Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 356

Buku 356

Dua orang putut yang tidak yakin tentang apa yang telah terjadi di halaman banjar, berusaha dengan sekuat tenaga bersama para cantriknya untuk dapat memasuki halaman, dengan meloncati dinding halaman samping.

Mereka merasa berhasil ketika mereka sudah berada di halaman. Namun ketika mereka berlari-lari ke pendapa, mereka telah bertemu dengan sekelompok pengawal Tanah Perdikan serta sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus.

Dengan garangnya kedua orang putut itu beserta sekelompok cantriknya berusaha untuk menembus pertahanan di lapisan terakhir itu. Namun, dua orang perempuan telah menyongsong kedua orang putut yang garang itu.

Ternyata bahwa kedua orang perempuan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga kedua putut serta para cantrik itu tidak mampu untuk menembusnya.

Ketika isyarat untuk menyerah mereka abaikan, maka tidak ada pilihan lain. Kedua orang putut itu pun akhirnya terbaring diam. Seorang telah dilukai dengan ujung pedang, sedangkan yang lain tengkuknya patah karena hentakan tongkat baja putih.

Di belakang pintu gerbang, Ki Jayaraga masih bertempur melawan tiga orang lawan. Namun ketiganya tidak banyak mempunyai kesempatan. Setiap kali seorang dari mereka telah terlempar dari arena. Demikian yang seorang itu bangkit dan kembali bergabung dengan kedua orang saudaranya yang lain, maka seorang yang lain telah terlempar pula.

Kemarahan ketiga orang bersaudara itu sudah membakar ubun-ubun mereka. Lawan mereka seorang tua, kesannya memang sedang mempermainkan mereka.

Karena itu, maka yang tertua di antara ketiga orang bersaudara itu telah meneriakkan isyarat agar adik-adiknya mengerahkan tenaga dan kemampuannya.

“Kita harus membunuhnya dengan cepat!” teriak saudara yang tertua di antara mereka.

Tetapi usaha mereka tetap sia-sia. Orang tua itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Meskipun demikian, ketiga orang itu tidak berputus-asa. Mereka masih berharap bahwa orang tua itu melakukan kesalahan atau mengalami kelelahan, sehingga mereka akan mendapat kesempatan untuk membunuhnya.

Tetapi Ki Jayaraga tidak pernah membuat kesalahan. Bahkan sambil bertempur Ki Jayaraga itu pun berkata, “Sudahlah. Jangan mempersulit diri sendiri. Jika kalian bertiga menghentikan perlawanan, maka kalian akan diadili dengan wajar. Tetapi jika kalian tetap melawan, kalian akan dapat mati di sini.”

Yang tertua di antara ketiga orang saudara itu menjawab dengun lantang, “Kau terlalu sombong, orang tua. Kau kira apa yang telah kau pertunjukkan itu sempat menarik perhatianku? Permainanmu buruk, kau tidak pantas memperbandingkan ilmumu dengan ilmu kami bertiga.”

“Jangan berkata begitu. Jangan membohongi diri sendiri. Kau akan dapat menemui kesulitan. Karena itu bersikaplah wajar-wajar saja, kau tentu tidak akan dapat mengingkari kenyataan.”

“Persetan dengan kau, Kek. Ternyata bahwa kau memang sudah jemu hidup.”

“Baiklah. Jika kau tidak mau mempergunakan kesempatan ini.”

Pangestu itu justru berteriak kepada adik-adiknya, “Bunuh orang ini! Orang tua yang tidak tahu diri!”

Seharusnya Pangestu melihat wajah adik-adiknya yang ragu-ragu. Agaknya mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka mengalami kesulitan menghadapi orang tua itu.

Tetapi mereka tidak dapat membantah perintah kakaknya. Karena itu, maka mereka berdua pun segera menghentakkan kemampuan mereka.

Ketiga orang bersaudara itu pun kemudian telah berdiri di tiga arah dari lawan mereka.

Tiba-tiba terdengar Pangestu itu memberikan isyarat.

Serentak ketiga orang itu pun bergerak. Mereka tidak langsung menyerang Ki Jayaraga. Tetapi mereka bergerak melingkar. Bertiga mereka berputaran. Kaki-kaki mereka menghentak-hentak di tanah dalam irama yang runtut, meskipun bagi orang lain terasa agak rumit.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun pengalamannya yang luas membuatnya tetap tenang. Ia menunggu perkembangan tata gerak lawannya itu.

Gerak ketiga orang bersaudara itu semakin lama menjadi semakin cepat. Sambil menghentak-hentak. Bahkan kemudian dari mulut-mulut mereka pun telah keluar bunyi bernada tinggi, sehingga terasa menusuk selaput telinga.

Ketika mereka berlari semakin cepat, maka suara itu pun menjadi semakin gaduh.

Ki Jayaraga masih tetap pada sikapnya. Ia mulai membaca maksud lawannya. Lawannya ingin membuatnya pening, serta perasaannya menjadi baur oleh bunyi yang tajam itu.

Ketika sikap Ki Jayaraga mulai nampak gelisah, serta kakinya seakan-akan goyah, maka terdengar Pangestu memberi isyarat kepada kedua adiknya.

Tiba-tiba saja ketiga orang itu berloncatan. Lingkaran yang berputar itu terkoyak. Demikian tiba-tiba. Tata gerak ketiganya berubah dengan serta merta.

Ki Jayaraga memang agak terkejut. Dari gerak berputar yang teratur tiba-tiba saja berubah menjadi gerak yang baru, dan dengan sengaja dibuat sangat membingungkan.

Tetapi Ki Jayaraga tidak menjadi bingung. Jika Ki Jayaraga terkejut, itu hanya terjadi tidak lebih dari sekejap. Kemudian segala sesuatunya telah menjadi mapan kembali.

Ketiga orang bersaudara itu ternyata menyerang serentak dengan garangnya. Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak kehilangan kendali. Betapapun ketiga orang lawannya itu berusaha mengejutkannya dengan perubahan tata gerak yang tiba-tiba, namun Ki Jayaraga masih sempat tersenyum sambil berkata, “Menarik sekali permainan kalian. Aku hampir kebingungan dan kehilangan akal.”

“Persetan kau, kakek tua,” geram Pangestu.

Namun, ternyata serangan ketiga orang bersaudara itu sama sekali tidak mampu menyibak pertahanan Ki Jayaraga. Bahkan tiba-tiba saja seorang dari ketiga orang itu terpelanting jatuh. Namun dalam sekejap orang itu telah melenting berdiri. Tetapi ketika ia berlari ke arena, maka yang seorang lagi telah terlempar menimpa saudaranya, sehingga keduanya pun telah terjadi lagi.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Hati-hatilah. Jangan saling menindih. Itu hanya akan menghabiskan tenaga saja bagi kalian.”

“Iblis tua. Kau akan segera mati.”

“Sekali lagi aku beri kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Kalian akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Tidak diperlakukan sebagai perampok atau penyamun.”

“Cukup!”

Pangestu pun tiba-tiba meloncat menyerang dengan garangnya. Kakinya terjulur ke arah dada Ki Jayaraga.

Tetapi Ki Jayaraga tidak pernah lengah. Dengan cepat iapun menghindari. Bahkan dengan cepat pula Ki Jayaraga telah mengayunkan tangannya, menghantam lambung orang itu di saat kakinya masih terjulur.

Pangestu mengaduh tertahan. Tubuhnya terpelanting ke samping. Dengan cekatan Pangestu pun bangkit. Namun ternyata lambungnya terasa sakit sekali. Bahkan perutnya menjadi sangat mual, serta nafasnya menjadi sesak.

Di luar kemampuannya, Pangestu itu pun kemudian terjatuh pada lututnya. Pangestu masih mencoba bertahan dengan kedua tangannya agar ia tidak terguling di tanah.

Dengan cepat kedua orang adiknya pun berlari dan kemudian berjongkok di sampingnya.

“Kakang,” desis Werdi.

Pangestu menyeringai menahan sakit. Ketika kedua orang adiknya menolong bangkit, Pangestu memang berusaha untuk dapat berdiri tegak.

Dengan nada datar Ki Jayaraga pun bertanya, “Apakah kita sudah dapat menghentikan pertempuran ini? Aku berjanji untuk mengusahakan keringanan hukuman bagi kalian.”

“Persetan dengan kau, kakek tua,” geram Pangestu, “kami akan membunuhmu.”

“Kau tidak dapat mengingkari kenyataan yang sekarang kau hadapi. Jika kau berkeras untuk bertempur terus, kau akan dapat mengalami kesulitan.”

Pangestu tidak menjawab. Tetapi Pangestu itu pun berteriak, “Bunuh orang tua itu! Atas nama Ki Kapat Argajalu!”

Nama Kapat Argajalu nampaknya mempunyai pengaruh terhadap adik-adiknya. Karena itu, Werdi dan Berkah yang semula nampak agak bimbang telah menjadi mantap kembali.

“Baiklah. Jika kalian masih bersikap garang. Jika kalian masih ingin membunuhku tanpa belas kasihan. Bahkan kalian akan mendapat kepuasan jika kalian melihat aku ketakutan.”

“Ya. Kami ingin melihat kau berlutut di depan kaki kami dengan wajah pucat dan tubuh gemetar untuk mohon pengampunan. Tetapi kami memang tidak mempunyai belas kasihan. Kepalamu akan kami penggal untuk menjadi pangewan-ewan.”

“Watak seperti inikah yang telah dibentuk di dalam perguruan yang dipimpin oleh Ki Kapat Argajalu itu? Ajaran seperti itukah yang selama ini kalian resapi?”

“Ya.”

“Baik,” suara Ki Jayaraga pun tiba-tiba saja berubah, “jika jiwa kalian sudah diwarnai dengan sikap iblis itu, maka tidak ada yang lebih baik daripada membunuh kalian. Dengan demikian, maka aku sudah ikut membina kedamaian di Tanah ini, dengan mengurangi jumlah orang-orang yang berhati iblis seperti kalian. Aku akan membunuh kalian tanpa kebencian. Tetapi semata-mata karena aku ingin menghentikan langkah-langkah kalian yang kotor itu. Jika saja aku dapat memungut sifat dan watak kalian dari teleng jiwa kalian tanpa membunuh kalian. itulah yang akan aku lakukan. Tetapi agaknya jantung kalian telah benar-benar berada di cengkeraman iblis.”

“Jika demikian, ambil jantungku, kalau kau mampu.”

“Membunuh bukan pilihan terbaik, Tetapi jika tidak ada jalan lain, maka jalan itulah yang harus aku lalui. Karena itu sekali lagi aku peringatkan untuk yang terakhir kalinya. Menyerahlah.”

“Cukup. Aku kagum akan sesorahmu. Tetapi kami bukan muridmu yang harus mendengarkan ajaran-ajaranmu. Kami tidak wajib menuruti keinginanmu. Kami mempunyai sikap sendiri, Membunuh atau mati di arena pertempuran ini. Seorang laki-laki tidak akan mengingkari akhir yang bagaimanapun juga.”

“Bagus,” sahut Ki Jayaraga, “tetapi bagaimana pendapatmu jika seorang laki-laki pada akhirnya menemukan kembali kecerahan hidupnya, sebagai hamba dari Yang Maha Agung?”

“Cukup!” bentak Pangestu, “Kami akan membungkam mulutmu.”

Ki Jayaraga masih akan menjawab. Tetapi Pangestu itu pun berteriak, “Bunuh laki-laki tua keparat itu!”

Kedua adiknya pun segera berloncatan. Pangestu sendiri dengan sisa-sisa tenaga dan kemampuannya telah melibatkan diri pula dalam pertempuran itu.

Ki Jayaraga berloncatan surut menghindari serangan lawan-lawannya. Namun sejenak kemudian justru Ki Jayaraga-lah yang menyerang. Kakinya telah menyambar lambung Werdi, sehingga Werdi pun terpelanting jatuh. Sementara tangannya sempat terayun mengenai kening Berkah, sehingga Berkah pun terlempar pula dari arena.

Keduanya pun dengan cepat berusaha bangkit. Sementara Ki Jayaraga berdiri sambil bertolak pinggang. Dipandanginya Pangestu yang berdiri termangu-mangu.

“Kau mulai ragu-ragu, Pangestu,” berkala Ki Jayaraga, “satu pertanda bahwa sepercik cahaya mulai menyinari hatimu. Karena itu, yakinkan dirimu. Jangan mati sia-sia di tengah pertempuran ini. Pertempuran yang tidak akan memberikan arti apa-apa kepadamu.”

“Tutup mulutmu! Tutup mulutmu, kakek tua.”

“Kau takut mendengarkannya? Jangan takut. Tengadahkan wajahmu, maka kau akan mengerti arti hidupmu yang sebenarnya.”

“Cepat! Bunuh iblis tua itu!” teriak Pangestu.

“Iblis-lah yang membisikkannya di telingamu, bahwa kau harus bertempur terus, membunuh atau dibunuh. Tetapi itu bukan kekudangan dari orang tuamu, yang memberimu nama dengan berpengharapan. Tetapi kau sia-siakan harapan orang tuamu itu.”

“Diam! Diam kau, kakek tua!”

“Kedua adikmu sudah menjadi semakin ragu-ragu untuk bertempur. Agaknya mereka lebih dahulu menyadari arti dari hidupnya. Selama ini hidup mereka tidak berarti sama sekali. Bagi orang banyak, dan bahkan bagi diri mereka sendiri.”

Tubuh Pangestu menjadi gemetar. Nafasnya terasa sesak. Dadanya menjadi semakin nyeri. Sementara itu, kedua orang adiknya sudah menjadi semakin ragu-ragu.

“Kalian masih mempunyai kesempatan memilih. Menjadi pengikut Ki Kapat Argajalu yang tamak, atau menjadi diri kalian sendiri. Menjadi seorang yang bebas menentukan pilihan. Menjadi seorang yang berpegang pada dasar-dasar nuraninya sendiri.”

Kaki Pangestu menjadi semakin bergetar. Karena itu, tiba-tiba saja ia telah kehilangan kekuatannya untuk dapat berdiri tegak. Sekali lagi ia terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh pada lututnya.

Werdi dan Berkah segera lari dan berjongkok di samping kakaknya.

“Kakang. Kau kenapa?” bertanya Werdi, yang mengira keadaan kakaknya menjadi lebih baik.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kakaknya itu telah kehilangan sebagian besar dari tenaganya, sedangkan nafasnya menjadi semakin sesak.

Pangestu mencoba mengatur pernafasannya. Tetapi dadanya bagaikan terhimpit sebongkah batu.

“Bagaimana keadaan Kakang?”

Pangestu itu mencoba mengangkat wajahnya. Tetapi luka di dadanya terasa semakin nyeri.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?”

Pangestu itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Jayaraga yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.

“Aku akan menyerah, Ki Sanak. Tetapi aku mempunyai permintaan.”

“Permintaan apa, Pangestu?”

“Hukumlah aku. Bunuh aku. Tetapi jangan kedua adikku. Aku mohon pengampunan bagi keduanya. Setidak-tidaknya keringanan hukuman.”

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengusahakannya. Aku kira aku akan berhasil mengusahakan keringanan bagi adik-adikmu lewat Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kau tidak akan pernah dapat bertemu lagi dengan Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

“Kenapa?”

“Ia berhadapan dengan Ki Kapat Argajalu. Tidak seorangpun yang akan dapat terlepas dari tangannya. Siapa yang pernah berdiri berhadapan dengan Ki Kapat Argajalu, maka yang tinggal adalah namanya.”

“Kau yakin?”

“Ya. Tapi jika kau sempat serta masih belum terlambat, kau dapat membantu Ki Lurah Agung Sedayu, karena ternyata kau pun berilmu tinggi.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Ketika ia menebarkan pandangan matanya, maka dilihatnya tidak terlalu jauh, Rara Wulan sedang bertempur dengan sengitnya melawan Tumpak, yang juga diyakini berilmu tinggi.

Karena itu, maka Ki Jayaraga memutuskan untuk tidak akan pergi melihat keadaan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia akan tetap berada di tempatnya untuk mengawasi Rara Wulan, sebagaimana diminta oleh Sekar Mirah. Sementara itu, Ki Jayaraga yakin akan kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ki Lurah akan dapat menolong dirinya sendirim meskipun ia harus berhadapan dengan Ki Kapat Argajalu.”

Ki Jayaraga pun kemudian dengan isyarat memanggil beberapa orang pengawal Tanah Perdikan. Kepada mereka Ki Jayaraga pun berkata, “Ikat tangan mereka di belakang punggung. Bawa mereka ke belakang garis pertempuran. Jaga mereka baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan lawan.”

“Kenapa tangan kami harus diikat? Aku sudah tidak berdaya,” berkata Pangestu.

“Dalam keadaanmu itu, sisa-sisa kemampuanmu masih sangat berbahaya,” jawab Ki Jayaraga.

Beberapa orang pengawal itu pun kemudian lelah mengikat tangan ketiga orang yang menyerang itu di belakang tubuh mereka, dengan ikat kepala mereka sendiri. Kemudian membawa mereka ke belakang garis pertempuran.

Sementara itu, Ki Jayaraga-lah yang telah mengisi kekosongan garis perlawanan Tanah Perdikan yang ditinggalkan oleh beberapa orang prajurit yang membawa ketiga orang tawanan itu. Meskipun yang menggantikannya hanya seorang, tetapi ternyata yang seorang ini memiliki banyak sekali kelebihan. Apalagi karena di antara para cantrik Ki Kapat Argajalu sempat melihat Pangestu, Werdi dan Berkah telah menyerah.

Ketika penyerahan ketiga orang itu oleh seorang penghubung diberitahukan kepada Tumpak, maka Tumpak itu pun mengumpat-umpat. Ketiga orang itu adalah kepercayaannya. Tiga orang yang dianggapnya sangat setia kepadanya, bahkan sampai mati pun. Tetapi ternyata mereka telah menyerah.

“Kau telah kehilangan banyak kawan,” berkata Rara Wulan.

“Persetan dengan mereka. Mereka adalah pengecut yang tidak pantas berada di dalam pasukanku. Sudah seharusnya mereka mati. Bukankah besok mereka juga akan dihukum mati oleh Swandaru?”

“Kakang Swandaru bukan pendendam. Seorang yang menyerah tidak akan dihukum mati. Bahkan seandainya kau menyerah, kau pun tidak akan dihukum mati.”

“Persetan, perempuan jalang,” geram Tumpak, “kau tidak usah membanggakan siapapun juga. Jika kau ingin berbangga, banggakanlah dirimu sendiri. Karena sebentar lagi kau sudah akan mati.”

“Siapa yang akan membunuhku?” bertanya Rara Wulan.

“Edan kau, perempuan liar. Tentu aku yang akan membunuhmu.”

“Sejak tadi kau hanya dapat berkata tanpa menghasilkan apa-apa. Nah, apakah kau masih berharap untuk dapat membunuhku?”

“Tentu. Aku tentu akan dapat membunuhmu. Sampai saat ini aku masih sayang menghentakkan ilmu puncakku. Aku berharap bahwa tanpa ilmu puncakku itu, aku dapat menundukkanmu. Kemudian membawamu pulang ke padepokanku. Kau akan dikagumi oleh para penghuni padepokanku karena kecantikanmu.”

“Diam kau, iblis!” bentak Rara Wulan.

Tumpak tertawa. Ternyata ia berhasil menyinggung perasaan Rara Wulan. Dengan demikian, ia akan dapat mempengaruhi jiwanya. Jika Rara Wulan itu menjadi marah sekali, maka ia akan dapat kehilangan penalarannya yang bening. Perempuan itu mungkin sekali akan membuat kesalahan, sehingga ia akan benar-benar dapat menundukkannya.

Tetapi betapapun Rara Wulan tersinggung oleh kata-kata Tumpak, Namun, ia tidak kehilangan perhitungan. Setiap kali orang-orang yang pernah membinanya mengatakan kepadanya, bahwa ia harus tetap menguasai dirinya dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

“Ternyata aku masih tetap bimbang,” berkata Tumpak kemudian, “apakah aku harus membunuhmu atau tidak. Jika saja aku mau, aku tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk membunuhmu. Tetapi rasa-rasanya ada saja yang menahannya. Mungkin wajahmu serta keliaranmu yang bagiku justru amat menarik. Kakang Soma tentu akan berterima kasih pula kepadaku jika aku membawamu pulang.”

Kemarahan memang telah membakar jantung Rara Wulan. Namun, Tumpak memang salah hitung. Ternyata Rara Wulan tidak kehilangan penalarannya. Ia masih tetap dapat membuat perhitungan yang mapan untuk menghadapinya. Bahkan serangan-serangan Rara Wulan kemudian datang semakin cepat.

Tumpak telah mengerahkan kemampuannya pula untuk mengimbangi Rara Wulan. Keyakinannya akan kemampuan serta ilmunya yang tinggi, masih saja mewarnai sikapnya.

Tetapi Tumpak harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ia justru menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Rara Wulan semakin sering mengenai tubuhnya. Meskipun Tumpak sekali-sekali mampu juga menembus pertahanan Rara Wulan, Namun serangan-serangan Rara Wulan-lah yang lebih sering mengenai sasarannya.

Tumpak memang tidak dapat berpura-pura lagi. Ia tidak dapat tersenyum atau tertawa sambil berusaha menyinggung perasaan lawannya. Bahkan semakin lama Rara Wulan semakin menekannya.

Ketika Tumpak meloncat menyerang Rara Wulan dengan kakinya yang terjulur menyamping, maka dengan tangkasnya Rara Wulan menghindarinya. Tetapi Tumpak tidak melepaskannya. Iapun kemudian berputar sambil mengayunkan kakinya menyambar ke arah kening. Namun Rara Wulan sempat meredah. Kakinya bahkan menyapu kaki Tumpak, yang kemudian menjadi tumpuan tubuhnya demikian ia menginjak tanah.

Tumpak terkejut. Ia mencoba meloncat untuk menghindari sapuan kaki Rara Wulan. Namun, tiba-tiba saja Rara Wulan itu melenting dengan cepat. Kakinya tiba-tiba saja telah terjulur ke arah dada Tumpak.

Sebelum Tumpak mapan, kaki Rara Wulan telah mengenai dadanya. Demikian kerasnya, sehingga Tumpak itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Tumpak hampir saja kehilangan keseimbangannya.

Namun, Rara Wulan tidak melepaskan kesempatan itu. Degan cepat Rara Wulan meloncat memburunya. Sambil meloncat dan memutar tubuhnya, kaki Rara Wulan terayun mendatar.

Tumpak belum sempat menghindar ketika kaki Rara Wulan mengenai pelipisnya.

Tumpak benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka Tumpak pun telah terpelanting jatuh.

Beberapa kali Tumpak berguling mengambil jarak. Ketika kaki Rara Wulan meloncat memburunya, Tumpak telah berhasil bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, pertempuran di antara keduanya menjadi semakin seru. Keduanya saling menyerang dan bertahan. Menghindari dan membalas menyerang. Serangan-serangan kedua belah pihak pun telah berhasil menyakiti lawannya. Tubuh mereka mulai nampak memar kebiru-biruan. Bahkan wajah-wajah mereka pun mulai menjadi lebam.

Darah telah meleleh dari sela-sela bibir Tumpak ketika kaki Rara Wulan menyambar wajahnya, tepat pada mulutnya, sehingga dua giginya tanggal.

Kemarahan Tumpak sudah tidak tertahankan lagi. Meskipun ia melihat kening Rara Wulan mulai membengkak, serta tenaganya mulai menyusut, Tumpak tidak dapat menahan diri lagi. Tumpak sendiri merasa bahwa tenaganya pun sudah mulai menyusut pula.

“Aku tidak mau terlambat,” berkata Tumpak di dalam hatinya. Meskipun ia yakin bahwa tubuh Rara Wulan pun tentu mulai terasa sakit di mana-mana, tetapi perempuan itu masih tetap memberikan perlawanan dengan gigihnya. Bahkan semakin lama Tumpak merasa semakin mengalami kesulitan.

Karena itu, maka selagi kemampuannya masih terhitung utuh, serta kesempatan masih terbuka baginya sebelum perempuan itu semakin mendesaknya, maka Tumpak berniat untuk mengakhiri pertempuran.

“Aku harus segera membunuhnya, atau aku akan kehilangan kesempatan itu,” berkata Tumpak di dalam hatinya.

Karena itu, maka Tumpak pun segera mempersiapkan dirinya. Ia merasa telah memiliki ilmu puncak yang dapat dibanggakannya, yang diwarisinya dari Ki Kapat Argajalu.

“Aku tidak peduli jika tubuhnya akan lebur menjadi debu,” berkata Tumpak di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun segera memusatkan nalar budinya untuk melepaskan aji pamungkasnya.

Rara Wulan sempat melihat ancang-ancang yang dilakukan oleh Tumpak untuk melepaskan ilmu puncaknya. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera mempersiapkan dirinya pula. Ia tidak boleh terlambat sehingga ia sendiri akan dihancurkan.

Rara Wulan masih belum mengetahui tingkat kemampuan ilmu pamungkas Tumpak. Namun, menilik kemampuannya yang tinggi, maka ilmu pamungkasnya tentu sangat berbahaya.

Tumpak yang sudah siap melepaskan ilmu pamungkasnya, sempat melihat Rara Wulan juga membuat ancang ancang, memusatkan nalar budinya. Tumpak sempat merasa heran, bahwa perempuan itu pun agaknya memiliki ilmu simpanan.

Namun, Tumpak tidak mau kehilangan waktu lagi. Tiba-tiba saja Tumpak pun melepaskan ilmu puncaknya.

Pada saat yang bersamaan, Rara Wulan pun telah melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce untuk melawan kekuatan ilmu puncak Tumpak itu.

Sejenak kemudian, maka kedua ilmu yang tinggi itu pun saling berbenturan. Demikian kerasnya benturan itu, sehingga terjadi pantulan getaran yang cukup kuat. Namun ternyata bahwa tingkat kekuatan kedua ilmu itu tidak sama. Kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Rara Wulan, Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce, memiliki kelebihan selapis dibandingkan kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Tumpak.

Dengan demikian maka pantulan getar kekuatan ilmu yang terpantul oleh benturan itu pun tidak berimbang.

Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Tubuhnya pun menjadi gemetar, sehingga ia tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Rara Wulan itu pun telah terguling jatuh, terbaring di tanah.

Namun dalam pada itu, Tumpak seakan-akan telah dilemparkan dari arena pertempuran. Tubuhnya terbanting jatuh terlentang.

Terdengar Tumpak itu berdesah. Dadanya terasa menjadi sakit sekali. Nafasnya pun serasa tersumbat di kerongkongan, dan jantungnya seakan-akan telah berhenti.

Ki Jayaraga yang menyadari telah terjadi benturan yang dahsyat, segera berlari mendekati Rara Wulan. Sambil berjongkok di sampingnya, Ki Jayaraga mengangkat kepala Rara Wulan.

“Rara,” desis Ki Jayaraga.

Rara Wulan masih tetap sadar sepenuhnya atas apa yang terjadi. Sambil berdesah menahan sakit ia pun berkata, “Aku terluka di dalam, Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia pun segera mengangkat tubuh Rara Wulan dan dibawanya ke belakang garis pertempuran.

Sementara itu, beberapa orang murid Ki Kapat Argajalu pun segera berlari mendekati Tumpak. Dua orang berjongkok di sebelah-menyebelahnya.

“Tumpak, Tumpak,” kedua orang yang berjongkok itu memanggil namanya.

Tumpak membuka matanya. Tiba-tiba matanya menjadi liar. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Dimana perempuan itu?”

“Perempuan yang mana, Tumpak?”

“Perempuan jalang yang mencoba berani melawan aku. Apakah ia sudah mati?”

Kedua orang itu melihat Rara Wulan didukung oleh seseorang ke belakang garis pertempuran. Mereka tidak tahu apakah perempuan itu mati atau tidak. Namun seorang di antara mereka menjawab, “Ya. Perempuan itu telah mati.”

“Akhirnya aku berhasil membunuhnya.”

Tumpak itu tersenyum. Namun kemudian Tumpak itu memejamkan matanya.

“Tumpak. Tumpak.”

Tumpak tidak menjawab.

Kedua orang itu pun segera membawa Tumpak meninggalkan medan pertempuran.

Berita tentang keadaan Tumpak telah mengguncangkan hati Ki Kapat Argajalu yang bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu, serta Soma yang bertempur melawan Glagah Putih. Ketika seorang penghubung menyampaikannya kepada mereka, maka rasa-rasanya mereka tidak percaya.

“Bagaimana keadaaannya?” bertanya Soma kepada penghubung yang memberitahukan kepadanya.

“Tadi Tumpak masih hidup. Tetapi keadaanya sudah menjadi sangat parah.”

“Siapa yang telah melukai Tumpak sehingga sangat parah?”

“Perempuan itu. “

“Perempuan yang mana?”

“Yang masih muda.”

“Rara Wulan?”

“Aku tidak tahu namanya.”

Dalam pada itu, Glagah Putih pun tiba-tiba saja menyahut, “Ya.”

“Setan kau,” geram Soma.

Glagah Putih, yang justru seakan-akan memberi kesempatan Soma untuk mendengarkan berita dari penghubung itu, berkata, “Aku yakin sejak semula, bahwa Tumpak tidak akan mampu melawan Rara Wulan.”

“Persetan dengan istrimu itu.”

“Perempuan itu juga tidak mampu bangkit seteluh benturan itu terjadi. Seorang tua mendukungnya dan membawanya pergi ke belakang garis pertempuran.”

“Orang tua itu siapa?” bertanya Soma.

“Yang telah menundukkan Pangestu dan kedua adiknya.”

Soma termangu-mangu sejanak. Sementara Glagah Putih masih belum menyerangnya. Glagah Putih ingin juga mendengar keterangan orang yang memberikan laporan kepada Soma itu.

“Apa maksudmu, bahwa orang tua itu sudah menundukkan Pangestu dan kedua orang adiknya?”

“Mereka bertiga telah menyerah.”

“Menyerah? Mereka bertiga menyerah?”

“Ya. Mereka tidak mampu melawan orang tua itu. Ketika Pangestu menjadi tidak berdaya, mereka bertiga telah menyerah.”

Wajah Soma menjadi merah. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan membara.

Namun tiba-tiba ia berkata, “Jangan kau tangisi istrimu, Glagah Putih. Aku akan mengantarmu menyusulnya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak begitu yakin akan laporan orang itu tentang istrinya.

Sementara itu, Soma berniat untuk menghancurkan perasaan Glagah Putih dengan mengulang-ulang berita seolah-olah Rara Wulan pun telah terbunuh. Mati bersama-sama Tumpak pada saat ilmu mereka berbenturan.

Namun akibatnya justru sebaliknya. Glagah Putih tidak menjadi patah dan kemudian membunuh diri. Tetapi berita tentang Rara Wulan itu justru telah membakar jantungnya.

“Apapun yang terjadi pada istriku, maka kau akan memikul akibatnya. Kau akan mati sendiri, seperti adikmu.”

“Kau yang akan mati. Aku harus membalas sakit hati adikku yang telah dibunuh istrimu itu.”

Kemarahan telah membakar kedua orang yang sudah berhadapan di medan perang itu. Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah bertempur lagi dengan sengitnya. Keduanya berloncatan dengan cepat, serangan demi serangan datang beruntun. Sekali-sekali mereka terlempar dan jatuh bergulingan. Namun, dengan cepat mereka pun segera bangkit kembali.

Soma yang merasa dirinya pilih tanding, sulit untuk mengakui kenyataan bahwa ternyata Glagah Putih mampu mengimbanginya. Ketika ia datang bersama Ki Kapat Argajalu dan Tumpak, Soma pun merasa yakin bahwa tidak ada orang di Tanah Perdikan yang dapat mengimbanginya.

Meskipun mereka pernah mendengar nama Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Gede dan bahkan Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan, mereka merasa yakin bahwa bersama-sama dengan Ki Kapat Argajalu dan Tumpak, Soma akan dapat menggulung Tanah Perdikan itu. Apalagi putut-pututnya yang dianggapnya sudah cukup mempunyai bekal.

Soma sebelumnya merasa yakin bahwa Pahing Tua dan Pahing Nom, serta Pangestu dan kedua adiknya, akan mampu mengatasi setiap orang yang berilmu tinggi di Tanah Perdikan. Tetapi yang terjadi ternyata lain. Menurut penghubung itu, Tumpak sudah terbunuh. Pangestu dan kedua adiknya bahkan telah sangat memalukan. Mereka telah menyerah.

Namun Soma masih berpengharapan. Jika ia dapat segera membunuh Glagah Putih, maka ia akan dapat berbuat lebih banyak. Ia akan memusnahkan para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus. Ia akan membunuh para pemimpin di Tanah Perdikan itu tanpa kecuali. Tumpak adalah korban terbesar yang telah diberikannya bagi perjuangannya. Bahkan Ki Demang Pudak Lawang dan gurunya, Ki Pujalana, sama sekali tidak berdaya.

“Aku bunuh Glagah Putih. Kemudian Swandaru. Terakhir, aku akan memancung Ki Gede dan Ki Argajaya. Sedang Prastawa akan aku seret di belakang kaki kuda, yang akan aku larikan di sepanjang jalan padukuhan ini,” geram Soma.

Sejenak kemudian Soma telah menghentakkan ilmunya. Tetapi Glagah Putih justru menjadi semakin sering mengenainya. Glagah Putih yang juga menjadi sangat marah itu pun telah meningkatkan ilmunya pula.

Namun akhirnya Soma harus mengakui bahwa ia telah menguras tenaganya untuk mengimbangi lawannya. Bahkan Soma mulai merasa bahwa tenaganya telah menyusut. Sementara itu seluruh tubuhnya rasa-rasanya telah tersentuh oleh serangan Glagah Putih. Dadanya semakin terasa nyeri. Lambungnya yang sakit serta perutnya yang menjadi mual. Beberapa noda kebiru-biruan nampak di wajahnya.

Meskipun Glagah Putih mengalami hal yang sama, namun tenaga Glagah Putih agaknya masih lebih baik dari lawannya. Ketahanan tubuhnya agaknya masih lebih tinggi dari Soma.

Bahkan benturan-benturan serangan yang sering terjadi telah mendesak Soma beberapa langkah surut.

Dalam keadaan yang terdesak, Soma tidak mempunyai pilihan lain. Seperti Tumpak, maka Soma pun memiliki ilmu pamungkas yang akan dapat menghancurkan lawannya. Ilmu itulah yang sering dipamerkannya kepada Ki Demang Pudak Lawang serta para pengawal Kademangan itu. Bahkan telah dipamerkannya pula kepada Prastawa, yang hatinya sempat terombang-ambing.

Soma pun sadar, jika benar Rara Wulan mampu melawan dan bahkan berhasil membunuh Tumpak, maka Glagah Putih itu pun tentu mempunyai ilmu andalan pula.

Namun Soma pun sadar bahwa pertempuran itu harus berakhir. Jika bukan dirinya yang mengakhiri, maka Glagah Putih-lah yang akan melakukannya. Meskipun ia pernah meyakini akan menghancurkan Tanah Perdikan itu sehingga menjadi debu, Namun kini ia bagaikan bergayut pada tangkai timbangan. Siapakah yang lebih berat, dirinya atau Glagah Putih.

Dalam keadaan yang semakin mendesak, maka Soma pun telah mengambil ancang-ancang. Ia ingin mendahului Glagah Putih. Karena itu maka Soma telah berloncatan mengambil jarak. Tiba-tiba saja kedua telapak tangannya yang menengadah di depan dadanya bergetar. Kemudian dengan satu tarikan ke sisi tubuhnya, tangan itu pun dihentakannya.

Glagah Putih melihat gerakan yang baginya akan menjadi sangat berbahaya. Karena itu maka ia pun segera mempersiapkan diri.

Tetapi Soma yang memang lebih matang selapis dibanding Tumpak itu mampu meluncurkan ilmu pamungkasnya lebih cepat. Karena itu, maka sebelum Glagah Putih bersiap sepenuhnya, dari tangan Soma yang bergetar itu meluncur sinar yang berwarna kemerah-merahan, seperti anak panah yang meluncur dari busurnya.

Namun Glagah Putih yang ilmunya sudah matang pula, mampu mengimbangi kecepatan gerak Soma serta melontarkan ilmunya. Karena itu, Glagah Putih itu pun sempat meloncat dan berputar di udara, sehingga sinar yang berwarna kemerah-merahan itu tidak mengenainya.

Tetapi sinar itu telah menimpa beberapa orang pengawal Tanah Perdikan serta pengawal dari Pudak Lawang yang sedang bertempur. Empat orang di antara mereka telah terlempar menimpa dinding halaman di belakang mereka.

Dua orang di antaranya mati seketika. Seorang pengawal Tanah Perdikan yang masih setia kepada Ki Gede, dan seorang pengawal dari Pudak Lawang yang mendukung gerakan Ki Kapat Argajalu. Sedangkan dua orang yang lain terbaring diam. Mereka terluka parah sehingga langsung menjadi pingsan.

Dinding halaman itu pun menjadi retak dan bahkan kemudian roboh.

Jantung Glagah Putih memang tergetar. Tetapi ia tidak ingin korban berjatuhan. Seandainya Soma melontarkan serangan lagi, sementara Glagah Putih sendiri mampu mengelak, namun yang kemudian akan terkena serangan yang dahsyat itu akan menjadi korban. Mungkin tidak hanya dua atau empat orang. Mungkin lebih dari itu.

Karena itu, maka Glagah Putih pun tidak membiarkan serangan-serangan Soma berlanjut. Demikian ia berdiri tegak, maka Glagah Putih telah bersiap untuk menyerang.

Namun sekali lagi serangan Soma meluncur dari kedua tangannya yang bergetar. Karena itu Glagah Putih harus menjatuhkan dirinya. Untunglah bahwa sinar yang meluncur itu tidak mengenai seseorang, tetapi langsung mengenai dinding halaman, sehingga dinding itu pun pecah karenanya.

Tetapi pada saat yang bersamaan, pada saat Glagah Putih melenting berdiri, maka kedua kakinya yang renggang pun merendah pada lututnya. Kedua tangannya terjulur ke depan dengan telapak tangannya menghadap kepada sasaran.

Segumpal cahaya meluncur dari kedua telapak tangannya. Demikian cepatnya menyambar Soma, yang sudah siap untuk melontarkan serangannya pula.

Namun ternyata Soma-lah yang terlambat. Ketika kedua tangannya bergetar, maka serangan Glagah Putih telah menimpa tepat di dadanya.

Soma tidak sempat menghindar, justru saat ia sendiri sudah siap menyerang. Soma terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya menimpa sebatang pohon yang terguncang karenanya.

Terdengar teriakan tertahan. Kemudian tubuh Soma itu pun terkulai di tanah. Bukan hanya pakaian di bagian dadanya yang terbakar. Tetapi tubuh Soma pun seakan-akan telah terbakar pula.

Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang melihat Soma tergolek di bawah sebatang pohon yang telah terguncang pada saat tertimpa tubuhnya, tiba-tiba saja telah bersorak.

Pada saat itu pula beberapa orang cantrik berlari-lari mendekatinya, untuk mengambil tubuh yang sudah tidak akan pernah bergerak lagi itu.

Ketika beberapa orang pengawal Tanah Perdikan akan menyerang, Glagah Putih yang nafasnya masih terengah-engah itu berkata, “Beri mereka kesempatan.”

Para pengawal pun mengurungkan niatnya. Mereka membiarkan para cantrik itu mengusung tubuh Soma ke belakang garis pertempuran.

Tidak terlalu jauh, di sela-sela hiruk pikuk pertempuran yang masih berlangsung, Swandaru menarik nafas panjang. Ia melihat betapa orang yang masih terhitung muda itu sudah berhasil mematangkan ilmunya.

Beberapa waktu yang lewat, pada saat Swandaru masih belum menyadari betapa tingginya ilmu Agung Sedayu, pernah hampir saja terjadi perang tanding antara dirinya dengan orang yang masih terhitung muda itu. Pada waktu itu Swandaru masih belum menekuni hingga tuntas ilmu cambuk dari Perguruan Orang Bercambuk.

“Mungkin pada saat itu aku masih belum mampu menandinginya,” berkata Swandaru itu di dalam hatinya. Bahkan Swandaru itu masih saja ragu, apakah pada saat itu, seandainya perang tanding itu berlangsung, apakah ia mampu mengimbangi kemampuannya.

Namun dalam pada itu, Swandaru tidak dapat merenung terlalu lama. Ia masih harus terlibat dalam pertempuran. Namun Swandaru tidak lagi harus mengerahkan ilmu puncaknya. Cambuknya kembali meledak-ledak memekakkan telinga.

Dalam pada itu, kematian Tumpak dan Soma sangat mengejutkan Ki Kapat Argajalu. Ia tidak mengira bahwa kedua orang anaknya yang dianggapnya sudah memiliki ilmu yang mumpuni itu akan mendapat lawan yang dapat mengatasinya, di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ternyata bahwa kedua orang anak laki-lakinya yang dibanggakannya itu telah terbunuh.

Bahkan Ki Kapat Argajalu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa perlawanan para pengikutnya sudah menjadi semakin lemah. Apalagi para pengawal dari kademangan Pudak Lawang. Hampir semua pengawal Kademangan Pudak Lawang telah meletakkan senjata mereka. Sementara itu, korban di antara mereka pun terhitung cukup banyak.

Dengan demikian, maka pertempuran di padukuhan Jati Anyar itu pun semakin lama menjadi semakin surut.

Ki Kapat Argajalu mulai menjadi gelisah. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan itu, Sementara itu, Ki Kapat Argajalu tidak segara dapat menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu. Jika saja Ki Kapat Argajalu itu dapat segera mengalahkan lawannya, maka ia masih berpengharapan untuk dapat memenangkan pertempuran. Dengan sisa-sisa pengikutnya yang masih ada, ia akan dapat menghancurkan pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Tidak seorangpun akan dapat menghentikannya jika ia berhasil melampaui perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu.

Karena itu, maka Ki Kapat Argajalu yang terlalu yakin akan kemampuannya itu telah meningkatkan ilmunya. Ia harus segera dapat membunuh lawannya.

Namun kemudian datang pula berita kematian kedua orang kepercayaannya. Pahing Tua dan Pahing Nom, yang bertempur melawan Empu Wisanata. Ternyata kedua orang kepercayaan itu masih belum mampu menempatkan diri sejajar dengan Empu Wisanata.

Bahkan anak perempuan Empu itu telah menyapu beberapa orang yang menghadapinya sebagai lawannya. Namun bukan berarti bahwa kemenangan Nyi Dwani itu datang tanpa perlawanan. Ternyata tubuh Nyi Dwani juga terluka. Beberapa goresan senjata telah mewarnai kulitnya, sedangkan darahnya telah menodai pakaiannya yang terkoyak.

Dengan demikian maka Ki Kapat Argajalu itu kemudian merasa dirinya sendirian. Tidak ada lagi orang yang pantas diandalkan. Bahkan Soma dan Tumpak pun telah terbunuh pula. Demikian pula Ki Pujalana, guru Ki Demang Pudak Lawang.

Karena itu, usahanya kemudian adalah membunuh Ki Lurah Agung Sedayu. Seandainya kemudian ia tidak lagi mampu keluar dari medan, namun kematian Agung Sedayu sudah cukup memadai untuk mengurangi kepahitan yang tertuang ke rongga dadanya.

Ketika kemudian Swandaru, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata mendekati arena pertempuran antara Ki Lurah Agung Sedayu melawan Ki Kapat Argajalu, maka Ki Kapat itu pun berteriak, “He, siapa saja kalian? Apakah kalian akan berusaha menyelamatkan Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Tidak,” Agung Sedayu-lah yang menjawab.

“Marilah. Jika kalian tidak sampai hati melihat Agung Sedayu terbantai di sini, bergabunglah. Dengan demikian tugasku akan semakin cepat selesai. Aku akan membunuh kalian semuanya.”

Namun Agung Sedayu pun menyahut, “Tidak. Mereka tidak akan mengganggu permainan kita. Mereka datang karena mereka tidak mempunyai lawan lagi dipertempuran ini. Karena itu maka mereka akan dapat menjadi saksi, siapakah di antara kita yang tidak akan sempat keluar dari pertempuran ini.”

“Kecuali jika kau menyerah,” berkata Ki Jayaraga.

Ki Kapat Argajalu sempat memandang wajah Ki Jayaraga sekilas. Terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Namun Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Aku tidak akan ikut campur, Ki Kapat Argajalu. Kau sudah mendapat lawan yang mantap.”

“Persetan dengan kau, orang tua bangka. Setelah membunuh Agung Sedayu, aku akan membunuhmu.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Sementara itu pertempuran di antara kedua orang berilmu tinggi itu berlangsung semakin sengit. Ilmu mereka pun meningkat semakin tinggi.

Tetapi Ki Kapat Argajalu masih juga belum mampu mengatasi dan apalagi menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu.

Karena itu, maka Ki Kapat itu pun memutuskan untuk mempergunakan senjata andalannya.

Ki Lurah Agung Sedayu bergeser selangkah surut ketika ia melihat Ki Kapat Argajalu menggenggam senjata. Rantai yang panjangnya sedepa. Di ujungnya terdapat sebuah bandul, yang agaknya sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan.

“Batu peninggalan guruku, Ki Lurah,” desis Ki Kapat Argajalu, “batu yang ditemukan di puncak Gunung Merbabu. Ketika Guru sedang bersamadi, maka dari langit nampak cahaya kehijauan yang jatuh tidak terlalu jauh dari tempat Guru bersamadi itu. Guru terkejut. Ia melihat segerumbul perdu terbakar. Ketika ia datang mendekat, maka diketemukannya di antara abu gerumbul yang terbakar itu, sebuah batu yang berwarna kehijauan. Nah, tidak seorangpun yang pernah berhasil menyelamatkan diri jika aku sudah mengurai rantai yang berkepala batu yang oleh guruku disebut Watu Lintang ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Batu itu tidak bulat atau bulat telur, tetapi tidak teratur. Bahkan berusudut-sudut tajam.

Ki Kapat Argajalu mula memutar rantainya. Batu yang berwana kehijau-hijauan itu nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

Batu yang tidak begitu besar dan yang semula disimpan dalam sebuah kampil kulit bergantung di lambungnya itu, agaknya memiliki bobot yang cukup berat, sehingga ketika rantai itu berputar terdengar suaranya yang bergaung.

“Tubuhmu akan disayat oleh batuku ini, Ki Lurah,” geram Ki Kapat Argajalu.

Ki Lurah Agung Sedayu menyadari bahwa senjata Ki Kapat Argajalu itu adalah senjata yang sangat berbahaya. Sentuhan batu yang nampaknya tidak begitu besar itu akan dapat mengoyakkan kulit dan dagingnya.

Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mengurai cambuknya pula. Cambuk yang berjuntai panjang.

Ki Kapat Argajalu termangu-mangu sejanak. Namun, kemudian iapun berkata, “Kau kira dengan cambuk gembala itu kau akan dapat melawan senjataku?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia telah menghentakkan cambuknya sendal pancing. Suara cambuk Agung Sedayu itu pun meledak memekakkan telinga.

Namun, Ki Kapat Argajalu tertawa berkepanjangan. “Jadi hanya sekian itu batas kemampuanmu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tapi sekali lagi ia menghentakkan cambuknya. Tetapi cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Bahkan cambuk itu seakan-akan tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.

Namun hentakan cambuk yang tidak berbunyi sama sekali itu justru mengejutkan Ki Kapat Argajalu. Ia merasa getaran udara yang bagaikan menusuk langsung menyentuh jantungnya.

“Setan kau, Ki Lurah.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia harus berhati-hati menghadapi senjata lawannya. Apalagi Ki Kapat Argajalu itu tentu tidak hanya sekedar mempercayakan diri kepada kekuatan wadagnya saja.

Dalam pada itu, maka batu yang berwarna kehijau-hijauan yang disebut Watu Lintang itu mulai menyambar ke arah kening Agung Sedayu. Namun, dengan cepat Agung Sedayu menghindar. Bahkan dalam sekejap Agung Sedayu sudah mampu membalas menyerang. Ujung cambuknya telah menghentak ke arah tubuh lawannya.

Hampir saja ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu mengoyak perut Ki Kapat Argajalu. Namun Ki Kapat Argajalu masih meloncat dan berputar di udara, sehingga ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Dengan demikian pertempuran di antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Rantai Ki Kapat Argajalu berputar semakin cepat, sementara ujung cambuk Agung Sedayu pun menghentak-hentak tidak henti-hentinya.

Ketika batu ujung rantai itu sempat menyentuh lengan Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Kapat Argajalu terkejut. Sentuhan itu tidak menyayat kulit dan daging Agung Sedayu. Meskipun Ki Kapat Argajalu yakin bahwa batunya telah menyentuh tubuh Agung Sedayu, tetapi sudut-sudut tajam batu itu tidak melukainya sama sekali.

“Anak iblis kau, Ki Lurah. Agaknya kau memiliki ilmu kebal.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin cepat.

Agung Sedayu menarik nafas panjang ketika ia menyadari bahwa lawannya tentu memiliki ilmu yang dapat membuat tubuhnya seakan-akan menjadi semakin ringan. Karena itu, jika sebelumnya Agung Sedayu hanya mengetrapkan ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu pun kemudian telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya, Ki Kapat Argajalu.

Dengan demikian maka Ki Kapat Argajalu semakin mengalami kesulitan. Putaran rantainya tidak lagi mampu memburu gerak Agung Sedayu yang semakin cepat. Bahkan ujung cambuk Agung Sedayu itu mulai menyentuh kulit Ki Kapat Argajalu. Namun ujung cambuk Ki Lurah itu juga tidak dapat melukai kulit Ki Kapat Argajalu, karena Ki Kapat Argajalu juga dilindungi oleh ilmunya yang disebut Lembu Sekilan.

Dengan ilmu itu, maka setiap serangan lawannya tidak sempat menyentuh tubuhnya. Seolah-olah ada perisai yang selalu menjaga jarak jangkau sentuhan serangan atau senjata lawan, sehingga tidak menyentuh tubuhnya.

Namun kekuatan ilmu cambuk Agung Sedayu sudah benar-benar mencapai puncaknya. Dengan hentakan segenap kekuatan dan kemampuannya, serta didukung oleh tenaga dalamnya yang tinggi, maka ketika Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, ternyata bahwa ujung cambuknya itu mampu menembus ilmu Lembu Sekilan itu.

Karena itu maka Ki Kapat Argajalu pun semakin meningkatkan ilmunya pula. Ketika ia mencoba menyalurkan segenap kekuatan ilmunya serta tenaga dalamnya lewat ayunan rantainya, namun sudut-sudut tajam batunya ternyata tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.

Dengan demikian maka Ki Kapat Argajalu menjadi semakin gelisah. Ia mulai melihat kenyataan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang pilih tanding.

Namun itu bukan berarti bahwa Ki Kapat Argajalu harus menyerah. Ketika Agung Sedayu menawarkan sekali lagi kepadanya untuk menyerah, maka Ki Kapat Argajalu menggeram, “Aku tentu akan mampu membunuhmu.”

Ki Lurah itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Ki Kapat Argajalu yang meloncat mengambil jarak memegangi batunya dengan tangan yang bergetar. Kemudian diangkatnya batunya ke atas kepalanya tiga kali.

Batu yang berwarna kehijau-hijauan itu seakan-akan telah memancarkan sinar yang menyilaukan. Berkeredipan melampaui keredip sebuah batu berlian.

Ki Lurah Agung Sedayu menyadari bahwa Ki Kapat Argajalu telah sampai ke puncak salah satu ilmunya. Karena itu maka Ki Lurah pun menjadi semakin berhati-hati.

Sebenarnyalah sesaat kemudian Ki Kapat Argajalu telah sampai ke puncak salah satu ilmunya. Karena itu, ketika Ki Kapat Argajalu melepaskan batunya itu, batu yang berwarna kehijau-hijauan itu seakan-akan mampu bergerak sendiri. Batu itu pun berputaran, berayun pada rantainya dan kemudian terjulur lurus ke arah dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya. Meskipun Agung Sedayu sudah mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya, namun rasa-rasanya batu itu selalu saja memburunya kemanapun ia mengelak. Semakin lama rasa-rasanya semakin mendekati kulitnya. Bahkan kemudian batu itu pun telah menyentuhnya.

Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Ternyata batu yang berwarna kehijau-hijauan itu mampu menguak ilmu kebalnya. Meskipun sentuhannya tertahan oleh perisai ilmunya, tetapi ternyata mampu juga mengoyak pakaiannya, dan bahkan menggores kulitnya meskipun tidak terlalu dalam. Tetapi batu yang berwarna kehijau-hijauan itu mampu menitikkan darahnya.

Ki Lurah Agung Sedayu meloncat surut. Namun ketika ia meloncat menyerang lagi, Agung Sedayu telah berada dalam puncak ilmu kebalnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya udara di sekitarnya pun menjadi panas.

Dalam kemarahannya dan puncak ilmunya, cambuknya yang dihentakkannya sendal pancing seakan-akan telah memancarkan kilat, yang melampaui terangnya kilauan batu yang berwarna kehijauan itu.

Demikianlah, kedua puncak ilmu dari kedua orang yang berilmu tinggi tengah beradu. Masing-masing masih saja meningkatkan ilmu mereka. Ilmu yang satu dan ilmu yang lainnya pula.

Sementara pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, Glagah Putih telah berada di sebuah rumah yang dijaga oleh beberapa orang pengawal pilihan. Di dalamnya Rara Wulan berbaring dengan luka-luka yang parah, bukan saja di tubuhnya, tetapi juga luka di dalam.

Namun Rara Wulan telah menjadi sadar. Ia tersenyum ketika ia melihat Glagah Putih duduk di sebelahnya.

“Bagaimana keadaanmu Rara?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak apa-apa, Kakang,” jawab Rara Wulan. Namun suaranya masih terdengar sangat dalam. Meskipun demikian, sorot matanya sudah mulai kelihatan menyala lagi.

“Aku akan mengobati luka-luka di tubuhmu untuk sementara. Setidak-tidaknya akan dapat memampatkan darah yang masih saja menitik dari luka-lukamu.”

Rara Wulan tidak menolak. Dibiarkannya Glagah Putih menaburkan obat di luka-lukanya, Glagah Putih memberikan sebutir reramuan obat, yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu sebelum mereka turun ke medan pertempuran.

Dengan air masak yang sudah menjadi agak dingin, reramuan obat-obatan itu ditelannya.

“Mudah-mudahan kau merasa menjadi lebih baik.”

Tetapi obat yang ditaburkan di luka-lukanya itu terasa pedih sekali. Namun Rara Wulan tahu bahwa dengan demikian obat itu mulai bekerja memampatkan darah di luka-lukanya.

Dalam pada itu, setelah pedih di luka-lukanya berkurang, Rara Wulan sempat bertanya, “Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu?”

“Tadi Kakang Agung Sedayu masih bertempur melawan Ki Kapat Argajalu.”

“Kakang. Sebaiknya Kakang melihat apa yang terjadi. Agaknya Ki Kapat Argajalu benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi.”

“Aku yakin akan kemampuan Kakang Agung Sedayu.”

“Meskipun demikian, sebaiknya kau melihatnya.”

“Bagaimana dengan kau?”

“Aku sudah merasa lebih baik. Bukankah beberapa orang berada di luar? Mereka akan menjagaku. Jika terjadi sesuatu yang tidak teratasi, biarlah mereka membunyikan isyarat.”

Glagah Putih Termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan pun berkata pula, “Tinggalkan aku di sini, Kakang. Di sini terasa aman. Bahkan barangkali pertempuran sudah berhenti di mana-mana, selain Kakang Agung Sedayu dengan Ki Kapat Argajalu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun jantungnya memang terasa berdebaran. Ki Kapat Argajalu yang sangat yakin akan keberhasilannya itu tentu mempunyai bekal yang memadai.

Karena itu, ketika Rara Wulan mendesaknya sekali lagi, Glagah Putih itu pun bangkit berdiri.

Meskipun demikian Glagah Putih masih tetap ragu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Aku akan melihat keadaan. Jika keadaan sudah memungkinkan, aku akan melihat apa yang terjadi dengan Kakang Agung Sedayu. Tetapi jika pertempuran masih berlangsung, aku akan tetap berada di sini.”

Rara Wulan tidak menjawab. Sementara itu, Glagah Putih pun melangkah keluar.

Di halaman, beberapa orang pengawal terpilih masih saja berjaga-jaga. Tidak hanya di halaman depan, tetapi juga di halaman samping dan belakang. Tetapi agaknya tidak seorangpun dari para pengikut Ki Kapat Argajalu atau para pengawal dari Kademangan Pudak Lawang yang mendekat.

“Pertempuran sudah hampir padam,” berkata seorang anak muda kepada Glagah Putih.

“Kau yakin?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Tinggal benturan-benturan kecil di beberapa tempat. Para pengikut Ki Kapat Argajalu yang kehilangan hubungan masih mengadakan perlawanan. Tetapi sudah tidak berarti lagi.”

“Apakah kau tahu, bagaimana Kakang Agung Sedayu?”

“Ki Lurah masih bertempur melawan Ki Kapat Argajalu. Ki Lurah tidak membenarkan seseorang mencampurinya.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia pun segera berlari-lari kecil di arena pertempuran.

Ketika Glagah Putih sampai di arena, dilihatnya Sekar Mirah dan Pandan Wangi sudah berada di tempat itu pula.

Demikian Glagah Putih mendekat, Sekar Mirah masih sempat bertanya, “Bagaimana dengan Rara Wulan?”

“Ia sudah menjadi semakin baik,” jawab Glagah Putih.

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun perhatiannya pun segera kembali kepada Ki Lurah Agung Sedayu yang sedang bertempur.

Yang kemudian mendekatinya adalah Ki Jayaraga. Ki Jayaraga yang telah membawa Rara Wulan keluar medan dan membaringkannya di dalam rumah itu. Ia menungguinya untuk beberapa lama, sampai Glagah Putih datang menggantikannya.

“Bagaimana keadaannya?”

“Sudah menjadi lebih baik, Ki Jayaraga.”

“Syukurlah.”

Namun kemudian Glagah Putih yang bertanya, “Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu?”

“Ki Kapat Argajalu memang berilmu tinggi.”

Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sementara itu, agaknya Ki Lurah Agung Sedayu telah bertekad untuk menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan orang lain, meskipun ia sedang berada di medan pertempuran.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu masih bertempur melawan Ki Kapat Argajalu. Pertempuran yang semakin sengit. Ki Kapat Argajalu telah mengetrapkan beberapa macam ilmunya. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.

Ketika Ki Kapat Argajalu masih saja terdesak, maka Ki Kapat Argajalu telah menaburkan semacam serbuk yang berwarna putih kelabu. Tiba-tiba saja serbuk itu telah berubah menjadi kabut yang menyelimuti dirinya, sehingga tubuh Ki Kapat Argajalu itu tidak dapat dilihat dengan mata kewadagan.

Ki Lurah Agung Sedayu bergeser surut. Beberapa orang yang berada di sekitar arena itu pun bergeser pula menjauhi kabut yang berwarna kelabu itu.

Ketika tiba-tiba saja senjata Ki Kapat Argajalu yang berupa batu berwarna kehijau-hijauan itu terjulur lurus ke arah dada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah pun terkejut. Ia tidak melihat lawannya membuat ancang-ancang atau gerakan yang lain karena kabut yang kelabu itu. Namun tiba-tiba saja telah terjulur serangan yang mengejutkan.

Untunglah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu telah meningkatkan kekuatan ilmu kebalnya, sehingga sentuhan batu yang berwarna kehijau-hijauan itu tidak mematahkan tulang-tulang iganya.

Meskipun demikian, Agung Sedayu itu telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut.

Namun agaknya Ki Kapat Argajalu tidak dapat menghampiri Agung Sedayu lebih dekat lagi. Ketika Agung Sedayu meningkatkan ilmu kebalnya, maka udara di sekitarnya pun menjadi panas karenanya. Panas udara itulah yang agaknya menghalangi Ki Kapat Argajalu untuk menyerangnya dari jarak yang lebih dekat.

Meskipun demikian, kabut kelabu yang menghalangi penglihatan Agung Sedayu itu terasa sangat mengganggunya. Bahkan setelah Agung Sedayu mengetrapkan Aji Sapta Pandulu, kabut itu masih saja menghalangi penglihatannya. Sehingga dengan demikian, maka kesempatan Ki Kapat Argajalu menyerangnya menjadi lebih besar dari kesempatan Agung Sedayu. Meskipun cambuknya beberapa kali menghentak ke dalam kabut yang kelabu itu, namun ujungnya masih belum menyentuh tubuh Ki Kapat Argajalu, yang juga dilindungi oleh ilmu Lembu Sekilan.

Beberapa kali serangan Ki Kapat Argajalu mampu mengenai Agung Sedayu serta menggetarkan pertahanannya. Sementara itu Agung Sedayu masih belum mempunyai kesempatan untuk membalasnya.

Dengan demikian, maka Ki Kapat Argajalu telah berhasil mendesak Agung Sedayu beberapa langkah surut.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tahu bahwa Agung Sedayu masih memiliki kesempatan dengan jenis-jenis ilmunya yang lain.

Sementara itu, Ki Kapat Argajalu masih berlindung di balik kabut yang berwarna kelabu. Kabut itu melindunginya kemanapun Ki Kapat Argajalu bergeser. Namun ternyata bahwa Ki Kapat Argajalu merasa sulit untuk dapat lebih mendekat lagi untuk menyerang Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu terkejut. Yang meluncur dari balik kabut bukan batunya yang berwarna kehijau-hijauan, tetapi Ki Kapat Argajalu ternyata telah melontarkan serangannya yang lain. Dengan menghentakkan segenap kemampuannya dan tenaga dalamnya, Ki Kapat Argajalu telah menyerang Agung Sedayu dengan sebilah pisau belati kecil.

Agung Sedayu tidak sempat menghindari serangan itu. Pisau belati kecil yang dilontarkan dengan lambaran kekuatan ilmu puncaknya serta seluruh kemampuan tenaga dalamnya itu mampu menguak perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun pisau itu kemudian terjatuh di depan kaki Ki Lurah Agung Sedayu.

Bagaimanapun juga, pisau belati itu telah melukai kulitnya dan menitikkan darahnya.

Yang kemudian terdengar adalah suara tertawa Ki Kapat Argajalu. Di sela-sela derai tertawanya terdengar Ki Kapat itu berkata, “Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun lukamu hanya seujung duri kemarung, tetapi kau akan mati. Di ujung pisau itu terdapat racun yang sangat tajam. Tidak seorangpun akan mampu lolos dari racunku. Sementara itu, hanya aku-lah yang mempunyai penawarnya.”

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Dirabanya bahunya yang terluka setitik kecil, bahkan lebih kecil dari klentheng kapuk randu.

“Agung Sedayu,” berkata Ki Kapat Argajalu pula, “kau tidak akan mampu bertahan sepenginang.”

Agung Sedayu bahkan bergeser setapak surut.

“Jika kau mau berlutut di hadapanku, menyembahku, maka aku akan memberimu penawarnya. Tetapi sekaligus aku akan membunuhmu dengan kerisku. Keris pusakaku yang tidak ada duanya di dunia ini. Ilmu kebalmu sama sekali tidak akan berarti apa-apa.”

“Kenapa kau tidak mempergunakan kerismu, sementara batumu tidak mampu menembus ilmu kebalku?”

“Aku tidak ingkar bahwa kerisku terlalu pendek untuk menggapaimu, dibanding dengan juntai cambukmu. Apalagi setelah kau sebarkan udara panas di sekitar tubuhmu.”

“Bisa di ujung pisaumu memang bisa yang sangat tajam,” desis Agung Sedayu.

“Berlututlah dan mohon ampun. Aku akan memberimu penawarnya, sehingga kau tidak akan mati karena racun.”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi setapak lagi ia bergeser surut. Bahkan nampaknya Agung Sedayu itu menjadi goyah.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Jantung Sekar Mirah bahkan hampir berhenti berdetak, sedangkan Glagah Putih sudah siap untuk meloncat ke arena. Meskipun ia tidak melihat Ki Kapat Argajalu yang berdiri di dalam kabut kelabunya, namun Glagah Putih akan menyerangnya dengan ilmu pamungkasnya dari jarak beberapa langkah, di luar jarak jangkau rantainya yang berkepala batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.

Dalam pada itu, dengan penuh keyakinan Ki Kapat Argajalu sudah memastikan bahwa Agung Sedayu akan segera mati karena racun yang berada di ujung pisau belatinya itu.

Karena itu, maka Ki Kapat Argajalu pun perlahan-lahan telah membiarkan kabutnya di hanyutkan angin, sehingga semakin lama keberadaannya menjadi semakin jelas.

“Aku di sini, Agung Sedayu,” berkata Ki Kapat Argajalu. “Apakah kau masih berkeras untuk melawan tanpa bantuan orang lain? Jika kau berniat memberikan isyarat kepada kawan-kawanmu, lakukanlah. Aku masih sanggup melawan mereka semuanya. Sementara itu, kau sendiri akan segera terkapar mati. Sehingga dengan demikian maka akan tersebar berita di Mataram, bahwa Agung Sedayu, andel-andel prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, telah dibunuh oleh Ki Kapat Argajalu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa-rasanya keseimbangannya menjadi semakin goyah.

Tetapi yang tidak terduga telah terjadi. Demikian kabut itu semakin menipis, sehingga keberadaan Ki Kapat Argajalu itu menjadi semakin jelas, Agung Sedayu pun berkata, “Jangan terlalu berbesar hati dengan pisau-pisau kecilmu, Ki Kapat Argajalu. Kau akan menyesali kesombonganmu itu.”

Ki Kapat Argajalu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu tiba-tiba saja sudah meloncat menyerangnya. Cambuknya menghentak sendal pancing. Kilat pun seakan-akan memancar dari ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Ki Kapat Argajalu terkejut. Ketika ia mencoba meloncat menghindar, ujung cambuk Agung Sedayu telah memburunya. Satu hentakkan yang kuat telah menembus Aji Lembu Sekilan dan mengenai kulit Ki Kapat Argajalu, sehingga kulitnya itu pun terkelupas di pundaknya.

“Setan kau, Agung Sedayu,” geram Ki Kapat Argajalu sambil meloncat mengambil jarak.

Sekali lagi Ki Kapat Argajalu menghamburkan serbuknya sehingga kabut pun segera menyelimutinya. Namun Agung Sedayu telah sekali lagi mengenainya. Meskipun tidak mengoyak lambungnya karena hambatan ilmu Lembu Sekilan, namun lambung Ki Kapat itu telah terkelupas pula.

Namun sejenak kemudian Ki Kapat Argajalu itu pun telah hilang pula di balik kabutnya. Yang tertinggal adalah suaranya, “Racunku sudah ada di dalam tubuhmu, Ki Lurah. Semakin banyak kau bergerak, maka kau akan menjadi semakin cepat mati.”

“Racunmu bersikap baik kepadaku, Ki Kapat Argajalu,” jawab Agung Sedayu.

“Gila. Apakah kau tawar racun?”

“Ya.”

“Bagus. Mungkin satu pisauku tidak mampu membunuhmu karena kau mempunyai penawar racun. Tetapi dua tiga pisauku akan mempengaruhi peredaran darahmu.”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, satu lagi pisau belati kecil meluncur dari dalam kabut. Agung Sedayu terlambat menghindar, sehingga pisau itu telah menembus ilmu kebalnya dan menyentuh lengannya.

Agung Sedayu meloncat mundur. Ia sadar bahwa yang dikatakan oleh Ki Kapat Argajalu itu benar. Jika cukup banyak racun masuk ke dalam tubuhnya, meskipun ia kebal racun, namun dalam jumlah tertentu akan dapat mempengaruhi aliran darahnya. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berusaha menghindari pisau-pisau kecil itu.

Bahkan satu lagi pisau kecil itu meluncur. Tetapi Agung Sedayu masih sempat meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga pisau itu meluncur di depan dadanya.

Yang kemudian terkejut adalah Ki Kapat Argajalu. Ia merasa mempunyai kesempatan menyerang lebih banyak dari Agung Sedayu, meskipun ilmu kebal Agung Sedayu lebih kuat dari ilmu kebalnya. Tetapi tiba-tiba saja sasarannya menjadi kabur. Bukan saja karena Agung Sedayu selalu bergerak, namun Ki Kapat Argajalu itu melihat ada tiga sasaran yang selalu bergerak. Bahkan tiga sasaran yang sama itu berdiri di arah yang berbeda.

Ki Kapat Argajalu mengumpat. “Kakang Kawah Adi Ari-Ari,” geramnya.

Namun kemampuan ilmu Ki Kapat Argajalu yang tinggi mampu menemukan, yang manakah sasaran yang sebenarnya harus dikenai serangannya. Meskipun demikian Ki Kapat Argajalu memerlukan waktu.

Sementara itu, ternyata Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yang lain pula. Jika Aji Sapta Pandulu tidak mampu menembus tirai kabut kelabu itu, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan Aji Sapta Panggraita. Ia mempunyai pengalaman dengan kemampuannya itu. Pada saat ia berhadapan dengan seseorang yang mempunyai Aji Panglimunan, yang seakan-akan dapat mengaburkan penglihatannya sehingga ia merasa seolah-olah orang itu hilang, Agung Sedayu justru dapat meraba keberadaannya dengan Aji Sapta Panggraita, karena Aji Sapta Pandulu tidak mampu membantunya.

Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil. Ia dapat menghambat serangan-serangan Ki Kapat Argajalu dengan ujud-ujud bayangan yang dapat mengaburkan keberadaannya yang sebenarnya. Sementara Ki Kapat Argajalu berusaha dengan ketajaman penglihatan mata batinnya untuk menemukan sasaran yang sebenarnya, Agung Sedayu telah dapat mengetahui di mana Ki Kapat Argajalu itu berdiri di dalam tirai kabutnya.

Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah meloncat sambil menghentakkan cambuknya, menyerang Ki Kapat Argajalu.

Ternyata Agung Sedayu mampu mendahului lawannya. Pada saat Ki Kapat Argajalu menemukan sasaran yang sebenarnya di antara ketiga ujud yang sama itu, Agung Sedayu telah menyerangnya dengan hentakan cambuknya sendal pancing, dilambari dengan segenap kekuatan dan tenaga dalamnya.

Ki Kapat Argajalu yang sudah siap untuk menyerang dengan pisau kecilnya, tidak sempat menghindarinya. Meskipun tertahan oleh perisai ilmu Lembu Sekilan, tetapi ujung cambuk Agung Sedayu masih juga menggores dan mengelupas kulit di dada Ki Kapat Argajalu.

Ki Kapat Argajalu meloncat surut. Namun, Agung Sedayu telah menemukannya dengan penggraitanya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ia pun segera meloncat memburu.

Sekali lagi cambuknya dihentakkannya, sehingga ujung cambuknya telah mengoyakkan baju dan kulit di pundak Ki Kapat Argajalu.

Ki Kapat Argajalu harus berloncatan mengambil jarak. Ia masih saja diselubungi oleh kabut kelabunya. Namun Agung Sedayu dapat mengikuti kemana ia bergeser.

Akhirnya Ki Kapat Argajalu harus mengakui bahwa kabutnya tidak lagi mampu melindunginya. Karena itu, maka sejenak kemudian kabut itu pun segera menyibak.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah kembali ke dalam ujudnya yang satu. Ketika Ki Kapat Argajalu menampakkan dirinya di mata kewadagan Agung Sedayu, maka Agung Sedayu pun telah melepas pula Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari.

Dengan demikian, maka keduanya telah berhadapan lagi beradu wajah.

Ketegangan telah mencengkam jantung setiap orang yang menyaksikan pertempuran itu. Mereka merasakan getar kemarahan dari kedua orang yang sedang bertempur, sehingga mereka yang menyaksikan pertempuran itu seakan-akan merasakan denyut jantung mereka yang semakin cepat.

Orang-orang yang menyaksikannya itu pun menyadari, bahwa keduanya pun akan segera sampai ke puncak segala macam ilmu mereka.

Sebenarnya baik Agung Sedayu maupun Ki Kapat Argajalu benar-benar telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa mereka sudah terlalu lama bertempur, sehingga mereka menganggap bahwa sudah waktunya mereka mengakhiri pertempuran itu, apapun akibatnya.

Karena itu, sambil menengadahkan dada, mereka berdua tidak mempunyai cara lain daripada melepaskan kemampuan pamungkas mereka masing-masing.

Ki Kapat Argajalu pun kemudian telah membuat ancang-ancang. Ia memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Sebagaimana Tumpak dan Soma, maka Ki Kapat Argajalu pun telah siap meluncurkan serangannya.

Ki Lurah Agung Sedayu memperhatikan ancang-ancang itu dengan seksama. Namun, Ki Lurah pun telah membuat ancang-ancang pula. Dipusatkannya segenap nalar budinya. Dikerahkannya segenap kemampuan dan tenaga dalamnya untuk mendukung ilmu pamungkasnya.

Sesaat kemudian, maka Ki Kapat Argajalu telah mengangkat tangannya. Dilontarkannya ilmunya yang selama ini diyakininya akan menyelesaikan semua lawan-lawannya. Bahkan jarang sekali Ki Kapat Argajalu mengetrapkan ilmunya itu. Hanya dalam keadaan yang tidak teratasi dengan ilmunya yang lain maka Ki Kapat Argajalu melepaskan ilmu pamungkasnya.

Dengan yakin pula, Ki Kapat Argajalu melepaskan serangannya untuk menghancurkan Agung Sedayu. Seberapapun tingginya ilmu Agung Sedayu, namun dengan ilmu pamungkasnya yang jauh lebih mapan dan lebih masak dari ilmu Tumpak dan Soma, maka Agung Sedayu pun akan dapat dilumatkannya.

Kedua telapak tangan Ki Kapat Argajalu yang tengadah di depan dadanya pun bergetar. Seakan-akan asap yang putih mengepul dari telapak tangan itu. Kemudian dengan satu tarikan sikunya di samping tubuhnya, Ki Kapat Argajalu pun menghentakkan telapak tangannya menghadap ke arah Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, semua orang yang berada di garis serangan Ki Kapat Argajalu telah menyibak. Jika serangan itu meluncur, maka sentuhan udaranya akan dapat melukai isi dada mereka.

Dalam pada itu, seakan-akan segumpal awan yang berwarna kemerah-merahan meluncur dari telapak tangan Ki Kapat Argajalu.

Namun bersamaan dengan itu, Ki Lurah pun memandangi telapak tangan Ki Kapat Argajalu dengan tajamnya. Demikian ia melihat seleret sinar kemerahan meluncur, maka dari sepasang mata Agung Sedayu pun telah memancar pula cahaya yang menyilaukan, meluncur membentur serangan Ki Kapat Argajalu.

Dua macam ilmu yang dilontarkan oleh kedua orang yang sedang bertempur itu telah berbenturan dengan dahsyatnya.

Tidak terdengar ledakkan yang memekakkan telinga. Tetapi benturan itu telah mengguncang udara dengan menimbulkan getaran yang bergelombang, melingkar menebar di sekitar arena pertempuran itu.

Untunglah bahwa mereka yang menyaksikan pertempuran itu tidak berdiri terlalu dekat, sehingga pengaruh getaran itu sudah menyusut ketika menyentuh jantung mereka. Sedangkan yang berdiri terdekat, adalah orang-orang yang berilmu tinggi yang mampu mengatasi getaran itu dengan daya tahan tubuh mereka yang tinggi.

Namun benturan itu sendiri telah memantulkan getar ilmu kedua orang itu. Seperti yang terjadi pada benturan ilmu Tumpak dan Rara Wulan, maka perbedaan tingkat ilmu antara Agung Sedayu dan Ki Kapat Argajalu itu mempunyai pengaruh yang menentukan.

Ternyata bahwa dalam kenyataan yang terjadi, tingkat ilmu Ki Kapat Argajalu masih belum mampu menyamai tingkat ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka arus balik dari benturan ilmu itu pun lebih banyak mengalir ke tubuh Ki Kapat Argajalu. Bahkan dorongan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu yang selapis lebih tinggi telah ikut pula menentukan akhir dari pertempuran itu.

Dalam benturan ilmu yang terjadi itu, Agung Sedayu telah tergetar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian Agung Sedayu pun sulit untuk mempertahankan keseimbangannya. Isi dadanya yang terguncang serasa bagaikan dirontokkan.

Agung Sedayu pun kemudian terhuyung-huyung. Hampir saja Agung Sedayu itu jatuh terlentang, jika saja Glagah Putih tidak dengan tangkasnya meloncat menahannya.

“Kakang,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu berdesah menahan sakit di dadanya. Namun Agung Sedayu masih melihat Ki Kapat Argajalu yang terlempar jatuh terguling beberapa kali. Seorang pengikutnya tidak berhasil menahannya agar Ki Kapat Argajalu tidak terjatuh. Bahkan pengikutnya itu pun telah ikut pula terdorong beberapa langkah, sehingga kedua-keduanya telah jatuh berguling pula.

Baru kemudian tiga orang pengikutnya segera berlutut di sampingnya.

“Apa yang terjadi dengan orang itu?” desis Agung Sedayu perlahan.

Ketika beberapa orang berusaha mendekati Ki Kapat Argajalu, maka para pengikutnya masih berusaha melindunginya. Meskipun pertempuran sudah berakhir serta mereka tidak berpengharapan lagi, namun mereka tidak membiarkan orang lain mendekati tubuh Ki Kapat Argajalu.

“Biarkan mereka,” desis Ki Lurah Agung Sedayu, “jangan ganggu orang-orang itu.”

Para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus kemudian membiarkan para pengikut Ki Kapat Argajalu itu mengerumuninya. Namun Ki Lurah Agung Sedayu berdesis pula, “Biarlah mereka membawa Ki Kapat ke banjar.”

Swandaru-lah yang kemudian melangkah mendekati para pengikut Ki Kapat Argajalu itu.

“Bawa Ki Kapat Argajalu ke banjar.”

“Untuk apa?” bertanya seorang putut, “Apakah kau akan menjadikannya pangewan-ewan?”

“Tidak. Tetapi bawa Ki Kapat itu ke banjar.”

“Kami keberatan. Kami akan membawa Ki Kapat pulang.”

“Pulang kemana? Ia tidak akan dapat bertahan di perjalanan. Karena itu, bawa ke banjar. Kalian tidak mempunyai pilihan lain.”

“Kami tidak akan menyerahkan kepada siapapun,” jawab putut itu.

“Karena itu, kalian sendiri-lah yang membawanya. Biarlah pengawal Tanah Perdikan ini membuka jalan, agar kalian tidak diganggu di perjalanan ke banjar.”

“Tidak,” jawab putut itu, “kami tidak akan menyerahkannya kepada siapapun.”

“Kalau kalian tidak mau mendengarkan perintah ini, maka kami-lah yang akan membawanya ke banjar.”

“Kami akan mempertahankannya.”

“Pergunakan nalarmu. Kami dapat membunuh kalian semuanya dan memperlakukan Ki Kapat Argajalu lebih buruk dari yang kalian duga.”

Putut itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Swandaru berkata, “Kami tidak mempunyai banyak waktu. Lakukan.”

Memang mereka tidak mempunyai pilihan lain. Para pengikut Ki Kapat Argajalu sudah tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Karena itu, maka akhirnya mereka pun harus tunduk kepada perintah itu.

Dengan dikawal oleh beberapa orang pengawal Tanah Perdikan, maka Ki Kapat Argajalu itu pun telah diusung oleh para pengikutnya ke banjar padukuhan.

Sementara itu Swandaru pun memerintahkan kepada para pengawal untuk mengatasi segala persoalan yang timbul setelah pertempuran berakhir.

“Mungkin masih ada sekelompok pengikut Ki Kapat Argajalu yang tidak mau melihat kenyataan,” berkata Swandaru.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang juga terluka di bagian dalam tubuhnya, telah dipapah Glagah Putih ke sebuah regol halaman rumah di pinggir jalan. Beberapa saat Agung Sedayu duduk untuk mengatur pernafasannya.

Sekar Mirah yang berjongkok di sisinya menjadi sangat gelisah, ketika ia melihat titik darah di sudut bibir Agung Sedayu. Dengan demikian maka luka dalam Agung Sedayu tentu cukup parah.

“Bawa Ki Lurah ke pendapa rumah itu,” berkata Ki Jayaraga.

Tetapi Agung Sedayu menolak untuk diusung.

“Aku dapat berjalan sendiri,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Meskipun demikian, Glagah Putih masih harus membantunya, karena Ki Lurah masih terlalu lemah.

Di pendapa, Agung Sedayu duduk di atas tikar pandan yang sudah digelar. Kedua kakinya bersilang. Sedang kedua telapak tangannya diletakkannya di atas lututnya.

Tidak seorangpun mengganggunya ketika Agung Sedayu berusaha untuk mengatasi kesulitan pernafasannya.

Dengan gelisah Sekar Mirah dan beberapa orang yang lain menungguinya. Sementara itu di regol masih nampak beberapa orang pengawal berjaga-jaga.

Dengan di kawal oleh beberapa orang pengawal Tanah Perdikan serta prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, Ki Kapat Argajalu telah dibawa ke banjar.

Ternyata Ki Kapat Argajalu mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sekali, sehingga meskipun dadanya terluka parah, namun Ki Kapat Argajalu itu masih dapat membuka matanya.

Ki Gede dan Ki Argajaya duduk menunggguinya bersama beberapa orang pengawal. Namun, di antara mereka terdapat tiga orang pengikut setia Ki Kapat Argajalu. Seorang di antara mereka, seorang putut, sama sekali tidak mau bergeser dari sisi Ki Kapat Argajalu yang terbaring diam itu.

“Kakang,” desis Ki Gede.

Ki Kapat Argajalu yang sudah membuka matanya itu mencoba menarik nafas panjang. Namun, ternyata sakit yang sangat telah menusuk dan mencengkam isi dadanya.

“Adi,” desis Ki Kapat Argajalu sambil menyeringai menahan sakit.

“Minumlah. Mungkin minuman itu dapat mengurangi rasa sakit di dadamu.”

Namun ketika seseorang menyerahkan semangkuk minuman, putut itulah yang menerimanya. Putut itulah yang lebih dahulu minum seteguk, sebelum minuman itu diberikan kepada Ki Kapat Argajalu.

“Kau terlalu curiga,” desis Ki Argajaya, “kau mencemaskan racun di dalam minuman itu?”

“Ya,” jawab putut itu tegas.

“Ternyata kau sangat dungu,” desis Ki Argajaya, “jika kami ingin membunuhnya, kami tidak perlu mempergunakan racun. Bahkan kau dan kawanmu juga.”

Putut itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun dapat mengerti maksud Ki Argajaya. Tetapi putut itu tidak menjawab.

Setelah minum seteguk, maka Ki Kapat Argajalu itu berdesis. “Bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ki Lurah terluka. Tetapi ia belum ada di sini. Mudah-mudahan Ki Lurah segera menjadi baik.”

“Aku harus mengakui,” suara Ki Kapat Argajalu perlahan sekali, “Ki Lurah adalah orang yang memiliki segala-galanya di dunia olah kanuragan. Ia memiliki bekal yang lengkap untuk disebut orang yang terbaik. Aku harus mengakui kemenangannya dengan ikhlas.”

“Sudahlah, Kakang,” berkata Ki Gede, “kami akan berusaha mengobati luka dalam Kakang. Kami akan memanggil tabib terbaik. Bahkan mungkin Ki Lurah Agung Sedayu, yang memiliki kemampuan pengobatan peninggalan gurunya, mempunyai obat untuk mengatasi luka dalam Kakang Kapat Argajalu.”

Tetapi Ki Kapat Argajalu itu tersenyum. Katanya, “Tidak ada gunanya, Ki Gede. Lukaku sangat parah. Aku akan mati.”

“Bertahanlah, Kakang. Sebentar lagi tabib itu akan datang.”

Tetapi Ki Kapat Argajalu itu menggeleng. Katanya, “Aku minta diri. Tetapi aku minta Adi mengijinkan tubuhku dibawa kembali ke padepokanku dan dikuburkan di sana. Aku tahu bahwa Soma dan Tumpak pun tidak dapat bertahan hidup dalam pertempuran yang keras ini, yang sama sekali di luar dugaanku. Aku minta Adi juga mengijinkan tubuh kedua anakku itu dibawa pulang.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah, Kakang. Aku tidak akan berkeberatan.”

“Salamku buat Ki Lurah Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa dan yang lain-lain. Aku minta maaf kepada Pandan Wangi, atas usahaku mengguncang warisan yang seharusnya memang diterimanya.”

“Sudahlah, Kakang. Lupakan semuanya. Tetapi agaknya keadaan Kakang justru bertambah baik. Tabib itu akan segera datang.”

Tetapi Ki Kapat Argajalu pun kemudian memejamkan matanya. Masih terdengar ia berdesis, “Aku juga minta maaf kepada Adi berdua.”

Ki Gede tidak sempat menjawab. Ki Kapat Argajalu itu pun telah pergi untuk selamanya.

Putut yang setia kepadanya itu pun memandanginya dengan wajah sayu. Iapun memalingkan wajahnya ketika matanya menjadi basah. Ia sadar, jika ada air mata yang menitik, hendaknya jangan membasahi tubuh Ki Kapat Argajalu yang telah meninggal.

Ketika tabib yang dipanggil itu datang, maka Ki Kapat Argajalu sudah tidak bernyawa lagi.

“Tidak ada yang dapat aku lakukan sekarang,” desis tabib itu.

Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh tabib itu atas Ki Kapat Argajalu yang telah meninggal.

Namun Ki Gede pun kemudian telah memerintahkan untuk mengumpulkan tubuh Soma dan Tumpak, yang juga telah terbunuh di medan pertempuran.

“Meskipun mereka sudah berada di tangan para murid Ki Kapat Argajalu, tetapi mereka tentu masih berada di padukuhan ini. Mereka tentu belum dapat dibawa keluar,” berkata Ki Gede. “Selain itu, kita pun harus segera berkumpul di banjar, untuk membicarakan langkah-langkah lebih lanjut.”

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan serta para pemimpin pengawal dan para pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus telah berkumpul di banjar.

Sementara itu para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit masih sibuk di bekas medan pertempuran yang terpencar di seluruh padukuhan. Mereka bertugas untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah gugur. Selain tugas itu, maka sebagian yang lain mengamati para pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu yang menyerah, mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di pertempuran.

Agung Sedayu yang terluka dalam, sudah berada di banjar itu pula. Meskipun tubuhnya masih lemah, namun Agung Sedayu berusaha untuk berjalan meskipun harus dipapah.

Namun Rara Wulan masih belum mampu menapak. Ia masih sangat lemah. Karena itu maka setelah memapah Agung Sedayu sampai ke banjar, Glagah Putih segera pergi mendapatkan Rara Wulan.

“Biarlah aku di sini saja, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Semua orang berkumpul di banjar.”

“Aku masih sangat lemah. Aku juga tidak akan dapat berbuat apa-apa di banjar.”

“Tetapi segala sesuatunya akan menjadi lebih mudah dan lebih cepat dilakukan. Juga tentang pengobatan. Kakang Agung Sedayu juga terluka di bagian dalam tubuhnya ketika ia bertempur melawan Ki Kapat Argajalu.”

“Apakah Kakang Agung Sedayu juga pergi ke banjar?”

“Ya. Aku memapahnya.”

“Daya tahan Kakang Agung Sedayu yang sangat tinggi mampu mengatasi perasaan sakit karena luka dalamnya. Bahkan Kakang Agung Sedayu dengan mengatur pernafasannya mampu mengatasi kelemahannya, sehingga dengan sisa tenaganya Kakang Agung Sedayu masih sanggup berjalan ke Banjar. Aku tidak, Kakang.”

“Aku akan membawamu. Aku akan menyiapkan seekor kuda. Kau akan naik ke punggung kuda.”

“Aku tidak bisa.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika demikian, aku akan mendukungmu.”

“Ah, malu,” sahut Rara Wulan dengan serta-merta.

“Mungkin akan banyak yang harus dibicarakan di banjar malam nanti, Rara.”

“Sebaiknya Kakang saja berada di banjar. Biarlah beberapa orang pengawal menemani aku di sini. Mbokayu Pandan Wangi dan Mbokayu Sekar Mirah tentu akan ikut serta dalam setiap pembicaraan. Mungkin Nyi Dwani tidak akan banyak terlibat. Ia dapat menemani aku di sini.”

“Semua orang mengharapkan aku dapat membawamu ke banjar.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Mungkin kami dapat mengusungmu dengan tangga bambu yang diberi beberapa lembar galar. Kau dapat berbaring di atasnya. Empat orang yang mengangkatmu dan membawamu kemari.”

“Tidak.”

“Jadi bagaimana menurutmu cara yang terbaik agar kau dapat berada di banjar malam ini?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun, kemudian iapun bertanya, “Apakah ada pedati di padukuhan ini?”

“Ada. Aku dapat mengusahakan.”

“Aku mau pergi ke banjar. Tetapi aku akan naik pedati.”

Glagah Putih tertawa. Namun iapun kemudian pergi untuk mencari sebuah pedati.

Ada beberapa pedati di padukuhan Jati Anyar. Orang-orang yang pergi mengungsi meninggalkan pedati mereka di padukuhan. Bahkan dengan lembunya sekali. Sebelum terjadi pertempuran, mereka masih saja menyabit rumput dan membawanya ke kandang.

Malam itu, Rara Wulan benar-benar berada di banjar. Namun, perempuan itu masih belum dapat ikut dalam pembicaraan-pembicaraan di pringgitan. Selama berada di banjar, Rara Wulan berada di dalam sebuah bilik di serambi, ditunggui oleh Nyi Dwani, yang agaknya tidak banyak terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan di antara para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh.

Namun mereka masih belum membicarakan persoalan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Tetapi mereka membicarakan penyelesaian dari pertempuran yang baru saja terjadi.

Tanah Perdikan Menoreh akhirnya telah menetapkan bahwa beberapa orang pengikut Ki Kapat Argajalu dapat membawa mayat Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak kembali ke padepokan mereka. Sementara itu, sebagian yang lain akan tetap tinggal sebagai tawanan di Tanah Perdikan. Mereka yang tinggal juga harus menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh, serta merawat kawan-kawan mereka yang terluka.

Ketika keputusan itu dengan resmi diberitahukan kepada Putut Mawekas, maka putut itu pun mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

“Besok aku akan membawa mayat Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak. Mereka adalah lambang kebesaran perguruan kami.”

“Baiklah. Bawa mayat itu kembali ke perguruanmu. Selain lambang kebesaran perguruanmu, makam itu hendaknya juga menjadi patok peringatan atas kegagalannya, karena Ki Kapat Argajalu telah berjalan menyimpang dari jalan kehidupan seorang yang berilmu tinggi.”

Putut Mawekas tidak segera menjawab.

“Nampaknya kau masih meragukan langkah-langkah sesat yang diambah oleh gurumu?” berkata Ki Gede. “Renungkanlah apa yang telah dilakukannya di sini. Apakah ia berhak melakukannya atau tidak. Bukan hanya karena kami memiliki orang-orang yang lebih baik dari para pemimpin perguruanmu, tetapi kami juga berlandaskan pada langkah-langkah yang benar yang telah kami jalani. Yang Maha Agung telah memberikan perlindungan kepada kami, sekaligus menunjukkan keperkasaannya kepada orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran.”

Putut itu menundukkan kepalanya. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Renungkan ini. Kecuali jika kau memang tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi.”

“Aku mengetahui, Ki Gede.”

“Nah, jika kau mengetahuinya, serta kau dapat membedakan salah dan benar, maka kau akan mengetahui, apakah Ki Kapat Argajalu berjalan di jalan kebenaran atau tidak.”

Putut Mawekas tidak menjawab.

“Tetapi aku yakin bahwa Ki Kapat Argajalu telah banyak memberikan keterangan yang tidak benar kepadamu dan kepada murid-muridnya yang lain. Terutama dalam hubungannya dengan langkah-langkah yang diambilnya di Tanah Perdikan ini.”

Putut Mawekas menarik nafas panjang.

“Putut Mawekas,” bertanya Ki Gede kemudian, “jika kau mengetahuinya, siapa sajakah orang-orang yang telah berhubungan dengan gurumu, sebelum ia mengambil langkah-langkah yang menyesatkan itu? Jika kau mengetahuinya dan bersedia mengatakannya, mungkin kami dapat menelusuri jejak dari orang-orang yang akan mengambil keuntungan dari gejolak yang terjadi di Tanah Perdikan ini.”

“Tidak ada orang lain yang mempengaruhinya,” jawab Putut itu, “guru yakin bahwa langkah yang diambilnya itu benar.”

“Keyakinan memang mahal harganya. Tetapi keyakinan yang melawan kebenaran akan berakibat sangat buruk. Bahkan seandainya gurumu berhasil menundukkan Tanah Perdikan ini, maka akibatnya tentu masih akan berkepanjangan. Kau kira gurumu akan dapat menemukan jalan yang akan dapat disetujui bersama dengan Ki Demang Pudak Lawang?”

Putut Mawekas itu terdiam. Ia memang tidak mengetahui secara terperinci rencana gurunya. Yang diketahuinya hanyalah garis besarnya saja.

Karena Putut itu tidak menjawab, maka Ki Gede pun bertanya pula, “Kau kenal sahabat-sahabat dekat gurumu?”

“Ada beberapa orang yang aku kenal, Ki Gede,” jawab Putut itu.

“Siapakah di antara mereka yang paling menarik perhatianmu? Atau mereka yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap gurumu serta perguruanmu?”

“Guru adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, bukan Guru yang terpengaruh oleh orang-orang yang dekat dengannya, tetapi sebaliknya, pengaruh Guru kepada mereka-lah yang cukup besar.”

“Jadi menurut jalan pikiranmu, orang yang lebih tinggi ilmunya saja-lah yang dapat memberikan pengaruh kepada orang lain yang lebih rendah tingkat ilmunya?”

“Ya.”

“Itukah yang terjadi?”

“Menurut pendapatku, ya.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata, “Kau keliru Putut Mawekas. Meskipun tataran ilmunya lebih rendah, tetapi jika ia memiliki kelicikan dan kecerdikan yang lebih tinggi, maka ia akan dapat memperalat orang yang ilmu kanuragannya lebih tinggi.”

“Guruku tidak akan diperalat oleh seseorang.”

“Baiklah. Jika demikian, aku dapat mengerti sifat dan watak gurumu.”

“Maksud Ki Gede?”

“Apa yang nampak itu benar-benar pancaran dari sikap jiwanya. Ia benar-benar seorang yang berhati kelam.”

“Kenapa?”

“Gurumu telah dicengkam oleh perasaan iri hati, tamak dan nafsu iblis yang tidak terkendali. Semua itu timbul murni dari dirinya sendiri. Berbeda dengan mereka yang karena bujukan, atau katakan dipengaruhi, oleh orang lain. Mungkin karena hatinya yang sedang goyah atau karena sebab-sebab lain, maka mereka dapat termakan oleh bujukan.”

Putut Mawekas itu terdiam. Sementara Ki Gede pun berkata, “Jika demikian, maka kami tidak akan pernah memaafkan kesalahannya, meskipun gurumu sudah terbunuh.”

Putut Mawekas tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi semakin menunduk.

“Baiklah. Tidak ada persoalan lagi yang perlu kita bicarakan. Kami tahu, bagaimana kami harus bersikap.”

Putut Mawekas masih saja berdiam diri. Ada sesuatu yang terasa bergejolak di dalam dadanya. Namun Putut Mawekas itu tidak berkata apa-apa lagi.

“Baiklah Mawekas. Kau dapat beristirahat. Besok kau dan beberapa kawanmu dapat meninggalkan padukuhan ini, untuk membawa mayat Kakang Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak kembali ke padepokanmu.”

“Terima kasih, Ki Gede.”

Tetapi Putut Mawekas tidak segera beranjak, sehingga Ki Gede justru bertanya, “Apakah masih ada yang ingin kau katakan?”

“Ki Gede,” berkata Putut itu kemudian, “aku mohon maaf, bahwa tidak semua yang aku katakan itu benar.”

“Maksudmu?”

“Guru memang mempunyai beberapa orang sahabat. Aku memang tidak tahu dengan pasti, apakah Guru telah terpengaruh oleh mereka atau salah seorang dari mereka. Tetapi yang aku tahu, Guru memang pernah berbicara dengan mereka tentang Tanah Perdikan ini.”

“Siapa saja yang kau ketahui pernah berbicara dengan gurumu tentang Tanah Perdikan ini?”

“Beberapa orang. Seorang di antaranya adalah seorang pemimpin dari sebuah perguruan yang sangat terkenal.”

“Perguruan apa?”

“Perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berilmu tinggi, dan mempunyai sejenis senjata yang khusus.”

“Senjata apa?”

“Aku menjadi heran dan bertanya-tanya, ketika aku juga melihat jenis senjata yang sama di Tanah Perdikan ini.”

“Apakah ujud senjata itu?”

“Tongkat baja putih. Di pangkalnya terdapat ujud tengkorak kecil berwarna kuning keemasan.”

Yang mendengar keterangan Putut Mawekas itu terkejut. Bahkan dengan serta-merta Glagah Putih menyahut, “Saba Lintang.”

Putut itulah yang terkejut. Dipandanginya laki-laki muda yang telah berhasil membunuh Soma itu.

“Darimana kau tahu namanya?” Putut itu bertanya.

“Kami mengenalnya dengan baik “ jawab Glagah Putih.

“Ia pernah datang kemari?”

“Ya. Ia pernah datang kemari. Dengan beberapa orang pengikutnya, Namun juga pernah datang dengan pasukan segelar sepapan. Tetapi tidak pernah berhasil.”

Putut itu menarik nafas panjang.

“Jika demikian aku berani mengambil kesimpulan, bahwa Ki Saba Lintang telah mempengaruhi gurumu, Ki Kapat Argajalu. Setidak-tidaknya memberikan dorongan untuk melakukan sebagaimana yang telah dilakukannya.”

Tetapi Putut Mawekas itu menjawab dengan serta-merta. “Sikap guruku adalah mandiri. Tidak ada orang yang mempengaruhinya. Ia dapat mengambil keputusan menurut kemauannya sendiri.”

“Kau-lah yang dungu. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan gurumu. Mungkin gurumu mempunyai rencananya sendiri. Bahkan mungkin gurumu sudah siap berkhianat terhadap Ki Saba Lintang. Tetapi gagasan untuk menguasai Tanah ini tentu timbul dari hasutan Ki Saba Lintang. Ternyata hasutan itu menyentuh hati Ki Kapat Argajalu. Lalu ia membuat rencananya sendiri.”

“Yang benar adalah Guru membuat rencananya sendiri.”

“Tidak!” bentak Glagah Putih. “Kau benar-benar dungu. Gurumu juga dungu. Mungkin gurumu menganggap dirinya cerdik. Mungkin gurumu merasa bahwa pada suatu hari ia akan dapat mempermainkan Ki Saba Lintang. Tetapi seandainya gurumu berhasil, maka ia tidak akan lebih dari seekor jangkrik aduan yang digelitik dengan kembang rumput.”

“Omong kosong. Kau jangan asal dapat membuka mulutmu.”

Glagah Putih menjadi sangat marah. Dengan keras ia berkata, “Ternyata kau tidak akan pernah dapat membawa mayat gurumu keluar dari Tanah Perdikan Menoreh. Aku dapat membunuhmu lebih cepat dari membunuh Soma.”

Wajah putut itu menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih terhitung muda namun berilmu tinggi.

Tetapi sebelum putut itu menjawab, terdengar Ki Gede menengahi, “Sudahlah. Kita tahu apa yang sudah terjadi. Kakang Kapat Argajalu tentu terpengaruh oleh Ki Saba Lintang. Diakui atau tidak diakui, baik oleh Kakang Kapat Argajalu sendiri seandainya ia masih hidup, atau oleh para cantrik dan pututnya. Tetapi itu tidak penting. Meskipun demikian, kami akan mengucapkan terima kasih jika kau atau salah seorang di antara kalian yang mengetahui jalur hubungan dengan Ki Saba Lintang, dapat memberi tahukan kepada kami.”

Wajah Putut itu menjadi semakin tegang. Bahkan iapun berkata, “Jadi Ki Gede juga merendahkan guruku? Bahkan mencoba untuk mempengaruhi agar aku atau salah seorang di antara kami berkhianat terhadap orang-orang yang mempercayai dan dipercayai oleh Guru?”

“Diam kau!” bentak Glagah Putih. “Dengar sekali lagi. Aku dapat nembunuhmu.”

“Sudahlah, Glagah Putih,” cegah Ki Gede, “kita serahkan saja kepadanya, bagaimana ia mengartikan pernyataan kita. Tetapi kita tidak akan mencabut keputusan yang telah kita ambil. Biarlah ia membawa mayat Kakang Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak pulang ke padepokannya. Biarlah ia mengatakan kepada Ki Saba Lintang pernyataanku ini. Tetapi aku ingin menasehatkan, jangan mengatakan apa-apa kepada Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang tahu bahwa Putut Mawekas telah menyebut nama Saba Lintang di hadapan kita, maka ia tentu akan mengalami nasib buruk. Apalagi sepeninggal Ki Kapat Argajalu. Bagi Saba Lintang, para pengikut Kakang Kapat Argajalu akan menjadi barang mainan yang tidak berharga.”

“Ki Gede tidak akan dapat mengadu domba antara kami dengan Ki Saba Lintang.”

“Sudah aku katakan, terserah kepadamu. Tetapi menurut pendapatku, Saba Lintang akan menjadi sangat marah jika ia tahu bahwa kau telah mengaku berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang.”

“Bukankah aku tidak mengatakan bahwa kami, terutama Guru, berada di bawah pengaruh Ki Saba Lintang.”

“Cukup, Mawekas. Nampaknya kau masih harus belajar banyak tentang sifat dan watak seseorang. Sudahlah. Jika kau tidak dapat mengerti apa yang kami maksudkan, lupakan saja pernyataan kami tentang hubungan antara gurumu dan Ki Saba Lintang. Tetapi jangan menyesal jika pada suatu hari Saba Lintang datang untuk memporak-porandakan padepokanmu.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun ketika Putut Mawekas akan menjawab, Ki Gede berkata, “Tunggu. Jangan menyela. Yang aku katakan hanyalah satu peringatan, bahwa hal seperti itu dapat terjadi.”

Putut Mawekas menarik nafas panjang.

Beberapa saat kemudian, maka Putut Mawekas itu pun meninggalkan pertemuan di banjar itu. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan dan prajurit dari Pasukan Khusus masih saja mengawalnya dengan ketat.

Malam itu Putut Mawekas telah mempersiapkan diri bersama beberapa orang cantrik atas ijin Ki Gede, untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Mereka akan membawa tubuh Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak yang terbunuh di peperangan, kembali ke padepokan mereka. Satu perjalanan yang panjang. Sementara itu mereka tidak dapat berlama-lama berada di jalan, justru karena mereka membawa mayat gurunya.

Dalam ketegangan perasaan, malam itu Putut Mawekas serta beberapa orang cantrik yang telah mendapat ijin untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh bahkan hampir tidak dapat tidur. Mereka hanya sempat tidur sekejap-sekejap. Namun di dini hari mereka sudah mempersiapkan diri untuk berangkat meninggalkan Tanah Perdikan.

Swandaru, Glagah Putih dan Prastawa sempat menunggui pada saat-saat mereka akan berangkat.

Agaknya jantung Putut Mawekas masih terasa pedih oleh sikap Glagah Putih dan Ki Gede Menoreh. Karena itu, wajahnya masih nampak gelap. Ketika ia minta diri mewakili kawan-kawannya, terasa pada getar suaranya bahwa masih ada sesuatu yang tersangkut di dadanya.

“Selamat jalan,” berkata Swandaru.

“Terima kasih,” jawab putut itu.

Sementara itu Glagah Putih masih saja berdiam diri.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil telah berlalu meninggalkan padukuhan Jati Anyar. Bahkan selanjutnya meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengusung tiga sosok mayat. Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anak laki-lakinya. Soma dan Tumpak.

“Putut Mawekas tidak ikhlas terhadap sikap kita,” desis Swandaru.

“Biar saja,” jawab Glagah Putih, “kesempatan yang diberikan oleh Ki Gede sudah terlalu banyak baginya. Selain putut itu masih tetap dibiarkan hidup, iapun dapat meninggalkan Tanah Perdikan ini tanpa cedera. Jika dengan kebaikan hati Ki Gede putut edan itu masih merasa kurang, maka pada satu kesempatan aku justru akan membunuhnya.”

Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, “Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi. Biarlah putut itu pergi membawa ketiga sosok mayat itu, serta membawa kesan dan sikapnya terhadap Tanah Perdikan ini. Jika ia akan kembali lagi kemari, biarlah ia kembali.”

“Agaknya putut itu akan kembali,” sahut Glagah Putih. “Ia akan menghubungi Ki Saba Lintang. Ki Saba Lintang akan menemui dan membujuk lagi beberapa perguruan untuk memusuhi Tanah Perdikan.”

“Tetapi Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak akan berani datang langsung ke Tanah Perdikan ini. Justru kelicikannya itulah yang sangat berbahaya. Ada saja akalnya untuk membujuk seseorang agar memusuhi Tanah Perdikan ini. Jika kali ini tiba-tiba Ki Kapat Argajalu datang, dan bahkan kemudian menyerang Tanah Perdikan ini, bukankah hal seperti ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Dengan hubungan keluarga yang masih ada di antara Uwa Kapat Argajalu dengan Ki Argajaya dan Ki Gede, maka Ki Kapat Argajalu, mungkin berdasarkan atas gagasan Ki Saba Lintang, mempunyai lubang, dimana ia harus mulai dengan rencananya yang ternyata kemudian tersusun rapi.”

Glagah Putih yang masih marah itu bergumam, “Jika ia berani kembali dengan siapapun, maka ia akan aku singkirkan pertama kali.”

“Jangan kau bebani perasaanmu dengan kebencian seperti itu,” berkata Swandaru.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia sempat menilai sikap Swandaru. Nampaknya ketika Swandaru menjadi semakin tua, hatinya menjadi semakin mengendap, sehingga Swandaru itu dapat menasehatinya.

Justru karena nasehat itu diucapkan oleh Swandaru, maka kesannya justru berbeda. Nasehat itu seakan-akan telah menghujam jauh ke dalam lubuk hatinya.

“Ya,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri, “kenapa aku harus menyiksa diri sendiri dengan perasaan benci yang tidak berkesudahan?”

Dengan demikian, maka rasa-rasanya Glagah Putih itu telah meletakkan beban yang tersangkut di rongga dadanya.

Namun, keduanya terkejut, ketika seseorang telah memapah seseorang mendekati mereka.

“Siapa?”

“Ki Demang Pudak Lawang.”

“Ki Demang Pudak Lawang,” ulang Glagah Putih sambil melangkah mendekat. Katika ia mengangkat wajah orang itu, dilihatnya wajah yang sangat pucat. Bibir yang kering dan bergetar.

“Kenapa orang itu?” tanya Prastawa.

“Ki Demang kami ketemukan dengan tidak sengaja di sebuah rumah. Tubuhnya terikat, sehingga Ki Demang tidak dapat beringsut kemana-mana.”

“Bawa ke banjar. Serahkan kepada tabib yang bertugas agar merawat Ki Demang Pudak Lawang. Usahakan agar keadaannya membaik. Kami memerlukan keterangannya.”

Ki Demang Pudak Lawang yang lemah itu pun segera dibawa ke pendapa banjar. Ternyata orang-orang yang berada di banjar juga berusaha untuk menyelamatkan jiwanya. Orang itu diperlukan keterangannya.

Dalam pada itu, sejak hari itu Tanah Perdikan Menoreh mulai membenahi tatanan kehidupan, terutama di padukuhan Jati Anyar yang telah dijadikan ajang peperangan, serta di seluruh Kademangan Pudak Lawang. Para pemimpin yang ada di Tanah Perdikan mulai disebar di tempat-tempat yang memerlukan pembinaan setelah perang.

Sementara itu, para tawanan telah ditempatkan di sebuah barak tidak lauh dari barak para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Ki Lurah Agung Sedayu sebagai pemimpin prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan, telah mengambil alih para tawanan dari tugas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang kemudian diserahkan kepada para prajurit Mataram. Agung Sedayu pun segera menyusun laporan dan disampaikannya ke Mataram, tentang gejolak yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan telah aku libatkan langsung,” berkata Agung Sedayu di dalam laporan tertulisnya.

Dalam pada itu, untuk sementara Kademangan Pudak Lawang dipegang langsung oleh Ki Gede Menoreh. Ki Gede sempat mengumpulkan para bebahu dan dengan terpaksa telah menahan mereka.

“Kita telah bekerja sama bertahun-tahun,” berkata Ki Gede kepada mereka, “kecuali Ki Demang, yang belum cukup lama menggantikan kedudukan ayahnya. Mungkin karena ia belum berpengalaman, atau justru karena nafsunya yang meronta-ronta di dalam dadanya, Ki Demang telah terbujuk oleh Ki Kapat Argajalu.”

Ki Demang yang masih lemah itu menjawab dengan suara yang bergetar, “Kami mohon ampun, Ki Gede.”

“Untuk sementara kalian terpaksa kami tahan. Pengkhianatan kalian tidak dapat begitu saja kami lupakan. Kami akan minta petunjuk kepada Mataram, apa yang sebaiknya kami lakukan. Ternyata kalian tidak saja terbatas melawan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kalian telah melawan kekuasaan Mataram. Kalian tahu bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah melibatkan diri di bawah pimpinan langsung Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi kalian masih saja tetap melawan. Sehingga dengan demikian, maka berarti bahwa kalian telah melawan kekuasaan Mataram pula.”

“Ki Kapat Argajalu-lah yang melakukannya. Aku tidak dapat berbuat banyak.”

“Jangan membuat bermacam-macam alasan. Kau sudah tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kalian telah berkhianat.”

“Ampun, Ki Gede. Jangan sebut kami pengkhianat.”

“Bukankah kau telah mengkaitkan pengkhianatan itu dengan hukuman mati?”

Ki Demang menundukkan kepalanya. Tubuhnya terasa menjadi semakin lemah, sehingga rasa-rasanya tulang-tulangnya telah tercabut dari tubuhnya.

Tetapi Ki Demang memang tidak dapat ingkar akan perbuatannya, sehingga yang tersisa kemudian hanyalah penyelesan saja.

Ketika Ki Gede mulai membenahi Kademangan Pudak Lawang, maka Ki Gede telah menunjuk seorang yang dianggap dapat dipercaya untuk memangku jabatan Demang di Pudak Lawang. Ki Gede sudah mengatakan kepadanya, bahwa kedudukan yang dipangkunya itu hanyalah untuk sementara. Namun sebelum ada seorang Demang yang ditetapkan, maka orang itu berkewajiban untuk melaksanakan tugas seorang Demang. Tetapi iapun menerima hak yang seharusnya diterima oleh seorang Demang. Tanah bengkok dan hak-hak yang lain.

Swandaru dan Pandan Wangi tidak segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja dilanda prahara. Namun prahara di Tanah Perdikan itu telah memperingatkannya untuk mulai berpikir dengan sungguh-sungguh, apa yang seharusnya dilakukan jika pada saatnya harus ada pewarisan kekuasaan.

“Memang tidak terlalu tergesa-gesa, Swandaru,” berkata Ki Gede, “tetapi kita harus sudah mulai memikirkannya. Ki Saba Lintang tentu masih akan menggelitik beberapa orang berilmu tinggi yang bodoh, sehingga dapat dijadikan alat bagi kepentingan Ki Saba Lintang.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ki Saba Lintang tidak hanya menyusup lewat Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga lewat Kademangan Sangkal Putung. Hampir saja hubungan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh retak, justru karena Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat mendukung keinginan Swandaru yang telah disusupi racun lewat godaan yang sangat lembut. Swandaru hampir menjadi gila pada saat hatinya digelitik oleh keinginan untuk menjadikan Sangkal Putung sebagai Tanah Perdikan.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ki Saba Lintang adalah seorang yang sangat cerdik dan licik. Ia mampu memperalat orang-orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.

“Pikirkan hal itu, Swandaru,” berkata Ki Gede Menoreh.

“Ya, Ayah,” jawab Swandaru, “aku akan memikirkannya. Nampaknya akan terdapat banyak persoalan.”

“Ya. Selain itu, kaupun harus berhati-hati. Mungkin Ki Saba Lintang akan merunduk Sangkal Putung. Baru kemudian ia berhasil mendapatkan tongkat baja putih yang sebuah lagi. Jika keduanya sudah menyatu, maka Kedung Jati rasa-rasanya akan bangkit lagi. Tetapi dengan sifat dan watak yang sudah berbeda, sehingga kebangkitannya itu justru akan lebih banyak menimbulkan bencana bagi umat manusia, terutama di lingkungan kekuasaan Mataram. Karena Mataram tidak akan membiarkan Perguruan Keduang Jati itu bangkit lagi.”

“Ya, Ayah. Ki Saba Lintang memang sangat licik, tetapi pengecut, sehingga jarang sekali nampak di medan pertempuran.”

Berbagai pesan telah diberikan kepada Swandaru dan Pandan Wangi, apa yang sebaiknya dilakukannya. Antara lain, Ki Gede berkata, “Kau juga harus memperkuat pertahananmu, Swandaru. Anak-anak muda di seluruh kademangan harus sudah siap digerakkan.”

“Ya, Ayah.”

“Dalam keadaan putus asa, mungkin saja Saba Lintang mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyerang Sangkal Putung.”

“Ya, Ayah.”

“Nah, sekarang pergilah untuk beristirahat. Besok kita akan melanjutkannya.”

Keadaan Kademangan Pudak Lawang memang sudah menjadi sedikit parah. Racun yang ditebarkan oleh Ki Kapat Argajalu nampaknya masih saja mencengkam sekelompok anak-anak mudanya. Mereka masih saja bersikap bermusuhan dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnyalah bahwa para anak-anak muda Pudak Lawang masih berada di bawah pengaruh mimpi buruk mereka.

Setelah beberapa hari Swandaru dan Pandan Wangi berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka pun telah minta diri. Mereka tidak dapat meninggalkan Sangkal Putung terlalu lama. Ki Demang Sangkal Putung sudah menjadi semakin tua. Meskipun usianya tidak terpaut banyak dari Ki Gede, tetapi rasa-rasanya Ki Demang Sangkal Putung sudah jauh lebih tua.

“Baiklah, Ngger. Tetapi ingat-ingatlah pesanku. Ki Saba Lintang akan dapat menjadi seakan-akan titisan Tohpati, yang memiliki tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati setelah Ki Patih Mantahun. Tohpati telah gagal menguasai Kademangan Sangkal Putung, karena waktu itu di Sangkal Putung ada Ki Widura, dan kemudian Ki Untara.”

“Ya, Ayah,” Swandaru mengangguk-angguk.

“Ki Untara itu sekarang masih berada di Jati Anom. Demikian pula Ki Widura. Jika titisan Tohpati itu bangkit lagi untuk menerkam Sangkal Putung, maka jangan segan-segan berbicara dengan orang-orang yang pernah mengalahkan Tohpati itu.”

“Ya, Ayah. Termasuk Kakang Agung Sedayu.”

“Bukankah waktu itu Agung Sedayu baru saja bangkit?”

“Ya, Ayah.”

“Nah, biarlah malam nanti kita mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang sudah ikut menyelamatkan Tanah Perdikan ini. Kau dapat minta diri dan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada mereka.”

“Ya, Ayah. “

Sebenarnyalah malam itu di rumah Ki Gede telah diselenggarakan sebuah pertemuan yang khusus. Yang diundang adalah orang-orang berilmu tinggi yang ikut serta mempertahankan Jati Anyar. Selain Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih serta istri-istri mereka, juga diundang Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Juga diundang para Demang, para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan dari padukuhan-padukuhan yang ada di Tanah Perdikan.

Pada kesempatan itu, Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada mereka atas kesediaan mereka berjuang mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dalam pertemuan itu pula, Prastawa telah minta maaf kepada seluruh rakyat di Tanah Perdikan, bahwa kesetiaannya pernah diguncang oleh Ki Kapat Argajalu.

“Hatiku memang rapuh,” berkata Prastawa, “aku mohon maaf kepada seluruh rakyat Tanah Perdikan ini. Untunglah bahwa akhirnya Yang Maha Agung telah menyelamatkan jiwaku dari pengkhianatan yang memalukan.”

Di malam itu pula, Swandaru telah minta diri kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Seperti Ki Gede, maka iapun mengucapkan terima kasih atas kesetiaan rakyat terhadap Tanah Perdikannya.

“Kesetiaan kalian, kalian tujukan kepada Tanah ini. Tidak kepada seseorang, satu keluarga atau sekelompok orang. Itulah kebanggan rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kesetiaan itu juga dituntut pula terhadap para pemimpinnya.”

Pertemuan itu berlangsung sampai jauh malam. Mewakili rakyat Tanah Perdikan, seorang Demang telah mengucapkan selamat jalan kepada Swandaru dan Pandan Wangi, yang esok pagi akan meninggalkan Tanah Perdikan kembali ke Sangkal Putung.

Namun Demang itu pun berkata, “Ki Swandaru. Aku mohon peristiwa ini menjadi sebuah peringatan bagi Ki Swandaru, bahwa ada celah-celah yang perlu segera diisi, agar di kemudian hari tidak dapat dipergunakan oleh seseorang untuk mencari persoalan di Tanah Perdikan ini. Mungkin saja ada orang lain yang asal saja ingin membuat kekisruhan di Tanah Perdikan ini. Tetapi mungkin pula ada sekelompok orang yang merasa mendapat peluang untuk mencari keuntungan dalam kericuhan-kericuhan di Tanah ini. Bahkan orang-orang jahat dan kelanjutan dari usaha Ki Saba Lintang yang akan dapat bekerja sama.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ditanggapinya pernyataan itu dengan ucapan terima kasih. Apa yang dikatakan Ki Demang itu sejalan dengan pesan-pesan yang telah diberikan oleh Ki Gede sendiri.

Ketika terdengar suara kentongan dalam irama dara muluk di wayah tengah malam, maka pertemuan itu pun telah ditutup oleh Ki Gede.

Di keesokan harinya, ketika fajar menyingsing, Swandaru dan Pandan Wangi telah siap meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi dengan pedang rangkap di kedua lambungnya, sedangkan Swandaru telah melilitkan cambuknya di bawah bajunya.

Beberapa orang telah berkumpul di halaman rumah Ki Gede. Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Jayaraga, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan beberapa orang yang lain. Ki Argajaya dan Prastawa juga sudah berada di halaman itu.

“Sudahlah,” berkata Pandan Wangi, “setiap orang pernah melakukan kekhilafan. Kau boleh saja menyesal, Prastawa, tetapi jangan menghambat langkah-langkahmu selanjutnya. Tentu saja pengalaman yang membuatmu menyesal itu jangan terulang lagi.”

“Ya, Mbokayu. Aku mengerti. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi di masa depan.”

Pandan Wangi menepuk bahu adik sepupunya sambil tersenyum. Katanya, “Jika ada waktu luang, datanglah ke Sangkal Putung, Prastawa. Kau tentu juga memerlukan waktu untuk beristirahat.”

“Terima kasih, Mbokayu. Pada suatu hari aku akan sampai ke Sangkal Putung.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi itu pun telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Menoreh.

Beberapa saat kemudian, maka mereka telah melarikan kuda mereka di bulak persawahan menuju ke tempat penyeberangan.

Pandan Wangi yang jarang-jarang berada di Tanah Perdikan Menoreh sejak ia berada di Sangkal Putung, sempat memperhatikan tanaman yang subur, yang membentang dari cakrawala sampai ke cakrawala.

Sebagaimana Kademangan Sangkal Putung, maka Tanah Perdikan Menoreh menghasilkan beras yang cukup bagi rakyatnya. Selain beras masih ada hasil-hasil lain yang bukan saja memenuhi kebutuhan, tetapi juga dapat ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan selain pangan.

Selain hasil buminya, di Tanah Perdikan Menoreh juga terdapat berbagai macam kerajinan tangan yang menunjang kesejahteraan hidup.

“Nampaknya kesuburan tanahnya serta kemampuan mereka menghasilkan barang-barang kerajinan, telah membuat Ki Kapat Argajalu bermimpi untuk menguasai Tanah Perdikan ini,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Sementara itu perjalanan mereka pun menjadi semakin dekat dengan tempat penyeberangan di Kali Praga.

Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, Tanah Perdikan Menoreh masih saja sibuk berbenah diri. Glagah Putih dan Prastawa menjadi sangat sibuk. Perlahan-lahan mereka berusaha mendekatkan kembali Pudak Lawang dengan kademangan-kademangan lain di Tanah Perdikan Menoreh.

Satu usaha yang sulit. Tetapi harus dilakukan, bagi keutuhan Tanah Perdikan Menoreh.

Glagah Putih dan Prastawa, bahkan Ki Gede sendiri, telah mengingatkan kepada rakyat Kademangan Pudak Lawang dan kademangan-kademangan lain, agar mereka tidak saling mendendam,

“Lupakan apa yang sudah terjadi, demi masa depan Tanah ini. Jika kita masih saling mendendam, maka luka di tubuh Tanah Perdikan ini tidak akan segera sembuh. Yang koyak tidak akan segera bertaut.”

Usaha itu memerlukan kesabaran yang tinggi. Sementara itu, pemangku jabatan Demang di Pudak Lawang telah bekerja keras untuk memberikan sesuluh kepada rakyatnya.

“Kita harus mengakui, bahwa sumber petaka yang melanda Tanah Perdikan itu adalah kademangan kita. Tetapi bukan atas kehendak kita. Bukan gagasan murni orang-orang Pudak Lawang. Ki Demang telah terpengaruh oleh orang-orang asing itu, meskipun mereka saudara sepupu Ki Gede. Namun ternyata mereka telah menyebarkan racun di antara kita. Harapan-harapan yang melambung tinggi sampai ke awan. Bahkan Prastawa, putra Ki Argajaya, pun hampir saja terseret ke dalam arus yang menentang tatanan dan paugeran yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”

Rakyat Pudak Lawang sebagian terbesar dapat mengerti, sehingga mereka pun mengakui sebagaimana dikatakan oleh pemangku Demang Pudak Lawang itu.

Tetapi masih ada juga di antara mereka yang keras kepala. Yang merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan itu benar.

Dengan demikian, maka sikap rakyat Pudak Lawang sendiri masih terbelah.

Ki Gede dan pemangku jabatan Demang di Pudak Lawang menyadari, bahwa segala sesuatunya tidak akan dapat diselesaikan dengan serta merta. Tetapi harus dengan perlahan-lahan, penuh kesabaran.

Ki Lurah Agung Sedayu pun sudah dipanggil ke Mataram atas dasar laporan yang telah disampaikannya. Ki Lurah Agung Sedayu harus memberikan beberapa keterangan dan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambilnya dengan melibatkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, sehingga ada beberapa orang telah gugur karenanya.

Tetapi penjelasan Ki Lurah Agung Sedayu dapat diterima, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu tidak dianggap bersalah dengan tindakannya itu.

Sementara itu, ketika keadaan sudah hampir menjadi pulih kembali, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah sembuh sama sekali dari luka-luka dalamnya, teringat akan tugas yang sebenarnya masih harus diembannya. Mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.

Satu tugas yang sangat, berat. Namun Glagah Putih tidak diberi batasan waktu serta keharusan berhasil. Bahkan jika perlu, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat minta bantuan prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan, atau dimana pun juga. 

Untuk melengkapi pertanda akan tugas yang diembannya, agar tidak timbul salah paham, maka lewat Ki Patih Mandaraka dan kemudian Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih telah mendapat sebuah lempeng tembaga yang dapat dikenakan di ikat pinggangnya, yang memuat huruf-huruf yang menyatakan akan hak dan kewajibannya. Ditandai oleh lambang Kerajaan Mataram yang berbentuk mahkota serta sayap-sayap burung garuda yang mengembang.

Ketika niatnya untuk melanjutkan tugasnya itu dikemukannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah pun bertanya, “Dari mana kau akan mulai, Glagah Putih?”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Dengan nada berat Glagah Putih pun berkata, “Aku belum memikirkan lebih dalam, Kakang. Tetapi bagaimana jika aku pergi ke Barat dan mengamati padepokan yang ditinggalkan oleh Ki Kapat Argajalu?”

“Kau sudah dikenal oleh para pengikut Ki Kapat Argajalu yang dibebaskan itu, Glagah Putih.”

“Aku akan menemui mereka dan berbicara berterus terang. Jika mereka orang-orang yang mempunyai jantung, mereka akan mengerti bahwa mereka telah dijerumuskan oleh Ki Saba Lintang. Mereka akan dapat memperbandingkan sifat dan watak Ki Saba Lintang dengan Ki Gede di sini.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Jika kau tempuh jalan itu, maka akan sangat berbahaya bagimu, Glagah Putih. Aku tidak yakin jika orang-orang yang telah dibebaskan itu berterima kasih kepada Ki Gede. Tetapi justru dapat sebaliknya. Mereka mendendam karena Ki Gede dan para pengikutnya telah membunuh Ki Kapat Argajalu, yang mereka anggap sebagai seorang yang tidak ada duanya di dunia ini. Bahkan kedua anaknya telah terbunuh pula di sini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi itu adalah satu-satunya jalan yang nampak sekarang, Kakang. Meskipun samar-samar, tetapi agaknya akan lebih baik daripada aku harus meloncat ke sebuah lubang yang gelap pekat.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Seandainya niatmu itu benar-benar kau lakukan, kapan kau akan berangkat, Glagah Putih?”

“Aku memerlukan persiapan, Kakang. Aku juga harus meyakinkan apakah Rara Wulan benar-benar telah pulih seutuhnya lagi kemampuan serta aji pamungkasnya. Jika ia sudah pulih, maka aku tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk melakukan persiapan-persiapan, Kakang.”

“Baiklah, Glagah Putih. Kau sudah dewasa penuh. Bahkan kau sudah berkeluarga. Karena itu, sebaiknya segala sesuatunya kau bicarakan dengan istrimu. Kau bicarakan dengan sungguh-sungguh. Kau pelajari untung dan ruginya pada setiap langkah yang kau rencanakan. Kau tidak lagi sekedar menuruti keinginan saja seperti anak-anak muda. Tetapi kau harus mengambil keputusan dengan mempertimbangkan baik dan buruk. Mandiri serta bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada dirimu sendiri, kepada lingkunganmu dan terlebih-lebih lagi kepada Yang Maha Agung. Demikian pula istrimu. Dalam langkah bersama, maka kalian akan mempertanggungjawabkan bersama pula.”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Ya, Kakang.”

“Nah, sebelum kau mengambil keputusan untuk benar-benar berangkat ke Barat, kau mempunyai waktu untuk memikirkannya dan membicarakannya dengan istrimu.”

“Ya, Kakang.”

“Tetapi aku ingin memperingatkan kau, Glagah Putih. Jangan kau biarkan dirimu untuk tetap bertualang sampai hari tuamu. Kau tahu bahwa aku tidak mempunyai keturunan. Mungkin aku dapat berbangga dengan sedikit ilmu yang aku miliki. Tetapi tidak ada orang yang akan dapat menyambung sejarah hidupku. Sejarah keluargaku. Untung Kakang Untara mempunyai seorang anak laki-laki, yang dapat menyambung kelanjutan nama keluargaku. Jika tidak, maka aliran darah keluargaku akan terputus sampai di sini. Demikian pula mbokayumu Sekar Mirah. Untung pula-lah bahwa kakak laki-lakinya mempunyai keturunan pula. Aku berdoa agar cucu Kakang Untara dan cucu Adi Swandaru kelak tidak hanya satu orang saja, tetapi lebih dari itu. Setidaknya dua orang, sebagaimana aku dan Kakang Untara. Tetapi dari yang dua itu, hendaknya akan dapat berkembang lebih banyak lagi.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu, dalam saat saat senja memasuki malam, selagi Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah duduk di amben yang agak besar di ruang dalam menjelang makan malam, terpancar pada keduanya kesepian yang mencengkam. Pada saat-saat yang demikian, akan menjadi semarak jika ada anak-anak yang ikut duduk di antara mereka. Anak-anak yang menjadi semakin besar dan sudah mulai belajar berbagai macam ilmu.

Tetapi anak-anak itu tidak pernah ada di pangkuan mereka. Mereka tidak pernah menggendong seorang bayi yang sedang menangis, sambil mendendangkan lagu-lagu pujian atau lagu-lagu belaian agar mereka tertidur nyenyak dengan mimpi indah.

Glagah Putih juga pernah melihat dengan tidak sengaja, Sekar Mirah mengusap matanya yang basah ketika ia melihat seorang anak laki-laki yang berlari-lari di jalan di depan rumahnya, mengejar kakaknya yang lebih besar, yang sengaja mengganggu adiknya. Ketika Sekar Mirah mendengar anak itu berteriak memanggil kakaknya sambil menangis, maka Sekar Mirah-lah yang berlari kepadanya. Digendongnya anak itu sambil dibelainya dengan kasih sayang. Sekar Mirah tidak mengusap air mata anak itu, tetapi ia justru mengusap air matanya sendiri.

Glagah Putih terbangun dari angan-angannya ketika Ki Lurah Agung Sedayu bertanya, “Kau tahu maksudku, Glagah Putih?”

“Aku tahu, Kakang.”

“Paman Widura tentu juga menginginkan seorang cucu. Sutu-satunya harapan yang dapat memberinya seorang cucu adalah kau, Glagah Putih.”

Glagah Putih menundukkan wajahnya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Ya, Kakang. Aku mengerti. Tetapi aku berharap bahwa sebelumnya aku ingin memberikan arti dari hidup kami berdua bagi Mataram.”

“Jika kau tidak mendapatkan tongkat baja putih itu?”

Glagah Putih terdiam.

“Glagah Putih. Yang mendapat tugas untuk menemukan tongkat baja putih itu tentu dapat berganti orang. Para pemimpin Mataram menyadari, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat dan sulit. Karena itu mereka tidak dengan semena-mena memerintahkan kepada seseorang bahwa orang itu harus dapat membawa tongkat baja putih dan menyerahkannya ke Mataram. Para pemimpin Mataram masih berpijak kepada kenyataan akan keterbatasan seseorang. Karena itu, maka yang diperintahkan oleh Mataram adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat membawa tongkat itu ke Mataram. Tetapi jika usaha itu harus gagal karena berbagai macam kendala, maka Mataram tidak akan menyalahkannya.”

“Ya, Kakang. Mataram memang tidak memerintahkan aku untuk pergi mencari tongkat baja putih itu, dengan ancaman bahwa aku tidak boleh pulang sebelum aku berhasil.”

“Karena itu, maka kau harus mempunyai batasan waktu bagi dirimu sendiri. Maksudku, pada saat lewat batasan waktu itu kau tidak dapat membawa tongkat baja putih itu ke Mataram, maka kau dapat mengembalikan tugasmu itu. Para pemimpin di Mataram tentu dapat mengerti. Bahkan orang-orang yang memiliki nama besar di Mataram pun mungkin tidak akan dapat melakukannya.”

“Aku akan memikirkannya kelak, Kakang.”

“Baiklah, Glagah Putih. Tetapi jangan kau sia-siakan tugasmu secara pribadi. Jangan kau biarkan kerinduan Paman Widura membatu di dadanya.”

“Aku mengerti, Kakang.”

“Nah. Aku ingin menasehatkan kepadamu. Kemanapun kau akan mencari tongkat baja putih itu, sebaiknya kau menemui ayahmu dan minta diri.”

“Aku pernah datang minta diri kepada Ayah, Kakang.”

“Tetapi ada baiknya kau ulang. Agaknya kau juga sudah lama tidak menemui ayahmu dan kakak sepupumu, Kakang Untara. Akan lebih baik jika kau sempat singgah di rumah Adi Swandaru barang sehari. Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh?”

“Ya, Kakang. Biarlah nanti aku membicarakannya dengan Rara Wulan.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat mencegah niat Glagah Putih dan Rara Wulan untuk memburu tongkat baja putih itu. Selain menjalankan tugas yang memang dibebankan kepada mereka, keduanya memang menginginkan sebuah pengembaraan, selagi mereka masih terhitung muda. Nampaknya mereka ingin mendapatkan pengalaman dalam sebuah petualangan, meskipun kadang-kadang mereka harus menghadapi bahaya yang sangat berat.

Malam itu Glagah Putih telah membicarakan segala sesuatunya dengan Rara Wulan. Bahkan keduanya sempat berada di sanggar untuk mengamati, apakah Rara Wulan benar-benar telah pulih kembali, setelah ia terluka pada saat Rara Wulan membenturkan ilmunya melawan ilmu pamungkas Tumpak.

Namun baik Rara Wulan maupun Glagah Putih telah meyakini bahwa segala sesuatunya telah pulih kembali. Kekuatan ilmu Rara Wulan pun telah putih seperti sedia kala. Kemampuan dan ketrampilannya, tenaga dalamnya dan segala-galanya telah menjadi pulih kembali.

“Kita dapat berangkat kapan saja, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Kakang Agung Sedayu menganjurkan agar kita minta diri kepada Ayah di padepokan Orang Bercambuk.”

“Bukankah kita berniat berjalan ke Barat?”

“Aku sudah mengatakannya kepada Kakang Agung Sedayu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tetap minta agar kita menyempatkan diri untuk menemui Ayah, Kakang Untara, dan jika mungkin Kakang Swandaru.”

Rara Wulan mengangguk kecil.

“Rara Wulan,” berkata Glagah Putih kemudian, “Kakang Agung Sedayu menyinggung akan kerinduan Ayah Widura terhadap seorang cucu.”

“Cucu?” sahut Rara Wulan dengan nada tinggi.

“Ya.”

“Apa maksud Kakang Agung Sedayu?”

“Kita harus dapat memaklumi. Kakang Agung Sedayu sendiri tidak mempunyai seorang anak. Mbokayu Sekar Mirah sangat merindukan dapat menimang seorang bayi di tangannya. Tetapi sia-sia. Meskipun Kakang Agung Sedayu tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi Kakang Agung Sedayu sudah mengingatkan agar pada satu saat kita dapat hidup wajar, bersama dengan anak-anak kita.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia memang belum memikirkan keberadaan seorang anak di antara mereka. Tetapi yang dikatakan oleh Agung Sedayu lewat suaminya itu memang menyentuh perasaannya.

“Rara Wulan,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku sudah mengatakan kepada Kakang Agung Sedayu, bahwa setelah kita menjalani tugas yang satu ini, berhasil atau tidak berhasil, aku akan memikirkan pendapatnya itu. Hidup wajar di sebuah rumah kecil dengan beberapa orang anak. Kita akan bekerja di sawah sebagai petani, yang harus rajin agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Wajahnya kemudian tertunduk. Nampaknya ia sedang merenungi kata-kata suaminya, bahwa akhirnya mereka memang harus menempatkan diri dalam satu keluarga yang dapat hidup tenteram dan serasi. Meskipun tidak di setiap keluarga akan selalu terdengar tawa dan tangis, namun dengan penuh pengertian dari setiap anggauta keluarga, maka bangunan keluarga yang dilandasi dengan kasih itu akan dapat berdiri dengan kokoh.

Ketika Rara Wulan kemudian menarik nafas panjang, Glagah Putih pun berkata, “Rara Wulan. Kita akan bersiap-siap. Tetapi kita akan memenuhi pendapat Kakang Agung Sedayu, bahwa kita akan pergi ke Jati Anom untuk minta diri kepada Ayah dan kepada Kakang Untara, serta singgah sebentar di Sangkal Putung.”

“Baik, Kakang.”

“Dalam tiga atau empat hari mendatang, kita akan berangkat untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.”

“Ya, Kakang.”

Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan dirinya. Sekar Mirah berpendapat bahwa sebaiknya Rara Wulan juga membawa senjata kewadagan. Agar tidak semata-mata menarik perhatian dengan menggantungkan pedang di lambungnya, maka Sekar Mirah telah mengusulkan agar Rara Wulan mempelajari sifat dan watak sehelai selendang. Apakah Rara Wulan mampu mempergunakan sehelai selendang untuk dijadikan sebuah senjata kewadagan. Namun kemudian permainan selendangnya akan berkait dengan ilmu tenaga dalamnya. Ketrampilan tangannya dan kecepatan geraknya.

“Kau dapat mencobanya,” berkata Glagah Putih, “kau sudah mempunyai dasar ilmu yang memadai.”

“Sebagai murid utama Orang Bercambuk, Kakang tentu juga memiliki ilmu itu dengan mapan.”

“Ya.”

“Kita akan mencobanya, apakah ilmu cambuk Kakang itu akan berarti untuk mempermainkan sehelai selendang.”

Hampir sehari penuh, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di dalam sanggarnya. Bahkan di malam harinya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah ikut berada di dalam sanggar itu pula.

Sedikit lewat tengah malam, Rara Wulan dan Glagah Putih menghentikan pencarian mereka. Namun Rara Wulan telah menemukan landasan unsur-unsur gerak untuk mempergunakan sehelai selendang sebagai senjata, ditopang oleh ilmu tenaga dalamnya yang tinggi.

Sementara itu, Glagah Putih pun telah menempatkan dirinya sebagai salah satu murid utama Perguruan Orang Bercambuk. Sehingga karena itu, maka di hari berikutnya, Glagah Putih pun telah menjelajahi pula ilmunya itu di sanggar bersama Ki Lurah Agung Sedayu. 

Tetapi Glagah Putih tidak memerlukan sehelai cambuk. Dengan pengalamannya yang luas serta kecerdasannya, maka Glagah Putih telah mampu meluluhkan ilmu cambuknya dengan berbagai macam ilmu yang pernah dipelajarinya. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih dapat mempergunakan berbagai macam ilmu yang telah luluh itu untuk menopang kemampuannya mempergunakan senjata khususnya, ikat pinggangnya.

Karena itulah, ketika kedua orang suami istri itu siap untuk meninggalkan Tanah Perdikan, maka keduanya tidak nampak membawa senjata apapun. Tetapi Rara Wulan telah menyangkutkan selendang lurik berwarna ungu di bahunya, sedangkan Glagah Putih mengenakan ikat pinggangnya yang khusus pula, dengan timang yang telah dilekati lempengan tembaga pertanda wewenang dan kewajibannya.

Menjelang keberangkatannya, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya untuk minta diri. Ditemuinya pula Prastawa, yang masih sibuk memperbaiki berbagai macam tatanan yang ditumbangkan oleh Ki Demang Pudak Lawang. Glagah Putih dan Rara Wulan juga minta diri kepada Empu Wisanata dan Nyi Dwani, yang agaknya merasa lebih tenteram menetap di Tanah Perdikan Menoreh daripada bertualang bersama Ki Saba Lintang.

Di malam hari menjelang kepergiannya esok pagi, Ki Jayaraga masih juga memberikan berbagai macam pesan. Ki Jayaraga yang telah menjadikan Glagah Putih sebagai muridnya, berharap bahwa Glagah Putih pada satu hari kembali dengan selamat di Tanah Perdikan Menoreh.

“Ngger,” berkata Ki Jayaraga, “jangan pergi terlalu lama. Aku sudah tua. Aku tidak tahu, umurku masih ada berapa tahun lagi. Aku berharap bahwa aku masih dapat melihat kau pulang.”

“Kami tidak akan terlalu lama, Guru,” jawab Glagah Putih. “Seandainya tugas kami harus kami jalani sampai berbilang tahun, maka setiap kali kami akan pulang meskipun hanya sebentar.”

“Bagus. Aku memang berharap kau setiap kali singgah di Tanah Perdikan ini. Jangan sampai sepuluh tahun atau lebih tanpa pulang sama sekali, sehingga kadang-kadang segala hubungan telah terputus.”

“Ya, Guru. Kakang Agung Sedayu pun telah berpesan, agar aku membatasi diri dengan petualanganku. Kakang Agung Sedayu berharap aku dapat hidup wajar sebagaimana kebanyakan keluarga. Tinggal di sebuah rumah. Membangun rumah tangga yang baik bersama anak-anak.”

“Aku sangat sependapat, Glagah Putih. Kalian memang bukan dilahirkan untuk menjadi petualang. Karena itu, ingat-ingatlah pesan kakakmu yang juga gurumu itu.”

“Ya, Guru.”

Pagi itu, ketika langit cerah dan berwarna kemerah-merahan oleh cahaya fajar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah siap untuk berangkat.

Di halaman, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka sampai ke regol halaman. Keduanya akan menempuh perjalanan yang panjang. Namun mula-mula mereka akan pergi ke Jati Anom dan Sangkal Putung.

Di regol Sukra masih juga bertanya, “Kapan kau akan pulang ke rumah ini?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakannya, Sukra. Tetapi jangan cemas. Berlatihlah terus. Aku sudah berpesan kepada Kakang Agung Sedayu, bahwa setiap kali kau akan minta bantuannya.”

Sukra menarik nafas panjang. Ia sudah menjadi remaja yang mendekati dewasa, sehingga ia sudah mulai berpikir lebih panjang dari pikiran anak-anak.

Sambil mengangguk Sukra pun berkata, “Terima kasih. Aku akan mencoba menanyakan kepada Ki Lurah.”

“Tanyakan kepadanya kapan saja kau perlu.”

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah dilepas. Sekar Mirah sempat memeluknya dan mencium keningnya, “Hati-hati di jalan, Rara.”

“Ya, Mbokayu.”

Setelah mencium tangan Agung Sedayu, maka Rara Wulan itu pun melangkah surut.

Sejenak kemudian, bersama suaminya Rara Wulan itu berjalan semakin lama semakin jauh.

Ada titik air di mata Sekar Mirah. Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Mereka masih muda. Mereka ingin melihat dunia ini lebih banyak lagi. Pada saatnya mereka akan menjadi lebih tenang, dan tinggal di sebuah rumah yang akan menjadi sarang keluarga mereka.”

Sekar Mirah mengangguk. Tetapi tidak ada sepatah kata pun yang meluncur dari bibirnya.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh. Mereka sengaja tidak naik kuda. Ada beberapa pertimbangan sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Sudah berpuluh kali mereka menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ke Jati Anom. Berjalan kaki maupun naik kuda. Karena itu maka rasa-rasanya apa yang mereka lakukan itu adalah kerja yang sudah terbiasa.

Glagah Putih dan Rara Wulan memilih lewat jalan penyeberangan di sisi utara. Mereka memang berniat untuk pergi ke Jati Anom tanpa melewati Mataram. Mereka akan menelusuri jalan-jalan sempit di kaki Gunung Merapi.

Glagah Putih dan Rara Wulan merasa berjalan tanpa diburu oleh waktu. Karena itu, maka mereka tidak merasa tergesa-gesa.

Ketika mereka sampai di tepian, mereka sengaja memberi tempat lebih dahulu kepada keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, seorang nenek tua dan enam orang anak. Yang terbesar berumur sekitar sepuluh tahun, dengan lima orang adiknya.

“Bagaimana dengan Angger berdua?” bertanya ayah dari enam orang anak itu.

“Aku dapat ikut rakit yang kemudian,” jawab Glagah Putih. “Jika aku ikut dalam rakit itu, nanti ada di antara kalian yang harus tinggal di tepian sebelah barat Kali Praga ini.”

“Tetapi Angger berdua datang lebih dahulu.”

“Tidak apa-apa. Kami tidak tergesa-gesa,” jawab Glagah Putih.

“Terima kasih, Ngger. Kami akan menyeberang lebih dahulu.”

Beberapa saat kemudian, maka rakit pun mulai bergerak.

Sementara itu beberapa orang anak muda berdatangan turun dari tebing yang landai di tepian. Seorang di antara mereka berkata, “Kalau kita lebih cepat sedikit, kita dapat memakai rakit itu.”

“Kita pakai yang datang dari sebelah timur itu.”

“Ya,” sahut kawannya. Lalu ia pun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “He, kau berikan kesempatanmu kepada orang yang menyeberang bersama cindil abangnya itu. Nanti kau pun harus memberi tempat kepada kami, jika rakit yang menepi dari arah timur itu berhenti.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih pun berkata, “Silahkan, Ki Sanak. Aku tidak tergesa-gesa.”

“Bagus.”

Namun kawannya yang bertubuh tinggi tegap seperti raksasa berkata, “Tetapi biarlah perempuan itu naik rakit bersama kami.”

“Perempuan itu istriku, Ki Sanak. Ia akan naik rakit bersamaku.”

“Bukankah bisa saja ia naik rakit bersama kami? Nanti biarlah ia menunggumu di tepian seberang.”

“Itu tidak perlu.”

“Mungkin kau menganggap tidak perlu. Tetapi aku berpendapat sebaiknya istrimu naik rakit bersama kami.”

Seorang kawannya yang lain tiba-tiba saja menyahut, “Ya. Biarlah ia naik rakit bersama kami.”

“Bukankah itu tidak wajar, Ki Sanak? Perempuan itu berpergian bersama suaminya. Kenapa ia harus naik rakit bersama orang lain? Sementara suaminya juga akan menyeberang dengan rakit.”

“Jangan banyak omong. He, marilah duduk. Ikut aku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Mantap