Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 357

Buku 357

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa seperti itu masih juga terulang. Masih saja ada persoalan-persoalan kecil yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Tetapi agaknya anak-anak muda itu sulit untuk diajak berbicara.

“Nah, rakit itu sudah semakin menepi. Marilah, Nduk, jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu. Bahkan kau akan mendapatkan apa yang belum pernah diberikan oleh suamimu.”

Jantung Rara Wulan terasa bergejolak. Ketika ia berhadapan dengan Soma dan Tumpak, darahnya serasa mendidih. Bahkan ia telah bertempur dengan Tumpak dan ia tidak dapat menghindari dari pembunuhan yang dilakukannya, pada saat ia membentur ilmu lawannya dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Tetapi anak-anak ini berbeda. Mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Mereka tidak menyadari, bahwa tingkah lakunya itu akan dapat berakibat buruk.

Menghadapi anak-anak muda itu, akhirnya Rara Wulan berkata, ”Anak-anak. Jangan bermain api. Kalian tentu tahu bahwa tangan kalian akan dapat hangus. Sebagaimana jika kalian bermain air, maka pakaian kalian akan dapat menjadi basah.”

“He? Perempuan itu memanggil kita anak-anak!” orang yang bertubuh raksasa itu berteriak.

“Ya. Kalian masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui apa yang sebenarnya kalian hadapi sekarang ini,” Glagah Putih-lah yang menyahut. “Karena itu, urungkan niatmu. Jangan mencelakai diri sendiri.”

“He, bocah edan. Apa maksudmu, he? Menggertak kami, atau sengaja mempermainkan kami? Jika kau masih menyebut kami anak-anak, aku akan menyumbat mulutmu dengan pasir.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu rakit yang ditunggu itu sudah menepi.

“Nah, Ki Sanak. Rakit itu sudah menepi. Jika kalian ingin mempergunakannya lebih dahulu pergunakan. Kami akan menyeberang dengan rakit berikutnya, karena nampaknya rakit itu tidak akan dapat memuat kita semuanya sekaligus.”

“Sudah aku katakan, kau tinggal di sini. Perempuan itu akan ikut bersama kami.”

Glagah Putih memang tidak sesabar Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, “Pergilah kalian semuanya, atau kami akan mengusir kalian seperti mengusir sekumpulan kucing hutan.”

Wajah anak-anak muda itu menjadi merah. Seorang yang bertubuh raksasa itu pun segera melangkah maju. Diraihnya baju Glagah Putih. Sambil mengguncangkan iapun berkata, “Ulangi perkataanmu. Aku benar-benar akan menyumbat mulutmu dengan pasir.”

Namun tidak seorangpun tahu apa yang terjadi, ketika tiba-tiba saja anak muda yang bertubuh raksasa itu melangkah surut setapak. Tangannya yang mencengkam baju Glagah Putih itu terlepas. Perlahan-lahan anak muda itu jatuh pada lututnya. Namun kemudian iapun berguling di pasir tepian.

“Apa yang terjadi?” teriak seorang kawannya.

Kawan-kawannya sudah siap untuk meloncat mendekatinya, namun segera berhenti. Dipandanginya Glagah Putih yang sedang membenahi pakaianya yang menjadi kusut.

“Siapa lagi?” bertanya Glagah Putih.

“Kau bunuh kawanku!” teriak seorang anak muda yang lain.

“Kawanmu tidak mati. Lihat, matanya terbuka. Bahkan ia dapat berkedip. Ia tidak mati. Bahkan pingsan pun tidak.”

Glagah Putih itu pun kemudian melangkah surut beberapa langkah untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan anak muda bertubuh raksasa itu mendekatinya.

Sebenarnyalah mereka pun serentak berloncatan dan berlutut di sebelah-menyebelah orang bertubuh raksasa itu.

“Kau kenapa, he?” bertanya seorang kawannya.

Yang lain sambil mengguncang-guncang menyebut namanya. Yang lain lagi memijit-mijit keningnya.

“Kau kenapa? Kenapa?” bertanya kawan-kawannya.

Tetapi anak muda bertubuh raksasa itu tidak menjawab. Matanya memang terbuka. Ia sempat melirik kepada kawan-kawannya. Tetapi ia tidak bergerak sama sekali.

“Ia menjadi lumpuh,” berkata seseorang. “lumpuh dan sekaligus bisu.”

“Orang itu tentu mempunyai ilmu iblis.”

“Orang itu tukang sihir.”

“Bunuh saja!” teriak seorang di antara mereka dengan kerasnya. Suaranya melengking mengatasi suara kawan-kawannya.

Namun seorang yang lain menyahut, “Ya. Kita bunuh tukang sihir itu. Ia dapat mengacaukan tatanan kehidupan orang banyak.”

“Aku bukan tukang sihir,” sahut Glagah Putih.

“Bukankah sudah terbukti? Kau sihir kawanku itu.”

“Aku tidak menyihirnya. Tetapi aku dapat berbuat demikian terhadap kalian semuanya. Marilah, siapakah yang akan menjalani lebih dahulu?”

“Anak iblis, kau.”

“Bukan aku. Tetapi kalian. Apa yang akan kalian lakukan terhadap istriku adalah kelakuan iblis. Selain iblis, tidak akan berbuat seperti itu.”

“Diam kau! Sekarang apa yang akan terjadi padamu, harus kau jalani tukang sihir.”

“Jangan mencari perkara, anak-anak muda. Jika kalian berkeras, maka kalian semuanya nanti akan mengalaminya.”

Wajah anak-anak muda yang marah itu menjadi merah. Mereka mulai berteriak-teriak agar suami istri yang dianggap tukang sihir itu dibunuh saja. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang bergerak mendahului kawan-kawannya.

“Nah, siapakah yang paling awal akan menjadi lumpuh seperti anak itu? Majulah.”

“Iblis kau! Kau harus dibunuh!” anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Tetapi mereka masih saja berdiri bergerombol.

Tidak seorangpun yang bergerak mendahului yang lain.

Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kawanmu itu tidak apa-apa. Biarkan saja ia dalam keadaan seperti itu. Nanti, sesilir bawang, ia akan pulih kembali.”

Glagah Putih tidak menunggu lagi. Dibimbingnya Rara Wulan menuju rakit yang sudah menepi. Beberapa orang sudah turun meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi di tepian itu. Tetapi dari atas rakit mereka melihat suasana yang menegangkan.

Anak-anak muda itu masih saja berteriak-teriak. Seorang di antara mereka suaranya melengking tinggi, “Jangan lari, pengecut! Aku bunuh kau!”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menanggapinya. Sambil berjalan menuju ke rakit, Glagah Putih berpaling. Katanya, “Maaf, anak-anak muda. Aku tidak sempat bermain-main bersama kalian.”

Tidak seorangpun yang berusaha mengejar. Tidak seorangpun yang berani menyerang lebih dahulu. Mereka hanya berani berteriak-teriak sambil mengacungkan tinju mereka.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sudah naik ke atas rakit, maka Glagah Putih pun berkata, “Marilah, Ki Sanak. Kita segera saja menyeberang.”

“Tetapi…”

“Kau memerlukan penumpang? Biarlah kami berdua membayar untuk lima orang.”

Tukang satang itu memang ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang tanpa menunggu anak-anak muda yang nampaknya juga akan menyeberang itu. Bahkan mungkin anak-anak muda yang berteriak-teriak itu akan dapat membuat persoalan. Kawan-kawannya pernah mengalami, bahwa anak-anak muda yang nakal tidak mau memberikan upah penyeberangan. Bahkan adik tukang satang itu, yang juga sering turun ke sungai, telah dirampok oleh beberapa orang yang nampaknya berwajah garang. Uang pendapatannya yang tidak seberapa telah diminta seluruhnya oleh orang itu.

Ternyata anak-anak muda itu tidak berusaha menghentikan rakit yang menyeberang kembali ke timur tanpa mereka, karena mereka masih harus menunggui seorang kawannya yang mengalami keadaan yang tidak mereka mengerti.

“Siapakah mereka itu, Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari dua orang tukang satang.

“Kami tidak mengenal mereka.”

“Tetapi ketika kami menyeberang ke barat, kami melihat telah terjadi ketegangan antara Ki Sanak dengan mereka?”

“Sedikit salah paham. Tetapi sudah teratasi.”

Tukang satang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia sempat bercerita tentang kawan-kawannya yang mengalami perlakuan buruk, serta adiknya yang pernah dirampok orang .

Sementara itu, orang yang telah dikacaukan syarafnya dengan sentuhan pada beberapa simpulnya oleh Glagah Putih itu mulai pulih kembali. Orang bertubuh raksasa itu mulai dapat menggerakkan kaki dan tangannya. Kemudian seluruh tubuhnya.

Perlahan-lahan ia berusaha bangkit. Kawan-kawannya yang melihat ia mulai bergerak, telah membantunya. Bahkan kemudian berdiri.

“Di mana iblis itu?” tiba-tiba saja ia berteriak.

“Menyeberang,” jawab seorang kawannya.

“Kenapa kalian tidak mencegahnya? Aku ingin membunuhnya.”

“Kami tidak dapat meninggalkan kau sendiri.”

“Kenapa?”

“Kami memang ragu-ragu,” sahut yang lain, yang agaknya lebih jujur.

“Kalian takut?”

“Lihat ke dirimu sendiri,” berkata anak muda yang agaknya mempunyai pengaruh yang besar atas kawan-kawannya, termasuk anak muda bertubuh raksasa itu, “apa yang dapat kau lakukan ketika kau menghadapinya?”

“Kau menjadi seperti batang pohon pisang yang tidak berdaya. Hanya matamu saja yang menandai bahwa yang masih hidup.”

Anak muda bertubuh raksasa itu terdiam. Sementara anak muda yang berpengaruh itu berkata lebih lanjut, “Orang itu tentu memiliki kemampuan sihir. Karena itu, kita tidak dapat bertindak tergesa-gesa tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Terus terang, aku tidak ingin mengalami keadaan seperti kau.”

Anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak menjawab.

“Kita akan menyeberang,” berkata anak muda yang berpengaruh itu.

Namun rakit berikutnya masih agak jauh. Rakit itu bergerak lamban sekali. Dua tukang satang masing-masing mempergunakan sebatang bambu yang panjang untuk mendorong rakitnya menyeberangkan.

Demikian rakit yang berikutnya minggir, yang membawa beberapa orang yang menyeberang dari sisi timur, maka anak-anak muda itu pun segera berloncatan naik.

“Cepat. Kayuh ke seberang.”

Kedua orang tukang satangnya termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Lihat. Ada dua orang yang turun ke tepian. Mungkin mereka juga akan menyeberang.”

“Kami tidak mau menunggu.”

“Mereka akan segera sampai kemari.”

“Cepat! Jangan membantah lagi, atau kalian berdua aku melemparkan ke sungai. Biarlah kami mengayuh sendiri rakit ini.”

“Tetapi…”

“Diam!” bentak orang bertubuh raksasa itu, “Kayuh sekarang ke sungai. Jika kau menjawab sepatah kata lagi, aku koyak mulutmu.”

Tukang satang itu pun menjadi ketakutan. Tanpa menjawab lagi, maka rakit itu pun mulai bergerak.

Ternyata kedua orang yang sudah turun ke tepian itu melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, “Tunggu! Tunggu!”

“Jangan berhenti!” bentak seorang di antara anak-anak muda itu.

Tukang satang itu tidak membantah. Rakit itu pun meluncur terus. Semakin lama menjadi semakin ke tengah.

Sementara itu rakit yang di depan, yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan, telah menepi. Keduanya pun segera turun. Seperti yang mereka janjikan, Glagah Putih dan Rara Wulan membayar upah menyeberang untuk lima orang.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling, mereka melihat anak-anak muda yang mengganggu mereka telah menyeberang pula. Namun Glagah Putih itu pun berkata, “Mereka tidak akan mengganggu kita lagi.”

“Kakang,” sahut Rara Wulan, “aku cenderung ingin membuat mereka benar-benar jera.”

“Sudahlah. Jika mereka tidak berbuat apa-apa lagi, lupakan saja mereka.”

Rara Wulan mengangguk.

Keduanya pun kemudian melangkah melintasi tepian berpasir. Ada beberapa orang yang akan menyeberang dari arah timur ke barat. Mereka pun mempercepat langkah mereka dan langsung naik ke rakit yang baru saja menepi dan menurunkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke tebing yang landai di sisi timur, maka anak-anak muda itu pun berloncatan turun dari rakitnya.

“Kalian belum membayar upahnya,” berkata salah seorang dari kedua tukang satang itu.

Tetapi bukan upah yang didapatnya. Seorang di antara anak-anak muda itu telah memukulnya, sehingga tukang satang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan akhirnya orang itu jatuh terlentang.

Kawannya segera berlari mendapatkannya dan membantunya berdiri.

“Kalian akan melawan?” bentak anak muda itu.

Kedua orang tukang satang itu terdiam. Mereka tidak akan berani melawan anak-anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang tukang satang itu pun hanya berdiam saja.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah berada di atas tebing yang landai itu kebetulan berpaling. Keduanya pun segera berhenti. Namun anak-anak muda itu pun segera pergi meninggalkan tukang satang yang kesakitan itu.

Ternyata keduanya tidak menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi mereka justru pergi ke arah yang lain.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Sekali-sekali anak-anak itu memang memerlukan sedikit peringatan.”

“Bukankah aku sudah mengatakan tadi, Kakang?”

“Ya. Aku kira mereka hanya akan mengganggu kita.”

Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan.”

Keduanya pun berjalan terus. Mereka tidak lagi menghiraukan anak-anak muda yang berjalan ke arah hulu Kali Praga sepanjang tepian berpasir.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang meneruskan perjalanan itu memang terasa agak lamban. Rara Wulan yang mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan, berpakaian panjang dan menyangkutkan selendang di bahunya, tidak dapat berjalan secepat jika ia mengenakan pakaian khususnya.

Ketika panas matahari terasa menjadi semakin menyengat, pakaian Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi basah oleh keringat. Sekali-sekali mereka menyeka kening.

“Kita sakan sampai di Jati Anom di sore hari,” desis Glagah Putih.

“Apakah maksud Kakang, aku harus berjalan lebih cepat?”

“Tidak. Tidak, bukan itu. Kita memang lebih enak berjalan dengan tidak merasa tergesa-gesa. Kita tidak diburu waktu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

“Jika kita menemui sebuah kedai, maka kita akan dapat beristirahat sambil menghirup minuman,” berkata Glagah Putih.

“Kita menyusuri jalan yang tidak terlalu ramai. Padukuhan-padukuhan yang kita lewati pun bukan padukuhan-padukuhan yang besar,” sahut Rara Wulan.

“Tetapi kita tentu akan menjumpai sebuah kedai.”

Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki padukuhan yang agak besar, maka mereka pun telah mendapatkan sebuah kedai yang pintunya masih terbuka. Di sebelah kedai itu terdapat sebuah simpang empat.

Jalan yang dilalui oleh Glagah Putih itu menyilang jalan yang agak lebih besar. Agaknya jalan itu adalah jalan yang lebih ramai.

“Kakang pernah melewati jalan itu?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Aku pernah melewati jalan itu. Kita nanti juga akan mengikuti jalan itu. Jalan yang agak lebih baik dari jalan yang kita lewati.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Keduanya pun kemudian singgah di kedai itu. Ketika mereka masuk, di dalamnya sudah ada beberapa orang yang lebih dahulu datang.

Kepada pelayan kedai itu, Glagah Putih pun segera memesan minum dan makan. Selain haus, mereka pun sudah merasa lapar pula.

Dari percakapan beberapa orang yang sudah ada di kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui bahwa tidak jauh dari simpang empat itu terdapat sebuah sendang yang tidak terlalu luas. Di sekitar sendang itu terdapat berbagai macam pohon raksasa. Ada sebuah tugu batu yang sudah sangat tua.

Sendang itu ternyata banyak dikunjungi orang. Siang dan malam. Pada hari apa saja. Bukan hanya pada hari-hari tertentu.

Orang-orang yang berada di kedai itu ternyata juga baru pulang dari kunjungan mereka ke sendang itu.

Seorang di antara mereka tiba-tiba saja berkata kepada pemilik kedai itu, “Kang, aku berjanji. Jika permohonanku di kabulkan oleh Kiai dan Nyai Berkah, aku akan datang lagi kemari bersama keluargaku.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Aku menunggu kehadiran Ki Sanak beserta keluarga.”

“Aku juga,” berkata yang lain, “jika dalam tahun ini aku benar-benar dikaruniai anak laki-laki, maka aku akan datang dengan anakku itu.”

“Jadi kau akan menunggu setahun lagi?” bertanya kawannya.

“Ya.”

“Kenapa begitu lama?”

“Bagaimana aku tahu bahwa aku mempunyai anak laki-laki, sebelum bayi itu lahir?”

“Kenapa harus laki-laki?”

“Aku ingin anak laki-laki.”

“Kau tidak boleh memilih. Kau harus menerima apa adanya.”

“He? Jadi?”

“Katakan, jika istrimu mulai mengandung, kau akan datang lagi kemari dengan istrimu itu.”

Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, “Baik. Baik. Jika istriku mengandung, tanpa menunggu kelahirannya, aku akan mengajaknya kemari. Bahkan seadainya aku tidak berujar sekalipun. Istriku akan senang sekali makan nasi megana dengan pepes udang dan wader pari.”

Kawan-kawannya tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kenapa kau harus menunggu istrimu itu mengandung? Ajak saja istrimu besok kemari.”

Orang itu pun tertawa pula.

Namun seisi kedai itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Semakin lama terdengar semakin dekat. Tidak hanya satu dua, tetapi banyak.

Beberapa saat kemudian, mereka melihat sekelompok anak-anak muda melarikan kuda mereka melintasi simpang empat itu. Anak-anak muda itu menyusuri jalan yang lebih kecil seperti sedang berburu rusa.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Ada di antara mereka adalah anak-anak muda yang mereka jumpai di penyeberangan.

“Agaknya mereka mencari kita,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Kita tinggalkan kedai ini.”

“Kita akan melarikan diri?”

“Bukan begitu. Aku hanya bermaksud agar kedai ini tidak mereka jadikan sasaran kemarahan mereka. Mungkin bukan hari ini. Tetapi esok atau lusa. Bahkan seandainya mereka menemukan kita di sini, mereka akan dapat menimbulkan kerusakan di kedai ini.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita keluar dari kedai ini. Tetapi biar aku habiskan dahulu nasi megana ini. Seperti yang dikatakan orang itu, nasi megana di sini termasuk nasi megana yang enak. Lebih enak dari nasi megana yang pernah aku makan sebelumnya.”

“Kau tahu, kenapa?”

Rara Wulan menggeleng.

“Seharusnya kau lebih tahu. Ada gereh pete kecil-kecil di bumbu megana itu.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk sambil tersenyum, “lidahmu tajam sekali, Kakang.”

Demikian mereka selesai makan dan menghabiskan minuman mereka, maka mereka pun segera minta diri.

Keduanya meninggalkan kedai itu setelah mereka membayar harga makan dan minuman mereka. Mereka pun segera melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka tidak jadi mengikuti jalan yang besar dan ramai itu. Tetapi mereka mengikuti jalan yang lebih sempit. Jalan yang dilalui oleh anak-anak muda yang memacu kuda mereka.

Beberapa saat setelah mereka melewati simpang empat, Rara Wulan pun berkata, “Mereka sudah sangat jauh, Kakang. Mereka memacu kuda mereka. Mereka mengira kita sudah jauh pula.”

“Ya. Tetapi mereka tentu akan kembali pula lewat jalan ini. Mudah-mudahan kita bertemu dan dapat berbicara dengan mereka. Jika mereka tidak menemukan kita, mungkin sekali mereka akan bertanya kepada pemilik kedai itu. Jika jawaban pemilik kedai itu tidak memuaskan mereka, akan dapat terjadi keributan. Kedai itu akan dapat mereka rusakkan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Keduanya pun berjalan terus. Bahkan seakan-akan mereka telah melupakan anak-anak muda yang berkuda itu. Mereka sempat memperhatikan tanah persawahan yang bersusun seperti tangga raksasa di kaki Gunung Merapi itu. Di kejauhan mereka melihat hutan yang lebat memanjat sampai ke lambung.

Namun tiba-tiba jauh di hadapan mereka, di jalan yang agak menurun di tengah-tengah bulak, iring-iringan anak-anak muda yang melarikan kuda mereka itu nampak berpacu menuju Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Mereka sudah kembali. Setelah agak jauh mereka tidak menyusul kita, maka mereka menduga bahwa kita telah mengambil jalan yang menyilang itu,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Jumlahnya bertambah. Sekitar sepuluh orang,” sahut Rara Wulan.

“Ya. Mudah-mudahan mereka dapat diajak berbicara.”

“Jika tidak, maka kita harus membuat mereka benar-benar jera.”

“Jika mereka mempunyai ilmu yang tinggi?”

“Kita-lah yang akan menjadi jera.”

Keduanya pun tertawa. Tetapi penglihatan mereka atas lawan-lawannya jika mereka telibat dalam perselisihan, biasanya tidak terlalu meleset.

Demikian pula penglihatan mereka atas kemampuan anak-anak yang beriringan di atas punggung kuda itu.

Anak-anak muda yang melarikan kuda mereka menyusuri jalan bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat. Agaknya mereka pun telah melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan berlawanan arah mereka.

“Anak iblis,” geram seorang di antara anak-anak muda yang berkuda itu, “mereka sama sekali tidak menjadi cemas. Mereka masih saja berjalan dengan tenangnya. Bahkan sambil berbincang-bincang seperti sedang berjalan di terang bulan.”

“Mereka akan segera menyadari, bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita.”

“Ya, bagi kita,” sahut yang lain.

“Kenapa?“

“Mereka memang bukan apa-apa bagi kita. Tetapi bagaimana bagi kita masing-masing?”

“Edan kau. Jika kau takut, minggirlah.”

“Kenapa aku harus takut? Bukankah aku sependapat bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita? Mungkin aku akan ketakutan dan melarikan diri jika aku sendiri bertemu dengan mereka.”

Anak muda yang bertubuh raksasa, yang telah menjadi lumpuh ketika beberapa simpul syarafnya disentuh oleh Glagah Putih berkata, “Jika mereka tidak licik dan menyerang dengan tiba-tiba, aku akan mengatasi mereka.”

“Jangan sombong.”

“Aku tidak sombong. Aku yakin akan kemampuanku.”

“Baik,” sahut anak muda yang meragukan kemampuan mereka seorang-seorang, “kita akan menjadi penonton. Biarlah ia berhadapan sendiri dengan laki-laki tukang sihir itu.”

Wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu menjadi tegang. Dengan serta-merta ia pun berkata, “Tetapi kita sudah berniat untuk membuat mereka berdua jera. Kemudian melemparkan laki-laki itu di pinggir jalan, serta membawa perempuannya kembali ke sarang kita.”

Beberapa orang yang lain tertawa. Sementara itu kuda mereka berlari terus, semakin lama semakin dekat dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan iring-iringan itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan Glagah Putih pun berdesis, “Aku tidak ingin membunuh. Tetapi aku tidak tahu, apakah tidak terjadi jika kita harus berkelahi melawan sekian banyak orang.”

“Ya. Ternyata jumlah mereka tidak hanya sepuluh, tetapi dua belas.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sementara itu, iring-iringan anak-anak muda berkuda itu menjadi semakin dekat. Glagah Putih dan Rara Wulan segera menepi. Mereka naik ke atas gundukan tanah di pinggir jalan agar mereka tidak terinjak oleh kaki kuda.

Namun kedua belas ekor kuda itu pun telah ditarik kendalinya hampir serentak, sehingga kuda-kuda itu pun segera berhenti.

Seorang anak muda yang berkumis lebat, yang nampaknya pemimpin dari sekelompok anak muda itu pun berkata lantang, “He, kau-kah yang bertemu dengan kawan-kawanku di tepian Kali Praga?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diamatinya anak-anak muda yang masih duduk di punggung kuda itu.

Namun demikian, sambil mengangguk ia pun menjawab, “Ya. Kami telah bertemu mereka di tepian. Bahkan kawanmu yang bertubuh raksasa itu telah mengganggu kami berdua.”

Tetapi anak muda yang bertubuh raksasa itu berteriak, “Bohong! Kau telah memfitnah!”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa kau menjadi begitu ketakutan ketika aku mengatakan bahwa kau telah mengganggu kami? Apakah dengan demikian kau akan mendapat hukuman dari pemimpinmu itu ?”

“Bukan aku yang mengganggu kalian. Tetapi kalian-lah yang telah mengganggu aku.”

“Apa yang telah aku lakukan, sehingga kau dapat menyebut kami telah mengganggumu?”

Seorang anak muda yang lain tiba-tiba saja menyahut, “Perempuan itu-lah yang telah mengganggu kami.”

“Kenapa dengan istriku?”

“Wajahnya, sikapnya dan keperempuannya yang telah mengganggu perasaan kami.”

Beberapa orang anak muda yang lain tertawa. Namun anak muda yang berkumis lebat itu pun membentak, “Ini bukan lelucon! Kita telah dihina oleh orang itu.”

“Ya,” suara anak muda yang bertubuh raksasa itu lantang, “kita harus membalas hinaan itu. Kita harus mempermalukan mereka di hadapan orang banyak.”

“Mempermalukan mereka?” bertanya seorang kawannya, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Seret mereka ke padukuhan. Nah, banyak cara untuk mempermalukan mereka.”

Tetapi pemimpin anak-anak muda itu berkata, “Kami tidak akan menyeret kalian jika kalian menyerah, dan membiarkan apa saja yang akan kami lakukan atas kalian. Kami akan membawa kalian ke padukuhan dengan cara yang baik. Kemudian kalian pun akan kami tinggal dan kami serahkan kepada orang-orang padukuhan, setelah kami melaksanakan hukuman yang ingin kami terapkan kepada kalian. Itu adalah keputusanku. Kawan-kawanku tidak akan dapat merubahnya. Karena itu, kalian dapat memilih. Menjalani hukuman berdasarkan atas hukumanku itu, atau aku akan menyerahkan kalian kepada kawan-kawanku.”

“Ki Sanak. Kami tidak merasa besalah, kenapa Ki Sanak akan menghukum kami?”

“Mungkin kalian merasa tidak bersalah. Tetapi kami menganggap kalian bersalah.”

“Seandainya kami bersalah, apakah Ki Sanak dan kawan-kawan Ki Sanak berhak menjatuhkan hukuman itu kepada kami?”

“Tentu. Siapakah yang akan melarang kami menjatuhkan hukuman apapun kepada kalian? Bahkan seandainya kami berniat mengubur kalian berdua di tebing di sela-sela batu-batu padas itu?”

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, “Kakang masih bersabar menghadapi anak-anak bengal itu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang, sementara itu orang berkumis tebal itu pun dengan serta merta menanggapinya, “Kau sebut kami anak-anak bengal?”

“Ya,” jawab Rara Wulan tanpa ragu-ragu, “anak-anak yang tidak tahu diri. Hak apa yang kalian miliki sehingga akan menghukum kami? Hak kalian tidak lebih dari hak yang kami miliki. Karena itu, jika kalian akan menghukum kami, maka kami-lah yang akan melakukan lebih dahulu. Kami berdua akan menghukum kalian.”

“Edan!” teriak anak muda berkumis lebat itu, “Ternyata kalian benar, kawan-kawan, kedua orang ini adalah orang-orang gila. Karena itu jangan menunggu lebih lama lagi. Tangkap mereka dan seret ke padukuhan di simpang empat itu. Setidak-tidaknya kita akan menunjukkan kepada orang-orang di padukuhan itu, bahwa kita sudah menangkap sepasang orang gila. Kita dapat mengikat mereka di prapatan dan membiarkan mereka menjadi tontonan. Orang-orang yang pulang dan pergi ke sendang akan dapat menonton, yang tentu sangat menarik bagi mereka.”

Rara Wulan memang sudah kehabisan kesabaran. Tiba-tiba saja ia telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya yang dipakainya di bawah kain panjangnya.

Tanpa berbicara lagi, Rara Wulan telah menarik tangan Glagah Putih meloncat turun ke jalan, di antara kedua belas anak muda yang masih berada di punggung kuda.

Adalah tidak terduga, bahwa Rara Wulan telah menghentakkan selendangnya menyentuh perut salah seekor kuda itu, sehingga kuda itu pun terkejut. Sambil meringkik keras kuda itu mengangkat kedua kaki depannya. Namun ketika sekali lagi perutnya tersentuh selendang Rara Wulan, maka kuda itu menjandi binal. Kuda itu pun meloncat menerjang kuda-kuda yang lain, berlari kencang sekali. Beruntunglah bahwa anak muda yang berada di punggungnya sudah terjatuh pada saat kuda itu berdiri. Sehingga ia tidak lagi dibawa lari oleh kuda yang seakan-akan menjadi gila itu.

Beberapa orang yang lain, yang tidak berhasil menguasai kudanya, telah berloncatan turun pula, sehingga lima dari dua belas ekor kuda telah berlari meninggalkan kuda-kuda yang lain, yang masih dapat dijinakkan.

Kuda dari anak muda yang berkumis itu pun telah berlari pula. Anak muda yang berkumis lebat itu pun telah terjatuh pula. Tangannya yang sebelah kiri terasa menjadi sangat nyeri. Sedangkan punggungnya menjadi sakit pula.

Demikian pula kawan-kawannya yang telah meloncat dan terjatuh dari kudanya.

Orang-orang yang kesakitan itu mengumpat-umpat kasar. Sedangkan kawan-kawannya yang lain pun telah berloncatan turun pula. Mereka pun segera mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu.

Namun untuk beberapa saat mereka termangu-mangu melihat pakaian yang dikenakan oleh Rara Wulan. Dengan demikian mereka sadar, bahwa mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang tentu bukan sebagaimana kebanyakan perempuan.

“Perempuan ini tentu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan,” berkata anak-anak muda itu dalam hatinya, “karena itu, maka ia sama sekali tidak nampak menjadi cemas dan ketakutan.”

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, masih saja mencoba memberi peringatan. Dengan lantang Glagah Putih berkata, “Aku masih akan mencoba menghindari kekerasan. Kekerasan tidak akan berarti dan tidak akan menguntungkan bagi kita. Mungkin ada di antara kita yang terluka atau mangalami cedera yang parah. Karena itu, dengarlah kata-kataku. Biarlah kami berdua pergi.”

“Begitu enaknya kalian pergi tanpa mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Kalian telah mengejutkan kuda kami. Kalian telah membuat beberapa orang di antara kami terjatuh dari kuda, dan sekarang kuda-kuda kami sudah berlari pergi. Kuda-kuda kami yang mahal itu akan dapat hilang dan tidak kami ketemukan kembali. Nah. siapakah yang akan bertanggung jawab?”

“Sudahlah, Kakang,” berkata Rara Wulan, “kita selesaikan saja persoalan ini menurut cara yang mereka kehendaki. Lebih cepat lebih baik. Kita masih harus menempuh perjalanan panjang.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu anak muda berkumis lebat itu berkata lantang kepada kawan-kawannya, “Kepung mereka berdua! Jangan beri kesempatan melarikan diri. Dosa mereka sudah bertumpuk. Hukuman bagi mereka akan menjadi semakin berat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi anak-anak muda yang bengal itu.

Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Tetapi anak-anak muda itu masih belum mulai menyerang mereka.

“Bersiaplah!” teriak anak muda yang berkumis lebat.

Yang lain tidak menyambut. Mereka semuanya sudah siap. Tetapi belum ada yang memulainya.

Akhirnya anak muda yang berkumis lebat itu bergeser mendekati Rara Wulan. Agaknya ia memilih untuk bertempur melawan perempuan itu, daripada laki-laki yang mempunyai kekuatan sihir itu.

Namun kawan-kawannya yang lain pun segera bergeser pula. Tetapi semuanya mengarahkan perhatian mereka kepada Rara Wulan.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia melihat kepungan yang berat sebelah.

“Mereka agaknya telah memilih kau, Rara,” desis Glagah Putih kembali tersenyum.

“Awas kau, Kakang. Jika aku sudah selesai, aku cubit lalu aku putar tiga kali sampai kulitmu terkelupas,” sahut Rara Wulan.

“Bukan salahku. Mereka memilih sendiri.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia justru bergeser menjahui Glagah Putih. Seakan-akan justru memberikan kesempatan kepada dua belas anak-anak muda itu untuk bertempur melawannya seorang diri.

Namun sebenarnyalah, dua belas orang itu telah berkelempok siap menyerang Rara Wulan.

Rara Wulan tidak mau terlalu banyak kesulitan untuk mengalahkan mereka. Karena itu maka Rara Wulan pun langsung memutar selendangnya. Agaknya Rara Wulan pun ingin tahu apa yang dapat dilakukannya dengan selendangnya itu.

Dalam pada itu, anak muda berkumis lebat itu pun berkata, “Kita akan melumpuhkan mereka seorang demi seorang.”

“Apakah kita harus minta dengan hormat kepada laki-laki itu agar ia tidak ikut campur lebih dahulu?” bertanya anak muda yang meragukan kemampuan kawan-kawannya seorang-seorang.

Glagah Putih tidak dapat menahan senyumnya. Katanya, “Terserah kepada kalian. Apakan kalian akan berkelahi melawan kami berdua, atau dengan licik kalian ingin berkelahi dengan istriku saja, baru kemudian kalian akan melawan aku. Dengan demikian kalian berharap bahwa kalian tidak akan mengalami kesulitan, karena kalian akan melawan kami seorang demi seorang.”

“Persetan kau, tukang sihir. Jangan melibatkan diri. Jika kau mencoba melibatkan diri, maka kami akan membunuh istrimu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Bagaimana kau dapat membunuh istriku? Kalian sama sekali tidak akan mampu menyentuhnya.”

“Persetan kau, tukang sihir,” teriak anak muda berkumis lebat. Lalu iapun memberikan aba-aba kepada kawan-kawannya, “Tangkap perempuan itu! Jika suaminya ikut campur, bunuh saja istrinya yang sombong itu.”

Anak-anak muda itu pun bergeser mendekati Rara Wulan. Anak muda yang berkumis lebat itulah yang mulai menyerang, diikuti oleh kawan-kawannya.

Tetapi beberapa orang segera terlempar keluar lingkaran perkelahian. Seorang di antara mereka berteriak kesakitan, yang lain mengerang dan menyeringai sambil mencoba menahan sakit.

Sedangkan Rara Wulan yang berputar itu telah menyentuh beberapa orang lawannya, sehingga mereka menjadi kesakitan. Bahkan ada di antara mereka yang terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah berbatu padas.

“Iblis betina,” geram anak muda yang berkumis lebat, “apakah kalian sepasang suami istri yang kerasukan iblis?”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi selendangnya berputar semakin cepat. Suaranya pun bergaung memantulkan gema di lereng Gunung.

Anak-anak muda itu menjadi semakin marah. Mereka pun mengerahkan kemampuan mereka, menyerang Rara Wulan dari berbagai arah.

Tetapi tidak seorangpun yang mampu menyentuhnya. Bahkan tiga orang lagi jatuh terlentang. Dengan sudah payah mereka mencoba bangkit. Namun punggung mereka rasa-rasanya menjadi retak.

Belum lagi ketiganya dapat berdiri tegak dan memasuki arena perkelahian, maka dua orang yang lain berteriak keras sekali. Ternyata selendang di tangan perempuan itu dapat memukul bahu mereka seperti sebatang tongkat kayu galih asem.

Rara-rasanya sebelah tangan kedua orang itu menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi.

Dalam waktu yang terhitung pendek, tujuh orang sudah tidak dapat bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka. Ada yang tulang punggungnya bagaikan patah. Ada yang sebelah tangannya seolah-olah menjadi lumpuh, ada yang perutnya mual dan nafasnya menjadi sesak. Ada yang tiga giginya patah. Selain mulutnya berdarah, maka dari hidungnya pun telah mengalir darah pula.

Ternyata kedua belas orang itu tidak mampu berbuat banyak melawan Rara Wulan yang hanya seorang diri.

Namun kedua belas orang itu tidak mampu melihat kenyataan. Apalagi mereka yang masih belum mengalami cedera. Mereka justru mengerahkan kemampuan mereka untuk mendesak dan menguasai perempuan yang berkelahi bersenjata selendangnya itu.

Namun mereka tidak berdaya apa-apa. Jika ujung selendangnya itu menyentuh tubuh mereka, maka terasa betapa sakitnya.

Glagah Putih memperhatikan perkelahian itu sambil berdiri di atas sebongkah batu padas di pinggir jalan. Meskipun Glagah Putih tidak melibatkan diri dalam perkelahian itu, tetapi Glagah Putih selalu siap jika ada kemungkinan buruk akan terjadi pada Rara Wulan.

Namun dengan demikian, Glagah Putih dapat melihat penguasaan Rara Wulan atas senjata barunya. Senjata yang memiliki beberapa persamaan dengan cambuk, tetapi juga memiliki beberapa perbedaan sifat dan watak.

Namun ternyata Rara Wulan telah mampu menguasainya, sehingga melawan dua belas orang anak muda, Rara Wulan tidak mengalami telalu banyak kesulitan.

Tetapi Glagah Putih pun kemudian menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda berkumis tebal itu menarik pisau belati panjangnya.

“Tidak ada pilihan lain,” geram anak muda berkumis lebat itu, “jika kau tidak menyerah, maka kami terpaksa membantaimu di sini.”

Ketika kawan-kawannya melihat anak muda berkumis tebal itu menarik senjatannya, maka yang lain pun telah melakukannya pula. Yang membawa pedang di lambungnya, telah menarik pedangnya pula. Yang membawa parang, golok, luwuk dan sebagainya telah berada di genggaman tangan mereka.

Rara Wulan pun bergerser surut. Diamatinya anak-anak yang telah menggenggam senjata di tangan mereka itu.

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk, iblis betina,” geram anak muda yang berkumis lebat itu. “Meskipun demikian, aku masih memberimu kesempatan sekali lagi. Kesempatan yang terakhir. Menyerahlah.”

Tetapi yang menjawab adalah Glagah Putih, “Anak-anak muda. Kalian telah memilih penyelesaian yang sangat berbahaya. Jika kalian mempergunakan senjata kalian, maka kalian semuanya berada dalam bahaya.”

“Persetan kau, tukang sihir. Jika kau menjadi ketakutan, suruh istrimu menyerah. Kami akan mengikatnya dan membawanya ke prapatan di dekat kedai itu. Kami akan menyeretnya seperti menyeret seekor kambing sakit-sakitan.”

“Senjata di tangan kalian sama sekali tidak akan menolong kalian. Tetapi yang akan terjadi adalah sebaliknya.”

“Omong kosong. Jangan mencoba menakut-nakuti kami.”

Glagah Putih pun segera meloncat turun. Ia tidak dapat membiarkan Rara Wulan bertempur seorang diri melawan dua belas orang yang bersenjata. Meskipun sebagian dari anak-anak muda itu sudah merasa kesakitan, tetapi dengan senjata di tangan, mereka akan tetap berbahaya. Apalagi apabila ada di antara mereka yang memiliki sejenis senjata rahasia yang dapat dilontarkannya.

Dengan nada berat Glagah Putihpun berkata, “Jangan main-main dengan nyawa kalian, anak-anak muda. Aku-lah yang memperingatkan kalian. Aku-lah yang memberi kalian kesempatan. Pergilah. Jangan ganggu kami lagi.”

Tetapi anak muda berkumis lebat itu membentak, “Minggir kau, laki-laki jahanam! Aku akan berurusan dengan istrimu.”

“Aku bukan laki-laki gila yang membiarkan istrinya berkelahi melawan dua belas orang bersenjata. Meskipun aku tahu, jika aku terjun, maka bahayanya akan menjadi jauh lebih besar bagi kalian.”

“Sombongnya kau, orang gila. Bersiaplah. Kalian berdua akan mati.”

Namun terdengar Rara Wulan berkata, “Jangan mencampuri permainan kami, Kakang. Aku akan menyelesaikannya.”

“Jangan berlelah-lelah dalam permainan yang tidak menarik sama sekali itu, Rara. Biarlah aku ikut, agar permainan buruk ini lekas selesai. Bukankah kita masih akan berjalan jauh?”

“Terlambat. Kau terlambat menyatakan diri ikut bermain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam. Agaknya Rara Wulan ingin menyelesaikan sendiri.

Namun Glagah Putih masih juga berkata, “Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?”

Rara Wulan tidak menjawab.

Sementara itu, anak-anak muda itu masih mengepungnya. Hanya anak muda yang berkumis lebat itu saja-lah yang berdiri dan bersiap menghadapi Glagah Putih.

“Kau sendiri?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan sombong. Aku tidak akan memberimu kesempatan untuk menyihirku.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati anak muda berkumis lebat yang menggenggam pisau belati panjang itu.

Anak muda berkumis lebat yang menjadi pemimpin dari anak-anak muda yang lain itu pun kemudian berteriak, “Paksa perempuan itu menyerah! Jika laki-laki ini tidak mau menyerah juga, maka perempuan itu akan kita bunuh.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu, sebelas orang bersenjata telah menyerang Rara Wulan.

Rara Wulan yang bersenjata selendang itu berloncatan dengan cepat. Ia tidak sekedar menyentuh lawan-lawannya dengan selendangnya. Tetapi Rara Wulan benar-benar mempergunakan selandangnya untuk menghentikan perlawanan lawan-lawannya.

Ketika Rara Wulan memutar selendangnya dilambari dengan tenaga dalamnya yang semakin ditingkatkan, maka dua pucuk senjata telah terlempar dari tangan pemiliknya. Demikian kedua orang itu memburu senjatanya, maka seorang di antara lawan-lawan Rara Wulan itu berteriak kesakitan. Selendang itu telah melukainya. Lambung anak muda yang berteriak kesakitan itu ternyata telah terkoyak menyilang. Darah benar-benar telah mengalir dari luka itu.

Beberapa orang yang melihat kawannya terkapar dengan darah merah mengalir dan menitik di bumi itu, menjadi sangat marah. Namun sekaligus mereka menjadi berdebar-debar.

Dalam pada itu, anak muda yang berkumis lebat itu pun sudah tidak berdaya. Dengan cepat Glagah Putih telah berhasil merampas pisau belati panjang itu, kemudian melemparkannya jauh-jauh.

Anak muda berkumis lebat yang kehilangan senjata itu pun berloncatan mundur. Ketika Glagah Putih bergeser mendekatinya, maka iapun berteriak, “Menyerahlah! Atau istrimu akan dicincang lumat.”

“Siapa yang mencincangnya? Kawan-kawanmu tidak berdaya menghadapinya.”

Anak muda berkumis lebat itu masih akan menjawab, tetapi seorang lagi kawannya terdorong beberapa langkah surut. Kemudian anak muda itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya anak muda itu terjatuh. Dari dadanya mengalir darah. Sebuah luka memanjang tergores di dada itu.

Anak muda berkumis lebat itu termangu-mangu. Glagah Putih tidak segera menyerangnya. Seakan-akan Glagah Putih dengan sengaja memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Glagah Putih sendiri bagaikan tercengkam melihat Rara Wulan mempermainkan senjatanya. Ternyata Rara Wulan benar-benar menguasai selendangnya, sehingga sakan-akan selendangnya itu mampu bergerak sendiri sesuai dengan keinginan Rara Wulan.

Selendang itu sekali-sekali melingkar dengan lentur. Namun tiba-tiba saja selendang itu seakan-akan telah berubah menjadi sebuah tongkat besi yang keras. Tetapi sejenak kemudian, ujung selendangnya menjadi bagaikan tajamnya mata pedang yang baru diasah. Bahkan dengan tidak terduga, ujung selendang itu dapat pula mematuk seperti pangkal landean tombak panjang yang terbuat dari kuningan.

Dengan lambaran tenaga dalamnya, maka selendang itu menjadi sangat berbahaya di tangan Rara Wulan.

Dalam pada itu, anak muda yang berkumis lebat itu menjadi sangat gelisah. Kawan-kawannya tidak segera berhasil menangkap perempuan itu untuk memaksa suaminya menyerah. Bahkan satu demi satu kawan-kawannya terlempar keluar arena, dengan darah yang membasahi pakaian mereka.

“Kau sendiri bagaimana?” bertanya Glagah Putih.

Anak muda itu tidak segera menjawab.

“Ambil pisau belatimu. Jika kau ingin menangkap perempuan itu, libatkan dirimu.”

Anak muda itu tidak segera menjawab. Namun ketika seorang lagi kawannya yang bertubuh raksasa itu mengaduh kesakitan karena lengannya terkoyak, maka anak berkumis lebat itu pun berkata, “Aku akan mengambil pisau belatiku. Aku akan membunuh perempuan itu.” 

“Ambilah. Aku tidak akan menghalangimu.”

Mula-mula anak muda itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun melangkah memungut pisau belatinya. Sementara itu Glagah Putih sama sekali tidak mengganggunya.

“Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” desis Glagah Putih.

Anak muda berkumis lebat itu temangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah melangkah maju mendekati arena pertempuran.

Tetapi ketika ia memasuki arena, maka hampir semua kawan-kawannya sudah terluka. Meskipun mereka masih mengepung Rara Wulan, tetapi lingkaran kepungan itu pun menjadi semakin longgar. Anak-anak muda itu menjadi tidak berani lagi mendekat. Bahkan dua orang yang masih belum tersentuh senjata Rara Wulan pun telah menjadi ketakutan.

“Kita bunuh perempuan itu!” teriak anak muda berkumis lebat itu.

Tetapi tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya.

“Jangan takut!“ teriak anak muda itu.

Kawan-kawannya masih belum bergerak.

Sementara itu Glagah Putih berkata, “Kenapa kau hanya berteriak-teriak saja? Kenapa kau tidak segera menyerangnya?”

Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun ketika ia bergeser setapak maju, Rara Wulan berdiri tegak menghadap kepadanya, sehingga anak muda berkumis lebat itu bagaikan membeku di tempat.

Dalam pada itu terdengar Rara Wulan berkata, “Aku memberi kesempatan terakhir pada kalian. Pergilah. Siapa yang tinggal, akan aku bunuh tanpa belas kasihan.”

Wajah-wajah mereka pun menjadi pucat. Agaknya perempuan itu tidak sekedar menakut-nakutinya. Ia benar-benar akan melakukannya. Sementara itu, ketika seorang di antara mereka bergeser mundur, maka kawan-kawannya pun bergeser mundur pula.

“Apakah kalian takut?” teriak anak muda berkumis lebat.

Tidak ada yang menjawab. Tetapi mereka masih saja bergerak menjauhi Rara Wulan.

Ketika Rara Wulan melangkah maju ke arah anak muda berkumis lebat itu, maka anak muda itu pun bergeser mundur pula sambil berteriak, “Cepat! Selesaikan perempuan itu!”

Tidak ada yang bergerak maju. Sementara Glagah Putih berkata pula, “Kenapa kau sendiri tidak melangkah maju?”

Anak muda itu justru melangkah surut ketika Rara Wulan menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba saja Rara Wulan itu membentaknya, “Pergi! Pergi!”

Anak muda berkumis lebat itu terkejut. Seakan-akan di luar kehendaknya, ketika anak muda itu meloncat beberapa langkah surut. Sementara Rara Wulan masih saja mendekatinya.

“Pergi! Pergi!” Rara Wulan itu menjerit dengan nada tinggi.

Tiba-tiba saja anak muda berkumis lebat itu meloncat meninggalkan arena. Dengan sekuat tenaganya ia berlari menyusuri jalan berbatu padas itu. Kawan-kawannya yang telah kehilangan kudanya pun telah berlari pula mengikutinya. Yang lain, yang telah mengikat kudanya di pinggir jalan, berlari ke kuda mereka.

Sejenak kemudian, maka dua belas orang anak muda itu sudah berlari meninggalkan Rara Wulan.

Sepeninggal mereka, maka Glagah Putih pun berkata, “Permainan selendangmu ternyata di luar dugaan, Rara.”

Namun wajah Rara Wulan masih saja tegang. Katanya, “Ya, seadanya saja.”

“Bukan seadanya. Ilmumu benar-benar mengagumkan. Selama ini aku hanya melihat kau berlatih di sanggar. Tetapi kali ini aku melihat kau berlatih menghadapi sebelas orang bersenjata.”

“Apanya yang mengagumkan?” nada suara Rara Wulan datar.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia baru merasakan bahwa sikap Rara Wulan agak berbeda. Karena itu maka iapun bertanya, “Kenapa kau tidak memperbolehkan aku ikut bermain?”

“Untuk apa kau ikut? Bukankah sejak semula kau sudah mengatakan bahwa anak-anak muda itu lebih tertarik kepadaku dari kepadamu?”

Glagah Putih tiba-tiba tertawa. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Rara Wulan itu meloncat mencubit lengannya kemudian memutarnya.

“Rara! Sakit!” Glagah Putih berteriak.

“Aku tidak peduli. Kenapa kau tidak minta kakangmu itu menurunkan ilmu kebalnya kepadamu?”

“Lepaskan. Lepaskan. Besok kalau aku sudah memiliki ilmu kebal, kau dapat melakukannya lagi.”

Rara Wulan tidak melepaskannya. Bahkan tangannya memutar semakin keras, sehingga Glagah Putih harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa pedih di lengannya itu.

“Lepaskan, Rara. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

“Huh,” Rara Wulan melepaskan lengan Glagah Putih, sambil berkata, “lain kali aku buat kau jera dengan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce.”

“Baik. Baik. Lain kali kita tidak akan bertemu lagi dengan dua belas anak muda yang bodoh itu.”

Rara Wulan hampir saja meloncat lagi. Tangannya sudah terjulur. Namun niatnya diurungkannya. Bahkan Rara Wulan dan juga Glagah Putih bergerser beberapa langkah mundur.

Di hadapan mereka muncul dari gumpalan-gumpalan padas tebing, seorang yang sudah sangat tua.

“Hampir lima puluh tahun aku menunggu,” desis laki-laki tua, berjanggut dan berkumis putih. Rambut yang terjulur di bawah ikat kepalanya pun nampak sudah putih seperti kapas.

“Kau siapa, Kiai?” bertanya Glagah Putih.

Sambil terbungkuk-bungkuk orang itu bergeser selangkah maju. Tangan kanannya berpegangan pada sebatang tongkat kayu.

Orang tua itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian suaranya yang parau pun terdengar pula, “Apakah benar kalian dua orang suami istri?”

“Ya, Kiai.”

“Apakah kalian sudah mempunyai anak?”

“Belum, Kiai.”

“Aku menunggu kalian lewat. Sudah aku katakan, sudah hampir lima puluh tahun aku menunggu.”

“Aku sudah pernah lewat jalan ini, Kiai.”

“Kebetulan aku tidak melihatnya. Tetapi menjelang batas hidupku, akhirnya aku dapat menemukan kalian. Bukan hanya karena kalian suami istri yang belum mempunyai anak, tetapi memiliki unsur-unsur gerak yang nampak pada kalian berdua.”

“Maksud Kiai?”

“Aku sempat melihat kalian berkelahi melawan anak-anak muda bengal itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu.

“Ngger. Sebenarnya aku ingin mempersilahkan kalian singgah. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian berdua.”

“Dimana rumah Kiai?”

“Di tengah-tengah hutan itu. Aku tinggal di sebuah rumah yang aku ketemukan di sana. Rumah yang sudah sangat tua. Nampaknya rumah itu dibangun pada masa permulaan kerajaan Demak. Namun kemudian telah ditinggalkan penghuninya. Ketika aku ketemukan rumah itu, rumah itu sudah kosong. Kotor dan rusak. Aku mencoba membersihkannya dan tinggal di dalamnya.”

“Kiai sendirian saja?”

“Tidak. Aku tinggal bersama seorang muridku yang setia. Juga seorang yang sudah tua, meskipun ketika ia menjadi muridku, ia masih seorang remaja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Menilik ujud, sinar matanya serta bayangan di wajahnya, orang tua itu bukan seorang yang jahat. Tetapi siapa tahu isi hati seseorang.

“Angger berdua,” berkata orang itu pula, “sekali lagi aku ingin mempersilahkan kalian berdua singgah. Aku ingin minta kalian berdua menolongku. Aku sudah terlalu tua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduannya mengangguk kecil.

“Baiklah, Kiai,” berkata Glagah Putih, “aku akan singgah. Tetapi jika berkenan, aku ingin bertanya, siapakah Kiai itu sebenarnya?”

“Aku bukan orang penting yang pernah dikenal, Ngger. Namaku Namaskara. Orang memanggilku Kiai Namaskara. Tetapi itu adalah karena salahku sendiri. Aku jarang sekali keluar dari rumah yang aku ketemukan itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Namaskara itu pun berkata, “Marilah, Ngger. Ikutlah aku. Tetapi aku sudah tidak dapat berjalan lebih cepat dari seorang bayi yang sedang merangkak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka kemudian mengikuti orang yang sudah sangat tua itu berjalan di antara onggokan batu-batu padas, menyelinap ke arah hutan di Kaki Gunung Merapi.

Glagah Putih yang sudah pernah melewati jalan itu, tidak pernah mengetahui bahwa ada lorong kecil di tebing, di balik onggokan batu-batu padas yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang kurus dan tidak banyak berdaun.

Kiai Namaskara berjalan terlalu lambat bertelekan tongkat kayunya. Sebelah tangannya berpegangan pada bongkah-bongkah batu padas di sebelah lorong sempit itu.

Ternyata jalan yang harus ditempuh cukup panjang. Lepas dari tebing berbatu-batu padas, mereka sampai ke sebuah lorong yang basah. Kemudian mereka memasuki hutan di kaki Gunung. Hutan yang masih lebat tertutup oleh segala jenis pepohonan. Dari pohon-pohon raksasa sampai ke pohon-pohon perdu serta batang ilalang.

Jalan menjadi semakin sulit, Kiai Namaskara berjalan semakin lambat.

Tetapi ketika Glagah Putih akan membantunya, orang yang sudah sangat tua itu berkata, “Terima kasih, Ngger. Biarlah aku berjalan sendiri. Aku sudah terbiasa melewati lorong setapak ini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berusaha membantu Kiai Namaskara yang berjalan di depan dengan tongkat kayunya.

Namun beberapa saat kemudian jantung Glagah Putih dan Rara Wulan berdebaran. Tiba-tiba saja di hadapan mereka berdiri dua ekor harimau loreng yang sangat besar. Hampir sebesar kerbau.

“Tunggu, Kiai,” berkata Glagah Putih, “biarlah aku dan istriku berjalan di depan.”

“Kenapa?” bertanya Kiai Namaskara.

“Harimau itu.”

Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, “Harimau yang baik, Ngger. Harimau itu tidak akan mengganggu kita.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Mereka siap untuk memusatkan nalar budinya, mempergunakan ilmu pamungkas mereka menghadapi sepasang harimau yang besar itu.

Sebenarnyalah sepasang harimau itu tidak mengganggu ketika Kiai Namaskara berjalan di sebelah mereka. Sambil mengelus kepala kedua ekor harimau itu berganti-ganti, Kiai Namaskara berkata, “Jangan ganggu tamuku.”

Kedua ekor harimau itu menjilat punggung telapak tangan Kiai Namaskara, seakan-akan mereka sedang mencium tangan itu.

“Bagus,” berkata Kiai Namaskara, “pergilah bermain.”

Kedua ekor harimau itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Bagaimanapun juga Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempersiapkan diri. Harimau tentu berbeda dengan seseorang, yang dengan langsung memahami pesan sebagaimana diucapkan oleh Kiai Namaskara itu.

Namun kedua harimau itu memang tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Mereka melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak. Namun kedua ekor harimau itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka, masuk ke dalam belukar yang lebat.

Kiai Namaskara pun melanjutkan perjalanannya yang lambat, diikuti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bertiga mereka memasuki hutan di lereng Gunung itu semakin dalam.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi heran. Jalan yang mereka lalui semakin dalam justru menjadi semakin lebar.

Langkah Kiai Namaskara terhenti ketika beberapa ekor kera berloncatan ke pundak dan tangannya. Beberapa yang lain menghadang di tengah jalan.

“Minggir,” berkata Kiai Namaskara, “jangan halangi jalanku. Aku membawa dua orang tamu.”

Beberapa ekor kera itu berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara Kiai Namaskara pun berkata pula, “Minggirlah. Kami akan lewat.”

Kera-kera itu pun berloncatan menepi. Tidak seekorpun di antara mereka yang mengganggu.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin heran, ketika mereka melihat sebuah pintu gerbang tua yang sudah rusak. Namun menilik bekasnya, pintu gerbang itu tentu pintu gerbang yang baik. Tiang-tiangnya, tulang-tulang atapnya berukir, dan bahkan masih ada bekas sunggingan berwarna-warni. Namun sudah menjadi buram dan bahkan terkelupas.

Ketika mereka menjadi semakin dekat dan berjalan di bawah pintu gerbang yang sudah rusak itu, Glagah Putih sempat mengamati ukiran dan sunggingan di tiangnya.

“Prada. Kau lihat, Rara?”

Yang menyahut justru Kiai Namaskara, “Ya, Prada. Bangunan yang ada di dalam halaman yang berpintu gerbang itu juga berukir, disungging dan diwarnai dengan prada pula, meskipun sudah menjadi hampir tidak kelihatan tertutup oleh debu dan yang lain mulai terkelupas. Aku tidak mampu menyelamatkan bangunan yang menjadi semakin rusak itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun mereka tertegun ketika mereka melangkah memasuki halaman yang luas, yang nampak bersih dan terpelihara rapi.

Di tengah-tengah halaman yang tua itu berdiri sebuah rumah tua yang sudah mulai rusak, meskipun mendapat perawatan yang cukup. Tetapi kayu-kayunya mulai menjadi lapuk. Di sana-sini nampak beberapa, jenis kayu yang berbeda dari bangunan aslinya. Nampaknya ada beberapa bagian yang sudah diganti, tetapi dengan bahan seadanya.

Meskipun demikian, namun keagungan bangunan itu masih terasa.

“Marilah. Inilah rumahku. Karena rumah ini tidak berpenghuni serta tidak seorangpun yang mengaku memilikinya, maka rumah ini pun telah aku akui sebagai rumahku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun melangkah mengikuti Kiai Namaskara.

Langkah mereka tertegun ketika dari pintu seketheng muncul seorang yang bertubuh agak bongkok. Ketika orang itu berjalan mendekati Kiai Namaskara, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat orang itu agak timpang pula. Segores luka nampak di wajahnya. Sebelah telinganya agak lebih besar dari telinganya yang satu lagi.

“Ia adalah muridku yang setia,” berkata Kiai Namaskara.

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat.

Dengan suaranya yang bernada tinggi, orang itu berkata, “Selamat datang di istana kami.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih.

“Namanya Sangli,” berkata Kiai Namaskara, “ia ikut aku sejak remaja. Sekarang rambutnya, kumisnya yang tipis, janggutnya yang jarang, sudah memutih semuanya. Bahkan ia sudah nampak setua aku sendiri.”

Orang itu tersenyum. Meskipun tubuhnya dan wajahnya cacat, tetapi nampak kelembutan terpancar di wajahnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka melihat sekelompok serigala keluar dari pintu seketheng. Namun ketika orang yang agak bongkok itu mengayunkan tangannya maka serigala-serigala itu pun berlarian menjauh.

Di sudut gandok, serigala-serigala itu berpapasan dengan beberapa ekor domba yang berlari-larian ke halaman. Serigala-serigala itu hanya berpaling saja. Tetapi tidak seekorpun dari serigala-serigala itu yang mengganggu domba-domba itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan menahan nafas. Tetapi kemudian jantung mereka telah dicengkam oleh keheranan. Serigala-serigala itu tidak berbuat apa-apa. Apalagi menerkamnya.

Domba-domba itu pun sama sekali tidak menjadi ketakutan. Agaknya mereka sudah terbiasa bergaul dengan serigala, dan bahkan ketika dua ekor harimau yang besar itu memasuki halaman itu.

Tidak terasa ada permusuhan di halaman rumah yang besar itu. Dua ekor harimau itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan ke halaman samping, dan hilang di balik tanaman perdu, yang agaknya merupakan tanaman yang daunnya, atau batangnya atau akarnya, dapat dipergunakan untuk membuat obat-obatan. Segerumbul-segerumbul, terpisah-pisah menurut jenisnya.

“Marilah, Ngger. Naiklah,” Kiai Namaskara mempersilahkan.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian naik ke pendapa. Di pringgitan telah terbentang tikar pandan yang putih.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk, ditemui oleh Kiai Namaskara dan Ki Sangli.

“Angger berdua,” berkata Kiai Namaskara kemudian, “setelah duduk sejenak, perkenankan aku mengetahui, siapakah Angger berdua ini?”

“Tetapi bukankah Kiai sudah menunggu kami hampir lima puluh tahun?”

Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, “Aku memang sudah menunggu selama lima puluh tahun. Tetapi aku tidak tahu siapakah yang aku tunggu itu. Baru kemudian setelah aku melihat Angger berdua, sikap Angger menanggapi kelakuan anak-anak muda itu, maka aku baru tahu, bahwa Angger-lah yang aku tunggu.”

“Kenapa kami berdua, Kiai?”

“Angger belum menjawab pertanyaanku.”

“O,” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Namaku Glagah Putih, Kiai. Perempuan ini adalah istriku. Namanya Rara Wulan. Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, “Sekarang, Angger berdua akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke Jati Anom. Ayahku tinggal di Jati Anom.”

“Jika aku boleh tahu, siapakah nama ayah Angger?”

“Orang memanggil ayahku Ki Widura.”

“Ki Widura,” ulang Kiai Namaskara.

“Ya, Kiai.”

Kiai Namaskara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku seperti orang asing yang tidak mengenal siapa-siapa. Tetapi orang pun tidak mengenal aku.”

“Selain Kiai sudah memperkenalkan nama Kiai, siapakah sebenarnya Kiai Namaskara ini? Seperti yang Kiai katakan, Kiai menemukan rumah ini. Dengan demikian maka Kiai tentu berasal dari tempat yang lain.”

“Ya, Ngger. Tetapi seperti yang aku katakan, aku bukan orang penting. Aku orang kebanyakan, sehingga namaku tidak akan pernah dikenal oleh siapapun. Aku anak-anak keluarga padesan. Aku mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku menetap di sebuah padepokan. Sebuah padepokan kecil di lereng Gunung Kelud. Muridku tidak lebih dari sembilan orang. Tetapi tidak semua muridku memenuhi harapanku. Ada di antara mereka yang bersikap baik. Tetapi ada pula yang sebaliknya. Tetapi aku sadar, bahwa hal seperti itu dapat saja terjadi. Mereka bukan benda-benda mati yang dapat aku bentuk menurut keinginan dan seleraku. Mereka adalah sosok yang hidup, berakal budi. Mereka dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan keluarga mereka, dipengaruhi oleh pergaulan mereka dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup mereka. Sehingga karena itu, wajarlah jika sembilan murid-muridku itu mempunyai sembilan sifat dan watak yang berbeda-beda.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Terakhir, aku kehilangan delapan dari sembilan muridku. Seorang di antara mereka menyatakan kesetiaannya kepadaku. Ia ikut aku kemanapun aku pergi, karena aku pun kemudian telah meninggalkan padepokan kecilku dan kembali mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga akhirnya aku temukan rumah ini.”

“Sudah lama Kiai tinggal di rumah ini?” bertanya Glagah Putih.

“Sudah lebih dari lima puluh tahun.”

“Lima puluh tahun?”

“Ya. Tetapi saat itu aku belum memisahkan diri dari kehidupan. Aku masih berhubungan dengan kehidupan sesama, meskipun aku tidak pernah berterus-terang bahwa aku tinggal di sini. Tetapi hampir sepuluh tahun terakhir, hubunganku dengan sesama itu semakin menjadi jauh. Dan terakhir, aku jarang sekali keluar dari tempat ini.”

“Tetapi Kiai sudah menunggu lima puluh tahun.”

“Jika aku katakan bahwa aku menunggu, bukan berarti aku tidak mencari. Tetapi aku memang tidak pernah bertemu dengan orang yang aku cari itu. Aku harus menunggu sampai hampir lima puluh tahun. Barulah aku bertemu dengan orang yang aku cari.”

“Siapakah yang sebenarnya Kiai tunggu itu? Kami berdua, atau orang lain yang mempunyai beberapa persamaan dengan kami? Atau sikap dan sifat-sifat kami yang dapat Kiai tangkap pada saat Kiai mengamati kami berdua?”

“Ngger. Aku tahu bahwa bukan Angger berdua saja yang memiliki sifat dan watak yang menarik perhatianku. Tetapi Angger berdua-lah yang pertama-tama kami temui sekarang ini.”

“Apakah yang telah kami lakukan? Berkelahi?”

“Ya, berkelahi. Tetapi Angger berdua berkelahi bukan dikendalikan oleh kebencian, dendam dan kedengkian. Angger berkelahi karena alasan yang sangat masuk akal. Bahkan pada akhirnya, nampak jelas, bahwa Angger berkelahi bukan dikendalikan oleh nafsu berkelahi semata-mata.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-manggu. Keduanya saling berpandangan sejenak.

Sementara itu Kiai Namaskara berkata selanjutnya, “Aku tertarik kepada sikap kalian di akhir perkelahian itu. Kalian biarkan anak-anak bengal itu pergi. Semula aku menduga, bahwa tentu akan jatuh korban dalam perkelahian yang jumlahnya tidak seimbang itu. Tetapi ternyata tidak. Kalian biarkan mereka pergi, meskipun sebenarnya kalian dapat mencegahnya jika kalian mau. Menghukum mereka dan berbuat apa saja untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi yang kalian lakukan bukan itu.”

“Tetapi aku sudah melukai beberapa orang di antara mereka, Kiai,” sela Rara Wulan.

“Kau memang sedang marah, Ngger. Tetapi itu wajar sekali. Seperti orang lain, kau pun dapat menjadi marah karena kau dan suamimu sudah diganggu. Tetapi kemarahan itu tidak membakar kebencian dan dendam di dadamu. Kau tumpahkan kemarahanmu. Sesudah itu, sudah. Jika saja ada di antara mereka yang kau bunuh, maka sikapku pun akan berbeda.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya.

“Kau bentak mereka dengan marah. Tetapi kemarahanmu bersih. Kau suruh mereka pergi tanpa berniat memuaskan kemarahanmu dengan mencelakai mereka, meskipun itu dapat kau lakukan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Justru kepalanya tertunduk, seperti juga Glagah Putih.

“Ngger,” berkata Kiai Namaskara kemudian, “aku berharap agar Angger berdua bersedia tinggal di rumah ini barang dua tiga hari. Mungkin ada yang menarik yang dapat Angger lihat di sini.”

“Kiai,” sahut Glagah Putih, “terima kasih atas kebaikan Kiai kepada kami berdua. Tetapi kami sedang dalam perjalanan menuju ke Jati Anom. Jati Anom bukan tujuan kami terakhir, Kiai. Kami masih akan menempuh perjalanan jauh sekali.”

“Kemana?”

“Kami belum tahu kemana kami harus pergi, Kiai. Tetapi kami akan mulai dengan perjalanan ke Barat.”

“Ke Barat? Tetapi Angger berdua sekarang justru pergi ke arah timur.”

“Kami akan singgah di rumah Ayah, Kiai. Juga singgah di rumah kakak sepupuku.”

“Siapa?”

“Kakang Untara.”

“Ki Tumenggung Untara? Pemimpin pasukan Mataram yang berada di Jati Anom?”

“Ya, Kiai. Kiai sudah mengenal Kakang Untara?”

“Secara pribadi belum, Ngger. Tetapi aku tahu, dan banyak orang yang tahu, bahwa Ki Tumenggung Untara adalah Panglima Pasukan Mataram yang berada di Jati Anom.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula.

“Nah, Ngger,” berkata Kiai Namaskara dengan penuh harapan, “aku mohon Angger berdua bersedia singgah di rumah ini barang dua tiga hari. Setelah itu Angger dapat pergi ke Jati Anom. Kemudian kembali ke Barat. Jika saja sempat, aku masih juga berharap Angger singgah lagi di rumahku ini.”

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Namun agaknya tersirat di wajah mereka keinginan untuk mengetahui, untuk apa Kiai Namaskara mengharap mereka untuk bermalam barang dua tiga hari di rumah itu.

Dengan nada datar, Glagah Putih pun bertanya kepada Rara Wulan, “Apakah kita dapat tinggal di sini selama dua atau tiga hari, Rara?”

“Terserah sajalah kepada, Kakang,” jawab Rara Wulan.

Kiai Namaskara tersneyum. Sementara itu Ki Sangli pun berkata, “Nah, seorang perempuan yang berkata terserah sajalah, berarti bahwa ia telah menyetujuinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tersenyum pula.

“Apakah benar begitu?” bertanya Rara Wulan.

Ki Sangli tertawa. Katanya, “Ketika orang tua Nyi Rara Wulan bertanya, apakah Rara Wulan bersedia menjadi istri Glagah Putih, Angger tentu juga menjawab, ‘Terserah kepada Ayah Ibu.’”

Rara Wulan tersenyum sambil menunduk. Rara-rasanya wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa justru Rara Wulan sendiri-lah yang telah memilih Glagah Putih untuk menjadi suaminya. Bukan orang tuanya. Karena itu, sebelum ada orang yang bertanya kepadanya, Rara Wulan sudah mengiyakannya.

Dalam pada itu, maka akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan menyatakan kesediaan mereka untuk berada di rumah itu barang dua tiga hari, meskipun itu akan berarti bahwa perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan akan tertunda.

“Nah. Jika demikian, biarlah aku mempersiapkan segala-galanya,” berkata Ki Sangli.

“Mempersiapkan apa, Ki Sangli?”

“Bilik tidur, minum dan makan. Aku harus menyediakan nasi lebih banyak dari biasanya. Aku pun harus merebus air lebih banyak, kemudian menyediakan bilik tidur buat kalian berdua. Di sini ada banyak bilik tidur. Tetapi tidak semuanya dapat dipakai. Tenaga kami pun tidak mampu merambah semuanya, sehingga kami hanya merawat beberapa bagian saja yang penting dan perlu. Terutama wajah dari rumah ini.”

“Sudahlah, Ki Sangli. Jangan merepotkan. Biarlah kami siapkan bilik tidur bagi kami. Biarlah kami membantu mengerjakan pekerjaan dapur. Apalagi Rara Wulan sudah terbiasa bekerja di dapur.”

Ki Sangli tertawa. Katanya, “Tetapi kalian adalah tamu di sini. Kami akan menghormati tamu-tamu kami sebagaimana seharusnya.”

“Kami akan merasa lebih kerasan tinggal, jika kami dapat melakukannya sebagaimana di rumah kami sendiri,” sahut Glagah Putih.

Kiai Namaskara-lah yang menyahut, “Baiklah. Biarlah mereka melakukannya sebagaimana di rumah sendiri. Sangli, tunjukkan saja kepada mereka, bilik yang manakah yang dapat mereka pergunakan. Kemudian tunjukkan pula, pintu yang manakah yang menuju ke dapur.” 

“Baik, Kiai,” jawab Ki Sangli. “Marilah. Aku tunjukkan bilik itu kepada kalian, Ngger. Kemudian aku akan merebus air untuk menjamu Angger berdua, yang tentu merasa haus. Nanti sajalah Angger Rara Wulan pergi ke dapur. Sekarang biarlah Angger berdua membersihkan bilik yang akan dipergunakan.”

Ki Sangli itu pun kemudian mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan masuk ke ruang dalam lewat pintu pringgitan.

Demikian mereka berada di ruang dalam, maka mereka pun menjadi semakin kagum. Beberapa langkah dari pintu pringgitan, lantai pun menjadi agak tinggi. Saka guru di ruang dalam itu berukir halus. Demikian pula gebyok ketiga buah sentong. Sentong kiri, kanan dan sentong tengah. Pada bagian atas gebyok berukir dan diwarnai dengan sungging itu, dilukis pula berbagai macam bentuk. Lingkaran yang terbagi oleh busur-busur lingkaran dalam warna yang beraneka. Beberapa huruf yang tidak dapat langsung dimengerti maknanya. Gambar burung, binatang buas dan beberapa jenis raja kaya.

Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun sejenak. Namun kemudian merekapun berjalan lebih cepat menyusul Ki Sangli yang sudah berjalan lebih dahulu.

Lewat di lantai yang lebih rendah di sebelah ketiga buah sentong itu, mereka sampai ke ruang yang hampir sama luasnya dengan ruang dalam. Juga di bawah atap yang bergaya joglo. Keempat saka gurunya juga berukir lembut. Demikian pula uleng di atasnya, dan gebyok yang membatasi ruang itu.

Tetapi di bangunan itu tidak terdapat tiga buah sentong. Sentong kiri, kanan dan sentong tengah. Yang ada adalah bilik-bilik yang berada di tepi. Sementara itu di bagian tengah bangunan itu tidak bersekat, sehingga kesannya sebuah ruang yang luas.

Tetapi karena sinar matahari tidak leluasa masuk ke dalamnya, maka ruangan itu menjadi tidak terlalu terang. Hanya ada dua pintu di samping yang terbuka. Kemudian dua pintu butulan yang menuju ke longkangan belakang, mengitari rumah induk itu dengan dapur.

Ruang di belakang itu benar-benar telah mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Pada dindingnya yang sudah tua tergantung berbagai macam perhiasan yang berwarna kuning buram. Namun menilik ujudnya, perhiasan dinding itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar memiliki ketrampilan yang tinggi.

Agaknya Ki Sangli mengetahui, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan mengagumi benda-benda itu. Karena itu, maka Ki Sangli pun berkata, “Angger berdua dapat melihat benda-benda perhiasan dinding itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka pun kemudian mendekati salah satu perhiasan dinding yang berbentuk bulat. Pada hiasan dinding itu terdapat lukisan seorang penunggang kuda yang tegar, yang berlari melewati padang yang kelihatannya sangat luas.

“Apakah aku boleh menyentuhnya?”

“Silahkan. Tetapi perhiasan itu tidak sempat aku bersihkan setiap hari. Kadang-kadang saja aku bersihkan. Dua atau tiga hari. Kadang-kadang lebih.”

Ketika tangan Glagah Putih menyentuh perhiasan itu, memang terasa debu yang melekat. Bekas jari-jari Glagah Putih itu sangat menarik perhatian. Bahkan kemudian Glagah Putih pun mengusap perhiasan dinding itu lebih banyak lagi.

“Perhiasan dinding ini dibuat dari apa?” bertanya Glagah Putih.

Jawaban Ki Sangli sangat mengejutkan pula. Katanya, “Emas. Semua perhiasan dinding di rumah ini terbuat dari emas.”

“Emas,” Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersama-sama mengulanginya.

“Ya.”

“Ki Sangli yakin?”

“Ya. Aku yakin. Aku dapat membedakan berbagai jenis logam. Aku mengenal dengan baik emas, kuningan, tembaga, swasa dan sebagainya. Jika benda-benda itu tidak terbuat dari emas, maka benda-benda itu tentu sudah berubah warnanya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Ki Sangli pun berkata, “Di sini banyak sekali benda-benda yang terbuat dari emas murni. Bahkan pembaringan di bilik yang sebelah itu pun dihiasi dengan berbagai macam benda yang terbuat dari emas. Sedang di bilik yang lain, pembaringan yang lebih kecil dibuat dari logam yang berlapis emas pula.”

Glagah Putih mengusap keringatnya yang membasahi keningnya. Dengan suara yang datar iapun bertanya, “Siapakah sebenarnya pemilik rumah ini?”

Ki Sangli itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Bahkan Kiai Namaskara pun tidak tahu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Kiai Namaskara memang sudah mengatakan bahwa rumah ini ditemukannya begitu saja. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Pada saat Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum lahir.

“Nah, silahkan, Ngger. Bilik itu disediakan bagi Angger berdua. Jika Angger bersedia membersihkannya sendiri, silahkan, Ngger.”

“Ya, Ki Sangli. Biarlah kami membersihkannya sendiri.”

“Aku akan pergi ke dapur, Ngger.”

“Silahkan, Ki Sangli. Nanti kami akan menyusul.”

Ki Sangli tersenyum. Katanya, “Baiklah, jika Angger berdua ingin melihat dapur rumah ini.”

Demikian Ki Sangli pergi ke pintu yang menghadap ke longkangan belakang yang memisahkan rumah itu dengan dapur, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun masuk ke bilik yang ditunjukkan oleh Ki Sangli. Bilik yang diperuntukkan bagi mereka.

Demikian mereka masuk ke dalamnya, maka jantung mereka terasa semakin berdebaran.

Ternyata bilik itu sudah nampak bersih. Ada sebuah pintu yang terbuka, langsung ke serambi. Bukan saja sinar yang menerangi bilik itu, tetapi udara pun membuat bilik itu terasa segar.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Sangli, maka ada beberapa perhiasan yang terbuat dari emas murni. Sedangkan pembaringan yang besar yang ada di bilik itu dibuat dari kayu cendana. Baunya masih saja semerbak, meskipun pembaringan itu tentu sudah berada di tempat itu berpuluh tahun.

“Apa yang harus kita bersihkan, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Semuanya sudah bersih. Bahkan tidak ada debu yang melekat di perabot yang ada di dalam bilik ini.”

“Jika demikian, marilah kita pergi saja ke dapur.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku ingin melihat serambi itu.”

Rara Wulan tidak membantah. Bersama Glagah Putih, maka Rara Wulan pun turun ke serambi.

Ternyata bahwa pintu di bilik sebelah yang menghadap ke serambi juga terbuka. Dari serambi Glagah Putih dapat melihat bahwa pembaringan di bilik itu memang berlapis emas.

“Siapa yang membuat rumah sebesar dan semahal ini, di tengah-tengah hutan yang lebat ini?” desis Rara Wulan.

“Tentu sebuah pesanggrahan. Tempat ini dahulu tentu merupakan hutan tutupan, yang sering dipergunakan untuk berburu oleh keluarga istana.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “keluarga raja sering berada di tempat ini. Mereka mempergunakan tempat ini sebagai pesanggrahan. Mereka berburu, bercengkrama dan bertamasya di sekitar pasaranggahan ini.”

“Tetapi keluarga raja mana? Demak? Pajang, atau Mataram permulaan? Mataram masih terlalu muda. Seandainya pasanggrahan ini dibuat pada masa Panembahan Senapati, bangunannya tentu masih nampak baru. Belum ada bagian yang rusak, yang harus diganti dengan bahan yang mutunya tidak sama. Mungkin jenis kayunya sama, tetapi buatannya jauh dari yang asli.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Pajang, dan bahkan Demak, itu tidak akan menghiasi pasanggrahannya dengan hiasan dinding yang terbuat dari emas murni. Apalagi Mataram. Mataram tidak memiliki kekayaan sebanyak itu.

Keduanya pun kemudian tidak menebak-nebak lagi. Rara Wulan-lah yang kemudian berkata, “Marilah, kita pergi ke dapur.”

Keduanya pun kemudian masuk kembali ke dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka. Dari bilik itu mereka memasuki ruang di bangunan belakang itu, langsung menuju ke pintu yang menghadap ke longkangan, yang memisahkan bangunan induk itu dengan dapur.

Namun ternyata ada lorong khusus yang dilindungi dengan atap untuk menuju ke dapur, menyeberangi longkangan yang tidak terlalu luas itu.

Namun di longkangan itu terdapat berbagai macam tanaman pohon bunga, seperti sebuah taman.

Bunga soka merah jambu yang sedang berbunga lebat. Ceplok piring yang bunganya putih bersih, yang baunya semerbak tajam sekali di malam hari. Di sudut longkangan terdapat sebatang pohon kemuning yang juga sedang berbunga.

Keduanya menarik nafas panjang.

Meskipun agak ragu, namun keduanya pun pergi juga ke dapur melalui sebuah pintu yang terbuka.

Keduanya pun kembali tercengang. Dapur rumah itu adalah sebuah dapur yang luas. Sayang pintu butulan di belakang agaknya sudah rusak, sehingga harus diganti dengan pintu yang lebih sederhana.

Namun di dalam dapur itu terdapat perabot-perabot yang kebanyakan terbuat dari tembaga. Dandang, tempayan, kendil dan berbagai jenis perabot yang lain. Tetapi ada juga yang terbuat dari anyaman bambu. Tetapi perabot-perabot anyaman bambu itu nampaknya masih belum lama dibuat.

Ki Sangli masih sibuk menyalakan api. Di atasnya ditaruh sebuah tempayan. Agaknya Ki Sangli sedang merebus air.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah menyibukan diri pula, membantu Ki Sangli bekerja di dapur.

Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum sempat melihat-lihat berkeliling.

Ketika senja turun, serta setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi, maka mereka telah duduk di pringgitan bersama Kiai Namaskara dan Ki Sangli.

Di luar sadarnya, beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja bertanya, siapakah yang telah membuat rumah dengan perabot dan perhiasan yang mahal, di tengah-tengah hutan di lereng Gunung Merapi itu.

Namun setiap kali Kiai Namaskara hanya menggelengkan kepalanya saja.

Setelah makan malam, serta berbincang-bincang sejenak, maka Kiai Namaskara pun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk beristirahat.

“Silahkan, Ngger. Angger berdua tentu letih.”

“Terima kasih, Kiai. Tetapi Kiai sendiri?”

Kiai Namaskara tersenyum. Katanya, “Aku terbiasa tidur setelah lewat tengah malam, Ngger.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah masuk ke dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka. Sebuah bilik yang terhitung luas. Ada pintu ke ruang dalam, tetapi ada juga pintu ke serambi.

Di malam hari, maka pintu ke serambi itu pun telah tertutup rapat dan diselarak dari dalam. Glagah Putih pun telah menutup pintu yang menghadap ke ruang dalam, serta menyelaraknya pula.

Berdua mereka ternyata tidak segera berbaring di pembaringan. Mereka masih mengamati berbagai macam perhiasan serta perabot yang terbuat dari emas, atau yang berlapis emas.

“Rasa-rasanya seperti di dunia mimpi,” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Berkali-kali diusapnya sebuah patung gajah yang tentu juga terbuat dari emas. Sebuah geledeg kayu berukir yang terletak di sudut ruangan, menebarkan bau kayu cendana pula.

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih, “sebaiknya kita beristirahat. Tetapi dalam keadaan yang tidak sepenuhnya kita mengerti, kita harus berhati-hati. Tidurlah. Nanti lewat tengah malam aku akan membangunkanmu,” berkata Glagah Putih .

Rara Wulan pun sependapat. Karena itu, maka iapun segera berbaring dan mencoba untuk tidur. Ia akan mendapat giliran berjaga-jaga di dini hari menjelang pagi.

Sementara itu, Glagah Putih masih duduk di sebuah amben kayu yang agak panjang. Juga berukir. Tetapi amben kayu itu tidak terbuat dari kayu cendana.

Menilik jalur-jalur seratnya serta warnanya, agaknya amben kayu berukir itu dibuat dan kayu sanakeling yang keras.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Rara Wulan pun tertidur nyenyak. Ia merasa tenang karena Glagah Putih berjaga-jaga. Rara Wulan itu mempercayai suaminya sepenuhnya. Suaminya tentu akan melindunginya dengan ilmunya yang tinggi.

Glagah Putih masih duduk di amben kayu itu. Dari kejauhan terdengar suara-suara malam di hutan yang lebat. Glagah Putih juga mendengar aum harimau. Tetapi aum harimau itu rasa-rasanya tidak menakutkan lagi. Tidak terdengar sebagai ancaman seekor binatang buas yang lapar. Tetapi sebagai isyarat keberadaan mereka di hutan itu dalam suasana yang damai.

Karena itu, Glagah Putih pun sama sekali tidak merasa cemas meskipun disadarinya bahwa rumah itu berada di tengah-tengah hutan yang lebat.

Lewat tengah malam, sebelum Glagah Putih membangunkannya, Rara Wulan telah bangun dengan sendirinya. Sambil menggeliat Rara Wulan pun duduk di bibir pembaringannya.

“Kakang masih duduk di situ sejak malam turun?”

Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Ya.”

“Kakang tidak bergeser sejengkal pun?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku merasa nyaman duduk di amben kayu ini sambil mendengar suara-suara malam di tengah-tengah hutan. Aku mendengar jangkrik yang berderik, belalang dan burung-burung malam. Aku juga mendengar aum harimau di kejauhan. Tetapi tidak menegakkan bulu-bulu di tengkukku. Suara itu terdengar begitu bersahabat.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Namun kemudian katanya, “Jika Kakang akan beristirahat, silahkan. Biarlah aku duduk di amben itu sampai fajar.”

“Kau tidak usah berjaga-jaga, Rara. Tidak akan ada apa yang terjadi. Semuanya akan baik-baik saja.”

Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Bukan untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Tetapi aku harus membayar hutangku.”

“Hutang apa?”

“Kau sudah terlanjur berjaga-jaga separuh malam. Aku juga harus berjaga-jaga sampai pagi.”

“Ah, itu tidak perlu.”

“Biarlah aku mendengarkan suara-suara malam seperti yang kau dengar itu, Kakang. Aku ingin. Sementara itu, kau harus beristirahat meskipun hanya sebentar.”

“Aku akan berbaring di sini saja. Di amben kayu ini.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Katanya, “Tidak. Itu hakku sekarang. Kau harus pergi dari amben itu.”

Glagah Putih tertawa. Namun iapun kemudian bangkit dan berbaring di pembaringan, sementara Rara Wulan duduk di amben kayu sanakeling itu.

Tetapi Glagah Putih ternyata tidak segera tidur. Meskipun ia tetap berbaring di pembaringan, namun ia masih saja mendengar suara-suara malam di hutan yang damai itu.

Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pagi-pagi sekali, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah bangun. Namun ketika mereka pergi ke dapur, ternyata Ki Sangli sudah berada di dapur.

Ki Sangli tersenyum. Katanya, “Kalian sudah bangun sepagi ini? Tidur sajalah lagi sampai matahari naik.”

“Aku terbiasa bangun pagi-pagi, Ki Sangli,” jawab Glagah Putih, “demikian pula istriku.”

“Tetapi bukankah di sini kalian berdua tetap saja tamu kami, sehingga kami pun harus memperlakukan kalian sebagai tamu?”

“Bukankah Kiai Namaskara dan Ki Sangli sudah berjanji, bahwa kami akan dapat berbuat sebagaimana di rumah kami sendiri?”

Ki Sangli tertawa.

Sementara itu, Rara Wulan pun segera membantu Ki Sangli bekerja di dapur, sementara Glagah Putih pergi menimba air, mengisi jambangan di pakiwan.

Demikianlah, maka pada hari itu Ki Sangli telah membawa Glagah Putih dan Rara Wulan melihat-lihat halaman samping, halaman belakang dan kebun dari rumah yang besar di tengah hutan itu.

Setelah makan pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan bersama-sama dengan Ki Sangli di kebun belakang. Kebun yang sejuk dengan berbagai macam pohon buah-buahan. Sementara itu di bawah pohon buah-buahan, terdapat berbagai jenis tanaman empon-empon.

Terasa alangkah nyamannya tinggal di rumah itu. Beberapa macam jenis buah-buahan ada di kebun itu. Sementara itu berbagai macam burung berterbangan dan hinggap, dan bahkan membuat sarangnya, di dahan-dahan pohon.

Ketika Glagah Putih menengadahkan wajahnya, ia melihat sekelompok burung merpati yang terbang berkeling. Namun tiba-tiba muncul sepasang burung alap-alap yang terbang agak tinggi di langit.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Burung merpati adalah buruan burung alap-alap. Jika alap-alap itu lapar, maka alap-alap itu tentu akan memburu burung merpati itu sampai didapatkannya.

Tetapi ketika burung alap-alap itu terbang menyilang sekelompok burung merpati itu, tidak terjadi sesuatu. Burung-burung merpati itu hanya menyibak seakan-akan memberi jalan kepada sepasang burung alap-alap itu. Tetapi ala-alap itu sama sekali tidak mengganggu sekelompok burung merpati itu.

“Ada apa, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih masih tetap menengadahkan wajahnya, sehingga Rara Wulan pun ikut pula memandangi langit.

“Burung itu, “desis Glagah Putih.

“Alap-alap.”

“Ya. Tetapi alap-alap itu tidak menerkam burung merpati yang terbang bergerombol.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Mereka pun kemudian beranjak dari tempat mereka. Mereka masuk semakin jauh ke kebun belakang. Di kebun belakang terdapat sebuah kolam yang cukup luas. Di dalam kolam itu terdapat berbagai jenis ikan.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Ular itu mempunyai liang di bawah pohon besar itu, “desis Rara Wulan.

“Ya.”

“Ikan di kolam itu tidak akan dapat berkembang biak.”

“Kenapa? “

“Ular itu tentu selalu makan ikan yang ada di kolam.”

Ki Sangli menggeleng. Katanya, “Tidak. Jika kita pergi ke sebelah kolam itu, kita akan melihat sejenis tumbuh-tumbuhan yang buahnya menjadi kegemaran ular. Walur.”

“Walur? Bau bunganya tidak enak dan tajam sekali menusuk hidung.”

“Ya. Tetapi itulah makanan ular.”

“Bunga bangkai,” desis Rara Wulan.

“Ya. Bunga bangkai.”

Mereka pun kemudian berjalan lebih jauh ke dalam kebun. Ketika mereka mendekati dinding halaman belakang, maka Ki Sangli pun berkata, “Kita akan melihat hutan di belakang dinding kebun itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk. Hampir bersamaan mereka menjawab, “Baik, Ki Sangli. Kita melihat hutan di belakang.”

Lewat pintu butulan mereka pun memasuki lingkungan hutan di belakang rumah yang besar itu. Mereka pun segera sampai di rawa-rawa yang ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman perdu dan semak-semak.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut melihat beberapa ekor buaya yang meluncur di rawa-rawa itu.

“Buaya itu, Ki Sangli.”

“Ya. Mereka akan makan.”

“Makan apa?”

Sebelum Ki Sangli menjawab, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat seekor rusa yang nampaknya ingin minu air di rawa-rawa itu. Karena itu, maka Rara Wulan pun berkata dengan cemas, “Rusa itu?”

“Kenapa?” bertanya Ki Sangli.

“Apakah buaya-buaya itu akan makan sepasang rusa itu?”

“Tidak. Buaya-buaya itu akan naik ke darat. Ada semacam buah yang mirip dengan semangka yang bertebaran di hutan. Buaya-buaya itu senang sekali makan buah sejenis semangka itu.”

“Makan buah semangka?”

“Sejenis semangka, tetapi tidak manis. Pohonnya juga menjalar dan memenuhi lingkungan yang luas. Buahnya berserakan dimana-mana, sehingga buaya-buaya itu tidak akan kekurangan makan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Buaya-buaya itu memang tidak menghiraukan sepasang rusa yang minum di pinggir rawa-rawa itu.

Hari itu Glagah Putih banyak melihat keanehan-keanehan yang tidak masuk di akalnya. Tidak ada permusuhan di antara berbagai jenis binatang yang ada di hutan itu. Bahkan Ki Sangli telah menunjukkan pula, bagaimana seekor macan makan buah durian liar yang runtuh dari pohonnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan sempat tertawa melihat seekor harimau menginjak buah durian yang sudah masak. Durian itu pun pecah dan harimau itu makan durian dengan lahapnya.

Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan melihat hal-hal yang menakjubkan. Yang tidak pernah dibayangkan terjadi. Tetapi mereka sudah melihatnya.

Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan pun duduk di ruang dalam bersama Kiai Namaskara dan Ki Sangli. Setelah makan malam, maka mereka pun berbincang-bincang tentang banyak hal yang sulit dimengerti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Tidak ada benih permusuhan yang ditaburkan di sini, Ngger,” berkata Kiai Namaskara. “Karena itu, di antara pepohonan hutan dan semak-semak yang lebat, tidak ada sebatangpun pohon yang membuahkan kebencian, dendam dan permusuhan. Alam pun telah menciptakan persahabatan di antara para penghuninya. Aku dan Ki Sangli tidak pernah tersuruk ke dalam nafsu keduniawian yang dapat menaburkan permusuhan di lingkungan ini. Kami hidup dalam suasana yang damai.”

“Tetapi Kiai telah membawa kami ke dalam lingkungan yang bernafaskan kedamaian itu. Sedangkan kami merasa bahwa kami adalah sosok yang kotor dan akan dapat menodai tempat ini.”

“Sudah aku katakan, Ngger, jika kalian terlibat dalam tindak kekerasan, dasarnya bukan dendam dan kebencian. Tetapi kalian sedang menjaga kehormatan kalian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

“Mudah-mudahan aku tidak salah langkah, Ngger. Meskipun bahwa Angger berdua berbekal kemampuan olah kanuragan itu sudah merupakan cacat di dalam sikap damai Angger berdua, tetapi pada tangan yang baik, maka kemampuan itu pun akan memancarkan sinar yang jernih.”

“Aku mohon doa restu, Kiai. Mudah-mudahan kami berdua selalu mendapat bimbingan, sehingga kami dapat meniti jalan yang dibenarkan.”

“Ya, Ngger. Kami akan selalu berdoa bagi Angger suami istri, agar Angger tidak tergelincir di sepanjang jalan kehidupan.”

“Terima kasih. Kiai,” sahut Glagah Putih. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Kiai. Hari ini kami sudah melihat lingkungan yang tidak pernah terbayang di dalam benak kami. Tetapi kami akan bersaksi kepada banyak orang, bahwa lingkungan yang damai itu bukan sekedar ada di angan-angan.”

“Bukankah Angger baru sehari berada di sini?”

“Sudah dua hari dua malam dengan malam nanti, Kiai. Aku kira sudah banyak yang kami lihat di sini. Bahkan rasa-rasanya kami sudah melihat seisi hutan ini.”

Kiai Namaskara itu tersenyum. Katanya, “Baiklah, jika Angger besok akan meneruskan perjalanan. Tetapi Angger harus berjanji.”

“Berjanji apa, Kiai?”

“Berjanji bahwa Angger akan singgah di sini lagi di perjalanan kembali dari Jati Anom.”

Glagah Putih nampak menjadi ragu-ragu.

“Mungkin Angger merencanakan untuk mengambil jalan lain. Tetapi aku minta Angger singgah sekali lagi. Masih ada yang belum Angger lihat. Justru cacat terbesar dari lingkungan ini. Jika Angger bersedia, aku ingin Angger membawanya keluar dari lingkungan yang damai ini. Tetapi dengan pesan, bahwa cacat itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun juga, karena cacat itu akan dapat menjadi benih kebencian dan keangkara-murkaan, jika berada di tangan yang salah.”

“Apakah yang Kiai maksud dengan cacat itu?”

“Besok sajalah, Ngger, pada saat Angger singgah di sini. Aku menyimpannya di atas pintu sentong tengah, di sebuah peti kayu kecil yang terbuat dari kayu besi yang keras sekali.”

“Kiai. Bagaimana pendapat Kiai, jika yang Kiai maksud dengan cacat itu aku bawa besok pagi saja keluar dari lingkungan ini?”

“Jangan, Ngger. Jika demikian, maka Angger tidak akan pernah singgah di sini lagi.”

Glagah Putih memandang Rara Wulan sekilas. Namun agaknya Rara Wulan tidak menunjukkan keberatannya untuk singgah di rumah itu pada perjalanan mereka kembali dari Jati Anom.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih juga tidur bergantian. Bagaimanapun juga mereka tetap berhati-hati, karena mereka merasa berada ditempat yang asing.

Namun malam itu, Glagah Putih-lah yang tidur lebih dahulu. Rara Wulan-lah yang duduk di amben kayu bilik itu. Ia masih saja mengagumi berbagai macam pajangan yang ada di dalam bilik itu. Patung seekor gajah yang terbuat dari emas itu masih saja menarik perhatiannya.

Di tengah malam, Glagah Putih pun terbangun sebelum Rara Wulan membangunkannya. Di separuh malam berikutnya, Rara Wulan-lah yang tidur nyenyak. Sementara Glagah Putih duduk di amben kayu sambil mendengarkan suara-suara malam yang sangat menarik.

Menjelang fajar, maka burung-burung liar pun mulai berkicau. Suaranya nyaring lepas menerobos dedaunan hutan. Kegembiraan terkesan pada kicaunya yang mengumandang.

Sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan bersiap-siap untuk meninggalkan rumah itu, meneruskan perjalanan ke Jati Anom.

“Kau akan berangkat pagi-pagi sekali, Ngger?” bertanya Kiai Namaskara.

“Ya, Kiai. Mumpung udaranya masih sejuk.”

“Angger berdua,” berkata Kiai Namaskara, “aku berterima kasih sekali atas kesediaan Angger berdua singgah, dan bahkan tinggal di rumah ini untuk dua malam. Aku merasa kerinduanku untuk berhubungan dengan sesama rasa-rasanya telah terobati. Karena itu, Ngger, aku ingin menyatakan terima kasihku tidak sekedar dengan kata-kata. Aku ingin memberi kenang-kenangan kepada Angger berdua.”

“Kenang-kenangan, Kiai?”

“Ya, kenang-kenangan.” Kiai Namaskara berhenti sejenak, lalu katanya selanjutnya, “Angger tahu, bahwa di sini terdapat banyak sekali hiasan dinding serta pajangan yang terbuat dari emas. Ngger, jika kau ingin, bawalah seberapa Angger berdua kehendaki. Di sini benda-benda itu tidak akan ada artinya. Jika benda-benda berharga itu berada di tangan Angger berdua, mungkin benda-benda itu akan mempunyai arti.”

Kedua orang suami istri itu menjadi tegang. Namun kemudian Glagah Putih menjawab, “Maaf, Kiai. Bukan maksud kami menolak pemberian Kiai yang tulus. Aku tahu bahwa benda-benda berharga yang ada di sini sudah menjadi milik Kiai. Tetapi kami berdua merasa bahwa kami tidak mempunyai hak untuk memiliki benda-benda berharga itu. Karena itu, Kiai, maafkan kami bahwa kami tidak dapat menerimanya.”

“Kenapa, Ngger? Bukankah benda-benda berharga ini sudah tidak ada yang memiliki lagi?”

“Ya, Kiai. Seperti yang sudah aku katakan, bahwa benda-benda berharga itu sudah menjadi milik Kiai. Tetapi rasa-rasanya aku akan dibenani oleh perasaan bersalah, jika aku membawa satu atau dua benda-benda berharga yang terbuat dari emas itu.”

“Tidak, Ngger. Kau tidak bersalah. Jika kepergian satu dua benda berharga itu merupakan satu kesalahan, biarlah aku yang menanggungnya.”

“Biarlah benda-benda itu tetap berada di lingkungan dunia yang damai ini, Kiai. Selebihnya, aku akan pergi mengembara. Jika aku membawa benda berharga, maka benda-benda berharga itu akan dapat menImbulkan persoalan bagi kami di perjalanan.”

Kiai Namaskara menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah, Ngger. Aku memang tidak berniat membebani perasaan bersalah bagi Angger berdua. Karena itu, jika benda-benda berharga itu akan dapat menimbulkan persoalan, baik karena gejolak jiwa Angger berdua sendiri maupun karena tingkah laku orang lain, biarlah benda-benda itu tetap berada di sini. Tetapi pada suatu saat jika Angger memerlukannya, aku persilahkan Angger datang kepadaku.”

“Baik, Kiai. Dalam keadaan yang mendesak, kami akan menjumpai Kiai Namaskara lagi.”

“Ada pesanku yang lain kepada kalian berdua, Ngger. Tempat ini adalah tempat yang harus tetap dirahasiakan. Karena itu, jangan katakan kepada siapapun juga. Jangan katakan kepada ayah Angger, kepada sepupu Angger dan kepada siapapun juga. Ingat-ingat itu, Ngger.”

“Ya, Kiai. Kami tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga. Kami berjanji. Karena itu pula, seandainya aku membawa benda-benda berharga dari tempat ini, apa yang harus aku katakan, jika ada yang menanyakan darimana aku mendapatkannya.”

“Ya, ya, Ngger. Angger benar. Mungkin dengan demikian Angger akan dapat dituduh mendapatkan benda-benda berharga itu dengan cara yang tidak sah.”

“Ya, Kiai.”

“Baiklah, Ngger. Semoga kita dapat bertemu lagi.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meninggalkan lingkungan yang tenang, tentram dan damai itu. Kiai Namaskara telah minta kepada Ki Sangli untuk mengantarkan keduanya sampai keluar hutan di lereng Gunung Merapi itu.

Di mulut lorong di hutan lereng Gunung Merapi itu, Ki Sangli berhenti. Katanya, “Selamat jalan, Angger berdua. Kami menunggu Angger kembali dari Jati Anom.”

“Ya, Ki Sangli. Kami sudah berjanji untuk singgah. Tetapi kami tidak tahu pasti, kapan kami akan kembali.”

“Kapan saja, Ngger. Kami menunggu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan Ki Sangli yang berdiri termangu-mangu. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling, mereka melihat dua ekor harimau berdiri termangu-mangu pula, di sebelah-menyebelah Ki Sangli. Glagah Putih dan Rara Wulan pun melihat beberapa ekor kijang menyembulkan kepalanya dari balik gerumbul di dekat kedua ekor harimau itu, tanpa diganggu. Kemudian seekor lembu melenguh, seakan-akan mengucapkan selamat jalan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

Di luar sadarnya, Glagah Putih dan Rara Wulan mengangkat tangannya melambai kepada Ki Sangli, yang masih saja memandangi mereka. Ternyata Ki Sangli pun telah melambaikan tangannya pula.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan menelusuri jalan setapak di sela-sela batu-batu padas di lereng Gunung Merapi. Mereka sama sekali tidak merasa cemas bahwa mereka akan diganggu oleh seekor binatang buas.

Akhirnya keduanya turun ke jalan yang lebih besar. Keduanyapun segera mengenali tempat itu. Di tempat itu mereka berkelahi melawan dua belas anak muda bengal yang mengganggu mereka.

Dengan demikian, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom. Perjalanan yang masih terhitung panjang.

Mumpung masih pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mempercepat langkah mereka. Beberapa lama mereka berjalan, Glagah Putih dan Rara Wulan itu berjalan semakin menjauhi hutan itu.

Di perjalanan, keduanya tidak menjumpai hambatan apa-apa lagi. Mereka tidak bertemu dengan binatang buas. Tidak bertemu dengan anak-anak muda yang nakal, dan tidak pula bertemu dengan penjahat yang akan menyamun mereka.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan yang langsung memasuki gerbang sebuah padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura itu memang agak mengejutkan. Ketika seorang cantrik memberitahukan bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan datang di padepokan, maka dengan tergesa-gesa Ki Widura pun menyongsong mereka.

“Marilah. Masuklah langsung ke ruang dalam bangunan utama,” Ki Widura mempersilahkan.

Keduanya pun kemudian langsung masuk ke ruang dalam. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kita duduk di serambi saja, Ayah. Di dalam udaranya terasa terlalu panas.”

“Baiklah. Jika kau ingin duduk di serambi, silahkan.”

Mereka bertiga pun kemudian duduk di sebuah amben yang agak besar di serambi.

“Kapan kau berangkat dari Tanah Perdikan? Pada saat seperti ini kau sudah berada di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Glagah Putih pun menjawab, “Aku berangkat dari Tanah Perdikan sudah dua hari yang lalu, Ayah.”

“Dua hari yang lalu?”

“Ya.”

“Jadi kemana saja kau selama ini?”

“Ayah,” berkata Glagah Putih, yang sudah berjanji untuk tidak membuka rahasia tentang rumah di hutan lereng Gunung Merapi itu, “aku telah memasuki kembali tugasku mencari tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang itu. Karena itu, aku mencoba menelusuri beberapa padukuhan di lereng Gunung Merapi.”

“Kau temukan sesuatu yang berarti dalam tugasmu itu?”

“Tidak, Ayah.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Ki Widura itu bertanya tentang keselamatannya dan keselamatan seluruh keluarga di Tanah Perdikan.

“Semuanya baik-baik saja, Ayah.”

Namun Glagah Putih pun kemudian telah bercerita tentang kedatangan seseorang yang mengaku masih mempunyai hubungan darah dengan Ki Gede.

“Namanya Ki Kapat Argajalu. Kedua orang anaknya laki-laki bernama Soma dan Tumpak.”

Ki Widura pun mendengarkan cerita tentang peristiwa yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan dengan sungguh-sungguh

“Aku sudah mendengar serba sedikit tentang peristiwa itu, Glagah Putih. Kakangmu Untara juga sudah mendengarnya. Tetapi belum terlalu jelas dan terperinci.”

“Ternyata Ki Kapat Argajalu itu mempunyai hubungan dengan Ki Saba Lintang. Aku tidak tahu sejauh manakah hubungan mereka. Mungkin mereka sekedar berkenalan dan saling memanfaatkan. Mungkin dalam hubungan yang lain. Karena itu, maka aku dan Rara Wulan ingin mendengar lebih banyak tentang perguruan mereka.”

“Apakah niatmu itu ada hubungannya dengan tugasmu melacak tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang?”

“Ya, Ayah. Justru karena tugas itulah maka aku akan pergi ke Barat. Jika sekarang aku justru pergi ke timur, itu karena Kakang Agung Sedayu minta aku mohon diri dan mohon doa restu Ayah.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kakakmu tidak penah melupakan doa restu orang tua. Tetapi bukankah kalian tidak terikat oleh waktu, sehingga kalian dapat berada di sini beberapa hari? Mungkin kau akan pergi menemui kakangmu Untara dan kakangmu Swandaru.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya, Ayah. Aku memang tidak terikat oleh waktu. Tetapi tentu saja kami tidak akan terlalu lama di sini. Setelah aku bertemu dengan Kakang Untara, agaknya kami akan menempuh perjalanan kembali ke Barat.”

Ki Widura mengangguk-angguk.

Kepada Ki Widura, Glagah Putih menunjukkan pertanda yang diterima dari Mataram, yang dipakainya sebagai timang pada ikat pinggangnya.

“Kau mendapat kepercayaan yang tinggi, Glagah Putih. Dengan demikian maka kita dapat menilai, bahwa tugas yang sedang kau jalani adalah tugas yang dianggap sangat penting, sehingga kau memperoleh wewenang yang luas.”

“Ya, Ayah. Agaknya tongkat baja putih itu diperhitungkan oleh para pemimpin di Mataram akan dapat menimbulkan gangguan yang sungguh-sungguh.”

“Tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang itu oleh beberapa orang pemimpin di Mataram tentu dianggap sebagai bayangan Kanjeng Adipati Arya Penangsang, yang merasa dirinya berhak atas tahta Demak pada waktu itu. Dengan tongkat baja putih itu, apalagi menjadi genap sepasang, maka Ki Saba Lintang akan dapat mempengaruhi banyak orang, terutama pada garis keturunan mereka yang mendukung perjuangan Arya Penangsang. Ki Saba Lintang akan dapat mengungkit dendam di setiap jantung anak-anak yang merasa kehilangan ayahnya, atau bahkan cucu-cucu yang kehilangan kakeknya, bahkan tersisih dari lingkungannya, karena mereka adalah keturunan orang-orang yang berada dalam kubu yang dikalahkan dan dianggap bersalah.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun pembicaraan itu pun terputus ketika seorang cantrik menghidangkan minuman hangat serta makanan bagi mereka.

Setelah minum dan makan makanan yang dihidangkan. Glagah Putih pun berkata. “Kami akan pergi menemui Kakang Untara, Ayah.”

“Jangan sekarang. Kalian dapat beristirahat hari ini. Besok pagi-pagi saja kalian pergi menemui Untara.”

Glagah Putih memandang Rara Wulan sejenak. Namun agaknya Rara Wulan sependapat dengan mertuanya. Karena itu. maka Rara Wulan pun kemudian mengangguk.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Rara Wulan agaknya setuju dengan usul Ayah. Besok pagi saja kami akan menemui Kakang Untara.”

“Nah. Sekarang, beristirahatlah. Bilik bagi kalian sedang dibersihkan oleh para cantrik.”

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di dalam biliknya. Namun bergantian keduanya pun segera pergi ke pakiwan untuk mandi.

Menjelang senja, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan di halaman belakang padepokan kecil di Jati Anom itu, ditemani oleh seorang cantrik. Keduanya terkejut ketika mereka melihat dua ekor ayam jantan bertarung.

“Kenapa kedua ekor ayam jantan itu bertarung?” bertanya Glagah Putih.

Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab, “Keduanya memang sering bertarung. Kami sudah memisahkannya, seekor di sebelah timur belumbang, seekor di sebelah barat. Tetapi setiap kali keduanya ketemu, maka keduanya selalu saja berkelahi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan pun berdesis, “Apakah mereka tidak dapat hidup dengan damai?”

Cantrik itu pun kemudian berlari-lari mengusir kedua ekor ayam yang bertarung itu dengan melempar batu-batu kerikil.

“Kenapa tiba-tiba saja para cantrik di padepokan ini berubah menjadi kasar?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menggeleng sambil berdesis, “Tidak. Mereka tidak berubah menjadi kasar. Mereka sama sekali tidak berubah. Tetapi pandangan kita terhadap mereka-lah yang justru berubah, setelah kita berada di rumah Kiai Namaskara selama dua hari dua malam.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita-lah yang berubah.”

Keduanya pun kemudian menjadi gelisah melihat dua ekor burung wulung terbang berputaran di atas halaman belakang padepokan. Sementara itu, cantrik yang mengusir kedua ekor ayam jantan yang bertarung itu menggiring seekor induk ayam dengan tujuh ekor anaknya ke kandang.

“Masuk, masuk. Ada elang. Nanti anakmu di sambarnya.”

Sambil mengangguk-angguk kecil Glagah Putih berkata. “Sekarang kita berada di dunia yang sehari-hari kita huni.”

“Ya,” Rara Wulan pun mengangguk.

“Timang di ikat pinggangku ini pun merupakan ciri dari dunia kita ini. Demikian pula tugas perjalanan kita.”

“Ya.”

“Kita sudah meninggalkan jejak kotor yang menodai rumah Kiai Namaskara.”

“Bukankah itu atas kehendak Kiai Namaskara, dapat salah memilih orang untuk singgah di dunia damainya?”

Rara Wulan terdiam.

Keduanya pun kemudian berjalan menuju ke kandang domba yang berada di sudut padepokan kecil itu. Di sekitar kandang domba itu dibuat pagar berkeliling, agar domba-domba itu tidak berkeliaran kemana-mana.

Demikian keduanya serta seorang cantrik yang menyertai mereka sampai ke kandang, maka dilihatnya dua ekor domba jantan sedang berkelahi.

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Di hutan di lereng Gunung Merapi, domba dan serigala serta harimau tidak pernah bertengkar. Di padepokan ini, sesama domba pun telah berkelahi.

Padepokan kecil ini bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, sebelum mereka singgah di rumah Kiai Namaskara, terasa sejuk, tenang dan tentram. Namun ternyata bahwa padepokan kecil itu adalah padepokan yang hiruk-pikuk. Penuh pertengkaran dan bahkan perkelahian. Tentu juga dapat terjadi saling membunuh antara berbagai jenis binatang. Burung sikatan yang beterbangan di atas rerumputan itu tentu sedang mengintai belalang untuk diterkam dan dimakannya.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan kandang itu, ketika cantrik yang menyertainya berusaha melerai domba yang berkelahi itu.

Namun beberapa saat kemudian, maka senja pun turun. Keduanya pun kemudian telah kembali ke bangunan induk setelah mencuci kaki dan tangannya.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menceritakan, bahwa mereka telah berada di satu lingkungan yang terasa damai.

Di malam hari, ketika keduanya telah berada di bilik mereka, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita memang tidak dapat berbicara tentang lingkungan yang damai itu, Rara. Bukan saja karena kita sudah berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun juga, tetapi juga karena kita tidak pantas untuk membicarakannya. Jika besok kita pergi menemui Kakang Untara, maka yang akan kita bicarakan adalah tindak kekerasan. Bukankah mencari dan kemudian mengambil tongkat baja putih itu juga satu tindak kekerasan terhadap sesama? Tentu Ki Saba Lintang tidak akan memberikan begitu saja. Mungkin kita akan berkelahi. Siapapun yang kalah atau menang, namun kekerasan itu sudah terjadi.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Malam itu, keduanya pun telah berbaring di pembaringannya bersama-sama. Mereka tidak merasa perlu untuk bergantian berjaga-jaga di padepokan kecil itu.

“Kita memang aneh, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Apa yang aneh?”

“Di lingkungan yang tenteram dan damai kita menaruh curiga, sehingga salah seorang di antara kita harus berjaga-jaga. Tetapi sebaliknya di sini, dimana pertengkaran dan perkelahian terjadi, bahkan di antara binatang peliharaan yang sejenis, kita dapat tidur lelap bersama-sama.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Agaknya kita sudah mengenal tempat ini dengan baik. Kita percaya kepada para cantrik yang meronda dengan senjata di tangan mereka. Yang telah dengan tekun berlatih berkelahi sebagaimana kita lakukan.”

Rara Wulan terdiam.

Meskipun demikian, meskipun mereka merasa berada di tempat yang aman bagi mereka, namun mereka tidak segera dapat tidur.

Baru menjelang tengah malam keduanya tertidur lelap.

Di hari berikutnya, keduanya pun telah pergi menemui Untara. Seperti juga yang dikatakan kepada Ki Widura, Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri untuk melanjutkan pencariannya atas tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.

“Jadi kau akan pergi ke Barat?” bertanya Untara.

“Ya, Kakang. Kami mencium jejak Ki Saba Lintang di arah Barat.”

“Ia tidak pernah berada di satu tempat untuk waktu yang lama.”

“Kami akan mencoba. Mungkin kami dapat menelusurinya.”

Untara mengangguk-angguk.

Sementara itu, Glagah Putih pun menceritakan pula peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan dengan rinci, yang mendorongnya untuk pergi ke arah Barat.

Ketika Glagah Putih menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram, maka seperti Widura, Untara itu pun berkata, “Kau mendapat kepercayaan yang sangat tinggi, Glagah Putih. Jika kau kehendaki, aku tidak dapat menolak menyediakan prajuritku bagi kepentingan tugasmu. Agaknya tongkat baja putih itu dianggap benda yang dapat menimbulkan bahaya yang sungguh-sungguh bagi Mataram.”

“Ya, Kakang. Karena benda itu adalah pertanda kepemimpinan sebuah perguruan yang besar dan disegani.”

Untara menarik nafas panjang sambil berkata, “Karena itu kau harus sangat berhati-hati.”

“Ya, Kakang. Kami akan sangat berhati-hati.”

Untara pun kemudian memberikan pesan-pesan yang sangat berarti bagi Glagah Putih. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan mempunyai ilmu yang tinggi, namun Untara mempunyai pengalaman yang lebih luas, khususnya dalam mengemban tugas kenegaraan.

Glagah Putih pun sempat menemui Nyi Untara dan anaknya yang sudah menjadi semakin besar.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di rumah kakak sepupunya. Dari rumah Untara, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun pergi ke Sangkal Putung. Namun mereka singgah sebentar di padepokan untuk meminjam dua ekor kuda.

Di Sangkal Putung, keduanya juga tidak terlalu lama. Glagah Putih dan Rara Wulan hanya sekedar datang untuk minta diri serta minta doa restu.

Di sore hari, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di padepokannya lagi.

Ketika malam turun, maka mereka pun duduk di ruang dalam bangunan utama padepokan kecil itu. Kepada Ki Widura, Glagah Putih pun mengatakan, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan akan minta diri di keesokan harinya.

“Begitu tergesa-gesa? Bukankah kalian tidak dibatasi waktu, sehingga kalian dapat berangkat kapan saja?”

“Tetapi rasa-rasanya kami sudah menyia-nyiakan waktu, Ayah,” jawab Glagah Putih.

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Hati-hatilah di perjalanan. Tugasmu adalah tugas yang berat. Meskipun batasan yang diberikan kepada kalian cukup longgar, namun kalian tetap saja diikat oleh pertanggung-jawaban atas tugas kalian. Kalian tidak dapat melakukan tugas dengan seenaknya karena kalian tidak dibatasi oleh waktu serta keharusan untuk berhasil.”

“Ya, Ayah.”

“Aku akan berdoa bagi kalian. Mudah-mudahan kalian selalu berada di bawah tuntunan-Nya.”

“Terima kasih, Ayah.”

Demikianlah, sambil makan malam, maka Ki Widura masih memberikan beberapa pesan. Bagaimanapun juga Ki Widura yang usianya menjadi semakin tua itu telah menyimpan banyak sekali pengalaman di dalam dirinya.

Namun akhirnya Ki Widura itu pun berkata, “Glagah Putih. Aku akan menjadi semakin tua. Seberapapun aku menghimpun ilmu, namun jika wadagku sudah tidak mampu mendukungnya, maka aku harus menghentikan segala kegiatan. Dalam keadaan yang demikian, diperlukan seseorang untuk melanjutkan tugasku di sini. Kakangmu Agung Sedayu, yang merupakan murid utama dari perguruan Orang Bercambuk, sekarang telah menjadi seorang prajurit. Ia akan mendaki kedudukannya dari satu tataran ke tataran berikutnya. Agaknya kita tidak dapat berharap agar Agung Sedayu bersedia memimpin padepokan kecil ini. Sementara itu, Swandaru sudah ditunggu oleh dua lingkungan yang sama-sama berharga baginya. Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu arah pembicaraan ayahnya. Orang yang masih belum terkait pada satu tugas tertentu adalah Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih tidak menyahut. Ia sengaja berdiam diri, agar pembicaraan itu tidak berkepanjangan. Seandainya ayahnya menyinggung tentang kemungkinan tentang pewarisan tugas di padepokan itu, ia akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya.

Agaknya Ki Widura tidak mendesaknya. Ki Widura pun belum berniat membicarakan dengan sungguh-sungguh kepemimpinan di padepokan itu. Ia masih harus menunggu. Jika Glagah Putih pada suatu saat mendapatkan kedudukan yang memberikan kemungkinan yang baik di masa depannya, maka ia tidak akan memaksa Glagah Putih untuk tetap tinggal di padepokan itu.

Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Ki Widura telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk beristirahat.

“Besok kalian akan menempuh perjalanan panjang. Beristirahatlah.”

“Ya, Ayah. Besok kami akan bangun pagi-pagi. Kemudian kami akan pergi menelusuri jalan melingkar di kaki Gunung Merapi.”

“Kau akan mengambil jalan pintas?”

“Ya, Ayah.”

“Kau akan singgah lagi di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Tidak, Ayah. Tidak perlu. Kami sudah minta diri kepada keluarga di Tanah Perdikan Menoreh dan kepada Ki Gede.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sekarang tidurlah.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah pergi ke pembaringannya. Keduanya pun segera membaringkan dirinya di pembaringan.

“Tidurlah, Rara,” berkata Glagah Putih, “besok kita berangkat pagi-pagi.”

Tetapi Rara Wulan justru menyahut, “Tidurlah, Kakang. Besok kita berangkat pagi-pagi.”

Keduanya tertawa. Namun beberapa saat kemudian, maka keduanya pun telah tertidur lelap.

Pagi-pagi sekali keduanya sudah terbangun. Tetapi ternyata beberapa orang cantrik telah bangun lebih dahulu. Bahkan nasi, sayur dan lauk-pauknya telah tersedia. Masih mengepul.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai berbenah diri, maka mereka pun dipersilahkan untuk makan pagi.

“Kalian akan menempuh perjalanan panjang. Makanlah lebih dahulu.”

“Terima kasih, Ayah.”

Setelah makan pagi dan setelah beristirahat sejenak, maka keduanya pun minta diri. Sementara itu langit pun menjadi semakin terang.

Sebelum matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah siap untuk berangkat. Para cantrik telah berada di halaman untuk mengucapkan selamat jalan.

Setelah Glagah Putih mencium tangan ayahnya, demikian pula Rara Wulan mencium tangan mertuanya, maka keduanya pun segera meninggalkan padepokan itu. Di regol, Glagah Putih dan Rara Wulan melambaikan tangan mereka kepada para cantrik yang melepasnya pergi meninggalkan padepokan.

Ketika Ki Widura menawarkan dua ekor kuda, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bersedia menerimanya. Dengan nada rendah Glagah Putih pun berkata, “Kami sengaja tidak membawa kuda, Ayah.”

“Sebenarnya kalian dapat berkuda ke Jati Anom. Kemudian kalian singgah lagi di Tanah Perdikan. Baru kemudian kalian pergi ke Barat dengan berjalan kaki.”

“Banyak pengalaman yang kami jumpai di perjalanan, Ayah,” jawab Glagah Putih.

Sesaat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan pintu gerbang padepokan. Semakin lama menjadi semakin jauh.

Rasa-rasanya keduanya ingin berjalan lebih cepat lagi, agar mereka segera sampai di rumah Ki Namaskara. Keduanya tidak mengerti, kenapa mereka begitu didesak oleh keinginan untuk segera sampai di rumah yang penuh dengan kedamaian hati itu.

Perjalanan mereka pun tidak terhenti. Meskipun keringat mereka bagaikan diperas dari dalam tubuh mereka oleh teriknya sinar matahari, serta langkah mereka yang rasa-rasanya agak tergesa-gesa, mereka rasa-rasanya tidak ingin untuk beristirahat.

Ketika mereka sudah melingkari kaki bukit dan mulai merayap di sisi selatan, maka mereka pun merasa bahwa mereka sudah akan sampai ke mulut lorong di sela-sela tebing berbatu padas yang menuju ke dalam hutan.

Beberapa saat kemudian, dari kejauhan mereka sudah melihat ciri-ciri dari mulut lorong itu. Mereka melihat sebatang pohon yang besar. Gumpalan-gumpalan batu padas yang besar, serta beberapa ciri yang lain yang meyakinkan bahwa mereka benar-benar telah sampai di mulut lorong.

Karena itu, ketika mereka sampai di celah-celah tebing berbatu padas yang mereka yakini sebagai lorong yang akan membawa mereka memasuki hutan itu, maka mereka pun segera berbelok.

Mula-mula mereka tidak begitu menghiraukan keadaan di sebelah-menyebelah mereka. Baru kemudian Rara Wulan berdesis, “Apakah kita tidak keliru, Kakang?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Menilik ciri-cirinya, lorong ini-lah yang menuju langsung ke rumah Kiai Namaskara.”

“Tetapi sebagaimana Kakang lihat, di sebelah-menyebelah jalan ini telah ditumbuhi semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu. Bahkan ada tumbuh-tumbuhan yang berduri.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diamatinya lorong sempit yang menuju ke rumah Kiai Namaskara yang berada di hutan di lereng Gunung Merapi itu.

Memang agak aneh, baru dua hari yang lalu Glagah Putih dan Rara Wulan melewati jalan itu. Namun tiba-tiba saja semuanya seakan-akan sudah berubah sama sekali.

Namun mereka berjalan terus. Semakin jauh mereka berjalan memasuki lorong itu, mereka pun semakin yakin bahwa jalan yang mereka lalui dua hari yang lalu adalah lorong itu pula. Tetapi tentu tidak mungkin bahwa dalam waktu dua hari di lorong itu dan di sebelah-menyebelah, pada tebing yang berbatu padas, telah tumbuh semak-semak belukar yang begitu lebat.

Tetapi apa yang mereka saksikan ternyata seperti itu.

Namun keduanya berjalan terus. Mereka menyusuri lorong yang sempit itu semakin mendekati hutan lereng Gunung Merapi itu.

Keduanya menjadi semakin heran ketika mereka sampai di pinggir hutan. Meskipun mereka masih dapat mengenali tempat itu, namun rasa-rasanya segala-galanya sudah berubah. Perubahan yang tidak masuk di nalar mereka, jika itu terjadi hanya dalam waktu dua hari. Beberapa dahan patah yang saling menyilang. Semak-semak berduri merambat yang membelit pepohonan hampir sampai ke puncak.

“Apa yang telah terjadi dalam dua hari ini?” desis Glagah Putih.

“Tempat ini justru terasa sangat mengerikan,” berkata Rara Wulan.

Tetapi mereka tidak mengurungkan niatnya. Mereka pun segera memasuki lorong menuju ke rumah Kiai Namaskara.

Beberapa lama mereka berjalan di antara tetumbuhan raksasa yang dibawahnya penuh dengan belukar. Mereka harus menyibak gerumbul-gerumbul yang di antaranya berduri.

“Jalan ini yang kita lalui dua hari yang lalu, tetapi tidak seperti ini,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Tidak seperti ini, dan tidak mungkin berubah seperti ini.”

“Tetapi kita menghadapi kenyataan ini, Kakang.”

“Ya. Kita menghadapi kenyataan ini.”

Keduanya pun berjalan terus. Mereka tidak menghiraukan tubuh mereka yang tergores-gores duri.

Tiba-tiba saja keduanya tertegun. Mereka sudah menjadi semakin dekat dengan rumah Kiai Namaskara. Mereka pun sudah melihat gerbang halaman rumah Kiai Namaskara itu.

“Itu pintu gerbangnya, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Itu pintu gerbangnya.”

Tetapi jantung kedua orang suami istri itu terasa berdegup semakin keras. Mereka melihat pintu di gerbang itu sudah pecah dan roboh. Bahkan uger-ugernya pun sudah lapuk, serta tulang-tulang atap pintu gerbang itu sudah berpatahan.

“Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin? Pintu gerbang itu memang sudah rusak. Tetapi sudah diperbaiki, meskipun dengan bahan dan buatan yang tidak dapat menyamai aslinya,” gumam Glagah Putih.

Tetapi justru karena itu, maka keduanya seakan-akan didorong untuk segera masuk ke halaman.

Keduanya memang agak sulit melewati pintu gerbang yang rusak itu. Mereka harus melangkahi beberapa potong kayu yang terbujur lintang.

“Aku masih melihat ukiran dan bekas sungging pada pintu gerbang itu,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Tetapi sudah sangat rusak.”

Demikian mereka memasuki halaman rumah itu, keduanya tegak mematung. Justru jantung mereka serasa berhenti berdetak.

Halaman yang mereka hadapi adalah halaman yang luas seperti yang pernah mereka lihat. Tetapi dipenuhi oleh batang ilalang dan belukar yang lebat. Bahkan di sana-sini telah tumbuh beberapa batang pohon yang cukup besar.

“Apa artinya ini?” desis Rara Wulan.

“Rumah itu,” berkata Glagah Putih dengan suara serak.

Rumah yang berdiri di depan mereka adalah rumah yang sudah separuh roboh. Menilik bekasnya, rumah yang roboh itu adalah rumah yang besar, sebagaimana pernah mereka lihat dua hari yang lalu.

“Jika aku bermimpi, Rara, kenapa mimpi kita sejalan? Bukankah itu tidak mungkin?”

“Ya. Tentu bukan mimpi.”

Meskipun jantung mereka berdebaran, namun keduanya melangkah di sela-sela belukar yang tumbuh di halaman, menuju ke tangga rumah yang besar tetapi sudah separuh roboh itu.

“Di dalamnya ada beberapa perhiasan dinding yang terbuat dari emas,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih tidak menjawab.

Sejenak kemudian, keduanya telah naik ke pendapa. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Mereka mengenali semua yang ada dan tersisa di rumah itu. Mereka mengenali lantainya, tiang-tiangnya yang masih berdiri, ukirannya, sunggingannya yang sudah hampir tidak nampak lagi, gebyoknya yang sudah roboh, dan bagian-bagian yang lain.

Ketika mereka berusaha untuk masuk ke ruang dalam, mereka terkejut oleh aum seekor harimau.

Dengan serta mereka berpaling. Aum harimau itu di telinga mereka terdengar jauh berbeda dengan aum harimau dua hari yang lalu.

Sebenarnyalah bulu-bulu tengkuk mereka meremang. Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua ekor harimau memburu seekor kijang. Di depan rumah itu, seekor di antara kedua harimau itu berhasil menerkam kijang itu, serta mencengkeramnya dengan kuku dan giginya yang tajam. Sementara itu yang lain pun ikut pula menggigit tengkuknya, sehingga kijang itu hanya dapat menggeliat. Terdengar kijang itu memekik pendek. Namun kemudian terdiam. Darah mengucur dari lukanya. Sementara itu, kedua ekor harimau itu telah membawa kijang itu masuk ke dalam semak-semak belukar.

“Sekarang kita berada di dunia kita, Rara,” berkata Glagah Putih.

“Jadi, dua hari yang lalu, kita berada di mana?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku tidak dapat mengatakannya.”

Namun, keduanya pun masuk lebih dalam lagi di reruntuhan rumah itu. Namun mereka sama sekali tidak lagi menemukan perhiasan-perhiasan dari emas. Tidak secuil pun. Bahkan ketika mereka masuk ke dalam dapur, yang mereka temukan hanyalah bekas tungku yang sudah rusak. Tidak ada perabot apapun yang terbuat dari tembaga atau dari anyaman bambu.

“Kita lihat, apakah bekas bilik yang kita pergunakan itu masih ada.”

Keduanya pun kemudian pergi ke ruang dalam. Ternyata mereka masih dapat mengenali pintu yang masuk ke dalam bilik yang mereka pergunakan. Tetapi bilik itu sendiri sudah berada di bawah reruntuhan tulang-tulang dari bangunan joglo yang besar itu.

“Tidak ada yang tersisa,” desis Glagah Putih, “demikian pula bilik di sebelahnya.”

“Apakah Kiai Namaskara terkena kutukan, karena kita berdua yang kotor ini singgah di sini?” desis Rara Wulan.

“Apakah kita harus menyalahkan diri kita sendiri?”

Rara Wulan terdiam.

Namun tiba-tiba Glagah Putih teringat, “Rara Wulan. Ketika kita akan pergi, Kiai Namaskara akan menitipkan sesuatu yang merupakan cacat di tempat ini.”

“Ya. Kenapa kita tidak membawanya ketika itu? Jika kita membawanya, mungkin tempat ini tidak akan menjadi reruntuhan seperti ini.”

“Kiai Namaskara tidak memperkenankan.”

Keduanya terdiam sesaat.

Namun Glagah Putih kemudian berkata, “Bukankah waktu itu Kiai Namaskara mengatakan, bahwa benda yang menjadikan tempat ini cacat itu berada di atas pintu sentong tengah, di dalam sebuah peti kayu?”

“Kita akan melihatnya, Kakang. Mungkin benda yang dimaksud oleh Kiai Namaskara itu masih ada. Mungkin cacat itu pula yang telah menyebabkan rumah ini menjadi reruntuhan. Lingkungan yang sejuk damai ini menjadi lingkungan yang keras dan liar.”

Keduanya pun kemudian menyusup di antara kayu-kayu yang patah, ke pintu sentong tengah.

“Pintu sentong tengah itu masih berdiri, Kakang,” desis Rara Wulan.

Keduanya pun kemudian mendekati pintu sentong tengah. Masih nampak sisa-sisa kain yang menyekat sentong tengah itu. Kain sutra yang halus, namun yang sudah terkoyak-koyak dan berwarna debu.

Dengan hati-hati Glagah Putih masuk ke dalam sentong tengah itu. Ketika ia menyingkap papan kayu di atas pintu itu, maka sebuah kotak kayu telah terbuka. Di dalamnya terdapat sebuah peti yang lebih kecil berwarna kehitam-hitaman. Kayu besi.

“Peti itu ternyata benar-benar ada, Rara,” berkata Glagah Putih.

Jantung Rara Wulan pun menjadi berdebar-debar. Ketika Glagah Putih dengan hati-hati pula kembali ke ruang tengah, maka Rara Wulan pun segera mendekatinya.

Rara Wulan termangu-mangu melihat sebuah peti kayu yang berwarna hitam dan kotor oleh debu yang tebal.

“Apa isinya, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

Keduanya pun kemudian membawa peti itu ke pringgitan, yang sebagian juga sudah menjadi reruntuhan.

Di pringgitan keduanya berjongkok. Glagah Putih dengan hati-hati membuka peti kayu yang terbuat dari kayu besi itu.

Demikian peti itu terbuka, keduanya terkejut. Keduanya melihat sebuah kitab yang masih utuh dan bersih berada di dalam kotak kayu besi itu.

“Kitab, Kakang. Kitab apa?”

Glagah Putih merasa ragu. Namun kemudian kitab itu diambilnya. Dengan hati-hati pula kitab itu pun kemudian dibuka.

“Ilmu kanuragan,” desis Glagah Putih.

“Kitab tentang ilmu kanuragan?” bertanya Rara Wulan.

“Ya.”

Rara Wulan menarik nafas. Sementara itu, Glagah Putih pun berkata, “Itulah agaknya kenapa Ki Namaskara berpesan, agar yang harus disingkirkan dari rumah ini tidak jatuh ke tangan siapapun juga, karena akan dapat menimbulkan kebencian, ketamakan dan keangkaramurkaan jika berada di tangan yang salah.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia pun berkata, “Ternyata bukan kita yang membuat tempat ini terkutuk, Rara. Tetapi Ki Namaskara sendiri. Ia datang ke dunia yang penuh kedamaian dengan membawa sebuah kitab yang berisi pengetahuan tentang ilmu kanuragan.”

“Jika kitab itu kita bawa keluar dari tempat ini, apakah tempat ini akan dapat kembali menjadi istana kedamaian?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tidak, Rara. Tempat ini sudah ternoda. Penghuni tempat ini-lah yang sudah menodai kedamaian dari dunia yang dihuninya. Sebenarnyalah bahwa peran penghuninya ikut menentukan, seandainya tersedia bagi kita dunia yang damai.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Dilontarkannya pandangan matanya ke kejauhan. Ditatapnya pepohonan raksasa di lebatnya hutan, di sekitar rumah yang besar tetapi sebagian sudah menjadi reruntuhan, yang terletak di halaman yang luas. Tetapi sebagian besar dinding halamannya pun telah roboh dan retak-retak.

“Kita tidak dapat tinggal di tempat ini terlalu lama, Rara. Kita harus keluar.”

“Kita tidak dapat berjalan melenggang seperti yang seakan-akan pernah kita lakukan itu, Kakang. Di dunia kita sekarang ini, mungkin sekali kita akan bertemu dengan binatang buas.”

“Ya.”

“Lalu bagaimana dengan kitab itu?”

“Kita penuhi pesan Kiai Namaskara. Kita bawa kitab itu keluar dari tempat ini.”

“Jika tidak boleh ada orang yang memilikinya, apakah tidak sebaiknya kitab itu kita musnahkan saja?”

“Tetapi Kiai Namaskara mempunyai pandangan lain terhadap kita berdua. Bukan berarti bahwa kita berdua tidak cacat. Tetapi di antara sekian banyak orang yang dilihat oleh Kiai Namaskara, agaknya pilihan itu jatuh kepada kita berdua. Karena itu, menurut pendapatku Rara, kita berdua berhak memiliki kitab itu. Kita tidak termasuk siapa-siapa yang mungkin justru akan terjerumus ke dalam sikap yang penuh dengan kebencian dan angkara murka.”

Rara Wulan terdiam. Agaknya ia sedang merenungi peristiwa yang membuatnya merasa sangat bodoh menanggapi berbagai matra kehidupan.

“Kita telah bermimpi dua hari yang lalu, Kakang.”

“Apakah kita bermimpi selama dua hari dua malam, dengan mimpi yang sejalan?”

“Apakah benar bahwa kita telah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke Jati Anom dan terhenti dua hari dua malam di sini?”

Glagah Putih mengusap keringat di keningnya.

Sementara itu Rara Wulan pun berdesis, “Kita tidak akan dapat memecahkan rahasia ini, Kakang.”

“Aku setuju, Rara Wulan. Karena itu, kita tidak usah berusaha menyingkapnya. Mungkin pada suatu saat kita akan mendapatkan setidak-tidaknya dugaan-dugaan tentang keberadaan rumah ini.”

“Ya, Kakang.”

“Mungkin pula kita dapat mengambil kesimpulan, seandainya disediakan bagi kita lingkungan yang damai seperti bayangan yang pernah hidup di hati kita itu, segala sesuatunya juga tergantung kepada penghuninya. Apakah penghuninya itu menodai atau tidak, lingkungan yang tidak kita temui dalam dunia kita sehari-hari.”

“Dunia yang sudah dikotori oleh segala macam nafsu manusia.”

“Seperti kita. Bahwa kita berusaha membekali diri kita dengan ilmu kanuragan, adalah pertanda bahwa darah kita sudah dikotori oleh nafsu kekerasan.”

“Mungkin kita dapat sedikit menenangkan hati kita, bahwa kita tidak mempergunakan ilmu dan kemampuan itu untuk tujuan yang bertentangan dengan kebaikan dalam arti yang luas.”

“Untuk itu kita harus selalu berdoa, Rara. Kita harus selalu ingat tentang diri kita, dari mana kita datang dan kemana kita pergi. Seandainya kita merasa terpilih oleh Kiai Namaskara dalam pemanjaan nafsunya terhadap kekerasan, semoga kita dapat menempatkan diri kita sebagai yang baik di antara yang buruk itu.”

Keduanya pun terdiam untuk beberapa saat. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Kita akan membawa kitab ini keluar dari lingkungan yang bagi kita masih diselubungi oleh tabir rahasia ini.”

“Aku sependapat, Kakang.”

“Nah. marilah. Tetapi kita harus mempersiapkan diri kita. Sekarang kita berpijak pada kenyataan yang kita hadapi sehari-hari di bumi kita.”

Rara Wulan mengangguk.

Demikianlah, maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Sekali lagi mereka memperhatikan bangunan yang sudah rusak itu. Keheranan dan buramnya kabut rahasia terasa semakin mencengkam mereka. Apalagi ketika mereka melihat bekas-bekas hiasan dinding yang nampak di dinding yang sudah rapuh itu.

Tetapi keduanya pun segera bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiri di tangga pendapa. Mereka tidak bergerak sama sekali ketika melihat seekor ular bandotan yang bisanya sulit untuk dilawan, sebesar betis orang dewasa, merayap di depan mereka.

Baru setelah ular itu hilang di reruntuhan, maka keduanya pun beranjak turun dari tangga pendapa.

Beberapa saat kemudian, mereka pun meninggalkan rumah yang sudah menjadi rapuh itu. Mereka menyusup gerbang halaman, lalu menyusuri jalan di hutan yang lebat itu.

Rara Wulan yang juga merasa gelisah telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya. Disiapkanya selendangnya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Beberapa lama mereka berjalan di antara pepohonan hutan. Di antara semak belukar yang kadang-kadang berduri. Sulur-sulur pepohonan dan batang-batang yang merambat membelit pohon-pohon raksasa.

Keduanya pun terkejut ketika tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan segerombolan anjing hutan. Beberapa ekor anjing hutan menyembul dari balik gerumbul. Anjing-anjing itu menggeram sambil menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang tajam.

“Hati-hati, Rara,” desis Glagah Putih, “lebih baik kita bertemu dengan dua ekor harimau daripada segerombolan anjing hutan.”

Tetapi segerombolan anjing hutan itu sudah berada di sekitar mereka. Bukan anjing hutan yang bersikap baik dan bersahabat. Tetapi anjing hutan yang garang, buas dan liar.

Namun Glagah Putih pun telah bersiap dengan ikat pinggangnya, sementara Rara Wulan telah memutar selendangnya.

Karena itu, ketika anjing hutan yang pertama meloncat menerkam, maka anjing itu pun segera terlempar. Perutnya terkoyak oleh selendang Rara Wulan.

Anjing berikutnya, kepalanya telah dipecahkan oleh ikat pinggang Glagah Putih. Demikian pula anjing-anjing yang menyerang berikutnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar