Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 352

Buku 352

Sementara itu, ketika Sungsang masih saja meronta-ronta, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Jika kau tidak dapat tenang, maka aku akan membiarkan kau menjadi tontonan. Aku akan meninggalkan pedati dengan kau terikat di dalamnya, di tengah-tengah jalan, dengan dijaga oleh dua orang prajurit. Aku akan memerintahkan prajurit itu mengedarkan tampah untuk memungut uang bagi mereka yang nonton pertunjukan yang sangat menarik ini.”

Sungsang tidak dapat menjawab, karena mulutnya disumbat. Namun sikapnya menunjukkan kemarahannya yang amat sangat. Namun akhirnya Sungsang itu pun berhenti. Bukan saja karena kelelahan. Tetapi iapun tidak ingin menjadi tontonan di tengah jalan.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah memasuki regol halaman yang cukup besar dengan halaman yang luas. Rumah itu memang disediakan untuk keperluan-keperluan khusus. Ki Lurah pun memerintahkan para pemimpin kelompok untuk mengatur para prajurit yang harus bertugas, terutama mengawasi pedati yang memuat harta benda berharga yang diambil dari para perampok yang berkedok sebuah perguruan itu.

“Aku akan menghadap Kanjeng Panembahan di istana,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Seperti yang diperintahkan oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, maka di wayah pasar temawon, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menghadap. Ternyata Ki Patih Mandaraka dan beberapa orang pemimpin Mataram telah menghadap pula.

“Aku ingin mendengar laporanmu, Ki Lurah,” berkata Kanjeng Panembahan.

“Ampun, Kanjeng Panembahan. Dengan perkenan Kanjeng Panembahan, hamba akan melaporkan perjalanan hamba, mengantar Kanjeng Pangeran Puger ke Demak.”

“Katakan.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah melaporkan perjalanan yang telah ditempuh ketika ia mengawal Pangeran Puger menuju ke Demak. Semuanya telah di laporkannya. Tidak ada yang dikurangi dan tidak ada yang ditambah. Ki Lurah telah membawa harta benda berharga yang disembunyikan oleh gerombolan Srengga Sura, yang telah menyelimuti gerombolannya sebagai sebuah perguruan.

“Jadi kau dan pasukanmu harus bertempur pada saat kau berangkat dan pada saat kau kembali?”

“Hamba, Panembahan.”

“Di kedua pertempuran itu, ada prajuritmu yang gugur?”

“Ya, Panembahan.”

Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kanjeng Panembahan itupun bertanya, “Lalu apa maksudmu dengan membawa harta benda yang berbau darah itu kemari?”

“Ampun, Panembahan. Menurut dugaan hamba, harta benda itu adalah harta benda milik rakyat Demak, sehingga sepantasnya bahwa harta benda itu dikembalikan ke Demak.”

“Adakah dapat dicari, siapakah pemilik benda-benda berharga itu?”

“Tidak, Panembahan. Tetapi harta benda itu sebaiknya kembali ke Demak. Mungkin akan dapat dipergunakan untuk membiayai kerja yang akan sangat berarti bagi Demak. Mungkin untuk membangun bangunan-bangunan yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya. Dengan demikian, maka harta benda itu telah kembali ke kandangnya.”

Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku dapat mengerti jalan pikiranmu. Aku sependapat. Karena itu, biarlah aku menugaskan Eyang Patih Mandaraka untuk mengurus harta benda itu, sehingga tidak akan salah arah.”

“Hamba akan menyerahkannya, Panembahan.”

“Eyang Patih Mandaraka?”

“Hamba, Panembahan.”

“Seperti yang aku katakan, aku serahkan pelaksanaan penyerahan kembali harta benda itu kepada Eyang Panembahan.”

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Pada saatnya hamba akan melakukannya. Tetapi untuk sementara biarlah harta benda itu berada di bangsal perbendaharaan istana. Kita bersama-sama akan menerima dan menghitung apa saja yang telah dibawa oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

“Silahkan, Eyang. Sebaiknya Eyang menunjuk siapa saja yang akan Eyang minta menerima harta benda rampasan itu, dan kemudian menyerahkannya kepada petugas di bangsal perbendaharaan. Pada saatnya, Eyang dapat mengambilnya dan menyerahkan kepada petugas yang akan membawanya ke Demak.”

“Baiklah, Penembahan.”

“Kanjeng Panembahan,” Ki Lurah Agung Sedayu menyembah, “perkenankan hamba memberikan sedikit keterangan tentang sikap para prajurit Demak.”

“Maksudmu?”

“Pada saat kami sampai di Demak, maka para senapati di Demak justru mempertanyakan, kenapa Mataram tidak memerintahkan saja kepada para senapati di Demak untuk menjemput Kanjeng Pangeran Puger.”

“Kau bermaksud untuk mengatakan, sebaiknya biarlah prajurit Demak menjemput harta benda berharga itu?” bertanya Panembahan Hanyakrawati.

“Hamba, Panembahan.”

“Aku tidak berkeberatan. Tetapi harus ada orang Mataram yang ikut bersama mereka untuk meyakinkan, bahwa harta benda yang telah dihitung jumlahnya dan disebut jenisnya itu sampai ke tangan Kakangmas Adipati Demak.”

“Hamba, Panembahan.”

“Nah, biarlah Eyang Patih yang mengatur.”

“Hamba, Panembahan.”

“Yang penting, sampaikan ucapan terima kasihku kepada prajuritmu. Ternyata mereka mengalami perjalanan yang berat ke Demak. Bukan sekedar berbaris kepanasan serta kedinginan di malam hari. Tetapi prajurit-prajurit itu harus memasuki arena pertempuran untuk menyelamatkan Pangeran Puger serta keluarganya.”

“Perhatian Kanjeng Panembahan hamba junjung tinggi. Apa yang hamba lakukan bersama para prajurit adalah mengemban kewajiban kami sebagai prajurit.”

“Mungkin ada tugas-tugas berat yang harus kau pikul di masa depan, Ki Lurah. Kesediaanmu memikul kewajiban dengan bersungguh-sungguh akan dapat menempatkanmu ke dalam tugas-tugas yang justru lebih berat.”

“Hamba akan menjujung tinggi setiap tugas yang harus hamba laksanakan, sejauh batas kemampuan hamba.”

“Nah, sekarang kau dapat meninggalkan persidangan ini. Siapkan segala sesuatunya, terutama yang akan kau serahkan kepada Eyang Patih Mandaraka. Sementara Eyang Patih akan menunjuk beberapa orang yang akan membantunya menerimanya dari menyimpannya di bangsal perbendaharaan, sebelum harta benda itu dibawa ke Demak.”

“Hamba mohon diri, Kanjeng Panembahan.”

Demikianlah, maka hari itu Ki Lurah Agung Sedayu bersama para pemimpin kelompoknya telah menyiapkan harta benda yang mereka bawa dari tempat penyimpannya yang tersembunyi di bawah kekuasaan Srengga Sura.

Ki Lurah Agung Sedayu telah minta beberapa orang yang ditawannya untuk menyaksikannya. Mereka harus yakin, bahwa harta benda itu akan diserahkan kepada penguasa di Mataram.

Hari itu pula, Ki Lurah Agung Sedayu telah menyerahkan harta benda itu kepada Ki Patih Mandaraka. Beberapa orang yang terpercaya telah menghitung dan kemudian menuliskan jenis-jenis harta benda berharga itu. Di antara mereka adalah seorang Tumenggung yang bertugas menjaga dan mempertanggung-jawabkan bangsal perbendaharaan seisinya.

Demikian harta benda itu diterima dan dibawa ke istana untuk disimpan di bangsal perbendaharaan, maka rasa-rasanya beban tugas Ki Lurah Agung Sedayu menjadi jauh lebih ringan. Apalagi setelah Ki Lurah menyerahkan para tawanan kepada Ki Tumenggung Wiradigda yang mengurusnya lebih lanjut. Termasuk Sungsang, yang dianggap sebagai tawanan yang khusus. Yang mengetahui lebih banyak tentang perguruan yang dipimpin oleh Srengga Sura itu.

Dengan demikian, maka rasa-rasanya tugas Ki Lurah Agung Sedayu sudah tuntas. Mereka akan dapat meninggalkan Mataram dengan ringan, karena semua beban tugas mereka sudah diletakkan. Karena itu, maka malam itu Ki Lurah Agung Sedayu telah menghadap Ki Patih Mandaraka untuk minta diri. Tugasnya terakhir di Mataram adalah menyerahkan kembali beberapa orang prajurit yang bertugas mengurus bahan dan perlengkapan dan mereka yang bertugas menyediakan makan dan minuman.

“Kau dapat beristirahat barang dua tiga hari di sini, Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Ampun, Ki Patih. Kami ingin segera berada kembali di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kenapa begitu tergesa-gesa? Bukankah Nyi Lurah ada di sini pula sekarang?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tetapi hanya Nyi Lurah sendiri yang berada di sini.”

Ki Patih Mandaraka justru tertawa. Namun Ki Patih Mandaraka tidak menahan Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya yang ingin segera kembali ke barak mereka di Tanah Perdikan Menoreh.

Rasa-rasanya memang ada semacam kerinduan terhadap kehidupan di Tanah Perdikan itu. Meskipun Ki Lurah Agung Sedayu tidak di lahirkan di Tanah Perdikan itu, namun ia sudah lama tinggal di Tanah Perdikan itu. Sudah banyak sekali yang dilakukannya, dan bahkan adik sepupunya juga berada di Tanah Perdikan itu pula.

Karena itu, Agung Sedayu seakan-akan sudah merupakan bagian dari Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ia telah mendapat tugas untuk memimpin prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu pula.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih kemudian, “jika Ki Lurah benar akan kembali ke Tanah Perdikan besok pagi, biarlah aku melepas pasukanmu. Atas nama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, aku akan menyerahkan sebuah tunggul berbentuk cakra bagi prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, sebagai pernyataan terimakasih serta penghargaan dari penguasa tertinggi di Mataram.”

“Kami akan sangat berterima kasih atas penghargaan yang sangat penting itu, Ki Patih.”

“Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, justru karena keberhasilan Ki Lurah, maka agaknya Ki Lurah telah mendapatkan kepercayaan dari Kanjeng Panembahan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa tugas-tugas yang sangat berat akan dibebankan kepada Ki Lurah dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu.”

“Semua perintah akan kami junjung tinggi, Ki Patih.”

“Baiklah. Siapkah pasukanmu. Besok sebelum matahari terbit, aku akan berada di antara kalian, untuk menyerahkan tunggul itu.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera kembali ke pasukannya. Iapun segera memerintahkan para pemimpin kelompok untuk bersiap-siap. Besok pagi-pagi semuanya harus sudah siap. Sebelum matahari terbit, Ki Patih akan datang menemui pasukan itu.

“Kalian harus sudah siap pada saat Ki Patih datang besok pagi sebelum matahari terbit.”

“Baik, Ki Lurah,” jawab para pemimpin kelompok itu.

Malam itu, segala sesuatunya sudah dipersiapkan sebelum para prajurit itu pergi ke pembaringan. Besok pagi mereka akan meneruskan perjalanan mereka, pulang ke barak mereka di Tanah Perdikan Menoreh.

Justru karena itu, maka ada di antara para prajurit itu yang justru menjadi sulit untuk tidur. Rasa-rasanya malam merambat jauh lebih lamban dari perjalanan mereka berangkat dan pulang dari Demak. Malam itu rasa-rasanya bergerak lebih lambat dari pedati-pedati yang merangkak di antara iring-iringan prajurit dari Mataram.

Namun akhirnya, fajar pun menyingsing. Para prajurit segera mempersiapkan diri masing-masing. Mereka mengenakan pakaian dengan ciri-ciri keprajuritan mereka yang lengkap.

Sebenarnyalah, sebelum matahari terbit, Ki Patih Mandaraka bersama dua orang Tumenggung dan beberapa orang prajurit pengawal telah berada di barak yang dipergunakan para perajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dalam upacara singkat dan sederhana, namun yang telah membuat setiap jantung para prajurit dari Pasukan Khusus itu berdebaran, Ki Patih telah menyerahkan sebuah tunggul berbentuk cakra atas nama Kanjeng Panembahan Hanyakrawati kepada Ki Lurah Agung Sedayu, mewakili pasukannya.

“Mataram mengucapkan terima kasih kepada kalian,” berkata Ki Patih Mandaraka. “Kalian sudah menjalankan tugas kalian dengan baik. Sekarang, aku lepas kalian pulang kembali ke rumah kalian di Tanah Perdikan Menoreh.”

Pada saat matahari terbit, maka pasukan kecil itu bergerak meninggalkan Mataram. Ki Patih Mandaraka dan pengiringnya melepas mereka di pintu gerbang. Di paling depan, berjalan tiga orang pemimpin kelompok. Seorang yang di tengah membawa tunggul yang berbentuk cakra dan sebelah-menyebelahnya membawa duaja Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, serta sebuah rontek berwarna terang, lambang keceriaan pasukan itu.

Demikian pasukan itu meninggalkan regol barak yang menampung mereka selama mereka berada di Pajang, maka Agung Sedayu dan seorang pemimpin kelompok yang lain segera meloncat ke punggung kuda. Di belakang iring-iringan itu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan mengikuti di atas punggung kuda pula. Mereka tidak berada di dalam barisan para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu.

Tanpa pedati, maka perjalanan para prajurit itu terasa jauh lebih cepat. Demikian mereka keluar dari pintu gerbang kota, maka perjalanan mereka pun menjadi lebih cepat lagi. Matahari yang memanjat naik telah menghangatkan tubuh mereka. Embun pun mulai menggeliat bangun serta meninggalkan dedaunan yang ditumpanginya di malam yang dingin.

Orang-orang yang berpapasan di jalan, memperhatikan iring-iringan itu dengan berbagai macam pertanyaan, tentang sepasukan kecil prajurit yang membawa tunggul berbentuk cakra dengan penuh kebanggaan. Sinar matahari yang menjadi semakin tinggi terasa mulai menggatalkan kulit. Keringat pun mula mengembun di tubuh para piajurit yang berjalan dengan langkah yang mantap itu.

Namun perjalanan itu terasa sangat berbeda dengan perjalanan panjang yang baru saja mereka tempuh. Perjalanan pulang itu mereka lakukan dengan jantung yang terasa mekar. Tanaman di sawah yang membentang luas itu bagaikan wajah telaga dengan airnya yang kehijauan. Gelombang-gelombang kecil mengalir dalam sapuan angin yang lembut.

Hati para prajurit dalam perjalanan pulang itu terasa cerah, seperti cerahnya matahari pagi yang menapaki langit dengan langkahnya yang lamban, dalam irama yang tidak pernah berubah.

Para petani yang berada di sawah mereka pun nampak berwajah cerah pula memandangi padi mereka yang tumbuh subur itu mulai bunting. Pengharapan pun rasa-rasanya menjadi semakin dekat. Meskipun kadang-kadang mencuat pula kegelisahan, bahwa tiba-tiba saja akan muncul hama yang menghancurkan pengharapan mereka.

Namun dalam para itu, selama Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh, telah datang di Tanah Perdikan itu, orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Seorang laki laki yang sudah separuh baya dan dua orang laki-laki muda. Mereka bertiga tidak datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Ki Gede, tetapi mereka datang ke rumah Ki Argajaya.

Dengan ramah Ki Argajaya menerima mereka. Tetapi karena Ki Argajaya merasa belum pernah mengenal mereka, maka iapun bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Barangkali kita belum pernah bertemu sebelumnya. Karena itu, maka perkenankanlah aku bertanya, siapakah Ki Sanak bertiga ini?”

Orang yang sudah separuh baya itu tersenyum. Katanya dengan nada rendah, “Aku-lah yang harus minta maaf, Ki Argajaya. Aku datang begitu tiba-tiba tanpa memberi isyarat lebih dahulu.”

“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Bukan itu soalnya. Tetapi sekali lagi aku minta maaf, bahwa rasa-rasanya kita belum pernah bertemu. Karena itu, jika Ki Sanak tidak berkeberatan, perkenankanlah aku mengetahui serta sedikit tentang Ki Sanak bertiga. Nama Ki Sanak, dari mana Ki Sanak datang, dan kemudian apakah keperluan Ki Sanak.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jadi Ki Argajaya ini benar-benar lupa kepadaku?”

Ki Argajaya mengerutkan dahinya. Ia bukan seorang pelupa meskipun umurnya sudah menjadi semakin tua. Biasanya, ia selalu dapat mengingat kembali orang-orang yang pernah ditemuinya meskipun baru sekali. Tetapi ketiga orang ini rasa-rasanya memang belum pernah ditemuinya dimanapun juga.

Sebelum Ki Argajaya mengatakan sesuatu, orang yang sudah separuh baya itu pun berkata, “Tetapi itu wajar sekali. Pertemuan kita yang baru satu kali itu terjadi belasan tahun yang lalu. Aku masih remaja pada waktu itu. Ki Argajaya memang lebih tua sedikit dari umurku. Tetapi Ki Argajaya waktu itu juga belum menikah.”

“Jadi sudah antara tiga sampai empat puluh tahun yang lalu Ki Sanak?”

“Ya. Pada satu perhelatan pernikahan Paman Tandajaya.”

“Di Jatipendawa?”

“Ya, di Jatipendawa. Di rumah pengantin perempuan.”

“Bibi Kantil, yang kemudian kita panggil Bibi Tandajaya?”

“Tepat. Jadi Ki Argajaya masih ingat?”

“Aku masih ingat tentang perhelatan itu. Aku bermalam di rumah pengantin perempuan itu semalam.”

“Aku tidak.”

Ki Argajaya mencoba mengingat-ingat. Siapa saja yang ditemuinya dalam perhelatan itu. Tetapi begitu banyak orang, sehingga mungkin saja ia melupakan salah seorang di antara mereka.

“Ki Argajaya,” berkata orang itu, “Ki Argajaya ingat kepada Kakek Saradan?”

“Ya. Aku ingat.”

“Dengan Ki Sapa Aruh?”

“Tentu. Justru karena namanya yang sangat menarik bagiku, aku tidak akan pernah melupakannya. Ki Sapa Aruh adalah anak Kakek Saradan. Dan Kakek Saradan adalah cikal bakal Tanah ini, yang semakin ramai dan menjadi semakin subur karena digarap oleh orang-orang yang telah bertekad untuk bekerja keras. Akhirnya Tanah ini menjadi Tanah Perdikan, antara lain juga karena jasa-jasa Kakang Argapati.”

“Tepat. Jika demikian, Ki Argajaya tentu akan dapat mengingat salah seorang anak Ki Sapa Aruh.”

“Ada beberapa orang anak Uwa Sapa Aruh.”

“Ki Argajaya. Aku masih ingat pada waktu itu, Ki Argajaya datang bersama Paman Argapada dan Adi Argapati.”

“Ya. Aku datang bersama Ayah dan Kakang Argapati.”

“Ki Sapa Aruh datang bersama tiga orang anaknya. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki.”

Ki Argajaya mengingat-ingat sejenak. Lalu katanya, “Ya. Aku ingat itu. Paman Sapa Aruh datang bersama dua anak perempuannya dan seorang anak laki-laki yang sudah remaja.”

“Ki Argajaya ingat anak laki-laki remaja itu? Seperti nama Ki Sapa Aruh yang agak aneh itu, maka nama anaknya pun agak aneh juga.”

Ki Argajaya mencoba mengingat-ingat. Kemudian sambil tersenyum iapun berkata, “Ya. Aku ingat. Namanya Kapat.”

“Tepat. Ternyata ingatan Ki Argajaya masih cerah. Nama anak laki-laki Ki Sapa Aruh itu adalah Kapat. Ia anak ke-empat. Tiga saudara tuanya adalah perempuan.”

“Ya.”

“Dan remaja yang bernama Kapat itu adalah aku.”

“Jadi Ki Sanak, eh, maksudku Kakang, adalah Kakang Kapat?”

“Ya. Aku adalah Kapat itu. Apakah ada yang berbeda?”

Ki Argajaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tertawa iapun berkata, “Aku sekarang sudah tua. Ingatanku sudah tidak secerah beberapa tahun yang lalu. Aku benar-benar tidak mampu lagi mengingat bahwa Kakang adalah Kakang Kapat.”

“Sudah terlalu lama kita berpisah. Pertemuan kita pun hanya sebentar pada waktu itu.”

“Aku minta maaf, Kakang. Bukankah aku wajib memanggil Kakang, meskipun umurku lebih tua?”

“Ya. Dan jika Ki Argajaya berkenan, aku memanggil Ki Argajaya, Adi. Sebagaimana aku memanggil Adi Argapati.”

“Tentu, Kakang. Tentu aku tidak berkeberatan. Bukankah memang seharusnya demikian?”

“Syukurlah jika Adi tidak berkeberatan.”

“Lalu kedua orang anak muda ini?”

“Keduanya adalah anakku.”

“Anak Kakang?”

“Ya.”

“Maaf, Ngger. Aku benar-benar agak lupa terhadap ayahmu. Siapakah nama kalian berdua?”

“Aku yang tertua di antara kami berdua, Paman. Ayah memang aneh. Mungkin karena nama kakek aneh dan nama ayah juga aneh, maka ayah juga memberi nama aneh kepadaku. Namaku disesuaikan dengan hari lahirku, Soma.”

Ki Argajaya tertawa. Katanya, “Nama yang baik.”

“Kebetulan nama itu agak manis di telinga.”

“Hari kedua dalam urutan Saptawara.”

“Ya, Paman.”

“Yang seorang lagi?”

“Seperti Kakang, namaku juga aneh. Jika Ayah dinamai menurut urutan kelahiran anak Kakek, maka namaku adalah nama hari pada saat aku dilahirkan. Namaku Tumpak, Paman.”

“Tumpak.”

“Ya, Paman. Tidak semanis nama Kakang.”

“Hari ke-tujuh dalam urutan Saptawara.”

“Aku tidak mau dipersulit dengan nama, Adi,” berkata Ki Kapat.

“Ya, Kakang. Tetapi apakah sampai tua Kakang juga mempergunakan nama kanak-kanak Kakang itu?”

“Tidak, Paman,” sahut Tumpak, “Ayah kemudian berganti nama setelah menikah. Alasannya, sebaiknya orang memakai nama tua. Tidak lagi memakai nama di masa kanak-kanak.”

Ki Argajaya tertawa. Iapun kemudian bertanya, “Siapa nama tua ayahmu?”

“Namanya Ki Argajalu.”

“Argajalu?”

“Ya.”

Ki Argajaya tertawa semakin panjang. Katanya, “Nama yang bagus.”

“Aku tidak tahu, apakah nama itu mempunyai arti atau tidak. Aku hanya ingin mempergunakan nama Arga seperti Adi Argapati dan Argajaya.”

Ki Argajaya masih saja tertawa. Namun kemudian katanya, “Baiklah, Kakang. Biarlah nanti kita pergi ke rumah Kakang Argapati. Kakang Argapati tentu senang sekali menerima kedatangan Kakang Argajalu.”

“Ah. Tidak usah, Adi Argajaya. Aku cukup menemui Adi Argajaya saja.”

“Kenapa?”

“Adi Argapati adalah seorang yang besar. Apa masih pantas aku datang menemuinya? Aku hanyalah seorang cantrik dari sebuah padepokan kecil.”

“Cantrik?”

“Begitulah kira-kira.”

“Paman,” sahut Soma, “Ayah telah mendirikan sebuah perguruan. Ayah sendiri memimpin perguruan itu. Kami adalah dua di antara para putut di padepokan itu.”

“Hanya sebuah barak kecil yang tidak ada artinya apa-apa, Adi.”

“Apalagi Kakang adalah seorang pemimpin dari sebuah perguruan. Kenapa Kakang mesti segan menemui Kakang Argapati?”

“Adi Argapati adalah seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar.”

“Jangan membuat jarak dengan Kakang Argapati, Kakang. Kakang Argapati bukan sejenis orang yang membuat batasan-batasan di dalam hubungannya antara sesama. Apalagi Kakang adalah kulit daging sendiri.”

“Tetapi bahwa aku diterima oleh Adi Argajaya, aku sudah merasa gembira sekali.”

“Tidak apa-apa, Kakang. Jika tidak sekarang, biarlah besok kita bertemu dengan Kakang Argapati.”

Ki Argajalu itu menggeleng. Katanya, “Tidak, Adi. Biarlah aku di sini saja.”

“Malam ini Kakang dan kedua anak Kakang itu akan bermalam di sini. Tetapi sebaiknya Kakang bertemu dengan Kakang Argapati. Jika Kakang Argapati tahu bahwa Kakang Kapat Argajalu datang kemari dan tidak singgah, maka aku-lah yang akan di marahinya.”

Ki Kapat Argajalu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan memikirkannya, Adi. Tetapi biarlah malam ini aku bermalam di sini, jika Adi berkenan.”

“Tentu, tentu. Kakang dan kedua kemenakanku itu akan bermalam di sini malam ini. Nanti Prastawa akan gembira bertemu dengan sanak-kadangnya yang belum pernah dilihatnya.”

“Siapakah Prastawa itu, Adi?”

“Anakku. Anakku hanya satu. Laki-laki. Namanya Prastawa.”

“Tentu anak yang manja.”

“Tidak. Prastawa kebetulan tidak manja. Ia seorang anak yang rajin. Ia ikut pamannya, dan telah diserahi untuk memimpin anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Pasukan Pengawal Tanah Perdikan.”

“Luar biasa. Ia tentu anak muda yang berilmu tinggi.”

“Tidak, Kakang. Prastawa tidak memiliki ilmu yang tinggi. Ia mempunyai kemampuan untuk memimpin kawan-kawannya, anak-anak muda di Tanah Perdikan ini.”

Ki Kapat mengangguk-angguk. Katanya, “Ia akan berkembang terus hingga menjadi seorang pemimpin yang disegani.”

“Mudah-mudahan, Kakang.”

Pembicaraan mereka terhenti. Hidangan pun disuguhkan.

Ketika mereka sedang menghirup minuman hangat yang dihidangkan itu, maka seorang laki-laki berkuda memasuki regol halaman rumah Ki Argajaya.

Ketika Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak berpaling, maka Ki Argajaya itu pun berkata, “Itulah Prastawa.”

“Siapakah Prastawa itu?” bertanya Ki Kapat Argajalu.

“Anak laki-laki Paman Argajaya. Bukankah tadi Paman sudah mengatakannya?” sahut Soma.

“O.”

“Ayah memang sudah hampir pikun. Tetapi Ayah masih saja menjadi pemimpin sebuah perguruan.”

“Tentu tidak,” sahut Ki Argajaya, “pertanyaan itu datang tiba-tiba saja.”

Ketika Prastawa kemudian meloncat turun dari kudanya, maka Ki Argajaya pun memanggilnya, “Prastawa, kemarilah. Duduklah di sini.”

Prastawa pun kemudian naik ke pendapa dan langsung duduk di pringgitan.

“Ini adalah uwakmu.”

Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Argajaya kemudian menjelaskan urut-urutan susunan keluarganya.

“Sebut kedua orang anak muda itu, Kakang. Mungkin kau lebih tua, Prastawa. Tetapi abunya kau lebih muda dari mereka.”

“Hormatku, Uwa serta Kakang berdua,” berkata Prastawa kemudian sambil membungkuk hormat.

“Ternyata kau tetap seperti ayahmu waktu muda, Ngger,” berkata Ki Kapat Argajalu, “kalau saja aku tidak tahu ayahmu juga ada di sini, maka aku akan keliru menganggapmu Adi Argajaya. Tentu saja aku akan sangat mengagumi bahwa Adi Argajaya tidak juga bertambah tua.”

Prastawa tersenyum. Katanya, “Tetapi banyak orang mengatakan bahwa aku tidak mirip dengan Ayah, Uwa.”

“Tentu saja sekarang ayahmu sudah tua. Lebih tua dari umurku. Tetapi siapa yang pernah melihat ayahmu muda, maka ia akan mengatakan bahwa kau adalah bayangan ujud ayahmu di waktu muda.”

Prastawa berpaling kepada ayahnya sambil bertanya, “Benar begitu, Ayah?”

“Tentu orang lain yang dapat menilainya,” sahut Ki Argajaya sambil tersenyum.

Sementara itu, seorang pembantu di rumah Ki Argajaya itu sudah diperintahkan untuk membersihkan sebuah bilik di gandok. Di dalamnya terdapat sebuah amben bambu yang agak besar yang dapat dipakai oleh ketiga orang tamu itu. Sebuah geledeg bambu dan sebuah lincak panjang.

Ki Argajaya dan Prastawa pun kemudian mempersilahkan ketiga tamunya untuk beristirahat di bilik yang sudah disiapkan.

Kepada Prastawa, Ki Argajaya mengatakan bahwa tamu itu masih belum bersedia pergi menemui Ki Argapati hari itu.

“Mungkin besok,” berkata Ki Argajaya.

“Kenapa?”

“Entahlah. Tetapi nampaknya ada perasaan rendah diri pada awakmu. Uwakmu menganggap bahwa ia tidak pantas untuk menemui seorang Kepala Tanah Perdikan.”

“Sikap yang keliru, Ayah. Anggapan itu harus diluruskan. Paman Argapati tidak pernah membeda-bedakan sesamanya.”

“Aku sudah mengatakannya. Tetapi agaknya uwakmu belum siap sekarang. Mungkin besok ia akan bersedia pergi.”

“Aku akan mengantarnya.”

“Biarlah kita bersama-sama mengantarnya, Prastawa.”

“Baik, Ayah. Sebaiknya kita pergi menemui Paman Argapati di pagi hari saja.”

Ki Argajaya mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik. Nanti kau katakan kepada pamanmu Argapati, bahwa Kakang Kapat Argajalu ada di Tanah Perdikan sekarang. Besok Kakang Kapat Argajalu akan menemui Kakang Argapati.”

“Baik, Ayah. Tetapi apakah Uwa Argajalu sudah setuju?”

“Besok, begitu saja mereka kita ajak menghadap pamanmu.”

“Baik, Ayah.”

“Jika pamanmu lupa, siapakah Ki Kapat itu, kau dapat menjelaskan bahwa Ki Kapat adalah putra Ki Sapa Aruh.”

“Baik, Ayah.”

Demikianlah, Prastawa pun segera menemui Ki Gede Menoreh untuk menyampaikan pesan ayahnya itu. Mula-mula Ki Gede memang agak lupa terhadap nama Ki Kapat. Sedangkan nama Argajalu, Ki Gede masih belum pernah mendengarnya. Namun ketika Prastawa mengatakan bahwa Ki Kapat adalah putra Ki Sapa Aruh, maka Ki Gede pun tertawa sambil berkata, “Ya, aku ingat. Ki Kapat adalah uwakmu.”

“Ya, Paman.”

“Aku pernah bertemu dengan Kakang Kapat di rumah Bibi Kantil, di Jatipandawa, ketika Bibi Kantil menikah dengan Paman Tandajaya.”

“Ya, Paman. Ayah juga berkata demikian.”

“Baiklah. Besok aku akan menerimanya. Aku baru sekali bertemu. Itupun sudah lama sekali. Sudah puluhan tahun yang lalu. Agaknya selagi kau belum lahir.”

“Ya, Paman.”

“Agaknya Kakang Kapat ingin menyambung hubungan darah di antara kita yang terputus.”

“Agaknya memang demikian, Paman. Baiklah, aku mohon diri. Aku akan menyampaikannya kepada Ayah, bahwa Paman besok siap menerima kami bersama Uwa Kapat Argajalu.”

“Agaknya uwakmu Kapat menambah namanya dengan Argajalu.”

“Ayah juga mengatakan demikian, Paman.”

Ki Gede Menoreh tertawa

Demikianlah, maka Prastawa pun segera menyampaikan kepada ayahnya kesediaan Ki Gede Menoreh untuk menerima Ki Argajaya yang akan mengajak Ki Kapat, yang baru sekali bertemu, dan sesudah itu berpuluh tahun mereka tidak bertemu lagi.

Malam itu, Ki Kapat dan kedua orang anaknya bermalam di rumah Ki Argajaya. Sambil makan malam, mereka banyak berbicara tentang keluarga mereka masing-masing. Tentang orang tua mereka dan tentang lingkungan hidup mereka. Ki Kapat juga menanyakan tentang keluarga Ki Argapati. Anak-anaknya dan masa depan Tanah Perdikan itu.

Pembicaraan tentang masa lalu Tanah Perdikan serta anak laki-laki Ki Gede Menoreh, telah membuat jantung Argajaya berdebar-debar. Dengan hati-hati Ki Argajaya selalu membawa pembicaraan di antara mereka bergeser ke arah yang lain. Ki Argajaya tidak dapat berbicara dengan jujur tentang Sidanti, dan tentang peristiwa-peristiwa yang menyakitkan di Tanah Perdikan Menoreh.

Akhirnya pembicaraan mereka mulai berkisar tentang musim. Tentang udan salah mangsa, tentang Kali Praga yang kadang-kadang marah dan menjadi tidak terlalu ramah kepada orang-orang yang menyeberangnya.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Argajaya pun mempersilahkan tamunya berpindah dan duduk di pringgitan. Bersama Prastawa, Ki Argajaya masih duduk bersama mereka sampai malam menjadi semakin larut.

“Kakang Kapat,” berkata Ki Argajaya kemudian, “silahkan beristirahat. Malam sudah larut. Kakang dan Angger berdua tentu letih setelah menempuh perjalanan panjang.”

“Terima kasih, Adi Argajaya. Adi sangat baik menerima kami berdua, yang seakan-akan sudah tersisih dari alur keluarga.”

Prastawa pun kemudian mengantar ketiga orang tamunya ke sebuah bilik di gandok. Sementara itu Ki Argajaya telah masuk ke ruang dalam.

“Silahkan, Uwa,” berkata Prastawa kemudian.

“Kau akan ke mana?”

“Aku akan melihat-lihat anak-anak yang meronda.”

“Angger Prastawa akan keluar dan berkeliling Tanah Perdikan?”

“Hanya di padukuhan induk saja, Uwa.”

“Angger adalah seorang anak muda yang sangat rajin. Jika Angger setuju, biarlah kedua kakangmu itu ikut bersamamu. Biarlah mereka mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang muda. Bukan hanya sekedar berkutat di padepokan saja. Setiap hari berada di sanggar, di sawah, petegalan dan di kandang kuda, lembu, kerbau dan kambing.”

“Aku tidak keberatan, Uwa. Tetapi tidak sekarang. Bukankah Uwa dan Kakang berdua tidak akan tergesa-gesa meninggalkan Tanah Perdikan ini?”

“Kami akan tinggal beberapa hari di sini, jika Adi Argajaya tidak berkeberatan.”

“Tentu tidak, Uwa. Kami akan bergembira jika Uwa bersedia tinggal beberapa hari di sini. Paman Argapati yang oleh rakyat Tanah Perdikan ini dipanggil Ki Gede Menoreh, tentu juga akan senang sekali.”

“Terima kasih.”

“Besok atau lusa aku akan membawa Kakang berdua berkeliling Tanah Perdikan ini.”

Ki Kapat itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ngger. Lain kali, biarlah kedua orang kakangmu melihat apa saja yang kau kerjakan di Tanah Perdikan ini.”

“Uwa dan Kakang berdua tentu juga letih. Karena itu, sebaiknya Uwa dan Kakang berdua beristirahat saja.”

Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya pun kemudian masuk ke dalam bilik di gandok yang sudah disiapkan. Sementara itu, Prastawa pun telah turun ke jalan.

Karena Prastawa hanya akan melihat-lihat padukuhan induk, maka Prastawa itu hanya berjalan kaki saja.

Di pagi hari berikutnya, setelah matahari naik, maka Ki Argajaya dan Prastawa telah mengajak Ki Kapat dan kedua orang anaknya pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.

Sejak semula Ki Kapat memang sudah ragu-ragu. Namun Ki Argajaya dan Prastawa telah mendesaknya.

“Aku sudah mengatakannya kepada Paman Argapati semalam, Uwa,” berkata Prastawa.

Ki Kapat tidak dapat mengelak lagi. Bersama dua orang anaknya, diantar oleh Ki Argajaya dan Prastawa, mereka pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.

Kedatangan mereka di rumah Ki Gede Menoreh telah disambut dengan ramah sekali oleh Ki Gede dan beberapa orang bebahu, yang kebetulan ada di rumah Ki Gede.

“Marilah, Kakang. Silahkan,” berkata Ki Gede yang menyongsongnya sampai ke tangga pendapa. Demikian pula para bebahu yang kebetulan sedang berada di pendapa itu pula.

Ki Kapat Argajalu mengangguk dalam-dalam-sambil berkata, “Maafkan aku, Adi, bahwa aku telah berani datang mengunjungi Adi, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apapun pekerjaanku, tetapi Kakang adalah saudaraku yang abunya lebih tua dari aku. Marilah, Kakang. Silahkan naik.”

Sejenak kemudian, Ki Kapat Argajalu serta kedua anaknya telah duduk di pringgitan, bersama Ki Argapati serta para bebahu, Ki Argajaya dan Prastawa.

“Selamat datang di Tanah Perdikan ini, Kakang,” berkata Ki Argapati dengan ramah.

“Selamat, Adi. Demikian pula keluarga yang kami tinggalkan. Bagaimana dengan Adi sekeluarga di sini?”

“Baik-baik saja, Kakang.”

“Aku dan anak-anakku minta maaf, bahwa kami memberanikan diri untuk menemui Adi Argapati.”

“Aku merasa senang sekali bahwa Kakang tidak melupakan kami sekeluarga di Tanah Perdikan ini. Kedatangan Kakang dan kedua kemenakanku ini akan dapat menyambung hubungan kita yang hampir terputus.”

“Aku merasa sangat berterima kasih, bahwa aku telah diterima dengan baik di Tanah Perdikan ini. Adi Argajaya memberikan tempat kepada kami untuk bermalam. Tempat yang membuat kami kerasan tinggal di Tanah Perdikan ini. Adi Argapati, seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar, telah bersedia pula menerima kedatangan kami.”

“Sudahlah. Untuk selanjutnya, kita tidak akan membiarkan hubungan kita terputus lagi. Bahkan aku ingin menghubungi bukan saja Kakang Kapat, tetapi juga saudara-saudaraku yang lain.”

“Jika seorang di antara kami telah dapat berhubungan, maka yang lain akan dapat dilakukan pula. Besok, setelah aku pulang dari Tanah Perdikan ini, aku akan memberitahukan kepada saudara-saudaraku tentang Adi Argapati dan Adi Argajaya di Tanah Perdikan ini.”

“Terima kasih, Kakang. Mudah-mudahan hubungan kita selanjutnya akan menjadi semakin dekat.”

Demikianlah, maka seperti Ki Argajaya, Ki Argapati pun telah bertanya tentang keluarga Ki Kapat Argajalu. Tentang saudara-saudara perempuan dan tentang sanak kadangnya yang lain.

Namun ketika Ki Kapat yang kemudian bertanya tentang keluarga Ki Argapati, tentang anak-anaknya dan tentang istrinya, maka Ki Argapati tidak menjelaskan keadaannya seutuhnya. Seperti Ki Argajaya, maka Ki Argapati berusaha untuk menghindari pembicaraan tentang anak-anaknya. Ki Argapati hanya mengatakan, bahwa anak perempuannya kini berada di Sangkal Putung.

“Pandan Wangi menjadi istri anak Demang Sangkal Putung.”

“Anak seorang Demang?” bertanya Ki Kapat Argajalu.

“Ya.”

Ki Kapat mengangguk-angguk. Tetapi nampak pada wajahnya, ada sesuatu yang dipikirkannya.

Seperti pada saat ia berbicara dengan Ki Argajaya, maka pembicaraan selanjutnya berkisar pada kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh. Kehidupan rakyatnya, kesuburan tanahnya, luasnya, dan berbagai macam keadaan di Tanah Perdikan itu. Lebih terbuka dari pembicaraan tentang keluarganya.

“Ternyata Adi Argapati telah memimpin sebuah Tanah Perdikan yang besar, yang kesejahteraan rakyatnya cukup tinggi.”

“Kami penghuni Tanah Perdikan ini telah bekerja keras untuk kesejahteraan kami.”

“Itulah yang tidak kami miliki di lingkungan kami,” berkata Ki Kapat Argajalu kemudian, “apa yang aku lihat di sini, akan aku bawa pulang untuk aku sampaikan kepada Ki Demang di kademanganku.”

“Yang penting bagi kami adalah, bahwa kami merasa satu,” berkata Ki Argapati kemudian.

Ki Kapat Argajalu berada di rumah Ki Argapati yang disebut Ki Gede Menoreh beberapa lama. Namun kemudian Ki Kapat itu pun berkata kepada Ki Argajaya, “Adi. Rasa-rasanya aku sudah merasa cukup berbincang dengan Adi Argapati. Aku tidak ingin terlalu lama mengganggu. Mungkin Adi Argapati sedang mengadakan pembicaraan dengan para bebahu, yang harus terhenti karena aku ada di sini sekarang ini.”

“Tidak. Kami tidak sedang mengadakan pembicaraan apa-apa. Para bebahu itu datang sebagaimana hari-hari lain. Setiap hari mereka datang kemari. Mungkin ada sesuatu yang harus dibicarakan, atau mungkin ada kerja yang segera harus di lakukan.”

“Tetapi biarlah aku minta diri. Mungkin besok atau lusa aku akan singgah lagi kemari.”

“Sekali-sekali selama Kakang berada di Tanah Perdikan ini, bermalamlah di rumahku,” berkata Ki Gede Menoreh.

“Terima kasih atas tawaran ini, Adi. Aku memang berniat untuk bermalam satu atau dua malam di rumah Adi.”

“Kenapa tidak malam nanti?” bertanya Ki Gede.

“Mungkin besok atau lusa,” jawab Ki Kapat sambil tertawa.

Demikianlah, Ki Kapat pun kemudian minta diri. Bersama Ki Argajaya, Ki Kapat itu meninggalkan rumah Ki Argapati. Sementara Prastawa masih tetap tinggal rumah pamannya.

“Silahkan Uwa pulang bersama Ayah. Aku akan tinggal di sini.”

“Kapan-kapan kakangmu ingin melihat-lihat Tanah Perdikan ini, Ngger.”

“Baik, Uwa. Besok aku akan membawa kakang berdua berkeliling Tanah Perdikan ini.”

Sepeninggal Ki Kapat, kedua anak laki-lakinya serta Ki Argajaya, Ki Gede masih berbincang dengan Prastawa, yang tinggal di rumah pamanya itu bersama para bebahu.

“Prastawa,” berkata Ki Gede kemudian, “jika saja kau belum mengatakan kepadaku kemarin bahwa yang datang itu adalah Kakang Kapat, maka aku sama sekali tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kakang Kapat itu lain sekali dengan gambaran angan-anganku.”

“Paman sudah lama sekali tidak bertemu. Apalagi pada waktu itu, paman baru bertemu sekali dengan Uwa Kapat, dan hanya sejenak saja di upacara pernikahan.”

“Ya, Prastawa. Tetapi rasa-rasanya apa yang aku lihat pada waktu itu, bukan orang yang baru saja datang kemari.”

“Rentang waktu yang terlalu panjang, agaknya sudah menghapus ingatan Paman atas wajah orang itu.”

Ki Gede tersenyum. Seorang bebahu berkata, “Wajar sekali jika Ki Gede telah melupakan wajah yang pernah Ki Gede lihat sekilas, puluhan tahun yang lalu.”

“Ya,” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bergumam, “Tetapi meskipun aku sudah tua, rasa-rasanya aku masih belum pikun.”

Para bebahu itu sempat juga tertawa. Namun tiba-tiba saja Prastawa pun berkata, “Paman. Sebenarnyalah bahwa Ayah juga sulit untuk mengenali Uwa Kapat Argajalu. Tetapi Ayah menjadi percaya dan bahkan yakin, karena apa yang dikatakan oleh Ki Kapat Argajalu sesuai dengan pengertian Ayah. Tentang silsilah, dan tentang pertemuannya yang tidak terlalu lama di upacara pernikahan itu. Pada saat itu, Ayah memang belum menikah.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Apa yang diketahuinya memang cukup meyakinkan. Besok atau lusa, jika aku sempat berbincang lagi dengan Kakang Kapat, maka aku akan dapat menjadi semakin pasti tentang orang itu.”

Untuk beberapa saat Prastawa masih berbincang di rumah pamannya. Bahkan kemudian juga dengan para bebahu, tentang beberapa tugas yang harus segera dilaksanakan oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa ruas tanggul parit di beberapa padukuhan perlu diperbaiki.

Baru beberapa saat kemudian, Prastawa minta diri untuk melihat langsung tanggul-tanggul parit yang rusak itu bersama seorang bebahu.

Dalam pada itu, sejak hari itu, Ki Kapat Argajalu untuk beberapa hari tinggal di rumah Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh Prastawa, maka di keesokan harinya, ia telah mengajak kedua orang anak Ki Kapat untuk melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh.

“Tanah yang subur,” desis Soma.

“Kami harus bekerja keras untuk membuat tanah ini menjadi subur,” berkata Prastawa.

“Adi Prastawa ternyata berhasil,” desis Tumpak.

“Bukan itu. Tetapi seluruh Tanah Perdikan. Kerja keras itu sudah dimulai sejak Kakek membuka daerah ini.”

“Kau beruntung, Adi,” berkata Soma.

“Bukan hanya aku yang beruntung. Tetapi seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dapat menikmati hasil kerja keras mereka.”

“Bukan hanya itu, Adi. Tetapi Adi secara pribadi.”

“Apa yang Kang Soma maksudkan?”

“Adi akan mewarisi sebuah Tanah Perdikan yang luas, subur, serta kehidupan rakyatnya yang tenang dan damai.”

“Mewarisi?” Prastawa itu pun kemudian tertawa. Katanya, “Aku tidak akan mewarisi Tanah Perdikan ini. Paman Argapati, yang dipanggil rakyat Tanah Perdikan ini Ki Gede Menoreh, mempunyai seorang anak perempuan.”

“Yang menjadi istri anak Demang itu?”

Prastawa mengerutkan dahinya. Sambil memandang wajah Soma, Prastawa itu mengangguk, “Ya. Mbokayu Pandan Wangi.”

Soma mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa Pandan Wangi itu tidak kau jadikan istrimu saja?”

“He? Ia sepupuku.”

“Kenapa? Bukankah banyak orang yang berumah tangga dengan sepupunya sendiri? Yang tidak dibenarkan adalah mereka yang menikah dengan saudara misannya. Antara anak dari dua orang saudara sepupu.”

“Aku tidak pernah memikirkannya. Mbokayu Pandan Wangi sekarang hidup bersama suaminya di kademangan Sangkal Putung. Nampaknya keluarga mereka baik-baik saja.”

“Kenapa dengan anak seorang Demang?”

“Adi Pandan Wangi adalah anak seorang Kepala Tanah Perdikan,” berkata Tumpak.

“Ya.”

“Derajadnya lebih tinggi dari seorang Demang.”

“Siapa yang mengatakannya? Seandainya demikian, yang derajatnya lebih tinggi adalah ayah Mbokayu Pandan Wangi, dibanding dengan ayah Kakang Swandaru.”

Tumpak tertawa. Katanya, “Itulah sebabnya seseorang memperhitungkan keturunan.”

“Mbokayu Pandan Wangi abunya lebih tua dari aku. Selain itu, derajad ayahku juga lebih rendah dari derajad ayah Mbokayu Pandan Wangi.”

“Tetapi kalian masih mempunyai ikatan keluarga. Seandainya kalian hidup sebagai suami istri, maka tidak akan timbul masalah bagi Tanah Perdikan ini di kemudian hari.”

“Maksudmu?”

“Keturunan Ki Argapati dan Ki Argajaya akan bergabung dalam satu jalur.”

“Sudahlah. Jangan bicara hal itu. Marilah kita lanjutkan melihat lihat Tanah Perdikan ini.”

“Kami minta maaf, bahwa kami telah mengusik perasaanmu, Adi,” berkata Soma kemudian.

“Tidak apa apa, Kakang. Tetapi aku minta, pembicaraan seperti ini jangan diulang lagi.”

“Kami bermaksud baik. Kita adalah keturunan dari darah yang sama. Jika Adi Pandan Wangi menikah dengan orang lain, maka darah keturunan yang lain akan memasuki lingkaran kekuasaan darah keturunan kita.”

“Ayah juga menikah dengan orang yang bukan keturunan darah yang sama. Kakek juga.”

Soma mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik, Adi. Nampaknya Adi tidak ingin berbicara tentang masa depan Tanah Perdikan ini.”

“Kakang jangan salah paham.”

“Aku mencoba mengerti, Adi,” sahut Tumpak. “Baiklah. Marilah kita melihat Tanah ini lebih jauh.”

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah melanjutkan perjalanan menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan di atas punggung kuda. Mereka melihat sawah-sawah yang terbentang luas. Mereka mengikuti jalan di lereng bukit dan yang kemudian menuruni lembah. Mereka menempuh jalan di tepi hutan pegunungan yang lebat.

Tetapi mereka tidak lagi banyak berbicara. Rasa-rasanya ada selembar tirai yang tiba-tiba saja terbentang membatasi pembicaraan antara Prastawa dengan kedua orang kakak beradik itu. Namun Prastawa masih selalu menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Soma dan Tumpak.

Lewat tengah hari, Prastawa, Soma dan Tumpak telah berada di rumah Ki Argajaya. Dengan penuh minat, Ki Kapat Argajalu mendengarkan cerita anak-anaknya tentang Tanah Perdikan Menoreh yang luas, yang subur dan yang tenang.

“Sungguh satu kurnia yang sangat besar,” berkata Ki Kapat.

“Ya,” sahut Ki Argajaya, “satu kurnia yang besar.”

Namun Prastawa sendiri tidak dapat ikut dalam pembicaraan tentang Tanah Perdikan itu. Iapun kemudian telah minta diri untuk pergi ke rumah pamannya, Ki Gede Menoreh.

Namun ternyata bahwa Soma dan Tumpak masih saja berbicara tentang pewarisan Tanah Perdikan Menoreh itu kelak. Ketika senja turun, selagi Prastawa, Soma dan Tumpak minum minuman hangat di serambi gandok, Soma masih juga menggelitik hati Prastawa dengan apa yang dinamakannya masa depan Tanah Perdikan itu.

“Adi Prastawa,” berkata Soma, “maaf kalau aku masih saja menyinggung tentang Tanah Perdikan ini di masa depan. Apalagi setelah aku menyaksikan sendiri, betapa kurnia yang telah dilimpahkan oleh Yang Maha Agung kepada keluarga Paman Argapati dan Paman Argajaya.”

“Kepada kami seluruh penghuni Tanah Perdikan ini, Kakang,” sahut Prastawa.

“Ya. Khususnya kepada Paman Argapati dan Paman Argajaya. Namun sayang sekali bahwa Adi Pandan Wangi telah menikah dengan anak Demang itu. Dengan demikian, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Apakah Tanah Perdikan ini bakal jatuh ke tangan suami Adi Pandan Wangi, atau kepada putra Paman Argajaya. Jika suami Adi Pandan Wangi sudah mendapatkan tempat karena ia harus menggantikan kedudukan ayahnya di Sangkal Putung, maka tentu Adi Prastawa-lah yang akan menggantikan Paman Argapati.”

Jantung Prastawa terasa berdentang semakin cepat. Namun tiba-tiba saja Prastawa itu berkata, “Maaf, Kakang berdua. Aku harus pulang.”

“Pulang? Kemana?”

“Rumahku ada di belakang rumah Ayah. Setelah aku berkeluarga, aku membuat rumah sendiri di belakang, menghadap ke jalan di seberang. Jadi rumahku dari rumah Ayah ini saling membelakangi.”

“Adi Prastawa tentu juga sudah berkeluarga. Apakah adi Prastawa sudah mempunyai anak?”

“Aku agak terlambat menikah, Kakang. Pada umurku yang sekarang, aku sedang menunggu anakku yang pertama.”

“O.”

“Nah, karena itu, silahkan beristirahat. Mungkin Kakang berdua merasa letih setelah berkeliling Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah, Adi. Besok atau lusa, kami ingin berkenalan dengan istri Adi Prastawa itu.”

“Istriku juga mempunyai aliran darah yang berbeda dari aliran dari aliran darah keluarga kita.”

Somi tertawa. Katanya, “Tidak ada masalah. Jika Adi Prastawa ingin membersihkan diri, istri Adi Prastawa itu dapat saja disuruh pulang.”

“Maksud Kakang, aku dapat begitu saja mencerai istriku?”

“Apa sulitnya?”

Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi punggung Prastawa. Namun Prastawa itu pun berkata, “Seandainya demikian, maka darah yang asing juga telah mengalir di dalam tubuh anakku.”

“Bukankah anak itu akan dibawa ibunya?” sahut Tumpak. Lalu katanya, “Selanjutnya, Adi Prastawa dapat memanggil Pandan Wangi pulang. Ia tidak perlu lagi kembali ke kademangan itu.”

“Mbokayu Pandan Wangi juga sudah mempunyai anak.”

“Tinggal saja anaknya di kademangan itu. Biarlah ia ikut ayahnya.”

“Bukankah Kakang berdua tahu, bahwa darah keturunan di dalam diri Mbokayu Pandan Wangi lebih tua dari aku?”

“Tidak apa-apa. Bukan masalah. Jika itu terjadi, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi tentram dan damai yang sejati untuk selamanya. Jika sekarang Tanah ini nampaknya tenang dan damai, namun di dalamnya tersimpan masalah yang pada suatu saat akan dapat membakar Tanah Perdikan ini. Seperti sepeletik api yang terjauh pada setumpuk jerami kering.”

“Maaf, Kakang. Aku harus pulang.”

“Adi, tunggu. Aku kira aku perlu memberi penjelasan,” berkata Soma.

“Lain kali saja, Kakang. Aku sudah terlalu lama pergi hari ini.”

Prastawa tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meninggalkan kedua orang anak Ki Kapat Argajalu.

Ketika Prastawa masuk ke ruang dalam untuk minta diri kepala ayahnya, maka dilihatnya Ki Kapat Argajalu sedang berbincang dengan ayahnya.

“Ada apa, Prastawa?”

“Aku akan pulang sebentar.”

“Pulang?” Ki Kapal yang menyambut.

Ki Argajaya tersenyum sambil menjawab, “Rumahnya hanya di belakang rumah ini, Kakang. Tetapi rumah kami saling membelakangi, karena rumah Prastawa juga mangku jalan di seberang.”

“O.”

“Jika sempat, silahkan Paman singgah,” berkata Prastawa.

“Baik, Ngger. Besok aku tengok rumahmu.”

“Hanya berjarak beberapa langkah. Jika aku pulang, aku juga lewat kebun belakang rumah Ayah ini. Ada pintu butulan pada dinding halaman yang menyekat kebun rumah Ayah ini dengan rumahku.”

“Baik, Ngger. Besok aku singgah. Tetapi dimana kakangmu berdua?”

“Di serambi gandok, Uwa.”

“Baiklah. Biarlah nanti mereka duduk di sini.”

“Apakah aku harus memanggil mereka?”

“Tidak. Tidak usah. Nanti mereka akan kemari dengan sendirinya.”

“Baiklah, Uwa. Aku minta diri. Aku pulang dahulu, Ayah.”

“Apakah nanti kau akan datang kemari?”

“Nanti malam, Ayah. Aku akan langsung pergi ke rumah Paman.”

Sepeninggal Prastawa, Ki Kapat Argajalu itu pun bergumam, “Seorang yang sangat rajin. Seorang yang benar-benar telah mengabdikan dirinya bagi Tanah Perdikan ini. Setiap hari, hanya sedikit sekali waktu yang dipergunakan untuk tinggal bersama anak istrinya di rumah.”

“Anaknya belum lahir.”

“Jadi Angger Prastawa belum mempunyai anak sebelumnya?”

“Prastawa terlambat menikah.”

Ki Kapat Argajalu mengangguk-angguk.

“Aku memang berharap agar anakku dapat memberikan apa yang dimilikinya bagi Tanah Perdikan ini.”

“Angger Prastawa merupakan harapan bagi masa depan Tanah Perdikan ini.”

Ki Argajaya menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja Ki Kapat Argajalu itu pun berkata, “Bukankah Angger Prastawa merupakan salah seorang yang berhak memerintah Tanah Perdikan ini?”

Ki Argajaya terkejut. Hampir di luar sadarnya Ki Argajaya itu pun menjawab, “Anak itu tidak akan bermimpi untuk mewarisi Tanah ini.”

“Kenapa? Bukankah hanya ada dua orang yang sekarang berhak mewarisi Tanah ini? Angger Pandan Wangi dan Angger Prastawa?”

“Sudahlah, Kakang. Jangan berbicara tentang pewaris Tanah Perdikan ini. Semuanya akan berlangsung dengan baik dan menurut tatanan yang seharusnya.”

Ki Kapat Argajalu pun mengangguk sambil berkata, “Ya, Adi.”

“Prastawa adalah orang yang bekerja keras tanpa pamrih bagi dirinya sendiri. Pamrihnya adalah agar kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan ini meningkat. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir batin.”

Ki Kapat Argajalu itu pun berdesis, “Ya, Adi.”

Ki Argajaya pun kemudian telah membelokkan pembicaraan mereka. Mereka pun kemudian bicara tentang Kali Praga yang lebar dan berair keruh itu. Mereka juga berbicara tentang pegunungan yang membujur panjang ke utara. Dataran yang subur di antara pegunungan itu dengan Kali Praga.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Argajaya itu pun mempersilahkan tamunya untuk beristirahat.

“Selamat malam, Adi Argajaya,” berkata Ki Kapat kemudian sambil melangkah pergi ke gandok. Ternyata kedua orang anaknya tidak menyusulnya ke ruang dalam.

Di hari berikutnya, Ki Kapat tidak bersedia diajak pergi ke rumah Ki Gede Menoreh. Mereka memilih untuk berjalan-jalan melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh.

“Maaf, Uwa. Aku tidak dapat mengantarkan Uwa hari ini.”

“Tidak apa-apa, Ngger. Soma dan Tumpak kemarin sudah mengenali Tanah Perdikan ini. Biar aku berjalan-jalan bersama mereka.”

Ki Argajaya hari itu juga tidak dapat mengantar Ki Kapat melihat-lihat isi dari Tanah Perdikan. Hari itu Ki Argajaya sudah terlanjur berjanji untuk mewakili keluarga tetangganya meminang seorang gadis dari padukuhan yang lain, tetapi masih termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku dituakan oleh tetangga-tetangga,” berkata Ki Argajaya, “karena itu, aku sering dimintai bantuan untuk melakukan kerja seperti ini.”

“Ya, Adi. Adi tentu tidak akan dapat menolak.”

Hari itu, Ki Kapat dengan kedua anaknya pergi melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Tapi mereka tidak hanya berjalan menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan. Tetapi mereka telah melihat-lihat keadaan pasar yang terhitung ramai di padukuhan induk Tanah Perdikan. Bahkan keduanya pun telah singgah di sebuah kedai di depan pasar yang banyak dikunjungi orang.

Beberapa orang yang sudah berada di dalam kedai itu memperhatikan mereka bertiga, yang kemudian duduk di bagian tengah dari kedai yang agak luas itu.

Setelah pesan minuman dan makanan, maka mereka bertiga duduk sambil berbincang tentang Tanah Perdikan Menoreh yang besar itu.

“Maaf, Ki Sanak,” tiba-tiba saja Ki Kapat itu bertanya kepada orang yang duduk di sebelahnya, “apakah Ki Sanak juga menghuni Tanah Perdikan ini?”

“Ya,” jawab orang itu, “aku tinggal di padukuhan sebelah.”

“O,” Ki Kapat mengangguk-angguk.

“Nampaknya Ki Sanak bukan penghuni Tanah Perdikan ini,” berkata orang yang duduk di sebelah Ki Kapat itu.

“Memang bukan, Ki Sanak, Aku datang dari jauh. Tetapi aku masih mempunyai hubungan darah dengan Ki Gede Menoreh serta Ki Argajaya.”

Orang yang duduk di sebelahnya itu mengangguk-angguk.

“Bukankah mereka berdua yang sekarang memegang kekuasaan di Tanah Perdikan ini?”

“Yang memegang kekuasaan adalah Ki Gede Menoreh.”

“Tetapi bukankah Ki Argajaya itu satu-satunya saudara Ki Gede Menoreh?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Bukankah itu berarti bahwa kekuasaan atas Tanah Perdikan ini berada di tangan mereka berdua?”

“Ki Argajaya tidak terlalu banyak ikut mencampuri kepemipinan Ki Gede di Tanah Perdikan ini. Tetapi putranya, Prastawa, mendapat kepercayaan untuk memimpin anak-anak pengawal Tanah Perdikan ini.”

“O,” Ki Kapat mengangguk-angguk.

Namun Soma-lah yang kemudian berkata, “Sayang, bahwa anak Paman Argapati itu seorang perempuan.”

“Ya,” sahut orang yang duduk di sebelah Ki Kapat.

“Jadi, menurut pendapat rakyat Tanah Perdikan ini, siapakah yang kelak akan menggantikan kedudukan Ki Gede?” bertanya Ki Kapat.

Orang yang duduk di sebelahnya itu termangu-mangu. Pertanyaan semacam itu tidak pernah didengarnya. Rakyat Tanah Perdikan Menoreh sendiri belum pernah mempersoalkan, siapakah yang akan menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh.

Karena itu, sambil menggelengkan kepalanya orang itu menjawab, “Aku tidak tahu.”

“Anak Ki Gede Menoreh adalah seorang perempuan yang menjadi istri anak Demang di Sangkal Putung. Jika Pandan Wangi yang harus menggantikannya, berarti Swandaru-lah yang akan berkuasa. Swandaru adalah orang asing bagi Tanah Perdikanmu. Sedangkan alur yang lain, anak Ki Argajaya, seorang laki-laki. Prastawa. Seorang yang sejak remaja telah bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini.”

Yang mendengarkan pembicarakan itu ternyata tidak hanya orang yang duduk di sebelah-menyebelah. Tetapi beberapa orang yang lain pun ikut mendengarkannya pula. Bahkan seorang yang rambutnya sudah memutih berdesis, “Ya. Selama ini kita tidak pernah berbicara tentang pengganti Ki Gede Menoreh.”

“Sebaiknya Ki Gede berbicara tentang calon penggantinya itu sekarang. Mumpung Ki Gede masih ada,. Kelak, jika Ki Gede sudah tidak ada, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Tentu ada persoalan antara Prastawa dengan Swandaru, suami Pandan Wangi. Apalagi jika suami Pandan Wangi itu sudah mempunyai jabatan sendiri di Sangkal Putung.”

Orang yang rambutnya ubanan itu mengangguk-angguk. Namun seorang anak muda yang juga berada di kedai itu berkata, “Kita tidak usah memikirkannya. Biarlah Ki Gede dan para bebahu mengambil keputusan.”

“Jangan acuh tak acuh,” berkata Tumpak, “justru anak-anak muda-lah yang pantas menentukan masa depan Tanah Perdikan ini. Jika kalian tidak mau membicarakannya sekarang, itu sama artinya kalian membiarkan bara di bawah setumpuk jerami. Akhirnya jerami itu akan terbakar habis.”

“Kau siapa Ki Sanak?” bertanya anak muda itu.

“Sudah aku katakan, aku masih terhitung keluarga Ki Gede Menoreh.”

“Jika demikian, sebaiknya kalian bertanya saja kepada Ki Gede menoreh.”

“Kau lucu, Ki Sanak,” sahut Soma, “yang menentukan bukan hanya Ki Gede sendiri. Tetapi kalian juga ikut menentukan. Jika kau merasa tidak perlu ikut campur, maka kau telah mematahkan hakmu sendiri.”

Anak muda itu tidak menjawab. Bahkan anak muda itu pun segera bangkit, mendekati pemilik warung itu untuk membayar makan dan minumannya. Kemudian pergi meninggalkan kedai itu.

Ki Kapat, Soma dan Tumpak tertawa. Ki Kapat itu pun kemudian berkata, “Tanah Perdikan Menoreh adalah Tanah Perdikan yang besar. Yang kesejahteraan rakyatnya terhitung tinggi, Kesadaran hidup berkeluarga juga membanggakan. Namun ternyata bahwa rakyatnya tidak mempedulikan masa depan Tanah Perdikannya.”

Tidak ada yang menanggapinya. Apa yang dikatakan oleh Ki Kapat dan kedua orang anaknya itu merupakan satu persoalan yang baru bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Kapat pun kemudian tidak berbicara apa-apa lagi dengan orang-orang yang berada di kedai itu tentang Tanah Perdikan Menoreh. Dihabiskannya makanan dan minuman yang dipesannya. Kemudian membayar harganya dan meninggalkan kedai itu.

Namun Ki Kapat dan kedua orang anaknya telah melontarkan persoalan ke telinga rakyat Tanah Perdikan. Tidak banyak orang yang mendengarkan persoalan yang dilontarkan oleh Ki Kapat dan kedua orang anaknya. Namun orang-orang yang mendengarkannya, segera berbicara dengan orang-orang lain. Dari mulut ke mulut. Dari telinga ke telinga.

Dalam pada itu, Ki Kapat sendiri telah berbicara langsung kepada Prastawa tentang hari depan Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa sendiri merasa sangat segan mendengarkannya. Namun karena setiap kesempatan Ki Kapat maupun Soma dan Tumpak berbicara tentang pengganti Ki Gede, maka lambat laun Prastawa terlibat pula dalam pembicaraan.

“Ngger,” berkata Ki Kapat ketika ia duduk di kebun belakang, di bawah sebatang pohon yang rindang ketika terik matahari bagaikan membakar Tanah Perdikan itu, “maaf jika aku berbicara tentang kakekku. Bukan maksudku menonjolkan diri. Tetapi aku hanya ingin mengutarakan pendapatku.”

Prastawa tidak menyahut.

“Meskipun hanya sekuku ireng, ketika Ki Surapada mulai membesarkan beberapa padukuhan kecil di daerah ini, sehingga Ki Surapada dapat disebut cikal bakal Tanah Perdikan ini, Kakek Saradan juga telah terlibat di dalamnya. Sehingga Ki Saradan dan Ki Argapada pada waktu itu telah bekerja keras untuk membesarkan daerah ini, sehingga menjadi Tanah Perdikan yang gemah ripah seperti sekarang ini.”

Prastawa pun mengangguk-angguk.

“Kami sama sekali tidak akan mengusik atau menuntut apapun juga dari Ki Gede Menoreh. Kakekku memang tidak tinggal di Tanah Perdikan ini. Yang kemudian bekerja keras adalah Paman Argapada, dan kemudian Adi Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Meskipun demikian, ada semacam ikatan jiwani dari keturunan Ki Saradan dengan Tanah Perdikan ini. Kami tidak akan mempersoalkannya jika yang kemudian memegang pimpinan Tanah ini adalah darah keturunan Ki Surapada. Mereka memang berhak untuk menjadi penguasa di sini. Tetapi kami akan menyesalinya jika yang memegang pimpinan Tanah Perdikan ini justru orang lain. Mereka yang dilahirkan dari darah keturunan orang asing.”

“Maksud Paman?” bertanya Prastawa.

Ki Kapat Argajalu itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat Ki Kapat itu pun berkata, “Maaf, Ngger. Sebaiknya aku berterus terang. Menurut pendapatku, sekali lagi bahwa yang aku katakan adalah pendapatku, jika Angger tidak sependapat, aku tidak merasa kecewa. Bahwa aku lebih senang jika yang kelak menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh adalah Angger Prastawa. Bukan Pandan Wangi. Karena jika Pandan Wangi yang mewarisi kedudukan ayahnya, maka yang akan berkuasa adalah suaminya, Swandaru. Anak Demang Sangkal Putung itu. Apalagi jika Swandaru memerintah dua lingkungan sekaligus, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Perhatiannya tentu lebih besar tertuju pada Kademangan Sangkal Putung. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan ini akan terbengkelai. Kesejahteraan yang dibina bertahun-tahun dengan kerja keras dan kesungguhan hati, akan menyusut sedikit demi sedikit, seperti tebing sungai yang disisir air setiap hari.”

Prastawa tidak menyahut. Memang terjadi gejolak di dalam dadanya. Pandangan matanya menerawang menembus berkas-berkas cahaya matahari yang tajam, yang menyusup di sela-sela dedaunan yang rimbun di kebun belakang.

Karena Prastawa tidak segera menyahut, maka Ki Kapat itu pun berkata pula, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepadamu, Ngger. Aku hanya ingin mengatakan, jika kau memang mencintai Tanah ini, maka aku akan mendukungmu. Bukan saja mendukung gagasan-gagasan yang barangkali bermanfaat bagimu, tetapi aku adalah seorang pemimpin dari sebuah padepokan. Aku mempunyai sejumlah cantrik dari beberapa tingkatan. Soma dan Tumpak menurut pendapatku, adalah orang-orang yang sudah tuntas dalam berbagai macam kawruh, termasuk kawruh olah kanuragan.”

Prastawa menarik nafas panjang. Ki Kapat pun untuk beberapa saat terdiam. Dibiarkannya Prastawa mencerna kata-katanya. Tetapi Prastawa masih saja tetap berdiam diri.

Dalam pada itu, Soma dan Tumpak pun telah datang pula dan duduk bersama mereka. Namun demikian mereka duduk, Prastawa pun bangkit berdiri.

“Paman, aku akan pulang dahulu. Sebentar lagi aku akan pergi ke lereng Bukit Wangon. Bukit kecil di pinggir jalan ke kademangan di ujung Tanah Perdikan.”

“Kenapa dengan bukit itu?”

“Kami merencanakan untuk menanami sisi utara bukit kecil itu dengan berbagai macam pepohonan. Yang kelak kita ketahui paling sesuai dengan tanah di bukit kecil itu, akan kami usahakan untuk menutup daerah gundul di sisi utara itu, agar tanahnya tidak mudah longsor dan menutup jalan.”

Ki Kapat mengangguk. Katanya, “Baiklah, Ngger. Tetapi sebaiknya kau tidak memaksa diri untuk bekerja terlalu keras. Bukankah kau mempunyai keluarga yang juga memerlukan keberadaanmu di rumah? Apalagi kau sedang menantikan anakmu lahir.”

“Ya, Paman.”

“Sebenarnya aku ingin pergi bersamamu, Adi,” berkata Soma ketika Prastawa mulai melangkah.

“Jika Kakang akan pergi, aku akan menunggu Kakang berbenah diri. Nanti dari rumah aku akan singgah lagi kemari.”

“Tetapi Adi akan pergi menemui Paman Argapati dahulu?”

“Ya.”

“Baiklah, lain kali saja, Adi, jika Adi tidak akan singgah di rumah Paman Argapati.”

Prastawa mengangguk. lapun kemudian melangkah meninggalkan Ki Kapat serta kedua orang anaknya.

Prastawa sejak semula memang tidak pernah tertarik pada cerita Ki Kapat tentang apa yang disebutnya masa depan Tanah Perdikan. Tetapi karena cerita itu diulang-ulang terus, maka sekali-sekali terbersit pula di hati Prastawa, gambaran masa depan Tanah Perdikan itu.

“Kakang Swandaru memang bukan seorang keturunan dari mereka yang menjadi cikal bakal Tanah Perdikan ini,” berkata Prastawa di dalam hatinya, “tetapi anaknya adalah keturunan langsung dari Eyang Surapada. Kelak, yang akan mewarisi kekuasaan di Tanah Perdikan ini tentu anak Mbokayu Pandan Wangi, sehingga tidak akan ada bedanya dengan anakku, karena separuh dari darah anakku juga darah orang yang asing bagi trah keturunan Eyang Surapada.”

Setiap kali Prastawa berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang meracuni otaknya itu.

Untuk mengurangi gejolak perasaan di dadanya, maka Prastawa sudah berusaha untuk tidak terlalu sering bertemu dan berbicara dengan Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya. Namun kesempatan berbicara itu masih saja selalu datang. Bahkan di luar sadarnya, Prastawa mulai mendengarkan cerita-cerita Ki Kapat Argajalu itu.

“Tetapi di Tanah Perdikan ini ada pihak-pihak lain yang ikut menentukan sikap Paman Argapati,” berkata Prastawa di dalam hatinya. “Jika Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pulang, maka mereka mulai mempengaruhi Paman Argapati lagi.”

Prastawa sempat merasa bimbang. Namun kesadarannya akan kedudukannya sebagai kemenakan Ki Gede Menoreh telah terungkit.

“Jika bukan Mbokayu Pandan Wangi, memang aku-lah yang berhak untuk memimpin Tanah Perdikan ini,” berkata Prastawa di dalam hatinya.

Namun kesadaran Prastawa akan dirinya sebagai kemenakan Ki Argapati itu masih diredamnya. Bahkan Prastawa masih berniat untuk melawan gejolak perasaannya sebagaimana ditiupkan oleh Ki Kapat Argajalu serta kedua orang anaknya.

Tetapi bagaimanapun juga, getar yang terdapat di hatinya itu dapat ditangkap oleh ayahnya, Ki Argajaya. Karena itu, maka Ki Argajaya pun telah memerlukan berbicara dengan Prastawa. Agar pembicaraan mereka dapat berlangsung lebih terbuka, maka Ki Argajaya telah pergi ke rumah Prastawa, yang saling membelangkangi dengan rumahnya.

“Apa yang pernah dikatakan oleh uwakmu Kapat Argajalu, Prastawa?” bertanya Ki Argajaya.

Prastawa menarik nafas panjang. Dengan nada yang berat iapun berkata, “Uwa Kapat menanyakan kepadaku, siapakah yang kelak akan menggantikan kedudukannya.”

“Jangan terpengaruh oleh pertanyaan itu, Prastawa. Kau tentu masih ingat apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini. Aku pernah menjadi gila dan hampir saja aku menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Tanah Perdikan ini. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah mendengarkan apa yang dikatakan oleh uwakmu itu.”

“Apakah Uwa Kapat Argajalu juga mengatakan kepada Ayah, bahwa selain Mbokayu Pandan Wangi, aku juga berhak menggantikan kedudukan Paman Argapati?”

“Ya.”

“Uwa juga mengatakan bahwa ia tidak rela jika Tanah ini diperintah oleh orang asing? Maksudnya seseorang yang bukan berada pada jalur keturunan Kakek Surapada?”

“Ya. Uwakmu tidak setuju jika kelak Swandaru memerintah Tanah ini atas nama Pandan Wangi.”

“Bagaimana menurut pendapat Ayah?”

“Itu haknya, Prastawa. Suami Pandan Wangi memang berhak memerintah Tanah Perdikan ini atas nama Pandan Wangi. Mungkin di dalam tubuh Swandaru memang tidak mengalir darah keturunan Eyang Surapada. Tetapi anak Pandan Wangi tentu mempunyai aliran darah keturunan Eyang Surapada. Tidak mungkin kelak, seandainya Swandaru mempunyai anak dari seorang perempuan yang lain, untuk menetapkannya sebagai penggantinya. Karena di dalam tubuh anak itu tidak mengalir darah keturunan Ki Surapada.”

Prastawa mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Prastawa itu bertanya, “Tetapi jika tiba-tiba harus ditetapkan pengganti Paman Argapati, siapakah yang paling berhak untuk ditetapkan?”

“Tentu Pandan Wangi.”

“Tetapi Mbokayu Pandan Wangi tidak ada di sini. Sementara itu Kakang Swandaru mempunyai tugasnya sendiri, memimpin Kademangan Sangkal Pulung.”

Ki Argajaya termangu-mangu sejenak. Ia tahu bahwa Ki Demang Sangkal Putung sudah menjadi semakin tua dan tidak mungkin untuk memimpin Sangkal Putung seterusnya, sebagaimana pula Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.

“Mungkin ada orang lain yang dapat memimpin Kademangan Sangkal Putung,” jawab Ki Argajaya.

“Saudara Kakang Swandaru adalah seorang perempuan, Mbokayu Sekar Mirah, yang sekarang menjadi istri Kakang Agung Sedayu. Jika Sangkal Putung diserahkan kepada Mbokayu Sekar Mirah, maka aku kira Kakang Agung Sedayu tidak akan mau melepaskan jabatannya yang sekarang. Ia sudah ditetapkan menjadi lurah prajurit dari Pasukan Khusus. Jika kemampuan Kakang Agung Sedayu dinilai cukup baik, maka ia akan dapat diangkat menjadi seorang Tumenggung seperti kakaknya, Kakang Untara.”

Namun Ki Argajaya itu pun menjawab, “Sebaiknya kita tidak memikirkan kepemimpinan Sangkal Putung. Itu bukan wewenang kita. Biarlah Swandaru mengaturnya nanti. Yang penting bagi kita adalah kepemimpinan di Tanah Perdikan ini.”

“Ya. Justru itulah yang aku tanyakan.”

“Prastawa. Ada cara yang dapat ditempuh di Tanah Perdikan ini. Yang akan menggantikan kedudukan Ki Gede adalah Pandan Wangi, yang kelak akan diwariskan kepada anaknya. Sementara anaknya masih belum dewasa, sementara Pandan Wangi dan suaminya tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tugas itu dapat dilimpahkan kepada orang lain atas nama anak Pandan Wangi itu.”

“Itu terlalu berbelit, Ayah. Jika Mbokayu Pandan Wangi tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tentu ada orang lain yang berhak untuk mewarisi kepemimpinan di Tanah Perdikan ini.”

“Prastawa. Aku tahu arah bicaramu . Tentu uwakmu Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya itulah yang membujukmu. Kau tentu ingat apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini semasa aku masih belum menemukan peletik kebenaran di dalam batiku. Meskipun waktu itu kau masih sangat muda, namun kau tentu dapat memahami apa yang telah terjadi.”

“Aku mengerti, Ayah. Tetapi persoalannya sekarang berbeda. Aku tidak pernah ingin menggoyahkan kekuasaan Paman Argapati. Aku hanya ingin meluruskan arus kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Karena di sini ada Paman Argapati dan ada Ayah. Paman Argapati mempunyai seorang anak perempuan, dan Ayah mempunyai seorang anak laki-laki.”

“Lupakan, Prastawa. Biarlah pamanmu mengatur, siapakah kelak yang akan mewarisi kepemimpinan di Tanah Perdikan ini.”

“Kita tidak dapat menjadi acuh tak acuh seperti itu, Ayah.”

Ki Argajaya memandang Prastawa dengan tajamnya. Katanya, “Bukan acuh tak acuh, Prastawa. Tetapi kita tidak ingin gejolak tentang pewarisan kedudukan itu terjadi.”

“Ayah. Kita ikut bertanggungjawab terhadap kelestarian Tanah Perdikan ini. Kita berharap bahwa semakin lama Tanah Perdikan ini menjadi semakin maju. Kesejahteraan rakyat’semakin meningkat. Karena itu, apa salahnya bahwa kita ikut memikirkan agar Tanah ini dapat semakin berkembang?”

“Aku setuju, Prastawa. Kita adalah pendukung dari Tanah Perdikan ini. Semua rakyat Tanah Perdikan ini. Tetapi siapapun yang akan memegang pimpinan di Tanah Perdikan ini, kita tentu akan mendapatkan kesempatan untuk mengabdikan diri kita.”

“Belum tentu, Ayah. Jika yang memimpin Tanah Perdikan ini tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap Tanah Perdikan ini, maka segala-galanya akan dapat terbengkalai.”

“Jika kita dengan jujur ingin mengabdi, maka dalam hal seperti itulah kita harus terjun.”

“Sia-sia saja.”

“Prastawa. Apa yang sebenarnya kau kehendaki? Apakah kau ingin mewarisi kedudukan pamanmu? Bahkan kau ingin nggege mangsa, mempercepat beredarnya waktu?”

“Tidak, Ayah. Sama sekali tidak.”

“Jika tidak, jangan kau risaukan lagi siapakah yang akan menggantikan kedudukan pamanmu. Aku minta kau mengerti. Keluargaku tidak boleh mengulangi melakukan kesalahan yang sama.”

Prastawa terdiam. Ia mengenal ayahnya dengan baik. Jika suaranya menjadi bergetar dan tidak begitu jelas, adalah isyarat bahwa ayahnya menjadi marah. Meskipun kemarahannya itu belum nampak di wajahnya atau tersirat pada kata-katanya, namun jantung orang tua itu sudah mulai bergejolak.

“Prastawa,” berkata Ki Argajaya kemudian, “kalau uwakmu itu berbicara lagi tentang pewarisan kedudukan, jangan ditanggapi, atau aku usir orang itu dari Tanah Perdikan ini. Aku senang sekali dikunjungi sanak kadang yang sudah lama tidak bertemu. Tetapi jika ia datang untuk menuangkan racun di kepala kita, maka aku akan mengusirnya. Apapun yang akan dikatakannya tentang aku oleh sanak kadangku.”

Prastawa menundukkan kepalanya.

Ki Argajaya itu pun kemudian meninggalkan Prastawa duduk sendiri merenungi kata-kata ayahnya. Tetapi persoalan yang menyangkut pewarisan kedudukan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu tidak segera dapat disingkirkannya dari kepalanya.

Adalah di luar pengetahuan Ki Argajaya, jika Ki Kapat dan kedua orang anaknya masih saja berbicara tentang kedudukan Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata racun yang ditaburkan di otak Prastawa itu menjadi semakin menggigit. Meskipun ia masih tidak berani berterus terang kepada ayahnya, tetapi ia mulai membicarakan persoalan yang telah membuatnya gelisah itu dengan satu dua orang sahabatnya terdekat.

Berbagai tanggapan telah diberikan oleh sahabat terdekatnya itu. Sahabatnya justru heran, bahwa Prastawa sempat memikirkan pernyataan uwaknya itu.

“Seharusnya kau tidak perlu mendengarkannya, Prastawa,” berkata seorang sahabat terdekatnya.

“Tetapi jalan pikiran Uwa Kapat itu mapan sekali, Pinta.”

Sahabatnya yang dipanggilnya Pinta itu menggeleng sambil menjawab, “Seseorang dapat saja menyusun pernyataan yang kedengarannya sangat wajar. Tetapi bukankah kau dapat menduga akibatnya, seandainya hal ini benar-benar kau lontarkan kepada Ki Gede Menoreh?”

“Paman harus berjiwa besar.”

“Meskipun seandainya Ki Gede berjiwa besar, namun jika hal ini kau nyatakan kepadanya, berarti kau sudah mendahului langkah yang seharusnya diambil olehnya.”

“Bukankah itu berarti bahwa aku telah ikut memikirkan masa depan Tanah Perdikan ini?”

“Terus terang, Prastawa. Jika apa yang kau lakukan itu dapat dikatakan kepedulianmu, keikutsertaanmu memikirkan masa depan Tanah Perdikan ini, namun lambarannya adalah pamrih. Tidak seperti yang selalu kau lakukan selama ini. Kau, kita semuanya, rakyat Tanah Perdikan. Jika kita mempunyai pamrih, maka pamrih itu adalah pamrih kita rakyat Tanah Perdikan ini.”

Prastawa terdiam. Ia memang sempat merenungi kata-kata sahabatnya itu. Tetapi ternyata bahwa racun itu sudah melukai jantung Prastawa, sehingga pandangannya terhadap kebenaran menjadi kabur.

Prastawa memang tidak membantah langsung di hadapan sahabatnya itu. Namun ia mulai meragukan keikhlasan persahabatan mereka. Prastawa justru mulai berprasangka, bahwa kawannya itu merasa dengki seandainya kedudukan Kepala Tanah Perdikan itu akhirnya berada di tangannya. Meskipun tidak hanya seorang saja sahabatnya yang menasihatinya, tetapi hati Prastawa benar-benar sudah menjadi keruh oleh racun yang ditebarkan uwaknya, Ki Kapat Argajalu.

Pada saat Prastawa dicengkam oleh kebimbangan yang semakin dahsyat di dadanya itu, terbetik berita bahwa prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah pulang.

Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, yang ikut serta mengantar Kanjeng Pangeran Puger ke Demak, sudah kembali ke baraknya. Mereka disambut oleh kawan-kawannya dengan hangat. Berita tentang gugurnya beberapa orang prajurit di perjalanan memang membuat para prajurit di barak itu berduka. Tetapi bahwa yang lain telah kembali dengan selamat, membuat seisi barak itu bergembira.

Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada pula di antara Pasukan Khusus itu, serta ikut pula masuk ke dalam barak prajurit. Tetapi setiap orang di dalam barak itu mengetahui siapakah mereka. Para prajurit itu pun mengetahui bahwa meskipun mereka bukan prajurit, tetapi mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan melampaui para prajurit yang berada di barak itu.

Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di barak itu sampai sore hari. Setelah segala macam upacara sederhana namun penuh kegembiraan yang ikhlas itu, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu sendiri masih tetap berada di barak malam itu. Ia masih harus membenahi pasukannya. Menempatkan kembali mereka di antara para prajurit yang tidak pergi bersama mereka.

Menjelang senja, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Ki Jayaraga menyambut mereka dengan gembira. Demikian mereka masuk ke ruang dalam, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Syukurlah, Yang Maha Agung menyertai dan melindungi kalian. Kalian telah diperkenankan kembali dengan selamat.”

“Ya. Kita semuanya harus mengucap syukur,” sahut Glagah Putih.

Sukra pun kemudian muncul pula di pintu butulan. Anak yang sudah lama tinggal bersama mereka itu memandangi saja Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan berganti-ganti. Glagah Putih-lah yang mendekatinya. Sambil menepuk bahunya iapun berkata, “Kau baik-baik saja selama ini, Sukra?”

Sukra mengangguk. Dengan nada dalam iapun bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”

“Sebagaimana kau lihat, kami baik-baik saja, Sukra.”

“Dimana Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ki Lurah masih berada di barak. Masih ada yang harus dilakukan di baraknya.”

“Apakah perjalanan kalian ke Demak menyenangkan?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Ya. Perjalanan yang menyenangkan.”

“Jika saja aku dapat ikut.”

“Lain kali kau akan mendapat kesempatan.”

“Apakah lain kali masih ada Pangeran yang akan pergi ke Demak?”

Glagah Putih tertawa. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun tertawa. Sambil melangkah mendekati anak itu, Sekar Mirah berkata, “Seandainya tidak ke Demak, Sukra, mungkin kita bertugas ke Pati, atau ke Kudus, atau kemana saja.”

Sukra menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Sekar Mirah hanya ingin menyenangkan hatinya. Namun Sukra tidak menyahut lagi. Bahkan kemudian Sukra pun melangkah keluar sambil berkata, “Aku masih belum selesai menimban kayu.”

Glagah Putih mengikuti Sukra beberapa langkah. Sampai di luar pintu, iapun bertanya, “Bagaimana dengan latihan-latihanmu selama ini?”

“Nanti malam kita pergi ke sanggar. Lihat, seberapa jauh ilmuku meningkat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil sekali lagi menepuk bahu anak itu, “Ya. Nanti malam kita pergi ke sanggar.”

Glagah Putih melihat kesungguhan di mata anak itu, sehingga ia tidak ingin mengecewakannya. Namun Glagah Putih masih berkata lagi, “Tetapi setelah aku menghadap Ki Gede Menoreh.”

Sukra mengangguk.

Namun Sekar Mirah ternyata minta agar mereka menundanya sampai esok malam. “Kita menunggu kesempatan Kakang Agung Sedayu pergi menghadap bersama kita.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk. Tetapi ia tidak merasa perlu untuk menemui Sukra untuk memberitahukan acara kepergiannya menghadap Ki Gede Menoreh.

Namun malam itu, sejak lewat senja, beberapa orang telah mendatangi rumah Glagah Putih. Anak-anak muda yang sudah agak lama tidak bertemu, yang mendengar berita bahwa Glagah Putih telah kembali bersama para prajurit dari Pasukan Khusus.

Tetapi di antara anak-anak muda yang datang itu tidak terdapat Prastawa.

“Bukankah Prastawa tidak apa-apa?” bertanya Glagah Putih kepada salah seorang kawannya.

“Tidak. Aku tadi siang melihat Prastawa di bendungan bersama dua orang yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarganya.”

“Siapa?”

“Kami belum pernah melihat sebelumnya. Yang kami tahu, namanya Soma dan Tumpak. Mereka datang bersama ayahnya, Ki Kapat Argajalu. Apakah kau pernah mendengar?”

Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, “Aku belum pernah mendengar nama itu.”

Ketika anak-anak muda itu kemudian meninggalkan rumah Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Jayaraga pun berkata kepada Glagah Putih, “Ki Argajaya nampaknya mempunyai tiga orang tamu. Prastawa menjadi sibuk melayani tamu-tamunya. Agaknya tamu-tamunya minta Prastawa mengantar melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah pun bertanya, “Darimana Ki Jayaraga mengetahuinya?”

“Anak-anak muda itulah yang mengatakannya. Tetapi aku memang pernah melihat Prastawa bersama tiga orang saudaranya itu. Saudara yang hubungan darahnya sudah tidak terlalu dekat lagi.”

“Ki Jayaraga melihat mereka? Maksudku ketiga orang tamu Ki Argajaya itu?”

“Aku tidak melihat wajah mereka. Ketika aku memperhatikan mereka di saat mereka lewat di dekat sawah kita, mereka sudah membelakangi aku, sehingga aku hanya melihat punggungnya saja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang tidak begitu menghiraukan, karena ia tidak berkepentingan dengan tamu-tamu Ki Argajaya itu.

Malam itu, Glagah Putih menepati janjinya terhadap Sukra. Sebelum tengah malam, sedikit lewat wayah sepi wong, keduanya telah berada di sanggar.

“Nah, aku ingin melihat kemajuan ilmumu, Sukra.”

“Kau harus bersikap jujur,” berkata Sukra.

Glagah Putih tertawa. Namun Glagah Putih itu pun bertanya, “Maksudmu?”

“Kalau kau sepantasnya memuji, kau harus memuji. Tetapi jika seharusnya kau mencela, kau harus mencela. Tetapi dengan menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Pada kesempatan lain, kau harus mengajari aku menutup kekurangan-kekurangan itu.”

“Kau jangan membujuk dengan cara yang licin itu. Tetapi sekarang, mulailah.”

Sukra pun segera bersiap. Sejenak kemudian, maka Sukra itu pun mulai berloncatan. Dikerahkannya kemampuannya untuk ditunjukkan kepada Glagah Putih.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata Sukra telah mendapatkan kemajuan yang pesat sekali. Niatnya yang bagaikan membara di dadanya, telah membuatnya tekun. Namun Glagah Putih juga melihat pengaruh unsur-unsur gerak dari Ki Jayaraga terselip di ilmunya yang sudah menjadi semakin tinggi.

“Tentu wajar sekali,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “Ki Jayaraga tidak akan sampai hati membiarkan anak itu selalu berlatih sendiri, sehingga kadang-kadang Ki Jayaraga akan bersedia menemaninya berlatih.”

Lewat tengah malam, Sukra berhenti. Keringatnya membasahi pakaiannya, seperti baru saja kehujanan.

“Bagaimana pendapatmu, Kakang?” bertanya Sukra.

“Aku berkata sejujurnya,” jawab Glagah Putih, “kau sudah mendapat banyak sekali kemajuan. Kau tentu juga sering berlatih dengan Ki Jayaraga, sehingga pengaruhnya nampak di dalam unsur-unsur gerakmu.”

“Ya. Ki Jayaraga jika tidak pergi ke sawah, sering menungguiku berlatih di sanggar terbuka. Bahkan Ki Jayaraga sering bersedia menjadi kawan berlatih, dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti.”

“Sukra,” berkata Glagah Putih, “kau mempunyai beberapa kelebihan. Tubuhmu ternyata terlalu besar bagi anak muda seumurmu. Kau yang masih terhitung remaja ditilik dari umurmu, wujudmu sudah lebih besar dan lebih tinggi dari anak-anak muda pada umumnya. Tenagamu besar sekali, sementara kau memiliki ketrampilan yang tinggi.”

“Kau berkata sejujurnya, atau kau hanya sekedar ingin menyenangkan hatiku?”

“Kau dapat menjawabnya sendiri. Lihat tubuhmu. Bandingkan dengan anak-anak sebayamu, yang sering bermain pliridan di kali. Sekarang seberapa besarnya mereka dibanding dengan tubuhmu.”

Sukra mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Aku percaya. Tetapi tentang ilmuku, tentang tenagaku dan ketrampilanku?”

“Aku sudah mengatakan, bahwa aku berkata sejujurnya. Karena itu, aku berpengharapan bahwa kau akan dapat menjadi seorang anak muda yang berilmu tinggi.”

“Terima kasih. Tetapi kepada siapa aku harus berguru? Kakang Glagah Putih jarang sekali berada di rumah.”

“Kau dapat berlatih sendiri setelah aku tunjukkan dasar-dasarnya, arahnya dan cara yang harus kau tempuh. Kau minta saja Ki Jayaraga kadang-kadang membimbingmu jika aku tidak ada. Bukankah aku juga murid Ki Jayaraga?”

Sukra itu mengangguk-angguk. Namun Sukra itu pun berkata, “Tamu Kakang Prastawa juga seorang yang berilmu tinggi.”

“Darimana kau tahu?”

“Kemarin mereka bermain-main di lereng bukit.”

“Kau pergi ke bukit?”

“Kebetulan. Aku sedang mencari daun pati-urip. Ki Jayaraga sedang meramu obat.”

“Kau cari daun pati-urip sampai ke bukit? Bukankah di kebun kita sudah ada pohon pati-urip?”

Sukra mengangguk. Katanya, “Ya. Tetapi Ki Jayaraga membutuhkan daun pati-urip agak banyak, sehingga aku harus mencarinya ke bukit.”

“Apa yang dilakukan oleh para tamu Ki Argajaya itu?”

“Seorang yang tertua di antara mereka memperagakan ilmu yang tinggi. Orang itu dapat menyemburkan api dari mulutnya, lidah api yang meluncur ke arah sasaran.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Segumpal batu padas di lereng bukit yang menjadi sasaran lidah api itu pecah berserakan.”

“Apakah Prastawa berguru kepadanya?”

“Aku tidak tahu. Aku hanya melihat permainan itu di lereng bukit.”

“Apakah mereka melihat kau di sana waktu itu?”

“Tidak. Mereka tidak memperhatikan aku sama sekali.”

“Mereka tidak memperhatikan keberadaanmu, atau mereka tidak tahu kalau kau ada di sana pula waktu itu?”

“Nampaknya mereka tidak tahu kalau ada orang yang memperhatikan mereka. Aku memang mengurungkan niatku untuk mencari daun pati-urip.”

“Kau sudah mengatakan kepada Ki Jayaraga?”

“Sudah.”

“Ki Jayaraga belum bercerita kepadaku.”

“Mungkin Ki Jayaraga menunggu Ki Lurah Agung Sedayu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi Glagah Putih memang tidak menaruh perhatian yang terlalu besar terhadap cerita Sukra itu. Bagi Glagah Putih, peningkatan ilmu bagi Prastawa memang perlu sekali.

Dalam pada itu, beberapa saat kemudian keduanya telah keluar dari sanggar. Setelah keringatnya kering, Sukra pun berkata. “Aku akan pergi ke sungai.”

“Untuk apa?”

“Mandi.”

“Kenapa harus ke sungai? Bukankah ada pakiwan?”

“Aku ingin melihat anak-anak membuka pliridan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Kemudian iapun bertanya, “adi kau masih juga membuka pliridan?”

Sukra tersenyum. Katanya, “Sekedar main-main bersama kawan-kawan.”

“Terserah kau,” sahut Glagah Putih.

Sejenak kemudian, Sukra pun telah berlari ke dalam gelap.

Ketika Glagah Putih masuk ke dalam biliknya, tiba-tiba saja ia teringat kepada cerita Sukra tentang Prastawa dan tamu-tamunya. Bahkan Glagah Putih pun telah menceritakan pula kepada Rara Wulan, yang sudah berbaring di pembaringannya.

“Siapakah tamu-tamu Ki Argajaya itu sebenarnya?”

“Masih ada hubungan darah meskipun sudah agak jauh. Besok mungkin Prastawa akan datang menemui kita. Kita dapat bertanya kepadanya tentang tamu-tamunya itu.”

“Apakah itu perlu?”

“Jadi?”

“Prastawa akan dapat menjadi salah paham. Ia dapat mengira bahwa kita mencampuri persoalan di lingkungan keluarganya.”

“Tetapi bukankah kita hanya bertanya tentang tamu-tamunya yang mengunjungi keluarganya? Bukankah itu wajar-wajar saja?”

“Ya. Agaknya perasaan kita sendiri yang merasa aneh. Sebenarnya bukankah tidak ada persoalan apa-apa? Seandainya tamu-tamu Prastawa itu ingin menyombongkan dirinya dengan ilmunya, bukankah itu wajar-wajar pula?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja iapun membaringkan dirinya sambil berkata, “Pokoknya sekarang tidur.”

Pagi-pagi sekali, seperti biasanya sebelum Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan bertugas ke Demak, mereka sudah bangun. Mereka pun segera melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Glagah Putih sudah berada di sumur untuk menimba air mengisi jambangan, sementara Sukra sibuk membersihkan kandang. Rara Wulan sibuk pula mencuci mangkuk dan perkakas dapur yang kotor, sedangkan Sekar Mirah mulai mempersiapkan membuat minuman sambil menanak nasi.

Di halaman depan terdengar derit sapu lidi. Ki Jayaraga seperti biasanya pula telah menyapu halaman.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Kau sekedar melihat anak-anak menutup pliridan, atau kau juga melakukannya?”

“Sekali-sekali. Sayang dengan pliridanku yang baik dan mapan di tempat yang baik pula. Bahkan anak Ki Sudagar yang kaya itu ingin membeli pliridan itu.”

“Membeli?” Glagah Putih tertawa. “Bukankah tepian sungai begitu panjangnya, sehingga siapapun dapat membuat pliridan sesuka hati?”

“Tetapi sulit untuk mendapatkan tempat seperti pliridanku itu.”

“Apakah sampai tua kau masih akan bermain-main dengan pliridan?”

“Tetapi itu tidak penting.”

“Apa yang penting?”

“Prastawa.”

“Kenapa dengan Prastawa?”

Sukra termangu-mangu sejenak. Nampaknya Sukra menjadi agak ragu. Namun iapun kemudian berkata, “Prastawa dengan dua orang tamunya yang muda semalam menyusuri sungai itu. Mereka nampaknya memperhatikan padukuhan induk ini di sebelah-menyebelah sungai. Mereka mengamati beberapa pepohonan besar yang tumbuh di pinggir sungai. Lorong-lorong sempit yang turun ke sungai dari padukuhan di sebelah-menyebelah.”

“Apakah kau belum pernah melihat Prastawa melakukan semua itu?”

Sukra menggeleng. Katanya, “Baru sekali ini aku melihatnya.”

“Mungkin karena ia sedang mendapat tamu. Agaknya tamunya itulah yang ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini di malam hari.”

(ada halaman yang hilang)

“Nampaknya banyak juga orang jahat di daerah Mataram ini.”

“Ya. Tetapi kami merasa bersyukur, bahwa korban yang jatuh terhitung sedikit. Yang lain, sebagian terbesar dari kami, masih tetap mendapat perlindungan.”

“Ya. Ki Lurah memang harus bersyukur.”

“Ya, Ki Jayaraga. Kami pun telah dapat menyelesaikan tugas kami sampai tuntas. Pangeran Puger telah sampai dan memangku jabatannya di Demak.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Jayaraga pun berkata, “Selama Ki Lurah pergi, Tanah Perdikan ini telah mendapatkan tiga orang tamu.”

“Tamu?”

“Ya. Masih ada hubungan darah dengan Ki Argapati dan Ki Argajaya.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga telah menceritakan pula apa yang dilihat oleh Sukra di lereng bukit. “Ketiga orang itu telah memamerkan kelebihannya kepada Prastawa.”

“Sukra melihatnya?”

“Ya. Dan Sukra bercerita kepadaku. Tetapi aku belum bercerita kepada Glagah Putih.”

“Sukra tentu sudah bercerita kepadanya.”

“Ya. Yang aku cemaskan, jangan-jangan Glagah Putih mengambil sikap sendiri sebelum Ki Lurah datang.”

“Tetapi bukankah Glagah Putih tidak berbuat apa-apa?”

“Tidak.”

“Aku akan berbicara dengan Glagah Putih. Tetapi bukankah yang dilakukan oleh ketiga orang tamu itu masih wajar-wajar saja, sehingga tidak perlu menimbulkan kecurigaan? Mungkin para tamu itu memang sedikit sombong tanpa maksud apa-apa. Mereka hanya ingin menunjukkan kelebihan mereka kepada Prastawa.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan.”

“Apakah Glagah Putih sudah tahu, bahwa ada tiga orang tamu yang masih terhitung keluarga Ki Argapati dan Ki Argajaya?”

“Sudah. Kawan-kawannya juga sudah bercerita. Aku pun sudah mengatakan kepadanya, kepada Nyi Lurah dan Rara Wulan. Yang belum aku katakan adalah cerita Sukra yang melihat tamu-tamu itu memamerkan kelebihan mereka.”

“Aku akan memanggil mereka. Aku akan minta Sukra bercerita tentang apa yang dilihatnya.”

Sebentar kemudian, seisi rumah itu sudah berkumpul di ruang utama. Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian minta Sukra untuk bercerita tentang ketiga orang tamu yang datang di Tanah Perdikan Menoreh, yang telah mempertunjukkan kelebihan-kelebihannya di lereng bukit.

Sukra pun segera bercerita. Tetapi tidak hanya pameran ilmu dan kemampuan di lereng bukit, tetapi juga apa yang dilihatnya semalam di sungai, pada saat ia menunggui wuwu yang telah dipasang di pliridannya.

“Terima kasih, Sukra. Tetapi aku berpesan kepada kalian semuanya. Kita jangan mengambil kesimpulan apa-apa lebih dahulu. Kita anggap saja perbuatan itu wajar-wajar saja.”

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian, “sampai saat ini Prastawa juga belum datang kemari. Mestinya ia tahu bahwa aku sudah pulang. Biasanya ia sering datang meskipun hanya sebentar. Sementara beberapa orang kawan yang lain telah datang semalam dan pagi tadi.”

“Kita juga belum menghadap Ki Gede. Apakah kalian semalam sudah menghadap?”

“Belum, Kakang,” Sekar Mirah menggeleng, “kami memang menunggu Kakang untuk bersama-sama menghadap.”

“Nanti malam kita akan menghadap. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dengan Prastawa dan ketiga orang tamu itu.”

“Ketiganya bermalam di rumah Ki Argajaya, Ki Lurah,” sahut Sukra.

“O. Itulah sebabnya Prastawa terikat kepada mereka. Aku kira mereka hanya sekedar ingin menunjukkan kepada Prastawa keberhasilan mereka, tanpa maksud apa-apa.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Dengan demikian, maka seisi rumah itu memang tidak mengambil kesimpulan apa-apa tentang sikap dan tingkah laku ketiga orang tamu Ki Argajaya itu. Namun ketika Glagah Putih meninggalkan ruang dalam dan pergi ke belakang, Sukra mengikutinya sambil berkata, “Waktu para tamu itu memamerkan kelebihan mereka, Prastawa nampak terkagum-kagum. Mereka berbicara bersungguh-sungguh. Mereka menunjuk ke beberapa arah di Tanah Perdikan ini.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Bukankah kau dengar, bahwa menurut Kakang, sikap itu tidak lebih dari sikap sombong? Tamu-tamu itu ingin menunjukkan kelebihan mereka. Itu saja.”

“Ah, tentu tidak hanya terbatas pada sikap sombong itu. Jika mereka memamerkan kelebihan mereka sampai ke puncak kemampuan mereka, agaknya mereka mempunyai maksud-maksud tertentu.”

“Jangan berprasangka dahulu. Kita masih harus menunggu.”

“Tetapi buat apa Prastawa semalam menelusuri sungai itu? Apa yang dicarinya?”

“Tamu-tamunya ingin melihat sungai di Tanah Perdikan ini di waktu malam.”

Sukra memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun sambil tertawa Glagah Putih menepuk bahu anak itu, “Jangan gelisah. Mudah-mudahan nanti malam aku bertemu dengan Prastawa. Ia tentu akan bercerita kepadaku, apa saja yang telah dilakukannya. Ia tentu juga akan bercerita tentang ketiga orang tamunya itu.”

Malam itu, seperti yang direncanakan, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan memerlukan menghadap Ki Gede Menoreh. Pimpinan Tanah Perdikan Menoreh yang sudah menjadi semakin tua. Ketuaannya itu mau tidak mau sangat mempengaruhi unsur kewadagannya.

Seperti yang diharapkan, ketika mereka memasuki regol halaman rumah Ki Gede, maka mereka melihat beberapa orang duduk di pringgitan. Di antara mereka adalah Prastawa dan dua orang yang masih terhitung muda, ditemui oleh Ki Gede Menoreh. Ki Gede yang melihat Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan, segera bangkit dan menyongsong mereka sampai di tangga.

“Marilah, Ki Lurah,” Ki Gede itu pun mempersilahkan. Sementara itu Prastawa dan kedua orang yang lain pun telah bangkit pula. Seperti Ki Gede, mereka pun menyongsong sampai ke tangga.

“Terima kasih, Ki Gede,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun yang mengejutkan adalah sikap Prastawa. Seperti Ki Gede, iapun mempersilahkan tamu-tamu itu naik. Tetapi Prastawa sendiri kemudian justru berkata, “Marilah, Ki Lurah, silahkan naik. Aku tadi sudah minta diri. Maaf, bahwa kami tidak dapat ikut menemui Ki Lurah dan yang lain.”

“Kakang Prastawa,” berkata Glagah Putih kemudian, “kau akan kemana? Sudah lama kita tidak bertemu.”

Prastawa memaksa diri untuk tersenyum. Katanya, “Maaf, Glagah Putih. Aku sudah terlanjur berjanji untuk pergi ke padukuhan Sambisari.”

“Ada apa? Biarlah nanti aku ikut.”

“Kau tentu masih letih. Biarlah kami pergi bertiga. Kedua orang ini adalah saudara-saudaraku yang sudah lama tidak bertemu; yang sekarang sedang mengunjungi keluarga di Tanah Perdikan ini.”

Glagah Putih terdiam, sementara Ki Gede berkata, “Sebaiknya kalian duduk dahulu sebentar. Dengarlah cerita Ki Lurah yang baru pulang dari perjalanannya.”

“Kemana?” bertanya Soma yang kebetulan berada di rumah Ki Gede.

“Ke Demak. Mereka adalah Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya.”

“O. Jadi inilah mereka itu.”

“Ya,” Prastawa mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, Soma hampir tidak berkedip memandang Rara Wulan, yang mengenakan pakaian sewajarnya sebagai seorang perempuan. Bajunya lurik hijau pupus, sedang kainnya juga lurik, hijau daun.

“Ternyata perempuan ini cantik sekali,” berkata Soma di dalam batinya.

Sikap Prastawa dan kedua orang saudaranya itu memang menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Lurah Agung Sedayu serta keluarganya. Apalagi Glagah Putih, yang sudah mendengar cerita tentang Prastawa dan orang-orang yang disebut saudara-saudaranya yang sedang berkunjung itu.

Prastawa ternyata tidak dapat dicegah lagi. Ia benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede tanpa memperkenalkan kedua orang saudaranya itu kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya.

Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Namun iapun membiarkan saja Prastawa dan kedua orang saudaranya itu pergi. Ketika keduanya minta diri, maka Ki Gede justru langsung menjawab, “Baik. Silahkan.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia merasakan nada yang sumbang dari jawaban Ki Gede terhadap kedua orang yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga penguasa di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya itu sudah duduk di pringgitan, ditemui oleh Ki Gede Menoreh yang nampak gembira menerima kedatangan mereka. Ki Lurah Agung Sedayu telah menceritakan perjalanannya ke Demak dari awal sampai akhir. Sekali-sekali diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan Ki Gede Menoreh, yang kadang-kadang menjadi tegang mendengarkan cerita Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kami bersyukur, bahwa kami telah dapat menyelesaikan tugas kami dengan selamat sehingga tuntas.”

“Perjalanan yang mendebarkan,” desis Ki Gede sambil mengangguk-angguk, “tetapi Yang Maha Agung telah melindungi perjalanan Ki Lurah.”

“Ya, Ki Gede. Sementara itu, bukankah Tanah Perdikan ini baik-baik saja selama kami pergi?”

“Ya,” Ki Gede mengangguk-angguk, “semuanya berjalan wajar. Selama ini aku sering berhubungan dengan Ki Jayaraga jika aku memerlukan kawan berbincang. Maksudku, kawan yang umurnya tidak terpaut banyak dari umurku.”

“Ki Jayaraga juga mengatakan, Ki Gede.”

“Selain itu, barangkali perlu kau ketahui, bahwa dua orang yang pergi bersama Prastawa itu adalah anak-anak dari seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan aku dan Argajaya. Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Ia datang untuk mempertautkan hubungan di antara kami.”

“Prastawa tidak memperkenalkan mereka kepada kami. Tetapi justru dibawanya mereka pergi.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Dengan nada dalam iapun berkata, “Ada sesuatu yang tidak aku mengerti dengan sikap Prastawa akhir-akhir ini. Anak itu nampaknya terlalu sibuk dengan tamu-tamunya. Soma dan Tumpak.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.

Sementara itu Glagah Putih nampak menjadi gelisah. Tetapi Glagah Putih tidak mengatakan apa-apa. Meskipun sebenarnya ia ingin bertanya apakah Ki Gede Menoreh sudah mengetahui, apa saja yang dilakukan oleh ketiga orang tamu itu bersama-sama dengan Prastawa.

Malam itu, Agung Sedayu dan keluarganya berada di rumah Ki Gede sampai wayah sepi bocah. Keempat orang itu pun kemudian minta diri setelah terasa angin malam yang dingin berhembus mengusap tubuh mereka.

“Begitu tergesa-gesa,” berkata Ki Gede.

“Sudah malam, Ki Gede. Ki Gede tentu akan segera beristirahat.”

“Kalian-lah yang tentu masih letih. Baru kemarin, bahkan Ki Lurah baru hari ini pulang.”

“Aku juga pulang kemarin, Ki Gede. Tetapi aku terhenti di barak.”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Baiklah. Terima kasih atas kunjungan kalian.”

Namun ketika Ki Gede itu mengantar mereka menuruni tangga, iapun berdesis perlahan, “Tolong, mungkin Angger Glagah Putih dapat mencari keterangan, apa saja yang dilakukan oleh Prastawa akhir-akhir ini bersama Soma dan Tumpak. Terus terang, aku tidak begitu menyukai tamu-tamuku itu. Ayah Soma dan Tumpak itu bernama Ki Kapat Argajalu Nampaknya ia datang tidak sekedar ingin menyambung hubungan keluarga yang hampir terputus. Tetapi setiap kali ia mengungkit keterlibatan kakeknya saat Tanah ini mulai tumbuh, sehingga akhirnya menjadi Tanah Perdikan Menoreh. Kapat pun beberapa kali bertanya tentang Pandan Wangi dan tentang suaminya, yang menurut Ki Kapat, hanyalah anak seorang Demang saja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Gede. Aku akan mencobanya.”

“Terima kasih, Ngger. Aku minta maaf bahwa aku telah melibatkan kau dalam persoalan yang agaknya berkisar pada keluargaku saja.”

“Tidak apa-apa, Ki Gede. Bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk membantu Ki Gede? Di dalam batas kemampuanku, aku akan melakukannya Ki Gede.”

“Terima kasih, Ngger. Mudah-mudahan tidak ada masalah apa-apa. Mungkin justru jantungku-lah yang berbulu, sehingga aku sempat berprasangka buruk.”

“Aku akan mencari keterangan, Ki Gede. Mudah-mudahan memang tidak ada apa-apa.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian keempat orang itu pun meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Menoreh, menyusuri jalan padukuhan induk yang gelap. Namun di sana-sini, di beberapa regol halaman terdapat lampu obor yang menyala.

Di sepanjang jalan pulang, mereka berempat masih juga berbicara tentang sikap Prastawa yang berubah. Bahkan Ki Gede Menoreh pun menyatakan bahwa ia tidak dapat mengerti sikap Prastawa pada saat-saat terakhir.

“Tetapi kau harus berhati-hati, Glagah Putih. Nampaknya tamu-tamu Prastawa yang telah memamerkan ilmunya kepada Prastawa itu memang orang-orang yang sombong. Yang dengan sengaja ingin memperlihatkan kelebihan mereka. Jika mereka mempunyai alasan betapapun kecilnya, mereka tentu akan memanfaatkannya untuk memamerkan tingkat kemampuannya yang tinggi itu. Karena itu, jangan mudah terpancing, Glagah Putih. Jika perselisihan itu terjadi, mereka akan merasa berhasil. Umpannya termakan.”

Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, “Ya, Kakang.”

“Kau juga masih terhitung muda, sehingga darahmu masih mudah disulut oleh sikap yang kau rasa menyinggung perasaanmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Kakang.”

“Kau memang dapat bertanya kepada seseorang. Tetapi kau harus memilih. Mungkin orang itu adalah orang yang ikut berkepentingan dengan sikap Prastawa itu.”

“Aku mengerti, Kakang.”

Pembicaraan tentang Prastawa memang tidak ada putusnya. Bahkan setelah mereka berada di rumah, mereka masih saja memperbincangkan sikap Prastawa, dihubungkan dengan cerita Sukra. Bahkan Ki Jayaraga telah ikut pula berbincang tentang Prastawa.

Baru menjelang tengah malam mereka berhenti berbincang. Mereka pun kemudian telah pergi ke bilik mereka masing-masing. Tetapi Ki Jayaraga justru mengambil cangkulnya, dan di malam yang gelap itu, Ki Jayaraga pergi ke sawah untuk menelusuri air.

Ternyata bukan hanya Ki Jayaraga saja-lah yang pergi keluar. Sukra pun telah pergi ke sungai pula untuk melihat anak-anak yang lebih kecil dari dirinya, menutup pliridan di tengah malam. Sukra sendiri malam itu tidak ingin menutup pliridannya meskipun ia sempat membukanya di sore hari. Ia ingin membiarkan anak-anak yang berada di sungai untuk menutup, mengambil ikannya dan membagi di antara mereka.

Demikian Sukra turun ke sungai, maka dilihatnya anak-anak yang sedang sibuk menutup pliridan. Dengan lantang ia pun berkata, “He, siapa yang mau menutup pliridanku?”

Anak-anak itu berpaling kepadanya. Seorang di antara mereka berteriak, “Aku, Kang Sukra!”

Tetapi anak yang lain pun berteriak pula sambil bergeser mendekat, “Aku, Kang!”

Ternyata ada beberapa orang anak yang menyatakan kesediaannya untuk membuka pliridan itu. Sehingga akhirnya Sukra berkata, “Kalian tutup saja bersama-sama.”

“Tetapi siapakah yang berhak memasang wuwu?”

“Hanya ada satu wuwu. Kalian akan membagi ikan yang berada dalam wuwu. Sedangkan mereka yang menangkap langsung ikan yang berada dalam pliridan itu, dapat memilikinya.”

Anak anak itu saling berpandangan. Satu dua di antara mereka pun berbisik. Kemudian beberapa orang di antara mereka berteriak, “Baik, Kng Sukra. Kami akan menutup pliridanmu.”

Sejenak kemudian, anak-anak itu pun sibuk menutup pliridan Sukra. Mereka memang hanya memasang satu wuwu.

Dalam pada itu, Sukra yang berada di antara anak-anak itu melihat tiga orang menuruni tebing yang landai di pinggir sungai itu. Iapun segera dapat mengenali bahwa seorang di antara mereka adalah Prastawa. Sedangkan keduanya tentu saudaranya yang datang dari jauh itu.

Sukra sengaja tidak memperlihatkan dirinya. Ia masih saja berada di antara anak-anak yang sibuk dengan pliridannya.

Ketika Prastawa dan kedua orang itu lewat di dekat anak-anak yang sibuk itu, Prastawa pun bertanya, “Apa yang kalian lakukan di sini malam-malam begini?”

Anak-anak itu pun sudah mengenal Prastawa. Karena itu, seorang di antara mereka menjawab, “Kami sedang menutup pliridan Kang Sukra.”

“Dimana Sukra sekarang?”

“Aku disini, Kakang,” jawab Sukra sambil berdiri.

Tiba-tiba saja Prastawa meraih leher bajunya dan menariknya, “Kenapa malam-malam kau di sini, he?”

“Menutup pliridan, Kakang Prastawa,” jawab Sukra

“Itu pekerjaan anak-anak. Bukan pekerjaanmu.”

“Pliridan ini adalah pliridanku, Kakang. Tetapi aku biarkan anak-anak itu menutupnya.”

“Kau jangan membohongi aku, Sukra. Siapa yang menyuruhmu malam-malam begini di sini? Apakah kau sengaja mengintai aku?”

“Untuk apa aku mengintai Kakang Prastawa? Aku hampir setiap malam memang ada di sini.”

Prastawa melepaskan baju Sukra sambil menggeram, “Kau jangan mencoba mengintai aku. Aku sedang menjalankan tugasku.”

“Kakang Prastawa. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan Kakang Prastawa. Karena itu, untuk apa aku melakukannya?”

“Marilah kita pergi,” berkata Prastawa kepada Soma dan Tumpak.

Tetapi ternyata Tumpak berpendirian lain. Ia justru melangkah mendekati Sukra sambil bergumam, “Anak ini harus sedikit mendapat peringatan.”

“Sudahlah, Kakang,” Prastawa mencoba mencegahnya, “marilah kita pergi.”

Tetapi Tumpak seakan-akan tidak mendengarnya. Tumpak-lah yang kemudian mencengkeram baju Sukra sambil menggeram, “Lain kali kau tidak boleh mengintai kami lagi, kau dengar?”

“Aku tidak berniat mengintai siapa-siapa. Bertanyalah kepada anak-anak ini, bahwa aku hampir setiap malam ada di sini.”

“Kau kira aku mempercayaimu dan dapat mempercayai anak anak yang berada di bawah pengaruhmu itu?”

“Sungguh.”

“Kau mau mengaku atau tidak?”

Sebelum Sukra menjawab, tiba-tiba Tumpak sudah menampar wajahnya. Sukra menyeringai kesakitan. Namun Tumpak justru mengulanginya lagi.

“Sudahlah, Kakang Tumpak. Jangan lakukan lagi. Anak itu tinggal bersama Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Apa katamu, Di?” justru Soma-lah yang bertanya.

“Anak itu tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Jika demikian, ia tinggal bersama Glagah Putih dan istrinya itu?”

“Ya.”

“Bagus. Anak itu memang perlu mendapat peringatan yang agak keras. Nanti aku yang akan menyerahkan anak itu kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih di rumahnya.”

“Jangan, Kakang. Mereka adalah orang-orang pilihan.”

Soma tertawa. Katanya, “Aku akan melihat, bagaimana mereka marah.”

Soma tidak menghiraukan lagi Prastawa. Kepada Tumpak, Soma itu pun berkata, “Lemparkan anak itu kemari.”

Tumpak pun kemudian melemparkan Sukra kepada kakaknya, Soma. Soma segera menangkap tangan Sukra. Dengan sekali putar, Sukra itu terpelanting jatuh, bahkan tubuhnya berguling ke dalam air.

Bagaimanapun juga, Sukra tidak mau membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. Dengan tangkasnya ia meloncat bangkit sambil berkata, “Aku tidak merasa bersalah. Kalian tidak dapat memperlakukan aku seperti ini.”

“Kau mau apa?” geram Soma.

“Aku berhak melindungi diriku sendiri.”

Soma tertawa. Selangkah demi selangkah ia mendekati Sukra. Katanya, “Apa yang dapat kau lakukan?”

Sukra tidak menjawab. Tetapi ia bertekad untuk melawan, apapun yang terjadi.

Ketika Soma menjadi semakin dekat, Sukra pun benar-benar telah bersiap menghadapinya. Sikap Sukra itu sangat menjengkelkan Soma, sehingga iapun menjadi semakin marah. Karena itu, maka sambil meloncat tangan Soma pun terayun ke arah kening Sukra.

Tetapi Sukra tidak membiarkan keningnya disambar tangan Soma. Dengan sigapnya ia mengelak dengan merendahkan dirinya.

Tetapi Sukra tidak menduga sama sekali, bahwa tiba-tiba saja Soma itu berputar. Kakinya-lah yang kemudian terayun ke wajah Sukra. Sukra tidak sempat mengelak lagi. Kaki Soma itu benar-benar mengenai wajah Sukra, sehingga Sukra itu pun terpelanting jatuh ke dalam air.

Sukra mengaduh kesakitan. Tetapi iapun segera bangkit pula. Bahkan ketika Soma datang mendekatinya, Sukra-lah yang meloncat menyerang dengan kakinya yang terjulur menyamping. Tetapi dengan cepat, Soma justru menangkap pergelangan kaki Sukra. Ketika kaki itu diputar, maka Sukra pun bagaikan dibanting dengan kerasnya. Untunglah bahwa ia jatuh di tepian berpasir, sehingga punggungnya tidak menjadi patah.

“Kau telah melakukan kesalahan yang tidak dapat diampuni,” geram Soma. “Kau sudah mengintip kami bertiga. Kemudian kau telah mencoba melawan kami. Sementara itu kau tahu, bahwa Adi Prastawa adalah putra Ki Argajaya. Ia termasuk salah seorang calon Kepala Tanah Perdikan di Menoreh.”

Tetapi Sukra masih belum berhasil berdiri tegak, karena tulang-tulangnya yang terasa sakit. Namun Sukra tidak membiarkan dirinya tergolek di pasir tepian. Dengan susah payah akhirnya Sukra pun telah berdiri tegak. Tetapi Soma, seorang putut yang memiliki kemampuan yang tinggi itu, memang bukan lawan Sukra. Karena itu, Sukra tidak berhasil melindungi wajahnya yang menjadi sasaran pukulan Soma yang bertubi-tubi.

“Sudahlah, Kakang,” Prastawa berusaha untuk mencegahnya.

Tetapi Soma seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian iapun berkata kepada anak-anak yang melihat dengan ketakutan, “Siapa yang berani melaporkan peristiwa ini, akan aku bunuh, dan mayatnya akan aku lemparkan ke pinggir hutan untuk dimakan binatang buas.”

Anak-anak itu memang menjadi ketakutan.

“Pulang. Sekarang kalian pulang. Tetapi ingat, kalian harus langsung pulang.”

Demikian anak-anak itu menghambur pergi, Soma pun berkata, “Mari, kita antar anak ini pulang. Jangan takut kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Jika mereka marah, maka untuk seterusnya mereka tidak akan mengganggu Tanah Perdikan ini lagi. Mereka tidak akan dapat menghalangi langkah Adi menuju ke puncak kekuasaan.”

“Apa yang akan Kakang lakukan?”

“Jika mereka marah, kami akan melayaninya sesuai dengan cara yang akan mereka pilih.”

Namun Soma pun kemudian berbisik di telinga Prastawa. “Aku juga ingin bertemu dengan perempuan yang bernama Rara Wulan.”

“Kakang jangan meremehkan mereka.”

“Jangan takut. Jika aku gagal, Ayah akan menyelesaikannya. Tidak seorangpun di Mataram, Pajang, Demak, Pati dan Bang Wetan yang dapat mengimbangi kemampuan Ayah. Dengan diam-diam sudah menyerap ilmu yang tidak dimengerti oleh siapapun, karena salah seorang guru Ayah adalah jin bermata tiga.”

“Jin bermata tiga?”

“Ya. Namanya Kiai Landep.”

Prastawa menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi sebaiknya kita tidak pergi ke rumah Ki Lurah malam ini. Kita akan berbicara besok. Kita akan memberikan alasan, kenapa kita memperlakukan anak itu seperti ini.”

“Tidak. Lebih baik kita pergi ke rumahnya. Bukan Agung Sedayu dan Glagah Putih yang pergi menemui kita. Aku memang mempunyai kepentingan yang lain.”

Prastawa tidak dapat mencegahnya lagi. Soma pun kemudian mendekati Sukra yang terduduk dengan lemahnya. Ditariknya rambutnya yang sudah tidak tertutup oleh ikat kepalanya yang terlepas.

“Bangkit. Kami akan mengantarmu pulang. Kami justru ingin melihat Ki Lurah Agung Sedayu itu marah. Apa yang dapat dilakukannya dalam kemarahannya.”

Sukra yang ditarik rambutnya terpaksa berusaha bangkit berdiri, meskipun tubuhnya terasa sangat lemah. Kemudian Soma telah mendorongnya agar anak itu berjalan naik tebing yang landai.

Dengan tertatih-tatih Sukra berjalan pulang. Untunglah bahwa tubuh Sukra terlatih dengan baik. Daya tahannya pun sudah menjadi semakin tinggi, sehingga meskipun sambil berdesis menahan sakit, ia mampu berjalan pulang.

Soma, Tumpak dan Prastawa mengikuti di belakangnya. Tidak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang lorong yang gelap itu. Namun terasa pada getar suara Prastawa yang menjadi cemas.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu yang nampak sepi. Agaknya semua sudah tertidur nyenyak. Tumpak-lah yang kemudian naik ke pendapa dan dengan serta-merta mengetuk pintu pringgitan dengan kerasnya.

Ketukan itu memang sangat mengejutkan, sehingga seisi rumah itu pun segera terbangun. Ki Lurah Agung Sedayu segera bangkit dan keluar dari biliknya, diikuti oleh Sekar Mirah. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Siapa di luar?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kau masih juga bertanya, siapa yang di luar?” Tumpak justru bertanya.

Glagah Putih nampaknya tidak sabar. Namun ketika ia melangkah ke pintu, Ki Lurah Agung Sedayu sudah berada di depan pintu. Tetapi Ki Lurah masih bertanya pula, “Siapa di luar?”

“Aku. Tumpak.”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih berdesis, “Salah seorang dari tamu Prastawa itu.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian meraih selarak pintu dan mengangkatnya.

Demikian pintu terbuka, Ki Lurah Agung Sedayu dan orang-orang yang berada di ruang dalam itu terkejut. Sukra yang wajahnya nampak lebam kebiru-biruan telah didorong masuk. Hampir saja Sukra jatuh tertelungkup. Untunglah bahwa Glagah Putih dengan cepat menangkapnya.

“Ada apa?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu dengan serta-merta.

“Anak itu. Ajari anak itu unggah-ungguh.”

“Apa yang telah dilakukan?”

“Bertanyalah kepada Prastawa.”

Prastawa sendiri terkejut. Ia tidak mengira bahwa di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu, ia harus memberikan alasan, kenapa wajah Sukra menjadi lebam.

“Kenapa Prastawa?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

Prastawa menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.

“Telah terjadi salah paham, Ki Lurah,” berkata Prastawa kemudian.

“Salah paham bagaimana?”

“Kakang Soma dan Kakang Tumpak semula tidak tahu, bahwa Sukra adalah anak yang ikut Ki Lurah di rumah ini.”

“Ada apa dengan Sukra?”

“Aku tidak tahu apakah disengaja atau tidak, Sukra rasa-rasanya seperti sedang memata-matai kami. Karena itu, mula-mula aku mencoba untuk memperingatkan. Tetapi anak itu justru bersikap menantang. Kakang Soma yang tidak mengenalinya, tidak dapat menahan diri.”

“Lalu apa yang dilakukannya atas anak ini?” bertanya Glagah masih dengan nada tinggi.

“Kakang Soma memang telah memukulnya. Tetapi Sukra memang telah memancing kemarahannya.”

“Bohong!” tiba-tiba Sukra menyahut dengan suara yang bergetar. “Semuanya bohong.”

“Siapa yang berbohong?” bertanya Prastawa.

“Kau jangan mengada-ada. Kau harus bersyukur bahwa aku tidak membunuhmu. Seandainya aku membunuhmu, aku tidak dapat dianggap bersalah, karena kau-lah yang menantangku. Seandainya Adi Prastawa tidak memberitahukan kepadaku, siapa kau itu, maka kau tentu sudah mati. Aku terbiasa membunuh orang-orang yang menantangku.”

“Tetapi ia masih terlalu muda. Kau tidak pantas memperlakukannya seperti itu,” berkata Glagah Putih.

“Jadi siapakah yang pantas aku perlakukan seperti itu?”

Jantung Glagah Putih terasa bergetar. Namun Ki Lurah Agung Sedayu yang mendahuluinya, “Aku tidak hanya harus mendengar dari satu pihak. Aku juga ingin mendengar keterangan Sukra. Tetapi nampaknya Sukra memerlukan pengobatan segera, sehingga besok pagi, kita akan membicarakan persoalan ini.”

“Kapan saja, Ki Lurah,” jawab Tumpak, “aku masih akan tetap berada di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang tidak ditentukan. Kesimpulan apapun yang kau ambil tentang peristiwa ini, Ki Lurah, kami tidak akan berkeberatan. Dengan demikian, maka kami tidak berkeberatan pula membuat penyelesaian dengan cara apapun juga.”

“Kenapa kita harus menunggu esok, Kakang?”

“Aku ingin berbicara dengan Sukra. Tetapi biarlah ia mendapat pengobatan lebih dahulu.”

“Apa yang mereka katakan, semuanya bohong.”

“Aku percaya kepada Sukra,” geram Glagah Putih.

“Bagus,” sahut Soma, “lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Pergilah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian. Lalu katanya kepada Prastawa, “Aku belum menganggap persoalannya selesai. Aku akan melacak persoalan ini, Prastawa.”

Ternyata gejolak di dada Prastawa bagaikan menghentak-hentak jantung. Namun sebelum ia menjawab, Soma-lah berkata, “Kami menunggu dengan senang hati.”

“Sekarang pergilah.”

“Kami akan pergi. Tetapi kami akan memperingatkanmu, Ki Lurah. Sebenarnya bukan kau yang berhak mengusir aku. Tetapi aku-lah yang berhak mengusirmu. Aku adalah kemenakan Ki Gede Menoreh yang berkuasa di Tanah ini. Prastawa adalah salah seorang yang mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh. Sedangkan kau? Kau orang asing di sini. Kau tidak mempunyai akar sampai sekarang untuk berada di Tanah ini. Demikian pula Glagah Putih dan yang lain. Agak berbeda dengan Rara Wulan. Perempuan cantik itu mempunyai kesempatan lebih baik dari kalian semuanya untuk tinggal di sini.”

Telinga Glagah Putih bagaikan tersentuh api. Dengan geram ia bertanya, “Apakah ini satu tantangan?”

“Terserah. Bagaimana kau mengartikannya,” jawab Soma sambil tertawa.

Jantung Glagah Putih rasa-rasanya hampir meledak. Tetapi ternyata bukan hanya Glagah Putih yang tersinggung. Rara Wulan pun tiba-tiba berkata, “Jangan kau, Kakang. Biarlah aku menyelesaikan persoalan ini.”

“Apa yang akan kau lakukan, Rara Wulan?” bertanya Soma.

“Aku menantangmu. Aku tidak peduli bahwa kau akan membunuh orang-orang yang menantangmu.”

Soma tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ternyata kau seorang perempuan yang keras hati. Tetapi sikap seperti itulah yang sangat menarik bagiku.”

Tetapi yang tidak terduga telah terjadi. Dengan gerakan yang sangat cepat, Rara Wulan meloncat maju. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar mulut Soma.

Soma terkejut sekali mengalami perlakuan keras seperti itu dari seorang perempuan cantik yang baru bangun dari tidurnya. Selangkah ia meloncat surut. Namun sentuhan tangan Rara Wulan ternyata telah membuatnya benar-benar kesakitan.

“Kau menyakiti aku,” geramnya.

“Kau tidak saja menyakiti tubuhku, tetapi kau telah menyakiti hatiku,” jawab Rara Wulan.

Prastawa yang melihat keadaan menjadi semakin panas berkata, “Marilah, Kakang. Kita pergi.”

“Kita pergi begitu saja?” geram Tumpak, “Jadi kau membiarkan dirimu, kemanakan Kepala Tanah Perdikan ini, diusir?”

Namun jawaban Prastawa juga mengejutkan kedua kakak beradik itu, “Aku akan pergi. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan pergi atau tidak.”

Prastawa tidak menunggu lagi. Iapun kemudian turun ke halaman dan langsung melangkah ke pintu regol.

Soma dan Tumpak termangu-mangu sejenak. Dengan geram Soma pun berkata, “Aku setuju dengan kau Ki Lurah. Persoalan kita masih belum selesai. Kita akan menyelesaikannya kelak.”

Soma dan Tumpak itu pun kemudian meninggalkan rumah itu pula. Di sepanjang jalan, Soma dan Tumpak menyatakan kekecewaannya atas sikap Prastawa.

“Jika kau selalu mengalah, Adi, mereka akan menjadi semakin kokoh kedudukan mereka. Mereka pun akan semakin meremehkan kau. Padahal, kau adalah pewaris Tanah Perdikan ini jika Pandan Wangi berhalangan.”

Dengan nada tinggi Prastawa menjawab, “Orang-orang yang tinggal di rumah itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Tidak hanya Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan itu pun berilmu tinggi pula.”

“Sudah aku katakan, jangan cemaskan ilmu mereka. Seberapa tinggi ilmu seorang lurah prajurit? Jika kau membiarkan kami bertempur, maka kau akan melihat, bahwa bagi kami, mereka bukan apa-apa. Meskipun mereka bertempur berempat, kami tidak akan mendapat kesulitan. Bahkan satu kesempatan untuk membunuh Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah.”

“Berapa kali aku katakan, jangan meremehkan mereka. Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas.”

“Selama ini kau telah dibayangi oleh kelebihan Agung Sedayu. Selama ini tidak ada orang lain yang pernah datang kemari dan mencoba kelebihannya, sehingga bagimu Agung Sedayu adalah orang yang ilmunya tertinggi di seluruh dunia. Tetapi jika kami mendapat kesempatan, maka kau akan melihat bahwa kemampuannya belum setinggi awan di langit. Apalagi jika Ayah turun tangan. Ayah yang memiliki ilmu ajaib dan diwarisinya dari sosok Jin yang berilmu tinggi.”

“Tetapi malam ini Paman Kapat Argajalu tidak ada di sini.”

“Jadi Adi tidak yakin akan kemampuan kami berdua? Bukankah kami pernah menunjukkannya di sebelah bukit kecil itu?”

“Ya.”

“Nah, apalagi? Pada kesempatan lain, aku akan menunjukkan ilmu yang lebih baik kepadamu, Adi.”

Prastawa tidak menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin cepat.

Sepeninggal Prastawa, Soma dan Tumpak, Glagah Putih membimbing Sukra dan mendudukkannya di atas tikar yang sudah terbentang. Sekar Mirah-lah yang kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air masak, meskipun sudah dingin. Dengan air itulah luka-luka di wajah dan di tubuh Sukra dibersihkan. Sekali-sekali Sukra menyeringai menahan pedih. Agung Sedayu pun kemudian menggosok wajah Sukra yang lebam dengan cairan reramuan beberapa jenis dedaunan. Kemudian tubuhnya pula. Baru kemudian, Glagah Putih pun bertanya, “Apa yang sebenarnya sudah terjadi, Sukra?”

Sukra berdesah tertahan. Dengan suara yang bergetar, iapun menceritakan apa yang sudah dialaminya di sungai, pada saat ia memenunggui anak-anak yang sedang menutup pliridannya.

“Kau dapat memanggil mereka untuk bersaksi?”

“Aku tidak yakin bahwa mereka akan berani bersaksi. Soma dan Tumpak sudah mengancam, jika ada di antara mereka yang berani melaporkan. mereka akan dibunuh.”

Glagah Putih menggeram. Katanya, “Mereka memang takut, tetapi kita akan mencoba.”

“Baik,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “besok kita akan menghadap Ki Gede. Kita akan melaporkan apa yang telah terjadi. Kita akan memanggil anak-anak itu untuk bersaksi. Tetapi jika mereka memang tidak berani, apa boleh buat. Kita harus mencari cara lain.”

Sukra mengangguk-angguk. Katanya, “Kasihan jika anak-anak itu dicengkam oleh ketakutan.”

“Karena itu, kita tidak akan memaksa. Kita hanya akan mencoba.”

Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah bersiap. Ki Lurah minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan berada di rumah bersama Ki Jayaraga.

“Aku ikut, Kakang. Aku ingin bertemu lagi dengan orang itu. Aku akan menantangnya di hadapan Ki Gede Menoreh.”

“Sudahlah, Wulan,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “biarlah kami menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Jika kau ikut hadir, maka persoalannya akan berkembang.”

“Itu lebih baik, Kakang. Persoalan seperti itu harus segera diselesaikan.”

“Jika tidak ada jalan lain, apa boleh buat. Tetapi kita akan mencobanya.”

Rara Wulan terdiam. Tetapi ia tidak puas dengan sikap Ki Lurah. “Kakang Agung Sedayu masih saja terlalu banyak pertimbangan. Sudah lama ia menjadi lurah prajurit. Tetapi sifat itu masih saja disandangnya sampai sekarang,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri pula kepada Ki Jayaraga, yang telah diberinya keterangan tentang peristiwa yang dialami Sukra.

“Ki Jayaraga,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “nampaknya mereka termasuk orang-orang yang meremehkan orang lain. Tidak mustahil jika mereka justru datang kemari. Jika mereka datang kemari sebelum kami pulang, terserah kepada Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan.”

“Aku justru mengharap mereka datang kemari, Kakang,” sahut Rara Wulan.

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti perasaan Rara Wulan. Tetapi Agung Sedayu tetap minta agar perempuan itu tinggal di rumah bersama Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah pergi ke rumah Ki Gede Menoreh. Wajah Sukra masih nampak lebam kebiru-biruan. Ketika ia berpapasan dengan seorang kawannya, maka kawannya itu pun bertanya, “Sukra. Kenapa kau, he?”

“Aku jatuh semalam, tergelincir di sungai,” jawab Sukra.

“Kau masih saja selalu sibuk dengan pliridanmu itu. Kau sudah terlalu tua untuk bermain pliridan.”

Sukra mencoba untuk tersenyum. Tetapi terasa pipinya menjadi sakit.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar