Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 365

Buku 365

Namun Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berada di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu.

Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu ngelangut.

“Apakah mereka akan berada di banjar semalam suntuk?” desis Glagah Putih.

Namun ternyata beberapa saat kemudian, ia mendengar beberapa orang memasuki penginapan itu. Ada di antara mereka yang sama sekali tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya, sehingga di dini hari, mereka berbicara tanpa mengendalikan diri.

“Kalian tidak berada di rumah kakekmu sendiri,” terdengar suara Ki Sela Aji. “Bukankah Ki Murdaka sudah mengatakan, bahwa ia tidak senang kepada orang-orang yang mabuk serta yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya? Ia ingin orang-orang Kedung Jati bersih di mata orang-orang Seca. Dengan demikian, jika saatnya kita memasuki lingkungan ini, kita akan tetap dihormati sebagai murid-murid dari sebuah perguruan besar dan bertanggung jawab.”

Orang-orang itu memang terdiam. Nampaknya mereka pun segera menebar dan memasuki bilik mereka masing-masing. Namun sesaat kemudian, terdengar lagi mereka berbicara terlalu keras, sehingga terdengar dari seluruh penginapan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Keberadaan orang-orang Ki Saba Lintang di penginapan itu memang akan dapat menimbulkan persoalan dengan beberapa orang lain yang juga menginap di penginapan itu, karena mereka ternyata telah mengganggu ketenangan di malam yang sudah terlalu dalam itu.

Namun sejenak kemudian, Glagah Putih mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Agaknya seorang di antara mereka adalah Ki Sela Aji.

“Paman Demung Pugut,” terdengar suara Ki Sela Aji, “orang orang gila itu agaknya sangat sulit dikendalikan. Agaknya mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak hati mereka.”

“Padahal kita sudah memilih, Ki Sela Aji. Kita sudah memilih orang-orang yang terbaik. Tetapi orang-orang yang terbaik itu pun masih juga menyusahkan kita.”

“Kita harus bertindak lebih keras lagi, Paman. Jika perlu kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka.”

“Kita memang harus bersabar. Jika kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka, mungkin sekali mereka justru mulai menentang kita.”

“Mereka tidak akan berani. Jika ada yang berani, aku akan menantangnya dan membuatnya menjadi jera.”

Orang yang disebut Demung Pugut itu menarik nafas panjang.

Namun dalam pada itu, terdengar ketukan pintu yang keras sekali di bilik yang terletak di sayap kiri penginapan itu.

“Paman Demung Pugut mendengarnya?”

“Ya.”

“Apa yang terjadi?”

Namun sebelum Ki Demung Pugut menyahut, terdengar seseorang berkata lantang, “Diam! Diam kalian. Kalian mengganggu ketenangan malam ini.”

Terdengar jawaban yang tidak kalah kerasnya, “Apa pedulimu?”

“Kalian berada di penginapan. Kalian harus bertenggang rasa. Jika kalian berteriak-teriak seperti itu, kami tidak dapat beristirahat malam ini.”

Ternyata Glagah Putih tidak perlu membangunkan Rara Wulan, karena Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya.” Ada apa, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Aku belum tahu. ”

Ketika Rara Wulan duduk di bibir pembaringan, terdengar Ki Sela Aji berkata, “Aku akan melihat, Paman. Tentu orang-orang kita telah mengganggu orang lain yang sedang menginap di penginapan ini pula. ”

Keduanya pun kemudian keluar dari biliknya, sementara masih terdengar suara keras, “Jika kalian tidak mau tahu dengan orang lain yang dapat terganggu dengan sikap kalian, sebaiknya kalian menginap di kandang kambing.”

“Persetan kau!” bentak orang yang dianggap mengganggu itu.

Dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah berkerumun, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Jika kau tidak mau terganggu, kenapa kau bermalam di sini? Aku di sini membayar sewa bilik yang aku pakai. Karena itu, terserah apa yang akan aku lakukan di dalam bilik itu.”

“Memang terserah apa yang akan kau lakukan, tetapi jangan mengganggu orang lain. Aku perlu beristirahat. Besok aku masih mempunyai banyak pekerjaan.”

“Itu urusanmu, bukan urusanku.”

Dalam pada itu Rara Wulan pun berbisik, “Orang yang merasa terganggu itu adalah Sutasuni, Kakang. Malam itu ia bermalam di bilik sebelah bilik kita, yang malam ini dipergunakan oleh Ki Sela Aji, sehingga ia berada di bilik yang berada di sayap penginapan ini.”

“Persoalannya akan menjadi rumit. Bukankah orang itu pengikut Ki Panji Kukuh?”

“Tetapi dibanding dengan Perguruan Kedung Jati, kelompok Ki Panji Kukuh adalah kelompok yang terhitung kecil.”

“Tetapi jika terjadi benturan malam ini, orang-orang Perguruan Kedung Jati belum tentu dapat melawan para pengikut Ki Panji Kukuh. Namun kemudian Ki Saba Lintang tentu akan segera memburu Ki Panji Kukuh. Nampaknya Ki Panji Kukuh akan mengalami kesulitan yang besar.”

“Tetapi gerombolan Ki Panji Kukuh tentu cukup lincah untuk menghindari tangan-tangan Ki Saba Lintang.”

“Ya. Yang dapat dilakukan oleh Ki Panji Kukuh adalah bermain hantu-hantuan. Muncul dan menghilang. Tetapi dengan demikian, maka Ki Panji Kukuh tidak akan dapat mempertahankan jalur perdagangan gelapnya.”

Keduanya pun terdiam. Mereka melihat Ki Sela Aji berusaha untuk melerai pertengkaran antara orang-orang dari Perguruan Kedung Jati dengan para pengikut Ki Panji Kukuh itu.

“Sudahlah, Ki Sanak. Aku minta maaf,” berkata Sela Aji. Lalu katanya kepada orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu, “Nah, sekarang kalian mengalami sendiri. Penginapan ini bukan rumah kakekmu. Di sini banyak orang lain yang dapat merasa terganggu dengan sikap kalian. Jika kalian masih saja bersikap buruk dan mengganggu orang lain, maka aku akan mengusir kalian dari penginapan ini, dan biarlah kalian bermalam di pategalan, sebagaimana biasa kalian lakukan.”

Orang-orang yang telah mengganggu tetangganya itu terdiam.” Aku juga dapat keras seperti Ki Murdaka. Bahkan siapa yang tidak menyetujui kebijaksanaanku, aku tantang untuk berkelahi melawan aku.”

Orang-orang itu terdiam. Mereka tahu tingkat kemampuan Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut.

“Nah, kalian harus menghormati orang lain agar mereka juga menghormati kita.”

Orang yang mempergunakan bilik itu tidak menjawab.

“Nah, Ki Sanak. Kau tidak akan terganggu lagi.”

“Terima kasih,” desis Sutasuni.

Dalam pada itu, petugas penginapan itu pun kemudian mempersilakan mereka yang berkerumun itu untuk kembali ke bilik mereka masing-masing. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Ki Sela Aji sendiri serta Ki Demung Pugut masih tinggal beberapa saat di bilik yang membuat kisruh itu.

Setelah peristiwa itu, maka penginapan itu menjadi tenang. Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan ternyata menghormati pula sikap Ki Sela Aji. Bagaimanapun juga, selain Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut memiliki kelebihan dari mereka, maka keduanya memang mendapat wewenang dari Ki Murdaka untuk mengawasi orang-orang yang dibawanya ke Seca.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi dapat tidur. Meskipun Rara Wulan mempersilahkan Glagah Putih untuk tidur meskipun hanya sesaat, tetapi ternyata Glagah Putih tidak dapat memejamkan matanya. Apalagi ketika Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut kemudian kembali ke biliknya.

“Orang itu memang keras kepala,” berkata Ki Sela Aji.

“Tetapi nampaknya ia mengerti bahwa kita bersungguh-sungguh, sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi. Demikian pula kawannya yang tinggal bersamanya dalam bilik itu.”

“Ya, Paman. Sekarang silahkan Paman tidur meskipun hanya sebentar.”

“Bukankah sebentar lagi langit akan menjadi merah?”

Ki Sela Aji menarik nafas panjang. Katanya, “Jika demikian, aku-lah yang akan tidur sejenak. Besok kita masih harus melihat-lihat keadaan kademangan ini. Kita harus tahu lebih dahulu keadaan tempat ini, sebelum kita akan membicarakan tentang kemungkinan kita mendirikan salah satu landasan perguruan kita. Jika kita berhasil, maka kita tinggal membuat satu lagi landasan perguruan kita di sebelah selatan, untuk membayangi Mataram.”

“Kita harus tetap memperhitungkan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tentu, Paman. Ki Saba Lintang sendiri selalu memperingatkan tentang Tanah Perdikan yang besar dan kuat itu.”

“Belum tentu. Tetapi kemungkinan terbesar, Ki Saba Lintang tidak akan datang. Meskipun demikian segalanya masih dapat berubah.”

Ki Demang Pugut mengangguk-angguk.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Nampaknya Ki Saba Lintang tidak dapat melupakan Tanah Perdikan Menoreh. Selain beberapa kali Ki Saba Lintang mengalami kegagalan, di Tanah Perdikan Menoreh itu pula tersimpan pasangan tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mendengar pembicaraan lagi. Agaknya Ki Sela Aji benar-benar berniat untuk tidur barang sejenak.

Dalam pada itu. menjelang fajar Glagah Putih dan Rara Wulan telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Rara Wulan tidak mau pergi sendiri ke pakiwan. Orang-orang yang menginap di penginapan itu adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja di luar dugaan, karena ada di antara mereka yang tidak lagi berpijak pada tatanan bebrayan serta unggah-ungguh.

Rara Wulan bukan berarti ketakutan dengan kehadiran mereka Tetapi jika ia sedang mandi di pakiwan, maka ia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat lemah.

Sebelum fajar Glagah Putih dan Rara Wulan telah selesai berbenah diri. Sementara itu orang-orang dari Perguruan Kedung Jati masih belum bangun. Mereka masih asyik mendengkur di bilik mereka masing-masing.

Tetapi para pedagang yang menginap di penginapan itu, karena ternyata tidak semua bilik dipergunakan oleh Perguruan Kedung Jati, telah siap pula pergi ke pasar.

Sebelum matahari terbit, maka beberapa orang pedagang telah meninggalkan penginapan itu untuk pergi ke pasar. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan juga turun dari pendapa, maka petugas di penginapan itu menyapa mereka, “Apakah kalian juga akan pergi ke pasar?”

“Ya,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan.

“Nah. jika demikian aku dapat berharap,” berkata petugas itu sambil tersenyum.

“Berharap apa?”

“Tentu oleh-olehnya. Nagasari, mendut atau carang gesing pisang raja?”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Di sela-sela tertawanya Rara Wulan pun berkata, “Jika setiap orang yang pergi ke pasar membawa oleh-oleh, maka perutmu akan kesakitan.”

Petugas itu tertawa pula. Katanya, “Ah, tentu tidak semua. Aku hanya berani berharap kepada kalian.”

“Ah, macam-macam saja kau ini,” desis Glagah Putih. Namun ia masih saja tertawa.

Namun Rara Wulan pun kemudian berkata, “Baik. Aku akan membeli rujak babal, bluluk dan jambu klutuk yang masih mentah.”

“Ah, kau mau menyakiti perutku?”

Rara Wulan pun kemudian menarik tangan Glagah Putih sambil berkata, “Marilah, Kakang. Nanti kita kesiangan.”

Petugas itu tertawa, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkannya menuju ke regol halaman penginapan itu. Meskipun hari masih pagi, tetapi jalan-jalan di Seca sudah mulai ramai.

Di hari pasaran, banyak orang-orang padukuhan yang pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya serta hasil kerajinan tangan mereka. Hasil kerajinan bambu, pandan atau mendong, atau jenis kerajinan yang lain. Namun para pedagang yang berdatangan di Seca yang bahkan sudah menginap semalam, telah pergi ke pasar pula dengan membawa dagangan mereka.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pasar, maka mereka pun segera berusaha untuk mencari pedagang yang telah mengadakan hubungan dengan Jati Ngarang dalam rencana mereka mengadakan perdagangan gelap. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menemukan pedagang itu.

“Mungkin orang itu sudah menipu Jati Ngarang,” desis Rara Wulan.

“Mungkin sekali. Memang tidak semudah itu untuk mengatakan dimana hubungan perdagangan gelap itu dapat dilakukan.”

Namun untuk beberapa lama mereka masih berada di pasar. Mungkin orang yang mereka cari itu masih belum sampai ke pasar itu.

Ketika matahari mulai naik, maka pasar Seca itu menjadi semakin penuh. Bahkan orang yang berjual beli itu meluap sampai ke luar pasar.

Beberapa orang menjual hasil bumi mereka serta kerajinan tangan yang mereka buat di rumah. Mereka masing-masing itu terpaksa menggelar dagangan mereka di pinggir jalan, karena mereka tidak mempunyai tempat yang tetap di dalam pasar itu. Tetapi biasanya para tengkulak-lah yang telah membeli dagangan mereka dengan harga yang rendah.

Namun bagi para petani dan mereka yang membuat kerajinan tangan di rumah itu, merasa bahwa apa yang mereka terima itu sudah cukup, sehingga mereka tidak menuntut harga yang lebih tinggi lagi.

“Orang itu tidak ada di sini,” desis Glagah Putih.

“Kita mempunyai sasaran pengamatan yang baru di Seca ini, Kakang.”

“Ya. Kita harus mengamati para pengikut Ki Saba Lintang itu.”

Dalam pada itu, baru setelah matahari menjadi semakin tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua orang pengikut Saba Lintang yang berada di penginapan itu ikut berdesakan di dalam pasar.

Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan sambil berkata, “Lihat. Ternyata mereka sudah bangun.”

Rara Wulan pun menyahut, “Bukankah matahari sudah semakin tinggi?”

Glagah Putih terdiam. Bahkan ia pun telah melihat orang yang disebut Ki Murdaka itu berada di dalam pasar itu pula, di ikuti oleh Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut.

“Nampaknya orang-orang penting dari Perguruan Kedung Jati itu berusaha untuk melihat padukuhan Seca dari segala segi,” desis Glagah Putih.

“Maksud Kakang?”

“Mereka melihat dari sisi perdagangan serta kesibukan rakyat Seca dalam hubungannya dengan pasar yang ramai ini. Tetapi yang lain tentu melihat-lihat sisi kehidupan yang lain pula. Mungkin mereka akan melihat bendungan, parit dan air yang mengaliri sawah. Mungkin mereka juga memperhatikan ternak yang digembala di padang rumput. Mungkin jalan-jalan yang menghubungkan Seca keluar kademangan, serta sisi-sisi kehidupan yang beraneka lainnya.”

“Ya, Kakang. Sebelum mereka membangun landasan di Seca, mereka tentu ingin mengetahui keadaan kademangan ini seutuhnya. Tentu saja termasuk manusianya. Manusia yang tinggal di Kademangan Seca.”

“Jika demikian, bukankah sebaiknya kita melihat-lihat kademangan ini pula? Kita sekarang sudah melihat bahwa sebagian dari mereka berada di pasar. Sebaiknya kita juga melihat, apakah di antara mereka ada yang berkeliaran.”

“Jadi, untuk sementara pedagang yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu kita lupakan dahulu?”

Glagah Putih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita akan mengalihkan perhatian kita kepada orang-orang dari Perguruan Kedung Jati ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan pasar itu pula. Mereka pun kemudian menyusuri jalan-jalan utama di Kademangan Seca.

Seperti yang mereka duga, maka beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang, yang berada di penginapan yang sama dengan penginapan mereka. Nampaknya orang-orang itu memperhatikan keadaan kehidupan di Seca dengan seksama.

Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berjalan keluar gerbang padukuhan. Ternyata di luar padukuhan mereka pun bertemu pula dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang.

Untunglah orang-orang itu tidak mengenal mereka, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keduanya.

“Ternyata mereka benar-benar sedang mengamati seluruh kademangan ini, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Kita dapat bertemu dengan mereka dimana-mana.”

“Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan?”

“Sebaiknya kita kembali ke pasar. Makan, dan kemudian kembali ke penginapan.”

Ternyata Rara Wulan sependapat. Mereka pun telah pergi ke pasar dan singgah di sebuah kedai. Demikian mereka keluar dari kedai, mereka pun memerlukan sekali lagi berkeliling di dalam pasar yang masih saja ramai itu. Tetapi mereka tidak bertemu dengan pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang.

Setelah membeli beberapa bungkus nagasari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun kembali ke penginapan.

Demikian mereka memasuki gerbang dan berjalan ke pendapa, mereka berpapasan dengan petugas di penginapan itu. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Rara Wulan telah menyodorkan beberapa bungkus nagasari sambil berkata, “Kau akan menanyakan oleh-oleh, bukan? Nagasari atau yang lain?”

Petugas itu tertawa. Tetapi demikian ia menerima beberapa bungkus nagasari, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkannya.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di bilik mereka. Setelah menutup pintu dan menyelaraknya dari dalam, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Beristirahatlah, Kakang. Semalam kau hampir tidak sempat beristirahat sama sekali.”

“Kau juga.”

“Aku masih sempat tidur meskipun sebentar.”

Glagah Putih menarik nafas panjang la tidak terbiasa tidur di siang hari. Tetapi kadang-kadang jika ia merasa sangat letih, ia membaringkan dirinya beberapa saat.

Namun baru saja Glagah Putih berbaring, ia mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Nampaknya mereka agak tergesa-gesa. Pintu pun terdengar ditutup dan diselarak pula dari dalam.

“Berita itu tidak menyenangkan bagiku, Paman,” terdengar suara Ki Sela Aji.

Glagah Putih dan Rara Wulan mencoba untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dengan hati-hati Glagah Putih bangkit dan duduk di amben panjang yang ada di dalam biliknya.

“Kenapa kau tidak senang?”

“Akan datang lagi orang yang jumlahnya lebih banyak. Tentu di antaranya ada orang-orang tua berilmu tinggi. Namun mereka terbiasa menuruti kemauan mereka sendiri.”

“Itu tentu tanggung jawab Ki Saba Lintang sendiri.”

“Ya. Tetapi jika terjadi gejolak, maka rencana untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi Perguruan Kedung Jati akan terganggu.”

Tetapi terdengar jawaban yang agaknya diucapkan oleh Ki Demung Pugut, “Kau tidak perlu memikirkannya terlalu berat. Ki Saba Lintang tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Jika benar ia akan datang nanti malam, tentu ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.”

“Tetapi aku tidak memberikan pendapat, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang sendiri datang ke Seca.”

“Sudahlah. Jika Ki Saba Lintang itu benar-benar datang, kau dapat mengajukan beberapa pendapat. Terutama tentang sikap para pengawal. Yang sekarang ada di sini saja sudah harus dikendalikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi jika akan datang beberapa orang lagi yang merasa mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada siapapun juga.”

“Paman tentu mengetahui, bahwa kita berdua masih memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang sekarang sudah berada di Seca, karena kemampuan kita lebih tinggi dari mereka. Tetapi jika yang datang itu merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kita berdua, maka mereka tentu akan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang kita berikan.”

“Kita tinggal melaporkannya saja kepada Ki Saba Lintang.”

“Sebenarnyalah kekuatan Ki Saba Lintang tergantung kepada beberapa orang berilmu tinggi itu. Paman tahu bahwa sebenarnya Ki Saba Lintang itu bukan apa-apa tanpa beberapa orang pendukungnya yang kokoh itu.”

Ki Demung Pugut terdiam. Keduanya untuk beberapa saat saling berdiam diri. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan di dalam biliknya juga berusaha untuk tetap duduk diam. Mereka berharap bahwa pembicaraan antara Ki Demung Pugut dan Ki Sela Aji itu dilanjutkan.

Namun yang terdengar kemudian, Ki Demung Pugut itu pun berkata, “Beristirahatlah. Aku akan melihat-lihat keluar.”

“Silahkan, Paman. Mungkin Paman akan mendapat kepastian, apakah nanti malam Ki Saba Lintang benar-benar akan datang.”

“Baiklah. Tetapi seandainya Ki Saba Lintang akan datang, Angger tidak perlu menjadi cemas karenanya.”

Ki Sela Aji tidak menjawab. Sementara itu terdengar pintu pun terbuka.

“Apakah Angger akan menyelarak pintu atau tidak?”

“Tidak usah, Paman. Nampaknya tidak akan ada gangguan apa-apa. Jika aku terlanjur tidur, Paman tidak perlu mengetuk pintu itu.”

Sejenak kemudian, maka bilik di sebelah itu pun menjadi sepi. Agaknya Ki Sela Aji benar-benar ingin beristirahat. Bahkan tidur, meskipun hanya sebentar.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membenahi pakaiannya.

“Untuk apa?” bertanya Rara Wulan.

“Sst,” desis Glagah Putih, sambil memberi isyarat agar Rara Wulan berbicara perlahan-lahan, “kita akan keluar.”

“Kenapa?”

“Omong-omong. ”

“Maksud Kakang?”

“Ada yang harus kita bicarakan. Tetapi tidak dapat kita lakukan di sini.”

“Jadi dimana?”

“Kita dapat berbincang di pringgitan. Jika banyak orang di pringgitan, kita perlu keluar dan berbincang sambil berjalan-jalan.”

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian membenahi pakaiannya.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun keluar dari bilik mereka. Ketika mereka melewati pintu bilik di sebelahnya, pintu itu tertutup rapat. Meskipun Glagah Putih tahu bahwa pintu itu tidak diselarak.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah berada di pringgitan. Namun di pendapa itu beberapa orang sedang berbincang-bincang. Di antara mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang.

Agaknya sejak mereka berada di penginapan itu, mereka tidak sempat memperhatikan keberadaan Rara Wulan. Ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dan Glagah Putih melintas, maka beberapa orang di antara mereka memperhatikannya dengan tatapan mata tanpa berkedip.

Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa orang-orang itu sedang memperhatikannya. Tetapi keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih melihat seorang di antara mereka yang berada di pendapa itu telah memanggil petugas di penginapan itu.

“Kau tahu kenapa orang itu memanggil petugas di penginapan ini?” bertanya Glagah Putih.

Rara Wulan menggeleng sambil menjawab, “Tidak.”

“Orang yang memanggilnya itu akan bertanya kepada petugas itu, siapakah perempuan yang ada di penginapan ini.”

“Ah, Kakang.”

“Benar, tetapi tidak apa-apa. Kelakuan mereka akan selalu diawasi oleh Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut”

“Kalau kebetulan keduanya tidak ada?”

“Itulah yang ingin kita bicarakan.”

“Apa maksud Kakang?”

Glagah Putih tidak segera menjawab. Baru ketika keduanya sudah berada di luar pintu regol penginapan, Glagah Putih pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang akan datang malam nanti.”

“Apa yang akan kita lakukan, Kakang. Tentu kita tidak akan mungkin datang kepadanya dan mengambil tongkatnya. Ia tentu dikelilingi oleh banyak orang berilmu tinggi.”

“Tentu. Kita tentu tidak akan dapat mengambil langsung. Tetapi bagaimana jika kita berusaha untuk meminjam kekuatan orang lain?”

“Kekuatan siapa?

“Bukankah Sutasumi masih berada di penginapan?”

“Entahlah, Kakang. Tetapi agaknya ia masih berada di sana.”

“Aku berharap bahwa nanti malam Sutasuni merasa terganggu lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang.”

“Apa hubungannya?”

“Aku berharap dapat terjadi benturan kekerasan ”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Kita akan berpihak kepada Sutasuni?”

“Ya.”

“Tetapi jika kemudian Sutasuni tidak berniat berhubungan dengan kita untuk selanjutnya?”

“Itu akibat buruk yang dapat saja terjadi. Kita memang harus meninggalkan tempat ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Segala sesuatunya memang dapat dicoba ”

“Bukankah kita tinggal meyakinkan, apakah Ki Saba Lintang itu benar-benar akan datang?”

Rara Wulan mengangguk.

“Ki Sela Aji akan membawa berita itu. Meskipun agaknya Ki Sela Aji sendiri merasa keberatan jika Ki Saba Lintang sendiri datang ke Kademangan Seca.”

“Mungkin Ki Sela Aji-lah yang paling berminat untuk menjadikan kademangan ini salah satu landasan Perguruan Kedung Jati itu.”

“Ya. Memang mungkin sekali.”

Demikianlah, mereka berdua pun telah membicarakan beberapa hal yang akan mereka lakukan sehubungan dengan kedatangan Ki Saba Lintang. Setelah pembicaraan mereka tuntas, maka mereka pun segera kembali ke penginapan mereka.

Ternyata pendapa dan pringgitan penginapan itu masih saja nampak ramai. Seperti pada saat keduanya melintas keluar dari penginapan itu, maka ketika mereka lewat di sebelah pendapa, beberapa orang memandangi mereka dengan tajamnya. Bahkan sampai mereka hilang di balik seketheng.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera masuk ke dalam biliknya. Tetapi mereka pun mencari petugas penginapan itu.

“Ada apa?” bertanya petugas itu, “Tadi aku lihat kalian keluar. Tetapi aku tidak sempat bertanya, karena aku dipanggil oleh orang-orang yang berada di pendapa itu.”

“Apa yang mereka katakan?”

“Tidak apa-apa,” petugas itupun tersenyum-senyum.

“Jika tidak kau katakan, aku tidak akan membeli nagasari lagi untukmu.”

“Sungguh. Tidak apa-apa. Mereka hanya sedikit bertanya tentang jalan-jalan di Kademangan Seca ini.”

“Baik. Aku tidak akan membeli nagasari atau gandos rangin lagi buatmu.”

“Ah, jangan begitu.”

“Katakan, apa yang mereka tanyakan,” desak Rara Wulan

Petugas itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Mereka bertanya tentang Nyi. Hanya sekedar bertanya.”

“Mereka bertanya sambil tertawa-tawa?” bertanya Rara Wulan.

Petugas itu tidak menjawab. Tetapi petugas itu hanya tersenyum-senyum saja.

“Nah, bukankah kau yang tertawa-tawa?”

“Tidak. Tetapi aku tidak dapat mengatakannya.”

“Baik, baik. Sekarang pergilah ke bilikku.”

“He?”

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.”

Petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan ketika keduanya pergi ke bilik mereka. Ternyata bilik di sebelahnya masih sepi. Agaknya Ki Sela Aji masih tidur, sedangkan Ki Demung Pugut masih belum kembali. 

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun berkata kepada petugas itu, “Hitung. Berapa aku harus membayar?”

“He? Apakah kalian akan pergi?”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Kami bersungguh-sungguh. Tetapi jangan salah paham. Kami tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan kawan-kawanmu, para petugas di penginapan ini. Aku pun berkata bersungguh-sungguh, bahwa orang-orang yang menginap di penginapan ini membuat hati kami tidak tenang. Banyak masalah yang dapat timbul. Karena itu, jika keadaan menjadi semakin buruk, maka kami benar-benar akan meninggalkan penginapan ini. Agar kami tidak mempunyai hutang kepada penginapan ini karena kami dapat pergi setiap saat bila keadaan menjadi bertambah buruk, maka kami akan membayar lebih dahulu sewanya selama kami berada di sini ”

Petugas itu termangu-mangu sejenak. Dari sorot matanya nampak betapa ia menjadi kecewa.

“Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa?”

“Sampai sekarang mereka memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi nanti sore, nanti malam atau besok pagi?”

“Kami para petugas tentu akan mencegahnya.”

“Sudahlah. Lebih baik bersiap-siap. Seandainya kalian mencoba mencegahnya, kalian tentu tidak akan berhasil.”

“Kenapa?”

Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun berdesis, “Agaknya mereka adalah orang-orang berilmu.”

Petugas di penginapan itu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian berkata, “Baiklah, aku akan menghubungi petugas yang akan menghitung berapa kalian harus membayar.”

Sejenak kemudian petugas itu pun meninggalkan bilik Glagah Putih. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu, tiba-tiba saja terdengar pintu bilik di sebelah terbuka. Ternyata sebelumnya bilik itu kosong. Yang kemudian masuk ke dalamnya adalah Ki Demung Pugut dan Ki Sela Aji.

“Ki Saba Lintang benar-benar akan datang, Paman,” desis Ki Sela Aji.

“Seperti yang aku katakan, jangan terlalu dirisaukan. Biarlah Ki Saba Lintang mengatur orang-orang yang dibawanya.”

“Jika Ki Saba Lintang bermalam di banjar, maka Ki Murdaka tentu akan bermalam di tempat lain. Mungkin di sini, karena penginapan yang cukup baik dan jaraknya tidak terlalu jauh dari banjar adalah penginapan ini. Ada penginapan lain yang baik, tetapi jaraknya terlalu jauh dari banjar.”

“Serahkan saja nanti kepada kemauan Ki Saba Lintang sendiri. Meskipun demikian, kau dapat memberikan pendapat kepadanya. Termasuk pengendalian orang-orang yang sudah datang dan yang datang bersama Ki Saba Lintang sendiri.”

Ki Sela Aji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Ya. Aku akan melaporkan kepada Ki Saba Lintang.”

Sementara itu, petugas penginapan itu pun telah datang pula untuk memberitahukan berapa banyak Glagah Putih harus membayar.

“Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk tinggal lebih lama lagi,” berkata petugas itu.

Tetapi Glagah Putih menyahut, “Segala sesuatunya tergantung sekali kepada keadaan.”

Petugas itu tidak menjawab lagi. Tetapi ternyata sekali di wajahnya, bahwa ia merasa kecewa.

Beberapa saat kemudian, maka petugas itu pun telah meninggalkan bilik Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sementara itu Ki Sela Aji pun berkata, “Aku akan mengusulkan sebaiknya mereka yang datang kemudian tidak usah bermalam di sini. Jika Ki Murdaka yang harus bermalam di sini, tentu ada baiknya. Aku akan mempunyai kawan lagi untuk mengendalikan orang-orang itu.”

“Mudah-mudahan saja Ki Murdaka yang akan bermalam di sini nanti malam.”

Keduanya pun kemudian terdiam.

Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Hampir berbisik Glagah Putih berkata, “Semoga saja kita mendapat kesempatan.”

Ketika kemudian senja turun, maka penginapan itu pun menjadi semakin ramai. Ternyata Ki Saba Lintang dan beberapa orang lagi telah datang di Seca. Agaknya Ki Saba Lintang sendiri akan bermalam di banjar, sedangkan beberapa orang pengawalnya akan bermalam di penginapan itu. Namun ternyata bahwa Ki Murdaka sendiri tidak ikut bermalam di penginapan itu, tetapi Ki Murdaka tetap bermalam di banjar.

Dalam pada itu, ketika penginapan itu menjadi semakin ramai, serta para penabuh gamelan mulai membunyikan gamelan dengan lagu-lagu yang hangat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di pringgitan.

Sebenarnyalah keberadaan mereka di pringgitan telah menarik perhatian beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang. Baik mereka yang sudah ada di penginapan itu sejak semalam, maupun mereka yang baru datang.

Bahkan beberapa orang yang tidak begitu menghiraukan unggah ungguh, telah mendekatinya. Seorang yang berperawakan sedang dan berkumis tipis tiba-tiba saja telah menyapanya, “He, perempuan cantik. Siapa namamu, he?”

“Kakang,” Rara Wulan pun segera bergeser di belakang Glagah Putih. Wajahnya membayangkan ketakutan.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “jangan ganggu istriku.”

“Siapa yang mengganggu? Bukankah aku hanya sekedar bertanya?” sahut orang itu sambil membelalakkan matanya.

Glagah Putih pun bergeser surut sambil menjawab, “Tetapi perbuatan Ki Sanak membuat istriku ketakutan.”

“Istrimu memang penakut. Bukankah aku bersikap wajar-wajar saja?”

“Tidak. Itu tidak wajar. Ki Sanak tahu, bahwa ia adalah istriku. Ia duduk di sampingku. Tetapi Ki Sanak mendekatinya dan bertanya, siapakah namanya? Kenapa Ki Sanak tidak bertanya kepadaku?”

“Gila. Kau gila. Aku pecahkan kepalamu.”

“Jangan. Ki Sanak-lah yang telah menakuti istriku. Ki Sanak tidak dapat menyalahkan aku.”

“Diam!” bentak orang itu, “Jika kau tidak mau diam. aku akan memukulmu sampai pingsan.”

“Jangan. Tetapi Ki Sanak harus minta maaf kepada Istriku.”

“Cukup! Cukup!” teriak orang yang marah itu.

Dalam pada itu, petugas penginapan itu pun berlari-lari mendatangi keributan itu. Dengan hati-hati ia bertanya, “Apa yang terjadi Ki Sanak?”

“Laki-laki itu membuat istriku ketakutan. la mengamit istriku dan bertanya siapa namanya.”

Orang itu tiba-tiba saja telah menampar mulut Glagah Putih. Terdengar Glagah Putih mengaduh kesakitan.

“Tunggu, Ki Sanak. Kita harus menyelesaikannya dengan baik. Ki Sanak tidak boleh melakukan kekerasan.”

“Diam kau, pelayan edan. Kau tidak usah turut campur.”

“Aku petugas di sini Ki Sanak. Sudah sewajarnya aku berusaha untuk menjaga ketenangan di penginapan ini.”

“Singkirkan laki-laki dan perempuan cengeng itu.”

“Aku akan membawanya menyingkir. Tetapi Ki Sanak jangan menakut-nakuti lagi.”

“Cukup. Bawa mereka pergi.”

Selagi orang itu membentak, Ki Sela Aji telah datang dengan tergesa-gesa. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Ada apa?”

Glagah Putih-lah yang menyahut, “Laki laki itu menakut-nakuti istriku.”

“Tidak. Aku hanya bertanya siapa namanya.”

“Pertanyaanmu itulah yang membuatnya ketakutan.”

“Ya. Istriku duduk di sampingku. Laki-laki itu datang langsung menggamitnya dan bertanya siapa namanya. Kenapa ia tidak bertanya kepadaku?”

Ki Sela Aji memandang orang itu dengan dahi yang berkerut. Kemudian ia pun berkata, “Sudahlah, tinggalkan mereka. Atas nama Ki Murdaka aku peringatkan sekali lagi, agar kalian tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat persoalan yang rumit di kademangan ini.”

“Aku tidak berbuat apa-apa, Ki Sela Aji. Kedua orang itulah yang cengeng.”

“Kalau begitu, jangan sentuh orang yang cengeng.”

Ternyata bahwa wibawa Ki Sela Aji masih tetap tinggi Beberapa orang itu pun bergeser surut. Namun seorang di antara mereka berkata, “Laki-laki dan perempuan itulah yang keterlaluan. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tetapi mereka sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian.”

“Sudah, sudah,” sahut Ki Sela Aji, “jauhilah mereka, jika kalian tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang cengeng.”

Orang-orang itu pun segera menjauh. Namun dalam pada itu di halaman, Sutasuni dan seorang kawannya berdiri termangu-mangu.

Glagah Putih segera menggamit Rara Wulan. Mereka pun segera turun dari pendapa dan mendapatkan Sutasuni.

“Ki Sanak yang semalam merasa terganggu itu?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Mereka memang orang-orang yang tidak tahu aturan.”

“Sebenarnya aku ingin melawan. Tetapi aku hanya seorang diri, di hadapan sekian banyak orang.”

“Tetapi orang-orang itu sekali-sekali harus dibuat jera. Apakah kau tahu. siapakah mereka itu?”

Glagah Putih termangu mangu sejenak. Ia merasa heran bahwa Sutasuni dari gerombolan Ki Panji Kukuh tidak mengenal Ki Saba Lintang dari Perguruan Kedung Jati. Setidak-tidaknya mengenali namanya.

Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Entahlah. Tetapi mereka datang dalam kelompok yang jumlahnya cukup banyak.”

“Mereka harus dibuat jera.”

“Kalau terjadi perselisihan lagi antara Ki Sanak dengan orang-orang itu, apalagi jika terjadi benturan kekerasan, kami akan berpihak kepada Ki Sanak.”

“Kami siapa maksudmu?”

“Aku dan istriku.”

“Kau dan istrimu ini?”

“Ya. Serba sedikit ia mampu melindungi dirinya sendiri.”

“Baik. Nanti malam aku akan memanggil kawan kawanku. Mereka harus dibuat jera.”

“Ajak kami berdua.”

“Baik. Kami akan mengajak kalian berdua.”

“Jika demikian, kami akan bersembunyi saja di bilik Ki Sanak.”

“Di bilikku?” bertanya Sutasuni dengan heran.

“Ya. Kenapa?”

“Kau dan istrimu?”

“Ya. Kami merasa tidak aman lagi di bilik kami sendiri.”

Sutasuni masih tetap ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Sekehendak kalian sajalah. Tetapi bilik itu sudah terisi oleh dua orang, aku dan kawanku ini. Sementara itu aku akan memanggil kawan-kawanku agar malam nanti mereka datang kemari. Aku akan memberi sedikit pelajaran kepada orang-orang yang merasa seakan-akan penginapan ini milik mereka. Lebih dari itu, agaknya mereka merasa bahwa di Seca ini mereka dapat berbuat sesuka hatinya, tanpa ada orang yang mampu mencegahnya.”

“Nah, Jika demikian, satu kebetulan. Sudah aku katakan, aku dan istriku ada di pihakmu.”

Sutasuni kemudian tidak menolak ketika Glagah Putih dan istrinya berada di biliknya, meskipun biliknya tidak terlalu luas. Tetapi di bilik itu cukup tempat untuk duduk-duduk mereka berempat.

“Yang datang itu tentu para penjahat,” berkata Glagah Putih. “Agaknya mereka akan menguasai Seca yang damai ini. Mungkin mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan terlarang.”

“Tidak,” sahut Sutasuni, “perdagangan terlarang di daerah ini berada di satu tangan. Yang berusaha untuk mengganggu akan disingkirkan.”

“Jangan-jangan justru orang-orang itu yang memiliki jalur tunggal perdagangan gelap di daerah ini?”

“Bukan mereka.”

“Jadi mereka siapa?”

“Tidak tahu. Tetapi mungkin kawan-kawanku nanti akan mendapat keterangan dari orang-orang yang mendapat tugas sandi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka suara gamelan pun mulai menjadi lebih tenang. Gending-gendingnya pun dipilih gending-gending yang tidak membangkitkan suasana yang gelisah.

Namun di pendapa itu masih tetap saja ramai oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang menjadi semakin banyak. Bahkan di pendapa itu, beberapa orang mulai minum tuak.

Ketika Ki Sela Aji datang untuk memberi peringatan, maka seorang yang sudah separuh baya, yang baru malam itu datang untuk bermalam di penginapan itu, berkata, “Jangan terlalu merunduk di hadapan Murdaka. Bukankah sekali-sekali kita boleh bergembira? Mumpung tugas kami masih belum terlalu berat. Mumpung kita baru mulai, sehingga kita mempunyai waktu untuk bersenang-senang dengan minum tuak dan sebagainya.”

“Tetapi jika ada yang mabuk?”

“Ki Sela Aji, kami bukan anak-anak lagi. Kami sudah terbiasa minum tuak. Kami dapat menjaga diri kami.”

“Ki Murdaka berkeberatan jika kalian minum tuak.”

“Katakan kepada Ki Murdaka, agar Ki Murdaka ikut minum bersama kami.”

“Tetapi Ki Saba Lintang pun berkeberatan jika kalian bermabuk-mabukan di sini, di Seca. Di tempat yang sedang kami persiapkan untuk menjadi salah satu landasan bagi perguruan kami.”

Orang yang sudah separuh baya itu tertawa. Katanya, “Jika kau laporkan hal ini kepada Ki Saba Lintang, maka kau tentu akan ditertawakannya.”

Ki Sela Aji tidak dapat memaksa. Orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang menjadi salah seorang pembantu Ki Saba Lintang memimpin Perguruan Kedung Jati.

Ternyata seorang kawan Sutasuni telah mendengar pembicaraan itu. Karena itu, maka orang itu pun segera mendatangi Ki Sutasuni di biliknya. Orang itu terkejut ketika ia melihat ada dua orang laki laki dan perempuan yang berada di dalam bilik itu pula.

“Katakan. Mereka ada di pihak kita,” desis Sutasumi

Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Yang berada di penginapan ini adalah para pengikut Ki Saba Lintang dari Perguruan Kedung Jati.”

“He? Perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

“Dari mana kau tahu?”

“Aku mendengar pembicaraan mereka di pendapa. Seorang yang agaknya mendapat tugas untuk mengawasi para pengikut Ki Saba Lintang itu mencegah agar mereka tidak bermabuk-mabukan. Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak mau mendengarkan.”

Wajah Sutasuni menjadi tegang. Dengan suara berat dan dalam ia pun berdesis, “Jadi mereka yang berada di Seca sekarang adalah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati?”

Tiba-tiba saja Glagah Putih pun bertanya, “Kenapa jika mereka dari Perguruan Kedung Jati?”

“Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar. Bahkan perguruan yang pengaruhnya hampir sama besarnya dengan pengaruh Mataram sendiri.”

“Ah,” desah Glagah Putih.

“Kau harus percaya. Banyak perguruan-perguruan kecil yang berhimpun menyatu dengan Perguruan Kedung Jati.”

“Kau dan kawan-kawanmu juga?”

“Tidak. Jalan kami berbeda. Kami adalah sekelompok orang yang tidak bergabung dengan siapa-siapa.”

“Jika demikian, ajak kawan-kawanmu untuk menghancurkan Perguruan Kedung Jati itu sekarang.”

“Kami tidak berurusan.”

“Jadi apakah urusan kalian di Seca ini? Urusan kalian tentu kelak akan berbenturan dengan kepentingan Ki Saba Lintang.”

Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Tidak. Urusan kami tidak akan benturan dengan urusan orang-orang Kedung Jati. Urusan orang-orang dari perguruan Kedung Jati adalah tentang masa depan Mataram dalam hubungannya dengan Jipang dan Demak. Sedangkan urusan kami semata-mata urusan perdagangan.”

“Perdagangan? Perdagangan yang berlangsung di bawah permukaan?”

Sutasuni mengerutkan dahinya. Namun Glagah Putih pun dengan cepat berkata, “Itu urusanmu. Aku hanya ingin bergabung untuk mengajari orang-orang yang ada di penginapan ini agar mereka mengerti sedikit unggah-ungguh. Tetapi sudah tentu tidak akan dapat kami lakukan tanpa orang lain.”

“Baik. Aku pun ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka. Meskipun mereka dari Perguruan Kedung Jati, tetapi persoalannya bukan persoalan kelompokku dengan Perguruan Kedung Jati. Tetapi aku ingin memberi peringatan kepada mereka, bahwa mereka tidak berada di rumah kakeknya sendiri. Bahkan pemimpin mereka sendiri menjadi marah melihat tingkah laku mereka. Dengan demikian, jika kita berkelahi dengan mereka, maka para pemimpin mereka tentu tidak akan membantu mereka. Bahkan para pemimpin mereka tentu akan berusaha berusaha mencegah mereka dan mungkin menghukum mereka. Tidak akan ada akibat buruk yang akan terjadi pada kelompokku yang ditimbulkan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Apalagi mereka juga tidak tahu, siapakah kami ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, seperti yang diduga oleh Ki Sela Aji, maka beberapa orang kawannya yang sedang minum tuak di pendapa pun menjadi mabuk. Dengan marah Ki Sela Aji pun kemudian membentak-bentak mereka, dan memaksa mereka masuk ke dalam bilik mereka masing-masing.

“Aku sudah memperingatkan kalian agar kalian tidak minum tuak.”

Tetapi orang yang sudah separuh baya, yang ternyata tidak mabuk meskipun ia minum tuak terbanyak, menjawab, “Inilah laki-laki, Sela Aji. Tuak adalah minuman yang wajar bagi laki-laki. Mereka harus banyak-banyak minum agar mereka tidak mudah menjadi mabuk. Jika mereka selalu kau kekang, maka mereka benar-benar akan menjadi pemabuk.”

“Terserah apa yang akan kalian lakukan pada saat-saat kalian tidak sedang mengemban tugas.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kau ajari mereka menjadi perempuan. Perempuan pun perempuan cengeng. Seharusnya kau tidak usah terlalu tunduk kepada Murdaka.”

“la memerintahkan agar aku menjaga tingkah laku saudara-saudara kita, atas nama Ki Saba Lintang sendiri.”

“Tetapi kau tidak boleh memperlakukan kami seperti kanak-kanak.”

“Bagaimanapun juga, kita harus menjaga agar kita dapat menjalankan tugas kita dengan baik. Kita tidak boleh memberikan gambaran buruk tentang tingkah laku kita kepada orang-orang Seca. Pada saatnya kita akan membuat landasan bagi perguruan kita di tempat ini, sehingga keberadaan kita di sini tidak akan menggoyahkan ketenangan dan kedamaian hidup di sini.”

Orang yang sudah separuh baya, yang tidak mabuk itu pun kemudian melangkah pergi sambil bergumam, “Sulit bekerja sama dengan orang-orang muda yang merasa dirinya berkuasa.”

Ki Sela Aji tidak menyahut. Dibiarkannya orang-orang itu bergeremang sambil berjalan menuju ke biliknya.

Namun dalam pada itu, kedua orang yang berada di bilik yang beradu dinding dengan bilik Sutasuni itu pun telah mabuk pula. Dalam keadaan tidak mabuk saja, mereka sudah sangat mengganggu. Apalagi ketika kedua-duanya menjadi mabuk, sehingga tingkah laku mereka sangat tidak terkendali.

Sutasuni menjadi sangat tidak senang terhadap sikap mereka. Ia benar-benar merasa terganggu. Sehingga karena itu. maka ia pun berkata kepada kawannya, “Siapkan kawan-kawan kita yang bersedia membantu. Kita akan membungkam mereka yang berteriak-teriak. Bukankah mereka yang ada di penginapan ini tidak terlalu banyak, sehingga apa yang akan kita lakukan itu tentu akan mendapat perhatian para pemimpin mereka?”

Tetapi kawannya menjadi ragu-ragu. Katanya, “Tetapi mereka adalah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, Ki Sutasuni.”

“Aku tidak peduli.”

“Jika terjadi perselisihan dan bahkan perkelahian, mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka akan menjadi marah kepada orang-orang yang mabuk itu. Tetapi mereka pun tentu akan mencari Ki Sutasuni.”

“Aku akan pergi dari penginapan ini. Kau kira aku dapat bermalam dengan tenang di sini?”

“Pergi ke mana?”

“Hari pasaran telah lewat. Tentu ada penginapan yang mempunyai bilik yang kosong.”

“Mereka akan menyebar dan memasuki setiap penginapan.”

“Aku akan tidur di pategalan. Bukankah kita terbiasa melakukannya? Kita memang dapat bermanja-manja di sini. Tetapi kita pada dasarnya adalah bukan orang-orang yang manja.”

Kawan Sutasuni itu masih saja ragu-ragu. Namun Sutasuni pun membentak, “Cepat! Kau dengar suara-suara gaduh yang semakin keras itu? Aku sangat membencinya.”

Kawan Sutasuni itu tidak sempat berpikir lagi. Ia pun segera pergi untuk memanggil beberapa orang kawan yang menginap di penginapan lain, yang tersebar untuk menghindari perhatian orang terhadap gerombolan Ki Panji Kukuh.

Setelah gerombolan Ki Guntur Ketiga di hancurkan oleh Ki Panji Kukuh, belum ada gerombolan lain yang dapat menyainginya, sehingga perdagangan gelap di bawah permukaan di Seca itu seakan-akan dikuasainya sepenuhnya. Jika ada kelompok-kelompok kecil yang menghubunginya, maka kelompok-kelompok itu berada di bawah kendalinya.

Kawan Sutasuni tidak memerlukan waktu banyak. Beberapa saat kemudian, orang itu sudah kembali sambil berkata, “Beberapa orang itu sudah siap di luar penginapan. Mereka akan masuk jika suasana sudah menjadi gaduh.”

Sutasuni menarik nafas panjang. Ia pun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan sambil berkata, “Nah, apakah kau benar-benar mau ikut atau tidak? Tetapi ini bukan permainan sur kulon sur wetan di halaman pada saat terang bulan. Kami benar-benar akan berkelahi. Jika kalian merasa tidak mampu melindungi diri sendiri, sebaiknya kalian tidak usah ikut. Masih ada waktu untuk meninggalkan penginapan ini, atau kembali ke bilik kalian.”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “kami sudah memutuskan untuk ikut bersama kalian.”

“Tetapi kami tidak akan sempat melindungi kalian. Jika terjadi sesuatu atas kalian, itu adalah tanggung jawab kalian sendiri.”

“Ya. Mereka telah meremehkan istriku. Aku ingin menghajar mereka. Tetapi tentu tidak dapat kami lakukan hanya berdua saja.”

“Baik. Ikutlah jika kalian mau ikut. Tetapi kalian harus melindungi keselamatan kalian sendiri.”

Sejenak kemudian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya telah keluar dari biliknya. Di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya.

Ternyata yang menjadi ramai, ribut oleh igauan dan suara-suara gaduh tidak hanya di bilik sebelah bilik Sutasuni. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pungut sudah tidak mampu lagi menguasai mereka yang sedang mabuk. Apalagi beberapa orang yang baru datang di Seca bersama Ki Saba Lintang sendiri dan ditempatkan di penginapan itu.

Sutasuni sangat benci suasana seperti itu. Karena itu ketika orang yang berada di bilik di sebelah biliknya itu meneriakkan tembang dengan irama yang sama sekali tidak mapan, Sutasuni telah mengetuk pintu biliknya. Tidak dengan tangannya, tetapi dengan batu sebesar telur itik.

“He, diam kau, pemabuk!” teriak Sutasuni yang marah.

Orang yang berada di dalam bilik itu terkejut juga meskipun mereka sedang mabuk. Kesadarannya masih tetap ada meskipun sudah tidak lurus lagi. Karena itu, maka orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar kedua orang yang sedang ada di dalam berteriak hampir berbareng, “He, iblis manakah yang telah berani mengganggu ketenangan kami?”

“Kalian-lah yang telah mengganggu orang lain. Kemarin malam sebelum kau mabuk, kau sudah mengganggu. Apalagi sekarang setelah kalian mabuk.”

“Aku tidak mabuk,” terdengar seorang menjawab dengan suara parau.

Tetapi yang seorang lagi agaknya tidak dapat mengekang diri. Dalam mabuknya orang itu menjadi marah. Sambil mengumpat-umpat diangkatnya selarak pintunya.

“Aku bunuh kau!” teriaknya kemudian.

Begitu pintu terbuka, orang itu pun segera mengayunkan selarak pintu yang ada di tangannya itu ke arah kepala Sutasuni. Namun Sutasuni sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ketika selarak pintu itu terayun, maka Sutasuni pun segera mengelak.

Tetapi demikian selarak pintu itu terayun tanpa menyentuh tubuhnya, Sutasuni pun segera melontarkan serangan. Kakinya terjulur lurus mengenai orang itu, sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Orang itu terdorong kembali masuk ke dalam biliknya, menimpa kawannya yang sedang bergerak keluar. Keduanya pun terjatuh saling menindih di dalam biliknya.

Tetapi keduanya dengan cepat bangkit sambil berteriak-teriak marah. Dengan garangnya keduanya pun segera meloncat keluar. Mereka pun dengan serta merta telah menyerang Sutasuni sambil berteriak-teriak kasar.

Beberapa orang kawannya memang belum tidur. Ada di antara mereka yang mabuk, setengah mabuk, atau mereka yang kesadarannya masih utuh tetapi kepalanya mulai terasa pening.

Ketika mereka mendengar kegaduhan itu. maka mereka pun segera berlari-larian keluar dari bilik mereka.

Beberapa orang yang berdatangan itu ternyata sama sekali tidak berniat melerai perkelahian. Tetapi mereka pun segera membantu kawannya menyerang Sutasuni.

Dengan demikian maka kedua orang kawan Sutasuni pun segera melibatkan diri mereka. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiam diri.

Namun beberapa saat kemudian, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu pun menjadi semakin banyak.

Dengan demikian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya segera mengalami kesulitan. Apalagi orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu pada dasarnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kawan-kawan Sutasuni yang lain masih berada di luar halaman penginapan.

Karena itu, maka seperti yang dijanjikan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera memasuki arena perkelahian. Dengan tangkasnya mereka berdua berloncatan di antara orang-orang yang berilmu tinggi itu.

Sutasuni dan kawan-kawannya memang agak terkejut. Mereka tidak mengira bahwa Glagah Putih dan istrinya adalah orang-orang yang memiliki bekal kanuragan yang tinggi, sehingga di antara para pengikut Ki Saba Lintang itu, Glagah Putih mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan demikian pula istrinya.

Karena itu, maka Sutasuni pun menjadi semakin mantap. Dengan garang Sutasuni menyerang orang-orang yang sedang mabuk dan setengah mabuk itu. Apalagi ketika beberapa orang kawannya berdatangan memasuki halaman penginapan itu, sehingga perkelahian itu pun semakin seru.

Petugas di penginapan itu pun telah datang pula. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Mereka berusaha untuk melerai perkelahian itu. Sambil berteriak-teriak mereka menyibak orang-orang yang sedang terlibat dalam perkelahian yang menjadi semakin sengit.

Tetapi para petugas yang meskipun memiliki bekal serba sedikit dalam olah kanuragan itu, tidak mampu berbuat apa-apa. Ketika orang-orang yang terlibat dalam perkelahian meningkatkan kemampuan mereka, maka para petugas itu justru harus menepi, karena perkelahian itu akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka.

Orang yang di pringgitan menggamit Rara Wulan dan bertanya namanya, telah berada di arena perkelahian itu pula. la memang menjadi heran, bahwa perempuan itu terlibat dalam perkelahian itu pula.

Dengan mulut yang berbau tuak, orang itu mencoba untuk memanfaatkan kegaduhan itu. Karena itu, maka orang itu sengaja menyelinap di antara kawan-kawannya, mendekati Rara Wulan

Tiba-tiba saja orang itu telah menyergap Rara Wulan dan langsung menyekapnya dari belakang, pada saat Rara Wulan sedang menghindari serangan salah seorang pengikut Ki Saba Lintang.

Rara Wulan terkejut. Dengan gerak naluriah sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka dengan bertumpu sedikit pada pijakan kakinya, Rara Wulan telah menghantam lawannya dengan sikunya tepat di arah ulu hati.

Orang yang menyekap Rara Wulan itu terkejut. la tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak secepat itu. Karena itu, maka dekapannya pun terlepas, dan bahkan sambil menyeringai kesakitan orang itu terdorong surat selangkah.

Sementara Rara Wulan pun bergerak selangkah pula maju. Dalam pada itu, selagi orang itu belum sempat memperbaiki keadaannya, Rara Wulan telah melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya bergerak mendatar menyambar dagu orang itu.

Orang itu sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ia terlempar beberapa langkah dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri, tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit di dagu dan arah ulu hatinya, sehingga nafasnya terasa sesak.

Namun Rara Wulan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi terhadap orang itu. Seorang yang lebih muda dati orang itu pun telah menyerangnya pula. Namun Rara Wulan telah bersiap menghadapinya.

Sementara itu, perkelahian pun menjadi semakin sengit. Sutasuni dan kawan-kawan sempat merasa heran melihat Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dari kebanyakan para pengikut Ki Panji Kukuh. Bahkan kemampuan keduanya pun tidak lebih rendah dari kemampuan Sutasuni sendiri.

Sejenak kemudian perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut agaknya terlambat mendatangi arena perkelahian itu, sehingga perkelahian itu sudah merambat ke halaman. Beberapa orang kawan Sutasuni telah melibatkan diri pula, berkelahi melawan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.

Di halaman, Glagah Putih dan Rara Wulan justru nampak lebih garang dari kawan-kawan Sutasuni dan bahkan Sutasuni sendiri. Beberapa orang yang berkelahi bersama-sama melawannya sulit untuk dapat bertahan terlalu lama. Bergantian mereka terlempar dari arena dan jatuh berguling-guling di halaman.

Ketika Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut sampai di halaman, maka mereka pun segera berteriak-teriak serta mencoba menghentikan perkelahian itu.

“Berhenti! Berhentilah, pemabuk!” teriak Ki Sela Aji.

“Aku akan membunuh mereka,” teriak orang yang sudah separuh baya, yang datang di Seca kemudian bersama Ki Saba Lintang.

“Tidak, berhentilah.”

“Aku tidak mabuk, Sela Aji. Aku tahu itu. Tetapi aku tidak senang diperlakukan seperti ini oleh orang-orang sombong yang merasa dirinya memiliki kademangan ini.”

“Kita akan membicarakannya.”

“Itu tidak perlu!” Sutasuni berteriak, “Mereka telah mengganggu kami!”

Ki Sela Aji menjadi kebingungan. Ki Demung Pugut pun berteriak-teriak pula. “Berhentilah! Nanti kita akan menyelesaikan persoalannya.”

Tetapi orang-orang yang berkelahi itu tidak mau berhenti. Bahkan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu telah mengerahkan kemampuan mereka.

Mereka yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta datang dari sebuah perguruan yang besar, ingin menunjukkan kebesaran mereka. Menurut pendapat mereka, orang-orang lain-lah yang harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat apa saja sesuka hati mereka.

Ternyata Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tidak mampu lagi melerai mereka yang berkelahi. Para petugas penginapan itu pun telah mencoba pula membantu Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut. Mereka ikut berteriak-teriak agar perkelahian itu berhenti. Tetapi mereka pun tidak berhasil pula.

Dalam pada itu, Sutasuni yang merasa sangat terganggu itu pun telah berkelahi dengan meningkatkan kemampuannya pula. Ia sadar bahwa yang dilawan adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang besar. Orang-orang yang tentu berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu, Sutasuni itu sempat mengagumi Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya berkelahi dengan garangnya. Kemampuan mereka benar-benar cukup tinggi, sehingga dapat mengimbangi lawan-lawan mereka. Namun lawan semakin lama semakin banyak.

Sutasuni pun merasa bahwa bersama kawan-kawannya mulai mengalami kesulitan. Hanya Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang masih mampu berloncatan kesana-kemari. Kemampuan lawan-lawan mereka sama sekali tidak membatasi gerak kedua orang suami istri itu.

Namun akhirnya Sutasuni pun berkata dengan suara lantang, “Tinggalkan tempat ini! Kita sudah menyatakan sikap kita. Biarlah para petugas serta pemilik penginapan ini yang nanti menertibkan mereka yang tidak mempunyai tatanan. Yang sama sekali tidak menghargai orang lain. Seca akan menjadi neraka jika mereka itu akan tinggal di lingkungan ini.”

“Tidak! Jangan salah paham!” teriak Ki Sela Aji.

Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan lagi. la pun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Kita mencari penginapan lain yang lebih tertib dari penginapan ini.”

“Tunggu, Ki Sanak. Aku akan berbicara!” teriak Ki Sela Aji pula.

Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan. Ia sempat berkata kepada Glagah Putih, “Ki Sanak. Ajak istrimu pergi meninggalkan penginapan yang ribut ini.”

Tidak ada yang dapat mencegah lagi. Mereka segera bergeser menuju ke pintu regol halaman yang terbuka.

Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut pun berlari ke pintu regol itu pula. Ketika Sutasuni dan kawan-kawannya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol, maka Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut mencoba untuk menghalangi kawan-kawan mereka yang akan mengejar keluar regol.

“Jangan keluar regol halaman. Jangan berkelahi di luar. Kalian akan merusak ketenangan hidup orang-orang Seca yang selama ini mereka pertahankan.”

Orang-orang yang sedang mabuk, setengah mabuk dan yang tidak mabuk sama sekali, memang berhenti di pintu.

Sementara Ki Sela Aji pun berteriak pula, “Kembali ke bilik kalian masing-masing! Jaga ketenangan penginapan ini. Jangan mengganggu orang lain yang juga sedang menginap di penginapan ini.”

“Mereka harus diajar untuk menghormati kita. Bukankah kita orang-orang dari Perguruan Kedung Jati yang besar?”

“Agar kita dihormati, maka kita pun harus menghormati orang lain.”

Orang yang sudah separuh baya itu menyahut, “Kita-lah yang terbesar. Orang lain yang harus menghormati kita. Jika perlu, kita akan memaksa mereka dengan kuasa yang ada pada kita.”

“Bukan begitu maksud Ki Saba Lintang. Khususnya di kademangan ini.”

Dalam pada itu, selagi mereka masih berbantah di dalam regol halaman penginapan, sekelompok petugas dari Seca telah berdatangan. Mereka adalah petugas yang dibentuk oleh Ki Demang Seca untuk tetap mempertahankan keamanan di kademangan itu.

Tetapi orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu telah meremehkan mereka. Dengan nada tinggi seorang berkata, “Suruh mereka mencuci mangkuk dan menimba air di pakiwan.”

“Diam!” teriak Ki Sela Aji yang menjadi benar-benar marah. Sementara Ki Demung Pugut pun berteriak pula, “Apa yang kalian lakukan akan kami laporkan kepada Ki Saba Lintang. Kau kira Ki Saba Lintang tidak memperdulikan tingkah laku kalian di tempat yang lain. Tetapi tidak di Seca ini.”

Sementara itu pemimpin sekelompok petugas dari kademangan itu pun menemui Sela Aji sambil bertanya, “Apa yang terjadi di sini, Ki Sanak?”

Ternyata salah seorang petugas di penginapan itu telah melaporkan apa yang telah terjadi di penginapan itu kepada para petugas.

“Hanya sedikit salah paham, Ki Sanak,” jawab Ki Sela Aji, “seseorang meresa terganggu oleh orang lain.”

Pemimpin sekelompok petugas dari kademangan Seca itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu ia pun bertanya pula, “Tetapi terjadi perkelahian antar kelompok melawan kelompok.”

“Ya,” jawab Ki Demung Pugut, “semula hanya dua orang yang biliknya bersebelahan. Yang satu merasa terganggu oleh yang lain. Terjadi perselisihan. Perselisihan itu berkembang demikian cepatnya, sehingga petugas di penginapan ini tidak sempat melerainya. Kawan-kawan mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu saling membantu, sehingga akhirnya terjadi perkelahian antara kelompok melawan kelompok. Tetapi seperti yang Ki Sanak lihat, perkelahian itu sudah selesai. Sekelompok di antara mereka yang berselisih telah meninggalkan halaman penginapan ini.”

“Mereka pergi ke mana?”

“Tentu saja kami tidak tahu,” jawab Ki Sela Aji.

“Yang pergi itu orang yang merasa terganggu, atau justru orang yang dianggap mengganggu?”

“Mereka adalah orang yang merasa terganggu.”

Pemimpin sekelompok petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian persoalannya sudah selesai. Orang-orang yang merasa terganggu itu sudah meninggalkan penginapan ini.”

“Aku tidak tahu, apakah mereka akan kembali atau tidak. Mungkin mereka akan kembali membawa kawan-kawan mereka.”

“Mudah-mudahan tidak,” jawab pemimpin sekelompok petugas itu. “Meskipun demikian, kami akan selalu mengawasi penginapan ini. Jika terjadi kerusuhan lagi, biarlah petugas penginapan ini memukul kentongan. Namun aku minta, orang-orang yang bermalam di penginapan ini dapat saling menjaga. Bertimbang rasa-lah, sehingga tidak akan terjadi kerusuhan-kerusuhan. Selama ini Seca adalah sebuah kademangan yang aman.”

“Baik, Ki Sanak. Kami akan mencoba menjaga agar kami tidak mengganggu orang lain.”

Para petugas kademangan itu pun kemudian telah meninggalkan penginapan itu. Kepada petugas di penginapan itu, pemimpin sekelompok petugas itu pun berkata, “Jaga penginapanmu dengan baik. Jika terjadi kekisruhan lagi, bunyikan kentongan. Kami akan segera datang.”

“Baik, Ki Sanak,” jawab salah seorang petugas di penginapan itu.

Sejenak kemudian, para petugas itu pun meninggalkan regol halaman penginapan.

Sementara itu, seorang yang berkumis lebat bertanya kepada kawannya, “Gerombolan tikus-tikus itu tadi ingin menertibkan kita?”

Mendengar pertanyaan itu, beberapa orang pun tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kami menghormati tugas-tugas mereka. Karena itu, kita tidak akan mengganggunya.”

Namun Ki Sela Aji pun membentak, “Mereka adalah orang-orang yang terlatih.”

Tetapi beberapa orang masih saja mentertawakannya. Wajah Ki Sela Aji menjadi merah. Tetapi Ki Demung Pugut yang lebih tua berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Jantungmu akan dapat berhenti berdetak.”

“Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi kata-kataku.”

“Bukankah kau sudah bertahun-tahun bergaul dengan mereka?”

“Tetapi kali ini kita mengemban tugas agak berbeda. Seharusnya mereka dapat mengerti.”

“Mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak sendiri. Jangan hiraukan mereka lagi.”

Ki Sela Aji menarik nafas panjang. Bersama Ki Demung Pugut, Ki Sela Aji pun segera meninggalkan regol dan ke pendapa, langsung menuju biliknya. Namun bilik di sebelahnya itu pun sudah kosong. Ketika Ki Sela Aji menjenguk lewat daun pintu yang terbuka, di dalam bilik sebelahnya itu tidak lagi terdapat seorangpun.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang meninggalkan penginapannya, mengikuti Sutasuni dan kawan-kawannya. Ternyata mereka tidak berada di satu penginapan. Beberapa orang menginap di penginapan di sebelah barat pasar. Yang lain di penginapan yang kurang terpelihara di sebelah selatan pasar. Penginapan yang sekedarnya saja dipergunakan untuk meletakkan tubuh di amben besar yang dipergunakan untuk beberapa orang sekaligus.

“Aku akan langsung menghadap Ki Panji Kukuh,” berkata Sutasuni.

“Bagaimana dengan kami?” bertanya Glagah Putih.

“Apa rencanamu selanjutnya?” Sutasuni justru bertanya.

“Aku tidak punya rencana apa-apa.”

“Jadi untuk apa kau berada di Seca?”

“Kami berdua adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain.”

“Kalian tidak terikat dengan siapapun?”

“Tidak. Kami tidak terikat dengan siapa-siapa . Terakhir kami mencoba berhubungan dengan Jati Ngarang. Tetapi ternyata di Seca kami tidak dapat menemuinya. Aku sudah dua kali pasaran berkeliaran di pasar di sini.”

“Jati Ngarang? Untuk apa?”

“Kau kenal dengan Jati Ngarang?”

“Pencuri ayam dan jemuran itu. Untuk apa kau berhubungan dengan sejenis kecoa itu?”

“Jati Ngarang menawarkan hubungan perdagangan yang menarik buat kami berdua.”

“Tinggalkan Jati Ngarang. Jika kau mau, ikut aku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara Sutasuni berkata, “Kalian berdua adalah orang-orang berilmu tinggi. Kalian pantas berada di dalam lingkungan yang terhormat. Kenapa kalian memilih berhubungan dengan Jati Ngarang yang berada di luar hitungan itu?”

“Kami baru akan mulai. Kami tidak tahu jalur yang lebih pantas dari Jati Ngarang.”

Sutasuni termangu-mangu sejenak. la sudah melihat bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Keduanya mampu bertempur dengan garang melawan orang-orang dari perguruan yang besar, Kedung Jati. Kedua orang itu sama sekali tidak menjadi gentar, sementara di dalam pertarungan keduanya mampu menunjukkan kelebihan mereka.

“Ki Sanak,” berkata Sutasuni, “jika bersedia bersama kami, aku akan menyampaikannya kepada Ki Panji Kukuh.”

“Maksud Ki Sanak?”

“Daripada kalian berhubungan dengan cecurut seperti Jati Ngarang, aku kira lebih baik kalian berada di dalam lingkungan kami.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kepada Rara Wulan, Glagah Putih itu pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

“Kita akan melihat dahulu, apakah kita sesuai atau tidak. Selama ini kita tidak pernah merasa terikat dengan siapapun,” jawab Rara Wulan.

“Dalam perdagangan gelap, dapat saja seseorang tidak terikat dengan siapapun. Tetapi dengan demikian tidak ada satu lingkungan yang akan dapat melindunginya. Dalam perdagangan gelap, orang-orang yang demikian biasanya akan hilang begitu saja, tanpa ada yang mengetahui kemana perginya. Untuk selamanya ia tidak akan pernah muncul kembali.”

“Jika orang itu tidak merugikan segala pihak?”

“Mereka dapat menjadi ular berkepala bukan hanya dua. Meskipun mula-mula tidak ada niat untuk berbuat seperti itu, namun akhirnya orang-orang yang tanpa ikatan itu akan memilih kaitan yang terbaik bagi diri mereka. Nah, pada saat-saat yang demikian itulah, maka orang-orang yang merasa dirinya tanpa ikatan itu akan hilang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak Namun akhirnya Glagah Putih mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Kami setuju bergabung dengan kalian.”

“Baik. Aku akan menyampaikan kepada Ki Panji Kukuh. Siapakah sebutan kalian yang pantas aku sampaikan kepada Ki Panji?”

“Kenapa dengan sebutan itu?”

“Jarang sekali orang menyebutkan namanya sendiri yang sebenarnya. Biasanya mereka memilih nama yang dapat memberikan dukungan bagi kerja yang dilakukannya.”

“Apakah namamu juga bukan namamu sendiri?”

“Namaku memang Sutasuni. Aku tidak dapat membuat nama lain yang lebih baik dari namaku sendiri.”

“Ki Panji Kukuh?”

“Itu bukan namanya sendiri. Tetapi kita tahu, bahwa orang itulah yang dimaksud dengan Ki Panji Kukuh.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku lebih senang memakai namaku sendiri, meskipun barangkali tidak terasa garang.”

“Siapa namamu?”

“Carangkerep. Aku tidak tahu kenapa orang tuaku memberiku nama Carangkerep Tetapi aku sering juga dipanggil Nagagundala.”

“Bagus. Kami akan memanggilmu Nagagundala. Nama itu lebih seram.”

“Apakah aku pantas disebut Nagagundala?”

“Ujudmu memang tidak. Tetapi ilmumu akan dapat mengejutkan lawan-lawanmu.”

“Terserah sajalah.”

“Istrimu?”

“Namanya sendiri Mawanti. Tetapi panggil saja Nyi Nagagundala.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Suaminya sering memakai nama lain, tetapi selalu berganti-ganti, sehingga setiap kali ia harus mengingat-ingat siapakah namanya pada satu saat.

“Baik, baik. Aku akan menghubungi Ki Panji Kukuh. Kau tunggu saja di sini.”

“Di sini?”

Sutasuni pun kemudian berkata kepada seorang kawannya, “Bawa Ki Nagagundala ini ke penginapanmu.”

“Istrinya?”

“Ya. Kedua-duanya.”

“Tetapi keberadaan Nyi Nagagundala akan membuat penginapan itu gaduh. Tidak ada seorang perempuan pun menginap di penginapan sebelah selatan pasar itu. Di sana hanya ada beberapa amben panjang di barak yang luas memanjang.”

“Tidak apa-apa. Aku akan berbicara dengan Ki Panji Kukuh.”

“Baik. Tetapi kami akan menunggu di luar regol halaman penginapan.”

“Terserah kepadamu.”

Sutasuni itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dua orang kawannya. Mereka pergi ke penginapan di sebelah selatan pasar. Tetapi seperti yang dikatakan kawan Sutasuni, mereka tidak masuk ke dalam penginapan itu, agar keberadaan Rara Wulan tidak menarik perhatian.

Beberapa lama mereka berada di halaman penginapan yang sudah sepi itu. Dalam kegelapan, tidak segera nampak perbedaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara itu, petugas di penginapan itu pun tidak bekerja setertib petugas di penginapan yang ditinggalkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan setelah lewat tengah malam, mereka pun telah tidur mendengkur di gardu di sebelah sayap kanan penginapan itu.

“Apakah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu tidak akan mencari kita sampai kemari?” bertanya Glagah Putih.

“Nampaknya tidak. Orang yang mengawasi keberadaan mereka di Seca agaknya tidak akan membiarkan orang-orangnya itu mencari kita.”

Glagah Putih terdiam. Rara Wulan-lah yang kemudian berdesis, “Setelah kita pergi, maka mereka akan berbuat sekehendak hati di penginapan itu. Orang-orang yang mabuk dan setengah mabuk itu akan menjadi semakin mabuk. Agaknya Ki Sela Aji dan Ki Demang Pugut sudah tidak berdaya lagi.”

“Ya, mereka akan tenggelam dalam dunia yang lain di dalam alam mabuk mereka.”

Tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, “Malam ini adalah malam yang mengandung seribu kemungkinan.”

Rara Wulan tidak menjawab, la hanya menarik nafas panjang sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

Sementara itu, Sutasuni telah menemui Ki Panji Kukuh yang berada di penginapan di sebelah barat pasar. Kedatangan Sutasuni agaknya telah mengejutkannya.

Sambil mengusap matanya yang sudah terpejam beberapa saat, ia pun bertanya, “Ada apa malam-malam begini kau mencari aku?”

“Kami telah berkelahi, Ki Panji.”

“Berkelahi dengan siapa, dan ada persoalan apa?”

“Persoalannya sebenarnya tidak penting. Tetapi orang itu sangat menjengkelkan.”

“Katakan, apa yang terjadi.”

Sutasuni pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi.

“Orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu sangat menjengkelkan. Aku tidak tahan lagi.”

“Kau membuka permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati? Jika itu yang kau lakukan, maka kau telah memanggil bencana. Mungkin tidak hanya bagi dirimu sendiri, tetapi bagi kita semuanya.”

“Mereka tidak tahu siapa kami yang telah berkelahi dengan mereka di penginapan itu.”

“Tetapi mereka akan segera mengetahuinya. Bukankah mereka akan berada di sini untuk beberapa hari?”

“Kami tidak tahu, Ki Panji. Tetapi agaknya memang begitu. Mereka sedang mengamati Kademangan Seca. Mungkin mereka akan menjadikan kademangan ini salah satu landasan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali Perguruan Kedung Jati.”

“Jika mereka menemukan kalian, maka kalian akan menjadi debu.”

“Tentu tidak malam ini, Ki Panji. Tetapi jika itu terjadi pada kesempatan lain, kami memang akan menjadi debu.”

“Pikirkan itu. Apakah kau akan pergi meninggalkan Seca, atau kalian mempunyai pertimbangan lain?”

Sutasuni menggeleng. Namun seperti yang sudah disinggungnya serba sedikit, maka Sutasuni itu pun mengulanginya, “Bagaimana dengan sepasang suami istri yang aku sebutkan itu? Nampaknya mereka masih sangat lugu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah akan memiliki bekal yang lengkap, apa yang harus mereka lakukan jika mereka berada di lingkungan kita.”

“Kau percaya kepada sepasang suami istri itu?”

“Ya. Aku mempercayai mereka.”

“Kau belum menyebutkan namanya.”

“Namanya Carangkerep. Tetapi dengan bangga ia sebut dirinya Nagagundala.”

“Nagagundala?”

“Ya. Ki Panji.”

“Darimana ia mendapatkan nama yang seram itu?”

“Entahlah. Mungkin ia pernah mendengar nama seperti itu. Yang ia tahu, nama itu baik dan memberikan kesan yang garang.”

“Baiklah. Bukankah kita tidak akan mengecewakannya hanya karena pilihan namanya? Mungkin banyak di antara kita yang mempunyai nama sampai dua atau tiga.”

“Bahkan nama Ki Panji sendiri.”

“Hus! Kau tidak usah berkata begitu ”

“Maaf, Ki Panji.”

“Aku memakai namaku dengan resmi. Bukankah saat itu, kita yang masih bersarang di hutan dan di goa-goa, aku memerintahkan untuk membuat jenang abang, jenang putih dan jenang baro-baro serta jajan pasar, untuk meresmikan namaku? Ki Panji Kukuh.”

“Tetapi Ki Panji sudah memakai nama yang lain sebelumnya.”

“Sudah, sudah. Apa peduli kita tentang nama. Yang penting, kau berani mempertanggungjawabkan keberadaannya di antara kita?”

“Aku akan bertanggung jawab Ki Panji.”

“Jika demikian, panggil sepasang suami istri itu kemari.”

“Baik, Ki Panji.”

Sutasuni pun kemudian meninggalkan Ki Panji. Sementara kawannya yang tidak ikut bersama Sutasuni, masih sempat menceritakan kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Panji Kukuh di penginapannya. Mereka berada di sebuah bilik yang khusus, satu-satunya bilik yang terpisah dari ruangan-ruangan yang panjang yang berisi amben-amben yang panjang pula.

“Kalian tertarik untuk ikut bersama kami dalam pekerjaan kami yang berat dan bahkan mempertaruhkan nyawa?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tertarik kepada pekerjaan yang mempunyai tantangan yang tinggi. Demikian pula istriku. Kami berdua ingin memanfaatkan ilmu yang telah beberapa tahun kami pelajari.”

“Dimana kalian berdua berguru?”

“Kami berguru di Bukit Wahyu.”

“Bukit Wahyu? Aku belum pernah mendengar nama bukit itu.”

“Salah satu puncak bukit di daerah Pegunungan Kidul. Sebuah bukit karang yang satu sisinya menghadap ke laut. Di Bukit Wahyu ada sebuah goa yang cukup luas. Disitulah guruku tinggal. Sedangkan padepokan Cahya Andadari yang dipimpin oleh guruku itu terletak di sekitarnya. Kami para cantrik harus mencari tempat berteduh kami sendiri-sendiri dalam ereng-ereng Bukit Wahyu dan sekitarnya.”

Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah nama gurumu yang memimpin padepokan Cahya Andadari itu?”

Glagah Putih tidak ingin dicurigai. Karena itu, ia menjawab dengan lancar, “”Namanya Ki Ageng Cahya Raina.”

“Cahya Raina,” desis Ki Panji Kukuh. “Semuanya terdengar asing. Kalau aku belum pernah mendengar namamu, itu wajar-wajar saja, karena agaknya kau baru saja memasuki dunia petualangan. Tetapi aku yang sering berkeliaran sampai kemana-mana sebelum aku menemukan jalur perdagangan yang memikat ini, juga belum pernah mendengar nama gurumu.”

“Guru adalah seorang yang jarang sekali keluar, Ki Panji. Sejak Guru berada di goanya, seingatku baru sekali menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Waktu itu Guru pergi ke Gresik.”

“Gresik? Untuk apa?”

“Aku tidak tahu, Ki Panji.”

Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Demikian lancarnya Glagah Putih menjawab pertanyaan-pertanyaannya, sehingga sama sekali tidak berkesan bahwa jawaban-jawaban itu hanyalah sekedar isapan jempol saja. Bahkan jika saja Rara Wulan tidak mengetahui sendiri masa-masa lalu Glagah Putih, maka mungkin sekali ia ikut mempercayainya.

“Baiklah,” berkata Ki Panji Kukuh kemudian. Lalu katanya, “Menurut laporan Sutasuni, kau telah terlibat dalam perkelahian di penginapanmu?”

“Ya, Ki Panji. Orang-orang yang datang kemudian itu mencoba mengganggu istriku. Sementara itu, Ki Sutasuni agaknya juga merasa sangat terganggu, sehingga kami dapat bekerja sama menghadapi mereka.”

“Sebelum kalian bertemu dengan Sutasuni. apa sebenarnya yang akan kalian lakukan di Seca ini?”

“Kami telah berhubungan dengan Jati Ngarang. Kami ingin ikut serta berada dalam garis perdagangan gelapnya. Jati Ngarang mempunyai sumber yang dapat memberinya pasokan barang-barang terlarang itu.”

“Jati Ngarang adalah seekor kecoa kecil bagi perdagangan terlarang ini.”

“Ya. Ternyata menurut Ki Sutasuni, Jati Ngarang tidak mempunyai arti apa-apa. Tetapi orang-orang Perguruan Kedung Jati itulah yang harus mendapat perhatian lebih bersungguh-sungguh.”

“Kenapa?”

“Menurut pendengaranku, yang tadi sudah aku katakan kepada Ki Sutasuni dalam perjalanan kemari, mereka akan membuat salah satu landasan bagi perjuangan mereka.”

“Aku yang mengatakan itu kepadamu,” sahut Ki Sutasuni.

“O. Maksudku kita sama-sama mendengarnya,” sahut Glagah Putih. “Bukankah salah seorang dari mereka menyebut-nyebutnya, ketika ia berteriak-teriak mengendalikan orang-orangnya yang berkelahi melawan kita?”

Ki Panji Kukuh tertawa. Ia mendapat kesan bahwa orang yang menyebut dirinya Nagagundala itu adalah seorang yang lugu. Nampaknya ia memang baru turun dari perguruannya dengan membekali dirinya dengan ilmu yang tinggi. Tetapi pandangannya terhadap dunia yang luas ini masih sangat sempit.

“Baiklah,” berkata Ki Panji Kukuh, “aku tidak keberatan kau berada di lingkunganku. Tetapi kau harus menurut segala perintahku, yang kadang-kadang aku berikan lewat Sutasuni.”

“Ya, Ki Panji.”

“Tetapi untuk sementara kau jangan berada di Seca. Kau dan Sutasuni harus menyingkir untuk dua tiga hari, selama orang-orang dari Perguruan Kedung Jati ada di sini, karena kau dan Sutasuni telah membuka permusuhan dengan mereka. Meskipun persoalannya adalah persoalan yang sangat kecil, tetapi permusuhan itu akan dapat berkembang jika kau bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang. Sementara itu Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang sangat besar.”

“Kenapa kita tidak mengusir mereka?”

“Mengusir mereka?” Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya.

“Ya, mengusir mereka. Bukankah kita dapat melakukannya sekarang?”

Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun tertawa. “Kau benar-benar belum mempunyai wawasan sama sekali tentang dunia olah kanuragan. Jika kau ingin melakukankan petualangan, maka kau harus mempelajari dunia yang akan kau ambah, agar kau tidak tersuruk ke dalam serigala yang lapar.”

“Tetapi bukankah kita mempunyai kekuatan yang cukup sekarang? Sementara itu, Ki Saba Lintang berada di Seca hanya dengan beberapa orangnya saja, karena mereka mengira bahwa Seca itu aman tanpa ada gejolak?”

“Pikirannya masuk akal, Ki Panji,” sahut Sutasuni.

“Kau sependapat? Kau ingin membunuh diri dengan memusuhi Perguruan Kedung Jati?”

“Ki Panji. Jika kita membunuh ular dengan meremukkan kepalanya, maka tubuh dan ekornya tidak akan berbahaya lagi.”

“Apa maksudmu?”

“Satu kelemahan dari Ki Saba Lintang. Tetapi barangkali karena ia menganggap bahwa Seca itu adalah daerah yang aman tenteram.”

“Jadi?”

“Jika benar Ki Saba Lintang akan membuat salah satu landasan bagi perguruannya di Seca, maka jalur perdagangan kita tentu akan berhenti. Lambat atau cepat, Ki Saba Lintang akan mengetahui jalur perdagangan kita itu. Karena itu, sebelum mereka benar-benar membuat landasan di Seca bagi Perguruan Kedung Jati, maka sebaiknya kita menggagalkannya.”

“Maksudmu, kita memberikan kesan bahwa Seca tidak aman? Kita akan mengganggu keberadaan Ki Saba Lintang dengan menimbulkan kekacauan di Seca?”

“Tetapi tidak tanggung-tanggung, Ki Panji. Kita hancurkan kepala ular yang kita bunuh itu.”

Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya. Sementara Glagah Putih berkata, “Jika kita berhasil membunuh Ki Saba Lintang malam ini, maka Perguruan Kedung Jati tentu akan menjadi kacau. Bahkan perguruan manapun yang kehilangan pemimpinnya, akan menjadikan perguruan itu seperti sarang semut ngangrang yang diperciki air. Semut-semut yang garang itu akan buyar dan berlarian kemana-mana tanpa arah.”

Ki Panji tertawa. Katanya, “Otakmu terang juga, Carangkerep.”

“Gelarku Nagagundala,” sahut Glagah Putih.

Ki Panji tertawa semakin keras, sehingga Sutasuni pun berdesis, “Ki Panji dapat mengganggu ketenangan tidur orang lain.”

“Bagaimana menurut pendapatmu, Sutasuni?”

“Ki Panji. Jika kita berhasil, maka Perguruan Kedung Jati tentu akan pecah. Para pemimpinnya tentu akan berebut, siapakah yang akan menjadi pemimpin tertinggi. Mereka tidak akan sempat mencari keterangan, siapakah yang telah menyerang pada saat mereka berada di Seca. Bahkan beberapa orang akan merasa berterima kasih kepada kita, karena Ki Saba Lintang kita musnahkan, ketika ia sedang lengah dan berada di Seca dengan kekuatan yang kurang memadai.”

“Kau tahu, seberapa besar kekuatan Ki Saba Lintang di Seca sekarang ini?”

“Sebagian mereka berada di banjar padukuhan, sebagian lagi di penginapan yang sering aku pergunakan itu.”

“Apakah menurut perhitunganmu, kekuatan kita cukup untuk menghancurkan mereka, sebagaimana kita membunuh ular?”

“Kekuatan mereka terpecah. Kita akan menyerang banjar. Sementara itu, ada tenggang waktu bagi para pengikutnya yang ada di penginapan untuk datang ke banjar.”

“Kau sudah perhitungkan para petugas di kademangan ini?”

“Mereka tidak akan banyak berpengaruh. Jika orang-orang kita terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan para pengikut Ki Saba Lintang, mereka akan membuat pertimbangan dua tiga kali untuk terjun ke dalamnya.”

“Sutasuni, apakah kau yakin akan berhasil?”

“Aku yakin, Ki Panji. Apalagi orang-orang yang berada di penginapan itu sedang mabuk. Hampir semuanya. Bagi kita, yang akan kita lakukan adalah satu perjuangan untuk mempertahankan jalur perdagangan kita. Mungkin mereka bahkan tidak sekokoh kekuatan Ki Guntur Ketiga.”

“Jika demikian, besok kau persiapkan orang-orang kita. Besok malam kita akan menyerang banjar itu.”

“Kenapa besok malam, Ki Panji? Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sebagian besar mabuk. Itu sekarang. Belum tentu besok mereka juga mabuk lagi. Apalagi setelah Ki Saba Lintang sendiri berusaha mencegahnya.”

“Jadi menurut pendapatmu, sekarang kita menyerang mereka?”

“Ya, sekarang. Mereka tentu benar-benar lengah.”

Ki Panji Kukuh nampak ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia pun berkata, “Baiklah. Tetapi kita memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri.”

“Masih ada waktu, Ki Panji. Di dini hari kita menyerang mereka Yang mabuk tentu masih berada dalam pengaruh tuak. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang menjadi semakin mabuk. Mereka agaknya membawa tuak ke dalam bilik-bilik mereka.”

“Jika demikian, hubungi orang-orang kita di semua penginapan, dan mereka yang berada di rumah Sura Kenthus. Semuanya, agar kita tidak menyesal nanti.”

“Baik, Ki Panji,” sahut Sutasuni

Sutasuni pun bergerak cepat. Beberapa orang telah membantunya menyampaikan perintah Ki Panji Kukuh.

Ternyata alur kepemimpinan Ki Panji Kukuh berjalan dengan baik. Dalam waktu yang singkat, semua pengikutnya telah siap.

“Kita akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang sendiri dengan beberapa orang petugas terlatih dari kademangan ini. Dalam waktu yang tidak terlalu lama. maka orang-orang yang menginap di penginapan itu pun akan berdatangan di banjar pula.”

“Ya. Mereka yang sedang mabuk,” sahut Sutasuni.

“Baiklah. Kita harus memilah orang-orang kita. Kita harus memilih, siapakah yang patas menghadapi Ki Saba Lintang dan para pengawal terpilihnya itu.”

“Aku menawarkan diri,” berkata Glagah Putih, “aku akan mencoba apakah pemimpin tertinggi dari perguruan yang besar seperti Perguruan Kedung Jati itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi.”

“Menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang sendiri bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi satu dua pengawalnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Bukankah di antara kita ada Ki Panji Kukuh, ada Ki Sutasuni, dan beberapa orang yang lain?”

“Baik. Kau akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang. Biarlah aku dan orang-orangku mengamankan pertarunganmu dengan Ki Saba Lintang agar tidak terganggu.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih

“Lalu. bagaimana dengan istrimu?”

“Bukankah kita tidak akan memasuki arena perang tanding? Jika perlu, biarlah istriku membantuku melawan Ki Saba Lintang. Tetapi jika hal itu tidak perlu, maka biarlah ia mencari lawannya sendiri.”

Ki Panji Kukuh pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Nyi. Kau dengar kata-kata suamimu?”

“Ya, Ki Panji,” jawab Rara Wulan, “aku akan mencari lawan sendiri di medan. Tetapi aku akan mempersiapkan diri membantu suamiku jika ia memerlukannya.”

“Baiklah. Jumlah kita cukup banyak. Tugaskan sekelompok di antara kita untuk menghalau para petugas dari kademangan ini.”

“Ya, Ki Panji,” jawab Sutasuni.

Demikianlah, maka menjelang dini hari, pasukan Ki Panji Kukuh pun telah bergerak menuju ke banjar. Mereka menyusup dengan diam-diam di jalan-jalan yang sepi. Setiap kelompok telah memilih jalan mereka sendiri-sendiri.

“Semuanya harus segera berada di sekitar banjar. Hindari bentrokan dengan para peronda, agar tujuan kita untuk mengepung banjar tidak ketahuan lebih dahulu, sehingga para peronda itu mengirimkan isyarat. Jika keadaan memaksa, maka kalian harus berusaha membungkam para peronda itu,” berkata Ki Panji Kukuh.

“Jika aku memberi isyarat, semuanya akan bergerak menurut tugas mereka masing-masing. Yang harus menghalau para petugas Kademangan Seca berbeda orangnya dengan mereka yang akan menghadang orang-orang dari penginapan. Meskipun mereka sedang mabuk, namun pada dasarnya mereka adalah orang yang berilmu tinggi.”

Semuanya menjadi jelas. Para pemimpin kelompok pun segera membawa kelompok mereka masing-masing menuruni jalan. Mereka memencar dan memilih jalan yang berbeda-beda.

Ki Panji Kukuh sendiri telah menyusuri sebuah lorong kecil yang justru merupakan jalan pintas. Ki Panji Kukuh bersama Sutasuni, Glagah Putih, Rara Wulan dan beberapa orang terbaik itu akan berada di seberang jalan, di depan banjar.

Mereka-lah yang akan memasuki halaman banjar mendahului para pengikut Ki Panji Kukuh yang lain, agar mereka dapat langsung berhadapan dengan Ki Saba Lintang dan para pengawalnya yang terbaik.

Beberapa saat kemudian, dengan menghindari pertemuan dengan tiga orang peronda, maka Ki Panji Kukuh pun telah berada di mulut lorong, di depan regol halaman rumah di sebelah banjar itu,

Dengan hati-hati Ki Panji Kukuh dan orang-orang yang bersamanya, justru memasuki halaman rumah di depan banjar itu dengan mengendap-endap.

“Kita tunggu sebentar, Ki Panji,” desis Sutasuni, “mungkin kawan-kawan kita masih berada di perjalanan.”

Ki Panji mengangguk. Perlahan-lahan Ki Panji itu pun berbisik, “Banjar itu kelihatannya sepi sekali. Hanya ada dua orang petugas kademangan ini yang berdiri di regol. Mungkin ada juga yang duduk-duduk di dalam. Tetapi penjagaan di banjar ini sama sekali kurang memadai.”

“Satu kelengahan, Ki Panji. Mereka dan bahkan siapa saja tidak akan mengira, bahwa kita akan mendatangi banjar malam ini. Setiap orang telah terlena dalam satu anggapan, bahwa Kademangan Seca adalah kademangan yang aman dan tenang, tanpa ada gejolak sama sekali.”

“Perkelahian di penginapanmu agaknya tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, meskipun kau dan kedua orang suami istri itu menunjukkan ilmu yang memadai.”

“Mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka, sehingga mereka tentu meremehkan orang lain. Apalagi di Seca yang diam ini.”

Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Apakah kira-kira semua orang kita sudah berada di tempatnya?”

Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Agaknya sekarang semuanya sedang merangkak ke tempat sebagaimana sudah kita rencanakan.”

“Kalau begitu, kita akan segera memberikan isyarat.”

Sutasuni mengangguk sambil berdesis, “Biarlah anak panah sendaren itu dilontarkan.”

“Kau yakin bahwa semua orang akan mendengarnya?”

“Ya, Ki Panji. Suara panah sendaren itu akan terdengar dari sekeliling banjar ini. Bahkan kita tidak akan menerbangkan satu panah sendaren, tetapi tiga, yang akan dilontarkan ke tiga arah yang berbeda.”

“Bagus.”

“Namun sementara itu, kita harus sudah memasuki halaman banjar. Begitu mereka tergerak oleh anak panah sendaren yang tentu akan mereka dengar, kita sudah berada di hadapan hidung mereka, sehingga mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Sementara itu orang-orang kita pun sudah memasuki lingkungan banjar itu pula.”

Sejenak kemudian, maka Ki Panji Kukuh serta para pengikutnya yang menyertainya telah bersiap. Demikian pula Glagah Putih, yang telah menawarkan diri untuk menghadapi Ki Saba Lintang, serta Rara Wulan yang akan memilih lawannya di medan pertempuran.

Sejenak kemudian, maka tiga orang pemanah telah siap dengan anak panah sendaren. Mereka mengarahkan panah sendaren mereka ke tiga arah yang berbeda. Satu akan terbang di atas banjar, satu di sebelah kiri dan satu lagi di sebelah kanan.

Sutasuni berdiri di belakang ketiga orang pemanah itu. Bagaimanapun juga nampak ketegangan di wajahnya. Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar, yang tidak ada bandingnya. Kini gerombolannya telah menyulut permusuhan dengan perguruan yang terbesar itu. Jika mereka gagal membunuh pemimpin Perguruan Kedung Jati, maka mereka harus menepi untuk beberapa lama.

Tetapi segala sesuatunya sudah disiapkan. Karena itu, maka Sutasuni itu pun berkata kepada ketiga orang pemanah itu, “Jika kami mencapai pintu gerbang dan membunuh kedua orang petugas itu, maka kalian harus melontarkan panah sendaren itu ke arah yang telah ditentukan.”

“Baik, Ki Sutasuni,” jawab ketiganya hampir bersamaan.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Panji Kukuh serta orang-orang yang bersamanya, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan, telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu gerbang banjar padukuhan.

Kedua orang yang bertugas di pintu gerbang itu terkejut. Tetapi mereka tidak mempunyai waktu untuk merenungi kedatangan beberapa orang yang berloncatan dari balik dinding halaman di seberang jalan.

Ketika orang-orang itu tiba-tiba saja menyerang, maka kedua orang itu pun mencoba untuk membela diri mereka. Sebagai seorang petugas yang telah terlatih, maka mereka tidak dengan mudah mengulurkan leher mereka untuk ditebas.

Ketika kedua orang itu bertempur melawan dua orang pengikut Ki Panji Kukuh, maka Ki Panji Kukuh sendiri dengan beberapa orang pengikutnya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah memasuki regol halaman banjar. Pada saat yang bersamaan, maka tiga buah panah sendaren telah terlepas dari busurnya, meluncur naik ke angkasa yang gelap.

Anak panah sendaren itu memang mengejutkan. Beberapa orang petugas Kademangan Seca yang berjaga-jaga di banjar itu terkejut. Serentak mereka bangkit dan mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak tahu siapa yang telah melepaskan panah sendaren, serta dengan maksud apa, namun naluri mereka sebagai petugas yang berpengalaman telah memberikan peringatan bahwa mereka sedang dalam bahaya.

Sebenarnyalah sejenak kemudian beberapa orang telah menghambur ke halaman. Sebagian dari mereka telah berlarian menuju ke arah para petugas. Namun yang lain langsung berlari ke pendapa banjar.

Pertempuran pun segera terjadi. Para petugas yang ada di banjar itu jumlahnya terlalu sedikit. Namun sebagai petugas yang sudah terlatih, mereka mencoba untuk mengatasi kesulitan yang terjadi. Sementara itu, seorang di antara mereka pun telah sempat berlari ke serambi serta meraih pemukul kentongan.

Sesaat kemudian terdengar suara kentongan dalam irama titir telah mengumandang di seluruh kademangan. Peristiwa yang langka terjadi di Kademangan Seca itu telah membuat rakyat Seca menjadi ketakutan. Kentongan yang berbunyi dengan irama titir itu benar-benar telah mengguncang Kademangan Seca.

Beberapa orang yang berada di banjar itu pun terkejut. Ki Saba Lintang yang memang berada di banjar itu pun terkejut pula. Dengan sigapnya Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengiringnya yang berada di banjar itu pun segera bangkit berdiri.

Sebagai seorang yang berpengalaman sangat luas, maka Ki Saba Lintang dan para pengiringnya yang berada di banjar itu, tidak segera kehilangan akal.

Dua orang pengawal Ki Saba Lintang segera memasuki biliknya sambil berkata, “Agaknya sesuatu yang tidak kita kehendaki telah terjadi, Ki Saba Lintang.”

“Ya. Bersiaplah.”

“Kami sudah siap, Ki Saba Lintang.”

Ki Saba Lintang pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus. Kita harus keluar dari banjar ini. Jangan terjebak di ruangan yang sempit ini.”

Para pengawalnya pun tidak menjawab. Mereka pun segera mengiringi Ki Saba Lintang yang keluar dari dalam biliknya.

Ketika ia berada di ruang dalam, maka beberapa orang berilmu tinggi yang datang bersamanya, telah bersiap pula. Di antara mereka terdapat pula Ki Murdaka yang datang mendahului Ki Saba Lintang.

“Lingkungan yang tidak pernah nampak bergejolak di permukaan ini, tiba-tiba saja telah terguncang,” desis seorang pembantu terdekat Ki Saba Lintang.

“Aku mohon maaf, Ki Saba Lintang,” berkata Murdaka, “kami yang datang mendahului Ki Saba Lintang sama sekali tidak melihat kemungkinan buruk ini bakal terjadi,”

“Aku tahu. Aku tidak menyalahkan kalian yang datang lebih dahulu. Agaknya ada orang yang mempunyai perhitungan yang tajam yang menyergap kita malam ini. Mereka yang menyadari bahwa kedatangan mereka tidak akan diperhitungkan lebih dahulu.”

“Hal itu dapat terjadi karena kebodohan kami.”

“Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Sekarang kita sudah terjebak ke dalam satu serangan yang tidak kita duga sebelumnya. Kita akan melawannya. Kita harus yakin, bahwa kekuatan kita cukup besar untuk menghadapi gerombolan yang manapun juga. Orang-orang yang berada di penginapan itu tentu akan segera berdatangan pula.”

Dalam pada itu, pertempuran pun telah terjadi di halaman banjar. Para petugas kademangan yang jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Seorang di antara mereka pun berlari ke ruang dalam sambil berkata, “Ampun, Ki Saba Lintang. Kami tidak dapat menahan mereka yang datang menyerang banjar ini.”

“Apakah mereka terlalu banyak jumlahnya?”

“Dibandingkan dengan kami para petugas dari kademangan, jumlah mereka memang terlalu banyak.”

Ki Saba Lintang pun kemudian telah berteriak memberikan aba-aba, “Jangan biarkan mereka memasuki ruangan ini! Kita-lah yang akan menyongsong mereka di luar.”

Sejenak kemudian, dua orang pengawal telah mendahului keluar lewat pintu pringgitan. Mereka masih melihat orang-orang terakhir dari pasukan di kademangan itu bertempur melawan beberapa orang yang telah memasuki halaman banjar.

Namun orang-orang terakhir itu pun sempat berpengharapan, ketika mereka melihat orang-orang yang berada di ruangan dalam itu berloncatan keluar. Mereka tahu bahwa orang-orang yang berada di ruang dalam itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Namun, demikian orang-orang yang berada di ruang dalam itu menghambur turun ke halaman, maka beberapa orang yang lain telah berlari-larian di halaman samping dan bahkan di halaman belakang. Mereka berloncatan dari luar dinding halaman banjar itu.

Pertempuran yang keras pun tidak dapat dihindarkan. Ki Saba Lintang, para pengawalnya serta orang-orang berilmu tinggi yang menjadi pembantu kepemimpinan Ki Saba Lintang pun segera terlibat dalam pertempuran itu.

Sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka mampu bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan Tenaga dalam mereka pun melampaui tataran tenaga dalam orang-orang yang terlatih sekalipun.

Karena itulah, maka Ki Panji Kukuh, Sutasuni serta orang-orang terbaiknya segera memilih lawan-lawan mereka. Sedangkan mereka yang ilmunya tidak terlalu tinggi, telah bergabung dua atau tiga orang bersama-sama menghadapi seorang lawan.

“Jika kita membunuh ular, maka kita harus meremukkan kepalanya,” pesan itu terngiang di setiap telinga para pengikut Ki Panji Kukuh.

Dalam pada itu, seorang yang telah dikenal oleh Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai Ki Murdaka pada saat mereka merunduk untuk melihat orang-orang yang berada di banjar itu justru sebelum Ki Saba Lintang datang, bertempur dengan garangnya.

Dengan garang pula orang itu pun berteriak nyaring, “Setan alas! Siapakah kalian yang telah dengan licik menyergap kami, he? Bukankah kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian? Seandainya ada persoalan di antara kita, bukankah kita dapat membicarakannya?”

Tidak seorangpun yang menjawab. Namun pertempuran berlangsung terus.

“Baik, baik. Jika kalian semuanya bisu atau barangkali tuli, ketahuilah, inilah pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati. Akulah yang bergelar Ki Saba Lintang. Siapa yang ingin aku penggal kepalanya, marilah. Mendekatlah.”

Beberapa orang yang mendengar suara Ki Murdaka itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum melihat Glagah Putih langsung menghadapinya seperti yang dijanjikannya.

Namun yang datang menghadapi orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu adalah justru Rara Wulan, sambil bertanya, “Kaukah yang bergelar Ki Saba Lintang?”

“Ya,” sahut Ki Murdaka.

“Kau begitu setia kepada pemimpinmu, sehingga kau telah menjadikan dirimu sasaran serangan ini, justru untuk melindungi Ki Saba Lintang yang sebenarnya.”

“Persetan. Siapakah kau, he?”

“Namaku Nyi Naga… Nagagemulung, eh, bukan. Naga……”

Ki Murdaka pun membentak, “Cukup! Aku tidak perlu tahu namamu. Jika kau sebut sebuah nama yang kau sendiri tidak ingat, itu tentu bukan namamu. Nah, sekarang jika kau sengaja mati tanpa nama, majulah. Jarang sekali aku menemui perempuan binal seperti kau ini. ”

“Memang jarang sekali. Tetapi apakah kau pernah mendengar nama Nyi Yatni atau Nyi Dwani, atau barangkali nama beberapa orang perempuan yang lain, yang tentu juga kau sebut binal?”

“Darimana kau kenal nama-nama itu?”

“Perempuan-perempuan binal biasanya saling mengenal, meskipun hanya namanya.”

“Persetan. Bersiaplah. Kau akan segera mati.”

“Mudah-mudahan tidak. Aku akan berusaha untuk melindungi nyawaku.”

“Setan betina,” Ki Murdaka itupun menggeram.

“Nah, Ki Murdaka, aku sudah siap. Kita dapat mulai sekarang. Lihat, Ki Saba Lintang pun telah berhadapan dengan lawannya pula. Bukankah orang yang berdiri di tangga terakhir pendapa banjar itulah yang bernama Ki Saba Lintang?”

Ki Murdaka memang menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya perempuan itu pernah bertemu, setidak-tidaknya melihat orang yang bernama Ki Saba Lintang, sehingga ia tidak dapat berpura-pura lagi. Apalagi perempuan itu sudah tahu namanya pula.

Karena itu maka Ki Murdaka pun tidak merasa perlu untuk mendapatkan penjelasan dari perempuan yang dinilainya sangat sombong itu. Sekejap kemudian, dengan serta-merta Ki Murdaka pun telah meloncat menyerang Rara Wulan.

Tetapi Rara Wulan sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu maka Rara Wulan pun dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan Ki Murdaka. Bahkan Rara Wulan pun segera membalas menyerangnya pula.

Di depan pendapa, Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah berhadapan dengan Glagah Putih. Dengan kerut di dahinya, Ki Saba Lintang memandangi Glagah Putih dengan seksama.

“Mungkin kita pernah bertemu, Ki Saba Lintang. Setidak-tidaknya kita pernah saling melihat di Tanah Perdikan Menoreh. Kau sudah beberapa kali mengunjungi Tanah Perdikan itu.”

“Ya. Agaknya kau sengaja datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui aku di sini.”

“Aku memang sedang memburumu.”

“Kau mendendam?”

“Bukan karena dendam. Tetapi Nyi Agung Sedayu yang pernah kau palsukan itu, kini justru menginginkan tongkat baja putih yang kau bawa. Mbokayu Sekar Mirah-lah yang berniat memimpin Perguruan Kedung Jati, sehingga sepasang tongkat baja putih itu harus berada di tangannya.”

“Persetan dengan perempuan yang tamak itu. Seharusnya ia dapat bekerja sama dengan aku. Kami berdua akan menjadi pemimpin perguruan ini. Pemimpin yang dihormati bahkan oleh Sultan di Mataram.”

“Mbokayu Sekar Mirah ingin memimpin Perguruan Kedung Jati bersama-sama dengan suaminya, Kakang Agung Sedayu. Tidak dengan kau.”

“Persetan. Itu pikiran yang bodoh. Agung Sedayu tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Baik dari Kanjeng Adipati Arya Penangsang maupun Ki Patih Mantahun.”

“Itu tidak akan menjadi soal. Keturunan siapapun jika memiliki sepasang tongkat baja itu, maka ia akan menjadi pemimpin Perguruan Kedung Jati.”

“Omong kosong.”

“Mbokayu juga tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Kenapa kau berniat untuk bersama-sama Mbokayu Sekar Mirah memimpin Perguruan Kedung Jati?”

“Persetan. Agaknya kau-lah yang telah menggerakkan segerombolan orang ini untuk menyergap kami.”

“Ya. Mereka adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka datang memburumu. Memburu tongkat baja putih itu. Karena itu, jika kau serahkan saja tongkat baja putih itu, maka tidak akan ada persoalan lagi.”

“Mulutmu lancang sekali. Aku tahu bahwa kau tentu mempunyai bekal ilmu yang cukup jika kau berani memburuku. Tetapi agaknya malam ini kau akan mati.”

Glagah Putih sudah siap untuk menjawab. Tetapi ia mulai bergeser beberapa langkah.

Beberapa saat kemudian, keduanya pun sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sebagai orang yang berilmu tinggi, maka keduanya pun segera telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi pula.

Dalam pada itu, pertempuran di halaman banjar itu pun menjadi semakin seru. Apalagi ketika orang-orang yang berada di penginapan sudah berdatangan. Mereka pun segera melibatkan diri dalam pertempuran pula.

Jumlah para pengikut Ki Panji Kukuh memang lebih banyak. Tetapi para pengikut Ki Saba Lintang mempunyai ilmu yang rata-rata lebih tinggi.

Meskipun demikian, para pengikut Ki Panji Kukuh yang memiliki pengalaman pada jalur perdagangan gelap itu pun menggenangi halaman banjar itu dan memaksa para pengikut Ki Saba Lintang untuk memeras kemampuan mereka.

Namun sebagian besar dari pada pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sedang mabuk. Bahkan ada yang menjadi mabuk berat, sehingga dengan demikian mereka tidak dapat meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut telah berada di arena pertempuran itu pula. Ketika seorang yang mabuk berdiri terhuyung-huyung di sebelahnya, Ki Sela Aji itu pun telah menampar wajahnya sambil berteriak, “Nah, inilah hasilnya jika kau tidak mau mendengarkan perintah Ki Murdaka! Kau yang mabuk itu kini berada di medan pertempuran. Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap mabuk sehingga ujung pedang lawan akan mengoyak jantungmu, atau kau berusaha untuk bangkit dan melindungi dirimu sendiri.”

Orang itu memang terkejut sejenak. Tetapi kemudian matanya menjadi redup lagi. Meskipun demikian, karena ia memang berilmu tinggi, maka ia pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang semakin seru.

Tetapi orang-orang yang mabuk itu tidak dapat mengerahkan ilmunya sampai ke puncak. Kepalanya yang pening, tulang-tulangnya yang terasa menjadi lemah, merupakan hambatan yang mengekang mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi selain jumlah mereka lebih sedikit, sebagian dari mereka pun sedang dalam keadaan mabuk.

Sementara itu, Rara Wulan pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Ki Murdaka. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sekali-sekali Ki Murdaka harus berloncatan beberapa langkah surut. Namun sekejap kemudian, keduanya telah terlibat kembali dalam pertempuran yang keras.

Ki Panji Kukuh sempat melihat pertempuran itu sekilas. Bagaimanapun juga Ki Panji Kukuh harus mengagumi kemampuan Rara Wulan yang berloncatan seperti anak kijang di rerumputan. Namun Ki Murdaka pun bertempur dengan garangnya. Sekali-sekali terdengar orang itu menggeram seperti seekor harimau yang marah.

“Kenapa justru perempuan itu yang harus bertempur melawan Ki Saba Lintang?” bertanya Ki Panji Kukuh di dalam hatinya.

Sambil bertempur di antara beberapa orang lawannya, Ki Panji Kukuh pun telah melihat pula Glagah Putih yang sedang bertempur melawan seorang yang berilmu sangat tinggi pula.

“Agaknya lawan Ki Nagagundala itu juga seorang yang akan menentukan perjalanan Perguruan Kedung Jati pula.”

Tetapi Ki Panji Kukuh tiba-tiba saja telah menghadapi seorang yang janggutnya jarang dan tidak begitu panjang, yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. Orang tua itu bertubuh kecil. Tingginya sedang-sedang saja. Namun geraknya nampak sangat ringan. Tubuhnya bagaikan kapuk randu yang diterbangkan angin pusaran, berputaran di arena pertempuran itu, sehingga akhirnya tiba di hadapan Ki Panji Kukuh.

Namun sebelum Ki Panji Kukuh menyapanya, orang itu sudah bertanya lebih dahulu, “Kau siapa, Ki Sanak? Kau mengamuk seperti harimau lapar.”

Ki Panji Kukuh memang tidak berniat menunjukkan jati dirinya serta gerombolannya. Karena itu, maka ia pun menjawab sekenanya, “Namaku Singa Wereng. Kau siapa?”

“Apakah kau pernah mendengar nama Watu Kenari?”

“Watu Kenari?”

“Ya.”

Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Ia belum pernah mendengar nama itu. Meskipun demikian, ia harus berhati-hati. Menilik sikapnya, maka orang itu agaknya berilmu sangat tinggi.

“Nah, sebaiknya kau bujuk Ki Saba Lintang untuk menyerah.”

Tetapi orang yang menyebut dirinya Watu Kenari itu tertawa pendek. Katanya, “Agaknya kau belum berkenalan dengan Perguruan Kedung Jati, sehingga kau dan kawan-kawanmu berani membuat persoalan dengan kami.”

“Persetan dengan Perguruan Kedung Jati. Kami tidak akan melepaskan Seca ini ke dalam pengaruhnya. Selama ini kami-lah yang berpengaruh di sini.”

“Kau harus mempelajari keseimbangan kekuatan lebih banyak lagi. Suatu gerombolan yang betapapun besarnya yang berani melawan Perguruan Kedung Jati, itu berarti telah membunuh dirinya.”

“Tetapi ternyata kalian, termasuk Ki Saba Lintang-lah, yang akan mati malam ini.”

Watu Kenari itu tertawa. Katanya, “Kau agaknya telah bermimpi. Bangunlah dan lihatlah kenyataan di halaman banjar ini.”

“Kau lihat bahwa Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak berdaya,” desis Ki Panji Kukuh.

Watu Kenari meloncat surut. Hampir di luar sadarnya, ia pun segera berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ki Panji Kukuh mengikuti pandangan matanya. Ternyata orang itu memperhatikan lawan laki-laki yang dengan bangga mengganti namanya menjadi Nagagundala itu. 

Namun tiba-tiba orang itu berpaling kepada Ki Murdaka yang bertempur dengan istri Nagagundala, sambil berkata hampir berteriak, “Ternyata Ki Saba Lintang ada di sana. Perempuan yang sangat sombong dan mencoba menghadapinya itu akan segera dihancurkan.”

Ki Panji Kukuh memang menjadi agak bingung. Yang manakah sebenarnya yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi ia tidak sempat merenungi mereka terlalu lama. Sejenak kemudian, maka Watu Kenari itu pun telah meloncat menyerangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Tetapi Ki Panji Kukuh pun telah bersiap sepenuhnya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan Ki Panji Kukuh yang garang itu pun dengan cepat pula membalasnya menyerang.

Demikianlah, maka pertempuran pun segera menjadi semakin seru. Keduanya pun berloncatan dengan cepat, sehingga kaki mereka seakan-akan tidak berjejak lagi di atas tanah.

Beberapa saat kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi di mana-mana. Sutasuni telah terlibat pula melawan seorang yang berilmu tinggi. Sedangkan orang-orangnya pun bertempur dengan garangnya pula.

Para pengikut Ki Panji Kukuh itu tetap saja berpegang pada pesan, bahwa jika mereka membunuh ular, maka mereka harus meremukkan kepalanya. Karena itu, maka setiap orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu berniat untuk membunuh lawan-lawan mereka.

Sebenarnyalah bahwa orang-orang berilmu tinggi yang sedang mabuk itu pun segera mengalami kesulitan. Kepala mereka masih terasa pening, sementara kesadaran mereka belum pulih sepenuhnya. Dalam keremangan cahaya lampu minyak di kejauhan, maka mata mereka yang redup itu pun menjadi semakin kabur.

Agaknya Sutasuni telah memilih waktu yang tepat, justru pada saat orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu banyak yang mabuk. Ki Murdaka menjadi sangat marah kepada mereka. Ia sangat benci kepada orang-orang yang tidak menuruti perintahnya.

“Mampuslah kau, pemabuk,” geramnya sambil berloncatan.

“Ya. Mereka akan segera mampus. Kau-kah yang mengajari mereka mabuk?” bertanya Rara Wulan.

“Persetan kau, perempuan binal,” geram Ki Murdaka.

Rara Wulan justru tertawa sambil menjawab, “Kau memang akan banyak kehilangan pengikut-pengikutmu. Jika mereka tidak menyerah, mereka akan mati.”

“Jangan membual. Sebentar lagi kau akan terbaring diam di halaman banjar ini. Kau tidak akan sempat lagi menyesali kesombonganmu. Orang-orangmu pun akan hancur menjadi debu.”

Rara Wulan tertawa pula. Katanya, “Ki Murdaka. Begitu pastikah bahwa kau akan mengalahkan aku?”

“Aku adalah Murdaka, yang digelari Alap-Alap Alas Roban.”

“Alap-Alap Alas Roban,” Rara Wulan mengulang.

“Nah, jika kau merasa sebagai seekor burung merpati, maka kau akan segera tercengkam oleh kuku-kukuku.”

“Tidak. Aku tidak pernah merasa diriku seperti burung merpati. Tetapi aku-lah kakek penyumpit, yang setiap hari berburu burung di hutan. Burung alap-alap adalah burung yang paling menyenangkan untuk diburu, justru karena kelincahannya.”

“Persetan dengan bualanmu, perempuan binal.”

“Tetapi sumpitku tidak pernah gagal. Aku adalah pembidik terbaik di tlatah Mataram ini.”

Ki Murdaka tidak memberi kesempatan Rara Wulan lebih banyak berbicara. Karena itu, maka ia pun segera menyerangnya pula dengan garangnya.

Tetapi Rara Wulan benar-benar seorang perempuan yang tangkas. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi ia memiliki banyak kelebihan. Tenaga dalamnya yang sangat besar, membuat perempuan itu tidak tergetar sama sekali jika terjadi benturan-benturan. Bahkan serangan-serangan Ki Murdaka pun jarang sekali dihindari oleh Rara Wulan. Tetapi dengan lambaian tenaga dalamnya, Rara Wulan telah membentur serangan-serangan Ki Murdaka yang sangat berbahaya itu.

Dengan demikian, maka Ki Murdaka pun harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi lawannya. Ditingkatkannya ilmunya menjadi semakin tinggi. Namun tataran ilmu Ki Murdaka yang ditingkatkan itu tidak pernah dapat menjadi lebih tinggi dari tataran ilmu Rara Wulan.

Karena itulah, maka serangan-serangan Ki Murdaka tidak terlalu menyulitkan bagi Rara Wulan, meskipun Rara Wulan harus selalu berhati-hati.

Namun Ki Murdaka yang merasa bahwa serangan-serangannya sulit menguak pertahanan Rara Wulan yang rapat dan kokoh itu pun tiba-tiba telah menarik pedangnya. Sebilah pedang yang berkilat-kilat agak kemerah-merahan.

Rara Wulan melenting surut selangkah. Diamatinya pedang Ki Murdaka yang seakan-akan bercahaya di keremangan malam.

“Kau akan menjadi santapan yang agak berbeda dari pedangku ini. Seingatku, aku belum pernah membunuh perempuan dengan pedangku. Bukan berarti bahwa aku tidak pernah membunuh perempuan. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi jika berani menghalangi aku, sebagaimana kau lakukan sekarang ini, maka ia akan mati. Tetapi yang pernah terjadi, aku membunuh perempuan dengan tanganku. Tetapi kau lain, perempuan binal. Kau mempunyai kelebihan dari kebanyakan perempuan yang pernah aku kenal.”

“Pedangmu pedang yang luar biasa,” desis Rara Wulan.

“Kau menjadi ketakutan karenanya?”

“Tidak. Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku justru mengaguminya. Tetapi aku tidak ingin memilikinya. Jika kau mati, biarlah pedangmu diketemukan oleh orang-orang Seca yang esok akan membersihkan halaman banjar ini.”

Telinga Ki Murdaka menjadi bagaikan disentuh api. Dengan geram ia membentak, “Tutup mulutmu! Atau aku yang akan mengoyaknya.”

“Jangan marah, Ki Murdaka. Menurut guruku, jika seseorang bertempur tanpa dapat mengendalikan kemarahannya, maka ia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan baik.”

Ki Murdaka meloncat mundur selangkah. Dipandanginya Rara Wulan sambil berdesis, “Kau benar, perempuan binal. Aku harus mengendalikan kemarahanku.”

Namun Rara Wulan tidak sempat menjawab. Ki Murdaka pun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar, menebas ke arah lambung. Rara Wulan meloncat surut, sehingga pedang lawannya itu terayun setebal jari di depannya tanpa menyentuh pakaiannya.

Rara Wulan tidak meremehkan senjata lawannya. Pedang itu adalah pedang yang sangat baik. Tentu pedang yang sudah sangat akrab dengan pemiliknya. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya pula. Selendang yang menjadi andalannya menghadapi segala jenis senjata.

“Anak setan kau, perempuan sombong. Kau kira pedangku tidak dapat menebas putus selendangmu itu? Kapuk yang ditiupkan ke mata pedangku pun akan terbelah. Apalagi selendangmu itu. ”

“Kita lihat saja nanti, Ki Murdaka.”

Ki Murdaka tidak menjawab lagi. Kemarahannya bagaikan membakar ubun-ubunnya. Namun justru ia mencoba melakukan sebagaimana dipesankan oleh lawannya. Jika ia kehilangan akal, maka ia tidak akan dapat menghadapi lawannya dengan penalaran yang jernih, sehingga segala sesuatunya akan menjadi kabur.

Karena itu, bagaimanapun juga jantungnya bergejolak, Ki Murdaka berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya serta mempergunakan penalarannya yang jernih.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Ketika Rara Wulan mulai memutar selendangnya, maka lawannya pun mulai menyadari bahwa selendang di tangan perempuan itu bukan selendang kebanyakan. Apalagi Ki Murdaka pun mengerti bahwa perempuan itu memiliki tenaga dalam yang sangat besar. Sehingga selendangnya itu dapat terjulur mematuknya seperti sebatang tombak. Menebas seperti pedang, namun selendang itu dapat pula menjerat seperti seutas tali.

“Gila. Dari mana ia mendapatkan ilmu serta tenaga dalam sebesar itu?” bertanya Ki Murdaka di dalam hatinya. Namun Ki Murdaka tidak sempat mencari jawabannya. Selendang itu berputaran semakin cepat. Menebas, mematuk, dan sekali-sekali menjerat pedangnya seperti tangan-tangan gurita raksasa yang mengerikan.

Sementara itu, Glagah Putih pun bertempur melawan Ki Saba Lintang yang meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Sambil tertawa pendek Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Apakah kau menjadi heran? Ilmuku memang sudah menjadi berlipat dua kali. Jika sebelumnya kau sudah mengagumi aku, maka sekarang kau akan merasa dirimu tidak berharga sama sekali.”

“Ya,” sahut Glagah Putih, “ilmumu memang sudah meningkat semakin tinggi. Aku memang menjadi semakin kagum kepadamu. Tetapi belum sampai pada batas kecemasan. Karena setinggi-tinggi ilmumu, aku masih akan dapat menjangkaunya.”

Ki Saba Lintang tertawa pula. Katanya, “Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi. Bahkan seandainya kau panggil Agung Sedayu sekalipun, ia tentu akan terheran-heran sampai saat jantungnya tertembus tongkat baja putihku.”

“Tetapi kenapa kau mempergunakan orang lain sebagai kedok keberadaanmu di sini? Kenapa Murdaka itu harus mengaku bahwa ia adalah Ki Saba Lintang?”

“Kau memang terlalu dungu untuk dapat mengerti?”

“Bukankah itu mencerminkan betapa ketakutannya kau menghadapi seranganku malam ini?”

“Kenapa aku menjadi ketakutan? Aku justru merasa senang dapat bertemu kau dan orang-orangmu di sini, sehingga aku tidak perlu memburumu sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi bukankah kau tentu merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?”

“Buat apa aku pergi ke Tanah Perdikan itu, jika aku dapat membunuhmu di sini?”

“Tetapi tongkat baja putih yang berada di tangan Mbokayu Sekar Mirah itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Wajah Ki Saba Lintang menegang. Kemudian ia pun berkata dengan nada berat, “Ya. Aku akan mengambilnya. Jika terpaksa, aku akan membunuh Sekar Mirah dan Agung Sedayu.”

“Kau tidak akan dapat melakukannya.”

“Kenapa? Kau ragukan kemampuanku serta kekuatan Perguruan Kedung Jati, setelah aku bekerja keras akhir-akhir ini?”

“Ya. Justru kau akan mati di sini. Pengikutmu yang hanya dapat mabuk-mabukan itu pun akan dilindas oleh kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.”

Tetapi Ki Saba Lintang masih juga tersenyum. Sambil berloncatan menghindari serangan-serangan Glagah Putih, Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Baiklah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang lebih baik setelah kemampuanmu menjadi berlipat.”

Keduanya pun bergerak semakin cepat. Serangan-serangan Ki Saba Lintang datang seperti angin prahara. Namun Glagah Putih tidak terguncang karenanya.

Pertempuran di halaman banjar itu pun berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menguasai medan.

Beberapa orang petugas dari Kademangan Seca masih sempat menyaksikan pertempuran itu. Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah berada di halaman banjar itu pula. Namun mereka justru mencegah para petugas yang tersisa, serta kawan-kawan mereka yang baru berdatangan, untuk tidak tergesa-gesa melibatkan diri.

“Keduanya mempunyai kekuatan yang sangat besar,” berkata Ki Demang, “keduanya mempunyai orang-orang yang berilmu tinggi. Ki Saba Lintang dan Ki Murdaka pun telah terlibat pula dalam pertempuran. Bahkan Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut dan yang lain-lain juga telah menghadapi lawan-lawan yang seimbang. Sementara itu mereka yang datang menyerang banjar itu jumlahnya lebih banyak. Bahkan hampir berlipat.”

Ki Jagabaya dan para bebahu itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dengan nada berat Ki Jagabaya berkata, “Ternyata kita telah lengah. Selama ini kita tidak melihat kekuatan yang ada di Seca, yang ternyata mampu mengimbangi kekuatan Perguruan Kedung Jati.”

“Tidak. Yang ada di sini hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kekuatan Perguruan Kedung Jati. Mereka tidak mengira bahwa di sini mereka akan mendapat gangguan dari satu kekuatan yang cukup besar, yang sebelumnya tidak pernah nampak di Seca,” sahut Ki Demang.

“Perguruan Kedung Jati tentu akan menyalahkan kita,” desis Ki Kebayan.

“Mungkin mereka akan menyalahkan kita, bahwa kita memberikan keterangan bahwa Seca adalah satu kademangan yang aman.”

“Karena itu, agaknya lebih baik melibatkan diri. Kita mempunyai beberapa orang petugas yang akan dapat membantu Ki Saba Lintang.”

“Tetapi itu akan menimbulkan dendam dari kekuatan yang sebelah. Jika Ki Saba Lintang tidak mampu bertahan, maka pihak yang lain itu akan menghancurkan kita pula, karena kita berpihak kepada Ki Saba Lintang.”

Para bebahu itu mengangguk-angguk. Sementara itu pertempuran di halaman banjar itu pun menjadi semakin garang. Kedua belah telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan Ki Saba Lintang pun telah memutar tongkat baja putihnya untuk melawan Glagah Putih.

“Kau-lah yang menjadi heran melihat kemampuanku sekarang,” berkata Glagah Putih sambil mengurai ikat pinggangnya.

Ki Saba Lintang tidak lagi tersenyum-senyum. Tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Sambil memutar tongkat baja putihnya, maka Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Kemampuanmu memang mengejutkan. Tetapi tongkat baja putihku akan mengakhiri kesombonganmu itu.”

Glagah Putih melangkah surut beberapa langkah. Diurainya ikat pinggangnya sambil berdesis, “Marilah, Ki Saba Lintang. Kita akan menuntaskan pertempuran ini.”

Ki Saba Lintang menggeram. Ia pun segera meloncat menyerang sambil mengayunkan tongkat baja putihnya ke arah ubun-ubun Glagah Putih.

Namun Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat menghindar, sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang itu tidak mengenainya.

Namun Ki Saba Lintang tidak memberi kesempatan. Ki Saba Lintang itu pun dengan cepat pula memburunya sambil menjulurkan tongkat baja putihnya mematuk ke arah dada.

Glagah Putih tidak sempat menghindar. Karena itu. maka Glagah Putih telah menangkis serangan itu dengan ikat pinggangnya.

Satu benturan yang keras sekali telah terjadi. Tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang adalah tongkat baja putih yang jarang ada duanya. Sementara itu, ikat pinggang Glagah Putih adalah bukan ikat pinggang kulit kebanyakan.

Keduanya pun berloncatan surut. Tangan Ki Saba Lintang terasa menjadi panas. Demikian pula telapak tangan Glagah Putih. Benturan yang keras sekali itu telah membuat senjata keduanya tergetar.

Ki Saba Lintang mengumpat di dalam hatinya. Ia tidak mengira bahwa anak Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mampu meningkatkan ilmunya sampai ke tataran yang sangat tinggi. Bahkan dalam pertempuran bersenjata pun Ki Saba Lintang telah diimbangi oleh kemampuan Glagah Putih, yang hanya bersenjata ikat pinggangnya.

Di sisi-sisi lain dari pertempuran itu, orang-orang Ki Panji Kukuh lebih banyak menguasai arena. Selain jumlah orang-orangnya lebih banyak dari orang-orang Perguruan Kedung Jati, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati yang tidak terlalu banyak itu diracuni oleh tuak di kepalanya, sehingga mereka tidak dapat berpikir jernih.

Karena itu, maka keadaan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati semakin menjadi sulit. Mereka mulai terdesak. Dan bahkan korban pun telah berjatuhan.

Dengan demikian, maka para pengikut Ki Panji Kukuh menjadi semakin percaya diri. Orang-orang yang mulutnya berbau tuak itu, seorang demi seorang menjadi semakin menyusut.

Namun orang-orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati itu-lah yang kemudian mengejutkan. Mereka telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak.

Tidak ada orang yang dapat menghentikan Ki Sela Aji yang mengamuk seperti seekor harimau yang lapar di tengah-tengah kawanan serigala liar. Sementara itu Ki Demung Pugut telah menghadang Sutasuni yang bertempur dengan garangnya.

Ketika Ki Sela Aji itu berhasil melumpuhkan lawannya, maka ia pun kemudian bergerak seperti kuda liar. Tidak ada yang dapat mengendalikannya. Ia berloncatan dari satu tempat ke tempat yang lain, melonjak, menerjang dan menyepak, dan bahkan menginjak-injak siapapun yang mencoba menghalanginya.

Kawan-kawannya yang sudah menjadi cemas, tiba-tiba saja telah bangkit pula. Mereka menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawan mereka. Mereka telah menunjukkan tataran mereka yang sebenarnya sebagai pengikut dari Perguruan Kedung Jati.

Para pengikut Ki Panji Kukuh pun terhentak. Tetapi korban telah berjatuhan silang melintang di halaman banjar itu.

Sementara Ki Panji Kukuh sendiri masih terikat dalam pertempuran melawan Watu Kenari. Seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi, yang dapat membuat tubuhnya seringan kapas.

Korban di kedua belah pihak bertebaran di mana-mana. Sementara itu Ki Demang dan Ki Jagabaya tetap menahan para petugasnya untuk tidak berpihak lagi.

“Tetapi beberapa orang kawan kita sudah terbunuh, Ki Demang,” berkata seorang petugas yang hampir tidak mampu lagi mengekang diri.

“Ya. Mereka telah menjadi korban, karena mereka bertugas di banjar pada saat serangan itu datang. Tetapi dalam kekalutan yang tidak kita mengerti itu, sebaiknya kita tidak turut campur. Jika kita terlibat dalam permusuhan yang tidak kita mengerti, maka kita akan terseret ke dalam permusuhan yang berkepanjangan. Seca tidak lagi akan dapat menjadi sebuah kademangan yang tenang yang akan dapat berpengaruh pada arus perdagangan. Jika arus perdagangan datang dan pergi ke Seca ini terhalang, maka Seca akan menjadi satu lingkungan yang tidak ada bedanya dengan kademangan-kademangan lain, yang berada di bawah bayangan para perampok. Apalagi jika Seca berada di bawah bayangan pertentangan antara dua kekuatan yang besar. ”

Petugas yang merasa kehilangan beberapa orang kawannya itu tidak dapat memaksakan kehendaknya. la memang melihat pertempuran yang sengit. Korban berjatuhan di mana-mana dari kedua belah pihak.

Di sengitnya pertempuran itu, ternyata Sutasuni yang telah dihadang oleh Ki Demung Pugut itu mengalami kesulitan yang semakin mendesaknya. Ki Demung Pugut ternyata seorang yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Pedangnya yang berputar itu seakan-akan merupakan gumpalan asap kelabu yang mengelilinginya. Namun senjata Sutasuni mengalami kesulitan untuk menembus gumpalan asap kelabu itu.

Ujung pedang Ki Demung Pugut-lah yang mulai tergores di tubuh Sutasuni. Semakin lama semakin banyak. Meskipun dengan kekuatannya yang sangat besar, sekali-sekali Sutasuni berhasil menguak pertahanan Ki Demung Pugut dan menggoreskan senjata di tubuhnya, namun ujung pedang Ki Demung Pugut-lah yang lebih sering menyentuh tubuh Sutasuni.

Darah pun mengalir semakin lama semakin banyak. Sutasuni mulai meragukan keyakinannya sendiri, bahwa para pengikut Ki Panji Kukuh itu akan dapat menghancurkan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.

Keseimbangan pertempuran di halaman banjar itu masih belum menentu. Jika semula para pengikut Ki Panji Kukuh yang jumlahnya lebih banyak itu telah mendesak lawannya, namun Ki Sela Aji dan beberapa orang berilmu tinggi mulai mengubah keseimbangan itu.

Mereka mengamuk tanpa dapat dihambat lagi, sehingga beberapa orang berilmu tinggi yang lain yang mulai menjadi cemas, telah menemukan kepercayaan diri mereka kembali.

Tetapi mereka menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak yang telah bertempur dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga satu dua orang dari Perguruan Kedung Jati itu tidak mampu mengatasinya.

Sementara itu Ki Murdaka masih terikat dalam pertempuran melawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan berputar melingkar. Namun kadang-kadang nampak menggeliat dan menggapai-gapai. Pada kesempatan yang lain, selendang itu terjulur mematuk seperti sebatang tombak berlandean panjang.

Ki Murdaka yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi itu harus mengerahkan kemampuannya. Ternyata ketajaman pedangnya tidak mampu memotong selendang Rara Wulan yang aneh itu. Bahkan sentuhan-sentuhan ujung selendang itu telah mulai mengoyak pakaiannya dan bahkan melukai kulitnya.

Namun pedang Ki Murdaka yang bagaikan membara itu pun sangat mengerikan. Di kegelapan, pedang itu bagaikan lidah api yang panjang yang terjulur dari tangan Ki Murdaka.

Tetapi Ki Murdaka tidak segera berhasil menguasai perempuan yang bersenjata selendang itu. Bahkan Ki Murdaka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Ki Murdaka mulai mengalami kesulitan.

Agaknya memang tidak ada pilihan lain bagi Ki Murdaka. Meskipun yang dihadapi adalah seorang perempuan, tetapi ia adalah seorang perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan.

Apalagi ketika Ki Murdaka sempat memperhatikan arena pertempuran yang tidak menentu. Korban yang bergelimpangan di halaman banjar, sehingga kemungkinan buruk akan dapat terjadi pada Ki Saba Lintang yang sebenarnya.

Ki Murdaka itu menyempatkan diri meloncat surut. Sekilas ia melihat bahwa Ki Saba Lintang sendiri masih terikat dalam pertempuran yang sengit. Bahkan Ki Saba Lintang telah mempergunakan tongkat baja putihnya. Namun lawannya pun agaknya memiliki senjata yang mampu mengimbangi tongkat baja putihnya itu.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Ki Murdaka di dalam hatinya, “aku tidak akan mampu menghentikan perlawanan perempuan ini dengan pedangku.”

Karena itu, maka Ki Murdaka pun telah sampai pada keputusan untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya.

Karena itu, maka Ki Murdaka itu pun telah mencoba menghentakkan ilmu pedangnya yang sangat tinggi. Namun ia tidak berhasil menyelesaikan pertempuran. Ia hanya sempat mendesak Rara Wulan beberapa langkah surut. Namun Rara Wulan pun segera menemukan kembali keyakinannya, dan bahkan mulai menekan Ki Murdaka kembali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar