Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 369

Buku 369

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Apakah Nyai Demang akan memaksa kami menunggu kedatangan mereka?”

“Ya. Kami akan memaksa Ki Lurah menunggu mereka datang.”

“Jika sebelum mereka datang kami sudah pergi?”

“Tidak. Tidak. Kalian tidak boleh pergi sekarang.”

Ki Lurah Agung Sedayu melihat bahwa Nyai Demang itu sudah menjadi sangat kebingungan. Sejak racunnya gagal membunuh keempat orang yang datang ke rumah Ki Bekel itu, maka Nyi Demang itu sudah mulai kehilangan arah, sehingga apa yang dilakukannya kemudian tidak lagi diperhitungkan sama sekali.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu pun ternyata menjawab, “Baiklah. Kami tidak akan pergi sebelum Ki Jagabaya datang. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan para bebahu, termasuk Ki Jagabaya.”

Ki Bekel pun menjadi sangat gelisah. Agaknya segala sesuatu yang dilakukannya selama ini sangat tergantung kepada ibunya. Karena itu, ketika ibunya menjadi kebingungan, maka Ki Bekel pun menjadi sangat bingung pula. Kegelisahan yang sangat telah membayang di wajahnya. Bahkan Ki Bekel itu pun selalu memandang kepada ibunya yang juga nampak gelisah dan cemas. Bahkan Ki Bekel itu pun kemudian bertanya, “Ibu, apa yang harus kita lakukan?”

“Kita menunggu Ki Jagabaya yang telah dipanggil oleh Ki Kebayan.”

“Tetapi kenapa Ki Jagabaya itu lama sekali belum datang?”

“Diamlah. Diam sajalah. Nanti semuanya akan selesai dengan baik.”

Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Jangan gelisah, Ki Bekel. Ibumu telah gagal. Nanti pun ibumu akan gagal. Baru kemudian aku akan berbicara dengan kau, dengan para bebahu, termasuk Ki Jagabaya.”

“Ibu,” berkata Ki Bekel, “mereka tidak takut kepada Ki Jagabaya. Kenapa mereka justru menunggu? Kenapa mereka tidak Ibu biarkan melarikan diri?”

“Kau juga bodoh seperti Ki Kebayan. Mereka tidak boleh lari. Mereka harus mati di sini. Mereka tidak boleh bertemu lagi dengan prajurit-prajuritnya.”

“Tetapi kenapa mereka nampaknya sama sekali tidak menjadi ketakutan, meskipun Ibu telah mengancam untuk membunuh mereka.”

“Diam! Diam sajalah, anak manja! Kau harus belajar berjuang untuk mencapai satu cita-cita.”

Ki Bekel itu terdiam. Tetapi ia menjadi sangat gelisah. Duduknya menjadi tidak tenang. Ia selalu saja beringsut. Keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya. Sementara itu, Nyai Demang pun telah berdiri dan berjalan hilir mudik di pendapa. Sementara para bebahu yang lain pun tidak tahu lagi, apa yang harus mereka lakukan.

Dalam keadaan yang demikian, Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang berbicara, “Tenang sajalah, Ki Sanak. Tidak akan terjadi apa-apa atas diri kalian, jika kalian tetap duduk di pringgitan. Tetapi jika kalian melibatkan diri dengan kegiatan Ki Jagabaya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diri kalian. Ki Jagabaya adalah orang yang berpengalaman di berbagai macam medan pertempuran, karena ia seorang perampok yang bengis. Demikian pula beberapa orang yang terselip di sini. Mereka luput dari tangan para prajurit, karena mereka tidak ikut pergi ke sarang mereka di ujung hutan itu.”

Ki Bekel dan para bebahu itu terdiam. Tetapi mereka justru menjadi semakin gelisah. Beberapa orang yang semula tidak setuju dengan sikap Ki Bekel atas dorongan Nyai Demang dan Raden Panengah untuk mengambil alih kepemimpinan di Prancak, menjadi semakin menyesal.

Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang di hadapan mereka duduk seorang lurah prajurit yang membawa pasukan yang telah menghancurkan sarang perampok di ujung hutan. Sarang dari orang-orang yang menjadi landasan kekuatan Nyai Demang untuk merebut kedudukan anak tirinya, dan akan diserahkannya kepada anaknya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk dengan tenang. Bahkan mereka sudah tidak lagi duduk bersandar dinding atau tiang pringgitan. Wajah mereka tidak menjadi pucat, serta tangan mereka tidak menjadi gemetar.

Dalam pada itu, Ki Kebayan pun berlari-lari memasuki regol halaman rumah Ki Bekel di Babadan.

Nyai Demang yang melihat kedatangannya pun telah menyongsongnya turun ke halaman.

“Bagaimana dengan Ki Jagabaya?”

“Ki Jagabaya sudah berada di perjalanan ke rumah ini.”

“Dimana ia sekarang?”

“Tinggal beberapa puluh langkah lagi.”

“Bagus. Berapa orang yang datang bersama Ki Jagabaya?”

“Banyak sekali.”

“Berapa, dungu?”

“Aku tidak sempat menghitung.”

“Kira-kira saja. Kira-kira.”

Ki Kebayan itu nampak berpikir. Kemudian ia pun menjawab, “Lebih dari sepuluh orang.”

“Sepuluh orang? Hanya sepuluh orang?”

“Lebih, lebih. Para perampok saja jumlahnya sudah enam orang.”

“Jangan sebut perampok. Aku potong lidahmu,” geram Nyi Demang.

“Bukan, mereka bukan perampok. Tetapi mereka justru orang-orang yang telah membantu kita. Bukankah begitu, Nyai?”

“Ya. Mereka adalah orang-orang yang telah memberikan pengharapan bagi masa depan kita.”

“Ya. Ya, Nyai.”

“Jadi berapa orang jumlah mereka yang datang bersama Ki Jagabaya, selain enam orang itu?”

“Lebih dari dari sepuluh, eh, lebih dari dua puluh orang.”

“Hanya dua puluh?”

“Lebih, Nyai. Lebih. Pokoknya banyak sekali. Mereka datang dalam iring-iringan yang panjang. Mereka akan memenuhi halaman banjar ini.”

Nyai Demang itu pun menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berbalik naik ke pendapa. Dengan lantang Nyi Demang itu pun berkata kepada orang-orang yang duduk di pringgitan, “Nah, kalian mendengar sendiri, bahwa akan datang banyak orang memasuki halaman ini. Betapapun tinggi ilmu para prajurit Mataram, namun rakyat Babadan yang setia kepada pemimpinnya akan menggilas mereka menjadi ndog pangamun-amun.”

“Syukurlah jika mereka sudah datang, sehingga kami tidak menunggu terlalu lama.”

“Kalian akan mati. Mereka akan membunuh kalian.”

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu serta ketiga orang yang menyertainya itu tetap tenang-tenang saja. Namun Ki Lurah itu pun berkata kepada Glagah Putih, “Kita akan menyelesaikannya sendiri. Kita tidak usah memberi isyarat kepada para prajurit.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Jika kita berempat akan mengatasi mereka, apakah kita dapat menghindari kematian di antara mereka? Mereka terlalu banyak.”

“Kita harus berusaha menghindari korban yang jatuh. Kita harus menghindari kematian. Tetapi jika ternyata itu terjadi, apa boleh buat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Tetapi kita akan berusaha,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, sebuah iring-iringan memasuki halaman banjar. Memang benar yang dikatakan oleh Ki Kebayan. Ternyata Ki Jagabaya berhasil mengumpulkan lebih dari dua puluh lima orang.

Ki Bekel di Babadan masih saja nampak cemas. Tetapi ibunya yang berdiri di ujung pendapa sambil bertolak pinggang berkata, “Ki Lurah. Nasibmu memang buruk. Aku memang gagal membunuh kalian dengan racun. Tetapi orang-orangku yang setia kepada cita-cita mereka, untuk mengambil alih kekuasaan Ki Demang Prancak yang sama sekali tidak dikehendaki oleh rakyatnya itu, telah siap membantai kalian. Sebenarnya bagi kalian, mati karena racunku itu akan berlangsung lebih baik, daripada kalian harus mati dicincang oleh rakyatku.”

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih juga tertawa sambil menjawab, “Kalian tidak berhak menentukan kematian kami dengan cara apapun juga. Bahkan seandainya kami mati di sini, itu bukan karena kemampuan kalian, tetapi batas waktu kami memang sudah tiba. Karena itu, kami sama sekali tidak menjadi cemas, karena kami yakin bahwa bukan kalian yang menentukan kematian kami.”

“Persetan!” teriak Nyi Demang, “Sekarang bangkitlah, agar kami tidak perlu menyeret kalian dari pringgitan dan membantai kalian di halaman.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun segera bangkit berdiri. Demikian pula Sekar Mirah, Glagah Putih dan Para Wulan. Mereka melangkah perlahan-lahan mendekati Nyai Demang. Namun Nyai Demang pun segera melangkah surut dan berdiri di tangga pendapa.

Sementara itu Ki Bekel pun menjadi bimbang, apa yang harus dilakukannya. Sehingga ibunya berteriak, “Ki Bekel! Kenapa kau diam saja? Bangkit dan kemarilah. Bergabunglah dengan rakyatmu yang setia, untuk membunuh keempat orang itu.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun segera mengajak para bebahu yang masih berada di pringgitan untuk turun ke halaman, bergabung dengan Ki Jagabaya, Beberapa perampok yang masih tersisa di padukuhan Babadan, serta sekelompok orang yang berada di halaman.

“Kita akan menentukan kemenangan kita hari ini,” berkata Nyai Demang. “Kita akan membunuh pemimpin prajurit Mataram yang telah membunuh sahabat-sahabat kita yang tinggal di ujung hutan. Tanpa pemimpinnya, maka prajurit Mataram akan menjadi seperti seorang yang lumpuh, yang tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu, jangan sampai lolos. Ki Lurah Agung Sedayu serta ketiga orang yang menyertainya itu harus mati di sini.”

Tiba-tiba Ki Jagabaya itu pun berteriak, “Bunuh mereka secepatnya! Kita tidak mempunyai banyak waktu.”

Namun Glagah Putih-lah yang menyahut, “Ki Jagabaya. Bukankah kita pernah ketemu? Apakah Ki Jagabaya sudah lupa?”

Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Ia memang pernah bertemu dengan orang itu bersama istrinya, yang sekarang juga berdiri di sebelahnya.

Namun sekarang Ki Jagabaya mempunyai banyak kawan. Karena itu, maka Ki Jagabaya itu pun berkata, “Sekarang, kau tidak akan dapat luput dari tanganku. Kesombonganmu akan menjerumuskanmu ke dalam petaka. Bahkan akan melepaskan nyawamu dari tubuhmu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia pun berdesis kepada Ki Lurah Agung Sedayu, “Kita akan memilih lawan. Kita akan menangkap kawan-kawan Ki Jagabaya yang agaknya berasal dari ujung hutan.”

“Ya,” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia pun segera menggamit Sekar Mirah dan Rara Wulan, “Amati orang-orang yang kita duga berasal dari ujung hutan.”

Dalam pada itu, terdengar Ki Jagabaya berteriak lebih keras, “Bunuh orang-orang itu!”

Sekelompok orang yang berada di halaman itu mulai bergerak. Bahkan kemudian di antara mereka terdapat Ki Bekel dan para bebahu.

Demikian mereka mulai bergerak, Nyai Demang pun berteriak, “Bagus, Ki Bekel! Kau bukan lagi anak manja yang hanya pandai merajuk. Kini kau telah menjadi seorang pahlawan yang akan memperjuangkan cita-cita.”

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah turun ke halaman. Mereka pun langsung berada dalam kepungan.

“Bunuh mereka!” teriak Ki Jagabaya, yang disambut oleh Nyai Demang, “Ya, bunuh mereka!”

Namun suara Nyai Demang bagaikan tertelan, ketika tiba-tiba saja tanpa diketahui bagaimana terjadinya, Rara Wulan sudah berdiri di hadapannya.

“Bagaimana kalau aku bunuh kau?”

Nyai Demang yang terkejut itu menjadi pucat. Tiba-tiba saja ia pun berlari berlindung di belakang Ki Jagabaya sambil berteriak, “Tolong! Tolong aku, Ki Jagabaya.”

Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak mengejarnya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kau akan melindunginya, Ki Jagabaya?”

Nada suara Rara Wulan terdengar sebagai ancaman bagi Ki Jagabaya. Tiba-tiba saja Ki Jagabaya pun berteriak pula, “Jaga perempuan itu agar tidak melarikan diri!”

“Aku tidak akan melarikan diri,” berkata Rara Wulan, “aku senang melihat Nyai Demang menjadi pucat seperti kapuk.” Lalu katanya, “Nah, Ki Bekel, utulah ibumu. Ia hanya pandai berteriak-teriak serta memaksamu untuk menjadi pahlawan. Tetapi ibumu sendiri ternyata seorang pengecut. Ia berlari terbirit-birit ketika aku mendekatinya. Sudah tentu bahwa perempuan seperti itu tidak akan dapat mendidik anaknya menjadi seorang pahlawan, meskipun perempuan itu sangat menginginkannya.”

Namun setelah Nyai Demang berdiri di belakang Ki Jagabaya serta merasa aman, ia pun berteriak lagi, “Kau jangan terlalu sombong, perempuan binal! Kau-lah yang telah menyalahi kodrat seorang perempuan. Seorang perempuan tidak harus turun ke medan perang. Mereka sudah mempunyai tugas sendiri dengan mempertaruhkan nyawanya. Perempuan mempunyai kewajiban melahirkan anaknya dengan kemungkinan paling pahit, karena seorang yang melahirkan dapat mati, sebagaimana seorang laki-laki yang turun di medan perang.”

“O, jadi menurut pendapatmu, seorang perempuan itu tugasnya hanya melahirkan, sedangkan laki-laki turun ke medan perang?”

“Ya. Dan itulah yang terjadi. Karena itu, jika ada perempuan yang turun ke medan pertempuran, maka ia telah menyalahi kodratnya.”

“Aku akan melakukan kedua-duanya, Nyai Demang,” jawab Rara Wulan. “Aku akan melahirkan, sementara sebelum itu, aku akan turun ke medan pertempuran.”

“Bunuh perempuan iblis itu, Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya itu pun sekali lagi berteriak, “Bunuh mereka!”

Ternyata kata-kata Nyai Demang itu sama sekali tidak menusuk perasaan Rara Wulan. Yang terasa seperti tersengat lebah justru perasaan Sekar Mirah. Ternyata bahwa Sekar Mirah tidak dapat memenuhi kewajiban seorang perempuan untuk melahirkan seorang anak. Tetapi ia justru berada di medan pertempuran sebagaimana laki-laki.

Kata-kata Nyai Demang itu justru telah membuat Sekar Mirah termangu-mangu sesaat. Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah itu pun menggeram. Sebelum pertempuran itu dimulai, tiba-tiba saja Sekar Mirah telah menarik tongkat baja putihnya yang berada di dalam bungkus kulitnya yang tersangkut di punggungnya.

Dengan geram Sekar Mirah itu pun berkata dengan suara yang bergetar, “Aku bunuh kau, Nyai Demang. Jika Ki Jagabaya mencoba menghalangiku, maka kau akan mati lebih dahulu.”

Rara Wulan dan Glagah Putih justru terkejut. Rara Wulan yang berniat mempermainkan Nyai Demang itu tidak mengira bahwa Sekar Mirah merasa tersinggung karenanya.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu tanggap akan perasaan istrinya yang tidak sempat melahirkan seorang anak pun. Karena itu, maka Ki Lurah pun segera meloncat ke sampingnya. Didekapnya Sekar Mirah sambil berdesis, “Sabarlah, Mirah. Jangan terbelit oleh gejolak perasaanmu, sehingga kau kehilangan kesabaran. Bukan waktunya untuk merasa kecewa. Jika kau ledakkan kemarahanmu di sini, maka perbuatanmu itu akan dapat berarti bahwa kau telah menggugat Yang Maha Agung, karena sebenarnya apa yang terjadi atas diri kita itu semata-mata tergantung kepada kehendak-Nya.”

“Aku tidak menggugat siapa-siapa. Tetapi aku akan mengoyak mulut perempuan itu.”

“Mirah. Jangan lakukan itu karena kemarahan yang bergejolak di dadamu. Kita sedang menghadapi satu permainan yang menarik. Seharusnya kau lupakan barang sejenak perasaanmu yang pahit itu.”

Sementara itu Rara Wulan pun telah bergeser mendekati Sekar Mirah. Ia pun akhirnya mengetahui, apa yang sedang bergejolak di jantung Sekar Mirah. Karena itu, maka ia pun berkata, “Mbokayu, maafkan aku. Tetapi bersabarlah. Seperti yang dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu, kita sedang menghadapi permainan yang menarik. Jika Mbokayu bertempur dengan kemarahan yang bergejolak di dalam dada, maka Mbokayu akan dapat membayangkan sendiri akibatnya.”

“Mirah,” desis Agung Sedayu, “kita tidak berhadapan dengan orang-orang berilmu, yang pantas kau hadapi dengan kemarahanmu.”

Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Terdengar perempuan itu berdesis, “Kakang.”

“Sudalah,” sahut Agung Sedayu, “kau lihat orang-orang itu sudah mengepung kita.”

Sekar Mirah mengangkat wajahnya memandang berkeliling. Sementara itu Rara Wulan melihat titik-titik bening di mata Sekar Mirah.

Ki Jagabaya dan Nyai Demang yang melihat sikap keempat orang yang berada di dalam kepungan itu menjadi heran, sehingga mereka yang sudah mulai bergerak itu pun tertegun sejenak.

Namun akhirnya mereka pun menyadari, bahwa mereka sudah siap untuk menyerang keempat orang itu. Bahkan Ki Jagabaya seolah-olah melihat kesempatan, selagi keempat orang itu bersikap aneh dan tidak dapat dimengertinya.

“Persetan dengan persoalan mereka,” geram Ki Jagabaya, “sekarang bunuh mereka. Jangan ragu-ragu lagi. Yang mereka lakukan itu hanyalah sekedar mengulur waktu. Mungkin mereka menunggu prajurit-prajuritnya yang akan datang jika dalam waktu tertentu mereka berempat tidak kembali. Tetapi jika mereka datang, serta pemimpin mereka sudah mereka dapatkan terbunuh di sini, maka mereka tidak akan berani berbuat apa-apa.”

“Ki Jababaya benar. Mereka telah memainkan peran mereka dengan baik sekali untuk mengulur waktu. Karena itu maka bunuh mereka, sebelum prajurit-prajurit mereka datang.”

Orang-orang dari ujung hutan yang tersisa di Babadan itu-lah yang memancing gerakan orang-orang Babadan. Demikian mereka mulai menyerang, maka orang-orang Babadan itu pun telah bergerak pula. Bahkan halaman banjar itu semakin lama menjadi semakin banyak orang yang bedatangan. Mereka adalah orang-orang Babadan yang merasa bahwa mereka sedang memperjuangkan kebenaran.

Ketika Sekar Mirah mulai beringsut, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun berbisik, “Hati-hatilah dengan senjatamu, Mirah. Senjatamu adalah senjata yang jarang ada duanya. Setiap sentuhannya akan dapat berarti kematian. Bukankah kita tidak menginginkannya?”

Sekar Mirah mengangguk.

“Bagus. Sekarang, marilah kita mulai dengan permainan kita. Kita akan dapat mengenali orang-orang yang berasal dari ujung hutan. Kita memang tidak perlu membunuh mereka, tetapi kita akan berusaha membuat agar mereka tidak dapat lari lagi. Mungkin kita akan membuat mereka pingsan atau kesakitan, atau terluka, sehingga mereka tidak dapat meninggalkan arena ini.”

Dalam pada itu, Ki Jagabaya serta orang-orang yang tersisa dari ujung hutan itu, diikuti oleh rakyat Babadan, telah bergerak serentak.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri pada jarak yang tidak terlalu jauh, sehingga kepungan itu pun menjadi semakin kecil. Dengan demikian, maka orang-orang yang ingin bertempur bersama-sama melawan keempat orang itu pun menjadi saling berdesakan, sehingga menjadi tidak leluasa menggerakkan senjata mereka.

Ternyata yang berdiri di paling depan adalah orang-orang yang nampaknya agak berbeda dengan orang-orang Babadan kebanyakan. Wajah-wajah mereka pun nampak garang. Mata mereka liar, sementara mereka bertempur dengan keras dan kasar.

Tetapi yang mereka hadapi adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian, maka mereka pun tidak segera dapat berhasil. Bahkan bergantian mereka seolah-olah telah dilemparkan dari arena pertempuran, menimpa orang-orang Babadan yang berdiri di belakangnya.

Pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Nyai Demang telah menyingkir dan naik ke pendapa. Ia ingin melihat, bagaimana keempat orang itu mati di tangan orang-orang yang setia kepadanya.

Nyai Demang memang tidak pandai menilai dengan tepat keseimbangan pertempuran. Yang dilihat oleh Nyai Demang itu adalah, bahwa keempat orang itu sudah terkepung sangat rapat.

“Kau akan lari kemana, tikus-tikus liar?” geram Nyi Demang.

Tetapi dari atas pendapa, ia sempat melihat orang-orangnya setiap kali terlempar dari arena menimpa, kawan-kawannya.

Keempat orang yang bertempur melawan orang se-halaman rumah Ki Bekel yang luas itu ternyata tidak banyak mengalami kesulitan. Bahkan ketika Ki Jagabaya sendiri melibatkan diri, maka Glagah Putih pun mentertawakannya sambil berkata, “Marilah, Ki Jagabaya. Aku sudah siap untuk melayanimu lagi.”

Ki Jagabaya tidak mau direndahkan di hadapan kawan-kawannya dari ujung hutan. Ia sudah mendapat kepercayaan dari Raden Panengah untuk menjadi Jagabaya di Babadan. Karena itu, maka ia pun harus dapat membuktikan kesanggupannya menjalankan kewajiban sebagai seorang Jagabaya.

Tetapi bagaimanapun juga, kemampuan Ki Jagabaya itu memang tidak seimbang dengan kemampuan Glagah Putih. Karena itu, beberapa kali Ki Jagabaya itu terpelanting dengan kerasnya.

Ki Jagabaya itu pun kemudian tidak dapat ingkar, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat banyak. Karena itu, maka ia pun selalu berteriak-teriak lantang, bahkan isyarat agar kawan-kawannya membantunya.

Namun mereka memang tidak berdaya. Ki Lurah Agung Sedayu bersama ketiga orang yang menyertainya telah memilih orang-orang yang pantas mereka anggap sebagai bagian yang tersisa dari orang-orang yang tinggal di ujung hutan, untuk menghentikan perlawanan mereka. Seorang di antara mereka yang terpelanting menimpa senjata kawannya sendiri, telah terluka parah di punggungnya. Beberapa orang Babadan pun telah diperintahkan untuk membawa orang itu menepi. Namun ketika orang-orang Babadan itu kembali ke arena, maka seorang lagi telah diusung menepi pula. Orang itu telah tersentuh tongkat baja putih Sekar Mirah di bahunya, sehingga tulangnya menjadi retak.

Beberapa saat kemudian, seorang lagi nafasnya bagaikan tersumbat karena kaki Glagah Putih menyentuh dadanya. Sementara seorang yang gemuk, menjadi pingsan karena tangan Rara Wulan menyambar keningnya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu melihat orang-orang Babadan yang sudah terpengaruh oleh Nyai Demang serta Raden Panengah itu rasa-rasanya telah kehilangan penalaran mereka, sehingga mereka bagaikan wayang saja yang digerakkan oleh dalangnya.

“Mereka menjadi seperti orang mabuk tuak,” berkata Glagah Putih kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

“Sulit untuk menghentikan mereka. Sementara itu rakyat Babadan masih saja mengalir ke halaman padukuhan ini.”

Glagah Putih tidak sempat menjawab. Seorang telah melontarkan tombaknya ke arah dadanya. Namun Glagah Putih itu sempat mengelak, sehingga tombak yang meluncur itu justru mengenai paha kawannya, yang berdiri berseberangan dan berada di garis serangan itu.

Terdengar orang itu berteriak mengumpat. Namun ia pun segera roboh karena tombak yang menancap di pahanya itu.

“Apakah kita akan bertempur terus sampai orang yang terakhir tidak mampu melawan lagi?” bertanya Glagah Putih.

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang.

Dalam pada itu, maka keempat orang yang harus bertempur melawan banyak orang itu sudah menghentikan perlawanan beberapa orang yang mereka duga orang-orang yang berasal dari ujung hutan itu. Bahkan Ki Jagabaya sendiri akhirnya terpelanting membentur dinding halaman rumah Ki Bekel di Babadan itu. Kepalanya menjadi pening, sedangkan tulang-tulangnya serasa menjadi retak di mana-mana. Karena itulah maka tubuhnya pun terkulai lemah.

Meskipun demikian, orang-orang Babadan yang sudah terpengaruh oleh harapan-harapan yang muluk menggapai langit yang sering dilontarkan oleh Nyai Demang dan anak laki-lakinya, Ki Bekel Babadan, serta Raden Panengah yang pandai berbicara dengan gaya yang sangat menarik, seakan-akan telah kehilangan kepribadian mereka. Meskipun mereka melihat orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan itu sudah tidak berdaya, namun mereka sama sekali tidak melangkah surut.

“Glagah Putih,” desis Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “kita harus berusaha menghentikan mereka. Jika mereka menjadi seperti orang mabuk yang kehilangan nalarnya, maka mungkin sekali akan jatuh beberapa orang korban, meskipun kita tidak sengaja melakukannya.”

“Maksud, Kakang?”

“Kita robohkan regol halaman yang nampaknya tidak begitu kokoh itu, meskipun agaknya belum lama dibuat.”

“Bagus, Kakang.”

“Kau menyerang uger-uger pintu di sebelah kiri, aku di sebelah kanan. Kemudian kau runtuhkan atapnya di sisi kiri, aku akan berusaha untuk meruntuhkan sisi kanannya.”

“Baik, Kakang. Mudah-mudahan cara ini dapat menghentikan orang-orang Babadan yang menjadi seperti kesurupan.”

Untuk beberapa saat, Glagah Putih dan Ki Lurah Agung Sedayu masih saja bertempur melawan orang-orang Babadan yang jumlahnya menjadi semakin banyak. Orang-orang yang tidak lagi dapat berpikir bening. Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah satu perjuangan untuk membangun masa depan mereka bagi anak cucu mereka. Kesejahteraan yang tinggi, serta kedudukan yang paling terhormat di seluruh Kademangan Prancak.

Namun beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah pun berkata kepada Glagah Putih, “Sekarang, Glagah Putih. Naiklah ke tangga pendapa.”

Glagah Putih pun segera meloncat ke tangga pendapa. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.

Bersamaan mereka telah meluncurkan ilmu puncak mereka. Dari tangan Glagah Putih seakan-akan telah meluncur sinar yang berwarna kehijau-hijauan. Sementara itu, sinar mata Ki Lurah yang bagaikan bara api itu telah memancarkan pula ilmunya yang jarang ada duanya.

Demikianlah, kedua kekuatan yang sangat besar itu telah meluncur menghantam uger-uger pintu regol halaman rumah Ki Bekel. Dengan demikian, maka pintu regol halaman rumah Ki Bekel itu pun telah terguncang oleh kekuatan yang sangat besar. Sedangkan sesaat kemudian, maka Glagah Putih dan Ki Lurah Agung Sedayu telah menghantam atap regol yang tidak begitu kokoh itu dengan ilmu puncak mereka pula.

Regol halaman rumah Ki Bekel itu bagaikan telah meledak. Sekejap kemudian, maka regol halaman rumah Ki Bekel itu pun telah runtuh.

Orang-orang yang berada di halaman itu pun terkejut. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun sempat terkejut pula. Namun mereka pun segera mengerti, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih ingin segera menyelesaikan pertempuran itu tanpa harus mengorbankan nyawa seseorang.

Sebenarnyalah orang-orang Babadan itu pun menjadi gentar. Mereka pun kemudian berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berdiri di tangga pendapa.

“Kalian lihat, apa yang terjadi?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu dengan lantang.

Pertempuran pun telah berhenti. Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun saling bepandangan sejenak. Mereka mula-mula merasa heran atas apa yang terjadi. Namun kemudian mereka pun menjadi sangat ngeri. Serangan serupa dapat saja ditujukan kepada mereka, sehingga dengan demikian maka korban pun akan berjatuhan dan mayat akan terkapar terbujur lintang di halaman.

Ki Bekel yang masih saja belum turun ke medan pertempuran menjadi gemetar. Demikian pula Nyai Demang. Rasa-rasanya nyawanya telah melayang bersama dengan runtuhnya regol halaman rumah Ki Bekel itu.

“Nah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “bukan niatku menyombongkan diri. Tetapi kami, dan bahkan kedua orang perempuan yang datang bersama kami berdua itu pun mampu melakukannya. Jika kalian tidak menghentikan tindakan kalian yang bodoh niu, maka aku akan melakukannya dengan sasaran yang berbeda. Kalian-lah yang akan menjadi sasaran. Aku tidak peduli berapa orang yang akan mati. Adalah hak kami untuk membela diri. Apalagi saat ini aku adalah seorang prajurit yang sedang mengemban tugas.”

Orang-orang yang berada di halaman itu pun berdiri diam bagaikan membeku. Mereka melihat beberapa orang kawan mereka terkapar di halaman. Bahkan beberapa orang menjadi pingsan, atau sudah terlanjur kehilangan nyawa mereka.

Dalam pada itu, terdengar Ki Lurah itu pun berkata selanjutnya, “Nah, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Apakah kalian masih ingin bertempur terus, atau kalian akan menghentikan perlawanan dan mendengarkan kata-kataku.”

Orang-orang yang masih berada di halaman itu berdiri termangu-mangu.

“Cepat, ambil keputusan! Atau kami akan kehilangan kesabaran. Jika kalian menghentikan perlawanan, maka kami akan mempunyai kesempatan untuk berbicara. Tetapi jika kalian tetap pada niat kalian untuk melawan kami, maka kami akan membunuh kalian semuanya tanpa ampun. Kami akan mengosongkan padukuhan Babadan untuk beberapa lama. Kemudian, kami akan menempatkan orang-orang baru untuk tinggal di sini. Kalian semuanya yang tersisa akan melihat, bahwa Babadan akan menjadi baru sama sekali. Para penghuni, para bebahu dan pemilikan atas tanah di padukuhan ini akan berubah sama sekali. Semuanya akan menjadi baru. Babadan yang lama telah lebur. Yang kemudian akan menjadi bagian dari Kademangan Prancak adalah Babadan yang baru.”

Orang-orang yang berada di halaman sambil memegang senjata mereka seadanya itu pun masih tetap diam mematung.

“Baiklah. Kita tidak boleh berlarut-larut dalam teka-teki ini. Sekarang kalian harus menjawabnya. Jika kalian ingin menyelesaikan persoalan kalian dengan baik, maka bawa Nyai Demang dan Ki Bekel itu kemari. Bawa mereka naik ke pendapa. Demikian pula Ki Jagabaya yang terkulai itu, serta para bebahu yang lain. Tetapi jika kalian tidak melakukannya, maka kami berempat akan menyerang kalian dengan ilmu pamungkas kami. Kalian akan menjadi sasaran sebagaimana regol halaman rumah Ki Bekel ini.”

Suasana pun menjadi sangat tegang. Orang-orang yang berada di halaman itu tidak segera dapat mengambil keputusan. Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu pun berkata, “Aku akan menghitung sampai sepuluh. Kami berempat akan berdiri berjajar di sini. Jika sampai hitungan ke-sepuluh kalian belum membawa Nyai Demang dan Ki Bekel kemari, maka kami akan membunuh kalian semuanya. Kemudian kami akan menghancurkan Babadan lama ini menjadi abu. Di atasnya nanti akan dibangun Babadan baru, dengan orang-orang baru.”

Rara Wulan dan Sekar Mirah pun tanggap akan maksud Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka mereka pun segera naik ke tangga pendapa itu pula.

Orang-orang yang berada di halaman menjadi sangat gelisah. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu pun mulai menghitung, “Satu, dua, tiga……”

Ternyata orang-orang di halaman itu pun menjadi gentar. Mereka melihat Ki Lurah Agung Sedayu serta ketiga orang yang lain bagaikan algojo-algojo yang siap menebas leher mereka, sehingga kepala mereka terpenggal.

Ketika Ki Lurah Agung sedayu sampai hitungan ke-lima, maka orang-orang Babadan itu menjadi sangat gelisah. Akhirnya seorang di antara mereka pun berteriak, “Kita bawa Nyai Demang dan Ki Bekel ke pendapa!”

Seorang yang Iain pun menyahut, “Ya. Kita bawa mereka ke pendapa!”

Ternyata pernyataan itu telah menggerakkan beberapa orang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang kemampuan keempat orang yang berdiri di tangga pendapa itu. Jika mereka benar-benar melontarkan ilmu pamungkasnya ke arah mereka yang berdiri di halaman itu, maka seperti yang mereka katakan, mereka yang berada di halaman itu pun akan mati sampai orang yang terakhir.

Karena itu, maka beberapa orang pun segera menangkap Nyai Demang serta Ki Bekel Babadan, dan menarik mereka ke pendapa.

“Jangan! Jangan!” Nyi Demang berteriak-teriak. “Ki Jagabaya, tolong aku!”

Tetapi Ki Jagabaya masih terkulai dengan lemahnya. Meskipun ia mencoba untuk bangkit, tetapi ia sudah tidak berdaya sama sekali.

Sementara itu Nyai Demang masih saja berteriak-teriak, “Jangan! Lepaskan aku! Lepaskan!”

Tetapi orang-orang Babadan itu tidak menghiraukannya. Mereka telah menyeret Nyai Demang dan Ki Bekel ke pendapa.

“Bawa perempuan itu naik,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

Meskipun Nyai Demang meronta-ronta, namun ia tidak berhasil melepaskan dirinya dari tangan beberapa orang laki laki yang menyeretnya ke pendapa.

Ki Bekel pun tidak dapat berbuat lain. Ia tidak meronta dan berteriak seperti ibunya. Tetapi Ki Bekel itu menurut saja ketika ia dibawa naik ke pendapa.

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian berbicara kepada orang-orang Babadan yang berada di halaman, “Nah, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan pulang dahulu, atau kalian akan menunggui pembicaraan di antara kami. Kami masih menunggu Ki Jagabaya dan para bebahu. Namun jika kalian akan pergi, rawat kawan-kawan kalian. Mudah-mudahan tidak ada di antara mereka yang mati. Tetapi aku minta orang-orang yang datang dari ujung hutan itu untuk diikat pada pepohonan, kecuali Ki Jagabaya yang harus kalian bawa kemari.”

Ternyata orang-orang padukuhan Babadan melakukan perintah Ki Lurah Agung Sedayu, karena mereka tidak ingin mati di halaman rumah Ki Bekel itu.

Dalam pada itu, Nyai Demang, Ki Bekel, Ki Jagabaya yang masih lemah, serta para bebahu, telah dibawa naik ke pendapa.

Sejenak kemudian, maka orang-orang Babadan itu pun menjadi sibuk. Mereka mengumpulkan sanak kadang, tetangga-tetangga serta kawan-kawan mereka yang terkapar di halaman. Beruntunglah bahwa tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Tetapi ada beberapa orang yang terluka cukup parah. Sedangkan ada pula yang lain yang menjadi pingsan.

Seperti yang diperintahkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka beberapa orang yang berasal dari sarang mereka di ujung hutan, telah diikat pada batang-batang pohon di halaman. Orang-orang Babadan itu mengenal benar, siapakah di antara mereka yang berasal dari ujung hutan itu.

Di pringgitan, Ki Bekel, Nyai Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu duduk dengan kepala tunduk menghadap Ki Lurah Agung Sedayu. Sedangkan orang-orang tua dan orang-orang terkemuka di Babadan telah naik ke pendapa pula, serta duduk agak terpisah dari mereka yang dihadapkan kepada Ki Lurah. Mereka ingin mengetahui apa saja yang akan dibicarakan oleh Nyai Demang, Ki Bekel serta para bebahu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang mula-mula berbicara, “Ki Bekel. Kenapa Ki Bekel berniat mengambil alih jabatan Ki Demang Prancak, sehingga Ki Bekel kemudian menjadi Demang di Prancak, atau kademangan apapun juga namanya nanti, tetapi yang wilayahnya adalah wilayah Kademangan Prancak?”

Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ibunya dengan wajah yang tegang.

“Ampun, Ki Lurah,” Nyai Demang-lah yang menyahut. Namun dengan cepat Ki Lurah Agung Sedayu berkata, “Bukan kau, Nyai. Aku bertanya kepada Ki Bekel.”

“Aku mengerti, Ki Lurah. Aku pun akan menjawab atas nama Ki Bekel.”

“Sekali lagi aku katakan, aku bertanya kepada Ki Bekel. Jangan paksa aku membentak dan memaksa Nyai Demang untuk diam.”

Nyai Demang terdiam. Ia melihat wajah Ki Lurah yang menjadi kemerah-merahan. Agaknya Ki Lurah Agung Sedayu itu benar-benar menjadi marah.

“Nah, jawablah, Ki Bekel.”

Ki Bekel itu masih saja ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa menjawab dengan suara yang sendat, “Aku menurut saja apa yang dimaui oleh Ibu.”

“Jadi, yang mempengaruhimu agar kau melawan kakakmu adalah ibumu?”

“Bukan maksudku untuk melawan Ki Demang Prancak, Ki Lurah.”

“Kalau Nyai Demang masih saja menjawab, aku akan memerintahkan untuk menyumbat mulutmu.”

Nyai Demang terdiam lagi. Tetapi kegelisahan yang sangat membayang di wajah dan sikapnya. Beberapa kali ia beringsut. Namun ia tidak berani berkata apa-apa lagi.

“Ki Bekel,” berkata Ki Lurah kemudian, “jadi yang mempengaruhi agar kau melawan Ki Demang adalah ibumu?”

Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya, Ki Lurah.”

Nyi Demang beringsut pula setapak. Tetapi Ki Lurah mendahuluinya, “Jangan bicara apa-apa.” Selanjutnya Ki Lurah itu pun bertanya, “Selain ibumu, apakah ada orang lain yang mempengaruhimu?”

Wajah Ki Bekel menjadi sangat tegang. Sementara itu Ki Lurah pun berkata, “Aku dapat mempergunakan banyak cara untuk memaksamu berbicara. Sampai saat ini aku tidak mempergunakan cara yang terburuk.”

Keringat dingin membasahi pakaian Ki Bekel. Dengan gagap ia pun menjawab, “Ada, Ki Lurah.”

“Siapa?”

Ki Bekel semakin menjadi bingung. Wajahnya menjadi sangat tegang dan pucat. Sekali-sekali ia berpaling kepada ibunya yang juga menjadi sangat tegang.

Namun Ki Bekel itu pun menjawab dengan penuh kebimbangan, “Raden Panengah.”

“Raden Panengah, pemimpin gerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan itu?”

Ki Bekel tidak mempunyai jawaban lain. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Ya, Ki Lurah.”

“Kapan kau mulai mengenal orang yang bernama Raden Panengah itu?”

“Sudah agak lama, Ki Lurah.”

“Siapakah yang memperkenalkan kau dengan Raden Panengah?”

Sekali lagi Ki Bekel menjadi sangat bimbang. Namun akhirnya ia pun menjawab, “Ibu, Ki Lurah.”

“Jika demikian, siapakah yang memulainya? Nyai Demang yang berniat melawan Ki Demang kemudian minta tolong kepada Raden Panengah, atau Raden Panengah yang ingin memanfaatkan keadaan di Babadan ini bagi kepentingannya, sehingga ia mempengaruhi Nyai Demang, agar membujuk Ki Bekel untuk melawan kakaknya? Jika Ki Bekel berhasil, maka Babadan dan seluruh kademangan ini akan menjadi sarang gerombolan yang dipimpin oleh Raden Panengah itu. Meskipun ujudnya Ki Bekel yang menjadi Demang di kademangan ini, tetapi ia tidak mempunyai kuasa apa-apa. Bahkan Nyai Bekel pun akan disisihkan pula, sehingga kekuasaan yang sebenarnya akan berada di tangan Raden Panengah.”

Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin menunduk, sementara Nyai Demang yang muda itu pun menjadi gemetar.

“Ki Bekel,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “sebenarnyalah aku tidak ingin mencampuri persoalan yang timbul di kademangan ini. Tetapi aku pun tidak mau ada orang lain yang melakukannya. Selama ini orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu telah mencampuri langsung persoalan yang timbul, atau sengaja di timbulkan, di kademangan ini. Dengan kekuatan mereka berusaha memaksakan kehendak mereka. Sementara itu Ki Bekel Babadan adalah orang yang hatinya sangat lemah, sehingga ia bersedia melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Ia tidak berdiri sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan. Tetapi Ki Bekel justru menjadi semacam golek yang dipermainkan oleh orang-orang di ujung hutan. Sementara Nyai Demang adalah seorang yang tamak, yang mabuk kekuasaan, dan lebih dari itu, hatinya telah tertambat pula kepada orang yang menyebut dirinya Raden Panengah. Maka lengkaplah kesalahan yang telah dilakukan oleh Nyai Demang. Sehingga ia rela mengorbankan apa saja untuk dapat mencapai maksudnya. Disahkannya segala cara tanpa menghiraukan tatanan, paugeran dan kehormatan bagi dirinya.”

Nyai Demang itu pun tiba-tiba telah terisak, Ki Bekel yang melihat ibunya menangis, telah mengusap air matanya pula.

Namun tidak seorangpun tahu, makna dari tangis Nyai Demang. Bahkan Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Kita hanya dapat melihat kesan-kesan lahiriahnya saja atas kalian, para pemimpin padukuhan Babadan. Tetapi kita tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hati mereka. Jika kita melihat Nyai Demang menagis, kita tidak tahu apa yang ditangisinya. Apakah Nyai Demang menangis untuk menyesali kesalahan yang pernah dilakukannya? Apakah Nyai Demang menyesal karena tidak dapat mencapai maksudnya, sehingga menjadi sangat kecewa dan bahkan pendendam? Atau sekedar dilakukannya agar terasa pantas, bahwa Nyai Demang itu seharusnya memang menangis? Atau karena alasan-alasan yang lain?”

Tangis Nyai Demang itu semakin menjadi-jadi. Dengan suara yang patah-patah ia pun berkata, “Aku menyesali kesalahanku, Ki Lurah. Aku sangat menyesal, bahwa karena perbuatanku itu, Kademangan Prancak mengalami benturan-benturan di antara keluarga sendiri.” 

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukannya. Bahkan Ki Lurah itu pun berkata, “Untuk selanjutnya, biarlah Ki Demang berbicara langsung dengan Ki Bekel Babadan. Keduanya adalah kakak beradik. Keduanya mempunyai ikatan darah yang sangat erat. Karena itu, aku yakin bahwa keduanya akan dapat menemukan kesimpulan yang memuaskan segala pihak. Sementara itu aku akan menyingkirkan orang-orang yang berasal dari ujung hutan. Mereka adalah tawanan yang akan aku bawa ke Mataram. Namun dalam pada itu, aku juga terpaksa membawa Nyai Demang bersama kami.”

“Ki Lurah!” Nyai Demang itu menjerit, “Jangan bawa aku pergi dari padukuhan ini.”

“Untuk sementara Nyai Demang harus menyingkir dari Babadan. Nyai Demang tidak boleh mempengaruhi pembicaraan antara Ki Demang dan Ki Bekel. Antara dua orang bersaudara yang sedang bersengketa itu. Persengketaan itu timbul antara lain karena sikap Nyai Demang.”

“Tetapi aku sudah mengakui kesalahanku. Ki Lurah, aku mohon ampun.”

“Selain Nyai Demang sudah membuat Kademangan Prancak resah, Nyai Demang juga sudah mencoba meracun kami. Aku peringatkan, bahwa mangkuk-mangkuk yang dipergunakan untuk menghidangkan minuman bagi kami itu telah tercemar oleh racun yang keras.”

“Aku mohon ampun, Ki Lurah.”

“Itu akan kita bicarakan kemudian, setelah pembicaraan antara Ki Demang dan Ki Bekel selesai.”

Nyai Demang itu pun menangis semakin keras. Tetapi keputusan Ki Lurah Agung Sedayu tetap. Nyai Demang akan dibawanya ke padukuhan induk. Sebelum persoalannya selesai, Nyai Demang masih harus berada di dalam tahanan.

Demikianlah, sesaat kemudian Ki Lurah Agung Sedayu pun minta diri. Beberapa orang dari ujung hutan yang berada di Babadan telah dibawa serta ke padukuhan induk. Demikian pula Nyai Demang, betapapun ia menangis dan minta ampun.

Sebenarnyalah Sekar Mirah dan Rara Wulan merasa iba pula mendengar tangis Nyai Demang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun tahu, bahwa Nyai Demang itu adalah seorang yang sangat berbahaya. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.

Dalam pada itu, orang-orang Babadan ternyata semakin menyadari, apakah yang telah terjadi di padukuhan mereka. Ki Bekel yang matanya menjadi berkaca-kaca ketika ibunya dibawa oleh Ki Lurah Agung Sedayu, menjadi gemetar menghadapi para bebahu dan rakyatnya di padukuhan Babadan. Mata mereka bagaikan menyala memandanginya. Berpuluh pasang mata. Sementara itu, Ki Jagabaya dan orang-orang yang selama ini melindunginya telah dibawa oleh Ki Lurah. Bahkan ibunya yang mengatur segala-galanya, telah pergi pula.

Seorang yang rambutnya sudah ubanan datang mendekatinya. Sambil duduk di sebelahnya orang itu pun berkata, “Jadikan peristiwa ini pengalaman yang sangat berharga, Ki Bekel.”

Ki Bekel mengusap matanya yang basah. Sementara itu seorang yang lain telah mendekatinya sambil berkata, “Bukankah sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa Ki Bekel harus berhati-hati berhubungan dengan orang-orang dari ujung hutan itu?”

Ki Bekel masih saja menunduk.

Sedangkan seorang lagi datang kepadanya. Bahkan sambil menunjuk hidungnya orang itu berkata dengan kasar, “Kita semua telah ditenggelamkan ke dalam kubangan nafsu ibumu yang terjerat oleh laki-laki dari ujung hutan itu. Sekarang, apa tanggung jawabmu?”

Sedangkan orang yang bertubuh tinggi, berdada bidang yang ditumbuhi rambutnya yang lebat, yang nampak dari sela-sela bajunya yang terbuka di belahan dadanya, berkumis melintang dan bermata tajam seperti mata burung hantu, membentaknya, “He, cengeng! Kau jangan hanya dapat menangis. Apa yang terjadi di padukuhan ini adalah tanggung jawabmu, anak manja. Sekarang ibumu sudah ditangkap dan dibawa oleh prajurit Mataram. Yang tinggal hanyalah kau saja. Lalu apa katamu?”

Ki Bekel itu tiba-tiba menggeram. Ia mengepalkan tangannya. Matanya memang masih basah. Tetapi mata itu kemudian menjadi bagaikan membara.

Ki Bekel itu menghentakkan tangannya. Dengan serta merta ia pun bangkit berdiri. Dengan suara yang parau Ki Bekel itu pun berteriak, “He, penjilat-penjilat yang tidak tahu diri! Apa yang kau lakukan selama ini, he? Ketika ibuku masih berdiri dengan kokoh meskipun bersandar kepada orang-orang dari ujung hutan, kalian datang berjongkok di hadapannya sambil menyembah. Kalian berebut mendapat perhatiannya, agar kalian mendapat keuntungan dari sikap ibuku. Bahkan jika aku berjalan lewat jalan utama padukuhan ini, kalian datang berpapasan dengan aku mengangguk hormat sampai wajah kalian mencium lulut. Kalian bahkan menganggap aku tidak sekedar seorang Bekel, atau seorang Demang. Lebih dari itu, kalian menyembah aku seperti menyembah seorang Adipati. Kalian bersumpah untuk tetap setia sampai akhir hayat kalian, serta mendukung langkah-langkah yang diambil oleh ibuku atas namaku.” Ki Bekel itu berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang datang untuk menyalahkannya dan menyalahkan ibunya. Lalu katanya pula, “Apa yang ada di otak kalian waktu itu, he? Dan apa pula yang berkecamuk di otak kalian sekarang?”

Tiba-tiba pula orang-orang yang merubung Ki Bekel itu bergeser surut. Mereka termangu-mangu sejenak. Kemudian kepala-kepala itu pun tertunduk dalam-dalam. Sedangkan Ki Bekel masih berkata selanjutnya, “Kalian yang pada waktu itu berlutut untuk menjilat kakiku, sekarang, ketika keadaan berubah, kalian menudingku sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan sebagai seorang pengkhianat. Kenapa tudingan seperti ini tidak kalian lakukan sebelumnya? Kenapa pada waktu itu tidak seorangpun datang kepadaku untuk memberi peringatan kepadaku? Bahkan kalian semua justru mendukungnya. Kenapa? Bahkan kalian telah bersumpah setia untuk memperjuangkan keinginan kita bersama, mengambil alih kepemimpinan Kedemangan Prancak itu, sampai titik darah yang penghabisan? Darah yang mana? Darah siapa? Siapa?” suara Ki bekel itu pun terdengar menggelegar, seakan-akan telah mengguncang tiang-tiang pendapa rumahnya yang kokoh itu.

Orang-orang yang ada di sekitarnya itu pun menundukkan wajahnya semakin dalam.

Sementara Ki Bekel itu masih berkata selanjutnya, “Kalian yang bersumpah setia untuk berjuang merebut kepemimpinan Kademangan Prancak itu sekarang justru menuduh aku tidak bertanggung jawab. Ketika kalian melihat bahaya itu datang, maka tiba-tiba saja kalian yang pernah bersumpah setia itu telah menangkap ibuku dan aku, menyeret naik ke pendapa ini. Itukah ungkapan dari sumpah setia kalian? Nah, jika sekarang kalian menuntut aku untuk bertanggung-jawab, baik. Aku akan bertanggung-jawab. Apa ujud dari pertanggungjawaban itu menurut kalian? Apakah aku harus mati malam ini? Atau aku harus pergi ke padukuhan induk Kademangan Prancak untuk mengamuk seorang diri, sampai mati dikrocok senjata oleh orang-orang Prancak dan para prajurit Mataram yang sekarang berada di Prancak? Atau apa? Katakan! Apa yang harus aku lakukan? Aku akan melakukannya. Atau aku harus membunuh diri di pendapa ini?”

Tidak seorangpun yang menjawab. Ketika Ki Bekel itu melangkah maju mendekati orang yang bertubuh tinggi, berdada bidang yang membentak-bentaknya itu, maka orang itu pun telah melangkah surut. Namun Ki Bekel itu pun kemudian mencengkam baju orang yang lebih tinggi dan lebih besar dari dirinya itu sambil membentak.

Orang itu tidak menjawab. Bahkan ketika Ki Bekel itu mengguncang bajunya, orang itu tetap saja diam sambil menunduk semakin dalam.

Ki Bekel melepaskan baju orang itu. Ia pun melangkah mendekati orang-orang yang lain sambil berkata, “Kalian-lah cecurut-cecurut yang pengecut itu. Kalian berteriak-teriak dengan suara yang menggelegar bagaikan meruntuhkan gunung untuk mendukung perjuanganku. Kalian-lah yang sebenarnya telah menjerumuskan aku ke dalam kesulitan ini. Justru pada saat-saat yang genting, kalian benar-benar bersikap seperti seorang pengecut. Kalian-lah yang sebenarnya telah mengkhianati aku dan ibuku. Kalian-lah yang sebenarnya pengkhianat itu.”

Orang-orang Babadan itu bagaikan membeku di tempatnya. Dengan suara yang merendah, Ki Bekel itu pun berkata, “Pergilah. Pulanglah. Nikmatilah keselamatan kalian dari kemarahan orang-orang berilmu tinggi dari Mataram itu. Berbangga pulalah bahwa kalian telah dapat menudingku sebagai seorang pengkhianat. Dengar. Aku memang tidak akan ingkar. Aku akan menemui Kakang Demang untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanku selama ini. Jika Kakang Demang memutuskan untuk menggantungku di halaman banjar, datanglah untuk menonton tubuhku yang bergayut di tali gantungan. Mungkin aku akan digantung bersama ibu. Mungkin juga Ki Jagabaya, dan siapa lagi. Bersoraklah kalian, karena kematianku itu akan berarti keselamatan kalian.”

Pendapa itu pun telah dicengkam oleh kesenyapan yang sangat tegang. Namun tiba-tiba saja Ki Bekel itu berteriak, “Pergi! Pergi! Semuanya pergi.”

Beberapa orang pun segera beringsut dan turun dari pendapa. Ketika masih ada dua tiga orang yang duduk di pringgitan, Ki Bekel itu tiba-tiba saja menarik kerisnya sambil berteriak lebih keras lagi, “Pergi! Kau juga pergi! Atau aku bunuh kau di sini.”

Orang-orang yang berada di pringgitan itu pun telah beringsut pula dan turun ke halaman. Mereka merasa tidak akan mungkin dapat meredakan kemarahan Ki Bekel yang bagaikan membakar ubun-ubunnya itu.

Namun sebelum mereka sampai ke regol halaman yang roboh itu, terdengar Ki Bekel itu tertawa. Tertawa semakin lama semakin keras.

Orang-orang yang akan meninggalkan halaman itu sempat tertegun. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Bekel itu masuk ke dalam rumahnya. Namun suara tertawanya itu masih saja terdengar bagaikan menggetarkan atap rumahnya.

Orang-orang yang kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel itu memang sempat merenungi sikap mereka. Mereka pun sempat mengingat apa yang mereka lakukan sebelum orang-orang Mataram itu datang. Mereka memang pernah menyatakan kesetiaan mereka. Mereka mendukung niat Ki Bekel untuk mengambil alih kepemimpinan Kademangan Prancak. Mereka telah mendorong Ki Bekel untuk bertindak lebih jauh dengan dukungan orang-orang dari ujung hutan itu.

Tetapi pada saat Ki Bekel mengalami kesulitan, pada saat tangan-tangan pemerintah Mataram menggapai Ki Bekel untuk meluruskan kesalahan yang telah dilakukannya, maka mereka justru telah menindih Ki Bekel itu dengan berbagai macam tudingan dan umpatan.

Ki Bekel memang bersalah. Tetapi memang tidak adil jika kesalahan itu hanya ditimpakan kepada Ki Bekel dan ibunya saja. Kesalahan yang dilakukan oleh Nyai Demang yang muda serta anaknya, didukung oleh para perampok dan penyamun yang bersarang di ujung hutan itu, telah menjalar ke seluruh padukuhan Babadan serta padukuhan terdekat.

Sementara itu, Ki Bekel Babadan yang tertawa berkepanjangan di dalam rumahnya, akhirnya berhenti juga. Ia terduduk di amben bambu panjang di ruang dalam. Pakaiannya telah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang mengalir seperti diperas dari dalam tubuhnya.

Ketika jantung Ki Bekel itu terasa berdegup semakin keras, sehingga seakan-akan hendak meledak, maka Ki Bekel itu tertegun. Ia melihat seorang tua berdiri di pintu samping ruang dalam yang menuju ke serambi.

Orang tua yang nampak dari ujudnya sangat sederhana. Dengan pakaian yang tua yang kusut.

“Kakek,” desis Ki Bekel.

Orang tua itu melangkah mendekat. Sementara itu, Ki Bekel tiba-tiba saja bangkit berdiri dan cepat-cepat mendapatkannya. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu berjongkok di hadapan orang tua itu.

“Bangkitlah, cucuku,” berkata orang yang sudah nampak tua itu. Meskipun ia masih juga berdiri tegak serta ingatannya masih tetap utuh.

“Aku minta ampun, Kek. Aku minta ampun. Selama ini aku tidak pernah mendengarkan nasehat kakek. Tetapi Ibu-lah yang mengajari aku berbuat seperti itu.”

“Sudahlah. Aku tidak menyalahkan kau. Aku juga tidak menyalahkan ibumu. Ibumu sejak kecil memang seorang yang manja, agak serakah dan ingin lebih dari yang lain. Aku dan nenekmu almarhum memang agak kewalahan menghadapinya.”

“Tetapi taruhannya terlalu besar, Kek. Taruhannya bukan sekedar uang, tetapi taruhannya adalah jabatanku dan bahkan nyawaku. Mungkin saja Mataram akan memutuskan aku bersalah, memberontak, karena Ibu sudah mencoba membunuh pemimpin prajurit yang sedang menjalankan tugasnya. Bagaimanapun juga, apapun yang dilakukan Ibu, harus aku pertanggung-jawabkan.”

“Kita berdoa saja, Ngger. Semoga Yang Maha Agung mengampunimu serta memberikan penyelesaian yang baik semua pihak.”

“Jika saja aku dan Ibu mendengarkan nasehat Kakek pada waktu itu.”

“Itu sudah lampau, Ngger.”

“Kakek sudah berniat baik. Tetapi tanggapan Ibu sangat buruk terhadap petunjuk Kakek. Aku pun telah berbuat seperti Ibu pula, sehingga Kakek seakan-akan tidak pernah ada di rumah ini.”

“Masih ada kesempatan, Ngger. Jika kakakmu Demang Prancak itu datang menemuimu atau memanggilmu, kau harus berani mengakui semua kesalahan. Kau minta ampun kepadanya.”

Ki Bekel itu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Kek. Aku akan menyerahkan nasibku kepadanya. Bahkan seandainya Kakang Demang tidak mau memaafkan aku.”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Dibimbingnya cucunya itu dan dibawanya duduk di amben panjang. Katanya, “Aku mengenal kakakmu itu, Ngger. Meskipun ia bukan cucuku sendiri, karena ibunya bukan anakku sebagaimana kau, tetapi sejak kecil aku bergaul dengan anak itu. Ia anak baik. Ia bukan pendendam.”

“Kalau Kakang sudah berubah?”

“Mudah-mudahan ia tidak berubah, Ngger. Mudah-mudahan ia masih tetap anak yang manis seperti dahulu. Anak yang sabar, tetapi teguh akan sikap dan pendiriannya. Ia anak yang baik.”

“Ya, Kek. Aku juga menganggap ia seorang kakak yang baik.”

“Nah, karena itu, jangan berprasangka buruk. Serahkan dirimu kepada kakakmu. Aku yakin ia akan memaafkanmu. Bahkan mungkin kakakmu juga akan memaafkan ibumu. Tetapi aku tidak tahu sikap para prajurit Mataram. Ibumu telah mencoba membunuh mereka dengan racun.”

“Ya, Kek. Aku yakin bahwa Kakang Demang akan memaafkan aku dan ibu. Tetapi mungkin prajurit Mataram tidak akan memaafkan, terutama karena Ibu sudah mencoba membunuh pemimpin mereka.”

“Sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Tenangkan hatimu.”

“Terima kasih, Kek. Tetapi seharusnya aku dan Ibu lebih dahulu mohon maaf kepada Kakek. Selama ini kami tidak pernah mendengarkan nasehat Kakek. Bahkan kami telah dengan sengaja memisahkan Kakek, sehingga Kakek seakan-akan tidak berada di rumah ini. Kami tidak lagi pernah menghiraukan Kakek, apalagi mendengarkan nasehat Kakek. Sekarang, baru kami tahu, bahwa seharusnya kami menurut petunjuk Kakek itu.”

“Sudahlah. Sudah aku katakan, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Yang penting, marilah kita melihat masa depan. Kita berdoa semoga Yang Maha Agung membuka jalan bagi kita untuk dapat keluar dari kesulitan ini.”

“Ya, Kek.”

“Nah, aku pun akan beristirahat pula.”

“Kakek mau kemana?”

“Aku akan pergi ke bilikku.”

“Kakek di sini saja. Jangan pergi ke bilik Kakek di sebelah dapur itu lagi. Tempat itu tidak pantas bagi Kakek.”

“Bukankah sudah lama aku menempati bilik itu?”

“Itulah antara lain kesalahan kami, di antara kesalahan kami yang banyak sekali kepada Kakek.”

Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, “Aku merasa tenang berada di bilik itu. Aku senang karena udaranya terasa hangat, karena bilik itu berada di dekat dapur. Setiap kali aku dapat mencium bau yang sedap jika ada orang yang sedang masak di dapur itu.”

“Kek, maafkan kami, Kek.”

Orang tua itu tidak menghiraukan lagi Ki Bekel yang mencoba mencegahnya. Katanya sambil melangkah, “Beristirahatlah. Aku juga akan beristirahat.”

Ki Bekel yang bangkit pula pada saat kakeknya berdiri dan melangkah meninggalkannya itu telah terduduk kembali. Berbagai perasaan bergulat di dalam hatinya. Penyesalan, kebimbangan dan bahkan kecemasan yang sangat.

Tetapi seperti yang dikatakan kakeknya, biarlah ia pasrah apa yang akan terjadi atas dirinya.

Di hari berikutnya, dua orang bebahu kademangan telah mendatanginya. Dua orang bebahu itu tidak lagi merasa takut memasuki padukuhan Babadan, yang telah dibersihkan oleh para prajurit Mataram.

Meskipun demikian, ketika mereka melewati gerbang padukuhan dan berpapasan dengan orang Babadan, maka rasa-rasanya kulitnya masih meremang.

“Marilah, Ki Jagabaya dan Ki Kebayan,” Ki Bekel pun mempersilahkannya, meskipun jantungnya terasa berdegup semakin keras.

Kedua orang bebahu kademangan itu tidak terlalu lama berada di rumah Ki Bekel. Mereka pun segera menyampaikan pesan Ki Demang Prancak bagi Ki Bekel Babadan.

“Nanti sore Ki Bekel diminta datang ke rumah Ki Demang di Prancak.”

“Aku?”

“Ya.”

“Siapa lagi?”

“Ki Demang tidak memerintahkan orang lain untuk menghadapnya. Perintah Ki Demang hanya ditujukan kepada Ki Bekel.”

“Baik. Nanti sore aku akan datang menemui Kakang Demang di Prancak,” jawab Ki Bekel dengan suara yang bergetar.

Kedua orang bebahu itu pun segera minta diri.

Sepeninggal kedua orang bebahu Kademangan Prancak itu, Ki Bekel segera mencari kakeknya dan memberitahukan, bahwa kakaknya sudah memerintahkan dua orang bebahunya untuk memanggilnya menghadap.

“Kapan?” bertanya kakeknya.

“Nanti sore, Kek.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan pergi bersamamu.”

“Kakek akan pergi?”

“Ya.”

“Tetapi Kakang Demang hanya memanggil aku sendiri.”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi aku bukan orang lain, Ngger. Aku adalah kakeknya. Ia adalah cucuku sebagaimana engkau. Meskipun ia bukan cucuku yang sebenarnya, tetapi aku menganggap ia adalah cucuku sendiri, dan menurut rasaku, Ki Demang itu pun telah menganggap aku sebagai kakeknya sendiri. Sebagai kakeknya yang memperanakkan ibu kandungnya.”

Ki Bekel itu pun termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Baik, Kek. Kita akan pergi bersama-sama. Aku akan dapat menyandarkan keselamatanku kepada Kakek.”

Orang tua itu menepuk bahu cucunya sambil berkata, “Berdoalah. Aku juga akan berdoa untukmu.”

Ki Bekel mengangguk sambil berdesis, “Ya, Kek. Aku akan berdoa.”

Ki Bekel itu pun berusaha untuk menenangkan hatinya. Tetapi setiap kali terasa seakan-akan jantungnya tergores welat pring wulung yang tajam.

Ki Bekel itu pun mengisi waktunya dengan berbagai macam kesibukan. Diturunkannya sangkar-sangkar burungnya dari gantungan. Diberinya semua burungnya makan dan digantinya minumnya dengan yang baru. Kemudian digantungkannya lagi sangkar-sangkar burung itu.

Demikian ia selesai dengan burung-burungnya yang berjumlah dua puluh tiga sangkar itu, maka Ki Bekel pun kemudian telah pergi ke blumbang. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu terjun ke dalam air dan berusaha menangkap beberapa ekor gurami di blumbangnya itu dengan jaring.

“Kalau Bibi masih ada, Bibi tentu senang sekali mendapatkan ikan gurami sebesar ini,” desis Ki Bekel ,ketika ia berhasil menangkap seekor gurami yang cukup besar.

Meskipun Ki Bekel sudah menyibukkan diri, namun rasa-rasanya matahari bergerak lambat sekali. Sementara itu kegelisahannya masih saja menghentak-hentak di dadanya.

Namun akhirnya matahari pun turun pula di sisi barat langit. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Ki Bekel pun menemui kakeknya sambil berkata, “Kita pergi sekarang saja, Kek.”

“Aku kira kita akan pergi menjelang senja.”

“Sekarang saja, Kek. Aku tidak sabar lagi menunggu. Apa yang akan terjadi, biarlah segera terjadi. Jika Kakang ingin menggantungku di banjar Kademangan Prancak, biarlah ia segera menggantungku sebelum matahari terbenam.”

“Jangan begitu. Kau masih saja tidak yakin bahwa kakakmu itu seorang yang sabar dan pemaaf.”

“Ya, Kek.”

“Baiklah. Marilah kita pergi.”

“Bukankah Kakek akan berganti pakaian dahulu?”

“Berganti pakaian?”

“Ya, Kek. Bukankah kita akan bepergian?”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku sudah tua, Ngger. Biarlah aku berpakaian sederhana seperti ini saja.”

“Tetapi Kakek akan pergi ke rumah Kakang Demang.”

“Bukankah tidak apa-apa jika aku mengenakan pakaian ini?”

“Bukankah kita juga harus menghormati orang yang ingin kita kunjungi?”

“Ngger, audahlah. Jangan pikirkan pakaianku.”

“Sebaiknya Kakek berganti pakaian. Bukankah hanya berselisiah waktu sebentar saja?”

Kakek Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bukankah sudah lama aku tidak mempunyai pakaian yang lebih baik dari pakaian yang aku pakai ini?”

“Kek?“ dahi Ki Bekel pun berkerut.

“Jangan pikirkan itu.”

“Jadi selama ini Ibu tidak pernah memikirkan pakaian Kakek sama sekali? Mungkin Ibu terlalu sibuk dengan keinginannya itu, Kek.”

“Baru berapa lama ibumu disibukkan oleh keserakahannya itu. Tetapi bahwa ibumu tidak pernah memikirkan aku, bukankah sudah berbilang tahun? Tetapi sekali lagi aku katakan kepadamu, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Mungkin aku memang sudah tidak berarti sama sekali dalam hidupnya.”

“Tetapi Kakek-lah yang telah membesarkan Ibu. Kakek adalah ayah dari ibuku itu. Seharusnya Ibu dapat menghargai susah-payah Kakek membesarkan Ibu.”

“Sudahlah.”

“Ibu harus membalas kebaikan Kakek. Kasih sayang Kakek.”

“Bagi ibumu, apa yang aku lakukan itu bukan satu kebaikan. Jika aku bekerja keras untuk mencari nafkah bagi anak-anakku, jika aku di malam hari mendukungnya pada saat ia menangis, jika aku membawanya pergi ke pasar untuk membeli baju baru serta kain panjang yang baru, jika aku membeli perhiasan dengan uang tabunganku, maka semuanya itu bukan kebaikan. Bukan pertanda kasih sayang. Tetapi menurut ibumu, semuanya itu adalah kewajiban.”

“Sekedar kewajiban? Jadi apa yang Kakek lakukan itu sama sekali tidak dianggapnya sebagai nilai-nilai kasih sayang seorang ayah kepada anaknya?”

“Jika ibumu menganggap bahwa apa yang aku lakukan itu adalah ungkapan kasih sayang seorang ayah, maka adalah menjadi kewajiban seorang ayah mengasihi anaknya.”

“Lalu, apa kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya?”

“Menurut ibumu, tidak ada. Kewajiban ibumu adalah membesarkanmu.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah Kakek sependapat dengan Ibu?”

Orang tua itu menggeleng. Katanya, “Bukan maksudku untuk menuntut kepada ibumu. Tetapi aku nasehatkan kepadamu, bahwa kau jangan pernah melupakan ayah ibumu. Jangan pernah melupakan kasih sayangnya. Pengorbanan mereka kepada anak-anaknya. Apapun yang pernah mereka lakukan atasmu, tetapi mereka adalah ayah dan ibumu. Orang-orang yang sangat khusus bagimu.”

Ki Bekel itu pun mengangguk sambil berdesis, “Ya, Kek.”

“Nah, sekarang, marilah kita pergi ke padukuhan induk Kademangan Prancak, untuk menemui kakakmu. Biarlah aku mengenakan pakaianku ini. Tidak apa-apa. Kakakmu tidak akan merasa bahwa aku tidak menghormatinya.”

Ki Bekel itu menarik nafas panjang. Katanya, “Pakailah pakaianku, Kek. Kakek dapat memilih yang paling sesuai dengan Kakek.”

“Badanmu jauh lebih besar dari badanku. Bayangkan jika aku memakai bajumu.”

“Kain panjangnya saja, Kek.”

“Tidak perlu, Ngger. Sudahlah, marilah kita berangkat.”

Ki Bekel tidak menjawab lagi. Meskipun sebenarnya ia ingin kakeknya tidak mengenakan pakaiannya yang sangat sederhana itu, tetapi ia tidak dapat memaksa kakeknya berganti pakaian.

Demikianlah, maka mereka pun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel Babadan. Mereka menyusuri jalan utama menunju ke padukuhan induk Kademangan Prancak.

Ketika mereka memasuki gerbang padukuhan induk Kademangan prancak, maka orang-orang yang berpapasan dengan mereka telah berhenti sejenak. Memandangi keduanya seperti orang yang baru pertama kali melihatnya.

Tetapi ada pula di antara orang-orang padukuhan induk Prancak yang sempat mengangguk hormat serta bertanya satu dua patah kata.

“Ki Bekel Babadan,” desis seorang laki-laki yang sedang berdiri di regol halaman rumahnya.

“Ya, Paman,” sahut Ki Bekel dengan suara yang dalam.

“Selamat datang di padukuhan induk ini, Ki Bekel.”

“Terima kasih, Paman.”

Tetapi laki-laki itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya memandangi saja Ki Bekel dan kakeknya yang berjalan menuju ke rumah Ki Demang Prancak.

Namun ada juga anak-anak muda yang ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Bekel itu. Bahkan seorang di antara mereka yang bertemu di simpang empat bertanya, “Ki Bekel akan pergi kemana?”

“Aku akan menemui Kakang Demang,” jawab Ki Bekel.

Ada kecurigaan di sorot mata anak muda itu, sehingga Ki Bekel itu pun berkata, “Kakang Demang memanggilku menghadap sore ini.”

“O,” anak muda itu mengangguk-angguk.

Ketika Ki Bekel itu sampai di regol halaman rumah Ki Demang, maka jantungnya pun terasa berdegup semakin cepat. Kebimbangan yang dalam telah mencekamnya, sehingga Ki Bekel itu pun berhenti di depan regol halaman yang terbuka itu.

“Kenapa berhenti?” bertanya kakeknya.

“Aku menjadi ragu-ragu, Kek.”

“Apa lagi yang kau ragukan? Kau sudah mengambil keputusan untuk datang memenuhi panggilan kakakmu. Apa lagi?”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Ki Bekel itu pun melangkah menginjakkan kakinya pada tangga regol halaman Ki Demang Prancak.

Seorang yang sedang membersihkan halaman rumah Ki Demang melihat Ki Bekel Babadan memasuki regol halaman rumah itu. Karena itu, maka ia pun segera menyongsongnya dan mempersilakannya naik ke pendapa.

“Ki Demang dan beberapa orang bebahu sudah berada di pringgitan,” berkata orang itu.

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dari tempatnya berdiri, ia tidak dapat melihat jelas siapa-siapa yang berada di pringgitan. Namun Ki Bekel itu melihat sekitar empat orang sudah berada di pringgitan.

Ki Bekel yang sudah berada di tangga pendapa itu segera surut beberapa langkah, ketika ia melihat orang-orang yang berada di pendapa itu bangkit berdiri.

Ki Demang-lah yang kemudian tergopoh-gopoh menyongsongnya. Ketika Ki Demang turun dari pendapa, maka para bebahu pun segera turun pula.

“Marilah, Bekel-e,” Ki Demang itu pun mempersilahkan, “naiklah. Kami sudah menunggu. Kami tahu bahwa kau tentu tidak menunggu senja.”

“Ya, Kakang,” jawab Ki Bekel.

“Marilah. Naiklah. Marilah, Kek, silahkan. Sudah lama kita tidak bertemu.”

“Terima kasih, Nngger. Aku memang sudah agak lama tidak mengunjungimu sejak suasana dan hubungan antara Prancak dan Babadan menjadi muram.”

“Bukan maksudku. Tetapi agaknya kita didorong oleh keadaan yang sama-sama tidak kita kehendaki. Marilah, silahkan.”

Keduanya pun kemudian segera naik ke pendapa. Ki Demang dan para bebahu Kademangan Prancak pun segera naik ke pendapa pula.

“Silahkan duduk, Kek.”

Orang tua itu mengangguk-angguk, “Terima kasih, Ngger.”

Ki Bekel di Babadan pun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya. Ternyata apa yang dibayangkan sebelumnya, dan bahkan sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk Kademangan Prancak, berbeda sekali dengan apa yang dihadapinya setelah ia berada di rumah Ki Demang.

Ki Bekel itu membayangkan, bahwa demikian ia memasuki halaman rumah Ki Demang, maka beberapa orang prajurit Mataram akan menyambutnya dengan ujung-ujung tombak yang merunduk. Kemudian dengan kasar ia didorong naik ke pendapa. Bahkan ia pun membayangkan bahwa kakaknya akan menyambutnya dengan bentakan-bentakan kasar oleh kemarahan yang bagaikan meledakkan dadanya.

Tetapi yang terjadi sama sekali tidak demikian. Kakaknya tetap saja berwajah cerah. Tidak ada tanda-tanda kemarahan di sorot matanya. Kakaknya masih saja tersenyum seperti yang selalu dilihatnya sebelum terjadi persoalan antara Prancak dan Babadan sehingga, terbentang jarak antara dirinya dan kakaknya.

Sejenak kemudian, maka Ki Bekel Babadan, kakeknya serta beberapa orang bebahu Kademangan Prancak itu telah duduk kembali di pringgitan.

“Bukankah Kakek selama ini baik-baik saja?” bertanya Ki Demang Prancak.

“Ya, Ngger. Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kau dan para bebahu Kademangan Prancak?”

“Baik, Kek. Kami baik-baik saja.”

“Syukurlah. Beberapa saat aku merasa terpisah dari kademangan ini. Syukurlah bahwa akhirnya aku telah merasa menjadi satu lagi.”

“Mudah-mudahan, Kek. Hal itu juga tergantung kepada Bekel-e Babadan. Justru untuk itulah aku memanggilnya datang kemari.”

Kakek Ki Bekel Babadan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Silahkan berbicara dengan Bekel-e Babadan.”

Ki Demang itu menarik nafas panjang. Baru kemudian ia pun berkata, “Adi. Adi tentu sudah tahu, untuk apa Adi aku panggil kemari.”

Ki Bekel itu masih saja menunduk. Menurut penglihatannya wajah kakaknya masih tetap terang. Tetapi Ki Bekel itu masih saja merasa cemas. Mungkin kemarahan kakaknya itu masih diselubunginya. Namun mungkin saja kemarahan itu akan meledak.

“Kenapa orang-orang Mataram itu tidak berada di sini?” bertanya Ki Bekel di dalam hatinya.

“Adi,” berkata Ki Demang, “selama ini telah terjadi masalah di antara kita. Pernyataanmu bahwa kau-lah yang berhak menjadi Demang di Prancak, telah menimbulkan goncangan yang besar di kademangan ini. Keberadaan para perampok di hutan yang telah memasuki kehidupan kita di Kademangan Prancak. Mereka bukan saja mencampuri persoalan di antara kita, tetapi mereka telah membuat rencana yang menguntungkan bagi mereka. Keterlibatan hubungan antara Bibi dengan Raden Panengah telah membuat persoalan di antara kita menjadi semakin rumit, karena Raden Panengah telah meniupkan tembang-tembang ngerangin di telinga Bibi. Sehingga akhirnya Bibi terbius oleh rencana Raden Panengah. Kau-lah yang telah dijadikan alat Bibi dan Raden Panengah untuk mencapai maksudnya.”

Ki Bekel itu pun semakin menundukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam ia pun berkata, “Kakang. Aku mohon ampun. Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar. Tetapi aku memang tidak mampu menolak kemauan Ibu.”

“Keterlibatan gerombolan di luar lingkungan kita telah membuat persatuan kita terbelah. Apalagi jika gerombolan itu mempunyai kekuatan yang cukup, seperti gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu. Maka pengaruhnya terasa sangat besar bagi kita. Tentu saja pengaruh yang buruk itu.”

“Semua itu salahku, Kakang. Aku minta ampun.”

Namun sebagaimana dikatakan oleh kakeknya, maka Ki Bekel itu dengan jantung yang berdegupan mendengar kakaknya berkata, “Baiklah, Adi. Marilah kita lupakan peristiwa itu. Sebagai seorang Demang, aku maafkan kesalahanmu. Kesalahan seorang Bekel yang memerintah di salah satu padukuhan di wilayah kademanganku. Sedangkan sebagai seorang kakak, aku merasa sangat kasihan kepadamu, Adi. Aku tahu bahwa kau berada di bawah tekanan Bibi. Ibumu yang mempunyai keinginan tanpa batas. Ketika di belakangnya berdiri satu kekuatan yang memadai, maka Bibi menjadi lupa segala-galanya. Keinginannya yang tanpa batas itulah yang menjorok ke depan, sehingga Bibi lupa kepada sanak kadang. Dan yang paling parah, Bibi lupa pada tatanan dan paugeran.”

“Ya, Kakang. Aku juga mohon ampun bagi Ibu. Ibu memang seorang yang serakah. Sesuai dengan keterangan Kakek tentang Ibu sejak masa kecilnya. Ibu selalu ingin lebih dari apa yang dimilikinya atau yang seharusnya dimilikinya. Sedangkan aku tidak mempunyai keberanian untuk mencegahnya. Bahkan aku telah hanyut pula ke dalamnya. Bahkan aku sama sekali tidak menaruh keberatan pada hubungan Ibu dengan Raden Panengah, yang tidak pantas itu.”

“Kau sudah dibius pula dengan mimpi-mimpi burukmu. Mimpi untuk menjadi seorang Demang di Kademangan Prancak.”

“Ya, Kakang.”

“Nah, bukankah yang terjadi itu satu pengalaman yang pantas untuk menjadi pelajaran yang mahal harganya?”

Bekel Babadan itu mengangguk sambil menjawab perlahan, “Ya, Kakang.”

“Baiklah, Di. Jangan lupakan pelajaran yang sangat mahal ini. Bahkan sudah ada nyawa yang dikorbankan. Justru orang-orang yang tidak bersalah. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu telah membunuh beberapa orang yang dituduhnya mata-mata, meskipun ia tidak dapat membuktikan. Nah, apakah kau dapat menyebut harga sebuah nyawa, bahkan beberapa?”

Ki Bekel di Babadan itu tidak dapat menjawab. Mulutnya bahkan terkatup rapat, sementara kepalanya menjadi semakin menunduk dalam-dalam.

“Baiklah, Adi. Kita akan berusaha melupakan perselisihan, yang tidak akan menguntungkan siapa-siapa kecuali para perampok di ujung hutan itu. Jika saja para prajurit Mataram itu tidak datang ke kademangan ini, maka perselisihan di antara kita akan menjadi semakin dalam. Campur tangan pihak lain akan semakin mencengkam dan bahkan menentukan. Kita orang-orang Kademangan Prancak akan menjadi ayam aduan yang harus mengalami luka parah di arena. Sementara menang atau kalah, ayam aduan itu tidak akan mendapatkan apa-apa. Sedangkan yang mendapat keuntungan berlipat adalah mereka yang menang dalam pertaruhan.”

Ki Bekel mengangguk-angguk.

Sedangkan Ki Demang berkata selanjutnya, “Kita berusaha melupakan persoalannya. Tetapi sebagai satu pengalaman, kita justru harus selalu mengingatnya. Sudah aku katakan, bahwa aku memaafkan kau Ki Bekel.”

“Terima kasih, Kakang Demang. Ternyata apa yang dikatakan oleh Kakek itu benar. Kakang akan memaafkan aku.”

“Tetapi kau jangan mengulangi kesalahanmu. Sekali berbuat salah, itu sudah cukup.”

“Ya, Kakang,” suara Ki Bekel merendah, “tetapi, tetapi bagaimana dengan Ibu?”

“Bibi mempunyai persoalan sendiri dengan orang-orang Mataram. Demikian pula orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan, yang tidak lain adalah salah seorang yang sengaja ditanam oleh Raden Panengah, yang pada suatu saat akan mengusirmu. Bahkan mungkin menyingkirkanmu untuk selama-lamanya.”

“Kakang.”

“Kau hanya berguna sekarang. Pada saat kau tidak diperlukan lagi, maka kau harus pergi dan tidak boleh kembali.”

Jantung Ki Bekel itu pun bergejolak semakin keras. Ia mulai menyadari, betapa lemah penalarannya sehingga ia dapat menjadi mainan Raden Panengah.

“Karena persoalannya dengan orang-orang Mataram itulah, Adi, maka Bibi sekarang berada di dalam tahanan orang-orang Mataram. Aku tidak tahu, keputusan apakah yang akan diambil oleh orang-orang Mataram itu, karena menurut pemimpin prajurit Mataram itu, Bibi sudah mencoba meracunnya.”

Jantung Ki Bekel itu pun terasa berdegup semakin keras. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Ia pun tahu bahwa ibunya berusaha untuk meracun pemimpin prajurit Mataram yang datang ke rumahnya itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kakang, seandainya Ibu tidak dapat luput dari hukuman, apakah Kakang dapat mohon keringanan atas hukuman yang bakal dijatuhkan oleh orang-orang Mataram?”

“Entahlah, Di. Untuk mengambil keputusan, seorang yang berwenang mengadili seseorang, sangat tergantung kepada orang-orang yang harus mengadili orang-orang yang bersalah itu. Meskipun ada tatanan dan paugeran untuk memecahkan perselisihan, maka adat yang sudah berlaku dapat ditrapkan dan dipergunakan sebagai acuan untuk mengambil keputusan.”

“Tetapi apa yang Kakang katakan, tentu akan dipertimbangkan oleh orang-orang Mataram itu.”

“Aku tidak yakin, Di. Mereka adalah orang-orang yang keras memegang tatanan paugeran. Meskipun demikian, aku akan mencobanya.”

“Bukankah mereka masih belum kembali ke Mataram, Kakang?”

“Belum. Mereka masih ada di sini. Mereka ingin mengetahui hasil akhir dari pembicaraan kita. Mereka memang tidak ingin mencampurinya. Tetapi mereka pun berkepentingan untuk mengetahui apa yang kemudian terjadi.”

“Jika demikian, tolong, Kakang. Kami akan sangat berterima kasih jika Kakang bersedia melakukannya.”

“Tentu saja aku bersedia, Adi. Tetapi aku tidak tahu, bagaimana tanggapan orang-orang Mataram itu. Itu tergantung sekali kepada pemimpin pasukan dari Mataram yang diracun oleh ibumu itu.”

Terasa degup jantung Ki Bekel itu menjadi semakin keras dan semakin cepat. Seakan-akan ia sudah melihat ibunya berdiri di tengah alun-alun di bawah tiang gantungan. Tali sudah melingkar di lehernya. Seorang algojo sudah siap uniuk menarik palang bambu tempat ibunya itu berpijak. Demikian palang kayu itu terlepas, maka ibunya akan berayun di tali gantungan itu.

“Ibu,” tiba-tiba saja Ki Bekel itu terisak.

“Kau masih saja cengeng sejak kecilmu Adi. Sekarang kau sudah tidak pantas lagi untuk menangis. Biarlah anak-anak yang sedang tumbuh remaja itu sajalah yang menangis.”

“Tetapi ibuku?”

“Biarlah ia menuai benih yang ditaburkannya. Meskipun demikian, seperti yang aku katakan, aku akan berusaha.”

Ki Bekel itu menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya ia pun berkata, “Terima kasih, Kakang. Mudah-mudahan orang-orang Mataram itu mau mengampuni ibu. Setidak-tidaknya memperingan hukuman atas dirinya.”

“Aku akan membicarakannya dengan orang-orang Mataram. Tetapi yang penting, bagaimana dengan persoalan kita? Jika masih ada masalah, marilah kita bicarakan. Baru kemudian kita bersama-sama memberikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kakang. Aku sudah tidak mempunyai persoalan apa-apa lagi. Aku sudah pasrah. Apa yang Kakang perintahkan akan aku jalankan. Bahkan seandainya Kakang menghendaki untuk mencabut kedudukanku sebagai Bekel di Babadan.”

“Tidak. Aku tidak berpikir sejauh itu. Tetapi seandainya kau tidak digerakkan oleh Bibi, mungkin aku akan melakukannya. Tetapi kali ini tidak. Meskipun demikian, aku ingin memberimu peringatan, bahwa untuk selanjutnya kau harus berpegang pada satu landasan yang mantap bagi sikapmu. Jika pada kesempatan lain datang seseorang menawarkan mimpi-mimpi yang menarik, kau tidak boleh tergelincir lagi. Karena jika kau sekali lagi melakukan kesalahan, maka aku akan mengambil langkah-langkah yang tegas, sesuai dengan paugeran yang berlaku. Aku tidak akan mengampunimu lagi.”

“Kakang. Aku berjanji, bahwa aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku akan setia kepadamu dan kepada Kademangan Prancak.”

“Bagus, Adi. Jika demikian, baiklah kita besok pagi pergi menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Kita beritahukan kepadanya, bahwa di antara kita sudah tidak ada masalah lagi. Tatanan dan paugeran di Prancak telah ditegakkan kembali.”

“Ya, Kakang. Besok aku akan datang kemari.”

“Datanglah wayah matahari sepenggalah. Kita akan pergi ke banjar. Ki Lurah dan prajurit-prajurit sebagian berada di banjar. Sebagian lagi berada di rumah Ki Jagabaya, yang dekat dengan banjar itu.”

“Ibu berada dimana, Kakang?”

“Bibi berada di banjar itu pula. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu juga berada di banjar, di bawah pengawasan para prajurit Mataram.”

“Apa aku boleh mengunjungi Ibu, Kakang?”

“Tidak sekarang. Biarlah besok kita berbicara dengan Ki Lurah. Mungkin kau diijinkan menengok Bibi.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, kakek Ki Bekel Babadan itu pun berdesis, “Aku, kakek Bekel-e Babadan, mengucap terima kasih, Ngger. Aku sejak semula sudah mengira bahwa kau masih tidak berubah. Aku memang yakin, bahwa kau akan mengampuninya.”

“Aku tahu bahwa ia melakukannya bukan karena niat buruknya, Kek. Tetapi karena kelemahan jiwanya. Jika kelemahan itu dapat diatasinya, maka ia akan berubah.”

Ki Bekel itu menarik nafas panjang. Dalam keadaan yang terjepit, ternyata ia dapat juga bersikap keras. Ketika ia seakan-akan menjadi berputus-asa karena sikap orang-orang Babadan yang menyalahkannya, maka tiba-tiba saja ia telah berubah di luar kehendaknya sendiri.

Ternyata pembicaraan di antara dua bersaudara itu tidak memerlukan waktu yang lama. Tidak ada tawar-menawar. Tidak ada sikap yang saling mementingkan diri sendiri. Pembicaraan keduanya memang lebih condong merupakan pembicaraan antara dua orang kakak beradik, daripada pembicaraan seorang Demang dengan seorang Bekel yang telah berusaha menentangnya, dan bahkan berusaha untuk merebut kedudukannya.

Karena itu, maka keduanya tidak lagi mempunyai persoalan yang harus dibicarakan. Sementara itu, hidangan pun telah disuguhkan oleh seorang pembantu di rumah Ki Demang.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel itu pun telah minta diri. Sementara langit pun telah menjadi buram.

“Besok pagi wayah matahari sepenggalah, aku akan datang kemari.”

“Baiklah, Adi. Sekarang biarlah Kakek tinggal dan bermalam di sini. Bukankah Kakek sudah lama tidak datang mengunjungi aku, dan apalagi tidur di rumah ini?”

Laki-laki tua itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku rindu untuk tinggal di sini barang dua tiga hari, Ngger. Tetapi lain kali sajalah aku tidur di sini. Sekarang, biarlah aku menemani Bekel-e pulang ke Babadan. Besok aku akan menemaninya lagi datang kemari.”

“Baiklah, Kek. Tapi besok aku harap Kakek sungguh-sungguh datang bersama Adi Bekel Babadan.”

“Tentu, Ngger, aku tentu akan datang.”

Keduanya pun kemudian minta diri. Ki Demang menasehatkan agar Ki Bekel tidak berusaha untuk menemui ibunya lebih dahulu.

“Besok kita minta ijin lebih dahulu, apakah kau diperkenankan menengoknya atau tidak. Kita tentu tidak akan dapat memaksakan kehendak kita.”

“Ya, Kakang.”

Demikianlah, sesaat kemudian maka Ki Bekel Babadan itu pun segera meninggalkan rumah kakaknya untuk pulang ke Babadan. Tetapi rumahnya di Babadan akan terasa sangat sepi. Ibunya tidak berada di rumah itu. Dan bahkan mungkin tidak hanya sehari-dua hari, tetapi berhari-hari, atau malahan selamanya.

Ketika Ki Bekel itu memasuki regol halaman rumahnya, maka terasa jantungnya berdesir. Bahkan Ki Bekel itu pun tertegun sejenak ketika kakinya akan menginjak tangga pendapa.

“Sudahlah, Ngger,” berkata kakeknya. Agaknya orang tua itu dapat menangkap perasaan cucunya yang menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.

Ki Bekel berpaling. Dipandanginya kakeknya sekilas. Mata Ki Bekel itu menjadi basah. Katanya dengan suara yang tersendat, “Kek. Beruntunglah di rumah ini ada Kakek. Jika Kakek tidak ada di rumah ini, maka aku akan kehilangan segala-galanya. Apa artinya rumahku yang besar ini tetapi kosong sama sekali? Perabot rumah yang betapapun baik dan mahalnya, berapapun jumlah pembantu yang ada di rumah ini, tidak akan dapat mengisi kekosongan itu.” Ki Bekel itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya, “Karena itu, Kek. Jangan tinggal di bilik itu lagi. Kakek harus pindah ke ruang dalam. Masih ada beberapa sentong yang kosong.”

“Tetapi rasa-rasanya aku sudah mapan berada di bilikku itu, Ngger.”

“Tidak, Ibu-lah yang menempatkan Kakek di bilik yang kecil dan pengap itu. Tetapi sekarang aku sendiri. Karena itu, aku minta Kakek tinggal bersamaku di dalam.”

Kakeknya tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi marilah naik lebih dahulu.”

Keduanya pun kemudian naik ke pendapa. Kakeknya-lah yang mengetuk pintu pringgitan agak keras.

Seseorang terdengar melangkah ke pintu. Mengangkat selarak, kemudian mendorong pintu itu sehingga terbuka.

Pembantu rumah yang membuka pintu itu mengangguk. Kemudian orang itu pun segera kembali ke belakang. Kakek Ki Bekel itu-lah yang kemudian memasang selaraknya kembali.

Seperti diminta oleh Ki Bekel, kakek tua itu tidak kembali ke biliknya di dekat dapur. Tetapi ia masih duduk di ruang dalam menemani Ki Bekel yang kesepian.

“Sudahlah, sekarang beristirahatlah,” berkata kakeknya, ketika pembicaraan mereka sekali-sekali mulai menyebut Nyai Demang yang muda, yang sedang ditahan oleh para prajurit Mataram.

“Bagaimana dengan Ibu, Kek? “ suara Ki Bekel itu menjadi parau.

“Sudah beberapa kali aku katakan, serahkan sepenuhnya kepada kakakmu agar ia dapat berpikir tenang. Jika ia masih dibebani berbagai macam persoalan, maka ia justru akan menjadi kebingungan. Karena itu, jangan menuntut lagi. Besok kita akan berbicara panjang dengan para prajurit Mataram.”

“Ya, Kek.”

“Tidurlah. Kau perlu banyak beristirahat.”

“Aku akan tidur, Kek. Tetapi Kakek tidak usah pergi ke bilik di sebelah dapur. Kakek dapat mempergunakan bilik yang mana saja yang Kakek kehendaki.”

Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk. Katanya, “Ya. Aku nanti akan memilih bilik yang paling sesuai.”

Ki Bekel itu pun kemudian pergi ke biliknya. Ia masih mendengar kakeknya itu membersihkan debu dengan sapu lidi yang khusus dipergunakan di bilik yang biasanya memang kosong. Karena pembaringannya yang jarang dipakai, maka tikarnya pun agaknya berdebu, meskipun bilik itu setiap hari dibersihkan.

Ki Bekel pun mencoba untuk dapat tidur. Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Dicobanya pula untuk mengosongkan angan-angannya. Tetapi Ki Bekel memerlukan waktu untuk dapat benar-benar tidur.

Tetapi Ki Bekel tidak dapat tidur nyenyak. Beberapa saat saja ia sudah terbangun lagi. Bahkan dadanya mulai terasa sakit.

Ki Bekel itu pun kemudian bangkit dari pembaringannya. Seakan-akan di luar sadarnya, ia melangkah keluar dari biliknya.

Ki Bekel tertegun ketika ia melihat kakeknya tidak tidur di bilik manapun. Tetapi kakeknya itu tidur di ruang dalam, di tikar yang dibentangkan di lantai.

Namun ketika Ki Bekel akan membangunkannya, tangannya yang sudah terjulur untuk menyentuh kaki kakeknya itu telah tertahan. Kakeknya tidur nyenyak sekali, sehingga Ki Bekel itu tidak ingin mengusiknya.

Ki Bekel itu pun justru melangkah ke pintu butulan. Ketika ia berdiri di luar di tengah malam, maka terasa udaranya segar sekali. Angin berhembus perlahan sekali mengusap wajah Ki Bekel. Dinginnya serasa menyusup, menyentuh perasaan Ki Bekel yang gelisah. 

Beberapa lama Ki Bekel berdiri di luar. Segarnya udara telah membual Ki Bekel itu mengantuk.

Ki Bekel masih sempat untuk tidur beberapa lama lagi sampai menjelang fajar.

Ketika Ki Bekel itu bangun dan keluar dari biliknya, kakeknya sudah tidak ada di ruang dalam. Tetapi ketika Ki Bekel itu mendengar suara orang menyapu di halaman samping, maka ia tahu bahwa kakeknya-lah yang melakukan, sebagaimana dilakukannya sehari-hari ketika ibunya berada di rumah. Ibunya yang merasa tidak berkewajiban untuk berterima kasih kepada kakeknya, karena apa yang dilakukan kakeknya untuk ibunya itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan.

Ki Bekel itu pun kemudian berdesis, “Ibu memang keterlaluan.”

Ki Bekel itu pun kemudian melangkah ke halaman samping. Seperti yang diduganya, maka yang sedang menyapu halaman samping itu adalah kakeknya yang sudah tua.

“Sudahlah, Kek. Biar nanti disapu oleh para pembantu.”

Kakeknya berhenti sejenak. Sambil memegangi tangkai sapu lidinya, ia berdiri termangu-mangu. Dipandanginya cucunya itu dengan kerut yang semakin dalam di dahi.

“Bukankah pekerjaan ini sudah aku lakukan sejak lama?“ kakeknya itu justru bertanya.

“Sudah waktunya bagi kakek untuk beristirahat.”

Kakeknya tersenyum. Katanya, “Tanpa melakukan apa-apa, tubuhku akan cepat menjadi lemah. Tetapi dengan berbuat sesuatu seperti ini, maka otot-ototku akan bergerak. Darahku akan mengalir lebih lancar. Aku tidak akan terlalu cepat menjadi pikun.”

“Tetapi kakek akan letih.”

“Bukankah yang aku lakukan ini tidak seberapa berat? Aku memang memerlukan merasa letih. Asal tidak terlalu letih. Dengan demikian aku akan tetap banyak makan dan minum.”

Ki Bekel menarik nafas panjang. Ternyata kakeknya yang sudah terbiasa menyapu halaman samping itu tidak mau menghentikannya.

Kakek Ki Bekel itu baru selesai setelah halaman samping menjadi bersih. Gilar-gilar tanpa sehelai daunpun yang tercecer di halaman. Tetapi jika kemudian angin berhembus, maka satu-satu daun kering pun akan berjatuhan lagi.

Tetapi nanti, di sore hari, kakek Ki Bekel itu akan menyapu halaman samping itu lagi. Demikianlah yang dilakukan, pagi dan sore.

Kakek Ki Bekel itu pun kemudian menyandarkan sapu lidinya. Beberapa saat ia duduk di sebuah amben panjang yang terletak di bawah sebatang pohon jambu air untuk mengeringkan keringatnya. Baru kemudian kakek tua itu pergi ke pakiwan.

Ketika matahari naik, maka Ki Bekel dan kakeknya pun telah bersiap. Mereka akan pergi ke padukuhan induk Kademangan Prancak, untuk bersama-sama dengan Ki Demang menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Lurah prajurit Mataram yang datang ke Kademangan Prancak.

Sebelum wayah matahari sepenggalah, maka keduanya telah berada di rumah Ki Demang di Prancak. Bersama Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu, Ki Bekel akan menghadap Ki Lurah Agung Sedayu.

“Apakah Kakek juga akan pergi bersama kami ke banjar?” bertanya Ki Demang.

“Untuk apa? Apakah ada yang penting aku lakukan di banjar kademangan?”

“Mungkin Kakek akan minta ijin menemui Bibi? Jika saja Kakek mendapat izin, bukankah sekaligus Kakek akan menengok Bibi di banjar kademangan?”

Ternyata kakek Ki Bekel itu ragu-ragu. Namun akhirnya orang tua itu pun mengangguk sambil berkata, “Baiklah, Ngger. Kalau mungkin aku dapat bertemu dengan bibimu.”

Beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Ki Demang Prancak. Mereka langsung menuju ke banjar kademangan, yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang.

Di banjar, Ki Lurah Agung Sedayu telah siap untuk menerima mereka.

Setelah duduk di pringgitan, maka Ki Demang pun telah memperkenalkan kakek Ki Bekel Babadan itu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, setelah basa-basi sejenak, maka Ki Demang pun kemudian berkata kepada Ki Lurah, “Ki Lurah Agung Sedayu. Aku datang bersama Ki Bekel Babadan. Kami telah mengadakan pembicaraan pendahuluan kemarin. Ternyata di antara kami sudah tidak ada masalah lagi. Ki Bekel sudah mengakui kesalahannya, serta mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi gejolak. Babadan akan kembali kepada kedudukan semula sebagai satu padukuhan di dalam lingkungan sebuah kademangan.”

“Syukurlah,” berkata Agung Sedayu. “Namun meskipun demikian, Ki Demang aku harap menyelenggarakan pertemuan antara para Bekel dan bebahunya di seluruh Kademangan Prancak, yang akan dipimpin oleh Ki Demang sendiri. Di dalam pertemuan itu akan dimantapkan kembali kedudukan para Bekel. Ki Demang pun akan dapat memberikan peringatan keras kepada para Bekel yang tidak tunduk kepada perintah Ki Demang, serta padukuhan-padukuhan yang menjadi ragu-ragu mengambil sikap berdasarkan paugeran yang ada. Karena pada dasarnya, setiap padukuhan, bahkan setiap orang, telah terikat pada kewajiban, di samping hak yang diperolehnya.”

Ki Lurah Agung Sedayu itu pun terdiam sejenak. Namun kemudian ia pun berkata pula, “Dengan demikian para Bekel yang menjadi ragu-ragu bersikap pada saat Babadan mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan, perlu mendapat peringatan. Pada saat yang paling gawat sekalipun para Bekel harus mengambil sikap. Jika ada di antara para Bekel yang hanya menunggu kesempatan terbaik, seperti ujung ilalang yang condong kemana arah mata angin bertiup, maka setidak-tidaknya kepada mereka harus diambil tindakan.”

“Ya, Ki Lurah,” sahut Ki Demang, “kami akan menyerahkan hukuman apa yang terbaik bagi mereka.”

“Aku tidak akan mencampuri persoalan Kademangan Prancak. Ki Demang kumpulkan mereka, dan tuding orang-orang yang bersalah itu. Orang-orang yang hanya mementingkan keselamatannya sendiri tanpa bersikap sama sekali.”

Ki Demang Prancak itu mengangguk. Dengan nada berat ia pun berkata, “Baik, Ki Lurah. Aku akan mengadakan pertemuan dengan para Bekel di padukuhan-padukuhan seluruh Kademangan Prancak.”

“Dengan demikian, maka segalanya akan menjadi pasti. Tidak ada lagi yang harus diragukan,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Besok aku akan menyelenggarakannya, Ki Lurah, mumpung Ki Lurah masih ada di sini.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mencampuri persoalan yang akan berkembang di Prancak. Campur tangan orang-orang yang bersarang di ujung hutan dengan sandaran tajamnya senjata, telah meresahkan rakyat Prancak. Bahkan hampir saja rakyat Prancak terpecah dan saling bermusuhan sesama kadang. Biarlah kalian berbicara tentang kalian sendiri. Biarlah kalian menentukan keberadaan kalian sendiri. Campur tangan orang lain hanya akan berakibat buruk.”

“Aku tidak bermaksud mengundang campur tangan Ki Lurah. Aku hanya ingin Ki Lurah menjadi saksi. Jika setelah kami mencapai kesepakatan ada pihak yang berusaha melanggarnya, maka kami akan dapat mengambil tindakan seperlunya, tanpa terjadi salah paham dengan prajurit Mataram. Atau jika perlu, kami dapat minta bantuan prajurit Mataram, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku harap pertemuan itu benar-benar dapat dilaksanakan besok atau setidak-tidaknya dalam waktu dekat, karena kami akan segera kembali ke Mataram.”

“Baik, Ki Lurah. Besok sore pertemuan itu akan kami selenggarakan. Karena banjar ini dipergunakan oleh para prajurit, maka pertemuan itu akan kami selenggarakan di rumahku.”

“Aku akan datang untuk menjadi saksi dari pembicaraan itu. Dengan pembicaraan itu, maka segala sesuatunya sudah diperbaharui dan pasti.”

“Terima kasih, Ki Lurah. Mudah-mudahan keberadaan Ki Lurah untuk menjadi saksi itu dapat mendorong kami untuk menemukan kepastian itu.”

Ki Lurah pun mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, Ki Demang itu pun berkata, “Ki Lurah. Selain untuk memberikan laporan tentang pembicaraanku dengan Adi Bekel Babadan, aku juga ingin menyampaikan permohonan Adi Bekel untuk dapat bertemu dengan ibunya. Syukurlah kalau Bibi itu tidak akan dibawa ke Mataram, kalau Ki Lurah dapat memberikan pengampunan.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Semua yang bersalah akan aku bawa ke Mataram. Selain orang-orang yang dapat kami tangkap di ujung hutan, juga mereka yang tertangkap di Kademangan Babadan. Tentu saja orang yang mengaku Ki Jagabaya Babadan termasuk di antara mereka. Selain Ki Jagabaya, maka yang ikut memegang peranan dalam usaha perebutan kedudukan di Kademangan Prancak adalah Nyai Demang muda. yang telah menghasut anaknya untuk melakukan perlawanan kepada seorang Demang yang sah.”

“Ki Lurah. Aku menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Adi Bekel sudah mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak melakukan lagi.”

“Mungkin persoalannya dengan Ki Demang sudah Ki Demang anggap selesai. Tetapi ibu Ki Bekel itu sudah berusaha meracun kami, beberapa orang yang datang ke rumah Ki Bekel pada waktu itu, untuk mengalasi pembicaraan Ki Bekel dengan Ki Demang Prancak.”

Ki Demang menarik nafas panjang. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Nyai Demang muda itu memang sudah berusaha membunuh dengan racun, di antaranya adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Lurah prajurit yang sedang menjalankan tugasnya di Kademangan Prancak. Dengan demikian, maka kesalahan Nyai Demang muda im menjadi semakin bertimbun.

“Jadi, sudah tertutup kemungkinan untuk memberikan pengampunan bagi Bibi, agar Bibi tidak usah dibawa ke Mataram?”

“Nyai Demang itu pasti akan aku bawa ke Mataram. Sedangkan tentang pengampunan baginya, aku tidak dapat berkata apa-apa. Segala sesuatunya tergantung kepada para pejabat di Mataram.”

Ki Demang menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berpaling kepada Ki Bekel sambil berkata, “Adi. Kau dengar sendiri keputusan Ki Lurah Agung Sedayu tentang Bibi.”

Ki Bekel itu pun mengangguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Lurah. Segala sesuatunya memang terserah kepada Ki Lurah. Namun jika Ki Lurah inengijinkan, aku dan Kakek ingin bertemu dan berbicara dengan Ibu, sebelum Ibu dibawa ke Mataram.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun melambaikan tangannya memanggil seorang prajurit yang berada di halaman banjar.

Prajurit itu pun mendekat.

“Panggil seorang kawanmu. Bawa Ki Bekel dan kakeknya ke bilik tahanan Nyai Demang. Peringatkan lebih dahulu para petugas jaga, agar mereka berhati-hati.”

“Ya, Ki Lurah.”

Prajurit itu pun kemudian memanggil seorang kawannya untuk bersama-sama membawa Ki Bekel dan kakeknya ke bilik tahanannya.

Namun Ki Demang itu pun berkata, “Aku ikut bersama mereka.”

“Silahkan, Ki Demang.”

Dengan diantar oleh dua orang prajurit, maka Ki Bekel, kakeknya dan kemudian Ki Demang, pergi ke bilik tahanan Nyai Demang muda yang dianggap bersalah.

Seorang di antara para prajurit itu pun sempat menemui prajurit yang bertugas menjaga para tawanan, untuk menyampaikan pesan Ki Lurah Agung Sedayu agar mereka berhati-hati. Sementara yang seorang lagi mengantar Ki Bekel, kakeknya serta Ki Demang Prancak ke bilik tahanan Nyai Demang muda.

Ketika selarak pintu itu diangkat serta pintunya dibuka, maka mereka melihat Nyai Demang itu duduk di pembaringannya sambil mengusap air matanya.

“Ibu,” desis Ki Bekel.

Nyai Demang itu bangkit berdiri. Namun ketika ia melihat ayahnya serta Ki Demang berdiri di pintu, maka Nyai Demang itu pun berkata dengan suara parau, “Untuk apa mereka kemari?”

“Ibu. Ini Kakek ingin bertemu dengan Ibu. Demikian pula Kakang Demang Prancak.”

“Suruh mereka pergi. Aku tidak memerlukan mereka.”

“Tetapi Kakek datang untuk menemui Ibu.”

“Orang tua tidak tahu diri. Kakekmu itu hanya dapat menghalangi gegayuhanku. Kakekmu selalu menjadi penghalang jalanku. Agaknya kakekmu itu juga yang telah melaporkan kegiatanku kepada orang-orang Mataram.”

“Tidak, Bibi,” sahut Ki Demang Prancak, “Kakek tidak berbuat apa-apa. Yang memberikan laporan kepada para prajurit Mataram adalah dua orang pengembara yang pernah di tangkap oleh orang-orang Babadan. Jika Bibi menganggap itu mustahil, maka biarlah Bibi menyalahkan aku, karena aku-lah yang menyambut para prajurit Mataram itu, serta memberikan banyak keterangan kepada mereka.”

“Aku tahu bahwa kau selalu dengki terhadap adikmu. Sampai masa tuamu kau tetap saja selalu berusaha menekan adikmu, untuk tidak pernah dapat bangkit dan menggapai cita-citanya.”

“Kalau cita-citanya wajar dan lurus, tanpa melanggar tatanan dan paugeran, aku tentu akan mendukungnya, Bibi. Bukankah aku sudah banyak memberinya kesempatan? Pada saat Babadan tidak memiliki seorang Bekel karena Ki Bekel Babadan yang tua itu meninggal tanpa meninggalkan seorang pun yang dapat mewarisi kedudukannya, aku pergunakan pengaruhku untuk menempatkan adikku itu menjadi Bekel di Babadan.”

“Hanya itulah yang dapat kau berikan. Kau tidak mau memberi kesempatan lebih jauh lagi.”

“Aku tidak mempunyai jalan untuk itu, Bibi.”

“Kalau kau mau memberikan kedudukanmu kepada adikmu, maka adikmu akan dapat melangkah setapak lebih tinggi. Mungkin ada kesempatan lain yang dapat mengangkatnya ke kemungkinan yang lebih tinggi lagi.”

“Apakah Ibu melihat kemungkinan itu?”

“Tentu. Adikmu akan dapat menjadi seorang Demang di Babadan, yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah Kademangan Prancak.”

“Lalu aku sendiri?”

“Kau harus menerima kedudukan yang lebih rendah. Kau menjadi Bekel di Prancak.”

“Ibu, bukankah itu tidak mungkin?” potong Ki Bekel Babadan.

“Kenapa tidak? Kau adalah anak Demang Prancak. Kau berhak mewarisi kedudukannya.”

“Tetapi Kakang Demang adalah anak Demang Prancak yang lebih tua dari aku.”

“Bohong. Anak yang disebut kakakmu itu sama sekali bukan anak Demang Prancak. Ia anak orang lain, karena ibunya waktu itu selingkuh, sehingga ayahmu mengambil aku sebagai istri mudanya.”

“Bibi,” potong Ki Demang. Dari sorot matanya nampak getar perasaannya.

“Ibu. Ibu jangan mengada-ada.”

“Diam kau, anak manja. Kau-lah yang seharusnya menjadi Demang di Prancak. Bukan kakakmu itu.”

“Tetapi Bibi tidak perlu memfitnah,” geram Ki Demang.

“Aku tidak memfitnah. Bertanyalah kepada orang-orang tua di Prancak.”

“Tidak ada orang yang pernah mengatakannya.”

“Tidak. Yang dikatakannya itu tidak benar,” sahut kakek Ki Bekel itu. “Kau memang pernah mencoba menyebarkan fitnah itu, tetapi tidak seorang pun yang percaya. Apalagi mereka yang sudah mengenal Nyai Demang tua itu.”

“Diam kau, orangtua yang tidak berguna. Pergi dari sini.”

“Ibu. Tidak baik jika Ibu masih juga berusaha memfitnah. Kami datang untuk menemui Ibu. Mungkin ada pesan-pesan yang akan dapat berarti bagiku dan bagi Kakang Demang. Mungkin Ibu memerlukan petunjuk Kakek, karena ternyata apa yang dikatakan Kakek tentang niat Ibu untuk menggeser kedudukan Kakang Demang itu benar.”

“Diam! Diam kau, anak manja yang cengeng. Kau tahu apa? Kau hanya tahu makan dan minum. Tidur dikipasi, serta dipijiti kaki dan tanganmu. Kau hanya tahu disuapi dan menangisi mainanmu yang terlepas dari tanganmu, tanpa mampu mengambilnya sendiri.”

“Ibu.”

“Sekarang pergilah kalian. Besok segala sesuatunya harus sudah terselenggara.”

“Apa yang terselenggara, Ibu?”

“Penyerahan kekuasaan di Prancak. Besok kau akan menjadi Demang di Babadan. Demang Prancak itu akan menjadi Bekel. Ia akan menyerahkan seluruh wilayah Kademangan Prancak kepada Demang Baru di Babadan.”

Ki Demang Prancak, Ki Bekel Babadan dan kakeknya menjadi tegang. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat pandangan mata Nyai Demang muda itu.

“Ibu,” desis Ki Bekel.

Nyai Demang muda itu tertawa berkepanjangan. Semakin lama semakin keras. “Kau akan menjadi Demang besok pagi, Ngger. Demang Prancak itu tidak akan berdaya melawanmu. Raden Panengah sendiri akan membinasakannya dengan tangannya.”

“Ibu? Ibu?”

Suara tertawa Nyai Demang itu pun bagaikan mengguncang-guncang bilik tahanannya.

“Jangan takut, Ngger. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Raden Panengah. Ia sudah berjanji untuk menjadi ayah yang baik bagimu. Ia akan berbuat apa saja untuk kemenanganmu. Demang Prancak itu akan dilumatkannya seperti debu.”

“Ibu,” Ki Bekel itu berjongkok sambil memeluk kaki ibunya. Bahkan Ki Bekel itu pun tidak dapat menahan air matanya melihat keadaan ibunya.

“Kenapa kau menangis, anak cengeng? Apa saja yang tidak kau tangisi, he? Sudah aku katakan, jangan takut. Dalam waktu sepenginang Raden Panengah akan menghancurkan Demang Prancak. Jika rakyatnya berniat untuk mempertahankannya, maka mereka akan disapu bersih seperti sampah di halaman rumahmu itu.”

“Ibu? Ingat, Ibu. Ibu harus menyadari apa yang sudah terjadi.”

“Aku sadar sepenuhnya, Ngger.” Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. “Demang-e. Kau memang anak iblis. Kenapa kau tidak mau menyerahkan jabatanmu kepada adikmu, he? Kenapa? Kau terlalu serakah. Kau warisi rumah, sawah dan semua kekayaan Ki Demang. Bahkan kedudukannya, tanpa mengingat bahwa kau mempunyai seorang adik laki-laki.”

“Ibu? Ibu? Ingat, Ibu. Ibu jangan terperosok terlalu jauh ke dalam alam khayalan itu.”

“Kau kira aku berkhayal? Tidak. Besok penyerahan kekuasaan itu harus terselenggara. Jika tidak, maka Raden Panengah akan menghancurkan Prancak.”

“Ibu. Jangan sebut lagi nama iblis itu. Raden Panengah sudah menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat Kademangan Prancak. Aku telah dikorbankannya.”

“Kau memang bodoh. Kau memang dungu, anak cengeng. Kau tidak usah ikut campur. Segala sesuatunya akan selesai dengan baik.”

“Panengah itu sudah mati, Ibu. Sudah mati dibunuh oleh prajurit Mataram.”

“Apa? Apa katamu?”

“Panengah itu sudah mati dibunuh prajurit Mataram.”

“Tidak. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Raden Panengah. Tidak ada.”

“Jangankan Panengah, orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara itu pun sudah mati di tangan orang-orang Mataram.”

“Bohong! Bohong!”

“Tidak, Ibu. Aku tidak bohong.”

Perempuan itu pun kemudian memandang Ki Demang Prancak yang sudah bergeser maju.

“Apakah benar bahwa Raden Panengah sudah mati?”

“Ya, Bibi. Raden Panengah sudah mati.”

“Siapa yang membunuhnya?”

“Prajurit Mataram.”

“Raden Mahambara?”

“Juga sudah mati. Yang membunuh Raden Mahambara juga orang Mataram, tetapi ia bukan seorang prajurit.”

“Jadi siapa? Siapa? Siapa yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Raden Mahambara?”

“Ki Jayaraga. Meskipun Ki Jayaraga juga terluka di bagian dalam tubuhnya, tetapi ternyata bahwa berhadapan dengan Ki Jayaraga, Raden Mahambara bukannya orang yang tidak terkalahkan.”

“Setan! Iblis laknat keparat!”

Kakek Ki Bekel itu pun kemudian melangkah mendekati anak perempuannya. Dengan lembut laki-laki tua itu berkata, “Warsiyah, sudahlah. Bangunlah dari mimpi-mimpi burukmu itu.”

“Pergilah. Kau tahu apa? Kau hanya tahu makan dan tidur nyenyak. Pada masa kecilku aku selalu harus tunduk kepadamu. Aku harus melakukan apa katamu. Tetapi kau tidak pernah mendukung kemauanku, niatku dan semua langkah-langkahku. Kau hanya dapat menghalangiku, dan bahkan jika mampu kau akan mencegahnya. Sekarang kau datang lagi untuk menghalangi aku. Untuk mencegah niatku. Tidak. Tidak ada orang yang dapat mencegahku. Tidak ada orang yang dapat menghalangi aku.”

Pandangan mata orang tua itu menjadi redup. Tetapi dengan lembut ia pun berkata, “Aku mengerti, Warsiyah. Aku mengerti bahwa cita-citamu kau gantungkan di atas awan. Tetapi kakimu tidak lagi berpijak di atas bumi. Kau kehilangan pegangan, sehingga penalaranmu menjadi goyah.”

“Cukup! Cukup! Aku tidak memerlukan sesorahmu.”

“Warsiyah. Cobalah, kau sempatkan dirimu untuk mengenang apa yang telah terjadi atas dirimu dan atas anak-anakmu. Bukankah Demang Prancak itu juga anakmu, seperti Bekel di Babadan? Cobalah kau ingat dirimu, dan apa saja yang telah kau lakukan.”

Nyai Demang itu pun termangu-mangu sejenak.

Namun kemudian Nyai Demang itu pun berteriak, “Jangan ganggu aku lagi! Pergilah! Aku tidak memerlukan kau lagi. Ternyata kau tidak dapat memenuhi kewajibanmu, menuruti dan mencukupi kebutuhanku.”

“Aku tidak mengelak, Ngger. Aku memang tidak dapat memenuhi semua keinginanmu. Tetapi itu bukan berani bahwa aku mengabaikan kewajibanku.”

“Apa yang aku inginkan tidak pernah dapat kau adakan. Aku selalu kecewa sejak masa kecilku. Aku tidak punya apa-apa seperti yang dipunyai oleh kawan-kawan. Bahkan golek dari kayu pun aku tidak punya. Setiap kawan-kawanku bermain anak-anakan, aku hanya dapat menggendong gedebog pisang. Sementara kawan-kawanku mempunyai golek dari kayu yang disungging manis sekali.”

“Aku minta maaf, Ngger. Tetapi apa yang dapat aku berikan kepadamu dan kepada saudara-saudaramu itu adalah apa yang aku punya. Semuanya. Hidupku, kerja kerasku dari pagi sampai petang, hasilnya adalah bagimu dan saudara-saudaramu. Aku berikan segala-galanya bagi anak-anakku. Sedangkan mereka yang memberi golek dari kayu yang diukir dan disungging halus itu belum tentu memberikan segala-galanya bagi anaknya. Yang mereka berikan hanyalah sebagian kecil saja, sedangkan yang lebih banyak mereka pergunakan untuk kesenangan dirinya sendiri.”

“Itu salahmu. Kenapa kau tidak dapat mencari yang lebih banyak, sehingga apa yang kau berikan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku itu hanya sebagian kecil saja dari penghasilanmu, sedangkan yang lain dapat kau pergunakan untuk menyenangkan dirimu sendiri? Bukankah anak-anakmu tidak akan pernah melarang kau menyenangkan dirimu sendiri?”

“Itu yang aku tidak mampu, Ngger. Aku sudah bekerja sepenuh tenaga dan waktuku. Tetapi memang hanya itulah hasilnya. Dan itu seluruhnya sudah aku berikan kepadamu dan kepada saudara-saudaramu. Kepada seluruh keluargaku.”

“Ayah adalah seorang yang bodoh. Malas, dan tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan gejolak kehidupan.”

“Apapun yang kau katakan, Ngger, tetapi kau sebenarnya tahu pasti, bahwa aku telah berbuat apa saja yang dapat aku lakukan. Kau tentu tahu, kapan aku bangun di pagi hari? Kapan aku pulang dari kerja, apa saja yang dapat aku kerjakan? Jika ini aku katakan kepadamu, Warsiyah, bukan berarti bahwa aku mulai mengeluh atau bahkan merasakan ketidakadilan Yang Maha Agung. Sama sekali tidak. Aku justru mensyukuri segalanya yang telah dikurniakan kepadaku. Itulah takaran yang pantas bagiku, bagimu dan bagi keluargaku. Tanpa mensyukuri kurnianya, maka kita akan selalu diburu oleh perasaan kecewa, ketidakpuasan, selalu merasa kekurangan. Dan lebih buruk lagi, kita akan menggugat kepada kuasa Yang Maha Agung.”

Nyai Demang itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak berkerut, sementara punggungnya basah oleh keringat.

“Kita memang pantas berusaha, Ngger. Berjuang untuk mencapai satu keinginan. Satu gegayuhan. Usaha dengan sekuat tenaga adalah ungkapan permohonan yang sungguh-sungguh dari satu permohonan kepada Yang Maha Agung. Tetapi takaran yang dipergunakan bagi kurnianya atas kita, harus kita terima dengan mengucapkan syukur. Kita tidak dapat menuntut lebih, dengan mempergunakan cara-cara yang bertentangan dengan wewaler-Nya. Jalan yang justru dikendalikan oleh nafsu hitam yang memancar dari hati iblis yang berbulu duri.”

Nyai Demang itu masih berdiri mematung, namun wajahnya menjadi semakin menunduk.

“Ibu,” desis Ki Bekel kemudian, “Kakek benar, Ibu.”

Dipandanginya anaknya dengan mata yang basah. Dengan suara yang tertahan Nyai Demang itu pun bertanya, “Apa maksudmu?”

“Apa yang ingin kita capai, agaknya sudah berada di luar takaran kurnia Yang Maha Agung. Sehingga kita sudah mulai menyandarkan keberhasilan niat kita yang sudah melampaui takaran itu kepada kekuatan hitam di ujung hutan.”

“Warsiyah,” sambung ayahnya, “kau harus mulai menyadari dan mengakui sebagaimana dikatakan oleh anakmu. Ia adalah anakmu, tetapi panalarannya ternyata lebih jernih dari penalaranmu.”

“Ibu, Raden Panengah dan Raden Mahambara adalah ujud dari hati iblis yang hitam itu. Untuk dapat memandang dan mengenali iblis yang berhati kelam itu, maka kita dapat memandang Raden Panengah dan Raden Mahambara. Aku pun merasa sangat terlambat dapat mengenali mereka.”

“Ngger,” nada suara Nyai Demang itu merendah. Air matanya pun mengalir semakin deras.

“Ibu dapat melihat kelemahan Ibu itu?”

Tangis Nyai Demang itu pun kemudian meledak bagaikan bendungan pecah. Tiba-tiba saja Nyai Demang itu berjongkok di hadapan ayahnya, memeluk kakinya sambil berkata di sela-sela isak tangisnya, “Ampuni aku, Ayah. Aku mohon ampun.”

Ayahnya itu pun kemudian membungkuk sambil memegangi lengan anak perempuannya, kemudian menariknya berdiri, “Sudahlah, Warsiyah. Sudah.”

“Ayah belum mengampuni aku,” tangis Warsiyah. Tetapi ia masih belum mau bangkit berdiri.

“Kau tidak bersalah.”

“Aku bersalah. Aku bersalah kepada Ayah, kepada Bekel Babadan, dan kepada seluruh warga padukuhan Babadan dan sekitarnya. Aku telah menyulut permusuhan di antara kalian. Bahkan telah mengundang campur tangan prajurit Mataram.”

Orang tua itu pun termangu-mangu sejenak, sementara Nyai Demang masih menangis sambil memeluk kakinya.

“Ampuni aku, Ayah. Aku mohon ampun.”

Orang tua itu mengusap matanya yang menjadi basah. Sambil menarik Nyai Demang itu agar berdiri, ia pun berkata, “Sudah, Warsiyah. Aku sudah mengampunimu.”

“Ayah.”

Ayahnya menarik Nyai Demang itu sehingga akhirnya Nyai Demang itu pun berdiri.

“Duduklah. Duduklah di pembaringanmu.”

Ki Demang menarik nafas panjang. Pengakuan ibu tirinya itu merupakan pertanda, bahwa ibu tirinya itu tidak akan membuat ulah lagi di kemudian hari, meskipun kemungkinan di luar dugaan dapat saja terjadi.

Nyai Demang itu pun kemudian duduk di bibir pembaringannya, namun isaknya masih terasa menyesakkan dadanya.

Di sela-sela isaknya, Nyai Demang itu masih juga berkata. “Ngger, Demang-e Prancak, aku juga minta maaf kepadamu dan kepada seluruh rakyat di Prancak. Semuanya terpercik oleh sikapku yang tidak sepantasnya. Aku minta maaf.”

“Baiklah, Bibi. Aku sudah memaafkan Bibi. Aku juga akan berbicara dengan orang-orang Mataram, agar mereka juga dapat memaafkan Bibi.”

“Jangan, Ngger, jangan. Biarlah orang-orang Mataram itu menjatuhkan hukuman kepadaku. Sebelum aku menjalani hukuman, maka rasa-rasanya hutangku kepada Kademangan Prancak belum terbayar. Dengan menjalani hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh petugas yang berwenang mengadili aku di Mataram, aku akan menerima dengan ikhlas. Aku sudah berbuat salah, karena itu aku harus dihukum, agar aku merasa bahwa kesalahanku itu sudah aku tebus. Sehingga untuk selanjutnya, jika aku masih dikaruniai umur panjang, aku dapat menjalani hidupku itu dengan tenang, karena aku sudah merasa diriku bersih kembali.”

Ketiga orang yang mengunjungi Nyai Demang itu saling berpandangan. Mereka dapat mengerti sikap Nyai Demang itu. Karena pengakuannya yang mendalam, maka ia ingin menebus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya itu, dengan menjalani hukuman yang akan dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang di Mataram.

Ketika tangis Nyai Demang itu mereda, maka kakek Ki Bekel itu pun berkata, “Marilah, Ngger. Kita kembali kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Marilah, Kek,” jawab Ki Demang, yang kemudian minta diri kepada Nyai Demang, “Bibi. Kami minta diri. Kami masih akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Silahkan, Ngger. Tetapi Angger tidak perlu minta pengampunan bagiku.”

Ki Demang menarik nafas panjang. Katanya, “Baik, Bibi. Aku tidak akan minta pengampunan bagi Bibi, jika itu yang Bibi kehendaki, serta yang mungkin dapat memberikan ketenangan bagi hidup Bibi selanjutnya.”

“Terima kasih, Ngger.”

Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya itu pun minta diri kepada Nyai Demang muda, yang nampaknya telah menemukan satu keyakinan baru di dalam hidupnya. Agaknya sepercik sinar telah memancar menerangi hatinya yang kelam.

Dalam pada itu, Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya telah pergi ke pendapa. Ki Lurah Agung Sedayu masih duduk di pringgitan menunggu mereka.

Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya masih duduk beberapa saat lagi bersama Ki Lurah Agung Sedayu. Masih ada beberapa hal yang perlu disampaikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu kepada Ki Demang Prancak.

“Kami akan segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Mataram, Ki Demang,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Jika besok pertemuan Ki Demang dengan para bekel itu dapat terlaksana, maka besok lusa kami akan kembali ke Mataram. Kami akan membawa para tawanan, termasuk Nyai Demang muda.”

“Kenapa begitu tergesa-gesa, Ki Lurah? Ki Lurah dapat berada di Prancak untuk waktu yang agak lama.”

“Bukankah sudah tidak ada persoalan lagi yang harus kami tangani? Persoalan-persoalan yang timbul akan dapat Ki Demang tangani sendiri. Untuk menjaga keutuhan Kademangan Prancak, serta untuk melindungi rakyatnya, Ki Demang dapat menyusun kekuatan yang terdiri dari anak-anak muda padukuhan. Kerusuhan yang mungkin timbul akan dapat Ki Demang redam sendiri, tanpa menggantungkan diri kepada para prajurit. Meskipun demikian, untuk kerusuhan di luar batas kemampuan kademangan, maka para prajurit tentu akan datang membantu.”

“Terima kasih, Ki Lurah.”

“Nah, aku berharap bahwa besok sore pertemuan itu akan benar-benar dapat terlaksana.”

Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya itu pun segera meninggalkan banjar. Ki Bekel dan kakeknya langsung kembali ke Babadan. Tetapi besok sore mereka harus berada di rumah Ki Demang di Prancak, untuk menghadiri pertemuan dengan para Bekel di seluruh Kademangan Prancak.

Hari itu, Ki Demang pun telah memerintahkan beberapa orang bebahu mengundang para Bekel. Para bebahu sendiri-lah yang harus membagi diri pergi ke padukuhan-padukuhan, agar mereka dapat menjelaskan kepada para Bekel.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan kepada pasukannya untuk mempersiapkan diri. Jika besok pertemuan dengan para Bekel itu benar-benar dapat berlangsung, maka besok lusa Ki Lurah akan membawa prajuritnya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama para tawanan.

Dalam pada itu, keadaan Ki Jayaraga pun telah berangsur pulih kembali. Sehingga jika besok lusa mereka akan menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga tidak akan mengalami kesulitan lagi.

Seperti yang diperintahkan oleh Ki Demang, maka para bebahu pun telah menyebar ke padukuhan-padukuhan. Jika biasanya Ki Demang mempercayakan beberapa orang anak muda untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada para Bekel, namun hari itu para bebahu sendiri yang harus datang menemui para Bekel, untuk menyampaikan perintahnya agar para Bekel besok sore berkumpul di rumahnya.

Beberapa orang Bekel yang menerima kedatangan seorang bebahu kademangan untuk menyampaikan perintah Ki Demang, memang agak terkejut. Tetapi ketika para bebahu itu memberikan penjelasan, maka para Bekel pun memakluminya.

Meskipun demikian, ada juga beberapa orang Bekel yang menjadi gelisah. Mereka merasa bahwa selama terjadi perpecahan di Kademangan Prancak, mereka tidak menunjukkan sikap yang tegas.

Namun Bekel Babadan sendiri justru sudah menjadi tenang. Ia sudah bertemu lebih dahulu dengan Ki Demang Prancak. Ia pun sudah membuat penyelesaian tersendiri dengan Ki Demang Prancak, sehingga persoalannya sudah dapat dianggap selesai. Tugas selanjutnya adalah mengembalikan orang-orang Babadan ke dalam keadaan semula, sehingga mereka merasa bahwa mereka adalah penghuni sebuah padukuhan yang menjadi bagian dari Kademangan Prancak.

Ketika malam turun, maka suasana di Prancak sudah jauh berubah. Para peronda di beberapa padukuhan serta pedukuhan induk tidak lagi dicengkam oleh ketegangan.

Para peronda tidak lagi merasa cemas di setiap saat. Apalagi di padukuhan-padukuhan yang malam terakhir didatangi orang-orang Babadan serta para perampok dari ujung hutan.

Mereka yang meronda sempat duduk berkelakar di gardu-gardu, sambil menunggu ketela pohon yang mereka rebus masak.

Sementara itu, orang-orang Babadan pun sempat melihat ke dalam diri mereka sendiri. Orang-orang, termasuk mereka yang keinginannya untuk menjadikan padukuhan mereka sebagai padukuhan induk melonjak-lonjak di dalam dada mereka, mencoba untuk menilai keadaan.

Mereka pun akhirnya sadar, bahwa sia-sialah mereka jika mereka masih saja bermimpi untuk menjadikan padukuhan mereka padukuhan induk sebuah kademangan, yang akan disebut Kademangan Babadan, yang wilayahnya meliputi Kademangan Prancak.

Bahkan beberapa orang telah menjadi malu sendiri, bahwa untuk beberapa lama mereka telah berada di bawah pengaruh para perampok yang tinggal di ujung hutan. Bahkan seorang ibu tengah menangis tanpa henti, menangisi anak gadisnya yang mulai mengandung karena berhubungan dengan seorang yang berasal dari sarang para perampok di ujung hutan itu.

Sedangkan seorang janda kembang pun hampir saja berniat untuk membunuh diri. Untunglah kerabatnya sempat mencegahnya dan mencoba memberikan beberapa nasehat, sehingga janda itu mengurungkan niatnya.

Janda itulah yang untuk beberapa lama telah tinggal bersama orang yang disebut Ki Jagabaya di padukuhan Babadan. Untuk beberapa lama ia terlena, sehingga ia tidak menyadari siapakah sebenarnya orang yang disebut Ki Jagabaya Babadan itu. Ketika Ki Jagabaya itu minta kepadanya untuk tinggal bersamanya, ia justru merasa sangat bangga. Matanya seakan-akan menjadi rabun, bahwa ia tidak melihat betapa wajah Ki Jagabaya yang bengis itu, bagaimana sikapnya yang kasar dan kata-katanya yang kotor. Untuk beberapa lama ia menganggap bahwa Ki Jagabaya itu adalah laki-laki yang sangat didambakannya, sepeninggal suaminya yang sakit-sakitan.

Tetapi ketika semuanya sudah berakhir, ia mulai dapat melihat kebenaran tentang orang yang disebut Ki Jagabaya itu. Perasaan malu, kecewa, menyesal dan berbagai macam perasaan yang bercampur baur, telah membuatnya berputus asa, sehingga janda kembang yang masih juga belum dinikahi oleh Ki Jagabaya itu berniat untuk membunuh diri.

Ki Bekel Babadan pun melihat luka-luka di padukuhannya, yang ditinggalkan oleh para perampok yang semula tinggal di ujung hutan itu, namun yang kemudian perlahan-lahan berniat membangun landasan dari gerakan mereka di padukuhan Babadan. Bahkan mereka telah merencanakan untuk membuat Babadan menjadi sebuah kademangan.

Ki Bekel itu pun menyadari, bahwa ia telah dihadang oleh tugas yang berat untuk memulihkan keadaan padukuhannya, sehingga orang-orang padukuhannya tidak lagi merasa segan dan malu berbaur dengan rakyat Prancak dari padukuhan yang lain di seberang susukan. 

Ki Bekel itu tidak seharusnya lagi menjadi orang cengeng dan manja, yang hanya dapat bersandar kepada ibunya. Bahkan pada saat ibunya tersesat, maka ia pun telah terseret pula ke arah yang sesat itu pula.

Ki Bekel sadar bahwa telah datang waktunya untuk bangkit dan berdiri di atas kedua kakinya sendiri.

Namun Ki Bekel tidak sendiri. Para bebahunya yang dikumpulkannya, merasa mengemban kewajiban yang sama seperti Ki Bekel. Mereka sadar bahwa tidak ada gunanya lagi mereka untuk menuding Ki Bekel dan menyalahkannya. Ki Kebayan itu pun berkata kepada orang-orang Babadan, “Kita semuanya telah bersalah. Adalah tidak adil jika kita membebankan kesalahan ini kepada Ki Bekel semata-mata. Ki Bekel berani bertindak lebih jauh, karena Ki Bekel merasa mendapat dukungan dari rakyat Babadan. Karena itu maka marilah kita semuanya mengakui, bahwa kita bersama-sama telah terjerumus ke dalam satu kesalahan, yang akibatnya ternyata sangat buruk bagi padukuhan Babadan. Selama ini kita telah mengeluarkan banyak sekali uang untuk membiayai keberadaan orang-orang dari ujung hutan itu. Tetapi uang dapat dihitung jumlahnya. Lebih dari itu, kita sudah kehilangan harga diri dan kenyataan tentang diri kita sendiri.”

Rakyat Babadan pun menyadari. Masuknya unsur dari luar padukuhan mereka benar-benar telah merusakkan tatanan kehidupan di padukuhan mereka.

Bahkan orang-orang dari luar lingkungan mereka itulah kemudian yang menentukan nafas kehidupan di Babadan. Ki Bekel sendiri tidak lebih dari sosok wayang yang berada di tangan seorang dalang yang bengis.

Demikianlah, maka Kademangan Prancak pun mulai membenahi diri. Seperti diperintahkan oleh Ki Demang, maka di keesokan harinya para bebahu kademangan, para bekel serta bebahu padukuhan berkumpul di rumah Ki Demang Prancak.

Ketika matahari turun, maka para Bekel pun mulai berdatangan, disertai para bebahu masing-masing.

Selain mereka, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah hadir pula bersama Glagah Putih. Seorang yang pernah berada di Prancak, pada saat-saat Kademangan Prancak berada di bawah bayangan campur tangan pihak lain. Para perampok yang tinggal di ujung hutan.

Dalam pertemuan itu, Ki Demang tidak lagi berbicara melingkar-lingkar. Ki Demang langsung berbicara tentang keadaan Kademangan Prancak pada saat-saat terakhir. Keterlibatan pihak lain yang memasuki rumah tangga Kademangan Prancak.

“Satu pengalaman yang pahit,” berkata Ki Demang, “sementara itu ada pula para Bekel yang terombang-ambing, tanpa berpijak pada satu sikap yang mantap. Justru mereka adalah orang-orang yang hanya mencari keselamatan sendiri. Pada saatnya ia akan berpihak pada mereka yang menang dalam pertarungan antara keluarga sendiri.”

Beberapa orang Bekel merasa tertusuk jantungnya. Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

Tetapi Ki Demang Prancak tidak mau menyebut nama padukuhan-padukuhan yang sengaja mengambang tanpa menentukan sikap. Tetapi peringatan Ki Demang Prancak sangat tajam ditujukan kepada mereka yang tidak bersikap itu.

“Pada kesempatan lain, aku akan bersikap lebih kasar. Aku dapat menyingkirkan para Bekel yang tidak bersikap. Para Bekel yang hanya mencari keselamatan sendiri. Jika Bekel yang aku singkirkan itu mencoba untuk melawan, maka aku mempunyai kekuatan untuk memaksakan keputusanku itu. Jika perlu dengan kekerasan. Sebagaimana anak-anak yang nakal, maka jika perlu anak itu harus dicambuk.”

Para Bekel dan para bebahu itu pun terdiam, sehingga suasana di pendapa rumah Ki Demang itu menjadi hening. Bahkan semilir angin yang menyusup di antara saka guru pendapa rumah Ki Demang itu pun terdengar berdesis lembut.

Para Bekel itu pun mengerti, bahwa Ki Demang tidak sedang menceritakan sebuah dongeng. Tetapi Ki Demang itu benar-benar mengungkapkan perasaan kecewanya.

Di antara kata-katanya yang tajam menusuk, Ki Demang itu pun berkata, “Di sini hadir Ki Lurah Agung Sedayu dari Mataram. Kalian tahu, jika aku sendiri tidak mampu melakukannya, maka sepanjang aku berjalan di jalan lurus sesuai dengan tatanan dan paugeran, maka prajurit Mataram akan siap membantu. Kapan saja aku minta.”

Para Bekel itu masih saja berdiam diri. Tetapi mereka yakin akan kebenaran dari setiap kata Ki Demang Prancak. Para prajurit Mataram itu tentu akan mendukung Ki Demang, sepanjang Ki Demang berjalan di atas tatanan dan paugeran.

Dalam pertemuan itu seakan-akan hanya berlangsung satu arah. Bukan sebuah pembicaraan. Tetapi para Bekel dan bebahunya itu hanya datang untuk mendengarkan sesorah Ki Demang yang sedang marah.

Babadan mendapat sorotan terbesar dalam pembicaraan itu. Namun Ki Demang pun berkata, “Tetapi Bekel Babadan telah menyadari segala kesalahannya. Sedangkan menurut para pemimpin dari para prajurit Mataram, yang mempunyai kesalahan terbesar adalah justru Nyai Demang muda. Istri Ki Demang almarhum. Nyai Demang telah meracuni penalaran anaknya, didukung oleh pihak ketiga, pihak yang seharusnya berdiri di luar pagar Kademangan Prancak. Namun ternyata kehadiran mereka diterima dengan baik oleh Ki Bekel Babadan, atas petunjuk ibunya. Sehingga apa yang terjadi telah kalian ketahui. Beruntunglah bahwa sepasukan prajurit Mataram yang datang itu dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga segala sesuatunya tetap terkendali. Meskipun demikian, gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu sudah dihancurkan.”

Ki Demang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, “Seandainya yang datang bukan Ki Lurah Agung Sedayu, seandainya yang datang itu seorang lurah prajurit yang garang, maka yang terjadi di Prancak akan berbeda. Ini harus kalian mengerti, karena jika pada saat yang lain karena sesuatu alasan prajurit Mataram harus datang lagi ke padukuhan ini, mungkin sekali yang datang adalah orang lain.”

Orang-orang yang mendengarkan sesorah Ki Demang itu mengangguk-angguk kecil. Mereka membayangkan, seandainya yang datang itu sepasukan prajurit yang keras dan garang, maka yang akan terjadi tentu berbeda. Mereka mengerti bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang memiliki kendali yang kuat atas dirinya, sehingga seluruh pasukannya pun rasa-rasanya sangat terkendali. Sedangkan sepasukan prajurit yang lain, meskipun mereka mengemban pesan yang sama, namun tingkah laku mereka akan dapat sangat berbeda, sehingga akan dapat merugikan Kademangan Prancak itu sendiri.

Demikianlah, setelah Ki Demang selesai dengan sesorahnya, maka Ki Demang pun mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk memberikan beberapa pesan kepada para Bekel dan para bebahu di seluruh Kademangan Prancak.

Tidak banyak yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Lurah minta bahwa orang-orang Prancak itu semakin percaya diri. Jika mereka terbius oleh sikap orang lain, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk, sebagaimana yang telah terjadi itu.

“Orang lain mempunyai kepentingan yang sangat berbeda, dan bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan rakyat Prancak,” berkata Ki Lurah. “Bahkan mungkin sekali rakyat Prancak akan kehilangan kebebasannya menentukan langkahnya sendiri. Kuasa yang sebenarnya akhirnya akan berada di tangan mereka yang datang dari luar Prancak itu.”

Pesan Ki Lurah itu benar-benar telah menyentuh perasaan para pemimpin di Prancak itu. Terutama orang-orang Babadan dan padukuhan di sebelahnya.

Demikianlah, maka dalam penemuan itu rakyat Prancak telah dihadapkan pada kenyataan tentang diri mereka. Karena itu, maka dalam pertemuan itu seakan-akan telah lahir kembali Kademangan Prancak yang baru, dengan jiwa yang baru pula.

Demikianlah, maka pertemuan itu justru tidak berlangsung terlalu lama. Setelah sesorah Ki Demang dan Ki Lurah Agung Sedayu, maka pertemuan itu pun segera diakhiri.

“Pertemuan ini sudah berakhir sampai di sini. Aku tidak ingin pembicaraan yang berkepanjangan. Yang aku ingin, pesan-pesanku kalian dengar dan kalian cerna. Baru pada kesempatan lain, jika ada yang perlu kita bicarakan, akan kita bicarakan.”

Pada kesempatan itu pula, Ki Lurah Agung Sedayu minta diri kepada pada bebahu kademangan, kepada para Bekel dan bebahu padukuhan-padukuhan di Prancak.

“Besok kami akan meninggalkan kademangan ini. Kami akan kembali ke Mataram dengan membawa para tawanan. Di antara mereka adalah Nyai Demang muda, yang telah menyurukkan Kademangan Prancak ke dalam bencana ini.”

“Tetapi Bibi sudah sangat menyesali perbuatannya, Ki Lurah,” berkata Ki Demang.

“Syukurlah. Tetapi masih ada kesalahannya yang lain. Nyai Demang telah berusaha membunuh petugas yang dikirim oleh Mataram dengan mempergunakan racun.”

Ki Demang Prancak itu menarik nafas panjang. Sementara Ki Bekel menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi Nyai Demang yang muda itu sendiri minta agar Ki Demang tidak minta ampun baginya kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Hukuman yang akan diterimanya, akan melepaskannya dari cengkaman perasaan berdosa yang tidak berkeputusan.

Demikianlah, sejenak kemudian maka para Bekel itu pun telah meninggalkan rumah Ki Demang Prancak. Mereka masing-masing membawa persoalan di padukuhan mereka sendiri-sendiri. Padukuhan yang selama terjadi perselisihan itu tidak menentukan sikap, merasa menyesal pula. Mereka merasa bahwa sikap mereka telah membuat perpecahan semakin menjadi-jadi.

Malam itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mempersiapkan pasukannya. Besok pagi mereka akan meninggalkan Kademangan Prancak, menuju ke Mataram.

Para tawanan pun telah diberitahu, bahwa besok mereka akan dibawa oleh pasukan Mataram itu meninggalkan Prancak. Mereka akan diikat tangan mereka, agar mereka tidak dapat berbuat macam-macam di sepanjang perjalanan.

Malam itu, para prajurit Mataram pun telah bersiap-siap untuk pergi ke Mataram esok pagi. Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan agar para prajurit itu tetap waspada menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan.

“Gerombolan perampok kadang-kadang tidak berdiri sendiri,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Jika saja Raden Mahambara dan Raden Panengah mempunyai sahabat-sahabat yang merasa kehilangan, apalagi Raden Mahambara adalah seorang yang mempunyai daerah pengembaraan yang luas, mungkin sahabat-sahabatnya merasa kehilangan, sehingga mereka berniat untuk membalas dendam.”

Para prajurit pun mengerti pesan yang diberikan oleh Ki Lurah itu. Karena itu, maka mereka pun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya di perjalanan mereka esok.

Demikianlah, di malam itu Ki Demang dan para bebahu Kademangan Prancak berada di banjar sampai malam. Mereka mengucapkan selamat jalan kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta pasukannya. Juga kepada mereka yang bukan termasuk dalam jajaran keprajuritan, yang telah ikut pula menertibkan Prancak yang telah dilanda oleh keresahan.

Pagi-pagi sekali para prajurit pun telah bersiap. Mereka pun telah mempersiapkan para tawanan yang akan mereka bawa ke Mataram. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka para tawanan itu terpaksa telah diikat tangannya di punggungnya. Hanya Nyai Demang sajalah yang tidak diikat tangannya. Tetapi Nyai Demang itu selalu ditemani oleh Nyi Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan, atau bergantian.

Nyai Demang sendiri tidak mempunyai pikiran untuk berusaha melarikan diri. Ia justru ingin segera sampai ke Mataram untuk menerima hukumannya. Dengan menjalani hukumannya, maka Nyai Demang akan merasa tidak mempunyai hutang lagi. Kejahatannya telah dibayarnya dengan menjalani hukuman yang ditimpakan kepadanya.

Sebelum matahari terbit, maka segala sesuatunya telah siap. Para prajurit dan para tawanan telah makan pagi semuanya, sehingga mereka akan dapat berjalan dengan tenaga penuh. Beberapa orang prajurit telah mempersiapkan impes untuk membawa air. Jika mereka haus di perjalanan, maka mereka tidak perlu bersusah payah mencari sumber air yang bersih untuk minum.

Demikianlah, maka iring-iringan para prajurit yang membawa tawanan itu telah meninggalkan padukuhan induk Kademangan Prancak sebelum matahari terbit.

Perjalanan mereka memang tidak dapat terlalu cepat. Para tawanan yang terikat tangannya, berjalan agak lambat. Bahkan ada yang merasa diperlakukan tidak wajar sehingga kadang-kadang timbul juga sedikit keributan antara para tawanan dan para prajurit.

“Kalian adalah tawanan kami,” berkata seorang pemimpin kelompok yang mendengar seorang tawanan mengumpat-umpat karena tangannya terikat.

“Kenapa kami diperlakukan seperti seekor binatang?”

“Kau sadari kesalahanmu atau tidak?”

“Meskipun kami bersalah, tetapi wajarkah kami diperlakukan seperti ini?”

“Jadi, bagaimana kami memperlakukan seorang tawanan? Seorang perampok yang telah memberontak dan melawan para petugas.”

“Tetapi itu bukan alasan untuk memperlakukan aku seperti ini.”

“Kau tidak dapat menuntut apa-apa.”

“Persetan kau,” geram tawanan yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itu, “jika saja tanganku tidak terikat.”

“Jika tanganmu tidak terikat, kenapa?”

“Kau hanya berani membentak-bentak orang yang tangannya terikat.”

Pemimpin kelompok itu menjadi sangat marah. Jantungnya bagaikan disentuh api. Ia adalah salah seorang di antara para prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, maka ia menjadi sangat tersinggung.

“Kalau tanganmu tidak terikat, kau mau apa? Katakan!”

“Kau tidak akan dapat membentakku, karena aku akan mengoyakkan mulutmu.”

Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu berteriak kepada seorang prajuritnya, “Lepaskan ikatan tangannya! Biarlah ia membuktikan kata-katanya.”

“Bagus,” berkata orang itu, “ternyata kau benar-benar seorang laki-laki. Kau akan menyesali perbuatanmu ini.”

“Persetan kau.”

Perselisihan itu ternyata telah dilaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Lurah pun kemudian telah menghentikan iring-iringan itu. Ia pun kemudian melangkah di sisi pasukannya, mendekati pemimpin kelompok yang memerintahkan melepaskan ikatan seorang tawanannya.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Orang itu menantangku,” jawab pemimpin kelompok, yang kemudian melaporkan sikap orang bertubuh tinggi itu.

“Kau beri ia kesempatan?”

“Ya.”

“Bagus, kau buktikan bahwa kau adalah prajurit dari Pasukan Khusus.”

Ki Lurah pun kemudian telah memerintahkan para prajuritnya untuk berhati-hati mengawasi para tawanannya, selagi seorang prajuritnya akan memberi kesempatan tawanan yang menantangnya itu untuk bertarung.

Kedua orang itu pun kemudian telah berdiri berhadapan. Beberapa orang prajurit telah melingkarinya membentuk sebuah arena. Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga menyaksikannya di dalam lingkaran arena itu.

Kedua orang itu pun telah berdiri berhadapan. Pemimpin kelompok itu telah melepas senjatanya dan menyerahkannya kepada seorang prajuritnya. Karena tawanan itu tidak bersenjata, maka pemimpin kelompok itu pun akan menghadapinya tanpa senjata.

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu pun mulai bergeser. Namun dengan lantang perampok yang bertubuh tinggi itu bertanya, “Jika aku menang, apakah tanda kemenangan yang aku dapatkan?”

“Kau akan dibebaskan,” Ki Lurah-lah yang menjawab.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar