Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 378

Buku 378

Wajah orang yang dipanggil Wawu itu menjadi merah bagaikan membara, Giginya gemeretak menahan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya. Suaranya pun menjadi gemetar, “Jadi… jadi kau menolak memberikan pertolongan kepada kami?”

“Sudah aku katakan, Kakang, aku tidak menolak. Tetapi aku tidak berani menerima Kakang untuk berada di rumahku.”

Kemarahan Wawu rasa-rasanya tidak dapat dikekang lagi. Tetapi justru Raden Yudatengara yang kemudian berkata, “Sudahlah. Aku dapat mengerti kenapa kawanmu itu menjadi ketakutan. Biarlah kita tidak mengganggunya. Biarlah keluarganya tetap dapat hidup dalam ketenangan. Dengan demikian ia tidak akan dapat melupakanmu, bahwa kau-lah yang telah mempersatukan keluarga mereka dengan mempertaruhkan nyawamu.”

“Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti ini, Raden.”

“Ia menjadi sangat ketakutan.”

Wawu itu pun menarik nafas panjang. Ia pun berusaha untuk mengendapkan kembali kemarahan yang telah melonjak sampai ke ubun-ubun.

Salah seorang yang bertutup wajah itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Marilah kita tinggalkan tempat ini. Aku sependapat dengan Raden, bahwa penghuni rumah ini menjadi ketakutan.”

“Baik, baik. Kami akan pergi,” geram Wawu. “Tetapi dengar, Kemin. Persahabatan kita hanya akan sampai di sini. Jika terjadi sesuatu lagi atasmu, jangan harapkan pertolonganku.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara itu Raden Yudatengara serta ketiga orang abdinya yang sudah direngkuhnya sebagai keluarga sendiri itu, serta anaknya Raden Sabawa, beranjak dari tempatnya untuk meninggalkan halaman rumah itu. Dua orang yang bertutup wajah itu masih saja mengikuti mereka.

“Kita sekarang pergi kemana, Ayah?” bertanya Raden Sabawa.

Raden Yudatengara menaik nafas panjang. Katanya, “Aku belum tahu, Sabawa. Tetapi aku setuju bahwa kita tidak akan langsung pergi ke Mataram.”

Orang yang bertutup wajah itulah yang menyahut, “Kita dapat bermalam dimana saja. Marilah kita pergi ke padang perdu. Kita akan bermalam semalam di padang perdu itu. Besok kita akan bergerak menyusuri padang ke arah Mataram, sampai kita menemukan lorong kecil yang dapat kita lalui tanpa kemungkinan buruk tersusul, atau bahkan menjumpai prajurit Demak yang sengaja menyusul kita, atau yang sedang meronda.”

“Kita akan bermalam di padang perdu?” bertanya Raden Sabawa. “Dingin, Ayah. Lalu dimana kita akan tidur? Tidak ada pembaringan. Bahkan tidak ada amben atau lincak bambu sekalipun.”

“Kita akan tidur di rerumputan kering,” sahut orang bertutup wajah itu.

“Ayah, aku tidak akan dapat tidur di tempat terbuka seperti itu.”

“Kau harus mengalaminya, Sabawa. Selanjutnya kita akan menempuh perjalanan yang panjang. Kita akan bermalam di perjalanan. Mungkin kita harus bermalam dua atau tiga malam sebelum kita sampai di Mataram.”

“Yang dua atau tiga malam itu kita juga harus bermalam di tempat terbuka?”

“Ya. Mungkin di padang perdu, mungkin di pategalan, atau dimana saja.”

“Kenapa kita harus melakukannya, Ayah. Jika kita tidak pergi kemana-mana, maksudku jika kita sejalan dengan Kanjeng Adipati di Demak, maka kita tidak harus menjalani keadaan yang tidak menyenangkan ini.”

“Kau sudah terlanjur menjadi anak manja. Kita tidak mempunyai pilihan. Apakah kita harus menjalani keadaan yang berat ini, atau kita harus mati.”

“Kenapa Ayah harus menentang sikap Kanjeng Adipati di Demak?”

“Kau tidak tahu arti sebuah kesetiaan terhadap tatanan dan paugeran. Kanjeng Adipati di Demak telah melanggar paugeran.”

“Paugeran Mataram maksud Ayah. Tetapi kita berada di Demak. Kita harus tunduk kepada paugeran yang ada di Demak.”

“Demak merupakan bagian dari Mataram, sehingga paugeran yang ada di Demak tidak boleh bertentangan dengan paugeran Mataram, yang berlaku menyeluruh bagi semua daerah dalam kesatuan Mataram. Kanjeng Adipati Demak adalah seorang pangeran dari Mataram yang mendapat beban tugas untuk mengatur pemerintahan di Demak, dalam lingkungan kesatuan dengan Mataram serta beberapa wilayah yang lain. Karena itu, tidak seharusnya seorang Pangeran dari Mataram yang mendapat beban tugas di satu lingkungan, justru menentang Mataram. Bahkan bukan itu saja yang telah dilakukan oleh Kanjeng Adipati di Demak. Kanjeng Adipati telah berniat untuk merebut tahta Mataram, yang menurut paugeran memang harus berada di tangan Kanjeng Sultan. Sebelum Panembahan Senopati wafat, Kanjeng Sultan itu telah dinobatkan menjadi Pangeran Adipati Anom. Setiap orang tahu bahwa seorang Putra Mahkota pada akhirnya akan memegang kepemimpinan tertinggi. Seorang pemimpin bagi seluruh Mataram.”

Sabawa mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Apa salahnya jika Kanjeng Adipati di Demak itu mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengalahkan Mataram?”

“Sabawa, jadi menurut jalan pikiranmu, kekuatan berada di atas tatanan dan paugeran?”

Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menyahut, “Bukankah kenyataannya memang demikian, Ayah? Siapa yang kuat-lah yang berhak menentukan tatanan dan paugeran. Sekarang Mataram-lah yang terkuat. Tetapi jika kemudian Demak menjadi kuat melampaui Mataram, maka Demak-lah yang akan membuat tatanan dan paugeran. Mataram-lah yang harus tunduk. Jika Mataram tidak tunduk, maka Mataram akan dipukul dengan kekuatan senjata.”

Raden Yudatengara menarik nafas panjang. Sementara itu mereka masih saja berjalan terus dalam keremangan malam. Di tempat terbuka, terasa gelapnya malam tidak terlalu pekat.

Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang bertutup wajah itu pun bertanya, “Raden Sabawa. Jika demikian, apakah bedanya kehidupan kita dengan kehidupan di rimba? Di dalam rimba, siapa yang lemah akan menjadi mangsa yang kuat. Yang kuat akan dapat memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Bahkan untuk membunuh sekalipun.”

“Apa bedanya menurutmu, Ki Sanak?” Sabawa justru bertanya, “Bukankah sebagaimana kita lihat, jika Ayah tidak mempunyai kekuatan, maka Ayah tentu sudah terbunuh. Paman Wirapraba berusaha untuk memaksakan kehendaknya kepada Ayah berdasarkan atas kekuatan senjata.”

“Tetapi apakah Raden Wirapraba dan orang-orangnya sekarang terkapar mati di halaman rumah Raden? Jika Ayah Raden mendasarkan tatanan dan paugeran sebagaimana terdapat di rimba, maka semuanya itu tentu sudah mati. Tetapi kenapa tidak?”

Raden Sabawa terdiam. Tetapi pertanyaan itu bergema di hatinya, “Kenapa tidak?”

Orang bertutup wajah itu pun kemudian berkata selanjutnya, “Tentu ada sebabnya kenapa ayah Raden tidak membunuh mereka. Ada dorongan di dalam diri ayah Raden untuk tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Nah, apakah penghuni rimba mengenal dorongan seperti itu?”

Raden Sabawa masih belum menjawab.

“Itulah sebabnya maka di dalam kehidupan kita, tatanan dan paugeran itu tidak semata-mata berdasarkan pada kekuatan. Jika cara itu yang ditrapkan, maka yang terjadi adalah setiap kali akan timbul benturan-benturan kekuatan. Penindakan berdasarkan kekuatan akan terjadi dimana-mana. Tetapi geliat untuk melawan terjadi pula dimana-mana. Berhasil atau tidak berhasil. Korban akan bertebaran di setiap saat di segala sudut Tanah ini.”

Raden Sabawa menarik nafas panjang. Sementara itu ayahnya pun berkata, “Ada baiknya kau ungkapkan perasaanmu itu, Sabawa. Dengan demikian maka akan ada orang yang memberikan tanggapan, sehingga kau akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan berdasarkan atas sikap yang berbeda. Jika kau tidak mengungkapkan perasaanmu itu, maka tidak akan ada orang yang memberikan tanggapannya, sehingga jalan pikiranmu yang keliru itu akan tetap saja menguasaimu.”

Raden Sabawa tidak menjawab. Sementara ayahnya pun berkata selanjutnya, “Aku tahu bahwa kau masih belum puas, Sabawa. Tetapi kami memang tidak akan dapat memberikan penjelasan tuntas dalam waktu yang singkat ini.”

Namun Raden Sabawa itu pun masih juga bertanya, “Tetapi bukankah Mataram masih juga menggalang kekuatan, Ayah? Untuk apa? Jika tatanan dan paugeran itu nilainya melampaui kekuatan, bukankah kekuatan senjata itu sendiri tidak akan banyak berarti?”

“Kekuatan senjata itulah yang harus menegakkan tatanan dan paugeran, Sabawa. Tatanan dan paugeran yang disusun oleh segala pihak dalam pemerintahan. Kekuatan senjata diperlukan untuk meyakinkan bahwa tatanan dan paugeran itu dapat berjalan sebagaimana seharusnya. Bukan sebaliknya, kekuatan dipergunakan untuk membuat tatanan dan paugeran menjadi mandul.”

Raden Sabawa tidak bertanya lagi. Masih banyak persoalan yang samar di kepalanya. Tetapi ia sadar bahwa ia tidak akan dapat mengerti seluruhnya dalam sekejap.

Demikianlah, malam pun menjadi semakin mendekati fajar. Ternyata Raden Sabawa tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan. Ia merasa sangat letih lahir dan batinnya. Karena itu maka mereka pun berhenti di padang perdu yang berbatasan dengan sebuah hutan yang memanjang.

Demikian mereka berhenti, maka Raden Sabawa pun segera menjatuhkan dirinya duduk bersandar sebatang pohon. Ternyata demikian letihnya lahir dan batinnya, maka dalam waktu yang pendek Raden Sabawa itu telah tertidur, meskipun dalam tidurnya anak muda itu nampak gelisah.

Sementara itu, Raden Yudatengara pun berkata kepada kedua orang yang bertutup wajah, “Ki Sanak, Ki Sanak telah menolong kami sehingga kami terhindar dari kematian. Sebenarnyalah kami ingin mengetahui, siapakah Ki Sanak ini sebenarnya. Di sini tidak ada orang lain kecuali kami, yang sudah Ki Sanak kenal sikap dan pendiriannya.”

Kedua orang bertutup wajah itu pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah, Raden, mungkin ada gunanya Raden mengetahui siapakah kami sebenarnya.”

Kedua orang bertutup wajah itu pun kemudian telah membuka tutup wajah mereka. Ternyata seorang di antara mereka adalah seorang perempuan.

“Kami adalah suami istri yang mengembara.”

Raden Yudatengara pun termangu-mangu sejenak. Dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Ternyata mereka adalah laki-laki dan perempuan. Keduanya masih terhitung muda, namun ilmu mereka ternyata sangat tinggi.

Raden Yudatengara itu pun menarik nafas panjang. Katanya, “Luar biasa. Kalian masih muda, tetapi kalian sudah memiliki bekal yang demikian tinggi. Apakah aku boleh tahu. siapakah nama Ki Sanak berdua?”

“Namaku Glagah Putih, Raden. Perempuan ini istriku. Namanya Rara Wulan.”

“Apakah kalian berdua benar-benar pengembara, atau pengemban tugas?”

“Raden,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika Raden sudah sampai di Mataram dan berhasil menghadap Ki Patih Mandaraka, katakan bahwa Raden telah bertemu dengan dua orang suami istri. Aku minta Raden mengatakan bahwa ketika Raden meninggalkan Demak, kami masih ada di Demak. Mungkin kami masih akan berada di Demak untuk beberapa hari lagi. Kemudian kami pun akan segera kembali ke Mataram. Sementara itu Mataram sudah mendapat beberapa keterangan tentang keadaan di Demak, sehingga Mataram dapat mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya.”

Raden Yudatengara itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Angger Glagah Putih dan Angger Rara Wulan. Aku akan secepatnya pergi ke Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.”

“Tetapi Raden harus berhati hati. Tentu masih ada prajurit Demak atau para murid dari Perguruan Kedung Jati yang hilir mudik di jalan-jalan yang menuju Mataram untuk mencari Raden.”

“Baiklah, Ngger, kami akan berhati-hati. Sebenarnyalah bahwa kami lebih mencemaskan para murid dari Perguruan Kedung Jati yang menyusup dimana-mana, daripada prajurit Demak itu sendiri.”

“Agaknya lebih baik jika Raden, berdua dengan Raden Sabawa, berjalan terpisah dengan Wawu dan kedua kawannya. Jika Raden berjalan berlima, maka iring-iringan kecil itu tentu akan menarik perhatian.”

“Aku juga berpikir begitu, Ngger. Besok jika kami melanjutkan perjalanan ke Mataram, maka kami akan memisahkan diri. Kami akan mengatur, kapan dan dimana kami akan bertemu di Mataram. Bahkan kami akan mengatur, apa yang harus kami lakukan masing-masing jika ada di antara kami yang tidak dapat sampai di Mataram karena sesuatu sebab.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah, Raden. Kita akan berpisah. Kita akan melakukan tugas kita masing-masing. Mudah-mudahan Yang Maha Agung selalu melindungi kita semuanya.”

“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih kepada Angger berdua, karena Angger berdua telah menyelamatkan jiwa kami. Jika Angger berdua tidak datang menolong kami semalam, maka kami tentu hanya tinggal nama saja.”

“Aku merasa berkewajiban untuk melakukannya, Raden.”

“Tetapi dari mana Angger mengetahui bahwa hal seperti semalam itu akan terjadi?”

Sebelum Glagah Putih menjawab, maka Wawu pun menyela, “Bukankah Ki Sanak berdua yang berada di kedai saat kami mengiringi Raden Sabawa ke kedai itu pula? Pada saat kami berselisih dengan Mawarni dan ayahnya?”

Glagah Putih tersenyum sambil mengangguk. Katanya, “Aku mendengar pembicaraan kalian pada waktu itu. Aku pun kemudian mengikuti kalian dan aku tahu bahwa Raden Sabawa tinggal di rumah itu. Aku pun kemudian memperhitungkan bahwa akan terjadi sebagaimana terjadi semalam.”

“Syukurlah bahwa Angger berdua berada di kedai itu pula.”

“Garis yang ditorehkan oleh Yang Maha Agung telah kami jalani. Demikian pula garis yang harus Raden jalani.”

Raden Yudatengara itu mengangguk-angguk.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri. Mereka akan di tinggal Demak untuk beberapa hari agar mereka dapat melihat di Demak lebih jelas lagi.

“Silahkan, Ngger,” jawab Raden Yudatengara, “jika saja kita dapat bersama-sama pergi ke Mataram.”

“Kami akan segera menyusul Raden.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian meninggalkan padang perdu itu. Sementara Raden Yudatengara dan Wawu serta kawan-kawannya mulai membicarakan rencana perjalanan mereka ke Mataram. Perjalanan yang panjang dan tentu akan sangat berbahaya, karena para pemimpin di Demak mengetahui bahwa Raden Yudatengara semula adalah seorang pejabat di Mataram, yang dikirim ke Demak untuk membantu Kanjeng Adipati Demak membenahi tugas barunya pada waktu itu.

Tetapi Raden Yudatengara pun mempunyai beberapa orang kenalan pula yang bertugas di Pajang. Karena itu maka ada dua pilihan perjalanan yang dapat ditempuh oleh Raden Yudatengara. Langsung ke Mataram, atau pergi ke Pajang lebih dahulu, baru kemudian ke Mataram.

“Lebih aman pergi ke Pajang dahulu, Raden,” berkata Wawu.

“Aku kira juga begitu. Mungkin orang-orang Demak tidak akan mengira bahwa kita akan pergi ke Pajang lebih dahulu sebelum kita pergi ke Mataram.”

“Tetapi kita akan melewati daerah-daerah yang sudah berada di bawah pengaruh Demak. Terutama di sebelah utara Gunung Kendeng. Kita juga tidak dapat melewati Sima.”

Raden Yudatengara mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Yang aku dengar, para pemimpin di Demak sudah menyebut-nyebut bahwa Sima telah dijadikan salah satu landasan untuk pergi ke Selatan.”

“Karena itu kita harus memilih jalan, Raden. Baik kita ke Mataram ataupun kita pergi ke Pajang.”

“Wawu,” berkata Raden Yudatengara, “bukankah kita akan membagi diri? Kau bertiga, aku berdua bersama Sabawa. Karena itu, agar salah satu pihak di antara kita sampai ke Mataram, sebaiknya kita memilih jalan yang berbeda. Aku akan pergi ke Mataram lewat Pajang, dan kau akan pergi ke Mataram dengan melingkari Gunung Merapi dan Merbabu. Kau dapat memanjat perbukitan Ungaran, kemudian turun lewat Rawa Pening. Kau dapat memilih beberapa jalur jalan, antara lain lewat Seca, kemudian Bukit Tidar, atau mungkin kau telah mengenal jalan yang lain. Kita akan bertemu di Mataram. Jika dalam sepekan aku tidak sampai di Mataram, maka kalian harus segera mencari hubungan dengan Ki Patih Mandaraka. Mungkin kau sulit untuk menghadap langsung. Cobalah berhubungan degan Kakang Rangga Nitiwara. Bukankah kau kenal Kakang Rangga Nitiwara?”

“Ya, Raden. Tetapi siapakah yang akan membantu Raden berdua, jika Raden berada dalam kesulitan?”

“Jika kita berjalan sendiri-sendiri, maksudnya justru untuk mengurangi kesulitan itu. Percayalah, aku akan berhati-hati. Aku tidak akan melewati Sima dan sekitarnya. Mungkin aku akan mencari jalan sedikit melingkar. Tetapi aku berharap bahwa aku selamat sampai di Pajang. Di Pajang aku akan dapat mencari pinjaman kuda untuk pergi ke Mataram.”

“Jika demikian Raden, bukankah sebaiknya aku menunggu kedatangan Raden di rumah Ki Rangga Nitiwara?”

“Baik. Tunggu aku dalam sepekan. Jika aku datang lebih dahulu, aku juga akan menunggu sampai akhir pekan ini.”

Demikianlah, mereka pun telah membagi diri. Wawu dan kedua kawannya akan berangkat lebih dulu. Sementara Raden Yudatengara akan menunggu sampai Raden Sabawa terbangun.

Ternyata Wawu merasa cemas juga meninggalkan Raden Yudatengara dan Raden Sabawa. Dalam keadaan yang sulit, Raden Sabawa sama sekali tidak akan dapat membantu ayahnya. Bahkan ia akan tetap saja menjadi beban.

Tetapi menurut penglihatan Wawu dan kawan-kawannya, Raden Yudatengara adalah seorang yang memiliki penalaran yang cerah. Raden Yudatengara dapat dengan cepat menanggapi persoalan-persoalan yang tiba-tiba saja harus dihadapi.

Ketika matahari terbit, Raden Sabawa masih juga belum terbangun. Namun Raden Yudatengara merasa tidak tergesa-gesa. Padang perdu itu nampaknya jarang sekali dilewati orang.

Baru ketika sinar matahari yang kemerah-merahan itu menyentuh tubuh Raden Sabawa, maka Raden Sabawa itu pun telah terbangun. Demikian Raden Sabawa itu membuka matanya, maka ia menjadi agak bingung.

Ketika Raden Sabawa melihat ayahnya berdiri sambil memandangi matahari yang bangkit dan meninggalkan cakrawala, Raden Sabawa itu pun bertanya, “Ayah, dimana kita sekarang?”

“Kita berada di padang perdu, Sabawa,”

“Sejak tadi malam?”

“Tentu saja sejak tadi malam. Jika kita bergerak maka aku harus mendukungmu, karena kau tertidur.”

“Dimana Wawu dan kawan kawannya?”

Raden Yudatengara itu pun kemudian bergeser dan duduk di sebelah Raden Sabawa. “Mereka sudah mendahului kita.”

“Pengkhianat. Kenapa mereka meninggalkan kita di sini? Bukankah mereka mengaku setia kepada Ayah.”

“Ayah yang minta mereka mendahului kita. Mereka akan pergi jauh sekali.”

“Lalu, bagaimana dengan kita?”

“Kita juga akan pergi jauh sekali. Kita akan pergi ke Pajang.”

“Pajang?”

“Ya. Pajang memang jauh. Tetapi kita harus pergi ke sana. Kita akan melewati jalan-jalan setapak dan lorong-lorong sempit yang mungkin jarang dilalui orang.”

“Ayah, kenapa kita harus menyiksa diri?”

“Bukankah Ayah sudah memberitahukan alasannya? Apakah Ayah harus mengulanginya lagi dari permulaan?”

Raden Sabawa menarik nafas panjang. Dipandanginya padang perdu yang luas. Di satu sisi Raden Sabawa melihat hutan yang lebat memanjang.

“Di hutan itu tentu terdapat binatang-binatang buas.”

“Ya. Selagi kau tidur, Ayah mendengar aum harimau.”

Tiba-tiba saja Raden Sabawa itu bangkit berdiri, sehingga Raden Yudatengara pun bangkit pula.

“Kita tinggalkan saja tempat ini, Ayah. Jika ada seekor harimau yang keluar dari hutan itu dan memburu kita, maka kita akan mati.”

“Belum tentu, Sabawa. Bukankah kita dapat melawan?”

“Ayah tidak bersenjata. Bagaimana Ayah dapat melawan seekor harimau?”

“Aku membawa keris.”

“Dimana tombak Ayah?”

Raden Yudatengara memandang ke atas dahan pohon itu sambil berkata, “Aku simpan tombakku di atas dahan itu, Sabawa. Aku tidak dapat membawanya.”

Raden Sabawa mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Kenapa, Ayah? Tanpa senjata, kita akan mengalami banyak kesulitan di perjalanan.”

“Jika aku membawa tombakku, maka kita justru akan sangat menarik perhatian. Karena itu aku simpan tombakku di atas pohon itu. Jika ada kesempatan, aku akan dapat mengambilnya lagi.”

“Jika tombak itu hilang?”

“Apa boleh buat. Meskipun tombak itu mempunyai nilai yang sangat tinggi bagiku, tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

Raden Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia memandang hutan yang lebat serta pepohonan raksasa, maka ia pun berkata, “Ayah, marilah kita pergi.”

Raden Yudatengara dan Raden Sabawa pun berbenah diri sekedarnya. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu, menempuh perjalanan yang jauh.

Raden Sabawa berdesah ketika panas matahari mulai menggatalkan kulitnya. Dipandanginya padang perdu yang luas di hadapannya. Jika di sisi lain padang perdu itu berbatasan dengan hutan, maka di sisi yang ada di hadapanya, padang perdu itu berbatasan dengan bulak persawahan.

Lamat-lamat nampak padukuhan muncul dari sela-sela hamparan daun padi yang hijau di bulak yang terdapat di sebelah padang perdu itu.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah meloncati tanggul parit. Sejenak mereka menyusuri pematang dan turun di jalan bulak yang tidak begitu lebar. Jalan yang berbatu-batu padas.

Setiap kali terdengar Raden Sabawa berdesah. Kakinya terasa menjadi sakit oleh batu-batu padas yang runcing.

“Kau memang harus mengalami, Sabawa,” berkata ayahnya. “Agar kau mengenal sisi kehidupan yang bulat, maka kau harus mengalami kesulitan sekali-sekali dalam hidupmu.”

“Kenapa harus, Ayah? Bukankah kita sendiri yang menciptakan kesulitan ini? Sebenarnya kita dapat memilih jalan yang lebih haik dari yang kita tempuh sekarang ini. Bukan saja jalan dalam arti kewadagan. tetapi jalan kehidupan.”

“Aku mengerti maksudmu, Sabawa. Jika kita tidak menentang kebijaksanaan Kanjeng Adipati Demak, kita tidak akan mengalami kesulitan seperti ini. Tetapi kesulitan itu akan datang kemudian. Jika kelak pada suatu saat pasukan Mataram memasuki Demak, barulah kesulitan itu datang.”

“Belum tentu, Ayah. Jika Demak menang?”

“Kadang-kadang kita memang terlalu mementingkan diri sendiri. Kita kurang memperhatikan kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentingan diri sendiri. Untuk kepentingan yang jauh lebih besar itulah kita kadang-kadang harus melupakan kepentingan kita sendiri. Kepentingan kita akan kita korbankan bagi kepentingan yang lebih besar itu.”

Raden Sabawa tidak menjawab. Tetapi keringat mulai mengalir membasahi tubuh dan pakaiannya. Namun Raden Yudatengara itu pun berjalan terus.

“Kita harus melupakan nama kita sendiri. Kita harus memakai nama lain yang lebih sederhana, agar perjalanan kita tidak terganggu. Kita akan merendahkan diri kita dalam penyamaran, demi keselamatan kita.”

Raden Sabawa tidak menjawab.

Dalam pada itu, Wawu dan kedua orang kawannya menempuh perjalanan melingkari Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Mereka harus sangat berhati hati. Mereka pun sudah tahu bahwa Perguruan Kedung Jati pernah mencoba menjajagi kemungkinan untuk membuat landasan kekuatan di Seca. Tetapi ternyata bahwa Sima memberikan kemungkinan yang lebih baik.

Meskipun demikian, mereka pun harus sangat berhati-hati pula.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah kembali berada di Demak. Mereka tidak lapi mengenakan tutup di wajah mereka. Seperti orang-orang lain, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan menyusuri jalan-jalan utama di Demak.

Meskipun demikian, Glagah Putih dan Rara Walan harus menghindari para perwira prajurit Demak, terutama yang datang dari Mataram, karena tentu ada di antara mereka yang dapat mengenalinya.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan mencoba menyamarkan diri mereka dengan mengenakan caping bambu yang biasa dipergunakan untuk melindungi kepala dari panas matahari.

Selama berada di Demak, Glagah Putih dan Rara Wulan memaksa diri bermalam di penginapan yang berada di sebelah pasar agar, mereka berada di dalam bauran orang banyak. Meskipun penginapan itu sangat tidak menyenangkan, tetapi mereka berdua harus bertahan.

Di penginapan itu hanya terdapat ruang-ruang yang panjang, berisi amben bambu yang besar dan panjang pula. Laki-laki tidur di ruangan yang khusus untuk laki-laki, sedangkan perempuan tidur di ruangan yang khusus untuk perempuan.

Di penginapan itu tidak ada bilik-bilik khusus bagi suami istri yang menginap. Jika suami istri datang menginap di penginapan itu maka mereka pun terkena tatanan, laki laki terpisah dari perempuan.

Namun di penginapan seperti itu kadang-kadang ada sa ja orang-orang yang merasa dirinya mempunyai kelebihan dari orang lain, sehingga sikapnya justru sering mengganggu.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan telah mencoba bertahan agar mereka tidak terpancing untuk melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian.

Tetapi dua orang di antara mereka yang merasa dirinya memiliki kelebihan itu sangat menggelitik perasaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Seorang di antara mereka telah mengganggu seorang perempuan yang menginap dengan suaminya di penginapan itu, yang juga seperti Rara Wulan dan Glagah Putih yang harus tidur terpisah di ruang masing-masing.

Laki-laki itu justru sering memasuki ruang yang diperuntukkan bagi perempuan, sehingga perempuan yang diganggunya itu menjadi sangat ketakutan. Sementara suaminya tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang yang mengganggunya itu. Karena itu maka kedua orang suami istri itu telah memilih untuk pindah ke penginapan yang lain.

Kepergian suami istri itu membuat orang itu mencari sasaran yang lain. Adalah kebetulan sekali bahwa laki-laki itu sempat memperhatikan Rara Wulan. Bahkan di mata laki-laki itu, Rara Wulan adalah perempuan yang lebih menarik dari perempuan yang telah meninggalkan penginapan itu.

Yang kemudian tertarik untuk memperhatikan Rara Wulan bukan hanya seorang laki-laki itu saja, tetapi kedua orang yang merasa memiliki kelebihan dari orang-orang lain yang bermalam di penginapan itu. Mereka merasa bahwa tidak ada seorangpun yang akan berani menegur mereka. Bahkan orang-orang yang bertugas di penginapan itu.

Seorang di antara laki-laki itu pernah memukul petugas di penginapan itu, yang mencoba memperingatkan agar kedua orang itu tidak berbicara keras-keras lewat tengah malam. Tetapi petugas itu telah dipukulnya sampai pingsan.

Setelah itu maka apapun yang dilakukannya, tidak ada lagi yang berani memperingatkannya.

Pemilik penginapan itu telah mencoba menegur mereka dan berbicara baik-baik. Tetapi kedua orang itu justru mengancam akan membakar penginapan itu jika pemilik penginapan itu mencoba mencegah mereka lagi.

Setelah perempuan yang sering diganggunya itu meninggalkan penginapan itu, maka mereka pun mulai mengganggu Rara Wulan, sehingga Rara Wulan menyampaikan kepada Glagah Putih.

“Apakah aku harus memilin lehernya, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Sebaiknya kita menghindari pertengkaran, Rara. Kita mempunyai tugas yang lebih besar daripada mengurusi tikus-tikus curut seperti itu.”

“Jadi aku harus berbuat bagaimana?”

“Untuk sementara sebaiknya kau diamkan saja mereka. Aku akan berbicara dengan petugas di penginapan ini. Bahkan mungkin aku akan langsung menemui pemiliknya.”

“Jangan terlalu lama. Atau marilah sekarang kita temui pemilik penginapan itu, sebelum aku kehabisan kesabaran.”

“Baiklah. Kita pergi menemui pemilik penginapan itu sekarang.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun menemui pemilik penginapan yang kebetulan sedang berada di halaman belakang.

“Ada apa, Ki Sanak?” bertanya pemilik penginapan itu.

Glagah Putih pun kemudian telah menyampaikan keluhan istrinya yang merasa terganggu oleh dua orang laki-laki yang merasa diri mereka tidak ada yang berani melawan di penginapan itu.

Pemilik penginapan itu menarik nafas panjang. Katanya, “Maaf, Ki Sanak. Aku dan para petugas di penginapan ini tidak dapat mengatasinya. Mereka pernah memukuli petugas, dan aku sendiri pernah mereka ancam. Mereka akan membakar penginapan ini jika aku sering memperingatkan kelakuan mereka yang tidak pantas.”

“Jadi, apakah perbuatan mereka itu akan dibiarkan saja?”

“Aku memang tidak berani berbuat apa-apa.”

“Tetapi penginapanmu akan bangkrut. Kedua orang itu selalu mengganggu orang-orang yang menginap di sini. Bukan hanya perempuan yang mereka ganggu, tetapi juga tamu-tamu laki-laki sering mereka ganggu, dengan meminta agar tamu-tamu itu membayar makanan yang telah mereka makan.”

“Lalu apakah yang harus aku lakukan?”

“Apakah Ki Sanak tidak dapat minta bantuan, petugas misalnya?”

“Petugas yang mana? Tidak seorangpun petugasku yang berani.”

“Maksudku petugas di Demak ini. Prajurit, misalnya.”

“Aku belum pernah mencobanya. Tetapi minta bantuan prajurit, menurut beberapa orang justru akan dapat menimbulkan persoalan baru.”

“Persoalan apa?”

“Kalau kita bertemu dengan prajurit yang baik, jujur dan mendahulukan kewajibannya, kita akan tertolong. Tetapi menurut beberapa orang, ternyata ada prajurit yang justru memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, “Kalau begitu kita pun harus pindah ke penginapan yang lain.”

Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Ya. Kita akan pindah ke penginapan yang lain.”

“Sayang, Ki Sanak. Aku tidak dapat membantu Ki Sanak berdua. Kami merasa sangat menyesal. Tetapi apa boleh buat.”

Glagah Putih pun kemudian telah menyelesaikan pembayarannya selama ia menginap di penginapan itu, sebelum mereka pergi. Tetapi untuk pergi meninggalkan penginapan itu pun Rara Wulan merasa sangat terganggu.

Ketika Rara Wulan kemudian berbenah diri sebelum meninggalkan penginapan itu, di dalam ruangan yang diperuntukkan bagi orang-orang perempuan itu, kedua orang yang sering mengganggunya itu justru mendatanginya. Beberapa orang perempuan yang ada di dalam bilik itu menjadi ketakutan.

Mereka juga mencemaskan keadaan Rara Wulan yang sudah siap untuk pergi itu. Perempuan-perempuan itu tahu bahwa kedua orang itu sering mengganggu Rara Wulan, setelah perempuan yang terdahulu pergi. Bahkan nampaknya kedua orang itu lebih tertarik kepada Rara Wulan daripada perempuan yang sering mereka ganggu sebelumnya.

“Kau akan pergi kemana, Genduk?” bertanya seorang di antara mereka.

Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia menjadi ketakutan, tetapi jika kehilangan kendali, maka ia akan dapat berbuat sesuatu yang bertentangan dengan niat mereka agar keberadaan mereka di Demak tidak menarik perhatian.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Ia ingin mengendapkan perasaan yang bergejolak.

“He, apakah kau tuli?” berkata seorang di antara kedua orang laki-laki itu. “Aku bertanya kepadamu, kau akan pergi kemana?”

Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku akan pergi keluar dari penginapan ini.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku ada urusan lain di tempat lain. Karena itu aku harus pergi.”

“Kenapa begitu cepatnya kau tinggalkan penginapan ini, Genduk? Sebaiknya kau tetap saja tinggal di penginapan ini meskipun kau mempunyai urusan di tempat lain.”

“Suamiku mengajak aku pindah penginapan.”

“Biar saja suamimu pindah. Tetapi sebaiknya kau tetap menginap di sini,” berkata laki-laki yang lain.

“Aku harus ikut suamiku.”

“Kami berdua akan menemanimu di sini. Kau tidak perlu takut. Kau pun tidak usah takut kepada suamimu. Nampaknya suamimu seorang pengecut, yang tidak akan dapat marah kepadamu jika kau bersamaku di sini.”

“Bagaimanapun juga ia adalah suamiku.”

Keduanya tertawa. Tetapi tawa itu terhenti ketika mereka melihat seorang laki-laki berdiri di pintu ruang itu. Laki-laki itu adalah suami perempuan yang sedang diganggu laki-laki itu.

“He, untuk apa kau kemari?” bertanya salah seorang laki-laki itu.

“Aku akan mengajak istriku berangkat. Kami akan pindah.”

“Pindah kemana?”

“Ke penginapan yang lain.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa.”

Kedua laki-laki itu pun kemudian melangkah mendekati Glagah Putih yang berdiri di pintu. Seorang di antara mereka mendorong tubuh Glagah Putih, sehingga Glagah Putih itu melangkah surut beberapa langkah.

“Ki Sanak. Jika kau mau pindah, pindahlah sendiri. Biarlah istrimu berada di sini.”

“Ia istriku, Ki Sanak. Ia akan pergi kemana saja aku pergi. Karena itu maka sekarang pun aku akan membawanya pergi.”

Beberapa orang yang berada di penginapan itu pun mulai berkerumun. Mereka merasa kasihan kepada suami istri yang malang itu. Seorang di antara mereka telah menemui pemilik penginapan itu dan melaporkan apa yang terjadi.

Tetapi pemilik penginapan itu pun tidak berani berbuat apa-apa.

“Aku sudah mengatakan kepadanya bahwa aku tidak dapat membantunya. Jika aku melibatkan diri, penginapanku ini akan mereka bakar.”

Orang itu tidak dapat memaksanya. Tetapi orang itu sendiri juga tidak berani berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun menjadi gelisah pula. Sementara itu Rara Wulan pun sudah berlari keluar mendapatkan suaminya, dan bahkan Rara Wulan pun telah berdiri di belakang Glagah Putih.

“Tinggalkan istrimu di sini,” geram salah seorang laki-laki yang mulai kehilangan kesabarannya. Apalagi ketika ia melihat beberapa orang telah mengerumuninya, meskipun dari jarak yang agak jauh.

Dalam pada itu, selagi Glagah Putih membuat pertimbangan-pertimbangan apa yang sebaiknya dilakukan, pemilik penginapan itu pun datang mendekati kedua orang laki-laki itu.

Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, seorang di antara kedua laki-laki itu pun berkata, “Jika kau ikut campur, maka penginapanmu ini akan aku bakar.”

“Tidak, Ki Sanak, aku tidak akan ikut campur. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tetapi aku minta, jangan di penginapanku ini. Aku memang tidak akan berani mencegahmu, apapun yang akan kau lakukan. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan lakukan di penginapan ini. Penginapan ini adalah satu-satunya ladang bagiku untuk mencari makan bagi anak dan istriku. Jika kemudian tidak ada orang yang berani menginap di penginapan ini, maka kasihanlah anak dan istriku itu.”

Kedua orang laki laki itu termangu mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak peduli.”

Pemilik penginapan itu masih mencoba untuk menyakinkan, “Tolonglah, Ki Sanak. Aku benar benar tidak ingin mencampuri urusan Ki Sanak. Aku hanya ingin agar Ki Sanak mengasihani aku.”

“Aku bukan orang yang suka berbelas kasihan. Sekarang aku mau laki laki ini pergi, sementara perempuan ini tinggal di sini. Itu saja ”

Glagah Putih pun tidak tahu lagi jalan lain yang dapat ditempuh, kecuali membuat kedua orang itu jera. Meskipun demikian Glagah Putih itu pun masih mencoba mencegah kekerasan, “Ki Sanak. Ki Sanak jangan bertindak sewenang-wenang seperti itu. Ki Sanak sebaiknya merasa kasihan kepada pemilik penginapan itu, dan kasihan kepada kami berdua. Bukankah tidak sepantasnya seseorang dengan berterus-terang mengganggu istri orang lain, seperti yang kau lakukan itu?”

“Jika itu terjadi,” jawab orang itu, “suaminya harus melindunginya. Jika suaminya tidak dapat melindungi istrinya, maka sebaiknya tinggal saja istrimu itu di sini.”

“Baik. Aku sudah kehabisan akal untuk menghindari kekerasan. Tetapi agaknya kalian berdua telah memaksa aku untuk mempergunakan kekerasan.”

“Kau akan mempergunakan kekerasan? Kau agaknya memang suka bergurau.”

“Aku tidak bergurau. Bukankah itu yang Ki Sanak kehendaki?”

Glagah Putih itu pun kemudian surut beberapa langkah. Demikian pula Rara Wulan yang ada di belakangnya.

Tetapi kedua orang itu pun melangkah maju. Seorang di antara mereka berkata, “Kalian akan melarikan diri?”

“Tidak. Aku tidak akan dapat lari. Kalian tentu akan mengejarku. Aku hanya ingin berada di tempat yang lebih luas, agar aku dapat berbuat lebih leluasa.”

Seorang di antara kedua orang itu pun melangkah maju sambil mendorong tubuh Glagah Putih. “Nah, sekarang kau mau apa? Kita sudah berada di halaman.”

Tiba-tiba saja dua jari-jari tangan Glagah Putih telah bergerak dengan cepat, menyentuh beberapa simpul syaraf di dada serta di bawah leher orang itu. Demikian cepatnya sehingga orang itu tidak sempat berbuat apa apa. Hampir saja tubuh itu terjatuh, jika Glagah Putih tidak dengan cepat menangkapnya.

“Nah,” berkata Glagah Putih, “lihat apa yang terjadi dengan kawanmu ini. Kemarilah, pegangi tubuh ini. Ia sedang tertidur nyenyak. Jangan cemas, nanti ia akan terbangun sendiri.”

“Setan kau,” geram orang itu, “aku bunuh kau!”

“Jangan mencoba. Aku hanya membuat kawanmu ini tidur. Tetapi jika kau mencoba melawan, maka aku tidak akan sekedar membuatmu tidur. Tetapi kau akan lumpuh sepanjang hidupmu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat mengelak dari kenyataan bahwa kawannya itu memang tertidur.

Karena orang itu masih saja berdiri termangu-mangu, maka Glagah Putih itu pun berkata sekali lagi, “Pegangi kawanmu ini. Kau dengar? Atau aku akan melepaskannya sehingga ia akan jatuh dan terbaring di tanah.”

Laki-laki itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun mendekati Glagah Putih, sementara Glagah Putih menyerahkan orang itu sambil berkata, “Papah orang ini ke pembaringannya. Biarkan saja sampai ia terbangun sendiri. Jangan mencoba membangunkan, karena cara yang tidak benar akan dapat merusakkan syarafnya, sehingga ia justru tidak akan pernah bangun.”

Orang itu pun kemudian menerima kawannya yang tertidur itu dan memapahnya ke pembaringannya.

Beberapa orang yang menyaksikan masih saja berdiri keheranan. Mereka tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih, sehingga laki-laki yang masih terhitung muda itu mampu membuat seseorang tertidur nyenyak. Namun mereka yang dicengkam oleh perasaan heran itu pun segera menyadari keadaan, ketika laki-laki yang masih terhitung muda itu minta diri.

Kepada pemilik penginapan itu ia pun berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Aku akan pergi. Aku akan mencari penginapan yang lain. Tetapi besok aku akan melihat kemari, apakah kedua orang laki-laki itu tidak menjadi jera.”

“Baiklah, Ki Sanak. Sekali lagi aku minta maaf bahwa aku tidak mampu berbuat apa-apa sebagai pemilik penginapan ini, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap ketenangan dan kenyamanan tamu-tamunya.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan penginapan itu.

Namun adalah di luar perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan, bahwa di antara mereka yang menyaksikan peristiwa di penginapan itu, dua orang di antaranya menjadi sangat tertarik. Mereka mengerti bahwa laki-laki yang masih terhitung muda itu adalah orang yang berilmu tinggi.

Seorang di antara mereka pun berbisik, “Marilah, kita ikuti mereka. Mereka akan bermalam dimana.”

Kawannya mengangguk sambil berdesis, “Baik. Kita akan melihat, mereka akan bermalam dimana.”

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan penginapan itu. Mereka berjalan menyusuri jalan yang tidak begitu ramai.

“Kita bermalam dimana, Kakang?”

“Tentu ada banyak penginapan di sini.”

Rara Wulan mengangguk. Namun ia pun berkata, “Bukankah kita menginginkan menginap di penginapan yang tidak mendapat banyak perhatian?”

“Ya. Penginapan seperti penginapan yang baru saja kita tinggalkan tentu masih ada. Kita dapat bertanya kepada para pemilik kedai di pinggiran. Jangan di tengah-tengah kota.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Namun ternyata dengan ketajaman naluri mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mengetahui bahwa ada dua orang yang mengikuti mereka.

“Itulah yang kita cemaskan, Rara,” desis Glagah Putih.

“Bukankah ada dua orang yang mengikuti kita?”

“Ya. Aku juga merasakannya. Ketika kita berbelok di tikungan, aku melihat keduanya. Baiklah. Biarlah mereka tetap mengikuti kita. Kita justru akan pergi keluar kota.”

“Kemana?”

“Kemana saja, asal kedua orang itu menjadi bingung.”

“Ke bulak panjang?”

“Ya. Kita ingin tahu. apa yang mereka lakukan terhadap kita.”

Kedua orang itu pun kemudian berjalan semakin cepat menuju ke pintu gerbang kota, Bahkan keduanya pun kemudian telah keluar pintu gerbang menuju ke daerah persawahan.

Kedua orang yang mengikuti keduanya pun masih mengikutinya pula. Namun mereka menjadi saling bertanya, “Kemana kedua orang itu pergi?”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berjalan menyusuri jalan yang justru menjauhi pintu gerbang kota.

“Bukankah keduanya mengatakan akan mencari penginapan?” bertanya seorang di antara mereka.

“Ya.”

“Tetapi kenapa mereka justru menjauhi kota?”

“Bagaimana aku tahu?” sahut yang lain.

Tetapi keduanya masih saja tetap mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka masih belum sadar bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mengetahui bahwa mereka berdua telah diikuti oleh kedua orang itu.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di tikungan yang terlindung oleh serumpun pohon jarak kepyar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun itu justru berhenti dan menyelinap di antara pohon jarak itu.

Kedua orang yang mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih belum sadar bahwa kedua orang yang mereka ikuti itu justru telah menunggu mereka di balik tikungan.

Karena itu, ketika keduanya sampai di tikungan, keduanya termangu mangu sejenak. Mereka tidak melihat lagi dua orang laki-laki dan perempuan yang mereka ikuti.

“Kemana mereka berdua?” bertanya seorang di antara mereka.

“Mereka tadi berbelok kemari,” sahut yang lain.

Namun keduanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang bertanya, “Apakah kalian mencari kami?”

Keduanya segera berpaling. Sebenarnyalah dari balik rumpun jarak kepyar itu, dua orang laki-laki dan perempuan yang mereka cari itu pun muncul.

Keduanya bergeser surut sambil mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Ternyata kedua orang laki-laki dan perempuan itu, setidak-tidaknya laki-laki yang masih terhitung muda itu, adalah seorang yang memang berilmu tinggi. Mereka segera mengetahui bahwa mereka telah diikuti sampai ke tengah-tengah bulak itu.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih sambil melangkah maju, “kenapa kalian mengikuti kami?”

“Siapa yang mengikuti kalian? Kami berdua memang akan berjalan melalui jalan ini.”

“Kalian akan kemana?”

“Itu bukan urusanmu.”

“Tetapi ketika kalian sampai di tikungan, kalian justru bertanya kemana kami berdua.”

“Segalanya hanya kebetulan saja. Semula kami lihat kalian berjalan di depan kami. Namun kemudian kalian tiba-tiba tidak kelihatan. Bukankah wajar jika kami bertanya, kemana orang-orang yang kami lihat berjalan di depan kami.”

“Bagus. Jika demikian, silakan melanjutkan perjalanan.”

Keduanya saling berpandangan sejenak. Mereka tidak tahu akan pergi kemana. Namun seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Baiklah, kami akan meneruskan perjalanan.”

“Silahkan, Kami-lah yang kemudian akan berjalan di belakang Ki Sanak berdua.”

“Kalian akan mengikuti kami?”

“Tidak. Bukankah kita berjalan searah?”

“Tetapi kenapa kami yang harus berjalan lebih dahulu?”

“Tidak apa-apa. Jika kalian berjalan di belakang kami, maka kami akan menuduh kalian mengikuti kami.”

Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Jika mereka meneruskan perjalanan, maka mereka memang tidak mempunyai tujuan.

“Nampaknya kalian menjadi ragu-ragu,” berkata Glagah Putih kemudian.

Kedua orang itu masih saja termangu-mangu, sehingga Glagah Putih justru tertawa sambil berkata, “Kenapa kalian menjadi bingung? Silahkan pergi kemana saja kalian ingin pergi. Kami tidak akan mengganggu kalian. Bahkan kami minta maaf bahwa kami telah keliru, karena kami menyangka kalian sengaja mengikuti kami.”

Namun akhirnya seorang di antara mereka pun berkata, “Terus terang, Ki Sanak, kami memang sengaja mengikuti kalian.”

“Mengikuti kami? Kenapa? Apakah ada yang salah pada kami berdua?”

“Kalian berdua sangat mencurigakan. Kalian mempunyai ilmu yang tinggi, tetapi kalian bermalam berbaur dengan orang-orang kebanyakan dan pedagang-pedagang kecil.”

“Ya. Mungkin kami memang mempunyai sedikit ilmu. Tetapi apa salahnya kami bermalam di penginapan itu? Kami tidak mempunyai uang cukup untuk bermalam di tempat yang lebih baik.”

“Apa yang kalian lakukan di Demak ini, Ki Sanak?”

“Nanti dulu. Siapakah kalian berdua? Dan apakah hak kalian untuk mengurusi kami berdua? Siapapun kami dan apapun yang kami lakukan, bukankah kami tidak melanggar tatanan?”

“Kami kemarin telah menangkap seorang petugas sandi dari Pajang. Orang itu mengaku bahwa ia mempunyai beberapa kawan di Demak. Seorang petugas sandi tentu memiliki bekal ilmu yang tinggi. Karena itu, ketika aku melihat kemampuan Ki Sanak, maka kami pun segera menghubungkan Ki Sanak dengan kawan-kawan petugas dari Pajang yang telah kami tangkap.”

“Jadi Ki Sanak berdua akan menangkap kami?”

“Ya.”

“Lalu apa yang akan kalian lakukan terhadap kami berdua?”

“Itu bukan persoalan kami. Kami akan menyerahkan kalian kepada pemimpin kami. Pemimpin kami-lah yang akan memutuskan, apa yang akan dilakukan terhadap kalian berdua.”

“Tetapi kami sama sekali tidak berhubungan dengan petugas sandi yang manapun. Kami datang ke Demak untuk mencari hubungan dengan saudara-saudara seperguruan kami, karena kami mendengar bahwa perguruan kami sedang bangkit dan menyusun diri kembali.”

“Perguruan apa?”

“Perguruan Kedung Jati.”

“Perguruan Kedung Jati?” sahut yang seorang lagi dengan serta-merta, “Kau mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati?”

“Bukan aku, tetapi istriku. Ia adalah murid dari Perguruan Kedung Jati yang ingin bergabung dengan saudara-saudaranya.”

“Benar ia murid dan Perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

“Jangan mencoba untuk berbohong. Ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jadi kalian adalah murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Jika demikian, apakah wewenang kalian untuk mencurigai kami? Apa pula wewenang Ki Sanak, sehingga Ki Sanak kemarin telah menangkap seorang petugas sandi dari Pajang?”

“Aku murid dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi Kakang Lurah ini adalah seorang prajurit Demak yang bertugas untuk mengawasi, dan kalau perlu ia mempunyai wewenang untuk menangkap orang-orang yang dicurigai menjadi petugas sandi di Demak.”

“Jadi kalian berdua adalah ujud dari kerjasama antara Demak dan Perguruan Kedung Jati.”

“Ya,” jawab orang itu, “nah, ternyata bahwa kalian adalah orang-orang yang benar-benar mencurigakan. Apalagi kalian sudah berani mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Istriku tidak sekadar mengaku-aku murid dari Perguruan Kedung Jati. Ia memang murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah yang kau katakan itu benar?”

“Tentu,” sahut Rara Wulan, “aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati. Soalnya, bagaimana aku harus membuktikan?”

“Ada beberapa unsur gerak yang khusus bagi setiap perguruan yang besar. Demikian pula dengan Perguruan Kedung Jati. Nah, jika kau memang murid dari Perguruan Kedung Jati, buktikan. Kita akan memperlihatkan ilmu kita. Kita akan memperlihatkan unsur-unsur yang khusus dari Perguruan Kedung Jati.”

“Jadi kita harus bertempur?” bertanya Rara Wulan.

“Itu adalah satu-satunya cara untuk membuktikan, apakah benar kau murid Perguruan Kedung Jati atau bukan.”

“Baik. Aku akan mempersiapkan diri.”

Rara Wulan pun kemudian telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang dikenakannya kemudian adalah pakaian khususnya, yang semula tertutup oleh kain panjangnya.

“Bersiaplah, Ki Sanak. Tetapi jika kau bukan murid dari Perguruan Kedung Jati, maka jangan menyesal bahwa tulang-tulang igamu berpatahan.”

“Jangan sesumbar. Kau menjadi sangat ketakutan ketika laki-laki di penginapan itu mengancammu, sehingga suamimu harus melindungimu. Jika kau murid Perguruan Kedung Jati, maka kau sendiri akan dapat menyelesaikan kedua orang laki-laki yang tidak mengenal unggah-ungguh itu.”

“Aku masih berniat untuk menyembunyikan kebenaran tentang jati diriku. Tetapi di sini yang ada hanya kami berdua dan kalian berdua.”

“Baik. Marilah kita lihat, apakah kau benar-benar menguasai ilmu kanuragan dari Perguruan Kedung Jati.”

Keduanya pun kemudian telah mempersiapkan diri. Glagah Putih dan orang yang disebut Ki Lurah itu pun kemudian bergeser menjauh.

Sejenak kemudian, kedua orang yang pernah menyerap ilmu dari Perguruan Kedung Jati itu pun telah terlibat dalam pertarungan yang menegangkan. Rara Wulan yang telah menyadap ilmu Sekar Mirah yang bersumber dari Perguruan Kedung Jati dengan perantara Ki Sumangkar, segera melibat lawannya. Rara Wulan sengaja mempergunakan unsur-unsur gerak yang diandalkan dari Perguruan Kedung Jati.

Orang yang mencurigai Glagah Putih dan Rara Wulan yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun segera mengenal unsur-unsur terbaik, yang tidak semua murid mendapat kesempatan untuk menguasainya.

Jika sekali dua kali meluncur juga unsur gerak dari perguruan yang lain, justru membuat orang yang mencurigainya itu bingung. Ia mengira bahwa perempuan itu telah mempelajari ilmu yang mengalir dari Perguruan Kedung Jati pada tataran yang tinggi sekali.

Dengan demikian, dalam waktu singkat, orang yang mencurigai kedua orang suami istri itu pun telah mengalami kesulitan. Beberapa kali ia terdorong surut, kemudian terpelanting dan terbanting jatuh. Seluruh tubuhnya sudah terasa sakit, sementara ada tulangnya yang seakan-akan retak.

Karena itu maka orang itu pun kemudian bergeser surut untuk mengambil jarak. Diangkatnya kedua tangannya ke depan sambil berkata, “Cukup, cukup.”

“Nah, apakah kau percaya bahwa aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati?”

“Ya, aku percaya. Melihat unsur-unsur gerak dari ilmumu, maka kau benar-benar murid dari Perguruan Kedung Jati, yang justru sudah berada di tataran yang lebih tinggi dari tataran ilmuku. Ilmumu sudah terlalu rumit bagiku.”

“Nah, jadi kau sudah meyakini bahwa aku murid dari Perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

“Apakah dengan demikian kau masih tetap mencurigai kami sebagai petugas sandi, dari manapun datangnya?”

“Tidak. Tetapi apa yang akan kau lakukan?”

“Adalah kebetulan bahwa aku telah bertemu dengan seorang murid dari Perguruan Kedung Jati. Sekarang tunjukkan kepadaku, dimana aku dapat menemui Ki Saba Lintang. Aku ingin bertemu dan menyatakan niatku untuk bergabung kembali, jika benar Perguruan Kedung Jati akan bangkit.”

“Maksudmu, kau akan menemui langsung Ki Saba Lintang?”

“Ya,” jawab Rara Wulan, “aku akan bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang.”

Orang itu menggeleng sambil berkata, “Itu tidak mungkin, Ki Sanak. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menemui langsung Ki Saba Lintang.”

“Orang-orang tertentu yang bagaimana? Orang-orang yang berilmu tinggi? Atau orang yang berpangkat tinggi di Demak?”

“Tidak. Yang dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang adalah orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan dari Ki Saba Lintang. Jadi hanya orang-orang tertentu saja yang akan dapat menemuinya. Meskipun orang itu berilmu tinggi, atau yang mempunyai jabatan di pemerintahan Demak, tetapi kalau orang itu masih belum mendapat kepercayaan dari Ki Saba Lintang, ia tidak akan mendapat kesempatan untuk menemuinya.”

“Jadi, apa yang harus aku lakukan lebih dahulu, agar aku dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Saba Lintang?”

“Kau harus melalui beberapa anak tangga. Jika kau benar-benar ingin bertemu, kau dapat ikut aku untuk menemui anak tangga yang pertama.”

“Ada berapa buah anak tangga yang harus aku lalui?”

“Tidak tentu. Menurut keadaan orang yang akan menemuinya. Mungkin pada anak tangga ketiga ia sudah mendapat kepercayaan, sehingga untuk selanjutnya segala sesuatunya akan menjadi lebih lancar. Meskipun demikian, tetapi seseorang tidak akan dapat menemuinya langsung.”

“Jadi bagaimana? Kenapa kata-katamu berbelit-belit? Atau aku harus memaksamu agar kau berkata dengan wajar?”

“Aku sudah mengatakan apa adanya, Ki Sanak.”

“Dimana aku dapat bertemu dengan anak tangga yang pertama itu?”

“Aku akan menemuimu dan memberitahukan kepadamu, kapan dan dimana. Aku akan berhubungan lebih dahulu dengan orang yang disebut anak tangga yang pertama di sisi timur Demak. Karena anak tangga yang pertama itu, di sisi yang lain orangnya lain lagi.”

“Gila kau, Ki Sanak. Tetapi baiklah, aku akan menunggumu di luar pintu gerbang, besok dini hari sebelum fajar. Kau harus datang bersama anak tangga pertama itu.”

“Bukan aku yang menentukan, Ki Sanak, tetapi anak tangga yang pertama itu. Segala sesuatunya tergantung kepadanya.”

“Kenapa tidak kau katakan saja, siapa orangnya dan dimana tempat tinggalnya?”

“Apakah kau akan menemuinya langsung?”

“Ya.”

“Tidak dapat, Ki Sanak. Orang itu berada di sebuah barak. Bergabung dengan barak satu kesatuan prajurit.”

Rara Wulan pun kemudian berkata, “Ternyata kau adalah murid Perguruan Kedung Jati di tataran yang paling bawah. Meskipun kau bukan pemula yang baru kemarin berguru kepada orang-orang Kedung Jati, ternyata bahwa ilmumu sudah berada di tataran kedua, namun agaknya kau adalah orang yang tidak terpakai, sehingga kau sama sekali tidak mempunyai wewenang apapun. Baik di Perguruan Kedung Jati maupun di tangga jabatan para petugas sandi di Demak. Karena itu, pergilah. Aku akan mencari jalan sendiri. Aku tidak memerlukan anak tangga yang pertama itu. Aku akan langsung mencari hubungan dengan Ki Saba Lintang. Karena sebenarnyalah aku adalah orang yang berhak mewarisi tongkat baja putih yang kedua, setelah tongkat baja putih yang ada di tangan Ki Saba Lintang.”

“Kenapa kau merasa berhak mewarisi tongkat baja putih kedua?”

“Aku adalah murid terbaik di Perguruan Kedung Jati.”

“Kau masih terlalu muda dibandingkan dengan beberapa orang terpenting di lingkungan Perguruan Kedung Jati.”

“Sebagian besar dari mereka bukan orang-orang Perguruan Kedung Jati yang murni. Sebagian dari mereka adalah pemimpin-pemimpin dari beberapa perguruan kecil yang tersebar di wilayah Demak. Bahkan ada pemimpin-pemimpin gerombolan perampok, yang justru seharusnya dimusnahkan. Tetapi nampaknya Kedung Jati yang mau bangkit itu telah bergabung dengan kekuatan di semua aliran, tanpa memilih. Agaknya Perguruan Kedung Jati pada saat ini telah meninggalkan paugeran pokok perguruan, sekedar untuk mendapatkan banyak pengikut.”

“Bagaimana menurutmu paugeran pokok perguruan itu?”

“Perguruan Kedung Jati tidak seharusnya menjadi sarang orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Sebagian besar dari mereka yang justru memegang kendali di Perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang menumpang mencari keuntungan lahir dan batin.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sedangkan Rara Wulan berkata selanjutnya, “Nah, aku peringatkan kepada para pemimpin di Demak. Agaknya para pemimpin di Demak harus berhati-hati jika ingin bekerja sama dengan Perguruan Kedung Jati yang sekarang. Perguruan Kedung Jati yang kepemimpinannya justru banyak berada di tangan orang-orang yang sebenarnya bukan murid-murid Perguruan Kedung Jati. Murid Kedung Jati yang sebenarnya harus memiliki jiwa perjuangan yang sebenarnya dari Perguruan Kedung Jati. Karena itulah maka aku ingin bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang. Aku akan menuntut hakku untuk menjadi pewaris kepemimpinan kedua setelah Ki Saba Lintang. Aku akan bersedia diuji dengan segala cara. Karena memang tidak ada orang yang sekarang berada di deretan kepemimpinan Perguruan Kedung Jati yang kacau itu, dapat mengimbangi kemampuanku dalam segala bidang. Bahkan bidang olah kanuragan.”

Kedua orang itu bagaikan orang kebingungan. Mereka mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Bahkan jantung mereka rasa-rasanya telah tersentuh oleh pengakuan perempuan itu. Sebenarnyalah orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu melihat sendiri dan bahkan mengalami sentuhan ilmu dengan perempuan itu. Ilmunya yang sebagian tidak dapat dimengertinya.

Karena itu, maka dengan gagap ia pun bertanya, “Jadi, apa yang harus aku lakukan?”

“Pergi dari tempat ini. Jangan mencoba mencari aku lagi. Jika aku melihat kalian berdua di Demak, maka aku akan membunuh kalian.”

“Tetapi apakah aku harus mengatakan kepada orang yang berada di anak tangga pertama, bahwa kau akan menunggunya di luar pintu gerbang esok dini hari sebelum fajar?”

“Tidak. Aku tidak memerlukan tikus-tikus curut seperti kalian. Aku memerlukan orang-orang yang mempunyai kedudukan yang menentukan di Perguruan Kedung Jati.”

“Tetapi mereka semuanya sulit ditemui. Kau tidak akan tahu dimana mereka berada.”

“Pada suatu saat, mereka-lah yang akan mencari aku, bukan aku yang harus mencari mereka. Jika pada suatu saat nanti aku membunuhmu dan membunuh orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati, maka para pemimpinmu tentu akan mencari aku. Dan jika aku membunuh para pemimpinmu, yang sebagian memang bukan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu, maka Ki Saba Lintang tentu akan mencari aku.”

Wajah orang itu pun menjadi sangat tegang. Namun Rara Wulan berkata pula, “Pergilah. Aku belum akan mulai membunuh hari ini. Entah nanti atau besok, atau kapanpun. Tetapi ingat, jika kita bertemu lagi dimanapun juga. maka aku akan membunuhmu. Akan lebih baik jika kau memanggil orang-orang yang lebih berpengaruh di perguruanmu yang tatanannya sedang kacau seperti sekarang ini, agar aku akan dapat membunuhnya. Sehingga bobot pembunuhan itu akan lebih menggelitik bagi Ki Saba Lintang.”

Orang itu masih saja membeku. Tetapi kata-kata Rara Wulan itu terdengar seperti suara guruh di musim kemarau.

“Pergilah. Kenapa kau masih diam saja?”

“Baik, baik. Terima kasih. Kami akan pergi.”

Orang itu pun kemudian menggamit kawannya yang menyebut dirinya petugas dari Demak itu. Kemudian keduanya dengan tergesa-gesa meninggalkan kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Mereka berjalan semakin lama semakin cepat.

Tetapi mereka baru sadar bahwa mereka telah mengambil arah yang keliru. Mereka tidak mengambil arah kembali ke Demak, tetapi mereka berjalan terus, searah dengan saat mereka mengikuti dua orang laki-laki dan perempuan yang ternyata justru telah menjebak mereka.

“Kita akan pergi kemana?” bertanya petugas sandi dari Demak itu.

Orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun termangu-mangu. Namun kakinya masih saja melangkah terus.

“Kita cari jalan sidatan untuk kembali ke Demak,” jawabnya

“Ya. Kita harus kembali secepatnya.”

“Untuk apa?”

“Bukankah kita akan melaporkan keberadaan kedua orang itu, agar mereka ditangkap?”

“Kenapa mereka harus ditangkap?”

Petugas sandi dari Demak itu termangu-mangu. Sementara orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu berkata, “Mereka berdua tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Demak. Apalagi jika kau hubungkan dengan kesiapan Demak untuk mengambil alih kepemimpinan Mataram. Kedua orang itu hanya berkepentingan dengan Perguruan Kedung Jati.”

Petugas sandi dari Demak itu termangu-mangu sejenak.

“Menurut pendapatku, biarkan saja kedua orang itu. Biar saja jika akhirnya ia dapat bertemu dengan Ki Saba Lintang. Bahkan mungkin keberadaan orang itu dalam kepempimpinan Perguruan Kedung Jati akan membuat Perguruan Kedung Jati menjadi semakin kokoh.”

“Tetapi mungkin juga akan dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan di antara para pemimpinnya, yang menurut orang itu justru terdiri dari orang-orang yang sebenarnya bukan murid-murid Perguruan Kedung Jati.”

“Itu urusan para pemimpin di Perguruan Kedung Jati. Aku tidak tahu apa yang akan mereka putuskan.”

“Tetapi apakah kau akan melaporkan kepada orang yang kau sebut anak tangga pertama itu?”

“Tidak. Itu hanya akan menyulitkan aku sendiri. Jika kami para murid dari Perguruan Kedung Jati harus mencarinya, maka aku pun tentu akan mendapat tugas mencarinya. Sementara itu perempuan yang nampaknya garang itu sudah mengancam, jika sekali lagi kami bertemu, maka ia akan membunuhku.”

“Jika demikian, biarlah aku saja yang melaporkan keberadaannya. Karena jika terjadi gejolak di Perguruan Kedung Jati, maka gejolak itu tentu akan berpengaruh pula terhadap langkah-langkah yang akan diambil oleh Demak.”

“Jangan lakukan itu. Sekali lagi aku peringatkan, jika kita harus terlibat untuk mencari kedua orang itu, maka kita akan dapat terbunuh. Perempuan itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Mungkin laki-laki itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi. Karena itu, lupakan kedua orang itu. Mereka tidak berbahaya bagi Demak, karena mereka bukan telik sandi dari Pajang maupun Mataram. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai persoalan sendiri dengan Perguruan Kedung Jati. Persoalannya adalah persoalan orang-orang yang berada pada tataran di atas dalam jajaran kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Dan itu berada di luar jangkauanku. Karena itu, maka lebih baik aku dan kau melupakan mereka. Melupakan bahwa kita pernah bertemu dengan kedua orang itu.”

Petugas sandi dari Demak itu mengangguk-angguk. la pun akan merasa lebih baik tidak bersangkut paut dengan kedua orang yang berilmu tinggi, dan tidak tercakup dalam bidang tugasnya untuk mengamati petugas-petugas sandi dari luar Demak.

Karena itu maka orang itu pun sependapat bahwa mereka sebaiknya melupakan saja kedua orang yang mengaku akan berhubungan langsung dengan Ki Saba Lintang, pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati yang baru.

Pada saat kedua orang itu pergi, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengamati beberapa lama sambil tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putih berkata, “Akan kemana kedua orang itu? Kenapa mereka tidak berbalik dan kembali saja ke Demak?”

“Keduanya menjadi bingung, sehingga tidak sempat memilih arah,” sahut Rara Wulan sambil tertawa. “Lalu. bagaimana dengan kita?”

“Kita akan kembali ke Demak.”

“Apakah orang itu tidak akan melaporkan kepada orang yang disebutnya berada pada anak tangga pertama?”

“Masih diperlukan beberapa jenjang untuk sampai kepada seseorang yang dapat mengambil keputusan,” jawab Glagah Putih. “Untuk itu tentu akan diperlukan lebih dari dua hari. Baru ada keputusan, apakah mereka akan mencari kita atau tidak. Sementara itu tugas kita pun sudah hampir selesai. Kita sudah mendapat banyak keterangan. Hubungan antara kedua orang yang mengikuti kita itu pun merupakan gambar dari hubungan antara Demak dan Perguruan Kedung Jati. Karena itu, dalam sehari ini tugas kita di Demak dapat kita anggap selesai. Kita akan kembali ke Mataram. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dengan Raden Yudatengara di Mataram, sehingga keterangan yang kita berikan dapat diperkuat oleh keterangan Raden Yudatengara, atau sebaliknya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Kakang. Tetapi apa lagi yang ingin kita ketahui?”

“Kita akan melihat latihan-latihan para prajurit di alun-alun esok pagi. Kita akan memperbandingkan tingkat kemampuan mereka dengan para prajurit Mataram.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Dengan demikian maka laporan kita akan menjadi semakin lengkap.”

Demikianlah, keduanya pun telah kembali ke Demak. Namun mereka kemudian memilih berada di sisi lain, serta mencari penginapan yang kira-kira tidak akan menimbulkan persoalan.

“Kita justru mencari penginapan yang agak lebih baik, Kakang.”

“Ya. Mudah-mudahan tidak ada persoalan apa-apa.”

Keduanya pun kemudian telah menenggelamkan diri di penginapan, justru untuk menghindari persoalan-persoalan yang mungkin dapat timbul. Hari esok pagi mereka akan keluar dari penginapan dan pergi ke alun-alun, untuk menyaksikan sodoran serta latihan-latihan keprajuritan dari berbagai macam kesatuan.

Dalam kesiagaan tertinggi, Demak memang sering mengadakan latihan-latihan besar-besaran untuk membangkitkan kepercayaan diri para prajuritnya. Menurut berita, bukan hanya para prajurit yang akan menunjukkan kemampuannya di alun-alun. Tetapi sekelompok murid dari Perguruan Kedung Jati juga akan menunjukkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Baik secara pribadi maupun dalam kerjasama di antara mereka. Bahkan mereka akan memberikan gambaran perang gelar yang lengkap.

“Ada berapa orang murid Perguruan Kedung Jati, sehingga mereka akan melakukan latihan perang gelar yang lengkap?” bertanya Rara Wulan.

“Entahlah. Tetapi menilik gerakan yang dilakukan di beberapa tempat, Perguruan Kedung Jati memang memiliki murid, atau katakanlah pengikut, yang cukup banyak. Apakah mereka benar-benar murid yang menyadap ilmunya dari aliran Perguruan Kedung Jati, atau bahkan mereka yang sama sekali tidak mengenal ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun latihan perang itu tentu akan sangat menarik sekali untuk ditonton, dan kemudian diperbandingkan dengan tingkat kemampuan para prajurit Mataram.

Demikianlah, keduanya benar-benar tidak keluar dari penginapan hari itu. Bahkan mereka pun memesan makan dan minum dari penginapan itu pula, agar mereka tidak usah mencari kedai untuk membeli makan.

Di hari berikutnya, maka keduanya pun telah mempersiapkan diri untuk pergi ke alun-alun. Mereka justru berusaha untuk tidak menarik perhatian. Mereka akan berada di antara rakyat yang menonton gladi perang-perangan itu. sehingga mereka berdua pun harus dapat berbaur dengan mereka dalam ujud lahiriahnya.

Sebelum berangkat, Glagah Putih dan Rara Wulan telah membayar uang sewa penginapan untuk semalam, karena mereka tidak akan kembali lagi ke penginapan itu.

“Kalian akan pergi kemana?”

“Kami akan melanjutkan perjalanan kami.”

“Kalian akan kemana?”

“Kami akan pergi ke Kudus.”

“Kenapa tidak esok pagi saja? Hari ini ada gladi besar para prajurit, yang memang sering diadakan di alun-alun. Hari ini akan ada latihan gabungan antara para prajurit Demak dengan para murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Sayang sekali,” desis Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata pergi ke alun-alun. Namun mereka berusaha untuk berbaur dengan banyak orang yang juga akan pergi menonton ke alun-alun.

Sambil berjalan menghanyutkan diri dalam arus orang-orang yang akan menonton ke alun-alun, Glagah Putih pun berkata, “Hubungan yang rapat antara Demak dengan Perguruan Kedung Jati tidak dirahasiakan lagi. Bahkan hubungan itu akan digelar secara terbuka di alun-alun, dalam latihan besar-besaran yang akan diselenggarakan hari ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya para pemimpin Demak dan Perguruan Kedung Jati akan hadir. Agaknya Ki Saba Lintang pun akan hadir pula.”

“Mungkin sekali Ki Saba Lintang akan hadir. Tetapi kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ki Saba Lintang tentu berada di antara orang-orang yang dipercayainya.”

“Ya. Sayang sekali kita tidak akan dapat memanfaatkan keberadaannya di Demak.”

“Jangan kehilangan pertimbangan dan perhitungan. Kita tidak dapat hanya berdasarkan pada kemauan dan perasaan saja.”

Rara Wulan mengangguk-angguk pula.

Beberapa saat kemudian, mereka pun sudah berada di alun-alun. Orang pun sudah berdesakan berdiri di pinggir alun-alun yang dipagari dengan gawar lawe. Di sekeliling alun-alun telah terpasang rontek, umbul-umbul dan kelebet beraneka warna. Sedang di depan panggung kehormatan telah berdiri berjajar beberapa tunggul kebesaran Demak, dengan kelebet yang bergambar berbagai lambang kesatuan para prajurit Demak.

“Yang terjadi ini lebih condong disebut pagelaran raksasa daripada latihan bagi para prajurit,” desis Rara Wulan.

“Ya. Tetapi pagelaran semacam ini memang dapat memberikan kebanggaan bagi para prajurit, sehingga dengan demikian mereka akan menjadi lebih mantap berjuang bagi satu keyakinan, tanpa dapat menilai makna dari keyakinan itu. Karena sebenarnyalah bahwa keyakinan itu telah dihunjamkan ke dalam otak mereka dengan serta-merta.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja.

Sementara itu orang-orang pun bergerak mendekati gawar, sehingga para prajurit yang berjaga-jaga di seputar alun-alun itu harus menghalau mereka agar mereka itu mundur dan tidak mendesak, apalagi memutuskan gawar lawe. Agaknya latihan-latihan di alun-alun itu akan segera dimulai.

Yang pertama kali akan dilakukan oleh para prajurit itu justru semacam pertandingan. Para prajurit pilihan akan melakukan sodoran. Dua orang akan bertanding dengan tombak yang tumpul di atas punggung kuda.

Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, maka orang-orang yang berkerumun di sekitar alun-alun itu pun bagaikan digoyang. Namun para prajurit yang berjaga-jaga di seputar alun-alun itu kembali mendorong mereka untuk mundur.

Sejenak kemudian, dua orang berkuda dengan tombak yang berujung tumpul telah bergerak maju ke depan panggung kehormatan. Mereka memberikan hormat kepada para pemimpin yang berada di panggung kehormatan. Selain Kanjeng Adipati dan para pemimpin tertinggi di Demak, telah hadir pula pimpinan tertinggi Perguruan Kedung Jati, Ki Saba Lintang, dengan membawa tongkat kebesarannya.

Dari kejauhan Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat melihat dengan jelas siapa saja yang berada di panggung kehormatan itu. Namun keduanya sempat melihat sosok yang membawa tongkat baja putih.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang memiliki kemampuan Aji Sapta Pandulu itu pun segera mengetrapkannya, sehingga mereka berdua melihat dengan lebih jelas bahwa di panggung kehormatan itu memang duduk pula Ki Saba Lintang.

“Ki Saba Lintang dengan tongkat baja putih itu,” desis Rara Wulan.

“Ya.”

“Jika kita mampu mempergunakan kesempatan ini, maka kita akan mendapatkan tongkat baja putih itu.”

“Kita tidak akan mendapat kesempatan itu sekarang. Di panggung kehormatan itu duduk para pemimpin Kadipaten Demak. Di antara mereka tentu terdapat orang-orang berilmu tinggi. Selain mereka, Ki Saba Lintang pun tentu membawa pengawal-pengawal terbaiknya, tidak peduli mereka berasal dari gerombolan perampok sekalipun.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah ia ingin sekali dapat berbuat sesuatu. Namun Rara Wulan pun menyadari bahwa ia tidak boleh hanyut sekedar dalam arus perasaannya, tanpa menghiraukan pertimbangan nalar dan perhitungan.

Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak berniat berbuat apa-apa selain menonton latihan besar-besaran yang akan dilakukan di alun-alun. Namun keduanya meragukan, sebesar apakah latihan itu bahwa di alun-alun itu juga akan dilakukan latihan perang gelar.

“Gelarnya tentu kecil-kecilan,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, kedua orang berkuda yang membawa tombak yang ujungnya tumpul itu sudah meninggalkan panggung kehormatan. Mereka melarikan kuda mereka ke kedua sisi alun-alun.

Sejenak kemudian terdengar suara bende pertama, sehingga kedua orang yang akan melakukan sodoran itu segera mempersiapkan diri, mengamati pakaian mereka, tombak mereka dan kelengkapan-kelengkapan mereka yang lain.

Ketika bende itu berbunyi dua kali, maka kedua orang yang duduk di atas punggung kuda itu pun segera bersiap. Sedangkan ketika terdengar suara bende untuk ketiga kalinya, maka kedua orang berkuda itu pun segera memacu kudanya. Mereka telah merundukkan tombak mereka yang tumpul yang dipegang dengan tangan kanan, sedangkan di tangan kirinya terdapat sebuah perisai yang tidak begitu besar.

Demikianlah, ketika keduanya berpapasan di depan panggung kehormatan, maka mereka pun telah mencoba menyusupkan ujung tombak mereka yang tumpul dan dibalut dengan kain itu di antara pertahanan lawan. Tetapi masing-masing mempergunakan perisai yang ada di tangan kiri mereka untuk menangkis ujung tombak yang tumpul itu.

Ternyata kedua orang penunggang kuda itu cukup tangguh. Meskipun seorang di antara mereka terguncang, tetapi prajurit itu tidak terjatuh. Bahkan ia pun segera mampu memperbaiki keadaannya. Sehingga ketika kuda-kuda mereka berputar, maka prajurit itu sudah siap untuk bertarung lagi.

Tetapi mereka tidak lagi membuat ancang-ancang seperti ketika baru mulai. Kedua ekor kuda itu pun berputar-putar di depan panggung kehormatan, sementara penunggangnya berusaha untuk saling menjatuhkan.

Setelah pertarungan itu berlangsung beberapa saat, maka tiba-tiba seorang di antara mereka menjadi lengah, sehingga ujung tombak yang tumpul dan terbalut dengan kain yang cukup tebal itu telah mengenai lambungnya. Orang itu pun terlempar dari kudanya yang sedang berlari.

Beberapa orang prajurit pun segera berlari menangkap kuda yang terlepas kendalinya itu, sedangkan yang lain berusaha menolong prajurit yang terjatuh itu. Tetapi agaknya prajurit itu tidak apa-apa, sehingga ia pun telah bangkit sendiri.

Terdengar tepuk tangan dan sorak yang bergelora di seputar alun-alun itu. Beberapa orang berteriak-teriak memuji. Tetapi ada pula yang bersungut-sungut, karena orang yang diharapkan menang justru dapat dijatuhkan dari kudanya.

Demikianlah, ada empat pasang pertarungan sodoran, yang mendapat sambutan yang sangat meriah dari mereka yang menyaksikan di seputar alun-alun itu. Apalagi ketika terjadi pertarungan pada putaran kedua. Empat orang pemenang dari empat pasang pertarungan itu akan turun kembali ke arena menjadi dua pasang.

Yang paling menggemparkan adalah pertarungan terakhir dari dua orang pemenang. Dua orang yang terbaik dari delapan orang yang ikut dalam sodoran itu. Seorang di antara keduanya akan menjadi orang terbaik, yang akan mendapat hadiah seekor kuda dari Kanjeng Adipati di Demak. Tentu saja seekor kuda yang besar dan tegar, yang akan dapat menjadi kebanggaannya.

Sorak yang gemuruh bagaikan meruntuhkan langit ketika kedua orang terbaik itu mulai dengan pertarungan mereka. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Tombak-tombak tumpul mereka terjulur ke arah tubuh lawannya. Tetapi perisai di tangan kiri mereka pun dengan tangkas menepis serangan-serangan itu, dan bahkan telah datang pula serangan balasan yang mengejutkan.

Ketika seorang di antaranya terjatuh dari kudanya, maka dinding alun-alun itu bagaikan akan roboh. Beberapa saat lamanya orang yang berada di sekitar alun-alun itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Pemenang sodoran pada putaran terakhir itu pun kemudian berkeliling alun-alun di atas punggung kudanya sambil mengangkat tombak tumpulnya. Kemudian terakhir orang itu menghadap ke panggung kehormatan dan memberi hormat kepada Kanjeng Adipati di Demak.

Setelah sodoran, maka beberapa kelompok prajurit telah menunjukkan ketrampilan serta kemampuan mereka. Di alun-alun itu pun telah dinyalakan seonggok dahan-dahan kering. Kemudian dengan tangkasnya beberapa orang prajurit pun meloncatinya. Bahkan beberapa orang yang lain meloncat bagaikan seekor harimau yang menerkam, namun kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling pada punggungnya.

Yang mengundang sorak gemuruh adalah ketika beberapa orang yang berpakaian serba merah berlari-lari ke tengah-tengah alun-alun mengelilingi api yang masih menyala itu. Ternyata mereka terdiri dari sepuluh orang, yang kemudian mengelilingi api yang masih menyala itu. Mereka segera mengambil ancang-ancang. Sejenak kemudian seorang di antara mereka pun memberikan isyarat, sehingga sepuluh orang itu pun segera menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke api yang masih menyala itu.

Tiba-tiba saja api itu pun padam.

Para prajurit Demak itu masih mempertunjukkan beberapa macam kelebihan mereka. Seorang yang menghantam palang-palang kayu sehingga patah. Seorang bahkan membiarkan kepalanya dihantam dengan papan. Ternyata bahwa papan itulah yang pecah. Orang itu tidak menunjukkan pertanda bahwa kepalanya menjadi sakit atau pening.

Selain mempertunjukkan kemampuan beberapa orang secara pribadi, maka para prajurit itu pun telah menunjukkan bagaimana mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil. Dengan kelompok-kelompok kecil mereka menyergap pasukan yang jauh lebih besar. Namun mereka berhasil mengacaukan pasukan yang lebih besar itu, serta menghalau mereka dengan meninggalkan banyak korban.

Semakin panas terik matahari membakar kulit, maka pameran kemampuan para prajurit itu pun menjadi semakin mendebarkan.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri di antara orang-orang yang berjejalan itu memperhatikan pegelaran untuk memamerkan kemampuan para prajurit itu dengan perasaan yang dingin. Di mata mereka, tidak ada kelebihan yang perlu dikagumi. Apa yang mereka pamerkan itu sama sekali tidak akan mengejutkan para prajurit di Mataram. Bahkan seandainya Mataram menyelenggarakan pagelaran semacam itu, masih banyak sekali kelebihan dan kemampuan para prajurit yang dapat diketengahkan.

Namun agar tidak menarik perhatian, jika orang-orang di sekitarnya berteriak-teriak memuji serta bertepuk tangan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun melakukannya pula, meskipun dengan setengah hati.

Terakhir adalah pameran ketrampilan pasukan para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Mereka memamerkan perang gelar dengan segala macam pertanda kebesarannya.

Seperti yang diduga oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka jumlah mereka tidak terlalu banyak. Gelar yang akan dipamerkan adalah gelar yang kecil.

Tetapi gelar yang kecil itu memang memberikan gambaran dari sebuah gelar yang lengkap. Ternyata pameran ketrampilan para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mendapat sambutan yang cukup baik.

Mereka yang mengaku para murid dari Ki Saba Lintang itu telah mempertunjukkan ketrampilan mereka dalam perang gelar. Setiap kali terdengar aba aba, maka pasukan kecil itu pun segera merubah gelar mereka. Dari gelar yang melebar berubah menjadi gelar yang lebih terhimpun. Dari gelar Garuda Nglayang, kemudian berubah menjadi gelar Dirada Meta. Atau gelar Wulan Tumanggal ke gelar Cakra Byuha.

Setiap terjadi perubahan gelar, maka orang-orang yang berdiri di seputar alun-alun itu pun bersorak mawurahan, seakan-akan menggapai awan yang mengambang di langit.

“Bagaimana menurut pendapat, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Seperti menyaksikan anak-anak bermain perang-perangan. Jika yang dimaksud adalah gelar perang, maka gelar perang itu tidak mempunyai greget sama sekali. Seakan-akan mereka sekadar mengingat apa yang harus dilakukan dalam perubahan gelar. Para murid dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu sama sekali tidak memahami apa yang mereka lakukan. Mereka hanya mengingat langkah-langkah yang harus mereka lakukan. Urut-urutan barisan dalam perubahan gelar itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata selanjutnya, “Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku memahami perang gelar, karena pasukan pengawal di Tanah Perdikan mendapat latihan-latihan perang gelar sebagaimana para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Gelar itu seperti dinding yang rapuh di dalamnya. Mudah sekali untuk meruntuhkannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya. Dinding itu memang rapuh.”

Demikianlah, latihan besar-besaran yang diselenggarakan di alun-alun itu pun berakhir pada saat matahari telah berada di sisi barat langit. Sinarnya sudah tidak lagi membakar kulit.

Akhir dari latihan perang besar-besaran itu adalah pemberian beberapa anugrah kepada para prajurit. Di antaranya prajurit yang telah memenangkan pertarungan sodoran, yang mendapatkan hadiah seekor kuda yang besar dan tegar. Namun sebagai lambang dari hadiah itu, maka prajurit itu telah menerima sebuah cemeti langsung dari Kanjeng Adipati Demak.

Rakyat Demak yang berada di sekitar alun-alun itu bersorak seakan-akan memecahkan selaput telinga.

“Hidup Kanjeng Adipati! Hidup Kanjeng Adipati!”

Kanjeng Adipati Demak itu kemudian naik kembali ke panggung kehormatan. Tetapi ia sempat berhenti sejenak untuk melambaikan tangannya kepada rakyat Demak yang bersorak-sorak bagaikan tidak terkendali lagi.

“Ternyata jika Kanjeng Adipati Demak merasa dirinya berhak atas tahta itu, bukan kesalahan mutlak Kanjeng Adipati,” berkata Glagah Putih.

“Kenapa?”

“Selain dorongan dari kedua orang Tumenggung seperti yang dikatakan oleh Raden Yudatengara, maka sambutan rakyat Demak telah membuat Kanjeng Adipati kehilangan kendali diri. Kanjeng Adipati merasa bahwa dirinya memang sudah sepantasnya merebut tahta Mataram dari adiknya, meskipun seharusnya Kanjeng Adipati tahu bahwa adiknya itu lahir dari permaisuri.”

“Ya. Kanjeng Adipati telah terhempas dari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, apa yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati tidak lagi sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kanjeng Adipati telah kehilangan kiblat atas kewajiban yang seharusnya dipikulnya ketika ia dikirim ke Demak.”

“Keadaan di sekelilingnya telah menghanyutkan. Sementara itu orang-orang di sekitarnya yang telah memisahkan Kanjeng Adipati dengan kenyataan yang terjadi atas rakyatnya, sebenarnyalah orang-orang yang sangat mementingkan dirinya sendiri. Jika mereka berhasil mendorong Kanjeng Adipati untuk melupakan tempatnya berpijak, maka orang-orang di sekitarnya yang telah menjerumuskannya itu akan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.”

“Mereka sama sekali tidak memikirkan, apa jadinya Demak kemudian. Tetapi yang mereka pikirkan adalah, apa jadinya ‘aku’ kemudian. Apakah ‘aku’ akan menjadi kaya raya atau berpangkat tinggi, atau menerima ganjaran yang banyak sekali, atau apapun yang menguntungkan diri sendiri.”

Keduanya pun terdiam. Mereka mencoba memperhatikan orang-orang yang berada di panggung kehormatan. Para pemimpin Demak itu nampaknya memang dengan sengaja menjerumuskan Kanjeng Adipati ke dalam dunia mimpi. Namun yang akan menghempaskannya, membentur kenyataan yang tidak akan dapat diterimanya lagi.

Beberapa saat kemudian maka orang-orang yang berada di seputar alun-alun itu pun mencoba mendesak untuk dapat mendekati jalur jalan yang akan dilewati oleh Kanjeng Adipati. Ketika sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda meninggalkan panggung kehormatan, maka orang-orang itu pun berteriak, “Hidup Kanjeng Adipati! Hidup Kanjeng Adipati!”

Kanjeng Adipati melambaikan tangannya serta mengangguk-angguk kepalanya sambil tersenyum senyum. Sebenarnyalah Kanjeng Adipati itu telah tenggelam dalam buaian mimpi indah. Seakan-akan rakyat di seluruh Demak, bahkan di seluruh Mataram itu, telah bersujud kepadanya.

Apalagi Ki Tumenggung Panjer selalu berbisik di telinganya, bahwa rakyat Demak adalah rakyat yang akan setia kepada Kanjeng Adipati, bahkan seandainya mereka harus mengorbankan nyawa mereka sendiri.

“Terima kasih, terima kasih,” Kanjeng Adipati pun mengangguk-angguk, “kesetiaan mereka akan mengantar aku ke tahta Mataram. Aku akan mengusir Yayi Prabu Hanyakrawati dari tahta, karena aku adalah putra Panembahan Senapati yang lebih tua.”

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di alun-alun itu pun kemudian telah meninggalkan alun-alun. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya memang tidak kembali lagi ke penginapan. Keduanya memang merasa sudah mendapat bahan cukup banyak untuk dilaporkan ke Mataram. Sehingga Mataram akan dapat menentukan sikap apakah yang akan diambil terhadap Demak.

“Malam ini kita akan bermalam dimana, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Kita akan keluar kota. Kita akan bermalam di perjalanan pulang.”

“Apakah kita akan langsung pergi ke Mataram?”

“Kita akan singgah di Pajang.”

“Apakah kita akan melewati Sima?”

“Ya. Tetapi kita tidak akan masuk ke padukuhan induk. Sima sekarang tentu berbeda.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun dari alun-alun langsung meninggalkan kota. Mereka berjalan beriring bersama orang-orang dari luar kota Demak yang menonton latihan perang-perangan di alun-alun.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berjalan terus. Semakin lama orang-orang yang berjalan bersamanya pun menjadi semakin menipis, sehingga akhirnya ketika senja turun, mereka tinggal berjalan berdua saja.

Tetapi mereka sudah berada agak jauh dari Demak.

Ketika mereka kemudian melewati sebuah pategalan yang sepi, maka mereka pun berniat untuk bermalam di pategalan itu.

“Ada sebuah gubug di pategalan itu, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Nampaknya gubug itu sepi.”

“Apakah kita akan bermalam di gubug itu?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Mereka pernah mengalami perlakuan buruk oleh seorang pemilik gubug ketika mereka berdua menumpang tidur di gubug itu. Rara Wulan pun tidak melupakannya. Namun agaknya gubug yang jauh dari padukuhan itu tidak terlalu sering dikunjungi oleh pemiliknya, sehingga karena itu maka Rara Wulan pun berkata, “Agaknya pategalan ini jarang-jarang didatangi pemiliknya, Kakang. Apakah kita dapat bermalam di gubug itu?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita bermalam di gubug itu.”

Meskipun agak ragu, namun keduanya pun kemudian menyelinap di pategalan itu, dan mereka pun segera naik ke sebuah gubug kecil yang terbuka, yang agaknya memang jarang sekali dikunjungi pemiliknya. Debu yang tebal bertaburan di gubug itu, sehingga Rara Wulan telah mematahkan sebuah ranting pohon mlandingan, yang kemudian dipergunakan untuk membersihkan debu gubug itu.

“Aku dahulu yang tidur,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih tertawa pendek sambil menyahut, “Bukankah biasanya juga kau dahulu yang tidur?”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun Rara Wulan pun segera membaringkan dirinya di gubug itu.

Sejenak kemudian ternyata Rara Wulan pun sudah tertidur lelap. Glagah Putih masih saja duduk bersandar tiang gubug kecil itu. Setiap kali ia selalu teringat akan sikap kasar pemilik gubug yang pernah mengusirnya, bahkan menuduhnya berbuat tidak sepantasnya di gubugnya.

Tetapi ketika Glagah Putih mulai berangan-angan tentang prajurit Demak, maka ingatannya tentang gubug itu pun segera menepi.

“Pasukan Demak ternyata tidak begitu tangguh,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Ia pun mulai mengingat-ingat apa yang telah dilihatnya di alun-alun Demak.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Bintang-bintang mulai bergeser ke barat. Angin malam yang dingin berhembus menyentuh dedaunan.

Namun menjelang tengah malam Glagah Putih pun terkejut. Tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Tidak hanya satu, dua atau bahkan sekelompok, dua kelompok. Derap kaki kuda itu agaknya sepasukan prajurit berkuda yang memacu kudanya melintas di jalan di sebelah pategalan itu.

Glagah Putih pun segera membangunkan Rara Wulan. Sambil mengusap matanya Rara Wulan pun bertanya, “Ada apa, Kakang?”

“Kau dengar derap kaki kuda itu?”

“Ya.”

“Tentu sepasukan prajurit berkuda. Pasukan itu akan lewat di jalan sebelah.”

“Kita akan melihatnya?”

“Ya. Tetapi kita harus berhati-hati.”

Rara Wulan pun membenahi dirinya sekedarnya. Berdua mereka pun segera bergeser ke tepi jalan. Dengan hati-hati mereka bersembunyi di balik segerumbul pohon perdu.

Sejenak kemudian, seperti yang mereka duga, sepasukan prajurit berkuda bergerak dengan cepat melintas. Mereka datang dari arah Demak.

“Prajurit berkuda dari Demak,” desis Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk-angguk. “Ya. Agaknya mereka tergesa-gesa.”

“Besok kita akan mengikuti jejak prajurit berkuda itu. Mereka akan pergi kemana.”

Demikian pasukan berkuda itu lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun kembali ke gubug kecil itu. Giliran Glagah Putih-lah yang kemudian berbaring di gubug itu, sementara Rara Wulan duduk bersandar tiang.

Glagah Putih pun sempat tidur sejenak. Namun di dini hari Glagah Putih pun sudah bangun.

“Kau hanya tidur sebentar, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Sudah cukup. Sebaiknya kita bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.”

“Apakah kita tetap akan lewat Sima?”

“Ya. Tetapi kita akan melihat suasana. Jika kita berangkat sekarang, maka kita akan sampai di Sima menjelang senja. Kita memang tidak usah pergi ke padukuhan induk.”

Demikianlah, setelah berbenah diri sekedarnya, maka menjelang fajar mereka pun meninggalkan pategalan itu. Mereka akan berhenti jika mereka menyeberangi sungai untuk mencuci muka serta membersihkan kaki dan tangan mereka.

Agaknya mereka sudah terlambat untuk mandi, karena sebentar lagi matahari pun akan segera terbit, sehingga sudah akan ada orang lain yang mungkin lewat. Mungkin orang-orang yang akan pergi ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka, atau orang-orang yang akan berbelanja untuk mempersiapkan makan pagi bagi orang-orang yang sedang sambatan.

Kedua orang itu berharap bahwa mereka akan sampai di Sima menjelang senja. Jika mungkin, mereka masih dapat menemukan kedai yang masih buka. Selain untuk makan malam, mereka pun dapat berbicara tentang perkembangan Sima di hari-hari terakhir.

Di sepanjang jalan mereka sempat mengamati jejak sepasukan berkuda semalam. Ternyata menilik jejak pasukan berkuda itu yang masih membekas di jalan, agaknya pasukan berkuda itu menuju ke Sima.

Kedua orang itu memang agak menjadi heran, bahwa jalan yang mereka lalui terasa agak sepi. Tidak banyak orang yang berjalan hilir mudik di jalan itu. Bahkan sulit bagi mereka untuk mendapatkan sebuah kedai yang buka.

Sedikit lewat tengah hari, mereka melewati sebuah pasar yang sepi. Hanya beberapa orang saja yang nampak masih berada di pasar itu.

“Sepi sekali pasar ini,” desis Glagah Putih.

“Sudah terlalu siang,” jawab Rara Wulan, “matahari sudah lewat puncaknya. Pasar ini adalah pasar yang kecil, apalagi agaknya hari ini bukan hari pasaran.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih masih melihat seorang perempuan yang berjualan nasi di sudut pasar itu. Agaknya dagangannya masih terlalu banyak untuk meninggalkan pasar itu.

“Kita beli nasi, Rara. Belum tentu kita nanti menemukan kedai yang masih buka. Apalagi nampaknya suasananya agak berbeda dengan hari-hari biasa. Mungkin pengaruh pasukan berkuda yang lewat semalam.”

Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Tetapi jika kita menjadi haus, apakah perempuan itu juga menjual minuman?”

“Nanti kita minum air bersih yang disediakan di depan regol-regol rumah.”

Rara Wulan tersenyum.

Demikianlah, mereka berdua pun kemudian telah duduk di sekitar tikar yang digelar di dekat bakul tempat nasi. Ternyata perempuan itu berjualan nasi megana. Nasi dan megananya yang berada di tampah yang dialasi dengan bakul yang berisi daun pisang, masih banyak juga.

“Nasi megana, Yu?” bertanya Rara Wulan.

“Ya, Nyi. Mari, silahkan. Nasiku masih banyak. Agaknya hari ini hari yang sial bagiku.”

“Mbokayu tidak menjual minuman juga?”

“Ada dawet, Nyi. Nanti setelah aku siapkan dua pincuk nasi, aku ambilkan dua mangkuk dawet.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menebarkan pandangan matanya. Sebenarnya mereka pun melihat seorang penjual dawet di dekat pintu regol pasar yang sepi itu.

Setelah menyerahkan dua pincuk nasi megana kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, maka perempuan itu pun bangkit berdiri dan berjalan mendekati penjual dawet itu. Ia pun memesan dua mangkuk dawet untuk kedua orang yang membeli nasi megananya.

“Pasarnya sepi, Yu?” bertanya Rara Wulan.

“Sepi sekali, Nyi. Hari ini memang bukan hari pasaran. Tetapi biasanya juga tidak sesepi ini.”

“Kenapa?”

“Semalam ada sepasukan prajurit berkuda lewat. Agaknya pasukan yang lewat itu mempunyai pengaruh yang besar, sehingga orang-orang agak takut-takut juga pergi ke luar rumah.”

“Sehingga nasi Mbokayu menjadi tidak begitu laku?”

“Ya. Tidak ada separuh hari-hari yang lain, meskipun juga bukan hari pasaran. Padahal modalku sudah aku letakkan di daganganku itu semuanya, Nyi. Jika nasi itu tetap tidak laku, maka aku akan kesulitan untuk dapat berbelanja buat berjualan esok pagi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Ketika penjual dawet itu kemudian membawa dua mangkuk dawet bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, maka Glagah Putih-lah yang bertanya, “Pasar sepi, Kang?”

“Ya, Ki Sanak. Pasar sepi sekali hari ini. Para prajurit berkuda semalam agaknya telah menakut-nakuti orang-orang yang akan pergi ke pasar, namun nampaknya mereka tergesa-gesa. Sehingga sebelum wayah pasar temawon, pasar ini justru sudah menjadi sepi.”

“Apa yang dilakukan oleh prajurit-prajurit semalam?”

“Mereka hanya lewat.”

“Bukankah mereka tidak berhenti dan apalagi mengganggu rakyat?”

“Tidak. Tetapi kami sudah terlanjur merasa takut terhadap para prajurit.”

“Kenapa? Bukankah mereka justru selalu melindungi rakyat? Seharusnya kalian justru merasa tenang jika di sekitar kalian ada sekelompok prajurit.”

“Ya. Kadang-kadang kami memang merasa terlindungi. Tetapi kadang-kadang para prajurit itu justru membuat jantung kami berdebar-debar.”

Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menghabiskan nasi satu pincuk dan dawet cendol semangkuk, sehingga mereka pun sudah merasa menjadi kenyang.

Namun penjual nasi megana dan penjual dawet itu terkejut ketika Rara Wulan membayar mereka masing-masing dengan sekeping uang perak.

“Tidak ada kembalinya, Nyi. Bahkan seandainya semua daganganku laku, tentu masih juga belum cukup untuk memberikan uang kembali. Apalagi nasiku tidak laku hari ini.”

“Aku juga tidak ada uang kembali,” berkata penjual dawet itu.

Namun sambil tersenyum Rara Wulan pun menjawab, “Kalian tidak usah memberikan uang kembali. Masing-masing ambil saja uang itu. Bukankah untuk berjualan esok, kalian memerlukan uang untuk berbelanja bahan-bahannya?”

“Tetapi uang ini terlalu banyak.”

Rara Wulan pun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Glagah Putih. Dengan nada lembut Rara Wulan pun berkata, “Jangan berpikir macam-macam. Kami akan meneruskan perjalanan.”

“Tetapi kalian ini siapa?” bertanya penjual dawet.

“Kami adalah suami istri yang sedang mengembara serta menjalani laku. Karena itu, lupakan bahwa aku pernah datang kemari dan memberikan uang masing-masing sekeping uang perak. Mudah-mudahan uang itu dapat kalian pergunakan dengan baik, sehingga kalian dapat berjualan terus setiap hari.”

Mata perempuan penjual nasi megana itu tiba-tiba saja berkaca-kaca. Katanya, “Yang Maha Agung akan selalu melindungi kalian berdua. Sebenarnyalah aku sudah merasa cemas bahwa besok aku tidak dapat berjualan lagi, atau setidak-tidaknya daganganku menyusut. Sementara suamiku berharap aku dapat membantu menghidupi anak-anak kami.”

“Sudahlah. Pergunakan saja uang itu sebaik-baiknya. Usahakan agar uang itu kau pergunakan untuk menambah daganganmu. Mungkin tidak hanya nasi megana. Mungkin kau juga dapat menjual rempeyek wader. Bukankah nasi megana dengan rempeyek wader akan menjadi semakin nikmat? Kau dapat membeli wader pada orang-orang yang sering menjala ikan di sepanjang sungai itu. Kadang-kadang aku melihat orang-orang yang menjala wader di sepanjang sungai. Sekepis wader tentu sudah akan menjadi beberapa puluh rempeyek.”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Suaranya menjadi semakin dalam, “Ya, Ki Sanak. Kami mengucapkan terima kasih sekali.”

Sedangkan penjual dawet itu pun berkata pula, “Kami tidak akan melupakan Ki Sanak, meskipun kami tidak tahu siapakah Ki Sanak berdua.”

Glagah Putih menarik nafas panjang sambil berkata, “Uang itu tentu uang kalian sendiri. Kurnia dari Yang Maha Agung. Kami hanyalah lantaran untuk menyampaikannya kepada kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya penjual dawet itu.

“Kami akan pergi ke Sima.”

“Ke Sima?”

“Ya.”

“Berhati-hatilah,” pesan penjual dawet itu.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kemarin sepupuku yang ikut Paman berjualan di pasar Sima telah pulang.”

“Apakah ada sesuatu yang gawat terjadi di Sima?”

“Ya. Suasananya terasa amat panas. Pasukan berkuda yang lewat semalam tentu juga akan pergi ke Sima. Bahkan beberapa orang telah mengungsi dari Sima.”

“Apa yang terjadi di Sima?”

“Menurut sepupuku, Sima bagaikan bisul yang akan pecah. Agaknya akan terjadi perang.”

“Perang? Perang antara siapa melawan siapa?”

Penjual dawet itu pun menggeleng. “Sepupuku itu tidak tahu.”

Glagah Putih tidak mendesaknya. Tetapi Glagah Putih menduga bahwa penjual dawet itu memang tidak berani menceritakan lebih jauh lagi, meskipun ia lebih banyak mengetahuinya lewat sepupunya itu.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan pasar itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun cerita dari penjual dawet itu telah membuat mereka semakin tidak tergesa-gesa, agar mereka sampai di Sima setelah gelap. Di dalam gelapnya malam, mereka akan dapat lebih banyak berbuat daripada di siang hari.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah meyakini bahwa jejak pasukan berkuda itu menuju ke Sima, maka mereka pun justru telah mengambil jalan yang lebih kecil, untuk menghindari kemungkinan berpapasan dengan sekelompok prajurit atau murid dari Perguruan Kedung Jati yang mungkin sedang meronda, atau pasukan penghubung dari Demak ke Sima dan sebaliknya.

Namun semakin mendekati Kademangan Sima, maka suasana pun terasa menjadi semakin sepi. Jalan-jalan pun juga terasa lengang. Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja-lah yang turun ke jalan.

“Bukankah pasukan berkuda itu tidak melewati jalan ini?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Pasukan berkuda semalam menuju ke Sima lewat jalur jalan yang lebih besar dari jalan ini.”

“Tetapi nampaknya rakyat di sekitar tempat ini juga menjadi ketakutan.”

“Tentu suasana di Sima telah mempengaruhi keadaan di sekitarnya.”

“Bukankah kita masih berada agak jauh dari Sima?”

“Jika benar kata penjual dawet itu, maka agaknya orang-orang dari padukuhan-padukuhan yang lain, yang pergi ke Sima untuk mencari rejeki, juga telah meninggalkan Sima. Pulang ke rumah mereka masing-masing, seperti sepupu penjual dawet itu. Mereka tidak tahan lagi tinggal di Sima yang suasana menjadi semakin tidak menentu. Agaknya Demang dan para bebahu yang baru itu tidak lagi mampu mengendalikan suasana di kademangannya. Atau justru Demang itu dengan sengaja membuat suasana menjadi panas, agar ia mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja yang dapat menguntungkan dirinya.”

“Ya. Suasana di Sima tentu telah memanasi pula lingkungan di sekitarnya.”

Dengan demikian mereka pun menjadi semakin hati-hati. Semakin mendekati Kademangan Sima, maka suasana pun menjadi semakin mendebarkan.

Sementara itu maka langit pun sudah menjadi semakin muram. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi menemukan sebuah kedai pun yang terbuka pintunya.

“Untung kita sudah makan cukup banyak,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Nasi megana satu pincuk dan dawet cendol satu mangkuk, rasa-rasanya aku menjadi terlalu kenyang. Sekarang aku pun belum merasa lapar lagi.”

“Tetapi malam nanti kita baru akan merasa kelaparan.”

“Tetapi Kakang pernah menjalani laku beberapa pekan di hutan hanya dengan makan seadanya.”

“Itu berbeda. Waktu itu kita baru menjalani laku. Tetapi sekarang, tidak.”

“Kita sekarang juga sedang menjalani laku. Bukankah kita sedang menuju ke satu tempat yang tidak kita ketahui dengan pasti keadaan serta suasananya?”

Glagah Putih tertawa pendek. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika senja turun, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sima. Suasana pun terasa menjadi semakin mencekam. Bahkan rasa-rasanya rumah-rumah di sebelah-menyebelah jalan hanya menyalakan lampu seperlunya saja.

“Ada apa sebenarnya di Sima?” desis Glagah Putih.

Namun mereka pun kemudian berhenti sebelum mereka memasuki Kademangan Sima. Mereka menunggu malam turun, baru mereka akan memasuki kademangan.

“Kita sebaiknya tidak berhenti di pinggir jalan, Rara,” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan pun segera tanggap. Karena itu maka mereka berdua pun meloncati tanggul parit, meniti pematang dan kemudian naik ke sebuah gubug kecil.

“Dalam suasana seperti ini, tidak akan ada orang yang sempat pergi ke sawah,” desis Glagah Putih sambil duduk bersandar dinding. Rara Wulan pun segera duduk pula. Namun keduanya tidak lepas mengamati jalan tidak jauh dari gubug itu.

Glagah Putih pun tiba-tiba saja telah meloncat turun sambil berdesis, “Kau lihat itu, Rara?”

Rara Wulan mengangguk. Dalam keremangan ujung malam, mereka melihat beberapa kelompok orang yang berjalan dengan tergesa-gesa. Agaknya mereka berjalan dengan cepat dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan dengan perempuan dan anak-anak. Mereka membawa bungkusan-bungkusan kain serta beberapa jenis barang lain yang mereka anggap berharga bagi mereka.

“Nampaknya mereka adalah serombongan pengungsi,” desis Rara Wulan.

“Ya. Agaknya suasana bertambah gawat di Sima. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah benar-benar akan ada perang?”

Kedua orang itu pun kemudian sepakat untuk mendekati jalan yang tiba-tiba menjadi ramai itu. Tiba-tiba saja beberapa kelompok telah melintas di jalan yang semula dianggapnya sepi.

Ketika mereka berdiri di pinggir jalan, maka Glagah Putih pun telah mendekati seorang laki-laki tua yang menggandeng dan mendukung dua orang anak-anak yang agaknya cucu-cucunya.

“Ada apa di Sima, Kek?” bertanya Glagah Putih yang berjalan di samping orang tua itu. Sementara Rara Wulan mengikuti di belakangnya.

“Kami mengungsi selagi sempat, Ki Sanak.”

“Mengungsi?”

“Ya. Akan terjadi perang di Sima. Sementara itu para prajurit di Sima sebenarnya melarang kami pergi mengungsi. Mereka yang tinggal di padukuhan induk telah terjebak oleh prajurit Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati. Rakyat Sima yang tinggal di padukuhan induk harus tetap tinggal di rumah masing-masing, meskipun perang akan terjadi. Apalagi anak-anak muda dan laki-laki yang masih kuat, yang selama ini mengikuti latihan perang-perangan sepekan dua kali. Mereka harus ikut mempertahankan padukuhan Sima sebagaimana para prajurit, sementara itu keluarga mereka pun diperintahkan agar tetap tinggal di Sima.”

“Jadi di Sima akan terjadi perang?”

“Ya. Menurut kata orang, pasukan Pajang telah segelar sepapan di sebelah selatan Sima.”

“Prajurit Pajang?”

“Ya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Terima kasih, Kek. Hati-hatilah di jalan.”

“Kau akan kemana?”

“Aku akan melihat suasana.”

“Kau siapa?”

“Aku seorang pengembara, Kek. Aku tidak bersangkut paut dengan perang yang akan terjadi di Sima.”

“Tetapi jika kau terlihat oleh para prajurit Demak, maka kau akan ditangkap. Kau akan dapat dituduh sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari Mataram.”

“Aku juga akan berhati-hati, Kek.”

Demikianlah. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera memisahkan diri dari iring-iringan para pengungsi itu. Mereka pun justru berbalik kembali ke arah Sima.

Ketika mereka sempat berbicara dengan seorang perempuan dan seorang anak yang menuntun kambingnya, maka keterangan perempuan itu pun sama sebagaimana laki-laki tua itu.

“Kita memang tidak akan dapat masuk ke Kademangan Sima, Rara. Tetapi kita akan menunggu dan melihat dari kejauhan, apa yang akan terjadi di Sima besok.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Mereka justru meninggalkan jalan yang ramai itu. Keduanya memasuki pategalan untuk mencari tempat berlindung. Jika para prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati datang untuk memburu para pengungsi dan memaksa mereka kembali ke Sima, maka mereka tidak akan termasuk di antara para pengungsi. Apalagi jika mereka berdua kemudian diketahui sebagai orang yang asing di Sima, maka nasib mereka akan dapat menjadi sangat buruk.

Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pategalan, di antara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu, sambil melihat orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Kademangan Sima.

Namun ternyata sampai menjelang tengah malam, tidak ada prajurit Demak yang menyusul para pengungsi itu. Agaknya selain para penghuni padukuhan induk, orang-orang Sima dibiarkan meninggalkan tempat tinggalnya untuk menghindarkan diri dari garangnya pertempuran.

“Agaknya prajurit Pajang tidak mengepung Kademangan Sima,” berkata Rara Wulan. “Mereka akan menyerang Sima dari satu sisi. Agaknya mereka akan mempergunakan gelar perang yang utuh untuk mengusir para prajurit Demak dari Sima.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku agak meragukan kesungguhan para Senapati di Pajang. Tetapi mudah-mudahan Pajang dapat berhasil membebaskan Sima dengan mengusir para prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati, yang dengan tanpa pertempuran sudah menduduki Sima. Mereka hanya cukup mengganti Demang dan Jagabaya di Sima lewat kekerasan. Kemudian mereka telah menguasai Sima seluruhnya.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun akhirnya bergeser lagi semakin dekat dengan Sima. Namun mereka tidak memasuki Kademangan Sima. Mereka bahkan melingkar untuk dapat menyaksikan Sima dari sisi yang lain. Bahkan jika mungkin, mereka akan melihat benturan gelar perang antara Pajang dan Demak.

“Demak sudah terlalu jauh ke Selatan,” berkata Glagah Putih. “Agaknya mereka benar-benar telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram. Satu langkah yang sangat berbahaya yang diambil oleh Kanjeng Adipati di Demak.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menunggu sampai esok. Jika mungkin Glagah Putih dan Rara Wulan ingin menyaksikan pertempuran antara Pajang melawan Demak di Sima, yang menurut Glagah Putih, Pajang bertindak agak tergesa-gesa.

Tetapi Rara Wulan pun berkata, “Tentu atas dasar laporan para petugas sandinya di Sima beberapa waktu yang lalu, Kakang. Mudah-mudahan saja Pajang berhasil menduduki Sima. Jika itu yang terjadi, kita pun dapat singgah di Sima. Meskipun orang-orang Pajang masih belum banyak mengenal Kakang, tetapi pertanda yang Kakang kenakan di ikat pinggang itu akan memberikan banyak kesempatan kepada Kakang untuk dapat bertemu dan berbicara dengan para Senapatinya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun bahwa Rara Wulan telah memperingatkannya tentang pertanda yang dikenakannya, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Dengan pertanda ini, bukankah kita dapat menyaksikan perang itu dari jarak yang lebih dekat? Kita justru berhubungan dengan para Senapati Pajang sebelum perang terjadi.”

“Kakang yakin bahwa Kakang akan dapat diterima dengan baik oleh para Senapati Pajang?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Mungkin para Senapati dari Pajang tidak akan dapat menerima kehadirannya dengan senang hati. Pajang ingin mengusir pasukan Demak di Sima dengan kekuatan mereka sendiri, tanpa dicampuri oleh siapapun meskipun hanya oleh dua orang. Jika Pajang menang, keberadaan orang Mataram itu akan dapat menodai kemenangannya, seakan-akan Pajang dapat menang karena dibantu oleh Mataram.

Karena itu maka akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan hanya akan menjadi penonton saja. Jika Pajang menang dan memasuki Sima, baru Glagah Putih dan Rara Wulan akan menemui para Senapati Pajang di Sima.”

Karena itu maka keduanya benar-benar hanya dapat menunggu, apa yang akan terjadi esok pada saat fajar menyingsing.

Glagah Putih yang masih saja bergeser itu akhirnya dapat menyaksikan perkemahan pasukan Pajang dari kejauhan. Nampaknya Pajang datang dengan pasukan yang kuat. Di perkemahannya dipasang pertanda kebesaran pasukan Pajang. Umbul-umbul, rontek, panji-panji dan kelebet yang melekat pada tunggul-tunggulnya.

Para prajurit Pajang memang datang dengan dada tengadah. Mereka tidak berniat merunduk prajurit Demak yang ada di Sima. Tetapi mereka datang sebagaimana pasukan segelar sepapan. Di perkemahan itu pun nampak api yang dinyalakan cukup besar di tengah-tengah untuk menghangatkan udara. Sementara itu di dapur pun nampak asap mengepul.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan hanya sempat tidur beberapa saat saja bergantian. Sebelum fajar, keduanya sudah berbenah diri untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Glagah Putih dan Rara Wulan harus bersembunyi lebih rapat lagi ketika mereka sempat melihat dua orang yang merayap beberapa langkah saja di hadapan mereka. Agaknya para petugas sandi dari Demak yang ingin melihat kesiagaan para prajurit Pajang. Para Senapati dari Demak tentu memperhitungkan bahwa Pajang akan menyerang pada saat matahari terbit, atau bahkan beberapa saat sebelumnya.

Kedua orang prajurit sandi dari Demak itu berhenti tidak terlalu jauh di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka memperhatikan dalam keremangan dini hari, pasukan Pajang yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Sima.

Tetapi kedua orang itu tidak menunggu terlalu lama. Ketika mereka mendengar suara bende yang ditabuh untuk pertama kalinya, maka kedua orang itu pun segera bergeser kembali ke induk pasukannya, yang sudah bersiap-siap di depan pedukuhan yang paling depan di Kademangan Sima. Agaknya Demak tidak hanya akan mempertahankan padukuhan induk Kademangan Sima, tetapi mereka agaknya akan mempertahankan Kademangan Sima untuk keseluruhan.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah bergeser pula. Mereka menempatkan diri mereka sebaik-baiknya, sehingga mereka akan dapat menyaksikan apa yang terjadi meskipun tidak dalam keseluruhan. Tetapi setidak-tidaknya sebagian terbesar dari medan pertempuran. 

Ketika langit menjadi semakin terang, demikian suara bende yang dibunyikan untuk kedua kalinya terdengar, maka pasukan Demak dan mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati pun telah bersiap pula. Agaknya mereka tidak mempergunakan isyarat suara bende, agar tidak terjadi salah paham dengan suara bende dari pasukan Pajang. Namun para prajurit Demak telah mempergunakan isyarat anak panah-anak panah sendaren yang dilontarkan, justru menyesuaikan diri dengan isyarat suara bende dari para prajurit Pajang.

Karena itu maka demikian terdengar suara bende yang dibunyikan untuk kedua kalinya, maka beberapa anak panah sendaren pun telah beterbangan.

Memang agak mengejutkan, bahwa tiba-tiba pasukan Demak itu telah menegakkan tunggul yang sudah dilekati kelebet-kelebet pertanda kebesaran kelompok-kelompok prajuritnya. Bahkan kemudian beberapa panji-panji pun telah dikibarkan pula pada landean-landean tombak panjang.

Agaknya pertanda-pertanda kebesaran itu telah membuat para prajurit Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati menjadi semakin bergelora. Karena itu, ketika terdengar suara bende dari pasukan Pajang dibunyikan untuk ketiga kalinya, justru para prajurit Demak-lah yang bersorak gemuruh.

Tanpa aba-aba apapun, karena justru mereka menyesuaikan dengan aba-aba pasukan Pajang, prajurit Demak itu pun segera bergerak menyongsong lawannya dengan suara yang gemuruh.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang hanya dapat menyaksikan pertempuran itu sebagian saja, menjadi berdebar-debar. Mereka melihat kedua pasukan yang berhadapan itu telah memasang gelar yang utuh.

Untuk melindungi seluruh Kademangan Sima, pasukan Demak yang dibantu oleh Perguruan Kedung Jati telah memasang gelar yang melebar, Garuda Nglayang. Sementara itu Pajang yang ingin menembus langsung ke pusat kekuasaan di Sima yang sudah berada di tangan orang-orang Demak itu, justru mempergunakan gelar yang lebih memusatkan segala kekuatan dalam satu lingkaran. Itulah sebabnya Pajang memilih gelar Cakra Byuha. Para Senapati Pajang berharap gelarnya akan dapat mengoyak pertahanan pasukan induk gelar lawan yang melebar itu.

Namun untuk menghadapi gelar Cakra Byuha, maka gelar Garuda Nglayang telah memperkokoh pertahanan di induk pasukan, serta pada saat yang tepat, sayap-sayap gelar yang masing-masing dipimpin oleh seorang Senapati akan segera menyerang gelar Cakra Byuha di lambungnya.

Dengan demikian maka gelar Garuda Nglayang yang dipasang oleh pasukan Demak akan lebih condong akan bertahan. Namun pada saatnya, sayap-sayapnya akan menjepit gelar yang bulat dari pasukan Pajang.

Beberapa saat kemudian, pada saat matahari terbit, kedua gelar itu pun telah berbenturan. Sorak para prajurit dari kedua belah pihak bagaikan akan meruntuhkan langit. Namun, demikian mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit, maka mereka tidak lagi bersorak-sorak. Teriakan-teriakan memang masih terdengar dari antara mereka yang menghentakkan senjata mereka.

Pertempuran pun segera menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat menguasai medan.

Namun ketika matahari naik sepenggalah, maka pasukan Pajang sempat mendesak pasukan Demak. Induk pasukan Demak kesulitan untuk mempertahankan serangan gelar pasukan Pajang yang langsung menghunjam ke pusat pertahanan.

Namun para Senapati Demak memang sudah menduga, bahwa untuk sementara pasukannya akan terdesak. Karena itu maka Senapati yang memimpin gelar pasukan Demak itu pun segera memerintahkan para penghubung untuk memberi isyarat kepada sayap-sayap pasukannya.

Empat orang penghubung serentak telah melontarkan anak panah sendaren ke langit. Dua ke arah sayap kiri dan dua ke arah sayap kanan. Perintah itu pun segera ditanggapi oleh para Senapati yang memimpin sayap-sayap pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu. Bahkan para Senapati yang berada di sayap gelar itu menganggap bahwa justru perintah itu sudah agak terlambat.

Karena itu, selagi pasukan dalam gelar Cakra Byuha itu ingin menembus induk pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu, maka Garuda itu seolah-olah telah mengepakkan sayapnya. Sayap-sayap gelar Garuda Nglayang itu pun dengan garangnya telah menyerang lambung Cakra Byuha.

Para Senapati Pajang memang telah memperhitungkan bahwa sayap itu akan segera menyerang lambung. Gelar Cakra Byuha itu pun bagaikan menggeliat. Pasukan yang berada di lambung dan bagian belakang gelar Cakra Byuha itu pun segera menyongsong gerak sayap pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu.

Demikianlah, pertempuran menjadi semakin sengit. Namun gerak maju pasukan Pajang pun terhenti. Kedua pasukan itu bertahan di garis benturan itu untuk beberapa lama. Kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan mereka masing-masing.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Pasukan Demak serta pasukan Pajang itu pun segera mengerahkan segala kekuatan dalam gelar mereka masing-masing.

Sementara itu matahari pun telah menjadi semakin tinggi. Panasnya terasa bagaikan menyengat kulit. Ketika matahari mencapai puncaknya, kedua belah pihak telah sampai ke puncak kemampuan mereka pula. Namun masih belum nampak pasukan manakah yang akan berhasil mengalahkan lawan mereka.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja pasukan Pajang telah menghentak dengan sisa kekuatan dan tenaga mereka. Ketika matahari turun ke sisi barat, perlahan sekali pasukan yang sedang bertempur itu mulai beringsut.

Para Senapati dari Demak pun menjadi cemas. Karena itu maka dengan isyarat sandi, Senapati tertinggi dari pasukan Demak itu pun telah menjatuhkan perintah kepada para penghubung.

Sejenak kemudian, beberapa anak panah sendaren pun telah berterbangan, justru dilontarkan ke padukuhan terdekat tetapi masih terangkum dalam lingkup Kademangan Sima.

Ternyata isyarat itu diberikan kepada pasukan cadangan yang masih berada di padukuhan. Pasukan cadangan itu disiapkan untuk menahan gerak maju pasukan Pajang, jika ternyata pasukan Demak terdesak. Tetapi Senapati tertinggi Demak di Sima menganggap bahwa pasukan cadangan itu tidak usah menunggu, namun mereka harus segera menuju ke medan.

Demikianlah, sejenak kemudian pasukan cadangan dari Demak dan Perguruan Kedung Jati telah berlari-lari keluar dari padukuhan untuk segera bergabung di induk pasukan Demak yang masih tetap bertahan pada gelar Garuda Nglayang.

Dengan demikian maka pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu telah mendapatkan tenaga yang masih segar, selain dengan demikian maka jumlah mereka pun segera bertambah.

Pasukan Pajang pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para prajurit yang berada di ekor gelar Cakra Byuha pun telah mendesak maju dan tampil pula di lambung, untuk melawan kepak sayap pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang

Meskipun demikian, ternyata bahwa pasukan Demak serta para pengikut Ki Saba Lintang itu justru menjadi terlalu kuat bagi pasukan Pajang. Ketika matahari semakin turun, maka sulit bagi pasukan Pajang untuk tetap bertahan dalam gelar Cakra Byuha yang semakin terjepit. Karena itu maka semakin lama pasukan Pajang pun menjadi semakin terdesak surut.

Para Senapati Pajang masih berusaha untuk bertahan dan tetap dalam keutuhan gelarnya. Namun tekanan para prajurit Demak terasa menjadi semakin mendesak.

Senapati Demak yang memimpin seluruh pasukan dalam gelar Garuda Nglayang itu adalah seorang yang pilih tanding. Dalam pertempuran yang sengit, Senapati Demak itu berhasil berhadapan dengan Senapati Pajang yang memimpin seluruh pasukannya dalam gelar Cakra Byuha. Keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit. Namun semakin lama semakin jelas bahwa Senapati Pajang itu menjadi semakin terdesak.

“Rara, apakah kita hanya akan tetap menjadi penonton saja sampai akhir dari pertempuran itu?”

“Apa yang dapat kita lakukan, Kakang?”

“Aku akan memasuki arena pertempuran.”

“Bagaimana Kakang dapat melakukannya?”

“Aku akan memegang pertanda yang aku terima dari Mataram. Aku akan menyatakan diri di hadapan para prajurit Pajang.”

“Apakah mereka sempat memperhatikan pertanda yang Kakang lekatkan pada ikat pinggang itu?”

“Aku akan memegangi ikat pinggangku, agar pertanda itu dapat dilihat dengan jelas.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Kau ikut bersama aku. Kenakan pakaian khususmu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan dirinya. Keduanya merayap melingkar sampai ke belakang gelar Cakra Byuha yang semakin terdesak mundur. Bahkan hampir saja gelar Cakra Byuha itu pecah, karena Senapati yang memimpin seluruh pasukan itu pun menjadi semakin terdesak, sehingga ia tidak sempat lagi berbuat sesuatu bagi gelarnya. Bahkan nyawanya sendiri pun sudah terancam. Segores-segores luka telah mengoyak kulitnya, sehingga darah pun telah menitik membasahi bumi Sima yang sedang diperebutkan itu.

Dalam keadaan yang gawat itu, dalam gerak mundur yang menjadi semakin cepat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah bergabung dengan gelar Cakra Byuha itu. Ketika seorang prajurit menyapanya, maka Glagah Putih pun segera menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram.

“Kau petugas dari Mataram?”

“Ya. Beri aku kesempatan melawan Senapati tertinggi dari Demak itu. Dengan demikian maka Senapatimu akan sempat memimpin gerak mundur gelar ini agar tidak pecah. Jika gelar ini pecah, maka korban akan tidak terhitung lagi.”

Prajurit yang hampir berputus asa itu tidak sempat berpikir lebih jauh. la pun kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan, menguak gelar Cakra Byuha yang semakin terjepit dari arah depan, sayap kiri dan sayap kanan itu, menemui Senapatinya yang sudah hampir tidak berdaya lagi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar