Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 373

Buku 373

“Aku mengerti,” Glagah mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Bagaimana menurutmu, Rara?”

“Kita segera kembali ke Banyudana, Kakang. Kita akan melihat rumah Wiraraja yang berada di belakang banjar. Mudah-mudahan kita tidak menemukan hal-hal yang tidak wajar di rumah itu.”

“Baik, Rara. Aku setuju.”

Keduanya pun kemudian segera melangkah kembali ke Banyudana. Mereka kembali dengan sangat berhati-hati. Mereka menghindari jalan-jalan yang banyak dilalui orang. Tetapi mereka memilih berjalan melewati pematang, lorong-lorong sempit dan jalan setapak. Begitu panen berakhir, maka sawah pun seakan-akan menjadi tanah yang gundul. Jerami pun telah dibabat dan dibakar.

Di sebelah padukuhan telah dipasang gawar melingkar. Tempat itu telah dipilih untuk menyelenggarakan tari tayub untuk meramaikan upacara merti desa. Sedang di malam berikutnya akan diselenggarakan tari topeng.

“Tari tayub mempunyai arti tersendiri bagi rakyat yang sedang melakukan upacara pernyataan terima kasih karena panenan mereka berhasil,” berkata Glagah Putih.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di padukuhan kembali. Dengan sangat berhati-hati mereka pun menyelinap masuk ke halaman rumah di belakang banjar.

Namun ternyata keduanya menjadi sangat terkejut. Rumah itu memang rumah orang yang menyebut dirinya Wiraraja. Namun sikapnya telah menjadi jauh berbeda. Wiraraja yang tinggal di rumah itu, sifat dan wataknya sangat berbeda dengan Wiraraja yang dikenalnya di kedai itu. Wiraraja yang tinggal di rumah itu adalah seorang yang garang. Kata-katanya memancarkan kesungguhan sikapnya. Keras dan bahkan kasar. Ia bukan seorang yang suka bercanda, tetapi ia adalah seorang yang tidak berjantung.

Dengan tegas Wiraraja itu memberikan perintah-perintah kepada beberapa orang yang ada di rumahnya. Namun perintah-perintah itu pun sangat mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ternyata Wiraraja adalah seorang yang telah dikirim oleh kelompok yang menyebut dirinya Perguruan Kedung Jati. Wiraraja pula-lah yang telah mengatur, siapakah yang berperan sebagai perampok dan siapakah yang berperan sebagai pahlawan.

Demikian keduanya mengetahui betapa liciknya Wiraraja, maka Glagah Putih pun segera menggamit Rara Wulan dan memberinya isyarat untuk meninggalkan halaman rumah itu.

“Permainan yang sangat menarik,” berkata Glagah Putih setelah ia keluar dari lingkungan halaman rumah Wiraraja.

“Ya, Kakang. Sungguh suatu permainan yang menyenangkan. Besok lusa adalah hari merti desa. Nanti malam mereka akan merampok rumah Ki Bekel, karena mereka mengira bahwa uang yang dipergunakan untuk biaya merti desa itu sudah berada di rumah Ki Bekel.”

“Itu tidak penting. Yang penting bahwa kekacauan itu telah terjadi. Kemudian orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu datang sebagai pahlawan yang menyelamatkan rakyat Banyudana dari perampokan itu.”

“Ya. Apa yang sebaiknya kita lakukan, Kakang? Apakah kita akan membiarkannya.”

“Kita harus berhati-hati, Rara. Untuk sementara kita tidak harus ikut campur, karena rakyat Banyudana tidak benar-benar akan mengalami perampokan. Ceritanya, uang itu tentu akan diselamatkan.”

“Apakah kita akan membiarkannya saja?”

Glagah Putih pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bergumam, “Bagaimana pendapatmu, jika untuk sementara kita akan membiarkannya saja?”

“Kakang. Aku mempunyai pendapat yang mungkin Kakang sependapat.”

“Katakan, Rara.”

“Yang terjadi nanti di tengah malam tentu para perampok itu akan merampok rumah Ki Bekel. Kemudian mereka yang berperan sebagai pahlawan akan datang menyelamatkannya. Bagaimana pendapat Kakang, jika kita ikut menghanyutkan diri di antara para pahlawan itu?”

“He? Lalu apa keuntungan kita?”

“Para pahlawan itu tentu tidak akan benar-benar melukai kawan-kawan mereka sendiri. Kalau mungkin, tentu hanya segores kecil. Jika darah menitik, maka mereka telah membuat seolah-olah mereka terluka parah. Tetapi kita tidak berbuat demikian.”

“Kita akan membunuh?”

“Tidak, tita tidak akan membunuh. Kita akan melukai mereka sedikit lebih parah. Itu saja. Bukankah dengan demikian kita akan dapat membuat mereka saling curiga?”

“Apakah mereka tidak akan menyalahkan rakyat Banyudana.”

“Rakyat Banyudana tidak akan ada yang berani ikut campur.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Menarik juga gagasanmu itu, Rara. Sebaiknya kita akan mencobanya. Tetapi jika para pahlawan itu menyadari bahwa di antara mereka terdapat pengkhianat, maka kita akan lari. Aku yakin mereka tidak akan dapat berlari secepat kita dengan mengerahkan tenaga dalam kita.” Glagah Putih pun tersenyum. Katanya, “Gagasanmu bagus sekali. Kita akan mencobanya. Kita akan melawan permainan itu dengan permainan pula. Bahkan yang tidak kalah menariknya.”

“Marilah, kita akan bersiap-siap di rumah Ki Bekel. Rumahnya tentu berada di tepi jalan utama padukuhan itu.”

Keduanya pun kemudian pergi mencari rumah Ki Bekel. Ternyata tidak sulit untuk menemukannya. Di rumah Ki Bekel sudah ada beberapa orang yang sedang mempersiapkan upacara merti desa besok lusa.

“Kita menunggu di sini saja, Kakang,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih pun mengangguk.

Sejenak kemudian keduanya telah duduk di atas sebuah dahan pohon nangka tua yang besar. Daunnya yang rimbun telah membayangi tubuh mereka sehingga tersembunyi.

Sesaat menjelang tengah malam, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat bayangan seseorang yang melintas di sebelah regol halaman rumah Ki Bekel. Glagah Putih pun segera memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk bersiap-siap.

Perampok itu tentu akan segera datang. Kemudian para pahlawan pun akan segera hadir pula untuk menyelamatkan Ki Bekel dari perampokan. Rakyat Banyudana tentu akan sangat berterima kasih kepada para murid dari Perguruan Kedung Jati yang telah menyelamatkan mereka.

Sebenarnyalah, sedikit menjelang tengah malam, segerombolan perampok telah memasuki regol halaman rumah Ki Bekel. Beberapa orang yang berada di rumah itu menjadi sangat terkejut. Namun sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, para perampok itu telah mengancam mereka dengan senjata telanjang.

Dengan garangnya pemimpin perampok itu pun berkata lantang, “Jangan ada yang beranjak dari tempat kalian!”

Orang-orang yang berada di rumah Ki Bekel itu pun menjadi sangat cemas. Menilik ujud serta pakaian orang-orang yang berdatangan itu, maka mereka sudah menduga bahwa mereka adalah perampok yang sangat ditakuti itu.

Namun Ki Bekel-lah yang kemudian bangkit berdiri. Ia pun kemudian melangkah turun dari tangga pendapa rumahnya sambil bertanya, “Siapakah kalian, Ki Sanak?”

“Kau sendiri siapa?”

“Aku adalah Bekel di padukuhan ini.”

“Bagus. Jika demikian, maka pekerjaanku akan cepat selesai. Ki Bekel harus bersedia bekerja sama dengan kami.”

“Apa maksudmu?”

“Serahkan uang yang sekarang tentu sudah berada di tangan Ki Bekel. Uang yang akan kau pergunakan untuk membiayai upacara merti desa lusa.”

“Uang itu bukan uangku sendiri, Ki Sanak. Uang itu milik rakyat padukuhan ini. Karena itu, aku tidak berani menyerahkannya kepada siapapun.”

“Jangan banyak bicara, Ki Bekel. Tidak ada yang dapat kau lakukan selain menyerahkan uang itu. Karena jika kau tidak mau menyerahkannya, maka kau akan mati.”

“Ki Sanak. Kau tentu tahu bahwa upacara ini adalah upacara ucap syukur, bahwa panen yang baru lalu dapat berhasil dengan baik. Karena itu seharusnya Ki Sanak tidak mengganggu jalannya dan bahkan persiapan dari upacara ini.”

“Cukup!” bentak pemimpin perampok itu, “aku tidak tahu apakah uang itu uang rakyatmu atau uang siapa saja. Aku juga tidak peduli apakah kau akan mengucap syukur atau apa. Pokoknya serahkan uang itu kepadaku. Habis perkara.”

“Jangan, Ki Sanak. Jika demikian, maka upacara itu akan dapat gagal sama sekali . Kami tidak mempunyai uang cadangan untuk menyelenggarakan upacara itu.”

“Diam kau, Ki Bekel! Sudah aku katakan, serahkan uang itu!”

Pemimpin perampok itu tiba-tiba saja telah menjangkau baju Ki Bekel serta mengguncang-guncangnya. Tubuh pemimpin perampok yang jauh lebih tegap, lebih besar dan lebih tinggi itu kekuatannya sama sekali tidak terlawan oleh Ki Bekel. Karena itulah maka Ki Bekel pun benar-benar telah terguncang-guncang.

“Serahkan uang itu!” bentak pemimpin perampok itu

“Jangan ambil uang itu, Ki Sanak. Jika kalian mau ambil, ambil saja apa yang ada di rumahku. Aku memang bukan orang kaya, tetapi nilai isi rumahku ini akan seimbang dengan nilai uang yang akan dipergunakan untuk upacara merti desa esok lusa.”

“Cukup! Cukup, Ki Bekel! Jangan terlalu banyak bicara. Serahkan uang itu. Atau kau akan mati malam ini juga.”

“Tunggu, Ki Sanak.”

“Jika kau tidak kebal, maka serahkan uang itu Kecuali jika kau memang kebal.”

Ki Bekel menjadi bingung. Uang itu bukan uangnya. Uang itu adalah uang rakyatnya yang akan dipergunakannya untuk merti desa. Jika uang itu diambil oleh para perampok, maka tidak ada lagi yang dapat dipergunakan untuk upacara itu. Sementara itu waktunya tinggal esok lusa. Tidak ada lagi kesempatan untuk menjual gabah, padi atau jagung.

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan. Suara tertawa yang bergema di malam hari.

“Ki Sanak, kenapa kau ganggu mereka yang akan menyelenggarakan upacara merti desa? Mereka yang akan mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung.”

“Siapa kau, yang telah berani mencampuri urusanku?”

“Bodoh kau. Kami adalah murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Kami datang untuk menyelamatkan rakyat Banyudana dan sekitarnya. Karena itu, tolong, jangan ganggu mereka. Jangan nodai pernyataan syukur mereka bagi Yang Maha Agung, bahwa mereka telah menunai hasil yang baik di musim panen ini.”

“Persetan kau, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Ternyata kau adalah orang-orang yang selalu mencampuri urusanku. Pergilah, jangan ganggu aku.”

“Kau siapa, Ki Sanak? Kau ternyata benar-benar tidak tahu diri. Kenapa tidak mengais rejeki di tempat orang-orang kaya? Kenapa kau justru merampok uang rakyat yang kekurangan? Yang berusaha mengumpulkan uang untuk mengucap syukur kepada Yang Maha Agung.”

“Cukup! Jangan bersembunyi lagi. Keluarlah dari tempat yang gelap itu. Kita akan membuktikan, apakah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati benar-benar orang-orang yang berilmu tinggi, atau hanya sekadar namanya sajalah yang mencuat setinggi langit, tetapi orangnya sama sekali tidak beranjak dari bumi yang diinjaknya.”

Sejenak kemudian, seorang yang bertubuh tinggi telah meloncat dari balik dinding halaman di samping halaman rumah Ki Bekel. Namun orang itu tidak sendiri. Beberapa orang yang lain pun telah berloncatan pula.

Namun demikian, jumlah orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati itu jumlahnya jauh di bawah jumlah para perampok yang sudah berada di halaman rumah Ki Bekel itu. Glagah Putih yang menggamit Rara Wulan pun bertanya, “Berapa orang yang berperan sebagai perampok itu?”

Rara Wulan pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Menurut penglihatanku, kira-kira lima belas orang, Kakang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku kira memang sebanyak itu. Sedangkan mereka yang berperan sebagai pahlawan jumlahnya jauh lebih sedikit. Kira-kira hanya tujuh atau delapan orang.”

“Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi mereka harus menang. Bukankah semakin kecil perbandingan mereka dengan para perampok, mereka akan semakin disanjung sebagai pahlawan yang besar?”

Demikianlah, maka kedua belah pihak pun kemudian telah terlibat dalam perdebatan yang sengit. Namun akhirnya para perampok itu tetap tidak mau mengurungkan niatnya.

Dengan demikian maka pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah pihak segera mempersiapkan diri untuk bertempur di halaman rumah Ki Bekel.

Sebenarnyalah sesaat kemudian telah terjadi pertarungan yang sengit. Semakin lama semakin sengit.

Meskipun jumlah murid-murid Perguruan Kedung Jati itu jauh lebih sedikit, namun mereka ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi. Beberapa kali para perampok itu bergantian terlempar keluar dari arena. Bahkan sekali-sekali terdengar salah seorang perampok itu berteriak menahan sakit.

Namun akhirnya seperti yang dikehendaki oleh Wiraraja, maka para perampok itu pun mulai terdesak Dengan demikian, maka para perampok itu pun segera menarik senjata-senjata mereka yang beraneka macam.

Dalam kegelapan, maka pertempuran di antara kedua belah pihak itu pun menjadi agak baur. Setiap orang tidak segera dapat dikenali ujudnya. Meskipun kedua belah pihak sudah saling mengenal dengan baik, namun mereka tidak segera dapat mengetahui bahwa ada seorang yang telah menyusup di antara mereka.

“Aku akan berada di antara para perampok,” berkata Glagah Putih, “sementara itu kau akan berada di antara para pahlawan.”

Rara Wulan mengangguk. Namun Glagah Putih pun memperingatkan, “Jangan mempergunakan senjatamu sendiri. Ikat rambutmu baik-baik, seakan-akan kau memakai ikat kepala. Bukankah kau mempunyai sehelai kain untuk kau kenakan di kepalamu?”

“Ya, Kakang.”

“Bagus. Marilah kita mulai.”

Keduanya pun segera memasuki arena pertempuran dengan sangat berhati-hati, agar keberadaan mereka di arena tidak dapat dikenal oleh kedua belah pihak. Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan selalu bergerak di tengah arena pertempuran. Bahkan tiba tiba saja keduanya telah memegang senjata yang dirampasnya dari mereka yang berperan sebagai lawan-lawan mereka.

Pertempuran yang pura-pura itu ternyata dapat berlangsung dengan sengitnya pula. Ki Bekel dan orang-orang yang sudah ada di rumahnya tidak dapat mengetahui, bahwa sebenarnya pertempuran itu adalah sekedar berpura-pura saja.

Beberapa saat kemudian, para perampok itu pun mulai terdesak. Mereka berlari-larian memasuki pintu seketheng. Kemudian mereka sempat bertempur di longkangan sejenak. Namun kemudian mereka pun berlari ke halaman belakang, dan selanjutnya terdengar isyarat bahwa para perampok itu harus mengundurkan diri.

Demikianlah, sejenak kemudian pertempuran telah berakhir. Para perampok telah melarikan diri, sementara para pahlawan pun telah memenangkan pertempuran.

Namun orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun terkejut. Ternyata masih ada beberapa orang yang tertinggal. Tidak semua perampok sempat melarikan diri atau dibawa oleh kawan-kawan mereka melarikan diri. Ada tiga orang perampok yang terluka cukup parah, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri bersama dengan kawan-kawan mereka.

Yang lebih mengejutkan, ternyata di antara para ksatria yang malam itu menjadi pahlawan, ada juga yang terluka. Dua di antara mereka terkapar di longkangan tanpa dapat bangun kembali.

“Gila!” teriak pemimpin para pahlawan itu. Namun untuk sementara ia harus merahasiakan peristiwa yang tidak diduganya akan terjadi. Selama ini permainan mereka dapat berjalan dengan mulus tanpa cacat.

Para pahlawan itu pun semakin terkejut ketika mereka juga menemukan tiga orang yang berperan sebagai perampok itu benar-benar terluka. Bahkan cukup parah.

“Tentu ada yang berkhianat,” geram pemimpin dari mereka yang berperan sebagai ksatria.

“Mereka tentu dari antara para perampok itu, Ki Sanak,” berkata Ki Bekel ketika ia melihat ketiga orang terbaring di halaman belakang rumahnya.

“Aku akan membawa mereka,” berkata pemimpin dari mereka yang berperan sebagai pahlawan.

“Ya. Kami perlu berbicara dengan mereka,” berkata yang lain.

Para murid dari Perguruan Kedung Jati itu menjadi agak tergesa-gesa. Mereka tidak sempat memamerkan kemenangan mereka kepada Ki Bekel dan orang-orang yang berada di rumahnya.

Biasanya orang-orang yang menjadi pengikut Ki Saba Lintang itu memamerkan kemenangan mereka ke seluruh padukuhan. Mereka berbicara panjang lebar tentang perjuangan mereka melindungi rakyat. Bahkan kadang-kadang mereka tidak segan-segan mencela Mataram, yang tidak mampu berbuat apa-apa bagi rakyatnya pada saat rakyatnya membutuhkannya.

“Mataram hanya dapat memaksa rakyat membayar pajak. Tetapi Mataram tidak mampu melindungi rakyatnya dari kejahatan. Buat apa pajak yang dipungut dari rakyatnya, jika Mataram tidak mampu menyusun pasukan yang dapat ngrambahi wilayahnya untuk melindungi rakyatnya dari gangguan para penjahat?”

Tetapi pada saat mereka yang berperan sebagai perampok dan berperan sebagai pahlawan ada yang terluka, maka segala sesuatunya berlangsung dengan tergesa-gesa.

Meskipun biasanya ada yang terluka pula, tetapi luka itu hanyalah goresan-goresan tipis yang tidak berarti. Tetapi malam itu, beberapa orang telah terluka parah. Bahkan mereka tidak dapat bangkit berdiri dan tidak dapat menyingkir tanpa bantuan orang lain.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun memperhatikan mereka dari kejauhan. Mereka berlindung di balik kegelapan. Mereka yang mengaku para murid dan Perguruan Kedung Jati itu pun kemudian telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah. Baik yang berperan sebagai perampok maupun yang berperan sebagai penyelamat.

“Kita akan mengikuti mereka, Rara,” berkata Glagah Putih, “nampaknya mereka akan dibawa ke rumah Wiraraja.”

“Tetapi mereka menuju ke pintu gerbang.”

“Ya. Mereka harus memberikan kesan keluar dari padukuhan ini.”

Rara Wulan itu pun mengangguk-angguk. Berdua mereka mengikuti dengan hati-hati orang-orang yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati.

Ternyata dugaan Glagah Putih benar. Setelah berputar-putar sejenak, maka orang-orang yang terluka itu pun telah dibawa ke rumah Wiraraja.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Wiraraja, maka Wiraraja menjadi sangat marah. Rasa-rasanya jantungnya akan meledak karenanya. Namun justru karena itu maka untuk beberapa saat ia tidak dapat mengatakan apa-apa. Bibirnya menjadi gemetar, dan giginya bagaikan saling melekat di mulutnya.

Namun tiba-tiba saja tangannya dihentakkannya. Dipukulnya dingklik panjang yang terbuat dan kayu itu dengan sisi telapak tangannya, sehingga patah di tengah.

Dengan suara yang gemetar Wiraraja itu pun kemudian menggeram, “Tentu ada yang berkhianat.”

“Ya,” sahut pemimpin mereka yang berperan sebagai pahlawan.

“Dimana mereka sekarang?”

“Mereka berada di perkemahan, Ki Wiraraja. Sejak semula kami sudah menetapkan bahwa setelah kita menyelesaikan tugas kita, maka kita akan pergi di perkemahan di hutan itu.”

“Aku akan pergi ke sana sekarang.”

“Bagaimana dengan yang terluka ini?”

“Bawa ke perkemahan.”

Wiraraja itu tidak menunggu lagi. Ia pun segera keluar dan turun ke halaman. Kemudian menyusup regol halaman, turun ke jalan menuju ke hutan. Orang-orangnya yang membawa mereka yang terluka itu pun mengikutinya. Tetapi mereka tidak dapat berjalan setepat Wiraraja, karena mereka harus memapah orang-orang yang terluka cukup parah.

Satu kebetulan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka mengikuti para pengikut Ki Saba Lintang yang pergi ke perkemahan mereka di pinggir hutan. Wiraraja telah menumpahkan kemarahannya di perkemahan. Meskipun ia berteriak-teriak dan mengumpat-umpat, namun tidak ada orang lain yang mendengarnya.

“Tentu ada lebih dari seorang pengkhianat di antara kalian!” teriak Wiraraja. “Beberapa orang telah benar-benar terluka. Satu permainan yang buruk sekali Bukankah kita sudah sering melakukannya dan berhasil dengan baik? Kenapa tiba-tiba saja kalian menjadi saling mengkhianati?”

Orang-orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu saling berpandangan. Tiba-tiba saja mereka menjadi saling mencurigai. Luka yang parah itu pada satu saat dapat terjadi pada diri mereka. Sementara itu, jika mereka tahu dan jelas siapakah lawan mereka, maka setidak-tidaknya mereka akan dapat mempertahankan diri. Tetapi dalam permainan malam itu, seharusnya tidak terjadi serangan yang benar-benar dapat menimbulkan luka yang parah.

“Aku minta siapa yang telah benar-benar melukai kawan-kawan sendiri itu mengaku. Jika ada di antara kalian yang mengaku, maka aku akan mempertimbangkan pengampunan. Tetapi jika tidak ada yang mengaku, kemudian pada suatu hari aku berhasil menemukan mereka, maka hukuman mereka akan berlipat. Hukuman mereka akan menjadi lebih buruk dari hukuman mati.”

Suasana pun menjadi sangat mencekam.

Wiraraja pun kemudian berkata, “Dengan peristiwa ini, maka kegiatan kita untuk sementara akan dihentikan. Permainan kita di daerah ini aku tunda, sampai ada perintahku lagi. Jika permainan ini diteruskan, akan dapat menimbulkan bahaya bagi kita, karena kita akan mencurigai yang satu dengan yang lain. Tetapi bukan berarti persoalan ini akan aku bekukan. Aku akan tetap mencari, siapakah yang telah melakukan pengkhianatan ini.”

Tidak ada yang menjawab. Semua orang terdiam. Bahkan untuk bernafas pun rasa-rasanya mereka menjadi sangat berhati-hati.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mendengarkan perintah-perintah Ki Wiraraja yang marah. Namun kemudian Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan serta memberikan isyarat untuk meninggalkan tempat itu.

Dengan sangat berhati-hati Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan perkemahan orang-orang yang mengaku murid-murid Perguruan Kedung Jati itu. Kemudian mereka pun segera keluar dari hutan, dan menyeberangi padang perdu yang ditumbuhi ilalang serta gerumbul-gerumbul liar.

Ketika mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putih pun berkata, “Untuk sementara daerah ini akan menjadi tenang. Sebenarnya tenang, bukan tenang yang dibuat-buat.”

“Ya, Kakang. Nampaknya untuk sementara orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu tidak akan berbuat apa-apa lagi. Tetapi Wiraraja cukup cekatan. Ia menghentikan segala kegiatan karena orang-orang menjadi saling curiga.”

“Dengan demikian, kita akan dapat berjalan terus untuk melaksanakan tugas kita.”

“Tetapi menurut Kakang, kita akan pergi kemana? Ke Perguruan Jung Wangi, atau ke Naga Tapa, atau pergi ke daerah Purwadadi?”

“Kita akan pergi ke Perguruan Jung Wangi lebih dahulu, Rara. Jika perguruan itu sudah tidak ada bekasnya, maka kita akan pergi ke Perguruan Naga Tapa. Agaknya perguruan itu masih tetap ada. Tetapi karena Ki Wiratuhu sudah tidak ada lagi, maka mungkin sekali perguruan itu telah dipimpin oleh orang lain.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi baiklah kita beristirahat dahulu, Kakang.”

“Ya. Kita akan beristirahat dahulu. Tetapi sebaiknya kita mengambil tempat sedikit lebih jauh dari perkemahan Wiraraja.”

“Baik, Kakang. Tetapi rasa-rasanya aku ingin bertemu lagi dengan Wiraraja.”

“Sudahlah, jangan mencari perkara. Jika mereka sudah berhenti, biarlah mereka berhenti. Jika kita bertemu lagi dengan Wiraraja, mungkin orang itu akan mencurigai kita, sehingga Wiraraja akhirnya mengetahui bahwa bukan orang-orangnya sendiri-lah yang berkhianat. Dengan demikian, maka Wiraraja pun akan mulai lagi dalam permainannya.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk mengiyakan.

Beberapa saat kemudian, setelah mereka berjalan semakin jauh dari perkemahan Wiraraja di hutan itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun menemukan tempat yang baik untuk beristirahat.

“Kita berhenti di sini, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Baik, Kakang. Di sebelah ada sungai kecil. Nampaknya tempat ini tidak terlalu banyak dilewati orang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menempatkan diri di sebuah lekuk batu padas. Di dinginnya musim bediding, mereka menyalakan api untuk menghangatkan tubuh mereka.

Glagah Putih telah mencari ranting-ranting dan kekayuan kering, sementara Rara Wulan membuat api dengan batu titikan yang memercikan api pada emput gelugut aren. Dengan dimik belerang yang mereka bawa, maka mereka pun menyalakan ranting-ranting dan kayu kayu kering.

Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan sempat menghangatkan tubuh mereka. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Beristirahatlah, Rara Biarlah aku berjaga-jaga. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di sisa malam ini.”

“Kakang tidak letih?”

“Tidak. Aku pun rasa-rasanya tidak mengantuk.”

“Kalau Kakang mulai mengantuk, katakan saja, Kakang. Kita akan bergantian berjaga-jaga.”

“Malam tinggal ujungnya, Rara. Sebentar lagi hari akan segera pagi.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi Rara Wulan pun segera duduk bersandar sebatang pohon sambil memejamkan matanya. Rara Wulan memang sempat terlena sesaat. la pun segera terbangun oleh suara ayam jantan yang berkokok bersahutan di padesan.

“Matahari masih belum terbit,” berkata Glagah Putih, yang juga bersandar sebatang pohon.

Tetapi Rara Wulan justru bangkit berdiri sambil menggeliat. Katanya, “Segarnya udara pagi.”

“Ya. Segar sekali.”

“Kita pergi ke sungai kecil itu, Kakang.”

“Marilah.”

Keduanya pun turun ke tebing sungai yang landai. Mereka segera mencuci muka dengan air sungai yang dingin. Namun kemudian terasa tubuh dan penalaran mereka menjadi segar.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berbenah diri. Ketika matahari membayang, keduanya pun telah siap untuk melanjutkan perjalanan.

“Kita jadi pergi ke Jung Wangi lebih dahulu, Kakang?”

“Ya. Kita akan melihat apakah Perguruan Jung Wangi itu masih ada.”

“Kita akan pergi ke Sima lebih dahulu?”

“Ya. Kita akan melewati Sima. Jika di Sima tidak ada masalah dalam kaitannya dengan mereka yang menyebut murid-murid Perguruan Kedung Jati, maka kita akan berjalan terus menuju ke Jung Wangi. Jaraknya masih cukup jauh, Rara. Mungkin kita masih harus bermalam semalam lagi di perjalanan. Ruas-ruas jalan yang harus kita lalui tidak selalu rata. Kadang-kadang jalan menjadi sempit, rumpil dan menyusuri tebing-tebing perbukitan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Mungkin ada ruas ruas jalan yang pernah kita lewati ketika pergi ke Demak. Tetapi mungkin kita akan mengambil jalan pintas melewati jalan-jalan di pinggir hutan.”

Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian keduanya pun segera melanjutkan perjalanan menuju ke Sima. Tetapi mereka tidak merasa perlu untuk tergesa-gesa. Menjelang matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menyeberangi sungai kecil itu. Mereka berjalan menuju ke utara.

Di pagi-pagi yang dingin, keduanya berjalan menembus tirai kabut yang tipis. Rerumputan masih basah oleh embun, sedangkan langit perlahan-lahan menjadi semakin terang. Di kejauhan burung-burung liar di pepohonan berkicau menyambut matahari yang akan terbit.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan turun ke jalan yang lebih ramai, maka mereka mulai berjalan beriringan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Bahkan satu dua pedati nampak berjalan dengan malasnya, sehingga setiap kali orang orang yang berjalan kaki itu pun harus mendahului.

Orang-orang yang berjalan kaki itu harus menepi jika ada satu dua orang berkuda lewat mendahului mereka yang berjalan kaki. Apalagi pedati yang merangkak seperti siput.

Ketika matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di depan sebuah pasar yang terhitung ramai. Pasar yang menjorok masuk ke dalam padukuhan yang besar memanjang di seberang Kali Pepe.

“Kita melihat-lihat sebentar, Kakang,” berkata Rara Wulan yang agak tertarik ketika ia melihat beberapa gulung kain yang diturunkan dari sebuah pedati. Glagah Putih tidak menolak. Katanya, “Baiklah. Kita melihat-lihat sebentar.”

Rara Wulan pun kemudian masuk ke dalam pintu gerbang pasar, diikuti oleh Glagah Putih. Ternyata Rara Wulan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu masih saja tetap seorang perempuan. Ketika ia melihat-lihat kain tenun yang beraneka, maka rasa-rasanya ia tidak akan pernah beranjak pergi.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tidak sampai hati untuk mengajak Rara Wulan cepat-cepat meninggalkan tumpukan-tumpukan kain tenun yang beraneka itu. Bahkan Glagah Putih pun justru merasa bahwa ia telah ikut serta menggiring Rara Wulan keluar dari kebiasaan seorang perempuan.

Untuk beberapa lama Rara Wulan melihat-lihat kain tenun yang sempat menarik perhatiannya. Diamatinya lembar demi lembar kain tenun yang berwarna-warni. Hijau pupus, lemah teles, hijau tua, merah hati, kuning nemugiring, dan masih banyak lagi. Bahkan lurik ketan ireng, pentiasa dan sejenisnya.

Namun Rara Wulan itu terkejut ketika tiba-tiba penjual kain lurik itu membentaknya, “He, perempuan muda! Kau ini mau membeli, atau hanya mengurai dan menggelar kain lurikku yang sudah aku gulung dengan rajin?”

“O, maaf, Mbokayu,” sahut Rara Wulan agak gagap. Ia tidak mengira bahwa penjual kain lurik itu adalah seorang perempuan yang keras dan pemarah. “Aku sedang melihat-lihat. Mungkin ada yang aku inginkan.”

“Sudah sejak tadi kau mengamati kain lurikku. Tetapi tidak ada satu pun yang agaknya menarik bagimu. Bukankah dimana-mana kain lurik itu sama saja? Warnanya, anyamannya, harganya. Nah apa lagi yang ingin kau perhatikan? Kalau kau tidak mempunyai uang, lihat saja lurikku dalam gulungan. Jangan kau urai seperti itu.”

“Aku minta maaf, Mbokayu.”

“Kau cukup minta maaf, tetapi aku harus menggulungnya lagi. Kau kira aku kurang pekerjaan?”

Rara Wulan menjadi sangat jengkel. Tetapi ia tidak mau bertengkar dengan penjual kain.

Namun penjual kain itu masih saja bergeremang, dan bahkan kemudian ia pun berkata kepada seorang laki laki pembantunya, “Suruh perempuan itu pergi.”

Laki-laki itu menjadi ragu-ragu.

“Apa lagi yang kau tunggu?”

Laki-laki itu masih tetap saja ragu. Bahkan kemudian ia pun menjawab, “Perempuan itu sedang melihat-lihat, Nyi. Mungkin ada yang menarik hatinya, sehingga kain itu akan dibelinya.”

“Perempuan itu tidak mempunyai uang. Cepat, suruh perempuan itu pergi.”

Laki-laki itu masih saja termangu-mangu. Namun perempuan pemilik kain lurik itu tetap saja membentaknya, “Cepat! Suruh perempuan itu pergi. Aku muak melihat wajahnya. Jika ia mempunyai uang, maka ia tentu sudah membelinya. Bukan sekedar menggelar yang ini yang itu.”

Laki-laki itu nampaknya memang tidak sampai hati untuk mengusir orang yang sedang melihat-lihat kain lurik itu. Tetapi ia pun tahu sifat majikannya yang garang. Sehingga akhirnya ia pun melangkah mendekati Rara Wulan sambil berkata, “Maaf, Nyi. Apakah ada yang ingin kau ambil?”

Rara Wulan benar-benar tersinggung oleh sikap perempuan itu. Tetapi Rara Wulan tidak ingin bertengkar di tengah-tengah pasar. Karena itu, maka Rara Wulan pun kemudian berkata kepada laki-laki itu, “Maaf, Ki Sanak. Sebenarnya aku ingin mengambil sepotong. Tetapi nampaknya majikanmu tidak cukup sabar memberi kesempatan aku memilih.”

“Yang mana, Nyi? Yang mana yang akan kau ambil?”

“Omong kosong. Ia hanya berbicara saja. Perempuan itu tidak mempunyai uang, kau dengar?”

Laki-laki itu tidak menjawab.

Namun yang dilakukan oleh Rara Wulan sangat mengejutkan perempuan penjual kain lurik itu. Tiba-tiba saja Rara Wulan mengambil sekeping uang perak dari kampil yang dibawanya. Ia tidak sempat minta persetujuan Glagah Putih. Namun begitu saja uang itu diberikan kepada laki laki pembantu penjual kain lurik itu.

“Ambillah, Ki Sanak. Jika saja majikanmu sabar sedikit, maka uang ini akan aku belikan kain lurik. Tetapi karena majikanmu tidak sabar, maka ambil sajalah uang itu. Mungkin uang itu akan berguna bagimu.”

Orang itu benar-benar terkejut. Ketika Rara Wulan memberikan uang itu kepadanya, maka laki-laki itu pun berkata, “Bukankah itu keping uang perak, Nyi?”

“Ya. Kenapa? Aku ingin memberikan uang ini kepadamu. Dan itu terserah saja kepadaku, karena uang ini adalah uangku.”

“Tetapi, untuk membeli kain lurik, keping uang perak itu akan mendapat dua atau tiga helai.”

“Aku sudah tidak mempunyai keinginan lagi untuk membeli kain, Ki Sanak, tetapi aku ingin memberikan uang ini kepadamu.”

Laki-laki itu masih saja termangu-mangu. Namun perempuan penjual kain lurik itu pun segera melangkah mendekati Rara Wulan sambil terbungkuk-bungkuk.

“Aku minta maaf, Nyi, aku minta maaf. Aku memang seorang yang kasar dan tidak sabaran. Jika kau membeli kain lurikku dengan keping uang perak itu, aku akan memberimu tiga potong. Aku dapat memilih yang mana yang paling kau sukai, Nyi.”

“Tidak,” jawab Rara Wulan, “aku tidak ingin membeli kain lurik. Tetapi aku ingin memberikan keping uang perak itu kepada laki-laki pembantumu.”

“Aku sudah memberinya gaji yang cukup, Nyi.”

“Bukankah tidak setiap hari ada orang yang memberimu keping uang perak?” sahut Rara Wulan. Lalu katanya pula, “Sudahlah. Nyi. aku minta diri. Aku akan melanjutkan perjalanan.”

Demikian Rara Wulan dan Glagah Putih pergi, maka perempuan itu mengumpatinya. Bahkan katanya kepada laki-laki pembantunya, “Berikan uang itu kepadaku. Aku sudah membayarmu setiap pekan. Jadi uang itu adalah uangku.”

“Tidak, Nyi. Uang ini diberikan kepadaku langsung. Jadi uang ini adalah uangku. Aku sudah memberitahukan bahwa dengan uang ini ia dapat membeli dua atau tiga potong kain lurik. Tetapi ia tidak mau. Ia berkeras memberikan uang itu kepadaku.”

“Tidak. Uang itu harus kau berikan kepadaku.”

“Jangan, Nyi.”

“Kalau kau tidak mau menyerahkan uang itu kepadaku, maka kau akan aku pecat. Sedangkan uang itu tetap harus kau serahkan kepadaku.”

Tiba-tiba saja perempuan itu bersuit nyaring. Tiga orang laki-laki yang garang pun bermunculan dari antara orang orang yang berada di pasar itu. Bahkan sudah menjadi semakin berdesak-desakan.

Demikian ketiga laki-laki garang itu muncul, maka laki-laki yang membantu berdagang kain itu pun dengan serta merta berkata, “Baik. Baik, Nyi. Ambil uang perak itu.”

Seorang laki-laki yang garang itu tiba tiba saja mecengkam baju pembantu pedagang kain itu sambil membentak, “Dari mana uang itu kau curi, he?”

“Aku tidak mencuri, Kang. Aku diberi oleh seseorang.”

“Persetan. Uang itu tentu kau curi dari seorang pembeli kain. Kau tidak akan dapat ingkar.”

Tetapi pedagang kain itu pun mendekati laki-laki yang dituduh mencuri itu sambil berkata, “Ia tidak bohong, Kang. Orang ini tidak mencuri. Tetapi ia menerima uang pada waktu kerja, sehingga uang itu tentu saja milikku.”

“Mari, marilah, Nyi. Ambil uang itu.”

Laki-laki itu menyerahkan keping uang perak itu kepada pedagang kain itu.

“Nah, ini baru benar. Aku memang yakin bahwa kau adalah seorang pembantu yang baik. Seorang yang jujur.”

Laki-laki yang menjadi pembantu pada pedagang kain itu hanya dapat menundukkan kepalanya.

Namun pedagang kain itu kemudian mendekati ketiga orang laki-laki yang garang, yang menjadi pengawalnya di sepanjang perjalanan dari pasar yang sedang pasaran, ke pasar yang lain. Perempuan itu pun membisikkan sesuatu di telinga ketiga orang laki-laki yang garang itu.

“Benar, Nyi?”

“Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.”

Laki-laki yang menjadi pembantu pedagang kain itu ternyata dapat membaca niat pedagang kain itu. Karena itu katanya, “Jangan lakukan itu, Nyi. Kedua orang itu adalah orang-orang yang baik.”

“Persetan kau,” geram perempuan itu. “Kau tunggui daganganku. Awas, jangan ada yang hilang. Aku ada perlu sedikit di luar pasar ini. Jangan biarkan kain lurikku diaduk-aduk tanpa membeli barang sehelai pun.”

“Nyi. Aku mohon jangan lakukan itu, Nyi.”

“Diam kau, cengeng. Kalau kau berbuat macam-macam, aku akan menenteng kepalamu pulang dan menyerahkannya kepada istri dan anak-anakmu.”

Laki-laki itu menjadi ketakutan. Tetapi ia tidak dapat mencegah niat buruk pedagang kain itu.

Sejenak kemudian, maka pedagang kain itu pun telah menyelipkan sebuah luwuk di stagennya. Ditutupinya luwuk itu dengan bajunya. Sementara itu ketiga laki-laki yang garang itu pun mengikutinya.

“Dosa, Nyi. Dosa,” berkata laki-laki itu.

Tetapi perempuan pedagang kain lurik itu tidak menghiraukannya.

Demikianlah, sejenak kemudian pedagang kain serta ketiga orang yang garang itu sudah berada di luar pasar. Mereka mengira bahwa perempuan yang mengambil uang di kampilnya yang penuh itu tentu masih belum terlalu jauh.

Bahkan ternyata perempuan itu masih berada di luar pasar untuk membeli makanan. Sebungkus jadah dan wajik. Pedagang kain lurik itu memberi isyarat kepada ketiga orang yang garang itu, agar jangan menampakkan diri lebih dahulu.

Baru kemudian ketika Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak pergi, maka keempat orang itu pun mulai bergerak lagi.

Tetapi belum jauh dari pasar, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyadari bahwa mereka telah diikuti oleh beberapa orang. Seorang di antaranya adalah pedagang kain lurik itu.

“Apa maunya, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Kau yang merasa tersinggung, dengan serta-merta telah mengambil uang perak dari kampilmu. Nah, kampilmu yang nampak penuh berisi uang itulah yang menarik perhatiannya.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Marilah kita memilih jalan yang sepi. Biarlah semuanya segera berlangsung. Rasa-rasa seperti digelitik jika kita diikuti oleh seseorang, apalagi beberapa orang.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau masih marah kepada pedagang kain lurik itu?”

“Tidak, meskipun ia benar-benar telah menyinggung perasaanku.”

“Benar begitu?”

“Tentu. Kakang tidak yakin?”

Glagah Putih tertawa. Namun Rara Wulan justru mengancam, “Awas kau, Kakang.”

Ketika Rara Wulan mendekati, Glagah Putih pun menghindari. Katanya, “Nanti lenganku terluka lagi.”

“Cengeng.”

Sebenarnyalah ketika mereka melintasi simpangan yang sepi, mereka pun telah berbelok mengikuti jalan sempit ke tengah-tengah bulak yang sepi.

“Bodoh,” geram perempuan pedagang kain lurik itu, “mereka justru mengambil jalan yang sepi.”

“Jika itu memang jalan menuju ke rumahnya.”

“Aku yakin keduanya bukan orang di sekitar pasar ini. Agaknya keduanya orang yang berjalan jauh dan kebetulan melewati daerah ini.”

Ketiga orang laki-laki yang garang itu pun mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di tengah-tengah bulak yang sepi itu, maka mereka pun justru berhenti. Glagah Putih segera duduk di atas sebuah batu, sementara Rara Wulan duduk di rerumputan yang sudah tidak lagi basah oleh embun.

Pedagang kain lurik itu justru menjadi termangu-mangu. Kedua orang laki-laki dan perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan hati mereka. Mereka dengan tenang saja duduk, bahkan sambil memandangi keempat orang yang menjadi semakin dekat.

“Kenapa mereka tenang-tenang saja?” bertanya perempuan pedagang kain lurik itu.

“Mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi. Karena itu mereka nampaknya tenang-tenang saja.”

“Ya,” perempuan itu mengangguk-angguk, “mereka tidak tahu apa yang akan kita lakukan atas diri mereka berdua.”

Demikianlah, keempat orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk dengan tenangnya. Ketika perempuan pedagang kain lurik itu sampai di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka ia pun segera berhenti.

Dengan wajah yang ceria dan ramah perempuan itu pun berkata, “Ki Sanak. Aku akan mengembalikan keping uang perak yang Ki Sanak berikan kepada pembantuku.”

Baru Rara Wulan terkejut dan bangkit berdiri, “Kenapa, Nyi? Aku memberikannya dengan ikhlas. Aku tidak mempunyai niat apa-apa selain memberikan uang itu kepadanya.”

“Tetapi itu berlebihan, Nyi. Sekeping uang perak akan dapat kau pakai membeli tiga potong kain lurik. Bahkan uang itu masih tersisa. Jika uang sebanyak itu kau berikan kepada pembantuku, maka itu agak berlebihan. Karena itu maka aku berniat mengembalikan uang itu kepadamu.”

“Jangan, Nyi. Laki-laki itu tentu akan menjadi sangat kecewa. Aku pun tidak mau menjilat ludahku kembali. Aku sudah memberikannya. Biarlah ia memilikinya. Mungkin dengan uang itu ia akan dapat membelikan mainan buat anaknya.”

“Tidak, Nyi. Ini aku serahkan uang itu kembali.”

“Tidak. Aku tidak dapat menerimanya.”

“Kau harus menerimanya, Nyi. Jika kau menolak, maka kau akan aku anggap sebagai seorang perempuan yang sombong sekali.”

“Aku tidak bermaksud demikian, Nyi.”

Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Nyi, lebih baik uang itu kau terima kembali. Bukankah kita tidak berniat menyombongkan diri? Jika karena itu maka kita dianggap sombong sekali, sebaiknya kau terima saja uang itu. Kau justru harus minta maaf, karena kau telah menyinggung harga dirinya.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah, Nyi. Aku minta maaf. Aku tidak berniat menyinggung harga dirimu, Nyi. Aku memberikannya dengan ikhlas. Tetapi jika dengan demikian kau tersinggung, maka baiklah aku terima kembali uangku yang hanya sekeping itu.”

Tetapi wajah perempuan itu menjadi tegang. Uang yang sekeping itu pun sudah ditimang-timangnya. Namun tiba-tiba perempuan itu pun berkata, “Nyi. Aku akan mengembalikan uang yang sekeping ini. Tetapi aku mempunyai satu permintaan kepadamu.”

“Permintaan apa, Nyi?”

“Uang yang sekeping ini harus kau tukar dengan uang yang sekampil penuh itu.”

“Sekampil?”

“Ya. Kau mempunyai uang sekampil. Itu harus kau serahkan kepadaku. Kemudian aku akan mengembalikan uang yang sekeping ini.”

“Aku menjadi bingung, Nyi. Aku tidak mengerti maksudmu. Jika kau akan mengembalikan uangku yang sekeping itu, kenapa aku harus menyerahkan dahulu yang sekampil? Apakah dengan demikian kau akan mengembalikan uangku utuh sekampil termasuk yang sekeping itu?”

“Perempuan dungu.”

“Kau pun jangan berkata melingkar-lingkar, Nyi. Kenapa tidak berterus terang saja? Kita ingin merampas sekampil uang perak itu. Jelas dan tidak berputar-putar.”

“Aku tidak mengira bahwa perempuan itu sangat dungu. Nah, kau dengar perempuan muda? Kami ingin merampas sekampil uang perakmu.”

“Kenapa kau akan merampas uangku? Bukankah uang itu aku bawa sendiri dari rumahku? Aku tidak mengambil uangmu.”

“Aku tahu. Bodohnya orang ini. Aku adalah penyamun. Aku akan merampas uangmu.”

“Merampas? Jadi kalian ini penyamun?”

“Ya.”

“Jangan. Jangan kau rampas bekal uangku ini. Aku hanya membawa bekal dua kampil uang perak dan beberapa keping uang emas. Padahal aku masih akan mengembara lama sekali. Jika kau rampas uang perakku yang dua kampil dan beberapa keping uang emasku, maka aku akan dapat kelaparan di perjalanan.”

“Jadi kau punya dua kampil uang perak?”

“Ya. Dan beberapa keping uang emas.”

“Persetan kau, perempuan sombong,” geram perempuan pedagang kain lurik itu. “Ternyata kau bukan perempuan dungu. Bukan pula bodoh dan tidak mengerti apa yang sedang kami lakukan. Tetapi sekali lagi kalian menyinggung perasaan kami dengan berpura-pura bodoh. Sekarang berikan uang itu kepada kami, atau kami akan merampas dengan kekerasan.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Siapakah sebenarnya perempuan yang dungu itu? Kau atau aku?”

Perempuan pedagang kain lurik itu menggeram. Tetapi ia sadar bahwa perempuan yang memberikan sekeping uang perak kepada pembantunya itu tentu bukan perempuan kebanyakan. Perempuan yang berpura-pura bodoh itu ternyata justru telah menantangnya dengan sikapnya yang berpura-pura bodoh itu.

Perempuan itu pun kemudian berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan lain, perempuan sombong. Kau harus menyerahkan kampilmu yang penuh berisi uang itu. Karena jika kau tidak memberikannya, maka kami akan mengambilnya sendiri, setelah mengambil nyawamu. Nilai uang di kampilmu tentu tidak akan semahal nyawamu itu.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Jika kau mampu mengambilnya, ambillah sendiri. Aku sisipkan kampil uangku di bawah stagenku.”

Perempuan pedagang kain lurik itu pun memberi isyarat kepada ketiga orang upahannya, yang dengan cepat bergerak. Sementara itu dengan malas Glagah Putih bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya.

“Kenapa kalian mengganggu kami?” desis Glagah Putih. “Sebenarnya aku malas berkelahi. Tetapi kalian telah memaksa kami untuk melayani kalian.”

“Perempuan yang bersamamu itu ternyata sangat sombong,” sahut salah seorang laki-laki yang garang itu.

“Sebenarnya ia tidak ingin menyombongkan dirinya. Tetapi ia tersinggung oleh sikap pedagang kain itu.”

“Persetan. Ia telah mempermainkan aku.”

“Baiklah. Apapun yang kau maui, kami hanya sekedar melayani. Tetapi apa yang kalian lakukan ini adalah satu kesalahan besar. Dengan berdagang kain, kalian sudah mempunyai penghasilan yang baik. Tetapi sayang sekali, kalian meloncati tatanan. Jika kalian berhasil, maka kalian akan melakukannya lagi terhadap orang lain.”

“Cukup!” bentak salah seorang laki-laki yang garang itu. “Jangan terlalu banyak bicara.”

Laki-laki yang garang itu pun kemudian telah bergeser beberapa langkah untuk mengambil jarak dari kawannya. Empat orang itu pun telah berdiri di empat penjuru angin. Dua orang berdiri di jalan di dua arah. Yang seorang berdiri di tanggul parit, sedangkan yang seorang lagi berdiri di pematang.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri di tengah jalan saling membelakangi.

Beberapa saat kemudian, perempuan yang garang itu pun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Sementara seorang laki-laki yang garang itu telah menyerang Glagah Putih pula.

Demikianlah, api pertempuran itu pun sudah mulai menyala. Perempuan pedagang kain itu ternyata mampu bergerak dengan cepat. Ia meloncat-loncat menyambar Rara Wulan dengan jari-jarinya yang mengembang.

Namun Rara Wulan mampu bergerak lebih cepat lagi. Dengan demikian, maka serangan-serangan perempuan pedagang kain itu selalu dapat dihindarinya.

Sementara itu, dua orang laki-laki yang garang itu berusaha untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih. Mereka menyerang dari dua arah yang berlainan.

Namun serangan-serangan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan justru serangan balik Glagah Putih-lah yang telah menyentuh tubuh mereka. Ketika seorang di antara mereka berusaha menerkam Glagah Putih dengan jari-jarinya yang kokoh ke arah lehernya, Glagah Putih dengan hanya beringsut sedikit telah menepis serangan itu menyamping. Bahkan Glagah Putih itu pun dengan cepat merapatkan tubuhnya sambil mengangkat lututnya.

Orang itu mengaduh tertahan. Lutut Glagah Putih telah mengenai perutnya, sehingga rasa-rasanya seluruh isi perutnya itu akan tertumpah keluar. Serangan Glagah Putih masih disusul dengan ayunan sisi telapak tangannya, ketika orang itu membungkuk kesakitan. 

Seorang di antara lawan Glagah Putih itu pun terjerembab. Wajahnya tersuruk di tanah berdebu. Namun Glagah Putih tidak sempat berbuat lebih banyak, karena kawannya yang seorang lagi meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar mengarah ke kening Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih sempat merendah, sehingga kaki orang itu tidak menyentuhnya sama sekali. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian menyapu kaki lawannya yang satu lagi, sehingga orang itu terpelanting jatuh.

Namun Glagah Putih tidak segera mengakhiri pertempuran. Ia justru memberi kesempatan kedua lawannya untuk bangkit berdiri.

Sementara itu Rara Wulan yang bertempur melawan perempuan pedagang kain lurik yang dibantu oleh seorang upahannya, tidak mengalami kesulitan. Bahkan Rara Wulan harus menahan tenaganya, agar serangannya tidak melumpuhkan perempuan pedagang kain lurik itu.

Ketika perempuan itu menyerang dengan menghentakkan tenaga dan kemampuannya, Rara Wulan sempat menghindar sambil berkata, “Aku minta kau hentikan permainanmu yang jelek itu. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Jika kau tidak mau pergi, maka keadaanmu akan menjadi semakin buruk.”

Tetapi perempuan itu justru menarik luwuk yang diselipkan di bawah stagennya, “Mumpung belum terlanjur, Nyi. Serahkan kampil berisi uang perak itu. Kalau kau tidak mau menyerahkannya, maka kau akan mati.”

“Jangan terlalu garang. Tidak mudah membunuh orang. Kematianku tidak berada di tanganmu. Tetapi kematian itu tergantung kepada kehendak Yang Maha Agung.”

“Kau mencoba untuk menenangkan hatimu sendiri, Nyi. Tetapi sebenarnyalah kau mulai menjadi ketakutan.”

“Baiklah,” berkata Rara Wulan kemudian, “jika kau tidak dapat aku peringatkan.”

Perempuan itu pun dengan garangnya telah menyerang Rara Wulan dengan menjulurkan luwuknya ke arah dada. Tetapi Rara Wulan tidak mengalami kesulitan untuk menghindarinya. Sambil memiringkan tubuhnya, tangan Rara Wulan itu menepis pergelangan tangan perempuan pedagang kain lurik itu.

Perempuan itu tiba-tiba saja memutar tubuhnya. Tangannya pun terayun mendatar, sehingga luwuknya itu pun menebas ke arah leher. Namun perempuan itu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja luwuknya sudah berada di tangan Rara Wulan.

“Kau curang! Kembalikan luwukku!”

“Siapa yang curang?”

“Kau curi senjataku. Apakah kau tidak mempunyai senjata sendiri?”

“Aku senang dengan senjatamu ini, Nyi.”

“Persetan. Kembalikan luwukku itu.”

Sambil mengacungkan ujung senjata perempuan pedagang kain lurik itu, Rara Wulan melangkah setapak demi setapak mendekatinya. Katanya, “Senjata ini senjatamu. Kau tentu tahu watak dan sifatnya. Karena itu, tolong beritahu aku bagaimana sebaiknya membunuhmu, agar kau cepat mati dan tidak menderita sakit terlalu lama.”

“Kau akan membunuhku?”

“Ya, kenapa? Bukankah sebaiknya aku harus membunuhmu?”

Wajah perempuan itu menjadi pucat. Tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba saja ia pun berjongkok sambil memohon, “Ampun. Ampunkan aku. Aku jangan dibunuh.”

Ketiga orang laki-laki yang garang, ketika melihat perempuan itu berjongkok, telah berloncatan surut pula. Mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menang. Kedua orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga mereka pun bagi kedua orang itu tidak lebih dari seekor tikus yang berhadapan dengan seekor kucing.

Karena itu, ketika perempuan padagang kain lurik itu berjongkok, maka mereka pun segera berjongkok pula.

“Jangan bunuh aku, Nyi,” perempuan pedagang kain itu mulai menangis, “aku mempunyai anak-anak kecil di rumah, Nyi. Anakku ada tujuh. Yang terkecil masih menyusu.”

“Jika kau mempunyai anak kecil-kecil, kenapa kau justru menjadi penyamun?”

“Tidak, Nyi. Aku bukan penyamun yang sebenarnya. Keping-keping uang perakmu telah menggodaku, sehingga aku berniat untuk merampasnya.”

“Ternyata hatimu sangat rapuh, Nyi. Kau sudah mempunyai penghasilan yang baik dengan berdagang kain lurik. Tetapi kenapa kau begitu mudahnya, hanyut dalam nafsu keserakahanmu?”

“Ampun, Nyi.”

“Nah, yang terjadi adalah satu pengalaman yang menarik bagimu, Nyi. Kau harus menyadari bahwa kau mudah sekali tergelincir dalam godaan. Jika hatimu kokoh serta keyakinanmu kuat, kau tidak akan menghiraukan godaan-godaan seperti itu.”

“Ya, Nyi.”

“Jadi bagaimana sebaiknya? Apa yang harus aku lakukan padamu, Nyi?”

“Ampunkan aku. Aku sudah jera. Aku akan menekuni pekerjaanku itu. Berdagang kain lurik.”

“Nyi. Apakah yang kau katakan semuanya benar? Apakah benar anakmu semuanya tujuh orang dan masih kecil-kecil?”

“Benar, Nyi. Aku berani bersumpah.”

“Baiklah. Aku percaya kepadamu. Karena itu maka aku ingin membebaskanmu serta membebaskan orang-orangmu. Tetapi aku minta serahkan sekeping uang perak itu kepada pembantumu. Pada kesempatan lain, aku akan menanyakan langsung kepadanya. Jika uang itu ternyata tidak kau serahkan kepadanya, maka aku tidak akan mengampunimu. Dengan demikian berarti kau tidak akan pernah menjadi jera karenanya. Kau masih saja berpikiran buruk.”

“Tentu, Nyi. Aku tentu akan menyerahkan sekeping uang perak itu kepadanya. Ia memang seorang yang baik, seorang yang jujur.”

“Bagus. Nah, sekarang kembalilah ke pasar. Jangan pernah menyamun lagi.”

“Aku baru melakukannya sekali ini, Nyi.”

“Tidak. Kau tentu sudah melakukannya beberapa kali. Kau ternyata menyimpan senjata itu. Kau bawa pula senjata itu ke pasar, pada saat kau berdagang.”

“Aku memerlukan perlindungan di setiap perjalanan, Nyi.”

Rara Wulan pun tersenyum. Katanya, “Pergilah.”

Perempuan itu masih saja merasa ragu-ragu. Baru ketika Rara Wulan mengulanginya, perempuan itu bersujud di hadapannya sambil berkata, “Terima kasih, Nyi. Terima kasih.”

“Jangan lupa, berikan keping uang perak itu kepada pembantumu itu.”

“Tentu, Nyi. Tentu.”

Sejenak kemudian perempuan itu pun meninggalkan Rara Wulan. Glagah Putih termangu-mangu di tengah-tengah bulak itu. Sementara laki-laki yang menyertainya itu pun mengikutinya pula.

“Mudah-mudahan perempuan itu benar-benar menjadi jera,” berkata Rara Wulan.

“Agaknya ia tidak akan lagi melakukan permainan yang berbahaya itu,” sahut Glagah Putih.

Semakin lama perempuan itu pun menjadi semakin jauh. Seperti yang dikatakannya, maka perempuan itu pun kembali masuk ke dalam pasar. Ia berjanji untuk menekuni kerjanya sebagai seorang pedagang kain lurik.

Demikian perempuan pedagang kain lurik itu berbelok di simpang tiga, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Mereka pun membenahi pakaian mereka yang menjadi sedikit kusut dalam perkelahian yang baru saja terjadi.

“Kita lanjutkan perjalanan, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Mari, Kakang. Perjalanan kita menjadi agak terganggu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali. Mereka akan mencari padepokan Jung Wangi. Namun padepokan itu tentu masih jauh. Mereka akan melewati Sima menuju ke arah utara.

Rara Wulan mengangguk-angguk, ketika Glagah Putih berdesis, “Perjalanan kita masih jauh.”

Demikianlah keduanya mempercepat langkah mereka. Ketika matahari sampai di puncak langit, maka mereka sudah berada di tempat yang semakin jauh. Ketika mereka melewati sebuah pasar kecil yang tidak begitu ramai, mereka melihat seorang laki-laki tua yang diumpati dengan kata-kata kasar oleh seorang perempuan penjual nasi.

“Jahanam kau. Kalau kau tidak punya, jangan berlagak membeli nasiku. Jika kau hanya akan menipu, kau tidak usah berlagak seperti orang yang mempunyai banyak uang.”

“Benar, Nyi. Aku telah kehilangan uangku. Ini, kantong bajuku ternyata koyak di dalam, sehingga aku tidak tahu bahwa uangku telah terjatuh.”

“Omong kosong. Itu hanya satu cara saja untuk menipuku. Sekarang, pergi! Pergi dan jangan pernah kembali lagi.”

“Tidak, Nyi. Aku akan kembali untuk membayar harga nasimu.”

“Jangan membual di hadapanku. Pergilah. Aku dapat memanggil petugas di pasar ini untuk mengusirmu.”

“Sungguh, Nyi. Aku akan membayarnya.”

“Diam!” perempuan penjual nasi itu berteriak, sehingga laki-laki tua itu merasa lebih baik diam saja.

Ketika Rara Wulan dan Glagah Putih sampai di tempat penjual nasi itu, maka orangtua itu pun sudah siap untuk beranjak pergi.

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan menemukan dua keping uang di bawah lincak panjang tempat penjual perempuan itu berjualan nasi. Dengan serta merta uang itu dipungutnya dan diserahkan kepada laki-laki tua itu.

“Uangmu berapa keping, Kek?” bertanya Kara Wulan.

“Ia tidak mempunyai uang,” berkala perempuan penjual nasi itu dengan lantang.

“Empat keping, Ngger,” jawab laki-laki tua itu, “aku baru saja menjual kayu bakar, laku empat keping. Sekeping aku belikan nasi karena aku merasa sangat lapar. Sejak kemarin aku tidak makan, sementara aku telah memikul kayu bakar dari rumah kemari. Aku berikan kayu sepikul itu empat keping, karena aku ingin segera mendapatkan uang. Tetapi ternyata kantong bajuku koyak tanpa aku ketahui, Ngger.”

“Ini, Kek, yang dua keping aku ketemukan di bawah lincak. Mungkin yang dua keping juga jatuh tidak jauh dari tempat duduk itu.”

Wajah laki-laki tua itu menjadi ceria, la pun segera menerima uang yang dua keping itu.

“Ini sudah cukup, Ngger. Terima kasih, terima kasih. Aku tidak akan dipermalukan lagi di sini.”

Orang tua itu pun segera memberikan uang sekeping kepada penjual nasi itu, “Ini, Nyi. Untunglah Angger ini menemukan uang yang dua keping Tetapi itu sudah cukup untuk menebus malu.”

Perempuan penjual nasi itu pun segera menerima uang itu sambil berkata, “Maaf, Kek. Ternyata kau berkata yang sebenarnya.”

“Aku tidak pernah menipu, Nyi. Sampai setua ini aku berusaha untuk berkata jujur tentang apapun juga.”

“Aku minta maaf, Kek.”

Sementara itu Glagah Putih telah menemukan uang yang dua keping lagi, tercecer di sebelah tempat duduk yang panjang itu.

“Barangkali ini yang sekeping dan ini yang sekeping lagi, Kek,” berkata Glagah Putih

“Terima kasih, Ngger, terima kasih.” Orang itu pun telah memasukkan uang itu ke dalam kantong bajunya. Namun Glagah Putih pun segera memungut uang itu lagi, yang jatuh lagi di sebelah lincak kayu.

Sambil memberikan uang itu, Glagah Putih pun berkata, “Uangmu jatuh lagi, Kek.”

“O,” orang tua itu tertawa, “seharusnya aku mengingat-ingat bahwa kantong bajuku koyak. Ah, agaknya aku benar-benar telah mulai pikun.”

“Jangan kau masukkan lagi uangmu ke dalam kantong bajumu.”

“Ya, ya, Ngger. Uangku akan aku genggam saja sampai di rumah. Istriku akan dapat membeli beras nanti.”

Laki-laki tua itu pun kemudian meninggalkan pasar itu sambil menggenggam tiga keping uang hasil penjualan kayu bakar sepikul.

“Laki-laki itu masih harus bekerja keras untuk dapat makan,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “namun laki-laki tua itu nampaknya termasuk seorang yang jujur.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula.

Demikianlah, mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka, sementara matahari telah mulai condong ke barat.

Lewat tengah hari, mereka berhenti di sebuah kedai yang tidak terlalu besar untuk membeli makan dan minum.

Ternyata di kedai yang tidak begitu besar itu dijual berbagai macam makanan dan minuman, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan dapat memesan sesuai dengan selera mereka.

Setelah beristirahat sejenak di kedai itu, keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan, sementara terik matahari terasa mulai berkurang. Sementara itu jalan yang mereka lalui itu pun menjadi semakin lama semakin lebar dan terpelihara.

Ternyata mereka sudah menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sima. Sebuah kademangan yang terhitung besar dan menjadi tempat pemberhentian para pedagang.

“Kita akan memasuki Kademangan Sima, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Ya, Kakang. Aku jadi teringat Kademangan Seca. Kademangan yang besar dan terasa adanya kehidupan yang tenang.”

“Mudah-mudahan Kademangan Sima juga merupakan sebuah kademangan setenang Seca.”

“Namun di sebuah kademangan yang hidup masyarakatnya terasa tenang, agaknya akan menjadi bidikan Perguruan Kedung Jati. Kademangan yang besar dan diliputi oleh suatu kehidupan yang tenang, akan dapat menjadi landasan serta batu loncatan bagi Perguruan Kedung Jati, sebagaimana Seca.”

“Mudah-mudahan Sima berbeda dengan Seca,” desis Rara Wulan. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kita hanya akan melewati kademangan ini dan langsung melanjutkan perjalanan?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan melihat-lihat keadaan kademangan ini, Rara. Mungkin kita akan mengambil keputusan lain. Jika perlu, kita dapat menginap barang semalam di Sima. Kita mempunyai bekal yang lebih dari cukup, sehingga kita dapat berpura-pura menjadi orang kaya yang bermalam d i penginapan terbaik di Sima.”

“Tetapi kita justru akan dapat dicurigai?”

“Kenapa?”

“Pakaian kita tidak menunjukkan bahwa kita adalah seorang kaya yang sedang berada di perjalanan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Ya. Kita memang tidak dapat berpura-pura menjadi orang yang kaya, kecuali jika kita membeli pakaian baru lebih dahulu.”

“Seandainya kita ingin, kita akan dapat melakukannya. Tetapi apakah itu perlu, Kakang?”

“Tidak. Kita tidak usah berpura-pura menjadi orang yang kaya. Kita terbiasa bermalam di mana-mana. Jika kita bermalam di penginapan yang sedang pun maka kita sudah akan merasakan satu kehidupan di luar kebiasaan kita.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah memasuki Kademangan Sima. Sebuah kademangan yang besar dan ramai. Apalagi ketika mereka berada di padukuhan induk Kademangan Sima, maka suasananya memang mirip dengan suasana di Kademangan Seca.

Keduanya pun kemudian berjalan-jalan di jalan utama Kademangan Sima. Di sepanjang jalan utama mereka sudah menjumpai tiga rumah penginapan yang cukup baik.

“Kita akan melihat pasarnya, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Marilah. Kita pergi ke pasar.”

Sebenarnyalah pasar di Kademangan Sima itu terletak di pinggir jalan utama di padukuhan induk Kademangan Sima itu. Sebuah pasar yang besar, yang meskipun matahari sudah berada di sisi barat, masih saja nampak bergerombol para pedagang yang menggelar dagangannya.

Tetapi di sana-sini nampak beberapa orang mulai membersihkan bagian-bagian dari pasar itu yang nampak kotor. Di sudut pasar, masih nampak beberapa orang pande besi yang bekerja keras, menempa besi dan baja untuk membuat alat-alat pertanian. Mereka membuat cangkul, parang, kejen bajak dan beberapa jenis alat-alat yang lain.

“Biasanya di dekat pasar itu terdapat juga penginapan,” berkata Glagah Putih.

“Kita mencari penginapan yang lain saja, Kakang.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun ia pun mengerti. Biasanya penginapan di dekat pasar adalah penginapan terbuka.

Sebenarnyalah ketika mereka berada di sebelah barat pasar yang terhitung besar itu, mereka melihat sebuah penginapan yang sederhana. Sebuah barak yang memanjang tanpa ada sekat-sekatnya.

Namun di sebelah barak itu terdapat sebuah rumah yang juga merupakan bagian dari penginapan itu, yang memenuhi syarat sebagai sebuah penginapan dengan bilik-bilik yang tertata rapi.

Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat-lihat barak serta bagian yang lebih baik itu. Namun Rara Wulan tetap saja ingin menginap di penginapan yang lain.

Ketika keduanya keluar dari halaman penginapan itu. beberapa orang laki-laki yang berdiri di regol memperhatikan keduanya sambil tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka sempat bertanya, “Kenapa tidak jadi menginap disini, Nduk?”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Glagah Putih, “Jika aku berada di penginapan ini, mungkin sampai besok aku akan terlanjur membunuh orang.”

Beberapa orang yang berdiri di regol itu terkejut. Mereka tidak segera menyadari apa yang dikatakan oleh Rara Wulan itu. Namun baru kemudian mereka justru tertawa. Mereka menganggap bahwa Rara Wulan hanya sekedar mengungkapkan kejengkelannya terhadap sikap orang-orang yang berada di regol itu.

“Jangan terlalu garang, Nduk,” sahut seorang di antara mereka, “nanti kau akan terlalu cepat tua.”

Rara Wulan berhenti. Tetapi Glagah Putih pun kemudian membimbingnya pergi meninggalkan regol halaman penginapan itu.

“Di penginapan itu tentu ada beberapa kelompok orang yang tidak mengenal tatanan dan unggah-ungguh,” geram Rara Wulan.

“Ya, aku mengerti. Jika kita memasuki penginapan itu, bukankah kita hanya sekedar melihat-lihat keadaannya?”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Keduanya pun kemudian telah menyusuri jalan utama Kademangan sima itu lagi. Hampir di ujung jalan utama itu, terdapat sebuah patung dari seekor harimau loreng yang besar.

Beberapa puluh langkah dari patung itu, memang terdapat sebuah penginapan yang nampaknya jauh lebih baik dari penginapan di dekat pasar itu.

“Marilah kita melihat penginapan ini, Kakang,” ajak Rara Wulan.

“Marilah.”

Keduanya pun kemudian berbelok memasuki regol halaman penginapan itu. Agaknya penginapan itu cukup bersih. Halamannya pun nampak terawat dengan baik. Pertamanan dengan berbagai macam bunga yang berwarna warni. Ada beberapa jenis kembang soka, ada yang merah darah, ada yang merah muda, dan bahkan ada yang putih.

Di sudut yang lain, kembang ceplok piring yang putih bersih menebarkan bau yang harum. Rumpun kembang melati menebar di depan serambi.

“Tempat ini cukup menarik, Kakang. Meskipun Sima masih belum dapat menyamai Seca, tetapi kademangan ini cukup besar. Pasarnya pun agaknya cukup ramai pula. Bahkan setelah matahari turun jauh di sisi barat, masih juga ada orang yang sibuk di pasar. Termasuk para pande besi itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Tempat ini memang menarik meskipun tidak terlalu besar. Tetapi justru karena itu, tempat ini tentu tidak akan terlalu sibuk.”

Keduanya pun kemudian menemui petugas yang ada di penginapan itu untuk melihat-lihat keadaannya.

“Silahkan, silahkan, Ki Sanak. Jika Ki Sanak berkenan, silahkan bermalam di penginapan kami. Tetapi jika kurang berkenan, tidak apa-apa.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melihat-lihat bagian dalam penginapan itu. Ada beberapa bilik yang sudah terisi. Tetapi masih ada juga yang kosong. Penginapan itu benar-benar penginapan yang bersih. Bilik-biliknya pun bersih pula.

“Baiklah kita bermalam di sini saja, Kakang. Letaknya pun tidak terlalu ke tengah padukuhan induk, tetapi justru agak ke tepi, sehingga suasananya tentu agak tenang. Sementara kita masih dapat mengamati seluruh padukuhan induk kademangan ini.”

Glagah Putih ternyata sependapat. Karena itu maka mereka pun kemudian menemui petugas di penginapan itu, untuk menyatakan bahwa mereka berdua akan bermalam di penginapan itu.

Petugas itu pun kemudian segera mengatur bilik yang dikehendaki oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka memilih sebuah bilik yang berada di gandok yang menghadap ke halaman di samping pendapa penginapan itu. Justru bilik yang agak terpisah dengan bilik-bilik yang lain. Bahkan bilik itu mempunyai pakiwan sendiri dan sumur yang tersendiri pula.

Tetapi bilik itu termasuk bilik yang sewanya agak tinggi dibanding dengan bilik yang berjajar yang menghadap ke longkangan belakang pintu seketheng. Namun ternyata petugas itu agak menduga-duga.

Menilik pakaian yang dikenakannya, serta ujud lahiriahnya, kedua orang itu adalah orang-orang yang sederhana. Tetapi mereka sempat bermalam di penginapan yang terhitung baik dibandingkan dengan penginapan yang ada di dekat pasar itu.

“Keduanya tentu bukan pedagang,” berkata petugas di penginapan itu di dalam hatinya, “karena pedagang yang beruang pun kadang-kadang memilih penginapan yang sederhana saja.”

Tetapi dibantahnya sendiri, “Tidak. Ada pedagang yang mementingkan penampilan. Untuk mendapatkan kepercayaan, maka ia harus menghadirkan penampilan yang menarik.”

Namun orang itu menjadi kebingungan sendiri. “Tetapi agaknya kedua orang ini tidak begitu menghiraukan penampilan. Mereka membiarkan ujud lahiriah mereka nampak sederhana.” Akhirnya orang itu bergumam, “Entahlah, terserah saja. Siapapun mereka, asal mereka mampu membayar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun merasa kerasan juga berada di penginapan itu.

Di sore hari, Glagah Putih dan Rara Wulan pun bergantian mandi di pakiwan. Terasa air di padukuhan Sima itu segar sekali. Di udara yang panas mereka merasa airnya begitu sejuk.

Ketika mereka selesai mandi, di serambi telah disediakan minuman hangat dengan beberapa potong makanan.

“Ternyata senang juga menjadi orang kaya,” berkata Rara Wulan.

“Kalau aku harus memilih, apakah aku lebih senang menjadi orang kaya atau orang miskin, maka aku akan memilih lebih senang menjadi orang kaya,” sahut Glagah Putih.

“Tentu saja. Hanya orang-orang yang aneh yang memilih lebih senang menjadi orang melarat. Meskipun Kakang tentu akan mengatakan bahwa uang bukan segala-galanya. Kekayaan itu tidak mutlak menentukan kebahagiaan hidup seseorang. Bukankah begitu?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jika kita mampu mengendalikan diri sendiri, maka kita memang lebih senang menjadi orang kaya. Tetapi jika kita tidak mampu mengendalikan diri, maka kekayaan itu akan menjadi berhala bagi kita.”

“Celakanya, Kakang, banyak orang yang tahu bahwa kekayaan itu dapat menjadi berhala, namun mereka tidak peduli lagi. Disembahnya berhala itu dengan sepenuh hati.”

“Meskipun mulut mereka tidak mengatakan demikian. Meskipun mulut mereka mengutuk kepada siapapun yang menyembah berhala.”

“Ya. Tetapi dengan merasa tidak bersalah, mereka menyumpahi orang-orang yang menyembah berhala itu.”

“Karena itu, sebaiknya kita memohon agar tingkah laku kita sejalan dengan apa yang kita katakan.”

“Banyak orang yang akan mengatakan bahwa sikap itu adalah sikap yang ketinggalan jaman. Lebih baik menyumpahi diri sendiri, daripada benar-benar harus berhenti memberhalakan kekayaan, jabatan dan kekuasaan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

“Mumpung masih hangat kakang,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih pun segera beringsut mendekati minuman yang masih mengepul itu. Dipungutnya pula sepotong makanan yang ternyata adalah wajik ketan ireng. Rara Wulan pun kemudian menghirup minuman hangat itu pula, serta mencicipi makanan yang terhidang.

Namun keduanya pun kemudian berpaling. Dilihatnya tiga orang memasuki penginapan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang gadis. Seorang gadis yang sangat manja.

Dengan wajah yang muram, gadis itu pun tiba-tiba berlari ke pendapa dan duduk di tangga pendapa.

“Kenapa? Ada apa lagi?” bertanya seorang perempuan yang sudah separo baya.

“Aku tidak mau. Aku tidak mau bermalam di sini. Tempatnya kotor, jorok dan panasnya seperti membakar kulit.”

“Tidak, Ngger. Tempat ini termasuk penginapan yang terbaik di sini. Jika kita melihat penginapan yang lain, maka penginapan ini terhitung penginapan yang bersih, meskipun bukan yang terbesar.”

“Kita mencari penginapan yang ada di tengah-tengah padukuhan induk kademangan ini, Nek.”

“Ternyata perempuan itu adalah neneknya, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Laki-laki itu tentu kakeknya.”

Keduanya pun mengangguk-angguk.

“Jika gadis itu adikku, aku akan mencubitnya sampai pahanya menjadi merah biru.”

“Untunglah kau tidak mempunyai adik, Rara. Jika kau mempunyai adik. maka lambat laun pahanya akan terkelupas, sehingga tulang-tulangnya kelihatan.”

“Kenapa?”

“Kalau kau yang mencubitnya, maka kulit dagingnya tentu akan benar-benar terkelupas dalam arti yang sebenarnya.”

Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun ketika ia beringsut, Glagah Putih pun telah beringsut pula, “Aku bukan adikmu, Rara.”

Sejenak kemudian, perhatian mereka berdua telah tertuju lagi kepada gadis yang manja itu. Kakek dan neneknya pun berusaha membujuknya, sehingga beberapa orang yang juga menginap di penginapan itu telah terpancing untuk memperhatikannya.

Namun akhirnya gadis yang merengek dengan sikap yang sangat manja itu pun dapat dibujuk oleh kakek dan neneknya, sehingga akhirnya gadis itu bersedia bermalam di penginapan itu.

Namun gadis itu minta bilik yang terbesar dan terbaik di penginapan itu. Para petugas di penginapan itu menjadi sibuk melayaninya. Mereka membersihkan bilik yang dipilih oleh gadis itu, mengatur dan merapikan perabotnya, serta mengganti alas tidurnya dengan tikar pandan yang paling bagus.

“Kenapa gadis manja itu harus menginap di penginapan?” desis Rara Wulan.

“Kenapa tidak ditinggal saja di rumah?” sambung Glagah Putih, “Dan kenapa harus kakek dan neneknya yang mengajaknya? Bukan ayah dan ibunya.”

“Mungkin gadis itu memang dititipkan pada kakek dan neneknya sejak kanak-kanak. Sementara kakek dan neneknya pun memanjakannya.”

“Ya. Mungkin sekali, sehingga setelah dewasa pun ia tetap saja seorang gadis yang manja.”

“Darimana kau tahu bahwa ia masih seorang gadis? Mungkin perempuan itu sudah bersuami.”

“Mungkin saja. Tetapi jika seorang istri bermanja-manja seperti itu, suaminya akan dapat menjadi gila.”

Tetapi keduanya pun tidak peduli lagi terhadap perempuan manja itu. Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak berkepentingan.

Kemanjaan perempuan itu memang telah menarik perhatian beberapa orang yang menginap di penginapan itu. Tetapi orang-orang yang menginap di penginapan itu hanya dapat saling membicarakannya. Pada umumnya mereka menjadi heran, bahwa gadis sebesar itu masih juga merengek seperti kanak-kanak yang baru dapat berjalan.

Dalam pada itu, menjelang senja Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah keluar dari regol halaman penginapan, untuk berjalan-jalan di jalan utama padukuhan induk Kademangan Sima. Sima agaknya memang belum sebesar Seca. Tetapi Sima pun merupakan pemberhentian para pedagang.

Ada beberapa pasar yang besar di kademangan-kademangan di sekitar sima. Biasanya mereka memilih bermalam di Sima. Dari Sima mereka dapat pergi ke beberapa pasar yang terhitung ramai itu dengan jarak yang hampir sama. Karena itulah, maka Sima semakin lama memang menjadi semakin ramai.

Namun jalan yang ramai tidak sepanjang jalan di Seca. Dalam waktu yang singkat, mereka telah berjalan dari ujung sampai ke ujung. Mereka telah berbelok pula di simpang empat. Namun mereka pun segera sampai ke pintu gerbang keluar dari padukuhan induk itu. 

Tetapi di samping padukuhan induk, ada pula padukuhan lain yang terhitung ramai. Di padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang menjadi tempat orang memenuhi nadarnya. Karena itulah maka pasar itu tetap saja ramai meskipun tidak di hari pasaran.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berada di sebuah kedai yang dibuka pada sore sampai ke ujung malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat banyak keterangan dari pemilik kedai itu. Seorang perempuan gemuk yang agak banyak berbicara.

“Tetapi orang-orang yang berdatangan ke Sima lebih senang bermalam di padukuhan induk Kademangan Sima ini daripada di padukuhan Karangdawa itu.”

“Karangdawa?”

“Ya. Pasar yang menjadi tempat melepas nadar itu adalah pasar di padukuhan Karangdawa, yang masih juga berada di Kademangan Sima.”

“Kenapa?”

“Pada kesempatan lain, orang-orang yang menginap di padukuhan induk ini akan dapat pergi ke pasar yang lain lagi. Pasar kain di padukuhan Karangmaja. Jika seseorang menginap di Karangdawa, maka mereka akan menjadi agak jauh dari Karangmaja. Karena itu mereka lebih senang bermalam di Sima, yang terasa tidak terlalu jauh dari Karangdawa, tetapi juga tidak terlalu jauh dari Karangmaja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri, setelah membayar minuman dan makanan mereka.

Ketika keduanya sampai di penginapan, malam telah menjadi semakin malam. Namun mereka masih melihat beberapa orang yang duduk-duduk di serambi bilik mereka atau bahkan di pringgitan.

“Kakang,” bisik Rara Wulan, “bukankah kedua orang yang duduk di pringgitan itu kakek dan nenek gadis manja itu?”

“Ya. Kenapa?”

“Marilah, kita kawani mereka berbincang.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Baiklah. Tetapi tidak terlalu lama.”

“Aku hanya ingin tahu saja, Kakang, kenapa gadis itu terlalu manja.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Berdua mereka pun telah naik ke pendapa dan langsung menuju ke pringgitan. Keduanya pun mengangguk hormat kepada kakek dan nenek gadis manja itu. Kemudian keduanya pun duduk bersama mereka.

Kedua orang tua itu pun mengangguk pula. Ternyata mereka senang mendapat kawan berbincang. Keduanya pun adalah orang yang ramah kepada orang lain, yang bahkan belum dikenal sekalipun.

“Gadis yang tadi datang bersama Paman dan Bibi itu cucu Paman dan Bibi?”

“Ya, Ngger. Anak itu terlalu manja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Rara Wulan pun bertanya pula, “Sekarang dimana cucu Paman dan Bibi itu?”

“Sudah tidur, Ngger. Anak itu sudah terbiasa tidur sore. Sejak kanak-kanak ia tidak betah tidur terlalu malam.”

“Dimana ayah dan ibunya, Paman?”

“Ada di rumah. Anak itu terbiasa pergi bersama kakek dan neneknya. Jarang ia pergi bersama ayah dan ibunya.”

“Nampaknya ia memang agak manja.”

“Bukan agak lagi, tetapi sudah terlalu manja. Ayah dan ibunya memang orang kaya. Tetapi kemanjaannya yang berlebihan itu kadang-kadang sangat menyulitkan.”

“Sekarang ini, apakah Paman dan Bibi mempunyai keperluan penting di Sima ini?”

“Sebenarnya bukan keperluan kami. Perempuan manja itulah yang sebenarnya mempunyai keperluan.”

“O. Maaf, kalau aku boleh tahu, keperluan apa, Paman?”

“Ia sedang mencari suaminya.”

“Suami? Jadi cucu Paman itu sudah bersuami?”

“Sudah. Umurnya sudah cukup. Umur anak itu sudah hampir dua puluh tahun. Jika kurang, hanya terhitung hari saja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Sementara itu perempuan yang dipanggilnya bibi itulah yang bertanya, “Siapakah Angger berdua ini?”

“Namaku Wuragil, Bibi. Perempuan ini adalah istriku.”

“Wuragil? Apakah Angger benar-benar wuragil?”

“Ya. Akhirnya aku benar-benar wuragil, Bibi.”

“Berapakah saudara Angger?”

“Sepuluh. Tujuh laki-laki dan tiga perempuan. Aku adalah anak yang kesepuluh itu. Mungkin ayah dan ibuku sudah tidak ingin melahirkan lagi, sehingga aku diberi nama Wuragil. Namun aku memang menjadi anak wuragil.”

“Biasanya anak wuragil adalah anak yang manja.”

“Tetapi aku tidak dapat bermanja-manja, Bibi. Orang tuaku petani kecil yang penghasilannya hanya cukup untuk makan saja sehari dua kali. Bahkan kadang-kadang sekali makan nasi, dan sekali makan ketela pohon.”

“Prihatin, Ngger. Nampaknya setelah Angger dewasa, Angger menjadi cukup berhasil.”

“Ah. tidak bibi. Kami masih saja petani kecil.”

“Tetapi di Sima ini Angger menginap di penginapan yang terhitung mahal, meskipun bukan yang paling mahal.”

“Ah,” Glagah Putih pun berdesah, “untuk memenuhi keinginan ini, kami berdua harus menabung beberapa bulan.”

“Hanya untuk menginap di penginapan yang baik seperti ini ?”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil tertawa Glagah Putih pun berkata, “Keinginan yang aneh, Paman dan Bibi. Istriku sedang ngidam. Tidak ngidam buah-buahan atau apa, tetapi ia ingin menginap di penginapan yang agak baik seperti penginapan ini. Aku tidak dapat menolak. Aku takut terjadi apa-apa dengan bayinya nanti.”

Kedua orang suami istri itu tertawa. Kakek itu pun kemudian berkata, “Orang ngidam itu memang sering aneh-aneh, Ngger. Tetapi biasanya orang ngidam itu ingin makan sesuatu. Istrimu memang agak aneh, Bgger.”

“Aku pun merasa keanehan itu, Paman,” sahut Rara Wulan, “tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Keinginan itu demikian mendesak, sehingga rasa-rasanya aku menjadi gila. Keinginan untuk menginap di penginapan yang baik itu rasa-rasanya demikian mencengkam”

“Setelah keinginan itu terpenuhi, lalu bagaimana perasaanmu, Ngger?”

“Ternyata biasa-biasa saja, Paman. Bahkan aku menyesal bahwa uang yang kami tabung dengan susah payah itu akhirnya hanya untuk membayar penginapan. Bahkan aku sudah terlanjur memesan untuk tiga hari tiga malam.”

“Jika kalian kehendaki, kalian dapat membatalkannya, Ngger. Pemilik penginapan ini tentu tidak akan berkeberatan. Apalagi jika kalian berterus terang.”

“Kami takut, Paman.”

“Biarlah nanti aku yang mengatakannya.”

“Tidak, tidak usah, Paman. Biar saja.”

Suami istri yang sudah tua itu tertawa. Katanya, “Biasanya orang membayar penginapan itu pada saat mereka mau meninggalkannya. Tetapi kalian telah membayarnya lebih dahulu untuk tiga hari tiga malam.”

“Kami belum berpengalaman.”

“Kalau kau ingin membatalkannya, biarlah aku bantu.”

“Terima kasih, Paman,” desis Glagah Putih. Namun kemudian Glagah Putih itu pun bertanya, “Tetapi Paman dan Bibi, kenapa cucu Paman dan Bibi itu mencari suaminya sampai ke Sima?”

“Suaminya memang seorang pedagang, Ngger. Setiap kali suaminya pergi membawa dagangannya dan menginap dua tiga hari, ia selalu mencarinya. Kadang-kadang ketemu, tetapi kadang-kadang tidak. Jika tidak ketemu, ia merajuk berhari-hari. Kasihan suaminya, Ngger. Tetapi sudah ciri wanci. Apa boleh buat, kami-lah yang harus mengantarnya kemana-mana. Bukan ayah dan ibunya.”

Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk menemani kedua orang tua itu. Namun setelah malam menjadi semakin dalam, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri untuk kembali ke bilik mereka.

Demikian mereka sampai ke dalam bilik, maka Rara Wulan pun bertanya, “Apa aku seperti orang yang sedang mengandung?”

Glagah Putih tertawa Katanya, “Aku menjadi bingung menjawab pertanyaannya, kenapa kita memilih menginap di sini. Penginapan yang memang terhitung mahal, meskipun bukan yang termahal.”

“Untung juga Kakang menemukan jawaban.”

“Untung pula kau segera dapat menyesuaikan diri.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi pada suatu hari, aku memang harus berhenti mengembara. Pada suatu hari aku benar-benar mengandung dan kemudian melahirkan. Aku tidak ingin terjadi seperti Mbokayu Sekar Mirah.”

“Ya,” Glagah Putih pun kemudian ikut duduk di amben panjang di dalam bilik itu, “kita akan berhenti bertualang. Kita akan menetap dan tinggal di sebuah rumah, yang tidak usah rumah yang besar, tetapi juga tidak terlalu kecil.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya pun menerawang menembus ke dunia angan-angannya.

Glagah Putih masih duduk di sisinya. Glagah Putih pun mulai membayangkan, betapa sepinya keluarga Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Namun Rara Wulan itu pun tiba-tiba saja berkata, “Kakang, kau percaya sepenuhnya dengan cerita kedua orang tua itu?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ada yang aneh bagiku.”

“Ya. Aku tidak begitu percaya jika setiap kali perempuan itu mencari suaminya yang sedang berdagang dan berada di perjalanan sampai dua tiga hari. Jika hal itu sering terjadi, kenapa ia tidak menahan saja suaminya agar tidak usah pergi?”

“Ya. Perempuan itu agak keterlaluan. Aku sudah sering melibat anak-anak manja. Tetapi bagi anak-anak yang sudah berumur dua puluh tahun, maka yang dilakukan itu agak berlebihan.”

“Kakang ingat orang yang menyebut dirinya Wiraraja?”

“Ya.”

“Yang senang bergurau tetapi juga berlebihan?”

“Ya.”

“Apakah mungkin anak manja ini ada hubungannya dengan Wiraraja yang suka bergurau tetapi agak berlebihan itu?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Perempuan itu memang menarik perhatian. Jika benar ia anak manja, kenapa kakek dan neneknya meninggalkannya sendiri di biliknya? Jika perempuan itu terbangun, maka ia akan berteriak-teriak atau menangis melolong-lolong.”

“Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian, “aku menjadi penasaran. Aku ingin melihat, apakah perempuan itu ada di biliknya atau tidak.”

“Kita harus mempelajari keadaan dahulu, Rara. Jika tiba-tiba saja kita menyelinap, maka kita akan dapat terjebak. Kita belum tahu siapakah yang kita hadapi.”

“Ya. Untunglah kita mengatakan bahwa kita sudah membayar untuk tiga hari, sehingga jika kita benar-benar harus berada di sini sampai tiga hari, maka mereka tidak akan mencurigai kita.”

“Mungkin mereka tidak mencurigai kita, tetapi mungkin pula sebaliknya. Mungkin pula ia tidak percaya bahwa kita berada di sini karena kau sedang ngidam.”

“Ya. Kita memang harus berhati-hati. Wiraraja itu sudah memberikan pelajaran kepada kita.”

“Malam ini kita duduk-duduk saja di luar, Rara. Kita dapat berada di bayangan yang gelap sambil mengawasi halaman. Jika perempuan itu keluar atau masuk halaman penginapan ini, kita dapat melihatnya. Sedangkan jika ada orang yang melihat kita, lebih-lebih kakek dan nenek itu, kita dapat saja mencari jawaban di seputar kandunganmu.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Ya. Kita dapat saja mengatakan bahwa udara terasa terlalu panas, atau apa saja.”

Sebenarnyalah malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan justru berada di luar biliknya. Mereka berada di pertamanan yang terdapat di longkangan, di depan biliknya yang memang agak terpisah.

Mereka duduk di atas batu yang besar yang menjadi bagian dari hiasan petamanan di longkangan itu. Dari tempat itu mereka dapat melihat-lihat dengan sudut pandang yang luas. Sementara batu itu terlindung di bawah bayangan gerumbul-gerumbul perdu di pertamanan.

Sementara itu pendapa penginapan itu pun sudah menjadi semakin sepi. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat melihat, apakah kakek dan nenek perempuan yang sangat manja itu masih duduk di pringgitan.

Sedikit lewat tengah malam, halaman penginapan itu benar-benar sudah menjadi sepi. Di pendapa pun sudah tidak ada lagi orang yang duduk-duduk menghirup udara malam yang segar.

“Seandainya perempuan itu pantas dicurigai, maka ia tentu belum akan bergerak malam ini, Kakang.”

“Ya. Besok mereka baru akan melihat-lihat suasana. Kecuali jika mereka sudah mengenal lingkungan ini dengan baik.”

Namun pembicaraan mereka pun segera terputus, ketika mereka mendengar suara burung tuhu di luar gerbang penginapan itu. Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak.

Mereka pernah menjalani laku Tapa Ngidang benar-benar di dalam hutan, sehingga mereka dapat mengenali suara berbagai macam binatang serta burung-burung liar. Baik burung-burung siang, maupun burung-burung malam. Karena itu mereka pun segera mengerti bahwa suara itu bukan suara burung yang sebenarnya.

Dengan demikian keduanya justru bersembunyi semakin rapat di belakang rimbunnya pertamanan. Sebenarnyalah, sejenak kemudian seorang yang berpakaian serba gelap telah muncul dari pintu seketheng.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan yang mempunyai penglihatan yang sangat tajam segera melihat, bahwa orang itu adalah laki-laki tua yang disebut kakek itu.

Dengan sangat berhati-hati dan sekali-sekali berusaha menghindari sinar lampu minyak di pendapa, orang itu pun pergi ke pintu gerbang penginapan.

“Apakah kita akan berusaha mendekat, Kakang?”

“Sulit untuk mendekat ke pintu gerbang tanpa terlihat.”

“Orang itu berada di luar pintu gerbang.”

“Tetapi jika mereka memasuki pintu gerbang, halaman itu terbuka.”

“Nampaknya para petugas pun sedang tidur.”

Keduanya terdiam sejenak.

Namun ternyata orang yang mengenakan pakaian gelap itu pun telah masuk kembali bersama seorang yang lain, yang juga berpakaian serba gelap. Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan, agar perempuan itu pun berjongkok di belakang gerumbul perdu di petamanan.

Tetapi jarak mereka terlalu jauh untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Sementara itu, agaknya keduanya justru berbicara di dekat pintu gerbang tanpa bergeser lagi.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun termangu-mangu. Kedua orang itu berdiri melekat dinding di sebelah pintu gerbang.

“Lewat di luar dinding halaman ini, Rara.”

“Ya. Kita justru meloncat keluar.”

Keduanya pun kemudian meloncati dinding halaman, justru di belakang pakiwan yang khusus bagi bilik mereka. Kemudian menyusuri dinding halaman di halaman rumah tetangga penginapan itu. Baru kemudian setelah mereka meloncat turun ke jalan, mereka sempat mendekati pintu gerbang.

Beberapa batang pohon gayam yang besar berdiri berjajar di pinggir jalan, sehingga batangnya yang besar itu akan dapat menjadi tempat berlindung yang baik.

Dari luar pintu gerbang, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun mendengar orang yang datang ke penginapan itu berkata, “Jadi perempuan itu sudah berada di sini sekarang?”

“Ya. la sudah berada di sini.”

“Baik. Kita menunggu keputusannya, apa yang harus kita lakukan terhadap Ki Demang dan para bebahu di Sima. Nampaknya mereka orang-orang yang keras hati. Ki Demang pun merasa memiliki sedikit ilmu, sehingga ia berani menentukan sikap itu.”

“Biarlah besok malam ia menemui Ki Demang di rumahnya. Tunggu wayah sepi wong di dekat regol halaman rumah Ki Demang. Perempuan itu adalah seorang pemarah. Mungkin ia memerlukan seseorang yang mampu sedikit mengekangnya.”

“Ia memang harus marah jika Ki Demang masih saja keras kepala. Bahkan Ki Demang itu pantas disingkirkan.”

“Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Ternyata kau juga seorang yang kurang sabar menghadapi masalah-masalah yang kadang-kadang harus dipikirkan dengan kepala dingin. Umurmu sudah cukup banyak. Seharusnya kau mampu mengendapkan perasaanmu.”

Orang itu tidak segera menjawab.

Namun bagi Glagah Putih dan Rara Wulan persoalannya sudah cukup jelas. Karena itu, maka Glagah Putih pun segera memberi isyarat, agar mereka tidak usah menunggu sampai pembicaraan itu selesai.

Demikianlah, mereka berdua pun segera kembali meloncati dinding, masuk ke halaman rumah sebelah penginapan itu. Kemudian menyusuri dinding yang menyekat halaman itu, langsung meloncat lagi masuk ke halaman penginapan.

Ketika mereka kembali berada di bayangan gerumbul perdu di pertamanan, ternyata kedua orang itu masih berada di tempatnya. Namun agaknya pembicaraan mereka pun sudah selesai. Sebentar kemudian orang yang datang ke penginapan itu pun telah keluar dari pintu gerbang penginapan yang tidak diselarak.

Beberapa saat kemudian, maka orang tua yang mengenakan pakaian yang serba gelap itu pun telah kembali ke biliknya.

Baru kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun masuk ke dalam biliknya pula.

“Ternyata dugaan kita benar, Kakang,” berkata Rara Wulan, “perempuan itu hanyalah berpura-pura. Cara ini pula yang dipakai oleh Wiraraja. Ia mengetrapkan dua pribadi yang berbeda. Tetapi karena rangkapnya kepribadian itu hanya berpura-pura, maka yang tampil adalah justru mencurigakan.”

“Ya, Rara. Tetapi nampaknya perempuan itu amat berbahaya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Perempuan itu tentu sangat berbahaya. Tetapi besok kita juga akan pergi ke dekat regol halaman rumah Ki Demang itu.”

“Ya. Kita besok akan melihat apa yang terjadi. Sekarang, beristirahatlah. Kau dapat tidur lebih dahulu. Nanti jika aku sudah mengantuk, aku akan membangunkanmu.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Perempuan itu pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan yang bersih. Jauh berbeda dengan saat-saat mereka bermalam di tengah-tengah padang perdu, duduk sambil bersandar sebatang pohon. Jika dingin malam menggigit, mereka membuat perapian untuk memanasi telapak tangan mereka yang bagaikan membeku.

Rara Wulan pun kemudian telah tertidur lelap. Ia sangat percaya kepada suaminya. Karena itu Rara Wulan itu pun merasa tenang sehingga dapat tertidur nyenyak.

Di dini hari, Rara Wulan itu pun terbangun sebelum dibangunkan oleh Glagah Putih. Ia pun kemudian bangkit dan duduk di pembaringan. Dengan suara yang agak parau ia pun berkata, “Sebaiknya kau juga tidur, Kakang. Meskipun mungkin waktunya tinggal sekejap.” 

Glagah Putih tiba-tiba saja menguap. Ia pun kemudian menyahut, “Baiklah. Aku masih mempunyai kesempatan untuk tidur sebentar. Tetapi itu sudah cukup bagiku.”

Rara Wulan-lah yang kemudian turun dari pembaringan. Setelah membenahi rambutnya, maka ia pun duduk di dingklik kayu. Ternyata Glagah Putih pun begitu mudah tidur. la pun merasa bahwa di dalam bilik itu Rara Wulan duduk berjaga-jaga.

Menjelang fajar, Glagah Putih pun sudah terbangun, sementara Rara Wulan sudah membuka pintu biliknya untuk menghirup udara yang segar.

Demikian Glagah Putih duduk, maka Rara Wulan pun berkata, “Aku pergi ke pakiwan, Kakang.”

“Pergilah. Nanti bergantian,” sahut Glagah Putih.

Demikianlah, keduanya pun bergantian pergi ke pakiwan. Sementara itu, di serambi biliknya telah disediakan minuman hangat serta beberapa potong makanan.

Setelah selesai berbenah diri, maka keduanya pun kemudian duduk sambil minum minuman hangat serta mencicipi beberapa jenis makanan.

“Rara,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika kita nanti malam akan pergi ke rumah Ki Demang, maka sebaiknya siang nanti kita bereskan uang sewa penginapan ini.”

“Kenapa?”

“Mungkin kita tidak akan kembali ke penginapan ini, tetapi kita akan segera meneruskan perjalanan ke padepokan Jung Wangi yang masih cukup jauh.”

“Kenapa harus begitu?”

“Jika kita terlibat dalam pertarungan di rumah Ki Demang, bukankah kita tidak akan dapat kembali lagi ke penginapan ini?”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Senang tidur di penginapan ini. Semalam aku dapat tidur nyenyak.”

“Kecuali jika kita nanti malam tidak usah pergi ke rumah Ki Demang.”

“Tetapi menarik untuk mengikuti persoalan yang akan dibicarakan.”

“Nampaknya akan dapat timbul kekerasan. Apakah kita dapat mengekang diri untuk tidak turut mencampurinya? Kecuali jika persoalannya itu adalah persoalan yang sangat pribadi yang memang tidak pantas kita campuri. Misalnya, bahwa ternyata Ki Demang itu adalah suami perempuan manja itu.”

“Ah, tentu bukan,” sahut Rara Wulan dengan serta merta.

“Misalnya. Hanya misalnya saja. Tetapi jika persoalannya menyangkut kepentingan orang banyak, maka kita tentu tidak akan dapat tinggal diam. Nah, jika kita sudah terlibat, maka tentu tidak menarik lagi untuk menginap di penginapan ini. Bahkan mungkin di penginapan manapun di Sima ini.”

“Baiklah, Kakang. Jika kakek dan nenek itu mengetahui kita meninggalkan penginapan ini, maka kita dapat mengatakan bahwa kita sudah membatalkan hari yang kedua dan ketiga dari hari-hari yang kita pesan.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk pula. Sementara Rara Wulan masih saja menghirup minumannya yang masih hangat.

Namun beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kakek dan nenek itu bersama dengan orang yang diaku sebagai cucunya keluar dari biliknya. Perempuan muda itu masih mengusap matanya yang basah, yang memberikan kesan bahwa ia baru saja menangis.

“Kita pergi ke pasar,” katanya.

“Ya, ya. Kita akan pergi ke pasar.”

“Kita cari Kakang sampai ketemu. Sebelum ketemu, aku tidak mau kembali ke penginapan.”

“Jika suamimu tidak ada di pasar itu, Nduk?”

“Pokoknya harus ketemu!” tiba-tiba saja perempuan itu berteriak, sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya telah berpaling kepadanya.

Tetapi perempuan itu agaknya tidak menghiraukannya. Ia pun malahan merengek-rengek dan bahkan kemudian duduk di tangga pendapa.

Orang, yang disebut kakek dan neneknya itu pun kemudian hampir berbareng berkata, “Baik. Baik, Nduk. Kita cari suamimu sampai ketemu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak begitu menghiraukannya lagi. Karena itu maka Rara Wulan yang sedang meneguk minumannya sama sekali tidak meletakkan mangkuknya.

Sementara itu, perempuan manja itu masih saja merengek. Agaknya beberapa orang justru menjadi jengkel melihat sikapnya itu, sehingga seseorang justru menyahut, “Kalau suamimu tidak ada di pasar itu, cari saja suami yang lain, Nduk.”

“Apa? Apa?” tiba-tiba saja perempuan itu bangkit berdiri, “Jangan asal saja membuka mulutmu, he!”

“Aku hanya menyarankan, daripada kau kebingungan karena kehilangan suami.”

“Diam! Diam, kau!”

“Nduk,” kakeknya mendekapnya, “jangan marah seperti itu, Nduk. Orang ini hanya bercanda.”

“Tetapi canda itu tidak pantas, Kek.”

Orang yang menggodanya itu agaknya tidak mau berselisih. Ia pun kemudian berkata, “Maaf, aku memang hanya bercanda. Tetapi jika itu membuatmu tidak senang, aku minta maaf.”

Orang itu pun tidak menghiraukannya lagi. Ia pun kemudian melangkah pergi meninggalkan perempuan yang sangat manja itu. Tetapi agaknya banyak juga orang yang justru muak melihat sikapnya. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan.

Tetapi orang-orang itu pun kemudian justru tidak menghiraukannya lagi. Pada saat orang-orang lain pergi meninggalkannya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang pergi mendekati mereka.

“Ada apa lagi, Paman?”

“Anak ini mengajak mencari suaminya ke pasar.”

“Kenapa Paman tidak saja segera membawanya ke pasar?”

“Belum tentu suaminya ada di sana. Jika kami tidak menemukan suaminya, maka ia akan menjadi marah. Jika ia berteriak-teriak seperti ini, apakah kira-kira akan dapat menemukan yang kita cari di pasar?”

Tetapi perempuan itu menyahut, “Tentu. Harus. Suamiku harus ketemu.”

“Nini,” berkata Rara Wulan, “kenapa kau tidak berlaku apa adanya saja?”

Yang bertanya dengan serta-merta adalah kakeknya, “Apa adanya? Apa maksudmu, Ngger?”

“Maksudku, kalau ada, terimalah dengan wajar. Jika tidak, ya tidak ada. Tidak seorangpun yang dapat memaksakan agar yang tidak ada itu menjadi ada.”

“Ya, Ngger. Seharusnya seperti itulah yang harus kami lakukan. Tetapi anak ini adalah anak manja. Sehingga tanggapannya terhadap kenyataan itu berbeda dengan kebanyakan orang.”

Perempuan itu ternyata dapat berhenti merengek sejenak pada saat ia memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun kemudian ia pun telah mulai merengek lagi.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah meninggalkan kakek dan nenek itu. Sementara Glagah Putih sempat minta diri, “Sudahlah, Paman dan Bibi. Kami akan keluar lebih dahulu.”

“Kemana, Ngger?”

“Kami juga akan pergi ke pasar.”

“Tolong, Ki Sanak,” tiba-tiba perempuan manja itu berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “kalau kau bertemu dengan suamiku, pegang saja dia dan jangan dilepaskan, sebelum aku sampai di pasar.”

“Tetapi aku belum pernah melihat suamimu.”

“Kau akan segera mengenalnya. Orangnya tinggi, besar seperti raksasa. Berkumis tetapi tidak berjenggot.”

“Baik. Nanti jika aku bertemu dengan orang yang ciri-cirinya seperti yang kau katakan, akan aku akan tangkap.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melangkah keluar pintu gerbang. Perempuan itu masih berteriak sekali lagi, “Tolong, tangkap suamiku!”

Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling. Tetapi mereka tidak menjawab, meskipun keduanya mengangguk.

“Aku akan ikut menjadi gila,” desis Rara Wulan.

“Apa salahnya kita ikut-ikutan berpura-pura.”

“Nanti malam jangan lupa. Kita tunggu perempuan itu tidak terlalu jauh dari regol rumah Ki Demang.”

“Tetapi kita harus berhati-hati, karena ada orang lain yang juga menunggu di dekat regol halaman rumah Ki Demang itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua telah berada di pasar yang terletak di padukuhan induk Kademangan Sima. Pasar itu memang termasuk pasar yang ramai. Bahkan meskipun hari itu ternyata bukan hari pasaran, tetapi pasar itu tetap saja penuh. Baru besok pagi hari pasaran di pasar Sima itu.

Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan melihat-lihat seisi pasar itu. Tetapi Rara Wulan tidak lagi membuka-buka lipatan atau gulungan kain. Ia sudah menjadi jera dimarahi oleh perempuan pedagang kain yang sedang dilihat-lihatnya.

“Kita tunggu perempuan yang berpura-pura itu. Apakah benar ia pergi ke pasar ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Mungkin perempuan itu justru tidak kemari. Mungkin perempuan itu juga melihat-lihat suasana di Sima, atau melihat dimana letak regol halaman rumah Ki Demang yang malam nanti akan dikunjungi itu.”

“Ya. Memang mungkin. Nanti jika matahari menjadi semakin tinggi, dan perempuan itu tidak juga nampak, kita pun akan berjalan-jalan melewati regol halaman rumah Ki Demang.”

Untuk beberapa lama keduanya menunggu. Keduanya berjalan berputar-putar di dalam pasar. Namun agaknya Rara Wulan tertarik pula melihat berbagai macam sayuran yang segar.

Seorang perempuan menjual melinjo, kulitnya, kerotonya serta daunnya yang nampak begitu segar. Di sisi lain seorang menggelar daun ketela pohon serta jelegor yang masih muda. Beberapa orang yang lain menjual bayam, kangkung dan lembayung. Di bagian lain, beberapa orang menjual berbagai jenis ikan. Ikan lele, ikan kutuk, kakap dan bahkan belut.

“Bukankah kakang suka ikan lele?” bertanya Rara Wulan.

“Seandainya kita membelinya, dimana kita akan membuat sayur mangut?”

Rara Wulan tertawa.

Namun sampai matahari memanjat langit semakin tinggi, perempuan yang mereka tunggu itu tidak juga datang. Karena itu maka Glagah Putih pun telah mengajak Rara Wulan untuk keluar dari pasar itu.

“Seandainya suaminya benar-benar berada di pasar ini, dagangan apakah yang sedang digelarnya?” desis Glagah Putih.

“Aku jadi malas untuk bertanya. Jika kita bertanya satu kata, maka perempuan itu menjawabnya sambil melenggok-lenggok seperti cacing kepanasan.”

Glagah Putih pun tertawa. Namun kemudian keduanya memutuskan untuk keluar saja dari pasar itu.

“Kita berjalan-jalan saja sambil mencari rumah Ki Demang,” berkata Glagah Putih.

Keduanya kemudian berjalan menyusuri jalan-jalan utama. Seperti yang mereka duga, rumah Ki Demang itu terletak di tepi jalan utama itu. Ketika Glagah Putih bertanya kepada seorang remaja yang sedang bermain di pinggir jalan, maka remaja itu menunjuk ke sebuah rumah yang terhitung besar dan berhalaman luas.

“Itu rumah Ki Demang,” jawab remaja itu.

“Di sebelahnya?”

“Di sebelahnya itu adalah banjar kademangan.”

“Terima kasih,” desis Glagah putih.

Ketika anak itu tenggelam lagi dalam keasyikannya bermain, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun melanjutkan langkahnya menyusuri jalan-jalan utama di padukuhan induk Sima.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertemu dengan perempuan yang berpura-pura manja itu. Mereka tidak tahu kemana saja perempuan itu berpura-pura mencari suaminya. Mungkin mereka hanya berselisih jalan, atau mungkin perempuan itu mengunjungi satu pertemuan rahasia dengan kawan-kawannya.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun singgah di sebuah kedai di pinggir jalan utama di padukuhan induk Kademangan Sima. Kedai yang terhitung ramai. Meskipun kedai itu tidak terletak di dekat pasar, tetapi banyak juga orang yang berkunjung ke kedai itu.

“Kedai ini agaknya kedai bagi golongan orang yang mempunyai banyak uang, Rara,” desis Glagah Putih.

Rara Wulan pun mulai memperhatikan orang-orang yang duduk di sekelilingnya. Pada umumnya mereka tentu para pedagang yang terhitung besar, atau para petani yang termasuk kaya.

“Ya, Kakang. Tetapi tentu saja kita yang sudah terlanjur masuk ke mari, tidak sebaiknya keluar lagi sebelum membeli makan dan minuman.”

Tetapi agaknya beberapa orang pelayan yang ada di kedai itu tidak segera memperhatikan mereka. Orang-orang yang datang kemudian justru mendapat pelayanan lebih dahulu.

Ketika Glagah Putih mengeluh bahwa pelayanan bagi mereka terasa sangat lambat, maka Rara Wulan pun berkata, “Lihat, mereka yang datang kemudian dan mendapat pelayanan yang cepat itu, Kakang. Mereka adalah orang-orang yang mengenakan pakaian bagus, mahal dan rapi. Namun kita pun telah dinilai dari pakaian yang kita kenakan.”

“Ya. Tetapi biarlah. Sebaiknya kita duduk saja di sini. Asal mereka tidak mengusir kita.”

“Seandainya mereka mengusir kita?”

“Orang yang mengusir kita itu akan kita lempar dengan sekeping uang perak.”

Rara Wulan pun tertawa.

Ternyata baru beberapa saat kemudian, ketika seorang pelayan sudah selesai melayani seorang tamu yang justru datang kemudian, maka ia mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kalian akan memesan apa?”

Sebelum Glagah Putih menjawab, Rara Wulan pun bertanya, “Apa saja yang ada di kedai ini?”

Tetapi jawab pelayan itu ternyata telah menyinggung perasaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, “Kalian mau pesan apa, bukan justru kalian yang bertanya.”

“Jika aku sudah tahu apa yang ada di kedai ini, maka aku akan dapat memilihnya, aku mau pesan apa.”

“Di sini ada seribu macam masakan.”

Tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut, “Aku pesan seribu macam masakan itu. Kalau ada, aku akan membayarnya. Tetapi jika kurang satu saja dari seribu macam, aku menolak membayar.”

Wajah pelayan itu menjadi merah. Dengan garang ia pun berkata, “”Apa yang kau pakai untuk membayarnya? Bahkan satu macam masakan pun kau belum tentu dapat membayar. Kedai ini adalah kedai yang mahal. Kedai bagi orang-orang kaya. Mana mungkin orang seperti kalian ini dapat membayar masakan yang kau pesan di sini.”

Rara Wulan menjadi tidak sabar lagi. Meskipun pelayan itu tidak mengusirnya, tetapi ia sudah menyakiti perasaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka Rara Wulan pun mengambil sekeping uang perak dari kampilnya dan siap dilemparkan kepada pelayan itu.

Tetapi Glagah Putih mencegahnya. Katanya, “Jangan. Jangan kau berikan sekeping uang perak itu kepadanya. Lebih baik kau berikan kepada seorang pengemis yang ada di pinggir jalan di tikungan. Ia lebih pantas untuk menerimanya daripada pelayan itu.”

“Ya. Biarlah uang perak ini aku lemparkan saja di pinggir jalan, daripada aku berikan kepada orang yang tidak tahu unggah-ungguh ini.”

Pelayan itu memang terkejut melihat sekeping uang perak. Dengan sekeping uang perak itu, keduanya akan dapat memesan makanan yang mereka kehendaki. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah melangkah ke pintu, meninggalkan kedai itu.

Pelayan itu masih termangu-mangu di tempatnya. Namun pemilik kedai kemudian menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kami minta maaf, Ki Sanak. Kami sama sekali tidak berniat meremehkan para langganan kami. Tetapi para pelayan kami kadang-kadang tidak tahu diri. Kadang-kadang mereka memilih-milih tamu yang manakah yang mereka layani lebih dahulu.”

“Sudahlah. Ajari pelayan-pelayanmu menghargai semua orang yang datang ke kedaimu. Ajari mereka menghormati semua orang dengan cara yang sama.”

“Baik. Baik, Ki Sanak. Sekarang aku silakan Ki Sanak singgah di kedaiku.”

“Terima kasih. Aku sudah kehilangan selera untuk makan di kedaimu.”

“Aku akan memberikan masakan yang paling baik untuk Ki Sanak berdua.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Sudahlah, tamu-tamu yang lain menunggumu. Aku akan melanjutkan perjalanan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian melangkah pergi.

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera kembali ke kedainya. Dipanggilnya pelayannya yang telah menyinggung perasaan kedua orang laki-laki dan perempuan itu.

“Kau tidak pantas berbuat seperti itu. Nah, sekarang kau tahu bahwa kau tidak dapat mengukur kelebihan seseorang dari unsur lahiriahnya saja. Kalau setiap kali kau berbuat seperti itu, maka lambat laun tidak akan ada orang yang membeli di kedai ini.”

Pelayan itu hanya dapat menundukkan kepalanya saja.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan kedai itu semakin jauh. Tetapi Rara Wulan tidak jadi melemparkan kepingan uang peraknya ke pinggir jalan.

“Lebih baik aku masukkan ke dalam kampilku lagi,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih sempat tertawa.

“Kau mentertawakan aku, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak. Aku mentertawakan kepingan uang perak itu. Akhirnya ia kembali ke kampil itu lagi.”

Rara Wulan pun akhirnya ikut tertawa pula.

Namun akhirnya mereka pun singgah di kedai yang lain. Kedai yang agaknya sedang-sedang saja. Namun ada beberapa orang yang sudah berada di dalam kedai itu.

Dari kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berjalan lewat jalan-jalan di padukuhan itu, sambil berharap bertemu perempuan yang berpura-pura mencari suaminya itu.

“Kemana saja perempuan itu,” desis Glagah Putih.

“Mungkin mereka bertiga sedang menghadiri pertemuan rahasia di suatu tempat di kademangan ini,” sahut Rara Wulan.

“Memang mungkin,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Agaknya kita memang harus keluar dari penginapan itu nanti sore, Rara. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa, kita dapat kembali lagi menginap di penginapan itu, atau di penginapan yang lain.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi agaknya kita tidak akan menginap lagi di Sima. Agaknya kita akan terlibat dalam satu persoalan di rumah Ki Demang malam nanti, meskipun aku tidak dapat menduga persoalan apa yang akan kita hadapi.”

Glagah Putih pun merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Jangan-jangan perempuan itu sudah berada di penginapan, atau bahkan tidak jadi mencari orang yang diakunya sebagai suaminya.”

“Marilah kita lihat di penginapan.”

Keduanya pun segera kembali ke penginapan. Mereka memang menjadi agak tergesa-gesa.

Namun ketika mereka sampai di penginapan, perempuan itu tidak ada di biliknya. Ketika Rara Wulan bertanya kepada petugas di penginapan itu, maka petugas itu pun menjawab, “Belum. Belum, Nyi, perempuan itu belum kembali. Bahkan aku berdoa semoga ia tidak kembali.”

“Kenapa?”

“Melayani seorang saja kami para petugas menjadi sangat sibuk sebagaimana kami melayani lebih dari sepuluh orang. Perempuan itu minta macam-macam yang kadang-kadang sulit untuk segera diadakan. Kalau ia minta air panas untuk mandi saja tidak ada masalah, kami memang menyediakannya. Tetapi kalau kemudian minta disediakan makanan yang sulit mencarinya, kami menjadi kewalahan. Padahal perempuan itu minta seketika itu juga.”

“Kalau memang tidak ada, bukankah kalian dapat mengatakan bahwa yang dimintanya itu tidak ada?”

“Perempuan itu menjadi marah-marah. Kakek dan neneknya pun ikut marah-marah pula. Telingaku menjadi panas mendengarnya. Karena itu, jika mungkin lebih baik kami mencari apa yang dimintanya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Namun mereka pun segera pergi ke bilik mereka sendiri. Glagah Putih dan Rara Wulan masih beristirahat beberapa saat di bilik mereka. Sementara itu matahari pun telah berada di sisi langit sebelah barat.

“Kapan kita keluar dari penginapan ini, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Waktunya masih panjang, Rara. Bukankah waktu yang disepakati oleh laki-laki tua itu dengan tamunya semalam, setelah wayah sepi wong?”

“Kalau begitu kita akan keluar dari penginapan ini saat malam turun?”

“Ya. Pada saat malam turun, kita akan pamitan kepada para petugas di penginapan ini.”

Dengan demikian, maka masih ada waktu bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk mandi dan berbenah diri. Sementara itu minuman hangat serta beberapa potong makanan telah tersedia di serambi biliknya.

Menjelang senja, Glagah Putih dan Rara Wulan masih duduk di serambi sambil menghirup minumannya serta makan beberapa potong makanan. Namun Rara Wulan pun kemudian menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Itu, mereka datang.”

Sebenarnyalah empat orang telah memasuki halaman penginapan. Perempuan yang berpura-pura manja itu bergayut di tangan seorang laki-laki muda yang bertubuh kekar dan berwajah tampan. Agaknya laki laki itulah yang diakunya sebagai suaminya.

Sambil memegangi lengan laki-laki itu, perempuan manja itu pun merengek, “Kakang tidak boleh pergi lagi.”

“Tetapi bagaimana dengan daganganku itu?”

“Biarlah anak-anak mengurusnya. Bukankah tidak harus Kakang sendiri? Buat apa Kakang mengupah orang orang itu, jika mereka tidak diserahi tugas apa apa?”

Laki-laki itu terdiam.

Ketika mereka naik ke tangga pendapa, maka perempuan manja itu pun merengek lagi, “Tolong aku, Kakang. Tolong.”

Dengan cepat laki-laki muda itu menangkap tangan perempuan yang mengaku istrinya itu. Kemudian ditariknya naik ke pendapa.

Seorang petugas penginapan itu yang kebetulan lewat di dekat Glagah Putih dan Rara Wulan berdesis, “Perempuan itu tidak saja manja. Tetapi ia sudah gila.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa tertahan. Tetapi Rara Wulan pun kemudian berkata perlahan, “Tetapi bukankah mereka membayar untuk segalanya?”

“Ya. Itulah untungnya penginapan ini. Mereka membawa uang banyak.”

“Dengan demikian, bukankah jerih payah para petugas ada imbalannya?”

“Ya. Tetapi jika aku boleh memilih, aku memilih perempuan itu pergi.”

Petugas itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja menahan tawanya.

Namun ternyata ketika malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang minta diri kepada petugas itu untuk meninggalkan penginapan.

“Kenapa? Apakah perempuan itu terasa sangat mengganggu?”

“Tidak. Tetapi yang aku cari sudah ketemu. Malam ini aku akan bermalam di rumah pamanku yang tinggal di Sima ini. Siang tadi aku bertemu Paman di pasar.”

“Tetapi rasa-rasanya begitu tiba-tiba.”

“Sebenarnya tidak. Tetapi kami ragu-ragu, apakah kami akan bermalam di rumah Paman atau di penginapan ini. Sebenarnya kami lebih senang tinggal di penginapan ini. Tetapi kami khawatir kalau Paman menjadi tersinggung.”

Petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa tersinggung?”

“Paman akan mengira bahwa kami tidak bersikap akrab. Paman ada di sini, tetapi kenapa kami ada di penginapan.”

Petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kapan-kapan aku berharap kalian berdua menginap di penginapan ini lagi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera menyelesaikan pembayaran sewa bilik di penginapan itu. Ketika petugas itu sedang menghitung uang kembali, maka Rara Wulan pun berkata, “Ambil saja kembalinya, Ki Sanak.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih, Ki Sanak.”

“Tetapi jangan katakan kepada perempuan manja itu, atau kepada kakek dan neneknya, bahwa aku telah pergi.”

“Baik. Baik, Ki Sanak.”

Demikianlah, maka diam-diam Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan penginapan tanpa setahu perempuan yang berpura-pura manja itu.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Beberapa saat kemudian, malam pun telah memasuki wayah sepi bocah. Sebentar lagi akan segera memasuki wayah sepi wong.

Tiga orang yang berpakaian serba gelap telah mendekati regol halaman Ki Demang Sima. Dua orang di antara mereka pun segera meninggalkan tempat itu.

Seorang sempat berdesis, “Hati-hatilah. Sebentar lagi perempuan itu akan datang bersama laki-laki yang disebutnya suaminya. Temani mereka menemui Ki Demang. Ki Demang ternyata juga seorang yang berilmu. Agaknya ia mempunyai sikap yang sulit dirubah.”

“Ia tidak akan sempat melihat matahari terbit esok pagi.”

“Cari jalan lain. Kecuali jika sudah tidak ada, apa boleh buat.”

“Perempuan itulah yang menentukan. Bukan kau.”

“Ya. Aku mengerti.”

Kedua orang itu pun segera meninggalkan kawannya tidak jauh dari regol halaman rumah Ki Demang Sima. Tetapi ketiga orang itu tidak tahu bahwa dua pasang mata selalu mengawasinya dan dua pasang telinga mendengar pembicaraan mereka.

Demikianlah, beberapa saat kemudian menjelang saat sepi wong, empat orang telah mendekati regol halaman rumah Ki Demang. Orang yang telah lebih dahulu berada di regol halaman itu pun segera menemui mereka.

“Masuklah. Hati-hati. Cari jalan terbaik,” pesan kakeknya.

“Jika yang terbaik adalah menyingkirkannya untuk selamanya, maka aku akan menyingkirkannya,” sahut perempuan yang dalam hidupnya sehari-hari dikenal sebagai perempuan manja itu. Namun suaranya yang mantap dan tegas, memberikan kesan sangat berlawanan dengan kemanjaannya itu.

“Terserah atas penilaianmu. Tetapi jika ada kemungkinan lain, ambillah kemungkinan lain itu.”

“Aku akan menilai keadaan.”

Orang yang datang lebih dahulu itu pun menyela, “Memang ada pesan, jika mungkin dapat dicari jalan lain kecuali menyingkirkannya.”

“Segala sesuatunya tergantung kepada sikap Ki Demang sendiri,” sahut perempuan itu.

Sejenak kemudian, perempuan yang manja itu bersama laki-laki yang diakunya sebagai suaminya itu pun melangkah memasuki regol halaman. Sementara itu, orang yang disebutnya kakek dan nenek itu pun segera meninggalkan regol itu pula.

Agaknya mereka akan kembali ke penginapan, atau mereka akan mengawasi semua peristiwa yang terjadi dari kejauhan.

Beberapa saat kemudian, laki-laki dan perempuan yang mengaku suami istri itu beserta seorang laki-laki telah naik ke pendapa. Mereka pun segera mengetuk pintu pringgitan.

“Siapa?” terdengar pertanyaan dari ruang dalam.

“Aku, Ki Demang. Aku yang sudah berjanji untuk datang malam ini.”

Hening sejenak. Baru sejenak kemudian pintu pringgitan itu pun terbuka.

“Marilah, silahkan duduk,” seorang yang bertubuh tinggi sedikit gemuk mempersilahkan.

“Terima kasih,” jawab laki-laki yang disebut suami oleh perempuan manja itu.

Ketiga orang itu pun kemudian duduk di pringgitan, sementara Ki Demang pun masuk kembali ke ruang dalam. Baru beberapa saat kemudian Ki Demang pun keluar lagi bersama Ki Jagabaya dan Ki Bekel padukuhan induk Sima.

Demikian mereka duduk, maka Ki Demang pun segera memperkenalkan Ki Jagabaya dan Ki Bekel kepada tamu-tamunya.

“Terima kasih atas penerimaan Ki Demang,” berkata perempuan manja itu. Namun kesan kemanjaan itu telah lenyap sama sekali.

“Ki Demang,” berkata perempuan itu pula, “kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami ingin segera menyelesaikan pembicaraan kita sampai tuntas.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar