Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 363

Buku 363

Glagah Putih pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku ingin bertemu dengan Ki Demang.”

Anak itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia pun segera meninggalkan tempat itu. Katanya, “Maaf, Kang. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu di bendungan.”

“Kau akan memancing ikan?”

“Ya,” jawab anak itu sambil berlari-lari.

“Mudah-mudahan Ki Demang tanggap, Rara,” desis Glagah Putih.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Rara Wulan sudah bertemu dengan beberapa orang Demang yang lebih mementingkan dirinya dan keluarganya daripada mengemban tugasnya dengan sebaik-baiknya. Bahkan kedudukannya yang disandangnya justru dipergunakannya untuk landasan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri, tanpa menghiraukan kehidupan rakyatnya.

“Mudah-mudahan Ki Demang ini berbeda,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Keduanya pun kemudian memasuki halaman rumah Ki Demang yang luas. Namun nampaknya rumah Ki Demang tidak berlebihan. Meskipun nampak cukup baik, tetapi nampaknya bukan rumah yang mewah, sebagaimana rumah beberapa orang Demang yang pernah mereka lihat.

Seorang laki-laki separuh baya yang sedang memotong-motong batang kayu yang baru saja ditebang, melihat kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Diletakkannya kapaknya. Sambil mengusap keringatnya yang mengalir di kening, ia pun melangkah menyongsong kedua orang suami istri itu.

“Maaf, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “apakah kami dapat menghadap Ki Demang?”

“Ki Demang?”

“Ya, Ki Sanak.”

“Silahkan menunggu sebentar, Ki Sanak. Aku akan mengatakannya, kalau Ki Demang tidak sedang tidur.”

Orang yang tidak berbaju, sedangkan seluruh tubuhnya basah oleh keringat itu pun kemudian masuk ke longkangan lewat seketheng. Nampaknya orang itu sedang menebang sebatang pohon jambu air yang belum terlalu besar, yang tumbuh di dekat pintu seketheng.

“Udaranya terasa sejuk di halaman ini, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Keluarga Ki Demang pandai menata halaman. Beberapa pohon buah-buahan yang terhitung besar. Kemudian gerumbul-gerumbul pohon bunga.”

Rara Wulan nampaknya tertarik kepada segerumbul pohon kembang soka merah yang baru berbunga.

Namun sejenak kemudian, seorang yang nampaknya sedikit lebih tua dari Glagah Putih keluar lewat pintu pringgitan. Dengan ramah orang itu mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik dan duduk di pringgitan.

“Selamat datang di rumah kami yang sederhana ini, Ki Sanak,” berkata Ki Demang merendah.

“Terima kasih, Ki Demang. Kami mohon maaf, bahwa tiba-tiba saja kami sudah mengganggu Ki Demang.”

Ki Demang itu tertawa. Katanya, “Sejak aku memangku jabatan ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk diganggu setiap saat selama sehari semalam, di setiap harinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum pula.

“Maaf, Ki Sanak. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin bertanya siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“Namaku Glagah Putih, Ki Demang. Perempuan ini adalah istriku. Kami berasal dari Jati Anom. Tetapi kami pernah tinggal di tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga sering pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, menyeberang ke sebelah timur Kali Praga, ke Mangir, Kepandak, Jodog, Ganjur dan sekitarnya.”

“Ki Demang sering berkeliling di daerah selatan?”

“Aku pernah menjadi pedagang wesi aji, sebelum aku ditetapkan menjadi Demang di sini. Ayahku-lah yang waktu itu menjadi Demang. Sebenarnya aku tidak tertarik pada jabatan ini. Aku senang mengembara sambil berdagang wesi aji dan batu-batu mulia. Tetapi setelah Ayah meninggal, aku sekarang diikat oleh jabatanku.”

“Tetapi bukankah dengan kedudukan Ki Demang sekarang ini, Ki Demang dapat berbuat banyak bagi rakyat kademangan ini? Arti dari keberadaan Ki Demang menjadi lebih nyata bagi orang banyak, daripada seorang pedagang wesi aji.”

“Ya,” Ki Demang mengangguk-angguk, “aku berusaha.”

“Nampaknya Ki Demang berhasil.”

Ki Demang tertawa lagi. Katanya, “Kau memuji aku, Ki Glagah Putih. Terima kasih. Tetapi sebenarnyalah aku belum dapat berbuat apa-apa di kademangan ini selama dua tahun aku menjabat.”

“Jadi Ki Demang baru dua tahun menjabat?”

“Ya. Itupun masih dibayangi oleh sikap beberapa orang yang tidak menginginkan aku menggantikan kedudukan ayahku.”

“Kenapa? Jika tatanan yang berlaku demikian, bukankah semua pihak harus menerima, senang atau tidak senang?”

Ki Demang mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya. Seharusnya memang demikian. Tetapi ternyata dalam kenyataannya, ada juga batu-batu kerikil yang mengganjal perjalananku.”

“Tetapi Ki Demang akan dapat mengatasinya.”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Pandangannya tiba-tiba saja terlempar jauh menyusup di antara tiang-tiang pendapa rumahnya, menusuk ke halaman rumahnya yang rindang.

Ki Demang itu pun akhirnya berkata, “Sudahlah, Ki Glagah Putih berdua. Itu adalah persoalanku. Tidak sepantasnya aku katakan kepada tamu-tamuku. Apalagi tamu yang masih belum aku kenal sebelumnya.”

“Tidak apa-apa, Ki Demang. Jika saja itu dapat memperingan beban yang Ki Demang pikul selama ini.”

“Ki Glagah Putih,” berkata Ki Demang kemudian mengalihkan pembicaraan, “mungkin kedatangan kalian berdua mempunyai maksud tertentu, aku akan mendengarkannya. Jika kalian berdua memerlukan bantuan, jika saja aku dapat membantu, maka aku akan membantunya.”

“Baiklah, Ki Demang,” sahut Glagah Putih, “ada sesuatu yang memang akan aku sampaikan kepada Ki Demang. Ketika kami berdua sedang berada di pasar, maka kami melihat sekelompok orang yang nampaknya memang sedang menunggu.”

“Sekelompok orang?”

“Ya, Ki Demang,” jawab Glagah Putih, yang kemudian telah menceritakan apa yang terjadi di pasar itu. Ia pun menceritakan usahanya untuk merampas candu itu, tanpa menimbulkan kecurigaan para perampok dan penyamun itu terhadap orang-orang yang ada di pasar. 

Ki Demang mendengarkan keterangan Glagah Putih itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali Ki Demang bahkan mengangguk-angguk. Namun kadang-kadang Ki Demang itu pun menarik nafas panjang.

“Itulah yang dapat kami laporkan, Ki Demang,” berkata Glagah Putih kemudian. Ditunjukkannya sedikit candu yang dibawanya kepada Ki Demang sambil berkata, “Aku mohon Ki Demang mempercayai kami. Kami membawa contoh dagangan terlarang yang telah kami bakar itu, Ki Demang.”

Ki Demang menarik nafas panjang. Katanya, “Terimakasih atas kesediaan Ki Glagah Putih berdua untuk menghancurkan benda-benda terlarang itu.”

“Benda-benda terlarang itu akan dapat merusak banyak orang, Ki Demang.”

“Aku mengerti. Aku pun merasa bahwa aku dan para bebahu di kademangan ini berkewajiban untuk memberantasnya.” Ki Demang itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana kami dapat melakukannya?”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka memang sudah memperhitungkan kemungkinan bahwa Ki Demang tidak akan dapat berbuat apa-apa.

“Apakah para perampok dan penyamun itu benar-benar tidak dapat dikalahkan oleh para penghuni kademangan? Aku sudah bertemu beberapa orang Demang. Mereka mempunyai tanggapan dan sikap yang sama kepada para perampok dan penyamun itu,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi ternyata Ki Demang itu mempunyai alasan yang khusus. Persoalan yang mungkin tidak terdapat di kademangan-kademangan yang lain.

“Ki Glagah Putih,” berkata Ki Demang, “tidak semestinya aku mengatakan persoalan yang agaknya lebih condong ke persoalan pribadi ini, aku sampaikan kepada kalian berdua. Tetapi justru karena kalian berdua sudah menunjukkan kepedulian kalian terhadap kademangan ini, maka aku akan mengatakannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Ki Demang itu.

“Ki Glagah Putih berdua, sebenarnyalah bahwa ada orang yang berusaha mengguncang kedudukanku. Justru saudaraku sendiri, tetapi kami berbeda ibu. Aku adalah anak tertua. Tetapi ketika ibuku meninggal, Ayah menikah lagi. Dari pernikahan yang kedua itu, Ayah juga memiliki seorang anak laki-laki yang berselisih umur sekitar empat tahun. Adikku itu lahir pada saat Ayah baru saja diwisuda menjadi Demang di kademangan ini. Menurut pendapat ibu tiriku, adikku itulah anak Demang, yang pantas menggantikannya. Ketika aku lahir, Ayah belum seorang Demang, sehingga aku tidak patut untuk menggantikannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada ragu, Glagah Putih bertanya, “Tetapi bagaimana menurut paugeran yang berlaku?”

“Paugeran itu mengatakan bahwa jika seorang Demang meninggal, maka anak laki-lakinya yang tertua yang akan menggantikannya. Jika seorang Demang tidak mempunyai anak laki-laki, maka menantunya dari anaknya yang tertua. Jika Demang itu tidak mempunyai anak, maka akan diadakan pemilihan seluruh kademangan, untuk mengangkat seorang Demang yang baru. Demikian pula jika seorang Demang kehilangan kedudukannya karena kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya dalam menjalankan tugasnya.”

“Jika demikian, bukankah kedudukan sudah jelas, siapakah yang seharusnya menggantikan kedudukan Demang itu?”

“Tetapi ibu tiri serta adikku itu masih berusaha mengguncang kedudukanku. Menurut mereka, anak Demang itu adalah adikku itu. Aku bukannya anak Ki Demang, karena ketika aku lahir, ayahku belum seorang Demang.”

“Bagaimana pendapat para bebahu?”

“Mereka sependapat dengan aku. Tetapi usaha ibu tiriku dan adikku masih belum berhenti meskipun akhirnya aku-lah yang sudah ditetapkan menjadi Demang. Mereka mendapat dukungan dari beberapa orang, yang sayangnya adalah orang-orang yang berpengaruh di kademangan ini. Mereka adalah orang-orang kaya, yang akan dapat memanfaatkan kedudukan Demang itu jika kedudukan itu berada di tangan adikku.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Dengan nada berat ia pun berkata, “Dengan demikian, Ki Demang sedang menghadapi keadaan rumit di kademangan ini sendiri.”

“Memang rumit, Ki Glagah Putih. Tetapi aku berharap bahwa aku akan segera dapat mengatasinya. Aku percaya kepada rakyatku, bahwa mereka akan dapat memandang persoalannya dengan jernih.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Rakyatku-lah yang akan menentukan penyelesaian dari masalah ini.”

Namun dengan ragu-ragu Glagah Putih pun bertanya, “Jadi dengan demikian perhatian Ki Demang masih terikat pada persoalan yang menyangkut kedudukan Ki Demang?”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Katanya, “Seharusnya tidak demikian, Ki Glagah Putih. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak dapat bekerja dengan tenang.”

“Aku mengerti.”

“Tetapi baiklah. Apapun yang bergejolak di dalam lingkungan kami sendiri, kami harus tetap memperhatikan kehidupan rakyat kami. Namun satu hal yang harus Ki Glagah Putih lihat sebagai satu kenyataan, bahwa rakyat kami sebagian terbesar adalah petani. Sebagian kecil adalah pedagang, dan beberapa orang memiliki modal untuk membuka tempat-tempat usaha. Menghimpun beberapa orang yang semula membuat barang-barang kerajinan bambu, pandan dan mendong di rumah masing-masing. Ada yang menghimpun beberapa orang pande besi dan para undagi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Ia tahu maksud Ki Demang, bahwa dengan dengan demikian, rakyatnya bukanlah orang-orang yang terbiasa memegang senjata.

Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Aku mengerti, Ki Demang. Para petani, para pedagang dan orang-orang yang membuka usaha bermacam-macam kerajinan bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan berkelahi. Apalagi melawan para perampok. Tetapi di beberapa kademangan yang sudah aku lalui, telah sepakat untuk bekerja sama dengan Perguruan Awang-Awang untuk menyusun kekuatan melawan para perampok. Sehingga jika jalur jalan perdagangan yang melewati lingkungan ini dapat diamankan, maka pasar itu pun tentu akan tumbuh semakin besar. Tetapi ternyata ada sisi lain yang harus diawasi, justru lebih bersungguh-sungguh. Semula aku tidak melihat bahwa jalur ini pun menjadi jalur perdagangan barang-barang terlarang. Perdagangan ini ternyata merupakan bahaya yang lebih besar dari para perampok dan penyamun, yang tidak secara langsung mengganggu rakyat kademangan ini.”

“Ya, Ki Glagah Putih. Tetapi rencana bekerja sama dengan Perguruan Awang-Awang itu sangat menarik perhatian. Baiklah. Seperti yang aku katakan, aku tidak akan terpancang kepada persoalan sendiri. Aku memang harus tetap menjalankan tugas-tugas sebagai seorang Demang.”

Glagah Putih menarik nafas panjang sambil berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Demang.”

Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Seorang yang bertubuh tinggi besar, berkumis tebal memasuki halaman, rumah Ki Demang.

“Kebetulan Ki Bekel datang, Ki Glagah Putih.”

“Ki Bekel?”

“Ya. Ia adalah Bekel yang memimpin padukuhan induk kademangan ini.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia beringsut sejengkal. Demikian pula Rara Wulan.

“Ada tamu, Ki Demang?” bertanya Ki Bekel.

“Ya,” jawab Ki Demang, “silahkan duduk, Ki Bekel.”

Ki Bekel itu pun kemudian duduk di sebelah Ki Demang. Sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti ia pun berkata, “Siapakah tamu Ki Demang ini?”

“Namanya Ki Glagah Putih, Ki Bekel. Sedangkan perempuan itu adalah istrinya.”

“O,” Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya lagi, “Apakah keperluannya menghadap Ki Demang?”

Ki Demang pun kemudian menceritakan serba sedikit tentang keperluan Glagah Putih dan isterinya datang menemui Ki Demang.

“O,” Ki Bekel mengangguk-angguk pula, “ternyata mereka adalah pahlawan-pahlawan keselamatan bagi rakyat kita? Aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah yang diucapkan oleh Ki Bekel itu sanjungan atau sindiran.

Agaknya Ki Demang pun merasa ragu-ragu pula atas ucapan Ki Bekel itu. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Maksud Ki Bekel?”

“Untuk apa sebenarnya mereka mencampuri persoalan keluarga besar kita? Bukankah di sini ada aku, ada Ki Demang dan ada para bebahu? Bukan saja bebahu padukuhan induk ini, tetapi juga bebahu kademangan.”

“Benar, Ki Bekel. Tetapi ternyata apa yang kebetulan diketemukannya di sini, tidak kita ketemukan sebelumnya. Bukankah kita tidak tahu, bahwa di pasar itu sering terjadi jual beli barang-barang terlarang? Bahkan tukar-menukar antara barang-barang terlarang itu dengan hasil yang didapat para perampok dan penyamun di bulak-bulak persawahan kita?”

“Mereka tentu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, Ki Demang.”

“Aku tahu. Aku tidak menyalahkan kita yang tidak tahu bahwa peristiwa seperti itu terjadi di padukuhan kita.”

Ki Bekel itu mengerutkan dahinya, sementara Ki Demang berkata selanjutnya, “Tetapi jika kemudian ada orang yang datang untuk memberitahukan kepada kita, bahwa hal seperti itu telah terjadi, bukankah kita harus berterima kasih kepada mereka? Persoalannya kemudian terserah kepada kita. Bagaimana caranya kita menanganinya. Tetapi menurut pendapatku, perdagangan barang-barang terlarang itu akan membahayakan kehidupan rakyat kita.”

“Tetapi apakah orang-orang ini tidak mempunyai pamrih dengan keterangannya itu?”

“Kita dapat langsung bertanya kepada mereka,” jawab Ki Demang, yang kemudian bertanya kepada Glagah Putih, “Ki Glagah Putih. Apakah kepedulian Ki Glagah Putih berdua itu mengandung maksud-maksud tertentu terhadap kademangan ini?”

Wajah Glagah Putih dan Rara Wulan memang terasa menjadi panas. Tetapi mereka tahu bahwa pertanyaan itu tidak tumbuh dari dasar hati Ki Demang. Tetapi Ki Demang hanya sekadar ingin memuaskan hati Ki Bekel.

“Ki Demang,” jawab Glagah Putih kemudian, “kami berdua hanyalah orang lewat. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa di kademangan ini.”

“Itu jawabannya, Ki Bekel,” berkata Ki Demang kemudian.

“Mungkin kedua orang itu ingin mendapatkan tambahan bekal perjalanan?”

“Tidak, Ki Bekel,” Rara Wulan-lah yang menyahut, “kami sudah mempunyai bekal yang cukup. Aku tidak yakin bahwa Ki Bekel akan dapat memberikan bekal kepadaku lebih banyak dari bekal yang sudah ada padaku.”

Jantung Ki Bekel-lah yang kemudian berdesir. Tetapi Ki Demang justru tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Aku sejak semula memang yakin bahwa kepedulian mereka adalah semata-mata didasarkan kepada kecemasan mereka terhadap akibat buruk yang dapat terjadi karena peredaran barang-barang terlarang itu.”

“Ki Demang yakin?”

“Ya, aku yakin.”

“Syukurlah jika demikian. Kami, seisi kademangan ini akan berterima kasih kepada mereka.”

“Ki Demang,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku rasa keperluanku datang menghadap Ki Demang sudah selesai. Segala sesuatu terserah kepada Ki Demang. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang.”

“Kalian akan pergi ke mana?” bertanya Ki Bekel.

“Kami akan pergi ke Seca.”

“Ke Seca? Untuk apa?”

“Kami adalah pengembara. Kami akan pergi ke mana saja yang kami ingini dan yang menarik perhatian kami.”

“Tetapi kenapa Seca?” desak Ki Bekel.

“Nama itu sangat menarik perhatian. Aku ingin tahu, apa yang ada di balik nama itu.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun justru Glagah Putih-lah yang bertanya, “Apakah Ki bekel sering pergi ke Seca?”

Ki Bekel tergagap. Namun kemudian ia pun menjawab, “Sekali dua kali. Tetapi tidak terlalu sering.”

“Baiklah, Ki Bekel, Ki Demang. Kami minta diri. Contoh barang terlarang yang diperdagangkan itu akan kami tinggal saja di sini. Terserah kepada Ki Demang. Tetapi mungkin untuk jangka yang agak panjang, Ki Demang dapat berhubungan dengan Perguruan Awang-Awang dan para Demang di sekitar bukit kecil itu. Meskipun mungkin agak jauh, tetapi jika sepanjang jalan perdagangan ini akan menjadi aman, maka perdagangan di daerah ini pun akan menjadi ramai kembali.”

“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian kalian, Ki Glagah Putih berdua.”

“Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kami? Siapapun yang menemui persoalan seperti yang kami temui, tentu juga akan melakukan hal yang sama.”

“Hanya mereka yang memiliki kemampuan yang dapat merebut barang-barang terlarang itu dari tangan sekelompok perampok dan penyamun.”

“Mereka memang sekelompok perampok dan penyamun. Tetapi mereka sekedar orang-orang yang hanya pandai menggertak.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meninggalkan rumah Ki Demang.

Dalam pada itu, sepeninggal Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Bekel pun segera minta diri pula.

“Begitu tergesa-gesa, Ki Bekel? Tetapi Ki Bekel belum mengatakan keperluan Ki Bekel datang menemui aku.”

“Aku tidak sengaja mencari Ki Demang. Aku hanya lewat. Dari jalan aku melihat lewat pintu regol yang terbuka, ada dua orang tamu duduk di pringgitan. Tiba-tiba saja aku ingin singgah.”

“O,” Ki Demang pun mengangguk-angguk. “Tetapi apakah Ki Bekel tidak duduk dahulu?”

“Terima Kasih, Ki Demang.”

Ki Bekel pun kemudian meninggalkan regol halaman Ki Demang. Namun demikian ia sampai di tikungan, maka Ki Bekel pun berjalan semakin cepat, langsung pulang ke rumahnya.

Demikian ia sampai di rumah, ia pun segera berteriak memanggil kepercayaannya. “Ancak Liman!”

“Ada apa, Ki Bekel?”

Seseorang yang tinggi dan besar tubuhnya tidak kalah dari Ki Bekel muncul dari pintu butulan. Orang yang dipanggil Ancak Liman itu pun kemudian duduk di ruang dalam, menghadap Ki Bekel yang wajahnya nampak gelap.

“Ada berita buruk yang harus kau dengar,” berkata Ki Bekel.

“Berita buruk apa, Ki Bekel?”

“Apa yang terjadi di pasar itu telah diketahui oleh Ki Demang. Tukar menukar candu dan barang-barang hasil rampokan itu ada yang melihat, dan menyampaikannya kpada Ki Demang.”

“Siapa orangnya, Ki Bekel? Bukankah persoalannya mudah saja? Orang itu akan aku singkirkan.”

“Jangan berceloteh. Dua orang suami istri itu berhasil merampas candu itu dari tangan Jati Ngarang.”

“He? Hanya dua orang? Apalagi yang seorang adalah perempuan?”

“Ya.”

“Omong kosong. Tentu hanya bualan yang tidak berarti apa-apa. Seperti seekor anjing kudisan yang menggonggong di pinggir jalan.”

“Tetapi orang itu membawa bukti. Candu yang dirampasnya dari Jati Ngarang itu telah dimusnahkannya. Tetapi ia menyimpan sedikit, dan mereka berikan kepada Ki Demang.”

“Seandainya demikian, Ki Demang mau apa? Sedangkan persoalan yang timbul di antara keluarganya sampai sekarang masih belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Apalagi mengurus persoalan yang gawat itu.”

“Jangan meremehkan persoalan ini. Kedua orang suami istri itu akan pergi ke Seca.”

“Sudah aku katakan, aku akan menyingkirkan orang itu. Mereka tidak akan pernah sampai ke Seca.”

“Apakah kau lebih kuat dari gerombolan Jati Ngarang?”

“Tentu bukan aku seorang diri,” jawab Ancak Liman. “Aku akan berhubungan dengan orang-orang yang memiliki kelebihan dari gerombolan Jati Ngarang. Tetapi Ki Bekel tentu tahu, bahwa dengan demikian, kita akan mengeluarkan biaya cukup tinggi.”

“Kau gila. Kau kira aku dapat menimba uang dari sumur di belakang rumah?”

“Tetapi hubungan Ki Bekel dengan Jati Ngarang dan Ki Samektaguna itu juga menghasilkan uang?”

“Kau mulai memeras?”

“Tentu tidak, Ki Bekel. Atau kita biarkan saja dua orang suami istri itu pergi ke Seca? Mereka tentu tidak tahu apa-apa tentang keberadaan Ki Samektaguna di Seca. Jika mereka mengucapkan kata Seca itu, tentu hanya kebetulan saja. Sedangkan Ki Bekel berkepentingan dengan tempat itu.”

“Setan kau, Ancak Liman.”

“Sekarang, terserah saja kepada Ki Bekel, apa yang harus aku lakukan. Aku tinggal melaksanakannya saja.”

“Singkirkan kedua orang suami istri itu, dengan siapapun kau akan bekerja sama. Telusuri perjalanan keduanya. Bahkan seandainya mereka sudah ada di Seca. Jika kau sampai ke Seca, maka yang lebih dahulu harus kau hubungi adalah Ki Samektaguna, agar ia berhati-hati. Ajak orang itu bersamamu menyingkirkan kedua orang suami istri itu. Nama laki-laki itu adalah Glagah Putih.”

“Baik. Baik, Ki Bekel.”

“Kau tentu juga akan mendapat ganjaran dari Ki Samektaguna, karena kau sudah memberikan keterangan tentang kedua orang suami istri itu.”

“Ah, belum tentu, Ki Bekel. Mereka tahu kalau aku adalah orang Ki Bekel, sehingga mereka tentu yakin bahwa aku sudah menerima ganjaran dari Ki Bekel.”

“Edan kau, Ancak Liman. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau sering menipuku?”

Ancak Liman itu tertawa. Katanya, “Tetapi tugasku kali ini cukup berat, Ki Bekel. Aku harus memasuki satu dunia yang menyeramkan. Ki Bekel tahu, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perdagangan candu adalah orang-orang yang tidak mengenal tenggang-rasa sama sekali. Ki Bekel tahu bahwa di lingkungan mereka, yang paling dihargai adalah ujung-ujung senjata, di samping uang.”

“Bodoh kau. Tentu aku tahu. Karena itu kau tidak usah menggurui aku.”

“Aku tidak bermaksud menggurui Ki Bekel. Tetapi yang aku tahu, bahwa Ki bekel itu sangat pelit. Bukankah langkah-langkah yang aku ambil itu selalu mempertaruhkan nyawa?”

“Persetan kau. Setiap ada tugas yang harus kau lakukan, kau selalu mengatakan bahwa taruhannya adalah nyawa. Bukankah sejak semula kau sudah tahu bahwa tugas-tugas yang akan kau lakukan selalu harus mempertaruhkan nyawa?”

Ancak Liman tertawa. Katanya, “Baiklah, Ki Bekel. Aku akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya. Kedua orang suami istri itu akan aku cari. Mereka berdua tentu akan segera hilang, dan tidak akan pernah diketemukan lagi.”

“Bagus. Tetapi kau jangan sekedar membual. Setelah itu kita akan berbicara tentang Ki Demang.”

“Biarkan saja Ki Demang. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangan menambah musuh.”

“Tidak. Kita tidak akan menanganinya sendiri. Tetapi kita akan menumpang pada kemelut yang terjadi di lingkungan keluarganya. Ibu tirinya misih berusaha agar anak laki-lakinya itu dapat menjadi Demang di kademangan ini.”

Ancak Liman mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Bekel pun berkata, “Nah, pergilah. Kau harus berhasil, agar perdagangan itu tidak terganggu. Kau tahu artinya arus perdagangan itu bagi kita. Bagi kesejahteraan kita.”

“Ya, Ki Bekel,” jawab Ancak Liman, “aku akan segera berangkat. Tetapi jangan batasi waktu. Mungkin sehari. Tetapi mungkin sepekan.”

“Sebelum kau berhasil membunuh suami istri yang mencampuri urusan orang lain itu, kau jangan pulang kembali.”

“Baik, Ki Bekel.”

“Nah, sekarang pergilah.”

“Pergi begitu saja?”

“Lalu apa lagi?”

“Aku akan pergi ke Seca, Ki Bekel. Aku akan menghubungi orang-orang yang berilmu tinggi, melampaui kemampuan sekelompok orang yang dipimpin oleh Jati Ngarang itu. Selebihnya aku akan tinggal di Seca atau dimanapun juga, untuk beberapa hari.”

“Uang? Bukankah itu yang akan kau katakan?”

“Itulah, Ki Bekel. Ki Bekel tentu tahu, bahwa aku memang memerlukan uang banyak.”

“Gila kau, Ancak Liman.”

“Ah, bukankah yang aku minta ini wajar?”

Ki Bekel pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Dibawanya sekampil kecil uang dan diberikannya kepada Ancak Liman.

“Kau tahu nilai uang itu. Karena itu, kau harus berhasil.”

“Tentu, Ki Bekel. Jangan cemas. Tetapi bukankah uang ini juga berasal dari orang-orang yang memperdagangkan candu itu?”

“Diam kau! Aku robek mulutmu itu.”

Ancak Liman tertawa. Katanya, “Jangan marah, Ki Bekel. Aku akan melakukan tugasku sebaik-baiknya.”

Dengan membawa sekampil kecil uang, Ancak Liman itu pun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel.

Hari itu juga Ancak Liman telah menghubungi saudara-saudara seperguruannya. Perguruan yang dibayangi oleh kuasa kegelapan.

Di sebuah dataran yang terletak di sebuah lekuk tanah yang rendah, Ancak Liman mengetuk pintu sebuah rumah yang dikelilingi oleh halaman yang terhitung luas, dengan dinding kayu gelondongan yang dipancangkan berdiri berjajar rapat di sekelilingnya. Gumuk-gumuk kecil yang terdapat di sekitarnya, seolah-olah telah memisahkan lingkungan itu dengan dunia di sekitarnya.

Ketika Ancak Liman memasuki regol halaman rumah itu, sebuah anak panah meluncur dan tertancap di daun pintu regol.

Ancak Liman tidak terkejut. Ia tahu bahwa setiap tamu akan dihentikan dengan cara itu, demikian mereka memasuki regol halaman yang luas itu.

Ancak Liman pun berhenti di pintu regol. Ia harus menunggu sehingga ia diijinkan memasuki halaman itu.

Beberapa saat kemudian, dua orang turun dari pendapa rumah itu, dan berjalan menuju ke regol halaman. Seorang di antara mereka membawa busur dengan anak panah yang sudah melekat.

Namun seorang di antara mereka tiba-tiba saja berteriak, “He, kaukah itu, Kakang?”

Ancak Liman tertawa. Katanya, “Mata kalian sudah menjadi rabun. Bukankah belum lama aku baru menengok kalian?”

“Tetapi tugas kami menghentikan setiap orang yang memasuki halaman rumah ini, Kakang.”

“Aku tahu. Kalian adalah orang-orang yang telah menjalankan tugas kalian dengan baik.”

“Terima kasih atas pujian ini.”

Ancak Liman pun kemudian berjalan bersama dengan kedua orang saudara seperguruannya itu.

“Apakah Guru ada?”

“Ada. Sudah beberapa hari ini Guru tidak pergi kemana-mana. Nampaknya Guru merasa agak letih.”

“Kenapa? Apa yang sudah dilakukannya?”

“Guru telah mencampuri perselisihan yang terjadi antara dua keluarga yang bermusuhan. Guru harus melenyapkan beberapa orang terpenting dari salah satu keluarga yang bermusuhan itu, sementara orang-orang yang harus disingkirkan itu juga mempunyai dukungan dari beberapa orang pembunuh upahan yang berilmu tinggi, sehingga Guru harus mengerahkan kemampuannya.”

“Kalian ikut bersama Guru?”

“Aku ikut bersama Guru,” jawab yang seorang.

“Aku bertugas menunggui rumah,” sahut saudara seperguruannya. “Sebenarnya aku juga ingin bersama Guru. Tetapi tidak ada yang dapat dipercaya untuk tetap tinggal.”

“Kalian mempunyai tugas kalian masing-masing yang sama beratnya,” berkata Ancak Liman. “Tetapi bukankah Guru berhasil?”

“Ya. Guru berhasil menyelesaikan tugasnya. Tetapi dua orang saudara seperguruan kita terbunuh.”

“Dua orang terbunuh?” Ancak Liman terkejut.

“Ya. Jumlah kita memang semakin menyusut.”

Ancak Liman menarik nafas panjang.

“Marilah, Kakang. Silahkan duduk,” seorang di antara kedua orang yang menyongsongnya itu mempersilahkan duduk. “Aku akan menyampaikan kepada Guru bahwa Kakang telah datang kemari.”

Ancak Liman yang diperlakukan sebagai tamu itu pun kemudian duduk di pringgitan ditemui oleh seorang saudara seperguruannya, sedangkan yang lain masuk ke ruang dalam untuk menemui gurunya.

Sejenak kemudian, seorang yang bertubuh tinggi besar dan bermata cekung keluar dari ruang dalam. Rambutnya yang sebagian tergerai di bawah ikat kepalanya itu sudah mulai nampak keputih-putihan. Namun orang itu masih tetap nampak perkasa.

“Kau, Ancak Liman,” suaranya berat bernada rendah.

“Ya, Guru.”

“Kenapa kau datang kemari?” bertanya gurunya sambil duduk di hadapan Ancak Liman.

Ancak Liman menarik nafas panjang. Sebelum ia menjawab, gurunya sudah menebak, “Kau tentu datang untuk minta tolong kepadaku atau kepada saudara-suadara seperguruanmu.”

Ancak Liman tersenyum. Katanya, “Ya, Guru.”

“Kau memang keras kepala. Sudah aku beritahukan kepadamu, bahwa kau tidak usah pergi ke Bekel gemblung itu. Tinggallah di sini bersama-sama dengan kami.”

“Aku ingin mendapat pengalaman yang berbeda, Guru.”

“Nah, dalam keadaan yang sulit, kau masih juga lari kemari untuk meminta bantuan.”

“Jika aku tidak lari kepada Guru, lalu aku harus lari kemana lagi?”

“Monyet buruk. Katakan, bantuan apa yang kau perlukan.”

“Guru. Bukankah aku pernah mengatakan bahwa Ki Bekel telah terlibat dalam perdagangan barang-barang terlarang?”

“Candu?”

“Ya.”

“Lalu kenapa?”

“Ada beberapa hubungan baru yang telah dilakukan oleh Jati Ngarang, seorang pemimpin perampok yang mempunyai hubungan khusus dengan kami.”

“Nama itu pernah kau sebut.”

“Ya. Sekarang orang itu membuka hubungan baru. Ia telah membuka perdagangan dengan seorang pedagang keliling. Tetapi dua orang suami istri agaknya telah melacak hubungan itu, sehingga keduanya telah berhasil merampas barang barang-barang yang sudah berada di tangan Jati Ngarang. Tetapi ia telah menyimpan sedikit di antaranya sebagai barang bukti, yang telah diserahkan kepada Ki Demang.”

“Demang di kademanganmu?”

“Ya.”

“Kenapa dengan Demangmu itu? Bukankah ia tidak akan dapat berbuat apa-apa?”

“Ya. Tetapi dua orang suami istri itulah yang kami cemaskan. Sekarang mereka pergi ke Seca. Jika ia berhasil melacak perdagangan itu dan berhubungan dengan para penguasa di daerah Utara ini, maka perdagangaan itu akan dapat terhenti.”

“Jika perdagangan itu terhenti, apa keberatanmu?”

“Ah, Guru. Perdagangan itu memberikan keuntungan yang besar bagi Ki Bekel tanpa berbuat apa-apa. Ia hanya berpura-pura tidak tahu bahwa di lingkungannya telah terjadi pertukaran dan perdagangan barang-barang terlarang, itu saja. Bahkan ia mempunyai alasan, seandainya perdagangan itu akhirnya diketahui dan Ki Bekel dipersalahkan karena tidak berbuat apa-apa, maka Ki Bekel akan dapat mengatakan bahwa ia tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mencegahnya.”

“Tetapi kenapa ia tidak melaporkannya?”

“Sampai sekarang Ki Bekel masih pura-pura tidak tahu.”

“Setelah ada dua orang suami istri yang melaporkan kepada Ki Demang, apa kata Ki Bekel?”

“Kata Ki Bekel, kedua orang itu harus dimusnahkan. Kemudian Ki Bekel baru akan mengurusi Ki Demang.”

“Kau datang untuk tugas-tugas itu?”

“Ya, Guru. Aku datang untuk minta bantuan kepada Guru. Kita akan mencari dua orang suami istri itu dan memusnahkannya.”

“Kau tahu, untuk mempergunakan tenagaku, aku minta beberapa syarat.”

“Tetapi ini lain, Guru. Aku-lah yang memohon kepada Guru.”

“Jadi kau sudah diperalat oleh Ki Bekel untuk memeras tenagaku, tanpa imbalan apa-apa?”

“Imbalannya adalah kesejahteraan hidupku kelak, Guru. Jika kita berhasil melenyapkan kedua orang suami istri itu, maka perdagangan gelap itu akan berlangsung terus. Ki Bekel memang mendapat penghasilan yang sangat baik, tetapi aku mendapat lebih banyak dari Ki Bekel, karena aku-lah jalur hubungan antara Ki Bekel dengan Jati Ngarang dan para pedagang itu.”

“Kau memang ular yang licik, Ancak Liman. Tetapi kau harus tahu, bahwa untuk melakukannya, mungkin akan jatuh korban di antara kita. Apakah keuntungan yang kau dapatkan dengan hubungan itu seimbang dengan korban yang bakal diberikan? Sedangkan yang akan menjadi korban itu adalah saudara-saudara seperguruanmu. Bahkan mungkin kau sendiri.”

“Guru,” berkata Ancak Liman kemudian, “jika kali ini kita berhasil, maka jangkauan niatku tidak akan berhenti di sini.”

“Lalu apa?”

“Jalur perdagangan kita ambil alih. Kita musnahkan Jati Ngarang dan gerombolannya.”

“Hati-hatilah bersikap, Ancak Liman. Jati Ngarang tidak berdiri sendiri. Selain kelompoknya, ia tentu berhubungan dengan gerombolan-gerombolan lain.”

“Tetapi agaknya dalam perdagangan gelap ini lain, Guru. Jati Ngarang tidak berniat berbagi ladang dengan orang lain.”

Gurunya mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan Ki Bekel?”

“Tidak apa-apa, Guru. Kita beri Ki Bekel percikan sekedarnya saja. Jika ia banyak tingkah, maka kita akan mencekiknya sampai mati.”

“Jika itu rencanamu, aku dapat mendukungnya, Ancak Liman. Tetapi bukankah kau tidak akan mengkhianati aku?”

“Bagaimana mungkin aku berkhianat kepada Guru? Bukankah Guru akan dapat memburu dan membunuhku kapan saja Guru kehendaki, tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk dapat membela diri?”

“Baiklah. Kau memang seorang yang pandai membujuk. Sekarang kau pun telah berhasil membujukku. Tetapi ingat, Ancak Liman, uang dapat membuat seseorang menjadi gila. Seseorang menjadi lupa akan dirinya dan tidak mengenal kiblat lagi.”

“Aku mengerti, Guru. Tetapi di samping itu, ketakutan untuk diburu dan dibunuh oleh Guru agaknya lebih besar dari kerakusanku memburu uang.”

Gurunya tertawa. Katanya, “Lidahmu memang bercabang, Ancak Liman.”

“Ampun, Guru. Aku berani bersumpah.”

“Baiklah. Aku akan membawa empat orang terbaik dari perguruan ini. Malam nanti aku akan berada di sanggar untuk melakukan samadi. Aku ingin berhubungan dengan pepundenku, untuk minta kekuatan agar kita dapat berhasil.”

“Silahkan, Guru,” sahut Ancak Liman.

Hari itu, Guru Ancak Liman telah memerintahkan membakar merang padi gaga. Ia akan mandi keramas, sehingga tubuhnya akan dibersihkan dari segala noda. Kemudian di malam harinya, Guru Ancak Liman itu akan menghadap pepundennya di sanggar pemujaan.

Ketika malam turun, maka segala sesuatunya sudah dipersiapkan di sanggar. Anglo, arang batok kelapa, tempayan, bunga setaman dan dlupak minyak kelapa.

Menjelang tengah malam, maka dlupak minyak kelapa pun dinyalakan. Demikian pula arang batok kelapa di anglo itu pun telah membara pula. Asapnya membumbung tinggi, kemudian kemenyan itu menyala. Apinya yang merah menjilat-jilat seolah-olah menari di atas panasnya bara batok kelapa.

Guru Ancak Liman itu pun kemudian menaburkan kembang setaman itu ke dalam air yang dituang ke dalam tempayan. Sebilah keris pusakanya telah dicelupkan ke dalam air kembang setaman itu.

Tiba-tiba saja air kembang setaman itu menjadi kemerah-merahan seperti darah. Busa-busa kecil bermunculan dari dasar tempayan. Bahkan kemudian, air bunga setaman di dalam tempayan itu bagaikan mendidih.

Beberapa saat lamanya guru Ancak Liman itu duduk menghadap tempayan yang airnya sudah menjadi merah dan bagaikan mendidih itu. Diucapkannya mantra-mantra yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Keringat mengalir di seluruh tubuhnya, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup.

Namun akhirnya, warna air di tempayan itu berangsur menjadi jernih kembali. Warna merah darah itu pun berangsur menjadi semakin tipis, dan akhirnya hilang sama sekali. Air di tempayan itu pun tidak lagi bergejolak bagaikan mendidih.

Akhirnya Guru Ancak Liman itu menarik nafas panjang. Ia pun segera mengakhiri samadinya.

Demikian ia keluar dari sanggar, maka Ancak Liman pun segera mendapatkannya sambil bertanya, “Bagaimana, Guru? Apakah ada isyarat bahwa usaha kita akan berhasil?”

“Kiai Godong Tales yang menunggui bukit di sisi kiri, serta Kiai Arang Ori yang menunggui gumuk di sisi kanan, akan membantu kita. Agaknya kita akan berhasil.”

“Bagaimana dengan Nyai Sendawa yang menunggui sendang di bawah lengkeh bukit itu, Guru?”

“Aku belum berhasil menghubunginya. Tetapi aku akan langsung datang ke sendang itu nanti di dini hari.”

“Apakah aku boleh ikut?”

“Tidak. Tidak seorangpun boleh ikut. Nyai Sendawa akan dapat kamanungsan.”

Ancak Liman menarik nafas panjang.

Sebenarnyalah di dini hari, gurunya telah meninggalkan rumahnya, pergi ke sendang kecil di bawah lengkeh bukit.

Ketika fajar menyingsing, maka guru Ancak Liman itu sudah berada di rumahnya kembali. Dengan penuh keyakinan ia pun berkata, “Semuanya sudah berhasil aku hubungi. Kita akan pergi dengan kepastian bahwa usaha kita akan berhasil. Kedua orang suami istri itu memang pergi ke Seca. Kita akan menemukannya dan membunuh mereka. Setelah itu, maka kita akan melaksanakan rencana sebagaimana kau katakan tadi. Kita akan menguasai perdagangan barang-barang terlarang itu di daerah ini, setelah kita hancurkan Jati Ngarang.”

“Baiklah, Guru. Kita harus segera berangkat, sebelum kedua orang suami istri sempat menemukan jalur perdagangan itu di Seca, sehingga ia dapat bertindak semakin jauh.”

Guru Ancak Liman itu pun segera mempersiapkan diri. Dibawanya empat orang muridnya yang terbaik. Seorang di antara mereka adalah Ancak Liman itu sendiri.

Namun sebelum mereka pergi ke Seca, gurunya telah memerintahkan kepada Ancak Liman untuk mencari hubungan dengan Jati Ngarang. Apakah Jati Ngarang mau berterus terang tentang kedua orang suami istri yang telah mengalahkannya itu.

“Tetapi jika kedua orang suami istri itu yang membual?”

“Mungkin saja. Karena itu, hubungi Jati Ngarang.”

Di hari berikutnya Ancak Liman telah mencari hubungan dengan Jati Ngarang, untuk meyakinkan apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Ketika Ancak Liman memasuki sarang Jati Ngarang, maka dilihatnya beberapa orang terbaik dari para pengikut Jati Ngarang itu telah terluka. Bahkan Jati Ngarang sendiri telah terluka pula.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ancak Liman.

“Tidak apa-apa,” jawab Jati Ngarang.

“Orang-orangmu dan bahkan kau sendiri terluka.”

“Akibat wajar dari pekerjaan yang telah aku pilih. Bahkan mati pun akan dapat terjadi setiap saat.”

Ancak Liman mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku datang untuk meyakinkan hasil pertukaran yang kau lakukan di pasar itu. Bukankah kau mempunyai jalur baru untuk mendapatkan candu itu?”

“Setan kau, Ancak Liman,“ geram Jati Ngarang, “jangan-jangan kau-lah yang telah berkhianat.”

“Kenapa?”

“Jika kau telah berkhianat, maka aku akan membunuhmu seperti membunuh Sura Bledug dan setelah itu Kerta Pendek.”

“Jangan menjadi gila, Jati Ngarang. Apa yang telah terjadi dengan gerombolanmu?”

“Dua orang suami istri telah datang merampas hasil pertukaran di pasar itu. Meskipun menurut keterangan mereka yang mereka cari adalah Kitab Mega Mendung, yang hilang dicuri oleh seseorang yang disebutnya Kasan Barong. Kedua orang itu menduga bahwa aku-lah Kasan Barong yang mereka cari.”

“He? Apa hubungannya perdaganganmu dengan Kitab Mega Mendung itu?”

“Tentu tidak ada. Mungkin hanya kesalahpahaman. Tetapi mereka telah merampas peti yang diduganya berisi kitab yang aku sembunyikan.”

“Apakah peti itu berisi candu?”

“Ya.”

“Jadi kau kehilangan candumu?”

“Ya..”

“Jangan bohong, Jati Ngarang. Kau tentu hanya ingin menghindari kewajibanmu membayar pajak kepada Ki Bekel.”

“Setan kau, Ancak Liman. Jangan membuat aku menjadi semakin gelisah. Aku sudah kehilangan hartaku yang tidak sedikit untuk menukar candu itu. Akhirnya candu itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak. Bahkan mungkin orang itu tidak tahu benda apakah yang berada di dalam peti itu.”

Ancak Liman tertawa. Katanya, “Kau, yang bergelar Jati Ngarang, yang ditakuti oleh banyak orang di daerah ini, harus tunduk kepada hanya dua orang suami istri.”

“Sambar petir kepalamu, Ancak Liman. Kedua orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi.”

“Jika kau mengancam agar aku tidak berkhianat, aku pun akan membuat perhitungan jika kau yang berkhianat kepada Ki Bekel.”

“Tutup mulutmu, atau aku akan menyumbatnya dengan sabut kelapa.”

Ancak Liman tertawa. Katanya, “Baik, baik. Jika yang kau katakan itu benar, maka aku akan menunggu perkembangan selanjutnya.”

“Tetapi jika akhirnya aku menemukan bukti bahwa kau telah berkhianat, maka jangan menyesali nasibmu dan nasib Bekelmu yang tamak itu.”

Ancak Liman pun kemudian meninggalkan Jati Ngarang. Masih dengan suara tertawanya ketika Ancak Liman itu keluar dari pintu rumah sarang gerombolan Jati Ngarang itu.

Namun orang yang bertubuh tinggi besar dan berdada lebar membentaknya, “Apa yang kau tertawakan? Jika kau mentertawakan kami, maka kau akan dapat aku cincang di sini.”

Ancak Liman berhenti. Dipandanginya orang bertubuh raksasa itu dari ujung kepalanya sampai ke ujung kakinya.

“Apakah kau tidak pernah tertawa?” sahut Ancak Liman itu.

“Sikapmu membuat jantungnya bagaikan tersulut api. Untung Ki Lurah masih sabar.”

“Kau bersikap seperti itu kepadaku? Aku akan memutar kepalamu.”

“Iblis! Kau berani mengancamku?”

Tetapi sebelum Ancak Liman menjawab, Jati Ngarang pun berkata, “Biarkan orang itu pergi.”

“Orang itu sangat memuakkan,” sahut orang bertubuh raksasa itu.

“Jangan hiraukan.”

“Justru aku yang menghiraukannya,” sahut Ancak Liman, “jika kau ijinkan, aku akan memberikan sedikit peringatan kepada orangmu yang tidak tahu diri itu.”

“Bagus,” sahut orang bertubuh raksasa itu, “Lurahe tentu tidak akan berkeberatan.”

Jati Ngarang itu merenung sejenak. Sementara orang bertubuh raksasa itu pun berkata selanjutnya, “Bukankah orang ini orang upahan Ki Bekel? Apa kelebihannya? Mungkin bagi orang-orang sepadukuhannya ia sangat ditakuti. Tetapi bagi kami di sini, ia tidak lebih dari tikus kecil sakit-sakitan.”

“Beri aku kesempatan, Jati Ngarang.”

Jati Ngarang itu merenung sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Tetapi kalian berdua harus bersikap jantan. Maksudku, yang kalah harus mengaku kalah.”

“Terima kasih,” sahut Ancak Liman sambil tertawa.

Beberapa saat kemudian, maka Ancak Liman dan orang yang bertubuh raksasa itu sudah berada di dalam arena. Kawan-kawan orang bertubuh raksasa itu melingkari arena itu sambil berteriak-teriak, “Patahkan tangannya! Patahkan kakinya!”

“Tidak!” bentak Jati Ngarang, “Yang akan berlangsung di arena adalah sekedar mengetahui, siapakah yang lebih tinggi ilmunya di antara mereka. Aku tidak ingin membuat persoalan dengan gerombolan-gerombolan lain. Aku tahu bahwa Ancak Liman itu tidak berdiri sendiri. Jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan seberani itu di dalam lingkungan kita di sini. Aku hanya ingin tahu, siapakah yang lebih baik dari keduanya. Siapakah yang mulutnya saja yang lebar, tetapi kemampuannya tidak lebih dari anak ingusan yang hanya pantas menggembala itik.”

Ancak Liman justru tertawa. Katanya, “Tepat. Tidak lebih dari anak ingusan yang hanya pantas menggembala kambing.”

Orang bertubuh raksasa itu pun menggeram, “Bersiaplah. Jika lehermu patah, itu bukan kesalahanku. Tetapi tulang-tulangmu-lah yang terlalu rapuh.”

Ancak Liman tidak menjawab. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri.

Ternyata Ancak Liman sengaja memamerkan kemampuannya di dalam lingkungan gerombolan yang dipimpin oleh Jati Ngarang. Pada suatu saat, ia akan datang bersama guru dan saudara-saudara seperguruannya untuk menghancurkan gerombolan itu dan merebut jalur perdagangan barang terlarang di daerah itu.

Sejenak kemudian, kedua orang itu telah terlibat dalam perkelahian. Ancak Liman yang sedang memamerkan kemampuannya itu dengan cepat berusaha mendesak lawannya. Bahkan ia pun dengan cepat pula telah meningkatkan kemampuannya semakin tinggi.

Ternyata orang bertubuh raksasa itu tidak diberinya kesempatan. Sejak perkelahian itu dimulai, maka Ancak Liman-lah yang menguasai arena perkelahian itu. Serangan-serangannya telah datang beruntun tanpa henti-hentinya.

Orang bertubuh raksasa itu terkejut mengalami serangan-serangan yang datang seperti prahara. Ia pun berusaha meloncat mundur untuk mengambil jarak dan ancang-ancang. Tetapi Ancak Liman tidak melepaskannya. Serangan-serangan justru selalu memburunya.

Sekali-sekali lawannya yang bertubuh raksasa itu juga mendapat kesempatan. Tetapi serangan-serangannya menjadi tidak berarti lagi. Setiap kali orang yang bertubuh raksasa itu terlempar dan terbanting jatuh.

Mula-mula orang itu dengan cepat bangkit dan bahkan berusaha untuk berganti menyerang. Tetapi semakin lama setelah beberapa kali ia terpelanting, maka punggungnya pun menjadi semakin terasa sakit. Sehingga pada suatu kali, kaki Ancak Liman berhasil menembus pertahanannya dan menghantam lambung.

Orang bertubuh raksasa itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh berguling menghantam sebatang pohon manggis.

Ketika orang itu berusaha untuk segera bangkit, terasa tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Lambungnya menjadi nyeri serta perutnya pun menjadi mual. Sehingga sesaat ia terhuyung-huyung. Akhirnya orang itu pun jatuh terkulai di tanah.

“Cukup!” teriak Jati Ngarang, “Kau telah memenangkan perkelahian ini.”

“Sayang, bahwa orangmu tidak mampu membuat aku berkeringat setitikpun, terlalu lemah dan tidak berdaya.”

“Tetapi ingat, bahwa orang itu adalah orang pada urutan terakhir dalam tataran kemampuan dari orang-orangku.”

Ancak Liman tertawa. Ia tidak menjawab. Tetapi ia pun melangkah pergi meninggalkan arena perkelahian itu.

Tertatih-tatih orang bertubuh laksasa itu bangkit berdiri. Namun demikian ia berhasil berdiri tegak, maka tangan Jati Ngarang telah terayun menampar wajahnya.

“Kau tidak pantas menjadi salah seorang pengikutku,” geram Jati Ngarang.

“Ampun, Ki Lurah. Mungkin aku terlalu meremehkannya, sehingga aku menjadi lengah. Tetapi pada kesempatan yang lain, aku akan memperbaiki kesalahanku ini.”

“Kau tidak usah membual!” Jati Ngarang membentak. Lalu katanya, “Yang terjadi menjadi peringatan bagi yang lain. Orang upahan itu saja mampu mengalahkan salah seorang dari kita yang selama ini kita anggap orang yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi ternyata hanya tubuhnya dan mulutnya sajalah yang besar.”

Tidak seorangpun menyahut. Mereka tahu benar bahwa pemimpinnya yang bernama Jati Ngarang itu sedang marah. Benar-benar marah.

Ketika Jati Ngarang kemudian meninggalkan arena, maka dua orang kawan dari orang bertubuh raksasa itu pun memapahnya ke baraknya.

Dalam pada itu, Ancak Liman itu pun segera menemui gurunya, untuk melaporkan, bahwa Jati Ngarang benar-benar telah bertemu dengan dua orang suami istri, yang mendapat tugas dari gurunya untuk mengambil kembali kitab perguruannya yang hilang.

“Tadi keduanya semula tidak tahu, bahwa Jati Ngarang telah melakukan perdagangan candu?”

“Nampaknya begitu. Bahkan kedua orang itu menyebut Jati Ngarang dengan Kasan Barong.”

Guru Ancak Liman itu mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian, yang terjadi atas Jati Ngarang itu bermula dari kesalahpahaman. Tetapi persoalannya tentu berkembang. Kedua suami istri itu bukan tidak tahu apa yang telah berhasil di rampasnya, karena ia justru telah melaporkan kepada Ki Demang dengan membawa bukti.”

“Ya,” Ancak Liman mengangguk-angguk.

“Baiklah. Siapapun kedua orang suami istri itu, akan kita temui mereka di Seca. Untuk menjaga rencana kita merebut pasaran candu itu, maka keduanya harus dibunuh.”

Hari itu pula guru Ancak Liman telah pergi ke Seca, untuk menjajagi kemungkinan baru bagi gerombolannya.

Ancak Liman yang berjalan di antara saudara-saudara seperguruannya dan bahkan gurunya itu tersenyum-senyum. Ia sudah mendapat uang cukup banyak dari Ki Bekel, yang seharusnya diberikannya kepada gurunya sebagai upah dari tugas yang dibebankannya kepada Ancak Liman. Membunuh dua orang suami istri yang telah mengetahui, sengaja atau tidak sengaja, rahasia perdagangan gelap itu. Namun Ancak Liman berhasil membujuk gurunya bersama beberapa orang saudara seperguruannya untuk pergi bersamanya, tanpa upah sekeping uangpun.

Perjalanan ke Seca adalah perjalanan yang agak panjang. Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang tidak merasa terikat oleh waktu sehingga harus menempuh perjalanan mereka dengan tergesa-gesa. Itulah sebabnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mencapai Seca di hari itu juga. Mereka harus bermalam di perjalanan mereka.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah padang perdu yang terhitung luas. Mereka duduk bersandar sebatang pohon yang besar, yang mencuat di antara gerumbul-gerumbul perdu dan rerumputan yang terhampar di atas tanah yang tidak rata.

Di tempat yang agak jauh mereka melihat hutan yang terbentang memanjang. Hutan yang agaknya masih liar. Di bibir hutan itu nampak berjajar batang pohon pucang, seolah-olah memagari hutan yang liar itu.

“Banyak pohon pucang di daerah ini,” desis Glagah Putih.

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “bukan hanya di pinggir hutan itu, tetapi di padang perdu ini juga banyak terdapat pohon pucang.”

“Kita akan membuat perapian,” berkata Glagah Putih.

Keduanya kemudian mengumpulkan kayu-kayu kering yang berserakan di sekitar pohon besar itu. Mereka pun segera menyalakan api untuk melawan udara yang terasa sangat dingin.

Malam itu langit nampak jernih. Bintang-bintang nampak berkerlipan. Bulan hanya nampak sebentar. Ketika malam menjadi makin dalam, maka bulan yang hanya sepotong itu pun segera tenggelam di balik cakrawala.

Namun rasa-rasanya malam itu tidak saja terlalu dingin meskipun mereka sudah menyalakan perapian, tetapi ada perasaan lain yang terasa mengusik hati mereka. Tetapi keduanya tidak tahu, getar apakah yang telah menyentuh persaan mereka malam itu.

Justru karena itu, maka baik Glagah Putih maupun Rara Wulan menjadi lebih berhati-hati. Sampai hampir tengah malam, belum seorangpun di antara mereka yang telah tertidur.

Baru kemudian Glagah Putih pun berkata, “Tidurlah, Rara. Biarlah aku berjaga-jaga sambil memanasi tubuh di perapian.”

“Kau tidak mengantuk, Kakang?”

“Ada sesuatu yang membuatku tidak mengantuk malam ini.”

“Apa?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu.”

“Baiklah, Kakang, aku akan tidur. Jika Kakang mulai mengantuk, bangunkan aku.”

Namun sebelum Rara Wulan memejamkan matanya, mereka melihat dua sosok bayangan di kegelapan yang datang mendekati mereka.

“Jangan tidur dahulu, Rara,” desis Glagah Putih.

Rara Walau pun kemudian duduk di samping Glagah Putih di dekat perapian.

Ternyata dua sosok bayangan itu langsung berjalan mendekati mereka berdua. Beberapa langkah dari perapian, mereka berhenti. Seorang di antara mereka pun berdesis, “Selamat malam, Ki Sanak.”

“Selamat malam,” sahut Glagah Putih.

Kedua orang itu melangkah semakin dekat. Seorang di antara mereka berkata, “Maaf, Ki Sanak, bahwa kami telah mengganggu Ki Sanak berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada datar Glagah Putih pun bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua ini?”

Namun yang seorang di antara mereka menyahut, “Kami-lah yang seharusnya bertanya kepada kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Glagah Putih pun kemudian menjawab, “Kami berdua adalah dua orang suami istri yang sedang mengembara, Ki Sanak.”

“Mengembara? Tanpa tujuan, maksudmu?”

“Ya, Ki Sanak. Kami mengembara mengikuti langkah kaki. Kami tidak tahu, kami akan sampai kemana.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang yang lain pun bertanya pula, “Apakah yang kau cari dalam pengembaraan kalian, Ki Sanak?”

“Kami ingin mendapat pengalaman bagi bekal hidup kami berdua di kemudian hari.”

“Pengembaraan berbeda dengan pergi ngenggar-enggar penggalih, Ki Sanak. Dalam pengembaraan seseorang, mungkin sekali akan ditemuinya bahaya yang dapat mengancam jiwa.”

“Asal kami tidak berbuat apa-apa yang dapat mengganggu orang lain, maka kami tidak akan menemui bencana seperti yang Ki Sanak katakan.”

“Apa yang kau maui, belum tentu bahwa itulah yang terjadi. Suatu ketika di dalam pengembaraanmu, kau akan bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang tidak kau inginkan. Bahkan mungkin sekali kau akan terperosk ke dalam kejadian-kejadian yang sangat membahayakan jiwa kalian. Kalian akan dapat masuk ke dalam satu kejadian yang memaksa kalian untuk melakukannya tanpa pilihan.”

Glagah Putih mengangguk angguk. Katanya, “Memang mungkin hal seperti itu terjadi, Ki Sanak. Tetapi kami berpegang kepada niat untuk tidak mencari kesulitan di sepanjang jalan pengembaraan kami. Jika kami berkelakuan wajar-wajar saja, aku kira kami pun akan diperlakukan dengan wajar oleh siapapun.”

“Mudah-mudahan kalian benar.”

“Sampai sekarang kami dapat mengucap syukur, bahwa kami selamat sampai di tempat ini.”

“Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Daerah ini bukan satu lingkungan yang tenang.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi maaf jika aku bertanya sekali lagi, siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“Aku Demang padukuhan Pucang. Kawanku ini adalah Ki Jagabaya. Kami melihat ada nyala api di padang perdu ini, sehingga kami memerlukan untuk menengoknya. Tidak biasa ada orang yang membuat perapian di padang perdu. Siapapun mereka.”

“Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Demang dan Ki Jagabaya.”

“Bahkan aku ingin menawarkan kepada kalian untuk bermalam di padukuhan kami, daripada kalian bermalam di padang perdu ini.”

“Terima kasih, Ki Demang,” jawab Glagah Putih sambil mengangguk hormat, “kita sudah sampai separuh malam. Karena itu, biarlah kami menghabiskan malam ini di sini, Ki Demang.”

“Jika itu pilihan kalian, terserah saja pada kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, berhati-hatilah. Malam di lingkungan terbuka di daerah ini kadang-kadang tidak bersahabat. Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan kalian.”

“Sudah kami katakan, Ki Demang, kami bersikap wajar-wajar saja kepada orang lain, sehingga agaknya orang lain pun akan memperlakukan kami dengan wajar.”

“Baiklah. Selamat malam. Kami akan kembali ke padukuhan. Tetapi ingat, jika besok pagi kalian meninggalkan tempat ini, hendaknya perapian itu kau padamkan, sehingga kau yakin bahwa tidak ada sepeletik api pun yang tersisa. Karena sepeletik api akan dapat membakar lingkungan ini, dan bahkan hutan di sebelah.”

“Baik, Ki Demang. Kami akan melakukannya dengan baik.”

Demikianlah, keduanya pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu, perapian mereka masih tetap menyala, menghangatkan tubuh mereka di tengah-tengah padang perdu yang dingin.

Ki Demang dan Ki Jagabaya pun meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan langkah-langkah panjang.

Ketika mereka kemudian hilang di kegelapan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak menghiraukannya lagi.

Dalam pada itu, langkah Ki Demang dan Ki Jagabaya pun terhenti ketika mereka mulai menapak di bulak persawahan.

Beberapa orang yang berdiri di jalan bulak itu segera mengerumuninya. Seorang di antara mereka melangkah maju sambil bertanya, “Siapakah mereka, Ki Demang? Apakah kami pantas mendatangi mereka?”

Ki Demang menggeleng. Katanya, “Mereka hanyalah dua orang pengembara. Nampaknya mereka kelaparan di tempat tinggal mereka, sehingga mereka pergi bertualang. Tidak ada yang kalian dapatkan dari mereka. Baju mereka kusut dan bahkan kumal. Mereka tidak membawa apa-apa selain sebatang tongkat kayu yang nampaknya dicabutnya dari pagar pategalan.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa mereka adalah pengembara yang tidak berpengalaman, sehingga membuat perapian di tempat terbuka. Kecuali mereka sengaja menjebak kami.”

“Apalagi menjebak kalian, bahkan mereka tidak mengerti bahwa di tempat terbuka di daerah ini kadang-kadang dilewati segerombolan perampok dan penyamun seperti kalian.”

“Jangan singgung lagi. Nanti aku bakar rumah di seluruh kademanganmu.”

“Maaf, aku tidak bermakasud menyinggung perasaanmu.”

Orang-orang yang menghentikan Ki Demang dan Ki Jagabaya itu pun kemudian meninggalkan Ki Demang dan Ki Jagabaya yang berdiri termangu-mangu.

“Iblis-iblis itu sekarang lebih berkuasa dari seorang Demang,” geram Ki Demang setelah segerombolan perampok itu pergi.

“Apa boleh buat, Ki Demang. Jika kita tidak mau berkorban perasaan seperti ini, maka rakyat kita-lah yang menjadi korban.”

“Itulah yang aku pikirkan. Jika kita tidak hanya memikirkan diriku sendiri, maka aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini, meskipun aku tahu bahwa aku tentu akan mereka bunuh.”

“Kita harus bertahan hidup Ki Demang. Selagi kita masih hidup, kita akan dapat mencari jalan untuk menghancurkan, setidak-tidaknya mengusir mereka dari kademangan ini.”

Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah tertidur sambil bersandar sebatang pohon yang besar, tidak jauh dari perapian. Sementara itu Glagah Putih duduk sambil memanggang tangannya, sehingga ia tidak menjadi kedinginan.

Di dini hari, Rara Wulan telah terbangun dengan sendirinya. Kepada Glagah Putih ia pun berkata, “Gantian, Kakang. Silahkan jika Kakang ingin tidur.”

Glagah Putih kemudian memang menyandarkan dirinya ke pohon yang besar itu. Tetapi Glagah Putih tidak tidur. Meskipun sekali-sekali matanya terpejam, namun ia masih tetap menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya.

Menjelang matahari terbit, maka keduanya pun telah membenahi diri. Mereka sempat pergi ke sebuah anak sungai, yang meskipun alirannya tidak terlalu deras, namun keduanya dapat mencuci wajah mereka di air yang terasa sangat dingin.

Hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun merencanakan untuk sampai di Seca. Mereka akan bermalam semalam. Sementara di keesokan harinya, pasar Seca akan menjadi lebih ramai dari hari-hari biasanya, karena besok adalah hari pasaran.

“Mudah-mudahan kita dapat berhubungan, setidak-tidaknya melihat, saudagar yang telah memperdagangkan barang-barang terlarang itu.”

“Ya. Bukankah menurut keterangannya, ia akan selalu berada di Seca pada hari-hari pasaran?”

“Kita akan mencarinya besok.”

“Apakah kita akan dapat berhubungan dengan para petugas yang berhak untuk menindak pedangang gelap itu?”

“Kita akan mencobanya. Tetapi kita tidak tahu, apakah para bebahu Kademangan Seca berani bertindak.”

“Jika tidak?”

“Kita akan bertindak atas nama kita sendiri. Jika mereka keberatan, maka kita akan mengalami kesulitan. Kita harus juga mempertimbangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas rakyat Seca.”

Keduanya pun terdiam sejenak. Namun mereka pun telah siap untuk berangkat menuju ke Kademangan Seca. Kademangan yang menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan adalah kademangan yang terhitung besar dan ramai, karena menjadi tempat pemberhentian para pedagang.

Bahkan menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, Seca adalah tempat yang tidak terlalu banyak diambah oleh para perampok dan penyamun, sehingga para pedagang banyak yang sempat singgah untuk menjual dan membeli dagangan.

Tetapi dalam perjalanan itu Glagah Putih berkata, “Tetapi kita harus berhati-hati, Rara. Mungkin Jati Ngarang telah memerintahkan orangnya untuk menghubungi pedagang yang telah memberikan barang-barang terlarang itu, karena yang terdahulu telah kita rampas dan kita musnahkan.”

“Memang mungkin sekali, Kakang.”

“Kita harus memperhatikan kemungkinan, bahwa yang ditugaskan oleh Jati Ngarang adalah orang-orang yang telah bertempur melawan kita berdua, sehingga mereka akan dapat mengenali kita. Dengan demikian, maka sulit bagi kita untuk dapat berhubungan dengan pedagang itu.”

“Kita akan menunggu, Kakang. Kita akan dapat menghubungi pedagang itu setelah petugas yang dikirim oleh Jati Ngarang itu selesai.”

“Ya. Itulah yang aku maksudkan, bahwa kita harus berhati-hati.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Demikianlah, mereka sehari-harian berjalan menuju Seca. Sekali mereka berhenti di sebuah kedai, ketika matahari sedikit melewati puncak langit.

Di sore hari, ketika matahari sudah hampir tenggelam di cakarawala, keduanya telah memasuki sebuah padukuhan yang terhitung besar dan ramai, yang menurut kata orang, padukuhan itu adalah padukuhan Seca, yang berada di sebuah kademangan yang besar pula yang juga bernama Seca.

Satu padukuhan yang terletak di hamparan tanah yang tidak terlalu rata. Di Kademangan Seca ada padukuhan yang letaknya agak tinggi, sementara padukuhan yang lain berada di satu dataran yang lebih rendah.

Sedangkan Seca adalah padukuhan yang terhitung besar. Di tengah-tengah padukuhan Seca itulah terletak pasar Seca yang besar dan ramai. Dikelilingi oleh keramaian yang menebar cukup luas. Kedai-kedai yang bukan saja kedai makanan dan minuman, tetapi juga kedai-kedai yang berjualan kebutuhan sehari-hari.

Melihat lingkungan yang ramai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menduga bahwa kademangan Seca, khususnya padukuhan induknya yang juga bernama Seca itu, adalah satu lingkungan yang tentram. Agaknya Seca tidak banyak diambah oleh para perampok yang berkeliaran di bulak-bulak panjang yang justru menuju ke Seca dan tempat-tempat ramai yang lain. Tempat para pedagang menggelar, atau membeli untuk di jual di tempat lain, dagangan mereka.

Meskipun matahari sudah menjadi semakin rendah, tetapi di sekitar pasar Seca masih membekas keramaian pasar di hari itu. Kedai-kedai di beberapa tempat di padukuhan itu pun masih buka. Masih nampak pula beberapa orang yang sibuk di sekitar pasar yang cukup besar itu.

“Besok pagi adalah hari pusaran,” desis Rara Wulan.

“Ya. Ada beberapa orang pedagang sudah berada di sini. Di sebelah pasar itu tentu ada beberapa rumah penginapan. Beberapa pedati sudah berada di halaman penginapan yang luas itu.”

“Pedati-pedati itu tentu mendapat pengawalan yang kuat,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Tapi mungkin pedati-pedati itu dibawa oleh para pedagang dari arah lain. Mungkin jalan yang mereka lalui bukan jalan yang banyak berkeliaran perampok dan penyamun.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Yang aku ingin tahu, bagaimana dengan Kademangan Seca ini sendiri.”

“Apakah kita akan menemui Ki Demang, Kakang?”

“Aku masih ragu-ragu. Mungkin Ki Demang Seca justru akan menentang kita.”

“Ya. Memang mungkin sekali.”

Keduanya pun terdiam sesaat. Mereka menepi ketika mereka melihat empat orang, yang nampaknya para petugas di kademangan itu, berjalan dengan memanggul tombak pendek di bahu mereka.

Demikian mereka berpapasan, maka Glagah Putih pun berkata, “Agaknya Kademangan Seca memiliki satu kesatuan untuk mengamankan lingkungan ini.”

“Keadaan kademangan ini memang memungkinkan untuk membiayai satu kesatuan pengaman, Kakang.”

“Ya. Banyak pemasukan yang diterima oleh kademangan maupun padukuhan. Namun agaknya para bebahu kademangan juga bertanggung-jawab atas keselamatan para pedagang yang datang untuk menjual dan membeli dagangan di kademangan ini.”

Keduanya pun terdiam. Mereka berjalan di jalan yang menjadi semakin sepi, ketika senja mulai turun. Beberapa kedai yang membuka pintunya, mulai menyalakan lampu minyak. Bahkan sebagian sudah mulai mengemasi dagangannya serta menutup pintunya.

“Kita akan mencari penginapan, Rara.”

“Dimana?”

“Sebaiknya kita bermalam di dekat pasar.”

“Baiklah, Kakang. Kita akan memilih penginapan yang tidak terlalu ribut.”

“Kesempatan untuk memilih agaknya tidak terlalu banyak, Rara. Tetapi baiklah, kita akan mencobanya.”

Sebenarnyalah bahwa penginapan-penginapan yang terdekat dengan pasar sudah penuh. Jika ada tempat, rasa-rasanya hanya diselipkan diantara para tamu yang sudah lebih dahulu datang. Di bilik-bilik yang sempit, atau justru di tempat yang terbuka.

Namun akhirnya keduanya pun mendapat penginapan yang cukup baik, meskipun tidak terlalu dekat dengan pasar.

“Tidak terlalu banyak tamu di sini, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Mungkin karena penginapan ini terhitung mahal. Kali ini kita berada di antara orang-orang dari tataran yang agak tinggi.”

“Yang agak tinggi. Bukan dari tataran yang terlalu tinggi.”

Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan berada di sebuah penginapan yang terhitung mahal. Karena itu, maka di penginapan itu tidak terhitung terlalu banyak tamu. Sampai malam turun, masih ada beberapa ruang yang belum terisi.

Namun ketika malam menjadi semakin malam, maka ruang-ruang di penginapan itu pun menjadi penuh. Agaknya mereka yang datang kemudian tidak lagi mendapat tempat di penginapan yang lain.

Suasana di penginapan itu pun menjadi semakin ramai. Di pendapa yang cukup luas, beberapa orang yang telah mandi dan berbenah diri, duduk dalam kelompok-kelompok kecil. Di sudut pringgitan, beberapa orang menabuh gamelan. Hanya beberapa jenis saja, ditabuh oleh lima orang pengrawit dan dimeriahkan oleh seorang pesinden. Agaknya kelompok itu adalah kelompok tetap yang memang bertugas di penginapan itu. Setidak-tidaknya setiap malam menjelang hari pasaran.

Glagah Putih dan Rara Wulau pun telah berada di pendapa pula. Mereka duduk tidak terlalu jauh dari sekelompok pengrawit yang sedang membunyikan gamelan, melantunkan tembang yang ngerangin.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun melihat empat orag petugas yang memasuki halaman dan berbicara dengan petugas di penginapan itu. Empat orang petugas yang datang itu bukan empat orang yang berpapasan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan di jalan. Keempat orang ini tidak membawa tombak, tetapi mereka menjinjing pedang.

“Penjagaan keamanan nempaknya cukup baik di sini, Kakang,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kademangan ini nampaknya memang bebeda. Jika beberapa orang Demang di sepanjang perjalanan kita bersedia melakukan pengamanan seperti ini, kademangan mereka tentu akan menjadi ramai kembali. Setidak-tidaknya menjadi lebih ramai dari yang ada sekarang. Memang ada dukungan timbal balik. Kademangan ini adalah kademangan yang kaya, sehingga mereka dapat mengangkat sekelompok prajurit sebagai ujud kuasanya.”

“Mungkin sekali, Kakang.”

Keduanya pun terdiam. Empat orang petugas itu pun kemudian meninggalkan halaman penginapan itu.

Sementara itu perhatian Glagah Putih tertuju kepada seorang laki-laki yang sudah separuh baya, yang berjongkok di samping seorang pengrawit dan bertanya lirih, “Kau sudah melihat Sutasuni dan seorang kawannya?”

Pangrawit itu menjawab sambil memukul gendernya, “Belum. Aku belum melihatnya.”

Orang yang berjongkok di sampingnya itu pun segera bergeser dan pergi meninggalkannya sambil menepuk bahunya.

Demikian orang itu pergi, maka pengrawit yang duduk di sebelahnya pun berpaling kepadanya dan berbisik perlahan. Suaranya tenggelam oleh bunyi gamelan yang mengalun lembut.

Glagah Putih menarik nafas. Nampaknya di balik ketenangan di sekitar pasar Seca ini juga tersimpan berbagai masalah yang bergejolak di bawah permukaan.

Glagah Putih pun melayangkan pandangan matanya mencari orang yang telah berjongkok di samping para pengrawit itu. Ternyata orang itu sudah berada di halaman. Ia berbicara dengan seorang yang lain. Namun kemudian mereka pergi ke arah yang berbeda.

Agaknya tamu-tamu yang lain tidak memperhatikannya. Mereka sibuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang berada di kelompok mereka masing-masing.

“Marilah kita berjalan-jalan keluar halaman, Rara,” ajak Glagah Putih.

Ternyata Rara Wulan pun tertarik pula. Karena itu maka ia pun mengangguk sambil bangkit berdiri.

Keduanya pun kemudian melangkah ke regol halaman. Di regol mereka bertemu dengan salah seorang petugas di penginapan itu.

“Kemana, Ki Sanak?” bertanya petugas di penginapan itu.

“Kami ingin berjalan-jalan sebentar. Bukankah jalan-jalan di sini aman?”

“Tentu, Ki Sanak. Para petugas selalu meronda siang dan malam. Mereka tidak memberi kesempatan kepada para perampok untuk melakukan kegiatannya di kademangan ini.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Kami ingin berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara sejuk.”

“Silahkan, Ki Sanak. Tetapi malam di kademangan ini akan terasa dingin.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan regol halaman. Mereka turun ke jalan dan melangkah ke arah pasar Seca, yang esok tentu akan sangat ramai di hari pasaran.

Ternyata jalan sudah menjadi sepi. Satu dua orang masih nampak berjalan menyusuri jalan utama kademangan yang ramai itu.

Sekali-sekali keduanya memang bertemu dengan para petugas yang sedang meronda. Agaknya para pemimpin di Kademangan Seca menyadari bahwa tidak terlalu jauh dari kademangannya, terdapat daerah yang rawan. Sehingga meskipun Seca sendiri dinyatakan aman, namun mereka tidak pernah menjadi lengah.

Glagah Putih dan Rara Wulan tertarik ketika mereka mendengar suara tembang Macapat yang ngelangut. Suara itu terlontar dari rumah yang ada di pinggir jalan yang mereka lewati.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun seakan-akan tidak dengan sengaja berjalan menuju ke arah suara itu.

Jalan-jalan memang menjadi semakin sepi. Di beberapa regol halaman terpancang obor yang menyala menerangi jalan yang mereka lalui.

Keduanya berhenti di depan sebuah regol halaman yang nampak terang. Suara tembang Macapat itu terlontar dari rumah itu.

Ketika seorang datang mendekati mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun mengangguk hormat.

“Marilah, Ki Sanak,” orang itu mempersilahkan, “adik ipar kemarin melahirkan. Malam ini beberapa orang tetangga dan kawan-kawan berdatangan untuk menyatakan ucapan selamat. Seperti kebiasaan kami di sini, kami bergantian membawa kitab-kitab babad dengan tembang Macapat.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Glagah Putih, “kami sedang berjalan melihat-lihat Seca di waktu malam.”

“Agaknya Ki Sanak memang bukan orang Seca?”

“Bukan, Ki Sanak. Kami memang bukan orang Seca.”

“Tetapi jika Ki Sanak ingin ikut hadir dalam pernyataan kegembiraan ini, kami akan menerimanya dengan senang hati.”

“Terima kasih. Kami akan melihat-lihat padukuhan ini, Ki Sanak.”

Pembicaraan mereka terhenti. Seorang dengan tergesa-gesa keluar dari halaman rumah itu. Orang itu adalah orang yang menarik perhatian Gagah Putih di penginapan. Orang yang telah berbicara dengan seorang pengrawit, mempertanyakan seorang yang bernama Sutasuni.

Orang yang mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian bertanya kepada orang itu, “Kau akan pergi kemana?”

“Aku belum menemukan orangnya. Aku harus menemukannya malam ini. Besok segala sesuatunya harus berjalan lancar.”

“Jangan gelisah. Orang itu akan kau ketemukan malam ini. Kau sudah mencarinya di penginapan yang sering dipergunakannya?”

“Sudah. Tetapi orang itu belum ada di sana.”

“Di sebelah pasar? Di penginapan yang ada pohon beringinnya itu?”

“Sudah. Tetapi ia juga tidak kelihatan di sana.”

“Tenanglah. Kadang-kadang ia datang lewat tengah malam.”

“Hubungan itu baru akan berlangsung untuk pertama kali. Jika kali ini gagal, maka aku tidak akan mendapat kepercayaan lagi.”

“Tunggu saja sampai tengah malam.”

Orang itu pun segera pergi. Sementara Glagah Putih di luar sadarnya memperhatikan orang itu sampai lewat jangkauan oncor di regol halaman.

Orang yang mempersilahkan Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Orang itu mencari saudara sepupunya.”

“Tetapi nampaknya ada sesuatu yang penting.”

“Ia selalu seperti itu. Tergesa-gesa, gelisah dan cemas. Wataknya memang demikian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah. Kami minta diri.”

“Jadi kalian benar-benar tidak singgah?”

“Terima kasih. Salam buat adik Ki Sanak suami istri. Semoga anaknya lekas menjadi besar dan berarti bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya dan bagi banyak orang.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Aku akan menyampaikannya.”

Demikianlah, maka Glaga Putih dan Rara Wulan pun melangkah meninggalkan regol halaman rumah itu, berlawanan arah dengan orang yang sedang mencari Sutasuni itu.

Namun kemudian, demikian Glagah Putih dan Rara Wulan menjauh, maka orang itu pun dengan tergesa-gesa telah masuk dan menyeberangi halaman.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tiba-tiba ingin mengetahui lebih jauh tentang rumah itu. Karena itu, maka mereka pun segera melingkari sebatang pohon yang besar dan mengamati regol itu dari jarak yang agak jauh. Dari tempat mereka Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mendengarkan suara tembang Macapat itu.

Namun beberapa saat kemudian, mereka melihat beberapa orang keluar dari regol halaman. Mereka pergi searah dengan orang yang mencari Sutasuni. Meskipun demikian, suara tembang Macapat itu masih saja terdengar mengalun di gelapnya malam.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada di tempatnya. Mereka masih menunggu, apa pula yang akan terjadi.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah itu. Meskipun suara tembang Macapat masih mengalun, tetapi di ruang lain, seorang yang bertubuh agak kegemukan yang duduk di sebuah amben bambu yang agak besar, dihadap oleh beberapa orang yang berdiri tegak, membentak, “Kalian harus ketemukan Sutasuni! Malam ini kalian harus membawa Sutasuni kepadaku.”

Orang-orang yang berdiri tegak itu mengangguk hormat sambil menjawab hampir berbareng, “Baik, Ki Lurah.”

Orang yang bertubuh agak gemuk yang tidak menakupkan bajunya itu menggeram, “Jika kalian tidak membawa Sutasuni kepadaku malam ini, maka kalian tidak akan sempat melihat matahari terbit esok pagi.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Selain Sutasuni, kalian juga membawa Dermagati itu kepadaku. Ular berkepala dua itu sudah tidak berarti apa-apa lagi bagiku. Ia sudah tidak berguna. Berbeda dengan Sutasuni, yang akan dapat menuntun kita kepada orang yang digelari Panji Kukuh itu.”

“Ya, Ki Lurah. Tetapi Panji Kukuh adalah seorang yang memiliki kekuatan dan kuasa yang besar,” berkata salah seorang di antara mereka yang menghadap.

“Kau takut, he? Sejak kapan kau menjadi seorang pengecut yang tidak berharga seperti itu?”

“Ampun, Ki Lurah. Aku tidak merasa takut. Aku memang tidak pernah takut kepada siapapun. Jika aku mengatakan bahwa Panji Kukuh mempunyai kekuatan dan kuasa yang besar, itu sekedar memberi peringatan kepada Ki Lurah.”

“Kau kira aku terlalu bodoh untuk mengenali orang-orang dari beberapa kelompok yang berkeliaran di Seca ini? Aku memang orang baru di sini. Kita memang baru memasuki lingkungan ini sejak dua tiga hari yang lalu. Tetapi kita harus tampil seperti ledakan guruh di langit. Mengejutkan, dan memaksa semua pihak mengakui kekuatan dan kuasa kita, termasuk Panji Kukuh. Mungkin kita juga akan berhadapan dengan para petugas di kademangan ini, yang agaknya cukup kuat. Tetapi aku yakin bahwa aku akan dapat mengalahkan mereka, dan kemudian menguasai lingkungan ini.”

“Aku mengerti, Ki Lurah. Tetapi kita harus memperhatikan selain Ki Panji Kukuh, juga kelompok Ki Samektaguna, yang juga memasuki dunia perdagangan barang-barang terlarang itu, selain berdagang wesi aji dan batu-batu mulia.”

“Persetan dengan mereka. Malam ini kita harus menangkap Sutasuni, untuk membawa kita kepada Panji Kukuh.”

Orang-orang yang menghadap orang yang agak gemuk yang duduk di amben sambil bersandar dinding itu pun terdiam.

“Nah, sekarang pergilah. Cari Dermagati dan Sutasuni sampai katemu. Seca yang selama ini seperti orang yang sedang terlelap tidur, besok pagi akan kita bangunkan. Kita akan membersihkan orang-orang yang selama ini menguasai jalur perdagangan itu. Siapapun mereka.”

“Ki Lurah. Aku hanya ingin memberikan sedikit keterangan tentang padukuhan Seca. Selama ini semuanya berlangsung di bawah permukaan. Seca nampak tenang-tenang saja. Para petugas tidak melihat kegiatan yang terjadi di kedalaman, di bawah permukaan yang tenang. Jika kita kita akan muncul ke permukaan, maka kita ikan mengejutkan padukuhan Seca. Sementara itu besok adalah hari pasaran, sehingga pasar itu akan menjadi sangat ramai.”

“Apa maksud peringatanmu itu?”

“Jika mungkin, apakah kita juga dapat bergerak di bawah permukaan, sehingga kehidupan sehari-hari Seca tidak terpengaruh karenanya? Jika kita bergerak di permukaan, maka gerakan kita akan banyak menghadapi tantangan. Tetapi jika kita bergerak di bawah permukaan, maka kita hanya akan berhadapan dengan kelompok-kelompok tertentu. Kita tidak mengusik kekuatan Ki Demang yang mengamankan lingkungan ini, yang jumlahnya serta kekuatannya terhitung besar.”

“Cukup!” bentak orang yang bertubuh agak gemuk itu, “Kau mau mengajari aku, ya?”

“Tidak, bukan maksudku. Aku hanya mengandalkan pengenalanku yang lebih mendalam tentang daerah ini. Jika Seca tetap tenang, maka kita akan tetap dapat memanfaatkan lingkungan ini untuk perdagangan jangka panjang kita, karena kita tidak akan berhadapan dengan kekuatan Ki Demang. Mungkin kita dapat memenangkan pertarungan yang mungkin terjadi. Tetapi selanjutnya Seca akan menjadi pasar yang sepi seperti kuburan. Apakah yang kita dapatkan dengan kemenangan kita di sini?”

Orang yang agak gemuk itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Apakah mungkin kita bergerak di bawah permukaan?”

“Kita ketemukan Sutasuni. Kita ketahui tempat Panji Kukuh. Kita pancing satu pertarungan di luar kademangan ini.”

“Bagaimana mungkin kita memancingnya keluar kademangan?”

“Kita bicarakan hubungan jual beli. Kita akan melakukan jual beli itu di luar Kademangan Seca.”

“Apakah mereka percaya?”

“Dermagati mencari Sutasuni dengan alasan itu. Jual beli. Penyerahan barang dan uang dilakukan di luar kademangan, untuk menghindari kekuatan Ki Demang yang besar. Kita berpengharapan untuk dapat menghancurkan kekuatan Panji Kukuh, sehingga gerombolan itu tidak akan mengganggu kita untuk selanjutnya.”

Orang yang bertubuh agak gemuk itu nampak berpikir. Pendapat seorang pembantunya itu sempat masuk di akalnya, sehingga ia pun berkata, “Tetapi ketemukan Dermagati dan Sutasuni.”

“Baik, Ki Lurah.”

“Setelah kau bawa Dermagati dan Sutasuni kemari, maka aku akan mengambil keputusan.”

Berapa orang pun kemudian melangkah keluar. Ketika mereka turun ke jalan, maka mereka telah berpencar. Glagah Putih dan Rara Wulan melihat mereka keluar.

“Mungkin mereka juga mencari orang yang disebut-sebut bernama Sutasuni itu. Orang yang dicari oleh orang separuh baya di penginapan.”

“Kita lihat, kemana mereka pergi.”

“Mereka berpencar.”

“Kita ikuti yang dua orang itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Dengan hati-hati keduanya mengikuti dua orang di antara beberapa orang yang berpencar itu. Batang pohon gayam yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan utama Kademangan Seca agaknya telah memberikan perlindungan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ternyata kedua orang itu justru pergi ke penginapan tempat Glagah Putih dan Rara Wulan menginap. Di pendapa penginapan itu masih ada beberapa orang yang duduk-duduk sambil berbincang kesana-kemari. Suara gamelan masih terdengar ngerangin. Meskipun gamelan yang ditabuh itu tidak lengkap seperangkat, tetapi suaranya cukup menyentuh. Apalagi di sepinya malam. Sementara angin yang berhembus perlahan menaburkan udara dingin.

Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki halaman penginapan itu pula. Petugas yang menyapanya pada saat keduanya pergi, berpapasan pula di halaman.

“Sampai ke mana saja Ki Sanak berdua berjalan-jalan?” bertanya petugas penginapan itu.

“Hanya mengikuti jalan utama ini, Ki Sanak.”

“Tetapi kalian keluar regol halaman cukup lama.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa pendek.

Tetapi keduanya tidak langsung menuju ke bilik mereka. Mereka melihat kedua orang yang mereka ikuti itu justru berbicara dengan tiga orang. Mereka duduk di pringgitan, tidak jauh dari para penabuh gamelan.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di pendapa itu sekali-sekali sempat memperhatikan mereka.

“Nampaknya mereka berbicara bersungguh-sungguh,” desis Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu, apakah yang mereka bicarakan.

“Agaknya seorang di antara mereka itulah yang bernama Sutasuni. Yang seorang adalah seorang yang sudah separuh baya yang mencari Sutasuni dan menanyakan kepada salah seorang pengrawit,” desis Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun terdiam. Panggraita mereka menangkap sesuatu yang bakal terjadi. Tetapi mereka tidak tahu, apakah yang akan terjadi itu.

“Kita tidak dapat mencampurinya lebih jauh,” berkata Glagah Putih. “Karena itu, kita lupakan saja orang yang bernama Sutasuni itu. Kita besok akan pergi ke pasar untuk melihat, apakah saudagar yang memperdagangkan barang-barang terlarang itu esok berada di pasar.”

“Kita juga harus berhati-hati terhadap para pengikut Jati Ngarang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Ternyata di kademangan yang tenang di permukaan ini, terdapat gejolak yang besar di bawahnya. Arus yang mengalir di kedalaman agaknya cukup besar, meskipun gejolaknya sama sekali tidak mengganggu ketenangan permukaan.”

“Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?”

“Tidur,” jawab Glagah Putih.

“Kita harus tidur bergantian,” desis Rara Wulan.

“Ya. Kau berjaga-jaga sekarang. Nanti gantian aku-lah yang tidur.”

“Aku yang mengajarimu.”

Glagah Putih tertawa.

Keduanya pun kemudian pergi ke pakiwan mencuci kaki dan tangan mereka. Kemudian mereka pergi ke bilik mereka.

Tidak ada yang menarik terjadi di penginapan. Glagah Putih dan Rara Wulan memang berniat tidur bergantian.

Namun dalam pada itu, para pengikut orang yang bertubuh agak gemuk itu telah berhasil menemukan Dermagati dan Sutasuni. Seperti biasanya Sutasuni memang bermalam di penginapan itu, tempat Glagah Putih dan Rara Wulan menginap.

Dengan ramah, maka Dermagati dan Sutasuni itu pun telah diajak menemui orang yang berperawakan agak gemuk itu.

“Ya. Aku sudah berjanji untuk mengajak Sutasuni menemui Ki Guntur Ketiga. Karena itu, maka aku persilahkan kalian pergi menemuinya,” berkata pembantu orang yang berperawakan agak gemuk itu.

“Apakah aku harus pergi menemuinya? Bukankah kalian itu kepercayaan Ki Guntur Ketiga?”

“Ya. Kami adalah pembantu Ki Guntur Ketiga.”

“Karena itu, biarlah kami berbicara dengan Ki Sanak saja. Semuanya sudah siap untuk dilaksanakan.”

“Sebenarnya aku pun dapat mengambil keputusan. Tetapi sebaiknya kau bertemu sendiri dengan Ki Guntur Ketiga, Sutasuni. Segala sesuatunya tentu akan dapat dibicarakan dengan tuntas.”

Sutasuni itu berpikir sejenak. Namun kawannya menggeleng sambil berkata, “Tidak perlu. Kita bicarakan saja di sini, sekarang.”

“Jangan begitu,” jawab pembantu Guntur Ketiga, “bukankah kita harus saling mempercayai, tetapi juga saling menghargai?”

“Jika aku datang menemui Guntur Ketiga, maka ia akan dapat menuntut untuk bertemu dengan Ki Panji Kukuh.”

“Memang mungkin sekali Ki Guntur Ketiga ingin berbicara dengan Ki Panji Kukuh. Tetapi apa salahnya? Mereka adalah pemimpin dua kelompok pedagang yang akan bekerja sama untuk dapat saling menguntungkan. Tanpa kepercayaan, maka hubungan kedua kelompok ini akan menjadi sangat rapuh. Yang satu selalu mencurigai yang lain.”

“Tidak perlu,” kawan Sutasuni itu pun menyahut, “kita bicarakan tuntas di sini, atau tidak sama sekali.”

“Jangan berkata seperti itu, Ki Sanak,” berkata pembantu Guntur Ketiga.

Sutasuni agaknya menjadi gelisah. Ketika ia memandang berkeliling, maka beberapa orang ternyata sedang memperhatikan mereka yang pembicaraanya mulai menghangat.

“Kita bicara di bilikku,” berkata Sutasuni, “di sini kita akan dapat menarik perhatian banyak orang.”

Kedua orang pengikut Guntur Ketiga itu pun menjadi ragu-ragu. Namun kemudian seorang di antara mereka pun berkata, “Baik. Kita bicarakan di dalam bilik Sutasuni.”

Mereka berlima pun kemudian meninggalkan pringgitan, masuk ke dalam bilik Sutasuni. Bilik yang terhitung besar, yang ternyata sudah dipesannya lebih dahulu. Adalah kebetulan sekali bahwa bilik itu berada di sebelah bilik Glagah Putih.

Rara Wulan yang sudah membaringkan tubuhnya di pembaringan dan matanya sudah separuh terpejam, tiba-tiba telah terbuka lebar-lebar ketika ia mendengar pembicaraan di bilik sebelah. Pembicaraan yang agaknya kurang sejalan, sehingga suasananya agak menjadi panas.

“Bukankah sederhana sekali?” berkata kawan Sutasuni. “Bawa uangnya kemari. Kemudian, bawa barang-barang yang kau butuhkan itu. Bukankah tidak ada masalah apa-apa yang menyulitkan?”

“Pelaksanaannya sebagaimana kau katakan itu memang sederhana. Tetapi tidak hanya itu masalahnya.”

Kepercayaan Guntur Ketiga itu pun bertanya, “Apakah barangnya ada di sini?”

“Tidak. Barangnya masih ada pada Ki Panji Kukuh. Tetapi aku-lah yang bertanggungjawab agar barang itu sampai kepadamu, demikian uangnya kau berikan.”

“Sutasuni,” berkata pembantu Guntur Ketiga, “Ki Guntur Ketiga menghendaki segala sesuatunya berlangsung dengan baik. Ki Guntur Ketiga menginginkan pertukaran itu dilakukan langsung dari tangan ke tangan. Karena itu, maka hal itu akan dapat dilakukan di luar kademangan ini, agar tidak menarik perhatian. Biarlah Ki Panji Kukuh membawa barangnya, sedangkan Ki Guntur Ketiga membawa uangnya.”

“Jika cara itu yang dikehendaki, tentu saja dapat dilakukan.”

“Karena itu, marilah kita pergi menemui Ki Guntur Ketiga.”

“Dimana pertukaran itu akan dilaksanakan, menurut Ki Guntur Ketiga?”

“Bukankah tidak terlalu jauh dari kademangan ini terdapat hutan yang membujur sampai ke pinggir sungai? Nah, di ujung hutan yang menjorok sampai ke tanggul sungai itu kita akan bertemu. Di tepian sungai itu.”

Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia pun berkata, “Jika demikian, apa gunanya aku bertemu langsung dengan Ki Guntur Ketiga? Bukankah semua bahan pembicaraan telah kita sepakati di sini?”

“Tetapi biarlah Ki Guntur Ketiga mengambil keputusan langsung setelah kau menemuinya.”

“Aku dapat mengambil keputusan tanpa hadirnya Ki Panji Kukuh.”

“Mungkin ada perbedaan watak antara Ki Panji Kukuh dengan Ki Guntur Ketiga. Tetapi aku anjurkan, sebaiknya kau datang kepadanya. Marilah aku antar kalian. Kami-lah yang akan mempertanggungjawabkan keselamatan kalian. Selebihnya, Ki Guntur Ketiga tentu tidak akan mencelakai kalian, karena ia sangat mengharapkan pertukaran itu berlangsung dengan baik.”

Bilik di sebelah bilik Glagah Putih itu menjadi hening sejenak. Namun kemudian terdengar Sutasuni berkata, “Baiklah. Kami akan menemui Ki Guntur Ketiga.”

“Bagus. Ternyata kau sangat bijaksana.”

Kepada seorang kawannya Sutasuni pun berkata, “Dermagati. Katakan kepada Ki Panji Kukuh bahwa aku menemui Ki Guntur Ketiga, untuk membicarakan pelaksanaan pertukaran esok.”

“Aku ikut bersamamu, Sutasuni.”

“Itulah sifat licikmu. Jika pembicaraan mengenai pertukaran ini selesai, pelaksanaannya pun berlangsung dengan lancar, maka kau tentu akan mendapatkan bagianmu, seperti sudah kita bicarakan.”

“Bukan hanya aku yang licik, Sutasuni. Kau pun licik. Karena itu, aku harus mendengar pembicaraan itu langsung.”

“Baiklah,” sahut Sutasuni. Lalu katanya kepada kawannya, “Kau-lah yang menghadap Ki Panji Kukuh. Katakan bahwa aku menemui Ki Guntur Ketiga. Jika sebelum fajar aku tidak datang menemuinya, terserah tidakan apa yang akan diambil oleh Ki Panji Kukuh.”

“Jadi kau masih saja curiga, Sutasuni?”

“Tidak. Aku hanya ingin berhati-hati.”

Demikianlah, maka lima orang yang berada di dalam bilik Sutasuni itu pun segera meninggalkan ruangan.

“Pembicaraan yang sangat menarik,” desis Glagah Putih.

“Apakah kita akan berdiam diri?”

“Kita belum tahu waktu yang pasti yang dipilih oleh kedua belah pihak.”

“Ya. Karena itu, kita harus berada di sana sejak dini hari esok pagi.”

“Tidak, Rara. Salah seorang mengatakan bahwa jika sebelum fajar ia tidak kembali, maka berarti sesuatu terjadi padanya. Sehingga karena itu, maka pertemuan itu tentu dilakukan setelah fajar. Setelah orang itu kembali menemui pemimpinya dan membicarakan pelaksanaannya.”

“Jika demikian, maka kita dapat menunggu saat matahari terbit.”

“Ya.”

“Dengan demikian, kita sempat tidur sejenak, jika kita ingin melihat permainan yang menegangkan itu.”

“Ya. Kita bangun menjelang fajar. Mudah-mudahan tidak ada perubahan apa-apa yang terjadi.”

Sebenarnyalah sesaat kemudian, bergantian keduanya pun menyempatkan diri untuk tidur barang sebentar.

Menjelang fajar keduanya telah berbenah diri. Namun mereka tertegun ketika mereka mendengar di bilik sebelah dua orang berbicara, “Bersiaplah. Kita akan ke ujung hutan itu.”

“Kau mempercayai sepenuhnya janji Ki Guntur Ketiga?”

“Kita tidak akan dapat percaya kepada siapapun. Kita harus segera bersiap. Ki Panji Kukuh akan membawa kekuatan penuh.”

“Tetapi tidak bersama-sama. Kita akan pergi lebih dahulu mempersiapkan medan sebaik-baiknya.”

“Kau kira Guntur Ketiga tidak membawa seluruh kekuatannya?”

“Guntur Ketiga tentu membawa semua kekuatan yang ada padanya. Ki Panji Kukuh memerintahkan agar kita tidak mulai mengambil langkah-langkah yang salah. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, apa boleh buat.”

Glagah Putih menggamit Rara Wulan untuk memperhatikan pembicaraan itu.

Sejenak kemudian, terdengar langkah kedua orang itu keluar. Pintu bilik itu pun terdengar tertutup kembali.

“Mereka pergi ke ujung hutan untuk mempersiapkan medan,” berkata Glagah Putih hampir berbisik.

“Ya. Agaknya akan terjadi sesuatu yang gawat di ujung hutan itu.”

“Kita akan melihat, apa yang akan terjadi.”

“Tetapi bagaimana dengan saudagar itu?”

“Agaknya peristiwa di ujung hutan itu lebih penting untuk diketahui. Jika saudagar yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu tidak terlibat, maka kita akan dapat mencari sepekan lagi di pasar ini pula.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita harus segera berangkat pula.”

Keduanya pun segera meninggalkan penginapan itu. Namun mereka sudah tidak melihat kedua orang yang berbicara di bilik sebelah.

“Seorang dari kedua orang yang berbicara tadi tentu Sutasuni,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Agaknya Sutasuni termasuk orang penting di kelompoknya, sehingga ia mendapat tugas untuk mempersiapkan medan.”

“Lalu, sekarang kita pergi ke mana?” bertanya Rara Wulan.

“Kita akan langsung pergi ke ujung hutan. Tetapi kita akan berada di seberang sungai. Bukankah mereka merencanakan untuk melakukan pertukaran, atau katakan jual beli, di tepian?”

“Ya, Kakang. Tetapi agaknya di sekitar tempat itu akan bertebaran kekuatan dari kedua belah pihak. Mungkin mereka akan berhadapan denngan terbuka, tetapi mungkin masing-masing akan menyembunykan kekuatan mereka, sehingga jika sampai saatnya, kekuatan itu akan dipergunakan.”

“Tetapi mungkin juga sama sekali tidak dipergunakan.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

Demikianlah, mereka pun segera pergi menuju ke ujung hutan, tidak terlalu jauh dari padukuhan Seca yang terhitung ramai itu.

Namun keduanya memang harus sangat berhati-hati. Mereka sadari bahwa yang akan bertemu di ujung hutan itu adalah kekuatan-kekuatan dari lingkungan perdagangan gelap yang cukup kuat. Sehingga jika terjadi benturan, akan merupakan benturan yang sengit. Tetapi mungkin pula mereka menemukan titik temu dalam pembicaraan mereka, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.

Yang dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan mula-mula justru menyeberangi sungai. Baru di seberang mereka dengan hati-hati pergi menuju ke tepian, di sebelah ujung hutan yang menjorok sampai ke tanggul sungai.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan adalah dua orang suami istri yang berilmu tinggi, sehingga keduanya mampu menempatkan diri mereka di satu tempat yang tersembunyi, namun yang dari tempat itu mereka dapat melihat tepian sungai yang memanjang sampai ke tikungan.

“Agaknya mereka akan melakukan pertukaran, atau katakan jual beli, di dekat tikungan sungai itu. Tepiannya agak lebih luas dari bagian lain,” berbisik Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk.

Namun mereka pun terdiam. Di keremangan pagi menjelang matahari terbit, mereka melihat beberapa orang yang merunduk dan hilang masuk ke dalam hutan.

“Siapakah mereka, Kakang? Orang-orang Panji Kukuh atau orang-orang Guntur Ketiga?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Kita tidak mengetahui sama sekali ciri-ciri mereka, Rara. Kita pun mungkin akan keliru menebak, yang manakah Panji Kukuh dan yang manakah Guntur Ketiga.”

“Kita mengenal seorang di antara mereka. Di mana Sutasuni berdiri, maka orang itu tentu Panji Kukuh.”

“Ya. Agaknya pada saat-saat yang menentukan, Sutasuni akan tetap berada di antara para pengikut Panji Kukuh.”

Sementara itu, matahari pun mulai naik ke atas cakrawala. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu, sampai kapan mereka akan menunggu.

Tetapi agaknya pertukaran itu akan dilakukan tidak terlalu siang. Mereka melihat beberapa orang lagi menghilang ke dalam hutan. Namun mereka pun melihat pula beberapa orang yang agaknya orang-orang dari kelompok yang lain, berada di seberang, sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Hati-hati, Rara. Ada di antara mereka yang bersembunyi di hadapan kita.”

“Ya, Kakang. Agaknya mereka mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan orang-orang yang masuk ke dalam hutan.”

“Bagaimanapun juga, perdagangan gelap ini tentu akan saling mencurigai. Mereka memang tidak pernah percaya kepada siapapun juga. Bahkan kepada kawan-kawan mereka sendiri.”

Rara Wulan tidak menjawab.

Sementara itu langit pun menjadi semakin cerah. Matahari mulai memanjat langit. Rasa-rasanya matahari itu bergerak lamban sekali.

Namun akhirnya saat-saat yang ditunggu itu pun datang pula. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berkumis tebal tetapi berjenggot tipis, telah turun ke tepian.

Beberapa orang mengiringinya di belakang. Seorang di antara mereka adalah Sutasuni.

“Tentu orang itu yang menyebut dirinya Sutasuni,” berkata Rara Wulan.

“Yang mana?” bertanya Glagah Putih.

“Seorang di antara mereka, yang kita lihat berbicara di penginapan dengan dua orang yang kita ikuti itu. Mereka berbicara di pringgitan, namun kemudian pindah ke bilik sebelah bilik yang kita pergunakan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tentu Panji Kukuh.”

“Agaknya memang demikian.”

Keduanya terdiam. Keduanya memperhatikan orang yang bertubuh tinggi itu dengan sungguh-sungguh. Apalagi karena jarak mereka tidak terlalu dekat.

Orang yang bertubuh tinggi itu pun menengadahkan wajahnya. Nampaknya ia memandang matahari pagi yang memanjat langit semakin tinggi.

“Mana orang yang bernama Guntur Ketiga itu?” geram orang yang bertubuh tinggi.

“Ia berjanji akan datang pada saat matahari sepenggalah,” jawab orang yang bernama Sutasuni.

“Apakah kau yakin bahwwa orang itu tidak berbohong?”

“Agaknya orang itu bersungguh-sungguh, Ki Panji.”

“Kalau beberapa saat lagi ia tidak datang, aku akan meninggalkan tempat ini. Aku harus segera berada di pasar. Ada beberapa pembicaraan lain yang harus aku tuntaskan. Bukan hanya sekedar perdagangan gelap ini saja. Tetapi aku juga berdagang kain dan kerajinan dari perak, emas serta batu permata.”

“Kita tunggu sampai matahari sepenggalah,” desis Sutasuni.

Orang yang disebut Ki Panji itu pun berjalan hilir mudik. Beberapa orang pengikutnya berdiri termangu-mangu di sekitarnya.

Beberapa saat kemudian, sekelompok orang nampak berjalan menyusuri sungai itu menuju ke tikungan. Yang berjalan paling depan adalah seorang yang bertubuh agak gemuk. Bajunya terbuka di dadanya, karena keringat selalu mengalir dari lubang-lubang kulitnya.

“Mereka datang,” desis Sutasuni.

“Ya,” orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk, “mereka membawa pengikutnya cukup banyak.”

“Ya. Guntur Ketiga tentu bukan seorang yang jujur. Menilik bicaranya yang terlalu ramah, sikapnya yang lembut serta tertawanya terlalu banyak, meski dipaksakannya. Namun di balik bicaranya yang lembut itu, Guntur Ketiga adalah orang yang sangat sombong. Licik, dan tentu seorang yang kejam,” berkata Sutasuni.

Ki Panji Kukuh itu pun berkata, “Berhati-hatilah.”

Ki Panji Kukuh yang hanya dengan beberapa orang pengikutnya yang berdiri di tepian itu menjadi tegang. Orang yang bernama Guntur Ketiga itu membawa kekuatan melampaui kebutuhan dalam hubungan perdagangan gelap.

“Orang itu tidak dapat dipercaya,” berkata Panji Kukuh, “tetapi kita menunggu, apa yang mereka lakukan. Kita jangan mulai dengan sikap dan perbuatan yang dapat memancing kekeruhan. Kita akan berbuat apa saja, menyesuaikan diri dengan orang yang kita hadapi. Sokurlah jika perdagangan kita akan dapat saling menguntungkan dengan mereka.”

Sutasuni mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah Ki Guntur Ketiga datang dengan sekelompok pengikutnya. Selain mereka, Guntur Ketiga juga sudah menempatkan beberapa orangnya di seberang sungai.

Sejenak kemudian, maka Ki Guntur Ketiga pun telah berada di tepian yang lebih luas. Sambil tertawa ia pun berjalan ke arah orang yang berdiri menunggunya itu.

“Aku tentu berhadapan dengan Ki Panji Kukuh.”

“Ya. Bukankah yang datang ini Ki Guntur Ketiga?”

“Tepat, Ki Panji. Aku adalah Guntur Ketiga. Aku datang untuk membuka sebuah hubungan baru yang saling menguntungkan.”

“Ya, Ki Guntur Ketiga. Aku berharap demikian.”

“Nah, bukankah orang-orang seperti kita tidak pernah mempunyai banyak waktu untuk berbasa-basi? Karena itu maka kita akan mulai dengan hubungan jual beli di antara kita.”

“Aku sependapat, Ki Guntur Ketiga.”

“Kau sudah membawa barangnya?”

“Ya.”

“Nah, berikan kepada kami. Kami akan memberikan uangnya.”

“Kita akan melakukan jual beli dari tangan ke tangan. Tunjukkan uangmu. Aku akan menunjukkan barang yang kau kehendaki.”

“Bagus,” sahut Ki Guntur Ketiga sambil tertawa pendek, “agaknya kita akan dapat membuat hubungan di antara kita ini berkelanjutan. Ki Panji Kukuh tentu menyadari, sikap jujur dari masing-masing pihak akan membuat hubungan bukan hanya hari ini. Tetapi selama mungkin dapat kita pertahankan.”

“Aku sependapat, Ki Guntur Ketiga.”

“Nah, mana barang-barangmu itu?”

“Kami membawanya. Tetapi tunjukkan uangmu.”

Ki Guntur Ketiga memberikan isyarat kepada seorang pengikutnya yang membawa kampil. Katanya, “Aku membawa uang perak dan uang emas. Karena itu, nampaknya ringkas dan tidak terlalu banyak.”

“Itu lebih baik. Ki Guntur Ketiga,” sahut Ki Panji Kukuh.

Pengikut Ki Guntur Ketiga itu pun kemudian menyerahkan kampil kepadanya. Sambil menerima kampil itu, maka Ki Guntur Ketiga pun berkata, “Mana barang itu?”

Ki Panji Kukuh pun kemudian memerintahkan orangnya untuk membawa peti yang berisi candu itu maju selangkah. Ketika peti kecil itu dibuka, maka Ki Guntur Ketiga pun melihat isinya sebagaimana telah dibicarakan.

Ki Guntur Ketiga itu pun tertawa. Katanya, “Bagus, Ki Panji Kukuh. Serahkan peti itu kepadaku.”

“Baik. Tetapi Ki Guntur Ketiga pun harus menyerahkan uang itu pula kepadaku. Aku akan menghitungnya, apakah uang itu sesuai dengan pembicaraan kita atau tidak.”

Namun tiba-tiba sikap Ki Guntur Ketiga pun berubah. Ia pun mengangkat tangannya sambil berkata, “Anak-anak, ambil peti itu.”

“Kenapa?” bertanya Ki Panji Kukuh, “Kami tentu akan menyerahkannya. Tetapi mana uang itu?”

Ki Guntur Ketiga tidak menghiraukannya. Bahkan sekali lagi ia berteriak, “Cepat! Selesaikan mereka segera! Kita tidak mempunyai banyak waktu.”

Para pengikut Guntur Ketiga pun segera bergerak. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari para pengikut Panji Kukuh.

Namun demikian mereka bergerak, maka mereka pun terkejut. Beberapa orang muncul dari dalam hutan. Sebelum para pengikut Ki Guntur Ketiga itu menyadari apa yang terjadi, maka berpuluh anak panah pun meluncur dari busurnya.

Beberapa orang langsung terdorong beberapa langkah surut. Di dada mereka tertancap anak panah yang dilontarkan oleh para pengikut Ki Panji Kukuh dari atas tanggul.

“Curang kau, Panji Kukuh!” teriak Ki Guntur Ketiga. “Kau sudah menyiapkan pengikutmu untuk merunduk orang-orangku.”

“Jika segala sesuatunya berjalan wajar, aku tidak akan mempergunakan mereka. Tetapi kau berniat berbuat curang, sehingga aku pun terpaksa mempertahankan diri.”

“Persetan. Aku akan membunuhmu!”

Ki Guntur Ketiga itu pun segera meloncat menyerang Ki Panji Kukuh dengan serunya. Namun Ki Panji Kukuh pun telah siap menghadapinya.

Sutasuni yang sudah terlibat dalam pertempuran masih sempat berteriak, “Guntur Ketiga, inikah caramu berhubungan dagang?”

“Setan kau, Sutasuni. Aku bukan pedagang, tetapi aku berniat menemui Panji Kukuh untuk merampoknya. Nah, sebentar lagi aku akan membawa sekotak candu itu tanpa harus membayar sekepingpun.”

“Kau memang tidak perlu membayar sekepingpun. Tetapi kau justru harus membayar dengan nyawamu,” geram Panji Kukuh.

“Kesombonganmu bagaikan menyentuh langit. Tetapi kau akan mati, Panji Kukuh. Orang-orangmu akan kami tumpas habis di tepian sungai ini.”

Ki Panji Kukuh tidak menjawab. Tetapi Ki Panji Kukuh itu telah menyerang pula dengan garangnya.

Keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang seru. Sementara itu, orang-orang Ki Guntur Ketiga yang berada di seberang pun telah turun pula ke tepian.

Untuk beberapa saat serangan-serangan anak panah para pengikut Ki Panji Kukuh masih meluncur dari atas tanggul. Namun bersamaan dengan itu, beberapa orang telah berloncatan turun dengan senjata di tangan.

Pertempuran di tepian itu pun segera berkobar dengan sengitnya, ternyata jumlah mereka pun kemudian tidak terpaut banyak. Meskipun semula jumlah para pengikut Ki Guntur Ketiga lebih banyak, tetapi serangan-serangan anak panah dari tanggul itu telah mengurangi jumlah itu.

Ki Guntur Ketiga yang bertempur melawan Ki Panji Kukuh itu pun telah meningkatkan kemampuannya. Namun ternyata Ki Panji Kukuh pun masih saja mampu mengimbanginya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin lama semakin seru.

“Ternyata Guntur Ketiga-lah yang telah memulainya,” desis Rara Wulan yang masih berada di balik rimbunnya gerumbul perdu.

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Panji Kukuh berniat berdagang dengan jujur.”

“Namun perdagangan itu tetap saja perdagangan yang terlarang.”

“Ya, Kakang benar.”

Keduanya terdiam. Mereka memperhatikan pertempuran di tepian itu dengan saksama. Nampaknya kekuatan keduanya seimbang, sehingga pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit.

Beberapa orang telah terkapar di tepian. Yang terdengar di sela-sela teriakan-teriakan kemarahan, juga erang kesakitan.

“Apakah yang dapat kita lakukan, Kakang?”

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa, Rara. Kita tentu tidak akan dapat berpihak pada salah satu pihak. Kita pun tidak akan dapat menghadapi kedua kelompok itu.”

“Apakah kita akan melaporkan kepada Ki Demang Seca?”

“Waktunya tidak akan cukup. Jika kita pergi menemui Ki Demang sekarang, maka pertempuran itu tentu sudah selesai.”

“Tetapi pertempuran itu sedang berlangsung, Kakang.”

“Maksudku, demikian Ki Demang dan pasukannya datang, pertempuran itu sudah selesai. Salah satu pihak tentu sudah dikalahkan oleh pihak yang lain.”

“Tetapi Ki Demang dapat menyaksikan bekas pertempuran itu, serta menilai apa yang telah terjadi di sini.”

“Baiklah, Rara. Kita mencoba untuk melaporkan kepada Ki Demang Seca.”

Namum sebelum mereka meninggalkan persembunyiannya, maka mereka telah menyaksikan puncak dari pertempuran itu. Ki Guntur Ketiga dan Ki Panji Kukuh telah meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

Ternyata keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Baik Ki Guntur Ketiga maupun Ki Panji Kukuh mampu melontarkan ilmu andalan mereka untuk menyerang, tanpa sentuhan kewadagan.

Ketika seleret sinar lepas dari telapak tangan Ki Guntur Ketiga meluncur ke arah Ki Panji Kukuh, dengan tangkasnya Ki Panji Kukuh meloncat menghindarinya. Sebaliknya, ketika Ki Panji Kukuh melontarkan ilmunya pula, Ki Guntur Ketiga pun mampu pula menghindar.

Namun selain kedua orang itu, nampak bahwa para pengikut Ki Panji Kukuh memiliki kelebihan dari para pengikut Ki Guntur Ketiga. Satu-satu orang-orang Ki Guntur Ketiga terpelanting jatuh di tepian berpasir.

Meskipun para pengikut Ki Panji Kukuh juga sudah menyusut, tetapi jumlah korban yang terkapar di tepian agaknya lebih banyak para pengikut Ki Guntur Ketiga daripada pengikut Ki Panji Kukuh.

Karena itulah maka Ki Guntur Ketiga yang semula yakin akan dapat menghancurkan gerombolan Ki Panji Kukuh dan merebut jalur lintasan perdagangan gelap itu pun mulai menjadi gelisah. Apalagi ketika Ki Guntur Ketiga telah sampai ke ilmu puncaknya. Ki Panji Kukuh masih mampu mengimbanginya.

Karena itulah, maka Ki Guntur Ketiga tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak mau mati. Ia masih ingin berbuat sesuatu di kemudian hari untuk membalas kekalahannya itu.

Karena itu, maka Ki Guntur Ketiga itu pun segera meneriakkan isyarat bagi orang-orangnya yang masih tersisa.

Ternyata bahwa para pengikut Ki Guntur Ketiga adalah orang-orang yang setia. Ketika mereka mendengar isyarat yang diteriakkan oleh Ki Guntur Ketiga, maka mereka pun segera bergerak dengan cepatnya dalam satu putaran. Namun kemudian di tepian itu telah terjadi kekisruhan. Orang-orang Ki Guntur Ketiga telah berlari-larian tidak menentu.

Dalam keadaan yang kacau itulah maka Ki Guntur Ketiga dan dua pengawal terpilihnya telah melarikan diri dari arena. Sementara beberapa orang pengikutnya telah menyediakan diri mereka untuk menjadi tumbal usaha Ki Guntur Ketiga melarikan diri.

Namun Ki Panji Kukuh tidak membiarkannya terlepas dari tangannya. Ketika Ki Guntur Ketiga itu sedang memanjat tebing, maka Ki Panji Kukuh telah menyerangnya dengan ilmu pamungkasnya. Seleret sinar putih meluncur dengan cepatnya dan tepat mengenai punggung Ki Guntur Ketiga.

Terdengar teriakan nyaring. Ki Guntur Ketiga yang kecewa, marah dan mendedam itu berteriak sehingga rasa-rasanya bumi pun telah berguncang. Namun orang itu pun kemudian menggeliat, sehingga tangan-tangannya tidak lagi berpegangan tebing sungai yang dipanjatnya.

Ki Guntur Ketiga itu pun terjatuh kembali ke tepian.

Dua orang pengawalnya pun telah meloncat turun pula. Dengan cepat seorang di antara mereka pun segera mendukung Ki Guntur Ketiga di pundaknya, sedang yang lain berusaha melindunginya.

Ki Panji Kukuh ternyata membiarkan dua orang pengawal itu membawa tubuh Ki Guntur Ketiga pergi. Ketika para pengikut Ki Guntur Ketiga yang sudah kehilangan pemimpinnya itu berusaha untuk melarikan diri, Ki Panji Kukuh mengisyaratkan agar para pengikutnya tidak mengejarnya.

“Kita tinggalkan tempat ini secepatnya,” berkata Ki Panji Kukuh yang ternyata juga terluka. “Bawa kawan-kawan kita yang terbunuh dan terluka.”

Perintah itu pun segera dilaksanakan oleh para pengikut Ki Panji Kukuh. Orang-orangnya yang masih tersisa segera membantu kawan-kawannya yang terluka, apalagi yang menjadi parah. Sedangkan yang lain mengusung kawan-kawan mereka yang terbunuh.

Yang kemudian tertinggal di tepian itu adalah beberapa sosok mayat dan orang-orang yang terluka parah sehingga tidak dapat meninggalkan tepian itu. Mereka adalah para pengikut Ki Guntur Ketiga.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun sambil menarik nafas panjang, Glagah Putih pun berkata, “Kita tidak mendapat kesempatan untuk pergi kepada Ki Demang atau Ki Bekel, Rara.”

“Ya. Akhir dari pertempuran itu berlangsung demikian cepatnya.”

Namun dalam pada itu, baru saja orang-orang terakhir Ki Panji Kukuh meninggalkan tepian, telah datang sekelompok orang bersenjata ke bekas arena pertempuran itu.

“Menurut pengenalanku, mereka adalah para petugas kademangan ini, Rara. Mereka adalah pasukan yang sering kita temui sedang meronda.”

“Agaknya sudah ada yang menyampaikan peristiwa ini kepada Ki Demang, Kakang.”

“Ya.”

Sebenarnyalah bahwa yang datang itu adalah Ki Demang, Ki Bekel dan beberapa orang bebahu, serta sepasukan petugas di Kademangan Seca.

“Nampaknya Kademangan Seca benar-benar kademangan yang kokoh, Kakang,” berkata Rara Wulan, “mereka mempunyai petugas cukup banyak dan agaknya juga cukup kuat. Para petugas itu agaknya benar-benar orang orang yang terlatih.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Ini sangat menarik, Rara. Seharusnya kademangan-kademangan yang lain berusaha menirunya. Bukankah jika kademangan itu terlindungi dari kejahatan, akan mempunyai akibat yang baik bagi kesejahteraan rakyatnya?”

“Ya, Kakang. Tetapi bagi kademangan yang sudah terlanjur dibayangi oleh kejahatan, mereka akan mengalami kesulitan untuk memulainya.”

“Harus ada keberanian untuk melakukannya. Tetapi beberapa kademangan yang pernah kita lalui, sudah akan mencobanya. Jika Perguruan Awang-Awang itu benar-benar akan ikut tampil, maka aku berkeyakinan bahwa setidak-tidaknya untuk satu ruas tertentu, jalur perdagangan itu akan dapat diamankan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Demang, Ki bekel dan para bebahu sibuk memperhatikan bekas arena pertempuran di tepian.

“Yang tersisa adalah orang-orang dari satu pihak,” berkata Ki Jagabaya Kademangan Seca.

“Ya. Agaknya yang lain sempat membawa kawan-kawan mereka.”

“Di antara mereka masih ada yang hidup, Ki Demang, meskipun terlalu parah.”

“Kita akan mencoba menyelamatkannya, agar kita mendapat keterangan serba sedikit tentang peristiwa ini.”

“Ya, Ki Demang.”

Ki Jabagaya itu pun kemudian memerintahkan beberapa orang untuk membawa mereka yang terluka tetapi masih hidup ke Kademangan. Sementara yang lain akan dikuburkan di padang perdu di ujung hutan itu.

Dalam pada itu Ki Bekel pun berkata, “Kademangan kita terpilih menjadi salah satu landasan perjuangan Ki Saba Lintang untuk membangunkan kembali Perguruan Kedung Jati. Kita harus benar-benar membersihkan kademangan ini.”

Kata-kata itu, benar-benar telah mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Agaknya keberhasilan Kademangan Seca membersihkan dirinya dari kejahatan itu ada kaitannya dengan usaha Ki Saba Lintang membangun kembali perguruannya.

Dalam pada itu, Ki Demang pun berkata, “Agaknya pertempuran ini terjadi antara dua kekuatan yang bergerak di bawah permukaan di Seca, Ki Bekel. Agaknya mereka gerombolan-gerombolan yang melakukan perdagangan gelap, yang nampaknya sedang berebut jalur perdagangan.”

“Kita harus mengetahui lebih banyak tentang hal itu, Ki Demang,” sahut Ki Bekel.

“Tugasmu bertambah berat, Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang.

“Aku akan melakukannya, Ki Demang. Bukankah Ki Saba Lintang telah memberikan bantuan pembiayaan bagi pasukan keamanan yang sudah kita susun di sini? Selain itu, kita sendiri mampu menggali sumber dana untuk memperkuat pasukan yang harus mengamankan lingkungan ini.”

“Bukan kekuatan kewadagan saja, Ki Jagabaya. Tetapi harus ada beberapa orang yang mampu melihat gejolak di bawah permukaan. Meskipun daerah ini nampaknya aman dan tenang, tetapi jika di daerah ini ada perdagangan gelap, maka Seca tetap saja merupakan daerah yang tidak bersih. Bahkan perdagangan gelap itu akibatnya akan lebih parah dari kejahatan yang terbuka.”

“Aku mengerti, Ki Demang.”

“Nah, kita harus mengakui kelemahan kita yang tidak mengetahui bahwa ada dua gerombolan yang telah berselisih dan bahkan bertempur di tepian ini.”

“Ya, Ki Demang.”

“Nah, sekarang lakukan apa yang harus kau lakukan, Ki Jagayaba. Berhati-hatilah. Kami akan kembali.”

“Baik, Ki Demang. Aku akan menyelesaikan tugas ini.”

Beberapa saat kemudian. Ki Demang, Ki Bekel dan beberapa orang yang datang bersamanya itu pun meninggalkan tepian. Sementara itu Ki Jagabaya dan sekelompok orang masih sibuk menyelenggarakan penguburan orang-orang yang terbunuh, yang ditinggal begitu saja di tepian oleh kawan-kawannya yang melarikan diri dari medan untuk menyelamatkan diri.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih tetap berada di persembunyiannya. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang sangat menarik untuk kita bicarakan.”

“Perguruan Kedung Jati.”

“Ya. Agaknya daerah ini akan menjadi salah satu daerah penyangga bagi lahirnya kembali Perguruan Kedung Jati yang besar itu.”

“Suatu hal yang sangat menarik.”

“Daerah ini akan menjadi salah satu daerah yang harus kita perhatikan. Panggraitaku melihat adanya dua arus yang sengaja dibuat agar berbenturan di tempat yang tenang ini.”

“Maksud Kakang?”

“Jika di permukaan Ki Saba Lintang menghendaki ketenangan, tetapi ia justru mengaduk agar di bawah permukaan terjadi kekacauan. Mudah-mudahan panggraitaku ini salah, bahwa benturan-benturan yang terjadi antara Ki Guntur Ketiga dan Ki Panji Kukuh itu juga terjadi atas permainan Ki Saba Lintang.”

“Apakah Ki Saba Lintang dapat bermain sampai sejauh itu, Kakang?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kenapa tidak? Ki Saba Lintang adalah seorang yang sangat licik. Pada beberapa waktu yang lalu ilmunya dalam olah kanuragan tidak begitu tinggi sebagaimana orang-orang yang ada di sekitarnya. Tetapi otaknya ternyata sangat cerdik.”

“Tetapi siapa tahu, bahwa ia sekarang telah menguasai ilmu tertentu yang dapat membuatnya meloncat jauh dari satu tataran ke tataran berikutnya.”

“Hal seperti itu memang dapat terjadi, Rara. Tetapi aku tetap saja curiga, bahwa bukan Ki Saba Lintang yang membuat daerah ini menjadi tenang. Tetapi Ki Saba Lintang menemukan daerah Seca yang tenang ini, dan dengan kecerdikannya ia berusaha menguasainya. Sementara itu, ia telah menyusun rencana yang lain untuk membuat gejolak di bawah permukaan, yang pada suatu saat akan muncul dengan dahsyatnya ke permukaan, sehingga Ki Demang, Ki Bekel dan para bebahu tidak mampu mengatasinya.”

“Memang mungkin, Kakang. Agaknya para bebahu di kademangan ini sama sekali tidak mencurigainya. Agaknya Ki Demang dan Ki Bekel masih belum tahu bahwa Ki Saba Lintang adalah orang yang berbahaya, yang suatu ketika akan dapat meledakkan satu peristiwa yang tidak diduga sebelumnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin kita akan tinggal di daerah ini tidak untuk sehari dua hari, tetapi mungkin akan lebih lama lagi.”

“Tetapi kita sudah dikenal oleh Ki Saba Lintang.”

“Tentu Ki Saba Lintang tidak akan segera berada di tempat ini. Mungkin orang-orangnya sajalah yang akan datang dan mempersiapkan daerah ini sesuai dengan rencananya. Bukan Seca yang tenang, aman dan damai, tetapi justru Seca akan kehilangan wajahnya seperti sekarang ini.”

“Apa sebenarnya keuntungan Ki Saba Lintang?”

“Ki Saba Lintang sedang membangun suasana dan citra buruk bagi Mataram sekarang ini setelah Panembahan Senapati wafat. Selebihnya, maka usahanya untuk menyusun kembali Perguruan Kedung Jati akan menarik banyak perhatian.”

“Kakang,” berkata Rara Wulan kemudian, “sebaiknya Mbokayu Sekar Mirah tidak hanya berdiam diri. Sebaiknya Mbokayu Sekar Mirah juga berbuat sesuatu dengan tongkat baja putihnya itu. Mbokayu Sekar Mirah tentu akan lebih mapan jika ia bersedia menyatakan diri untuk memegang kendali kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.”

“Ya, aku mengerti. Tetapi aku tidak tahu apakah Mbokayu Sekar Mirah akan bersedia melakukannya.”

“Ada dua jalur yang dapat ditempuh. Pertama, mencari dan kemudian membawa tongkat baja putih yang ada di tangan Ki Saba Lintang itu ke Mataram. Kedua, minta agar Mbokayu Sekar Mirah bersedia bangkit dan mengangkat tongkat baja putihnya, serta menyatakan diri sebagai pemimpin Perguruan Kedung Jati.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Katanya, “Kita masih harus berbicara dengan Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah.”

“Ya. Pada saatnya kita akan pulang dan berbicara kepada mereka.”

“Sekarang, yang akan kita lakukan adalah mengamati Kademangan Seca. Apa yang akan terjadi kemudian di belakang ini.”

“Kita akan pergi ke pasar. Mungkin pedagang yang menjadi penyalur perdagangan terlarang itu ada di pasar. Demikian pula satu atau dua orang pengikut Jati Ngarang.”

Demikianlah, maka keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Namun mereka harus tetap berhati-hati karena Ki Jagabaya dan beberapa orang masih ada di tepian. Mereka masih harus menyelesaikan tugas mereka.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun sudah menjadi semakin jauh dari ujung hutan itu. Namun dalam pada itu, matahari telah melampaui puncaknya.

“Pasar sudah menjadi semakin sepi,” berkata Rara Wulan.

“Belum tentu, Rara. Pasar itu adalah pasar yang besar, dan hari ini adalah hari pasaran. Meskipun tidak seramai pagi tadi, mudah-mudahan pasar itu masih tetap ramai. Pedagang-pedagang yang datang dari jauh tidak akan meninggalkan pasar itu. Bahkan mungkin mereka akan tetap berada di pasar sampai sore, untuk membicarakan jalur perdagangan mereka di hari-hari mendatang. Hubungan para pedagang itu tentu masih akan berkelanjutan. Tidak hanya terbatas sampai hari ini.”

“Ya. Mudah-mudahan kita masih menemukan sesuatu di pasar itu.”

Demikianlah, ketika mereka berdua sampai di pasar, maka pasar itu memang masih ramai. Meskipun matahari sudah mulai mengarungi langit di sisi barat, tetapi para pedagang masih tetap saja berada di pasar, kecuali mereka yang berjualan kebutuhan sehari-hari.

“Nah, pasar masih ramai, Rara.”

“Tentu di kedai-kedai masih tersedia berbagai macam makanan, sehingga kita dapat memilihnya.”

“Ah, kau,” desis Glagah Putih.

Rara Wulan tertawa sambil berkata, “Aku haus dan lapar. Apakah Kakang tidak?”

“Tentu,” jawab Glagah Putih, “hanya orang-orang yang perutnya tidak bekerja dengan baik sajalah yang tidak merasa lapar pada hari-hari seperti ini.”

“Tetapi Kakang dapat tidak makan selama tiga hari penuh.”

“Apa kau tidak?”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Melihat keadaan serta lingkungan.”

Glagah Putih pun tertawa pula. Namun katanya kemudian, “Sebaiknya kita melihat-lihat keadaan pasar lebih dahulu sebelum kita singgah di kedai. Agaknya di Seca kita akan menemukan kedai dimana saja sehari-hari.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Baiklah, Kakang. Kita pergi ke pasar lebih dahulu.”

Sebenarnyalah kedua orang suami istri itu pun melangkah menuju ke pintu gerbang pasar. Meskipun hari menjadi semakin siang, tetapi masih banyak orang yang berada di dalam pasar.

Namun Glagah Putih tidak menemukan orang yang dicarinya. Ia tidak melihat pedagang yang ternyata juga telah melakukan perdagangan gelap itu.

“Apakah ia juga berada di jalur perdagangan Ki Guntur Ketiga atau Ki Panji Kukuh?” desis Glagah Putih.

“Mungkin saja, Kakang. Sehingga karena benturan antara dua kekuatan itu, pedagang itu pun tidak berada di pasar meskipun hari pasaran. Atau mungkin sekali orang itu sudah meninggalkan pasar setelah matahari semakin tinggi, bahkan kemudian melampaui puncaknya.”

“Ya. Tetapi ternyata bahwa kita tidak hanya hari ini berada di Seca. Kita akan berada di sini sedikitnya sepekan, untuk melihat perkembangan keadaan serta pengaruh tangan-tangan Ki Saba Lintang.”

“Baiklah, Kakang. Tetapi kita juga harus memperhitungkan banyak hal. Penginapan kita terhitung penginapan yang mahal.”

Glagah Putih tersenyum. Disadarinya bahwa mereka berdua tidak mempunyai bekal terlalu banyak. Tetapi jika perlu, mereka tidak boleh terlalu memperhitungkan pengeluaran untuk mendapatkan tambahan bekal perjalanan, jika saja mereka dapat mempertanggungjawabkannya.

Dengan nada rendah Glagah Putih pun berkata, “Agaknya kita perlu berada di penginapan itu. Agaknya Sutasuni juga berada di penginapan yang sewanya memang agak lebih mahal dari penginapan yang lain.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Aku juga lebih senang bermalam di penginapan itu daripada di penginapan dekat pasar itu. Nampaknya penginapan di dekat pasar itu tidak terlalu bersih. Halaman sampingnya yang sering digunakan untuk berhenti pedati-pedati para pedagang itu nampaknya seperti kubangan. Mereka yang membawa pedati itu selalu mencuci pedatinya di tempat itu tanpa menghiraukan parit buangannya, sehingga tempat itu nampak menjadi seperti kubangan. Bilik-biliknya pun terlalu kecil dan tidak bersih, sementara itu ada ruangan-ruangan yang lusuh dengan amben bambu atau kayu yang besar, yang dapat dipergunakan untuk tidur sekaligus lima atau enam orang.”

Glagah Putih pun menyahut sambil tersenyum pula, “Tentu saja. Harga sewa di sebuah penginapan tentu juga ditentukan oleh tempat dan pelayanan.” Glagah Putih terdiam sejenak. Lalu katanya, “Nah, apakah kita akan singgah di sebuah kedai? Agaknya pedagang yang kita cari itu tidak akan dapat kita ketemukan.”

“Marilah,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian keduanya pun telah berada di sebuah kedai yang tidak terlalu ramai. Meskipun demikian, sudah ada beberapa orang yang telah berada di kedai itu. Namun terasa suasana yang tenang. Orang-orang yang duduk di kedai itu dapat menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan dengan sebaik-baiknya.

“Tidak ada berita tentang pertempuran di tepian itu yang sampai di sini,” desis Glagah Putih.

“Belum, Kakang. Tetapi agaknya beritanya akhirnya akan sampai juga di padukuhan induk kademangan ini. Para petugas dari kademangan itu. Satu dua orang tentu ada yang menceritakannya kepada orang lain. Mungkin keluarganya atau sahabat dekatnya. Namun akhirnya kabar itu pun akan meluas sampai ke seluruh kademangan.”

“Tetapi ketika berita itu tersebar, waktu telah berjalan beberapa lama, sehingga tidak lagi menimbulkan persoalan yang menghentakkan ketenangan di kademangan ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada orang-orang yang ada di kedai itu, maka rasa-rasanya kehidupan di Seca itu memang terasa tentram.

Ketika pelayan kedai itu mendatangi mereka, maka Glagah Putih pun segera memesan makanan dan minuman bagi mereka berdua.

Sebenarnyalah selama mereka berada di kedai itu, sama sekali tidak mendapat gangguan dari siapapun. Suasana dan keadaan di sekitar kedai itu pun nampak tenang-tenang saja. Bahkan ketika mereka melihat dua orang petugas yang lewat, rasa-rasanya para petugas itu pun nampak sebagaimana suasana di padukuhan induk Kademangan Seca itu.

“Apakah para petugas itu juga belum tahu apa yang terjadi?” desis Rara Wulan.

“Mungkin mereka sudah tahu. Tetapi mereka sengaja bersikap seperti itu, agar tidak membuat orang-orang yang bertemu dengan mereka bertanya-tanya.”

Beberapa saat lamanya mereka berada di kedai itu. Ketika mereka merasa sudah cukup, maka keduanya pun membayar harga makanan dan minuman yang sudah mereka pesan.

Ternyata peristiwa yang terjadi di ujung hutan itu tidak membuat gejolak di permukaan. Kademangan Seca masih saja tetap tenang. Kehidupan berjalan seperti biasanya. Yang biasanya ramai dikunjungi orang masih saja tetap ramai.

Ketika senja kemudian turun, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di penginapan. Ternyata penginapan itu pun sudah menjadi lebih lengang. Bilik-bilik yang tersedia pun sudah banyak yang kosong. Meskipun masih asa satu dua orang tamu yang menginap.

“Kademangan ini esok akan menjadi sepi, Kakang.” berkata Rara Wulan.

“Ya. Lebih sepi dari har-hari pasaran.”

“Tetapi menurut Kakang, kita masih akan tetap tinggal di sini sepekan ini?”

“Kita akan melihat suasana, Rara.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah di hari berikutnya Seca memang nampak lebih sepi. Ketika keduanya pergi ke pasar, maka pasar itu sudah tidak seramai seperti hari sebelumnya. Meskipun bukan hari pasaran, namun masih juga ada pedagang yang datang untuk membeli atau menjual dagangan mereka.

Namun seperti hari-hari sebelumnya, Seca tetap saja merupakan sebuah tempat yang tenang.

Hari itu tidak ada yang menarik untuk diperhatikan. Justru karena itu, maka Rara Wulan pun berkata, “Jika sepekan kita berada di sini tanpa berbuat apa-apa, aku akan menjadi kurus, Kakang.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tidak. Justru kau akan menjadi gemuk.”

“Aku tidak mau, lebih baik aku menjadi kurus daripada aku menjadi gemuk.”

“Kau tidak akan dapat bertambah kurus, Rara. Ketika kita berada di hutan menjalani laku. kau tidak juga menjadi kurus.”

“Ah, tentu badanku menyusut waktu itu.”

“Apakah bajumu menjadi longgar?”

Rara Wulan tersenyum. Namun ia menjawab, “Ya. Sedikit.”

“Sejak semula bajumu memang longgar. Bukankah kau memang lebih senang memakai baju yang longgar?”

“Sudahlah. Biar saja aku menjadi kurus atau menjadi gemuk. Apakah ada bedanya bagimu, Kakang?”

“Tentu.”

“Katakan, apa bedanya?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.

“Kau tidak mau menjawab, Kakang. Tetapi apa yang kau tertawakan?”

“Tidak apa-apa,” jawab Glagah Putih.

“Kau tentu mentertawakan aku. Kau tentu membayangkan, bagaimana ujudku jika aku menjadi gemuk.”

“Tidak, tidak.” Glagah Putih pun segera bergeser menjauh. Jari-jari Rara Wulan tiba-tiba saja telah mencubit lengannya.

“Sakit, Rara,” keluh Glagah Putih.

Rara Wulan melepaskannya sambil berkata, “Nah, kau harus menjalani laku agar kau dapat memiliki ilmu kebal seperti Kakang Agung Sedayu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar