Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 358

Buku 358

Selendang Rara Wulan dan ikat pinggang Glagah Putih pun telah berputar seperti baling-baling.

Beberapa ekor anjing hutan pun telah terbunuh. Bangkainya berserakan di sekitar arena pertempuran itu, sehingga akhirnya anjing hutan yang tersisa pun segera melarikan diri.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun termangu-mangu sejenak. Glagah Putih yang mendekati isterinya itu pun bertanya. “Bagaimana keadaanmu, Rara? Kau baik-baik saja?”

“Marilah kita tinggalkan tempat ini.”

Keduanya pun segera beranjak pergi. Sementara itu, segerombolan anjing hutan yang tersisa ternyata telah kembali lagi. Mereka tertarik oleh bau darah sesamanya yang terluka dan terbunuh.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan secepatnya meninggalkan tempat itu.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai ke tepi hutan. Mereka memasuki lorong di padang perdu yang berbatu-batu padas. Beberapa tebing yang miring berada di sebelah-menyebelah lorong sempit yang panjang. Di sebelah-menyebelah, nampak tumbuh gerumbul-gerumbul yang liar. Semak-semak yang menggores kaki dengan duri-durinya yang tajam.

Baru beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah sampai di mulut lorong itu. Mereka segera turun ke jalan kecil yang mereka lalui pada saat mereka berangkat ke Jati Anom. Di jalan itu pula mereka telah berkelahi dengan anak-anak muda yang telah mengganggu mereka di perjalanan.

Demikian mereka mengusir anak-anak muda yang mengganggu mereka itu, mereka telah bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya Kiai Namaskara.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan mereka, setelah Rara Wulan membenahi pakaiannya, sehingga Rara Wulan itu telah mengenakan pakaiannya dengan wajar sebagaimana seorang perempuan. Meskipun pakaiannya kotor dan kusut, tetapi Rara Wulan nampak benar-benar seorang perempuan.

Keduanya pun kemudian telah menempuh jalan yang berlawanan dengan perjalanan mereka pada saat mereka berangkat ke Jati Anom. Namun mereka tidak lagi berniat berjalan lewat di depan kedai yang berada tidak jauh dari sebuah sendang itu.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mencari jalan lain. Mereka mengambil jalan yang berada di lereng yang sedikit lebih tinggi di kaki Gunung Merapi, sehingga dengan demikian udara pun terasa lebih sejuk dari daerah yang letaknya lebih rendah di kaki Gunung Merapi.

Dengan demikian, maka lingkungan yang mereka lalui pun terasa menjadi semakin sepi. Mereka menjadi semakin jarang melewat padukuhan-padukuhan.

Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi barat, maka Rara Wulan pun telah mengajak Glagah Putih untuk beristirahat.

“Kita lihat kitab itu, Kakang.”

Glagah Putih pun meletakkan peti kecil itu. Kemudian diambilnya sebuah kitab yang seakan-akan masih baru kemarin ditulis di atas kertas yang putih buram.

“Tuntunan olah kanuragan, Rara,” berkata Glagah Putih sambil membuka kitab itu.

“Tuntunan olah kanuragan macam apa, Kakang?”

Glagah Putih pun membaca sekilas. Kemudian katanya, “Tuntunan untuk memahami satu jenis ilmu. Tetapi ada syaratnya bagi mereka yang ingin mempelajarinya.”

”Syarat?”

“Ya.”

“Harus sepasang suami istri. Yang terbaik adalah mereka yang belum mempunyai anak. Harus seorang yang sudah memiliki landasan ilmu kanuragan. Sedangkan syarat yang terberat adalah, mengabdikan ilmu yang dipelajarinya itu untuk kebaikan, dalam arti yang luas.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah kita memenuhi persyaratan itu?

“Syarat-syarat lahiriah telah kita penuhi. Tetapi apakah kita akan mampu mengabdikan ilmu itu bagi kebaikan?” Lalu katanya, “Aku belum membaca dengan rinci, Rara. Kita akan mempelajari pengantar kitab itu sebelum kita menyatakan diri, apakah kita pantas mempelajari ijmu yang tersirat dari isi kitab itu. Kita memerlukan waktu dan keadaan yang khusus.”

“Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu? Seandainya kita berhenti untuk dua atau tiga hari, untuk membaca dan mempelajari pengantar dari kitab itu, bukankah kita tidak akan dapat dianggap bersalah?”

“Ya, Rara. Aku mengerti maksudmu.”

“Nah, Kakang. Kita akan berhenti dua atau tiga hari.”

“Dimana? Bukankah kita memerlukan tempat untuk melakukannya?”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Mereka tidak akan dapat kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mendapatkan waktu dan tempat selama dua atau tiga hari. Tentu mereka akan mendapat berbagai macam pertanyaan. Apalagi jika dalam waktu dua atau tiga hari itu mereka tenggelam di dalam sanggar.

Selagi mereka termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Glagah Putih mendapat gagasan. “Kita akan berjalan terus, Rara. Kita akan melingkari kaki gunung ini. Di sisi barat kita akan turun dan mencari tempat yang ramai. Jika kita menemukan sebuah rumah penginapan yang biasanya terdapat di dekat pasar-pasar yang besar, kita akan berada di penginapan itu dua atau tiga hari. Kita akan melakukan sedikit kegiatan di pasar di pagi hari. Kemudian, jika matahari menjadi semakin tinggi, maka kita akan berada di bilik penginapan itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Kakang. Kita akan mencobanya.”

Demikianlah, keduanya pun segera melanjutkan perjalanan. Ketika mereka menjumpai sebuah kedai yang masih membuka pintunya, maka mereka pun singgah untuk membeli minum dan makan.

“Tinggal nasi megana, Ngger” berkata perempuan yang berjualan di kedai yang tidak begitu besar itu.

“Megana?” ulang Rara Wulan dengan agak ragu.

Agaknya pemilik kedai itu mengerti apa yang dipikirkan oleh Rara Wulan. Karena itu maka ia pun berkata, “Tetapi bukan megana yang aku buat dini hari tadi. Megana yang ini iku buat di tengah hari. Aku tidak pernah menjual barang wayu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Agaknya sikapnya agak menyinggung perasaan perempuan pemilik kedai itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Maaf, Bibi. Bukan maksudku berprasangka.”

“Jika kau mau makan, duduklah.”

“Ya, Bi,” jawab Rara Wulan sambil menggamit suaminya.

Keduanya pun kemudian duduk di kedai yang terasa sempit itu. Selain mereka berdua, tidak ada lagi orang lain yang berada di kedai itu. Baru kemudian dua orang yang lewat berhenti dan singgah pula di kedai itu.

Sejenak kemudian, telah dihidangkan dua mangkuk minuman hangat dan dua pincuk nasi megana. Ternyata megana yang dibuat oleh perempuan itu termasuk megana yang enak.

Kedua orang yang masuk ke kedai itu kemudian juga memesan dua pincuk nasi megana dan dua mangkuk minuman hangat.

“Lama kalian tidak singgah,” berkata perempuan itu kepada kedua orang yang datang kemudian.

“Sudah agak lama aku tidak lewat jalan ini, Yu.”

“Kenapa?”

“Sejak istriku melahirkan, aku lebih banyak di rumah. Baru beberapa hari ini aku mulai kerja lagi. Hari ini aku mendapat pekerjaan di padukuhan sebelah. Aku segera teringat nasi meganamu, Yu. Karena itu, aku memerlukan singgah.”

“Kau kerja apa di padukuhan sebelah?”

“Memotong pohon beringin di simpang empat itu.”

“Kau berani melakukannya?”

“Aku sudah nglakoni sepasar yu. Mengurangi makan dan mengurangi tidur. Selama sepasar itu aku setiap malam tidur dibawah pohon beringin itu. Agaknya tirakatku membuat udara menjadi panas, sehingga penghuni beringin itu pergi. Aku sudah mendapat ijin pula untuk memotongnya. Hari ini aku mulai menebas dahan-dahannya. Dalam tiga hari ini agaknya aku baru dapat menyelesaikan kerja itu.”

“Jadi dalam tiga hari ini kau akan selalu datang kemari?”

“Agaknya begitu, Yu.”

“Berapa orang kalian kerjakan kerja kalian itu?”

“Kami berdua saja, Yu.”

“Berdua saja?”

“Ya. Bukankah sudah pekerjaan kami?”

Perempuan itu mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja perempuan itu bertanya kepada Rara Wulan ”Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, Nduk. Juga laki-laki yang berjalan bersamamu itu.”

“Kami memang belum pernah lewat jalan ini, Bibi. Laki-laki ini adalah suamiku.”

“Kau sekarang mau pergi ke mana?”

“Aku dan suamiku adalah pengembara yang berjalan saja mengikuti langkah kakiku.”

“Kau pernah nonton wayang?”

“Maksud Bibi?”

“Jawabmu seperti jawaban tokoh wayang yang bertemu dan ditanya oleh raksasa di tengah jalan.”

Rara Wulan tersenyum. Tetapi perempuan penjual nasi itu tidak tersenyum.

Untuk beberapa saat perempuan itu tidak bertanya apa-apa lagi. Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih sibuk dengan nasi megananya.

Namun tiba-tiba saja perempuan itu berbicara dengan kedua orang yang datang kemudian, “Siapa yang memerintahkan menebang pohon beringin itu?”

“Ki Bekel, Yu”

“Kenapa pohon itu ditebang?”

“Pohon itu sudah terlalu tua. Ketika beberapa hari yang lalu ada angin yang agak besar, dahannya patah, dan hampir saja menimpa seorang anak yang baru pulang menggiring kambingnya yang baru saja digembalakannya. Sementara itu dahan-dahan yang lain pun juga sudah semakin rapuh.”

“Kau kenal baik dengan Ki Bekel?”

“Ya.”

“Kau tahu tabiatnya?”

Orang itu menarik nafas panjang. Di luar sadarnya orang itu memandang Rara Wulan sekilas. Namun kemudian orang itu menggeleng, ”Tidak, Yu. Aku tidak mengenal banyak tentang Ki Bekel itu.”

“Kau bohong.”

“Seandainya aku mengenalnya, aku tidak mempedulikannya. Aku diupah untuk menebang pohon itu. Sebagai tukang blandong, aku mengerjakannya. Selain itu aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi”

“Jika kau mau kerja sambilan, kau akan mendapat uang banyak dari Ki Bekel.”

Tetapi laki-laki itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Tidak usah, Yu. Upahku menebang pohon beringin tua yang dihuni lelembut itu sudah cukup untuk makan anak istriku selama dua pekan. Aku tidak mau melakukan kerja sambilan yang membuat aku tidak dapat tidur dalam sepekan.”

“Bodoh, kau. Kau tinggal menemuinya dan memberikan laporan saja.”

Namun yang seorang lagi bertanya, “Kerja sambilan apa, Yu?“

Kawannya tiba-tiba saja membentaknya, “Tidak ada kerja sambilan!”

Pemilik kedai yang berjualan nasi megana itu tertawa. Katanya, “Kau memang pemalas. Tetapi kau tidak usah berkeberatan jika kawanmu mau mengerjakannya.”

“Tidak. Kami adalah tukang blandong. Kerja kami menebang pohon, itu saja.”

“Tetapi kerja sambilan itu sangat menarik. Kau tidak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga.”

“Kerja apa, Yu?”

“Jangan tanyakan!” bentak kawannya.

Tetapi penjual nasi megana itu tidak menghiraukannya. Katanya, “Jika kau mau, pergilah. Katakan kepada Ki Bekel, bahwa kau mau kerja sambilan itu.”

“Tetapi kerja sambilan itu sendiri apa?”

“Kau akan mendengarnya dari Ki Bekel. Nah, pergilah. Katakan bahwa aku-lah yang menyuruhmu datang kepadanya.”

“Jangan,” cegah tukang blandong yang seorang lagi.

Tetapi kawannya menjawab, “Jika hanya itu, kenapa aku tidak pergi?”

“Kau belum tahu, kerja apa yang harus kau lakukan.”

“Ya. Kerja apa?”

“Kerja itu dapat menelanmu.”

“Omong kosong,” penjual nasi megana itu memotong sambil tertawa. Katanya, “Kawanmu tidak mau mengerjakan, tetapi ia merasa iri jika ada orang lain yang melakukannya.”

“Baik. Aku akan pergi menghadap Ki Bekel.”

“Pergilah.”

Ketika orang itu pergi, maka tukang blandong yang seorang lagi itu pun berkata, “Sudahlah, Yu. Aku akan pergi saja.”

“Kenapa kau begitu tergesa-gesa?”

Tukang blandong itu tidak menjawab. Diserahkannya beberapa keping uang kepada penjual nasi megana itu sambil berkata, “Aku pergi, Yu. Aku bayar sekalian makan dan minum kawanku yang kau jebak itu, Yu”

“Jangan berkata begitu. Apa salahnya menangkap rejeki yang dihamburkan oleh Ki Bekel? Justru kau akan menyesal karena kau telah menolak rejeki itu.”

“Aku sudah mendapatkan rejekiku sendiri.”

Orang itu pun segera beranjak keluar dari kedai itu. Ia masih sempat berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Dikedipkannya matanya untuk memberi isyarat. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak tahu maksud isyarat itu.

Meskipun demikian, terasa sesuatu bergetar di dada mereka. Karena itu, maka tiba-tiba saja Glagah Putih pun berkata kepada Rara Wulan, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”

Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Marilah, Kakang.”

Tetapi penjual nasi megana itu pun dengan serta-merta berkata, “Tunggu sebentar, Ki Sanak. Aku akan pergi ke pakiwan.”

“Tidak, Bibi. Aku akan pergi sekarang. Berapa aku harus membayar?” jawab Glagah Putih.

“Sebentar saja.”

“Jika Bibi pergi ke pakiwan, aku akan pergi tanpa membayar sekepingpun.”

“Itu namanya menipu.”

“Bukan salahku. Sekarang, berapa aku harus membayar?”

Tiba-tiba saja perempuan itu berteriak, “Pak-e! Pak!”

Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, dengan wajah yang kasar dan mata yang liar, berdiri di depan kedai itu.

Dengan suara yang parau ia pun bertanya, “Ada apa?”

“Aku akan pergi ke pakiwan. Jaga agar anak-anak ini tidak pergi.”

“Kami akan pergi. Kami akan membayar sekarang. Jika kau katakan saja berapa aku harus membayar, maka aku akan meninggalkannya kepada Paman.”

“Tidak. Laki-laki itu tidak dapat menerimanya.”

“Kau aneh, Mbok-e. Katakan saja. Daripada kau ribut, bukankah lebih cepat kau mengatakan berapa mereka harus membayar?”

“Laki-laki dungu. Tahan agar mereka tidak pergi.”

“Tidak. Aku tidak dapat menahan mereka. Mereka tidak berniat melarikan diri. Kau-lah yang aneh. Kau tidak segera menyebut berapa mereka harus bayar. Tetapi kau ribut saja untuk pergi ke pakiwan. Padahal kau masih juga belum pergi.”

“Jangan bodoh, Pak-e.”

“Jika keduanya ingin menipu dan lari tanpa membayar, aku akan memilin leher mereka. Tetapi mereka tidak berbuat salah.”

“Sudahlah, tunggui mereka agar mereka tidak pergi.”

Perempuan itu pun segera berlari keluar dari kedainya.

Tetapi laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah kasar dan bermata liar itu pun berkata, “Sudahlah, pergilah. Bukan salahmu, Ngger.”

”Tetapi aku belum membayar.”

“Kalian makan dan minum apa?”

Glagah Putih pun kemudian menyebut minuman dan makanan yang mereka makan dan minum.

“Tinggal saja uang tiga keping.”

“Apakah itu sudah cukup Paman?”

“Cukup tidak cukup, bukan salahmu. Perempuan itu memang terlalu banyak tingkah. Semakin lama ia menjadi semakin tidak dapat dimengerti.”

“Baik, Paman. Ini aku tinggalkan lima keping.”

Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Bahkan iapun bertanya, “Kenapa lima?”

“Tidak apa-apa, Paman. Aku tidak ingin bibi itu marah karena uang yang aku tinggal kurang.”

“Terima kasih, Ngger.”

Laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah kasar dan bermata liar itu menerima uang lima keping dari Glagah Putih sambil mengangguk hormat.

“Kami minta diri, Paman. Kami akan melanjutkan perjalanan.”

“Silahkan, Ngger. Silahkan. Semoga perjalanan Angger menyenangkan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan kedai itu. Mereka memang menaruh curiga kepada laki-laki yang bermata liar itu. Mereka semula menganggap sikap laki-laki itu hanyalah sikap pura-pura. Tetapi ternyata laki-laki itu memang bersikap baik. Ia tidak berbuat apa-apa. Justru ia menyesali sikap istrinya.

Namun sebelum mereka terlalu jauh, mereka masih mendengar suara perempuan itu melengking, “Tunggu, Ngger! Tunggu sebentar!”

Perempuan itu pun berlari-lari kecil menyusulnya. Namun di belakangnya laki-laki itu pun mengikutinya sambil berkata. ”Mereka sudah meninggalkan uang. Bahkan lima keping.”

“Ya, kau sudah mengatakannya. Itu terlalu banyak. Aku akan mengembalikannya sekeping.”

“Aku sudah mengatakan bahwa itu terlalu banyak, tetapi mereka mengikhlaskannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan memang berhenti. Keduanya sadar, bahwa tentu ada maksud yang kurang baik dari perempuan itu. Justru suaminya yang dalam ujud lahiriahnya mencurigakan, sikapnya jauh lebih baik dari istrinya itu.

Ketika perempuan itu sudah menyusulnya, diikuti oleh suaminya, maka perempuan itu pun berkata, “Tunggu sebentar, Ngger. Aku harus, mengembalikan sekeping.”

“Bibi, matahari sudah hampir terbenam. Sebentar lagi senja akan turun. Aku harus melanjutkan perjalanan.”

“Itulah yang ingin aku katakan, Ngger. Kenapa kau tidak bermalam saja di sini?”

“Bermalam di rumah kita?” bertanya laki-laki itu. Dengan jujur dan tanpa maksud apa-apa laki-laki itu berkata, “Rumah kita terlalu kecil. Kecuali jika mereka berdua bersedia tidur di kedai. Di lincak bambu itu.”

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Terima kasih, Paman dan Bibi. Kami ingin melanjutkan perjalanan saja. Kami dapat bermalam di mana-mana.”

“Tetapi bukankah lebih baik jika kalian bermalam di tempat yang lebih mapan?” sahut perempuan itu.

“Terima kasih, Bibi. Kami minta diri. Yang sekeping itu biarlah aku tinggalkan saja. Bibi dan Paman tidak usah mengembalikan kepadaku.”

“Tunggu, Ngger. Tunggu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat kesan bahwa perempuan itu sengaja mengulur waktu. Sedangkan laki-laki yang berwajah kasar dan bermata liar itu pun berkata, “Apa lagi yang harus mereka tunggu, Mbok-e? Sebentar lagi senja turun. Biarlah mereka melanjutkan perjalanan mereka.”

“Bodoh, kau!” bentak istrinya, “Apa salahnya kita berbuat baik kepada kedua orang pengembara itu?”

“Berbuat baik? Aku setuju saja jika kita ingin berbuat baik. Tetapi keduanya justru akan merasa terhambat dengan sikapmu itu.”

Perempuan itu nampak sangat gelisah. Setiap kali ia memandangi tikungan di sebelah kedainya.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah mencurigainya itu pun ikut pula memandang ke arah pandang perempuan itu.

Tiba-tiba saja dari balik tikungan muncul beberapa orang laki-laki. Mereka melewati kedai yang masih terbuka itu, langsung melangkah dengan cepat mendekati perempuan penjual nasi megana itu.

“Kau sampaikan pesan itu kepadaku, Nyi?”

“Ya, Ki Bekel.”

“Yang manakah orang yang mencurigakan itu?”

Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Lalu bertanya, “Suami istri ini, Ki Bekel”

“Mencurigakan?” bertanya suaminya, laki-laki berwajah kasar itu. “Apa yang mencurigakan? Mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka makan dan minum di kedai kita dengan membayar. Bahkan berlebih, seperti yang kau katakan.”

“Diam kau, dungu!” bentak istrinya.

Laki-laki itu memang terdiam. Sementara itu Ki Bekel sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Tetapi dengan hampir tidak berkedip dipandanginya Rara Wulan yang berdiri di sebelah Glagah Putih.

“Aku terpaksa menahan kalian berdua,” berkata orang yang disebut Ki Bekel itu. Orangnya masih muda. Wajahnya nampak bersih. Kumisnya terpelihara rapi. Demikian pula pakaiannya pun nampak rapi pula.

“Apa salah kami?” bertanya Glagah Putih.

“Kalian adalah orang-orang yang pantas dicurigai.”

“Kenapa? Apakah yang telah kami lakukan sehingga kami harus dicurigai?”

Ki Bekel itu melangkah mendekati Glagah Putih sambil berkata, “Kalian orang asing bagi kami.”

“Kami memang tidak pernah lewat jalan ini. Tetapi bukan berarti bahwa Ki Bekel dapat begitu saja mencurigai kami.”

“Katakan nanti kepada Ki Jagabaya yang akan memeriksamu. Jika kalian dapat meyakinkan kepada Ki Jagabaya bahwa kalian tidak bersalah, maka kalian akan dilepaskan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sekarang, kami akan dibawa kemana?”

“Kalian akan dibawa ke banjar.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara seorang di antara mereka yang datang bersama Ki Bekel itu bertanya, “Apa yang kau bawa itu?”

“Kau lihat, yang aku bawa adalah sebuah peti kayu.”

“Apa isinya?”

“Tidak apa-apa. Sedikit obat-obatan dan sebuah kitab tentang silsilahku dan silsilah istriku.”

Ketika laki-laki itu melangkah mendekati Glagah Putih, Ki Bekel pun berkata, “Biarkan saja. Segala sesuatunya akan diurus oleh Ki Jagabaya.”

Orang itu mengurungkan niatnya untuk merampas peti kecil itu.

“Sekarang, pergilah ke banjar padukuhan.”

“Dimana letaknya?” bertanya Glagah Putih.

Ki Bekel pun kemudian memerintahkan kepada orang-orangnya, “Bawa laki-laki itu ke banjar. Tetapi keduanya harus di tahan di tempat yang berbeda.”

“Lalu, kemana perempuan ini harus kami bawa?”

Ki Bekel itu berpikir sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tahan perempuan itu di rumahku.”

Namun sebelum orang-orang itu bergerak, terdengar Glagah Putih berkata sambil tertawa pendek, “Nah, ternyata dugaanku tepat.”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya, “Apa yang kau duga?”

“Ki Bekel. Ternyata tindakanmu kasar sekali. Apakah kau tidak dapat berbuat dengan sedikit terselubung, sehingga tidak justru menodai kewibawaanmu sendiri?”

“Apa maksudmu?” bentak Ki Bekel.

“Jangan ganggu kami. Biarkan kami meneruskan perjalanan kami. Kami tidak mau kau jadikan korban kebuasaanmu itu.”

“Iblis kau! Kau tahu, aku Bekel di sini.”

“Ya.”

“Kenapa kau berani menentang perintahku? Bahkan berani menghinaku.”

“Bukan aku yang menghinamu. Tetapi kau sendiri-lah yang telah menghina dirimu sendiri. Menghina kedudukanmu dan menghina wibawamu. Kau juga telah merendahkan kepercayaan rakyat pedukuhan ini kepadamu.”

“Tutup mulutmu. Aku dapat berbuat apa saja terhadap kalian berdua. Aku berkuasa di sini.”

“Kau salah menerjemahkan arti kekuasaan itu.”

“Diam kau! Aku dapat membunuhmu.”

“Aku tidak terkejut mendengar ancamanmu. Bahkan seandainya kau benar-benar melakukannya terhadap seseorang, karena kau menginginkan sesuatu dari orang itu. Bukankah itu sama artinya bahwa kau telah merampok? Derajatmu tidak lebih dari seorang penyamun yang menunggu mangsanya di bulak-bulak yang sepi. Bedanya, kau melakukannya justru di pedukuhanmu. Kau manfaatkan perempuan penjual nasi megana itu untuk memberikan isyarat, jika ada orang yang lewat dan pantas kau jadikan sasaran perampokan. Kau pergunakan kuasamu bagi kepentinganmu. Kepentingan pribadimu.”

“Cukup!” teriak Ki Bekel, “Tidak pernah ada orang yang berani menentangku. Tidak pernah ada yang berani menolak keinginanku.”

“Ki Bekel, aku dapat membayangkan, bahwa pedukuhan ini merupakan neraka bagi perempuan yang mempunyai harga diri yang tinggi. Perawan-perawan yang tumbuh dewasa akan selalu bersembunyi, agar tidak kau lihat keberadaannya. Istri-istri muda akan selalu gelisah jika mereka berpapasan dengan kau di jalan pedukuhan. Bahkan mereka yang sudah mempunyai satu dua anak, akan berusaha menghindar jika mereka bertemu dengan kau. Bekel yang seharusnya melindungi mereka.”

Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dengan geram iapun berkata, “Aku bunuh kau, iblis!”

Ki Bekel tidak menunggu lama lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam leher Glagah Putih. Agaknya Ki Bekel yang sangat marah itu ingin mencekiknya.

Tetapi tangannya tidak sempat menyentuh leher Glagah Putih. Dengan cepat Glagah Putih bergeser menghindar. Sementara Rara Wulan pun surut beberapa langkah.

Kemarahan Ki Bekel semakin membakar jantungnya. Dengan lantang iapun berkata kepada tiga orang pengikutnya, ”Jangan beri kesempatan orang ini melarikan diri! Aku akan mencincangnya sampai lumat. Itu berarti bahwa orang ini telah menghina kuasa dan kedudukanku.”

Ketiga orang pengiring Ki Bekel itu pun segera menebar. Mereka telah mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan, yang berdiri beberapa langkah di belakang.

“Aku peringatkan. Jangan melibatkan diri,” berkata Glagah Putih kepada para pengiring Ki Bekel itu.

Tetapi seorang di antara para pengiring itu membentaknya, “Bodoh kau! Aku adalah salah seorang pengawal Ki Bekel. Bagaimana mungkin kau dapat memperingatkan aku, agar aku tidak melibatkan diri.”

“Seharusnya kau tahu, kepada siapakah kau mengabdi. Kesetiaanmu kepada seorang yang berjalan sesat, adalah kesetiaan yang terbuang.”

“Persetan kau,” geram Ki Bekel. Lalu katanya, “Kita akan menangkapnya. Hidup atau mati.”

“Perintah orang gila,” sahut Glagah Putih, “perintahmu itu mempunyai sasaran timbal balik. Justru karena perintahmu itu, akupun akan menundukkanmu. Hidup atau mati.”

“Cepat” teriak Ki Bekel, “Jangan beri kesempatan untuk berbicara lagi.”

Orang-orang Ki Bekel itu pun segera bergeser. Sementara Glagah Putih telah memberikan peti kecilnya kepada Rara Wulan.

“Kakang,” berkata Rara Wulan, “agaknya perhatian mereka tertuju kepadamu. Karena itu, biarlah kau saja yang menanggapi mereka.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia tersenyum. Ia teringat kepada kalimatnya sendiri saat Rara Wulan harus menghadapi anak-anak muda bengal yang mengganggunya.

Dalam pada itu, ketiga orang pengikut Ki Bekel itu pun telah bergerak. Mereka serentak menyerang dari arah yang berbeda.

Namun serangan mereka itu tidak berarti apa-apa. Dengan mudah Glagah Putih menghindar. Bahkan kemudian kakinya yang bergerak melingkar telah melemparkan dua orang di antara ketiga orang yang menyerangnya itu.

Kedua orang yang terpelanting itu pun dengan cepat bangkit berdiri. Namun demikian keduanya bergeser mendekat, maka yang seorang-lah yang kemudian terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya. Namun akhirnya orang itu pun terjatuh pula.

Sementara itu kedua orang yang lain telah bersiap pula menyerang Glagah Putih dari arah yang berbeda.

Pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin sengit setelah ketiga orang itu menyadari, bahwa lawan mereka mempunyai ilmu yang tinggi.

Dengan demikian, maka ketiga orang pengawal Ki Bekel itu segera meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, bahkan ketika ketiga orang Ki Bekel itu menjadi semakin tidak berdaya, maka Ki Bekel mengarahkan pandangan matanya kepada perempuan yang membawa peti kecil itu. Agaknya peti kecil itu mempunyai arti yang tinggi. Selebihnya, perempuan itu sendiri tentu akan dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada laki-laki yang ternyata tidak dapat dikalahkan oleh ketiga orang pengawalnya itu.

Sejenak kemudian, tiba-tiba saja Ki Bekel telah meloncat menerkam Rara Wulan. Kedua tangannya terjulur lurus mengarah ke lehernya. Ki Bekel berniat untuk menguasai Rara Wulan dan memaksa Glagah Putih untuk menyerah. Perempuan itu sendiri, serta peti kecil yang berada di tangannya itu, akan dapat menjadi taruhannya.

Namun Ki Bekel itu terkejut bukan buatan. Kedua tangannya yang menggapai leher Rara Wulan itu tidak menyentuhnya. Rara Wulan itu bergeser selangkah ke samping. Kemudian dengan sebelah tangannya, Rara Wulan itu memukul punggung Ki Bekel yang agak terdorong oleh kekuatannya sendiri itu.

Ternyata pukulan Rara Wulan bagaikan meretakkan tulang punggungnya. Bahkan Ki Bekel itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah, sebelum Ki Bekel itu jatuh terjerembab.

Ki Bekel mencoba untuk segera bangkit. Namun dalam pada itu, dua orang pengawalnya telah terlempar dengan derasnya. Seorang di antara mereka membentur dinding halaman di pinggir jalan. Seorang terbanting jatuh di tanah.

Yang seorang pun menjadi ragu-ragu. Namun ia tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh lawannya yang masih terhitung muda itu, ketika tiba-tiba saja ia terlempar dan justru menimpa Ki Bekel yang baru saja bangkit itu, sehingga keduanya jatuh pula bergulir bersama-sama.

Terdengar Ki Bekel yang kumisnya tertata rapi itu mengumpat, “Setan kau! Dimana matamu, he?”

“Tetapi… tetapi… bukan maksudku,” jawab pengikutnya demikian, keduanya bangkit.

Ki Bekel itu pun menyeringai menahan sakit di punggungnya. Selain karena ia tertimpa oleh seorang pengawalnya, Ki Bekel memang jatuh tertelungkup dengan kerasnya karena pukulan Rara Wulan di punggungnya.

“Marilah, Ki Bekel,” berkata Rara Wulan, “bukankah itu yang kau inginkan? Marilah, bangunlah.”

Ki Bekel memang sudah berdiri Tetapi ia masih belum siap untuk bertempur. Karena itu, maka dengan kedua tangannya, Ki Bekel menekan pinggangnya.

“Kau perempuan iblis,” geram Ki Bekel.

Namun ternyata ketiga pengawalnya sudah tidak bangkit lagi. Sebenarnya seorang di antara mereka, yang menimpa Ki Bekel, masih belum terlalu parah. Tetapi ia sengaja berpura-pura tidak dapat bangun lagi, karena punggungnya sakit.

Sambil melangkah mendekat Rara Wulan pun berkata, “Nah, Ki Bekel. Kau sekarang sendiri. Apakah kau akan mampu melawan kami berdua?”

Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya pun menjadi gemetar.

“Sekarang, kami berdua-lah yang akan membunuhmu. Kau akan mati. Kau sendiri-lah yang pertama-tama mengucapkan kata-kata itu. Sebenarnya kami tidak ingin membunuh siapapun. Tetapi karena kau sudah melakukannya, maka kami pun akan melakukannya pula. Kami berdua akan mencincangmu. Kami akan membunuhmu dengan cara kami.”

Tiba-tiba saja Ki Bekel itu berlutut, “Ampun! Ampunilah aku. Aku tidak benar-benar ingin membunuh.”

“Omong kosong. Jika kau dan orang-orangmu itu mampu, kau tentu akan melakukannya.”

“Tidak. Sumpah, demi langit dan bumi.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Apakah masih ada orang yang menghagai sumpahmu? Sumpahmu tidak lebih dari sampah.”

“Aku bersungguh-sungguh bersumpah. Berjanji demi nyawaku.”

“Nyawamu yang akan aku cabut sekarang?”

“Jangan! Jangan, Ki Sanak. Aku minta ampun.”

Ki Bekel itu pun kemudian bagaikan merangkak mendekati Glagah Putih sambil merengek, “Aku minta ampun.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika kau mampu, kami berdua sekarang tentu sudah terbunuh di sini. Nah, sekarang kami-lah yang mampu melakukannya.”

“Ampun. Aku mohon ampun.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ketika ia memandang perempuan penjual nasi megana, maka perempuan itu pun segera menjatuhkan dirinya pula di hadapan Glagah Putih, “Aku juga memohon ampun.”

“Bukan aku yang kau rendahkan. Tetapi istriku. Seorang perempuan, seperti kau.”

“Aku khilaf. Aku mohon ampun.”

”Jika kau menghina seorang perempuan, itu berarti bahwa kau telah menghina dirimu sendiri.”

“Aku menyesal sekali, Ngger Aku tidak akan melakukannya lagi”

“Kau hargai keping-keping uang lebih dari harga diri seorang perempuan, harga dirimu sendiri.”

“Ya, ya, Ngger. Aku mohon ampun.”

“Kau harus minta maaf kepadanya.”

Perempuan itu beringsut. Ia pun berjongkok di depan Rara Wulan sambil merengek, “Aku mohon ampun, Ngger. Aku mohon ampun.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan pun kemudian justru beringsut dari tempatnya sambil berkata, “Aku ingin memberimu sedikit peringatan, Bibi. Aku tidak mendendammu. Aku akan memaafkanmu. Tetapi aku tidak ingin peristiwa seperti ini terulang lagi. Kedaimu itu harus dimusnahkan. Kedaimu itu adalah modal perbuatan terkutukmu itu.”

“Apa yang akan kau lakukan, Ngger?”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kedai yang berada beberapa puluh langkah di hadapannya.

“Siapa yang berada di dalam kedai, keluarlah!” berkata Rara Wulan lantang.

Tidak ada seorangpun yang berada di dalam kedai. Sementara itu, orang-orang yang berada di tempat itu memandanginya dengan terheran-heran.

“Apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu?”

Ketika Glagah Putih mendekatinya, diserahkannya peti kecil itu kepada Glagah Putih sambil berkata, “Sedikit cambuk bagi perempuan itu.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perempuan itu telah memusatkan nalar budinya. Kemudian dilontarkannya ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce dengan sasaran kedai di pinggir jalan itu.

Ketika Rara Wulan melontarkan ilmunya, maka terdengar tulang-tulang bambu dari kedai itu berderak. Kedai itu bagaikan diguncang oleh angin prahara yang tertiup dari samudra. Ketika kemudian Rara Wulan melontarkan ilmunya sekali lagi, maka kedai itu pun tidak saja terguncang. Atapnya yang terbuat dari ketepe daun kelapa yang sudah kering itu menyentuh api yang masih menyala di kedai itu untuk merebus air.

Maka sejenak kemudian, kedai yang roboh itu mulai terbakar.

“Kedaiku… kedaiku…”

Ketika perempuan itu akan berlari ke kedainya yang sudah terbakar, dengan cepat suaminya pun menangkap lengannya. Kemudian memeganginya erat-erat.

“Kedaiku terbakar.”

“Biarlah kedaimu itu terbakar. Ternyata kedai itu kau gunakan untuk menimbun dosa.”

“Aku sudah menyesali perbuatanku.”

“Tetapi apa yang terdapat di dalam kedai itu, semua sudah kau lumuri dengan perbuatan nista. Karena itu, biarlah kedaimu itu terbakar, sejalan dengan penyesalan yang menyala di hatimu. Jika api itu nanti padam dengan sendirinya, itu juga akan berarti bahwa noda-noda di dalam hatimu juga sudah dibersihkan.”

“Tetapi dosa itu bersumber dari dosa-dosa yang dipercikkan oleh Ki Bekel.”

Laki-laki yang berwajah kasar dan bermata liar tetapi berhati bersih itu berkata., “Kau jangan menimpakan kesalahan kepada orang lain. Biarkan Ki Bekel memikul dosanya sendiri. Jika saja kau tidak lepas dari pegangan, maka kau tidak akan dapat dipengaruhinya sehingga kau pun berbuat nista.”

Istrinya tidak menjawab lagi. Dipandanginya api yang menelan kedainya. Sementara langit menjadi semakin buram, maka nyala api itu pun menjadi semakin merah.

Sejenak kemudian, maka di sekitar kedai yang terbakar itu telah berkerumun penghuni padukuhan itu. Mereka melihat kedai yang terbakar, tetapi tidak seorangpun yang telah mengambil sikap. Tidak ada seorangpun yang mencoba memadamkan api yang berkobar itu. Apinya memang tidak terlalu besar. Tidak menggapai mega-mega yang melintas. Bangunan yang terbakar hanyalah bangunan yang kecil saja, yang dibuat dari bahan-bahan yang terhitung lunak. Bambu, ketepe daun kelapa dan sedikit kayu.

Apalagi bangunan itu terpisah dari bangunan induk serta bangunan yang lain, sehingga tidak dicemaskan bahwa api akan menjalar kemana-mana.

Sementara itu Ki Bekel benar-benar telah menjadi ketakutan. Ketika api sudah hampir padam, Glagah Putih pun berkata kepada orang-orang yang berkerumun, “Ki Sanak. Kalian lihat, apa yang telah terjadi dengan pemimpin kalian. Tetapi jangan mengambil tindakan apa-apa lagi. Kenyataan ini sudah merupakan hukuman yang pahit baginya. Selanjutnya, ia harus berubah. Inilah yang pantas kalian tuntut. Jika wataknya belum berubah beberapa waktu lagi, pada saat aku lewat jalan ini, maka aku akan mengambil langkah-langkah yang lebih pantas untuk seorang Bekel yang keras kepala.”

Tidak terdengar suara seorangpun di antara mereka yang berkerumun. Namun menilik wajah mereka, kata-kata Glagah Putih itu sangat menarik perhatian mereka.

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih pun berkata pula, “Aku sekarang akan pergi. Tetapi aku akan kembali pada kesempatan lain. Aku dapat mengambil langkah-langkah yang perlu. Bahkan untuk menangkap seorang Bekel atau Demang sekalipun, yang berbuat salah.”

Disingkapkannya bajunya, sehingga timangnya nampak berkilat memantulkan cahaya api yang merah. “Lihat. Aku membawa pertanda keprajuritan Mataram. Pertanda ini adalah lambang wewenang yang ada di tanganku.”

Ki Bekel yang sudah menjadi sangat cemas itu terkejut. Ia menjadi semakin cemas ketika Glagah Putih mengaku sebagai seorang yang mempunyai wewenang dalam lingkungan keprajuritan Mataram. Apalagi setelah Ki Bekel melihat pertanda di ikat pinggang Glagah Putih, maka ia pun menjadi semakin ketakutan.

“Aku mohon ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun,” berkata Ki Bekel berulang kali.

Namun Glagah Putih tidak langsung menjawabnya. Katanya, “Kau sudah dengar apa yang aku katakan. Terserah kepadamu. Jika kelak terjadi malapetaka bagimu, itu karena tingkahmu sendiri.”

“Aku sudah jera. Aku tidak akan mengulanginya.”

“Jangan hanya dalam kata-kata saja. Tetapi harus tercermin dalam perbuatan.”

“Aku akan membuktikannya.”

Glagah Putih pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Marilah, kita meneruskan perjalanan.”

“Tetapi hari sudah mulai malam, Ngger,” berkata laki-laki yang berwajah kasar. “Jika saja Angger sudi bermalam di rumahku yang kotor itu.”

“Terima kasih, Paman. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berhenti dan bermalas-malasan bermalam di rumah seseorang. Sekarang aku minta diri.” Lalu kepada orang banyak yang berkerumun, “Aku minta diri. Hati-hatilah kalian dengan Bekelmu sekarang. Awasi apakah ia masih saja menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Justru untuk melindungi perbuatannya yang paling buruk dari seorang yang seharusnya melindungi rakyatnya.”

Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi dari sorot mata mereka yang berkilat-kilat di cahaya api yang sudah hampir padam, Glagah Putih melihat ungkapan selamat jalan yang mereka berikan kepadanya dan kepada Rara Wulan.

“Kau benar-benar akan pergi, Ngger?” bertanya suami penjual nasi megana itu.

“Ya, Paman. Selamat tinggal. Aku berharap Bibi akan benar-benar menjadi baik.”

“Mudah-mudahan, Ngger. Mudah-mudahan apa yang terjadi ini menjadi peringatan bagi keluarga kami.”

“Aku yakin Paman akan dapat mengatasinya. Sekarang aku minta diri.”

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menyibak, maka orang-orang itu pun segera melangkah surut untuk memberikan jalan bagi keduanya.

Sejenak kemudian, keduanya sudah berada agak jauh di luar padukuhan. Keduanya masih berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi atas seorang perempuan penjual nasi megana itu.

Namun akhirnya Rara Wulan pun berkata, “Kita akan bermalam di mana malam ini, Kakang?”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Keduanya masih berjalan terus. Malam menjadi semakin gelap. Dengan nada dalam Glagah Putih pun berkata, “Kita akan bermalam di tempat terbuka.”

Rara Wulan mengangguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana dengan padukuhan di depan?”

“Maksudmu, bermalam di banjar?”

“Ya.”

Glagah Putih mengangguk pula. Katanya, “Dapat kita coba Rara. Kita pergi ke pedukuhan itu. Tetapi jika kita melihat kemungkinan yang rumit, maka sebaiknya kita berjalan terus.”

“Aku setuju, Kakang. Kita melihat suasananya saja lebih dahulu. Nampaknya padukuhan itu merupakan padukuhan yang agak besar.”

“Perjalanan kita pun terasa semakin menurun. Kita sudah membelakangi puncak Gunung Merapi.”

“Bukankah kita berjalan ke arah barat?”

“Ya. Ketika matahari terbenam tadi, menunjukkan kepada kita arah barat itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Tetapi lebih jelas lagi, kita akan melihat Lintang Gubug Penceng nanti sebentar lagi, jika awan yang agak tebal itu berlalu.”

Keduanya pun berjalan lebih cepat menuju ke padukuhan yang berada di hadapan mereka. Padukuhan besar panjang, membujur ke utara.

Semakin mereka dekat, maka mereka pun mulai melihat beberapa buah oncor yang di pasang di regol halaman

“Padukuhan itu selain besar, agaknya juga ramai, Kakang” berkata Rara Wulan

“Nampaknya memang begitu. Tetapi semakin besar dan ramai sebuah padukuhan, maka penduduknya pun tentu semakin beraneka tingkah polahnya.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kedai nasi megana itu tidak terletak di padukuhan yang besar. Tetapi kita temui orang-orang yang tingkah polahnya memuakkan.”

Glagah Putih tersenyum.

Keduanya pun kemudian menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang padukuhan. Dua buah oncor menyala di sebelah-menyebelah gerbang itu.

Ketika mereka berdua memasuki jalan utama padukuhan itu, mereka memang merasa agak ragu. Namun kemudian mereka pun mendengar suara gamelan yang mengalun dengan irama yang keras.

“Ada keramaian, Kakang,” desis Rara Wulan

“Ya.”

Mereka pun harus menepi ketika sekelompok anak muda berjalan bergegas mendahului mereka. Agaknya anak-anak muda itu pun akan pergi menonton keramaian. Suara gamelan itu agaknya telah memanggil mereka untuk bergegas pergi ke tempat keramaian itu.

Dari regol halaman di sebelah-menyebelah jalan pun beberapa orang telah melangkah keluar. Mereka semuanya pergi ke arah yang sama. Ke suara gamelan itu.

“Marilah kita lihat keramaian itu,” berkata Glagah Putih. Rara Wulan mengangguk.

“Mungkin kita akan melewati banjar padukuhan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mengikuti beberapa orang yang berjalan di depan mereka. Bahkan semakin lama jalan yang dilaluinya itu terasa menjadi semakin ramai. Anak-anak remaja, anak-anak muda laki-laki dan perempuan. Bahkan orang-orang tua. Gadis-gadis yang biasanya lebih banyak berada di rumah, justu karena umurnya yang menginjak dewasa, telah keluar pula dari halaman rumahnya, meskipun pada umumnya disertai keluarganya, untuk pergi ke arah suara itu.

“Ada keramaian apa, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih kepada dua anak-anak muda yang berjalan di sebelahnya.

“Pertarungan antara orang berilmu tinggi.”

“Pertarungan apa maksudmu?”

“Beberapa orang berilmu tinggi akan bertarung di halaman banjar. Siapa yang menang akan mendapat hadiah uang dari Ki Bekel.”

“Hadiah uang? Darimana Ki Bekel mendapatkan uang itu?”

“Dari mereka yang bertaruh.”

“Bertaruh?”

“Ya.”

“Jadi ada pertarungan manusia untuk taruhan?”

“Kau bukan orang dari daerah di sekitar padukuhan ini, Ki Sanak?” bertanya anak muda itu.

“Bukan.”

“Itulah sebabnya kau tidak tahu. Permainan seperti ini sudah pernah dilakukan dua atau tiga kali sebelumnya. Sangat menarik.”

Glagah Putih tidak menjawab. Rara Wulan-lah yang berdesis, “Kau benar, Kakang. Semakin besar dan ramai sebuah padukuhan, maka penduduknya tentu menjadi semakin beraneka polah tingkahnya.”

“Ya,” Glagah Putih tertawa tertahan. Sedangkan Rara Wulan pun tertawa pula.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah berada di halaman banjar padukuhan. Banjar itu memang terhitung banjar yang besar, sesuai dengan lingkungan padukuhan yang lebih besar dan ramai itu dibanding dengan padukuhan-padukuhan yang lain.

Di tengah-tengah halaman itu terdapat sebuah kalangan dengan gawar tampar ijuk.

Di sekitar gawar itu telah banyak berkerumun orang-orang yang ingin menyaksikan, pertarungan antara beberapa orang yang berilmu tinggi.

“Permainan gila,” desis Glagah Putih.

Di tangga pendapa berdiri sekelompok orang yang agaknya orang-orang yang sedang bertaruh itu. Di tengah-tengah, Ki Bekel berdiri diapit oleh dua orang bebahu, Ki Jagabaya dan Ki Kebayan. Sedangkan di atas pendapa itu terdapat seperangkat gamelan yang tidak lengkap. Hanya beberapa saja, ditabuh dengan irama yang hingar-bingar.

Beberapa saat kemudian, maka suara gamelan itu pun berhenti. Ki Bekel yang berdiri di tangga pendapa itu pun berkata lantang kepada orang-orang yang berada di sekitar arena, “Saudara-saudaraku. Dalam keadaan yang terasa semakin gawat sekarang ini, kita perlu memiliki sekelompok orang yang berilmu tinggi untuk menjaga ketenangan padukuhan kita. Karena itu, kita sekarang berupaya untuk mengetahui, siapa sajakah di antara kita yang pantas untuk menjadi pengawal padukuhan, yang akan berada langsung di bawah perintah Ki Jagabaya. Untuk itu, maka aku telah memutuskan untuk menyelenggarakan permainan ini, pertarungan di antara orang-orang yang berilmu tinggi di padukuhan. Karena itu, yang akan ikut dalam permainan ini adalah orang-orang dari padukuhan kita sendiri. Namun kemudian untuk membuat perbandingan dengan kekuatan yang ada di luar padukuhan kita, maka ada beberapa orang diperkenankan untuk ikut serta dalam permainan ini, pada tahap-tahap terakhir saja. Segala sesuatunya harus diselesaikan lebih dahulu. Urusannya di pegang oleh Ki Kamituwa. Silahkan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan ikut berdiri berdesakan di antara mereka yang berkerumun itu.

“Bekel ini licik sekali,” desis Rara Wulan.

“Ya. Bekel ini sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari Bekel di padukuhan yang tadi kita lewati. Yang di dalamnya terdapat sebuah kedai nasi megana.”

“Ya. Nampaknya memang begitu. Kita lihat saja apa yang akan dilakukan nanti.”

Sejenak kemudian, maka Ki Bekel itu pun berkata selanjutnya, “Kita akan segera mulai. Peraturan yang berlaku dalam gelanggang permainan ini sama seperti permainan yang baru lalu. Nah, Ki Kamituwa akan segera memanggil urutan mereka yang akan memasuki gelanggang permainan ini. Ingat, bukan maksud permainan ini untuk saling membunuh.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Kamituwa itu pun telah memanggil dua orang yang akan terlibat dalam pertarungan di gelanggang yang dilingkari oleh gawar tampar ijuk itu.

Sejenak kemudian, dua orang pun telah berkelahi. Tidak terlalu lama. Seorang di antara mereka pun segera terpelanting jatuh. Ketika ia mencoba untuk bangkit, maka mulutnya pun menyeringai menahan sakit. Agaknya tulang punggungnya-lah yang mengalami cidera.

Dengan demikian, maka yang masih tetap berdiri tegak itu pun dinyatakan sebagai pemenang. Orang itu mengangkat kedua tangannya sambil meloncat-loncat gembira.

Demikianlah, maka Ki Kamituwa pun segera memanggil dua orang yang mendapat giliran berikutnya. Ketika seorang dikalahkan, maka datang giliran pasangan yang lain.

“Ternyata banyak pula yang tertarik untuk ikut,” desis Glagah Putih.

“Ya. Nampaknya mereka tertarik untuk dikagumi, atau tertarik oleh uang hadiahnya yang besar.”

”Atau kedua-duanya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sepasang demi sepasang orang-orang yang merasa dirinya berilmu itu pun telah memasuki gelanggang. Demikian pasangan-pasangan itu berakhir, sebelum mereka memasuki babak berikutnya yang masih akan diundi, maka para peserta dari luar padukuhan itulah yang akan tampil.

Pasangan-pasangan pun diturunkan di gelanggang. Tidak terlalu banyak.

Nampaknya Ki Bekel ingin mendapatkan orang terbaik dari padukuhannya, yang akan diadu dengan seorang yang terbaik di antara mereka yang datang dari luar padukuhan.

Ketika pertarungan memasuki babak kedua, maka pertarungan pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang menang dari babak pertama sajalah yang dapat memasuki babak kedua.

Apalagi pada babak-babak berikutnya.

Akhirnya, di arena itu akan bertempur orang-orang terbaik saja. Empat orang dari padukuhan itu dan empat orang dari luar padukuhan. Di antara mereka akan diambil dua orang dari masing-masing kelompok.

Dua orang itu masing-masing akan dipertandingkan. Terakhir akan bertarung orang yang terbaik dari semuanya.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih melihat pertarungan itu. Bagi keduanya, tidak ada yang menarik. Meskipun demikian, mereka masih saja berniat untuk menyaksikan sampai orang yang terakhir.

Pertarungan-pertarungan yang kemudian terjadi menjadi semakin seru. Mereka mulai melepaskan ilmu terbaik mereka masing-masing.

Namun di arena itu mulai terjadi peristiwa yang mendebarkan. Ada di antara mereka yang ikut serta dalam pertarungan itu menjadi pingsan. Ada yang giginya tanggal dan mulutnya berdarah. Tetapi ada yang tulangnya menjadi retak.

Glagah Putih mulai tersentuh ketika pertarungan sudah sampai pada tahap-tahap terakhir. Seorang yang datang dari luar padukuhan itu ternyata bertempur dengan penuh keyakinan. Nampaknya orang itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Dengan tidak banyak mengalami kesulitan ia berhasil mengalahkan lawan-lawannya sampai pada pertarungan puncak.

Namun seorang yang lain, yang agaknya juga bukan orang padukuhan itu, bertempur dengan sombongnya. Bahkan sikapnya kepada Ki Jagabaya dan kepada Ki Bekel pun tidak sewajarnya. Setiap kali ia berteriak-teriak di arena, menantang lawan-lawannya.

Ketika pertarungan itu sampai pada tahap akhir, sehingga yang tinggal di arena hanyalah empat orang saja, maka orang yang sombong itu telah dihadapkan dengan seorang dari padukuhan itu, yang telah memenangkan pertarungan-pertarungan sebelumnya.

Namun Glagah Putih menjadi cemas. Menurut pengamatannya, orang yang muncul sebagai pemenang dari padukuhan itu, akan mengalami kesulitan untuk menghadapi orang kasar yang sombong itu.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi orang padukuhan itu sendiri, yang juga sulit melihat kenyataan tentang lawannya. Bahkan ketika lawannya bersikap sombong, ia pun mencoba untuk mengimbangi kesombongan itu.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya pun berdiri di tangga pendapa sambil berkata lantang, “Saudara-saudaraku. Yang akan turun ke arena adalah dua orang yang mempunyai ilmu yang tinggi. Yang seorang berasal dari Gunung Gandar di pinggir hutan itu. Yang seorang adalah tetangga kita sendiri, yang telah memenangkan pertarungan-pertarungan sebelumnya. Kita akan melihat, siapakah yang terkuat di antara mereka. Sedangkan nanti setelah pertarungan ini, akan menyusul pertarungan yang seru pula. Seorang dari padukuhan Ricik, sedangkan lawannya adalah tetangga kita yang lain. Terakhir adalah para pemenang dari kedua pertarungan ini. Mungkin kedua-duanya tetangga kita. Mungkin seorang saja di antara mereka yang lolos, atau bahkan kedua-duanya orang lain.”

Terdengar orang-orang yang berada di halaman itu bertepuk tangan. Sementara itu nampaknya pertarungan masih cukup lama, justru yang tertinggal di antara mereka adalah orang-orang yang terbaik.

Beberapa saat kemudian, maka perkelahian antara orang yang sombong melawan seorang penghuni padukuhan itu pun segera dimulai, diiringi sorak-sorai para penontonnya untuk memberikan dukungan kepada salah seorang tetangga mereka yang masih mampu bertahan.

Demikian tanda bahwa pertarungan itu dapat dimulai, keduanya pun segera bergeser saling mendekat. Malam itu keduanya telah bertarung beberapa kali. Baru setelah mereka mengalahkan lawan-lawan mereka, maka mereka sampai pada babak yang hampir menentukan itu.

Pertarungan itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Orang yang sombong dan bertempur dengan kasarnya itu semakin lama semakin menguasai arena. Penghuni padukuhan yang berhasil mewakili kawan-kawannya itu, setiap kali terlempar dan terpelanting jatuh. Serangan-serangannya tidak terlalu banyak dapat menggapai sasarannya, tetapi orang yang kasar dan sombong yang datang dari Bukit Gandar itu justru lebih sering dapat mengenai lawannya.

Semakin lama, semakin nampak bahwa orang dari Gunung Gandar itu memang memiliki beberapa kelebihan selain kekasarannya.

Semakin lama wakil dari padukuhan itu pun menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan lawannya semakin sering mengenainya. Ketika kaki lawannya itu mengenai dadanya, maka orang padukuhan itu pun tepelanting jatuh.

Begitu ia bangkit, maka lawannya telah berdiri di depannya Digapainya bajunya, ditariknya dengan hentakan yang kuat. Kemudian tangannya pun terayun deras sekali menghantam dagunya.

Sekali lagi orang itu terlempar jatuh. Ketika ia berusaha berdiri, maka sebelum ia berhasil tegak, kaki lawannya yang meloncat sambil berputar telah menyambar keningnya.

Orang itu pun terjatuh dengan derasnya. Punggungnya serasa patah, sehingga orang itu tidak lagi mampu untuk bangkit berdiri. Ketika ia mencoba bertelekan kedua tangannya, orang itu gagal.

Namun ternyata lawannya tidak membiarkannya. Dengan kasarnya orang itu ditariknya berdiri. Ketika orang itu dilepaskannya, maka ia pun menjadi terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.

Pada saat yang demikian, maka orang dari Bukit Gandar itu justru mengambil ancang-ancang. Dengan derasnya ia meloncat sambil menjulurkan kakinya, tepat mengarah ke dada.

Orang yang terhuyung-huyung itu tidak mampu lagi mengelak atau menangkis serangan itu. Ketika kaki lawannya itu menghantam dadanya, maka terdengar ia mengaduh tertahan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah menyangkut gawar tampar ijuk. Kemudian terjatuh di pinggir arena.

Tetapi orang yang kasar itu agaknya masih belum puas. Ia pun meloncat menerkam lawannya yang sudah tidak berdaya.

“Cukup! Cukup!” teriak Ki Jagabaya sambil meloncat untuk melerai perkelahian itu.

“Aku masih belum puas,” geramnya.

Tetapi Ki Jagabaya mendorongnya sambil berkata, “Kau sudah menang. Jika dalam pertarungan terakhir kau dapat menang lagi, maka kau-lah yang akan mendapat hadiah itu.”

Orang itu bergeser surut. Sementara dua orang yang lain memasuki arena untuk menolong orang yang telah dikalahkannya. Justru penghuni padukuhan itu sendiri.

“Kau harus beristirahat sebaik-baiknya. Kau tidak perlu membuang-buang tenaga, karena kau masih akan bertarung lagi. Justru melawan orang yang terbaik.”

“Aku-lah yang terbaik.”

“Kau masih harus membuktikannya. Seorang yang akan bertarung nanti adalah seorang yang sudah tiga kali berturut-turut memenangkan permainan ini. Sejak kita membuka permainan ini untuk yang pertama kali, orang itulah yang memenangkannya.

“Mana orang itu? Aku akan memilin lehernya. Jika ia mati, itu bukan salahku.”

“Arena ini adalah arena permainan. Bukan arena pembunuhan.”

“Kematian adalah kemungkinan wajar yang terjadi dalam arena seperti ini.”

“Beristirahatlah. Sekarang akan turun ke gelanggang pasangan terakhir. Yang menang akan bertarung melawanmu.”

Orang itu pun melangkah menepi.

Sejenak kemudian, maka telah turun ke arena pertarungan itu dua orang yang akan bertarung terakhir sebelum pertarungan yang menentukan, siapakah pemenang dari permainan itu. Pemenang yang akan mendapatkan hadiah uang yang cukup banyak.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu di tempatnya, di antara para penonton yang melingkari arena pertarungan itu. Ternyata beberapa orang yang menonton itu pun mulai bertaruh di antara mereka. Sementara itu, orang-orang yang berada di tangga pun telah mengumpulkan uang taruhan pula. Justru para perabot padukuhan itulah yang melayani mereka.

Dua orang yang turun ke arena itu sudah mempersiapkan diri. Seorang di antaranya adalah penduduk padukuhan itu sendiri. Penghuni padukuhan itu, yang dalam kehidupannya sehari-hari memang sangat disegani oleh tetangga-tetangganya. Tetangga-tetangganya itu percaya bahwa orang itu memiliki berbagai macam benda-benda keramat sebagai jimat, yang dapat membuatnya memiliki kelebihan dari orang lain.

Pada arena pertarungan sebelumnya, orang itu belum pernah ikut serta. Ia tidak mau merendahkan dirinya dengan permainan semacam itu. Tetapi akhirnya ia tergoda pula untuk memenangkan hadiah yang cukup besar.

Dengan demikian, maka pada musim pertarungan ini, orang itu telah melibatkan dirinya.

Sedikit lewat tengah malam, maka dua orang telah berada di arena. Ketika terdengar isyarat, maka keduanya pun segera bergeser. Justru penghuni padukuhan itulah yang nampak lebih garang dari lawannya, yang telah memenangkan permainan seperti itu beberapa kali berturut-turut.

“Aku akan menunjukkan kepadamu, bahwa penghuni padukuhan ini bukanlah orang-orang yang lemah, yang dapat kau kalahkan dan kau anggap tidak berdaya.”

Orang yang memenangkan pertarungan seperti itu beberapa kali berturut-turut itu pun menjawab, “Aku tidak pernah mempunyai anggapan seperti itu. Akupun tidak menolak kemungkinan bahwa kali ini aku dikalahkan.”

“Ya. Kau akan dikalahkan.”

Sejenak kemudian, maka pertarungan segera dimulai. Orang padukuhan itu, yang baru pertama kalinya mengikuti permainan yang tidak kurang dari sebuah arena pertaruhan besar-besaran, telah mulai menyerang. Tetapi serangannya itu ternyata masih dapat dielakkan, sehingga sama sekali tidak menyentuh sasarannya.

Orang itu pun menggeram. Dengan tangkasnya ia pun segera mengulangi serangannya. Namun sekali lagi lawannya mampu mengelak.

Tetapi lawannya, orang dari padukuhan Ricik itu, tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran serangan serangan. Ia pun segera berganti menyerang.

Dengan demikian, maka pertarungan itu pun menjadi seru. Keduanya saling menyerang dan bertahan.

Dalam pada itu, ketajaman penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat, bahwa sebenarnyalah orang yang disebut dari padukuhan Ricik itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia tidak mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Ia sekedar mengimbangi kemampuan lawannya, orang dari padukuhan itu sendiri.

Dengan demikian, maka di mata orang-orang yang menyaksikannya, kemampuan keduanya justru seimbang.

“Orang itu memang berilmu tinggi,” bisik Glagah Putih.

“Ya,” sahut Rara Wulan, “kenapa ia merendahkan dirinya, terjun dalam permainan yang kotor itu?”

“Agaknya ia tertarik pada sejumlah uang yang diterimanya sebagai hadiah kemenangannya. Tiga kali berturut-turut ia memenangkan pertarungan seperti ini. Itu berarti bahwa ia sudah menerima hadiah uang tiga kali berturut-turut.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Keduanya pun memperhatikan pertarungan itu dengan seksama. Banyak kesempatan orang padukuhan Ricik itu yang tidak dipergunakannya. Seandainya ia mau, maka pertarungan itu sudah dapat diselesaikan jauh sebelumnya

Agaknya orang dari Ricik itu menunggu lawannya menjadi kelelahan. Karena itu, yang dilakukannya hanyalah banyak memancing lawannya untuk mengerahkan tenaga dan kekuatannya. Sekali-sekali benturan kekuatan. Namun sekali-sekali sedikit loncatan menjauhinya, agar lawannya itu memburunya dan menyerang sejadi-jadinya.

Sebenarnyalah akhirnya lawannya itu pun menjadi kelelahan. Tidak banyak lagi yang dapat dilakukan. Beberapa kali orang Ricik itu justru menyerang dan mengenainya.

Akhirnya, orang padukuhan itu, satu-satunya orang yang mampu mewakili pertarungan sampai yang terakhir dengan berpengharapan, telah dikalahkan. Pada saat nafasnya hampir putus, orang itu sudah tidak mampu lagi untuk meneruskan perkelahian. Apalagi setelah beberapa kali lawannya menyakitinya. Sentuhan-sentuhan serangannya membuatnya semakin tidak berdaya.

Demikianlah, ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, maka pertarungan itu telah sampai ke puncaknya. Yang akan turun ke arena adalah dua orang yang kedua-duanya justru bukan orang dan padukuhan itu sendiri. Seorang dari padukuhan Ricik, seorang lagi dari Bukit Gandar.

Demikian orang padukuhan yang dikalahkan oleh orang Ricik itu dipapah keluar dari arena, maka orang dari Bukit Gandar itu pun segera meloncat memasuki arena. Terdengar ia berteriak, “Marilah, orang Ricik! Kau adalah pelaku terakhir dari pertarungan ini. Aku tantang kau bertarung sampai seorang di antara kita mati.”

“Tidak!“ teriak Ki Jagabaya. “Jika terjadi pembunuhan di arena, maka kita akan kehilangan kemungkinan untuk membuat permainan seperti ini lagi. Jika ada yang memberikan laporan tentang kematian, maka akan datang petugas yang akan mengusut peristiwa ini, peristiwa yang kita lakukan tanpa ijin ini. Ini pelangaran. Jika ada yang mati, maka pelanggaran itu akan berlipat-lipat. Sementara itu, permainan ini kita rencanakan akan kita lakukan berkala. Setiap kali ada kemungkinan untuk melakukannya, kita akan melakukannya.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan geram iapun kemudian berkata, “Aku akan menggabungkan permainan ini dengan persoalan pribadi kami. Aku mendendam orang dari Ricik itu. Aku tantang ia berperang tanding. Dengan demikian tanggung jawabnya akan terletak di pundak kami. Kalian tidak akan terpercik oleh darah kami. Karena apa yang terjadi adalah kesepakatan kami berdua.”

“Kenapa kau mendendamnya?”

“Itu adalah urusan kami. Orang lain tidak perlu mengetahuinya.”

“Tetapi kematian itu akan terjadi di sini, di arena permainan ini.”

“Itu bukan soal. Perang tanding tidak memilih tempat. Di sawah, di jalan di halaman atau bahkan di banjar padukuhan seperti ini.”

“Terserahlah kepada kesepakatan kalian. Tetapi kematian yang akan terjadi di arena ini. bukan tanggung jawab kami. Semua orang yang hadir di sini akan menjadi saksi, bahwa kematian salah seorang di antara kalian terjadi dalam perang tanding.”

Namun tiba-tiba orang dari padukuhan Ricik itu menyela, “Bagaimana kalau aku tidak menerima tantangan perang tanding?”

“Pengecut!” teriak orang dari Gunung Gandar di pinggir hutan itu, “Jika kau menolak, maka kau harus mengundurkan diri. Aku-lah pemenangnya dan aku-lah yang berhak menerima hadiah itu.”

Orang dari padukuhan Ricik itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun bertanya, “kenapa permainan ini tidak diteruskan sesuai dengan ketentuannya? Tidak dengan perang tanding?”

“Persetan kau, pengecut!” teriak orang dari Gunung Gandar itu.

Orang dari padukuhan Ricik itu termangu-mangu sejenak.

Dalam pada itu Glagah Putih pun berdesis, “Nampaknya orang dari Gunung Gandar itu orang yang sudah berendam di dunia yang hitam. Mungkin ia seorang gegedug, mungkin seorang penyamun.”

“Ya. Bahkan mungkin seorang pembunuh upahan.”

“Mungkin sekali. Ia mendapat tugas untuk membunuh orang yang sudah tiga kali berturut-turut memenangkan permainan ini, agar membuka peluang bagi orang yang mengupahnya di permainan mendatang.”

“Jika demikian, maka orang itu tentu orang yang bodoh. Di permainan mendatang, pembunuh bayaran itu tentu akan tampil lagi.”

“Kalau setiap kali orang yang mengupahnya memberi uang lebih banyak dari uang yang didapatnya sebagai pemenang?”

“Lalu pamrihnya?”

“Namanya akan menjulang. Ia akan ditakuti orang.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang ketika ia mendengar orang padukuhan Ricik itu akhirnya menjawab, “Aku terima tantangannya.”

“Bagus!” teriak orang Bukit Gandar, “Kita akan menyelesaikan persoalan pribadi kita.”

“Jangan berkata begitu. Aku tidak mempunyai persoalan pribadi dengamu. Bahkan aku merasa belum pernah mengenalmu. Jika kau ingin mendapat kemenangan mutlak dengan membunuh lawanmu di pertarungan ini, kau tidak perlu mencari-cari alasan, seolah-olah kita mempunyai persoalan pribadi.”

Orang dari Bukit Gandar itu dengan serta-merta menjawab, “Kau memang pengecut dan licik. Kau membuat kesan seolah-olah tidak ada persoalan di antara kita. Kau tentu berusaha keras untuk mengurungkan perang tanding itu.”

“Tidak. Bukan itu persoalannya. Tetapi aku tidak mau kau berpijak pada alasan-alasan palsu. Jika kau ingin bertarung sampai tuntas, kita akan melakukannya. Bahkan tanpa sebab sekalipun.”

“Persetan dengan fitnahmu. Tetapi aku tetap saja akan membunuhmu. Bahkan jika tidak berada di arena sekalipun.”

“Sudah aku katakan. Aku menerima tantanganmu.”

Ketika keduanya berdiri di arena, maka orang-orang yang melingkari arena itu pun menjadi sangat tegang. Mereka pernah menyaksikan pertarungan yang sengit. Tetapi bukan perkelahian sampai mati.

Ki Bekel-lah yang kemudian berkata lantang kepada orang-orang yang berada di sekitar arena, “Kalian menjadi saksi, bahwa tanggung jawab atas kematian yang terjadi di arena ini, ada di pundak mereka berdua.”

Demikianlah, maka pertarungan antara kedua orang yang berhasil memanjat sampai ke puncak permainan itu pun segera dimulai. Kedua belah pihak nampak berhati-hati. Mereka bergeser saling mendekati.

Tiba-tiba saja orang Bukit Gandar itu pun meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi dengan tangkas orang padukuhan Ricik itu pun menghindar. Serangan orang Bukit Gandar itu tidak mengenainya.

Tetapi orang Bukit Gandar itu tidak melepaskannya. Dengan cepat orang itu meloncat sambil mengayunkan tangannya mendatar.

Tetapi begitu ia bergerak dan mengangkat tangannya, maka kaki orang padukuhan Ricik itu telah terjulur lurus.

Orang Bukit Gandar itu terkejut. Dengan cepat itu bergeser menghindar. Tetapi ternyata gerak orang padukuhan Ricik itu lebih cepat. Kakinya sempat mengenai lambungnya.

Orang dari Bukit Gandar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya.

Orang dari Bukit Gandar itu mengumpat kasar. Serangan-serangannya pun kemudian datang beruntun dengan garangnya.

Tetapi orang dari padukuhan Ricik itu ingin membungkam kesombongan lawannya dengan segera. Berbeda dengan pertarungan yang baru saja diselesaikan melawan orang padukuhan itu. Ia mengalahkannya dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan hati. Tetapi orang Bukit Gandar itu adalah orang yang sombong, kasar, dan bahkan mungkin sekali ia adalah seorang yang berasal dari gerombolan yang berada di bawah pengaruh kuasa kegelapan.

Karena itu, maka orang dari padukuhan Ricik itu tidak menunda-nunda setiap kesempatan.

Glagah Putih dan Rara Wulan memandang pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran. Ternyata orang dari padukuhan Ricik itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Dalam waktu yang singkat, bahkan lebih singkat dari dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, orang dari padukuhan Ricik itu telah berhasil menguasai arena. Serangan-serangannya yang datang beruntun tidak lagi dapat dielakkan. Tangannya yang terjulur lurus, telah menyambar dada orang Bukit Gandar itu, sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun orang dari Ricik itu tidak melepaskannya. Ia pun segera meloncat sambil memutar tibuhnya. Kakinya yang terayun mendatar telah menampar kening lawannya.

Orang dari Bukit Gandar itu terdorong beberapa langkah surut. Namun ia masih mencoba untuk mempertahankan keseimbangannya.

Tetapi serangan berikutnya telah datang pula. Sekali lagi kaki orang padukuhan Ricik itu terayun pada saat tubuhnya berputar. Sekali lagi kaki orang itu menyambar kening lawannya.

Orang dari Bukit gandar itu terlempar beberapa langkah surut. Ia tidak mampu lagi bertahan untuk tetap berdiri tegak. Bahkan tubuhnya itu pun terpelanting jatuh menimpa gawar tali ijuk yang mengelilingi arena, kemudian terpental dan jatuh menelungkup.

Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia tidak lagi dapat berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti orang yang sedang mabuk tuak.

Orang padukuhan Ricik itu tidak membiarkannya. Ia mengambil ancang-ancang beberapa langkah. Kemudian orang itu pun meloncat dengan derasnya. Kedua kakinya pun menghantam dada lawannya itu dengan kerasnya.

Terdengar orang itu mengaduh. Tubuhnya terlempar sekali lagi, bukan menyambar gawar, namun justru terlempar melampaui gawar itu keluar dari arena.

Orang itu masih menggeliat. Tetapi ia tidak lagi mampu untuk bangkit. Orang padukuhan Ricik itu pun memburunya. Ia pun meloncati gawar tali ijuk itu. Ditariknya baju orang Bukit Gandar itu sehingga berdiri, meskipun kedua kakinya seakan-akan tidak berdaya lagi.

“Saatnya untuk mengakhiri pertarungan ini. Bukankah kau yang menginginkan bahwa kita akan bertarung sampai tuntas?”

Wajah orang itu menjadi pucat. Ia masih juga berusaha untuk berdiri,

“Kau harus menyiapkan dirimu untuk menyongsong kematianmu.”

Orang dari Gunung Gandar itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya menjadi gemetar.

“Apakah kau sudah siap? Aku akan memilin lehermu sampai patah. Aku tidak menyakitimu terlalu lama. Kematian akan terjadi dalam sekejap.”

Ketika orang dari padukuhan Ricik itu melepaskannya, maka prang itu pun jatuh terduduk.

Orang dari padukuhan Ricik itu pun kemudian berdiri di belakangnya. Kedua tangannya memegang kepala orang Gunung Gandar itu pada ubun-ubun dan pada dagunya. Ia sudah siap mematahkan leher orang yang sombong dan liar dari Gunung Gandar.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Keduanya sudah bersepakat untuk berperang tanding, sehingga segala sesuatunya akan menjadi tanggung-jawab mereka sendiri.

Namun tiba-tiba orang padukuhan Ricik itu melepaskan kepala orang dari Gunung Gandar itu. Sambil mendorong sehingga orang Gunung Gandar itu jatuh tertelungkup, orang Ricik itu berkata, “Kali ini aku tidak berminat membunuhmu. Aku tahu bahwa apa pun alasannya, kematian di arena ini akan dapat menjadi persoalan. Dengan demikian maka pertarungan seperti ini akan dilarang. Padahal aku masih ingin memenangkan pertarungan seperti ini sedikitnya sepuluh kali, sebelum pada suatu hari datang petugas untuk melarangnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Agaknya banyak pula orang yang menjadi lega atas sikap orang padukuhan Ricik itu. Tetapi ada juga anak-anak muda yang berteriak, “Bunuh saja! Bunuh saja!”

“Aku bukan pembunuh,” berkata orang dari padukuhan Ricik itu.” Aku adalah ayam aduan yang ingin mendapatkan hadiah dari kemenanganku.”

“Terimakasih atas sikapmu itu, Ki Sanak,” berkata Ki Bekel, “kau akan menerima hadiah. Hadiahmu seperti yang dijanjikan bagi mereka yang menang. Tetapi kau akan mendapat sedikit tambahan, karena kau sudah meringankan tugas kami. Jika ada kematian di pertarungan ini meskipun dalam perang tanding, namun kami tentu akan mendapat kesulitan.”

Orang dari padukuhan Ricik itu pun kemudian telah menerima hadiahnya. Orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun bertepuk tangan. Sampai musim pertarungan terakhir sejak pertarungan yang pertama, orang dari padukuhan Ricik itu belum pernah dikalahkan.

Sejenak kemudian, maka orang padukuhan Ricik itu pun bergeser surut sambil berkata, “Aku minta diri. Aku akan pulang.”

“Ki Sanak akan pulang ke Ricik?”

“Ya. Aku akan pulang. Terima kasih atas kesempatan ini. Lain kali jika diadakan pertarungan lagi, aku akan ikut pula untuk meramaikannya. Mudah-mudahan aku akan dapat menang lagi.”

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah menggamit Rara Wulan sambil berkata, “Kita temui orang itu?”

“Untuk apa?”

“Aku ingin tahu, kenapa ia memerlukan ikut dalam permainan seperti ini. Orang Ricik itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Ia memiliki ilmu yang rumit. Agaknya sulit untuk dapat mengalahkannya. Di pertarungan mendatang pun orang itu tentu akan menang lagi, sehingga ia akan mendapat uang lagi dari kemenangannya itu. Yang aku ingin tahu, kenapa ia melakukannya.”

Rara Wulan mengangguk-anggguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Tetapi tanpa orang Ricik itu, agaknya di arena itu sudah jatuh korban. Orang dari Gunung Gandar itu tentu akan membunuh orang yang melawannya di pertandingan puncak untuk kemenangan.”

“Ki Jagabaya dan Ki Bekel akan dapat mencegahnya.”

“Tetapi jika terjadi kesepakatan perang tanding seperti itu tadi?”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Memang mungkin sekali telah terjadi korban jiwa.”

Namun keduanya tidak sempat berbicara lebih panjang lagi. Keduanya pun segera keluar dari kerumunan orang-orang yang baru saja menonton pertarungan itu. Orang-orang yang bertaruh pun mulai menghitung kemenangan mereka. Sementara itu yang lain pun mulai meninggalkan banjar.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mau kehilangan orang padukuhan Ricik itu. Ia pun mengikutinya dari jarak yang tidak terlalu dekat.

Ketika orang padukuhan Ricik itu sampai di bulak panjang, agaknya ia menyadari bahwa dua orang sedang mengikutinya.

Karena itu maka tiba-tiba saja orang itu berhenti, berbalik dan berkata lantang, “Ki Sanak. Jangan mengendap-endap seperti mengintip kelinci. Jika kalian memerlukan aku, katakan saja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah terus mendekati orang itu. Beberapa langkah di hadapannya, keduanya berhenti.

“Seorang di antara kalian berdua adalah seorang perempuan,” berkata orang itu sambil memandang Rara Wulan, yang mengenakan pakaian seorang perempuan sewajarnya.

“Ya, Ki Sanak, “Glagah Putih-lah yang menjawab.

“Kenapa kalian berdua mengikuti aku?”

“Kami berdua menjadi penasaran, karena Ki Sanak telah turun ke dalam gelanggang pertarungan itu.”

“Kenapa?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Menurut pendapatku, Ki Sanak tidak pantas memasuki arena pertarungan seperti itu. Ki Sanak adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tidak setataran dengan orang-orang lain yang ikut dalam pertarungan itu. Bahkan orang dari Gunung Gandar itu sekalipun.”

“Kau siapa, mencampuri urusanku?”

“Kami adalah dua orang suami istri yang mengembara. Ketika kami melewati padukuhan ini, kebetulan di padukuhan ini sedang terjadi pertarungan, yang menurut pendapatku sekedar menjadi alat orang-orang yang uangnya berlebih itu bertaruh. Seperti orang yang mengadu ayam. Nah. dalam lingkaran perjudian itu, Ki Sanak hadir sebagai salah satu di antara mereka yang bertarung di arena.”

“Ya. Aku sadari. Tetapi aku tidak peduli. Aku memerlukan uang. Kemenanganku itu menghasilkan uang bagiku. Cukup banyak. Satu panenan sawahku yang beberapa patok itu, tidak akan menghasilkan sebanyak hadiah dari kemenanganku ini.”

“Tetapi pantaskah Ki Sanak mempergunakan kemampuan Ki Sanak untuk turun ke arena pertarungan seperti ini?”

“Kau lihat orang Gunung Gandar itu?”

“Ya.”

“Aku turun untuk meredam kekejiannya.”

“Itukah alasan Ki Sanak?”

Orang dari padukuhan Ricik itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya.”

“Ki Sanak berbohong. Sebelumnya, menurut pendengaranku, orang Gunung Gandar itu belum ikut dalam pertarungan ini. Tetapi waktu itu Ki Sanak sudah ikut dan memenangkan pertarungan pula. Bahkan berturut-turut.”

“Ya. Sudah aku katakan. Aku akan memenangkan pertarungan seperti ini sepuluh kali lagi.”

“Itulah yang ingin aku tanyakan, Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak turun ke gelanggang pertarungan seperti itu? Aku masih dapat mengerti seandainya Ki Sanak menjadi pelerai, yang mencegah tindakan liar para peserta, seperti orang dari Gunung Gandar itu.”

“Sudahlah, Ki Sanak. Jangan campuri urusanku. Aku akan pulang. Sudah hampir pagi. Sebaiknya aku berada di rumah sebelum matahari terbit.”

”Jawab pertanyaanku, Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak ikut dalam pertarungan seperti itu?”

“Apakah menurut pendapatmu aku tidak pantas ikut?”

“Ya. Ki Sanak akan dapat menodai perguruan Ki Sanak sendiri.”

“Kenapa?”

“Kau pergunakan ilmu yang kau warisi dari perguruanmu untuk memenangkan perjudian.”

“Bukan aku yang berjudi.”

“Apa bedanya?”

“Aku hanya menginginkan hadiahnya. Hadiah yang pantas aku terima sebagai hakku, karena kemenanganku.”

“Ki Sanak. Dalam pertarungan itu, aku melihat Ki Sanak sebagai seorang yang telah memasuki usia dewasa, berkelahi dengan anak-anak yang baru mulai belajar berjalan.”

“Kau merendahkan aku, Ki Sanak. Aku belum pernah mengenalmu. Tetapi dalam pertemuan pertama kau sudah menghinaku.”

“Bukan aku yang merendahkanmu. Bukan aku yang menghinamu. Tetapi kau sendiri. Kau rendahkan, dan bahkan kau hinakan perguruanmu sendiri, dengan perbuatanmu itu.”

“Cukup. Aku tidak mengenalmu, dan kau tidak mengenalku. Jangan campuri urusanku, dan aku tidak akan mencampuri urusanmu.”

“Tidak, Ki Sanak. Aku tidak akan mencampurinya. Aku hanya penasaran saja. Aku ingin tahu, kenapa Ki Sanak melakukan pekerjaan yang justru dapat menodai nama Ki Sanak dan perguruan Ki Sanak-itu sendiri.”

“Persetan dengan penasaranmu. Aku akan pulang ke Ricik.”

“Aku akan ikut bersama Ki Sanak.”

“Kau gila.”

“Ki Sanak,” berkata Rara Wulan kemudian, “apakah sebenarnya keberatan Ki Sanak, jika Ki Sanak mengatakan alasan Ki Sanak untuk ikut dalam pertarungan yang menjadi ajang perjudian itu?”

“Cukup. Cukup. Jangan kejar aku dengan pertanyaan itu.”

“Baiklah Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “jika Ki Sanak berkeberatan untuk mengatakan, maka aku akan ikut Ki Sanak pulang. Mungkin dengan melihat rumah dan keluarga Ki Sanak, aku akan mendapat jawabannya.”

“Kau sudah memasuki persoalan pribadiku.”

“Bukan maksudku.”

“Aku peringatkan kau berdua. Jangan mengganggu aku.”

“Karena itu, jawab pertanyaanku. Seterusnya aku tidak akan mengganggumu.”

“Tidak. Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu. Kita tidak mempunyai sangkut paut. Apalagi mewajibkan aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”

“Jika demikian, aku tidak akan meninggalkan Ki Sanak.”

”Aku akan terpaksa mengusir kalian berdua dengan kekerasan. Aku akan memperlakukan kalian seperti aku memperlakukan orang dari Gunung Gandar.”

“Aku berbeda dengan orang itu, Ki Sanak.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Katanya, “Ya. Kau tentu berbeda. Kau tidak berada di arena pertarungan. Kau juga tidak menantang aku berperang tanding. Selebihnya, aku yakin bahwa kau merasa memiliki ilmu yang tinggi, karena kau berani menantangku dengan caramu. Kau sudah melihat bagaimana aku mengalahkan lawan-lawanku. Tetapi kau tidak merasa cemas sama sekali.”

“Ya.”

“Tetapi kau akan menyesal. Apa yang kau lihat bukan puncak kemampuanku. Masih ada beberapa lapis yang tersimpan. Karena itu, jangan mencoba melawanku dengan patokan dasar kemampuanku sebagaimana kau lihat di arena.”

“Pengakuanmu semakin mendorongku untuk mengetahui alasanmu yang sebenarnya. Kenapa kau tidak merasa segan turun ke arena seperti itu? Kau pergunakan ilmumu yang menurut penglihatanku ilmu yang bersih itu, untuk mencari uang di arena perjudian.”

”Itu urusanku. Itu urusanku.”

Tetapi Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika orang padukuhan Ricik itu bergeser surut, Glagah Putih pun melangkah setapak maju.

“Jika demikian, bersiaplah. Aku akan terpaksa mengusirmu, atau membuatmu tidak berdaya sehingga tidak dapat mengikutiku.”

“Baik, Ki Sanak, “jawab Glagah Putih, “aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya Aku akan mencoba melawan. Aku justru akan membayangkan, seandainya aku ikut dalam pertarungan di arena itu.”

Keduanya pun segera bergeser. Rara Wulan melangkah surut agar keberadaanya tidak mengganggu mereka yang akan bertempur.

Sejenak kemudian, maka orang Ricik itu pun telah meloncat menyerang. Sementara itu, Glagah Putih pun dengan tangkasnya menghindar. Namun Glagah Putih dengan sengaja ingin menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia pun memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Bahkan dalam perang tanding sekalipun.

Orang Ricik itu memang terkejut. Meskipun ia sudah mengira bahwa orang yang mengikutinya itu memiliki ilmu yang tinggi, tetapi kecepatan gerak Glagah Putih benar-benar mengejutkannya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah bertempur semakin sengit. Orang Ricik itu benar-benar harus mengerahkan kemampuannya. Lawannya itu memang tidak sekedar seperti orang Gunung Gandar, tetapi tataran ilmunya berada jauh di atasnya. Tidak hanya selapis. Tetapi berlapis-lapis.

Bahkan ketika orang Ricik itu sudah sampai ke puncak kemampuannya, ia masih saja mengalami kesulitan.

Sebenarnyalah Glagah Putih memang ingin dengan cepat menghentikan perlawanan orang padukuhan Ricik itu. Karena itu, maka sejenak kemudian Glagah Putih sudah melibatnya seperti angin prahara.

Glagah Putih memang sangat mengejutkan lawannya. Ilmunya seolah-olah berada di luar jangkauan nalar orang dari padukuhan Ricik itu. Orang yang telah memenangkan pertarungan beberapa kali berturut-turut, dan yang terakhir telah mengalahkan orang dari Gunung Gandar yang buas dan liar itu.

Tetapi berhadapan dengan orang yang masih terhitung muda itu, orang dari padukuhan Ricik itu merasa seakan-akan tidak berdaya sama sekali.

Beberapa kali orang dari padukuhan Ricik itu terlempar jatuh. Demikian ia bangkit, ia terlempar lagi menimpa tanggul parit, dan bahkan kemudian terguling ke dalam parit yang sedang mengalir.

Orang dari padukuhan Ricik itu menjadi basah kuyup. Suasananya menjadi sangat berbeda dengan suasana di arena pertarungan. Orang-orang di arena pertarungan itu bersorak-sorak dan bertepuk tangan memuji dan mengaguminya. Ketika ia menerima hadiah, arena itu bagaikan akan meledak.

Tetapi di jalan bulak yang sepi, tubuhnya bagaikan dilemparkan, dibanting dan dihentak-hentakkan oleh kemampuan orang yang masih terhitung muda itu.

Akhirnya, orang dari padukuhan Ricik itu harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan. Tenaganya seolah-olah telah terperas habis.

Ketika orang padukuhan Ricik itu terduduk di tanggul parit sambil menyeringai menahan nyeri di dadanya, Glagah Putih mendekatinya sambil berkata, “Marilah. Masih ada waktu. Matahari belum terbit.”

“Apa yang sebenarnya kau inginkan? Apakah kau menghendaki mengambil hadiah yang baru saja aku terima?”

“Tidak, “jawab Glagah Putih, “aku mempunyai uang lebih banyak dari hadiah yang kau terima.”

“Jadi apa maumu sebenarnya?”

“Sudah aku katakan, aku ingin tahu alasanmu, kenapa kau harus turun ke arena pertarungan seperti itu. Arena yang menjadi ajang pertaruhan. Aku ingin tahu, kenapa kau sudah merendahkan dirimu sendiri serta perguruanmu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Marilah. Ikut aku ke Ricik.”

“Kau ingin menjebak kami?”

“Tidak ada kekuatan yang dapat menahanmu di Ricik. Aku adalah orang yang terbaik. Di sini aku sudah kau kalahkan, sehingga tidak ada lagi yang dapat mengalahkanmu. Akupun yakin, bahwa perempuan itu, yang kau katakan istrimu, tentu juga mempunyai kemampuan yang tinggi.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu orang Ricik itu pun berkata, “Kau akan melihat keadaan padukuhanku. Bukan tempat yang baik untuk menjebak seseorang. Jangankan yang berilmu tinggi, sedang orang kebanyakan pun tidak akan tertahan oleh orang-orang Ricik, kecuali aku.”

“Baiklah. Kami berdua akan mengikutimu. Kami memang ingin tahu latar belakang kehidupanmu, sehingga kau telah mengorbankan harga dirimu untuk melakukan pertarungan di arena perjudian.”

Orang itu tidak menjawab. Dengan susah payah ia pun berusaha untuk bangkit. Kemudian menggeliat sambil berkata, “Marilah. Tetapi aku tidak dapat berjalan cepat. Kau patahkan tulang-tulangku.”

“Tidak. Hanya terasa nyeri. Tetapi tulang-tulangmu tidak apa-apa.”

Orang Ricik itu pun kemudian berjalan dengan langkah yang sedikit pincang. Di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya.

Ketika matahari terbit, orang Ricik itu pun berkata, “Kau basahi pakaianku. Tentu akan menarik perhatian.”

“Aku minta maaf.”

“Kita mengambil jalan pintas. Lewat pematang dan tanggul-tanggul parit.”

“Terserah kepadamu.”

Ketiganya pun kemudian telah meloncati parit dan berjalan di sepanjang pematang untuk menghindar agar tidak terlalu sering bertemu dengan orang lewat.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta sinarnya mulai menggatalkan kulit, mereka pun melintas di tanggul parit. Dengan nada datar orang Ricik itu pun berkata, “Itulah padukuhanku. Di sebelah gumuk di kaki Gunung Merapi itu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Ketiganya pun kemudian mulai melintas di padang perdu berbatu-batu padas. Kemudian turun ke dataran yang nampaknya kering dan gersang.

Sementara itu, pakaian orang padukuhan Ricik itu pun mulai menjadi kering, meskipun nampak kusut dan kotor. Tetapi ketika ia berkelahi di arena, pakaiannya memang sudah menjadi kusut dan kotor.

“Inilah lingkunganku, Ki Sanak,” berkata orang Ricik itu. “Kau lihat, lingkunganku adalah lingkungan yang kering dan gersang. Padukuhan Ricik adalah padukuhan yang miskin. Sangat miskin.”

Ketika mereka memasuki padukuhan Ricik, maka Glagah Putih dan Rara Wulan langsung melihat kemiskinan yang mencengkram padukuhan itu. Rumah-rumah bambu yang kecil beratap ilalang. Orang-orang yang nampak sedang menyapu halaman adalah orang-orang yang bertubuh kurus dan mengenakan pakaian yang sudah hampir kumal.

“Lihat. Inilah Ricik.”

“Rumahmu dimana?” bertanya Glagah Putih.

“Aku memang sedang mengajak kalian bedua ke rumahku.”

Ketiga orang itu pun berjalan terus di jalan utama padukuhan Ricik. Setiap orang yang bertemu dengan orang yang memenangkan pertarungan itu, mengangguk hormat. Bahkan hormat sekali.

“Syukurlah, Bapak pulang dengan selamat,” desis seseorang.

“Bukankah aku katakan, bahwa aku akan segera pulang?”

“Ya, Bapak. Kami seluruh penghuni padukuhan ini, berdoa untuk Bapak.”

“Terima kasih,” jawab orang yang menang dalam pertarungan itu.

Bahkan orang-orang yang rambutnya sudah-ubanan pun menyebut orang itu Bapak.

“Aku dituakan di sini.”

“Biasanya seseorang yang dituakan dipanggil Ki atau Kiai.”

“Aku tidak pantas disebut Kiai. Aku seorang yang hidup dalam dunia kekerasan. Berkelahi dan bertarung di arena perjudian, seperti yang kau lihat.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Beberapa saat kemudian, orang itu pun berhenti di sebuah regol halaman yang terhitung luas. Rumahnya pun terhitung besar, meskipun juga terbuat dari bambu. Bertiang bambu dan berdinding bambu. Namun atapnya terbuat dari ijuk. Bukan dari ilalang.

“Inilah rumahku. Aku terhitung orang terpandang di padukuhan ini.”

“Jadi kau bertarung untuk mempertahankan martabatmu di mata tetangga-tetanggamu yang miskin? Kau ingin tetap dianggap orang terkaya di padukuhan Ricik?”

Orang itu menarik nafas panjang. Dengan nada dalam ia pun menjawab, “Kau keliru, Ki sanak. Marilah. Aku tunjukkan, siapa-siapa yang ada di rumahku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengikuti orang yang mendapat hadiah itu memasuki regol halaman rumahnya.

Yang mula-mula mereka lihat di halaman adalah beberapa orang anak kecil yang sedang bermain. Anak-anak kecil yang bertubuh kurus. Beberapa orang nampak sakit-sakitan, dan yang lain tubuhnya dikerumuni lalat, karena di tubuhnya terdapat luka-luka yang nampaknya sudah agak lama tidak dapat sembuh.

Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun. Hampir di luar sadarnya Rara Wulan pun bertanya, “Siapakah mereka itu?”

Sebelum orang itu menjawab, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat seorang perempuan tua keluar dari pintu samping. Sedangkan seorang yang lain berjalan tertatih-tatih dari kebun.

Orang yang telah memenangkan pertarungan itu pun kemudian berkata dengan nada dalam, “Itu adalah sebagian dari penghuni rumahku ini, Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara orang itu pun berkata, “Marilah. Aku tunjukkan kepadamu, saudara-saudaraku yang tinggal serumah dengan aku.”

Ketika orang itu melangkah ke pintu rumahnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya di belakang.

Jantung mereka berdebaran ketika mereka melihat beberapa orang yang berada di rumah orang yang memenangkan pertarungan itu. Beberapa orang laki-laki dan perempuan tua yang sudah tidak berdaya. Tubuh mereka nampak kurus. Wajahnya cekung, sedangkan matanya nampak redup. Sedangkan beberapa orang anak-anak berpenampilan agak berbeda. Ada di antara mereka yang tersenyum-senyum dengan wajah yang agak ceria. Namun ada pula yang nampak pucat dengan pancaran mata yang sendu.

“Inilah keluargaku, Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Terasa sentuhan yang lembut telah mengusik hati mereka.

“Marilah, silahkan duduk di dalam,” orang Ricik itu mempersilahkan.

Mereka bertiga pun kemudian duduk di ruang dalam. Di sebuah amben bambu yang besar, dialasi dengan galar. Di atasnya terbentang tikar mendong yang bergaris-garis biru.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin tahu siapakah Ki Sanak berdua sebenarnya?”

“Aku tinggal di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Glagah Putih.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah beberapa kali lewat di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah Tanah Perdikan itu dipimpin oleh Ki Gede Argapati?”

“Ya.”

“Tanah Perdikan yang besar dan kokoh. Siapakah nama Ki Sanak?

“Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah istriku.”

Orang itu mengangguk-angguk.

“Barangkali aku boleh mengetahui namamu, Ki Sanak?”

“Namaku Wirasana.”

“Kau memang orang padukuhan ini sejak lahir?”

“Ya.”

“Kenapa kau berbeda dengan orang lain di padukuhan Ricik ini?”

“Aku pergi dari rumah orang tuaku sejak menjelang remaja. Aku pergi mengembara bersama seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan ayahku.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Ketika aku pulang, aku mendapatkan padukuhan ini masih sama saja sebagaimana saat aku pergi. Padukuhan yang miskin di atas tanah yang gersang.”

“Apa yang kau lakukan dalam pengembaraan?”

“Aku telah mendapatkan tuntunan tentang olah kanuragan. Kami, maksudku aku dan Paman, berada di sebuah padepokan untuk beberapa tahun. Kemudian kami berdua telah mengembara kembali, sehingga pada suatu saat aku rindu untuk pulang.”

“Lalu siapa saja anak-anak dan orang-orang tua yang ada di rumahmu ini?”

“Seperti yang aku katakan. Ketika aku pulang, aku dapati padukuhan ini masih saja sebagaimana aku tinggalkan. Aku melihat anak-anak yang kelaparan. Orang-orang tua yang seakan-akan tidak mempunyai tempat untuk berlindung. Mereka yang ikut anak-anak mereka yang miskin, mendapat perlakuan yang kurang memadai. Bukan karena anak-anak mereka menjadi durhaka, tetapi mereka benar-benar telah dihimpit oleh keadaan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Sekarang aku mengerti. Kau berusaha untuk membantu mereka dengan caramu. Untuk memenuhi kebutuhan, maka kau ikut dalam pertarungan itu. Jika kau menang, maka kau akan mendapat hadiah. Dan hadiah itu dapat kau pakai untuk menambah pendapatanmu, menunjang usahamu menolong orang-orang miskin di padukuhan ini.”

“Ya.”

“Tetapi dengan demikian kau sudah mengorbankan harga dirimu. Kau korbankan namamu dan nama keluargamu. Kau, Wirasana, seorang yang mempunyai mata pencaharian bertarung di arena perjudian.”

“Ya. Aku memang telah mengorbankan harga diriku. Tetapi aku berusaha menyembunyikan lingkungan dan perguruanku.”

“Akhirnya akan terkuak pula. Siapakah kau, dan dimana kau pernah berguru.”

“Apakah kau yang memiliki ilmu yang sangat tinggi mengetahui, dimana aku berguru?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil menggeleng ia pun menjawab, “Tidak.”

“Nah, aku harap orang lain pun tidak mengetahuinya. Aku sudah berusaha untuk menyamarkan ilmuku, dengan mengaburkannya dengan berbagai ilmu yang pernah aku pelajari.”

“Tetapi bukankah seharusnya bukan orang-orang seperti kau yang turun ke gelanggang pertarungan seperti itu?”

“Aku tahu. Tetapi aku memerlukan uang. Anak-anak dan orang-orang jompo itu harus makan, meskipun seadanya. Karena itu, aku korbankan apa saja yang ada padaku. Termasuk harga diriku. Bahkan nyawaku, seandainya itu mampu membahagiakan mereka.”

Namun Glagah Putih segera menyahut, “Ki Wirasana. Bagi seorang ksatria, harga diri adalah sama dengan nyawanya.”

“Aku bukan seorang ksatria Ki Sanak. Meskipun demikian, jika ada orang yang menyinggung harga diriku dalam hubungannya dengan aku pribadi, maka aku akan mempertaruhkan nyawaku. Tetapi untuk makan dan minum mereka, selembar pakaian mereka yang paling buruk, serta kelangsungan hidup mereka, aku akan mengorbankan apa saja yang aku punya. Seperti yang aku katakan, jika itu dapat memberikan kebahagiaan bagi mereka, akan aku berikan nyawaku.”

“Ki Wirasana. Kenapa kau tidak berusaha dengan cara yang lain?”

“Cara lain yang mana? Ketika aku pulang, maka aku tidak memiliki apa-apa. Aku tidak memiliki ketrampilan. Aku tidak memiliki ilmu dan pengetahuan apapun selain berkelahi. Karena itu, maka cara satu-satunya yang dapat aku pergunakan untuk mempertahankan hidup mereka adalah berkelahi. Mungkin menurutmu ada cara yang lebih terhormat dari cara yang aku tempuh. Tanpa mengorbankan harga diriku. Tetapi bagiku, tidak ada jalan lain. Aku memang sudah memikirkan satu kemungkinkan yang agaknya dapat aku jalani. Merampok, menyamun, merampas dan membunuh. Aku memiliki bekal untuk itu. Tetapi aku tidak dapat melakukannya. Itu bertentangan dengan pesan perguruanku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak, sementara orang itu berkata selanjutnya, “Karena itu, maka aku telah memilih cara yang aku lakukan sekarang. Bukankah aku tidak membunuh siapa-siapa? Bukankah aku mendapatkan uang dengan cara yang terbuka dan disaksikan oleh banyak orang? Aku sendiri tidak ikut dalam perjudian itu. Aku tidak peduli. Aku bertanding dan aku mengalahkan lawan-lawanku dengan cara yang sah.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Bukan dengan merampok. Aku sependapat dengan Ki Wirasana, bahwa jalan yang kasar dan melanggar paugeran serta memusuhi sesama itu tidak dapat dibenarkan.”

“Jadi bagaimana? Apakah aku harus mengemis? Membawa tempurung dan duduk di pintu gerbang pasar?”

“Bukan begitu, Ki Sanak.”

“Lalu jalan apa lagi yang dapat aku tempuh? Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak mempunyai bekal ilmu dan kemampuan lain, kecuali berkelahi. Karena itu, ketika jalan terbuka, maka akupun ikut berkelahi.”

“Kau dapat berbuat sesuatu tanpa berkelahi, Ki Wirasana. Tanpa merendahkan diri sebagaimana yang kau lakukan. Mengais rejeki di arena perjudian.”

“Katakan cara itu kepadaku. Jika aku mampu, aku akan melakukannya. Apapun, asal tidak melanggar pesan-pesan kemanusiaan yang aku terima dari guruku.”

“Tidak. Aku yakin itu. Justru akan sangat mendukung pesan-pesan kemanusiaan itu. Lebih mendasar daripada sekedar berkelahi untuk menerima upah dari hasil perjudian.”

“Katakan.”

“Menurut pendapatku, tanah di padukuhan ini bukannya tidak subur. Seharusnya Ki Wirasana mengetahui itu. Jika musim hujan dan sawah itu dapat ditanami, apakah hasil tanamannya tidak cukup memadai?”

Ki Wirasana termangu-mangu sejenak.

“Apakah tanaman di sawah itu menjadi kerdil dan tidak menghasilkan buah?”

“Bukan begitu, Ki Sanak,“ berkata orang itu. “Di musim hujan, tanaman kami memang nampak subur. Hasilnya pun baik. Tetapi di musim kering, kau lihat sendiri. Apakah mungkin kami menanam sesuatu di sawah kami? Palawija pun tidak akan mungkin dapat tumbuh dan dipetik hasilnya.”

“Kalian harus berusaha,” berkata Glagah Putih.

“Berusaha apa?”

“Mencari air.”

“Maksudmu?”

“Di daerah ini tentu ada sungai besar atau kecil. Di lereng bukit yang nampak itu tentu ada mata air.”

“Kami harus mencari air ke tempat-tempat itu?”

“Ya.”

“Seberapa tenaga kami untuk mengusung air dari sungai di sebelah hutan itu? Untuk mendapatkan sebumbung air, kami harus berjalan dari pagi sampai siang. Seandainya kami berniat melakukannya, mengambil air bagi sawah kami, maka akan sulit bagi kami untuk melaksanakannya.”

“Tentu tidak beriring-iringan membawa lodong bambu untuk mengambil air. Tetapi air itulah yang harus digiring kemari.”

“Bagaimana aku harus menggiring air kemari?”

“Panggil semua laki laki, sejak remaja yang sudah mulai bertenaga, sampai kakek-kakek yang masih mempunyai tenaga. Bendung kali itu, dan buatlah parit sampai ke bentangan sawah yang kering itu. Sawah itu tentu akan menjadi basah.”

Ki Wirasana itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku membayangkan, apakah mungkin cara itu aku tempuh? Kau lihat orang-orang padukuhan Ricik adalah orang-orang miskin, kurus dan tidak bertenaga.”

“Kau sudah menjadi kendala bagi dirimu sendiri. Kerja itu belum dimulai. Masih ada waktu untuk menilainya.”

Ki Wirasana menarik nafas panjang. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Kau harus mencobanya. Kau harus dapat memberi mereka pengharapan dengan kerja yang mereka lakukan. Kau harus dapat meyakinkan mereka, hasil yang akan mereka peroleh jika mereka melakukannya. Bekerja keras meskipun kurang tenaga. Namun pengharapan mereka akan memberikan tenaga baru bagi mereka.”

Ki Wirasana pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku akan mencoba.”

“Jika kau berhasil, kau tidak perlu merendahkan dirimu, mengorek tempat perjudian untuk mendapatkan upah.”

Orang itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”

“Nah, Ki Wirasana. Jika kau sependapat, kau akan dapat segera memulainya, Semakin cepat semakin baik.”

“Aku akan bertemu dengan bebahu padukuhan ini. Biasanya mereka mau mendengarkan pendapatku dan mencoba mengetrapkannya di padukuhan ini. Padukuhan yang miskin, kering dan gersang, sebagai kau lihat.”

“Syukurlah. Mudah-mudahan Ki Bekel mendukung rencana itu.”

Ki Wirasana menarik nafas panjang.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Ki Sanak. Adalah kebetulan bahwa aku sempat singgah di padukuhan Ricik. Karena aku berbicara dengan orang berilmu, maka aku tidak merasa perlu untuk berbelit-belit. Dalam perjalananku ini, aku memerlukan tempat untuk menginap barang tiga atau empat hari. Aku sedang menjajagi kedalaman ilmuku dan istriku. Selama ini aku dan istriku tidak tahu pasti, seberapa jauh kemampuan kami berdua. Perkiraan itu perlu bagi kami berdua yang sedang melakukan pengembaraan yang panjang. Jika kami bertemu dengan orang-orang yang berniat buruk di jalan, kami dapat mengukur, apakah kami harus berhadapan langsung atau kami memerlukan mencari jalan lain.”

“Baik, Ki Sanak, “jawab Ki Wirasana, “bukan hal yang rumit. Aku jamin, Ki Bekel akan dapat meminjamkan banjar kami yang sederhana. Kalian dapat memakainya bukan hanya untuk tiga atau empat hari. Tetapi mungkin tiga atau empat pekan sekalipun.”

“Terima kasih. Meskipun demikian, bukankah ijin itu harus datang dari Ki Bekel?”

“Ya. Tetapi aku menjamin.”

“Kapan kau dapat bertemu dengan Ki Bekel?”

“Hari ini. Seandainya, hanya seandainya, kalian mengalami kesulitan untuk berada di banjar empat atau lima hari, maka kau dapat tinggal di rumahku. Aku akan dapat menyediakan satu bilik khusus, meskipun tidak memenuhi kebutuhan sebagaimana satu ruangan di dalam sanggar.”

“Terima kasih. Apapun yang disediakan bagi kami, tentu cukup memadai.”

“Baiklah, Glagah Putih. Aku persilahkan kau beristirahat di sini bersama Nyi Glagah Putih. Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel. Aku akan menyampaikan keinginanmu untuk bermalam di sini sekitar empat atau lima hari.”

“Terima kasih,” sahut Glagah Putih.

“Aku persilahkan kau melihat-lihat keluarga besarku. Mungkin kau tertarik untuk berkenalan dengan mereka. Mendengarkan keluhan-keluhan mereka, serta keinginan-keinginan mereka.”

“Baik, Ki Wirasana. Aku akan memperkenalkan diri kepada anggota keluargamu.”

Namun Rara Wulan kemudian bertanya, “Kalau aku boleh tahu, dimanakah Nyi Wirasana?”

Ki Wirasana menarik nafas panjang. Katanya, “Istriku terbunuh di perjalanan ketika kami sedang bepergian. Waktu itu aku masih terhitung muda. Kami belum lama menikah, ketika dalam perjalanan beberapa orang penyamun menghentikan kami. Aku mencoba melawan. Tetapi para penyamun itu licik. Ada di antara mereka yang menyerang istriku. Istriku tidak memiliki kemampuan olah kanuragan, sehingga karena itu maka dengan mudah penyamun itu membunuhnya. Kemarahanku tidak tertahankan lagi. Aku membunuh empat di antara lima orang penyamun. Yang seorang berhasil lolos pada saat aku sibuk membunuh kawan-kawannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi Rara Wulan itu pun bertanya pula, “Setelah itu, Ki Wirasana tidak menikah lagi?”

“Tidak. Aku tidak menikah lagi. Aku pun kemudian hidup di antara anggota-anggota keluargaku sekarang ini,”

Rara Wulan memandang wajah Ki Wirasana yang sendu itu sekilas. Dengan nada dalam Rara Wulan berkata, “Aku ikut berprihatin atas peristiwa itu.”

“Itu sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Aku berusaha melupakannya. Aku mencurahkan semua perhatianku kepada anak-anak yang akan menjadi isi dari masa depan. Meskipun aku juga memperhatikan orang-orang tua yang terlantar, namun masa depan dunia ini kelak berada di tangan mereka yang sekarang masih kanak-kanak.”

“Aku sangat menghargainya, Ki Wirasana.”

“Nah, sekarang duduklah, beristirahatlah. Aku akan menemui Ki Bekel.”

Ki Wirasana kemudian meninggalkan rumahnya, pergi menemui Ki Bekel. Ki Wirasana ingin berbicara dengan Ki Bekel tentang hari depan padukuhan mereka. Tentang kerja keras untuk membangun harapan bagi para penghuni padukuhan itu.

Tetapi Ki Wirasana juga ingin menyampaikan permintaan Glagah Putih dan istrinya untuk tinggal di padukuhan mereka beberapa hari.

Ki Bekel mendengarkan keterangan Ki Wirasana dengan sungguh-sungguh. Seperti biasanya, Ki Bekel jarang sekali, atau bahkan tidak pernah, menolak petunjuk dan pendapat Ki Wirasana. Bagi Ki Bekel, Ki Wirasana adalah seorang yang benar-benar memikirkan nasib orang-orangnya yang miskin. Orang-orangnya yang kekurangan dan kelaparan. Ki Wirasana telah berbuat apa saja untuk membantu tetangga-tetangganya yang tidak dapat makan kenyang sehari-harinya. Anak-anak dan bahkan orang-orang tua.

“Apakah Ki Wirasana yakin bahwa usaha itu akan berhasil?”

“Aku yakin, Ki Bekel. Tetapi tentu saja tidak dapat seketika. Mungkin satu musim atau dua musim. Dalam waktu dekat, mungkin aku masih mampu mencari uang di lingkaran perjudian itu. Tetapi sejak pertarungan kali ini, arena itu sudah dibayangi maut. Ada orang dari Gunung Gandar yang menantang agar dalam pertarungan akhir, dilakukan pertarungan sampai tuntas. Salah seorang dari mereka yang masuk ke arena akan mati.”

“Kalau begitu, Ki Wirasana telah membunuh?”

“Tidak. Aku tidak membunuh. Aku memenangkan pertarungan, tapi aku biarkan lawanku hidup. Mungkin dengan demikian ia merasa terhina, sehingga orang itu mendendamku. Tetapi arena itu memang bukan arena untuk membunuh, tetapi arena untuk bertarung. Untuk menunjukkan kemampuan saja. Yang memang akan mendapat hadiah.”

“Apa pertarungan sampai mati itu diijinkan?”

“Seharusnya tidak. Tetapi orang Gunung Gandar itu membuat seribu alasan, sehingga memungkinkannya menantang perang tanding. Nah, pertarungan untuk memperebutkan hadiah itu sudah diwarnai dengan perang tanding sampai mati. Tetapi aku tidak ingin membunuh. Aku hanya ingin mendapat hadiah.”

“Dan Ki Wirasana mendapat hadiah itu?”

“Ya. Aku adalah pemenangnya yang terakhir.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk.

“Karena itu,” berkata Ki Wirasana lebih lanjut, “aku tidak dapat membayangkan kemungkinan mendatang. Jika pada akhirnya aku benar-benar mati di arena, karena semakin banyak orang yang mendengarnya, akan semakin banyak orang berilmu tinggi yang datang, maka sawah yang kering itu sudah dapat ditanami di musim ketiga.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sendiri-lah yang akan memimpin kerja itu. Aku berharap dapat terlaksana dengan lancar dan benar-benar menghasilkan.”

“Tentu, Ki Bekel. Tentu menghasilkan.”

“Menurut Ki Wirasana, kapan kita akan mulai menggiring air itu?”

“Semakin cepat semakin baik.”

“Besok aku akan mengumpulkan para bebahu untuk membicarakannya.”

“Terima kasih atas persetujuan Ki Bekel.”

“Aku harap Ki Wirasana untuk datang esok pagi.”

“Bagaimana dengan kedua orang suami istri itu?”

“Jika mereka bersedia, bukankah kita tidak berkeberatan?”

“Aku kira mereka tidak akan berkeberatan. Selebihnya, bagaimana dengan permintaannya untuk dapat tinggal di padukuhan ini dalam waktu tiga atau empat hari?”

“Tentu kita tidak keberatan. Tetapi di rumah siapa mereka akan tinggal?”

“Agaknya mereka tidak memilih tempat, Ki Bekel. Mereka dapat berada dimana saja. Aku sudah memberikan ancar-ancar, maaf Ki Bekel jika aku mendahului, bahwa mereka dapat berada di banjar.”

“Ya. Tentu. Mereka akan kita tempatkan di banjar padukuhan. Tetapi banjar padukuhan itu adalah bangunan yang sederhana saja, Ki Wirasana.”

“Nampaknya mereka bukan orang yang mempunyai banyak tuntutan. Mereka adalah orang yang rendah hati dan dapat menerima sesuai dengan keadaan.”

“Syukurlah. Jika demikian, bawa saja mereka ke banjar sejak malam nanti. Bukankah di rumah Ki Wirasana dipenuhi oleh kanak-kanak, dan orang-orang tua yang sebagian ada yang sudah pikun?”

“Ya, Ki Bekel.”

“Karena itu, maka banjar adalah tempat terbaik bagi mereka berdua.”

Ki Wirasana itu pun kemudian telah minta diri. Demikian ia sampai di rumah, maka Ki Wirasana telah menyampaikan hasil pertemuannya dengan Ki Bekel.

“Sudah aku katakan, biasanya pendapat dan usul-usulku tidak pernah ditolak.”

“Ki Bekel tahu, apa saja yang sudah kau lakukan. Kau tentu sudah memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat padukuhan ini dengan cara apapun juga, tetapi tidak berhasil. Sehingga kau pun akhirnya merendahkan diri, turun ke dalam arena pertarungan untuk memenangkan pertarungan itu.”

“Ya. Itulah yang sudah aku lakukan.”

“Pada akhirnya kau akan berhenti. Segala sesuatu tergantung kepada usaha kalian. Apakah harapan itu akan datang cepat atau lambat.”

Ki Wirasana mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ki Sanak. Besok Ki Bekel akan memanggil para bebahu. Aku diminta untuk hadir dan memberikan penjelasan tentang rencana sesuai dengan gagasanmu. Menurut pendapatku, alangkah baiknya jika Ki Sanak berdua juga hadir dalam pertemuan itu. Ki Sanak dapat berbicara langsung dengan para bebahu. Sehingga menurut pendapatku, Ki Sanak akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengharapan itu.”

“Baiklah. Besok aku akan datang.”

“Terima kasih.”

“Lalu, bagaimana tanggapan Ki Bekel tentang permohonanku untuk tinggal di padukuhan ini barang tiga atau empat hari?”

“Tentu saja Ki Bekel tidak berkeberatan. Bahkan selama itu, Ki Sanak berdua akan sempat memberikan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan gagasan yang Ki Sanak sampaikan itu.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia pun berkata, “Ki Wirasana. Aku memerlukan waktu untuk menilai ilmu. Karena itu, aku dan istriku akan menutup diri dalam waktu tiga atau empat hari itu.”

Ki Wirasana pun menarik nafas panjang. Katanya, “Ya, ya. Aku mengerti.”

“Begini saja, Ki Sanak. Pada hari yang pertama sampai hari yang ketiga, aku akan bersama-sama para bebahu melihat kemungkinan yang dapat kita lakukan untuk menggiring air. Kemudian setelah itu, aku minta waktu tiga atau empat hari. Dengan demikian aku akan berada di padukuhan ini sekitar dua pekan.”

“Ki Bekel tentu tidak berkeberatan, Ki Sanak. Aku menjamin. Ki Bekel justru akan merasa senang akan keberadaan Ki Sanak di sini.”

“Terima kasih, Ki Wirasana.”

“Seisi padukuhan ini tentu juga akan mengucapkan terima kasih kepada Ki Sanak berdua.”

Sebenarnyalah, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan seakan-akan telah mengikatkan diri dengan padukuhan itu. Sejak malam pertama mereka bermalam di padukuhan itu, keduanya telah ditempatkan di banjar. Ki Wirasana mendapat beban untuk mengirim makan dan minum kedua orang yang akan tinggal di padukuhan itu untuk sekitar dua pekan.

Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berbaur dengan rakyat padukuhan Ricik yang miskin itu. Glagah Putih mencoba menjelaskan gagasannya tentang menggiring air. Membuat parit di lengkeh Gunung, di sela-sela bukit-bukit kecil dan tebing yang kadang-kadang terjal.

“Kerja yang berat,” berkata Glagah Putih, “tetapi jika kita berhasil, maka hasilnya itu tentu memadai. Berbahu-bahu sawah akan mendapat air di segala musim. Tidak hanya di musim hujan.”

Ternyata Glagah Putih berhasil meyakinkan para bebahu untuk merencanakan satu kerja yang terhitung besar. Orang-orang Ricik itu harus menggiring air yang melimpah di pinggir hutan pegunungan ke kotak-kotak sawah yang kering dan gersang.

Selama tiga hari Glagah Putih bersama para bebahu melihat medan. Memang ada berbagai kesulitan. Tetapi Glagah Putih dan para bebahu itu berharap bahwa kesulitan-kesulitan itu akan dapat teratasi.

“Baiklah, Ki Sanak,“ berkata Ki Bekel, “kami benar-benar akan mencoba mewujudkan gagasan Ki Sanak. Kerja ini akan memberikan pengharapan kepada seisi padukuhan Ricik. Mereka tidak lagi merasa bahwa mereka tidak memiliki masa depan lagi.”

Demikianlah, maka di hari berikutnya Glagah Putih dan Rara Wulan tidak pergi ke medan kerja rakyat padukuhan Ricik. Glagah Putih dan Rara Wulan tetap berada di banjar. Mereka berada di serambi belakang, agar mereka tidak terganggu jika ada orang yang mengunjungi banjar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mulai mempelajari isi kitab yang disimpan di dalam peti itu. Tidak terlalu banyak. Namun isi kitab itu telah mengarahkan mereka yang sudah mempunyai landasan dasar ilmu yang tinggi, untuk memahami satu jenis ilmu yang sangat tinggi.

“Ilmu ini seakan-akan memang diperuntukkan bagi kita, Rara,” Desis Glagah Putih.

“Ya. Tetapi aku kira umur kitab ini jauh lebih tua dari umur kita. Bahkan umur orang tua kita.”

Glagah Putih mengangguk-angguk . Katanya, “Meski kitab ini nampaknya masih baik dan jarang di sentuh tangan, namun ada pertanda bahwa kitab ini adalah kitab tua. Bentuk huruf-hurufnya, cara menulisnya, serta bahan yang dipergunakannya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Rara,” berkata Glagah Putih, “selain ilmu yang diperuntukkan bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan, di dalam kitab ini juga terdapat sejenis ilmu yang harus kita pelajari bersama.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Jika kita tertarik untuk menguasai ilmu itu, Kakang, kita harus menjalani laku.”

“Ya.”

“Laku yang berat.”

“Tergantung kepada kita berdua. Apakah kita berdua berniat menguasai ilmu sebagaimana tersebut dalam kitab itu atau tidak. Jika kita berniat, maka kita harus menyediakan waktu yang khusus. Kita tidak dapat mendua selama kita menjalani laku itu. Apalagi beberapa hari terakhir.”

“Kakang, kita perlu memikirkannya masak-masak.”

“Kita mempunyai waktu tiga atau empat hari untuk mempelajari isi kitab ini sebaik-baiknya, Rara. Kita dapat mempelajari setiap langkah di dalam laku untuk menguasai ilmu ini. Di dalam kitab ini tentu disebut tapak demi tapak.”

“Ya, Kakang. Kita harus mempelajari sebaik-baiknya sebelum kita melangkah. Jika kita gagal di tengah jalan, maka kita hanya akan membuang-buang waktu saja.”

“Tetapi jika kita berhasil, maka kita akan menguasai ilmu yang memadai.”

“Asal kita tidak menjadi lupa diri, sehingga jalan yang kita lalui telah menyimpang dari jalan kebenaran.”

“Ya. Kita harus selalu ingat pesan yang terkandung di dalam ilmu itu.”

“Baiklah, Kakang. Kita akan mempelajarinya sebaik-baiknya dalam tiga empat hari mendatang. Bukankah kita sudah diberi waktu?“

Glagah Putih mengangguk-angguk.,

Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari Glagah Putih dan Rara Wulan menelaah isi kitab itu. Langkah yang harus dilewati dalam menjalani laku. Latihan-latihan kewadagan dan kejiwaan. Kesadaran diri seria hubungannya dengan Yang Maha Agung.

Ketika tiga hari telah lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah dapat memahami jalur-jalur laku yang harus dijalani jika mereka ingin menguasai kemampuan sebagaimana tersebut di dalam kitab itu. Bahkan kemampuan yang dapat digapai oleh mereka yang beruntung menguasai kitab itu dan menjalani laku sebagaimana diisyaratkan, akan dapat membayangi kemampuan terbaik yang dapat dicapai oleh seseorang.

Namun di dalam kitab itu juga tersirat bahwa tidak ada kemampuan yang tidak mempunyai kelemahan. Bagaimanapun tinggi ilmu seseorang, namun padanya tentu terdapat kelemahan yang dapat menjebaknya ke dalam kehancuran.

“Kita akan memikirkannya, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Ya, Kakang. Kita mempunyai banyak waktu. Kita harus memikirkan baik-baik, apakah kita akan menjalani laku atau tidak. Jika kita memutuskan untuk menjalani laku itu, maka kita memerlukan suasana yang mendukung. Selama kita menjalani itu, jika terputus meskipun hanya sehari, kita harus mengulanginya dari permulaan.”

“Jadi kita akan memikirkannya sambil meneruskan perjalanan ke Barat?”

“Ya. Mungkin di sepanjang jalan kita menemukan tempat yang suasana dan lingkungannya cukup mendukung.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, ”Baiklah. Tetapi kita masih akan tetap tinggal di sini untuk sepekan lagi. Kita akan membantu rakyat padukuhan Ricik yang miskin ini untuk menggiring air.”

“Baik, Kakang.”

“Nilai dari perbuatan kita sekarang ini tidak akan kalah nilainya dengan usaha kita mencari Ki Saba Lintang, meskipun pada sisi yang berbeda dari putaran kehidupan ini.”

“Ya, Kakang.”

Sebenarnyalah, maka setelah tiga hari Glagah Putih dan Rara Wulan berusaha mempelajari isi kitab itu, maka mereka pun mulai melibatkan diri lagi di dalam kesibukan rakyat Ricik untuk menggiring air. Ternyata rakyat Ricik yang miskin itu bukan orang yang malas. Justru mereka telah ditempa oleh kemiskinan itu sendiri, sehingga mereka terbiasa bekerja keras untuk dapat mempertahankan hidup mereka.

Karena mereka meyakini pengharapan yang diuraikan oleh Glagah Putih, maka mereka pun serentak bangkit untuk melaksanakannya.

Kerja yang mereka lakukan ternyata melampaui dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Meskipun belum berwujud, tetapi parit itu sudah mulai membayang. Patok-patok bambu yang dipasang semakin meyakinkan mereka, bahwa mereka akan berhasil.

Untuk beberapa hari Glagah Putih dan Rara Wulan melibatkan diri dalam kerja itu. Namun setelah mereka sepekan ikut bekerja keras, maka mereka pun segera minta diri.

“Ki Sanak berdua akan meninggalkan kami?”

“Bukankah semuanya sudah menjadi jelas? Parit itu sudah seakan-akan berwujud, meskipun baru jalurnya. Tetapi bukankah dengan demikian Ki Bekel dan rakyat Ricik sudah yakin, bahwa kalian akan berhasil?”

“Kami akan berhasil, Ki Sanak.”

“Kalian harus bekerja keras sambil berdoa, agar parit itu benar-benar pada suatu hari mengalirkan air yang dapat mengairi sawah dan ladang kalian yang sekarang kering-kerontang. Apalagi di musim kemarau.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin menunda perjalanannya. Bukan saja karena tugas mereka, tetapi mereka ingin membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk menjalani laku sebagaimana tersebut dalam kitab yang ditemukan di rumah yang hampir runtuh itu. Rumah yang masih tetap diselimuti kabut rahasia bagi Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ki Bekel dan rakyat Ricik serta Ki Wiratama merasa kehilangan. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan baru beberapa pekan saja tinggal bersama mereka, namun keduanya ternyata sangat berarti bagi mereka, sebagaimana Ki Wirasana yang telah menyerahkan seluruh hidupnya bagi rakyat padukuhan Ricik yang miskin.

Di pagi hari sebelum matahari terbit, saat Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan banjar, maka para bebahu serta sebagian rakyat Ricik telah melepasnya sampai ke gerbang padukuhan.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang menjadi terharu. Kepada mereka Glagah Putih pun berkata, “Mudah-mudahan aku dapat terdampar sampai ke padukuhan ini lagi.”

“Kami menunggu, Ki Sanak.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin lama semakin jauh meninggalkan padukuhan Ricik.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi menggapai puncak langit, Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang.

Keduanya menyempatkan diri untuk berbincang tentang laku yang harus dijalani, jika mereka ingin menguasai ilmu sebagaimana disebutkan di dalam kitab.

“Jika kita akan menjalani laku itu, Rara, kita harus mencari tempat yang memadai. Kita harus menjalani Tapa Ngidang sepekan. Kita harus menjalani Tapa Ngalong sepekan. Kemudian berendam di air sepekan . Di samping laku itu, kita harus mempelajari unsur-unsur dari ilmu itu. Unsur gerak, unsur pernafasan, unsur kajiwan, dan kita harus mempersiapkan unsur kewadagan.”

“Bukankah laku yang tiga pekan itu merupakan laku untuk mempersiapkan unsur kewadagan?”

“Ya. Tetapi juga unsur kajiwan. Ketahanan badani dan ketahanan jiwani. Kemudian setelah itu, kita masih menjalani laku untuk menguasai getar dari unsur-unsur yang ada di dalam ujud kewadagan kita.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Kita memerlukan waktu sedikitnya tujuh pekan untuk menjalani laku. Kemudian terakhir kita harus melakukan pati geni. Jika kita beruntung menemukan Tuk Kawarna Susuhing Sarpa, maka kita akan dapat menjadi kebal bisa dan racun, seperti Kakang Agung Sedayu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Rara,” berkata Glagah Putih, “laku itu adalah laku yang sangat berat. Tetapi yang paling berat bagimu adalah justru Tapa Ngidang.”

“Kenapa?”

“Kau baca sendiri perincian tatanan Tapa Ngidang itu.”

“Katakan pokok-pokoknya saja, Kakang. Biarlah kelak saja aku membacanya.”

“Sebelum kita mulai menjalani laku, aku harus sudah membacanya sampai tuntas.”

“Ya. Aku mengerti. Tetapi katakan tatanan Tapa Ngidang.”

“Tapa Ngidang adalah laku yang harus dijalani sebagaimana seekor kijang.”

“Berada di hutan?”

“Ya, berada di hutan.”

“Makan dedaunan?”

“Ya, makan dedaunan.”

“Kenapa justru yang terberat? Bagaimana dengan Tapa Ngalong dan berendam di air?”

“Tapa Ngalong dan berendam di air juga merupakan laku yang berat. Tetapi tidak seberat Tapa Ngidang. Terutama bagimu.”

“Aku tidak mengerti. Aku tidak akan merasa berat untuk hidup di hutan dengan makan dedaunan dalam sepekan.”

“Kau belum berbicara tentang pakaian.”

“He? Kita harus berpakaian seperti kijang yang berkeliaran di hutan.”

“Ya.”

“Ah…”

“Sudah aku katakan, itu adalah laku yang terberat yang harus kau jalani.”

“Benar-benar seperti kijang?”

“Ya.”

“Tidak ada cara lain?”

“Tetapi bukankah kita berada di tengah-tengah hutan yang lebat, sehingga kita tidak akan bertemu dengan seorangpun?”

Rara Wulan terdiam. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Setelah itu, kita masih harus menjalani laku. Tetapi laku yang tidak akan menjadi beban bagi kita. Tapa Ngrame.”

“Itu bukan masalah,” desis Rara Wulan. “Bukankah sudah seharusnya kita menolong setiap orang yang memerlukan pertolongan kita? Apakah pada saat kita menjalani laku atau tidak.”

“Ya.”

“Aku akan berpikir tentang Tapa Ngidang.”

“Kita masih mempunyai banyak waktu untuk mengambil keputusan.”

Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Terik matahari terasa semakin menyengat kulit. Meskipun terasa angin berhembus menyisir batang-batang padi di sawah, namun keringat mereka masih saja membasahi pakaian mereka.

Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka keduanya pun telah berpapasan dengan tiga orang yang berjalan tergesa-gesa. Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun sejenak ketika mereka melihat seorang di antara mereka.

“Orang Gunung Gandar yang ikut dalam pertarungan untuk memperebutkan hadiah itu,” desis Glagah Putih.

“Ya. Agaknya memang orang itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Rara Wulan pun bertanya, “Kenapa mereka begitu tergesa-gesa?”

“Ya. Nampaknya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.”

“Apakah kita akan melihat, apa yang menarik perhatian mereka?”

Glagah Putih merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan mereka tidak bermaksud buruk.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Meskipun demikian ia masih saja berdesis, “Apakah ia mendendam orang padukuhan Ricik itu?”

“Ki Wirasana telah berbaik hati dengan tidak membunuhnya di perang tanding itu, meskipun ia dapat melakukan. Jika orang itu masih mempunyai jantung, maka ia akan menganggap bahwa ia berhutang nyawa kepada Ki Wirasana.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Karena itulah, maka keduanya pun kemudian segera melanjutkan perjalanan. Mereka tidak berniat untuk mengikuti orang Gunung Gandar, meskipun sikap orang Gunung Gandar itu membuat Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi curiga.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memasuki sebuah padukuhan yang terhitung besar. Mereka masih menemukan kedai yang buka di dekat sebuah pasar yang sepi. Yang tinggal di pasar hanyalah beberapa orang pedagang yang membenahi dagangan mereka, serta para petugas yang menjaga keamanan dan yang bertugas membersihkan pasar itu.

Tetapi di kedai yang masih buka, nampak beberapa orang masih berada di dalamnya.

Keduanya pun segera memasuki sebuah kedai yang terhitung besar dibandingkan dengan beberapa kedai yang lain. Di dalam kedai itu sudah duduk beberapa orang yang datang lebih dahulu. Tetapi agaknya mereka sudah terbiasa duduk di kedai itu, sehingga mereka sama sekali tidak menghiraukan siapakah yang datang dan siapakah yang pergi meninggalkan kedai itu.

Rara Wulan pun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka berdua. Mereka pun kemudian memilih tempat di sudut kedai itu, sehingga dari tempat mereka, keduanya dapat melihat seluruh ruang . Mereka dapat melihat siapa saja yang berada di dalam kedai itu.

Sejenak kemudian, maka pelayan kedai itu pun telah menghidangkan minum dan makan sebagaimana dipesan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Untuk beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulan duduk dengan tenang di kedai itu sambil menikmati minum dan makan yang dipesannya. Nasi dengan jangan asem dan sambal terasi. Tempe goreng garit serta bothok mlandingan.

Orang-orang yang berada di dalam kedai itu pun sibuk menikmati makanan dan minuman yang telah dihidangkan bagi mereka. Beberapa orang yang sudah selesai makan, tetapi masih ingin duduk beristirahat, masih berbicang-bincang yang satu dengan yang lain.

“Pada umumnya mereka adalah pedagang-pedagang,” desis Glagah Putih.

“Ya. Menilik pakaian dan sikap mereka. Mereka agaknya para pemilik pedati yang masih berada di sebelah pasar itu.”

“Agaknya hari ini hari pasaran.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Menilik kesibukan setelah pasar itu menjadi sepi. maka agaknya banyak pedagang dari jauh yang berdatangan. Dan biasanya hal seperti itu terjadi pada hari pasaran.

Namun ketenangan di kedai itu pun segera terganggu. Tiga orang yang tadi berjalan tergesa-gesa dan berpapasan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, telah memasuki kedai itu sambil berteriak, “Kalian berbohong, he?”

“He? Dimana orang yang duduk di situ tadi, di sudut itu?” berkata seorang yang lain sambil menunjuk Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Dimana? Apakah kalian semua tuli? Atau bisu?”

Belum ada orang yang menjawabnya.

“Dimana yang duduk di sini tadi?” orang yang ikut dalam pertarungan di arena untuk mendapatkan hadiah itu melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan.

”Kami tidak tahu, Ki Sanak. Ketika kami datang, tidak ada orang yang duduk di sini.”

“Tetapi orang itu tadi duduk di sini,”

“Mungkin orang itu sudah pergi.”

“Kemana?”

“Kami tidak tahu, Ki Sanak.”

Orang itu menjadi sangat marah. Dengan kasar orang itu membentak, “Jangan permainkan kami! Katakan, dimana orang yang tadi duduk di sini?”

“Ketika kami datang, tempat ini sudah kosong. Tidak ada orang yang duduk di sini. Bagaimana aku tahu kemana orang yang tadi duduk di sini itu pergi?”

“Aku tidak peduli. Aku belum lama meninggalkan kedai ini. Seandainya orang yang duduk di situ itu pergi, maka kalian tentu masih melihat, ke arah mana mereka pergi.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian sambil menahan diri, “bukankah kita yang tadi bertemu di jalan? Kalian berjalan sangat tergesa-gesa.”

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Ya. Kita tadi bertemu di jalan, sebelum kau memasuki padukuhan ini.”

“Dengan demikian, bukankah ada tenggang waktu yang cukup panjang sehingga memungkinkan aku tidak melihat orang-orang yang semula duduk di sini?”

“Cukup. Jangan membual lagi. Jawab saja pertanyaanku.”

Tiba-tiba saja seorang yang duduk di tengah-tengah kedua orang itu berkata, “Ki Sanak. Kau memang aneh. Kami adalah saksi. Ketika mereka berdua datang dan duduk di tempat itu, tempat itu memang sudah kosong. Bahkan kami pun tidak tahu kemana orang-orang yang tadi duduk di sudut itu pergi, karena kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan mereka.”

“Cukup!” bentak seorang di antara ketiga orang itu, “Kau tidak usah turut campur.”

“Aku memang tidak ingin turut campur. Tetapi kau telah melakukan satu perbuatan yang tidak nalar, sehingga rasa-rasanya jantung ini tergelitik untuk melibatkan diri dalam pembicaraan kalian.”

“Diam!” teriak orang Gunung Gandar yang ikut dalam pertarungan memperebutkan hadiah itu, “Jika kau tidak mau diam, maka aku akan menyumbat mulutmu.”

“Kau terlalu sombong, Ki Sanak. Lihat kedua orang yang nampak kebingungan itu. Mereka benar-benar tidak tahu apa apa.”

“Jika demikian, maka aku ingin kau yang menjawab pertanyaanku.”

“Aku tidak akan menanggapi pertanyaanmu.”

“Jangan main-main, Ki Sanak. Kau tentu tahu siapa aku.”

“Tidak. Aku tidak tahu siapakah kau ini.”

“Jika demikian, kau akan sangat menyesal. Aku akan memperkenalkan diri dengan caraku. Kau dapat memilih, di dalam atau di luar kedai ini.”

“Apakah ini satu tantangan?” bertanya orang itu.

“Ya.”

“Jika demikian, baiklah. Aku akan turun ke halaman. Aku terima tantanganmu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegiang. Dengan nada berat Glagah Putih berdesis, “Ki Sanak akan berkelahi karena aku dan istriku?”

“Bukan. Bukan karena kalian berdua. Tetapi aku tidak dapat menerima kenyataan yang buruk ini.”

Ketika orang itu sudah berada di halaman, demikian pula ketiga orang yang kasar itu, maka orang Gunung Gandar itu pun bertanya, “Kau tidak sering datang ke pasar ini?”

“Tidak, Ki Sanak. Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan pasar itu. Aku hanya sekedar lewat. Tetapi sikap kalian sungguh nemuakkan.”

“Aku sudah mengira bahwa kau tentu bukan orang yang sudah sering datang kemari. Sekali kau datang, kau sudah membanggakan diri dengan sombongnya.”

“Aku tidak membanggakan diri. Aku hanya ingin menyatakan bahwa tingkah laku kalian sama sekali tidak pantas. Kau telah membentak-bentak dua orang suami istri yang tidak tahu apa-apa. Jika saja keduanya laki-laki, apapun yang terjadi atas mereka tidak akan begitu menyinggung perasaan. Tetapi kau lihat seorang di antara mereka adalah perempuan.”

“Persetan. Aku tidak peduli. Jika kau tidak dapat menunjukkan orang yang duduk di sudut itu, aku akan meruntuhkan kesombonganmu. Aku akan menghancurkan harga diri dan bahkan kewadaganmu.”

“Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tetapi aku juga mempunyai keinginan-keinginan.”

“Persetan dengan keinginanmu.”

Orang yang pernah bertarung untuk memperebutkan hadiah itu pun segera bergeser maju. Dengan kasarnya orang itu meloncat menyerang, seperti pada saat ia berada di arena pertarungan.

Tetapi lawannya pun cukup tangkas. Demikian ia mengelak, maka ia pun segera membalas menyerang dengan cepatnya, sehingga lawannya itu pun terkejut.

Demikianlah, maka keduanya pun segera berloncatan saling menyerang. Mereka pun segera meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Serangan dibalas dengan serangan, sehingga sering kali keduanya saling berbenturan.

Glagah Putih dan Rara Wulan segera turun ke halaman pula, bersama beberapa orang yang berada di dalam kedai itu. Bahkan orang-orang yang ada di kedai sebelah-menyebelah pun menjadi tertarik untuk ikut menyaksikannya.

Orang Gunung Gandar itu agaknya ingin segera menyelesaikan lawannya. Karena itu, maka ia pun segera meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Tetapi ternyata lawannya pun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan beberapa saat kemudian segera nampak, bahwa orang Gunung Gandar itu justru mulai terdesak.

Ketika ia meloncat menyerang dengan menjulurkan kakinya, lawannya dengan cepat mengelak. Namun tiba-tiba ia pun meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar, menyambar kening orang Gunung Gandar itu.

Orang itu terdorong surut. Ketika sekali lagi lawannya meloncat sambil mengayunkan kakinya berputar, maka sekali lagi kaki lawannya itu menyambar pada wajahnya.

Orang yang sudah hampir kehilangan keseimbangannya itu tidak lagi mampu bertahan. Maka orang Gunung Gandar itu pun terdorong beberapa langkah surut. Kemudian jatuh terguling di tanah.

Dengan cepat ia pun segera bangkit lagi. Dalam sesaat ia pun sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun sejenak kemudian, serangan lawannya pun datang seperti angin prahara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar. Kakinya berloncatan melontarkan tubuhnya dengan cepat. Namun tiba-tiba kaki itu pun menyambarnya dengan garangnya.

Beberapa saat kemudian, maka orang dari Gunung Gandar itu pun telah terdesak. Ternyata lawannya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya.

Orang Gunung Gandar itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Karena itu, maka orang Gunung Gandar itu pun tidak menunggu tubuhnya menjadi merah biru, serta wajahnya menjadi lebam dan berdarah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar