Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 350

Buku 350

Ternyata Glagah Putih tidak terlalu bodoh untuk tidak menghubungkan sikap laki-laki itu dengan ancaman Ki Tumenggung Panjer. Agaknya prajurit itu sengaja memancing persoalan. Jika terjadi perselisihan, maka ia akan dapat ditangkap dan ditahan di Demak.

Karena itu, maka Glagah Putih pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi sikap prajurit itu.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “istriku bukan benda mati yang dapat dan pantas diperebutkan. Ia mempunyai nalar budi yang utuh sebagaimana kau dan aku. Karena itu, berbicaralah dengan perempuan itu. Tetapi jika kau sekedar memancing persoalan, kita akan mencari saksi, bahwa persoalan di antara kita timbul karena sikapmu. Aku akan melayanimu apa saja yang kau inginkan di hadapan saksi, sehingga aku tidak akan terjebak dalam tindakan yang dapat menjadi perkara.”

Wajah prajurit itu menjadi tegang. Agaknya Glagah Putih sudah mencurigainya. Namun ia tidak mau gagal. Jika ia gagal, maka Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana akan menjadi marah kepadanya.

Karena itu maka prajurit itu pun berkata, “Aku tidak memancing persoalan, Ki Sanak. Tetapi aku menginginkan istrimu.”

“Jika itu yang kau maksud, bertanyalah kepada istriku itu sendiri. Apakah ia mau atau tidak.”

“Jika ia tidak mau, aku akan memaksanya. Aku akan menyeretnya dan membawanya pulang.”

“Kau tentu tidak akan berbuat gila seperti itu. Kau lihat di halaman ini berserakan prajurit Demak yang bertugas. Di sini pun ada beberapa orang prajurit Mataram yang sedang membersihkan pedati yang memuat perbekalan dan peralatan yang akan kami bawa kembali ke Mataram, selain prajurit dari Pasukan Khusus yang membantu mereka. Di halaman ini juga berkeliaran para pengawal Kanjeng Pangeran Puger.”

Wajah prajurit bertubuh raksasa itu menjadi tegang. Namun ia tidak dapat melangkah surut. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku tidak peduli kepada mereka. Yang penting aku dapat membawa perempuan ini pulang.”

Sekar Mirah-lah yang tanggap akan sikap prajurit bertubuh raksasa itu serta pembicaraannya dengan Glagah Putih. Karena itu, maka Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Kalau kau memang menginginkan adikku ini, seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, kau harus berurusan dengan adikku langsung. Kau tidak usah berbicara dengan suaminya.”

Prajurit bertubuh raksasa itu menjadi bingung. Ia ingin terjadi perselisihan dengan Glagah Putih. Tetapi ternyata Glagah Putih menyerahkan persoalannya kepada istrinya.

“Apakah aku harus menyeret perempuan ini sehingga batas kesabaran suaminya dilampaui?” bertanya prajurit itu kepada dirinya sendiri.

Ketika ia mengingat perintah Ki Lurah Tanumerta, maka rasa-rasanya ia ingin menyeret Rara Wulan sehingga Glagah Putih menjadi marah kepadanya. Tetapi di tempat itu memang terdapat banyak saksi. Selebihnya, iapun akan menjadi sangat malu jika kawan-kawannya melihat apa yang dilakukannya, tanpa mengetahui alasannya. Bahkan jika ada di antara mereka yang menyampaikannya kepada istrinya, maka tentu akan terjadi keributan di rumah.

Prajurit itu masih saja berdiri di tempatnya. Sementara itu Glagah Putih bahkan seakan-akan tidak menghiraukannya lagi. Dalam kebingungan, maka prajurit itu pun justru telah meninggalkan Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah Putih.

“Edan orangmu, Ki Lurah Tanumerta.”

Keringat dingin pun membasahi punggung Ki Lurah Tanumerta. Namun ia masih tetap menyadari, bahwa ia tidak dapat berbuat tanpa perhitungan. Karena itu, maka Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana itu tidak segera menemui prajurit yang bertubuh raksasa, yang kemudian pergi ke belakang Dalem Kadipaten.

Baru beberapa saat kemudian, Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana yang berada di sebuah ruangan kecil di depan dapur, memerintahkan memanggil prajurit bertubuh raksasa itu.

“Ampun, Ki Lurah,” berkata prajurit itu, demikian ia memasuki ruang kecil itu.

“Kenapa kau tidak mampu menjalankan tugas yang sederhana itu, he?”

“Ampun, Ki Lurah. Glagah Putih ternyata tidak marah. Perempuan itu adalah istrinya.”

“Apalagi istrinya.”

“Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan menyeret perempuan itu dan membawanya pulang. Tetapi menurut Glagah Putih, terserah saja kepada istrinya. Jika ia mau, biarlah aku membawanya. Jika tidak, biarlah istrinya itu menolaknya.”

“Kau tidak benar-benar menyeret perempuan itu.”

“Apakah itu harus aku lakukan? Bagaimana jadinya jika perempuan itu menjerit-jerit, sedangkan Glagah Putih masih saja tidak berbuat apa-apa? Para prajurit Demak sendiri akan menangkap aku, dan barangkali mereka akan menyakiti aku, karena aku dapat dituduh mencemarkan nama baik para prajurit Demak. Apalagi jika kabar itu sampai ke telinga istriku. Keluargaku akan menjadi kiamat.”

Ki Lurah Surawana dan Ki Lurah Tanumerta agaknya dapat mengerti alasan prajurit itu. Karena itu, maka Ki Lurah Tanumerta pun berkata, “Pergilah.”

“Tetapi Ki Lurah, bukan karena aku takut kepada Glagah Putih. Tetapi aku justru memikirkan kemungkinan lain.”

“Baik, baik. Sekarang pergilah.”

Prajurit bertubuh raksasa itu pun segera pergi meninggalkan kedua orang Lurah itu.

“Bukankah nanti malam mereka masih di sini?” bertanya Ki Lurah Tanumerta.

“Masih.”

“Baiklah malam nanti saja kita membuat persoalan. Mungkin aku sendiri akan menemuinya dan memancing persoalan. Tetapi aku belum tahu, apa yang akan aku lakukan malam nanti.”

“Jika demikian, aku akan pulang sekarang. Aku perlu juga tidur. Malam nanti aku akan berada di sini.”

Ki Lurah Surawana masih sempat menghadap Ki Tumenggung Panjer dan menyampaikan kegagalan usahanya untuk memancing persoalan dengan Glagah Putih.

“Jangan sampai lewat waktu. Pokoknya orang itu harus ditahan. Ia akan dapat dilepaskan jika kudanya ditinggal.”

“Ya, Ki Tumenggung.”

Dalam pada itu, pada hari it, Kanjeng Pangeran Puger telah memerintahkan para pengawalnya untuk membongkar pedati yang memuat beberapa buah peti yang berisi barang-barang berharga serta pusaka-pusakanya, untuk disimpan di bangsal perbendaharaan yang telah disiapkan di sebuah bilik di sebelah bilik peraduan Kanjeng Pangeran Puger.

Kanjeng Pangeran Puger sendiri menunggui dan meneliti setiap peti yang diusung ke dalam. Ternyata isi peti-peti itu tidak ada yang cacat. Semuanya masih tertata sebagaimana saat Kanjeng Pangeran Puger berangkat dari Mataram. Ki Lurah Adipraya-lah yang menjadi sangat sibuk mengatur para pengawal. Ia berlari-lari hilir mudik dari halaman ke bangsal perbendaharaan yang tidak begitu luas itu.

Hari itu Ki Lurah Agung Sedayu telah menghadap Kanjeng Pangeran Puger. Kapan Ki Lurah Agung Sedayu diperkenankan kembali ke Mataram.

“Jangan tergesa-gesa, Ki Lurah. Meskipun di sini telah disiapkan prajurit Demak, tetapi aku belum terbiasa dengan mereka. Juga dengan sifat dan watak mereka. Karena itu, aku minta Ki Lurah tinggal barang sepekan di sini.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat mengelak. Ia harus berada di Demak sekitar sepekan, sementara Kanjeng Pangeran Puger berusaha mengenali para pejabat pemerintahan dan keprajuritan di Demak.

Dalam pada itu, para pemimpin di Demak telah mengusahakan tempat yang lebih mapan bagi para prajurit Mataram. Apalagi ketika Kanjeng Pangeran Puger memberitahukan kepada Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer bahwa para prajurit Mataram itu akan berada di Demak sekitar sepekan.

Namun Kanjeng Pangeran Puger mengisyaratkan, agar para prajurit itu tetap berada di halaman Dalem Kadipaten.

“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Ki Tumenggung Panjer kepada Ki Lurah Surawana, “mereka akan berada di sini sepekan.”

“Kita memang harus menunggu saat yang tepat, Ki Tumenggung. Nampaknya pemilik kuda itu cukup cerdas, sehingga ia menjadi curiga atas sikap prajurit yang berusaha memancing perselisihan itu.”

“Bukankah orang itu tidak lebih dari seorang pesuruh, atau barangkali karena istrinya menjadi abdi Kanjeng Pangeran Puger, ia mendapat kesempatan untuk ikut ke Demak?”

“Mungkin, Ki Tumenggung. Tetapi sikapnya yang nampak matang menunjukkan bahwa ia bukan sekedar pesuruh atau tenaga kasar, atau apapun sebangsa itu.”

“Kalau begitu, pandai-pandailah mengatur cara untuk menyeretnya ke dalam bilik tahanan.”

“Aku harus mempergunakan orang lain. Bukan prajurit Ki Tanumerta yang bertubuh raksasa itu.”

“Terserah kepadamu.”

“Aku kira lebih baik bukan seorang prajurit, tetapi seorang yang berilmu tinggi. Jika perkelahian itu terjadi, kita akan menangkap mereka.”

“Carilah cara yang terbaik. Aku tidak berkeberatan.”

“Dalam sepekan, Glagah Putih tentu ingin keluar dari halaman Kadipaten untuk melihat-lihat keadaan di sekelilingnya. Nah, kita dapat menjebaknya sehingga terjadi perkelahian di alun-alun atau dimana saja. Beberapa orang prajurit akan selalu membayanginya, sehingga ia akan segera ditangkap.”

“Tetapi ajari orangmu itu, apa yang harus dilakukannya.”

“Tentu, Ki Tumenggung.”

“Maksudku, pada saat ia ditahan. Jawabannya jangan menjerat orang lain, apalagi menyinggung-nyinggung namaku.”

“Tentu, Ki Tumenggung, tentu.”

“Lakukan kapan saja. Tetapi jangan sampai terlambat. Orang itu memang harus tahu, siapa aku. Ia sekarang berada di Demak, sehingga ia harus menyadari keberadaannya itu.”

“Ya, Ki Tumenggung. Besok aku akan menghubungi seseorang yang berilmu tinggi, yang akan dapat memancing pertengkaran dengan Glagah Putih. Namun di luar halaman Dalem Kadipaten. Jika persoalan seperti itu terjadi di halaman, serta dilakukan oleh seorang prajurit, maka Glagah Putih akan tahu bahwa ia sedang dijebak.”

“Kau mempunyai pertimbangan terlalu panjang. Kau menanggapi orang itu seperti seorang yang otaknya cemerlang sehingga mampu mengurai persoalan yang dihadapinya dengan cara yang rumit.”

“Otak orang itu memang terang, Ki Tumenggung.”

“Kau-lah yang dungu.”

Ki Lurah terdiam.

“Jangan sampai luput.”

“Baik, Ki Tumenggung.”

Sebenarnyalah Ki Lurah Surawana dan Ki Lurah Tanumerta di hari berikutnya telah menghubungi seorang yang dianggapnya berilmu tinggi. Ia harus memancing persoalan dengan seorang yang bernama Glagah Putih, jika orang itu keluar dari halaman Kadipaten.

“Jadi aku harus menunggu siang dan malam di pintu gerbang ini?”

“Bukan begitu, Ki Soma Tangkil. Kau dapat mulai besok sore. Biasanya orang keluar dan melihat-lihat suasana di tempat yang asing baginya, di waktu sore setelah mandi dan berbenah diri, sambil menunggu saatnya makan malam.”

“Baik. Besok sore aku akan berada di alun-alun. Beri aku isyarat jika orang itu berada di alun-alun.”

“Aku akan memberimu seorang kawan. Seorang prajurit yang tidak mengenakan pakaian keprajuritannya. Orang itu sudah tahu, yang manakah yang bernama Glagah Putih.”

“Apakah Glagah Putih seorang prajurit Mataram?”

“Ia bukan prajurit. Ia tidak mempunyai kedudukan yang pasti di antara para prajurit Mataram. Tetapi istrinya seorang abdi perempuan Kanjeng Pangeran Puger.”

Orang yang disebut Soma Tangkil itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Tetapi bukankah yang aku lakukan ini tidak sia-sia?”

“Tentu tidak. Kau akan mendapat upah yang pantas.”

“Serta dijamin bahwa aku tidak akan dipenjarakan karena dituduh telah menimbulkan kerusuhan?”

“Tentu tidak. Akan ada saksi, bahwa kau tidak bersalah.”

“Baik. Aku percaya kepadamu, Ki Lurah. Besok sore aku akan berada di alun-alun.”

“Jangan mengecewakan, aku. Kau tahu siapa aku, kan?”

“Tentu, Ki Lurah. Kau adalah seorang yang mempunyai banyak uang.”

Ki Lurah Tanumerta itu pun membelalakkan matanya. Katanya, “Bukan soal uang. Tetapi kau tahu batas kuasa kami berdua?”

Ki Soma Tangkil memandang Ki Lurah Tanumerta dan Ki Lurah Surawana berganti-ganti. Kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Aku tahu, Ki Lurah.”

“Nah, jika demikian, kau jangan main-main. Kau harus berhasil memancing persoalan.”

“Jika kami tidak segera dilerai, maka akibatnya akan dapat menjadi lebih parah. Mungkin di luar kehendakku, aku membunuhnya.”

“Jika kau membunuhnya, maka aku pun akan membunuhmu,” berkata Ki Lurah Surawana.

Ki Soma Tangkil tertawa. Katanya, “Ki Lurah masih saja garang.”

“Apalagi sekarang. Penguasa di Kadipaten Demak adalah Kanjeng Pangeran Puger. Karena itu, kami harus menunjukkan ketegasan untuk menjunjung kewibawaan Kanjeng Adipati.”

“Apakah memancing perkelahian dengan orang yang tidak bersalah itu juga termasuk menjunjung kewibawaan?”

“Aku sobek mulutmu.”

Ki Suma Tangkil tertawa semakin keras. Katanya, “Jangan terlalu garang, Ki Lurah. Nanti Ki Lurah cepat menjadi tua.”

Kedua orang lurah prajurit itu memandang Ki Soma Tangkil dengan tajamnya. Ki Lurah Tanumerta pun menggeram, “Ini bukan lelucon, Soma Tangkil. Aku cabuti gigimu sampai habis.”

Tetapi Soma Tangkil justru tertawa semakin panjang. Namun Ki Lurah Surawana dan Ki Lurah Tanumerta tidak menghiraukannya lagi. Mereka berdua pun kemudian meninggalkan Ki Soma Tangkil yang masih berusaha menahan tertawanya.

Sebenarnyalah Glagah Putih tidak lagi ingin tinggal lebih lama di Demak. Ia tahu bahwa kudanya masih akan menjadi persoalan. Tetapi ia tidak dapat mendahului kembali ke Mataram. Ia harus menunggu para prajurit yang akan berada di Demak selama sepekan.

“Sebenarnya aku ingin segera pulang, Rara,” berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan di sore hari.

“Agaknya suasananya kurang baik, Kakang.”

“Ada yang menginginkan kudaku. Mereka akan selalu berusaha memancing persoalan.”

“Jika terjadi persoalan, lalu apa hubungannya dengan kuda Kakang?”

“Entahlah.”

“Berhati-hati sajalah, Kakang.”

Glagah Putih mengangguk.

Tetapi di sisa hari itu tidak terjadi apa-apa. Demikian pula di hari berikutnya. Tidak terjadi apa-apa atas Glagah Putih. Dengan demikian maka Glagah Putih pun mulai berpendapat bahwa para prajurit Demak tidak akan mengganggunya lagi untuk memancing persoalan.

Di sore hari, setelah mandi dan berbenah diri, Glagah Putih berkata kepada seorang prajurit yang melayani perbekalan dan peralatan, “Dari pada duduk-duduk saja di sini, marilah kita berjalan-jalan untuk melihat-lihat keadaan di luar halaman Dalem Kadipaten.”

“Melihat apa?”

“Apapun yang ada. Di depan itu alun-alun. Barangkali kita dapat berjalan-jalan di alun-alun.”

“Marilah,” jawab prajurit itu.

Ketika mereka melangkah menuju ke pintu gerbang, Rara Wulan yang berdiri di halaman bersama Sekar Mirah itu pun memperingatkannya, “Hati-hatilah, kakang.”

“Aku akan pergi ke alun-alun, Rara. Justru di luar halaman Dalem Kadipaten aku tidak akan diganggu.”

“Meskipun demikian, kau harus tetap berhati-hati, Glagah Putih,” pesan Sekar Mirah.

“Ya, Mbokayu.”

Ketika keduanya melangkah ke pintu, prajurit itu bertanya, “Kenapa mereka berpesan agar kau berhati-hati?”

“Mungkin aku bertemu dengan perawan Demak.”

Prajurit itu tertawa meledak. Dua orang prajurit Demak yang bertugas di pintu gerbang berpaling ke arah prajurit itu. Meskipun mereka tersenyum juga, tetapi mereka tidak bertanya apa-apa.

Sejenak kemudian, Glagah Putih telah berada di alun-alun. Di sore hari, alun-alun Demak nampak ceria. Beberapa kelompok anak-anak bermain di alun-alun. Orang-orang tua pun nampak pula berjalan-jalan di sekitarnya. Bahkan ada beberapa orang yang menjajakan makanan di pinggir alun-alun itu.

Glagah Putih pun berjalan mengelilingi alun-alun itu. Udara terasa segar oleh angin sore yang berhembus, menggoyang daun beringin yang tumbuh sepasang di tengah-tengah, yang lain mengitari alun-alun itu. Segarnya udara serta suasana yang ceria, membuat Glagah Putih dan kawannya tidak segera kembali masuk ke halaman Dalem Kadipaten. Ketika orang-orang yang berjualan di sekitar alun-alun itu mulai menyalakan lampu, maka rasa-rasanya alun-alun Demak itu menjadi semakin menarik.

Meskipun di alun-alun Mataram di sore hari sampai ujung malam turun juga terhitung cukup ramai, namun terasa ada sesuatu yang lain di Demak. Ketika gelap menyelimuti alun-alun itu, maka Glagah Putih pun berkata kepada prajurit yang bersamanya itu, “Kau lihat orang berjualan jagung bakar itu?”

“Ya. Kenapa?”

“Kau mempunyai jagung. Tetapi tidak dapat diasapi seperti itu.”

“Tentu. Jagungku sudah ditumbuk menjadi beras jagung.”

“Nah, kita beli jagung bakar.”

“Sudah gelap. Nanti kita dicari.”

“Tidak. Ada yang tahu kita berjalan-jalan keluar pintu gerbang.”

“Uangku akan aku bawa pulang. Aku ingin membeli kain lurik hijau pupus buat istriku.”

“Aku yang bayar.”

Prajurit itu tenmangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Tetapi jangan terlalu lama.”

Keduanya pun kemudian duduk di atas sehelai tikar mendong yang dibentangkan di atas rerumputan. Ketika mereka mulai menikmati jagung bakar, prajurit itu berkata, “Aku belum pernah makan jagung bakar senikmat ini.”

“Justru karena kau makan jagung bakar di alun-alun Demak.”

Prajurit itu mengangguk-angguk.

Namun, selagi mereka asyik menikmati jagung bakar yang masih hangat itu, tiba-tiba saja seseorang telah menendang tangan Glagah Putih yang sedang memegangi jagung itu.

Glagah Putih terkejut. Ia tahu bahwa orang itu berdiri di situ sejak ia memesan jagung bakar. Tetapi ia tidak menduga bahwa tiba-tiba saja orang itu meloncat dan menendang tangannya.

Dengan serta merta Glagah Putih pun bangkit berdiri. Selangkah ia mundur sambil bertanya, “Apa yang kau lakukan?”

“Jangan banyak mulut. Kau telah menghina aku sejak sore tadi. Tetapi aku masih menahan diri. Baru setelah gelap aku menganggap bahwa waktunya tepat untuk membuat perhitungan.”

“Apa yang sudah aku lakukan?”

“Jangan berpura-pura. Marilah kita membuat perhitungan sebagai laki-laki. Jangan di sini. Di sini banyak orang. Kecuali jika kau sengaja memilih tempat yang ramai agar perkelahian di antara kita nanti dilerai.”

Jantung Glagah Putih berdegup semakin cepat. Namun iapun langsung menghubungkan peristiwa itu dengan sikap prajurit yang bertubuh raksasa, yang nampaknya memang sedang memancing perselisihan itu. Karena itu, maka Glagah Putih harus menahan diri.

“Bukankah kau juga laki-laki?” bertanya orang itu.

Prajurit yang membeli jagung bakar bersama Glagah Putih itu pun kemudian berdiri pula sambil berdesis, “Apapun sebabnya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk jika kau berselisih dengan Glagah Putih. Jika ia berniat membunuhmu, maka kau tentu akan mati seketika terkena sentuhan tangannya.”

Jantung orang itu berdegup semakin cepat. Namun kemudian iapun berkata, “Aku adalah Soma Tangkil. Orang yang paling disegani di Demak. Jangan mencoba menakuti aku dengan cara apapun juga. Kalian tidak akan berhasil.”

“Jadi namamu Soma Tangkil?”

“Ya.”

“Urungkan niatmu, Soma Tangkil. Kami adalah tamu di Demak. Jika sikapmu itu diketahui prajurit Demak, maka kau akan ditangkap dan dipenjarakan.”

“Persetan dengan prajurit Demak. Tidak seorangpun dari para prajurit Demak yang aku takuti.”

Prajurit Mataram yang membeli jagung bersama Glagah Putih itu merasa tersinggung. Dengan serta merta iapun berkata, “Jangan merendahkan seorang prajurit Demak dan prajurit Mataram. Jika kau merendahkan prajurit Demak, berarti kau juga merendahkan prajurit Mataram.”

Namun Soma Tangkil itu pun menjawab, “Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi aku mempunyai persoalan dengan Glagah Putih. Karena itu, jangan ikut campur. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan Glagah Putih.”

Prajurit itu pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih. “Kenapa kau diam saja? Cekik lehernya sampai mati.”

Glagah Putih pun kemudian memandang berkeliling. Ia melihat beberapa orang mengerumuninya. Nampaknya mereka tertarik pada pertengkaran itu. Namun prajurit Mataram yang menyertai Glagah Putih itu terkejut ketika Glagah Putih berkata, “Ki Soma Tangkil. Jika benar katamu bahwa aku telah menghinamu, aku minta maaf. Aku tentu tidak sengaja.”

Tiba-tiba saja keringat dingin mengalir di punggung Soma Tangkil. Glagah Putih itu ternyata tidak marah, apalagi memukulnya. Tetapi ia justru minta maaf.

“Apalagi yang harus aku lakukan untuk membuatnya marah?” berkata Soma Tangkil di dalam hatinya. Namun ia masih mencoba. “Perbuatanmu hanya dapat dimaafkan jika kau berjongkok di hadapanku dan menyembahku.”

“Baiklah,” jawab Glagah Putih.

Namun prajurit Mataram yang menyertai Glagah Putih itu pun berkata, “Apa sebenarnya yang kau lakukan, Glagah Putih? Kau menghina dirimu sendiri. Kenapa kau tidak bangkit dan melawannya berkelahi?”

Jawab Glagah Putih memang mengejutkan. Soma Tangkil pun terkejut pula.

“Jika aku tidak mau melakukannya, sehingga timbul perselisihan dan apalagi perkelahian, tanpa menunggu akhir dari perkelahian itu maka ia sudah menang. Perselisihan dan perkelahian itulah yang diharapkannya. Dengan demikian maka akan ada alasan untuk menangkapku. Persoalannya bersumber dari keinginan seseorang untuk memiliki kudaku.”

Wajah Soma Tangkil menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya iapun bertanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu?”

“Bukankah aku dapat memperhitungkan sikap, tingkah laku seseorang, serta peristiwa-peristiwa yang mengikutinya?”

Tiba-tiba saja Soma Tangkil itu bergeser mundur. Kemudian hilang di kerumunan orang banyak.

Orang-orang yang berkerumun itu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya melihat pertengkaran. Hampir saja terjadi perkelahian, namun kemudian ternyata bahwa perkelahian itu tidak pernah terjadi.

Soma Tangkil pun berjalan cepat-cepat menjauhi Glagah Putih. Namun tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya, “Soma Tangkil.”

Soma Tangkil itu berhenti.

“Kenapa kau begitu bodoh sehingga pertengkaran itu berakhir begitu saja?”

“Apa yang harus aku lakukan? Glagah Putih tahu, bahwa aku hanya sekedar umpan untuk memancing pertengkaran.”

“Orang itu tidak tahu. Ia hanya sekedar menduga-duga.”

“Tidak. Lebih baik aku tidak melawannya. Ia orang baik. Ia tidak pantas dijebak untuk memeras agar ia menyerahkan kudanya.”

“Kau gila, Soma Tangkil. Kau tahu kuasaku?”

“Ya. Aku tahu. Tetapi bukankah itu tidak pantas dilakukan kepada Glagah Putih?”

“Setan kau.”

“Maaf, Ki Lurah. Aku tidak dapat melakukannya.”

Dua orang lurah prajurit yang mendapat tugas dari Ki Tumenggung Panjer itu menjadi bingung. Namun akhirnya Ki Lurah Surawana harus mengatakan apa yang sudah terjadi. Seseorang yang bukan prajurit itu pun gagal memancing pertikaian dengan Glagah Putih.

“Besok aku akan menemui Ki Tumenggung Panjer. Ia harus mengurungkan niatnya memiliki kuda itu. Jika ia mencoba untuk memaksakan kehendaknya, akibatnya akan dapat menjadi buruk. Tentu Glagah Putih akan memberitahukan kawan-kawannya apa yang telah terjadi. Sehingga langkah apapun yang akan diambil oleh Ki Tumenggung, akan selalu dihubungkan dengan niatnya itu.”

“Kau berani mengatakannya kepada Ki Tumenggung?”

“Apa boleh buat. Tidak ada jalan lain.”

Ki Lurah Tanumerta pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Terserah kepada Ki Lurah Surawana. Tugas ini pertama-tama juga dibebankan kepada Ki Lurah.”

Demikianlah, maka kedua orang lurah prajurit itu pun segera menyelinap pula, dan menghilang dari alun-alun. Sementara itu, Glagah Putih pun segera mengajak prajurit yang menyertainya itu kembali ke Dalem Kadipaten. Hampir saja mereka terpancing, sehingga akan dapat menjerat Glagah Putih ke dalam bilik tahanan karena menimbulkan kerusuhan.

Ketika mereka berada di antara kawan-kawannya, maka seorang prajurit berkata kepada mereka, “Kalian terlambat. Kami sudah makan malam.”

“Jadi?”

“Kalian tidak mendapat bagian.”

Tetapi Glagah Putih pun berkata, “Marilah kita pergi ke dapur. Tentu masih ada persediaan. Kita beritahukan kepada mereka yang bertugas di dapur, bahwa kita baru saja keluar.”

Tetapi prajurit itu bertanya kepada kawannya, “Tidak kau katakan bahwa kami berdua sedang keluar?”

“Aku sudah mengatakannya. Tetapi petugas yang membagikan makan bagi kita itu mengatakan bahwa biarlah kalian sendiri yang mengurusnya.”

“Nah, bukankah kita harus pergi ke dapur? Mungkin kita justru akan mendapat pelayanan khusus.”

Prajurit itu termangu-mangu. Namun Glagah Putih sambil tersenyum berkata, “Bukankah kita dapat membeli jagung bakar lagi, jika di dapur sudah tidak ada petugasnya?”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Jika di dapur sudah tidak ada orang, kita pergi membeli jagung bakar saja lagi.”

Keduanya pun kemudian pergi ke dapur untuk mengambil makan malam mereka.

Ternyata masih ada beberapa orang yang sibuk di dapur. Mereka sibuk mencuci alat-alat dapur yang telah mereka pergunakan sore itu. Sedangkan beberapa orang yang lain, masih sibuk pula mengemasi nasi serta lauk pauk yang tersisa.

Sebenarnya Glagah Putih sudah ingin membatalkan niatnya. Rasa-rasanya segan juga datang ke dapur sekedar untuk mengurus makan malam mereka. Apalagi mereka sudah makan jagung bakar di alun-alun, dan bahkan mereka akan dapat pergi untuk membeli lagi.

Namun selagi keduanya berdiri termangu-mangu, seorang perempuan yang masih terhitung muda datang menghampirinya. Dengan ramah sekali perempuan itu berkata, “Marilah, Kakang. Bukankah Kakang yang bernama Glagah Putih?”

“Dari mana kau tahu namaku?”

“Bukankah aku melayani Kakang makan sejak Kakang datang?”

“Maaf. Aku tidak tahu.”

“Marilah, Kakang, Silahkan duduk.”

Glagah Putih pun kemudian berpaling kepada kawannya. Namun prajurit itu pun berdesis, “Hanya kau yang dipersilahkannya.”

“Tentu tidak. Kau juga. Kita berdua.”

Berdua mereka pun kemudian masuk ke dapur. Beberapa orang justru menyibak dan memberi tempat bagi keduanya untuk duduk. Perempuan muda itulah yang kemudian melayani Glagah Putih dan kawannya itu. Disediakannya nasi dan lauk pauk, yang agaknya memang disediakan khusus bagi mereka. Sementara perempuan yang melayaninya itu kemudian justru duduk di sisi Glagah Putih.

“Silahkan, Kakang. Aku memang menyediakan makan dan minuman ini untuk Kakang.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih. Iapun bergeser setapak ketika perempuan itu seakan-akan mendesaknya. Disendoknya lauk yang tersedia dan dituangkannya ke mangkuk Glagah Putih.

“Terima kasih. Ini sudah cukup.”

Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Kakang tidak usah malu-malu. Aku akan melayani Kakang.”

Keringat dingin mulai membasahi punggung Glagah Putih. Ia menyesal sekali bahwa ia telah pergi ke dapur hanya untuk semangkuk nasi. Jika saja ia tahu bahwa perempuan itu akan bersikap seperti itu, maka lebih baik baginya untuk kembali ke alun-alun dan membeli jagung bakar.

Perempuan itu masih saja mendesaknya. Melayaninya dengan cara yang sangat berlebihan.

Namun tiba-tiba saja seorang laki-laki yang bertubuh kekar masuk ke dalam dapur. Matanya bagaikan menyala memandang perempuan yang duduk di sebelah Glagah Putih itu. Sementara itu, perempuan itu pun dengan serta merta telah bangkit berdiri dan bergeser menjauhi Glagah Putih.

“Kenapa kau datang kemari, Kakang?” bertanya perempuan itu.

“Aku yang bertanya kepadamu, kenapa kau belum pulang?”

Perempuan itu tiba-tiba saja berlari kepada laki-laki itu. Sambil terisak ia berkata, “Prajurit Mataram itu telah merendahkan martabatku sebagai seorang perempuan.”

“Orang itu yang merendahkan martabatmu sebagai perempuan, atau kau yang telah menjajakan dirimu?”

“Kakang? Jadi kau justru menuduhku merendahkan martabatku sendiri?”

“Lalu apa yang sebenarnya terjadi?”

“Bertanyalah kepada Kakang Salam, apa yang telah mereka lakukan. Keduanya tidak ada di tempat ketika aku melayani para prajurit makan. Nampaknya mereka sengaja agar mereka dapat pergi ke dapur ini. Ternyata di sini mereka telah melakukan perbuatan yang menyakitkan hati. Ketika aku menghidangkan makan mereka, tiba-tiba saja yang namanya Glagah Putih itu menarik tanganku dan aku dipaksanya duduk melekat padanya.”

“Gila. Itukah tingkah laku orang-orang Mataram?”

“Tunggu,” berkata Glagah Putih, “jika itu yang aku lakukan, kenapa ia tidak berbuat apa-apa? Kenapa ia tidak melawan, dan kenapa orang-orang yang ada di sini tidak mencegahnya?”

“Mereka merasa segan kepada orang-orang Mataram yang kami anggap tamu di sini. Ternyata kau sudah memanfaatkannya untuk merendahkan martabatku,” sahut perempuan itu.

Jantung Glagah Putih berdegup semakin keras. Sementara itu laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu menggeram. Katanya, “Biarlah orang lain merasa segan kepada para tamu dari Mataram, tetapi aku tidak. Sebenarnya aku pun menghormatinya. Tetapi jika orang Mataram itu sudah menyentuh istriku, maka aku tidak akan memaafkannya.”

“Dengar, Ki Sanak,” prajurit yang datang bersama Glagah Putih itu mencoba untuk menjelaskan, “Glagah Putih tidak berbuat apa-apa.”

“Kau percaya kepadaku atau kepada orang-orang itu, Kakang?”

Mata orang itu bagaikan menyala. Sementara itu seorang anak muda yang berada di pintu berkata, “Glagah Putih itu memang menarik Yu Rumi dan memaksanya duduk di sebelahnya.”

Orang yang bertubuh kekar itu tiba-tiba meloncat menerkam baju Glagah Putih. Dengan kasar orang itu menyeret Glagah Putih keluar dari dapur.

“Tunggu, tunggu.”

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Dengan sekuat tenaga orang itu memukul wajah Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan wajahnya dikenai pukulan orang itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah menghindar.

Dengan demikian maka pukulan yang dilontarkan dari jarak tidak lebih dari sepanjang jangkauan tangan itu tidak mengenainya. Sehingga dengan demikian, maka orang itu pun menjadi semakin marah. Dengan serta-merta orang itu telah menyerang Glagah Putih dengan garangnya.

“Tunggu, tunggu. Aku akan menjelaskan,” berkata Glagah Putih.

Tetapi orang itu tidak mendengarkannya. Serangannya datang seperti angin ribut.

Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan persoalan yang terjadi. Tetapi karena ia tidak merasa bersalah, maka Glagah Putih tidak mau menjadi sasaran serangan yang membabi buta. Karena itu, setelah berloncatan surut beberapa langkah, maka Glagah Putih mulai membalas serangan orang itu.

“Jangan membiarkan dirimu dihinakan, Glagah Putih!” teriak kawannya, prajurit yang menyertainya ke dapur. “Seseorang dapat menyakiti tubuh kita. Tetapi jangan menyakiti hati kita.”

Ketika orang itu meloncat sambil menyerang dengan tinjunya ke arah dagu Glagah Putih, maka Glagah Putih pun bergeser sedikit ke samping. Demikian tinju orang itu meluncur tanpa menyentuh kulitnya, maka Glagah Putih pun memukul perut orang bertubuh kekar itu.

Orang itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya terbungkuk, sementara kedua belah tangannya memegangi perutnya. Glagah Putih hanya memukul sekali, orang itu telah jatuh terjerembab di tanah.

Perempuan yang berada di dapur yang disebut istrinya itu pun berlari-lari, dan kemudian berjongkok di sebelah tubuh yang terkapar sambil kesakitan itu.

“Kakang, Kakang.”

Tiba-tiba saja tiga orang prajurit Demak mendatangi keributan itu. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Apa yang terjadi di sini?”

“Ampun, Ki Lurah,” berkata perempuan itu, “Glagah Putih telah menganiaya suamiku, setelah ia mencoba menggangguku.”

“Siapa Glagah Putih itu?”

“Ini. Orang ini. Salah seorang prajurit dari Mataram.”

“Kau yang bernama Glagah Puti ?” bertanya orang yang disebut Ki Lurah itu.

“Ya, Ki Lurah.”

“Kau telah membuat kerusuhan di Demak. Kau akan berhadapan dengan petugas di Demak.”

“Dengar, Ki Lurah,” berkata Glagah Putih, “bukan salahku.”

“Nanti katakan kepada orang yang akan memeriksa perkaramu. Aku akan menangkapmu dan menahanmu.”

“Aku tidak bersalah, Ki Lurah. Aku tidak mau ditangkap.”

“Kau akan melawan petugas?”

“Ki Lurah harus mendengarkan keteranganku.”

“Bukan aku. Tetapi akan ada orang yang bertugas mendengarkan keteranganmu.”

“Tetapi aku tidak mau ditangkap dengan cara dan dalam keadaan seperti ini.”

“Kami adalah petugas yang harus melakukan tugas kami. Jika kau melawan, maka kami akan mempergunakan kekerasan.”

Terasa dada Glagah Putih bergejolak. Baru kemudian Glagah Putih sadar, bahwa yang terjadi itu tentu salah satu jebakan yang telah dipasang oleh orang yang ingin memerasnya untuk mendapatkan kudanya. Glagah Putih sudah berhasil menghindari jebakan-jebakan sebelumnya. Namun akhirnya Glagah Putih telah terperosok pula ke dalamnya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata lantang, “Dengar! Aku tidak akan bersedia ditangkap, karena aku telah masuk ke dalam jebakan yang kalian pasang. Apapun yang akan terjadi, akan aku hadapi. Aku tidak akan dapat diperas dengan cara yang licik ini, oleh seseorang yang menginginkan kudaku. Karena itu, apapun yang terjadi, aku akan melawan para petugas, yang telah disuap untuk kepentingan seseorang.”

“Kau tidak akan dapat beralasan apapun juga. Kau sudah terbukti membuat kerusuhan. Kau harus menyerahkan kedua tanganmu untuk diikat.”

“Tidak.”

Orang yang disebut Ki Lurah itu pun kemudian telah memerintahkan kedua orang prajuritnya untuk menangkap Glagah Putih dengan kekerasan.

“Tidak ada kesempatan kepada siapapun yang telah menimbulkan kerusuhan di sini.”

Kedua orang prajurit itu pun segera menyergap Glagah Putih. Tetapi perkelahian tidak berlangsung lama. Kedua orang prajurit itu pun telah terpelanting dan jatuh berguling.

Dengan serta merta kedua orang prajurit itu bangkit. Bahkan kemudian bersama Ki Lurah mereka menyerang Glagah Putih. Ternyata Ki Lurah itu memiliki kemampuan pula dalam olah kanuragan. Untuk beberapa saat ia berkelahi. Namun kemudian ternyata bahwa ilmunya tidak dapat mengimbangi ilmu Glagah Putih. Bahkan bertiga sekalipun.

Beberapa orang pekerja di dapur itu telah mengerumuninya. Dalam keremangan cahaya lampu di kejauhan, mereka menyaksikan betapa ketiga orang prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah itu mengalami kesulitan. Berganti-ganti mereka terlempar jatuh. Bahkan kemudian tulang-tulang mereka pun merasa bagaikan berpatahan.

Dalam keadaan yang sulit itu, maka Ki Lurah itu pun berkata, “Beri isyarat. Panggil para prajurit yang bertugas.”

Beberapa orang yang berkerumun itu menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka Ki Lurah itu pun berteriak sekali lagi, “Panggil mereka yang bertugas malam ini! Seseorang telah membuat kekacauan di dapur.”

Sebelum seorangpun beranjak dari tempatnya, terdengar seseorang berkata, “Aku yang bertugas malam ini, Ki Lurah Rejasura.”

Ki Lurah yang dipanggil Rejasura itu pun segera berpaling. Dari antara kerumunan orang banyak itu muncul seorang prajurit Demak yang sedang bertugas malam itu.

Wajah Ki Lurah Rejasura menjadi tegang. Orang itu adalah Ki Lurah Sambirata.

“Kau-kah yang bertugas malam ini, Ki Lurah Sambirata?” bertanya Ki Lurah Rejasura.

“Ya.”

“Bukankah seharusnya yang bertugas malam ini Ki Lurah Wiryakerti?”

“Ya. Ki Lurah Wiryakerti telah dipanggil oleh Tumenggung Wirid.”

“Ki Tumenggung Wirid?”

“Ya. Aku-lah yang kemudian diperintahkan untuk menggantikannya.”

“Apakah semuanya itu sudah diketahui oleh Ki Tumenggung Panjer?”

“Ya. Tentu saja. Ki Tumenggung Panjer malam ini mendapat tugas khusus bersama Ki Tumenggung Gending, untuk menyusun pimpinan teras di Demak sejak pemerintahan Kanjeng Pangeran Puger menapak. Ada empat orang yang dipanggil, termasuk Ki Tumenggung Panjer, Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Wirid dan Ki Tumenggung Singawani.”

Ki Lurah Rejasura berdiri termangu-mangu. Agaknya ada yang tidak sesuai dengan rencana telah terjadi. Tiba-tiba iapun bertanya, “Bukankah Ki Tumenggung Wirid juga berada dalam pertemuan dengan Kanjeng Pangeran Puger sekarang.”

“Ya.”

“Bagaimana ia dapat mengganti Ki Lurah Wiryakerti dengan Ki Lurah Sambirata?”

“Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan perintah. Perintah itu diberikan di depan bangsal. Ki Tumenggung Panjer, Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Singawani juga ada waktu itu.”

“Lalu dimana Ki Lurah Wiryakerti sekarang?”

“Aku tidak tahu. Ada tugas lain yang harus dilakukannya sekarang.”

“Tugas apa?”

“Aku tidak tahu. Tetapi bukankah Ki Lurah tidak berkepentingan? Sekarang, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa Ki Lurah memerintahkan memanggil para prajurit yang bertugas?”

“Orang ini, Glagah Putih.”

“Kenapa dengan Glagah Putih? Bukankah Glagah Putih salah seorang dalam iring-iringan Kanjeng Pangeran Puger dari Mataram?”

“Ya.”

“Lalu kenapa Ki Lurah dan kedua orang prajurit itu berkelahi dengan Glagah Putih?”

“Glagah Putih telah menimbulkan kekacauan di sini. Glagah Putih telah mengganggu istri orang, sehingga telah terjadi perkelahian.”

“O,” Ki Lurah Sambirata mengangguk-angguk. “Manakah perempuan itu?”

Ki Lurah Rejasura itu pun kemudian memandang berkeliling untuk mencari perempuan yang menyatakan telah diganggu oleh Glagah Putih. Tetapi ia tidak segera menemukannya.

“Mana perempuan itu?” bertanya Ki Lurah Rejasura.

Semua orang yang berkerumun itu ikut memandang berkeliling. Tetapi mereka memang tidak menemukan perempuan itu.

“Dimana perempuan itu? Dimana, he?” bertanya Ki Lurah Rejasura.

Tetapi orang-orang yang berada di sekelilingnya itu menggeleng. Seorang di antara mereka menjawab, “Aku tidak tahu, Ki Lurah. Tadi perempuan itu ada di sini.”

“Siapa tahu rumahnya?” bertanya Ki Lurah Sambirata.

Orang-orang yang bertugas di dapur itu menggeleng.

“Bukankah perempuan itu kawan kalian?”

Orang-orang itu menggeleng lagi.

“Jadi siapakah perempuan itu? Kenapa ia berada di dapur?”

“Ia baru mulai bekerja sejak kemarin malam,” jawab salah seorang dari mereka.

“Sejak kemarin malam?” ulang Ki Lurah Sambirata.

“Ya, Ki Lurah.”

“Apakah tidak ada di antara kalian yang mengenalnya sebelumnya?”

Orang-orang itu menggeleng.

“Jika demikian, dimana suaminya itu?” bertanya Ki Lurah Rejasura.

Orang-orang itu pun menggeleng lagi.

“Jadi orang itu juga sudah pergi?” bertanya Ki Lurah Sambirata.

“Ya, Ki Lurah,” jawab seorang di antara mereka.

“Jadi mereka sudah tidak ada di sini?”

“Tidak, Ki Lurah.”

Ki Lurah Sambirata menarik nafas panjang.

Ki Lurah Rejasura menjadi gugup. Yang terjadi itu sama sekali berbeda dari yang direncanakan. Jika saja yang bertugas malam itu Ki Lurah Wiryakerti.

“Nah, bagaimana sekarang Ki Lurah Rejasura?” bertanya Ki Lurah Sambirata.

Wajah Ki Lurah Rejasura menjadi merah. Karena Ki Lurah Rejasura tidak segera menjawab, maka Ki Lurah Sambirata pun bertanya kepada para petugas dapur yang mengerumuninya, “Nah, siapakah di antara kalian yang dapat memberikan kesaksian?”

Tetapi tidak seorangpun menyatakan dirinya. Akhirnya Ki Lurah Rejasura itu pun berkata, “Aku tidak peduli apa yang terjadi. Orang yang melaporkan masalahnya itu justru sudah melarikan diri.”

“Lalu bagaimana dengan Glagah Putih, Ki Lurah Rejasura?” bertanya Ki Lurah Sambirata.

“Persetan dengan Glagah Putih,” jawab Ki Lurah Rejasura. Orang itu pun kemudian telah memberikan isyarat kepada kedua orang prajuritnya meninggalkan tempat itu.

Ki Lurah Sambirata memandanginya sampai hilang di belakang dinding penyekat di halaman samping di sebelah dapur itu.

“Kembalilah ke dapur. Bukankah kerja kalian belum selesai?” berkata Ki Lurah Sambirata kepada para petugas di dapur itu.

Baru sejenak kemudian, Ki Lurah Sambirata itu meninggalkan tempat itu. Di bawah sebatang pohon gayam yang besar, Ki Lurah itu mendekati Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya, yang mengawasi peristiwa itu dari kejauhan.

“Aku akan menghadap Ki Tumenggung Wirid,” berkata Ki Lurah Sambirata.

“Ki Lurah Rejasura tentu akan segera memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Panjer,” desis Ki Lurah Adipraya.

“Ki Tumenggung Panjer tidak akan berani mempersoalkannya. Selain Ki Tumenggung Panjer memang agak segan kepada Ki Tumenggung Wirid secara pribadi, Ki Tumenggung Wirid akan dapat bersaksi sesuai dengan keterangan para petugas sandinya, tentang rencana pemerasan yang dilakukan oleh Ki Tumenggung Panjer melalui berbagai macam cara.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya pun mengangguk-angguk. Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun bertanya, “Tetapi apa jawab Ki Lurah Sambirata, jika Ki Lurah Wiryakerti mempersoalkan pengakuan Ki Lurah Sambirata bahwa Ki Lurah yang bertugas memimpin penjagaan malam ini?”

“Aku akan menjelaskan persoalannya dengan berterus terang, bahwa persoalannya sudah ada di tangan Ki Tumenggung Wirid. Apakah persoalan itu akan dilanjutkan, atau akan dihentikan, Ki Lurah Wiryakerti akan dapat memilih yang terbaik menurut sisi pandangnya.”

“Tetapi sumber persoalannya ada pada Ki Tumenggung Panjer.”

“Biarlah para Tumenggung menyelesaikannya sendiri.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya hanya mengangguk-angguk, sementara Ki Lurah Sambirata berkata, “Persoalan seperti ini tentu dapat menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi baiklah, aku berterus terang. Selama ini memang ada masalah yang terselubung di Kadipaten ini. Beberapa orang pemimpin kurang dapat saling memahami kemauan yang satu dengan yang lain. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari nampaknya para pemimpin itu tetap akrab dan bekerja bersama, tetapi sebenarnyalah ada semacam peletik api di dalam timbunan sekam. Jika tidak segera disiram, maka api itu akan dapat membakar sebukit timbunan sekam itu.”

“Bagaimana menurut pendapat Ki Lurah akan kehadiran Kanjeng Pangeran Puger?”

“Kami berpengharapan. Mudah-mudahan para Tumenggung itu tidak lagi memandang segala persoalan menurut sudut pandang mereka sendiri-sendiri.”

“Tetapi persoalan yang sekarang terlontar dari keinginan Ki Tumenggung Panjer untuk memiliki seekor kuda yang besar dan tegar, tentu terlepas dari persoalan yang terselubung itu.”

“Seharusnya demikian, Ki Lurah. Tetapi apakah kita akan dapat memilih persoalan-persoalan yang tumbuh di dalam diri kita menghadapi orang yang sama?”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya menarik nafas panjang. Namun Ki Lurah Sambirata itu pun berkata, “Marilah kita pergi ke halaman depan. Di sini banyak sekali nyamuk.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk saja.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan kawannya sudah meninggalkan dapur pula. Kepada prajurit yang menemaninya itu Glagah Putih berkata, “Jangan mengatakan kepada siapapun. Persoalannya sangat memalukan.”

Kawannya mengangguk. Tetapi iapun menjawab, “Kau kira orang-orang yang bertugas di dapur itu dapat kau tutup mulutnya?”

“Persetan dengan mereka.”

“Cerita tentang dirimu tentu akan berkepanjangan.”

“Untunglah, aku mempunyai saksi.”

“Siapa?”

“Kau.”

“Kalau aku tidak mau bersaksi? Bahkan aku justru akan memberatkanmu?”

“Kau tidak boleh meminjam kudaku lagi.”

Prajurit itu tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Ki Lurah Sambirata, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya telah berada di halaman depan. Mereka tertegun ketika mereka melihat Ki Lurah Wiryakerti dan Ki Lurah Rejasura dengan tergesa-gesa mendekati mereka.

“Ki Lurah Sambirata,” berkata Ki Lurah Wiryakerti, “menurut Ki Lurah Rejasura, Ki Lurah Sambirata mengaku bertugas malam ini karena aku dipanggil oleh Ki Tumenggung Wirid.”

“Ya.”

“Kenapa? Bukankah dengan demikian Ki Lurah Sambirata telah melanggar wewenang orang lain?”

“Apakah dengan demikian Ki Lurah Rejasura merasa aku rugikan?”

“Tentu,” sahut Ki Lurah Rejasura.

“Apa yang telah aku rugikan? Aku berniat menolong. Ki Lurah Rejasura dan dua orang prajuritnya sedang berkelahi melawan Glagah Putih. Ketiga orang itu ternyata tidak berdaya. Sementara itu, Ki Lurah Rejasura minta seseorang memanggil prajurit yang sedang bertugas. Untuk membantunya, maka aku yang mendengarnya datang dan mengaku prajurit yang bertugas.”

“Tetapi seharusnya Ki Lurah Sambirata tidak berbuat demikian. Jika Ki Lurah ingin membantunya, sebaiknya Ki Lurah Sambirata memanggil aku, yang memang sedang bertugas malam ini.”

“Tetapi aku sengaja berbohong kepada Ki Lurah Rejasura.”

“Kenapa Ki Lurah sengaja berbohong?”

“Karena Ki Lurah Rejasura juga berbohong kepadaku. Bahkan berbohong kepada banyak orang. Buat apa aku bersungguh-sungguh, kalau orang itu membohongi aku?”

“Apa yang dikatakan oleh Ki Lurah Rejasura, sehingga kau menganggapnya berbohong?”

“Ki Lurah Rejasura mengatakan bahwa Glagah Putih telah mengganggu istri orang. Tetapi ternyata perempuan yang dikatakannya diganggu itu tidak ada.”

“Tetapi ketika Ki Lurah Sambirata mendatangi Ki Lurah Rejasura, bukankah Ki Lurah Sambirata belum dibohongi oleh Ki Lurah Rejasura?”

“Ki Lurah Rejasura sudah berbohong sejak semula. Bahkan sudah mempersiapkan kebohongan itu sejak awal.”

“Itu fitnah.”

“Jangan berkata begitu, Ki Lurah Rejasura. Bahkan aku merasa ragu, apakah Ki Lurah Wiryakerti tidak tahu akan hal itu.”

“Jadi kau juga memfitnah aku?”

“Baiklah. Biarlah kita menelusuri persoalannya sejak awal. Kami, maksudku aku, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya, pemimpin pengawal Kanjeng Pangeran Puger, melihat apa yang terjadi sejak Glagah Putih ke dapur bersama seorang kawannya. Para petugas di dapur juga melihat apa yang terjadi.”

“Aku bertindak berdasarkan atas laporan orang yang merasa terganggu,” berkata Ki Lurah Rejasura.

“Tetapi Ki Lurah tidak mau mendengarkan keterangan Glagah Putih. Jika setiap orang dapat ditangkap begitu saja berdasarkan laporan tanpa diteliti lebih dahulu, maka alangkah malangnya nasib orang-orang yang difitnah.”

“Kau terlalu berprasangka, Ki Lurah Sambirata,” berkata Ki Lurah Wiryakerti.

“Jika kau merasa bahwa aku telah melanggar hak dan wewenangmu, maka sebaiknya kau tempuh jalur paugeran yang berlaku, Ki Lurah Wiryakerti. Aku tidak berkeberatan. Aku akan berbicara terbuka tentang persoalan ini sejak awal. Sumbernya, dan orang-orang yang tersangkut di dalamnya. Bahkan menyangkut seorang Tumenggung sekalipun, aku mempunyai cukup saksi untuk memperkuat pernyataanku.”

Ki Lurah Wiryakerti termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Lurah Sambirata pun berkata, “Aku akan menunggu, Ki Lurah.”

Ki Lurah Wiryakerti dan Ki Lurah Rejasura saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Lurah Wiryakerti itu pun berkata, “Marilah. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Jika perlu, aku akan menempuh jalur lain yang lebih cepat.”

Ki Lurah Sambirata tertawa. Katanya, “Jalur manapun yang akan kau tempuh, aku tidak akan berkeberatan.”

Ki Lurah Wiryakerti dan Ki Lurah Rejasura pun segera meninggalkan Ki Lurah Sambirata, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya.

“Aku tidak yakin bahwa keduanya akan mencari penyelesaian lewat jalur lain, sebagaimana dikatakannya itu,” berkata Ki Lurah Sambirata. “Tetapi jika yang dimaksud adalah pengaruh dari Ki Tumenggung Panjer, maka aku akan berlindung di bawah pengaruh Ki Tumenggung Wirid.”

“Persoalan pertama yang akan dihadapi oleh Kanjeng Pangeran Puger adalah cara berpikir para pemimpin yang tidak sejalan. Mereka akan berpijak kepada kepentingan mereka sendiri-sendiri.”

“Untungnya masih ada keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan yang tidak sejalan itu, Ki Lurah,” berkata Ki Lurah Sambirata, “sehingga dengan demikian, maka pengaruhnya ke bawah tidak terlalu terasa tajam menusuk. Meskipun kadang-kadang cukup membingungkan.”

“Mudah-mudahan Kanjeng Pangeran Puger segera dapat mengatasi,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Mudah-mudahan,” sahut Ki Lurah Sambirata

Beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah Sambirata pun minta diri. Ia harus segera menghadap Ki Tumenggung Wirid, untuk melaporkan apa yang telah terjadi di sekitar dapur Kadipaten.

“Mudah-mudahan pembicaraan dengan Kanjeng Pangeran Puger itu sudah selesai,” berkata Ki Lurah Sambirata.

“Jadi Ki Tumenggung Panjer benar-benar sedang menghadap Kanjeng Pangeran Puger, di antara para pemimpin itu?”

“Ya. Ki Tumenggung Panjer termasuk seorang Tumenggung yang berpengaruh. Tetapi wataknya memang agak kurang sesuai dengan tingkat kedudukannya.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya tersenyum. Dengan nada rendah Ki Lurah Adipraya berkata, “Aku akan melaporkannya kepada Kanjeng Pangeran Puger.”

“Tetapi sebaiknya Ki Lurah juga mendengarkan pendapat pihak yang lain, agar tidak menjadi berat sebelah.”

“Baik. Kanjeng Pangeran Puger tentu juga ingin masukan dari banyak pihak, untuk mengambil langkah kebijaksanaan di Kadipaten ini.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Lurah Sambirata pun telah meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Lurah Adipraya. Keduanya pun kemudian telah pergi ke serambi gandok. Namun Ki Lurah Adipraya kemudian telah meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu di serambi, karena Ki Lurah Adipraya akan melihat apakah pertemuan di ruang dalam Dalem Kadipaten itu sudah selesai.

Ketika seorang prajurit mendekati Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah itu pun bertanya, “Apakah pertemuan di ruang dalam itu sudah selesai?”

“Entahlah, Ki Lurah.”

“Apakah kau belum melihat beberapa orang pemimpin kadipaten ini keluar dari ruang dalam? Memang tidak terlalu banyak. Hanya sekitar lima atau enam orang yang dipanggil oleh Kanjeng Pangeran Puger, untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun pemerintahannya di kadipaten ini.”

“Aku belum melihat, Ki Lurah. Tetapi di depan pendapa itu masih ada dua ekor kuda yang tertambat. Mungkin kuda itu milik dua orang yang sedang mengadakan pertemuan itu. Selebihnya mereka berjalan kaki, karena agaknya rumahnya dekat dengan Dalem Kadipaten ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.

Ketika prajurit itu meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu, maka Glagah Putih yang datang mendekatinya Sikap serta kata-kata yang kemudian diucapkan oleh Glagah Putih masih memberikan kesan, bahwa Glagah Putih merasa sangat gelisah dengan peristiwa yang terjadi di sebelah dapur itu.

“Kakang, aku telah terjebak. Di alun-alun aku berhasil menghindari jebakan itu. Ketika ada seorang yang tiba-tiba saja menggangguku dan menantangku, aku masih berhasil menghindari perkelahian. Karena aku tahu bahwa jika perkelahian itu terjadi, maka aku tentu akan ditangkap. Tetapi ternyata jebakan itu ada dimana-mana.”

“Jadi kau sudah dijebak di alun-alun?”

“Ya, Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Jangan cemas. Aku melihat apa yang telah terjadi.”

“Kakang melihatnya?”

“Ya. Aku datang bersama Ki Lurah Sambirata. Tetapi aku dan Ki Lurah Adipraya tidak mendekat.”

“Bagaimana menurut Kakang Agung Sedayu?”

“Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa.”

“Tetapi bagaimana jika cerita itu tersebar kemana-mana? Rara Wulan tentu akan mendengarnya. Jika ia termakan oleh cerita itu, maka akan timbul persoalan.”

“Tidak akan ada yang menyebarluaskan. Seandainya ada yang bercerita, tentu cerita itu akan lengkap. Maksudku, bahwa yang terjadi adalah peristiwa yang dibuat-buat. Ternyata perempuan dan yang mengaku suaminya itu dengan diam-diam pergi. Apalagi para petugas di dapur tidak ada yang mengenal mereka sebelumnya. Tiba-tiba saja mereka telah dipekerjakan di dapur.”

“Jika ingin menelusuri, tentu dapat ditanyakan kepada orang yang dengan serta-merta menempatkan mereka di dapur.”

“Ya, Jika perlu. Tetapi jika kemudian peristiwa itu tidak lagi diungkit, maka diam sajalah. Baru jika peristiwa itu mempunyai ekor yang panjang, kita dapat menempuh beberapa jalur. Tetapi Ki Lurah Sambirata akan dapat menunjukkan jalur yang terbaik yang dapat kita tempuh.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Syukurlah jika Kakang melihatnya. Selain Kakang, aku juga mempunyai seorang saksi.”

“Ya. Aku juga melihatnya.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Kapan kita meninggalkan kadipaten ini, Kakang?”

“Besok lusa, Glagah Putih. Besok kita mempersiapkan segala sesuatunya yang akan kita bawa kembali ke Mataram. Besok lusa, di dini hari kita akan berangkat.”

“Tempat ini telah menjadi neraka bagiku.”

“Ya. Tetapi dengan demikian kita mengetahui, bahwa para pemimpin di kadipaten ini nampaknya selama ini saling bersaing.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun bergumam, “Sebaiknya Kanjeng Pangeran Puger mengetahuinya.”

“Kanjeng Pangeran Puger tentu mengetahuinya, karena Ki Lurah Adipraya sudah mengetahuinya juga. Ki Lurah Adipraya tentu akan menyampaikannya kepada Kanjeng Pangeran Puger, sehingga Kanjeng Pangeran Puger akan berhati-hati mengambil kesimpulan.”

“Tetapi jika dalam pertemuan itu Kanjeng Pangeran Puger sudah mengambil keputusan-keputusan?”

“Tentu belum. Kanjeng Pangeran Puger tentu baru mengumpulkan bahan-bahan terpenting.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar berharap agar apa yang telah terjadi di dapur itu tidak akan tersebar dalam kesalahpahaman.

Meskipun Ki Lurah Agung Sedayu berusaha untuk menenangkan kegelisahan Glagah Putih, namun malam itu Glagah Putih benar-benar sulit untuk dapat tidur. Meskipun ia sudah berbaring di antara para prajurit yang bertugas menyediakan makanan dan minuman di perjalanan itu, namun matanya tidak segera dapat terpejam.

Glagah Putih menjadi semakin sulit tidur ketika prajurit yang tidur di sebelahnya mendengkur keras sekali. Bahkan menjelang tengah malam, Glagah putih justru bangkit dari pembaringannya dan turun ke halaman. Tetapi Glagah Putih menyadari keadaannya, sehingga ia tidak pergi ke mana-mana. Ia bahkan duduk bersama para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang bertugas mengawasi keadaan, meskipun tempat itu sudah dijaga oleh para prajurit Demak.

“Kau tidak mengantuk?” bertanya seorang prajurit kepada Glagah Putih.

“Sebenarnya aku mengantuk. Tetapi aku tidak dapat tidur.”

“Jangan takut. Kudamu tidak akan hilang meskipun seorang Tumenggung ingin memilikinya.”

“Darimana kau tahu?” bertanya Glagah Putih.

“Kami mendapat beberapa keterangan, agar kami tahu apa yang harus kami lakukan.”

“Terima kasih,” Glagah Putih itu mengangguk-angguk. Pernyataan prajurit dari Pasukan Khusus itu telah membuatnya menjadi tenang. Karena itu, maka sejenak kemudian Glagah Putih telah minta diri untuk kembali ke pembaringannya

“Tidurlah. Jika perlu, aku akan membangunkanmu,” berkata seorang prajurit sambil tersenyum.

Glagah Putih tersenyum pula. Katanya, “Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat tidur nyenyak.”

Sebenarnyalah ketika kemudian Glagah Putih berbaring, matanya pun terasa amat berat. Dibangunkannya prajurit yang mendengkur itu. Lalu katanya, “Kanjeng Pangeran Puger akan melihat-lihat tempat kita ini, apakah cukup memadai atau tidak. Karena itu jangan mendengkur, agar tidak menarik perhatian Kanjeng Pangeran Puger sehingga datang kemari. Jika Kanjeng Pangeran Puger memasuki barak kita ini, maka kita semuanya harus bangun.”

“Kanjeng Pangeran Puger?” bertanya prajurit yang mendengkur itu.

“Ya.”

“Benar?”

“Benar.”

Prajurit itu pun kemudian bangkit dan duduk di pembaringan. Katanya, “Jika tidur aku tentu mendengkur.”

“Karena itu, jangan tidur.”

Prajurit itu mengangguk. Untuk beberapa saat ia mencoba untuk bertahan untuk duduk di pembaringan. Namun akhirnya iapun berbaring juga. Matanya pun segera terpejam dan suara dengkurnya telah terdengar lagi. Tetapi dalam pada itu, Glagah Putih sudah tertidur pula

Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, para prajurit Mataram telah berbenah diri. Pedati-pedati yang akan dibawa kembali ke Mataram telah disiapkan. Bekal di perjalanan pun telah dilihat pula, apakah mencukupi atau tidak.

Namun ketika Kanjeng Pangeran Puger menanyakan bekal di perjalanan itu, maka prajurit yang bertugas mengurus bekal dan perlengkapan itu menyatakan bahwa bekal di perjalanan kembali ke Mataram itu masih cukup. Tetapi untuk meyakinkan agar tidak terjadi kesulitan di perjalanan, maka Kanjeng Pangeran Puger telah memerintahkan untuk menambah bekal itu serba sedikit.

Di hari terakhir Ki Lurah Agung Sedayu di Demak, Kanjeng Pangeran Puger telah memanggilnya. Memberikan beberapa pesan untuk disampaikan kepada Kanjeng Panembahan di Mataram,

Namun pada bagian terakhir pesan yang harus disampaikan itu, Kanjeng Pangeran Puger juga menyatakan, bahwa Kanjeng Pangeran Puger masih harus membenahi sikap para pemimpin di Demak.

“Hamba akan menyampaikan pesan Kanjeng Pangeran,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

“Terima kasih, Ki Lurah. Tanpa Ki Lurah Agung Sedayu, cerita perjalananku ke Demak akan berbeda.”

“Hamba hanya sekedar menjalankan tugas, Pangeran.”

“Barangkali sudah pernah aku katakan, bahwa tidak semua orang menjalankan tugasnya dengan baik. Karena itu, maka harus ada penilaian yang wajar terhadap mereka, yang meskipun hanya sekedar menjalankan tugas.”

Menjelang malam, maka beberapa orang pemimpin Kadipaten Demak telah berkumpul untuk memberikan ucapan selamat jalan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Ada di antara mereka yang sebenarnya merasa segan. Mereka yang mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi dari seorang lurah prajurit menganggap bahwa pertemuan semacam itu agak berlebihan.

“Kenapa kita harus menghormati seorang lurah prajurit yang besok akan kembali ke Mataram dengan penghormatan yang berlebihan? Bahkan Kanjeng Pangeran Puger sendiri harus mengucapkan selamat jalan kepada mereka. Kenapa Kanjeng Pangeran tidak menugaskan saja seorang lurah prajurit Demak untuk menyampaikan ucapan selamat jalan, dan membiarkannya berangkat esok pagi bersama pasukan kecilnya itu?”

“Yang penting bagi Kanjeng Pangeran Puger bukannya pangkatnya, tetapi apa yang sudah dilakukannya. Lurah prajurit yang bernama Agung Sedayu itu telah menyelamatkan jiwanya.”

“Itu sudah kewajibannya. Ki Lurah itu ditugaskan untuk mengawal Kanjeng Pangeran Puger sampai ke Demak. Tentu saja jika ada hambatan, ia harus bertindak.”

“Ia bukan saja bertindak atas dasar tugasnya. Tapi Ki Lurah Agung Sedayu itu seorang prajurit yang cerdik.”

“Cerita yang berlebihan.”

Tetapi orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi itu tidak berani menolak perintah Kanjeng Pangeran Puger, sehingga orang itu pun terpaksa datang di pertemuan itu.

Salah seorang dari mereka yang menganggap pertemuan itu berlebihan adalah Ki Tumenggung Panjer. Ki Tumenggung terbiasa dihormati dan memerintah para lurah prajurit dengan semena-mena, sehingga untuk menghormati Ki Lurah Agung Sedayu, rasa-rasanya segan juga.

Namun Ki Tumenggung Wirid dengan ikhlas menyalami Ki Lurah Agung Sedayu sambil berkata, “Aku sudah mendengar apa yang Ki Lurah lakukan di sepanjang perjalanan. Tetapi lebih dari itu, dari Ki Lurah Adipraya aku sudah mendengar, siapakah sebenarnya Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

“Seperti kebanyakan lurah prajurit, Ki Tumenggung.”

“Ki Lurah Adipraya pun mengatakan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah adik Ki Tumenggung Untara, yang memegang peranan pada saat-saat peralihan setelah Demak bergeser ke Pajang.”

“Aku memang adiknya, Ki Tumenggung. Tetapi aku bukan apa-apa.”

Ki Tumenggung Wirid pun tertawa.

Malam itu, dalam pertemuan itu, Kanjeng Pangeran Puger sendiri telah mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya, yang telah menyelamatkan Kanjeng Pangeran Puger berserta keluarganya dalam perjalanan ke Demak.”

“Kami tidak akan melupakan Ki Lurah dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang Ki Lurah pimpin.”

Ki Lurah Agung Sedayu hanya dapat mengangguk dalam-dalam sambil menyembah. “Terima kasih atas penghargaan ini, Kanjeng.”

“Aku telah menyiapkan sebuah tunggul yang khusus. Aku akan menyerahkan tunggul ini kepada Ki Lurah untuk melengkapi pertanda kebesaran pasukan yang Ki Lurah pimpin. Tentu saja Ki Lurah harus melaporkannya kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati atau Ki Patih Mandaraka, apakah tunggul itu diperkenankan disejajarkan dengan tunggul resmi pasukan Ki Lurah. Jika tidak, maka tunggul itu akan berada di belakang tunggul resmi dari pasukan Ki Lurah.”

“Sekali lagi hamba mengucapkan terima kasih, Kanjeng Pangeran.”

Malam itu, Kanjeng Pangeran Puger telah menyelenggarakan bujana bagi para prajurit Mataram yang besok pagi-pagi sekali akan berangkat kembali ke Mataram.

Malam itu, ketika pertemuan ditutup, Kanjeng Pangeran Puger masih memerintahkan para pemimpin Demak itu datang besok sebelum matahari terbit, untuk melepas pasukan Mataram yang akan pulang itu.

“Kenapa harus mendapat kehormatan yang berlebihan?” desah seorang Tumenggung yang sejak semula menganggap penghormatan semacam itu bagi seorang lurah prajurit tidak perlu. Tetapi seperti dalam pertemuan yang dilangsungkan itu, mereka tidak berani mengelak. Mereka terpaksa harus datang, betapapun mereka tidak melakukannya dengan ikhlas

Demikianlah, di dini hari pasukan Mataram itu sudah siap. Sebagaimana diperintahkan oleh Kanjeng Pangeran Puger, maka para pemimpin Demak pun melepas iring-iringan yang meninggalkan pintu gerbang Dalem Kadipaten itu.

“Selamat jalan, Ki Lurah,” berkata Kanjeng Pangeran Puger.

“Doa restu Pangeran yang hamba mohon.”

“Aku doakan kalian selamat sampai ke Mataram.”

Ternyata dalam iring-iringan itu terdapat dua orang perempuan, yang semula berada di antara para abdi perempuan Kanjeng Pangeran Puger. Mereka adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan. Ketika mereka berada di antara para prajurit yang pulang ke Mataram itu, mereka tidak mengenakan pakaian sebagaimana para abdi, tetapi mereka telah mengenakan pakaian khusus mereka.

Jantung Ki Tumenggung Panjer masih berdebaran ketika ia melihat di paling belakang dari iring-iringan itu, seekor kuda yang tinggi, besar dan tegar, milik Glagah Putih.

Tetapi Ki Tumenggung Panjer harus mengakui kenyataan, bahwa kuda itu tidak pernah menjadi miliknya. Kuda yang besar dan tegar, sebesar dan setegar kuda Kanjeng Pangeran Puger, milik Glagah Putih itu ikut pula dalam iring-iringan kembali ke Mataram.

Di perjalanan pulang, selain pedati yang membawa bekal dan perlengkapan, ada dua pedati yang kosong. Sedangkan yang lain memang ditinggalkan di Demak. Meskipun di antara iring-iringan terdapat juga pedati sebagaimana saat mereka berangkat ke Demak, namun rasa-rasanya perjalanan mereka agak lebih cepat. Pedati yang masih saja merayap seperti siput itu tidak terlalu sering berhenti karena para putri dan para dayang merasa sangat letih duduk di dalamnya, serta diguncang oleh jalan yang tidak rata.

Di perjalanan pulang, yang duduk di dalam pedati yang satu adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedang di pedati yang lain, bergantian para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum para prajurit. Namun meskipun di perjalanan kembali para prajurit itu tidak bersama Pangeran Puger, namun bukan berarti mereka dapat berjalan berpencar menurut kesenangan mereka masing-masing. Pasukan kecil itu masih tetap terikat dalam kesatuan yang utuh, berbaris menempuh jalan yang panjang, menuju ke Mataram.

Iring-iringan itu menempuh perjalanan kembali sebagaimana jalan yang mereka tempuh di saat mereka berangkat. Namun setelah mereka menempuh perjalanan setengah hari, seorang prajurit berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, “Ki Lurah. Aku tahu jalan yang jauh lebih dekat dari jalan ini. Tapi jalannya memang lebih sulit.”

“Apakah pedati itu dapat melewatinya?”

“Dapat saja, Ki Lurah. Tetapi di beberapa tempat, kita harus membantu mendorongnya. Jalannya agak terjal, sehingga lembu yang menarik pedati itu memerlukan bantuan.”

“Jika saja pedati dapat lewat, meskipun agak sulit sedikit, kita akan memilih jalan itu. Seberapa jauh kita dapat menghemat perjalanan kita?”

“Lebih dari setengah hari perjalanan.”

“Jika demikian, kita akan menempuh jalan itu. Tetapi jika jalan itu terlalu sulit, maka kau akan ikut dipasang di depan pedati itu, bersama sepasang lembu untuk ikut menariknya.”

Prajurit itu tertawa. Katanya, “Bukankah aku tidak sendiri?”

“Nah, kau-lah yang akan menjadi penunjuk jalan. Awas jika kita tersesat nanti.”

Seorang prajurit yang lain pun berkata, “Jika kita tersesat, kau akan digantung di tengah jalan.”

“Aku pernah menjadi pengembara di masa mudaku. Aku tidak pernah merasa tersesat, karena aku selalu dapat menemukan jalan ke arah yang aku kehendaki.”

“Baiklah,” akhirnya Ki Lurah Agung Sedayu mengambil keputusan, “kita akan melewati jalan yang lebih dekat itu.”

Akhirnya mereka pun berbelok di simpang tiga yang telah dikenali oleh prajurit itu. Mereka menempuh jalan yang memang lebih kecil, tetapi jalan itu tidak terlalu jelek. Ada juga bekas roda pedati, meskipun agaknya jarang-jarang saja.

Setelah lewat tengah hari, ketika mereka berada di sebuah padang perdu tidak terlalu jauh dari pinggir hutan, mereka pun berhenti. Para prajurit yang bertugas menyediakan makan dan minuman-lah yang harus bekerja keras untuk menyiapkan makan dan minum bagi kawan-kawannya.

Tetapi di samping beberapa orang prajurit, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah ikut pula membantu mereka.

Para prajurit itu telah menyiapkan makan bukan hanya untuk siang itu. Tetapi mereka pun menyiapkan makan kawan-kawannya sekaligus untuk makan malam, sehingga di saat mereka merasa letih, mereka tidak harus bekerja terlalu berat. Dengan demikian mereka akan lebih cepat dapat beristirahat dan tidur, seperti prajurit-prajurit yang lain. Namun para prajurit yang bertugas untuk menyiapkan makan dan minum itu tidak mendapat tugas untuk berjaga-jaga di malam hari.

Karena di antara mereka dalam iring-iringan itu tidak terdapat para putri, maka waktu beristirahat pun menjadi lebih pendek dari saat mereka berangkat. Setelah makan, mereka tidak terlalu lama duduk-duduk di bawah bayangan pepohonan. Beberapa saat saja mereka sempat berbincang sambil bersandar pepohonan. Namun sejenak kemudian, telah terdengar aba-aba agar mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.

Sejenak kemudian, iring-iringan itu telah bergerak kembali. Jika iring-iringan itu melewati padukuhan, maka orang-orang padukuhan pun berlari-lari keluar dari halaman rumahnya untuk menyaksikannya. Jarang mereka melihat iring-iringan prajurit melewati padukuhan mereka. Seorang Bekel di sebuah padukuhan justru sempat bertanya kepada prajurit yang berjalan di paling depan, “Prajurit dari mana kalian, Ki Sanak?”

Yang berjalan di paling depan adalah prajurit yang menjadi penunjuk jalan. Karena itu, maka orang itu pun langsung mempertemukan Ki Bekel dengan Ki Lurah Agung Sedayu. Sambil mengangguk hormat Ki Bekel itu pun berkata, “Aku minta maaf, Ki Sanak, bahwa aku telah mengganggu perjalanan Ki Sanak. Aku adalah Bekel Karangdawa. Iring-iringan ini telah mengejutkan aku dan bahkan rakyat padukuhan Karangdawa. Jarang sekali kami melihat sekelompok prajurit lewat jalan di padukuhan ini. Tiba-tiba saja sekarang sebuah iring-iringan yang besar telah memasuki padukuhan kami.”

“Ki Bekel,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “aku adalah lurah prajurit yang memimpin sekelompok prajurit ini. Namaku Agung Sedayu. Kami baru pulang dari Demak.”

“Ki Lurah akan menuju ke mana?”

“Kami akan pulang ke Mataram.”

“Apakah Ki Lurah baru saja pulang setelah menyerang Demak, dan membawa jarahan di pedati-pedati itu?”

“Tentu saja tidak, Ki Bekel. Kelompok ini hanyalah kelompok kecil. Sendangkan prajurit Demak jumlahnya ribuan orang.”

“Jadi?”

“Kami mengantar Kanjeng Pangeran Puger dari Mataram ke Demak. Kanjeng Pangeran Puger telah ditetapkan menjadi Adipati di Demak oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati di Mataram.”

“Kanjeng Pangeran Puger?”

“Ya. Ki Bekel sudah pernah mendengar nama Kanjeng Pangeran Puger?”

“Ya. Kami pernah mendengar namanya.”

“Nah, Kanjeng Pangeran Puger itu sekarang berada di Demak.”

“Apakah ketika Ki Lurah berangkat ke Demak dari Mataram, Ki Lurah tidak melewati jalan ini?”

“Tidak, Ki Bekel, Kami lewat jalan lain. Jalan yang lebih baik dari jalan ini, karena di dalam iring-iringan itu terdapat beberapa orang putri.”

“Putri. Beberapa orang putri menempuh perjalanan sejauh itu? Apakah mereka naik tandu?”

“Tidak. Kebetulan Kanjeng Pangeran Puger tidak mempergunakan tandu untuk membawa putri. Jaraknya terlalu jauh, sehingga orang yang memanggul tandu itu akan menjadi sangat kelelahan.”

“Mereka berjalan kaki?”

“Tidak.”

“Jadi?”

“Mereka naik pedati.”

“Naik pedati? Apakah tubuh mereka tidak menjadi sangat penat?”

“Tentu Ki Bekel. Tetapi itu adalah kendaraan yang terbaik yang dapat kami pergunakan waktu itu.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian berkata, “Ki Lurah, jika saja Ki Lurah bersedia singgah di sini. Sebentar lagi, senja akan turun. Jika Ki Lurah melanjutkan perjalanan, jarak yang Ki Lurah capai sampai senja juga hanya beberapa ratus patok saja.”

“Terima kasih, Ki Bekel. Tetapi kami ingin segera sampai ke Mataram. Karena itu, maka kami akan meneruskan perjalanan. Kami tidak hanya berhenti pada saat-saat senja turun. Kami masih akan dapat melanjutkan perjalanan sampai wayah sepi bocah misalnya.”

“Tetapi, Ki Sanak, perjalanan kalian masih panjang. Kalian tentu akan menjadi sangat letih jika kalian berjalan sampai lewat senja.”

“Kami adalah prajurit, Ki Bekel. Kami sudah terbiasa menjalankan tugas-tugas berat kami.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Lurah. Ada sesuatu yang harus Ki Lurah ketahui, agar Ki Lurah tidak terkejut karenanya.”

“Tentang apa, Ki Bekel?”

“Jika Ki Lurah meneruskan perjalanan, maka Ki Lurah akan melewati daerah yang gawat. Di sebelah bukit di seberang hutan itu terdapat sebuah perguruan. Agaknya para pemimpin perguruan itu sudah terlalu lama merasa berkuasa di daerah ini, termasuk daerah Karangdawa ini. Padukuhan-padukuhan yang jarang sekali dijamah oleh prajurit dari manapun.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Jika orang-orang perguruan itu mengetahui bahwa Ki Lurah dengan sekelompok prajurit ini lewat, maka mereka tentu akan tersinggung. Ki Lurah telah menyentuh daerah kekuasaan mereka tanpa seijin mereka.”

“Kami hanya lewat, Ki Bekel. Kami tidak berbuat apa-apa di sini.”

“Mereka tidak akan mengerti. Mereka tentu akan menuntut. Tuntutan yang paling ringan adalah agar Ki Lurah memberikan pajak, yang besarnya akan mereka tentukan kemudian.”

“Ah, itu tidak wajar. Kami dapat lewat manapun juga tanpa di ganggu. Apalagi kami adalah prajurit yang sedang mengemban tugas.”

“Tetapi mereka tidak akan mau tahu.”

“Tetapi kami adalah sekelompok prajurit, Ki Bekel.”

“Jumlah murid di padukuhan itu banyak sekali, Ki Lurah. Jika terjadi benturan kekerasan, maka kalian akan mendapatkan lawan terlalu banyak. Jumlah para cantrik di perguruan itu dari segala tingkatan, jumlahnya lebih dari seratus orang, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menjawab, “Kami sudah sampai di sini, Ki Bekel.”

Dengan nada berat Ki Bekel itu pun berkata, “Ki Lurah. Jika Ki Lurah berniat berjalan terus, aku dapat menunjukkan jalan yang lain, yang tidak melewati perguruan yang ganas itu. Tetapi jalannya memang agak sulit. Apalagi dengan pedati-pedati itu. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa jalan itu tidak dapat dilewati pedati, meskipun barangkali lembu penariknya perlu dibantu dengan mendorongnya.”

“Terima kasih atas peringatan yang Ki Bekel berikan. Tetapi biarlah kami meneruskan perjalanan kami mengikuti jalan yang kami pilih.”

“Ruas-ruas jalan yang melewati perguruan yang panas itu ada yang sulit pula. Ada satu dua tanjakan agak terjal, sehingga pedati-pedati itu pun perlu didorong.”

“Tetapi bukankah jalannya masih lebih baik dari jalan sidatan itu, Ki Bekel?”

“Ya, Ki Lurah. Tetapi barangkali Ki Lurah ingin menghindari hambatan di perjalanan.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih, Ki Bekel.”

“Baiklah, Ki Lurah, jika Ki Lurah ingin berjalan terus. Aku sudah memberikan peringatan kepada Ki Lurah. Tetapi aku pun dapat mengerti, bahwa yang bersama-sama Ki Lurah sekarang adalah sekelompok prajurit, yang tidak boleh menghindari dari kemungkinan terjadi kekerasan.”

“Bukan maksud kami untuk memilih jalan yang memungkinkan terjadinya kekerasan, Ki Bekel. Tetapi jika kekerasan itu menghalangi jalan kami, maka kami akan menembusnya.”

Ki Bekel itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Ki Lurah mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

“Doa Ki Bekel merupakan bekal yang sangat berharga bagi kami.”

Demikianlah, sejenak kemudian iring-iringan itu pun melanjutkan perjalanan. Ki Bekel melepas mereka sampai ke gerbang pedukuhannya. Demikian mereka berada di bulak, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memperingatkan kepada para pemimpin kelompok untuk berhati-hati.

“Aku melihat kesungguhan pada sikap dan kata-kata Ki Bekel. Karena itu, kalian jangan menjadi lengah. Mungkin orang-orang perguruan itu sempat berbicara dengan kita. Tetapi mungkin tiba-tiba saja mereka menyergap, karena mereka melihat bahwa kita adalah kelompok prajurit.”

Dengan demikian, maka kelompok-kelompok prajurit itu pun segera memperketat diri dalam kelompok mereka masing-masing. Di samping depan adalah penunjuk jalan itu beserta kelompoknya. Di sebelah-menyebelah, di atas punggung kuda, Ki Lurah Agung Sedayu dan pemimpin kelompok itu. Di belakang kelompok itu, dua buah pedati yang kosong, yang hanya ditumpangi oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kemudian kelompok-kelompok berikutnya. Di belakangnya, pedati-pedati yang membawa bekal perjalanan serta perlengkapannya.

Para prajurit yang mengurusi perbekalan dan perlengkapan, serta para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi kawan-kawannya, telah membentuk kelompok sendiri. Glagah Putih menyatakan diri ikut dalam kelompok itu. Bahkan kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan pun tidak lagi berada di dalam pedati yang kosong. Tetapi mereka telah turun dan bahkan bergabung dengan kelompok para prajurit yang mengurusi perbekalan dan perlengkapan, serta para prajurit yang menyiapkan makan dan minuman itu.

Di paling belakang adalah sekelompok prajurit dengan pemimpin kelompoknya yang duduk di atas punggung kuda. Seorang yang berwajah garang, berkumis lebat dan bermata cekung. Namun ternyata ia adalah seorang yang senang sekali berkelakar. Suara tertawanya kadang-kadang meledak tidak terkendali.

Di perjalanan itu, orang itu masih sempat berkata kepada Glagah Putih, “Bawa kudamu ke depan pedati-pedati perbekalan itu. Kudaku nampak seperti jaran kere jika berdekatan dengan kudamu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kau memang pantas duduk di punggung kuda beban yang kerdil.”

Orang yang berwajah garang, berkumis lebat dan bermata cekung itu tertawa pula.

“Sst,” justru prajurit dalam kelompoknya yang berdesis.

“Sst,” orang berwajah garang itu menirukan.

Yang kemudian duduk di atas punggung kuda Glagah Putih adalah justru seorang prajurit yang bertugas menyediakan makan dan minuman. Ternyata seperti yang dikatakan pemimpin kelompok itu, prajurit itu berkuda di depan pedati-pedati yang membawa bekal dan peralatan.

Ketika senja mulai membayang, iring-iringan itu memasuki jalan yang berada di bawah bayang kegelapan sebuah hutan yang lebat. Jalan yang melalui pinggiran hutan hanya diantarai oleh padang perdu yang sempit. Namun yang melewati jalan itu adalah sepasukan prajurit, hingga mereka sama sekali tidak merasa cemas seandainya mereka berpapasan dengan binatang buas yang kebetulan keluar dari hutan yang lebat itu.

Yang kemudian menjadi perhatian mereka adalah sebuah bukit kecil di seberang ujung hutan itu. Menurut Ki Bekel, di tempat itu terdapat sebuah perguruan yang keras, yang merasa mempunyai kekuasaan yang besar di daerah itu. Ki Lurah Agung Sedayu telah memperingatkan prajurit-prajuritnya untuk berhati-hati. Menurut Ki Bekel, di sebelah bukit itu perjalanan mereka mungkin akan dihambat.

“Apakah kita tidak berhenti dan bermalam di padang perdu ini saja, Ki Lurah?” berkata seorang pemimpin kelompok.

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Tetapi setelah kita sampai di ujung hutan. Kita akan berhenti dan berkemah, sementara itu malam tentu sudah turun.”

Sebenarnyalah sedikit lewat senja, mereka telah sampai ke ujung hutan. Ki Lurah pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk berhenti.

Beberapa orang pemimpin kelompok ternyata sependapat bahwa pasukannya berhenti di padang perdu itu. Mereka dapat mengawasi keadaan di sekitarnya dengan agak leluasa. Jika mereka meneruskan perjalanannya melingkari bukit kecil itu, maka mereka akan dapat terjebak di dalam kegelapan. Mereka tidak menguasai medan dengan baik. Agak berbeda jika mereka melewati jalan itu pada saat hari terang. Meskipun mereka tidak mengenal medan dengan baik, namun mereka dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan baik.

Karena itu, maka iring-iringan itu pun kemudian berhenti di padang perdu, di ujung hutan yang lebat. Mereka pun segera menempatkan pedati mereka melingkar. Di tengah-tengahnya para prajurit itu pun telah menyalakan api untuk menghangatkan tubuh mereka, serta menerangi keadaan di sekitarnya. Para pemimpin kelompok pun segera mengatur prajurit-prajuritnya untuk bergantian berjaga-jaga di sekitar perkemahan mereka.

“Tidurlah di dalam pedati yang kosong itu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan.

“Baik, Kakang,” jawab Sekar Mirah.

Dua orang prajurit yang melihat keadaan di sekitar tempat itu menemukan sebuah sungai kecil yang mengalir di sela-sela batu padas. Dengan oncor mereka melihat bahwa air yang mengalir di parit itu adalah air yang. jernih. Beberapa kelompok ikan wader pari berenang menentang arus.

Ternyata air itu penting bagi prajurit yang berjalan sehari-harian. Ada di antara mereka yang merasa perlu untuk mandi. Tetapi yang lain sekedar mencuci muka, kaki dan tangan mereka. Namun sejuknya air itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar.

Sekar Mirah dan Rara Wulan memilih giliran yang terakhir. Meskipun demikian, mereka minta Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mengawasi keadaan. Justru karena mereka berada di tempat yang tidak mereka kenal dengan baik.

Malam itu, suasana di perkemahan terasa lebih longgar dari saat mereka berangkat. Malam itu mereka tidak bersama Kanjeng Pangeran Puger serta para putri. Rasa-rasanya beban para prajurit itu sudah menjadi ringan, karena setiap orang di perkemahan itu seharusnya dapat melindungi diri mereka sendiri. Tetapi bukan berarti bahwa mereka yang satu dengan yang lain tidak akan bekerja sama. Para prajurit itu sudah terlatih untuk menghadapi semua persoalan secara pribadi maupun bersama-sama.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka beberapa orang prajurit pun sudah mulai mendengkur. Mereka mempercayakan keselamatan mereka kepada kawan-kawan mereka yang bertugas. Jika kawan-kawan mereka yang bertugas lengah, maka mereka akan dapat menjadi banten. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu tahu benar akan kewajiban mereka. Karena itu, yang sedang bertugas akan menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya.

Sekar Mirah dan Rara Wulan malam itu berada di sebuah pedati yang kosong, tetapi mereka tidak segera dapat tidur. Rasa-rasanya tubuh mereka dikerumuni oleh nyamuk yang tidak terhitung jumlahnya. Baru menjelang tengah malam mereka dapat memejamkan mata mereka. Ki Lurah Agung Sedayu berada di pedati kosong yang lain, untuk memudahkan prajurit-prajuritnya yang ingin menemuinya. Namun di pedati itu Ki Lurah sempat juga tidur, tetapi dengan bersandar tiang.

Sedikit lewat tengah malam, seorang prajurit yang bertugas datang menemuinya. Perlahan-lahan prajurit itu pun berdesis, “Kami melihat dua orang yang bergerak tidak terlalu jauh dari perkemahan ini, Ki Lurah.”

“Apakah mereka masih terus di awasi?”

“Ya. Kawan-kawan yang bertugas masih terus mengawasi mereka. Nampaknya kedua orang itu pun berusaha untuk mengawasi kita.”

“Berhati-hatilah. Agaknya apa yang dikatakan oleh Ki Bekel itu benar. Aku memang yakin bahwa Ki Bekel itu bersungguh-sungguh. Setidak-tidaknya sejauh pengenalannya atas padepokan itu.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Laporkan setiap gerakan yang kalian lihat,”

“Baik, Ki Lurah.”

Sejenak kemudian prajurit itu pun meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu. Namun sejenak kemudian, Glagah Putih-lah yang datang kepadanya, “Aku melihat sosok orang yang mencurigakan, Kakang.”

“Kau berada di mana ketika kau lihat orang itu?”

“Aku berada di sebelah timur, Kakang.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Glagah Putih berada di tempat yang berseberangan dengan prajurit yang telah melapor kepadanya. Dengan demikian Ki Lurah Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa ada beberapa orang yang mengamati perkemahan mereka dari beberapa arah.

Ketika hal itu dikatakan kepada Glagah Putih, maka Glagah Putih pun berkata, “Mungkin orang yang sama yang mengelilingi perkemahan ini, Kakang.”

“Mungkin. Tetapi prajurit itu baru saja datang melapor kepadaku. Waktunya terlalu singkat bagi seseorang yang semula berada di barat, kemudian berputar ke timur. Kecuali jika prajurit itu terlambat melapor kepadaku.”

Namun ternyata bahwa laporan serupa telah datang pula dari sisi yang lain, sehingga Ki Lurah mengambil kesimpulan bahwa ada banyak orang yang mengamati perkemahan mereka dari segala arah.

“Awasi mereka dengan baik,” perintah Ki Lurah kepada para prajurit yang melapor.

Glagah Putih yang bergabung dengan para prajurit yang bertugas di sebelah timur, telah berada ditempatnya kembali. Para prajurit yang bertugas itu pun kemudian memberitahukan bahwa yang kemudian mereka lihat tidak hanya dua orang. Tetapi lebih.

“Agaknya tempat ini sudah dikepung,” berkata prajurit itu.

Glagah Putih kemudian kembali menemui Ki Lurah Agung Sedayu, untuk menyampaikan kesimpulan para prajurit yang bertugas, bahwa tempat itu sudah dikepung.

“Ya,” Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk, “menilik laporan yang menyusul, tempat ini memang sudah dikepung. Mereka berada pada jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan nampaknya mereka membiarkan kita yang bertugas melihat mereka.”

“Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Kita akan membangunkan para prajurit yang masih tertidur nyenyak, karena mereka baru akan bertugas sebentar lagi.”

Demikianlah, maka para prajurit yang masih tidur pun segera dibangunkan. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menguap sambil menggeliat. Katanya, “Rasa-rasanya mataku baru saja terpejam. Apakah sudah sampai giliranku sekarang?”

“Kita dikepung,” jawab kawannya yang membangunkannya.

“Dikepung apa?” prajurit yang tinggi kekurus-kurusan itu bertanya.

“Dikepung harimau. Puluhan harimau.”

“He?” orang itu pun terduduk. Prajurit yang membangunkannya itu pun tertawa. Tetapi prajurit itu sudah bergeser untuk membangunkan kawannya yang lain.

Dalam waktu singkat, para prajurit itu pun sudah siap. Tetapi mereka sama sekali tidak nampak ribut. Semuanya berlangsung dengan tanpa menimbulkan gejolak.

Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah bersiap pula. Tongkat baja putih Sekar Mirah tidak lagi dititipkannya. Tongkat itu sudah berada di tangannya.

Di tengah-tengah perkemahan itu api masih menyala. Dua orang prajurit yang menungguinya, masih saja meletakkan kayu-kayu kering yang banyak terdapat di padang perdu dan di pinggir hutan itu ke dalam api, setiap kali api itu menjadi surut.

Namun mereka pun sudah diberitahu untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena perkemahan mereka sudah dikepung. Namun Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan perintah, bahwa mereka tidak akan mulai. Jika orang-orang itu tidak menyerang, para prajurit itu harus membiarkan saja.

Namun di dini hari, para prajurit yang bertugas terkejut ketika mereka melihat beberapa obor bergerak mendekati perkemahan, Nampaknya ada beberapa orang yang datang untuk menemui para prajurit itu.

Ki Lurah yang mendapat laporan segera pergi ke arah beberapa buah obor yang bergerak itu. Sementara beberapa orang prajurit pun telah bersiap pula mendampinginya. Ternyata sekelompok orang yang mendekati perkemahan itu terdiri dari enam orang: Seorang yang berdiri di paling depan, bertubuh tidak terlalu tinggi. Tetapi badannya yang agak gemuk, kumis yang melintang di wajahnya, membuatnya nampak garang.

Beberapa langkah dari para prajurit yang menyongsong mereka, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, orang itu berhenti. Orang yang bertubuh agak pendek dan gemuk itu bertanya dengan suara yang lantang, “Siapakah pemimpin kalian?”

Ki Lurah Agung Sedayu melangkah maju sambil menjawab, “Aku, Ki Sanak.”

“Kau?”

“Ya.”

“Siapa namamu, he?”

“Namaku Agung Sedayu.”

“Agung Sedayu,” orang itu mengulang

“Kau siapa, Ki Sanak?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Aku penguasa daerah ini. Namaku Srengga Sura.”

“Apakah ada sesuatu yang penting sehingga kau datang ke perkemahan kami di dini hari seperti ini?”

“Menilik pakaian dan kelengkapan yang kalian bawa, kalian adalah sekelompok prajurit.”

“Ya. Kami memang sekelompok prajurit.”

“Untuk apa kalian datang kemari? Apakah kalian akan mendesak kuasaku di sini?”

“Kami hanya sekedar lewat, Ki Srengga Sura.”

“Kalian prajurit dari mana, dan akan pergi ke mana?”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak Namun kemudian iapun menjawab, “Kami adalah prajurit Mataram. Kami baru saja dari Demak mengantarkan Kanjeng Pangeran Puger yang diangkat menjadi Adipati di Demak.”

“Kanjeng Pangeran Puger dari Mataram?”

“Ya.”

“Persetan dengan orang-orang Mataram. Kami tidak berkepentingan dengan Mataram atau Demak.”

“Lalu, sekarang apa maksudmu datang ke perkemahan kami?”

“Kalian sudah berada di daerah kami. Kalian harus membayar upeti kepada kami, penguasa daerah ini.”

“Siapakah yang memberi wewenang kepadamu untuk menjadi penguasa di sini?”

Pertanyaan Ki Lurah Agung Sedayu itu memang agak mengejutkan Ki Srengga Sura. Namun kemudian iapun menjawab, “Aku tidak memerlukan wewenang dari siapapun. Aku mempunyai kekuatan. Kekuatan itu adalah lambang dari kekuasaan. Karena itu, maka dengan kekuatan aku berkuasa di sini.”

“Tidak ada kuasa yang lain kecuali kuasa Kanjeng Adipati Demak atas nama Mataram, di daerah ini. Daerah ini termasuk wilayah Demak. Karena itu, setiap kekuasaan di daerah ini hanya diakui berdasarkan atas wewenang dari Demak.”

“Aku tidak peduli kekuasaan di Demak. Apalagi di Mataram.”

“Kami tidak akan memberikan upeti kepada orang-orang yang telah melanggar wewenang Kanjeng Panembahan Hanyakrawati di Mataram, atau orang yang mendapat kuasa daripadanya, Kanjeng Adipati Demak.”

“Jangan bicara tentang kuasa Demak. Sekarang aku minta kalian serahkan semua barang-barang yang kau bawa. Semua senjata dan perhiasan yang kalian bawa. Timang, pendok pada wrangka keris, atau apapun juga yang ada pada kalian. Termasuk uang yang kalian bawa.”

“Ki Srengga Sura. Sudah aku katakan, kami berada di daerah kuasa Mataram. Tidak ada orang yang berhak memungut upeti atau pungutan apapun kepada kami.”

“Kalian sudah terkepung. Meskipun kalian prajurit yang barangkali mempunyai pengalaman perang, tetapi jumlah kami jauh lebih banyak dari jumlah kalian. Jika kalian tidak mau tunduk kepada kami, maka kalian akan kami tumpas habis sampai orang yang terakhir.”

“Kami adalah prajurit, Ki Srengga Sura. Kami siap menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun. Bahkan satu kebetulan bahwa kalian datang kepada kami, karena kami akan menangkap kalian dan membawa kalian ke Mataram.”

“Mimpimu mimpi buruk, Ki Sanak. Ingat, jika kalian tidak tunduk kepada perintah kami, kalian akan kami hancurkan. Kami memberikan waktu sampai fajar. Jika kalian tetap menolak, maka begitu matahari terbit, kami akan menghancurkan kalian.”

“Kami akan menunggu, Ki Srengga Sura. Kami akan menunggu sampai matahari terbit. Kami akan melihat seberapa besar kekuatan kalian, sehingga kalian merasa mempunyai kuasa di sini tanpa mendapat wewenang dari siapapun juga.”

“Bagus. Kau akan menyesal, karena semua prajurit akan kami tumpas habis.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu, Srengga Sura itu pun berkata, “Selamat malam. Masih ada waktu tersisa untuk tidur sekejap, jika masih ada di antara kalian yang dapat tidur. Karena besok pagi kalian semua akan dibantai di sini.”

Ki Lurah Agung Sedayu masih tetap terdiam. Sementara Srengga Sura yang sudah bersiap untuk pergi itu masih berkata, “Kami akan mengulangi apa yang pernah kami lakukan hampir sepuluh bulan yang lalu. Sepasukan prajurit yang lewat daerah kuasaku tanpa mau tunduk kepada perintahku, telah aku hancurkan sampai orang yang terakhir. Ada di antara mereka yang merengek mohon ampun. Ada yang menangis meraung-raung, karena ia mempunyai tujuh orang anak yang masih kecil-kecil, sedangkan istrinya sudah meninggal sebulan sebelumnya. Tetapi kami adalah orang-orang yang tidak pernah mempertimbangkan segi-segi yang oleh orang lain disebut perikemanusiaan. Itu hanya omong kosong. Seorang yang hatinya lemah akan berbicara tentang perikemanusiaan. Atau mereka yang memang berniat berbuat licik. Tetapi kami tidak pernah mempertimbangkannya.”

Ki Lurah Agung Sedayu tetap berdiam diri.

Sejenak kemudian Srengga Sura itu pun meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu, yang berdiri tegak sambil mengatupkan giginya rapat-rapat. Demikian Srengga Sura dan para pengawalnya menjauh, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memberikan perintah dan petunjuk kepada setiap pemimpin kelompok, agar mereka mengatur prajuritnya masing-masing menghadapi kepungan itu.

“Berapa orang kira-kira musuh kita? Seratus orang?”

“Lebih, Ki Lurah,” jawab salah seorang pemimpin kelompok.

“Seratus lima puluh?”

“Ya, sekitar itu. Mereka berada di segala arah. Tetapi sebenarnyalah bahwa kepungan mereka tidak rapat temu gelang. Ada lubang-lubang yang mungkin disusupi.”

“Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa ada sebagian di antara kita yang sebaiknya berada di luar kepungan?”

“Ya, Ki Lurah.”

“Aku sependapat.”

Pemimpin kelompok itu pun kemudian berkata, “Ki Lurah, aku mohon Ki Lurah segera memerintahkan sebagian di antara kita untuk menyusup dengan diam-diam, keluar lingkaran kepungan itu.”

“Baiklah,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, yang kemudian memerintahkan separuh dari prajuritnya untuk menyusup ke segala arah.

“Separuh di antara kita akan tetap berada di dalam. Kami akan menarik perhatian mereka, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan sebagian dari kita yang akan menyusup keluar kepungan. Ingat, jangan bergerak sebelum kami memberikan isyarat. Kami akan melontarkan panah sendaren.”

“Baik, Ki Lurah.”

“Siapkan tali sebanyak-banyaknya. Ikat mereka yang berhasil di tangkap. Kita akan membawa mereka ke Mataram. Mereka tentu orang-orang yang berbahaya.”

“Baik, Ki Lurah.”

Setelah memberikan beberapa perintah dan petunjuk kepada para pemimpin kelompok, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memerintahkan mereka untuk melaksanakannya.

“Hati-hati. Agaknya mereka orang-orang yang garang dan tidak ragu-ragu untuk melakukan kekerasan.”

“Ya, Ki Lurah.”

Para pemimpin kelompok itu pun segera kembali ke kelompok mereka masing-masing. Para pemimpin kelompok itu pun memberikan beberapa petunjuk sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Baik yang harus menyusup keluar kepungan, maupun yang akan tetap berada di dalam kepungan.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, maka para prajurit yang akan tetap berada di dalam kepungan pun segera mempersiapkan diri. Mereka menjadi sibuk. Satu dua pedati telah digeser meskipun hanya beberapa langkah. Api di tengah-tengah perkemahan itu pun dipadamkan. Tetapi di beberapa tempat telah dinyalakan obor, untuk menerangi lingkungan di sekitar pedati-pedati itu.

Ternyata kesibukan itu dapat diketahui oleh Srengga Sura dan para pengikutnya. Sambil tersenyum Srengga Sura itu pun berkata, “Nah, kita lihat, betapa gelisahnya mereka. Ternyata prajurit-prajurit ini tidak lebih cerdik dari sekelompok prajurit yang pernah kita hancurkan di sebelah bukit. Mereka memadamkan perapian mereka, tetapi mereka menyalakan beberapa obor. Apakah bedanya? Kita masih juga dapat melihat bayangan mereka yang menjadi sibuk. Tetapi kesibukan mereka adalah cermin dari kegelisahan dan kecemasan mereka oleh kepungan kita.”

Seorang yang bertubuh tinggi, berwajah bersih dan bermata tajam berdesis, “Nampaknya jumlah mereka pun tidak lebih banyak dari jumlah prajurit yang pernah kita musnahkan itu. Namun agaknya barang-barang bawaan mereka lebih banyak. Mungkin mereka mengawal upeti yang dipungutnya dari Kadipaten Demak.”

Ki Srengga Sura pun mengangguk-angguk. Katanya, “Rejeki kita malam ini. Tetapi dimana Soma Bledeg?”

“Masih tidur.”

“Edan. Kenapa Soma Bledeg itu tidak dibangunkan? Kita akan memungut rejeki kita malam ini.”

“Bukankah tadi Soma Bledeg sudah bangun? Bahkan sudah berbicara dengan Ki Srengga Sura?”

“Ya. Aku tadi sudah berbicara dengan Soma Bledeg. Tetapi kenapa ia tidur lagi?”

“Bukankah kau memberikan waktu sampai fajar? Dengan demikian, baru setelah matahari terbit kita akan menyerang mereka.”

“Apakah pemalas itu sedang mabuk?”

“Nampaknya ia tidak sedang mabuk.”

Srengga Sura tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian iapun berkata, “Baiklah. Kita memang perlu beristirahat. Biarlah anak-anak mengawasi perkemahan itu. Tetapi waktu untuk tidur sudah terlalu sempit.”

Ternyata para pemimpin di padepokan itu tidak berniat untuk mengawasi para prajurit yang menurut pendapat mereka telah terkepung. Mereka tidak mengetahui bahwa pada saat itu, separuh dari prajurit yang mereka kepung itu sedang merayap di sela-sela gerumbul perdu, serta menyusup di lubang-lubang kepungan. Di bayangan pepohonan dan di sela-sela batang ilalang.

Para prajurit itu tidak merasa cemas akan gigitan ular. Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan butiran reramuan penawar racun yang akan menawarkan segala macam racun dan bisa, termasuk gigitan ular, sengat kala dan laba-laba bersabuk perak, kumbang biru dan sebangsanya. Juga berbagai jenis racun yang bercampur di dalam makanan dan minuman. Penawar racun itu akan bekerja selama sehari semalam.

Sebenarnyalah, ketika mereka menyusup di sela-sela gerumbul perdu, di antara batang ilalang dan rumpun-rumpun tanaman liar, ada di antara para prajurit itu yang dipatuk ular. Namun mereka yakin akan khasiat obat yang mereka telan sebelumnya, sehingga mereka tidak merasa cemas akan bisa ular itu.

Di ujung malam, menjelang fajar, maka separuh dari para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu sudah berada di luar kepungan. Sementara itu, para prajurit yang berada di dalam kepungan masih saja nampak terlalu sibuk, meskipun sebenarnya tidak ada yang penting yang mereka lakukan, selain mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang mempersiapkan busur dan anak panah. Para pembidik terbaik akan berusaha mengurangi jumlah lawan pada saat mereka mulai diserang.

Bukan hanya para prajurit yang berada di dalam kepungan, tetapi juga para pembidik terbaik yang berada di luar kepungan.

Dalam pada itu, Srengga Sura masih menunggu jawaban dari para prajurit yang telah mereka kepung. Srengga Sura yang memberikan waktu sampai fajar itu masih berpengharapan, bahwa para prajurit itu akan menyerah karena mereka tentu menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menembus kepungannya.

“Kita akan merampas isi semua pedati,” berkata Srengga Sura, “kemudian kita bawa mereka dengan terpisah-pisah ke kuburan mereka di sebelah bukit itu.”

“Jika mereka sudah menyerahkan semua isi pedati itu, apakah kita masih akan membunuh mereka?”

“Tentu, agar tidak seorangpun di antara mereka yang sempat menceritakan tentang keberadaan kita serta kuasa yang kita bangun di sini. Apalagi mereka adalah prajurit.”

“Kita akan membunuh sekian banyak orang?”

“Bukankah kita pernah melakukannya? Kita membunuh lebih dari lima puluh orang prajurit pada waktu itu? Ternyata tidak seorangpun di antara mereka yang sempat menjadi sesosok hantu, yang menakut-nakuti kita.”

Orang yang bertubuh tinggi itu terdiam. Sementara itu, Srengga Sura duduk bersandar sebuah pohon sambil menjelujurkan kakinya. Sekali Rengga Sura itu menguap. Tetapi ia tidak ingin tidur.

Dini hari pun bergulir mendekati fajar. Langit sudah menjadi merah. Namun masih belum ada isyarat dari para prajurit yang terkepung itu untuk menyerah.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk mempercepat peristiwa yang bakal terjadi, karena sudah tidak mungkin dapat dihindarinya lagi.

Karena itu, maka Ki Lurah telah memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bersiap di saat fajar menyingsing. Sesaat sebelum fajar, Ki Lurah Agung Sedayu bersama empat orang prajurit serta Glagah Putih telah berusaha menemui orang yang bernama Srengga Sura. 

Dengan tergesa-gesa Srengga Sura pun menyongsong kedatangan Ki Lurah Agung Sedayu yang diikuti oleh beberapa orang. Dua di antara mereka membawa obor, meskipun fajar sudah mulai membayang.

“Aku sudah mengira, bahwa akal kalian masih berjalan dengan wajar,” berkata Srengga Sura sebelum Ki Lurah Agung Sedayu mengatakan sesuatu kepadanya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “aku minta maaf, bahwa kami berpendirian lain dari yang kau maksudkan.”

“Maksudmu?”

“Kami tidak dapat memenuhi keinginanmu untuk menyerahkan benda-benda berharga milik kami, serta bahan dan perlengkapan keprajuritan yang kami bawa.”

“Gila!” Srengga Sura pun berteriak, “Jadi kalian menantang kami?”

“Tidak. Kami tidak menantang. Kami hanya menghendaki agar hak kami tidak kalian rampas.”

“Itu akan berarti mati bagi kalian.”

“Kami akan mempertahankan semua milik kami, termasuk nyawa kami.”

“Persetan dengan kalian,” geram Srengga Sura. Tiba-tiba saja iapun berteriak, “Bunuh tikus-tikus tanah ini!”

“Tunggu,” potong Ki Lurah Agung Sedayu, “aku datang kepadamu untuk memberikan jawaban atas keinginanmu yang kau ucapkan semalam. Kalian tidak dapat membunuh kami. Kalian harus membiarkan kami kembali ke induk pasukan kami. Barulah kita akan bertempur.”

“Aku tidak peduli. Bunuh orang-orang ini. Lalu hancurkan pasukannya. Aku tidak mau melihat mukanya lagi.”

“Kau harus menepati unggah-ungguh peperangan,” berkata Ki Lurah.

“Aku tidak terikat oleh unggah-ungguh atau paugeran apapun juga.”

Beberapa orang serentak bergerak. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu serta para prajuritnya bergeser mundur.

Namun para pengikut Srengga Sura benar-benar tidak mengerti tatanan. Mereka pun segera menyerang Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajuritnya yang datang menemui Srengga Sura. Namun yang tidak mereka duga, tiba-tiba saja beberapa batang anak panah telah meluncur. Beberapa orang mengaduh dan rebah di tanah.

Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu sejak awal sudah tidak mempercayai Srengga Sura. Karena itu, beberapa orang pemanah terbaik diam-diam mengikutinya dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu. Ketika ternyata bahwa Srengga Sura itu bermain curang, maka mereka pun segera membidik dan melepaskan anak panah kepada orang-orang yang menyerang Ki Lurah Agung Sedayu. Pada saat yang bersamaan, maka terdengar aba-aba dari para pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu. Sambung bersambung.

Para prajurit yang sudah bersiap itu pun dengan cepat berloncatan menyerang mereka yang telah mengepung perkemahan itu. Tetapi yang bergerak baru para prajurit yang berada di dalam kepungan. Para pengikut Srengga Sura-lah yang justru belum bersiap sepenuhnya.

Mereka justru terkejut ketika mereka mendengar aba-aba para pemimpin kelompok prajurit Mataram. Menurut pengertian mereka, jika para prajurit Mataram itu tidak mau menyerah, pertempuran baru akan mulai saat matahari terbit. Namun tiba-tiba saja prajurit Mataram itulah yang telah meneriakkan aba-aba pertempuran.

Mereka menjadi semakin bingung ketika dalam keremangan fajar itu beberapa batang anak panah telah berterbangan. Bahkan ada di antara kawan-kawan mereka yang tiba-tiba saja berteriak nyaring dan rebah jatuh di tanah. Sebatang anak panah tertancap di dadanya. Seorang yang lain terdorong langkah surut. Sebatang anak panah telah hinggap di lengannya. Sementara itu, beberapa orang prajurit dengan cepat telah menempatkan diri di sebelah Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga pertempuran segera berkobar dengan sengitnya 

Srengga Sura sendiri telah langsung terjun di pertempuran. Ia masih sempat berteriak, “Bangunkan Soma Bledeg! Dimana orang itu tidur? Bangunkan pemalas–pemalas yang lain. Kita sudah mulai bertempur sekarang.”

Di perkemahan itu, pertempuran telah berkobar di segala arah. Jumlah para pengikut Srengga Sura memang cukup banyak. Namun dengan memiliki kesempatan pertama, maka para prajurit Mataram telah berhasil mengacaukan gelora para cantrik dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura itu. Ketika Soma Bledeg dibangunkan, ia masih sempat mengumpat-umpat. Matanya masih terpejam.

“Pertempuran sudah mulai, Ki Soma,” berkata salah seorang murid Srengga Sura.

“Aku bunuh kau. Aku masih mengantuk.”

“Tetapi perang itu sudah berkobar.”

“He?”

“Perang sudah mulai.”

Soma Bledeg menguap. Namun ia kemudian bangkit berdiri. Ia tidak mengenakan ikat kepala di kepalanya, tetapi dikalungkannya di lehernya. Disambarnya sebuah golok yang besar yang disandarkannya di sebatang pohon di sebelahnya

“Kenapa perang sudah mulai sebelum matahari terbit?” bertanya Soma Bledeg.

“Pasukan Mataram itu telah memancingnya, sehingga tidak sempat menunggu sampai matahari terbit.”

“Tentu Srengga Sura yang bodoh. Darahnya yang cepat mendidih itu kadang-kadang telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan.”

Cantrik yang membangunkannya tidak menjawab. Sementara itu, Soma Bledeg itu sempat menendang seorang yang juga masih mendengkur di sebelahnya.

“Den. Den Wiku. Bangun dan perang.”

Orang yang dipanggil Den Wiku itu pun menggeliat. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya langit masih muram. Sambil memejamkan matanya kembali iapun berkata, “Matahari belum terbit.”

Sekali lagi Soma Bledeg menendang pantat orang itu sambil berkata, “Tetapi perang sudah mulai. Cepat, sebelum lehermu di tebas oleh prajurit Mataram. Nampaknya prajurit Mataram ini termasuk prajurit yang buas.”

“Buas?” bertanya Raden Wikupana.

“Buas dan liar. Karena itu, marilah kita selesaikan mereka. Jangan biarkan mereka menakut-nakuti anak-anak kita.”

“Kita pernah menumpas segerombolan prajurit. Anak-anak itu masih ingat. Mereka tentu bernafsu untuk melakukkannya sekarang.”

“Tetapi prajurit-prajurit Mataram agak lain. Seperti segerombolan serigala lapar.”

“Bagus. Itu akan sangat menyenangkan.”

Raden Wikupana itu pun segera bangkit berdiri. Dibenahinya pakaiannya. Bersama Soma Bledeg, mereka pun segera pergi ke medan pertempuran yang sudah menjadi semakin seru.

“Ternyata jumlah mereka hanya sedikit. Kenapa harus membangunkan aku?” bertanya Raden Wikupana.

“Persetan kau, Den Wiku,” geram Soma Bledeg.

“Dimana Ki Srengga Sura?” bertanya Raden Wikupana pula.

Soma Bledeg tidak menyahut. Tetapi matanya tersangkut pada pertempuran yang sengit beberapa langkah di hadapannya. Srengga Sura sedang bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu.

“Gila prajurit itu. Ternyata ia mampu mengimbangi ilmu Kakang Srengga Sura,” geram Raden Wikupana.

“Apa kataku?” desis Soma Bledeg. “Orang-orang Mataram itu memang orang-orang yang buas dan liar.”

“Menurut pendapatku mereka bukan buas dan liar, tetapi mereka justru berilmu tinggi.”

“Aku tidak peduli. Marilah kita hancurkan mereka, sebelum mereka mengguncangkan keberanian anak-anak kita.”

Soma Bledeg dan Raden Wikupuna segera turun ke medan pertempuran. Ternyata mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Dengan garangnya mereka berloncatan di arena pertempuan.

Sementara itu pertempuran telah berkobar dimana-mana. Kepungan itu telah bergerak merapat, sehingga lingkaran yang terdiri dari para cantrik di perguruan Srengga Sura itu menjadi semakin sempit. Pada saat itu Ki Lurah Agung Sedayu memberikan isyarat untuk melepaskan panah sendaren.

Panah sendaren itu telah mengejutkan Srengga Sura serta para pengikutnya. Mereka tahu bahwa panah sendaren itu tentu satu isyarat. Tetapi isyarat apa, dan ditujukan kepada siapa?

Tiga buah anak panah sendaren telah bergaung di udara. Demikian gaungnya menghilang, maka para prajurit Mataram yang berada di luar kepungan pun serentak bergerak. Beberapa orang mulai menyerang dengan melontarkan anak panah dari busurnya. Susul menyusul dari beberapa arah.

Serangan itu sangat mengejutkan. Beberapa orang tidak sempat berbuat apa-apa ketika punggung mereka ditembus oleh anak panah yang meluncur dengan derasnya. Dalam waktu yang singkat, beberapa orang telah jatuh tertelungkup. Ada di antara mereka yang sempat menggeliat. Tetapi ada yang langsung terpatuk jantungnya.

Kemarahan Srengga Sura bagaikan membakar kepalanya. Suaranya mengguruh bagaikan guntur yang meledak di langit.

“Hancurkan para prajurit ini! Sekarang! Jangan beri kesempatan mereka memberikan perlawanan.”

Tetapi suaranya segera terputus. Tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu melibatnya dengan cepat. Tangannya yang terayun mendatar menghantam kening Srengga Sura, sehingga Srengga Sura itu terpelanting.

Ternyata Srengga Sura tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga iapun terjatuh dan berguling di tanah. Namun ternyata daya tahan Srengga Sura sangat tinggi. Dengan tangkasnya ia melenting berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah memburunya Serangan-serangannya pun datang beruntun, Sehingga Srengga Sura harus berloncatan surut untuk mengambil jarak.

“Lurah prajurit ini seperti kerasukan iblis,” geram Srengga Sura di dalam hatinya. Sebagai seorang yang telah memiliki pengalaman yang sangat luas, maka Srengga Sura merasa telah membentur kekuatan yang mendebarkan jantungnya.

Dalam pada itu, Raden Wikupana yang langsung menikam ke jantung pertahanan para prajurit Mataram, justru telah bertemu dengan Rura Wulan. Karena itu maka Raden Wikupana itu pun terkejut bahwa di dalam iring-iringan prajurit Mataram itu terdapat seorang perempuan,

“Kau seorang perempuan?” bertanya Raden Wikupana meyakinkan penglihatannya.

“Ya, kenapa?”

“Kau ini perempuan apa?”

“Apa maksudmu?”

“Kau seorang perempuan, berada di antara sekelompok prajurit yang sedang mengadakan perjalanan panjang.”

“Lalu apa kesimpulanmu?”

Raden Wikupana tertawa. Suaranya menggelepar mengguncang pepohonan. “Ternyata kau benar-benar seorang perempuan yang memiliki pengalaman yang sangat luas.”

“Pengalaman apa menurut jalan pikiranmu?”

“Agaknya kau memang terbiasa dibawa oleh para prajurit dalam tugas-tugas mereka.”

“Aku sudah mengira,” desis Rara Wulan kemudian.

“Mengira apa?”

“Bahwa di kepalamu itu tidak terdapat otak yang bersih.”

“Lalu kau kira di kepalaku ada apa?”

“Di kepalamu itu terdapat lumpur dari kubangan yang kotor.”

“Persetan dengan mulutmu, perempuan binal. Sekarang kau harus memilih. Ikut ditumpas sebagaimana para prajurit, atau ikut bersamaku. Kau akan mendapat tempat yang terhormat di perguruanku, karena aku adalah salah seorang pemimpin.”

“Siapa namamu?”

“Namaku Raden Wikupana.”

Tiba-tiba saja Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kau masih mempunyai darah biru di tubuhmu. Kenapa kau ikut merampok?”

“Kami tidak merampok. Tetapi kami tidak mau bahwa kuasa kami diinjak-injak oleh siapapun juga.”

“Sebaiknya kau katakan kepada lurahmu, bahwa usahanya akan sia-sia. Bukan kalian yang akan menumpas para prajurit, tetapi para prajurit yang akan menumpas kalian.”

“Kau belum menjawab tawaranku. Ikut bersamaku dan hidup berbahagia, tidak kurang sandang pangan. Perhiasan dan apapun yang kau ingini akan aku penuhi.”

“Benar?”

“Benar.”

“Kau berjanji?”

“Aku berjanji.”

“Aku minta kepala lurahmu.”

“Agaknya kau seorang perempuan gila. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu sebagaimana para prajurit.”

Rara Wulan pun segera bersiap. Sementara itu Raden Wikupana pun berkata, “Setinggi-tinggi ilmumu, kau tidak lebih dari seorang perempuan.”

Namun ketika Raden Wikupana menyerang, maka iapun menjadi sangat terkejut. Rara Wulan dengan mudah menghindari serangannya, bahkan dengan tiba-tiba saja perempuan itu melenting. Kakinya dengan derasnya menyambar dada lawannya.

Raden Wikupana terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia masih mampu bertahan sehingga tidak jatuh terlentang. Tetapi sentuhan kaki seorang perempuan di dadanya telah membuat wajahnya menjadi merah padam.

Rara Wulan sengaja tidak memburunya. Ia sengaja memberi waktu kepada Raden Wikupana untuk mempersiapkan dirinya.

“Aku tahu, bahwa yang terjadi adalah satu kebetulan karena kau belum bersiap sepenuhnya,” berkata Rara Wulan, “atau kau menganggap bahwa aku tidak akan dapat melakukannya, sehingga kau tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi.”

“Ternyata kau telah kerasukan iblis betina.”

“Jangan berkata begitu. Kita berada di pertempuran. Kita akan menunjukkan, siapakah yang ilmunya lebih mantap. Kau, salah seorang pemimpin perguruan yang keras itu, atau aku, seorang petugas dapur pada prajurit yang sedang menempuh perjalanan ini. Ternyata kali ini tugasku tidak sekedar menyediakan minuman dan makanan, tetapi berkelahi.”

“Persetan kau, perempuan gila Aku akan melumatkanmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia tahu bahwa orang yang bernama Raden Wikupana itu akan lebih berhati-hati. Bahkan ia akan lebih meningkatkan ilmunya pula.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian Raden Wikupana itu telah menyerang dengan garangnya. Orang itu benar-benar meningkatkan ilmunya. Ia tidak mau dihinakan seorang perempuan yang nampaknya masih muda itu.

Di sisi lain, Sekar Mirah yang bergerak mendekati Ki Lurah Agung Sedayu yang bertempur melawan Srengga Sura itu tertegun ketika ia melihat seorang yang bertubuh tinggi dan berwajah bersih termangu-mangu di dekat arena pertempuran antara Srengga Sura melawan Agung Sedayu.

Nampaknya orang bertubuh tinggi itu sudah bersiap-siap untuk ikut campur dalam pertempuran itu. Ternyata dugaan Sekar Mirah itu benar. Ketika Srengga Sura tidak segera dapat menguasai Ki Lurah Agung Sedayu, maka Srengga Sura itu pun berteriak, “Sungsang! Kau mempunyai kesempatan untuk ikut menyelesaikan lurah prajurit yang kepanjingan iblis ini. Demikian ia mati, maka yang lain akan segera kita sapu seperti menebas batang ilalang.”

Orang yang bertubuh tinggi yang disebut Sungsang itu pun melangkah mendekat sambil berkata, “Aku akan membantainya, Ki Lurah.”

Tetapi langkahnya terhenti. Ia mendengar suara seorang perempuan memanggilnya, “Sungsang.”

Sungsang itu berpaling. Dilihatnya seorang perempuan melangkah mendekatinya.

“Kau-kah yang memanggilku?”

“Ya.”

“Kau tahu namaku?”

“Aku mendengar orang yang bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu itu memanggil namamu.”

“Kau siapa, dan kau mau apa?”

“Aku istri Ki Lurah Agung Sedayu. Namaku Sekar Mirah.”

“Jadi kau ikut suamimu dalam iring-iringan prajurit Mataram?”

“Ya.”

“Untuk apa kau memanggil aku?”

“Kau tidak pantas melibatkan diri dalam pertempuran antara Ki Lurah Agung Sedayu dengan pemimpinmu itu. Biarlah mereka menyelesaikan pertempuran di antara mereka.”

“Kami ingin pertempuran ini cepat selesai. Setelah suamimu itu mati, maka membunuh yang lain tidak akan lebih lama dari memijit buah ranti. Nah, sebaiknya kau minggir saja. Sudah nasib suamimu mati di pertempuran ini.”

“Sungsang. Seharusnya kau dan lurahmu itu malu, jika kalian berdua bertempur melawan seorang. Kenapa kau tidak mencari lawan yang lain?”

“Pergilah. Aku tidak mempunyai waktu untuk banyak berbicara sekarang ini.”

“Aku akan mencegahmu.”

“Kau? Kau seorang perempuan?”

“Ya. Apakah kau belum pernah mendengar tentang seorang perempuan yang turun ke dalam dunia olah kanuragan?”

“Memang sudah. Tetapi untuk melawan seorang perempuan rasa-rasanya hatiku masih belum sampai.”

“Jangan segan. Jika kau merasa segan melawan seorang perempuan, maka kau akan mati di tangannya. Ingat, aku akan benar-benar membunuhmu.”

“Persetan dengan kau. Aku peringatkan sekali lagi, pergilah.”

“Jangan dungu, Sungsang,” terdengar suara Srengga Sura yang telah meloncat mengambil jarak dari Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu tidak memburunya, seakan-akan Ki Lurah Agung Sedayu justru memberinya waktu.

“Tangkap perempuan itu. Kita akan mempergunakannya untuk memaksa suaminya menyerah.”

“Aku tidak akan menyerah,” sahut Agung Sedayu.

“Kau relakan istrimu?”

“Ia tidak akan dapat kau tangkap. Justru istrikulah yang akan menangkap kawanmu itu, hidup atau mati.”

“Jangan membual.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia bergeser mendekati Srengga Sura.

Dalam pada itu, orang yang disebut Sungsang itu pun menggeretakkan giginya sambil berkata, “Kalian meremehkan aku. Kalian akan menyesali kesombongan kalian ini.”

“Bersiaplah,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Sungsang pun kemudian mempersiapkan diri menghadapi perempuan yang dianggapnya terlalu sombong itu. Sementara itu Sekar Mirah pun telah bersiap pula. Ketika Sungsang meloncat menyerang, maka Sekar Mirah pun bergeser menghindarinya. Keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran. Semakin lama menjadi semakin sengit.

Sementara itu Srengga Sura yang telah meningkatkan ilmunya masih harus mengakui kenyataan bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi.

Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun bertempur dengan tangkasnya. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah para murid Srengga Sura, namun para prajurit dari Pasukan Khusus yang mempunyai pengalaman yang luas itu tidak segera dapat didesak ke dalam lingkaran kepungan yang sempit. Apalagi ketika para prajurit yang telah berhasil menyusup keluar dari kepungan itu bangkit dan mulai menyerang dengan lontaran anak panah. Maka para murid Srengga Sura itulah yang justru nampak menjadi gelisah.

Sebagian dari mereka harus berbalik untuk melawan serangan para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Dengan demikian, maka justru para murid Srengga Sura itulah yang merasa terhimpit dari dua arah. Mereka harus melawan pasukan yang berada di dalam kepungan. Namun mereka pun harus bertempur melawan para prajurit yang sudah berada di luar kepungan, yang justru menyerang mereka dengan garangnya. Apalagi anak panah yang mereka lontarkan telah berhasil mengurangi kekuatan para murid Srengga Sura itu.

Sementara itu, matahari pun telah memanjat langit. Srengga Sura pun melihat, betapa para prajurit Mataram itu mengamuk seperti banteng yang terluka. Srengga Sura pun melihat, bahwa para pengikutnya yang jumlahnya lebih banyak itu harus mengerahkan kemampuan mereka untuk menghadapi para prajurit itu.

Meskipun para pengikut Srengga Sura itu pun memiliki pengalaman yang luas serta tempaan ilmu kanuragan, tetapi tatanan perang para prajurit itu telah mengejutkannya.

Dalam pada itu, Soma Bledeg yang berloncatan dengan garangnya tertegun ketika dilihatnya seorang laki-laki yang masih terhitung muda berdiri di hadapannya.

“Kau memang luar biasa, Ki Sanak. Kau bertarung seperti seekor burung garuda. Menyambar kesana-kemari dengan kuku yang tajam yang siap mencengkram korbannya.”

“Ya. Aku memang bertarung seperti burung garuda.”

“Aku mengagumimu, Ki Sanak.”

“Jika demikian, apa maksudmu datang menemuiku di pertempuran ini?”

“Untuk menyatakan kekagumanku. Seekor garuda yang terbang berputaran mengintai mangsanya. Menukik dengan cepat, menyambar dengan kuku-kukunya yang tajam mencengkeram.”

“Kau adalah salah seorang yang akan menjadi mangsaku itu.”

“Tentu bukan aku. Kau hanya dapat menyambar dan mencengkeram seekor anak ayam. Itupun yang lengah dan terpisah dari induknya.”

“Persetan. Kau siapa Ki Sanak?” bertanya Soma Bledeg.

“Namaku Glagah Putih.”

“Kau berbeda dengan para prajurit. Apakah kau bukan prajurit?”

“Aku memang bukan prajurit.”

“Kenapa kau turun medan?”

“Aku seorang yang harus memelihara kuda para prajurit yang ikut dalam pasukan ini.”

Soma Bledeg tertawa. Katanya, “Jika demikian, pergilah. Aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membunuh para prajurit yang dengan sengaja akan menghadapi aku di medan pertempuran ini.”

“Aku-lah yang akan menghadapimu. Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku berada di lingkungan para prajurit. Karena itu, aku harus siap bertindak sebagai seorang prajurit juga. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak akan dapat sekedar mencari perlindungan dari para prajurit. Aku harus berusaha untuk melindungi diriku sendiri.”

“Glagah Putih. Kau jangan terlalu besar kepala hanya karena kau selalu berada di lingkungan para prajurit. Jika kau tidak mau pergi, maka nyawamu akan menjadi taruhan.”

“Ya. Nyawaku akan menjadi taruhan.”

“Jangan menjadi gila, Glagah Putih. Jika aku kehabisan kesabaran, aku akan benar-benar membunuhmu.”

“Kau belum mengatakan namamu, Ki Sanak.”

“Kau tentu sudah mendengarnya. Namaku Soma Bledeg.”

“Soma Bledeg. Meskipun aku bukan prajurit, tetapi aku tidak akan meninggalkan medan pertempuran ini. Jika aku harus mati di sini, maka aku akan dihormati seperti para prajurit yang gugur di pertempuran.”

“Apa artinya kehormatan bagimu, jika kau tidak dapat menyadari adanya kehormatan itu.”

“Tetapi aku sudah mengetahuinya sebelumnya.”

Soma Bledeg tertawa pula. Katanya, “Kau dapat berbangga dengan kesetiaanmu. Tetapi sebaiknya kau bersikap wajar saja. Adalah naluri setiap orang yang selalu berusaha untuk menghindar dari kematian. Jika kau tidak melakukannya untuk sekedar dihormati sebagai pahlawan, maka hidupmu benar-benar sia-sia.”

“Kau jangan mencoba mempengaruhi kesetiaanku kepada kewajibanku.”

“Kewajibanmu merebus air dan menanak nasi. Lakukan dengan sebaik-baiknya.”

“Aku adalah bagian dari seluruh rombongan ini.”

“Bagus,” Soma Bledeg sudah kehabisan kesabaran, “jangan menguji kesabaranku. Aku memang termasuk orang yang kasar dan tidak sabar. Karena itu, jika kau tidak segera mau pergi, aku akan menerkam dan mencekikmu sampai mati.”

“Aku tidak akan pergi.”

Soma Bledeg benar-benar tidak sabar lagi. Dengan serta-merta iapun meloncat menyerang Glagah Putih. Kedua tangannya benar-benar terjulur menerkam leher.

Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Karena itu, ketika Soma Bledeg berusaha menggapai lehernya, Glagah Putih pun merendahkan dirinya. Ia memutar tubuhnya, namun satu kakinya terjulur ke belakang menghantam dada Soma Bledeg, sambil bertumpu kepada kedua tangannya.

Soma Bledeg terkejut. Ia tidak mengira bahwa lawannya dapat bergerak dengan cepat dan demikian tangkasnya. Karena itu, maka Soma Bledeg tidak sempat menghindar atau menangkisnya. Kaki Glagah Putih yang menghentak dadanya, dilambari dengan kekuatan yang besar itu, telah mengguncang tubuh Soma Bledeg. Bahkan kemudian melemparkannya beberapa langkah surut. Bahkan kemudian Soma Bledeg itu telah terbanting jatuh di tanah.

Namun dengan cepat pula Soma Bledeg meloncat bangkit. Demikian ia berdiri, maka mulutnya mengumpat-umpat dengan kasar. Sementara itu Glagah Putih sengaja tidak memburunya dan mempergunakan kesempatan itu untuk menyerangnya lagi.

“Bocah edan,” geram Soma Bledeg, “kau benar-benar tidak tahu diri. Kau memanfaatkan kelengahanku dengan licik.”

“Jika kau lengah, siapakah yang bersalah? Kau-lah yang menyerang aku. Bukankah jika aku membalas, tidak berarti bahwa aku licik? Jika kau masih belum siap dan tiba-tiba aku menyerang seperti angin prahara, maka kau dapat menyebutku licik. Tetapi jika kau sudah menyerang tetapi kau sendiri belum siap, itu artinya kau sangat dungu.”

“Tutup mulutmu! Jika kau membuka mulutmu lagi, aku sumbat mulutmu dengan tumitku.”

“Menarik sekali,” sahut Glagah Putih.

“Apa yang menarik?”

“Niatmu menyumbat mulutku dengan tumitmu.”

Soma Bledeg tidak dapat menahan kemarahannya yang telah membakar jantungnya. Karena itu, maka Soma Bledeg itu pun segera bergeser mendekat. Tetapi ia tidak mau mengulangi kesalahannya. Karena itu, maka iapun menjadi lebih berhati-hati. Baru ketika terbuka kesempatan, maka Soma Bledeg itu pun meloncat menyerang dengan kakinya yang terjulur lurus mengarah ke dada.

Tetapi Glagah Putih telah bersiap. Dengan sigapnya ia meloncat surut, sehingga kaki Soma Bledeg itu tidak menyentuhnya.

Namun Soma Bledeg tidak melepaskannya. Dengan cepat Soma Bledeg itu pun memburunya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun dengan derasnya mengarah ke kening. Namun Glagah Putih sempat merendah, sehingga kaki itu tidak mengenainya. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian melenting menyerang Soma Bledeg. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada. Tetapi Soma Bledeg sempat menggeliat, sehingga serangan Glagah Putih itu tidak mengenainya.

Demikianlah, maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata Soma Bledeg adalah seorang yang sangat garang, sesuai dengan nama yang dipakainya. Serangan-serangannya datang menghentak-hentak, bahkan menyambar-nyambar seperti petir di udara.

Namun Glagah Putih tidak segera dapat ditundukkan. Kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan. Soma Bledeg kadang-kadang bahkan merasa terlambat menanggapi tata gerak Glagah Putih. Dengan demikian, maka justru Glagah Putih yang lebih sering sempat membuka pertahanan Soma Bledeg. Namun meskipun Soma Bledeg tidak terlalu sering dapat menyusup di sela-sela pertahanan Glagah Putih, tetapi kekuatan yang besar itu sekali-sekali memang mampu menggoyahkan ketahanan tubuh Glagah Putih.

Tetapi semakin lama tenaga dalam Glagah Putih menjadi semakin mapan, sehingga semakin lama, Soma Bledeg merasa semakin berat menghadapinya. Bahkan unsur-unsur gerak Glagah Putih pun menjadi semakin rumit, sehingga kadang-kadang Soma Bledeg harus berloncatan surut untuk mengambil jarak.

“Anak ini kepanjingan iblis padang perdu ini,” geram Soma Bledeg.

“Apa yang kau katakan?” bertanya Glagah Putih.

“Nyawamu sudah di ujung ubun-ubunmu. Sebentar lagi aku akan mendorongnya keluar.”

Glagah Putih tidak segera menjawab.

Dalam pada itu, pertempuran di padang perdu itu pun menjadi semakin sengit. Para prajurit serta para pengikut Srengga Sura telah mengerahkan kemampuan mereka. Tubuh mereka telah basah kuyup oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka. Dimana-mana terdengar suara dentang senjata beradu. Sekali-sekali terdengar teriakan-teriakan tinggi. Teriakan kesakitan, tetapi juga teriakan kemarahan serta hentakan kekuatan dan kemampuan.

Meskipun jumlah para prajurit Mataram itu lebih sedikit dari para pengikut Srengga Sura, tetapi ternyata para prajurit itu memiliki beberapa kelebihan. Kesetiaan mereka kepada tugas mereka, latihan-latihan yang keras, serta pengalaman yang luas.

Dengan demikian, maka meskipun jumlah mereka masih lebih sedikit dari para murid di perguruan yang dipimpin oleh Ki Srengga Sura, namun para prajurit itu tidak terhimpit oleh kekuatan lawannya. Bahkan para prajurit yang berada di luar kepungan telah mampu mengacaukan kepungan itu sendiri. Beberapa ruas dari kepungan itu telah koyak, sehingga para prajurit Mataram itu dapat menyusup keluar atáu masuk kepungan yang tidak rapat itu.

Srengga Sura yang melihat keadaan para muridnya itu pun menjadi gelisah. Tetapi ia tidak segera dapat menguasai lawannya, Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu Srengga Sura tidak dapat lagi mengajak Sungsang untuk segera mengakhiri perlawanan Ki Lurah, karena Sungsang telah mendapat lawannya sendiri. Karena itu, maka Srengga Sura pun tidak dapat mengharapkan siapa-siapa selain dengan meningkatkan ilmunya.

Dengan demikian maka Srengga Sura yang ingin segera menyelesaikan pertempuran melawan Ki Lurah itu pun benar benar telah mengerahkan segala kekuatan dan ilmunya.

Sementara itu Sungsang telah bertempur pula melawan Sekar Mirah. Sungsang sama sekali tidak menduga bahwa perempuan itu ternyata mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi.

“Ilmu apa pula yang dimiliki perempuan ini?” berkata Sungsang di dalam hatinya. Karena itu, untuk mempercepat usahanya mengakhiri perlawanan Sekar Mirah, maka Sungsang pun kemudian telah menarik pedangnya, meskipun ada semacam pertentangan di dalam hatinya. Sebenarnya ia merasa segan mempergunakan senjata untuk melawan hanya seorang perempuan. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa tanpa senjata ia tidak segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Ilmu perempuan yang mengaku istri Ki Lurah itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya, meskipun sudah meningkat sampai ke puncak.

Karena itu, maka sejenak kemudian pedang di tangannya telah berputar seperti baling-baling. Sekar Mirah meloncat surut. Ia melihat Sungsang benar-benar menguasai ilmu pedang. Karena itu maka Sekar Mirah tidak mau membiarkan tubuhnya dilukai senjata lawannya. Ketika Sungsang mulai menyerangnya, maka Sekar Mirah pun telah menarik tongkat baja putihnya dari selongsong kulitnya yang tergantung di pinggangnya

Sungsang terkejut melihat tongkat baja putih itu. Ia mengira bahwa di dalam selongsong kulit itu berisi sebuah golok, atau luwuk atau bindi. Namun ternyata tongkat baja putih dengan hiasan sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan. Sungsang pernah mendengar bahwa senjata semacam itu adalah senjata pertanda kepemimpinan di sebuah perguruan yang besar, namun yang sudah beberapa lamanya tertidur. Kini perguruan itu mulai menggeliat kembali untuk bangun.

Sekar Mirah melihat bahwa Sungsang tertarik kepada tongkat baja putihnya. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun justru bertanya, “Kau tertarik kepada tongkat baja putih ini?”

“Senjata apa pula yang kau bawa itu?” bertanya Sungsang.

“Kau pernah melihat senjata seperti ini?”

“Apakah kau dari perguruan Kedung Jati?”

“Sebagaimana kau lihat, aku membawa tongkat pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.”

“Apa hubungan Perguruan Kedung Jati dengan prajurit Mataram ini?”

“Tidak ada. Tetapi aku adalah istri prajurit Mataram.”

“Jika demikian, maka kau harus dibunuh, agar kau tidak dapat berbicara dengan saudara-saudara seperguruanmu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar