Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 376

Buku 376

“Dimana Demang yang terdahulu, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak ada yang tahu.”

“Lalu apa perintah Ki Demang yang sekarang, entah itu atas dasar kemauannya sendiri atau perintah dari atas?”

“Ceritanya, perintah itu datang dari atas. Dari Kanjeng Adipati di Demak. Bahkan perintah itu sudah dijalankan di semua kademangan dan padukuhan di sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

“Perintah apa?”

“Semua anak muda dan bahkan laki-laki yang masih kuat, harus ikut latihan keprajuritan yang akan diselenggarakan sepekan dua kali. Menurut para bebahu, di sebelah utara Gunung Kendeng bahkan latihan diselenggarakan sepekan tiga kali.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Keterangan itu sesuai dengan cerita kedua orang berkuda yang semalam bermalam di penginapan itu. “Tetapi kenapa para petugas di penginapan masih belum bercerita tentang perintah untuk berlatih sepekan dua kali? Apakah mereka masih belum mendengar perintah itu?”

“Agaknya perintah itu memang belum merata,” berkata pemilik kedai itu, “baru tadi pagi aku dengar, ketika dua orang petugas dari Demak makan pagi di sini. Perintah itu baru akan berlaku mulai pekan mendatang.”

“Semua orang yang masih kuat harus ikut?”

“Ya.”

“Jika tidak mau?”

“Entahlah. Semuanya belum terjadi. Tetapi menurut kedua orang yang tadi pagi makan di sini, siapa yang menolak akan mendapat hukuman yang berat. Aku tidak tahu hukuman apa yang akan ditrapkan. Dalam waktu dekat, akan datang sekelompok prajurit yang akan memberikan latihan keprajuritan di Sima ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada berat Glagah Putih pun berkata, “Untunglah bahwa aku hanya singgah saja di Sima. Aku bukan menghuni kademangan ini.”

“Kau bukan orang Sima?”

“Ya.”

“Kau menginap di mana?”

“Di penginapan yang di pinggir jalan yang menuju ke gerbang padukuhan induk.”

“Semua penginapan juga akan terkena peraturan baru. Dalam keadaan yang memaksa, maka setiap penginapan harus menyediakan bilik-biliknya bagi para petugas yang datang dari Demak. Mungkin yang dimaksudkan adalah para prajurit yang akan memberikan latihan di Sima ini. Bahkan setiap penginapan tidak hanya menyediakan bilik saja, tetapi juga makan bagi mereka yang menginap di penginapan itu.”

“Penginapan itu akan mengeluh.”

“Ya. Tetapi mereka tinggal menerima atau ditutup.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Agaknya Demak dan Perguruan Kedung Jati benar-benar ingin memperluas pengaruhnya ke Selatan.

“Seharusnya Pajang menaruh perhatian terhadap keadaan ini,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Setelah beberapa saat lamanya Glagah Putih dan Rara Wulan berada di kedai itu, maka pasar itu memang menjadi bertambah ramai. Tetapi tidak seramai hari-hari sebelumnya. Satu dua orang telah masuk ke dalam kedai itu pula.

“Tidak sebanyak biasanya. Nampaknya semakin hari akan menjadi semakin menyusut. Sima tidak lagi menjadi daerah pemberhentian para pedagang untuk mengambil dagangan dan menjual dagangan mereka di sini. Orang-orang Sima akan sibuk mendatangi latihan-latihan berbaris dan berperang. Mereka harus mampu menjaga dirinya agar tidak terbunuh jika benar-benar perang itu terjadi. Tetapi di samping itu, maka mereka dapat dan sampai hati membunuh.”

“Masa depan yang muram,” desis Glagah Putih.

“Apa boleh buat. Kita tidak akan dapat menghindarinya. Kecuali Pajang berbuat sesuatu bagi kami di Sima.”

“Ya. Pajang harus mengambil sikap. Bahkan Mataram.”

“Apalagi jika Mataram turun tangan langsung ke Sima. Maka Sima akan segera mendapatkan kebebasannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan terlalu jauh. Ia tidak tahu pasti dengan siapa ia berhadapan. Apakah sebenarnya ia berpihak kepada rakyat Sima atau kepada para petugas dari Demak. Meskipun semula pemilik kedai itu berpihak kepada rakyat Sima, tetapi dapat saja terjadi perubahan sikap jika kepentingannya mulai tersentuh.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih pun kemudian minta diri setelah makan dan minum secukupnya. Rara Wulan pun telah membayar harga minuman dan makanan bagi mereka berdua.

Keduanya pun kemudian telah meninggalkan kedai itu dan masuk ke dalam pasar yang tidak begitu ramai. Sebagian dari para pedagang tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan yang begitu cepat. Mereka tidak dapat membayangkan, apa yang bakal terjadi esok.

Karena itu. maka para pedagang hanya menggelar dagangan sekedarnya saja. Mereka masih menunggu perkembangan terakhir bagi Kademangan Sima.

Lewat tengah hari, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah kembali ke penginapan mereka. Ketika mereka duduk-duduk di serambi selagi angin berhembus perlahan, seorang di antara para petugas di penginapan itu berjalan di depan mereka. Tetapi petugas di penginapan itu pun telah berhenti, bahkan anak muda itu melangkah mendekati Glagah Putih. “Ada berita bagus.”

“Apa?” bertanya Rara Wulan. Namun kedua suami istri itu sudah mengira bahwa petugas itu baru saja mendengar berita tentang perintah Ki Demang yang baru, mengenai latihan olah kanuragan oleh anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki yang masih kuat untuk terjun ke medan perang.

Sebenarnyalah petugas di penginapan itu mengatakan bahwa ia baru saja mendengar perintah Ki Demang kepada semua laki-laki di Kademangan Sima, agar mereka mengikuti latihan-latihan perang yang diselenggarakan sepekan dua kali.

“Di sebelah utara Gunung Kendeng, latihan itu diselenggarakan tiga kali sepekan,” berkata petugas itu lebih lanjut.

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Glagah Putih pun bertanya, “Jika seseorang menolak, apakah ia dianggap bersalah?”

Petugas di penginapan itu menjawab lebih tegas dari pemilik kedai itu. Katanya, “Ya. Siapa yang menolak adalah pengkhianat. Selanjutnya Ki Demang bahkan bertanya, bukankah kita semua sudah tahu hukuman bagi pengkhianat?”

“Hukuman mati?” bertanya Rara Wulan.

“Aku kira hukuman itulah yang dimaksud.”

“Apakah landasan kepemimpinan Demak sudah berubah? Apakah Kanjeng Adipati tidak lagi berpijak pada dasar-dasar kepemimpinan yang bijaksana?” bertanya Glagah Putih.

“Entahlah,” jawab petugas di kedai itu.

“Baiklah. Aku bukan orang Sima, sehingga aku tidak terkena peraturan itu.”

“Tetapi ada pula peraturan baru bagi orang-orang yang menginap di Sima. Mereka yang menginap di Sima dikenakan pajak seperlima dari biaya penginapan.”

“Itu dapat diatur. Bukankah Ki Demang dan para bebahu tidak mengetahui dengan pasti, berapa orang yang bermalam di setiap penginapan yang berada di Sima?”

“Tetapi mereka tentu akan membuat kelompok kecil yang bertugas untuk mengawasi setiap penginapan. Kelompok kecil itu tentu terdiri dari orang-orang yang selama ini dikenal sebagai pemungut pajak yang kasar. Yang akan terjadi kelak, para pemilik penginapan tidak akan dapat menyusut pemasukan. Tetapi para pemungut pajak itu tentu akan mengatur sehingga sebagian dari pajak itu akan menjadi hak mereka pribadi. Bukankah dengan demikian beban para pemilik penginapan justru akan menjadi lebih berat, karena jangankan menyusut pemasukan, tetapi kadang-kadang pemungut pajak itu akan menentukan nilai pemasukan yang lebih tinggi dari keadaan yang sebenarnya?”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun mereka pun dapat membayangkan bahwa tatanan kehidupan di Sima akan segera berubah.

Di sore hari, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah keluar pula dari penginapan mereka untuk melihat-lihat keadaan. Namun apa yang dilihatnya adalah sebagaimana dilihatnya kemarin pada saat mereka datang ke Sima. Jalan-jalan nampak sepi. Orang-orang yang berjalan nampak agak tergesa-gesa.

Akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan pun kembali saja ke penginapan. Jika mereka berkeliaran di jalan-jalan, maka mereka akan dapat menarik perhatian, sehingga mungkin sekali mereka akan menemui kesulitan.

“Kita makan dimana?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah di penginapan kita juga dapat memesan makan malam? Meskipun barangkali agak berbeda dengan makan dan minum di kedai, karena kita tidak akan dapat memilih jenis makanan yang kita kehendaki.”

“Ya. Kita makan di penginapan.”

Demikian mereka sampai penginapan, maka Rara Wulan pun segera memesan minuman serta makan malam.

“Tidak ada kedai yang buka di sore hari,” desis Rara Wulan.

“Ya,” sahut petugas di penginapan itu, “bahkan sudah ada berita dari penginapan di dekat banjar, bahwa akan datang sepuluh orang petugas dari Demak. Tiga orang di antara mereka akan tinggal di penginapan itu. Mereka adalah tiga perwira dari Demak. Sedangkan tujuh orang yang lain akan tinggal di banjar kademangan itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata masih juga ada kemurahan dari para perwira di Demak. Yang tujuh orang di antara mereka akan tinggal di banjar. Lalu siapakah yang melayani makan mereka?”

“Ki Demang Sima akan menugaskan tiga orang bergantian melayani makan tujuh orang yang berada di banjar. Sementara tiga orang yang berada di penginapan itu menjadi tanggungan penginapan itu.”

“Penginapan itu akan merasa mendapat beban yang berat.”

“Tetapi penginapan itu adalah penginapan yang terhitung besar untuk daerah Sima ini, sehingga mungkin mereka masih mampu mengangkat beban itu.”

“Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, agaknya penginapan itu pun tidak mendapat banyak tamu.”

Petugas di penginapan itu mengangguk. Katanya, “Ya. Pada hari-hari terakhir ini penginapan itu tentu juga menjadi lebih sepi.” Petugas di penginapan itu pun merenung sejenak. Lalu katanya, “Doakan saja semoga kami di sini tidak mendapat beban seperti itu.”

“Mudah-mudahan,” sahut Rara Wulan. Namun kemudian ia pun berkata, “Bawa makan malam kami ke dalam bilik kami.”

Sambil makan malam, Glagah Putih dan Rara Wulan pun membicarakan langkah-langkah yang akan diambilnya. Kedatangan para prajurit Demak itu telah memastikan apa yang akan terjadi di Sima. Karena itu maka Glagah Putih pun berkata, “Kita tidak usah menunggu lebih lama lagi. Besok kita pergi ke Utara. Kita akan melihat-lihat keadaan di kademangan-kademangan di sebelah utara Gunung Kendeng.”

“Kita belum tentu menemukan kademangan sebesar Sima, yang mempunyai beberapa tempat penginapan.”

“Kenapa harus tempat penginapan? Setelah kita menginap beberapa malam di Sima, maka kita tidak ingin lagi tidur di tempat terbuka, di bawah sebatang pohon nyamplung yang besar atau di sela-sela bebatuan.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Maksudku bukan begitu, Kakang. Tetapi jika ada penginapan, bukankah lebih senang menginap di penginapan, daripada tidur di bawah pohon nyamplung di padang perdu? Apalagi kita dibekali dengan banyak uang. Kecuali jika terpaksa.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun akhirnya ia pun tersenyum pula.

Dalam pada itu, keduanya pun telah sepakat besok pagi mereka akan berangkat ke Utara. Mereka akan melihat keadaan di sebelah utara Gunung Kendeng. Dalam suasana yang berbeda, maka mereka mungkin tidak dapat lagi menginap di penginapan atau banjar-banjar padukuhan. Tetapi mereka harus menginap di alam terbuka.

Pagi-pagi sekali Glagah Putih dan Rara Wulan telah bangun. Glagah Putih dan Rara Wulan merasa sangat manja di penginapan itu. Mereka tidak perlu menyapu dan membersihkan halaman serta bagian dalam bilik mereka. Namun mereka harus meninggalkan Sima dan berjalan ke Utara.

Demikian matahari terbit, setelah minum minuman hangat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri kepada petugas di penginapan itu.

“Kami akan melanjutkan perjalanan kami,” berkata Glagah Putih.

“Sekarang kalian akan pergi kemana?” bertanya petugas penginapan itu.

“Ke Utara. Kami akan melihat-lihat dunia yang luas ini.”

“Hati-hatilah di perjalanan Di daerah Utara keadaan nampaknya sudah menjadi lebih buruk dari keadaan di Sima.”

“Bukankah kami hanya akan lewat? Mudah-mudahan tidak terjadi salah paham, sehingga dapat menimbulkan kesulitan pada perjalanan kami.”

Petugas di penginapan itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun kemudian berkata, “Jika pada saatnya kalian kembali dari Utara dan singgah di Sima, aku harap kalian bermalam di penginapan ini.”

“Jika saja penginapan ini tidak penuh dengan para perwira dari Demak dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

“Jangan. Penginapan ini akan menjadi bangkrut. Kami dan kawan-kawan kami akan dapat kehilangan pekerjaan.”

“Mudah-mudahan tidak terjadi,” sahut Rara Wulan sambil mengambil beberapa keping uang. “Mungkin kau dapat mempergunakannya.”

Petugas itu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun tersenyum sambil menerima uang itu, “Terima kasih. Aku akan membaginya dengan kawanku.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah melangkah keluar dari regol halaman penginapan itu. Tetapi sebelum mereka meninggalkan Sima, mereka pun tertegun. Mereka melihat Ki Lurah Sapala dan seorang kawannya yang berjalan berlawanan arah.

Nampaknya Ki Lurah itu pun telah melihat mereka, sehingga Ki Lurah pun kemudian menyongsong mereka.

“Selamat pagi. Aku tidak menyangka bahwa kita akan bertemu di sini.”

“Ya, Ki Lurah,” sahut Glagah Putih, “tetapi aku justru berangkat meninggalkan kademangan ini.”

“Kemana?”

“Kami akan pergi ke Utara.”

“Menurut keterangan yang kami peroleh, daerah di utara Gunung Kendeng sudah menjadi semakin buruk.”

“Aku juga mendengar. Karena itu kami ingin melihatnya. Mudah-mudahan tidak ada masalah yang kami hadapi, karena kami hanyalah orang lewat.”

“Mudah-mudahan.”

“Apakah Ki Lurah sekarang sedang dalam tugas?”

“Ya. Perkenalkan dengan Ki Lurah Surareja. Salah seorang petugas sandi terbaik di Pajang.”

“Ah, Ki Lurah. Aku memang salah seorang di antara petugas sandi. Tetapi bukan salah seorang petugas terbaik seperti Ki Lurah Sapala.”

“Aku baru saja ditempatkan di jajaran tugas sandi.”

“Tetapi di bulan-bulan terakhir, Ki Lurah Sapala telah mengikuti latihan-latihan khusus bagi para petugas sandi.”

Ki Lurah Sapala tersenyum. Namun ia pun kemudian memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kau dapat mengenali timangnya. Tanpa banyak keterangan, kau akan mengerti dengan siapa Ki Lurah berhadapan.”

Glagah Putih belum sempat menjawab ketika Ki Lurah Sapala mendekatinya dan kemudian menyingkap baju Glagah Putih.

Tetapi Ki Lurah kecewa, karena Glagah Putih tidak mengenakan timang pertanda tugasnya yang diterimanya dari Mataram. “Kenapa tidak kau kenakan pertanda itu?”

Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian ia mengambil timbang yang tidak dipasangnya itu di kantong dalam bajunya.

“Ini yang ki Lurah maksud?”

“Ya.”

“Jadi Ki Sanak petugas khusus dari Mataram? Nilai timang Ki Sanak itu melampaui nilai timang para petugas sandi dan para prajurit pada umumnya. Ki Sanak dapat menyalurkan perintah kepada setiap pemimpin pasukan dimanapun Ki Sanak berada.”

“Mudah-mudahan aku tidak perlu mempergunakannya.”

Glagah Putih pun kemudian telah minta diri pula kepada kedua orang lurah prajurit dari Pajang itu. Kepada keduanya Glagah Putih pun berpesan, “Semoga apa yang Ki Lurah berdua temui dalam pengamatan Ki Lurah, segera dapat dilaporkan ke Pajang, dan selanjutnya disampaikan ke Mataram. Aku sendiri mungkin masih memerlukan beberapa lama untuk meyakinkan keadaan di sebelah utara Gunung Kendeng. Jika buah yang diperam di sebelah utara Gunung Kendeng, dan kemudian juga di Kademangan Sima ini, sudah hampir masak, maka kami akan segera kembali ke Mataram. Tetapi sebelumnya, hendaknya Mataram sudah mendengarnya dari Pajang.”

“Baiklah,” jawab Ki Lurah Sapala, “kami akan melihat-lihat keadaan di Sima ini. Esok pagi kami akan kembali ke Pajang dan memberikan laporan selengkapnya apa yang terjadi di Sima, serta apa yang terjadi di sebelah utara Gunung Kendeng menurut pendengaran kami.”

Mereka pun kemudian telah berpisah. Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan perjalanannya ke Utara, sementara Ki Lurah Sapala dan Ki Lurah Surareja akan melihat-lihat keadaan Kademangan Sima dalam tugas sandi mereka.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan berharap agar lewat para pemimpin di Pajang, maka apa yang dilakukan oleh Demak, diketahui atau tidak diketahui oleh Kanjeng Adipati Demak, dapat segera disampaikan kepada Mataram.

Sementara itu Glagah Putih sendiri masih akan membuktikan, apakah benar Demak sudah menghimpun kekuatan di sebelah utara Gunung Kendeng.

“Ki Saba Lintang memang cerdik,” desis Glagah Putih.

Perjalanan Glagah dan Rara Wulan ke Utara adalah perjalanan yang terhitung panjang. Ketika mereka sampai di Kali Gandu, maka mereka menyusuri sungai itu,beberapa lama. Sekali-sekali mereka melewati jalan yang sedikit lapang, menyusuri bulak-bulak panjang. Namun kadang-kadang mereka melewati jalan-jalan sempit di pinggir hutan.

Ketika mereka berjalan di padang perdu, maka Glagah Putih pun bertanya, “Apakah kita akan mencari penginapan jika malam turun nanti?”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya. Kita akan mencari penginapan. Kita akan memilih sebatang pohon yang terbesar di pinggir hutan itu. Jika di hutan itu tidak ada macan kumbang, maka kita tidak akan terganggu tidur di atas dahannya yang besar.”

“Mungkin saja,” jawab Glagah Putih.

“Tidak. Di daerah ini hanya macan kumbang-lah yang pandai memanjat. Mungkin ada jenis harimau yang lain yang dapat memanjat pohon. Tetapi tidak ada di sini.”

“Bukan macan.”

“Apa?”

“Ular. Bukankah ular juga berbahaya?”

“Ular yang besar akan memberikan pertanda. Pepohonan tempat seekor ular besar menggantung, dahannya akan berputar seperti tertiup angin puting beliung.”

“Bukan harus yang besar. Bahkan ular sebesar jari pun sangat berbahaya.”

“Aku akan menelan butir reramuan penolak bisa dan racun.”

Glagah Putih menarik napas panjang. Namun akhirnya ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, ya. Tidak ada yang dapat mengganggu.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Bukankah begitu?”

“He?”

Sejenak keduanya terdiam. Namun kemudian keduanya pun tertawa.

Ketika kemudian mereka turun ke jalan yang lebih besar, maka mereka pun telah melewati bulak dan kemudian memasuki sebuah padukuhan yang cukup besar. Tetapi padukuhan itu masih jauh dari keramaian di Kademangan Sima.

Meskipun demikian ada beberapa buah rumah yang terhitung besar, meskipun buatannya sedikit kasar.

“Kita dapat bermalam di banjar padukuhan,” desis Glagah Putih.

“Ya. Tetapi kita memerlukan sebuah kedai sebelum matahari menjadi semakin rendah. Bukankah kita belum makan, selain beberapa potong jadah dan wajik yang kita beli di pasar yang sepi itu tadi?”

“Bukankah sama saja makan jadah dan wajik dengan makan nasi?”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun akhirnya mereka menjumpai sebuah kedai kecil di sudut sebuah padukuhan yang terhitung besar.

Keduanya pun kemudian singgah di kedai itu untuk membeli makan dan minum. Tetapi tidak ada yang dapat dipesan di kedai itu kecuali lodeh kluwih, serundeng dan rempah kelapa.

“Apa adanya saja, Bibi,” jawab Rara Wulan ketika penjual nasi itu bertanya kepadanya.

Sejenak kemudian, perempuan penjual nasi itu telah memberikan dua pincuk nasi kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya pun kemudian makan dengan suru daun pisang, sebagaimana pincuk nasi itu.

Namun ternyata bahwa rempah kelapanya enak sekali. Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng berkata, “Rempahnya.” Keduanya pun mengangguk-angguk.

Sementara itu, selagi mereka sibuk makan nasi lodeh kluwih. tiga orang telah memasuki kedai yang kecil itu, sehingga tiba-tiba saja kedai itu terasa menjadi penuh.

Setelah memesan makan dan minum, maka sambil menunggu ketiga orang itu pun telah berbincang tentang keadaan di kademangan mereka.

“Kemarin aku dihukum karena aku terlambat datang latihan,” berkata seorang yang agak kekurus-kurusan.

“Kenapa kau sampai datang terlambat?”

“Aku mengairi sawah. Tanggung. Aku tidak dapat meninggalkan air yang sudah mulai tergenang tetapi belum merata. Aku takut jika air yang tidak merata itu justru akan membuat tanamanku layu di panasnya matahari yang terik.”

“Seharusnya kau datang ke sawah lebih awal.”

“Aku harus menunggu giliranku.”

“Sebenarnya kau dapat membuka pematangmu. Kemudian istrimu tentu dapat menunggui hingga kotak sawahmu penuh, baru kemudian istrimu menutup pematang. Bukankah mudah sekali menutup pematangmu itu? Istrimu tentu dapat melakukannya, sehingga kau tidak datang terlambat.”

“Istriku sakit. Kepalanya pusing, seakan-akan dunia ini berputar. Bagaimana mungkin ia pergi ke sawah untuk menunggui air, meskipun biasanya ia juga yang melakukannya, tanpa petunjukmu.”

Kawannya menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah tidak ada orang lain yang melakukannya?”

“Tidak.”

“Sekarang istrimu masih sakit?”

“Tidak. Setelah tidur nyenyak semalaman, keadaannya sudah menjadi semakin baik.”

“Kau dihukum apa?”

“Memanjat sepuluh batang pohon kelapa, memetik buahnya yang sudah tua, kemudian membawanya ke rumah Ki Jagabaya.”

Kedua kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Hukuman yang menarik.”

“Ya,” jawab orang yang dihukum itu, “sebenarnya aku sudah jemu dengan tatanan baru di kademangan kita. Aku tidak ingin menjadi prajurit. Aku tidak ingin berperang dengan siapapun juga.”

“Kita tidak dilatih untuk menjadi prajurit. Kita tetap saja petani. Namun kita adalah Wiratani. Dalam keadaan yang gawat, kita memang harus berkumpul dan bersikap sebagai seorang prajurit. Kita akan ikut bertempur di medan pertempuran. Tetapi setelah pertempuran selesai, kita akan kembali kepada keadaan kita semula. Petani.”

“Aku tidak tertarik.”

“Tetapi itu merupakan sumbangan kita bagi perjuangan.”

“Perjuangan untuk apa?”

“Kita harus menegakkan kebenaran. Telah terjadi ketidak adilan di Mataram. Kanjeng Pangeran Puger adalah saudara tua Kanjeng Sultan yang bertahta sekarang. Tetapi kenapa bukan Kanjeng Pangeran Puger yang bertahta?”

“Bukankah itu ada paugerannya di Kraton Mataram? Pada saat itu, orang-orang tua, orang yang dituakan dan orang-orang yang mempunyai pengaruh di Kraton Mataram, telah sepakat untuk menetapkan Kanjeng Sultan yang bertahta sekarang menjadi raja. Juga atas pesan Kanjeng Panembahan Senapati sendiri.”

“Tetapi itu tidak benar. Seharusnya Kanjeng Pangeran Puger-lah yang harus menduduki tahta Mataram. Tetapi Kanjeng Pangeran Puger sekarang hanyalah seorang Adipati yang berada di bawah kekuasaan Mataram. Bukanlah sewajarnya jika Kanjeng Pangeran Puger menuntut haknya?”

“Apakah hak tahta Mataram benar berada di tangan Kanjeng Pangeran Puger di Demak? Meskipun seorang Pangeran umurnya lebih tua, tetapi belum tentu bahwa dengan sendirinya ia mewarisi tahta.”

“Tetapi para pemimpin di Demak berpendapat bahwa Kanjeng Pangeran Puger-lah yang berhak untuk menduduki tahta di Mataram.”

“Seandainya demikian, kenapa kita yang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng ini harus dihimpun dan terlibat dalam perselisihan itu?”

“Kita harus berjuang untuk merebut kebenaran itu. Jika kita tinggal diam saja, maka kebenaran yang sudah dirampok orang itu tidak akan pernah kembali kepada kita.”

“Kita siapa? Kau, aku atau paman?”

“Kita. Kita rakyat Demak dan rakyat Mataram yang mencintai kebenaran itu.”

“Tetapi kita tidak tahu pasti, siapakah yang sebenarnya paling berhak atas tahta di Mataram. Bukankah sebaiknya kita meyakini dahulu bahwa Kanjeng Pangeran Puger-lah yang berhak untuk duduk di tahta Mataram? Baru kita akan ikut berbicara.”

“Itu tidak perlu.”

“Sebenarnya aku juga ragu,” berkata orang yang sejak semula berdiam diri saja itu. “Sekarang, untuk ikut dalam satu perjuangan, kita telah dibebani kewajiban yang berat.”

“Bukankah itu wajar, bahwa untuk keberhasilan satu perjuangan memang harus diberikan pengorbanan?”

“Tetapi jika kita memandang dari sisi lain, para pejabat di Demak itu telah melakukan tindakan sewenang-wenang. Apalagi jika mereka berhasil merebut kekuasaan Mataram. Apakah mereka tidak menjadi semakin garang terhadap kita orang-orang kecil?”

“Mereka berjuang untuk kebebasan orang-orang kecil.”

Orang yang semula lebih banyak berdiam diri itu menarik nafas panjang. Katanya, “Beban dari apa yang disebut perjuangan itu selalu berada di pundak orang-orang kecil seperti kita. Karena waktu kita disita oleh latihan-latihan itu, maka waktu kita harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Kita harus bekerja semakin keras. Sementara itu kita pula yang harus menanggung beban bagi kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang mengaku para pemimpin di Demak itu, serta orang-orang dari Perguruan Kudung Jati.”

Ketiganya berhenti sejenak ketika penjual nasi itu dengan ragu-ragu mendekati mereka dengan membawa nasi pesanan mereka.

“Bawa kemari, Bibi,” berkata seorang di antara mereka yang sedang berbincang itu. Penjual nasi itu pun kemudian menyerahkan tiga pincuk nasi serta tiga mangkuk minuman kepada mereka.

Sambil makan dan minum, ketiganya masih saja berbicara tentang keharusan mereka untuk mengikuti latihan-latihan keprajuritan yang berat, sepekan tiga kali. Namun agaknya mereka memang berbeda sikap, sehingga pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu hingga nasi dan minuman mereka habis.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka pun kemudian bangkit berdiri dan mendekati penjual nasi itu untuk membayar makan dan minuman mereka berdua.

Namun sebelum mereka keluar dari kedai kecil itu, tiba-tiba telah masuk pula dua orang. Namun keduanya pun berhenti ketika mereka melihat Rara Wulan sedang menyerahkan uang kepada penjual nasi itu.

Tiba-tiba saja seorang di antara mereka berkata, “He, kalian juga harus membayar harga makan dan minuman kami berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak. Menilik pakaian mereka, maka mereka adalah dua orang prajurit. Tetapi sikap mereka sama sekali bukan sikap prajurit.

“Apakah kalian berdua tuli, he?”

“Kami mendengarnya,” sahut Glagah Putih, “tetapi kami menjadi bingung. Bukankah kalian belum makan dan minum? Jadi berapa kami harus membayar?”

“Bodoh kau,” geram orang itu, “berikan uang itu kepada kami. Beberapa keping yang pantas untuk membeli makan dan minum kami berdua.”

Rara Wulan yang ingin menjawab telah didahului oleh Glagah Putih, “Baik, baik, Ki Sanak.” Glagah Putih pun kemudian memberikan beberapa keping uang kepada kedua orang itu.

Ketika kedua orang itu kemudian duduk di dalam kedai itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera pergi meninggalkan kedai itu. Sementara itu, ketiga orang yang berbeda pendapat itu pun segera membayar harga makan dan minuman mereka. Ketiganya pun dengan agak tergesa-gesa meninggalkan kedai itu pula. Yang kemudian tinggal di kedai itu adalah dua orang yang mengenakan pakaian keprajuritan itu.

Di perjalanan, Rara Wulan pun bertanya kepada Glagah Putih, “Kenapa Kakang memberi uang kepada mereka? Bukankah uang itu lebih baik diberikan kepada orang-orang yang benar benar membutuhkan?”

“Kita tidak akan berhenti di sini. Kita masih akan berjalan beberapa lama ke Utara. Mungkin kita akan mencapai kademangan berikutnya. Kedua orang itu mungkin masih akan berkeliaran kemana-mana. Atau bahkan mereka memang membawahi beberapa kademangan.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Agaknya tatanan keprajuritan di Demak masih belum teratur.”

“Mungkin mereka bukan prajurit Demak, tetapi mereka adalah para cantrik dari Perguruan Kedung Jati yang ikut menumpang, atau bahkan yang berhasil membujuk, para pemimpin di Demak untuk melawan Mataram.”

“Ya. Meskipun mereka masih mengenakan pakaian keprajuritan, tetapi sifat dan watak mereka justru berlawanan dengan sifat dan watak prajurit.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Dalam pada itu, kedua orang yang mengenakan pakaian keprajuritan itu, setelah selesai makan dan minum, sama sekali tidak membayar harganya. Uang yang mereka terima dari Glagah Putih justru mereka masukkan ke dalam kantong ikat pinggang salah seorang dari mereka.

“Kenapa harus membayar? Rakyat di daerah ini harus mendukung perjuangan kami.”

Penjual nasi itu tidak berani bertanya kepada keduanya tentang harga makan dan minuman mereka. Perempuan itu hanya dapat menekan dadanya. Yang terjadi itu bukan yang pertama kali, tetapi sudah beberapa kali.

Demikian keduanya pergi, seseorang mendekati penjual nasi itu sambil bertanya, “Mereka tidak membayar?”

“Ya.”

“Inikah ujud dari kekuasaan di Demak? Kekuasaan yang ada di tangan Kanjeng Adipati, yang melimpah kepada prajurit-prajuritnya, telah melahirkan perilaku yang aneh.”

Penjual nasi itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku hanya berdoa, semoga kebiasaan ini tidak terjadi terlalu sering. Jika terjadi terlalu sering, maka habislah daganganku yang hanya sedikit ini.”

“Mbokayu lebih baik tidak berjualan nasi saja.”

“Lalu apa? Aku tidak dapat bekerja apa-apa. Sedang sawah kakangmu hanya selidah cicak, yang tentu tidak akan mencukupi buat makan kami sekeluarga.”

“Itulah sulitnya. Sementara kekuasaan serta limpahannya tidak mau tahu keadaan kita yang sebenarnya. Mereka justru cenderung untuk menghisap darah kita yang sudah hampir kering ini.”

“Ya. Sedangkan kita tidak tahu, kepada siapa lagi kita harus mengadu.”

Keadaan yang sulit itu pun semakin membebani orang-orang yang sudah berada di bawah kekuasaan Demak yang melebar ke Selatan. Anak-anak muda yang mendapat kesempatan berlatih secara khusus, nampaknya telah terbenam ke dalam genangan kekuasaan itu pula. Mereka mulai ikut memberikan beban justru kepada lingkungan mereka sendiri. Kepada tetangga-tetangga, dan bahkan kepada sanak keluarga.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan terus. Sementara itu langit mulai menjadi buram. Ketika senja turun, langit pun menjadi kuning tajam menusuk mata. Cahaya layung membuat mata menjadi silau. Tetapi layung itu tidak lama menebarkan cahaya yang menyakitkan mata. Beberapa saat kemudian, senja pun menjadi semakin muram.

Ketika gelap turun, Glagah Putih dan Rara Wulan mulai berbicara tentang penginapan lagi.

“Jangan mencari penginapan seperti di Sima.”

“Siapa yang mencari penginapan seperti di Sima?” sahut Rara Wulan.

“Tidak ada,” jawab Glagah Putih.

“Jangan menggoda saja, Kakang.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Baik, baik. Aku tidak akan menggoda lagi.”

“Jika kau menggoda, aku akan menginap di rumah Ki Demang.”

“Ki Demang? Kau kenal dengan Ki Demang di kademangan ini? Nama kademangannya pun kita tidak tahu.”

“Bukankah aku mempunyai mulut, sehingga aku akan dapat bertanya?”

“Baik, baik. Biarlah aku saja yang bertanya. Tetapi sebaiknya kita minta izin menginap di banjar padukuhan ini saja.”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun mereka pun mulai memperhatikan rumah-rumah yang ada di sebelah-menyebelah jalan.

Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan perlahan-lahan di jalan utama padukuhan yang mereka lewati. Menilik ujudnya, padukuhan itu adalah padukuhan yang terhitung besar. Namun padukuhan itu agaknya bukan padukuhan yang kaya.

Mereka tertegun ketika mereka melihat regol yang diterangi oleh oncor jarak di sebelah-menyebelahnya. Sementara itu beberapa orang nampak berdiri di depan regol yang terang itu.

“Ada apa? Keramaian?” desis Rara Wulan.

“Nampaknya bukan,” sahut Glagah Putih.

“Kita tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Jika kita berbalik. maka mereka akan menjadi semakin curiga.”

“Ya. Kita memang harus berjalan terus.”

Keduanya pun terpaksa berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan regol yang terang, serta beberapa orang yang berdiri di depan regol itu. Demikian keduanya berjalan di antara orang-orang yang berdiri di depan regol itu, Glagah Putih pun berkata, “Maaf, Ki Sanak, menumpang lewat.”

Tidak ada yang menjawab. Tetapi orang-orang itu membiarkan Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Meskipun demikian, orang-orang itu memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan dengan tajamnya.

Rara Wulan pun berdesis perlahan-lahan tanpa berpaling, “Apakah mereka tidak pernah melihat orang asing lewat di padukuhan ini?”

“Mereka tentu sering melihatnya. Tetapi tentu tidak saat malam mulai turun seperti ini. Mungkin di pagi hari, mungkin siang atau sore.”

Rara Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia pun berkata, “Semakin menarik untuk bermalam di sini.”

“Ya. Tetapi apakah orang-orang yang berdiri di depan regol itu adalah regol banjar?”

“Nampaknya bukan,” sahut Rara Wulan, “banjar mempunyai bentuk yang khusus, meskipun bangunan tadi juga joglo. Tetapi nampaknya rumah tadi adalah rumah yang dihuni. Bukan sebuah banjar untuk menyelenggarakan berbagai macam pertemuan.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka berdua melangkah terus.

Namun ternyata kemudian mereka melewati sebuah bangunan yang menurut dugaan mereka justru sebuah banjar. Tetapi bangunan itu nampaknya sepi-sepi saja. Tidak ada orang yang berada di dalamnya, apalagi berkumpul-kumpul seperti di depan regol halaman rumah yang telah mereka lewati.

“Apakah kita akan singgah?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah. Kita akan melihat, apakah ada orang yang tinggal di belakang banjar ini. Biasanya penunggu banjar tinggal di belakang banjar.”

Keduanya pun kemudian memasuki halaman banjar. Di pendapa banjar memang ada lampu minyak yang menyala, tetapi nyalanya nampak redup. Namun ternyata ada orang yang tinggal di belakang banjar. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan pergi ke belakang banjar, maka mereka melihat ada lampu yang menyala di rumah kecil yang ada di belakang banjar itu.

Perlahan-lahan Glagah Putih dan Rara Wulan mendekati pintu rumah kecil itu. Perlahan-lahan pula Glagah Putih mengetuk pintu itu.

“Siapa?” terdengar seseorang bertanya.

“Aku, Ki Sanak.”

“Aku siapa?”

“Aku yang sedang menempuh perjalanan, kemalaman di padukuhan ini.”

Terdengar desir langkah kaki menuju ke pintu. Sejenak kemudian pintu lereg itu pun terbuka. Seorang yang sudah berumur separuh abad berdiri di belakang pintu.

“Selamat malam, Ki Sanak,” sapa orang itu. “Jadi Ki Sanak berdua ini kemalaman di perjalanan?”

“Ya, Paman, kami kemalaman di perjalanan Bukankah aku berada di sebuah banjar padukuhan?”

“Ya, kau berada di banjar padukuhan.”

“Kami akan mohon ijin untuk bermalam di banjar ini, Paman.”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku sendiri tak berkeberatan, Ngger. Banjar memang sudah sepantasnya memberikan tempat beristirahat bagi para pejalan yang letih, serta memberikan tempat bermalam bagi mereka yang kemalaman.”

“Terima kasih, Paman.”

“Nah, duduklah di serambi. Aku akan menanyakan kepada Ki Jagabaya, apakah Angger berdua dapat bermalam di sini.”

“Jadi Paman harus minta ijin lebih dahulu kepada Ki Jagabaya? Jauhkah rumah Ki Jagabaya?”

“Tidak, Ngger, tidak begitu jauh. Jika tadi Angger berjalan dari selatan, maka Angger akan melewati rumah Ki Jagabaya. Biasanya anak-anak muda berada di rumah itu. Kalau sebelumnya mereka selalu berkumpul di banjar ini, maka sekarang mereka berkumpul di rumah Ki Jagabaya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun Rara Wulan pun kemudian bertanya, “Yang Paman maksudkan, rumah yang besar dengan oncor di sebelah-menyebelah regol halamannya?”

“Ya. Ki Jagabaya tentu menyalakan oncor di regol halaman rumahnya.”

“Baiklah, Paman. Kami akan menunggu, jika Paman memang harus melapor lebih dahulu kepada Ki Jagabaya.”

“Nah, silakan duduk di serambi, Ngger. Ini memang tatanan anyar. Rasa-rasanya kita sekarang mencurigai semua orang yang belum kita kenal sebelumnya. Tidak ada lagi kepercayaan kepada sesama.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Sementara itu penunggu banjar itu pun telah menutup pintu lereg rumahnya.

“Duduklah. Aku pergi sebentar.”

“Terima kasih, Paman.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian duduk di tangga serambi banjar itu, sambil menunggu penunggu banjar yang pergi ke rumah Ki Jagabaya.

“Nampaknya orang-orang padukuhan ini harus mencurigai setiap orang yang belum mereka kenal, Kakang,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Ya. Tetapi tentu ada sebabnya. Mungkin orang-orang padukuhan ini pernah mengalami perlakuan buruk dari orang yang mereka anggap asing.”

“Mungkin. Tetapi mungkin karena pengaruh kekuasaan Demak yang tidak ingin dicampuri oleh pihak lain. Setiap pendatang mereka curigai akan mempengaruhi sikap orang-orang padukuhan ini, atau orang-orang dalam tugas sandi yang ingin mengamati keadaan padukuhan ini.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “kita akan dapat membaca sikap Ki Jagabaya.”

Beberapa saat keduanya menunggu. Namun ketika penunggu banjar itu kembali, ia sudah tidak sendiri.

“Apa yang dikatakan oleh penunggu banjar itu kepada Ki Jagabaya?” desis Glagah Putih.

“Mana orang itu?” seorang yang bertubuh tinggi besar, berkumis melintang, bertanya kepada penunggu banjar itu.

“Itulah mereka, Ki Jagabaya.”

“Laki-laki dan perempuan?”

“Ya.”

Seorang yang mengikutinya menyahut, “Tadi aku melihat mereka berjalan lewat di depan rumah Ki Jagabaya.”

“Mereka dalam perjalanan, Ki Jagabaya. Mereka kemalaman. sehingga mereka singgah dan minta ijin untuk bermalam di banjar ini.”

Ki Jagabaya yang bertubuh raksasa itu pun mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Kemudian ia berpaling kepada penunggu banjar, “Mereka orang dari mana?”

“Aku belum bertanya, Ki Jagabaya. Aku juga belum bertanya mereka akan pergi kemana.”

Ki Jagabaya pun mengangguk-angguk.

“Ki Sanak,” bertanya Ki Jagabaya kemudian kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, yang sudah bangkit berdiri pula, “siapakah nama kalian? Kalian datang dari mana dan akan pergi ke mana?”

“Namaku Raguman, Ki Jagabaya. Perempuan ini istriku.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Perempuan ini benar-benar istrimu?”

“Benar, Ki Jagabaya.”

“Jangan-jangan kau temukan perempuan ini di pinggir jalan, lalu kau aku sebagai istrimu. Sementara itu kau minta ijin menginap di banjarku ini.”

Rara Wulan ternyata tersinggung sekali dengan pertanyaan Ki Jagabaya. Tetapi Glagah Putih telah menggamitnya lebih dahulu sambil menjawab, “Tidak, Ki Jagabaya. la benar-benar istriku. Kami sedang dalam perjalanan menuju ke Demak.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Jadi kalian akan pergi ke Demak?”

“Ya, Ki Jagabaya.”

“Untuk apa?”

“Kami akan mengunjungi paman kami yang sudah lama sekali tidak pernah bertemu.”

“Pamanmu atau paman istrimu?”

“Pamanku, Ki Jagabaya”

“Kalian berasal dari mana?”

“Kami berasal dari Banyu Asri, Ki Jagabaya.”

“Banyu Asri ? Banyu Asri itu letaknya dimana?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, “Banyu Asri itu terletak di kaki Gunung Merapi, Ki Jagabaya.”

“Di kaki Gunung Merapi ke arah mana?”

“Ke arah timur.”

Ki Jagabaya itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian berdua telah menempuh satu perjalanan yang jauh. Kalian berasal dari sisi selatan Tanah ini, dan pergi ke sisi utara.”

“Ya, Ki Jagabaya. Justru sekaligus kami sempat melihat-lihat Tanah ini. Wawasan kami pun menjadi semakin luas. Kami melihat adat dan kebiasaan yang belum pernah kami lihat sebelumnya.”

“Kau menempuh perjalanan di waktu yang kurang menguntungkan.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Apakah kau tidak mendengar berita, bahwa telah terjadi ketidaksesuaian pendapat antara Demak dan Mataram?”

“Ketidaksesuaian pendapat? Apakah yang Ki Jagabaya maksudkan?”

“Baiklah. Kalau kau tidak tahu, lebih baik kau tidak tahu sama sekali. Biarlah kalian berjalan dengan tenang tanpa perasaan cemas dan apalagi takut.”

“Aku tidak mengerti. Tetapi apa yang Ki Jagabaya katakan itu, justru membuat kami takut.”

“Tidak apa-apa bagimu. Jika kalian ingin meneruskan perjalanan esok, pergilah. Malam ini kalian dapat menginap di banjar ini.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya, terima kasih. Besok kami akan melanjutkan perjalanan kami pergi ke Demak.”

“Asal kau tidak berbuat macam-macam di perjalanan, maka mudah-mudahan perjalananmu tidak terganggu.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya itu pun kemudian meninggalkan banjar itu bersama pengiringnya. Sementara orang tua penunggu banjar itu pun berkata, “Beruntunglah kalian, Angger berdua. Ki Jagabaya kali ini bersikap baik dan ramah. Biasanya Ki Jagabaya itu sikapnya garang seperti buto ijo. Badannya yang seperti raksasa itu pula membuatnya sangat menakutkan.”

“Apakah biasanya Ki Jagabaya tidak mengijinkan orang lewat bermalam di banjar ini?”

“Biasanya aku tidak usah minta ijin kepada Ki Jagabaya. Tetapi setelah Ki Jagabaya yang sekarang, maka di kademangan ini pun telah dibuat tatanan baru.”

“Apakah Ki Jagabaya ini belum lama menjabat?”

“Belum. Sejak Ki Jagabaya yang lama hilang.”

“Hilang? Hilang bagaimana?”

“Ki Jagabaya yang lama itu memang hilang. Di senja hari Ki Jagabaya masih nampak berjalan di jalan utama kademangan ini. Tetapi di tengah malam, Ki Jagabaya sudah tidak ada. Dicari kemana-mana, Ki Jagabaya tidak ketemu.”

“Kenapa Ki Jagabaya itu hilang?”

“Tidak seorangpun tahu. Tiba-tiba saja ia hilang.”

“Maksudku apakah ada pertentangan sikap di antara para bebahu, atau dengan siapapun juga?”

“Ya, memang ada perbedaan sikap antara Ki Jagabaya dan Ki Demang. Ki Demang menerima orang orang Demak itu di kademangan ini, sedangkan Ki Jagabaya tidak. Apalagi pengaruh orang-orang Demak itu semakin lama menjadi semakin kokoh, sehingga akhirnya kademangan ini seakan-akan telah mereka kuasai. Anak-anak muda serta laki-laki yang masih kuat harus menjalani latihan sepekan tiga kali. Mereka kemudian menjadi pengawal kademangan, yang harus tunduk kepada perintah para pejabat dari Demak yang sudah diterima dengan baik oleh Ki Demang.”

“Sementara Ki Jagabaya tidak mau menerima mereka?” sahut Glagah Putih.

“Ya. Sehingga akhirnya perbedaan sikap antara Ki Demang dan Ki Jagabaya itu semakin lama menjadi semakin tajam. Akhirnya pada suatu hari Ki Jagabaya itu pun hilang.”

“Apakah hilangnya Ki Jagabaya itu ada hubungannya dengan pertentangan yang terjadi antara Ki Demang dan Ki Jagabaya itu, sementara Ki Demang tentu mendapat dukungan dari orang-orang asing itu?”

“Entahlah. Aku hanya seorang penunggu banjar. Beberapa lama setelah Ki Jagabaya hilang, maka telah diangkat Jagabaya yang baru. Ya Ki Jagabaya yang sekarang itu. Demikian ia menjabat, maka ada beberapa tatanan baru yang dibuatnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun mengangguk-angguk.

Namun sejenak kemudian orang tua itu pun berkata, “Nah, sudahlah. Kalian berdua perlu beristirahat. Jika kalian mau mandi, mandilah. Ada pakiwan di belakang.”

“Terima kasih, Paman. Sebenarnya aku masih ingin mendengarkan dongeng Paman tentang kademangan ini.”

“Nanti, setelah kalian mandi, serta setelah istriku membuat minuman hangat bagi kalian. Kita dapat duduk-duduk sambil berbincang.”

“Terima kasih. Tetapi menurut Paman, Ki Jagabaya yang hilang itu dengan Ki Jagabaya yang sekarang, manakah yang lebih baik?”

“Dari sudut mana kita memandang? Bukankah baik dan buruk itu dapat berbeda bagi setiap orang? Penilaian kita kepada orang lain juga bergantung kepada kepentingan kita sendiri.”

“Menurut Paman?”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Sudahlah, mandilah.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak dapat memaksa orang tua itu untuk mengatakannya.

Sejenak kemudian orang tua itu pun segera meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan sambil berkata, “Kalian dapat tidur di bilik yang berada di serambi belakang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak sempat menjawab. Orang tua itu pun telah pergi ke rumah kecilnya di belakang banjar.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergantian mandi. Setelah berbenah diri, maka keduanya pun kemudian duduk di sebuah bilik kecil di serambi belakang banjar yang sepi itu.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Kakang. Apakah Paman penunggu banjar ini berpihak kepada Ki Jagabaya yang terdahulu atau Ki Jagabaya yang sekarang?”

“Sikapnya belum terbaca, Rara. Orang tua itu agaknya harus berhati-hati. Namun lamat-lamat nampak bayang-bayang kecewanya atas perkembangan keadaan di kademangan ini. Juga tentang latihan-latihan yang harus dijalani oleh anak-anak muda serta laki-laki yang masih kuat, serta bahwa mereka harus tunduk kepada perintah para pejabat dari Demak yang sudah diterima dengan baik oleh Ki Demang.”

Rara Wulan tidak sempat menyahut lagi. Mereka mendengar desir langkah seseorang yang pergi ke bilik di serambi itu. Ternyata penunggu banjar itulah yang datang. Dengan sikapnya yang ramah ia pun berkata, “Marilah, silahkan minum dan makan seadanya di rumahku.”

“Kami sangat merepotkan Paman dan Bibi.”

“Tidak. Kami senang sekali menerima kunjungan seseorang sejak anak-anak kami pergi.”

“Pergi? Pergi kemana?” bertanya Rara Wulan sambil melangkah.

“Kami mempunyai empat orang anak. Mereka sudah menikah semua. Mereka pun kemudian tinggal dengan keluarga mereka masing-masing. Kebetulan tidak ada seorangpun di antara mereka yang tinggal di padukuhan ini.”

“Apakah ada di antara keempat orang anak Paman itu perempuan, sehingga mereka telah ikut dengan suaminya?”

“Keempat anak kami itu perempuan semua.”

“O,” Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

“Mereka telah ikut dengan suami mereka masing-masing.”

“Jadi Paman hanya berdua saja dengan Bibi?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Kami menjadi kesepian. Karena itu kedatangan kalian memberi sedikit kehangatan di rumah kecil ini. Tetapi besok kalian tentu akan segera pergi.”

“Kami harus melanjutkan perjalanan kami, Paman.”

“Anakku yang bungsu seumur dengan kau, Ngger,” berkata perempuan tua itu sambil memandang Rara Wulan. “Anakku yang bungsu mempunyai kemiripan dengan Angger.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Jika saja aku tidak sedang dalam perjalanan jauh, maka aku akan tinggal di rumah ini barang dua tiga hari.”

“Tetapi tempat ini tidak pantas, Ngger. Angger hanya dapat tidur di serambi. Di bilik yang sempit. Sementara itu kami tidak dapat menghidangkan makan yang memadai.”

“Apa yang Bibi sediakan malam ini sudah sangat memadai. Di rumah, kami makan apa adanya. Tidak pula selalu nasi beras. Kadang-kadang kami sekeluarga makan nasi jagung. Tetapi kami sudah terbiasa, sehingga tidak ada masalah bagi kami.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun duduk di ruang tengah rumah kecil penunggu banjar itu. Mereka berdua pun dipersilahkan untuk makan seadanya.

“Kau saja makan lagi mengantar tamu-tamu kita, Kakang,” berkata perempuan tua itu kepada suaminya.

Penunggu banjar itu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Marilah, aku temani kalian makan, meskipun tadi aku sudah makan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian makan bersama penunggu banjar itu. Nasinya masih hangat. Sayurnya pun telah dipanasi pula.

Namun sebelum mereka selesai makan, mereka pun terkejut. Terdengar langkah beberapa orang di depan rumah kecil itu.

“Ada apa, Kakang?” bertanya istri penunggu banjar itu.

“Entahlah. Biarlah aku melihatnya,” sahut orang tua itu. Laki-laki tua itu pun kemudian turun dari amben bambu di ruang tengah dan melangkah menuju ke pintu.

Ketika pintu itu dibuka, penunggu banjar itu pun terkejut. Ada beberapa orang di depan rumah kecilnya itu. Di antaranya adalah Ki Jagabaya.

“Ada apa, Ki Jagabaya?” bertanya penunggu banjar itu.

“Ternyata orang itu berbohong. Mereka bukan orang Banyu Asri. Mereka tidak akan pergi ke Demak.”

“Jadi?”

“Bawa orang itu kemari. Aku harus bertanya kepada mereka, apakah yang sebenarnya ingin mereka lakukan di sini.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Hampir di luar sadarnya ia pun berdesis, “Lalu apa yang akan mereka lakukan di sini?”

“Mereka adalah orang-orang Pajang. Mereka adalah penjilat-penjilat yang mencari keterangan tentang keadaan kita di sini bagi Pajang, yang tentu akan segera dilaporkan ke Mataram. Karena itu maka mereka harus ditangkap.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan, “Jadi Angger adalah orang-orang Pajang yang menjadi telik sandi untuk melihat-lihat keadaan di sini?”

“Tidak, Paman, itu tidak benar. Aku adalah pengembara yang meninggalkan rumahku bersama istriku untuk melakukan pengembaraan yang panjang. Kami memang mempunyai tujuan. Kami ingin pergi ke Demak.”

“Tetapi Ki Jagabaya itu mengatakan bahwa kalian adalah petugas sandi dari Pajang.”

“Dari mana Ki Jagabaya mendapatkan dongeng seperti itu?”

“Entahlah. Bertanyalah sendiri kepadanya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bangkit berdiri pula. Mereka pun segera berbenah diri. Agaknya mereka akan menghadapi kemungkinan buruk.

“Cepat!” terdengar Ki Jagabaya berteriak di luar pintu.

“Marilah, Ngger. Berhati-hatilah berhadapan dengan Ki Jagabaya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melangkah ke pintu. Sementara itu istri penunggu banjar itu pun berdesis, “Kenapa, Kakang?”

“Ki Jagabaya menuduh kedua orang suami istri itu petugas sandi dari Pajang.”

“Apakah benar demikian?”

“Aku tidak tahu. Mungkin benar, tetapi mungkin tidak. Kita tahu apa yang sering dilakukan oleh Ki Jagabaya terhadap perempuan. Nampaknya perempuan pengembara itu telah menarik perhatian Ki Jagabaya, sehingga Ki Jagabaya telah membuat dongeng apa saja, yang dapat dijadikan alasan untuk mengambil perempuan itu dari sisi suaminya.”

Istri penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Kasihan perempuan itu. Ia masih terlalu muda. Mungkin keduanya belum terlalu lama menikah. Tiba tiba saja Ki Jagabaya akan memisahkan keduanya.”

“Laki-laki muda itu besok akan hilang dan tidak diketahui lagi kemana perginya, seperti Ki Jagabaya yang lama.”

Keduanya pun terdiam. Penunggu banjar itu pun segera bergegas keluar. Di luar ia melihat beberapa orang menyeret kedua orang suami istri itu. Dengan garang Ki Jagabaya pun berkata, “Bawa keduanya ke rumahku. Aku akan mengadili mereka.”

“Jangan mencoba melawan,” geram salah seorang dari mereka yang membawa Glagah Putih.

Dengan kasar Glagah Putih pun telah didorong-dorong dengan landean tombak pendek. Sementara itu dua orang laki-laki memegangi lengan Rara Wulan.

Laki-laki tua penunggu banjar itu tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi ia tidak tinggal diam. Ternyata ketika Ki Jagabaya dan beberapa orangnya menyeret Glagah Putih dan Rara Wulan keluar dari regol halaman, maka laki-laki tua itu pun mengikutinya dan jarak yang tidak terlalu dekat.

Meskipun laki-laki tua itu menyadari bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. namun setidak-tidaknya ia dapat menduga, apa yang terjadi dengan mereka berdua.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang digiring di jalan yang menuju ke rumah Ki Jagabaya. Tetapi ketika mereka sampai di simpang empat, Ki Jagabaya itu pun memerintahkan mereka untuk berhenti. Iring-iringan itu pun kemudian berhenti.

Dengari geram Ki Jagabaya pun kemudian berkata, “Sebelum kalian bawa laki-laki pengkhianat itu ke rumahku, bawalah lebih dahulu menghadap Ki Demang. Apa kata Ki Demang, biarlah aku laksanakan, agar aku tidak melangkahi kebijaksanaannya.”

“Baik, Ki Jagabaya.”

“Kalian akan membawa aku kemana?” bertanya Glagah Putih.

“Kau akan dibawa menghadap Ki Demang.”

“Bukankah itu terbalik? Seharusnya Ki Jagabaya-lah yang menyelesaikan persoalannya, kemudian melaporkannya kepada Ki Demang. Memang Ki Demang yang harus mengambil keputusan terakhir. Tetapi tentu bukan dengan cara seperti ini.”

” Cukup! Kau sama sekali tidak mengerti tatanan pemerintahan di kademangan ini.”

“Tetapi bagaimana dengan istriku?”

“Ia tidak bersalah. Biarlah ia menunggu di rumahku.”

“Tidak. Jangan pisahkan istriku itu dari sisiku.”

Tetapi seseorang telah mendorong Glagah Putih sambil membentak, “Jangan macam-macam! Aku dapat melubangi perutmu dengan tombak ini.”

“Tetapi istriku itu jangan dibawa pergi.”

“Tidak dibawa pergi, dungu! Ia akan dibawa ke rumah Ki Jagabaya. Ia tentu tidak bersalah. Kau-lah yang menjalankan tugas sandi, sehingga kau-lah yang akan dibawa menghadap Ki Demang.”

“Aku juga tidak bersalah.”

“Tutup mulutmu!” tiba-tiba saja seorang di antara mereka yang menggiring Glagah Putih itu menampar mulutnya.

Glagah Patih itu pun terdiam. Sementara itu, dua orang yang memegangi lengan Rara Wulan pun menariknya untuk berjalan terus.

“Biar aku pergi bersama suamiku. Jangan bawa aku kemanapun. Aku akan ikut bersama suamiku.”

Tetapi kedua orang yang memegangi lengan Rara Wulan itu tidak menghiraukannya. Rara Wulan pun tetap saja diseret pergi ke rumah Ki Jagabaya. Sementara itu, Glagah Putih telah didorong dengan landean tombak pendek yang melekat di perutnya.

“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata orang yang mendorongnya dengan landean tombak.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih pun telah berjalan di jalan yang lebih sempit di kegelapan malam. Ia masih mendengar suara Rara Wulan, “Lepaskan aku! Lepaskan aku!”

Tetapi kedua orang yang memegangi Rara Wulan itu tidak mau melepaskannya. Dalam pada itu, beberapa orang yang menggiring Glagah Putih pun kemudian memerintahkan Glagah Putih untuk memasuki sebuah lorong sempit dan gelap.

“Dimana rumah Ki Demang? Apakah lorong ini benar menuju ke rumah Ki Demang?”

“Diam! Kau tidak berhak bertanya apa-apa. Ikuti saja perintah kami,” geram seorang yang berkumis melintang.

Glagah Putih tidak sempat bertanya lagi. la pun kemudian didorong dengan keras. Ternyata Glagah Putih itu seakan-akan telah terlempar keluar padukuhan.

“Bukankah kita berada di luar padukuhan? Apakah rumah Ki Demang berada di padukuhan yang lain?” bertanya Glagah Putih.

“Diam! Diam! Jangan bertanya lagi. Atau aku koyakkan mulutmu!” bentak orang berkumis melintang itu.

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian digiring menuruni tebing yang rendah. Namun akhirnya Glagah Putih itu sudah berada di tepian berpasir serta berbatu-batu besar. Terdengar air mengalir deras di sela-sela bebatuan. Sebatang sungai terbentang memanjang dari kegelapan menuju ke kegelapan.

“Kenapa kita justru berada di tepian?”

Terdengar orang berkumis lebat itu pun tertawa. Katanya, “Sudahlah, Ki Sanak. Nasibmu memang buruk. Kau memang tidak akan dibawa ke rumah Ki Demang. Tetapi kau akan dikirim ke muara lewat sungai ini.”

“Apa maksudmu?”

“Kau akan mati. Istrimu akan tinggal di rumah Ki Jagabaya di padukuhan sebelah. Ia akan menjadi perempuan simpanan Ki Jagabaya, menggantikan perempuan yang bagi Ki Jagabaya sangat menjemukan.”

“Apakah Ki Jagabaya belum beristri?”

“Bodoh kau. Ki Jagabaya sudah beristri, tetapi istrinya berada di Demak. Karena itu ia memerlukan istri yang lain di sini. Di sini memang sudah ada tiga orang perempuan simpanannya. Tetapi ketika Ki Jagabaya itu melihat istrimu, maka ia pun telah tertarik pula. Nah, satu-satunya jalan adalah memisahkan kau dari istrimu. Agar kau tidak mengganggunya sepanjang masa mendatang, maka lebih baik kau dilemparkan saja ke sungai itu. Tetapi sebelumnya, kami terpaksa membunuhmu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jadi Ki Jagabaya itu orang Demak? Maksudmu salah seorang narapraja dari Demak?”

“Kepadamu aku tidak perlu berbohong, karena segala-galanya akan kau bawa hanyut di sungai itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang berkumis melintang itu berkata, “Sebenarnya Ki Jagabaya bukan narapraja dari Demak. Tetapi ia salah seorang murid terpercaya dari Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah kalian juga murid-murid Perguruan Kedung Jati?”

“Ya, kami juga murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Karena itu maka segala sesuatunya bagimu akan berhenti sampai di sini.”

Glagah Putih menarik napas dalam-dalam. Sementara itu orang berkumis melintang itu pun berkata, “Terimalah nasib burukmu itu. Ki Sanak. Jangan mencoba melawan, karena dengan demikian keadaanmu akan menjadi semakin buruk.”

“Ki Sanak. Kenapa kalian berbuat sewenang-wenang bagi sesama? Apakah kau tidak dapat membayangkan, jika saja nasib buruk ini akan menimpa Ki Sanak sendiri.”

“Jika nasib buruk itu memang nasibku, aku harus menerimanya. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku akan pasrah, karena hanya itulah jalan terbaik.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Ki Sanak. Apakah kau mempunyai keluarga atau tidak?”

“Kenapa?”

“Nampaknya kau sudah menantang nasibmu sendiri. Bukankah kau mengatakan, jika nasib buruk itu menimpamu, maka kau akan pasrah. Nah, jika demikian, maka terimalah nasib burukmu itu. Kau akan mati. Anak istrimu akan terlantar dan menjadi tanggungan orang lain.”

“Kau mengutukku sebelum kau mati? Kutukanmu itu tidak akan terjadi, Ki Sanak. Kutukan orang yang akan mati tentu akan terbawa mati pula.”

“Aku tidak mengutukmu, Ki Sanak. Tetapi aku-lah yang akan membunuhmu.”

“Membunuhku? Kau akan membunuhku? He, apakah kau sedang mengigau? Pada saat nyawamu sudah berada di ubun-ubun, dalam keadaan berputus-asa kau telah mengigau. Ketakutan yang amat sangat memang dapat membuat seseorang menjadi gila. Nah, sekarang agaknya kau-lah yang telah menjadi gila.”

“Berhentilah berbicara, Ki Sanak. Lebih baik kau mempersiapkan dirimu untuk mati. Demikian pula kawan-kawanmu.”

Orang berkumis melintang itu pun melangkah maju sambil menggeram, “Kau telah mempersulit dirimu sendiri. Jika kau mencoba melawan, maka jalan kematianmu akan menjadi semakin rumit, sehingga kau akan sempat menyesalinya. Pikirkan baik-baik. Apakah kau akan mati lewat jalan yang baik atau sebaliknya.”

“Aku memilih membunuhmu,” sahut Glagah Putih.

Orang berkumis lebat itu menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia pun meloncat menyerang Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu di tepian.

Tetapi Glagah Putih pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Glagah Putih pun dengan tangkasnya bergeser menghindar. Bahwa serangan orang berkumis melintang itu yang luput dari sasaran telah membuat orang itu semakin marah. Karena itu maka ia pun segera meloncat menyerang pula.

Tetapi Glagah Putih pun telah bergerak dengan cepat pula, melampaui kecepatan gerak orang yang berkumis lebat itu, sehingga serangan-serangannya pun tidak mengenai sasarannya pula.

Orang berkumis lebat itu pun menggeram.

Namun ternyata bahwa Glagah Putih pun telah berniat untuk memancing agar orang-orang lain yang menggiringnya itu pun segera terlibat pula dalam pertempuran itu. la ingin pertempuran itu segera berakhir, sehingga Glagah Putih akan segera menyusul Rara Wulan. Meskipun Glagah Putih yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan Rara Wulan. Tetapi di rumah Ki Jagabaya itu terdapat banyak orang. Dan bahkan mungkin Ki Jagabaya akan dapat membunyikan isyarat, sehingga orang se-kademangan akan keluar dari rumahnya. Jika keadaan meningkat menjadi keributan yang demikian, maka Glagah Putih menjadi cemas bahwa akan dapat benar benar jatuh korban di padukuhan itu.

Demikianlah, sejenak kemudian pertempuran pun telah berlangsung dengan sengitnya.

Namun dalam waktu yang singkat, Glagah Putih telah menekan lawannya yang berkumis melintang itu. Sentuhan tangannya telah melemparkan orang itu sehingga jatuh berguling-guling. Demikian ia bangkit berdiri, maka kaki Glagah Putih-lah yang menyentuh lambung orang itu, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. Belum lagi ia berhasil memperbaiki keadaan, maka tangan Glagah Putih telah terayun menampar keningnya, sehingga orang itu sekali lagi terpelanting jatuh.

Glagah Putih tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu bangkit berdiri. Dengan geram orang itu pun kemudian berteriak, “He, apa kerja kalian disini, he? Kalian kira bahwa kalian sedang nonton ledek munyuk? Ayo bangkit, tangkap orang ini! Atau bunuh sama sekali. Lemparkan mayatnya ke sungai itu. Sehingga jika tubuhnya sampai ke kedung, tubuh itu akan dimakan buaya liar.”

Orang-orang yang ikut menggiring Glagah Putih sampai ke tepian bagaikan tersadar dari mimpinya. Rasa-rasanya mereka memang sedang menikmati sebuah tontonan yang lebih menarik dari pertunjukan ledek munyuk. Mereka melihat orang berkumis lebat itu berguling-guling sambil menahan sakit.

“Cepat!” teriak orang berkumis lebat itu, “Jangan biarkan orang itu lari.”

Orang-orang yang ikut menggiring Glagah Putih ke tepian itu pun serentak telah bergerak.

Saat itulah yang ditunggu oleh Glagah Putih. Dengan gerakan yang sulit diikuti dengan mata wadag oleh lawan-lawannya, Glagah Putih pun segera berloncatan. Dalam waktu yang terhitung singkat, maka beberapa orang itu pun telah terpelanting jatuh. Ada yang sempat meloncat bangkit, tetapi ada pula yang langsung menjadi pingsan, karena sentuhan serangan Glagah Putih tepat mengenai bagian-bagian tubuhnya yang lemah.

Seorang yang tersentuh jari-jari Glagah Putih bahkan merasa lehernya yang disentuh oleh tiga jari Glagah Putih yang merapat itu bagaikan tercekik. Orang itu terguling-guling di tepian sambil memegangi lehernya.

Orang berkumis melintang itu sendiri telah terpelanting jatuh berguling sehingga terjerumus ke dalam air sungai. Orang berkumis melintang itu pun segera bangkit berdiri dan tertatih-tatih menepi. Tetapi kakinya menjadi pincang. Lambungnya sakit sekali, sementara pakaianya pun menjadi basah kuyup.

Dengan demikian, maka orang-orang yang menggiring Glagah Putih ke tepian untuk membunuhnya itu sudah tidak berdaya sama sekali. Ada di antara mereka yang pingsan, ada pula yang tulang tangannya retak.

Sementara itu orang berkumis melintang yang masih mencoba untuk menyerang Glagah Putih bersama seorang kawannya, telah jatuh tersungkur. Tulang iganya-lah yang menjadi retak, sedangkan pergelangan kakinya seakan-akan menjadi patah. Sedangkan yang seorang lagi terlempar beberapa langkah dan jatuh dengan kerasnya, sehingga orang itu pun menjadi pingsan.

Selangkah demi selangkah Glagah Putih berjalan mendekati orang berkumis melintang itu sambil berkata, “Nah, terimalah nasib burukmu dengan pasrah, sebagaimana yang kau katakan. Kau dapat memilih jalan kematianmu. Apakah aku harus mencekikmu, atau menekan wajahmu sehingga kau tidak bernafas, atau mengikat tubuhmu dengan batu dan kemudian merendamnya di dalam air sungai itu, atau membantingmu ke batu-batu yang berserakan di sungai itu sehingga kepalamu pecah?”

“Ampun, aku minta ampun. Jangan bunuh aku.”

“Bukankah kau juga benar-benar akan membunuhku?”

“Tidak, aku tidak ingin membunuhmu.”

“Omong kosong. Nampaknya yang kau lakukan ini bukan yang pertama kali. Ternyata segala sesuatunya berjalan lancar tanpa perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk dari Ki Jagabaya. Sebelum aku, tentu sudah ada orang yang kau perlakukan seperti aku ini. Orang itu tentu mati dan kau hanyutkan di sungai itu.”

“Tidak. Aku bersumpah.”

“Apalah artinya sumpah bagi seorang pembohong.”

“Ampun. Aku mohon ampun.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika orang itu mencoba bangkit dan duduk di tepian berpasir, Glagah Putih telah mendekatinya, dan dengan satu tendangan di kening, orang itu sekali lagi jatuh terguling di pasir tepian.

Sejenak Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Ternyata orang itu telah menjadi pingsan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian dengan tergesa-gesa Glagah Putih meninggalkan tepian itu. Ia pun segera berlari lewat lorong-lorong sempit menuju ke rumah Ki Jagabaya.

Tetapi Glagah Putih tidak memasuki regol halaman rumah Ki Jagabaya dari depan. Glagah Putih sengaja meloncati dinding halaman belakang, untuk menghindari penglihatan orang-orang yang berada di regol dan halaman depan rumah itu.

Glagah Putih pun kemudian bergeser memasuki longkangan belakang, antara serambi belakang rumah induk Ki Jagabaya dengan bagian dapur dari rumah itu.

Glagah Putih pun tertegun. Namun ia pun menarik nafas lega ketika ia mendengar suara istrinya, “Lepaskan aku. Bawa aku kepada suamiku.”

Terdengar suara tertawa. Tidak hanya seorang laki-laki, tetapi terdengar suara tertawa beberapa orang laki-laki. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan berteriak-teriak begitu, Nyi. Sebentar lagi Ki Jagabaya akan segera datang kemari. Kau akan ditemaninya agar kau tidak kesepian. Sekarang Ki Jagabaya sedang menyelesaikan sedikit persoalan, karena ia harus menerima dua orang tamu yang nampaknya membawa berita penting. Entah berita, entah perintah.”

“Aku tidak mau menunggu Ki Jagabaya. Aku ingin menemui suamiku.”

Glagah Putih yang berada di longkangan itu pun termangu-mangu sejenak. Jika ada orang pergi ke dapur, ia harus mencari tempat persembunyian yang rapat. Karena itu, sebelum ada orang pergi ke dapur, maka Glagah Putih telah mempersiapkan tempat untuk bersembunyi di longkangan itu.

Dalam pada itu, untuk memberi isyarat kepada istrinya akan keberadaannya di longkangan, maka Glagah Putih pun telah menirukan suara seekor burung malam. Glagah Putih pernah tinggal di hutan saat menjalani berbagai macam laku, maka Glagah Putih dapat menirukan suara burung hantu tepat seperti suara burung hantu yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan suara itu Glagah Putih dapat menyampaikan pesan kepada Rara Wulan.

Orang-orang yang berada di rumah Ki Jagabaya tidak menghiraukan suara burung malam yang sekilas terdengar di halaman belakang. Namun yang sejenak kemudian suara itu sudah menghilang dan tidak terdengar lagi.

Tetapi bagi Rara Wulan, suara itu sangat berarti. Dengan demikian Rara Wulan pun mengetahui bahwa suaminya telah berada di halaman rumah Ki Jagabaya itu pula. Teriakan-teriakan Rara Wulan pun tiba-tiba menjadi semakin keras, bahkan rasa-rasanya rumah Ki Jagabaya itu telah tergetar.

Tiba-tiba saja terdengar suara seorang laki-laki yang berat, “Sumbat mulut perempuan itu jika ia tidak mau diam. Suaranya terdengar dari pringgitan, sehingga tamuku bertanya apakah ada seseorang yang sedang sakit. Aku berkata bahwa ibuku sedang sakit tulang, sehingga setiap malam yang dingin ia selalu berteriak-teriak. Karena itu, sebelum tamu-tamuku mendengar apa yang diteriakkan, jika ia tidak mau diam, biarlah mulutnya di sumbat kain yang kotor.”

Ketika orang itu pergi, maka seorang lain berkata, “Sumbat mulutnya dengan lampin daun jati yang kotor itu jika ia berteriak lagi. Ambil daun yang kotor itu di dapur.”

Namun Rara Wulan tidak berteriak lagi. Ia merasa bahwa ia sudah berhasil berhubungan dengan suaminya yang berada di luar. Hanya pada saat yang penting sajalah ia akan berteriak lagi.

Karena itu maka Rara Wulan justru terdiam, agar mulutnya tidak disumbat dengan daun yang kotor. Yang kemudian terdengar adalah suara seorang laki-laki. “Seharusnya kau berterima kasih, bahwa kau akan menjadi istri Ki Jagabaya. Jika kau berhasil memikat hatinya, maka apa saja yang kau inginkan akan dapat dipenuhinya.”

“Apakah kau berkata sebenarnya?” tiba-tiba saja Rara Wulan itu bertanya.

“Ya.”

“Kau yakin?”

“Aku yakin.”

“Baik. Jika demikian aku akan mempunyai permintaan kepada Ki Jagabaya. Sesuatu yang suamiku tidak akan dapat memberinya.”

“Apa?”

“Nanti akan aku katakan kepada Ki Jagabaya.”

“Sekarang katakan kepadaku. Biarlah aku nanti mengatakannya kepada Ki Jagabaya.”

“Sungguh?”

“Aku berjanji.”

“Tidak hanya berjanji. Kau harus bersumpah bahwa kau akan mengatakannya kepada Ki Jagabaya, sedangkan Ki Jagabaya tentu akan memenuhinya.”

“Ya. Aku bersumpah bahwa aku akan mengatakannya kepada Ki Jagabaya. Tetapi apakah Ki Jagabaya dapat memenuhinya atau tidak, aku tidak tahu.”

“Tetapi setidak-tidaknya kau dapat menekankannya.”

“Baik. Aku akan menekankannya agar Ki Jagabaya memenuhinya.”

“Terima kasih.”

“Kau belum mengatakannya.”

“Dengarlah baik-baik. Aku akan minta kepada Ki Jagabaya lidahmu.”

“Apa?”

“Lidahmu. Kau sudah bersumpah untuk mengatakannya kepada Ki Jagabaya. Dan kau pun bersumpah untuk ikut menekan agar Ki Jagabaya memenuhinya.”

“Gila! Sekali lagi kau menyebutnya, aku akan membunuhmu.”

“Kau tidak akan berani membunuhku. Ki Jagabaya tentu akan sangat marah kepadamu. Jika kau membunuhku, maka bukan hanya lidahmu yang akan dipotong, tetapi kepalamu. Ingat itu.”

“Iblis betina,” geram laki-laki itu.

“Jangan marah-marah seperti itu. Aku punya mulut, yang dapat aku pakai untuk melaporkan tingkah lakumu kepada Ki Jagabaya. Aku dapat mengatakan bahwa kau telah mengumpatiku dengan kasar. Bahkan aku dapat mengatakan yang lebih buruk lagi tentang kau dan siapa saja yang berani berbuat semena-mena kepadaku sekarang ini.”

“Iblis betina. Aku tampar mulutmu hingga semua gigimu tanggal.”

“Lakukan kalau kau berani mencobanya.”

Laki-laki itu menggeram. Giginya pun terdengar .gemeretak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Sementara itu Ki Jagabaya pun telah datang kembali sambil berkata, “Ada apa? Ada apa?”

“Perempuan itu, Ki Jagabaya.”

“Kenapa dengan perempuan itu?”

Rara Wulan tidak berteriak-teriak lagi. Bahkan ia pun bertanya, “Apakah tamunya sudah pergi Ki Jagabaya?”

Ki Jagabaya memang terkejut mendengar pertanyaan itu. Di luar sadarnya iapun menjawab. “Sudah, sudah, Nyi. Tamunya sudah pergi.”

“Untunglah tamu itu segera pergi, sehingga Ki Jagabaya dapat segera datang kemari.”

“Kenapa?”

“Laki-laki itu, Ki Jagabaya.”

“Laki-laki itu kenapa?”

“Ia selalu menggangguku. Bahkan membujukku untuk ikut pergi bersamanya. Ia bersedia menolongku melarikan diri dari rumah ini, asal aku bersedia ikut laki-laki itu ke rumah pamannya. Laki-laki itu akan bersembunyi di sana bersamaku.”

“Bohong!” teriak laki-laki itu dengan serta-merta.

“Nah, sekarang kau-lah yang berteriak-teriak, bukan aku. Sebaiknya mulutmu-lah yang disumbat.”

“Tetapi kau berbohong. Bahkan kau telah memfitnah.”

“Tidak, aAku tidak memfitnah. Jika Ki Jagabaya tidak percaya, silahkan bertanya kepada yang lain.” Rara Wulan berhenti sejenak, lalu katanya kepada yang lain, “Ayo, katakan apa yang sebenarnya kalian dengar. Jangan berbohong. Siapa yang berbohong tentu akan dihukum oleh Ki Jagabaya. Cepat katakan, bahwa laki-laki itu telah membujukku untuk membawa aku pergi. Kalian tidak berani mencegahnya karena kalian tidak berani bertarung melawan laki-laki itu. Tetapi seharusnya kalian tidak usah takut mengatakannya sekarang di hadapan Ki Jagabaya, karena Ki Jagabaya tentu akan bersikap adil.”

“Jadi laki-laki ini telah membujuknya?”

“Tidak, Ki Jagabaya, tidak. Aku tidak akan berani melakukannya.”

Tetapi Rara Wulan pun berkata, “Ternyata kau adalah pengecut. Kau tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri. Kau justru akan ingkar dan menuduhku memfitnahmu.” Lalu katanya kepada Ki Jagabaya, “Ki Jagabaya, silakan bertanya kepada orang-orang ini. Mereka akan mengatakan yang sebenarnya. Mereka tidak akan berani membohongi Ki Jagabaya, karena Ki Jagabaya tentu akan dapat menghukumnya.”

Ki Jagabaya itu pun kemudian memandang orang-orang yang berada di ruangan itu seorang demi seorang. Dengan geram Ki Jagabaya pun bertanya kepada seorang di antara mereka, “Apakah perempuan ini berkata sebenarnya?”

“Jawab apa adanya,” sahut Rara Wulan, “jika kau berbohong, maka lidahmu akan dipotong oleh Ki Jagabaya.”

Laki-laki itu memang menjadi ketakutan. Karena itu maka ia pun mengangguk sambil berkata, “Ya, Ki Jagabaya.”

“Nah, Ki Jagabaya telah mendengar kesaksian itu.”

“Tidak! Tidak!” laki-laki yang dituduh telah membujuk Rara Wulan itu berteriak-teriak, “Kenapa kau ikut memfitnahku? Kenapa?”

“Jadi benar apa yang dikatakan oleh perempuan itu?” bertanya Ki Jagabaya kepada orang yang lain.

Orang itu pun menjadi ketakutan pula. Karena itu maka ia pun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya, Ki Jagabaya.”

Tiba-tiba saja Ki Jagabaya itu pun menarik kerisnya sambil menggeram, “Pengkhianat! Kau akan mati karena pokalmu itu. Kau tahu bahwa aku memerlukan perempuan itu. Tetapi kenapa kau telah berani membujuknya dan berniat membawanya lari?”

Wajah Ki Jagabaya telah menjadi merah membara, sementara orang itu menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Ki Jagabaya, “Aku bersumpah, Ki Jagabaya. Aku bersumpah.”

Rara Wulan tiba-tiba menjadi iba melihat laki-laki yang menjadi sangat ketakutan itu. Rara Wulan memang menjadi sakit hati karena laki-laki itu telah membentak-bentaknya. Tetapi ketika ia melihat laki-laki itu duduk bersimpuh di hadapan Ki Jagabaya sambil membungkuk-bungkuk mencium lantai minta diampuni, maka jantungnya pun telah tergetar pula.

Tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun tertawa. Ia mencoba menirukan suara tertawa perempuan-perempuan yang garang, sehingga suara tertawanya itu bagaikan mengguncang tulang-tulang rumah Ki Jagabaya.

Ki Jagabaya dan beberapa orang laki-laki yang ada di ruang itu terkejut. Bahkan Glagah Putih pun terkejut mendengar suara tertawa Rara Wulan yang mendirikan bulu-bulu tengkuknya.

Namun Glagah Putih itu pun akhirnya tersenyum sendiri. Rara Wulan juga pernah terkejut mendengar Glagah Putih tertawa menirukan orang-orang yang berhati kelam tertawa. Namun dengan demikian Glagah Putih harus mengikuti perkembangan keadaan dengan seksama. Agaknya Rara Wulan telah mulai membuka persoalan yang akan dapat melibatkannya dalam pertempuran melawan orang-orang yang berada di rumah itu.

Namun pertempuran menurut perhitungan Glagah Putih tidak akan menyudutkan penghuni kademangan itu. Ki Jagabaya dan orang-orang yang ditanam oleh Perguruan Kedung Jati itu tidak akan mendendam kepada orang-orang kademangan serta para bebahu, karena yang memusuhi mereka adalah dua orang pengembara yang sekedar lewat.

Sikap Rara Wulan itu justru membuat Ki Jagabaya ragu-ragu. Jika semula ia benar-benar berniat membunuh laki-laki yang bersimpuh di hadapannya itu, namun sikap Rara Wulan itu justru telah mencegahnya.

“He, kau kenapa?” bertanya Ki Jagabaya, “Apakah kau telah kesurupan?”

“Ya, kau benar, Ki Jagabaya. Aku telah kesurupan. Tetapi yang membuat aku tertawa adalah sikap laki-laki cengeng itu. Ketika kau akan membunuhnya, maka ia mulai merengek mengiba-iba. Sebenarnyalah aku menjadi kasihan kepadanya. Ia menjadi sangat ketakutan melihat kau marah. Apalagi melihat kau menarik kerismu dari wrangkanya. Karena itu, maka biarlah aku tidak akan menyudutkannya lebih jauh lagi. Biarlah aku mengaku, bahwa aku telah memfitnahnya. Laki-laki cengeng yang sangat ketakutan itu tidak berbuat apa-apa. Karena itu, jangan kau bunuh orang itu. Jika nanti ia mencoba melawanku, mungkin aku akan membunuhnya. Tetapi jalan kematiannya akan berbeda. Ia akan mati dengan wajah geram seorang laki-laki, bukan wajah ketakutan dan menangis dari seorang perempuan cengeng.”

“Kau memang iblis betina.”

“Aku bukan iblis. Tetapi mungkin aku kesurupan iblis betina. Karena itu jangan mencoba menahan aku lebih lama lagi. Biarlah aku pergi, agar aku tidak menyebarkan kematian di sini.”

“Kau kira kau ini siapa, he? Kau gertak agar kami menjadi ketakutan dan melepaskan kau pergi. Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau pergi. Aku akan menunjukkan kepadamu kuasaku di padukuhan ini. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Suamimu telah mati dibunuh, dan mayatnya sudah dilemparkan ke sungai. Mayat itu akan hanyut sampai ke kedung yang dihuni oleh sekelompok buaya. Meskipun buaya-buaya di kedung itu terhitung kecil, tetapi buaya-buaya itu adalah buaya yang liar dan buas. Yang akan menyeret mayat suamimu ke dasar kedung itu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya, Ki Jagabaya?”

“Ya, aku berkata sebenarnya. Orang-orangku telah membunuhnya, sehingga ia tidak akan dapat menolongmu.”

Tetapi sikap Rara Wulan sangat mengejutkan Ki Jagabaya. Tiba-tiba saja Rara Wulan itu tertawa berkepanjangan. Bahkan meringkik seperti seekor kuda. Glagah Putih sempat bergumam di dalam hatinya, “Kapan Rara Wulan itu belajar meringkik?”

Ki Jagabaya yang terkejut itu pun bertanya dengan ragu-ragu, “Kenapa kau justru tertawa?”

“Terima kasih, Ki Jagabaya.”

“Kau justru berterima kasih?”

“Sudah lama aku ingin meninggalkannya. Tetapi laki-laki itu tidak mau melepaskan aku. Bahkan ia mengancam akan membunuhku.”

“Tetapi ketika kau kami pisahkan dari suamimu, kau berteriak-teriak seperti orang gila.”

“Aku hanya berpura-pura, Ki Jagabaya. Jika aku tidak melakukannya, maka jika ia kembali, ia akan menjadi sangat marah kepadaku. Ia akan memukuli aku seperti kebiasaannya.”

Ki Jagabaya justru menjadi semakin ragu untuk mempercayai perempuan itu. Ia melihat sikap perempuan itu benar-benar seperti sosok iblis betina.

“Apakah perempuan ini perempuan gila?” pertanyaan itu telah mengusik hati Ki Jagabaya.

Namun ketika Rara Wulan itu tertawa lagi berkepanjangan, maka Ki Jagabaya berkata, “Singkirkan perempuan itu Bawa perempuan itu ke tepian, sebagaimana suaminya. Lemparkan mayatnya ke sungai itu.”

Orang-orang yang berada di ruang itu pun segera bersiap. Laki-laki yang merasa telah difitnah oleh Rara Wulan itulah yang pertama-tama menangkap lengan Rara Wulan. Ia ingin menyeret perempuan itu dan membunuhnya di tepian.

Tetapi Rara Wulan tidak ingin pergi ke tepian dan berhadapan hanya dengan pengikut Ki Jagabaya. Tetapi Rara Wulan itu ingin membuat perhitungan langsung dengan Ki Jagabaya sendiri. Karena itu, ketika orang-orang yang ada di ruangan itu berusaha menangkapnya dan menyeretnya keluar, Rara Wulan itu sama sekali tidak melawan. Tetapi demikian ia berada di longkangan yang memisahkan bangunan utama dengan dapur, ia segera meronta.

Beberapa orang pun kemudian telah terlempar. Seorang yang kepalanya membentur tiang, berteriak kesakitan. Ki Jagabaya yang mendengar suara riuh itu pun segera pergi ke longkangan pula. Ia pun menjadi sangat terkejut ketika ia melihat beberapa orang telah terlempar jatuh.

Dua orang yang berusaha menerkam, tiba-tiba saja jatuh tersungkur. Kaki Rara Wulan sempat mengenai perut seorang di antara mereka, kemudian tangan Rara Wulan yang terjulur dengan telapak tangan yang terbuka telah menapak di dada yang lain.

Meskipun orang-orang yang terjatuh itu segera bangkit, namun mereka masih juga berdesis menahan sakit. Ada yang dadanya merasa sesak. Ada yang lambungnya terasa nyeri. Ada yang tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.

Ki Jagabaya itu pun menjadi sangat marah. Dengan geramnya ia berteriak, “He, perempuan iblis! Siapakah kau sebenarnya, he?”

“Kau sudah menyebutnya. Aku adalah perempuan iblis, yang mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengar, he, Jagabaya yang tidak tahu malu! Seharusnya kau bercermin di blumbang yang airnya tidak bergetar. Lihat wajahmu. Kau-lah hantu yang paling menakutkan. Karena itu maka segala solah tingkahmu itu harus dihentikan. Kau tidak pantas menjadi seorang Jagabaya, yang seharusnya menjadi pengayom. Yang seharusnya melindungi rakyatmu jika mereka mendapat ancaman, apalagi bahaya yang sebenarnya. Tetapi kau justru sebaliknya. Kau tidak melakukannya. Meskipun aku tidak menyaksikan, tetapi apa yang kau lakukan atas kami berdua, dua orang pengembara, telah mencerminkan tingkah lakumu di kademangan ini. Karena itu kelakuanmu harus dihentikan. Jika Jagabaya di kademangan ini bertingkah laku seperti kau, maka apa pula yang dilakukan oleh Ki Demang serta para bebahu? Mereka tentu merupakan kumpulan penghuni neraka jahanam ini.”

“Persetan, perempuan gila. Aku akan menghabisimu sebagaimana laki-laki yang bersamamu itu kami habisi.”

“Aku-lah yang akan menghabisimu. Kemudian aku akan menghabisi pula Ki Demang dan para bebahu di kesempatan lain, jika aku sempat”

Ki Jagabaya tidak sabar lagi. Kemarahannya telah membakar otaknya, sehingga ia pun kemudian berteriak, “Cepat, selesaikan perempuan itu! Buang mayatnya ke sungai seperti laki-laki yang mengaku suaminya itu.”

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih yang bersembunyi di longkangan itu pun bangkit berdiri dari belakang sebuah tumbu yang besar, sambil berkata, “Aku di sini, Ki Jagabaya. Buaya-buaya di kedung itu adalah sahabat-sahabatku, sehingga mereka tidak menggangguku.”

Semua orang berpaling kepada Glagah Putih, yang melangkah maju ke tengah-tengah longkangan itu sambil berkata, “Marilah kita selesaikan persoalan antara kita. Ki Jagabaya ternyata telah menggunakan kuasanya untuk menindas orang-orang yang dianggapnya lemah dan tidak berdaya, seperti kami berdua. Tentu bukan hanya soal perempuan, tetapi tentu juga soal yang lain.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi semakin tegang. Laki-laki yang seharusnya dibunuh dan dilemparkan ke sungai itu ternyata masih tetap hidup, dan bahkan kini berada di hadapannya.

Dengan geram Ki Jagabaya itu pun berkata, “Ternyata kau mempunyai nyawa rangkap, Ki Sanak. Kau mampu melepaskan diri dari tangan orang-orangku. Bahkan mungkin kau mampu membunuh mereka, karena sampai saat ini belum seorangpun di antara mereka yang datang kepadaku, memberikan laporan bahwa mereka tidak berhasil membunuhmu.”

“Aku bukan pembunuh, Ki Jagabaya. Aku tidak membunuh mereka, karena mereka tidak pantas untuk dibunuh. Yang pantas untuk mati adalah kau, Ki Jagabaya. Kau tentu merupakan sumber malapetaka di kademangan ini. Aku tidak tahu apakah Demang di kademangan ini juga sejahat atau bahkan lebih jahat dari kau sendiri. Tetapi apa yang kau lakukan ini adalah bencana bagi kademanganmu. Sudah aku katakan bahwa penindasan yang kau lakukan, serta perampasan terhadap hak orang-orang yang lemah akan berlangsung terus, sebelum kau berhasil disingkirkan. Bukan hanya perempuan, tetapi juga harta benda dan hasil bumi rakyatmu tentu sudah kau peras sampai kering.”

“Diam! Diam kau, anak setan! Kau sekarang berada di daerah kuasaku. Katakan, kau mau apa? Dan katakan, siapakah kau dan perempuan iblis ini.”

“Sudah aku katakan, kami adalah pengembara yang lewat. Kami kemalaman dan mohon ijin untuk menginap di banjarmu. Tetapi ternyata kau adalah seorang yang buas, yang sampai hati merampas hak dan milik orang-orang yang kau anggap lemah. Kau bukannya menjadi pelindung bagi sesamamu, tetapi kau justru menjadi benalu yang sangat memalukan.”

“Cukup! Cukup! Marilah, aku tantang kau,bertarung. Kau yang sesumbar bagaikan gelegar guruh di langit. Apakah kemampuanmu sepadan dengan suaramu.”

“Bagus. Aku terima tantanganmu, Ki Jagabaya.”

“Menilik sikapnya, perempuan ini juga seorang yang mempunyai kemampuan. Jika benar, marilah, aku tantang kalian berdua. Aku adalah Jagabaya yang bertugas untuk menjaga ketenangan hidup di kademangan ini.”

“Kenapa kau masih dapat berkata seperti itu? Ki Jagabaya, apakah kau tidak malu mendengar kata-katamu sendiri? Kata-kata yang sama sekali tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan sikap dan tingkah lakumu sendiri.”

“Diam! Aku akan mengoyakkan mulutmu.”

“Ki Jagabaya, apakah sudah terbiasa bahwa para pemimpin di kademangan ini berbuat sebagaimana kau lakukan itu? Tidak ada satunya kata dan perbuatan. Bahkan bertentangan sama sekali. Justru kau lakukan dengan terbuka, tanpa tedeng aling-aling.”

Ki Jagabaya itu menggeram. Dengan suara yang tergetar oleh kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, ia pun berkata, “Jangan banyak berbicara lagi. Bersiaplah kalian berdua. Aku akan membunuh kalian berdua seperti membunuh kecoak. Kalian akan aku injak sampai hancur menjadi debu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi Ki Jagabaya yang menantang mereka berdua untuk bertarung bersama-sama.

Menurut penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Jagabaya memang seorang yang berilmu tinggi. Tetapi mereka sebenarnya mempunyai perhitungan bahwa mereka tidak perlu menghadapinya bersama-sama. Namun mereka tidak mau merendahkan lawannya, sehingga mereka berdua telah siap untuk menghadapi Ki Jagabaya. Seorang yang bertubuh tinggi, besar dan berdada lebar.

Sambil bertolak pinggang orang yang bertubuh raksasa itu menggeram, “Bersiaplah. Aku akan melumatkan kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka berdiri tegak pada jarak yang tidak lebih dari selangkah.

Namun ketika Ki Jagabaya itu mulai bergeser, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah menyingsingkan kain panjangnya itu bergeser pula untuk mengambil jarak.

Ki Jagabaya tertegun sejenak. Semula ia mengira bahwa kedua orang yang mengaku suami istri itu akan bertempur berpasangan pada jarak yang pendek. Tetapi ternyata keduanya telah memisahkan diri dan menghadapi Ki Jagabaya dari arah yang berbeda.

“Anak-anak dungu,” berkata Ki Jagabaya di dalam hatinya, “aku akan dapat membunuh mereka satu demi satu.”

Dalam pada itu, maka Ki Jagabaya pun mulai menyerang Glagah Putih. Menurut perhitungan Ki Jagabaya, maka Glagah Putih tentu akan lebih berbahaya dan Rara Wulan.

Namun serangan Ki Jagabaya itu sama sekali tidak menyentuh Glagah Putih. Dengan tangkasnya Glagah Putih pun meloncat menghindarinya. Tetapi Ki Jagabaya tidak memberi Glagah Putih kesempatan. Dengan cepat Ki Jagabaya itu melenting menyerang dengan kakinya yang terjulur ke arah dada. Tetapi serangan itu pun tidak mengenai sasarannya.

Karena itu maka Ki Jagabaya segera meningkatkan ilmunya. Ia tidak boleh menunggu terlalu lama. Karena itu, serangannya yang telah dilambari dengan ilmunya yang semakin tinggi itu, menurut perhitungan Ki Jagabaya, akan mampu mengenai tubuh lawannya dan mendorongnya beberapa langkah surut, atau bahkan jatuh terlentang di tanah.

Tetapi perhitungan Ki Jagabaya keliru. Serangannya itu pun tidak dapat menyentuh tubuh lawannya. Ki Jagabaya itu mengumpat kasar. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya kepada Rara Wulan, yang nampaknya hanya berdiri termangu-mangu saja. Dengan kecepatan yang sangat tinggi, Ki Jagabaya pun meloncat menyerang dengan tangan yang terjulur mengarah ke dada.

Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan melenting, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya sama sekali. Kemarahan Ki Jagabaya menjadi semakin menyala. Ia pun segera meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Diburunya Rara Wulan dengan kecepatan yang semakin tinggi.

Tetapi serangan-serangan Ki Jagabaya itu pun tidak berhasil sama sekali. Serangan-serangannya tidak menyentuh tubuh Rara Wulan maupun Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan dengan sengaja memancingnya untuk bertempur semakin cepat. Bahkan sentuhan-sentuhan kecil telah mulai mengenai tubuh Ki Jagabaya. Namun sentuhan kecil yang semakin sering dari kedua suami istri itu mulai menyakiti tubuhnya.

Ki Jagabaya menjadi bertambah marah. Tetapi ia tidak dapat menghindari kenyataan. Kedua orang itu ternyata telah mempermainkannya. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak bertempur dengan meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak sehingga Ki Jagabaya itu segera dapat mereka lumpuhkan. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan justru menunggu sampai Ki Jagabaya menjadi tidak berdaya dengan sendirinya.

Setiap kali Glagah Putih dan Rara Wulan memancing Ki Jagabaya untuk mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan itu berloncatan dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan Ki Jagabaya.

“Iblis! Setan tetekan! Gendruwo!” umpat Ki Jagabaya, “Aku akan segera membunuh kalian!”

“Apa yang akan kau pakai untuk membunuh kami? Berdiri saja kau sudah tidak mampu,” sahut Rara Wulan sambil tertawa.

Ki Jagabaya yang berdiri terhuyung-huyung itu telah kehilangan tenaganya. Ki Jagabaya itu sudah terpancing untuk mengerahkan tenaganya, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan seakan-akan hanya sekedar menggodanya. Tetapi akhirnya, setiap sentuhan Glagah Putih dan Rara Wulan telah mampu menggoyahkan keseimbangannya, sehingga Ki Jagabaya itu terjatuh di tanah.

Mula-mula Ki Jagabaya masih mengingat harga dirinya, sehingga ia tidak minta bantuan orang-orangnya. Ki Jagabaya sendiri yang menantang kedua orang laki-laki dan perempuan itu bertempur melawannya. Tetapi ternyata ia tidak mampu berbuat banyak.

Tetapi akhirnya Ki Jagabaya tidak mempunyai pilihan lain. Dengan geram ia pun berkata, “Apa yang kalian lihat, he? Cepat kepung tempat ini! Tangkap kedua orang yang ingin melarikan diri ini. Jangan ragu-ragu. Jika keduanya melawan, bunuh saja mereka.”

Para pengikut Ki Jagabaya itu menjadi ragu-ragu sejenak. Mereka sama sekali tidak melihat kedua orang itu ingin melarikan diri. Yang mereka lihat justru Ki Jagabaya yang sudah kehilangan kesempatan sama sekali. Bahkan berdiri pun Ki Jagabaya sudah tidak tegak lagi.

Tetapi para pengikut Ki Jagabaya yang mengenal wataknya itu tidak berani mendahuluinya. Sebelum Ki Jagabaya memberikan perintah, maka para pengikutnya hanya dapat menunggu, meskipun mereka melihat Ki Jagabaya sudah mengalami kesulitan.

Baru setelah Ki Jagabaya memberikan aba-aba, meskipun aba-aba itu agak samar, para pengikutnya mulai bergerak. Tetapi sebagian dari mereka telah merasakan betapa perempuan itu memiliki kemampuan yang tinggi.

Beberapa orang pengikut Ki Jagabaya itu pun dengan serentak telah menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Jagabaya setelah beristirahat sejenak, telah terjun pula bersama orang-orangnya di arena pertempuran.

Tetapi mereka sama sekali tidak berdaya. Jangankan melawan dua orang. Untuk melawan Rara Wulan sendiri pun mereka mengalami kesulitan.

Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, para pengikut Ki Jagabaya itu pun telah terpelanting dari arena. Ada di antaranya yang membentur pintu longkangan. Ada yang tubuhnya terbanting di bebatuan. Ada yang terbanting jatuh di tanah, sehingga tulang-tulang punggungnya serasa patah.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya sendiri sudah tidak berdaya. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, serta pengetahuannya tentang susunan syaraf dan urat-urat nadi yang dipelajarinya dari Kitab Namaskara, maka Glagah Putih dan Rara Wulan memahami benar simpul-simpul syaraf di tubuh seseorang. Karena itu maka Glagah Putih pun telah menekan beberapa simpul syaraf Ki Jagabaya, menyesatkannya, sehingga syaraf tubuhnya tidak dapat bekerja sebagai seharusnya.

Ki Jagabaya yang sudah menjadi sangat letih itu pun kemudian terjatuh di tanah. Dengan susah payah ia masih mencoba untuk bangkit. Namun terasa ada sesuatu yang tidak sewajarnya di-tubuhnya.

“Kau akan banyak kehilangan kemampuanmu, Ki Jagabaya,” berkata Glagah Putih, “kau akan menjadi seorang yang lemah dan kehilangan tataran ilmumu yang tinggi.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi merah membara. Tetapi apa yang terjadi pada dirinya membuatnya sangat ngeri. Jika ia kehilangan kemampuannya, maka ia tidak akan dapat lagi mempertahankan kedudukannya. Dengan demikian berarti bahwa ia akan tersingkir dari jalur kekuasaan Demak dan Perguruan Kedung Jati.

Tetapi kenyataan itu tidak dapat diingkarinya. Ki Jagabaya itu merasakan kelainan pada dirinya, pada tubuhnya dan pada ilmunya.

Tiba-tiba saja kemarahan Ki Jagabaya itu pun meledak. Dengan geram ia pun berteriak, “Bunyikan kentongan dengan irama titir! Biarlah seluruh kademangan ini bangun dan mengepung kedua orang perampok ini, serta membunuhnya beramai-ramai.”

“Jangan lakukan!” teriak Glagah Putih tidak kalah lantangnya. “Jika hal itu kalian lakukan, maka akan jatuh korban yang tidak terhitung banyaknya di padukuhan ini. Kami berdua terpaksa membunuh untuk menyelamatkan diri kami. Yang pertama-tama akan mati adalah Ki Jagabaya serta orang-orang yang sekarang berada di sini.”

Ki Jagabaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun berteriak pula, “Aku tidak peduli! Bunyikan kentongan!”

Beberapa orang yang kesakitan itu pun berusaha untuk bangkit. Mereka berusaha untuk meninggalkan longkangan itu untuk mencapai kentongan, yang berada di serambi depan.

Tetapi Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Baiklah. Biar mereka membunyikan kentongan. Tetapi orang-orang kademangan ini tidak akan dapat menangkap aku.”

“Kau akan dicincang oleh rakyatku.”

“Mimpilah. Tetapi kau bukan lagi Ki Jagabaya yang tadi. Kau adalah seorang laki-laki yang lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Jangankan sebagai Jagabaya, sebagai penunggu banjar pun kau tidak pantas lagi.”

“Persetan.” Ia pun kemudian berteriak keras sekali, “Bunyikan kentongan!”

“Marilah kita tinggalkan neraka ini,” berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan.

Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Kakang. Kita akan pergi. Itu lebih baik daripada membunuh banyak orang di sini. Bahkan membunuh Ki Jagabaya.”

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meninggalkan longkangan itu. Mereka justru masuk ke dapur dan hilang lewat pintu yang lain. Mereka muncul di kebun belakang. Kemudian melintasi rumpun bambu yang gelap serta meloncati dinding di belakang.

Sementara itu terdengar suara kentongan yang ditabuh di rumah Ki Jagabaya itu. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan pergi ke banjar untuk singgah sebentar minta diri kepada penunggu banjar.

Penunggu banjar itu terkejut. Baru saja ia memberitahukan kepada istrinya dengan suara yang sendat, bahwa laki-laki yang minta ijin untuk bermalam di banjar itu sudah dihabisi di tepian.

“Darimana kau tahu, Kakang?” bertanya istrinya.

“Aku mengikuti mereka beberapa lama. Tetapi ketika beberapa orang membawanya ke tepian, maka aku pun yakin bahwa laki-laki yang masih terhitung muda itu akan diakhiri hidupnya.”

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengetuk pintunya.

“Jadi kau dapat membebaskan dirimu, Ngger?” bertanya laki-laki penunggu banjar itu.

“Yang Maha Agung masih melindungi aku, Paman.”

“Marilah, masuklah.”

“Tidak, Paman. Jika aku berada di sini, maka aku akan dapat menyulitkan Paman. Karena itu biarlah kami berdua minta diri. Paman dapat mengatakan bahwa paman tidak melihat kami lagi.”

“Tetapi suara kentongan itu Ngger? Orang-orang kademangan ini akan keluar dari rumah mereka.”

“Aku kira rakyat kademangan ini tidak akan berbuat apa-apa meskipun mereka keluar dari rumah mereka. Mereka tahu, apa saja yang telah dilakukan oleh Ki Jagabaya.”

“Ya, Ngger. Kami sebenarnya segan melakukan perintah Ki Jagabaya dan para bebahu yang lain.”

“Sudahlah, Paman. Kami berdua minta diri. Tetapi harap Paman ketahui, bahwa setelah malam ini, Ki Jagabaya akan berubah untuk beberapa lama. Mungkin ada orang yang dapat menyembuhkannya. Tetapi ia memerlukan waktu yang panjang.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera meninggalkan banjar. Dalam kegelapan mereka menyusup lorong-lorong kecil yang kemudian sampai di tepian. Mereka pun kemudian menyeberangi sungai dan naik ke tebing yang rendah di seberang sungai.

Sementara itu, suara kentongan masih saja menggema. Semua orang laki-laki telah keluar dari rumah mereka. Suara kentongan di seluruh padukuhan pun kemudian saling sahut-menyahut.

Beberapa orang laki-laki yang sudah terlatih segera berada di rumah Ki Jagabaya. Dengan geram Ki Jagabaya pun memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mengaku sebagai suami-istri.

“Tangkap mereka, hidup atau mati! Bawa mereka kemari. Jika mereka terbunuh, seret mayatnya ke rumahku!” teriak Ki Jagabaya.

Beberapa orang laki-laki itu pun segera berpencar. Tetapi mereka sudah tidak menemukan lagi Glagah Putih dan Rara Wulan, yang sudah berjalan semakin jauh dari padukuhan itu.

Ternyata di padukuhan itu pun terdapat perbedaan pendapat tentang kuasa di Demak. Ada di antara mereka yang meyakini bahwa Demak akan dapat mengambil kembali kuasa dari Mataram. Kanjeng Pangeran Puger adalah saudara yang lebih berhak untuk duduk di atas tahta, karena Pangeran Puger adalah saudara tua dari Kanjeng Sultan yang bertahta di Mataram.

Tetapi ada yang menjadi cemas, bahwa kuasa Demak akan bertindak sewenang-wenang dan bahkan menindas rakyat di padesan, sebagaimana yang tercermin pada tingkah laku para petugas yang telah lebih dahulu datang di padesan itu. Meskipun demikian, tidak ada yang mampu membendung arus kekuasaan Demak, yang didukung oleh sebuah perguruan besar yang baru bangkit kembali.

Di sisa malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah padang perdu. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang besar. Mereka berdua duduk bersandar batangnya yang besarnya lebih dari dua pelukan tangan mereka.

“Tugas kita menjadi berkembang,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” sahut Rara Wulan, “kita tidak saja harus pergi ke padepokan Jung Wangi serta mengamati perkembangan Perguruan Kedung Jati di sebelah utara Gunung Kendeng. Tetapi kita juga harus mengamati perkembangan sikap Kanjeng Adipati di Demak.”

“Menurut pendapatku, sebaiknya kita langsung saja pergi ke Demak. Kita akan melihat langsung berbagai macam kegiatan serta perkembangan yang terjadi di Demak, setelah Demak berusaha menebarkan kuasanya.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk. Namun kemudian Katanya, “Tetapi sekarang aku mau tidur.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tidurlah. Biarlah aku berjaga-jaga. Nanti kalau aku sudah mengantuk sekali, aku akan membangunkanmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk saja, sementara matanya sudah terpejam.

Sejenak kemudian Rara Wulan pun telah tertidur nyenyak, meskipun ia hanya duduk di atas rerumputan kering serta bersandar sebatang pohon. Tidak ada pembaringan yang tertata rapi seperti di penginapan. Bahkan udara yang basah telah mengusap wajahnya.

Glagah Putih sempat memperhatikan wajah istrinya. Sambil menarik nafas panjang, ia pun berkata di dalam hatinya, “Setelah kami menyelesaikan tugas kami kali ini, kami akan berhenti bertualang. Seharusnya Rara Wulan akan dapat hidup sewajarnya sebagaimana sebuah keluarga, dengan hadirnya beberapa orang anak.”

Glagah Putih pun menarik nafas panjang. Wajah Rara Wulan dengan mata terpejam itu kelihatan tenang dan damai. Tidak ada pancaran kebencian dan dendam sama sekali. Tetapi di dalam pengembaraan itu, kadang-kadang Rara Wulan terpaksa harus membunuh sesamanya.

Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Ia pun kemudian bergeser beberapa langkah, keluar dari bayangan rimbunnya daun dari sebatang pohon yang besar itu.

Ketika Glagah Putih menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit bersih. Bintang-bintang tertabur di langit yang luas, dari cakrawala sampai ke cakrawala.

Glagah Putih pun kemudian berjalan mondar-mandir, dan bahkan sekali-sekali mengitari batang pohon yang besar itu.

“Pohon nyamplung,” desisnya setelah beberapa lama mengamati daun pohon raksasa itu. Glagah Putih pun kemudian duduk di atas sebuah batu, beberapa langkah dari batang pohon nyamplung itu, sambil memperhatikan kabut yang mulai turun di atas padang perdu itu. Semakin lama menjadi semakin tebal, sehingga pandangan matanya menjadi semakin terbatas.

Ketika kabut itu menjadi semakin tebal, maka Glagah Putih pun telah bergeser kembali duduk bersandar pohon nyamplung itu, di samping istrinya yang masih tidur lelap. Nampaknya Rara Wulan merasa letih. Bukan tubuhnya saja, tetapi juga hatinya yang tersinggung oleh sikap Ki Jagabaya.

Ketika kemudian Rara Wulan terbangun dengan sendirinya, ia memang merasa agak bingung oleh kabut yang tebal di sekitarya.

“Kakang,” desisnya, “apa yang terjadi?”

Glagah Putih yang duduk di sampingnya tersenyum. Katanya, “Kita berada di dalam kabut yang agak tebal. Tetapi menjelang matahari terbit, kabut ini tentu sudah terkuak.”

“Kabut?”

“Ya.”

Rara Wulan yang telah menjadi sadar sepenuhnya setelah bangun tidur itu pun bangkit berdiri. Sambil mengangguk-angguk ia pun berdesis, “Ya. Kabut. Ada juga kabut di padang perdu seperti ini.”

“Tidak akan lama,” sahut Glagah Putih.

Rara Wulan pun kemudian duduk kembali sambil berdesis, “Masih ada waktu bagi Kakang untuk beristirahat barang sekejap.”

“Tentu. Bukankah sejak tadi aku sudah beristirahat.”

“Maksudku, Kakang dapat tidur sesilir bawang.”

“Baiklah,” sahut Glagah Putih. Tetapi ia sama sekali tidak mengantuk.

Meskipun demikian Glagah Putih itu pun kemudian duduk bersandar pohon nyamplung yang besar itu sambil memejamkan matanya.

Namun beberapa saat kemudian, lamat-lamat telah terdengar kokok ayam hutan. Kokok ayam itu seakan-akan telah menguak kabut yang menyelimuti padang perdu yang tidak terlalu jauh dari hutan itu. Bahkan selain kokok ayam hutan, masih juga terdengar kicau burung-burung liar yang seakan-akan menyambut kedatangan pagi.

Glagah Putih bahkan telah membuka matanya dan bahkan bangkit berdiri, ketika ia mendengar di dahan pohon nyamplung itu telah hinggap dua ekor burung yang dengan suara yang lantang berkicau bersahutan.

“Burung apa itu, Kakang?” bertanya Rara Wulan yang juga tertarik oleh suara burung itu.

Glagah Putih masih belum melihat burung-burung itu. Namun kemudian Glagah Putih pun melihat dua ekor burung kutilang yang hinggap di dahan pohon nyamplung itu. Sambil menunjuk kedua ekor burung itu Glagah Putih pun berkata, “Lihat itu. Dua ekor burung kutilang. Suaranya ternyata lantang sekali. Tidak kalah dari suara burung-burung liar yang berada di hutan.”

Rara Wulan pun menengadahkan wajahnya. Kabut pun sudah mulai menipis, dan bahkan seperti tirai yang terangkat perlahan-lahan oleh cahaya fajar. Rara Wulan yang juga dapat melihat burung itu mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian langit pun menjadi terang. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah turun ke sebuah sungai kecil untuk mencuci muka serta berbenah diri serba sedikit. Baru kemudian mereka pun naik lagi, justru di seberang sungai kecil itu.

Ketika mereka berdiri di atas tanggul, mereka melihat bahwa tidak jauh dari tempat mereka berdiri terdapat jalan yang lebih besar dari jalan yang telah dilaluinya. Bahkan agaknya jalan itu termasuk jalan yang cukup ramai. Glagah Putih dan Rara Wulan melihat tiga orang berkuda mengiringi sebuah pedati yang diduga berisi barang-barang dagangan yang akan dibawa ke pasar.

“Agaknya ada pasar yang ramai di sekitar tempat ini,” desis Rara Wulan.

“Kau yakin, bahwa yang ada di pedati itu barang-barang dagangan yang akan dibawa ke pasar?” bertanya Glagah Putih.

“Jika bukan barang-barang dagangan, lalu apa?”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun nampaknya isi pedati itu cukup berat, sehingga dua ekor lembu yang menariknya harus mengerahkan tenaganya. Beberapa saat keduanya mengamati pedati yang berjalan lamban. Sekali-sekali rodanya terguncang oleh lubang-lubang yang ada di jalan itu.

“Kalau pedati itu berisi barang dagangan yang akan dibawa ke pasar, dagangan apakah yang agaknya demikian beratnya itu. Apalagi pedati itu telah ditutup demikian rapatnya, sehingga orang tidak akan dapat melihat apa yang berada di dalamnya,” desis Glagah Putih kemudian.

“Ya. Yang berkuda itu agaknya orang-orang yang bertugas mengawal pedati itu.”

Keduanya mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja roda pedati itu terperosok ke dalam sebuah lubang yang agak dalam, sehingga kedua ekor lembunya tidak kuat lagi menarik pedati itu keluar dari lubang itu.

Tiba-tiba tiga orang telah berloncatan dari dalam pedati itu. Ternyata di samping barang-barang yang dibawanya, ada tiga orang yang berada di dalam pedati. Seorang saisnya serta dua orang yang nampaknya sebagaimana orang-orang berkuda itu, mengawal barang-barang yang dibawa dalam pedati itu.

Ketiga orang yang berloncatan keluar dari dalam pedati itu mencoba membantu mendorong pedati itu. Bahkan mencoba mengangkat rodanya dari lubang yang dalam. Tetapi ketiga orang itu tidak mampu mengangkat roda pedati itu.

“Turunlah,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu kepada ketiga orang berkuda yang mengiringi pedati.

Tiga orang penunggang kuda itu pun berloncatan turun pula. Bersama-sama, keenam orang itu berusaha mengangkat roda pedati, sementara lembunya berusaha dengan sekuat tenaga menariknya.

Tetapi pedati yang terhitung besar dan ditarik oleh dua ekor lembu itu sama sekali tidak bergerak.

“Apa sebaiknya yang harus kita lakukan?” bertanya seorang di antara mereka.

Seorang yang agaknya memimpin kawan-kawannya itu pun berkata, “Kita kurangi muatannya.”

“Apakah kita akan membuangnya?”

“Tidak, bodoh. Kita turunkan. Nanti setelah lewat lubang itu, kita akan memuatnya lagi.”

Yang lain pun mengangguk-angguk mengiyakan. Seorang di antara mereka berkata, “Ya. Kita kurangi berat pedati itu.”

Demikianlah, maka keenam orang itu pun kemudian telah membuka kerudung pedati itu. Mereka pun kemudian menurunkan sebagian muatan dari pedati itu dan meletakkannya di pinggir jalan.

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Ketika beberapa ikat dari barang barang yang ada di pedati itu diturunkan, maka Glagah Putih pun berdesis, “Senjata”

“Ya.” Rara Wulan pun menjadi berdebar-debar melihat beberapa ikat tombak pendek telah diturunkan.

Sebenarnyalah bahwa keenam orang itu telah menurunkan beberapa ikat tombak pendek dan pedang. Baru kemudian mereka mencoba untuk mendorong gerobak itu lagi. Karena gerobak itu masih belum bergerak maju, maka mereka telah menurunkan beberapa ikat lagi.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian menyadari bahwa tidak seharusnya mereka menonton orang-orang yang sedang sibuk menurunkan beberapa ikat senjata dari pedati itu. Jika pedati itu harus dikerudungi dengan rapat, maka senjata-senjata itu tentu dikirim dengan rahasia ke tempat-tempat yang rahasia pula.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mengetahui, dihubungkan dengan perkembangan keadaan, bahwa senjata-senjata itu tentu akan dikirim untuk mempersenjatai orang-orang yang mengikuti latihan-latihan keprajuritan sepekan dua atau tiga kali.

“Nampaknya Demak dan Perguruan Kedung Jati kali ini bersungguh-sungguh dengan persiapan yang matang,” desis Rara Wulan.

“Ya,” jawab Glagah Putih, “tetapi sebaiknya kita tidak berdiri disini. Sebaiknya kita menyingkir saja.”

“Ya. Mereka tentu tidak senang jika mereka mengetahui ada orang lain yang tidak mereka kenal menyaksikannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berniat kembali menuruni tebing yang rendah dan menyingkir sepanjang tepian. Tetapi ternyata seorang di antara mereka yang menurunkan senjata dari pedati itu melihatnya.

“Siapa orang itu?” desis orang yang melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang menyingkir itu.

Kawan-kawannya pun segera berpaling. Ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, maka orang yang agaknya memimpin tugas pengiriman senjata itu berteriak, “He, Ki Sanak! Berhenti!”

“Mereka sudah melihat kita, Kakang.”

“Ya. Kita tidak dapat menghindar lagi.”

Keduanya pun kemudian berhenti. Mereka berdiri di atas tanggul sungai, menunggu empat orang di antara keenam orang itu mendatangi mereka. Sedangkan dua orang yang lain tetap di tempatnya menunggui senjata-senjata itu.

Beberapa langkah di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan, keempat orang itu pun berhenti. Dengan wajah yang gelap, orang yang nampaknya memimpin pengiriman senjata itu bergeser maju selangkah sambil berkata dengan nada yang berat, “Siapakah kalian berdua, Ki Sanak?”

“Kami adalah dua orang pengembara. Kami menyusuri padukuhan demi padukuhan untuk mengenali dunia yang luas ini.”

“Apakah hubungan di antara kalian berdua?”

“Perempuan ini adalah istriku. Kami berselisih dengan keluarga kami, sehingga kami telah diusir dari rumah kami. Tetapi rumah itu memang bukan rumahku, tetapi rumah pamanku.”

Orang yang berwajah gelap itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Dengan curiga orang itu berkata, “Kenapa kalian memperhatikan kami? Pedati yang terpaksa kami turunkan sebagian muatannya itu.”

“Aku tidak memperhatikan Ki Sanak serta pedati dan isinya itu. Kami baru saja mencuci muka di sungai itu. Demikian kami naik ke atas tanggul, kami melihat ada pedati yang berhenti karena rodanya terperosok ke dalam lubang yang agak dalam. Semula kami berniat untuk membantu mendorong, tetapi setelah kami melihat isi dari pedati itu setelah Ki Sanak turunkan, maka kami membatalkan niat kami. Kami berniat untuk pergi dan tidak mengetahui apa-apa tentang pedati yang berisi senjata itu.”

“Apapun alasannya, tetapi kalian sudah mengetahui isi dari pedati itu. Karena itu, aku minta kalian ikut aku sampai ke padukuhan di belakang bulak itu. Kami akan menyerahkan kau kepada petugas kami di padukuhan itu. Selanjutnya biarlah mereka yang memutuskan, apa yang akan mereka lakukan terhadap Ki Sanak berdua, sementara kami akan melanjutkan perjalanan kami. Senjata-senjata itu tidak kami peruntukkan bagi padukuhan di belakang bulak itu. Tetapi senjata-senjata itu akan kami kirimkan ke tempat yang lebih jauh untuk keperluan yang khusus. Satu lingkungan yang selama ini tidak pernah tenang karena ulah segerombolan perampok yang sangat ganas. Rakyat di lingkungan itu memerlukan senjata. Karena itu maka kami mengirimkan senjata ke padukuhan itu, agar rakyatnya sempat mempertahankan dirinya.”

“Ki Sanak, kenapa kami berdua harus ikut bersama Ki Sanak? Bukankah kami tidak berbuat apa-apa? Apakah salah, jika kami berpapasan dengan Ki Sanak yang mengawal sebuah pedati yang membawa senjata, untuk menolong rakyat yang dihantui oleh gerombolan perampok?”

“Tetapi kalian telah melihat rahasia pengiriman senjata itu.”

“Kenapa harus dirahasiakan, Ki Sanak? Biarlah para perampok itu mengetahui bahwa sasaran mereka telah dipersenjatai.”

“Tidak. Yang terjadi justru sebaliknya. Para perampok itu akan menjadi semakin garang. Mereka pun akan menjadi semakin berhati-hati. Tetapi jika mereka tidak tahu bahwa sasaran mereka telah bersenjata lengkap, maka mereka akan dapat dijebak”

“Baiklah. Jika demikian, biarlah aku pergi jauh. Aku tidak akan lagi mendekati daerah ini. Aku akan pergi ke Demak.”

“Tidak. Kalian akan kami serahkan kepada bebahu di padukuhan itu. Berbicaralah dengan mereka. Apakah kalian boleh pergi atau tidak, mereka-lah yang akan memutuskan.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ada niat mereka untuk mengetahui keadaan padukuhan di seberang bulak itu. Tetapi mungkin sekali mereka akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar. Mungkin ada beberapa orang berilmu tinggi di padukuhan itu, atau sekelompok prajurit dan murid-murid dari Perguruan Kedung Jati yang jumlahnya cukup besar.

Karena itu, baik Glagah Putih maupun Rara Wulan memperhitungkan bahwa lebih baik menghadapi orang-orang yang ada di hadapan mereka itu, daripada mereka yang berada di padukuhan, yang belum diketahui jumlah serta kemampuan mereka.

Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Bukankah kita tidak perlu pergi ke padukuhan itu, Rara? Kita tidak akan meloncat ke dalam lubang yang dalam dan gelap, yang tidak kita ketahui dasarnya serta apa saja yang ada di dasar lubang itu.”

“Ya. Aku sependapat, Kakang,” jawab Rara Wulan

“Apa yang Ki Sanak katakan?” bertanya orang yang berwajah gelap itu.

“Maaf, Ki Sanak. Kami berkeberatan untuk pergi ke padukuhan itu. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. Jika kami singgah serta menunggu keputusan para bebahu, kami akan banyak kehilangan waktu.”

“Jika kalian tidak merasa bersalah, kalian tidak perlu takut menghadap para bebahu serta petugas-petugas kami yang ada di padukuhan itu.”

“Kami tidak takut, Ki Sanak. Kami hanya tidak ingin kehilangan banyak waktu. Sementara itu, jika benar apa yang kalian katakan tentang senjata itu, maka itu bukannya rahasia. Kalian tentu tidak merasa perlu untuk membawa kami kepada para bebahu dan petugas-petugas kalian di padukuhan itu.”

Namun tiba-tiba Rara Wulan bertanya, “Siapakah sebenarnya yang kalian maksud dengan petugas-petugas kalian itu?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu tidak diduganya sebelumnya. Namun demikian, orang yang berwajah gelap itu menjawab, “Kami adalah para prajurit dari pasukan yang khusus untuk memberantas kejahatan, dari Demak. Karena itu kalian harus tunduk kepada kami.”

Tetapi Rara Wulan itu pun berkata pula, “Ki Sanak, biarlah kami berdua melanjutkan perjalanan. Waktuku sudah banyak terbuang. Demikian pula waktu Ki Sanak. Bukankah lebih baik bagi kalian untuk menyelesaikan pekerjaan kalian? Bahkan jika kalian minta, kami akan bersedia membantu kalian mendorong pedati itu keluar dari lubang yang agak dalam itu.”

“Cukup! Aku memang tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Cepat ikut kami. Bantu kami mendorong pedati itu, tetapi setelah itu kalian harus ikut bersama kami.”

Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, “Sayang, Ki Sanak. Aku tidak dapat ikut bersama kalian. Tetapi kami bersedia membantu mendorong pedati kalian.”

“Kami akan dapat melakukannya tanpa kalian. Setelah sebagian dari muatannya sudah kami turunkan, maka kedua ekor lembu itu akan dapat menariknya. Tetapi yang penting bagi kalian adalah justru ikut bersama kami sampai ke padukuhan di belakang bulak itu.”

“Maaf, Ki Sanak. Bagaimanapun juga kami berkeberatan.”

“Apakah kami harus memaksa? Kami akan dapat mengikat tangan kalian pada pedati itu, sehingga kalian akan terseret sampai ke padukuhan di belakang bulak. Jika kalian tidak ingin terhina seperti itu, maka sebaiknya kalian ikut kami dengan suka rela.”

“Kalian tidak dapat memaksa kami. Adalah hak kami untuk menentukan kemana kami akan pergi, karena kami tidak merasa harus menuruti perintah kalian.”

Orang yang berwajah gelap itu menggeram. Ia pun kemudian memerintahkan kepada orang-orangnya, “Tangkap keduanya. Ikat tangannya dan kemudian ikatkan talinya pada pedati itu.”

“Aku akan mengambil tali itu di pedati, Kakang,” berkata seorang di antaranya.

“Berteriak sajalah. Biarlah salah seorang dari kedua orang yang menunggui senjata itu membawa tali ijuk itu kemari.”

Orang itu pun segera berteriak kepada kawannya agar kawannya itu membawa tali ijuk kepada mereka. Sebenarnyalah seorang di antara kedua orang yang menunggui pedati itu telah berlari-lari membawa tali ijuk.

“Jangan bodoh,” berkata orang yang berwajah gelap itu, “jika kalian mencoba untuk melawan, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk.”

“Jika kami melawan Ki Sanak, justru karena kami ingin memperbaiki nasib kami. Karena itu, jangan paksa kami.”

“Cukup!” orang yang berwajah gelap itu menjadi marah. “Kami berlima, dan kau hanya seorang diri. Betapapun tinggi ilmumu, maka akhirnya kau akan aku seret di belakang pedati bersama istrimu itu.”

“Bukankah kau lihat, bahwa aku tidak sendiri?”

“Apa yang dapat dilakukan oleh istrimu?”

“Kita akan melihat, apa yang dapat dilakukannya.”

Orang itu menggeram. Kemudian sekali lagi ia berteriak, “Lakukan! Tangkap kedua orang itu! Jika mereka melawan, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar