Mataram yang memiliki kemampuan sebagaimana prajurit. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, para pengawal Kademangan Sangkal Putung, Kademangan Ganjur, Piyungan, dan lain-lain. Sedangkan mereka yang masih terlalu sedikit mengenal senjata dan tatanan perang berada di lapis kedua, di bawah pimpinan para prajurit. Kemudian di belakang mereka masih ada pasukan cadangan, yang terdiri berbagai unsur yang dapat digerakkan setiap saat jika diperlukan.

Mereka juga bertugas untuk mengatasi kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada pasukan yang terdiri dari para petani yang belum terlalu banyak mendapat latihan. Jika mereka benar-benar dalam kesulitan, maka pasukan cadangan yang berada di belakang garis pertempuran itu akan digerakkan. Atau jika seluruh pasukan mendapat tekanan sehingga tidak teratasi, maka pasukan cadangan akan turun ke medan. Para Senapati memang memperhitungkan bahwa perang itu tidak akan selesai dalam satu hari. Karena itu, keberadaan pasukan cadangan sangat diperlukan. Pada hari kedua, ketiga dan selanjutnya, pasukan Mataram tidak boleh kehabisan tenaga.

Ketika Kanjeng Panembahan Hanyakrawati berniat untuk menjadi Senapati langsung pada hari pertama, Ki Patih Mandaraka menasehatkan agar yang menjadi Senapati di hari pertama bukan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri.

Dengan nada dalam Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Wayah, sebaiknya pada hari pertama Wayah tidak melibatkan diri langsung di medan pertempuran. Biarlah para Pangeran sajalah yang akan menjadi Senapati menghadapi pasukan Demak. Mungkin Angger Pangeran Singasari akan dapat menjadi Senapati yang mampu menguasai medan perang yang besar ini, dengan Senapati pengapit Pangeran Puger dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Kemudian Pangeran Singasari akan menunjuk beberapa orang Senapati yang akan berada di ujung pasukan induk, serta Senapati yang akan memimpin sayap-sayap pasukan.”

Panembahan Hanyakrawati termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Patih pun berkata selanjutnya, “Sementara itu Wayah Panembahan akan dapat menyaksikan pertempuran itu tanpa terganggu oleh tugas seorang Senapati. Dengan demikian, maka Wayah akan dapat membuat rancangan yang lebih menyeluruh dari medan perang yang besar ini.”

“Baik, Eyang,” Panembahan Hanyakrawati pun mengangguk-angguk. “Aku akan menunjuk Paman Pangeran Singasari untuk memimpin pasukan ini. Tetapi agar Paman Pangeran Singasari tidak terlalu terikat dengan keterlibatannya di medan, maka biarlah Paman Singasari, di samping para Senapati pengapit, di dampingi oleh senapati-senapati lainnya.”

“Aku sependapat, Wayah. Agaknya sudah waktunya Wayah menentukan gelar perang yang akan dipergunakan oleh pasukan Mataram menghadapi prajurit Demak yang besar, termasuk di dalamnya pasukan dari murid Perguruan Kedung Jati.”

“Baiklah, Eyang. Aku mohon bantuan Eyang untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya, sementara Kakangmas Pangeran Puger sudah menempatkan pasukannya di Tambak Uwos.”

Hari itu juga Panembahan Hanyakrawati telah memanggil para pemimpin pasukan yang menyertainya. Kepada para Senapati itu Panembahan Hanyakrawati telah memberitahukan, bahwa yang telah ditentukan menjadi Senapati pada hari pertama apabila pertempuran antara Mataram dan Demak itu terjadi, adalah Pangeran Singasari.

“Aku junjung tinggi perintah Anakmas Panembahan,” berkata Pangeran Singasari.

“Menurut Eyang Patih, di hari pertama aku akan dapat melihat perang yang terjadi itu dalam keseluruhan. Sehingga jika di hari berikutnya aku sendiri akan menjadi Senapati Perang, aku sudah mempunyai gambaran tentang perang itu dalam keseluruhan.”

Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka pun berpendapat bahwa menghadapi pasukan Demak yang besar itu, Mataram tidak hanya akan mempergunakan satu gelar. Pasukan Mataram sebaiknya membuka tiga gelar perang yang akan menyerang Demak dari tiga jurusan. Dari arah barat, dari selatan dan dari timur. Mungkin pasukan Mataram harus mengatasi kerumitan alam yang berbukit-bukit. Tetapi pasukan Mataram sudah terlatih dengan baik. Sedangkan pasukan yang terdiri dari pasukan pengawal kademangan pun akan dipilih pula. Sedangkan yang masih belum memiliki banyak pengalaman akan bersama-sama dengan induk pasukan yang kuat, yang berada di arah selatan.

“Tetapi segala sesuatunya terserah kepada Angger Pangeran Singasari.”

“Aku sependapat, Paman,” jawab Pangeran Singasari. “Aku akan menempatkan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara di sisi sebelah barat, diperkuat dengan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang dipimpin langsung oleh Swandaru dan istrinya. Sedangkan dari arah timur, aku akan menempatkan Ki Tumenggung Ranawira, pemimpin pasukan Mataram yang berada di Ganjur, untuk mengimbangi pasukan dari Jati Anom yang berada di sebelah barat. Di sisi timur akan ditempatkan pula pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa. Sedangkan pasukan yang lain akan berada di induk pasukan, termasuk Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Di induk pasukan, selain Angger Pangeran Puger dan Angger Pangeran Demang Tanpa Nangkil, maka Ki Tumenggung Derpayuda, Ki Tumenggung Jayayuda dan beberapa orang Senapati yang lain akan berada di antara kami pula.”

Pembicaraan itu masih berlangsung beberapa lama. Hal-hal yang lebih terperinci telah dibicarakan pula.

“Besok, seluruh pasukan sudah siap dalam kelompoknya masing-masing,” perintah Pangeran Singasari.

Hari itu juga para Senapati pun sibuk menempatkan pasukan mereka masing-masing. Pasukan Pajang termasuk di antara mereka yang berada di induk pasukan. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah menempatkan Glagah Putih dan Rara Wulan di antara pasukan pengawal Tanah” Perdikan Menoreh. Mereka akan mendampingi Prastawa memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan yang terhitung besar.

Sementara itu, dengan kelengkapan serta ciri-ciri keprajuritan dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sekar Mirah tetap berada di pasukan khusus yang berada di induk pasukan. Agaknya Sekar Mirah yang memiliki tongkat baja putih sebagaimana Ki Saba Lintang itu telah mendapat perhatian khusus. Justru karena di samping ciri-ciri Pasukan Khusus, Sekar Mirah juga mempunyai ciri Perguruan Kedung Jati, justru ciri kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati itu.

Demikianlah, pasukan Mataram telah benar-benar siap menghadapi pasukan Demak. Agaknya pasukan Demak tidak akan bergerak maju lagi. Perkemahannya memang berada di tempat yang terbaik. Perbukitan di kedua sisinya, sehingga seakan-akan merupakan perlindungan bagi lambung pasukannya. Karena itu, maka justru pasukan Demak-lah yang kemudian menunggu pasukan Mataram mendekat dan kemudian menyerang.

Beberapa jebakan telah dipasang di sisi selatan. Di atas tebing telah dipersiapkan bebatuan yang tinggal mendorong, sehingga bebatuan itu akan berguling menimpa gelar pasukan yang akan melewati lembah. Selebihnya, di lereng-lereng perbukitan, pasukan Demak telah mempersiapkan tempat-tempat terbaik untuk menyerang pasukan Mataram yang bergerak maju.

Tetapi para petugas sandi Mataram telah mengenali medan dengan sebaik-baiknya. Mereka pun telah melihat jebakan-jebakan yang telah dipasang. Sementara itu beberapa petugas sandi dan beberapa orang penghubung telah merintis jalan yang akan dapat dilewati oleh pasukan yang akan menyerang dari arah barat dan timur. Pasukan Mataram berharap bahwa para Senapati di Demak tidak memperhitungkan kemungkinan serangan dari lambung, karena mereka menduga bahwa Mataram tidak akan memilih medan yang sangat berat itu.

Demikianlah, Senapati pasukan Mataram, Pangeran Singasari, telah menetapkan bahwa besok lusa mereka akan bergerak maju. Mereka akan segera menempati kedudukan masing-masing menjelang malam hari. Di keesokan harinya, menjelang matahari terbit, pasukan Mataram akan mulai membuka serangan.

Malam itu, pasukan Mataram masih tetap berada di perkemahan. Agung Sedayu masih sempat memberikan pesan-pesan terakhir kepada Sekar Mirah, jika ia langsung bertemu dengan Ki Saba Lintang.

Agung Sedayu masih sempat menjajagi saluran-saluran pernafasan, saluran-saluran kekuatan tenaga dalam serta kekuatan aji yang sudah dikuasai oleh Sekar Mirah, yang telah dilimpahkan Agung Sedayu kepadanya, selain penguasaan tuntas puncak ilmu dari Perguruan Kedung Jati.

Dalam samadi di sebuah lekuk batu padas yang agak dalam di sebelah perkemahan, ditunggui oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah seakan-akan telah ditemui oleh gurunya, Ki Sumangkar, yang memberikan tongkat baja putih kepadanya. Bahkan dalam getar bayangan kesungguhan samadinya, Sekar Mirah itu seakan-akan telah berlatih langsung di bawah bimbingan Ki Sumangkar. Kemudian Ki Sumangkar itu seakan-akan telah minta Sekar Mirah duduk membelakanginya. Kedua telapak tangan Ki Sumangkar itu pun melekat di punggungnya.

Aliran getar yang panas rasa-rasanya telah mengalir lewat sentuhan telapak tangan Ki Sumangkar itu, menembus menyusup ke dalam tubuh Sekar Mirah. Sejenak Sekar Mirah bertahan. Namun tubuhnya pun kemudian serasa bergetar semakin lama semakin cepat. Getar yang menyusup ke dalam tubuhnya itu pun terasa semakin panas. Namun kemudian panas yang menyusup itu telah berubah menjadi ratusan dan bahkan ribuan duri yang menyusup ke dalam tubuhnya. Sekar Mirah itu mencoba bertahan. Namun kemudian tubuhnya pun menjadi semakin lemah.

Tetapi ribuan duri yang menyusup itu pun menjadi semakin menyusut, sehingga akhirnya berhenti. Namun tubuh Sekar Mirah sudah menjadi semakin lemah, sehingga ketika ia sadar bahwa ia duduk sendiri tanpa Ki Sumangkar, maka segala-galanya menjadi buram disaput oleh warna ke kuning-kuningan. Akhirnya Sekar Mirah itu jatuh pingsan.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu menungguinya. Ia tahu bahwa meskipun Sekar Mirah itu pingsan, tetapi sama sekali tidak membahayakannya. Karena itu maka Sekar Mirah itu menjadi sadar dengan sendirinya.

“Apa yang telah terjadi?” desis Sekar Mirah.

“Coba kau ingat-ingat, kenapa kita berada di sini.”

Sekar Mirah pun merenung sejenak. Namun kemudian ia ingat sepenuhnya, untuk apa ia berada di tempat itu.

“Rasa-rasanya aku telah bertemu dengan Guru,” berkata Sekar Mirah.

“Guru siapa?”

“Ki Sumangkar,” desis Sekar Mirah.

“Aku melihat dalam samadimu kau duduk tepekur. Aku melihat bahwa tubuhmu seakan-akan telah menjadi kosong.”

Sekar Mirah pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya.

“Yakinlah, jika kau bertemu dengan Ki Saba Lintang, namun kau dan Ki Saba Lintang tidak menemukan singgungan untuk mencari penyelesaian tentang Perguruan Kedung Jati, maka kau akan dapat mengimbangi kemampuan Ki Saba Lintang. Bahkan kau masih mempunyai beberapa kelebihan. Selain ilmu yang tuntas, maka aku yakin bahwa tenaga dalammu pun menjadi berlipat. Unsur-unsur yang paling rumit pun telah kau masuki. Kau telah berhasil mengingat kembali seluruhnya yang pernah diajarkan oleh Ki Sumangkar kepadamu, yang kemudian luluh dengan beberapa unsur gerak yang sangat rumit dari aliran Perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing.”

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Katanya, “Terima kasih, Kakang. Mudah-mudahan jika aku bertemu dengan Ki Saba Lintang, aku akan dapat mengimbanginya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Di samping mempersiapkan diri sebaik-baiknya Mirah, kita harus tetap bersandar kepada Yang Maha Agung. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di lekuk batu padas itu sampai menjelang pagi. Di dini hari keduanya pun baru kembali ke perkemahan mereka. Setelah mencuci kaki dan tangan, mereka masih sempat membaringkan tubuh mereka di pembaringan. Namun mereka hanya dapat memejamkan mata sesaat saja.

Ketika fajar menyingsing, maka keduanya pun telah terbangun. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah terbangun pula. Namun mereka telah memberi kesempatan Sekar Mirah untuk pergi ke pakiwan lebih dahulu.

Hari itu para prajurit Mataram itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Lewat tengah hari, mereka akan bergerak maju menempati kedudukan mereka masing-masing sesuai dengan hasil pembicaraan para pemimpin dari Mataram. Pasukan induk akan bergerak langsung mendekati pertahanan lawan dari arah selatan.

Sementara perhatian pasukan Demak ditujukan kepada pasukan induk, maka dua pasukan yang lain, yang lebih kecil dari pasukan induk itu, akan bergerak melingkar. Mereka akan melewati medan yang berat untuk mempersiapkan diri menyerang pasukan Demak itu dari arah lambung.

Namun pasukan yang mendapat tugas untuk melingkar serta menyerang dari lambung itu adalah pasukan yang sudah terlatih baik serta memiliki pengalaman yang luas. Pasukan yang dipimpin Untara adalah pasukan andalan. Sedangkan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung adalah pasukan pengawal kademangan yang memiliki tataran prajurit serta memiliki pengalaman yang luas pula. Sejak Tohpati membayangi Kademangan Sangkal Putung yang subur, pada masa Jipang dikalahkan oleh Pajang, maka pengawal Sangkal Putung telah ditempa oleh pengalaman perang yang luas.

Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Ranawira adalah pasukan yang telah berulang kali terlibat dalam pertempuran yang menentukan bagi Mataram. Pasukan yang berada di Ganjur itu memiliki prajurit yang jumlahnya cukup besar. Sementara dari arah serangannya, pasukan dari Ganjur itu akan bersama-sama dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Pasukan yang sudah berpengalaman menghadapi pasukan dari Kerguruan Kedung Jati, pasukan yang selalu mengejutkan dengan orang-orang berilmu tinggi yang selalu saja dapat diketemukan dan dibujuk oleh Ki Saba Lintang untuk berpihak kepadanya, atau sebaliknya orang-orang yang sengaja ingin memanfaatkan keadaan bagi kepentingan mereka sendiri.

Di samping kesibukan para prajurit dengan kelengkapan masing-masing, tidak kalah sibuknya adalah mereka yang bertugas di dapur. Apalagi jika pasukan sudah terpecah, maka harus ada penghubung khusus yang akan menyampaikan makan bagi para prajurit yang terpisah itu. Itulah sebabnya maka para prajurit yang bertugas di dapur itu pun harus memiliki ketrampilan bertempur, karena mungkin sekali mereka akan berpapasan dengan petugas sandi lawan atau bahkan sekelompok peronda.

Menjelang tengah hari, seluruh pasukan pun telah bersiap. Terutama pasukan induk yang akan mendekati perkemahan lawan dari arah selatan. Mereka akan berangkat lebih dahulu. Pasukan yang justru merupakan pasukan terbesar itu akan memancing perhatian lawan. 

Karena itu maka pasukan induk itu pun telah mempersiapkan segala macam pertanda kebesaran dari setiap pasukan yang ada di dalamnya. Rontek, umbul-umbul, kelebet serta tunggul-tunggul yang beraneka bentuknya. Dari yang menyeramkan sampai ke bentuk yang mempesona.

Sementara itu pasukan yang akan melingkar dan siap menyerang ke arah lambung sama sekali tidak akan membawa pertanda apa-apa. Bahkan mereka akan merayap di antara gumuk-gumuk berbatu-batu padas serta gerumbul-gerumbul perdu.

Sedikit lewat tengah hari, pasukan induk pun telah bersiap. Mereka akan bergerak dan menempatkan diri di perkemahan mereka di depan perkemahan pasukan Demak. Tetapi Pangeran Singasari belum menjatuhkan perintah, kapan mereka akan menyerang pasukan Demak. Pangeran Singasari masih belum menjatuhkan perintah bahwa mereka akan menyerang besok pagi.

“Kita harus melihat apakah pasukan kita sudah mapan atau belum. Kita tidak boleh tergesa-gesa, karena kita menghadapi pasukan yang sangat besar.”

Ternyata Panembahan Hanyakrawati dan Ki Patih Mandaraka menyetujui sikap Pangeran Singasari, meskipun Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil sudah menjadi tidak sabar lagi.

“Aku tahu, Wayah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “kalian masih muda. Darah kalian masih panas. Tetapi bersabarlah sedikit. Kita harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya.”

“Mungkin justru mereka-lah yang akan mendahului, Eyang,” sahut Raden Mas Tembaga yang bergelar Pangeran Puger itu.

“Kita akan tetap bersiap untuk menerima mereka jika mereka datang menyerang. Tetapi petugas sandi kita cukup baik, Wayah. Mereka tentu akan memberikan isyarat jika pasukan Demak itu mulai bergerak, sehingga kita sempat mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Apalagi bukankah kita sudah mengatur kedudukan pasukan kita sebaik-baiknya?”

Demikianlah, pada saat yang sudah ditentukan, maka pasukan induk dari Mataram itu pun mulai bergerak. Terdengar beberapa tengara yang menggetarkan udara. Ketika bende berbunyi pertama kali, maka semua prajurit telah bergabung pada kesatuan mereka masing-masing.

Segala pertanda kebesaran dan ciri-ciri dari setiap kesatuan pun telah dipasang. Selain pasukan pembawa rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul yang berada di paling depan, di setiap kesatuan pun masih tetap berkibar ciri kebesaran kesatuan mereka masing-masing. Bendera dengan warna-warna yang beraneka. Beberapa tunggul dan senjata-senjata andalan.

Pada saat bende berbunyi untuk kedua kalinya, maka pasukan pun telah bersiap untuk bergerak. Setelah menunggu sesaat untuk memberikan kesempatan para pemimpin pasukan meneliti pasukan masing-masing, maka sejenak kemudian pasukan itu pun mulai bergerak. Ketika bende berbunyi untuk yang ketiga kalinya, maka pasukan Mataram yang besar itu pun berderap maju menuju ke perkemahan mereka yang baru, di hadapan perkemahan pasukan Demak.

Beberapa prajurit penghubung telah mendahului pasukan yang besar itu. Mereka telah mempersiapkan perkemahan yang akan mereka pergunakan dengan sebaik-baiknya. Seperti pasukan dari Demak, pasukan dari Mataram itu pun telah mempergunakan beberapa padukuhan yang berdekatan yang satu dengan yang lain sebagai tempat mereka berkemah.

Para petugas sandi dari Demak memperhatikan gerak pasukan Mataram itu dengan seksama. Mereka memperhatikan iring-iringan pasukan itu dari ujung sampai ke ujung. Mereka memperhatikan bendera, umbul-umbul, rontek dan kelebet yang terikat pada tunggul-tunggul yang megah dan melambangkan banyaknya kesatuan yang ada di dalam pasukan Mataram.

“Mataram benar-benar telah mengerahkan kekuatannya,” berkata salah seorang petugas sandi yang melihat iring-iringan itu dari kejauhan.

“Ya. Nampaknya mereka merasa kurang yakin akan kemampuan prajurit-prajurit mereka, sehingga mereka memerlukan jumlah yang sangat besar.”

“Apakah mereka lebih besar dari pasukan Demak?”

“Agaknya kita masih lebih besar. Apalagi sebagian pasukan Mataram itu tentu terdiri dari Wiratani. Petani-petani yang dengan suka rela atau dipaksa untuk ikut dalam pasukan yang bergerak menghadapi pasukan kita ini.”

“Ya. Mereka tidak berarti apa-apa. Jika pertempuran telah terjadi, maka mereka tentu hanya akan mencari perlindungan di belakang para prajurit.”

“Bukankah sebagian dari orang-orang kita juga akan berbuat seperti itu? Para petani yang telah kita libatkan dalam perang ini?”

“Ya. Tetapi di samping mereka, jumlah para prajurit Demak cukup banyak. Jumlah para murid dari Perguruan Kedung Jati pun banyak pula. Sementara itu para petani yang kita libatkan dalam perang ini sudah kita siapkan sebelumnya. Kita sudah memberikan latihan-latihan perang, sehingga mereka bukan orang-orang yang sama sekali buta tentang peperangan serta tentang senjata jenis apapun.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi lihat, kita tidak dapat membedakan, yang manakah prajurit Mataram yang sebenarnya dan yang manakah Wiratani di antara mereka.”

“Tentu saja. Bukankah kita berada di tempat yang cukup jauh dari iring-iringan yang bergerak itu?”

Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka tahu bahwa pasukan itu tidak akan bergerak terlalu jauh. Mereka pun sudah tahu bahwa beberapa orang prajurit Mataram telah mendahului pasukannya, mempersiapkan padukuhan-padukuhan yang akan mereka pergunakan sebagi tempat berkemah.

“Apakah mereka tidak menggeser dapur mereka ke tempat yang lebih dekat?” bertanya seseorang, yang masih saja melihat asap mengepul di dapur yang berada di perkemahan yang telah ditinggalkan oleh para prajurit Mataram.

“Mungkin mereka memang tidak menggeser letak dapur mereka. Mungkin mereka sudah mendapatkan tempat yang cocok. Sementara itu di bekas perkemahan itu memang masih terdapat beberapa kelompok prajurit.”

“Mereka yang akan mengirimkan makan para prajurit ke perkemahan mereka yang baru.”

Para petugas sandi itu tidak menunggu terlalu lama. Ketika iring-iringan prajurit Mataram itu sudah menjadi semakin jauh, maka mereka pun segera meninggalkan tempat mereka.

Sebenarnyalah bahwa pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara, Ki Tumenggung Ranawira, para pasukan pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, masih tetap berada di perkemahan mereka yang lama.

Namun mereka mendapat perintah agar tidak terlalu banyak bergerak, sehingga para petugas sandi Demak tidak mencurigai keberadaan pasukan yang masih ada di perkemahan yang seharusnya sudah ditinggalkan itu.

Sementara itu para prajurit yang bertugas di dapur pun telah mempersiapkan peralatan untuk mengangkut makan para prajurit yang sudah bergerak maju, tetapi juga yang akan bergerak melingkar melalui medan yang berat. Para prajurit yang bertugas di dapur itu pun menyadari bahwa tugas mereka pun akan menjadi semakin berat pula.

Demikianlah, pasukan induk Mataram itu pun maju mendekati perkemahan para prajurit Demak. Untuk mengimbangi pasukan Mataram yang memamerkan ciri-ciri kebesarannya, maka di perkemahannya, pasukan Demak pun telah memasang tanda-tanda kebesarannya pula.

Rontek, umbul-umbul, kelebet, tunggul serta tanda-tanda kebesaran yang lain telah dipasang di sebelah-menyebelah gerbang padukuhan yang menghadap ke arah pasukan Mataram akan menempatkan pasukannya. Ada beberapa padukuhan yang di wajahnya nampak pertanda-pertanda kebesaran dari sudut ke sudut padukuhan yang lain.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukan Mataram itu telah berada di padukuhan-padukuhan yang telah ditentukan. Pasukan penghubung dan pasukan yang mengatur perlengkapan bagi prajurit Mataram telah menyiapkan padukuhan-padukuhan yang akan dipergunakan sebagai perkemahan.

Beberapa saat kemudian, pasukan yang besar itu pun telah memasuki lingkungan perkemahannya. Mereka mempergunakan beberapa padukuhan, yang satu sama lain jaraknya tidak terlalu jauh. Yang jaraknya terjangkau oleh suara kentongan yang dapat dipergunakan sebagai isyarat jika terjadi sesuatu, atau yang dapat di jangkau oleh anak panah sendaren atau anak panah api.

Perhatian pasukan Demak memang hanya tertuju kepada pasukan induk yang sedang menempatkan diri di perkemahannya itu. Mereka ditempatkan di beberapa padukuhan sesuai dengan pembagian kedudukan masing-masing jika pasukan Mataram itu akan membuka gelar.

Ketika senja turun, ternyata prajurit Mataram itu sudah mapan. Mereka sudah mulai dapat beristirahat bergantian. Para prajurit itu mempergunakan banjar-banjar padukuhan, rumah Ki Bekel dan para bebahu, serta rumah-rumah yang besar dan berhalaman luas sebagai barak mereka. Namun ketika senja turun, datang perintah dari Senapati Agung pasukan Mataram itu, Pangeran Singasari, bahwa para prajurit harus mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk beristirahat.

“Agaknya kita akan menyerang besok pagi-pagi sebelum matahari terbit,” berkata seorang prajurit kepada kawannya.

“Bagiku, lebih cepat lebih baik. Kalau menang ya menang, kalau kalah ya kalah. Kalau hidup ya hidup, kalau mati ya mati.”

“Jangan berbicara tentang mati.”

“Kau takut mati?”

“Kalau aku takut mati, aku tidak berada di sini sekarang. Meskipun demikian, tidak ada orang yang sengaja menyurukkan hidupnya untuk mati. Memang ada satu dua orang yang melakukan bunuh diri dan mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi itu termasuk perkecualian.”

Kawannya tidak bertanya lagi. Seperti yang diperintahkan, mereka pun kemudian telah mempergunakan waktu mereka sebaik-baiknya untuk beristirahat. Demikian pula para prajurit yang lain, kecuali yang memang sedang bertugas.

Sementara pasukan induk itu beristirahat, maka pasukan yang telah ditunjuk telah berangkat menempuh jalan melingkar. Dalam keremangan senja mereka merayap di antara gumuk-gumuk kecil dan di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Mereka pun melewati lingkungan yang dipenuhi dengan tebing yang rendah dan landai, celah-celah batu-batu padas, lereng-lereng yang miring serta ditumbuhi belukar yang lebat.

Meskipun demikian, pasukan yang melingkar di sebelah kiri dan kanan pasukan induk itu pun maju dengan cepat, dipandu oleh para petugas sandi dan penghubung yang sebelumnya telah berusaha mengenal lingkungan itu. Pada wayah sepi wong, pasukan itu sudah berada di tempatnya. Yang berada di sisi sebelah barat sempat berkemah di sebuah padukuhan yang terletak di tanah yang miring. Mereka dapat beristirahat di rumah-rumah penghuni padukuhan itu yang telah mengosongkan rumahnya. Mereka telah mengungsi di tempat yang cukup jauh atas anjuran para prajurit Demak.

Tetapi para prajurit yang melingkar di sisi timur harus puas berkemah di sebuah pategalan. Tidak ada rumah yang dapat mereka pergunakan sebagai tempat berteduh. Hanya ada satu dua buah sumur yang dapat mereka timba airnya untuk mandi. Namun untunglah bahwa tidak jauh dari pategalan itu terdapat sebuah sungai meskipun tidak begitu besar.

Meskipun demikian, para prajurit Mataram itu tidak mengeluh. Sebagai seorang prajurit, setiap orang dituntut untuk memanfaatkan apa yang ada di medan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ternyata perintah Pangeran Singasari telah datang dengan tiba-tiba. Besok pagi-pagi sebelum matahari terbit, mereka akan menyerang. Para Senapati yang memimpin pasukan di sebelah barat dan sebelah timur itu pun segera menyesuaikan dirinya. Mereka pun segera memerintahkan para prajuritnya untuk memelihara ketahanan tubuh mereka. Mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Hanya para prajurit yang bertugas sajalah yang kemudian masih tetap berjaga-jaga.

“Para Senapati di pasukan yang berada di sisi sebelah barat dan timur, supaya selalu menyesuaikan diri dengan induk pasukan,” perintah Pangeran Singasari melalui para penghubung. Mereka pun membawa pesan tentang isyarat-isyarat yang akan dilontarkan esok pagi pada saat pasukan mereka akan mulai bergerak

Di sisi barat, Swandaru dan Pandan Wangi sempat menemui Untara dan berbicara tentang perintah yang tiba-tiba itu.

“Pangeran Singasari tidak ingin perintahnya sudah diketahui lebih dahulu oleh orang-orang Demak jauh-jauh sebelumnya, sehingga Demak sempat menyiapkan pasukannya dengan baik,” berkata Untara.

“Apakah mungkin ada petugas sandi Demak yang sempat menyelundup di antara kita, sehingga perintah itu meresap keluar?”

“Agaknya memang tidak. Tetapi itu sikap hati-hati seorang Senapati Besar. Tetapi bukankah Adi Swandaru tidak mengalami kesulitan dengan perintah yang tiba-tiba itu?” bertanya Untara.

“Tidak, Kakang, tidak ada kesulitan apa-apa. Pasukan pengawal Sangkal Putung masih sempat beristirahat dengan baik. Besok pagi kami akan turun dengan tenaga yang segar.”

“Syukurlah. Jika ada persoalan yang timbul, beritahu aku.”

“Baik, Kakang.”

Demikianlah, Swandaru dan Pandan Wangi sendiri masih sempat juga beristirahat barang sejenak. Bahkan Untara pun sempat pula tidur beberapa saat. Namun di dini hari, para pemimpin kelompok, apalagi Untara dan Swandaru serta Pandan Wangi, telah terbangun dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Para petugas dari dapur pun telah sampai ke perkemahan mereka, membawa nasi bungkus sejumlah prajurit serta pasukan pengawal yang ada di perkemahan. Bahkan nasi bungkus itu kemudian justru tersisa meskipun tidak terlalu banyak.

Para petugas di dapur telah mempergunakan beberapa ekor kuda dengan keranjang di sebelah-menyebelah. Mereka menuntun kuda melalui jalan yang rumit, di malam yang gelap. Namun mereka dapat menunaikan tugas mereka dengan baik. Tugas mereka yang tidak kalah beratnya dengan tugas para prajurit yang akan turun ke medan.

Demikian pula pasukan yang ada di sisi sebelah timur. Pada dini hari menjelang fajar, semuanya sudah bersiap dan sudah mendapat kiriman makan pula.

Ketika langit mulai dibayangi oleh semburat warna merah, segala sesuatunya telah dipersiapkan. Pasukan induk pun telah bersiap-siap pula. Bahkan Pangeran Singasari telah memerintahkan untuk melontarkan isyarat panah api ke langit.

Ki Tumenggung Untara di sisi barat dan Ki Tumenggung Ranawira di sisi timur pun telah mempersiapkan pasukan mereka masing-masing. Swandaru dan Pandan Wangi pun telah bersiap pula. Demikian pula Prastawa, yang akan didampingi oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sesaat sebelum isyarat untuk bergerak dilontarkan ke langit di induk pasukan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat memanaskan darah mereka dengan gerakan-gerakan yang sangat khusus, yang mereka sadap dari kitab Kiai Namaskara.

Ketika kemudian langit menjadi merah, maka di induk pasukan telah terdengar suara bende untuk yang pertama kalinya. Sementara anak panah api pun telah terlontar pula ke udara.

Namun isyarat itu pun telah dilihat pula oleh para petugas sandi dari Demak. Karena itu maka dari puncak sebuah bukit kecil, telah terdengar suara sangkakala yang ditiup oleh petugas penghubung, yang telah mendapat laporan dari petugas sandinya.

Suara sangkakala itu terdengar mengalun menggetarkan lereng-lereng bukit-bukit kecil serta menyusup ke lembah-lembah. Suaranya itu pun langsung dapat terdengar oleh seluruh pasukan Demak yang berada di beberapa padukuhan yang saling berdekatan. Namun untuk meyakinkan bahwa semua orang yang berada dalam pasukan Demak itu mendengar, maka suara sangkakala itu pun telah disambut dengan suara kentongan yang menjalar dengan cepat sekali.

Ternyata pasukan Demak memang sudah bersiap. Demikian mereka mendengar isyarat, maka pasukan mereka pun segera bersiap. Bahkan mereka pun telah mendapat kiriman dari dapur mereka pula, sehingga setiap orang di dalam pasukan Demak itu pun telah makan sekenyang-kenyangnya. Mereka akan bertempur untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin tidak akan berakhir pada senja hari itu juga.

Ketika bende di pasukan Mataram berbunyi untuk kedua kalinya, maka sangkakala di puncak bukit kecil itu pun telah berbunyi pula.

Demikianlah, segala sesuatunya telah bersiap. Beberapa orang prajurit Demak telah naik ke atas tebing. Mereka akan mempergunakan bebatuan yang akan mereka dorong turun sehingga akan menimpa para prajurit dari Mataram. Batu-batu yang terguling dari atas bukit itu akan menimpa batu-batu padas di tebing, sehingga semakin lama guguran tebing-tebing bukit akan menjadi semakin deras.

Ketika kemudian bende berbunyi untuk ketiga kalinya, serta anak panah api pun telah dilontarkan ke udara, maka pasukan induk Mataram itu pun mulai bergerak.

Pasukan Demak tidak ingin menyongsong pasukan lawan di perkemahannya. Karena itu maka pasukan Demak yang besar itu pun telah bergerak maju. Ternyata pasukan Demak seakan-akan mengetahui apa yang dilakukan oleh pasukan Mataram. Pasukan Demak itu juga tidak menyongsong pasukan Mataram dalam satu gelar yang utuh dan sangat besar, tetapi pasukan Demak itu pun telah terbagi dalam tiga gelar yang membentang sangat lebar. Induk pasukan Demak telah langsung membuka gelar Gajah Meta, sedangkan di sebelah-menyebelah telah dikembangkan gelar Garuda Nglayang.

Untuk menghadapi gelar Garuda Nglayang yang lebar, maka pasukan Mataram harus membuat gelar sampai ke tebing-tebing perbukitan. Bahkan jika pasukan Demak membatasi gerak majunya, maka pasukan Mataram menembus ngarai yang tidak terlalu lebar, sehingga ujung sayap gelar di kiri dan kanan harus menyusuri dinding-dinding perbukitan.

Pada saat-saat yang demikian, pasukan Demak akan meluncurkan bebatuan dari atas tebing, sehingga akan menimpa sayap pasukan Mataram sebelah-menyebelah. Bebatuan itu pun akan menggugurkan batu-batu padas, sehingga akan dapat menimbulkan kegelisahan yang sangat pada pasukan Mataram. Pada saat yang demikian, pasukan Demak akan menyerang dengan gelar Gajah Meta di induk pasukannya. Kemudian menyapu sayap-sayap gelar pasukan Mataram yang dikacaukan oleh reruntuhan tebing, dengan gelar Garuda Nglayang.

Untuk melewati ngarai di antara tebing-tebing perbukitan yang tidak terlalu lebar, maka pasukan Mataram sengaja membuat gelar yang tidak begitu melebar. Pasukan Mataram juga membuat tiga gelar yang sejajar. Tetapi gelar pasukan Mataram adalah gelar yang melingkar, sebagaimana gelar induk pasukan Demak.

Karena Mataram masih menyimpan Panembahan Hanyakrawati dan Ki Patih Mandaraka untuk tidak turun ke medan perang meskipun mereka ikut di dalam gelar, maka pasukan Mataram sengaja membuat gelar Gedong Minep. Sedangkan gelar melingkar di sebelah-menyebelah pasukan Mataram membuka gelar Cakra Byuha. Satu gelar lingkaran yang agak rumit.

Pangeran Singasari menempatkan pasukan Mataram yang terdiri dari para prajurit yang berpengalaman serta para prajurit Pajang yang terlatih dalam gelar Cakra Byuha. Sementara itu, pasukan yang terdiri dari para petani, akan berada di gelar Gedong Minep. Tetapi mereka akan berada di dinding belakang. Namun di gelar Gedong Minep itu akan terdapat para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, serta prajurit pilihan Pasukan Pengawal Istana dan Pengawal Raja.

Di dalam gelar Gedong Minep itu pula terdapat para Senapati Pengapit. Di samping Pangeran Puger Muda, Pangeran Demang Tanpa Nangkil, terdapat pula lurah prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Lurah Agung Sedayu. Bahkan bersama salah seorang yang memiliki pertanda kebesaran Perguruan Kedung Jati, Sekar Mirah. Di samping mereka terdapat para Senapati dari Pasukan Khusus Pengawal Istana dan Pasukan Khusus Pengawal Raja.

Meskipun dalam gelar Gedong Minep itu terdapat pasukan yang terdiri dari para petani yang terlatih, namun di antara mereka terdapat prajurit-prajurit pilihan yang akan menjadi tulang punggung pasukan Mataram.

Demikianlah, derap kedua pasukan itu bagaikan menggetarkan pebukitan. Pasukan Demak pun berderap maju dengan keyakinan yang tinggi untuk dapat mengalahkan pasukan Mataram yang datang dari tempat yang jauh. Dari bagian selatan Tanah yang sedang mereka perebutkan itu.

Yang menjadi Senapati Agung pasukan Demak adalah Kanjeng Adipati Demak sendiri. Di sampingnya terdapat Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Selain mereka, di pasukan induk itu juga terdapat beberapa orang Senapati dari Perguruan Kedung Jati. Bahkan Ki Saba Lintang sendiri berada di gelar Gajah Meta dari induk pasukan Demak itu.

Beberapa orang berilmu tinggi dari Demak dan dari Perguruan Kedung Jati pun bertebaran pula di gelar sayap pasukan Demak. Di kedua gelar Garuda Nglayang yang berada di sisi kiri dan kanan telah dipimpin oleh para Tumenggung pasukan Demak serta para pemimpin Perguruan Kedung Jati yang berilmu sangat tinggi. Di antara mereka terdapat para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang bersama-sama dengan Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer dengan licik mencegat Ki Tumenggung Derpayuda, yang diutus oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati menghadap Kanjeng Adipati di Demak.

Seperti yang mereka rencanakan, maka pasukan Demak sengaja menghambat gerak maju mereka. Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer telah memperingatkan Kanjeng Adipati Demak, agar bukan mereka yang melewati ngarai yang tidak begitu lebar diapit oleh tebing perbukitan. Pasukan Mataram yang kebetulan berada di pinggir gelarnya akan segera tertimpa reruntuhan bebatuan yang runtuh dari atas tebing.

Tetapi gelar pasukan Mataram adalah gelar yang bulat, bukan gelar yang melebar sebagaimana gelar Garuda Nglayang pasukan Demak. Meskipun demikian, gelar Cakra Byuha itu tentu akan bergerak dekat dengan tebing pegunungan.

Sebenarnyalah pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat dengan tebing pegunungan di sisi sebelah kiri. Kemudian beberapa saat lagi, sisi sebelah kanan pun akan melewati tebing perbukitan pula.

Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer menjadi berdebar-debar. Para pengamat di atas bukit pun segera memberi isyarat dengan panah sendaren, bahwa pasukan Mataram sudah memasuki lintasan yang akan dapat dicapai serangan dengan mempergunakan bebatuan. Ki Tumenggung Gending pun segera memerintahkan untuk menaikkan anak panah sendaren pula sebagai aba-aba.

Dalam pada itu, pasukan Mataram pun tetap saja bergerak maju. Dua gelar Cakra Byuha yang ada di sebelah kiri dan kanan induk pasukan itu pun bergerak terus. Bahkan kedua gelar itu tanpa ragu-ragu berjalan dekat tebing bukit di sebelah-menyebelah.

Para pemimpin pasukan Demak itu menjadi tegang. Panah sendaren sudah dilepaskan. Namun para prajurit yang bertugas di atas tebing masih belum mendorong bebatuan ke lereng bukit. Pada saat para pemimpin pasukan Demak itu mengalami ketegangan, maka tiba-tiba dua orang prajurit Demak telah terlempar dari atas bukit. Tubuhnya menimpa batu-batu padas di lereng bukit. Tetapi tubuhnya tidak cukup berat untuk meruntuhkan batu-batu padas itu.

“Apa yang terjadi?” teriak Tumenggung Gending.

Pada saat yang hampir bersamaan, dua orang pengamat telah berlari-larian menuruni tebing bukit melalui jalan setapak. Namun dari balik bibir jurang itu muncul beberapa orang prajurit Mataram. Beberapa anak panah telah meluncur, sehingga ada di antaranya yang tepat mengenai punggung dua orang pengamat prajurit Demak yang berniat untuk turun dan memberikan laporan itu.

Barulah para pemimpin pasukan Demak itu sadar bahwa di atas tebing itu pun telah terdapat para prajurit Mataram. Bahkan agaknya mereka telah menguasai medan yang sulit itu, sehingga pasukan Demak sudah tidak berdaya lagi.

Karena itu maka Ki Tumenggung Gending itu pun segera memberikan laporan kepada Kanjeng Adipati Demak, bahwa rencana mereka untuk menggulirkan bebatuan dari atas tebing serta menggugurkan batu-batu padas di lereng bukit, telah gagal.

“Aku tidak peduli,” geram Kanjeng Pangeran Puger, “sekarang perintahkan seluruh pasukan untuk bergerak. Kita mempunyai kekuatan yang sangat besar.”

“Baik, Kanjeng. Ternyata bahwa orang-orang Mataram adalah pengecut sebagaimana aku katakan. Lihat, Kanjeng. Mereka telah mempergunakan gelar Gedong Minep.”

“Kau yang dungu. Bukan karena mereka penakut. Tetapi aku yakin bahwa gelar Gedong Minep itu mereka gelar karena Adimas Panembahan Hanyakrawati ada di gelar itu. Tetapi tentu bukan Dimas Panembahan yang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram.”

Tumenggung Gending tidak menjawab. Namun ia telah memerintahkan untuk melontarkan anak panah sendaren dua kali berturut-turut ke lambung kiri dan kanan yang memasang gelar Garuda Nglayang.

Pasukan Demak itu pun kemudian dengan serentak bergerak maju. Tiba-tiba pula terdengar sorak gemuruh. Sorak yang dimulai oleh para murid dari Perguruan Kedung Jati yang jumlahnya cukup besar di dalam pasukan Demak itu.

Kemudian seluruh pasukan yang besar itu pun telah bersorak-sorak pula sambil bergerak maju. Senjata-senjatanya mulai teracu. Sedangkan rontek, umbul-umbul, kelebet berkibaran di atas gerak maju pasukan itu. Tunggul-tunggul pun mulai merunduk. Kegunaannya tidak lagi menjadi sekedar pertanda kebesaran, tetapi tunggul-tunggul itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya.

Dalam pada itu, pasukan dari Mataram pun telah bergerak maju pula. Semakin dekat jarak antara kedua pasukan itu, terasa udaranya mulai bergetar. Ujung-ujung senjata mencuat bagaikan daun ilalang.

Gelar Garuda Nglayang di lambung kiri dan kanan dari pasukan Demak pun telah menempatkan sayap-sayapnya maju ke depan, untuk menyongsong gelar Cakra Byuha yang bulat bergerigi. Gelar yang rumit itu pun telah mulai berputar, karena jarak antara kedua pasukan menjadi semakin dekat.

Sejenak kemudian kedua pasukan itu pun telah bertemu. Benturan antara dua pasukan yang sangat besar, sehingga perbukitan itu pun rasa-rasanya telah terguncang.

Gelar Gajah Meta pada induk pasukan Demak itu pun telah menerjang gelar Gedong Minep dari induk pasukan Mataram. Ternyata pada benturan yang terjadi, induk pasukan Mataram nampak telah bergetar. Kanjeng Adipati Demak sendiri dengan tombak pendek di tangannya telah meneriakkan aba-aba, yang diterima dan kemudian diteriakkan pula oleh setiap Senapati yang ada di induk pasukan itu.

Sedangkan pada lambung pasukannya, gelar Garuda Nglayang itu pun seakan-akan telah membuka sayap-sayapnya, sehingga gelar Cakra Byuha dari pasukan Mataram itu masuk ke dalamnya. Kemudian ujung-ujung sayap itu mulai menekan dari lambung gelar Cakra Byuha, agar gelar itu tidak mampu lagi berputar.

Tetapi gelar pasukan Mataram yang bulat bergerigi itu tidak dapat dihentikan. Gelar yang rumit itu masih saja berputar. Beberapa orang Senapati yang ada di dalam pasukan itu ikut pula berputar bersama pasukan masing-masing.

Pasukan Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati itu termasuk pasukan yang telah menguasai berbagai macam gelar. Mereka pun pernah menunjukkan kemampuan mereka membuka berbagai macam gelar dalam latihan besar-besaran. Tetapi gelar Garuda Nglayang itu tiba-tiba saja mengalami kesulitan menghadapi gelar Cakra Byuha yang rumit.

Namun ujung sayap-sayap gelar Garuda Nglayang itu masih saja berusaha untuk menekan gelar Cakra Byuha. Putaran gelar itu memang menjadi lebih lambat. Tetapi pasukan Demak tidak mampu menghentikan putaran gelar Cakra Byuha itu sepenuhnya.

Demikianlah, kedua pasukan raksasa itu telah saling berbenturan. Pasukan Demak yang terdiri dari para prajurit, mereka yang mengaku para murid dari perguruan besar Kedung Jati, serta para Wiratani yang dihimpun dari rakyat Demak dan sekitarnya, bahkan termasuk rakyat yang tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng, telah menunjukkan keperkasaan mereka. Sorak yang membahana seakan-akan meruntuhkan langit itu pun benar-benar telah menggetarkan pasukan dari Mataram. Dengan demikian maka pasukan dari Mataram itu tidak lagi mampu bergerak maju.

Dengan demikian, ketika matahari mulai memanjat langit, justru pasukan Demak-lah yang perlahan-lahan sempat bergerak beberapa langkah maju menggeser garis pertempuran. Gelar Gajah Meta di induk pasukan benar-benar mengerikan. Beberapa kali dinding gelar Gedong Minep dari pasukan Mataram telah tergetar. Namun betapapun pasukan Demak dan gelar Gajah Meta itu berusaha, namun mereka tidak segera dapat memecahkan gelar Gedong Minep dari induk pasukan Mataram.

Namun dalam pada itu, ujung-ujung sayap pasukan Demak dan gelar Garuda Nglayang di sisi barat dan timur medan pertempuran, mulai menyulitkan gelar Cakra Byuha dari Mataram. Ujung-ujung sayapnya bagaikan ujung duri raksasa yang tajam, perlahan-lahan menusuk menghunjam ke dalam tubuh gelar Cakra Byuha pasukan Mataram, sehingga gelar yang rumit itu menjadi semakin sulit untuk berputar.

Pada saat-saat yang demikian, para penghubung dari pasukan Mataram telah melepaskan beberapa anak panah ke udara. Anak panah sendaren itu bergaung di udara, meluncur ke atas tebing di sebelah barat dan sebelah timur medan pertempuran.

Pasukan Demak memang sudah mengetahui bahwa di atas tebing pasukan Mataram sudah menguasai medan yang rumit. Tetapi mereka tidak tahu pasti seberapa besar pasukan Mataram itu. Namun tidak ada seorangpun prajurit Demak yang bertugas di atas tebing, baik para prajurit yang bertugas untuk menggulirkan batu-batu yang selain merupakan serangan langsung kepada para prajurit Mataram, juga batu-batu itu akan mampu menggugurkan batu-batu padas di tebing yang akan runtuh menimpa pasukan Mataram, ataupun para prajurit penghubung.

Namun panah sendaren itu telah memberikan isyarat yang membuat para prajurit Demak menjadi berdebar-debar.

Tiba-tiba saja dari atas tebing sebelah barat dan sebelah timur, pasukan Mataram telah bergerak turun, langsung menyerang lambung gelar Garuda Nglayang di sebelah barat dan timur. Pasukan Demak yang terkejut pun segera berusaha menyesuaikan diri. Sayap-sayap di bagian luar gelar itu pun menggeliat, menyongsong pasukan yang baru saja turun dari tebing pegunungan itu.

Namun dengan demikian tekanan ujung-ujung sayap itu terhadap gelar Cakra Byuha itu pun menjadi mengendor. Karena itu maka gelar Cakra Byuha itu pun telah mendapat kesempatan untuk berputar kembali.

Pertempuran di hari pertama itu adalah pertempuran yang sangat seru. Para Senapati bertempur di tempat mereka masing-masing. Mereka masih belum sempat memilih lawan. Para prajurit yang mengawal para Senapati itu masih bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka di sekitar para Senapati yang mereka kawal. Tanpa menghiraukan keselamatan mereka sendiri, mereka pun bertempur dengan garangnya.

Dalam pertempuran itu, para Senapati pun masih belum sempat memberikan perintah-perintah yang dapat mengguncang keadaan. Mereka masih menggantungkan pertempuran itu pada kemampuan para prajurit mereka, serta kemampuan para Senapati yang memimpin kesatuan-kesatuan prajurit itu, yang tersebar di seluruh medan.

Di induk pasukan, para prajurit Demak berusaha untuk dapat menyusup dari samping untuk dapat mencapai dinding belakang gelar Gedong Minep. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, serta para prajurit dari Pasukan Khusus Pengawal Raja dan Pengawal Istana, tidak memberi mereka kesempatan. Setiap kali para prajurit Demak itu pun telah terpental dari garis pertempuran. Jika ada kelompok-kelompok kecil yang berhasil menyusup sampai ke dinding di belakang, maka para prajurit dan Wiratani yang ada di dinding belakang itu pun telah menghalau mereka.

Dalam pada itu, tekanan prajurit Mataram di lambung pasukan Demak benar-benar terasa semakin berat. Ketika Matahari berada di puncaknya, para prajurit Demak itu pun mulai merasakan tekanan yang menjadi semakin berat itu. Ketika keringat telah membasahi seluruh tubuh dan pakaian, maka para prajurit pun menjadi semakin garang. Di segala garis benturan, terdengar dentang senjata beradu. Teriakan-teriakan kemarahan, geram kebencian dan dendam, telah menyala di mana-mana.

Ki Patih Mandaraka yang berada di gelar Gedong Minep bersama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, menggigit bibirnya, Ki Patih tua itu telah mengalami pertempuran berpuluh kali. Setiap kali yang nampak di dalam pertempuran adalah wajah-wajah iblis yang garang dan mengerikan. Sinar mata para prajurit menjadi bagaikan bara. Gigi gemeretak serta darah yang mendidih sampai ke ubun-ubun.

Ki Patih yang tua itu hanya dapat meratapi kelengahannya, sehingga ia tidak melihat kemungkinan yang terjadi itu sebelumnya. Ia adalah salah seorang yang pada waktu itu menyetujui penempatan Kanjeng Pangeran Puger di Demak.

Tetapi waktu itu sama sekali tidak terlintas di angan-angannya bahwa pada suatu saat Kanjeng Pangeran Puger, yang kemudian menjadi Adipati yang berkuasa di Demak itu, akan melawan Mataram. Dan bahkan menurut kabarnya, Pangeran Puger itu justru telah menuntut untuk mengambil alih kuasa di Mataram, karena Pangeran Puger merasa lebih tua dari Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Namun seharusnya Kanjeng Pangeran Puger yang lahir dari Nyai Adisara dengan nama Raden Mas Kentol Kejuron itu menyadari, bahwa derajad kelahirannya tidak setingkat dengan Raden Mas Jolang yang lahir dari permaisuri, dan yang kemudian bergelar Adiprabu Hanyakawati Senapati Ing Ngalaga Mataram.

Tetapi yang terjadi kemudian adalah sebagaimana yang disaksikannya itu. Perang besar antara sesama saudara sendiri. Perang yang akan menelan korban yang sangat besar. Kematian, luka-luka parah, kesakitan, penderitaan, dan yang akan dapat menanamkan dendam. Dampaknya pun akan menggetarkan sendi-sendi kehidupan rakyat yang tidak tahu menahu bahwa perang telah terjadi. Tetapi Ki Patih Mandaraka itu tidak dapat menghindar dari kenyataan, bahwa perang itu sudah terjadi.

Ki Patih Mandaraka yang berada di gelar Gedong Minep bersama Panembahan Hanyakrawati itu setiap kali hatinya tergetar. Bukan karena ketakutan bahwa gelar Gedong Minep itu akan pecah, tetapi semakin sengit pertempuran itu, korban pun akan semakin banyak berjatuhan.

Sebenarnyalah bahwa gelar Gajah Meta dari induk pasukan Demak tidak mampu memecahkan gelar Gedong Minep dari pasukan induk Mataram, yang didalamnya terdapat Kanjeng Panembahan Hanyakrawati dan Ki Patih Mandaraka. Namun keduanya masih belum langsung melibatkan diri dalam pertempuran itu.

Meskipun gelar Gajah Meta dari pasukan Demak itu dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati Demak, namun sulit bagi pasukan Demak itu dapat bergerak maju. Sementara itu di kedua lambung medan perang yang melebar itu, gelar pasukan Mataram yang rumit justru mulai menggetarkan gelar Garuda Nglayang para prajurit Demak.

Gelar Cakra Byuha di kedua sisi pasukan Mataram itu mulai melindas ujung-ujung sayap pasukan Demak yang berusaha menusuk langsung ke jantung gelar yang rumit itu. Namun agaknya justru ujung-ujung sayap gelar Garuda Nglayang itulah yang mengalami kesulitan.

Namun dalam keseluruhan, kedua pasukan itu tidak terlalu jauh bergeser. Jika semula pasukan Mataram di induk pasukan itu tergetar surut, namun kemudian pasukan induk dalam Gedong Minep itu pun dapat menyesuaikan diri. Bertahan dengan kokoh, sehingga pasukan Demak tidak mampu lagi untuk mendesaknya.

Meskipun gelar Gedong Minep merupakan gelar yang lebih banyak bertahan daripada menyerang, namun para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, Pasukan Khusus Pengawal Raja serta Pasukan Khusus Pengawal Istana yang diikutsertakan dalam pasukan induk itu, seakan-akan merupakan dinding baja yang tidak dapat ditembus. Ditopang oleh kekuatan para pengawal dari beberapa kademangan yang sudah terlatih, gelar Gedong Minep itu merupakan benteng pertahanan yang sangat kokoh.

Dalam pada itu, setelah pertempuran berlangsung dengan sengitnya ditimpa oleh terik matahari yang bagaikan membakar medan, nampak kedua pasukan yang besar itu mulai menjadi letih. Meskipun demikian, setiap usaha untuk mendesak maju telah membangkitkan perlawanan yang mampu mengimbanginya. Di hari pertama, nampaknya kedua kekuatan itu masih saja seolah-olah seimbang. Keduanya seakan-akan masih saling menjajagi, meskipun korban telah berjatuhan.

Dalam pada itu, matahari pun sudah menjadi semakin rendah. Sementara itu tenaga para prajurit yang bertempur itu pun sudah menjadi semakin menyusut.

Akhirnya langit pun menjadi buram. Matahari menjadi semakin rendah. Sinarnya tidak lagi terasa membakar kulit.

Dalam pada itu, di atas bukit, beberapa orang penghubung dari pasukan Demak telah meniup sangkakala. Mereka telah memperingatkan bahwa sebentar lagi senja akan turun, sehingga pertempuran di hari itu pun akan berakhir.

Demikian pula para pemimpin pasukan Mataram telah memerintahkan melontarkan beberapa panah sendaren ke udara. Sementara itu suara bende pun telah mengumandang menggetarkan lembah dan lereng pegunungan. Ternyata para Senapati dari kedua belah pihak pun mematuhi tatanan yang terbiasa berlaku di medan perang. Jika senja turun, maka kedua pasukan pun ditarik dari medan.

Demikianlah, pasukan Demak dan pasukan Mataram itu pun telah mulai bergerak mundur. Meskipun senjata mereka masih teracu, tetapi para prajurit itu pun menghormati pertanda dan isyarat para Senapati mereka.

Beberapa saat kemudian, pertempuran pun berhenti. Kedua belah pihak telah ditarik mundur dari medan pertempuran.

Namun ketika kemudian malam turun, beberapa kelompok prajurit dari kedua belah pihak telah turun kembali ke arena pertempuran dengan membawa obor blarak atau oncor rangkaian biji jarak. Mereka adalah kelompok-kelompok prajurit yang ditugaskan untuk mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Terutama yang terluka parah, agar mereka segera mendapat pertolongan. Yang gugur pun telah mereka angkat pula untuk dibawa ke pasukannya di pesanggrahan.

Dalam tugas-tugas penyelamatan itu, kedua kelompok dari kesatuan yang sedang bermusuhan itu sama sekali tidak menunjukkan kebencian di antara mereka. Bahkan mereka dapat bekerja sama jika mereka menjumpai tubuh yang terbaring diam atau sedang mengerang kesakitan.

“Ki Sanak,” berkata seorang lurah prajurit dari Mataram kepada para prajurit Demak yang sedang berada tidak jauh dari mereka, “di sini ada tiga orang kawanmu yang terluka. Mereka masih hidup. Mungkin masih dapat tertolong.”

Para prajurit Demak pun segera berlari-lari. Sebenarnyalah mereka menemukan tiga orang prajurit Demak dalam ciri-ciri pakaian dan tanda-tanda kesatuannya. Dua di antaranya masih hidup. Sedang seorang yang lain telah meninggal. Agaknya dadanya telah tertusuk tombak, langsung mengenai jantung.

“Terima kasih,” berkata salah seorang prajurit Demak itu, “orang inilah yang masih kami cari.”

Demikianlah, kelompok-kelompok prajurit yang sedang menjalankan tugas-tugas kemanusiaan itu nampaknya sama sekali tidak bermusuhan. Bahkan mereka sempat berbicara tentang asal mereka serta keluarga mereka.

“Aku punya enam orang anak,” berkata seorang prajurit Demak, “kalau aku mati, mereka akan hidup dalam kesulitan. Mereka masih kecil-kecil, sementara keluarga kami hanya mempunyai sejengkal tanah garapan.”

“Bukankah keluargamu akan mendapat perhatian khusus jika kau gugur dalam pertempuran?” bertanya seorang prajurit Mataram.

“Kalau Demak menang, mungkin keluargaku mendapat perhatian khusus jika aku mati. Tetapi jika Demak kalah, tentu Mataram tidak akan memperhatikan aku. Anakku pun akan dapat mengalami tekanan jiwani sepanjang hidupnya.”

Prajurit dari Mataram itu pun menyahut, “Anakku baru satu. Umurnya belum genap selapan. Manis sekali. Tetapi aku belum berani menggendong bayi merah itu. Kalau aku mati di pertempuran ini, agaknya aku tidak akan pernah menggendong bayiku. Selanjutnya bayiku itu tidak akan pernah mengenal wajah ayahnya.”

Kedua orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian prajurit Demak itu mendengar aba-aba lurahnya, “Jika sudah selesai, kita akan kembali ke perkemahan.”

“Sudahlah,” berkata prajurit dari Demak itu, “aku harus kembali. Apakah kau belum selesai?”

“Belum. Masih ada yang harus kami cari,” jawab prajurit dari Mataram itu.

Sejenak kemudian, kelompok-kelompok prajurit Demak yang tersebar itu pun telah dipanggil untuk berkumpul. Mereka membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan luka parah sehingga mereka tidak mampu ikut mundur dari garis pertempuran. Para prajurit Demak itu membawa beberapa ekor kuda, sebagaimana para prajurit dari Mataram.

Para prajurit, baik dari Mataram maupun dari Demak, tidak sempat membawa kawan-kawan mereka yang gugur, kembali ke kota. Karena itu maka mereka telah mengubur para prajurit yang gugur di sebelah pemakaman yang ada di sekitar perkemahan mereka. Bahkan para prajurit yang gugur itu telah dimakamkan malam itu juga, dengan upacara sekedarnya.

Di perkemahan orang-orang Mataram, Ki Patih Mandaraka memerlukan menghadiri upacara pemakaman para prajurit yang gugur itu. Mereka dimakamkan bersama-sama dalam lubang-lubang memanjang, sesuai dengan kesatuan mereka masing-masing.

“Besok malam kita akan memakamkan saudara-saudara kita lagi,” desis Ki Patih Mandaraka yang hanya di dengarnya sendiri. Sementara itu yang lain berjajar terbaring di perkemahan, dengan luka-luka di tubuh mereka.

Sementara itu, para prajurit yang tidak bertugas pun telah diperintahkan untuk beristirahat sebaik-baiknya. Besok mereka akan turun lagi ke medan pertempuran. Untuk mengisi kekosongan di antara gelar-gelar yang dipersiapkan, maka sebagian dari pasukan cadangan mulai memasuki arena. Sedangkan mereka yang bertugas hampir semalam suntuk, termasuk pemakaman bagi kawan-kawan mereka, mendapat kesempatan untuk beristirahat. Lusa mereka akan kembali memasuki arena pertempuran, jika perang masih berlangsung di hari ketiga.

Malam itu para Senapati di Mataram mengambil keputusan, bahwa mereka masih akan mempergunakan gelar yang sama sebagaimana dipergunakan di hari pertama. Nampaknya gelar Gedong Minep sangat sesuai dengan keberadaan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati dan Ki Patih Mandaraka yang tidak mengendalikan langsung pertempuran itu.

Sementara itu, Pangeran Singasari telah memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara dan Ki Tumenggung Ranawira untuk tetap menempuh medan yang sulit dan turun langsung menyerang gelar di lambung pasukan Demak, untuk memperlancar gerak dan perputaran gelar Cakra Byuha di sebelah-menyebelah pasukan induk.

Demikianlah, menjelang fajar pasukan yang akan menyerang dari arah lambung telah meninggalkan perkemahan. Mereka memanjat tebing perbukitan. Tetapi mereka tidak perlu melingkar terlalu jauh. Mereka tidak lagi menyamarkan diri di sela-sela perbukitan, karena pasukan Demak sudah mengetahui keberadaan mereka. Mereka pun memperhitungkan bahwa pasukan Demak pun akan menurunkan sebagian pasukan cadangannya. Selain untuk mengisi kekosongan dalam gelar mereka, mereka juga akan menyiapkan pasukan untuk memperkokoh perlawanan di lambung.

Ketika cahaya merah sudah membayang di langit, maka telah terdengar suara sangkakala dari para penghubung pasukan Demak. Sementara itu anak panah sendaren pun sudah meluncur naik dari induk pasukan Mataram. Kemudian disusul suara bende yang bergaung menggetarkan udara di seluruh medan.

Isyarat itu telah memerintahkan semua prajurit serta para Wiratani mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka yang memerlukan mengisi impesnya dengan air bersih telah dilakukan pula, agar mereka tidak kehausan selama berada di medan. Tetapi jarang ada di antara mereka yang berkesempatan untuk minum.

Demikianlah, beberapa saat kemudian telah terdengar isyarat kedua pada kedua belah pihak. Para prajurit dan Wiratani yang berada di kedua pasukan itu pun telah bersiap sepenuhnya. Ketika isyarat kemudian berbunyi untuk ketiga kalinya, maka kedua pasukan yang besar itu pun mulai bergerak. Gerak pasukan mereka membentang memenuhi ngarai yang dipagari oleh perbukitan. Derap kaki mereka telah menerjang kotak-kotak sawah, padang rumput dan padang perdu. Suaranya pun terdengar gemuruh, sehingga seakan-akan telah menimbulkan gempa yang mengguncang bukit-bukit dan gumuk-gumuk berbatu padas.

Ketika jarak di antara mereka menjadi semakin dekat, maka kedua pasukan itu pun bergerak lebih cepat. Sorak dan teriakan-teriakan selalu dimulai oleh para murid dari Perguruan Kedung Jati yang berada di antara pasukan Demak.

Demikianlah, sesaat sebelum matahari naik, kedua pasukan itu pun telah berbenturan. Suaranya menjadi semakin gemuruh, dibarengi dengan dentang senjata yang beradu. Untuk beberapa saat kedua pasukan itu bergetar. Namun kemudian pertempuran pun telah berlangsung dengan sengitnya.

Para Senapati yang memimpin kesatuan-kesatuan dalam gelar itu pun mulai terjun ke arena. Mereka bertempur di antara para prajurit. Kelompok-kelompok prajurit yang diturunkan dari pasukan cadangan masih nampak segar. Mereka bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Seperti yang terjadi pada hari pertama, maka ketika keringat telah membasahi seluruh tubuh dan pakaian, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Hentakan-hentakan yang menggetarkan pertahanan lawan telah terjadi di seluruh medan.

Dalam pada itu, ketika pasukan yang memanjat tebing meluncur turun di arah lambung, maka di gelar Garuda Nglayang dari pasukan Demak telah mempersiapkan pasukan khusus untuk menahan mereka.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin menggetarkan jantung. Para Senapati di kedua belah pihak pun telah langsung terjun ke medan pertempuran, sehingga kelompok-kelompok prajurit terpilih dengan geram berusaha menahan serta membatasi gerak mereka.

Ketika matahari telah melampaui puncaknya, maka para Senapati mulai mendapat kesempatan untuk bergerak lebih leluasa. Pada hari pertama mereka baru mengamati, bagaimana para Senapati lawan mereka bergerak di tempat terdekat. Namun pada hari yang kedua, para Senapati itu mulai mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan Senapati lawan.

Namun baru menjelang sore hari para Senapati itu dapat langsung berhadapan, setelah mereka menyibak para prajuritnya. Tetapi matahari telah menjadi terlalu rendah. Demikian mereka sempat berhadapan, langit pun menjadi suram.

Namun Pangeran Singasari sendiri masih belum dapat bertemu langsung dengan Kanjeng Adipati Demak. Kanjeng Adipati Demak ternyata seorang yang benar-benar memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Beberapa orang prajurit pilihan yang mencoba menghambatnya tidak mampu menahan amukannya yang seperti angin prahara.

Ketika Pangeran Singasari menyibak prajuritnya untuk menyongsong Kanjeng Adipati Demak, maka langkahnya terhalang oleh Ki Tumenggung Gending.

“Minggirlah,” berkata Pangeran Singasari, “aku ingin bertemu dengan Angger Pangeran Puger yang mengamuk seperti harimau yang terluka.”

“Aku adalah Senapati Pengapit dalam gelar Gajah Meta ini, Pangeran. Aku pantas untuk menantang Pangeran.”

“Sekali lagi aku peringatkan, Ki Tumenggung Gending. Aku ingin bertemu dengan Angger Pangeran Puger.”

“Aku berada dalam gelar pasukanku, Pangeran. Karena itu aku tidak dapat meninggalkan tempatku.”

Pangeran Singasari tidak ingin berbicara berkepanjangan. Pangeran Singasari pun segera menyerang Ki Tumenggung Gending. Ki Tumenggung Gending yang kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya itu, ternyata tidak mampu menahan Pangeran Singasari seorang diri. Pangeran Singasari itu pun telah mendesaknya.

Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Panjer telah hadir pula. Ki Tumenggung Gending itu meloncat surut. Pangeran Singasari yang akan memburunya telah menahan diri, ketika ia melihat Ki Tumenggung Panjer berdiri tidak jauh dari Ki Tumenggung Gending.

“Pangeran. Ternyata nama Pangeran Singasari bukan sekadar sebutan yang kosong.”

“Minggir kalian,” geram Pangeran Singasari, “aku akan menemui Angger Pangeran Puger. Aku akan berbicara kepadanya sebagai seorang paman kepada kemenakannya.”

“Kau akan mencoba melemahkan gelora perjuangannya merebut haknya?”

“Hak siapa?”

“Hak Pangeran Puger atas tahta Mataram.”

“Angger Pangeran Puger bukan orang yang tidak tahu paugeran Kraton Mataram. Kalian berdua sampai saat ini memang berhasil menghasutnya.”

“Jangan menyalahkan kami.”

“Baik. Jika kalian tidak mau minggir, maka kalian berdua memang harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa kalian berdua, Pangeran Puger akan segera menyadari bahwa langkahnya telah sesat.”

Kedua orang itu pun segera bergeser mengambil jarak di antara mereka, sementara Pangeran Singasari pun telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Sejenak kemudian, kedua orang Tumenggung itu pun telah terlibat dalam pertarungan yang sengit melawan Pangeran Singasari. Namun kedua orang Tumenggung itu tidak segera mampu mendesak Senapati pasukan Mataram itu.

Ketika beberapa prajurit dari Pasukan Khusus Pengawal Raja siap untuk membantu Pangeran Singasari, maka Pangeran itu pun berkata, “Aku akan menyelesaikan mereka berdua.”

Para prajurit itu pun bergeser. Tetapi mereka tidak menjauh. Mereka tetap mengawasi pertempuran itu, sementara yang lain menghalau para prajurit Demak yang akan mendekat.

Namun pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Sejenak kemudian Pangeran Puger muda telah berada di arena pertarungan itu. Dengan nada tinggi Pangeran yang masih muda itu berkata, “Lepaskan salah seorang dari mereka, Paman. Biarlah aku menyelesaikannya.”

Pangeran Singasari meloncat surut. Ia telah mencegah para prajurit ikut campur dalam pertempuran itu, tetapi ia tidak dapat berbuat demikian kepada Pangeran Puger. Jika ia mencegah Pangeran Puger yang muda itu untuk ikut campur dalam pertarungan itu, ia akan dapat menyakiti hatinya.

Karena itu maka Pangeran Singasari itu pun menjawab, “Silakan, Ngger, tetapi hati-hati. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, orang-orang yang mumpuni. Orang-orang yang menilik ujud lahiriahnya adalah orang-orang yang gagah perkasa. Tetapi mereka adalah orang-orang yang licik.”

“Cukup! Kau jangan ikut campur, anak kemarin sore. Kau kira setelah kau mendapat kedudukan sebagai Pangeran, kemampuanmu dengan sendirinya menjadi semakin tinggi? Omong kosong. Majulah jika kau merasa mampu menandingi kemampuanku!” geram Ki Tumenggung Gending.

Pangeran Puger muda itu pun menggeram pula sambil berkata, “Marilah, Ki Tumenggung. Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang akan keluar dari pertarungan ini. Sementara itu kita dapat memastikan bahwa seorang di antara kalian yang akan bertempur melawan Paman Pangeran Singasari tentu akan mati, karena tidak ada orang yang dapat mengimbangi kemampuannya.”

“Persetan dengan Pangeran Singasari,” sahut Ki Tumenggung Panjer.

Demikianlah, mereka pun segera mempersiapkan diri untuk bertempur seorang melawan seorang. Namun dalam pada itu, ketika kedua belah pihak telah siap untuk bertempur, telah terdengar suara sangkakala di atas bukit. Sedangkan sesaat kemudian anak panah sendaren pun telah meluncur ke langit, disusul oleh suara bende yang gemanya terpantul dari tebing-tebing perbukitan.

“Iblis laknat,” geram Ki Tumenggung Gending, “saatnya membantai anak sombong ini.”

Tetapi Pangeran Puger pun berkata, “Kita berjanji. Besok pagi kita akan bertemu lagi. Biarlah Paman Singasari menemui Kakangmas Adipati Demak, Aku akan mengajak Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil untuk bermain dengan Ki Tumenggung Panjer.”

“Datanglah kepadaku besok, jika kau memang ingin mengakhiri hidupmu di pertempuran ini.”

Demikianlah, maka pertempuran pun kemudian telah berakhir untuk hari itu. Kedua pasukan pun mulai bergerak mundur. Mereka meninggalkan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah. Pada saatnya akan ada petugas khusus yang akan merawat mereka.

Pada saat mereka bergerak surut itulah Ki Lurah Agung Sedayu berkata kepada Sekar Mirah, “Aku sudah melihat dimana Ki Saba Lintang memimpin pasukannya.”

“Tunjukkan kepadaku besok, Kakang,” sahut Sekar Mirah.

“Tetapi Ki Saba Lintang didampingi oleh beberapa orang pengawal terpilihnya. Karena itu, besok aku akan bersamamu menemui Ki Saba Lintang. Kita akan berada di antara prajurit-prajuritku yang terpilih, agar mereka dapat memisahkan Ki Saba Lintang dari para pengawalnya.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Kakang. Aku ingin pertemuanku dengan Ki Saba Lintang tidak terganggu.”

“Mudah-mudahan Ki Saba Lintang tetap berada di antara pasukannya besok, sehingga kita akan mudah mencarinya. Tetapi entahlah jika ia berpindah tempat dan berada di antara kelompok yang lain.”

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Kemungkinan itu memang ada. Kemungkinan bahwa Ki Saba Lintang tidak berada di tempatnya sebagaimana hari ini. Tetapi Sekar Mirah menduga bahwa Ki Saba Lintang akan tetap berada di induk pasukannya.

“Kita akan mencarinya,” berkata Sekar Mirah.

“Tetapi kita terikat pada Pasukan Khusus kita. Kita tidak dapat berkeliaran di medan sesuka hati kita.”

“Sebaiknya Kakang tetap berada di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang Kakang pimpin. Tetapi aku akan dapat minta ijin untuk secara khusus mencari Ki Saba Lintang.”

“Aku tidak dapat melepaskan kau sendiri, Mirah. Kita sedang berada di medan perang yang rumit. Karena itu aku ingin hadir pada saat kau menemui Ki Saba Lintang. Kita tahu bahwa orang-orang yang ada di sekitar Ki Saba Lintang, selain orang-orang yang berilmu tinggi, juga orang-orang yang licik. Kita pun tahu bahwa yang disebut murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu sebenarnya hampir tidak ada lagi. Mereka adalah orang-orang lain, yang dengan berbagai alasan bergabung dengan Ki Saba Lintang. Sedikit mempelajari ilmu aliran Perguruan Kedung Jati, kemudian menyebut dirinya murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan yang diberikan oleh suaminya. Karena itu, betapapun jantungnya bergejolak, namun ia harus mengikuti petunjuknya.

Sementara itu beberapa kelompok prajurit telah mendapat perintah untuk pergi ke medan, merawat serta membawa ke perkemahan mereka serta mengusung kawan-kawan mereka yang gugur di pertempuran.

Malam itu, Swandaru dan Pandan Wangi sendiri turun ke medan. Hari itu beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putung telah menjadi korban. Sedangkan di sisi lain, Prastawa juga ikut pula mengamati para korban, bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.

Seperti malam sebelumnya, tidak ada rasa permusuhan antara para petugas yang sedang merawat para prajurit yang terluka, serta mereka yang mengusung mereka yang gugur di pertempuran. Juga seperti malam sebelumnya, maka dengan upacara keprajuritan, para prajurit yang gugur itu pun telah dimakamkan malam itu juga. Malam itu Ki Patih Mandaraka juga menghadiri pemakaman para prajurit serta para Wiratani yang gugur seperti malam sebelumnya. Malam itu Ki Patih juga bergumam, “Besok kita masih akan mengadakan upacara seperti ini.”

Tetapi Ki Patih hanya dapat meratapi keterbatasannya, bahwa ia tidak dapat mencegah pertempuran besar yang terjadi antara Demak dan Mataram itu.

Malam itu, para pemimpin pun telah berbicara pula tentang gelar yang akan mereka turunkan esok pagi. Ki Patih Mandaraka agaknya sudah tidak tahan lagi melihat para prajurit Demak dan Mataram saling membunuh. Karena itu maka Ki Patih pun berpendapat bahwa perang harus segera diselesaikan.

“Kami akan berusaha, Paman,” berkata Pangeran Singasari, “tetapi perang yang besar ini memerlukan kesabaran.”

“Aku mengerti, Angger Pangeran. Tetapi jika perang ini berlangsung terlalu lama, maka di setiap hari kita harus memakamkan sejumlah prajurit dan Wiratani yang gugur.”

Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Namun ketika Pangeran Singasari itu menawarkan perubahan gelar, maka beberapa orang Senapati segera menyetujuinya.

“Kita tidak tahu apakah lawan akan merubah gelarnya atau tidak,” berkata Pangeran Puger muda, “tetapi aku kira gelar Gedong Minep yang kita pergunakan sampai sekarang agak kurang berhasil. Rasa-rasanya kita hanya dapat bertahan. Sedangkan tanpa dorongan alasan untuk menyerang, para prajurit agak kurang bergelora. Dalam dua hari ini kita sudah memberikan kesempatan yang cukup kepada Kangmas Panembahan Hanyakrawati mengamati keadaan. Maka aku kira sejak besok, kita harus mengubah gelar yang kita turunkan ke medan perang. Bahkan mungkin gelar pasukan di lambung perlu dinilai kembali.”

“Jika demikian,” berkata Panembahan Hanyakrawati, “Paman, biarlah besok aku sendiri yang akan menjadi Senapati Agung pasukan Mataram dengan gelar yang baru itu.”

“Jangan Panembahan,” cegah Ki Patih, “perang masih diwarnai dengan amuk para prajurit dan Senapati yang memimpin kesatuan-kesatuan kecil. Pada saatnya nanti Panembahan memang harus tampil. Tetapi jangan esok pagi.”

Panembahan Hanyakrawati menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah aku harus menunggu sampai perang berakhir?”

“Jika perang berakhir tanpa harus menempatkan Panembahan sebagai Senapati Agung, aku kira itu akan lebih baik,” sahut Ki Patih Mandaraka.

Panembahan Hanyakrawati menarik nafas panjang.

Demikianlah, maka para Senapati pun sepakat bahwa pasukan Mataram esok akan turun dengan gelar yang berbeda. Induk pasukan Mataram tidak lagi mempergunakan gelar Gedong Minep. Tetapi untuk melawan gelar Gajah Meta, maka Mataram akan menukar gelar dan pasukan yang berada di lambung. Pasukan induk akan mempergunakan gelar Cakra Byuha. Sedangkan Pangeran Singasari memerintahkan pasukannya yang di lambung mempergunakan gelar Supit Urang untuk menghadapi gelar Garuda Nglayang. Tetapi seandainya lawan juga akan mengganti gelar perangnya, maka gelar Supit Urang pun akan tetap merupakan gelar yang kokoh.

Namun dengan demikian, maka akan ada pergantian penempatan kesatuan-kesatuan yang ada di pasukan Mataram. Gelar Cakra Byuha harus didukung oleh para prajurit dan para pengawal yang sudah memahami gelar perang yang rumit itu.

Karena itu maka Pangeran Singasari telah memerintahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung memperkuat gelar pasukan induk itu. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Untara akan tetap berada di lambung sebelah-menyebelah dengan pasukan Ki Tumenggung Ranawira. Sedangkan di ekor gelar Supit Urang akan ditempatkan para pengawal kademangan yang lain. Tetapi beberapa kelompok prajurit akan tetap berada di ujung ekornya. Dalam keadaan yang memungkinkan, maka gelar Supit Urang itu akan dapat berubah menjadi gelar Kala Saba. Ujung ekor yang terdiri dari para prajurit pilihan itu akan dapat berubah menjadi sengat yang sangat berbahaya bagi gelar lawannya, karena ekor gelar Kala Saba itu akan dapat bergerak maju justru mendahului kepalanya.

Dengan demikian maka di hari ketiga, induk pasukan Mataram akan terdiri dari pasukan yang sangat kuat dan berkemampuan tinggi, untuk dapat mewujudkan gelar Cakra Byuha yang mapan. Namun Pangeran Puger muda menjadi agak kecewa ketika Pangeran Singasari memerintahkan kepadanya agar ia menjadi Senapati pada pasukan yang berada di lambung kiri dengan gelar Supit Urang, sementara Pangeran Demang Tanpa Nangkil berada di lambung kanan dengan gelar yang sama.

“Gelar Supit Urang memerlukan Senapati yang mumpuni dengan wawasan yang luas,” berkata pangeran Singasari, “Angger Pangeran Puger akan didampingi oleh Ki Tumenggung Untara, sementara Angger Pangeran Demang Tanpa Nangkil akan didampingi oleh Ki Tumenggung Ranawira.”

“Tetapi aku berjanji untuk menemui Ki Tumenggung Gending besok pagi, Paman Pangeran,” berkata Pangeran Puger.

“Apakah Angger Pangeran yakin bahwa Tumenggung Gending masih akan berada di tempatnya? Aku kira beberapa kegagalan yang dilakukan oleh induk pasukan Demak sehingga mereka tidak mampu memecahkan gelar sederhana kami, Gedong Minep, akan dapat membuat Angger Adipati Demak untuk memperbaiki gelar-gelar perangnya serta penempatan bagi Senapatinya.”

Pangeran Puger itu pun mengangguk-angguk.

Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Singasari memang berniat menghindarkan Kanjeng Pangeran Puger yang masih muda itu, agar tidak benar-benar bertemu dengan Ki Tumenggung Gending, yang tentu sudah mempunyai pengalaman yang sangat luas serta ilmu yang tinggi. Meskipun Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer berdua tidak segera mampu menguasai Pangeran Singasari, tetapi Pangeran Singasari masih juga mencemaskan Pangeran Puger muda yang masih sangat dipengaruhi oleh gejolak perasaannya.

Dengan kelicikannya maka Ki Tumenggung Gending akan dapat memancing Pangeran Puger muda itu untuk membuat kesalahan-kesalahan yang akan dapat menjerumuskannya. Namun seandainya Ki Tumenggung Gending itu kemudian benar-benar disisihkan dari gelar induk pasukan dan berada di lambung, maka di kedua lambung pasukan itu ada Ki Tumenggung Untara atau Ki Tumenggung Ranawira.

Sementara itu Kanjeng Panembahan Hanyakrawati dan Ki Patih Mandaraka akan berada di tengah-tengah gelar Cakra Byuha yang berputar. Namun keduanya, serta Pasukan Khusus Pengawal Raja, tidak akan mengikuti gerak gelar Cakra Byuha Itu.

Dalam pada itu, setelah para Senapati membuat kesepakatan, Sekar Mirah yang disertai oleh suaminya, Ki Lurah Agung Sedayu, telah memohon kepada Pangeran Singasari secara khusus untuk menghadapi pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.

“Hamba mohon ijin, Pangeran. Mungkin hamba akan berada di luar kesatuan Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan Menoreh itu.”

“Tidak apa-apa, Sekar Mirah. Tetapi sudah tentu bahwa kau tidak akan dapat pergi sendiri. Ki Saba Lintang itu pun tentu tidak akan sendiri. Ia memang berada di induk pasukan Demak. Tetapi ia tentu dikelilingi oleh beberapa orang pengawal terpilihnya. Sementara gelar Cakra Byuha berputar, maka kau memerlukan orang-orang yang khusus untuk melindungimu dari para pengawal Ki Saba Lintang.”

“Hamba, Pangeran.”

“Jika Pangeran memperkenankan, biarlah hamba berada bersamanya. Hamba akan menyerahkan pimpinan Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan Menoreh kepada Ki Lurah Argasura, yang menurut pendapat hamba akan mampu memimpin Pasukan Khusus yang akan berada di dalam gelar Cakra Byuha itu. Selain hamba sendiri, maka hamba mohon ijin pula bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menemani hamba dalam pertemuan khusus dengan pimpinan {erguruan Kedung jati itu.”

“Baik. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Mudah-mudahan Ki Saba Lintang besok tetap berada di induk pasukan.”

“Seandainya Ki Saba Lintang tidak berada di induk pasukan, apakah kami diperkenankan untuk mencarinya?”

Pangeran Singasari termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Singasari itu menyadari betapa Sekar Mirah berkepentingan untuk menghentikan usaha Ki Saba Lintang memanfaatkan nama Perguruan Kedung Jati untuk kepentingannya. Untuk menggapai keinginannya yang melambung tinggi.

Karena itu maka Pangeran Singasari itu pun kemudian menyahut, “Baiklah, Sekar Mirah. Kau dapat mencari Ki Saba Lintang di medan perang. Bahkan tidak terbatas di induk pasukan, tetapi dimana saja. Mungkin di lambung atau di dalam gelar. Tetapi hati-hatilah, jangan terpancing masuk ke dalam jebakan. Aku yakin Ki Lurah Agung Sedayu memiliki pengalaman dan ketajaman naluri untuk mengenali lika-liku medan.”

“Terima kasih, Pangeran,” desis Sekar Mirah.

“Ikuti segala petunjuk suamimu.”

Demikianlah, ketika pertemuan itu selesai, Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih harus menemui Prastawa, Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kita sudah mendapat ijin untuk melepaskan diri dari kesatuan kita masing-masing, Glagah Putih dan Rara Wulan.”

“Maksud Kakang?” bertanya Prastawa.

“Kami akan minta ijinmu, Prastawa. Glagah Putih dan Rara Wulan yang selama ini ada di dalam pasukanmu, akan kami bawa secara khusus untuk mencari Ki Saba Lintang.”

“Jadi aku akan sendirian memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan?”

“Kau memang akan sendirian. Tetapi jika tugas ini sudah selesai, maka Glagah Putih dan Rara Wulan akan segera kembali ke kesatuanmu.”

“Tetapi justru pada saat kami harus berada dalam gelar yang rumit.”

“Aku yakin akan kemampuanmu. Para pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan sudah dapat dipercaya. Mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan gelar Cakra Byuha yang akan bergerak. Kemampuan para pengawal pun tidak diragukan lagi. Bahkan ada di antara mereka yang secara pribadi memiliki kelebihan dari para prajurit terpilih, sebagaimana para pengawal dari Sangkal Putung yang dipimpin oleh Adi Swandaru.”

Prastawa tersenyum. Katanya, “Kakang memuji. Tetapi aku menjadi berdebar-debar.”

“Tugaskan Panca dan Kurdi secara khusus untuk membantumu,” berkata Glagah Putih, “aku percaya kepada kedua anak muda itu, di samping para pemimpin kelompok yang lain.”

“Baik, Glagah Putih. Aku akan minta Panca dan Kurdi untuk secara khusus membantuku. Tetapi aku minta Glagah Putih dan Rara Wulan segera kembali jika kewajiban kalian sudah selesai.”

Dengan demikian, maka Sekar Mirah yang akan disertai oleh Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan, akan berada di luar gelar yang akan diturunkan di keesokan harinya. Mereka pun telah mengenakan pertanda khusus yang akan dapat memberikan keleluasaan kepada mereka untuk berada dimana saja di antara prajurit Mataram dan Wiratani.

Malam itu, para prajurit dari kedua belah pihak berusaha dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya. Beberapa kelompok prajurit yang bertugas malam itu tidak akan diturunkan ke medan di keesokan harinya. Tetapi sebagian lagi di antara pasukan cadangan telah dipasang untuk mengisi kekosongan. Sementara para pemimpin sudah mulai menetapkan para Senapati bawahannya masing-masing di dalam gelar yang bakal turun esok pagi.

Yang kesibukannya tidak pernah berhenti adalah para prajurit dan petugas yang berada di dapur. Mereka hanya sempat beristirahat sejenak. Kemudian mereka harus segera mempersiapkan makan bagi para prajurit sebelum mereka turun ke medan pertempuran.

Sebelum fajar menyingsing, seperti hari-hari sebelumnya, para prajurit pun telah mempersiapkan dirinya. Mereka telah mendengarkan petunjuk-petunjuk dari para pemimpin kelompok mereka, sebagaimana petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para Senapati.

Ketika langit menjadi merah, serta setelah makan nasi bungkus yang hangat, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Terdengar suara sangkala, anak panah sendaren serta gaung bende yang meraung-raung untuk yang pertama kalinya.

Para prajurit itu telah memeriksa senjata-senjata mereka serta senjata-senjata cadangan. Perisai serta ikatannya pada tangan mereka. Ujung tombak, trisula dan canggah. Ikatan pedang dengan hulunya.

Ada di antara para prajurit yang membawa senjata khusus serta sipat kandel masing-masing, di samping senjata keprajuritan mereka. Ada yang membawa keris, luwuk, patrem atau cundrik yang terselip di pinggang mereka. Pada saat-saat yang paling gawat, senjata-senjata pendek itu kadang-kadang akan sangat berarti bagi mereka.

Sementara itu di lambung pasukan yang berada di gelar Supit Urang pun telah siap pula. Pada tangkai supit udang yang memanjang ke samping, terdapat kelompok-kelompok prajurit yang bersenjata busur dan anak panah, di samping pedang-pedang mereka yang tergantung di lambung. Anak panah mereka akan dapat mengejutkan lawan-lawan mereka dalam gelar apapun juga, sementara kedua supit yang merupakan sayap-sayap gelar akan maju dengan cepat, menjepit kedudukan lawan. Namun jika mereka menghadapi gelar yang melebar, maka supit udang raksasa itu akan berhadapan dengan sayap pasukan lawan.

Ketika kemudian terdengar isyarat yang kedua, maka para prajurit dan Wiratani pun telah siap di kelompok mereka masing-masing. Setiap dada pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak dapat meramalkan apa yang akan terjadi atas diri mereka masing-masing di medan perang nanti. Kemungkinan hidup dan kemungkinan mati bagi setiap orang yang berada di medan perang itu seimbang. Mereka yang berderap maju dengan senjata teracu, dapat saja harus diusung oleh kawan-kawan mereka setelah matahari turun dan hilang di balik cakrawala, ke perkemahan mereka, serta ikut mendapat kehormatan dalam upacara pemakaman.

Betapapun beraninya setiap prajurit, namun agaknya setiap mereka akan memasuki medan perang, jantung mereka pun terasa berdegup semakin cepat. Baru ketika terdengar isyarat yang ketiga kalinya, maka debar di jantung itu pun rasa-rasanya justru telah berhenti. Mereka tidak sempat lagi membayangkan apa yang akan terjadi. Seperti sebatang kayu yang diayun oleh arus banjir bandang, mereka telah hanyut oleh gelombang pasukan yang bergerak maju ke medan perang.

Demikianlah, kedua pasukan yang besar itu pun telah bergerak maju dalam gelar mereka masing-masing. Ternyata pasukan Demak masih mempergunakan gelar yang sama. Induk pasukan Demak masih mempergunakan gelar Gajah Meta. Sedangkan lambung pasukannya masih mempergunakan gelar Garuda Nglayang.

Sesaat sebelum matahari naik, kedua pasukan itu pun sudah menjadi semakin dekat. Ada kebiasaan pasukan Demak yang didahului oleh mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati, sebelum kedua pasukan itu berbenturan, telah terdengar sorak yang gemuruh bagikan meruntuhkan langit.

Namun ternyata bahwa pasukan Mataram pun telah menyambut sorak yang gemuruh itu dengan sorak-sorai pula. Mereka tidak mau gejolak perlawanan mereka akan menyusut hanya karena gemuruhnya sorak dari pasukan lawan mereka.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian kedua pasukan yang besar itu pun telah menjadi semakin dekat. Para prajurit Demak pun telah melihat bahwa gelar pasukan lawan telah berubah.

“Mereka telah menjadi bingung,” berkata seorang Senapati Demak, “mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka ternyata tidak mampu mengimbangi pasukan kita. Namun yang mereka salahkan adalah gelar pasukan mereka, sehingga mereka merasa perlu untuk merubahnya. Namun meskipun mereka merubah gelar mereka sehari tujuh kali, mereka tetap saja tidak akan dapat mengimbangi benturan pasukan kita.”

Kata-kata Senapati itu disambut teriakan-teriakan gemuruh dari prajurit-prajuritnya.

Sementara itu, gelar Garuda Nglayang di lambung pun merasa agak heran bahwa pasukan Mataram telah merubah gelarnya. Gelar Cakra Byuha yang rumit, yang dapat digelar dengan hampir sempurna oleh pasukan Mataram, terasa merupakan tekanan yang berat bagi gelar Garuda Nglayang di lambung pasukan.

Agaknya Senapati di lambung itu agak lebih berhati-hati. Ia tidak menganggap pasukan Mataram menjadi kebingungan dengan merubah-rubah gelarnya. Tetapi Senapati itu berkata, “Hati-hati dengan jebakan lawan. Gelar itu dapat mengandung banyak kemungkinan. Mungkin letak kekuatan terbesar mereka justru berada di supitnya.”

Baru saja Senapati itu berhenti memberikan peringatan, tiba-tiba saja pasukan yang menebar yang menjadi tangkai kekuatan gelarnya, telah mengangkat busur mereka. Memang agak mengejutkan. Tetapi para prajurit Demak tidak sempat berpikir panjang. Mereka harus segera berusaha menangkis atau menghindari ujung-ujung anak panah yang meluncur dari busurnya seperti hujan yang tercurah dari langit.

Gelar Garuda Nglayang itu pun tertahan sejenak. Teriakan-teriakan mereka pun terdiam. Yang terdengar kemudian adalah aba-aba, “Manfaatkan perisai pada sayap-sayap gelar!”

Dengan tangkasnya para prajurit yang mempergunakan perisai segera berloncatan maju mendahului kawan-kawannya yang bersenjata tombak. Dengan perisai di tangan kiri mereka, para prajurit itu pun berusaha menepis anak panah yang meluncur dengan derasnya.

Meskipun demikian, beberapa orang korban telah jatuh justru sebelum kedua pasukan itu berbenturan. Namun Senapati pasukan Demak itu pun kemudian memerintahkan pasukannya maju lebih cepat, sehingga para prajurit Mataram tidak akan sempat mempergunakan anak panahnya lagi.

Sebenarnyalah benturan pun segera terjadi. Para prajurit Mataram memang tidak lagi mampu mempergunakan anak panah mereka. Mereka pun segera mencabut pedang-pedang mereka dan bertempur dengan garangnya. Sementara itu induk pasukan Mataram dan Pasukan Demak itu pun sudah berbenturan pula. Pasukan Demak tidak lagi menghadapi gelar Gedong Minep yang lebih banyak bertahan. Tetapi yang dihadapi oleh pasukan induk dari Demak itu adalah gelar Cakra Byuha yang rumit.

Demikianlah, dua kekuatan itu pun segera telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Gelar Cakra Byuha itu pun mulai berputar perlahan-lahan. Sejak saat benturan terjadi, maka sudah terasa pada gelar Gajah Meta dari Demak bahwa mereka tidak lagi menghadapi gelar yang lebih banyak bertahan. Gelar Cakra Byuha dari pasukan induk Mataram itu terasa mulai menyengat sejak benturan yang pertama terjadi.

Namun sebenarnyalah bahwa beberapa orang senapati terpilih dari Demak serta dari Perguruan Kedung Jati memang berada di induk pasukan mereka. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa di lambung pasukan mereka dengan gelar Garuda Nglayang tidak terdapat senapati-senapati pilihan. Tetapi gelar Garuda Nglayang di lambung itu kini berhadapan dengan gelar Supit Urang.

Pangeran Puger yang muda itu benar-benar seorang yang darahnya masih mudah mendidih. Demikian gelarnya berbenturan dengan gelar lawan, maka Pangeran Puger itu segera menghentikan pasukannya. Diperintahkannya lewat para penghubung, agar para Senapati yang berada di supit udang raksasanya itu segera bergerak menekan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang dari Demak. Ternyata pengaruh kemudaan Pangeran Puger itu terasa pada gerak pasukannya, sebagaimana gerak pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

Namun di lambung pasukan Mataram itu ada Ki Tumenggung Untara, dan di lambung yang lain Ki Tumenggung Ranawira, yang dengan sabar berusaha mengekang gejolak kedua Senapati muda itu. Bahkan kedua Tumenggung itu seakan-akan tidak pernah meninggalkan kedua orang Pangeran muda yang garang yang memimpin kedua gelar di lambung pasukan Mataram.

Terapi darah kedua Pangeran yang masih muda yang dengan cepat mendidih itu memang berpengaruh. Dengan pedang di tangan, keduanya langsung berdiri di depan gelarnya sambil meneriakkan aba-aba.

Sikap kedua Pangeran muda itu berpengaruh kepada para Senapati yang lain. Para Senapati yang berada di supit gelar itu pun telah menghentak pula. Apalagi karena dalam benturan awal, pasukan Mataram yang berada di tangkai supit udang itu telah menyerang dengan anak panah, sehingga beberapa orang prajurit lawan pun berjatuhan.

Di samping gejolak kemudaan kedua Pangeran yang darahnya segera mendidih itu, Ki Tumenggung Untara dan Ki Tumenggung Ranawira dengan pengalaman dan pandangannya yang luas telah mengarahkan gelora di dada kedua Pangeran yang muda itu, sehingga memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi para prajurit. Terutama prajurit-prajurit muda, sebaya dengan kedua orang Pangeran itu.

Senapati yang memimpin pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu justru terkejut mengalami tekanan yang mulai terasa berat. Pada saat pasukan Mataram mempergunakan gelar Cakra Byuha yang menggetarkan itu, pasukan Demak masih sempat berusaha menekan dengan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang, meskipun tidak berhasil menghentikan perputaran gelar Cakra Byuha itu. Tetapi gelar Supit Urang yang kemudian dihadapi, terasa pasukannya menjadi sangat sibuk. Para prajurit muda Mataram itu berloncatan sambil bersorak-sorai nyaring.

Sementara itu, Pangeran yang masih muda yang dipercaya menjadi Senapati gelar Supit Urang itu langsung terjun ke medan perang dengan garangnya. Para Senapati Pengapit serta pengawal-pengawal khususnya pun dengan garangnya menyapu prajurit lawan yang berusaha menghalanginya.

Tetapi setiap kali Ki Tumenggung Untara dan Ki Tumenggung Ranawira berusaha untuk mengekang, agar kedua Pangeran yang masih muda itu tidak melupakan kedudukannya sebagai Senapati. Mereka tidak saja bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, tetapi mereka bertanggungjawab atas seluruh gelar yang terdiri dari para prajurit dan Wiratani.

Bahkan kedua orang Senapati yang sudah memiliki sebangsal pengalaman itu selalu memperingatkan agar para Pangeran yang masih muda itu jangan sampai terpisah dari para pengawalnya. Atau jangan membawa sekelompok pengawalnya masuk ke dalam perangkap lawan. Jika paruh dari gelar Garuda Nglayang itu terbuka, seakan-akan memberikan jalan bagi Senapati lawan untuk menyusup masuk ke dalam gelar mereka, maka justru itu akan berarti bahaya yang sangat besar.

Demikian pula paruh gelar Garuda Nglayang yang sedang menghadapi pasukan Pangeran Puger muda. Ki Tumenggung Untara terpaksa menarik lengan Pangeran muda yang hampir saja terjerumus masuk ke dalamnya bersama pengawal-pengawalnya yang juga masih muda.

“Paman Tumenggung Untara, jangan lewatkan kesempatan itu. Aku berhasil memecahkan gelar mereka sehingga terbuka. Aku akan masuk ke dalamnya dan menghancurkan gelar mereka dari dalam.”

“Itu bukan satu keberhasilan, Pangeran, tetapi itu satu jebakan. Jika Pangeran masuk ke dalam paruh gelar lawan yang menganga itu, maka paruh itu akan segera terkatup kembali.”

“Jika benar demikian, aku akan menghancurkan paruh gelar itu dari dalam.”

“Jika jebakan itu dibuat, maka mereka tentu sudah siap menghadapi sekelompok prajurit yang berhasil mereka jebak. Kita tidak tahu, siapa saja yang berada di dalam mulut garuda itu.”

“Jadi?”

Ki Tumenggung Untara itu pun menjawab, “Jangan masuk, Pangeran. Kita akan menyerang paruh yang menganga itu dari luar. Pangeran akan tetap berada di garis pertempuran.”

Pangeran Puger termangu-mangu sejenak. Paruh gelar Garuda Nglayang yang terbuka itu seakan-akan selalu memanggilnya untuk bergerak memasukinya. Tetapi untunglah bahwa Ki Tumenggung Untara dapat meyakinkannya, sehingga Pangeran Puger serta para prajurit pilihannya bersama dengan Ki Tumenggung Untara dan prajurit-prajurit terpilih tetap bertempur di garis benturan antara kedua pasukan itu. Dengan garangnya Pangeran Puger serta para pengawalnya menyerang justru di sebelah gelar yang nampaknya telah pecah itu. 

Serangan-serangan Pangeran Puger itu menjadi demikian sengitnya sehingga paruh yang terbuka itu terpaksa mengatup kembali, sementara pusat serangan Pangeran Puger itulah yang kemudian terbuka, justru di bahu gelar Garuda Nglayang.

“Betapa tangkasnya Senapati yang memimpin gelar Garuda Nglayang itu. Ia masih sempat membuka gelar Jurang Grawah di bahu gelarnya. Gelar Jurang Grawah yang mungkin tidak pernah terpikir oleh Senapati yang lain.”

“Apa maksud Ki Tumenggung ?”

“Satu gelar kecil yang sangat berbahaya, yang dibuka pada gelar yang lebih besar.”

Pangeran Puger mengangguk. Ia dapat mengerti keterangan Ki Tumenggung Untara. Meskipun Pangeran Puger masih muda, tetapi ia rajin berlatih berbagai ilmu, sehingga ia mengerti betapa berbahayanya gelar Jurang Grawah yang kecil dan berada di gelar yang lebih besar. Sehingga Pangeran Puger pun kemudian mengerti bahwa paruh gelar Garuda Nglayang yang terbuka itu mirip sekali dengan gelar Jurang Grawah.

Namun dalam pada itu, para Senapati yang berada di supit udang raksasa dalam gelar perang pasukan Mataram itu telah menghentakkan kekuatan mereka. Perlahan-lahan pasukan yang berada di supit udang itu sempat menekan sayap gelar lawannya.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Pangeran Puger dengan pasukannya memang telah mampu menggoyang gelar lawannya. Gerakan-gerakan yang cepat dan menghentak-hentak, sejalan dengan kemudaan Pangeran Puger, telah membuat gelar lawannya seperti di guncang-guncang. Ternyata Ki Tumenggung Untara yang sangat berpengalaman itu senang bertempur bersama Pangeran Puger yang garang.

Namun di lambung pasukan yang lain, Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih harus berkutat di garis benturan antara kedua pasukan itu. Nampaknya darah Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak sepanas darah Pangeran Puger. Namun meskipun demikian gelar Supit Urangnya, telah mulai menekan gelar pasukan lawan.

Dalam pada itu, benturan kekuatan yang sangat besar telah terjadi di induk pasukan. Kanjeng Adipati Demak bersama beberapa orang Senapatinya dengan keras telah menghentak gelar lawannya. Pasukannya yang kuat itu sebenarnya dipersiapkan untuk memecah gelar Gedong Minep dari Mataram. Tetapi pasukan Mataram telah merubah gelarnya. Justru gelar Cakra Byuha.

Benturan kedua kekuatan itu terasa sangat keras. Para Senapati dari pasukan Demak seakan-akan berkumpul di belalai dan gading gelar Gajah Meta yang bergerak maju seperti seekor gajah yang sedang mengamuk, yang berusaha untuk menghentikan putaran gelar pasukan Mataram.

Sebenarnyalah putaran gelar dari pasukan Mataram itu mengalami kesulitan, sementara Senapatinya tersebar di antara putaran cakra yang bergerigi tajam.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang merupakan Senapati Pengapit, dengan garangnya membentur putaran gelar lawannya. Mereka mengamuk seperti harimau yang terluka. Para prajurit Mataram yang berusaha untuk melawannya telah terlempar dengan luka yang menganga di tubuhnya. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Tumenggung Gending itu melihat seseorang yang menyibak pasukan Mataram yang sedang bergetar di depannya.

“Ki Tumenggung Gending,” terdengar orang itu menyapa.

“Ki Tumenggung Derpayuda,” geram Ki Tumenggung Gending.

“Ya. Kita bertemu lagi di medan perang ini, Ki Tumenggung. Mungkin kita masih belum puas bermain di pertemuan kita yang terdahulu, Ki Tumenggung Gending. Pada saat Ki Tumenggung Gending dengan licik mencegat kami yang pada waktu itu menjadi utusan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati dari Mataram.”

“Persetan kau, Ki Tumenggung. Apapun yang pernah kau lakukan, aku akan membunuhmu sekarang.”

“Apakah kau mampu melakukannya?”

“Kenapa tidak? Sekarang kita tidak terikat pada tatanan bagi seorang utusan, sehingga aku dapat berbuat apa saja atas Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung Derpayuda tersenyum. Katanya, “Marilah. Kita akan meneruskan permainan kita.”

Demikianlah, keduanya pun sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Sejenak kemudian Ki Tumenggung Gending pun telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada. Dengan tangkasnya Ki Tumenggung Derpayuda pun telah menepis ujung pedang itu dengan pedang pula. Memutarnya dan kemudian menebas dengan cepat.

Demikianlah, kedua orang itu pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ketika gelar Cakra Byuha itu bergerak, maka Ki Tumenggung Derpayuda tidak bergeser dari arena pertempurannya melawan Ki Tumenggung Gending. Agaknya keduanya telah menyimpan dendam di hati masing-masing. Ki Tumenggung Derpayuda yang sedang menjadi duta Kanjeng Panembahan Hanyakrawati beberapa waktu yang lalu, telah dihadang oleh Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Panjer, beberapa orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati serta pasukannya. Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda bersama empat orang yang pergi bersamanya ke Demak itu ternyata mendapat perlindungan dari Ki Lurah Agung Sedayu dengan sekelompok Pasukan Khususnya.

Karena itu maka pertemuan mereka yang tiba-tiba di medan perang itu seakan-akan telah memberikan peluang kepada mereka berdua untuk menentukan, siapakah yang sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka pertempuran di antara keduanya itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keduanya memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan.

Pangeran Singasari yang memimpin seluruh pasukan itu pun telah mendapat laporan, bahwa Ki Tumenggung Derpayuda telah bertemu Ki Tumenggung di medan perang.

“Amati mereka. Berikan laporan setiap kali ada perkembangan.”

“Baik, Pangeran,” jawab penghubung itu.

Sementara itu, kedua orang Tumenggung yang sedang bertempur itu pun telah mengerahkan kemampuan mereka. Dentang senjata mereka yang beradu telah menghamburkan peletik-peletik bunga api. Sementara itu para pengawal mereka berusaha memberikan kesempatan yang lebih luas dengan menyibakkan diri. Namun mereka seakan-akan memang menjadi agak terpisah, karena para pengawal itu telah bertempur pula di antara mereka.

Ki Tumenggung Gending yang merasa dirinya menjadi sapu kawat di Kadipaten Demak, tidak ingin terjebak serta terhenti oleh amuk Ki Tumenggung Derpayuda. Bahkan Ki Tumenggung Gending sudah bertekad untuk membunuh Pangeran Puger muda atau Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Bahkan Ki Tumenggung Gending itu masih juga bermimpi untuk ikut berperang, menghentikan perlawanan Pangeran Singasari. Ki Tumenggung Gending itu harus dapat menunjukkan kelebihannya dari semua Senapati di Demak, termasuk Ki Patih Tandanegara yang justru tidak banyak berperan. Bahkan seakan-akan Ki Patih Tandanegara yang juga berasal dari Mataram itu hampir tersisih.

Namun ternyata dalam perang besar melawan Mataram itu, Ki Patih Tandanegara telah menunjukkan kelebihannya pula. Tetapi Ki Tumenggung Gending tidak mau dianggap tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tandanegara. Karena itu maka Ki Tumenggung Gending itu pun telah bertempur dengan garangnya. Bahkan sebelum Ki Tumenggung Gending bertemu dengan Ki Tumenggung Derpayuda, maka seakan-akan Ki Tumenggung Gending tidak terlawan lagi oleh para prajurit Mataram.

Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ki Tumenggung Derpayuda, maka keadaan pun telah berubah. Ternyata Ki Tumenggung Derpayuda benar-benar seorang yang pilih tanding. Jika pada saat Ki Tumenggung Gending berusaha mencegat Ki Tumenggung Derpayuda tidak berhasil, bukan semata-mata karena pasukan Mataram yang tiba-tiba saja tampil. Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda memang seorang Senapati yang jarang ada duanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar