Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 364

Buku 364

Glagah Putih yang telah bergeser menjauh itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan menjalani laku untuk menjadi kebal seperti Kakang Agung Sedayu.”

Ketika Rara Wulan mendekat, Glagah Putih masih juga bergeser menjauh. Tetapi Rara Wulan pun kemudian berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu lagi.”

Glagah Putih nampak ragu-ragu. Tetapi Rara Wulan memang tidak mencubitnya lagi.

“Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian, “bagaimana pendapatmu jika kita berbuat sesuatu selama kita ada di sini?”

“Berbuat apa?”

“Kita pergi ke luar Kademangan Seca. Kita pergi ke hutan. Kita akan membaca kitab itu lagi. Bukankah masih ada beberapa hal yang masih dapat kita pelajari untuk memperluas wawasan kita, menjelang tugas-tugas yang tentu akan menjadi semakin berat?”

“Tetapi kita tidak akan dapat melihat peristiwa yang terjadi di sini. Misalnya, jika para pengikut Ki Saba Lintang datang kemari. Atau bahkan Ki Saba Lintang sendiri.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun Rara Wulan tidak lagi mengajak Glagah Putih meninggalkan Kademangan Seca.

Ketika senja turun, maka kesepian kademangan itu pun telah dipecahkan oleh kedatangan beberapa orang berkuda. Mereka datang bersama-sama dan langsung pergi ke penginapan di sebelah pasar.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang baru berjalan-jalan setelah mandi dan berbenah diri, tertarik sekali dengan kedatangan sekelompok orang berkuda itu.

“Aku ingin tahu, siapakah mereka itu,” desis Glagah Putih.

“Tetapi kepada siapa kita akan bertanya?”

“Kepada penunggu penginapan itu. Tentu tidak seorangpun yang mencurigai kita, jika kita masuk ke penginapan itu. Bukankah banyak orang yang keluar masuk di penginapan?”

“Tetapi para petugas itu tentu hafal, apakah seseorang menginap di penginapan itu atau tidak.”

“Kita justru akan bertanya kepada mereka.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tentu para petugas itu mengenal, setidak-tidaknya tahu, siapakah mereka itu.”

“Kita tidak tahu apakah para petugas itu bersedia membantu kita. Jika yang terjadi sebaliknya?”

“Maksudmu, para petugas itu justru mencurigai dan bahkan menangkap kita?”

Rara Wulan mengangguk.

“Bukankah kita tidak berbuat apa-apa? Kita hanya bertanya, siapakah orang-orang berkuda itu. Apakah itu sudah terbiasa, atau baru sekarang setelah terjadi kerusuhan di ujung hutan itu.”

Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Kakang. Kita akan mencoba bertanya kepada petugas di penginapan itu.”

“Dengan beberapa keping uang, semuanya akan menjadi semakin lancar.”

Rara Wulan pun tersenyum. Katanya, “Ya. Di lingkungan seperti Seca ini, keping-keping uang akan sangat berarti.”

Dengan kesepakatan itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun pergi ke penginapan di sebelah pasar itu.

Sebenarnyalah penginapan itu memang menjadi ramai. Tetapi hampir semua orang yang berada di penginapan itu adalah laki-laki. Sehingga karena itu, keberadaan Rara Wulan di penginapan itu telah menarik perhatian beberapa orang.

Orang-orang yang datang berkuda, yang sedang beristirahat di serambi dengan mengenakan pakaian seadanya, beringsut pergi ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki penginapan itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun langsung menemui petugas yang berada di serambi di sebelah pintu utama penginapan itu.

“Perempuan itu juga akan menginap di sini,” desis seseorang yang sedang beristirahat itu.

“Yang, ia datang bersama laki-laki itu.”

“Siapakah laki-laki itu?”

“Tentu suaminya.”

“Siapakah yang mengatakan bahwa laki-laki itu suaminya?”

“He?”

Orang- orang itu pun kemudian tertawa.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun nampak asyik berbincang dengan petugas di penginapan itu, setelah Glagah Putih dengan diam-diam menyerahkan beberapa keping uang kepadanya.

“Kami tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya ingin tahu saja, karena kami bukan orang Seca.”

“O. Kalian dari mana?”

“Kami datang dari jauh. Kami adalah pengembara yang kebetulan saja lewat kademangan ini. Kami pun bermalam di padukuhan induk ini, karena kami ingin mengenal Seca lebih dalam.”

“Baiklah,” desis petugas itu, “mereka adalah para pedagang dari jauh. Mereka biasanya memang menempuh perjalanan dalam kelompok-kelompok yang agak besar. Dengan demikian maka mereka akan dapat melawan, jika di jalan mereka bertemu dengan sekelompok perampok atau penyamun. Namun setelah mereka sampai di tempat yang aman seperti Seca, serta daerah-daerah di sekitarnya, maka mereka pun biasanya telah berpencar. Jadi yang kau lihat itu hanya sebagian saja dari sekelompok pedagang yang melintasi daerah yang sering dilanda kerusuhan.”

“Tetapi bukankah hari ini bukan hari pasaran?”

“Mereka memang tidak akan membuka dagangan mereka di Seca. Tetapi mereka akan melanjutkan perjalanan mereka ke Tumenggungan atau ke Keparak, atau kemana saja. Setelah mereka sampai di Seca, maka mereka sudah merasa aman. Besok mereka akan meneruskan perjalanan. Mungkin mereka akan berpencar dengan tujuan yang berbeda. Sementara yang lain sudah sampai di tempat yang lain pula untuk bermalam di sana. Tetapi mereka tentu akan mencari tempat yang aman seperti Kademangan Seca, meskipun lingkungannya lebih kecil.”

“Dengan demikian, apakah di Seca ini tidak pernah terjadi kerusuhan atau perbuatan apapun yang melanggar paugeran?”

“Tentu pernah juga terjadi, tetapi jarang sekali. Bahkan di Seca ini pernah juga terjadi raja pati. Juga pemah terjadi perampokan. Dua orang yang menginap di sebuah penginapan, tetapi tidak di penginapan ini, justru mereka berada di penginapan yang lebih baik, telah didatangi oleh beberapa orang untuk merampoknya. Meskipun para petugas dengan cepat menanganinya, tetapi sampai sekarang perampok itu masih belum dapat tertangkap, dan itu berarti bahwa perampok itu tidak akan tertangkap basah.”

Rara Wulan-lah yang kemudian bertanya, “Aku tidak melihat perempuan menginap di penginapan ini.”

“Memang tidak. Penginapan ini adalah penginapan yang sederhana. Perempuan yang menginap biasanya mencari tempat yang lebih baik.”

“Jika yang menginap itu para pedagang, bukankah mereka mempunyai banyak uang, sehingga mereka akan dapat menginap di tempat yang lebih baik karena mereka tidak perlu merisaukan uang lagi?”

“Para pedagang adalah orang-orang yang biasanya hemat. Apalagi mereka adalah sekelompok laki-laki, yang mereka dapat tidur dimana saja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-aggguk. Ternyata bahwa beberapa orang berkuda itu hanyalah beberapa orang pedagang yang kemalaman. Karena menurut pengertian mereka Seca adalah lingkungan yang aman, maka mereka memilih untuk bermalam di Seca.

Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tertarik lagi kepada mereka. Apalagi menurut pendengarannya, maka pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang itu berada di Seca di hari-hari pasaran.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa orang laki-laki di penginapan itulah yang perhatian mereka tertarik pada Rara Wulan. Mereka memang berharap bahwa perempuan cantik itu bermalam di penginapan itu. Tetapi ternyata perempuan dan laki-laki itu akan pergi meninggalkan penginapan.

Beberapa orang pedagang yang sudah terlalu sering mengembara itu ternyata telah dipengaruhi kesan yang kurang baik terhadap Rara Wulan, justru karena Rara Wulan telah memasuki lingkungan penginapan mereka. Penginapan yang jarang didatangi oleh seorang perempuan.

“Jangan biarkan perempuan itu pergi,” desis seorang pedagang.

“Nampaknya laki-laki itu menjadi bimbang untuk bermalam di sini, melihat keberadaan kita di sini.”

“Menilik ujud lahiriahnya, laki-laki itu bukan laki-laki yang kaya. Aku akan dapat membayar lebih banyak dari laki-laki itu.”

“Lalu kau mau apa?”

“Kita ikuti mereka.”

Tiga orang laki-laki yang bertubuh kekar kemudian telah mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Di jalan-jalan yang gelap telah dipasang beberapa oncor jarak. Demikian pula di regol-regol rumah orang-orang yang berkecukupan. Sehingga Seca bukanlah sebuah kademangan yang gelap gulita.

“Tiga orang mengikuti kita, Rara,” desis Glagah Patih.

“Ya. Tetapi apakah kita mempunyai persoalan dengan mereka? Seandainya mereka para pedagang yang juga membuka jalur perdagangan gelap, bukankah mereka tidak mengenal kita?”

“Aku tidak tahu. Mungkin mereka para pengikut Ki Saba Lintang yang pernah mengenali kita di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mungkin juga para pengikut Ki Guntur Ketiga atau Ki Panji Kukuh.”

“Bukankah para pengikut Ki Guntur Ketiga dan Ki Panji Kukuh tidak mengenal kita?”

“Kita berhenti sejenak ketika kita mendengar orang mengalunkan tembang di rumah orang yang dikatakan sedang melahirkan itu. Bahkan seseorang telah mempersilahkan kita untuk singgah. Menurut pendapatku, rumah itu adalah sarang atau setidak-tidaknya tempat pemberhentian mereka yang telah terlibat dalam benturan kekuatan antara Ki Guntur Ketiga dengan Ki Panji Kukuh.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Mungkin mereka adalah orang-orang di antara mereka. Mereka agaknya mengira bahwa keberadaan kita di regol halaman rumah itu dalam rangka tugas-tugas kita bagi salah satu pihak yang berebut jalur perdagangan gelap itu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berdesis, “Mereka nenjadi semakin dekat, Kakang.”

“Berhati-hatilah. Tetapi mungkin juga mereka tidak mengikuti kita. Kebetulan saja mereka berjalan searah dengan kita.”

Rara Wulan mengangguk.

Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu sudah berada di belakang Glagah Putih dan Rara Wulan, Seorang di antara ketiga orang itu berdesis, “Ki Sanak. Berhentilah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti. Dengan nada berat Glagah Putih bertanya, “Ada apa Ki Sanak menghentikan kami?”

“Kau mau membawa perempuan itu kemana?” bertanya seorang yang lain.

Pertanyaan itu bagaikan ujung duri kemarung yang menusuk jantung Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun mereka masih berusaha menahan diri.

“Apa maksudmu, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

Orang itu pun menjawab sambil tersenyum-senyum, “Tadi kau bawa perempuan itu ke penginapan. Mungkin ada yang memesannya, tetapi orangnya ingkar janji. Karena itu, berikan saja perempuan itu kepadaku. Aku akan membayar lebih mahal.”

Rara Wulan ternyata tidak mampu lagi menahan dirinya. Kata-kata itu telah membuat jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan telah mengayunkan tangannya, menampar wajah orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Bahkan hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya.

Demikian kemarahan bergejolak di dalam dadanya, sehingga Rara Wulan justru tidak dapat berkata sepatah katapun.

Bukan saja orang yang ditampar Rara Wulan itu yang terhuyung-huyung beberapa langkah surut, tetapi kedua orang kawannya pun telah bergeser mundur pula.

“Perempuan edan! Kau berani menampar wajahku, he?”

Bibir Rara Wulan menjadi gemetar. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun.

Glagah Putih-lah yang kemudian menggeram, “Kau rendahkan martabat istriku.”

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun orang yang sudah disakiti Rara Wulan itu pun melangkah maju. Ia pun menjadi sangat marah. Dengan geram ia pun berkata, “Siapapun perempuan ini, tetapi ia sudah berani menyerang aku.”

“Ia tidak akan melakukannya, jika mulutmu tidak lancang. Kau hinakan istriku dengan semena-mena. Bukankah itu sangat menyakitkan hati?”

“Jika perempuan itu bukan jalang, kenapa kau bawa ia ke penginapan?”

“Kami mencari saudara kami yang mungkin menginap di penginapan itu. Hati kalian-lah yang kotor dan ditumbuhi bulu srigala, sehingga kalian selalu berprasangka buruk terhadap orang lain.”

“Bukankah kau dapat ajari istrimu memberikan penjelasan dengan kata-kata, sehingga tidak perlu dengan cara yang kasar itu?”

“Kekasaranmu lebih menyakitkan hati,” geram Rara Wulan, “untunglah bahwa aku tidak mengoyak mulutmu.”

“Baik. Katakan aku bersalah. Tetapi aku tidak senang dengan caramu. Yang kau lakukan sudah berlebihan, sehingga aku tidak mau menerimanya.”

“Bagiku sakit di kewadaganku tidak terasa sangat mengganggu, tetapi sakit hatiku akan membekas untuk waktu yang lama.”

“Persetan. Jadi kau tetap merasa tidak bersalah dengan memukulku?”

“Tidak. Aku tidak bersalah. Aku berhak memukul mulutmu. Bahkan mengoyakkannya sekalipun.”

“Suaramu seperti gelora prahara di lautan, seakan-akan kau mampu menangkap angin. Kau harus minta maaf kepadaku. Jika kau tidak melakukannya, maka aku juga akan menyakitimu.”

“Aneh,” sahut Glagah Putih, “kau-lah yang seharusnya minta maaf, bukan istriku. Lakukan, atau aku akan memaksamu.”

“Iblis kau! Kau kira kau ini siapa? Bukankah aku sudah mengaku bersalah? Tetapi perempuan itu sama sekali tidak merasa bersalah.”

“Istriku memang tidak bersalah. Ia berhak berbuat lebih jauh lagi. Bagi kami, kehormatan dan harga diri lebih berarti dari segala-galanya.”

“Kau kira aku tidak mempunyai harga diri?”

Namun seorang kawannya tiba-tiba berkata, “Jangan banyak bicara lagi. Jika istrinya tidak mau minta maaf padamu, pukuli saja orang itu sampai pingsan. Kemudian kita bawa istrinya itu pergi. Kita akan memaksanya minta maaf dengan cara kita. Bukankah kita dapat melakukannya?”

Laki-laki yang disakiti Rara Wulan itu pun menyahut, “Baik, baik. Aku akan membuat laki-laki itu pingsan. Kita akan membawa istrinya, siapa pun perempuan itu.”

“Kau kira kau dapat berbuat sekehendakmu di Seca yang tenang dan tentram ini? Setiap saat beberapa orang peronda akan lewat. Jika kau ketahuan berbuat jahat di sini, maka kau akan ditangkap.”

“Aku mengenal Seca dengan baik. Para peronda akan bekerja lebih keras menjelang hari-hari pasaran. Sementara ini, hari pasaran masih beberapa hari lagi. Sampai tengah malam, baru akan ada dua orang peronda lewat jalan ini.”

“Jika demikian, kebetulan sekali,” sahut Glagah Putih.

“Kenapa kebetulan?”

“Aku mempunyai kesempatan untuk membunuhmu.”

“Gila,” geram orang itu. “Bersiaplah. Aku tidak hanya akan membuatmu pingsan. Tetapi aku akan membunuhmu dan membawa istrimu pergi. Katika para peronda datang, mereka hanya akan menemukan mayatmu. Tetapi kau sudah tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Kau tidak akan dapat melaporkan kepada mereka, siapakah yang telah membawa istrimu.”

“Bukan kau yang membunuhku, tetapi aku yang akan membunuhmu, dan melemparkan mayatmu di simpang empat itu.”

“Dengar,” berkata orang itu, “aku adalah pedagang yang hampir setiap hari menempuh perjalanan menembus daerah-daerah yang dibayangi oleh para perampok dan para penyamun. Tetapi aku justru merupakan alap-alap bagi para penyamun itu. Setiap kali terjadi benturan kekerasan dengan para penyamun, maka aku akan dapat menyelesaikannya dengan baik.”

“Menyelesaikan dengan baik?”

“Maksudku, aku selalu membunuhnya. Bukan hanya seorang, tiap kali terjadi benturan. Kadang-kadang dua dan kadang-kadang tiga. Sehingga akhirnya para penyamun itu tidak akan berani menghentikan aku. Maksudku para penyamun yang sudah mengenal aku.”

“Tetapi aku bukan penyamun. Kami berdua akan sekedar mempertahankan harga diri dari kehormatan kami.”

“Mengapa kau masih saja berbicara tanpa ujung pangkal?” seorang kawannya tiba-tiba saja membentak., “Cepat lakukan. Kami berdua akan mengamati agar istrinya tidak pergi ke mana-mana.”

“Bersiaplah,” geram orang yang telah ditampar oleh Rara Wulan, “aku benar-benar akan membunuhmu, seperti membunuh para perampok di bulak-bulak panjang itu.”

Glagah Putih memang tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, maka orang yang wajahnya telah ditampar oleh Rara Wulan itu pun meloncat menyerang. Namun Glagah Putih dengan cepat bergeser, sehingga sarangannya itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan kemudian sambil menggeliat, Glagah Putih telah membalas menyerangnya dengan kakinya yang terayun berputar mendatar.

Serangan Glagah Putih yang datang demikian cepat itu benar-benar tidak terduga, sehingga orang itu tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ayunan kaki Glagah Putih itu telah mengenai keningnya. Demikian kerasnya sehingga orang itu terpelanting jatuh menimpa sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan.

Orang itu mengaduh tertahan. Kemudian jatuh terkulai di bawah pohon itu.

Kawan-kawannya terkejut. Demikian cepatnya laki-laki itu dapat menyelesaikan kawannya, sehinga kawannya itu tidak berdaya. Yang terdengar hanyalah erang kesakitan.

“Nah, siapa yang berikutnya?” berkata Glagah Putih.

Kedua orang kawannya termangu-mangu. Namun tidak seorang di antara mereka yang akan mencoba lagi. Kawannya yang tidak segera bangkit itu adalah seorang di antara mereka yang dibanggakan pada saat-saat iring-iringan para pedagang itu bertemu dengan sekelompok perampok di bulak-bulak panjang.

“Pergilah,” berkata Glagah Putih kemudian, “bawa kawanmu itu. Ingat apa yang telah terjadi di sini, karena mungkin esok atau kapan saja, kita masih akan bertemu lagi. Kalau tidak di Seca, mungkin di tempat yang lain.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun keduanya segera berjongkok membantu kawannya yang hampir pingsan itu bangkit, dan memapahnya meninggalkan Glagah Putih tanpa mengatakan apa-apa.

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri saja memandangi ketiga orang itu melangkah tertatih-tatih meninggalkan mereka.

Namun dalam pada itu, justru karena perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan tertuju kepada ketiga orang laki-laki yang telah menyinggung harga dirinya itu, maka mereka tidak tahu bahwa dua orang sedang mengawasinya. Mereka adalah Ancak Liman dan seorang saudara seperguruannya. Keduanya bersembunyi di belakang pohon perdu, tidak terlalu jauh dari arena perkelahian itu.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan pergi meninggalkan tempat itu, maka Ancak Lima pun berkata, “Agaknya kedua orang suami istri itulah yang dimaksudkan oleh Ki Bekel.”

“Orang yang harus kau singkirkan?”

“Ya. Mereka akan dapat mengganggu jalur perdagangan gelap itu.”

“Apakah kita akan menanganinya?”

“Jangan bodoh. Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Kau lihat bagaimana mereka mengalahkan lawannya hanya dalam sekejap.”

“Jadi?”

“Kita ikuti mereka, dimana mereka menginap. Kemudian kita akan laporkan kepada Guru. Bersama Guru dan saudara-saudara kita yang lain, maka kita akan menyingkirkan mereka. Dengan demikian maka mereka tidak akan mengganggu kita lagi. Jalur hubungan antara Ki Samektaguna dan Jati Ngarang akan kita putuskan. Kita akan menghancurkan gerombolan Jati Ngarang dan menguasai hubungan dengan Ki Samektaguna.”

“Lalu bagaimana dengan Bekelmu itu?”

“Dengan memercikkan sedikit buihnya saja, Bekel edan itu tentu sudah tersenyum-senyum. Kita akan membiarkannya dalam keadaan yang sekarang, karena kebetulan Ki Bekel itulah yang mempunyai wilayah pertukaran barang-barang gelap itu. Ia akan dapat kita pergunakan untuk meredam sikap Ki Demang. Setidak tidaknya untuk sementara.”

Saudara seperguruan Ancak Liman itu mengangguk-angguk.

“Nah, jangan lepaskan orang itu. Kita akan mengikutinya dari kejauhan. Tetapi kita harus berhati-hati.”

Keduanya pun kemudian beranjak pula dari tempatnya. Mereka masih melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi semakin jauh, ketika mereka berjalan di bawah cahaya oncor di pinggir jalan.

Dengan hati-hati keduanya mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan dari jarak yang agak jauh. Mereka sadar bahwa keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Selain mereka langsung melihat bagaimana laki-laki itu mengalahkan lawan-lawannya dalam sekejap, Ancak Liman pun tahu, bahwa kedua orang itu telah mampu mengalahkan Jati Ngarang.

Namun Ancak Liman yakin bahwa bersama guru serta saudara-saudara seperguruannya, mereka akan dapat menyingkirkan kedua orang suami istri itu.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin pergi kemana-mana lagi. Mereka pun langsung pergi ke penginapan mereka, sementara jalan-jalan di Seca pun telah mulai menjadi sepi.

“Agaknya mereka bermalam di penginapan itu,” desis Ancak Liman.

“Meskipun bukan yang terbaik, tetapi penginapan itu terhitung penginapan yang lebih mahal dari penginapan di dekat pasar itu,” sahut kawannya.

“Agaknya keduanya mempunyai uang yang cukup pula.”

“Kita akan merampoknya?”

“Jangan gila. Jangan menimbulkan benturan dengan para petugas di Seca yang terhitung kokoh ini.”

“Lalu?”

“Kita akan membuat perhitungan yang mapan. Tetapi sebelum hari pasaran mendatang, keduanya harus sudah kita singkirkan.”

Saudara seperguruannya mengangguk. Katanya, “Kita akan berbicara dengan Guru.”

Keduanya pun kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka sudah tahu dimana kedua orang suami istri yang telah menjumpai perdagangan gelap dan bahkan telah merampasnya dari Jati Ngarang itu bermalam.

Ketika kemudian mereka kembali ke penginapan mereka yang terletak di dekat pasar, tetapi bukan penginapan yang dipergunakan oleh para pedagang itu, mereka pun segera memberitahukan kepada guru mereka tentang sepasang suami istri yang mereka cari.

“Kami telah menemukannya,” berkata Ancak Liman kepada gurunya serta saudara-saudara seperguruannya yang lain.

“Bagus,” berkata guru Ancak Liman, “aku pun yakin, menurut penilikan ilmuku, maka kita akan dapat membinasakan mereka. Apalagi Nyai Sendawa sudah langsung merestuinya. Tetapi jika kita berhasil, kita tidak boleh melupakannya.”

“Melupakan siapa?”

“Para danyang, dan terutama Nyai Sendawa.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Kita harus memberikan korban kepadanya.”

“Apa yang harus kita korbankan?”

“Apa saja. Tetapi biasanya kita serahkan sepengadeg pakaian yang berwarna ungu.”

“O. Tetapi siapakah yang akan memiliki pakaian itu? Bukankah Nyai Sendawa itu tidak memerlukannya?” berkata Ancak Liman.

“Bodoh kau. Nyai Sendawa tentu memerlukan pakaian, tetapi tidak dalam ujud kewadagannya. Ujud kewadagan pakaian itu akan dilorot oleh juru kuncinya. Orang yang menjaga dan membersihkan tempat itu setiap kali. Orang yang memberinya makan di setiap malam Jum’at dan Selasa Kliwon.”

Ancak Liman dan saudara-saudara seperguruannya hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka saja.

Dalam pada itu. mereka pun segera membicarakan cara untuk memancing sepasang suami istri itu keluar dari padukuhan Seca. Mereka berharap bahwa mereka dapat menyingkirkan sepasang suami istri itu di tempat yang terasing dan tidak dengan cepat memanggil para petugas di Kademangan Seca.

“Kita ambil istrinya. Kita bawa keluar untuk memaksa suaminya itu mencarinya.”

“Bagaimana kita dapat mengambil istrinya? Setiap saat mereka selalu berdua.”

“Tetapi pada suatu saat tentu akan ada kesempatan. Mungkin perempuan itu pergi membeli sesuatu di luar penginapan.”

“Mungkin. Tetapi untuk membawa istrinya bukan satu hal yang mudah. Istrinya agak berbeda dengan kebanyakan perempuan. Agaknya istrinya juga memiliki ilmu yang tinggi.”

“Mungkin,” berkata guru Ancak Liman, “tetapi apakah kemampuan kita terlalu tidak berarti, sehingga untuk menculik seorang perempuan saja, betapapun tinggi ilmunya, tidak akan mungkin?”

“Tentu mungkin,” berkata Ancak Liman, “kita akan melakukannya.”

“Kita harus selalu mengawasinya sejak malam ini,” berkata guru Ancak Liman pula.

“Kenapa harus sejak malam ini? Bukankah di malam hari mereka tidak akan pergi ke mana-mana? Kita akan mengawasinya sejak fajar. Mungkin besok pagi-pagi sekali perempuan itu memerlukan membeli sesuatu. Mungkin makanan, atau bahkan makan pagi.”

“Ya, sejak fajar. Jangan terlambat. Bahkan jangan sampai kita kehilangan jejak, seandainya mereka meninggalkan penginapan itu.”

Sebernarnyalah, sebelum fajar keduanya sudah berada di tempat yang mereka anggap aman, tidak terlalu jauh dari penginapan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun ketika fajar mulai nampak semburat di langit, mereka melihat sepasang suami istri itu keluar dari penginapan.

“Setan. Mereka juga pergi berdua,” geram Ancak Liman.

“Apakah mereka akan meninggalkan penginapan dan meneruskan perjalanan?”

“Tidak. Nampaknya mereka hanya akan berjalan-jalan saja. Mereka agaknya belum berbenah diri dan menunjukkan sikap untuk menempuh perjalanan jauh.”

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk.

“Apakah kita akan mengikuti mereka?”

“Tidak. Tidak perlu. Mereka tentu akan kembali.”

“Hati-hatilah. Mereka pergi ke arah ini.”

Keduanya pun kemudian duduk di atas batu di pinggir jalan. Mereka pura-pura tidak menghiraukan sama sekali ketika Glagah Putih dan Rara Wulan itu lewat. Namun setelah mereka berjalan jauh, maka Ancak Liman itu pun berkata, “Gila orang itu. Jika kita harus membunuh mereka, sayang perempuan itu.”

“Jika demikian, setelah kita culik, perempuan itu tidak akan pernah kembali kepada suaminya?”

“Tentu. Bukankah kita harus membunuh mereka? Jika kita tidak mau menyakiti perempuan itu, kita bunuh saja suaminya.”

“Kasihan ketiga orang pedagang yang semalam dipermalukan oleh laki-laki itu.”

“Salah mereka sendiri.”

Keduanya tertawa. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh.

Dalam pada itu, saudara seperguruan Ancak Liman itu pun bertanya, “Sekarang, apa yang akan kita lakukan?”

“Kita akan tetap di sini untuk mengawasi mereka. Jika perempuan itu keluar sendiri dari penginapan, kita akan menyergapnya. Kita akan membawanya pergi dan kemudian memberitahukan suaminya dimana perempuan itu kita sembunyikan, agar suaminya datang menjemputnya.”

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Namun agar mereka tidak dicurigai, maka mereka pun telah berpindah tempat di arah lain dari jalan yang dilewati oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Mereka tentu akan kembali lewat jalan ini pula. Karena itu, kita sebaiknya berada di arah yang lain.”

Saudara seperguruanya pun mengangguk-angguk.

Beberapa lama keduanya menunggu. Mereka mengawasi arah yang ditempuh oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya tidak segera kembali.

“Kemana saja kedua orang itu?” desis saudara seperguruan Ancak Liman.

“Tetapi yang jelas mereka akan kembali. Menilik sikap dan ujud mereka, mereka belum siap untuk meninggalkan penginapan itu.”

Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan itu sudah berada beberapa puluh langkah dari mereka. Mereka justru datang dari arah yang tidak mereka duga.

“Setan itu berjalan melingkari padukuhan ini,” geram Ancak Liman. Tetapi mereka sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir. Yang dapat mereka lakukan adalah sekali lagi berpura-pura tidak memperhatikan Glagah Putih dan Wulan itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan tidak berpaling.

“Untunglah mereka tidak menghiraukan kita,” desis Ancak Liman.

“Ya. Jika saja mereka memperhatikan kita, maka mereka akan dapat mencurigai kita.”

“Ya. Ternyata mereka terlalu yakin bahwa Seca adalah sebuah lingkungan yang aman.”

“Karena itu mereka agak kurang berhati-hati. Nah, sekarang apa yang kita lakukan?”

“Ternyata kau memang bodoh sekali. Sudah aku katakan, kita menunggu kesempatan untuk mengambil perempuan itu.”

“O, ya. Seharusnya aku sudah tahu.”

Keduanya pun terdiam. Mereka memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki regol halaman penginapan mereka.

Glagah Putih dan Rara Wulan nampaknya memang tidak memperhatikan kedua orang yang berada di luar penginapan. Tetapi sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan mencurigai mereka.

Sejak mereka meninggalkan penginapan itu untuk berjalan-jalan, keduanya sudah tertarik dengan keberadaan kedua orang yang duduk di pinggir jalan. Karena itu, mereka sengaja melingkar dan kembali ke penginapan dari arah yang berlawanan. Ternyata kedua orang itu masih ada di dekat penginapan mereka, tetapi sudah bergeser ke arah yang lain pula.

“Apa maksud mereka, Kakang?” desis Rara Wulan.

“Agaknya mereka adalah dua orang di antara para pedagang itu pula. Mungkin mereka orang-orang terbaik yang tidak rela kawannya mengalami perlakuan yang buruk.”

“Mereka mendendam?”

“Ada dua kemungkinan. Mendendam, atau mereka juga mempunyai anggapan yang keliru tentang kita.”

“Maksud Kakang? Apakah kita akan menanggapi mereka, atau kita akan membiarkan saja apapun yang akan mereka lakukan, asal mereka tidak memasuki penginapan ini dan memaksakan kekerasan terjadi?”

“Rara. Sebaiknya kita mempercepat kemungkinan yang akan terjadi. Jika mereka memang berniat buruk, biarlah segera mereka lakukan, sehingga kita akan segera dapat mengambil sikap pula.”

“Maksud Kakang?”

“Kita pancing mereka.”

“Dipancing dengan apa?”

“Pergilah keluar, Rara. Apakah mereka mengganggumu atau tidak.”

“Jika mereka menggangguku?”

“Jangan langsung mengambil tindakan. Lakukan sesuai dengan kemauan mereka. Kita akan tahu, apa sebenarnya yang mereka kehendaki. Mungkin bukan sekedar merendahkan martabat kita, tetapi ada kepentingan lain. Jika yang mereka lakukan sekedar sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang semalam, maka mereka tidak akan mengawasi kita sejak fajar. Bahkan mungkin demikian mereka melihat kita keluar, mereka akan langsung mendatangi kita.”

“Mungkin mereka menunggu kita tidak bersama-sama.”

“Itulah yang aku maksudkan.”

“Baiklah, aku akan keluar sendiri, Kakang. Tetapi awasi aku. Jangan lepaskan aku sendiri. Mungkin ada di antara mereka orang-orang berilmu tinggi. Tetapi mungkin pula mereka menunggu orang lain, bukan kita.”

“Jika mereka menunggu orang lain, pergilah ke pasar, Rara. Belilah nasi megana dengan pepes teri.”

Rara Wulan tertawa. Namun kemudian ia pun membenahi dirinya. Pakaian khususnya dan senjatanya, selendang.

Demikianlah, maka Rara Wulan pun kemudian melangkah keluar dari halaman penginapan. Dengan hati-hati Glagah Putih mengamatinya. Seolah-olah Glagah Putih yang keluar pula dari regol halaman penginapan itu, telah melepas Rara Wulan pergi sendiri.

Untuk beberapa lama Glagah Putih berdiri di depan regol, sementara Rara Wulan berjalan seorang diri di jalan yang mulai menjadi ramai.

Seca memang sudah bangun. Beberapa orang telah turun ke jalan. Ada di antara mereka yang pergi ke pasar. Ada yang pergi ke tempat-tempat mereka bekerja. Ada pula yang pergi ke sawah.

Beberapa pedati telah nampak di jalan-jalan pula. Orang-orang berkuda dan kesibukan-kesibukan lainnya.

Hari itu memang bukan hari pasaran di pasar Seca. Tetapi di Seca yang nampak tenang itu, kesibukan berjalan lebih dari padukuhan-padukuhan dan kademangan yang lain.

Para pedagang berkuda yang menginap di penginapan dekat pasar itu pun masih belum meninggalkan Seca. Ada di antara mereka yang melihat-lihat pasar itu untuk mempelajari perkembangan perdagangan di pasar Seca.

Di antara kesibukan itulah, Glagah Putih berusaha dengan hati-hati untuk tetap mengawasi Rara Wulan dari kejauhan.

Dalam pada itu, kedua orang yang memang menunggu Rara Wulan keluar seorang diri dari penginapan itu, telah mendapat satu kesempatan yang baik. Perempuan yang mereka tunggu itu benar-benar telah keluar dari regol penginapan. Suaminya memang mengantarnya. Tetapi hanya sampai ke regol halaman. Kemudian dilepasnya istrinya pergi seorang diri.

Ketika Rara Wulan berjalan lewat depan kedua orang yang berpura-pura tidak memeperhatikannya itu, Rara Wulan pun berpura-pura tidak menghiraukan mereka pula. Rara Wulan pun berjalan seakan-akan tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya.

Sebenarnyalah beberapa saat setelah Rara Wulan lewat, maka kedua orang itu pun segera bangkit berdiri. Mereka pun kemudian berjalan pula searah dan tidak jauh di belakang Rara Wulan. Rara Wulan yang memang sudah mencurigai mereka, menyadari sepenuhnya bahwa kedua orang itu berjalan mengikutinya.

Karena perhatian kedua orang itu tertuju kepada Rara Wulan yang berjalan agak cepat menuju ke pasar, maka mereka tidak menyadari bahwa di antara orang-orang yang berjalan di jalan yang terhitung ramai itu, serta di sela-sela pedati dan kesibukan yang lain, Glagah Putih mengikuti mereka di belakang.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun terhenti sejenak, ketika tiba-tiba saja kedua orang laki-laki yang menunggunya di pinggir jalan itu berjalan di sebelah kiri dan di sebelah kanannya.

“Diam sajalah, anak manis,” desis Ancak Liman.

“Ada apa?” bertanya Rara Wulan sambil berpaling kepada Ancak Liman.

“Kami memerlukan bantuanmu. Karena itu, marilah kita berjalan-jalan sebentar.”

“Apa maumu? Bantuan apa yang kau inginkan?”

“Sudahlah, jangan ribut. Jika kau ribut, maka perhatian orang banyak akan tertuju kepada kita.”

“Katakan, apa maumu?”

“Diamlah.”

“Kalau kau tidak mengatakannya, aku akan berteriak. Para petugas akan segera berdatangan untuk menangkap kalian.”

Namun tiba-tiba di lambung Rara Wulan terasa ujung pisau belati yang runcing menekan. Sementara kawan Ancak Liman itu pun berkata, “Jangan berteriak, perempuan cantik. Aku sayang akan kecantikanmu jika aku terpaksa melubangi lambungmu dengan pisauku ini.” 

“Tetapi katakan, apa yang harus aku lakukan.”

“Ikut saja kami. Nanti kau tahu sendiri apa yang harus kau lakukan.”

Rara Wulan tidak melawan. Ia ikut saja kemana kedua orang itu membawanya.

Ketika mereka bertiga berjalan lewat jalan yang ramai di sebelah pasar, tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Mereka tidak melihat pisau di tangan salah seorang dari laki-laki yang berjalan di sebelah perempuan itu. Namun seorang perempuan yang melihat Rara Wulan berjalan diapit oleh kedua orang lelaki pada jarak yang hampir lekat itu, mencibirkan bibirnya sambil berdesis, “Perempuan apa yang membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu oleh kedua orang laki-laki. Apalagi di siang hari seperti ini.”

Sementara itu, seorang di antara para pedagang yang semalam melihat Rara Wulan di penginapan bersama laki-laki yang diaku suaminya itu, memperhatikannya dengan mulut ternganga.

“Ternyata perempuan itu memang perempuan binal,” desisnya kemudian.

Apalagi ketika pedagang itu melihat Rara Wulan dibawa masuk ke penginapan yang juga berada di dekat pasar itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang mengikutinya melihat bahwa Rara Wulan telah dibawa masuk ke dalam penginapan itu. Tetapi ia tidak segera bertindak. Glagah Putih yang sedang memancing dengan umpan yang sangat berharga itu justru kembali ke penginapannya. 

“Orang-orang itu tentu akan menyampaikan maksud mereka, kenapa mereka mengambil Rara Wulan,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Karena itulah, maka Glagah Putih justru menunggu di penginapannya.

Sebenarnyalah, sesuai dengan perhitungan Glagah Putih, maka beberapa saat kemudian dua orang telah datang ke penginapan itu untuk mencarinya.

Dua orang telah menemui petugas di penginapan itu. Seorang di antara mereka pun berkata, “Ki Sanak. Aku ingin bertemu dengan Glagah Putih. Seorang yang menginap di penginapan itu bersama istrinya.”

“O,” petugas itu mengangguk angguk, “silahkan duduk sebentar Ki Sanak. Aku akan memberitahukan kepada orang yang kau maksud.”

Kedua orang itu pun kemudian duduk di serambi depan, sementara petugas di penginapan itu telah menemui Glagah Putih yang ada di biliknya.

“Ada dua orang yang mencari Ki Glagah Putih,” berkata petugas itu.

“Ada persoalan apa?”

“Aku tidak tahu. Aku persilahkan Ki Glagah Putih menemuinya di serambi depan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sebenarnyalah bahwa ia sudah tahu siapakah kedua orang itu. Tentu orang yang telah menculik Rara Wulan, atau kawan-kawannya.

Ketika Glagah Putih kemudian duduk di amben panjang di serambi itu, maka seorang di antara kedua orang itu berkata sambil tersenyum, “Ki Glagah Putih. Maaf bahwa kami telah mengganggumu.”

“Ada keperluan apa, Ki Sanak?” bertanya Glagah Pulih.

“Kami mengundang Ki Glagah Putih untuk datang ke bulak pategalan di sebelah barat padukuhan Seca. Di sana ada segerumbul pohon buah-buahan, yang berada di dekat tikungan sungai kecil yang mengalir di antara pategalan-pategalan itu.”

“Ada apa?” bertanya Glagah Putih.

“Istri Ki Glagah Putih yang bernama Rara Wulan ingin bertemu dengan Ki Glagah Putih.”

“Istriku? Kenapa istriku berada di sana?”

“Istrimu telah mengikuti seorang laki-laki. Mereka berkenalan sejak tiga tahun yang lalu. Tiba-tiba saja mereka bertemu di dekat pasar. Agaknya istrimu terkenang masa-masa yang manis tiga tahun yang lalu, sehingga istrimu itu telah mengikuti laki-laki itu.”

“Istriku mengikut seorang laki-laki?”

“Ya. Karena itu datanglah ke pategalan. Jemput istrimu itu dan bawa perempuan itu pergi.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Persetan dengan istriku. Jika ia mengikuti seorang laki-laki, biarlah ia pergi. Aku tidak peduli lagi kepadanya.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang yang lain pun berkata, “Ki Glagah Putih. Istrimu itu menunggu kedatanganmu.”

“Buat apa aku datang menemuinya? Apakah aku harus dengan resmi menyerahkan istriku itu kepada laki-laki yang telah diikutinya itu.”

“Aku tidak tahu, tetapi sebaiknya Ki Glagah Putih pergi ke sana.”

“Aku tidak mau.”

“Bukan maksud laki-laki itu agar Ki Glagah Putih menyerahkan istrimu kepadanya, tetapi sebaliknya. Laki-laki itu tidak dapat membawa istrimu pergi. Ia sudah beristri. Karena itu, maka ia ingin mengembalikan istrimu kepadamu. Tetapi sebagai seorang laki-laki, ia ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya, meskipun itu bukan karena salahnya.”

“Tidak perlu. Jika laki-laki itu memang tidak mau membawa istriku pergi, maka campakkan saja ia di pinggir jalan. Apakah ia akan kembali menemui aku atau mau pergi kemana saja, itu terserah kepadanya. Aku tidak memperdulikannya lagi.”

Kedua orang itu menjadi bingung. Agaknya mereka merasa bahwa mereka telah salah ucap, sehingga laki-laki itu tidak berniat untuk datang menemui istrinya.

Namun seorang di antara mereka pun segera berkata, “Ki Glagah Putih. Persoalannya sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada persoalan-persoalan yang harus dibicarakan. Karena itu, aku minta Ki Glagah Putih pergi menemui perempuan itu. Selanjutnya, biarlah Ki Glagah Putih membicarakan langkah-langkah berikutnya dengan perempuan itu sendiri.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sebenarnyalah bahwa ia ingin segera melihat keadaan Rara Wulan. Karena itu. maka ia pun tidak lagi memepersoalkannya lebih lanjut. Ia pun kemudian berkata, “Dimana perempuan itu sekarang?”

“Sudah aku katakan, di bulak pategalan. di tikungan sungai kecil yang tebingnya dalam dan curam.”

“Baiklah. Tetapi jika benar katamu bahwa perempuan itu telah mengikuti seorang laki-laki, maka aku tidak akan mempedulikan lagi.” Glagah Putih berhenti sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi siapakah Ki Sanak berdua?”

“Aku adalah saudara dari laki-laki yang diikuti oleh istrimu itu. Aku diminta untuk segera menghubungimu.”

Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Apakah kalian berdua bersedia mengantar aku?”

“Baik, Ki Sanak. Jika kau memerlukan bantuanku, aku tidak akan berkeberatan. Kami berdua akan membawa Ki Glagah Putih untuk menemui istrimu itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku akan melaporkannya kepada para petugas di kademangan.”

“Buat apa? Persoalannya adalah persolan antara kau dan istrimu. Kenapa harus melaporkannya kepada para petugas?”

“Biarlah mereka menjadi saksi, apakah yang akan dilakukan dan apa yang akan dikatakan oleh istriku.”

“Tidak perlu, Ki Sanak. Marilah kita pergi sebelum laki-laki yang diikuti istrimu itu berubah sikap. Jika ia berubah sikap dan benar-benar pergi bersama istrimu, maka kau akan menyesal.”

“Tidak. Aku tidak akan menyesal. Biarlah perempuan itu dibawa pergi, atau ia pergi atas kemauannya sendiri.”

“Jangan melakukan kesalahan yang akan dapat membuatmu menyesal seumur hidupmu.”

Akhirnya Glagah Putih terdiam. Ia pun kemudian mengikuti saja kedua orang laki-laki yang menjemputnya itu.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih yang mengikuti kedua orang itu sudah keluar dari padukuhan. Kedua orang itu mengajak Glagah Putih berjalan lebih cepat lagi.

“Buat apa tergesa-gesa?” berkata Glagah Putih, “Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan menyesal kehilangan perempuan yang selingkuh.”

Meskipun demikian, Glagah Putih pun telah mempercepat langkahnya pula.

Beberapa saat lamanya mereka berjalan di sepanjang bulak. Namun kemudian mereka pun berbelok ke arah pategalan yang luas. Pategalan yang sudah mulai banyak ditumbuhi pohon buah-buahan.

Seperti yang dikatakan oleh kedua orang itu, mereka menuju ke sebuah pategalan yang nampaknya lebih tua dari lingkungan di sekelilingnya. Di pategalan itu sudah terdapat pohon buah-buahan yang lebih besar dari pategalan di sekitarnya. Sedangkan segerumbul pepohonan yang subur terdapat di sebuah tikungan sebuah sungai kecil. Airnya pun tidak begitu banyak, mengalir di antara bebatuan.

Bagaimanapun juga Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu, ada berapa orang serta tataran ilmu mereka yang telah menunggunya di pategalan itu.

Ketika Glagah Putih berjalan semakin dekat, ia melihat Rara Wulan duduk di atas sebuah batu. Sedangkan tiga orang laki-laki yang garang menungguinya. Seorang duduk pula di atas batu itu. Sedangkan yang dua orang berdiri bersandar pepohonan.

“Bukankah itu istrimu?” bertanya salah seorang dari mereka yang berjalan bersama Glagah Putih

“Ya. Semakin dekat dan semakin jelas aku melihat wajahnya, aku menjadi semakin muak.”

“Bagaimanapun juga ia adalah istrimu. Kau harus datang kepadanya, apapun yang kemudian akan kau lakukan.”

Glagah Putih tidak menjawab.

Sejenak kemudian, Glagah Putih dan kedua orang yang datang ke penginapannya itu pun telah memasuki pategalan itu pula.

Demikian Rara Wulan melihat Glagah Putih, maka ia pun segera bangkit berdiri.

“Yang mana laki-laki yang kau maksud?” bertanya Glagah Putih.

Namun Ancak Liman pun segera berkata, “Aku tidak berkata sebenarnya kepadamu. Aku berbohong. Tetapi aku tidak menyesal, bahwa hampir saja aku gagal membawamu ke mari.”

“Jadi apa yang sebenarnya terjadi?”

“Kami telah mengambil istrimu dengan paksa.”

“Dengan paksa? Apa maksudmu?”

Ancak Liman tertawa. Ia pun kemudian berkata kepada gurunya, “Guru, laki-laki inilah suami perempuan itu. Hampir saja aku gagal membawanya kemari, karena aku berniat mempermainkannya. Tetapi justru karena itu, laki-laki ini hampir saja tidak mau datang.”

“Selamat siang. Ki Sanak,” berkata guru Ancak Liman itu sambil tertawa.

Glagah Putih pun memperhatikan lima orang laki-laki yang berada di sekelilingnya. Kepada Ancak Liman ia pun berkata, “Kau-kah yang tadi pagi bersama seorang kawanmu di dekat penginapanku?”

“Ya, kenapa?”

“Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan atas aku dan istriku? Jika kau telah berbohong, katakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Kami telah mengambil istrimu dengan paksa,” berkata guru Ancak Liman. Namun ia pun kemudian bertanya kepada Ancak Liman, “Apa yang telah kau katakan kepadanya?”

“Aku mengatakan kepadanya, bahwa istrinya telah mengikuti seorang laki-laki yang pernah dikenalnya tiga tahun lalu. Maksudku untuk membuatnya marah. Laki-laki itu memang marah, tetapi hampir saja ia tidak mau pergi menemui istrinya.”

“Kau memang bodoh, Ancak Liman. Kau membuatnya ketakutan sehingga ia tidak berani menyusul istrinya.”

“Tetapi ia sudah berada di sini sekarang, Guru.”

“Baiklah aku berterus-terang kepadanya.”

“Silahkan, Guru. Semakin cepat pekerjaan kita selesai, tentu akan menjadi semakin baik.”

“Ki Sanak,” berkata guru Ancak Liman, “dengarkan kata-kataku.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dipandanginya guru Ancak Liman itu dengan tajamnya.

“Kami memang sengaja mengundangmu, Glagah Putih. Kami akan membunuhmu.”

“Membunuhku?” sebenarnya Glagah Putih memang tidak terlalu terkejut. Ia sudah menduga bahwa orang-orang itu akan berbuat jahat. Namun Glagah Putih masih ingin tahu, apa sebabnya mereka memusuhinya.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “bukanlah kita belum pernah bertemu sebelumnya? Kita juga tidak mempunyai persoalan apa-apa di antara kita. Kenapa tiba-tiba kau berniat membunuhku?”

“Sengaja atau tidak sengaja, kau sudah memasuki lingkaran perdagangan gelap di jalur ketiga ini.”

“Perdagangan gelap di jalur ketiga? Apa maksudmu?”

“Kau telah merampas candu dari tangan Jati Ngarang. Kau telah membuka rahasia perdagangan gelap itu, sehingga pada suatu saat jalur perdagangan itu akan terganggu. Mungkin kau akan berbicara dengan orang-orang yang akan dapat memusuhi kami. Karena itu, maka orang-orang yang berbahaya sebagaimana kau dan istrimu harus dibinasakan. Kami tidak ingin jejak-jejak perdagangan kami dapat dilacak.”

“Apakah kau para pengikut orang yang mengaku bernama Jati Ngarang itu? Seorang yang licik, yang mengingkari tanggung jawabnya setelah ia mencuri kitab perguruan kami?”

“Orang itu adalah Jati Ngarang. Bukan orang lain sebagaimana kau katakan.”

“Orang itu tentu Kasan Barong, yang telah mencuri kitab perguruanku.”

“Ia bukan Kasan Barong, bukan Macan Barong, bukan Gajah Barong. Tetapi ia adalah Jati Ngarang. Seorang pemimpin segerombolan perampok, yang kemudian telah melakukan perdagangan terlarang dengan seorang pedagang yang biasanya diburunya untuk dirampok.”

“Siapapun orang itu,” sahut Glagah Putih, “tetapi perdagangan terlarang itu sangat merugikan orang banyak.”

“Kau yang bodoh,” sahut guru Ancak Liman. “Perdagangan ini sangat menguntungkan, sehingga taruhannya adalah nyawa. Karena itu, kau yang telah memasuki alur perdagangan di jalur ketiga itu, akan segera kami binasakan. Seharusnya kau dan istrimu. Tetapi kami masih harus berpikir ulang untuk membunuh istrimu.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Pertanyaan yang bodoh. Tetapi sudahlah. Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga kau dan istrimu mampu mengalahkan gerombolan Jati Ngarang, meskipun pada saat itu Jati Ngarang tidak membawa seluruh kekuatannya.”

“Kalau kalian tahu bahwa kami berdua telah berhasil mengalahkan Jati Ngarang dengan gerombolannya, apa yang sekarang kalian lakukan?”

“Sudah aku katakan, bahwa kami akan membunuhmu.”

“Ki Sanak. Kami tidak bermusuhan dengan kalian. Bahkan agaknya kita baru kali ini bertemu. Namun kalian sudah berniat membunuh kami.”

“Sudah aku katakan pula, alasanku untuk membunuhmu.”

“Baik. Jika kalian ingin membunuh kami, maka keinginan kalian itu telah menggelitik niat kami pula untuk membunuh kalian. Rara Wulan, kemarilah. Kita akan bersiap menghadapi mereka berlima.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Diamatinya orang-orang yang berdiri di sebelah-menyebelah. Namun agaknya orang-orang itu akan membiarkannya bergeser mendekati suaminya.

“Jika mereka sudah berniat membunuh kita, maka apa salahnya jika kita-lah yang membunuh mereka?”

Guru Ancak Liman tertawa. Katanya, “Meskipun jumlah kami lebih sedikit dari jumlah para pengikut Jati Ngarang pada saat kau mengalahkannya, tetapi aku dan murid-muridku bukannya segerombolan pencuri jemuran seperti gerombolan Jati Ngarang. Karena itu, maka sebaiknya kalian tidak usah melawan, karena perlawanan yang akan kalian berikan hanya akan mempersulit jalan kematian kalian saja.”

“Apapun yang terjadi, kami tentu akan mempertahankan nyawa kami. Apalagi sekedar menghadapi lima orang penyamun kecil yang tidak berarti apa-apa. He, kenapa kalian tidak terlibat dalam pertempuran antara gerombolan Guntur Ketiga dengan gerombolan Panji Kukuh? Gerombolan-gerombolan itulah yang baru pantas diperhitungkan dalam jalur perdagangan gelap. Tetapi kalian berlima tidak lebih dari kecoak-kecoak kecil yang tidak berarti apa-apa.”

“Apa yang kau ketahui tentang gerombolan Guntur Ketiga? Dan bahkan gerombolan Panji Kukuh?”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Mereka ada di sini sekarang. Ternyata kalian mereka anggap seperti seekor nyamuk yang hanya dapat membuat kulit menjadi gatal. Tetapi kalian tidak akan berarti apa-apa di dalam jalur perdagangan mereka.”

“Cukup,” geram Ancak Liman. Namun ia pun kemudian berkata, “Jika kalian berdua bersedia berbicara tentang Guntur Ketiga atau tentang Panji Kukuh, maka kami akan mengampunimu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Mereka akan datang menggilas kalian seperti buah durian menggilas mentimun. Karena itu, minggir sajalah dari jalur perdagangan gelap ini.”

Ancak Liman mengumpat kasar. Katanya, “Jangan mencari sandaran untuk menghindar dari tangan kami. Apapun yang kau katakan, kau akan mati. Tentang istrimu, kami masih akan membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri.”

Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, “Bagus. Tetapi kaljan tidak akan dapat berbicara apa-apa dalam jalur perdagangan gelap itu. Memang mungkin kalian akan mendapat percikan kesempatan. Tetapi tentu tergantung kepada kekuatan-kekuatan raksasa yang ada di jalur perdagangan gelap itu. Mungkin kalian mengira bahwa ketenangan dan kedamaian yang ada di Seca itu tidak mengandung gejolak di bawah permukaan. Dengar. Yang ada di bawah permukaan adalah kekuatan Guntur Ketiga, Panji Kukuh dan masih ada satu gerombolan yang lain yang masih tersamar di Seca. Tetapi di tempat lain, gerombolan ini sudah menguasai jalur perdagangan gelap di sisi Selatan. Sebenarnya bahwa kau tidak tahu apa-apa tentang jalur perdagangan di Seca. Jika kau berbicara tentang jalur ketiga, maka kau pantas untuk ditertawakan.”

“Persetan dengan igauanmu. Aku tidak peduli. Yang penting aku datang untuk membunuhmu.”

“Karena aku telah merebut barang terlarang dari tangan Jati Ngarang dan menyerahkannya kepada Ki Demang?”

“Ya.”

Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya, “Kau telah termakan oleh permainanku yang rumit.”

“Permainan apa?” bertanya guru Ancak Liman.

Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan juga menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh Glagah Putih, yang seakan-akan melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal. Ia tidak tahu apa yang dimaksud Glagah Putih dengan permainannya yang rumit itu.

Namun akhirnya Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Jika demikian, maka kalian pun harus dibersihkan dari jalur perdagangan ini, sebagaimana Jati Ngarang yang menjadi bingung ketika aku menuduhkan mencuri kitab perguruanku.”

“Semuanya omong kosong!” bentak guru Ancak Liman. “Awasi perempuan itu. Aku akan membunuh laki-laki bengal ini.”

Ketika guru Ancak Liman itu bergeser setapak maju, maka Glagah Putih pun justru bergeser ke samping, mengambil jarak dari Rara Wulan. Katanya kepada Rara Wulan. “Hati-hatilah, Rara Wulan. Jika empat orang itu mencoba mengganggumu, singkirkan saja mereka. Kau tidak bersalah jika kau terpaksa membunuhnya.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ancak Liman. Hampir berteriak ia pun berkata kepada gurunya, “Serahkan orang itu kepadaku, Guru! Aku akan mencekiknya sampai mati.”

“Aku-lah yang akan menanganinya. Nampaknya ia orang yang berbahaya.”

Ancak Liman tidak menjawab. Tetapi bersama tiga orang saudara seperguruannya, Ancak Liman mengawasi Rara Wulan yang berdiri di bawah sebatang pohon jambu mete yang sudah besar dan bahkan sudah berbuah.

Guru Ancak Liman dan Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri. Agaknya guru Ancak Liman itu ingin mencoba kemampuan Glagah Putih seorang diri. Karena itu, maka ia tidak memerintahkan murid-muridnya untuk ikut terlibat dalam pertempuran itu.

Sejenak kemudian, maka guru Ancak Lirpan itu pun mulai menyerang. Serangan-serangannya masih saja terkesan lamban, sehingga Glagah Putih dengan mudah selalu dapat menghindarinya.

Bahkan sekali-sekali Glagah Putih pun telah membalas serangan-serangan guru Ancak Liman dengan serangan-serangan pula. Tetapi serangan-serangan yang terasa masih sangat lemah.

Namun semakin lama serangan-serangan kedua belah pihak pun menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Guru Ancak Liman itu pun berloncatan dengan cepatnya, seakan-akan mengikuti tubuh lawannya dan menyerangnya dari segala arah. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan mantap ia menghadapi serangan-serangan itu. Kadang-kadang Glagah Putih meloncat menghindar. Namun kadang-kadang Glagah Putih sengaja membentur serangan guru Ancak Liman itu.

Glagah Putih pun kemudian juga mempercepat serangan-serangannya. Dengan kemampuannya bergerak cepat, Glagah Putih akhirnya mampu menembus pertahanan guru Ancak Liman. Serangan kakinya yang mengenai lambung telah menggetarkan tubuhnya. Terasa serangan yang mengenai lambungnya itu telah membuat pernafasannya menjadi sesak, serta nyeri yang serasa meremas isi perutnya.

Guru Ancak Liman itu bergeser surut untuk mengambil jarak. Sambil meraba lambungnya yang kesakitan, guru Ancak Liman itu pun berkata, “Kau telah menyakiti aku. Karena itu, maka tidak ada lagi jalan bagimu untuk menghindar dari kematian.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia pun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi puncak kemarahan guru Ancak Liman itu.

Sebenarnyalah guru Ancak Liman itu pun telah benar-benar sampai kepada tataran tertinggi ilmunya. Dari ubun-ubunnya telah mengepul asap yang tipis agak kemerah-merahan.

Glagah Putih melihat asap itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati.

Sebenarnyalah serangan-serangan orang itu selanjutnya bagaikan telah menghamburkan udara panas. Angin yang bergetar oleh ayunan tangan dan kakinya, bahkan seluruh tubuhnya, terasa menjadi semakin panas.

Namun Glagah Putih tidak menjadi gentar karenanya. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi udara yang panas itu.

Ternyata bahwa Glagah Putih benar-benar telah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Daya tahan tubuhnya tidak ubahnya sebagaimana ilmu kebal yang dapat melindungi seluruh tubuhnya. Sehingga dengan demikian udara panas yang terpancar dari kemampuan ilmu guru Ancak Liman itu tidak terlalu banyak mempengaruhinya. Bahkan serangan-serangan Glagah Putih semakin lama menjadi semakin garang. Justru karena itulah, maka serangan-serangannya itu menjadi semakin menembus pertahanan guru Ancak Liman itu.

Namun Glagah Putih masih belum berniat mempergunakan ilmu puncaknya yang dinamainya Aji Namaskara. Ilmu puncaknya yang nggegirisi, setelah ia menjalani laku sebagaimana tersebut dalam kitab yang diketemukannya di dalam lingkungan tempat tinggal yang semula nampak sebagaimana rumah yang dihuni oleh Ki Namaskara. Namun ternyata ia telah tersuruk ke dalam satu rahasia yang sangat besar tentang keberadaan lingkungan tempat tinggal Ki Namaskara itu. Satu lingkungan yang di dalam waktu yang berbeda, membayangkan dua dunia yang justru sangat berlawanan.

Dengan kemampuan daya tahannya yang sangat tinggi, yang dicapainya dengan menjalani laku yang juga sebagaimana disebut dalam kitab Ki Namaskara itu, Glagah Putih ternyata mampu mengatasi panasnya yang terpancar dari ilmu puncak lawannya itu.

“Iblis manakah yang telah melindunginya,” geram guru Ancak Liman itu.

Serangan-serangannya pun semakin lama menjadi semakin garang.

Ketika orang itu bagaikan terbang meloncat menyerang Glagah Putih dengan kedua tangannya terjulur lurus dengan telapak tangan terbuka, maka Glagah Putih pun dengan sigapnya meloncat menghindar, sehingga serangan itu tidak menyentuh sasarannya. Tetapi kedua telapak tangan itu telah mengenai sebatang pohon jambu air yang cukup besar.

Terdengar bagaikan sebuah ledakan yang keras. Sebatang pohon jambu air itu tidak saja terguncang, tetapi kedua telapak tangan guru Ancak Liman itu seakan-akan telah terpahat pada batang pohon jambu air itu dengan bekas luka bakar.

Jejak sepasang telapak tangan di batang pohon jambu air yang besar itu masih juga mengepul, ketika dengan jantung yang berdebaran Glagah Putih memperhatikannya. Bahkan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Ternyata sentuhan telapak tangan orang itu sangat berbahaya bagi siapa pun dan bahkan apapun yang teraba.

Namun kegagalan orang itu membuatnya menjadi sangat marah. Karena itu, maka ia pun segera berteriak, “Jangan berdiri saja bagaikan sedang menonton ledek munyuk! Bangun dan bunuh orang ini!”

Keempat orang yang menyaksikan pertempuran itu dengan tegangnya seolah-olah telah dikejutkan dari sebuah mimpi buruk.

Mereka segera bergeser mendekati arena pertempuran. Ancak Liman dan kedua orang saudara-seperguruannya pun segera bergeser, mengepung Glagah Putih dari segala arah. Sedangkan seorang yang lain, telah mendapat isyarat untuk tetap mengawasi Rara Wulan.

Rara Wulan tidak segera melibatkan diri meskipun ia sudah bersiap untuk melakukannya. Sejenak ia masih saja mengamati pertempuran yang terjadi di pategalan itu.

Agaknya Ancak Liman dan saudara-saudara seperguruanya juga sudah memiliki kemampuan untuk meningkatkan ilmu sampai tataran yang tinggi. Mereka pun sudah mampu untuk menghimpun dan melepaskan udara panas dengan lambaran ilmu mereka, meskipun belum sebaik guru mereka.

Karena itulah, maka panas udara di sekitar tubuh Glagah Putih pun menjadi semakin tinggi. Meskipun Glagah Putih berusaha untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak, namun udara di sekitarnya yang menjadi sangat panas itu mampu mulai merembes menembus pertahanan daya tahan tubuh Glagah Putih.

Keringat bagaikan diperas dari tubuh Glagah Putih yang kepanasan. Apalagi dibarengi dengan serangan-serangan yang datang dari keempat arah. Ketika tangan guru Ancak Liman sempat menyentuh kulitya, maka terasa kulit Glagah Putih itu bagaikan disentuh bara. Bahkan kulitnya itu pun telah terkelupas dengan luka bakar yang merah kehitam-hitaman.

Glagah Putih-lah yang menjadi sangat marah. Bukan hanya Glagah Putih, tetapi Rara Wulan yang juga menyaksikan luka bakar oleh sentuhan serangan guru Ancak Liman itu pun menjadi marah pula.

Karena itu, maka Rara Wulan pun kemudian tidak hanya tinggal diam sambil menonton permainan yang mendebarkan itu. Ia pun segera menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang kemudian nampak adalah pakaian khususnya.

Seorang di antara saudara seperguruan Ancak Liman yang mendapat tugas mengawasi Rara Wulan itu pun terkejut. Baru kemudian ia menyadari, bahwa perempuan itu juga seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka orang itu pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Ternyata nasibmu-lah yang terburuk di antara saudara-saudara seperguruanmu,” berkata Rara Wulan.

“Kenapa?” geram orang itu.

“Kita akan berhadapan dalam sebuah pertempuran. Kau tidak banyak mendapat kesempatan, kecuali jika aku kemudian tertidur selagi kita bertempur.”

“Persetan dengan igauanmu itu.”

“Bersiaplah untuk mati,” desis Rara Wulan kemudian.

Saudara seperguruan Ancak Liman yang seorang itu menggeram. Baginya. Rara Wulan tetap seorang perempuan. Karena itu, ketika ia mendengar ancaman dari perempuan itu, maka telinganya bagaikan disentuh bara.

Karena itu, maka orang itu tidak menunggu lagi. Saudara seperguruan Ancak Liman itulah yang justru lebih dahulu menyerang.

Namun serangannya tidak mampu menyentuh sasarannya. Dengan tangkas Rara Wulan melenting menghindari serangannya. Tetapi demikian kakinya menjejak tanah, maka ia pun segera meloncat justru menyerang lawannya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Lawannya itu pun terkejut. Ia sempat melihat Rara Wulan meloncat, kemudian berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.

Lawannya itu pun terhuyung-huyung surut ketika kaki Rara Wulan menyambar keningnya. Orang itu pun mengaduh tertahan. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.

Dengan susah payah ia masih mampu bertahan. Tetapi hanya untuk sesaat. Karena Rara Wulan tidak melepaskannya. Demikian orang itu berhasil berdiri tegak, maka serangan Rara Wulan telah datang lagi. Serangan dengan kaki yang terjulur lurus menyamping.

Lawan Rara Wulan itu tidak sempat mengelak. Kaki itu benar-benar telah membentur dadanya.

Sekali lagi orang itu terlempar. Kali ini ia benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia pun jatuh berguling.

Pada saat yang bersamaan, Glagah Putih yang terkurung oleh lawan-lawannya yang dengan ilmunya mampu menyebarkan udara panas itu pun telah meloncat tinggi-tinggi. Kemampuannya memperingan tubuhnya, serta tenaga dalamnya yang sangat besar, telah melemparkannya keluar dari kepungan keempat lawannya itu. Sambil berputar di udara, Glagah Putih melemparkan dirinya keluar dari panasnya udara yang serasa akan membakarnya.

Guru Ancak Liman itu pun mengumpatinya. Namun ia pun melihat seorang muridnya terlempar jatuh oleh serangan perempuan yang diawasinya. Karena itu, maka ia pun segera berteriak memberi isyarat kepada seorang muridnya yang lain untuk membantu saudara seperguruannya.

Namun kemudian guru Ancak Liman itu pun berteriak pula, “Kita tidak mempunyai banyak waktu! Kita akan menghabisi orang-orang yang tidak tahu diri ini!”

Glagah Putih yang mendengar pula suara guru Ancak Liman itu pun menyadari, bahwa orang-orang itu masih mempunyai simpanan ilmu yang akan segera mereka pergunakan.

Sebenarnyalah bahwa kelima orang itu pun telah memasuki tataran ilmu tertinggi mereka. Kelima orang itu pun telah berloncatan mengambil jarak dari lawan-lawan mereka. Mereka berlima pun kemudian telah bergabung berkumpul menyatu.

Udara pun terasa bergetar. Bukan hanya menjadi panas, tetapi seakan-akan tubuh Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun ditusuk-tusuk dengan ribuan duri-duri kecil. Semakin lama semakin banyak dan semakin terasa pedih.

Rara Wulan dan Glagah Putih pun segera berloncatan semakin mendekat. Mereka melihat kelima orang itu dalam puncak ilmu mereka seakan-akan telah menyatu. Ujud mereka pun menjadi satu. Menjadi ujud raksasa yang berwajah sangat menakutkan. Dari matanya memancar api, serta tangan-tangannya yang berkuku sepanjang duri kemarung itu pun menjadi merah membara.

“Jangan mempercayai penglihatan mata wadagmu, Rara,” desis Glagah Putih, “pandanglah mereka dengan mata hatimu. Mereka sama sekali tidak berubah. Mereka hanya berkumpul saling berhimpitan.”

“Ya, Kakang. Tetapi getar dan panas udara serta kepedihan yang menusuk ini harus kita lawan.”

“Kita tidak mempunyai pilihan, Rara. Kita akan menghancurkan mereka.”

“Apakah kita akan melakukan bersama-sama?”

“Jangan. Kita tidak ingin melumatkannya. Jika saja masih ada yang mungkin selamat di antara mereka, biarlah ia selamat.”

“Jadi?”

“Biarlah aku saja yang melawannya.”

Rara Wulan terdiam. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Aji Brahala Pati itu pernah aku dengar. Ilmu yang disadap dari kuasa kegelapan. Kuasa iblis.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Silahkan, Kakang. Jangan biarkan mereka terlalu lama menyakiti kita.”

Ujud raksasa yang menakutkan itu pun mulai bergerak mendekat. Tangannya yang dikembangkan itu terayun-ayun siap untuk menggapai Glagah Putih dan Rara Wulan. Dari matanya masih saja memancar api. Bahkan kemudian dari mulutnya, lidahnya yang membara itu terjulur pula. Asap panas pun dihembuskan dari mulutnya yang menganga.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun bergeser surut. Udara menjadi semakin panas, sedangkan tusukan-tusukan di tubuh mereka terasa semakin pedih.

“Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi,” suara raksasa yang menakutkan itu seakan-akan bergulung melingkar-lingkar mengetuk dada Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun Glagah Putih pun kemudian telah mempersiapkan dirinya.

Ketika ujud raksasa itu menjadi semakin dekat, serta api yang dipancarkan dari matanya dan asap yang menyembur dari mulutnya terasa menjadi semakin panas, sedangkan tusukan-tusukan duri itu terasa semakin pedih, Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian bersiap untuk melepaskan kekuatan ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara.

Raksasa yang menakutkan bermata api, bertangan bara dan nafasnya menyemburkan asap panas itu menjadi semakin dekat.

Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian telah menyilangkan kedua tangannya. Ujung-ujung jari tangannya itu pun telah menyentuh bagian atas dadanya di sebelah kiri dan kanan dengan ujung-ujung jarinya. Cahaya yang samar kehijauan membayang di dadanya yang tersentuh oleh jari-jarinya itu. Namun kemudian Glagah Putih pun telah menjulurkan kedua tangannya, dengan kedua telapak tangannya yang terbuka justru menelungkup menghadap ke bumi.

Dari ujung-ujung jari Glagah Putih itu pun kemudian telah meluncur butir-butir cahaya yang kehijauan, yang kemudian menggumpal menjadi satu.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat. Ketika serangan Glagah Putih itu meluncur seperti anak panah, terdengar raksasa itu bagaikan mengaum dengan nada tinggi. Agaknya guru Ancak Liman yang telah menyatu dengan keempat muridnya itu menyadari bahaya yang sedang mengancam mereka. Tetapi mereka tidak sempat mengelak.

Karena itulah, maka sinar yang berwarna kehijauan itu pun telah menerjang tubuh ujud raksasa yang sangat menakutkan itu.

Demikian benturan yang dahsyat itu terjadi, terdengar teriakan-teriakan nyaring. Teriakan kesakitan dari kelima orang yang menyatu dalam Aji Brahala Pati, yang dapat mengelabui penglihatan mata wadag seolah-olah kelima orang itu telah menjadi satu dalam ujud seorang raksasa yang sangat menakutkan. Dengan mata api, bertangan bara dan dari mulutnya menyembur asap panas yang mematikan.

Namun yang mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan, di antara teriakan-teriakan nyaring itu terdengar pula suara teriakan seorang perempuan. Perempuan itu bukan saja sesambat, tetapi ia juga telah mengancam untuk membalas dendam.

Tetapi yang kemudian dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, lima orang laki laki yang garang terlempar dan terpelanting jatuh. Ada di antara mereka yang membentur pepohonan yang terdapat di pategalan itu.

Ternyata bahwa dua orang di antara mereka sudah tidak mampu bangkit lagi. Seorang di antaranya adalah justru guru Ancak Liman, dan yang seorang lagi adalah Ancak Liman sendiri.

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu sejenak. Ternyata bahwa jantung mereka pun menjadi berdebaran menghadapi ujud dari ilmu iblis yang mengerikan itu.

Namun Glagah Putih pun kemudian bersama Rara Wulan telah melangkah mendekati orang-orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.

Tiga orang di antara mereka masih dapat menggeliat dan mencoba untuk bangkit. Namun tubuh mereka terasa sangat kesakitan dimana-mana. Tulang-tulang mereka terasa berpatahan, serta sendi-sendinya-pun bagaikan telah terlepas.

“Siapa yang masih akan melawan?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak, Ki Sanak. Tidak,” jawab seorang di antara mereka sambil menyeringai kesakitan.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian menyentuh leher Ancak Liman dan gurunya, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kedua orang kawanmu ini agaknya telah mati.”

“Kami menyerah,” berkata seorang yang lain, “tetapi kami mohon agar kami tidak dibunuh.”

“Ilmu kalian sangat mengerikan, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “ilmu yang baru sekali ini aku temui, meskipun aku pernah mendengar tentang Aji Brahala Pati.”

“Tetapi guru tidak menamainya ilmu kami Aji Brahala Pati.”

“Gurumu menamai ilmu semacam ini dengan sebutan apa?”

“Aji Kalapada.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi katanya, “Apapun namanya, tetapi ilmu itu sangat mengerikan. Ilmu yang kalian sadap dari lingkungan kuasa kegelapan, yang merupakan daerah kekuasaan iblis yang harus dikutuk.”

Ketiga orang yang masih hidup itu tidak segera menjawab. Yang terdengar adalah erang kesakitan.

“Kami berjanji untuk meninggalkan lingkunganku. Guruku sudah meninggal. Kami tidak akan berdaya apa-apa. Alas dari ilmu ini ada pada Guru. Jika kami tidak bersama Guru. maka kami masih belum mampu membangunkan ilmu Kalapada,” berkata seorang dari mereka.

Glagah Putih berpaling kepada Rara Wulan sambil berdesis, “Untunglah, bahwa kita tidak bersama-sama melepaskan Aji Namaskara. Jika kita melakukan bersama, maka mereka tentu sudah menjadi lumat.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ilmu mereka tidak boleh dibiarkan tetap berkembang.”

“Ya. Ilmu yang terkutuk itu.”

“Tanpa Guru, segala-galanya tidak akan mungkin dilakukan,” berkata seorang yang lain.

Glagah Putih dan Rara Wulan mendekati seorang yang sudah ubanan yang terbaring diam. Di wajahnya masih terbayang dendam dan kebencian. Agaknya sepanjang hidupnya. orang itu selalu dibayangi oleh perasaan dendam dan kebencian itu.

Dengan nada rendah Rara Wulan pun berkata, “Ki Sanak. Apakah arti hidup bagi kalian? Kalian tidak pernah melihat cerahnya langit, jernihnya cahaya bulan, serta keredip bintang di malam hari. Yang kalian lihat bahwa langit selalu gelap, mendung, kilat, guntur dan angin prahara. Lihat, kebencian dan dendam itu masih membayang di wajah orang tua ini.”

Ketiga orang itu tidak menjawab.

“Baiklah,” berkata Glagah Pulih kemudian, “kami akan meninggalkan kalian di sini. Terserah kepadamu, apa vang akan kau lakukan terhadap kedua kawanmu yang terbunuh itu. Apakah kau akan membawanya pulang ke sarangmu, atau akan kau kuburkan di sini. Tetapi adalah kewajibanmu menyelenggarakan kedua sosok mayat kawan-kawanmu itu.”

“Kami akan melakukannya.”

“Ingat, aku tidak akan membiarkan kalian hidup jika pada kesempatan lain kami bertemu dengan kalian di jalur perdagangan gelap ini. Apalagi kalian bukan apa-apa bagi gerombolan Guntur Ketiga dan Panji Kukuh. Mereka adalah gerombolan-gerombolan yang besar, yang nampaknya akan mulai menapak di perdagangan gelap di daerah ini pula.”

“Ya, Ki Sanak.”

“Lakukan apa yang pantas kalian lakukan. Jangan tinggalkan kedua sosok mayat itu begitu saja.”

“Terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan kepada kami, Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian membenahi pakaiannya dan meninggalkan pategalan itu. Keduanya pun percaya bahwa tanpa guru mereka, ketiganya tidak akan mampu membangun kekuatan apa yang mereka sebut Aji Kalapada. Aji yang sangat mengerikan, yang mencuat dari lingkungan kuasa kegelapan.

“Tetapi sulit dan hampir tidak akan mungkin ujud semacam itu dilenyapkan sama sekali,” desis Glagah Putih tiba-tiba.

“Apa, Kakang?,” bertanya Rara Wulan.

“Aji Kalapada. Mungkin kita mampu menghancurkannya di sini. Tetapi kekuatan yang mencuat dari kuasa kegelapan itu tentu akan hadir pula di tempat lain.”

“Ya, Kakang. Sementara itu kita tidak akan mungkin berada di segala tempat.”

“Tetapi aku pun yakin, Rara, bahwa di tempat lain juga ada kekuatan yang akan dapat melawannya.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah menyusuri jalan menuju ke padukuhan induk Seca. Ketika mereka melewati jalan di sebelah pasar, dua di antara beberapa orang pedagang yang masih bermalam di penginapan di sebelah pasar itu memandang mereka. Seorang di antara mereka mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Perempuan binal itu masih saja berkeliaran di sini.”

Namun yang seorang lagi justru tersenyum sambil berkata, “Kau membencinya karena kau gagal mendapatkannya. Aku yakin, perempuan itu tidak akan menolak. Bukankah tadi ia berada di penginapan sebelah?”

“Edan. Aku membenci perempuan binal seperti itu. Kau tahu itu.”

“Sudahlah. Jangan hiraukan.”

Keduanya pun kemudian berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu, setelah peristiwa yang terjadi di tepian di ujung hutan, benturan antara gerombolan Ki Guntur Ketiga dan Ki Panji Kukuh, maka penjagaan di Seca nampaknya menjadi semakin meningkat. Para petugas nampak lebih sering melintas di jalan-jalan yang nampaknya tenang-tenang saja.

Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di penginapan, seorang petugas di penginapan itu pun memerlukan menemui mereka.

“Ada apa?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Sanak masih akan berada di sini berapa hari lagi?”

“Kenapa?”

“Kami telah dihubungi oleh petugas dari kademangan, yang menanyakan berapa banyak tempat yang dapat kami sediakan jika itu diperlukan.”

“Untuk apa?”

“Dua hari lagi, Seca akan kedatangan tamu yang kami anggap penting. Tamu yang akan datang bersama sekelompok pengiringnya. Mereka sudah disediakan tempat di banjar padukuhan. Tetapi jika tempat itu kurang mencukupi, mungkin ada satu dua penginapan yang akan disewa oleh Ki Demang bagi mereka.”

“Siapakah mereka itu?”

“Tamu yang akan sangat dihormati di sini. Orang-orang terpenting dari perguruan yang sangat besar dan berpengaruh.”

“Perguruan apa?”

“Perguruan Kedung Jati.”

“Perguruan Kedung Jati,” Glagah Putih mengulang.

“Ya.”

“Jadi, apakah kami harus pergi meninggalkan penginapan ini, untuk memberi tempat kepada sekelompok orang dari Perguruan Kedung Jati?”

“Tidak, Ki Sanak. Jika Ki Sanak masih akan berada di sini, silahkan. Kami hanya menghitung, masih ada berapa tempat yang dapat kami sediakan jika diperlukan. Tetapi jika banjar padukuhan yang akan diatur sebagaimana sebuah penginapan itu sudah mencukupi, maka tempat ini tidak akan dipakai.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Glagah Putih-lah yang kemudian menjawab, “Ki Sanak. Kami masih akan tinggal di sini, secepatnya sampai besok hari pasaran. Apakah kedatangan para pemimpin Perguruan Kedung Jati itu juga besok pada hari pasaran?”

“Mungkin, Ki Sanak. Tetapi kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan hari pasaran.”

“Apa yang akan mereka lakukan di sini?” bertanya Rara Wulan.

“Aku tidak tahu, Nyi. Tetapi menurut pendengaranku, Seca akan menjadi salah satu daerah landasan Perguruan Kedung Jati yang besar itu. Bahkan mungkin induk perguruan itu akan dibangun di sekitar kademangan ini.”

“Kau berkata sebenarnya?” bertanya Glagah Putih.

Tetapi petugas di penginapan itu tertawa. Katanya, “Aku ini siapa, Ki Sanak. Aku hanya seorang pelayan penginapan. Darimana aku tahu persoalan-persoalan yang besar seperti persoalan Perguruan Kedung Jati? Yang aku tahu, aku bekerja dengan baik di sini. Menerima upah sepekan sekali. Makan kenyang dan waktu tidur cukup. Pakaian utuh. Nah, aku akan merasa hidup bahagia.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Dari kantong kampil kecil di saku bajunya Glagah Putih mengambil dua keping uang dan diberikannya kepada petugas itu.

“Nah, ambil. Kau sudah mempunyai anak?”

“Belum, Ki Sanak. Kenapa?”

“Jika kau sudah mempunyai anak, uang itu dapat kau belikan mainan.”

“Aku belum menikah, tetapi uang ini dapat aku belikan mainan buat diriku sendiri.”

Ketiga orang itu pun tertawa.

“Terima kasih, Ki Sanak.”

Pelayan itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih duduk di pringgitan, di dekat seperangkat gamelan. Tetapi gamelan itu tidak ditabuh.

Bukan baru sekali ini Glagah Putih dan Rara Wulan memberikan uang sekedarnya kepada para petugas. Dengan demikian, maka para petugas itu selalu bersikap baik kepada mereka berdua. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun selalu dipenuhi dalam batas-batas kemungkinan.

“Dua hari lagi,” desis Glagah Putih.

“Mudah-mudahan di antara mereka ada yang menginap di penginapan ini.”

“Aku juga berharap seperti itu,” desis Glagah Putih, “mungkin kita dapat mendengar serba sedikit, apa yang mereka bicarakan di sini.”

Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan semakin berharap bahwa mereka akan mendapatkan jalan untuk menuju ke tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang.

“Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian, “apakah Kakang tidak berniat untuk menghubungi prajurit Mataram untuk mengikuti perkembangan keadaan di Seca?”

“Belum waktunyam Rara. Jika sejak sekarang kita sudah menghubungi prajurit Mataram dan mereka tergesa-gesa mengambil tindakan, mungkin kita justru akan kehilangan jalur itu lagi. Jika prajurit Mataram datang untuk menangkap orang-orang Perguruan Kedung Jati yang datang ke Seca, maka pemimpin tertinggi perguruan itu akan membatalkan niat mereka untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi perguruan mereka yang akan mereka bangun kembali itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Karena itu, biarlah kita saja yang akan melihat lebih dahulu perkembangannya. Baru kita akan menyusun langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan. Jika kita harus menghubungi Mataram, maka kita akan melakukannya. Tetapi kita harus mendapat kepastian lebih dahulu tentang keberadaan Ki Saba Lintang. Jika sekali kita bertindak dan tidak berhasil menangkap Ki Saba Lintang untuk mengambil tongkat baja putih itu, maka kita akan menjadi semakin sulit untuk menemukannya.”

Rara Wulan masih mengangguk-angguk.

“Marilah, kita beristirahat,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Agaknya kita lebih aman berbicara di sini, kakang. Di dalam bilik kita, orang yang berada di sebelah-menyebelah akan dapat mendengarnya, jika mereka dengan sengaja mendengarkan pembicaraan kita yang sedikit agak keras.”

“Biar saja mereka mendengarkan pembicaraan kita. Bukankah kita hanya berbicara tentang nasi langgi atau nasi gurih dan telur dadar?”

“Ah, Kakang. Aku jadi lapar sekarang.”

“Kita beristirahat sebentar. Nanti kita keluar mencari makan di dekat pasar. Bukankah kita akan pergi ke pakiwan serta berbenah diri lebih dahulu?”

Rara Wulan pun segera bangkit pula ketika Glagah Putih bangkit berdiri. Keduanya pun kemudian pergi ke bilik mereka, kemudian segera bersiap-siap untuk pergi ke pakiwan. Mandi dan kemudian berbenah diri.

Di dalam bilik mereka, keduanya sama sekali tidak berbicara tentang Perguruan Kedung Jati. Meskipun bilik sebelahnya tidak terisi oleh seseorang yang menginap, tetapi mungkin saja seseorang sengaja berada di dalamnya untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di bilik sebelahnya.

Ketika kemudian senja turun, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah keluar dari penginapan mereka. Kepada petugas di penginapannya, Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri untuk berjalan-jalan melihat malam turun di Kademangan Seca yang ramai itu.

“Silahkan,” sahut petugas di penginapan itu, “tetapi jangan terlalu malam pulang.”

“Kenapa?”

“Malam dingin sekali. Jika kalian membeli gandos rangin buat aku, tentu sudah dingin.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Namun Rara Wulan pun berkata sambil memberikan dua keping uang, “Bukankah sering ada penjual gandos rangin lewat di depan, dan bahkan kadang-kadang berhenti di regol penginapan ini? Nah, belilah sendiri, agar kau mendapatkan yang masih panas.”

Petugas itu tertawa pula. Katanya, “Terima kasih, terima kasih.”

Namun Rara Wulan pun kemudian bertanya kepada petugas itu, yang sudah berganti orang dari petugas sebelum senja.

“Kau tahu, bahwa dua hari lagi penginapan ini akan dipergunakan untuk menginap beberapa orang tamu?”

“Dari mana Nyi tahu?” orang itu justru bertanya.

“Petugas siang tadi menanyakan, sampai kapan aku akan berada di penginapan ini.”

“O,” petugas itu mengangguk-angguk. “Belum tentu, Nyi. Tetapi kemungkinan itu ada. Meskipun demikian, aku persilahkan kalian berdua untuk tetap tinggal di sini. Orang-orang yang akan menginap itu belum tentu mau membelikan aku gandos rangin.”

Ketiganya pun tertawa.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan regol halaman penginapan itu.

Mula-mula mereka berjalan-jalan saja di sepanjang jalan utama di Seca yang masih saja ramai. Beberapa kedai masih buka. Bukan saja kedai makan dan minum, tetapi juga kedai yang berjualan berbagai macam kebutuhan sehari-sehari.

Namun ketika malam menjadi semakin dalam, Glagah Putih telah berjalan menuju ke sebuah rumah yang pernah mereka lewati. Rumah yang nampaknya dipergunakan oleh pengikut atau bahkan Ki Guntur Ketiga sendiri. Ketika pada waktu itu Glagah Putih dan Rara Wulan lewat, keduanya tertarik kepada suara tembang macapat yang dilantunkan dari rumah itu, yang menurut seseorang yang berdiri di regol, pembacaan tembang macapat itu dilantunkan sehubungan dengan kelahiran seorang bayi di rumah itu.

Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan melewati jalan itu pula, mereka melihat sekelompok petugas sedang berada di halaman rumah itu.

Keduanya berjalan terus. Mereka sama sekali tidak berhenti, tetapi dalam sekilas mereka melihat para petugas itu sedang menangkap orang-orang yang berada di rumah itu.

“Agaknya mereka sudah mendapatkan beberapa keterangan dari orang-orang yang terluka yang berhasil mereka tangkap di tepian itu,” desis Glagah Pulih.

“Jika mereka para pengikut Ki Guntur Ketiga, demikian Ki Guntur Ketiga gagal, maka mereka tentu sudah pergi.”

“Nampaknya pemilik rumah itu dan keluarganya yang telah mereka tangkap.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Keluarga pemilik rumah itu yang dianggap banyak mengetahui tentang Ki Guntur Ketiga dan gerombolannya.”

“Nampaknya Ki Demang tidak mau berbuat tanggung-tanggung. Ia benar-benar membersihkan Seca dari segala unsur yang dapat membuat nama kademangan ini cacat.”

“Demikian tinggi penghargaan Ki Demang kepada Perguruan Kedung Jati, sehingga segala usaha untuk membersihkan kademangan ini telah dilakukan.”

Keduanya pun semakin lama menjadi semakin jauh. Namun keduanya pun segera berbelok di jalan simpang.

Beberapa saat kemudian, setelah mereka berjalan melingkar, maka mereka pun sampai ke jalan di dekat pasar itu. Mereka pun kemudian singgah di sebuah kedai makan yang terhitung cukup besar. Ketika mereka berdua masuk, maka di dalam kedai itu telah duduk beberapa orang yang sedang menikmati hidangan.

Keduanya pun kemudian duduk di sudut kedai itu. Di tempat yang tidak terlalu terang oleh nyala lampu minyak di beberapa tempat di dalam kedai itu.

Dari tempat mereka duduk, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan beberapa orang yang sedang berbincang. Sebagian dari mereka sedang membicarakan langkah-langkah para petugas kademangan itu yang telah menangkap beberapa orang di rumah seseorang yang sedang melahirkan.

Agaknya peristiwa itu merupakan peristiwa yang jarang sekali terjadi, sehingga hampir semua orang telah membicarakannya.

“Segerombolan orang-orang jahat telah bersembunyi di rumah itu,” berkata seseorang.

“Apakah penghuni rumah itu juga seorang yang jahat?”

“Tentu. Jika tempat tinggalnya menjadi sarang kejahatan, maka orang itu tentu juga dapat disebut seorang yang jahat. Setidak-tidaknya ia telah memberikan tempat dan bahkan persembunyiannya bagi para penjahat.”

“Tetapi kejahatan apa yang telah mereka lakukan? Nampaknya Seca selama ini tetap tenang-tenang saja.”

Kawannya tidak segera menjawab. Dihirupnya minuman hangatnya yang agaknya telah menghangatkan tubuhnya pula.

“Ternyata Ki Demang dan Ki Bekel benar-benar seorang pemimpin yang baik,” justru orang lain yang menyahut. “Agaknya orang-orang yang ada di rumah itu baru merencanakan melakukan kejahatan, tetapi Ki Demang, Ki Bekel dan Ki Jagabaya sudah mengetahuinya lebih dahulu, sehingga mereka dapat ditangkap.”

Yang lain mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kita dapat berbangga mempunyai pemimpin seperti mereka.”

Mereka pun terdiam sejenak. Masing-masing menikmati hidangan yang telah mereka pesan.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di tempat yang agak terpisah, mendengarkan pembicaraan itu sambil mengangguk-angguk.

Perlahan sekali Glagah Putih berdesis, “Para pemimpin di kademangan ini agaknya berhasil membangun kepercayaan rakyatnya, sehingga kedudukan mereka akan menjadi sangat kokoh. Tetapi, kenapa mereka berhubungan dengan para pemimpin Perguruan Kedung Jati, yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang?”

“Ki Saba Lintang dan para pemimpin perguruan itu yang lain, adalah orang-orang yang pandai membujuk. Jika kita mengikuti gerak mereka, maka di antara mereka selalu ada orang-orang berilmu tinggi yang muncul dari kuasa hitam, tetapi juga dari perguruan-perguruan yang baik. Perguruan-perguruan yang sebelumnya menganut jalan lurus.”

“Agaknya Ki Saba Lintang serta para pemimpin yang lain dapat meyakinkan orang lain, tentang masa depan perguruannya yang besar itu. Menabur harapan serta menjanjikan masa depan yang jauh lebih baik dari masa ini.”

Keduanya pun terdiam sesaat ketika mereka melihat dua orang memasuki kedai itu.

Seorang di antara keduanya agaknya sudah banyak dikenal di tempat itu. Beberapa orang yang sudah berada di dalam kedai itu pun menyapanya dengan sikap yang hormat.

Dari sapaan orang-orang yang sudah berada di kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui bahwa seorang di antara keduanya adalah seorang Kebayan di kademangan Seca.

Demikian mereka duduk, maka seorang yang datang bersama Ki Kebayan itu pun berkata, “Satu pilihan yang tepat, Kakang Kebayan.”

“Apanya yang tepat, Ki Sela Aji?”

“Tempat ini. Ternyata Seca memang tempat yang baik untuk dijadikan salah satu alas Perguruan Kedung Jati. Kami berpengharapan bahwa tempat ini akan dapat mekar menjadi satu lingkungan yang lebih besar dan ramai.”

“Mudah-mudahan. Kita berharap bersama-sama.”

“Kita akan membuat sebuah padepokan yang besar. Tentu saja tidak di padukuhan induk ini. Biarlah tempat ini tumbuh menjadi sebuah padukuhan yang dapat menjadi salah satu pusat perdagangan di jalur ini.”

“Jadi, dimana padepokan itu akan di bangun?”

“Kita memerlukan tanah yang luas. Aku masih melihat sebuah padang perdu di sebelah timur padukuhan induk ini. Mungkin kita dapat mempergunakannya, tanpa mengurangi tanah garapan bagi para petani.”

“Besok kita dapat melihat tempat itu.”

“Bukan aku yang menentukan, Ki Kebayan. Aku datang lebih dahulu sekedar untuk mempersiapkan kedatangan para pemimpin kami. Biarlah segala sesuatunya mereka yang memutuskan.”

“Apakah Ki Saba Lintang sendiri akan datang?”

“Aku tidak tahu, Kakang Kebayan. Tetapi sekarang Ki Saba Lintang sendiri sedang sibuk. Ada persoalan yang harus diselesaikannya. Persoalan yang harus ditangani oleh Ki Saba Lintang sendiri. Sedangkan untuk mengamati tempat ini serta lingkungannya, agaknya Ki Saba Lintang dapat mempercayakannya kepada orang lain.”

“Siapakah yang bakal datang kemari?”

“Aku juga belum tahu.”

Ki Kebayan itu pun mengangguk-angguk. Ketika seorang pelayan kedai itu datang mendekat, maka Ki Kebayan pun segera memesan minuman dan makanan.

“Apa yang Ki Sela Aji ingini?”

“Apa saja yang terbaik yang ada di kedai ini.”

Ki Kebayan pun tersenyum. Katanya kepada pelayan itu, “Itu sajalah dahulu. Nanti aku akan memesan lainnya lagi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan bagaikan mematung di tempatnya, Pembicaraan Ki Kebayan dengan orang yang disebutnya Ki Sela Aji itu ternyata sangat menarik perhatian mereka. Sambil mendengarkan pembicaraan mereka, maka keduanya hanya saling memandang. Ketika kemudian pesanan Ki Kebayan itu sudah dihidangkan, maka keduanya mulai sibuk dengan makan dan minuman mereka, sehingga mereka tidak sempat lagi berbicara tentang hubungan kedatangan Ki Sela Aji ke Seca.

Nampaknya Ki Kebayan adalah seorang yang pandai memilih jenis-jenis makanan. Tidak henti-hentinya Ki Sela Aji memuji makanan dan minuman yang dihidangkan. Sementara itu, Ki Kebayan masih juga pesan beberapa jenis makanan lagi.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang merasa sudah cukup lama berada di kedai itu, serta sudah cukup banyak mendengar pembicaraan Ki Kebayan dengan Ki Sela Aji, tidak merasa perlu untuk menunggui mereka lebih lama lagi.

Sejenak kemudian, keduanya telah meninggalkan kedai itu. Mereka pun langsung menyusuri jalan kembali ke penginapan mereka.

Ketika mereka sampai di penginapan, mereka merasa agak heran, bahwa gamelan yang ada di pringgitan bangunan utama penginapan itu ditabuh. Biasanya gamelan itu hanya ditabuh menjelang hari pasaran. Jika masih banyak tamu, di malam hari setelah hari pasaran, gamelan itu juga sering ditabuh. Tetapi tidak pada hari-hari yang lain.

Ketika mereka memasuki regol halaman penginapan dan bertemu dengan petugas di penginapan itu, maka yang pertama-tama ditanyakan oleh Rara Wulan adalah penjual gandos rangin.

“Apakah penjual itu sudah datang?”

Petugas di penginapan itu tertawa. Katanya, “Belum, Nyi. Seandainya penjual gandos itu lewat, aku juga pura-pura tidak lahu.”

Rara Wulan pun tertawa pula.

Namun Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Kenapa hari ini gamelan itu dibunyikan? Bukankah besok masih belum hari pasaran?”

“Kami sedang bersaing.”

“Bersaing apa?”

“Seorang utusan khusus dari Perguruan Kedung Jati sedang datang. Nampaknya orang itu ingin melihat-lihat keadaan di Seca. Jika banjar padukuhan itu memang tidak cukup, maka orang itu tentu akan mencari penginapan. Nah, gamelan itu ditabuh dalam rangka memancing perhatian orang itu.”

“Apakah di penginapan lain tidak ada yang mempunyai seperangkat gamelan?”

“Ada. Tetapi sulit bagi mereka untuk dapat memanggil sekelompok pengrawit dan pesinden yang sudah mapan seperti yang kita punyai. Seorang di antara kami telah berkeliling padukuhan ini. Tidak ada sebuah penginapan pun yang membunyikan gamelannya malam ini.”

Glagah Putih menepuk bahu petugas ini. Katanya, “Cerdik juga lurahmu itu. Mudah-mudahan suara gamelanmu itu dapat menarik perhatian. Tetapi utusan khusus dari Perguruan Kedung Jati itu sekarang baru berada di kedai tidak jauh dari pasar. Aku melihatnya bersama Ki Kebayan.”

“Ya. Mereka tadi telah datang kemari,” jawab petugas di penginapan itu.

“Apa katanya?” bertanya Rara Wulan.

“Orang itu belum mengatakan apa-apa. Tetapi aku lihat orang itu mengangguk-angguk. Orang itu sudah melihat ruangan-ruangan yang ada di penginapan ini. Nampaknya pendapa dan pringgitan ini telah menarik perhatiannya juga. Apalagi ada seperangkat gamelan yang kebetulan sedang ditabuh.”

“Mudah-mudahan mereka memilih tempat ini,” desis Rara Wulan, “sehingga kami akan mempunyai banyak kawan.”

“Tentu tidak terlalu banyak,” berkata petugas itu, “para pemimpin mereka tentu akan bermalam di banjar, yang sudah diatur dengan baik sekali. Mereka akan merasa lebih nyaman bermalam di banjar daripada di penginapan manapun. Di banjar, mereka akan dilayani oleh para bebahu kademangan. Setiap saat mereka mempunyai keperluan atau kebutuhan apapun, para bebahu akan siap menyediakannya. Agak berbeda dengan pelayanan di penginapan. Segala sesuatunya akan diperhitungkan dengan biaya. Seandainya ada yang ingin mandi dengan air hangat, maka tentu akan dihitung tersendiri pelayanan air hangatnya itu.”

“Untung aku tidak pernah mandi dengan air hangat. Orang yang sehat tidak akan memerlukan air hangat untuk mandi.”

“Orang-orang tua lebih senang mandi dengan air hangat, meskipun di tengah hari.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku akan beristirahat.”

“Silahkan.”

“Tetapi jika penjual gandos rangin itu lewat, kau harus membelinya,” berkata Rara Wulan.

Petugas itu tertawa berkepanjangan.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian langsung menuju ke bilik mereka. Tetapi mereka masih belum menyelarak pintu. Mereka masih akan pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangan mereka sebelum naik ke pembaringan.

Glagah Putih yang kemudian duduk di amben panjang di dalam biliknya pun berkata, “Mudah-mudahan mereka bermalam di penginapan ini.”

“Ya. Tetapi mudah-mudahan mereka bukan orang-orang yang pernah mengenal kita berdua.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Mudah-mudahan.”

Dalam pada itu, suara gamelan di pringgitan yang melantunkan lagu-lagu ngelangut membuat Rara Wulan mengantuk. Karena itu, maka bergantian mereka pun kemudian pergi ke pakiwan.

Tetapi seperti kebiasaan mereka, maka mereka pun tidur bergantian. Apalagi mereka berada di lingkungan yang meskipun terasa aman dan tenang di permukaan, namun mereka mengetahui bahwa ada gejolak di kedalaman. Gejolak karena adanya arus perdagangan terlarang yang agaknya melewati daerah itu, sementara Perguruan Kedung Jati pun lelah mengarahkan pandangan matanya ke Seca.

Malam pun kemudian menjadi semakin dalam. Rara Wulan-lah yang telah tidur lebih dahulu. Sementara Glagah Putih duduk di amben kayu panjang di dalam biliknya.

Namun malam pun berlalu tanpa ada persoalan yang menarik perhatiannya. Sedikit lewat tengah malam, maka suara gamelan pun berhenti. Para pengrawit meninggalkan pringgitan penginapan itu.

Glagah Putih masih mendengar petugas di penginapan itu membenahi beberapa macam perabot serta mangkuk-mangkuk minuman dan makanan yang masih berserakan di antara gamelan. Kemudian petugas itu pun menutup pintu pringgitan. Namun seperti biasanya, dibiarkannya pintu butulan tetap terbuka.

Menjelang dini hari, tanpa dibangunkan Rara Wulan pun telah terbangun dengan sendirinya. Digosoknya matanya sambil beringsut turun dari pembaringannya.

“Tidurlah, Kakang. Aku sudah tidur terlalu lama,” berkata Rara Wulan.

“Masih banyak waktu,” berkata Glagah Putih.

“Sudah dini hari. Kau dengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya?”

“Belum kedua.”

“Kau kira aku tidak mendengar ketika kentongan dibunyikan dengan irama dara muluk di tengah malam?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kalau begitu, kau tentu belum sempat tidur.”

“Aku dengar suara kentongan itu dalam mimpiku. Nanti aku terlalu banyak tidur. Aku akan menjadi gemuk. Aku tidak mau.”

Glagah Putih tertawa. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan tidur. Sebenarnya kita tidak perlu tidur bergantian. Jika pintu itu diselarak dengan baik, kau pun dapat tidur pula meneruskan mimpimu.”

Glagah Pulih masih tertawa. Namun ia pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, sementara Rara Wulan duduk di amben kayu sambil membenahi sanggulnya.

Glagah Putih memang sempat tidur, sementara Rara Wulan masih saja duduk di amben kayu. Namun Rara Wulan yang duduk diam itu sama sekali tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan tarikan nafasnya pun terdengar ajeg sebagaimana seorang yang sedang tidur.

Tiba-tiba saja Rara Wulan itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar suara pintu bilik sebelah terbuka.

“Kosong, Ki Sanak,” terdengar suara petugas penginapan itu.

“Yang sebelah?”

“Bilik itu dipergunakan oleh sepasang suami istri.”

“Apakah mereka tidak akan segera meninggalkan penginapan ini?”

“Tidak, Ki Sanak.”

Rara Wulan justru berusaha mendengarkan pembicaraan itu. Rasa-rasanya ia sudah pernah mendengar suara itu.

Baru kemudian, ketika seorang yang lain berbicara, Rara Wulan pun segera teringat dimana ia mendengar suara itu.

“Ki Kebayan,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya, “yang seorang itu tentu Ki Sela Aji.”

“Baiklah,” berkata Ki Kebayan, “jika tadi kami masih belum memesannya karena kami masih ingin melihat-lihat beberapa penginapan yang lain, maka sekarang kami pasti akan memesannya.”

“Bagaimana dengan banjar padukuhan?” bertanya petugas penginapan itu.

“Banjar padukuhan ternyata tidak akan dapat menampung. Lebih baik kami menyediakan tempat lebih banyak daripada harus mencari kesana-kemari. Bukankah esok lusa hari pasaran? Jika kami tidak memesannya sekarang, mungkin kami akan kesulitan mencari tempat bagi tamu-tamu kami.”

“Baik, Ki Kebayan. Tetapi berapa bilik yang Ki Kebayan perlukan?”

“Semuanya.”

“Tetapi yang satu ini sudah terisi.”

“Biar saja. Bukankah mereka orang baik-baik, sehingga tidak akan mengganggu tamu-tamu kita itu?”

“Mereka orang baik-baik, Ki Kebayan.”

“Nah, jika demikian, jangan berikan tempat kepada orang lain. Barangkali esok kami sudah tahu, berapa bilik yang kami perlukan. Jika malam ini kami memesannya, karena kami teringat bahwa di hari pasaran, penginapan-penginapan akan kekurangan tempat.”

“Baik, Ki Kebayan. Kami tidak akan memberikan tempat kepada orang lain.”

“Tetapi jika esok ternyata kami tidak akan mempergunakan seluruhnya, maka yang lain dapat kau berikan kepada orang lain. Tetapi sebelum kami menentukan bilik yang kami butuhkan, jangan berikan lebih dahulu kepada orang lain.”

“Baik, Ki Kebayan.”

Sejenak kemudian, maka mereka pun bergeser untuk melihat bilik yang lain. Nampaknya masih ada juga bilik yang terisi. Tetapi tamu yang menginap di bilik itu esok akan meninggalkan penginapan.

Demikian orang-orang itu pergi, Rara Wulan menarik nafas panjang. Jika Glagah Pulih bangun nanti, ia akan menceritakan apa yang telah didengarnya.

Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun menggeliat. Ia pun membuka matanya dan kemudian bahkan bangkit dan duduk di bibir pembaringan.

“Sudah berapa lama aku tidur?” bertanya Glagah Putih.

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kau baru saja memejamkan mata.”

“Bukankah sebentar lagi fajar akan menyingsing?”

“Baru dini hari.”

“Aku sudah mendengar kokok ayam untuk ketiga kalinya malam ini.”

“Kalau begitu kau belum tidur.”

“Aku mendengar suara ayam jantan berkokok dalam mimpi.”

“Ah, kau,” Rara Wulan bangkit sambil menjulurkan tangannya. Tetapi Glagah Putih pun bangkit pula dan bergeser, “Jangan, Rara. Sakit.”

“Kau harus berlatih untuk menguasai ilmu kebal. Mungkin Aji Lembu Sekilan, mungkin Aji Tameng Waja.”

“Meskipun aku mempunyai ilmu kebal, tetapi Aji Namaskara yang kau kuasai akan mampu menembusnya.”

“Aku koyak kulitmu,” desis Rara Wulan.

Tetapi Glagah Putih pun bergeser menjauh, “Jangan, jangan. Aku menyerah.”

“Ssst,” desis Rara Wulan, “jangan keras-keras. Nanti kita disangka sedang bertengkar.”

“Tetapi jangan …”

“Tidak. Tidak. Aku akan menaruh tanganku di punggung.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara Rara Wulan berkata, “Baru saja ada orang yang melihat-lihat bilik sebelah. Ki Kebayan, dan yang seorang mungkin sekali Ki Sela Aji.”

“Untuk apa?”

“Mereka benar-benar akan memakai penginapan ini. Tetapi mereka tidak akan memaksa kita pergi.”

“Benar?”

“Benar, Kakang,” Rara Wulan berdesis hampir berbisik, “banjar padukuhan itu jelas tidak akan menampung. Mereka yang datang apakah Ki Saba Lintang sendiri atau bukan, akan membawa beberapa orang pengawal.”

“Jadi itu sudah pasti?”

“Ya. Sudah pasti.”

“Syukurlah. Beruntunglah bahwa kita mendapat tempat bermalam di penginapan ini. Tetapi kita harus berhemat untuk bertahan agak lama di sini. Biasanya kita berkeliaran di hutan, sehingga kita tidak perlu mengeluarkan uang sebagaimana kita berada di Seca.”

“Jika persoalannya penting untuk dilaporkan setelah orang-orang yang ditugaskan oleh Ki Saba Lintang itu datang kemari, apakah tidak sebaiknya kita memberikan laporan dahulu sebelum kita melanjutkan perjalanan, mumpung belum terlalu jauh dari Mataram?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Kita akan melihat keadaan dahulu, Rara. Jika perlu, kita akan kembali ke Mataram. Terlebih-lebih lagi jika kita memerlukan sepasukan prajurit. Meskipun kita mendapat wewenang dengan pertanda kewenangan itu, tetapi kita tidak tahu, apakah prajurit Mataram yang berada di sekitar daerah ini tidak disusupi oleh orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana para petugas di kademangan ini yang nampaknya kokoh, tetapi ternyata justru para bebahu kademangan inilah yang telah membuat hubungan dengan Ki Saba Lintang.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, “Bahkan jika kita wenang memilih, maka aku akan minta para prajurit dari pasukan khusus di bawah pimpinan Kakang Agung Sedayu.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “tentu akan lebih baik. Kita sudah lebih mengenal mereka.”

“Nah, kita akan melihat, apa yang akan terjadi dalam dua tiga hari mendatang.”

Rara Wulan mengangguk-angguk pula.

Sementara itu, langit pun mulai menjadi merah. Glagah Putih dan Rara Wulan pun bergantian pergi ke pakiwan untuk berbenah diri.

Hari itu kerja Glagah Putih dan Rara Wulan adalah menunggu. Rasa-rasanya hari menjadi bertambah panjang. Matahari bergerak dengan malasnya. Sementara itu segala sesuatunya menjadi sangat lamban.

Dalam pada itu, para pedagang yang ada di penginapan dekat pasar sudah meninggalkan penginapannya. Hari itu tentu akan berdatangan para pedagang yang lain. Besok adalah hari pasaran di pasar Seca.

“Bagaimana dengan pedagang yang memasuki perdagangan terlarang itu, Kakang? Apakah besok kita akan mencarinya di pasar Seca? Bukankah orang itu mengatakan bahwa di hari han pasaran ia sering berada di Seca?”

“Kita melihat suasana. Jika orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar datang, mereka akan lebih menarik untuk diperhatikan daripada mereka yang menelusuri perdagangan gelap, karena hubungannya dengan tugas kita lebih dekat.”

“Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan.

“Nampaknya sore nanti atau malam nanti, tamu-tamu yang disebut-sebut oleh Ki Kebayan itu akan dalang ke penginapan.”

“Kita akan mengawasi mereka. Kita akan berada di sebelah perangkat gamelan itu pada saat mereka datang. Kita akan melihat apakah ada di antara mereka yang dapat kita kenali.”

“Ya. Agaknya menjelang sore hari kita tidak boleh meninggalkan penginapan ini.”

Betapapun lambannya, namun malam hari pun akhirnya turun pula di sisi langit sebelah barat. Semakin lama semakin rendah. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di penginapannya kembali, setelah mereka berdua pergi ke pasar.

Tetapi penginapan itu masih juga sepi. Seandainya orang-orang Ki Saba Lintang itu benar-benar akan bermalam di penginapan itu, agaknya mereka masih belum datang.

Setelah mencuci kaki dan tangannya, serta meletakkan makanan yang mereka beli di pasar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun duduk di belakang seperangkat gamelan yang ada di pringgitan.

Namun menjelang senja, beberapa orang penabuh gamelan itu telah berdatangan. Mereka memang dipesan untuk datang lebih awal dari biasanya.

Sebelum mereka mulai menabuh gamelan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berbincang dengan mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan sempat bertanya, sejak kapan mereka mulai menabuh gamelan di penginapan itu.

“Sejak penginapan ini membeli gamelan ini, Ki Sanak,” jawab seorang penabuh yang rambutnya telah ubanan. “Sejak di penginapan ini ada gamelan, kelompok kami-lah yang diminta untuk menabuh di setiap malam menjelang dan sesudah pasaran di Seca.”

“Jadi sepekan dua kali?” desis Rara Wulan.

“Ya, Nyi. Sepekan dua kali.”

“Bukankah kalian mendapat imbalan yang cukup?” bertanya Glagah Putih.

Orang yang rambutnya telah ubanan itu termangu-mangu sejenak. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, ia pun menjawab lirih, “Ya, cukuplah buat membeli oleh-oleh. Tetapi sebenarnya pemilik penginapan ini dapat memberi kami lebih banyak lagi. Bunyi gamelan ini dapat memberikan daya tarik yang besar bagi para tamu. Ketika di penginapan lain belum ada gamelan, maka setiap orang yang bermalam di Seca akan memilih penginapan ini. Baru kemudian, satu dua penginapan meniru membeli seperangkat gamelan pula untuk menjadi salah satu daya tariknya.”

“Kenapa kalian tidak mengusulkan kepada pemilik penginapan ini agar imbalan bagi kalian ditambah?”

“Ada beberapa pertimbangan, Ki Sanak. Di daerah ini terdapat banyak sekali penabuh gamelan yang cakap. Jika kami terlalu banyak tuntutan, maka kami tidak akan dipakai lagi di sini. Pemilik penginapan ini akan dapat memanggil orang lain, yang bahkan bersedia menerima imbalan lebih kecil.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun mereka tidak dapat berbincang lebih panjang. Para penabuh gamelan itu pun kemudian mulai bergeser ke tempat mereka masing-masing.

Beberapa saat kemudian, maka telah mulai terdengar suara gamelan yang ngerangin.

Dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan merasa telah mendapat tempat yang baik. Mereka berada di belakang seperangkat gamelan, sehingga menjadi sedikit tersamar oleh para penabuh yang duduk di belakang jenis gamelan yang ditabuhnya.

Dalam pada itu, maka senja pun menjadi semakin gelap. Lampu-lampu minyak telah menyala di mana-mana.

“Apakah mereka benar-benar akan datang?” desis Glagah Putih.

“Menurut pendengaranku, mereka benar-benar akan datang,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dari tempat duduk mereka, keduanya melihat ada beberapa orang tamu yang akan menginap terpaksa dipersilahkan untuk mencari penginapan yang lain. Petugas di penginapan itu, dengan ramah dan hati-hati, menolak beberapa orang yang datang untuk menginap.

“Lihat,” desis Rara Wulan, “ada beberapa orang yang harus mencari tempat lain meskipun agaknya mereka telah terbiasa datang dan menginap di penginapan ini.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk.

Namun ketika malam menjadi semakin malam, menjelang wayah sepi bocah, maka telah datang beberapa orang bersama-sama. Tetapi tidak sebanyak yang diperkirakan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Orang-orang itu tentu tidak akan memenuhi semua bilik di penginapan itu.

“Berapa orang, Kakang?” desis Rara Wulan.

Glagah Putih tidak segera menjawab. Ia baru menghitung orang-orang yang datang diantar oleh Ki Kebayan itu.

“Hanya dua belas orang,” desis Glagah Putih.

“Cukup banyak. Tetapi aku kira mereka akan datang berduyun-duyun serta memenuhi penginapan ini.”

“Yang lain akan menginap di banjar. Agaknya mereka justru orang-orang terpenting dari para pengikut Ki Saba Lintang.”

“Atau Ki Saba Lintang sendiri.”

“Mungkin saja.”

Keduanya pun terdiam. Para petugas di penginapan itu pun menjadi sibuk mengatur beberapa bilik yang akan dipergunakan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Mereka tentu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pengaruh di perguruan yang sedang dipersiapkan untuk tampil kembali itu.

Dari tempatnya, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat melihat dengan jelas beberapa orang yang naik ke pendapa. Sebelum para petugas selesai mengatur tempatnya, beberapa orang di antara mereka masih saja berdiri dan berbincang di pendapa.

Dalam pada itu, orang yang disebut bernama Ki Sela Aji, yang telah datang mendahului kawan-kawannya, agaknya telah memilih tempat bagi dirinya sendiri.

“Biarlah aku berada di bilik di dekat perempuan cantik itu,” katanya kepada petugas yang menyertainya melihat-lihat bilik yang sedang dipersiapkan itu.

“Perempuan itu menginap bersama suaminya,” jawab petugas itu.

“Apa salahnya?” jawab Sela Aji, “Bukankah aku tidak akan mencari perkara?”

“Lalu untuk apa Ki Sela Aji memilih tempat itu?”

Ki Sela Aji tertawa. Katanya, “Aku adalah seorang petugas yang harus mengawasi orang-orang kami yang berada di Seca. Aku justru ingin mengamankan tempat itu. Jika yang ada di bilik dekat perempuan cantik itu orang-orang yang brangasan, maka akan dapat timbul masalah. Justru karena itu, maka aku-lah yang akan berada di bilik itu, agar tidak timbul masalah. Kami datang kemari untuk mengemban tugas tertentu. Jika tugas itu dinodai, maka persoalannya akan menjadi rumit.”

Ki Kebayan dan petugas di penginapan itu mengangguk angguk. Dengan nada rendah petugas di penginapan itu berkata, “Jika itu pertimbangan Ki Sela Aji, kami persilahkan.”

Di pringgilan, Glagah Putih mencoba untuk mengenali orang-orang yang masih berdiri sambil berbincang-bincang. Ada yang berkesan pendiam dan bersikap tenang, tetapi ada yang tidak menghiraukan keadaan di sekelihngnya. Ia tertawa kapan saja ia ingin tertawa. Keras-keras dan berkepanjangan. Bahkan ia berbicara dengan suara yang keras meskipun lawan bicara hanya selangkah di depannya. Bahkan ada di antara mereka yang nampak kasar dan ganas.

Petugas yang kemudian mempersilahkan mereka setelah bilik-biliknya selesai ditata, mengangguk-angguk selelah ia memperhatikan tamu-tamunya.

“Ki Sela Aji benar,” berkata orang itu di dalam hatinya, “jika yang ditempatkan di dekat bilik suami istri itu orang-orang yang kasar dan ganas, serta tanpa mempedulikan orang lain. maka akan dapat timbul persoalan. Meskipun mereka ditempatkan di bilik yang lebih jauh, akan dapat timbul persoalan pula, karena mau tidak mau kadang-kadang mereka akan berpapasan juga dengan perempuan yang menginap bersama suaminya itu. Tetapi kemungkinannya menjadi lebih kecil, sementara Ki Seja Aji sendiri akan sempat mengamatinya.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang berdiri di pendapa itu pun segera memasuki ruang dalam penginapan. Para petugas di penginapan ilu segera menunjukkan bilik masing-masing, sesuai dengan penempatan bagi mereka yang diatur oleh Ki Sela Aji dan Ki Kebayan.

Mereka menempati brlik bilik yang diperuntukkan bagi tiga atau empat orang, kecuali Ki Sela Aji yang berada di bilik yang diperuntukkan bagi dua orang, di sebelah bilik Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sebenarnyalah, orang-orang yang mendapat tugas untuk datang ke Seca dari Perguruan Kedung Jali itu agak sulit dikendalikan. Mereka berbicara, tertawa dan bersikap sebagaimana mereka berada di tempat tinggal mereka sendiri.

“Sikap mereka agak berbeda dengan sikap Ki Sela Aji,” desis Glagah Putih.

“Ya,” Rara Wulan mengangguk, “ada dua atau tiga orang yang bersikap baik. Tetapi yang lain nampaknya orang-orang yang sulit dikendalikan.”

“Kita harus berhati-hati, Rara. Selain kedua belas orang itu. tentu masih ada yang lain yang bermalam di banjar. Justru para pemimpin mereka.”

“Sayang, Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah tidak ada di sini.”

“Sayang sekali. Tetapi kita tidak sempat memberitahukan kepada mereka.”

“Jika saja kita mendapat dua ekor kuda.”

“Kita akan kehilangan waktu. Kita tidak tahu, sampai kapan mereka akan berada di sini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Jika saja kita tahu berapa hari mereka akan berada di sini. Sementara itu jika kita mendapatkan dua ekor kuda, maka dari Seca sampai ke Tanah Perdikan Menoreh kita akan dapat menempuh pulang balik dalam waktu satu hari satu malam.”

“Lebih dari itu, Rara Wulan. Mungkin jalan yang akan kita lalui bukan jalan yang datar dan rata.”

Rara Wulan mengangguk-angguk pula.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk saja di belakang gamelan itu sampai larut malam. Mereka masih melihat beberapa orang yang justru keluar dari ruang dalam, melintasi pendapa dan turun ke halaman. Mereka pun kemudian pergi keluar regol halaman penginapan itu.

Beberapa saat kemudian, Ki Sela Aji dan seorang yang sudah lebih dari separuh baya keluar pula ke pendapa. Terdengar orang yang sudah lebih dari separuh baya itu mengeluh, “Mereka sulit diatur.”

“Asal mereka tidak membuat keributan saja, Paman. Kita datang kemari bukannya tanpa tujuan. Jika mereka membuat keributan, akan dapat menimbulkan persoalan baru.”

Orang yang sudah lebih dari separuh baya itu mengangguk. Sejenak keduanya terdiam. Namun kemudian Ki Sela Aji pun berkata, “Paman Demung Pugut. Apakah bukan sebaiknya kita keluar dan melihat-lihat keadaan? Mungkin saja satu dua orang di antara mereka yang keluar dari penginapan ini mendapat masalah dengan tingkah laku mereka. Besok adalah hari pasaran. Mungkin sekali Seca malam ini sudah banyak didatangi orang. Mungkin para pedagang yang akan menggelar dagangannya di Seca esok. Mungkin juga para pedagang yang akan membeli barang dagangan di Seca untuk dibawa ke tempat lain. Dalam kesibukan seperti ini, anak-anak bengal itu akan dapat berbenturan kepentingan dengan mereka.”

“Aku sudah pesan mewanti-wanti kepada mereka.”

“Tetapi marilah, sebaiknya kita keluar pula, Paman.”

“Sebenarnya aku lebih senang duduk di sini mendengarkan suara gamelan itu. Tetapi baiklah. Kita keluar barang sebentar.”

Keduanya pun kemudian turun ke halaman dan keluar lewat pintu regol meninggalkan halaman penginapan.

“Tidak ada yang kita kenali, Rara. Mudah-mudahan mereka pun tidak mengenali kita.”

“Tentu tidak,” jawab Rara Wulan. “Nah, kita sekarang mau apa? Malam sudah menjadi semakin malam.”

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Tetapi masih banyak orang yang berkeliaran di luar. Nah, lihat, masih ada juga orang yang datang untuk mencari penginapan di sini.”

“Jika mereka datang dari arah lain, akan berbeda, Rara. Tidak semua jalan yang menuju Seca dibayangi oleh para perampok.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Namun ternyata bahwa petugas penginapan itu dapat menerima beberapa orang lagi menginap di penginapan itu, karena para pengikut Ki Saba Lintang tidak mempergunakan seluruh bilik dan ruang yang ada di penginapan itu.

“Baiklah, Kakang. Mari kita melihat-lihat keadaan. Tetapi aku tidak akan mengenakan pakaian seperti ini. Aku akan menjadi seorang laki-laki. Aku akan mengenakan kain panjang sebagaimana seorang laki-laki. Aku akan memakai ikat kepala dan mengenakan baju khususku. Baju hitam itu tentu tidak akan menarik perhatian orang.”

Glagah Putih pun tersenyum. Katanya, “Kau tidak mau diganggu lagi?”

“Tentu. Jika saja aku tidak dapat mengendalikan diri, akan dapat terjadi benturan kekerasan.”

Glagah Putih tertawa. Namun Rara Wulan itu pun berdesis, “Kau mentertawakan aku?”

“Tidak. Tidak, Rara.”

Keduanya pun kemudian masuk ke dalam bilik mereka. Setelah Rara Wulan membenahi pakaiannya, maka mereka pun meninggalkan penginapan itu.

Meskipun malam sudah menjadi semakin larut, namun menjelang hari pasaran, Seca masih tetap belum tertidur. Masih ada beberapa orang yang berjalan-jalan. Masih juga ada kedai yang pintunya terbuka. Apalagi di sekitar pasar. Bahkan beberapa pedati masih juga berderet di depan pasar.

Ternyata para petugas di pasar itu memberikan kesempatan kepada para pedagang yang akan mengatur dagangan mereka di malam hari menjelang hari pasaran. Terutama para pedagang yang datang dari luar Kademangan Seca. Namun bagi para petugas pasar yang terpaksa menunggui kerja mereka di malam hari, para pedagang itu juga memberikan imbalan sepantasnya.

Dalam kegelapan, Rara Wulan dengan caranya berpakaian memang tidak menarik perhatian. Ujudnya memang menyerupai seorang laki-laki.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di sekitar pasar. Mereka berdua justru telah pergi ke banjar, untuk jika mungkin melihat siapa saja yang bermalam di banjar itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan banjar, maka mereka melihat di regol banjar itu telah dipasang oncor yang terang, sehingga di banjar itu seakan-akan sedang diselenggarakan satu upacara.

“Hati-hati, Rara,” desis Glagah Putih, “kita akan mencoba mendekat.”

Keduanya pun kemudian justru telah memasuki halaman rumah di samping banjar itu. Dengan hati-hati pula mereka menyusup ke sebelah gandok, mendekati dinding halaman yang memisahkan halaman rumah itu dengan halaman banjar.

“Apakah kita meloncat?” desis Rara Wulan perlahan.

“Tunggu,” bisik Glagah Putih, “kita belum tahu, apa yang berada di belakang dinding itu.”

Rara Wulan mengangguk. Dinding halaman di sekeliling banjar itu memang agak tinggi. Lebih tinggi dari dinding halaman rumah pada umumnya.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Aku akan memanjat pohon nangka yang melekat dinding halaman banjar itu.”

“Aku ikut, Kakang,” sahut Rara Wulan.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan pun berkata selanjutnya, “Bukankah aku juga pandai memanjat? Ingat, Kakang, aku pernah menjalani Tapa Ngalong dan bergayut pada kedua kakiku di sebuah dahan pohon yang besar.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya perlahan, “Ya. Aku hampir melupakannya.”

Demikianlah, keduanya pun kemudian memanjat sebatang pohon nangka di halaman rumah sebelah banjar. Pohon nangka yang hampir melekat dinding halaman banjar. Ada sebatang dahan yang menjulur ke atas halaman samping banjar padukuhan.

Ternyata tidak ada seorangpun di halaman samping. Agaknya para petugas kademangan dan padukuhan itu menganggap bahwa keadaan di Seca aman, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengadakan pengawasan dan penjagaan khusus di banjar dan sekitarnya. Meskipun mereka baru saja disibukkan dengan peristiwa yang terjadi di tepian sungai di ujung hutan.

Tetapi agaknya peristiwa itu mereka anggap sebagai permusuhan antara dua gerombolan yang saling mendendam serta berebut lahan. Sehingga persoalannya akan terbatas pada permusuhan serta saling mendendam di antara mereka.

Meskipun demikian, namun penjagaan di depan banjar itu nampaknya lebih ketat daripada hari-hari biasa, meskipun hari pasaran sekalipun.

“Kita masuk ke halaman samping Rara,” desis Glagah Putih.

Namun mereka justru bergeser surut serta berlindung di balik rimbunnya daun nangka. Mereka melihat dua orang petugas kademangan yang bersenjata tombak berjalan di halaman samping itu. Mereka muncul dari sudut belakang banjar.

Demikian mereka lewat, Glagah Putih berdesis, “Hampir saja.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya pun segera meloncat ke halaman samping banjar padukuhan. Mereka pun segera menyelinap di balik gerumbul perdu yang terdapat di halaman samping banjar padukuhan itu.

Dengan sangat hati-hati, keduanya pun bergeser dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain, sehingga mereka berada di belakang gerumbul perdu yang agak menjorok ke depan. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat beberapa orang yang berada di pendapa.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera dapat mengenali bebahu kademangan dan padukuhan itu, yang pernah mereka lihat di tepian sungai di ujung hutan, setelah dua kekuatan di bawah permukaan berbenturan memperebutkan jalur perdagangan gelap.

Yang lain, yang justru mendapat kehormatan yang tinggi dari Ki Demang dan Ki Bekel serta para bebahu, adalah orang-orang yang belum pernah dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ki Saba Lintang sendiri tidak ada di antara mereka,” bisik Rara Wulan.

“Ya. Sedangkan yang lain, bukan orang-orang yang pemah kita temui dalam benturan-benturan kekerasan yang terjadi dengan orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati itu.”

Keduanya pun kemudian saling berdiam diri. Mereka mengikuti saja apa yang terjadi di pendapa banjar itu dari kejauhan.

Beberapa saat kemudian, mereka melihat sekelompok orang berdatangan di banjar. Agaknya mereka adalah bagian dari para pengikut Ki Saba Lintang yang bermalam di penginapan yang sama dengan penginapan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sejenak kemudian, pendapa banjar itu menjadi semakin ramai.

Namun agaknya mereka belum melakukan perundingan apa-apa. Mereka masih saja duduk-duduk berbincang tentang apa saja. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa.

Glagah Putih pun kemudian menggamit Rara Wulan sambil berdesis, “Nampaknya belum ada yang penting untuk diikuti, Rara.”

“Mungkin nanti. Lihat, beberapa orang sedang menghidangkan makan dan minum. Agaknya orang-orang yang berada di penginapan akan datang semuanya kemari untuk makan malam.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang yang bermalam di penginapan itu seluruhnya telah berada di banjar. Yang datang terakhir adalah Ki Sela Aji bersama Ki Demung Pugut, menggiring dua orang yang agaknya sedang mabuk tuak.

Demikian mereka mendekati tangga pendapa, Ki Sela Aji telah mendorong keduanya sehingga hampir saja keduanya jatuh terjerembab.

“Ada apa?” bertanya seorang yang masih terhitung muda, sedikit lebih tua dari Glagah Putih, yang duduk di pendapa banjar.

“Mereka mabuk, Ki Murdaka.”

“O. Bawa mereka kemari.”

“Kalian harus menghadap Ki Murdaka. Cepat!” bentak Ki Sela Aji.

Keduanya pun segera merangkak di pendapa, menghadap orang yang disebut Ki Murdaka.

“Ampun. Aku tidak mabuk. Aku tidak mabuk sama sekali.”

Yang lain pun berkata pula, “Aku juga tidak mabuk. Ki Sela Aji telah memfitnah jika ia mengatakan aku mabuk. Aku memang agak pusing. Tetapi sejak di perjalanan menuju Seca aku sudah pusing.” Orang itu tertawa.

Namun suara tertawanya pun bagaikan tertelan kembali, ketika tiba-tiba saja tangan orang yang disebut Ki Marbuka itu menampar wajahnya. Demikian kerasnya, sehingga orang yang sedang mabuk itu terpelanting jatuh.

“O,” orang itu mencoba untuk segera bangkit. Setengah sadar ia mengusap mulutnya yang berdarah. “Ampun, Ki Murdaka. Aku minta ampun. Kau jangan menyakiti aku seperti itu.”

“Jika kau tidak mau diam, aku bunuh kau!” bentak Ki Murdaka.

“Ya, ya. Aku akan diam,” sahut orang yang sedang mabuk itu. “Aku tidak akan berbicara apa-apa tentang tuak yang manis itu. Aku pun tidak akan mengatakan dimana aku dapat membeli tuak itu dengan harga murah. Aku tidak mau orang lain tahu, siapa yang telah menjual tuak itu kepadaku. Seorang perempuan yang cantik, ramah dan banyak senyum.” Orang itu tertawa lagi. Katanya, “Tetapi Ki Murdaka jangan pergi ke sana. Jangan paksa perempuan itu memilih aku atau ki Murdaka. Orang itu tentu akan memilih melayani Ki Murdaka, jika Ki Murdaka membeli tuak ke kedai itu. Perempuan itu tentu tidak akan menghiraukan aku lagi.”

Namun sekali lagi tangan Ki Murdaka menampar wajah orang itu. Lebih keras, sehingga orang itu terguling beberapa kali sambil mengerang kesakitan.

Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Murdaka adalah seorang yang keras. Ia telah menampar seorang yang menyertainya ke Seca itu di hadapan banyak orang tanpa ragu-ragu.

“Ampun, Ki Murdaka, ampun.”

“Bawa orang itu ke biliknya,” suara Ki Murdaka lantang.

“Biliknya tidak di banjar ini, Ki Murdaka. Ia bermalam di penginapan bersama aku dan Paman Demung Pugut serta beberapa orang yang lain.”

“Urus orang itu nanti. Sekarang, seret saja ke belakang.”

“Baik, Ki Murdaka.”

“Ia telah mengotori pertemuan ini.”

Ki Sela Aji pun kemudian mendekati orang itu. Ketika Ki Sela Aji akan menyeretnya, orang yang mabuk itu pun berkata, “Aku akan diajak kemana? Nanti sajalah. Biar aku mandi dahulu.”

Ki Sela Aji tidak menghiraukannya. Ia pun segera menyeret orang itu ke belakang. Sementara kawannya yang juga mabuk, namun kesadarannya masih lebih tinggi dari kawannya itu sehingga ia tidak menjadi terlalu banyak berbicara, duduk di antara kawan-kawannya yang lain.

“Ingat,” berkata Ki Murdaka, “aku tidak senang bahwa seseorang yang bersamaku menjadi mabuk atau melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Aku tidak mau. Kita semuanya harus berusaha menempatkan diri kita. Sebagai seorang murid dari sebuah perguruan yang besar, maka kita harus selalu menjaga serta menempatkan diri kita sebaik-baiknya.”

Orang-orang yang berada di pendapa itu terdiam. Para bebahu kademangan dan padukuhan itu pun ikut terdiam sambil menundukkan kepala mereka.

“Apakah mulai ada perubahan sikap dari para pemimpin Perguruan Kedung Jati, Rara?” desis Glagah Putih perlahan.

“Maksud Kakang?”

“Mereka mulai menata diri. Bukankah sebelumnya, siapapun dapat menyatakan dirinya menjadi murid dari Perguruan Kedung Jati? Bukankah sebelumnya di antara mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu telah disusupi oleh gerombolan-gerombolan perampok, penyamun dan pencuri? Juga disusupi oleh perguruan-perguruan yang mengangkat kemampuan serta ilmu mereka dari kuasa kegelapan.”

“Ya, Kakang. Juga mereka yang menumpang untuk kepentingan gerombolan mereka sendiri.”

“Nampaknya sekarang mulai ada usaha untuk mentertibkan. Atau barangkali sekedar pameran kepada para bebahu di Seca, karena Ki Saba Lintang ingin menjadikan daerah yang aman ini salah satu landasan bagi Perguruan Kedung Jati.”

“Memang banyak kemungkinan dapat terjadi, Kakang,” bisik Rara Wulan.

Namun keduanya pun kemudian harus mengguncupkan tubuh mereka ketika dua orang petugas berjalan beberapa langkah di hadapan mereka.

“Tidak ada yang kita dapatkan malam ini, Rara. Agaknya mereka masih belum akan mulai dengan pembicaraan-pembicaraan di antara mereka.”

“Besok agaknya mereka akan bertebaran di pasar pada hari pasaran, Kakang. Bukan sekedar untuk mengendorkan ketegangan, tetapi agaknya mereka harus mengetahui pula putaran perdagangan di Seca, sebelum mereka menjadikan tempat ini salah satu landasan gerakan mereka.”

Glagah Putih mengangguk-ngguk. Katanya, “Ya. Kita besok akan melihat, apa saja yang mereka lakukan di sini.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang berada di pendapa itu pun kemudian telah asyik dengan suguhan makan dan minum. Sedangkan malam menjadi semakin larut. Sehingga keduanya memperhitungkan, bahwa setelah makan, mereka akan segera pergi beristirahat. Hari-hari mereka tentu masih panjang, sehingga mereka tidak akan tergesa-gesa melakukan pembicaraan.

Beberapa saat kemudian, ketika perhatian orang-orang di pendapa itu tertuju kepada hidangan yang sudah ada di hadapan mereka, maka Glagah Pulih dan Rara Wulan pun mulai beringsut.

Di pendapa, Ki Demang, Ki Bekel dan para bebahu sibuk mempersilahkan tamu-tamu mereka untuk makan.

Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di penginapan mereka mendahului para pengikut Ki Saba Lintang. Di pringgitan, para penabuh masih juga duduk di belakang gamelan mereka. Agaknya hari itu mereka mendapat pesan untuk mulai lebih awal dan berakhir di dini hari.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera memasuki bilik mereka. Setelah membenahi pakaiannya, serta setelah mencuci kaki dan tangan mereka di pakiwan, maka Rara Wulan pun berbaring di pembaringan, sementara Glagah Putih duduk di dingklik panjang.

“Kapan mereka kembali ke penginapan ini?” desis Rara Wulan.

“Mungkin masih agak lama. Karena itu, tidurlah lebih dahulu. Kau tidak usah menunggu mereka. Jika mereka nanti kembali serta ada hal yang menarik, aku akan membangunkanmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia mulai mengantuk. Tanpa disadari, mata Rara Wulan pun akhirnya terpejam juga.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar