Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 371

Buku 371

Ternyata Rara Wulan pun telah menguasai ilmunya dengan matang. Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengambil ancang-ancang. Ketika Raden Nirbaya siap melontarkan ilmunya untuk yang ketiga kalinya, maka Rara Wulan telah siap melakukannya pula.

Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah meluncur dari dua arah yang saling berseberangan.

Namun kekuatan dan kemampuan Raden Nirbaya tidak lagi sesegar Rara Wulan. Raden Nirbaya telah meluncurkan ilmunya untuk yang ketiga kalinya, sehingga tingkat kekuatan dan kemampuannya sudah mulai menyusut.

Dengan demikian, ketika terjadi benturan ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu, tenaga dan kemampuannya sudah tidak seimbang lagi.

Rara Wulan memang tergetar beberapa langkah surut, tetapi tidak sampai kehilangan keseimbangannya. Rara Wulan masih tetap berdiri tegak, meskipun harus menyeringai menahan nyeri di dadanya.

Sementara itu, Raden Nirbaya pun telah terlempar beberapa langkah dan terpelanting jatuh. Terdengar Raden Nirbaya itu mengaduh. Namun kemudian ia pun terdiam untuk selamanya.

Rara Wulan masih melihat Raden Nirbaya menggeliat. Tetapi kemudian mata Rara Wulan pun menjadi berkunang-kunang.

Rara Wulan itu pun kemudian bergeser surut. Ketika dua orang prajurit mendekatinya, maka Rara Wulan pun memanggil mereka.

“Ki Sanak.”

Kedua orang prajurit itu pun meloncat dengan cepat sambil menangkap tubuh Rara Wulan yang terhuyung-huyung.

“Rara.”

Rara Wulan itu memejamkan matanya sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak apa-apa.”

“Wajah Rara menjadi pucat sekali.”

Rara Wulan mencoba tersenyum. Ia pun kemudian telah mampu berdiri sendiri, meskipun terasa dadanya masih sesak.

Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang berlari-lari mendekati tubuh Raden Nirbaya yang terkapar di tanah. Mereka pun segera mengusung tubuh itu ke belakang garis pertempuran.

“Raden Nirbaya pun telah dikalahkan oleh seorang perempuan muda,” desis seorang di antara mereka yang mengusung tubuh Raden Nirbaya sambil berlari-lari kebelakang medan.

“Ya. Seperti Ki Denda Bahu.”

“Yang mengalahkan Ki Denda Bahu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu. Seorang yang seharusnya menjadi salah seorang pemimpin perguruan kita. Karena itu wajar sekali jika Ki Denda Bahu dikalahkannya Tetapi Raden Nirbaya, yang diharapkan mendampingi Ki Saba Lintang, telah terbunuh oleh seorang perempuan yang masih muda.”

“Ki Saba Lintang tentu akan marah sekali.”

“Seharusnya Raden Nirbaya tidak turun ke medan.”

“Tetapi ia merasa berilmu tinggi.”

“Ia memang berilmu sangat tinggi. Tetapi perempuan itu ilmunya lebih tinggi lagi. Senjatanya sehelai selendang yang mampu mengibaskan paser-paser kecil Raden Nirbaya. Jarang sekali ada orang yang mampu menghindar dari serangan paser-paser kecil itu. Bahkan kemudian aji pamungkasnya pun tidak mampu menghentikan perlawanan perempuan itu. Bahkan justru Raden Nirbaya sendiri-lah yang terbunuh.”

Mereka pun kemudian meletakkan tubuh Raden Nirbaya di sebelah tubuh para pemimpin yang telah terbunuh. Ki Denda Bahu, Ki Umbul Geni dan kemudian Raden Nirbaya.

“Dimana Ki Sura Banda?” bertanya seorang di antara mereka.

“Entahlah. Tetapi ia sudah tidak berada di medan.”

“Apakah ia sudah terbunuh, sementara kawan-kawan kita yang bertempur di sekitarnya tidak mampu menyelamatkan tubuhnya?”

“Entahlah.”

Ketika orang-orang itu kemudian berniat kembali ke arena, mereka pun menjadi sangat berdebar-debar. Keseimbangan pertempuran itu sudah berubah sama sekali. Kekuatan para murid Kedung Jati telah semakin surut. Korban pun telah berjatuhan. Sebagian terbunuh di pertempuran, sebagian yang lain terluka. Bahkan terluka berat.

Sementara itu, Ki Wiratuhu masih bertahan, bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu melihat beberapa peluang untuk mengakhiri pertempuran. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih berusaha untuk menundukkan Ki Wiratuhu tanpa mempergunakan ilmu puncaknya.

Namun Ki Wiratuhu adalah seorang yang tanggon. Ketika Ki Lurah Agung Sedayu menawarkan kemungkinan untuk’menyerah, maka Ki Wiratuhu menjadi sangat marah.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Tentu tidak. Aku sangat menghargai Perguruan Kedung Jati. Tetapi apakah kau benar-benar murid dari Perguruan Kedung Jati? Jika benar, siapakah gurumu?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Persetan kau. Kau kira aku siapa? Kau tidak tahu sama sekali tentang Perguruan Kedung Jati. Karena itu, kau tidak usah berbicara tentang Perguruan Kedung Jati.”

“Kau salah. Aku mengenal Perguruan Kedung Jati dengan baik. Aku mewarisi unsur-unsur geraknya yang terpenting.”

“Jangan mencoba meremehkan Perguruan Kedung Jati.”

Tetapi Ki Lurah itu pun menjawab, “Sudah aku katakan, aku tidak meremehkan Perguruan Kedung Jati. Aku sangat menghargai perguruan itu. Kau tentu tahu, bahwa istriku adalah pewaris tongkat kepemimpinan Perguruan Kedung Jati,”

Wajah Ki Wiratuhu menjadi merah. Namun kemudian ia pun menyahut dengan suara bergetar, “Ya. Istrimu adalah pewaris tongkat kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Tetapi istrimu telah berkhianat terhadap Perguruan Kedung Jati.”

“Siapakah yang telah berkhianat? Istriku atau Ki Saba Lintang? Sebenarnya istriku tidak akan meninggalkan Perguruan Kedung Jati. Tetapi Ki Saba Lintang adalah jenis orang yang sangat haus akan kekuasaan. Ia terlalu bernafsu untuk menjadi seorang pemimpin. Ki Saba lintang tidak puas dengan memimpin Perguruan Kedung Jati yang besar. Tetapi ia ingin kedudukan yang lebih tinggi lagi. Ia ingin berkuasa di mana-mana.”

“Itu satu gegayuhan. Setiap orang harus mempunyai gegayuhan yang tinggi.”

“Tanpa menghiraukan tatanan bebrayan agung, maka semakin tinggi gegayuhan seseorang, ia akan menjadi semakin kehilangan dirinya dalam hidup bebrayan itu Ia akan menginjak-injak tatanan bebrayan. Bahkan ia akan sampai hati mengorbankan sesamanya untuk mencapai gegayuhannya. Ia tidak segan mengorbankan sekelompok orang yang menyatakan dirinya setia kepadanya. Atau bahkan sekelompok orang yang tidak tahu apa-apa.”

“Orang orang yang bersedia dikorbankan itulah yang dungu. Salah mereka sendiri. Jika mereka tidak mau dikorbankan, maka ia tidak akan menjadi korban, bahkan landasan gegayuhan Perguruan Kedung Jati.”

“Kau sendiri bagaimana? Bukankah kau bukan murid Kedung Jati? Tetapi kau telah berjuang dengan ikhlas bagi kebesaran Perguruan Kedung Jati. Kau telah menyediakan dirimu menjadi korban gegayuhan Ki Saba Lintang itu.”

“Kau-lah yang dungu. Jika aku berjuang bagi Perguruan Kedung Jati, meskipun aku bukan murid Perguruan Kedung Jati, itu pun dalam rangka perjuanganku untuk menggapai gegayuhanku.”

“Tetapi nampaknya kau setia sampai mati bagi kepentingan Ki Saba Lintang”

“Aku setia sampai mati pada gegayuhanku sendiri.”

“Bukankah itu pendirian yang gila? Jika kau mati, apa yang kau dapatkan? Justru kau akan kehilangan semuanya.”

“Aku berpegang pada sikap hidupku. Mukti atau mati. Aku mati dalam perjuanganku untuk mencapai gegayuhanku. Sama sekali bukan untuk Ki Saba Lintang.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tidak ada gunanya untuk berbicara terlalu panjang. Ki Wiratuhu bukan seorang yang pendiriannya mudah digoyahkan. Ia sadari apa yang dilakukannya. Karena itu maka Ki Lurah pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi Ki Wiratuhu dalam pertempuran kembali.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Ki Wiratuhu ternyata benar-benar seorang berilmu tinggi. Namun Ki Wiratuhu pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat segera mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu.

Karena itu, maka Ki Wiratuhu pun tidak mau berteka-teki terlalu lama. Ketika Ki Lurah Agung Sedayu semakin mendesaknya, maka Ki Wiratuhu pun sampai pada keputusan untuk mempergunakan puncak kemampuannya.

Ki Lurah Agung Sedayu pun bergeser selangkah surut ketika ia melihat Ki Wiratuhu itu tiba-tiba saja telah menggenggam sepasang pisau belati yang berkilat-kilat. Pisau belati itu tidak terlalu panjang. Tetapi pisau belati itu mampu memantulkan cahaya matahari dengan tajamnya. Dengan sengaja Ki Wiratuhu telah berusaha memantulkan cahaya matahari yang menyentuh sepasang pisau belatinya itu.

Ki Lurah Agung Sedayu memang menjadi silau oleh kilatan pantulan cahaya sepasang pisau belati itu, sehingga kadang-kadang ia kehilangan arah, dimana lawannya itu berdiri. Kilauan sinar yang memantul dari sepasang pisau belati itu rasa-rasanya justru lebih tajam dari sinar matahari itu sendiri.

Karena itu, maka sekali-sekali Ki Lurah kehilangan lawannya. Bahkan Ki Lurah itu terkejut ketika tiba-tiba saja pisau belati Ki Wiratuhu itu menyentuh lengannya.

Ki Lurah Agung Sedayu itu pun segera meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara terdengar Ki Wiratuhu itu tertawa sambil berkata, “Sayang, bahwa kau tidak mampu meredam pantulan cahaya matahari pada sepasang pisau belatiku, Ki Lurah.”

Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi ia bergeser ke samping.

“Kau ingin bertempur di bawah bayangan pohon preh itu, Ki Lurah? Agaknya kau mulai menjadi ketakutan oleh pantulan cahaya matahari itu.”

Ki Lurah masih tetap diam saja. Tetapi memang sulit baginya untuk membatasi daerah pertempuran hanya di bawah bayangan rimbunnya daun preh. Jika mereka berloncatan, maka setiap kali mereka akan segera keluar dari bayangan pohon preh itu.

Tetapi Ki Lurah harus menemukan cara untuk mengatasinya.

Dalam pada itu, Ki Lurah pun menyadari bahwa sepasang pisau belati itu tentu bukan pisau belati kebanyakan. Tetapi tentu sejenis pisau belati yang dibuat oleh seorang empu yang memiliki kelebihan, sehingga sinar yang terpantul dari daun pisau itu justru lebih menyilaukan dari sinar matahari itu sendiri. Pamornya yang berkeredip membuat pantulan sinar dari pisau belati itu menjadi sangat tajam. Bahkan seakan-akan menyengat mata.

Dalam pantulan cahaya yang menyilaukan itu, Agung Sedayu sulit mencari kesempatan untuk mengetrapkan ilmu puncaknya, menyerang dengan ilmu yang dipancarkannya lewat sorot matanya.

Dalam pada itu, Ki Wiratuhu yang merasa mampu menekan Ki Lurah Agung Sedayu, menjadi semakin berpengharapan. Dengan pisau belatinya yang bukan sekedar pisau belati kebanyakan itu, Ki Wiratuhu selalu berusaha untuk memancarkan pantulan cahaya matahari di daun pisau belatinya ke mata Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Lurah Agung Sedayu memang mengalami kesulitan. Meskipun ia berada di bawah bayangan rimbunnya pohon preh, tetapi Ki Wiratuhu yang tetap berdiri di bawah sinar matahari masih juga mampu menyinarkan pantulan cahaya yang menusuk ke mata Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara Ki Lurah mengalami kesulitan untuk memperhatikan lawannya, maka Ki Wiratuhu pun segera meloncat menyerang ke arah dada.

Tetapi dengan kecepatan gerak yang tinggi, dilambari dengan ilmu meringankan tubuhnya, maka Ki Lurah masih sempat menghindar. Tetapi demikian serangannya gagal, maka Ki Wiratuhu pun segera meloncat kembali ke bawah cahaya sinar matahari.

Pisau belatinya segera bermain lagi meluncurkan pantulan sinar matahari yang sangat menyilaukan.

Akhirnya, Ki Lurah Agung Sedayu pun berusaha untuk menemukan cara agar ia dapat mengatasinya.

Dalam pada itu, selagi Ki Wiratuhu itu memancarkan sinar pantulan dari cahaya matahari ke mata Ki Lurah, Ki Wiratuhu itu terkejut. Tiba-tiba saja dilihatnya di bawah pohon itu tiga sosok Ki Lurah Agung Sedayu.

Dengan garangnya ketiga orang sosok Ki Lurah Agung Sedayu itu pun kemudian menyerang Ki Wiratuhu dari tiga arah.

Sebenarnyalah Ki Wiratuhu menjadi bingung. Yang manakah sosok Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.

“Gila orang itu,” geram Ki Wiratuhu, “ia memiliki Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari yang membingungkan”

Pada saat ketajaman penglihatan batin Ki Wiratuhu masih belum menemukan sosok Ki Agung Sedayu yang sebenarnya, serangan Ki Lurah Agung Sedayu telah mengenainya, sehingga Ki Wiratuhu itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Ki Wiratuhu pun menjadi terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terlentang.

Namun dengan cepatnya Ki Wiratuhu itu melenting bangkit. Tetapi ketiga sosok Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menjadi semakin membingungkannya. Setiap kali Ki Wiratuhu berusaha melihat dengan ketajaman penglihatan batinnya, maka Ki Lurah Agung Sedayu menyerangnya dengan kecepatan yang tinggi, sehingga Ki Wiratuhu tidak mempunyai cukup waktu.

Akhirnya Ki Wiratuhu pun menyadari, bahwa dengan pisau belatinya yang jarang ada duanya itu, ia tidak akan dapat menyelesaikan pertempuran. Karena itu, maka Ki Wiratuhu pun memutuskan untuk mengadu puncak dari kemampuannya.

Untuk dapat memilih sasaran yang sebenarnya, maka Ki Wiratuhu itu pun segera meloncat mengambil jarak. Ia memerlukan waktu beberapa saat untuk dengan penglihatan batinnya menemukan Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.

Sebenarnyalah bahwa beberapa saat kemudian, Ki Wiratuhu pun telah meloncat mengambil jarak yang cukup. Ki Lurah Agung Sedayu tidak memburunya. Panggraitanya sudah mengatakan bahwa Ki Wiratuhu akan sampai kepada puncak dari segala ilmunya.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian Ki Wiratuhu pun telah memusatkan nalar budinya, mengerahkan segenap kemampuannya pada ilmu puncak. Ditakupkannya kedua tangannya. Sejenak kedua telapak tangan itu pun digosokannya. Asap tipis pun mengepul dari sela-sela kedua telapak tangannya yang menelakup itu.

Namun, tiba-tiba saja Ki Wiratuhu pun menghentakkan kedua tangannya mengarah kepada sosok Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.

Namun pada saat yang bersamaan, Ki Lurah pun telah melepaskan ilmu puncaknya pula. Dari kedua belah matanya, telah memancar puncak segala ilmunya. Seleret sinar telah meluncur dari kedua belah matanya itu.

Dengan demikian, maka dua puncak ilmu yang tinggi telah meluncur dari kedua orang yang sedang bertempur itu. Dua puncak ilmu yang jarang ada duanya.

Sejenak kemudian, kedua puncak ilmu itu pun telah saling berbenturan. Getar gelombang ilmu yang jarang ada bandingnya itu pun telah mengguncang udara di sekitarnya, sehingga di padang perdu itu pun seakan-akan telah terjadi gempa. Pepohonan bergoyang serta dahan dan ranting-rantingnya bergetar, sehingga dedaunan yang kuning pun telah berguguran runtuh jatuh di tanah.

Jantung mereka yang bertempur di padang perdu itu pun berguncang pula. Darah pun seakan-akan telah berhenti mengalir di setiap tubuh.

Pertempuran di padang perdu itu pun seakan-akan telah terhenti beberapa saat ketika benturan kedua ilmu puncak dari kedua orang berilmu tinggi itu terjadi.

Namun ternyata bahwa kekuatan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu masih selapis lebih tinggi dari ilmu Ki Wiratuhu, sehingga dalam benturan ilmu yang menentukan itu, Ki Wiratuhu telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting jatuh di tanah.

Sementara itu, pertahanan Ki Lurah Agung Sedayu pun telah terguncang pula beberapa langkah surut. Tetapi Ki Lurah masih tetap tegak berdiri meskipun terasa tusukan yang pedih menyengat dadanya.

Beberapa orang pasukan Ki Wiratuhu pun berlari menghampiri tubuh Ki Wiratuhu yang terkapar. Namun demikian mereka menemukan tubuh itu sudah tidak berdaya, maka mereka pun telah menjadi berputus-asa.

Tetapi tumpahan perasaan putus asa itu ternyata berbeda-beda. Beberapa orang yang memiliki kesetiaan yang sangat tinggi, segera mengamuk tanpa menghiraukan lagi keselamatan diri. Mereka sengaja untuk ikut menantang maut di medan perang yang sudah menjadi tidak seimbang lagi itu.

Dengan demikian, maka mereka bertempur dengan membabi buta. Ketika seorang pemimpin kelompok prajurit Mataram meminta mereka menyerah, mereka sama sekali tidak mau mendengarkan. Karena pemimpin mereka yang sangat mereka hormati telah mati, maka mereka pun memilih mati di pertempuran itu pula.

Namun sekelompok yang lain, yang juga menjadi berputus-asa, memilih jalan yang lain. Mereka memilih untuk melemparkan senjata mereka sebagai pernyataan bahwa mereka telah menyerah.

Tetapi masih ada sekelompok yang lain, yang memilih caranya sendiri. Mereka berusaha untuk melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka justru memanfaatkan kawan-kawan mereka yang mengamuk menantang kematian di peperangan untuk berlindung.

Ternyata ada juga sekelompok orang yang berhasil melarikan diri, melintasi padang perdu masuk ke dalam hutan, dan yang lain melarikan diri ke arah pategalan.

“Mereka akan menjadi peletik api yang dapat membakar jantung Ki Saba Lintang,” desis seorang lurah prajurit.

Tetapi para prajurit Mataram itu ternyata tidak mampu menangkap sebagian dari mereka yang melarikan diri dengan berpencar ke segala arah, sementara yang lain masih harus menghadapi para pengikut setia Ki Wiratuhu yang mengamuk seperti seekor harimau yang terluka.

Ketika kemudian pertempuran itu berakhir, maka sebagian dari mereka yang mengaku murid Kedung Jati itu pun telah menjadi tawanan, sebagaimana orang-orang yang bersarang di ujung hutan.

Ki Lurah Agung Sedayu sendiri, dalam waktu yang singkat telah berhasil memperbaiki keadaannya. Ia telah berhasil mengatasi rasa sakit di dadanya dalam benturan ilmu yang terjadi. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya pula, sehingga benturan itu tidak mengakibatkan luka yang parah di dadanya.

Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu telah benar-benar berhenti. Ki Lurah Agung Sedayu lewat para pemimpin kelompok segera memerintahkan untuk mengumpulkan para prajurit yang terluka serta mereka yang gugur di pertempuran itu. Selain mereka, maka sebagian dari para prajurit pun telah diperintahkan untuk mengawasi para tawanan yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh.

Ternyata korban di antara para pengikut Ki Saba Lintang itu terhitung besar. Mereka yang dalam keadaan putus-asa bertempur membabi buta, sebagian memang harus mengakhiri hidupnya. Tetapi ada di antara mereka yang terluka parah, tetapi masih tetap hidup.

Seorang yang tertusuk tombak pendek di lambungnya, masih berteriak-teriak, “Bunuh aku! Bunuh aku! Biarlah aku mati bersama Ki Wiratuhu.”

“Apa yang kau harapkan dari kematian itu?” bertanya seorang prajurit.

“Aku adalah seorang murid yang setia. Ki Wiratuhu adalah guruku.”

“Apakah tidak ada cara lain untuk menunjukkan kesetiaan kepada seseorang?”

“Jika guru terbunuh di peperangan, maka tidak ada kesetiaan yang lebih tinggi nilainya daripada ikut mati pula di peperangan itu.”

“Kau salah mengartikan kesetiaan itu, Ki Sanak.”

“Jangan mempengaruhi perasaanku seperti iblis.”

“Aku tidak ingin mempengaruhi perasaanmu. Tetapi jika kau memang setia kepada gurumu, kenapa kau tidak justru berusaha untuk tetap hidup, agar kau dapat membalaskan dendam atas kematiannya? Atau dengan cara yang lebih baik. Misalnya berbuat kebaikan untuk menebus citra yang buruk dari gurumu. Jika muridnya berbuat baik, maka citra gurunya akan terangkat.”

“Persetan kau, iblis buruk!” teriak orang itu, “Bunuh aku! Jangan banyak bicara lagi.”

Prajurit Mataram itu tidak mendengarkan lagi. Ia pun segera beranjak meninggalkan tawanan yang masih saja berteriak-teriak itu. Tetapi tidak ada seoiangpun yang bersedia membunuhnya.

Dalam pada itu, para prajurit Mataram serta para tawanan pun kemudian menjadi sibuk menguburkan para pengikut Ki Saba Lintang yang terbunuh. Sedangkan para prajurit Mataram yang gugur, menurut keputusan Ki Lurah Agung Sedayu, akan dibawa kembali ke Tanah Perdikan Menoreh yang sudah tidak terlalu jauh lagi.

“Kita akan melanjutkan perjalanan setelah kita selesai di sini,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Tubuh para prajurit yang gugur akan kita bawa kembali ke Tanah Perdikan. Kita akan memakamkan mereka di Tanah Perdikan. Malam ini kita tentu sudah akan sampai di Tanah Perdikan.”

Para prajurit pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu Ki Jayaraga bertanya perlahan-lahan kepada Nyi Lurah, “Bagaimana keadaan Nyi Lurah?”

“Tidak apa-apa, Ki Jayaraga. Aku dapat melanjutkan perjalanan sampai ke Tanah Perdikan.”

“Jika keadaan Nyi Lurah tidak memungkinkan, aku akan berkata kepada Ki Lurah.”

“Aku tidak apa-apa, Ki Jayaraga. Kakang Agung Sedayu sudah mengambil keputusan. Agaknya serangan para pengikut Ki Saba Lintang telah membuat perasaan kakang Agung Sedayu bergejolak. Karena itu, jangan dihambat. Dalam keadaan demikian, biasanya Kakang Agung Sedayu sulit mendengarkan pendapat orang lain.”

Ki Jayaraga menarik napas panjang. Glagah Putih pun agaknya juga terluka di dalam. Tetapi nampaknya tidak terlalu mengganggunya.

Namun tidak seorangpun yang berusaha untuk mengusulkan agar perjalanan kembali ke Tanah Perdikan ditunda. Sehingga karena itu, setelah segala sesuatunya siap, maka Ki Lurah pun telah menjatuhkan perintah untuk segera berangkat.

Para tawanan, baik mereka yang tertawan di ujung hutan maupun para pengikut Ki Saba Lintang, berjalan beriring dalam keadaan terikat.

Di bagian depan iring-iringan itu terdapat beberapa sosok mayat para prajurit yang gugur. Kemudian mereka yang terluka parah, yang harus dipapah karena tidak mampu berjalan sendiri.

Demikian mereka berangkat, maka langit pun menjadi muram. Beberapa orang prajurit telah menyalakan oncor untuk menerangi jalan sempit yang mereka lalui. Bahkan jalan yang tidak rata. Jalan yang memasuki daerah pegunungan yang kadang-kadang naik, namun kadang-kadang menurun.

Dengan demikian, maka perjalanan iring-iringan itu menjadi lambat. Namun jalan yang lambat itu memberi kesempatan kepada mereka yang letih atau terluka untuk sekali-sekali berhenti sejenak di pinggir jalan.

Nyi Lurah Agung Sedayu memang tidak dapat berjalan terlalu cepat. Keadaan Nyi Lurah itu disadari oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi sebagai seorang senapati perang, Ki Lurah melihat keadaan bahwa pasukannya itu lebih baik berjalan terus. Sebelum tengah malam mereka sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan langsung pergi ke barak. Menyerahkan para tawanan kepada para prajurit yang berada di barak. Selanjutnya prajurit yang letih dan terluka itu langsung dapat beristirahat dan mendapat pengobatan terbaik.

Setiap kali Ki Lurah itu pun bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Mirah?”

“Aku tidak apa-apa, Kakang.”

“Kau nampak terlalu letih.”

“Aku memang letih. Tetapi perjalanan yang lambat ini tidak terlalu membuat bertambah letih.”

“Bagaimana dengan lukamu?”

“Aku sudah minum obat yang untuk sementara dapat membantu ketahanan tubuhku. Aku tidak apa-apa, Kakang.”

Demikianlah, iring-iringan itu bergerak terus. Oncor pun semakin banyak dinyalakan.

Pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu pun maju dengan lambat. Selain mereka harus mengusung beberapa sosok mayat dan beberapa orang yang terluka parah, para prajurit itu pun nampak letih. Apalagi para tawanan yang tangannya terikat, terutama para pengikut Ki Saba Lintang. Bahkan di antara mereka masih juga harus memapah kawan-kawan mereka yang terluka parah.

Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka di tengah malam, iring-iringan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus serta para tawanannya itu pun telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Namun bukan berarti bahwa mereka telah sampai di barak Pasukan Khsusus.

Untuk sampai ke barak. iring-iringan itu masih harus berjalan beberapa lama, memasuki dini hari yang dingin.

Namun rasa-rasanya mereka sudah berada di rumah sendiri. Padukuhan yang paling ujung mereka lalui pun, telah menyambut mereka, karena para peronda yang melihat iring-iringan itu lewat, telah menjadi ribut. Bahkan ada di antara mereka yang membangunkan orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah gardu perondaan.

Namun sambutan itu seakan-akan telah mengurangi perasaan letih para prajurit itu.

Demikianlah, iring-iringan itu berjalan terus menyusuri jalan-jalan bulak dan sekali-sekali menembus padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi iring-iringan itu tidak menuju ke padukuhan induk. Tetapi iring-iringan itu menuju ke barak Pasukan Khusus.

Namun demikian, padukuhan-padukuhan yang dilewati oleh iring-iringan itu pun bagaikan telah terbangun. Beberapa orang telah turun ke jalan dan saling berbincang tentang iring-iringan prajurit yang lewat.

“Mereka membawa beberapa sosok tubuh para prajurit yang gugur di pertempuran,” berkata seseorang.

“Ya. Yang lain memapah para prajurit yang terluka.”

“Tetapi mereka bukan iring-iringan prajurit yang kalah perang. Mereka membawa banyak tawanan yang terikat.”

“Ya. Mereka memenangkan perang itu. Tetapi pasukan prajurit itu pun mengalami keadaan yang cukup parah.”

Seorang yang lain pun berkata, “Kenapa mereka tidak mau berhenti dan beristirahat di banjar? Atau di padukuhan induk?”

“Agaknya mereka ingin segera berada di barak. Para tawanan itu harus mendapat pengawasan yang sebaik-baiknya. Sementara itu, keadaan pasukan itu sendiri nampaknya sangat letih.”

“Kalau saja mereka mau berhenti, maka kita akan dapat membuat minuman hangat bagi mereka.”

Tetapi pasukan yang luka itu berjalan terus. Setiap kali mereka memasuki gerbang padukuhan, maka beberapa saat kemudian mereka pun telah keluar dari pintu gerbang yang lain.

Di dini hari yang dingin, maka iring-iringan itu pun sampai di depan pintu gerbang barak prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Para prajurit yang berada di barak itu pun segera terbangun. Mereka menyambut kedatangan Ki Lurah Agung Sedayu serta pasukannya yang terluka. Namun mereka pun membawa dua kelompok tawanan dari dua pasukan yang berbeda.

Ki Lurah Agung Sedayu pun segera menyerahkan para tawanan itu kepada para prajurit di barak. Demikian pula sosok tubuh para prajurit yang gugur, serta yang terluka.

Demikian penyerahan itu diterima oleh prajurit yang bertugas malam itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun mempersilahkan para prajurit yang letih itu untuk beristirahat.

Sementara itu, para petugas di dapur pun telah dibangunkan pula untuk menyediakan minuman panas serta makan bagi para prajurit yang baru pulang dalam keadaan letih, haus dan lapar.

Selain kesibukan di barak itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menghubungi keluarga mereka yang gugur. Baik yang gugur di ujung hutan, maupun yang gugur melawan mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati.

Sejenak kemudian, di gelapnya ujung malam, beberapa orang prajurit berkuda memacu kudanya meninggalkan barak prajurit dari Pasukan Khusus itu.

Tetapi bagi keluarga mereka yang tinggal di tempat yang jauh sekali, sehingga tidak mungkin hadir pada pemakaman prajurit yang gugur itu, terpaksa tidak dapat ditunggu. Jika waktunya untuk memakamkan mereka tiba, maka para prajurit yang gugur itu akan diberangkatkan dari barak Pasukan Khusus itu.

Ketika fajar menyingsing, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menghadap Ki Gede Menoreh, untuk melaporkan kejadian-kejadian sepanjang perjalanan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.

“Bagaimana dengan keadaanmu?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu, “Apakah kau masih merasa sakit?”

“Tidak, Kakang. Tidak apa-apa. Aku sudah baik.”

“Pergilah berkuda. Selain lebih cepat, kau tidak perlu berjalan sampai ke padukuhan induk.”

“Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih pun segera pergi ke padukuhan induk. Sementara itu, Ki Jayaraga minta agar Sekar Mirah benar-benar beristirahat.

Dengan demikian, bukan saja para prajurit dari Pasukan Khusus itu saja yang menjadi sibuk. Tetapi orang-orang Tanah Perdikan pun menjadi sibuk pula. Ada di antara prajurit dari Pasukan Khusus yang gugur, adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.

Ketika matahari naik, maka Ki Gede Menoreh, Ki Ragajaya dan Prastawa serta beberapa orang telah berada di barak para prajurit. Mereka menyatakan ikut berduka atas gugurnya beberapa orang prajurit terbaik di barak itu.

“Tidak semua yang gugur dapat kami bawa pulang, Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “mereka yang gugur di Kademangan Prancak, terpaksa kami makamkan di Prancak, karena terlalu jauh untuk membawa mereka pulang. Bahkan diperlukan lebih dari satu hari satu malam di perjalanan.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia dapat merasakan betapa berat tugas yang baru saja diselesaikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu bersama para prajuritnya.

Masih nampak pada para prajurit yang baru saja kembali dari bertugas, meskipun mereka sudah sempat beristirahat beberapa saat, kelelahan yang masih membekas.

Demikianlah, ketika matahari mulai turun di sisi barat langit, maka upacara pemakaman para prajurit yang gugur itu pun telah diselenggarakan. Mereka dimakamkan di pemakaman bagi para prajurit di Tanah Perdikan, bersebelahan dengan makam keluarga para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata upacara itu tidak hanya dihadiri oleh para prajurit dan keluarga mereka yang gugur, tetapi sebagian rakyat Tanah Perdikan Menoreh, terutama dari padukuhan-padukuhan terdekat telah ikut pula memberikan penghormatan terakhir.

Demikian upacara pemakaman itu selesai, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah ditunggu oleh tugas yang lain. Ia harus segera pergi ke Mataram untuk memberikan laporan tentang pelawatan pasukannya ke Prancak. Namun ternyata ada hal yang lebih penting yang harus dilaporkannya. Ternyata bahwa pasukannya telah mendapat serangan dari pasukan yang mengaku terdiri dari murid-murid Perguruan Kedung Jati.

Tetapi, Ki Lurah Agung Sedayu belum akan berangkat hari itu juga. Di malam hari ia masih akan berbicara dengan satu dua orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu, untuk melengkapi laporan yang akan dibawanya ke Mataram esok pagi.

Karena itulah, maka malam itu Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga masih berada di barak. Ki Lurah Agung Sedayu akan membawa Glagah Putih untuk ikut mendengarkan pembicaraannya dengan satu dua orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu, di samping dua orang pembantu dekatnya di barak Pasukan Khusus itu.

Namun, Ki Lurah Agung Sedayu telah menemui Nyi Lurah yang berbaring di sebuah bilik yang khusus di barak para prajurit itu. Justru karena Nyi Lurah itu adalah salah seorang yang mewarisi salah satu tongkat baja putih dari Perguruan Kedung Jati itu.

“Apakah keadaanmu memungkinkan bagimu untuk ikut dalam pembicaraan dengan orang-orang yang berhasil kita tangkap itu Mirah?” bertanya Ki Lurah.

“Tentu, Kakang. Keadaanku sudah menjadi semakin baik. Aku telah minum obat yang lebih baik, sehingga keadaanku pun telah menjadi jauh lebih baik pula.”

“Malam ini aku akan berbicara dengan satu dua dari antara mereka, Mirah. Mudah-mudahan pembicaraan iru dapat menambah bahan laporanku besok.”

“Kakang akan pergi ke Mataram besok?”

“Ya. Aku harus memberikan laporan segera. Aku akan menunggu perintah, apa yang harus aku lakukan terhadap Perguruan Kedung Jati itu.”

“Kakang, aku siap untuk ikut berbicara dengan mereka nanti malam, Kakang.”

Tetapi ketika Sekar Mirah akan bangkit, Ki Lurah Agung Sedayu itu pun berkata, “Berbaring sajalah dahulu sampai nanti malam. Kau masih mempunyai waktu untuk beristirahat sebaik-baiknya beberapa saat. Apakah sore ini kau sudah minum obat yang disediakan oleh Ki Jayaraga?”

“Sudah, Kakang. Karena itu, maka keadaanku sudah menjadi semakin baik sekarang.”

“Tetapi kau dapat memanfaatkan waktumu sampai malam nanti untuk beristirahat, sehingga keadaanmu malam nanti menjadi semakin baik.”

“Ya, Kakang.”

Ki Lurah pun kemudian meninggalkan bilik itu untuk menemui Glagah Putih.

“Biarlah malam nanti Rara Wulan ikut serta dalam pembicaraan itu, menemani Mbokayumu Sekar Mirah.”

“Baik, Kakang,” sahut Glagah Putih.

Demikianlah, ketika malam turun, maka Ki Lurah Agung Sedayu beserta dua orang pembantunya yang terdekat telah berada di sebuah ruangan yang khusus, bersama Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.

Beberapa saat kemudian, beberapa orang prajurit membawa tiga orang tawanan dari antara mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu masuk. Mereka adalah tiga orang yang dianggap mengetahui lebih banyak tentang perguruannya daripada tawanan yang lain.

Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka memasuki bilik itu. Apalagi ketika mereka melihat Nyi Lurah Agung Sedayu duduk di sebelah Ki Lurah. Di pangkuannya tergolek tongkat baja putih, ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.

“Duduklah,” berkata Ki Lurah, yang kemudian memberi isyarat kepada para prajurit yang membawa para tawanan itu masuk, untuk meninggalkan ruangan itu.

Ketiga orang itu pun kemudian duduk di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah. Di sebelah-menyebelah, mereka melihat dua orang prajurit di satu sisi, sedangkan di sisi lain mereka melihat sepasang suami istri yang ikut dalam pertempuran di padang perdu itu.

“Apakah benar kalian adalah murid-murid dari Perguruan Kedung Jati?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ya, Ki Lurah,” jawab mereka hampir berbareng.

“Kau tahu pertanda kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati itu?”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian seorang di antara mereka menyahut, “Ya, Ki Lurah.”

“Apa?”

“Tongkat baja putih.”

“Kau lihat apa yang berada di pangkuan Nyi Lurah itu?”

Ketiga orang itu saling berpandangan.

“Jawab pertanyaanku,” desak Ki Lurah Agung Sedayu.

“Yang berada di pangkuan Nyi Lurah itu adalah salah satu dari tongkat baja putih itu.”

“Kau tahu artinya?”

Orang itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak, Ki Lurah.”

“Kalian memang bodoh. Pertanda itu menyatakan bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu adalah salah seorang pemimpin yang sah dari Perguruan Kedung Jati itu.”

“Tetapi….” kata-kata orang itu terputus.

“Tetapi apa?”

Orang-orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja seorang yang lain berkata, “Menurut para pemimpin Perguruan Kedung Jati, Nyi Lurah memang memiliki satu dari pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Tetapi Nyi Lurah ternyata tidak setia kepada perguruan kami.”

“Fitnah itu tentu bersumber dari Ki Saba Lintang. Tetapi siapakah yang sebenarnya tidak setia kepada Perguruan Kedung Jati? Ki Saba Lintang telah merusak citra dari Perguruan Kedung Jati. Sebenarnya Perguruan Kedung Jati adalah sebuah perguruan yang besar dan mempunyai citra yang baik pada masanya. Jika ada beberapa orang di antara pemimpinnya yang terlibat dalam perlawanan Pangeran Arya Penangsang terhadap Pajang pada waktu itu, sama sekali tidak membuat Perguruan Kedung Jati cacat. Karena apa yang mereka lakukan itu tidak ada hubungannya dengan Perguruan Kedung Jati secara langsung. Mereka terlibat karena mereka memang pemimpin dan Senapati Jipang. Adalah wajar jika mereka berpihak kepada Pangeran Arya Penangsang.” Ki Lurah itu pun terdiam sejenak. Kemudian katanya pula, “Tetapi sekarang, apa yang dilakukan oleh Ki Saba Lintang? Ki Saba Lintang telah menghimpun banyak orang untuk bersedia disebut murid-murid Perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka sama sekali tidak mengenal unsur-unsur gerak aliran Perguruan Kedung Jati.”

“Itu tidak benar, Ki Lurah.”

“Tidak benar? Jadi kau menyangkalnya?”

“Kami memang murid Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah kalian benar-benar menguasai ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati itu?”

“Tentu.”

“Jika demikian, baiklah kita lihat, apakah yang kau katakan itu benar.”

“Maksud Ki Lurah?”

“Di ruang ini ada dua orang murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka tahu pasti bahwa Nyi Lurah tentu menguasai benar ilmu kanuragan aliran Perguruan Kedung Jati. Tetapi siapa yang seorang lagi?

“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah, “jika benar kalian murid Perguruan Kedung Jati, maka biarlah kami melihat, apakah kalian memiliki unsur-unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

Ketiga orang itu pun tergagap. Seorang di antara mereka pun berkata, “Kami memang murid dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi kami baru menyatakan niat kami. Menurut para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati, siapa yang berniat, maka ia sudah dianggap murid dari Perguruan Kedung Jati. Nanti, pada saatnya, kami akan mendalami ajaran-ajaran ilmu kanuragan dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

“Nah, kau lihat? Bukankah ada kejanggalan dari sikap para pemimpin Perguruan Kedung Jati? Kau pun sebenarnya tahu, bahwa para pemimpin Perguruan Kedung Jati yang sekarang bukan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

Ketiga orang itu pun termangu-mangu.

“Perhatikan para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang sekarang,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “mereka sama sekali tidak menguasai ajaran-ajaran dari Perguruan Kedung Jati. Perhatikan pula, siapa saja yang telah bergabung dengan Perguruan Kedung Jati. Bahkan siapa saja yang telah diseret masuk ke dalam lingkungan Perguruan Kedung Jati.”

Ketiga orang itu pun terdiam.

“Aku tidak tahu, kalian bertiga itu berasal dari mana. Tetapi bukankah yang sekarang berada di dalam lingkungan Perguruan Kedung Jati itu terdiri pula dari gerombolan-gerombolan penjahat, gerombolan-gerombolan perampok, yang bahkan nama pemimpinnya sudah banyak dikenal sebagai seorang gegedug yang ditakuti?”

Ketiga orang itu masih saja berdiam diri.

“Aku tidak menyangkal bahwa ada di antara para pemimpin dan orang-orang yang menyebut dirinya murid dari Perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang bercita-cita. Orang yang benar-benar mengharap lahirnya satu perguruan yang besar dan berpengaruh di dunia olah kanuragan. Tetapi sebagian yang lain adalah petualang-petualang yang hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.”

Ketiga orang itu hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Mereka melihat kebenaran dari pernyataan Ki Lurah Agung Sedayu itu. Ada di antara kawan-kawan mereka yang berasal dari gerombolan-gerombolan penjahat. Meskipun mereka telah berjanji untuk tunduk kepada semua tatanan dan paugeran di dalam lingkungan Perguruan Kedung Jati, namun tingkah laku mereka masih pantas untuk dicurigai.

“Nah, kami ingin tahu, apakah kalian bertiga berasal dari padepokan, perguruan atau gerombolan yang sama?”

“Kami berdua berasal dari perguruan yang sama Ki Lurah. Tetapi saudara kami yang seorang ini berasal dari padepokan yang berbeda.”

“Kalian berdua berasal dari perguruan mana?”

“Kami berasal dari Perguruan Jung Wangi.”

“Yang seorang?”

Kedua orang yang berasal dari perguruan Jung Wangi itu pun berpaling kepada seorang kawannya. Seorang di antara mereka pun berkata, “Kau sendiri-lah yang menjawabnya.”

Orang itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku memang berasal dan gerombolan yang namanya sudah cacat. Aku berasal dari gerombolan yang dipimpin oleh Ki Singa Mantep. Gerombolan yang bergerak di sekitar daerah Purwadadi, Wirasari, Kradenan dan sekitarnya. Tetapi akhirnya Ki Singa Mantep telah ditemui oleh utusan Ki Saba Lintang, yang memberikan beberapa kemungkinan tetapi juga ancaman, sehingga akhirnya Ki Singa Mantep bersedia bergabung dengan Perguruan Kedung Jati.”

“Nah, itulah yang terjadi. Dengan demikian, apakah kalian masih juga percaya akan kebesaran nama Perguruan Kedung Jati, yang sekarang berada di bawah pimpinan Ki Saba Lintang?”

Ketiga orang itu tidak menjawab.

“Kalian dapat membayangkan, bagaimana Perguruan Kedung Jati yang dikatakan besar dan tersebar bertumpang tindih dengan kebesaran Mataram itu terbentuk. Apakah sebuah perguruan yang demikian itu dapat dikatakan besar serta luluh menyatu?”

Ketiga orang itu masih saja berdiam diri.

“Sekarang, dengarlah pertanyaanku. Apakah kalian bertiga masih tetap setia kepada sebuah perguruan yang ikatannya rapuh, seperti Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu?”

Mereka bertiga masih saja belum ada yang menjawab.

“Kalian memang tidak mempunyai kesempatan untuk memilih serta berbuat apa-apa lagi, karena kalian sekarang adalah tawanan prajurit Mataram. Dalam dua atau tiga hari lagi, kalian akan kami bawa ke Mataram untuk diadili.”

Ketiga orang itu pun menundukkan kepalanya semakin dalam. Sementara Ki Lurah berkata selanjutnya, “Meskipun demikian, karena aku dan Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan ini yang telah menangkap kalian, maka suara kami tentu akan didengar oleh para pemimpin di Mataram.”

Jantung ketiga orang itu rasa-rasanya berdebar semakin cepat di dada mereka.

“Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada kalian bertiga. Apakah kalian bertiga bersedia bekerja sama dengan kami atau tidak.”

Sejenak, ketiga orang itu mengangkat wajahnya memandang Ki Lurah sejenak. Seorang di antara mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Kerja sama yang bagaimanakah yang Ki Lurah maksudkan itu?”

Ki Lurah menarik nafas panjang. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Kemudian ia pun berkata, “Aku memerlukan beberapa keterangan, Ki Sanak. Mungkin Ki Sanak dapat menjawab beberapa pertanyaanku itu. Aku tahu, bahwa mungkin Ki Sanak adalah murid yang setia dari Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, atau bahkan kalian adalah pengikut Ki Saba Lintang pribadi yang setia. Tetapi keadaan Ki Sanak bertiga kali ini memang agak kurang menguntungkan bagi Ki Sanak.”

Ketiga orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan tulang-tulang iganya pun rasa-rasanya ikut berdegup di dada mereka yang sesak.

“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “mungkin Ki Sanak dapat menjawab beberapa pertanyaanku.”

Wajah ketiga orang itu menjadi pucat. Mereka sudah membayangkan apa saja yang dapat terjadi atas diri mereka, jika mereka tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ki Lurah. Bahkan jawaban-jawaban yang mereka katakan dengan jujur pun, tetap saja tidak dipercaya, sehingga orang-orang yang berada di dalam bilik itu dapat memperlakukan mereka dengan sekehendak hati mereka.

Karena itu, ketika kemudian Ki Lurah Agung Sedayu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka, maka rasa-rasanya suara Ki Lurah itu bagaikan guntur yang menghentak dada mereka.

“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “atas nama Mataram aku bertanya, dimanakah sarang yang dipergunakan sebagai alas gerakan Ki Saba Lintang? Jelasnya, dimanakah padepokan induk dari Perguruan Kedung Jati itu?”

Suara Ki Lurah itu terdengar seperti gemuruh menyusup ke telinga mereka, kemudian melingkar-lingkar di rongga dada.

“Di mana?” desak Ki Lurah Agung Sedayu.

Meskipun jantung mereka terasa berdegub semakin keras, namun darah mereka pun serasa berhenti mengalir.

“Apakah tidak ada di antara kalian bertiga yang akan menjawab?”

Ketiga orang itu pun justru bagaikan membeku.

“Baik. Jika tidak seorangpun di antara kalian yang menjawab, maka kalian adalah orang-orang yang tidak berguna. Aku dapat memperlakukan kalian sekehendak hatiku. Kalian adalah tawanan yang sama sekali tidak berharga.”

Kegelisahan telah mencengkam seisi dada mereka. Apalagi ketika Ki Lurah Agung Sedayu beringsut setapak maju sambil berkata, “Jika demikian, maka aku akan melemparkan kalian ke lubang sampah. Tetapi nampaknya kalian adalah mainan yang mengasyikkan. Sudah aku katakan, bahwa di sini ada dua orang yang menguasai ilmu kanuragan dari aliran Perguruan Kedung Jati. Aku ingin melihat apa yang dapat kalian lakukan terhadap murid-murid Perguruan Kedung Jati yang sebenarnya.”

Keringat dingin pun telah membasahi pakaian ketiga orang itu. Sementara Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata. “Rara Wulan. Kau memiliki ilmu kanuragan dari aliran Perguruan Kedung Jati. Nah, kau akan berhadapan dengan seorang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Perlihatkan kepada mereka, ilmu kanuragan dari aliran Perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Kau dapat memperlakukan apa saja terhadap mereka, asal kau tidak membunuhnya. Kematian adalah hukuman yang terlalu ringan bagi mereka.”

“Ki Lurah,” desis seorang di antara mereka, “jangan perlakukan kami dengan cara seperti itu.”

“Bagaimana kami harus memperlakukan kalian? Kalian adalah orang-orang yang tidak berguna. Karena itu, kami dapat memperlakukan kalian sekehendak hati kami.”

“Jangan, Ki Lurah.”

“Salah seorang di antara kalian bangkit berdiri. Kalian akan bertarung dengan Rara Wulan. Jangan takut, pertarungan itu tidak akan membawa maut. Meskipun demikian, mungkin kalian akan dapat menjadi cacat untuk seumur hidup kalian. Itu belum termasuk hukuman yang akan kalian terima sebagai pemberontak, setelah kalian berada di Mataram.”

“Jangan, Ki Lurah. Kami sudah pasrah. Kami tidak akan melawan lagi. Tetapi jangan perlakukan kami seperti itu.”

“Sekehendakku. Bukankah kalian orang-orang yang tidak berguna sama sekali?”

“Tetapi…”

“Tidak ada tetapi. Nah, Rara Wulan. Jika mereka tidak ada yang menyatakan diri untuk melawanmu, maka biarlah kau saja yang memilih. Seperti yang aku katakan, perlakukan mereka sekehendak hatimu, asal kau tidak membunuhnya.”

“Jangan, Ki Lurah. Biarlah aku mengatakan. Tetapi tentu saja sebatas yang aku ketahui,” sahut salah seorang di antara mereka.

Ki Lurah Agung Sedayu pun menarik nafas panjang. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Katakan, dimana sarang yang dipergunakan sabagai landasan gerakan Ki Saba Lintang?”

“Ki Lurah, sebenarnya aku tidak tahu dimana letak padepokan induk dari Perguruan Kedung Jati. Yang aku ketahui adalah sebuah padepokan yang dihuni oleh sebagian murid dari Perguruan Kedung Jati, yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu.”

“Apakah Ki Wiratuhu juga berasal dari Perguruan Jung Wangi, atau perguruan yang dipimpin oleh Ki Singa Mantep?”

“Tidak. Ki Wiratuhu berasal dari perguruan lain. Aku tidak tahu Ki Wiratuhu itu berasal dari mana. Tetapi di sarang yang baru, kami berada dibawah pimpinan Ki Wiratuhu.”

“Dimana letak sarang yang kau maksud?”

“Kami berada di padepokan Naga Tapa. Agaknya padepokan itu semula adalah padepokan yang memang dipimpin oleh Ki Wiratuhu.”

“Dimana letak padepokan itu?”

“Di hutan Ketawang.”

“Di hutan ketawang?”

“Ya, Ki Lurah.”

“Apakah Ki Saba Lintang juga sering berada di padepokan Naga Tapa?”

“Kadang-kadang. Tetapi tidak terlalu sering.”

“Terima kasih. Sekarang katakan, padepokan induk dari Perguruan Kedung Jati.”

“Aku tidak tahu, Ki Lurah. Aku bersumpah bahwa aku tidak tahu dimana letak padepokan induk Perguruan Kedung Jati. Yang aku tahu adalah padepokan yang aku huni.”

“Jadi kau tidak mau mengatakannya?”

“Bukan tidak mau, Ki Lurah. Tetapi aku benar-benar tidak tahu.”

“Jadi kau ingin memamerkan ilmu kebal yang kau pelajari dari Perguruan Kedung Jati?”

“Tidak. Tidak, Ki Lurah.”

“Lalu apa yang akan kau pamerkan, dengan menolak mengatakan letak padepokan induk Perguruan Kedung Jati itu?”

“Aku tidak menolak, Ki Lurah. Aku bersumpah.”

“Baiklah. Mungkin yang lain bersedia mengatakannya?”

Kedua orang yang lain masih saja terdiam. Mulut mereka bagaikan tersumbat.

Kedua orang yang lain justru menunduk semakin dalam. Mereka tidak berani mengangkat wajah mereka, apalagi memandang wajah Ki Lurah Agung Sedayu.

“Siapa yang akan mengatakannya?” bentak Ki Lurah.

Ketiga orang itu menjadi gemetar. Suara Ki Lurah itu terdengar semakin gemuruh, memukul dinding dada mereka.

“Apakah aku harus memaksa kalian untuk berbicara dengan caraku?”

“Ki Lurah,” seorang di antara mereka pun kemudian berbicara dengan suara gemetar, “kami sebenarnya ingin mengatakannya. Apalagi setelah kami menyadari, untuk apa sebenarnya kami bergabung dengan Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi aku berani bersumpah, bahwa aku memang tidak tahu, dimanakah padepokan induk dari Perguruan Kedung Jati. Jelasnya, dari mana Ki Saba Lintang itu memimpin seluruh pengikutnya yang tersebar sampai kemana-mana.”

“Ada berapa padepokan yang kau ketahui, yang telah berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang? Selain padepokanmu dan padepokan Naga Tapa yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu.”

“Agaknya para pemimpin Perguruan Kedung Jati sengaja menyekat para pengikutnya menjadi bagian-bagian yang tidak saling mengenal.”

“Jika demikian, apakah kalian melihat kejujuran dalam kepemimpinan Ki Saba Lintang?”

“Tidak, Ki Lurah. Tetapi mata kami seakan-akan telah tertutup oleh mimpi-mimpi yang indah, yang dibangun oleh Ki Saba Lintang di angan-angan kami.”

“Jadi kalian bertiga benar-benar tidak tahu, dimana letak padepokan induk sebagai pusat kepemimpinan Ki Saba Lintang?”

“Tidak, Ki Lurah, kami tidak tahu sama sekali. Yang kami ketahui hanyalah padepokan Naga Tapa, dan tentu saja padepokan Jung Wangi. Namun agaknya padepokan Jung Wangi telah di kosongkan, karena kami harus berada di padepokan Naga Tapa.”

“Bagaimana dengan gerombolan yang dipimpin oleh Singa Mantep? Apakah gerombolan itu masih berada di sarang mereka yang lama?”

“Tidak, Ki Lurah,” jawab seorang yang berasal dari gerombolan yang dipimpin oleh Singa Mantep, “agaknya Ki Saba Lintang telah berusaha membaurkan para pengikutnya. Para murid dari sebuah perguruan, telah diletakkan di sebuah padepokan yang lain, dan berada di bawah kepemimpinan orang lain pula. Bukan oleh pemimpin padepokan atau gerombolannya sendiri. Sebagaimana kami harus berada di Perguruan Naga Tapa dan berada di bawah kepemimpinan Ki Wiratuhu.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah kemudian, “sekarang agaknya sudah terlalu malam untuk berbicara lebih panjang. Aku minta malam ini kau mengingat-ingat, apa saja yang kau ketahui tentang Ki Saba Lintang. Besok kita masih akan berbicara. Mungkin tidak cukup satu dua hari. Mungkin tiga hari, dan bahkan mungkin aku akan minta kepada para pemimpin di Mataram agar kalian bertiga ditinggalkan di barak ini, agar kita dapat berbicara kapan saja aku inginkan. Aku yakin bahwa tidak bisa sekali atau dua kali saja memaksa kalian untuk bersedia berbicara, tetapi mungkin sepuluh kali atau dua puluh kali. Tetapi kami akan bersabar. Kami akan melakukannya sampai kapanpun, karena kami memang tidak terlalu banyak mempunyai tugas. Maksudku bukan aku pribadi. Tetapi mungkin para prajurit yang lain, atau bahkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan menempatkan kalian di sebuah banjar padukuhan, untuk memberi kesempatan kepada anak-anak mudanya, terutama para pengawal padukuhan, untuk bertanya kepada kalian, dimana letak padepokan induk Ki Saba Lintang. Jadi, hanya ada satu pertanyaan yang akan diajukan kepada kalian.”

“Jangan, Ki Lurah, jangan perlakukan aku seperti itu. Kenapa Ki Lurah tidak membunuh saja kami bertiga? Agaknya kematian akan lebih baik daripada harus diserahkan ke tangan anak-anak muda Tanah Perdikan.”

“Memang tidak harus begitu. Jika kalian segera berbicara tentang padepokan induk itu, maka segala sesuatunya akan segera selesai.”

“Kami bersumpah dengan cara apapun. Kami tidak tahu, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Namun bagi ketiga orang itu, senyum Ki Lurah bagaikan isyarat bagi mereka, bahwa mereka akan memasuki satu ruas kehidupan yang sangat menyakitkan. Mereka akan dipaksa untuk mengatakan apa mereka memang sebenarnya tidak tahu. Bahkan orang yang bernama Ki Saba Lintang itu pun baru dua tiga kali mereka lihat, tanpa dapat mengenal secara pribadi.

Tetapi seharusnya mereka pun sudah menyadari sejak semula, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi atas diri mereka.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah kemudian, “biarlah para prajurit mengembalikan kalian ke bilik tahanan kalian. Bicaralah dengan kawan-kawan kalian, mungkin ada di antara mereka yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang Ki Saba Lintang, sehingga kami akan dapat berbicara dengan mereka. Atau mereka dapat memberi kalian bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, esok atau lusa, atau sepekan lagi, atau kapanpun jika kami menghendaki.”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi, jantung mereka terasa berdegub semakin keras. Mereka membayangkan hari-hari yang penuh penderitaan yang akan dijalaninya.

Ki Lurah pun kemudian berkata kepada salah seorang pembantunya yang ikut menunggui pembicaraan itu, “Panggil para prajurit. Biarlah mereka dibawa kembali ke bilik tahanan mereka.”

“Baik, Ki Lurah. Jika Ki Lurah memerintahkan kepada kami, maka biarlah kami saja yang besok atau lusa berbicara dengan mereka bertiga, atau mungkin ada orang lain yang perlu diajak berbincang.”

“Kita akan memikirkannya nanti,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “sekarang, biarlah mereka mempersiapkan diri.”

Seorang dari kedua orang prajurit itu pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar pintu.

Sejenak kemudian beberapa orang prajurit dengan tombak pendek di tangan telah datang untuk mengambil dan membawa ketiga orang itu kembali ke bilik tahanannya.

Sepeninggal ketiga orang tawanan itu, maka seorang di antara kedua orang prajurit pembantu Ki Lurah Agung Sedayu itu pun bertanya, “Kita dapat memaksanya berbicara.”

Tetapi Ki Lurah menarik nafas sambil berkata, “Mereka memang tidak tahu apa-apa. Aku percaya bahwa mereka tidak tahu dimanakah Ki Saba Lintang tinggal. Dari manakah Ki Saba Lintang itu mengendalikan orang-orangnya yang tersebar dimana-mana. Bahkan mungkin Ki Saba Lintang itu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu padepokan ke padepokan yang lain.”

“Tetapi tentu ada sekelompok orang pembantu dekatnya, yang setiap saat diajak berbicara tentang rencana-rencananya serta langkah-langkah yang akan diambilnya.”

“Mereka juga berpindah-pindah tempat sebagaimana Ki Saba Lintang. Sedangkan yang lain berada di padepokan-padepokan yang tersebar. Ki Saba Lintang dan beberapa orang terdekatnya-lah yang sering datang mengunjungi mereka, untuk diajak berbicara tentang langkah-langkah yang akan diambil oleh Ki Saba Lintang.”

Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih pun berkata, “Aku memerlukan beberapa keterangan tentang padepokan-padepokan yang dipergunakan oleh Ki Saba Lintang serta para pengikutnya, Kakang. Mungkin pada satu kesempatan aku dan Rara Wulan dapat mengunjungi padepokan itu satu per satu. Jika Ki Saba Lintang mengaku bahwa wilayah kekuasaannya bertumpang tindih dengan wilayah Mataram, maka ia merasa bahwa kekuasaannya akan dapat menyaingi kekuasaan di Mataram.”

“Ya. Tetapi tentu itu hanya omong kosong saja.”

“Aku memang tidak yakin, Kakang. Tetapi aku ingin melihat padepokan-padepokan itu.”

Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, “Ada dua kemungkinan yang dapat kita tempuh, Glagah Putih. Kau dan Rara Wulan pergi melihat-lihat padepokan itu, atau aku siapkan pasukan yang kuat. Pasukan yang akan mendatangi padepokan-padepokan itu. Kita akan menghancurkan padepokan-padepokan yang berkiblat kepada Ki Saba Lintang. Jika kita ingin menebang sebatang pohon raksasa, maka kita akan memotong dahan-dahannya lebih dahulu. Kemudian memotong batangnya. Akhirnya kita gali dan kita cabut akar-akarnya sampai akar serabutnya, agar kemudian tidak akan dapat tumbuh lagi.”

“Aku setuju, Kakang. Tetapi tentu saja kita jangan sampai terjebak. Kita harus mengetahui seberapa besar kekuatan lawan kita. Jika kita tidak mengetahuinya, maka kita akan dapat terperosok, seperti sekumpulan domba masuk ke sarang segerombolan serigala yang lapar.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk mengiyakan.

“Aku mengerti sikap hati-hatimu, Glagah Putih. Tetapi perjalananmu ke padepokan-padepokan itu adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Padepokan-padepokan itu tentu bukan wadah dari sekumpulan laki-laki yang bersifat ksatria, yang menanggapi kedatangan kalian berdua dengan sikap jantan. Mereka tidak akan menyambut kedatangan kalian sebagaimana laki-laki jantan. Mereka tidak akan menghadapi kedatangan kalian seorang menghadapi seorang. Tetapi mereka tentu akan beramai-ramai turun mengeroyok kalian berdua.”

“Itu sudah aku perhitungkan, Kakang. Karena itu, maka kami pun tidak akan hadir di padepokan-padepokan itu melewati pintu gerbang. Kami hanya akan mengamati dan menilai kekuatan dan kemampuan padepokan-padepokan itu. Seandainya datang waktunya Kakang membawa pasukan, maka Kakang akan dapat memperhitungkan, seberapa kekuatan yang akan Kakang bawa.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sementara itu, Sekar Mirah pun berkata, “Meskipun demikian, tetapi tugas itu bukan tugas yang ringan. Tugas itu memerlukan bekal yang cukup memadai.”

“Bekal yang paling memadai adalah sikap berhati-hati itu, Mbokayu.”

“Kau benar, Glagah Putih. Tetapi menurut pertimbangan kami, tugas itu akan menjadi tugas yang sangat berat bagi kalian berdua.”

“Tentu kami akan menjajagi tugas itu lebih dahulu, Mbokayu,” sahut Rara Wulan. “Juga sekiranya kami tidak mampu memikulnya, maka tugas itu akan kami letakkan. Atau mungkin kami akan minta bantuan, sehingga tugas itu menjadi lebih ringan.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Besok segala sesuatunya akan aku laporkan kepada para pemimpin di Mataram. Besok setelah aku pulang dari Mataram, maka kita dapat berbicara lebih terperinci.”

“Ya, Kakang. Aku menunggu perintah Kakang. Tetapi jika Kakang berkenan, setelah Kakang kembali dari Mataram, Kakang dapat bertanya kepada beberapa orang tawanan, letak padepokan-padepokan yang mereka ketahui.”

“Aku akan mencobanya, Glagah Putih. Tetapi mereka yang tertawan itu sebagian tentu orang-orang yang ditempatkan di perguruan yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu.”

“Tetapi mereka agaknya berasal dari padepokan yang berbeda-beda. Padepokan asal mereka itu mungkin masih dipergunakan. Bahkan Padepokan Jung Wangi itu pun agaknya masih juga digunakan, meskipun penghuninya saling bertukar tempat dengan padepokan yang lain.”

“Ya. Memang mungkin sekali.”

Demikianlah, setelah berbincang beberapa saat lagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun dipersilahkan beristirahat di bilik yang sudah disediakan bagi mereka. Ki Lurah dan Nyi Lurah pun segera beristirahat pula. Lebih-lebih Nyi Lurah, yang tenaga dan kekuatannya masih belum pulih sepenuhnya. Sedangkan di dadanya masih terasa sesuatu yang seakan-akan mengganggu pernafasannya.

Namun sebelum tidur, Nyi Lurah masih menyempatkan diri minum reramuan obat-obatan yang dibuat oleh Ki Jayaraga, untuk mempercepat pulihnya tenaga Nyi Lurah Agung Sedayu itu.

Di keesokan harinya, seisi barak itu sudah terbangun sebelum fajar. Semuanya segera berada di tugas masing-masing. Sementara Ki Lurah pun berbenah diri untuk berangkat ke Mataram. Dua orang prajuritnya akan ikut mengiringinya, agar di perjalanan ada kawan untuk dapat diajak berbincang, sehingga perjalanannya tidak terasa sepi.

Namun dalam pada itu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga pun telah bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan.

“Nanti sore, dari Mataram aku akan segera pulang,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Mungkin aku singgah sebentar di barak. Tetapi meskipun malam, aku akan pulang.”

“Baik, Kakang,” sahut Sekar Mirah, “pagi ini kami akan mendahului pulang.”

Pagi itu, demikian Ki Lurah Agung Sedayu memacu kudanya ke Mataram bersama dua orang prajurit, maka Nyi Lurah bersama Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga pun telah meninggalkan barak itu, pulang ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Demikian mereka sampai di rumah, Ki Jayaraga masih menganjurkan kepada Sekar Mirah untuk lebih banyak berada di pembaringan untuk beristirahat.

“Biarlah keadaanmu cepat pulih, Nyi Lurah,” berkata Ki Jayaraga.

“Bagaimana dengan Ki Jayaraga sendiri?”

“Aku sudah tidak apa-apa.”

Untuk segera memulihkan keadaannya, maka Sekar Mirah pun mengikuti segala petunjuk Ki Jayaraga. Hari itu Sekar Mirah memang lebih banyak beristirahat. Meskipun tidak selalu berada di pembaringan, namun yang kemudian sibuk di dapur adalah Rara Wulan. Namun Glagah Putih pun ikut sibuk pula. Ia harus mengambil air untuk mengisi gentong di dapur, sementara Sukra sibuk menyiapkan kayu bakar.

Namun Sukra itu pun telah minta kepada Glagah Putih, “Kakang, jika Kakang sempat, nanti malam kita pergi ke sanggar. Lihat, sampai sejauh mana aku berlatih selama ini berdasarkan petunjuk Kakang.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Baik. Nanti malam aku akan melihat tingkat kemampuanmu.”

“Bukankah Kakang tidak pergi ke mana-mana?”

“Tidak. Aku menunggu Kakang Agung Sedayu pulang.”

“Jika Ki Lurah pulang, Kakang Glagah Putih tentu tidak akan sempat lagi pergi ke sanggar. Ada-ada saja yang akan dibicarakan sehingga hampir semalam suntuk.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tentu tidak. Tentu ada kesempatan untuk pergi ke sanggar. Memang mungkin aku akan berbincang dengan Kakang dan Mbokayu, tetapi tentu tidak semalam suntuk. Kakang Agung Sedayu tentu juga letih setelah seharian berada di Mataram.”

Sukra termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi kau jangan tidur terlebih dahulu sebelum kami selesai berbincang.”

“Aku akan turun ke sungai.”

“Kau masih juga bermain pliridan?”

“Bukan aku. Anak-anak sebelah. Tetapi aku masih saja senang melihat anak-anak membuka pliridan di sungai.”

“Bagaimana dengan pliridanmu?”

“Aku berikan kepada Kija. Ternyata Kija rajin memelihara pliridan itu. Setiap malam Kija turun ke sungai untuk membuka dan menutupnya. Bahkan kadang-kadang ia mendapatkan ikan jauh lebih banyak dari yang pernah aku dapatkan, ketika aku masih selalu membuka dan menutup pliridan itu.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Baiklah. Jika kau mau turun ke sungai, turunlah lebih dahulu. Mungkin aku baru bisa pergi ke sanggar selelah lewat tengah malam.”

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kedua orang pengiringnya telah berada di Mataram. Ki Lurah langsung pergi ke Kepatihan. Ia berharap bahwa Ki Patih masih ada di rumah.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di Kepatihan, maka pemimpin prajurit Kepatihan yang sedang bertugas mempersilahkannya untuk duduk menunggu sejenak.

“Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, Ki Lurah. Sebenarnyalah bahwa Ki Patih Mandaraka sedang sakit, sehingga Ki Patih tidak pergi menghadap ke istana.”

“Ki Patih sedang sakit? Jika demikian, biarlah pada kesempatan lain saja aku akan menghadap.”

“Tunggu. Aku akan menyampaikannya dahulu kepada Ki Patih. Mungkin Ki Patih dapat menerima Ki Lurah.”

“Tetapi jika Ki Patih Mandaraka sedang sakit?”

“Ki Patih memang sedang sakit. Tetapi Ki Patih tidak selalu berada di pembaringan. Kadang-kadang Ki Patih juga keluar dan turun ke halaman samping. Berjalan-jalan beberapa saat menghirup udara segar. Sebenarnyalah Ki Patih itu sudah sangat tua.”

“Ya. Ki Patih memang sudah sangat tua.”

“Meskipun demikian, segala-galanya masih tetap jernih. Ingatannya, akal budinya, pendapat-pendapatnya masih tetap cerah, meskipun kewadagannya sudah menjadi semakin lemah.”

“Baiklah. Aku akan menunggu. Apakah aku diperkenankan menghadap atau sebaiknya aku datang lagi pada kesempatan lain.”

“Silahkan menunggu sebentar, Ki Lurah.”

Demikianlah, maka pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu pun segera masuk ke pintu seketheng, menemui Pelayan Dalam yang berada di seketheng.

“Aku akan bertemu dengan Narpacundaka yang bertugas hari ini,” berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu.

Sejenak kemudian, maka Narpacundaka yang bertugas pun telah menemuinya di serambi samping.

“Ada apa?” bertanya Narpacundaka itu.

“Ada seseorang yang ingin menghadap Ki Patih.”

“Bukankah kau tahu bahwa Ki Patih sedang sakit?”

“Yang akan menghadap adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Mungkin Ki Patih akan memberinya kesempatan?”

“Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ya.”

“Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Patih.”

“Apakah Ki Patih sedang berbaring?”

“Tidak. Ki Patih sedang duduk di serambi belakang.”

“Baiklah. Aku tunggu di sini.”

Narpacundaka itu pun kemudian telah masuk ke ruang dalam untuk menghadap Ki Patih yang berada di serambi belakang.

“Ada apa?” bertanya Ki Patih yang nampak lemah.

“Ampun, Ki Patih. Seseorang mohon diijinkan untuk menghadap Ki Patih”

“Siapa?”

“Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ya, Ki Patih.”

“Baiklah. Biarlah ia menghadap. Aku akan menerimanya di sini saja. Bawa Ki Lurah itu kemari.”

“Baiklah, Ki Patih. Aku akan membawa Ki Lurah Agung Sedayu itu kemari.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu itu pun telah dibawa menghadap Ki Patih di serambi belakang. Sementara kedua orang prajurit yang menyertainya menunggunya di gardu penjagaan di halaman Kepatihan.

Sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu pun telah berada di serambi belakang, menghadap Ki Pauh Mendaraka yang sedang dalam keadaan sakit.

“Bagaimana dengan para prajurit di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Lurah?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Mereka dalam keadaan baik, Ki Patih.”

“Jika kau datang menghadap, kau tentu akan membawa laporan tentang prajurit-prajuritmu. Bukankah begitu?”

“Ya, Ki Patih.”

Ki Patih itu tersenyum. Katanya, “Sayang, aku sedang sakit, Ki Lurah. Tetapi katakan, apa yang akan kau laporkan.”

“Ada beberapa hal yang ingin aku laporkan. Ki Patih. Di antaranya tentang usaha Glagah Putih dan Rara Wulan memburu tongkat baja putih itu. Sedangkan yang lain adalah usaha pasukanku mengamankan daerah Kademangan Prancak, yang dikuasai oleh sebuah gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara.”

“Raden Mahambara?” Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya, “Seorang yang namanya banyak dikenal dan pernah menebarkan ketakutan dimana-mana.”

“Ya, Ki Patih. Sedangkan laporan yang lain adalah benturan kekerasan antara prajurit Mataram dari Pasukan Khusus dengan sepasukan pengikut Ki Saba Lintang.”

“Orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu maksudmu?”

“Ya, Ki Patih.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Kemudian sambil mengelus dadanya Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan sejak keduanya berada di Seca, sampai peristiwa yang terakhir, benturan kekerasan antara pasukan Mataram dengan pasukan dan Perguruan Kedung Jati.

Ki Patih Mandaraka mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali Ki Patih Mandaraka itu mengangguk-angguk. Namun sekali-sekali nampak dahinya berkerut.

“Ki Patih Mandaraka,” berkata Ki Lurah kemudian, “sekarang di Tanah Perdikan terdapat beberapa orang tawanan. Sebagian dari mereka adalah para pengikut Raden Mahambara, sedangkan yang lain adalah mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati.” 

“Supaya mereka tidak memenuhi barakmu, Ki Lurah, kapan-kapan kau dapat membawa mereka ke Mataram. Tetapi sebelumnya kau harus berhubungan dahulu dengan para perwira yang bertugas di Mataram, untuk menerima mereka.”

“Ya, Ki Patih. Pada saatnya aku akan membawa mereka ke Mataram. Sedangkan sebelumnya, aku ingin mendapat petunjuk dari Ki Patih, apakah yang sebaiknya kami lakukan terhadap Ki Saba Lintang, yang mengaku pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati yang besar. Yang menurut Ki Saba Lintang kuasanya melipuli luasnya Bumi Mataram.”

“Petunjuk apa yang kau maksudkan, Ki Lurah?”

“Beberapa orang tawanan yang ada di Tanah Perdikan mengaku berasal dan lingkungan yang berbeda-beda. Mereka berasal dari beberapa perguruan, yang kemudian karena bujukan, janji-janji tetapi juga ancaman-ancaman dari Perguruan Kedung Jati, telah bergabung dengan Perguruan Kedung Jati itu. Selain perguruan-perguruan itu, maka ada juga beberapa gerombolan brandal, perampok dan penyamun yang dibujuk atau dipaksa untuk bergabung. Gerombolan Raden Mahambara adalah salah satu dari gerombolan yang berani menantang kekuatan Perguruan Kedung Jati, sehingga Ki Saba Lintang telah mengirim Ki Wiratuhu dengan pasukannya untuk menghancurkan gerombolan Raden Mahambara. Tetapi kedatangan mereka agak terlambat, karena kami telah datang lebih dahulu. Bahkan akhirnya pasukan Ki Wiratuhu itu telah menyerang para prajurit Mataram.”

“Menurut Ki Lurah, langkah yang manakah yang akan Ki Lurah ambil?”

“Ki Patih. Ada beberapa jalan yang dapat kami tempuh untuk semakin membatasi ruang gerak Ki Saba Lintang. Kami dapat mendatangi padepokan induk dari Perguruan Kedung Jati dengan kekuatan yang besar. Menghancurkannya, sehingga beberapa padepokan dan sarang-sarang gerombolan yang telah bergabung dengan Ki Saba Lintang akan kehilangan ikatannya. Tetapi untuk melakukannya, harus dicari lebih dahulu dimanakah padepokan induk Perguruan Kedung Jati itu. Bahkan mungkin Ki Saba Lintang dan para pemimpin Perguruan Kedung Jati yang mendampinginya justru tidak berada di padepokan induk itu, sehingga mereka luput dari penangkapan.”

“Sedangkan cara yang lain?”

“Kami dapat memotong dahan-dahannya lebih dahulu, Ki Patih. Kami hancurkan satu per satu padepokan-padepokan serta sarang-sarang gerombolan pendukung Perguruan Kedung Jati yang tersebar itu. Kami akan mendapat beberapa keterangan dari para tawanan, letak padepokan-padepokan serta sarana-sarana gerombolan itu. Dengan mematahkan ranting-ranting serta cabang-cabangnya lebih dahulu, maka akhirnya kita akan sampai kepada pokok batangnya, serta kemudian mencabut akar-akarnya.”

Ki Patih Mandaraka termangu mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Agaknya lebih mudah ditempuh jalan yang kedua. Kalian sudah akan mendapat petunjuk dari tawanan-tawanan yang kini berada di Tanah Perdikan.”

“Ya, Ki Patih. Namun menurut Glagah Putih, meskipun kita akan mendapat keterangan dan para tawanan, tetapi harus dilihat langsung kekuatan yang ada di padepokan itu, agar pasukan Mataram tidak terjebak ke dalam sebuah padepokan yang kekuatannya melampaui kekuatan pasukan Mataram. Karena jika terjadi demikian, maka pasukan Mataram itu akan dapat dihancurkan.”

“Tentu, Ki Lurah. Jangan meloncat ke dalam lubang yang gelap tanpa mengetahui seberapa dalamnya, serta isi lubang itu. Jika di dasar lubang itu terdapat setumpuk jerami kering, maka kita akan beruntung. Kita akan terjatuh di tempat yang lunak. Tetapi jika dasar dari lubang yang dalam itu adalah batu-batu padas yang runcing, maka akibatnya akan jauh berbeda.”

“Ya, Ki Patih. Pendapat Glagah Putih itu dapat dimengerti. Karena itu, jika menurut petunjuk Ki Patih kami akan menempuh jalan ini, maka yang mula-mula akan kami lakukan adalah mengamati sasaran, sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih.”

“Jika kau ingin mendengar pendapatku, Ki Lurah, lakukan cara yang kedua, sambil mencari keterangan letak padepokan induk Perguruan Kedung Jati itu.”

“Jika demikian, maka kami pun akan memilih cara yang kedua itu, Ki Patih.”

“Tetapi cara yang manapun yang akan kau tempuh, kau harus tetap berhati-hati, Ki Lurah.”

Ki Lurah mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Ya, Ki Patih. Kami akan sangat berhati-hati.”

“Bukan saja bagi keselamatan tertinggi dari pasukanmu, tetapi perburuan itu jangan menimbulkan kesan bahwa Mataram sedang menghadapi musuh yang besar. Yang akan Ki Lurah lakukan adalah sekedar menebang sebatang pohon besar yang tumbuhnya tidak mapan di halaman. Ki Lurah bukan sedang babad alas untuk membuka sebuah lingkungan hunian.”

“Aku mengerti, Ki Patih.”

“Nah, mudah-mudahan Ki Lurah berhasil. Tetapi sebelum Ki Lurah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, aku minta Ki Lurah menghadap Pangeran Purbaya lebih dahulu.”

“Pangeran Purbaya?”

“Ya.”

“Apa yang harus aku sampaikan kepada Pangeran Purbaya?”

“Katakan sebagaimana kau katakan kepadaku. Katakan pula bahwa kau telah datang kepadaku, serta katakan pula pendapatku.”

“Baik, Ki Patih. Aku akan menghadap Pangeran Purbaya.”

“Supaya Pangeran Purbaya percaya bahwa kau telah datang kepadaku, kau akan aku beri pertanda selembar kelebet kecil, yang telah aku bubuhi tapak cincin lambang Kepatihan Mataram.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

Ki Patih pun kemudian bangkit dari tempat duduknya. Berjalan perlahan-lahan ke ruang dalam, diikuti oleh Narpacundaka yang sedang bertugas.

Beberapa saat kemudian, Ki Putih yang kadang-kadang harus dibantu oleh Narpacundaka, telah kembali sambil membawa selembar kelebet kecil seperti yang dikatakannya.

“Nah. Mudah-mudahan Pangeran Purbaya sependapat. Jika Pangeran Purbaya sependapat, maka kau akan dapat melakukannya. Bahkan Pangeran Purbaya tidak akan membiarkan kau bekerja sendiri. Pangeran Purbaya adalah seorang yang bertanggung jawab atas segala sikap serta langkah yang diambil. Jika Pangeran Purbaya sudah menyatakan sependapat, maka berarti bahwa Pangeran Purbaya akan membantumu sejauh kuasa yang disandangnya.”

“Terima kasih, Ki Patih. Aku mohon diri. Aku akan menghadap Pangeran Purbaya, menyampaikan pesan Ki Patih Mandaraka.”

“Baik, Ki Lurah. Jika saja aku tidak sedang sakit, maka aku akan dengan senang hati melibatkan diri langsung untuk menangani persoalan ini. Jika kelak aku sudah sembuh, aku berniat untuk dapat membantumu. Setidak-tidaknya selalu mengikuti perkembangannya dari dekat.”

“Terima kasih, Ki Patih. Tetapi untuk selanjutnya aku akan selalu memberikan laporan kepada Ki Patih.”

“Tentu saja juga kepada Pangeran Purbaya.”

“Ya, Ki Patih.”

“Baiklah. Sekarang pergilah menghadap Pangeran Purbaya. Tidak berarti aku sudah mengusirmu, tetapi kau tentu memaklumi keadaanku. Selebihnya, dalam keadaan seperti ini, waktumu akan lebih berarti jika kau berbincang lebih jauh dengan Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya tentu akan mengikuti perkembangannya dengan teliti. Ia akan sering bertanya tentang kekuatan yang ada di bawah pimpinanmu. Sejauh mana pasukanmu menyusut dalam tugasmu yang besar kali ini.”

“Ya, Ki Patih. Aku akan mohon diri. Selanjutnya aku akan menghadap Pangeran Purbaya di Dalem Kepangeranan. Mudah-mudahan Pangeran Purbaya ada di Dalem Kepangeranan.”

“Hari ini bukan hari Pasowanan. Mudah-mudahan Pangeran Purbaya ada di Kepangeranan.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun segera minta diri. Ia mengerti bahwa Ki Patih Mandaraka agaknya sudah merasa letih duduk di serambi belakang.

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang prajurit yang mengiringinya telah meninggalkan Dalem Kepatihan. Mereka pun segera menuju ke Dalem Purbayan.

Meskipun Ki Lurah Agung Sedayu sudah mengenal Pangeran Purbaya, tetapi jarak pengenalannya masih agak jauh. Meskipun demikian, dengan pertanda yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka, Ki Lurah berharap bahwa kedatangannya akan mendapat tanggapan yang wajar dari Pangeran Purbaya.

Ketika Ki Lurah memasuki regol Dalem Kepangeranan. maka prajurit yang bertugas pun telah menghentikannya.

“Ada keperluan apa, Ki Sanak?”

“Aku datang untuk menghadap Kanjeng Pangeran Purbaya.”

“Ki Sanak siapa, dan dan kesatuan mana?”

“Aku lurah prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namaku Agung Sedayu.”

“Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ya.”

“Apakah Ki Lurah memang diperintahkan untuk menghadap hari ini?”

“Ya. Tetapi bukan Kanjeng Pangeran Purbaya sendiri yang memerintahkan menghadap.”

“Siapa?”

“Ki Patih Mandaraka.”

“Ki Patih Mandaraka?”

“Ya. Aku membawa pertanda dari Ki Patih Mandaraka.”

Ki Lurah pun kemudian menunjukkan selembar kelebet kecil yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka sendiri.

Prajurit yang bertugas di Dalem Purbayan itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Silahkan ke gardu dan bertemu dengan Ki Lurah Singayuda.”

“Baik. Ki Sanak.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian menuntun kudanya bersama kedua orang prajurit yang menyertainya, ke gardu para prajurit yang bertugas. Di gardu itu, Ki Lurah Agung Sedayu menemui Ki Lurah Singayuda, sebagaimana dikatakan oleh prajurit yang bertugas di regol halaman.

Dengan menunjukkan pertanda dari Ki Patih Mandaraka, maka akhirnya Ki Lurah itu pun diperkenankan menghadap Pangeran Purbaya di serambi sebelah kiri, yang menghadap ke longkangan di belakang pintu seketheng.

“Kau sudah menghadap Eyang Patih Mandaraka?”

“Ya, Pangeran. Aku mendapat pertanda kelebet kecil itu, yang harus aku tunjukkan kepada Kanjeng Pangeran Purbaya.”

“Baiklah. Apakah kau membawa pesan dari Eyang Patih?”

“Ya, Pangeran.”

“Katakan.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian menyampaikan pesan Ki Patih Mandaraka, bahwa ia harus melaporkan kepada Pangeran Purbaya sebagaimana sudah dilaporkannya kepada Ki Patih Mandaraka.

Pangeran Purbaya pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan mendengarkan laporanmu.”

Ki Lurah pun segera menyampaikan laporan serta sikap dan petunjuk Ki Patih Mandaraka tentang usaha untuk menghentikan kelompok yang ingin membangkitkan dan mengembangkan kembali Perguruan Kedung Jati.

Pangeran Purbaya mendengar laporan Ki Lurah Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh. Demikian Ki Lurah Agung Sedayu selesai, maka Pangeran Purbaya itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku kira pendapat Eyang Patih Mandaraka itu adalah pendapat yang sangat baik, Ki Lurah. Aku sependapat bahwa Ki Lurah tidak langsung menebang pokok pohon yang sudah terlanjur besar, bercabang-cabang dan ranting-rantingnya yang sangat rimbun itu. Selain sulit, maka akibatnya akan dapat bermacam-macam. Mungkin akan dapat terjadi seperti sarang lebah tabuhan yang diguncang. Lebah-lebahnya akan berterbangan kemana-mana dan menyerang siapa saja yang ditemukan, tanpa menilai apakah bersalah atau tidak. Demikian pula para pengikut Ki Saba Lintang itu. Jika sarang utamanya dapat ditemukan dan dihancurkan, maka para pengikutnya yang tersebar dimana-mana itu akan kehilangan ikatan, sehingga mereka pun akan kehilangan kendali. Mereka dapat berbuat apa saja yang dapat sangat merugikan rakyat di sekitarnya, dan bahkan sangat merugikan tatanan dan paugeran.”

“Ya, Pangeran. Kami para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, menunggu perintah Pangeran.”

“Aku hanya akan mengulangi sebagaimana dikatakan oleh Eyang Patih Mandaraka. Lakukan seperti yang dikehendaki oleh Eyang Patih. Aku akan mendukung semua usahamu, tentu saja menurut lingkup kuasaku di Mataram. Namun aku dapat berbicara dengan para senapati di Mataram. Aku juga dapat berbicara dengan kakakmu, Ki Tumenggung Untara.”

“Terima kasih, Pangeran. Kami akan menjalankannya dengan segala kemampuan yang ada pada kami. Namun sebelum kami bergerak, adik sepupuku akan pergi mengamati sasaran, sesuai dengan keterangan yang akan kami dapatkan dari para tawanan. Dengan demikian, maka kami tidak akan terjebak ke dalam kekuatan yang melampaui kemampuan kami.”

“Bagus. Tetapi tugas adik sepupu Ki Lurah itu tentu akan sangat berat dan berbahaya.”

“Ya, Pangeran. Tetapi mereka sudah melakukan sebelumnya tugas yang mirip dengan tugas yang bakal diembannya.”

Pangeran Purbaya itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika adik sepupumu itu akan berangkat, ajak ia agar singgah kemari. Aku ingin bertemu dengan adik sepupumu itu. Mungkin ada pesan-pesan yang kelak akan aku berikan. Mungkin pula aku dapat memberikan bantuan apa saja yang pantas baginya. Bukankah perjalanan itu akan makan waktu yang panjang?”

“Ya, Pangeran, ia akan mengamati dua atau tiga padepokan atau sarang gerombolan yang tergabung dalam Perguruan Kedung Jati itu, sebelum kami akan mendatangi sarang itu. Kemudian ia akan pergi ke tempat-tempat berikutnya, sepanjang kami mendapat keterangan dari para pengikut Ki Saba Lintang itu.”

“Satu kerja yang besar. Tetapi aku ingin memperkuat pesan Eyang Patih Mandaraka. Yang kau lakukan itu adalah sekedar menebang sebatang pohon besar yang tumbuhnya tidak mapan di halaman. Bukan membabat hutan untuk membuka sebuah negeri. Kau tahu maksudnya. Bukankah seperti kau katakan, Eyang berpesan seperti itu?”

“Aku mengerti, Pangeran.”

“Bagus. Jangan mengguncang ketenangan hidup rakyat Mataram dari ujung sampai ke ujung. Usahakan bahwa gejolak yang akan terjadi dapat dibatasi di tempat-tempat kejadian saja.”

“Aku mengerti, Pangeran.”

“Baiklah. Aku akan mendukungmu dari awal. Jangan lupa, bawa sepupumu itu kemari, sebelum ia berangkat untuk melihat padepokan yang pertama.”

“Kami akan segera datang kembali kemari, Pangeran. Kami pun akan mohon diri kepada Ki Patih Mandaraka.”

Beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera minta diri. Ki Lurah itu merasa bahwa ia telah mendapat kepercayaan yang tinggi dari Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Purbaya, untuk menghadapi usaha Ki Saba Lintang memperluas pengaruhnya.

Karena itu maka ia pun harus bertindak cepat, agar kepercayaan yang telah diberikan kepadanya itu tidak meragukan.

Menjelang sore hari, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah menyeberangi Kali Praga. Di tepian ia melihat beberapa orang berkuda tengah menunggu rakit yang sedang menyeberang dari arah barat dengan muatan yang penuh. Di belakangnya masih ada rakit yang lain yang menyeberang searah. Sementara itu, sebuah rakit yang lain baru saja meninggalkan tepian di sebelah timur, menyusul sebuah rakit yang telah mendahuluinya.

“Hanya ada empat buah rakit hari ini,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ya, Ki Lurah,” sahut seorang prajuritnya, “nampaknya hari ini tidak terlalu ramai. Ada dua rakit yang tertambat di tepian. Agaknya juru satangnya sedang beristirahat hari ini.”

“Tetapi dengan demikian, beberapa orang terpaksa menunggu. Jika dua buah rakit itu berhenti hari ini, serta sebuah rakit di sisi barat yang juga ditambatkan itu menyeberang, tidak akan terlalu banyak orang yang menunggu. Beberapa orang berkuda serta orang-orang yang membawa bakul dan pikulan itu tentu tidak akan dapat dibawa dalam satu rakit. Sementara itu, orang-orang baru masih berdatangan.”

Seorang prajurit tertawa pendek. Katanya, “Nampaknya Ki Lurah agak tergesa-gesa. Biasanya Ki Lurah menunggu dengan sabar di tepian.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Ya. Rasa-rasanya aku menjadi sangat tergesa-gesa. Seharusnya aku tetap bersabar.”

Ki Lurah dan kedua orang prajurit yang menyertainya itu pun kemudian telah duduk di tepian seperti beberapa orang yang sudah lebih dahulu datang, sambil memegangi kendali kudanya.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, ketika sebuah rakit menepi dan menurunkan penumpang-penumpangnya, maka rakit itu tidak dapat menampung orang-orang yang telah menunggu di tepian. Karena itu, maka sebagian dari mereka, termasuk Ki Lurah dan kedua orang prajuritnya, harus menunggu.

Namun pada rakit yang kedua yang menepi di tepian sebelah timur, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang prajuritnya itu sempat naik dan kemudian menyeberang ke barat.

Sementara itu matahari pun sudah menjadi semakin rendah. Sinarnya sudah mulai menjadi semburat merah. Cahayanya yang menimpa air Kali Praga yang kecoklat-coklatan itu nampak seperti bias cahaya beribu lampu minyak di dasarnya.

Ki Lurah Agung Sedayu hanya singgah sebentar di baraknya, kemudian segera pulang ke rumahnya.

Rasa-rasanya Ki Lurah Agung Sedayu memang selalu tergesa-gesa hari itu.

Kedua orang prajurit yang menyertainya telah bercerita kepada kawan-kawannya, bahwa setelah Ki Lurah menghadap Pangeran Purbaya, maka ia nampak tidak sabar lagi. Kudanya pun telah dipacunya. Dan bahkan ketika mereka menunggu rakit di penyeberangan Kali Praga, rasa-rasanya Ki Lurah itu tidak sabar lagi menunggu.

Sebenarnyalah, malam itu setelah makan malam, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah berbincang dengan Sekar Mirah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga. Ki Lurah telah menceritakan hasil perjalanan ke Mataram.

“Baik Ki Patih Mandaraka maupun Kanjeng Pangeran Purbaya telah memberikan pesan-pesan mereka. Mereka sependapat untuk memilih cara memotong cabang-cabangnya lebih dahulu, baru menebang batang pohonnya dan mencabut akar-akarnya.”

“Aku kira cara itu memang cara yang terbaik, Kakang. Aku dan Rara Wulan akan mendahului pasukan prajurit Mataram, untuk mengetahui kekuatan yang ada di padepokan-padepokan itu. Yang kita ketahui sekarang baru ada dua padepokan, Jung Wangi dan padepokan Naga Tapa. Kita akan dapat minta orang-orang Jung Wangi dan Naga Tapa, atau mereka yang pernah berada di padepokan itu, untuk memberikan beberapa keterangan yang akan dapat menjadi acuan pengamatanku atas kedua padepokan itu.”

“Baiklah, Glagah Putih,” berkata Ki Lurah, “kau dan Rara Wulan akan pergi mendahului pasukan yang akan menghancurkan padepokan-padepokan itu. Mungkin dari para tawanan yang lain kita akan mendapat keterangan-keterangan baru tentang padepokan-padepokan yang lain pula.”

“Ya, Kakang. Sebaiknya kita berbicara lagi dengan para tawanan. Setiap orang dapat kita panggil dan kita minta untuk memberikan keterangan tentang asal mereka, sebelum mereka berada di lingkungan Perguruan Kedung Jati. Kita pun dapat bertanya, dimana mereka ditempatkan setelah mereka dinyatakan sebagai murid perguruan itu.”

“Glagah Putih,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “aku pun telah mendapat pesan. Pada saat kalian berdua akan berangkat menjalankan tugas kalian, maka kalian diminta untuk singgah di Mataram, menghadap Kanjeng Pangeran Purbaya. Aku pun akan membawa kalian menghadap pula Ki Patih Mandaraka. Mudah-mudahan Ki Patih itu segera sembuh, sehingga dapat memberikan petunjuk lebih banyak lagi kepada kalian berdua.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk pergi ke barak. Mereka akan mendapat kesempatan bersama-sama dengan Ki Lurah Agung Sedayu berbicara dengan para tawanan yang lain untuk mendapatkan bahan sebanyak-banyaknya, sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan berusaha untuk mengamati beberapa padepokan serta sarang-sarang gerombolan yang telah tergabung dalam Perguruan Kedung Jati.

Malam itu. setelah berbincang panjang dengan Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih masih harus menemui Sukra di sanggar terbuka seperti yang dijanjikannya.

“Apakah tidak dapat esok pagi saja?” bertanya Rara Wulan.

“Aku sudah berjanji malam ini. Anak itu tentu menunggu-nunggu.”

“Bukankah malam ini Kakang berbincang-bincang dengan Kakang Agung Sedayu?”

“Setelah aku berbincang dengan Kakang Agung Sedayu. Meskipun sudah lewat tengah malam.”

“Baiklah. Aku ikut pergi ke sanggar.”

“Jika kau ikut pergi ke sanggar, Sukra akan merasa segan. Bahkan malu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Aku akan tidur saja.”

Malam itu, Glagah Putih berada di sanggar bersama Sukra, yang ingin mendapat penilaian dari Glagah Putih tentang ilmu yang telah dipelajarinya.

Di sepinya malam itu, Glagah Putih duduk di sebuah amben bambu yang panjang di pinggir sanggar terbuka. Sementara itu, Sukra pun berdiri di tengah-tengah sanggar itu. Setelah membuka bajunya, maka Sukra pun mulai mempertunjukkan kemampuannya kepada Glagah Putih.

Mula-mula Sukra bergerak perlahan-lahan. Gerak tangan dan kakinya nampak mantap dan kokoh. Semakin lama semakin cepat.

Glagah Putih mengikutinya dengan saksama setiap gerak yang sekecil apapun. Ternyata Sukra adalah seorang yang memiliki dasar yang kuat untuk menimba ilmu kanuragan. Tubuhnya yang kokoh, kemauannya yang sangat besar, kesungguhan serta ketekunannya, serta kepatuhannya kepada pesan-pesan Glagah Putih sebelum Glagah Putih pergi meninggalkan Tanah Perdikan.

“Bukan main,” desis Glagah Putih.

Namun sesuai dengan pengakuan Sukra yang sekali-kali mendapat petunjuk dan bimbingan dari Ki Jayaraga. maka beberapa unsur geraknya justru menjadi lebih mantap.

Demikian Sukra selesai, maka ia pun segera duduk dengan kaki bersilang. Kedua tangannya bergerak perlahan-lahan di samping tubuhnya.

Terakhir, Sukra itu pun menarik nafas panjang sambil bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Glagah Putih yang juga sudah berdiri.

“Aku minta Kakang tidak segan mengatakan sesuai dengan penglihatan Kakang.”

Tetapi Glagah Putih pun kemudian memberi isyarat agar Sukra kembali ke tengah-tengah sanggar itu.

“Bersiaplah.”

“Apalagi yang harus aku lakukan?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun menyingsingkan kain panjangnya serta lengan bajunya.

Sukra pun mengerti bahwa Glagah Putih tidak puas menyaksikan Sukra berlatih sendiri. Karena itu, maka Glagah Putih tentu akan turun untuk menguji langsung kemampuan Sukra.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah berloncatan di tengah sanggar terbuka itu. Berganti-ganti Glagah Putih dan Sukra saling menyerang. Dengan hati-hati Glagah Putih meningkatkan ilmu selapis demi selapis, agar ia dapat mengetahui tataran kemampuan Sukra. 

Sebenarnyalah bahwa tataran kemampuan Sukra sudah berada di atas dugaan Glagah Putih. Ia memilik bekal yang lengkap untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi lagi.

Dalam pertarungan itu, maka sekali-kali serangan Glagah Putih benar-benar mengenai tubuh Sukra, hingga Sukra itu pun terpental beberapa langkah dan bahkan terlempar jatuh. Namun ia pun segera bangkit berdiri dan sekali-sekali membalas menyerang.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih menganggap bahwa Sukra telah mencapai tataran yang melampaui dugaannya. Bahkan Glagah Putih masih juga mengagumi daya tahannya yang sangat tinggi.

“Jika ia mendapat kesempatan, maka ia akan dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Namun katanya kemudian, “Tetapi tidak terlalu tergesa-gesa. Ia masih sangat muda, sehingga hari-harinya masih panjang. Dengan berlatih sendiri, maka setapak-setapak ilmunya pun sudah menjadi semakin meningkat. Pada saatnya maka tinggal mematangkannya, serta memasuki kemungkinan yang lebih tinggi lagi.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih pun telah memberikan isyarat kepada Sukra untuk menghentikan latihan itu.

“Sudah cukup, Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian.

Sukra pun meloncat surut. Kemudian diendapkannya pernafasannya, serta dikendorkannya urat-urat dan syarafnya.

“Aku ingin mendengar pendapat Kakang.”

Glagah Putih pun kemudian telah memberikan pendapatnya dengan jujur. Ia memuji kelebihan Sukra, tetapi juga mencela kekurangan-kekurangannya. Bahkan bagian-bagian yang terkecil pun tidak terlepas dari pengamatan Glagah Putih.

“Besok kau dapat melihat kulitmu yang bernoda kebiruan. Tulang-tulangmu yang terasa sakit. Nah, kau cari sebabnya, kenapa hal itu dapat terjadi.”

“Baik, Kakang.”

“Sekarang beristirahatlah. Aku pun akan tidur, meskipun malam tinggal tersisa sedikit.”

Di hari berikutnya Agung Sedayu akan membawa Glagah Putih dan Rara Wulan ke baraknya. Mereka berdua akan diberi kesempatan seluas-luasnya berbicara dengan para tawanan, untuk melengkapi bekal perjalanannya.

Glagah Putih dan Rara Wulan berada di barak itu seharian. Ia sudah berbicara dengan banyak orang. Namun rasa-rasanya pembicaraannya hari itu masih belum cukup. Besok Glagah Putih dan Rara Wulan akan datang kembali ke barak.

Setelah dua hari berbicara dengan para tawanan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah mendapat gambaran perjalanan yang akan ditempuhnya. Ia akan mengamati tiga padepokan yang akan menjadi sasaran pertama pasukan Mataram yang akan menghapus pengaruh Perguruan Kedung Jati.

Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi ke padepokan Jung Wangi, Padepokan Naga Tapa, dan sarang gerombolan yang dipimpin oleh Ki Sura Mantep.

“Baiklah, Glagah Putih,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “waktu kita tidak terlalu terbatas. Kita akan menghapus tiga sarang para pengikut Ki Saba Lintang ini. Kemudian kita akan memilih padepokan yang lain lagi. Demikian berturut-turut, sehingga akhirnya Ki Saba Lintang akan semakin dibatasi ruang geraknya.”

“Bahkan mungkin Ki Saba Lintang sendiri akan keluar dari sarangnya, untuk menghadapi pasukan Mataram yang akan menggulung habis perguruan besar yang akan disusunnya kembali itu, Kakang.”

“Jika demikian, jika kau sudah merasa cukup beristirahat, maka kau akan mulai mengembara lagi. Tetapi kau berdua akan singgah lebih dahulu di Mataram.”

“Baik, Kakang. Dari Mataram aku pun akan singgah di Jati Anom.”

“Baiklah. Selanjutnya tergantung kepadamu. Jika kau sudah merasa cukup beristirahat, maka kau boleh berangkat kapan saja.”

“Mungkin kami akan berangkat dalam dua tiga hari ini, Kakang. Aku masih ingin bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama aku tinggalkan.”

“Baiklah, tiga hari lagi kita akan berangkat. Kita akan pergi lebih dahulu ke Mataram menghadap Pangeran Purbaya dan Ki Patih Mandaraka.”

Demikianlah, Glagah Putih mempergunakan waktunya untuk menemui para pengawal Tanah Perdikan yang sudah lama tidak mendapat perhatiannya. Bersama Prastawa, Glagah Putih mengunjungi padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.

Ketika Glagah Putih berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya Glagah Putih segan untuk meninggalkan mereka. Tetapi Glagah Putih merasa bahwa ia harus mengemban kewajiban yang lebih besar dari sekedar berada di lingkungan anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka ketika saatnya telah tiba, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan dirinya untuk menempuh perjalanan yang berat.

Sebelum mereka berangkat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di sanggar untuk membuka kembali kitab Ki Namaskara, yang telah mereka ambil dari reruntuhan rumah yang diselubungi rahasia, yang sampai saat itu masih belum dapat dipecahkannya.

Dengan membaca kembali beberapa bagian dari kitab itu, maka rasa-rasanya ilmu mereka pun telah disegarkan kembali. Beberapa unsur yang baru sempat mereka pelajari dengan sebaik-baiknya.

Dengan membuka kembali kitab itu, maka rasa-rasanya Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapatkan tenaga lebih besar lagi bagi ilmunya.

Dengan demikian, maka pada waktunya, Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah siap untuk berangkat mengemban kewajiban yang berat itu.

Pagi-pagi sekali, pada hari yang sudah ditentukan, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah siap. Keduanya sengaja akan menempuh perjalanan sejak awal dengan berjalan kaki. Ki Lurah Agung Sedayu bersama kedua orang prajurit yang akan menyertainya, meskipun mereka akan membawa kuda mereka, tetapi kuda mereka itu akan mereka tuntun sampai ke Mataram. Mereka baru akan naik kuda pada perjalanan mereka kembali ke Tanah Perdikan.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah minta diri pula semalam kepada Ki Gede Menoreh dan para pemimpin di Tanah Perdikan. Itulah sebabnya, maka pagi-pagi sekali menjelang keberangkatan Glagah Putih dan Rara Wulan, Prastawa telah datang untuk ikut melepas mereka pula.

Sekar Mirah melepas Rara Wulan dengan mendekapnya sambil berbisik, “Berhati-hatilah, Rara Wulan. Seumurmu, seharusnya kau nikmati masa-masa pengantinmu. Tetapi demikian kau menikah, maka kau langsung terjun ke dalam tugas-tugas yang berat. Kau tempuh pengembaraan demi pengembaraan, tanpa dapat meneguk kesenangan yang seharusnya kau nikmati.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Aku dapat menikmati pengembaraan ini sebagai tamasya yang mengasyikkan, Mbokayu. Tidak ada yang memberi kepuasan lebih besar daripada menjalankan kewajiban dengan baik dan bersungguh-sungguh.”

Sekar Mirah menepuk wajah Rara Wulan dengan kedua belah telapak tangannya, “Kau pantas mendapat penghargaan yang tinggi dari Tanah Perdikan ini, bahkan dari Mataram.”

“Kepercayaan yang diberikan kepadaku sudah merupakan penghargaan yang tinggi, Mbokayu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi pada suatu saat kau harus berhenti mengembara, Rara Wulan. Kau tidak boleh menjadi perempuan yang kering seperti aku. Kewajiban yang bermacam-macam pernah aku jalani. Tetapi aku tidak pernah mengemban kewajiban sebagai seorang ibu. Kau lihat aku sebagai sebatang pohon yang subur, berdaun lebat di cabang-cabang serta ranting-rantingnya. Tetapi pohon itu tidak pernah berbuah satupun.”

“Aku mengerti, Mbokayu. Pada suatu saat aku akan berhenti. Aku ingat pesan Mbokayu. Tetapi jika Yang Maha Agung mempunyai rencana lain, maka kita harus menjalaninya.”

Mata Sekar Mirah tiba-tiba menjadi basah. Tetapi Sekar Mirah mengusap matanya pula.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Sekar Mirah, Ki Jayaraga, Sukra dan Prastawa yang sudah berada di rumah itu, melepas Glagah Putih dan Rara Wulan pergi, setelah beberapa hari mereka berada di rumah.

Bersama Ki Lurah Agung Sedayu, mereka pun singgah di barak prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan. Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Mataram, disertai dua orang prajurit yang akan menuntun kuda mereka sebagaimana Ki Lurah Agung Sedayu.

Beberapa saat mereka berjalan, maka mereka pun sudah berada di tepian. Namun karena masih belum ada rakit yang siap menyeberangkan mereka, maka mereka harus menunggu.

Seorang anak muda yang berpakaian rapi tiba-tiba saja bertanya kepada Ki Lurah Agung Sedayu, “Kenapa kau tuntun kudamu? Menilik pakaianmu, kau dan dua orang kawanmu itu prajurit.”

Ki Lurah Agung Sedayu memandang anak muda itu sejenak. Agaknya anak muda itu tidak sendiri. Beberapa orang laki-laki menyertainya.

“Ya, anak muda,” jawab Ki Lurah, “kami bertiga memang prajurit Mataram.”

“Aku lihat sejak kalian masih belum turun ke tepian, kuda kalian hanya kalian tuntun saja.”

“Ya. Kami berjalan bersama dua orang yang tidak berkuda. Karena itu, maka kami harus menuntun kuda-kuda kami.”

“Kalian membawa tawanan?”

“Tidak. Bukan tawanan. Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan, yang kebetulan juga akan pergi ke Mataram. Kami hanya berjalan bersama saja.”

“Ternyata kalian bertiga terlalu baik hati,” berkata anak muda itu, “kenapa tidak kalian pinjamkan saja seekor kuda untuk mereka berdua, sedangkan dua orang di antara kalian naik di atas punggung seekor kuda. Kuda kalian adalah kuda yang besar dan tegar, yang tidak akan merasa terlalu berat mendukung dua orang sekaligus.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mereka berdua tidak terbiasa naik kuda.”

Anak muda itu tertawa. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan yang dikatakan kebetulan saja berjalan bersama ke Mataram.

Sambil tertawa anak muda itu pun berkata, “Sebaiknya perempuan itu berkuda bersamaku saja. Biarlah yang laki-laki itu bersama salah seorang dari kalian.”

Ki Lurah Agung Sedayu itu pun dengan serta merta menyahut, “Terima kasih Ki Sanak, biarlah kami mengurus diri kami sendiri. Mungkin Ki Sanak hanya ingin sekedar bergurau. Tetapi jika terlanjur, akan dapat menyinggung perasaan kami.”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Aku memang hanya bergurau. Tetapi jika perempuan itu mau, apa salahnya?”

“Sudah. Sampai di sini saja. Jangan dilanjutkan,” potong Ki Lurah Agung Sedayu.

Anak muda itu agaknya tidak mau diperlakukan seperti itu. Tetapi seorang di antara mereka yang menyertainya, mendekatinya sambil menarik lengannya.

“Tidak semua orang dapat kau ajak bergurau, Ngger. Bahkan mungkin guraumu agak terlanjur menurut pendapat prajurit itu.”

“Mentang-mentang ia seorang prajurit, Paman. Ayah mempunyai pengaruh yang besar terhadap para prajurit di Mataram. Bahkan para prajurit yang berpangkat tinggi. Bukan hanya prajurit yang ditempatkan di padesan.”

Orang yang menariknya itu pun menjawab, “Ya. Tetapi bukan pula berarti bahwa kau dapat berbuat apa saja.”

Anak muda itu masih saja bergeremang. Tetapi suaranya tidak lagi terdengar jelas.

Ketika sebuah rakit menepi, serta setelah penumpangnya turun, maka orang-orang yang menunggu di tepian pun telah naik ke rakit itu. Namun Ki Lurah Agung Sedayu berkata, “Kita akan naik rakit berikutnya. Selain rakit itu sudah terlalu banyak penumpangnya, kita hindari anak muda itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi mereka mengerti maksud Ki Lurah Agung Sedayu. Jika mereka berada dalam satu rakit dengan anak muda itu, maka akibatnya akan dapat menjadi buruk.

Demikianlah, maka anak muda itu pun berada di seberang lebih dahulu pula. Agaknya pengiringnya itulah yang mengajak lebih dahulu meninggalkan tepian.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu, kedua orang pengiringnya, Glagah Putih serta Rara Wulan masih berada di atas rakit yang sedang menyeberang, maka anak muda itu bersama pengiringnya telah melarikan kuda mereka.

Baru beberapa saat kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka hanya menuntun kuda-kuda mereka.

Perjalanan itu terasa lama sekali. Meskipun mereka berlima berjalan semakin cepat ketika matahari menjadi terik, namun terasa perjalanan itu terlalu lama.

Lewat tengah hari, barulah mereka sampai di Mataram. Sebelum mereka singgah di Kepatihan atau di Dalem Kepangeranan, maka mereka lebih dahulu berhenti sejenak di bawah pohon gayam yang daunnya rimbun di pingir jalan.

Baru setelah keringat mereka agak kering, mereka meneruskan perjalanan mereka di jalan-jalan utama kota Mataram.

“Kita akan singgah kemana lebih dahulu, Kakang?” bertanya Glagah Putih.

“Kita akan singgah di Kepatihan saja dahulu, Glagah Putih., Baru kemudian kita singgah di Purbayan.”

Demikianlah, maka mereka berlima pun lebih dahulu pergi ke Kepatihan.

Ketika mereka berlima sampai di regol Kepatihan, maka prajurit yang bertugas pun telah mengenal mereka dengan baik. Terutama Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka prajurit yang bertugas itu mengangguk hormat sambil mempersilahkan mereka memasuki pintu gerbang Dalem Kepatihan.

Ternyata beberapa orang memperhatikan mereka pada saat mereka masuk ke pintu gerbang Kepatihan. Bahkan mereka melihat prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu mengangguk hormat.

Anak muda yang berpakaian rapi yang mereka jumpai di Kali Praga itu berbisik kepada seorang pengiringnya, “Siapakah mereka sebenarnya? Begitu mudahnya mereka memasuki Dalem Kepatihan. Para petugas pun seakan-akan sudah terbiasa melihat mereka.”

“Untunglah kau belum membuat perkara dengan mereka,” desis laki-laki pengiringnya, yang mencegah anak itu berselisih dengan Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah dipersilahkan menunggu sejenak. Lurah prajurit yang bertugas pun telah menyampaikan lewat Narpacundaka, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan menghadap.

“Apakah Ki Lurah sendiri? Maksudku hanya dengan pengiringnya saja?”

“Tidak, Ki Patih. Ki Lurah Agung Sedayu datang bersama sepasang suami istri yang masih muda.”

“O, tentu Glagah Putih dan Rara Wulan. Bawa mereka menghadap aku di serambi samping kanan.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah dibawa menghadap Ki Patih Mandakara, yang menerimanya di serambi samping kanan.

“Selamat datang, Ki Lurah, serta kalian berdua. Bukankah kalian baik baik saja di perjalanan?”

“Kami bertiga baik-baik saja, Ki Patih. Hormat kami bertiga bagi Ki Patih Mandaraka.”

“Terima kasih, Ki Lurah.”

“Bukankah keadaan Ki Patih Mandaraka sudah berangsur baik sekarang?”

“Ya, Beginilah orang tua, Ki Lurah. Bagaimanapun juga unsur kewadagan seseorang sangat menentukan. Tetapi aku memang sudah berangsur baik.”

“Syukurlah, Ki Patih. Semoga Ki Patih segera pulih seperti sediakala.”

Sementara itu seorang abdi kepaiihan sempat menghidangkan minuman hangat kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kalian baru datang lewat tengah hari,” berkata Ki Patih.

“Glagah Putih dan Rara Wulan hanya berjalan kaki, Ki Patih, sehingga aku pun harus menuntun kudaku pula.”

“Kenapa kalian berdua hanya berjalan kaki?”

Sambil menunduk Glagah Putih pun menjawab, “Kami berniat untuk sejak mulai, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.”

Ki Patih Mandaraka pun tersenyum. Katanya, “Satu langkah permulaan yang baik, Glagah Putih. Mudah-mudahan tugas yang kau emban akan dapat kau selesaikan dengan baik.”

“Kami berdua mohon doa restu, Ki Patih.”

Ki Lurah pun kemudian melaporkan, langkah pertama yang akan diambil oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Ada tiga sasaran yang akan mereka lihat lebih dahulu. Ketiga sasaran itulah yang pertama-tama akan dibersihkan oleh para prajurit Mataram, setelah mendapat keterangan yang terperinci yang akan dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Sungguh tugas yang berat yang akan kau jalani, Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku berdoa semoga kalian selalu mendapat kekuatan serta perlindungan dari Yang Maha Agung. Semoga kalian tidak mengalami sesuatu selama kalian bertugas.”

“Semoga, Ki Patih. Doa restu Ki Patih Mandaraka akan menyertai kami.”

Ki Patih pun kemudian telah memberikan berbagai macam pesan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Pesan vang sangat berarti bagi tugas yang akan mereka emban kemudian.

“Aku tidak dapat memberimu bekal apa-apa, Glagah Putih dan Rara Wulan, kecuali pesan-pesan saja. Sebagai orangtua yang umurnya jauh lebih banyak dari umur kalian berdua, aku tentu telah melihat dan mendengar lebih banyak dari kalian. Karena itu, aku dapat memberikan pesan-pesan berdasarkan penglihatan dan pendengaranku selama ini.”

“Terima kasih, Ki Patih Mandaraka. Pesan, petunjuk serta nasehat yang Ki Patih berikan, jauh lebih berharga dari bekal yang berupa apapun.”

“Glagah Putih,” desis Ki Patih, “kalau aku melihatmu, maka aku selalu saja terkenang kepada cucuku, Rangga. Anak nakal yang memiliki ilmu tidak terbatas itu. Ternyata apa yang aku lihat ada di dalam diri cucu Rangga, telah ada padamu. Maksudku ilmu yang sangat tinggi itu. Tetapi watakmu dan watak cucu Rangga memang sangat berbeda. Latar belakang kehidupanmu dan kehidupan cucu Rangga memang jauh berbeda pula.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia justru menunduk semakin dalam.

“Batu yang merupakan tangga di pintu butulan itu masih saja berlubang-lubang sebesar jari-jari tangan. Cucu Rangga lah yang melakukannya. Pada saat ia menunggu aku keluar dari ruang dalam lewat pintu butulan, jari-jarinya ditusuk-tusukkannya ke dalam batu, yang baginya seakan-akan selunak tanah liat yang masih basah, yang akan dibentuk menjadi gerabah itu.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Jika itu yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, yang mempunyai ketajaman penglihatan ganda, penglihatan mata lahiriahnya dan penglihatan mata hatinya, maka Ki Lurah Agung Sedayu yakin bahwa Glagah Putih memang memiliki tataran ilmu yang sulit untuk dijajagi, sebagaimana Raden Rangga. Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun ikut berbangga pula karenanya.

Kalau selama ini Glagah Putih selalu bersamanya, maka tidak sia-sialah ia berusaha ikut meningkatkan ilmu Glagah Putih lewat beberapa aliran ilmu. Ki Jayaraga pun seolah-olah telah ikut menitipkan kelangsungan hidup aliran ilmunya pada perjalanan hidup Glagah Putih di dunia olah kanuragan.

Sejenak kemudian, ruangan itu pun menjadi hening. Dada Rara Wulan serasa bergejolak pula. Meskipun yang disebut adalah Glagah Putih, namun Rara Wulan pun ikut merasa tersanjung pula.

Dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, ”Glagah Putih dan Rara Wulan Selain bekal ilmu, karena kalian akan mengembara melewati berbagai tempat dan lingkungan yang masih diselimuti oleh kebutuhan-kebutuhan duniawi, maka kau tidak akan dapat melepaskan diri dari pemenuhan kebutuhan duniawi itu. Kau tidak dapat memungut nasi begitu saja di sepanjang jalan. Kau juga tidak dapat meneguk minuman tanpa memperhitungkan harga minuman itu. Mungkin pula kau perlu menginap di suatu tempat. Meskipun ada banjar yang terbuka bagi siapapun, tetapi sekali-sekali kalian akan menginap di sebuah penginapan, sehingga harus membayar sewa bilik penginapannya. Karena itu, maka kalian tidak dapat lepas dari kebutuhan uang, sebagai satu kenyataan yang tidak dapat kalian ingkari. Dengan demikian, maka singkatnya. Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku juga ingin memberi kalian berdua bekal uang bagi perjalanan kalian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangkat wajah mereka. Namun Glagah Putih-lah yang menjawab, “Terima kasih, Ki Patih. Kami berdua telah mendapat bekal uang dari Kakang Agung Sedayu.”

Ki Patih pun tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Bukankah kalian akan menempuh perjalanan panjang yang tidak dapat direncanakan panjang waktunya? Karena itu, jangan menolak. Tidak seberapa, tetapi akan dapat kalian pakai untuk memperpanjang waktu perjalananmu, jika tugasmu masih belum terselesaikan.”

Glagah Putih pun berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu sambil berdesis, “Tetapi Kakang Agung Sedayu telah memberikan lebih dari cukup.”

“Tentu tidak ada batas penggunaan uang sehingga dapat kelebihan. Mungkin kalian harus mengeluarkan uang tanpa kalian duga serta kalian perhitungkan sebelumnya.”

Ketika Glagah Putih berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah pun mengangguk mengiyakan.

Karena itu. maka tidak ada alasan lagi bagi Glagah Putih untuk menolaknya. Sambil membungkuk hormat, maka ia pun berkata, “Kami berdua mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Patih.”

“Glagah Putih dan Rara Wulan,” berkata Ki Patih, “uang itu tentu dapat kau pergunakan untuk berbagai macam keperluan. Mungkin kau memerlukan keterangan yang tidak dapat kau lihat langsung. Dengan uang, kau mengupah seseorang. Tetapi mungkin kau menyuap seseorang. Untuk kepentingan yang besar dan berarti bagi banyak orang, maka cara itu dapat saja kau lakukan.”

Glagah Putih mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Ya, Ki Patih. Kami mengerti.”

“Nah, dengan demikian, kau memang memerlukan uang cukup banyak. Tetapi dibanding dengan tugas yang kau emban, maka uang yang aku berikan ini sebenarnya terlalu sedikit.”

Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menerima uang itu, maka jantung mereka pun merasa berdebaran. Uang itu rasa-rasanya amat banyak.

Untuk beberapa saat, Ki Patih Mandaraka masih memberikan pesan. Juga dalam hubungannya mempergunakan uang untuk menembus batas-batas yang sulit untuk disibakkan.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Patih itu pun berkata, “Nah. aku kira sudah banyak yang aku pesankan kepada kalian berdua. Hati-hatilah. Kalian mengemban tugas negara.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Mereka masih harus singgah di Dalem Kapangeranan untuk menghadap Pangeran Purbaya.

Ki Lurah Agung Sedayu pun mohon diri pula, karena ia masih harus mengantar Glagah Putih dan Rara Wulan menghadap Pangeran Purbaya untuk mohon diri.

“Kedua orang suami istri ini yang akan berangkat mengamati beberapa perguruan dan sarang gerombolan itu, Ki Lurah?”

“Ya, Pangeran. Laki-laki itu adalah adik sepupuku.”

Pangeran Purbaya menarik nafas panjang. Katanya, “Mereka masih terhitung sangat muda. Dengan demikian mereka berdua telah mengorbankan masa muda mereka untuk menjalankan tugas-tugas yang terhitung sangat berat ini. Bahkan seandainya para prajurit sandi pun, akan menerima tugas ini dengan jantung yang berdebar-debar. Tetapi nampaknya mereka berdua menerima tugas ini dengan hati yang terbuka.”

“Mereka merasa bahwa kepercayaan yang diberikan kepada mereka adalah satu kehormatan, sehingga mereka akan menjalankannya dengan senang hati.”

Pangeran Purbaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti bahwa keduanya-lah yang mendapat perintah untuk mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Ki Saba Lintang.”

“Ya, Pangeran. Tetapi keduanya tidak mampu melakukannya. Yang terjadi di Seca itu hampir saja memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang, namun ternyata Ki Saba Lintang berhasil lolos.”

“Aku kira, siapapun yang mendapat tugas seperti itu, tidak akan mampu melakukannya dalam waktu yang terhitung singkat. Mungkin setelah bertahun-tahun. Tetapi cara yang akan Ki Lurah tempuh itu, akan mempercepat usaha untuk menguasai tongkat baja putih itu. Tetapi sebenarnya yang penting bukan tongkat baja putihnya. Tetapi satu keyakinan, bahwa orang yang menguasai tongkat baja putih itu tidak mendapatkan kesempatan untuk menghasut orang banyak sehingga dapat menimbulkan persoalan-persoalan dimana-mana, yang akan dapat mengganggu tegaknya Mataram.”

“Ya, Pangeran.”

“Nah, sekarang Glagah Putih dan Rara Wulan akan menjadi ujung dari serangkaian langkah yang akan diambil Mataram untuk menghancurkan kekuatan yang membayangi kekuasaan Mataram. Mumpung kekuatan itu belum benar-benar kokoh serta mengakar di hati rakyat Mataram.”

“Ya, Pangeran.”

Dengan demikian, maka Pangeran Purbaya telah memberikan berbagai macam pesan-pesan penting bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan tegas Pangeran Purbaya pun berkata, “Kalian tidak perlu memaksa diri jika keadaan yang kalian hadapi benar-benar gawat. Jangan terlalu berpijak pada harga diri yang berlebihan, sehingga kalian mengingkari kenyataan. Jika kalian gagal, maka jangan merasa diri kalian tidak berharga. Setiap usaha menghadapi kemungkinan berhasil atau gagal, sehingga kegagalan adalah hal yang wajar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menundukkan kepala mereka. Tetapi mereka mendengar semua pesan Pangeran Purbaya dengan sungguh-sungguh.

“Nah, aku tahu bahwa untuk melaksanakan tugas kalian, maka kalian tidak akan dapat menghindar dari harga kebutuhan dan jasa di sepanjang perjalanan. Karena itu, maka kalian berdua akan membawa bekal uang untuk membelinya.”

Glagah Putih pun dengan serta-merta telah menjawab, “Ampun Pangeran. Kami sudah mendapat bekal uang dari Kakang Agung Sedayu. Kami telah mendapat pula bekal uang dari Ki Patih.”

Pangeran Purbaya tertawa. Katanya, “Apa salahnya? Mungkin kau harus membeli pengakuan seseorang. Mungkin kau harus membeli petunjuk atau isyarat apa pun di perjalanan.”

“Tetapi Ki Patih Mandaraka telah memberi mereka bekal cukup, Pangeran,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Sambil tertawa Pangeran Purbaya berkata, “Bawalah. Kelak jika kau pulang dengan bekal uangmu yang tersisa, nah, kau dapat menyebutkan pula dalam laporanmu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan serta Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat menolaknya. Karena itu. maka uang itu pun akhirnya diterimanya pula.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri pula. Sambil mengangguk hormat dalam sekali, Glagah Putih pun berkata, “Ternyata kami harus membawa bekal uang banyak sekali. Kami akan menempuh perjalanan kami sebagaimana dua orang suami istri yang kaya raya, yang dapat menghamburkan uang di sepanjang jalan.”

“Mungkin,” sahut Pangeran Purbaya, “tetapi mungkin sekali kau sampai pada suatu daerah yang tidak dapat menerima uangmu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Sementara Pangeran Purbaya pun berkata, “Jika kau berjalan di daerah yang terik, di ara-ara amba yang tidak berpenghuni. maka meskipun kalian membawa uang banyak, tetapi kalian tidak dapat mempergunakan uang kalian.”

“Ya, Pangeran,” sahut Glagah Putih.

“Tetapi sebaliknya, mungkin kalian berdua akan sampai pada satu daerah yang hanya dapat kalian lewati jika kalian mempunyai uang.”

“Ya, Pangeran.”

“Nah, berangkatlah. Berhati-hatilah. Berapapun banyaknya kalian berdua mempunyai uang, tetapi tidak ada orang yang menjual nyawa.”

“Ya, Pangeran, “sahut Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.

Demikianlah, keduanya pun kemudian meninggalkan Dalem Kepangeranan. Glagah Putih dan Rara Wulan akan langsung pergi menjalankan tugasnya, sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka akan berpisah, Glagah Putih pun bertanya, “Kakang, bagaimana dengan uang yang ada padaku ini? Ternyata aku harus membawa uang banyak sekali. Bagaimana kalau uang dari Kakang Agung Sedayu aku kembalikan?”

“Glagah Putih. Apa yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka serta Kanjeng Pangeran Purbaya itu benar. Suatu ketika uang itu tidak akan berarti apa-apa. Tetapi yang lebih sering, kau memerlukan uang itu untuk mendapatkan bukan saja makan, minum dan penginapan, tetapi juga dapat kau pergunakan untuk memperoleh keterangan, petunjuk dan isyarat yang kau perlukan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Keduanya sudah memiliki pengalaman mengembara, sehingga mereka pun mengerti pula maksud Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Karena itu, maka akhirnya mereka pun membawa bekal uang yang mereka terima dalam pengembaraan itu.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta para prajurit yang menyertainya.

“Doa restu Kakang yang kami harapkan,” berkata Glagah Putih.

“Kita akan saling mendoakan.”

“Hormatku kepada Mbokayu Sekar Mirah serta Ki Jayaraga,” desis Rara Wulan.

“Baik, Rara Wulan, aku akan menyampaikannya. Baik-baiklah di jalan. Jika ada pendapat yang berbeda, cari kemungkinan terbaik dengan hati yang tenang. Jangan tinggalkan penalaran yang jernih. Jangan terlalu hanyut pada perasaan kalian.”

Demikianlah, mereka pun berpisah. Ki Lurah Agung Sedayu bersama kedua orang prajuritnya pun melarikan kuda mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan akan mulai dengan perjalanan mereka. Namun mereka akan singgah lebih dahulu di Jati Anom.

Ketika mereka berjalan melewati jalan-jalan utama kota Mataram, maka sambil tersenyum Rara Wulan pun berkata, “Kita batalkan saja pengembaraan kita, Kakang. Kita pergunakan uang itu untuk membeli tanah dan membuat rumah yang bagus di pinggir jalan utama di Mataram.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Lalu kita akan menutup pintu regol halaman rumah kita rapat-rapat, jika Ki Patih Mandaraka atau Kanjeng Pangeran Purbaya lewat di jalan ini.”

Rara Wulan pun tertawa pula.

“Nah, aku ada tiga kampil uang. Satu dari Kakang Agung Sedayu, satu dari Ki Patih Mandaraka dan satu dari Kanjeng Pangeran Purbaya. Sekarang sebaiknya kau membawanya dua.”

“Kenapa dua? Aku membawa satu saja.”

“Yang membawa satu kampil harus membawa kitab Ki Nasmaskara pula.”

“Ah, Tidak begitu. Kitab itu tidak ada hubungannya dengan uang yang tiga kampil ini.”

“Memang tidak ada hubungannya. Tetapi bagi yang membawa, tentu ada hubungannya. Nah, kau membawa dua kampil uang, atau satu tetapi dengan membawa kitab Ki Namaskara itu?”

Rara Wulan pun bersungut-sungut sambil bergeremang, “Terserahlah. Tetapi tentu lebih aman membawa dua kampil uang daripada kitab itu. Kitab itu nilainya berpuluh kampil.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Nah, jika demikian kau bawa dua kampil. Simpan baik-baik, sehingga tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang berpapasan di jalan,”

“Aku akan membeli kalung emas tretes berlian.”

“Tidak ada salahnya, Rara. Nanti di perjalanan, jika kita memerlukan uang, kita menjualnya lagi.”

“Ah, Kakang.”

Glagah Putih tertawa.

Keduanya pun kemudian berjalan semakin cepat menuju ke pintu gerbang kota. Keduanya telah mulai dengan tugas mereka. Tetapi mereka masih akan singgah di Jati Anom, untuk bertemu dan sekaligus mohon doa restu kepada Ki Widura.

Perjalanan ke Jati Anom termasuk perjalanan yang tidak terlalu panjang. Tidak terlalu jauh berbeda dengan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi keduanya telah memilih melewati jalan yang ramai. Jalan utama yang banyak dilalui orang yang menempuh perjalanan dari Mataram ke timur.

Namun ketika mereka keluar dari pintu gerbang, matahari sudah semakin condong ke barat.

“Kita akan kemalaman di jalan,” berkata Rara Wulan.

“Kita akan bermalam di perjalanan.”

“Kita akan melewati jalan di pinggir hutan Tambak Baya setelah malam turun.”

“Apakah kita akan bermalam di sebelah barat hutan Tambak Baya?”

“Dimana? Biarlah kita berjalan terus meskipun malam turun, sampai kita merasa kantuk di perjalanan. Kita dapat bermalam di mana saja.”

Demikianlah, mereka pun berjalan semakin cepat membelakangi matahari yang menjadi semakin rendah.

Ketika senja turun, maka mereka sudah mulai mengikuti jalan yang tidak terlalu jauh dari hutan Tambak Baya. Hutan yang menjadi garang bukan karena binatang buasnya, tetapi kadang-kadang di hutan itu bersembunyi sekelompok penyamun yang sering mengganggu orang lewat.

Justru karena itu, maka jalan sudah mulai menjadi lengang ketika senja turun. Langit yang merah membuat suasana menjadi semakin terasa sepi. Mega-mega yang bergumpal-gumpal di langit bagaikan membayangkan wajah-wajah garang yang muncul dari dalam hutan Tambak Baya.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus. Meskipun kemudian gelap turun, namun mereka tidak juga berhenti.

Dalam pada itu, keduanya pun melihat dalam keremangan ujung malam, beberapa orang yang berjalan di hadapan mereka yang juga menuju ke arah Timur. Ketika mereka menjadi semakin dekat, mereka menjadi semakin jelas melihat, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan yang berjalan dengan tergesa-gesa.

“Aku takut, Kakang,” terdengar suara perempuan itu.

“Berdoalalah, Jah,” terdengar jawaban, “tetapi kita tidak dapat berhenti. Sakit Ayah sudah menjadi sangat parah. Jika kita berhenti dan bermalam di jalan, mungkin kita sudah tidak akan dapat menemui Ayah lagi.”

“Jangan takut, Jah. Bukankah kau tidak sendiri? Aku, Kakang dan sepupu kita ini akan melindungimu. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Rara Wulan pun kemudian berbisik, “Kasihan anak itu, Kakang. Ia menjadi sangat ketakutan.”

“Lalu apa yang dapat kita lakukan?”

“Kita berjalan bersama-sama mereka. Jika ada kawan lebih banyak, mungkin ketakutannya pun akan berkurang.”

Glagah Putih tidak berkeberatan, sehingga keduanya pun berjalan semakin cepat.

Tetapi keduanya telah mengejutkan keempat orang yang disusulnya itu. Demikian mereka menyadari bahwa ada dua orang yang berjalan di belakang mereka, maka mereka pun segera berhenti. Tiga orang laki-laki yang ada di antara mereka itu pun dengan serta-merta telah menarik pedang mereka.

“Siapa kalian, he?”

Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan, agar ia menjawabnya. Suara perempuan akan membuat mereka lebih tenang.

“Kami, Ki Sanak. Kami berdua akan menyeberangi hutan ini. Kami sedang mencari kawan di perjalanan.”

Sebenarnyalah suara Rara Wulan telah menenangkan mereka. Bahkan seorang di antara mereka berdesis, “Seorang perempuan. Yang seorang lagi?”

“Aku suaminya, Ki Sanak.”

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya perempuan yang berada di antara ketiga orang laki-laki itu.

“Kami ingin mengunjungi Ayah kami di Jati Anom, Ki Sanak.”

“Jati Anom? Jati Anom di kaki gunung Merapi di arah Timur itu?”

“Ya, Ki Sanak.”

“Bukankah Jati Anom itu jauh sekali?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Jati Anom memang jauh sekali. Kau pernah pergi ke Jati Anom?”

“Setahun yang lalu. Aku ikut Ayah pergi ke Jati Anom, mengunjungi seorang yang masih ada hubungan darah dengan Ayah.”

“Kami memang akan menempuh perjalanan jauh.”

“Apakah kalian akan berjalan semalaman?”

“Kami memang ingin segera sampai ke Jati Anom,” jawab Glagah Putih. Namun kemudian Rara Wulan pun bertanya, “Ki Sanak semuanya akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke Cupu Watu. Tidak terlalu jauh, dibandingkan dengan Jati Anom.”

“Malam-malam begini?”

Seorang yang agaknya tertua di antara mereka menjawab, “Ayah sedang sakit keras. Kami harus sampai ke Cupu Watu malam ini juga. Kami tidak ingin terlambat.”

“Jika demikian, marilah. Kita berjalan searah. Jika kalian nanti sampai di Cupu Watu, maka perjalanan yang akan aku tempuh masih lebih dari tiga kali lipat,” berkata Glagah Putih.

“Adalah kebetulan sekali. Semakin banyak kawan di perjalanan, rasa-rasanya menjadi semakin tenang.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “juga dapat mengurangi perasaan lelah.”

“Ki Sanak,” berkata seorang di antara ketiga orang laki-laki itu, “jika Ki Sanak bersedia, nanti Ki Sanak dapat beristirahat di rumah Ayah di Cupu Watu. Besok pagi-pagi kalian melanjutkan perjalanan ke Jati Anom.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Glagah Putih, “nanti akan kami pertimbangkan, setelah kita sampai di Cupu Watu.”

Mereka pun terdiam sejenak. Di malam yang semakin kelam, mereka pun melanjutkan perjalanan ke arah timur, melewati hutan Tambak Baya yang garang.

Jalan pun rasa-rasanya menjadi semakin sepi. Tidak ada orang lain lagi yang berjalan melewati jalan itu di malam hari. Meskipun di siang hari jalan itu adalah jalan yang banyak dilalui orang.

Dingin malam terasa semakin mengusik mereka yang berjalan di gelapnya malam. Angin yang semilir terasa bagaikan menusuk sampai ke tulang.

Keempat orang yang akan pergi ke Cupu Walu itu berjalan di depan. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di belakang mereka.

Tiba-tiba saja keempat orang itu pun berhenti. Bahkan mereka bergeser surut selangkah.

“Ada apa?” bertanya Glagah Putih.

Sebelum salah seorang di antara mereka menjawab, maka mereka pun telah menarik senjata-senjata mereka.

Perempuan yang ada di antara ketiga orang laki-laki itu pun menjadi gemetar. Ia melangkah surut, bahkan kemudian berpegangan Rara Wulan.

“Aku takut,” berkata perempuan itu dengan suara yang bergetar, “aku takut.”

“Jangan takut,” berkata Rara Wulan. Sementara perempuan itu justru mendekap Rara Wulan erat-erat.

Tetapi Rara Wulan telap tenang saja. Sementara itu, lima orang laki-laki yang berpakaian serba gelap berdiri di tengah-tengah jalan.

“Jangan takut,” ulang Rara Wulan, “jika mereka ingin berbuat jahat, maka laki-laki yang berjalan bersama kita tentu akan melawan. Menurut penglihatanku mereka berlima, sedangkan ada empat orang lak-laki bersama kita. Jumlahnya hampir sama.”

“Tetapi mereka adalah penyamun yang garang.”

“Kita masih harus meyakinkan, apakah mereka penyamun atau hanya orang lewat seperti kita.”

Perempuan itu terdiam.

Sementara itu laki-laki tertua di antara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu pun bertanya, “Siapakah kalian, Ki Sanak, yang tiba-tiba saja telah berdiri di tengah jalan?”

Seorang di antara kelima orang itu maju selangkah. Dengan nada yang berat serasa menekan jantung, orang itu pun menjawab, “Kami tidak akan berbelit-belit. Serahkan semua harta benda yang kau bawa. Uang, perhiasan, pakaian dan apa saja.”

“Kami tidak membawa apa-apa, Ki Sanak. Kami menempuh perjalanan malam karena orang tua kami sedang sakit. Karena itu tidak ada yang dapat kami berikan kepadamu.”

“Kalian tentu berbohong. Jika benar kalian tidak membawa apa-apa, beri kesempatan kami menggeledah kalian.”

“Silahkan,” berkata laki-laki itu, “kami tidak berkeberatan. Geledah kami semua. Jika ada yang berharga, ambillah. Kami memang membawa uang beberapa keping, sekedar untuk bekal di perjalanan kami yang jauh. Tetapi jika uang yang beberapa keping itu akan kalian ambil, ambillah.”

Tetapi tentu saja Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan membiarkan orang-orang itu menggeledah mereka, karena mereka membawa tiga kampil uang yang akan menjadi bekal perjalanan mereka dalam tugas mereka.

Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Ki Sanak, tolong, beri kesempatan kami lewat. Orang tua kami sakit keras, sehingga waktu kami hanya sedikit sekali.”

Orang yang berdiri di paling depan itu pun berkata, “Kau jangan banyak tingkah. Aku minta kalian membuka baju kalian. Kami akan menggeledah, apakah kalian membawa uang dan perhiasan atau tidak.”

“Ada dua orang perempuan di antara kami,” berkata Glagah Putih, “tentu mereka tidak akan dapat membuka baju mereka.”

“Perempuan merupakan makhluk yang langka di antara kami. Karena itu, maka mungkin sekali kami memerlukan dua orang perempuan itu.”

“Mbokayu,” perempuan yang akan pergi ke Cupu Watu itu mendekap Rara Wulan semakin ketat, “aku takut.”

Tetapi penyamun yang berdiri di paling depan itu pun berkata lantang, “Cepat! Buka baju kalian! Apakah kalian membawa uang atau tidak.”

Glagah Putih pun kemudian melangkah ke depan pula, “Jangan hambat perjalanan kami, Ki Sanak. Tolong, Ayah kami sakit keras. Mungkin Ki Sanak merasakan kepedihan kami. Bayangkan jika Ayah kalian menderita sakit keras, sehingga waktu pun terasa menjadi sangat sempit.”

“Diam!” bentak penyamun itu, “Kalau kau masih berusaha mengelak sekali lagi, maka aku akan menghabisimu.”

Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan. Namun yang terutama harus dipertahankan justru bukan tiga kampil uang, tetapi kitab Ki Namaskara yang ada padanya.

Karena itu maka Glagah Putih itu pun kemudian berkata. “Tidak, Ki Sanak, aku tidak akan membiarkan Ki Sanak menggeledah kami.”

“Apa?” Jika saja nampak, maka wajah penyamun yang berdiri di paling depan itu menjadi merah, “Kau berani menantang kami?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar