Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 361

Buku 361

“Tetapi kita sudah berada di sini. Mereka tentu akan mencurigai kita,” bisik Glagah Putih.

Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami adalah dua orang suami istri yang sedang mengembara. Jika hari ini kami sampai di padukuhan Ki Sanak, maka kami berniat memperkenalkan diri kami. Tolong, Ki Sanak. Tunjukkan kepada kami, dimanakah rumah Ki Bekel di padukuhan itu?”

Orang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Kami tidak tinggal di sebuah padukuhan. Tetapi kami tinggal di satu tempat yang pernah menjadi sebuah padepokan.”

“Pernah menjadi sebuah padepokan?”

“Ya. Di gumuk itu pernah ada sebuah padepokan. Lingkungan padepokan itu adalah sebesar gumuk kecil itu. Tetapi pada suatu saat padepokan kami pernah mengalami bencana, sehingga hampir saja menjadi punah. Kini masih ada beberapa orang yang tinggal di gumuk itu. Tetapi tidak lagi dalam susunan sebuah padepokan. Namun juga bukan sebuah padukuhan. Kami tinggal di gumuk itu tanpa terikat oleh paugeran dan tatanan sebagaimana sebuah padukuhan yang menjadi bagian dari sebuah kademangan.”

“Tetapi agaknya masih ada seorang pemimpin padepokan?”

“Bukan lagi pemimpin padepokan. Kami memang menunjuk seorang di antara kami menjadi pemimpin kami.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah aku diperkenankan menemui pemimpin Ki Sanak itu?”

“Marilah. Aku antar kau menemuinya.”

Orang yang memikul legen itu pun kemudian berjalan mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara kedua orang suami istri itu mengikutinya di belakang.

Beberapa saat kemudian, mereka pun mulai memanjat naik. Jalannya yang dilapisi tanah liat itu tentu licin di musim hujan.

Namun ketika mereka sampai di depan sebuah rumah yang pertama kali mereka temui, mereka melihat bahwa di halaman rumah itu terdapat banyak gerabah yang baru saja dibuat dan masih belum dibakar.

Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan gerabah yang sudah siap untuk dibakar itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan Rara Wulan itu pun bergumam, “Gerabah. Ada jambangan, periuk, kendi dan bermacam-macam alat dapur.”

“Hampir semua orang yang tinggal di bukit ini membuat gerabah,” berkata orang yang memikul legen itu. “Gerabah dan gula kelapa.”

“Itukah penghasilan utama di padukuhan ini?”

“Di padepokan ini. Orang banyak masih menyebut tempat ini sebagai sebuah padepokan, meskipun mereka tahu bahwa tatanannya sudah berubah.”

“Ya, di padepokan ini,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Itulah penghasilan utama kami. Ada beberapa bahu sawah di sebelah sungai kecil itu. Kami pun beternak kambing dan ayam. Anak-anak menggembala di pagi sampai siang hari.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Tengkulak dari kademangan sebelah sering datang untuk membeli hasil pekerjaan kami.”

“Gerabah dan gula kelapa?”

“Gula kelapa tidak. Kami membawanya ke pasar. Mereka hanya membeli gerabah. Tetapi ada pula pedagang kambing dan ayam yang sering datang. Tetapi seperti gula kelapa, kami membawa telur ayam langsung ke pasar.”

Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Kepada Rara Wulan ia pun berdesis, “Nampaknya penghuni padepokan ini adalah orang-orang yang sanggup bekerja keras.”

“Ya. Agaknya hidup mereka juga tidak kekurangan.”

Demikianlah, mereka berjalan semakin dalam di padepokan itu. Jalan terasa mendaki meskipun tidak terlalu menanjak. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan merasa bahwa mereka berada di tempat yang semakin tinggi.

Di beberapa tempat, mereka melihat pohon-pohon raksasa yang tumbuh di antara pepohonan liar yang lain. Nampaknya di gumuk itu masih terdapat lingkungan-lingkungan kecil yang masih tetap dipelihara sebagaimana adanya.

“Lingkungan yang diberi gawar itu adalah lingkungan yang keramat,” kata orang yang memikul bumbung legen itu, “tidak seorangpun berani menebang pohon-pohon raksasa itu untuk dijadikan pategalan atau tempat berkebun.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh lingkungan-lingkungan kecil yang diberi gawar itu sehingga tidak seorangpun berani memasukinya. Mereka percaya bahwa tempat-tempat itu tempat-tempat yang keramat.

Namun Glagah Putih sempat berbisik di telinga Rara Wulan, “Pohon-pohon raksasa itu mempertahankan sumber-sumber air di gumuk ini. Kau lihat sendang kecil di antara pepohonan raksasa itu?”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk,

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh orang yang mengantarkan Glagah Putih dan Rara Wulan sambil memikul beberapa buah bumbung berisi legen itu, bahwa hampir di setiap halaman terdapat gerabah. Ada yang sudah dibakar dan siap dipasarkan. Tetapi ada yang masih nampak basah. Agaknya gerabah itu baru saja dibuat. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan melihat pula seorang perempuan yang sedang sibuk membuat sebuah periuk.

Beberapa saat kemudian, maka mereka telah sampai di tempat yang tertinggi di gumuk itu. Di sebuah halaman yang luas, terdapat sebuah bangunan-bangunan yang lain. Lebih besar dari sekedar gandok pendapa yang agaknya sebagai bangunan utama itu.

“Inilah bekas padepokan kami,” berkata orang yang memikul legen itu, “sebelum kami bercerai-berai dan membangun rumah kami sendiri-sendiri di atas gumuk ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Beberapa saat mereka berdiri di luar regol halaman yang terhitung cukup luas itu.

“Siapakah yang sekarang tinggal di rumah ini?”

“Saudara seperguruan kami yang tertua.”

“Apakah ia yang sekarang memimpin padepokan ini?”

“Ia tidak menyebut dirinya pemimpin padepokan. Ia hanya merasa sebagai orang tertua di padepokan ini.”

“Kenapa ia tidak menggantikan kedudukan guru kalian memimpin padepokan ini?”

Orang yang memikul legen itu menarik nafas panjang. Katanya, “Biarlah Kakang nanti menyampaikan cerita yang agak panjang itu. Marilah, kita menemuinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan agak ragu ketika mereka melangkah memasuki regol halaman rumah itu, mengikuti orang yang memikul bumbung-bumbung legen itu.

Ketika mereka sampai di sebelah bangunan utama, maka orang yang memikul legen itu meletakkan bebannya. Ia pun kemudian masuk lewat pintu samping untuk memberitahukan, bahwa ada dua orang tamu yang datang ke padepokan itu.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah diterima oleh orang tertua di lingkungan yang masih saja disebut sebuah padepokan itu, sementara orang yang memikul legen itu pun langsung minta diri.

“Kenapa tidak duduk di sini sebentar?” bertanya pemimpin padepokan yang lebih senang disebut saudara tertua itu. Orang yang membawa legen itu pun menjawab, “Aku masih ada kerja lain, Kakang.”

“Baiklah. Nanti saja jika kerjamu sudah selesai, datanglah kemari.”

“Ya, Kakang.”

Orang itu pun melangkah menuju ke regol halaman dan kemudian turun ke jalan.

Sepeninggal orang itu, maka pemimpin padepokan yang lebih senang disebut orang yang dituakan itu bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak berdua, dan apakah keperluan Ki sanak datang ke padepokan kami?”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Mereka sempat mengamati pemimpin padepokan itu. Wajahnya yang nampak lunak dan sabar, namun matanya yang tajam, bahkan seakan berkilat-kilat, menunjukkan kecerahan penalarannya. Rambutnya yang sedikit terjurai mencuat di bawah ikat kepalanya nampak sudah memutih. Kumisnya pun telah putih pula. Namun dagunya nampak bersih. Tidak selembar jenggot pun nampak di dagunya.

“Kiai,” jawab Glagah Putih, “namaku Glagah Putih, dan ini istriku, Rara Wulan. Kami sedang mengembara menjelajahi beberapa tempat yang belum pernah kami kunjungi.”

“Angger berdua tinggal dimana?”

“Kami berdua tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.”

“O. Jadi Angger baru mulai. Bukankah Tanah Perdikan Menoreh masih belum begitu jauh?”

“Ya, Kiai. Kami memang baru mulai dengan pengembaraan kami. Tetapi dari Tanah Perdikan Menoreh kami berjalan ke timur. Kami singgah di Jati Anom.”

Orang itu mengangguk-angguk sambil bergumam, “Jadi Angger berdua sudah singgah di Jati Anom.”

“Ya, Kiai. Kami kemudian menyusuri kaki Gunung Merapi di sisi selatan.”

“Jika Angger berjalan sedikit ke barat dan menyeberang Kali Praga, maka Angger berdua akan berada di sebelah utara Tanah Perdikan Menoreh. Jika Angger menyusur ke selatan, Angger akan sampai ke rumah kembali.”

“Ya, Kiai. Tetapi kami belum ingin pulang. Kami akan mengembara ke barat untuk melihat cakrawala yang lebih luas. Mungkin di perjalanan kami, kami akan mendapatkan pengalaman yang menarik dan dapat memperkaya nalar budi kami.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Tetapi apakah yang sebenarnya kalian cari, Ngger? Pengalaman yang bagaimana yang kalian inginkan untuk membangun sebuah keluarga yang baik? Kecuali jika Angger membawa kewajiban lain dari sekedar membina rumah tangga kalian.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengatakan tugas yang sebenarnya diembannya. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Kiai. Apakah salahnya jika kami berdua melihat-lihat lingkungan yang lebih luas dari lingkungan hidup kami sehari-hari? Setiap pagi kami berdua bangun, membersihkan halaman, menimba air, sementara istriku menyalakan api dan merebus air. Kemudian aku pergi ke sawah, sementara istriku masak di rumah. Menjelang tengah hari, istriku pergi ke sawah membawa makan dan minum. Kiai, hari-hariku selalu berulang. Di sore hari duduk-duduk di sudut desa, berbicara dengan orang-orang yang sama seperti kemarin dan kemarin dulu. Istriku duduk di halaman rumah tetangga sambil mencari kutu. Membicarakan yang satu dan yang lain bergantian, saling menunjuk cacatnya.”

Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Kau agaknya berbeda dari tetangga-tetanggamu, Ngger.”

“Mungkin, Kiai. Kami berdua menjadi jemu. Mumpung kami masih muda, maka kami memutuskan untuk mengembara tanpa merencanakan waktu dan tujuan.”

Orang tua itu masih saja tersenyum.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya, “Kiai. Maaf jika aku memberanikan diri bertanya, siapakah gelar Kiai yang memimpin padepokan ini?”

“Aku bukan pemimpin di sini, Ngger. Aku memang dituakan, karena kebetulan aku adalah orang tertua di sini.”

“Ya, Kiai.”

“Orang memanggilku Ki Umbul Telu, Ngger. Panggilan itu agaknya dihubungkan dengan keberadaan tiga buah umbul yang airnya berwarna kebiru-biruan di bukit kecil ini. Sedangkan namaku sendiri yang diberikan oleh orang tuaku adalah Supeket.”

“Maaf, Kiai. Bukankah sebaiknya aku juga menyebut Kiai dengan Ki Umbul Telu.”

“Terima kasih, Ngger. Tetangga-tetanggaku juga memanggilku Ki Umbul Telu.”

“Ki Umbul Telu, aku mohon maaf jika aku memberanikan diri bertanya. Kenapa Ki Umbul Telu tidak bersedia disebut pemimpin di sini? Jika yang ada di bukit kecil ini adalah sebuah padepokan, bukankah wajar jika Kiai disebut pemimpin dari padepokan ini, sebagaimana padepokan yang lain juga mempunyai seorang pemimpin yang disegani oleh para penghuni padepokan?”

Orang tua itu menarik nafas panjang. Kemudian ia pun bergumam, “Apa saja yang sudah diceritakan oleh Mungguh tadi?”

“Tidak banyak, Ki Umbul Telu. Antara lain, bahwa Ki Umbul Telu tidak bersedia disebut pemimpin di padepokan ini, meskipun pada cak-cakannya Ki Umbul Telu adalah pemimpin di sini.”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Apakah ia sudah bercerita tentang padepokan yang bentuknya agak asing ini?”

“Belum, Ki Umbul Telu. Menurutnya, biarlah Ki Umbul Telu sajalah yang bercerita.”

Ki Umbul Telu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Memang terasa agak-ragu. Tetapi Ki Umbul Telu itu pun kemudian berkata, “Ngger. Selama ini aku tidak berniat untuk menceritakan tentang perjalanan hidup padepokan kami yang cacat ini. Namun rasa-rasanya aku tidak perlu menyimpannya lebih lama lagi. Tiba tiba saja aku merasa bahwa tidak ada salahnya jika aku menceritakan kepada Angger berdua. Rasa-rasanya Angger berdua akan bersikap baik terhadap padepokanku ini.”

“Ki Umbul Telu. Kami adalah orang lain bagi padepokan ini. Tetapi siapapun kita, kita tentu mempunyai keterkaitan dalam batas-batas tertentu. Kami akan mencoba untuk menghormati keterkaitan kami dengan padepokan ini dalam batas-batas itu.”

“Baiklah, Ngger,” nada suara Ki Umbul Telu menurun. Namun ia pun kemudian mulai bercerita tentang padepokannya itu.

“Pemimpin sekaligus guru kami adalah seorang yang baik. Perguruan ini disebut Perguruan Awang-Awang. Mungkin nama itu memancarkan sedikit kebanggaan, bahkan kesombongan. Tetapi sebenarnya bukan apa-apa. Kami merasa bahwa tempat tinggal perguruan kami adalah sebuah padepokan yang terletak di sebuah gumuk. Meskipun tidak setinggi gunung anakan sekalipun, namun rasa-rasanya kami mempunyai tempat yang lebih tinggi dari daratan, sawah yang digelar di bawah gumuk itu, serta padang perdu dan hutan itu. Guru kami yang berilmu tinggi serta sangat sareh dan sabar itu bergelar Kiai Tanda Wirasa.”

“Apakah Ki Tanda Wirasa itu sekarang masih ada?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Beberapa tahun yang lalu, guru kami itu meninggal dengan cara yang tidak sewajarnya.”

“Maksud Ki Umbul Telu?”

“Beberapa orang murid perguruan Awang-awang ini telah memberontak.”

“Memberontak?”

“Mereka mengira Guru mempunyai sejumlah harta karun yang disembunyikan. Entah dari mana datangnya cerita itu.”

“Jadi mereka memberontak karena menginginkan harta karun itu?”

“Ya. Menurut cerita yang mereka dengar, Guru mempunyai harta karun yang sangat banyak. Harta karun yang diketemukan di bukit kecil ini. Di antaranya adalah sebilah keris yang besar, berpendok emas bertahtakan berlian, sehingga harganya mahal sekali. Di samping itu terdapat berbagai macam perhiasan dan emas batangan.”

“Mereka telah membunuh Kiai Tanda Wirasa?”

“Ya. Melik nggendong lali. Ketamakan mereka telah membuat mereka kehilangan kiblat. Mereka telah meracun Guru, yang sangat mempercayai murid-muridnya. Dalam keadaan yang tidak bersiap menghadapi keadaan itu, Guru tidak membawa penawar racun pada waktu itu. Pada saat Guru mulai dipengaruhi oleh racun yang terdapat di dalam minumannya, maka beberapa orang murid yang memberontak itu telah mencoba untuk memaksa Guru membuka rahasia tentang harta karun itu. Tetapi Guru tidak mengatakan sepatah katapun. Meskipun murid-murid yang durhaka itu berjanji untuk memberikan obat penawarnya jika Guru bersedia memberikan keterangan tentang harta karun itu, namun Guru tidak mengatakan apa apa sehingga saat maut menjemputnya.”

“Bagaimana sikap murid-murid yang lain?”

“Aku tidak berada di padepokan waktu itu, bersama tiga orang saudara seperguruanku. Yang lain masih terlalu muda untuk menghadapi beberapa orang yang telah berkhianat itu, sehingga mereka dengan leluasa membongkar padepokan ini. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa, selain sebilah keris yang ukurannya memang lebih besar dari kebanyakan keris. Keris itu adalah pertanda kepemimpinan di padepokan ini. Keris yang dinamai oleh Guru, Kiai Wasis. Tetapi pendok keris itu bukan terbuat dari emas. Apalagi tretes berlian.”

“Apa yang mereka lakukan kemudian?”

“Setelah mereka gagal menemukan harta karun yang menurutku tidak ada di bukit ini, mereka segera melarikan diri. Agaknya mereka tidak mau berhadapan dengan aku dan ketiga saudara seperguruanku yang sebaya dengan mereka.”

“Apakah mereka kemudian tidak pernah kembali lagi?”

“Ada di antaranya yang pernah kembali. Bahkan baru akhir-akhir ini. Ternyata ada di antara mereka yang justru memimpin gerombolan perampok yang berkeliaran di jalan yang sering dilalui para pedagang dan saudagar itu.”

“Mereka menjadi penyamun?”

“Ya.”

“Tentu mereka menjadi sangat berbahaya.”

“Mereka memang berbahaya. Tetapi mereka masih belum tuntas saat mereka menuntut ilmu di padepokan ini.”

“Tetapi kenapa Ki Umbul Telu menolak untuk memimpin padepokan ini? Bahkan bentuk dan ujud padepokan ini pun menjadi berubah?”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Guru tidak sempat menetapkan siapakah yang akan menggantikannya.”

Dengan ragu Glagah Putih pun bertanya pula, “Tetapi bukankah kenyataannya, Kiai Tanda Wirasa sudah tidak dapat memimpin padepokan ini? Karena itu, maka diperlukan seorang pemimpin yang baru. Meskipun Kiai Tanda Wirasa tidak sempat menunjuk penggantinya, namun para murid yang setia kepadanya akan dapat memilih di antara mereka.”

“Adalah sudah menjadi ketentuan dari setiap angkatan, bahwa yang memimpin padepokan ini harus mengenakan pertanda. Sebilah keris yang bernama Kiai Wasis itu. Karena aku tidak memegang keris Kiai Wasis, maka aku tidak dapat disebut pemimpin dari perguruan di padepokan ini.”

“Jadi, seandainya salah seorang murid yang memberontak yang membawa keris Kiai Wasis itu datang kembali ke padepokan, dengan sendirinya ia akan menjadi pemimpin?”

“Tentu saja mereka tidak berhak, meskipun ada di antara mereka yang membawa keris Kiai Wasis, karena mereka mendapatkannya dengan cara yang tidak sah.”

Rara Wulan-lah yang kemudian bertanya, “Padepokan ini sekarang ujudnya sudah berubah, Ki Umbul Telu. Kenapa perubahan itu harus terjadi?”

“Tidak ada lagi yang dapat menimbulkan padepokan ini dalam ujudnya yang lama. Karena itu, maka kami bersepakat untuk merubah ujud padepokan kami. Kami pun telah berpencar, meskipun masih tetap berada di atas gumuk ini.”

“Para murid lalu berkeluarga dan membangun rumah tangga mereka masing-masing?”

“Ya. Ada di antara mereka yang menikah di antara cantrik dan mentrik. Tetapi ada yang menikah dengan orang lain. Maksudku, bukan murid perguruan ini. Tetapi menikah dengan tetangga di padukuhannya atas kemauan orang tuanya. Atau dengan mereka yang masih mempunyai hubungan kadang, yang sudah agak jauh.”

“Apakah di antara para penghuni bukit kecil ini masih tetap ada ikatan kekeluargaan sebagaimana sebuah perguruan?”

“Masih. Kami masih tetap sekeluarga. Kami masih tetap meningkatkan kemampuan kami. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi kami berusaha meningkatkan hasil kerja kami. Kerja di sawah, pembuatan gerabah, anyaman bambu dan lain-lain, sehingga hasil kerja kami pun meningkat harganya.” Namun suara Ki Umbul Telu merendah, “Tetapi akhir-akhir ini pasaran kami menurun. Terutama hasil kerja kami. Keadaan agaknya tidak begitu menguntungkan bagi kami. Justru karena jalur perdagangan yang terganggu itu.”

“Ki Umbul Telu,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku minta maaf, bahwa pertanyaanku telah menjalar sampai kemana-mana. Dalam hubungannya dengan para perampok dan penyamun, apakah Ki Umbul Telu tidak dapat berbuat apa-apa? Jika Ki Umbul Telu dapat bekerja sama dengan para Demang dan para pedagang yang lewat, maka lingkungan ini tentu akan menjadi ramai kembali.”

“Aku juga sudah berpikir kearah itu, Ngger. Tetapi aku masih ragu-ragu. Aku tidak tahu sikap para Demang. Aku pun tidak tahu, apakah para pedagang itu bersedia meramaikan lingkungan ini kembali. Apalagi barang-barang hasil kerja kami adalah barang-barang yang ujudnya besar.”

“Tetapi Ki Umbul Telu dapat mencobanya.”

“Gagasan itu timbul justru pada saat saudara seperguruan kami yang telah berkhianat itu datang mengunjungi kami di sini.”

“Ki Umbul Telu dapat berbicara dengan para pedagang itu. Jika lingkungan ini menjadi aman, maka perdagangan pun akan dapat berjalan lebih baik.”

“Ya, Ngger. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Bekas-bekas saudara seperguruan kami itu datang untuk minta hak mereka atas bukit ini. Mereka mengaku merasa berhak atas perguruan di padepokan ini. Terutama seorang di antara mereka yang memiliki keris Kiai Wasis itu. Aku tahu, bahwa mereka akan mempergunakan bukit ini sebagai landasan dan sarang mereka.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan padepokan ini? Apakah penghuni padepokan ini akan dapat bertahan?”

“Aku tidak mencemaskannya, Ngger. Setiap orang di padepokan ini, laki-laki dan perempuan, kecuali anak-anak, akan dapat turut membela padepokannya. Bahkan perempuan yang datang ke bukit ini sebagai seorang istri, yang semula sama sekali belum pernah bersentuhan dengan ilmu kanuragan, kini mereka merupakan bagian dari kami. Sementara itu, di bangunan induk ini ada beberapa orang anak muda yang berlatih dengan tekun, dan bahkan sudah memiliki tataran yang tinggi.”

“Jika demikian, saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah berkhianat itu tidak menjadi masalah bagi padepokan ini.”

“Pada dasarnya memang demikian, Ngger. Tetapi mungkin saja mereka akan datang dalam jumlah yang besar, jika mereka berhasil menghimpun para perampok dan penyamun untuk bekerja sama.”

“Aku kira mereka akan mengalami kesulitan untuk bekerja sama dalam arti sepenuhnya dan sejujur-jujurnya. Mereka justru akan bersaing dan yang satu berusaha menghancurkan yang lain.”

“Aku sependapat, Ngger. Tetapi mereka dapat saja untuk sementara bekerja sama. Baru kemudian mereka berebut, siapakah yang akan berkuasa di sini.”

“Memang mungkin sekali,” gumam Glagah Putih.

“Sebenarnyalah ada yang ingin aku katakan kepadamu, Ngger.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Kemudian Glagah Putih bertanya, “Silahkan, Ki Umbul Telu. Kami akan memperhatikannya.”

“Agaknya Angger datang tidak pada waktu yang baik. Sebenarnya kami yang berada di bukit ini merasa senang sekali mendapat kunjungan seseorang yang datang dari jauh seperti Angger berdua. Tetapi saatnya saja-lah yang kurang tepat. Bukan maksudku mengusir Angger berdua. Tetapi karena keadaan di gumuk ini, maka aku ingin mempersilahkan Angger berdua melanjutkan perjalanan.”

“Kenapa Kiai?”

“Seperti yang sudah aku katakan, murid dari perguruan ini yang telah berkhianat itu telah datang kembali untuk menuntut hak mereka. Mereka yang dahulu tidak mau berhadapan dengan aku dan saudara-saudara seperguruan yang sebaya, kini justru datang untuk menantang. Ternyata mereka datang bersama kelompok mereka yang baru, para perampok dan penyamun. Mereka akan datang setiap saat, Ngger. Jika pada saat mereka datang Angger berdua berada di sini, maka kedatangan mereka itu akan dapat membahayakan jiwa Angger berdua. Saudara-saudara seperguruan kami itu adalah orang-orang yang tidak berjantung, yang telah sampai hati membunuh gurunya sendiri karena ketamakan mereka terhadap harta benda duniawi. Apalagi terhadap orang lain.”

“Tetapi bukankah mereka masih belum tuntas pada saat mereka berguru di sini? Bukankah dengan demikian, mereka tidak akan dapat melampaui kemampuan Ki Umbul Telu dan saudara-saudara seperguruan yang lain?”

“Kebanyakan di antara kami juga masih belum tuntas pada waktu guru meninggal. Untunglah bahwa kami berempat telah mendapat kesempatan untuk menguasai semua unsur dari ilmu di Perguruan Awang-awang ini, sehingga kami mampu mengembangkannya dan membimbing saudara-saudara seperguruan kami yang lebih muda, yang kini masih berada di bukit ini.”

“Ki Umbul Telu. Bukankah dengan demikian, kami berdua tidak perlu menjadi cemas bahwa hidup kami akan terancam, seandainya saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah berkhianat itu datang kemari?”

“Ngger. Sudah aku katakan, aku tidak tahu seberapa banyak orang yang akan datang. Jika mereka yang datang itu melampaui batas kemampuan kami, maka bahaya itu akan timbul.”

“Ki Umbul Telu,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami mengembara untuk mendapatkan pengalaman yang akan dapat menjadi bekal bagi hidup kami kelak. Karena itu, jika Ki Umbul Telu berkenan, kami justru ingin menunggu kedatangan saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah memberontak itu, yang kemudian justru datang untuk menuntut haknya berdasarkan pada pertanda kepemimpinan yang mereka miliki dengan cara yang tidak sah. Adalah satu pengalaman yang menarik untuk mengenal orang-orang yang sampai hati berbuat demikian.”

“Angger berdua. Aku yakin bahwa sebelum memutuskan untuk pergi mengembara, Angger tentu sudah memiliki bekal untuk melindungi diri sendiri di perjalanan. Meskipun demikian, jika terjadi sesuatu atas Angger berdua di sini, maka kami akan merasa bersalah, karena Angger berdua adalah tamu kami.”

“Tidak, Ki Umbul Telu. Meskipun kemampuan kami tentu tidak sekuku ireng dibanding dengan kemampuan penghuni padepokan ini, tetapi kami berjanji tidak akan menyulitkan Ki Umbul Telu serta sanak kadang yang ada di padepokan ini. Kami akan berusaha melindungi diri sendiri, maka kami tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Ki Umbul Telu pun tidak perlu merasa bertanggungjawab atas kegagalan kami. Namun semoga keberadaan kami di sini akan dapat, meskipun hanya seperti setitik air di lautan, ikut memikul beban perlawanan Ki Umbul Telu dan sanak kadang di padepokan ini.”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya dengan nada dalam, “Sikap Angger menyentuh hatiku, dan tentu juga saudara-saudaraku. Atas nama padepokan ini aku mengucapkan terima kasih. Tetapi kami tidak ingin menyulitkan Angger berdua yang masih akan menempuh perjalanan panjang.”

“Ki Umbul Telu. Kami akan merasa senang sekali jika Ki Umbul Telu mengijinkan kami untuk tinggal di bukit ini barang satu dua hari. Jika prahara itu datang, kami justru ingin mengalaminya.”

Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun pembicaraan mereka tertunda ketika orang yang memikul legen itu datang kembali ke bangunan utama padepokan itu. Tetapi ia sudah tidak membawa legennya lagi.

“Marilah, Mungguh Pratela. Naiklah,” berkata Ki Umbul Telu mempersilahkan.

Orang yang disebut Mungguh Pratela pun segera naik dan duduk bersama Ki Umbul Telu, Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kakang,” berkata Ki Mungguh Pratela, “Aku baru saja ditemui oleh Damar.”

“Damar? Ada apa?”

Ki Mungguh Pratela termangu-mangu sejenak sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Ki Umbul Telu pun berkata, “Katakan. Aku percaya kepada Angger Glagah Putih dan istrinya, meskipun aku baru saja mengenalnya.”

Ki Mungguh Pratela mengangguk-angguk kecil. Meskipun demikian agaknya ia masih saja ragu. Karena itu, maka Ki Umbul Telu pun berkata sekali lagi, “Katakan, Mungguh Pratela.”

Ki Mungguh Pratela menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Damar telah memberitahukan, bahwa ia melihat dua orang yang mencurigakan berkeliaran di sekitar bukit ini. Berbeda dengan kedatangan Ki Sanak berdua ini. Keduanya datang dengan sikap yang terbuka. Sedangkan kedua orang itu sengaja berusaha untuk tidak diketahui.”

“Apakah mereka bukan saudara-saudara kita yang telah memberontak itu?”

“Bukan, Kakang. Tetapi orang lain yang masih belum kita kenal di sini.”

“Angger berdua,” berkata Ki Umbul Telu, “sekali lagi aku peringatkan, bahwa keberadaan Angger berdua di sini justru pada saat yang kurang baik.”

“Ki Umbul Telu. Kami mohon agar kami diperkenankan untuk berada di padepokan ini. Kami ingin ikut mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan ini. Benturan sesama saudara seperguruan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak memulainya, dan bahkan sulit sekali untuk menghindarinya.”

Ki Umbul Telu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, jika Angger berdua berkeras untuk tetap tinggal di padepokan ini.”

“Terima kasih, Ki Umbul Telu.”

“Mungguh. Jika yang dikatakan Damar itu benar, maka sampaikan kepada saudara-saudaramu agar mereka bersiap. Biarlah beberapa orang memperketat pengawasan. Bawa anak-anak ke bangunan utama ini. Demikian pula orang-orang yang sudah terlalu tua dan yang sakit. Kita harus melindungi mereka. Yang lain biarlah bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

“Baik, Kakang.”

“Adik-adikmu akan melindungi anak-anak dan orang-orang sakit di bangunan utama ini.”

“Baik, Kakang.”

Ki Mungguh itu pun kemudian segera meninggalkan Ki Umbul Telu untuk menyebarkan perintahnya.

Sejenak kemudian maka Ki Umbul Telu itu pun berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Silahkan beristirahat sambil minum dan makan makanan yang sudah terhidang itu, Ngger. Aku akan pergi sebentar.”

“Apakah kami boleh ikut bersama Ki Umbul Telu?”

Ki Umbul Telu tersenyum. Katanya, “Sebaiknya Angger tetap berada di sini. Nanti aku segera kembali.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak memaksa. Ketika kemudian Ki Umbul Telu pergi, maka keduanya tinggal di bangunan utama padepokan itu. Seorang anak muda telah diperintahkan oleh Ki Umbul Telu untuk menemani mereka berdua.

“Jika mereka ingin, ajak mereka melihat-lihat lingkungan bangunan utama bekas padepokan kita ini,” berkata Ki Umbul Telu.

“Ya, Kakang,” jawab anak muda itu.

Anak muda yang menemui Glagah Putih dan Rara Wulan itu memperkenalkan dirinya bernama Kastawa.

Meskipun Kastawa nampaknya sedikit lebih muda dari Glagah Putih, namun mereka yang hampir sebaya itu pun segera menjadi lebih akrab. Bahkan Kastawa-lah yang telah menawarkan, jika Glagah Putih dan Rara Wulan ingin melihat-lihat isi bangunan utama dari Perguruan Awang-Awang itu. “Mungkin Kakang Glagah Putih dan Mbokayu ingin melihat sanggar kami?”

“Terima kasih jika kami mendapat kesempatan untuk itu,” jawab Glagah Putih.

Kastawa pun kemudian telah mengantarkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk melihat-lihat sanggar. Di sanggar tertutup mereka melihat alat-alat yang terhitung lengkap. Di sanggar itu pun terdapat berbagai jenis senjata yang dipergunakan oleh para penghuni padepokan itu untuk berlatih.

“Hanya sedikit yang tinggal di bangunan induk ini,” berkata Kastawa, “kakak-kakak seperguruan kami telah berumah tangga. Mereka pun kemudian membangun rumah dan tinggal bersama keluarganya di rumah mereka.”

“Apakah mereka masih sering datang ke sanggar?”

“Ya. Kakang Umbul Telu menentukan bahwa setiap orang, laki-laki dan perempuan, sedikitnya sepekan dua kali berada di sanggar terbuka atau di sanggar tertutup. Mereka berlatih di bawah pengawasan Kakang Umbul Telu langsung. Kakang Umbul Telu menilai kemantapan ilmu kakak-kakak kami. Karena itu, selain waktu yang dipergunakan di sanggar itu, kakak-kakak dan istri mereka pun selalu berlatih di rumah mereka masing-masing, agar di setiap penilaian oleh Kakang Umbul Telu terdapat kemajuan meskipun hanya sedikit sekali.”

“Begitu sibuknya Ki Umbul Telu?”

“Ya. Tetapi ada tiga orang kakak seperguruan kami yang membantunya dan melakukan tugas di atas namanya.”

“Tetapi Ki Umbul Telu tidak bersedia disebut pemimpin di padepokan ini.”

“Kakang Umbul Telu memang bukan pemimpin di perguruan ini, karena Kakang Umbul Telu tidak mendapat tugas itu langsung dari guru yang terdahulu. Juga tidak ada pertanda kepemimpinan di tangan Kakang Umbul Telu.”

“Kau sudah lama berada di padepokan ini, Kastawa?”

“Aku berada di sini sejak aku masih remaja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan bertanya, “Jika demikian, kau sudah mempelajari dasar-dasar ilmu perguruan ini hingga tuntas.”

“Aku memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu perguruan ini. Tetapi aku masih belum mampu mengembangkannya. Kakang Umbul Telu masih belum puas terhadap kemampuan dasarku.”

“Itu adalah ciri seorang guru yang baik,” sahut Rara Wulan, “ia tidak mudah puas terhadap hasil yang dicapai oleh murid-muridnya.”

“Tetapi kenapa kau sebut Ki Umbul Telu dengan sebutan kakang? Kenapa tidak paman atau guru?”

“Aku wajib menyebutnya kakang, karena ia semula adalah kakak seperguruanku, meskipun barangkali Kakang Umbul Telu pantas menjadi ayahku. Tetapi aku hanya sempat berguru sebentar kepada Kiai Tunda Wirasa. Guru telah terbunuh oleh kakak-kakak seperguruan kami yang berkhianat. Sehingga akhirnya, yang kami pilih untuk menjalankan tugas Guru adalah Kakang Umbul Telu.”

Glagah Putih dan Kara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

Ketika mereka sampai ke sanggar terbuka yang cukup luas, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun melihat peralatan yang lengkap pula sebagaimana di sanggar yang tertutup. Di sanggar terbuka itu, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat sekelompok anak muda sedang berlatih, di bawah pimpinan seorang yang umurnya sebaya dengan Ki Umbul Telu.

“Yang memimpin latihan itu adalah Kakang Kumuda. Salah seorang dari tiga orang yang seangkatan dengan Kakang Umbul Telu. Namun agaknya umur mereka terpaut dua tahun. Kakang Umbul Telu lebih tua dari Kakang Kumuda.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat mereka melihat latihan yang keras di bawah pimpinan Ki Kumuda.

“Luar biasa,” desis Glagah Putih, “dengan latihan-latihan seperti ini, maka murid-murid dari Perguruan Awang-Awang adalah murid-murid yang pantas dibanggakan.”

“Tapi perguruan kami adalah perguruan yang kecil saja, Kakang Glagah Putih. Setelah terjadi pengkhianatan itu, maka kami seakan-akan telah menutup diri.”

“Meskipun demikian, kekuatan yang tersimpan di dalamnya adalah kekuatan yang sangat besar.”

“Terima kasih atas pujian itu, Kakang. Tetapi sebenarnyalah kami merasa sangat rendah diri terhadap perguruan-perguruan yang lain yang pernah kami dengar namanya.”

Glagah Putih tidak menyahut. Ia tidak sepantasnya memberikan penilaian kepada kemampuan para murid dari padepokan itu.

Ketika latihan itu sedang beristirahat, maka Kastawa pun telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada Ki Kumuda, yang menanggapinya dengan ramah. Namun seperti Ki Umbul Telu, maka Ki Kumuda pun berkata, “Angger berdua datang pada saat yang buruk.”

“Ya, Ki Kumuda. Tadi Ki Umbul Telu juga sudah mengatakannya kepada kami.”

“Sebaiknya Angger berdua meninggalkan padepokan kami. Kami tentu tidak ingin jika Angger berdua yang tidak tahu menahu persoalannya, akan mengalami kesulitan di padepokan ini.”

“Aku sudah minta ijin kepada Ki Umbul Telu untuk tetap berada di padepokan ini, Ki Kumuda. Dalam pengembaraan kami, kami ingin mengalami banyak hal yang dapat memperkaya cakrawala wawasan kami. Juga tentang pengkhianatan oleh saudara seperguruan. Kami sudah berjanji bahwa kami akan bertanggung jawab atas keberadaan kami di sini. Maksud kami, kami tidak akan menyalahkan siapa-siapa jika kami gagal melindungi diri kami sendiri.”

Ki Kumuda menarik nafas panjang. Katanya, “Sebenarnya, jujur saja, setiap kekuatan betapapun kecilnya yang bersedia berdiri di pihak kami, akan kami sambut dengan gembira dan pernyataan terima kasih. Tetapi Angger berdua kebetulan adalah suami istri yang sedang mulai memasuki manisnya hidup berkeluarga.”

“Terima kasih atas kepedulian Ki Kumuda. Tetapi perkenankan aku tetap berada di bukit kecil ini. Bahkan kami menunggu kesempatan untuk ikut menjamu kedatangan saudara-saudara seperguruan Ki Kumuda yang telah memberontak itu.”

Ki Kumuda mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah mencoba untuk memberikan gambaran apa yang mungkin terjadi di bukit ini, Ngger.”

“Kami mengerti, Ki Kumuda.”

“Baiklah. Aku sebenarnya meyakini bahwa Angger pun tentu memiliki kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Tetapi terus terang, kita tidak tahu seberapa besar kekuatan sekelompok orang yang sempat dikumpulkan oleh saudara-saudara kami yang telah memberontak itu.”

“Kami akan merasa bersyukur jika keberadaan kami di sini dapat memberikan arti, betapapun kecilnya.”

Ki Kumuda menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, “Perkembangan terakhir menunjukkan kemungkinan yang buruk itu. Kakang Umbul Telu telah memerintahkan kami bersiap.”

“Kami akan menyesuaikan diri kami, Ki Kumuda.”

Ki Kumuda tersenyum. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka ia pun meyakini bahwa Glagah Putih berilmu tinggi, menilik sikap dan kata-katanya. Tetapi Ki Kumuda tidak tahu tataran yang sebenarnya dari ilmunya dan ilmu istrinya yang menyertainya itu.

Namun agaknya Ki Umbul Telu telah mengijinkan kedua orang itu tetap berada di padepokannya atas tanggung jawab mereka sendiri. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa, karena para penghuni padepokan itu sudah memperingatkan mereka.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan merasa terpanggil untuk membantu murid-murid dari Perguruan Awang-Awang itu, meskipun murid-murid itu memiliki kemampuan untuk melawan. Meskipun demikian, seperti yang diragukan oleh Ki Umbul Telu, berapa banyak orang yang bakal datang menyerang padepokan itu.

Beberapa saat kemudian, ketika Ki Kumuda akan mulai lagi dengan latihan-latihannya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan diantar oleh Kastawa meninggalkan sanggar terbuka. Mereka masih melihat-lihat beberapa bagian dari bangunan induk di atas gumuk yang disebut sebuah padepokan itu.

Namun agaknya keadaan berkembang menjadi semakin buruk. Tanda-tanda bahwa saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu yang telah memberontak untuk datang bersama kekuatan yang besar menjadi semakin jelas. Bahkan dua orang yang tidak dikenal telah datang menemui Ki Umbul Telu.

“Silahkan duduk, Ki Sanak,” Ki Umbul Telu mempersilahkan.

Tetapi kedua orang itu menolak. Seorang di antara mereka berkata, “Aku hanya datang untuk menyampaikan pesan. Siapkan upacara penyerahan pimpinan perguruan ini. Semua penghuni padepokan ini harus hadir.”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ki Sanak. Kembalilah kepada orang yang mengutus Ki Sanak datang ke padepokan ini. Biarlah orang itu sendiri datang. Dengan demikian maka kami akan dapat berbicara dengan baik-baik.”

“Tidak ada pembicaraan apa-apa. Hanya ada dua pilihan. Menyerahkan kepemimpinan padepokan ini, atau padepokan ini akan dihancurleburkan.”

“Ki Sanak. Sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat menyerahkan padepokan ini untuk menjadi sarang perampok dan penyamun.”

“Siapakah yang mengatakan bahwa padepokan ini akan menjadi sarang perampok dan penyamun?”

“Jika aku menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada orang yang memerintahkanmu kemari, itu berarti bahwa aku menyerahkan padepokan ini kepada kekuasaan segerombolan perampok dan penyamun. Bahkan murid-murid dari perguruan ini pun akan dipaksa menjadi perampok dan penyamun pula.”

“Kau mempunyai waktu semalam untuk memikirkannya, Ki Umbul Telu. Jika kau sependapat untuk menyerahkan kepemimpinan padepokan ini, kau harus mengibarkan kelebet berwarna putih di gerbang padepokan yang sudah kau rusak bentuknya ini.”

“Ki Sanak. Kami tidak akan berubah pendirian. Kami tidak akan menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada siapapun juga.”

“Kau harus menyerahkannya kepada yang berhak. Kepada yang memiliki pertanda kepemimpinan dari padepokan ini.”

“Tidak. Kami pun harus menilai, cara yang dipergunakannya untuk memiliki pertanda kepemimpinan itu.”

“Terserah kepada Ki Umbul Telu. Jika kau keras kepala, maka isi padepokan ini akan ditumpas sampai habis. Kemudian yang akan tinggal di padepokan ini adalah penghuni-penghuni baru.”

“Kami akan mempertahankannya sampai orang yang terakhir.”

“Iblis kau, Umbul Telu. Ternyata kau adalah pembunuh yang tidak ada duanya. Kau bunuh orang-orangmu dengan tanpa belas kasihan.”

“Fitnah yang kau lontarkan lewat mulutmu yang buruk itu tidak akan menggetarkan jantung kami. Sekarang pergilah. Katakan kepada murid-murid Perguruan Awang-Awang yang telah berkhianat itu. Kami menunggu. Kami siap menghukum mereka karena pengkhianatan mereka itu.”

“Kau akan ditelan oleh kesombonganmu sendiri. Ternyata kau adalah orang yang sangat picik, yang tidak tahu seberapa besar kekuatan kami.”

“Yang besar sebenarnya bukannya kekuatan kalian, tetapi mungkin jumlah kalian. Perampok dan penyamun selalu mengandalkan kepada kekuatan dan keberanian. Tetapi tidak dilandasi dengan ilmu kanuragan yang mapan.”

“Persetan,” geram yang seorang lagi. Lalu katanya kepada kawannya, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Besok pagi-pagi sekali, jika tidak ada kelebet berwarna putih di gerbang, bukit ini akan menjadi neraka.”

“Kami siap menunggu kedatangan kalian. Jika bukit ini menjadi neraka, maka kalian-lah yang akan terbakar di neraka ini.”

Kedua orang itu pun segera meninggalkan Ki Umbul Telu. Namun seorang di antaranya masih sempat mengancam, “Jika kau melawan, Ki Umbul Telu, kepalamu akan dipenggal dan ditanjir di pintu gerbang, sebagai peringatan agar tidak seorangpun dari murid-murid perguruan ini yang berani menentang pemimpinnya yang memang berhak memegang pimpinan di perguruan ini.”

“Sudahlah, Ki Sanak. Kau tidak tahu menahu tentang tatanan dan paugeran di perguruan ini. Pergilah. Dan katakan sebagaimana aku katakan. Besok kami seperguruan ini akan menyambut kedatangan kalian dengan hangat.”

Kedua orang itu tidak berkata apa-apa lagi. Keduanya pun segera pergi meninggalkan padepokan itu.

Malam yang kemudian turun adalah malam yang tegang bagi padepokan di bukit kecil itu. Semua anak-anak telah diungsikan di bangunan utama Perguruan Awang-awang yang telah berubah bentuknya. Sebagian dari murid-murid yang masih terhitung muda akan menjaga mereka. Selebihnya, meskipun mereka masih semuda Kastawa, namun mereka sudah pantas dilepas langsung menghadapi lawan. Mereka telah memiliki bekal yang cukup, karena mereka sudah terhitung cukup lama berada di padepokan itu.

Dalam pada itu, setiap orang di padepokan itu pun telah mempersiapkan diri. Laki-laki dan perempuan. Bahkan ada di antara perempuan yang memiliki kemampuan melampaui suaminya dalam olah kanuragan.

Kesiagaan setiap perempuan di padepokan itulah yang terlepas dari perhitungan murid-murid Perguruan Awang-awang yang telah memberontak itu. Mereka tahu bahwa di perguruan itu ada beberapa orang murid perempuan. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa perempuan yang kemudian menikah dengan murid perguruan itu dan kemudian berada di padepokan, juga telah ditempa untuk menjadi bagian dari murid-murid Perguruan Awang-Awang.

Sementara itu tiga orang yang dianggap tertua di samping Ki Umbul Telu, telah mengatur pertahanan dengan sebaik-baiknya. Mereka pun telah mempersiapkan diri untuk melawan saudara-saudara seperguruan mereka yang telah memberontak dan membunuh guru mereka.

“Kesempatan untuk menghukum mereka,” berkata Ki Kumuda, seorang di antara ketiga orang itu.

“Ya. Kita tidak akan melepaskan mereka ” sahut Ki Lampita.

Ki Ganjur, yang termuda di antara ketiga orang tua itu menyahut, “”Kita buktikan bahwa perguruan ini masih kokoh. Tetapi siapakah di antara saudara-saudara kita yang memberontak itu yang membawa Keris Kiai Wasis?”

“Tidak jelas. Tetapi menurut pendapatku tentu Ki Dandang Ireng. Wataknya yang paling ganas, serta umurnya yang barangkali tertua di antara mereka yang telah membunuh Guru ” sahut Ki Umbul Telu.

“Ya. Tentu Dandang Ireng. Serahkan ia padaku. Aku berharap untuk dapat menangkapnya.”

“Kita akan bekerja keras. Kita tidak tahu, berapa banyak jumlah mereka.”

“Tetapi jumlah kita pun berlipat. Setiap orang yang telah menikah telah menjadi dua.”

Ki Umbul Telu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Bagaimana pendapat kalian tentang Glagah Putih dan istrinya? Aku sudah berusaha memperingatkannya agar ia meninggalkan padepokan ini. Tetapi mereka berkeras untuk tetap tinggal.”

Ki Kumuda-lah yang kemudian bertanya, “Kakang Umbul Telu. Aku tidak banyak berbicara dengan kedua orang suami istri itu. Tetapi apakah mereka bukan merupakan bagian dari gerombolan yang akan menyerang kita esok pagi?”

“Aku yakin bahwa mereka bukan bagian dari gerombolan itu. Aku mempercayai keterangan mereka, bahwa mereka adalah pengembara. Agaknya mereka mengemban tugas tertentu yang tidak dikatakan. Tetapi keduanya bukan bagian dari mereka yang ingin menimbulkan kerusakan.”

“Aku menduga bahwa mereka mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, sehingga mereka berani tetap tinggal di sini sampai esok pagi,” desis Ki Lampita.

“Merekaa akan mempertanggungjawabkan diri mereka sendiri. Jika terjadi sesuatu atas mereka, mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa.”

“Apakah mereka akan berpihak dan membantu kita?” bertanya Ki Ganjur.

“Menurut pengakuan mereka, mereka akan membantu kita sejauh dapat mereka lakukan,” jawab Ki Umbul Telu.

“Jika benar-benar bantuannya ada artinya, kita tentu mengucapkan terima kasih kepada mereka.”

“Sebaiknya aku menemui mereka sekali lagi, untuk mengabarkan perkembangan terakhir dari kemungkinan kedatangan gerombolan itu.”

“Baiklah, Kakang,” sahut Ki Kumuda, “biarlah semuanya menjadi jelas. Sementara itu jika mereka menjadi ragu, biarlah mereka meninggalkan padepokan ini selagi masih ada kesempatan.”

Tetapi ketika Ki Umbul Telu menemui Glagah Putih dan Rara Wulan sekali lagi, mereka tetap pada keputusan mereka untuk tetap tinggal.

Malam itu, ketika semua orang mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan esok pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan di dalam biliknya sibuk mencari cara untuk membawa kitabnya. Akhirnya kitab itu dibungkusnya dengan kain yang dibelinya di pasar, kemudian kain itu diikatkan di perut Glagah Putih, di atas ikat pinggangnya, agar ia tetap dapat melepaskan ikat pinggangnya dalam keadaan yang mendesak.

“Nah, bukankah kitab kecil itu tidak mengganggumu, Kakang? Sementara petinya kita simpan di kolong amben ini. Besok kita akan memikirkannya lagi, kemana akan kita sembunyikan peti itu.”

“Kau justru lebih memikirkan peti itu daripada kitabnya,” desis Glagah Putih.

“Tentu tidak. Bukankah kitabnya sudah Kakang amankan di perut Kakang itu?”

“Kalau aku mandi?”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Jika kau mandi, aku yang membawanya. Bukankah tidak akan terlalu lama?”

Glagah Putih tersenyum. Lalu katanya, “Sekarang kita tidur, bergantian. Kau tidur dahulu, kemudian aku berjaga-jaga.”

“Ah, Kakang,” Rara Wulan pun kemudian tertawa tertahan.

Di dini hari, keduanya telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka pun bergantian pergi ke pakiwan. Ketika kemudian mereka naik ke pringgitan bangunan utama di padepokan itu, Ki Umbul Telu yang telah bersiap pula bersama dengan ketiga orang saudaranya yang hampir sebaya itu pun mempersilahkannya.

“Kita akan makan pagi seadanya. Mungkin kita tidak akan sempat makan di siang hari dan bahkan di sore hari. Atau kita tidak akan pernah memerlukan makan lagi,” berkata Ki Kumuda.

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian menyertai orang-orang tertua di padepokan itu untuk makan pagi.

“Semua orang di padepokan ini juga makan sekarang ini,” berkata Ki Umbul Telu ketika ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan agak ragu, “bahkan anak-anak yang mengungsi di bangunan utama ini.”

Setelah makan pagi, maka Ki Umbul Telu dan ketiga orang saudara seperguruannya itu pun berkata, “Kita akan bersiap-siap. Kita akan berada di gerbang padepokan ini.”

“Apakah kami diijinkan ikut bersama Ki Umbul Telu?”

“Silahkan, Ngger. Tetapi aku ingin memperingatkan Angger sekali lagi. Jika Angger ingin meninggalkan padepokan ini, masih ada waktu. Angger kami persilahkan meninggalkan padepokan ini lewat jalan utara.”

“Tidak, Ki Umbul Telu. Aku akan tetap berada di sini. Jika aku keluar dari padepokan ini, mungkin sekali aku akan bertemu dengan mereka, justru pada saat kami hanya berdua. Di sini kami mempunyai banyak kawan yang akan dapat saling membantu.”

“Jika itu sudah menjadi ketetapan hati Angger berdua, baiklah. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan Angger membantu kami.”

“Bantuan yang tidak ada artinya, Ki Umbul Telu.”

“Tetapi niat Angger membantu kami, mempunyai arti yang besar sekali.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Demikianlah, maka orang-orang yang dituakan di padepokan itu pun kemudian telah pergi ke pintu gerbang padepokan, diikuti oleh beberapa orang Laki-laki dan perempuan. Termasuk di antara mereka adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan beberapa orang yang lain, juga laki-laki dan perempuan, bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan penyusupan. Bahkan setiap gerbang butulan pun telah diawasi pula dengan ketat.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin terang. Cahaya fajar pun mulai meraba langit. Burung-burung liar berkicau dengan riangnya menyambut hari baru yang akan datang, tanpa mengerti apa yang mungkin akan terjadi di padepokan itu.

Dalam pada itu, segerombolan orang tengah berjalan menuju ke bukit kecil itu. Mereka pun kemudian berhenti beberapa puluh patok dari bukit itu. Sebenarnyalah bahwa yang memimpin segerombolan orang itu adalah Ki Dandang Ireng. Mereka bersama beberapa orang saudara seperguruannya yang telah memberontak dan membunuh guru mereka, disertai oleh beberapa kelompok perampok dan penyamun. Mereka berharap dapat merebut bukit itu dan mempergunakannya sebagai sarang yang mapan. Tidak sekedar di pinggir hutan atau di padang perdu.

Ketika langit menjadi semakin terang, dua orang di antara mereka pun mencoba untuk melihat, apakah ada kelebet putih di pintu gerbang padepokan itu. Namun kedua orang itu tidak melihatnya. Kedua orang itu bahkan tidak melihat apa-apa dalam keremangan fajar.

“Jadi tidak ada kelebet putih itu?” bertanya Ki Dandang Ireng.

“Tidak, Ki Lurah.”

“Umbul Telu agaknya sudah jemu hidup. Ia ingin membunuh dirinya. Tetapi agaknya ia sudah menjadi gila. Ia tidak mau mati sendiri. Ia ingin membawa semua penghuni padepokan itu untuk mati bersamanya.”

“Kita akan membersihkan mereka. Kita akan membersihkan bukit itu dari kedurhakaan mereka yang tidak mau patuh kepada pemimpinnya. Semua orang yang ada di bukit itu akan mati. Bahkan anak-anak sekalipun. Kita akan mengisi padepokan itu dengan orang-orang baru yang mengerti tatanan dan paugeran,” berkata seorang yang lain.

Seorang pemimpin gerombolan perampok dan penyamun berkata, “Persetan dengan tatanan dan paugeran. Kami akan tinggal di bukit itu dengan tatanan dan paugeran kami sendiri.”

“Itu tidak mungkin. Jika kita tinggal bersama, kita harus mempunyai tatanan. Sedangkan bukit kecil itu adalah milik kami yang sah. Aku mempunyai pertanda kepemimpinan di padepokan itu.”

“Aku tidak berada di bawah pengaruh pertanda kepemimpinanmu itu.”

“Tetapi di bukit itu, pertanda ini akan berlaku.”

Pemimpin gerombolan itu memandang Ki Dandang Ireng dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun bergumam, “Baiklah, kita akan membicarakannya kelak.”

Ki Dandang Ireng pun tidak menjawab. Ia memerlukan gerombolan perampok itu untuk menghabisi murid-murid Perguruan Awang-Awang yang masih ada di padepokan yang sudah berubah bentuknya itu. Bahkan dengan garangnya Ki Dandang Ireng itu pun berkata, “Aku akan pergi ke pintu gerbang.”

“Hati-hati, Lurahe,” desis beberapa orang hampir berbareng.

Ki Dandang Ireng pun kemudian mengajak dua orang saudara seperguruannya yang bersama-sama telah memberontak untuk pergi ke pintu gerbang. Ia yakin bahwa Ki Umbul Telu tentu berada di pintu gerbang itu.

Sebenarnyalah, ketika Ki Dandang Ireng dengan kedua saudara seperguruannya sampai di depan pintu gerbang, maka Ki Umbul Telu, Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur pun telah keluar pula dari pintu gerbang, menyongsong kedatangan Ki Dandang Ireng dan kedua saudara seperguruannya.

“Selamat pagi, Adi Dandang Ireng,” sapa Ki Umbul Telu.

Wajah Ki Dandang Ireng menegang. Namun kemudian ia pun menjawab pula, “Selamat pagi, Umbul Telu.”

“Kami sudah menunggu kedatangan kalian sejak dini.”

“Persetan kau, Umbul Telu. Aku datang untuk menagih kesediaanmu menyerah kepada kami.”

“Kesediaan menyerah? Apakah aku pernah menyatakan bersedia menyerah?”

“Kau akan memasang kelebet berwarna putih di pintu gerbang itu.”

“Siapa yang mengatakannya?”

“Ketika kedua orangku datang menemuimu, bukankah kau berjanji kepada mereka untuk memasang kelebet berwarna putih? Jika kau tidak mempunyai kain berwarna putih, maka biarlah orang-orangku memberimu selembar kain putih.”

Ki Umbul Telu tertawa. Katanya, “Kau memang seorang yang cerdik. Kau mencoba mempengaruhi orang lain dengan caramu itu.”

“Tetapi bukankah kau memang akan menyerah, Umbul Telu? Kau tidak mempunyai kesempatan lagi. Apapun yang akan kau lakukan bersama orang-orang yang telah menjilat di telapak kakimu itu, tidak akan berani apa-apa. Kau tahu bahwa kau tinggal berempat saja. Apa artinya empat orang bagi gerombolan kami yang besar dan kuat.”

“Kau kira kami hanya berempat? Di padepokan ini masih tinggal banyak orang. Selain kami berempat, masih ada Mungguh Pratela, masih ada Kastawa, masih ada Patra Wira, dan masih banyak lagi saudara-saudara seperguruan kita yang tinggal di sini.”

Ki Dandang Ireng itu tertawa keras-keras. Katanya, “Sebut seratus nama yang tidak ada artinya apa-apa itu. Mereka bagi kami tidak lebih dari debu, yang jika ditiup akan beterbangan tanpa dapat ditolong lagi. Mereka akan segera disingkirkan dari lingkungan ini. Yang harus kami perhitungkan di padepokan ini hanyalah kalian berempat. Kalian berempat pun tentu tidak akan banyak berarti lagi. Di tahun-tahun terakhir, ilmuku meningkat dengan pesat sekali. Kalian akan terkejut. Namun selanjutnya kalian hanya akan dapat menyesali kesombongan kalian.”

“Dandang Ireng,” berkata Umbul Telu, “mumpung masih belum terlanjur, menyerahlah. Kami akan berusaha untuk membuat pertimbangan yang seadil-adilnya atas kejahatan yang pernah kalian lakukan. Membunuh Guru dan merampok keris pertanda kepemimpinan di padepokan ini.”

“Diam kau, Umbul Telu! Kau kira kau ini siapa, sehingga kau merasa berhak mengadili kami? Kami-lah yang akan mengadili kalian, karena kalian menentang pemimpin kalian yang memiliki pertanda kepemimpinan di padepokan ini.”

“Pertanda kepemimpinan yang didapatkan dengan jalan yang tidak sah, merampok dan membunuh, tidak akan mempunyai arti apa-apa lagi.”

“Persetan kau. Lihat, langit sudah menjadi semakin terang. Waktumu tinggal sedikit. Menyerah, atau aku hancurkan padepokanmu ini.”

Ki Umbul Telu tidak menjawab. Tetapi ia justru mengancam, “Menyerahlah, agar hukumanmu menjadi lebih ringan. Jika kalian tidak menyerah, maka kalian akan dihukum mati di padepokan ini, di hadapan para cantrik dan mentrik yang masih tetap utuh di padepokan ini.”

“Gila. Kau sudah gila, Umbul Telu. Gila karena mimpi burukmu itu.”

“Bukan aku yang telah gila, Dandang Ireng, tetapi kau dan saudara-saudaramu, yang karena ketamakannya maka hatinya telah menjadi buta. Kalian tidak tahu kebaikan yang telah dituangkan oleh Guru kepada kalian. Kalian tidak ingat lagi, betapa Guru membimbing kalian dalam berbagai macam ilmu dan kawruh. Yang nampak pada kalian hanyalah harta benda keduaniawian.”

“Cukup! Nikmatilah kesombonganmu kali ini. Sebentar lagi aku datang untuk menjadikan padepokan ini karang abang. Kalian akan ditumpas sampai ke cindil abang.”

“Kami sudah siap, Dandang Ireng.”

Ki Dandang Ireng menggeretakkan giginya. Kemarahannya seakan-akan telah meruntuhkan jantung di dadanya. Bersama saudara-saudara seperguruannya yang menyertainya, Ki Dandang Ireng itu pun segera meninggalkan pintu gerbang itu. Demikian Dandang Ireng meninggalkan pintu gerbang, maka dua orang cantrik dari Perguruan Awang-Awang yang sudah berubah bentuknya itu datang menghadap Ki Umbul Telu.

“Ada apa ?” bertanya Ki Umbul Telu.

“Jumlah mereka memang banyak sekali, Kakang. Mereka berkumpul di padang perdu di bawah bukit kecil ini.”

“Jumlah orang hanyalah salah satu unsur untuk menentukan kemenangan. Masih ada unsur-unsur lain yang harus diperhitungkan. Kemampuan mereka secara pribadi. Kepekatan kerja sama yang satu dengan yang lain. Tekad dan keyakinan akan kebenaran langkah yang sedang diambil. Sedangkan yang akan menentukan kemudian adalah justru kekuasaan di luar kekuasaan kita. Namun kita harus berusaha sejauh dapat kita lakukan.”

“Ya, Kakang.”

“Apakah ada tanda-tanda bahwa mereka akan mengepung bukit ini dan menyerang dari berbagai arah?”

“Ketika aku melihat mereka, mereka masih berada di padang perdu itu. Agaknya mereka akan menyerang dari jalur jalan ini.”

“Agaknya mereka akan memusatkan kekuatan mereka untuk menembus satu lubang sasaran. Pintu gerbang ini.”

“Ya, Kakang.”

“Baiklah. Siapkan kawan-kawanmu di luar padepokan. Kalian akan memecahkan pemusatan perhatian gerombolan perampok dan penyamun itu pada sasaran utamanya. Kita yakini bahwa para perampok dan penyamun itu tidak memiliki bekal yang lengkap. Mereka hanya mengandalkan kekuatan dan keberanian. Tetapi mereka tidak banyak mempergunakan akal mereka.”

“Ya, Kakang.”

“Nah, kita mengenal lingkungan ini lebih baik dari mereka. Kita dapat memanfaatkan onggokan-onggokan batu padas, pepohonan raksasa, tanggul-tanggul parit dan berbagai macam lekuk liku bukit kecil ini.”

“Baik, Kakang.”

“Tetapi hati-hatilah. Jangan mulai menyerang mereka dari samping atau dari belakang, sebelum sebagian dari mereka memasuki pintu gerbang.”

“Apakah pintu gerbang ini tidak akan dipertahankan?”

“Tidak. Biarlah sebagian mereka masuk. Kemudian saatnya kalian mulai menyerang. Jika kalian menyerang terlalu cepat, maka kalian akan menarik seluruh perhatian mereka, sehingga kalian akan mengalami kesulitan.”

“Baik, Kakang. Kami akan menghubungi kawan-kawan kami yang ada di luar.”

Ketika kedua orang anak muda itu pergi, Ki Umbul Telu sempat bergumam, “Jika kita menjadi cemas terhadap jumlah mereka yang terlalu banyak, bukan karena kita cemas membayangkan kekalahan yang akan kita alami. Tetapi kita pantas menjadi cemas, bahwa dengan demikian korban akan semakin banyak berjatuhan. Kita sengaja atau tidak sengaja akan membunuh lebih banyak lagi. Meskipun demikian, membunuh bukanlah tujuan kita. Jika hal itu terjadi, semata-mata karena kita ingin mempertahankan keberadaan kita di padepokan ini.”

“Selain mempertahankan keberadaan kita sendiri, Kakang,” sahut Ki Kumuda, “kita telah ikut serta mengurangi tumbuh dan berkembangnya kejahatan di lingkungan ini. Kita tahu bahwa perampok dan penyamun itu semakin lama menjadi semakin banyak, seolah-olah lingkungan ini justru merupakan lingkungan yang subur bagi pertumbuhan mereka.”

“Tanpa hambatan, maka pada akhirnya kekuasaan mereka memang akan meliputi padepokan ini pula,” berkata Ki Lampita.

“Ya, Kakang,” Ki Ganjur pun berkata pula, “yang kita lakukan ini tentu akan mempunyai pengaruh yang lebih luas dari sekedar mempertahankan sebuah padepokan. Para Demang di sekitar tempat ini semoga mendengar apa yang terjadi di padepokan ini, sehingga mereka pun akan bangkit dan berbuat sebagaimana kita lakukan. Mungkin mereka tidak mempunyai sandaran kekuatan yang memadai. Tetapi jika mereka bersedia bekerja sama dengan kita, maka kita akan dapat membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kademangan-kademangan itu. Jumlah mereka tentu lebih banyak dari jumlah kita di padepokan ini. Jika beberapa kademangan bangkit bersama, maka jumlah mereka tentu lebih banyak dari jumlah para perampok dan penyamun itu.”

Ki Umbul Telu pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bersiaplah. Sebentar lagi Dandang Ireng dan orang-orangnya tentu akan naik.”

Keempat orang itu pun kemudian masuk kembali ke dalam regol padepokan. Mereka akan membangun pertahanan yang sebenarnya, justru di dalam lingkungan padepokan. Namun dalam pada itu, mereka telah menaruh sebagian dari kekuatan mereka di luar padepokan.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang mengetahui bentuk pertahanan Ki Umbul Telu itu pun berkata, “Apakah kami berdua diperkenankan bergabung dengan para cantrik yang ada di luar padepokan ini?”

Karena mereka berdua tidak mempunyai ikatan tertentu dengan padepokan Awang-Awang yang sudah berubah bentuknya itu, maka Ki Umbul Telu tidak ingin terlalu banyak mengatur mereka. Dengan kepercayaan yang diyakininya bahwa keduanya tidak akan berpihak kepada para perampok, maka Ki Umbul Telu tidak merasa berkeberatan. “Silahkan, Ngger. Biarlah seorang cantrik mengantar Angger berdua menghubungi mereka yang bertugas di luar.”

Sambil mengangguk hormat Glagah Putih pun berkata, “Terima kasih, Ki Umbul Telu.”

Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih telah diantar oleh seorang cantrik untuk menemui para murid Perguruan Awang-Awang yang akan bertempur di luar pintu gerbang padepokan. Mereka berada di tebing-tebing, bongkah-bongkah batu padas dan di antara pepohonan raksasa yang tumbuh di sekitar padepokan di kaki bukit kecil itu.

“Kakang,” bertanya Ki Lampita sepeninggal Glagah Putih dan Rara Wulan, “apakah keduanya benar-benar dapat dipercaya?”

“Aku percaya kepada mereka. Tetapi seandainya mereka adalah bagian dari para perampok dan penyamun itu, biarlah mereka bergabung dengan kawan-kawannya di luar pintu gerbang.”

Ki Lampita menarik nafas panjang. Ada sepercik kebimbangan yang mencuat di hatinya.

Dalam pada itu, dari pintu gerbang yang terbuka yang terletak di kaki bukit kecil itu, Ki Umbul Telu dan saudara-saudara seperguruannya mulai melihat gerombolan perampok dan penyamun yang dipimpin oleh Dandang Ireng sedang merayap naik kaki bukit. Namun kemudian hilang di bayangan pepohonan di kaki bukit itu.

Ki Umbul Telu pun segera memberikan perintah kepada murid-murid dari Perguruan Awang-Awang yang telah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan mereka.

“Kita tidak akan mempertahankan pintu gerbang. Tetapi kita harus memancing agar mereka memasuki pintu gerbang itu.”

Pintu gerbang padepokan itu pun segera ditutup. Beberapa orang telah siap di atas panggungan di sebelah menyebelah pintu gerbang dengan busur dan anak panah siap di tangan mereka. Perlawanan dari panggungan itu akan mendorong niat Ki Dandang Ireng dan orang-orangnya untuk segera memecahkan pintu gerbang yang diselarak dengan kokoh. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Umbul telu tidak ingin mempertahankan pintu gerbang itu.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Dandang Ireng dan orang-orangnya menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang padepokan. Ternyata jumlah mereka memang terlalu banyak bagi murid-murid padepokan Awang-Awang.

Tetapi murid-murid dari padepokan Awang-Awang itu sama sekali tidak menjadi gentar. Jika seorang di antara mereka yang berada di panggungan memberikan laporan tentang jumlah lawan yang datang, bukan karena ia menjadi ngeri. Tetapi semata-mata ingin agar saudara-saudaranya benar-benar mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Namun laporan itu telah mendorong Ki Umbul Telu bersama ketiga orang saudaranya yang sebaya untuk naik ke panggungan pula. Sebenarnyalah bahwa dada mereka pun berdesir ketika mereka melihat gerombolan perampok yang datang menyerang padepokannya. Namun keempat orang itu dengan penuh keyakinan percaya bahwa saudara-saudara seperguruannya akan dapat mengatasi mereka. Meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit, tetap dengan memanfaatkan medan, mereka berharap akan dapat membuat lawan mereka kebingungan sehingga perhatian mereka terpecah belah.

“Berikan busur dan sejumlah anak panah,” berkata Ki Umbul Telu.

Ternyata Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur juga melakukan hal yang sama. Mereka akan berada di panggungan itu untuk mengurangi jumlah lawan dengan busur dan anak panah.

Dalam pada itu, beberapa puluh langkah dari pintu gerbang, Ki Dandang Ireng menghentikan pasukannya. Bersama dua orang saudara seperguruannya, Ki Dandang Ireng maju beberapa langkah sambil berteriak, “Ini adalah kesempatanmu yang terakhir, Umbul Telu. Jika kau bersedia menyerah, maka kau akan mendapat tempat yang baik di antara kami.”

Ki Umbul Telu sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia tidak segera menampakkan dirinya di atas panggungan.

“Umbul Telu!” teriak Ki Dandang Ireng, “Kau dengar suaraku ini? Jika kau tidak mempergunakan kesempatan terakhir yang aku berikan ini, maka aku benar-benar akan menghancurkan padepokan ini. Aku akan membangun di atasnya padepokan yang baru, sesuai sebagaimana padepokan ini sebelumnya. Sebelum kau rusak dengan tatananmu yang menyalahi kemauan Guru.”

Ki Umbul Telu tidak menjawab. Ia yakin bahwa saudara-saudara seperguruannya tidak akan terpengaruh oleh kata-kata Ki Dandang Ireng itu, karena setiap orang tahu bahwa Ki Dandang Ireng bersama beberapa orang saudara seperguruannya yang tamak telah membunuh guru mereka dengan cara yang amat sangat licik. Justru pada saat Ki Umbul Telu, Ki Kumuda dan Ki Ganjur tidak ada di padepokan.

“Baik, baik, Umbul Telu. Agaknya kau telah bersiap untuk mati. Tetapi begitu kelamnya hatimu, sehingga untuk mati kau telah berniat membawa semua murid dari perguruan kita.”

Ki Umbul Telu masih tetap berdiam diri. Tetapi tangannya telah menjadi gemetar. Rasa-rasanya ia ingin segera menarik tali busur dan melepaskan anak panahnya.

Karena teriakan-teriakannya tidak dapat jawaban, maka Ki Dandang Ireng itu pun segera meneriakkan aba-aba untuk menyerang.

“Pecahkan pintu gerbang itu! Kita akan memasuki padepokan dan menghancurkan segala isinya, serta membunuh setiap orang yang ada di dalam padepokan itu.”

Perintah itu tidak perlu diulang. Pasukannya pun segera bergerak maju memanjat tanah miring di kaki bukit. Sebagian langsung menuju ke pintu gerbang padepokan itu. Mereka telah mempersiapkan beberapa macam alat untuk memecahkan pintu gerbang, yang menurut dugaan mereka akan dipertahankan dengan mengerahkan segenap kemampuan dari isi padepokan itu.

Namun demikian mereka mendekati pintu gerbang, maka anak panah pun segera menghambur dari kedua panggungan di sebelah-menyebelah gerbang padepokan. Bahkan Ki Umbul Telu, Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur ada di panggungan itu pula.

Bidikan para murid Perguruan Awang-Awang itu ternyata jarang sekali meleset. Beberapa orang pun segera terkapar jatuh. Sedangkan yang lain mampu menangkisnya dengan senjata yang ada di tangan mereka.

Dalam pada itu, beberapa orang pun berusaha memanjat dinding padepokan yang memang tidak terlalu tinggi. Sementara beberapa orang dengan balok kayu yang besar berusaha memecahkan pintu gerbang.

Ki Umbul Telu, Ki Kumuda, Ki Lampita dan Ki Ganjur tidak terlalu lama berada di panggungan. Namun keberadaan mereka di antara saudara-saudara seperguruan mereka yang lebih muda itu telah mengurangi jumlah lawan. Sementara itu beberapa orang yang lain masih tetap berada di panggungan dengan busur dan anak panah. Bahkan ada beberapa orang yang melontarkan lembing berujung tajam.

Dalam pada itu, pintu gerbang yang memang sengaja tidak dipertahankan dengan segenap kemampuan itu pun akhirnya pecah. Demikian pintu gerbang itu pecah, maka orang-orang yang menyerang padepokan itu pun segera berserakan memasuki padepokan yang telah berubah bentuknya itu. Padepokan yang bentuknya mirip sebuah padukuhan. Namun isi padukuhan itu adalah orang-orang yang berilmu dan terikat oleh satu perguruan.

Namun, demikian mereka memasuki padepokan bagaikan arus air di bendungan yang pecah, maka para penghuni padepokan itu pun telah siap menyambut mereka. Anak panah dan lembing pun segera menghambur dari balik pepohonan, sehingga beberapa orang telah terjatuh terguling dengan anak panah atau lembing tertancap di tubuh mereka. Tetapi yang lain masih juga mampu menangkis serangan-serangan itu dengan pedang, tombak, kapak atau jenis-jenis senjata mereka yang lain.

Beberapa saat kemudian telah mengumandang teriakan-teriakan yang keras melintasi tebing dan lembah di bukit kecil itu. Teriakan-teriakan kemarahan berbaur dengan rintih kesakitan.

Dalam pada itu, di antara para penghuni padepokan itu pun telah mulai meletakkan busur dan anak panah mereka ketika para pengikut Ki Dandang Ireng telah berlari-lari memasuki padepokan itu semakin dalam, dan menggantinya dengan pedang. Meskipun demikian, masih ada satu dua orang yang dengan hati-hati merunduk dan melepaskan anak panah dengan tiba-tiba dari arah yang tidak diketahui.

Dengan demikian maka pemanah-pemanah gelap itu merupakan hambatan yang semula tidak diperhitungkan oleh Ki Dandang Ireng. Namun untuk menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, maka murid-murid padepokan itu harus melawan mereka dengan mempergunakan otak mereka. Tidak semata-mata mengandalkan kemampuan dan kekuatan tenaga saja.

Demikianlah, maka arena pertempuran itu pun segera menebar. Gerombolan perampok yang telah bekerja sama dengan Ki Dandang Ireng itu masih saja mengalir memasuki padepokan.

Pada saat itulah Glagah Putih, yang berada di antara para murid Perguruan Awang-Awang yang berada di luar dinding padepokan, berdesis, “Sekarang kita harus menarik perhatian mereka, agar mereka yang memasuki padepokan itu tidak terlalu banyak.”

“Tetapi jumlah mereka masih banyak sekali,” sahut seorang cantrik yang berada di sebelahnya.

“Tetapi yang telah memasuki padepokanmu sudah cukup banyak.”

“Mereka akan menghadapi perlawanan yang kuat di dalam padepokan. Saudara-saudara kita lebih banyak yang berada di dalam dinding padepokan daripada yang berada di luar.”

“Tetapi kita tidak dapat membiarkan mereka lebih banyak lagi memasuki gerbang.”

Cantrik itu memang agak ragu. Namun Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Biarlah aku dan istriku mendahului kalian. Biarlah kalian menunggu untuk beberapa saat lagi. Aku akan berusaha mengurangi jumlah lawan kalian.”

“Tetapi kalian hanya berdua?”

“Jangan cemaskan kami. Kami akan berhati-hati. Kami akan memanfaatkan lekuk-lekuk batu padas, pepohonan dan apa saja yang ada di kaki bukit ini untuk melawan mereka, sebagaimana pesan Ki Umbul Telu.”

Cantrik itu tidak sempat mencegah. Glagah Putih pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Marilah. Kita akan mendahului para cantrik.”

“Marilah, Kakang.”

“Jangan hadapi mereka langsung. Kita akan memanfaatkan kemampuan kita meringankan tubuh kita di antara pepohonan dan bebatuan.”

Rara Wulan mengangguk. Keduanya pun segera bangkit berdiri dan beranjak dari tempat mereka berlindung.

Para cantrik pun menjadi tegang ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan mulai bergerak. Namun mereka segera tercengang ketika mereka melihat keduanya itu bagaikan terbang di antara pepohonan.

“Apa yang mereka lakukan?”

“Mereka berlari kencang sekali,” sahut yang lain.

“Apakah keduanya bukan manusia?”

“Tetapi kakinya tetap menyentuh tanah.”

Yang lain lagi berkata, “Tidak ada hantu berkeliaran di siang hari. Demikian matahari terbit, mereka pun akan segera lenyap meninggalkan lapisan dunia ini dan kembali ke dunianya. Sinar matahari akan dapat membakar tubuhnya.”

“Jika demikian, di dunia mereka, mereka tidak pernah melihat sinar matahari.”

“Mungkin sekali. Mungkin dunia mereka selalu berkabut, atau terdapat lapisan-lapisan lain yang membayangi sinar matahari itu.”

“Ah, entahlah. Tetapi kedua orang suami istri itu sudah hilang.”

“Mereka sudah memasuki medan.”

Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan telah mulai menyerang gerombolan perampok yang sedang berdesakan memasuki gerbang padepokan yang tidak terlalu lebar itu. Ketika dua orang terlempar menimpa kawan-kawan mereka, para perampok itu pun terkejut. Mereka yang berada di lapisan belakang segera berpaling dan bahkan berbalik.

“Iblis kau! Siapakah kalian berdua, yang tiba-tiba saja telah menyerang kami dari belakang?”

“Kami murid Perguruan Awang-Awang. Kenapa? Bukankah wajar jika kami berusaha mencegah kalian memasuki padepokan kami?” jawab Glagah Putih.

“Murid Perguruan Awang-Awang? Kenapa kau tidak berada di dalam dinding padepokanmu?”

“Beberapa orang di antara kami memang sengaja menunggu kalian di luar dinding padepokan. Kami akan memecahkan perhatian kalian, sehingga kalian harus menghadapi kami dari depan dan dari belakang. Sementara itu kalian akan terjepit di pintu gerbang padepokan.”

Para perampok itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Beberapa orang di antara mereka pun segera menyerang. Mereka akan menyelesaikan keduanya dengan cepat, sementara yang lain tetap saja bergerak memasuki padepokan.

Namun keduanya memang telah mengguncang medan. Glagah Putih dan Rara Wulan mampu bergerak dengan cepat sekali. Tangan dan kaki mereka menyambar-nyambar dengan tangkasnya.

Beberapa orang segera terlempar. Glagah Putih bahkan telah mengangkat dan memutar seseorang di atas kepalanya. Ketika orang itu dilepaskan, maka tubuhnya terlempar menimpa beberapa orang kawannya yang berada dekat dengan pintu gerbang.

Dengan demikian keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan itu benar-benar telah memecah perhatian para perampok yang masih berada di luar pintu gerbang. Dalam pada itu, ternyata para cantrik telah menjadi gelisah. Mereka membayangkan bahwa dua orang suami istri itu sedang bertempur dalam kesulitan menghadapi menghadapi gerombolan perampok yang garang itu.

“Jangan biarkan mereka terjebak oleh keganasan para perampok,” berkata seorang cantrik yang sudah memiliki tataran yang cukup tinggi.

Sementara itu, beberapa orang cantrik yang bersembunyi di sisi lain, memang terkejut melihat medan terguncang. Mereka belum mendengar isyarat untuk menyerang. Tetapi di bagian belakang gerombolan perampok yang sedang berusaha memasuki pintu gerbang yang telah dipecahkan itu telah terjadi pertempuran. Bahkan dari celah-celah pepohonan mereka melihat beberapa orang perampok telah terpelanting jatuh. Bahkan ada di antara mereka yang terbentur batang-batang pepohonan yang besar yang menghutan di luar dinding padepokan.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” bertanya seorang cantrik.

“Entahlah. Tetapi kita tunggu saja perintah,” jawab yang lain.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah bertempur dengan garangnya. Keduanya berloncatan di antara ayunan senjata lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bahkan sekelompok perampok berusaha untuk mengepung keduanya. Namun dengan tidak terlalu banyak mengalami kesulitan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah memecahkan kepungan itu.

Bahkan keduanya kadang-kadang telah berloncatan menjauhi medan. Mereka membiarkan beberapa orang memburu mereka. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun seakan-akan dengan cepat telah menghilang. Tetapi selagi mereka kebingungan, Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah menyerang mereka dengan tiba-tiba.

Dalam pada itu, para cantrik yang mencemaskan keadaan kedua orang suami istri itu telah memutuskan untuk segera menyerang, sementara gerombolan perampok dan penyamun itu sebagian telah berada di dalam padepokan.

Karena itu, maka cantrik yang mendapat tugas untuk memimpin saudara-saudara seperguruannya itu pun segera membunyikan isyarat untuk segera menyerang.

Dengan demikian, maka para cantrik yang berada di luar padepokan, yang semula bersembunyi di balik pepohonan, di lekuk-lekuk bebatuan atau di belakang gerumbul perdu, segera berloncatan keluar dengan senjata di tangan.

Sambil berteriak-teriak nyaring, mereka pun berlari-larian menyerbu para perampok dan penyamun yang masih berada di luar pintu gerbang.

Para perampok dan penyamun itu pun terkejut pula. Keberadaan dua orang lelaki dan perempuan yang tiba-tiba saja menyerang mereka dengan gerak yang sangat cepat itu telah mengejutkan mereka. Tiba-tiba saja, kelompok-kelompok murid Perguruan Awang-Awang telah menyerang mereka pula.

Sebenarnyalah bahwa perhatian gerombolan perampok dan penyamun itu telah terpecah. Mereka yang masih di luar, tidak lagi bergerak memasuki pintu gerbang. Tetapi mereka harus menyiapkan diri untuk bertempur di luar dinding padepokan.

Sementara itu, dua orang yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan masih saja bergerak dengan cepat sekali sehingga kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah. Keduanya berloncatan dengan ringannya. Bahkan sekali-sekali tubuh mereka melenting dan berputar di udara. Sentuhan-sentuhan serangan mereka sangat berbahaya bagi lawan-lawan mereka.

Empat orang perampok yang garang bersama-sama berusaha menghadapi Glagah Putih, sedang tiga orang yang lain menempatkan diri untuk melawan Rara Wulan. Sedangkan yang lain menghambur untuk melawan para cantrik yang telah menyerang mereka.

Tetapi para perampok yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu seakan-akan tidak lagi mendapat tempat. Keduanya bergerak dengan kecepatan di luar jangkauan kecepatan mereka.

Dalam waktu yang terhitung singkat, keempat orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu pun telah terlempar dari arena. Seorang yang membentur sebatang pohon, tidak segera dapat bangkit. Rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan. Seorang lagi menjadi pingsan. Dua tulang iganya terasa telah retak oleh serangan kaki Glagah Putih. Sedangkan kedua orang yang lain melihat dunianya bagaikan berputar, ketika kepala mereka telah dibenturkan oleh kekuatan tangan Glagah Putih yang tidak terlawan lagi.

Sedangkan tiga orang yang bertempur melawan Rara Wulan pun sudah tidak berdaya pula. Senjata-senjata mereka telah terlempar jatuh. Telapak tangan mereka rasa-rasanya bagaikan terkelupas. Dada mereka menjadi sesak, sedangkan mata mereka menjadi berkunang-kunang.

Di sisi lain, para cantrik yang berada di padepokan pun telah menyerang mereka dengan garangnya, sehingga pertempuran pun menjadi semakin sengit. Di antara suara dentang senjata beradu terdengar rintihan kesakitan karena luka-luka di tubuh. Erangan perlahan yang tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan.

Dalam pada itu, di dalam padepokan pun telah terjadi pertempuran yang seru pula. Para penghuni padepokan di bukit itu segera menunjukkan kemampuan mereka yang semakin tinggi. Sementara itu, masih saja ada di antara mereka yang bersenjata busur dan anak panah, mengendap dan menyerang dari balik pepohonan. Beberapa orang di antara para perampok dan penyamun itu pun terkapar jatuh ketika anak panah menembus dada atau punggung mereka.

Adalah di luar perhitungan mereka, bahwa bukan hanya laki-laki saja yang bertempur melawan gerombolan yang menyerang padepokan itu. Tetapi mereka seakan-akan bertempur sepasang-sepasang. Suami istri yang masing-masing memiliki ilmu yang tinggi.

Apalagi sebagaimana pesan Ki Umbul Telu, penghuni padepokan itu telah memanfaatkan lingkungan mereka sebaik-baiknya. Mereka tidak saja bertempur berhadapan langsung. Namun ada pula di antara para cantrik yang menyerang dengan tiba-tiba. Namun kemudian menghilang di antara pepohonan dan bebatuan.

“Gila orang-orang padepokan ini,” geram seorang pemimpin gerombolan perampok yang mengalami kesulitan menghadapi para penghuni padepokan itu.

Ketika tiba-tiba saja kawan-kawan mereka yang masih berada di luar padepokan tidak lagi bergerak masuk, maka mereka yang sudah berada di dalam padepokan menjadi heran. Namun mereka pun segera mengetahui, bahwa ternyata di luar pintu gerbang pun telah terjadi pertempuran.

Ki Dandang lreng yang merasa bahwa perlawanan orang-orang yang tinggal di padepokan itu melampaui perhitungannya pun menjadi sangat marah. Sebagai seorang murid yang terhitung tua, maka ia pun merasa memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari para penghuni padepokan yang lain. Karena itu maka ia pun telah bertempur dengan mengerahkan kemampuannya.

Tetapi Ki Dandang lreng itu harus melihat kenyataan. Bahkan para penghuni padepokan yang ditinggalkannya itu sudah meningkatkan ilmunya pula, sehingga mereka tidak lagi murid-murid pemula yang baru belajar dasar-dasar olah kanuragan.

Namun langkah Ki Dandang Ireng pun terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Umbul Telu telah berdiri di hadapannya.

“Kau datang untuk menyerahkan diri?” bertanya Ki Dandang lreng.

“Kau bermimpi, Adi. Sebaiknya kau saja-lah yang menyerah. Mungkin kami masih dapat mempertimbangkan pengampunan.”

Wajah Ki Dandang Ireng menjadi merah. Dengan geram ia pun menjawab, “Apa yang kau andalkan Umbul Telu? Jumlah orang-orangmu tidak seberapa. Kemampuan mereka pun masih belum memadai dibanding dengan orang-orangku, yang berpengalaman sangat luas dan terbiasa melihat darah memancar dari luka di tubuh lawannya. Karena itu, jika kau tidak menghentikan pertempuran, maka orang-orangmu akan habis sampai orang yang terakhir.”

“Ki Dandang Ireng. Kau sekarang berada di medan pertempuran. Seharusnya kau tidak sempat bermimpi sebagaimana jika kau berada di pembaringan. Bangunlah, dan lihat kenyataan yang kau hadapi. Kita sudah lama berkenalan. Kita sudah saling mengetahui batas kemampuan kita. Bagaimana mungkin kau dapat sesumbar seperti itu.”

“Kau masih berdiri di masa beberapa tahun yang lampau. Kau-lah yang seharusnya melihat kenyataan, bahwa ilmuku sekarang sudah jauh meningkat. Kau tidak akan dapat lagi menjangkaunya.”

“Mungkin, Dandang Ireng. Mungkin ilmumu sudah meningkat. Tetapi dengan niat jahatmu, maka ada kekuatan lain yang akan menjadi sandaran bagi kami, penghuni padepokan ini. Kau tidak akan dapat mengalahkan kebenaran bahwa kau tidak berhak menyentuh padepokan ini, kecuali untuk mengadili dan menghukummu atas kejahatanmu.”

“Ternyata kau sudah berputus asa. Kau mulai mencari sandaran di alam khayalmu. Seolah-olah ada kekuatan yang akan mendukungmu.”

“Bukan di alam khayalku. Tetapi aku yakin bahwa kau akan dihancurkan sampai lumat, jika kau tidak segera menyadari bahwa kau telah menempuh jalan sesat.”

Ki Dandang Ireng tertawa. Katanya, “Kau ternyata benar-benar tidak percaya pada kekuatanmu sendiri.”

Ki Umbul Telu berkata, “Aku justru yakin aku dan saudara-saudaraku berada di jalan yang benar. Keyakinan itu pula-lah yang mendasari keyakinanku, bahwa kami akan mendapat kekuatan untuk menghancurkanmu.”

Ki Dandang Ireng menggeram. Namun kemudian ia pun berkata, “Bersiaplah. Pandang langit dan bumi sepuas-puasnya untuk terakhir kalinya. Pandang pepohonan, jalan-jalan serta dinding-dinding halaman. Pandang pintu-pintu regol rumah yang dibangun di padepokan yang telah kau rusakkan bentuknya ini. Semuanya akan segera kau tinggalkan.”

Ki Umbul Telu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya adalah saudara seperguruan yang termasuk dalam angkatan yang sebaya. Namun pada saat terakhir, setelah guru mereka tidak ada lagi, maka mereka mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang berbeda. Ki Umbul Telu mengembangkan ilmunya tidak hanya berdasarkan atas pengalaman saja, tetapi juga dengan pencarian di sanggar, serta berdasarkan pengalamannya atas alam dan lingkungannya. Sedangkan Ki Dandang Ireng mengandalkan peningkatan kemampuannya dalam pengalaman petualangannya, serta benturan kekerasan dengan aliran ilmu yang berbeda-beda. Bahkan Ki Dandang Ireng telah tenggelam dalam sikap hidupnya di petualangannya, bahwa jika ia tidak ingin dibunuh, maka ia harus membunuh.

Ketika kemudian Ki Dandang Ireng itu berhadapan dengan Ki Umbul Telu maka ia pun bersikap demikian pula. Jika ia tidak membunuh, maka ia akan dibunuh. Karena itu maka Dandang Ireng itu pun kemudian telah mengembangkan pertempuran itu menjadi pertempuran antara hidup dan mati.

Ki Umbul Telu merasakan tekanan serta kekerasan sikap Ki Dandang Ireng. Tetapi Ki Umbul Telu tidak terkejut. Ia sudah memperhitungkan, bahwa gaya pertarungan Ki Dandang Ireng tentu telah berkembang ke arah itu.

Namun justru karena itu, maka Ki Umbul Telu menyadari bahwa ia tidak harus hanyut dalam suasana yang keras dan kasar itu. Ia pun sadar, bahwa justru karena sikap Ki Dandang Ireng itu, ia harus mempergunakan otaknya sebaik-baiknya. Tidak sekedar tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran di antara keduanya pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Ki Dandang Ireng pun datang bagaikan prahara yang mengamuk dengan dahsyatnya.

Tetapi Ki Umbul Telu tidak selalu membentur kekuatan dan kemampuan Ki Dandang Ireng. Bahkan kadang-kadang Ki Umbul Telu sengaja menghanyutkan diri dalam ayunan serangan lawannya. Bahkan kemudian mempergunakan tenaga dan kekuatan lawannya itu justru untuk menyerang.

Ki Dandang Ireng bahkan kadang-kadang terkejut ketika ia gagal mengenai sasaran, namun tiba-tiba lawannya telah mendorongnya ke arah serangan dengan serangan di punggungnya, sehingga Ki Dandang Ireng harus berusaha untuk menguasai keseimbangannya, atau bahkan bergulir berputar beberapa kali. Baru kemudian melenting berdiri.

Namun Ki Umbul Telu bergerak cepat sekali, sehingga kadang-kadang Ki Dandang Ireng tidak sempat mengelakkan diri. Dengan demikian, maka kemarahan Ki Dandang Ireng serasa semakin bertimbun di dadanya. Darahnya bagaikan telah mendidih memanasi seluruh tubuhnya. Ditingkatkannya ilmunya semakin tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Ki Dandang Ireng itu pun bertempur semakin keras dan kasar.

Namun Ki Umbul Telu tetap saja pada sikapnya. Ia tidak hanyut dan terseret oleh arus kekasaran dan kekerasan Ki Dandang Ireng. Otak Ki Umbul Telu masih tetap bening menghadapi prahara yang kadang-kadang memang sempat mengancam pertahanannya.

Di sisi lain, saudara-saudara seperguruan Ki Umbul Telu bertempur dengan garangnya pula. Ki Kumuda yang ada di antara beberapa orang saudara seperguruannnya, sempat pula bertemu dengan saudara seperguruannya yang pernah berkhianat bersama Ki Dandang Ireng. Kepada sepasang suami istri yang bertempur melawan orang itu, Ki Kumuda berkata, “Minggirlah, aku akan menghadapinya. Kakak seperguruanmu ini sebaya dengan aku.”

Suami istri itu pun segera melepaskannya. Bagi mereka berdua, kakak seperguruannya yang pernah berkhianat itu memang terasa agak sulit untuk diatasi. Namun berdua mereka pun tidak pula dapat segera dikalahkan.

“Kenapa kau tidak bertempur bertiga dengan cantrik dan mentrik yang berguru hanya untuk mendapatkan jodoh itu?”

“Lawan masih cukup banyak. Biarlah mereka mencari lawan yang lain. Justru karena kita sebaya, maka aku ingin menakar ilmuku dengan ilmumu. Mungkin aku agak terbelakang pada saat kita bersama-sama berguru. Tetapi mungkin kau-lah yang terbelakang. Selain itu, adalah kewajibanku untuk menghukummu.”

Saudara seperguruan Ki Kumuda itu menggeram. Katanya, “Kau memang seorang penjilat sejak kau memasuki padepokan ini.”

“Jadi, apakah menurut pendapatmu murid yang baik adalah murid yang kemudian membunuh gurunya?”

“Persetan, bersiaplah. Aku juga akan membunuhmu.”

Ki Kumuda memang sudah bersiap. Karena itu, ketika saudara seperguruannya itu menyerangnya, maka ia pun dengan tangkasnya mengelak dan bahkan membalas menyerang.

Seperti Ki Umbul Telu dan Ki Dandang Ireng, maka perkembangan ilmu keduanya pun mereka lalui lewat jalan yang berbeda. Karena itu, maka Ki Kumuda sempat memperkaya ilmunya dengan pencarian serta latihan-latihan yang mapan, di samping pengalamannya Sementara saudara seperguruannya yang telah berkhianat itu tidak pernah sempat menoleh dan melihat jejak ilmunya untuk ditingkatkannya, justru karena petualangannya.

Sementara itu, di simpang empat, Ki Lampita pun telah bertempur dengan seorang pemimpin gerombolan yang sangat garang. Seorang pemimpin gerombolan yang bertubuh raksasa, bersenjata sebuah kapak bermata dua.

Sedangkan di lingkaran pertempuran yang lain, Ki Ganjur tiba-tiba saja telah bertemu dengan saudara seperguruannya pula, yang berusaha menyusup dan berusaha memasuki bangunan induk padepokan.

“He,Adi. Kau akan kemana?” bertanya Ki Ganjur.

Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Ganjur berdiri sambil menjinjing sebatang tombak pendek.

“Kakang Ganjur,” desis orang itu.

“Ya. Sudah lama kita tidak bertemu. Setelah membunuh Guru, kau lalu pergi kemana saja? Ketika Dandang Ireng datang ke padepokan ini untuk menuntut apa yang disebutnya sebagai haknya karena ia memiliki keris Kiai Wasis, kenapa kau tidak ikut?”

“Persetan kau, Kakang Ganjur. Waktu itu aku memang tidak ikut. Tetapi sekarang aku ikut menentukan bahwa Kakang Dandang Ireng akan berhasil merebut haknya kembali dari tangan Umbul Telu yang serakah dan tidak tahu diri. Bahkan ia telah menjadikan padepokan dari Perguruan Awang-Awang ini menjadi seperti sekarang ini. Rusak dan tidak menurut tatanan sebuah padepokan.”

“Jadi, orang-orang yang telah membunuh gurunya itukah yang kau anggap berhak atas kepemimpinan padepokan ini?”

“Kakang Ganjur,” berkata orang itu, “kami sudah memutuskan untuk membunuh semua orang yang berada di padepokan ini. Sayang, bahwa aku pun harus membunuhmu.”

Ki Ganjur tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Menyerah sajalah. Biarkan dosanya dipikul sendiri oleh Dandang Ireng. Dengan demikian hukumanmu akan menjadi jauh lebih ringan.”

“Jangan mengigau, Kakang Ganjur. Sebaiknya Kakang mempermudah jalan kematian Kakang sendiri. Atau barangkali Kakang akan memilih membunuh diri?”

“Hanya orang yang berpikiran pendek sajalah yang akan membunuh dirinya. Bahkan jika aku tidak membunuh diri, aku masih akan sempat menghentikan perlawananmu, bahkan membunuhmu.”

Saudara seperguruannya itu pun menggeram. Namun tiba-tiba saja ia pun segera meloncat menyerang. Tetapi Ki Ganjur sudah siap menghadapinya, sehingga ia pun dengan tangkasnya pula mengelak. Bahkan Ki Ganjur pun telah membalasnya dengan serangan pula, sehingga keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran.

Dalam pada itu, maka pertempuran di padepokan itu pun telah menebar dimana-mana. Seorang saudara seperguruan yang telah berkhianat, yang menyusup bersama beberapa orang perampok yang juga berniat pergi ke bangunan utama Perguruan Awang-Awang, telah terhenti di sebuah lekuk batu-batu padas.

Beberapa anak panah telah meluncur dari balik tebing yang rendah di sebelah lorong yang melingkar. Dua orang perampok berteriak kesakitan, sementara yang lain pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun mereka pun terkejut ketika beberapa orang berloncatan menyerang mereka dari atas tebing yang rendah itu, sementara perhatian mereka tertuju ke balik tebing padas di arah yang lain. Dari sana-lah beberapa anak panah itu telah meluncur.

Dengan demikian, maka pertempuran pun segera telah terjadi di sebuah lekuk batu-batu padas yang sempit itu. Namun para penghuni padepokan yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan perempuan itu telah mendapatkan kesempatan yang pertama, sehingga mereka pun segera telah mendesak lawan-lawan mereka.

Semula lawan-lawan mereka jumlahnya memang lebih banyak. Tetapi serangan anak panah dari tempat yang tersembunyi, serta serangan berikutnya yang tiba-tiba itu, telah melumpuhkan beberapa orang pada benturan yang pertama. Dengan demikian, maka jumlah mereka pun tidak lagi lebih banyak dari para penghuni padepokan yang telah menahan gerak maju mereka.

“Kalian memang gila,” geram murid padepokan itu yang telah berkhianat, “bersiaplah untuk mati. Kami akan membunuh kalian semuanya.”

“Kakang,” seorang yang bertubuh kekurus-kurusan melangkah maju. “Sebaiknya Kakang sadari, bahwa apa yang telah Kakang lakukan itu merupakan satu kesalahan yang sangat besar. Sebaiknya Kakang tidak membuat kesalahan-kesalahan baru yang dapat menambah beban Kakang itu.”

“Setan kau, Mungguh. Kau kira kau pantas mendapat perhatianku? Kau masih harus berguru sepuluh tahun lagi agar kau mengimbangi kemampuanku, sementara itu gurumu sudah tidak ada lagi.”

“Kakang,” berkata Mungguh, “kau memang lebih dahulu dari aku. Tetapi kau pun pergi lebih dahulu pula. Sepeninggalmu aku masih tetap menempa diri di sini, meskipun dengan cara lain tetapi saudara seperguruanku masih dapat meningkatkan ilmuku. Kakang, sehari-hari aku memang seorang yang kerjanya tidak lebih dari menyadap legen kelapa untuk dibuat menjadi gula. Tetapi aku masih tetap menyediakan waktu sampai hari-hari terakhir ini untuk menempa diri di bawah bimbingan saudara-saudaraku yang lebih tua, yang ilmunya lebih tinggi dari ilmumu.”

“Kau kira selama ini aku tidak meningkatkan ilmuku?”

“Mungkin. Tetapi itu tidak penting bagiku. Sekarang kira berhadapan. Kita akan membuat perbandingan ilmu di sini.”

Saudara seperguruan Mungguh yang telah berkhianat itu menggeram, “Aku akan membantaimu di sini.”

“Marilah. Kau dengan kawan-kawanmu yang tentu para perampok dan penyamun itu akan melihat kenyataan, bahwa padepokan ini tidak mudah ditundukkan.”

Orang itu tidak menjawab lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Mungguh dengan mengerahkan kemampuannya. Tetapi tukang sadap legen kelapa itu sudah siap menghapinya. Karena itu, maka ia pun sempat mengelakkan serangan itu pula.

Sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi di lekuk kecil itu. Beberapa orang harus berloncatan di tanah yang miring berbatu padas. Yang lain sempat meloncat ke lorong kecil, dan yang lain lagi menebar ke halaman di seberang lorong.

Namun ternyata bahwa para perampok dan penyamun itu benar-benar harus menghadapi kenyataan. Para penghuni padepokan itu laki-laki maupun perempuan, telah dibekali dengan ilmu kanuragan yang memadai. Apalagi mereka lebih menguasai medan dari para perampok dan penyamun itu, sehingga satu demi satu para perampok dan penyamun itu terpelanting jatuh. Ada yang tergelincir ke dalam lereng, yang meskipun dangkal saja, namun batu-batu padas telah melukai kulit mereka sehingga berdarah.

Namun mereka yang terperosok itu ada yang tidak sempat naik lagi, karena sebongkah batu telah menimpa tubuhnya, sehingga rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan. Dengan demikian orang itu terpaksa harus tetap berada di lereng yang bergerumbul liar dan bahkan berduri itu sambil mengerang kesakitan.

Dengan demikian, maka satu demi satu lawan pun dengan cepat menyusut. Sementara itu Mungguh masih saja bertempur melawan saudara seperguruannya yang telah berkhianat itu. Para perampok dan penyamun itu pun semakin lama menjadi semakin tertekan. Mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bergerrak. Medannya terasa terlalu sulit bagi mereka yang terbiasa bertempur di bulak-bulak yang datar atau di pinggir-pinggir hutan yang rata.

Karena itu, maka beberapa orang yang tersisa tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri dari medan. Ketika satu dua orang meloncat dan meninggalkan lawan-lawan mereka, maka yang lain pun telah melakukannya pula, sehingga akhirnya mereka pun menjadi tercerai berai.

Saudara seperguruan Mungguh yang masih bertempur itu ternyata tidak mampu mengendalikan mereka. Meskipun ia beberapa kali memberikan isyarat, namun mereka yang berlari-larian itu tidak pernah kembali lagi.

Namun para penghuni padepokan itu tidak membiarkan para perampok itu melepaskan diri. Beberapa orang di antara mereka pun telah berusaha mengejar mereka.

Sementara itu, Mungguh masih juga bertempur. Tetapi ternyata bahwa lawannya memang seorang yang tangguh. Selain memiliki landasan ilmu yang lebih tinggi, maka kekerasan dan kekerasannya yang telah terbentuk kemudian sepanjang petualangannya, membuat Mungguh agak mengalami kesulitan.

Tetapi setelah para perampok dan penyamun yang bertempur bersama saudara seperguruan Mungguh yang telah berkhianat itu melarikan diri, maka seorang saudara seperguruan Mungguh telah melangkah mendekati arena pertempuran itu.

“Maaf, Kakang. Aku ingin melibatkan diriku,” berkata orang itu.

“Licik kau,” geram saudara seperguruan Mungguh yang telah berkhianat itu, “kalian bukan laki-laki yang berani bertempur seorang melawan seorang.”

“Bukankah kita tidak sedang berada di arena perang tanding seorang melawan seorang? Kalian-lah yang lebih dahulu licik. Kalian datang membawa pasukan yang jumlah orangnya melebihi jumlah penghuni padepokan ini. Karena itu, jika kami bertempur berpasangan, bukan berarti bahwa kami telah berlaku licik.”

“Persetan. Majulah. Aku akan membunuh kalian berdua.”

Mungguh pun kemudian bergeser, sementara saudara sepeguruannya yang datang membantunya itu melangkah semakin dekat. Sejenak kemudian, maka Mungguh pun telah bertempur berpasangan. Jika semula Mungguh mengalami kesulitan, maka berdua Mungguh segera menekan lawannya.

Dalam pada itu, pertempuran pun telah berkobar dimana-mana. Namun orang-orang yang datang menyerang padepokan itu ternyata telah menyusut dengan cepat. Bahkan sebagian dari mereka, tidak sempat memasuki pintu gerbang, karena mereka harus melawan para cantrik yang menyerang mereka di luar pintu gerbang.

Apalagi di luar pintu gerbang itu terdapat Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya bertempur dengan kemampuan yang sulit dimengerti, baik oleh lawan-lawan mereka, maupun oleh para cantrik padepokan itu. Keduanya kadang-kadang seakan-akan telah hilang. Namun kemudian bagaikan terbang menyambar para pengikut Ki Dandang lreng sehingga beberapa orang telah terpelanting jatuh.

Dengan demikian, maka para pengikut Ki Dandang Ireng yang berada di luar pintu gerbang itu pun segera mengalami tekanan yang sulit diatasi. Seorang pemimpin gerombolan yang garang, bertubuh kekar tanpa menngenakan baju, berusaha untuk menahan Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan geram orang itu berkata lantang, “He, kau orang-orang yang tidak tahu diri. Marilah, kita membuat perhitungan. Kalian mengira bahwa kalian dapat berbuat sesuka hati? Bersiaplah. Aku-lah yang akan membunuh kalian berdua.”

Glagah Putih-lah yang kemudian menghadapinya, sementara Rara Wulan masih saja bertempur. Bahkan Rara Wulan itu pun kemudian telah bergabung dengan para cantrik yang bertempur di luar padepokan.

“Ternyata kau terlalu sombong, orang muda,” geram pemimpin gerombolan yang bertubuh kekar itu. “Kenapa tidak kau bawa perempuan itu bertempur bersamamu?”

“Tidak perlu. Kau terlalu kecil untuk menghadapi kami berdua,” jawab Glagah Putih.

“Anak iblis!” pemimpin perampok itu berteriak oleh kemarahannya. “Kau remehkan aku, he? Kau belum mengenal aku.”

“Aku memang belum mengenalmu,” jawab Glagah Putih.

“Aku adalah Alap-alap Randu Growong.”

“Namamu panjang.”

“Bukan namaku. Itu gelarku. Namaku Sura Bledeg.”

“Itu pun bukan namamu. Orang tuamu tidak akan memberimu nama seburuk itu. Mungkin nama pemberian orang tuamu Wicaksana atau Mustika, atau nama-nama lain yang menarik dan mengandung lambang pengharapan di usia tuamu.”

“Cukup!” orang itu benar-benar berteriak, “Aku tidak peduli akan namaku. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu.”

“Kau terlalu garang. Tetapi itu tidak berarti bahwa kau dapat mengalahkan siapa saja. Karena itu, sebaiknya kau hentikan polahmu sekarang ini. Kau telah diperalat oleh Dandang Ireng.”

“Aku bukan anak kemarin sore. Aku tahu kapan aku diperalat, dan kapan aku memperalat.”

“Tidak. Kau tidak menyadari apa yang sedang kau lakukan sekarang ini.”

“Persetan. Jangan mengigau. Apapun yang aku lakukan, aku akan mempertanggungjawabkannya, termasuk membunuhmu sebentar lagi.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia bergeser selangkah ke samping.

Sejenak kemudian, maka pemimpin perampok yang menyebut dirinya Sura Bledeg itu pun telah meloncat menyerang. Tetapi yang terjadi sangat mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang yang berpengalaman berada di pertempuran, bahkan pertempuran antara hidup dan mati, ia sama sekali tidak tahu, apa yang terjadi.

Namun tiba-tiba saja justru pada saat Sura Bledeg itu meloncat menyerang, ia merasakan perut dan dadanya bagaikan ditimpa oleh sebongkah batu hitam, sehingga Sura Bledeg itu terlempar dan terbanting jatuh.

Sura Bledeg memang sempat bangkit berdiri meskipun dadanya serasa sesak dan perutnya menjadi mual. Namun demikian ia bangkit, ia tidak melihat lawannya yang telah menghentakkan dada dan perutnya itu.

Sura Bledeg itu terkejut ketika seseorang menggamitnya justru di punggungnya. Demikian ia berputar, maka dilihatnya lawannya itu berdiri di belakangnya.

“Jika aku berniat membunuhmu, sekarang aku tusuk perutmu dengan pisauku.” berkata Glagah Putih.

Sura Bledeg itu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat mencegah ketika dua ujung jari-jari Glagah Putih menyentuh perutnya.

“Ya. Jika saja pisaumu menusuk perutku seperti jari-jarimu itu.”

“Nah, kau telah selamat dari kematian. Agaknya ajalmu memang belum sampai.”

“Terima kasih. Tetapi justru karena kau tidak membunuhku, aku-lah yang nanti akan membunuhmu.”

“Kau akan mencoba? Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan yang kedua. Jika kau nanti lengah lagi, maka kau benar-benar akan mati.”

Sura Bledeg termangu-mangu sejenak. Katanya, “Agaknya aku lebih senang untuk tidak mati.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan pergi. Aku akan membawa orang-orangku meninggalkan neraka ini.”

“Aku akan melepasmu, tetapi kau harus berjanji.”

“Berjanji apa?”

“Kau tidak akan berkeliaran di jalan-jalan. Jika itu masih kau lakukan, kau akan mengalami banyak kesulitan.”

“Kesulitan apa?”

“Kau akan berhadapan dengan Dandang Ireng karena kau telah mengkhianatinya Tetapi kau juga akan berhadapan dengan perguruanku ini, Perguruan Awang-Awang. Kakang Umbul Telu sudah menyatakan akan turun ke bulak-bulak panjang untuk melindungi para saudagar yang lewat serta menghancurkan para perampok dan penyamun.”

“Kenapa hal itu dilakukannya?”

“Kakang Umbul Telu ingin menghidupkan kembali pasaran dari hasil kerajinan kami penghuni padepokan ini. Gerabah, kerajinan bambu, gula kelapa dan palawija. Sekali-sekali ternak dan ikan yang kami pelihara di kolam-kolam.”

“Lalu, apa yang harus kami lakukan?”

“Banyak sekali. Jika kalian tidak mempunyai sawah dan pategalan, maka kau dapat bekerja di sawah dan pategalan orang lain. Kalian dapat menjadi tukang satang atau tukang belandong. Atau kerja-kerja yang lain.”

“Amit-amit. Kau kira aku dapat melakukannya? Aku tidak ingin bekerja keras dengan hasil yang tidak memadai. Aku lebih senang mempertaruhkan nyawa dengan hasil yang banyak.”

“Jika demikian, mari kita bertarung sampai kau mati.”

Ketika Glagah Putih siap meloncat untuk menerkamnya, maka Sura Bledeg itu pun berkata, “Tunggu!”

“Aku akan membunuhmu.”

“Jangan bunuh aku. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya.”

“Jadi?”

“Aku akan berjanji sebagaimana kau kehendaki.”

“Sebutkan.”

“Kau sudah tahu, karena kau sudah menyebutnya.”

“Kau harus mengatakannya. Ucapkan janjimu.”

“Baiklah. Aku berjanji untuk menghentikan segala kerja yang buruk.”

“Baiklah. Aku menjadi saksi. Jika kami temui kau di jalan-jalan bulak, merampok dan menyamun, maka kami akan membunuhmu dengan cara yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya.”

“Baiklah.”

“Jangan sekedar berpindah tempat. Kami akan memburu kemanapun kau pergi. Kemana para perampok dan penyamun itu melakukan kegiatan buruknya.”

“Baik, baik.”

“Sekarang beri isyarat agar orang-orangmu pergi.”

Sura Bledeg itu mengangguk. Sejenak kemudian, terdengar Sura Bledeg itu bersuit nyaring. Sekelompok orang yang berada di dalam pasukan yang dibawa Ki Dandang Ireng, yang tidak sempat memasuki gerbang padepokan itu pun mendengar isyarat yang dilontarkan oleh pimpinannya itu. Karena itu, maka mereka pun telah menyahut isyarat itu dengan isyarat pula.

Sejenak kemudian, sekelompok perampok dan penyamun telah bergerak dengan gerakan-gerakan yang berbeda dengan gerombolan yang lain. Sementara itu Glagah Putih pun telah bergeser pula dari tempatnya sambil berteriak pula, “Beri kesempatan mereka meninggalkan medan!”

Para cantrik mendengar seruan itu. Meskipun mereka tidak tahu kenapa, namun mereka membiarkan orang-orang yang berusaha melarikan diri itu mengikuti Sura Bledeg meninggalkan medan.

Pasukan yang menyerang Perguruan Awang-Awang itu menjadi semakin lemah. Bahkan sejenak kemudian, mereka yang belum sempat memasuki pintu gerbang itu telah menyelinap masuk. Bukan karena pekerjaan mereka di luar sudah selesai, tapi mereka mencoba untuk bergabung dengan kawan-kawan mereka yang sudah berada di dalam pintu gerbang.

Pertempuran yang terjadi di dalam pintu gerbang padepokan itu menjadi semakin sengit. Tetapi para cantrik yang semula bertempur di luar pintu gerbang pun telah memburu memasuki pintu gerbang padepokan mereka pula.

Yang kemudian masih berdiri di luar pintu gerbang adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil melangkah ke pintu gerbang Rara Wulan pun bertanya, “Kau lepaskan orang yang berwajah garang itu, Kakang?”

“Bukankah dengan demikian, korban akan berkurang dari kedua belah pihak?”

“Ya. Tetapi sebagian dari kawan-kawan mereka tentu masih tertinggal di sini. Mungkin mereka yang terbunuh. Mungkin mereka yang terluka parah.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Pertempuran ini adalah pertempuran yang seru. Tetapi ternyata bahwa pertahanan Ki Umbul Telu cukup kokoh.”

“Marilah, kita lihat apa yang terjadi di dalam, Kakang. Pertempuran tentu masih berlangsung.”

“Keberadaan para cantrik yang semula berada di luar di antara saudara-saudara seperguruan mereka, akan segera menentukan akhir dari pertempuran itu.”

“Agaknya memang demikian, Kakang.”

Keduanya pun kemudian telah memasuki pintu gerbang padepokan pula. Ternyata bahwa pertempuran masih berlangsung di mana-mana. Namun dengan caranya, para cantrik mampu menahan pasukan yang telah menyerang padepokan mereka.

Sedangkan keberadaan para cantrik yang semula berada di luar, sangat membantu saudara-saudaranya yang harus mengerahkan segala kemampuan mereka melawan beberapa gerombolan perampok dan penyamun yang sudah berada di dalam padepokan.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak mengamati keadaan. Mereka pun kemudian masuk lebih dalam lagi. Tiba-tiba saja mereka teringat kepada anak-anak yang berada di bangunan utama padepokan itu, bersama orang-orang tua dan mereka yang sedang sakit dan tidak mampu turun ke medan.

“Kita lihat mereka,” berkata Glagah Putih, “jika mereka menjadi sasaran untuk memaksa isi padepokan itu menyerah, keadaannya akan menjadi rumit,” berkata Glagah Putih.

Keduanya pun bergegas menyusuri lorong yang memanjat naik meskipun tidak terlalu menanjak. Namun keduanya kadang-kadang harus berhenti, jika mereka melintasi arena pertempuran.

Tetapi keduanya tidak banyak mengalami kesulitan. Karena itu, maka mereka pun tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk sampai di bangunan utama padepokan di atas bukit itu.

Sebenarnyalah di sekitar bangunan utama itu masih terjadi pertempuran yang sengit. Para cantrik yang masih muda bersama beberapa orang laki-laki dan perempuan, bertempur untuk mencegah para pengikut Ki Dandang Ireng itu memasuki regol halaman bangunan utama.

Tetapi para pengikut Ki Dandang Ireng itu masih saja mengalir menuju ke bangunan utama. Agaknya yang menjadi sasaran mereka bukan anak-anak yang ditempatkan di bangunan utama itu. Tetapi mereka mengira, dengan menduduki bangunan utama itu maka Perguruan Awang-Awang akan kehilangan tekad perlawanan mereka, karena seakan-akan rumah mereka telah direbut oleh lawan.

Karena Ki Dandang Ireng sendiri serta beberapa orang saudara seperguruannya yang telah memberontak dan bahkan membunuh gurunya itu terikat dalam pertempuran, maka para pemimpin gerombolan perampok yang ikut menyerang padepokan itulah yang memimpin para pengikut mereka masing-masing. Bahkan para pemimpin gerombolan itu telah berbuat bukan saja bagi Ki Dandang Ireng, tetapi pamrih bagi gerombolan mereka masing-masing mulai menggelitik jantung.

Mereka pun sadar sejak mereka bergabung untuk merebut padepokan itu, siapakah yang kemudikan berkuasa. Ki Dandang Ireng dan saudara-saudara seperguruannya tidak memiliki pengikut sebanyak para pemimpin gerombolan perampok dan penyamun itu. Meskipun mereka menganggap bahwa mereka-lah yang berhak atas padepokan itu, bahkan Ki Dandang Ireng memiliki pertanda kepemimpinan bagi Perguruan Awang-Awang, namun beberapa orang itu tidak akan banyak berarti dalam petualangan mereka kemudian.

Karena itu, maka para pemimpin gerombolan itu pun seakan-akan telah berlomba untuk merebut dan menduduki bangunan utama Perguruan Awang-Awang untuk membuktikan, bahwa gerombolan mereka-lah yang pertama-tama berhasil menguasai bangunan utama di padepokan itu.

Namun para penghuni padepokan itu pun mempertahankan dengan segenap kemampuan mereka. Dengan cara mereka yang tidak semata-mata mengandalkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka gerombolan-gerombolan yang mengalir ke bangunan utama di puncak bukit itu mengalami hambatan yang rumit.

Anak panah masih saja meluncur dari balik dinding halaman. Demikian pula serangan yang tiba-tiba saja datang dari jalan simpang serta lorong-lorong kecil. Keberadaan para cantrik yang semula berada di luar, semakin mempersulit jalan bagi mereka yang sedang menuju ke bangunan utama itu. Tetapi para pemimpin mereka selalu saja berteriak-teriak, memberikan aba-aba bagi para pengikutnya untuk bergerak lebih cepat lagi.

Orang-orang pertama dari gerombolan perampok dan penyamun itu telah mulai bergerak menuju ke pintu gerbang bangunan utama. Para cantrik yang bertugas di dalam dinding bangunan utama itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Para cantrik itu merasa dirinya bertanggung jawab atas keselamatan remaja dan anak-anak di padepokannya. Selain remaja dan anak-anak, di bangunan utama itu juga terdapat orang-orang tua dan mereka yang sakit, yang tidak mungkin turun ke medan pertempuran. 

Namun mereka yang mendekati pintu gerbang itu pun terhenti ketika mereka melihat dua orang yang berdiri di depan pintu gerbang yang tertutup itu. Seorang pemimpin perampok yang garang, bertubuh raksasa dengan rambut terurai panjang tanpa mengenakan ikat kepala, mendatangi keduanya sambil berteriak, “Minggir! Atau aku bunuh kau.”

“Jangan mencari kesulitan,” jawab Glagah Putih, “pergilah.”

Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itu pun segera tersinggung. Katanya, “Aku akan membunuh kalian segera, kemudian menduduki bangunan utama ini. Aku-lah yang kemudian akan berkuasa di bukit ini.”

“Kau tidak akan mampu melangkahi tlundak pintu regol halaman bangunan induk ini.”

“Persetan kalian berdua,” geram orang itu. Dengan isyarat ia memanggil beberapa orang kawannya yang juga sudah berhasil mendekati pintu gerbang untuk mendekat.

“Aku akan membunuh kedua ekor tikus kecil ini. Masuklah ke dalam pintu gerbang itu. Bunuh semua orang yang ada di dalamnya. Kita akan mendudukinya dan menjadi penguasa di bukit ini.”

“Baik, Ki Lurah,” sahut beberapa orang hampir berbareng. Tetapi sebelum mereka bergerak, beberapa orang cantrik telah mendekati mereka. Ada di antara mereka, cantrik yang semula bertempur di luar pintu gerbang padepokan itu.

“Setan alas,” geram pemimpin perampok itu, “musnahkan mereka lebih dahulu.”

Pertempuran pun segera terjadi. Para pengikut raksasa yang rambutnya tergerai itu berhadapan dengan para cantrik yang memburu mereka. Meskipun jumlah para perampok dan penyamun itu lebih banyak, tetapi ternyata para cantrik yang telah menempa diri berlatih olah kanuragan itu memiliki beberapa kelebihan, dari orang-orang yang hanya mengandalkan keberanian, kekuatan tenaga dan kekasarannya saja.

Sementara itu, Rara Wulan yang melihat para cantrik bekerja keras menghadapi lawan-lawan mereka, berkata kepada Glagah Putih, “Kakang, aku akan bertempur bersama anak-anak itu.”

“Baik. Tinggalkan aku. Biarlah aku menyelesaikan raksasa yang dungu ini.”

“Sombongnya kau, anak setan,” geram orang itu.

Glagah Putih tidak menjawab, tetapi ia pun telah siap menghadapi kemungkinan.

Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itu pun tidak menunggu telalu lama. Ia pun segera meloncat menerkam Glagah Putih. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih mengelakkannya, sehingga serangan raksasa itu tidak menyentuh sasarannya. Bahkan dengan cepat sekali Glagah Putih melenting, kemudian berputar sambil mengayunkan kakinya menyambar kening raksasa itu. Raksasa itu terhuyung-huyung. Namun daya tahannya sangat tinggi. Orang yang rambutnya terurai tanpa memakai ikat kepala itu masih tetap saja berdiri.

Namun Glagah Putih tidak membiarkannya. Ditingkatkannya tenaga dalamnya pada serangannya yang menyusul. Tubuhnya meluncur dengan derasnya, seperti sebatang lembing yang lepas dari tangan pelemparnya. Dengan derasnya kedua telapak kaki Glagah Putih kemudian menghantam dada orang yang bertubuh raksasa, sehingga keseimbangannya pun telah tergoyang.

“Iblis kecil,” geram orang itu, “aku lumatkan tubuhmu.”

Glagah Putih memang harus berhati-hati. Namun kekuatan orang itu memang sulit untuk diukur. Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan lagi tenaga dalamnya. Betapapun kokohnya orang bertubuh raksasa itu, ia akan sangat sulit untuk bertahan jika serangan Glagah Putih berikutnya dilambari dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sangat tinggi.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin seru. Orang bertubuh raksasa itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan, tenaga dan ilmunya untuk mengatasi lawannya. Tetapi berhadapan dengan Glagah Putih, ia memang bukan apa-apa, meskipun kekuatannya sempat membuat Glagah Putih kagum.

Tetapi beberapa saat kemudian, orang itu pun sudah terlempar beberapa langkah surut. Terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Namun sejenak kemudian orang itu segera bangkit lagi untuk terjun kembali ke arena pertempuran.

“Iblis manakah yang telah merasukinya,” geram Glagah Putih.

Sebenarnyalah setiap kali orang itu terbanting di tanah, maka ia pun segera bangkit kembali. Meskipun kadang-kadang orang itu harus berguling beberapa kali. Meskipun demikian, betapapun kuatnya seseorang, namun akhirnya orang bertubuh raksasa dan berkumis lebat itu harus mengalami tekanan yang sudah sampai ke batas.

Dalam pertempuran yang sengit, maka orang berkumis lebat itu merasa bahwa ia dan daya tahannya kadang-kadang tidak lagi berjalan seiring. Gelora di dadanya masih saja menyala, tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Tulang-tulang bagaikan menjadi retak. Sejalan dengan meningkatnya tenaga dalam Glagah Putih, maka orang bertubuh raksasa itu semakin mengalami kesulitan.

Daya tahannya yang tinggi serta kekuatan serta tenaganya yang sangat besar, rasa-rasanya tidak banyak berarti lagi. Karena itu, maka setiap kali orang itu pun terlempar beberapa langkah surut, terpelanting jatuh dan bahkan terguling-guling di tanah sambil menyeringai kesakitan.

Sementara itu, para pengikutnya tidak banyak dapat berbuat. Para cantrik bersama Rara Wulan telah mematahkan serangan mereka. Dengan geram namun tanpa dapat mengesampingkan kenyataan, mereka harus mengakui bahwa perempuan yang bersenjatakan selendangnya itu tidak mampu ditahan lagi. Sentuhan-sentuhan selendangnya mampu melumpuhkan perampok dan penyamun yang memiliki pengalaman yang luas di dunia kekerasan.

Dalam pada itu, pemimpin perampok yang berambut tergerai serta tanpa mengenakan ikat kepala itu sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Ketika tubuhnya diangkat dan bahkan seakan-akan tidak mempunyai bobot sama sekali itu kemudian dibanting oleh Glagah Putih, maka orang itu pun tidak lagi mampu bangkit. Orang yang garang dan bertubuh raksasa itu menyeringai menahan sakit yang hampir tidak tertahankan di punggungnya.

Seperti anak kecil orang itu pun kemudian merengek, “Jangan bunuh aku, Ki Sanak. Aku menyerah. Aku mohon ampun.”

“Kaukah itu yang merengek?” bertanya Glagah Putih.

“Aku harus mengakui kenyataan ini. Aku kalah, sementara orang-orangku telah dihabisi oleh para cantrik.”

“Tidak. Mereka tidak dibunuh. Mungkin ada di antara mereka yang terbunuh. Tetapi ada pula di antara mereka yang hanya terluka meskipun agak parah. Bahkan ada yang hanya tergores ujung pedang seleret tipis di lengannya, namun orang itu pun berpura-pura terluka parah, dengan mengusap-usapkan darahnya di seluruh pakaiannya.”

“Orang itu pantas dibunuh.”

“Jadi kau masih membenarkan perlawanan dari orang-orangmu?”

“Tidak, tidak. Tetapi jangan bunuh aku.”

Glagah Putih tersenyum. Namun Glagah Putih tahu benar bahwa orang itu tidak akan segera dapat bangkit. Bahkan mungkin sampai esok atau lusa.

Dalam pada itu, para pengikutnya yang masih mampu bertempur, ternyata telah menyerah pula. Bahkan Glagah Putih telah memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk merawat pemimpinnya yang sudah tidak berdaya itu.

Ternyata bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang mendatangi padepokan itu yang sempat memasuki pintu gerbang bangunan utama di padepokan itu. Beberapa orang cantrik yang bertugas di dalam, yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan, masih tetap bersiaga sepenuhnya. Namun beberapa orang di antara mereka yang menjadi terlalu gelisah justru karena menunggu, telah memanjat tiang pintu gerbang untuk melihat apa yang terjadi di luar.

Mereka menarik nafas ketika mereka melihat sepasang suami istri itu berdiri di antara beberapa orang cantrik di luar pintu gerbang bangunan utama. Mereka melihat beberapa orang yang sudah tidak berdaya. Beberapa orang yang telah melepaskan senjata mereka, duduk berjajar melekat dan menghadap dinding yang melingkari bangunan utama di padepokan itu.

Sementara itu, para perampok dan penyamun yang masih berusaha untuk mendekati pintu gerbang telah terhalang dan terhenti oleh para penghuni padepokan itu. Bahkan setelah menyerahkan para tawanan itu.

Bersama beberapa orang cantrik, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah ikut menghalau atau memaksa mereka yang datang untuk menyerah. Meskipun demikian para cantrik itu tidak menjadi lengah. Ada beberapa cara untuk memasuki lingkungan bangunan induk itu. Mereka dapat memanjat dinding di bagian belakang untuk meloncat masuk.

Ternyata kewaspadaan itu memberikan arti bagi pertahanan para cantrik itu. Justru karena mereka meyakini kekuatan saudara-saudaranya yang berada di depan pintu gerbang, maka mereka menitik beratkan pertahanan mereka untuk mengatasi jika ada lawan yang berusaha meloncati dinding.

Karena itu, ketika benar-benar ada sekelompok perampok yang mencoba memasuki dinding lingkungan bangunan utama itu, maka para cantrik yang bertugas di dalam itu pun segera menghadapi mereka. Ternyata para cantrik yang sudah terlatih itu tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Orang-orang yang berloncatan memasuki lingkungan bangunan utama itu tidak menduga, bahwa di dalam lingkungan bangunan utama itu terdapat pertahanan yang cukup kuat.

Sementara itu, tidak terlalu jauh dari pintu gerbang padepokan, Ki Umbul Telu masih bertempur melawan Ki Dandang Ireng. Ternyata bahwa bekal yang dimiliki Ki Umbul Telu memang lebih lengkap dari Ki Dandang Ireng yang telah berkhianat itu.

Ki Dandang Ireng yang telah meninggalkan padepokan itu, selain mengandalkan ilmunya, juga mengandalkan pengalamannya yang luas. Pengalaman petualangannya di dunia yang gelap. Di sepanjang bulak-bulak panjang, menyusuri kegelapan dan kesunyian malam. Mengetuk pintu keras-keras, mengancam dan bahkan membunuh orang-orang yang berani menentangnya.

Dengan demikian, maka Ki Dandang Ireng dan saudara-saudara seperguruannya yang memilih jalan yang sama, telah bertempur dengan keras dan kasar. Namun mereka membentur kemampuan saudara-saudara seperguruan mereka yang tetap berpijak pada jalan lurus di padepokan mereka. Saudara-saudara seperguruan Ki Dandang Ireng yang telah berkhianat itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Bahkan para perampok dan penyamun yang bersedia bekerja sama dengan Ki Dandang Ireng untuk menguasai gumuk kecil itu, sehingga akan dapat menjadi landasan serta sarang mereka yang semakin liar dan buas di sepanjang jalan sepi yang dilewati oleh para pedagang itu, benar-benar tidak mampu bergerak lagi.

Jika pada saat mereka datang jumlah mereka lebih banyak dari penghuni bukit kecil itu, maka lambat laun mereka seakan-akan tidak tersisa lagi. Sebagian dari mereka terbunuh, yang lain terluka parah sehingga tidak mampu memberikan perlawanan lagi. Sebagian menyerah, dan ada pula yang melarikan diri.

Karena itulah maka Ki Umbul Telu pun berkata, “Dandang Ireng. Kau sudah kehabisan pengikut yang pantas mendukung usahamu yang tamak ini. Karena itu, menyerahlah. Kau tidak akan berdaya lagi. Kau harus bersedia menerima hukuman karena kau telah dengan licik membunuh Guru. Meskipun demikian, jika kau bersedia menyerah, maka hukumanmu tentu akan lebih ringan. Aku bersedia untuk bertanggung jawab bahwa saudara-saudara kita tidak akan menjatuhkan hukuman kepadamu berdasarkan atas dendam. Tetapi semata-mata atas dasar keadilan.”

“Persetan dengan igauanmu itu, Umbul Telu. Kau-lah yang harus menyerah kepadaku. Menyerahkan kekuasaan atas Perguruan Awang-Awang kepadaku, karena memang aku-lah yang berhak.”

“Lihat sekelilingmu. Yang berdiri di sekitar kita adalah saudara-saudara seperguruan kita. Sedangkan para pengikutmu telah kehilangan kekuatan untuk bertempur. Yang menyerah telah diikat tangannya di belakang tubuhnya. Sedang mereka yang berhasil melarikan diri, tidak kembali kemari untuk membebaskanmu, Ki Dandang Ireng.”

“Persetan dengan mereka. Aku akan menghukum mereka yang melarikan diri itu. Mereka harus dibunuh.”

“Siapa yang akan membunuh mereka? Para pemimpin mereka ikut pula melarikan diri, atau menyerah.”

Ki Dandang Ireng menggeram. Namun tiba-tiba saja Ki Ganjur telah mendorong seorang saudara seperguruannya yang sudah tidak berdaya lagi. Saudara seperguruannya yang telah menjadi pengikut Ki Dandang Ireng.

“Dandang Ireng,” berkata Ki Ganjur, “lihat saudaramu yang telah kau ajak berkhianat itu. Aku tidak tahu apakah ada usaha yang dapat menolong jiwanya. Darahnya terlalu banyak mengalir. Mungkin kau mempunyai obat yang dapat memampatkan darahnya, sehingga hidupnya akan tertolong.”

“Persetan dengan pengecut itu. Biarlah ia mati. Aku tidak memerlukannya lagi.”

Saudara seperguruan yang telah mengikuti jejak hitam Ki Dandang Ireng itu masih sempat menggeliat. Ia mendengar kata-kata Ki Dandang Ireng. Dengan nada suara yang lemah ia berkata, “Tolong aku, Kakang. Kau mempunyai obat yang dapat membantu memampatkan darahku, mengurangi rasa sakit, dan untuk sementara dapat membantu meningkatkan daya tahanku.”

“Mati saja kau, orang cengeng!” teriak Ki Dandang Ireng sambil meloncat menghindari serangan Ki Umbul Telu. Namun Ki Umbul Telu itu tidak memburunya. Ia seakan-akan memberi kesempatan kepada Ki Dandang Ireng untuk memperhatikan saudara seperguruannya.

“Lihat adikmu itu,” desis Ki Umbul Telu.

Tetapi Ki Dandang Ireng justru meloncat menyerang dengan garangnya. Ki Umbul Telu meloncat surut. Namun dengan demikian ia yakin, bahwa hati Ki Dandang Ireng telah benar-benar tertutup. Tidak ada lagi cahaya sepercikpun yang dapat menerangi jiwanya.

“Dandang Ireng,” berkata Ki Umbul Telu, “kau adalah orang yang sangat berbahaya. Kau sama sekali tidak tersentuh melihat adik seperguruanmu yang selama ini setia kepadamu, berada dalam keadaan yang gawat.”

Tetapi Ki Dandang Ireng tidak mau mendengarkannya lagi.

Karena itu, maka Ki Ganjur tidak dapat lagi berusaha untuk meredakan pertempuran itu. Dengan demikian, maka Ki Ganjur sendiri-lah yang kemudian berusaha untuk mengobati luka-luka saudara seperguruannya yang telah berkhianat itu. Tetapi luka-luka itu sudah terlalu parah. Meskipun obat yang kemudian ditaburkan oleh Ki Ganjur dapat mengurangi arus darahnya, namun orang itu nampaknya sudah tidak mungkin tertolong lagi.

“Maafkan aku, Kakang Ganjur,” desis orang itu.

“Darahmu sudah akan pampat,” berkata Ki Ganjur.

“Tidak akan ada gunanya. Aku akan mati. Tolong, mintakan maaf kepada Kakang Umbul Telu dan kepada semua saudara-saudara seperguruanku. Doakan agar Yang Maha Agung pun sudi memaafkan aku.”

“Mohonlah ampun kepada-Nya,” desis Ki Ganjur.

Saudara seperguruannya itu termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya nyawanya sudah berada di ubun-ubunnya.

“Apakah Yang Maha Agung mau mendengarkannya?” desis orang itu.

“Tentu, Adi. Mohonlah selagi kau sempat.”

“Jika demikian, maka orang-orang lain pun akan hidup di jalan sesat sebagaimana aku lakukan. Baru di saat terakhir, mereka akan memohon pengampunan-Nya.”

“Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk mohon ampun. Kesempatan itu diberikan-Nya kepadamu, Di. Banyak orang yang mati tanpa mendapat kesempatan untuk menyesali kesalahannya, dan apalagi mohon ampun kepada-Nya. Karena itu, kesempatan yang diberikan kepadamu ini harus kau sadari artinya.”

Orang itu menarik nafas panjang. Namun kemudian nafasnya itu pun menjadi tersengal.

“Di, Di,” panggil Ganjur.

Orang itu mencoba untuk menggerakkan bibirnya. Dengan penyesalan yang mendalam, maka orang itu pun mohon ampun atas segala tingkah lakunya. Ia sudah terlibat dalam pembunuhan atas gurunya. Perampokan, perampasan dan menyamun di mana-mana. Bukan hanya kekerasan yang telah dilakukannya dengan landasan ilmunya yang tinggi, tetapi ia sudah melakukan pembunuhan.

Sementara itu Ki Umbul Telu telah bertempur lagi melawan Ki Dandang Ireng, Ki Umbul Telu sudah tidak mempunyai harapan lagi, bahwa ia dapat merubah jalan kehidupan saudara seperguruannya yang telah sesat itu. Karena itu, maka jalan satu-satunya untuk menghentikan langkahnya di kegelapan adalah memisahkan jiwa dan raganya, yang menjadi alat atas segala langkah-langkah hitamnya.

Sementara itu Ki Ganjur harus melihat kenyataan tentang saudara seperguruannya. Ia menyesal bahwa luka-luka yang ditimbulkannya di tubuh saudara seperguruannya itu demikian parahnya, sehingga akhirnya saudara seperguruannya itu tidak dapat tertolong lagi. Ki Ganjur menarik nafas panjang ketika ia melihat saudara seperguruannya itu memejamkan matanya.

Tidak jauh dari tempat Ki Ganjur itu berlutut, saudara-saudara seperguruan Ki Ganjur berdiri melingkari Ki Umbul Telu yang masih bertempur melawan Ki Dandang Ireng. Ki Lampita dan Ki Kumuda pun telah berada di kerumunan itu pula. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menunggui pertempuran antara dua orang saudara seperguruan yang berdiri di pihak yang berseberangan.

“Tidak ada lagi yang dapat kau harapkan, Dandang Ireng,” berkata Ki Umbul Telu. “Kau lihat bahwa pertempuran sudah selesai. Orang-orangmu yang menyerah sudah diikat, sehingga tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Yang lain terbunuh, luka parah atau melarikan diri.”

“Persetan dengan mereka. Sekarang terserah kepadamu, apakah kita akan mengadu kemampuan kita dalam perang tanding, atau kau akan mengajak para pengikutmu untuk mengeroyok aku. Aku sama sekali tidak akan gentar menghadapi kalian semuanya. Bahkan pekerjaanku akan segera dapat aku selesaikan pula.”

“Kau sudah kehilangan kiblat, Dandang Ireng. Betapapun tinggi ilmumu, kau tidak akan dapat mengalahkan kami semuanya. Jika kami mau, maka dalam sekejap tubuhmu akan menjadi arang keranjang. Segala senjata akan menghujam di seluruh bagian tubuhmu, bahkan sampai ke telapak kaki dan tanganmu.”

“Lakukan! Kenapa tidak kau lakukan sekarang?”

“Aku akan menghadapimu dalam perang tanding.”

“Sombongnya kau, Umbul Telu.”

Ki Umbul Telu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Keduanya pun bertempur semakin sengit. Meskipun kemampuan Ki Umbul Telu berada di atas kemampuan Ki Dandang Ireng, namun pengalaman Ki Dandang Ireng di petualangannya menyusuri kegelapan, kadang-kadang memaksa Ki Umbul Telu untuk bergeser surut. Namun ujung senjata Ki Dandang Ireng masih belum mampu menyentuh kulit Ki Umbul Telu, sementara itu, senjata Ki Umbul Telu telah mulai menggores kulit Ki Dandang Ireng.

Ki Dandang Ireng pun kemudian menjadi semakin marah. Namun dengan demikian, kemarahannya itu telah membuat Ki Dandang Ireng tidak lagi dapat menguasai perasaannya. Serangan-serangannya menjadi semakin garang, namun tidak lagi terarah dengan baik.

Dengan demikian, maka senjata Ki Umbul Telu telah menyentuh tubuh Ki Dandang Ireng semakin sering. Goresan-goresan di tubuh Ki Dandang Ireng itu pun menjadi semakin banyak, silang-melintang. Lengannya pun telah terkoyak. Bahunya sudah terluka. Segores luka menyilang di dadanya. Sementara itu ujung senjata Ki Umbul Telu telah mematuk lambungnya pula.

Tetapi Ki Dandang Ireng tidak mau melihat kenyataan itu. Bahkan ia pun berloncatan semakin garang. Ketika ujung senjatanya berhasil menyentuh bahu Ki Umbul Telu, maka Ki Dandang Ireng itu pun berteriak, “Umbul Telu! Aku akan segera membunuhmu! Bersiaplah untuk mati. Darah sudah mulai menitik dari lukamu.”

“Kau memang berhasil melukai bahuku, Dandang Ireng. Tetapi lihat tubuhmu sendiri. Pakaianmu sudah menjadi merah oleh darah. Bahkan bukan hanya pakaianmu yang sudah terkoyak dimana-mana, tetapi juga kulit dan dagingmu. Tetapi masih ada kesempatan bagimu untuk menghentikan pertempuran.”

“Iblis kau!” teriak Ki Dandang Ireng tanpa menghiraukan kata-kata Ki Umbul Telu, sambil meloncat dengan garangnya menikam Umbul Telu mengarah ke dadanya.

Tetapi Ki Umbul Telu masih sempat bergeser ke samping sambil merendahkan diri. Demikian Ki Dandang Ireng meluncur sambil menjulurkan senjatanya, maka Ki Umbul Telu pun telah mengayunkan senjatanya pula.

Ternyata ujung senjata Ki Umbul Telu itu telah mengoyak lambung Ki Dandang Ireng. Luka yang memanjang telah menganga. Luka yang jauh lebih parah dari luka-lukanya yang lain. Ki Dandang Ireng terhuyung-huyung sejenak. Darahnya yang memancar dari lukanya itu memercik membasahi bumi Perguruan Awang-Awang. Perguruan tempat Ki Dandang Ireng itu menuntut ilmu kanuragan.

Ki Dandang Ireng sempat mengaduh tertahan. Namun kemudian ia pun berteriak mengumpat dengan kasarnya. Tetapi Ki Dandang Ireng itu pun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Ternyata ia tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Dandang Ireng itu pun jatuh terbaring di tanah.

Meskipun demikian, Ki Dandang Ireng itu masih saja berteriak dengan suara yang gemetar, “Aku bunuh kau, Umbul Telu!”

Ki Dandang Ireng yang terluka parah itu masih mencoba untuk bangkit sambil menarik keris pertanda kepemimpinannya di Perguruan Awang-Awang itu.

“Aku bunuh kau dengan keris ini.”

Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Demikian pula saudara-saudara seperguruannya yang lain. Keris di tangan Dandang Ireng itu adalah keris yang dihormati di padepokan itu.

Namun sejenak kemudian Ki Dandang Ireng itu pun jatuh terkulai. Keris di tangannya itu pun telah terlepas pula dan jatuh di sisinya. Ki Dandang Ireng masih mengucapkan beberapa kata-kata, tetapi sudah tidak jelas lagi artinya.

Sejenak kemudian, maka Ki Dandang Ireng itu pun menarik nafasnya yang terakhir.

Ki Umbul Telu serta beberapa orang saudara seperguruannya pun melangkah mendekatinya. Sambil berjongkok di sampingnya, Ki Umbul Telu itu pun berkata, “Adi Dandang Ireng datang untuk mengembalikan keris ini.”

Ya, Kakang,” desis Ki Kumuda, “sebaiknya Kakang menyimpan keris ini.”

Ki Umbul Telu pun kemudian memungut keris itu, serta mengambil wrangkanya di punggung Ki Dandang Ireng. Keris itu pun kemudian disarungkannya. Sambil bangkit berdiri Ki Umbul Telu pun menyisipkan keris itu di lambungnya, sambil berkata, “Hari ini kita telah mengorbankan beberapa orang saudara seperguruan kita. Kita harus menyelenggarakan pemakaman mereka sebagaimana seharusnya. Kita pun harus merawat orang-orang yang terluka, serta mengurus mereka yang tertawan. Tugas kita akan menjadi berat beberapa hari ini.”

Saudara-saudara seperguruanya pun menyadari sebagaimana dikatakan oleh Ki Umbul Telu, bahwa dalam beberapa hari mereka akan bekerja keras.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Umbul Telu pun bersama orang-orang tertua di padepokan itu telah pergi ke bangunan induk padepokan, sementara saudara-saudara mereka mulai sibuk dengan tugas mereka.

Para murid dari Perguruan Awang-Awang itu telah mengerahkan para tawanan, di bawah pengawasan yang ketat, untuk membantu kerja mereka. Mereka harus mengumpulkan orang-orang yang terbunuh, dan kemudian menyisihkan mereka yang terluka untuk segera mendapatkan perawatan. Mereka pun harus memisahkan para pengikut Ki Dandang Ireng dengan saudara-saudara seperguruan mereka. Meskipun mereka dalam keadaan terluka parah, tetapi akan dapat terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki apabila mereka berbaur menjadi satu.

Ketika Ki Umbul Telu memasuki bangunan utama di padepokan itu, maka ia pun menyatakan kebanggaannya terhadap saudara-saudara seperguruannya, para cantrik yang masih muda, bahwa mereka telah berhasil mempertahankan bangunan utama itu. Meskipun ada beberapa orang yang berhasil memanjat masuk, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Anak-anak serta orang-orang tua, sama sekali tidak tersentuh oleh para pengikut Ki Dandang Ireng.

“Kedua orang suami istri itu ternyata orang-orang yang berilmu sangat tinggi,” berkata seorang cantrik yang bertempur di luar pintu gerbang padepokan, dan kemudian juga bertempur tidak jauh dari Glagah Putih dan Rara Wulan di depan regol bangunan utama padepokan itu.

“Kau melihatnya?” bertanya Ki Kumuda.

“Keduanya bertempur seperti sepasang elang. Kadang-kadang mereka terbang tinggi di luar jangkauan penglihatan. Tiba-tiba saja keduanya menukik menyambar dengan kuku-kukunya yang tajam. Mencengkeram dan membawanya terbang. Kemudian melemparkannya ke atas batu-batu padas. Aku bersama keduanya di luar padepokan. Keduanya mendahului membabat lawan sebelum kami mulai bergerak. Kemudian ketika aku berada di depan regol bangunan utama ini, keduanya pun sudah berada di sini pula, bertempur sebagaimana mereka lakukan di luar pintu gerbang padepokan ini.”

Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa mereka memiliki kelebihan. Karena itu mereka sama sekali tidak menjadi gentar, ketika mereka ikut mendengar ancaman Dandang Ireng. Bahkan keduanya bertekad untuk membantu kita.”

“Tidak ada seorangpun di antara kita yang dapat berbuat sebagaimana dilakukannya,” berkata seorang cantrik yang lain.

“Kita harus mengucapkan terima kasih kepada mereka.” desis Ki Umbul Telu.

Kepada seorang cantrik, Ki Umbul Telu pun kemudian memerintahkan untuk mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan ke bangunan utama padepokan itu.

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Ki Lampita.

“Mereka berada di luar regol halaman, bersama beberapa orang saudara kita yang sedang sibuk menyelesaikan tugas mereka, bersama beberapa orang yang menyerah itu,” jawab seorang cantrik.

“Baiklah. Kami menunggu di sini.”

Tidak terlalu lama kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada tidak jauh dari regol halaman itu pun telah dipersilahkan naik ke pendapa bangunan utama padepokan itu.

“Ki Sanak,” berkata Ki Umbul Telu, “kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak menyelamatkan perguruan kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum Glagah Putih pun berkata, “Itu agak berlebihan, Ki Umbul Telu. Kami memang telah membantu sejauh kemampuan kami. Tetapi bukan berarti bahwa kami telah menyelamatkan perguruan ini.”

“Angger Glagah Putih,” berkata Ki Umbul Telu kemudian, “bantuan yang kalian berikan agaknya telah menentukan akhir dari pertempuran ini. Sejak Angger berdua bertempur di luar pintu gerbang padepokan, kemudian di depan regol halaman bangunan utama ini, Angger telah menjadi penentu. Tanpa Angger berdua, maka anak-anak kami di luar pintu gerbang tidak akan dapat menahan sebagian besar pengikut Dandang Ireng. Tetapi justru karena Angger berdua telah membuka pertempuran dan menyusut lawan dengan cepat, maka para cantrik dapat menahan para pengikut Dandang Ireng yang cukup banyak di luar pintu gerbang. Dengan demikian, maka kami yang berada di dalam dinding padepokan ini mampu menghadapi para pengikut Dandang Ireng yang telah memasuki pintu gerbang.”

“Ah, sanjungan itu justru mendebarkan jantung kami berdua. Yang kami lakukan tidak lebih dari kesungguhan kami untuk membantu para cantrik.”

“Kami ternyata telah berhutang budi. Kami pun mohon maaf atas dugaan kami yang keliru terhadap kemampuan Angger berdua, sehingga kami mempersilahkan Angger berdua meninggalkan padepokan ini sebelum Dandang Ireng dan para pengikutnya datang ke padepokan ini.”

“Aku justru sangat berterima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap keselamatan kami.”

“Nah, Angger berdua. Sebagai pernyataan terima kasih kami, maka kami ingin Angger berdua untuk tinggal di padepokan ini beberapa lama. Sebagaimana Angger katakan sebelumnya, bahwa setelah peristiwa ini, maka kami berniat untuk memperluas beban kewajiban kami. Kami ingin mencari hubungan dengan para pedagang serta para Demang, yang jalan-jalan di kademangannya dilalui oleh para pedagang. Kami ingin membuka kembali pasar untuk menjual barang-barang kerajinan yang kami hasilkan di padepokan ini.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar