Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 380

Buku 380

Satu-satu lawan Glagah Putih itu pun telah terluka. Ikat pinggang Glagah Putih itu selain dapat membentur senjata lawan seperti lempengan baja, ujungnya juga mampu menggores kulit lawan seperti ujung pedang yang sangat tajam. Karena itu maka Ki Jayengwira dan ketiga orang kawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak.

Demikian pula lawan-lawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan yang berputar itu tiba-tiba telah terjulur mematuk dada. Rasa-rasanya dada lawannya yang tersentuh ujung selendang Rara Wulan itu bagaikan tertimpa sebongkah batu padas.

Semakin lama keseimbangan pertempuran itu pun menjadi semakin berat sebelah. Ki Jayengwira dan kawan-kawannya tidak dapat lagi menghindari kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu mengatasi kedua orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram itu.

Raden Suwasa menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun ternyata bahwa Raden Suwasa bukanlah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Dengan tegang ia menyaksikan bahwa Rara Wulan benar-benar mampu memperlihatkan bahwa dirinya adalah murid dari Perguruan Kedung Jati. Bahkan ilmunya adalah ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi. Bahkan laki-laki muda yang berjalan bersamanya itu juga mampu menunjukkan bahwa ia juga menguasai ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.

Karena itu maka Raden Suwasa itu pun menjadi semakin lama semakin berdebar-debar. Ia merasa tidak akan dapat mengimbangi tataran ilmu kedua orang itu. Bahkan ia pun menjadi cemas bahwa perempuan itu-lah yang kemudian justru akan menangkapnya, karena ia dianggap telah mencemarkan nama baik Perguruan Kedung Jati yang sejati.

Karena itu Raden Suwasa itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Dengan diam-diam selagi Ki Jayengwira dan kawan-kawannya masih bertempur melawan kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang sejati itu, maka Raden Suwasa pun telah meninggalkan arena.

Namun ketika beberapa saat kemudian terdengar derap kaki kuda yang berlari dari belakang segerumbul rumpun pohon perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera menyadari bahwa Raden Suwasa telah meninggalkan arena.

Glagah Putih-lah yang lebih dahulu meloncat meninggalkan lawan-lawannya. Sekejap kemudian ia melihat Raden Suwasa di punggung kudanya dengan kecepatan tinggi telah turun ke lorong sempit itu.

Tetapi Glagah Putih tidak mau melepaskannya. Sebelum Raden Suwasa sempat lari meninggalkan arena, maka Glagah Putih yang ilmunya sudah benar-benar mapan itu telah melepaskan ilmu puncaknya. Glagah Putih tidak membidik Raden Suwasa. Ia juga tidak membidik kudanya. Tetapi Glagah Putih telah membidik dahan sebatang pohon yang cukup besar, yang tumbuh di pinggir jalan itu.

Dalam waktu sekejap maka seleret sinar telah meluncur mengenai dahan pohon yang cukup besar itu, sehingga dahan itu pun gemeretak patah. Dahan itu pun telah jatuh melintang di jalan yang kecil itu. Demikian tiba-tiba, sehingga Raden Suwasa tidak mampu menguasai kudanya.

Glagah Putih sendiri tidak menghendaki bahwa kuda Raden Suwasa yang tidak terkendali itu kakinya menerpa dahan kayu yang patah dan melintang di jalan itu. Sementara kuda itu pun berlari dengan kencangnya.

Yang tidak dikehendaki itu pun ternyata telah terjadi. Kuda Raden Suwasa yang berlari kencang serta terkejut sekali karena tiba-tiba saja dahan kayu yang besar itu tumbang, maka kuda itu pun telah melanggar dahan kayu yang melintang itu.

Kuda itu pun terpelanting dengan kerasnya, sementara Raden Suwasa telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya yang melayang itu pun telah membentur sebatang pohon yang lain yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu, sehingga pohon itu bergetar.

Ki Jayengwira dan kawan-kawannya sempat melihat Raden Suwasa itu terlempar dari punggung kudanya. Karena itu hampir berbareng sebagian dari mereka telah berlari memburunya. Sementara itu beberapa orang yang lain sudah tidak mampu lagi bangkit berdiri.

Ki Jayengwira pun kemudian telah berjongkok di sebelah tubuh Raden Suwasa. Demikian pula kawan-kawannya yang mampu melangkah mendekatinya.

“Raden,” desis Ki Jayengwira.

Namun Raden Suwasa itu sudah tidak mampu lagi menjawab. Tubuhnya terkulai lemah. Darah pun telah meleleh dari sela-sela bibirnya. Raden Suwasa itu telah meninggal.

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka berdiam diri. Namun kemudian Glagah Putih pun melangkah mendekati Ki Jayengwira itu sambil berdesis, “Raden Suwasa itu telah meninggal.”

“Ya, Ki Sanak.”

“Sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya berniat menghalangi agar ia tidak meninggalkah tempat ini. Tetapi inilah yang terjadi.” Glagah Putih pun berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata pula, “Sekarang, bagaimana dengan kalian? Apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan menuntut balas atas kematian pemimpinmu itu?”

“Kami sudah tidak berdaya, Ki Sanak. Terserah kepada Ki Sanak, apa yang akan Ki Sanak lakukan terhadap kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika demikian, maka aku akan membawamu ke Mataram.”

“Ke Mataram?” bertanya Ki Jayengwira dengan wajah yang tegang.

“Ya. Kau akan kami bawa ke Mataram. Bukankah Mataram sudah tidak jauh lagi?”

“Kenapa kami tidak kalian bunuh saja di sini? Bukankah kalian berhak membunuhku? Aku sudah siap membunuhmu, sehingga karena itu, maka kau pun dapat membunuhku pula.”

Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tadi kau dengar Raden Suwasa memerintahkan kepadamu untuk menangkap aku hidup-hidup. Sekarang kau pun tentu tahu, kenapa aku ingin membawamu ke Mataram hidup-hidup.”

“Orang-orang Mataram akan memeras keterangan dari mulutku.”

“Tentu. Kau pun harus siap menghadapi pemeriksaan seperti itu. Karena itu lebih baik kau berkata berterus-terang, sehingga kau tidak akan mengalami perlakuan yang buruk.”

Ki Jayengwira tidak dapat mengelak lagi. Ia harus mengakui kenyataan bahwa ia tidak akan mampu melawan kemauan orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram itu.

Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Aku akan membawamu dan seorang lagi di antara kalian ke Mataram. Yang lain akan aku tinggalkan. Biarlah mereka mengurus kawan-kawan mereka, serta Raden Suwasa yang terbunuh.”

Kawan-kawan Ki Jayengwira pun menjadi tegang. Siapakah di antara mereka yang akan dibawa oleh orang Mataram itu.

Ternyata Glagah Putih menunjuk seorang yang masih nampak lebih baik dari kawan-kawannya. Lukanya masih belum terlalu parah.

“Marilah. Kita akan segera melanjutkan perjalanan.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera memaksa Ki Jayengwira dan seorang kawannya untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan ke Mataram.

Namun sebelum mereka berangkat, Glagah Putih pun berkata kepada orang-orang yang ditinggalkannya, “Kalian jangan melaporkan bahwa kedua orang ini kami bawa ke Mataram, kepada kawan-kawanmu. Jika ada di antara kalian atau kawan-kawanmu yang menyusul perjalanan kami. maka kedua orang ini akan aku bunuh. Kemudian aku akan membunuh kawan-kawanmu yang menyusul kami itu. Kau lihat bahwa aku mampu mematahkan dahan kayu itu tanpa aku sentuh. Istriku juga mampu melakukannya. Karena itu, jika ada sekelompok orang menyusulku, maka mereka akan mengalami nasib yang sangat mengerikan, sebagaimana dahan kayu yang runtuh itu.”

Kawan-kawan Ki Jayengwira yang ditinggalkan itu tidak menyahut. Namun jantung mereka terasa berdebaran semakin cepat.

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun membawa kedua orang tawanannya melanjutkan perjalanan menuju ke Mataram. Sambil berjalan Glagah Putih pun berkata, “Jangan memperlihatkan diri kalian sebagai tawanan. Jika orang-orang di pinggir jalan mengetahuinya, apalagi setelah kau memasuki kota Mataram, maka kau akan mereka rebut dari tangan kami. Kau tentu tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap seorang pengkhianat.”

Bulu tengkuk Ki Jayengwira dan seorang kawannya yang dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu meremang. Mereka membayangkan betapa buruk nasib mereka jika mereka jatuh ke tangan rakyat yang menganggap mereka sebagai pengkhianat.

Karena itu maka Ki Jayengwira dan seorang kawannya itu pun berusaha agar mereka tidak nampak sebagai seorang tawanan. Mereka pun berusaha untuk menyembunyikan noda-noda darah di pakaian mereka serta luka-luka di tubuh mereka.

Ketika keduanya memasuki hutan Tambak Baya yang sudah tidak nampak terlalu menyeramkan, apalagi di siang hari, Glagah Putih dan Rara Wulan justru turun ke jalan simpang yang sempit yang memasuki hutan Tambak Baya.

“Kenapa kita mengambil jalan ini?” bertanya Ki Jayengwira.

“Jika kawan-kawanmu menyusul kita, maka mereka tidak akan menemukan kita. Mereka tentu akan menelusuri kita di jalan yang menjadi semakin ramai dilalui orang itu. Mereka tidak akan mengira bahwa kita telah mengambil jalan simpang yang justru lebih dekat sampai ke Mataram.”

“Tetapi kita akan melewati hutan yang masih liar.”

“Tidak. Kita akan menelusuri jalan sempit ini. Mungkin jalannya memang lebih buruk dari jalan yang besar itu, tetapi aku pernah lewat jalan pintas ini. Jangan cemas. Jika kita bertemu dengan binatang buas, bukankah kita tidak akan menjadi ketakutan? Aku yakin bahwa kau sendiri akan dapat mengalahkan seekor harimau loreng dengan ilmumu itu.”

Ki Jayengwira itu pun terdiam. Ia tidak dapat berbuat lain daripada berjalan bersama kawannya di depan. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di belakang.

“Aku belum pernah melewati jalan ini. Kalian harus memberitahu jika kita harus berbelok ke kiri atau ke kanan. Aku pun menjadi bingung dan tidak mengenal kiblat. Di mana arah barat dan di mana arah timur.”

“Baik, baik,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah, mereka pun berjalan semakin lama semakin dalam memasuki jantung hutan Tambak Baya. Namun jalan sempit itu tidak menjadi buntu. Jalan itu masih saja menjelujur di tengah-tengah hutan itu.

Sebenarnyalah pada waktu itu, seorang di antara pengikut Raden Suwasa telah berusaha mendapatkan kudanya yang disembunyikan di belakang gerumbul-gerumbul perdu. Sejenak kemudian orang itu sudah memacu kudanya menuju ke sarang para petugas sandi dari Demak.

Dengan singkat orang itu pun telah melaporkan peristiwa yang terjadi sehingga Raden Suwasa telah terbunuh. Seorang yang berkumis melintang, berwajah keras serta mata yang dalam, bertanya dengan nada tinggi, “Suwasa terbunuh?”

“Ya, Kiai.”

“Gila! Siapa yang membunuhnya?”

“Ia mengaku petugas sandi dari Mataram.”

“Petugas sandi dari Mataram?”

“Ya, Kiai. Bahkan orang itu telah membawa Ki Jayengwira bersama mereka.”

Orang yang bermata dalam itu pun menggeram. Wajahnya bahkan menjadi merah membara. “Mereka pergi kemana?”

“Menurut mereka, mereka akan pergi ke Mataram.”

“Orang itu berkuda?”

“Tidak. Mereka hanya berjalan kaki.”

Orang berkumis melintang itu tiba-tiba saja berteriak, “Siapkan kudaku! Kalian akan pergi bersamaku memburu orang-orang itu. Jika mereka hanya berjalan kaki, maka aku harap kita akan dapat menyusul mereka sebelum atau sejauh-jauhnya saat mereka berada di Alas Tambak Baya. Kita akan mengambil Jayengwira dan kawannya itu. Jika gagal, kita akan membunuh mereka berdua. Mereka akan dapat menjadi sumber malapetaka jika benar mereka sampai ke Mataram.”

Orang-orang yang berada di sarang para petugas sandi dari Demak serta orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun segera mempersiapkan diri, serta mempersiapkan kuda-kuda mereka. Sehingga sejenak kemudian maka beberapa orang berkuda beriringan memacu kuda mereka menuju ke arah Mataram.

Iring-iringan orang berkuda itu sempat menarik perhatian orang-orang yang melewati jalan menuju ke Alas Tambak Baya itu. Namun mereka tidak sempat mendapatkan keterangan tentang mereka.

Ketika mereka mendekati Alas Tambak Baya, maka orang berkumis melintang itu rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi. Seakan-akan ia ingin meloncat dan terbang memasuki jalan yang menerobos hutan itu. Namun mereka masih belum dapat menyusul orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram, serta yang telah membawa Ki Jayengwira.

Bahkan setelah mereka memasuki Alas Tambak Baya, mereka masih belum menemukan orang-orang yang mereka cari.

“Mereka tentu berbohong,” berkata orang berkumis melintang itu, “mungkin mereka tidak pergi ke Mataram. Jika mereka pergi ke Mataram, kita tentu sudah menyusulnya.”

Orang yang melapor, yang kemudian diikutsertakan dalam perburuan itu pun berkata, “Menurut mereka, mereka adalah petugas sandi dari Mataram.”

Orang yang berkumis melintang itu pun membentaknya, “Bodoh kau! Jika orang itu benar-benar petugas sandi dari Mataram, maka ia tidak akan mengatakan dengan berterus-terang bahwa ia petugas sandi dari Mataram. Mungkin orang itu justru orang Pajang. Jayengwira mungkin justru telah dibawa ke Pajang.”

Orang yang melapor itu pun terdiam.

“Tetapi jika benar mereka pergi ke Pajang, maka kita tentu sudah terlambat. Kita tentu tidak akan dapat mengejarnya lagi.”

“Mereka hanya berjalan kaki,” berkata salah seorang dari mereka, “jika kita memacu kuda kita menuju ke Pajang, mungkin kita masih dapat menyusul mereka.”

Tetapi seorang yang lain pun berkata, “Kenapa kita tidak maju beberapa ratus patok lagi? Mungkin orang-orang yang kita kejar itu sudah berada di hadapan hidung kita.”

“Kita akan memasuki daerah perondaan pasukan Mataram.”

“Tetapi mereka jarang-jarang meronda sampai di pinggir Alas Tambak Baya.”

Tetapi orang berkumis melintang itu pun berkata, “Tidak ada gunanya. Mereka sudah menjadi semakin dekat dengan gardu-gardu penjagaan prajurit Mataram. Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini. Para pemimpin di Mataram tentu sudah mendapat laporan meskipun belum lengkap, tentang sikap Kanjeng Adipati di Demak.”

“Jadi, kita sekarang pergi ke mana?”

“Kita akan pergi ke arah Pajang. Jika saja kita dapat menyusul mereka.”

“Kuda-kuda kita akan menjadi sangat letih.”

“Bukankah tidak setiap hari kuda-kuda itu harus menempuh perjalanan panjang?”

Demikianlah, iring-iringan itu pun telah memacu kuda-kuda mereka menuju ke arah Pajang. Beberapa orang yang berpapasan memang menjadi heran. Belum lama iring-iringan orang berkuda itu memacu kuda mereka, mendahului orang-orang yang keheranan itu. Tetapi belum lama berselang, orang-orang berkuda itu memacu kuda mereka ke arah yang berlawanan.

Namun seorang di antara mereka berkata, “Tentu ada yang mereka cari. Ketika mereka yakin bahwa buruan mereka tidak melalui jalan ini, maka mereka pun segera kembali untuk memburu ke arah yang lain.”

“Seharusnya mereka berpencar dan memburu ke segala arah.”

“Jika kekuatan mereka memadai. Tetapi jika kekuatan mereka terlalu kecil, mereka tidak akan berani berpencar. Apalagi jika yang mereka buru itu mempunyai kekuatan yang terhitung besar.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi karena mereka tidak berkepentingan, maka mereka tidak menghiraukannya lagi.

Dengan kecepatan penuh iring-iringan orang berkuda itu memacu kuda mereka ke arah Pajang. Namun setelah mereka berpacu semakin dekat dengan Pajang, namun mereka tidak menyusul orang-orang yang dikatakan oleh orang yang memberikan laporan itu, maka mereka pun segera menghentikan kuda-kuda mereka yang menjadi sangat letih. Mereka telah menempuh perjalanan jauh. Namun semuanya itu sia-sia saja.

“Kita berhenti di sini?” bertanya seorang di antara mereka.

“Kuda kita sudah terlalu letih. Seandainya kita melanjutkan perjalanan, maka nafas kuda-kuda kita akan dapat putus di jalan. Karena itu sebaiknya kita berhenti. Biarlah kuda-kuda kita minum dan makan rumput di tepian sungai itu.”

Sambil memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum, makan rumput dan beristirahat, maka para penunggangnyapun beristirahat pula di tanggul sungai itu.

Sementara itu Glagah Putih, Rara Wulan serta dua orang tawanannya masih saja berjalan melalui jalan setapak menuju ke Mataram. Mereka melintasi jalan-jalan hutan yang lembab. Beberapa batang pohon yang roboh melintang di jalan setapak itu.

Namun mereka rasa-rasanya tidak menghiraukannya. Mereka berjalan tanpa berhenti. Sekali-sekali meloncati batang pohon yang roboh, sekali meniti batang yang melintang di atas rawa-rawa.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pernah hidup di tengah hutan belantara. Karena itu mereka sama sekali tidak merasa canggung berjalan di jalan setapak yang melintas di hutan Tambak Baya itu. Namun kedua orang tawanannya itu sekali-sekali mengalami kesulitan, sehingga mereka maju terlalu lamban.

“Kenapa kau tidak dapat berjalan secepat perempuan?” bertanya Rara Wulan yang tidak telaten, “Kenapa kalian harus merangkak secepat siput? Lihat aku. Aku harus menyingsingkan kain panjangku. Tetapi aku dapat berjalan lebih cepat dari kalian.”

“Kami sudah berusaha,” jawab Ki Jayengwira yang memang menjadi heran melihat Rara Wulan dapat berjalan lebih cepat dari mereka. Namun meskipun lambat, mereka maju juga semakin mendekati Mataram.

“Kenapa kita harus memilih jalan seperti ini?” bertanya Ki Jayengwira, “Jalan yang lebih baik itu, meskipun lebih jauh, tetapi kita dapat berjalan lebih cepat. Bahkan kita akan lebih cepat sampai di Mataram daripada memilih jalan pintas tetapi seperti ini.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jangan berpura-pura dungu seperti itu. Bukankah kau tahu bahwa kita tidak semata-mata ingin melewati jalan yang lebih dekat? Tetapi kita ingin menghindari orang-orang yang mungkin akan menyusul kita.”

“Bukankah itu hanya angan-anganmu saja? Kawan-kawanku tidak akan menyusul kita.”

“Mungkin kawan-kawan Raden Sabawa. Kau sendiri agaknya memang bukan orang penting yang harus dibela. Jika ada orang yang menyusulmu, bukan untuk melepaskanmu, tetapi tentu mereka akan membunuhmu. Karena kau dan kawanmu itu akan dapat menjadi sumber keterangan yang akan sangat merugikan gerombolan petugas sandi dari Demak, serta mereka yang mengaku para murid Ki Saba Lintang itu.”

Ki Jayengwira menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

Demikianlah, mereka berempat pun berjalan semakin lama semakin dalam di Alas Tambak Baya. Tetapi setelah mereka melewati jalan yang paling sulit di tengah-tengah hutan itu, maka hutan itu pun semakin lama terasa menjadi semakin tipis.

Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan melewati jantung Alas Tambak Baya. Ki Jayengwira dan kawannya sempat menjadi heran melihat ketangkasan perempuan yang berjalan bersama dengan mereka itu. Setelah menyingsingkan kain panjangnya sebagaimana saat ia bertempur, maka perempuan itu pun menjadi setangkas anak kijang. Tetapi juga setrampil seekor kera di pepohonan.

Pada saat mereka melalui rawa-rawa di tengah hutan, maka perempuan itu dengan tanpa mengalami kesulitan bergayutan sulur-sulur pepohonan, berayun dan kemudian meloncat turun pada batang-batang kayu yang rebah melintang di atas rawa-rawa itu. Sementara Ki Jayengwira dan kawannya harus berjalan menyeberangi rawa-rawa berlumpur hitam. Kadang-kadang keduanya masih juga berdesah tertahan, sambil berusaha menyingkirkan lintah yang melekat di kakinya.

Dengan pakaian yang basah dan kotor para tawanan itu pun kemudian berjalan semakin menepi, sehingga akhirnya mereka pun keluar dari hutan yang lebat itu.

Jayengwira dan kawannya itu menarik nafas panjang. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan memandangi mereka sambil tertawa.

“Perjalanan yang menyenangkan, Ki Sanak?” berkata Glagah Putih.

Keduanya tidak menjawab. Tetapi mereka mengumpat di dalam hati.

Sejenak kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Di hadapan mereka terbentang padang perdu yang agak luas. Gerumbul-gerumbul liar tumbuh di antara gundukan-gundukan batu padas. Satu dua batang pohon yang besar tumbuh mencuat di antara batang ilalang.

Perjalanan mereka berempat ternyata merupakan perjalanan yang berat. Meskipun jaraknya lebih dekat, tetapi mereka memerlukan waktu yang lebih lama. Karena itu maka ketika mereka mendekati pintu gerbang Kotaraja, maka langit pun sudah menjadi suram. Cahaya kemerahan membayang di langit, menyakitkan mata. Demikian senja turun, maka mereka berempat pun memasuki pintu gerbang kota.

Namun ada juga untungnya. Dalam keremangan cahaya senja maka pakaian mereka yang kotor tidak begitu mendapat perhatian para petugas di pintu gerbang.

“Kami akan kalian bawa kemana?” bertanya Ki Jayengwira.

“Kalian akan kami bawa menghadap Ki Patih Mandaraka. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan atas kalian. Agaknya kalian akan diserahkan kepada prajurit yang bertugas di Kepatihan untuk disimpan di dalam penjara.”

Kedua orang itu tidak dapat mengelak lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar membawa mereka berdua ke Kepatihan.

Yang hari itu bertugas di Kepatihan ternyata telah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu maka seorang di antara para petugas itu pun segera melaporkan kedatangan mereka kepada Narpacundaka yang bertugas saat itu.

Ketika Narpacundaka itu menyampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, maka Ki Patih yang sedang duduk beristirahat di serambi belakang berkata, “Bawa mereka kemari.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian menghadap Ki Patih Mandaraka di serambi belakang. Sementara itu Glagah Putih telah menitipkan kedua orang tawanannya di gardu prajurit yang bertugas.

Kepada lurah prajurit yang bertugas Glagah Putih pun berpesan, “Jangan sampai hilang, Ki Lurah. Keduanya harganya mahal.”

Ki Lurah yang bertugas itu tersenyum. Katanya, “Kami akan mengawasi mereka dengan baik. Jika keduanya atau salah satu di antaranya hilang, kami tentu tidak akan dapat membayar ganti ruginya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Namun Glagah Putih sempat menjawab, “Jika Ki Lurah mau, Ki Lurah akan dapat membayar ganti ruginya.”

“Apa yang akan aku pakai untuk membayar?”

Glagah Putih berbisik di telinganya, “Leher Ki Lurah.”

Ki Lurah itu pun tertawa sambil menjawab, “Istriku masih memerlukannya.”

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah menghadap Ki Patih Mandaraka di serambi belakang Kepatihan, pada saat Ki Patih sedang beristirahat.

“Marilah, Glagah Putih dan Rara Wulan.” Ki Patih pun mempersilahkan keduanya duduk di sebuah amben kayu yang besar dan rendah di serambi belakang.

“Kapan kalian berdua datang?”

“Kami baru saja datang, Ki Patih.”

“Maksudmu kalian baru datang dari pengembaraan kalian ke Utara?”

“Ya, Ki Patih. Kami berdua baru datang langsung menghadap Ki Patih. Karena itulah maka mungkin keadaan kami berdua serta cara kami berpakaian tidak sepantasnya.”

“Baiklah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Jika demikian, biarlah abdi Kepatihan membawa kalian ke bilik yang dapat kalian pergunakan untuk beristirahat. Kalian dapat mandi dan berbenah diri. Bukankah kalian akan bermalam di sini?”

“Ya, Ki Patih. Jika Ki Patih berkenan, kami akan mohon diijinkan bermalam di Kepatihan.”

Ki Patih itu tersenyum. Katanya, “Ada banyak tempat di sini, Glagah Putih dan Rara Wulan. Kalian dapat bermalam di sini, meskipun hanya disediakan tempat seadanya.”

“Terima kasih, Ki Patih,” sahut Glagah Putih. “Tetapi kali ini kami tidak hanya berdua.”

“Kalian datang bersama siapa? Berapa orang?”

“Kami datang dengan membawa dua orang tawanan, Ki Patih.”

“Dua orang tawanan? Dari mana kalian mendapatkan tawanan?”

“Di seberang Alas Tambak Baya, Ki Patih.”

“Baik, baik. Sebaiknya kau berbenah diri lebih dahulu. Biarlah para tawanan itu diurus oleh para prajurit yang sedang bertugas. Nanti setelah badanmu menjadi segar, maka kau akan dapat memberikan laporan yang lebih jelas dan terperinci.”

Ki Patih pun kemudian memerintahkan Narpacundaka yang sedang bertugas untuk menghubungi lurah prajurit di gardunya.

“Perintahkan untuk mengurus dua orang tawanan itu,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Malam itu, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi serta berbenah diri, maka Ki Patih Mandaraka telah mengajak mereka makan malam bersama. Sambil makan Ki Patih ingin mendengarkan laporan perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan, yang ditugaskan untuk mengamati beberapa tempat yang mempunyai hubungan dengan Perguruan Kedung Jati, di bawah pimpinan Ki Saba Lintang.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian menceritakan pengalaman perjalanan mereka. Yang mereka amati justru lebih banyak perkembangan Kadipaten Demak daripada Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang.

Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Dengan nada dalam Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Jadi menurut penglihatan kalian berdua, Demak benar-benar akan memberontak melawan Mataram?”

“Ya, Ki Patih. Kami berdua melihat perkembangan kesiapan Kanjeng Adipati di Demak yang dapat membahayakan Mataram. Kanjeng Adipati di Pajang yang dengan tergesa-gesa berusaha mengusir kekuatan Demak di Sima, hampir saja mengalami bencana.”

“Ya. Sebenarnya Mataram memang sudah mendapatkan beberapa laporan tentang tingkah laku Kanjeng Adipati Demak. Tetapi aku memang menunggu kedatanganmu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku sudah mengira bahwa kalian berdua tentu akan mengamati perkembangan Demak pula.”

“Apakah Pajang telah memberikan laporan?”

“Sudah. Tetapi Pajang agaknya masih malu-malu mengakui kekalahannya di Sima.”

“Mungkin laporan itu baru akan sampai hari ini atau besok pagi, Ki Patih. Yang sudah dilaporkan tentu baru pengamatan para petugas sandinya di Sima. Tetapi Pajang tentu sedang menyusun laporan tentang usahanya untuk mengusir kekuatan Demak dan Perguruan Kedung Jati yang berada di Sima.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih bertanya, “Apakah seorang pejabat di Demak yang bernama Raden Yudatengara sudah menghadap?”

“Sudah,” jawab Ki Patih, “Raden Yudatengara telah memberikan laporan yang agak luas tentang perkembangan Ki Demak. Raden Yudatengara juga memberikan laporan tentang keberadaan kalian di Demak. Usaha kalian menyelamatkan Raden Yudatengara serta anak laki-lakinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Glagah Putih dan Rara Wulan, aku ingin mengajak kalian berdua besok menghadap ke Istana.”

“Lalu bagaimana dengan kedua orang tawanan itu?”

“Bukankah keterangan mereka juga tidak akan berbeda jauh dari keterangan kalian berdua?”

“Mereka melakukan pengamatan di seberang Alas Tambak Baya.”

Ki Patih mengangguk-angguk.

“Mereka akan dapat memberikan sedikit keterangan tentang kekuatan para petugas sandi di seberang Alas Tambak Baya.”

“Besok pagi, sebelum kita berangkat menghadap ke Istana, kita akan berbicara dengan mereka.”

“Ya, Ki Patih,”

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun sempat menceritakan bahwa mereka telah melihat latihan di Demak.

Latihan keprajuritan besar-besaran yang diselenggarakan di Demak itu memang menarik perhatian Ki Patih Mandaraka. Latihan besar-besaran itu tentu mengesankan bahwa Demak memang bersungguh-sungguh untuk melawan Mataram. Apalagi peristiwa yang terjadi di Sima. Bahkan Pajang telah mendahului Mataram menyerang pasukan Demak serta pasukan dari Perguruan Kedung Jati yang berada di bawah kepemimpinan Ki Saba Lintang.

Namun ketika malam sudah menjadi semakin larut, maka Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Nah, sekarang waktunya kalian untuk beristirahat. Nasinya tentu sudah turun, sementara kalian tentu merasa letih. Tidurlah. Besok pagi kita menghadap Panembahan Hanyakrawati.”

“Kanjeng Sultan, maksud Ki Patih?”

“Ya. Tetapi Kanjeng Sultan sendiri menyebut dirinya Panembahan Hanyakrawati.”

Menjelang tengah malam, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di dalam bilik yang bersih dan agak luas di dalam Kepatihan. Mereka merasa tenang dan tidak merasa dibayangi oleh keraguan. Karena itu maka keduanya tidak merasa perlu untuk tidur bergantian.

Pagi-pagi sekali keduanya telah terbangun. Mereka pun segera berbenah diri menghadapi hari baru yang akan segera datang. Namun ternyata Ki Patih Mandaraka pun telah terbangun pula.

Sebelum matahari naik, Ki Patih Mandaraka telah mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan untuk makan pagi. Mereka pun segera bersiap untuk pergi ke Istana menghadap Panembahan Hanyakrawati.

Meskipun bukan waktu pasowanan, namun Panembahan Hanyakrawati pun telah menerima Ki Patih Mandaraka untuk menghadap, bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan Pangeran Purbaya pun berada di Istana pula.

“Apakah ada kabar yang penting, Eyang?” bertanya Panembahan Hanyakrawati.

“Panembahan, kedua orang ini baru pulang dari Demak. Banyak hal yang telah didengar dan dilihat. Karena itu maka aku ajak mereka menghadap, agar mereka dapat melaporkan hasil perjalanan mereka. Sementara itu keduanya juga membawa dua orang tawanan yang dapat mereka tangkap di seberang Alas Tambak Baya. Mereka adalah para pengikut orang yang disebut Raden Suwasa, yang mengaku petugas dari Demak. Sebenarnya kami ingin mendengar keterangan dari keduanya. Tetapi akhirnya kami putuskan bahwa kami akan menghadap saja lebih dahulu. Agaknya keterangan kedua orang itu juga tidak akan banyak berarti. Jika mereka dapat menunjukkan sarang para petugas sandi dari Demak, maka sarang itu tentu sudah dikosongkan.”

Panembahan Hanyakrawati serta Pangeran Purbaya yang mendengarkan pernyataan Ki Patih Mandaraka itu menarik nafas panjang. Dengan nada rendah Panembahan Hanyakrawati pun berkata, “Baiklah, Eyang. Biarlah Glagah Putih dan istrinya memberikan laporan yang mungkin akan dapat lebih terperinci dari laporan yang pernah disampaikan kepadaku, baik oleh para petugas sandi, oleh para pemimpin di Pajang, dan oleh Paman Yudatengara yang pada waktu itu bertugas menyertai Kakangmas Kanjeng Pangeran Puger ke Demak.”

“Glagah Putih,” berkata Ki Patih kemudian, “kau sudah diperkenankan untuk menyampaikan laporanmu. Biarlah istrimu nanti melengkapinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian menyampaikan laporan mereka. Mereka menceritakan apa yang telah didengar, yang telah dilihat dan bahkan pernah dialaminya sendiri dalam tugas mereka. Mereka memang tidak banyak mengamati padepokan-padepokan yang bersangkut-paut dengan Perguruan Kedung Jati, tetapi mereka justru lebih banyak mengamati perkembangan Kadipaten Demak. Meskipun di dalamnya sudah dapat mencakup serba sedikit sikap Perguruan Kedung Jati.

Panembahan Hanyakrawati pun mengangguk angguk kecil. Wajahnya nampak muram. Hatinya memang menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan.

“Bagaimana menurut Eyang Patih dan Kangmas Pangeran Purbaya?” Suaranya merendah, “Kakangmas Pangeran Puger adalah saudaraku sendiri. Bahkan saudara tua. Jika aku harus menghadapi orang lain, maka sikapku akan dapat lebih jelas.”

“Kami dapat mengerti kebimbangan Cucunda Panembahan,” sahut Ki Patih Mandaraka, “tetapi bagaimanapun juga Mataram tidak akan dapat membiarkannya. Kita semuanya memang bersedih melihat kenyataan ini. Aku adalah salah seorang yang mendukung sekali kebijaksanaan Wayah Panembahan untuk mengirim Kanjeng Pangeran Puger ke Demak. Tetapi sama sekali tidak terlintas di dalam penalaranku bahwa pada suatu waktu Kanjeng Pangeran Puger justru akan menentang Mataram.”

“Aku mengerti kesulitan yang Dimas Panembahan sandang sekarang,” berkata Pangeran Purbaya, “namun seperti yang dikatakan oleh Eyang Patih, Panembahan memang harus bertindak. Apapun langkah yang akan Panembahan ambil.”

Panembahan Hanyakrawati itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah, Eyang. Langkah pertama yang akan aku ambil, aku akan mengirimkan utusan ke Demak. Aku ingin meyakinkan apakah Kakangmas Pangeran Puger benar-benar akan melawan Mataram, atau orang-orang yang ada di sekitarnya-lah yang sebenarnya ingin melakukannya.”

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk-angguk. Katanya, “Cara yang bijaksana untuk meyakinkan apakah Kanjeng Pangeran Puger akan melawan Mataram atau tidak.”

“Apakah yang harus dilakukan oleh utusan itu?” bertanya Pangeran Purbaya.

“Kangmas, aku akan minta Kangmas Pangeran Puger untuk menghadap ke Mataram. Ia harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang Adipati di wilayah kesatuan Mataram. Ia harus datang menghadap, sebagai satu pernyataan bahwa Demak masih tetap menjunjung hubungan yang sudah ada antara Mataram dan Demak.”

“Aku setuju, Dimas. Itu adalah langkah yang bijaksana. Aku bersedia untuk memimpin utusan ke Demak.”

“Tidak, bukan Kangmas Pangeran Purbaya. Kedudukan Kangmas terlalu tinggi untuk bertindak sebagai utusan yang sekedar memperingatkan kedudukan Kangmas Pangeran Puger. Biarlah seorang Tumenggung saja yang pergi ke Demak untuk menyampaikan perintahku, agar Kangmas Pangeran Puger menghadap.”

“Apakah Tumenggung itu akan mendapat perlakuan yang wajar di Demak?”

“Tumenggung itu datang atas namaku. Ia akan membawa pertanda bahwa ia adalah utusanku. Karena itu maka ia dapat bertindak atas namaku, meskipun sangat terbatas. Lain halnya jika aku akan mengirimkan duta ngrampungi. Seorang utusan yang berhak untuk mengambil sikap dan keputusan karena kuasa yang aku limpahkan kepadanya. Mungkin aku akan minta Kangmas Pangeran Purbaya melakukannya, atau seorang Pangeran yang lebih muda.”

Pangeran Purbaya itu menarik nafas panjang. Tetapi ia mengetahui maksud Panembahan Hanyakrawati. Ia benar-benar akan menguji Kanjeng Pangeran Puger. Jika ia tetap merasa satu dengan Mataram, Kanjeng Pangeran Puger tidak akan tersinggung jika utusan itu dipimpin oleh seorang Tumenggung. Seandainya ia tersinggung, maka ia akan menyampaikan perasaannya itu langsung kepada Panembahan Hanyakrawati setelah ia menghadap. Tetapi jika Pangeran Puger benar-benar akan menentang, maka sikapnya akan menjadi semakin jelas.

“Siapakah yang akan Wayah utus ke Demak?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Aku justru ingin bertanya kepada Eyang Patih.”

“Bagaimana pendapat Cucunda, jika yang diutus ke Demak itu Ki Tumenggung Derpayuda?”

“Ki Tumenggung Derpayuda?”

“Ya.”

“Aku sependapat, Dimas,” sahut Pangeran Purbaya. “Ki Tumenggung Derpayuda adalah seorang yang berwibawa. Ia akan dapat bertindak dengan bijaksana.”

Panembahan Hanyakrawati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengutus Ki Tumenggung Derpayuda untuk pergi ke Demak. Selain berwibawa dan bijaksana, Ki Tumenggung pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika kebetulan di Demak ada setan lewat, maka utusan itu pun harus bersikap.”

“Itulah yang ingin aku sampaikan kepada Wayah Panembahan. Aku yakin jika Pangeran Puger tidak akan berbuat curang. Seandainya Kanjeng Pangeran akan memberontak sekalipun, tetapi ia akan tetap berpijak pada sikap seorang ksatria. Yang aku cemaskan adalah orang-orang yang ada di sekitarnya. Mungkin saja orang-orang itu berbuat licik di luar pengetahuan Kanjeng Pangeran Puger. Mereka akan dapat berbuat curang terhadap Ki Tumenggung Derpayuda.”

“Ya, Eyang, aku sependapat. Karena itu sebaiknya Ki Tumenggung Derpayuda dilengkapi dengan perlindungan penyelamatan baginya.”

“Aku setuju, Dimas. Ki Tumenggung sebaiknya mendapat perlindungan sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus yang tersamar. Mereka akan bertebaran di Demak pada saat Ki Tumenggung menghadap. Kemudian mereka akan meninggalkan Demak pada saat Ki Tumenggung itu meninggalkan Demak. Mereka akan mengamati perjalanan sekelompok utusan itu.”

“Baiklah. Kita akan mengangkat seorang Senapati dalam tugas sandi ini. Segala sesuatunya akan kita serahkan kepada Senapati itu untuk mengatur perlindungan bagi Ki Tumenggung Derpayuda dengan sekelompok pengiringnya. Bahkan aku ingin menunjuk Raden Yudatengara, yang akan mendesak Kangmas Pangeran Puger itu lebih terbuka.”

“Aku sependapat, Dimas.”

“Menurut Eyang Patih, siapakah yang pantas diangkat sebagai Senapati yang akan memimpin para prajurit dalam Pasukan Khusus yang akan membayangi Ki Tumenggung Derpayuda?”

Ki Patih Mandaraka termenung sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Glagah Putih dan istrinya telah mengemban tugas ke Demak. Bagaimana jika tugas sebagai Senapati Pasukan Khusus yang membayangi Ki Tumenggung Derpayuda itu kita serahkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu? Ia diijinkan untuk membawa adik sepupunya, Glagah Putih dan istrinya, meskipun mereka bukan prajurit.”

Pangeran Purbaya mengangguk-angguk. Tetapi ia menunggu titah Panembahan Hanyakrawati. Untuk sesaat pertemuan kecil itu menjadi hening. Panembahan Hanyakrawati nampak sedang merenungi pendapat Ki Patih itu.

Agak ragu Panembahan Hanyakrawati itu pun bertanya, “Apakah Eyang Patih yakin bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dapat menunaikan tugasnya dengan baik? Bukankah banyak Senapati lain yang kedudukannya lebih tinggi dari Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga seimbang dengan kedudukan Ki Derpayuda?”

“Ki Lurah Agung Sedayu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, Wayah Panembahan. Jika diijinkan, biasanya Ki Lurah Agung Sedayu akan pergi bersama pasukan khususnya, serta membawa istrinya serta. Aku setuju jika kali ini ia pun membawa istrinya, Sekar Mirah, yang memiliki ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati pula. Ia akan dapat mempengaruhi para pengikut Ki Saba Lintang jika terpaksa timbul benturan kekerasan. Selain mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan akan dapat memberikan banyak petunjuk tentang perkembangan keadaan, selain Raden Yudatengara.”

Akhirnya Panembahan Hanyakrawati itu pun mengangguk-angguk kecil. Meskipun demikian ia masih berpaling kepada Pangeran Purbaya.

“Aku sependapat, Dimas,” berkata Pangeran Purbaya, yang tanggap akan keraguan Panembahan Hanyakrawati.

Demikianlah, akhirnya Panembahan Hanyakrawati pun memutuskan untuk memberikan perintah kepada Ki Lurah Agung Sedayu untuk membayangi perjalanan Ki Tumenggung Derpayuda ke Demak. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan bertindak sebagai pasukan sandi. Panembahan Hanyakrawati pun tidak berkeberatan jika Ki Lurah Agung Sedayu membawa istrinya yang mempunyai tongkat baja putih, ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan, meskipun mereka bukan prajurit. Tetapi mereka sudah terbiasa berada di lingkungan Pasukan Khusus yang dipimpin Ki Lurah Agung Sedayu.

Panembahan Hanyakrawati pun telah memberikan perintah kepada Glagah Putih dan Rara Wulan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan menyampaikan perintah Panembahan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kau dapat menunggu nawala yang memuat perintah kepada Ki Lurah Agung Sedayu sebentar, Glagah Putih,” berkata Panembahan Hanyakrawati.

“Hamba, Sinuhun,” sembah Glagah Putih.

Demikianlah, Ki Patih Mandaraka pun membawa Glagah Putih dan Rara Wulan ke serambi samping, untuk menunggu surat perintah kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kami akan langsung pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Patih.”

“Kau tidak singgah di Dalem Kepatihan?”

“Terima kasih. Kami ingin cepat menyampaikan perintah ini kepada Kakang Agung Sedayu.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau memerlukan uang untuk bekal? Mungkin kau akan mengeluarkan belanja khusus di luar anggaran Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

“Tidak, Ki Patih. Bekal yang kami terima menjelang keberangkatan kami itu masih terlalu banyak.”

“Kalian termasuk orang-orang yang dapat berhemat,” sahut Ki Patih sambil tersenyum. “Baiklah. Tetapi jika kalian memerlukan, kalian jangan segan-segan mengatakan kepadaku.”

“Baik, Ki Patih. Tetapi pada saat kami berangkat waktu itu, bukan hanya Ki Patih saja yang memberikan bekal, tetapi juga Pangeran Purbaya.”

Ki Patih itu tersenyum. Namun tiba-tiba saja Ki Patih itu terbatuk-batuk.

“Ki Patih?” Glagah Putih beringsut. Namun ia pun segera surut kembali. Ia tidak berani deksura mendekat, dan apalagi mencoba untuk berbuat sesuatu.

Tetapi batuk Ki Patih itu pun kemudian segera menjadi reda. Sambil mengatur pernafasannya, Ki Patih itu pun kemudian berkata, “Aku sudah tua, Glagah Putih. Agaknya waktuku sudah tidak terlalu jauh lagi. Karena itu, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu. Jika kau sabar sampai besok, maka aku berharap kau singgah di Dalem Kepatihan.”

“Kami akan melakukan perintah Ki Patih. Kami tentu tidak berkeberatan menunda perjalanan kami sampai besok.”

“Syukurlah. Jika demikian, nanti setelah kau menerima surat yang berisi perintah kepada kakangmu Ki Lurah Agung Sedayu, maka aku minta kau ikut aku ke Dalem Kepatihan.”

“Baik, Ki Patih.”

Demikianlah, seperti kesepakatannya dengan Ki Patih, maka setelah Glagah Putih menerima surat yang berisi perintah kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta ditandatangani serta ditandai dengan pertanda kuasa Panembahan Hanyakrawati, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengikuti Ki Patih Mandaraka pulang ke Dalem Kepatihan.

Sementara itu seorang lurah prajurit telah mendapat perintah untuk memanggil Ki Tumenggung Derpayuda menghadap langsung Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya. Panembahan kemudian telah memberikan perintah-perintah kepada Ki Tumenggung Derpayuda dengan segala perinciannya.

“Besok lusa Ki Lurah Agung Sedayu akan datang ke Mataram bersama sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus yang akan mengemban tugas sandi, membayangi perjalanan Ki Tumenggung Derpayuda. Ki Tumenggung lusa akan dapat berbicara langsung dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

Ki Tumenggung Derpayuda itu pun menyembah sambil menjawab, “Hamba menjunjung segala titah Sinuhun.”

“Baiklah, Ki Tumenggung. Sementara menunggu Ki Lurah Agung Sedayu serta pasukan sandinya, Ki Tumenggung dapat menyusun kelompok yang akan pergi ke Demak. Sebaiknya tidak terlalu banyak. Tidak lebih dari lima orang. Seorang di antaranya adalah Paman Yudatengara, yang pergi ke Demak bersama Kakangmas Pangeran Puger pada waktu itu. Namun agaknya Paman Yudatengara tidak dapat mengikuti jalan pikiran Kakangmas Pangeran Puger, yang dikendalikan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Di antaranya adalah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati di bawah pimpinan Ki Saba Lintang.”

“Hamba, Sinuhun. Hari ini hamba akan menemui beberapa orang yang akan hamba minta menyertai hamba pergi ke Demak. Hamba pun akan menemui Raden Yudatengara. Hamba dengar Raden Yudatengara mempunyai beberapa keterangan tentang Demak.”

“Ya. Bukankah Paman Yudatengara sudah berada di Demak untuk beberapa lama?”

“Hamba, Sinuhun.”

“Nah, besok pagi Ki Tumenggung aku minta menghadap Kakangmas Pangeran Purbaya bersama orang-orang yang akan pergi bersama Ki Tumenggung. Jika segala sesuatunya sudah selesai, maka Ki Tumenggung masih harus menghadap Eyang Patih Mandaraka, memberikan laporan segala persiapan keberangkatan Ki Tumenggung. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu sudah berada di Kotaraja ini pula.”

Demikianlah, setelah tuntas segala perintah Panembahan Hanyakrawati, maka Ki Tumenggung Derpayuda pun minta diri untuk menemui beberapa orang yang menurut pendapatnya pantas untuk diajak pergi ke Demak.

“Banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya. Bahkan Ki Tumenggung pun telah membayangkan bahwa orang-orang di sekitar Kanjeng Adipati di Demak itu dapat saja berbuat curang. Menangkapnya, dan bahkan membunuhnya bersama orang-orang yang pergi ke Demak bersamanya.

“Kematian akan datang kapanpun dan dimanapun juga, jika memang sudah waktunya,” berkata Ki Tumenggung itu kepada dirinya sendiri.

Ketika kemudian Ki Tumenggung Derpayuda itu pulang, maka Ki Tumenggung pun segera memberitahukan kepada Nyi Tumenggung tugas yang akan diembannya. Satu tugas yang sangat berat.

“Jadi Kakang Tumenggung akan pergi ke Demak, sementara berita yang terdengar semakin keras, Demak telah memberontak? Kenapa Panembahan Hanyakrawati tidak memerintahkan Kakang Tumenggung membawa pasukan segelar sepapan untuk menghancurkan Demak yang telah memberontak itu?”

“Kanjeng Panembahan masih berharap dapat menyelesaikan persoalannya dengan Demak tidak dengan kekerasan, yang akan dapat membawa korban prajurit yang tidak terhitung jumlahnya. Bahkan mungkin rakyat yang tidak bersalah dan tidak tahu menahu persoalannya.” 

“Tetapi sekarang, Kakang-lah yang akan dikorbankan.”

“Kenapa dikorbankan?”

“Apakah Kakang Tumenggung Derpayuda yakin bahwa Kakang tidak akan mengalami perlakuan buruk dari orang-orang Demak?”

“Aku kenal Pangeran Puger, Nyi. Pangeran Puger tidak akan berbuat curang dan licik.”

“Tentu bukan Pangeran Puger sendiri, Kakang. Bahkan mungkin Pangeran Puger sendiri sekarang telah terkurung oleh keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi. Mungkin Pangeran Puger sendiri berada dalam keadaan tanpa pilihan.”

“Ya. Agaknya memang demikian. Orang-orang yang mendukungnya adalah orang-orang yang justru menjerumuskannya. Orang-orang yang mengusung kepentingan pribadinya, yang hanya dapat dilakukan jika Kanjeng Pangeran Puger tetap berkuasa.”

“Orang-orang itu pula yang pada saatnya akan mendorong Kanjeng Adipati di Demak itu ke dalam sumur yang paling dalam.”

“Mudah-mudahan kedatanganku ke Demak ada artinya. Jika Kanjeng Adipati di Demak itu bersedia pergi bersamaku ke Mataram, mungkin akan ada perubahan di Demak.”

“Jika tidak?”

“Tidak ada jalan lain kecuali memaksa dengan kekerasan.”

“Kakang akan melakukannya?”

“Tentu tidak. Aku akan datang ke Demak hanya berlima.”

“Kalau saja orang-orang Demak itu menjadi mata gelap melihat kedatangan Kakang. Tentu banyak orang Demak yang tidak senang atas kedatangan Kakang itu.”

“Aku menyadarinya, Nyi. Tetapi yakinlah bahwa Kuasa Yang Maha Agung akan melindungi aku. Jika saatnya masih belum tiba, terjerumus ke lautan api pun aku akan tetap hidup. Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang meninggal di atas pembaringannya, jika maut itu sudah waktunya datang menjemput.”

Nyi Tumenggung memang tidak akan dapat mencegahnya. Sementara Ki Tumenggung tidak dapat mengatakan bahwa kepergiannya ke Demak akan dibayangi oleh sekelompok pasukan sandi, yang terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, seorang Senapati yang namanya sudah kawentar. Bagaimanapun juga perlindungan pasukan sandi itu merupakan rahasia yang besar. Juga demi keselamatannya sendiri. Karena itu, bahkan Nyi Tumenggung pun tidak akan diberitahukannya. Jika keberadaan pasukan sandi itu merembes sampai ke telinga petugas sandi dari Demak, maka yang akan terjadi adalah bencana bagi lima orang utusan ke Demak itu, serta sekelompok prajurit dalam pasukan sandi itu.

Malam itu Ki Tumenggung Derpayuda pun berkemas lahir dan batinnya. Ki Tumenggung sama sekali tidak menjadi kecewa bahwa pasukan yang akan membayanginya dipimpin oleh seorang lurah prajurit, karena lurah prajurit itu adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Tumenggung Derpayuda tahu benar siapakah Ki Lurah Agung Sedayu. Selain namanya yang sering disebut-sebut oleh para pemimpin Mataram, secara pribadi Ki Tumenggung Derpayuda memang sudah mengenalnya. Bahkan Ki Tumenggung merasa lebih tenang dilindungi hanya oleh seorang lurah prajurit, tetapi ia adalah Ki Lurah Agung Sedayu, daripada sekelompok prajurit yang dipimpin oleh seorang Rangga.

Dalam pada itu di Dalem Kepatihan, Ki Patih Mandaraka telah membawa Glagah Putih dan Rara Wulan ke dalam sanggarnya. Ternyata Ki Patih Mandaraka memberikan beberapa wejangan yang sangat berarti bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Bukan saja wejangan tentang hidup dan kehidupan, tetapi juga tentang ilmu kanuragan.

“Aku yakin bahwa kalian berdua, seperti juga kakak sepupumu, tidak akan menyalahgunakan ilmu yang kau kuasai. Aku yakin bahwa kalian berdua akan mengamalkan ilmu bagi banyak orang yang memerlukan. Karena itu maka aku akan memberitahukan kepada kalian berdua, agar kalian dapat membuka pintu bilik yang memuat ilmu kanuragan dalam tataran yang sangat tinggi. Wayah mendiang Raden Rangga sering berada di Dalem Kepatihan ini. Karena itu aku mengenalnya dengan baik. Bagaimana Raden Rangga memasuki satu tataran ilmu yang sulit dijangkau oleh orang lain. Sekarang, menurut pendapatku, ilmu yang tinggi itu, bahkan sangat tinggi itu, tidak disia-siakan. Karena itu aku ingin memberikan beberapa petunjuk kepada kalian untuk membuka pintu dan memasuki ruang-ruang yang ditinggalkan oleh Raden Rangga. Apalagi Glagah Putih sendiri adalah sahabat, dan bahkan Raden Rangga sering menyebut kau sebagai kawan bermain yang jujur.”

“Kami berdua akan melakukan segala perintah Ki Patih.”

“Tetapi yang akan aku berikan sekarang hanyalah petunjuk-petunjuk yang dapat membuka pintu itu. Selanjutnya terserah kepada kalian, bagaimana kalian mengembangkannya. Tetapi aku yakin bahwa kalian akan dapat melakukannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah mempersiapkan dirinya untuk memasuki pintu yang akan terbuka. Mereka akan berjalan dalam lorong yang panjang dari laku untuk menguasai ilmu yang sangat rumit.

Dalam pada itu, Ki Patih pun berkata, “Glagah Putih dan Rara Wulan, aku tahu bahwa kalian sekarang ini telah menguasai ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang akan aku tunjukkan kepadamu adalah ilmu yang akan dapat melengkapi ilmumu. Kau akan dapat bekerja sama dengan kakangmu Agung Sedayu yang telah menguasai beberapa macam ilmu yang langka itu lebih dahulu, agar kakangmu Agung Sedayu dapat memberikan beberapa petunjuk kepada kalian berdua.”

“Kami akan melakukan apa saja sesuai dengan perintah Ki Patih.”

Ki Patih pun kemudian telah menuntun kedua orang suami istri itu untuk memusatkan nalar budi. Glagah Putih dan Rara Wulan itu duduk di belakang Ki Patih Mandaraka. Dengan suara yang dalam, yang seakan-akan melingkar-lingkar di dalam rongga dadanya, Ki Patih itu pun kemudian mengucapkan kalimat-kalimat yang disebutnya sebagai satu cara membuka pintu untuk memasuki satu ruangan, untuk selanjutnya berjalan di lorong yang panjang itu.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah memasuki dunia samadinya. Keduanya melihat Ki Patih Mandaraka yang tua itu bangkit berdiri. Dengan gerakan-gerakan yang sangat khusus maka Ki Patih itu menuntun Glagah Putih dan Rara Wulan, yang kemudian telah tenggelam di alam dunia samadinya. Keduanya merasakan seakan-akan keduanya juga bangkit berdiri sebagaimana Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun mulai bergeser mengikuti gerak kaki Ki Patih Mandaraka ke tengah-tengah sanggar. Namun dalam pada itu, tiga sosok wadag masih tetap duduk bersila dan tangan bersilang di dada. Sementara itu telapak tangan kanan mereka terletak di bahu sebelah kiri.

Glagah Putih dan Rara Wulan, dalam samadinya, dengan ketajaman nalar budinya melihat ujud halus dari kewadagan mereka telah mengikuti segala gerak ujud halus kewadagan Ki Patih Mandaraka.

Ternyata mereka telah menapak ke dalam satu kebulatan suasana yang seakan-akan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu berapa lama mereka melakukan sebagaimana dilakukan oleh Ki Patih Mandaraka.

Namun apa yang telah mereka mulai itu akhirnya telah berakhir pula. Ki Patih Mandaraka itu pun kemudian telah melangkah surut kembali ke tempat semula. Ujud halus kewadagannya yang hadir dalam pemusatan nalar budi yang bulat dari Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendapat tuntunan dari Ki Patih itu pun telah menyatu kembali dengan ujud kewadagan kasarnya.

Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah menenggelamkan dirinya dalam samadinya itu, seakan-akan telah menyatu kembali dalam ujud kewadagan kasarnya.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari dirinya dalam keutuhannya kembali, maka mereka pun merasa betapa letih tubuhnya. Glagah Putih yang memiliki tubuh yang lebih kokoh dari Rara Wulan sebagaimana kewajaran seorang laki-laki yang lebih kuat dari seorang perempuan, melihat Rara Wulan itu tertunduk lemah.

Namun sebelum Glagah Putih sempat bangkit setelah melepas samadinya untuk bergeser mendekati Rara Wulan, mereka melihat Ki Patih Mandaraka menjadi sangat lemah. Bahkan Ki Patih itu sudah menjadi goyah. Hampir saja Ki Patih itu terkulai, jika saja Glagah Putih yang duduk di belakang Ki Patih itu tidak sempat menangkap tubuh Ki Patih Mandaraka. Rara Wulan yang menjadi sangat letih itu pun masih bergeser setapak maju.

“Ki Patih?” desis Glagah Putih.

Ki Patih itu berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Ia mencoba duduk dengan mapan sambil mengatur pernafasannya. Rara Wulan pun kemudian telah melakukannya pula. Baru kemudian Glagah Putih sendiri.

Beberapa saat kemudian, keadaan mereka bertiga menjadi lebih baik. Dengan suara yang lemah Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Ternyata aku sudah terlalu tua, Glagah Putih. Aku sudah lemah sekali. Hampir saja wadagku tidak mampu lagi mendukung bagaimana aku membuka pintu bagi kalian berdua. Namun kita dapat mengucap syukur, bahwa yang kita lakukan dapat berlangsung dengan selamat.”

“Ya, Ki Patih. Kami mengucap syukur.”

“Baiklah. Sekarang kalian sudah melihat isi dari ilmu yang ingin aku limpahkan kepada kalian. Karena itu maka pelajarilah dengan baik, sehingga kalian berdua akan dapat memahaminya, mendalaminya, serta mengenali dengan baik watak dan sifatnya. Tentu saja tidak dengan serta-merta, tetapi kalian memerlukan waktu. Namun aku yakin bahwa kalian akan dapat menguasainya dengan baik sekali.”

“Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Ki Patih.”

“Bagus. Aku percaya.” Ki Patih itu pun kemudian menarik nafas panjang. Katanya, “Sekarang aku ingin beristirahat. Sebaiknya kalian segera berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi karena tubuh kalian letih, aku nasehatkan agar kalian naik kuda saja.”

“Naik kuda?”

“Ya. Naik kuda, kalian akan lebih cepat sampai, sementara kalian tidak harus mempergunakan banyak tenaga, karena tenaga kalian baru saja kalian kerahkan dalam samadi kalian. Kalian berdua dapat membawa kuda dari Kepatihan.”

“Apakah kuda-kuda itu tidak selalu diperlukan di sini?”

“Di sini ada beberapa ekor kuda. Kalian dapat membawa dua di antaranya.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

“Nah, sekarang marilah kita keluar dari sanggar. Kita akan minum minuman hangat serta makan pagi, sebelum kalian berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Makan pagi?”

“Ya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu. Karena mereka berada di sanggar tertutup, maka mereka tidak segera dapat melihat suasana di luarnya. Ketika Ki Patih Mandaraka bangkit berdiri perlahan-lahan dibantu oleh Glagah Putih, maka Rara Wulan yang tubuhnya terasa lemah itu pun bangkit pula berdiri. Mereka berjalan perlahan menuju ke pintu sanggar. Ki Patih Mandaraka pun kemudian membuka pintu sanggar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Mereka tidak segera tahu waktu. Mereka melihat cahaya matahari yang cerah jatuh di atas tanah di depan pintu sanggar itu.

“Apakah sekarang pagi hari?” bertanya Glagah Putih.

Ki Patih pun tersenyum. Katanya, “Ya, sekarang pagi hari. Bahkan matahari sudah naik.”

“Jadi berapa lama kami berada di sanggar?”

“Bukankah kita memasuki sanggar kemarin sore? Pagi hari kita berada di Istana menghadap Panembahan.”

“Jadi kita berada di sanggar itu semalam penuh, bahkan lebih lama lagi, karena kita memasuki sanggar di sore hari. Bahkan kita sekarang keluar dari sanggar setelah matahari naik.”

“Ya. Dalam samadi semalam, kita tidak mengenal ruang dan waktu. Nah, sekarang kalian dapat mandi dan membenahi diri kalian. Kita akan minum minuman hangat serta makan pagi, seperti yang aku katakan. Kemudian kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kalian sudah menunda perjalanan kalian hampir sehari semalam.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih merasa lemah itu bergantian mandi dan berbenah diri. Kemudian seperti yang dikatakan oleh Ki Patih, bagi mereka telah disediakan minum hangat serta makan pagi, sebelum mereka pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Masih ada waktu. Hari ini kau akan bertemu dengan Ki Lurah untuk menyampaikan perintah itu. Besok Ki Lurah dan beberapa orang pemimpin kelompoknya akan datang ke Kotaraja. Tentu saja kalian berdua juga ikut bersamanya. Bahkan mungkin bersama dengan mbokayumu Sekar Mirah.”

Setelah minum minuman hangat serta makan pagi secukupnya, maka Ki Patih Mandaraka pun masih memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Patih banyak berbicara tentang Raden Rangga. Kenakalannya, tetapi dilandasi dengan kejujuran yang lugu.

“Raden Rangga seakan-akan telah menyadari sejak lama bahwa ia memang harus minggir.”

Beberapa saat kemudian, ketika matahari telah naik semakin tinggi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan Dalem Kepatihan. Seperti yang ditawarkan oleh Ki Patih, keduanya menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh dengan berkuda.

Sejenak kemudian keduanya pun telah memacu kuda mereka meninggalkan pintu gerbang kota. Apalagi setelah mereka berada di luar kota. Di jalan-jalan yang sepi mereka melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Namun di tempat-tempat yang agak ramai mereka harus menarik kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda mereka itu berlari lebih lambat.

Ketika mereka sampai ke tepian Kali Praga, rakit yang menyeberang dari timur ke barat baru saja berangkat, sehingga mereka harus menunggu rakit yang sedang dalam perjalanan menyeberang dari sisi barat ke timur.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berhenti di tepian. Mereka bahkan dapat memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat.

Rakit yang menyeberang dari barat ke timur itu pun semakin lama menjadi semakin mendekati tepian. Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk di tepian untuk menunggu rakit itu menepi serta menurunkan muatannya. Orang-orang yang menyeberang serta beberapa macam barang.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja beberapa orang anak muda pun muncul dari balik tanggul di tepian sebelah timur. Mereka pun langsung berlari-lari ke tepian sambil berteriak-teriak. Tingkah laku mereka menunjukkan betapa mereka tidak menghormati unggah-ungguh dan tata krama.

Anak-anak muda itu berjalan dengan sengaja membaur-baur pasir dengan kaki mereka. Bahkan ketika mereka berjalan beberapa langkah di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka masih saja menebarkan debu. Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa menutup mulut serta hidung mereka dengan telapak tangan mereka, sambil berpaling untuk menghindari debu yang berhamburan.

Tiba-tiba seorang di antara anak-anak muda itu berhenti. Anak muda itu berbalik beberapa langkah dan berdiri tegak di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kenapa kau berpaling, he? Kau tersinggung karena kakiku menyampar pasir dan menimbulkan debu?”

“Kami tidak tersinggung, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih, “tetapi kami memang tidak ingin debu itu mengenai mata kami.”

“Jika debu ini mengenai matamu, kau mau apa?” geram orang itu. Tiba-tiba saja di luar dugaan kakinya telah dengan sengaja menendang pasir hingga terhambur ke wajah Glagah Putih dan Rara Wulan. Untunglah bahwa mereka cukup tangkas. Demikian pasir itu mengenai wajah mereka, pasir itu tidak masuk ke dalam mata mereka.

“Kau gila! Jika kau tidak sengaja menaburkan pasir di wajahku, aku tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak mau kau dengan sengaja menaburkan pasir itu ke wajahku ini.”

“Lalu kau mau apa?”

Tiba-tiba saja Glagah Putih itu menggenggam pasir dan menaburkan ke wajah anak muda itu. Terdengar anak muda itu berteriak nyaring. Matanya terasa begitu pedih. Ia tidak dapat dengan cepat menanggapi keadaan dan dengan segera memejamkan matanya, sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan. Teriakan anak muda itu membuat kawan-kawan mereka berpaling.

“Ada apa?” bertanya anak-anak muda yang lain, sambil berlari-lari mendekati kawannya yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Orang itu gila. la menaburkan pasir ke wajahku.”

“Cuci mukamu,” berkata kawannya.

Seorang di antara kawan-kawannya itu pun segera menggandengnya ke tepi Kali Praga. Anak muda itu pun segera mencuci wajahnya, sehingga pasir di matanya pun lambat laun menjadi bersih.

Kemarahan anak muda itu bagaikan membakar ubun-ubunnya. Ia pun segera melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan geram anak muda itu pun berkata, “Kenapa kau menaburkan pasir itu ke mataku?”

“Aku-lah yang seharusnya bertanya lebih dahulu,” sahut Glagah Putih. Glagah Putih yang sedang dibayangi oleh tugasnya yang berat itu menjadi tidak sesabar biasanya.

“Persetan,” geram anak muda itu, “aku akan meremas wajahmu, dan tidak saja menaburkan pasir ke wajahmu, tetapi aku akan menjejalkan pasir itu ke mata dan mulutmu.”

“Anak muda,” berkata Glagah Putih, “aku sedang tidak sempat bermain-main. Karena itu jangan sentuh aku, sebelum aku membuatmu pingsan.”

“Kau anggap dirimu siapa, he? Sehingga kau berani menantangku?” geram anak muda itu.

Tetapi Glagah Putih memang agak lain dari biasanya. Biasanya ia tidak cepat menanggapi orang-orang yang melakukan kekerasan kepadanya. Tetapi saat itu, penalaran dan perasaan Glagah Putih sedang dibalut oleh tugas-tugas pentingnya. Karena itu maka Glagah Putih pun tiba-tiba membentak pula, “Kau sendiri menganggap dirimu siapa? Sehingga kau dengan semena-mena memperlakukan orang lain.”

Anak muda itu memang menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja anak muda itu menerkam Glagah Putih dengan garangnya. Tetapi kawan-kawannya tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi. Mereka tidak melihat jari-jari Glagah Putih telah menyentuh beberapa simpul syaraf anak muda itu, sehingga anak muda itu seakan-akan telah tertidur nyenyak.

Glagah Putih sempat menangkap tubuhnya dan meletakkannya di atas pasir tepian.

“Perlakukan kawanmu ini dengan baik. Ia hanya tertidur beberapa saat. Nanti ia akan terbangun dengan sendirinya. Tetapi jika kalian perlakukan anak muda ini dengan kasar, maka ia tidak akan pernah bangun.”

Kawan-kawan anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka pun segera menyadari bahwa mereka tidak berhadapan dengan orang kebanyakan. Karena itu, seorang yang tertua di antara mereka telah melangkah maju sambil berdesah, “Ki Sanak, biarlah kami yang minta maaf atas keterlanjurannya.”

“Apakah biasanya kalian memperlakukan orang lain sekasar ini?”

Anak muda yang tertua di antara kawan-kawannya itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang sering mengganggu orang lain. Bahkan orang-orang yang tidak berdaya, dan yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan mereka.

“Anak-anak muda yang tidak tahu diri,” berkata Glagah Putih kemudian, “pada suatu saat, jika aku tidak sedang sibuk, aku akan mencari kalian. Aku akan membuat perhitungan yang lebih terperinci. Mungkin aku akan menghukum beberapa orang di antara kalian secara langsung.”

“Kami minta maaf, Ki Sanak. Tetapi bagaimana dengan kawan kami ini?”

“Sudah aku katakan, ia hanya tertidur. Biarkan saja ia tidur beberapa lama. la akan terbangun sendiri. Tetapi jika kau tinggal kawanmu itu atau kau perlakukan tidak baik, maka ia tidak akan pernah bangun. Ingat yang aku katakan ini.”

“Baik, Ki sanak,” jawab anak muda yang tertua itu.

Sementara itu rakit yang menyeberang ke arah timur pun telah menepi. Penumpangnya yang datang dari sisi barat pun telah turun.

Glagah Putih pun kemudian berkata, “Aku akan menyeberang. Uruslah kawanmu itu. Seperti yang aku katakan, jika kelak aku mempunyai waktu luang, aku akan mencari kalian. Persoalan di antara kita masih belum selesai.”

Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi kepada mereka. Ia pun segera memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk menuntun kuda mereka naik ke rakit yang sudah merapat di tepian.

Beberapa orang anak muda itu memperhatikan Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran. Mereka masih saja tidak mengerti, bagaimana dapat terjadi bahwa kawannya yang menyerang orang itu tiba-tiba saja telah tertidur.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” bertanya salah seorang anak muda itu.

“Menunggu kawan kita itu bangun. Kita tidak dapat berbuat apa-apa, agar kita tidak justru mencelakainya.”

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah membawa kudanya naik ke atas rakit yang terhitung besar. Rakit itu tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Dalam waktu yang singkat rakit itu telah penuh dengan penumpang. Beberapa orang yang sempat melihat apa yang terjadi di tepian itu pun saling berbisik. Sekali-sekali mereka memandang Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun kemudian mereka pun segera berpaling jika Glagah Putih dan Rara Wulan kebetulan saja memandangi mereka.

Dalam pada itu, setelah mereka berada di sisi barat Kali Praga, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera melarikan kudanya pula. Mereka tidak menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Mereka akan langsung pergi ke barak prajurit Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu. karena mereka yakin bahwa Ki Lurah tentu sudah berada di baraknya.

Sebenarnyalah ketika mereka sampai di barak, mereka pun segera dipersilahkan untuk naik ke bangunan utama barak prajurit dari Pasukan Khusus itu. Ki Lurah Agung Sedayu pun segera menemui mereka. Agaknya ada yang penting yang harus disampaikan mereka kepada Ki Lurah, karena mereka telah datang ke barak prajurit itu.

“Kami baru datang dari Mataram, Kakang,” berkata Glagah Putih, demikian Ki Lurah Agung Sedayu menemui mereka.

“Kalian baik-baik saja selama ini?”

“Ya, Kakang. Kami baik-baik saja. Bagaimana dengan keluarga di Tanah Perdikan?”

“Semuanya baik-baik saja. Apakah kau tadi belum singgah di rumah?”

Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, “Belum, Kakang. Dari Mataram aku langsung kemari. Menurut dugaanku, Kakang tentu sudah berapa di sini pada wayah seperti ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kau membawa kabar yang sangat penting, sehingga kau tidak dapat menunggu sampai sore nanti?”

“Ya, Kakang. Aku bukan saja membawa kabar, tetapi aku membawa perintah langsung dari Sinuhun di Mataram.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun kemudian memberikan surat yang berisi perintah dari Panembahan Hanyakrawati kepada Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Demikian Ki Lurah Agung Sedayu membaca surat yang berisi perintah itu. maka ia pun menarik nafas panjang. Dengan nada berat Ki Lurah itu pun berkata, “Satu tugas yang berat, Glagah Putih.”

“Ya, Kakang. Ki Patih Mandaraka telah memberitahukan tugas apa yang harus Kakang emban itu.”

“Baiklah. Aku harus mempergunakan waktu yang sempit ini sebaik-baiknya. Aku hanya mempunyai kesempatan hari ini. Besok kita harus sudah berada di Mataram.”

“Apakah Kakang akan membawa pasukan Kakang seluruhnya besok pagi?”

“Tidak. Aku akan datang ke Mataram dengan para pemimpin kelompok saja lebih dahulu. Biarlah yang lain mempersiapkan segala sesuatunya di barak. Kita akan pergi ke Demak dalam tugas sandi. Tugas yang lebih berat dari tugas menghadapi musuh dalam perang gelar.”

“Ya, Kakang.”

“Sekarang, kalian berdua sebaiknya mendahului pulang. Sampaikan kepada mbokayumu Sekar Mirah, agar ia pun mempersiapkan dirinya. Meskipun hari ini mbokayumu masih lemah, tetapi besok ia sudah akan pulih kembali.”

“Kenapa dengan mbokayu?” bertanya Rara Wulan, “Apakah Mbokayu sakit?”

“Tidak, Rara. Mbokayumu menuntaskan ilmunya. Dalam pekan-pekan terakhir ini mbokayumu telah menjalani laku. Kini mbokayumu sudah menuntaskan ilmunya yang didasari dengan ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati. Tetapi ilmu mbokayumu itu tidak murni. Meskipun demikian, aku kira tidak ada orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang dapat berada pada tataran yang sama dengan mbokayumu. Tentu saja aku tidak mengatakan bahwa mbokayumu memiliki ilmu terbaik dalam dunia olah kanuragan. Tetapi setidak-tidaknya di antara mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati, mbokayumu berada di tataran teratas. Ki Saba Lintang pun masih harus berpikir ulang untuk berperang tanding melawan mbokayumu.”

“Jadi Mbokayu sudah menuntaskan ilmunya?”

“Ya.”

“Syukurlah. Bukankah besok kakang akan membawa Mbokayu Sekar Mirah serta?”

“Kalau diijinkan, aku akan mengajak mbokayumu. Ia memiliki ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Mungkin ciri kepemimpinan itu ada pengaruhnya. Jika tidak, setidak-tidaknya mbokayumu akan dapat membantuku. Para prajuritku semuanya tahu tentang mbokayumu. Bahkan mbokayumu pernah menjadi salah seorang yang membantuku melatih beberapa orang prajurit dalam peningkatan kemampuan mereka secara pribadi. Mbokayumu memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya dalam mempergunakan senjata tongkat baja.”

“Aku akan senang sekali melakukan tugas ini bersama Mbokayu Sekar Mirah.”

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan barak prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Mereka melarikan kuda mereka ke padukuhan induk. Pulang ke rumah mereka.

Ketika mereka sampai di rumah, demikian mereka memasuki regol halaman, dengan serta-merta Rara Wulan telah menyerahkan kendali kudanya kepada Glagah Putih. Seperti kanak-kanak yang pulang dari rumah neneknya untuk beberapa lama, sehingga menjadi sangat rindu kepada ibunya, Rara Wulan pun berlari-lari masuk lewat pintu seketheng sambil memanggil-manggil, “Mbokayu? Mbokayu? Dimana kau?”

Sekar Mirah yang berada di dapur, yang mendengar suara Rara Wulan itu pun segera menghambur keluar. Rara Wulan pun segera mendekap Sekar Mirah, yang juga gurunya yang memberikan dasar-dasar ilmu kanuragan kepadanya.

Ternyata mata Rara Wulan menjadi basah Keduanya pun kemudian masuk ke ruang dalam. Ketika pintu pringgitan terbuka, Glagah Putih pun segera masuk ke ruang dalam pula.

“Kalian baik-baik saja?” bertanya Sekar Mirah.

“Kami baik-baik saja, Mbokayu,” Rara Wulan-lah yang menjawab. “Bukankah Mbokayu dan seluruh keluarga di sini juga baik-baik saja?”

“Ya. Kami juga baik-baik saja.”

“Kami tadi sudah singgah di barak Kakang Agung Sedayu,” berkata Rara Wulan. Sekar Mirah pun mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Jadi kalian tadi sudah singgah di barak? Apakah kalian membawa kabar penting, sehingga kalian langsung menemui kakangmu Agung Sedayu di baraknya?”

“Ya, Mbokayu. Kami membawa perintah.”

“Perintah?”

“Ya. Perintah langsung dan Sinuhun di Mataram.”

Sejenak kemudian mereka telah duduk di amben yang agak besar di ruang tengah. Bahkan Ki Jayaraga pun, yang kebetulan tidak pergi ke sawah, telah ikut menemui kedua orang suami istri yang sudah agak lama meninggalkan rumahnya itu.

Dengan singkat Rara Wulan-lah yang kemudian bercerita tentang perjalanan mereka, sehingga akhirnya mereka merasa perlu untuk segera kembali ke Mataram menghadap Ki Patih Mandaraka, yang kemudian justru membawa mereka menghadap Sinuhun Panembahan.

“Sinuhun di Mataram telah memberikan perintah kepada Kakang Agung Sedayu,” berkata Rara Wulan kemudian.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berdesis, “Jadi kakangmu akan segera mengemban tugas yang berat itu?”

“Ya, Mbokayu. Tetapi menurut Kakang, Mbokayu akan ikut bersama Kakang. Kami berdua juga akan ikut dalam tugas sandi itu besok.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Jayaraga pun berdesis, “Apakah kalian tidak ingin membawa aku serta?”

Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Jika Ki Jayaraga juga pergi, nanti Tanah Perdikan ini menjadi kosong. Jika sesuatu terjadi, tidak ada yang akan membantu Ki Gede, yang sudah menjadi semakin tua.”

“Apakah aku tidak semakin tua?” bertanya Ki Jayaraga.

Sambil tersenyum Glagah Putih menjawab, “Guru, justru karena Guru sudah menjadi semakin tua, sebaiknya Guru tidak ikut dalam tugas yang sangat berat ini.”

“Anak bengal,” gumam Ki Jayaraga.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan justru tertawa. Demikian pula Sekar Mirah.

“Mbokayu,” berkata Rara Wulan kemudian, “Kakang Agung Sedayu minta aku pulang lebih dahulu untuk menyampaikan kabar ini kepada Mbokayu, agar Mbokayu dapat bersiap-siap. Menurut Kakang, Mbokayu sedang dalam keadaan lemah. Tetapi mudah-mudahan besok keadaan Mbokayu sudah pulih kembali.”

“Aku tidak apa-apa, Wulan,” sahut Sekar Mirah.

Tetapi Rara Wulan pun berkata, “Mbokayu, Kakang sudah mengatakan bahwa Mbokayu baru saja menjalani laku dan berhasil menuntaskan ilmu pada tataran tertinggi dari aliran Kedung Jati, meskipun menurut Kakang sudah tidak murni lagi. Nah, kami berdua mengucapkan selamat. Kami yakin bahwa justru karena ilmu yang Mbokayu kuasai itu sudah tidak murni lagi, maka yang Mbokayu kuasai itu tentu lebih baik dari puncak ilmu aliran Perguruan Kedung Jati itu sendiri. Menurut pengertian kami, ketidakmurnian dari ilmu kanuragan Mbokayu itu karena di dalamnya tentu terisi berbagai macam gerak dari ilmu yang telah dikuasai oleh Kakang Agung Sedayu, yang sangat tinggi dan sangat luas tebarannya itu.”

“Ah, aku merasa sangat tersanjung dengan pujianmu itu, Wulan. Mudah-mudahan kau tidak kecewa jika kau melihat kenyataan yang ada padaku.”

“Tidak, tidak, Mbokayu,” sahut Rara Wulan dengan serta-merta.

Demikianlah, Glagah Putih pun kemudian telah melengkapi cerita Rara Wulan. Glagah Putih pun telah memberitahukan bahwa besok mereka harus berada di Mataram untuk membicarakan segala sesuatunya.

“Yang akan berangkat ke Demak adalah Ki Tumenggung Derpayuda, Mbokayu.”

“Ki Tumenggung Derpayuda,” ulang Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah masih belum mengenal orang yang bernama Ki Tumenggung Derpayuda itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Sekar Mirah pun telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk beristirahat.

“Mungkin kalian akan pergi ke pakiwan.”

“Ya, Mbokayu. Ada anak nakal yang membaurkan pasir ke tubuh kami berdua. Rasa-rasanya pakaianku masih penuh dengan pasir.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergantian pergi ke pakiwan, sementara Sekar Mirah menyiapkan minuman dan makanan bagi mereka berdua.

Demikian mereka selesai mandi, maka Sekar Mirah pun mempersilahkan mereka makan.

“Ki Jayaraga akan menemani kalian.”

“Mbokayu sendiri?”

“Aku belum lama makan.”

“Aku juga,” sahut Ki Jayaraga.

“Hanya menemani,” sahut Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah pun telah berada di dalam biliknya. Diambilnya tongkat baja putihnya dari peti kayu yang terletak di sebelah pembaringannya. Tongkat baja putihnya yang diberinya sarung kulit itu, ditariknya dan diamatinya. Seolah-olah Sekar Mirah itu sedang berbincang dengan tongkat baja putihnya itu ketika tongkatnya itu ditimangnya.

“Kita besok akan pergi jauh,” desis Sekar Mirah.

Sebenarnyalah bahwa keadaan Sekar Mirah memang sudah pulih kembali. Ketika ia selesai menjalani laku, maka tubuhnya memang terasa menjadi lemah. Tetapi keadaan itu sudah lewat.

Sementara itu di baraknya, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah mempersiapkan prajurit-prajuritnya. Ki Agung Sedayu telah memilih orang-orang terbaik yang sesuai dengan tugas yang bakal diembannya. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak akan menghadapi musuh langsung dalam perang gelar, tetapi Ki Lurah Agung Sedayu akan ditaburkan dalam tugas sandi, membayangi beberapa orang utusan dari Mataram yang akan menghadap Kanjeng Adipati Demak.

Ki Lurah telah memerintahkan lima orang pemimpin kelompok terbaik untuk menyertainya di keesokan harinya, menghadap Ki Patih Mandaraka di Mataram. Bahkan mungkin mereka harus menghadap langsung Panembahan Hanyakrawati atau Pangeran Purbaya. Baru setelah pasukannya tersusun, maka Ki Lurah pun bersiap-siap untuk meninggalkan barak itu.

“Kalian tidak akan mengenakan pakaian keprajuritan serta pertanda apapun yang nampak dari luar. Meskipun demikian, kalian tetap membawa pertanda keprajuritan kalian di bawah baju penyamaran kalian. Sementara itu, malam nanti kalian akan mempunyai kesempatan untuk mengenal wajah serta ciri-ciri dari kawan-kawan kalian. Jika kita terlibat dalam pertempuran dengan para murid dari apa yang mereka sebut Perguruan Kedung Jati, maka mereka agaknya juga tidak mengenakan pakaian keprajuritan serta ciri-ciri tertentu sebagaimana seorang prajurit. Karena itu, maka jangan sampai kalian menjadi bingung, yang manakah lawan dan yang manakah kawan.”

“Kami akan membicarakan untuk menyepakati ciri-ciri tertentu, Ki Lurah,” berkata seorang pemimpin kelompok. “Meskipun kami yang satu dengan yang lain sudah mengenal dengan baik karena setiap hari kami tinggal di barak yang sama, tetapi jika terjadi benturan kekerasan di malam hari, kami harus mempunyai satu pertanda khusus yang dapat dikenali, pada pakaian kami misalnya.”

“Bagus. Adalah tugas para pemimpin kelompok untuk membicarakannya, kemudian mengetrapkannya. Beri aku laporan terperinci, agar aku dan orang-orang yang akan menyertai kita dari luar barak ini mengerti dan mengenakan ciri-ciri itu pula.”

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu sudah menduga bahwa Ki Lurah akan membawa istrinya, Glagah Putih dan Rara Wulan, yang sudah mereka kenal dengan baik, karena ketiganya sudah sering ikut bersama dalam tugas-tugas yang berat, meskipun mereka bukan prajurit.

Menjelang senja, Ki Lurah Agung Sedayu sudah berada di rumahnya. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Ki Lurah itu pun kemudian duduk-duduk di pringgitan bersama Sekar Mirah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga.

Glagah Putih dan Rara Wulan telah menceritakan pengalaman perjalanan mereka sampai ke Demak dengan lebih terperinci. Keduanya telah menceritakan tentang latihan besar-besaran yang dilakukan oleh para prajurit Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati di hadapan Kanjeng Adipati Demak serta Ki Saba Lintang, sebagai pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.

“Bagaimana menurut penilaian kalian tentang prajurit Demak, dibandingkan dengan prajurit Mataram?”

“Menurut pendapatku, para prajurit Mataram masih mempunyai kelebihan, Kakang. Terutama pada kemampuan para prajurit itu secara pribadi. Ketika dilakukan sodoran, aku melihat ada banyak kelemahan, meskipun para prajurit yang hari itu dianggap terbaik dengan memenangkan lomba sodoran itu. Kemampuan mereka memanah pun tidak mengagumkan, apalagi kecepatan mereka mempersiapkan busur dan anak panah mereka. Kemudian ketrampilan mereka dalam ilmu senjata pun wajar-wajar saja. Tidak ada kelebihan-kelebihan yang dapat menjadikan para prajurit Demak itu mempunyai kelebihan. Apalagi pasukan yang mereka kerahkan dari padukuhan-padukuhan yang dengan diam-diam mereka kuasai.”

“Tapi menurut pendapatmu, pasukan Demak masih lebih baik dari pasukan Pajang?”

“Tidak, Kakang, bukan begitu. Menurut pendapatku, pasukan Pajang dan Demak tidak terpaut banyak. Tetapi pada waktu terjadi perang di Sima, pasukan Pajang jumlahnya tidak sebanyak pasukan Demak. Ketika Demak melepaskan pasukan cadangannya, maka hampir saja pasukan Pajang dapat dihancurkan, jika saja panglima pasukan Demak itu tidak segera di singkirkan dari medan pertempuran. Sehingga mundurnya pasukan Demak lebih banyak dipengaruhi oleh gejolak jiwani daripada kekuatan pasukan itu sendiri, karena jumlah mereka yang lebih banyak. Tetapi demikian Panglima mereka tidak dapat memimpin mereka lagi, maka pasukan lawan itu bagaikan kehilangan tempat untuk bertumpu.”

Pembicaraan mereka itu masih mereka lanjutkan ketika kemudian mereka makan malam di ruang dalam. Malam itu, sedikit lewat wayah sepi wong, Ki Lurah Agung Sedayu telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan beristirahat. Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan baru saja datang. Besok mereka harus sudah berada di Mataram.

Kepada Ki Jayaraga, Ki Lurah Agung Sedayu menitipkan rumahnya, serta minta tolong agar Ki Jayaraga menemui Ki Gede Menoreh untuk memberitahukan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan seisi rumah akan pergi menjalankan tugas.

Ki Jayaraga sudah tahu bahwa ia tidak perlu menyebut tugas apa, karena Ki Jayaraga pun tahu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan menjalankan tugas sandi.

Namun sebelum beristirahat, Glagah Putih masih sempat keluar dari biliknya untuk menemui Sukra di bilik belakang. Beberapa saat mereka sempat berbicara. Sukra tidak lagi bersifat kekanak-kanakan, meskipun ia masih sering turun ke sungai. Tetapi tidak untuk membuka dan menutup pliridan. Ia sudah memberikan pliridannya kepada seorang kawannya yang masih lebih muda daripada Sukra sendiri.

Ternyata ilmu Sukra pun menjadi semakin meningkat. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu di waktu luangnya bersedia pula membimbingnya, sehingga Sukra mendapat kemajuan-kemajuan yang berarti.

“Ki Lurah mengatakan kepadaku, jika aku berlatih terus dan menjadi semakin baik, mungkin kelak aku akan diterima menjadi seorang prajurit.”

“Bagus,” sahut Glagah Putih.

“Aku merasa senang akan kesempatan itu. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat meninggalkan rumah ini. Aku sudah merasa menjadi bagian dari rumah ini, sebagaimana Ki Jayaraga. Aku sering ikut bersamanya ke sawah. Aku mengagumi Ki Jayaraga yang sudah menjadi semakin tua, tetapi kerjanya di sawah melampaui kerja anak-anak muda.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, kau harus menirunya.”

“Aku sudah berusaha.”

Demikianlah, sebelum tengah malam Glagah Putih pun telah kembali ke biliknya. Rara Wulan sudah berbaring di pembaringan, tetapi ia masih belum tidur.

“Kau apakan anak itu?” bertanya Rara Wulan.

“Kemajuan anak itu dalam oleh kanuragan ternyata cukup pesat,” berkata Glagah Putih.

“Nampaknya anak itu mempunyai bekal alami untuk menjadi seorang yang berilmu tinggi.”

“Agaknya Kakang Agung Sedayu akan membuatnya menjadi seorang yang berilmu tinggi. Kemudian membawanya ke barak untuk dijadikannya seorang prajurit dalam Pasukan Khusus.”

“Agaknya itu akan lebih baik bagi Sukra.”

“Tetapi nampaknya Sukra merasa sulit untuk keluar dari rumah ini. Ia mengatakan bahwa ia sudah merasa menjadi bagian dari rumah ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun keduanya pun tidak lagi berbincang terlalu panjang. Ketika malam menjadi semakin dalam, keduanya pun telah tertidur nyenyak. Besok mereka akan mulai dengan tugas-tugas mereka yang berat bersama para prajurit dari Pasukan Khusus.

Di rumah itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak merasa perlu untuk tidur bergantian, karena di rumah itu keduanya merasakan ketenangan.

Di hari berikutnya, sebelum matahari terbit semuanya sudah siap. Sekar Mirah dan Rara Wulan bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan minuman dan makan pagi bersama Sukra di dapur. Sementara yang lain sibuk membersihkan halaman dan mengisi pakiwan.

Setelah minum minuman hangat serta makan pagi, Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan rumah itu. Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka di regol halaman.

Keempat orang itu melarikan kuda mereka menuju ke barak prajurit. Sementara di barak itu pun lima orang pemimpin kelompok yang terpilih telah siap pula. Mereka bersama-sama Ki Lurah akan pergi ke Mataram.

Ki Lurah hanya singgah sebentar di barak prajuritnya. Mereka pun segera beriringan pergi ke Mataram. Tidak ada hambatan apapun di perjalanan. Ki Lurah dan para prajurit itu masih mengenakan pakaian keprajuritan mereka.

Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, mereka pun telah mendekati pintu gerbang Kotaraja. Panas matahari terasa mulai menggigit kulit. Sementara itu langit pun nampak cerah. Beberapa lembar awan tipis mengapung di dorong angin ke utara.

Sebelum tengah hari, mereka sudah menghadap Ki Patih Mandaraka. Ternyata segala sesuatunya oleh Panembahan Hanyakrawati telah diserahkan kepada Kanjeng Pangeran Purbaya dan Ki Patih Mandaraka.

Karena itu, ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di Dalem Kepatihan, Kanjeng Pangeran Purbaya, Ki Tumenggung Derpayuda, Raden Yudatengara dan tiga orang Tumenggung yang lain telah lebih dahulu berada di Dalem Kepatihan itu.

Demikianlah, di pendapa Dalem Kepatihan telah diselenggarakan sebuah pertemuan kecil. Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan juga berperan dalam pertemuan itu. Mereka masih diminta untuk memberikan beberapa keterangan. Kemudian ikut bersama Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Derpayuda, Raden Yudatengara dan para Tumenggung yang lain untuk membicarakan perjalanan yang akan mereka lakukan.

Memang ada di antara para Tumenggung yang akan menjadi utusan ke Demak itu kecewa, bahwa Senapati yang akan membayangi perjalanan mereka hanyalah seorang lurah prajurit. Bahkan dengan membawa istri dan adiknya. Meskipun Tumenggung itu pernah mendengar kebesaran nama Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun dalam kesempatan tersendiri, Ki Tumenggung Derpayuda sudah memberikan beberapa keterangan tentang Ki Lurah Agung Sedayu bagi para Tumenggung yang masih belum megenali Ki Lurah Agung Sedayu lebih jauh.

Di pendapa Dalem Kepatihan itulah segala sesuatunya direncanakan dengan cermat. Tidak boleh ada yang salah langkah. Jika ada yang salah langkah, maka akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk.

Pada akhirnya Ki Patih Mandaraka itu pun kemudian bertanya, “Apakah masing-masing telah memahami tugasnya sendiri-sendiri? Segala sesuatunya harus berjalan sesuai dengan rancangan.”

Hampir berbareng mereka pun menjawab, “Sudah, Ki Patih.”

“Jika demikian,” berkata Pangeran Purbaya, “aku akan memberikan laporan kepada Kanjeng Sinuhun. Jika Kanjeng Sinuhun merasa perlu, maka kalian akan dipanggil. Jika tidak, maka segala sesuatunya sudah dapat berjalan sesuai dengan rancangan yang sudah kita sepakati. Kalian semuanya saling tergantung. Seperti sebuah lingkaran, maka jika ada busurnya yang putus, tidak ada lagi yung disebut lingkaran itu.”

“Apakah kita semuanya akan menghadap?” bertanya Ki Tumenggung Derpayuda.

“Tidak usah. Biarlah aku sendiri yang menghadap. Kalian akan menunggu di sini. Baru jika Sinuhun menghendaki, kalian akan pergi ke Istana.”

Demikianlah, Pangeran Purbaya serta dua orang prajurit pengiringnya telah pergi berkuda ke Istana, yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Namun mendengar laporan Pangeran Purbaya, agaknya Panembahan Hanyakrawati tidak lagi merasa perlu bertemu dengan orang-orang yang akan mengemban tugas khususnya itu. Panembahan hanya berpesan, “Mereka harus sangat berhati-hati. Jangan sampai mereka terjebak ke dalam jebakan jenis apapun.”

“Baik, Dimas,” sahut Pangeran Purbaya.

Demikianlah, maka Pangeran Purbaya pun segera kembali ke Kepatihan, menyampaikan pesan Panembahan Hanyakrawati.

“Baiklah. Jika demikian, kalian dapat kembali. Besok pagi kalian akan berangkat sendiri-sendiri. Ki Tumenggung Derpayuda akan berangkat bersama para utusan yang lain, sementara Ki Lurah Agung Sedayu akan membawa pasukan sandinya.”

Sejenak kemudian, mereka yang berada di Dalem Kepatihan itu pun segera minta diri. Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan serta para pemimpin kelompok yang ikut menghadap Ki Patih itu pun segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka langsung pergi ke barak prajurit dari Pasukan Khusus.

Ki Lurah Agung Sedayu dan para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah mengumpulkan para prajurit yang terpilih untuk menjalankan tugas sandi. Mereka adalah para prajurit yang dinilai sesuai dengan tugas yang bakal mereka jalani. Kepada para prajurit, Ki Lurah telah memberikan banyak pesan-pesan yang berhubungan dengan tugas mereka.

“Selanjutnya, para pemimpin kelompok kalian akan memimpin pelaksanaan tugas ini di medan. Mereka ikut bersama kami menghadap Ki Patih dan Pangeran Purbaya. Mereka pun telah mendengarkan pembicaraan antara aku dengan Ki Tumenggung Derpayuda, yang akan memimpin utusan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sebanyak lima orang untuk menghadap Kanjeng Adipati Demak.”

Kemudian kepada para pemimpin kelompok itu Ki Lurah berkata, “Lakukan tugas kalian dengan sebaik-baiknya. Kalian seharusnya sudah tahu pasti apa yang kalian lakukan. Jika ada di antara kita yang melakukan kesalahan, maka akibatnya akan menyentuh kita semuanya, termasuk kelima orang utusan khusus ke Demak itu. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kita tidak akan mengambil jalan lewat Sima. Juga tidak akan melewati Seca. Kita akan mengambil jalan yang lebih kecil, sehingga jaraknya menjadi lebih pendek. Selebihnya, kita berharap bahwa dengan melalui jalan yang lebih kecil, perjalanan kita tidak akan terhambat oleh hambatan-hambatan apapun. Kita tahu bahwa Ki Tumenggung Derpayuda akan berangkat besok lusa, sedangkan kita akan berangkat besok. Kelompok-kelompok prajurit kita akan berada di tempat-tempat penting di jalan menuju ke Demak dan di Kota Demak itu sendiri.”

Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk. Mereka memang sudah tahu benar apa yang harus mereka lakukan. Dalam tugas mereka, yang penting yang harus mereka bawa adalah alat-alat untuk memberikan isyarat. Mereka membawa anak panah sendaren dan anak panah api serta busurnya. Mereka harus menyamarkan alat-alat isyarat itu.

Setelah selesai dengan penjelasannya, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Besok kita akan pergi bersama Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bukan maksudku untuk bertamasya, tetapi kalian tahu bahwa Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan akan dapat memberikan bantuan yang mungkin kita butuhkan dalam penyamaran. Justru karena Nyi Lurah dan Rara Wulan adalah perempuan. Sedangkan menurut pengalaman, mereka tidak akan membebani kita untuk melindungi mereka, karena mereka akan dapat melindungi diri mereka sendiri.”

Tidak ada seorangpun yang berkeberatan, justru karena para prajurit itu sudah mengenal mereka dengan baik. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu menghormati Nyi Lurah seperti Ki Lurah itu sendiri. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Tidak ada seorangpun di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang sudah ditempa dengan laku yang keras itu yang merasa dapat menyamai ilmu mereka.

Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meninggalkan barak. Besok pagi-pagi sekali mereka sudah harus berada di barak itu kembali. Besok pagi sebelum matahari terbit, mereka akan meninggalkan barak prajurit dari Pasukan Khusus itu. Tetapi mereka tidak akan mengenakan pakaian keprajuritan. Mereka masing-masing akan mengenakan pakaian orang kebanyakan. Pakaian yang banyak dipakai oleh orang-orang di Demak dan sekitarnya.

Setiap orang, selain pakaian yang dikenakan, masing-masing membawa sepengadeg pakaian. Di samping pakaian yang mereka bungkus dengan selembar kain, yang akan berguna sebagai ciri kelak bila diperlukan bagi para prajurit dalam tugas sandi itu, mereka pun membawa pedang di lambung. Tetapi pedang mereka pun bukan pedang prajurit yang biasa mereka pergunakan sehingga sama bentuknya, tetapi mereka telah membawa pedang yang berbeda-beda. Mereka masih mempunyai kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan sifat dan watak dari pedang-pedang mereka itu. Namun justru karena mereka mempunyai landasan ilmu pedang yang tinggi, maka mereka pun dengan cepat dapat menyesuaikan diri dengan pedang mereka yang baru.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu juga membawa sebilah pedang. Sedangkan Sekar Mirah membawa senjatanya sendiri, ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Sementara Glagah Putih bersenjata ikat pinggangnya, dan Rara Wulan mengandalkan selendangnya. Namun dalam tingkat kemampuan mereka yang tertinggi, maka mereka tidak akan mempergunakan senjata-senjata mereka.

Malam menjelang keberangkatan mereka, semuanya telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sekar Mirah sempat memasuki sanggarnya sebelum wayah sepi bocah bersama Ki Lurah Agung Sedayu, untuk meyakinkan kemampuan Nyi Lurah yang telah menuntaskan ilmu Perguruan Kedung Jati, namun yang justru sudah diisi dengan unsur-unsur gerak yang lain, yang justru dapat menjadikan ilmu Perguruan Kedung Jati itu menjadi ilmu yang bobotnya sangat tinggi.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak perlu mempergunakan sanggar, baik yang tertutup maupun yang terbuka. Namun di dalam bilik mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan telah membuka kembali kitab peninggalan seseorang yang menyebut dirinya Kiai Namaskara. Namun sosok itu adalah sosok yang ternyata kemudian diselimuti oleh rahasia yang tidak terpecahkan.

Glagah Putih dan Rara Wulan telah membawa kembali kitab yang memberikan tuntunan untuk mencapai tataran yang sangat tinggi dalam olah kanuragan Itu. Mereka menyesuaikannya dengan ajaran-ajaran tentang kanuragan yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka, ketika mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan bekal yang ada di dalam diri mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan akhirnya telah semakin memantapkan ilmu mereka. Sehingga dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi orang yang sulit untuk dijajagi kemampuan mereka, sebagaimana Raden Rangga.

Demikianlah, baik Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maupun Glagah Putih dan Rara Wulan, baru membaringkan tubuh mereka di pembaringan setelah lewat tengah malam. Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih harus pergi ke pakiwan, karena keringat mereka yang telah mengembun di seluruh wajah kulit mereka. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan, demikian mereka menyimpan kitab mereka baik-baik, maka mereka pun langsung merebahkan diri mereka di amben yang ada di dalam bilik mereka.

Seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka pun telah terbangun pagi-pagi sekali. Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri mereka.

Ketika hari masih gelap, mereka pun sudah minta diri kepada Ki Jayaraga dan Sukra, untuk pergi menjalankan tugas kewajiban mereka yang berat itu. Demikian mereka hilang di balik tikungan, Sukra yang melepas mereka sampai di regol halaman pun bertanya, “Ki Lurah agak lain dari biasanya. Biasanya Ki Lurah mengenakan pakaian keprajuritan pada saat Ki Lurah menjalankan tugas-tugasnya. Tetapi hari ini Ki Lurah tidak mengenakan pakaian keprajuritan.”

“Ki Lurah akan pergi menghadiri bersih desa, Sukra.”

“Ah, Ki Jayaraga bohong. Pada musim seperti ini tentu tidak ada kademangan yang sedang melakukan upacara bersih desa.”

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Tentu tidak ada orang yang tahu tugas apa yang akan dilakukan oleh Ki Lurah, selain Ki Lurah serta orang-orang yang akan menjalaninya. Bukankah tugas seorang prajurit itu kadang-kadang tidak boleh dimengerti oleh orang lain, kecuali yang sedang menjalankan tugas itu sendiri?”

Sukra mengangguk-angguk.

Demikianlah, sebelum matahari terbit mereka telah berada di barak prajurit dari Pasukan Khusus. Di barak, segala sesuatunya telah siap pula. Para prajurit yang akan menjalankan tugas ke Demak itu, telah berbaris di halaman. Demikian Ki Lurah Agung Sedayu datang, maka Ki Lurah pun kemudian segera menerima laporan dari pemimpin kelompok tertua bahwa segala sesuatunya telah siap. Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian memberikan perintah-perintah agar pasukan yang sudah siap itu segera berangkat.

“Pasukan akan berangkat bergelombang. Ingat, kita harus sudah berada di tempat pada saat Ki Tumenggung Derpayuda besok sore sampai di Demak. Ki Tumenggung akan bermalam di Demak semalam. Di hari berikutnya, Ki Tumenggung akan meninggalkan Demak. Kita akan membayangi perjalanan Ki Tumenggung. Meskipun mereka berkuda, tetapi mereka tidak akan memacu kuda-kuda mereka. Untuk itu maka besok pagi, sebagian dari kita harus sudah mendahului keluar dari Demak, dan berada di tempat-tempat penting dan mencurigakan di sepanjang jalan dari Demak.”

“Baik, Ki Lurah,” jawab para pemimpin kelompok, yang sudah memahami perintah itu karena mereka ikut mendengarkan pembicaraan antara Ki Tumenggung Derpayuda dengan Ki Lurah Agung Sedayu serta Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Purbaya.

Demikianlah, sebelum matahari terbit, para prajurit yang bertugas itu pun mulai meninggalkan barak mereka. Dalam kelompok-kelompok kecil mereka berjalan pada jarak yang agak jauh, agar perjalanan mereka itu tidak menarik perhatian.

Para prajurit itu akan memasuki Demak malam nanti. Perjalanan dari Mataram ke Demak adalah perjalanan yang jauh. Mereka hanya mempunyai waktu sehari semalam, ditambah esok pagi sampai sedikit lewat tengah hari itu. Pada saat itu Ki Tumenggung Derpayuda sudah sampai di Demak.

Para prajurit Mataram itu akan berada di Demak sampai keesokan harinya. Jika tidak terjadi apa-apa di Demak, maka Ki Tumenggung Derpayuda akan pulang di hari berikutnya.

Tetapi itu belum berarti tidak ada gangguan apa-apa di perjalanan. Bahkan mungkin bahaya yang sebenarnya akan datang justru di perjalanan pulang itu. Ki Lurah Agung Sedayu pun sudah berpesan mewanti-wanti, “Jangan melakukan tindakan-tindakan bodoh yang dapat menimbulkan persoalan di sepanjang jalan. Jika itu terjadi, maka sebelum Ki Tumenggung Derpayuda sampai di Demak, kita sudah terlibat dalam persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan tugas kita. Sementara itu, Ki Tumenggung Derpayuda sendiri mengalami kesulitan di perjalanan pulang.”

Sebenarnyalah orang-orang yang berjalan dalam kelompok kecil itu berusaha untuk tidak menarik perhatian. Kelompok yang satu dan kelompok yang lain seolah sama sekali tidak saling mengenal, karena Ki Lurah telah memerintahkan bahwa hubungan antara kelompok-kelompok kecil itu jangan sering dilakukan, jika tidak sangat perlu.

Sebenarnyalah kelompok-kelompok prajurit itu pun melakukan tugas mereka dengan sangat berhati-hati. Mereka menghindari persoalan-persoalan yang dapat timbul di perjalanan mereka.

Para prajurit yang sudah terlatih itu tidak cepat menjadi letih. Mereka baru berhenti setelah matahari melampaui puncaknya, ketika mereka merasa menjadi haus dan lapar. Tetapi mereka tidak berhenti di kedai yang sama. Bahkan mereka pun berhenti tidak pada saat yang bersamaan Ada yang masih berjalan dalam kelompok yang terdiri dari tiga atau empat orang, sampai matahari mulai turun.

Demikianlah, para prajurit dalam tugas sandi itu telah menjalankan tugas-tugas mereka sesuai dengan keharusan, sehingga mereka berharap bahwa tidak akan ada yang salah yang terjadi pada para prajurit itu.

Ki Lurah Agung Sedayu sendiri bersama dengan Nyi Lurah berjalan berdua saja. Mereka berada di tengah-tengah dari bentangan para prajurit dalam tugas sandi itu. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan agak jauh di belakang mereka. Mereka berjalan di paling belakang dari iring-iringan para prajurit dalam tugas sandi itu.

Ternyata bahwa para prajurit Mataram itu dapat menjalankan tugas mereka dengan baik. Namun bagaimanapun juga, para prajurit itu juga merasakan lelah setelah menempuh perjalanan yang panjang. Namun menjelang tengah malam, sebagian besar dari mereka telah berada di Demak. Mereka mendapatkan bekal uang untuk menginap di penginapan-penginapan di Demak. Namun mereka tetap saja terpencar.

Namun di samping mereka yang berada di dalam kota, sebagian dari prajurit itu tetap berada di luar lingkungan Kota Demak. Mereka bermalam di tempat-tempat terbuka. Di padang perdu atau di pategalan yang sepi. Mereka memang tidak akan memasuki Kota Demak jika tidak ada isyarat khusus, sebagaimana mereka sepakati.

Seorang di antara mereka yang agak kedinginan di padang perdu berkata, “Jika aku wenang memilih, maka aku akan memilih bermalam di kota. Aku akan memilih penginapan yang hangat, yang di pringgitan bangunan utamanya terdapat seperangkat gamelan yang ditabuh ngerangin.”

“Kita hanya menjalankan tugas. Menurut pembagian tugas, kita berada di sini sekarang.”

“Aku mengerti. Karena itu maka aku katakan, seandainya aku wenang memilih.”

“Aku akan tidur. Berhentilah bermimpi. Nanti saja jika aku tidur, bermimpilah sesukamu.”

Orang yang dikatakan oleh kawannya sedang bermimpi itu tertawa. Katanya, “Jika aku sudah tertidur, maka aku tidak akan dapat memilih mimpi. Mimpi itu datang sekehendaknya sendiri. Mimpi yang mempunyai dunianya sendiri itu akan menyeret aku ke dalamnya tanpa dapat mengelak sama sekali. Bahkan seandainya mimpi itu menyeretku masuk ke kandang singa. Karena itu, aku lebih senang bermimpi sebelum tidur. Mimpi sebelum tidur agaknya dapat aku kendalikan sendiri.”

“Terserah saja. Tetapi jangan ganggu orang tidur. Mataku sudah tidak dapat aku buka lagi. Pelupuknya sudah melekat.”

Yang dikatakan bermimpi itu menahan tertawanya. Yang sudah mengantuk itu berkata pula, “Sebentar lagi fajar menyingsing. Kita akan kehilangan kesempatan yang sedikit ini, sementara aku memang merasa letih setelah menempuh perjalanan panjang. Sehari dan separuh malam.”

Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia pun telah memejamkan matanya pula. Sedangkan kawannya itu masih berkata, “Jika kita tidak memanfaatkan waktu yang pendek itu, besok jika terjadi sesuatu, tenaga kita tidak lagi penuh dan segar. Sementara itu prajurit Demak adalah prajurit yang terlatih.”

Orang itu berhenti berbicara. Kawannya yang dikatakan bermimpi itu teryata sudah mendengkur. Agaknya ia telah tertidur lelap.

“Cah edan,” geram yang sudah mengantuk itu, “ternyata ia justru telah tidur lebih dahulu.”

Di sisa malam itu, para prajurit Mataram dalam tugas sandi itu pun berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi mereka tidak beristirahat dalam keadaan yang sama. Ada di antara mereka yang tidur di penginapan-penginapan, meskipun bukan penginapan yang baik dan berpencar. Yang lain di pategalan atau di padang perdu.

Di hari berikutnya, para prajurit itu pun telah mempersiapkan diri di tempat yang sudah ditentukan, tanpa menarik perhatian. Sebagian berada di dalam lingkungan dinding Kota Demak, sebagian lagi berada di luar. Mereka memperhatikan suasana dengan seksama. Mereka memperhatikan barak-barak prajurit dan tempat-tempat rawan yang lain, menjelang kedatangan lima orang utusan resmi dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Derpayuda.

Seperti yang direncanakan, maka lima orang utusan dari Mataram itu memasuki pintu gerbang kota di sore hari. Mereka langsung pergi ke Istana Kadipaten Demak. Mereka akan mohon untuk dapat menghadap Kanjeng Adipati Demak.

Ki Tumenggung Derpayuda serta keempat utusan yang lain segera menemui lurah prajurit yang memimpin sekelompok prajurit yang bertugas di Istana Kadipaten Demak itu.

Lurah prajurit yang bertugas di Istana Kadipaten Demak itu pun menerima mereka di gardu penjagaan.

“Silakan duduk, Ki Sanak,” berkata lurah prajurit itu.

“Terima kasih. Sudah cukup di sini saja.”

“Apa keperluan Ki Sanak, dan siapakah Ki Sanak berlima?”

“Aku adalah Tumenggung Derpayuda, bersama tiga orang Tumenggung yang lain. Yang seorang ini tentu sudah kalian kenal dengan baik. Raden Yudatengara.”

“Ya. Kami mengenal dengan baik Raden Yudatengara.”

“Kami adalah utusan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrawati di Mataram untuk menghadap Kanjeng Pangeran Puger.”

“Menghadap Kanjeng Adipati?”

“Ya. Kami akan menghadap Kanjeng Adipati di Demak.”

“Jika demikian, silahkan duduk. Biarlah seseorang menghubungi Narpacundaka yang bertugas.”

Sekali lagi Ki Tumenggung Derpayuda menjawab, “Terima kasih. Kami akan menunggu di sini.”

Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Tamu-tamu yang datang adalah para Tumenggung dari Mataram. Mungkin mereka merasa diremehkan jika mereka dipersilakan duduk di gardu penjagaan.

Karena itu maka Ki Lurah itu pun kemudian mempersilahkan para Tumenggung itu untuk menunggu di serambi gandok sebelah kanan. Ternyata Ki Tumenggung Derpayuda tidak menolak. Bersama ketiga orang Tumenggung yang lain serta Raden Yudatengara, mereka pun kemudian duduk di serambi gandok kanan.

Sementara itu, seorang prajurit telah menemui Narpacundaka yang bertugas. Prajurit itu telah melaporkan, bahwa ada lima orang utusan dari Mataram ingin menghadap Kanjeng Pangeran Puger.

Narpacundaka itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian memerintahkan prajurit itu untuk memanggil Ki Lurah yang sedang bertugas.

“Ki Lurah,” berkata Narpacundaka itu, “aku akan menyampaikannya kepada Kanjeng Adipati. Tetapi sebelumnya, Ki Lurah harus memerintahkan dua orang prajurit, yang masing-masing menghadap Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Katakan bahwa ada utusan dari Mataram.”

“Baik. Akan segera dilaksanakan.”

“Aku akan mencoba untuk mempersilahkan mereka menghadap besok pagi saja. Kesempatan untuk berbicara dengan Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer cukup panjang.”

“Silahkan. Itu akan lebih baik.”

Lurah prajurit itu pun segera memerintahkan dua orang prajuritnya untuk menghubungi Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer, untuk memberitahukan bahwa ada utusan dari Mataram yang akan menemui Kanjeng Adipati Demak.

Narpacundaka itu berharap bahwa sebelum berbicara dengan utusan dari Mataram, maka Kanjeng Adipati sebaiknya berbicara dahulu dengan kedua orang Tumenggung itu.

Melalui pintu gerbang pungkuran, kedua orang prajurit itu dengan tergesa-gesa pergi ke rumah mereka. Seorang ke rumah Ki Tumenggung Panjer, yang seorang ke rumah Ki Tumenggung Gending.

Namun ternyata bahwa kedua orang prajurit Demak yang keluar dari Dalem Kadipaten lewat pintu gerbang pungkuran itu terbaca oleh prajurit Mataram dalam tugas sandi. Tanpa menarik perhatian, kedua orang yang pergi ke arah yang berbeda itu telah diikuti.

Prajurit Mataram dalam tugas sandi itu tetap menunggu ketika para prajurit itu memasuki rumah Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Bahkan mereka tetap mengikuti ketika Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer pergi ke Kadipaten lewat pintu gerbang pungkuran.

Dalam pada itu, setelah kedua orang prajurit yang ditugaskan memanggil Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer itu meninggalkan Kadipaten lewat pintu gerbang pungkuran, maka Narpacundaka Kanjeng Adipati Demak itu pun segera menemui Ki Tumenggung Derpayuda dan kawan-kawannya di serambi gandok kanan. Bahkan sebelum Narpacundaka itu menghadap Kanjeng Pangeran Puger. Narpacundaka itu bahkan terkejut ketika ia melihat bahwa di antara utusan dari Mataram itu terdapat Raden Yudatengara.

“Orang ini tentu menjadi sumber persoalan,” berkata Narpacundaka itu di dalam hatinya, “ia tentu telah melaporkan apa yang terjadi di Demak kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Sayang orang ini tidak tertangkap dan terbunuh sebelum ia melarikan diri ke Mataram. Bahkan orang ini tentu telah menfitnah pula. Menambah-nambah cerita untuk membakar kemarahan Kanjeng Sinuhun di Mataram.”

Demikian Narpacundaka itu menyatakan dirinya bahwa ia adalah Narpacundaka Kanjeng Adipati di Demak, maka Ki Tumenggung Derpayuda pun segera memperkenalkan dirinya pula bersama keempat orang kawannya.

“Kami telah diutus oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati di Mataram untuk menghadap Kanjeng Adipati di Demak.”

Narpacundaka itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak segera menjawab. Nampak dahinya berkerut. Agaknya Narpacundaka itu sedang merenungi sesuatu. Baru kemudian ia pun menjawab, “Ki Tumenggung, sebenarnyalah Kanjeng Adipati sedang beristirahat. Tadi pagi sampai siang hari Kanjeng Adipati sedang sibuk. Tadi pagi ada pertemuan khusus, meskipun bukan hari Pasewakan. Ada sesuatu yang sangat penting perlu dibicarakan dengan para Narapraja. Kanjeng Adipati memerlukan banyak sekali masukan untuk memecahkan persoalan yang rumit yang sedang bergejolak di Demak. Kemudian setelah pertemuan khusus itu selesai, Kanjeng Adipati masih berbicara dengan beberapa orang pemimpin yang ikut menentukan jalannya pemerintahan di Demak.”

“Maksud Ki Sanak?

“Maaf, Ki Tumenggung. Apakah Ki Tumenggung dapat menunda sampai besok pagi? Biarlah besok pagi secepatnya Kanjeng Adipati dapat menerima Ki Tumenggung.”

“Aku memang diijinkan bermalam di Demak, Ki Sanak Tetapi besok pagi-pagi sekali kami harus sudah dalam perjalanan kembali ke Mataram. Kanjeng Panembahan Hanyakrawati menunggu kedatangan kami di tengah hari, atau sejauh-jauhnya sedikit lewat tengah hari. Karena itu maka segala pembicaraan harus kami lakukan hari ini. Sehingga besok pagi sebelum fajar, kami sudah dapat meninggalkan Demak.”

“Perhitungan waktu itu dihitung pada satu sisi, Ki Tumenggung. Maksudku, bagi kepentingan Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung juga harus mempertimbangkan keadaan Kanjeng Adipati Demak yang sangat letih.”

“Tidak, Ki Sanak, bukan berdasarkan kepentinganku. Tetapi aku adalah utusan. Maka setiap yang aku lakukan berdasarkan atas kepentingan yang mengutus aku. Karena itu sampaikan kepada Kanjeng Adipati, bahwa kami mohon waktu sedikit. Persoalan yang kami bawa tidak terlalu banyak.”

“Aku tidak berani, Ki Tumenggung.”

“Jika demikian, biarlah aku langsung menghadap, jika seorang Narpacundaka tidak berani menyampaikan persoalan kepada Kanjeng Adipati.”

“Ki Tumenggung. Sebagai seorang Narapraja, Ki Tumenggung tentu mengetahui unggah-ungguh dan tatanan. Bagaimana mungkin Ki Tumenggung dapat langsung menghadap?”

“Baiklah, aku memakai istilah yang sepantasnya aku sebut. Aku tidak akan menghadap Kanjeng Adipati, tetapi aku akan menemuinya, atas nama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Kami memang tidak lebih dari seorang Tumenggung, tetapi yang mengutus kami adalah penguasa di Mataram.”

Wajah Narpacundaka itu menjadi merah. Tetapi ia tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Meskipun demikian, ia masih mencobanya, “Tetapi Kanjeng Adipati amat letih.”

“Aku kira, setelah menempuh perjalanan panjang, kami-lah yang lebih letih.”

“Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Kanjeng Adipati. Aku tidak tahu, keputusan apakah yang akan diambil oleh Kanjeng Adipati.”

Narpacundaka itu pun kemudian meninggalkan utusan dari Mataram itu. Namun ia masih mencoba mengulur waktu. Jika ia segera menyampaikannya kepada Kanjeng Adipati, maka Kanjeng Adipati pun tentu akan segera menerima mereka.

Ketika Narpacundaka itu kemudian berada di longkangan, maka rasa-rasanya hatinya diusap oleh semilirnya angin sejuk di udara yang panasnya bukan main. Ia melihat Ki Tumenggung Gending tergesa-gesa memasuki longkangan.

“Ada apa?” bertanya Ki Tumenggung Gending kepada Narpacundaka yang bertugas itu.

“Ada tamu dari Mataram, Ki Tumenggung.”

“Apa yang kau katakan kepada Kanjeng Adipati?”

“Aku belum mengatakan apa-apa.”

“Dimana para tamu itu sekarang?”

“Di serambi gandok kanan. Aku mencoba untuk menunda pertemuan mereka dengan Kanjeng Adipati. Aku katakan bahwa Kanjeng Adipati sangat letih. Tetapi mereka memaksa untuk bertemu sekarang. Setidaknya hari ini.”

Ki Tumenggung Gending termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Tumenggung Panjer pun telah datang pula dan memasuki longkangan sebagaimana Ki Tumenggung Gending.

“Utusan dari Mataram itu tidak mau menunda pertemuan mereka dengan Kanjeng Adipati. Mereka mengandalkan kuasa yang mereka bawa atas nama Ingkang Sinuwun di Mataram.”

“Jika demikian, marilah kita temui lebih dahulu Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati tidak boleh terpengaruh oleh utusan-utusan itu. Apa yang sudah diputuskan selama ini harus dilaksanakan.”

“Karena itu maka aku menunggu Ki Tumenggung berdua.”

Demikianlah, mereka bertiga pun segera menghadap Kanjeng Adipati, yang benar-benar sedang beristirahat. Tetapi Kanjeng Adipati sama sekali tidak menyelenggarakan Pasewakan pagi tadi. Bahkan sudah agak lama segala keputusan atas sikap Demak terhadap lingkungan, terhadap Mataram, dan bahkan terhadap rakyatnya sendiri, diambil langsung oleh Kanjeng Adipati.

Namun sebenarnyalah bahwa Kanjeng Adipati sendiri tidak mengerti apa yang dilakukannya itu. Segala sesuatunya tergantung sekali kepada orang-orang di sekitarnya, terutama Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer, yang sudah bekerja sama dengan Ki Saba Lintang, seorang yang mengaku pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.

“Ampun, Kanjeng Adipati,” berkata Narpacundaka yang telah menghadap Kanjeng Adipati lebih dahulu, “Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer mohon ijin untuk menghadap.”

“Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer? Kenapa mereka menghadap pada saat-saat seperti ini? Pada saat-saat aku ingin beristirahat. Jika saja udara tidak terlalu panas, aku akan berada di bilik tidurku.”

“Ada sesuatu yang sangat penting akan dibicarakan.”

“Kenapa tidak besok pagi saja?”

Namun sebelum Narpacundaka itu menjawab, ternyata Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer sudah berada di serambi belakang.

“Kami ingin menghadap sekarang, Kanjeng Adipati.”

“O. Kakang Tumenggung. Marilah, Kakang. Sebenarnya aku merasa sangat letih. Aku ingin beristirahat.”

“Kanjeng Adipati adalah pemimpin tertinggi di Kadipaten Demak. Kanjeng Adipati bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di Demak.”

“Ya.”

“Karena itu maka kami mohon Kanjeng untuk bersedia berbincang sedikit saja, justru untuk melindungi Kanjeng Adipati.”

“Tentang apa, Kakang?”

“Kanjeng, pada saat ini ada lima orang utusan dari Mataram yang berada di serambi gandok kanan Dalem Kadipaten ini.”

“Utusan dari Mataram? Kenapa mereka tidak segera dipersilahkan masuk? Tentu utusan Dimas Panembahan Hanyakrawati.”

“Ya, Kanjeng.”

“Nah, tunggu apa lagi? Bawa mereka masuk.”

“Nanti dahulu, Kanjeng. Kita akan membicarakan beberapa hal yang ada hubungannya dengan kedatangan mereka. Kami akan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.”

“Apa lagi yang akan kita bicarakan? Bukankah kita harus menerima segala titah dari Adimas Panembahan Hanyakrawati?”

“Bukankah kita belum tahu, apakah kepentingan mereka datang kemari?”

“Tentu karena aku sudah terlalu lama tidak menghadap ke Mataram. Selama ini aku telah kehilangan pengamatan diri, sementara itu tidak ada seorangpun yang telah mengingatkan aku akan hal itu.”

“Nanti dulu, Kanjeng. Kita semuanya tidak pernah lupa bahwa setiap tahun Kanjeng harus menghadap ke Mataram.”

Kanjeng Adipadi mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi Kanjeng Adipati pun berkata, “Lalu apa yang telah terjadi? Bukankah aku sudah tidak pernah lagi menghadap ke Mataram?”

“Tetapi itu bukan karena Kanjeng Adipati lupa. Bbukankah kita sudah sepakat bahwa Kanjeng Adipati memang tidak akan pernah lagi datang menghadap ke Mataram? Bahkan kita akan memaksa Panembahan Hanyakrawati itulah yang harus menghadap ke Demak. Bukankah Kanjeng Adipati lebih tua dari Panembahan Hanyakrawati? Sudah sewajarnya bahwa Kanjeng Adipati lebih berhak atas tahta di Mataram.”

Kanjeng Adipati itu pun menarik nafas panjang.

“Kanjeng,” berkata Ki Tumenggung Panjer, “kita sudah mempersiapkan segala-galanya. Pasukan kita sudah mulai bergerak ke Selatan. Kenapa tiba-tiba Kanjeng Adipati menjadi ragu-ragu? Sementara itu Ki Saba Lintang pun telah siap untuk bergerak bersama-sama pasukan Demak. Semua orang, bukan saja yang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng, tetapi juga yang berada di sebelah selatan, bahkan sampai ke Sima dan sekitarnya, telah siap menjalankan perintah Kanjeng Adipati.”

Kanjeng Adipati masih saja termangu-mangu. Namun Kanjeng Adipati itu pun kemudian bertanya, “Lalu, apa yang harus aku katakan sekarang kepada utusan dari Mataram?”

“Jika utusan itu datang untuk memanggil Kanjeng Adipati, maka sebaiknya Kanjeng Adipati langsung saja menolak. Kanjeng Adipati dapat dengan tegas mengatakan bahwa Kanjeng Adipati tidak akan menghadap ke Mataram.”

“Tetapi yang menempatkan aku di sini adalah Dimas Panembahan Hanyakrawati. Kedudukanku adalah ganjaran yang diberikan oleh Dimas Panembahan.”

“Tidak. Panembahan Hanyakrawati telah meremehkan saudara tuanya. Ia tidak memberikan ganjaran. Ia bahkan menyingkirkan Kanjeng Adipati dan merampas kedudukan Kanjeng Adipati.”

Wajah Kanjeng Adipati Demak itu pun menjadi tegang. Ketika ia memandang kepada Narpacundakanya, maka Narpacundaka itu pun berkata, “Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer itu benar, Kanjeng. Tidak ada lagi gunanya berhubungan dengan Mataram. Silahkan Kanjeng besok bertanya kepada setiap pemimpin di Demak. Mereka tentu sependapat bahwa Demak tidak usah tunduk kepada Mataram.”

Ketegangan telah mencengkam jantung Kanjeng Adipati. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Orang-orang yang berada di sekitarnya telah bertekad bulat untuk melawan Mataram.

Sebenarnyalah bahwa Kanjeng Adipati pun mengetahui bahwa sedikit saja narapraja yang benar-benar setia kepadanya. Yang lain, mendukungnya untuk merebut tahta Mataram justru karena pamrih pribadi. Jika Pangeran Puger itu berhasil, maka mereka pun akan mendapat kamukten seumur hidup mereka. Mereka akan mendapatkan kekuasaan sekaligus kekayaan yang melimpah.

Apalagi orang yang bernama Ki Saba Lintang, yang menyebut dirinya pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati. Tetapi Pangeran Puger yang telah terjerat ke dalamnya, tidak dapat lagi menghindar. Karena itu, setelah terlanjur basah, maka Pangeran Puger harus menyeberang terus.

Pada saat Kanjeng Adipati masih termangu-mangu, maka Ki Tumenggung Gending pun bertanya, “Jadi bagaimana keputusan Kanjeng Adipati? Apakah utusan dari Mataram itu akan dipersilahkan masuk?”

Kanjeng Adipati menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Silahkan mereka masuk. Aku akan menerima mereka di ruang dalam. Aku minta Kakang Tumenggung Gending dan Kakang Tumenggung Panjer mendampingi aku.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian Kanjeng Adipati Demak itu pun telah duduk di ruang dalam, menerima kedatangan lima orang utusan dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Derpayuda. Setelah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Kanjeng Adipati Demak itu pun kemudian berkata kepada Raden Yudatengara, “Jadi Paman Yudatengara telah kembali ke Mataram tanpa sepengetahuanku?”

“Apakah Angger Adipati tidak tahu, bahwa aku telah melarikan diri dari Demak?”

“Tidak, Paman.”

“Jadi Angger Adipati tidak tahu, bahwa aku hampir saja mati terbunuh sebelum aku lari?”

Kanjeng Adipati menggeleng sambil menjawab, “Tidak, Paman.”

“Syukurlah jika Angger Adipati tidak tahu. Aku juga berharap bahwa Angger Adipati tidak mengetahuinya, karena jika Angger Adipati mengetahuinya dan rencana pembunuhan itu berlangsung juga, maka landasan sifat ksatria di Demak sudah larut, hanyut dalam arus kenistaan dan nafsu keserakahan.”

“Raden jangan membuat persoalan di sini,” potong Ki Tumenggung Panjer.

“Aku sudah melaporkan semua yang aku ketahui. Aku sudah melaporkan sikap Kanjeng Adipati, sikap orang-orang di sekitarnya yang menyanjungnya dan mendorongnya untuk memberontak justru karena pamrih pribadi, sehingga Kanjeng Adipati akan sekedar menjadi alat bagi kepentingan mereka.”

“Cukup!” bentak Ki Tumenggung Panjer.

“Aku adalah salah seorang dari utusan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

Tetapi Tumenggung Panjer itu pun menjawab pula, “Tentu Panembahan Hanyakrawati tidak akan mengutus Raden untuk menghina Kanjeng Adipati serta para pemimpin di Demak.”

“Baik,” sahut Ki Tumenggung Derpayuda, “sebaiknya aku langsung saja menyampaikan titah Kanjeng Panembahan Hanyakrawati untuk Kanjeng Pangeran Puger.”

Suasanapun tiba-tiba menjadi hening. Namun nampak wajah-wajah yang tegang di ruangan itu.

“Kanjeng Pangeran Puger, atas nama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati maka aku, Tumenggung Derpayuda, menyampaikan titah bagi Kanjeng Pangeran Puger, agar Pangeran Puger menghadap ke Mataram. Sudah lebih dari waktu yang ditentukan, namun Kanjeng Pangeran Puger tidak juga menghadap sebagaimana seharusnya. Karena itu maka kami telah diutus untuk menyampaikan titah itu.”

Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung Kanjeng Adipati di Demak itu. Namun ketika ia memandang wajah Ki Tumenggung Panjer, maka Kanjeng Pangeran Puger itu melihat Ki Tumenggung Panjer menggeleng. Demikian pula Ki Tumenggung Gending.

Karena itu, betapapun beratnya lidah Kanjeng Adipati di Demak itu, namun ia pun berkata, “Ki Tumenggung Derpayuda dan para utusan dari Mataram yang lain. Titah Adimas Panembahan Hanyakrawati telah aku terima. Aku tidak akan ingkar akan kewajibanku. Aku akan datang menghadap Adimas Panembahan Hanyakrawati. Tetapi waktunya tidak sekarang. Sebaiknya Ki Tumenggung mendahului aku kembali ke Mataram. Nanti pada saatnya aku akan datang.”

“Kanjeng Panembahan tidak memberikan tenggang waktu, Pangeran. Hanya ada dua kemungkinan. Menghadap ke Mataram bersama kami, atau tidak sama sekali. Dengan demikian sikap Kanjeng Adipati menjadi tegas.”

“Bukan begitu, Ki Tumenggung. Jangan menyudutkan aku seperti itu. Beri aku kesempatan untuk bersiap-siap. Aku akan segera menyusul Ki Tumenggung ke Mataram.”

“Kanjeng Panembahan hanya memberikan dua pilihan kepada Kanjeng Adipati. Pergi ke Mataram bersama kami, atau Mataram akan datang menjemput Kanjeng Adipati.”

“Ki Tumenggung,” sahut Ki Tumenggung Gending, “kau berhadapan dengan penguasa tertinggi di Demak. Kau tidak dapat bersikap seperti kepada seorang lurah prajurit.”

“Bagi Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, perintahnya berlaku pula bagi seorang Adipati. Karena, itu maka sekali lagi titah itu aku sampaikan. Kanjeng Adipati Demak harus pergi ke Mataram bersama kami, atau tidak sama sekali. Jika Kanjeng Adipati tidak bersedia pergi bersamaku sekarang, maka para prajurit Mataram akan datang menjemput Kanjeng Adipati.”

“Kau meremehkan kekuatan Demak, Ki Tumenggung,” geram Ki Tumenggung Panjer. “Jika Kanjeng Adipati Demak tidak bersedia pergi sekarang bersama dengan kalian, maka para prajurit Demak sudah siap untuk melindunginya.”

Wajah Ki Tumenggung Derpayuda menjadi merah. Dengan suara yang bergetar Ki Tumenggung itu pun berkata, “Itukah keputusan Kanjeng Adipati?”

Dada Kanjeng Adipati Demak bagaikan akan meledak oleh gejolak perasaannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti rencana yang sudah disusun oleh para pemimpin di Demak bersama dengan Ki Saba Lintang, yang mengaku mempunyai pasukan sebesar pasukan Mataram dan tersebar di seluruh Tanah ini.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar