Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 362

Buku 362

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab, Ki Umbul Telu itu pun berkata pula, “Kami masih ingin juga mendapat petunjuk Angger berdua.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimana mungkin kami memberikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti.”

“Gagasan-gagasan itulah yang sebenarnya ingin kami dengar. Kami akan mempertimbangkan pelaksanaannya.”

“Ki Umbul Telu. Bukan maksud kami menolak keinginan Ki Umbul Telu agar kami untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini. Tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan kami. Meskipun demikian, kami akan mengusahakan waktu barang dua tiga hari untuk tetap tinggal di sini.”

“Tidak hanya dua tiga hari,” sahut Ki Kumuda, “tetapi dua tiga bulan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih menyahut, “Terima kasih, Ki Kumuda. Tetapi kami tidak dapat tinggal di satu tempat untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ki Kumuda.”

Ki Kumuda pun tertawa pula.

Dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat segera meninggalkan padepokan di gumuk kecil itu. Mereka tidak sampai hati untuk menolak permintaan para pemimpin di padepokan itu. Ki Umbul Telu memang sedang merencanakan untuk membuka kembali jalur perdagangan dengan para pedagang yang lewat di jalan-jalan yang dianggapnya berbahaya, sehingga mereka memerlukan membentuk kelompok-kelompok agar mereka dapat mengatasi para penyamun di perjalanan. Jika mereka dapat membantu menjamin keamanan di sepanjang jalan itu, maka perdagangan pun akan terbuka kembali. Yang akan lewat tidak hanya orang-orang berkuda yang melarikan kuda mereka seperti dikejar hantu. Tetapi juga para pedagang yang membawa pedati yang dapat memuat berbagai macam barang dagangan yang terhitung agak besar dan berat.

Namun dalam dua tiga hari, para penghuni padepokan itu masih disibukkan selain mengubur mereka yang terbunuh, juga merawat mereka yang terluka.

Bagaimanapun juga padepokan itu pun masih juga dibayangi oleh wajah-wajah duka, karena ada di antara mereka yang telah gugur di perjuangan mereka mempertahankan perguruan mereka.

Karena itu, maka dalam tiga hari pertama setelah pertempuran di bukit kecil itu, Ki Umbul Telu masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk mulai dengan rencananya.

Baru kemudian, setelah tiga hari berlalu, Ki Umbul Telu mulai berbicara dengan para pengikut Ki Dandang Ireng yang menyerah dan ditahan di Perguruan Awang-Awang.

“Kami tidak dapat menahan kalian untuk seterusnya di sini. Kami pun tidak berhak untuk membuat penyelesaian yang termudah dengan membunuh kalian semuanya,“ berkata Ki Umbul Telu.

Para tawanan itu menundukkan kepala mereka. Mereka menjadi berdebar-debar, keputusan apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu. Orang yang dituakan di padepokan itu.

Seandainya para penghuni padepokan itu mengambil keputusan untuk membunuh mereka semuanya, maka mereka dapat saja melakukannya tanpa diketahui oleh siapapun juga. Apalagi oleh tangan-tangan kekuasaan Mataram.

Tetapi ternyata Ki Umbul Telu tidak akan melakukannya.

“Kami, para penghuni padepokan ini,” berkata Ki Umbul Telu selanjutnya, “telah sepakat untuk membuat perjanjian dengan kalian. Kami tahu bahwa perjanjian ini tidak mempunyai ikatan apa-apa. Maksudku, masing-masing akan dapat melanggarnya. Tetapi kita pun harus menyadari, bahwa pelanggaran atas perjanjian itu akan dapat berakibat buruk bagi hari-hari kita di masa mendatang. Kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Khususnya kami, penghuni padepokan ini.”

Para tawanan itu masih tetap menundukkan kepala.

“Dengarlah keputusan yang telah kami ambil. Para penghuni padepokan ini bukan pembunuh yang dapat membunuh kalian dengan hati yang beku. Tetapi kami menghormati hidup sesama kami, termasuk kalian, meskipun kalian adalah perampok dan penyamun. Bahkan kami telah memutuskan untuk melepaskan kalian dari tangan kami. Pergilah. Tetapi seperti yang aku katakan, kita akan membuat perjanjian. Kami akan melepaskan kalian. Selanjutnya kalian tidak akan melakukan lagi perampokan di sepanjang bulak-bulak panjang atau di tebing-tebing sungai, atau dimanapun. Kami akan bekerja sama dengan para pedagang dan para Demang untuk mengamankan lingkungan ini, karena kami sangat berkepentingan. Jika pada suatu ketika kami menjumpai kalian di antara para perampok dan penyamun, maka kami akan terpaksa menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Karena itu, maka sebelum kalian pergi, kami akan memberikan pertanda pada tubuh kalian. Di pergelangan tangan kalian akan kami buat lukisan kecil. Dengan duri dan kemudian diusap dengan reramuan, maka lukisan kecil itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, dimanapun kita bertemu, kami akan segera dapat mengenali kalian. Bahkan kami akan memberitahukan kepada para para pedagang, para Demang dan bahkan para petugas dari Mataram yang sempat datang ke lingkungan ini. Mereka yang menjumpai kalian dengan pertanda di tangan kalian, maka mereka akan menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Bahkan kalian akan dapat dihukum mati, karena kalian sudah melanggar janji kalian sendiri.”

Tidak seorangpun di antara para tawanan itu yang menyahut. Mereka masih saja menundukkan kepala mereka dengan jantung yang berdebaran. Pertanda di pergelangan mereka itu tentu akan mereka bawa sampai akhir hidup mereka.

Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kemauan Ki Umbul Telu itu. Jika ada di antara mereka yang menolak, Ki Umbul Telu akan dapat mengambil tindakan yang lebih keras terhadap mereka.

Sebenarnyalah mulai hari itu, setiap orang yang tertawan itu telah ditandai di pergelangan tangan mereka. Seorang demi seorang bergantian. Ada tiga orang penghuni padepokan itu yang mampu membuat lukisan di tubuh seseorang dengan duri, yang kemudian diolesi reramuan yang tidak akan dapat dihapus lagi.

Para tawanan itu baru akan dilepaskan jika luka-luka di pergelangan tangan mereka itu sudah mengering.

Sementara itu, Ki Umbul Telu akan segera mulai menghubungi beberapa orang Demang yang daerahnya dilalui oleh para pedagang dalam perjalanan mereka.

Dalam pada itu, pada hari-hari yang luang itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menjelajahi bukit kecil itu. Di dalam dan di luar dinding padepokan. Mereka melihat-lihat air yang mengalir dari celah-celah batu-batu padas ke lekuk-lekuk yang lebih rendah. Kemudian terjadilah parit-parit kecil, yang jadi aliran yang lebih besar yang dapat mengaliri sawah di kaki bukit itu. Sawah yang dikerjakan oleh para penghuni bukit itu serta para cantrik.

Selain untuk mengaliri sawah, para cantrik juga membuat blumbang untuk memelihara berbagai jenis ikan.

Sekali-sekali Glagah Putih dan Rara Wulan ditemani oleh orang-orang tertua di padepokan itu. Namun pada kesempatan yang lain, mereka hanya berdua saja berjalan-jalan di sekeliling bukit kecil itu.

Ketika kepada Ki Kumuda Glagah Putih bertanya tentang beberapa batang pohon raksasa yang dipagari dan dianggap keramat, Ki Kumuda pun menjawab, “Kita hormati pepohonan raksasa itu, Ngger. Di sela-sela akar-akarnya yang menebar di bawah bumi, tersimpan air. Pepohonan itu sudah memberikan percikan kehidupan kepada lingkungan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata para pemimpin di padepokan itu cukup bijaksana. Dengan caranya, mereka mencegah para penghuni bukit itu menebang pepohonan raksasa yang membuat bukit itu tetap basah. Tiga buah umbul yang besar, beberapa sendang kecil yang bertebaran di lereng bukit, menyatu dengan parit-parit yang menampung air yang merembes dari sela-sela batu padas itu, membuat tanah di sekitar bukit itu menjadi daerah persawahan yang subur.

Namun sambil melihat-lihat lingkungan di sekeliling bukit kecil itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat juga melihat kemungkinan, bahwa ada satu tempat yang dapat mereka pakai untuk menyembunyikan peti kecilnya. Hanya petinya. Tanpa isinya, yang sudah dilekatkan dengan tubuh Glagah Putih.

Tetapi di luar sadar mereka, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan dengan Ki Kumuda di sisi yang agak curam dari tebing bukit kecil itu, dua pasang mata selalu mengawasi mereka.

Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri di balik gerumbul perdu di tebing bukit itu, memandang ketiga orang yang berjalan di jalan setapak di bawah tebing yang agak curam itu dengan seksama.

“Tentu dua orang yang masih terhitung muda itulah yang dikatakan sepasang suami istri yang berilmu sangat tinggi,” berkata laki-laki yang bertubuh kekar, berdada bidang. Wajah yang nampak keras dengan mata yang cekung itu merupakan ungkapan dari kekerasan hatinya serta kecerdikannya.

“Ya,” sahut seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Seorang perempuan yang termasuk tinggi dibanding dengan perempuan kebanyakan. Tubuhnya yang ramping itu nampak seakan-akan tidak berbobot.

“Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini. Mereka-lah sebenarnya yang telah memporak-porandakan rencana kita setelah kita berhasil memperalat Dandang Ireng, sehingga Dandang Ireng tidak berhasil merebut kekuasaan di bukit kecil itu.”

“Apa yang sebaiknya kita lakukan, Kakang?”

“Keduanya harus kita singkirkan dari bukit ini. Baru kemudian kita mencari kesempatan untuk menguasai bukit kecil itu, sebagaimana yang sudah kita rencanakan dengan mempergunakan Dandang Ireng sebagai alatnya. Kita akan dapat mendirikan sebuah perguruan dengan nama sebagaimana nama perguruan yang sudah ada di sana.”

“Bukankah dengan demikian kita harus mulai dari permulaan lagi?”

“Ya. Kita tidak mempunyai pilihan. Karena itu maka kita harus segera mulai. Adalah sangat menguntungkan bahwa sekarang kita menemukan kedua orang suami istri itu. Kita akan melenyapkan mereka, sebagai pernyataan bahwa langkah kita yang baru sudah kita mulai.”

“Yang seorang lagi?” bertanya perempuan itu.

“Bukankah orang itu salah seorang pemimpin dari perguruan ini? Bukankah orang itu yang bernama Kumuda?”

“Ya. Tetapi apa yang harus kita lakukan atas orang itu?”

“Jika kita melenyapkan sepasang suami istri itu, maka kita juga harus membunuh Kumuda. Tetapi bukankah menyingkirkan Kumuda tidak akan terlalu sulit bagi kita?”

“Jika Kumuda itu bekerja sama dengan sepasang suami istri itu?”

“Seberapa tinggi ilmu sepasang suami istri yang nampaknya masih terlalu muda untuk menghadapi kita berdua, maka keduanya tidak akan banyak memeras keringat kita. Bahkan bersama Kumuda sekalipun.”

“Kumuda termasuk seorang yang berilmu tinggi. Menurut keterangan mereka yang sempat melarikan diri dan melihat cara sepasang suami istri itu bertempur, maka keduanya berilmu sangat tinggi.”

“Jangan terpengaruh oleh laporan para cucurut itu. Mereka adalah pengecut yang tidak berguna sama sekali. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka, tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Pada kesempatan mendatang, mereka akan dapat kita jadikan umpan lagi bersama orang lain, sebagaimana mereka menyertai Dandang Ireng memasuki padepokan yang pernah dihuninya itu.”

“Jika itu pertimbangan Kakang, baiklah. Jangan biarkan mereka menjadi semakin jauh.”

Keduanya pun kemudian bergerak dengan cepat. Bukan hanya perempuan yang bertubuh tinggi dan ramping itu sajalah yang seakan-akan tidak berbobot sehingga mampu bergerak dengan ringan, tetapi laki-laki yang bertubuh kekar itu pun mampu pula bergerak dengan cepatnya.

Ketika mereka bergerak di sela-sela gerumbul perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun tiba-tiba berhenti.

Ki Kumuda pun berhenti. Tetapi ia tidak segera mendengar sebagaimana didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun beberapa saat kemudian, maka ia pun berdesis, “Ya. Aku mendengarnya.”

Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka pun segera melihat dua sosok yang seakan-akan terbang menukik dari belakang gerumbul di atas tebing yang tidak terlalu tinggi itu.

Dua orang laki-laki dan perempuan itu pun kemudian dengan lunak menapak di hadapan Glagah Putih, istrinya dan Ki Kumuda.

Ketiga orang itu bergeser surut setapak. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata, “Kalian berdua telah mengejutkan kami.”

“Maaf, Ki Sanak,” sahut laki-laki separo baya yang bermata cekung itu. “Kami tidak bermaksud mengejutkan kalian.”

“Siapakah kalian berdua, dan apakah maksud kalian menghentikan kami bertiga?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Jadi kalian belum mengenal kami?”

“Belum, Ki Sanak.”

“Baiklah. Jika demikian kami akan memperkenalkan diri kami. Orang menyebutku Gagak Bergundung. Perempuan ini adalah istriku, Nyi Gagak Bergundung.”

Ki Kumuda terkejut mendengarkan nama itu. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Jadi kalian berdua inikah yang digelari Suami Istri Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin?”

“Kau sudah mendengar namaku, Kumuda.”

“Aku sudah mendengarnya. Tetapi kau pun sudah tahu namaku.”

“Aku dapat mengenali hampir setiap penghuni padepokan ini, kecuali mereka para pemula. Aku dapat mengenali Umbul Telu, Lampita, Kumuda dan Ganjur, kemudian masih ada beberapa orang lain pada lapisan atas murid-murid Perguruan Awang-Awang. Selain mereka, maka para murid perguruan ini pun membuat tempat tinggal tersebar di atas bukit ini. Selain mereka, masih ada sekelompok anak-anak muda yang tinggal di bangunan utama padepokanmu.”

“Dari mana kau tahu?”

Orang yang menyebut dirinya Gagak Bergundung itu tertawa. Di sela-sela suara tertawanya ia pun berkata, “Tetapi ada bedanya, Kumuda. Jika aku mengenalmu, bukan karena namamu yang besar dan pantas untuk dikenal. Tetapi aku sengaja berusaha mengenali orang-orang yang berada di atas bukit ini. Berbeda dengan namaku, yang banyak dikenal karena kami berdua memang pantas dikenal.”

“Untuk apa kau datang kemari, Gagak Bergundung?” bertanya Ki Kumuda.

“Kami hanya ingin sekedar melihat-lihat bukitmu, Kumuda.”

“Hanya itu?”

“Ya. Tetapi ternyata di sini aku melihat dua orang yang telah mengotori bukitmu ini. Kedua suami istri ini.”

“Kenapa kau anggap mereka mengotori bukit ini? Mereka justru telah membantu kami menghadapi saudara-saudara seperguruan kami yang tekah berkhianat.”

“Satu cerita yang menggelikan. Apalah artinya dua orang laki-laki dan perempuan ini bagi perguruanmu, yang telah memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi?”

“Lawan kami terlalu banyak. Karena itu kami merasa sangat berhutang budi kepada keduanya, yang telah terjun di kancah pertempuran dan ternyata keduanya berilmu sangai tinggi.”

“Kau telah dipengaruhi oleh sikap sombong mereka. Aku juga sudah mendengar, seakan-akan keduanya mampu menyapu lereng bukit ini yang dirayapi oleh para pengikut Dandang Ireng.”

“Ya.”

“Dengan demikian, maka kedatangan kami berdua tidaklah sia-sia.”

“Apa maksudmu?” bertanya Ki Kumuda.

“Aku, Gagak Bergundung suami istri yang tidak terkalahkan di daerah Selatan ini, ingin membuktikan, apakah benar keduanya berilmu tinggi. Jika mereka mengiyakan anggapan orang bahwa mereka berilmu tinggi, maka mereka harus dapat setidaknya mengimbangi kemampuan kami. Kami berdua tidak mau kehilangan gelar kami, bahwa kami adalah orang-orang yang tidak terkalahkan.”

“Gagak Bergundung,” bertanya Giugah Putih kemudian, “apakah sebenarnya alasanmu, sehingga kau menantang kami berdua untuk melawanmu? Bukankah kita belum pernah bertemu dan belum pernah saling bersinggungan kepentingan?”

“Sudah aku katakan, bahwa aku tidak ingin kehilangan gelarku. Aku tidak mau ada orang lain yang dianggap berilmu sangat tinggi di daerah kuasaku. Karena itu, maka setiap orang yang muncul di dunia olah kanuragan, harus aku pangkas dan bahkan harus aku bongkar sampai ke akarnya. Bukan hanya kalian berdua yang akan aku musnahkan, tetapi juga perguruan kalian. Guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian. Aku yakin bahwa kalian bukan lahir dan besar di Perguruan Awang-Awang.”

“Apakah alasanmu itu sudah cukup pantas untuk menantang orang lain untuk bertempur?”

“Tentu.”

“Bagaimana pendapatmu jika kami mengakui, bahwa kalian berdua adalah orang yang memiliki ilmu tertinggi di lingkungan ini?”

“Mungkin kau akan mengakui kebesaran namaku di hadapanku. Tetapi esok atau lusa jika kau tidak berada dihadapanku, kau akan berkata lain.”

“Bukankah kau dapat mencari kami dan membuat perhitungan?”

“Itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Kenapa aku harus menunggu kau ingkari pernyataanmu? Bukankah sekarang kita sudah bertemu? Menurut pendapatku, agar kami tidak membuang-buang waktu, kami akan membunuh kalian bertiga. Sesudah itu kami tidak akan terganggu lagi oleh keingkaran kalian terhadap pengakuan kalian di hadadapanku sekarang.”

“Gagak Bergundung,” berkata Glagah Putih, “alasanmu itu tentu alasan yang sekedar kau buat-buat.”

Gagak Bergundung itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata dengan lantang, “Apapun yang kau katakan, aku akan tetap membunuh kalian berdua. Apapun alasannya. Karena itu, bersiaplah untuk mati.”

“Jadi inilah kenyataan tentang sepasang suami istri yang bernama Gagak Bergundung, dari Goa Susuhing Angin di perbukitan di sebelah Rawa Pening itu?” geram Ki Kumuda. “Nama besarmu ternyata muncul dari kuasa kegelapan.”

“Jangan sesali nasibmu yang buruk, Kumuda. Karena aku akan membunuh kedua orang suami istri yang tidak tahu diri ini, maka kau pun akan mati, agar kau kau tidak menjadi saksi kematian kedua orang suami istri ini.”

“Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, Gagak Bergundung. Jika sudah waktunya datang, dimanapun serta dengan sebab apapun, maka mati itu akan menjemputku. Tetapi jika hari ini waktumu-lah yang akan datang, maka kau berdua-lah yang akan mati.”

“Aku ingin mengoyak mulutmu, Kumuda. Atau kau-lah yang akan mati lebih dahulu dari kedua orang ini.”

“Tidak, Gagak Bergundung,” sahut Glagah Putih, “kau berdua atau kami berdua. Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu, jika kalian ingin bertempur melawan Ki Kumuda. Kalian berdua memang bukan lawan Ki Kumuda. Sebelum kalian dapat berbuat apa-apa, jantung kalian sudah berhent berdenyut. Tetapi jika kalian lebih dahulu bertempur melawan kami berdua, maka kalian masih akan mempunyai kesempatan untuk menikmati perbandingan ilmu di antara kita.”

“Anak iblis kalian semuanya. Baik. Kami berdua akan lebih dahulu membunuh kalian berdua. Tetapi jika Kumuda ingin melibatkan diri, kami sama sekali tidak berkeberatan, karena dengan demikian, maka pekerjaan kami akan lebih cepat selesai.”

“Tidak,” sahut Glagah Putih, “kami berdua, dan kalian pun berdua. Ki Kumuda akan menjadi saksi, apakah yang akan terjadi di antara kita.”

“Persetan, anak iblis. Kesombonganmu telah menyentuh langit. Tetapi kau akan segera mati. Istrimu juga akan mati. Demikian pula Kumuda. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi bagi kami, Kumuda tidak lebih dari seekor nyamuk yang akan mati dengan sekali tepuk.”

“Beri aku kesempatan, Ngger,” geram Ki Kumuda.

“Biarlah aku menanggapinya, Paman. Kami-lah yang sebenarnya menjadi sasaran mereka, apapun alasannya. Karena itu, biarlah kami yang melayaninya, karena persoalannya adalah antara kami berdua dan mereka berdua.”

“Bagus,” Gagak Bergundung itu pun menyahut dengan nada tinggi, “segera bersiaplah untuk mati. Mayat kalian bertiga akan aku lemparkan ke jurang itu, hingga saatnya baunya mengganggu anak-anak yang sedang menggembalakan kambingnya.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun berkata kepada Ki Kumuda, “Minggirlah, Ki Kumuda. Biarlah kami berdua melayani kedua iblis dari Goa Susuhing Angin ini.”

Ki Kumuda tidak menjawab. Ia sadari kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilaporkan para murid Perguruan Awang-Awang. Karena itu maka ia pun bergeser surut.

Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Gagak Bergundung suami istri.

“Sayang bahwa kecantikanmu akan ikut terlempar ke jurang itu, anak manis,“ desis Nyi Gagak Bergundung, yang bertubuh tinggi melampaui kebanyakan perempuan. Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mengangkat wajahnya pada saat ia berbicara dengan Nyi Gagak bergundung.

Ada kecantikan terkesan di wajah Nyi Gagak Bergundung. Tetapi ada pula kesan keganasannya. Ketika perempuan itu tertawa, maka suara tertawanya melengking tinggi, seperti suara tertawa hantu perempuan yang melihat tanah yang masih merah di pekuburan.

“Nyi,” tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “kalau aku boleh bertanya, berapa umurmu sekarang?”

Nyi Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba ia pun tertawa, “Untuk apa kau tanyakan berapa umurku?”

“Wajahmu membingungkan. Kadang-kadang aku melihat kau seolah-olah baru berumur sekitar tiga puluh tahun. Tetapi kemudian wajahmu itu berkerut, sehingga rasa-rasanya kau sudah berumur lima puluh tahun lebih.”

“Ternyata kau benar-benar anak iblis. Dalam keadaan yang gawat, dan bahkan umurmu akan terputus sampai hari ini, kau masih sempat bergurau.”

“Aku tidak bergurau, Nyi. Aku benar-benar bingung melihat garis-garis wajahmu. Tetapi yang jelas bahwa kau adalah perempuan yang bengis tanpa kelembutan sama sekali.”

“Kau benar,” jawab Nyi Gagak Bergundung, “aku bukan perempuan yang cengeng yang bermanja-manja dan memanjakan orang. Selama ini kami adalah suami istri yang sangat ditakuti, karena kami membunuh orang yang tidak kami kehendaki untuk hidup terus sebagaimana kalian berdua, karena kalian berdua akan dapat mengganggu pekerjaan-pekerjaan kami di kemudian hari.”

“Apakah pekerjaanmu?”

Nyi Gagak Bergundung terdiam sesaat. Namun sambil menggeram ia pun menjawab, “Pekerjaanku adalah membunuh. Karena itu bersiaplah. Sebentar lagi aku akan membunuhmu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu ia melihat Glagah Putih sudah bergeser menjauh dan mulai bertempur melawan Ki Gagak Bergundung.

“Nampaknya perempuan ini bersungguh-sungguh,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. “Agaknya suami istri ini benar-benar pembunuh yang tidak berjantung. Mereka dapat membasahi tangan mereka dengan darah orang-orang yang tidak bersalah sekalipun, dengan tanpa debar di dada mereka.“

Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia belum tahu tataran ilmu perempuan itu yang sesungguhnya, sedangkan niat perempuan itu untuk membunuhnya bukan sekedar untuk mengancamnya saja.

“Bayangan kematianmu sudah nampak di wajahmu, perempuan cantik,” desis Nyi Gagak Bergundung sambil tersenyum. Senyumnya telah menggetarkan jantung Rara Wulan.

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Kau keliru, Nyi. Yang kau lihat di sorot mataku bukan bayangan kematianku, tetapi isyarat akan kematian lawanku. Agaknya isyarat itu sudah kau lihat sendiri.”

“Persetan kau.” Perempuan yang bertubuh tinggi itu tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Rara Wulan.

Tetapi Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Ia pun segera bergeser menghindari serangan itu, dan bahkan ia pun segera membalas menyerang.

Serangan Rara Wulan ternyata mengejutkan lawannya. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak setangkas itu. Sehingga dengan demikian, maka perempuan itu seolah-olah telah diperingatkan untuk berhati-hati menghadapi perempuan yang masih terhitung muda itu.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan saling menghindar. Keduanya berloncatan dengan cepatnya.

Ki Kumuda yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Dilihatnya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan garangnya, sementara dua orang perempuan bertempur dengan gerak yang cepat, tangkas dan cekatan.

“Mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi,” desis Ki Kumuda.

Namun ketika mereka sudah bertempur beberapa lama, maka Ki Gagak Bergundung dan Nyi Gagak Bergundung mulai menyadari, bahwa lawan mereka adalah benar-benar orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi ilmu mereka. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa kedua orang suami istri yang bernama Gagak Bergundung itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Semakin lama pertempuran pun menjadi semakin sengit. Nyi Gagak Bergundung yang mendapat lawan yang mampu menahan serangan-serangannya, menjadi semakin marah. Ia tidak mengira bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya, bahkan setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

“Dimana anak ini menimba ilmu?” desis Nyi Gagak Bergundung. Bahkan ia melihat unsur-unsur gerak yang mulai membingungkannya.

Sebenarnyalah ketika pertempuran menjadi semakin sengit, serta Nyi Gagak Bergundung meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Rara Wulan pun mulai menapak ke dalam tata gerak ilmu yang semakin rumit. Meskipun ia masih berpijak kepada unsur-unsur gerak dari ilmu perguruan yang diturunkan lewat Ki Sumangkar di bawah bimbingan Sekar Mirah, serta ilmu yang disadapnya dari perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing lewat suaminya dan Agung Sedayu, namun segala sesuatunya telah menjadi semakin matang. Arti dari setiap gerakan, arah serta sasarannya, menjadi semakin tajam.

Namun dengan demikian, Nyi Gagak Bergundung yang mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi agak sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak itu. Ia menjadi bingung untuk menyebut, perempuan yang masih terhitung muda itu dilahirkan dari jalur perguruan yang mana.

Nyi Gagak Bergundung itu pun kemudian semakin meningkatkan ilmunya, untuk memaksa Rara Wulan menunjukkan alas yang paling mendasar dari perguruannya. Dalam keadaan yang sulit, maka seseorang akan terpaksa kembali pada ilmu yang paling dikuasainya.

Tetapi debar di jantung Nyi Gagak Bergundung itu menjadi semakin keras, ketika ia sadari bahwa unsur-unsur gerak lawannya itu masih tetap saja membingungkannya.

Bahkan meskipun Nyi Gagak Bergundung mencoba menekan perempuan yang masih terhitung muda itu, sama sekali tidak berhasil. Serangan-serangan Nyi Gagak Bergundung yang datang membadai, masih saja selalu dihindari oleh Rara Wulan.

Tetapi ketika Nyi Gagak Bergundung bergerak semakin cepat, maka Rara Wulan tidak lagi selalu menghindar. Dengan hati-hati ia mulai menjajagi kekuatan dan tenaga Nyi Gagak Bergundung.

Benturan-benturan kecil pun tidak lagi dapat dihindari. Namun benturan-benturan kecil itu sudah cukup mengejutkan Nyi Gagak Bergundung.

“Gila anak ini,” berkata Nyi Gagak Bergundung di dalam hatinya, “dari mana ia menyadap kekuatan dan tenaga yang demikian kuatnya, dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar?”

Sebenarnyalah dalam benturan-benturan yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung merasa betapa kuatnya tenaga lawannya itu.

Tetapi Nyi Gagak Bergundung masih merasa bahwa dirinya adalah bagian dari sepasang Gagak yang namanya ditakuti oleh banyak orang. Bahkan gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang garang pun hatinya akan menjadi kuncup jika mereka mendengar nama Gagak Bergundung.

Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung itu masih tetap yakin bahwa ia akan dapat menghancurkan perempuan yang sombong itu.

Dalam pada itu, pertempuran antara Gagak Bergundung melawan Glagah Putih pun menjadi semakin sengit. Ki Gagak Bergundung juga menjadi heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi. Dalam gejolak kemarahannya, maka Ki Gagak Bergundung pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat kuat.

Tetapi ternyata bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang tenaga dalam lawannya itu sempat mengejutkannya.

Ketika tataran ilmu keduanya menjadi semakin tinggi, maka serangan-serangan mereka pun silih berganti mulai menembus pertahanan lawan. Sekali-sekali serangan Gagak Bergundung sempat mendorong Glagah Putih beberapa langkah surut. Namun pada kesempatan lain, Gagak Bergundung-lah yang terlempar surut dan bahkan kehilangan keseimbangannya. Namun demikian Gagak Bergundung itu terjatuh, maka ia pun segera melenting berdiri.

Namun sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih yang menjadi lebih sering menembus pertahanan Gagak Bergundung. Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Glagah Pulih itu pun terasa mulai menyakiti tubuhnya.

“Gila orang ini,” geram Gagak Bergundung, “ternyata orang ini memang berilmu tinggi.”

Di atas sebuah batu padas yang besar, Ki Kumuda berdiri dengan wajah yang tegang. Sekali-sekali ia memperhatikan Glagah Putih yang bertempur melawan Gagak Bergundung. Namun sejenak kemudian, perhatiannya tertuju kepada pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Gagak Bergundung. Bahkan sampai beberapa lama, Ki Kumuda tidak dapat meyakini, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.

Ketika kemudian terjadi benturan-benturan di antara Glagah Putih dan Gagak Bergundung, maka Ki Kumuda pun mulai berpengharapan. Ia melihat bahwa kekuatan Glagah Putih yang didukung oleh tenaga dalamnya ternyata lebih besar dari lawannya. Di setiap benturan yang terjadi, maka Gagak Bergundung-lah yang selalu tergetar surut. Demikian pula Rara Wulan yang bertempur melawan Nyi Gagak Bergundung. Agaknya Rara Wulan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari lawannya.

Namun Ki Kumuda pun menyadari bahwa orang-orang yang berilmu tinggi terbiasa menyimpan ilmu pamungkasnya, yang hanya akan dipergunakan pada saat-saat yang paling gawat. Ilmu pamungkas itulah yang biasanya akan menentukan, siapakah di antara mereka yang akan mampu mengalahkan lawannya.

Ki Kumuda meyakini bahwa Gagak Bergundung suami istri yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu mempunyai pegangan yang diandalkannya sebagai ilmu pamungkasnya.

Tetapi agaknya Gagak Bergundung itu masih belum merasa perlu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya. Dalam keadaan yang semakin sulit karena serangan-serangan Glagah Putih yang semakin sering menembus pertahanannya, maka Gagak Bergundung tidak segera sampai pada ilmu puncaknya itu. Tetapi Gagak Bergundung masih akan mencoba kemampuannya mempergunakan senjata.

Ketka Gagak Bergundung tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, ia tidak segera melepaskan ilmu puncaknya. Tetapi ditariknya goloknya yang besar, yang berada di sarungnya yang melekat di punggungnya.

“Aku akan membelah kepalamu dan menaburkan otakmu yang penuh dengan kesombongan itu, anak iblis,“ geram Gagak Bergundung.

Glagah Putih meloncat surut. Ia melihat golok yang besar, panjang dan tentu berat. Tetapi di tangan Gagak Bergundung, golok itu berputaran seperti baling-baling blarak.

“Jangan sesali nasibmu yang buruk,” berkata Gagak Bergundung lebih lanjut.

“Baiklah,” sahut Glagah Putih, “aku tidak ingin kepalaku terbelah. Karena itu, maka aku pun akan mempergunakan senjataku.”

Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengurai ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalannya.

Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apa artinya ikat pinggangmu itu? Golokku adalah golok pusaka turun temurun. Golokku dibuat oleh seorang Empu di pertapaannya, di kaki Gunung Kendeng, lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Ayahku telah membabat puluhan lawannya dengan golok ini. Kakekku-lah yang telah membunuh Ki Jalak Ambal yang diakui dapat menghilang itu, dan membelah dadanya. Sedangkan aku telah memenggal kepala lawan-lawanku yang jumlahnya tidak terhitung lagi.”

“Ada dua kemungkinan pada ceritamu itu, yang kedua-duanya tidak berharga bagiku. Pertama, kau membual. Seorang pembual adalah seorang yang licik dan biasanya seorang pengecut. Kedua, jika ceritamu itu benar, maka kau adalah bayangan kuasa kegelapan yang harus dihancurkan. Hidupmu sama sekali tidak berharga bagi sesamamu. Apalagi bagi Pencipta jagad raya ini. Kau adalah kerak kehidupan yang hanya akan mengotori bumi ini.”

Wajah Gagak Bergundung menjadi merah. Kemarahannya telah membuat jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang Glagah Putih dengan garangnya. Goloknya yang besar dan berat itu terayun-ayun bagaikan selembar klaras kering yang tidak berbobot.

Tetapi Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali. Setelah menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh kitab Ki Namaskara, maka Glagah Putih telah mengalami loncatan yang jauh pada tataran ilmunya.

Karena itu, menghadapi Gagak Bergundung, Glagah Putih mampu menempatkan dirinya pada lapis yang bahkan lebih tinggi dari lawannya.

Meskipun demikian, Gagak Bergundung itu pun masih saja berteriak, “Apapun yang kau lakukan, anak iblis, golok pusakaku yang disebut Kiai Naga Padma ini akan menyelesaikan tugasnya dengan baik.”

Glagah Putih tidak menghiraukannya. Tetapi Ki Kumuda-lah yang menjadi semakin tegang. Nama Gagak Bergundung telah membuatnya berdebar-debar. Apalagi ketika ia mendengar nama golok Kiai Naga Padma. Tetapi bagaimana mungkin golok Kiai Naga Padma berada di tangan seorang yang muncul dari kuasa kegelapan itu? Menurut pendengarannya, Kiai Naga Padma adalah pusaka seorang pertapa, yang pada masa sebelumnya banyak berbuat kebajikan dan menolong sesamanya. Seorang pertapa yang hanya diketahuinya dengan sebutan Kiai Pupus Kendali. Namun nama Kiai Pupus Kendali itu sudah lama tidak pernah disebut-sebut lagi.

“Kakang Umbul Telu mungkin mengetahui lebih banyak tentang Kiai Naga Padma,” desis Ki Kumuda.

Sebenarnyalah bahwa golok di tangan Gagak Bergundung itu telah memaksa Ki Kumuda menjadi berdebar-debar. Putaran golok itu seolah-olah memunculkan bara yang kemerah-merahan di udara.

Galagah Putih yang bertempur dengan sengitnya, harus melihat kenyataan itu pula. Dengan jantung yang berdebar ia mulai memperhatikan golok di tangan lawannya yang garang itu.

“Luar biasa,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “golok itu tentu bukan golok yang dibuat oleh pande besi kebanyakan. Golok itu tentu dibuat oleh seorang Empu yang mumpuni, yang jarang ada duanya.”

Namun di tangan Glagah Putih pun tergenggam senjatanya yang dapat dipercaya. Meskipun ujudnya hanya sebuah ikat pinggang, tetapi senjata itu sudah terbukti memiliki kelebihan dari jenis-jenis senjata yang lain. Apalagi di tangan Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi, setelah ia menguasai sebagian besar isi kitab, yang menurut tanggapannya diterimanya dari Kiai Namaskara, meskipun dengan cara yang tidak dapat dimengertinya.

Dengan demikian, maka keberadaan golok Kiai Naga Padma di tangan Gagak Bergundung sama sekali tidak menggetarkan jantung Glagah Putih.

Apalagi setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit. Gagak Bergundung yang mengira akan dapat segera menebas senjata lawannya sehingga putus, ternyata sangat mengejutkannya. Ketika kedua senjata itu beradu, maka seakan-akan golok yang dibanggakan oleh Gagak Bergundung itu membentur tongkat baja yang tidak tergoyahkan.

Di luar sadarnya, Gagak Bergundung itu mengumpat kasar. Justru tangannya-lah yang tergetar sehingga telapak tangannya terasa pedih.

Gagak Bergundung meloncat beberapa langkah surut. Sedangkan Glagah Putih sengaja tidak memburunya. Glagah Putih sengaja memberi waktu kepada Gagak Bergundung untuk memahami apa yang baru saja terjadi.

“Dari mana kau dapatkan senjatamu itu?” geram Gagak Bergundung.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku membelinya di pasar di padukuhan sebelah,” jawab Glagah Putih sambil tersenyum. “Pasar yang hampir mati karena para pedagang tidak mau singgah lagi. Pasar yang dibayangi oleh kerusuhan karena para perampok dan penyamun yang berkeliaran di jalan-jalan.”

“Persetan dengan bualanmu.”

“Jadi, menurut pendapatmu, dari mana aku dapatkan senjata ini?”

“Kau akan menyesali kesombonganmu itu.”

“Aku atau kau.”

Gagak Bergundung yang menjadi semakin marah itu telah meloncat menyerangnya pula. Goloknya yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher Glagah Putih. Namun dengan tangkasnya pula Glagah Putih menggerakkan senjatanya. Dengan paduan antara jenis senjatanya pilihan di tangannya serta ilmunya yang sangat tinggi, dilambari pula oleh tenaga dalamnya, maka Glagah Putih menangkis serangan lawannya.

Pada saat kedua senjata pilihan itu beradu, maka segumpal bunga api telah memercik ke udara.

Ternyata Gagak Bergundung justru telah terguncang. Beberapa langkah ia tergetar surut. Sementara itu, Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya.

Sekali lagi Gagak Bergundung mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat mengelak dari kenyataan, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang sulit dibayangkannya.

Namun Gagak Bergundung masih mempunyai harapan untuk memenangkan pertempuran itu. Ia masih mempunyai beberapa simpanan yang akan dapat dipergunakan untuk mengakhiri pertempuran, jika tidak ada lagi jalan lain.

Dalam pada itu, Ki Kumuda yang menjadi penasaran atas keberadaan golok itu di tangan Gagak Bergundung, telah berteriak, “He, Gagak Berundung! Darimana kau dapatkan golok Kiai Naga Padma itu? Bukankah golok itu milik seorang pertapa yang dikenal dengan nama Kiai Pupus Kendali?”

“Persetan dengan Pupus Kendali. Ia bukan apa-apa bagi ayahku. Pupus Kendali tidak lebih dari belalang yang menyebut dirinya elang.”

“Kau telah membunuhnya?”

Gagak Bergundung tidak sempat menjawab. Serangan Glagah Putih datang beruntun, sehingga Gagak Bergundung harus berloncatan surut. Namun kemudian Glagah Putih justru menghentikan serangannya sambil berkata, “Jawab pertanyaan Ki Kumuda. Kau bunuh Kiai Pupus Kendali itu?”

“Apa pedulimu dengan Kiai Pupus Kendali? Sekarang aku akan membunuhmu, anak bengal.”

Gagak Bergundung-lah yang kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kecepatan yang tinggi. Namun Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Gagak Bergundung itu.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran dengan irama yang semakin cepat. Gagak Bergundung merasa bahwa ia tidak mungkin beradu kekuatan dan tenaga dengan orang yang masih terhitung muda itu. Tetapi Gagak Bergundung akan mengandalkan pertempuran selanjutnya dengan kecepatan geraknya. Goloknya yang besar itu semakin cepat berputar dengan meninggalkan cahaya kemerah-merahan di udara.

Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun masih bertempur dengan garangnya melawan Rara Wulan. Ternyata seperti Gagak Bergundung, istrinya itu pun tidak mengira bahwa ia akan berhadapan dengan seorang perempuan yang masih terhitung muda, namun berilmu sangat tinggi. Jika semula para pengikut Dandang Ireng melaporkan kepadanya tentang ilmu dua orang suami istri yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih sangat meragukannya. Namun di medan, ia benar-benar bertemu dengan perempuan sebagaimana dikatakan oleh pengikut Dandang Ireng itu.

Seperti suaminya, maka dalam keadaan terdesak Nyi Gagak Bergundung pun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkeredipan.

“Jarang dapat dijumpai pedang yang dibuat dengan pamor yang mendebarkan itu,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Dengan demikian ia pun mengerti bahwa pedang itu bukanlah sembarang pedang.

Agaknya Nyi Gagak Bergundung pun menyadari bahwa Rara Wulan memperhatikan pedangnya yang dibanggakannya.

“Kau perhatikan pedangku, perempuan cantik?” bertanya Nyi Gagak Bergundung.

“Ya,” jawab Rara Wulan, “pedangmu adalah pedang yang sangat bagus.”

“Bukan sekedar bagus buatannya. Tetapi pedangku adalah pedang yang bertuah. Tidak seorangpun yang dapat lolos dari ujung pedangku jika aku sudah terlanjur menariknya dari wrangkanya.”

“O, ya?”

“Pedangku adalah senjata pemberian guruku. Aku adalah murid perempuan terbaik di perguruanku, sehingga guruku telah mewariskan pedang ini kepadaku. Pedang yang dinamainya Kiai Samekta, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kiai Tigas Prahara.”

“Nama yang membuat kulitku meremang.”

“Tidak hanya meremang. Tetapi kulitmu akan terkoyak-koyak sebelum tubuhmu akan terkapar di jurang itu.”

“Kita akan melihat, siapakah yang lebih beruntung di antara kita.”

Nyi Gagak Bergundung tidak menyahut. Tetapi ia pun mulai memutar pedangnya. Desingnya seperti gaung sendaren merpati yang terbang berputar di langit.

Rara Wulan bergeser surut, Ia pun segera melepaskan selendangnya dan memegang kedua ujungnya dengan kedua tangannya.

“Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja satu ujung selendangnya itu terjulur lurus mengarah ke dada Nyi Gagak bergundung.

Perempuan itu terkejut. Dengan serta merta ia memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan itu.

Tetapi Nyi Gagak Bergundung itu tidak sepenuhnya terlepas dari garis serangan selendang Rara Wulan. Ujung selendang Rara Wulan masih juga menyentuh bahu Nyi Gagak Bergundung.

Akibatnya ternyata sangat menyakitkan hati perempuan bertubuh tinggi ramping dan berwajah bengis itu. Terdengar ia berdesah tertahan. Namun tubuhnya menjadi goyah. Selangkah ia bergeser surut, dan bahkan hampir saja Nyi Gagak Bergundung kehilangan keseimbangannya.

“Anak iblis,“ geram Nyi Gagak Bergundung, “aku bunuh kau. Aku belah jantung di dadamu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perempuan itu sudah bersiap sepenunya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, keduanya pun segera tenggelam dalam pertempuran yang sengit. Serangan Nyi Gagak Bergundung pun datang susul menyusul bagaikan ombak yang berguncang di lautan.

Tetapi serangan Nyi Gagak Bergundung tidak meruntuhkan pertahanan Rara Wulan. Bahkan Nyi Gagak Bergundung merasa betapa sulitnya menembus pertahanan itu. Sekali-sekali ujung pedang Nyi Gagak Bergundung terjulur mengarah ke sasaran. Namun ternyata bahwa Rara Wulan selalu saja sempat bergeser menghindar. Bahkan ketika Nyi Gagak Bergundung yang telah berada di tataran yang lebih tinggi dari ilmunya, sehingga tubuhnya seakan-akan dapat melayang di udara dengan kecepatan yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih saja tidak mampu menyentuh tubuh Rara Wulan dengan ujung senjatanya.

Rara Wulan pun mampu mengimbangi kecepatan gerak Nyi Gagak Berundung. Bahkan dalam benturan senjata yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung justru merasakan betapa tenaga dalam lawannya menjadi semakin besar.

Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, serangan Rara Wulan-lah yang semakin sering menembus pertahanan Nyi Gagak Bergundung. Ujung selendangnya beberapa kali sempat menyentuh tubuh lawannya. Bahkan ketika ujung selendang Rara Wulan tepat mengenai dada Nyi Gagak Bergundung, maka Nyi Gagak Bergundung itu pun terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan kemudian kehilangan keseimbangan.

Nyi Gagak Bergundung itu pun jatuh terlentang. Untunglah bahwa segerumbul perdu sempat menahan tubuhnya, sehingga tidak terguling ke dalam jurang. Meskipun jurang itu tidak begitu dalam, namun tumbuh-tumbuhan berduri yang tumbuh di lereng jurang itu akan dapat menyakitinya.

Agaknya Nyi Gagak Bergundung tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun ia bersenjata pedang pemberian gurunya, namun pedang itu tidak mampu menyentuh kulit lawannya.

Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu dengan mempergunakan ilmui puncaknya.

Karena itu, demikian Nyi Gagak Bergundung itu bangkit berdiri, maka ia pun justru menyarungkan pedangnya.

Rara Wulan pun menyadari apa yang akan dilakukan oleh Nyi Gagak Bergundung. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera mengikatkan selendangnya di lambungnya.

Namun tiba-tiba terdengar isyarat yang menghentak daun telinga. Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat Gagak Bergundung bagaikan kilat menyambar pergelangan tangan istrinya. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu bagaikan terbang meninggalkan arena pertempuran.

Rara Wulan sudah siap memburunya. Namun terdengar Glagah Putih mencegahnya, “Jangan, Rara.”

“Aku akan dapat mengejarnya,” jawab Rara Wulan.

“Ya. Tetapi kita memerlukan waktu yang lama. Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik. Pada saat kita dapat menyusul mereka, maka kita tentu sudah berada di tempat yang jauh sekali.”

“Jadi menurut perhitungan Kakang, kita pasti akan dapat menyusul mereka?”

“Menurut perhitunganku dapat, meskipun masih tergantung banyak hal yang mungkin kita hadapi.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Yang dikatakan oleh Glagah Putih itu meyakinkan dirinya, bahwa ia pun sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik. Setidak-tidaknya sama seperti Gagak Bergundung dan istrinya.

“Tetapi Kakang, keduanya adalah orang yang sangat berbahaya. Mungkin pada suatu saat mereka akan kembali ke padepokan ini, justru pada saat kita sudah pergi.”

“Ki Kumuda melihat apa yang terjadi. Ki Kumuda akan dapat melaporkannya kepada Ki Umbul Telu. Kemungkinan kembalinya Gagak Bergundung akan memacu para penghuni padepokan ini untuk semakin meningkatkan ilmu mereka, setidak-tidaknya para sesepuhnya.”

“Kita akan berbicara dengan Ki Kumuda.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mendapatkan Ki Kumuda yang masih berdiri di tempatnya. Namun di wajahnya membayangkan hati yang kecewa.

“Sayang, keduanya dapat melarikan diri,” desis Ki Kumuda.

“Ya. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat baik. Mereka dapat lari seperti angin,” sahut Glagah Putih.

“Apakah mereka tidak akan kembali?” bertanya Ki Kumuda.

“Aku kira tidak dalam waktu dekat. Agaknya ada kesempatan bagi para sesepuh di padepokan ini untuk mempersiapkan diri.”

“Tetapi sulit untuk mengimbangi ilmu mereka.”

“Mungkin sendiri-sendiri, para sesepuh padepokan ini memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyusul kemampuan Gagak Bergundung. Tetapi bukankah para sesepuh di padepokan ini dapat bekerja sama untuk menghadapi mereka? Betapapun tinggi ilmu keduanya, namun mereka tidak akan dapat melawan para penghuni padepokan ini yang juga berilmu tinggi, dalam jumlah yang jauh lebih banyak.”

Ki Kumuda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita memberikan laporan kepada kakang Umbul Telu.”

Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriring kembali ke bangunan utama padepokan yang berada di atas bukit itu.

Laporan Ki Kumuda itu sempat membuat para sesepuh yang ikut mendengarnya menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab mereka. Yang harus mereka lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang buruk itu, meskipun mereka pun yakin bahwa Gagak Bergundung tidak akan kembali dalam waktu dekat.

Sementara itu, Gagak Bergundung suami istri yang menyadari bahwa mereka berdua tidak disusul oleh kedua lawan mereka, telah berhenti di pinggir jalan. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berada di tempat yang jauh dari Perguruan Awang-Awang.

“Kedua orang suami istri itu berilmu sangat tinggi,” desis Gagak Berundung, “mereka mampu mengimbangi ilmu kita berdua.”

“Tidak,” sahut Nyi Gagak Bergundung, “sebenarnya aku ingin membinasakan perempuan yang sombong itu dengan ilmu pamungkasku. Tetapi Kakang telah mengajakku meninggalkan arena.“

“Justru aku ingin mencegahnya, Nyi. Jika kau mempergunakan ilmu andalanmu, maka perempuan itu pun akan melakukan hal yang sama. Aku pun tidak berniat untuk mempergunakan ilmu andalanku.”

“Kakang meragukan kemampuanku, dan bahkan kemampuan Kakang sendiri.”

“Bukan begitu. Tetapi menurut dugaanku, keduanya tentu juga memiliki Ilmu yang mereka andalkan. Nah, bukan aku tidak meyakini ilmu kita, tetepi seberapa tinggi ilmu pamungkas mereka? Jika ilmu mereka lebih tinggi atau setidak-tidaknya mengimbangi ilmu kita, maka dalam keadaan yang lemah, kita sulit akan mempertahankan diri. Seandainya kedua orang suami istri itu mengalami kesulitan sebagaimana kita alami dalam benturan ilmu andalan yang seimbang, namun masih ada Kumuda di arena itu. Ia akan dapat berbuat lebih jauh lagi terhadap kita berdua, yang menjadi lemah karena benturan ilmu andalan itu.”

“Tetapi aku yakin, bahwa ilmuku akan menghancurkan perempuan itu.”

“Yang aku ragukan, jika ilmu lawan-lawan kita mampu mengimbangi ilmu kita. Agaknya keduanya memiliki landasan ilmu yang sangat kokoh.”

Nyi Gagak Bergundung menarik nafas panjang. Tetapi kemudian sambil mengangguk ia pun berkata, “Ya. Mungkin Kakang benar. Tenaga dalam perempuan itu sangat tinggi. Ketika ujung selendangnya menyentuh dadaku, rasa-rasanya nafasku menjadi pepat dan tersumbat. Sementara itu ujung pedangku masih belum mampu menyentuh pakaiannya. Agaknya perempuan itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.”

“Ya. Agaknya kita belum dapat menjajagi kemampuan mereka yang sesungguhnya, meskipun kita sudah bertempur beberapa lama. Mereka mampu bergerak sangat cepat.”

“Tetapi mereka tidak mengejar kita.”

“Tentu ada perhitungan lain.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Sambil berjalan perlahan-lahan menyusuri tepi hutan, mereka masih merenungi kemampuan lawan-lawan mereka.

Mereka pun tertegun ketika mereka melihat seekor kijang yang berlari kencang menerobos gerumbul-gerumbul perdu di bibir hutan. Namun kemudian menghilang di antara pepohonan.

“Jika saja kita dapat bergerak selincah kijang,“ desis Nyi Gagak Bergundung.

Namun kedua orang suami istri itu tidak pernah membayangkan bahwa lawan-lawan mereka yang masih terhitung muda itu pernah hidup sebagai sepasang kijang, pada saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang.

Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun bertanya, “Sekarang apa yang akan kita lakukan?”

“Kita kembali ke sarang kita lebih dahulu. Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.”

“Apakah kita akan kembali ke padepokan itu?“

“Kita mempunyai banyak waktu. Kita tidak tergesa-gesa. Mungkin kita akan kembali kelak.”

Nyi Gagak Bergundung mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka.

Di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melibatkan diri dalam kesibukan sehari-hari. Bahkan Ki Umbul Telu yang berusaha menghubungi beberapa orang Demang telah mengajak Glagah Putih pula bersama para tetua di padepokan itu. Sementara Rara Wulan yang tinggal di padepokan, berusaha untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para penghuninya. Dengan demikian, maka para penghuni padepokan itu telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru bagi ilmu mereka.

Ternyata usaha Ki Umbul Telu tidak sia-sia. Beberapa orang Demang menyambut dengan baik kesediaan Ki Umbul Telu untuk bekerja sama menjaga keamanan lalu-lintas di beberapa kademangan, untuk menghidupkan kembali kegiatan perdagangan di kademangan-kademangan itu. Kegiatan perdagangan itu akan memberikan arti pula bagi Perguruan Awang-Awang, yang ingin memperluas pemasaran hasil bumi dan hasil kerajinan tangan para penghuni padepokan itu.

“Kami akan membantu memberikan latihan-latihan kanuragan kepada anak-anak muda di beberapa kademangan,” berkata Ki Umbul Telu kepada Ki Demang di Karang Panjang.

“Bagus, Ki Umbul Telu. Kami akan sangat berterima kasih.“

“Meskipun tidak dengan serta-merta, tetapi kita akan dapat merancang waktu, kapan kita bergerak melawan para perampok itu,” berkata Ki Umbul Telu.

“Ya. Rencana yang akan kita susun bersama.”

“Sementara itu, kami akan minta setiap kademangan mengirimkan beberapa anak muda terpilih ke perguruan kami.”

Ki Demang Karang Panjang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbicara dengan para Demang tetangga-tetangga kami. Jika mungkin, aku akan mengundang empat atau lima orang Demang. Akan lebih baik jika Ki Umbul Telu bersedia hadir pula.”

“Tentu, Ki Demang,” sahut Ki Umbul Telu, “aku akan bersedia datang. Bukankah kita akan bekerja sama? Setelah kita mempunyai kekuatan yang memadai, maka kita akan berbicara dengan para pedagang yang selama ini hanya lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar, dengan memacu kuda mereka tanpa berpaling di pasar-pasar kita yang mereka lewati.”

“Ya. Kita harus berusaha merubah keadaan itu. Dengan memberikan bantuan menyelenggarakan keamanan lingkungan, agaknya mereka akan mengindahkan daerah ini. Daerah ini mempunyai banyak bahan perdagangan yang dapat memberikan keuntungan bagi segala pihak,” sahut Ki Demang.

Sebenarnyalah di tiga hari berikutnya, telah diselenggarakan pertemuan oleh beberapa orang Demang untuk menanggapi gagasan Ki Umbul Telu.

“Jika Ki Umbul Telu bersedia membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kami, maka kami akan bersedia ikut dalam rencana ini,” berkata seorang Demang.

“Tentu,” sahut Ki Umbul Telu, “kami bersedia menerima anak-anak muda dari setiap kademangan, asal mereka bersedia menjalani satu kehidupan yang sederhana di padepokan kami.”

“Kami tentu akan membantu beban padepokan Ki Umbul Telu,” sahut seorang Demang.

Demikianlah, maka para Demang dan Ki Umbul Telu itu sepakat untuk saling membantu. Para Demang akan mengirimkan sekitar sepuluh sampai dua puluh lima orang anak muda untuk berlatih di padepokan Ki Umbul Telu selama dua atau tiga bulan. Kemudian bergantian dengan anak-anak muda yang lain, sementara yang sudah berlatih di padepokan Ki Umbul Telu akan memberikan latihan kepada kawan-kawan mereka di kademangan. Para Demang itu merencanakan, dalam waktu setengah tahun, maka mereka sudah siap berhubungan dengan para pedagang.

“Kita tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Ki Demang Karang Panjang, “tetapi dengan langkah yang pasti kita menyongsong hari esok. Syukur jika rencana waktu itu dapat diperpendek.”

“Kita akan berbuat dengan bersungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya,“ sahut Ki Umbul Telu.

“Sedangkan para pedagang itu sendiri sudah mempunyai kelompok-kelompok tertentu. Mereka tentu juga sudah memiliki landasan kekuatan. Dengan bekerja bersama, kita berharap bahwa daerah ini akan dapat kita amankan, sehingga arus perdagangan tidak hanya sekedar lewat tanpa meninggalkan bekas apa-apa di lingkungan kita.”

Dengan demikian, maka Ki Umbul Telu dan para Demang itu sudah membuat pijakan bersama untuk mengembalikan kesibukan perdagangan di daerah mereka masing-masing. Kerja sama di antara beberapa kademangan dan Perguruan Awang-Awang diharapkan akan dapat memecahkan masalah, meskipun tidak dengan serta-merta. Tetapi pijakan itu telah memberikan pengharapan bagi kesejahteraan hidup rakyat di beberapa kademangan serta di Perguruan Awang-Awang.

Dengan demikian, maka keberadaan Perguruan Awang-Awang itu akan dapat memberikan arti yang sebenarnya bagi lingkungan di sekitarnya. Bukan sekedar satu kehidupan yang terpisah yang berada di sebuah perbukitan terpencil. Sehingga dengan demikian maka ilmu mereka pun dapat diamalkan dalam pengertian yang wajar.

Sementara itu, selama Glagah Putih dan Rara Wulan berada di Perguruan Awang-Awang, maka mereka telah menemukan sebuah celah-celah di sebuah goa, yang agaknya tidak pernah disentuh bahkan oleh para penghuni padepokan itu. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah menyembunyikan peti kayunya yang manis berukiran lembut di celah-celah itu.

“Bukankah celah-celah itu tidak basah?” bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih.

“Tidak. Tetapi bagaimanapun juga, celah-celah itu tetap saja lembab.”

“Aku akan membungkusnya dengan kain panjang.”

“Kain panjang? Kau tidak sayang, bahwa selembar kain panjangmu akan kau susupkan di celah-celah itu?”

“Untuk melindungi peti kecil itu. Kasihan peti itu jika akan segera menjadi lapuk.”

Glagah Putih tidak menyahut.

Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah membungkus peti kecil itu dengan sehelai kain, dan menyimpannya di celah-celah di dalam goa itu dan menyamarkannya dengan bongkah-bongkah batu padas.

Ketika rencana Ki Umbul Telu mulai berjalan, maka bangunan utama padepokan itu menjadi bertambah ramai. Bahkan ada beberapa orang anak muda yang tinggal di rumah beberapa orang keluarga yang dapat menampungnya. Mereka adalah anak-anak dari beberapa kademangan di sekitar padepokan itu.

Latihan-latihan segera dimulai pula. Anak-anak muda itu harus menjalani kehidupan yang penuh keterikatan pada tatanan, untuk menempa mereka menjadi orang-orang mampu mengendalikan diri.

Sejak hari-hari pertama, mereka harus sudah bekerja keras, siang dan malam. Waktu-waktu beristirahat mereka terasa menjadi sangat sempit.

Pada mulanya, anak-anak muda yang datang dari beberapa kademangan itu merasa sangat letih. Tetapi setelah mereka berada di padepokan itu sepekan, maka mereka mulai dapat menyesuaikan dirinya.

Para murid dari Perguruan Awang-Awang yang memberikan latihan kepada mereka pun berpijak pada tatanan perguruan, sehingga terasa sangat keras bagi anak-anak muda itu.

Tetapi karena mereka merasa mendapat beban dari para Demang mereka masing-masing, maka mereka pun berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya.

Waktu yang hanya dua atau tiga bulan itu memang terlalu pendek untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi dengan tempaan yang keras, maka agaknya hasilnya kelak akan memadai. Mereka tidak hanya menghadapi kesatuan prajurit atau murid-murid dari perguruan yang sudah berilmu tinggi. Tetapi mereka akan menghadapi para perampok, yang sebagian besar tidak mendasari ilmunya dari perguruan yang manapun. Mereka hanya berlandaskan keberanian, kebengisan, dan kadang-kadang diwarnai dengan dendam atas peristiwa-peristiwa yang telah menimpa diri mereka dan keluarganya. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan yang keliru itu karena tekanan kehidupan yang terasa sangat menekan keluarganya, sehingga akhirnya mereka mencari jalan yang paling mudah, meskipun dengan kemungkinan yang terburuk dalam hidupnya

Ketika segala sesuatunya sudah berjalan lancar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan padepokan itu, untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Namun sebelum keduanya minta diri, keduanya telah mendengar dari para tetua di padepokan itu, beberapa hal tentang dunia olah kanuragan yang mungkin akan dilewati oleh kedua orang suami istri itu.

Dari beberapa orang yang dituakan di padepokan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar beberapa nama dan orang-orang berilmu tinggi yang berkeliaran di dunia olah kanuragan.

“Nampaknya selama pengembaraan, Angger berdua tidak menyelam sampai ke dasar. Angger belum banyak mengenal nama-nama orang berilmu tinggi, baik yang berlandaskan ilmu yang mapan dan berkiblat kepada Kang Murbeing Dumadi, tetapi juga mereka yang berkiblat kepada kuasa kegelapan.”

“Ya,” sahut Glagah Putih, “selama ini kami hanya menapaki permukaan.”

“Ternyata bahwa dunia olah kanuragan tidak ubahnya seperti lebarnya rimba raya. Pepohonan raksasa tumbuh dimana-mana. Sedangkan di sela-selanya, gerumbul-gerumbul rerungkutan liar dengan tumbuh-tumbuhan merambat dan berduri. Sulur-sulur liar serta dahan-dahan yang rapuh berpatahan silang-melintang. Di dalamnya hidup berbagai jenis binatang buas, binatang berbisa, serta serangga-serangga yang dapat membunuh dengan sengatnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menarik nafas panjang. Mereka sudah mempunyai cukup pengalaman dalam pengembaraan mereka. Tetapi ternyata bahwa banyak nama-nama yang masih belum mereka kenal. Beberapa tempat dan perguruan dari para penganut tuntunan yang berbeda, dan bahkan berlawanan.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun teringat kepada dua dunia yang dijumpainya di rumah tua yang semula mereka kenal dihuni oleh Ki Nawaskara. Dunia yang tenang tenteram dan damai. Tetapi di dunia itu pula mereka kemudian menjumpai kehidupan yang buas dan liar. Yang satu menghancurkan yang lain. Semuanya berbuat bagi kepentingan diri masing-masing. Tanpa pengendalian diri dan apalagi apa yang disebut pengorbanan bagi kepentingan sesama.

“Tetapi bukan berarti bahwa seluruh permukaan bumi ini sudah menjadi tlatah kuasa kegelapan, Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “masih ada orang yang dapat dipercaya. Masih ada orang yang bersikap jujur. Karena itu, tidak sepatutnya jika Angger berdua kehilangan sama sekali kepercayaan kepada sesama.”

“Ya. Ki Umbul Telu,” sahut Glagah Putih sambil mengangguk-angguk, “tetapi bukankah sulit sekali untuk memilahkan yang mana yang pantas dipercaya dan yang mana sebaliknya?”

“Kau benar, Ngger. Mereka yang licik dan julig justru akan menampakkan diri sebagai seorang yang jujur dan baik hati. Tetapi dalam kesempatan yang mereka tunggu, maka mereka akan menerkam tengkuk dari belakang. Sementara itu, mereka yang sungguh-sungguh jujur dan berpijak pada kebenaran justru akan tersingkir, karena mereka akan selalu mengganggu langkah-langkah selingkuh di berbagai sisi kehidupan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Sepanjang pengalaman mereka menjelajahi kehidupan yang beraneka, maka mereka membenarkan pesan-pesan Ki Umbul Telu itu. Ternyata Ki Umbul Telu bukan seorang yang hanya hidup di seputar dinding padepokannya saja. Tetapi agaknya Ki Umbul Telu dan para tetua dari Perguruan Awang-Awang juga memiliki wawasan kehidupan yang luas.

Namun hampir di luar sadarnya ketika Glagah Putih itu pun bertanya, “Ki Umbul Telu. Ki Umbul Telu sudah menyebut banyak nama dari orang-orang yang bergerak di dunia olah kanuragan. Bahkan mereka yang berkiblat kepada kuasa terang maupun mereka yang berada di bawah kuasa kegelapan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak menyebut seorang yang namanya justru mengumandang sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Siapa, Ngger?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah Ki Umbul Telu pernah mendengar nama sebuah perguruan besar yang kini sedang menyusun diri kembali?”

“Perguruan apa, Ngger?”

“Perguruan Kedung Jati, di bawah pimpinan seorang yang memiliki tongkat baja putih. Tongkat baja putih itu memang pertanda kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati. Bukankah di Perguruan Awang-Awang juga ada pertanda kepemimpinan, yang baru saja kembali ke perguruan ini setelah beberapa lama dibawa oleh murid-murid yang berkhianat itu?”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Aku sudah mendengar, Ngger. Bahkan pada suatu saat, seolah-olah sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu sudah kembali ke perguruan. Tetapi ternyata tidak. Tongkat baja putih yang satu adalah palsu.”

“Ya. Aku juga pernah mendengar.”

“Bukankah tongkat baja putih yang sebuah berada di Tanah Perdikan Menoreh?“ Ki Lampita justru bertanya.

“Ya. Demikian menurut pendengaranku. Satu dari sepasang tongkat baja putih itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “aku memang pernah mendengar kegiatan para murid Perguruan Kedung Jati, yang sudah terpecah dan bahkan tenggelam untuk beberapa lama sejak Jipang dikalahkan oleh Pajang. Namun sebenarnyalah aku ingin berterus-terang kepada Angger berdua. Aku tidak tahu apakah Angger terlibat dalam usaha menghimpun kembali para murid dari Perguruan Kedung Jati atau tidak.”

“Kami tidak terkait dengan Perguruan Kedung Jati itu, Ki Umbul Telu. Aku berkata sebenarnya.”

“Aku percaya, Ngger.“ Ki Umbul Telu itu terdiam sejenak. Lalu katanya, “Berapa waktu yang lalu, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu memang pernah menghubungi perguruan kami. Mereka menyatakan keinginan mereka agar kami bergabung dengan Perguruan Kedung Jati yang sedang menghimpun kekuatan. Tetapi kami mengatakan bahwa tidak seorangpun di antara kami yang pernah menjadi murid Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah kata mereka, Ki Umbul Telu?”

“Menurut mereka, meskipun seseorang belum pernah menjadi keluarga Perguruan Kedung Jati, namun mereka akan dapat masuk dalam keluarga besar Perguruan Kedung Jati. Baru kemudian akan disusun kaitan serta tatanan kekeluargaan dari Perguruan Kedung Jati itu. Mereka yang sekarang berniat membangunkan kembali perguruan itu mengangankan kebesaran dan kejayaan perguruan itu, sebagaimana pada masa Jipang masih tegak. Meskipun satu dari sepasang tongkat baja putih itu belum berada di tangan mereka, namun mereka yakin bahwa pada saatnya tongkat itu akan mereka kuasai. Sehingga sepasang tongkat pertanda kebesaran itu akan dapat dijadikan perlambang kebersaran Perguruan Kedung Jati sebagaimana sebelumnya.”

“Bagaimana tanggapan Ki Umbul Telu?”

“Aku belum dapat mengambil sikap. Aku belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami tidak hanya akan menjadi sekedar pengikut-pengikut yang kelak akan dienyahkan. Menurut pendengaran kami, yang sekarang berada di bawah pengaruh para pemimpin Perguruan Kedung Jati itu sudah cukup banyak. Tetapi dari bermacam-macam perguruan, gerombolan dan kelompok yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Ada di antara mereka para murid sebuah perguruan yang benar-benar ingin mengembangkan ilmu untuk diamalkan. Tetapi ada di antara mereka yang muncul dari sarang-sarang gerombolan penjahat yang kotor, yang akan menumpang kegiatan mereka yang berniat menegakkan kembali panji-panji Perguruan Kedung Jati itu. Dengan demikian, mereka yang berniat membangun kembali perguruan itu bekerja sama dengan kepentingan yang berbeda dengan gerombolan-gerombolan penjahat itu.”

“Apakah mereka akan menghubungi Ki Umbul Telu lagi?”

“Agaknya demikian. Tetapi aku tidak tahu, kapan dan kebenaran dari keterangannya itu. Namun mereka sempat meninggalkan ancaman, bahwa siapapun yang berusaha menghalangi bangkitnya Perguruan Kedung Jati akan dibabat, dan bahkan akan digali sampai ke akarnya sehingga tidak akan mungkin bangkit kembali. Menurut mereka yang datang, sampai saat ini Perguruan Kedung Jati itu telah mampu menghimpun kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan pasukan prajurit di Demak. Sebentar lagi, maka Perguruan Kedung Jati akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram.”

“Ki Umbul Telu percaya?”

“Ngger. Aku percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi tentu tidak akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram. Meskipun demikian, dengan cara yang mereka tempuh, tampil dan kemudian menghilang, maka mereka pada suatu saat memang akan dapat merepotkan Mataram.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah menurut pendengaran Ki Umbul Telu, orang yang memimpin perguruan yang sedang berusaha bangkit itu?”

“Pemimpin yang menguasai tongkat baja itu adalah Ki Saba Lintang. Tetapi ia mempunyai beberapa orang pendukung yang dapat diandalkan. Ki Saba Lintang bukanlah seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ada dua atau tiga orang yang ilmunya dapat diandalkan, sebagaimana Gagak Bergundung suami istri.”

“Bagaimana dengan Gagak Bergundung?”

Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Angger dalam hubungannya dengan Perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

“Aku tidak tahu, Ngger, apakah Gagak Bergundung itu akan menjadi salah seorang di antara para pendukung Perguruan Kedung Jati yang sedang menyusun diri itu. Tetapi jika benar ia akan berada di antara mereka yang berniat menyusun kembali Perguruan Kedung Jati, maka ia tidak akan memusuhi kami, karena Perguruan Kedung Jati pun berniat untuk menyeret kami ke dalam lingkungan mereka.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apa-apa lagi tentang Perguruan Kedung Jati itu. Ia tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu terhadap tawaran Perguruan Kedung Jati untuk bergabung ke dalamnya.

Bahkan Glagah Putih pun kemudian telah mengalihkan pembicaraan.

“Bagaimana pendapat Ki Kumuda dengan bualan Gagak Bergundung?”

“Maksud Angger?”

“Tentang goloknya yang besar itu. Apakah benar golok itu golok Kiai Pupus Kendali? Sebelumnya ia mengatakan bahwa golok itu adalah pusaka turun temurun. Namun sejak semula aku sudah menduga bahwa ia hanya sekedar membual.”

“Gagak Bergundung memang menyebut golok itu bernama Kiai Naga Padma.”

“Tetapi bukankah Kiai Naga Padma sudah dibuat beratus tahun yang lalu?”

“Menurut bualannya, ayahnya-lah yang telah mengambil alih golok itu dari Kiai Pupus Kendali. Jika demikian, bukankah kakeknya tidak atau belum pernah mempergunakannya?”

Ki Umbul Telu-lah yang menyahut, “Gagak Bergundung memang seorang pembual. Tetapi mungkin saja ayahnya telah mencuri golok itu semasa kakeknya masih hidup. Apakah Kiai Pupus Kendali itu terbunuh atau tidak, tidak ada beritanya sama sekali. Tetapi sudah lama sekali nama Kiai Pupus Kendali tidak pernah disebut lagi.”

“Ki Umbul Telu,“ bertanya Glagah Putih kemudian, “apakah Ki Umbul Telu mengetahui, dimanakah letak padepokannya?”

“Angger akan mencarinya?”

“Kami adalah pengembara. Apakah salahnya jika kami berusaha melacak beberapa nama dari orang-orang yang memiliki kelebihan, namun yang sudah tidak pernah disebut lagi namanya?”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Kami pun baru mendengar namanya saja. Kiai Pupus Kendali adalah seseorang yang berilmu tinggi, seangkatan dengan guruku. Bahkan mungkin umurnya lebih tua.”

“Jika guru Ki Umbul Telu tidak dikhianati, bukankah ia masih ada sekarang ini?”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Tetapi guru sudah tua. Kau lihat, bahwa kami pun sudah setua ini. Sudah pantas menjadi ayahmu.”

“Kami akan mencoba melacak keberadaan Kiai Pupus Kendali itu, Ki Umbul Telu. Kami pun ingin membuktikan, apakah Gagak Bergundung tidak membual tentang golok Kiai Naga Padma itu, yang juga dikatakannya pusaka turun temurun.”

“Tentu ada yang sisip pada bualannya itu, Ngger. Tetapi jika kau benar-benar ingin meyakinkan kebenaran tentang Kiai Pupus Kendali, aku hanya dapat memberi ancar-ancar. Kiai Pupus Kendali bukan seorang yang berilmu tinggi yang mendirikan sebuah perguruan. Tetapi Kiai Pupus Kendali adalah seorang pertapa, yang hanya diikuti oleh tiga atau empat orang murid utamanya. Itu pun hanya menurut pendengaran kami.”

“Baiklah, Ki Umbul Telu. Agaknya kami benar-benar ingin melacaknya. Apakah aku dapat menemui atau tidak, biarlah kesempatan yang menentukan. Tetapi ancar-ancar Ki Umbul Telu sangat kami perlukan.”

“Ngger. Segalanya hanyalah menurut pendengaran kami. Kami tidak berani memastikan kebenarannya.”

“Kami mengerti, Ki Umbul Telu.”

“Kiai Pupus Kendali berada di sebuah pertapaan yang terasing di kaki gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara. Menurut kata orang, pertapaannya sudah berada di daerah yang sangat dingin. Dengan demikian, maka pertapaan itu tentu berada di tempat yang agak tinggi.“

“Terima kasih, Ki Umbul Telu. Dari bukit ini, kami akan menuju Gunung Sumbing.”

“Kapan Angger akan berangkat?”

“Kami sepakat akan melanjutkan pengembaraan kami esok pagi.”

“Esok pagi? Begitu cepat?”

“Bukankah kami sudah cukup lama di padepokan ini? Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami akan dapat singgah di padepokan ini.”

“Berhati-hatilah, Ngger. Kami tahu bahwa Angger berdua ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga Angger berdua mampu mengalahkan Gagak Bergundung. Meskipun demikian, Angger akan memasuki belantara yang buas, liar dan penuh menyimpan bahaya. Yang kasat mata maupun yang tidak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Keduanya sudah memiliki pengalaman yang cukup luas. Namun agaknya mereka belum menukik ke dalam rimba olah kanuragan yang buas dan liar itu.

“Ki Umbul Telu,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap pengembaraan kami. Kami akan berhati-hati di perjalanan. Pengenalan kami atas beberapa nama akan sangat membantu perjalanan kami. Ciri-ciri unsur gerak yang Ki Umbul Telu beritahukan kepada kami dari beberapa orang di antara mereka, memberikan gambaran kepada kami, dunia seperti apakah yang akan dapat kami lewati.”

“Baiklah, Ngger. Jika pada suatu saat Angger merasa jemu menempuh perjalanan dalam pengembaraan Angger, datanglah kembali ke padepokan kami.”

“Terima kasih, Ki Umbul Telu.”

Ternyata keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu telah memberikan bekal yang cukup banyak bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka pun dapat membayangkan, bahwa mereka memang akan ngambah hutan yang dipenuhi duri bebandotan serta rawa-rawa lumpur yang kental, yang dihuni oleh buaya-buaya yang buas serta ular-ular air yang berbisa.

Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di bilik yang disediakan bagi mereka berdua, telah membuka-buka kembali kitab yang diberikan oleh Kiai Namaskara dengan cara yang aneh itu.

Beberapa petunjuk mereka tekuni untuk menambah kematangan diri yang sudah mereka warisi.

Meskipun mereka memasuki bilik mereka agak awal, namun hampir semalam suntuk mereka tidak tidur. Baru di dini hari keduanya sempat memejamkan mata beberapa saat.

Ketika fajar menyingsing, keduanya telah siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Namun Ki Umbul Telu masih menahan mereka. Ki Umbul Telu mempersilahkan kaduanya untuk minum minuman hangat serta makan pagi lebih dahulu sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

“Kalian akan menempuh perjalanan yang berat di medan yang berat pula. Karena itu, sebaiknya kalian makan pagi lebih dahulu. Meskipun barangkali kalian akan melewati beberapa padukuhan yang cukup besar, tetapi pada umumnya pasar yang ada di padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi, sehingga jarang ada kedai yang masih membuka usahanya.“

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak.

Baru setelah mereka makan pagi serta beristirahat sebentar, maka mereka pun minta diri.

Tidak hanya keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu saja yang melepas kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi beberapa orang penghuni padukuhan serta para cantrik telah ikut melepas mereka pula di pintu gerbang.

“Terima kasih,” berkata Glagah Putih dan Rara Wulan ketika mereka meninggalkan pintu gerbang.

“Kami menunggu kalian datang kembali,” berkata Ki Umbul Telu.

“Kami akan berusaha untuk kembali lagi,” sahut Glagah Putih.

Demikianlah, keduanya pun meninggalkan padepokan di atas bukit itu. Beberapa lamanya mereka menuruni lereng yang rendah, sehingga akhirnya mereka pun sampai di sebuah dataran yang subur, yang mendapat air dari bukit kecil yang masih menyimpan kelompok-kelompok pepohonan raksasa, yang untuk melindunginya, pepohonan itu telah dikeramatkan, sehingga tidak seorangpun yang mengusiknya.

Ketika matahari mulai naik, maka dedaunan yang basah nampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya. Beberapa titik embun masih hinggap di dedaunan itu. Burung-burung liar yang hinggap di pepohonan terdengar bersiul gembira menyambut kehadiran hari yang baru.

Panas matahari yang mulai menggatalkan kulit mengiringi perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa ratus langkah di hadapan mereka, nampak sebuah padukuhan yang memanjang, seakan-akan memotong jalan yang akan dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ketika Kakang dan Ki Umbul Telu berbicara tentang rencana untuk membangunkan keberanian anak-anak mudanya, apakah Kakang juga singgah di padukuhan itu?”

“Kami hanya menemui para Demang, Rara. Kademangan yang membawahi padukuhan itu-lah yang mengaturnya. Tetapi padukuhan itu tentu sudah terlibat pula untuk mengirimkan dua atau tiga anak mudanya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian, jika kita nanti berjalan melalui jalan itu, Kakang tentu belum dikenal oleh para penghuninya.”

“Tentu belum.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya, karena perjalanan kita tidak akan terganggu.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jika mereka belum mengenal kita, bukan berarti bahwa tidak akan ada yang menyapa kita.”

“Jika seorang menyapa kita, maka kita cukup menjawab satu dua patah kata. Kita tidak akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu sapaan mereka.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak mau diusik sama sekali.”

“Ya,” Rara Wulan pun mengangguk.

Ketika kemudian mereka berjalan di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka sempat menebak-nebak jenis padi yang sedang tumbuh dengan suburnya. Nampaknya air yang mengalir di parit yang memanjang menyilang jalan bulak itu tidak pernah kering di segala musim.

“Arah parit ini tentu mengalir dari bukit itu,” berkata Rara Wulan.

“Ya, para pemimpin di padepokan itu mempunyai cara tersendiri untuk menyelamatkan hutan di pebukitan mereka,” sahut Glagah Putih.

Demikianlah mereka berjalan di kesegaran udara pagi hari. Ketika mereka memasuki padukuhan yang memanjang dan terhitung besar di ujung bulak, maka padukuhan itu terasa sudah sibuk menapaki hari baru.

Beberapa orang masih belum selesai menyapu halaman yang pada umumnya cukup luas. Seorang perempuan membawa kelenting di lambungnya untuk mengisi gentong yang diletakkannya di sebelah pintu regol halaman rumahnya, yang disediakannya bagi para pejalan kaki yang kehausan.

Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan pula dengan beberapa orang anak yang menggiring kambing mereka ke padang rumput untuk digembalakan. Seorang yang sudah setengah baya memanggul bajaknya menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara anaknya yang sedikit lewat remaja menggiring dua ekor lembu di belakangnya.

“Padukuhan ini nampak sibuk,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Agaknya penghuni padukuhan ini adalah orang-orang yang terbiasa bekerja keras.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya kemudian, “Kakang dengar suara orang menumbuk padi?”

“Ya. Padukuhan ini benar-benar diramaikan dengan kerja keras oleh penghuninya.”

Di sebelah simpang empat, keduanya terhenti sesaat. Seorang ibu muda sedang sibuk menyuapi anaknya yang menangis sambil meronta-ronta.

“Anak itu belum lapar,” desis Glagah Putih.

“Bukankah terbiasa seorang ibu menyuapi anaknya dengan paksa, agar anak itu menjadi kenyang dan segera tidur? Sementara itu ibunya dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Mencuci pakaian atau masak di dapur.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berdesis, “Nasi dengan gula kelapa.”

“Ya. Nasi dengan gula kelapa yang dilumatkan dengan sedikit air yang sudah masak.”

Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, mereka telah berada di tengah-tengah padukuhan. Beberapa orang yang nampaknya juga hanya sekedar lewat di padukuhan itu, berjalan dengan cepat melintas. Ada yang berjalan searah, tetapi ada juga yang berlawanan arah.

Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka tidak seorangpun yang mengenalnya. Baik mereka yang tinggal di padukuhan itu maupun orang-orang yang lewat. Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak terhambat.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memasuki lagi sebuah bulak yang panjang di sebuah ngarai yang datar dan luas.

Mereka melewati jalan yang termasuk jalan yang lebar. Tetapi agaknya jalan itu tidak terlalu ramai. Yang melewati jalan itu hanyalah orang-orang padukuhan yang pergi ke sawah, atau orang orang-orang yang bepergian dari satu padukuhan ke padukuhan lain yang tidak terlalu jauh.

“Jalan ini tentu kepanjangan jalan yang tidak aman itu,” berkata Rara Wulan.

“Ya,” sahut Glagah Putih, “tetapi jika beberapa kademangan bersama-sama Perguruan Awang-Awang itu sudah benar-benar bangkit, maka jalan ini akan menjadi ramai kembali. Para pedagang tidak merasa perlu untuk menunggu-nunggu yang satu dengan yang lain agar mereka dapat melintasi jalan ini dalam kelompok-kelompok yang besar. Bahkan para pedagang yang dapat mengupah satu atau dua orang pengawal. Jika jalan ini menjadi aman, maka pedagang-pedagang sedang dan pedagang kecil pun akan berani melintasi meski seorang diri.”

Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik kulit mereka. Sementara itu nampak beberapa orang petani sedang sibuk bekerja di sawah.

Tidak ada yang menghambat perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ketika matahari mencapai puncak langit, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang terhitung besar. Ada sebuah pasar di padukuhan itu. Tetapi pasar itu nampaknya sepi-sepi saja. Bukan karena hari sudah menjadi semakin siang, tetapi nampaknya sejak pagi pasar itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Bahkan beberapa kedai di depan pasar itu pun tidak lagi dibuka, karena jarang orang yang datang untuk makan dan minum. Yang terbiasa datang ke pasar itu hanyalah orang-orang yang tinggal di padukuhan itu atau padukuhan sekitarnya saja, sehingga mereka tidak perlu singgah di kedai yang ada di depan pasar itu.

Namun di pasar itu, ada juga yang menjual nasi. Nasi tumpang, berdekatan dengan penjual dawet cendol. Dibentangkannya sehelai tikar pandan yang tidak terlalu lebar, yang warnanya kekuning-kuningan serta sudah koyak di sudutnya.

“Kita berhenti sebentar, Rara,” desis Glagah Putih.

“Untuk apa?”

“Ada dawet cendol dan nasi tumpang.”

“Apa Kakang sudah lapar?”

“Aku sudah mulai haus, meskipun belum lapar. Tetapi kita akan dapat berbincang-bincang dengan penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu.“

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk.

“Kita dapat duduk di tikar itu.”

“Siapa yang membentangkan tikar itu? Penjual nasi atau penjual dawet?”

“Siapapun yang membentangkan. Kita akan membeli nasi dan dawet.”

Keduanya pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka pun duduk di atas tikar yang dibentangkan di bawah sebatang pohon waru yang rimbun.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memesan nasi tumpang dan dawet cendol yang segar.

“Pasar ini nampak sepi sekali?“ bertanya Rara Wulan.

“Tadi pagi pasar ini sedikit ramai,“ jawab penjual nasi tumpang. “Ketika matahari naik, pasar ini pun menjadi sepi.”

“Apakah biasanya pasar ini juga sepi?”

“Hari ini sebenarnya hari pasaran. Karena itu, tadi pagi pasar ini menjadi agak ramai. Meskipun demikian, pasar ini masih saja terlalu sepi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.“

“Kenapa?“

“Lingkungan ini memang menjadi sepi. Para pedagang dari jauh tidak lagi mau singgah, karena pasar ini semakin terasa tidak aman.”

“Sekarang masih juga tidak aman?”

“Ya, sekarang.“

“Sejak beberapa waktu yang lalu,“ sahut penjual dawet.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Apakah kalian berdua bukan penghuni daerah ini?”

“Kami hanya lewat saja, Ki Sanak.“

Penjual dawet itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih mengacungkan mangkuknya yang telah kosong, “Lagi, Ki sanak. Aku haus sekali.“

Penjual dawet itu menerima mangkuk dari tangan Glagah Putih dan mengisinya lagi.

“Nyai juga?” bertanya penjual dawet itu.

“Tidak. Sudah cukup,“ jawab Rara Wulan.

Glagah Putih menghirup dawet cendolnya. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah sering ada orang-orang jahat yang datang kemari?”

“Sasaran mereka adalah para pedagang yang lewat. Tetapi mereka biasanya lewat berkelompok, sehingga mereka mampu memberikan perlawanan. Kadang-kadang para pedagang itu berhasil menyelamatkan dagangan mereka. Tetapi kadang-kadang ada juga yang terpaksa harus ketinggalan, jika para penyamun itu menghadang mereka. Meskipun para pedagang itu sendiri mampu menghindar, tetapi sering terjadi beberapa bungkus dagangan mereka terjatuh atau tertinggal atau karena apapun, namun barang-barang itu akhirnya jatuh juga di tangan para perampok. Tetapi para perampok itu pun kadang-kadang harus mengorbankan satu dua orang kawan mereka yang terbunuh oleh para pedagang dan orang-orang upahan yang melindungi mereka.”

“Apakah ada juga pedagang atau orang-orang upahannya yang menjadi korban?“

“Ya. Pernah juga terjadi. Tetapi biasanya kawan-kawannya berusaha membawa tubuh korban itu. Jika tubuh itu tertinggal, maka tubuh itu akan mengalami perlakuan yang buruk sekali, meskipun orang itu sudah mati.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu, penjual nasi tumpang itu pun berkata, “Kemarin ada sekelompok pedagang yang lewat. Pertempuran terjadi dengan para penyamun. Tetapi para pedagang itu berhasil lolos.”

“Pertempuran itu terjadi di pasar ini?”

“Tidak,“ sahut penjual dawet, “pertempuran itu terjadi di bulak sebelah. Bahkan seorang perampok terbunuh. Beberapa yang lain terluka. Karena itu, maka perampok itu menjadi sangat mendendam.”

Namun permbicaraan mereka pun terputus. Mereka melihat beberapa orang yang berwajah garang datang dan berkerumun di depan pintu gerbang pasar.

“Siapa mereka?”

“Jangan memperhatikan mereka. Jika kalian berbuat wajar-wajar saja, mereka tidak akan menghiraukannya,” desis penjual dawet itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut. Mereka berpura-pura tidak menghiraukan lagi, beberapa orang yang berkumpul di depan pintu gerbang itu.

“Siapa mereka itu?” Glagah Putih bertanya sekali lagi.

Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak mengenal mereka dengan pasti, tetapi mereka tentu sebagian dari para perampok itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Menilik sikap, pakaian serta wajah-wajah mereka, maka mereka adalah orang-orang yang garang, menakutkan dan bengis.

“Apa yang mereka bawa dalam karung itu?“ bertanya Glagah Putih pula.

Penjual dawet itu menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak tahu. Biasanya mereka merampas karung-karung seperti itu dari para pedagang yang lewat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam. Di tangan mereka masih terdapat sepincuk nasi tumpang yang masih belum mereka habiskan. Kehadiran orang-orang itu telah membuat Glagah Putih dan Rara Wulan lambat menyuapi mulut mereka.

“Jika sempat, menyingkir sajalah,“ tiba-tiba saja penjual dawet itu berdesis.

“Kenapa?“

“Kau orang asing di sini. Jika terjadi sesuatu, kau dapat menjadi korban.”

“Bagaimana dengan Ki Sanak dan bibi penjual nasi itu?”

“Setiap hari kami berada di sini. Tidak ada masalah bagi kami.”

“Jika aku pergi, mereka tentu akan menjadi curiga.”

“Jangan lewat pintu gerbang itu, tetapi lewat pintu butulan, di sebelah gubug bekas tempat pande besi itu menempa.”

“Bekas? Jadi mereka tidak bekerja di gubug-gubug itu sekarang?”

“Tidak. Para perampok itu melarang mereka membuat alat-alat pertanian, yang katanya akan dapat dipergunakan sebagai senjata.”

“Tetapi sebaiknya duduk sajalah di situ,” berkata penjual nasi tumpang. “Jika kalian pergi, memang akan dapat menarik perhatian mereka. Tidak terlalu banyak orang di sini, sehingga satu atau dua orang di antara mereka akan melihat jika kedua orang ini bangkit dan pergi meninggalkan tempat ini.”

Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling sekilas memandang sekelompok orang yang berkerumun di pintu gerbang itu.

Katanya, “Ya. Sebaiknya kalian di sini saja.“

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memutuskan untuk duduk saja di tikar, sambil makan nasi tumpang serta menghirup dawet cendol yang segar.

Sementara itu, beberapa orang masih saja berkerumun di depan pintu gerbang pasar. Mereka meletakkan tiga buah karung yang penuh terisi di sebelah pintu gerbang pasar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak ingin meninggalkan pasar itu. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang berkerumun di depan pintu pasar itu.

Beberapa orang yang masih berkerumun di pasar itu pun telah meninggalkan pasar. Satu dua orang yang berjualan justru berpura-pura tidak melihat apa-apa, sebagaimana penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan wajar-wajar saja tanpa memperhatikan orang-orang yang berkumpul di depan pintu pasar itu.

Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang masih ada di pasar itu menjadi berdebar-debar mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat.

“Agaknya mereka sudah mencium berita bahwa akan ada sekelompok pedagang lewat,” desis penjual dawet itu.

“Mereka akan mencegatnya?“ bertanya Rara Wulan.

“Mungkin. Tetapi biasanya mereka tidak melakukannya di sini, tetapi di bulak sebelah.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat kedua orang penjual nasi dan dawet itu menjadi tegang.

Tetapi sebenarnyalah Glagah Putih sendiri dan Rara Wulan juga menjadi berdebar-debar.

Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka seorang di antara orang-orang yang berkumpul di pintu gerbang pasar itu melangkah ke tengah jalan sambil bersuit nyaring.

Sejenak kemudian, sekelompok orang berkuda telah berhenti pula di depan pasar. Seorang di antara mereka bergeser ke depan sambil mengangkat tangan kanannya.

“Delapan hasta dari utara,” berkata orang itu.

Orang yang berdiri di tengah jalan itu pun menyaut, “Tujuh langkah dari selatan.”

Orang yang duduk di punggung kuda itu bergerak beberapa langkah lagi mendekati orang yang berdiri di tengah jalan.

“Lihat, apa yang kau bawa?”

“Tujukkan dahulu mutiaramu itu,“ jawab orang yang berdiri di tengah jalan.

Orang yang berkuda itu memberikan isyarat kepada seorang kawannya, yang bergeser mendekatinya sambil membawa sebuah peti kayu yang tidak begitu besar.

Ketika peti itu dibuka, maka dua orang yang sejak semula nampaknya memang sedang menunggu di depan pasar itu mendekat.

“Lihatlah,“ berkata orang yang berdiri di tengah jalan, “kau yang tahu benar tentang candu.”

Kedua orang kawannya pun mendekat. Seorang di antara mereka menerima peti itu dan memperhatikan isinya dengan seksama.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi terkejut karenanya. Agaknya di pasar itu telah terjadi jual beli barang terlarang. Candu.

Ternyata ada pula sekelompok orang berkuda yang lewat di jalan yang tidak aman itu, sekelompok orang yang tidak kalah jahatnya dengan para perampok dan penyamun yang sering mengganggu perjalanan para pedagang. Orang-orang berkuda yang nampaknya juga sekelompok pedagang yang lewat, ternyata adalah sekelompok orang yang berdagang barang-barang terlarang.

Kedua orang yang menilai candu yang ada di dalam peti itu mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, “Ya. Barangnya sesuai dengan pembicaraan.”

“Nah,” berkata orang berkuda, “sekarang bawa kemari barang-barangmu.”

Orang yang berdiri di tengah jalan dan menghentikan sekelompok orang berkuda itu memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membawa tiga buah karung itu mendekat.

Orang berkuda itu pun kemudian meloncat turun. Dua orang kawanyannya pun meloncat turun pula. Meskipun mereka sedang melakukan pertukaran barang dengan orang-orang yang menunggu di depan pasar itu, namun agaknya kedua belah pihak nampak tetap bersiaga. Kedua belah pihak agaknya tidak dapat saling mempercayai begitu saja.

Setelah melihat-lihat isi karung itu, maka orang berkuda itu pun bertanya, “Kalian dapat dari mana barang-barang ini?”

“Kami adalah sekelompok perampok dan penyamun. Kami dapatkan barang-barang itu dengan cara kami.”

“Baiklah. Kami akan membawanya. Tetapi kami tidak akan segera dapat menguangkannya. Kami harus meneliti bahwa barang-barang ini tidak akan menjebak kami.”

“Terserah saja kepadamu. Persoalan di antara kita sudah selesai. Jika pada kesempatan lain kalian lewat dengan membawa barang-barang berharga atau sejenis mutiara itu, mungkin kami-lah yang akan merampokmu.”

“Tetapi mungkin pula kami-lah yang akan membinasakan kalian.”

“Persetan dengan kesombonganmu.“

Orang berkuda itu tidak menjawab. Diperintahkannya orang-orangnya untuk membawa karung-karung itu di punggung kuda.

“Jika kami memerlukannya lagi, dengan siapa kami harus berhubungan?”

“Kau akan menghubungi kami?”

“Ya.”

“Bagaimana dengan perantara itu?”

“Aku sudah membunuhnya. Ia telah mengkhianati kami. Untunglah kami segera mengetahui. Jika kami terlambat, maka pertukaran hari ini tentu tidak akan terjadi.”

“Aku tidak berkeberatan. Kau sudah tahu, kemana perantaramu itu harus pergi. Tetapi kami-lah yang akan menentukan kapan kami membutuhkannya.”

“Baiklah. Hampir setiap pasaran kami berada di pasar Seca. Setelah kami melewati jalan-jalan yang berbahaya, maka kami akan menyatukan diri dengan orang-orang lain.”

“Apakah sekelompok pedagang yang sering lewat di jalan ini juga kelompok yang sekarang berada di sini?”

“Ternyata kau sangat dungu. Tentu bukan. Yang datang bersamaku sekarang adalah mereka yang bersedia bekerja sama bersamaku, khususnya dalam perdagangan mutiara itu. Tidak seorangpun dari kawan-kawan pedagang yang mengetahui, bahwa aku berdagang candu. Tidak seorangpun dari mereka yang pantas dipercaya.“ Namun orang itu pun kemudian memandang berkeliling dan berkata, “Bagaimana dengan seisi pasar ini?”

Tetapi orang yang agaknya pemimpin dari mereka yang berkumpul di depan pasar itu pun tertawa. Katanya, “Tidak seorangpun yang akan berani mengkhianati kami di pasar ini. Jika itu terjadi, maka kami akan membuat pasar ini menjadi debu dan membaurkannya ke sungai yang sedang banjir. Kami berkuasa di sini untuk berbuat apa saja sekehendak kami.“

Orang yang membawa candu itu mengangguk-angguk. Namun sejenak orang itu pun berkata, “Baiklah. Kami akan pergi. Jika kalian dapat dipercaya, maka hubungan di antara kita ini dapat berlanjut.“

“Aku pun akan menilai apakah kau tidak berkhianat.“

Orang yang membawa candu itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, orang-orang berkuda itu pun telah meninggalkan pasar yang sepi itu, justru menuju ke arah dari mana mereka datang.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Gagah Putih pun kemudian segera membayar harga nasi tumpang dan dawet cendol itu.

“Mereka telah pergi. Bukankah aku pun dapat pergi?” desis Glagah Putih.

“Tetapi mereka masih berada di situ.”

“Baiklah. Kami akan menunggu di sebelah regol pasar. Bukankah di dekat regol itu ada orang berjualan mentimun? Agaknya masih ada beberapa buah ketimun yang belum laku.“

“Hati-hatilah,” desis penjual nasi tumpang itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun mereka pun kemudian bangkit dan berjalan menuju ke regol.

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa di sini,” desis Glagah Putih.

“Kita dapat merampas candu itu dan memusnahkannya.”

“Tetapi akibatnya akan buruk sekali bagi orang-orang sepasar. Bahkan untuk selanjutnya pasar ini akan mati. Tidak seorangpun yang akan berani lagi pergi ke pasar ini.“

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?“

“Jika mereka pergi, kita akan mengikuti mereka. Kita memang tidak dapat membiarkan candu itu jatuh ke tangan orang banyak.“

Rara Wulan agaknya dapat mengerti. Jika mereka harus berbuat sesuatu, maka mereka tidak akan mengorbankan orang-orang yang berada di pasar itu.

Demikianlah, sejenak kemudian ketika orang-orang yang semula berkumpul di depan pasar itu pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun keluar pula dari pasar itu. Mereka akan mengikuti sekelompok orang yang membawa candu itu, tetapi tanpa ada kesan bahwa keduanya keluar dari dalam pasar.

Karena itu, maka untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan hanya memperhatikan arah perjalanan mereka. Ketika di kejauhan mereka berbelok ke kiri, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun baru melangkah meninggalkan pasar itu. Namun dengan cepat keduanya melangkah menyusul perjalanan sekelompok orang yang membawa candu itu.

Di jalan simpang, mereka masih melihat sekelompok orang itu berbelok ke kanan.

“Sekarang kita akan menyusul mereka.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan cepat melintasi jalan yang dilalui oleh sekelompok orang yang membawa candu itu. Mereka pun kemudian berbelok ke kanan. Memasuki sebuah bulak panjang itu, mereka telah berhasil menyusul sekelompok orang yang membawa peti candu itu.

“Sekitar sepuluh orang,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Kita tidak tahu tataran kemampuan mereka. Apakah kita harus berusaha menghentikan perlawanan mereka secepatnya?”

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “kita tidak ingin terjebak dalam putaran kekuatan yang tidak terlawan.“

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah mulai mengambil sikap. Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang dikenakan kemudian adalah pakaian khususnya.

Namun Glagah Putih masih berdesis, “Jangan sebut candu, Rara.”

“Kenapa?”

“Mereka akan dapat menganggap orang-orang yang berada di pasar itu-lah yang berkhianat, dengan membuka rahasia candu itu kepada kita.“

“Baiklah, Kakang. Kakang sajalah yang berbicara dengan mereka.”

Glagah Putih menganguk.

Namun sebelum keduanya menghentikan orang-orang yang membawa peti berisi candu itu, pemimpin mereka telah memerintahkan mereka untuk berhenti.

“Agaknya dua orang itu sengaja mengikuti kita,” berkata pemimpin sekelompok orang itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadarinya. Karena itu, maka Glagah Putih pun berhenti pula beberapa langkah dari mereka.

“Apakah kalian berdua sengaja mengikuti kami?“ bertanya pemimpin kelompok itu.

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

“Siapa kalian, dan apakah maksud kalian?”

“Kalian tentu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Kasan Barong.”

“Siapa?

“Kasan Barong.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian pemimpinnya itu pun menjawab, “Aku tidak mengenal orang yang bernama Kasan Barong. Bahkan namanya pun aku belum pernah mendengarnya.”

“Jadi siapakah yang memimpin kelompok ini?”

“Aku. Namaku Jati Ngarang.”

“Bohong,“ jawab Glagah Putih sambil tertawa. Suara tertawanya bagaikan mengguncang bulak panjang itu.

Bahkan jantung Rara Wulan pun telah tergetar pula mendengar suara tertawa Glagah Putih itu. Di antara derai tertawanya Glagah Putih pun berkata, “Ternyata Kasan Barong adalah seorang pengecut. Kenapa kau mengelak, ketika kau sudah bertemu dengan aku sekarang ini?”

“Kau siapa?”

“Namaku Lemah Bengkah. Perempuan ini adalah istriku. Nah, sekarang kau tahu, dengan siapa kau berhadapan. Kau pun tentu tahu, persoalan apa yang ada di antara kita.”

“Persoalan apa?”

“Jangan ingkar,” geram Glagah Putih, “kau curi kitab yang berisi ilmu kanuragan, yang disebut Kitab Mega Mendung. Nah, aku datang mengemban perintah Guru untuk mengambil kitab itu.”

Wajah pemimpin sekelompok orang, yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu, memandang beberapa orang pengikutnya berganti-ganti. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Siapa pernah mendengar nama Kasan Barong? Dan siapakah yang pernah mendengar sebuah kitab yang disebut Kitab Mega Mendung?”

Para pengikutnya itu menggeleng.

“Tentu fitnah,” geram orang yang disebut Jati Ngarang. “Seandainya benar bahwa aku adalah orang yang kau sebut Kasan Barong, yang mencuri kitab gurumu, bagaimana kau tahu bahwa orang itu adalah aku?”

“Aku sudah mendapat ancar-ancar dari Guru. Orang yang namanya Kasan Barong adalah seorang yang bertubuh tinggi, tegap, bermata tajam seperti mata elang, cerdik dan licik.”

“Bukankah ada beribu orang yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata elang?”

“Orang itu berkeliaran dan menjadi pemimpin sekelompok penyampun di daerah ini. Jelas. Tidak ada dua atau tiga, tetapi hanya ada satu orang saja. Kau. Meskipun namamu akan berganti seribu kali, tetapi bayangan di kepalaku adalah tepat terungkap pada wajah, ujud dan sifat-sifatmu.”

“Persetan dengan igauanmu. Seandainya aku adalah Kasan Barong, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan mengambil kembali kitab itu.”

“Seandainya aku berhasil mencurinya, aku tentu tidak akan mengembalikannya kepadamu atau memberikannya kepada siapapun. Kecuali jika ada orang yang membelinya dengan harga yang sangat mahal.”

“Apakah aku harus memaksamu dengan caraku?“

Orang yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu tertawa. Beberapa orang pengikutnya pun tertawa pula. Seorang yang berkumis lebat berkata di sela-sela derai tertawanya, “Kau hanya dua orang. Itupun seorang di antara kalian perempuan. Kami semuanya berjumlah sepuluh orang. Bagaimana mungkin kau akan memaksa kami untuk melakukan sesuatu? Apalagi yang harus kami lakukan itu tidak kami mengerti sama sekali.”

“Meskipun kami hanya berdua, jika Guru tidak mempercayai kami, maka kami tidak akan mendapat perintah untuk mengambil kembali kitab itu. Beberapa pekan aku berkeliaran di daerah ini, sekarang aku menemukan orang yang aku cari. Aku tentu tidak akan melepaskan Kasan Barong yang licik itu.”

“Persetan dengan celotehmu. Pergi, atau kami akan membunuhmu,” geram seorang yang tubuhnya agak gemuk. Lengannya yang besar itu hampir sebesar kentongan tunggak bambu petung.

“Aku akan pergi dengan membawa Kitab Mega Mendung, sebagaimana diperintahkan oleh Guru.”

Pemimpin sekelompok orang yang membawa candu itu pun kemudian berkata, “Selesaikan mereka berdua. Aku akan membawa peti itu pulang.”

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih hampir berteriak berkata, “Kitab itu tentu kalian simpan di dalam peti itu! Berikan peti itu kepadaku!”

“Kau gila. Ini peti berisi perhiasan. Aku memang merampoknya dari beberapa orang pedagang yang lewat.”

“Omong kosong. Jika peti itu berisi perhiasan, tunjukkan kepadaku. Aku tidak akan merampasnya.”

“Kau tidak berhak melihat hasil rampokanku. Kau bukan keluarga kelompokku.”

“Tetapi aku membawa wewenang guruku untuk mengambil kembali kitab itu.”

“Apapun yang kau katakan, kau akan mati.”

Orang yang tubuhnya agak gemuk itu pun melangkah maju, sedangkan orang yang berkumis lebat itu pun bergeser pula sambil berkata, “Aku akan menangkap perempuan ini saja. Keberadaannya di sarang kita akan memberikan banyak manfaat.”

“Persetan kau,” geram orang yang agak gemuk, “aku akan membunuh laki-laki yang sombong ini.”

Dalam pada itu, Jati Ngarang sendiri seakan-akan tidak menghiraukan lagi keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Bersama seorang yang membawa peti berisi candu itu, mereka meninggalkan tempat itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak boleh terpancang terlalu lama dalam pertempuran melawan kedua orag itu, agar mereka segera dapat menyusul Jati Ngarang dan para pengikutnya yang membawa peti itu pergi.

Karena itu maka Glagali Putih pun kemudian berkata lantang, “Bersiaplah untuk mati!” Namun kemudian ia pun berteriak, “Kasan Barong! Jangan tinggalkan mayat kawanmu itu di sini. Jika kau pergi, kau harus membawa mayat mereka dan meninggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu!”

Jati Ngarang menggeram. Tetapi ia hanya berpaling saja. Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya.

“Bagus,” geram Glagah Putih, “kalian berdua akan menjadi tumbal. Tetapi setelah membunuh kalian berdua, aku akan memburu Kasan Barong itu.”

“Kau masih saja nekad menyembutnya Kasan Barong,” geram orang yang agak gemuk itu, “tetapi aku akan segera membungkam mulutmu.”

Orang yang agak gemuk itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran.

Namun orang itu tidak membiarkan Glagah Putih lepas dari serangannya. Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi orang itu meloncat dengan cekatan. Ketika tubuhnya berputar, maka kakinya pun terayun mendatar mengarah ke kening.

Glagah Putih bergeser selangkah surut. Serangan itu tidak mengenainya. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian dengan cepat meloncat menyerang.

Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut. Tetapi ia pun mampu bergerak cepat menghindar. Namun serangan kedua Glagah Putih, tidak mampu dihindarinya. Kaki Glagah Putih terjulur lurus menggapai dadanya.

Orang bertubuh gemuk itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh tercebur ke dalam air yang mengalir di parit yang menjulur di pinggir jalan itu.

Yang tertawa justru Rara Wulan. Katanya kepada orang berkumis lebat itu, “Lihat, kawanmu sempat mandi.”

Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya, “Jangan meremehkan kawanku itu. Jika ia sudah melepaskan kemampuan puncaknya, maka suamimu akan lebur menjadi abu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Bahkan seolah-olah ia tidak mendengarnya. Bahkan ia pun bertanya, “Apakah kau juga akan mandi?”

Rara Wulan tidak memberi kesempatan orang berkumis lebat itu menjawab. Tiba-tiba saja Rara Wulan pun meloncat menyerang. Tangannya-lah yang terjulur lurus mengenai dada orang berkumis lebat itu. Orang itu tidak mengira bahwa perempuan itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka ia pun tidak sempat menghindari serangan Rara Wulan itu.

Demikian kerasnya serangan Rara Wulan, maka orang itu pun bergetar surut. Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya.

Ternyata orang itu pun telah terdorong dan tercebur ke dalam parit itu pula.

Dengan cepat orang itu pun bangkit dan meloncat ke tanggul. Tetapi seluruh pakaiannya sudah terlanjur basah, sebagaimana orang yang agak gemuk itu.

Kejadian itu ternyata menarik perhatian beberapa orang kawannya yang masih belum terlalu jauh. Empat orang di antara mereka menghentikan langkahnya dan bahkan berbalik kembali.

Jati Ngarang pun berpaling. Tetapi kemudian ia berjalan terus sambil berkata, “Jangan ragu-ragu. Selesaikan kedua orang itu dengan cepat.”

“Baik, Lurahe,” jawab seorang di antara empat orang yang berbalik itu.

Dalam pada itu, orang yang bertubuh gemuk itu pun mengumpat kasar. Dengan geram ia pun berkata, “Setan yang tidak tahu diri. Aku benar-benar akan membunuhmu.”

“Lakukan saja kalau kau mampu. Kalau tidak, maka aku-lah yang akan membunuhmu.”

Orang yang bertubuh gemuk yang pakaiannya menjadi basah kuyup itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih pun sudah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan-serangannya menjadi sia-sia. Tangan dan kakinya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Glagah Putih.

Demikian pula orang yang berkumis itu. Serangan-serangannya pun tidak berarti sama sekali bagi Rara Wulan. Bahkan yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi orang itu terlempar ke dalam parit, setelah tubuhnya membentur pohon turi yang menjadi pohon perindang di jalan bulak itu.

Sambil bangkit berdiri orang berkumis lebat itu mengumpat.

Sementara itu, keempat orang yang berbalik itu telah berdiri memperhatikan pertempuran itu. Mereka pun segera menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya bernama Lemah Bengkah dan menuntut diserahkan Kitab Mega Mendung itu adalah seorang yang berilmu tinggi.

“Pantas gurunya mempercayainya untuk mencari kitab itu,” berkata seorang di antara keempat orang yang berbalik itu.

“Tetapi apakah Ki Lurah benar-benar telah mencuri kitab itu dari gurunya?”

“Tentu tidak. Yang dicarinya adalah orang yang bernama Kasan Barong. Tetapi orang itu agaknya sangat yakin, bahwa Lurahe itu-lah yang dicarinya.”

“Mereka harus menebus kesalahpahaman ini dengan nyawa mereka,” geram seorang yang bertubuh raksasa, berambut panjang bergerai di bawah ikat kepalanya sampai ke bawah bahunya.

Tetapi percakapan itu pun terhenti. Mereka melihat orang yang bertubuh agak gemuk itu terpelanting jatuh. Punggungnya telah menimpa tanggul parit yang berbatu-batu padas.

“Edan!” teriak orang yang bertubuh gemuk itu, “Kau patahkan tulang punggungku.”

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya orang itu bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.

“Aku akan membunuhmu, keparat,” geram orang itu sambil menarik senjatanya. Sebuah golok yang panjang, berwarna kehitam-hitaman. Agaknya bukan golok kebanyakan.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kawan-kawannya itu pun akan segera melibatkan diri pula. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya.

Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar beberapa orang kawannya yang berbalik itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah perguruanmu begitu miskin, sehingga tidak mampu membekalimu dengan senjata apapun?”

Glagah Putih bergeser surut. Dipandanginya orang yang mentertawakannya itu sambil berkata, “Inilah senjataku. Ini memang senjataku.”

“Apa yang dapat kau lakukan dengan senjatamu itu?”

“O. Kau ingin tahu?”

Tiba-tiba saja Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan senjatanya ke arah leher lawannya yang agak gemuk itu. Ia berharap lawannya itu menangkis serangannya dengan goloknya yang panjang.

Sebenarnyalah bahwa lawannya yang agak gemuk itu telah menyilangkan goloknya untuk membentur serangan Glagah Putih. Orang itu berharap akan dapat menebas putus ikat pinggang lawannya itu.

Namun ketika benturan itu terjadi, orang yang agak gemuk itu terkejut. Demikian pula orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu. Mereka melihat golok yang panjang itu bergetar. Bahkan golok itu telah terlepas dari tangannya. Golok yang membentur ikat pinggang Glagah Putih itu seakan-akan telah terbentur dengan sebatang bindi baja sebesar lengan orang yang agak gemuk itu.

Orang yang kehilangan goloknya itu meloncat surut. Tetapi ia tidak sempat memungut goloknya, karena tiba-tiba saja di luar perhitungannya, Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi telah berdiri sambil menginjak goloknya itu dengan satu kakinya.

“Iblis keparat,” geram orang yang bertubuh agak gemuk itu.

Glagah Putih memandangi orang-orang yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu sambil berkata, “Nah, kau lihat sekarang. Apa yang dapat aku lakukan dengan ikat pinggangku ini.”

Orang-orang itu pun menjadi tegang. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Kita akan menyelesaikan orang itu bersama-sama.”

Namun ketika keempat orang itu mulai bergeser, orang berkumis lebat itu mengaduh tertahan. Selendang Rara Wulan yang menyambar pundak kanannya, membuat tangan kanannya seakan-akan menjadi lumpuh. Bahkan orang itu tidak sempat menarik senjatanya, sebilah pedang yang tergantung di lambung kirinya.

Keempat orang yang mulai bergerak itu berpaling. Mereka melihat kawannya yang berkumis lebat itu menyeringai kesakitan sambil mengumpat, “Perempuan terkutuk. Iblis manakah yang telah memberikan selendang itu kepadamu?”

“Kenapa dengan selendangku?”

Orang berkumis lebat itu mengelus pundaknya yang tulangnya bagaikan retak.

Dalam pada itu, keempat orang yang berbalik itu pun segera membagi diri. Dua di antara mereka akan membantu orang yang tubuhnya agak gemuk itu. Sedangkan dua orang yang lain akan bertempur bersama orang yang berkumis lebat.

“Bagaimana dengan perempuan ini?” bertanya seorang di antara kedua orang yang akan membantu orang yang berkumis lebat itu.

“Bukan perempuan kebanyakan. Tetapi ia adalah iblis betina. Selendangnya sangat berbahaya.”

“Bagaimana dengan selendangnya?” bertanya yang lain.

“Jangan sampai tersentuh. Selendang itu dapat meretakkan tulang.”

“Omong kosong,“ geram kawannya, “aku akan memotong selendang itu dengan pedangku.”

Orang itu pun kemudian telah menggenggam pedang yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

“Pedangku ini dapat memotong segenggam kapuk randu yang ditiupkan ke tajamnya. Apalagi selendang itu. Aku akan memangkasnya menjadi potong-potongan kecil.”

Rara Wulan sama sekali tidak menanggapinya. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri untuk melawan ketiga orang yang kemudian berdiri memencar. Namun seorang di antara mereka sebelah tangannya sudah tidak begitu bertenaga. Justru tangan kanannya.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat dalam pertempuran melawan masing-masing tiga orang. Namun ternyata bahwa keenam orang itu pun segera mengalami kesulitan. Pedang yang dibanggakan, yang dapat memotong selembar kapuk yang dihembus ke tajamnya, tidak mampu mengoyakkan selendang Rara Wulan. Bahkan selendang itu jika terjulur seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat baja yang sangat berbahaya.

Dengan demikian, maka ketiga orang lawan Rara Wulan itu pun segera terdesak. Ketika orang yang tangan kanannya serasa telah menjadi lumpuh itu mencoba meloncat menyerang dengan kakinya, maka selendang Rara Wulan telah menyambar lambungnya.

Dengan derasnya orang berkumis lebat itu terlempar ke samping. Tubuhnya terbanting dengan kerasnya di tanah yang berbatu padas.

Orang itu pun mengerang kesakitan. Ia tidak lagi dapat segera bangkit. Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan.

Kedua orang kawannya menjadi sangat marah. Sambil menggeram mereka pun segera menyerang dengan senjata masing-masing, yang berputaran seperti baling-baling.

Sementara itu, ketiga orang lawan Glagah Putih telah mendesak lawan-lawannya pula. Meskipun orang yang agak gemuk itu sudah dapat memungut senjata kembali, tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan senjata Glagah Putih-lah yang mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya itu.

Seorang lawannya berteriak kesakitan sambil mengumpat ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai lengannya. Lengan itu pun telah terkoyak, seakan-akan tergores sebilah pedang yang sangat tajam.

Namun dengan demikian orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun harus menyadari, bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku mendapat perintah dari guru mereka itu benar-benar orang yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang mendahuluinya, agar mereka pun segera kembali untuk mengatasi kesulitan keenam orang itu.

“Kalau bukan Lurahe Jati Ngarang sendiri, maka sulit untuk mengatasi dua orang ini,” desis seorang di antara mereka.

Sementara itu, para pengikut Jati Ngarang itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka sama sekali tidak mampu untuk menguasai orang yang menyebut namanya Lemah Bengkah bersama istrinya itu.

Jati Ngarang yang sudah berjalan semakin jauh, masih mendengar isyarat pengikutnya. Namun ia justru berkata, “Cepat. Kita harus segera pergi. Kedua orang itu tidak boleh menyusul kita.”

“Tidak ada gunanya, Lurahe. Meskipun kita sudah menjadi semakin jauh, maka salah seorang dari kawan-kawan kita itu tentu akan dapat menunjukkan sarang kita, jika mereka tidak berhasil mengalahkan kedua orang yang sedang mencari Kitab Mega Mendung itu. Agaknya mereka sedang menemui kesulitan, sehingga mereka telah memberi isyarat.”

“Mereka tidak akan berkhianat dengan menunjukkan sarang kita.”

“Tetapi kedua orang suami istri itu tentu mempunyai seribu cara untuk memaksa agar kawan-kawan kami itu berbicara.”

“Jadi menurut pendapatmu?”

“Kita kembali kepada kawan-kawan kita itu. Kita membantu mereka. Kedua orang suami istri itu harus kita bunuh. Jika mereka belum mati, maka mereka tentu akan memburu Ki Lurah, karena mereka yakin bahwa Ki Lurah adalah orang yang mereka sebut Kasan Barong, yang telah mencuri Kitab Mega Mendung.”

Pemimpin segerombolan penyamun itu termangu-mangu. Namun pada saat itu mereka membawa candu di dalam peti kayu kecil itu. Candu yang harganya mahal sekali, sehingga candu yang mereka bawa itu nilainya adalah beberapa ratus keping uang perak.

Namun akhirnya Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah. Kita kembali. Kita akan membantu keenam kawan-kawan kita yang mengalami kesulitan itu.”

Dengan tergesa-gesa keempat orang itu pun melangkah kembali. Mereka tidak menyangka, bahwa dua orang laki-laki dan perempuan itu mampu mengalahkan enam orang di antara mereka. Sedangkan para perampok dan penyamun itu adalah orang-orang yang telah berpengalaman bermain dengan taruhan darah dan bahkan nyawa.

Ketika mereka sampai di arena pertempuran, maka kawan-kawan mereka sudah hampir tidak berdaya. Dua orang yang bertempur melawan Rara Wulan hampir tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Sedangkan yang seorang lagi telah pingsan, terbaring di tanggul parit. Sedangkan yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah menjadi tidak berdaya pula.

Jati Ngarang menggeram marah. Kedua orang suami istri itu seakan-akan dengan sengaja mempermainkan para pengikutnya.

“Selesaikan perempuan itu,” geram Jati Ngarang, “jika kau mampu menangkapnya hidup-hidup, lakukanlah. Jika kalian mengalami kesulitan, bunuh saja. Aku akan membunuh laki-laki ini.”

“Baik, Ki Lurah.”

Demikianlah, maka tiga orang telah bergeser mendekati Rara Wulan. Mereka meletakkan peti kecil berisi candu itu di atas tanggul parit, dekat sebatang pohon turi.

Kepada orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, orang yang meletakkan peti itu berkata, “Kau sudah tidak mampu berkelahi lagi. Jaga peti itu. Taruhannya adalah nyawamu.”

“Baik. Baik, Kakang,“ jawab orang itu sambil berjalan tertatih-tatih mendekati peti yang terletak di bawah pohon turi itu.

Dalam pada itu, maka Rara Wulan pun harus bertempur lagi melawan tiga orang yang baru saja memasuki arena pertempuran. Mereka masih memiliki tenaga dan kemampuan mereka sepenuhnya. Selebihnya, seorang yang sudah mengalami kesakitan masih mampu bergabung dengan ketiga orang kawannya itu.

“Menyerah sajalah,” berkata seorang yang hidungnya cacat. Agaknya bekas goresan senjata yang menyilang. Untunglah bahwa luka itu tidak menggores di matanya.

“Kau lihat kawan-kawanmu?” sahut Rara Wulan, “Karena itu, kalian sajalah yang menyerah.”

“Perempuan tidak tahu diri. Kami akan dapat menangkapmu dan mencincangmu menjadi sayatan-sayatan kecil. Tetapi kami pun dapat berbuat lain atasmu. Jika kau menyerah, maka keadaan akan menjadi lebih baik daripada masa-masa lalumu.”

Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu selendangnya telah berputar. Terdengar putaran selendang itu bergaung seperti sendaren.

“Gila perempuan ini,” desis salah seorang lawannya.

Seorang yang lain pun menggeram, “Marilah. Kita selesaikan saja perempuan itu secepatnya. Kita akan berpacu dengan Ki Lurah yang akan membunuh laki-laki yang sombong itu.”

Orang-orang yang sudah siap bertempur melawan Rara Wulan itu pun mulai bergeser. Yang akan mereka lakukan adalah menangkap perempuan itu. Tetapi jika sulit dilakukan dan bahkan tidak mungkin, maka mereka akan membunuh saja perempuan binal itu.

Sementara itu, Jati Ngarang sudah berhadapan dengan Glagah Putih. Glagah Putih menyadari, bahwa pemimpin sekelompok penyamun itu tentu orang yang berilmu tinggi, dilandasi oleh keberanian dan pengalamannya yang luas.

Dengan pedang di tangan, maka Jati Ngarang pun telah siap untuk menyerang.

“Siapapun kau, maka kau tidak akan mampu melawan pedangku ini.”

Glagah Putih sempat memandangi pedang lawannya. Pedangnya yang berwarna kehitam-hitaman itu menyiratkan pantulan cahaya matahari dari pamornya yang berkeredipan.

“Hanya pedang-pedang pilihan yang dibuat dengan pamor seperti itu,” berkata Glagah Putih di dalam hati. Namun Glagah Putih pun percaya penuh bahwa senjatanya adalah senjata yang tidak ada duanya. Dengan landasan tenaga dalamnya yang sangat tinggi, maka senjata itu merupakan senjata yang sangat berbahaya.

Karena itu, maka Glagah Putih harus berhati-hati menghadapinya. Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar.

Sejenak kemudian, maka pedang itu pun telah berputaran. Kilatan cahaya matahari yang terpantul dari pamornya, kadang-kadang terasa bagaikan menusuk mata Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih pun segera menyadarinya, sehingga ia tidak lagi selalu memandangi daun pedang lawannya.

Ketika lawannya meloncat sambil mengayunkan pedangnya, maka Glagah Putih pun bergeser untuk menghindar. Namun ketika ujung pedang itu bagaikan memburunya, maka Glagah Putih telah menepis pedang itu dengan senjatanya.

Jati Ngarang menyadari bahwa senjata lawannya bukan senjata kebanyakan. Tetapi ketika pedangnya bersentuhan dengan senjata lawannya yang mengaku bernama Lemah Bengkah itu, maka ia pun bergumam di dalam hatinya, “Iblis manakah yang telah memberikan senjata itu kepadanya?”

Demikianlah, maka mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Jati Ngarang berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya terayun-ayun mengerikan. Berkali-kali pedang itu menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun jika ujung pedang itu gagal menyentuh tubuh lawannya, maka pedang itu pun terjulur, mematuk seperti seekor ular bandotan.

Tetapi Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Jati Ngarang. Bahkan sekali-sekali Glagah Putih mendahului serangan-serangan yang akan dilancarkan oleh lawannya.

Dengan demikian, maka serangan-serangan Jati Ngarang itu masih belum mampu menembus pertahanan Glagah Putih, dan apalagi menyentuh sasarannya.

Tetapi justru serangan-serangan Glagah Putih-lah yang telah berhasil menggores di tubuh Jati Ngarang.

Jati Ngarang itu meloncat surut sambil mengumpat kasar ketika terasa ikat pinggang lawanya itu menggores lengannya. Bahkan kemudian ternyata bahwa goresan ikat pinggang itu telah mengoyakkan kulit dan dagingnya, sebagaimana tajamnya sebilah pedang.

“Gila!” teriak Jati Ngarang, “Apa yang telah kau lakukan dengan ikat pinggangmu?”

“Aku mampu memenggal kepalamu dengan sekali tebas,” sahut Glagah Putih, “belum tentu kau dapat melakukannya dengan pedangmu itu.”

“Tentu aku dapat melakukannya. Menunduklah. Aku akan menebas lehermu sehingga putus dengan sekali ayun.”

“Aku tidak akan dapat mengerti apakah kau benar-benar melakukannya atau tidak. Jika kau ingin memamerkannya kepadaku, cobalah menebas leher salah seorang pengikutmu yang tidak berguna itu.”

Jati Ngarang menggeram. Katanya, “Kau memang gila. Kami telah menyatakan diri menjadi satu keluarga. Jika aku ingin menebas leher, maka itu tentu lehermu. Pedangku yang sudah keluar dari wrangkanya, sudah menjadi haus.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku hanya mempunyai sebuah leher. Karena itu, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu dengan suka rela.”

“Dengan suka rela atau tidak, akibatnya tidak akan berbeda. Akhirnya kepalamu akan terpenggal juga.”

“Kau bermimpi. Marilah kita buktikan, kepala siapakah yang akan terpenggal di arena pertempuran ini.”

Jati Ngarang tidak menyahut. Tetapi ia pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada.

Namun Glagah Putih dengan cepat mengelak. Ditepisnya pedang lawannya menyamping. Dengan gerak yang sangat cepat, Glagah Putih telah mengayunkan senjata.

Jati Ngarang mengaduh tertahan. Ujung ikat pinggang itu telah menggores lambungnya. Meskipun luka yang kemudian menyilang tidak begitu dalam, namun terasa luka itu menjadi sangat pedih dibasahi oleh keringatnya.

Kemarahan Jati Ngarang rasa-rasanya telah membuat darah di seluruh tubuhnya mendidih. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Lawannya dengan senjatanya yang aneh, terlalu sulit untuk dikalahkan.

Karena itu, maka Jati Ngarang itu telah berpaling sekilas untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jati Ngarang itu terkejut melihat apa yang terjadi dengan mereka. Juga satu kenyataan yang harus dihadapinya.

Orang-orangnya yang bertempur melawan seorang perempuan itu ternyata sudah tidak berdaya. Dua orang tidak mampu melakukan perlawanan lagi. Meskipun mereka masih berdiri dengan senjata di tangan, tetapi rasa-rasanya mereka harus mengerahkan sisa-sisa tenaga mereka hanya untuk menyelamatkan keseimbangan mereka.

Sementara itu, dua orang yang lain masih mencoba untuk bertempur. Namun mereka tidak berdaya lagi mengatasi serangan-serangan selendang Rara Wulan.

Glagah Putih membiarkan lawannya untuk melihat kenyataan itu. Karena itu, Glagah Putih tidak tergesa-gesa menyerang Jati Ngarang yang menjadi sangat gelisah.

“Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “kau harus melihat kenyataan itu. Serahkan saja kitab yang kau curi itu. Aku akan membawanya kepada Guru. Setelah itu, kau boleh meninggalkan arena ini.”

“Persetan kau, Lemah Bengkah,” geram Jati Ngarang, “kau tidak akan dapat lari dari tanganku.”

“Apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?” bertanya Glagah Putih.

Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan sisa tenaganya.

Namun yang terjadi, justru sebaliknya dari yang diharapkannya. Senjata aneh Glagah Putih itu telah mengenai pundaknya.

Jati Ngarang meloncat surut. Tetapi kali ini Glagah Putih memburunya. Senjatanya itu pun terjulur lurus menyentuh dada.

Jati Ngarang tidak mampu mengelak. Luka pun telah menganga pula di dadanya. Sambil mengerang kesakitan Jati Ngarang meloncat surut mengambil jarak.

Glagah Putih membiarkannya berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya Jati Ngarang itu melihat orang-orangnya yang bertempur melawan Rara Wulan. Mereka semuanya sudah tidak berdaya lagi.

“Jangan mengingkari kenyataan ini, Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “pergilah. Tinggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu.”

Jati Ngarang termangu-mangu sejenak. Ia memang tidak dapat berbuat lain jika ia masih ingin tetap hidup.

Karena itu, maka Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah jika kau menghendaki peti itu. Ambillah. Tetapi dengan syarat.”

“Syarat apa?”

“Jangan kau buka sebelum kau sampai ke hadapan gurumu.”

“Kenapa?”

“Kitab yang kau maksudkan adalah kitab yang keramat. Aku pun belum pernah membukanya. Aku hanya membawanya kemana aku pergi, agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Namun ternyata aku masih belum berhasil membukanya. Bahkan akhirnya niatku untuk membuka aku batalkan, setelah saudara tua seperguruanku memberitahukan bahwa kitab itu adalah kitab keramat. Tidak setiap orang dapat dan boleh membukanya.”

“Kenapa kalau aku buka di sini?”

“Terserah kepadamu. Tetapi aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau buka di hadapan gurumu. Jika terjadi sesuatu, gurumu akan dapat menyelamatkanmu.”

“Baik. Aku akan melakukannya.”

Jati Ngarang itu termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu.

“Tinggalkan peti itu di situ.“

“Tetapi…” desis seorang kawannya.

Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia membelalakkan matanya kepada orangnya itu.

Sejenak kemudian Jati Ngarang dan orang-orangnya pun segera pergi. Sambil berjalan menjauh. Jati Ngarang pun berkata, “Biarlah mereka mengambil candu itu, daripada nyawa kita. Bukankah kita dapat menukarnya dengan benda-benda yang dapat kita rampas dari para pedagang yang lewat?”

“Tetapi candu itu harganya mahal sekali.”

“Mana yang lebih mahal? Candu itu atau nyawamu?“

Pengikutnya itu tidak menjawab lagi. Sementara Jati Ngarang itu berkata pula, “Selagi nyawa kita masih ada, kita akan mendapat kesempatan untuk mencarinya. Tetapi jika nyawa kita sudah tidak lagi berada di dalam tubuh kita, maka kita sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Orang-orangnya tidak menjawab. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh. Ada di antara mereka yang harus dipapah oleh kawannya yang masih sanggup berjalan dengan tegak. Namun Jati Ngarang sendiri tubuhnya terasa menjadi semakin lemah. Dari luka-lukanya, darah masih tetap mengalir.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berbelok masuk ke sebuah pategalan, untuk mengobati luka-luka mereka. Setidak-tidaknya memampatkan darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, yang ternyata terdapat dimana-mana. Bahkan selendang perempuan itu mampu menggoreskan luka di tubuh mereka.

Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit. Dengan nada ragu, Rara Wulan pun bertanya, “Kenapa kita melepaskan mereka semuanya, Kakang?”

“Apakah kita harus membunuh mereka semua? Sementara itu tentu kita tidak dapat menawan mereka, karena kita berada di perjalanan.”

“Aku mengerti. Tetapi dengan demikian, kita hanya melakukan pekerjaan ini sepotong. Sementara itu, mereka masih saja memperdagangkan barang yang terlarang itu.”

“Kita akan berbicara dengan Ki Demang di kademangan ini. Biarlah Ki Demang melaporkannya kepada para petugas, meskipun mungkin Ki Demang akan menempuh perjalanan yang agak jauh.”

“Agaknya daerah ini tidak terjangkau oleh tangan-tangan para petugas. Terbukti para perampok dan para penyamun masih saja berkeliaran di daerah ini.”

“Ya. Tetapi laporan tentang perdagangan yang terlarang itu mudah-mudahan dapat mempertajam kerisauan daerah ini, sehingga daerah ini akan mendapat perhatian lebih besar. Tidak hanya sekedar perampok dan penyamun, tetapi justru peredaran barang-barang terlarang.”

“Apakah Ki Demang berani melakukannya?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jika niat Ki Umbul Telu itu dapat terlaksana, maka persoalannya akan berbeda. Suasana di daerah ini akan berubah.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Para Demang di daerah ini pun mudah-mudahan juga tersembul nafas keberanian yang ditimbulkan oleh Ki Umbul Telu di sekitar bukit kecilnya itu, sehingga mereka akan berani memberikan perlawanan kepada para perampok dan penyamun.”

“Tetapi jika hal itu dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada para pedagang, maka akan dapat terjadi salah langkah, Kakang. Ternyata ada juga para pedagang yang langkahnya jauh lebih buruk dari para perampok dan penyamun. Mereka telah bekerja sama dengan para perampok dan penyamun untuk mengadakan barang-barang terlarang.”

“Ya, itu juga merupakan masalah yang besar. Karena itu, persoalannya harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Bukan sekedar sambil lalu. Jika para Demang dan beberapa perguruan membantu membuka jalan perdagangan agar daerah mereka menjadi ramai kembali, itu harus disadari bahwa jalan perdagangan itu tidak akan menjadi jalan peredaran barang-barang terlarang itu.”

“Kita memang harus menemui salah seorang Demang yang terdekat dan membawahi lingkungan pasar itu.”

Namun Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan atas peti itu?”

“Kita akan memusnahkannya. Tetapi kita harus menyimpannya sedikit, sebagai bukti bahwa perdagangan barang terlarang ini memang ada. Kita akan menunjukkannya kepada Ki Demang yang membawahi pasar itu.”

Demikianlah, keduanya pun kemudian telah membawa peti itu menjauhi tempat yang berpenghuni. Mereka berjalan menyusuri sebatang sungai ke arah udik, sehingga mereka sampai di tempat yang jarang didatangi seseorang. Ketika mereka naik tebing sungai itu, mereka telah berada di sebuah padang perdu.

“Kita akan membakarnya, setelah kita menyimpan sedikit.”

Keduanya pun kemudian mencari ranting-ranting kayu kering dan ditimbun di atas tebing sungai itu. Setelah mengambil sedikit contoh dari barang terlarang dan disimpan, maka peti itu beserta isinya diletakkan di atas setumpuk kekayuan kering.

Glagah Putih pun kemudian telah membuat api, dan kemudian menyalakan kayu-kayu kering yang ditimbunnya itu. Sejenak kemudian, maka peti serta isinya pun telah terbakar.

Angin yang bertiup di atas tebing perdu itu telah menaburkan asapnya ke arah hutan yang lebat.

Setelah peti dan isinya itu lebur menjadi abu, maka keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka segera kembali ke pasar yang sudah menjadi lebih sepi.

Kepada orang-orang yang masih ada di depan pasar, Glagah Putih dan Rara Wulan pun bertanya kepada mereka, dimanakah letak rumah Ki Demang yang membawahi pasar itu.

“Rumahnya tidak begitu jauh, Ki Sanak,“ jawab seorang laki-laki berperawakan sedang, “ambil jalan ini. Jalan ini adalah jalan utama padukuhan ini. Di simpang tiga, kalian akan menjumpai sebatang pohon beringin yang besar. Nah, ambil jalan ke kiri. Jika kau berjalan terus, kau akan sampai ke banjar.”

“Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih.

Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih pun telah menelusuri jalan utama padukuhan itu. Seperti yang dikatakan oleh laki-laki di depan pasar, ketika mereka sampai di simpang tiga, maka mereka pun telah berbelok ke kiri.

Tidak sampai seratus langkah, maka mereka pun telah sampai di regol halaman sebuah rumah yang besar dan berhalaman luas. Menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka rumah itu tentu rumah Ki Demang.

Namun untuk meyakinkannya, maka Glagah Putih pun bertanya kepada seorang remaja yang lewat sambil membawa walesan bambu.

“Apakah rumah ini rumah Ki Demang, Tole?”

Remaja itu berhenti. Sejenak ia termangu. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Ya, Kakang. Rumah itu adalah rumah Ki Demang. Apakah kau akan menemuinya?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar