Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 366

Buku 366

Ki Murdaka pun akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram ia pun bergumam, “Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat.”

Dengan tangkasnya Ki Murdaka pun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak. Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu. Rara Wulan terkejut. Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya.

Karena itu, dengan cepat dikalungkannya selendangnya di lehernya, serta mempersiapkan diri menghadapi ilmu puncak lawannya yang belum diketahuinya seberapa tingginya.

Dengan demikian, maka Rara Wulan tidak berani meremehkan lawannya, la tidak ingin hancur dalam benturan ilmu yang tidak akan dapat dielakkannya lagi.

Sebenarnyalah Ki Murdaka telah memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh daya kemampuan ilmunya, Ki Murdaka itu telah melontarkan serangannya ke arah Rara Wulan. Seleret sinar kemerah-merahan telah meluncur dari telapak tangannya, mengarah ke dada Rara Wulan.

Namun pada saat yang hampir bersamaan, Rara Wulan pun telah meluncurkan ilmu puncaknya pula. Ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara.

Kedua kekuatan ilmu yang nggegirisi itu pun akhirnya saling berbenturan. Udara di halaman banjar itu pun telah terguncang. Glagah Putih dan Ki Saba Lintang yang sedang bertempur pun sempat berloncatan surut untuk mengambil jarak.

Akibat dari benturan itu pun ternyata sangat mendebarkan jantung. Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Sejenak ia terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Rara Wulan itu pun jatuh pada lututnya.

Untuk beberapa saat Rara Wulan berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun masih agak goyah, namun akhirnya Rara Wulan pun berhasil berdiri tegak.

Sementara itu, ternyata Aji Namaskara benar-benar memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Kekuatan ilmu Ki Murdaka tidak mampu menembus kekuatan Aji Namaskara. Ki Murdaka tidak saja tergetar surut, tetapi Ki Murdaka telah terlempar beberapa langkah dan kemudian terbanting jatuh.

Agaknya kekuatan serta daya tahannya benar-benar tidak mampu mengatasi getar kekuatan ilmu lawannya, yang meskipun telah tertahan dalam benturan dengan ilmunya sendiri, namun Aji Namaskara itu masih mampu menusuk sampai ke jantung.

Tubuh Ki Murdaka memang tidak hancur lumat menjadi debu. Tubuhnya masih tampak utuh tergolek di halaman banjar. Namun nafas Ki Murdaka itu pun telah putus.

Ki Sela Aji berlari ke arahnya. Ia pun segera berjongkok dan mencoba untuk mengangkat kepala Ki Murdaka. Namun Ki Murdaka itu telah tidak bernafas lagi.

Ki Sela Aji menggeram. Tetapi ia pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Setinggi-tinggi ilmu Ki Sela Aji, masih belum setataran dengan ilmu Ki Murdaka.

Ketika ia berpaling, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak memandanginya dengan tajamnya. Wajahnya yang tegang nampak menantangnya. Perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan akibat dari benturan yang baru saja terjadi.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Demung Pugut pun mendekatinya.

“Kau tidak akan dapat melawannya,” desis Ki Demung Pugut.

“Bagaimana dengan Paman?”

“Aku sudah menyelesaikan lawanku.”

“Kita lawan perempuan itu berdua.”

“Lihat keadaan Ki Saba Lintang. Nampaknya keadaan kita akan menjadi sulit.”

“Aku telah membunuh banyak orang.”

“Tetapi lawan Ki Saba Lintang itu adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Sementara perempuan itu telah menghentikan perlawanan Ki Murdaka.”

“Jadi?”

Sejenak keduanya termangu-mangu. Sementara Rara Wulan yang masih berdiri tegak itu pun sedang mengatur pernafasannya. Jika kedua orang itu siap melawannya, maka Rara Wulan harus mempergunakan sisa-sisa tenaganya. Benturan yang telah terjadi itu sangat mempengaruhinya.

Tetapi Rara Wulan berhasil menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya setelah benturan itu terjadi. Meskipun demikian, jika terpaksa, ia masih akan sanggup bertempur melawan kedua orang itu.

Sejenak suasana menjadi sangat tegang sepeninggal Ki Murdaka. Beberapa orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati yang masih bertahan, menjadi berdebar-debar pula.

Dalam pada itu, Ki Panji Kukuh yang bertempur melawan Watu Kenari pun menjadi gelisah. Ia melihat Sutasuni tersungkur di tanah. Sementara itu, lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Dengan demikian maka harapan Ki Panji Kukuh tinggal suami istri yang mengaku bernama Nagagundala itu.

Ketika Rara Wulan dapat menghentikan perlawanan Ki Murdaka, Ki Panji Kukuh pun bergumam, “Habislah cerita tentang Ki Saba Lintang.”

“Bodoh kau,” geram Watu Kenari. “Orang itu bukan Ki Saba Lintang.”

“Ia menyebut dirinya Ki Saba Lintang.”

“Kau memang dungu,” geram Watu Kenari. Sementara itu, ia pun meningkatkan serangan-serangannya pula.

Agaknya Watu Kenari pun menjadi tidak sabar lagi. Ia melihat Ki Saba Lintang yang sebenarnya juga mulai mengalami kesulitan. Meskipun tongkat baja putihnya berputaran menyambar-nyambar, namun agaknya senjata lawannya mampu mengimbangi kegarangan tongkat baja putih itu.

Karena itu, maka Watu Kenari pun ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan cepat.

“Jika aku berhasil, biarlah aku segera berhasil. Jika aku harus mati, biarlah aku tidak melihat Ki Saba Lintang mengalami tekanan yang tidak teratasi.”

Dengan demikian, maka Watu Kenari pun segera meningkatkan ilmunya hingga ke puncaknya.

Ki Panji Kukuh adalah seorang pemimpin dari sekelompok orang yang berada pada jalur perdagangan terlarang. Ki Panji Kukuh pun memiliki ilmu yang diandalkan pula. Karena itu, sejenak kemudian, maka keduanya telah siap dengan ilmu pamungkas mereka.

Ketika masing-masing melontarkan serangan yang dilandasi dengan ilmu puncak mereka, maka dua percik sinar meluncur dari arah yang berlawanan.

Benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Kedua ilmu yang tinggi yang berbenturan itu seakan-akan telah meledakkan halaman banjar. Udara pun bergetar. Dedaunan berguncang, sehingga daun-daun yang kuning pun telah runtuh berguguran.

Ternyata ilmu Watu Kenari lebih tinggi selapis tipis dari ilmu Ki Panji Kukuh. Karena itu, maka Ki Panji Kukuh itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terhuyung-huyung sejenak. Kemudian Panji Kukuh itu pun terguling di tanah.

Tiga orang pengikutnya dengan cepat berlarian mendekatinya. Seorang segera berjongkok di sampingnya.

“Gila orang itu,” Ki Panji Kukuh menggeram. Namun dadanya terasa sangat sakit. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka seorang pengikutnya yang berjongkok itu membantunya. Tetapi ia pun berkata, “Jangan bangkit berdiri dahulu, Ki Panji. Duduk sajalah untuk mengatur pernafasan.”

Ki Panji sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia melihat Nyi Nagagundala masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Watu Kenari juga terguncang dan jatuh terlentang. Tetapi dibantu oleh seorang kawannya dari Perguruan Kedung Jari, Watu Kenari pun bangkit berdiri. Keadaannya ternyata masih lebih baik dari Ki Panji Kukuh.

Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang-lah yang benar-benar mengalami kesulitan. Glagah Putih ternyata mampu mendesak Ki Saba Lintang, sehingga Ki Saba Lintang setiap kali harus berloncatan mundur.

Tetapi kesetiaan para pengikutnya benar-benar mengagumkan. Dalam keadaan yang rumit itu, maka perhatian para pengikutnya tertumpah seluruhnya kepadanya. Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut, dan bahkan kemudian Watu Kenari, telah berloncatan mendekati Ki Saba Lintang yang terdesak.

Glagah Putih harus bergeser surut untuk mengambil jarak. Ia mencoba untuk menilai lingkaran pertempuran yang dihadapinya. Beberapa orang telah siap bertempur melawannya. Meskipun Watu Kenari yang baru saja berbenturan ilmu dengan Ki Panji Kukuh itu masih nampak goyah, namun ia telah memaksa diri untuk membantu Ki Saba Lintang.

Beberapa orang pengikut Ki Panji Kukuh masih bertempur dengan garangnya. Namun korban yang jatuh ternyata sudah sangat banyak. Demikian pula orang-orang Perguruan Kedung Jati pun telah kehilangan banyak orang pula.

Ketika Glagah Putih sedang memperhitungkan kemungkinan yang dihadapinya, tiba-tiba saja Rara Wulan berdiri beberapa langkah darinya, “Kita akan menyelesaikannya, Kakang.”

Glagah Putih mengerti bahwa keadaan Rara Wulan masih belum pulih kembali. Tetapi keadaannya sudah menjadi berangsur baik.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang yang berada di sekitarnya telah mengambil keputusan lain. Mereka tidak lagi berniat meneruskan pertempuran. Tetapi dengan isyarat yang kurang di mengerti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka telah mengambil satu sikap.

Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tiba-tiba saja telah menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan garangnya. Mereka menerkam seperti seekor singa yang lapar.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengira bahwa kedua orang itu akan menyerangnya dengan serta merta. Karena itu, maka keduanya telah bergeser surut untuk mengambil jarak.

Namun Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tidak memberi keduanya waktu. Dengan tangkas keduanya pun telah meloncat menyerang pula. Serangan mereka datang beruntun. Demikian cepatnya, sehingga sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser surut.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membiarkan diri mereka terdesak lagi. Dengan tangkasnya keduanya pun sengaja membentur serangan yang berikutnya.

Rara Wulan yang masih belum pulih sepenuhnya itu masih juga goyah. Beberapa langkah ia terdesak surut. Sementara itu Ki Demung Pugut pun telah tergetar pula.

Namun dalam pada itu, Ki Sela Aji yang serangannya telah membentur tenaga Glagah Putih yang menangkis serangan itu, telah terlempar dan terpelanting jatuh. Tetapi sementara itu, Glagah Putih telah melihat Ki Saba Lintang telah melarikan diri di bawah perlindungan Watu Kenari serta dua orang pengikutnya yang lain.

“Gila Ki Saba Lintang,” geram Glagah Putih yang berusaha untuk memburunya. Tetapi Glagah Putih itu pun berhenti ketika ia melihat Watu Kenari itu berbalik menghadap ke arahnya.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia melihat Watu Kenari bersiap untuk melontarkan aji pamungkasnya. Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih. Ia pun segera mempersiapkan diri pula.

Ketika seleret sinar meluncur ke arahnya, maka Glagah Putih pun telah meluncurkan serangannya pula.

Akibatnya telah menggetarkan jantung mereka yang sempat menyaksikannya. Serangan Watu Kenari yang baru saja membenturkan ilmunya dengan Ki Panji Kukuh itu masih terlalu lemah untuk meluncurkan serangannya lagi. Apalagi serangannya itu telah membentur kekuatan ilmu pamungkas Glagah Putih.

Karena itu, maka benturan itu telah benar-benar menghancurkan Watu Kenari. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang, membentur dinding halaman banjar. Terdengar derak dinding halaman banjar yang tertimpa tubuh Watu Kenari itu roboh.

Watu Kenari tidak sempat mengaduh. Beberapa ruas tulangnya benar-benar berpatahan. Tetapi karena daya tahan tubuh Watu Kenari yang tinggi, maka tubuh itu tidak lumat menjadi debu.

Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang sudah tidak nampak lagi. Dua orang pengikutnya telah membawanya lari ke dalam gelap. Kemudian meloncati dinding halaman belakang banjar Kademangan Seca itu.

Glagah Putih memang tidak mendapat kesempatan. Ketika ia siap meloncat berlari untuk memburu Ki Saba Lintang sampai ke luar halaman, maka Ki Sela Aji telah menyerangnya.

Kemarahan Glagah Putih tidak tertahankan lagi. Ketika Ki Sela Aji meloncat menerkamnya, maka Glagah Putih telah mengangkat, dan kemudian mengayunkan tangannya dengan lambaran Aji Sigar Bumi.

Ki Sela Aji masih sempat menjerit, namun kemudian terdiam. Bukan saja suaranya, tetapi juga detak jantungnya.

Glagah Putih menggeram marah. Namun ia masih berniat untuk mencari Ki Saba Lintang yang tentu belum terlalu jauh.

Tetapi ketika ia berpaling, ia melihat Rara Wulan terjatuh pada lututnya. Dengan susah payah Rara Wulan mencoba bertahan untuk tidak jatuh terlentang.

Glagah Putih tidak berpikir panjang. Ia pun segera berlari ke arah istrinya itu. Dilihatnya orang yang bernama Ki Demung Pugut itu telah terbaring diam di hadapan Rara Wulan.

“Rara. Bagaimana keadaanmu?”

Rara Wulan terduduk. Glagah Putih mencoba untuk menahan agar Rara Wulan tetap duduk.

“Duduklah. Atur pernafasanmu. Aku akan menungguimu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ia pun mencoba untuk duduk bersila di halaman banjar itu untuk mengatur pernafasannya. Glagah Putih kemudian bangkit berdiri di belakangnya sambil mengawasi keadaan halaman banjar Kademangan Seca itu.

Halaman itu telah menjadi lengang. Kedua belah pihak yang tersisa telah meninggalkan banjar. Sementara itu tubuh Ki Panji Kukuh pun sudah tidak ada lagi di halaman banjar kademangan itu.

“Kita telah ditinggalkan oleh orang-orang yang bertengkar itu, Rara,” desis Glagah Putih.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa sakit. Seakan-akan ada sepucuk duri yang terselip di antara tulang-tulang iganya.

“Apa yang akan kita lakukan, Kakang?”

“Kita pun akan meninggalkan tempat ini.”

“Bagaimana dengan mayat-mayat itu?”

“Ini adalah tugas Ki Demang dan Ki Bekel.”

Glagah Putih pun kemudian telah membantu Rara Wulan berdiri. Mereka segera berjalan perlahan-lahan ke pintu. Rara Wulan yang terluka itu bergayut di pundak suaminya, sedang suaminya mencoba untuk memapahnya.

Ketika mereka melangkah melewati regol halaman banjar, mereka melihat dalam kegelapan sekelompok orang yang mengawasinya. Perlahan-lahan hampir berbisik Rara Wulan pun bertanya, “Siapakah mereka, Kakang?”

“Agaknya mereka adalah para petugas di Kademangan Seca.”

“Apakah mereka akan menangkap kita?”

“Entahlah, Rara. Tetapi agaknya mereka tidak bergerak sama sekali.”

Rara Wulan itu pun menyahut perlahan, “Ya Agaknya mereka tidak akan bergerak. Tetapi Kakang harus tetap berhati-hati. Biarkan aku berjalan sendiri, Kakang, agar Kakang dapat bergerak lebih cepat jika sesuatu terjadi.”

“Kau masih terlalu lemah.”

“Tetapi aku sanggup berjalan sendiri. Perlahan-lahan.”

“Tidak akan ada apa-apa. Nampaknya mereka tidak ingin terlibat langsung. Mereka tidak tahu siapakah yang telah menyerang Ki Saba Lintang. Mereka tidak akan berani menerima akibat buruk dari satu kelompok yang telah berani menyerang Perguruan Kedung Jati.” 

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun bertanya, “Sekarang kita akan pergi kemana, Kakang? Tentu tidak ke penginapan.”

“Tentu tidak,” jawab Glagah Putih, “kita akan langsung meninggalkan Kademangan Seca. Kita akan mencari tempat yang aman, setidak-tidaknya untuk memberimu kesempatan memperbaiki keadaanmu. Mengatur pernafasanmu serta tatanan urat syaratmu.”

Keduanya berjalan di kegelapan malam, menyusuri lorong sempit di Kademangan Seca, langsung menuju ke bulak panjang. Demikian mereka keluar dari regol butulan di ujung lorong sempit itu, maka terasa udara menjadi bertambah segar.

“Kita akan mencari tempat yang terpisah dari kesibukan kademangan ini.”

“Kemana?”

“Ke ujung hutan itu. Ke tempat yang menjadi arena pertempuran antara gerombolan Ki Panji Kukuh dengan gerombolan Ki Guntur Ketiga.”

“Apakah Ki Panji Kukuh tidak pergi ke sana?”

“Agaknya ia tidak akan pergi ke sana. Ki Panji Kukuh terluka. Ia akan dibawa oleh para pengikut setianya ke tempat yang jauh, untuk menghindari perburuan yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang.”

“Tetapi orang-orang Kedung Jati akan mengalami kesulitan untuk mencari keterangan tentang gerombolan Ki Panji Kukuh.”

“Jika ada seorang di antara pengikut Ki Panji Kukuh yang dapat ditangkap dan dibawa oleh orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah kita tidak memburu salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang mungkin terluka? Mungkin orang itu dapat memberikan petunjuk kepada kita, kemana kita harus melacak, dimana letak pusat Perguruan Kedung Jati yang besar itu.”

“Di halaman banjar itu terdapat beberapa sosok yang tergolek diam. Mungkin mereka sudah mati. Tetapi mungkin ada satu dua yang masih hidup. Tetapi menilik kesetiaan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, mustahil ada di antara mereka yang bersedia berkhianat. Demikian pula orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Mereka akan memilih mati daripada harus berbicara tentang pemimpin mereka serta kedudukan mereka.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara itu, mereka masih saja berjalan menuju ke ujung hutan. Mereka melintasi jalan-jalan sepi. Kemudian mereka pun melintasi padang perdu. Mereka menuju ke sebuah tebing sungai yang tidak begitu besar. Di tepian sungai itulah gerombolan Ki Panji Kukuh dan gerombolan Ki Guntur Ketiga terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Namun pagi itu, seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, tepian sungai itu nampak sepi-sepi saja. Tidak ada seorangpun yang turun ke sungai atau melewati jalan setapak di atas tanggul sungai menuju ke ujung hutan.

“Kita akan beristirahat di sini, Rara. Kau harus mencoba memperbaiki keadaanmu. Sebaiknya kau menelan sebutir obat yang akan dapat membantu memperbaiki keadaan bagian dalam tubuhmu. Bukankah kau juga membawanya?”

“Ya, Kakang.”

Rara Wulan pun kemudian mengambil sebutir obat dari bumbung kecil yang dibawa di dalam kampilnya dan diselipkan di setagennya. Setelah menelan obat itu, maka Rara Wulan pun segera duduk bersila, kedua tangannya diletakkan di atas lututnya.

Sejalan kerja obat yang ditelannya serta sikapnya mengatur pernafasannya, maka terasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur mapan kembali. Terasa darahnya mengalir semakin lancar. Detak jantungnya pun mulai teratur. Suhu badannya tidak lagi bergejolak tidak menentu.

Meskipun nyeri-nyeri di tubuhnya masih terasa, namun Rara Wulan menjadi berangsur baik.

Sementara itu, Glagah Putih pun tidak jauh dari Rara Wulan yang sedang memusatkan nalar budinya. Dengan seksama Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan Rara Wulan. Dari tarikan nafasnya, serta sikap duduknya, Glagah Putih pun mengetahui bahwa keadaan Rara Wulan sudah berangsur menjadi baik.

“Bagaimana keadaanmu, Rara?” bertanya Glagah Putih.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Sudah berangsur baik, Kakang.”

“Apakah aku sudah dapat turut campur untuk memulihkan, setidaknya memperbaiki keadaanmu?”

Rara Wulan nampak agak ragu. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Sudah, Kakang.”

Glagah Putih pun kemudian duduk di belakang Rara Wulan. Ia mulai menyentuh-nyentuh punggung dan bahu Rara Wulan dengan jari-jarinya. Beberapa kali ia menekan dengan kedua ibu jarinya, simpul syaraf di sebelah-menyebelah tulang belakangnya. Namun ketika ujung jarinya menekan pundaknya, Rara Wulan menggeliat.

“Sakit, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ada yang masih belum mapan,” sahut Glagah Putih.

Beberapa lama Glagah Putih memperbaiki keadaan Rara Wulan langsung dengan menyentuh simpul-simpul syarafnya, sehingga akhirnya seluruh tubuhnya terasa menjadi longgar kembali. Tidak terasa lagi ketegangan di dalam tubuhnya. Bahkan tulang-tulang yang nyeri.

“Rasa-rasanya keadaanku telah pulih kembali, Kakang. Meskipun tenaga dan kekuatanku belum terasa utuh.”

“Bersyukurlah, Rara.”

“Aku bersyukur, Kakang. Ternyata aku dan Kakang masih mendapat perlindungannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “etapi aku menyesali apa yang sudah terjadi.”

“Kenapa, Kakang?”

“Kau lihat korban begitu banyak. Sementara itu kita tidak berhasil mengambil tongkat baja putih itu. Bukankah dengan demikian korban itu menjadi sia-sia.”

“Tetapi orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu adalah orang-orang yang hidupnya seutuhnya sudah diserahkan kepada sikap-sikap yang mengandalkan kekerasan. Mereka adalah orang-orang yang telah siap mengalami nasib buruk di setiap pertarungan yang sering terjadi, sebagaimana terjadi pertarungan berebut jalur perdagangan gelap antara Ki Panji Kukuh dengan Ki Guntur Ketiga.”

“Benar, Rara. Tetapi kali ini kita-lah yang telah menyeret mereka ke dalam pertarungan yang tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kematian di kedua belah pihak.”

“Bukankah kita sedang berusaha? Kali ini usaha kita gagal, Kakang.”

“Dalam usaha kita ini, kita telah menyebabkan kematian sekian banyak orang.”

Rara Wulan terdiam. Ia melihat kepedihan yang dalam di wajah Glagah Putih yang menyesali langkah yang diambilnya. Ia telah menyeret gerombolan Ki Panji Kukuh dengan berbagai macam cara, untuk terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Namun pertempuran yang menelan banyak korban itu tidak menghasilkan apa-apa. Sehingga kematian dari para pengikut Ki Panji Kukuh dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu sia-sia saja.

Namun pendapat Rara Wulan agak berbeda. Katanya, “Kakang. Dari sisi tugas kita, kita memang telah gagal. Kematian itu seakan-akan adalah kematian yang sia-sia. Tetapi jika kita lihat dari sisi yang lain, maka kematian itu mempunyai arti pula. Kita telah ikut membersihkan jalur perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan di Kademangan Seca yang tenang ini. Bukankah dengan demikian, kita telah ikut mengaduk kotoran yang mengendap didasar i tu, mengangkatnya dan sekaligus menguranginya?”

“Kita memang dapat menghibur penyesalan kita dengan kenyataan itu, Rara. Kita pun sudah mengurangi kekuatan orang-orang terbaik dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi kenyataan itu tidak akan berarti apa-apa. Sesaat lagi, Ki Panji Kukuh telah membangun jalurnya kembali. Perguruan Kedung Jati telah melengkapi lagi kelompok kepercayaan Ki Saba Lintang.”

“Tetapi satu hal yang pasti, Kakang, Ki Saba Lintang tidak lagi berniat membangun salah satu landasan kekuatannya di Seca.”

“Bukankah dengan demikian, Ki Panji Kukuh atau orang lain yang mempunyai pikiran sejalan dengan Ki Panji Kukuh, justru akan menguasai perdagangan gelap di bawah permukaan di Seca ini?”

“Setidak-tidaknya kita sudah mengetahuinya. Pada kesempatan lain, mungkin dengan sosok yang lain, kita dapat memperingatkan Ki Demang Seca tentang perdagangan gelap yang akan dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar itu, Kakang.”

“Ya. Kita akan memanfaatkannya. Perdagangan gelap itu tidak kalah berbahayanya dengan semakin berkembangnya Perguruan Kedung Jati, yang akan menempatkan diri berseberangan dengan kuasa Mataram. Berbeda dengan sebuah kadipaten yang kasat mata, yang dengan jelas dapat dijajagi kekuatannya serta diketahui dengan pasti keberadaannya, sehingga Mataram dapat bertindak dengan perhitungan yang lebih cermat, maka Perguruan Kedung Jati itu mempunyai sifat yang sangat berbeda.”

“Ya, Kakang.”

“Kita memang sedikit dapat terhibur dengan keberhasilan kita melihat arus perdagangan gelap di bawah permukaan yang tenang dan tenteram di Seca ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan?”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

“Apakah kita akan melacak perjalanan Ki Saba Lintang yang telah meninggalkan Seca? Ki Saba Lintang yang kehilangan sebagian besar pengawal-pengawal terbaiknya itu tentu akan menjauhi Seca dalam penyamaran yang lebih ketat.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Tentu akan sangat sulit melacak perjalanan Ki Saba Lintang, Rara. Jika saja kita tidak terlalu bodoh untuk menyerangnya, jika saja kita bersabar menunggu Ki Saba Lintang meninggalkan Seca dalam keadaan damai. Mungkin kita akan dapat melacaknya. Atau jika kita bersabar, bahwa pada suatu saat Ki Saba Lintang akan berada kembali di Seca, sehingga kita dapat minta Kakang Agung Sedayu dan pasukannya datang untuk menangkapnya. Tetapi sekarang kita justru telah kehilangan kesempatan itu.”

“Tetapi bukankah apa yang kita lakukan bukannya tidak kita perhitungkan? Kita melihat satu kesempatan. Kita mencoba untuk menangkap kesempatan itu. Tetapi kita gagal.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.”

“Kakang. Apa yang kita lakukan adalah suatu kegagalan. Bukankah wajar jika dalam satu usaha itu mempunyai kemungkinan berhasil, tetapi juga mempunyai kemungkinan gagal? Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa sama sekali, maka hanya ada satu kemungkinan. Kita tidak menghasilkan apa-apa.”

Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Rara.”

“Nah, sekarang kita pikirkan. Kita akan pergi kemana?”

“Rara. Bagaimana menurut pendapatmu, jika kita membelokkan arah pengembaraan kita ke selatan?”

“Ke selatan? Jika kita terus ke selatan, maka kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya. Kita melaporkan kegagalan kita. Bukankah dengan kegagalan kita kali ini, kita harus mulai dari permulaan lagi?”

“Ya. Kita akan mulai dari permulaan. Tetapi bukankah kita sudah beberapa kali memulai perburuan ini dari permulaan?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau benar, Rara.”

Ternyata keduanya pun sepakat untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, untuk memberikan laporan kegagalan mereka di Kademangan Seca. Selain itu, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bekal mereka pun sudah hampir habis pula. Di Seca mereka telah memboroskannya untuk menginap di penginapan yang terhitung mahal. Sedangkan sebenarnya mereka terbiasa bermalam di pategalan atau di banjar-banjar padukuhan.

“Tetapi tanpa menginap di penginapan itu, kita tidak akan mengetahui gerak di bawah permukaan di Seca. Kita pun tidak mengetahui bahwa Ki Saba Lintang berada di Seca,” desis Rara Wulan.

“Ya,” Glagah Putih mengangguk angguk. Namun tiba-tiba saja ia pun berkata, “Yang menjadi sangat sibuk adalah para petugas di Kademangan Seca. Mereka harus membersihkan halaman banjar. Menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh, dan merawat mereka yang terluka berat dari kedua belah pihak.”

“Yang terluka agaknya telah dibawa oleh kawan-kawannya,” sahut Rara Wulan.

“Apakah mereka sempat melakukannya?”

“Pada saat-saat terakhir, mereka tidak bertempur lagi. Mereka sibuk melarikan kawan-kawan mereka yang terluka.”

“Yang parah?”

“Bukankah Kakang tahu kebiasaan mereka? Pada saat kakang menyelesaikan pertempuran dengan Ki Saba Lintang, maka yang tidak kita bayangkan itu terjadi. Sekilas aku melihatnya, bagaimana seorang yang terluka parah justru harus mengakhiri penderitaanya karena tangan kawan sendiri.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Agaknya hal seperti itu terjadi pada kedua belah pihak.”

“Untung aku tidak diperlakukan seperti itu, ketika aku terpelanting dalam benturan ilmu dengan orang yang bernama Murdaka itu.”

“Kau tidak kehilangan kesempatan. Kau masih dapat segera bangkit, meskipun kau menjadi lemah. Apalagi kau bukan pengikut yang sebenarnya dari Ki Panji Kukuh. Kau tidak banyak mengetahui tentang gerombolan itu.”

Rara Wulan tersenyum.

Sementara Glagah Putih masih melanjutkannya, “Jika kau akan diperlakukan seperti itu, maka kau-lah yang akan membunuhnya.”

Rara Wulan bahkan tertawa. Katanya, “Tentu saja tidak, Kakang. Aku tidak terkapar dalam keadaan parah.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Dalam pada itu, maka langit pun menjadi merah. Glagah Putih masih duduk di rerumputan kering. Sementara Rara Wulan justru berbaring. Katanya, “Anggap saja kita tidur d dalam bilik yang hangat di penginapan itu. Suara gemercik air dengan iramanya yang khusus itu kita dengar sebagai suara gamelan yang ngerangin. Burung-burung liar yang mulai berkicau itu adalah suara pesinden yang merdu.”

“Tetapi sekarang kita berada di wayah gagat raina. Tidak di wayah sepi uwong.”

“Ya, itulah bedanya. Tetapi bukankah suara burung-burung liar itu terdengar penuh gairah dan ketegaran menyambut datangnya hari yang baru?”

“Ya. Kita pun dapat bersiul seperti burung-burung itu.”

“Ya. Aku juga dapat bersiul, Kakang.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jarang aku mendengar perempuan bersiul.”

“Kakang tidak percaya?”

Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya, “Percaya. Aku percaya, Rara. Karena aku pernah mendengar kau bersiul.”

Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan kerut di dahinya. Namun kemudian Rara Wulan itu pun tertawa pula. Namun kemudian Rara Wulan itu pun bertanya, “Lalu, apakah kita mengurungkan niat kita pergi ke Gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara?”

“Menemui Kiai Pupus Kendali?”

“Ya. Bukankah kita ingin mempertanyakan golok pusaka yang disebut Kiai Naga Padma?”

“Kita akan pergi ke kaki Gunung Sumbing pada kesempatan pertama, Rara. Tetapi bukankah sebaiknya kita melaporkan keadaan Kademangan Seca ini lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu, bahkan kemudian kepada Ki Patih Mandaraka?”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sebaiknya kita memang melaporkannya lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu.”

“Baiklah. Kita akan pulang.”

“Apakah kita dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh dalam sehari perjalanan?”

“Jika kita berjalan terus, mungkin kita akan dapat mencapainya. Tetapi perjalanan kita akan menempuh daerah yang agaknya kurang bersahabat.”

“Maksud Kakang, kita tidak perlu memaksa diri untuk sampai di Tanah Perdikan malam nanti?”

“Ya. Kita tidak terlalu tergesa-gesa. Seandainya kita besok siang sampai di Tanah Perdikan, bukankah laporan kita tidak terlalu lambat?”

“Jadi kita berjalan seenaknya saja? Jika kita ingin berhenti, kita akan berhenti.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Bukankah itu lebih baik? Kita akan berjalan pulang sambil melepaskan segala ketegangan kita selama ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Nah, marilah kita berbenah diri. Bukankah keadaanmu sudah berangsur baik, sehingga kita dapat mulai dengan perjalanan pulang?”

“Sudah, Kakang. Aku siap menempuh perjalanan pulang. Bukankah kita akan berjalan seenaknya saja?”

Demikianlah, keduanya pun segera berbenah diri, bersiap untuk menempuh perjalanan panjang. Tetapi mereka akan menempuh jalan pintas ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka akan melintasi jalan yang agak sulit. Mereka akan melewati daerah pegunungan, melintasi hutan, jurang dan ngarai. Menyeberang sungai besar dan kecil, serta padang perdu yang luas.

Tetapi di beberapa bagian dari perjalanan mereka, mereka akan melewati kademangan dan pedukuhan besar dan kecil. Melintasi daerah yang terhitung padat penghuninya.

Ketika langit menjadi semakin terang, maka keduanya pun telah bersiap. Keduanya pun segera menapak melangkah meninggalkan tempat itu.

Keduanya pun telah memilih jalan menghindari padukuhan Seca. Mereka merasa bahwa para petugas di Seca tentu ada yang sempat memperhatikan mereka semalam, ketika terjadi pertempuran di Banjar. Beberapa orang petugas yang memperhatikan pertempuran itu dari luar halaman akan dapat mengenalinya, jika mereka memasuki pedukuhan Seca siang hari.

Setelah terjadi pertempuran semalam, para petugas tentu akan memperketat penjagaan di mana-mana.

“Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan Ki Panji Kukuh atau pengikutnya,” desis Rara Wulan. “Mereka tentu tidak lagi bersikap bersahabat dengan kita, setelah mereka kehilangan beberapa orang pengikut mereka di halaman banjar itu.”

“Agaknya Ki Panji Kukuh telah berada di tempat yang lebih jauh lagi, Rara. Apalagi agaknya Ki Panji Kukuh sendiri telah terluka.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Dengan demikian, maka keduanya pun menghindari untuk melewati pedukuhan Seca, meskipun mereka sebenarnya ingin. Tetapi mereka sengaja melewati jalan yang menuju ke arah Seca.

Ketika matahari terbit, beberapa orang tengah berjalan menuju ke pasar Seca, meskipun tidak di hari pasaran. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun juga berpapasan dengan orang yang agaknya sudah pulang dari pasar. Seorang laki-laki yang memikul gula kelapa berjalan diikuti oleh seorang perempuan yang agaknya adalah istrinya.

“Mungkin dalam dua atau tiga hari pasar itu masih sepi, Nyi,” berkata laki-laki yang memikul gula kelapa.

“Sia-sia saja kita berjalan di pagi-pagi buta,” sahut istrinya.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan itu dapat mengambil kesimpulan, bahwa pada hari itu pasar Seca menjadi sepi. Orang-orang yang berdatangan dari jauh tidak tahu apa yang telah terjadi semalam, sehingga seperti biasanya mereka datang untuk menjual dagangan atau hasil tanah mereka.

“Kita tidak tahu, apakah peristiwa semalam akan mempunyai pengaruh yang dalam di padukuhan ini,” berkata Glagah Putih.

“Seca memang harus mendapat peringatan, Kakang. Jika mereka masih saja terlena tanpa mengetahui bahwa ada urusan perdagangan gelap di bawah permukaan, maka pada suatu saat, pengaruh perdagangan gelap itu justru akan menelan Seca.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melaporkannya kepada Kakang Agung Sedayu. Mungkin Kakang Agung Sedayu dapat memberikan petunjuk. Meskipun Kakang Agung Sedayu seorang pemimpin dari satu kesatuan prajurit, bukan seorang yang memimpin pemerintahan atas suatu daerah, tetapi Kakang Agung Sedayu tentu mempunyai wawasan yang lebih luas dari kita berdua.”

“Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan.

Sementara itu, mereka pun telah berbelok turun ke jalan simpang, sehingga mereka tidak memasuki padukuhan Seca.

Ketika mereka berjalan di belakang dua orang perempuan yang menggendong bakul di punggungnya, mereka menjadi semakin yakin bahwa pasar Seca menjadi sepi. Bahkan seorang di antara kedua perempuan itu mengatakan, “Kedai-kedai di sekitar pasar pun tidak membuka pintunya.”

Dua orang laki-laki yang berjalan bersama dengan seorang perempuan justru mengatakan bahwa semalam di Seca telah terjadi ontran-ontran.

“Geger, Yu,” berkata laki-laki itu.

“Darimana kau tahu?” bertanya perempuan itu

“Petugas di pasar itu yang bercerita. Seorang di antara petugas di pasar itu kemenakanku. Kemenakanku mengatakan bahwa mayat tergeletak bujur-lintang di halaman banjar.”

“Mengerikan.”

“Orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah, Yu.”

“Ah, sudah, sudah. Jangan ceritakan lagi tentang mayat-mayat itu.”

“Aku kan sudah tidak bercerita tentang mayat. Aku hanya mengatakan bahwa orang-orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah.”

“Tetapi kau bercerita tentang mayat-mayat yang terbujur-lintang di halaman banjar.”

“Tadi. Tetapi bukankah ceritaku tidak berlanjut?”

“Tetapi anak siapa saja yang mati di halaman banjar itu?”

Laki-laki yang seorang lagi yang menyahut, “Kau sendiri yang bertanya, Yu.”

“Ya, sudah, sudah.”

Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun perempuan itu-lah yang berkata lebih dahulu, “Aku membawa uwi jero dan melinjo. Sekarang aku bawa pulang lagi. Padahal aku memerlukan garam dan terasi.”

“Mungkin dua atau tiga hari lagi, Yu.”

“Tetapi aku memerlukan garam. Apakah kau dapat pisah dengan garam sampai dua atau tiga hari?”

“Nanti suruh saja anakmu yang kuncungan itu pergi ke rumahku. Aku masih mempunyai persediaan sedikit.”

“Terima kasih, Adi. Nanti aku suruh si Kuncung pergi ke rumahmu.”

“Baik, Yu,” jawab laki-laki itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang justru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan Rara Wulan berkata, “Kasihan perempuan itu. Ia kehabisan garam.”

“Untungnya tetangganya itu baik hati.”

“Mungkin bukan sekedar tetangga, tetapi ada hubungan keluarga di antara mereka.”

Namun keduanya tidak mengikuti ketiga orang itu lebih jauh lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan tidak secepat perempuan dan kedua orang laki-laki yang baru saja pulang dari pasar Seca yang sepi.

Bahkan ketika mereka sampai di simpang empat, Glagah Putih dan Rara Wulan mengambil jalan yang lain dari perempuan dan kedua orang laki-laki itu.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin cerah. Matahari yang mulai memanjat langit melontarkan sinarnya yang hangat ke segenap penjuru. Di kejauhan masih terdengar burung-burung liar yang berkicau menyambut dalangnya hari baru. Angin yang semilir menyentuh dedaunan.

Air yang jernih mengalir di parit yang menjelujur sepanjang jalan bulak. Agaknya air di parit itu mengalir sepanjang musim.

Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus. Semakin lama mereka menjadi semakin jauh dari Seca. Kademangan yang sebelum disentuh oleh Ki Saba Lintang adalah kademangan yang tenang dan tenteram. Namun yang luput dari perhatian para bebahu di Seca adalah arus perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan.

Menjelang tengah hari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai menapaki jalan-jalan yang semakin sulit. Mereka mulai mendaki jalan-jalan di perbukitan. Mereka mulai melintasi jalan-jalan yang sulit di antara padukuhan-padukuhan kecil, yang agaknya berada di lingkungan yang tanahnya tidak begitu subur.

“Kenapa penghuni padukuhan ini tidak mencari tempat-tempat yang lebih baik?” desis Rara Wulan, “nampaknya di sini tanahnya tidak begitu subur. Bukankah mereka dapat mencari tempat yang lebih baik dengan menebas hutan yang luas di dataran yang lebih rendah?”

“Kadang-kadang kita tidak dapat mengerti jalan pikiran mereka, Rara. Agaknya mereka masih merasa terikat dengan kampung halaman tempat mereka dilahirkan. Mereka masih terikat kepada kesetiaan mereka terhadap keluarga besar mereka yang menghuni satu padukuhan, tanpa menghiraukan keadaan tempat tinggal mereka. Tanah warisan itu merupakan beban kewajiban bagi mereka untuk tetap merawat dan memeliharanya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Bahkan seandainya mereka hidup dalam kesulitan. Panen yang kurang memadai, air yang tidak cukup, bahkan sumur-sumur yang sangat dalam. Mereka harus bekerja keras untuk dapat makan ajeg setiap hari.”

“Ya. Jika saja mereka bersedia berbicara dengan Ki Demang untuk mendapatkan ijin membuat daerah pemukiman baru. Mereka dapat melakukannya bersama-sama seluruh padukuhan, jika mereka tidak ingin terpisah-pisah yang satu dengan yang lain.”

Sebenarnyalah padukuhan kecil itu nampak kekeringan. Dedaunan menjadi agak ke kuning-kuningan. Sawah yang menghampar di sebelah pedukuhan itu ditanami jagung, yang nampak tidak begitu subur.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan utama padukuhan itu, mereka melihat anak-anak yang nampaknya tidak begitu gembira, meskipun ada pula di antara mereka yang sibuk bermain. Mereka pada umumnya tidak berbaju, agak kekurus-kurusan dengan rambut yang agak kemerah-merahan.

Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus, mereka melihat kesibukan di ujung padukuhan. Beberapa orang sedang sibuk di sebuah sungai kecil yang mengalir lewat ujung padukuhan mereka. Agaknya orang-orang padukuhan itu sedang membendung aliran sungai yang tidak begitu besar itu untuk dinaikkan ke dalam parit, sehingga airnya dapat mengaliri sawah mereka.

“Syukurlah,” desis Glagah Putih, “agaknya lahir juga seorang yang berani mengambil langkah-langkah penting di padukuhan kecil yang tandus itu.”

“Ya, Kakang. Alam yang keras telah menempa penghuninya untuk tidak saja bekerja keras, tetapi juga berpikir keras.”

Seakan-akan di luar kehendaknya, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak melihat orang-orang yang sibuk mengisi brunjung bambu dengan bebatuan. Kemudian meletakkannya menyilang aliran air di sungai itu. Onggokan slangkrah yang diikat dengan kuat diletakkan di sela-sela brunjung bambu itu, untuk menutup celah-celah agar air tidak menyusup melewati celah-celah itu.

Glagah Putih tersenyum. Ia merasa seakan-akan ikut serta membantu orang-orang yang sedang bekerja keras itu. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan orang-orang padukuhan yang membuat bendungan di ujung padukuhan, dekat jalan ulama yang membujur menusuk bulak panjang yang kering.

Pohon-pohon perindang yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan pun daunnya nampak agak kekuning-kuningan. Satu-satu berguguran disentuh angin perbukitan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan terus.

Ada beberapa padukuhan yang nampak tandus telah dilewati. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memasuki padang perdu yang luas. Dengan mengikuti jalan setapak, maka keduanya pun berjalan menuju ke tepi sebuah hutan yang masih nampak lebat dan jarang di sentuh kaki manusia. Nampaknya masih banyak binatang buas yang menghuni hutan itu.

Tetapi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, hutan tidak harus dijauhi. Mereka pernah tinggal di hutan untuk menjalani laku. Bahkan mereka pernah hidup sebagai bagian dari keutuhan hutan itu, ketika mereka menjalani laku dengan Tapa Ngidang.

Karena itu, ketika mereka mendengar aum harimau, keduanya sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan. Mereka tahu bahwa jika dalam keadaan yang khusus, harimau itu tidak akan menyerangnya, meskipun mereka mencium bau manusia. Bahkan seandainya seekor harimau yang kelaparan yang tidak mendapatkan mangsa lain datang menyerang mereka, keduanya pun akan siap melawannya.

Beberapa saat lamanya mereka berjalan di pinggir hutan. Mereka merasakan jalan itu menurun. Hutan itu pun terasa tumbuh lebat di tanah yang miring. Beberapa lama mereka menyusuri jalan di pinggir hutan. Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi hingga sampai di puncak, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah meninggalkan hutan itu. Mereka memilih jalan setapak yang memasuki padang perdu menuju ke dataran yang lebih rendah. Jalan setapak itu agaknya sering dilalui orang yang mencari kayu di hutan.

“Apakah orang-orang yang mencari kayu itu tidak takut bertemu dengan binatang buas?” desis Rara Wulan.

“Biasanya mereka tidak seorang diri, Rara. Tetapi mereka pun mencermati kebiasaan binatang buas, terutama harimau. sehingga mereka mengerti kapan mereka dapat pergi ke hutan untuk mencari kayu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berada di seberang padang perdu, dan mulai merambah tanah ngarai yang luas.

“Jalan yang kita lalui ini agak aneh, Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian.

“Apa yang aneh?” bertanya Glagah Putih.

“Nampaknya jalan ini sering sekali dilalui orang. Padahal jalan ini menuju ke ujung hutan yang menjorok itu.”

“Mereka adalah pencari kayu dari padukuhan terdekat.”

“Tetapi padukuhan yang terdekat itu letaknya jauh sekali, Kakang. Apakah mereka memerlukan mencari kayu sampai ke ujung hutan ini?”

Glagah Putih yang semula tidak begitu memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu, mulai tertarik pula. Bahkan tiba-tiba saja dia berdesis, “Kau lihat jejak kaki kuda?”

“Ya.”

Glagah Putih semakin memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu. Jalan setapak di padang perdu yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Beberapa batang pohon yang lebih besar tumbuh pula di padang perdu itu. Beberapa onggok batu padas yang mencuat terdapat di mana-mana, terbalut oleh tanaman perdu yang liar, yang bahkan sering terdapat pepohonan perdu yang berduri.

“Tentu ada sesuatu di ujung hutan yang menjorok itu, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Apakah kita akan melihatnya?”

“Lain kali saja, Rara. Sebaiknya kita berjalan terus menuju ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya semakin cepat kita membuat laporan tentang Ki Saba Lintang, akan menjadi semakin baik. Mungkin Kakang Agung Sedayu akan membawa kita menghadap Ki Patih Mandaraka.” 

“Ki Patih itu tentu sudah menjadi semakin tua, Kakang.”

“Ia memang sudah tua. Bahkan sangat tua.”

“Tetapi ia masih nampak tegar.”

“Ya. Ia masih nampak tegar.”

Keduanya pun berjalan terus menyusuri jalan setapak yang menarik perhatian mereka itu. Mereka melihat jejak kaki kuda yang berjalan ke kedua arah yang berlawanan. Bahkan jalan setapak itu nampaknya memang sering dilalui oleh orang-orang berkuda. Orang-orang itu tentu akan sangat menarik perhatian.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya tidak ingin mendapat hambatan di perjalanan. Mereka ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka sadari bahwa mereka akan kemalaman di perjalanan.

Namun langkah mereka pun tiba-tiba terhenti. Mereka melihat sebatang lembing bambu yang tertancap di sebelah sebatang pohon cangkring tua yang daunnya sudah menjadi sangat jarang. Pohon yang besar itu nampak meranggas dan bahkan beberapa ujung dahannya mulai nampak mengering.

“Lembing itu, Kakang,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih yang juga sudah melihat lembing itu melangkah mendekatinya, tetapi ia tidak menyentuhnya.

“Satu pertanda, Rara.”

Rara Wulan mengangguk. Ia melihat seikat benang lawe putih terikat pada lembing bambu itu. Beberapa buah batu yang dirangkai dengan benang putih pula, serta sepotong tulang yang sudah kering, bergayut pada lembing bambu itu.

Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan lembing itu. Namun Glagah Putih pun kemudian berbisik, “Ada beberapa orang bersembunyi di balik gerumbul di sekeliling kita, Rara.”

“Ya,” sahut Rara Wulan, “tentu mereka yang telah memasang lembing ini.”

“Jika kita tidak menyentuhnya, agaknya kita pun tidak akan diganggu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Meskipun demikian, keduanya pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, karena mereka tidak menyentuh dan tidak mengganggu lembing itu, maka mereka pun tidak diganggu pula.

“Agaknya lembing ini merupakan satu pertanda, bahwa daerah ini merupakan daerah kekuasaan sebuah gerombolan. Entah gerombolan apa yang agaknya menghuni ujung hutan yang menjorok itu.”

Rara Wulan mengangguk.

“Marilah, kita tinggalkan tempat ini, Rara. Kita tidak berkepentingan dengan mereka.”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun ia pun beranjak dari tempatnya berdiri.

Keduanya pun kemudian melintas padang perdu itu mengikuti jalan setapak, tetapi yang sudah sering dilalui para penunggang kuda.

Ternyata keduanya memang tidak diganggu oleh orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu yang liar itu. Orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu itu membiarkan saja Glagah Putih dan Rara Wulan lewat.

Ternyata tidak hanya ada satu lembing yang ditancapkan sepanjang padang perdu itu. Selain lembing yang ditemuinya di sebelah sebatang pohon cangkring tua itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menjumpai beberapa batang lembing lagi yang menancap di sebelah-menyebelah jalan setapak itu. Agaknya daerah itu benar-benar telah dikuasai oleh sebuah gerombolan yang kokoh.

“Jangan-jangan daerah ini adalah alas kekuasaan Ki Panji Kukuh,” desis Rara Wulan.

“Terlalu jauh dari Seca, Rara.”

“Tidak. Baru setengah hari perjalanan. Mungkin mereka telah membangun landasan baru yang lebih dekat.”

“Nampaknya watak gerombolan ini agak lain. Gerombolan ini tentu gerombolan yang lebih keras dan lebih kasar dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Tetapi itu bukan berarti bahwa kemampuan gerombolan ini lebih tinggi dari kemampuan gerombolan Ki Panji Kukuh.”

Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Ya. Menilik benda-benda yang mereka kaitkan pada lembing-lembing mereka itu, gerombolan ini adalah gerombolan yang keras.”

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berjalan di antara sepasang pohon jambe yang juga sudah tua. Mereka melihat beberapa macam benda yang ditempelkan pada sepasang pohon jambe itu. Bahkan pedang yang sudah karatan, bebatuan dan berbagai macam akar, tulang-tulang yang sudah kering. Dan yang telah membuat tengkuk Rara Wulan meremang, di sepasang pohon jambe itu bergantung pula masing-masing tengkorak manusia yang sudah kering pula.

“Kakang,” desis Rara Wulan.

“Agaknya sepasang pohon jambe ini merupakan gapura dari pintu gerbang keluar dan masuk lingkungan gerombolan itu. Jika benar, maka kita sekarang sudah berada di luar lingkungan mereka, Rara.”

“Ya, Kakang. Tetapi apakah mereka pasti tak akan mengganggu kita, setelah kita berada di luar daerah kekuasaan mereka di padang perdu ini?”

“Mudah-mudahan, Rara. Tetapi kita tidak boleh menjadi lengah. Jika saja tiba-tiba mereka menyerang, maka kita harus mempertahankan diri.”

“Aku tidak akan berbaik hati terhadap gerombolan yang telah menggantungkan sepasang tengkorak manusia di pintu gerbangnya. Aku siap melontarkan Aji Namaskara pada seranganku yang pertama. Apalagi jika jumlah mereka cukup banyak.”

Namun Glagah Putih pun berdesis, “Agaknya kita sudah menjadi semakin jauh dan orang-orang yang mengendap-endap mengamati kita itu.”

“Ya. Agaknya memang demikian.”

Sebenarnyalah bahwa mereka telah berada di luar pengamatan sebuah gerombolan yang terhitung garang yang bersarang di ujung hutan itu. Mereka telah membersihkan ujung hutan yang menjorok dari gerumbul-gerumbul perdu yang liar, dan mendirikan gubug-gubug di antara pepohonan raksasa di ujung hutan itu.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Rara. Menurut dugaanku, tanah ngarai ini adalah tanah yang memungkinkan untuk digarap menjadi sawah dan ladang. Tetapi agaknya gerombolan perampok itulah yang manakut-nakuti orang yang berniat menggarap tanah ngarai ini, sehingga menjadi padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat, dengan satu dua pohon-pohon yang besar dan tua.”

“Rasa-rasanya aku telah menginjak pematang, Kakang.”

“Bekas pematang, maksudmu?”

“Ya. Tanah ngarai ini agaknya pernah menjadi tanah garapan. Tetapi entah karena apa, maka tanah ini telah ditinggalkan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mulai memperhatikan tanah di sebelah-menyebelah jalan sempit yang mereka lalui. Seperti yang dikatakan oleh Rara Wulan yang berjalan di luar jalur jalan sempit itu, mereka memang mendapatkan jalur tanah yang agaknya bekas pematang sawah.

“Ya. Tanah ini pernah menjadi tanah garapan,” berkata Glagah Putih. “Tetapi tanah ini sudah lama ditinggalkan. Tetapi pohon-pohon besar itu tentu sudah ada pada saat tanah ini menjadi tanah garapan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun beberapa ratus patok di hadapan mereka, nampak tanah garapan yang luas terbentang sampai ke cakrawala. Beberapa padukuhan nampak di kejauhan, bagaikan pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan yang tenang.

“Ada beberapa kemungkinan, kenapa tanah ini tidak lagi digarap Rara.”

Rara Wulan tidak menyahut.

“Mungkin karena keberadaan gerombolan yang jahat, sehingga para petani menjadi ketakutan. Tetapi mungkin para petani tidak mempunyai cukup tenaga yang menggarap sawah yang demikian luas.”

“Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan sambil memandangi tanah yang sedemikian luasnya.

Keduanya pun kemudian menuruni sebuah tebing yang rendah, dan memasuki jalan yang sedikit lebih lebar dari jalan yang baru saja dilaluinya.

“Kita pergi ke padukuhan yang nampak itu, Rara.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara itu, panas matahari pun terasa semakin menyengat. Namun ketika mereka mulai memasuki tanah persawahan, maka di sebelah-menyebelah jalan terdapat pohon-pohon perindang. Ternyata penghuni padukuhan yang memiliki sawah yang luas itu menanami tanggul parit di sepanjang jalan yang panjang itu dengan pohon turi. Pohon yang berbunga putih, yang merupakan jenis sayuran yang banyak digemari.

Semakin dekat dengan padukuhan di hadapan mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melihat semakin jelas bahwa padukuhan di hadapan mereka adalah sebuah padukuhan yang besar. Sebuah padukuhan yang memanjang, yang dilingkari dengan dinding padukuhan yang cukup tinggi.

“Agaknya padukuhan itu telah melindungi dirinya dari para penjahat yang tinggal di hutan itu,” desis Glagah Putih.

“Ya. Ternyata dengan dinding padukuhan yang tinggi. Mungkin memang terdapat permusuhan antara orang-orang padukuhan itu dengan gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun kemudian berkata, “Kita akan melewati padukuhan itu, Rara. Kita akan dapat melihat keadaan di padukuhan yang berdinding tinggi itu.”

Rara Wulan mengangguk, la memang ingin melihat, apa yang terdapat dalam padukuhan yang berdinding tinggi itu.

Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah berada di jalan yang lebih besar lagi, langsung menuju ke pintu gerbang padukuhan yang sudah menjadi semakin dekat.

Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat. Namun pohon turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan itu telah banyak memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

Pada saat matahari sedikit melewati puncaknya, maka mereka berdua pun telah sampai ke pintu gerbang padukuhan Itu. Ternyata pintu gerbang padukuhan itu terbuka lebar, meskipun nampaknya pintu itu sengaja dibuat demikian kokohnya. Sehingga kesan yang menyentuh jantung Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu memang sengaja melindungi dirinya sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan belum tahu, padukuhan itu melindungi diri dari siapa? Mungkin dari para penjahat di ujung hutan. Tetapi mungkin ada ancaman lain yang membuat seisi padukuhan itu harus berhati-hati.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan yang besar itu, maka yang dilihatnya adalah jalan utama yang cukup lebar. Dinding halaman yang tertata rapi. Halaman rumah yang pada umumnya cukup luas dan bersih.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk semakin dalam, dilihatnya beberapa orang remaja yang berjalan menggiring kambing dan domba. Di lambung mereka tergantung pedang.

“Pedang,” desis Rara Wulan, “bukan sekedar alat untuk mencari rumput. Tetapi benar-benar pedang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Setiap remaja di padukuhan ini telah mempersenjatai dirinya sendiri dengan pedang. Apa yang telah menyebabkan mereka harus bersenjata?”

“Mungkin ada ancaman dari luar padukuhan ini. sehingga setiap orang, termasuk remajanya, harus bersenjata.”

“Mungkin sekali. Agaknya penjahat di sudut hutan itu.”

Sebenarnyalah setiap laki-laki di padukuhan itu membawa senjata apapun juga. Ada yang membawa pedang, tongkat besi, tombak pendek atau apa saja. Tetapi kebanyakan di antara mereka membawa pedang di lambungnya.

Selain membawa senjata, agaknya penghuni padukuhan itu juga selalu berhati-hati terhadap orang yang dianggapnya asing.

Glagah Putih dan Rara Wulan merasa bahwa beberapa pasang mata selalu memandanginya. Dari balik pintu-pintu regol halaman, atau mereka yang berpapasan di jalan utama padukuhan itu. Bahkan dua orang anak muda yang berpapasan, dengan tidak segan segan lagi berhenti dan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Rasa-rasanya kita menjadi tontonan di sini, Kakang.”

“Bukan tontonan. Tetapi kita menjadi sosok yang nampaknya sangat dicurigai.”

“Tentu ada persoalan yang gawat yang terjadi di padukuhan ini.”

“Tetapi persoalan itu tentu sudah makan waktu yang lama dan agaknya masih belum terselesaikan. Dinding padukuhan itu tentu tidak baru kemarin sore didirikan. Menilik ujudnya, dinding itu tentu sudah agak lama dibuatnya.”

“Ya, Kakang.” Rara Wulan pun menjadi semakin mendekati Glagah Putih sambil berdesis, “Kita benar-benar menjadi perhatian orang banyak di padukuhan ini.”

Sebelum Glagah Putih menjawab, mereka melihat dua orang anak muda yang muncul dari regol halaman. Ternyata regol itu adalah regol banjar padukuhan yang besar itu.

Banjar padukuhan itu adalah banjar yang terhitung luas. Bangunannya termasuk bangunan yang bagus. Bahkan tiang regolnya terbuat dari kayu berukir dan disungging lembut. Apalagi tiang-tiang pendapa banjar itu. Sebuah bangunan joglo yang terhitung besar dan luas.

Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti ketika kedua orang anak muda dengan isyarat telah menghentikan mereka.

“Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya salah seorang dari kedua orang anak muda itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain.”

“Kademangan manakah yang Ki Sanak singgahi yang terakhir, sebelum Ki Sanak sampai ke padukuhan kami?”

“Kami berada di Seca, Ki Sanak.”

“Apakah kalian terlibat dalam bentrokan berdarah yang terjadi di Seca?”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata berita tentang gejolak yang terjadi di Seca begitu cepatnya telah sampai ke telinga penghuni padukuhan itu.

“Tidak, Ki Sanak. Bahkan kami tidak tahu bahwa di Seca telah terjadi pertumpahan darah. Bahkan menurut penglihatan kami, Seca adalah satu kademangan yang tenang, aman dan terasa damai.”

“Itu yang nampak di permukaan.”

Glagah Putih termangu-mangu pula sejenak. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apa maksud Ki Sanak?”

Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Glagah Putih. Bahkan anak muda itu bertanya, “Kapan kau meninggalkan Seca?”

“Kemarin siang, Ki Sanak.”

“Dimana kau berada semalam? Maksudku, di mana kau bermalam semalam?”

“Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Kami dapat bermalam dimana saja. Semalam kami bermalam di sebuah padukuhan yang kering, yang tanahnya tandus. Tetapi nampaknya padukuhan itu mempunyai masa depan yang berpengharapan, karena padukuhan itu telah bangkit. Agaknya ada juga seseorang yang seakan-akan membangunkan mereka dari sebuah mimpi buruk, sehingga rakyat padukuhan kering itu telah bersama-sama bekerja keras membuat bendungan.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Padukuhan Tangkil memang sedang membuat bendungan.”

“Aku bermalam di pategalan yang kering, di sebelah padukuhan itu.”

“Kenapa kau tidak bermalam di padukuhannya? Di banjar misalnya?”

Glagah Putih mulai mencari-cari jawab. Katanya, “Aku bertemu dengan seseorang yang sedang berada di pategalannya. Kami berdua menemaninya tidur di gubugnya.”

“Kenapa orang itu tidur di gubugnya di pategalan? Apakah ada tanaman yang perlu ditungguinya?”

“Tidak, Ki Sanak. Orang itu tidak menunggui tanaman apapun. Tetapi menurut orang itu, ia sedang bertengkar dengan istrinya, sehingga malam itu ia lebih senang tidur di pategalan.”

Anak muda itu mengerutkan dahinya Namun kemudian ia berdesis, “Edan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu mangu. Mereka menjadi agak tegang, apakah kata-kata Glagah Putih itu dipercaya atau tidak.

Namun tiba-tiba saja anak muda yang seorang lagi bertanya, “Sebelum sampai ke padukuhan ini, kalian berada dimana?”

Glagah Putih pun menjawab, betapapun jantungnya terasa berdebar, “Ki Sanak, justru itulah yang ingin kami tanyakan. Kami berjalan menyusur jalan di sebelah hutan, turun ke ngarai. Ketika kami menyeberangi padang perdu yang cukup luas itu, kami melihat beberapa batang lembing yang tertancap di tanah. Bahkan kami berdua melewati sepasang pohon jambe yang mengerikan.”

“Kenapa mengerikan?”

“Ada beberapa macam benda terikat bergayutan di sepasang pohon jambe tua itu. Yang mengerikan, di pohon jambe itu juga bergantungan dua buah tengkorak manusia yang sudah kering.”

“Kalian lewati padang perdu itu?”

“Ya.”

“Beruntunglah kalian, bahwa kalian masih sempat melihat padukuhan ini.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kalian tidak menyentuh apapun yang ada di padang perdu itu? Maksudku, lembing dan pohon jambe, serta benda-benda yang bergayut pada lembing serta pohon jambe itu?”

“Tidak, kami hanya lewat. Itupun agak tergesa-gesa.”

Namun yang seorang lagi tiba-tiba saja bertanya pula, “Kalau semalam kau bermalam di Tangkil, kenapa baru sekarang kau sampai di sini?”

Dengan serta-merta pula Glagah Putih menjawab, “Kami terlambat bangun. Akhirnya kami diminta singgah ke rumah orang yang sedang bertengkar dengan istrinya itu. Ternyata istrinya baik dan menghidangkan makan dan minum bagi kami berdua, sementara laki-laki yang bermalam di pategalan itu pergi ke sungai, ikut membuat bendungan.”

Agaknya jawaban-jawaban Glagah putih cukup meyakinkan. Karena itu, maka kedua orang anak muda itu pun kemudian berkata, “Silahkan melanjutkan perjalanan kalian.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi apakah aku boleh bertanya sedikit lagi?”

“Bertanya apa?”

“Apakah setiap orang lewat juga mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan kalian kepada kami berdua?”

“Jika orang itu mencurigakan, maka kami tentu akan bertanya sebagaimana kami tanyakan kepada Ki Sanak.”

“Terima kasih. Kami minta diri.”

“Silahkan, Ki Sanak. Tetapi kalian harus menyadari bahwa kalian berdua termasuk orang-orang yang mencurigakan. Kalian berjalan berdua di teriknya panas matahari. Tetapi kalian seakan-akan berjalan di terang bulan. Kalian melihat-lihat setiap regol halaman, memperhatikan setiap rumah, dan bahkan anak-anak kami yang akan keluar menggembalakan kambing.”

“Memang ada yang menarik perhatian kami, Ki Sanak.”

“Apa?”

“Aku melihat semua orang laki-laki di padukuhan ini bersenjata apa saja, seolah-olah padukuhan ini sedang dalam suasana perang. Bahkan anak-anak remaja yang menggembalakan kambing itu pun membawa senjata pula di lambungnya. Bukankah itu sangat menarik perhatian bagi para pengembara?”

Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka menjawab, “Tidak. Tidak ada hubungan apa-apa antara senjata yang dibawa oleh setiap laki-laki di sini dengan perang. Kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa. Senjata bagi laki-laki di padukuhan ini merupakan kelengkapan pakaian mereka.”

“Hanya sekedar kelengkapan?”

“Ya.”

“Apakah ada ancaman dari mereka yang memasang pertanda di padang perdu itu, sehingga padukuhan ini harus membuat dinding yang tinggi, serta setiap laki-laki harus membawa senjata?”

“Tidak, kau dengar?” bentak seorang di antara kedua orang anak muda itu. “Sudah aku katakan, senjata adalah sekedar kelengkapan pakaian bagi kami. Laki-laki yang tidak membawa senjata, menurut adat di padukuhan ini dianggap pengecut. Sekali lagi aku katakan, kami tidak sedang berperang dengan siapa-siapa.”

“Maaf, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih, “sebenarnyalah aku menjadi ketakutan. Apalagi istriku ini. Itulah sebabnya maka kami berjalan dengan ragu-ragu di jalan utama padukuhan ini. Dalam ketakutan, kami memperhatikan setiap regol halaman, karena kami mengira bahwa tiba-tiba saja kami akan mendapat perlakuan yang kurang baik.”

“Jika kau terlalu banyak berbicara, maka kalian berdua justru akan mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika kalian berdua tidak segera pergi, maka mungkin sekali kalian akan benar-benar kami tangkap.”

“Baik, baik. Kami minta diri, Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera meninggalkan kedua orang anak muda yang menjadi marah itu. Agaknya pertanyaan-pertanyaan Glagah Putih telah menyinggung perasaan mereka.

Ternyata padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan waktu beberapa lama untuk mencapai ujung jalan utama yang lain. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di luar pintu gerbang padukuhan di ujung yang lain itu.

Namun di sepanjang jalan utama, keduanya memang merasakan bahwa orang-orang padukuhan itu yang melihat mereka berdua nampak menjadi curiga. Bahkan beberapa orang anak muda sengaja berdiri di pinggir jalan memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan lewat Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka bergeser melekat dinding halaman ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di depan mereka.

“Selamat siang, Ki Sanak,” Glagah Putih pun memberikan salam kepada anak-anak muda itu. Ternyata ada di antara anak-anak muda itu yang menyahut, “Selamat siang.”

“Tentu sesuatu telah terjadi di padukuhan itu,” desis Rara Wulan. “Suasananya terasa tegang. Semua orang rasa-rasanya siap untuk bertempur.”

“Agaknya ada hubungannya dengan pertanda yang pernah kita lihat di padang perdu itu, meskipun mereka mengatakan tidak.”

“Ya. Agaknya memang demikian. Agaknya padukuhan ini telah bermusuhan dengan penghuni ujung hutan itu untuk waktu yang lama.”

“Jika permusuhan itu tidak kunjung berakhir, maka tatanan kehidupan di padukuhan itu pun akan selalu dibayangi oleh kecemasan. Setiap saat orang-orang di ujung hutan itu dapat datang menyerang. Bahkan mungkin mereka dapat berbuat jahat terhadap orang-orang yang sedang berada di sawah atau perempuan yang pergi ke pasar.”

“Jika permusuhan itu sudah berlangsung lama, maka penghuni padukuhan itu pun tentu sudah dapat menyesuaikan diri.”

“Tetapi anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam suasana yang tegang itu akan dapat terpengaruh. Sifat dan wataknya pun akan dibentuk dalam suasana permusuhan.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan semakin jauh dari padukuhan yang berdinding tinggi itu. Mereka menempuh jalan bulak yang panjang untuk sampai ke padukuhan yang lain. Panas matahari terasa semakin membakar kulit.

Pohon-pohon perindang menjadi semakin jarang. Agaknya padukuhan berikutnya tidak begitu tertarik untuk menanam pohon turi di pinggir jalan bulak. Yang ditemui oleh Glagah Putih adalah justru pohon gayam. Tetapi jarak batang gayam yang satu dengan yang lain agak panjang. Namun daun gayam memang lebih rimbun dari daun turi. Tetapi semakin besar batangnya, maka akar-akarnya akan membuat pangkal batangnya menjadi besar, sehingga mengurangi lebar jalan. Bahkan di sisi lain akan dapat mengganggu tanggul parit.

Keduanya pun terhenti sejenak, ketika mereka berada di atas sebuah jembatan kayu yang menyilang susukan yang airnya cukup deras. Agaknya air di susukan itu tidak pernah kering meskipun di musim kemarau.

“Susukan inilah yang agaknya membuat daerah ini nampak subur,” desis Glagah Putih.

“Ya. Tanahnya subur, sehingga tanaman di sawah pun nampak subur. Tetapi suasana tegang di padukuhan itu terasa agak mengganggu.”

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka mendengar suara anak-anak yang berteriak-teriak. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang remaja berdiri di atas tanggul. Ternyata para remaja itu tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Tetapi mereka melempari batu ke arah seberang susukan.

Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang remaja yang lain berada di seberang susukan. Namun mereka tidak membalas. Mereka justru pergi menjauhi susukan itu. Agaknya remaja di seberang susukan itu sedang menunggui burung yang dapat merampas hasil panenan mendatang. Karena yang berterbangan di atas batang padi yang mulai merunduk itu bukan saja sepuluh dua puluh, tetapi sekelompok burung pipit, sehingga menyerupai awan yang kelabu bergerak rendah dan cepat di atas batang-batang padi.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” desis Rara Wulan.

“Para remaja yang melempari batu itu tentu remaja dari padukuhan yang baru saja kita lewati.”

“Ya. Mereka pun bersenjata. Mereka membawa parang atau pedang atau senjata-senjata yang lain.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja termangu-mangu menyaksikan beberapa orang remaja yang melempari batu itu. Tetapi ketika beberapa orang remaja di seberang susukan itu pergi, maka mereka pun segera berhenti.

Beberapa saat mereka masih berdiri di atas tanggul. Namun kemudian ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka pun berlari-lari mendatanginya.

“Apa yang akan mereka perbuat?”desis Rara Wulan.

“Entahlah.”

“Apakah kita harus lari untuk menghindari mereka?”

“Tidak, Rara. Kita akan berada di sisi lain dari jembatan ini. Maksudku di seberang susukan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut dan berdiri di ujung jembatan. Ternyata anak-anak remaja itu tidak mau mendekati mereka. Mereka berhenti di ujung jembatan yang lain.

“Bukankah kalian yang kami jumpai di padukuhan kami tadi?”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk. Mereka teringat kepada beberapa orang remaja bersenjata yang menggiring binatang peliharaan mereka. Mereka tidak sekedar membawa alat-alat untuk menyabit rumput, tetapi mereka benar-benar membawa pedang atau senjata yang lain.

“Sekarang kalian akan pergi kemana?”

“Kami adalah pengembara. Kami berjalan saja tanpa tujuan.”

“Apakah kalian telik dari Kademangan Prancak di pinggir Kali Elo?”

“Kademangan Prancak?”

“Ya. Yang bersebelahan dengan Kademangan Payaman.”

“Tidak, anak-anak. Kami adalah pengembara. Kami belum pernah tinggal di Kademangan Prancak. Apakah kademangan Prancak masih jauh?”

“Kalian sekarang berada di Kademangan Prancak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Baru kemudian dengan nada datar Glagah Putih berkata, “Jika aku sekarang berada di Kademangan Prancak, kenapa kalian bertanya apakah aku telik dari Kademangan Prancak? Bukankah kalian telah mengenal orang-orang Kademangan Prancak? Jika kalian belum mengenal, kakak-kakak kalian atau ayah kalian atau siapapun yang melihat kami, tentu akan dapat mengenali kami.”

“Yang menjadi telik bagi Kademangan Prancak tidak harus orang Prancak. Orang Prancak dapat mengupah orang yang tidak dikenal di padukuhan kami, untuk melihat sejauh mana kesiapan kami menghadapi Kademangan Prancak.”

“Aku menjadi bingung, tole. Aku tidak tahu apa yang kau maksud?”

Anak itu masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba saja kawannya menariknya sambil berkata, “Sudahlah. Jika mereka tidak tahu, biar saja tidak tahu. Kita kembali ke kambing-kambing kita.”

Anak-anak remaja itu pun segera berlari menghambur meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Apakah yang dimaksud anak-anak itu?” desis Rara Wulan.

“Masih belum jelas, Rara. Tetapi yang aku tangkap adalah satu kenyataan bahwa ada gejolak di Kademangan Prancak.”

“Ternyata padukuhan itu tidak mempersiapkan diri atau justru dalam permusuhan yang lama dengan orang-orang yang bersarang di ujung hutan. Tetapi justru persoalan yang tumbuh di Kademangan Prancak ini sendiri.”

Selagi Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu, mereka melihat beberapa orang anak remaja dari seberang susukan itu mendatangi mereka pula. Tetapi sikap mereka agak berbeda. Anak-anak dari seberang susukan itu nampak ragu-ragu, meskipun mereka berjalan terus ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Nampaknya mereka tidak bersikap bermusuhan,” desis Rara Wulan.

“Ya. Meskipun demikian, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sesuatu yang tidak pernah kita duga akan terjadi.”

Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Mereka tidak beringsut lagi dari tempat mereka berdiri di seberang jembatan. Agaknya anak-anak itu mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan anak-anak padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan.

Beberapa langkah dari Glagah Putih dan Rara Wulan, beberapa orang anak remaja itu berhenti. Mereka nampak semakin ragu-ragu.

Namun Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Kemarilah. Mendekatlah. Mungkin kita dapat berbincang.”

Anak-anak itu masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian dua orang di antara mereka pun melangkah mendekat, sedangkan yang lain berdiri saja seakan-akan membeku di tempatnya.

“Paman dan Bibi,” bertanya seorang di antara kedua orang remaja yang mendekat itu, “siapakah Paman dan Bibi?”

“Kami adalah pengembara, tole. Kami kebetulan saja lewat Kademangan Prancak ini.”

“Apakah Paman dan Bibi belum mengenal anak-anak yang tadi menemui Paman dan Bibi?”

“Belum,” jawab Glagah Putih, “kami belum mengenal mereka. Tetapi kami tadi melihat mereka di padukuhan sebelah.”

“Padukuhan Babadan.”

“Jadi padukuhan itu namanya padukuhan Babadan?”

“Ya,” jawab anak itu.

“Apakah kalian bermusuhan dengan anak-anak Babadan, sehingga mereka melempari kalian?”

“Babadan menganggap kami sebagai musuh-musuh. Bukan hanya anak-anak sebaya kami, tetapi juga orang-orang tua kami.”

“Kenapa?”

“Padukuhan Babadan sebenarnya termasuk lingkungan Kademangan Prancak. Tetapi dua padukuhan besar, yang satu di antaranya adalah Babadan, menyatakan bahwa seharusnya padukuhan induk Kademangan Prancak itu adalah Babadan. Demangnya harus orang Babadan, sementara padukuhan-padukuhan lain akan menjadi wilayah Kademangan Prancak, yang padukuhan induknya adalah padukuhan Babadan.”

“Apakah dengan demikian, maka orang-orang Babadan memusuhi orang-orang padukuhan lain di Kademangan Prancak?”

“Ya. Anak-anak Babadan juga memusuhi kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Persoalan yang timbul di Prancak itu sangat menarik perhatian mereka. Tetapi apakah perselisihan yang terjadi di Prancak itu sudah demikian parahnya sehingga orang-orang Babadan telah membangun dinding padukuhan yang tinggi serta membekali setiap orang dengan senjata?

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika seorang di antara kedua orang remaja itu bertanya, “Apakah Paman dan Bibi akan singgah di padukuhan kami?”

“Dimana padukuhanmu?”

“Kami tinggal di padukuhan itu, padukuhan Karang Lor.”

Glagah Putih dan Rara Wulan memandang ke arah remaja itu menunjuk. Sebuah padukuhan di seberang bulak. Nampaknya juga sebuah padukuhan yang besar, sebesar padukuhan Babadan. Namun agaknya gaya hidup orang Karang Lor berbeda dengan gaya hidup orang Babadan, meskipun sebenarnya keduanya termasuk satu kademangan.

“Jika kami singgah di padukuhanmu, apakah kami tidak dicurigai sebagaimana kami berada di Babadan?”

“Seandainya demikian, bukankah Paman dan Bibi dapat menjelaskan siapakah Paman dan Bibi sebenarnya ? Bukankah Paman dan Bibi dapat mengatakan bahwa Paman dan Bibi adalah seorang pengembara?”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Jika keberadaan mereka di padukuhan Karang Lor justru menimbulkan persoalan, maka persoalan itu akan dapat menghambat perjalanan mereka.

Namun seorang di antara kedua orang remaja yang mendekatinya itu berkata sambil menepuk bahu kawannya, “Anak ini adalah anak bebahu padukuhan Karang lor. Ayahnya seorang Kebayan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Bagaimana pendapatmu, Rara?” bertanya Glagah Putih.

“Agaknya tidak ada salahnya jika kita singgah di Karang Lor. Tetapi tentu tidak terlalu lama.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada kedua orang anak yang menemuinya, sementara kawan-kawannya memandangi dari kejauhan, “Apakah kalian akan pulang?”

“Kami menunggui burung di sawah. Burung pipit itu mencuri padi-padi kami.”

Namun kawannya itu berkata, “Aku akan mengantarkan Paman dan Bibi, jika Paman dan Bibi akan singgah di Karang Lor.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada berat Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Aku akan singgah di rumahmu.”

Remaja itu pun mengajak seorang kawannya yang lain untuk menemaninya pergi ke padukuhan. Remaja itu adalah anak yang disebut ayahnya seorang Kebayan.

Sambil berjalan menuju ke padukuhan, Rara Wulan pun bertanya, “Apakah kalian sering berkelahi dengan anak-anak Babadan?”

“Tidak, Bibi,” jawab anak Ki Kebayan itu, “tetapi setiap kali kami bertemu, mereka tentu melempari batu. Agaknya jika ada seorang di antara kami yang berani pergi ke seberang susukan, maka mereka benar-benar akan memukuli kami.”

“Apakah susukan ini merupakan batas antara Karang Lor dengan Babadan?”

“Ya. Sekarang menjadi batas antara dua padukuhan yang memisahkan diri dari Kademangan Prancak dengan padukuhan-padukuhan yang lain, sampai susukan ini keluar dari Kademangan Prancak dan mengairi sawah di daerah Payaman.”

“Sedangkan susukan ini sendiri?”

“Semua pihak menghormati susukan ini, karena susukan ini mengairi kademangan-kademangan lain pula.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara mereka berjalan terus bersama dua orang remaja, menuju ke padukuhan yang sudah berada tidak jauh di hadapan mereka.

“Padukuhan kalian ternyata juga termasuk padukuhan yang besar, sebagaimana padukuhan Prancak,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Ya, Paman. Padukuhan kami hampir sama besar dengan padukuhan Prancak.”

“Bagaimana dengan jumlah penghuninya? Manakah yang lebih banyak?”

Anak itu menggeleng sambil menjawab, “Entahlah, Paman. Aku tidak tahu.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sementara itu mereka sudah berada tidak jauh lagi dari gerbang padukuhan.

Namun dinding padukuhan Karang Lor itu tidak dibuat setinggi dinding padukuhan Prancak.

“Apakah orang-orang Karang Lor lebih garang dari orang-orang Prancak? Apakah justru orang-orang dari Karang Lor-lah yang sering mendatangi orang-orang Prancak?” bertanya Glagah putih di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bersama kedua orang remaja itu telah memasuki padukuhan Karang Lor. Demikian mereka masuk, maka mereka pun merasakan perbedaan suasana dengan padukuhan Prancak. Rasa-rasanya tidak ada ketegangan di padukuhan Karang Lor. Anak-anak bermain-main di jalan-jalan padukuhan dengan riuhnya. Para remajanya, bahkan anak-anak mudanya, tidak membawa senjata di lambungnya.

“Jika Prancak memusuhi seluruh kademangan, mereka tentu juga memusuhi padukuhan ini. Tetapi kenapa di padukuhan ini sama sekali tidak nampak nafas permusuhan itu, sehingga padukuhan Karang Lor ini nampaknya tetap tenang-tenang saja?”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari, bahwa mereka tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan jika mereka bertanya kepada remaja yang mengantar mereka itu. Karena itu, Glagah Putih menyimpan pertanyaannya sehingga ia dapat bertemu dengan Ki Kebayan. Ayah remaja yang mengantarkannya itu.

Demikian mereka melangkah beberapa puluh langkah memasuki padukuhan Karang Lor, maka remaja yang mengantarkan mereka itu pun berhenti di depan sebuah regol halaman yang terhitung luas.

“Ini rumahku, Paman,” berkata seorang di antara kedua remaja itu.

“O,” Glagah Putih mengangguk-anggukm “apakah ayahmu ada di rumah?”

“Ketika aku berangkat ke sawah, Ayah ada di rumah. Mungkin sekarangpun Ayah masih ada di rumah.”

Sebelum Glagah Putih menyahut, anak itu pun telah berlari memasuki halaman rumahnya, langsung masuk lewat pintu seketheng. Anak yang seorang lagi itu pun berkata, “Silahkan masuk, Paman dan Bibi.”

Glagah putih dan Rara Wulan tersenyum. Ternyata unggah-ungguh anak itu pun cukup baik.

Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Kebayan, maka Ki Kebayan telah keluar dari pintu pringgitan bersama anak laki-lakinya yang sudah remaja itu.

“Marilah, silahkan, Ki Sanak,” Ki Kebayan itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa.

Ketika Glagah putih dan Rara Wulan kemudian duduk di pringgitan bersama Ki Kebayan, maka anak Ki Kebayan itu sudah berlari menghambur ke halaman. Bersama kawannya anak itu pun berlari keluar regol dan turun ke jalan. Agaknya mereka akan kembali ke sawah, menunggui burung yang sering mencuri padi yang sudah hampir tua itu.

Di pringgitan, Ki Kebayan itu pun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Ki Sanak berdua, anakku itu tidak sempat mengatakan apa-apa kepadaku tentang Ki Sanak. la hanya mengatakan bahwa ada tamu di depan. Lalu ia berlari pergi seperti yang Ki Sanak lihat.”

“Kami bertemu dengan anak itu di sawah, Ki Kebayan. Bukankah aku berbicara dengan Ki Kebayan?”

“Ya. Aku adalah kebayan padukuhan Karang Lor.”

“Anak itulah yang mengatakan kepadaku, bahwa ayahnya adalah seorang Kebayan.”

“Ya.”

“Apa yang kami lihat di sawah telah membuat kami tertarik untuk singgah.”

“Apa yang Ki Sanak lihat?”

“Anak-anak Prancak telah melempari batu anak-anak Karang Lor dari seberang susukan.”

“Apakah anak-anak Karang Lor membalas?”

“Tidak, Ki Kebayan. Selain itu, banyak hal yang menarik perhatian kami di sepanjang perjalanan kami.”

“Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini?”

“Kami adalah suami istri yang sedang mengembara, Ki Kebayan. Kami tidak mempunyai tujuan. Kami berjalan menurut keinginan kaki kami.”

Ki Kebayan itu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia pun bertanya, “Ki Sanak berdua ini berasal dari mana?”

“Kami berasal dari Jati Anom.”

“Jati Anom dekat Gederan, Ngupit, Macanan, Sangkal Putung?”

“Ki Kebayan mengenal daerah itu dengan baik.”

“Ya. Aku sering pergi ke Macanan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ya. Aku berasal dari Jati Anom. Ayahku orang Banyu Asri.”

“Jadi kalian bukan seorang pengembara yang berasal dari ujung negeri ini, atau justru dari seberang lautan. Asal kalian dekat saja. Jati Anom.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Ya. Kami memang baru mulai. Jarak yang kami tempuh memang baru pendek saja.”

“Lalu, apakah kalian mempunyai tujuan, setidak-tidaknya arah perjalanan?”

“Kami akan pergi ke selatan, lewat Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jadi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya, Ki Kebayan.”

“Lalu?”

“Entahlah,” jawab Glagah Putih.

“Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak terlalu jauh lagi. Tetapi jalannya tidak begitu menyenangkan untuk dilewati. Kalian akan melewati jalan-jalan yang rumit, padang perdu, bahkan hutan yang lebat. Namun sekali-kali kalian akan melewati padukuhan yang ramai, seperti padukuhan-padukuhan di Kademangan Prancak ini.”

“Ya, Ki Kebayan. Kami sudah siap menempuh jalan yang bagaimanapun rumitnya. Namun daerah yang rumit itu justru tidak banyak menarik perhatian. Daerah yang sulit itu tidak akan banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, kecuali mungkin keluhan karena kami harus mengerahkan banyak tenaga.”

“Apa maksudmu, Ki Sanak?”

“Ki Kebayan. Seperti sudah aku katakan, aku menjadi heran melihat hubungan antara padukuhan Karang Lor dengan padukuhan Babadan di seberang susukan.”

Ki Kebayan menarik nafas panjang. Katanya, “Hubungan kami memang tidak begitu baik, Ki Sanak.”

“Bukankah Babadan dan Karang Lor ini sama-sama berada di Kademangan Prancak?”

“Ya.”

“Kenapa permusuhan itu dapat terjadi?”

“Jangankan dua padukuhan di satu kademangan, sedangkan saudara kandung yang tinggal serumah saja dapat saling bermusuhan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Kebayan benar. Tetapi persoalan yang timbul antara Karang Lor dan Babadan akan dapat menimbulkan banyak masalah bagi Kademangan Prancak.”

“Persoalannya itu sebenarnya bukan antara Karang Lor dan Babadan, tetapi antara Babadan dan seluruh Kademangan Prancak. Karena padukuhan Karang Lor itu juga berada di Kademangan Prancak. Tetapi orang-orang Karang Lor tidak mau mendukung niat orang-orang Babadan, yang menurut pendapat orang-orang Karang Lor tidak masuk akal, maka orang-orang Babadan menjadi marah dan memusuhi Karang Lor. Tetapi kami tidak bersikap bermusuhan seperti orang-orang Babadan. Kami tetap saja bersikap wajar.”

“Apakah sikap Karang Lor tercermin pada sikap anak-anak itu, Ki Kebayan? Meskipun mereka dilempari batu, tetapi mereka tidak akan membalas. Yang mereka lakukan hanya menjauh dan menghindari benturan kekerasan.”

“Ya. Itulah yang kami lakukan. Kami tidak merasa perlu untuk mempergunakan kekerasan.”

“Kalau orang-orang Babadan mempergunakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka terhadap anak-anak Karang Lor?”

“Jika kami tidak melayani mereka, apa yang akan mereka lakukan? Sampai sekarang, orang-orang Babadan tidak berbuat apa-apa terhadap kami, meskipun mereka sudah mempersiapkan diri untuk memaksakan kehendak mereka terhadap Kademangan Prancak.”

“Tetapi bukankah orang-orang Babadan telah melanggar paugeran, karena mereka ingin merebut kekuasaan atas Prancak?”

“Ya.”

“Kenapa orang-orang Karang Lor tidak bersikap tegas saja?”

“Maksudmu menentang kekerasan dengan kekerasan?”

“Ya.”

“Tidak. Kami tidak akan melakukannya. Ternyata orang-orang Babadan juga tidak melakukan kekerasan terhadap kami.”

“Baru saja aku melihat anak-anak Babadan melempari batu anak-anak Karang Lor.”

“Mereka hanya anak-anak.”

“Tetapi jika itu cermin sikap orang tuanya, sebagaimana anak-anak Karang Lor yang merupakan cermin sikap orang tua mereka, maka pada suatu saat orang-orang Babadan akan datang dan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.”

Ki Kebayan menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Tidak, mereka tidak akan melakukannya terhadap orang-orang Karang Lor. Mungkin terhadap padukuhan lain di Kademangan Prancak.”

“Jadi orang-orang Karang Lor akan tetap saja mengambang?”

“Sudahlah, Ki Sanak. Kalian bukan apa-apa di sini. Kalian bukan orang Karang Lor. Bahkan kalian bukan orang Kademangan Prancak. Jika kalian ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, silahkan. Kalian tidak usah mengurusi kami, orang-orang Karang Lor. Bahkan orang-orang Kademangan Prancak. Biarlah kami menentukan sikap kami sendiri sesuai dengan kehendak kami.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah, Ki Kebayan. Aku minta maaf. Sebenarnyalah kami hanya ingin tahu apa yang telah bergejolak di padukuhan ini.”

Ki Kebayan itu menarik nafas panjang. Katanya, “Itu akan lebih baik bagimu, Ki Sanak. Selamat jalan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka merasa bahwa Ki Kebayan itu menginginkah mereka berdua segera pergi.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera turun dari pendapa. Sekali lagi mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun mereka tertegun ketika mereka melihat empat orang berkuda memasuki halaman rumah itu tanpa turun dari kudanya.

Tiba-tiba saja wajah Ki Kebayan menjadi pucat. Di luar sadarnya ia pun berdesis, “Ki Jagabaya Babadan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar desis Ki Kebayan itu. Karena itu, maka mereka pun menjadi berdebar-debar pula. Yang datang itu adalah Ki Kebayan Babadan.

Menilik ujudnya, Ki Kebayan Babadan adalah seorang yang seram. Wajahnya yang keras menunjukkan kekerasan hatinya pula. Kumisnya yang melintang di bawah hidungnya. Matanya yang tajam seperti mata burung hantu.

“Ki Kebayan,” suara Ki Jagabaya Babadan itu bagaikan menggetarkan halaman rumah Ki Kebayan, “kau sembunyikan telik sandi dari Prancak ini?”

“Siapakah yang kau tuduh sebagai telik sandi dari Prancak?”

“Kedua orang ini. Kedua orang laki-laki dan perempuan ini.”

“Bagaimana mungkin aku menyembunyikan mereka? la ada di sini sekarang, di hadapanmu.”

“Kalau aku tidak segera datang, maka kedua orang ini tentu tidak akan aku ketemukan.”

“Kenapa kau menuduh mereka telik sandi dari Prancak, sedangkan mereka adalah orang-orang yang tidak aku kenal? Karena itu, maka untuk apa aku menyembunyikan orang yang tidak aku kenal?”

“Jika saja Karang Lor bersikap seperti padukuhan-padukuhan lain, maka aku akan membunuhmu. Tetapi Karang Lor bersikap lain, maka aku akan membiarkan kau hidup. Tetapi aku akan membawa kedua orang ini.”

“Apakah benar mereka telik sandi orang Prancak?”

“Tentu. Mereka memang bukan orang Prancak. Tapi mereka tentu diupah oleh Demang Prancak yang sekarang, untuk mengamati padukuhan Babadan dan sekitarnya. Agaknya ia sudah melakukannya dengan baik. la berhasil mengelabui anak muda kami yang lugu dan jujur. Anak-anak muda kami tidak akan mempertimbangkan kemungkinan orang dapat berlaku licik seperti mereka berdua.”

“Terserah saja kepada Ki Jagabaya Babadan, apa yang akan kau lakukan terhadap kedua orang itu. Aku tidak tahu menahu tentang keduanya.”

“Bagus, Ki Kebayan. Sebaiknya kau memang tidak menghalangi aku. Siapa yang mencoba menghalangi aku, akan mengalami nasib buruk seperti orang-orang yang berada di sawah itu.”

“Siapa? Orang-orang Karang Lor?”

“Bukan. Bukan orang-orang Karang Lor. Mereka adalah orang-orang Wijil. Orang-orang yang sombong, yang merasa orang di seluruh jagad ini tidak ada yang mampu menandingi kemampuan mereka.”

“Apa yang telah kau lakukan terhadap orang-orang padukuhan Wijil?”

“Lima orang Wijil mencoba untuk menangkap kami berempat, karena mereka menganggap kami telah berani melintasi jembatan pada susukan itu. Mereka tidak mau mengerti, bahwa kami sedang memburu dua orang petugas sandi dari Prancak yang mengamati padukuhan Babadan.”

“Apa yang kemudian terjadi atas orang-orang Wijil itu?”

“Aku tak tahu, apakah mereka mati, pingsan atau terluka parah.”

Ki Kebayan menarik nafas panjang.

“Sekarang, jangan halangi aku membawa kedua orang ini. Bukankah kedua orang ini yang baru saja melintasi jembatan di atas susukan itu? Bukankah mereka berdua yang baru saja melewati jalan utama padukuhan Babadan?”

“Bertanyalah sendiri kepadanya,” berkata Ki Kebayan, “aku baru saja mengusirnya untuk meninggalkan Karang Lor.”

“Kau mengusirnya?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“la berusaha untuk menghasut aku, agar aku melakukan perlawanan terbuka terhadap Babadan.”

“Nah, bukankah tuduhan kami benar, bahwa keduanya adalah petugas sandi dari Prancak, yang bukan saja harus mengamati padukuhan Babadan, tetapi juga menghasut permusuhan.”

“Mungkin kau benar.”

“Baiklah, Ki Kebayan. Aku akan membawa keduanya. Jika keduanya berbuat macam-macam di jalan, kami akan bertindak tegas. Nyawa keduanya memang tidak berharga bagi kami.”

“Terserah kepada kalian.”

Ki Jagabaya Babadan itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Ikut kami. Jangan membantah.”

“Tetapi kami tidak merasa melakukan pengamatan di Babadan. Kami bukan telik sandi dari Prancak. Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di Kademangan Prancak.”

“Jangan banyak bicara. Ikut kami, atau kami harus melakukan kekerasan terhadap kalian berdua.”

Ketika Rara Wulan memandang Glagah Putih untuk minta pertimbangan, ia melihat Glagah Putih mengangguk kecil. Karena itu, maka Rara Wulan pun tidak berbuat apa-apa, selain mengikuti Glagah Putih sambil berpegang lengannya.

Ki Jagabaya dari Babadan itu pun kemudian membentak, “Ayo jalan! Kita pergi ke Babadan.”

Glagah Putih tidak melawan. la pun berjalan ke regol halaman. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan suaminya.

“Kami tidak bersalah, Ki Sanak.” berkata Glagah Putih sambil turun ke jalan di depan rumah Ki Kebayan.

“Diam!” bentak Ki Jagabaya dari Babadan, “kami tidak pernah memaafkan orang-orang yang telah menjual dirinya menjadi telik sandi di Babadan.”

“Apakah sebelum kami, Ki Jagabaya sudah pernah menangkap orang yang menjadi telik sandi di Babadan?”

“Jangan pura-pura tidak tahu. Kami telah menghukum mati lima orang yang telah diupah oleh orang-orang Prancak untuk menjadi telik sandi di Babadan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata sudah ada korban yang jatuh karena tuduhan itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan sepanjang jalan utama padukuhan Karang Lor menuju ke pintu gerbang. Beberapa orang sempat menyaksikannya dari balik pintu regol halaman mereka masing-masing yang sedikit terbuka.

“Mereka telah terjerumus ke dalam nasib buruk,” desis orang-orang Karang Lor yang sempat melihat keduanya digiring oleh empat orang berkuda.

Orang-orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah membentak-bentak mereka pula, agar mereka berjalan lebih cepat.

Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di bulak panjang. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki berada di bulak panjang itu. Mereka ternyata sedang mengerumuni beberapa sosok tubuh yang terbaring di pinggir jalan. Agaknya orang-orang itulah yang dikatakan oleh Ki Jagabaya Babadan. Lima orang dari padukuhan Wijil yang mencoba menangkap Ki Jagabaya serta ketiga orang yang berkuda bersamanya itu.

Namun ketika mereka melihat empat orang berkuda yang menggiring Glagah Putih dan Rara Wulan. maka orang-orang itu pun menyibak.

“Jangan berbuat bodoh,” berkata Ki Jagabaya Babadan. “Jika kalian menghalangi aku, maka nasib kalian akan sama seperti kelima orang kawanmu yang dungu itu.”

Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan sebelah-menyebelah itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian.”

“Apa yang akan kalian lakukan?”

“Menangkap kalian berempat.”

Keempat orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Kalian berani mencoba menangkap kami berempat? Apakah kulit kalian sudah berlapis besi baja? Bukankah kalian tahu bahwa Jagabaya Babadan adalah seorang yang tidak terkalahkan? Padahal aku sekarang berada di sini bersama tiga orang kawanku.”

“Sejak kapan kau menjadi Jagabaya Babadan?” jawab orang yang berdiri di pinggir jalan itu.

“Pertanyaan yang bodoh. Aku adalah Jagabaya Babadan. Ki Bekel Babadan sudah mengakui kedudukanku. Sebentar lagi aku akan menjadi Jagabaya Kademangan Babadan. Semua padukuhan di Kademangan Prancak sekarang harus mengakui kepemimpinan Demang yang baru, yang berkedudukan di Babadan.”

“Omong kosong,” sahut orang yang berdiri di pinggir jalan. “Kau kira kami tidak tahu siapakah kalian? Kalian bahkan bukan orang Babadan, bukan pula orang Prancak.”

Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Ketiga orang kawannya pun tertawa pula.

Glagah Putih dan Rara Wulan mulai mengenali persoalannya sedikit demi sedikit. Jika orang yang disebut Ki Jagabaya itu bukan orang Babadan, maka mereka pun segera menghubungkan jejak kaki kuda yang berada di jalan setapak, di padang perdu yang menghubungkan Babadan dengan daerah yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang yang bersarang di ujung hutan, yang tentu bukan orang baik-baik. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum dapat mengambil kesimpulan apapun juga.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya Babadan itu pun berkata, “Minggir. Aku sedang membawa dua orang tawanan, karena mereka adalah telik sandi yang telah kalian upah untuk mengamati keadaan di Babadan. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal. Tetapi jika kalian mencoba untuk melindunginya, maka kalian akan mengalami nasib buruk seperti kawan-kawanmu itu.”

“Kau mencoba menakut-nakuti kami?”

“Bukan sekedar menakut-nakuti. Kau sudah melihat akibat perbuatan kawan-kawanmu itu. Untunglah bahwa agaknya mereka belum benar-benar mati meskipun terluka parah. Tetapi untuk melawan orang yang jumlahnya lebih banyak, maka kami akan menjadi lebih garang lagi.”

“Kau kira kami menjadi ketakutan?”

Ki Jagabaya Babadan itu pun kemudian menggeram, “Jadi kalian benar-benar ingin menangkap kami?”

“Ya. Kalian telah berani melanggar batas yang untuk sementara kita buat di antara kita. Susukan ini.”

“Sudah berapa kali kalian mencoba melakukannya atas bebahu padukuhan Babadan. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Kenapa kalian tidak pernah menjadi jera?”

“Kami memang tidak akan pernah menjadi jera, sebelum tatanan pemerintahan di Prancak ini berjalan sebagaimana seharusnya. Kehadiran kalian di Babadan telah banyak menimbulkan masalah.”

“Aku peringatkan sekali lagi, jangan halangi kami. Kedua orang ini adalah telik sandi. Kami berhak menangkap mereka.”

“Kami tidak mengenal mereka berdua. Yang kami persoalkan adalah keberadaan kalian di sini.”

“Kalian telah menyebut siapakah kami. Seharusnya kalian sadari, bahwa kami tidak akan dapat dihentikan. Jika kalian berkeras melakukannya, adalah pertanda kematian bagi kalian.”

Orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu pun kemudian telah memencar. Mereka terdiri dari sembilan orang laki-laki yang tubuhnya nampak kokoh. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda. Yang lain sudah lebih tua dan berbekal pengalaman.

Empat orang itu pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan tenangnya mereka menambatkan kudanya pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu.

Seorang di antara mereka berkata dengan suara yang gemuruh, “Kalian akan menyesali kesombongan kalian. Jika kulit kami tergores meskipun hanya seujung duri oleh senjata-senjata kalian, maka itu adalah pertanda bahwa perubahan yang akan terjadi di Prancak menjadi lebih cepat. Kami akan segera mengambil langkah-langkah yang lebih pasti menyongsong perubahan yang bakal datang itu.”

Orang Prancak itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami juga dapat menakut-nakuti kalian. Meskipun kami tahu siapakah kalian sebenarnya, tetapi kami sudah bertekad untuk menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Demang di Prancak. Kalian dan semua bebahu Babadan, terutama kawan-kawan kalian, akan segera diadili, karena kalian telah mengacaukan tatanan kehidupan di Prancak.”

Ki Jagabaya Babadan itu tertawa. Katanya, “Baik, baik. Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan cara terbaik.”

Ki Jagabaya itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kalian berdiri saja di pinggir jalan. Jangan mencoba-coba berbuat sesuatu yang tidak kami kehendaki. Jangan mencoba berpihak dan jangan mencoba melarikan diri. Jika kalian mencobanya juga, maka nasib kalian akan menjadi lebih buruk dari orang-orang Prancak ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser dan berdiri di atas tanggul parit di pinggir jalan. Rara Wulan masih saja berpegangan lengan Glagah Putih.

Orang-orang Prancak itu memandangi mereka dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak sempat bertanya tentang diri mereka. Mereka pun tidak tahu kenapa orang-orang yang mengaku bebahu padukuhan Babadan itu menuduh mereka sebagai petugas sandi dari Prancak.

“Apakah Ki Demang memang mengirimkan mereka?” bertanya orang-orang itu di dalam hatinya. Sementara itu, kedua belah pihak pun telah bersiap. Senjata yang ada di tangan mereka pun mulai bergetar.

Keempat orang penunggang kuda yang mengaku orang-orang Babadan itu pun telah menarik senjata mereka pula. Dua orang di antara mereka bersenjata pedang, seorang bersenjata golok dan seorang lagi membawa bindi.

Dalam pada itu, lima orang yang telah terluka parah dan yang telah diangkat menepi oleh tetangga-tetangganya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Bahkan masih ada seorang yang belum sadarkan diri.

Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di antara mereka. Orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itu pun menyerang bersama-sama dari beberapa arah.

Ternyata ada juga di antara orang-orang Prancak itu yang berbekal ilmu kanuragan. Mereka telah memimpin tetangga-tetangga mereka memberikan perlawanan terhadap keempat orang berkuda yang mengaku orang-orang Babadan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang semula bersarang di ujung hutan itu.

Meskipun di antara orang-orang Prancak terdapat orang-orang yang memiliki bekal olah kanuragan. namun ternyata dalam waktu yang singkat para penunggang kuda itu telah mulai mendesak mereka. Orang-orang berkuda itu bertempur dengan garangnya. Mereka pun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan agaknya mereka telah memiliki pengalaman yang luas pula.

Karena itu, maka justru orang-orang Prancak yang jumlahnya lebih banyak itulah yang mulai tergores senjata. Pakaian mereka mulai terkoyak dan bahkan tubuh mereka mulai terluka.

Agaknya keempat orang yang mengaku orang Babadan itu benar-benar marah terhadap orang-orang Prancak. Mereka nampaknya tidak lagi berusaha untuk menghindari kematian.

Ketika seorang diantara orang-orang Prancak itu terlempar ke tanggul parit dengan luka yang tergores menyilang di dadanya, Glagah Putih dengan serta merta telah menolongnya.

Tetapi seorang di antara orang-orang berkuda itu berteriak, “Biarkan saja orang itu mati! Kau sudah diperingatkan, jangan berpihak!”

Namun Glagah Putih pun menjawab, “Orang ini dapat tercebur ke dalam parit. Meskipun airnya tidak begitu deras, tetapi menilik keadaannya, maka ia akan dapat mati terbenam di dalam air di parit itu.”

“Sudah aku katakan, biar saja orang itu mati!”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun diletakkannya orang itu di sisi tanggul, sehingga orang itu tidak akan dapat terguling dan tercebur ke dalam parit yang mengalir itu.

Namun kepada Rara Wulan yang berjongkok di sampingnya itu pun Glagah Putih berbisik, “Marilah kita melarikan diri menyeberangi jembatan itu.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Setidak-tidaknya seorang atau dua orang akan mengejar kita. Dengan demikian, maka beban orang-orang Prancak akan menjadi lebih ringan.”

“Aku mengerti maksud Kakang,” sahut Rara Wulan.

“Nah, jangan menunggu orang-orang Prancak menjadi lebih parah. Mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan terhadap empat orang sekaligus.”

Glagah Putih dan Rara Wulanpun tiba-tiba saja bangkit berdiri. Jembatan di atas susukan yang membelah Kademangan Prancak itu sudah kelihatan tidak terlalu jauh lagi.

Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun melarikan diri mereka menuju ke jembatan. Orang-orang yang mengaku orang Babadan itu terkejut melihat kedua tawanan mereka berlari. Karena itu, maka dengan serta-merta Ki Jagabaya Babadan itu memerintahkan dua orang kawannya untuk mengejar.

Dengan demikian, maka yang bertempur melawan delapan orang Prancak tinggal dua orang saja. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Prancak itu mulai dapat menempatkan diri mereka dengan lebih mapan. Terutama mereka yang memang memiliki bekal olah kanuragan.

Sementara itu, dua orang yang lain telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata perempuan yang selalu berpegangan lengan suaminya itu mampu juga berlari demikian cepatnya.

Kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak tahu, bahwa keduanya pernah membuat diri mereka hidup seperti seekor kijang.

Karena itu, maka kedua orang itu tidak segera berhasil menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun ketika jarak mereka menjadi semakin jauh, maka Glagah Putih pun memperingatkan Rara Wulan, “Jangan terlalu cepat. Jika mereka yakin tidak akan dapat mengejar kita, maka mereka akan kembali ke arena pertempuran itu. Mereka justru akan menumpahkan kemarahan dan kekecewaan mereka kepada orang-orang Prancak.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Mereka berlari seperti siput. Bukankah mereka berandal-berandal yang bersarang di ujung hutan itu?”

“Agaknya mereka-lah yang telah dengan sengaja menimbulkan pertentangan di Kademangan Prancak.”

“Ya. Tentu mereka yang telah menghasut orang-orang Babadan itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang memperlambat larinya, melihat kedua orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat. Namun mereka berdua berniat menyeberangi jembatan. Baru kemudian mereka akan membiarkan kedua orang yang. mengejar mereka itu dapat menyusul.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di jembatan yang membentang di atas susukan. Namun demikian mereka melewati jembatan, maka tiba-tiba saja beberapa orang remaja yang sebelumnya mereka lihat melempari balu anak-anak Karang Lor, telah berdiri di pinggir jalan itu pula.

Adalah di luar dugaan bahwa anak-anak remaja itu pun telah melempari Glagah Putih dan Rara Wulan dengan batu.

“Kalian tentu petugas sandi dari Prancak!” teriak anak-anak itu. Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa berlari terus untuk menghindari lemparan batu dan anak-anak remaja itu.

“Bagaimana kita harus menghadapi mereka?” bertanya Rara Wulan, “Mereka pun mengejar kita beramai-ramai.”

“Kita tunggu kedua orang itu. Kita akan berbincang dengan mereka.”

“Hanya berbincang?”

“Tergantung kepada sikap mereka.”

Rara Wulan masih berlari terus. Anak-anak remaja itu pun mengejar mereka sambil melempari batu. Tetapi dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berusaha mencegah mereka.

Seorang di antara mereka berteriak, “Kalian jangan melempari batu! Biarlah kami menangkap mereka! Kami akan menggantung mereka di pintu gerbang. Baru kalian boleh melempari mereka dengan batu.”

Anak-anak itu pun berhenti. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menyeberangi jembatan itu pun berlari semakin lambat, sehingga akhirnya kedua orang itu pun dapat menyusul mereka.

Seorang di antara kedua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian berteriak, “Berhenti! Berhenti, anak iblis!”

Rara Wulan yang masih berlari itu pun berkata, “Aku senang bermain-main dengan mereka. Marilah kita lari lebih cepat lagi, agar mereka mengejar kita semakin jauh.”

“Kita akan lebih banyak kehilangan waktu,” sahut Glagah Putih.

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Jika kita berlari lebih cepat lagi dan menjadi lebih jauh dari mereka, maka nafas mereka akan menjadi semakin terengah-engah. Bahkan mungkin sekali mereka akan kehabisan nafas.”

“Itu dapat saja terjadi. Tetapi akan memerlukan waktu yang lama.”

“Jadi?”

“Kita berhenti saja selagi kita masih berada di bulak. Kita paksa saja mereka berhenti berlari dan tidak mengejar kita lagi.”

Rara Wulan mengangguk.

Sementara itu, dua orang yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka. Sekali lagi terdengar mereka berteriak, bahkan kedua-duanya, “Berhenti! Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari tanganku. Semakin cepat semakin baik.”

Yang seorang berteriak pula, “Semakin jauh kau berlari, nasibmu akan menjadi semakin buruk!” Yang lain menyambung, “Aku akan memotong kedua kakimu dan kedua tanganmu!”

Rara Wulan pun berdesis, “Lucu sekali.”

Tetapi Glagah Putih menyahut, “Berhenti. Kita akan berhenti di sini.”

“Sebentar lagi, Kakang Biarlah tangan mereka menggapai-gapai.”

Glagah Putih terpaksa mengikut saja. Rara Wulan justru berlari lebih cepat, sehingga kedua orang yang sudah dapat menyusul mereka itu pun harus mengerahkan tenaga untuk dapat menangkap kedua orang buruan mereka. Tetapi jarak mereka menjadi semakin jauh lagi.

Kedua orang itu mengumpat. Mereka pun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka berlari untuk mengejar kedua orang buruan mereka. Tetapi kedua orang suami istri itu rasa-rasanya berlari semakin cepat.

Namun ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak, Rara Wulan pun berkata, “Nah, kita berhenti di simpang empat itu. Ada tempat yang agak luas untuk bermain.”

Sebenarnyalah ketika mereka sampai di simpang empat, maka mereka pun berhenti. Ternyata jarak kedua orang yang mengejar mereka sudah menjadi agak jauh lagi.

Sejenak kemudian, kedua orang yang mengejar mereka itu pun telah sampai di simpang empat pula. Nafas mereka menjadi terengah-engah, tidak saja lewat hidung mereka, tetapi juga lewat mulut mereka.

“Setan alas,” geram seorang di antara mereka di sela-sela tarikan nafasnya, “kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Kalian telah mencoba melarikan diri. Kemudian kalian tidak mau berhenti pada saat kami memerintahkan kalian berhenti.”

“Bukankah kami telah berhenti sekarang?” Rara Wulan-lah yang menyahut.

“Kenapa baru sekarang kalian berhenti? Bukankah sejak melewati jembatan itu kami sudah memerintahkan kalian berhenti?”

“Ya. Dan sekarang kami sudah berhenti.”

“Kenapa baru sekarang?” bentak yang seorang.

“Apakah kami harus berlari lagi?” bertanya Rara Wulan.

“Cukup! Kalau berlari lagi, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi. Kau akan dikejar oleh semua orang penghuni padukuhan Babadan seperti mengejar bajing.”

“Kau tahu bahwa kami dapat berlari kencang.”

“Kau juga tahu bahwa kami mempunyai kuda yang dapat bertari jauh lebih kencang lagi.”

“Kudamu tidak ada di sini sekarang. Selagi kalian mengambil kuda, kami sudah hilang dari pandangan kalian.”

“Persetan. Sekarang kalian tidak akan dapat melarikan diri lagi.”

Rara Wulan tertawa. Katanya kepada Glagah Putih, “Kakang, bukankah menyenangkan bermain kejar-kejaran di bulak yang luas ini?”

“Sudahlah, Rara. Kita harus segera kembali ke arena pertempuran itu. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba ia pun berkata, “Kita berlari lagi ke jembatan.”

Glagah Putih menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Kita hormati orang-orang yang telah memburu kita ini.”

Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Baik. Aku ingin memukuli mereka sampai pingsan.”

“Apa yang kau katakan?” bentak seorang dari mereka yang mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan itu.

“Sekarang kalian mau apa?” bertanya Rara Wulan. “Kami sudah berhenti menunggu kalian yang berlari seperti siput.”

Jantung kedua orang itu berdesir. Sikap Rara Wulan sempat membuat dada mereka berdebaran. Ternyata perempuan itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan agaknya mereka sengaja menunggu agar kedua orang yang mengejarnya itu dapat menyusulnya.

Justru karena itu, maka keduanya mulai menjadi lebih berhati-hati menghadapi kedua orang laki-laki dan perempuan itu.

“Sekarang, ulurkan tangan kalian. Kami akan mengikat kalian dan membawa kalian ke Babadan. Kalian harus diadili, karena kalian adalah petugas sandi yang diupah oleh orang-orang Prancak.”

“Tidak. Kami bukan orang yang diupah oleh siapa-siapa. Kami adalah pengembara yang tidak terikat oleh siapapun. Kami dapat menentukan tujuan kami sendiri, dan kami dapat melakukan apa yang ingin kami lakukan, asal tidak merugikan dan mengganggu orang lain,” jawab Glagah Putih.

“Kau menganggap bahwa seorang telik sandi tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain?”

“Aku tidak mengatakan bahwa telik sandi itu tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain. Yang aku katakan adalah, bahwa kami bukan orang yang diupah untuk memata-matai pihak manapun.”

“Bohong. Semuanya menjadi semakin jelas dengan sikap kalian sekarang ini.”

“Bagaimana dengan sikap kami sekarang?”

“Ternyata kalian memiliki keberanian untuk melawan kami. Jika kalian bukan telik sandi yang serba sedikit berbekal kemampuan olah kanuragan, maka kalian tentu tidak akan berani melawan kami, karena perlawanan kalian akan membuat kalian semakin menderita menjelang saat kematian kalian.”

“Kau kira kami akan begitu saja menerima kematian?”

“Persetan. Kalian menganggap diri kalian ini siapa, he? Kalian mengira bahwa kalian dapat luput dari kematian karena kalian telah memata-matai kami?”

“Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami tahu bahwa kalian bukan orang-orang Babadan. Jika orang-orang Babadan menemukan mayat kalian di sini, maka orang-orang Babadan akan tahu, bahwa kalian sebenarnya bukan apa-apa di dunia olah kanuragan.”

“Cukup! Aku akan mengoyakkan mulutmu.”

“Aku-lah yang akan melakukannya.”

Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, anak-anak remaja yang melempari Glagah Putih dan Rara Wulan telah berlari-lari sampai ke tempat itu pula. Sambil berteriak teriak mereka pun mendekati kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu.

“Tangkap mereka, Paman. Serahkan kepada kami!” teriak seorang di antara mereka.

Seorang di antara kedua orang itu pun berkata dengan serta-merta, “Mundur! Jangan terlalu dekat. Nanti kalian dapat menjadi korban.”

Anak-anak itu pun kemudian bergeser mundur. Sementara Rara Wulan pun bertanya, “Apakah kalian akan ikut bermain? Jamuran atau cublak-cublak suweng?”

“Permainan anak-anak perempuan,” sahut mereka.

“Bukankah aku juga perempuan?”

“Tetapi kami bukan perempuan!” teriak seorang diantara mereka.

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Baik. Jika demikian, lihat saja, kami akan berkelahi. Bukankah berkelahi itu mainan laki-laki?”

Anak-anak itu terdiam.

“Bersiaplah,” berkata salah seorang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan, “kami benar-benar akan membunuh kalian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanya pun segera mengambil jarak. Sementara itu Rara Wulan tidak hanya menyingsingkan kain panjangnya sampai ke bawah lutut. Tetapi diangkatnya kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya.

Kedua orang yang mengejarnya itu pun menjadi semakin menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.

“Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan.”

Demikianlah, maka kedua orang yang memburu Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah menempatkan dirinya. Seorang akan bertempur melawan Glagah Putih, yang seorang lagi akan menghadapi Rara Wulan. Meskipun keduanya menyadari bahwa kedua orang itu tentu memiliki bekal ilmu, namun mereka masih saja menganggap diri mereka memiliki kelebihan serta pengalaman.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun mulai menyerang. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap pula untuk menghadapinya.

Sementara itu, Rara Wulan yang ingin bermain kejar-kejaran itu tidak berminat untuk bertempur berlama-lama. Seperti Glagah Putih, ia pun teringat kepada orang-orang Prancak yang bertempur di seberang jembatan. Apakah mereka mampu mempertahankan diri atau tidak.

Karena itu, maka Rara Wulan itu pun segera meningkatkan kemampuannya, sehingga dengan cepat ia telah mendesak lawannya.

Glagah Putih pun tidak ingin membuang banyak waktu. Sehingga Glagah Putih pun berusaha untuk menghentikan perlawanan orang yang memburunya itu dengan cepat.

Sementara itu, di seberang jembatan, orang-orang Prancak masih bertempur melawan dua orang berkuda itu dengan sengitnya.

Namun, bahwa lawan mereka telah berkurang dengan dua orang, agaknya telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengimbanginya. Orang-orang Prancak itu telah mengerahkan kemampuan mereka tanpa menjadi gentar, meskipun kedua lawan mereka adalah orang-orang berilmu tinggi.

Bahwa mereka berjumlah sembilan orang, telah memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengalahkan kedua orang yang mengaku Orang Babadan itu.

Sebenarnyalah, betapapun kedua orang Babadan itu mengerahkan kemampuan mereka, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk melawan sembilan orang Prancak. Ternyata bahwa orang-orang Prancak itu bukannya tidak berilmu sama sekali. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapi kedua orang Babadan itu.

Karena itulah, maka kedua orang Babadan itu pun harus melihat kenyataan itu. Jika mereka memaksa diri untuk bertempur terus, maka ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan lagi, sehingga mereka akan dapat ditangkap dan menjadi tawanan di Prancak, atau bahkan di padukuhan Wijil.

Dengan demikian, maka nasib mereka pun akan menjadi sangat buruk, karena mereka akan menjadi pengewan-ewan di Kademangan Prancak.

Karena itu, maka kedua orang itu pun harus mengambil sikap dengan cepat. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu pun segera memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan arena pertempuran.

Karena itu, ketika terbuka kesempatan bagi mereka, maka keduanya pun segera berlari ke kuda mereka yang tertambat di pinggir jalan. Dengan cepat mereka menarik kendali yang disangkutkan pada sebatang pohon di pinggir jalan. Dengan cepat pula mereka pun berloncatan ke punggung kuda mereka.

Sejenak kemudian, kedua ekor kuda dengan dua orang penunggangnya itu pun segera melarikan diri meninggalkan arena pertempuran, serta meninggalkan dua ekor kuda milik kedua orang yang telah mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan.

Beberapa saat kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah menyeberangi jembatan di atas susukan itu. Dengan demikian, maka orang-orang Prancak yang berusaha mengejar mereka telah terhenti. Mereka tidak berani menyeberangi jembatan itu, karena jika terjadi sesuatu dengan mereka, maka hal itu akan dianggap sebagai salah mereka sendiri.

Dalam pada itu. kedua orang berkuda itu pun telah melecut kuda mereka agar berlari semakin kencang.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendesak lawan-lawan mereka. Kedua orang yang mengaku orang Babadan itu mengalami kesulitan untuk melindungi diri mereka masing-masing.

Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang datang beruntun dengan kecepatan yang tinggi, telah membuat keduanya jatuh bangun. Sekali-sekali mereka terlempar karena serangan lawan-lawan mereka. Tetapi dengan cepat mereka pun segera bangkit berdiri untuk meneruskan perlawanan.

Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka kedua orang itu pun segera mulai berpengharapan. Mereka mengira bahwa kedua kawan telah berhasil menyelesaikan perkelahian mereka melawan orang-orang Prancak, sehingga mereka datang untuk menyusul dan membantu mereka.

Karena itu, maka kedua orang itu pun segera berloncatan untuk mengambil jarak.

Ketika keduanya berpaling, maka jantung mereka pun menjadi berdebaran. Mereka tidak melihat keduanya membawa kuda-kuda mereka.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak segera memburu lawan-lawan mereka. Keduanya pun sempat memperhatikan kedua orang yang mengaku orang-orang Babadan itu. Bahkan seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya di Babadan.

Kedua penunggang kuda itu pun segera melihat kedua kawan mereka yang bertempur melawan kedua orang yang melarikan diri. Keduanya pun melihat bahwa kedua orang kawannya itu telah berloncatan mengambil jarak.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Jagabaya.

“Nampaknya kedua orang tawanan kita itu mencoba melawan,” sahut kawannya.

“Anak-anak itu?”

“Mereka menonton saja.”

Sejenak kemudian, keduanya pun telah berloncatan dari punggung kuda. Tiba-tiba saja anak-anak remaja yang menyaksikan perkelahian itu bersorak. Kedatangan kedua orang itu akan membantu kedua kawannya yang segera terdesak oleh dua orang yang dituduh telik sandi dari Prancak itu.

Demikian keduanya menyangkutkan kendali kuda mereka di sebatang pohon, maka seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Kedua orang ini mencoba melawan,” sahut salah seorang kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih.

“Itu lebih baik. Kita akan membunuhnya sekarang.”

“Serahkan kepada kami, Paman!” teriak anak-anak itu.

Kedua orang berkuda itu memandangi mereka sambil tersenyum. Seorang di antara mereka berkata, “Baik. Aku akan mengikat mereka dan menyerahkan mereka kepada kalian.”

“Terima kasih, Paman, terima kasih. Kami akan mendapat mainan yang menyenangkan.”

Adalah di luar dugaan bahwa Glagah Putih pun telah tertawa pula.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Itukah yang kalian ajarkan kepada anak-anak kalian? Apa yang kalian harapkan dari anak-anak kalian di masa depan? Apakah kalian berharap bahwa anak-anak kalian akan menjadi sekelompok orang yang membenci sesama? Sekelompok orang yang menjadi gembira melihat penderitaan orang lain?”

Dahi Ki Jagabaya itu pun nampak berkerut. Namun kemudian ia pun berkata, “Anak-anak kami bukan anak-anak yang cengeng. Mereka terlatih untuk bertindak tegas terhadap orang-orang jahat seperti kalian. Kalian yang makan upah untuk menjadi telik sandi, mengamati dan kemudian memberikan laporan tentang kelemahan-kelemahan sasarannya. Bukankah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang sangat nista?”

“Apakah kau sedang bermimpi?” bertanya Glagah Putih, “Dari mana kau mendapat alasan untuk menuduh kami menjadi telik sandi, hanya karena kami berjalan melewati padukuhanmu? Apakah setiap orang lain yang melewati padukuhan Babadan dapat dituduh menjadi telik sandi? Jika benar sebagaimana kau katakan bahwa kau telah menghukum mati beberapa orang yang kau tuduh sebagai telik sandi, maka kau benar-benar seorang yang sangat jahat.”

“Persetan,” geram orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu.

Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan-lawannya. Demikian pula Rara Wulan.

Namun kawan Ki Jagabaya itu sendiri-lah yang bertanya, “Apakah Ki Jagabaya sudah menyelesaikan orang-orang Prancak itu?”

“Sudah,” jawab Ki Jagabaya.

“Bagus. Sekarang kita selesaikan dua ekor cecurut ini.”

“Kita sudah berjanji untuk menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian menyerahkannya kepada anak-anak itu.”

“Kita akan menyeretnya ke padukuhan.”

“Biarlah anak-anak itulah yang melakukannya. Menyeret dua onggok slangkrah yang terikat. Memang sepantasnyalah keduanya disurukkan ke dalam bendungan, untuk dijadikan tumbal agar bendungan itu tidak segera rusak.”

Anak-anak itu tiba-tiba bersorak, “Biarlah kami yang menyeret keduanya ke bendungan, Paman. Biarlah kami yang menceburkannya ke dalam air.”

Tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, “Alangkah senangnya mereka mendapat mainan dengan mengorbankan jiwa sesama. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana mereka menjadi sangat gembira melihat penderitaan sesamanya.”

Tetapi Ki Jagabaya di Babadan itu menyahut, “Ternyata kalian sudah menjadi ketakutan. Tetapi nasib kalian memang sangat buruk. Kalian akan menjadi pengewan-ewan di sini. Bukan hanya anak-anak. Tetapi seisi padukuhan Babadan akan sangat gembira, karena kami sudah berhasil menangkap sepasang telik sandi.”

“Kau pantas mati,” geram Rara Wulan.

Melihat kesungguhan di wajah Rara Wulan, orang yang menyebut dirinya Jagabaya di Babadan itu tidak dapat mengabaikannya. Tetapi ia yakin bahwa berempat mereka akan dapat menangkap dan benar-benar mengikat keduanya, untuk mereka serahkan kepada anak-anak remaja yang sedang menonton pertempuran itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bergeser mengambil jarak di antara mereka. Keduanya telah siap untuk bertempur masing-masing melawan dua orang di antara mereka.

Gejolak di dada Rara Wulan pun terasa menjadi semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka Rara Wulan-lah yang kemudian justru meloncat mulai menyerang.

Namun lawan-lawannya pun telah bersiap pula, sehingga sejenak kemudian maka pertempuran pun telah berkobar kembali. Glagah Putih dan Rara Wulan masing-masing harus bertempur menghadapi dua orang lawan.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menganggap orang orang Babadan itu sudah bertindak melampaui batas, maka keduanya pun segera meningkatkan kemampuan mereka. Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang lawan-lawan mereka.

Serangan-serangan itu datang demikian cepatnya sehingga mengejutkan lawan-lawan mereka. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membuat penilaian atas kemampuan suami istri yang telah mereka tuduh menjadi telik sandi itu.

Pertempuran pun dengan cepatnya meningkat semakin sengit. Ki Jagabaya yang menempatkan dirinya bersama seorang kawannya melawan Glagah Putih, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, maka Jagabaya Babadan itu sudah terlempar dari arena.

Kaki Glagah Putih yang terjulur lurus menyamping telah mengenai dadanya. Dengan tangkasnya Jagabaya Babadan itu bangkit. Namun terasa dadanya menjadi sesak. Tulang-tulang iganya menjadi nyeri.

Dalam pada itu, anak-anak remaja yang menonton pertempuran itu masih saja bersorak-sorak. Dengan lantang mereka berteriak, “Cepat, Paman! Tangkap mereka! Ikat dan serahkan kepada kami.”

Yang lain pun berteriak pula, “Biar aku seret perempuan itu ke tepian, Paman! Biarlah kami memandikannya sebelum kami surukkan perempuan itu ke bendungan.”

Suara anak-anak remaja yang riuh itu telah membuat jantung Rara Wulan semakin bergejolak. Meskipun ia harus bertempur menghadapi dua orang lawan, namun Rara Wulan sempat juga menjadi cemas akan watak dan tingkah laku anak-anak remaja itu kelak, jika mereka menjadi semakin besar dan menjadi dewasa.

“Mereka akan menjadi apa?” pertanyaan itu sempat mengganggu perasaan Rara Wulan.

Namun Rara Wulan itu terkejut. Bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang buruk, Rara Wulan menghadapi kenyataan. Ia merasakan punggungnya menjadi sakit. Bahkan hampir saja Rara Wulan itu jatuh terjerembab.

Seorang di antara kedua lawannya yang menyerangnya dari belakang berhasil mengenai punggung Rara Wulan dengan serangan kakinya, sehingga Rara Wulan itu terdorong beberapa langkah. Dengan susah payah Rara Wulan berusaha mempertahankan keseimbangannya.

Tetapi tiba-tiba saja lawannya yang lain pun telah menyerangnya pula. Sambil meloncat orang itu memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya ke arah kening.

Rara Wulan yang masih dalam keadaan goyah itu justru menjatuhkan dirinya. Berguling beberapa kali, kemudian melenting berdiri. Ketika kedua lawannya itu menyerang kembali, maka Rara Wulan pun sudah siap menghadapi mereka.

Pertempuran pun kemudian berlangsung pula dengan sengitnya. Rara Wulan tidak mau lagi kehilangan pemusatan perhatiannya terhadap lawannya, karena sikap anak-anak remaja Babadan itu.

Ketika serangan lawannya mengenai punggung Rara Wulan, Glagah Putih merasa cemas pula. Menurut penglihatannya, serangan itu tidak datang terlalu cepat dan tidak terlalu berbahaya. Tetapi ia melihat bahwa serangan itu mampu mengenai punggung Rara Wulan.

Namun Glagah Putih tidak tahu, bahwa perhatian Rara Wulan sebagian tertuju kepada sikap anak-anak remaja Babadan yang telah membuatnya menjadi cemas.

Tetapi sakit di punggungnya yang kemudian dapat teratasi dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi itu, telah membuat Rara Wulan mengambil keputusan untuk segera menghentikan perlawanan kedua orang Babadan itu.

Sejenak kemudian, maka Rara Wulan pun telah meningkatkan kemampuannya. Dengan tangkasnya Rara Wulan berloncatan, sehingga membuat kedua orang lawannya menjadi bingung.

Serangan-serangan Rara Wulan pun menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka. Bergantian mereka terlempar dari gelanggang dan jatuh berguling di tanah. Seorang di antara mereka yang terlempar oleh serangan kaki Rara Wulan, justru telah menimpa sebatang pohon di pinggir jalan.

Sambil menyeringai kesakitan, orang itu pun mengumpat kasar. Bahkan kemudian orang itu telah mencabut pedangnya sambil berteriak, “Aku bunuh kau, perempuan binal.”

Rara Wulan tertegun. Bahkan lawannya yang seorang lagi juga menarik senjatanya pula. Namun anak-anak remaja yang menonton perkelahian itulah yang berteriak-teriak, “Jangan dibunuh, Paman! Serahkan mereka kepada kami. Biarlah kami mendapatkan permainan yang menyenangkan.”

Tetapi kedua orang lawan Rara Wulan itu tidak menghiraukan. Mereka pun kemudian mendekati Rara Wulan setapak demi setapak sambil mengacungkan senjata mereka.

“Kau akan menyesali nasib burukmu, perempuan liar,” geram seorang di antara mereka.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi dengan demikian, maka ia pun akan segera mendapatkan jalan untuk menghentikan perlawanan kedua orang yang mengaku orang Babadan itu.

Sejenak kemudian, Rara Wulan pun telah memutar selendangnya.

“Apa yang kau lakukan, perempuan binal?” bertanya seorang di antara kedua orang lawannya itu dengan lantang.

“Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi,” jawab Rara Wulan.

“Iblis betina. Bersiaplah untuk mati!” seorang di antara kedua lawannya itu berteriak.

Hampir berbareng kedua lawannya itu meloncat menyerang. Namun dengan tangkas Rara Wulan menghindar. Sementara itu, selendangnya pun telah terjulur lurus mematuk dada seorang lawannya.

Sentuhan itu masih belum dilambari kemampuan Rara Wulan yang sebenarnya. Tetapi orang yang dadanya tersentuh ujung selendang Rara Wulan itu pun telah terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.

Terdengar orang itu mengaduh. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit. Tetapi ia telah memaksa diri untuk memasuki arena pertempuran itu lagi.

Sementara itu, kedua lawan Glagah Putih pun telah bersenjata pula. Untuk mengimbangi keduanya, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi. Glagah Putih tidak merasa perlu untuk mengurai ikat pinggangnya. Namun dengan kecepatan geraknya, dilambari kemampuannya memperingan tubuhnya, ia mampu membuat kedua lawannya kebingungan.

Pada saat-saat lawannya kehilangan Glagah Putih yang berloncatan dengan ringannya, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah, maka serangan Glagah Putih telah melemparkan mereka sehingga terpelanting jatuh.

Dengan demikian, maka kedua orang lawan Glagah Putih itu pun segera terlibat dalam kesulitan. Beberapa kali orang yang mengaku Jagabaya dari Babadan itu harus berdesah kesakitan. Beberapa kali ia menyeringai menahan sakit yang menusuk sampai ke tulang.

Tubuhnya yang terbanting-banting dan beberapa kali membentur pepohonan, telah tergores luka dimana-mana. Luka oleh ujung bebatuan yang tajam atau oleh kerasnya batang pepohonan. Bahkan dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah, karena beberapa giginya telah patah.

Kawan Ki Jagabaya itu pun merasakan kepalanya sudah menjadi sangat pening. Matanya semakin lama menjadi semakin kabur. Lawannya yang berloncatan melingkar-lingkar itu kadang-kadang tidak dapat dilihatnya lagi.

Namun tiba-tiba saja serangannya telah melemparkannya. Ketika keningnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan, maka di keningnya itu telah tergores luka. Darah mengalir semakin lama semakin deras.

Dalam pada itu, kedua orang lawan Rara Wulan pun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Ketika ujung selendang Rara Wulan menghantam dada seorang di antara mereka, maka orang itu pun telah terlempar dengan kerasnya.

Rara Wulan agaknya sudah tidak telaten lagi, sehingga ia pun sudah meningkatkan ilmunya pula.

Dengan kerasnya tubuh orang itu terlempar melampaui tanggul parit, hingga terjatuh di kotak sawah yang sedang digenangi air. Orang itu pun menjadi bagaikan seekor kerbau yang berada di dalam kubangan. Bahkan beberapa teguk air berlumpur telah masuk lewat tenggorokannya pula.

Seorang lawan Rara Wulan yang lain pun menjadi bimbang. Berdua mereka tidak dapat mengalahkan perempuan itu. Apalagi pada saat kawannya berkutat untuk bangkit dari kubangan lumpur.

Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Ketika ia berusaha untuk meloncat menjauh, maka selendang Rara Wulan itu telah terjulur melingkar menjerat kedua kakinya. Demikian selendang itu dihentakkan, maka orang itu pun telah terpelanting terbanting jatuh di tanah.

Sekali lagi Rara Wulan menghentakkannya. Orang yang terpelanting itu bagaikan diseret beberapa langkah, sebelum Rara Wulan menghentakkannya sekali lagi. Demikian lilitan ujung selendang itu terurai, maka orang itu pun tidak lagi dapat bangkit dengan cepat. Punggungnya terasa bagaikan menjadi patah.

Dua orang lawan Rara Wulan sudah menjadi tidak berdaya lagi. Senjata mereka seakan-akan tidak ada gunanya sama sekali.

Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang lawannya berganti-ganti. Seorang terbaring di jalan bulak, seorang sudah berhasil bangkit berdiri dalam lumpur yang pekat, sehingga ujudnya bagaikan sebuah patung yang terbuat dari tanah liat.

“Sekarang, apa lagi yang akan kalian lakukan?” bertanya Rara Wulan, “Apakah kalian masih ingin menangkap kami karena kami kalian anggap telik sandi?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar