Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 374

Buku 374

Ki Demang menarik nafas panjang. Sementara itu perempuan itu pun berkata selanjutnya dengan suara yang menjadi semakin garang, “Kami ingin mendengar keputusan Ki Demang dan para bebahu di Sima.”

“Nyi Kembang Waja,” suara Ki Demang menjadi sendat, “kami tidak ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Perguruan Kedung Jati. Kami tidak ingin Sima menjadi landasan langkah Perguruan Kedung Jati dalam perjalanannya ke Barat. Atau mungkin langkah Perguruan Kedung Jati ke Pajang, baru kemudian menuju ke Barat.”

“Jadi Ki Demang benar-benar telah menolak?”

“Kami dan para bebahu memang menolak, Nyi.”

“Jadi Ki Demang berani melawan kami? Ki Demang harus tahu, bahwa kami tidak akan pernah memaafkan orang yang menolak kemauan kami. Kami tidak akan pernah membatalkan rencana yang sudah kami susun.”

“Tidak, Nyi Kembang Waja. Kami menyadari bahwa kami tidak akan mampu melawan Nyi Kembang Waja serta orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, yang sekarang sudah berada di Sima.”

“Jadi bagaimana keputusanmu?”

“Kami, para bebahu yang sekarang memimpin Kademangan Sima, tidak dapat menerima kemauan Nyi Kembang Waja. Tetapi jika Nyi Kembang Waja berniat untuk terus melaksanakan niat Nyi Kembang Waja, maka kami para bebahu akan segera meletakkan jabatan. Silakan Nyi Kembang Waja menentukan langkah selanjutnya. Mungkin ada orang-orang Sima yang bersedia menggantikan kedudukan kami sebagai bebahu di Sima.”

“Jadi semua bebahu di Kademangan Sima sudah menolak?”

“Nyi Kembang Waja dapat menanyakan kepada mereka masing-masing. Tetapi kami yang berada di sini sekarang, menyatakan menolak menyetujui kemauan Nyi Kembang Waja. Tetapi karena ketidakmampuan kami mempertahankan keyakinan kami, serta mengingat keselamatan rakyat Kademangan Sima, maka biarlah kami yang menyingkir. Silakan Nyi Kembang Waja berhubungan dengan orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan Nyi Kembang Waja.”

“Bagus. Ternyata kalian bijaksana. Jadi jelasnya, kalian bertiga meletakkan jabatan kalian?”

“Ya.”

“Baik. Aku kira hanya kalian bertiga yang menolak kemauan kami. Jika para bebahu yang lain sependapat dengan kalian, mereka pasti berada di sini sekarang. Karena itu sebaiknya kami menghubungi para bebahu yang lain, untuk memastikan apakah mereka sependapat dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel atau tidak. Sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah selanjutnya untuk melangkah ke depan.”

“Silahkan, Nyi. Untuk selanjutnya kami akan menepi. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Meskipun kami tidak dapat menerima niat Nyi Kembang Waja, tetapi kami tidak akan mengganggu apapun yang akan kau lakukan di Kademangan Sima.”

“Baik, Ki Demang. Tetapi kami harus mendapat kepastian bahwa kalian benar-benar tidak akan mengganggu. Tidak akan menghasut rakyat Sima, dan tidak akan melaporkan rencana persiapan kami di Sima ini kepada orang-orang Pajang atau orang-orang Mataram.”

“Tentu tidak, Nyi. Buat apa kami mempersulit diri melaporkan kepada orang lain tentang perkembangan di kademangan ini? Bahkan mungkin Pajang dan Mataram justru akan menganggap aku bersalah, bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa di kademanganku sendiri. Karena itu maka aku lebih baik akan turun saja ke sawah. Selain sawah pelungguh yang tentu akan segera dicabut dan diberikan kepada Demang yang baru, aku masih mempunyai beberapa petak sawah. Demikian pula Ki Jagabaya dan Ki Bekel.”

“Aku tahu bahwa pada dasarnya kalian, terutama Ki Demang, adalah orang yang terhitung kaya di sima. Karena itu, tanpa jabatan apapun, Ki Demang akan tetap dapat hidup berkecukupan.”

“Itu adalah kurnia Yang Maha Agung, Nyi.”

“Baik, Ki Demang. Aku sudah mengambil keputusan untuk membebaskan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel dari tugas-tugas kalian. Aku pun sudah menemukan cara untuk mendapatkan satu kepastian bahwa kalian bertiga tidak akan merugikan kami. Tidak akan menghasut rakyat, terutama para bebahu di Sima, tidak akan menghambat usaha-usaha kami, dan yang penting tidak akan meninggalkan Sima untuk melapor ke Pajang dan Mataram.”

“Kami berjanji, Nyi.”

“Itu belum cukup.”

“Maksud Nyi Kembang Waja?”

“Kalian harus hilang dari peredaran.”

Ketiga orang itu terkejut, sehingga Ki Bekelpun beringsut setapak surut.

“Kenapa Nyi Kembang Waja mengambil keputusan seperti itu?”

“Itu adalah cara yang terbaik untuk mengamankan segala rencana kami, Ki Bekel.”

Namun laki-laki yang disebutnya sebagai suaminya itu pun berkata, “Apakah perlu sejauh itu, Nyi? Bukankah tidak terlalu sulit bagi kita untuk menyimpan ketiga orang itu tanpa harus membunuhnya?”

“Tetapi kemungkinan terburuk dapat saja terjadi, jika ketiganya atau salah seorang dari mereka berhasil melarikan diri.”

Suasana menjadi sangat tegang. Keringat mulai mengalir di punggung Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel.

“Jika kita masukkan mereka ke dalam bilik dengan kerangka kayu yang kokoh, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dengan atap raguman serta lubang-lubang angin yang berjeruji, tidak akan mungkin memberi kesempatan mereka atau salah seorang dari mereka melarikan diri.”

“Kau selalu mempersulit diri sendiri. Bukankah dengan demikian kita harus meletakkan setiap hari sedikitnya dua orang untuk menjaganya? Selanjutnya, sampai kapan kita akan menyimpan mereka? Jika kita membunuh mereka, maka persoalannya akan segera selesai. Kita tidak harus memberi mereka makan, serta tidak harus mengadakan petugas khusus untuk menjaga mereka.”

Orang yang menemui mereka di regol halaman rumah Ki Demang itu pun berkata, “Tugas kita akan sangat banyak di masa mendatang, Kakang. Karena itu aku sependapat, bahwa pekerjaan yang dapat kita lakukan hari ini, jangan ditunda sampai besok.”

“Tetapi ini menyangkut nyawa orang.”

“Justru karena itu, maka kita harus mengambil sikap yang lebih tegas.”

Laki-laki yang diakui sebagai suami itu terdiam. Sementara itu perempuan itu pun menjadi semakin garang. Katanya, “Kami tidak mempunyai pilihan lain, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki bekel. Kami akan membunuh kalian bertiga. Agar tidak menimbulkan kegemparan di kademangan ini, maka kami akan membawa kalian ke pinggir lereng lembah yang curam itu. Setelah kalian kami bunuh dengan cara yang terbaik, maka tubuh kalian akan kami lemparkan ke jurang yang dalam itu.”

“Jangan lakukan itu, Nyi,” berkata Ki Demang.

“Sudah aku katakan, tidak ada pilihan lain. Jangan mencoba untuk melawan. Jika kalian mencoba untuk melawan, maka kematian kalian akan menjadi semakin sulit. Kalian akan menjadi semakin menderita di saat-saat terakhir hidup kalian. Karena itu jangan mencoba berbuat sesuatu yang mengganggu perasaanku. Apalagi membuat kami marah.”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki bekel saling berpandangan sejenak. Namun dengan sikap yang masih saja tidak berubah Ki Demang itu pun berkata, “Nyi, aku sudah mencoba untuk bekerjasama dengan kalian. Aku sudah mencoba tidak menghalangi jalan yang akan kau lalui. Tetapi kenapa kau masih saja berniat membunuhku, serta kedua bebahu yang juga sudah menyatakan kesediaan mereka untuk minggir?”

“Aku sudah cukup memberi penjelasannya, Ki Demang!” perempuan itu mulai membentak, “Jangan bertanya lagi. Bersiaplah. Kita akan pergi keluar dari Kademangan Sima. Kalian tidak akan pernah kembali lagi.”

Namun Ki Demang itu pun kemudian menjawab dengan tegas pula, “Tidak, Nyi. Kami tidak akan pergi ke mana-mana.”

“He?” wajah perempuan itu menjadi tegang, “Kau akan melawan kami?”

“Sebenarnya kami tidak berani melawan kalian, seperti yang sudah aku katakan. Tetapi kami pun tidak akan dengan suka-rela menyerahkan leher kami. Jika kami harus mati, biarlah kami mati dengan tangan terentang serta senjata di tangan. Laki-laki Sima tidak akan mati dengan menyilangkan tangannya di dadanya.”

“Edan,” geram perempuan itu, “kita akan membunuhnya.”

Perempuan itu pun segera bangkit berdiri. Demikian pula kedua orang laki-laki yang menyertainya. Namun Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel pun telah meloncat bangkit pula.

“Kalian akan menyesal pada saat-saat terakhir menjelang kematian kalian. Tetapi segala sesuatunya sudah terlambat. Kalian akan mati dengan cara yang kurang baik.”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel pun tidak menyahut lagi. Tetapi mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat mengimbangi kemampuan lawan mereka, tetapi mereka akan mati sebagai seorang laki-laki Kademangan Sima.

“Orang-orang yang tidak tahu diri,” geram perempuan itu.

Ki Demang tidak menjawab lagi.

Namun agaknya perempuan itu tidak ingin bertempur di pendapa dengan tiang-tiangnya yang tegak dengan kokohnya. Rasa-rasanya tiang-tiang itu akan mengganggunya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kalau kalian benar-benar mengaku laki-laki sejati dari Kademangan Sima, turunlah ke halaman. Kita akan bertempur di tempat yang lebih luas.”

“Bagus. Aku setuju. Aku tidak ingin mendapatkan rumahku serta ukiran pada tiang-tiang pendapa ini menjadi cacat karena senjatamu.”

Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, “Aku tidak memerlukan senjata untuk membunuh kalian. Jari-jariku akan dapat mengoyak perutmu, bahkan memungut jantung dari dadamu.”

Terasa tengkuk bebahu Kademangan Sima itu meremang. Mereka memang percaya bahwa perempuan itu akan dapat melakukannya. Tetapi kematian yang demikian adalah lebih baik daripada mereka harus berjongkok sambil menundukkan kepalanya, sebelum sisi telapak tangan orang-orang asing itu mematahkan leher mereka.

Demikianlah, enam orang yang semula duduk di pendapa itu pun segera turun ke halaman. Tiga orang bebahu Kademangan Sima itu pun kemudian telah berhadapan dengan tiga orang yang ingin memaksakan kehendak mereka kepada para bebahu itu. Dan bahkan mereka telah siap untuk membunuh ketiganya.

“Jangan menyesal. Kalian akan mati dengan cara yang sangat buruk,” berkata perempuan itu.

Ketiga orang bebahu itu pun sama sekali tidak menjawab. Namun mereka pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, sejenak kemudian perempuan yang garang itu telah mulai menyerang Ki Demang. Sambil meloncat tubuhnya berputar. Kakinya terayun mendatar. Demikian cepatnya, sehingga Ki Demang itu tidak sempat menghindar.

Dengan kedua tangan, Ki Demang itu mencoba untuk menangkis serangan itu. Tetapi ternyata tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan ayunan kaki perempuan itu, sehingga kaki itu tetap saja mengenai dadanya.

Ki Demang itu pun segera terpelanting dan jatuh berguling di tanah. Namun Ki Demang mencoba untuk dengan sigapnya bangkit berdiri. Tetapi demikian ia berdiri, maka tangan perempuan itu sudah terjulur menyambar keningnya.

Sekali lagi Ki Demang itu terhuyung-huyung. Ia tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Ki Demang itu pun jatuh terjerembab.

Meskipun demikian, Ki Demang itu pun masih berusaha untuk bangkit. Ketika ia melihat perempuan yang garang itu melangkah mendekat, maka Ki Demang itu pun mencoba untuk menyerangnya. Dengan cepat Ki Demang itu meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping ke arah dada.

Namun dengan tangkasnya perempuan itu berhasil menangkap pergelangan kaki Ki Demang. Dengan cepat pula kaki itu dipilinnya, sehingga Ki Demang itu mengaduh kesakitan. Kemudian dengan kekuatan yang sangat besar, Ki Demang itu pun diputarnya terayun di udara. Ketika kaki itu dilepaskan, maka Ki Demang pun terpelanting dengan kerasnya menghantam dinding halaman rumahnya.

Ki Demang itu pun jatuh terkulai. Ketika mencoba bangkit, maka Ki Demang itu harus menyeringai kesakitan. Tetapi Ki Demang tidak mau menyerah. Ia sudah bertekad akan bertempur sampai mati.

Demikian pula kedua orang bebahu yang lain. Ki Jagabaya dan Ki Bekel pun seakan-akan tidak mampu memberikan perlawanan sama sekali. Setiap kali mereka pun terpelanting jatuh. Ketika Ki Bekel itu berusaha bangun, maka selagi ia masih merangkak, kaki lawannya telah menghantam perutnya, sehingga Ki Bekel itu pun terguling-guling kesakitan.

Lawannya, orang yang diaku sebagai suami oleh perempuan yang garang itu, tidak memberikan kesempatan. Dengan tangkasnya ia pun meloncat. Sambil menjatuhkan diri, tumitnya telah menghentak dada Ki Bekel, sehingga Ki Bekel itu mengaduh tertahan.

Sementara itu Ki Jagabaya pun telah kehilangan keseimbangannya pula, ketika lawannya, laki-laki yang menunggu di dekat regol halaman Ki Demang itu, menghantam keningnya. Bahkan kemudian kakinya terjulur menghantam lambung.

“Kalian akan menyesali kesombongan kalian,” berkata perempuan itu kepada Ki Demang. “Kalian akan mati dengan cara yang sangat menyakitkan.”

Namun mereka yang sedang bertempur di halaman itu terkejut. Tiba-tiba saja dua sosok tubuh bagaikan terbang, meloncat sambil sekali melingkar di udara, kemudian kedua kakinya mendarat dengan lunak di halaman rumah Ki Demang itu.

Ketiga orang yang sudah siap membunuh ketiga orang bebahu itu pun tertegun sejenak. Perempuan yang garang itu pun dengan garangnya bertanya, “Siapakah kalian yang telah mengganggu permainan kami?”

“Apakah kau tidak mengenal aku?” Rara Wulan-lah yang menjawab.

“Kalian, dua orang yang ada di penginapan itu?”

“Ya, anak manja. Kami adalah dua orang yang menginap di penginapan itu.”

“Kenapa kalian tiba-tiba saja ada di sini?”

“Aku mencemaskan nasibmu, anak manja. Mungkin kau akan mengalami kesulitan, karena kau tidak segera kembali ke bilikmu di penginapan itu.”

“Persetan kalian berdua. Apa pedulimu dengan urusanku?”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Kenapa kau berkelahi di sini, anak manis? Setelah kau ketemukan suamimu, kenapa justru kau menjadi semakin garang?”

“Cukup! Bukan waktunya untuk berolok-olok. Katakan siapakah kalian, dan apa kepentinganmu di sini.”

“Aku tidak dapat membiarkan kau berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang tidak berdaya. Kalian bertiga memang memiliki kemampuan yang tidak seimbang dengan ketiga orang itu. Seharusnya kalian tidak berbuat sekehendak kalian sendiri, apalagi membunuh mereka dengan cara yang paling buruk.”

“Apa pedulimu?”

“Kami tidak rela membiarkan kalian berbuat seperti itu.”

“Lalu kau mau apa?”

“Kami akan bergabung bersama Ki Demang dan kedua bebahu itu. Mudah-mudahan keseimbangan pertarungan akan berubah.”

Telinga perempuan itu bagaikan disentuh api. Dengan geramnya ia berkata, “Kau kira aku ini siapa, sehingga kau berani mencampuri urusanku? Sebaiknya kau kembali ke penginapan. Tidur dengan selimut tebal.”

“Kami sudah sampai di sini, Nyi. Tentu kami tidak ingin kedatangan kami kemari sia-sia, sementara kalian berbuat sesuka hati serta sewenang-wenang. Kalian memperlakukan orang yang sudah tidak berdaya tanpa belas kasihan sama sekali. Bahkan kalian sudah mengancam dan bahkan benar-benar berniat membunuh mereka.”

“Itu karena salah mereka sendiri Jika mereka mau mendengarkan kata-kataku, maka mereka akan mati dengan cara yang baik, tanpa harus menderita terlalu lama.”

“Bukankah itu pikiran orang-orang gila? Siapapun tidak akan dengan suka rela memberikan lehernya.”

“Cukup! Sekarang kalian mau pergi, atau harus ikut mati bersama ketiga orang bebahu itu?”

Sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab, maka Ki Demang yang sudah kesakitan itu pun berkata, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak berpihak kepada kami. Tetapi kami tidak berniat untuk menyeret orang lain dalam kesulitan ini. Karena itu. kalian berdua yang nampaknya masih sangat muda itu silahkan meninggalkan halaman rumahku. Biarlah kami yang memang seharusnya mengalami hal ini, mengalaminya. Tetapi masa depan Ki Sanak berdua masih panjang.”

“Ki Demang. Jika demikian, adalah sia-sia aku menuntut ilmu yang juga ilmu kanuragan, jika aku tidak mengamalkannya. Guruku berpesan kepadaku, agar ilmuku dapat berarti juga bagi orang lain yang memerlukan bantuan. Tentu saja sejauh dapat aku lakukan.”

“Angger berdua, lupakanlah kami. Anggaplah bahwa kami memang tidak pernah ada. Dari ketiadaan, kami akan kembali ke ketiadaan, menurut pengenalan kewadagan. Menghadaplah ke hari-hari depan kalian berdua. Semoga kalian memasuki hari-hari depan yang cerah.” 

“Maaf, Ki Demang. Aku sudah melihat apa yang sudah terjadi di sini. Karena itu kami tidak akan dapat pergi begitu saja, karena kami akan merasa sangat bersalah karena kami tidak melakukan perintah guru kami.”

“Bagus. Ternyata kalian adalah murid-murid sebuah perguruan yang patuh sekali kepada guru kalian, sehingga kalian akan menjunjung segala perintahnya dengan bertaruh nyawa. Jika itu sudah menjadi ketetapan hati kalian, maka bersiaplah untuk mati,” sahut perempuan itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bergeser mengambil jarak. Rara Wulan pun telah menempatkan diri berhadapan dengan perempuan yang garang itu, sementara Glagah Putih telah siap menghadapi laki-laki yang disebut sebagai suaminya itu.

Dengan nada datar Glagah Putih pun berkata, “Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel, pergunakan sisa-sisa tenaga kalian. Hadapi yang seorang lagi itu. Ia adalah orang yang paling lemah di antara ketiga orang yang mengancam akan membunuh kalian. Kerahkan segenap kemampuan kalian bertiga untuk bertahan agar kalian tetap hidup. Biarlah kami mencoba untuk menahan kedua orang ini.”

Perempuan yang garang itu benar-benar tersinggung oleh sikap Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang membuat darahnya mendidih, perempuan itu pun berkata geram, “Kalian benar-benar tidak tahu diri. Jangankan kalian berdua, seisi padukuhan ini pun tidak akan dapat mengalahkan kami bertiga.”

“Jika itu terjadi, maka akan jatuh korban yang sangat banyak. Karena itu, biarlah kami berdua saja-lah yang turun ke dalam pertarungan ini.”

“Ternyata kalian berdua-lah yang akan mati lebih dahulu dengan penuh penyesalan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Namun keduanya pun segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, perempuan yang marah itu pun telah meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga karena itu maka dengan sigapnya. Rara Wulan pun meloncat menghindar.

Meskipun perempuan itu memburunya dengan serangan-serangan berikutnya, tetapi Rara Wulan mampu bergerak lebih cepat, sehingga serangan-serangan perempuan itu tidak menyentuhnya. Bahkan ketika perempuan itu dengan garangnya memburu dan siap untuk meloncat sambil memutar tubuhnya, maka justru Rara Wulan telah mendahuluinya menyerang.

Perempuan itu terkejut. Namun gerakan Rara Wulan itu merupakan peringatan, bahwa perempuan itu bukan seorang yang lemah seperti Ki Demang dan para bebahu yang lain.

Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi kemudian semakin lama menjadi semakin sengit. Bergantian keduanya saling menyerang. Mereka berusaha untuk menyusup di sela-sela pertahanan lawan. Namun masing-masing telah membangun pertahanan yang sangat rapat. Sehingga dengan demikian, maka yang sering terjadi adalah benturan-benturan kekuatan di antara kedua orang perempuan itu.

Sementara itu Glagah Putih pun telah mulai bertempur pula melawan laki-laki yang diaku sebagai suami perempuan yang garang itu. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Tangan dan kaki mereka terayun-ayun dengan derasnya. Namun masing-masing berusaha untuk menghindar atau menangkis setiap serangan.

Ternyata laki-laki itu pun seorang yang berilmu tinggi pula. Tangannya dengan jari-jari mengembang bergerak dengan kecepatan yang tinggi, menyambar-nyambar ke arah wajah Glagah Putih. Namun dengan tangkas dan dengan cepat pula Glagah Putih selalu berhasil menghindarinya.

Namun ketika Glagah Putih sedikit terlambat menghindari serangan itu, maka jari-jari orang itu telah menggores lengan Glagah Putih. Tiga goresan telah melukai lengan Glagah Putih.

Tidak hanya bajunya yang terkoyak, tetapi kulitnya juga terluka. Bahkan darah pun mulai menitik dari lukanya itu.

Glagah Putih meloncat surut. Ia sadar sepenuhnya, dengan siapa dia berhadapan. Glagah Putih pun mengerti  bahwa di ujung jari-jari lawannya itu telah dipasang kuku-kuku baja yang sangat berbahaya. Kuku-kuku baja itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.

Dengan demikian maka Glagah Putih pun menjadi semakin berhati-hati. Ia pun segera meningkatkan ilmunya semakin tinggi, sehingga pertahanannya pun menjadi semakin tinggi.

Dalam pada itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel telah menyatukan dirinya untuk menghadapi lawan yang seorang lagi. Meskipun mereka masing-masing bukan merupakan lawan yang akan mampu mengimbangi laki-laki itu, tetapi bertiga mereka pun berpengharapan. Setidak-tidaknya mereka tidak akan segera dan dengan serta-merta mati terbunuh. Bertiga mereka akan dapat memperpanjang umur mereka, serta memberikan perlawanan yang lebih sengit.

Di tengah-tengah halaman, Rara Wulan pun bertempur semakin sengit. Lawannya itu menyerang dengan garangnya. Agaknya perempuan itu seperguruan dengan laki-laki yang diakunya sebagai suaminya.

Serangan-serangannya pun sangat berbahaya. Bukan saja jari-jarinya yang mengembang, tetapi kedua lengannya pun terbuka, seperti sayap-sayap seekor elang yang akan menyambar mangsanya

Rara Wulan pun sempat memperhatikan jari-jari perempuan itu. Ketika ia melihat pantulan cahaya lampu minyak yang menyala di pendapa, maka Rara Wulan pun mengerti, bahwa di ujung kuku-kukunya terdapat baja yang tajam.

Namun Rara Wulan mampu bergerak dengan kecepatan yang semakin tinggi. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Bahkan akhirnya serangan-serangan Rara Wulan itu datang bagaikan angin pusaran.

Perempuan yang garang itu pun semakin meningkatkan ilmunya. Tangannya yang mengembang itu pun terayun-ayun mengerikan. Sentuhan dari ujung-ujung jarinya yang berkuku baja itu semakin berbahaya.

Namun kecepatan gerak Rara Wulan semakin lama membuat lawannya semakin kebingungan. Rara Wulan yang memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuhnya itu seakan-akan terbang berputaran di sekitar lawannya. Kakinya pun rasa-rasanya tidak lagi berjejak di atas tanah.

Serangan-serangan Rara Wulan pun mulai menembus pertahanan lawannya pula. Rara Wulan yang telah mempelajari kekuatan dan kelemahan kuku-kuku baja itu, akhirnya mampu menembus pertahanan perempuan yang disebut Kembang Waja itu.

Demikianlah, maka tangan Rara Wulan mulai menyentuh tubuh lawannya. Ketika tangannya yang terayun mendatar mengenai kening lawannya, maka perempuan itu terdorong beberapa langkah surut. Ternyata Rara Wulan bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diimbanginya.

Meskipun perempuan itu berusaha menggapai pergelangan tangan Rara Wulan serta mencengkamnya dengan kuku-kuku bajanya, namun ia tidak menyentuhnya. Tangan itu bergerak demikian cepatnya.

Bahkan sebelum perempuan itu sempat memperbaiki keseimbangannya yang terguncang sehingga ia terdorong beberapa langkah surut, tubuh Rara Wulan telah meluncur menyusulnya. Kakinya pun terjulur lurus menghentak dada perempuan yang garang itu, sehingga perempuan itu benar-benar telah kehilangan keseimbangannya.

Perempuan itu pun telah jatuh terguling di halaman. Meskipun perempuan itu masih dapat dengan tangkasnya bangkit berdiri, tetapi terasa dadanya menjadi sesak.

Rara Wulan tidak tergesa-gesa memburunya. Selangkah-selangkah ia bergeser mendekatinya.

“Iblis betina,” geram perempuan itu, “kau akan menyesali kelancanganmu.”

“Mungkin aku memang harus menyesal karena aku tidak menangkapmu ketika kau berpura-pura gila di penginapan.”

Perempuan itu menggeram. Ia tidak pernah berniat pura-pura gila. Ia memang berpura-pura, tetapi ia ingin kesan yang ditimbulkan adalah kesan kemanjaan. Tetapi perempuan itu menyebutnya sebagai orang gila.

“Perempuan sombong. Kau-lah yang pertama-tama akan mati di halaman rumah ini.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Perempuan itu masih saja tidak menyadari keadaannya. Ia masih saja mengancam akan membunuhnya.

“Mungkin perempuan itu masih mempunyai kekuatan aji pamungkas,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ketajaman panggraita Rara Wulan pun menyadari, bahwa ada orang lain di halaman rumah Ki Demang itu selain mereka yang bertempur. Namun Rara Wulan pun segera menebak, bahwa yang datang tentu orang-orang yang mengaku kakek dan nenek perempuan yang berpura-pura itu.

Sebenarnyalah, dari regol halaman rumah Ki Demang itu muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Dengan lantang perempuan itu pun berkata, “Jangan lepaskan perempuan itu. Perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Kita akan membunuhnya di halaman rumah ini, karena orang itu jauh lebih berbahaya dari Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel Sima. Sebenarnya aku setuju jika Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu tidak dibunuh. Tetapi kedatangan kedua orang itu telah mengacaukan segala-galanya, sehingga akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa Demang, Jagabaya dan Bekel Sima itu memang harus mati.”

“Nenek,” desis perempuan yang berpura-pura itu.

Sementara itu, yang disebut kakek itu pun segera menghampiri Glagah Putih untuk bergabung dengan laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura itu.

“Siapa sebenarnya kau ini, Ngger?” bertanya laki-laki itu kepada Glagah Putih.

“Apa artinya nama seorang pengembara bagi Paman?-

“Aku mengerti. Jika kau mengucapkan sebuah nama, maka nama itu tentu bukan namamu. Tetapi bukankah perempuan itu benar-benar istrimu?”

“Ya, Paman Perempuan itu benar-benar istriku.”

“Luar biasa. Kalian suami istri adalah orang-orang yang berumu tinggi. Menilik unsur-unsur gerak kalian, maka agaknya kalian selain suami istri, juga saudara seperguruan.”

“Ya, Paman. Kami memang saudara seperguruan.”

“Bagus, Ngger. Sekarang aku ingin memperingatkan kau sekali lagi, sebaiknya kau tinggalkan tempat ini.”

Tetapi perempuan tua itu pun berkata, “Tetapi aku tidak akan melepaskan perempuan ini. Perempuan ini sangat berbahaya bagi tugas-tugas kita selanjutnya di Sima ini. Sudah aku katakan, perempuan ini dan tentu juga laki-laki itu, jauh lebih berbahaya dari Demang, Jagabaya dan Bekel Sima ini.”

Kakek itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan memberinya kesempatan lagi.” Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Ternyata nasibmu buruk, Ngger. Sebenarnya aku ingin memberimu kesempatan untuk pergi. Tetapi nenek itu berpendirian lain, sehingga agaknya kau harus mati di sini.”

“Jangan bersedih, Kek, kita baru akan mulai. Kita belum tahu akhir dari pertarungan ini, siapakah yang akan mati. Tetapi siapapun yang mati, jangan berduka. Kematian adalah batas akhir yang tidak akan pernah dapat dilampaui oleh siapapun juga. Juga oleh nenek yang garang itu.”

“Persetan. Jangan beri kesempatan lagi. Bunuh laki-laki itu.”

Kakek itu pun kemudian segera menempatkan diri di sisi laki-laki yang diaku sebagai suami perempuan yang garang itu.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia akan menghadapi dua orang yang berilmu tinggi.

Sementara itu nenek ubanan itu pun bersama-sama dengan perempuan yang diaku sebagai cucunya, telah mulai bergeser pula. Agaknya mereka akan bertempur melawan Rara Wulan dari arah yang sama. Keduanya akan bertempur berpasangan serta saling mengisi. Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sesaat kemudian, kedua orang perempuan itu pun telah meloncat menyerangnya. Keduanya bergerak dengan tangkas. Ayunan tangannya menimbulkan terpaan angin di tubuh Rara Wulan.

Namun Rara Wulan pun meningkatkan ilmunya pula. Tubuhnya pun serasa menjadi semakin ringan, sehingga ia mampu bergerak semakin cepat.

Kedua orang perempuan itu kadang-kadang berloncatan menyerang berbareng. Namun kadang-kadang mereka menyerang bergantian dari arah yang berbeda pula.

Menghadapi dua orang lawan, Rara Wulan semakin meningkatkan ilmunya. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Namun kadang-kadang lawan-lawannya-lah yang justru terkejut karena serangan Rara Wulan yang tiba-tiba.

Laku yang telah dijalaninya, ternyata telah menjadikannya seorang yang memiliki ketangguhan yang tinggi, cepat menentukan sikap serta tangkas mengambil keputusan pada saat-saat yang gawat.

Meskipun Rara Wulan harus bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi, tetapi serangan Rara Wulan sekali-sekali mampu menembus pertahanan mereka. Nenek tua itu harus terdorong beberapa langkah surut ketika kaki Rara Wulan menyambar dadanya.

Sementara itu, ketika lawannya yang seorang lagi meloncat menyerangnya, Rara Wulan justru menyongsongnya. Sambil merendahkan diri kakinya terjulur mengenai lambung.

Perempuan yang berpura-pura itulah yang justru terlempar beberapa langkah. Tubuhnya jatuh terbanting di tanah. Tetapi perempuan itu memang tangkas. Sekali menggeliat, perempuan itu pun segera melenting bangkit berdiri.

Tetapi perempuan itu menjadi sangat terkejut. Pada saat yang sama, selagi kedua kakinya tegak di atas tanah, Rara Wulan telah meloncat menyerang. Sekali tubuhnya berputar, sedangkan kakinya menebas mendatar.

Dengan derasnya kaki Rara Wulan itu telah menyambar wajah lawannya, sehingga sekali lagi perempuan yang berpura-pura itu terlempar ke samping. Tubuhnya telah menerpa dinding halaman rumah Ki Demang dengan kerasnya, sehingga terdengar perempuan itu mengaduh tertahan.

Namun pada saat yang gawat itu, tangannya dengan jari-jarinya yang mengembang justru sempat menyentuh kaki Rara Wulan, sehingga goresan kuku-kuku bajanya telah melukai betis Rara Wulan.

Luka-luka itu terasa nyeri, sehingga karena itu maka Rara Wulan pun mengurungkan niatnya memburu perempuan yang dengan tertatih-tatih berusaha berdiri. Apalagi lawannya yang seorang telah meloncat menyerangnya pula. Dengan garangnya perempuan tua itu meloncat sambil menjulurkan kakinya mengarah ke dada Rara Wulan.

Rara Wulan sengaja tidak menghindar. Tatapi dengan dilambari dengan tenaga dalamnya, ia menyilangkan tangannya di dadanya.

Ketika benturan yang keras terjadi, maka Rara Wulan pun tergetar selangkah surut. Namun perempuan tua itu telah terdorong beberapa langkah. Bahkan ia tidak sempat menempatkan dirinya, sehingga ketika ia meletakkan kakinya, maka kakinya itu menjadi tidak mapan.

Selagi perempuan itu masih berusaha memperbaiki kedudukannya, Rara Wulan telah meluncur dengan derasnya. Kakinya terjulur lurus menghantam perut perempuan tua itu.

Perempuan itulah yang mengaduh kesakitan. Bahkan tubuhnya terdorong beberapa langkah surut. Perempuan itu pun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga perempuan itu pun jatuh terlentang.

Meskipun perempuan itu masih mampu segera bangkit berdiri, namun ia harus mengakui kenyataan itu. Bersama-sama dengan perempuan yang diakunya sebagai cucunya itu, mereka mulai mengalami kesulitan.

Karena itu, maka perempuan itu pun tidak merasa segan-segan lagi untuk mencabut sepasang pedang tipis yang tergantung di lambungnya sebelah-menyebelah.

Rara Wulan yang meloncat memburunya, tiba-tiba terhenti. Bahkan ia pun bergeser selangkah surut.

“Sepasang pedang tipis. Seperti senjata Mbokayu Pandan Wangi,” desis Rara Wulan. “Namun unsur-unsur gerak Mbokayu Pandan Wangi tidak sekasar perempuan itu,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya pula.

Dengan demikian, Rara Wulan pun yakin, bahwa ilmu perempuan itu tentu tidak sejalan dengan ilmu Pandan Wangi. Demikian pula sumbernya. Sepengetahuan Rara Wulan, ilmu Pandan Wangi beralaskan ilmu yang mengalir dari ayahnya, Ki Gede Menoreh. Namun ternyata Pandan Wangi mampu mengembangkannya sendiri. Bahkan karena ia sering berlatih dengan suaminya, Swandaru, agaknya telah memberikan banyak masukan kepada Pandan Wangi sehingga ilmunya berkembang melampaui ilmu ayahnya.

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk, Ngger,” berkata perempuan tua itu. “Tidak ada pilihan lain. Jika sepasang pedangku ini sudah keluar dari rangkanya, maka sepasang pedangku ini harus dimandikan dengan darah.”

“Bagaimana jika darah itu darahmu sendiri?” berkata Rara Wulan.

“Cah edan,” geram perempuan itu. “Kakimu sudah dilukai oleh cucuku. Sekarang giliranku melukai jantungmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan segera mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya, la harus benar-benar berhati-hati. Ia harus melawan sepasang pedang, serta kuku-kuku baja yang tajam dari perempuan yang berpura-pura itu.

Untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan menjadi korban sepasang pedang itu, atau ujung-ujung kuku baja perempuan yang berpura-pura itu, maka Rara Wulan telah mengurai selendangnya yang dilingkarkan di lambungnya.

“Untuk apa kau urai selendangmu?” bertanya perempuan tua itu.

“Bibi tentu sudah mengerti. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Bibi tentu pernah menjumpainya sebelumnya dalam petualangan Bibi.”

“Jadi kau pun bersenjata selendang?”

“Siapakah orang lain yang pernah Bibi kenal?”

“Seorang perempuan binal dari kaki Gunung Merbabu. Ia juga bersenjata selendang.”

“Siapa namanya?”

“Aku tidak sempat mengingat namanya. Demikian aku membunuhnya, maka suaminya telah membawanya pergi.”

“Bibi tidak membunuh suaminya?”

“Persetan kau. Aku tidak dapat membunuh suaminya, karena suaminya itu adalah adikku yang bungsu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya lagi, “Jadi Bibi tidak mengenal nama adik ipar Bibi sendiri? Bahkan Bibi telah membunuh adik ipar Bibi itu?”

Perempuan itu menggeram. Namun kemudian ia pun berkata, “Bersiaplah. Sudah waktunya kau mati.”

Rara Wulan pun segera mempersiapkan dirinya. Sementara perempuan yang tubuhnya telah membentur dinding halaman itu pun sudah sempat beristirahat sejenak.

Demikianlah, maka pertempuran pun segera berkobar kembali. Perempuan yang bersenjata pedang rangkap itu pun segera berloncatan. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Bergantian sepasang pedang itu menebas, terayun mendatar, namun kemudian mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.

Tetapi selendang Rara Wulan pun berputaran pula di sekitar tubuhnya, sehingga seakan-akan di seputar tubuhnya telah dikelilingi kabut yang tipis, namun tidak dapat ditembus oleh ujung pedang.

Perempuan yang seorang lagi, yang pandai berpura-pura itu pun telah meloncat menyerangnya pula. Jari-jarinya yang mengembang terayun-ayun mengerikan, menyambar-nyambar mengarah ke wajah Rara Wulan.

Sementara itu Glagah Putih pun masih juga bertempur melawan kedua orang laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura itu, serta kakeknya. Keduanya pun bertempur dengan garangnya pula. Mereka menyerang bergantian dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi Glagah Putih yang mampu meringankan tubuhnya itu kadang-kadang melayang bagaikan tidak menyentuh tanah.

Betapapun kedua orang lawan Glagah Putih itu mengerahkan kemampuan mereka, namun setiap kali serangan-serangan mereka selalu gagal. Jika tidak luput karena Glagah Putih menghindar dengan kecepatan yang lebih tinggi dari serangan yang datang, Glagah Putih justru menangkis dan bahkan dengan sengaja membentur serangan itu.

Jika benturan itu terjadi, maka lawan-lawannya yang selalu terguncang. Bahkan lawannya itu setiap kali terlempar beberapa langkah surut.

Seperti kedua orang perempuan yang bertempur melawan Rara Wulan, maka akhirnya kakek tua itu pun harus mengakui kelebihan Glagah Putih. Ketika ia melihat perempuan tua itu menarik sepasang pedangnya, maka kakek tua itu pun telah menarik senjatanya pula.

Glagah Putih pun meloncat surut. Ia melihat senjata kakek tua itu dengan jantung yang berdebaran.

Sambil tersenyum kakek tua itu pun bertanya, “Ternyata kau menjadi ketakutan melihat senjataku ini.”

“Tidak. Bukan ketakutan. Tetapi aku memang mengagumi senjatamu Ternyata pedangmu adalah pedang yang sangat baik. Jarang aku melihat pedang seperti pedangmu itu, Paman. Pedang yang dibuat dengan pamor yang berkeredipan.”

“Kau lihat tubuh ular di daun pedangku?”

“Lamat-lamat, Paman. Agak kurang terang. Lampu di pendapa itu sinarnya tidak mampu menggapai pamor pedangmu itu.”

“Pedangku terbuat dari baja pilihan. Baja Tumpang.”

“O. Menurut kata orang, senjata yang terbuat dari baja Tumpang itu mempunyai perbawa yang mencengkam. Warnanya biru agak ungu. Kalau senjata itu ditarik dari wrangkanya, lawannya yang menyaksikannya akan tertegun, dan kemudian kehilangan keberanian serta kemampuannya.”

“Kau mengerti juga tentang watak wesi aji, Ngger.”

“Ya, Paman. Karena itu aku dapat mengatakan bahwa pedangmu tidak terbuat dari baja Tumpang, karena aku tidak kehilangan gairah perlawananku. Aku tetap tegar menghadapi senjata Paman itu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Senjataku memang terbuat dari baja Tumpang. Bukan baja pedangku yang palsu, tetapi kau-lah yang bukan orang kebanyakan, sehingga kau tidak menjadi gentar melihat daun pedangku yang seperti menyala merah keunguan ini.”

“Paman menyanjungku.”

“Gila,” geram laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura manja itu, “kakek justru memujinya. Kepalanya akan menjadi bertambah besar.”

“Ya. Jika kepalanya menjadi besar, maka ia akan merasakan terlalu berat mengusungnya, sehingga akhirnya ia akan kehabisan tenaga.”

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Paman sempat juga bergurau.”

“Kek, kita harus membunuhnya. Tidak menyanjung.”

“Ya. Kita akan membunuhnya.”

Demikianlah, maka kedua orang lawan Glagah Putih itu pun segera berloncatan menyerang. Namun Glagah Putih pun telah siap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka ia pun telah meningkatkan ilmunya pula untuk menghadapi lawannya.

Ternyata ilmu pedang kakek tua itu pun sangat tinggi. Dalam waktu pendek Glagah Putih telah terdesak. Apalagi laki-laki yang diakui sebagai suami perempuan yang berpura-pura itu pun telah memburunya kemana Glagah Putih bergerak.

Namun Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat, sehingga karena itu maka sulit bagi laki-laki itu untuk meraihnya dengan kuku-kukunya. Tetapi Glagah Putih tidak ingin menjadi semakin terdesak karena ilmu pedang orang tua itu. Ilmu pedang yang semakin lama menjadi semakin rumit.

Karena itulah maka Glagah Putih kemudian telah mengurai ikat pinggangnya. Kedua orang lawannya itu pun tertegun sejenak melihat ikat pinggang Glagah Putih, yang kelihatannya seperti ikat pinggang kulit biasa.

“Kau memang gila,” geram laki-laki yang diakui sebagai suami perempuan yang berpura-pura itu. “Kau mencoba melawan kami dengan ikat pinggangmu. Dengan sekali sentuh, maka ikat pinggangmu akan putus. Pedang kakek tajamnya melampaui tajam welat pring wulung berlipat tujuh. Segumpal kapuk randu yang ditiupkan ke tajam pedang kakek itu pun akan terbelah.”

“Ikat pinggangku tidak terbuat dari kapuk randu,” sahut Glagah Putih, “karena itu aku tidak akan mencemaskan ikat pinggangku, bahwa ikat pinggangku akan putus.”

Demikian mulut Glagah Putih terkatup, maka kakek tua itu pun meloncat sambil mengayunkan pedangnya, yang tajamnya lebih dari tujuh kali lipat tajam welat pring wulung.

Glagah Putih sengaja tidak meloncat menghindar. Ia ingin mempengaruhi ketahanan jiwani lawan-lawannya yang terlalu yakin akan kelebihan pedangnya itu.

Karena itulah maka Glagah Putih dengan sengaja telah menangkis ayunan pedang itu dengan ikat pinggangnya. Terjadi benturan yang mengejutkan. Pedang kakek tua itu seakan-akan telah membentur pedang baja yang sama kokohnya dengan pedang pusakanya itu. Bahkan tangan kakek tua itu pun telah tergetar, sehingga telapak tangannya terasa pedih.

“Anak iblis,” geram kakek tua itu, “kau ini sebangsa apa, Ngger? Gendruwo, tetekan atau iblis laknat?”

“Kenapa kek?” bertanya Glagah Putih.

Namun ia tidak memburu ketika kakek itu meloncat surut, kemudian memindahkan pedangnya di tangan kiri, sementara ia meniup telapak tangannya yang pedih beberapa kali.

Tetapi Glagah Putih tidak sempat menjawab. Laki-laki yang seorang lagi telah meloncat sambil mengayunkan tangannya yang jari-jarinya terbuka. Kuku-kuku bajanya berkilat memantulkan cahaya lampu minyak di pendapa.

Dengan tangkas pula Glagah Putih pun bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya. Kuku-kuku baja lawannya itu sama sekali tidak menyentuhnya. Tetapi justru Glagah Putih dengan sengaja telah menggores lengan lawannya itu dengan sisi ikat pinggangnya.

Orang itu benar-benar terkejut. Goresan ikat pinggang Glagah Putih itu telah mengoyak baju dan kulitnya. Ternyata ikat pinggang itu dapat melukainya sebagaimana pedang kakeknya yang tajamnya tujuh kali tajam welat wulung. Sentuhan kecil itu telah menimbulkan luka yang terhitung dalam di lengannya, sehingga darah pun telah mengalir dari luka itu.

“Gila orang ini,” geram orang itu sambil meloncat mundur. Tetapi Glagah Putih sengaja tidak memburunya.

“Nah, apa kata kalian tentang ikat pinggangku ini?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya,” desis kakek tua itu.

“Aku tidak tahu, bahan apa yang telah dibuat menjadi ikat pinggangku ini, Kek Barangkali Kakek tahu?”

“Yang jelas ikat pinggangmu itu tidak terbuat dari baja Tumpang, Ngger.”

“Mungkin jenis baja lainnya.”

“Bukan sejenis baja. Ikat pinggang itu tentu pemberian jin, atau peri, atau prayangan.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tidak. Ikat pinggang ini hadiah dari seseorang. Orang biasa, seperti Kakek, Nenek, perempuan yang berpura-pura manja itu, atau laki-laki ini, yang diakunya sebagai suaminya.”

“Cukup!” teriak laki-laki itu, “Kami sudah terlalu lama bermain-main di sini. Aku sudah jemu. Sudah waktunya untuk membunuhmu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Menyerah sajalah. Aku tidak akan membunuh kalian. Kita dapat berbicara dengan baik-baik, apakah sebenarnya persoalannya sehingga kalian berselisih dengan Ki Demang.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun di luar sadarnya, Glagah Putih telah berpaling kepada Ki Demang dan kedua orang bebahu yang lain.

Glagah Putih terkejut ketika ia melihat ketiganya sudah tidak mampu berdiri tegak. Mereka menjadi bahan permainan laki-laki yang telah datang kemudian di regol halaman rumah Ki Demang Sima.

“Kawanmu itulah orang yang paling jahanam. Ia memperlakukan Ki Demang dan kedua bebahu yang lain dengan cara yang sangat sewenang-wenang.”

“Salah para bebahu itu sendiri,” geram laki-laki yang diaku suami oleh perempuan yang berpura-pura itu.

Glagah Putih dengan serta-merta bertanya, “Apa salah mereka sebenarnya?”

“Mereka ingkar janji.”

“Aku tidak percaya kepadamu,” sahut Glagah Putih.

Laki-laki itu menjadi semakin marah. Ia pun segera mempersiapkan diri, sementara kakek tua itu pun telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya.

Namun sekali lagi Glagah Putih menangkis serangan itu, sementara lawannya yang seorang lagi telah meloncat pula sambil mengayunkan tangannya dengan jari-jarinya yang terbuka.

Tetapi serangan mereka itu pun sia-sia. Dengan tangkasnya Glagah Putih berloncatan menghindar, namun sekali-sekali Glagah Putih sengaja membenturkan ikat pinggangnya dengan senjata lawannya.

Kedua orang lawan Glagah Putih itu pun menyerang seperti prahara. Namun Glagah Putih pun mampu bertahan seperti batu karang di lautan. Kokoh tanpa tergoyahkan sama sekali.

Meskipun demikian, Glagah Putih tidak dapat membiarkan keadaan Ki Demang dan kedua orang bebahu yang lain. Karena itu, ketika keadaan ketiga orang itu sudah menjadi sangat gawat, maka Glagah Putih pun telah berloncatan surut, kemudian meninggalkan kedua lawannya.

Serangan Glagah Putih yang tiba-tiba telah mengejutkan lawan Ki Demang itu. Namun ia tidak sempat mengelak ketika kaki Glagah Putih yang terjulur lurus pada saat Glagah Putih meluncur seperti lembing yang dilontarkan itu, mengenai dadanya.

Orang itu pun telah terpelanting jatuh dengan kerasnya. Tulang punggungnya rasa-rasanya telah patah. Tertatih-tatih orang itu mencoba bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.

Tetapi Glagah Putih kemudian tidak dapat memburunya. Kedua orang lawannya yang lain-lah yang justru telah memburu Glagah Putih itu. Namun Glagah Putih pun telah siap pula menghadapnya.

Yang kemudian terjadi, justru Glagah Putih harus bertempur melawan tiga orang, sementara Ki Demang dan kedua orang bebahu yang lain, yang sudah hampir berputus asa, sempat menarik nafas panjang. Tetapi keadaan mereka sudah menjadi semakin buruk. Tulang-tulang mereka seakan-akan telah berpatahan. Sendi-sendinya bagaikan terlepas yang satu dengan yang lain.

Sementara itu, meskipun harus melawan tiga orang, namun Glagah Putih mampu bertempur dengan garangnya.

Dalam pada itu, lawannya yang seorang, yang semula bertempur melawan Ki Demang, demikian ia menghadapi Glagah Putih, langsung mencabut goloknya yang besar dan berwarna kehitam-hitaman.

“Aku akan menebas lehermu sampai putus,” geramnya.

Tetapi justru Glagah Putih yang telah menyerangnya demikian mulutnya terkatup. Ujung ikat pinggangnya-lah yang mematuk seperti kepala seekor ular bandotan, mengenai dadanya.

Orang itu mengaduh perlahan. Namun dadanya telah menjadi sesak. Nafasnya terengah-engah, sedang tulang iganya bagaikan retak.

Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Sementara itu Glagah Putih harus meloncat menghindari sambaran kuku-kuku baja yang tajam itu. Bahkan kemudian ayunan pedang kakek tua itu hampir saja menebas tangannya.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Namun laki-laki yang datang kemudian itu menjadi licik. Dalam keadaan yang sulit, maka ia pun meloncat menerkam Ki Demang yang berdiri termangu-mangu sambil memegang perutnya yang kesakitan.

Ki Demang sama sekali tidak dapat mengelak ketika tangan kiri orang itu menerkam bajunya, kemudian membantingnya di tanah. Pada saat yang hampir bersamaan, ketika Ki Demang mencoba menggeliat, maka golok orang itu pun telah terangkat tinggi-tinggi.

Ki Demang dan kedua bebahu yang lain yang melihatnya, sudah tidak berpengharapan. Mereka mengira bahwa Ki Demang memang sudah sampai pada saatnya untuk meninggalkan kademangannya.

Namun ketika golok yang besar itu terayun, maka Glagah Putih masih sempat meloncat dengan cepatnya berlandaskan kemampuannya meringankan tubuhnya. Dengan derasnya Glagah Putih memukul golok yang sudah terayun itu. Demikian derasnya, apalagi di luar dugaan orang yang menggenggam golok itu, maka benturan yang terjadi telah sangat mengejutkannya.

Benturan itu terjadi demikian kerasnya sehingga orang itu tidak mampu lagi mempertahankan goloknya itu. Golok itu pun telah terlepas dan tangannya dan terlempar beberapa langkah.

Orang itu terkejut sekali. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa, ketika ikat pinggang Glagah Putih yang telah melemparkan golok itu terayun mengenai bahu orang itu.

Orang itu berteriak kesakitan, namun juga meneriakkan kemarahan dan kebencian. Tetapi demikian ia bangkit berdiri dan menghadap Glagah Putih, maka sekali lagi ikat pinggang itu terayun mengenai lambungnya. Bahkan lukanya sangat berbeda dengan luka di bahunya. Lambung orang itu pun telah terkoyak bagaikan tergores ujung pedang.

Sekali lagi orang itu berteriak. Namun kemudian ia pun telah jatuh terguling. Tetapi pada saat perhatian Glagah Putih tertuju kepada Ki Demang, maka laki-laki yang disebut suami perempuan yang berpura-pura itu telah menyerangnya.

Glagah Putih terlambat menghindari serangan itu. Ketika Glagah Putih meloncat kemudian menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak, kuku-kuku orang itu telah menggores punggungnya. Glagah Putih berdesah perlahan. Ia merasakan goresan itu nyeri sekali.

Karena itulah maka kemarahan Glagah Putih pun semakin tergugah. Dengan cepatnya Glagah Putih meloncat bangkit. Sehingga ketika orang itu menerkamnya, Glagah Putih telah siap menghadapinya. Bahkan karena kemarahannya yang telah membuat darahnya mendidih, maka Glagah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya dengan deras sekali, dilambari dengan tenaga dalamnya yang besar.

Orang yang sudah terlanjur meloncat sambil mengembangkan tangannya itu terkejut. Glagah Putih sambil bergeser menyamping justru telah menyongsongnya dengan ikat pinggangnya. Yang kemudian terdengar adalah umpatan kasar. Kemarahan, kebencian dan dendam berbaur di dalam benaknya.

Tangan orang itu yang menggapai ke arah wajah Glagah Putih sama sekali tidak menyentuhnya. Tetapi justru ikat pinggang Glagah Putih-lah yang telah menghentak dada orang itu. Orang itu pun kemudian telah terpelanting jatuh.

Dadanya serasa ditindih oleh gumpalan batu padas yang runtuh dari atas bukit. Nafasnya menjadi sesak, dan bahkan kemudian terhenti sama sekali. Darah yang merah nampak di sela-sela bibirnya.

“Ngger, kau bunuh cucuku.”

Glagah Putih surut selangkah. Namun kemudian ia pun menyahut, “Aku tidak mempunyai pilihan lain, Paman. Meskipun aku tidak berniat membunuhnya, tetapi itulah yang terjadi. Sekarang terserah kepada Paman.”

“Aku-lah yang akan membunuhmu.”

“Sebaiknya Paman berpikir dua kali lagi.”

“Aku sudah berpikir dua puluh tujuh kali, Ngger.”

“Jika demikian, baiklah. Lakukan yang Paman ingin lakukan. Tetapi niat Paman belum tentu sesuai dengan keinginanku.”

Laki-laki tua itu tidak menjawab. Tetapi pedangnya telah bergetar.

“Selain cucuku, kau juga telah membunuh kawanku,” orang tua itu justru bergeremang.

Glagah Putih pun segera mempersiapkan dirinya baik-baik. Mungkin orang tua itu masih mempunyai ilmu simpanan yang baru akan dilepaskan dalam keadaan yang memaksa.

Tetapi orang itu masih akan menunjukkan kemampuan ilmu pedangnya. Karena itu maka ia pun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Tetapi pedangnya itu telah membentur ikat pinggang Glagah Putih, bagaikan membentur sekeping baja pilihan.

Dalam pada itu, Rara Wulan masih bertempur melawan dua orang perempuan yang garang itu dengan sengitnya. Perempuan yang berpura-pura manja itu pun bertempur bagaikan seekor harimau betina yang kehilangan anaknya. Kembang Waja itu berloncatan dengan tangan yang mengembang. Setiap kali kukunya menyentuh kulit Rara Wulan, maka selalu meninggalkan goresan-goresan yang memanjang.

Tetapi Rara Wulan menjadi semakin garang pula. Selendangnya yang berputaran bagaikan menumbuhkan kabut di seputar tubuhnya. Bahkan sentuhan-sentuhan ujung selendang itu telah membuat kulit daging lawannya menjadi lebam kebiru-biruan.

Kembang Waja yang kehilangan laki-laki yang diakunya sebagai suaminya itu, serta seorang yang menunggunya di regol rumah Ki Demang itu, menjadi sangat marah. Sambil berteriak-teriak marah perempuan itu berloncat menyerang sejadi-jadinya. Tangannya yang mengembang dengan jari-jari terbuka, membuatnya menjadi sangat mengerikan.

Sementara itu neneknya berloncatan pula dengan pedang rangkapnya. Demikian cepatnya tangannya bergerak, sehingga pedang yang sepasang itu seakan-akan telah menjadi beberapa pasang. Menebas, menusuk, terayun-ayun mendebarkan.

Namun demikian, sulit bagi mereka berdua untuk mampu menembus kabut yang merebak di seputar tubuh Rara Wulan. Bahkan sekali-sekali selendang itu terjulur dengan cepatnya mematuk tubuh lawannya.

Kembang Waja akhirnya tidak yakin bahwa kukunya akan dapat menyelesaikan lawannya, meskipun ia bertempur berpasangan dengan neneknya yang bertempur bersenjata pedang rangkap. Karena itu maka Kembang Waja itu pun akhirnya berniat untuk menyelesaikan lawannya dengan senjata-senjata lontarnya.

Dalam pada itu, selagi Rara Wulan meloncat menghindari tusukan sepasang pedang rangkap itu, maka tiba-tiba dua buah paser telah meluncur ke arah dadanya.

Rara Wulan memang terkejut. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping. Namun Rara Wulan tidak dapat melepaskan dirinya sepenuhnya dari senjata lawannya itu.

Satu di antara kedua paser yang meluncur itu telah mengenai lengan Rara Wulan.

Rara Wulan pun menjadi semakin marah. Goresan-goresan kuku Kembang Waja itu terasa pedih oleh keringatnya. Bahkan kemudian paser itu pun telah mengenai lengannya pula.

Rara Wulan tidak sempat mencabut paser yang menancap di lengannya. Dengan geramnya Rara Wulan pun berloncatan dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh lawannya.

Karena itu, ketika Kembang Waja itu berniat untuk melemparkan paser-paser berikutnya, maka ujung selendang Rara Wulan telah mematuk pergelangan tangannya.

Yang terasa di pergelangan tangan Kembang Waja bukan sentuhan selendang yang lunak. Tetapi pergelangan tangannya terasa bagaikan telah dihantam oleh tongkat baja pilihan. Perempuan itu mengaduh. Paser yang sudah berada di tangannya itu pun terlepas.

Rara Wulan tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan derasnya pula Rara Wulan telah mengibaskan selendangnya. Ujung selendangnya itu telah mematuk dada Kembang Waja demikian kerasnya, sehingga perempuan itu telah terpental beberapa langkah. Tubuhnya telah membentur sebatang pohon gayam tua yang tumbuh dekat dinding halaman. Bahkan pohon gayam tua yang besar itu bagaikan telah berguncang.

Perempuan yang berpura-pura itu pun kemudian telah jatuh terkulai. Tulang punggungnya telah patah. Hentakan di dadanya telah menimbulkan luka yang sangat parah, sehingga dari sela-sela bibirnya nampak darah yang merah.

Namun dalam pada itu, perempuan tua yang menggenggam pedang rangkap itu tidak hanya berdiri menonton bagian akhir dari pertarungan itu. Dengan garangnya perempuan itu pun meloncat sambil menebas dengan pedang tipisnya.

Rara Wulan berusaha untuk menghindar justru pada saat ia menarik serangan selendangnya. Namun ujung pedang itu masih juga menyentuh pundaknya.

Rara Wulan berusaha untuk meloncat beberapa langkah surut mengambil jarak. Tetapi perempuan tua itu agaknya justru ingin memanfaatkan jarak itu.

Dengan cepat perempuan itu justru menancapkan kedua pedangnya di tanah. Kedua tangannya pun bergerak dengan cepat di depan dadanya dengan gerakan-gerakan yang khusus.

Rara Wulan pun segera menyadari bahwa lawannya telah mempersiapkan puncak kemampuannya. Karena itu maka Rara Wulan pun kemudian dengan sigapnya telah mempersiapkan ilmu pamungkasnya.

Ketika perempuan itu kemudian menghentakkan tangannya, maka Rara Wulan pun telah menjulurkan tangannya pula dengan telapak tangan mengarah kepada perempuan tua itu. Rara Wulan telah meluncurkan ilmunya, Aji Namaskara.

Dua kekuatan ilmu yang tinggi telah meluncur dengan cepatnya ke arah yang berlawanan, sehingga akhirnya telah terjadi benturan yang dahsyat. Udara pun rasa-rasanya telah bergetar.

Pendapa rumah Ki Demang, dinding dan regol halaman serta pepohonan yang ada di halaman, bagaikan telah diguncang gempa.

Ternyata bahwa kekuatan ilmu perempuan tua itu masih belum mampu mengimbangi Aji Namaskara. Karena itu maka perempuan tua itu pun telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian perempuan itu telah terjatuh pada lututnya.

Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak dengan kaki renggang. Selendangnya tersangkut di pundaknya yang terluka, terjulur sampai ke tanah.

“Ngger, kau memang luar biasa,” suara perempuan tua itu terdengar bergetar. Bahkan kemudian perempuan itu tidak dapat lagi bertahan. Akhirnya ia pun jatuh terguling.

“Nyi!” terdengar laki-laki tua yang masih bertempur melawan Glagah Putih itu pun berteriak. Ketika ia meloncat surut mengambil jarak, Glagah Putih tidak memburunya.

Sejak kedua orang lawannya yang bertempur melawan Glagah Putih itu terbunuh, Glagah Putih sudah tidak lagi bertempur dengan sungguh-sungguh. Ia hanya menunggu sampai laki-laki tua itu kelelahan, kemudian berhenti dengan sendirinya.

Tetapi ketika ia melihat perempuan tua itu terguling, maka kakek itu pun segera berlari mendapatkannya.

“Nyi? Nyi?” Laki-laki itu pun kemudian telah mengangkat kepala perempuan itu dan meletakkannya di pangkuannya.

“Bertahanlah, Nyi. Aku akan mencari tabib terbaik di Sima untuk mengobatimu.”

Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Tidak usah, Kiai. Bagian dalam dadaku telah remuk. Rasa-rasanya jantungku telah terlepas dari tangkainya. Tidak ada orang yang akan mampu mengobatiku. Agaknya waktuku memang sudah sampai, Kiai.”

“Jangan berkata begitu, Nyi. Kita wajib berusaha, meskipun akhirnya segalanya kembali kepada Yang Maha Agung.”

“Kiai, apakah aku masih berhak menyebut nama Yang Maha Agung?”

Laki-laki tua itu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja terasa titik air meleleh di wajahnya.

Namun tiba-tiba terdengar suara di belakangnya, “Selagi kau masih sempat, Bibi, sebutlah nama Yang Maha Agung. Yang Maha Welas Asih dan Yang Maha Pengampun.”

Laki-laki itu berpaling. Dilihatnya Glagah Putih dan Rara Wulan telah berdiri di belakangnya. Bahkan kemudian Rara Wulan pun telah bergeser dan berjongkok pula di hadapan laki-laki tua yang meletakkan kepala perempuan itu di pangkuannya.

Dengan suara serak-serak tertahan laki-laki itu berdesis, “Lukanya sangat parah, Ngger.”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain, Paman.”

“Perempuan itu tidak bersalah, Kiai,” desis perempuan tua yang terluka parah itu, “aku sama sekali tidak mendendamnya,” suaranya menjadi sangat lemah.

“Nyi?”

Perempuan tua itu menarik nafas panjang. Namun kemudian terdengar desah di sela-sela bibirnya, “Kiai.”

“Nyi? Nyi?”

“Ampunkan aku, Maha Pengasih,” suaranya pun kemudian hilang sama sekali.

“Nyi? Nyi?”

Sudah tidak ada jawaban sama sekali. Juga sudah tidak ada tarikan nafasnya.

“Nyi? Nyi? Kau mendahului aku, Nyi.”

Laki-laki tua itu mendekapkan kepala perempuan itu di dadanya. Laki-laki itu menangis.

Glagah Putih pun telah berjongkok pula di samping laki-laki tua itu.

“Sudahlah, Paman. Waktunya memang sudah tiba.”

Laki-laki itu mengusap matanya yang basah sambil berdesis, “Kau telah membunuhnya, Ngger.”

“Aku tidak punya pilihan, Paman. Bibi telah melontarkan ilmu yang dapat membahayakan jiwaku. Aku tidak sempat memikirkan cara yang lain untuk menyelamatkan nyawaku.”

“Aku mengerti, Ngger. Aku juga tidak menyalahkanmu. Sejak kami harus mengemban tugas ini, kami sudah memperhitungkan berbagai akibat yang dapat timbul. Antara lain adalah kematian.”

“Ya, Paman.”

“Meskipun demikian, kematian istriku adalah pukulan yang paling parah dalam hidupku yang tersisa.”

“Sudahlah, Paman. Sekarang, apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap korban-korban ini?”

“Angger berdua, bukankah kalian juga terluka? Apakah kalian mempunyai obat meskipun bersifat sementara?”

“Ada, Paman. Nanti pada waktunya kami akan mengobati luka-luka kami. Tetapi sekarang, bagaimana dengan korban-korban ini?”

“Pergilah. Tinggalkan saja korban-korban ini di sini.”

“Kenapa?”

“Kematian mereka bukanlah akhir dari kisah keberadaan kami di Sima.”

“Apa lagi yang akan terjadi?”

Laki-laki tua itu termangu-mangu.

Sementara itu Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel yang seluruh tubuhnya terasa sakit, telah bergeser mendekat pula. Namun agaknya Ki Demang tidak mampu lagi untuk berdiri terlalu lama. Ia pun kemudian telah duduk di tangga pendapa rumahnya sambil setiap kali menyeringai kesakitan.

“Menurut Paman, apa yang sebaiknya kami lakukan?”

“Pergilah. Bawa Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Mereka bertiga adalah orang-orang yang harus disingkirkan. Disingkirkan untuk selama-lamanya.”

“Bagaimana dengan bebahu yang lain?”

“Mereka tidak akan berani melawan. Segala sesuatunya akan berubah di Sima.”

“Bagaimana dengan kami berdua?”

“Kalian berdua berilmu sangat tinggi. Tetapi kalian hanya berdua. Sedangkan orang-orang kami yang sudah tersebar di Sima, jumlahnya cukup banyak.”

“Apa yang sebenarnya terjadi, Paman. Siapakah Paman ini sebenarnya, dan dari lingkungan yang mana? Jika dari sebuah perguruan, perguruan apa? Jika sebuah gerombolan atau kelompok tertentu, kelompok apa?”

“Angger berdua. Aku tidak tahu, nasib apa yang akan menimpaku nanti atau esok pagi. Jika yang lain mati dan aku masih tetap hidup, mungkin sekali aku pun harus mati esok. Tetapi itu tidak apa-apa. Bagiku hidup memang sudah berakhir sejak kematian bibimu.” 

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu kakek tua itu berkata selanjutnya, “Hati bibimu terlalu keras. Ia berusaha membantu cucunya menjalankan tugas sebaik-baiknya.”

“Jadi perempuan itu benar-benar cucu Paman?”

“Ia memang benar-benar cucuku. Laki-laki yang diaku sebagai suaminya itu juga cucuku. Kakak dari perempuan yang disebut Kembang Waja itu. Karena itu maka aku sudah kehilangan segala-galanya.”

“Dimana ayah dan ibu cucu Paman itu?”

“Mereka memikul beban yang lebih berat. Tetapi aku tidak akan pernah dapat hidup bersama mereka. Mereka terlalu garang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun berkata, “Paman belum menjawab pertanyaanku.”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak dapat berbuat lain kecuali berkhianat.”

“Berkhianat kepada siapa?”

Orang tua itu masih termangu-mangu penuh kebimbangan. Namun akhirnya ia pun berkata, “Angger berdua. Di saat-saat terakhir, sebaiknya aku tidak berbohong lagi. Apalagi aku tahu bahwa semuanya sudah tidak ada gunanya lagi. Bahkan seandainya aku tidak mengatakannya, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan dapat bercerita juga serba sedikit tentang diri kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menyahut

“Angger berdua. Tolong bawa mayat istriku dan cucu-cucuku ke pendapa.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menolak. Bahkan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel yang kesakitan itu juga membantu mengusung mayat-mayat itu ke pendapa dan membaringkannya di pringgitan. Kemudian mereka pun duduk di pringgitan itu pula.

“Angger berdua. Aku tidak akan mereka-reka cerita ngayawara. Tetapi sesungguhnyalah bahwa cucuku berdua adalah para petugas sandi dari Demak.”

“Demak?” Glagah Putih dan Rara Wulan berbareng mengulanginya.

“Ya. Demak.”

“Kenapa dengan Demak?”

“Demak telah bekerja bersama dengan Perguruan Kedung Jati.”

“He?” Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar terkejut mendengar keterangan itu. Bahkan Glagah Putih pun berkata, “Paman, Paman jangan mengada-ada. Bagaimana mungkin petugas sandi dari Demak membuat keonaran di daerah ini?”

“Memang hampir tidak masuk akal.”

“Bukankah yang menjabat Adipati di Demak adalah Pangeran Puger dari Mataram?”

“Ya.”

“Bagaimana mungkin Pangeran Puger berhubungan dengan Ki Saba Lintang dari Perguruan Kedung Jati, apalagi bekerja sama?”

“Tentu saja segala sesuatunya tidak diketahui oleh Kanjeng Adipati di Demak. Beberapa orang pejabat penting di Demak telah melakukannya dengan diam-diam.”

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?”

“Sudahlah. Jangan hiraukan apa yang akan terjadi di Sima. Yang harus Angger lakukan sekarang adalah meninggalkan Sima bersama Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Biarlah apa yang akan terjadi di Sima ini. Bukankah Angger berdua tidak akan tersangkut?”

“Tetapi jika Demak berniat menancapkan pengaruhnya di Sima untuk kemudian mbalela terhadap Mataram, tentu saja harus menjadi perhatian semua orang di Mataram.”

“Memang ada rencana besar yang akan menjebak Kanjeng Adipati di Demak.”

“Mereka akan menyingkirkan Kanjeng Adipati Demak lebih dahulu?”

“Tidak. Mereka akan memanfaatkan Kanjeng Adipati Demak. Menurut pengamatan beberapa orang pejabat tertinggi di Demak, Kanjeng Adipati adalah seorang yang pendiriannya lentur dan mudah sekali dipengaruhi. Jika segala persiapan sudah matang, maka para pejabat tinggi di Demak itu akan menjerat Kanjeng Adipati, sehingga Kanjeng Adipati tidak akan dapat mengelak lagi. Kanjeng Adipati mau tidak mau harus berdiri berhadapan dengan Mataram. Sedangkan kekuatan yang akan mendukungnya, selain para pemimpin Demak serta para prajurit, maka para pejabat tinggi itu akan menghimpun anak-anak muda di daerah Utara. Sedangkan latar kekuatan yang diandalkan adalah Perguruan Kedung Jati.”

“Gila. Ini satu rencana yang gila.”

“Angger berdua, kenapa Angger menjadi sangat gelisah mendengar rencana besar dari para pemimpin di Demak itu?”

“Tentu, Paman. Bukankah kita orang-orang Mataram? Setidaknya aku dan istriku adalah orang Mataram.”

“Baiklah. Terserah kepada Angger berdua, apa yang akan Angger lakukan. Tetapi sebaiknya Angger meninggalkan tempat ini. Ajak Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel bersama kalian.”

“Lalu Paman dan mayat bibi serta kedua cucu Paman itu?”

“Aku tidak akan pergi, Ngger. Apapun yang terjadi. Seandainya aku harus mati esok pagi, aku tidak akan menyesal lagi. Sedangkan istriku dan kedua cucuku akan aku kuburkan esok pagi. Tentu ada orang yang bersedia membantuku. Atau bahkan mungkin aku sendiri akan ikut dikuburkan esok pagi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel, “Kalian bertiga sudah mendengar sendiri keterangan tentang rencana Demak untuk membuat landasan kekuatan di Sima. Setelah Sima, mungkin akan dibangun lagi landasan-landasan berikutnya, semakin ke Selatan.”

“Ya, Ngger,” sahut Ki Demang, “karena itulah maka kami bertiga telah menolak rencana itu. Kami tidak bersedia bekerjasama dengan Perguruan Kedung Jati serta beberapa orang pemimpin Kadipaten Demak. Sehingga akhirnya sampai pada satu keputusan, bahwa kami bertiga harus disingkirkan selama-lamanya.”

“Marilah kita tinggalkan Kademangan ini.”

“Aku sudah siap, Ki Sanak,” jawab Ki Demang.

Glagah Putih, Rara Wulan dan ketiga orang bebahu itu pun kemudian minta diri kepada laki-laki tua yang menunggui ketiga sosok mayat di pringgitan itu.

“Berhati-hatilah,” berkata kakek itu, “di Sima ini telah berkeliaran para petugas sandi yang dikirim oleh Perguruan Kedung Jati, yang bekerjasama dengan beberapa pejabat tinggi di Demak.”

“Baik, Paman. Aku akan berhati-hati.”

“Jangan kalian biarkan luka-luka kalian itu,” berkata kakek tua itu pula, “jika kau terlambat mengobatinya, maka luka-luka itu akan dapat menjadi luka yang berbahaya.”

“Ya, Paman.”

Demikianlah, mereka berlima telah meninggalkan halaman rumah Ki Demang. Namun demikian mereka berada di luar regol halaman, Rara Wulan pun bertanya, “Bagaimana dengan Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel?”

“Mereka sudah kami singkirkan sejak kami ditemui oleh para petugas sandi itu, Ngger. Kami sudah memperhitungkan bahwa akhir dari kedatangan petugas sandi itu tentu sangat buruk bagi kami. Tetapi kedatangan Angger berdua, telah memberikan harapan bagi kami bertiga.”

“Bagaimana dengan para bebahu yang lain?”

“Kami tidak dapat memaksanya. Mereka berdiri di sisi yang berbeda dengan kami bertiga. Tetapi bukan karena mereka berkeyakinan atas sikapnya, bahwa menerima tawaran para petugas sandi itu akan memberikan kecerahan kepada mereka serta Kademangan Sima. Tetapi mereka ingin tetap berada di kedudukan mereka. Jika mereka menentang, maka nasibnya tentu akan buruk sebagaimana kami bertiga.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun ia pun tidak banyak bertanya lagi. Namun Glagah Putih-lah yang bertanya, “Keluarga Ki Demang sekarang berada di mana?”

“Mereka berada di Kademangan Ampel.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan pergi ke Ampel sekarang juga?”

“Ya, Ngger. Bahkan aku minta Angger berdua juga pergi ke Ampel. Angger berdua tentu perlu beristirahat. Perlu mengobati luka-luka, dan beberapa keperluan yang lain. Aku bahkan ingin minta Angger berdua tinggal di Ampel beberapa saat. Kemudian kita akan meninggalkan Ampel bersama-sama lagi. Kami ingin membawa keluarga kami ke tempat yang lebih jauh lagi.”

“Apakah Ki Demang masih cemas bahwa Ki Demang akan disusul sampai ke Ampel? Bukankah mereka tidak tahu bahwa keluarga Ki Demang berada di Ampel?”

“Itulah yang aku cemaskan, Ngger. Jika ada yang tahu bahwa aku telah membawa keluargaku ke Ampel, maka orang-orang itu akan dapat mengirimkan orang untuk memburuku. Padahal aku, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali.”

Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kecemasan yang sangat di wajah Ki Demang. Demikian pula di wajah Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Bahkan Ki Bekel itu pun berkata, “Mungkin ada tetangga yang tahu bahwa aku telah mengungsikan keluargaku ke Ampel, Ngger. Sengaja atau tidak sengaja, aku memang cemas bahwa akhirnya mereka tahu, bahwa keluarga kami berada di Ampel.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun merasa iba melihat ketakutan di wajah mereka bertiga. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Kami berdua akan mengantar Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel sampai di Ampel. Tetapi besok pagi kami berdua ingin berada di Sima kembali. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel berbenah diri. Di sore hari kami berdua sudah akan sampai di Ampel lagi. Nah, kami berdua akan mengantar Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel.”

Ketiga orang itu termangu-mangu.

“Ki Demang,” berkata Glagah Putih kemudian, “seandainya mereka berniat memburu Ki Demang bertiga, maka mereka belum akan melakukannya besok pagi. Besok pagi mereka masih akan disibukkan oleh mayat nenek tua beserta kedua orang cucunya itu. Mereka harus menguburkan mereka bertiga.”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Jagabaya pun berkata, “Baiklah. Tetapi kami bertiga bersama keluarga kami harus menyingkir dari Ampel secepatnya.”

Demikianlah, malam itu mereka berjalan dengan sedikit tergesa-gesa ke Ampel. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel rasa-rasanya selalu berada di bawah pengamatan para petugas sandi dari Demak dan dari Perguruan Kedung Jati. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun agak tergesa-gesa karena di keesokan harinya mereka ingin berada di Sima kembali, untuk mengetahui akibat dari kematian kedua orang petugas sandi dari Demak atau Perguruan Kedung Jati itu, beserta neneknya.

Sebelum fajar, mereka sudah memasuki wilayah Ampel. Ternyata keluarga Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu telah mengungsi di rumah salah seorang yang masih berhubungan keluarga dengan Ki Demang. Mereka berada di sebuah padukuhan kecil yang berada di ujung Kademangan Ampel, yang jaraknya bahkan masih agak jauh dari padukuhan induk.

Kedatangan mereka bertiga disambut oleh keluarga masing-masing dengan haru. Sebenarnyalah keluarga Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu sudah berputus asa. Mereka mengira bahwa ketiga orang itu tentu sudah dihabisi oleh orang-orang yang datang menemui mereka. Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel tidak dapat melunakkan hati suami-suami mereka untuk menerima saja tawaran orang-orang Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati.

Tetapi suami- suami mereka tidak dapat berbuat demikian, meskipun mereka sadari bahwa mereka akan dapat terbunuh karenanya. Orang-orang yang datang menemui mereka nampaknya orang-orang yang jantungnya telah membeku.

Namun ternyata Yang Maha Agung masih belum menentukan saat kematian mereka di tangan orang-orang yang bengis itu. Ternyata suami-suami mereka masih sempat menemui mereka di sebuah padukuhan di Kademangan Ampel.

“Mereka berdua-lah yang telah menyelamatkan nyawa kami,” berkata Ki Demang Sima.

Nyi Demang mengusap matanya yang basah. Namun sesaat kemudian Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel pun telah pergi ke dapur untuk merebus air.

Ki Demang pun kemudian telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan berbenah diri. Mengobati luka-luka mereka yang terdapat di beberapa bagian tubuh mereka.

“Apakah Angger berdua mempunyai obat yang dapat meringankan sakit dan nyeri karena luka-luka Angger? Atau bahkan dapat menyembuhkannya?

“Ada, Ki Demang. Kami membawa obat yang setidak-tidaknya untuk sementara dapat membantu.”

Namun Ki Demang dan istrinya itu pun telah menyediakan pakaian yang lebih baik dari pakaian Glagah Putih dan Rara Wulan yang dipakainya, yang sudah koyak-koyak dimana-mana.

“Terima kasih, Ki Demang dan Nyi Demang. Kami telah mendapatkan pakaian baru.”

“Pakaian itu sudah tidak baru lagi, Ngger.”

“Itu tentu lebih baik, karena tidak akan menarik perhatian.”

Setelah beristirahat sebentar, serta telah berbenah diri serta minum minuman hangat dan makan beberapa potong ketela pohon yang direbus dengan gula kelapa, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri.

“Angger berdua tidak letih?”

“Kami tidak ingin kesiangan, Ki Demang.”

“Angger berdua akan sampai di Sima menjelang tengah hari. Tetapi apakah masih ada keperluan Angger berdua di Sima?”

“Kami ingin melihat akibat dari kematian para petugas sandi terpilih di halaman rumah Ki Demang itu.”

“Bukankah itu akan sangat berbahaya, Ngger?”

“Kami adalah orang-orang yang tidak dikenal, Ki Demang.”

“Tetapi laki-laki tua itu mengenal Angger berdua.”

“Mudah-mudahan orang tua itu bukan orang yang tidak berperasaan sehingga ia akan menuding kami, jika kami menyaksikan penguburan para petugas sandi yang tentu akan dikubur dengan upacara itu.”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak dapat mencegah mereka ketika kemudian mereka pun berangkat meninggalkan padukuhan itu, kembali ke Sima. Perjalanan yang memang agak jauh. Tetapi mereka berdua akan dapat berjalan cepat, sehingga mereka akan sampai ke Kademangan Sima sedikit lewat wayah pasar temawon.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan dengan cepat, bahkan seperti orang yang berlari-lari kecil menuju ke Sima. Seperti saat mereka pergi ke Ampel, mereka pun mengikuti jalan-jalan setapak. Tetapi jalan itu adalah jalan pintas.

Di sepanjang jalan mereka berdua tidak menghiraukan apapun. Mereka tidak ingin mendapat hambatan di perjalanan. Bukan saja orang-orang yang langsung mengganggu mereka, tetapi jika mereka melihat ketidakadilan, maka rasa-rasanya mereka berhutang jika mereka berdua tidak turut campur.

Seperti yang mereka rencanakan, maka sedikit lewat wayah pasar temawon mereka sudah memasuki Kademangan Sima. Matahari sudah merayap semakin tinggi. Beberapa saat lagi, matahari akan mencapai puncak langit.

Ketika mereka berdua pergi ke rumah Ki Demang, mereka melihat orang-orang telah berkerumun di depan regol.

“Ada apa?” bertanya Glagah Putih kepada seorang laki-laki tua.

“Ada raja pati.”

“Raja pati? Siapakah yang dibunuh? Ki Demang atau keluarganya?” desak Glagah Putih.

“Entahlah. Mungkin tamu Ki Demang. Mereka bukan orang Sima. Mereka diketemukan telah terbunuh dan dibaringkan di pringgitan rumah Ki Demang.”

“Siapa yang telah membunuh mereka?”

“Tidak tahu. Ketika fajar naik, orang-orang menjadi ribut. Beberapa orang menemukan mayat di pringgitan rumah Ki Demang.”

“Para pembantu Ki Demang?”

“Bukan. Entahlah, siapakah mereka itu. Semalam memang terdengar keributan di halaman rumah Ki Demang. Tetapi tidak begitu jelas. Akhirnya keributan itu pun berhenti.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Rara Wulan pun kemudian bertanya, “Dimana Ki Demang sekarang?”

“Orang-orang baru sibuk mencarinya. Tetapi Ki Demang tidak dapat diketemukan. Bahkan Ki Jagabaya dan Ki Bekel juga tidak ada di rumahnya.”

“Lalu siapakah yang menyelenggarakan penguburan itu?”

“Justru orang-orang yang tidak kami kenal, serta beberapa orang bebahu yang masih ada. Ki Kamituwa. Ki Kebayan dan beberapa orang Bekel dari padukuhan tetangga, serta beberapa orang yang lain.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertanya lagi. Bersama beberapa orang mereka menyaksikan upacara pemakaman yang baru akan dilakukan lewat tengah hari.

“Ternyata kita tidak terlambat,” desis Rara Wulan.

“Ya. Tetapi waktu tenggangnya pendek sekali.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara itu, orang-orang di halaman rumah Ki Demang itu nampak sibuk. Agaknya sosok-sosok mayat di pringgitan itu sudah disucikan serta siap di berangkatkan ke kuburan. Beberapa orang bebahu telah minta orang-orang Sima untuk membantu mengusung mayat-mayat itu.

Demikian upacara itu selesai, maka iring-iringan itu pun segera bergerak. Agaknya telah dipinjam beberapa keranda dari padukuhan-padukuhan yang lain, karena sosok mayat yang akan dikuburkan itu tidak hanya satu.

“Berapa?” bertanya Rara Wulan. Ia mencoba menengadahkan kepalanya untuk melihat, ada berapa keranda yang berangkat ke kuburan itu

“Lima, Kakang. Lima,” berkata Rara Wulan dengan serta-merta. Bahkan Rara Wulan itu pun mulai bergeser untuk menyibak orang-orang yang berdiri di depannya.

Tetapi Glagah Putih memegang lengannya sambil bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Kenapa keranda itu lima, Kakang? Bukankah yang terbunuh semalam hanya empat orang?”

“Sst,” desis Glagah Putih, “jangan menarik perhatian orang lain.”

“Tetapi…”

“Itulah yang terjadi.”

“Jadi mereka benar-benar telah membunuh kakek tua itu? Itu tidak adil, Kakang.”

“Tetapi itu sudah terjadi, Rara. Kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”

“Seharusnya hanya ada empat keranda. Kembang Waja, kakaknya yang diakunya sebagai suaminya, neneknya, serta seorang lagi yang menunggu mereka di regol halaman ini.”

“Ya. Seharusnya memang hanya ada empat sosok mayat. Tetapi kakek tua itu pun tentu telah diselesaikan pula, karena ia dianggap bersalah. Bahwa ia tetap hidup, memang dapat menimbulkan pertanyaan, sementara keempat orang yang lain telah terbunuh.”

“Kenapa kakek tua itu tidak mau pergi bersama kita?”

Ketika Glagah Putih berpaling, dilihatnya mata Rara Wulan menjadi basah. Bahkan kemudian ia pun menggeram, “Kakang, lihat dengan jelas orang-orang asing yang menyelenggarakan penguburan itu. Kenali mereka dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang sudah membunuh kakek tua itu.”

“Apa yang kemudian akan kau lakukan?”

“Aku akan membuat perhitungan.”

“Tenangkan hatimu, Rara. Kita harus berpikir jernih.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Sementara Glagah Putih pun berkata selanjutnya, “Seperti dikatakan oleh paman yang terbunuh itu, bahwa di Sima telah berkeliaran para petugas sandi dari Demak dan dari Perguruan Kedung Jati. Sehingga di setiap langkah, kita harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya.”

Rara Wulan pun terdiam.

Sementara itu, seseorang telah sesorah di hadapan orang-orang Sima. Orang itu sama sekali bukan bebahu Kademangan Sima. Tetapi bagi orang Sima, ia justru orang asing.

Tetapi orang itulah yang sesorah pada saat kelima sosok mayat itu diberangkatkan ke kuburan di luar padukuhan induk Kademangan Sima.

Orang itu menyebut para korban adalah tamu Ki Demang Sima. Mereka diketemukan sudah meninggal di rumah Ki Demang, sementara Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel padukuhan induk itu telah hilang. Menurut orang yang sesorah itu, agaknya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel telah diculik oleh orang-orang jahat, setelah mereka membunuh tamu-tamunya.

“Aku adalah sepupu Ki Demang,” berkata orang itu, “untunglah bahwa semalam aku tidak bermalam di rumah Kakang Demang, sehingga aku selamat.”

“Semua itu omong kosong,” geram Rara Wulan.

“Ya. Orang itu memang omong kosong. Tetapi kita harus membiarkannya. Yang berdiri di sekitarnya itu tentu para pengikutnya, entah dari Demak atau dari Perguruan Kedung Jati. Bahkan di sekitar kita pun tentu ada pula para petugas sandi itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk kecil.

Demikianlah, sejenak kemudian iring-iringan lima keranda telah bergerak keluar dari regol halaman rumah Ki Demang. Glagah Putih dan Rara Wulan ikut pula dalam iring-iringan itu. Rara Wulan masih saja nampak gelisah. Ia merasa bahwa kematian kakek itu benar-benar tidak adil.

“Sampai hati pula mereka membunuh paman tua itu,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Tetapi seperti dikatakan oleh Glagah Putih, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Rara Wulan harus melihat kenyataan, bahwa ia hanya berdua saja dengan suaminya. Sementara itu ia tidak tahu, ada berapa orang petugas dari Demak dan dari Perguruan Kedung Jati.

“Kakang,” bertanya Rara Wulan kemudian, “apakah yang terjadi di Seca itu juga ada hubungannya dengan rencana Perguruan Kedung Jati yang akan bekerja sama dengan Demak? Jika mereka dapat membangun landasan di Seca, maka mereka akan dapat mendatangi Mataram dari arah utara. Mereka dapat menyeberangi Kali Elo, dan kemudian mereka tidak perlu menyeberangi Kali Praga.”

“Memang mungkin, Rara. Tetapi mungkin yang dilakukan Perguruan Kedung Jati pada saat itu masih belum ada ikatan yang pasti dengan Demak.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu pun mendekati pintu gerbang padukuhan induk Kademangan Sima. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengikuti iring-iringan itu lebih jauh lagi. Tetapi ketika mereka sampai di simpang tiga, mereka pun telah berbelok memasuki jalan simpang.

Menjelang sore hari, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun singgah di sebuah kedai yang tidak terlalu besar, yang tidak terlalu jauh dari penginapan tempat mereka menginap. Tetapi mereka berdua tidak ingin singgah di penginapan itu, meskipun kedua kakek dan nenek itu sudah tidak ada. Bahkan kedua cucunya juga sudah tidak ada pula.

Di kedai itu, telah duduk beberapa orang sejak sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan masuk. Ternyata orang-orang yang berada di kedai itu. hampir semuanya masih membicarakan lima sosok mayat yang ada di rumah Ki Demang. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya, Ki Bekel beserta keluarganya tidak ada di rumahnya.

“Jika mereka diculik oleh segerombolan penjahat, tentu tidak akan bersama keluarganya,” berkata seorang di antara mereka yang berada di kedai itu.

“Ya. Seandainya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel melarikan diri, keluarga mereka pun tentu masih tinggal,” berkata yang lain.

Tetapi seorang yang duduk di sudut kedai itu berkata perlahan-lahan, “Ada yang mengatakan bahwa telah pernah datang ke rumah Ki Demang orang-orang yang tidak dikenal, yang ingin bekerja sama dengan Ki Demang.”

“Bekerja sama?” bertanya orang yang duduk di sebelahnya, “kalau ingin bekerja sama, kenapa justru Ki Demang itu menghilang? Justru bersama-sama dengan Ki Jagabaya dan Ki Bekel?”

“Ah, entahlah. Aku tidak tahu,” jawab yang duduk di sudut itu.

Sebenarnyalah banyak orang yang membicarakan tentang kematian di rumah Ki Demang serta hilangnya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel beserta keluarga mereka. Tetapi tidak satupun pembicaraan itu menyentuh persoalan yang sebenarnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan, setelah beberapa lama berada di kedai itu, serta telah makan serta minum secukupnya, maka mereka pun segera meninggalkan kedai itu.

“Orang-orang Kademangan Sima tidak ada yang tahu, apa yang telah terjadi dengan Demangnya serta beberapa orang bebahunya,” desis Rara Wulan.

“Ya. Tetapi aku ingin tahu bagaimana sikap para bebahu yang lain.”

“Mereka tentu tidak akan berani menentangnya. Kakang lihat ketika kelima sosok mayat itu dikuburkan. Para bebahu tidak seorangpun yang menampakkan diri sebagai seorang pemimpin di kademangan ini. Segala sesuatunya dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal di kademangan ini, meskipun mereka harus mengaku masih ada hubungan keluarga dengan Ki Demang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak banyak keterangan yang kita dapatkan. Aku bahkan ingin berada di Sima malam nanti.”

“Apakah Ki Demang dan yang lain tidak menjadi ketakutan?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak.

“Kakang, sebaiknya kita pergi ke Ampel. Kita antarkan dahulu Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel ke tempat yang menurut mereka lebih tenang. Besok kita kembali kemari. Bukankah persoalan di Sima ini tidak berhenti sampai malam nanti?”

“Baik. Suasana pun sudah menjadi lebih tenang.”

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun meninggalkan Kademangan Sima, kembali ke Ampel. Meskipun mereka berjalan cepat, namun mereka sampai di Ampel setelah malam turun.

Sebenarnyalah Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel sudah menjadi gelisah. Glagah Putih dan Rara Wulan berjanji bahwa mereka akan kembali ke Ampel sore hari.

“Penguburan itu dilakukan lewat tengah hari,” berkata Glagah Putih, “bahkan diiringi dengan sesorah panjang.”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel mengangguk–angguk. Dengan nada datar Ki Bekel berkata, “Kami sudah menjadi cemas, bahwa sesuatu terjadi atas Angger berdua. Menurut penglihatan kami orang-orang yang datang ke Sima itu cukup banyak.”

“Apakah Ki Bekel mengetahui, siapakah pemimpin mereka?”

“Tidak, Ngger. Tetapi mungkin Ki Demang dapat berbicara lebih banyak.”

Ki Demang itu pun kemudian menyahut, “Nampaknya perempuan yang terbunuh itu adalah salah seorang pemimpin mereka, Ngger.”

“Yang muda atau yang tua, Ki Demang?”

“Yang muda. Agaknya perempuan itu banyak menentukan.”

“Selain laki-laki yang umurnya kira-kira sebaya dengan perempuan itu. Masih terhitung muda. Dengan Angger ini mungkin hanya terpaut dua tiga tahun.”

“Lebih tua atau lebih muda?” bertanya Rara Wulan.

“Lebih tua.”

“Apa yang sebenarnya mereka kehendak?”

“Mereka menghendaki Kademangan Sima dapat menjadi landasan perjuangan mereka selanjutnya. Kademangan Sima agar dapat menyediakan tempat serta makan bagi seluruh kegiatan mereka di sima.”

“Ki Demang tahu, berapa orang kira-kira yang akan berada di Sima?”

“Tidak, Ngger.”

Sementara Ki Jagabaya menyahut, “Jumlahnya akan dapat berkembang terus, Ngger, menurut perkembangan keadaan. Bahkan kemudian mereka akan melebarkan sayap mereka di kademangan-kademangan sebelah-menyebelah. Beberapa kademangan mereka rencanakan dapat mendukung perbekalan bagi mereka.”

“Para bebahu di Sima telah menolaknya?”

“Hanya kami bertiga Yang lain tidak berani menolak.”

“Ki Demang tidak mencoba mempengaruhi mereka?”

“Sudah, Ngger. Kami telah mengadakan pertemuan-pertemuan. Tidak hanya sekali. Tetapi agaknya orang-orang Demak dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu telah mendatangi para bebahu itu seorang-seorang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan keterangan ketiga orang bebahu itu dengan seksama. Sementara itu Ki Demang pun berkata, “Ngger, sebenarnyalah bahwa kami masih tetap khawatir untuk tinggal di sini. Tidak mustahil bahwa orang-orang yang berdatangan ke Sima itu akan memburu kami, karena kami dianggap orang-orang yang berbahaya.”

“Jadi kalian akan pergi kemana?” bertanya Rara Wulan.

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Ki Jagabaya pun berkata, “Istriku mempunyai sanak di tempat yang agak jauh. Agaknya tempat itu tidak akan pernah mendapat perhatian oleh orang-orang yang datang ke Sima.”

“Mereka tinggal di mana?”

“Mereka tinggal di Pajang.”

“Di Pajang?”

“Ya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Perjalanan yang jauh. Bersama dengan keluarga, Ki Demang. Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak akan dapat mencapai Pajang dalam sehari. Mungkin Ki Demang harus bermalam di jalan.”

“Kami akan menempuh perjalanan panjang itu, Ngger. Demi keselamatan kami. Bahkan ketentraman hidup kami.”

“Baiklah. Jika kalian sudah mantap dan sudah mempersiapkan diri lahir dan batin sekeluarga, maka silahkan.”

“Tetapi bukankah Angger berdua akan pergi ke Pajang bersama kami?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Sebenarnyalah kami ingin pergi ke Sima lagi untuk melihat suasana.”

“Kami tidak berani menempuh perjalanan sejauh itu dalam suasana seperti ini, Ngger. Mungkin kami dapat bertemu dengan orang-orang yang berniat jahat, atau bahkan orang-orang yang pernah berada di Sima.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Memang mungkin sekali bahwa orang-orang yang berada di Sima itu telah menanam beberapa orang petugas sandi di Pajang.

“Menurut Ki Demang, apakah ada di antara mereka yang akan pergi ke Pajang?”

“Mungkin sekali, Ngger.”

“Jika demikian, kenapa Ki Demang dan yang lain-lain justru akan pergi ke Pajang?”

“Pajang adalah tempat yang ramai, Ngger. Banyak orang yang berbaur di sana, sehingga seseorang tidak akan memperhatikan setiap orang yang dijumpainya. Saudara Ki Jagabaya tentu juga dapat memberikan beberapa petunjuk, karena saudara Ki Jagabaya itu menjadi prajurit di Pajang.”

“Prajurit?”

“Ya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebenarnya mereka ingin kembali ke Sima. Tetapi mereka tidak sampai hati membiarkan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel itu pergi ke Pajang hanya bersama keluarganya saja.

Akhirnya Glagah Putih itu pun berkata, “Baiklah, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel. Kami akan mengantar kalian sampai ke Pajang. Jika kita berangkat di dini hari, maka pada saat malam turun, kita sudah akan berada di Pajang. Demikian Ki Jagabaya menemukan rumah saudaranya itu, kami akan segera pergi ke Sima. Kami memerlukan waktu yang hampir sama dengan perjalanan kita ke Pajang. Tetapi karena kami hanya berdua, maka kami akan dapat berjalan lebih cepat.”

“Terima kasih, Angger berdua. Kami tidak akan pernah melupakan pertolongan Angger berdua. Bahkan Angger berdua telah menyelamatkan nyawa kami.”

“Jadi, kapan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan berangkat?”

“Bagaimana jika kita berangkat besok pagi?”

“Besok pagi?”

“Ki Demang, angger berdua ini tentu masih letih. Baru saja mereka datang dari Sima,” sahut Ki Jagabaya.

“Tidak. Kami tidak akan diganggu oleh keletihan. Kami sudah terbiasa berjalan dari hari ke hari. Jika Ki Demang ingin berangkat besok pagi, maka kita harus berangkat di dini hari. Siapakah yang terkecil di antara kita yang akan menempuh perjalanan ke Pajang?”

“Cucuku, Ngger,” sahut Ki Jagabaya.

“Umurnya?”

“Tiga belas tahun.”

“Bersama ayah dan ibunya?”

“Tidak. Cucuku itu sudah yatim piatu. Aku-lah yang memeliharanya sejak bayi. Ayahnya meninggal karena sakit beberapa pekan sebelum anak itu lahir. Dalam keadaan duka, anak itu dilahirkan. Tetapi ibunya tidak tertolong.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Demang pun berkata, “Kalau anak-anakku, sudah mentas semuanya. Mereka berpencar di beberapa tempat. Yang sulung, yang aku harapkan dapat menggantikan kedudukanku, sudah aku minta meninggalkan rumah untuk mengantar ibunya kemari.”

“Sekarang ia berada dimana, Ki Demang?”

“Anak itu sekarang berada di rumah keluarga istrinya di Kademangan Tegal Kenanga, yang cukup jauh dari Sima. Aku mengira bahwa anak itu pun akan dibidik oleh orang-orang yang akan membunuhku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Ki Bekel berkata, “Aku mempunyai cerita yang berbeda. Aku tidak mempunyai seorang anakpun.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera teringat kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Pasangan itu pun tidak mempunyai keturunan pula, sehingga pada saat tertentu Sekar Mirah mengusap matanya yang basah. “Bagaimana dengan aku sendiri?” pertanyaan itu telah terbersit pula di hatinya.

Ternyata pertanyaan semacam itu juga sekilas melintas di dada Rara Wulan. Bahkan Rara Wulan itu pun berkata di dalam hatinya, “Setelah tugas ini selesai, maka aku akan hidup dalam lingkungan keluarga sebagaimana orang lain. Menimang seorang anak, serta sekali-sekali berdendang untuk menidurkannya.”

Dalam pada itu, Glagah Putih pun kemudian berkata kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel, “Jika kita akan berangkat besok, maka kita harus berangkat di dini hari. Di ujung malam, kita berharap sudah sampai di Pajang. Nyi Demang, Nyi Bekel, Nyi Jagabaya dan cucu Ki Jagabaya tentu akan menjadi sangat letih.”

“Kita akan beristirahat setiap kali, Ngger,” sahut Ki Demang.

“Dengan demikian, agaknya Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel perlu segera berbenah diri.”

Malam itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel pun telah membenahi segala sesuatunya yang perlu dibawa. Hanya selembar pakaian masing-masing. Di tempat yang baru nanti, mereka akan dapat mengusahakan ganti pakaian yang baru.

Demikian mereka selesai berbenah diri, maka Ki Demang, Ki Jagabaya, Ki Bekel serta keluarganya segera beristirahat. Mereka mencoba untuk segera dapat tidur, karena esok mereka akan menempuh perjalanan jauh.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang ada di gandok pun berusaha untuk dapat beristirahat pula. Seperti biasa, di tempat yang asing mereka pun tidur bergantian.

Di dini hari, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah bersiap. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel serta keluarga mereka masih sibuk bersiap-siap. Namun menjelang terang tanah, mereka pun telah minta diri kepada saudara Ki Demang, yang sudah bersedia menampung mereka menjelang kepergian mereka ke Pajang.

“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,” berkata Ki Jagabaya pula, “jika keadaan mengijinkan, pada kesempatan lain kami sekeluarga akan berkunjung pula kemari.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan padukuhan kecil di ujung Kademangan Ampel itu. Dalam kegelapan dini hari, mereka berjalan menyusuri jalan yang tidak begitu besar menuju ke tempat yang jauh. Pajang.

Pada saat mereka berangkat meninggalkan Ampel, selagi hari masih remang-remang, mereka dapat berjalan agak cepat. Matahari belum menampakkan diri. Udara masih terasa sejuk. Bahkan titik-titik embun masih sekali-kali terasa menyentuh kulit mereka. Dedaunan masih basah, serta kabut tipis masih menyaput pandangan mata mereka.

Cucu Ki Jagabaya ternyata cukup tangkas pula. Anak itu justru berjalan di depan bersama Glagah Putih. Sedangkan Rara Wulan berada di antara perempuan-perempuan yang lain. Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel berjalan di paling belakang.

Perjalanan ke Pajang memang perjalanan yang panjang. Lebih-lebih bagi istri Ki Demang, Ki Bekel dan Ki Jagabaya, serta cucu Ki Jagabaya.

Ketika matahari kemudian terbit serta mulai merayap memanjat langit, maka keringat pun mulai mengembun di kening. Perjalanan mereka pun mulai menjadi semakin lambat. Tetapi karena niat yang mendesak di dalam hati, maka mereka pun berjalan terus. Sekali-kali mereka mengusap keringat di dahi dan di kening.

Ketika matahari menjadi bertambah tinggi, maka mereka mulai diganggu oleh perasaan haus. Meskipun demikian, mereka tetap bertahan. Mereka berjalan sampai hampir tengah hari.

Cucu Ki Jagabaya-lah yang pertama kali berbisik kepada neneknya, “Nek, aku haus.”

“Katakan kepada kakekmu,” desis neneknya. Anak itu pun bergeser mendekati kakeknya. Sambil bergayut di lengan kakeknya, anak itu berbisik, “Kek, aku haus.”

Kakeknya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya. Di depan tentu ada pasar. Kita akan singgah sebentar di pasar itu.”

Anak itu pun kemudian berlari-lari kecil mendahului mereka dan berjalan di paling depan lagi bersama Glagah Putih.

“Kau haus?” bertanya Glagah Putih.

Agak malu-malu anak itu menjawab, “Ya, Paman.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku juga sudah haus sekali. Nanti jika kita melewati pasar atau kedai atau penjual dawet, kita berhenti.”

Anak itu mengangguk-angguk.

Tetapi mereka tidak menemukan pasar atau kedai atau penjual dawet. Leher anak itu rasa-rasanya sudah menjadi kering sekali.

Sekali-sekali ketika mereka berjalan di padukuhan, anak itu menengadahkan wajahnya, memandang kelapa muda yang bergayutan di antara pelepahnya.

Ketika mereka menjumpai gentong berisi air bersih yang memang disediakan bagi pejalan kaki yang kehausan, kakeknya berkata, “Kalau kau sudah terlalu haus, kau dapat minum dari air yang disediakan di regol halaman rumah itu.”

Tetapi anak itu menggeleng. Katanya, “Aku ingin dawet cendol, Kek. Nanti kita beli dawet cendol saja.”

Kakeknya tersenyum. Katanya, “Tetapi jika kita tidak segera menjumpai penjual dawet, kau tidak boleh rewel.”

“Tidak. Aku tidak akan rewel.”

“Bagus,” sahut Glagah Putih, “kita memang tidak boleh cengeng. Tetapi sebentar lagi, kita akan bertemu dengan penjual dawet.”

Sebenarnyalah, tidak terlalu jauh dari situ mereka menjumpai sebuah pasar. Tetapi pasar itu sudah menjadi agak sepi. Sudah banyak penjual yang membenahi dagangannya, karena sudah tidak ada lagi pembelinya.

“Nah, itu ada pasar,” anak itu hampir berteriak.

“Ya. Mudah-mudahan masih ada penjual dawet yang tersisa. Waktunya sudah lewat wayah pasar temawon,” sahut Glagah Putih.

Anak itu pun kemudian berlari-lari mendahului. Yang pertama-tama dicari adalah penjual dawet. Ternyata anak itu masih beruntung. Di dekat pintu gerbang pasar yang sudah sepi itu, masih terdapat seorang penjual dawet cendol. Sementara itu, di depan pasar, itu masih juga ada kedai yang pintunya terbuka.

Anak itu, tanpa menunggu kakek dan neneknya, segera duduk di lincak panjang di sebelah penjual dawet itu, sambil memesan, “Dawetnya, Kek.”

Penjual dawet yang rambutnya sudah memutih itu pun segera menyiapkan semangkuk dawet buat anak itu.

Namun beberapa saat kemudian, yang berhenti di sekitar penjual dawet itu ternyata ada beberapa orang.

“Anak itu tentu tidak hanya haus. Tetapi tentu juga lapar,” berkata Glagah Putih.

Neneknya mengangguk, “Ya. Sudah lewat tengah hari.”

“Kita berhenti di kedai itu,” desis Rara Wulan.

“Baik,” sahut Glagah Putih, yang kemudian mempersilahkan Ki Demang, Ki Bekel, Ki Jagabaya suami istri serta cucunya untuk singgah di kedai yang masih buka itu.

“Jangan segan,” berkata Rara Wulan, “kami berdua juga sudah lapar.”

Cucu Ki Jagabaya itu pula-lah yang lebih dahulu masuk ke sebuah kedai yang masih buka, sementara Rara Wulan membayar harga dawet yang telah diminum oleh anak itu.

“Sudahlah, Ngger, ini ada uang kecil,” Nyi Jagabaya mencegahnya. Tetapi uang Rara Wulan telah berada di tangan penjual dawet itu.

Nyi Jagabaya itu menarik nafas panjang. Katanya, “Angger terlalu baik kepada kami.”

“Tidak apa-apa, Nyi. Kebetulan saja aku mempunyai uang kecil yang aku selipkan di stagenku.”

Dalam pada itu, maka cucu Ki Jagabaya itu sudah duduk di amben bambu panjang di dalam kedai itu. Karena itu maka mau tidak mau, Ki Jagabaya dan Nyi Jagabaya pun harus menyusulnya.

Sementara itu Rara Wulan pun mempersilahkan Ki Demang dan Ki Bekel untuk masuk pula ke kedai itu. Namun Rara Wulan pun sambil bertanya mendekati pemilik kedai itu, “Masakan apa yang khusus di kedai ini?”

Pemilik kedai itu tersenyum sambil menjawab, “Sayang, Nyi, kami tidak mempunyai jenis makanan yang kami banggakan. Tetapi di kedai ini ada beberapa jenis makanan, yang barangkali ada yang sesuai dengan selera keluarga Nyi.”

Diam-diam Rara Wulan pun memberikan sekeping uang perak sambil berbisik, “Pegang dahulu uang ini. Nanti kalau ada yang akan membayar, katakan bahwa makanan dan minuman bagi kami bertujuh sudah dibayar.”

Pemilik kedai itu mengerutkan dahi. Katanya, “Uang ini tentu ada sisanya, Nyi.”

“Ya. Nanti sajalah kembaliannya, sesudah dihitung. Aku hanya ingin bahwa aku-lah yang membayar semuanya. Jangan ada orang lain.”

Pemilik kedai itu mengerti. Ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik, Nyi.”

Rara Wulan pun kemudian telah duduk di sebelah Glagah Putih sambil berdesis, “Masakannya biasa-biasa saja. Tetapi karena kita lapar, maka kita akan makan dengan nikmat.”

Ketika seorang pelayan datang mendekati mereka, maka mereka pun segera memesan menurut selera mereka masing-masing. Nasi megana, nasi tumpeng, nasi langgi atau nasi campur.

“Aku minta nasi liwet, ayam lembaran, telur ceplok dengan sambal goreng jipang yang tidak pedas,” berkata cucu Ki Jagabaya. Kemudian, “Minumnya wedang sere dengan gula kelapa.”

“Kau baru saja minum dawet,” berkata kakeknya.

“Tidak apa-apa.”

“Ya, tentu tidak apa-apa. Tetapi nanti perutmu penuh.”

“Perutku tidak pernah penuh, Kek.”

Ki Jagabaya tersenyum. Cucunya memang nakal dan sedikit manja.

Beberapa lama kemudian, maka pesanan mereka pun sudah dihidangkan. Cucu Ki Jagabaya itu pun telah bergeser ke ujung amben, seakan-akan ingin memisahkan diri, agar pada saat ia makan tidak terganggu.

Glagah Putih tersenyum melihat sikap anak itu. Tetapi ia tidak menegurnya. Bahkan Glagah Putih itu agak heran juga melihat anak itu makan. Tetapi pada umurnya, remaja memang kebanyakan mengalami masa semega. Masa banyak makan dan bahkan apa saja.

“Tubuhnya memang sedang berkembang. Karena itu, maka ia memerlukan bahan yang cukup agar perkembangan tubuhnya tidak terganggu.”

Sebelum nasi di mangkuknya serta daging ayam lembaran, telur ceplok dan sambal goreng jipang habis, maka ia sudah mengacungkan tangannya kepada pelayan di kedai itu dengan menunjukkan jari telunjuknya.

“Nasinya satu lagi.”

“Bukan main anak ini,” desis Nyi Jagabaya.

“Biarlah, Nyi,” sahut Rara Wulan, “ia memang harus banyak makan agar tumbuh dengan wajar.”

Pelayan kedai itu mendekatinya sambil bertanya, “Seperti tadi?”

“Tidak. Aku minta nasi megana dengan telur pindang.”

“Apakah kau dapat menghabiskannya?” bertanya kakeknya.

“Tentu, kek. Bukankah di rumah aku juga makan banyak?”

Ki Jagabaya tidak menjawab. Sementara itu cucunya masih sempat berpesan kepada pelayan kedai itu, “Jangan lupa daging empal. Jangan yang terlalu kering.”

Rara Wulan tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, “Kau dapat membedakan daging empal yang terlalu kering dan yang tidak terlalu kering?”

“Yang kering terlalu keras, Bibi,” jawab anak itu, “gigiku akan dapat menjadi sakit.”

“Kau pintar.”

Sejenak kemudian pelayan kedai itu pun telah menghidangkan pesanannya itu. Dalam pada itu, maka suasana di pasar itu pun semakin menjadi sepi. Sudah tidak banyak orang yang berjalan hilir mudik di depan pasar. Bahkan beberapa orang mulai menyapu lingkungan pasar yang menjadi kotor itu.

Di kedai itu pun tidak lagi banyak orang yang duduk di dalamnya. Hanya satu dua saja yang menebar di sudut-sudut, kecuali Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dengan tujuh orang yang berjalan bersamanya.

Seorang yang bertubuh tinggi, kekar dan berdada bidang, tiba-tiba saja telah duduk di dekat cucu Ki Jagabaya itu.

Sambil tersenyum orang itu mengelus kepala cucu Ki Jagabaya itu. Katanya, “Bagus sekali jika kau mau makan banyak. Seumurmu, kau memang harus makan banyak-banyak. Kau sedang tumbuh, dan kau tentu banyak bergerak. Bermain, atau barangkali ikut membantu kerja di sawah.”

Anak itu beringsut sedikit. Namun anak itu justru bertanya, “Paman juga akan pesan makan dan minum?”

“Ya, tentu,” jawab orang itu. Kemudian orang itu pun bertanya, “Kau akan pergi kemana, Ngger?”

Anak itu menjawab dengan jujur, “Kami akan pergi ke Pajang.”

“Siapa saja?”

Ki Jagabaya-lah yang segera menyahut, “Aku adalah kakeknya, Ki Sanak. Aku dan neneknya akan mengajaknya mengunjungi bibinya yang belum pernah dilihatnya.”

“O,” orang itu mengangguk-angguk. “Sebuah kelompok kecil,” berkata orang itu.

“Ya. Kebetulan saja kami bersama-sama akan pergi ke Pajang untuk keperluan yang berbeda-beda. Tetapi karena kami akan pergi ke tujuan yang sama, maka kami pun berjalan bersama-sama.”

“Ki Sanak tinggal di mana?” bertanya orang itu.

“Kami tinggal di Ampel, Ki Sanak.”

“Sebuah perjalanan yang jauh.”

“Ya. Kami berangkat pagi-pagi sekali. Kami berharap di senja hari kami sudah berada di Pajang.”

Orang itu masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jika Ki Sanak berjalan terus tanpa henti, mungkin di senja hari Ki Sanak sudah sampai ke Pajang. Tetapi berjalan dengan beberapa orang perempuan, dan apalagi kanak-kanak, mungkin kalian tidak akan mencapai Pajang di senja hari.”

“Ya. Perjalanan kami memang lamban. Mungkin sedikit lewat senja.”

“Mudah-mudahan, Ki Sanak.”

Orang itu pun kemudian telah memesan makan dan minum pula. Tetapi ia tetap saja duduk di sebelah cucu Ki Jagabaya.

Cucu Ki Jagabaya itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja menikmati nasi megana dengan telur pindang dan daging empal yang tidak terlalu kering.

Ternyata bahwa anak itu benar-benar menghabiskan pesanan itu. Sambil menarik nafas panjang, dielusnya perutnya yang penuh itu.

“Kenapa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Kenyang, Kek.”

Orang yang duduk di sampingnya itu pun tertawa sambil menyentuh perut anak itu. Katanya, “Kau makan lebih banyak dari aku.”

Anak itu pun tertawa pula. Tetapi ia pun kemudian beringsut mendekati neneknya dan meletakkan kepalanya di lengan neneknya.

“Kau tentu terlalu kenyang,” desis neneknya.

“Tidak, Nek. Biasa saja.”

“Kita masih akan berjalan jauh. Kalau kau terlalu kenyang, kau tidak akan dapat berjalan lebih cepat.”

“Aku lelah, Nek.”

“Singgah saja di rumahku,” berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.

“Kita singgah saja ya, Nek. Beristirahat. Besok saja kita lanjutkan perjalanan ini.”

“O, jangan,” berkata kakeknya, “nanti bibimu menunggu. Aku sudah janji bahwa hari ini kita akan sampai di rumahnya, meskipun malam hari.”

Anak itu memandang kakeknya dengan dahi yang berkerut. Ia pun kemudian bertanya, “Bibi yang mana itu, Kek?”

“Kau belum pernah melihatnya. Ia sangat ingin melihatmu.”

Anak itu mengangguk-angguk.

“Yang lain juga akan pergi ke Pajang?” bertanya orang yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu.

“Ya, Ki Sanak. Aku dan istriku juga mempunyai keperluan di Pajang,” jawab Ki Demang.

“Keperluan apa?”

“Ah, hanya keperluan pribadi. Tentang calon menantu.”

“O.” Orang itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera menghabiskan pesanannya. Kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Silahkan, Ki Sanak. Aku juga sudah kenyang, meskipun yang aku makan belum sebanyak yang dimakan anak itu.”

“Baik, Ki Sanak,” sahut Ki Jagabaya.

Orang itu tidak bertanya apa-apa kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi dipandanginya saja Rara Wulan tanpa berkedip, sehingga Rara Wulan itu memalingkan wajahnya, sementara hatinya menjadi berdebar-debar.

Tetapi Glagah Putih pura-pura saja tidak melihatnya, la percaya bahwa istrinya akan dapat melindungi dirinya sendiri jika perlu.

Sejenak kemudian, maka laki-laki itu pun melangkah ke pintu dan keluar dari kedai itu.

Demikian orang itu pergi, maka seorang yang rambutnya sudah ubanan mendekati Ki Jagabaya sambil berbisik, “Berhati-hatilah, Ki Sanak, orang itu sangat berbahaya. Bertanyalah kepada pemilik kedai ini. Tetapi mungkin ia tidak akan berani mengatakan apa-apa, karena orang itu sering datang kemari.”

Ki Jagabaya itu mengangguk-angguk sambil menyahut perlahan, “Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi ternyata Ki Sanak berani mengatakannya.”

“Aku orang asing di sini. Aku di sini baru beberapa hari. Tetapi mungkin dalam dua tiga hari lagi, aku sudah tidak berada di sini. Karena itu, maka orang yang berbahaya itu tidak akan mudah menemukan aku.”

“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?”

“Aku bukan siapa-siapa. Tetapi kau dapat mempercayai aku. Berhati-hatilah. Tetapi mudah-mudahan orang itu tidak menaruh perhatian kepada kalian dan orang-orang yang berjalan bersama kalian. Tetapi menilik pandangan matanya pada saat ia pergi, peringatkan perempuan muda itu agar berhati-hati.”

Ki Jagabaya memandang Rara Wulan yang agaknya mendengarkan pembicaraan itu pula. Orang berambut ubanan itu memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.

“Perempuan itu menempuh perjalanan bersama suaminya,” desis Ki Jagabaya.

“Laki-laki muda itu?”

“Ya.”

“Peringatkan agar ia selalu melindungi istrinya. Laki-laki yang duduk di sini tadi benar-benar laki-laki gila. Ia tidak menjalankan pekerjaan bersama banyak orang, tetapi ia melakukannya bersama adiknya. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Terima kasih. Terima kasih.”

“Kalian harus lebih berhati-hati pada saat senja. Ia mempunyai kebiasaan menjalankan pekerjaan jahatnya di senja hari.”

“Baik, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat pesan Ki Sanak. Kami sekelompok orang ini akan berhati-hati, terutama nanti pada saat senja turun.”

Laki-laki yang rambutnya mulai ubanan itu pun kemudian bergeser menjauhi Ki Jagabaya dan duduk kembali di tempatnya, di sebelah seorang yang berwajah tenang. Keduanya pun kemudian berbincang. Tetapi Ki Jagabaya tidak mendengar pembicaraan mereka.

Sejenak kemudian, ketika mereka sudah selesai makan, maka Ki Demang-lah yang berdiri lebih dahulu dan pergi menemui pemilik kedai itu.

“Hitunglah, Ki Sanak. Biarlah aku yang membayar.”

Tetapi pemilik kedai itu berkata, “Bahkan uang perempuan muda itu masih berlebih. Aku-lah yang harus memberikan pengembaliannya.”

“He? Jadi sudah ada yang membayar?”

Pemilik kedai itu menunjukkan sekeping uang perak sambil berkata, “Sisanya masih banyak.”

Ki Demang itu pun kemudian berpaling memandang Rara Wulan. Jika pemilik kedai itu menunjuk perempuan muda di antara mereka, tentulah perempuan muda yang bersama suaminya mengantar mereka ke Pajang itu.

“Seharusnya aku-lah yang membayar,” berkata Ki Demang, “aku adalah orang tertua di antara mereka. Aku juga sempat membawa bekal pada saat kita berangkat dari Sima.”

“Sudahlah,” desis Rara Wulan, “sudah terlanjur.”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel tidak dapat menolak.

Setelah Rara Wulan menerima uang kembalinya, maka mereka pun segera minta diri. Kepada orang yang rambutnya mulai ubanan, yang masih duduk di kedai itu bersama seorang kawannya, mereka pun mengangguk hormat, sebagai pernyataan hormat dan terima kasih, sekaligus minta diri.

Demikian mereka turun di jalan, terasa panasnya bagaikan menusuk kulit. Cucu Ki Jagabaya itu berbisik, “Kita berhenti saja dahulu, Kek. Kita teruskan perjalanan kita besok pagi.”

“Berhenti di mana? Sebaiknya kita berjalan terus perlahan-lahan saja. Kita tidak tergesa-gesa.”

“Aku letih, Kek.”

“Sebaiknya kita terus. Nanti jika kau benar-benar terlalu letih, aku akan menggendongmu di punggung.”

“Ah, malu, Kek. Aku sudah besar. Tentu sudah tidak pantas digendong meskipun di punggung.”

“Jadi bagaimana? Atau kau aku tinggal saja di kedai itu? Besok kau aku ambil?”

“Tidak mau, Kek. Tidak mau.”

“Lalu?”

“Biarlah aku berjalan saja terus.”

Ki Jagabaya tersenyum. Yang lain pun tersenyum pula. Ki Demang pun kemudian berkata, “Nah, itu namanya laki-laki.”

“Jadi bagaimana dengan nenek? Nenek, Nyi Demang dan Nyi Bekel bukan laki-laki. Bahkan bibi itu juga bukan laki-lak.”

“Tetapi ternyata mereka sanggup berjalan terus. Apalagi laki-laki.”

“Ya. Aku juga sanggup berjalan terus.”

Demikianlah, kelompok kecil itu mulai bergerak lagi menyusuri jalan-jalan panjang.

Terik matahari membuat pakaian mereka yang berjalan dalam kelompok kecil itu menjadi basah. Keringat mengalir dari segenap lubang kulit mereka. Bahkan pakaian cucu Ki Jagabaya itu pun menjadi basah pula.

Untunglah bahwa di bulak-bulak panjang selalu terdapat pohon perindang di pinggir jalan. Namun cucu Ki Jagabaya itu tidak lagi berjalan di depan. Tetapi ia lebih banyak bergayut tangan kakeknya yang berjalan bersama Ki Demang dan Ki Bekel.

Di belakang mereka berjalan Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel. Sebenarnyalah bahwa mereka pun sudah merasa letih. Tetapi mereka menyadari bahwa sebaiknya mereka berjalan terus.

Glagah Putih dan Rara Wulan justru berjalan di belakang. Mereka sempat berbincang sambil melangkah mengikuti para bebahu Kademangan Sima yang pergi mengungsi itu.

“Sebenarnya aku ingin berbicara dengan pemilik kedai itu, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Tidak banyak yang akan dikatakannya, Rara. Seperti kata orang yang rambutnya mulai ubanan itu, pemilik kedai itu tentu tidak akan berani mengatakan apa-apa. Orang yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu tentu sering mondar-mandir di sekitar kedai itu. Jika ia tahu bahwa pemilik kedai itu membuka rahasianya, maka ia tentu akan mengancamnya, dan bahkan mungkin akan berakibat sangat buruk.”

Rara Wulan mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Kita akan dapat meninggalkan kenangan buruk kepadanya. Tetapi menurut Kakang, siapakah orang yang rambutnya mulai ubanan itu?”

“Tentu bukan orang kebanyakan, la berada di sini hanya untuk sementara. Mungkin ia juga seorang pengembara. Mungkin ia dan bahkan kawannya yang duduk di sebelahnya itu petugas sandi dari Pajang. Agaknya ia sama sekali tidak merasa takut menyebut sikap dan tingkah laku orang bertubuh kekar itu.”

“Mungkin sekali ia memang petugas sandi. Jika saja ia punya bukti, maka orang itu tentu akan berusaha menangkap orang bertubuh kekar itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan ragu Glagah Putih itu pun berkata, “Mungkin kita akan dapat menjadi umpan. Jika orang yang kekar itu nanti saat senja turun mencegat kita, maka orang itu akan dapat menangkap basah.”

“Jika saja ia benar-benar petugas dari Pajang dan sempat menelusuri jalan yang akan kita lalui.”

“Orang itu tentu tahu, jalan mana yang menuju ke Pajang. Kecuali jika kita menempuh jalan kecil atau jalan pintas. Tetapi jalan-jalan itu akan sulit bagi perjalanan kita. Apalagi bagi perempuan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah perjalanan mereka semakin lama menjadi semakin lamban. Bukan hanya cucu Ki Jagabaya saja yang merasa lelah, tetapi Nyi Demang, Nyi Jagabaya dan Nyi Bekel juga merasa lelah. Meskipun demikian, meskipun perlahan, mereka melaju terus.

Mereka melintasi bulak-bulak panjang dan pendek, melintas padukuhan-padukuhan, bahkan kadang-kadang mereka berjalan tidak jauh dari hutan yang lebat atau menyeberangi padang perdu yang sepi. Sekali-sekali jika mereka menyeberangi sungai, maka mereka menyempatkan diri mencuci muka serta membasahi tengkuk mereka untuk mengurangi teriknya panas matahari.

Bahkan kadang-kadang mereka berhenti sejenak merendam kaki mereka yang terasa bagaikan matang oleh panasnya tanah yang mereka injak, karena sinar matahari. Beruntunglah mereka bahwa mereka tidak berjalan menghadap matahari yang semakin lama menjadi semakin rendah.

Dalam pada itu, cucu Ki Jagabaya telah benar-benar merasa sangat letih. Karena itu maka ia semakin sering minta beristirahat sejenak. Bahkan ketika mereka menyeberangi sebuah sungai yang agak deras, anak itu ijin untuk mandi.

“Biarlah anak itu mandi,” berkata Glagah Putih, “sementara itu kita sempat beristirahat di bawah pohon cangkring yang besar itu. Tetapi hati-hati, pohon, dahan serta ranting-rantingnya berduri.”

Yang lain sependapat pula. Mereka pun kemudian duduk di bawah pohon cangkring raksasa yang berdaun lebat, sehingga melindungi mereka dari teriknya sinar matahari, meskipun matahari itu sudah mulai turun.

Sementara itu cucu Ki Jagabaya itu berendam di air untuk mendinginkan tubuhnya. Anak itu menjadi gembira. Aliran air yang agak deras itu telah memberikan kegembiraan tersendiri. Sekali-sekali ia menghanyutkan dirinya, kemudian bergeser menepi, dan di tepian berlari menentang aliran air. Seakan-akan anak itu sudah tidak lelah lagi.

Ketika lelah sudah berangsur menyusut, maka Ki Jagabaya pun kemudian memanggil cucunya. Ia sudah cukup lama berendam.

“Marilah. Kau akan menjadi bertambah letih jika kau setiap kali berlari-lari di tepian.”

Sebenarnya cucu Ki Jagabaya itu masih ingin mandi lebih lama lagi. Tetapi ia pun sadar bahwa ia masih harus berjalan jauh.

Sejenak kemudian maka Nyi Jagabaya sudah membenahi pakaian cucunya dan bersiap untuk meneruskan perjalanan.

Tetapi demikian mereka naik ke atas tebing yang rendah dan landai di seberang sungai, maka langkah mereka tertegun. Mereka melihat orang yang berada di kedai, yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar itu, berdiri di tanggul sungai. Tetapi ia tidak sendiri. Di sisinya berdiri seorang yang juga bertubuh raksasa. Menilik wajah mereka yang mirip, maka mereka pun tentu bersaudara.

Langkah mereka pun terhenti. Dengan jantung yang berdebaran mereka memandangi kedua orang yang berdiri di atas tanggul itu.

“Kalian ternyata baru sampai di sini,” laki-laki bertubuh raksasa itu menyapa mereka yang tertegun dan berhenti di tepian itu.

“Ya, Ki Sanak. Ternyata Ki Sanak sudah berada di sini.”

“Rumahku tidak jauh dari jalan penyeberangan ini. Aku sengaja menunggu kalian untuk mempersilahkan kalian singgah. Anak itu tentu sudah sangat letih. Biarlah ia beristirahat dan bermalam di rumahku. Besok pagi-pagi sekali kalian dapat melanjutkan perjalanan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar