Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 351

Buku 351

“Dengan Ki Saba Lintang, maksudmu? Kau kenal Ki Saba Lintang?”

“Persetan dengan Saba Lintang. Ia bukan seorang yang ilmunya pantas dikagumi. Kelebihan Saba Lintang satu-satunya adalah kepandaiannya membujuk orang-orang berilmu tinggi untuk berpihak kepadanya. Tetapi Ki Srengga Sura tidak dapat dibujuknya.”

“Sekarang, aku yang memiliki pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati ada di sini.”

“Persetan kau. Jangankan kau seorang perempuan, seandainya Saba Lintang sendiri ada di sini, aku akan menghancurkannya.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Sesumbarmu seakan-akan mampu memecahkan selaput telinga. Tetapi kita akan melihat, siapakah yang berhasil keluar dari pertempuran ini. Kau atau aku?”

“Jangan menyesal jika kau akan mati di pertempuran ini sekarang juga.”

Sekar Mirah pun mulai bergeser. Sungsang kembali memutar pedangnya. Dengan cepat Sungsang pun meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada Sekar Mirah.

Namun Sekar Mirah telah bersiap pula. Karena itu, maka iapun mampu mengimbangi kecepatan serangan Sungsang. Dengan bergeser sambil memiringkan tubuhnya, maka Sekar Mirah telah melepaskan diri dari garis serangan lawannya. Namun pedang Sungsang pun menggeliat, menebas mendatar ke arah lambung. Sekar Mirah memang tidak sempat menghindar. Karena itu, maka dengan tongkat baja putihnya, Sekar Mirah menangkis serangan itu.

Ketika terjadi benturan, sekali lagi Sungsang terkejut. Ternyata perempuan yang memiliki tongkat baja putih itu memiliki kekuatan yang besar. Dengan lambaran tenaga dalamnya, Sekar Mirah justru telah menggetarkan pedang Sungsang, sehingga telapak tangan Sungsang terasa menjadi sakit.

“Gila perempuan ini,” berkata Sungsang di dalam hatinya, “dari mana ia mendapatkan kekuatan sebesar itu. Ternyata Perguruan Kedung Jati benar-benar perguruan yang pantas dibanggakan. Seorang perempuan dari Perguruan Kedung Jati memiliki ilmu dan kekuatan yang mendebarkan.”

Namun Sungsang tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menilai lawannya. Tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu pun telah berputar pula, sehingga seakan-akan tubuh Sekar Mirah telah dibayangi oleh kabut yang putih.

Namun Sungsang pun memiliki ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas. Karena itu, maka iapun segera meningkatkan ilmunya semakin tinggi untuk mengimbangi kemampuan lawannya.

Dalam pada itu, teriakan-teriakan masih saja terdengar di medan pertempuran. Beberapa orang prajurit Mataram yang semula mempergunakan busur dan anak panah telah meletakkan busurnya pula. Di tangan mereka telah tergenggam pedang yang berkilat-kilat diterpa cahaya matahari yang sudah menjadi semakin tinggi. Namun di antara daun pedang yang berkilat-kilat itu, ada pula yang telah menjadi merah, diwarnai darah lawan-lawan mereka. Para pengikut Srengga Sura yang meskipun jumlahnya lebih banyak, namun mereka tidak mampu menguasai medan apalagi menghancurkan para prajurit yang memiliki ketangkasan dan ketrampilan yang tinggi, serta pengalaman yang luas itu.

Karena itu, beberapa orang pemimpin kelompok dari para cantrik di perguruan Srengga Sura itu mulai menjadi cemas. Satu-satu para cantrik itu terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari luka di tubuh mereka. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat bangkit lagi untuk selama-lamanya. Betapapun para pemimpin kelompok yang di antaranya telah disebut sebagai Putut di perguruan yang dipimpin oleh Srengga Sura itu berusaha, namun mereka tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Jumlah mereka semakin lama menjadi semakin menyusut.

Para prajurit Mataram yang harus bertempur menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak, tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Mereka harus dengan cepat mengurangi jumlah lawan, jika mereka tidak ingin justru akan dihancurkan oleh lawan mereka yang jumlahnya lebih banyak itu.

Agaknya para prajurit itu berhasil sejak terjadi benturan yang pertama. Sejumlah lawan menjadi tidak berdaya oleh serangan anak panah mereka. Yang lain seperti orang yang terbangun dari mimpi indahnya. Justru oleh ujung senjata lawan yang tergores di tubuh mereka. Beberapa orang pemimpin dari perguruan yang mempunyai kekuasaan mutlak di daerah itu pun mulai menyadari keadaan. Namun mereka pun telah terikat dalam pertempuran dengan orang-orang berilmu tinggi yang berada di dalam pasukan prajurit Mataram itu.

Dalam pada itu, Raden Wikupana yang bertempur melawan Rara Wulan telah mengerahkan kemampuannya pula. Raden Wikupana juga melihat, bahwa para pengikut Srengga Sura itu semakin lama akan menjadi semakin sulit jika para pemimpinnya tidak berhasil menyelesaikan lawan-lawannya lebih cepat. Kemudian terjun ke medan pertempuran menghadapi para prajurit Mataram.

Sebenarnyalah bahwa para pengikut Srengga Sura tidak baru pertama kali itu bertempur berhadapan dengan para prajurit. Terakhir mereka justru berhasil membinasakan sepasukan prajurit yang mencoba mengganggu kuasanya.

“Tetapi prajurit-prajurit Mataram ini seperti orang-orang yang kerasukan,” berkata Raden Wikupana di dalam hatinya.

Sementara itu, Raden Wikupana sendiri masih belum dapat menguasai lawannya, yang tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi menghancurkannya.

Bahkan perlawanan Rara Wulan semakin lama justru menjadi semakin berbahaya.,Perempuan itu berloncatan semakin cepat, berputar-putar, kemudian menyerang seperti angin pusaran.

Raden Wikupana memang harus menyadari, bahwa perempuan yang terhitung masih muda itu memiliki ilmu yang tinggi.

“Aku tidak mempunyai pilihan,” berkata Raden Wikupana di dalam hatinya, “aku harus menghentikan perlawanannya dengan ilmu pamungkasku. Sebenarnya sayang sekali jika tubuh itu akan hancur terkapar di padang perdu ini, dengan pakaian dan kulit yang terbakar. Tetapi apa boleh buat.”

Dengan demikian, maka Raden Wikupana pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Serangan-serangannya pun menjadi semakin garang. Bahkan Rara Wulan mulai merasakan sentuhan udara yang sangat panas. Dengan demikian Rara Wulan menyadari, bahwa lawannya ternyata memiliki ilmu pamungkas yang sangat berbahaya.

Untuk sementara Rara Wulan masih berusaha mengatasinya dengan berlandasan pada tenaga dalamnya, kecepatan geraknya serta ketahanan tubuhnya. Namun ternyata bahwa serangan-serangan Raden Wikupana terasa semakin berbahaya. Udara panas itu sudah mulai menusuk, menyusup kulit tembus sampai ke tulang.

Betapapun Rara Wulan berusaha menghindari, namun kecepatan geraknya tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak kemampuan ilmu lawannya. Serangan udara panas bukan sesuatu yang terasa baru bagi Rara Wulan. Meskipun demikian, jika ia menjadi lengah dan terlambat, maka kemampuan puncak lawannya itu akan dapat mencelakainya. Betapapun juga Rara Wulan mengandalkan kecepatan geraknya, namun Rara Wulan merasa bahwa ia tidak akan pernah dapat menyentuh tubuh lawannya yang seakan-akan sudah diliputi oleh panasnya bara.

Karena itu, maka satu-satunya cara untuk menyerang lawannya adalah menyerang tanpa menyentuh dan mendekati tubuhnya yang seakan akan telah memancarkan panas itu.

Dalam pada itu, terdengar Raden Wikupana itu pun berkata lantang, “Nah, perempuan binal. Waktumu sudah habis. Kau tidak akan pernah lagi melihat terangnya cahaya matahari. Teriakkan nama ayah ibumu sebelum kau akan mati terpanggang oleh api ilmuku yang tidak terlawan.”

Rara Wulan meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Dengan lantang pula iapun menjawab, “Jangan sesumbar seperti itu Raden. Aku tidak mau mati terpanggang oleh apimu. Jika kau tidak mau pergi dari arena ini, maka aku akan memadamkan apimu. Jika berikut pula nyawamu, itu bukan salahku.”

“Setan kau, perempuan binal. Jangan menyesal nasibmu yang buruk.”

Ternyata Raden Wikupana itu telah mempersiapkan ilmunya. Agaknya ia sudah tidak ingin menunda-nunda lagi. Iapun segera bersiap untuk meloncat dan menerkam Rara Wulan sehingga perempuan itu akan menjadi hangus oleh ilmunya. Namun pada saat yang bersamaan, Rara Wulan pun telah bersiap pula. Diangkatnya Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce ke permukaan.

Karena itu, ketika Raden Wikupana meloncat sambil menjulurkan tangannya, maka Rara Wulan pun telah melontarkan ilmunya, Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Raden Wikupana terkejut ketika ia melihat seleret sinar meluncur dari tangan Rara Wulan. Sinar yang kemudian memancar menerpa tubuhnya.

Raden Wikupana berteriak. Ia masih mencoba untuk melenting menghindar. Tetapi Aji Pacar Wutah itu bagaikan menebar. Seperti percikan bunga api yang memercik melebar. Dengan demikian, maka Raden Wikupana tidak dapat lepas dari tebaran serangan Aji Pacar Wutah.

Terdengar Raden Wikupana itu berteriak. Kemarahan yang memuncak serasa meledakkan jantungnya. Bukan ilmunya yang membakar pakaian dan kulit perempuan yang menjadi lawannya itu, tetapi justru ilmu lawannya itulah yang menerpa pakaiannya, langsung menyusup menusuk sampai ke tulang. Tubuh Raden Wikupana itu terlempar beberapa langkah surut. Kemudian terbanting jatuh menimpa sebatang pohon.

Raden Wikupana tidak sempat menggeliat. Serangan ilmu yang dilontarkan oleh perempuan yang menjadi lawannya itu serasa telah meremas isi dadanya. Sementara itu tulang-tulangnya bagaikan berpatahan ketika tubuh itu menimpa sebatang pohon.

Beberapa orang yang melihat benturan kekuatan ilmu itu pun telah berloncatan mengambil jarak dari lawan-lawan mereka. Justru karena itu, maka pertempuran di sekitar benturan ilmu Raden Wikupana dan Rara Wulan itu telah terhenti. Masing-masing mengambil kesempatan untuk melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Baik para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus, maupun para pengikut Srengga Sura, tertegun sejenak. Jantung mereka serasa bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang mendebarkan itu. Mereka melihat bagaimana seorang perempuan yang masih terhitung muda, mampu melontarkan kekuatan ilmu yang menggetarkan jantung mereka, sehingga langsung membunuh lawannya yang mempunyai daya tahan yang tinggi.

Rara Wulan sendiri berdiri bermangu-mangu. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Kepala Raden Wikupana masih bersandar pada batang pohon yang dibenturnya itu. Namun ketegangan itu pun kemudian dipecahkan oleh beberapa orang prajurit Mataram yang tiba-tiba saja telah bersorak meneriakkan getar kemenangan dengan kematian Raden Wikupana. Rara Wulan membiarkan saja ketika dua orang dengan dilindungi oleh beberapa orang kawannya mengambil tubuh Raden Wikupana dan membawanya pergi.

Rara Wulan sendiri masih berdiri tegak di tempatnya ketika pertempuran itu kembali berkobar dengan sengitnya. Bagaimanapun juga kematian lawannya telah membuat jantungnya bergetar lebih cepat. Rara Wulan bukan seorang pembunuh. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain terhadap lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Jika ia tidak membenturkan ilmu puncaknya, maka Rara Wulan sendiri tentu akan menjadi korban.

“Apa boleh buat,” desisnya.

Namun Rara Wulan tidak dapat merenung lebih lama lagi. Tiba-tiba saja empat orang telah menyerangnya bersama-sama. Rara Wulan meloncat surut. Namun ia tidak dapat lari dari keempat orang yang kemudian mengepungnya itu. Karena itu. maka Rara Wulan pun segera bersiap. Ketika lawan-lawannya itu mulai menyerangnya, maka Rara Wulan pun mulai berloncatan dengan tangkasnya. Tubuhnya yang ramping itu seakan-akan tidak berbobot sama sekali. Ketika ujung-ujung pedang menebasnya dari segala arah, maka Rara Wulan itu pun meloncat dan berputar di udara. Demikian kakinya menjejak tanah, maka ia sudah berada di luar kepungan.

Bahkan tiba-tiba saja kakinya telah menghantam punggung seorang di antara keempat lawannya. Demikian kerasnya, sehingga orang itu telah terdorong tanpa dapat mengendalikan diri lagi, jatuh menimpa seorang kawannya. Malang bagi kawannya, justru senjata orang yang menimpanya itu telah melukai lambungnya.

Keduanya pun kemudian mencoba bangkit. Lambung seorang di antaranya telah mengucurkan darah. Sedangkan yang seorang lagi merasa seakan-akan tulang belakangnya telah retak.

Dengan demikian, maka keduanya tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka. Dua orang yang lain, mencoba mendesak Rara Wulan. Namun usaha mereka sia-sia. Setiap kali justru serangan Rara Wulan-lah yang bersarang di tubuh mereka.

Dalam pada itu kematian Raden Wikupana benar-benar telah mengguncang keseimbangan pertempuran. Para pengikut Srengga Sura menjadi gelisah. Perempuan yang telah membunuh Raden Wikupana itu akan dapat mengacaukan seluruh medan.

Karena itulah, maka orang-orang yang merasa bertanggung jawab atas perguruan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura itu pun bertekad untuk segera menghabisi lawan-lawannya, agar mereka dapat menahan kegarangan perempuan yang telah membunuh Raden Wikupana itu. 

Namun ternyata bahwa lawan-lawan mereka pun orang-orang yang berilmu tinggi pula.

Di sisi lain dari padang perdu yang menjadi arena pertempuran itu, Soma Bledeg masih bertempur melawan Glagah Putih. Dengan mengerahkan kekuatannya yang besar, Soma Bledeg ingin segera menguasai lawannya dan bahkan membunuhnya. Tetapi ternyata lawannya tidak mudah ditundukkannya. Meskipun Soma Bledeg telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi, namun setiap kali justru Soma Bledeg itu sendiri-lah yang terdesak.

Namun Soma Bledeg yang sangat yakin akan kekuatannya yang sangat besar itu masih berpengharapan untuk menundukkan lawannya. Jika Soma Bledeg itu berhasil menangkap kepala Glagah Putih, maka ia akan memilin kepalanya itu sehingga mematahkan lehernya. Tetapi ternyata tidak mudah untuk dapat menangkap kepala Glagah Putih dan memilinnya. Bahkan setiap kali, serangan Glagah Putih-lah yang menyusup di antara pertahanan Soma Bledeg dan mengenai tubuhnya. Namun daya tahan Soma Bledeg memang luar biasa.

Beberapa kali kaki Glagah Putih mampu mengenai dada Soma Bledeg sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi sesaat kemudian Soma Bledeg telah menemukan keseimbangannya kembali. Bahkan dengan tanpa ragu-ragu Soma Bledeg itu pun melangkah maju mendekati Glagah Putih. Bahkan dengan tangan terjulur dan siap menjangkau lehernya.

Namun dengan meningkatkan tenaga dalamnya semakin tinggi, serangan-serangan Glagah Putih akhirnya mampu juga menggoyahkan pertahanan Soma Bledeg, sehingga kadang-kadang serangan Glagah Putih telah mendorong Soma Bledeg beberapa langkah surut. Sementara itu, serangan-serangan Soma Bledeg pun rasa-rasanya menjadi semakin kuat pula. Ketika tangan Soma Bledeg yang terayun mendatar mengenai kening Glagah Putih, maka rasa-rasanya kening Glagah Putih itu bagaikan disambar petir.

Ketika Glagah Putih terhuyung-huyung dan hampir saja kehilangan keseimbangannya, maka Soma Bledeg itu dengan cepat memburunya. Tangannya yang berat itu pun terjulur menghantam dada Glagah Putih, sehingga Glagah Putih terpental beberapa langkah. Bahkan Glagah Putih itu pun telah kehilangan keseimbangannya dan terpelanting jatuh. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Soma Bledeg yang tidak ingin melepaskan kesempatan, dengan cepat meloncat menerkam leher Glagah Putih.

Tetapi ketika kedua tangannya terjulur ke leher Glagah Putih, dan bahkan hampir saja menyentuhnya, Glagah Putih justru bergerak menyongsongnya. Tangannya menebas kedua tangan Soma Bledeg yang terjulur. Sementara itu, lututnya telah menghantam bagian bawah perut Soma Bledeg. Soma Bledeg mengaduh tertahan. Namun badannya pun terbungkuk kesakitan.

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Glagah Putih. Dengan sekuat tenaganya, tangan Glagah Putih telah membenturkan kepala Soma Bledeg pada lututnya beberapa kali. Tetapi Soma Bledeg tidak membiarkan kepalanya menjadi retak. Karena ia tidak dapat dengan serta-merta mengangkat kepalanya karena tangan Glagah Putih yang memeganginya, maka Soma Bledeg itu justru membenturkan kepalanya ke perut Glagah Putih.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan keduanya pun kemudian telah jatuh berguling.

Namun sejenak kemudian, keduanya telah meloncat bangkit dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Soma Bledeg merasa bahwa kepalanya menjadi agak pusing, Karena itu, maka kemarahannya pun telah membuat darahnya mendidih.

“Aku bunuh kau, iblis kecil,” geram Soma Bledeg.

Glagah Putih tidak menjawab. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Soma Bledeg itu telah menggenggam goloknya yang besar dan panjang di tangannya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun golok itu nampaknya memang berbahaya. Apalagi di tangan Soma Bledeg yang mempunyai kekuatan yang sangat besar itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah membuka ikat pinggangnya.

Soma Bledeg yang melihat ikat pinggang di tangan Glagah Putih, justru menggeram sambil berkata, “Kau memang gila, iblis kecil. Apa artinya ikat pinggangmu itu? Atau kau sengaja menyinggung perasaan dan memancing agar aku tidak dapat mengendalikan kemarahanku, sehingga akalku menjadi buram?”

“Semuanya tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi dengan ikat pinggangku ini, aku ingin menghentikan perlawananmu.”

“Kau jangan bermimpi, iblis kecil. Bersiaplah untuk mati. Aku akan memegang kepalamu dan melemparkannya ke hutan di sebelah agar menjadi makanan binatang buas.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah siap untuk bertempur kembali.

Sejenak kemudian, Soma Bledeg pun telah memutar goloknya. Selangkah-selangkah iapun bergeser mendekati Glagah Putih yang telah bersiap menunggunya. Sejenak kemudian, maka Soma Bledeg pun telah mengangkat goloknya yang besar dan panjang itu. Dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan goloknya itu ke arah leher Glagah Putih

Glagah Putih memang tidak menghindar. Ia yakin bahwa ikat pinggangnya itu adalah ikat pinggang yang tidak ada duanya. Karena itu, ketika golok Soma Bledeg yang besar itu dengan derasnya terayun, maka Glagah Putih pun telah mengayunkan ikat pinggangnya pula membentur golok Soma Bledeg. Dengan lambaran tenaga dalamnya yang tinggi, maka kekuatan Glagah Putih pun telah menjadi berlipat. Kemampuan tenaga dalamnya pula-lah yang menjadikan ikat pinggangnya menjadi sekeras baja.

Dalam benturan yang terjadi, Glagah Putih tergetar selangkah surut. Telapak tangannya menjadi terasa pedih. Benturan yang sangat kuat itu hampir saja telah melemparkan ikat pinggang dari tangannya. Namun keadaan Soma Bledeg ternyata lebih sulit. Soma Bledeg tidak berhasil mempertahankan goloknya yang besar dan panjang itu. Telapak tangannya terasa bagaikan tersayat. Sementara itu tubuhnya telah terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

Terdengar Soma Bledeg itu mengumpat kasar. Sementara itu, Glagah Putih telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali.

Sejenak keduanya berdiri dengan tegangnya. Namun kemudian Glagah Putih itu pun berkata, “Ambil golokmu. Aku tidak akan membunuh orang yang tidak berdaya.”

Soma Bledeg mengumpat di dalam hati.

“Ambil golokmu, sebelum aku menebas lehermu dengan ikat pinggangku ini. Kau sudah merasakan benturan yang terjadi. Ikat pinggangku mampu menahan kerasnya golokmu yang terbuat dari baja itu.”

“Dari iblis manakah kau dapat senjata macam itu?”

“Ambil golokmu, kau dengar? Sejenak lagi aku akan menyerangmu. Aku tidak peduli golok itu sudah ada di tanganmu atau belum.”

Soma Bledeg termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah memungut goloknya kembali. Telapak tangan Soma Bledeg masih terasa pedih. Tetapi ia menggenggam goloknya erat-erat. Namun dalam pada itu, Soma Bledeg benar-benar mengagumi kekuatan lawannya itu.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Soma Bledeg tidak lagi merasakan pedih di tangannya. Sehingga dengan demikian goloknya itu pun telah berputaran semakin cepat. Ayunannya telah menimbulkan arus udara yang menerpa tubuh Glagah Putih.

Tetapi ikat pinggang Glagah Putih itu pun bergerak dengan cepat pula. Sekali terayun, namun kemudian mematuk seperti sehelai pedang. Jika terjadi benturan, maka Soma Bledeg tidak lagi merasakan sentuhan senjata yang lentur. Tetapi ikat pinggang itu benar-benar telah berubah menjadi sehelai pedang yang tidak ubahnya seperti sehelai pedang yang dibuat dari baja pilihan.

Dengan demikian, Soma Bledeg tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, apalagi senjatanya adalah senjata yang luar biasa pula. Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Namun Soma Bledeg tidak lagi memiliki banyak peluang. Serangan-serangannya tidak banyak berarti bagi lawannya.

Meskipun demikian, Soma Bledeg masih berpengharapan. Meskipun Soma Bledeg lebih banyak bertahan, namun ia berharap bahwa tenaga Glagah Putih akan segera menyusut setelah mengerahkan kemampuannya.

Tetapi harapan Soma Bledeg itu sia-sia. Tenaga Glagah Putih tidak segera menyusut. Setelah bertempur beberapa lama, tenaganya masih saja terasa tidak berubah. Benturan-benturan yang terjadi masih saja menggetarkan golok Soma Bledeg. Bahkan ketika keringat bagaikan terperas dari tubuh Soma Bledeg, tenaga Glagah Putih rasa-rasanya masih utuh sebagaimana saat mereka mulai bertempur.

Bahkan rasa-rasanya ujung ikat pinggang Glagah Putih menjadi semakin dekat dengan kulitnya. Ketika ujung ikat pinggang itu benar-benar menyentuh lambungnya, maka bukan saja pakaiannya yang terkoyak. Tetapi kulitnya pun telah terluka pula. Soma Bledeg meloncat surut sambil berteriak nyaring. Kemarahannya terasa bagaikan meledakkan jantungnya.

Dengan sekuat tenaga ia menghentakkan kekuatannya. Diayunkannya goloknya dengan menumpahkan segenap tenaganya yang tersisa, menebas ke arah lambung Glagah Putih. Jika saja ia berhasil, maka lambung Glagah Putih itu tentu akan terkoyak, sehingga isi perutnya akan tertumpah keluar. Tetapi bersamaan dengan itu, Glagah Putih pun telah mengerahkan tenaganya pula membentur golok Soma Bledeg dengan ikat pinggangnya.

Benturan yang sangat keras telah terjadi. Namun segera terulang kembali, bahwa Soma Bledeg tidak mampu mempertahankan goloknya. Golok itu terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah daripadanya. Sekali lagi telapak tangannya terasa bagaikan terkelupas kulitnya.

Ketika Soma Bledeg meloncat surut, Glagah Putih telah memburunya. Ujung ikat pinggangnya telah menggores di dada Soma Bledeg yang sudah tidak bersenjata, sehingga dadanya telah terluka menyilang.

Luka itu memang tidak begitu dalam. Namun dari luka telah mengalir pula darah sebagaimana luka di lambungnya. Tetapi Glagah Putih tidak menyelesaikan lawannya, meskipun mungkin sekali dilakukannya. Ketika Soma Bledeg berdiri dengan pasrah menunggu senjata aneh itu menebas lehernya, Glagah Putih telah menghentikan serangannya,

“Apakah kau menyerah?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Aku tidak akan menyerah. Aku akan membunuhmu.”

Glagah Putih tertawa tertahan. Katanya, “Jangan mengigau. Sebaiknya kita melihat kenyataan. Kau tidak bersenjata lagi. Untuk kedua kalinya kau kehilangan senjatamu. Aku tidak akan memberimu kesempatan lagi.”

“Kalau kau akan membunuhku, lakukan. Kau dapat menebas leherku dengan senjatamu yang aneh itu.”

“Aku bukan pembunuh. Jika kau menyerah, aku tidak akan membunuhmu.”

“Aku tidak akan menyerah.”

“Kenapa kau hentikan perlawananmu?”

“Tidak ada gunanya. Aku sudah tidak bersenjata. Dengan senjata ditanganku aku tidak dapat mengalahkanmu, apalagi tanpa senjata.”

“Jika demikian, kau menyerah.”

“Tidak!” orang itu justru membentak, “Aku tidak akan pernah menyerah.”

“Bagus. Jika demikian, kita akan bertempur terus.”

“Tebas leherku. Kematian tidak lagi membuat aku menyesal. Ketika aku terjun ke duniaku, aku sudah membayangkan bahwa pada suatu saat aku akan bertemu dengan orang yang perkasa seperti kau. Bahkan dengan senjatamu yang aneh. Karena itu, aku tidak akan lari dari ujung senjatamu itu.”

“Bersiaplah,” berkata Glagah Putih.

Soma Bledeg tidak menjawab Tetapi ia berdiri tegak dengan tatapan mata yang tajam ke arah senjata Glagah Putih. Glagah Pulih memang menggerakkan tangannya, mengangkat ikat pinggangnya. Kemudian ikat pinggang itu terayun deras sekali mengenai bahu Soma Bledeg.

Soma Bledeg memejamkan matanya. Ia sudah benar-benar pasrah untuk mati. Tetapi tiba-tiba saja ia berteriak. Sakit dan marah berbaur di jantungnya.

Ikat pinggang Glagah Putih tidak menebas lehernya sehingga kepalanya terpisah dari tubuhnya. Tetapi yang mengenai bahunya itu tidak lebih dari ikat pinggang kulit yang liat. Hentakan ikat pinggang itu telah menyakitinya. Bahkan bajunya telah terkoyak dan bahkan kulit di bahunya telah terkelupas.

Pedih yang tajam sekali telah menyengat bahunya itu.

“Kau gila, anak iblis. Kenapa kau tidak membunuhku?”

“Aku tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya.”

“Tetapi aku tidak akan menyerah.”

“Terserah kepadamu. Aku akan memukulimu sampai seluruh kulitmu terkelupas.”

Wajah Soma Bledeg menjadi merah padam. Tidak ada niatnya sama sekali untuk menyerah, kemudian digiring ke Mataram dengan tangan terikat bersama pasukan Mataram itu.

Karena itu, maka dalam keadaan yang parah itu, tiba-tiba saja Soma Bledeg menjadi seperti gila. Tenaganya yang sudah menyusut itu tiba-tiba bagaikan meledak. Bahkan lebih besar dari tenaganya yang semula.

Tanpa menghiraukan ayunan ikat pinggang Glagah Putih, maka Soma Bledeg itu meloncat menyerang sejadi-jadinya. Seperti prahara menghantam tebing. Tangan dan kakinya terayun-ayun mengerikan. Kemudian meloncat maju dengan tangan terjulur lurus ke depan.

Glagah Putih terkejut. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja Soma Bledeg menjadi seperti orang yang kehilangan akal warasnya. Sehingga Glagah Putih justru terdesak beberapa langkah surut. Tangan Soma Bledeg yang terjulur lurus, sempat mengenai pundak Glagah Putih. Glagah Putih itu pun berdesah tertahan. Tetapi ia tidak dapat membiarkan dirinya menjadi sasaran kegilaan Soma Bledeg.

Karena itu, ketika Soma Bledeg meloncat menerkamnya, maka Glagah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya. Tidak lagi sebagai ikat pinggang kulit yang lentur, tetapi ikat pinggang yang menyambar lambung Soma Bledeg itu tidak ubahnya seperti sabetan pedang baja pilihan. Soma Bledeg terdorong surut. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun sejenak kemudian Soma Bledeg itu pun telah terkapar di tanah.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Soma Bledeg masih sempat menggeliat. Ketika kemudian Glagah Putih mendekatinya dan berjongkok di sebelahnya, maka Soma Bledeg itu pun berkata, “Aku tidak akan menyerah, Glagah Putih. Aku akan memilih mati.”

Suaranyap un menjadi parau. Dari beberapa lukanya mengalir darah yang segar. Glagah Putih pun berdesis di telinganya, “Aku tidak akan menangkapmu, Soma Bledeg, kau akan tetap bebas.”

Wajahnya tiba-tiba menjadi cerah, “Kau berkata sebenarnya?”

“Ya.”

Soma Bledeg tertawa. Namun kemudian suara tertawanya pun terhenti. Soma Bledeg itu pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tidak ada seorangpun pengikut Srengga Sura yang menyerangnya. Ketika ia mengedarkan pandangannya, maka pertempuran masih terjadi di tempat-tempat yang terpisah. Tetapi rasa-rasanya telah menjauhinya.

Para pengikut Srengga Sura tidak lagi menguasai medan. Jumlahnya pun sudah menjadi semakin menyusut. Glagah Putih itu pun kemudian telah bangkit berdiri. Ketika ia melangkah meninggalkan tubuh Soma Bledeg, ia melihat Rara Wulan berjalan mendekatinya.

“Mereka menjadi semakin terdesak,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Kita lihat bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah.”

Mereka pun kemudian telah bergerak mengitari sebuah gerumbul perdu Mereka pun kemudian melihat Sekar Mirah menunggui dua orang prajurit yang sedang mengikat seseorang dengan tali ijuk yang kuat.

Dengan serta merta Glagah Putih dan Rara Wulan pun berlari mendekatinya.

“Siapakah orang itu, Mbokayu?”

“Namanya Sungsang,” jawab Sekar Mirah.

“Orang itu menyerah?”

“la tidak mau menyerah. Tetapi aku telah membuatnya tidak berdaya, sehingga dua orang prajurit membantuku mengikat mereka. Agaknya para prajurit itu akan membawanya ke Mataram.”

“Bunuh aku!” teriak Sungsang, “Aku tidak mau menjadi tawanan kalian!”

Para prajurit itu tidak menjawab. Namun setelah mereka mengikatnya erat-erat, maka mereka pun telah mengusung Sungsang itu ke pedati.

“Selain perempuan, hanya kau yang boleh naik pedati,” berkata prajurit yang mengikatnya itu.

“Persetan. Bunuh aku!”

“Kawan-kawanku di Mataram kadang-kadang menanyakan apakah aku membawa oleh-oleh. Karena di Mataram mereka memang sering bermain budak-budakan. Barangkali kau pantas berperan sebagai budak.”

“Bunuh aku!”

Meskipun orang itu berteriak-teriak, namun kedua orang prajurit itu tidak menghiraukannya. Bahkan setelah orang itu dilemparkan ke dalam pedati, maka prajurit-prajurit itu masih mengikat tangannya yang sudah terikat dengan tali ijuk itu ke tiang pedati. Ketika orang itu masih saja meronta-ronta, maka kedua orang prajurit itu justru telah mengikat kakinya pula.

Dalam pada itu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan itu pun telah pergi ke arena pertempuran yang masih berlangsung. Namun sejenak kemudian, beberapa orang pengikut Srengga Sura telah melarikan diri dengan berpencaran.

Para prajurit memang mencoba mengejar mereka. Tetapi kemudian para prajurit itu pun berhenti dan membiarkan para pengikut Srengga Sura itu menghilang di antara gerumbul-gerumbul liar.

Namun hanya sebagian saja di antara mereka yang berhasil melarikan diri. Beberapa orang terkapar di padang perdu itu. Sebagian sudah tidak bernafas lagi. Tetapi masih ada di antara mereka yang mengaduh dan mendesah menahan sakit. Tetapi sebagian di antara mereka duduk dengan tangan terikat di belakang, ditunggui oleh beberapa orang prajurit dengan senjata telanjang.

Meskipun demikian, masih berlangsung pertempuran yang sengit antara Srengga Sura dan Ki Lurah Agung Sedayu. Ternyata seperti para pemimpin perguruan yang lain, ia sama sekali tidak mau menyerah.

“Orang-orangmu sudah habis,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Aku tidak peduli. Aku akan membunuhmu dan membunuh semua prajurit, seperti yang pernah aku lakukan terdahulu.”

“Kau sekarang berhadapan dengan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus. Kau tidak akun dapat berbuat banyak. Sebagian orang-orangmu sudah terbunuh, sebagian terluka parah. Yang lain menyerah dan melarikan diri.”

“Persetan dengan mereka. Yang menyerah dan melarikan diri akan aku bunuh nanti, setelah aku membunuh semua prajurit Mataram yang sombong.”

“Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kau lihat, kau telah dikepung oleh prajurit Mataram, sementara itu kau hanya sendiri. Apa yang dapat kau lakukan? Kau tidak boleh kehilangan akal dan menjadi gila karena kekalahanmu ini.”

“Tutup mulutmu! Kau terlalu banyak bicara.”

“Aku peringatkan kau sekali lagi. Menyerahlah.”

“Tetapi Srengga Sura justru menyerang Agung Sedayu semakin garang. Dikerahkannya ilmunya sehingga Srengga Sura itu menjadi semakin berbahaya.

Ki Lurah Agung Sedayu memang menjadi semakin berhati-hati. Terasa oleh Ki Lurah Agung Sedayu yang berilmu tinggi itu, bahwa Srengga Sura akan segera mencapai puncak ilmunya. Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berdiri di pinggir arena pertempuran. Namun seperti beberapa orang prajurit yang sudah lebih dahulu menyaksikan pertempuran itu, mereka tidak mengganggunya.

Sebenarnyalah Srengga Sura telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi lantaran ilmu Srengga Sura memang belum setinggi Ki Lurah Agung Sedayu, karena itu betapapun ia mengerahkan ilmu puncaknya, namun setiap kali justru Srengga Sura-lah yang telah mengaduh kesakitan. Beberapa kali ia terlempar jatuh terbanting di tanah. Namun Srengga sama sama sekali tidak berniat menghentikan perlawanannya.

Agaknya Ki Lurah Agung Sedayu masih saja melayaninya. Ki Lurah Agung Sedayu berniat memeras tenaga Srengga Sura, sehingga akhirnya Srengga Sura itu menjadi tidak berdaya. Dalam keadaan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat menangkapnya dengan mudah, meskipun Srengga Sura itu tidak Ki Lurah menyerah.

Sebenarnyalah semakin lama keduanya bertempur, maka kemampuan dan tenaga Srengga Sura pun menjadi semakin terkuras. Semakin lama perlawanannya pun menjadi semakin lemah.

“Kau masih belum akan menyerah?”

“Aku tidak akan menyerah,” geramnya.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tetap melayaninya dengan sabar. Ia masih berloncatan menyerang. Kemudian memancing agar Srengga Sura itu pun mengerahkan tenaganya untuk menyerangnya pula. Namun pada saat-saat tenaga Srengga Sura sudah sampai pada batasnya, tiba-tiba saja Srengga Sura itu pun berkata, “Persetan dengan kau dan prajurit-prajuritmu. Aku tidak akan menyerah. Tetapi aku pun tidak mau mati sendiri.”

Tiba-tiba saja Srengga Sura yang sudah hampir kehabisan tenaga itu telah menaburkan paser-paser lembut ke arah tubuh Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Dengan cepat ia menghindar. Namun paser-paser yang kecil-kecil sekali itu menebar sehingga beberapa di antaranya berhasil mengenai kulit Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Lurah Agung Sedayu meloncat surut. Dicabutinya tiba buah paser-paser kecil yang mengenai tangan dan jari-jarinya.

Tiba-tiba saja terdengar Srengga Sura itu tertawa berkepanjangan. Di sela-sela suara tertawanya itu ia berkata, “Aku memang akan mati. Tetapi kau pun akan mati. Paser-paserku itu mengandung racun yang sangat tajam. Jangankan tiga buah paserku yang mengenai tubuhmu. Sebuah saja di antara paserku itu yang menyentuh kulitmu, akan dapat membunuhmu.”

Ki Lurah Agung, Sedayu berdiri termangu-mangu. Dengan tegang ia menyaksikan Srengga Sura itu menusukkan sebuah paser di jari-jarinya.

“Tanpa menusuk jari-jariku ini, aku juga akan mati. Ketika aku menaburkan paser-paserku dengan tergesa-gesa, tanganku telah tertusuk oleh satu atau dua ujung paser itu. Tetapi aku ingin meyakinkanmu, bahwa kita akan mati bersama-sama.”

Semuanya itu terjadi demikian cepatnya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu tidak sempat mencegahnya: Apalagi setelah ada pengakuan dari Srengga Sura bahwa tangannya memang sudah tertusuk saat ia dengan tergesa-gesa menaburkan paser-pasernya.

“Kita akan mati bersama-sama, Ki Lurah,” desisnya.

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Srengga Sura. Paser-paser kecilmu adalah senjata rahasia yang tentu sudah menjadi sangat akrab bagimu. Adalah mustahil bahwa ujung paser-paser itu sempat mengenai tanganmu sendiri, meskipun kau melakukannya dengan tergesa-gesa.”

“Aku sudah tidak perlu lagi berhati-hati. Aku memang menginginkannya, karena bagiku mati akan lebih baik daripada harus menyerah kepadamu.”

“Tetapi seorang laki-laki, apalagi yang sudah memimpin sebuah perguruan, tidak akan membunuh diri.”

“Kau ingin aku menawarkan racun yang sudah mulai terasa mempengaruhi tubuhku? Dengan demikian kau atau orang-orangmu mempunyai kesempatan merebutnya, untuk menawarkan racun yang tentu juga sudah bekerja menelusuri urat-urat darahmu?”

“Aku tidak memerlukannya.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan mengingkari kenyataan. Kau akan mati.”

“Tidak. Aku tidak akan mati.”

“Kau tidak akan mati.”

Wajahnya menjadi tegang. Namun sebenarnyalah racun di ujung-ujung pasernya sudah mulai bekerja.

“Kau tentu mempunyai penawarnya. Kau masih mempunyai kesempatan.”

“Gila. Jadi kau tidak akan mati oleh racunku? Omong kosong. Racunku adalah racun yang sangat tajam. Tidak seorangpun yang mampu menghindar dari kematian jika orang itu sudah terpatuk oleh paserku.”

“Aku lain, Srengga Sura. Tetapi yang penting, tawarkan racun di tubuhmu itu. Kau tentu mempunyai penawarnya. Aku akan membantumu.”

“Iblis kau, Ki Lurah. Jadi kau tidak akan mati?”

“Racunmu tidak dapat membunuhku.”

Kemarahan nampak membayang di sorot mata Srengga Sura. Namun tubuhnya mulai menjadi lemah.

“Cepat, Srengga Sura. Tolong dirimu sendiri. Kau tidak pantas untuk membunuh diri. Orang-orang yang sekeras kau biasanya adalah orang-orang yang tabah. Orang-orang tidak lari dari kenyataan. Tetapi orang-orang seperti kau biasanya akan menghadapi kesulitan seperti apapun juga dengan tabah, dan mencobanya untuk mengatasi tanpa mengenal putus asa.”

“Setan kau! Iblis! Tetekan! Gendruwo! Kenapa kau tidak mati, he?”

“Kau masih mempunyai kesempatan, Srengga Sura. Jika kau kebetulan tidak membawa obat penawar racunmu, aku justru mempunyainya.”

Tubuh Srengga Sura mulai menjadi gemetar seperti orang yang kedinginan. Kemarahan memancar pada sorot matanya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menerkam dan mencekik Ki Lurah Agung Sedayu sampai mati. Tetapi wadagnya sudah tidak mampu mendukung kemarahannya. Bahkan Srengga Sura itu pun kemudian telah jatuh berlutut.

“Kau harus mati! Kau harus mati!” Srengga Sura itu berteriak. Tetapi iapun kemudian menjadi tidak berdaya. Tubuhnya terguling di tanah.

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika Glagah Pulih mendekati orang itu dan berjongkok di sisinya. Ki Lurah Agung Sedayu pun berdesis, “Jangan kau sentuh, Glagah Putih. Racun yang membunuhnya sangat kuat. Terasa bahwa tubuhku pun menjadi gemetar.”

“Kakang masih memerlukan pengobatan?”

“Tidak. Tetapi racun ini sangat kuat.”

Glagah Putih tidak menyentuhnya. Srengga Sura yang telah terbunuh oleh racunnya sendiri itu tergolek dengan noda-noda kebiru-biruan di tubuhnya. Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang kemudian berjongkok di sebelah tubuh yang mulai membeku itu. Beberapa kali Ki Lurah Agung Sedayu menyentuhnya. Namun kemudian iapun bangkit berdiri dan berkata, “Tubuh itu tidak berbahaya bagi yang menyentuhnya. Biarlah nanti para pengikutnya menguburkannya.”

Dalam pada itu, pertempuran memang sudah selesai. Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mengumpulkan prajurit-prajuritnya untuk mengetahui keadaan mereka.

Wajah lurah prajurit itu menjadi merah ketika ia mendengar laporan bahwa dua lagi prajurit telah gugur. Gigi Ki Lurah Agung Sedayu gemeretak menahan gejolak di dadanya. Namun kemudian Agung Sedayu pun harus menerima kenyataan itu. Empat orang terluka parah, sedangkan yang lain hanya tergores tipis di tubuh mereka.

“Kita berbenah diri,” perintah Ki Lurah Agung Sedayu kepada para prajuritnya. “Kita tidak dapat membawa dua orang kawan kita menempuh perjalanan ke Mataram. Kita akan membawa mereka ke padukuhan terdekat, dan memakamkannya di sana. Agar pada suatu saat jika keluarganya ingin mengunjungi makamnya, kita tidak kesulitan menunjukkannya.”

“Bagaimana dengan para pengikut Srengga Sura yang terbunuh. Ki Lurah?” bertanya seorang prajurit.

“Biarlah para tawanan itu menguburnya. Kita dapat berbicara dengan mereka, apakah kawan-kawannya yang terbunuh itu akan dikubur di sini atau ditempat lain.”

Seorang pemimpin kelompok pun kemudian telah berbicara dengan para tawanan itu tentang para cantrik yang terbunuh. Namun seorang tawanan yang sudah separuh baya berkata kepada pemimpin kelompok itu, “Ki Sanak. Ijinkan aku melihat para korban, apakah anakku ada di antara mereka, atau ia sempat melarikan diri.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Carilah. Biarlah dua orang prajurit menyertaimu. Tetapi jika kau berbuat macam-macam, kau akan dibunuh langsung di tempat.”

“Biarlah aku bersama Ki Sanak saja, agar aku tidak tergoda untuk berbuat macam-macam.”

Pemimpin kelompok itu menjawab, “Tetapi kita belum memutuskan, apakah kalian akan mengubur kawan-kawan kalian di sini atau di tempat lain. Misalnya di padepokanmu.”

“Kami tidak perlu membawa mereka kemana-mana, Ki Sanak. Biarlah kami menguburkannya di sini. Tetapi beri kesempatan kami memberikan pertanda pada kuburan-kuburan itu.”

“Tentu kami tidak berkeberatan.”

“Tetapi biarlah aku mencari anakku. Sementara kawan-kawanku yang lain sudah dapat mulai mengubur kawan-kawannya.”

“Tetapi kita tidak mempunyai peralatan sama sekali. Bagaimana kita dapat menggali lubang untuk menguburkan kawan-kawan kita?” berkata seorang yang lain.

“Nanti aku akan membicarakannya,” berkata seorang pengikut Srengga Sura yang akan mencari anaknya itu. Lalu katanya kepada pemimpin kelompok itu, “Apakah kita dapat mencarinya sekarang?”

Pemimpin kelompok dan seorang prajurit mengikuti orang yang mengaku mencari anaknya itu, dengan senjata telanjang dekat di punggungnya.

“Jika kau mulai membuat kami curiga, maka punggungmu akan aku lubangi dengan tombak pendekku ini,” berkata prajurit yang menyertai pemimpin kelompok itu.

Namun baru beberapa langkah, orang yang separuh baya itu pun berkata, “Ki Sanak. Beritahukan kepada lurahmu, sebaiknya kalian segera meninggalkan tempat ini.”

“Kenapa?”

“Guru Srengga Sura kebetulan sedang ada di padepokan. Jika ia tahu bahwa Srengga Sura mati di sini, maka ia tentu akan datang kemari.”

“Apa maunya?”

“Ia tentu akan membalas dendam. Apalagi Sungsang ada di tangan kalian. Sungsang termasuk salah seorang muridnya yang mendapat banyak perhatiannya, di samping Srengga Sura.”

“Apa yang kira-kira akan dilakukannya di sini?”

“Mungkin ia akan datang hanya dengan orang yang tinggal sedikit di padepokan. Tetapi guru Ki Srengga Sura adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Tentu lebih tinggi dari Srengga Sura sendiri. Lebih tinggi dari Raden Wikupana. Lebih tinggi dari Soma Bledeg, dan lebih tinggi dari kalian semua. Meskipun guru Srengga Sura itu harus bertempur melawan dua puluh orang sekaligus, maka ia tentu akan dapat membunuh semua lawannya. Guru Ki Srengga Sura mempunyai senjata rahasia sebagaimana dimiliki oleh Ki Srengga Sura. Namun gurunya jauh lebih trampil dari Ki Srengga Sura sendiri,” orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Selain senjata rahasianya yang beracun itu, guru Ki Srengga Sura juga mempunyai ilmu yang sulit dicari bandingnya. Ia dapat menyerang lawannya dari jarak tertentu tanpa sentuhan wadag. Serangan yang dapat membuat tubuh lawannya terpelanting jatuh dan tidak akan pernah bangkit lagi. Guru Ki Srengga Sura juga mempunyai ilmu yang disebutnya Gelap Ngampar. Jika ia tertawa atau berteriak atau mengeluarkan bunyi apapun, orang-orang yang memusuhinya akan kehilangan pemusatan nalar budinya. Suara itu akan menusuk telinga kiri dan kanan, langsung menyusup ke dalam otak. Orang-orang yang sudah tidak berdaya itu akan dengan mudah dibunuhnya, atau mati sendiri seorang demi seorang.”

Pemimpin kelompok itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, “Kau berusaha menakut-nakuti kami?”

“Tidak. Aku justru ingin menyelamatkan kalian.”

“Kau telah mengkhianati perguruanmu sendiri.”

“Tidak. Aku bukan murid Srengga Sura. Aku berada di perguruannya seperti seekor ikan yang masuk ke dalam wuwu. Aku tidak dapat keluar lagi, meskipun aku tidak berniat berada di dalamnya terus.”

“Kenapa?”

“Anakku-lah yang berguru kepada Srengga Sura. Tetapi semula anakku tidak tahu, perguruan macam apakah perguruan yang dipimpin oleh orang yang bernama Srengga Sura itu.”

“Kenapa kau juga berada di perguruan itu?”

“Semula aku mencari anakku. Aku ketemukan anakku di perguruan itu. Namun kemudian aku tidak dapat keluar. Anakku juga sudah terlanjur diracuni jiwanya dan merasa satu dengan murid-murid Srengga Sura yang lain. Semula aku akan nekad meninggalkan perguruan itu. Tetapi di luar pengetahuan anakku, aku telah diancam. Jika aku pergi, maka anakku akan mati. Karena itu, maka aku juga terikat dengan perguruan itu sampai sekarang.”

Pemimpin kelompok itu pun kemudian berkata, “Mari. Kau menghadap Ki Lurah sendiri.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk, “Baik. Aku akan menghadap lurahmu. Tetapi jangan bocorkan rahasia pengkhianatanku ini. Jika rahasia ini didengar oleh guru Srengga Sura, maka aku tentu akan dihukum picis.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk sambil menjawab, “Pengkhianatanmu tidak akan dibocorkan kepada guru Srengga Sura itu. Tetapi kau pun tidak akan pernah bertemu lagi dengan orang itu.”

“Kenapa?”

“Kau termasuk salah seorang dari tawanan kami. Kau akan dibawa ke Mataram bersama para tawanan yang lain.”

“Guru Srengga Sura dapat membunuh tidak dengan tangannya sendiri.”

“Jangan takut.”

Orang itu terdiam.

Ketika orang itu menghadap Ki Lurah Agung Sedayu, maka iapun telah mengulangi pernyataannya tentang guru Srengga Sura itu.

“Sebaiknya Ki Lurah segera meninggalkan tempat ini. Para pengikut Srengga Sura yang berhasil melarikan diri akan menghadap guru Srengga Sura yang garang itu.”

“Siapa nama orang itu?”

“Orang itu tidak semanis namanya.”

“Siapa namanya?”

“Namanya Kiai Pituturjati.”

“Pituturjati,” Ki Lurah Agung Sedayu mengulang. “Ya. Namanya benar-benar memikat.”

“Tetapi aku yakin, bahwa bukan itulah namanya yang sebenarnya.”

“Mungkin saja nama itu nama yang sebenarnya Begitu mudahnya orang mencari nama yang memikat.”

“Nama itu tidak pantas baginya.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin tidak pantas dan tidak sejalan dengan tingkah lakunya. Tetapi ia menyukai nama itu.”

“Ya. Ia menyukai nama itu.”

“Siapakah nama Ki sanak sendiri?”

“Namaku Semanta. Aku menamai anakku Wirid. Tetapi di perguruan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura, ia lebih senang dipanggil Macan Bangah. Katanya nama itulah yang diberikan oleh Srengga Sura kepadanya.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas peringatanmu, Ki Semanta. Tetapi aku tidak dapat pergi dengan segera. Seandainya aku dengan tergesa-gesa pergi pun tidak akan banyak berarti, karena Kiai Pituturjati itu akan dapat memburuku. Karena itu, jika benar ia menjadi marah karena kematian Srengga Sura dan beberapa orang kawan serta murid-muridnya, maka biarlah ia datang kemari. Aku akan menemuinya.”

“Ki Lurah. Orang itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi.”

“Tetapi apa artinya aku menyingkir dari tempat ini?”

Semanta menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Ia akan dapat mengejar iring-iringan ini.”

“Karena itu, maka biarlah aku menunggunya.”

“Terserah kepada Ki Lurah. Tetapi aku tidak akan dapat menyaksikan apa yang akan terjadi jika Kiai Pituturjati itu benar-benar datang kemari.”

“Pasukanku masih utuh, Semanta. Memang ada juga prajurit yang gugur. Tetapi pada dasarnya kekuatanku tidak menyusut karenanya. Karena itu, jika orang itu datang, biarlah kami menyongsongnya dengan kekuatan.”

Semanta mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang carilah anakmu itu. Kami akan mempersiapkan penguburan para pengikut Srengga Sura yang terbunuh. Kami akan mengirimkan dua atau tiga orang ke padukuhan terdekat untuk meminjam cangkul. Kami akan mengerjakan apa yang patut kami kerjakan, sambil menunggu kemungkinan Kiai Pituturjati itu datang, meskipun aku tidak mengharapkannya.”

Semanta masih mengangguk-angguk. Katanya, “Sekarang, biarlah aku cari anakku. Mungkin ia terbunuh. Tetapi mungkin ia sempat melarikan diri.”

Dengan dikawal oleh dua orang prajurit, Semanta itu menelusuri bekas medan. Diperhatikannya tubuh-tubuh yang terbaring dan yang sedang dikumpulkan oleh para tawanan, di bawah pengawasan para prajurit.

Sebenarnyalah pada saat itu, seorang murid Srengga Sura tengah berlari-lari memasuki padepokannya. Beberapa orang kawannya yang tidak ikut dalam penyergapan yang dilakukan oleh Srengga Sura terkejut melihat kawannya yang berlari-lari itu.

“Kenapa?”

“Dimana Kiai Pituturjati?”

“Ia ada di bangunan induk. Tetapi kenapa?”

“Kita mengalami kesulitan. Banyak kawan-kawan kita menjadi korban.”

Orang itu tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya yang ingin mendengar kabar tentang guru mereka, Ki Srengga Sura. Orang yang berhasil melarikan diri dari medan itu pun segera memasuki bangunan induk padepokan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura itu.

Ketika ia melihat Ki Pituturjati yang duduk di atas tikar pandan yang putih yang digelar di ruang dalam bangunan induk itu, orang yang berhasil melarikan diri itu pun segera menjatuhkan dirinya, duduk bersila di hadapannya sambil menundukkan kepalanya.

“Ada apa?” bertanya Kiai Pituturjati dengan suaranya yang lunak.

“Ampun, Kiai. Guru mengalami kesulitan menghadapi sekelompok prajurit dari Mataram.”

Kiai Pituturjati memandang orang itu dengan tajamnya. Tetapi orang itu masih saja menunduk.

“Kenapa kau cemaskan gurumu, he?” bertanya Kiai Pituturjati.

“Prajurit Mataram yang berkemah di padang perdu itu ternyata prajurit pilihan. Jauh lebih baik dari para prajurit yang pernah kita musnahkan beberapa waktu yang lalu. Bahkan keadaan kami yang menjadi porak-poranda.”

“Gurumu akan dapat mengatasinya. Jangan cemas.”

“Sulit bagi Guru untuk mengatasinya. Sebagian dari kami terbunuh. Sebagian lagi tertangkap dan sedikit yang berhasil melarikan diri.”

“Termasuk kau?”

“Ya, Kiai.”

“Kiai Pituturjati tertawa pendek. Katanya, “Sudahlah. Jangan kau cemaskan gurumu. Ia mempunyai ilmu yang tinggi. Kemampuannya sudah tidak terpaut banyak dengan kemampuanku.”

“Tetapi kami benar-benar berada dalam kesulitan.”

“Kau lihat keadaan gurumu?”

“Aku tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Aku segera meloloskan diri untuk menyampaikan kabar buruk ini kepada Kiai.”

Kiai Pituturjati itu pun kemudian bangkit dan berkata, “Marilah kita turun ke halaman. Kita beritahukan berita buruk itu kepada kawan-kawanmu yang masih tersisa.”

“Baik, Kiai.”

Ketika Kiai Pituturjati itu keluar dari bangunan utama di padepokan itu, maka orang yang berhasil melarikan diri itu pun mengikutinya dari belakang. Di tangga pendapa bangunan induk, Kiai Pituturjati berdiri tegak menghadap ke halaman. Sebuah kentongan kecil telah dibunyikan sebagai pertanda bahwa para murid Srengga Sura yang masih berada di padepokan itu harus berkumpul di halaman.

“Anak-anak,” berkata Kiai Pituturjati kepada mereka, “ada berita yang sebenarnya aku tidak senang mendengarnya. Orang ini telah melarikan diri dari arena pertempuran. Menurut orang ini, guru kalian, Srengga Sura, mengalami kesulitan di pertempuran melawan prajurit-prajurit dari Mataram. Orang ini agaknya datang untuk minta tolong kepadaku, membantu gurumu, Srengga Sura, dan saudara-saudaramu yang masih bertempur. Nah, aku ingin tahu, apakah kalian berniat membantu mereka?”

“Tentu, Kiai! Kami siap untuk ke medan pertempuran,” teriak beberapa orang hampir berbareng. Seorang yang lain berteriak, “Kami pernah membantai serombongan prajurit di padepokan kita ini.”

“Nah. Kalian akan menyusul mereka. Aku sedang malas untuk pergi dari padepokan. Aku ingin tidur.”

“Baik, Kiai.”

“Seorang yang tertua di antara kalian akan memimpin kalian.”

“Tetapi, Kiai,” berkata orang yang sempat melarikan diri itu, “keadaan kita sudah terlalu parah. Jika beberapa orang ini memasuki medan, maka yang akan terjadi hanyalah menambah korban saja.”

Kiai Pituturjati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Nah, kau dengar? Orang yang melarikan diri dari medan pertempuran ini telah meremehkan guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian.”

“Maaf, Kiai. Aku sama sekali tidak ingin meremehkan mereka. Tetapi aku justru mencemaskan keselamatan mereka. Kita tidak dapat mengingkari kenyataan itu.”

“Lalu apa maksudmu?”

“Aku hanya ingin mereka diselamatkan.”

Kiai Pituturjati itu pun kemudian berkata, “Alangkah mengagumkan. Saudaramu yang setia ini telah bersusah-payah melarikan diri dan berusaha menyelamatkan saudara-saudara seperguruan dan bahkan gurunya.”

“Ampun, Kiai.”

“Sementara itu ia sendiri telah melarikan diri dari medan. Jika ia tahu bahwa saudara-saudaranya dan bahkan gurunya mengalami kesulitan, kenapa ia justru lari dan meninggalkan mereka dalam kesulitan? Bahwa orang ini datang kepada kita untuk mencari bantuan adalah alasan yang dibuat-buat saja, agar kita menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu sudah benar, dan bahkan orang ini dapat dianggap sebagai pahlawan.”

“Tidak, Kiai. Sama sekali tidak.”

“Kau tidak pantas menjadi murid Srengga Sura. Karena itu, maka kau tidak pantas pula hidup di padepokan ini. Seharusnya kau tetap di medan dan bertempur sampai mati.”

“Jika demikian, siapa yang akan memberi tahukan kesulitan Guru dan saudara-saudara kami?”

Kiai Pituturjati itu tersenyum. Selangkah demi selangkah ia mendekati orang itu. Kemudian kelima jari-jari tangan kirinya mencengkam leher orang itu sambil berkata, “Kalau kau segan mati di pertempuran, maka kau akan mati di sini.”

Tidak seorangpun melihat jari-jari itu menekan leher orang yang berhasil melarikan diri itu. Mereka hanya melihat jari-jari itu melekat di lehernya. Namun ketika tangan itu dilepaskannya, maka orang yang berhasil melarikan diri itu pun terjatuh dan untuk selamanya ia tidak akan bangkit lagi.

“Nasib yang pantas bagi seorang pengecut.”

Murid-murid Srengga Sura yang tersisa itu bagaikan membeku. Mereka hanya dapat memandangi tubuh saudara seperguruannya yang terkapar di tanah.

“Siapapun yang akan menjadi pengecut, kenanglah di dalam benakmu. Nasibmu juga akan seperti orang itu. Dibiarkannya saudara-saudara seperguruannya mengalami kesulitan di medan pertempuran, sementara itu ia memilih mencari hidupnya sendiri.”

Tidak ada yang berani mengucapkan sepatah katapun. Semuanya berdiri tegak dengan jantung berdebaran.

Namun dalam pada itu, seorang saudara seperguruan mereka yang ikut bersama Srengga Sura menyerang para prajurit itu, datang berlari-lari. Tidak seorangpun di antara saudara-saudara mereka yang sempat mencegah.

“Jika orang itu juga melarikan diri dari medan, maka nasibnya akan sama seperti orang yang terkapar mati itu.”

“Kiai,” berkata orang itu dengan nafas terengah-engah. Ia sempat memandangi saudara-saudara seperguruannya yang ditinggal untuk menunggui padepokan mereka.

Namun langkahnya tertegun melihat seorang di antara saudara seperguruannya itu terbaring di tanah.

“Ada apa?” bertanya Kiai Pituturjati dengan nada suara yang lunak, “Kenapa kau berlari-lari hingga nafasmu terengah-engah?”

“Kiai. Guru, Kiai.”

“Kenapa dengan gurumu?”

“Guru terbunuh di pertempuran melawan para prajurit Mataram di padang perdu.”

“He?” Kiai Pituturjati itu pun terkejut. Wajahnya menjadi merah. Katanya, “Coba ulangi.”

“Guru terbunuh, Kiai. Guru dibunuh oleh lurah prajurit Mataram.”

“Bagaimana dengan kau?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku bertempur tidak terlalu jauh dari Guru. Tetapi aku tidak dapat berbuat banyak. Guru terbunuh. Sungsang tertangkap.”

“Sungsang tertangkap hidup?”

“Ya, Kiai.”

“Orang itu pun pantas mati. Kenapa kau tidak mati bersama gurumu?”

“Setelah Guru terbunuh, aku merasa bahwa sia-sialah jika aku bertempur terus. Aku merasa akan lebih berarti jika aku memberitahukan kabar ini kepada Kiai.”

“Setan orang-orang Mataram. Mari, tunjukkan kepadaku, dimana Srengga Sura terbunuh. Aku akan membunuh orang-orang Mataram itu. Aku juga akan membunuh Sungsang.”

“Marilah, Kiai.”

Kiai Pituturjati itu pun kemudian berkata kepada murid-murid Srengga Sura, “Yang mau ikut bersamaku, ikutlah. Tetapi siapa yang sudah terlanjur turun ke medan, tidak akan pernah melarikan diri atau menyerah. Yang tidak mau menanggung akibat itu, jangan pergi. Tinggallah di padepokan, menunggui milik kita yang sangat berharga ini.”

Ternyata semua orang berniat ikut serta. Namun Kiai Pituturjati itu pun kemudian berkata, “Lima orang terakhir harus tinggal di sini.”

Lima orang terakhir pun terpaksa tinggal di padepokan. Namun sebenarnyalah mereka merasa bersyukur bahwa mereka tidak harus pergi untuk mati. Jika guru mereka Srengga Sura saja terbunuh di peperangan, apalagi mereka. Tetapi mereka masih mempunyai harapan. Kiai Pituturjati adalah orang yang tidak terkalahkan. Ia memiliki beberapa jenis ilmu yang sulit dicari tandingnya.

“Rasa-rasanya ingin juga melihat Kiai Pituturjati membakar para prajurit Mataram itu dengan ilmunya. Atau membuat mereka gila dengan ilmu Gelap Ngamparnya. Atau dengan ilmu yang lain,” berkata seorang di antara mereka yang tinggal.

“Tetapi musuh terlalu banyak. Jika prajurit Mataram itu mampu menghancurkan pasukan yang dipimpin oleh Guru bersama beberapa orang berilmu tinggi, maka pasukan yang kecil ini tentu tidak akan banyak berarti,” sahut yang lain.

“Kau meremehkan Kiai Pituturjati?”

“Tidak, tentu tidak.”

“Kiai Pituturjati akan mampu membunuh semuanya.”

“Ya.”

Dalam pada itu, Kiai Pituturjati dengan beberapa orang murid Srengga Sura dengan cepat bergerak menuju ke padang perdu. Sementara itu, para prajurit Mataram sedang mengamati dan bahkan ikut membantu para tawanan menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh di antara pepohonan yang besar, yang akan dapat menjadi pertanda bagi kuburan itu.

Di bagian lain dari padang perdu itu, prajurit Mataram berjaga-jaga mengawasi keadaan. Mereka mendapat perintah untuk berjaga-jaga jika orang yang bernama Kiai Pituturjati itu datang untuk menuntut balas kematian muridnya, Srengga Sura.

Di sepanjang jalan, ternyata Kiai Pituturjati masih juga bertemu dengan beberapa orang murid Srengga Sura yang terbunuh itu. Tetapi Kiai Pituturjati tidak membunuh mereka. Tetapi mereka diperintahkannya untuk mengikutinya kembali ke padang perdu.

Ternyata para murid Srengga Sura itu menjadi lebih mantap untuk pergi bersama Kiai Pituturjati. Para murid Srengga Sura itu yakin, bahwa Kiai Pituturjati akan dapat menumpas para prajurit Mataram karena ilmunya yang sangat tinggi. Di padepokan, Kiai Pituturjati pernah mempertunjukkan kepada mereka kemampuannya. Bahkan Kiai Pituturjati dapat menyerang lawan mereka tanpa sentuhan wadag. Bahkan dengan suara tertawa atau teriakan. Dan berbagai macam kemampuan yang lain.

Dalam pada itu, para prajurit yang bertugas berjaga-jaga untuk mengamati keadaan, telah melihat dari kejauhan sekelompok orang yang dengan tergesa-gesa mendatanginya. Tidak sebanyak pasukan yang dipimpin langsung oleh Srengga Sura. Namun di paling depan, mereka melihat seorang yang berjalan bagaikan tidak menyentuh tanah. Sedangkan yang lain, kadang-kadang harus berlari-lari agar tidak tertinggal terlalu jauh oleh orang yang berjalan di paling depan itu.

Dengan demikian, maka para prajurit itu pun segera menemui Ki Lurah Agung Sedayu untuk memberikan laporan tentang kehadiran sekelompok orang yang tidak dikenal. Yang mungkin seorang di antara mereka adalah Kiai Pituturjati.

“Aku akan menemuinya,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Hati-hati, Ki Lurah. Menurut keterangan, orang itu berilmu sangat tinggi.”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

“Aku akan pergi bersama Kakang,” berkata Glagah Putih. Kita berada di medan perang, bukan dalam arena perang tanding.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah berdiri di sebelahnya. Sambil mengangguk-angguk Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “aiklah. Tetapi kita akan melihat keadaan. Jika orang itu menantang perang tanding, maka yang akan terjadi adalah perang tanding. Kewajiban kalian adalah menjadi saksi serta menghindarkan kemungkinan seseorang berbuat curang. Namun dengan demikian, kita pun tidak akan berbuat curang pula.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak sempat menemukan gagasan-gagasan lain, karena Ki Lurah Agung Sedayu pun segera melangkah menyongsong orang yang datang bersama beberapa orang itu. Tetapi Ki Lurah itu masih sempat memberikan perintah kepada sekelompok prajuritnya, “Jaga para tawanan dengan baik. Teliti ikatan mereka. Jangan terjadi kawan-kawan mereka sempat melepaskan mereka. Dalam keadaan seperti ini kalian harus bersikap sebagai seorang prajurit sejati.”

“Baik, Ki Lurah.”

Namun tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu berkata, “Seandainya kami tidak diikat pun kami tidak akan melarikan diri. Jika kami harus kembali ke padepokan, maka kami akan mengalami penderitaan yang lebih berat daripada kami menjadi tawanan di Mataram.”

Ki Lurah Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Namun kemudian iapun meninggalkannya, untuk menyongsong sekelompok orang yang mendatangi padang perdu itu.

Yang berjalan di paling depan adalah Kiai Pituturjati. Meskipun beberapa lembar rambutnya yang terjulur keluar dari ikat kepalanya sudah nampak putih, tetapi ia masih tetap seorang laki-laki yang berperawakan tinggi, tegap dan tegar. Dari matanya yang cekung memancar kepercayaan dirinya yang besar. Ketika ia melihat beberapa orang prajurit menyongsongnya, maka Kiai Pituturjati itu pun berhenti.

“Aku akan berbicara dengan pemimpin prajurit dan Mataram. Aku tidak mau berbicara dengan siapapun juga kecuali pemimpinnya,” berkata Kiai Pituturjati.

Nampaknya sikap itu sangat menjengkelkan bagi Glagah Putih. Karena itu, sebelum Ki Lurah Agung Sedayu menjawab maka Glagah Putih itu pun menyahut, “Kau tidak dapat memerintah kami. Aku bukan pemimpin prajurit Mataram. Bahkan aku bukan prajurit. Tetapi aku-lah yang akan berbicara denganmu. Kau siapa, dan namamu siapa? Jika kau tidak mau berbicara dengan aku, maka pergi sajalah.”

Wajah Kiai Pituturjati menjadi merah. Ia merasa seorang yang tidak terlawan. Karena itu, sikap Glagah Putih itu tidak dapat diampuninya. Tetapi Glagah Putih yang meskipun masih terhitung muda tetapi sudah kaya dengan pengalaman itu menyadari, bahwa orang itu akan menjadi sangat marah. Apalagi Glagah Putih sudah menduga bahwa orang itu-lah yang disebut Kiai Pituturjati. Sehingga dengan demikian Glagah Putih pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Karena itu, ketika orang itu mengangkat tangan kanannya dan bergerak demikian cepatnya melemparkan sebuah paser beracun, Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatannya itu. Paser beracun itu meluncur melampaui kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya. Tetapi sama sekali tidak menyentuh tubuh Glagah Putih, yang sedikit bergeser sambil memiringkan tubuhnya itu. Untunglah bahwa paser yang luput mengenai sasarannya itu tidak menyentuh beberapa orang prajurit, yang berdiri di belakangnya, namun kemudian tertancap pada sebatang pohon di padang perdu itu.

Jantung Kiai Pituturjati yang marah itu tergetar semakin cepat. Orang yang telah meremehkannya itu mampu menghindari serangan senjata rahasianya.

“Anak iblis, kau. Siapa kau, he?”

Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang kemudian mendahului Glagah Putih. Katanya, “Aku-lah lurah prajurit yang memimpin prajurit Mataram. Yang dikatakan adikku benar. Kau tidak dapat memerintah kami. Aku dapat menugaskan siapa saja untuk berbicara dengan kau, orang yang tidak aku kenal.”

Kiai Pituturjati itu menggeram. Katanya, “Orang-orang Mataram memang sombong. Mereka mengira bahwa dunia itu begitu sempit, sehingga tidak ada orang yang melebihi kelebihan selain orang Mataram.”

“Ya,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “tidak ada orang yang dapat melebihi kemampuan orang-orang Mataram. Srengga Sura juga tidak.”

“Persetan dengan kesombongan orang-orang Mataram. Tetapi berhadapan dengan aku, kau akan menyesal.”

“Kau siapa?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Namaku Kiai Pituturjati. Srengga Sura adalah muridku. Murid yang aku harapkan akan menjadi orang yang tidak terkalahkan di masa depan. Kematiannya sangat menyakitkan hatiku.”

“Muridmu yang tidak terkalahkan itu terbunuh di sini.”

“Ia masih sedang dipersiapkan. Dan orang-orang Mataram telah membunuhnya.”

“Muridmu telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Ia merasa dirinya berkuasa di daerah ini tanpa mendapat wewenang dari mereka yang berhak. Muridmu juga akan merampok kami. Padahal kami adalah sekelompok prajurit yang sedang mengemban tugas. Bukankah Srengga Sura telah mati karena pokalnya sendiri?”

“Siapa yang telah membunuh Srengga Sura?”

“Aku. Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kau sendiri?”

“Ya.”

“Kau berperang tanding?”

“Tidak. Tetapi prajurit-prajuritku tidak menggangguku ketika aku bertempur melawan Srengga Sura, kemudian membunuhnya.”

“Bagus. Jika benar kau yang membunuh Srengga Sura, maka sekarang aku datang untuk membunuhmu.”

“Kau akan membela muridmu?”

“Tentu. Aku akan menagih hutangmu. Hutang nyawa harus kau bayar dengan nyawa pula.”

“Jika kau akan membela muridmu, maka kau akan terpecik kesalahannya pula. Aku akan menangkapmu, hidup atau mati.”

“Setan kau, Ki Lurah. Tidak pernah ada orang yang berani berkata seperti itu kepadaku.”

“Aku-lah yang berani mengatakannya.”

“Kesombonganmu akan menjerumuskan ke dalam penderitaan yang sangat pahit. Ketahuilah, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati yang merasa dirinya besar itu pun tidak berani mengusik kuasa Srengga Sura di sini.”

“Perguruan Kedung Jatipun tidak mempunyai landasan wewenang apa-apa. Tetapi kami adalah prajurit Mataram.”

“Persetan dengan prajurit Mataram. Kita akan melihat, apakah prajurit Mataram benar-benar dapat dibanggakan.”

“Apa maumu?”

“Kalau benar kau yang telah membunuh Srengga Sura, maka aku akan menantangmu dalam perang tanding.”

Wajah Glagah Putih menjadi sangat tegang. Tetapi ia tidak berani mendahului kakangnya yang sudah menyatakan dirinya sebagai lurah prajurit dari Mataram itu.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun menjawab, “Baik. Aku terima tantanganmu, meskipun sebenarnya aku lebih mengharapkan nasehat-nasehatmu. Sesuai dengan namamu, maka kau tentu orang yang memiliki kebijaksanaan untuk memberikan petunjuk dan nasehat bagi orang lain.”

“Tutup mulutmu!” bentak Kiai Pituturjati, “Kita akan berperang tanding. Kita akan mengadu tingkat kemampuan kita. Bukan mengadu ketajaman mulut kita.”

“Kau tidak dapat membentakku seperti itu. Aku adalah lurah prajurit yang dihormati oleh pasukanku.”

“Apa peduliku? Aku dapat menghinamu, merendahkanmu dan bahkan menginjak kepalamu.”

“Tetapi aku akan membuat simpul pada lidahmu itu.”

“Cukup! Bersiaplah!”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian justru bergeser selangkah surut. Iapun memberikan isyarat kepada para prajurit, kepada Sekar Mirah. Rara Wulan, Glagah Putih untuk mundur pula beberapa langkah. Para prajurit Mataram serta para pengikut Srengga Sura yang datang bersama dengan Kiai Pituturjati itu pun telah berdiri pada dua jajaran yang saling berhadapan. Di antara mereka, Ki Lurah Agung Sedayu dan Kiai Pituturjati telah bersiap untuk melakukan perang tanding yang tidak akan diganggu oleh siapapun.

“Ki Lurah,” berkata Kiai Pituturjati itu kemudian, “berjanjilah. Jika aku menang, maka prajurit-prajuritmu harus tunduk kepadaku. Mereka tidak boleh melawan semua perintahku. Tetapi jika aku kalah, maka orang-orangku tidak akan mengganggumu lagi.”

“Menurut pendapatmu itu adil?”

“Ya.”

“Tidak. Aku tidak akan berjanji apa-apa. Kita berperang tanding, itu saja. Jika aku kalah, maka prajurit-prajuritku akan bertempur dan membunuh semua orang-orangmu. Jika aku menang, sekehendakku-lah yang akan aku lakukan.”

Wajah Kiai Pituturjati yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan geram iapun berkata, “Licik kau, anak iblis. Tetapi aku tidak peduli. Sesudah aku membunuhmu, maka aku akan membunuh semua prajuritmu.”

“Aku juga tidak peduli. Lakukan jika kau mampu melakukannya. Kita akan berperang tanding tanpa janji apa-apa. Jika kau tidak bersedia, aku akan bertindak sebagai seorang lurah prajurit. Menangkapmu dan semua orang-orangmu. Kalian semuanya akan kami bawa ke Mataram. Meskipun perjalanan kami akan menjadi semakin berat, tetapi itu adalah tugas kami.”

Kiai Pituturjati itu pun menggeram. Namun kemudian iapun segera bersiap sambil berkata, “Kau akan mati bersama kesombonganmu.”

Orang-orang yang menyaksikannya menjadi tegang. Glagah Putih, Rara Wulan dan Sekar Mirah berdiri membeku. Bahkan kemudian Rara Wulan pun telah berpegangan lengan Glagah Putih.

Sejenak kemudian, kedua orang yang berperang tanding itu mulai bergeser. Kiai Pituturjati yang jantungnya terasa membara itu telah meloncat menyerang. Namun Ki Lurah Agung Sedayu sempat mengelakkannya. Bahkan Ki Lurah itu segera membalasnya dengan ayunan kakinya.

Namun keduanya masih belum sungguh-sungguh. Nampaknya keduanya masih ingin menjajagi kemampuan lawannya. Namun gerakan mereka pun semakin lama menjadi semakin cepat. Tenaga mereka pun semakin meningkat, sehingga perang tanding itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kiai Pituturjati bertempur bagaikan burung sikatan. Berloncatan dengan cepat, menyambar-nyambar. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu nampak lebih lamban. Tetapi setiap gerak tubuhnya selalu berarti.

Kiai Pituturjati yang marah itu semakin meningkatkan ilmunya. Ia tidak mengira bahwa seorang lurah prajurit mempunyai kemampuan sedemikian tingginya.

“Orang ini telah membunuh Srengga Sura,” geram Kiai Pituturjati.

Dengan dendam yang rasa-rasanya semakin memanasi darahnya, Kiai Pituturjati itu bertempur semakin cepat. Para prajurit Mataram menjadi semakin berdebar-debar. Kecepatan gerak Kiai Pituturjati itu rasa-rasanya sudah melampaui kewajaran. Agaknya ilmunya yang tinggi telah membuatnya mampu bergerak sedemikian cepatnya.

Ki Lurah Agung Sedayu nampaknya mulai terdesak. Kadang-kadang Ki Lurah terlambat menghindar, sehingga serangan-serangan Kiai Pituturjati mulai menyentuhnya.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun segera menyadari bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh, sehingga tubuhnya menjadi seolah-olah tidak berbobot. Geraknya menjadi ringan dengan kecepatan semakin tinggi.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu sendiri tidak asing dengan ilmu itu. Iapun mampu melakukannya. Karena itu, ketika Kiai Pituturjati itu bergerak semakin cepat, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah mengetrapkan ilmu yang sama. Sehingga dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Kiai Pituturjati dapat juga dilakukan oleh Ki Lurah.

Kiai Pituturjati itu pun kemudian menyadari, bahwa ternyata lurah prajurit itu juga memiliki kemampuan memperingan tubuhnya, sehingga lurah prajurit itu mampu menghindari serangan-serangannya yang berlangsung semakin cepat. Bahkan justru Ki Lurah Agung Sedayu itu pun mulai dengan serangan-serangannya yang berbahaya pula.

“Kepada siapa demit ini berguru?” geram Ki Pituturjati. Namun bukan saja Kiai Pituturjati yang sekali-sekali mampu menyentuh tubuh Ki Lurah, tetapi Ki Lurah pun sekali-sekali telali berhasil menyelinap di antara pertahanan Kiai Pituturjati.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang, menghindar, dan bahkan sekali-sekali mereka telah membenturkan kemampuan mereka.

“Gila lurah prajurit ini,” geram Kiai Pituturjati di dalam hatinya. Setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi, ternyata Ki Lurah masih saja mampu mengimbanginya.

“Pantas jika Srengga Sura dapat dibunuhnya,” berkata Kiai Pituturjati kepada dirinya sendiri.

Tetapi Kiai Pituturjati bukan Srengga Sura. Kemampuan ilmu Kiai Pituturjati jauh lebih tinggi dari muridnya yang terbunuh itu. Karena itu, maka serangan-serangan Kiai Pituturjati pun menjadi semakin cepat. Dengan demikian, Ki Lurah Agung Sedayu pun harus meningkatkan ilmunya pula.

Para murid Srengga Sura mulai berpengharapan ketika Kiai Pituturjati menyerang lawannya seperti angin pusaran. Mereka berharap bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu akan segera digulung di dalamnya. Dilemparkan ke udara, kemudian jatuh di atas tanah berbatu padas. Namun ternyata dengan kecepatan geraknya, Ki Lurah itu mampu menghindar dari serangan-serangan Kiai Pituturjati itu. Tetapi sudah tentu bahwa Ki Lurah tidak luput sama sekali dari sentuhan serangan Kiai Pituturjati.

Serangan yang sangat cepat, ternyata masih juga mampu mengenai bahu Ki Lurah Agung Sedayu. Tangan Kiai Pituturjati yang terayun mendatar telah mengguncang pertahanannya, sehingga Ki Lurah itu harus meloncat mundur.

Glagah Putih, Rara Wulan, Sekar Mirah dan para prajurit terkejut. Namun sentuhan pada bahu Ki Lurah Agung Sedayu itu tidak berpengaruh. Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu telah siap menghadapi serangan-serangan lawannya.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu menjadi lebih berhati-hati. Dilindunginya dirinya dengan ilmu kebalnya. Karena itu, ketika serangan Kiai Pituturjati mengenainya sekali lagi, maka serangan itu tidak menyakitinya.

Kiai Pituturjati mula-mula tidak begitu menyadari bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmu kebalnya. Tetapi ketika dua tiga kali serangannya yang sempat mengenai tubuh Ki Lurah Agung Sedayu tidak menyakitinya, maka Kiai Pituturjati itu pun menggeram, “Ternyata kau memiliki ilmu kebal, Ki Lurah.”

“Aku melatih daya tahan tubuhku dengan bersungguh-sungguh,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kau memang seorang lurah prajurit yang luar biasa. Beberapa waktu yang lalu Srengga Sura membantai seorang lurah prajurit dengan mudahnya. Seorang lurah prajurit yang tidak berdaya menghadapinya.”

“Aku datang untuk menghukumnya. Karena ia telah membunuh seorang lurah prajurit, maka hari ini ia mati oleh seorang lurah prajurit.”

“Persetan dengan igauanmu. Jangan terlalu bangga dengan ketahanan ilmu kebalmu. Aku akan segera memecahkan ilmu kebalmu itu.”

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak meningkatkan ilmunya dengan cepat.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun segera menyadari pula, bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmu Lembu Sekilan, semacam ilmu kebal yang dapat menjadi perisai sehingga setiap serangan lawannya akan tertahan oleh ilmu itu, sejengkal dari kulitnya.

Dengan demikian, maka serangan-serangan keduanya seakan-akan tidak mampu menggoyahkan pertahanan lawan. Jika serangan Kiai Pituturjati mengenai tubuh Ki Lurah Agung Sedayu, maka serangan itu tertahan oleh ilmu kebalnya. Namun jika serangan Ki Lurah Agung Sedayu yang mengenai tubuh Kiai Pituturjati, maka serangan itu seakan-akan bertahan sejengkal dari tubuhnya.

Dengan demikian, maka keduanya telah meningkatkan ilmu mereka lebih tinggi lagi. Untuk menembus ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu, maka Kiai Pituturjati itu telah menarik senjatanya. Sebilah keris yang besar, yang terselip di punggungnya. Jantung Ki Lurah Agung Sedayu tergetar melihat keris di tangan Kiai Pituturjati itu. Keris yang seakan-akan telah menyala kemerah-merahan.

“Keris ini di tanganku akan memecahkan ilmu kebalmu, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun segera mengurai cambuk yang membelit di pinggangnya.

“Kau akan menembus ilmu Lembu Sekilanku dengan cambuk itu?” bertanya Kiai Pituturjati.

“Ya, Kiai,” jawab Agung Sedayu.

“Aku akan menebas juntai cambukmu dengan kerisku ini.”

“Kita akan melihat, apakah kau akan berhasil atau tidak.”

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu menghentakkan cambuknya sendal pancing, maka suaranya meledak menggetarkan udara. Namun Kiai Pituturjati itu tertawa. Katanya, “Hanya itukah yang dapat kau lakukan dengan cambukmu itu? Kau anggap aku tidak lebih dari seekor domba di padang rumput yang berlari dari kelompoknya?”

“Bukankah kau memang tidak lebih dari seekor domba yang tidak berdaya?”

Kiai Pituturjati yang tersinggung itu segera meloncat menyerang. Kerisnya yang besar dan panjang itu terayun mendatar menyambar ke arah dada.

Ki Lurah Agung Sedayu yang sudah mengetrapkan ilmu kebalnya itu masih juga berusaha mengelak. Ia menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, Ki Lurah tidak mau menjadi lengah. Keris yang baik di tangan seorang yang berilmu tinggi itu akan sangat berbahaya baginya.

Karena itu, maka ujung keris itu tidak sempat menyentuh ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, demikian keris itu terayun, maka cambuk Ki Lurah pun telah menghentak pula sendal pancing. Tetapi cambuk itu tidak meledak dengan gema suaranya yang bagaikan mengguncang seluruh hutan. Bahkan hentakan cambuk itu seakan-akan tidak berbunyi sama sekali.

Namun hentakan cambuk itu telah berhasil menyusup menembus Aji Lembu Sekilan Kiai Pituturjati serta menyentuh kulitnya. Kiai Pituturjati meloncat surut. Ternyata bahwa lengannya telah terluka meskipun ia sudah mengetrapkan Aji Lembu Sekilannya.

“Gila kau, Ki Lurah. Ujung cambukmu mampu menembus Aji Lembu Sekilanku.”

“Jika saja kau tidak mengetrapkan ilmumu itu, maka kulit lenganmu akan terkelupas sampai ke tulang.”

“Jangan menyombongkan diri, Ki Lurah. Ujung kerisku pun akan mampu menembus ilmu kebalmu.”

“Tetapi aku tidak akan membiarkan ujung kerismu menyentuh kulitku.”

“Persetan kau,” geram Kiai Pituturjati.

Ketika Kiai Pituturjati meloncat menyerang, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera menghindari. Namun serangan-serangan Kiai Pituturjati pun datang beruntun susul menyusul. Tetapi cambuk Ki Lurah pun menghentak-hentak pula meskipun tidak terdengar suara ledakannya. Meskipun demikian, justru Kiai Pituturjati menjadi berdebar-debar. Ternyata kemampuan Ki Lurah menghentakkan cambuk tidak sekedar seperti seorang gembala yang menggiring domba-dombanya di padang rumput.

Pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu masih berlangsung dengan sengitnya. Serangan-serangan Kiai Pituturjati pun kadang-kadang telah mendesak Ki Lurah Agung Sedayu. Bahkan ketika ujung keris itu menyambar pundak Ki Lurah Agung Sedayu yang sudah dilindungi oleh ilmu kebalnya, ternyata masih juga menggores, meskipun goresan yang tipis.

“Gila, kau, Ki Lurah,” geram Kiai Pituturjati, “seharusnya tulang di pundakmu itu patah oleh kerisku. Darimana kau mendapatkan ilmu kebalmu yang sangat kuat dan rapat itu?”

“Kita memang harus berbekal ilmu untuk turun ke arena perang tanding seperti ini, Kiai,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “dari manapun kita menyadap ilmu, namun yang penting ilmu itu kita amalkan bagi kepentingan orang banyak. Melindungi orang-orang yang lemah, serta jika mampu untuk mbrasta angkara murka. Pitutur itu seharusnya aku dengar dari Kiai Pituturjati.”

“Tutup mulutmu, Ki Lurah!”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Serangan-serangan Kiai Pituturjati menjadi semakin deras, sehingga Ki Lurah pun harus berloncatan menghindar. Ternyata ujung senjata Kiai Pituturjati itu mampu menembus ilmu kebalnya dan melukai kulitnya. Namun hentakan-hentakan cambuk Ki Lurah Agung Sedayu pun menjadi semakin sering pula.

Ketika Kiai Pituturjati gagal menggapai dada Ki Lurah Agung Sedayu, Kiai Pituturjati tidak sempat menghindari sepenuhnya kejaran ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu. Pada saat Kiai Pituturjati itu melenting tinggi untuk mengambil jarak, ujung cambuk yang dihentakkan dengan kekuatan sepenuhnya sempat mengenai pahanya.

Kiai Pituturjati mengumpat kasar. Dengan nada tinggi iapun berkata, “Pada saat aku mengetrapkan ilmuku Lembu Sekilan, tidak seorangpun mampu melukai aku.”

“Aku adalah orang lain dari mereka yang bertempur melawanmu itu, Kiai. Bukankah kita baru bertemu kali ini?”

“Jangan berbangga, Aku akan segera membunuhmu.”

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu kemudian siap untuk menyerang, maka tiba-tiba saja Kiai Pituturjati itu pun tertawa. Suara tertawanya naik meninggi menggetarkan udara. Daun-daun pepohonan pun telah berguncang, sehingga yang sudah mulai menguning telah berguguran di tanah.

Ki Lurah Agung Sedayu pun tertegun. Padang perdu itu rasa-rasanya memang telah berguncang.

“Gelap Ngampar,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun Aji Gelap Ngampar itu bagi Ki Lurah Agung Sedayu tidak terlalu banyak berpengaruh. Dengan tenaga dalam serta daya tahannya yang sangat dalam dari lapisan ilmu kebalnya, Aji Gelap Ngampar itu tidak terlalu berpengaruh. Namun orang-orang yang lain harus mengerahkan daya tahannya untuk melawan kekuatan Aji Gelap Ngampar itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan, telah memusatkan nalar budinya, sehingga kekuatan Aji Gelap Ngampar itu tidak merontokkan isi dadanya.

Dalam pada itu, para prajurit Mataram pun telah terpengaruh pula oleh kekuatan Aji Gelap Ngampar itu. Dada mereka bagaikan telah dihentak-hentak oleh kekuatan yang sangat besar. Beberapa orang mencoba melindungi telinganya dengan telapak tangannya. Tetapi getar ilmu Gelap Ngampar itu bagaikan menghentak-hentak dada. Sementara itu, para pengikut Kiai Pituturjati sendiri nampaknya juga terpengaruh oleh lontaran Aji Gelap Ngampar. Tetapi arah Kiai Pituturjati menghadap juga mempengaruhinya. Pengaruh terbesar Aji Gelap Ngampar itu telah menimpa para prajurit Mataram.

“Ini tidak adil, Kiai,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kenapa?” bertanya Kiai Pituturjati di sela-sela suara tertawanya.

“Yang berperang tanding adalah aku dan kau. Dalam hal ini, Ajimu Gelap Ngampar tidak berpengaruh sama sekali terhadapku. Tetapi orang-orang yang berdiri di luar arena justru mengalami ketegangan yang sangat. Bahkan dada mereka terasa sakit, dan mungkin sekali ada satu dua di antara mereka yang tidak tahan lagi mendengarnya.”

“Aku tidak peduli. Tetapi serangan ini tertuju kepadamu.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia bersiap untuk menyerang Kiai Pituturjati sehingga ia tidak sempat melontarkan Aji Gelap Ngamparnya.

Dengan serta merta Ki Lurah pun mengerahkan tenaganya. Cambuknya berputar cepat sekali. Kemudian serangannya datang menghentak-hentak.

Ki Pituturjati berloncatan menghindari serangan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia memang tidak tertawa lagi, tetapi Kiai Pituturjati itu justru berteriak-teriak keras sekali. Namun pengaruhnya justru tidak menguntungkan bagi para prajurit Mataram. Teriakan-teriakan Kiai Pituturjati yang menghentak-hentak itu membuat jantung para prajurit itu semakin sakit.

Suara Kiai Pituturjati, terutama yang bernada tinggi, rasa-rasanya bagaikan mengiris jantung. Pedih sekali. Ki Lurah Agung Sedayu tidak mempunyai cara lain untuk meredakan teriakan-teriakan yang sangat menyakitkan itu kecuali dengan membungkam sumbernya. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu pun menyadari bahkan Kiai Pituturjati yang berilmu tinggi itu tentu tidak mudah ditundukkannya.

Sementara itu, meskipun para pengikut Kiai Pituturjati juga terpengaruh oleh Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh Kiai Pituturjati, tetapi mereka tidak mengalami kepedihan seperti para prajurit Mataram yang jantungnya bagaikan teriris oleh tajamnya Aji Gelap Ngampar itu. Agaknya pengaruh kemana Kiai Pituturjati menghadap, memang cukup besar.

Ki Lurah Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas itu pun dapat menangkap kenyataan itu. Karena itu, maka hampir saja Ki Lurah Agung Sedayu memerintahkan para prajuritnya untuk berbaur dengan para pengikut Ki Pituturjati. Jika mereka berbuat curang dan mendahului menyerang, maka para prajurit Mataram akan dapat menghancurkan mereka tanpa mengganggu perang tanding itu.

Tetapi sebelum perintah itu diteriakkan, maka Glagah Putih telah mengambil sebuah benda kecil dari kantong ikat pinggangnya yang lebar. Sebuah rinding.

“Aku akan mencobanya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian terdengar suara rinding yang dimainkan oleh Glagah Putih. Suaranya memang tidak terlalu keras. Tetapi suara rinding itu telah menggetarkan udara di padang perdu itu.

Dalam pada itu, telah terjadi benturan ilmu yang dilontarkan oleh Kiai Pituturjati lewat Aji Gelap Ngamparnya, dengan getar suara rinding yang dimainkan oleh Glagah Putih. Suara rinding itu ternyata sangat berpengaruh. Rasa-rasanya bunyi suara rinding itu bagaikan titik-titik air yang menyiram setiap jantung yang terpanggang oleh Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh Kiai Pituturjati.

Glagah Putih memang harus mengakui bahwa ia harus mengerahkan ilmu serta tenaga dalamnya untuk dapat mengimbangi Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh Kiai Pituturjati. Tetapi karena Kiai Pituturjati tidak hanya memusatkan nalar budinya untuk melontarkan Aji Gelap Ngampamya, tetapi ia masih harus melawan serangan Ki Lurah Agung Sedayu, maka ternyata bahwa suara rinding Glagah Putih masih mampu menahan getar Aji Gelap Ngamparnya.

Suara rinding Glagah Putih itu telah menyengat perasaan Kiai Pituturjati. Dengan kemarahan yang menggelegak iapun berteriak masih dengan lontaran Aji Gelap Ngampar, “Kau curang, bocah edan. Kau telah mencampuri perang tanding yang sedang kami lakukan.”

“Tidak!” Glagah Putih pun berteriak. Namun kemudian rinding itu telah melekat lagi di mulutnya.

“Kenapa kau bunyikan rindingmu untuk melawan Aji Gelap Ngampar?”

Glagah Putih berteriak menjawab, “Kau-lah yang telah menyerang kami yang tidak terlibat dalam perang tanding itu. Sedangkan lawanmu dalam perang tanding itu sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakan-teriakan itu. Tetapi justru kami yang tidak terlibat dalam perang tanding itu-lah yang harus mengalami tajamnya Aji Gelap Ngampar. Karena itu, adalah hak kami untuk mempertahankan diri.”

“Kau tidak hanya sekedar mempertahankan dirimu. Tetapi kau sudah mempengaruhi suasana di medan ini.”

“Seranganmu juga melebar ke seluruh medan.”

“Setan kau! Aku bunuh kau setelah aku membunuh lurah prajurit yang sombong itu.”

Tetapi Kiai Pituturjati tidak sempat berbicara lebih panjang lagi. Cambuk Ki Lurah Agung Sedayu telah menghentak lagi. Tanpa suara, tetapi justru mendebarkan jantung Kiai Pituturjati. Keduanya pun kemudian telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Kiai Pituturjati tidak lagi melontarkan serangan lewat Aji Gelap Ngampar, karena kekuatan Aji Gelap Ngampar itu sama sekali tidak berpengaruh atas Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, serangan-serangan Kiai Pituturjati-lah yang menjadi semakin garang. Kerisnya yang besar itu terayun-ayun mengerikan. Ayunan keris itu ternyata mampu menembus perisai ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi sebaliknya, serangan-serangan Ki Lurah Agung Sedayu pun menjadi semakin cepat. Cambuknya pun berputar semakin cepat pula. Kemudian menebas dengan garangnya mendatar, menyambar ke arah lambung.

Seperti kekuatan dan kemampuan Kiai Pituturjati yang mampu menembus ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu, maka ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu pun mampu pula menguak Aji Lembu Sekilan Kiai Pituturjati. Karena itu, meskipun keduanya sudah mengetrapkan ilmu yang dapat menjadi perisai tubuh mereka, namun ternyata senjata lawan masih juga mampu menggores di kulit mereka, betapapun tipisnya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Para pengikut Srengga Sura yang datang bersama Kiai Pituturjati menjadi sangat tegang seperti para prajurit Mataram.

Kiai Pituturjati serta Ki Lurah Agung Sedayu, yang keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh itu, berloncatan dengan cepatnya. Keduanya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan. Keris Kiai Pituturjati menyambar-nyambar seperti sambaran kilat di udara. Sementara itu cambuk Ki Lurah Agung Sedayu pun menghentak-hentak sendal pancing.

Ki Lurah Agung Sedayu meloncat mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak ketika ujung keris Kiai Pituturjati yang panjang itu menggores dadanya. Namun Kiai Pituturjati tidak mau melepaskan kesempatan itu. Dengan cepat Kiai Pituturjati pun meloncat memburunya.

Tetapi Kiai Pituturjati itu terkejut ketika tiba-tiba saja ujung cambuk Ki Lurah menyongsongnya. Sebelum Kiai Pituturjati sempat mengelak, ujung cambuk itu sudah menguak menyusup di antara Aji Lembu Sekilannya, mengenai dadanya.

Kiai Pituturjati-lah yang kemudian terdorong surut. Bahkan Kiai Pituturjati pun telah meloncat pula beberapa langkah untuk mengambil jarak. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak memburunya. Tetapi selangkah demi selangkah Ki Lurah itu pun melangkah mendekatinya

“Lurah yang satu ini memang lain,” berkata Kiai Pituturjati di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Kiai Pituturjati merasa bahwa ilmu Ki Lurah Agung Sedayu itu akan sulit untuk diatasi. Meskipun demikian, Kiai Pituturjati yang yakin akan kemampuannya itu tidak akan berhenti. Betapapun sulitnya, Kiai Pituturjati bertekad untuk dapat mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka dikerahkannya segala macam ilmu yang pernah disadapnya.

Ketika kemudian benturan-benturan yang keras terjadi, maka Ki Lurah Agung Sedayu merasakan udara panas mulai berhembus ke arahnya.

“Ilmu apalagi yang akan dilontarkan oleh Kiai Pituturjati itu?” bertanya Ki Lurah di dalam hatinya.

Namun pertanyaan itu pun segera terjawab. Tiba-tiba saja dari ujung keris Kiai Pituturjati telah dihembuskan udara yang sangat panas. Bahkan kemudian lidah api pun bagaikan dilontarkan ke arah Ki Lurah Agung Sedayu. Lidah api itu pun kemudian seakan-akan meledak menghambur ke segala arah.

“Minggir!” teriak Ki Lurah Agung Sedayu.

Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun segera merentangkan tangannya, memberi isyarat kepada para prajurit untuk bergeser mundur beberapa langkah. Lidah api itu akan sangat berbahaya bagi mereka, meskipun mereka tidak terlihat dalam perang tanding itu.

“Aji Alas Kobar,” geram Ki Lurah Agung Sedayu yang meloncat ke samping. Api itu memang menjilatnya. Tetapi Aji Alas Kobar itu tidak setajam ujung keris Kiai Pituturjati yang mampu menembus ilmu kebalnya dan melukai kulitnya. Meskipun panas Aji Alas Kobar itu terasa oleh Ki Lurah Agung Sedayu tetapi jilatan apinya tidak mampu melukai kulitnya.

Kiai Pituturjati menggeram. Tetapi ia tidak menghentikan serangan-serangannya. Kemanapun Ki Lurah Agung Sedayu menghindar, maka Kiai Pituturjati telah menyerangnya dengan Ajinya Alas Kobar.

Namun ketika Ki Lurah Agung Sedayu berloncatan memutar dan berdiri di depan para pengikut Srengga Sura yang ikut datang ke padang perdu itu bersama Kiai Pituturjati, maka Kiai Pituturjati itu pun menggeram, “Kau licik, Ki Lurah.”

“Kenapa?”

“Kenapa kau berdiri di situ?”

“Ya, kenapa? Bukankah aku tidak menyalahi tatanan perang tanding?”

Kiai Pituturjati itu pun kemudian berteriak, “Minggir! Semuanya minggir! Jika kalian terbakar oleh api Aji Alas Kobar, bukan tanggung jawabku.”

Para pengikut Sura Srengga itu pun dengan serta-merta menghambur menjauhi arena. Demikian mereka berlari-larian, maka Kiai Pituturjati telah melontarkan lagi Aji Alas Kobar.

Tetapi Kiai Pituturjati terkejut. Sasarannya tidak lagi seorang Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba saja ada tiga orang Agung Sedayu yang berdiri di hadapanya.

Kiai Pituturjati menggeram. Dengan nada tinggi iapun berteriak, “Kau bermain-main dengan Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari.”

“Kita memang sedang bermain-main, Kiai,” jawab salah seorang di antara ketiga orang Agung Sedayu itu.

“Aku tahu kau telah melontarkan bayangan semu. Kau kira aku tidak dapat menemukan Agung Sedayu yang sejati?”

“Temukan. Aku yakin bahwa kau mampu. Tetapi untuk itu kau memerlukan waktu, Kiai. Sementara itu, aku sempat menyerangmu dari arah yang belum sempat kau ketemukan.”

“Kau licik, Ki Lurah.”

“Sejak tadi kau selalu menuduhku licik.”

“Kenapa kita tidak bertempur dengan tanggon? Kenapa kita harus bersembunyi di balik segala macam permainan yang kotor ini?”

“Terserah kepadamu.”

“Marilah kita membuat janji. Kita bertempur dengan kemampuan olah kanuragan. Kita tidak akan terperosok lagi dalam permainan yang kotor ini.”

Ketiga sosok Lurah Agung Sedayu itu terdiam sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka pun berkata, “Baik. Aku tidak berkeberatan. Tetapi kita harus bersikap jujur.”

“Aku tidak mau mengorbankan nama besarku hanya sekedar melayani seorang lurah prajurit.”

Sejenak kemudian suasana menjadi hening. Ketiga sosok Agung Sedayu itu pun kemudian bergeser saling mendekati. Kemudian ketiganya telah menyatu kembali.

Para pengikut Srengga Sura yang menunggui Kiai Pituturjati itu mengusap mata mereka. Mereka melihat suatu yang tidak dapat masuk di akal mereka. Mereka memang tidak dapat membedakan antara bayangan semu dengan kenyataan yang bukan saja mewujud, tetapi kenyataan keberadaannya. Bagi mereka, Kiai Pituturjati sudah sering menunjukkan berbagai macam kemampuan yang tidak masuk di akal mereka. Tetapi apa yang dilihatnya pada lurah prajurit itu telah membuat jantung mereka berdegup semakin keras.

Adalah sewajarnya jika Srengga Sura tidak dapat mengimbangi kemampuannya, bahkan ditebus dengan kematiannya.

Sementara itu, para prajurit Mataram sendiri menjadi berdebar-debar. Mereka sudah pernah menyaksikan kelebihan Ki Lurah Agung Sedayu. Namun mereka masih saja terheran-heran.

“Seorang senapati yang berpangkat Tumenggung pun sulit dapat mengimbangi kemampuan Ki Lurah,” berkata para prajurit Mataram itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu dan Kiai Pituturjati sudah berhadapan lagi. Kiai Pituturjati dengan kerisnya yang besar dan panjang, melampaui ukuran keris kebanyakan. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu menggenggam cambuk di tangannya. Keduanya pun segera telah terlibat dalam pertempuran yang sangat seru. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Kaki-kaki mereka rasa-rasanya tidak lagi berjejak di atas tanah. Sementara itu, sentuhan-sentuhan senjata mereka tidak selalu dapat menembus lapisan ilmu kebal masing-masing. Hanya serangan senjata mereka yang sempat dilambari dengan sepenuh tenaga dan kemampuan sajalah yang berhasil menembus ilmu kebal masing-masing, serta menyentuh tubuh mereka.

Meskipun demikian, maka goresan-goresan ujung keris Kiai Pituturjati di tubuh Ki Lurah Agung Sedayu menjadi semakin banyak. Tetapi kulit Kiai Pituturjati pun sempat terkoyak oleh ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu.

Sebenarnyalah bahwa kemampuan ilmu cambuk yang sudah sampai ke puncak itu benar-benar sulit untuk dibendung dengan jenis ilmu kebal yang manapun. Karena itulah, maka darah pun menjadi semakin banyak mengalir dari luka-luka di tubuh Kiai Pituturjati.

Kemarahan semakin menyala di dada orang itu. Karena itu, maka Kiai Pituturjati itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Lambaran ilmunya serta tenaga dalamnya. Tetapi ilmu cambuk yang tuntas dari Ki Lurah Agung Sedayu, ternyata terlalu sulit untuk diatasinya. Itulah sebabnya, maka Kiai Pituturjati tidak dapat lagi bertahan dengan mengandalkan kemampuan keris di tangannya. Karena itu, maka Kiai Pituturjati pun tidak lagi dapat mengekang dirinya untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya.

Ternyata di dalam diri Kiai Pituturjati memang tersimpan berbagai macam ilmu. Ia tidak lagi mempergunakan Aji Alas Kobar-nya, tetapi Kiai Pituturjati telah berhasil mengembangkan Aji Sapu Angin. Tidak saja hembusan udara yang sangat kuat, tetapi dipadukannya dengan kemampuan ilmunya Aji Alas Kobar, sehingga Aji Sapu Anginnya telah meluncurkan udara yang sangat kuat serta panas, melampaui Aji Alas Kobar.

Ketika Kiai Pituturjati memanfaatkan waktunya sekejap untuk memusatkan nalar budinya, maka terasa gejolak di dada Ki Lurah Agung Sedayu. Agaknya Kiai Pituturjati tidak sekedar mempergunakan kemampuan olah kanuragan. Tetapi agaknya Kiai Pituturjati siap untuk melontarkan ilmu pamungkasnya yang paling dahsyat. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan dirinya pula menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah, sesaat kemudian Pituturjati telah menggenggam kerisnya dengan kedua belah tangannya. Dari ujung kerisnya yang besar dan panjang itu, tiba-tiba saja telah meluncur hembusan angin yang kuat sekali, namun yang panasnya melampaui bara api. Namun ketajaman mata Agung Sedayu yang berilmu sangat tinggi itu melihat serangan yang meluncur dari ujung keris lawannya, mengarah ke dadanya. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu itu pun segera merendah dan berlutut pada satu lututnya.

Pada saat itu pula, Agung Sedayu telah menyerang dengan kemampuan ilmu puncaknya pula. Sorot matanya yang tajam, yang memancarkan kekuatan ilmunya yang jarang ada tandingnya, telah membentur serangan Kiai Pituturjati. Benturan ilmu yang sangat tinggi itu merupakan benturan yang sangat dahsyat. Bukan saja pada saat terjadi benturan, tetapi getar ilmu itu seakan-akan telah memantul pada garis serangan masing-masing.

Tetapi ternyata bahwa kekuatan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu masih lebih tinggi dari kekuatan ilmu Kiai Pituturjati. Karena itu, maka pantulan ilmu yang berbenturan itu pun lebih tajam mengarah kepada Kiai Pituturjati.

Keduanya memang tergetar. Karena Ki Lurah Agung Sedayu berlutut pada satu lututnya, maka kedudukannya lebih mantap dari lawannya. Meskipun tubuhnya berguncang, tetapi Ki Lurah tidak bergeser dari tempatnya. Ki Lurah Agung Sedayu merasakan juga pantulan getaran yang ternyata masih mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi daya tahan tubuh Ki Lurah masih mampu mengatasinya.

Sementara itu, Kiai Pituturjati telah terdorong beberapa langkah surut. Meskipun demikian, Kiai Pituturjati masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Kiai Pituturjati tidak jatuh terlentang di tanah.

Dalam waktu yang singkat, Ki Lurah Agung Sedayu harus mengambil keputusan terhadap lawannya. Bagi Ki Lurah, Kiai Pituturjati adalah orang yang sangat berbahaya. Dengan ilmunya yang tinggi, Kiai Pituturjati tidak ikut membantu memberikan perlindungan serta ketenangan bagi mereka yang memerlukan, tetapi sebaliknya. Dengan ilmunya yang tinggi, Kiai Pituturjati telah terperosok ke dalam kubangan lumpur yang hitam. Kehadirannya di bumi akan dapat menimbulkan keresahan dan bahkan ketakutan bagi banyak orang. Kiai Pituturjati merupakan musuh dari keadilan dan kedamaian.

Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu dalam kesempatan yang pendek telah mengambil keputusan untuk memusnahkannya, demi kepentingan banyak orang. Itulah sebabnya, sebelum Kiai Pituturjati dapat memperbaiki keadaannya, maka Ki Lurah Agung Sedayu, tanpa bangkit berdiri, telah menyerang Kiai Pituturjati sekali lagi.

Sorot matanya bagaikan memancarkan sinar yang tajam, meluncur langsung mengarah ke dada Kiai Pituturjati.

Kiai Pituturjati yang berilmu tinggi itu sempat melihat serangan itu. Namun ia tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengelak atau membentur serangan itu, justru karena Kiai Pituturjati sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah terguncang dan terdorong surut.

Karena itu, serangan Ki Lurah Agung Sedayu yang meluncur lewat sorot matanya itu telah menghantam dada Kiai Pituturjati. Ternyata Aji Lembu Sekilan Kiai Pituturjati tidak mampu membendung arus serangan Ki Lurah Agung Sedayu itu. Karena itulah, maka Kiai Pituturjati itu bagaikan dilemparkan beberapa langkah surut. Tubuhnya terbanting di tanah seperti sebatang pohon pisang yang roboh.

Terdengar Kiai Pituturjati itu menggeliat. Ia masih berteriak nyaring. Suaranya memancarkan kemarahan dan dendam yang tiada taranya.

Sejenak Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah mendekati tubuh Kiai Pituturjati yang terbaring. Sekar Mirah pun segera mendekatinya sambil berkata, “Hati-hati, Kakang.”

Ki Lurah itu pun mengangguk. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendekat pula.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu berjongkok di sebelah tubuh Kiai Pituturjati yang lemah itu, terdengar Kiai Pituturjati berdesah, “Kau licik, Ki Lurah.”

“Apalagi yang kau anggap licik, Kiai?”

“Kita sudah sepakat untuk bertempur dengan ketrampilan olah kanuragan. Kita tidak akan bermain-main dengan permainan ilmu yang kotor itu.”

“Aku tidak dapat berbuat lain, Kiai. Kau telah menyerang aku dengan ilmumu yang dahsyat. Udara yang kau hembuskan dengan lambaran ilmumu serta panasnya yang tiada taranya, tidak akan terlawan olehku jika aku tidak mempergunakan ilmu andalanku pula.”

“Persetan kau.”

Nafas Kiai Pituturjati pun menjadi tersendat. Suaranya pun menjadi semakin perlahan dan gemetar, “Tetapi aku harus membunuhmu. Orang-orangku akan menumpas semua prajurit yang ada di padang perdu ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Ia tahu bahwa saatnya bagi Kiai Pituturjati telah tiba. Karena itu, Ki Lurah justru membiarkannya, apa saja yang akan dikatakannya.

Tetapi Kiai Pituturjati tidak mengatakan apa-apa lagi. Sejenak terdengar ia mengerang. Namun kemudian iapun terdiam.

Ki Lurah Agung Sedayu bergeser mendekat. Dirabanya leher Kiai Pituturjati. Sambil menarik nafas panjang, Ki Lurah pun berkata, “Kiai Pituturjati sudah berlalu.”

Glagah Putih, Rara Wulan dan Sekar Mirah menundukkan wajah mereka sesaat. Kemudian ketika Ki Lurah Agung Sedayu berdiri, maka yang lain pun berdiri pula.

Kematian Kiai Pituturjati telah membuat para pengikut Srengga Sura menjadi putus asa. Tidak seorangpun yang berani melawan para prajurit Mataram. Karena itu, maka mereka pun segera menyerahkan diri. Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah memanggil orang yang dianggap tertua di antara para pengikut Srengga Sura, untuk membicarakan beberapa hal yang dianggapnya penting.

Dalam pembicaraan dengan orang yang dituakan di padepokan yang dipimpin oleh Srengga Sura itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah memutuskan, untuk tidak membawa semua tawanan ke Mataram. Beberapa orang yang dianggap orang-orang terpenting setelah Srengga Sura, serta beberapa orang berilmu tinggi, akan dibawa ke Mataram sebagai tawanan.

“Setelah semuanya diselesaikan, kami akan singgah di padepokanmu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Ki Lurah masih akan singgah di padukuhan terdekat untuk memakamkan prajuritnya yang gugur.

“Mungkin sekali pada suatu saat kita akan memindahkannya,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Di hari berikutnya, Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajuritnya sudah berada di sebuah padepokan yang terletak agak terpencil di antara gumuk-gumuk kecil. Padepokan yang berdiri di atas tanah yang agak luas. Menurut penglihatan Ki Lurah Agung Sedayu, padepokan itu nampaknya sebagaimana kebanyakan padepokan yang lain, didukung oleh tanah pertanian di sekitarnya. Sebagian dari tanah pertanian itu adalah tanah yang subur di ngarai yang datar. Namun sebagian terletak di tanah tadah udan, yang hanya dapat menanam padi sekali dalam setahun. Sedangkan yang lain lagi adalah tanah pategalan yang kering, yang hanya dapat ditanami padi gaga dan palawija.

Padepokan itu mempunyai pula beberapa kolam untuk beternak berbagai jenis ikan. Sedangkan di sisi yang lain terbentang padang rumput dan padang perdu untuk menggembala ternak.

“Padepokan ini bukan padepokan yang miskin,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada Dukut, orang yang dituakan, salah seorang yang akan menjadi tawanan dan dibawa ke Mataram. Dukut mengangguk kecil.

“Tetapi kenapa kalian masih melakukan pekerjaan yang nista itu?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ki Srengga Sura yang menghendakinya,” jawab Dukut. “Tidak seorangpun yang berani melawan kehendaknya.”

“Bagaimana dengan gurunya yang menamakan dirinya Kiai Pituturjati itu?”

“Kiai Pituturjati-lah yang mendorongnya untuk melakukan pekerjaan yang keliru itu.”

“Tetapi nampaknya kalian melakukannya dengan mantap.”

“Kami tidak dapat berbuat lain. Bahkan semakin lama kami menjadi semakin terbiasa, sehingga akhirnya pekerjaan itu menjadi bagian dari kehidupan kami.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata, “Kalian pernah membantai sekelompok prajurit yang melewati daerah ini?”

“Ya. Ki Srengga Sura-lah yang bertanggungjawab.”

“Prajurit dari mana?”

“Prajurit dari Demak.”

“Bagaimana kau dapat membantai para prajurit itu, dan tugas apa yang diemban oleh para prajurit sehingga mereka lewat di daerah ini?”

“Kami telah menjebak mereka. Mereka adalah sekelompok prajurit yang sedang mengumpulkan upeti dan pajak dari beberapa kademangan. Para Demang itu merasa keberatan untuk membawa upeti dan pajak itu ke Demak, karena jalan-jalan terasa tidak aman oleh para penyamun dan perampok.”

“Para prajurit itu tidak berdaya menghadapi kalian?”

“Kami telah menjebaknya. Kami mempersilahkan mereka singgah. Kami ingin menitipkan upeti kami bagi Demak. Namun kami menyergap mereka pada saat mereka sedang makan, sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melawan.”

“Kalian membunuh mereka sampai orang terakhir?”

Dukut menundukkan kepalanya.

“Kejahatan yang sulit untuk dibayangkan.”

“Srengga Sura-lah yang bertanggungjawab,” ulang Dukut.

Para prajurit Mataram itu berhenti sehari semalam di padepokan itu. Atas petunjuk Semanta dan Dukut, mereka telah menemukan tempat menyimpan harta benda yang banyak sekali. Tidak di padepokan itu, tetapi di sebuah goa yang terpencil dan sulit untuk didatangi.

“Apakah kalian dapat menyebutkan, harta benda milik siapa saja yang kalian rampas dan kalian sembunyikan di sini?”

“Kami tidak dapat ingat lagi. Kami merampok, menyamun dan merampas apa saja yang kami anggap berharga. Bahkan di pasar-pasar dan di tempat seseorang yang sedang menyelenggarakan perhelatan.”

Ki Lurah Agung Sedayu memutuskan untuk membawa benda-benda berharga itu ke Mataram.

“Kami tidak tahu, kebijaksanaan apa yang akan diambil oleh para pemimpin Mataram atas harta benda itu. Tetapi menurut dugaanku, harta benda ini akan dikembalikan ke Demak. Meskipun tidak akan sampai ke tangan pemiliknya lagi karena sudah tidak dapat dikenali, namun harta benda yang bernilai sangat tinggi ini akan tetap berada di Demak.”

Dukut tidak dapat mencegahnya.

Demikianlah, benda-benda berharga itu pun kemudian dikeluarkan dari persembuyiannya dan dimuat ke dalam pedati. Sungsang yang tetap saja terikat, mengumpat-umpat ketika ia melihat benda-benda berharga itu akan dibawa ke Mataram.

“Ternyata kalian juga perampok seperti kami.”

“Tidak. Kami tidak akan merampok benda-benda berharga ini, karena kami akan menyerahkannya kepada para pemimpin di Mataram.”

Tetapi Sungsang yang terikat itu berteriak, “Omong kosong! Kalian akan membagi benda-benda berharga itu kepada para prajuritmu.”

“Kau dan beberapa orang akan menjadi saksi, bahwa semuanya itu nanti akan kami serahkan kepada para pemimpin di Mataram.”

“Kalian akan membunuh kami di sepanjang perjalanan.”

“Jika kami ingin membunuh kalian, kami akan membunuh sekarang. Untuk melakukannya lebih mudah bagi kami. Kami tinggalkan mayat kalian serta beberapa orang yang akan kami biarkan hidup untuk mengubur kalian. Tidak akan ada seorangpun yang percaya, seandainya orang-orang yang masih hidup itu melaporkan peristiwa yang terjadi itu kepada siapapun.”

“Bohong! Kalian adalah pembunuh dan perampok yang paling kejam.”

“Kami tidak menjebak dan membunuh sekelompok prajurit dengan cara yang licik dan curang.”

Sungsang masih saja berteriak-teriak. Namun kemudian Glagah Putih telah menyumbat mulutnya dengan sehelai kain.

Ketika malam turun, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan beberapa pesan kepada para pengikut Srengga Sura yang akan ditinggalkan di padepokannya. Mereka tidak akan dapat memilih jalan yang manapun juga kecuali menemukan jalan kembali.

“Pelihara padepokan ini baik-baik. Hubungi para pemimpin Demak yang baru. Ceritakan apa yang telah terjadi di sini. Kalian tentu akan mendapat petunjuk, apa yang sebaiknya kalian lakukan.”

“Baik, Ki Lurah,” jawab beberapa orang hampir berbareng.

Malam itu, para prajurit Mataram justru berjaga-jaga dengan kewaspadaan yang tinggi. Benda-benda berharga yang disembunyikan di goa di sebuah bukti kecil, telah berada di padepokan. Besok pagi benda berharga itu akan dibawa ke Mataram. Beberapa orang yang besok akan ikut ke Mataram telah dikumpulkan di satu ruangan, dijaga oleh sekelompok prajurit dengan senjata terhunus.

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih hampir semalam suntuk tidak tidur. Baru menjelang dini hari keduanya sempat terlena sejenak. Namun beberapa saat kemudian telah terdengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya di malam itu.

Para prajurit Mataram itu pun segera bersiap. Mereka tidak menghiraukan Sungsang yang berteriak-teriak mengumpat. Bahkan iapun berteriak-teriak, “Bunuh aku! Bunuh aku!”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Berlakulah jujur. Kau tidak usah berteriak-teriak minta dibunuh. Aku tahu bahwa sebenarnya kau ingin hidup. Tetapi Srengga Sura atau gurunya yang menamakan dirinya Kiai Pituturjati telah meracuni otakmu, sehingga seakan-akan kematian akan sama artinya dengan kepahlawanan.”

“Persetan dengan celotehmu.”

“Tetapi Srengga Sura dan gurunya, Kiai Pituturjati yang tidak pernah memberikan pitutur itu, sudah terbunuh di pertempuran, sehingga kau tidak usah menghiraukannya lagi. Yakini bahwa nalurimu untuk tetap hidup itu adalah wajar. Jika kau mempunyai kesempatan untuk hidup, itu adalah wajar. Jika kau mempunyai kesempatan untuk hidup, kenapa kau harus membunuh diri? Kematianmu akan sia-sia, dan namamu justru akan dicampakkan sebagai seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan.”

“Jika kau tidak membunuhku sekarang, aku akan membunuhmu kelak.”

“Aku sudah mendengar ancaman seperti itu beberapa kali. Tetapi aku tidak pernah menghiraukannya. Aku justru merasakan kesejukan jika aku berhasil membujuk seseorang yang telah berputus-asa menjadi berubah, dan memandang dunia ini dengan penuh pengharapan.”

“Jangan gurui aku.”

“Kau hanya mau mendengarkan nasehat dari gurumu yang bernama Pituturjati? Kau tahu arti kata pitutur sejati?”

“Diam! Diam!”

Ki Lurah Agung Sedayu memang terdiam. Tetapi ia mempunyai keyakinan bahwa di sepanjang jalan, Sungsang akan merenungi kata-katanya.

Demikianlah, ketika matahari mulai membayang, iring-iringan pasukan Mataram itu pun mulai bergerak. Mereka justru merasa bahwa perjalanan mereka telah mendapatkan beban yang berat, sebagaimana saat mereka berangkat ke Demak mengawal Kanjeng Pangeran Puger.

Di antara pedati-pedati di dalam iring-iringan itu, dua di antaranya berisi benda-benda berharga yang dirampas oleh Ki Lurah Agung Sedayu dari para perampok yang berselubung dengan ujud sebuah perguruan itu. Ki Lurah dan para prajurit Mataram itu menyadari, bahwa di antara mereka yang ditinggalkan di padepokan tentu ada yang sakit hati, serta tidak mau menerima kenyataan tentang diri mereka serta tentang benda-benda berharga itu.

Orang-orang itu akan dapat menjadi sangat berbahaya. Mereka akan dapat menghubungi gerombolan-gerombolan perampok serta mengajak mereka untuk berusaha merampas kembali benda-benda berharga yang dibawa di dalam iring-iringan prajurit itu. Karena itu, maka setiap orang di dalam iring-iringan itu selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula Sekar Mirah dan Rara Wulan, serta Glagah Putih yang berada di ekor iring-iringan itu.

Dukut dan Semanta yang berjalan terpisah dari beberapa orang kawannya yang juga dibawa ke Mataram, sempat berbincang di antara mereka

“Kita tidak tahu, apakah lurah prajurit itu jujur atau tidak,” desis Dukut.

“Nampaknya ia seorang yang jujur,” jawab Semanta.

“Mudah-mudahan kita tidak dibantai di tanggul kali dan mayat kita dihanyutkan ke dalamnya.”

“Meskipun aku belum pernah mengenalnya, tetapi aku percaya kepadanya bahwa ia tidak akan berlaku curang. Aku justru sependapat dengan lurah prajurit itu. Jika ia ingin membunuh kita maka ia akan dapat memerintahkan prajurit-prajuritnya membantai kita di padepokan. Seandainya itu mereka lakukan, aku pun dapat mengerti, karena kita sudah pernah membantai sekelompok prajurit. Tetapi mereka tidak melakukannya.”

Dukut menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan anakmu?”

“Aku sudah menemukan mayatnya.”

“Anakmu terbunuh?”

“Ya. tetapi aku tidak dapat menangisinya.”

“Kenapa?”

“Seberapa waktu berselang, aku menyusuri jalan-jalan di lembah dan perbukitan untuk mencarinya. Bahkan kadang-kadang aku sempat meratap dan menangis kehilangan anak itu. Ketika aku ketemukan, rasa-rasanya aku menemukan kembali dunia yang pernah hilang. Tetapi justru aku telah terjerat ke dalam satu kehidupan yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Tetapi aku tidak dapat keluar lagi. Anakku telah diracuni dan kehilangan pribadinya. Karena itu, ketika aku ketemukan mayatnya, aku sama sekali tidak meratap, apalagi menangis sebagaimana saat aku mencarinya. Aku relakan anak itu pergi meninggalkan dunianya yang telah dinodainya sendiri itu.”

“Setelah terlibat dalam kehidupan yang garang, kau masih juga mengenali duniamu sendiri.”

“Aku tidak pernah melupakannya. Tetapi aku tidak dapat menyeberang ke sana pada waktu itu, karena anakku telah terbelenggu oleh dunia hitamnya Srengga Sura. Aku juga tidak ingin anakku dibunuh oleh Srengga Sura jika aku melarikan diri.”

“Tetapi kepergiannya sekarang tidak kau tangisi.”

“Aku lebih ikhlas anakku dibunuh prajurit Mataram, daripada dibunuh oleh Srengga Sura.”

Dukut menarik nafas panjang.

Ketika seorang prajurit berjalan di sebelahnya, Dukut itu pun bertanya, “Ki Sanak. Siapakah lurah prajurit itu’?”

“Ki Lurah Agung Sedayu,” jawab prajurit itu.

“Aku tahu, Ki Lurah itu namanya Agung Sedayu. Tetapi apa kedudukannya sebenarnya? Apa kelebihannya, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itulah yang ditugaskan untuk mengantar Kanjeng Pangeran Puger ke Demak? Bukankah begitu? Seorang prajurit telah mengatakan kepadaku. Prajurit itu juga mengatakan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu seorang yang mempunyai kedudukan bahkan kewenangan khusus.”

“Kau salah dengar. Ki Lurah tidak mempunyai kewenangan dan kedudukan khusus. Tetapi Ki Lurah adalah pemimpin sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di tanah Perdikan Menoreh.”

“Kenapa Ki Lurah itu yang ditunjuk untuk mengawal Kanjeng Pangeran Puber?”

“Besok, kalau ada kesempatan, bertanyalah kepada Ki Patih Mandaraka di Mataram.”

Dukut menarik nafas panjang. Prajurit itu bergeser sedikit ke depan. Sementara itu, prajurit yang berada di belakangnya tidak mengambil tempatnya di sebelah Dukut dan Semanta.

“Jawaban yang tepat,” desis Semanta.

Dukut tersenyum. Masam sekali. Katanya, “Ya. Pertanyaanku salah alamat. Prajurit itu tentu tidak tahu, kenapa Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang diperintahkan untuk mengawal Kanjeng Pangeran Puber.”

Semanta tidak menjawab lagi. Ketika ia berpaling, ia melihat dua orang prajurit berjalan di belakangnya. Di belakang mereka, beberapa orang kawannya yang juga menjadi tawanan dan dibawa ke Mataram. Di belakang kawan-kawannya itu, beberapa orang prajurit berjalan dengan pedang telanjang.

Di ujung belakang iring-iringan itu, Glagah Putih berjalan di belakang pedati yang memuat peralatan yang dibawa sejak dari Mataram. Justru seorang prajurit yang bertugas untuk mengurus perlengkapan itu-lah yang bertengger di punggung kudanya. Seorang kawannya tiba-tiba saja berhenti sambil berkata, “Ganti aku yang menunggang kuda. Aku sudah letih berjalan.”

“Jangan. Lebih baik kau berjalan. Bukankah aku terluka dalam pertempuran di padang perdu itu?”

“Edan kau. Lukamu hanya segores kecil seperti dicakar anak ayam saja, kau sudah mengeluh sejak kita berangkat tadi pagi.”

“Aduh, pedihnya luka itu. Tolong pamitkan aku kepada anak istriku, jika aku tidak dapat sampai ke rumah.”

“Jangan berkata begitu,” berkata kawannya yang lain, “nanti kata-katamu itu numusi.”

“Maksudmu?”

“Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Bahkan mungkin kami harus menyampaikan pesanmu itu.”

“Tidak, tidak. Jangan, jangan terjadi.”

Kawannya menyahut dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh, “Jika demikian, jangan berpura-pura sakit. Kau dapat berpura-pura apa saja. Tetapi jangan yang satu itu. Apalagi dengan mengucapkan pesan seperti itu.”

“Baik, baik. Aku tidak bersungguh-sungguh.”

“Jika demikian, kenapa kau masih saja tetap berada di punggung kuda itu?”

“Baik. Aku akan turun.”

Namun, demikian orang itu meloncat turun, maka kawannya yang menakut-nakuti itulah yang segera meloncat ke punggung kuda.

“He. Kenapa kau yang naik kuda itu? Aku yang sejak tadi menunggu giliran.”

“Salahmu. Kau tidak berhasil memaksanya turun. Aku-lah yang dapat memaksanya turun, sehingga aku-lah yang berhak untuk naik kuda itu sekarang.”

“Edan,” geram kawannya yang lebih dahulu menyatakan keinginannya naik kuda itu.

Dalam pada itu, iring-iringan itu masih saja berjalan seperti siput, justru karena lembu yang menarik pedati tidak dapat berjalan lebih cepat.

Ketika iring-iringan itu berhenti di padang perdu yang terbentang tidak jauh dari sebuah hutan yang lebat, maka para prajurit yang bertugas telah sibuk menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit itu, dibantu oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Para prajurit mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi sekelompok di antara mereka harus tetap berjaga-jaga. Pedati yang memuat benda-benda berharga telah mendapat penjagaan yang khusus.

Ketika para prajurit dan para tawanan mendapat kesempatan untuk makan, maka dua orang prajurit telah mendatangi Sungsang yang terikat sambil membawa sebungkus nasi. Glagah Putih-lah yang kemudian membuka sumbat mulutnya sambil berkata, “Makanlah. Bukankah kau juga lapar?”

Tetapi Sungsang itu justru berteriak mengumpat-umpat.

“Sungsang,” berkata Glagah Putih, “jika kau masih berteriak-teriak, maka aku akan menyumbat mulutmu lagi. Aku justru akan mencari sobekan kain yang sangat kotor dan berdebu.”

“Lepaskan ikatanku! Kita berkelahi! Aku akan menyumbat mulutmu dengan tumitku.”

“Jangan berkata begitu. Kau sudah kalah. Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.”

“Jika demikian, kenapa kau tidak membunuhku?”

“Bukan kami yang membuat keputusan. Biarlah para pemimpin di Mataram yang menentukan hukuman apakah yang harus kau sandang. Mungkin kau memang akan dihukum mati. Tetapi masih ada kemungkinan lain. Karena itu, jangan membuat ulah.”

“Persetan dengan sesorahmu. Jika di Mataram nanti aku juga akan dijatuhi hukuman mati, kenapa tidak kau bunuh saja aku sekarang?”

“Belum tentu. Mungkin kau akan mendapat hukuman lain.”

“Aku tidak peduli.”

“Makanlah.”

“Tidak. Aku tidak perlu makan. Tetapi jika kau berani membuka ikatan tangan dan kakiku, maka aku akan membunuhmu.”

“Kau mau makan atau tidak?”

“Tidak.”

Glagah Putih tidak dapat mengulur kesabarannya lagi. Karena itu, maka iapun telah menyumbat lagi mulut Sungsang, meskipun Sungsang meronta-ronta. Tetapi ikatan tangan dan kakinya yang kuat masih tetap saja menjeratnya. Salah seorang dari kedua orang prajurit yang membawa makan dan minum bagi Sungsang itu menggeram, “Kenapa orang itu tidak dicekik saja sampai mati?”

Kawannya pun menyahut, “Aku juga tidak telaten. Hampir saja sebungkus nasi inilah yang aku sumbatkan ke mulutnya.”

Namun para prajurit itu tidak peduli lagi, apakah Sungsang akan mati kelaparan atau tidak.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu oleh Glagah Putih, Ki Lurah itu pun berkata, “Kau tidak membujuknya?”

“Bagaimana aku dapat membujuknya? Sebelum aku berkata apa-apa, orang itu sudah mengumpat-umpat. Bahkan menantangku untuk berkelahi.”

“Lalu, kau apakan orang itu?”

“Tidak aku apa-apakan. Aku menyumbat lagi mulutnya agar ia tidak berteriak-teriak saja.”

Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, “Biarlah nanti aku menemuinya.”

“Buat apa Kakang menemuinya? Orang itu sudah gila. Jika Kakang menemuinya, maka Kakang hanya akan menambah cepat denyut jantung Kakang.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Namun Ki Lurah memang tidak segera menemuinya. Ki Lurah berharap bahwa malam nanti orang itu akan merasa lapar, sehingga ia akan mau makan apa adanya.

Beberapa saat kemudian, setelah para prajurit itu cukup lama beristirahat, maka iring-iringan itu pun segera melanjutkan perjalanan menuju ke Mataram. Jalan yang mereka lalui memang agak rumpil, tetapi agak lebih dekat dari jalan yang lain. Tetapi perjalanan ke Mataram memang jauh. Apalagi pasukan itu bagaikan siput yang merayap sangat perlahan. Para prajurit itu tidak dapat memaksa lembu-lembu yang menarik pedati itu berjalan lebih cepat.

Karena itu, maka pasukan itu masih harus bermalam lagi di perjalanan. Jika sebelumnya mereka berharap untuk dapat menempuh perjalanan itu lebih cepat dari pada saat mereka berangkat ke Demak, ternyata bahwa mereka mengalami banyak hambatan di perjalanan. Sehingga akhirnya waktu yang diperlukan oleh pasukan itu di perjalanan pulang tidak lebih cepat dari saat mereka berangkat.

Namun akhirnya pasukan itu telah turun ke jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang kota.

Meskipun pintu gerbang kota masih belum kelihatan, tetapi rasa-rasanya para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah tiba di rumah. Mereka masih akan bermalam di Mataram barang dua malam, sebelum mereka kembali ke barak mereka di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di Mataram para prajurit itu merasa sudah berada di rumah sendiri.

Semakin dekat mereka dengan pintu gerbang kota, mereka merasa lembu-lembu yang menarik pedati itu menjadi semakin lamban. Rasa-rasanya mereka ingin mendorong pedati itu agar perjalanan lebih cepat, tetapi para prajurit itu harus menahan diri.

Ketika para prajurit itu kemudian melihat pintu gerbang kota di kejauhan maka rasa-rasanya hati mereka telah bersorak. Tetapi mereka menjadi agak kecewa ketika Ki Lurah Agung Sedayu menghentikan iring-iringan pasukannya. Dipanggilnya para pemimpin kelompok untuk mendengarkan penjelasannya.

“Aku akan mendahului masuk ke kota. Aku akan menghadap Ki Patih. Ki Patih akan memerintahkan mempersiapkan tempat bagi kita sebelum pulang ke Tanah Perdikan. Mungkin kita akan berada di Mataram satu dua hari, untuk memberikan laporan serta menyerahkan selain para tawanan, juga benda-benda berharga yang kita bawa.”

“Jadi, kami harus menunggu di sini?” bertanya seorang pemimpin kelompok.

“Ya. Kalian dapat beristirahat di padang rumput itu. Aku tentu tidak akan terlalu lama. Meskipun demikian, kita tentu akan menunggu perintah untuk memasuki pintu gerbang, setelah dipersiapkan tempat bagi kita selama kita berada di Mataram.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk. Perintah Ki Lurah Agung Sedayu itu sudah jelas bagi mereka. Karena itu, Ketika Ki Lurah Agung Sedayu mendahului pasukannya bersama dua orang prajurit, maka para pemimpin kelompok telah memerintahkan para prajurit itu beristirahat di padang rumput yang terlantang sampai ke tanggul sungai.

Tetapi para pemimpin kelompok itu tetap mewaspadai para tawanan, termasuk Sungsang yang sama sekali menolak untuk makan di sepanjang perjalanan, sehingga keadaanya menjadi semakin lemah. Namun dengan demikian, ia tidak lagi berteriak-teriak terlalu keras dalam setiap kesempatan.

Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan berada di antara para prajurit yang beristirahat. Mereka duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rimbun, yang tumbuh di padang rumput itu.

Beberapa orang anak yang sedang menggembalakan kambing, tanpa merasa takut mendekati iring-iringan yang berhenti itu. Mereka mengenali pakaian dan kelengkapan para prajurit itu, bahwa mereka adalah prajurit Mataram.

“Paman dari mana?” bertanya seorang anak remaja yang sedang menggembalakan kambingnya.

“Bertamasya,” jawab prajurit itu.

“Bertamasya? Kemana?”

“Melihat-lihat betapa luasnya bumi Mataram.”

“Nampaknya ada di antara kawan Paman yang terluka. Kenapa, Paman?”

“Mereka tergelincir masuk ke dalam selokan yang tanggulnya curam.”

Gembala itu mengerutkan dahinya. Namun kawannya yang lain bertanya, “Ada yang diikat di pedati itu, Paman?”

Prajurit itu tersenyum. Katanya, “Orang itu kami temukan di jalan. Agaknya orang itu sakit syaraf. Karena ia sangat berbahaya, maka kami telah membawanya atas ijin keluarganya. Nanti, setelah diobati dan menjadi sembuh, orang itu akan kami kembalikan kepada keluarganya.”

Gembala itu mengangguk-angguk. Namun agaknya masih ada beberapa pertanyaan di dalam hatinya, meskipun tidak sempat diucapkannya, karena seorang prajurit berkata kepada mereka, “Sudahlah. Lihat, kambing kalian berkeliaran kemana-mana.”

Anak-anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun berlari menghambur menghampiri kambing mereka masing-masing.

Namun seorang anak remaja yang cerdas sempat berkata kepada kawannya, “Mereka tentu baru saja berperang. Ada beberapa musuh yang tertawan. Tetapi ada beberapa prajurit yang terluka.”

“Ada perempuan di antara mereka,” desis anak yang lain.

“Tentu tawanan. Perempuan yang ditawan setelah negrinya atau lingkungannya atau apa, yang dikalahkan oIeh para prajurit itu.”

“Tetapi nampaknya mereka bebas berkeliaran kemana-mana.”

Seorang remaja yang lain pun menyahut, “Apa yang dapat dilakukan oleh perempuan di antara sepasukan prajurit?”

Kawannya lain tidak menjawab.

Dalam pada itu, langit pun menjadi buram. Gembala-gembala itu pun telah menggiring kambingnya pulang dan dimasukkan ke dalam kandang.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menghadap Ki Patih Mandaraka di rumahnya. Kedatangan Ki Lurah memang agak mengejutkan. Namun Ki Patih mengetahui bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memerlukan tempat bagi prajurit-prajuritnya, sebelum mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka Ki Patih tidak meminta Ki Lurah Agung Sedayu menceritakan perjalanannya lebih dahulu. Yang mula-mula dipikirkan adalah tempat bagi para prajurit yang baru pulang, karena barak mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sedang barak yang menampung mereka sebelum berangkat, masih belum disiapkan.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih kemudian, “bawa prajurit-prajuritmu kemari. Biarlah malam ini mereka tidur di sini.”

“Mereka akan membuat halaman kepatihan menjadi kotor, Ki Patih.”

Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, “Mereka bukan kanak-kanak. Mereka akan dapat menjaga agar halaman keperihan tidak menjadi kotor.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

“Besok mereka akan mendapatkan tempat yang pantas bagi para prajurit yang kembali bertugas.”

“Apakah besok kami belum dapat pulang ke Tanah Perdikan?”

“Jangan besok. Mungkin masih ada persoalan-persoalan yang akan dibicarakan. Secepatnya baru besok lusa kau dapat kembali ke Tanah Perdikan.”

Ki Lurah mengangguk sambil menjawab, “Kami akan menjujung segala perintah, Ki Patih.”

“Nah, kembalilah ke pasukanmu. Aku akan memerintahkan dua orang prajurit untuk memberitahukan kehadiranmu kepada yang bertugas di pintu gerbang. Aku pun akan memberitahukan kedatanganmu kepada Kanjeng Panembahan.”

“Terima kasih, Ki Patih. Aku mohon diri untuk kembali ke pasukanku. Aku akan membawa mereka masuk dan langsung ke Kepatihan.”

“Ya. Aku akan mempersiapkan tempat ini untuk menampung mereka, setidaknya untuk malam ini.”

Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan prajurit yang menyertainya telah melarikan kuda mereka, untuk kembali menyongsong pasukannya yang ditinggalkannya di padang rumput di luar dinding kota. Sementara itu, Ki Patih pun telah memerintahkan beberapa orang prajurit di Kepatihan untuk memberitahukan kepada kalangan istana tentang kedatangan Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya dari Demak.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di padang rumput, malam telah turun. Beberapa buah obor telah dinyalakan. Namun para prajurit yang bertugas menyiapkan makanan dan minum bagi kawan-kawannya itu memberitahukan kepada Ki Lucah Agung Sedayu, bahwa mereka tidak menyiapkan makan bagi pasukan itu.

“Aku kira kita akan langsung masuk ke dalam barak yang sudah tersedia, berikut makan dan minumnya, sehingga kami tidak mempersiapkannya.”

“Tidak apa-apa. Nanti kita dapat menyediakannya.”

“Beberapa orang kawan mulai bersungut-sungut. Yang lain meskipun nampaknya lagi berdendang, tetapi cakepannya menusuk telinga.”

“Kenapa?”

“Lapar. Itu saja yang diucapkannya.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Kita sudah hampir sampai di rumah. Itulah sebabnya mereka menjadi manja.”

Prajurit yang bertugas menyiapkan makanan dan minuman itu mengangguk sambil berkata, “Ya. Mereka menjadi manja.”

Namun sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memerintahkan prajuritnya untuk bersiap. Mereka akan meneruskan perjalanan masuk lewat pintu gerbang dan menapaki jalan-jalan kota.

Beberapa saat kemudian, para prajurit pun telah bersiap. Ki Lurah pun segera memberikan perintah, agar pasukan itu segera berjalan menuju ke pintu gerbang.

Ketika pasukan itu mendekati gerbang, maka para prajurit yang bertugas pun segera menyambut mereka di sebelah-menyebelah jalan. Mereka sudah mendapat pemberitahuan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya telah kembali dari Demak. Bahkan mereka telah mendapat perintah memberikan penghormatan kepada pasukan itu.

Ternyata sambutan yang sederhana itu telah memberikan kesan tersendiri. Para prajurit yang pulang dari Demak itu tidak merasa seakan-akan kedatangan mereka tidak ada artinya apa-apa.

Beberapa saat kemudian, setelah para prajurit itu menyusuri jalan kota di Mataram, mereka pun langsung menuju ke Dalem Kepatihan. Ternyata beberapa oncor telah menyala di halaman. Para prajurit itu pun diterima langsung oleh Ki Patih di halaman Dalem Kepatihan.

Sambutan Ki Patih itu pun telah membesarkan hati para prajurit. Apalagi Ki Patih itu langsung memberikan ucapan selamat datang kepada prajurit yang baru saja datang dari Demak itu.

“Aku atas nama Mataram minta maaf, bahwa aku belum dapat menyediakan tempat yang pantas,” berkata Ki Patih kemudian.

Setelah upacara penyambutan yang sederhana itu, maka Ki Patih mempersilahkan para prajurit untuk beristirahat.

Mereka telah dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah-menyebelah, serta di serambi samping Dalem Kepatihan. Sementara para abdi di Kepatihan menjadi sibuk mempersiapkan makan dan minum para prajurit itu, sejak para prajurit itu belum datang.

“Ada beberapa pakiwan di halaman belakang Kepatihan,” berkata seorang abdi kepada Ki Lurah.

“Terima kasih,” jawab Ki Lurah.

Bergantian para prajurit itu pergi ke pakiwan. Bergantian pula mereka menimba air dari sumur di dekat pakiwan-pakiwan itu.

Sementara itu nasi dengan lauk dan sayur seadanya telah masak. Namun para prajurit yang bertugas mempersiapkan makan bagi kawan-kawannya itu pun telah menghubungi para abdi yang sedang masak, untuk menyerahkan sisa bekal yang mereka bahwa, jika saja dapat dimanfaatkan.

Ketika semuanya telah mandi dan berbenah diri setelah beberapa hari menempuh perjalanan, dan setiap kali hanya mandi di sungai yang mereka jumpai di dekat tempat mereka berhenti, maka para prajurit itu pun sempat merasa benar-benar beristirahat, tanpa kecemasan dan bahkan ketegangan terhadap kemungkinan buruk yang dapat terjadi dengan tiba-tiba. Di Dalem Kepatihan, para prajurit itu tidak merasa khawatir bahwa tiba-tiba mereka akan diserang. Satu-satunya beban bagi mereka adalah menjaga para tawanan yang telah mereka bawa.

Dalam pada itu, ketika para prajurit sedang beristirahat, selain mereka yang bertugas menjaga para tawanan, Ki Lurah Agung Sedayu telah menghadap Ki Patih Mandaraka untuk memberikan laporan tentang perjalanan mereka.

“Kami membawa tawanan dan harta yang disimpan oleh para perampok itu, Ki Patih.”

“Jadi kau bawa harta benda rampokan itu?”

“Ya, Ki Patih.”

“Menurut jalan pikiranmu, harta benda yang sangat berharga itu akan kau pergunakan untuk apa?”

“Kami akan menyerahkan kepada para pemimpin di Mataram.”

“Kau tentu dapat memberikan pendapatmu. Setelah harta benda yang sangat tinggi harganya itu kau serahkan, lalu apa yang sebaiknya dilakukan atas harta benda itu. Disimpan? Menjadi milik para pemimpin di Mataram, atau untuk apa?”

“Ki Patih,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “aku mohon maaf jika aku telah melakukan kesalahan dengan harta benda itu. Tetapi menurut pendapatku, para perampok yang berselubung dengan sebuah perguruan dan tinggal di sebuah padepokan itu, telah merampok, menyamun dan merampas harta benda milik rakyat Demak. Karena itu, maka sebaiknya harta benda itu dikembalikan ke Demak. Mungkin tidak akan dapat kembali ke pemiliknya semula, tetapi kekayaan Kadipaten Demak itu tidak lari dari lingkungan Kadipaten.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat mengerti jalan pikiranmu, Ki Lurah. Aku sependapat. Tetapi bagaimanakah sikap para pemimpin Demak selain Kanjeng Pangeran Puger sendiri?”

“Kita akan menyerahkannya kepada Kanjeng Pangeran Puger selaku Adipati di Demak. Biarlah kebijaksanaan berada di tangan Kanjeng Pangeran Puger.”

“Baiklah. Besok aku akan menyampaikannya kepada Kanjeng Panembahan.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Ki Patih Mandaraka.”

“Nah, sekarang aku persilahkan Ki Lurah beristirahat. Bagi Nyi Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan, dapat disediakan tempat yang khusus Ada sebuah bilik kecil di serambi samping yang dapat mereka pakai.”

“Terima kasih, Ki Patih. Mereka berada di antara para prajurit sejak kami menempuh perjalanan pulang.”

“Ketika berangkat?”

“Mereka berada di antara para abdi perempuan yang ikut pindah ke Demak.”

“Tetapi sebaiknya mereka berada di dalam bilik kecil itu. Bukankah lebih baik bagi mereka? Di sini keadaannya sudah berbeda dengan keadaan pasukanmu di perjalanan.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

“Malam ini juga, dua orang lurah prajurit sedang mempersiapkan tempat yang lebih baik bagi kalian, sebelum kalian kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Terima kasih atas perhatian Ki Patih yang sangat besar terhadap kami.”

“Kalian bukan sepasukan prajurit yang baru pulang dari sekedar pergi ke Demak mengantar Kanjeng Pangeran Puger. Tetapi kalian pantas diterima sebagai sepasukan prajurit yang pulang dari medan perang dan membawa kemenangan. Bukankah kalian harus bertempur di perjalanan pada saat kalian berangkat dan pada saat kalian pulang?”

Malam itu, setelah disiapkan tempat bagi para prajurit yang baru pulang itu, besok pagi-pagi mereka sudah dapat masuk ke rumah yang telah disiapkan itu. Sementara itu, malam itu juga telah datang utusan dari istana yang memerintahkan besok pagi Ki Lurah Agung Sedayu menghadap, menjelang wayah pasar temawon.

Di keesokan harinya, saat cahaya merah kekuning-kuningan membayang di langit, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajurit sudah berbenah diri. Mereka siap menunggu perintah, apa yang harus mereka lakukan.

Ki Patih yang telah bangun pagi-pagi pula, segera memerintahkan dua orang prajurit untuk mengantar Ki Lurah serta pasukannya ke tempat yang sudah dipersiapkan.

Ki Patih pun telah memerintahkan kepada Ki Lurah untuk menghadap Kanjeng Panembahan pada wayah pasar temawon.

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Patih.”

“Mataram-lah yang harus berterima kasih kepadamu.”

“Kami sekedar menjalankan tugas.”

“Nah, sekarang bawa pasukanmu ke tempat yang sudah disiapkan itu.”

Iring-iringan prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu pun kemudian telah meninggalkan pintu gerbang Kepatihan. Dalam iring-iringan itu terdapat beberapa buah pedati, sehingga iring-iringan itu sempat menarik perhatian.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar