Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 367

Buku 367

Orang yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan. Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu.

Sementara itu dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah kehilangan kesempatan mereka. Senjata mereka telah terlepas dari tangan. Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan.

“Sudah aku katakan,” berkata Rara Wulan kemudian, “bahwa kami-lah yang akan membunuh kalian. Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tuduhan kalian bahwa kami adalah orang-orang upahan dari orang-orang Prancak, sangat menyakitkan hati. Aku mempunyai uang lebih banyak dari uang orang-orang Prancak. Aku pun tidak mempunyai sangkut paut dengan perselisihan kalian dengan orang-orang Prancak. Tetapi justru kalian telah menuduh kami menjadi telik sandi, dan bahkan kalian sudah dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ancaman, akan membunuh kami. Maka kami pun benar-benar akan membunuh kalian berempat.”

Keempat orang yang kesakitan itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu berteriak, “Anak-anak! Lari ke padukuhan! Bunyikan kentongan dan beritahukan apa yang terjadi di sini. Dua orang telik sandi dari Prancak berada di bulak ini.”

Anak-anak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun menghambur berlari ke padukuhan.

“Kau akan mati dicincang oleh orang-orang Babadan,” geram Ki Jagabaya.

Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, “Mereka tidak akan dapat menangkap kami. Bukankah kalian sudah menyediakan dua ekor kuda buat kami berdua?”

“Setan alas.”

“Kami akan membunuh kalian, kemudian meninggalkan kalian di sini. Nanti orang-orang Babadan akan datang untuk mengambil mayat-mayat kalian dan menguburkannya.”

Kemarahan keempat orang itu membayang di sorot matanya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan itu berusaha untuk bergeser, maka dengan cepat Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar dan menyambar kening orang itu, sehingga orang itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting ke dalam parit di pinggir jalan.

Ketika ia merangkak keluar dari dalam parit, maka pakaiannya yang kotor itu pun menjadi basah kuyup. Debu pun semakin banyak melekat, sehingga pakaiannya itu tidak dapat dikenali warnanya lagi.

Dalam pada itu, anak-anak remaja yang berlari-lari ke padukuhan telah memasuki pintu gerbang. Mereka pun segera pergi ke banjar untuk melaporkan apa yang terjadi di bulak.

Sejenak kemudian, maka suara kentongan pun segera berkumandang. Meskipun di siang hari, namun yang terdengar adalah suara kentongan dalam irama titir.

Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak nampak menjadi gelisah atau cemas. Meskipun suara kentongan telah menjalar sahut-menyahut, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berada di bulak itu.

Namun ketika mereka melihat orang-orang Babadan berlari menuju ke arah mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun melangkah dengan tenangnya ke arah dua ekor kuda yang ditambatkan itu.

Sejenak kemudian mereka pun berloncatan naik. Namun mereka tidak segera pergi. Baru beberapa saat kemudian, keduanya memutar kudanya dan melarikan kuda itu ke arah jembatan.

Ada juga beberapa orang yang mencoba mengejarnya. Namun tidak seorangpun di antara orang-orang Babadan itu yang mampu berlari secepat lari seekor kuda.

Dalam pada itu, orang-orang Babadan itu menemukan keempat orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu terbaring menyilang jalan. Empat sosok tubuh yang berjajar rapi.

Dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu mencoba mendengarkan, apakah jantung mereka masih berdetak.

“Mereka hanya pingsan,” desis seseorang.

“Titikkan air di bibirnya,” berkata yang lain.

“Air apa? Tidak ada sumur di dekat tempat ini.”

“Basahi saja lehernya dengan air parit.”

Orang-orang padukuhan Babadan itu pun kemudian membasahi wajah dan leher keempat orang yang pingsan itu dengan air parit. Ternyata sebelum meninggalkan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan telah membuat mereka pingsan.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membunuh mereka, meskipun mereka itu pantas dihukum mati karena tingkah laku mereka. Bahkan mereka mengaku telah membunuh lebih dari lima orang yang dituduh menjadi telik sandi Kademangan Prancak untuk mengamati keadaan padukuhan Babadan. Mereka tentu seperti diri mereka berdua, orang-orang yang sama sekali tidak bersalah.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan hanya membuat mereka pingsan dan meninggalkan mereka di bulak panjang itu.

Dari anak-anak remaja yang menyaksikan peristiwa di bulak itu, orang-orang Babadan tahu bahwa yang telah memperlakukan Ki Jagabaya dan ketiga orang kawannya dengan kasar itu adalah dua orang suami istri. Seorang anak muda pun mengatakan bahwa ketika kedua orang itu lewat di padukuhan Babadan, anak muda itu sempat berbicara dengan kedua orang yang mengaku suami istri itu.

“Mereka memang sangat mencurigakan. Itulah sebabnya Ki Jagabaya dengan tiga orang kawannya telah menyusul mereka. Anak-anak itu tahu, bahwa keduanya pergi bersama anak Kebayan di padukuhan sebelah susukan.”

“Karang Lor maksudmu?”

“Ya.”

Anak-anak itu pun menceritakan bahwa Ki Jagabaya telah menyusul kedua orang suami istri itu ke Karang Lor. Tetapi yang kemudian terjadi adalah seperti yang mereka lihat.

Orang-orang Babadan itu pun harus menyadari bahwa kedua orang yang mengaku suami istri itu tentu orang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ki Jagabaya Babadan itu bagi orang-orang Babadan adalah orang yang pilih tanding. Namun berempat, Ki Jagabaya tidak mampu melawan dua orang. Bahkan seorang di antara mereka adalah perempuan.

Orang-orang Babadan itu pun kemudian berusaha untuk membuat keempat orang itu sadar. Air yang diusapkan di dahi, kening dan leher mereka, telah membuat keempat orang itu menjadi lebih segar, sehingga beberapa saat kemudian mereka pun mulai menjadi sadar.

“Marilah, kita pulang dahulu, Ki Jagabaya,” berkata salah seorang laki-laki yang sudah separuh baya.

“Dimana iblis itu?” geram Ki Jagabaya, “Jika mereka tidak melarikan diri, aku akan membunuhnya.”

“Tetapi Ki Jagabaya tadi pingsan di sini,” berkata laki-laki separuh baya itu.

“Mereka adalah orang-orang yang sangat licik, pengecut dan tidak tahu malu.”

“Apa yang sudah mereka lakukan?” bertanya seorang anak muda.

Ki Jagabaya itu tidak segera menjawab.

Namun kemudian keempat orang yang pingsan itu pun telah dibantu untuk bangkit berdiri. Tertatih-tatih mereka berjalan di papah oleh masing-masing dua orang.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang melarikan kedua ekor kuda milik orang Babadan itu telah menyeberangi jembatan di atas susukan. Ketika mereka sampai di bulak, maka orang-orang yang berada di bulak itu telah pergi.

Agaknya mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang pingsan dan kesakitan ke padukuhan. Tetapi mereka bukan orang-orang padukuhan Karang Lor.

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu di tengah-tengah bulak. Mereka sudah tidak melihat lagi dua ekor kuda milik orang Babadan yang mengejar mereka.

“Kemana mereka pergi?” desis Rara Wulan.

Dengan ragu-ragu Glagah Putih pun menyahut, “Tadi kita mendengar orang-orang Babadan menyebut padukuhan Wijil. Agaknya orang-orang yang telah mencoba menangkap orang-orang Babadan itu adalah orang-orang padukuhan Wijil.”

“Ya. Agaknya mereka orang-orang dari padukuhan Wijil.”

“Jadi?”

“Kita akan pergi ke Wijil. Padukuhan yang kelihatan itu adalah padukuhan Karang Lor. Agaknya padukuhan Wijil adalah padukuhan di arah kanan jalan itu.”

“Kita akan menyusuri jalan bulak yang panjang ini.”

“Bukankah kita sudah mempunyai kuda sekarang?”

Rara Wulan tersenyum sambil mengangguk. Katanya, “Ya. Kita sudah mempunyai seekor kuda bagi kita masing-masing.”

“Marilah kita pergi ke Wijil. Kita akan berbicara dengan orang-orang Wijil. Agaknya sikap orang-orang Wijil agak berbeda dengan sikap orang-orang Karang Lor.”

Keduanya pun kemudian melarikan kuda-kuda yang mereka dapatkan itu menuju ke sebuah padukuhan yang berada di ujung bulak yang panjang itu.

Dengan menunggang kuda, maka bulak itu mereka lintasi dalam waktu yang terhitung pendek. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati pintu gerbang padukuhan, yang agaknya adalah padukuhan Wijil.

Di pintu gerbang Glagah Putih dan Rara Wulan menghentikan kuda mereka. Meskipun tidak rapat, tetapi pintu gerbang padukuhan itu telah ditutup. Di atas pintu gerbang tertulis dengan huruf-huruf yang besar nama padukuhan itu. Wijil.

“Padukuhan ini adalah padukuhan Wijil, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Nampaknya orang-orang Wijil pun harus menjadi berhati-hati setelah peristiwa yang terjadi di bulak panjang itu.”

“Menurut pendengaranku, peristiwa yang terjadi itu bukan untuk pertama kalinya, Kakang.”

“Ya. Orang-orang Babadan itu mengatakan, bahwa beberapa kali orang-orang Wijil sudah mencoba, tetapi selalu gagal.”

“Sekarang?”

“Kita masuk ke padukuhan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian turun dari punggung kuda mereka. Perlahan-lahan Glagah Putih mendorong pintu gerbang padukuhan yang tertutup, meskipun tidak terlalu rapat.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu terkejut ketika di belakang pintu gerbang itu ternyata berjaga-jaga beberapa orang anak-anak muda yang bersenjata. Demikian pintu gerbang itu didorong oleh Glagah Putih, maka anak-anak muda itu pun segera mempersiapkan diri.

Tetapi ada di antara mereka yang melihat Glagah Putih dan istrinya digiring oleh orang-orang Babadan dari padukuhan Karang Lor, yang kemudian melarikan diri menyeberangi jembatan di atas susukan yang menjadi batas untuk sementara antara Kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang ingin mengambil alih kekuasaan kademangan itu.

“Kau, Ki Sanak?” desis orang yang dapat mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Orang itu melangkah maju mendekati kedua orang suami istri itu sambil bertanya, “Jadi kau luput dari tangan orang-orang Babadan itu?”

“Yang Maha Agung masih melindungi kami berdua,” jawab Glagah Putih.

“Sekarang kalian berdua justru membawa dua ekor kuda. Dari manakah kau mendapatkannya?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun memutuskan untuk mengatakan apa yang telah terjadi padanya.

“Kami terpaksa melawan, Ki Sanak. Agaknya mereka benar-benar ingin membunuh kami berdua.”

Orang-orang padukuhan Wijil itu mengangguk-angguk. Orang yang dapat mengenalinya itu bertanya pula, “Jadi kalian dapat mengalahkan mereka berempat?”

“Mungkin hanya satu kebetulan. Tetapi seperti yang aku katakan, Yang Maha Agung melindungi kami berdua.”

“Syukurlah jika Ki Sanak berdua selamat. Mereka berempat sebenarnya bukan orang-orang Babadan. Mereka adalah orang-orang jahat yang bersarang di ujung hutan. Namun mereka berhasil mempengaruhi Ki Bekel Babadan untuk mengambil langkah-langkah yang keliru.” 

“Mungkin, Ki Sanak. Tetapi mungkin juga Ki Bekel tidak dapat memilih. Bukankah orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu mempunyai kekuatan untuk memaksakan kehendaknya?”

“Mungkin juga, Ki Sanak. Tetapi marilah, aku persilahkan Ki Sanak untuk pergi ke banjar padukuhan. Kita akan dapat berbicara lebih banyak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan sambil menuntun kuda mereka menuju ke banjar, diantar oleh beberapa orang. Sementara itu anak-anak muda yang ada di belakang pintu gerbang telah menutup pintu gerbang itu kembali, meskipun tidak terlalu rapat.

Di banjar, Glagah Putih dan Rara Wulan diterima oleh Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu yang lain. Bebahu yang berkumpul di banjar setelah mereka mendengar bahwa lima orang dari padukuhan Wijil telah dianiaya oleh orang-orang Babadan, justru di daerah yang untuk sementara tetap dianggap daerah Prancak. Orang-orang yang mengaku dari Babadan itulah yang telah menyeberangi batas yang untuk sementara memisahkan dua bagian dari Kademangan Prancak.

“Silahkan, Ki Sanak,” orang yang mengantar Glagah Putih dan Rara Wulan ke banjar itu mempersilahkan.

Ketika keduanya kemudian duduk di pendapa banjar, maka orang itu pun segera memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada Ki Jagabaya dan para bebahu.

Ki Jagabaya sambil mengangguk-angguk bertanya, “Jadi kalian telah berkelahi melawan orang-orang Babadan?”

“Ya, Ki Jagabaya.”

“Kalian membawa dua ekor kuda mereka.”

“Ya, Ki Jagabaya.”

“Jadi keempat ekor kuda dari orang Babadan itu sekarang berada di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Agaknya kedua orang Babadan itu meninggalkan arena pertempuran dengan tergesa-gesa, sehingga mereka hanya dapat membawa kuda-kuda mereka sendiri, dengan meninggalkan dua ekor kuda milik kawan-kawan mereka.

“Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “sekarang Ki Sanak berdua telah terlibat dalam persoalan di antara orang-orang Kademangan Prancak. Tetapi terserah kepada Ki Sanak, apakah Ki Sanak akan melibatkan diri untuk selanjutnya sampai kita menemukan penyelesaian, atau Ki Sanak berdua akan segera meninggalkan Prancak.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi nampaknya peristiwa yang terjadi di Prancak itu sangat menarik perhatiannya.

“Ki Jagabaya,” berkata Glagah Putih kemudian, “apakah yang sebenarnya terjadi di Kademangan Prancak? Kenapa orang-orang Babadan dengan serta-merta menuduh aku sebagai telik sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak untuk mengamati padukuhan mereka, sehingga mereka ingin menghukum kami berdua dengan hukuman mati?”

“Itulah ciri-ciri dari para bebahu di Babadan sekarang, Ki Sanak,” jawab Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya itu pun segera bertanya, “Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak ini? Seandainya benar apa yang Ki Sanak katakan, bahwa Ki Sanak dapat melepaskan diri dari tangan empat orang dari Babadan itu, maka Ki Sanak tentu orang yang berilmu tinggi.”

“Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih, “mungkin kebetulan saja bahwa aku telah berhasil melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu. Dua orang di antara mereka nampaknya sudah tidak berdaya. Mungkin mereka mengalami kesulitan ketika mereka bertempur melawan orang-orang Wijil di bulak panjang.”

“Tetapi kami tidak berhasil menangkap mereka,” berkata orang yang dapat mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Mungkin itu satu kebetulan. Jika kalian menangkap mereka, maka akibatnya tidak dapat kita perhitungkan,” berkata Ki Jagabaya.

“Tetapi mereka telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu. Selain itu, bukankah Prancak memang sudah bertekad untuk memaksa mereka tunduk kepada tatanan dan paugeran? Sehingga Babadan tetap merupakan bagian dari Kademangan Prancak. Bukan sebaliknya, padukuhan-padukuhan yang lain menjadi bagian dari Kademangan Babadan.”

“Aku mengerti. Ki Demang sudah bertekad untuk memaksa Babadan tunduk pada tatanan. Tetapi tidak hari ini. Tidak nanti malam.”

“Kita sudah bersiap, Ki Jagabaya.”

“Kita memang sudah siap. Tetapi Ki Demang masih harus meyakinkan orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan bahwa mereka tidak dapat berpangku tangan. Mereka tidak dapat bergaya daun ilalang, yang merunduk ke arah angin bertiup.”

“Ya,” orang itu mengangguk, “Ki Bekel di Karang Lor dan Karang Wetan memang berbeda dengan Bekel kita di Wijil ini.”

“Itulah sebabnya kita belum dapat bergerak sekarang. Baru setelah kita semuanya sejalan dalam sikap, Ki Demang akan segera bertindak.”

Orang itu mengangguk-angguk. Jika kekerasan itu terjadi, maka orang-orang Karang Lor dan Karang Wetan yang tidak bersiap itu akan dapat menjadi sasaran pertama. Bahkan kemudian menjadi landasan gerak orang-orang Babadan di seberang susukan.

“Ki Jagabaya,” berkata Glagah Putih kemudian, “bagaimanapun juga, kami disentuh oleh persoalan ini. Karena itu, jika Ki Jagabaya tidak berkeberatan, kami ingin mengetahui persoalan apakah yang sebenarnya telah terjadi di Kademangan Prancak ini. Sehingga kademangan ini seakan-akan telah terbelah.”

Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah, Ki Sanak. Karena Ki Sanak adalah telik sandi yang diupah oleh orang Prancak, maka kalian boleh tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di kademangan ini. Tetapi katakan lebih dahulu, siapakah Ki Sanak berdua ini. Ki Sanak masih belum menjawab pertanyaanku itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun memandang Rara Wulan sekilas. Agaknya Rara Wulan mengerti, sehingga Rara Wulan itu pun mengangguk kecil. Agaknya keduanya tidak lagi berniat menyembunyikan kenyataan tentang diri mereka berdua.

Karena itu, maka Glagah Putih pun menjawab, “Kami adalah orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jagabaya. Kami telah menempuh sebuah perjalanan panjang. Sekarang kami justru dalam perjalanan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya, Ki Jagabaya.”

“Aku telah banyak mendengar tentang Tanah Perdikan Menoreh. Sekali aku pernah melintasi Tanah Perdikan itu dalam satu perjalanan, ketika aku mencari pamanku yang pergi meninggalkan rumah serta meninggalkan anak istrinya. Aku mendengar beberapa nama yang besar di Tanah Perdikan Menoreh. Selain Ki Gede Menoreh sendiri, di Tanah Perdikan Menoreh tinggal seorang yang bernama Agung Sedayu serta istrinya Sekar Mirah. Sepasang suami istri yang namanya dikenal tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh. Selain mereka berdua, masih dikenal pula beberapa nama yang lain. Sehingga dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh adalah sebuah Tanah Perdikan yang kokoh.”

“Ya. Di Tanah Perdikan tinggal Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya, Nyi Lurah Sekar Mirah. Yang sebenarnya menjadi lurah prajurit adalah Agung Sedayu. Tetapi istrinya juga terpercik sebutan itu pula.”

“Bukankah itu wajar sekali, Ki Sanak? Tetapi siapakah nama kalian berdua?”

“Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah istriku. Namanya Rara Wulan.”

Ki Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Di Tanah Perdikan Menoreh banyak terdapat orang berilmu tinggi. Karena itu, agaknya Angger Glagah Putih dan Angger Rara Wulan tidak membual, bahwa kalian mampu melepaskan diri dari keempat orang yang mengaku orang Babadan itu.”

“Sudah aku katakan, bahwa mungkin hanya satu kebetulan. Atau karena dua orang di antara mereka sudah tidak berdaya.”

“Baiklah, Angger berdua. Selain kalian berdua sudah tersentuh oleh persoalan yang terjadi di kademangan ini, kalian juga berasal dari daerah yang sangat kami kenal. Jaraknya pun tidak terlalu jauh.”

“Ya, Ki Jagabaya.”

“Jika Angger Glagah Putih dan Angger Rara Wulan tidak berkeberatan, kami akan memperkenalkan Angger berdua dengan Ki Bekel Wijil serta Ki Demang Prancak.”

“Tentu kami akan sangat senang sekali, Ki Jagabaya. Tetapi waktu kami tidak terlalu banyak. Kami ingin segera sampai di rumah kami, di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kami minta Angger berdua malam ini bermalam di sini. Bukankah hanya berselisih waktu satu atau dua hari? Jika Angger telah menempuh perjalanan dalam pengembaraan Angger berdua beberapa bulan, apakah artinya satu dua hari atau bahkan sepekan lagi?”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Glagah Putih menjawab, “Baiklah, Ki Jagabaya. Karena aku ingin sekali mengetahui apakah yang telah terjadi d isini, maka kami akan bermalam semalam di padukuhan ini.”

“Terima kasih, Ngger,” berkata Ki Jagabaya, “nanti aku akan memperkenalkan Angger dengan Ki Bekel dan Ki Demang.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya.”

“Namun dengan demikian, maka yang akan aku ceritakan kepada Angger berdua sekarang hanyalah persoalan pokoknya saja. Perinciannya yang lebih kecil akan Angger ketahui setelah Angger berdua bertemu dengan Ki Bekel dan Ki Demang nanti malam.”

“Baik, Ki Jagabaya.”

“Angger berdua,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “Babadan dan padukuhan yang juga terhitung besar, padukuhan Paliyan yang membujur panjang dan bergandengan dengan padukuhan Sambirata, telah menyatakan diri tidak mengakui kekuasaan Demang Prancak yang sekarang. Mereka menginginkan bahwa padukuhan induk Kademangan Prancak berada di Babadan, dan bahkan mungkin nama kademangan ini pun akan diubah menjadi Kademangan Babadan, atau padukuhan Babadan itulah yang mengambil alih nama Prancak. Bahkan sekarangpun sudah ada yang menyebut padukuhan Babadan dengan sebutan padukuhan Prancak. Bahkan anak-anak di Babadan mulai tertarik untuk menyebut padukuhannya dengan sebutan padukuhan Prancak, padukuhan induk Kademangan Prancak. Tetapi gejolak itu masih belum terasa penting sebagaimana sikap orang-orang Babadan yang tidak lagi mengakui kepemimpinan Ki Demang di Prancak.”

“Kenapa mereka tidak mengakui lagi kepemimpinan Ki Demang?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Bekel di Babadan itu juga adalah anak Ki Demang Prancak yang terdahulu.”

“Saudara kandung dengan Ki Demang Prancak yang sekarang?”

“Tetapi berbeda ibu. Ki Demang Prancak yang terdahulu mempunyai dua orang istri. Masing-masing mempunyai anak laki-laki. Tetapi karena ibu Ki Demang Prancak yang sekarang itu adalah istri yang pertama, maka anaknya-lah yang berhak menggantikan ayahnya. Tetapi istrinya yang kedua menjadi iri hati, meskipun anaknya sudah mendapat kedudukan menjadi Bekel di padukuhan Babadan. Sebuah padukuhan yang terhitung besar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik napas panjang. Bagaimanapun juga. maka hadirnya dua orang istri di dalam satu keluarga akan menimbulkan persoalan. Jika bukan karena persoalan kedua orang perempuan itu sendiri, maka persoalan anak-anaknya akan dapat mencuat ke permukaan. Bahkan mungkin cucu-cucunya akan dapat membawa persoalan yang berkepanjangan.

Demikianlah, maka pada hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan akan bermalam di Kademangan Prancak. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jagabaya, maka lewat senja Glagah Putih dan Rara Wulan telah diajaknya menemui Ki Bekel di rumahnya.

Ternyata sikap Ki Bekel terhadap kedua orang suami istri itu cukup ramah. Nyi Bekel pun telah ikut menemui mereka pula, setelah menghidangkan minuman dan makanan.

Ki Jagabaya pun kemudian telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang dalam perjalanan pengembaraannya.

“Mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Bekel.”

“Di Tanah Perdikan Menoreh? Jadi kalian tinggal di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya, Ki Bekel.”

“Tanah Perdikan yang besar dan kuat. Aku telah pernah mendengar beberapa nama yang besar dari para pemimpin di Tanah Perdikan itu.”

“Mereka memang orang-orang yang menonjol di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Bekel. Tetapi hanya berlaku di Tanah Perdikan Menoreh saja. Di luar Tanah Perdikan, mereka bukan apa-apa. Yang terbaik di Tanah Perdikan, tidak lebih dari mereka yang berada di tataran yang terbawah bagi daerah lain yang memiliki orang-orang yang berilmu sangat tinggi.”

Ki Bekel tertawa. Katanya, “Kau adalah seorang yang rendah hati. Tetapi justru orang-orang yang rendah hati itulah yang memiliki banyak kelebihan.”

“Apalagi kami, Ki Bekel. Tetapi kami mempunyai modal yang dapat kami banggakan. Kami mempunyai kemampuan berlari cepat. Sehingga dalam saat-saat yang gawat, kemampuan kami itu dapat kami pergunakan.”

“Tentu bukan sekedar berlari cepat,” berkata Ki Bekel. “Tetapi baiklah. Mungkin kalian berdua tidak ingin mendapat pujian yang berlebihan.”

Glagah Putih itu pun menyahut, “Kami memang belum pantas mendapat pujian, meskipun sebenarnya kami sangat menginginkan.”

Ki Bekel tertawa. Demikian pula Nyi Bekel dan Ki Jagabaya.

“Angger Glagah Putih berdua,” berkata Ki Bekel kemudian, “hari ini Angger Glagah Putih telah terlibat dalam persoalan yang sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan Angger berdua.”

“Ya, Ki Bekel. Kami telah dituduh menjadi telik sandi Kademangan Prancak di Babadan. Untunglah kami dapat melarikan diri. Jika tidak, maka kami tentu sudah dibantai oleh orang-orang Babadan. Bahkan oleh anak-anak. Alangkah menderitanya menjadi mainan anak-anak yang telah kehilangan nuraninya karena pengaruh lingkungannya.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Sementara itu aku sempat membayangkan, bahwa sebelum kami berdua yang hampir saja mengalami nasib buruk, tentu sudah ada orang lain yang mengalaminya. Pengembara yang kebetulan lewat padukuhan Babadan yang sedang berselisih dengan padukuhan-padukuhan lain di Kademangan Prancak.”

“Sebenarnya sikap itu bukan sikap murni orang-orang Babadan, Ngger,” sahut Ki Bekel.

“Ya, Ki Bekel. Aku sudah menduga. Ketika kami melewati padukuhan Babadan, maka orang-orang Babadan memang mencurigai kami. Tetapi mereka hanya mengajukan beberapa pertanyaan. Bahkan kami telah dibiarkan untuk pergi meninggalkan padukuhan itu, meskipun kami tetap dicurigai. Baru kemudian setelah kami berada di Karang Lor, orang-orang Babadan itu menyusul kami. Agaknya orang-orang padukuhan Wijil melihat orang-orang Babadan itu menyeberangi jembatan, sehingga mereka berusaha untuk menangkap mereka. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang dikehendaki oleh orang-orang Wijil itu.”

“Ya. Lima orang padukuhan Wijil mengalami luka parah. Mereka dirawat dengan sebaik-baiknya. Tetapi seorang di antaranya tangannya akan menjadi cacat seumur hidupnya.”

“Untunglah bagi kami, bahwa kami yang dibawa oleh orang-orang Babadan itu bertemu lagi dengan orang-orang dari padukuhan Wijil yang jumlahnya lebih banyak, sehingga kami berdua sempat melarikan diri.”

“Tetapi kalian tentu tidak hanya sekedar melarikan diri. Kuda kedua orang Babadan itu ada pada Angger berdua.”

Glagah Putih tidak segera menjawab, tetapi ia pun kemudian tertawa pendek. Rara Wulan pun tersenyum pula, sedangkan Ki Jagabaya sambil tertawa berkata, “Kalian tidak dapat meninggalkan ciri seorang pengembara. Apalagi dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah ciri itu, Ki Jagabaya?”

“Biasanya seorang pengembara tentu berbekal ilmu. Sementara Tanah Perdikan Menoreh adalah lumbung dari orang-orang berilmu tinggi.”

“Ki Jagabaya memuji kami lagi.”

Ki Jagabaya masih saja tertawa. Demikian pula Ki Bekel dan Nyi Bekel.

Namun sejenak kemudian, Ki Bekel itu pun berkata, “Angger berdua. Karena kalian adalah telik sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak, maka sebaiknya kalian berdua bertemu dengan Ki Demang di Prancak. Ki Demang di Prancak adalah seorang Demang yang terhitung masih muda, meskipun tidak semuda Angger berdua. Ki Demang itu baru mempunyai tiga orang anak. Yang sulung laki lalu, umurnya baru enam tahun. Dua adiknya perempuan. Seorang berumur tiga tahun, yang seorang masih bayi.”

“Terima kasih atas kesempatan ini, Ki Bekel,” berkata Glagah Putih kemudian.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumah Ki Demang Prancak bersama Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil.

Seperti Ki Bekel Wijil, Ki Demang yang masih terhitung muda itu dengan ramah menerima Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata Ki Demang sudah menerima laporan tentang keberadaan dua orang suami istri itu di Wijil. Mereka telah dituduh menjadi telik sandi yang diupah oleh Ki Demang  Prancak.

Dari Ki Demang sendiri, Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui lebih jelas, apa yang sebenarnya terjadi di Prancak. Perselisihan yang terjadi di Prancak bersumber dari pergulatan di antara keluarga Ki Demang sendiri. Seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Jagabaya, bahwa Ki Demang Prancak dan Ki Bekel Babadan adalah dua orang bersaudara seayah. Tetapi mereka berlainan ibu.

“Tidak ada tatanan maupun paugeran yang dapat dipergunakan untuk melandasi tuntutan Bekel Babadan,” berkata Ki Demang Prancak, “tetapi aku sadari bahwa Bekel Babadan itu adalah adikku sendiri.”

“Kenapa baru sekarang timbul persoalan itu, Ki Demang? Apakah pada saat Ki Demang diwisuda, persoalan ini belum ada?” bertanya Glagah Putih.

“Mungkin bibit persoalan ini sudah ada di hati Ibu Muda. Tetapi agaknya Ibu Muda masih berusaha menahan diri. Namun kemudian persoalan itu meledak juga, setelah orang-orang Babadan berhubungan degan sekelompok perampok yang bersarang di ujung hutan. Semula Babadan justru memperkuat diri untuk menghadapi para perampok itu. Tetapi lambat laun, para perampok itu berhasil menanamkan pengaruhnya di Babadan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sekilas. Nampaknya mereka telah mendapatkan jawaban, kenapa padukuhan Babadan telah membuat dinding padukuhan yang tinggi. Dinding itu tentu dibuat pada saat Babadan masih berusaha mempertahankan diri dari sentuhan kejahatan oleh para perampok yang bersarang di ujung hutan itu.

Glagah Putih-lah yang kemudian menyahut, “Jadi dengan demikian, maka yang telah mendorong Ki Bekel di Babadan untuk mengambil alih kekuasaan di Prancak itu adalah para perampok itu?”

“Ya. Mereka telah membakar hati bukan saja Ki Bekel Babadan, tetapi juga orang-orang Babadan yang lain. Mereka menganggap bahwa Babadan adalah padukuhan tertua di Kademangan Prancak, sehingga sepantasnyalah bahwa induk Kademangan Prancak itu berada di Babadan.”

“Bagaimana dengan padukuhan Paliyan?”

“Orang-orang Paliyan telah terpengaruh pula. Ki Bekel Paliyan adalah seorang Bekel yang terhitung tua, tetapi penalarannya agak kurang cerah. Dengan sedikit janji-janji, maka Ki Bekel Paliyan dan Sambirata sudah jatuh ke bawah pengaruh Bekel Babadan. Bahkan kebencian orang orang Paliyan dan Sambirata terhadap orang-orang di seberang susukan justru melampaui orang-orang Babadan sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun bertanya, “Bagaimana dengan orang Karang Lor, Ki Demang?”

“Aku tidak terlalu menyalahkan orang-orang Karang lor. Mereka merasa bahwa padukuhan mereka adalah padukuhan yang terdekat dengan Babadan. Mereka tahu bahwa yang berada di belakang orang-orang Babadan adalah para perampok yang bersarang di ujung hutan sebelah. Karena itu, maka mereka tidak bersikap keras terhadap orang-orang Babadan, meskipun Karang Lor tidak mau bergabung dengan orang-orang Babadan. Agaknya Karang Lor berusaha untuk sementara tidak berhadapan langsung dengan orang-orang Babadan serta para penjahat yang memiliki kekuatan yang besar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan keterangan Ki Demang dengan sungguh-sungguh. Apalagi ketika Ki Demang itu berkata, “Selain perjanjian yang mungkin dianggap saling menguntungkan oleh orang-orang Babadan dengan para perampok itu, ternyata ada persoalan lain yang membuat hubungan mereka menjadi semakin akrab.”

“Persoalan apa, Ki Demang?”

Ki Demang nampaknya menjadi ragu-ragu. Dipandanginya Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil itu sekilas. Namun kemudian Ki Demang itu menarik nafas panjang. “Ki Sanak, Ibu Muda itu adalah yang sangat berkuasa di lingkungan keluarga. Yang aku tahu, ayahku pun merasa agak segan kepadanya. Apalagi sepeninggal ibuku. Ibu Muda itu agaknya menguasai segala-galanya.”

“Tetapi Ki Demang sekarang tetap saja menjadi Demang.”

“Jika saja ayahku tidak meninggal, mungkin persoalannya akan menjadi lain.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu sejenak. Dengan ragu Glagah Putih pun bertanya, “Kenapa justru karena ayah Ki Demang meninggal, maka sekarang Ki Demang menjadi Demang di Prancak?”

Ki Demang itu menarik nafas panjang. Katanya, “Ini rahasia keluarga kami, Ki Sanak. Tetapi karena persoalannya menyangkut kepemimpinan di Prancak, sedangkan Ki Sanak sudah terlanjur terlibat, maka baiklah aku ceritakan.” Ki Demang itu berhenti sejenak, lalu katanya selanjutnya, “Jika Ayah tidak meninggal, maka mungkin bukan aku yang menjadi Demang di Prancak.”

“Lalu siapa, dan kenapa?” Glagah Putih menjadi semakin ingin tahu.

“Jika Ayah tidak meninggal, agaknya yang akan menjadi Demang adalah adikku yang sekarang menjadi Bekel di Babadan. Ibu Muda mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap Ayah.”

“Tetapi justru setelah Ki Demang yang terdahulu meninggal, Ki Demang-lah yang menggantikannya.”

“Ayah meninggal karena sakit. Lebih dari sepuluh hari Ayah terbaring di pembaringan. Namun agaknya para bebahu kademangan ini mengerti sifat Ibu Muda. Dalam keadaan sakit, Ayah dapat saja ditekan untuk menetapkan bahwa adikku itu-lah yang harus menggantikannya. Karena itu, maka setiap saat Ayah ditunggui oleh para bebahu bergantian. Ki Jagabaya, Ki Kebayan tua dan Ki Kebayan muda, dan para bebahu yang lain. Sehingga dengan demikian maka Ibu Muda tidak mendapat kesempatan untuk menekan Ayah, agar membuat keputusan yang keliru. Demikian Ayah meninggal, maka para bebahu segera mengambil keputusan untuk menetapkan aku menjadi Demang di Kademangan Prancak. Bahkan Ki Bekel dan Ki Jagabaya padukuhan Wijil itu pun mengetahui pula apa yang telah terjadi.”

Di luar sadarnya Glagah Putih dan Rara Wulan pun berpaling kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil. Ki Bekel dan Ki Jagabaya itu mengangguk. Dengan nada rendah Ki Bekel pun berkata, “Ya, Ngger. Itulah yang terjadi. Meskipun kami tidak melihat dari dekat, tetapi kami mengetahui apa yang telah terjadi di padukuhan induk Kademangan Prancak pada waktu itu.”

Ki Demang pun kemudian berkata pula, “Para bebahu pun kemudian menetapkan adikku itu menjadi Bekel di Babadan, karena kedudukan itu kebetulan sekali kosong, karena Ki Bekel yang terdahulu tidak mempunyai seorang anak pun. Apalagi Ki Bekel terdahulu di Babadan itu adalah saudara Ibu Muda itu pula. Karena itu, maka wajar sekali jika adikku itu kemudian diangkat menjadi Bekel di Babadan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

“Tetapi adikku itu merasa bahwa kedudukan itu masih belum cukup. Kedudukan itu masih terlalu rendah baginya. Apalagi bibi agaknya akhir-akhir ini sengaja membakar perasaannya, sehingga adikku itu kemudian berani dengan terbuka menentang kuasaku. Bahkan kemudian dengan terbuka pula menuntut agar aku menyerahkan kedudukan Demang ini kepadanya.”

“Baru akhir-akhir ini?” bertanya Glagah Putih.

“Ya.”

“Apakah ada sebabnya, sehingga akhir-akhir ini Ki Bekel berani menyatakan tuntutannya dengan terbuka?” bertanya Rara Wulan pula.

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil yang duduk bersama mereka. Sambil menarik nafas panjang Ki Demang pun berkata, “Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil sudah mengetahui apa yang terjadi di Babadan. Meskipun sebenarnya aku agak segan mengatakan kepada orang lain, namun karena keduanya sudah terlibat, apa boleh buat.”

“Tidak ada salahnya, Ki Demang. Meskipun yang terjadi itu merupakan aib bagi satu keluarga, tetapi bukankah tidak hanya menyangkut Ki Demang dan keluarga Ki Demang?”

“Ki Sanak,” berkata Ki Demang kemudian, “sebenarnyalah bahwa ada dorongan lain yang telah membuat Babadan menjadi kehilangan nalar. Telah terjadi hubungan yang rapat antara Ibu Muda dengan seorang laki-laki tampan yang sudah separuh baya. Ternyata laki-laki itu adalah pimpinan sekelompok perampok yang tinggal di ujung hutan. Semula Ibu Muda memang tidak mengetahui. Tetapi ketika hubungan itu berlanjut dan menjadi semakin jauh, laki-laki itu pun mengaku bahwa ia seorang pemimpin dari segerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan.”

“Apakah ibu muda Ki Demang tidak menjadi menyesal?”

“Aku mengira bahwa Ibu Muda itu akan menyesal dan menjauhinya, bahkan membencinya. Tetapi perkiraanku itu ternyata keliru. Ibu Muda itu tidak menyesal. Bahkan keduanya akhirnya menemukan kesepakatan untuk membuat Babadan menjadi padukuhan induk Kademangan Prancak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata ada hubungan yang berkait di Babadan, sehingga Babadan telah dengan terbuka ingin mengambil alih kekuasaan Ki Demang di Prancak.

Setelah merenung sejenak, Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Apakah Ki Demang sudah mempunyai rencana untuk mencari penyelesaian tentang persoalan ini?”

“Belum, Ki Sanak. Tetapi sementara ini kami telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kekerasan, jika Babadan memaksakan kehendaknya. Dukungan para Bekel sangat kami banggakan. Termasuk Ki Bekel di Wijil. Orang-orang Wijil nampaknya sudah tidak sabar lagi. Menurut Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil ini, Babadan harus ditundukkan dengan kekerasan. Para perampok yang bersarang di ujung hutan itu harus di hancurkan.”

Ki Bekel Wijil pun menyahut, “Bukan hanya padukuhan Wijil, Ngger, tetapi beberapa padukuhan yang lain telah bersiap pula. Yang masih belum siap adalah padukuhan Karang Lor dan Karang Wetan. Meskipun kedua padukuhan itu termasuk padukuhan yang besar, tetapi nampaknya masih ada yang menghambat para penghuninya untuk mempersiapkan diri menghadapi sikap orang-orang Babadan serta para prampok itu.”

“Ki Demang,” bertanya Rara Wulan kemudian, “apakah hubungan Nyai Demang Muda itu tidak menimbulkan kecemburuan kepada anaknya laki-laki yang sudah menjadi Bekel itu? Bukankah umur Ki Bekel itu tentu tidak berbeda jauh dengan Ki Demang?”

“Adikku yang tamak itu tidak mempertimbangkan dan apalagi menilai sikap ibunya. Baginya, asal ia berhasil menguasai kademangan ini, maka akan dapat ditempuh segala macam cara.”

Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku juga seorang perempuan seperti Nyai Demang Muda itu. Kenapa ia harus menjual harga dirinya untuk satu tujuan yang bahkan keliru dan tidak menurut tatanan?”

“Sifat Ibu Muda itu memang aneh. Sekarang adikku itu benar-benar tidak dapat melihat kebenaran sama sekali. Tatanan dan paugeran yang ada itu pun telah diinjak-injaknya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Agaknya memang tidak ada jalan lain bagi Ki Demang Prancak, selain memaksa Babadan tunduk kepada tatanan dan paugeran itu.

Namun dalam pada itu, Ki Demang pun berkata, “Sebenarnya, Ki Sanak, jika segala sesuatunya masih belum terlanjur menjadi kusut, adikku itu dapat menempuh jalan yang jauh lebih baik. Jika ibu muda dan adikku itu dengan baik-baik minta kepadaku kesempatan untuk menjadi seorang Demang di Prancak, maka aku akan bersedia meletakkan jabatanku. Aku akan bersedia minta kepada para bebahu untuk menerima adikku itu sebagai Demang di Kademangan Prancak. Tetapi aku tidak mau mereka menempuh cara yang tidak terpuji ini. Aku tidak mau disingkirkan dengan kasar. Apalagi aku berpegang pada tatanan dan paugeran. Karena itu, maka aku tidak mau meninggalkan kedudukanku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Namun persoalan yang berkembang di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Nampaknya pada ujungnya, akan terjadi benturan kekerasan antara dua orang kakak beradik itu.

“Ki Demang,” berkata Glagah Putih itu kemudian, “rasa-rasanya aku ingin mengikuti perkembangan dari persoalan yang ada di kademangan ini sampai tuntas. Tetapi sayang sekali, bahwa kami berdua harus segera kembali sampai di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Terima kasih atas perhatian Ki Sanak berdua. Kami akan sangat bersenang hati jika Ki Sanak berdua bersedia mengikuti perkembangan keadaan di Prancak ini sampai tuntas. Bukankah Ki Sanak telik sandi yang sudah diupah oleh Demang Prancak?”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putih menyahut, “Ya. Hampir saja aku digantung di depan pintu gerbang padukuhan Babadan, serta dilempari batu oleh anak-anak remaja di Babadan.”

“Nah, bukankah menarik untuk melihat kelanjutannya?” bertanya Ki Bekel Wijil.

“Ya.”

“Karena itu, Angger berdua sebaiknya tinggal di sini untuk sementara. Sepekan dua pekan tidak akan berarti apa-apa bagi seorang pengembara.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian berkata, “Ki Demang Prancak serta Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil, sebenarnyalah aku ingin menyaksikan akhir dari persoalan yang timbul di kademangan ini. Tetapi aku juga harus segera pergi ke Tanah Perdikan. Karena itu, besok pagi-pagi kami berdua akan melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan. Aku akan berusaha datang kembali sebelum sepekan. Menurut dugaanku, dalam sepekan ini persoalan di kademangan ini masih belum akan dapat diselesaikan.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu kami tidak akan dapat menahan Ki Sanak berdua di sini. Tentu aku tidak dapat menuduh Ki Sanak telik sandi dari Babadan yang datang untuk melihat kelemahan kademangan ini. Karena itu, maka aku hanya dapat mempersilahkan. Meskipun demikian, kami di sini benar-benar mengharap kedatangan Ki Sanak berdua dalam pekan mendatang.”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Kami akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk datang kemari lagi, Ki Demang.”

“Aku berharap bahwa dalam pekan mendatang, sikap Karang Lor sudah berubah, sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang lebih mantap. Yang kemudian harus menjadi perhatian kami adalah kekuatan para perampok yang tinggal di ujung hutan. Jumlahnya tentu tidak sebanyak orang Babadan sendiri. Tetapi mereka adalah orang-orang yang garang dan kasar.”

“Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak dapat dilawan, Ki Demang,” berkata Ki Bekel Wijil. “Kami ternyata mampu mengusir dua orang di antara mereka.”

“Tetapi kita harus mengerahkan orang yang jumlahnya berlipat ganda dari mereka.”

“Jika padukuhan Karang Lor dan Karang Wetan yang terhitung besar itu sudah dapat menyesuaikan sikapnya dengan sikap kita, maka aku kira jumlah kita sudah cukup memadai.”

“Ya. Jumlahnya cukup memadai. Tetapi para perampok di ujung hutan itu dapat berbuat apa saja di luar dugaan kita.”

Ki Bekel menarik nafas panjang. Hari itu lima orang padukuhan Wijil terluka parah ketika mereka mencoba melawan empat orang berkuda dari Babadan. Sedangkan sembilan orang yang kemudian melawan empat orang, dan yang kemudian tinggal dua orang saja, tiga di antara mereka telah terluka pula. Seorang bahkan agak parah.

Ki Bekel itu pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Ya. Orang-orang dari ujung hutan itu adalah orang-orang yang tidak berjantung lagi. Mereka sudah terlalu biasa membunuh, sehingga pembunuhan bagi mereka adalah hal yang sah dan wajar.”

Glagah Putih mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka berdua ingin tetap berada di kademangan itu sampai persoalan mereka tuntas. Tetapi mereka tidak tahu, berapa hari dibutuhkan waktu untuk menuntaskan persoalan mereka. Tetapi menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, waktu yang diperlukan tentu lebih dari sepekan.

Karena itu, maka Glagah Putih itu pun berkata, “Baiklah, Ki Demang. Aku besok pagi-pagi minta diri. Seperti yang aku katakan, aku akan kembali sebelum sepekan. Aku memang ingin melihat akhir dari persoalan yang timbul di kademangan ini.”

Ki Demang tidak dapat mencegahnya. Tetapi Ki Demang Prancak, Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil minta agar Glagah Putih benar-benar kembali sebagaimana dijanjikannya.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di rumah Ki Demang di Prancak. Sementara Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil masih berada di rumah Ki Demang sampai wayah sepi wong.

Namun ketika Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil minta diri, maka seseorang dengan tergesa-gesa memasuki regol halaman rumah Ki Demang.

“Ada apa?” bertanya Ki Demang ketika orang itu sudah menghadap.

“Ki Demang,” berkata orang itu, “aku berada di luar padukuhan Babadan, ketika aku melihat sekelompok orang dari ujung hutan itu masuk ke padukuhan Babadan.”

“Siapakah mereka?”

“Tentu orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Ada di antara mereka yang berkuda. Tetapi sebagian lagi berjalan kaki. Sebagian dari mereka membawa tombak. Yang lain membawa berbagai macam senjata.”

“Kapan kau sempat melihatnya?”

“Baru saja. Sedikit lewat senja. Aku sempat bersembunyi di balik gerumbul yang gelap.”

“Apakah mereka sudah siap untuk bergerak malam ini?”

“Aku tidak tahu, Ki Demang. Tetapi padukuhan Babadan sendiri masih nampak sepi.”

“Kau masuk ke dalam padukuhan itu?”

“Ya. Aku memanjat pohon gayam yang tumbuh di luar dinding padukuhan, tetapi pohon itu seakan-akan melekat pada dinding itu. Aku sempat meloncat masuk dan melihat keadaan di dalam padukuhan. Agaknya masih belum ada persiapan apa-apa.”

“Kau sempat melihat banjar padukuhan?”

“Ya. Aku sempat melihat banjar padukuhan. Orang-orang dari ujung hutan itu memang pergi ke banjar. Tetapi mereka tidak langsung bersiaga untuk bertempur. Meskipun demikian, aku merasa wajib untuk segera melaporkan kepada Ki Demang. Mungkin terjadi hal-hal di luar pengamatanku.”

“Baik. Terima kasih. Panggil Ki Jagabaya kemari.”

“Ya, Ki Demang.”

Demikian orang itu pergi, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil pun berkata, “Kami minta diri, Ki Demang. Kami harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Siang tadi telah terjadi benturan kekerasan antara orang-orang Babadan dengan orang-orang Wijil. Mungkin persiapan mereka itu khusus ditujukan kepada orang-orang Wijil.”

“Tetapi Wijil tidak akan sendiri, Ki Bekel.”

“Tentu, Ki Demang. Tetapi baiklah kami kembali ke Wijil untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu malam ini.”

“Silahkan, Ki Bekel. Berhati-hatilah.”

Sejenak kemudian, Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil itu minta diri pula kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Glagah Putih itu pun berkata, “Baiklah kami ikut ke Wijil, Ki Demang. Kami dapat bermalam di padukuhan Wijil. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Silahkan, Ki Sanak. Berhati-hatilah, Jika perlu, bunyikan isyarat agar padukuhan-padukuhan yang lain dapat ikut serta berbuat sesuatu.”

“Baik, Ki Demang.”

Sejenak kemudian, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan induk.

Di sepanjang jalan, jika mereka melewati sebuah padukuhan, Ki Bekel menyempatkan diri singgah meskipun hanya sesaat di rumah Ki Bekel atau Ki Jagabaya, untuk memberitahukan bahwa ada gerakan di Babadan.

Namun setiap kali Ki Bekel itu pun berkata, “Mudah-mudahan tidak ada apa-apa malam ini.”

Pesan Ki Bekel Wijil itu mendapat perhatian yang cukup besar dari para Bekel di beberapa padukuhan. Mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Malam itu, beberapa padukuhan telah berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula di padukuhan induk. Demikian Ki Jagabaya menghadap Ki Demang, maka ia pun segera memerintahkan anak-anak muda untuk bersiap.

“Kita tidak perlu membunyikan kentongan lebih dahulu, agar tidak menimbulkan kegelisahan, sedangkan ternyata tidak terjadi apa-apa. Kita minta saja setiap orang untuk bersiap. Jika perlu mereka akan dipanggil dengan isyarat suara kentongan.”

Demikianlah, malam menjadi semakin dalam. Glagah Putih dan Rara Wulan dipersilahkan untuk bermalam di banjar padukuhan Wijil.

Namun sampai menjelang dini, ternyata tidak terjadi sesuatu. Para pengamat tidak memberikan laporan adanya gerakan dari orang-orang Babadan. Tidak ada sekelompok pasukan yang melintasi jembatan di atas susukan untuk menyerang salah satu padukuhan di Kademangan Prancak.

Seorang pengamat berkata kepada kawannya,” Mungkin mereka akan bergerak menjelang fajar. Pada saat matahari akan terbit.”

Tetapi para pengamat itu terkejut. Tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda. Tidak hanya satu dua, tetapi berpuluh-puluh ekor kuda. Ketika kuda-kuda itu berlari di atas jembatan itu, suaranya bagaikan mematahkan blandar jembatan itu. Namun agaknya para penunggang kuda itu pun menyadari bahwa jembatan itu tidak terlalu kokoh. Karena itu, maka para penunggang kuda itu beriringan satu demi satu. Tidak ada kesempatan dari para pengawas itu untuk melaporkan ke padukuhan. Kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu.

Sebenarnyalah semuanya berlangsung dengan cepatnya. Beberapa saat kemudian, para penunggang kuda itu sudah sampai di sebuah padukuhan. Tetapi mereka tidak berhenti. Para penunggangnya tidak turun dari punggung kuda dan menyerang para penghuni padukuhan itu. Tetapi mereka melarikan kuda mereka melintasi jalan induk padukuhan.

Derap kaki kuda yang berpuluh-puluh itu telah mengguncang seisi padukuhan. Mereka yang meronda di gardu-gardu, yang langsung melihat pasukan berkuda itu lewat, menjadi gemetar. Tubuh mereka bagaikan kedinginan. Ternyata orang-orang berkuda itu melarikan kuda-kuda mereka melintasi beberapa padukuhan. Termasuk padukuhan induk serta padukuhan Wijil.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang bermalam di padukuhan Wijil, terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda yang berlari-larian. Ternyata padukuhan Wijil mendapat perhatian yang khusus, karena sebelumnya orang-orang Wijil telah menyerang orang-orang Babadan.

Agaknya orang-orang berkuda itu ingin menunjukkan kepada orang-orang Wijil, bahwa mereka mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk menghancurkan padukuhan itu.

Sekelompok orang-orang berkuda itu telah membuat gerakan-gerakan yang sengaja memancing perhatian orang-orang Wijil. Beberapa orang melarikan kuda mereka berputar-putar di halaman banjar padukuhan. Sebagian lagi di halaman rumah Ki Bekel, dan yang lain di halaman rumah Ki Jagabaya.

Beberapa orang yang lain melarikan kuda-kuda mereka di sepanjang jalan padukuhan. Mereka sengaja menakut-nakuti orang yang sedang meronda, sehingga para peronda itu melarikan diri dan bersembunyi. Orang-orang Babadan itu berteriak-teriak dengan kata-kata kasar. Yang lain tertawa-tawa.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di banjar, tidak menampakkan diri mereka. Agaknya lebih baik bagi mereka untuk tidak berbuat apa-apa. Jika mereka berdua melakukan perlawanan kemudian menghindar jika lawan terlalu banyak, maka akibatnya akan memukul padukuhan Wijil.

Karena itu, mereka tetap saja tidak berbuat apa-apa. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyelinap keluar untuk melihat orang-orang berkuda yang berputar-putar di halaman banjar.

“Tidak lebih dari sepuluh orang, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Memang yang memasuki halaman banjar ini hanya sekitar sepuluh orang. Tetapi dengar derap kaki kuda itu.”

Rara Wulan mengangguk. Ia pun mendengar derap kaki kuda yang bagaikan suara banjir bandang itu.

“Tentu banyak sekali.”

“Tetapi apakah benar mereka orang-orang Babadan?” bertanya Rara Wulan.

“Sebagian agaknya memang orang-orang Babadan Tetapi sebagian tentu orang-orang dari ujung hutan itu.”

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Mereka hanya menyaksikan saja apa yang terjadi di halaman dari kegelapan. Baru beberapa saat kemudian, maka orang-orang berkuda itu pun meninggalkan halaman banjar. Sejenak kemudian, maka derap kaki kuda itu bagaikan arus banjir yang mengalir semakin lama semakin jauh.

Demikian orang-orang berkuda itu pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera keluar dan persembunyian mereka. Mereka pun kemudian duduk di tangga pendapa banjar padukuhan itu.

“Mereka sengaja memamerkan kekuatan mereka, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Mereka berharap bahwa padukuhan-padukuhan di seberang jembatan ini menjadi ketakutan dan tidak lagi berniat melawan kehendak mereka.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Kenapa mereka tidak langsung saja menduduki padukuhan induk malam ini?”

“Mereka pun tentu belum bersiap sepenuhnya. Mereka baru dapat memamerkan sekelompok orang-orang berkuda. Tetapi mereka tentu belum mempersiapkan perbekalan, kelompok-kelompok yang akan menduduki padukuhan induk. Karena dengan demikian padukuhan-padukuhan yang lain pun tentu akan segera bergerak pula.”

“Ya. Tentu persiapan mereka juga belum masak. Jika hal ini dilakukan, agaknya mereka hanya ingin menyembunyikan kekalahan empat orang di antara mereka, justru termasuk Ki Jagabaya, siang tadi.”

Pembicaraan mereka pun terhenti. Mereka melihat Ki Bekel dan seorang anak muda memasuki regol halaman banjar itu.

“Kalian tidak apa-apa?” bertanya Ki Bekel.

“Tidak, Ki Bekel. Kami baik-baik saja,” jawab Glagah Putih sambil bangkit berdiri. Rara Wulan pun segera berdiri pula.

“Aku mencemaskan kalian berdua. Aku kira kedatangan mereka ada hubungannya dengan usaha mereka menangkap kalian berdua.”

“Tidak, Ki Bekel. Agaknya mereka tidak tahu bahwa kami berdua berada di sini. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan berusaha menangkap kami.”

“Marilah, duduklah,” berkata Ki Bekel sambil naik ke pendapa banjar itu.

Namun demikian mereka duduk, maka Ki Jagabaya pun telah datang pula ke banjar. Demikian pula para bebahu yang lain.

Beberapa lama mereka pun berbincang mengenai sekelompok orang-orang berkuda yang telah memasuki padukuhan Wijil, serta telah memancing ketegangan. Mereka telah memamerkan kekuatan serta ketrampilan mereka menunggang kuda. Sekelompok-sekelompok mereka telah berputar-putar di halaman banjar, di halaman rumah Ki Bekel, Ki Jagabaya dan beberapa halaman lain yang luas.

“Kita akan memberikan laporan kepada Ki Demang esok pagi,” berkata Ki Bekel.

“Ya,” sahut Ki Jagabaya, “nampaknya mereka tidak hanya memasuki padukuhan ini. Tetapi mereka tentu juga memasuki beberapa padukuhan yang lain. Bahkan agaknya mereka juga sampai ke padukuhan induk.”

“Tetapi apa yang mereka lakukan itu dapat kita ambil manfaatnya,” berkata Ki Bekel.

“Manfaat apa?” bertanya Ki Kebayan.

“Kita dapat mengatakan kepada rakyat kita, bahwa kita benar-benar harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Lawan yang akan kita hadapi adalah mereka yang telah memamerkan kekuatan mereka.”

“Bahkan kekuatan mereka tentu lebih dari yang mereka pamerkan itu,” sahut Ki Bekel. Namun Ki Bekel itu pun kemudian bertanya, “Tetapi dari manakah mereka mendapatkan kuda sebanyak itu?”

“Agaknya mereka pun ingin mengatakan, bahwa empat ekor kuda mereka yang berada di sini itu tidak berarti apa-apa.”

“Agaknya kuda-kuda itu dapat dipinjamnya dari gerombolan di ujung hutan, serta mengumpulkan semua kuda yang berada di Babadan dan Paliyan.”

“Apakah mungkin mereka mendapatkan sekian banyaknya?”

“Tetapi kenyataan itu tidak dapat kita pungkiri. Mereka memang dapat mengumpulkan kuda sekian banyaknya.”

Ki Bekel menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja ia pun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Bagaimana dengan Ki Sanak? Apakah Ki Sanak tetap akan meninggalkan kademangan ini esok pagi?”

“Ya, Ki Bekel. Besok pagi-pagi kami akan berangkat ke Tanah Perdikan. Tetapi kami berjanji bahwa kami akan segera kembali.”

“Angger berdua,” berkata Ki Bekel kemudian, “sebenarnyalah kami merasa cemas menghadapi kekuatan yang tersimpan di padukuhan Babadan. Mungkin kami dapat menghimpun orang yang jauh lebih banyak. Tetapi kami tidak mempunyai orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sedangkan kami tahu bahwa di ujung hutan itu terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali mereka akan ikut turun ke arena pertempuran jika masanya itu datang. Pada saat benar-benar terjadi benturan antara Babadan dengan padukuhan padukuhan lain di kademangan ini, beberapa orang berilmu tinggi akan berada di dalam pasukan mereka.”

“Ki Bekel,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku tidak mengatakan bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi aku akan membantu sejauh dapat aku lakukan. Aku benar-benar akan segera kembali.”

“Mudah-mudahan Angger berdua tidak terlambat.”

“Apakah Ki Bekel menduga bahwa orang-orang Babadan itu akan bergerak esok pagi atau lusa?”

“Agaknya memang belum, Ngger. Tetapi tentu tidak terlalu lama lagi.”

“Aku berjanji, Ki Bekel, bahwa aku akan segera kembali.”

“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, Ngger.”

“Tetapi apakah Ki Bekel pernah mendengar nama pemimpin gerombolan yang berada di ujung hutan itu? Yang ternyata telah mengadakan hubungan secara pribadi dengan Nyai Demang?”

“Orang menyebutnya Raden Panengah”

“Raden Panengah?”

“Ya. Ia senang disebut Raden Panengah. Ia merasa dirinya seperti Arjuna, Panengah Pandawa.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun ia pun bertanya, “Apakah orangnya juga setampan Arjuna?”

“Aku belum pernah melihatnya, Ngger. Tetapi kata orang, ia memang seorang yang tampan. Seorang yang wajah dan tubuhnya seperti Arjuna. Meskipun orang yang mengatakan itu juga belum pernah melihat Arjuna.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

Tetapi Ki Jagabaya kemudian berkata, “Yang menjadi pemimpin sekelompok orang yang bersarang di ujung hutan itu sebenarnya adalah ayah Raden Panengah itu. Tetapi ia lebih banyak mengembara daripada berada di sarangnya.”

“Apakah Ki Jagabaya pernah mendengar namanya?”

“Ya. Aku pernah mendengar namanya.”

“Siapa?”

“Aku tidak tahu, apakah nama itu namanya sendiri atau sekedar sebutan. Yang pernah aku dengar, orang menyebutnya Raden Mahambara.”

“Mahambara?”

“Ya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Nama yang bagus. Jika saja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh ada yang pernah mendengarnya.”

Demikianlah, maka mereka yang berada di banjar itu tidak lagi sempat untuk beristirahat. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergantian pergi ke pakiwan. Ki Bekel yang sangat berharap agar Glagah Putih dan Rara Wulan itu benar-benar kembali ke Kademangan Prancak, telah menawarkan untuk meminjamkan dua ekor kuda.

“Kuda-kuda itu adalah kuda kami sendiri, Ngger,” berkata Ki Bekel, “bukan kuda orang-orang Babadan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Mereka sudah menyatakan tidak bersedia membawa kuda-kuda yang mereka rampas dari orang-orang Babadan

“Kuda-kuda itu akan selalu mengingatkan Angger berdua untuk segera kembali ke kademangan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Baiklah, Ki Bekel. Kami akan meminjam dua ekor kuda. Aku benar-benar berniat untuk segera kembali ke Kademangan Prancak, khususnya padukuhan Wijil.”

“Terima kasih, Ngger. Terima kasih.”

Ketika langit menjadi merah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera minta diri. Namun Ki Bekel minta mereka singgah di rumahnya untuk makan pagi, sebelum mereka menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.

Menjelang matahari terbit, maka kedua orang itu pun telah meninggalkan padukuhan Wijil. Mereka melarikan kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Berkuda, mereka berharap bahwa sebelum matahari terbenam, mereka telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. 

“Kuda ini telah mengikat kita untuk segera kembali, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Tetapi aku memang ingin tahu apakah yang akan terjadi dengan Kademangan Prancak. Agaknya menarik untuk diikuti.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Aku pun ingin tahu pula. Namun agaknya Babadan mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk menang jika terjadi benturan kekerasan. Orang-orang berkuda itu nampaknya orang-orang yang garang. Kebanyakan dari mereka tentu orang-orang di ujung hutan itu.”

“Menghadapi orang-orang berkuda itu, Kademangan Prancak memang akan mengalami kesulitan. Meskipun jumlah orang-orang se-Kademangan Prancak lebih banyak dari orang-orang Babadan, tetapi setiap orang dari ujung hutan itu akan dapat menghadapi empat atau lima orang sekaligus. Apalagi jika mereka tidak lagi terkendali. Korban di pihak Kademangan Prancak tentu akan banyak sekali.”

“Kasihan Ki Demang.”

Keduanya terdiam sejenak. Kuda-kuda mereka berlari kencang di jalan yang datar. Namun ketika mereka melewati jalan yang rumit, maka gerak kuda mereka pun menjadi sangat lamban.

Sebenarnyalah mereka tidak menemui hambatan di sepanjang jalan. Ketika matahari sedikit melewati puncaknya, mereka pun sempat berhenti. Selain untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat, maka mereka berdua pun dapat beristirahat pula sambil minum dan makan.

Seperti yang mereka harapkan, maka menjelang senja mereka telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya udara di Tanah Perdikan itu terasa sangat sejuk. Angin semilir menyentuh wajah mereka yang baru saja menempuh perjalanan yang melelahkan, meskipun mereka berada di punggung kuda. Sebagian dari jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sulit, sehingga perjalanan mereka bergerak lamban sekali seperti seekor siput.

Ketika senja turun, maka mereka telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Kedatangan mereka memang mengejutkan. Agung Sedayu yang sudah pulang dari barak Pasukan Khususnya, segera menyambut kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara Sekar Mirah yang sedang berada di dapur pun berlari-lari ke pendapa.

“Benar anak-anak itu pulang?”

“Ya,” Sukra yang menjawab, “mereka telah pulang. Bahkan berkuda.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menyambut keduanya dengan wajah yang berbinar. Rara Wulan mendekap Sekar Mirah, seakan-akan tidak mau melepaskannya lagi.

“Marilah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “masuklah.”

Glagah Putih pun kemudian menyerahkan kudanya serta kuda Rara Wulan kepada Sukra, yang juga menyambut mereka di halaman.

“Kuda siapa yang Kakang bawa ini?” bertanya Sukra.

“Kau tidak menanyakan keselamatan kami di perjalanan, tetapi yang pertama kau tanyakan adanya kuda-kuda ini,” sahut Glagah Putih.

“Jika Kakang sudah berada di sini, bukankah itu berarti bahwa kalian sudah selamat sampai ke tujuan?”

“Kau tidak bertanya apakah kami tidak dikejar hantu.”

Sukra itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum.

Glagah Putih pun kemudian menepuk bahunya sambil bertanya, “Kau sudah bisa apa sekarang, Sukra?”

Jawab Sukra sambil tertawa, “Merangkak.”

Glagah Putih mengguncang tengkuk Sukra sambil tertawa. Katanya, “Kau bertambah liar sekarang.”

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun naik ke pendapa. Mereka langsung pergi ke ruang dalam. Setelah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kalian tentu letih. Aku dapat melihat pada wajah kalian yang menjadi kehitam-hitaman dibakar teriknya matahari. Malam tadi kalian berada dimana?”

“Kami berada di Kademangan Prancak, Kakang. Kademangan yang bersebelahan dengan Kademangan Payaman.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Perjalanan yang kalian tempuh hari ini cukup panjang. Agaknya kalian juga melewati jalan-jalan yang rumit, sehingga perjalanan kalian menjadi sangat lambat.”

“Ya, Kakang. Tetapi sebenarnya kami tidak terlalu lelah. Mungkin panas matahari telah membakar kulit kami. Tetapi setelah mandi dan berbenah diri, kami akan menjadi segar kembali.”

“Mandi, berbenah diri, lalu minum dan makan,” sahut Sekar Mirah.

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

“Nanti setelah kalian menjadi segar kembali, kami akan mendengar cerita kalian.”

Namun Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Dimana Ki Jayaraga pada saat seperti ini?”

“Ada. Mungkin baru berada di pakiwan.”

Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Jayaraga pun telah muncul di ruang tengah. Wajahnya nampak terang. Sambil tersenyum Ki Jayaraga pun mencengkam kedua lengan Glagah Putih, seperti tidak akan dilepaskannya kembali. “Kau nampak semakin tegar, Glagah Putih. Ada sesuatu yang baru pada kalian berdua. Aku melihat cahaya yang terang di mata kalian berdua.”

“Perjalanan yang baru saja aku jalani, memberikan banyak pengalaman yang sangat berarti bagi kami, Ki Jayaraga.”

“Ya. Semuanya itu aku dapat melihatnya di sorot mata kalian.”

“Ada apa di sorot mata kami?”

“Teja. Aku melihatnya.” Namun kemudian sambil tertawa Ki Jayaraga itu pun berkata, “Bukankah kalian akan ke pakiwan?”

Namun Sekar Mirah pun berkata, “Minumlah dahulu. Minuman yang sudah dingin. Kalian tentu haus. Nanti setelah mandi, akan disediakan minuman hangat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan memang haus.

Demikianlah, maka bergantian mereka pergi ke pakiwan. Sementara itu Sekar Mirah dan Sukra sibuk di dapur menyiapkan minuman hangat serta makan malam. Isi rumah mereka bertambah dengan dua orang, yang telah beberapa lama meninggalkan Tanah Perdikan.

Setelah mandi dan berbenah diri, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ruang dalam bersama Ki Jayaraga. Sementara itu Sukra pun telah menghidangkan minuman hangat sekaligus makan malam yang sudah disiapkan oleh Sekar Mirah.

Sambil makan malam, tanpa diminta, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mulai menceritakan pengalaman perjalanannya memburu tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.

Ada beberapa peristiwa yang sangat menarik perhatian mereka yang mendengarkan cerita Glagah Putih dan Rara Wulan. Pengalaman mereka menemukan dua dunia yang sangat berbeda, bahkan berlawanan di bumi yang sama, sangat menyentuh perasaan mereka. Tenggang waktu yang sangat pendek itu tidak akan mungkin merubah segala-galanya, bahkan watak dari kehidupan.

“Kita memerlukan waktu khusus untuk berbicara tentang dua duniamu itu, Glagah Putih dan Rara Wulan.”

“Ya, Kakang. Tetapi di antara yang mengawang itu, ada yang dapat aku sentuh dengan nyata.”

“Apa itu?”

“Kitab. Sebuah kitab yang oleh Ki Namaskara di pesankan agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Apalagi orang yang tidak diketahui watak dan tabiatnya.”

“Kitab itu ada pada kalian berdua?”

“Ya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau harus memenuhi pesan itu. Jaga agar kitab itu tidak jatuh ke tangan orang lain.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Nah, sekarang aku dapat menghubungkan antara kitab itu dengan apa yang baru pada kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk lagi.

“Ada laku yang harus kalian jalani?”

“Ya, Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.

“Sudah kalian jalani dengan tuntas?”

“Ya. Kami sudah mencoba menjalaninya dengan tuntas.”

“Bagus. Aku yakin bahwa kalian telah menemukan kelengkapan bekal bagi masa depan kalian. Tetapi dengan demikian, kewajiban kalian pun menjadi lebih berat. Kalian adalah bagian, meskipun sekecil apapun, dari kehidupan yang isinya beraneka ragam ini. Karena itu maka kalian harus menempatkan diri di tempat yang terbaik, untuk ikut menyangga keseimbangan kehidupan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, agaknya Ki Jayaraga pun menganggap bahwa diperlukan kesempatan lain untuk berbicara secara khusus tentang pertemuan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan orang yang menyebut dirinya Ki Namaskara itu.

Yang kemudian mereka bicarakan adalah laporan Glagah Putih dan Rara Wulan tentang sebuah kademangan, yang menilik kehidupan penghuninya sehari-hari termasuk kademangan yang aman dan tenang, tetapi ternyata bahwa di bawah permukaan terdapat gejolak yang besar. Nampaknya para pedagang gelap itu ingin memanfaatkan lingkungan yang tenang dan aman itu untuk saling berhubungan. Gejolak di bawah permukaan itu nampaknya masih luput dari penglihatan para bebahu di Seca. Sementara itu, para bebahu telah berhubungan dengan pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati, Ki Saba Lintang.

Glagah Putih dan Rara Wulan telah menceritakan pula apa yang telah mereka lakukan dalam usaha mereka mendapatkan tongkat baja putih itu. Tetapi mereka telah gagal.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia dapat membayangkan apa saja yang lelah dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun mereka masih belum berhasil.

“Satu usaha memang menghadapi dua kemungkinan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Berhasil atau tidak berhasil. Yang berhasil pun masih harus dinilai, seberapa kadar keberhasilannya itu.”

“Dalam benturan kekerasan itu telah jatuh banyak korban yang ternyata sia-sia, Kakang.”

“Tidak. Jangan anggap korban itu sia-sia.”

“Meskipun mereka sekelompok pedagang gelap yang sangat merugikan, tetapi rasa-rasanya aku telah dengan sengaja mengorbankan mereka untuk kepentinganku. Namun ternyata juga tidak menghasilkan apa-apa.”

“Yang terjadi adalah satu kecelakaan, Glagah Putih. Tetapi seseorang yang tidak pernah berusaha, ia tidak akan pernah menghasilkan apa-apa.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula.

Namun pembicaraan mereka pun akhirnya sampai ke Kademangan Prancak. Agaknya untuk sementara Agung Sedayu sengaja menyisihkan persoalan-persoalan yang masih perlu mendapat pembicaraan tersendiri.

“Kita akan melaporkan perkembangan Perguruan Kedung Jati itu ke Mataram,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Besok atau lusa kita akan pergi ke Mataram.”

“Ya, Kakang. Tetapi tidak besok atau lusa.”

“Kenapa?”

Glagah Putih memang nampak ragu-ragu. Tetapi kemudian ia pun berkata, “Bagaimana dengan Kademangan Prancak itu? Aku berjanji untuk segera kembali. Kami berdua memang ingin menyaksikan akhir dari perselisihan yang terjadi di Kademangan Prancak.”

“Kau memerlukan waktu yang cukup panjang, Glagah Putih.”

“Tidak akan terlalu panjang, Kakang. Agaknya persoalannya sudah hampir sampai ke puncak. Orang-orang Babadan sudah memamerkan kekuatannya kepada orang-orang Kademangan Prancak yang tinggal di padukuhan yang lain.”

“Kapan kau akan kembali ke Prancak?”

“Kakang. Yang ada di belakang orang-orang Babadan itu adalah sekelompok perampok yang bersarang di ujung hutan yang menjorok tidak terlalu jauh dari Prancak.”

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

“Agaknya Kademangan Prancak akan mengalami kesulitan menghadapi para perampok itu. Apalagi di antara para perampok itu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi, yang tidak akan dapat diimbangi oleh orang-orang Kademangan Prancak. Bahkan jika mereka melawan dalam kelompok-kelompok pun mereka akan mengalami kesulitan, karena para perampok itu adalah orang-orang tangkas dan berpengalaman mempergunakan senjatanya.”

“Lalu?”

“Mereka berharap kami berdua segera kembali untuk membantu mereka. Mereka menganggap kami berdua berilmu tinggi, karena kami mampu melepaskan diri kami dan tangan empat orang Babadan yang sebenarnya berasal dari hutan itu.”

“Apakah kalian berdua saja akan mempunyai pengaruh yang besar pada keseimbangan kekuatan di Prancak?”

“Setidak-tidaknya kami berdua dapat menghadapi dua di antara mereka yang berilmu tinggi dari antara orang-orang yang berasal dari ujung hutan itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Mungkin kalian dapat mengikat dua orang di antara mereka. Tetapi bagaimana dengan yang lain? Kalau ada dua orang lagi di antara para perampok itu memiliki ilmu yang tinggi, di samping orang-orang mereka yang garang dan barangkali juga liar dan buas, apakah kalian akan menjadi sangat berarti?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Mungkin kami memang tidak akan sangat berarti.”

“Kalian harus mempertimbangkan lebih jauh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah Kakang mempunyai wewenang untuk menangani gerombolan perampok yang berada di Prancak, dekat Payaman itu?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sejenak ia berdiam diri. Sementara itu mereka pun telah selesai makan malam. Dengan tidak terasa, maka mereka bersama-sama sudah menghabiskan seceting nasi yang masih hangat.

Tetapi Sekar Mirah tidak segera memanggil Sukra untuk menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor. Setelah mencuci tangan mereka, maka mereka yang berada di ruang dalam itu masih saja berbincang.

“Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku mengerti arah pembicaraanmu. Kau akan menolong orang-orang Kademangan Prancak itu dan membebaskan mereka dari pengaruh buruk gerombolan perampok itu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Agung Sedayu justru tersenyum sambil berkata, “Tetapi pendapatmu itu dapat juga dipertimbangkan. Dapat saja kami memburu perampok yang mengganggu Tanah Perdikan Menoreh ini sampai kemanapun, asal tidak memasuki wilayah kadipaten yang mempunyai pemerintahan sendiri atas nama Mataram.”

“Jadi Kakang dapat membawa sekelompok prajurit sampai ke Prancak?”

Agung Sedayu bahkan tertawa. Katanya, “Prancak tidak terlalu jauh. Prancak dapat dicapai dalam sehari lebih sedikit.”

“Dalam sehari, Kakang. Jika kami juga berkuda sehari dari Prancak, karena kami masih harus menemukan jalan yang harus kami lalui. Kami pun kadang-kadang melalui jalan yang sangat sulit untuk dilalui. Kuda-kuda kami harus kami tuntun dengan sangat berhati-hati. Tetapi jika sejak awal kami berjalan kaki, maka bedanya tidak akan terlalu banyak.”

“Ada orang-orang kami yang sudah mengenal jalan ke Prancak. Jalan yang tidak usah melewati jalan-jalan yang rumit, meskipun kadang-kadang juga harus melewati jalan setapak untuk mendapatkan jarak yang sependek-pendeknya.”

“Jika demikian, apakah Kakang dapat juga membantu orang-orang Prancak? Meskipun alasannya untuk memburu sekelompok gerombolan perampok yang telah mengganggu ketenangan hidup rakyat Tanah Perdikan Menoreh?”

Agung Sedayu masih saja tertawa. Katanya, “Glagah Putih. Apakah kau sudah tahu, persoalan apakah yang sebenarnya telah terjadi di Kademangan Prancak?”

“Aku sudah mendengar cerita beberapa orang, Kakang. Tetapi yang aku ketahui dengan pasti, bahwa segerombolan perampok telah berdiri di belakang orang-orang Babadan. Aku justru tanpa sengaja melewati daerah yang dianggap wilayah kekuasaan para perampok itu. Aku melihat jejak kaki kuda yang hilir mudik dari ujung hutan itu ke padukuhan Babadan. Lebih daripada itu, menurut Ki Demang Prancak, ada hubungan khusus antara ibu tirinya dengan pemimpin gerombolan perampok, yang menyebut dirinya Raden Panengah itu.”

“Raden Panengah?”

“Ya, Raden Panengah. Tetapi sebenarnya ayahnya-lah pemimpin yang sebenarnya dari gerombolan itu. Tetapi ayahnya lebih banyak meninggalkan sarangnya.”

“Siapa nama ayahnya?”

“Orang menyebutnya Raden Mahambara.”

“Mahambara? Jadi gerombolan itu gerombolan yang dipimpin oleh Mahambara?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ya.”

“Orang yang disebut Raden Mahambara itu tentu sudah tua.”

“Agaknya memang demikian,” sahut Glagah Putih. “Jika Nyai Demang yang muda itu, yang sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah menjadi Bekel di Babadan, berhubungan akrab dengan Raden Panengah, anak Ki Mahambara, maka dapat diperkirakan bahwa Raden Mahambara itu sudah tua.”

“Aku mengenal orang itu, Glagah Putih.”

“Ki Jayaraga mengenalnya?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya, aku mengenalnya. Mahambara pun mengenal aku. Jika kami bertemu, maka kami tidak akan saling melupakan.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “besok aku akan mempersiapkan sekelompok prajuritku untuk memburu gerombolan perampok yang bersembunyi di ujung hutan yang tidak terlalu jauh dari kademangan Prancak,”

“Tetapi gerombolan Mahambara memang sebuah gerombolan yang berbahaya. Jika sampai sekarang ia masih memimpin sebuah gerombolan, itu berarti bahwa ia mampu menyusup di sela-sela kekuasaan Jipang, Pajang, Demak dan Mataram.”

“Jika demikian, maka sebaiknya Kakang Agung Sedayu turun tangan,” berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Rara Wulan pun tertawa. Akhirnya Glagah Putih pun tertawa pula

Namun Rara Wulan pun kemudian berkata, “Jika Ki Jayaraga mengenal orang yang menyebut dirinya Mahambara, sebaiknya Ki Jayaraga ikut bersama kami untuk mengunjungi kenalan lamanya itu.”

Semuanya tertawa semakin berkepanjangan. Ki Jayaraga pun kemudian menjawab, “Tentu aku tidak berkeberatan, Rara. Jika aku diijinkan, maka aku memang ingin ikut bertamasya ke Prancak, menemui orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara. Seorang petualang yang berkeliaran di pesisir utara. Namun agaknya ia mulai merambah ke selatan. Sekarang orang-orangnya berada di Prancak, dan berhasil memecah kesatuan sebuah kademangan. Orang itu tentu akan menjadikan kademangan itu landasan geraknya ke selatan.”

“Apakah ia tidak akan menyaingi gerak Perguruan Kedung Jati yang sedang berusaha untuk bangkit?”

“Mungkin terjadi persaingan di antara mereka. Tetapi Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang jauh lebih besar dari gerombolan Raden Mahambara. Sasarannya pun berbeda. Agaknya Kedung Jati lebih membidik kekuasaan di daerah tertentu, misalnya bekas Kadipaten Jipang. Namun yang kemudian akan dikembangkan, sehingga akhirnya mereka merasa kokoh untuk berhadapan dengan Mataram. Sedangkan orang yang menyebut dirinya Mahambara itu adalah sebuah gerombolan perampok yang ingin mendapatkan uang dan harta benda dengan cepat. Merampok. Siapapun yang dirampok,” sahut Ki Jayaraga.

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Apakah untuk pergi ke Prancak, Kakang harus minta ijin ke Mataram?”

“Tidak,” Agung Sedayu menggeleng, “kami sedang menjalankan tugas sehari-hari. Tugas yang memang menjadi beban tugas kami, sehingga kami tidak perlu melapor lebih dahulu ke Mataram.”

“Jadi dengan demikian, bukankah kita dapat dengan cepat berangkat?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya. Malam ini aku akan pergi ke barak. Tetapi lebih dahulu kita harus menghadap Ki Gede, untuk memberitahukan kedatanganmu sekaligus minta diri lagi. Selain kalian berdua, aku pun harus minta diri.”

“Bukankah aku juga?”bertanya Sekar Mirah.

“Tamasya yang menarik,” sahut Ki Jayaraga, “kita pergi bersama-sama.”

Demikianlah, maka mereka pun telah sepakat untuk pergi ke Prancak di keesokan harinya, dengan membawa sekelompok prajurit. Karena itu, maka mereka pun harus segera mulai mempersiapkan diri. Yang mula-mula akan mereka lakukan adalah menghadap Ki Gede untuk minta diri.

Ki Gede memang terkejut ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih datang menghadap pada saat malam sudah menjadi semakin malam.

“Kapan kau datang, Ngger?” bertanya Ki Gede.

“Senja tadi, Ki Gede.”

“Kau dan istrimu?”

“Ya, Ki Gede.”

“Bukankah kalian baik-baik saja di perjalanan kalian selama ini?”

“Ya, Ki Gede. Kami baik-baik saja sepanjang pengembaraan kami.”

“Syukurlah. Kalian berdua dapat beristirahat sekarang. Tetapi apakah tugas yang kalian emban itu sudah berhasil?”

Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, “Belum, Ki Gede. Kami masih harus bekerja keras.”

“Para pemimpin di Mataram menyadari, Ngger. Karena itu, mereka tidak memberikan batas waktu kepada kalian.”

“Ya, Ki Gede.”

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tetapi mereka berdua masih belum dapat beristirahat saat ini, Ki Gede.”

“Kenapa?”

Agung Sedayu pun segera menceritakan dengan singkat tentang para perampok di ujung hutan dekat Kademangan Prancak.

“Jadi Angger Glagah Putih akan berangkat lagi ke Prancak besok?”

“Ya, Ki Gede. Mudah-mudahan kami tidak terlambat.”

“Hati-hatilah, Ngger. Aku belum pernah mengenal orang yang bernama Raden Mahambara. Tetapi bahwa ia telah mempergunakan nama itu, tentu ia mempunyai keyakinan yang sangat besar tentang dirinya sendiri. Agaknya anaknya yang lebih senang disebut Raden Panengah adalah anak yang manja dan bahkan sedikit cengeng. Tetapi mungkin saja kedua-duanya memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga gerombolan mereka dapat bertahan untuk waktu yang panjang.”

“Itulah sebabnya maka kami merasa perlu untuk minta bantuan Kakang Agung Sedayu. Gerombolan itu sudah berhasil memecah keutuhan Kademangan Prancak. Jika tidak ditindak sampai tuntas, maka gerombolan itu akan menjadi semakin berbahaya. Sisanya akan dapat berbuat apa saja di luar dugaan.”

“Baiklah, Ngger. Mudah-mudahan kalian berhasil.”

“Besok aku akan membawa sebagian dari prajurit-prajuritku. Jika ada sesuatu yang penting, Ki Gede dapat menghubungi Ki Lurah Surakerti. Aku akan menyerahkan kepemimpinan barak itu kepada Ki Lurah Surakerti.”

“Baik. Baik, Ngger. Mudah-mudahan di Tanah Perdikan tidak terjadi apa-apa. Selama ini Tanah ini terasa tenang-tenang saja.”

“Kami berdua akan pergi bersama Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga, Ki Gede. Tetapi kami tidak akan lama. Mungkin sepekan atau dua pekan saja,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Baiklah, Ngger. Semoga kalian berhasil menyatukan kembali kademangan yang telah terbelah itu.”

Demikianlah, keduanya pun kemudian minta diri. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi sekali.

Malam itu juga Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi ke barak prajurit Mataram dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, yang dipimpin oleh Agung Sedayu.

Disiapkannya sekelompok prajurit terbaik untuk memburu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Raden Mahambara serta anaknya, Raden Panengah. Lebih dari itu, mereka berharap bahwa dengan demikian mereka akan dapat mempersatukan kembali Kademangan Prancak.

“Besok pagi-pagi sekali kita berangkat. Kita tidak akan terlalu lama,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada prajurit-prajuritnya yang dipilihnya untuk menyertainya. Kepada Ki Lurah Surakerti Agung Sedayu pun telah menyerahkan kepemimpinan di barak itu.

“Setiap kali hubungi Ki Gede. Bukan apa-apa, hanya sekedar untuk menyatakan kesiagaan kita untuk bergerak setiap saat.”

“Baik, Ki Lurah,” sahut Ki Lurah Surakerti.

Kepada para prajurit yang akan dibawanya ke Prancak, Agung Sedayu berkata, “Kalian masih sempat beristirahat. Besok pada saat fajar menyingsing, kami yang akan pergi bersama kalian, sudah akan berada di sini.”

Demikianlah, malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih sendiri hanya sempat beristirahat beberapa saat. Namun mereka berdua sempat juga tidur menjelang dini.

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka pada saat fajar menyingsing, ia sudah berada di barak bersama Glagah Putih, Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Pada saat langit menjadi merah kekuning-kuningan, maka sekelompok prajurit itu pun telah meninggalkan barak. Agung Sedayu berharap bahwa mereka akan memasuki Kademangan Prancak di malam hari, agar kedatangannya tidak diketahui oleh banyak orang.

Berbeda dengan perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan yang memerlukan waktu terlalu lama meskipun mereka berkuda, iring-iringan itu menempuh jalan yang terasa lebih cepat. Iring-iringan itu dengan penunjuk jalan yang sudah tahu benar lingkungan yang akan dituju, dapat memilih jalan yang terdekat dan tidak terlalu sulit dilalui.

Meskipun demikian, mereka akan menempuh perjalanan sehari penuh. Dengan sekali beristirahat, maka sekelompok prajurit itu mendekati Kademangan Prancak pada saat matahari telah terbenam.

Agung Sedayu pun kemudian menghentikan pasukannya. Ia minta Glagah Putih dan Rara Wulan mendahului ke padukuhan Wijil untuk mengembalikan dua ekor kuda yang telah mereka pinjam, serta memberitahukan, bahwa mereka datang tidak hanya berdua.

“Baik, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera melarikan kuda mereka menuju ke padukuhan Wijil yang terletak di tengah-tengah Kademangan Prancak, tidak jauh dari padukuhan induk kademangan.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengejutkan Ki Bekel dan keluarganya. Dengan serta-merta Ki Bekel pun mempersilahkan keduanya naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.

“Begitu cepat Angger datang kembali,” desis Ki Bekel.

“Dalam dua hari ini aku berada di perjalanan, Ki Bekel. Kemarin aku pergi ke Tanah Perdikan. Meskipun kami berkuda, tetapi kami sampai di Tanah Perdikan Menoreh menjelang senja. Hari ini kami menempuh perjalanan kembali ke Kademangan Prancak. Kami sampai di kademangan ini setelah matahari terbenam.”

“Apakah Angger berdua telah menemui Ki Demang?”

“Belum. Kami berdua langsung kemari untuk mengembalikan dua ekor kuda yang kami bawa.”

“Ah, yang penting bukan mengembalikan dua ekor kuda. Yang penting bagi kami adalah keberadaan Angger berdua di kademangan ini.”

“Apakah ada gerakan-gerakan baru?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Siang tadi mereka kembali memasuki wilayah di seberang susukan ini. Jumlah mereka ternyata banyak sekali.”

“Berkuda?”

“Sebagian. Yang lain berlari-lari. Mereka tidak masuk terlalu dalam. Tetapi mereka sempat melewati padukuhan Wijil. Mereka berputar-putar sambil menakut-nakuti orang Wijil. Kemudian mereka meninggalkan padukuhan ini, setelah mereka memukuli tiga orang anak muda yang kebetulan akan pergi ke sawah.”

“Ada padukuhan lain yang dimasukinya?”

“Ada. Dua padukuhan. Tetapi mereka tidak ke padukuhan induk. Itu satu kebetulan bagi kami.”

“Kenapa?”

“Padukuhan induk sudah mulai mempersiapkan diri. Tetapi belum mapan benar. Jika orang-orang itu melewati padukuhan induk, mungkin sekali anak-anak padukuhan induk akan memberikan perlawanan, sehingga akan terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Sementara padukuhan-padukuhan lain masih belum siap benar untuk memberikan bantuan.” Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Besok segala sesuatunya harus sudah siap. Jika kami harus bertempur, maka kami akan bertempur.”

“Jika malam ini mereka kembali?”

“Kami sudah sepakat, jika malam ini mereka kembali, kami tidak akan menanggapinya. Tetapi besok pagi, kami semuanya sudah akan bersiap di beberapa tempat di padukuhan ini. Kami sudah mengatur isyarat di antara padukuhan-padukuhan, sehingga kami akan dapat saling membantu.”

“Bagaimana dengan padukuhan Karang Lor dan Karang Wetan?”

“Mereka masih bimbang. Tetapi sampai besok, mereka tentu masih belum siap.”

“Dimana anak-anak muda malam ini? Apakah mereka berkumpul di banjar atau di rumah Ki Bekel, atau di mana?”

“Mereka berada di rumah masing-masing. Malam ini kami belum akan berbuat apa-apa. Seperti aku katakan tadi, jika mereka datang malam ini, biarlah mereka lewat. Kami tidak akan mengganggu. Tetapi jika itu terjadi besok, maka kami tidak akan membiarkan mereka menakut-nakuti kami lagi.”

“Bukankah jumlah mereka banyak sekali? Apalagi sebagian dari mereka adalah orang-orang yang memang hidupnya bergelimang darah.”

Ki Bekel menarik nafas panjang. Katanya, “Sebenarnyalah kami memang menjadi cemas. Tetapi kami tidak dapat membiarkan diri kami menjadi sasaran olok-olok mereka. Seakan-akan kami sama sekali tidak berdaya.”

“Jika terjadi benturan kekerasan, apakah itu tidak berarti bahwa korban akan berjatuhan? Terutama orang-orang Prancak di sebelah susukan ini, karena harus melawan segerombolan perampok yang besar, ditambah lagi orang-orang dari tiga padukuhan besar yang sedang dibuai mimpi buruk itu?”

“Apa boleh buat. Kami tidak mempunyai pilihan. Tetapi kami masih meyakini tekad kami untuk menegakkan tatanan di kademangan ini, sehingga kami tidak akan menjadi gentar melawan apapun juga. Termasuk para perampok itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Sambil berpaling kepada Rara Wulan, Glagah Putih pun berkata, “Apakah Ki Bekel bersedia pergi ke Kademangan malam ini?”

“Ada apa, Ngger?”

“Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan, Ki Bekel. Tetapi kami berharap bahwa Ki Bekel bersedia pergi menghadap Ki Demang malam ini.”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Ada apa sebenarnya, Ngger?”

“Aku membawa berita yang barangkali dapat membuat Ki Demang dan para Bekel menjadi sedikit tenang.”

“Berita apa, Ngger?”

“Tetapi bukankah Ki Bekel bersedia menghadap Ki Demang malam ini?”

“Jika hal itu akan memberikan kemungkinan yang lebih baik bagi kademangan ini, aku tentu bersedia.”

“Ki Bekel. Aku datang bersama sekelompok prajurit Mataram.”

“Sekelompok prajurit? Benar begitu?”

“Ya. Sekelompok prajurit, yang mendapat tugas untuk menangkap para perampok yang berada di ujung hutan.”

“Jadi, sekelompok prajurit itu akan berada di kademangan ini, untuk bersama-sama melawan orang-orang Babadan yang dibantu oleh para perampok itu?”

“Kita akan membicarakannya. Karena itu, aku minta Ki Bekel bersedia menemui Ki Demang.”

Beberapa saat kemudian, Ki Bekel pun sudah siap. Ki Jagabaya pun sudah datang pula di rumah Ki Bekel, sehingga mereka bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan pergi ke rumah Ki Demang, berkuda.

Derap kaki kuda mereka memecahkan sunyinya bulak panjang. Angin yang dingin bertiup mengusap wajah-wajah mereka yang bergerak dengan cepat menuju ke padukuhan induk.

Ki Demang yang belum tidur, terkejut mendengar derap kaki kuda yang berhenti di depan regol halaman rumahnya. Dengan hati-hati Ki Demang justru keluar dari rumahnya lewat pintu butulan. Beberapa saat Ki Demang berdiri di belakang pintu seketheng yang sedikit renggang.

Dengan jantung yang berdebaran Ki Demang memperhatikan pintu regol yang didorong dari luar. Empat orang menuntun kudanya memasuki halaman rumahnya itu.

Namun kemudian Ki Demang itu pun menarik nafas panjang. Dari belakang pintu seketheng yang sedikit terbuka, Ki Demang melihat Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil, serta dua orang suami istri yang kemarin telah datang kepadanya. Cahaya lampu pendapa rumah Ki Demang itu telah menerangi wajah-wajah mereka.

Ki Demang kemudian masuk kembali ke rumahnya lewat pintu butulan. Ia menunggu tamu-tamunya mengetuk pintu pringgitan. Baru Ki Demang itu membuka pintunya.

“Silahkan. Silahkan duduk.”

Keempat orang tamu itu pun kemudian duduk di pringgitan, ditemui oleh Ki Demang yang berdebar-debar.

Setelah mengucapkan selamat datang, maka Ki Demang itu kemudian bertanya, “Kapan Ki Sanak berdua datang? Atau barangkali Ki Sanak berdua belum jadi meninggalkan padukuhan Wijil?”

“Sudah, Ki Demang. Kemarin kami berdua telah meninggalkan padukuhan Wijil. Bahkan kami telah dipinjami dua ekor kuda oleh Ki Bekel, dengan janji, kuda itu akan segera kami kembalikan.”

Ki Bekel tersenyum sambil menyahut, “Yang penting bukan kudanya, Ki Demang. Yang penting Angger berdua ini segera kembali ke Kademangan Prancak.”

Ki Demang tersenyum. Katanya, “Ternyata Ki Sanak berdua juga menepati janjinya. Kalian segera berada di kademangan ini kembali.”

“Ya, Ki Demang,” sahut Glagah Putih, “bahkan kami tidak hanya berdua.”

“Maksud Ki Sanak?”

Glagah Putih kemudian menceritakan, bahwa ia datang dengan sekelompok prajurit Mataram dari Pasukan Khusus.

“Mereka mengemban tugas untuk menangani perampok yang berada di ujung hutan itu. Agaknya keberadaan mereka akan dapat mengancam ketenteraman hidup beberapa kademangan, bahkan akan dapat menggapai Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin mereka tidak mengganggu kademangan-kademangan terdekat. Tetapi justru kademangan-kademangan yang jauh-lah yang telah mereka sentuh.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Sekarang prajurit Mataram itu ada dimana?”

“Mereka berhenti beberapa puluh patok menjelang kademangan ini, Ki Demang. Mereka berhenti di sebuah pategalan.”

“Apakah mereka akan memasuki kademangan ini?”

“Jika Ki Demang mengijinkan. Kemudian Ki Demang dapat bertemu sendiri dengan lurah prajurit itu.”

“Siapakah yang memimpin prajurit Mataram itu?”

“Prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ki Lurah Agung Sedayu?” Ki Demang terkejut, “Jadi Ki Lurah Agung Sedayu itu akan datang kemari?”

“Ya, kenapa? Apakah Ki Demang sudah mengenal Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Belum, Ki Sanak, belum. Tetapi aku sudah mendengar namanya. Beruntunglah aku bahwa Ki Lurah Agung Sedayu bersedia datang ke kademangan ini.”

“Baiklah, Ki Demang. Ki Lurah Agung Sedayu datang bersama sekelompok prajuritnya dari Pasukan Khusus. Jika Ki Demang tidak berkeberatan menyediakan tempat bagi mereka.”

“Biarlah mereka berada di banjar, Ki Sanak. Kami akan menyiapkan tempat itu.”

“Silahkan, Ki Demang. Sementara itu, biarlah kami berdua menghubungi Ki Lurah Agung Sedayu agar membawa pasukan kecilnya itu ke padukuhan induk ini.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan rumah Ki Demang untuk menghubungi Agung Sedayu, yang dengan pasukannya berhenti di pategalan. Sementara itu, Ki Demang menjadi sibuk memanggil beberapa orang bebahu serta memerintahkan beberapa orang untuk membenahi banjar kademangan. Menggelar tikar di pringgitan. Membersihkan bilik-bilik gandok, di serambi samping dan belakang banjar.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menemui Agung Sedayu dan pasukannya. Glagah Putih dan Rara Wulan telah melaporkan pertemuan mereka dengan Ki Bekel Wijil serta Ki Demang Prancak.

Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah membawa pasukannya memasuki padukuhan induk Kademangan Prancak.

Ki Demang dan para bebahu, serta Ki Bekel dan Ki Jagabaya Wijil, menyambut kedatangan para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu dengan gembira dan berpengharapan, bahwa persoalan di kademangannya itu akan dapat diselesaikan dengan tuntas.

Para prajurit itu mendapat kesempatan untuk beristirahat serta berbenah diri setelah menempuh perjalanan yang panjang. Namun mereka tidak boleh menjadi lengah. Orang-orang Babadan yang didukung oleh para perampok yang tinggal di ujung hutan itu akan dapat datang setiap saat, seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya Tiba-tiba saja mereka datang, berputar-putar untuk menakut-nakuti orang-orang Prancak, kemudian pergi lagi.

Beberapa orang pun telah ditempatkan di gerbang-gerbang padukuhan untuk mengawasi keadaan.

Sementara para prajurit itu beristirahat, maka beberapa orang perempuan yang telah diminta bantuannya, telah menjadi sibuk di dapur. Mereka menyiapkan minuman dan makan seadanya bagi para prajurit yang telah menempuh perjalanan yang panjang.

Penunggu banjar itu malam-malam telah memanjat pohon nangka, untuk mengambil dua buah nangka muda yang terhitung besar. Untunglah penunggu banjar itu masih mempunyai persediaan beberapa butir kelapa yang masih belum dikupas sabutnya.

Malam itu banjar kademangan Prancak telah menjadi sibuk.

Dalam pada itu, di pringgitan, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bertemu dan berbicara dengan Ki Demang dan para bebahu di Prancak, sedangkan Rara Wulan menemani Sekar Mirah di serambi samping banjar.

“Selamat datang, Ki Lurah. Aku tidak bermimpi bahwa aku akan dapat bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas penerimaan yang akrab ini, Ki Demang.”

“Keberadaan Ki Lurah di kademangan ini telah membangkitkan harapan kami, bahwa persoalan yang terjadi di kademangan ini akan dapat diselesaikan dengan tuntas, serta berdasarkan alas tatanan dan paugeran yang berlaku. Tidak karena tekanan gerombolan perampok di ujung hutan.”

“Ki Demang,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kami datang dengan mengemban tugas untuk mengambil langkah-langkah yang perlu, menghadapi gerombolan penjahat yang bersarang di ujung hutan itu.”

“Tetapi tentu dalam kaitannya dengan dukungannya terhadap padukuhan Babadan.”

“Memang ada kaitannya, Ki Demang. Tetapi yang akan kami tangani adalah para perampok di ujung hutan itu lebih dahulu.”

Ki Demang dan para bebahu itu nampak termangu-mangu. Hampir di luar sadarnya Ki Demang pun bertanya, “Maksud Ki Lurah?”

“Aku sudah mendapat laporan bahwa para perampok telah bekerjasama dengan orang-orang padukuhan Babadan untuk mengambil alih kekuasaan di Kademangan Prancak. Ternyata dukungan para penjahat itu telah menggetarkan hati orang-orang Prancak, sehingga mereka menjadi ragu-ragu untuk menegakkan tatanan dan paugeran.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Karena itu, maka kami datang mengatasi tingkah laku para perampok itu. Jika kami berhasil menguasai para perampok, maka rakyat Kademangan Prancak akan dapat menyelesaikan persoalannya tanpa melibatkan pihak lain, dalam hal ini para perampok di ujung hutan.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Aku mengerti, Ki Lurah. Mungkin pengertian kasarnya, Ki Lurah akan menyerang dan menghancurkan sarang perampok itu. Dengan demikian para perampok yang berada di Babadan akan ditarik untuk mempertahankan sarang mereka. Dengan demikian maka Babadan harus bekerja sendiri tanpa bantuan para perampok itu. Dengan kata lain, Kademangan Prancak akan menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa campur tangan orang lain.”

“Kira-kira begitu, Ki Demang. Namun bukan berarti bahwa kami tidak akan membantu rakyat Prancak menyelesaikan masalahnya. Jika perlu, kami akan menengahinya dan ikut bersaksi atas keinginan rakyat Prancak itu sendiri.”

“Terima kasih, Ki Lurah, terima kasih. Satu penyelesaian yang baik sekali. Agaknya nama Ki Lurah yang besar itu bukan hanya sekedar nama. Ternyata Ki Lurah benar-benar telah mengambil jalan yang sangat bijaksana. Ki Lurah tidak secara langsung mencampuri persoalan yang bergejolak di Kademangan Prancak. Tetapi Ki Lurah telah menghisap kekuatan dari ujung hutan itu, agar tidak mencampuri persoalan yang sedang terjadi di kademangan ini. Mungkin Ki Sanak Glagah Putih telah memberikan laporan tentang perselisihan yang terjadi antara aku dan adikku se-ayah, tetapi tidak se-ibu.”

“Ya. Aku sudah mendengarnya. Karena itu, aku datang untuk menghentikan kegiatan para perampok itu. Dengan demikian mereka pun tidak akan mengganggu lagi usaha untuk mencari penyelesaian terbaik bagi rakyat Prancak.”

Ki Demang itu pun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Ki Bekel Wijil itu pun bertanya, “Siapakah sebenarnya Angger Glagah Putih itu? Apakah ada hubungannya dengan Ki Lurah Agung Sedayu? Atau Angger Glagah Putih juga seorang prajurit?”

“Ia bukan prajurit, Ki Bekel,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Glagah Putih adalah adik sepupuku.”

“O,” Ki Bekel itu pun mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Nah, Ki Demang. Besok menjelang fajar kami akan mendatangi sarang para perampok di ujung hutan. Kami belum berniat menyerang besok. Tetapi keberadaan kami di sekitar sarang para perampok itu akan dapat menghisap para perampok yang sedang berada di Babadan. Kami berharap bahwa para perampok itu akan memusatkan segenap kekuatannya di sarangnya. Nah, jika kami berhasil menghancurkan mereka, maka mereka untuk selanjurnya tidak akan lagi mempengaruhi rakyat Babadan. Pada saat yang demikian, maka Ki Demang dapat memanggil Ki Bekel di Babadan itu untuk mencari jalan terbaik, agar persoalan yang tumbuh di Kademangan Prancak ini dapat segera diselesaikan dengan tuntas.”

Ki Demang di Prancak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku mengerti.”

Demikianlah, maka malam itu para prajurit itu pun beristirahat di banjar Kademangan Prancak. Menjelang fajar maka para prajurit itu pun telah bersiap dan menuju ke ujung hutan. Sementara itu, Ki Demang pun telah memerintahkan setiap padukuhan untuk semakin waspada menghadapi perkembangan keadaan.

Bersama para prajurit Mataram itu, ikut pula beberapa orang yang bukan prajurit. Ki Jayaraga ada pula di antara mereka. Ia berniat untuk menemui orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara. Selain Ki Jayaraga adalah Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ketika matahari naik, maka pasukan Mataram itu sudah mendekati sarang para perampok di ujung hutan. Pasukan Mataram itu sengaja menghindari jalan lewat padukuhan Babadan.

Sebelum mereka memasuki padang perdu yang ditandai oleh gerombolan di ujung hutan sebagai daerah kuasanya, Glagah Putih sudah memberi peringatan agar Ki Lurah Agung Sedayu menjadi sangat berhati-hati. Serangan dapat saja datang dengan tiba-tiba dari balik gerumbul-gerumbul liar, dari balik pepohonan dan gumuk-gumuk kecil berbatu padas.

Namun pasukan Mataram itu sendiri tidak berniat datang dengan diam-diam. Tetapi pasukan itu datang dengan segala pertanda kebesaran sebuah pasukan khusus.

Demikian mereka sampai ke ujung hutan, maka Agung Sedayu pun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk meneliti lingkungan yang mereka hadapi. Prajurit Mataram dalam kelompok-kelompok kecil telah menyusup ke dalam hutan, untuk menemukan lingkungan sarang perampok yang dipimpin oleh Raden Panengah, atas nama ayahnya yang menyebut dirinya Raden Mahambara.

Para perampok itu pun terkejut melihat keberadaan pasukan yang kuat di sekitar sarang mereka. Bahkan pasukan itu telah menempatkan kelompok-kelompok kecil, seakan-akan mengepung sarang mereka.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya seorang di antara para pengikut Raden Panengah itu kepada kawannya.

Sebelum kawannya menjawab, seorang di antara mereka yang bertugas mengawasi lingkungan kekuasaan mereka telah datang dengan tergesa-gesa, “Sarang kita telah terkepung.”

“Terkepung?” bertanya kawannya.

“Ya. Aku harus melaporkannya kepada Raden Panengah.”

“Raden Panengah berada di Babadan sekarang.”

“Hubungi Raden Panengah.”

“Laporkan saja lebih dahulu kepada Raden Mahambara, yang saat ini sedang berada di bangunan induk tempat tinggal kita.”

“Hubungi kedua-duanya.”

Sebenarnyalah, sejenak kemudian dua ekor kuda telah meluncur seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Pasukan Mataram yang mengepung sarang perampok di ujung hutan itu sengaja membiarkan kedua orang berkuda itu meninggalkan sarang mereka. Keduanya tentu akan pergi ke padukuhan Babadan, untuk melaporkan keberadaan para prajurit Mataram dari pasukan khusus di sekitar sarang mereka.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit telah menemukan pertanda-pertanda kekuasaan para perampok itu. Mereka menemukan beberapa batang tombak yang tertancap di tanah, dengan digantungi oleh berbagai macam benda-benda yang dapat membuai jantung berdetak lebih cepat.

Namun para prajurit telah diberi peringatan sebelumnya agar mereka tidak menyentuh berbagai macam benda yang mereka ketemukan di sekitar tempat itu. Mungkin saja benda-benda itu telah dengan sengaja diberi racun atau bisa.

Bagi Agung Sedayu sendiri, racun dan bisa tidak menjadi masalah. Meskipun demikian Agung Sedayu itu tetap saja berhati-hati.

Dalam pada itu Agung Sedayu pun telah menebarkan pasukannya di sekitar sarang yang terdapat di ujung hutan itu. Kelompok-kelompok kecil prajuritnya sebagian berada di padang perdu, namun sebagian yang lain berada di dalam hutan, di belakang sarang para perampok itu.

Kehadiran prajurit Mataram itu telah menimbulkan kegelisahan di lingkungan para perampok itu. Mereka tidak menduga bahwa tiba-tiba saja sepasukan prajurit Mataram mendatangi sarang mereka.

Ketika pemimpin gerombolan perampok yang terhitung mempunyai kekuatan yang besar itu mendengar laporan tentang keberadaan prajurit Mataram, ia pun terkejut pula.

“Apakah kau tidak salah lihat, bahwa orang-orang itu prajurit Mataram?”

“Mereka memang prajurit-prajurit Mataram, Ki Lurah. Ada beberapa di antara kami yang mengenal seragam prajurit-prajurit Mataram. Bahkan mereka telah membawa pula umbul-umbul dan kelebet yang mereka pasang disetiap kelompok pasukan mereka.”

“Edan orang-orang Mataram. Mereka telah menempuh perjalanan jauh sampai ke tempat ini.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Panengah ada di mana?”

“Raden Panengah berada di Babadan.”

“Panengah pun sudah menjadi gila pula. Ditungguinya janda Demang itu siang dan malam.”

“Dua orang kawan kami sudah pergi ke Babadan.”

“Apakah mereka dapat menembus kepungan?”

“Kami mengenali lingkungan ini jauh lebih baik dari para prajurit itu, Ki Lurah.”

“Bagus. Siapkan semua kekuatan yang ada pada kita. Panggil orang-orang kita yang berada di Babadan. Kita menghadapi ancaman yang jauh lebih berbahaya dari sekedar kekuatan orang-orang Prancak.”

“Tentu orang Prancak pula yang memberikan laporan ke Mataram, Ki Lurah.”

“Prajurit-prajurit Mataram itu juga dungu. Kenapa mereka bersedia menempuh perjalanan demikian jauhnya?”

Dalam pada itu, Agung Sedayu telah memberikan perintah agar para prajurit tidak mengganggu lalu lintas keluar masuk sarang para perampok itu. Ia berharap bahwa para perampok yang berada di Babadan pun dapat terhisap masuk ke dalam sarang mereka.

Dalam pada itu, dua orang pengikut Raden Panengah telah memasuki padukuhan Babadan. Mereka pun segera mencari Raden Panengah, untuk memberikan laporan tentang kedatangan sepasukan prajurit Mataram yang telah mengepung sarang mereka di ujung hutan.

“Apakah kau sedang berceloteh?”

“Tidak, Raden. Pengawas kami benar-benar telah melihat pasukan Mataram itu. Mereka tidak bermimpi.”

“Gila orang-orang Mataram,” geram Raden Panengah, “mereka tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan. Agaknya mereka telah memasuki sarang serigala yang sedang lapar.”

Raden Panengah pun segera memerintahkan orang-orangnya yang berada di Babadan untuk berkumpul. Sebenarnya mereka sudah mempersiapkan diri malam nanti untuk menyeberangi susukan lagi. Mereka berniat menakut-nakuti orang-orang Prancak di seberang susukan, sehingga mereka akan tunduk dengan sendirinya terhadap keinginan Ki Bekel di Babadan, yang telah dikendalikan oleh Raden Panengah.

Tetapi kedatangan prajurit Mataram itu telah mengganggu rencananya.

“Prajurit Mataram itu tidak tahu siapakah yang mereka hadapi. Mereka mengira bahwa kita adalah kumpulan pencuri jemuran, atau sekelompok pencuri ayam di pinggir padukuhan.”

“Kita akan menghancurkan mereka, Raden.”

“Ajak Ki Rimuk dan Nyi Rimuk ke sarang. Untuk sementara Babadan dapat kita tinggalkan. Persoalan Babadan tidak harus diselesaikan segera. Tetapi orang-orang Mataram ini perlu dihadapi.”

“Ya, Raden.”

“Mereka tidak tahu bahwa Ayah hari ini juga berada di sarang kita. Sepuluh orang Senapati Mataram akan ditelan oleh Ayah. Sedangkan jika ada sepuluh yang lain, akan aku remukkan tulang-tulangnya dengan Aji Sapta Gundala.”

“Raden,” berkata seorang pengikutnya, “menurut pendengaranku, prajurit Mataram memiliki banyak senapati yang berilmu tinggi, sehingga sulit untuk dipatahkan.”

“Itu cerita ngayawara. Mungkin ada satu dua orang senapati pinunjul. Tetapi jumlah mereka juga tidak banyak. Tentu bukan mereka pula yang dikirim kemari untuk menghadapi gerombolan yang tentu disebutnya brandal, kecu, begal dan sebangsanya. Tetapi aku tidak berkeberatan disebut gerombolan brandal, jika gerombolan brandal itu dapat menakut-nakuti sepasukan prajurit Mataram.”

Pengikut Raden Panengah itu mengangguk-angguk.

“Nah, cepat kumpulkan orang-orang kita. Kita akan segera pergi ke sarang kita.”

“Mereka sudah siap, Raden.”

Sejenak kemudian, maka sekelompok pengikut Raden Panengah pun telah siap meninggalkan Babadan. Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang digelari sepasang raksesa dan raksesi itu pun telah siap pula. Mereka adalah orang-orang yang sangat ditakuti. Suami istri itu dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah diduga akan dapat terjadi sebelumnya. Selain itu, keduanya memiliki kekuatan yang sangat besar, serta ilmu yang tinggi.

“Jangan cemas, Raden,” berkata Ki Rimuk, “kami berdua akan menghancurkan mereka.”

“Sudah lama aku tidak mendapat lawan yang pantas, Raden,” berkata Nyi Rimuk kemudian, “udah-mudahan ada orang yang mampu diajak bercanda di lingkungan para prajurit itu.”

Dalam pada itu, Ki Bekel Babadan menjadi cemas. Dengan gelisah ia pun berkata, “Lalu, kalian akan meninggalkan kami?”

“Tidak,” sahut Raden Panengah, “besok kami sudah selesai dengan orang-orang Mataram yang sombong itu. Besok pagi sebelum matahari mencapai puncak langit, kami tentu sudah dapat menghancurkan mereka. Asal ibumu tidak pergi meninggalkan Babadan, aku masih akan kembali.”

Ki Bekel tidak menyahut. Namun Raden Panengah-lah yang tertawa sambil menepuk bahu Ki Bekel, “Jangan gelisah.”

Demikianlah, maka sebuah iring-iringan telah meninggalkan padukuhan Babadan. Sekelompok brandal yang ada di padukuhan yang lain yang berpihak kepada Babadan pun telah dipanggil pula.

Pengawas pasukan Mataram yang mengepung sarang gerombolan perampok itu pun telah melihat iring-iringan yang menuju ke ujung hutan. Ketika pengawas itu melaporkannya kepada Ki Lurah, maka Ki Lurah pun berkata, “Biarlah mereka lewat. Biarlah mereka berkumpul di sarangnya. Dengan demikian kita akan menjadi lebih mudah menyelesaikannya.”

“Jumlah mereka cukup banyak, Ki Lurah.”

“Bukankah jumlah kita juga cukup banyak?”

Pengawas itu mengangguk-angguk.

“Awasi terus mereka,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “jika ada yang menarik perhatian, laporkan kepadaku.”

“Ya, Ki Lurah.”

Sementara itu, iring-iringan para pengikut Raden Panengah telah memasuki lingkungan sarang mereka. Sementara itu pasukan Mataram mengamatinya dari kejauhan. Tetapi mereka tidak bersembunyi. Mereka justru memperlihatkan keberadaan mereka di sekitar sarang gerombolan perampok itu.

Ketika Raden Panengah mendekati sarangnya di ujung hutan, dilihatnya berbagai macam pertanda prajurit Mataram. Bahkan prajurit Mataram itu sengaja menancapkan tunggul mereka di dekat lembing yang ditancapkan oleh gerombolan itu.

Tunggul yang ditancapkan di dekat lembing-lembing yang digantungi oleh berbagai macam benda yang khusus itu telah menyinggung perasaan Raden Panengah. Apalagi pada tunggul-tunggul itu telah dikibarkan kelebet-kelebet kecil pertanda kelompok-kelompok prajurit dalam pasukan khusus itu.

Sikap prajurit Mataram itu dinilai sangat sombong oleh para pemimpin perampok yang tinggal di ujung hutan. Tunggul, kelebet dan pertanda-pertanda lain itu tidak hanya terdapat di padang perdu, tetapi juga di dalam hutan, di sekitar sarang gerombolan perampok yang sedang merintis hubungan dengan padukuhan Babadan. Mereka berharap bahwa pada suatu saat sarang mereka akan melebar sampai Kademangan Prancak di sebelah-menyebelah susukan.

Dalam pada itu, orang-orang dari kademangan-kademangan di sekitar Kademangan Prancak yang mendengar kedatangan prajurit Mataram itu pun ikut berpengharapan. Sebenarnyalah mereka ingin sarang gerombolan di ujung hutan itu disingkirkan. Keberadaan para perampok di padukuhan Babadan itu pun sebenarnya telah menggelisahkan beberapa kademangan di sekitarnya. Mereka memperhitungkan bahwa pengaruh mereka tidak akan hanya terbatas di padukuhan Babadan saja. Tetapi akan dapat sampai kemana-mana.

Hari itu prajurit Mataram masih belum mulai mengganggu para perampok yang tinggal di sarang mereka. Para prajurit Mataram itu dari kejauhan mengikuti kegelisahan para perampok itu. Mereka memperhatikan saja bagaimana para perampok itu mempersiapkan diri untuk melawan para prajurit Mataram dari Pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika matahari turun, maka agaknya seluruh kekuatan para perampok itu telah berada di sarang mereka. Raden Mahambara sendiri saat itu sedang berada di sarang itu pula. Karena itu maka Raden Mahambara itu telah memanggil beberapa orang yang berilmu tinggi di lingkungannya, untuk membicarakan keberadaan prajurit Mataram di sekitar sarang mereka.

“Kita akan hancurkan mereka, Ayah,” berkata Raden Panengah. “Mungkin mereka mengira bahwa Ayah tidak berada di sini. Bahkan mungkin mereka juga mengira bahwa aku juga tidak berada di sini. Mereka tidak tahu, bahwa sebagian dari kita berada di Babadan.”

“Mereka tentu sudah tahu,” sahut ayahnya, “kau sendiri berada di Babadan siang dan malam. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa jumlah kita cukup banyak untuk membantai mereka. Mereka pun tidak tahu, bahwa orang-orang kita adalah orang-orang yang sangat berpengalaman. Sementara itu ada beberapa orang berilmu tinggi di antara kita. Sedangkan di antara prajurit Mataram itu tentu hanya ada seorang yang berilmu tinggi. Senapatinya saja.”

“Mungkin mereka sudah tahu, Ayah. Tetapi mereka tidak tahu seluruhnya. Sebenarnya yang aku maksudkan juga yang seperti Ayah katakan. Agaknya orang-orang Prancak yang telah pergi melaporkan ke Mataram. Bodohnya para senapati di Mataram, bahwa mereka mengirimkan pasukannya untuk satu kerja yang sia-sia. Bahkan hanya akan menyurukkan prajurit-prajurit ke dalam maut.”

“Baiklah. Untuk menghadapi mereka, kita tidak akan bergerak lebih dahulu. Biarlah mereka datang memasuki sarang kita. Semakin basah tanah ini oleh darah prajurit Mataram, maka kedudukan kita di sini akan menjadi semakin kokoh.”

“Segala sesuatunya sudah siap, Ayah. Seperti perintah Ayah, kita akan menunggu. Tetapi jika mereka tidak segera bergerak, apakah kita dapat menahan diri untuk tetap diam di sarang ini?”

“Mereka datang dari jauh. Perlengkapan dan bekal mereka tentu tidak terlalu banyak. Mereka tidak akan lama berada di sekitar sarang kita, karena mereka akan kehabisan perbekalan.”

“Bagaimana dengan orang-orang Prancak? Jika benar para prajurit itu datang atas permintaan orang-orang Prancak, maka orang-orang Prancak-lah yang harus menanggung perbekalan mereka selama mereka berada di sini.”

“Mungkin. Tetapi kita akan melihat, apakah mereka akan menunggu sampai mereka kekurangan perbekalan dan memeras orang-orang Prancak, atau mereka akan segera bergerak.”

“Baik, Ayah.”

“Aku minta Ki Rimuk dan Nyi Rimuk selalu berada di antara kita. Sedangkan Kebo Angkat akan berada di antara sekelompok orang yang akan bergerak setiap saat mengamati keadaan di sekeliling sarang kita, di samping para pengawas yang menetap di tempat yang paling mapan.”

“Raden Mahambara,” berkata Ki Rimuk, “kenapa kita harus menunggu? Aku menjadi kurang sabar. Mereka telah berani menancapkan tunggul di sekitar tempat yang sudah kita kuasai ini. Kenapa kita tidak segera berbuat sesuatu? Kenapa kita harus menunggu? Kita mempunyai banyak kelebihan dari para prajurit itu. Jika Raden Mahambara memerintahkan, maka dalam sekejap aku akan membunuh Senapatinya. Kemudian yang lain, biarlah menjadi santapan anak-anak yang sudah lama tidak membasahi senjatanya dengan darah.”

“Kenapa kita harus tergesa-gesa? Biarlah mereka melihat lebih dahulu, isi dari sarang kita. Jika mereka menyadari keringkihan mereka, maka besok mereka akan pergi dengan sendirinya meninggalkan hutan ini.”

“Aku tidak ingin melepaskan mereka pergi begitu saja,” sahut Nyi Rimuk. “Kita harus menghancurkan mereka. Mereka telah berani menjamah tanah yang kita huni ini.”

Raden Mahambara tertawa. Katanya, “Kau memang suka mencari perkara, Nyi.”

“Bukan aku. Tetapi para prajurit itu.”

“Tetapi kali ini kita harus mempergunakan nalar. Mereka adalah prajurit. Jika mereka berniat pergi, biarlah mereka pergi. Kalau kita memaksakan pertempuran, maka kita akan banyak kehilangan. Gerombolan kita akan menjadi lemah. Kalau hal ini terdengar oleh gerombolan lain yang selama ini bersaing dengan gerombolan kita, maka mereka akan datang, dan selesailah riwayat gerombolan kita. Selama ini kita dapat mempertahankan keberadaan kita. Kita luput dari jaring kekuasaan Demak, Pajang dan kekuasaan Perguruan Kedung Jati yang telah berkembang lagi. Jika sekarang kita berhadapan dengan Mataram, kita harus mempergunakan nalar kita sebaik-baiknya.”

“Tetapi yang datang itu bukan pasukan yang kuat. Justru karena mereka merasa lemah itulah, maka mereka merasa perlu untuk melakukan gertakan dengan tunggul-tunggul beserta kelebetnya, pertanda kelompok-kelompok mereka masing-masing. Tetapi bagiku, pertanda kebesaran pasukan itu tidak berarti apa-apa. Mereka tidak dapat mengelabui aku.”

“Baiklah, Nyi. Kita akan melihat perkembangan keadaan.”

“Raden Mahambara,” berkata Kebo Angkat, “aku bukan perempuan. Kata orang, perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh perasaannya daripada nalarnya. Namun kali ini ternyata aku sependapat dengan Nyi Rimuk. Jangan lepaskan mereka pergi atau bergabung dengan orang-orang Prancak di seberang susukan. Jika mereka bergabung dengan orang-orang Prancak di seberang susukan, maka akibatnya akan menjadi terlalu rumit. Meskipun orang-orang Prancak itu bukan orang-orang yang berpengalaman bertempur dalam pertempuran yang sebenarnya, namun jumlah mereka cukup banyak. Bersama-sama dengan prajurit Mataram, maka mereka akan menjadi lawan yang berat. Prajurit-prajurit Mataram itu akan dapat memberikan arah bagi orang-orang Prancak yang jumlahnya cukup banyak itu.”

Nyi Rimuk tertawa. Katanya, “Sempat juga kau memperolok-olokkan aku, Kebo Angkat. Perasaan seorang perempuan adalah bagian dari penglihatan batinnya. Perasaan perempuan dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh laki-laki. Meskipun nalarnya akan mungkin menjangkaunya sebagaimana nalarmu itu, sehingga kita mempunyai kesimpulan yang sama.”

Yang mendengarkan pembicaraan itu sempat tertawa pula.

“Baiklah,” berkata Raden Mahambara, “aku dapat mengerti. Meskipun demikian, kita akan melihat perkembangan keadaan nanti. Tetapi menurut dugaanku, mereka tidak akan meninggalkan kita karena mereka silau melihat kekuatan kita. Agaknya kita memang harus mempertahankan sarang kita dari serbuan para prajurit yang tidak mengetahui kekuatan kita yang sebenarnya.”

“Raden Mahambara,” berkata Ki Rimuk, “jika kita dengan sengaja memperlihatkan kekuatan kita, kita tidak berharap bahwa mereka akan pergi begitu saja atau minta bantuan orang-orang Prancak. Tetapi kita ingin menekan agar hati mereka menjadi kuncup, sehingga mereka sudah merasa kalah sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi. Jika demikian, maka mereka tidak akan mampu mengerahkan kekuatan mereka sampai ke puncak. Mereka menjadi ragu-ragu dan tidak berpengharapan.”

“Aku setuju pendapat Ki Rimuk,” berkata Raden Panengah, “tetapi bagaimanapun juga kita harus mempersiapkan diri untuk bertempur antara hidup dan mati.”

Raden Mahambara mengangguk. Katanya, “Hampir sepanjang umurku, aku hidup dalam nyala peperangan antara hidup dan mati. Sampai di hari tuaku aku tidak pernah lari dari suasana yang demikian. Sekarang, akan menyenangkan sekali jika kita dapat berhadapan dengan orang-orang Mataram.”

“Ya, Ayah. Jika kemudian terbukti bahwa orang-orang Prancak-lah yang telah memanggil prajurit-prajurit Mataram itu, maka kita tidak akan mengampuninya. Setelah kita selesaikan para prajurit Mataram itu, maka kita akan mengarahkan perhatian kita sepenuhnya kepada orang-orang Prancak. Ki Bekel Babadan tidak perlu lagi menghiraukan pendapat rakyat Prancak. Tidak perlu membujuk atau menakut-nakuti mereka lagi. Tetapi Ki Bekel Babadan harus berbuat lebih tegas lagi. Ki Demang Prancak itu harus disingkirkan tanpa kasihan lagi. Selama ini Ki Bekel Babadan masih belum bertindak dengan tegas.”

“Baiklah. Sekarang lakukan apa yang terbaik menurut kalian, menghadapi orang-orang Mataram itu.”

“Aku akan memamerkan kekuatan kita, Raden,” sahut Kebo Angkat.

“Pergilah.”

Kebo Angkat pun kemudian telah mengumpulkan orang-orang terbaik dari gerombolan yang bersarang di ujung hutan itu. Dibawanya sekelompok orang yang rata-rata bertubuh raksasa itu ke bibir hutan. Sementara itu ia telah memerintahkan orang yang lain menyalakan api di dapur, sehingga asapnya membumbung tinggi.

“Untuk apa?” bertanya orang yang bertugas di dapur.

“Apakah kau tidak akan menyediakan makan kita hari ini? Jumlah kita hari ini berlipat, karena orang-orang kita yang berada di Babadan telah kita panggil kemari.”

“Tetapi masih belum waktunya.”

“Biarlah para prajurit Mataram membayangkan, bahwa jumlah kita memang terlalu banyak bagi mereka.”

Petugas di dapur itu masih juga belum tanggap. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apa hubungannya antara asap dan jumlah orang yang ada di sini?”

“Kau memang dungu. Yang kau ketahui hanyalah sambal terasi dan urap pedas.”

Orang itu masih saja nampak bingung.

“Aku akan menampakkan diri di hadapan orang-orang Mataram bersama sekelompok orang. Biarlah orang Mataram tahu, bahwa orang-orang yang ada di tempat ini tidak hanya orang-orang yang menampakkan diri bersamaku. Selain kau yang menyalakan api di dapur, biarlah ada kegiatan lain yang memancing perhatian orang-orang Mataram, sehingga orang-orang Mataram itu meyakini bahwa jumlah kita terlalu banyak bagi mereka.”

“Apakah dengan demikian mereka akan pergi?”

“Seandainya tidak, tetapi mereka sudah merasa dirinya kecil. Sehingga pada saat mereka turun di medan pertempuran, hati mereka sudah kucup menjadi sebesar biji kemangi. Dengan demikian, maka mereka tidak lagi turun ke medan dengan garang.”

“Tetapi bukankah mereka akan bertempur juga?”

“Ternyata kau lebih bodoh dari seekor kerbau. Seorang yang turun ke medan perang, sangat terpengaruh oleh nyala tekad di dalam dadanya. Jika ia turun dengan tekad yang bulat, maka akan sangat jauh berbeda dengan jika orang itu juga dengan segala kemampuannya, tetapi pada saat ia turun ke medan hatinya sudah dibayangi oleh kecemasan, dan apalagi ketakutan.”

Orang yang bertugas di dapur itu mengangguk-angguk.

“Nah, kau dengar?” bertanya Kebo Angkat.

“Mendengar apa?” bertanya orang yang bertugas di dapur itu.

“Ada di antara kita yang meskipun tidak memerlukannya, menebang sebatang pohon yang besar. Kau tahu maksudnya?”

“Ya. Supaya orang-orang Mataram itu tahu bahwa kita adalah gerombolan yang besar.” Orang yang bertugas di dapur itu mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka orang-orang di sarang gerombolan itu seakan-akan tidak menghiraukan keberadaan prajurit Mataram di sekitar mereka. Tetapi mereka justru nampak sibuk dengan kerja mereka sehari-hari, selain sekelompok orang yang dipimpin oleh Kebo Angkat itu nampak berjaga-jaga di sekitar sarang mereka.

Agung Sedayu yang langsung mengamati kegiatan di sarang para perampok itu memang melihat bahwa kekuatan gerombolan perampok itu cukup besar. Mereka nampak dalam berbagai macam kegiatan. Asap pun mengepul dari sela-sela pohon-pohon yang besar di ujung hutan.

“Api itu sangat membahayakan,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi bukankah mereka telah terbiasa melakukannya?” sahut Glagah Putih.

“Ya. Tetapi jika kita menyerang mereka pada saat api menyala di perapian, akan dapat berakibat buruk. Jika mereka dengan sengaja melemparkan api ke dedaunan kering di sekitar sarang mereka, maka hutan itu akan dapat terbakar. Sulit sekali memadamkan api dalam kebakaran hutan, sehingga mungkin sekali api itu akan makan pepohonan di satu lingkungan yang sangat luas.”

“Api itu harus mendapat perhatian yang khusus.”

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Ternyata jumlah mereka cukup banyak, Kakang,” desis Glagah Putih kemudian.

“Mereka sengaja memberikan kesan bahwa jumlah mereka terlalu banyak. Kita justru berbuat sebaliknya. Kita harus memberikan kesan bahwa jumlah kita hanya sedikit, meskipun kita telah memasang pertanda dari kelompok-kelompok di pasukan kita.”

“Kenapa?”

“Mereka akan menjadi lengah. Mereka akan meremehkan kita.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, para prajurit yang berada di sekitar sarang gerombolan perampok yang terhitung besar itu tetap saja mengamati setiap gerak di antara mereka. Kelompok-kelompok prajurit yang berada di hutan, di belakang sarang gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara itu, telah menempatkan orang-orangnya secara khusus untuk mengamati perkembangan yang terjadi di sarang gerombolan itu.

Namun seperti Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka para pemimpin kelompok prajurit itu pun menduga bahwa kegiatan yang berlebihan di sarang gerombolan perampok itu sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa jumlah mereka terlalu banyak, serta mereka tidak peduli dengan keberadaan para prajurit Mataram. Mereka dengan sengaja memberikan kesan, bahwa keberadaan prajurit Mataram di sekitar sarang mereka sama sekali tidak menggetarkan jantung mereka.

Justru karena itu, maka para prajurit Mataram itu pun sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap para pengikut Raden Mahambara itu. Para prajurit mendapat giliran beristirahat, sehingga jika pada saatnya mereka harus mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, maka tenaga dan kemampuan mereka itu sudah terhimpun.

Beberapa saat kemudian, matahari pun menjadi sangat rendah. Langit pun menjadi buram. Sementara itu, di gubug-gubug yang berada di ujung hutan itu, lampu-lampu minyak justru mulai dinyalakan.

Raden Panengah telah memberikan perintah-perintah kepada para pengikutnya untuk tetap waspada. Setiap saat para prajurit Mataram itu dapat saja bergerak, meskipun di malam hari. Bergantian para pengikut Raden Panengah itu mengawasi setiap arah, sehingga mereka dapat mengetahui setiap gerakan dari pasukan Mataram.

Tetapi malam itu Agung Sedayu masih belum bergerak sama sekali. Pasukannya masih tetap berada di tempatnya masing-masing. Namun beberapa orang petugas sandinya saja yang mengamati keadaan dari jarak yang lebih dekat.

Malam itu, para prajurit Mataram masih sempat bergantian beristirahat. Yang sedang tidak bertugas, tidur berserakan, namun dalam batas yang sudah ditentukan.

Namun sedikit lewat tengah malam, para pengikut Raden Panengah di sarangnya terkejut. Mereka mendengar panah sendaren yang meluncur di udara sampai tiga kali.

Dengan sigapnya para pengikut Raden Panengah itu berlari-lari kecil menempatkan diri di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Yang sedang tidur segera dibangunkan. Sambil mengusap matanya yang merah, seorang di antara mereka menyambar goloknya. Terdengar orang itu berkata lantang, “Edan orang-orang Mataram. Mereka tidak membiarkan aku bermimpi indah.”

“Kau bermimpi apa?” bertanya seorang kawannya.

“Aku bermimpi menjadi seorang yang kaya raya. Aku mempunyai istana yang besar, sawah yang sangat luas. Sebulak amba menjadi milikku semua. Aku juga mempunyai lembu dan kerbau, kambing dan ayam yang tidak terhitung jumlahnya. Istri dan anakku yang perempuan itu menjadi seperti putri-putri istana. Sedang anakku yang laki-laki itu menjadi seorang pendekar yang tidak terkalahkan.”

“Pendekar?”

“Ya. Ia telah bertempur dengan Senapati Mataram yang membawa pasukannya kemari. Tetapi anakku itu berhasil membantainya.”

Kawannya tertawa. Namun keduanya pun harus segera pergi ke tempat yang sudah ditentukan bagi mereka.

Di dinginnya malam, dalam hembusan angin yang terasa agak basah, mereka bersiap menunggu pasukan Mataram itu bergerak. Panah sendaren itu tentu merupakan aba-aba bagi para prajurit Mataram itu untuk menyerang sarang Raden Mahambara.

Raden Mahambara sendiri telah bersiap pula. Demikian pula Raden Panengah serta para pemimpin yang lain. Para pengawas pun telah bergerak maju untuk mengamati gerak pasukan Mataram.

Tetapi ternyata pasukan Mataram itu tidak bergerak sama sekali. Para prajuritnya yang tidak bertugas masih saja tidur nyenyak. Ada di antara mereka yang mendengar anak panah sendaren yang bergaung di udara. Tetapi mereka pun sudah tahu, bahwa anak panah sendaren yang akan dilontarkan sedikit lewat tengah malam itu tidak mempunyai arti apa-apa, kecuali sekedar mengganggu ketenangan orang-orang yang tinggal di dalam sarang gerombolan perampok itu.

Sementara itu, Raden Panengah dan orang-orangnya telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Masih banyak di antara mereka yang merunduk di belakang sebatang pohon sambil menguap. Bahkan ada yang kemudian duduk bersandar sebatang pohon yang besar dan kembali tertidur. Ketika ia mendengkur, maka kawan yang ada di sebelahnya telah memukul perutnya sambil berkata perlahan, “Jika Raden Panengah tahu kau tertidur, maka mulutmu tentu akan disumbat dengan tumitnya.”

“He? Apakah aku tertidur lagi?”

“Kau bukan saja tertidur, tetapi kau mendengkur. Jika tidak ada yang membangunkanmu, sementara prajurit Mataram itu sampai di sini, maka kau akan dibantai seperti seekor kerbau di tempat pemotongan.”

Orang itu bangkit berdiri sambil menggeliat. Namun tiba-tiba saja tombak pendeknya terjatuh menimpa kawannya yang sedang duduk di sebelahnya.

“Aku bunuh kau!” bentak kawannya. “Untung bukan tajamnya yang mengenai kepalaku.”

“Maaf. Aku masih bingung.”

“Lihat, pasukan Mataram sudah bergerak.”

“Mana?”

“Diamlah. Duduklah. Kita sedang menunggu.”

Orang yang matanya masih merah itu pun duduk di sebelahnya. Tetapi ia tidak mau bersandar pepohonan lagi, agar ia tidak kembali tertidur.

Namun dalam pada itu, setelah beberapa lama mereka menunggu, para prajurit Mataram itu tidak bergerak sama sekali. Para pengawas yang maju beberapa puluh langkah ke depan, tidak melihat gerakan apa-apa. Suasana masih saja tetap sepi. Namun sepi itu terasa menjadi sangat tegang bagi orang-orang yang berada di sarang perampok itu.

“Gila orang-orang Mataram,” geram Raden Panengah, “mereka mempermainkan kita.”

“Sebaiknya kita-lah yang bergerak menyerang mereka malam ini,” geram Ki Rimuk.

Tetapi Raden Panengah pun menjawab, “Kita tidak mempersiapkan diri kita untuk menyerang. Kita sudah bersiap untuk bertahan. Kalau kita memaksa diri untuk menyerang, mungkin kita akan menjadi sangat terkejut menghadapi pertahanan orang-orang Mataram itu.”

Namun Ki Rimuk itu pun justru bertanya, “Apakah ada yang dapat mengejutkan kita? Bahkan para murid dari perguruan Kedung Jati pun tidak.”

“Orang-orang Mataram itu tentu lebih berbahaya dari orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

“Tidak. Para murid dari Perguruan Kedung Jati tentu lebih mengerikan tandangnya. Mereka terikat pada berbagai paugeran bagi tingkah laku seorang prajurit. Tetapi tidak bagi para murid di Perguruan Kedung Jati. Bahkan sebagian dari mereka bukan murid-murid murni dari perguruan itu. Tetapi sebagian dari mereka adalah murid-murid dari perguruan-perguruan lain, yang menyatakan keinginan mereka untuk bergabung Tetapi ada sebagian yang lain terdiri dari gerombolan-gerombolan brandal seperu kita. Meskipun sebenarnya secara pribadi orang-orang kita tidak kalah dari orang-orang Perguruan Kedung Jati, tetapi apa yang disebut Perguruan Kedung Jati adalah sekumpulan orang yang jumlahnya terlalu besar.”

Tetapi Raden Panengah itu pun menyahut, “Kau benar, Ki Rimuk. Tetapi para prajurit itu adalah orang-orang yang terlatih. Baik dalam perang gelar, kerja sama di antara kelompok-kelompok atau bahkan setiap orang di dalamnya, maupun kemampuan mereka secara pribadi.”

“Bukankah kita tidak pernah menjadi gentar menghadapi siapapun? Bukankah kita selalu berhasil memenangkan pertempuran dalam bentuk apapun?”

“Ya. Selama ini memang. Tetapi itu bukan alasan untuk meninggalkan sikap berhati-hati.”

Namun Nyi Rimuk pun menyela, “Raden Panengah. Jika kita bergerak sekarang, orang-orang Mataram itu tentu sedang lengah. Mereka merasa berhasil mempermainkan kita, karena ternyata panah sendaren itu tidak memberikan isyarat apa-apa kecuali sekedar mengganggu ketenangan kita.”

“Nyi. Kau lihat bahwa pasukan Mataram itu ada di sekeliling kita? Jika kita harus menyerang mereka, maka kita harus memberikan beberapa petunjuk lebih dahulu kepada orang-orang kita. Petunjuk-petunjuk itu tentu berbeda dengan petunjuk-petunjuk yang sudah kami berikan kepada mereka, namun dalam kedudukan bertahan.”

“Sejak kapan kita harus melakukan urutan kesiapan menghadapi lawan seperti itu? Bukankah sudah terbiasa bagi kita untuk ditaburkan saja di antara lawan-lawan kita?” sahut Nyi Rimuk.

“Tetapi menghadapi para prajurit kita harus bersikap lebih berhati-hati.”

Sebelum Nyi Rimuk menyahut, terdengar suara Raden Mahambara, “Kita akan bertahan. Kita tidak akan menyerang.”

Ki Rimuk dan Nyi Rimuk tidak menyahut lagi. Apa yang dikatakan oleh Raden Mahambara adalah keputusan yang tidak dapat berubah, kecuali dirubahnya sendiri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar