Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 377

Buku 377

Ketika kemudian Rara menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak dikenakannya adalah pakaian khususnya, maka orang berwajah gelap itu pun segera menyadari bahwa ia telah berhadapan dengan orang yang mengaku suami istri yang tentu mempunyai bekal ilmu kanuragan.

Karena itu maka ia pun kemudian berkata, “Agaknya kalian memang bukan orang kebanyakan. Mungkin kalian sengaja dikirim oleh Pajang atau Mataram untuk mengamati kesiagaan Demak. Karena itu maka kesalahan kalian di mata kami menjadi semakin besar. Jangan menyesal bahwa kami akan mengetrapkan hukuman yang murwat kepada telik sandi yang disusupkan ke daerah kami.”

“Kenapa kau tiba-tiba saja mengira bahwa kami adalah petugas sandi? Aku sudah mengatakan bahwa kami adalah pengembara. Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pajang atau Mataram. Kami hanya akan lewat dalam pengembaraan kami, karena kami tidak mempunyai tempat lagi di lingkungan keluarga kami.”

“Seorang petugas sandi tidak akan demikian mudahnya mengaku tentang dirinya. Tetapi alangkah bodohnya kalian. Pakaian perempuan itu sudah menunjukkan bahwa ia bukan perempuan kebanyakan. Tentu bukan seorang perempuan yang terusir dari keluarganya.”

“Kau salah menilai keadaan kami.”

“Persetan,” geram orang berwajah gelap itu. Lalu terdengar aba-abanya lebih tegas lagi, “Tangkap mereka! Cepat! Tetapi berhati-hatilah. Mereka adalah petugas sandi yang tentu berbekal ilmu pula.”

Keempat orang yang mendapat perintah itu pun segera bergerak. Dua orang menghadapi Glagah Putih dan dua orang yang lain menghadapi Rara Wulan, yang telah bersiap pula untuk bertempur.

Pertempuran pun segera terjadi. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mau menyerah begitu saja kepada keempat orang yang akan menangkapnya.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian harus menjadi semakin berhati-hati pula. Ternyata keempat orang itu bukan orang kebanyakan. Mereka yang dipercaya untuk mengawal pengiriman senjata itu ternyata orang-orang yang berilmu pula.

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Tetapi ternyata bahwa untuk menangkap kedua orang suami istri itu bukan satu pekerjaan yang mudah bagi keempat orang pengawal pengiriman senjata itu.

Bahkan semakin lama mereka justru menjadi semakin terdesak. Bergantian mereka terlempar dari arena dan terpelanting jatuh. Namun mereka pun segera meloncat bangkit kembali untuk meneruskan pertempuran yang semakin sengit.

Orang yang berwajah gelap yang mengamati pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ternyata dua orang yang mengaku suami istri itu adalah dua orang yang berilmu tinggi, sehingga empat orang kawannya yang terlatih dengan baik itu tidak segera dapat mengalahkan mereka, apalagi menangkap dan mengikat tangannya.

Orang berwajah gelap itu tidak mau berlama-lama. Sebagian dari senjata yang diturunkan dari pedati masih terletak di pinggir jalan, sehingga jika ada orang yang lewat, maka mereka akan melihat senjata-senjata itu. Sedangkan pedati yang terperosok ke dalam lubang itu pun masih belum sempat didorong maju.

Karena itu maka orang berwajah gelap itu pun segera menyingsingkan lengan bajunya. Ia sendiri akan terjun ke arena, agar kedua orang yang mengaku suami istri itu segera dapat ditangkap dan diikat di belakang pedati.

Dengan demikian maka orang itu pun segera menempatkan diri bersama dengan dua orang kawannya untuk melawan Glagah Putih. Jika laki-laki itu sudah dikalahkannya, maka tentu akan mudah menghentikan perlawanan perempuan yang ternyata cukup garang itu.

Glagah Putih meloncat surut untuk mengambil jarak ketika lawannya menjadi tiga orang.

“Sebaiknya kau menyerah saja,” berkata orang berwajah gelap itu, “kau tidak mempunyai kesempatan. Menyerah tentu lebih baik daripada jika kami harus menangkap kalian dengan kekerasan. Apalagi bagi perempuan yang kau aku sebagai istrimu. Kau tentu dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika ia masih tetap saja memberikan perlawanan.”

“Ia akan baik-baik saja,” jawab Glagah Putih, “istriku tidak akan mengalami kesulitan apa-apa untuk mengatasi kedua orang lawannya.”

“Aku sudah memberimu peringatan.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih. Namun justru serangan-serangannya telah datang lagi seperti arus banjir bandang.

Orang berwajah gelap itu terkejut. Ketika sekali terjadi benturan, maka orang berwajah gelap itu telah tergetar beberapa langkah surut.

“Gila orang ini,” geram orang berwajah gelap itu, “tenaganya melebihi tenaga seekor kuda.”

Sebenarnyalah Glagah Putih yang harus berhadapan dengan tiga orang itu telah meningkatkan ilmunya. Berkali-kali serangan-serangannya mampu menembus pertahanan lawannya. Bahkan orang yang berwajah gelap itu harus mengaduh tertahan ketika kaki Glagah Putih menyambar lambungnya.

Pada saat orang itu masih memegangi lambungnya yang kesakitan, tiba-tiba saja seorang kawannya telah terlempar dari arena pertempuran, sehingga tubuhnya terbanting jatuh ke atas tanggul. Untunglah orang itu tidak terpelanting dan jatuh ke tepian.

Dengan demikian maka orang yang berwajah gelap itu pun menjadi yakin bahwa lawannya memang seorang yang berilmu tinggi. Keberhasilannya menembus pertahanannya bukan hanya satu kebetulan, tetapi ia benar-benar memiliki kemampuan.

Dengan demikian maka orang berwajah gelap itu bersama kedua orang kawannya telah menghentakkan kekuatan dan kemampuan mereka untuk menggempur pertahanan Glagah Putih dari tiga arah.

Sementara itu Rara Wulan pun masih bertempur melawan dua orang lawan. Kedua orang yang semula meremehkannya itu harus bertarung mati-matian untuk mempertahankan diri. Serangan-serangan Rara Wulan pun kemudian datang seperti badai.

Kelima orang yang bertempur melawan dua orang yang mengaku suami istri itu menjadi semakin sengit. Tetapi kelima orang itu semakin lama menjadi semakin terdesak.

Orang keenam yang masih menunggui senjata yang berada di pedati serta yang sudah terlanjur diturunkan itu pun tidak dapat tinggal diam. Ia pun segera berlari-lari ke arena pertempuran.

Ternyata orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak menempatkan diri bersama dua orang kawannya yang bertempur melawan Rara Wulan. Tetapi orang itu justru bergabung bersama ketiga orang kawannya, termasuk orang yang berwajah gelap. Ia memperhitungkan bahwa bersama ketiga orang kawannya, mereka akan segera dapat menguasai lawannya, bahkan membunuhnya. Dengan demikian maka mereka berenam akan mempunyai banyak kesempatan untuk menguasai perempuan yang diakunya sebagai istrinya itu.

Dengan demikian maka sejenak kemudian, Glagah Putih harus menghadapi empat orang lawan yang tangguh, yang mendapat kepercayaan untuk mengirimkan senjata dari Demak.

Glagah Putih memang harus meningkatkan ilmunya pula. Dengan kemampuannya meringankan tubuhnya, maka Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali, sehingga keempat lawannya kadang-kadang merasa bahwa lawannya itu dapat menghilang dari pandangan mereka berempat.

Ternyata meskipun orang-orang yang mengawal pengiriman senjata itu bertempur berempat, namun mereka tidak mampu mengatasi kemampuan Glagah Putih. Bergantian mereka terlempar keluar dari arena. Sementara itu serangan-serangan Glagah Putih benar-benar telah menyakiti tubuh mereka.

Dalam pada itu, ternyata Rara Wulan menjadi tersinggung ketika ia melihat orang keenam itu justru bergabung dengan tiga orang lainnya. Rara Wulan merasa dirinya diremehkan.

Justru karena itu maka Rara Wulan pun telah meningkatkan kemampuannya. Kedua orang lawannya itu pun segera mengalami kesulitan. Serangan-serangan Rara Wulan menjadi semakin sulit untuk dihindari. Jika kemudian terjadi benturan, maka kedua orang lawannya itu pun akan terpelanting dari arena.

Karena semakin lama menjadi semakin sering, maka kedua orang lawan Rara Wulan itu akhirnya harus mengakui kenyataan bahwa mereka berdua tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Apalagi setelah memeras segala tenaga dan kemampuan mereka, maka tenaga mereka pun sudah mulai menyusut. Sementara itu seluruh tubuh mereka semakin terasa sakit, karena serangan-serangan Rara Wulan yang sering kali menyusup pertahanan mereka.

Dalam kesulitan yang tidak teratasi, maka seorang di antara mereka pun memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih untuk segera datang membantu.

Sebenarnyalah keempat orang itu pun merasa bahwa mereka semakin mengalami kesulitan melawan Glagah Putih. Meskipun demikian, seorang di antara mereka telah meninggalkan Glagah Putih dan bergabung dengan dua orang lawannya yang bertempur melawan Rara Wulan.

Tetapi ternyata bahwa ketiga orang itu pun belum cukup memadai untuk melawan Rara Wulan. Mereka pun masih saja terdesak. Serangan-serangan Rara Wulan masih saja mampu menembus pertahanan mereka.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun sudah menjadi tidak seimbang sama sekali. Keenam orang yang bertempur melawan dua orang suami istri itu semakin tidak berdaya, sehingga akhirnya seorang demi seorang mereka terkapar sambil mengerang kesakitan di atas rerumputan kering.

Glagah Putih yang kemudian berdiri di sebelah orang yang berwajah gelap itu pun berkata, “Jika aku mempergunakan bahasamu, maka aku sudah sewajarnya membunuhmu. Membunuh kawan-kawanmu.”

“Jangan bunuh kami. Kami minta ampun.”

“Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya tidak sebagai pembunuh. Karena itu maka aku memang tidak akan membunuhmu. Tetapi jawab pertanyaanku.”

“Apa yang ingin kau ketahui?”

“Kemana senjata-senjata itu akan kalian bawa?”

“Kami mendapat perintah untuk membagikan senjata kepada rakyat di padukuhan-padukuhan yang terletak di sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

“Dari mana kau mendapatkan senjata itu?”

“Dari Demak.”

“Aku akan pergi ke Demak. Aku akan meyakinkan apakah benar senjata-senjata ini kau dapat dari Demak.”

“Bagaimana kau akan meyakinkannya? Siapakah kau sebenarnya, sehingga kau menaruh perhatian terhadap senjata-senjata yang aku bawa?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Yang penting bagiku sebenarnya bukan dari mana kau peroleh senjata itu. Tetapi yang sebenarnya penting untuk aku ketahui, apakah senjata-senjata itu sampai ke sasaran.”

Orang berwajah gelap itu terkejut. Tertatih-tatih ia bergeser sambil bertanya, “Siapakah kalian sebenarnya?”

“Kalian tidak perlu tahu. Tetapi sekarang, bangkitlah. Urus senjata-senjata itu. Jangan kalian biarkan bergolek di pinggir jalan.”

“Baik, baik.”

Keenam orang yang kesakitan itu berusaha untuk bangkit. Yang terbaring di tanggul sambil menyeringai kesakitan telah bangkit berdiri. Yang lain pun, yang tulang-tulangnya serasa patah, juga bangkit berdiri.

Mereka pun kemudian dengan susah payah melangkah ke pedati mereka yang masih berada di pinggir jalan.

“Dorong pedati kalian. Mari kami bantu,” berkata Glagah Putih.

Glagah Putih pun memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membantu mendorong pedati itu.

Seorang di antara mereka, meskipun masih sambil berdesah kesakitan, telah berdiri di hadapan pedati itu dengan cambuk di tangan. Sambil bergantung pada ujung pasangan lembu pedati itu, ia pun kemudian berteriak keras-keras. Dilecutnya kedua lembunya berganti-ganti, sementara yang lain berusaha untuk mendorong pedati itu.

“Seorang di antara kalian siap dengan batu ganjal roda pedati itu,” berkata Glagah Putih, “demikian pedati ini beringsut, ia harus menyusupkan ganjal itu lebih dalam lagi. Semakin lama semakin dalam di lubang itu, agar rodanya tidak bergerak mundur lagi.” 

Demikianlah, sambil didorong sekuat tenaga yang tersisa, dan sepasang lembu yang dilecuti itu juga berusaha bergerak, maka pedati itu pun bergerak setapak demi setapak. Demikian rodanya bergerak sedikit, maka batu ganjal itu pun telah disusupkan semakin dalam.

Demikianlah, akhirnya pedati yang bergerak setapak demi setapak itu dapat keluar dari lubang yang agak dalam itu.

Demikian pedati itu bergerak maju, maka Glagah Putih pun berkata, “Sekarang naikkan senjata-senjata itu ke dalam pedati. Pastikan bahwa senjata-senjata itu akan terbagi di padukuhan-padukuhan di sebelah utara Gunung Kendeng. Kiriman berikutnya akan segera sampai di sana pula.”

Keenam orang itu termangu-mangu. Mereka memang agak bingung menghadapi sikap Glagah Putih.

Dengan wajah yang membayangkan kegelisahan yang sangat, orang yang bertanggung jawab terhadap pengiriman senjata itu pun bertanya, “Siapakah Ki Sanak ini sebenarnya?”

“Sudah aku katakan, kalian tidak perlu tahu. Sekarang pergilah, kami akan meneruskan pengembaraan kami.”

Glagah Putih tidak berkata apapun lagi. Ia pun kemudian memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk meninggalkan tempat itu.

Beberapa puluh langkah dari pedati itu, keduanya berpaling. Mereka melihat orang-orang yang membawa senjata itu sibuk menaikkan senjata-senjata itu ke dalam pedati.

“Kakang,” berkata Rara Wulan, “kau membuat mereka bingung. Bahkan aku pun menjadi bingung. Apa yang sebenarnya ingin Kakang katakan kepada mereka.”

“Aku sendiri juga bingung,” jawab Glagah Putih, “tetapi aku mencoba untuk membuat kesan bahwa kita justru orang yang berpihak kepada Demak. Seandainya tidak, aku ingin agar mereka tidak menganggap kita petugas sandi dari Pajang atau Mataram.”

“Jika mereka tahu, bukankah mereka tidak dapat berbuat apa-apa?”

“Tetapi mereka akan menentukan sikap dan rancangan baru. Setidak-tidaknya mereka akan menjadi semakin berhati-hati terhadap petugas sandi dari Pajang dan Mataram.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Memang lebih baik jika orang-orang yang membawa senjata itu tidak mencurigai mereka sebagai petugas sandi dari Pajang atau Mataram.

Dalam pada itu, beberapa saat kemudian senjata-senjata yang diturunkan dari pedati itu sudah dinaikkan kembali. Bahkan beberapa saat kemudian pedati itu sudah bergerak lagi. Tiga orang di antara orang-orang yang membawa senjata itu kembali duduk di punggung kudanya.

Mereka masih saja sekali-kali mengaduh karena punggung mereka serasa patah. Sedangkan seorang lagi yang merasa di dadanya bagaikan menyala bara api, duduk bersandar tumpukan senjata di dalam pedati yang bergerak perlahan itu. Sedang dua orang yang lain duduk di depan. Seorang di antaranya memegang kendali sepasang lembu yang menarik pedati itu.

Orang yang berwajah gelap yang duduk di punggung kudanya itu pun berdesis, “Agaknya kedua orang itu telah dikirim untuk mengamat-amati kita. Apakah kita menjalankan tugas kita itu dengan baik atau tidak.”

“Ya. Agaknya keduanya petugas sandi justru dari Demak.”

“Ya. Jika mereka orang Pajang atau Mataram, kita tentu sudah mereka bunuh. Mereka akan memusnahkan senjata-senjata itu. Mungkin dibakar.”

“Ya. Namun dengan demikian, mereka akan melihat bahwa kita telah bekerja dengan bersungguh-sungguh. Bahkan mempertaruhkan nyawa kita.”

Tetapi orang yang berwajah gelap itu menjadi semakin gelap. Dengan nada dalam ia pun bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Apa kata petugas sandi itu tentang diriku. Aku telah menyerah kepadanya, dan justru mengatakan bahwa senjata-senjata itu akan aku bawa ke daerah di sebelah utara Gunung Kendeng.”

“Tentu tidak apa-apa. Jika mereka menganggap kita bersalah, maka sikap mereka tidak akan sebagaimana mereka lakukan. Mereka justru membantu kita mendorong pedati itu. Bahkan mengatakan bahwa kiriman berikutnya akan segera menyusul.”

Orang berwajah gelap itu terdiam. Sebenarnya ia memang agak khawatir atas penilaian orang yang diduganya justru petugas sandi dari Demak itu. Tetapi segala sesuatunya sudah terlanjur. Sementara itu iring-iringan itu masih berjalan terus menyusuri jalan ke daerah berbukit-bukit di sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan terus. Sepanjang jalan mereka menyempatkan diri untuk mengamati dan berbicara dengan para penghuni di daerah yang dilewatinya. Kadang-kadang Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti beberapa lama di kedai sambil berbincang dengan pemilik kedai itu. Jika Rara Wulan memberikan uang lebih dari yang seharusnya dibayar dari harga minuman dan makan mereka, maka pemilik kedai itu sempat berbincang berlama-lama, jika kedainya tidak sedang ramai dikunjungi orang.

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin yakin bahwa Demak telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk mengambil langkah-langkah yang dapat membahayakan keutuhan Mataram.

Dengan demikian perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin lamban. Bahkan jarak yang ditempuhnya dalam sehari, tidak lebih dari tiga atau empat kademangan saja.

Semakin ke utara, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi semakin berhati-hati. Kadang-kadang mereka berkesempatan untuk dapat berbicara agak terbuka. Tetapi kadang-kadang Glagah Putih dan Rara Wulan justru harus menahan diri jika perasaannya sebagai petugas dari Mataram sering tersinggung.

Bahkan orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati yang merasa mendapat kesempatan bertindak atas nama Demak yang sebenarnya, mencoba untuk mengambil hati rakyat sehingga mereka dengan ikhlas berdiri di pihak Demak. Mereka telah mempersiapkan diri untuk berjuang menuntut keadilan, bahwa sebenarnyalah Kanjeng Adipati Demak mempunyai hak yang lebih besar untuk bertahta daripada Kanjeng Sultan di Mataram.

Meskipun lambat, namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun tetap saja bergerak ke Utara. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di banjar sebuah pedukuhan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui bahwa mereka sudah tidak terlalu jauh lagi dari sebuah padepokan yang disebut padepokan Jung Wangi.

Penunggu banjar yang masih belum terlalu tua itu ternyata dapat banyak diajak berbicara tentang padepokan itu. Adalah kebetulan bahwa istri penunggu banjar itu adalah seorang penjual makanan di pasar yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu. Karena itu, ada alasan bagi Rara Wulan untuk memesan makanan yang akan dibawanya sebagai bekal di perjalanannya esok.

“Setiap pagi sebelum fajar, makanan kami sudah siap,” berkata penunggu banjar itu, “jika Ki Sanak memesannya, maka sebelum fajar tentu sudah kami sediakan.”

“Terima kasih,” sahut Rara Wulan sambil menyerahkan sekeping uang perak.

“Kami tidak mempunyai uang kembalinya. Kami tidak mempunyai uang sebanyak itu,” desis istri penunggu banjar itu.

“Tidak apa-apa, Mbokayu. Biarlah uang kembalinya aku titipkan saja kepada Nbokayu.”

“Bahaya itu, Nyi, bahaya. Uang itu bagaikan mempunyai kaki, sehingga tanpa kita ketahui tiba-tiba saja uang itu sudah tidak ada lagi di kampil.”

Rara Wulan tertawa.

“Nyi,” berkata penunggu banjar itu, “jika uang sekian banyaknya ada di tangan kami, maka kami tidak akan mampu mencegah keinginan kami untuk mempergunakannya.”

“Tidak apa-apa, Kakang,” Glagah Putih-lah yang menyahut, “Kakang dapat mempergunakan uang itu. Kakang tidak usah ragu-ragu. Atau katakan saja, uang itu memang kami peruntukkan bagi Kakang berdua.”

“Jadi, apakah kami harus menyediakan makanan segerobak esok pagi?”

“Tidak, bukan begitu. Sediakan saja beberapa bungkus agar kami tidak kesulitan membawanya. Sedangkan uang itu dapat kalian pergunakan untuk keperluan apa saja.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Kakang, aku baru saja mendapat rejeki banyak. Kita berbagi keberuntungan.”

“Apakah uang itu uang panas atau uang gelap?”

“Tidak, tidak. Yakinlah. Aku baru saja menyembuhkan anak gadis seorang yang kaya raya. Seharusnya aku akan diambil menantu. Tetapi aku sudah beristri, sehingga orang kaya itu memberi uang kepada kami berdua banyak sekali.”

Penunggu banjar dan istrinya itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Rara Wulan berdesis di telinga Glagah Putih, “Kenapa kau menolak diambil menantu orang yang kaya raya?”

Glagah Putih pun berdesis, “Sst.”

Meskipun agak ragu, tetapi akhirnya penunggu banjar suami istri itu pun bersedia menerima sekeping uang perak dari Rara Wulan.

Namun dengan demikian maka penunggu banjar itu dapat diajak berbicara tentang padepokan dari Perguruan Jung Wangi.

“Padepokan itu sekarang sudah tidak lagi dipergunakan oleh perguruan yang disebut Perguruan Jung Wangi. Perguruan itu sekarang sudah lebur. Tidak lagi berdiri sendiri. Sejak padepokan itu menyatu dengan Perguruan Kedung Jati, maka padepokan Jung Wangi sebagian telah dipergunakan sebagai barak para murid dari Perguruan Kedung Jati. Sebuah perguruan yang besar yang tidak tertandingi. Yang memiliki pertanda kekuasaan sepasang tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan. Orang-orang percaya bahwa kepala tongkat yang berupa tengkorak itu benar-benar telah dibuat dari emas murni.”

“Lalu, apakah sudah tidak ada kegiatan sama sekali di padepokan itu?”

“Tidak, Ki Sanak. Tidak ada kegiatan apa-apa dari Perguruan Jung Wangi sendiri. Yang ada adalah kegiatan dari para prajurit dari Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati. Jung Wangi sudah berubah menjadi padepokan tempat anak-anak muda dari sebelah utara Pegunungan Kendeng, yang terpilih untuk menjadi prajurit Demak yang sebenarnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Ki Sanak, ada berapa anak muda yang sekarang berada di padepokan Jung Wangi?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi tentu lebih dari seribu orang.”

“Seribu? Jadi di Jung Wangi itu tinggal sekitar seribu anak muda yang sedang ditempa sebagaimana seorang prajurit?”

“Ya. Mereka mendapat latihan yang berat.”

“Bagaimana sikap anak-anak muda itu sendiri?”

“Nampaknya mereka justru menjadi bangga. Mereka mengikuti latihan-latihan itu dengan penuh gairah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dari penunggu banjar itu mereka mendapat banyak keterangan tentang padepokan Jung Wangi, yang sudah tidak lagi menjadi padepokan dari Perguruan Jung Wangi.

Glagah Putih dan Rara Wulan berbincang dengan penunggu banjar itu suami istri sampai larut malam. Namun istri penunggu banjar itu harus segera beristirahat. Di dini hari ia harus sudah bangun dan mulai menyiapkan makanan yang akan dijualnya di pasar. Hari itu istri penunggu banjar itu harus membuat lebih banyak lagi, karena sebagian akan dibawa oleh suami istri pengembara itu untuk dijadikan bekal di perjalanan.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun merasa bahwa keterangan penunggu banjar itu sejauh yang diketahui sudah cukup. Karena itu maka keduanya pun dipersilakan beristirahat di bilik yang sudah disediakan di serambi belakang banjar.

Pagi-pagi sekali pesanan Rara Wulan ternyata sudah siap. Ketika Rara Wulan dan Glagah Putih selesai berbenah diri, maka mereka pun dipersilahkan singgah di rumah penunggu banjar itu sejenak. Sambil minum minuman hangat, istri penunggu banjar itu tengah mempersiapkan makanan yang akan dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai bekal di perjalanan.

Namun ternyata istri penunggu banjar itu membungkus tiga jenis makanan yang jumlahnya terlalu banyak.

“Jangan terlalu banyak, Nyi. Sedikit-sedikit saja. Jadikan satu bungkus agar kami tidak kesulitan membawanya.”

Karena istri penunggu banjar itu selalu saja memberikan terlalu banyak, akhirnya Rara Wulan sendiri-lah yang membungkus tiga jenis makanan, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak.

“Tetapi uang Ki Sanak adalah sekeping uang perak. Bahkan seandainya semuanya ini kalian bawa, uang kalian masih tersisa.”

“Tidak apa. Biarlah uang itu dapat kau pergunakan untuk apa saja. Sudah aku katakan, bahwa kita berbagi keberuntungan. Tetapi uang itu bukan uang panas dan bukan pula uang gelap.”

Akhirnya sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri. Istri penunggu banjar itu pun akan segera pergi ke pasar, menitipkan makanan yang dibuatnya kepada beberapa orang penjual makanan serta di kedai-kedai di depan pasar itu.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan padukuhan itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Jadi rencana kita sudah benar. Kita tidak usah mengamati padepokan Jung Wangi dan yang lain. Semuanya tentu sudah dicakup oleh Perguruan Kedung Jati, bergabung dengan Demak untuk melawan Mataram.”

Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun akan langsung menuju ke Demak untuk mengamati keadaan. Tetapi di Demak Glagah Putih dan Rara Wulan harus berhati-hati, karena ada beberapa orang prajurit di Demak yang sudah mengenalinya.

“Kita tidak usah berada di pusat kota. Kita dapat berada di pinggiran saja,” berkata Glagah Putih.

“Ya, Kakang. Kita harus berusaha untuk menghindar dari segala macam keributan.”

“Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan persoalan-persoalan yang menarik perhatian.”

Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan tidak merasa perlu untuk singgah di kedai sepanjang perjalanannya. Jika mereka haus, maka telah tersedia air bersih di gentong, atau kendi yang berada di dekat regol-regol rumah. Air bersih yang memang disediakan bagi mereka yang kehausan di perjalanannya. Sedangkan jika mereka lapar, mereka sudah membawa bekal makanan yang dibelinya dari istri penunggu banjar itu.

Ketika malam tiba, Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum memasuki Demak. Mereka sengaja bermalam di padang perdu yang membatasi daerah persawahan dengan sebuah hutan yang memanjang.

Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar mempersiapkan dirinya menghadapi banyak kemungkinan yang dapat terjadi, apabila mereka besok pagi memasuki Demak.

Karena itu maka malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengangkat kembali segala kemampuan yang ada di dalam diri mereka ke permukaan, sehingga siap dipergunakan setiap saat Keduanya tidak tahu berapa lama mereka akan berada di Demak. Mungkin dalam sehari mereka sudah dapat mengambil kesimpulan, sehingga mereka dapat segera pergi. Tetapi mungkin dua atau tiga hari. Bahkan mungkin mereka harus berada di Demak selama sepekan.

Di keesokan harinya, Glagah Putih dan Rara Wulan pun mandi dan berbenah diri di sebuah sungai kecil yang mengalir lewat padang perdu itu sebelum fajar. Kemudian mereka pun segera bersiap untuk memasuki Kota Demak. Dengan demikian maka mereka harus berusaha menempatkan diri mereka sehingga tidak justru menarik perhatian.

Ketika kemudian matahari terbit, keduanya telah mendekati pintu gerbang kota yang cukup ramai.

Demikianlah, pada hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di Demak. Namun mereka masih belum berbuat apa-apa selain melihat lihat keadaan di Demak.

Sebenarnyalah Demak sendiri nampak tenang-tenang saja. Ketika mereka sampai di pasar, mereka melihat bahwa pasar itu tetap saja ramai. Bahkan orang-orang yang berjualan sayuran meluap sampai keluar pintu gerbang pasar dan menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Meskipun demikian para pedagang sayuran itu nampaknya mematuhi segala petunjuk dari para petugas di pasar, sehingga keadaannya nampak tertib.

Di depan pasar itu terdapat beberapa kedai yang sudah membuka pintunya, dengan menggelar nasi hangat yang masih mengepul serta berbagai macam lauk dan sayurnya.

“Kita singgah di kedai itu sebentar, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Apakah Kakang sudah lapar?”

“Aku belum lapar. Tetapi mungkin ada sesuatu yang dapat kita dengar dari mereka yang berada di kedai itu.”

Rara Wulan mengerti maksud Glagah Putih. Karena itu maka ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baik, Kakang.”

Karena itulah mereka justru memilih kedai yang paling besar dan paling ramai dikunjungi orang.

Meskipun hari masih terhitung pagi, menjelang saat pasar temawon, tetapi kedai-kedai itu sudah mulai ramai. Para pedagang yang datang untuk membawa dagangannya, setelah digelar dan ditunggui oleh para pembantunya, telah duduk di kedai itu. Demikian pula para pedagang yang akan membeli barang dagangan di pasar itu, agaknya masih harus menunggu. Tempat yang paling baik untuk menunggu adalah di kedai itu. Bahkan ada di antara para pedagang yang mengadakan ikatan jual beli sambil minum minuman hangat serta makan nasi yang masih mengepul.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah masuk dan duduk di sebuah kedai yang ramai. Keduanya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan para pembeli yang lain.

“Kita memesan yang terbaik yang ada di kedai ini,” desis Glagah Putih.

“Ya. Tetapi apa?”

Ketika seorang pelayan mendekati keduanya, maka Glagah Putih pun telah menanyakan macam-macam masakan yang ada di kedai itu, sehingga akhirnya Glagah Putih pun benar-benar telah memesan yang terbaik.

Namun di antara mereka yang ada di kedai itu, pada umumnya juga memesan yang terbaik yang ada di kedai itu. Sebagian dari mereka adalah pedagang-pedagang. Sedangkan beberapa orang yang lain adalah orang-orang yang nampaknya berkecukupan, yang ingin atau yang sudah selesai berbelanja di pasar yang ramai itu.

Sambil menunggu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di kedai itu. Namun pada umumnya mereka hanya berbicara tentang perdagangan mereka.

“Tidak ada yang berbicara tentang pemerintahan Demak sekarang,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih memandang beberapa orang yang duduk tidak jauh dari tempat duduknya. Tidak seperti yang lain, mereka justru sibuk dengan pesanan mereka, sehingga mereka tidak banyak berbicara yang satu dengan yang lain, kecuali saling mempersilahkan menghirup minuman serta menikmati makan mereka.

Namun agaknya mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa berada di kedai itu. Ketika seorang pelayan mendekat, maka agaknya pelayan itu juga sudah terbiasa dengan mereka.

“Tambah lagi, Raden?” bertanya pelayan itu.

“Seperti biasanya. Jangan lupa pupu gending dengan brutunya,” sahut yang dipanggil Raden itu.

Pelayan di kedai itu tertawa. Katanya, “Kami sisihkan pupu gending dengan brutunya bagi Raden. Di hari Cemengan Raden sering datang ke pasar.”

Orang yang disebut Raden itu tersenyum. Katanya, “Di hari Cemengan pasar itu menjadi lebih ramai dan biasanya.”

“Tentu bukan itu yang menarik bagi Raden.”

“Lalu kau kira apa?”

Pelayan itu tertawa sambil menjawab, “Tentu gadis dari sebelah alun-alun itu yang telah menyeret Raden kemari.”

“Sst! Sekarang ambil saja pesananku. Jika pupu gending dengan brutunya sudah habis, maka aku akan memangkas kuncungmu itu.”

Pelayan itu masih saja tertawa. Namun kemudian ia pun pergi untuk mengambil pesanan orang yang dipanggilnya Raden itu.

“Apa yang dipesannya lagi?”

“Seperti biasanya.”

Pemilik kedai itu pun sudah terbiasa. Disenduknya nasi dengan sambal dan lalapan. Kemudian daging ayam pada bagian pupu gending dengan brutunya. Tanpa sayur sama sekali.

Sambil memberikan pesanan itu kepada pelayannya untuk disampaikan kepada orang yang dipanggilnya Raden itu, pemilik kedai itu pun berkata, “Biasanya gadis yang rumahnya di dekat alun-alun itu sudah singgah di kedai ini. Entahlah jika ia tidak datang.”

“Di hari Cemengan seperti ini biasanya ia datang.”

Sejenak kemudian pelayan itu pun telah menghidangkan pesanan orang yang dipanggilnya Raden itu. Demikian pelayan kedai itu pergi, maka seorang yang duduk di dekatnya pun berdesis, “Raden, ternyata telah banyak orang yang mengetahui hubungan Raden dengan gadis itu.”

“Tidak. Tetapi pelayan itu sering melihat aku bertemu dengan gadis itu di sini.”

Seorang yang duduk bersamanya yang lain berkata, “Sebaiknya Raden jangan menemuinya lagi.”

“Kenapa?”

“Ayah Raden tidak senang mendengar hubungan Raden dengan anak pemberontak itu.”

“Ayah-lah yang tidak mau menghanyutkan diri dalam arus yang mengalir demikian derasnya. Ayah tidak akan dapat menentang niat Kanjeng Pangeran untuk menuntut haknya. Jika Ayah masih saja tetap pada pendiriannya, maka Ayah akan diseret dan dihanyutkan oleh arus itu.”

“Tetapi Kanjeng Pangeran tengah bermain dengan api. Ia sudah menapak ke jalan yang salah.”

“Bukan Kanjeng Pangeran yang bermain api, tetapi Ayah. Ayah tidak seharusnya menantang niat Kanjeng Pangeran untuk mengambil tahta dari adiknya di Mataram.”

“Raden harus tahu, bahwa Kanjeng Pangeran tidak berhak atas tahta itu. Yang berhak adalah Putra Mahkota, yang sekarang telah dinobatkan.”

“Paman tahu. bahwa Kanjeng Pangeran itu lebih tua dari yang sekarang bertahta di Mataram itu?”

“Aku mengerti. Tetapi Putra Mahkota yang sekarang bertahta adalah putra dari permaisuri. Sedangkan Kanjeng Adipati di Demak bukan. Adalah merupakan kemurahan bahwa Kanjeng Pangeran itu pun telah dinobatkan menjadi Adipati yang memerintah di Demak dengan kebebasan yang longgar.”

“Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ayah. Aku sudah memperingatkan Ayah. Tetapi Ayah tetap saja pada pendiriannya. Sebenarnya buat apa Ayah bersitegang mempertahankan pendiriannya itu? Ayah seharusnya tahu, bahwa justru Ayah akan tersisih.”

Orang-orang yang duduk di sebelah-menyebelah orang yang dipanggil Raden itu pun terdiam.

Glagah Putih dan Rara Wulan berkesempatan untuk mendengar pembicaraan itu. Meskipun semula tidak begitu jelas karena mereka berbicara perlahan-lahan, namun dengan mengetrapkan aji Sapta Pangrungu maka semua pembicaraan itu menjadi jelas.

Sementara itu, orang yang dipanggil Raden itu pun telah makan dengan lahapnya. Nasi sambal dengan lalapan pupu gending dengan brutunya itu pun telah hampir dihabiskannya.

Namun anak muda yang dipanggil Raden itu pun tiba-tiba saja berhenti makan. Dipandanginya dengan mata tanpa berkedip seorang gadis yang memasuki kedai itu bersama seorang yang sudah berumur separuh baya.

Ketika anak muda yang dipanggil Raden itu akan bangkit berdiri, maka orang yang duduk di dekatnya itu memegangi lengannya sambil berkata, “Tangan Raden masih kotor.”

“O.” Anak muda itu segera mencuci tangannya dengan air yang dituang ke dalam mangkuk yang sudah disediakan.

“Bukan hanya itu,” berkata orang yang duduk di sampingnya, “ia datang bersama pemberontak itu. Jika ayah Raden mengetahuinya, maka ayah Raden akan menjadi marah.”

“Sudah aku katakan, aku tidak berpihak kepada Ayah, tetapi aku berpihak pada Kanjeng Adipati. Karena itu, bagiku orang yang datang itu bukan pemberontak, la justru pendukung setia Kanjeng Adipati di Demak.”

“Itulah yang dimaksud. Kanjeng Adipati sudah tidak berjalan di atas jalur kebenaran.”

“Itu hanya omongmu saja. Biarkan aku mendapatkan mereka,” berkata anak muda itu. Anak muda yang dipanggil Raden itu tidak menghiraukan lagi orang-orang yang duduk di sampingnya. Karena itu maka ia pun segera bangkit berdiri dan berjalan menyongsong seorang gadis yang memasuki kedai itu diiringi oleh seorang laki-laki yang umurnya sudah separuh baya.

“Mawarni,” panggil anak muda yang dipanggil Raden itu.

Gadis yang haru saja memasuki kedai itu berpaling. Sambil tersenyum ia pun segera berdesis, “Raden Sabawa.”

Raden Sabawa itu mendekatinya.

Sementara gadis itu berkata, “Raden, ini adalah ayahku.”

Raden Sabawa itu mengangguk hormat. Katanya, “Aku sudah mengenalnya, Mawarni.”

“Ayah sudah mengenalnya?”

“Aku pernah bertemu dengan Raden Sabawa. Tetapi agaknya kami baru saling mengangguk saja.”

Mawarni tersenyum. Katanya, “Sekarang Ayah dan Raden Sabawa berkesempatan untuk saling mengenal lebih dekat lagi.”

“Marilah, Paman. Silahkan.”

Keduanya pun kemudian mengikuti Raden Sabawa. Mereka pun kemudian duduk di tengah-tengah kedai itu.

Tiga orang yang semula duduk bersama Sabawa itu pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Aku akan mengajak Raden Sabawa meninggalkan tempat ini. Jika ada yang menyampaikan kepada ayahnya bahwa Raden Sabawa berada di kedai ini bersama Mawarni, dan apalagi ayah Mawarni itu, maka ayah Raden Sabawa tentu akan marah sekali.”

“Kita juga yang akan dianggapnya bersalah,” sahut kawannya. Kawannya mengangguk-angguk.

Demikianlah, seorang di antara mereka pun segera mendapatkan Raden Sabawa. Sambil mengangguk hormat orang itu pun berkata, “Marilah, Raden. Jika Raden sudah selesai, maka kita akan segera pulang.”

“Pulanglah dahulu,” jawab Raden Sabawa.

“Aku telah ditugaskan oleh ayah Raden untuk menemani Raden. Karena itu maka aku mohon Raden juga pulang sekarang.”

“Pulanglah dahulu, kau dengar?”

“Sebaiknya kita pulang bersama-sama.”

“Jika kita harus pulang bersama, duduklah. Tunggu aku sampai saatnya aku ingin pulang.”

“Aku minta Raden pulang sekarang.”

“Kau akan memaksaku?”

“Ayah Raden tentu akan marah jika Raden tidak segera pulang sekarang. Raden sudah terlalu lama pergi.”

“Kau kira aku ini masih kanak-kanak yang baru mulai dapat berjalan, sehingga kalian harus mengikuti aku sepanjang hari? Pergilah. Aku muak melihat wajahmu.”

Wajah orang itu menjadi merah. Dengan nada yang lebih tinggi orang itu pun berkata, “Raden. Aku minta Raden pulang sekarang.”

“Tidak. Aku tidak mau.”

Tiba-tiba saja Mawarni itu pun bertanya, “Kenapa kalian memaksa Raden Sabawa pulang?”

“Aku mendapat pesan dari ayah Raden Sabawa, agar Raden Sabawa segera pulang.”

“Jangan perlakukan Raden Sabawa seperti kanak-kanak. Ia sudah dewasa, sehingga ia sudah dapat menentukan sikap sendiri. Bahkan aku akan minta Raden Sabawa menemani aku di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarnya merasa agak terkejut. Dari sikapnya, maka terkenali bahwa gadis yang bernama Mawarni itu tentu bukan gadis kencur yang masih sedang mulai melibatkan diri dalam pergaulan. Agaknya gadis itu mempunyai wawasan yang cukup luas, dan bahkan sikapnya yang berani itu telah menarik perhatian tersendiri.

Orang yang minta Raden Sabawa itu pulang tertegun sejenak. Agaknya ia juga tidak mengira bahwa gadis yang bernama Mawarni itu akan bersikap sedemikian berani.

Namun orang yang menemani Raden Sabawa itu pun kemudian menyahut, “Aku tidak memperlakukannya seperti anak-anak. Tetapi aku memperingatkannya akan pesan ayahnya.”

“Katakan kepada Ayah bahwa aku tidak patuh terhadap pesan Ayah. Aku masih senang berada di kedai ini.”

“Aku akan memaksa Raden untuk pulang,” berkata orang yang menemaninya itu.

Mawarni itu justru tertawa. Katanya, “Agaknya kau terlalu manja di rumah, Raden, sehingga kau masih saja dianggap seperti kanak-kanak yang bermain di tepi kolam yang dalam. Tetapi jangan takut, aku bukan kolam yang dalam yang akan dapat menggelamkan Raden Sabawa. Bahkan aku siap menolong jika Raden Sabawa memerlukannya.”

Dalam pada itu, seorang lagi di antara mereka yang menemani Raden Sabawa itu mendekatinya sambil berkata, “Maaf, Ki Sanak, jika kami harus memaksa membawa Raden Sabawa pulang. Sama sekali bukan karena Ki Sanak serta gadis ini, tetapi semata-mata karena kami harus mentaati pesan ayah Raden Sabawa. Raden Sabawa memang masih pantas diperlakukan seperti kanak-kanak. Ia masih belum tahu, manakah yang baik dan manakah yang buruk.”

Mawarni dan laki-laki yang disebut ayahnya itu tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi Mawarni pun berkata, “Benarkah begitu, Raden? Apakah benar bahwa Raden masih belum mengenal manakah yang baik dan manakah yang buruk?”

Raden Sabawa pun tertawa. Katanya, “Jangan hiraukan kata-katanya. Mereka memang penjilat.”

Tetapi orang yang menyertainya itu pun berkata, “Mungkin aku memang penjilat. Demikian pula kawan-kawanku. Tetapi justru karena itu maka aku ingin memaksa Raden untuk pulang.”

“Tidak. Aku tidak mau.”

“Aku memang hanya seorang abdi. Tetapi oleh ayah Raden Sabawa, aku mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan jika Raden Sabawa menolak petunjuk-petunjukku, berdasarkan atas pesan-pesan ayah Raden itu sendiri. Karena itu, selagi aku belum mempergunakan kekerasan, sebaiknya Raden mengikuti nasihatku. Pulanglah.”

“Aku belum membayar minuman dan makanan yang kita minum dan kita makan.”

“Bayarlah. Atau jika Raden tidak membawa uang, aku diberi bekal oleh ayah Raden untuk membayar.”

Tetapi tiba-tiba saja ayah gadis yang bernama Mawarni itu pun berkata, “Jangan dipaksa, Ki Sanak. Kasihan, Raden Sabawa sudah dewasa. Sudah tidak pantas untuk dipaksa -paksa. Apalagi di hadapan banyak orang seperti di kedai ini.”

“Aku setuju, Ki Sanak. Seharusnya Raden Sabawa dapat menjaga nama baiknya sendiri. Ia tidak perlu dipaksa-paksa seperti kanak-kanak yang tidak mau mandi di musim bediding.”

“Jika demikian, kenapa kau lakukan juga?” bertanya ayah Mawarni.

“Raden Sabawa sendiri yang harus dapat menempatkan dirinya. Jika ia tetap keras kepala, maka ia akan menjadi malu, karena kami akan menyeretnya pulang. Mungkin Raden Sabawa akan marah. Tetapi aku lebih takut kepada ayahnya daripada kepada Raden Sabawa sendiri.”

“Tidak. Kau tidak akan membawanya kemana-mana,” berkata laki-laki separuh baya itu.

“Ki Sanak, sebaiknya Ki Sanak tidak ikut campur. Biarlah aku menjalankan tugasku, dan biarlah Raden Sabawa terbiasa menuruti perintah ayahnya.”

“Aku tidak akan dapat tinggal diam, Ki Sanak. Ada hubungan antara anakku dengan Raden Sabawa. Karena itu maka menjadi kewajibanku untuk membantu Raden Sabawa jika ia mengalami kesulitan.”

“Tetapi persoalan Raden Sabawa adalah persoalan antara keluarga sendiri, Ki Sanak. Ayahnya minta ia pulang. Apakah dalam persoalan ini Ki Sanak berhak untuk ikut campur?”

“Tidak. Tidak hanya itu,” potong Raden Sabawa.

“Tidak ada persoalan lain kecuali perintah ayah Raden agar Raden segera pulang.”

“Tidak. Tetapi Ayah memang tidak senang dengan Mawarni, apalagi ayahnya, yang dianggapnya sebagai penjilat di hadapan Kanjeng Adipati.”

“He?” wajah ayah Mawarni menjadi tegang, “Siapa yang menyebutku sebagai penjilat di hadapan Kanjeng Adipati?”

“Ayah. Ayahku.”

“Tidak,” sahut orang yang mengiringinya, “bukan itu maksudnya. Ayah Raden Sabawa memang menasihatkan agar ia tidak berhubungan dengan seorang gadis lebih dahulu. Raden Sabawa masih belum tahu arti dari hubungan yang sebenarnya antara laki-laki dan perempuan. Raden Sabawa baru tahu bahwa ia tertarik kepada seorang perempuan. Tetapi ia tidak tahu latar belakang yang sebenarnya dari hubungan antara laki-laki dan perempuan itu. Raden Sabawa belum tahu, seberapa jauh seorang laki-laki dan seorang perempuan harus bertanggung jawab atas hubungan mereka. Itulah yang dikhawatirkan oleh ayah Raden Sabawa.”

“Tidak hanya itu. Kau berbohong. Ayah sendiri pernah mengatakan bahwa ayah Mawarni adalah salah seorang dari mereka yang telah merusak tatanan pemerintahan di Demak. Salah seorang dari mereka yang memacu dirampasnya hak seseorang, tetapi justru membebani kewajiban seseorang semakin berat.”

Ayah Mawarni itu tersenyum. Katanya, “Itu tidak benar, Raden. Aku berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya bagi Demak serta bagi Kanjeng Adipati.”

“Ayah juga mengatakan bahwa Paman adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penindasan terhadap para nelayan yang mohon keringanan pajak. Paman juga telah menindas rakyat Klajor yang menyatakan pendapatnya untuk mempertahankan kedudukan Demangnya, yang telah tersingkir oleh Tumenggung Jayawilaga.”

Ayah Mawarni itu tertawa. Katanya, “Itu juga tidak benar. Tumenggung Jayawilaga menyingkirkan Demang Klajor karena Demang Klajor juga menentang kebijaksanaan Kanjeng Adipati untuk membuka jalan perdagangan yang melewati Kademangan Klajor. Sementara itu, jalan itu sangat penting bagi jalur pendagangan. Karena Demang di Klajor menghasut rakyatnya untuk mementingkan diri mereka sendiri, maka Ki Tumenggung mengambil sikap tegas. Demang Klajor disisihkan dan diganti dengan orang lain, yang sejalan dengan usaha Kanjeng Adipati meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Demak dan seluruh wilayahnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarkan pembicaraan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagi mereka berdua, Raden Sabawa benar-benar seorang anak muda yang sangat bodoh, bukan sekedar lugu. Apalagi mengingat ujudnya yang sudah memasuki masa dewasanya.

Sementara itu Raden Sabawa pun berkata, “Nah, kalian dengar? Sekarang pulanglah. Katakan kepada Ayah apa yang sudah kau dengar langsung di sini.”

Pengiringnya itu menarik nafas panjang. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Kenapa persoalannya jadi meluas sampai kemana-mana, Raden? Marilah kita melihat pada masalah yang sederhana saja. Raden diminta pulang oleh Ayah Raden. Itu saja.”

“Bukankah aku sudah menjawab? Aku akan berada di sini bersama Mawarni. Bukankah jawabku sudah cukup jelas? Atau kau sekarang sudah menjadi tuli?”

Orang itu pun agaknya telah kehabisan kesabaran. Ditariknya pergelangan tangan Raden Sabawa untuk keluar dari kedai itu, sementara orang itu berkata kepada kawannya, “Selesaikan dengan pemilik kedai itu, berapa kita harus membayar.”

“Baik, Kakang,” jawab kawannya.

Sementara itu Raden Sabawa itu pun berteriak, “Tidak! Aku tidak mau! Jangan!”

Pengiringnya tidak melepaskannya. Ia sudah berniat untuk menyeret Raden Sabawa pulang. Ia tidak boleh terlalu lama bersama gadis yang bernama Mawarni itu, apalagi ayahnya.

Tetapi di luar dugaan, Raden Sabawa itu telah berteriak, “Rampok! Aku akan dirampok oleh orang ini!”

Orang-orang yang berada di kedai itu sudah mengetahui persoalannya. Tetapi ketika kemudian Raden Sabawa itu ditarik sampai keluar pintu kedai, maka orang-orang yang berada di jalan pun berpaling kepadanya.

Tetapi sementara itu, ayah gadis yang bernama Mawarni itu pun telah turun ke halaman itu pula. Dengan geram ia pun berkata, “Lepaskan Raden Sabawa itu. Kau tidak dapat merampoknya di siang hari seperti ini.”

“Kau katakan bahwa aku akan merampok?”

“Ya. Kau telah mencoba menarik timang emas yang dikenakan oleh Raden Sabawa ini. Karena kau gagal, maka kau seret anak muda ini untuk kau bawa ke tempat sepi. Baru kemudian kau akan melucuti perhiasan yang dikenakannya. Mungkin juga pendok keris yang terbuat dari emas itu.”

“Jadi kau sekarang menuduhku perampok? Kau sudah menggeser persoalan yang sebenarnya kau ketahui.”

“Aku tidak peduli. Lepaskan Raden Sabawa dan tinggalkan anak muda itu.”

“Tidak.”

“Jika demikian, jika kau memaksa anak muda ini pulang, maka aku pun akan memaksamu meninggalkan anak ini.”

“Aku sudah memperingatkanmu, jangan turut campur.”

“Aku akan turut campur.”

Karena pengiring Raden Sabawa itu tidak mau melepaskannya, maka ayah Mawarni itu pun telah mengayunkan tangannya. Dengan sisi telapak tangannya orang itu berniat memukul pergelangan tangan orang yang memegangi Raden Sabawa itu.

Tetapi seorang pengiringnya yang lain telah menepis ayunan tangan itu, sehingga tidak mengenai sasarannya. Orang yang memegangi Raden Sabawa itu pun kemudian mendorong Raden Sabawa kepada kawannya sambil berkata, “Seret anak keras kepala ini pulang. Ayahnya tentu sudah menunggu.”

Namun ayah Mawarni benar-benar tidak mau melepaskannya. la pun dengan tangkasnya meloncat menyerang orang yang telah melepaskan Raden Sabawa itu sambil berkata, “Aku akan melumpuhkanmu, kemudian kawan-kawanmu. Aku akan melindungi Raden Sabawa dari tindak sewenang-wenang ayahnya itu.”

Pengiring Raden Sabawa itu pun segera mempersiapkan diri. Ketika ayah Mawarni itu menyerang, maka orang itu pun sudah siap menghadapinya.

Keduanya pun kemudian segera bertempur dongan sengitnya. Ternyata ayah Mawarni itu adalah seorang yang berilmu, demikian pula pengiring Raden Sabawa itu. Sehingga pertarungan di antara keduanya pun semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing.

Tetapi ayah Mawarni memang tidak mengira bahwa orang yang harus mengiringi Raden Sabawa itu ternyata adalah orang yang berilmu tinggi, sehingga dengan demikian maka ayah Mawarni itu pun tidak segera dapat mengalahkannya.

Dalam pada itu, Raden Sabawa pun memperhatikan pertarungan itu dengan seksama. Namun orang yang bertarung melawan ayah Mawarni itu pun berteriak kepada kawan-kawannya, “Bawa Raden Sabawa pergi! Bawa anak itu pulang, dan sampaikan kepada ayahnya, apa yang telah dilakukannya!”

“Baik, Kakang!”

Tetapi demikian mereka beranjak dari tempatnya sambil menarik tangan Raden Sabawa, maka Mawarni berdiri di hadapan mereka sambil bertolak pinggang.

“Kalian akan membawanya kemana?” bertanya Mawarni.

“Pulang,” jawab seorang di antara pengiringnya

“Jangan bawa anak itu pergi. Aku memerlukannya.”

“Kau tidak akan dapat mencegahnya. Ayahnya-lah yang memerintahkannya untuk segera pulang.”

“Tentu bukan karena itu. Seperti yang dikatakan oleh Raden Sabawa, bahwa kau seret anak itu pulang karena Raden Sabawa berhubungan dengan seorang gadis, yang dinilai sebagai anak seorang yang sikapnya tidak sejalan dengan ayah Raden Sabawa.”

“Apapun alasannya, aku akan membawanya pulang.”

“Aku akan mencegahnya. Aku akan membawa Raden Sabawa, bukan saja ke rumahku karena aku membutuhkannya, tetapi ia harus bersikap dan berpendirian sebagaimana aku dan ayahku. la harus berdiri di pihak Kanjeng Adipati Demak.”

Wajah pengiringnya menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tidak, Mawarni. Aku akan menyelamatkan Raden Sabawa.”

“Aku-lah yang akan menyelamatkan dari ketamakan ayahnya.”

Mawarni tidak berbicara lagi. Disingsingkannya kain panjangnya, sehingga Mawarni itu pun telah mengenakan pakaian khususnya.

Pengiring Raden Sabawa itu bergeser selangkah surut. Ternyata Mawarni bukan gadis kebanyakan. Bahkan pengiring Raden Sabawa itu pun mulai meragukan, apakah Mawarni itu masih juga seorang gadis atau seorang perempuan yang dengan sengaja ingin menyeret Raden Sabawa berpihak kepadanya.

Menilik sikap dan kata-katanya, Mawarni adalah seorang perempuan yang telah matang, sementara Raden Sabawa adalah seorang anak muda yang bodoh, meskipun ia sudah dapat disebut dewasa. Anak itu memang terlalu manja, sehingga ia tidak tahu apa-apa mengenai tatanan pemerintahan serta ilmu kanuragan. Bahkan ilmu yang lain.

Dengan demikian, maka telah terjadi pertempuran di halaman kedai itu. Ayah Mawarni bertempur melawan seorang pengiring Raden Sabawa, sedangkan Mawarni pun telah bertempur pula dengan pengiring yang lain. Sementara seorang lagi pengiring Raden Sabawa tetap saja memegangi tangan anak muda itu.

Ternyata ayah Mawarni salah menilai pengiring Raden Sabawa. Meskipun ia sudah meningkatkan ilmunya, namun ia tidak segera dapat menguasai pengiring Raden Sabawa. Bahkan semakin lama ayah Mawarni itu pun menjadi semakin terdesak.

Karena itu maka ayah Mawarni itu tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam goloknya yang terhitung besar dan panjang. Pengiring Raden Sabawa itu pun bergeser surut. Namun ia pun kemudian telah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan, pengiring Raden Sabawa itu melawan golok ayah Mawarni.

Dalam pada itu, Mawarni sendiri justru berhasil mendesak lawannya. Dengan kecepatan geraknya, Mawarni sempat membuat lawannya mengalami kesulitan.

Tetapi ketika lawannya menarik pedangnya, maka Mawarni-lah yang mengalami kesulitan. Meskipun Mawarni mempergunakan juga pedang yang tipis, tetapi ilmu pedang pengiring Raden Sabawa itu ternyata lebih baik dari ilmu pedang Mawarni. Pedang tipis Mawarni ternyata tidak dapat bergerak lebih cepat dari pedang pengiring Raden Sabawa.

Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, telapak tangan Mawarni merasa pedih karena getar senjatanya, yang kadang-kadang harus dipertahankannya jika pedang itu hampir terlepas.

Ayah Mawarni melihat kesulitan anaknya serta kesulitannya sendiri. Karena itu maka sejenak kemudian, ia pun memberi isyarat kepada Mawarni untuk bergeser mundur.

Mawarni pun tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Sementara itu masih ada pengiring Raden Sabawa yang bebas, yang setiap saat dapat bergabung dengan kawan-kawannya. Mungkin bergabung dengan kawannya yang bertempur melawan Mawarni sendiri, atau bergabung dengan orang yang bertempur melawan ayah Mawarni. Karena itu maka Mawarni pun tidak menunggu lagi. Ia pun segera meloncat surut mengambil jarak lawannya.

Lawannya tidak memburunya. Demikian pula pengiring Raden Sabawa yang bertempur melawan ayah Mawarni. Ketika ayah Mawarni itu meloncat surut, maka lawannya juga tidak berusaha memburunya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mawarni dan ayahnya itu pun telah meninggalkan arena pertempuran. Sementara itu, beberapa orang yang berkerumun menyaksikan pertempuran itu pun bergeser menjauh.

“Siapa yang masih menganggap kami sebagai perampok, aku persilahkan untuk mendekat. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin menjelaskan siapakah aku, kawan-kawanku dan siapa pula Raden Sabawa. Mereka yang sering datang ke kedai ini tentu sudah mengenal kami, sehingga mereka tidak akan begitu mudahnya dikelabui dengan teriakan-teriakan yang menuduh kami sebagai perampok.”

Orang-orang yang berada di seputar arena itu pun tidak ada yang beranjak mendekat. Bahkan sebagian dari mereka pun dengan diam-diam bergeser menjauh dan meninggalkan arena pertempuran itu.

Seorang pengiring Raden Sabawa pun segera menyelesaikan pembayaran makan dan minum mereka. Sementara pemilik kedai itu berkata, “Maaf, Ki Sanak. Selama ini kami sering menggoda Raden Sabawa yang telah berhubungan dengan gadis yang tinggal di sebelah alun-alun itu. Tetapi kami tidak tahu bahwa persoalannya tidak sekedar di permukaan saja.”

“Sudahlah. Lupakan saja.”

Pemilik kedai itu pun mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian memberitahukan kepada pelayan-pelayannya, jangan sering menggoda Raden Sabawa.

“Ternyata persoalan di antara mereka menyangkut masalah yang mendalam. Masalah sikap mereka terhadap tuntutan Kanjeng Adipati Demak tentang tahta di Mataram.”

Pelayan-pelayannya itu pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa persoalannya tidak sepantasnya disebut-sebut sebagai bahan gurauan.

Dalam pada itu, Raden Sabawa telah dibawa pulang dengan paksa. Demikian ia sampai di rumah, maka ia pun segera dibawa menghadap kepada ayahnya.

Ayahnya, Raden Yudatengara, mendengar laporan orang-orang yang diperintahkan untuk mengiringi anaknya dengan wajah yang muram. Dengan nada dalam ia pun bertanya kepada Raden Sabawa, “Kenapa kau lakukan itu semua, Sabawa?”

“Aku bukan bayangan Ayah. Silahkan Ayah mengambil sikap. Biarlah aku mengambil sikap sendiri. Bukankah aku sudah dewasa penuh?”

“Sabawa. Kau tidak tahu apa yang sudah kau lakukan. Kau telah memancing persoalan yang gawat bagi Ayah.”

“Itu salah Ayah sendiri. Jika Ayah tidak bersikap seperti sekarang terhadap Kanjeng Adipati, maka Ayah tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Tetapi Ayah mengeraskan hati Ayah, dan menganggap bahwa Kanjeng Adipati telah melakukan kesalahan. Akibatnya, Ayah akan mendapat kesulitan. Semua orang Demak dan sekitarnya sudah membulatkan tekadnya untuk memantapkan sikap, bahwa Kanjeng Adipati di Demak berhak atas tahta di Mataram.”

“Siapa yang mengatakan itu kepadamu, Sabawa?”

“Aku bukan anak-anak lagi, apalagi seorang anak yang bodoh. Aku sudah beberapa lama berhubungan dengan Mawarni dan ayahnya. Mereka adalah orang-orang yang berwawasan luas. Mereka tidak memandang dunia ini seluas daun kelor, atau hanya selebar tempurung yang menelungkup.”

“Sabawa,” berkata ayahnya, “sepeninggal ibumu, aku berusaha untuk membesarkanmu, untuk mendidikmu, agar kau tahu manakah yang benar dan manakah yang salah. Manakah yang baik dan manakah yang buruk.”

“Ternyata Ayah berhasil. Sekarang aku tahu, manakah yang salah dan manakah yang benar. Aku tahu manakah yang baik dan manakah yang buruk.”

“Kenapa pandanganmu dapat sama sekali terbalik? Yang salah kau anggap benar, dan yang benar kau anggap salah. Yang baik kau anggap buruk, sedangkan yang buruk kau anggap baik.”

“Siapakah yang sebenarnya wawasannya terbalik ? Aku atau Ayah?”

“Sabawa. Sejak aku tahu Mawarni itu anak siapa, maka aku sudah mengira bahwa kau akan terseret ke dalam sikap yang salah. Karena itu aku harus memperingatkanmu, Sabawa. Sekali lagi aku beritahukan kepadamu, bahwa aku tidak dapat berpihak kepada Kanjeng Adipati. Aku sudah memberitahukan kepadamu, kelemahan-kelemahan yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati, para pejabat di Demak, serta perguruan yang nampaknya mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap Kanjeng Adipati. Padahal pada masa Kanjeng Adipati itu menginjakkan kakinya di Demak, maka Perguruan Kedung Jati itu telah mengganggunya.”

“Jamannya telah berubah, Ayah. Sikap seseorang pun dapat berubah. Ayah tidak perlu berpegang pada sikap Ayah sebagaimana Ayah pertama kali datang di Demak. Jika keadaan dan suasana berubah, maka Ayah harus menyesuaikan diri.”

“Kita harus memperhatikan perubahan itu bergerak kemana? Apakah perubahan itu menguntungkan rakyat atau tidak.” Ayahnya itu menarik nafas panjang. “Coba perhatikan, Sabawa. Apakah yang dilakukan oleh para pejabat di Demak sekarang ini? Apa pula yang dilakukan oleh para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati. Mereka berbuat semena-mena. Rakyat Demak sama sekali tidak pernah didengar pendapatnya. Mereka harus melakukan apa yang menurut para pemimpin baik, tetapi tentu saja baik dan menguntungkan bagi mereka sendiri. Bagi segolongan kecil rakyat Demak. Tetapi rakyat Demak yang lain mengalami penderitaan. Namun tidak seorangpun yang mau mendengarkan sesambat mereka.”

“Cerita itu adalah cerita yang tidak masuk akal, Ayah.”

“Sabawa. Kau tahu sendiri nasib Ki Demang Klajor dan Ki Demang Ngarang.”

“Bohong, Ayah, Ki Demang Klajor itu bohong. Menurut ayah Mawarni, Demang Klajor adalah seorang Demang yang tamak. Ia mempergunakan uang kademangan bagi kepentingannya sendiri. la pun menolak pembuatan jalan tembus lewat kademangannya, sementara itu jalan tembus itu akan sangat berarti bagi jalan perdagangan. Perdagangan yang akan dapat membuat rakyat Klajor menjadi lebih sejahtera. Karena itulah maka Ki Tumenggung Jayawilaga harus bertindak tegas.”

“Kenyataan itu sudah diputarbalikkan, Sabawa. Jalan itu sama sekali bukan jalan perdagangan, tetapi jalan menuju ke tempat para keluarga istana Kadipaten Demak ngenggar-enggar penggalih. Tempat para keluarga Kanjeng Adipati itu bertamasya, berburu di hutan tutupan, sendang buatan, serta tempat-tempat yang dapat membuat keluarga istana Kadipaten Demak merasa hidupnya sangat bahagia. Ki Tumenggung Jayawilaga adalah salah seorang di antara mereka yang harus menyiapkan tempat itu. Sementara Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer akan membujuk Kanjeng Adipati untuk melanjutkan rencananya, memberontak terhadap Mataram.”

“Itu tidak benar, Ayah.”

“Sementara itu Ki Demang di Ngarang juga disingkirkan, karena Ki Demang di Ngarang menolak penebangan hutan yang semena-mena di Kademangan Ngarang. Tanah itu akan menjadi tanah milik orang-orang kaya di tempat yang akan mengusahakannya menjadi ladang pertanian dan sumber kekayaan bagi mereka.”

Sabawa itu pun tertawa. Katanya, “Bohong. Ki Demang di Ngarang pun telah berbohong. Ayah memang terlalu mudah untuk dibohongi.”

Raden Yudatengara menarik nafas panjang. Dipandanginya anaknya dengan tajamnya. Raden Yudatengara menyesal bahwa ia terlalu memanjakan anaknya. Apalagi setelah ibunya meninggal. Namun akhirnya anak itu tidak mau menuruti kata-katanya.

“Sabawa,” berkata Raden Yudatengara, “ternyata kau menjadi terlambat dewasa justru karena aku memanjakanmu. Pengetahuanmu sangat terbatas. Wawasanmu terlalu sempit. Kau mudah sekali dihasut dengan sanjungan-sanjungan yang berlebih. Bahkan kemudian kau telah tunduk kepada kecantikan wajah Mawarni.”

“Kenapa Ayah menjadi dengki melihat hubunganku dengan Mawarni? Mungkin karena Ayah sudah terlalu lama ditinggalkan oleh Ibu, sehingga Ayah ingin melihat setiap orang tidak mempunyai sisihan, seperti Ayah.”

Ki Yudatengara menarik nafas panjang. Katanya, “Tanggapanmu terhadap gejolak kehidupan ini ternyata telah terbalik, karena kau telah mendapat keterangan dari mereka yang mempunyai sikap yang berlawanan dengan sikapku. Kau telah terbius oleh bualan ayah dari seorang gadis yang kau anggap sebagai gadis idaman. Tetapi kau akan terperosok ke dalam jerat yang penuh dengan getah yang akan sangat sulit kau lepaskan.”

“Ayah ingin memaksakan pendapat dan sikap Ayah. Sudah aku katakan, bahwa aku bukan bayangan Ayah. Aku mempunyai pendapat dan sikap sendiri.”

“Sabawa. Ki Demang Klajor dan Ki Demang Ngarang telah menjadi korban ketidakadilan para pengikut Kanjeng Adipati. Para pengikut Kanjeng Adipati yang mendapat kepercayaan itu justru para pejabat yang ingin menjerumuskan Kanjeng Adipati untuk kepentingan mereka sendiri.”

“Ternyata Ayah sudah tersesat terlalu jauh. Ayah, aku mohon Ayah segera menyadari bahwa Ayah sudah meninggalkan garis perjuangan rakyat Demak. Mungkin pada saat Ayah masih di Mataram, Ayah mendapat banyak sekali kekutah. Ayah sudah mendapat banyak sekali hadiah, sehingga Ayah masih tetap merindukan kekuasaan Mataram, agar Ayah tetap menerima ganjaran dari penguasa di Mataram. Tetapi Ayah lupa, bahwa Ayah sekarang tidak berada di Mataram. Tetapi Ayah berada di Demak.”

“Begitu tajamnya bisa yang sudah dihembuskan oleh Mawarni serta ayahnya itu ke dalam sanubarimu, Sabawa, sehingga kau sama sekali tidak mau mendengar nasehat ayahmu lagi.”

“Maaf, Ayah. Mungkin jalan kita memang berbeda.”

“Raden,” berkata seorang pengiringnya, “seharusnya Raden dapat melihat sikap dan perbuatan Mawarni. Mawarni adalah perempuan yang sudah masak. Ia sudah mempunyai landasan sikap yang mapan. Di hadapannya, Raden tidak lebih dari seorang bocah yang masih ingusan.”

Wajah Raden Sabawa menjadi merah bagaikan membara. Dengan geramnya ia membentak, “Jangan ikut campur! Kau tidak tahu apa-apa tentang hubunganku dengan Mawarni.”

“Bukan tidak tahu apa-apa, Raden. Aku tahu benar. Dan aku melihat sendiri apa yang dilakukannya. Mawarni telah menarik pedangnya di hadapan kami sebagaimana ayahnya, sementara kami melakukan perintah Raden Yudatengara, ayah Raden Sabawa sendiri.”

“Tutup mulutmu!”

Tetapi Raden Yudatengara itu pun memotong, “Aku justru ingin mendengar keterangannya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tetapi ia berbohong, Ayah.”

“Aku memang orang yang mudah dibohongi, seperti kau katakan. Aku ingin ia membohongiku.”

“Gila! Semuanya sudah gila.”

“Kau katakan bahwa aku, ayahmu, juga sudah gila?”

“Jika ibu masih ada,” berkata Raden Sabawa kemudian, “tidak akan terjadi seperti ini. Ibu tidak akan membiarkan Ayah memperlakukan aku seperti sekarang ini.”

“Jika ibumu masih ada, maka kau akan menjadi seorang anak yang penurut. Ibumu adalah seorang perempuan yang keras, yang akan mengendalikanmu dengan baik. Tidak seperti Ayah yang terlalu memanjakanmu, sehingga akhirnya kau menjadi anak yang hanya menuruti kemauanmu sendiri.”

“Bohong! Ayah tidak memanjakan aku. Tatapi Ayah justru membenciku.”

“Sabawa, ketahuilah bahwa apa yang kau katakan kepada ayah Mawarni itu akan dapat membawa bencana bagi ayahmu. Meskipun ayah Mawarni itu tahu bahwa sikapku tidak sejalan dengan sikap Kanjeng Adipati Demak sekarang, tetapi pernyataan itu belum pernah dikemukakan dengan terbuka, sebagaimana kau katakan kepada ayah Mawarni itu.”

“Tetapi bukankah itu sikap Ayah yang sebenarnya?”

“Ya.”

“Ayah memang harus bertanggung jawab atas sikap Ayah.”

“Kami akan bertanggung jawab, Sabawa. Apapun yang terjadi.”

“Siapakah yang Ayah maksud dengan kami?”

“Aku dan orang-orang yang sikapnya sejalan dengan sikapku. Orang-orang yang menemanimu, tetapi yang justru telah kau musuhi itu.”

Sabawa mengerutkan dahinya. Katanya, “Mereka adalah orang-orang yang sangat menjengkelkan. Mereka menganggap aku sebagai budak mereka, sehingga aku harus tunduk kepada kemauan mereka.”

“Baiklah, Sabawa. Ayah akan mempersiapkan diri. Ayah Mawarni tentu tidak akan tinggal diam. Ceritamu tentang sikapku dengan terbuka itu adalah pertanda akan datangnya bencana bagi Ayah.”

Tetapi Raden Sabawa itu pun menjawab, “Aku minta Ayah merubah sikap Ayah.”

“Aku justru akan memohon Kanjeng Adipati merubah sikapnya untuk menantang Mataram. Seharusnya Kanjeng Adipati mengetahui kekuatan Mataram.”

“Kalau Ayah memang mengeraskan hati Ayah, maka jika bencana itu datang, maka itu harus Ayah pertanggungjawabkan.”

“Aku memang akan mempertanggungjawabkan sikapku itu, Sabawa. Jika kau memang tidak mau mengikuti sikap Ayah, maka sebaiknya kau tidak usah mencampuri persoalan yang dapat timbul karena sikap Ayah itu.”

Raden Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun ia pun berkata di dalam hatinya, “Ayah Mawarni tentu tidak akan berbuat apa-apa terhadap ayahku, mengingat hubunganku dengan anak gadisnya. Mawarni tentu akan bersikap baik terhadap Ayah, sehingga hati Ayah akan menjadi lunak terhadapnya.”

Demikianlah, maka Raden Sabawa pun kemudian telah meninggalkan ayahnya yang duduk termangu-mangu. Ia pun segera pergi ke gedogan untuk melihat kudanya yang baru.

Sementara itu Raden Yudatengara pun berkata kepada orang-orang yang setia kepadanya itu, “Akan terjadi sesuatu di rumah ini. Aku tidak ingin kalian terlibat terlalu jauh. Karena itu, tinggalkan rumah ini, agar kalian tidak harus ikut memikul beban yang tentu akan diletakkan di pundakku oleh ayah Mawarni. Aku tahu bahwa orang itu adalah seorang penjilat. Mungkin ia akan berhubungan dengan para pejabat di Demak. Tetapi mungkin pula mereka akan berhubungan dengan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Tidak, Raden. Aku sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Sejak Raden masih berada di Mataram. Sejak ibu Raden Sabawa masih hidup. Karena itu, kami mohon diijinkan menuntaskan pengabdian kami kepada Raden Yudatengara.”

“Aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sebaiknya kalian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Jika Raden Yudatengara berniat meninggalkan rumah ini, kami pun akan pergi bersama Raden.”

“Aku tidak dapat meninggalkan anakku satu-satunya. Padahal anakku tentu tidak akan mau aku ajak pergi. Ia sudah terjerat dalam jebakan Mawarni dan ayahnya. Ayah Mawarni itu tentu sudah melihat sikapku sebelumnya, sehingga ia berniat untuk menyeretku ke dalam kubunya. Tetapi aku tidak dapat berkhianat terhadap Mataram.”

“Jika demikian, Raden Yudatengara, ijinkan kami juga tetap berada di rumah ini. Apapun yang akan terjadi, kami akan tetap bersama Raden Yudatengara.”

“Sekali lagi aku peringatkan. Kalian masih sempat untuk menyingkir dari rumah ini. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Pergilah ke Mataram. Sampaikan laporan tentang perkembangan keadaan di Demak kepada Ki Patih Mandaraka.”

“Kenapa Raden tidak pergi ke Mataram?”

“Bagaimana dengan Sabawa?”

“Kami akan membawanya dengan paksa.”

Raden Yudatengara menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Aku akan tetap berada di sini. Aku akan menghadapi apapun yang akan terjadi. Mudah-mudahan sikapku dapat memberikan peringatan kepada beberapa orang yang datang bersama-sama Kanjeng Pangeran Puger ke Demak.”

“Jika demikian, Raden, izinkan kami tinggal bersama Raden.”

Raden Yudatengara menarik nafas panjang. Jarang sekali diketemukan kesetiaan yang mendalam dalam persahabatan, sebagaimana ketiga orang pembantunya yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri itu.

“Baiklah. Jika itu sudah menjadi tekad kalian, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih. Sekarang persiapkan segala jenis senjata. Letakkan berpencar di rumah ini, sehingga dimanapun kita berada, kita akan dengan cepat meraih senjata. Kecuali tombakku Kiai Tunggul Mega. Bawalah tombak itu kemari. Letakkan di sini. Jika ada orang yang mencari aku, bawa mereka ke bilik ini.”

“Baik, Raden.”

“Beritahu Sabawa, sebaiknya ia tidak pergi kemana-mana.”

“Apakah tidak sebaiknya Raden Sabawa disingkirkan dari rumah ini?”

“Ia tidak akan disentuh oleh ayah Mawarni. Sabawa akan dapat diperalatnya. Meskipun demikian, aku masih akan mencoba membujuknya agar ia pergi.”

“Kalau perlu di bawa pergi dengan paksa, Raden.”

“Tidak. Ia memang harus belajar mengambil sikap sendiri.”

Para pembantu Raden Yudatengara yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri itu pun telah mempersiapkan segala macam senjata. Mereka telah menggantungkan sebilah pedang sehingga menjadi perhiasan dinding di ruang dalam. Sebuah tombak pendek diletakkan di pringgitan, dengan sebuah songsong yang berwarna hijau bergaris kuning. Kemudian sebuah luwuk telah digantungkan di dekat pintu butulan. Sedangkan sebuah pedang panjang disandarkan pada sandaran kayu di atas geledeg di dekat pintu bilik.

Sedangkan para pembantu itu sendiri telah mempersiapkan pedang mereka dengan sebaik-baiknya. Sedangkan di ikat pinggang mereka, terselip beberapa pisau belati kecil.

Meskipun demikian, Raden Yudatengara itu pun berdesis, “Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Tetapi ayah gadis itu menurut pendapatku adalah seorang yang dengki. Apalagi orang itu sudah dikalahkan oleh salah seorang pembantuku. Demikian pula anaknya, gadis yang nampaknya dibangga-banggakan itu. Kekalahan itu, ditimbuni dengan pernyataan Sabawa dengan terbuka tentang sikapku, tentu sudah cukup alasan baginya untuk membuat keributan di rumah ini.”

Dengan demikian maka seisi rumah itu pun telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu Raden Yudatengara telah menemui Raden Sabawa, untuk mencoba membujuk anak itu agar bersedia meninggalkan Demak, pergi ke Mataram.

“Tidak. Aku tidak akan meninggalkan Demak,” jawab Raden Sabawa.

“Seandainya Ayah pergi ke Mataram?”

“Silahkan. Silahkan Ayah pergi. Tetapi aku tidak. Aku tidak dibayangi oleh ketakutan sebagaimana Ayah, yang telah menolak kebijaksanaan Kanjeng Adipati Demak.”

Raden Yudatengara itu menarik nafas panjang. Satu pertanda bahwa Raden Yudatengara sendiri terpaksa harus tetap berada di rumahnya, apapun yang terjadi.

Sebenarnya terpercik pula pendapatnya, bahwa Raden Sabawa telah cukup dewasa. Bahkan telah mengaku mempunyai landasan sikap sendiri tanpa harus dibayangi oleh sikap ayahnya. Ia sudah menyatakan bahwa ia berbeda dengan ayahnya.

Tetapi Raden Yudatengara rasa-rasanya tidak sampai hati untuk meninggalkannya sendiri di Demak. Ia tentu akan menjadi budak Mawarni dan ayahnya.

Sementara itu waktu pun bergulir terus. Ketika malam tiba, maka Raden Yudatengara menjadi semakin mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan. Namun ia sudah mengatakan kepada Raden Sabawa, bahwa ia tidak diperkenankan untuk keluar dari regol halaman rumahnya.

Para pembantu Raden Yudatengara yang sudah diakunya sebagai keluarga sendiri itu sudah diperintahkan untuk mengawasi Sabawa. Anak itu tidak boleh keluar. Jika ia memaksa, maka Raden Sabawa harus dicegah dengan kekerasan pula.

Raden Sabawa menjadi sangat marah ketika para pembantu ayahnya itu benar-benar mencegahnya pergi di ujung malam itu. Tetapi betapa pun kemarahan itu membakar ubun-ubunnya, tetapi para pembantu ayahnya itu benar-benar tidak membiarkan Raden Sabawa itu pergi.

“Aku harus menemui Mawarni!” Raden Sabawa itu berteriak.

“Tidak, Raden. Ayah Raden sudah memerintahkan agar Raden tidak keluar dari regol halaman rumah ini.”

“Aku tidak peduli. Aku akan pergi!”

Tetapi dengan tegas pula pembantu ayahnya itu berkata, “Tidak. Kami sudah mendapat wewenang untuk melarang Raden pergi.”

“Aku akan memaksa.”

“Kami akan mempergunakan kekerasan.”

“Gila! Kalian kira kalian itu siapa, he? Kalian adalah abdi di sini. Kalian tidak wenang untuk berbuat seperti itu, yang justru menganggap aku sebagai budak. Aku akan menyatakan keberatanku kepada Ayah. Aku akan minta kalian diusir dari rumah ini.”

“Silahkan mengadu kepada ayah Raden. Wewenang yang aku pergunakan justru berasal dari ayah Raden.”

Wajah Raden Sabawa menjadi merah. Ia pun segera berlari mencari ayahnya.

Diketemukannya ayahnya duduk di serambi. Di sebelahnya terdapat sebuah ploncon dengan tombak pendek dan songsong yang berwarna hijau bergaris kuning.

“Ayah, para abdi itu menjadi semakin berani melawan aku. Ayah terlalu memberi hati kepada mereka, sehingga mereka sama sekali tidak menghargai aku lagi.”

Ayahnya menarik nafas panjang. Katanya, “Aku memang memberikan tugas kepada mereka, agar mereka mencegahmu jika kau akan pergi.”

“Tetapi mereka menjadi semakin berani kepadaku.”

“Kau pun menjadi semakin berani kepada Ayah. Jika para abdi itu berani kepadamu, mereka sama sekali tidak berdosa, karena yang mereka lakukan itu atas dasar perintahku. Tetapi jika kau berani menentangku, kau telah melakukan dosa yang besar.”

Wajah Raden Sabawa menjadi sangat tegang. Namun kemudian ia pun berkata, “Ayah tidak usah mencoba menyudutkan aku dengan ancaman dosa. Yang berdosa adalah anak yang berani menentang orang tuanya jika orang tuanya itu berdiri di atas kebenaran. Tetapi Ayah tidak. Ayah tidak berdiri di atas landasan kebenaran dan keadilan. Ayah berdiri semata-mata berlandaskan kepentingan Ayah sendiri.”

“Kau benar-benar sudah terbenam ke dalam arus kegelapan. Aku hanya dapat berdoa bagimu, Ngger, semoga Yang Maha Agung memberikan terang di hatimu, sehingga kau dapat menghargai ayahmu. Orang tuamu, yang menjadi lantaran kelahiranmu di muka bumi ini.”

“Ayah jangan memanfaatkan hubungan kita dengan Yang Tidak Terlalu Kita Kenal itu untuk memaksakan kehendak Ayah.”

“Sangat menyedihkan jika kau menganggap Sumber Dari Segalanya itu tidak terlalu kita kenal. Sabawa, aku mengenalinya dengan sepenuh keyakinan. Yang Ada itu berada di dalam jiwaku. Juga di dalam jiwamu. Karena itu, dengarlah suaranya.”

Tetapi Sabawa itu menjawab, “Sudahlah, Ayah. Perlakukan aku sebagaimana seorang laki-laki dewasa.”

Raden Yudatengara menarik nafas panjang. Katanya, “Ternyata sikapmu membuat aku lebih sedih lagi, Sabawa. Ternyata aku benar-benar telah gagal, sehingga kau menganggapnya bahwa Yang Maha Agung itu Sesuatu Yang Tidak Terlalu Kita Kenal. Aku tidak akan merasa sangat bersedih atas sikapmu yang keras kepala tanpa mau mendengarkan nasihatku tentang hubunganmu dengan Mawarni, serta pernyataanmu dengan terbuka akan sikapku, meskipun itu akan dapat menimbulkan bencana bagiku dan bagi seluruh keluarga kita. Tetapi justru karena kau merasa tidak begitu mengenal dari apa yang selalu aku perkenalkan kepadamu sejak ibumu masih ada, sejak kau masih menghisap ibu jarimu, Sabawa. Mudah-mudahan kau masih berkesempatan untuk mohon pengampunan-Nya.”

“Ayah. Yang kita bicarakan adalah sikap Ayah yang berbeda dengan sikapku menanggapi perjuangan Kanjeng Adipati Demak yang ingin menuntut keadilan, mengambil tahta Mataram. Tetapi Ayah telah berbicara tentang persoalan yang tidak ada hubungannya dengan sikap Ayah dan sikapku tentang tuntutan keadilan itu.”

“Tentu ada, Sabawa.”

“Apapun hubungannya, tetapi yang penting sekarang aku minta, ijinkan aku pergi.”

“Tidak. Aku tidak mengijinkanmu pergi menemui perempuan itu. Kau harus menyadarinya, bahwa kau akan menjadi budaknya seumur hidupmu. Jika segala sesuatunya berhasil nanti, maka kau akan menjadi alas telapak kakinya.”

“Ayah ternyata berprasangka buruk terhadap sesama. Itu bukan sikap Ayah yang selama ini mengajariku berbuat baik kepada orang lain.”

“Aku tidak asal berprasangka, Sabawa. Aku mempunyai dasar pertimbangan yang masak.”

“Cukup, Ayah. Sekarang ijinkan aku pergi. Atau aku akan memaksa pergi, apapun akibatnya.”

” Tidak.”

Tetapi Sabawa tidak mendengarkannya. Ia pun segera berlari menghambur turun lewat pringgitan, pendapa dan turun ke halaman.

Tetapi terdengar suara ayahnya, “Cegah anak itu!”

Sabawa pun segera ditangkap oleh orang-orang yang mengabdi kepada ayahnya, yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri itu Meskipun Sabawa meronta-ronta, tetapi ia tidak dapat melepaskan dirinya dari tangan-tangan yang kokoh, yang kemudian membawanya kembali ke ruang dalam.

“Ikat anak itu.”

“Ayah! Ayah!” Sabawa pun berteriak-teriak. Tetapi orang-orang yang setia kepada Raden Yudatengara itu tidak mendengarkannya. Mereka pun mengikat Raden Sabawa dengan tali rami yang kokoh dengan tiang di ruang dalam.

“Kalau kau tetap berteriak-teriak, aku akan menyumbat mulutmu dengan kain yang kotor itu,” berkata ayahnya.

“Ternyata Ayah membenciku. Ayah sangat membenciku sehingga Ayah telah mengikat seperti mengikat seekor kerbau di kandang. Jika ibu sempat melihat perbuatan Ayah ini, maka ibu tentu akan mengutuk Ayah.”

“Ibumu akan sependapat dengan aku, Sabawa. Kau memang harus diikat. Jika kau masih belum menyadari kelakuanmu yang buruk, maka besok aku akan mencambukmu sehingga kau menjadi pingsan.”

“Ayah jahat!” teriak Raden Sabawa. Tetapi Raden Yudatengara tidak menghiraukannya.

Namun akhirnya Raden Sabawa itu menjadi letih, sehingga ia terdiam dengan sendirinya. Namun dari sepasang matanya mengalir air matanya karena kemarahan yang membakar jantungnya.

Dalam pada itu, malam pun menjadi bertambah dalam. Tetapi Raden Yudatengara masih saja duduk di serambi. Di sebelahnya terdapat sebuah ploncon dengan tombak pendek dan songsong di dalamnya.

Beberapa saat Raden Yudatengara itu merenungi kejadian-kejadian di Demak pada hari-hari terakhir. Raden Yudatengara tidak mengerti, kenapa para pemimpin di Demak dapat bekerja sama dengan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati untuk melawan Mataram.

Selagi Raden Yudatengara merenungi keadaan serta dirinya sendiri, menjelang tengah malam, tiba-tiba saja sekelompok orang telah mendatanginya. Mereka begitu saja memasuki halaman tanpa memberikan salam. Sementara tiga orang abdi Raden Yudatengara berada di halaman depan.

“Kalian mau apa?” bertanya para abdi itu.

Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Mereka langsung menuju ke pintu pringgitan.

“Kalian mau apa? Kalian mau bertemu dengan siapa?” bertanya salah seorang abdi di rumah itu.

“Aku akan bertemu dengan Raden Yudatengara,” jawab seorang di antara mereka.

Para abdi itu ternyata sudah mengenalnya. Mereka pun mengangguk hormat. Seorang di antara mereka berdesis, “Raden Wirapraba.”

“Ya. Kalian tentu mengenal aku. Aku adalah kawan baik Raden Yudatengara.”

“Sekarang, apakah yang Raden kehendaki?”

“Dimana Raden Yudatengara?”

“Di dalam, Raden. Di serambi.”

“Bukankah Raden Yudatengara masih belum tidur?”

“Belum, Raden.”

Raden Wirapraba itu pun berkata, “Baik. Aku akan menemuinya.”

“Biarlah aku menyampaikannya, Raden. Aku persilahkan Raden duduk dan menunggu sebentar.”

“Tidak. Aku akan datang kepadanya. Dimana ia sekarang?”

“Sebaiknya Raden duduk saja lebih dahulu.”

“Aku dapat mencarinya.”

“Aku mohon Raden tidak langsung masuk.”

Tetapi orang yang disebut Raden Wirapraba itu tidak menghiraukannya. la pun segera mendorong pintu pringgitan dan langsung masuk ke ruang dalam.

Ketika ketiga orang abdi Raden Yudatengara itu mencoba menghalanginya, maka para pengiring Raden Wirapraba itu pun telah menyerang mereka, sehingga sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di depan pintu pringgitan.

Ketiga orang abdi Raden Yudatengara yang setia itu pun segera terdesak. Yang datang ke rumah itu ternyata terlalu banyak untuk dilawan. Tetapi ketiga orang abdi itu tidak segera menyerah. Mereka pun kemudian berloncatan turun ke halaman dan bertempur melawan para pengiring Raden Wirapraba yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Ternyata di antara mereka terdapat Mawarni dan ayahnya.

“Kau terlalu sombong, Ki Sanak,” berkata ayah Mawarni. “Aku datang lagi untuk membunuhmu.”

“Pengecut. Kau tidak berani berhadapan seorang melawan seorang. Sekarang kau datang bersama dengan banyak orang.”

“Apa bedanya? Kami akan menangkap kalian bertiga. Kami akan menjadikan kalian pengewan-ewan di alun-alun besok pagi. Kalian akan dikeluarkan dari kandang seperti seekor harimau. Kemudian kalian akan dirampog beramai-ramai, sehingga tubuh kalian akan hancur arang keranjang.”

“Tidak ada yang dapat menangkap kami hidup-hidup.”

Terdengar suara tertawa beberapa orang.

Sejenak kemudian mereka pun telah terlihat dalam pertempuran yang sengit. Namun ketiga orang abdi Raden Yudatengara itu agaknya mencemaskan Raden Yudatengara, yang tentu harus bertempur melawan beberapa orang yang menyusul Raden Wirapraba masuk ke ruang dalam.

Karena itu maka seorang di antara mereka pun segera berteriak, “Kita selamatkan Raden Yudatengara!”

Ketiga orang itu pun segera meloncat meninggalkan arena. Mereka memasuki pintu seketheng langsung ke longkangan.

Dalam pada itu, Raden Wirapraba telah memasuki serambi. Namun langkahnya terhenti. Ia melihat Raden Yudatengara duduk dengan tombak pendek di tangannya.

“Kangmas Yudatengara.”

“Ya, Dimas. Selamat datang di rumahku.”

“Sudahlah, Kangmas, tidak usah berpura-pura lagi. Aku datang untuk menangkap Kangmas dan membawamu menghadap Kanjeng Adipati Demak. Kangmas telah menyatakan sikap bermusuhan dengan Kanjeng Adipati.”

“Aku tidak memusuhi Kanjeng Adipati, Dimas. Aku hanya menyatakan bahwa sikapku tidak sejalan dengan sikap Kanjeng Adipati. Aku tidak dapat melawan Mataram, karena aku, Dimas dan bahkan Kanjeng Adipati berasal dari Mataram. Kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Kanjeng Adipati itu pun berasal dari Mataram juga.”

“Sudahlah. Kangmas tidak usah sesorah. Sekarang aku minta Kangmas menyerah. Kami akan mengikat Kangmas dan membawa Kangmas menghadap Kanjeng Adipati. Aku tidak tahu, hukuman apa yang akan Kangmas tanggungkan. Biarlah Kanjeng Adipati yang memutuskannya.”

“Dimas. Apakah kau juga sudah benar-benar kehilangan ikatan kesatuan Dimas dengan Mataram?”

“Sudahlah. Kangmas tidak usah mengungkit-ungkit lagi. Aku memang berasal dari Mataram. Tetapi sekarang aku berada di Demak. Karena itu maka sekarang aku mengabdi kepada Kanjeng Adipati di Demak.”

“Dimas. Jika demikian, maka biarlah aku menolak untuk menyerah. Aku akan melawan.”

“Bukankah tidak akan ada gunanya, Kangmas? Lebih baik Kangmas menyerah. Mungkin Kanjeng Adipati akan memberikan keringanan kepada kangmas.”

“Aku tidak menginginkan belas kasihan itu, Dimas.”

“Baiklah, Kangmas, jika itu yang Kangmas kehendaki. Aku akan menangkap Kangmas. Kangmas tidak akan dapat bertahan sesilir bawang, karena aku datang dengan banyak orang.”

Raden Yudatengara itu pun bangkit berdiri. Tombak pendeknya pun segera merunduk. Sementara itu Raden Wirapraba pun telah menarik pedangnya. Diputarnya pedangnya sambil bergeser. Sementara itu, dua orang bersamanya untuk melawan Raden Yudatengara.

“Aku mendapat perintah untuk menangkap Kangmas, hidup atau mati,” berkata Raden Wirapraba.

“Bagus, Dimas. Lakukan apa yang ingin kau lakukan.”

Sementara itu, ketiga orang abdi Raden Yudatengara pun telah bertempur di longkangan. Mereka berniat untuk melindungi Raden Yudatengara, namun agaknya mereka sulit untuk dapat mendekat.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun telah terjadi di longkangan dan diserambi. Namun akhirnya Raden Yudatengara yang berada di serambi itu pun meloncat keluar. Untuk menghadapi lawan yang lebih dari seorang, Raden Yudatengara memerlukan tempat yang lebih luas dari serambi rumahnya.

Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Sementara pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya, Mawarni telah menyelinap masuk ke ruang dalam. Karena ia tidak melihat Raden Sabawa, maka Mawarni itu sengaja mencarinya. Raden Sabawa bukan seorang yang memiliki kemampuan untuk bertempur. Justru karena ia terlalu manja, maka Raden Sabawa sama sekali tidak berminat untuk mempersulit dirinya sendiri, berlatih olah kanuragan.

Mawarni memang terkejut melihat Raden Sabawa diikat pada sebatang tiang di dalam rumah itu. Sejenak Mawarni termangu-mangu memandanginya.

“Mawarni? Tolong aku, Mawarni. Aku telah diikat oleh para abdi ayahku yang penjilat itu.”

“Kenapa Raden membiarkan diri Raden diikat? Apakah Raden tidak dapat menolak atau melawan mereka?”

“Tidak. Aku tidak dapat melawan mereka bertiga. Mereka adalah orang-orang yang keras dan kasar.”

“Apakah ayah Raden tidak menolong Raden?”

“Ayah ternyata jahat. Ayah tidak menolongku. Justru Ayah yang ingin aku diikat malam ini.”

“Kenapa?”

“Aku ingin pergi menemuimu, Mawarni, tetapi Ayah tidak mengijinkannya. Ketiga orang abdi yang penjilat itu menangkapku dan mengikatku di sini.”

Mawarni tertawa. Katanya, “Jadi ayahmu melarang kau menemui aku?”

“Ya.”

Mawarni itu pun melangkah mendekati Raden Sabawa, sementara Raden Sabawa berkata, “Terima kasih, Mawarni.”

“Kenapa kau berterima kasih kepadaku?”

“Bukankah kau akan melepaskan tali pengikatku?”

Mawarni tertawa berkepanjangan. Katanya, “Sayang, anak manis. Aku tidak berniat melepaskan tali pengikatmu. Jika ayahmu mengikatmu, biarlah ayahmu atau para abdinya yang melepaskanmu. Tetapi jika mereka terbunuh, serta ayahmu ditangkap dan dibawa menghadap Kanjeng Adipati, maka kau akan terikat tanpa ada yang melepaskan lagi.”

“Mawarni?” wajah Raden Sabawa menjadi tegang.

Mawarni itu pun mendekatinya. Ditepuknya pipi Raden Sabawa sambil berkata, “Jangan menangis, anak manis.”

“Tetapi… tetapi kau harus melepaskan taliku ini, Mawarni.”

“Jangan merajuk. Tergantung kepada nasibmu, apakah akan ada yang melepaskanmu atau tidak.”

Mata Raden Sabawa bagaikan menyala. Ia baru menyadari kebenaran kata-kata ayahnya serta para pemomongnya yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri di rumah itu. Mawarni bukan seorang gadis yang baik untuk dijadikan sisihan. Jika Raden Sabawa itu benar akan menjadi suami Mawarni, maka Raden Sabawa itu tidak akan lebih daripada seorang budak.

Tetapi semuanya sudah terlambat. Sekali lagi Mawarni menyentuh pipi Raden Sabawa. Kemudian Mawarni itu berlari menghambur ke halaman untuk terjun kembali ke dalam pertempuran.

Raden Yudatengara yang bertempur melawan Raden Wirapraba berhasil mendesaknya. Tetapi bersama beberapa orang pengiringnya, akhirnya Raden Wirapraba-lah yang mendesak Raden Yudatengara.

“Kau tidak akan dapat melepaskan diri, Kangmas,” berkata Raden Wirapraba.

Raden Yudatengara menggeram. Raden Yudatengara tidak dapat minta bantuan kepada para abdinya, yang justru harus bertempur melawan orang yang lebih banyak.

Dalam keadaan yang rumit, maka Raden Yudatengara itu pun telah bergeser dan meloncat masuk ke dalam rumahnya. Tombak pendek di tangan Raden Yudatengara telah terpental lepas dari tangannya.

“Kau sudah tidak bersenjata lagi, Kangmas!” teriak Raden Wirapraba sambil memburu. Beberapa orang pengiringnya ikut memburunya pula.

Tetapi ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka terkejut. Pengiring Raden Wirapraba yang berlari di paling depan tiba-tiba saja berhenti. Namun ia terlambat mengambil sikap.

Ternyata Raden Yudatengara itu telah menggenggam pedang di tangannya. Pengiring Raden Wirapraba yang berlari di paling depan itu pun jatuh tersungkur. Pedang Raden Yudatengara telah menghujam di dadanya.

Raden Wirapraba itu pun menggeram. Bersama beberapa orang pengiringnya, ia menyerang Raden Yudatengara di ruang dalam. Beberapa saat lamanya mereka bertempur di ruang dalam. Namun ketika pedang Raden Yudatengara membentur senjata Raden Wirapraba dan seorang pengiringnya bersama-sama, maka pedang Raden Yudatengara itu pun terlepas dari tangannya.

Namun dengan tangkas Raden Yudatengara itu meloncat dan berlari ke ruang yang lain. Tiba-tiba saja Raden Yudatengara itu telah mengayunkan sebuah luwuk yang berwarna kehitam-hitaman. Seorang berteriak kesakitan ketika luwuk itu menggores dadanya.

Raden Wirapraba menjadi semakin marah. Beberapa orangnya telah terbunuh di rumah Raden Yudatengara. Karena itu maka Raden Wirapraba pun telah menjadi semakin garang.

Namun dalam pada itu, di longkangan, ketiga orang abdi Raden Yudatengara itu pun semakin mengalami kesulitan. Tubuh mereka telah tergores ujung senjata lawan, sehingga darah telah meleleh membasahi pakaian mereka.

Tetapi tanpa mereka ketahui dari mana datangnya, dua orang yang bertutup wajah bagaikan terbang, turun di longkangan itu dari sebatang pohon, justru di luar longkangan.

“Kau bantu mereka. Aku mencari Raden Yudatengara,” desis seorang di antara mereka. Yang lain hanya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikian seorang di antara mereka menyelinap masuk, maka yang seorang langsung melibatkan diri dalam pertempuran di longkangan.

Akibatnya, orang itu telah merubah keseimbangan pertempuran. Meskipun orang itu tidak bersenjata, namun dalam waktu yang singkat seorang telah terlempar dari arena pertempuran. Tubuhnya membentur bebatur serambi, sehingga orang itu tidak segera dapat bangkit berdiri.

Belum lagi kawan-kawannya sempat menilai keadaan, seorang lagi telah terpelanting dan jatuh menelungkup. Wajahnya yang tersuruk di tanah menjadi sangat kotor. Debu pun telah melekat di wajah yang berkeringat itu. Bahkan matanya merasa pedih oleh debu yang menyusup. Ketika orang itu mencoba untuk bangkit serta mengusap wajahnya dengan lengan bajunya, terasa wajahnya itu menjadi pedih. Di beberapa bagian dari wajahnya itu kulitnya telah terkelupas, sehingga berdarah.

Ketiga orang abdi di rumah Raden Yudatengara itu menjadi heran pula bahwa tiba-tiba ada orang yang datang untuk membantu mereka. Bahkan kemampuannya yang sangat tinggi telah menentukan keseimbangan pertempuran itu selanjutnya.

Beberapa orang yang lain pun telah disakitinya pula. Yang kepalanya terbentur dinding justru menjadi pingsan. Sedangkan yang lain lagi, terasa kakinya bagaikan menjadi patah.

Selagi keseimbangan pertempuran di longkangan itu mulai bergeser, maka di ruang dalam, Raden Yudatengara pun harus berlari-lari menghindari benturan langsung dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Ketika Raden Yudatengara itu berlari ke ruang depan, maka beberapa orang telah memburunya. Tetapi seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah terhisap pintu bilik yang ada di ruang dalam.

Terdengar orang itu berteriak. Namun suaranya pun segera terputus. Kawan-kawannya, bahkan Raden Wirapraba pun terkejut. Tiba-tiba saja mereka berhenti.

“Ada apa?” bertanya Raden Wirapraba.

“Seseorang telah menarik kawan kita lewat pintu itu masuk ke dalam.”

“Siapa yang menarik?”

“Tidak tahu.”

“Cepat, lihat ke dalam. Hati-hati. Jangan sendiri.”

Dua orang telah bersiap untuk memasuki bilik itu Ketika bilik itu dibuka, tiba-tiba saja orang yang berdiri di depan terdorong beberapa langkah surut. Dari dalam bilik itu terjulur tangan dengan jari-jari terbuka telah menerpa dadanya. Sebelum orang yang lain menyadari, maka kawan yang terdorong surut itu telah menimpanya, sehingga kedua-duanya jatuh terlentang.

Raden Wirapraba pun menggeram. Kemarahannya telah membuat darahnya mendidih di jantungnya.

“Siapa kau yang telah berani turut campur, he?”

Seseorang meloncat keluar dari dalam bilik itu. Wajahnya tertutup sehelai kain yang berwarna gelap, sehingga hanya sepasang matanya saja-lah yang kelihatan.

“Kau siapa?” bertanya Raden Wirapraba.

“Sabawa,” jawab orang bertutup wajah itu.

Mawarni yang telah bergabung dengan beberapa orang yang mengikuti Raden Wirapraba itu berteriak, “Sabawa terikat di tiang di ruang dalam.”

“Aku sudah melepaskan diri.”

Tiba-tiba saja Mawarni itu pun berlari. Sebenarnyalah Raden Sabawa sudah tidak terikat lagi di tiang di ruang dalam. Meskipun demikian, tidak seorangpun yang mengenal Raden Sabawa itu mempercayai bahwa orang yang bertutup wajah itu Sabawa.

Dengan geramnya Raden Wirapraba pun berteriak, “Tangkap orang itu hidup atau mati, sebagaimana Kangmas Yudatengara!”

Sekejap kemudian maka pertempuran pun telah berkecamuk lagi di dalam rumah itu. Raden Yudatengara bergeser dari satu ruang ke ruang lainnya. Dengan memanfaatkan pemahamannya tentang seluk-beluk rumahnya, maka Raden Yudatengara mampu melepaskan diri dari tangan lawan-lawannya.

Sementara itu orang yang mengenakan tutup wajah itu bertempur dengan garangnya. Beberapa orang pun telah terdorong surut. Seorang terlempar membentur tiang sehingga menyeringai kesakitan. Punggungnya serasa patah. Ketika ia mencoba bangkit, maka ia pun segera terjatuh kembali. Sedangkan seorang yang lain yang menyerang orang bertutup wajah itu dengan derasnya, telah kehilangan sasarannya. Bahkan tiba-tiba saja tangan yang kuat telah memegang lehernya dan mendorong, sehingga orang itu pun segera jatuh pingsan.

Keberadaan kedua orang itu di arena pertempuran benar-benar telah membuat para pengikut Raden Wirapraba seakan-akan kehilangan kesempatan. Yang bertempur di longkangan pun telah menghentikan perlawanan beberapa orang. Sementara ketiga orang abdi Raden Yudatengara telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka pula.

Beberapa orang lawan yang tersisa justru terdesak keluar pintu seketheng, sehingga mereka bertempur di halaman di depan gandok.

Sementara itu para pengikut Raden Wirapraba yang bertempur di dalam rumah pun menjadi semakin menyusut. Beberapa orang terkapar tidak berdaya. Betapapun Raden Wirapraba berteriak-teriak, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk bangkit.

Ternyata Mawarni mempunyai perhitungan lain. Ia ingin mencari Raden Sabawa. Jika ia mampu menangkap Raden Sabawa. maka ia akan memaksa Raden Yudatengara untuk menyerah. Dengan demikian maka Mawarni itu pun telah memasuki bilik-bilik yang terdapat di dalam rumah Raden Yudatengara.

Tetapi Mawarni tidak menemukan Raden Sabawa. Apalagi Mawarni sendiri menjadi tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat melihat kolong-kolong di dalam bilik-bilik di rumah Raden Yudatengara. Bahkan ketika ia memasuki sebuah bilik yang besar, ia terkejut. Orang yang mengenakan tutup wajahnya itu tiba-tiba saja telah berdiri di pintu.

Mawarni menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar bahwa orang yang mengenakan tutup wajah itu adalah seorang yang berkemampuan sangat tinggi, sehingga dengan demikian maka Mawarni tentu tidak akan dapat menerobos keluar.

“Kau cari siapa, Mawarni?” bertanya orang bertutup wajah itu.

Mawarni tidak menjawab. Tetapi pedangnya teracu ke dada orang bertutup wajah itu.

Orang yang mengenakan tutup wajah itu tertawa. Katanya, “Apakah kau mencari Raden Sabawa?”

“Pergi!” geram Mawarni, “Jangan halangi aku.”

“Kenapa kau menjadi tergesa-gesa? Tidak ada lagi yang menunggumu di luar. Ayahmu pingsan di ruang depan. Mudah-mudahan Raden Yudatengara tidak membunuhnya. Sekarang Raden Yudatengara sedang bertempur melawan Raden Wirapraba. Seorang melawan seorang. Namun agaknya Raden Yudatengara ingin bertempur di tempat yang lebih lapang. Mereka sekarang bertempur di halaman. Raden Yudatengara telah mendesak Raden Wirapraba keluar dari ruang depan. Mereka bertempur sejenak di pendapa. Tetapi Raden Wirapraba pun terdesak terus sehingga mereka berdua turun ke halaman. Tetapi menilik tingkat kemampuan mereka, maka Raden Wirapraba tidak akan memenangkan pertempuran itu.”

“Persetan kau,” geram Mawarni, “jika kau tidak mau minggir, aku akan menghujamkan pedangku di dadamu menembus jantung.”

“Kita sedang berada dalam pertempuran, Mawarni. Kau tidak usah mengancam. Jika kau mampu melakukannya, lakukanlah.”

Mawarni yang gelisah itu tidak menunggu lagi. Ia pun langsung menyerang orang bertutup wajah yang berdiri di pintu itu. Tetapi orang itu sangat tangkas. Sambil berloncatan maka tiba-tiba saja tiga buah jari-jari tangannya telah menyentuh punggung dekat di bawah lehernya.

Mawarni terkejut. Namun segala sesuatunya sudah terjadi. Tiga sentuhan jari-jari orang bertutup wajah itu telah membuat Mawarni menjadi tidak berdaya. Orang bertutup wajah itu tertawa. Tetapi Mawarni tidak dapat berteriak ketika orang bertutup wajah itu mengangkat tubuhnya.

Mawarni hanya dapat mengumpat-umpat di dalam hatinya. Orang bertutup wajah itu pun kemudian melekatkan tubuh Mawarni di sebuah tiang kayu kokoh. Kemudian ia pun memanggil, “Raden Sabawa! Keluarlah.”

Ternyata Raden Sabawa itu bersembunyi di kolong pembaringan ayahnya. Di tubuhnya masih melilit tali yang semula mengikat tubuhnya.

“Ikat perempuan itu pada tiang kayu,” berkata orang bertutup wajah itu.

Raden Sabawa menjadi ragu-ragu.

“Ikatlah. Nanti kita akan turun ke halaman. Kita akan melihat ayahmu bertempur di halaman.”

Tetapi Raden Sabawa masih berdiri termangu-mangu.

“Cepat! Jangan takut. Perempuan itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa/ Ia tidak lebih dari sebuah patung, meskipun ia masih tetap bernafas.”

Raden Sabawa pun akhirnya menyadari bahwa Mawarni memang tidak dapat bergerak lagi. Karena itu maka ia pun berani mendekatinya dan mengikat tangannya dan tubuhnya pada tiang kayu yang kokoh itu. Demikian Raden Sabawa selesai mengikat tubuh itu, maka orang bertutup wajah itu pun telah menyentuh lagi pungguh Mawarni.

Demikian Mawarni bebas, maka ia pun segera berteriak mengumpat-umpat dengan kasarnya.

“Nah, kau dengar Raden Sabawa? Perempuan yang kau anggap sebagai perempuan idaman itu adalah seorang perempuan yang kasar. Ia tidak lebih luruh dari Sarpakenaka, adik perempuan Rahwana dari Alengka Diraja.”

Raden Sabawa pun menarik nafas panjang. la sadar sepenuhnya siapakah sebenarnya perempuan itu.

Namun suara Mawarni pun akhirnya menurun. Ia tidak lagi berteriak-teriak. Tetapi ketika ia sempat berpikir menghadapi kenyataan itu, maka Mawarni itu mulai menangis.

“Raden. Tolong aku, Raden. Lepaskan aku dari ikatan ini. Tidak ada orang lain yang dapat menolong aku kecuali Raden Sabawa. Hanya kepada Raden aku mengharapkan perlindungan.”

Dahi Raden Sabawa pun berkerut. Sementara itu Mawarni pun mulai terisak, “Raden Tolong aku, Raden.”

Sesuatu terasa bergetar di jantung Raden Sabawa. Namun orang bertutup wajah itu pun berkata, “Apakah kau masih juga terpengaruh Raden? Apakah Raden pernah mendengar kata orang, bahwa buaya pun sering menangis? Nah, air mata yang mengalir dari pelupuknya itulah air mata buaya. Jika Raden melepaskan tali ikatannya, maka buaya itu akan mengangakan mulutnya selebar kepala Raden.”

“Diam! Diam kau, pengecut!” teriak Mawarni. Orang yang menutupi wajahnya itu tertawa.

Sementara itu Mawarni pun berteriak, “Kenapa kau tutupi wajahmu? Bukankah itu menunjukkan bahwa kau adalah orang yang licik, pengecut yang curang? Kau sebenarnya takut menghadapi kami sehingga kau harus menyembunyikan wajahmu.”

“Ya. Kau benar.”

“Benar apa?”

“Kau benar bahwa aku takut dikenal wajahku,” jawab orang itu. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah, Raden, kita tinggalkan tempat ini. Kita melihat apa yang terjadi di halaman. Semua orang yang menyerang rumah ini tentu sudah terbunuh. Satu-satunya yang tersisa adalah Mawarni. Tergantung pada nasibnya. Jika ia bernasib buruk, maka tidak ada orang yang akan menemukannya dan melepaskan talinya. Tetapi jika ia bernasib baik, maka tentu akan ada orang yang menemukannya.”

Demikian Raden Sabawa beringsut, Mawarni itu pun memanggilnya dengan suara yang memelas, “Raden! Tolong aku, Raden. Aku akan mengabdi kepada Raden sepanjang umurku. Aku akan mematuhi semua perintah Raden, dan aku akan bersedia berbuat apa saja bagi Raden.”

Raden Sabawa berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya air mata Mawarni menjadi semakin deras. Namun orang bertutup wajah itu pun tertawa sambil berkata, “Kau telah memainkan peranmu dengan baik sekali, Mawarni. Tetapi sekarang semuanya sudah selesai. Jangan berpura-pura lagi.”

Terdengar Mawarni itu menggeram. Demikian orang bertutup wajah itu bersama Raden Sabawa keluar dari pintu bilik itu, terdengar Mawarni mengumpat-umpat dengan kasarnya, “Kalian iblis, setan, genderuwo, tetekan!” Tetapi orang bertutup wajah itu serta Raden Sabawa tidak berhenti.

Sejenak kemudian Raden Sabawa serta orang yang bertutup wajah itu telah berdiri di tangga pendapa. Mereka menyaksikan pertempuran yang sama sekali sudah tidak seimbang lagi. Orang yang bertutup wajah yang seorang lagi juga sudah tidak melibatkan diri dalam pertempuran itu, karena ketiga orang abdi Raden Yudatengara sudah dapat mengatasi lawan-lawan mereka. Bahkan sejenak kemudian, lawan-lawan mereka pun telah terkapar di halaman.

Yang masih bertempur adalah Raden Yudatengara melawan Raden Wirapraba. Tetapi Raden Wirapraba yang sudah kehilangan pengiring-pengiringnya itu pun sudah tidak berdaya. Kemampuan Raden Yudatengara ternyata berada di atas kemampuan Raden Wirapraba.

Ketika kemudian senjata Raden Wirapraba terlempar dari tangannya, serta ujung senjata Raden Yudatengara yang digapainya di ruang dalam itu melekat di dadanya, maka Raden Wirapraba itu pun telah berlutut di hadapan Raden Yudatengara.

“Kangmas, aku mohon ampun. Jangan bunuh aku. Istri dan anak-anakku akan menjadi terlantar di negeri orang.”

“Di negeri orang? Apa maksud Dimas?”

“Bukankah sekarang kita berada di Demak? Bukan berada di kampung halaman kita sendiri, Mataram.”

“Apa artinya Mataram bagi Dimas? Apa artinya kampung halaman? Bukankah Kanjeng Adipati Demak itu juga lahir dan dibesarkan di Mataram? Bagi Kanjeng Adipati Demak dan bagimu, Dimas. Mataram adalah sasaran yang harus ditundukkan. Kanjeng Adipati akan duduk di atas tahta. Agaknya kau pun akan menjadi seorang pejabat tinggi, yang akan dapat memanfaatkan kedudukanmu untuk menindas orang-orang kecil.”

“Tidak, Kangmas Apa yang aku lakukan, semata-mata karena aku mendapat perintah. Karena aku tidak berani menentang perintah itu, sehingga aku harus melaksanakannya.”

“Kenapa kau tidak berani menentang perintah itu?”

“Akibatnya akan buruk sekali bagiku. Aku akan dapat mengalami nasib seperti Kangmas. Untunglah bahwa Kangmas memiliki ilmu yang tinggi, sehingga hari ini Kangmas dapat membebaskan diri.”

“Hari ini? Jadi maksudmu esok kau akan datang lagi dengan membawa pengikut yang lebih banyak lagi? Begitu?”

“Tidak. Tidak, Kangmas.”

“Kau tentu akan kembali lagi, Dimas. Jika kau tidak kembali lagi, maka nasibmu akan menjadi lebih buruk dari nasibku.”

“Tidak. Aku bersumpah, Kangmas. Aku akan menolak perintah itu.”

Raden Yudatengara tertawa. Katanya, “Kau adalah seorang yang aneh, Dimas.”

Raden Wirapraba pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun memberanikan diri untuk bertanya, “Apa yang aneh, Kangmas? Aku berjanji untuk tidak mengkhianati kangmas lagi.”

“Kau tidak akan dapat menolak, Dimas.”

“Kenapa tidak? Sampai mati pun aku tidak akan bersedia lagi menjalankan perintah Kanjeng Adipati.”

“Itulah yang aneh, Dimas. Sekarang kau berlutut di hadapanku karena kau takut mati. Kau korbankan harga dirimu sebagai seorang ksatria untuk mempertahankan hidupmu. Bagimana mungkin kau dapat berkata kepadaku, bahwa sampai mati pun kau tidak akan bersedia lagi menjalankan perintah Kanjeng Adipati?”

Wajah Raden Wirapraba menjadi semakin pucat. Keringatnya mengalir membasahi pakaiannya, sehingga seakan-akan Raden Wirapraba itu baru saja berteduh dari hujan yang lebat.

“Dimas. Tidak ada tempat di Mataram bagi orang-orang seperti Dimas ini. Karena itu, maka Dimas pun harus disingkirkan dari Mataram. Karena Demak termasuk dalam kesatuan wilayah Mataram, maka Dimas pun harus disingkirkan dari Demak.”

“Ampun, Kangmas, ampun,” Raden Wirapraba itu pun membungkuk dalam-dalam sampai dahinya menyentuh tanah.

Namun pada saat itu, jari-jari Raden Yudatengara telah menyentuh simpul-simpul syaraf di punggung Raden Wirapraba, sehingga Raden Wirapraba itu pun terguling dengan lemahnya. Ternyata Raden Wirapraba itu pun tidak lagi mampu bergerak.

“Tidurlah untuk beberapa lama, Dimas,” terdengar Raden Yudatengara berdesis.

Sebenarnyalah bahwa Raden Wirapraba itu pun segera tertidur. Bahkan seperti orang yang sedang pingsan.

Demikian Raden Yudatengara melangkah surut, maka Raden Sabawa pun berlari menghambur mendapatkan ayahnya. Raden Sabawa-lah yang kemudian berlutut di hadapan ayahnya sambil berkata dengan suara yang bergetar, “Ampun, Ayah, aku mohon ampun. Aku telah menyulitkan Ayah. sementara perempuan itu benar-benar seorang perempuan iblis seperti yang Ayah katakan.”

“Sudahlah, Sabawa. Aku senang bahwa kau sekarang sempat melihat kenyataan itu. Bukan saja kenyataan tentang Mawarni, tetapi kau tentu akan mendapat pengalaman jiwani yang jauh lebih luas lagi dari peristiwa ini.”

“Ya, Ayah.”

Sementara itu ketiga orang abdi di rumah Raden Yudatengara yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri itu pun telah mendekat pula. Ketiga-tiganya telah terluka. Namun luka mereka agaknya tidak terlalu berbahaya.

“Kita tidak dapat tinggal di rumah ini lagi,” berkata Raden Yudatengara.

“Apakah kita harus pergi, Ayah?”

“Ya. Kita harus pergi.”

“Kita akan pergi ke mana?”

Dipandanginya Raden Wirapraba yang tertidur. Beberapa orang yang lain terbaring di halaman. Ada yang mengerang kesakitan, ada yang mulai merayap menepi sambil menyeringai.

Dua orang yang mempergunakan tutup wajah itu pun mendekat pula. Seorang di antara mereka berkata, “Raden memang harus pergi dari rumah ini.”

“Kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah menyelamatkan kami. Ki Sanak pula yang telah memberi kesempatan anakku menemukan masa dewasanya.”

“Aku sekedar melakukan kewajiban di antara sesama, Raden.”

“Siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“Itu tidak penting. Sekarang, tinggalkan tempat ini. Jika Raden terlambat, maka akhir dari ceritanya akan menjadi lain.”

“Baik, Ki Sanak. Aku akan pergi. Aku akan mempersiapkan diri sebentar. Aku akan membawa tombak pendekku yang terjatuh di longkangan ketika aku bertempur melawan banyak orang. Untunglah Ki Sanak berdua segera datang dan menyelamatkan kami.”

“Cepatlah sedikit, Raden.”

Raden Yudatengara itu pun segera memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap serta membawa apa saja yang mereka anggap penting.

“Bagaimana dengan dua orang perempuan di dapur itu, Raden?”

“Berikan uang secukupnya. Suruh mereka pulang. Keadaannya tidak menguntungkan jika mereka tetap berada di sini. Bukankah mereka orang-orang yang tinggal di sekitar rumah kita?”

“Ya, Raden. Rumah mereka tidak terlalu jauh.”

Segala sesuatunya pun kemudian dilakukannya dengan cepat, sehingga beberapa saat kemudian, mereka sudah dapat meninggalkan halaman rumah itu. Baru di luar regol Raden Yudatengara itu berkata, “Aku akan pergi ke Mataram, Ki Sanak.”

“Perjalanan yang sangat panjang.”

“Ya. Tetapi aku tidak mempunyai tujuan yang lain. Di Mataram aku dapat melaporkan apa yang telah terjadi di sini. Aku pun akan melaporkan tentang kalian berdua. Jika saja kalian berdua bersedia menyebut diri Ki Sanak, maka agaknya akan menjadi lebih baik.”

“Yang penting, Raden, Mataram mengetahui apa yang telah bergejolak di Demak sekarang ini, agar Mataram tidak terkejut karenanya. Mungkin Mataram sudah menerima laporan dari Pajang tentang perkembangan di Demak. Tetapi laporan Raden yang langsung menyaksikannya dan bahkan mengalami, tentu akan lebih berarti bagi Mataram.”

Raden Yudatengara mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun berkata, “Aku tidak menduga bahwa Demak akan memberontak. Bukan sekedar memisahkan diri dari Mataram, tetapi Kanjeng Adipati di Demak, yang merasa bahwa ia adalah saudara yang lebih tua dari Kanjeng Sultan yang sekarang bertahta di Mataram, akan mengambil alih tahta itu. Dengan rencana yang disusun rapi, Kanjeng Adipati telah menyusun kekuatan di Demak dan sekitarnya. Bahkan anak-anak muda serta semua laki-laki yang dianggap masih pantas untuk bertempur telah dipersenjatai. Di sebelah utara Gunung Kendeng, para petani bukan saja dipersenjatai, tetapi mereka diharuskan mengikuti latihan-latihan yang keras, bahkan mirip seorang prajurit. Pasukan Wira Tani itu kelak tidak akan dapat diremehkan. Mereka bukan saja ditempa secara kewadagan, tetapi mereka juga telah dijejali dengan ajaran-ajaran yang keliru tentang kedudukan Demak dan Mataram, yang dipimpin oleh dua orang bersaudara itu.”

“Mudah-mudahan laporan Raden akan dapat memberikan gambaran yang lengkap bagi Mataram, sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat. Bahkan jika mungkin dan belum terlambat, hubungan antara Mataram dan Demak itu dapat diperbaiki. Tetapi pihak lain yang agaknya dapat mempengaruhi kebijaksanaan Kanjeng Adipati tidak akan melepaskan kesempatan ini.”

“Ya, Ki Sanak. Pengaruh dari Perguruan Kedung Jati memang sangat besar. Tetapi pengaruh dari dua orang pejabat tinggi di Demak hampir menentukan sikap Kanjeng Adipati.”

“Siapakah mereka?”

“Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer.”

Kedua orang bertutup wajah itu menarik nafas panjang. Namun kemudian seorang di antaranya berkata, “Raden, sebaiknya Raden membuat berbagai macam pertimbangan bagi perjalanan Raden. Selain ketiga orang yang menyertai Raden itu terluka, serta sifat Raden Sabawa yang tentu tidak akan dapat berubah dengan serta merta, maka Raden harus mengambil kebijaksanaan lain daripada sekedar pergi ke Mataram dengan tergesa-gesa.”

“Maksud Ki Sanak?”

“Orang-orang Demak tentu sudah memperhitungkan bahwa Raden pasti akan pergi ke Mataram. Karena itu, setelah mereka sadari kegagalan tugas Raden Wirapraba, maka mereka akan mengirimkan sekelompok prajurit yang diperkuat dengan beberapa orang berilmu tinggi, untuk memburu Raden. Karena itu, menurut pendapatku, sebaiknya Raden justru berhenti dahulu. Selain untuk mempersiapkan perjalanan panjang yang akan Raden tempuh, para pengiring Raden itu pun sempat mengobati luka-luka mereka. Baru esok lusa Raden dapat meneruskan perjalanan. Tetapi tidak lewat jalur jalan yang biasa dilalui orang yang pergi ke Mataram, terutama para pejabat.”

Raden Yudatengara itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Sanak benar. Tetapi di mana kami harus berhenti? Orang-orang yang aku kenal dengan baik serta sahabat-sahabatku yang selama ini tidak menunjukkan sikap bermusuhan, tiba-tiba saja telah berdiri di seberang.”

“Raden,” berkata salah seorang abdi Raden Yudatengara, “pendapat Ki Sanak ini sangat masuk akal. Karena itu kita memang harus berhenti. Aku mempunyai seorang sahabat yang sangat baik kepadaku. Aku kira sahabatku itu akan bersedia menerima kita satu dua hari di rumahnya, yang meskipun sederhana tetapi aku kira cukup baik bagi kita untuk, katakanlah, bersembunyi.”

“Pada saat seperti ini, serta dalam keadaan kita sekarang, akan sangat sulit untuk mencari seseorang yang benar-benar dapat dipercaya.”

“Aku yakin dan mempercayai sahabatku itu, Raden.”

“Bukankah kau kenal Dimas Wirapraba dengan baik?”

“Ya, Raden.”

“Kami bersama-sama berangkat dari Mataram. Ketika aku bersama dengan beberapa orang mendapat perintah untuk menyusul Kanjeng Adipati ke Demak untuk membenahi pemerintahan barunya, maka kami adalah sahabat yang baik. Seakan-akan aku dan Dimas Wirapraba tidak dapat berpisah. Bahkan seperti saudara kandung. Ketika keluarga kami menyusul ke Demak bersama beberapa keluarga yang lain, rasa-rasanya segala sesuatunya tidak akan pernah berubah. Apalagi bahwa pada suatu saat Dimas Wirapraba datang kepadaku dengan senjata telanjang yang siap dihunjamkannya ke dadaku.”

Abdi yang sudah direngkuh seperti keluarga sendiri itu mengangguk hormat. Katanya, “Aku mengerti, Raden. Tetapi aku masih memohon Raden untuk mempercayai sahabatku itu. Pada waktu yang paling pahit dari kehidupan sahabatku itu, aku sempat membantunya. Mungkin Raden pernah melihat seseorang yang datang menangis kepadaku untuk minta bantuanku. Aku pun mohon ijin kepada Raden pada waktu itu beberapa hari, untuk menyelesaikan persoalan yang menjeratnya pada waktu itu.”

Raden Yudatengara termangu-mangu sejenak. Namun orang bertutup wajah itulah yang kemudian menyahut, “Baiklah Raden mencobanya. Kita dapat pergi ke rumahnya malam ini, sebelum prajurit Demak itu menyusul Raden.”

Raden Yudatengara itu pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akan mencobanya.”

Demikianlah, maka iring-iringan kecil itu pun kemudian bergerak dengan cepat. Mereka turun ke jalan yang lebih kecil dan bahkan kemudian mereka melewati lorong sempit. Di dini hari sebelum fajar mereka telah berada di luar kota, menyusup gerbang butulan yang tidak dijaga.

“Rumahnya tidak terlalu jauh,” berkata abdi Raden Yudatengara itu.

Rumah orang yang disebut sahabatnya itu memang tidak terlalu jauh. Mereka memasuki sebuah padukuhan kecil yang tidak terlalu banyak dihuni, karena letaknya yang rendah di pinggir sebuah sungai. Jika sungai itu meluap, maka padukuhan itu sering sekali mengalami banjir, meskipun tidak terlalu berbahaya bagi penghuninya. Tetapi para penghuninya itu sama sekali tidak berniat untuk pindah mencari tempat baru yang lebih baik. Mereka mencintai kampung halaman tempat kelahiran mereka. Apalagi seisi padukuhan itu semuanya masih mempunyai hubungan darah serta sangkut paut kekeluargaan.

Menjelang fajar, iring-iringan kecil itu pun telah berada di halaman sebuah rumah yang memang tidak begitu besar, tetapi nampak rapi. Halamannya terhitung luas mengelilingi rumah yang tidak begitu besar itu. Bahkan kebun di belakang rumah itu agaknya memanjang sampai ke tepi sungai.

Abdi Raden Yudatengara itu pun kemudian mengetuk pintu pringgitan perlahan-lahan, agar tidak mengejutkan penghuninya.

Sejenak kemudian terdengar di dalam, “Siapa?”

“Aku, Di.”

“Aku siapa?”

“Wawu.”

“Wawu? Kakang Wawu?”

Terdengar langkah tergesa-gesa ke pintu. Demikian pintu terbuka, nampak seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan berdiri di belakang pintu.

“Kakang Wawu? Sepagi ini Kakang sudah sampai di sini. Ada apa, Kakang? Dan Kakang datang bersama siapa saja?”

“Adi Kemin, aku akan langsung berterus terang kepadamu. Kami datang untuk minta perlindungan.”

“Perlindungan?” Kemin menjadi heran. “Perlindungan apa?”

“Kami adalah buruan prajurit Demak. Kami sedang bersembunyi untuk sehari saja. Besok kami akan melanjutkan perjalanan.”

“Aku tidak tahu maksudmu, Kakang.”

“Adi Kemin, yang datang bersamaku adalah saudara-saudaraku. Sedang dua orang di antaranya adalah Raden Yudatengara dan putranya, Raden Sabawa. Mereka adalah orang-orang Mataram yang terperosok di Demak yang kini sedang mempersiapkan diri untuk melawan Mataram. Karena itu maka kami, terutama Raden Yudatengara dan putranya yang berpihak kepada Mataram itu, telah diburu oleh para pemimpin di Demak. Dengan demikian maka kami berniat untuk bersembunyi barang sehari. Besok kami akan meninggalkan Demak.”

Wajah Kemin pun menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar oleh gejolak perasaannya Kemin pun berkata, “Tetapi… tetapi aku tidak berani, Kakang. Jika ketahuan oleh para petugas di Demak, maka bukan saja kalian yang akan mengalami kesulitan, tetapi kami sekeluarga juga akan mengalami kesulitan.”

“Tempat ini terhitung sepi, Dik. Bukankah jarang sekali ada petugas atau prajurit Demak yang sampai kemari?”

“Kau keliru, Kakang. Wanda, anak Kang Semin yang tinggal di ujung lorong ini, menjadi prajurit di Demak. Belum terlalu lama. Sementara itu kami semua telah dipersiapkan dengan latihan-latihan yang mantap untuk setiap saat berkumpul dan pergi ke Mataram. Bagaimana mungkin aku dapat memberikan tempat bersembunyi bagi kalian?”

“Hanya satu hari, Adi. Kami akan masuk ke dalam rumahmu. Bahkan seandainya kami harus berada di kandang sekalipun. Besok pagi-pagi, kami akan meninggalkan rumah ini. Kami berjanji bahwa kami tidak akan keluar dari tempat yang kau berikan kepada kami selama kami berada di sini.”

“Maaf, Kakang,” berkata orang itu, “aku bersedia menolong Kakang, apapun yang harus aku lakukan, jika aku mampu. Tetapi tidak untuk bermusuhan dengan Demak. Kakang sebaiknya tahu, bahwa kami masih harus berlatih keprajuritan sepekan dua kali. Semula kami berlatih sepekan tiga kali. Tetapi sekarang tinggal dua kali. Tetapi kami berada dalam ikatan seperti seorang prajurit. Bagaimana mungkin aku dapat membelikan tempat bagimu dan sekelompok orang-orang ini?”

“Jika tidak ada orang yang mengetahui keberadaan kami di sini, bukankah tidak akan terjadi sesuatu?”

“Maaf, Kakang. Bukannya aku tidak mau menolong Kakang, tetapi aku tidak berani.”

“Jadi hanya sebatas inikah persahabatan kita selama ini, Adi? Sementara aku telah berbuat apa saja bagimu, bahkan mempertaruhkan nyawaku.”

“Aku tidak akan pernah melupakan pertolonganmu, Kakang. Aku tahu bahwa kau telah mempertaruhkan nyawamu. Tetapi justru karena itu, apakah keluargaku yang telah kau persatukan dengan mempertaruhkan nyawamu itu sekarang akan kau hancurkan sendiri? Jadi apakah artinya pertolongan dan pengorbananmu pada waktu itu, jika pada suatu saat kau datang untuk merusaknya kembali?”

“Adi, aku sama sekali tidak berniat untuk mengusik ketentraman keluargamu yang telah pulih kembali itu.”

“Maaf, Kakang. Jika Kakang bersembunyi di sini. maka akibatnya akan sangat buruk bagi keluarga kami yang telah kau selamatkan dari kehancuran itu. Seharusnya Kakang sendiri menghargai apa yang pernah Kakang lakukan dengan mempertaruhkan nyawa itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar