Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 349

Buku 349

“Bukan itu.”

“Siap atau tidak siap, aku akan menyerangmu.”

Pangeran Puger benar-benar tidak memberi kesempatan Ki Naga Samekta untuk berbicara. Dengan cepat tombak Pangeran Puger itu berputar, kemudian terayun mendatar menyambar ke arah dada. Namun ketika Ki Naga Samekta menghindar dengan meloncat surut, maka tombak itu terjulur lurus memburu lambung.

Ki Naga Samekta harus meloncat untuk mengambil jarak. Pangeran Puger tidak memburunya. Tetapi ketika Ki Naga Samekta akan berbicara, Pangeran Puger mendahuluinya, “Diamlah. Suaramu membuat telingaku sakit.”

“Pangeran ternyata sombong sekali. Apa boleh buat. Aku terpaksa membunuh Pangeran.”

Tetapi Ki Naga Samekta terkejut. Hampir saja ujung tombak Pangeran Puger mematuk biji matanya.

“Gila Pangeran ini,” geram Ki Naga Samekta di dalam hatinya, “ternyata ia memang seorang prajurit linuwih.”

Ki Naga Samekta tidak lagi sempat berbicara. Pangeran Puger mempunyai banyak sekali kelebihan dari Ki Lurah Adipraya, sehingga karena itu maka Ki Naga Samekta harus meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Tetapi Pangeran Puger tetap saja mampu mengimbanginya. Bahkan perlahan-lahan tetapi pasti, Kanjeng Pangeran Puger telah mendesaknya. Ki Lurah Adipraya yang bahunya telah bernoda darah itu termangu-mangu sejenak. Tetapi sebenarnyalah Ki Lurah mengetahui dengan pasti, bahwa Pangeran Puger adalah seorang prajurit yang memiliki banyak kelebihan dari dirinya sendiri.

Ketika pertempuran itu bergeser beberapa langkah, maka Ki Lurah Adipraya sempat memungut senjatanya yang terlepas dari tangannya. Ki Naga Samekta tidak dapat mencegahnya, karena tekanan Kanjeng Pangeran Puger yang menjadi semakin berat.

Namun Ki Naga Samekta tidak segera kehilangan nafsunya untuk membunuh Kanjeng Pangeran Puger. Ketika Ki Naga Samekta itu semakin tertekan, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengetrapkan kemampuan puncaknya. Karena itu, maka Ki Naga Samekta itu pun segera meloncat mengambil jarak. Ia memerlukan waktu sekejap untuk memusatkan nalar budinya, mengetrapkan ilmu pamungkasnya.

Pangeran Puger tertegun sejenak ketika ia melihat Ki Naga Samekta memutar kerisnya di atas kepalanya, kemudian menempatkan keris itu melekat didahinya. Hanya sekejap. Namun Pangeran Puger mengerti, bahwa lawannya telah sampai ke puncak ilmunya.

Sebenarnyalah keris Ki Naga Samekta itu seakan-akan benar-benar membara. Ujudnya bahkan seakan-akan telah berubah pula, menjadi seekor ular naga dengan lidahnya yang terjulur menjilat-jilat. Hembusan nafasnya bagaikan menghamburkan kabut yang berwarna kelabu.

Ular yang terhitung besar itupun berdesis mengerikan. Ekornya membelit telapak tangan dan pergelangan Ki Naga Samekta. Sehingga ular naga itu seakan akan telah menjadi kepanjangan tangannya yang sangat berbahaya.

“Kau tidak mempunyai pilihan lagi, Pangeran. Kesombonganmu akan membunuhmu. Upas ular nagaku akan dihembuskan ke tubuhmu, panasnya akan melampaui panasnya air yang mendidih. Jilatan lidah ularku akan membuat seluruh tubuhmu bagaikan terluka bakar.”

Kanjeng Pangeran Puger bergeser selangkah surut. Namun tiba-tiba saja iapun tersenyum sambil berkata, “Ketika aku masih kanak-kanak, aku memang senang sekali melihat sulapan.”

Ki Naga Samekta menggeram. Dengan suara bergetar iapun berkata, “Kau akan mati dalam sekejap.”

“Kalau aku percaya kepada sulapanmu itu, mungkin aku benar-benar akan mati ketakutan. Sementara itu, kau dengan tanpa kesulitan menusuk jantungku dengan kerismu itu.”

Ki Naga Samekta meloncat menyerang Kanjeng Pangeran Puger dengan ularnya. Kepalanya terjulur mematuk ke arah dada. Kanjeng Pangeran Puger meloncat surut. Namun justru terdengar ia tertawa. Katanya, “Ularmu terbalik, Ki Sanak. Ketika ular itu masih berwujud keris, maka ujung kerismu adalah ekor ukiran naga di kerismu itu. Tetapi tiba-tiba sekarang ekornya yang membelit telapak tanganmu, sedang kepalanya terjulur mematuk lawan.”

“Bagaimanapun wujudnya, kau akan mati dijilatnya,” geram Ki Naga Samekta.

Pangeran Puger tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi ketika kepala ular itu menggeliat dan mematuk ke arah wajahnya, maka tiba-tiba saja dari ujung tombak di tangan Pangeran Puger itu menyembur api yang berwarna merah ke kuning-kuningan ke arah kepala ular lawannya itu.

Ternyata bukan hanya ular Ki Naga Samekta yang kepanasan, tetapi Ki Naga Samekta harus berloncatan surut mengambil jarak. Api itu seakan-akan berhembus ke arahnya, sehingga Ki Naga Samekta itu terasa bagaikan terpanggang di atas bara api. Tetapi Kanjeng Pangeran Puger tidak melepaskannya. Dengan cepat Kanjeng Pangeran Puger memburunya.

Namun Ki Naga Samekta itu melenting tinggi, berputar di udara sehingga ia terlepas dari jilatan api dari ujung tombak Pangeran Puger.

“Kau lihat, bahwa aku pun dapat bermain sulap?” berkata Pangeran Puger sambil tertawa. Ketika Pangeran Puger mengangkat tombaknya, maka tidak ada sepeletik api pun di ujung tombaknya.

“Kau lihat tombakku? Tombakku memang tidak menyala Tidak menyemburkan api. Jika kau merasakan panasnya udara yang menerpamu, itu sama sekali bukan karena tombakku ini. Tetapi karena ilmu dan kemampuanku. Nah, bukankah permainan kita sama? Kerismu tidak akan dapat menjadi ular. Kau kelabui mata wadagku dengan permainanmu. Tetapi kau tidak dapat mengelabui mata hatiku. Aku melihat apa yang seharusnya aku lihat.”

“Persetan kau, Pangeran Puger. Seberapapun tingkat kemampuanmu, kau akan mati oleh ujung kerisku.”

Pangeran Puger masih saja tertawa. Keris di tangan Ki Naga Samekta tidak lagi berujud ular naga. Tetapi keris itu telah kembali pada ujudnya, karena Ki Naga Samekta tidak mampu mengelabui penglihatan mata hati Kanjeng Pangeran Puger.

Dalam pada itu, Ki Lurah Adipraya menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun ia harus melihat kenyataan, bahwa ia sendiri tidak mampu berbuat banyak menghadapi lawan yang berilmu tinggi sebagaimana Ki Naga Samekta yang garang itu.

Namun ketika seorang yang lain berlari-lari mendekati Ki Naga Samekta untuk membantunya, Ki Lurah pun seperti terbangun dari mimpinya. Ki Lurah segera meloncat menghadapi orang itu dengan pedang yang sudah kembali berada di tangannya.

Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang tersebar di sekitar banjar itu benar-benar telah menunjukkan kelebihan mereka sebagai sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus. Dengan tangkasnya mereka menghadapi lawan-lawan mereka serta mendesaknya. Meskipun lawan mereka lebih banyak, namun satu demi satu lawan mereka telah terlempar dari arena. Ada di antara mereka yang terpelanting jatuh membentur pepohonan sehingga pingsan. Ada yang terluka karena ujung senjata. Ada yang terbanting di tanah sehingga tulang tulangnya terasa menjadi retak. Namun ada pula di antara mereka yang tidak akan pernah bangkit kembali untuk selamanya.

Para petugas yang menyediakan bekal dan peralatan serta yang bertugas mempersiapkan makan bagi para prajurit memang agak kesulitan karena lawan mereka terasa terlalu banyak. Namun ketika tiga orang prajurit dari Pasukan Khusus datang membantu mereka, maka nafas mereka terasa menjadi lebih lapang. “Kalian tidak boleh mati,” berkata salah seorang prajurit dari Pasukan Khusus itu. “Jika kalian mati, tidak ada yang menyiapkan makanan kita semua.”

“Kau kira aku mudah mati,” sahut salah seorang dari prajurit yang menyiapkan makan dan minum bagi pasukan itu.

Prajurit dari Pasukan Khusus itu tertawa. Katanya, “Kau siram dengan air lombok tampar itu, lawan-lawanmu akan kehilangan pemusatan perhatian pada pertempuran ini.”

“Lombok tampar sekarang mahal. Aku harus membelinya ke Pegunungan Sewu, yang dari sini menjadi sangat jauh.”

Prajurit dari Pasukan Khusus itu tertawa.

Sementara itu, lawan-lawan mereka menjadi sangat marah. Mereka merasa sangat direndahkan, karena para prajurit itu bertempur sambil berkelakar. Namun ternyata bukan hanya lawan-lawan mereka yang marah. Seorang dari prajurit yang harus menyediakan bekal dan peralatan itu menjadi marah juga. Katanya, “He, kau lihat lenganku terluka? Kalian masih saja sempat bergurau. Seandainya kalian yang terluka, maka kalian akan membisu sambil bertempur.”

“Jangan marah,” sahut kawannya, “kita akan segera menguasai keadaan. Tidak sebutir mangkuk pun yang pecah.”

Namun baru saja mulut prajurit itu terkatup, ternyata satu di antara pedati itu terangkat bagian depannya. Dua orang pengikut Kidang Limpat sengaja menimbulkan kerusakan pada bekal dan peralatan para prajurit itu. Beberapa buah mangkuk terlempar dan pecah berserakan. Tetapi sebuah dandang yang menggelinding tidak menjadi rusak, karena terbuat dari tembaga yang cukup tebal. Namun sebakul beras telah tumpah.

“Gila!” teriak prajurit yang bertugas melayani peralatan serta bekal itu. Dua orang prajurit berloncatan memburu. Beberapa saat mereka bertempur melawan orang yang telah menumpahkan muatan salah satu dari pedati-pedati yang membawa bekal dan peralatan.

Ternyata seorang dari para pengikut Kidang Limpat itu tidak mampu bertahan. Ketika sabetan pedang lawannya menggores dadanya, maka iapun telah terdorong beberapa langkah surut, kemudian jatuh terlentang. Terdengar ia mengaduh kesakitan. Sementara itu seorang kawannya telah berlari ke kebun belakang.

Prajurit yang bertugas untuk melayani bekal dan peralatan itu tidak memburunya, karena mereka tidak dapat meninggalkan pedati-pedati yang harus dipertanggungjawabkan. Namun orang yang melarikan diri itu tiba-tiba saja telah terjatuh. Tanpa sesadarnya, ia hampir melanggar seorang prajurit dari Pasukan Khusus yang dengan gerak naluriah meloncat ke samping, namun sekaligus pedangnya terayun menebas ke arah lambung.

Dalam pada itu, Kidang Limpat ternyata mengalami kesulitan untuk menaklukkan Glagah Putih. Bahkan semakin lama, rasa-rasanya ilmu Glagah Putih semakin meningkat, bahkan mengatasi ilmunya.

“Alangkah bodohnya Ki Saba Lintang mempercayaimu dalam tugas yang berat ini,” berkata Glagah Putih sambil mendesak lawannya. Kidang Limpat berloncatan di antara beberapa pedati yang berada di halaman. Namun ia tidak lagi dekat dengan pedati yang menjadi sasaran tugasnya malam itu.

Bahkan akhirnya Kidang Limpat memilih untuk keluar dari deretan pedati-pedati itu. Ia memilih tempat yang lebih lapang untuk menghadapi lawannya yang sulit dikalahkannya itu. Bahkan Kidang Limpat telah menggenggam senjatanya yang khusus, sebuah limpung. Tombak pendek sekali yang runcing di kedua ujungnya.

Senjata yang sangat khusus itu teryata benar-benar dikuasainya dengan baik. Salah satu ujungnya yang runcing justru berkait seperti duri pandan.

Glagah Putih tidak dapat melawan senjata Itu dengan tangannya. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mengurai ikat pinggangnya.

“Kau menghina senjataku,” geram Kidang Limpat.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

Kidang Limpat menggeram. Dengan lantang iapun berkata, “Tidak seorangpun mampu melawan senjataku. Aku telah membunuh berpuluh-puluh orang dengan senjataku ini. Sekarang giliranmu. Kau akan mati dengan kulit daging di tubuhmu yang terkoyak.”

“Jangan terlalu berbangga dengan senjatamu,” sahut Glagah Putih.

“Sekarang, untuk melawan senjataku, kau pergunakan ikat pinggang kulit itu. Bukankah itu merupakan satu kesombongan yang akan dapat meruntuhkan dirimu sendiri? Kau rendahkan senjataku dengan kesombonganmu itu.”

“Maaf, Ki Sanak. Bukan maksudku. Tetapi aku memang merasa bahwa aku akan dapat mengimbangi senjatamu dengan senjataku ini. Agaknya kau-lah yang telah meremehkan senjataku ini.”

“Persetan dengan senjatamu. Jangan menyesali nasib burukmu, Glagah Putih.”

“Bukankah nasibku tidak buruk? Aku justru merasa berhasil malam ini, dengan menemukan seorang yang licik seperti kau ini. Kau tentu telah berbuat kasar terhadap bebahu padukuhan ini yang sebenarnya. Kau kemudian mengaku sebagai Bekel dan beberapa orang kawanmu menjadi bebahu. Kau mencoba menjebak Kanjeng Pangeran Puger di banjar, dengan memisah-misahkan keluarganya serta para abdinya di rumah-rumah sebelah. Dengan demikian, akan sangat memudahkan bagimu untuk menguasai mereka bagian demi bagian.”

“Persetan dengan celotehmu. Sekarang, bersiaplah untuk mati.”

Serangan Kidang Limpat pun menjadi semakin garang. Tetapi di luar dugaan, ikat pinggang Glagah Putih ternyata merupakan senjata yang sulit ditembus. Bahkan di setiap benturan, Kidang Limpat merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan bergetar.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu masih bertempur dengan sengitnya melawan seorang yang memiliki kemampuan menguasai dan mempergunakan segala macam bisa dan racun. Meskipun paser-pasernya tidak mampu menyentuh tubuh Ki Lurah Agung, namun Ki Sanggawisa masih mempunyai berbagai macam cara untuk membunuh lawannya.

Dalam keadaan terdesak, tiba-tiba saja Ki Sanggawisa mengambil sebuah bumbung kecil di kantong ikat pinggang kulitnya yang lebar. Tiba-tiba saja, tanpa menghiraukan serangan Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Sanggawisa telah menghentakkan bumbung itu untuk menabur serbuk yang ada di dalamnya.

Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Dengan sigapnya ia meloncat surut. Namun serbuk itu bagaikan dihembus, memburunya.

Ki Sanggawisa tertawa berkepanjangan ketika ia melihat Ki Lurah Agung Sedayu telah menghirup kabut putih yang dibaurkan dari bumbung kecil itu, sebelum kabut itu hilang perlahan-lahan.

Ki Lurah Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Sementara itu Ki Sanggawisa pun berkata di sela-sela derai tertawanya, “Siapapun kau, Ki Lurah, namun kau akan segera mati. Kau telah menghirup serbuk racun sebelum diurai oleh angin. Kau telah menghirup debu yang putih masuk ke dalam rongga dadamu.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, Ki Sanggawisa. Aku sudah menghirup racunmu.”

“Kau tidak akan sempat melihat akhir dari pertempuran ini. Setelah kau mati, maka aku akan membunuh lebih banyak lagi. Dengan paserku atau dengan serbuk racunku.”

“Kau tidak akan dapat meninggalkan aku, Ki Sanggawisa. Kita masih akan bertempur.”

Wajah Ki Sanggawisa berkerut. Namun ia tertawa pula, “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu sekarang ini. Racunku mulai bekerja di rongga dadamu. Paru-parumu yang pertama-tama akan menjadi seperti terbakar. Kemudian seluruh isi dadamu.”

“Sudahlah. Jangan sesorah. Kau seperti penjual jamu yang menjajakan daganganmu. Tetapi ternyata racunmu tidak lebih baik dari sirepmu.”

“Setan kau.”

“Kita akan bertempur sampai tuntas.”

Ki Sanggawisa menjadi sangat gelisah. Ia masih melihat Agung Sedayu berdiri tegak. Serbuk racun yang dihirupnya seakan-akan sama sekali tidak berpengaruh atas pernafasannya, dan apalagi atas seluruh tubuhnya.

“Bersiaplah,” geram Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Sanggawisa terkejut ketika Ki Lurah bahkan telah meloncat menyerangnya.

“Apakah kau kebal racun?” bertanya Ki Sanggawisa sambil mengelak.

“Racunmu yang selemah sirepmu. Tidak ada apa-apanya.”

Ki Sanggawisa tidak menjawab. Namun dua buah paser kecil telah meluncur mengarah ke tubuh Agung Sedayu.

Ki Lurah memiringkan tubuhnya. Satu di antara paser itu luput dan jatuh di dekat tangga. Namun satu yang lain dibiarkannya mengenai lengannya.

“Kalau serbuk racunku tidak membunuhmu, maka racun yang ada di ujung paser itulah yang akan membuat seluruh tubuhmu membeku. Kau akan mati dalam waktu sekejap.”

Ki Lurah Agung Sedayu sempat mencabut paser yang mengenai lengannya. Dilemparkannya paser itu dan menancap di tanah.

“Jika pasermu menancap di bumi, apakah bumi ini juga akan membeku?”

Wajah Ki Sanggawisa menjadi semakin tegang. Iapun kemudian yakin, bahwa lawannya adalah orang yang kebal racun betapapun tajamnya. Serbuk racunnya, serta racun yang ada di ujung pasernya, sama sekali tidak berpengaruh. Lawannya itu masih saja tetap tegar menghadapinya.

“Bagaimanapun juga racunku akan memperlemah tenaga dan kemampuannya, seandainya tidak berhasil membunuhnya,” berkata Ki Sanggawisa di dalam hatinya.

Karena itu, maka Ki Sanggawisa ingin memanfaatkan kesempatan itu sebelum lawannya mampu meredam seluruh kekuatan racunnya. Dengan garangnya Ki Sanggawisa meloncat menyerang. Ia berharap bahwa lawannya menjadi lamban karena kerja racunnya.

Tetapi ternyata kemampuan lawannya tidak berubah. Ki Lurah Agung Sedayu dengan cepat mengelak ketika tangan Ki Sanggawisa terjulur menerkam lehernya.

Tangan Ki Sanggawisa tidak menyentuh sasaran. Bahkan ketika tangan itu terjulur, Ki Lurah Agung Sedayu dengan cepat mengayunkan kakinya, tepat mengenai lambung lawannya. Ki Sanggawisa terlempar beberapa langkah surut, bahkan sehingga orang itu telah jatuh tersungkur.

Ki Sanggawisa tidak mempunyai pilihan lain. Ketika dengan tangkasnya ia bangkit berdiri, serta menyadari bahwa racunnya tidak mampu membunuh lawannya, maka Ki Sanggawisa tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan arena untuk menyelamatkan dirinya.

Karena itu, maka Ki Sanggawisa harus membuka kesempatan untuk meninggalkan arena. Untuk mendapat kesempatan itu, maka Ki Sanggawisa telah melontarkan beberapa paser kecilnya. Meskipun racun pasernya tidak dapat menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu, namun jika paser itu diarahkan ke wajahnya, maka Ki Lurah harus menghindarinya.

Ki Sanggawisa berharap untuk mendapat kesempatan lebih dahulu meskipun hanya sekejap. Ia yakin, bahwa yang sekejap itu akan membuka kesempatan kepadanya. Ia akan segera dapat mencapai deretan pedati di halaman, menyusup di antaranya dan menghilang dalam bayang-bayang kegelapan.

Sebenarnyalah bahwa paser-paser yang dilontarkan telah menahan Ki Lurah Agung Sedayu yang terpaksa bergeser menghindar karena paser-paser itu mengarah ke wajah dan bahkan matanya.

Kesempatan itulah yang diharapkan lawannya. Dengan cepat Ki Sanggawisa pun melenting menjauhi lawannya dan berlari ke sederetan pedati di halaman.

Bagi Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Sanggawisa adalah orang yang sangat berbahaya. Jika ia terlepas, maka ia akan dapat membunuh banyak prajuritnya dengan paser-paser kecilnya yang beracun. Ia dapat merunduk dari dalam kegelapan dengan licik. Kemudian melemparkan paser-pasernya.

Tetapi waktu yang sekejap itu agaknya benar benar sangat berarti bagi Ki Sanggawisa. Ia sudah meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu beberapa langkah. Jika ia dapat mencapai deretan pedati di halaman dan menyusup di antaranya, maka akan sulit untuk menemukannya. Apalagi di sela-sela pedati yang berjajar itu telah terjadi pertempuran.

Karena itu, Ki Lurah Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghentikan orang yang sudah meninggalkannya beberapa langkah itu.

Ki Lurah Agung Sedayu itu memerlukan waktu sekejap untuk memusatkan nalar budinya. Tiba-tiba saja seleret cahaya seakan-akan telah meluncur dari sepasang mata Ki Lurah Agung Sedayu, menyusul Ki Sanggawisa yang hampir mencapai celah-celah pedati yang berderet itu. Namun tiba-tiba terdengar teriakannya melengking.

Ki Sanggawisa merasa punggungnya bagaikan tersengat seribu lebah. Namun kemudian segalanya menjadi gelap. Ki Sanggawisa itu jatuh terkapar di depan sebuah pedati yang kosong.

Ki Lurah Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Kemudian didekatinya tubuh Ki Sanggawisa yang terkapar di tanah. Tidak seorangpun pengikut Kidang Limpat yang sempat mendekatinya, karena mereka semuanya terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Kidang Limpat sendiri tidak menyakini apa yang terjadi. Serangan Glagah Putih semakin lama justru menjadi semakin berbahaya, sehingga Kidang Limpat sama sekali tidak berani berpaling daripadanya. Meskipun Glagah Putih hanya bersenjata ikat pinggangnya, tetapi ikat pinggang itu lebih berbahaya dari pedang, tombak, bindi dan jenis-jenis senjata yang lain. Juga lebih berbahaya dari senjatanya yang bermata dua itu.

Sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu telah berjongkok di sebelah tubuh Ki Sanggawisa. Ketika jari-jari tangannya menyentuh leher Ki Sanggawisa, Ki Lurah Agung Sedayu itu menarik nafas panjang. Ki Sanggawisa sudah tidak akan dapat bangkit untuk selamanya.

“Apa boleh buat,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

Sejenak kemudian Ki Lurah itu pun bangkit berdiri. Tiba-tiba saja ia teringat kepada Rara Wulan dan Sekar Mirah yang bertempur di sebelah pendapa banjar itu. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu itu pun segera meninggalkan tubuh Ki Sanggawisa yang terbaring diam.

Dalam pada itu, Rara Wulan dan Sekar Mirah masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Gagak Mulat. Betapapun tinggi ilmu Ki Gagak Mulat, namun melawan dua orang berilmu tinggi, Ki Gagak Mulat harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Namun Ki Gagak Mulat tidak dapat mengingkari kenyataan. Dua orang perempuan yang mengaku abdi Kanjeng Pangeran Puger itu, tidak dapat ditundukkannya.

Karena itu, maka Ki Gagak Mulat pun tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun melawan dua orang perempuan, namun Ki Gagak Mulat terpaksa mempergunakan senjatanya yang mengerikan.

Ketika Ki Gagak Mulat meloncat surut, maka Ki Gagak Mulat telah mengenakan telapak tangan baja serta kuku-kuku baja yang runcing sekali. Dengan senjatanya itu, maka setiap cengkraman kuku-kukunya akan berarti kematian bagi lawannya.

Rara Wulan dan Sekar Mirah bergeser surut selangkah. Dalam cahaya remang-remang oleh lampu minyak di pendapa, mereka melihat tangan Ki Gagak Mulat seperti tangan seorang raksasa yang sangat mengerikan.

“Aku tidak mempunyai pilihan. Aku akan mengoyakkan kulit dagingmu yang lunak itu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sudah agak lama Rara Wulan tidak membawa pedang. Namun ketika ia ikut dalam iring-iringan keluarga Kanjeng Pangeran Puger ke Demak, maka Rara Wulan membawa pisau belati panjang di lambungnya, di bawah bajunya yang agak panjang.

Ketika Ki Gagak Mulat menggerakkan tangannya, maka terasa arus angin menyentuh tubuhnya. Namun dengan serta-merta Rara Wulan pun telah menarik pisau belati panjangnya.

“Kau kira pisaumu itu berarti, he?”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja pisau belati itu terayun mendatar. Hampir saja menggapai lambung Ki Gagak Mulat.

“Kau memang iblis betina. Kau kira kau akan dapat lolos dari jari-jariku?”

Ketika Ki Gagak Mulat mulai berloncatan menyerang, Sekar Mirah pun telah menarik senjatanya pula dari selongsongnya dan meletakkan selongsong itu di bibir pendapa.

Ki Gagak Mulat terkejut melihat tongkat baja putih itu. Dengan serta-merta iapun berkata, “Jadi kau-lah Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Darimana kau tahu?”

“Tongkat baja putihmu itu.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Kau ikut dalam permainan lakon yang dipertunjukkan oleh Ki Saba Lintang tentang Nyi Lurah Agung Sedayu yang berpihak kepadanya?”

“Persetan. Sekarang kita berhadapan. Aku-lah ternyata yang akan berhasil merampas tongkat baja putih itu dari tanganmu. Aku-lah yang akan menjadi salah seorang pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati.”

“Itu hanya omong kosong. Tongkat baja putih itu sekedar pertanda. Karena itu, punya aku tidak punya tongkat baja putih ini, jika seseorang pantas menjadi pemimpin, ia akan menjadi pemimpin.”

“Kau jangan memperkecil arti tongkat baja putih yang sekarang kebetulan berada di tanganmu.”

“Tetapi aku sama sekali tidak bermimpi untuk menjadi salah seorang pemimpin dari perguruan yang kau katakan itu. Perguruan yang ikatan anggotanya sangat rapuh, karena mereka tidak terdiri dari murid-murid perguruan itu. Apa artinya kalian berada dalam satu wadah, jika pamrih kalian terlalu bersifat pribadi?”

“Persetan kau, Nyi Lurah. Sekarang bersiaplah untuk mati. Jari-jariku akan mencengkram dadamu serta memungut jantungmu.”

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi tongkat baja putihnya telah berputar dengan cepat, sehingga udara pun telah bergaung.

Sejenak kemudian pertempuran pun telah berlanjut. Ki Gagak Mulai memang seorang yang berilmu tinggi. Tetapi menghadapi Rara Wulan dan Sekar Mirah bersama-sama, Ki Gagak Mulat harus mengerahkan kemampuannya.

Dengan loncatan-loncatan panjang Ki Gagak Mulat berusaha menggapai tubuh-tubuh lawannya dengan kuku-kukunya. Namun setiap kali senjata Rara Wulan atau Sekar Mirah telah terjulur mematuk ke arah dada Ki Gagak Mulat. Tetapi setiap kali Rara Wulan dan Sekar Mirah sempat terkejut jika terjadi benturan yang keras dengan telapak tangan Ki Gagak Mulat yang berlapis baja.

Semakin lama, Ki Gagak Mulat pun harus meyakini bahwa lawan-lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Rara Wulan yang telah ditempa oleh beberapa orang itu, memiliki ilmu yang rumit. Serangan-serangannya sulit diduga. Bahkan kadang-kadang justru berlawanan dengan perhitungan lawannya. Sementaran itu, ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah menjadi semakin mantap. Meskipun Ki Gagak Mulat masih mampu menepisnya, tetapi terasa tulang-tulang telapak tangannya yang sudah dilapis dengan baja menjadi nyeri.

Karena itu, maka semakin lama Ki Gagak Mulat itu menjadi semakin terdesak oleh kedua orang perempuan itu.

“Perempuan-perempuan berilmu iblis,” geram Ki Gagak Mulat.

Namun Ki Gagak Mulatpun kemudian meyakini bahwa keduanya tentu bukan abdi Kanjeng Pangeran Puger. Yang pasti, seorang di antara mereka adalah Nyi Lurah Agung Sedayu.

Setelah langsung bertempur melawan Nyi Lurah, Ki Gagak Mulat pun segera menyadari kebenaran berita yang pernah didengarnya tentang ilmu perempuan itu. Bahkan Ki Gagak Mulat telah mendengar langsung dari Ki Saba Lintang, bahwa perempuan yang memiliki tongkat baja putih itu adalah perempuan yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka Ki Gagak Mulat pun kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa ia harus segera mengakhiri pertempuran itu. Itulah sebabnya, tatanan gerak Ki Gagak Mulat terasa menghentak-hentak. Dengan garangnya Ki Gagak Mulat berusaha mendesak lawan-lawannya. Namun Ki Gagak Mulat sebenarnya hanya memerlukan waktu sekejap untuk memusatkan nalar budinya.

Dalam keadaan yang paling rumit serta terdesak, maka Ki Gagak Mulat tidak mempunyai pilihan lagi. Setelah berhasil mengambil jarak dari kedua orang lawannya, maka Ki Gagak Mulat pun telah merambah ke puncak ilmunya.

Terasa jantung Sekar Mirah dan Rara Wulan tergetar ketika mereka melihat Ki Gagak Mulat berdiri tegak sambil mengangkat tangannya perlahan-lahan. Jari-jarinya yang mengenakan baja-baja runcing itu terjulur lurus merapat.

Agaknya Sekar Mirah-lah yang menjadi sasaran pertamanya, karena menurut perhitungan Ki Gagak Mulat, Sekar Mirah adalah perempuan yang sangat berbahaya dengan tongkat baja putihnya.

Sekar Mirah melihat tatapan mata Ki Gagak Mulat itu. Karena itu, maka Sekar Mirah pun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari serangan lawannya.

Dalam keremangan malam yang diterangi oleh lampu minyak di pendapa banjar itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan melihat lidah api yang merah meluncur dari ujung-ujung jari Ki Gagak Mulat. Seperti seekor burung api yang disebut kemamang, serangan itu meluncur dengan cepatnya mengarah ke dada Sekar Mirah.

Sekar Mirah tidak menangkis serangan itu dengan tongkat baja putihnya. Ia sadari bahwa kekuatan ilmu itu tentu sangat besar. Karena itu, maka dengan serta-merta Sekar Mirah pun telah melenting menghindar.

Lidah api yang meluncur itu tidak mengenai dada Sekar Mirah, namun terasa panasnya api itu bagaikan membakar kulitnya. Jantung Sekar Mirah bergetar ketika ia melihat akibat serangan Ki Gagak Mulat. Sebuah gerumbul perdu yang berada di belakangnya, tiba-tiba saja bagaikan meledak. Sesaat nampak api menjilat ke udara. Namun kemudian padam.

Darah Ki Gagak Mulat tersirap ketika ia melihat Nyi Lurah Agung Sedayu itu sempat mengelakkan serangannya. Perempuan itu mampu memperhitungkan dengan cermat arah serangannya, sehingga dengan kecepatan yang tinggi ia mampu mengelak.

Pada saat itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah meloncat mendekati arena pertempuran di samping pendapa banjar itu. Namun ketika ia siap untuk menyerang Ki Gagak Mulat, ia tertegun sejenak. Ia melihat Rara Wulan telah lebih dahulu meluncurkan serangannya. Ilmunya yang diwarisinya dari Nyi Citra Jati. Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Ki Gagak Mulat terkejut melihat serangan yang meluncur, justru dari perempuan yang masih terhitung muda itu. Ki Gagak Mulat sama sekali tidak menduganya. Karena itu, maka Ki Gagak Mulat terlambat menanggapi serangan itu, justru pada saat ia bersiap untuk mengulangi serangannya terhadap Sekar Mirah.

Yang tidak pernah diperhitungkan Ki Gagak Mulat itu pun terjadi. Serangan ilmu Rara Wulan yang jarang ada duanya itu telah menghantam tubuh Ki Gagak Mulat yang terlambat menghindar.

Terasa dada Ki Gagak Mulat itu bagaikan meledak. Betapapun tinggi daya tahan Ki Gagak Mulat, namun Pacar Wutah Puspa Rinonce itu terasa seakan-akan telah merontokkan isi dadanya. Ki Gagak Mulat itu terdorong beberapa langkah surut. Kemudian tubuhnya telah terbanting dengan kerasnya. Bagian belakang kepala Ki Gagak Mulat itu telah membentur tangga pendapa pula. Ki Gagak Mulat tidak sempat mengeluh. Seorang yang berilmu tinggi itu telah terbunuh di pertempuran oleh kekuatan ilmu Rara Wulan.

Sekar Mirah yang telah berdiri tegak dengan tongkat baja putih di tangannya, berdiri termangu-mangu. Ia memandang tubuh yang terbaring diam itu.

“Mbokayu,” desis Rara Wulan.

“Kau berhasil menghentikan perlawanannya, Rara,” desis Sekar Mirah.

Keduanya berpaling ketika mereka mendengar sura Agung Sedayu, “Kalian sudah menyelesaikannya. Hati-hatilah, pertempuran masih berlangsung. Aku akan melihat Pangeran Puger.”

Sekar Mirah mengangguk sambil menjawab, “Ya, Kakang.”

Agung Sedayu pun segera meloncat meninggalkan kedua orang perempuan itu. Ia belum sempat memuji keberhasilan Rara Wulan.

Sejenak Rara Wulan dan Sekar Mirah termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berniat pergi ke kebun belakang. Dalam kegelapan akan dapat terjadi salah paham.

Karena itu, untuk sementara keduanya tidak pergi kemana-mana. Mereka mengawasi saja pendapa dan pringgitan banjar. Beberapa orang abdi perempuan masih tertidur nyenyak. Pengaruh sirep yang ditebarkan ternyata benar-benar tajam. Bahkan setelah Ki Sanggawisa terbunuh, pengaruh sirep itu tidak segera hilang dari banjar.

Ketika Agung Sedayu berada di pringgitan, iapun segera melihat bahwa Kanjeng Pangeran Puger berdiri termangu-mangu di halaman di samping pendapa. Berseberangan dengan Rara Wulan dan Sekar Mirah. Dengan cepat Agung Sedayu pun mendekatinya.

“Ampun, Pangeran. Apa yang terjadi?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

Pangeran Puger menunjuk tubuh seseorang yang terbaring diam. Dalam keremangan cahaya lampu di pendapa, mata Ki Lurah Agung Sedayu yang tajam melihat tubuh itu seakan-akan telah terhempas ke dalam api.

“Pangeran Puger memang seorang prajurit linuwih,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Sesosok tubuh yang lain terbaring beberapa langkah dari tubuh yang bagaikan terpanggang api itu.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain, Ki Lurah,” berkata Pangeran Puger, “orang ini memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keris itu di tangannya merupakan senjata yang sangat berbahaya. Orang itu dapat mengelabui penglihatan lawannya, sehingga ia mempunyai kesempatan yang baik untuk membunuhnya.”

“Hamba, Pangeran.”

Kemudian Pangeran Puger pun berpaling kepada Ki Lurah Adipraya, “Ki Lurah, obati luka-lukamu.”

“Luka hamba tidak parah, Kanjeng Pangeran. Biar saja nanti setelah pertempuran ini selesai.”

Pangeran Puger menarik nafas panjang. Katanya, “Terserahlah kepada Ki Lurah. Namun nampaknya para prajurit akan segera menguasai keadaan.”

Ki Lurah Adipraya tidak menjawab. Namun ketika ia memandang ke halaman samping dan halaman depan, ia melihat bahwa pertempuran memang sudah mereda.

“Pangeran,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “silakan masuk ke ruang dalam. Biarlah para putri tidak mencemaskan keadaan Pangeran.”

Pangeran Puger mengangguk sambil berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Marilah, Ki Lurah Adipraya.”

“Marilah, Pangeran.”

Keduanya pun kemudian segera naik ke pendapa dan langsung masuk ke ruang dalam. Sementara itu kedua orang prajurit yang semula berada di ruang dalam bersama Ki Lurah Adipraya telah berada di antara para pengawal yang lain.

Namun pertempuran memang sudah mereda. Beberapa orang pengikut Kidang Limpat sudah dapat dilumpuhkan. Bahkan sudah ada di antara mereka yang menyelinap dan menghilang di rimbunnya pepohonan di kebun belakang. Kemudian diam-diam meninggalkan arena pertempuran lewat pintu butulan yang memang sudah terbuka.

Ada beberapa orang di antara mereka yang tertangkap saat mereka mencoba melarikan diri. Tetapi ada pula di antara mereka yang berhasil. Tetapi ada pula di antara para pengikut Kidang Limpat yang keras kepala. Tiga orang di antara mereka tiba-tiba saja berlari meloncat ke pendapa dengan pedang di tangan. Dengan serta merta mereka mengancam beberapa orang abdi perempuan dengan senjata mereka.

Beberapa orang prajurit di Pasukan Khusus yang mengejar mereka tertegun. Demikian mereka meloncat naik ke pendapa, orang yang mengancam perempuan yang masih tidur itu berkata, “Jika kau mendekat, maka aku akan menebas leher perempuan-perempuan ini.”

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berdiri membeku. Mereka tidak berani mendekat. Tiga orang pengikut Kidang Limpat itu agaknya sudah menjadi gila. Mereka tentu akan membunuh perempuan yang tak berdaya itu.

“Kenapa kalian tiba-tiba menjadi pengecut?” geram seorang prajurit dari Pasukan Khusus.

“Persetan dengan penilaianmu.”

“Lalu apa yang kalian kehendaki?”

“Biarkan aku pergi.”

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik, pergilah.”

“Aku akan membawa perempuan ini.”

“Perempuan itu masih tidur. Ia telah dicengkam oleh kekuatan sirep yang ditebarkan ke banjar ini.”

“Aku memerlukannya.”

“Tetapi bagaimana kau akan membawanya? Apakah kau akan mendukungnya atau memanggulnya?”

“Persetan,” geram orang itu.

Namun orang-orang itu memang menjadi bimbang. Mereka tidak akan dapat membawa perempuan yang tertidur itu sebagai perisai pada saat mereka melarikan diri. Untuk beberapa saat ketiga orang pengikut Kidung Limpat yang mengancam akan menebas leher perempuan yang tidur itu masih saja termangu-mangu. tetapi para prajurit dari Pasukan khusus yang mengejarnya masih belum berani mendekatinya.

Dari arah yang lain, Ki Lurah Agung Sedayu pun menyaksikannya dengan penuh kebimbangan. Ki Lurah tidak dapat dengan serta merta menyerang mereka dari kejauhan dengan sorot matanya. Serangan itu, akan dapat membahayakan orang-orang yang berdiri berseberangan. Justru para prajurit dari Pasukan Khusus. Namun tiba-tiba saja terdengar suara seorang perempuan, “Jika Ki Sanak tidak dapat membawa saudara-saudaraku yang masih tidur, biarlah aku menggantikan mereka. Tetapi jangan ganggu mereka.”

Dari keremangan cahaya lampu di pendapa yang lemah, Rara Wulan dan Sekar Mirah melangkah ke tangga pendapa. Rara Wulan sudah menyarungkan pisau belatinya, sementara Sekar Mirah menyelipkan tongkat baja putihnya di punggungnya.

“Bagus,” berkata ketiga orang pengikut Kidung Limpat hampir bersamaan.

“Biarlah aku antarkan kau keluar dari pintu gerbang,” berkata Rara Wulan.

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berusaha mencegahnya. Seorang di antara mereka berkata, “Kanjeng Pangeran Puger tentu tidak akan mengijinkannya.”

“Tetapi bagaimana dengan saudaraku yang masih tidur itu? Apakah saudaraku itu akan diseret dalam keadaan tidur sampai ke pintu gerbang? Bukankah maksud orang-orang itu mempergunakan kami sebagai perisai, agar mereka mendapat kesempatan untuk melarikan diri?”

“Tetapi itu sangat berbahaya.”

“Menurut pendapatku, akan lebih baik daripada mereka menyeret orang yang masih tidur.”

Prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu-mangu sejenak. Namun dari seberang pendapa terdengar suara Ki Lurah Agung Sedayu, “Biarlah mereka membawa perempuan yang tidak sedang tidur itu sampai ke pintu gerbang. Tetapi jangan ganggu dan jangan sakiti mereka.”

“Mundurlah!” teriak salah seorang pengikut Kidang Limpat yang berdiri di pendapa kepada para prajurit. “Jangan dekati perempuan itu! Mereka akan mengikuti aku ke regol halaman banjar ini.”

Para prajurit itu pun bergeser menjauhi Rara Wulan dan Sekar Mirah.

“Jika kalian berbuat di luar kehendak kami, maka kedua orang perempuan ini akan mati.”

Para prajurit itu pun diam mematung. Namun mereka menjadi cemas bahwa kedua orang perempuan yang menyatakan dirinya menjadi taruhan itu akan mengalami nasib buruk. Mereka memperhitungkan bahwa keduanya tidak akan dilepaskan, demikian para pengikut Kidang Limpat itu keluar dari regol. Para prajurit itu tidak melihat, bagaimana Sekar Mirah dan Rara Wulan mengalahkan seorang yang berilmu tinggi yang bernama Ki Gagak Mulat.

Sejenak kemudian, ketiga orang pengikut Kidang Limpat itu pun segera berloncatan turun. Pedang mereka pun segera teracu kepada Rara Wulan dan Sekar Mirah. Sekar Mirah dan Rara Wulan bergeser menjauhi tangga pendapa dan masuk ke dalam lingkungan yang semakin remang-remang.

“Berjalanlah ke regol halaman!” bentak seorang dari ketiga orang itu.

Rara Wulan dan Sekar Mirah pun segera melangkah ke pintu regol halaman. Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu bergerak pula mengikuti mereka, seorang di antara ketiga orang itu berteriak, “Jangan ikuti kami! Atau kami akan membunuh kedua orang perempuan ini.”

Para prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun terdengar pula suara Ki Lurah Agung Sedayu, “Jangan ikuti mereka.”

Para prajurit itu memang menjadi sangat bimbang. Sulit bagi mereka untuk membiarkan kedua orang perempuan itu dibawa oleh para pengikut Kidang Limpat. Para prajurit itu membayangkan bahwa nasib kedua orang perempuan itu akan menjadi sangat buruk.

Namun tiba-tiba saja salah seorang dari para pengikut Kidang Mulat yang melihat tongkat baja putih di punggung Sekar Mirah bertanya, “Apa yang kau bawa itu?”

Sekar Mirah tidak mempunyai pilihan. Orang itu tentu menjadi curiga bahwa yang dibawanya itu tentu senjata. Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera mendorong Rara Wulan untuk mengambil jarak.

Sikap perempuan itu sangat mengejutkan. Rara Wulan yang tanggap, segera melenting tinggi dan berputar sekali di udara. Sementara Sekar Mirah yang meloncat ke arah yang lain, telah menggenggam tongkat baja putihnya.

Ketiga orang pengikut Kidang Limpat itu terkejut. Mereka tidak segera menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Dalam sekejap Rara Wulan dan Sekar Mirah pun telah bersiap menghadapi ketiga orang itu.

“Iblis betina. Apakah kalian melawan kami?”

Pada saat yang bersamaan, para prajurit dari Pasukan Khusus yang memandangi saja mereka dari kejauhan, dengan serta merta telah berloncatan pula.

Namun terdengar suara Ki Lurah Agung Sedayu, “Jaga agar ketiga orang gila itu tidak meloncat naik ke pendapa lagi. Kalian tidak usah melibatkan diri. Biarlah kedua orang abdi perempuan itu menyelesaikan persoalannya dengan ketiga orang yang akan memanfaatkan mereka untuk menjadi perisai.”

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu-mangu sejenak. Mereka merasa cemas akan nasib kedua orang abdi perempuan itu. Apakah mereka akan dapat mengatasi ketiga orang laki-laki yang hampir menjadi gila karena putus asa itu.

Namun agaknya kedua orang perempuan itu sama sekali tidak khawatir menghadapi ketiga orang pengikut Kidang Limpat itu.

Dalam pada itu, ketiga orang pengikut Kidang Limpat itu menjadi gelisah. Mereka melihat beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu berloncatan mendekat. Tetapi ternyata mereka berhenti beberapa langkah. Agaknya mereka tidak akan melibatkan diri dan membiarkan kedua orang perempuan itu bertempur.

“Apa peduliku dengan sikap mereka,” berkata seorang di antara ketiga orang itu.

“Sikap siapa?” bertanya Rara Wulan.

“Prajurit-prajurit itu agaknya sengaja mengumpankan kalian. Mereka membiarkan aku membunuh kalian.”

“Hidup kami tidak tergantung kepada mereka,” jawab Sekar Mirah.

“Para prajurit itu ingin menunjukkan, bahwa sikap mereka tidak tergantung kepada kalian. Bahkan seandainya kami membunuh kalian. Agaknya kalian memang tidak berarti sama sekali bagi para prajurit itu.”

“Kami hanya abdi. Kami memang tidak berarti. Karena itu, kami tidak akan dapat kalian pergunakan sebagai perisai kalian.”

“Persetan. Apapun yang akan terjadi, jika kalian berdua berusaha melawan, kami akan membunuh kalian.”

“Sudahlah. Menyerahlah,” berkata Sekar Mirah kemudian. “Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi. Seandainya kalian berhasil membunuh kami, kalian berdua akan mati. Tetapi jika kalian menyerah, maka masih ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi atas kalian.”

“Persetan dengan kesombonganmu. Kami akan membunuhmu.”

Ketiga orang itu pun segera bergerak mengelilingi Sekar Mirah dan Rara Wulan. Pedang mereka pun segera mulai bergetar.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah menarik pisau belatinya, sementara tongkat baja putih Sekar Mirah pun mulai terayun-ayun di tangannya.

“Gila. Apa yang kau pegang itu?” bertanya seorang di antara ketiga orang pengikut Kidang Limpat itu.

“Ini yang tadi kau tanyakan,” jawab Sekar Mirah, “yang terselip di punggungku.”

“Tongkat baja putih, seperti milik Ki Saba Lintang,” desis yang lain.

“Ya,” sahut Sekar Mirah, “Ki Saba Lintang mempunyai satu. Aku mempunyai satu. Tetapi kami berdiri berseberangan.”

Ketiga orang pengikut Kidang Limpat itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka berkata, “Omong kosong. Ia telah memalsukan tongkat baja putih itu. Setiap pande besi yang terampil akan dapat membuat ujud seperti itu. Tetapi tentu saja tidak memiliki kekuatan seperti tongkat baja putih Ki Saba Lintang.”

“Bersiaplah. Tongkat ini akan mencabut nyawamu.”

Ketiga orang itu tidak sempat menjawab lagi. Sekar Mirah mulai memutar tongkatnya, sementara Rara Wulan telah meloncat menyerang.

Namun Rara Wulan terkejut. Ternyata lawannya itu bergerak terlalu lamban. Jika saja Rara Wulan benar-benar menjulurkan pisau belatinya, maka pisau belati itu sudah akan menghunjam di lambung. Tetapi justru karena lawannya bergerak lamban, maka Rara Wulan mengurungkan serangannya.

“Kau tidur di arena ini?” suara Rara Wulan melengking.

Jantung orang yang hampir saja dilubangi lambungnya itu tergetar. Ia sudah kehilangan harapan untuk dapat bertahan lebih lama lagi. Namun ternyata perempuan itu menarik serangannya.

“Bangun dan lawan aku,” berkata Rara Wulan kemudian.

Sementara itu, Sekar Mirah pun telah mengayunkan tongkat baja putihnya ke lengan seorang lawannya. Orang itu masih sempat berusaha menangkis serangan itu. Namun ketika terjadi benturan yang keras, pengikut Kidang Limpat itu tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya. Dalam benturan yang terjadi, pedang orang itu telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja mengenai kawannya yang seorang lagi.

Orang yang kehilangan senjatanya itu meloncat surut.

“Kenapa kau lepaskan senjatamu?” bertanya Sekar Mirah. Orang itu hanya dapat menggeram. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Ambil. Ambil senjatamu, atau aku pecahkan kepalamu dengan tongkatku ini.”

Orang itu termangu-mangu. Namun Sekar Mirah pun membentaknya, “Cepat ambil!”

Orang itu pun dengan tergesa-gesa meloncat mengambil senjatanya, sementara seorang kawannya melindunginya jika perempuan itu berbuat curang.

“Sekarang, bersungguh-sungguhlah. Bersungguh-sungguh atau tidak, kami benar-benar akan membunuh kalian.”

Ketiga orang itu pun telah bersiap pula. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka melemparkan senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah.”

Kedua orang kawannya yang lain termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Perempuan yang membawa tongkat baja itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar, sementara perempuan yang lain mampu bergerak demikian cepatnya. Selain mereka, beberapa orang prajurit telah siap pula berloncatan membantai mereka, seandainya mereka dapat mengalahkan kedua orang perempuan itu.

Di arena di kebun belakang pun beberapa orang telah menyerah. Di halaman depan masih terjadi pertempuran di antara pedati yang berderet. Namun pertempuran itu pun menjadi semakin menyusut. Satu dua orang pengikut Kidang Limpat telah terbunuh dan terluka. Sedangkan ada pula di antara mereka yang menyerah.

“Pengecut!” teriak Kidang Limpat yang masih bertempur melawan Glagah Putih, “Aku akan membunuh kalian yang menyerah.”

Tetapi suaranya yang bergaung di kegelapan malam itu tidak mempunyai banyak pengaruh. Perlawanan para pengikut Kidang Limpat pun telah tidak berarti lagi. Namun Kidang Limpat masih bertempur dengan garangnya melawan Glagah Putih. Serangan-serangannya masih saja membadai. Tetapi Glagah Putih pun telah berada pada puncak kemampuannya pula.

Ternyata bahwa kemampuan Kidang Limpat masih berada selapis di bawah kemampuan Glagah Putih. Ketika Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya dilambari dengan kekuatan Aji Sigar Bumi, maka Kidang Limpat tidak berdaya melawannya. Sebuah getar yang sangat kuat seakan-akan telah meremas isi dadanya sehingga menjadi debu.

Kidang Limpat terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh di tanah.

Kidang Limpat masih berusaha untuk bangkit. Namun tubuhnya telah menjadi sangat lemah. Betapapun jiwanya bergejolak, namun akhirnya Kidang Limpat pun terbaring lemah.

Glagah Putih pun kemudian dengan hati-hati mendekatinya. Ketika ia berjongkok di sebelahnya, masih terdengar Kidang Limpat itu berkata, “Kau telah membuat kesalahan, la akan menghukummu dengan hukuman yang sangat berat.”

Glagah Putih tidak menjawab.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Rara Wulan dan Sekar Mirah pun telah mendekati sosok yang terbaring diam itu. Kidang Limpat tidak sempat berbicara lebih banyak lagi. Nafasnya sudah tidak lagi berhembus di lubang hidungnya.

Kematian Kidang Limpat telah menghentikan pertempuran. Para pengikutnya yang tersisa yang tidak berhasil melarikan diri, telah menyerah. Kepada mereka yang menyerah, Ki Lurah Agung Sedayu memerintahkan untuk berkumpul di halaman samping.

“Kami memerlukan dua orang di antara kalian,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “aku minta kedua orang itu mengantarkan sekelompok prajurit untuk menjemput Ki Bekel dan para bebahu yang disekap oleh Kidang Limpat.”

Tidak seorangpun yang menyatakan diri untuk melakukannya. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang kemudian menunjuk dua orang di antara mereka.

Namun dengan suara bergetar seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak tahu yang Ki Sanak maksudkan. Bukankah Bekel di padukuhan ini adalah Ki Kidang Limpat?”

“Jangan paksa aku memotong lidahmu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu dengan suara yang berat.

“Tetapi….”

“Pergilah. Jangan menjawab lagi.”

Kedua orang itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bersama sepuluh orang prajurit, maka mereka telah pergi untuk menjemput Ki Bekel yang sesungguhnya.

Sebenarnyalah Ki Bekel dan para bebahu telah disekap di sebuah rumah yang terpencil. Ketika berita kekalahan para pengikut Ki Kidang Limpat di banjar terdengar oleh beberapa orang yang menjaga Ki Bekel dan para bebahu, maka mereka pun segera melarikan diri pula.

Seorang yang berhasil melarikan diri dari banjar telah singgah di rumah terpencil itu untuk memberitahukan kawan-kawan mereka yang masih sempat melarikan diri.

“Kita bunuh orang-orang yang ada di dalam rumah itu.”

“Tidak ada gunanya. Buat apa kita membunuh mereka?”

“Kita akan mendapatkan kepuasan. Kita bakar rumah itu, sementara pintunya kita selarak dari luar.”

“Kita akan kehilangan banyak waktu. Jika para prajurit Mataram itu datang, kita tidak akan sempat melepaskan diri lagi.”

Akhirnya mereka memilih segera melarikan diri, serta meninggalkan orang-orang yang disekap di dalam rumah. Tetapi karena mereka yang berada di dalam itu tidak mengetahui apa yang terjadi di luar, maka mereka masih mendapat perlindungan.

Karena itu, ketika selarak pintu pringgitan di luar terdengar diangkat, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka mengira bahwa pengikut Ki Saba Lintang-lah yang melakukannya. Ketika pintu itu terbuka, mereka melihat beberapa orang berdiri di luar pintu. Seorang di antara para prajurit Mataram itu pun melangkah ke pintu sambil berkata, “Aku akan berbicara dengan Ki Bekel.”

Orang-orang yang berdiri di ruang dalam itu termangu-mangu. Mereka memandangi beberapa orang yang berdiri di pringgitan dengan jantung yang berdebaran. Menilik ujud dan sikap serta tingkah laku mereka, nampak berbeda dengan orang-orang yang telah menyekap mereka.

Seorang di antara mereka yang berada di ruang dalam itu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Akulah Bekel padukuhan ini.”

Prajurit itu memandangi dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Orang itu sudah separo baya. Di antara rambut dan kumisnya yang tidak terlalu tebal, sudah nampak warna keputih-putihan.

“Kami adalah prajurit dari Mataram.”

“Prajurit dari Mataram?”

“Ya. Kami adalah pengawal Kanjeng Pangeran Puger yang akan pergi ke Demak.”

“Kanjeng Pangeran Puger sudah ada di sini?”

“Ya.”

“Tetapi di padukuhan ini sudah dipersiapkan sebuah jebakan untuk merampas harta benda serta perhiasan yang mungkin dibawa oleh Kanjeng Pangeran Puger serta para putri.”

“Ya. Tetapi sudah kami atasi. Sekarang Ki Bekel dan para bebahu dipersilahkan pergi ke banjar menghadap Kanjeng Pangeran Puger.”

“Syukurlah. Kami tidak berdaya menghadapi sekelompok orang-orang jahat yang mempersiapkan diri untuk merampok Kanjeng Pangeran Puger serta iring-iringannya.”

“Dari mana mereka tahu bahwa Kanjeng Pangeran Puger akan lewat padukuhan ini?”

“Aku tidak tahu. Tetapi ternyata perhitungan mereka benar, jika Kanjeng Pangeran Puger berada di sini sekarang.”

“Perhitungan mereka benar, bahwa Kanjeng Pangeran Puger akan lewat padukuhan ini hari ini. Tetapi mereka salah menghitung kekuatan para pengawalnya.”

“Ya. Tetapi dimana mereka sekarang?”

Prajurit itu menunjuk pengikut Kidang Limpat yang mengantar mereka ke tempat itu, “Orang itu adalah di antara mereka. Yang lain tertangkap, terbunuh atau melarikan diri.”

“Ada orang-orang berilmu tinggi. Mereka telah menggertak kami dengan mempertunjukkan ilmu mereka yang tidak masuk di akal kami.”

“Ya. Tetapi mereka tidak dapat mengatasi ilmu Kanjeng Pangeran Puger sendiri, serta Ki Lurah Agung Sedayu, lurah prajurit yang memimpin pengawal Kanjeng Pangeran Puger.”

“Syukurlah, syukurlah.”

“Nah, sekarang kita pergi ke banjar. Pangeran Puger menunggu kalian.”

Ki Bekel memang nampak ragu-ragu, sehingga prajurit itu pun berkata, “Ki Bekel meragukan kami? Apakah tampang kami mirip dengan para perampok yang dipimpin oleh Kidang Limpat itu?”

“Tidak, tidak. Sama sekali tidak.”

“Jika demikian, marilah kita pergi.”

Ki Bekel serta beberapa orang bebahu yang ada di tempat itu pun kemudian bersama para prajurit Mataram telah pergi ke banjar untuk menghadap Kanjeng Pangeran Puger.

Sebenarnyalah ketika mereka sampai di banjar, mereka langsung diterima oleh Kanjeng Pangeran Puger di pendapa. Beberapa orang perempuan, para abdi, telah dibangunkan. Mereka pun kemudian pindah ke serambi samping.

“Apa yang dilakukan oleh orang-orang itu terhadap Ki Bekel dan para bebahu?” bertanya Kanjeng Pangeran Puger.

“Mereka mengambil alih kepemimpinan padukuhan ini, Kanjeng Pangeran. Mereka mempersiapkan jebakan bagi Kanjeng Pangeran Puger serta para pengiring.”

“Untunglah Ki Lurah Agung Sedayu cukup berhati-hati, sehingga kami telah terhindar dari bencana yang sangat buruk itu.”

“Kami mohon maaf, bahwa kami tidak berdaya berbuat apa-apa. Bahkan tidak berdaya untuk menyampaikan peringatan kepada Kanjeng Pangeran Puger.”

“Sudahlah. Kita wajib bersyukur, bahwa jebakan orang-orang jahat itu dapat kami atasi. Kami justru harus minta maaf kepada kalian, bahwa perjalanan kami telah membuat kalian mengalami kesulitan.”

“Tetapi para pengawal Kanjeng Pangeran telah membebaskan kami.”

“Nah, Ki Bekel. Menurut rencana kami, kami hanya akan bermalam semalam saja di padukuhan ini. Tetapi nampaknya kami harus menunda keberangkatan kami. Kami harus menyelenggarakan pemakaman, karena ternyata ada dua orang prajurit kami yang gugur. Yang terluka akan dapat kami bawa ke Demak. Sementara itu, kami juga harus mengurus para perampok yang terbunuh serta mereka yang telah tertangkap atau menyerah.”

“Silahkan. Silahkan, Kanjeng Pangeran. Seandainya Kanjeng Pangeran ingin bermalam berapa malam pun di sini. Bagi kami, justru kami mendapatkan kehormatan karenanya.”

“Bagaimana dengan rakyat kalian?”

Dengan serta-merta Ki Bekel itu pun menjawab, “Rakyatku tentu akan menyambut gembira atas kehadiran Kanjeng Pangeran di sini.”

“Bagaimana pengaruh kehadiran sekelompok perampok yang telah menyekap para bebahu padukuhan ini?”

“Mereka menjadi ketakutan, Kanjeng Pangeran. Tidak seorangpun yang berani menentang rencana para penjahat. Tidak seorangpun di antara rakyat padukuhan ini yang diperkenankan keluar dari padukuhan. Jika ada seorang yang melarikan diri, maka ancaman mereka, keluarganya akan ditumpas kelor. Habis sampai ke anak cucu.”

Kanjeng Pangeran Puger mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Agaknya Ki Bekel akan dapat memberitahukan kepada mereka, mereka telah dibebaskan dari ketakutan.”

“Hamba, Pangeran. Nanti kami para bebahu akan memberitahukan hal itu kepada mereka, agar mereka malam ini sudah tidak berada dalam ketakutan lagi.”

“Besarkan hati rakyatmu, Ki Bekel.”

“Kami sama sekali tidak mempunyai sandaran di sini, Kanjeng Pangeran. Jika Kanjeng Pangeran ada di sini bersama para prajurit, maka orang-orangku tidak akan menjadi sangat ketakutan. Seandainya para penjahat itu kembali dengan membawa kawan-kawan mereka, maka bersama para prajurit, rakyatku tentu akan berani mengangkat senjata.”

“Menurut perhitunganku, mereka tidak akan kembali. Setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini.”

“Syukurlah, Pangeran. Biarlah kami dapat mengecap ketenangan hidup sebagaimana sebelum Tanah ini dijamah oleh para penjahat itu.”

“Sebaiknya Ki Bekel segera memberitahukan kepada rakyat padukuhan ini, bahwa para penjahat itu telah pergi.”

“Hamba, Pangeran.”

“Namun sebenarnyalah bahwa kami memerlukan pertolongan mereka. Ajak mereka, hanya yang tidak berkeberatan, membantu menyelenggarakan mereka yang terbunuh di pertempuran ini. Khususnya para penjahat itu. Dan dua orang prajurit dari Pasukan Khusus itu.”

“Baik, baik, Pangeran. Hamba akan memanggil mereka.”

Sejenak kemudian, maka rakyat padukuhan itu sudah berkumpul. Meskipun mereka harus bekerja keras, namun mereka tidak lagi dibayangi oleh ketakutan karena ancaman para penjahat yang telah mengambil alih padukuhan mereka.

Namun dalam pada itu, langit telah menjadi merah. Cahaya fajar telah membayang. Ayam jantan pun telah berkokok untuk yang terakhir kalinya malam itu.

Demikian hari menjadi terang, maka Ki Bekel telah menugaskan anak-anak muda serta hampir semua laki-laki di padukuhan. Kepada mereka Ki Bekel memberitahukan apa yang telah terjadi di padukuhan mereka. Para penjahat yang mengambil alih padukuhan mereka telah diusir oleh Kanjeng Pangeran Puger serta para prajurit Mataram.

“Sekarang, marilah kita membantu Kanjeng Pangeran Puger serta para prajurit. Bahkan juga untuk kepentingan padukuhan kita sendiri.”

Hari itu, padukuhan itu disibukkan oleh anak-anak muda serta hampir semua laki-laki yang masih mampu, untuk merawat mereka yang terluka serta menyelenggarakan penguburan bagi mereka yang terbunuh. Sementara itu para prajurit Mataram juga melakukan upacara pemakaman bagi kawan-kawan mereka yang gugur. Sedangkan yang sebagian lagi sibuk mengurusi para tawanan yang akan dibawa ke Demak.

“Setelah sampai di Demak, kita akan mempertimbangkannya, apakah mereka akan dihukum di Demak atau akan dibawa ke Mataram,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kesalahan mereka ditujukan kepada Kanjeng Pangeran Puger,” sahut Ki Lurah Adipraya, “biarlah Kanjeng Pangeran Puger yang menjatuhkan hukuman atas mereka.”

“Terserah saja kepada Kanjeng Pangeran. Jika mereka harus diadili dan dijatuhi hukuman di Demak, tentu akan lebih baik bagi kami, karena kami tidak perlu susah payah membawanya mereka ke Mataram.”

Pangeran Puger sendiri hanya tersenyum saja. Katanya kemudian, “Itu akan kita pikirkan nanti setelah kita berada di Demak.”

Sedikit lewat tengah hari, maka pemakaman dua orang prajurit yang gugur, serta penguburan beberapa orang penjahat yang terbunuh, telah selesai. Sementara itu di banjar beberapa orang yang terluka sedang mendapat perawatan. Hanya mereka yang terluka parah sajalah yang mendapat tempat untuk berbaring di pendapa.

Dalam pada itu, para abdi perempuan pun saling membicarakan apa yang telah terjadi semalam. Seorang di antara mereka berkata, “Mataku seperti melekat. Aku tidak tahu sama sekali bahwa telah terjadi pertempuran di halaman.”

“Semuanya tertidur lelap,” sahut yang lain. Namun tiba-tiba saja perempuan itu bertanya kepada Sekar Mirah yang telah menitipkan tongkat baja putihnya kepada Glagah Putih, “Apa yang kau ketahui tentang gejolak malam tadi?”

“Aku tertidur nyenyak.”

Abdi perempuan yang berbicara dengan Sekar Mirah itu mengerutkan dahinya. lapun kemudian berkata, “Bukankah kau seorang abdi yang baru? Seharusnya kau tidak terlalu malas. Kau tidak dapat berbuat sebagaimana kami lakukan, karena kami adalah abdi yang sudah lama mengabdi.”

“Adalah di luar kemampuanku untuk bertahan dari pengaruh sirep itu.”

“Pengaruh sirep apa?”

“Bukankah kita semuanya terkena pengaruh sirep, sehingga kita tertidur nyenyak?”

Abdi perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kau jangan mengada-ada. Aku tidak ingkar bahwa aku pun tertidur karena letih. Tetapi kau tidak usah berbicara tentang sirep.”

“Baiklah,” desis Sekar Mirah.

“Yang harus kau lakukan kemudian adalah kau harus lebih rajin dari kami. Kau seharusnya merasa beruntung, bahwa dalam waktu pengabdianmu yang baru mulai, kau sudah dapat ikut bersama kami ke Demak.”

“Aku justru mengabdi karena Kanjeng Pangeran pergi ke Demak,”Rara Wulan-lah yang menjawab, “aku belum pernah melihat Demak. Karena itu, aku ingin pergi bersama iring-iringan ini. Nanti setelah kita sampai di Demak, aku akan mengundurkan diri. Aku akan ikut pulang ke Mataram bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang mengawal Kanjeng Pangeran Puger ini.”

Wajah abdi perempuan itu menjadi merah. Kawannya yang mendengar jawab Rara Wulan itu pun berkata, “Kau jangan main-main dengan pengabdianmu. Kau harus menunjukkan kesetiaan jika kau memang ingin mengabdi.”

Ketika Rara Wulan akan menjawab. Sekar Mirah pun menggamitnya, “Sudahlah, Rara.”

“Siapa sebenarnya kalian berdua?”

Tetapi Rara Wulan masih saja menjawab, “Bukankah kami abdi-abdi baru di Dalem Kepangeranan?”

Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Kami adalah abdi yang sangat khusus. Kami hanya akan ikut sampai ke Demak. Kemudian kami akan kembali ke Mataram, untuk membawa pesan khusus dari Kanjeng Pangeran Puger serta para putri bagi para putri yang ditinggalkan di Mataram.”

“Yang kalian katakan adalah hal-hal yang aneh-aneh. Siapakah sebenarnya kalian? Apakah kalian sengaja disusupkan oleh orang yang ingin berbuat jahat, sebagaimana mereka yang menyerang kita semalam?”

Namun sebelum Sekar Mirah menjawab, seorang prajurit dari Pasukan Khusus menghampiri Sekar Mirah. Sambil mengangguk hormat prajurit itu berkata, “Nyi Lurah dipanggil oleh Ki Lurah Agung Sedayu.”

Sekar Mirah pun mengangguk hormat pula sambil berkata, “Baik. Katakan kepada Ki Lurah, aku segera datang. Dimana Ki Lurah sekarang?”

“Bersama Kanjeng Pangeran Puger serta Ki Lurah Adipraya.”

Prajurit itu pun meninggalkan Sekar Mirah yang berbenah diri sambil berkata, “Kita pergi menemui Kakang Agung Sedayu, Rara.”

“Aku di sini saja, Mbokayu.”

Sekar Mirah tidak mau meninggalkan Rara Wulan sendiri. Ia akan dapat menakut-nakuti para abdi perempuan itu. Karena itu, maka Sekar Mirah pun setelah membenahi pakaiannya segera menggandeng Rara Wulan sambil berkata, “Kita pergi bersama-sama.”

Para abdi perempuan itu menjadi bingung. Seorang di antara mereka berkata, “Perempuan itu bukan abdi yang baru. Tetapi prajurit itu menyebutnya Nyi Lurah.”

“Ya. Prajurit itu pun bersikap hormat kepadanya.”

“Sekarang perempuan itu menghadap Kanjeng Pangeran Puger.”

“Ia akan dapat berkata apa saja tentang kita. Apalagi perempuan yang seorang lagi, yang masih muda itu.”

Para abdi perempuan itu menjadi gelisah. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Nampaknya perempuan itu baik. Ia tidak akan membuat kesulitan pada orang lain. Ia tidak akan berkata-apa-apa.” Yang lain termangu-mangu.

Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah menghadap Kanjeng Pangeran Puger, yang ingin mendengar lebih banyak lagi cerita tentang Ki Saba Lintang serta tentang tongkat baja putih yang berada di tangan Sekar Mirah.

“Setelah berada di Demak, kami pun harus memperhatikan gerakan orang yang sudah tidak mempunyai tujuan lagi itu, Ki Lurah,” berkata Kanjeng Pangeran Puger.

“Ya, Kanjeng Pangeran,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu. “Ki Saba Lintang membenarkan segala cara untuk mencapai maksudnya. Ia dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan tatanan hidup di antara sesama.”

“Terima kasih atas segala keterangan kalian tentang Ki Saba Lintang serta tongkat baja putih itu. Aku ikut bersyukur bahwa Nyi Lurah Sekar Mirah itu bukan Nyi Lurah yang sebenarnya. Ketika muncul berita tentang Nyi Lurah Agung Sedayu telah menyatukan diri dengan Ki Saba Lintang, hampir setiap orang di Mataram mempercayainya.”

Dengan demikian maka pada hari-hari pertamanya, Pangeran Puger harus sudah menyiapkan diri menghadapi gangguan yang mungkin timbul. Bahkan di perjalanan pun Kanjeng Pangeran Puger sudah merasakan gangguan itu.

“Untunglah bahwa aku pergi ke Demak bersama Ki Lurah Agung Sedayu beserta keluarganya. Jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”

“Hamba hanya menjalankan tugas hamba, Kanjeng Pangeran.”

“Tetapi Nyi Lurah, Glagah Putih dan istrinya adalah tenaga-tenaga suka rela. Justru mereka ikut menentukan akhir dari pertempuran ini.”

“Mereka pun merasa menjalankan kewajiban pula, Kanjeng.”

“Secara khusus, aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepada Ki Lurah Agung Sedayu, yang meskipun menurut pernyataannya hanya menjalankan kewajiban. Tetapi menjalankan kewajiban dan melakukan pengabdian kadang-kadang terdapat perbedaan pelaksanaan yang tajam. Juga kepada Nyi Lurah dan Glagah Putih serta istrinya.”

“Kami junjung tinggi penghargaan ini, Kanjeng Pangeran.”

Demikianlah, mereka masih berbincang beberapa saat. Kemudian Nyi Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan pun mengundurkan dirinya dan kembali ke tempat para abdi. Tetapi sikap para abdi kepada mereka sudah jauh berubah. Bahkan sebagian dari mereka merasa lebih baik menyingkir saja.

Tetapi seorang abdi yang sudah separuh baya medekati Sekar Mirah dan Rara Wulan. Dengan lembut abdi itu bertanya, “Nyi Lurah. Siapakah sebenarnya Nyi Lurah ini? Kami ingin mengetahuinya agar kami bersikap benar terhadap Nyi Lurah. Mungkin selama ini sikap kami tidak pada tempatnya. Tetapi sebenarnyalah kami tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya kurang memahami, siapakah sebenarnya Nyi Lurah ini.”

“Aku tahu, Nyi. Karena itu kami sama sekali tidak merasa tersinggung.”

“Tetapi Nyi Lurah belum mengatakan, siapa Nyi Lurah itu sebenarnya.”

“Yang benar, yang menjadi lurah adalah suamiku. Bukan aku.”

“Sama saja, Nyi.”

“Aku adalah istri Ki Lurah Agung Sedayu, yang memimpin para prajurit dari Pasukan Khusus yang mengawal Kanjeng Pangeran Puger.”

“Tetapi kenapa Nyi Lurah ikut pula dalam perjalanan yang panjang dan berat ini?”

“Aku mempunyai tugas untuk menyertai iring-iringan ini bersama para abdi.”

“Seharusnya Nyi Lurah tidak berada di antara para abdi.”

“Aku merasa lebih mapan berada di antara para abdi, karena sebenarnyalah tugas kami akan lebih mapan pula jika kami lakukan dari antara para abdi.”

“Nyi Lurah. Aku mewakili kawan-kawanku yang karena ketidaktahuannya, mungkin telah membuat Nyi Lurah kurang berkenan di hati.”

“Tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak merasa tersinggung.”

“Terima kasih atas sikap Nyi Lurah.”

Sekar Mirah tersenyum. Ditepuknya bahu abdi perempuan yang sudah separuh baya itu, sambil berkata, “Katakan kepada kawan-kawanmu, bahwa sikap mereka tidak perlu berubah. Jika mereka kemudian menjauhi kami, maka kami akan merasa bersedih dan kesepian.”

“Baik, Nyi. Aku akan mengatakan kepada mereka.”

Namun ketika emban yang sudah separuh baya itu menemui kawan-kawannya, ternyata seorang kawannya telah mendapat cerita baru dari seorang prajurit. Nyi Lurah Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya, serta Rara Wulan, telah membunuh seorang di antara para penjahat yang berilmu tinggi. Tanpa mereka berdua, maka tentu telah jatuh korban di antara para abdi, karena beberapa orang di antara para perampok itu telah naik ke pendapa, dan mengancam dengan pedangnya untuk membunuh perempuan-perempuan yang tertidur nyenyak.

“Kalian harus mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua,” berkata abdi perempuan yang sudah separuh baya itu.

Tetapi masih ada rasa segan pada para abdi. Mereka justru merasa bersalah, karena mereka telah menunjukkan sikap yang kasar kepada mereka berdua.

Tetapi seorang di antara para abdi itu berkata, “Bukankah sejak tadi aku sudah bilang, bahwa mereka adalah perempuan yang baik? Mereka tidak akan membuat kesulitan pada orang lain.”

Meskipun demikian, para abdi itu tidak dengan serta-merta datang kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk mengucapkan terima kasih. Tetapi mereka masih saja dibayangi oleh perasaan bersalah. Namun lambat laun, satu-persatu mereka telah menemui Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk minta maaf dan mengucapkan terima kasih.

Sekar Mirah setiap kali berkata kepada mereka, “Sikap kalian jangan berubah. Aku senang berada di antara kalian. Sikap kalian yang lugu dan tidak berpura-pura, membuat kami seakan-akan berdiri di depan pintu yang terbuka, sehingga dada kami terasa lapang. Sikap kalian tidak jauh berbeda dengan sikap tetangga-tetanggaku di Tanah Perdikan Menoreh.”

Para abdi itu mengerutkan dahinya. Mereka tidak mengerti maksud Sekar Mirah. Namun mereka mengangguk-angguk mengiyakan.

Dalam pada itu, Kànjeng Pangeran Puger terpaksa bermalam dua malam di padukuhan itu.

Setelah malam kedua, maka pagi-pagi benar Kanjeng Pangeran Puger dan keluarganya, para pengawal serta para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah siap. Segala macam perkakas yang dipergunakan selama mereka berkemah di banjar itu, telah dibersihkan dan ditata di dalam pedati yang khusus. Sepasang lembu telah dipasang di setiap pedati. Kuda yang dibawa telah siap pula.

Ketika Ki Bekel menawarkan bahan makanan untuk bekal dalam perjalanan, Kanjeng Pangeran Puger berkata, “Bekal kami sudah cukup, Ki Bekel. Terima kasih. Mungkin lain kali kami akan singgah lagi di padukuhan ini.”

Pada saat matahari terbit, maka iring-iringan itu pun mulai bergerak. Kanjeng Pangeran Puger serta beberapa orang pengawal, beberapa orang pemimpin kelompok dan orang-orang tertentu, duduk di atas punggung kuda mereka, sementara yang lain berjalan kaki di antara pedati-pedati yang merangkak seperti siput.

“Kita hari ini masih belum akan dapat mencapai Demak,” berkata Pangeran Puger kepada para putri.

“Kita masih harus bermalam di jalan lagi?”

“Ya. Apa boleh buat.”

Seorang putri berdesis, “Perjalanan yang sangat berat.”

Namun Kanjeng Pangeran Puger pun menjawab, “Kita pergi ke tanah harapan. Perjalanan kita memang berat. Ini adalah laku untuk mencapai gegayuhan, sehingga hidup kita akan menjadi lebih baik. Tanpa kesediaan untuk menjalani laku, maka hidup kita tidak akan berubah. Kita tidak akan mendapatkan yang lebih baik.”

Demikianlah, iring-iringan berjalan lamban di jalan-jalan yang berdebu. Sekali-sekali roda salah satu di antara pedati-pedati itu terperosok ke lekuk yang agak dalam di pinggir jalan, sehingga beberapa orang harus membantu mendorong.

Beberapa orang abdi perempuan yang duduk di pedati tersendiri, juga mulai mengeluh. Mereka sudah merasa sangat letih. Selain perjalanan yang panjang dan berat, mereka masih juga harus melayani para putri. Kadang-kadang mereka merasa iri kepada para dayang yang seakan-akan tidak pernah melakukan kerja apa-apa, sebagaimana para putri, kecuali sekali-sekali melayani para putri yang menjadi momongannya. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan tetap berada di antara para abdi perempuan.

Di urutan paling belakang adalah pedati-pedati yang membawa bahan makan di perjalanan, serta beberapa peralatan untuk menyiapkan minuman serta makanan. Glagah Putih lebih senang berada di antara para prajurit yang bertugas menyediakan bahan, alat dan perlengkapan, serta para prajurit yang bertugas untuk menyiapkan makan dan minum. Sekali-sekali para prajurit itu masih saja ada yang ingin naik ke punggung kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu. Sedangkan Glagah Putih sendiri justru lebih banyak berjalan kaki. Sekali-sekali Glagah Putih duduk di belakang salah satu di antara pedati yang membawa bekal di perjalanan, justru membelakangi arah perjalanan mereka.

Sedikit lewat tengah hari, iring-iringan itu pun berhenti. Mereka menemukan sebuah tempat yang sejuk di sebuah padang perdu yang luas, yang berbatasan dengan hutan yang lebat.

“Jangan meninggalkan kelompok masing-masing,” perintah para pengawal kepada para dayang dan abdi perempuan, “di hutan itu tentu masih terdapat binatang buas. Tetapi jika kalian tetap berada di antara kelompok masing-masing, kalian tidak usah merasa cemas. Para pengawal dan para prajurit akan melindungi kalian.”

Di saat iring-iringan itu beristirahat, maka para prajurit yang harus menyediakan makanan dan minuman itu justru menjadi sibuk. Kanjeng Pangeran Puger telah memerintahkan beberapa orang abdi perempuan untuk membantu mereka, agar tugas para prajurit itu menjadi lebih cepat dan lebih ringan.

Setelah istirahat beberapa saat, serta setelah semua orang di dalam iring-iringan itu makan dan minum secukupnya, maka iring-iringan itu pun melanjutkan perjalanan menuju ke Demak. Tetapi seperti yang sudah diperhitungkan, iring-iringan itu masih belum dapat mencapai Demak ketika matahari menjadi semakin rendah.

Menjelang senja iring-iringan itu berhenti. Mereka tidak berhenti di padukuhan, tetapi mereka berhenti sebuah di padang rumput yang agak luas. Dibatasi oleh padang perdu yang tidak terlalu luas, membujur hutan yang masih lebat pula.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Jangan takut. Para pengawal dan para prajurit akan melindungi kalian dari segala gangguan. Dari orang-orang jahat dan dari binatang buas.”

Meskipun demikian, ketika malam turun, para putri, para dayang dan abdi perempuan tidak segera dapat tidur. Alangkah banyaknya nyamuk hutan yang merubungi tubuh mereka. Nyamuk-nyamuk itu berdesing mengitari telinga mereka, menggigit kulit mereka dengan semena-mena.

Menjelang tengah malam, mereka mendengar aum yang keras dari hutan di seberang perdu. Seorang abdi perempuan berdesis, “Suara apa itu?”

Sekar Mirah yang masih saja berada di antara para abdi perempuan itulah yang menjawab, “Aum seekor harimau yang lapar.”

“Apakah harimau itu tidak datang kemari jika diketahuinya di sini banyak orang?”

“Harimau itu justru akan menjauh. Harimau juga tidak senang melihat perapian di padang rumput itu.”

“Kalau harimau itu mengajak kawan-kawannya?”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Bukankah kita juga punya banyak kawan di sini?”

Perempuan itu pun terdiam. Tetapi ia tidak segera berbaring di atas tikar yang digelar di antara dua buah pedati.

“Tidurlah,” berkata Sekar Mirah.

“Aku tidak terbiasa tidur di tempat terbuka seperti ini. Angin malam yang dingin. Embun yang turun membasahi selimutku.”

“Apakah kau akan tidur di pedati?”

“Ya.”

“Baiklah. Tetapi hati-hati. Lebih baik kau berada agak ke depan.”

Perempuan itu pun kemudian naik ke pedati dan berbaring di dalamnya. Namun beberapa saat kemudian ia pun turun lagi. Tetapi ia tidak berbaring di atas tikar yang memang terasa dingin oleh embun. Tetapi perempuan itu duduk bersandar roda pedati.

“Kenapa kau turun?”

“Aku justru menjadi semakin gelisah.”

“Tidurlah.”

“Aku akan tidur bersandar roda pedati.” Ia terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Kenapa kita tidak menggelar kain panjang dan mengkaitkannya dengan dua atap pedati di sebelah-menyebelah, seperti para dayang itu?”

“Ya, kenapa?”

“Kawan-kawanku agaknya menjadi sangat letih, sehingga begitu saja mereka menjatuhkan tubuhnya dan tidur nyenyak. Selain perjalanan panjang, kami harus membantu menyelenggarakan minuman dan makanan. Sedangkan para dayang tidak.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Sudahlah. Tidurlah. Besok kau harus melanjutkan perjalanan yang melelahkan ini. Mungkin kita masih memerlukan waktu sehari penuh.”

Abdi perempuan itu mengangguk. Namun iapun bertanya pula, “Apakah Nyi Lurah sendiri tidak tidur?”

“Aku juga akan segera tidur.”

Abdi itu mencoba memejamkan matanya sambil bersandar roda pedati. Ia sadar, bahwa roda pedati itu tidak terlalu bersih. Tetapi ia merasa lebih baik bersandar daripada berbaring di tikar yang basah oleh embun.

Sebenarnyalah bahwa bukan hanya abdi perempuan itu saja yang sulit tidur malam itu. Beberapa orang dayang dan bahkan para putri juga tidak segera dapat tidur, meskipun mereka telah membentangkan kain yang dikaitkan pada pedati di sebelah-menyebelah. Kemudian menutup bagian bawah pedati dengan kain pula, sehingga menjadi lebih rapat. Sementara para pengawal berada di sekeliling mereka.

Malam itu Glagah Putih beserta para prajurit yang bertugas di dapur serta persediaan bekal dan perlengkapan itu, telah membuat perapian pula untuk melawan dingin. Ternyata mereka pun langsung tertidur nyenyak. Seorang di antara mereka sempat berdesis, “Biarlah para prajurit dari Pasukan Khusus itu mengawasi pedati-pedatiku. Aku akan tidur. Nanti, pada saat semuanya masih tertidur pulas, aku sudah harus bangun menyalakan api untuk merebus dan menanak nasi.”

“Apakah kita masih mempunyai persediaan lauk?” bertanya seorang kawannya.

“Bukankah serundeng dan empal itu masih cukup untuk pagi ini dan siang nanti?”

“Tidak. Dendeng ragi itu hanya cukup untuk pagi ini.”

“Gampang. Nanti siang aku akan menyembelih kau.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi iapun memejamkan matanya. Glagah Putih pun telah tertidur pula di antara mereka. Seperti para prajurit itu, Glagah Putih pun mempercayakan pengamanan lingkungan perkemahan itu kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

Sebenarnyalah para prajurit tidak menjadi lengah. Masih ada kemungkinan Ki Saba Lintang yang sakit hati karena kegagalannya, ingin menebus kekalahannya. Mereka sudah tahu seberapa besar kekuatan para pengawal Kanjeng Pangeran Puger.

Namun agaknya Ki Saba Lintang tidak mampu mengumpulkan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang telah dihancurkan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Terutama orang-orang yang berilmu tinggi, yang akan dapat mengimbangi orang-orang yang berilmu tinggi yang berada di dalam iring-iringan itu. Jika Ki Saba Lintang memaksakan diri, maka justru akan dapat menghancurkan dirinya sendiri.

Karena itu, malam itu sama sekali tidak terjadi gangguan. Juga tidak ada binatang buas yang tersesat ke padang rumput yang menjadi terang oleh nyala oncor di beberapa tempat, serta perapian hampir di setiap sudut perkemahan.

Di dini hari, para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum telah bangun. Sambil menguap seorang berkata, “Enaknya mereka yang masih tidur nyenyak.”

Namun terdengar Glagah Putih yang juga sudah terbangun menjawab, “Kau lihat yang berjaga-jaga di dekat perapian itu? Ia sudah bangun sejak sedikit lewat tengah malam.”

“Tetapi ia sudah sempat tidur nyenyak sebelumnya.”

“Apakah kau belum sempat tidur?”

Prajurit itu menguap. Kawannya-lah yang menyaut, “Pokoknya kita lakukan tugas kita masing-masing dengan baik.”

“Nah, aku setuju.”

Prajurit yang mengeluh itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian mengambil kelenting dan pergi ke tebing sungai, tidak jauh dari perkemahan mereka. Namun karena hari masih gelap, mereka terpaksa berjalan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati. Di tebing sungai yang berbatu padas itu terdapat sebuah belik kecil yang airnya bening. Dari belik itulah para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum mengambil air untuk keperluannya.

Ketika fajar menyingsing, maka para abdi perempuan pun telah bangun pula. Beberapa orang di antara mereka, justru termasuk Rara Wulan dan Sekar Mirah, telah pergi membantu para prajurit yang menyiapkan makan dan minum bagi iring-iringan itu.

“Sudahlah Nyi Lurah dan Rara Wulan. Biarlah yang lain saja membantu kami.”

“Tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa melakukannya.”

“Tetapi kami-lah yang merasa tidak enak.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Lupakan siapa aku. Kita bekerja bersama-sama.”

Ternyata Rara Wulan pun cekatan pula. Ia sudah terbiasa kerja di dapur. Tetapi melayani sekian banyak orang, Rara Wulan masih juga agak merasakan kecanggungan, karena segala sesuatunya nampak terlalu banyak.

Seorang prajurit sempat berbisik di telinga Glagah Putih, “Beruntung kau mendapat istri seperti itu.”

“Kenapa?”

“Cantik, rajin, cekatan dan lebih dari itu, berilmu tinggi. Sulit untuk mencari istri seperti Rara Wulan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Karena itu aku merasa bersyukur. Tetapi setiap orang mempunyai ukuran keberuntungannya masing-masing.”

“Apakah kau tidak berasa beruntung?”

“Sudah aku katakan, aku merasa sangat bersyukur.”

Prajurit itu pun kemudian berkata, “Tolong, carikan aku istri seperti istrimu.”

“Apakah kau belum beristri?”

“Sudah. Tetapi istriku dibawa orang. Istriku menyesal bahwa ia bersuamikan seorang prajurit Ternyata ia lebih senang menjadi istri seorang yang kaya.”

“Istrimu tidak setia?”

“Ya. Tetapi bukan salahnya. Kami dijodohkan oleh orang tua kami. Sejak semula sudah ada tanda-tanda bahwa istriku tidak dapat menerima aku.”

Glagah Putih menepuk bahunya. Katanya, “Pada suatu hari kau akan mendapatkan seorang istri yang setia. Yang mencintaimu dan tidak memperbandingkan cintanya dengan kekayaan.”

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja matanya tertambat kepada seorang abdi perempuan yang masih muda, cantik dan wajahnya nampak cerah. Senyumnya selalu membayang di bibirnya, meskipun ia harus bekerja keras.

Glagah Putih sempat melihat kerut di dahinya. Namun kemudian Glagah Putih itu meninggalkannya pergi, sementara prajurit itu menjadi sibuk justru bersama perempuan yang masih muda itu. Sebentar lagi mereka harus melayani para prajurit yang akan makan pagi sebelum mereka berangkat. Namun sebelum itu, para abdi perempuan harus menyiapkan dan melayani Kanjeng Pangeran Puger, para putri serta dayang-dayang.

Ketika cahaya matahari telah mulai membayang di langit, maka segala sesuatunya sudah siap. Segala macam perabot dan peralatan yang dipergunakan sudah disimpan di dalam pedati. Kanjeng Pangeran Puger sempat melihat peti-peti yang diselubungi dengan kain hitam yang dijaga secara khusus oleh para pengawal pilihan. Bukan hanya sekedar melihat peti-petinya, tetapi juga membuka peti-peti itu untuk melihat isinya.

“Mudah-mudahan hari ini kita sampai ke Demak,” berkata Kanjeng Pangeran Puger.

“Mudah-mudahan, Pangeran,” sahut Ki Lurah Adipraya.

“Jika tidak ada hambatan apa-apa, agaknya kita akan dapat sampai ke Demak, meskipun sedikit lewat senja,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Pada saat matahari terbit, maka iring-iringan itu pun mulai bergerak. Di hadapan mereka terbentang hutan yang lebat, sehingga untuk beberapa ratus patok mereka akan menelusuri jalan di pinggir hutan itu. Mereka memang dapat memilih jalan lain yang lebih baik dan tidak terlalu dekat dengan sarang binatang buas, tetapi jalan itu akan menjadi lebih jauh. Mereka yang berada di dalam iring-iringan itu pun yakin, bahwa binatang buas di hutan itu tidak akan mengganggu iring-iringan itu.

Perjalanan itu memang perjalanan yang berat dan melelahkan. Beberapa orang putri, dayang dan bahkan para abdi perempuan, tidak tahan duduk di dalam pedati yang merambat dengan lambannya. Punggung mereka terasa pegal-pegal dan bahkan rasa-rasanya seisi perut mereka terguncang-guncang. Karena itu mereka telah turun dari pedati dan berjalan kaki di dalam iring-iringan yang terhitung panjang itu. Tetapi barjalan kaki pun mereka tidak tahan terlebih lama. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah minta untuk naik kembali ke dalam pedati.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi dan kemudian mencapai puncak langit, maka hampir tidak seorangpun di antara para puteri, dayang-dayang dan abdi perempuan yang tidak mengeluh. Keringat membasahi tubuh mereka, bahkan pakaian mereka. Sementara itu Kanjeng Pangeran Puger masih duduk di atas punggung kudanya. Demikian pula beberapa orang pengawal. Di lingkungan para prajurit, beberapa orang pemimpin kelompok serta Agung Sedayu sendiri juga duduk di atas punggung kudanya.

Sedangkan di iring-iringan bagian belakang, yang duduk di punggung kuda Glagah Putih justru seorang di antara para prajurit yang bertugas di dapur. Sekali-sekali prajurit itu mempercepat derap kaki kudanya. Melampaui beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus. Bahkan melampaui Ki Lurah Agung Sedayu.

Beberapa lama prajurit itu berkuda di sebelah pedati yang membawa para abdi perempuan. Seorang di antara mereka adalah seorang perempuan yang masih muda dan cantik, ramah dan sekali-sekali tersenyum kepadanya.

Prajurit itu menengadahkan dadanya. Namun kemudian ia menyadari, bahwa kuda yang dipergunakan itu adalah kuda Glagah Putih yang besar dan tegar. Karena itu, maka iapun kemudian telah minggir dan membiarkan iring-iringan itu berlalu. Ketika Ki Lurah Agung Sedayu lewat di hadapannya, iapun tersenyum sambil berkata, “Minta pada lurahmu agar kau dibelikan kuda sebesar itu.”

“Rasa-rasanya di Mataram, selain milik istana, tidak ada kuda sebesar dan setegar ini,” jawab prajurit itu.

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tapi Glagah Putih mempunyainya.”

“Tentu kuda ini didapatnya dari lingkungan istana.”

Ki Lurah tidak menjawab lagi. Ia masih saja tertawa ketika kudanya meninggalkan prajurit itu.

Sedikit lewat tengah hari, iring-iringan itu pun berhenti seperti hari-hari yang lewat. Para prajurit abdi merasa sudah sangat letih. Di teriknya sinar matahari, iring-iringan itu berhenti di sebuah padang perdu. Ada beberapa batang pohon besar yang tumbuh di padang itu. Para prajurit dari Pasukan Khusus pun beristirahat berkelompok di bawah rindangnya pohon-pohon yang besar itu.

Agaknya di hari terakhir itu mereka tak menemui hambatan. Para prajurit memang sudah meyakini, bahwa para pengikut Ki Saba Lintang tidak akan mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan iring-iringan itu serta mengambil benda-benda berharga serta perhiasan yang ada di dalam iring-iringan itu.

Mereka tidak akan sempat menghubungi dan mengumpulkan orang-orang berilmu tinggi untuk melawan para pemimpin iring-iringan ini, setelah beberapa orang berilmu tinggi yang datang bersama Kidang Limpat telah dibinasakan.

Demikianlah, setelah beristirahat beberapa lama, maka iring-iringan itu mulai bergerak lagi. Beberapa orang perempuan yang ada di dalam iring-iringan itu hampir tidak tahan lagi. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi sakit dan muntah-muntah. Tetapi di dalam iring-iringan itu juga terdapat seorang tabib dengan dua orang pembantunya, untuk merawat mereka yang sakit di perjalanan.

Matahari yang sudah berada di sisi barat langit, semakin lama menjadi semakin rendah. Sinarnya pun menjadi semakin lunak.

“Kita akan memasuki Demak hari ini,” berkata Pangeran Puger yang berkuda di depan iring-iringan itu.

“Hamba, Pangeran,” sahut Ki Adipraya yang lukanya masih terasa.

Dengan sorot mata yang berkilat-kilat Pangeran Puger memandangi jalan panjang di hadapannya. Jalan yang menuju ke tempatnya yang baru. Tempat yang memberinya harapan bagi masa depan.

“Kita memang harus bersedia menjalani laku untuk mencapai tataran yang lebih baik hidup kita,” berkata Pangeran Puger.

“Hamba, Pangeran. Memang semua gegayuhan harus dicapai dengan laku. Jika kita tidak berbuat apa-apa, maka perubahan tidak akan terjadi pada diri kita. Tidak ada yang dapat dicapai, karena gegayuhan itu tidak akan datang sendiri kepada kita.”

“Itulah sebabnya aku bersedia menjalani laku ini, karena aku melihat masa depan yang lebih baik bagiku dan keluargaku, daripada aku tetap berada di Mataram. Di Mataram aku tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan sikapku sendiri. Aku tidak mempunyai kewenangan apa-apa. Tetapi tentu berbeda setelah aku berada di Demak. Aku adalah seorang Adipati dengan segala hak dan wewenangnya.”

Ki Lurah Adipraya mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah bahwa keluarga Kanjeng Pangeran Puger telah melakukan perjalanan yang berat dan melelahkan. Bahkan bahaya telah mengintai pula di sepanjang jalan. Jika saja perjalanan itu tidak dipersiapkan dengan baik, serta dikawal oleh sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka kemungkinan buruk telah terjadi atas keluarga Kanjeng Pangeran Puger itu.

Seandainya saja Kanjeng Pangeran Puger mengandalkan para pengawal yang dipimpin oleh Ki Lurah Adipraya, maka harta kekayaan serta perhiasan yang dikenakan oleh para putri itu tentu sudah dirampas oleh sekelompok penjahat. Malahan akan dapat terjadi hal yang lebih buruk lagi. Mungkin saja para perampok itu telah membawa seorang dua orang abdi perempuan atau dayang-dayang. Bahkan mungkin seorang atau dua orang putri dari keluarga Kanjeng Pangeran Puger itu.

Dalam pada itu, Pangeran Puger telah memerintahkan dua orang pengawalnya untuk mendahului perjalanannya. Mereka harus menemui pemimpin Demak yang akan menerima kedatangan Pangeran Puger, yang sebelumnya telah menerima perintah dari Mataram. Mereka adalah Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer.

Ternyata Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak hanya menunggu kedatangan Pangeran Puger. Demikian mereka menerima kedua orang utusan Kanjeng Pangeran Puger yang datang berkuda mendahului iring-iringan yang berjalan lamban itu, mereka telah menyiapkan sekelompok prajurit untuk menyongsong kedatangan Kanjeng Pangeran Puger yang akan menjadi penguasa tertinggi di Demak.

Sekelompok prajurit itu pun segera meninggalkan kota. Didahului oleh kedua orang utusan Kanjeng Pangeran Puger, sekelompok prajurit itu menyongsong iring-iringan yang bergerak dengan lamban itu.

Dalam pada itu, ketika matahari menjadi semakin rendah, maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat dengan tujuan. Kanjeng Pangeran Puger memutuskan bahwa iring-iringan itu tidak akan berhenti untuk beristirahat lagi. Meskipun malam turun, mereka akan berjalan terus sehingga sampai ke Demak.

“Kita akan memaksa diri untuk berjalan terus. Kita akan berhenti dan beristirahat setelah kita berada di Demak.”

Sebenarnya tidak ada masalah bagi para prajurit dari Pasukan Khusus. Tetapi para putri, dayang-dayang dan abdi perempuan ternyata sudah menjadi sangat letih. Meskipun demikian, Kanjeng Pangeran Puger sudah memberikan perintah bahwa mereka tidak akan berhenti. Sehingga karena itu, maka betapapun letihnya, namun iring-iringan itu berjalan terus menuju Demak.

Ketika senja turun, para putri hampir tidak dapat menahan diri lagi. Mereka merasa bagaikan diperam di dalam ruangan sempit yang pengap. Tubuh mereka terasa bagaikan berminyak. Debu yang tebal melekat di pakaian, bahkan di kulit mereka yang basah oleh keringat. Tetapi mereka harus bertahan. Menurut Kanjeng Pangeran Puger, Demak sudah dekat di hadapan mereka.

Kanjeng Pangeran Puger dan Ki Lurah Adipraya terkejut ketika mereka melihat dalam keremangan senja, sekelompok orang yang datang dari arah yang berlawanan. Karena itu, maka Kanjeng Pangeran Puger itu pun segera memerintahkan seorang pengawal yang berkuda di belakangnya untuk memanggil Ki Lurah Agung Sedayu.

“Hamba, Pangeran,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, ketika ia sudah berada di belakang Kanjeng Pangeran Puger.

“Ki Lurah. Kau lihat iring-iringan itu?”

“Hamba, Pangeran.”

“Aku ingin tahu, siapakah mereka itu. Apakah mereka akan mengganggu kita atau tidak.”

“Hamba, Pangeran. Hamba akan memerintahkan dua orang prajurit untuk melihat mereka.”

Agung Sedayu pun kemudian telah memerintahkan dua orang pemimpin kelompok yang berkuda untuk melihat, siapakah orang-orang yang berjalan ke arah yang berlawanan dengan iring-iringan itu.

Sejenak kemudian dua orang pemimpin kelompok di dalam pasukan Ki Lurah Agung Sedayu melarikan kuda mereka, menyongsong sekelompok orang yang nampak dalam keremangan senja itu. Seorang di antara kedua orang itu berkuda di depan. Sedangkan yang seorang lagi agak di belakang.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu yang berhati-hati itu segera memerintahkan pasukannya untuk bersiaga. Banyak kemungkinan dapat terjadi.

Beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu telah mengambil tempat justru di paling depan, mendahului Kanjeng Pangeran Puger dan Ki Lurah Adipraya.

Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang kemudian berada di paling depan. Dengan ketajaman penglihatannya, Agung Sedayu mengamati apa yang terjadi atas kedua orang prajuritnya yang menyongsong sekelompok orang yang datang dari arah yang berlawanan itu. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu melihat kedua orang prajuritnya itu melarikan kuda mereka kembali ke iring-iringan yang berjalan lamban itu.

Demikian kedua orang itu berhenti beberapa langkah di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu, seorang di antara mereka berkata, “Ki Lurah. Mereka adalah para prajurit dari Demak, yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Mereka datang untuk menyambut kedatangan Kanjeng Pangeran Puger.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ternyata yang datang itu bukan ancaman bagi Kanjeng Pangeran Puger.

Meskipun demikian, Ki Lurah Agung Sedayu tetap berhati-hati. Dipersilahkannya Kanjeng Pangeran Puger dan Ki Lurah Adipraya untuk tampil di paling depan. Namun Ki Lurah Agung Sedayu berada dekat sekali di belakang Kanjeng Pangeran Puger. Sementara itu, beberapa orang prajuritnya berjalan di sebelah-menyebelah.

“Mungkin mereka benar-benar sekelompok prajurit yang akan menyambut kedatangan Kanjeng Pangeran Puger, yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Tetapi mungkin juga mereka justru orang-orang yang mengaku-aku saja, Pangeran.”

“Aku mengerti, Ki Lurah Agung Sedayu. Aku akan berhati-hati. Tetapi aku pernah mengenal orang yang bernama Ki Tumenggung Gending, karena orang itu pernah datang menghadap ke Mataram pada saat-saat aku ditetapkan menjadi Adipati di Demak.”

“Hamba, Pangeran,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

Beberapa saat kemudian, Kanjeng Pangeran Puger memerintahkan iring-iringan itu benar-benar berhenti. Bersama Ki Lurah Adipraya dan Ki Lurah Agung Sedayu, Kanjeng Pangeran Puger menerima dua orang pemimpin dari sekelompok prajurit yang menyongsongnya. Ternyata menurut pengenalan Kanjeng Pangeran Puger, seorang di antaranya benar-benar orang yang bernama Ki Tumenggung Gending.

Ki Tumenggung Gending dan seorang yang bersamanya, yang memperkenalkan dirinya sebagai Ki Tumenggung Panjer, telah meloncat turun dari kudanya. Sambil menyembah, Ki Tumenggung Gending pun berkata, “Hormat kami bagi Kanjeng Pangeran Puger.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Aku merasa mendapat kehormatan yang besar, bahwa Ki Tumenggung berdua bersedia menyongsong kedatangan kami.”

“Bukankah sudah menjadi kewajiban kami, Kanjeng Pangeran?”

“Sekarang, marilah kita lanjutkan perjalanan. Aku dan terutama para putri sudah merasa sangat letih. Semakin cepat kita sampai, maka semakin cepat pula mereka dapat beristirahat.”

“Marilah, Pangeran. Silahkan. Kami akan mengiring di belakang iring-iringan ini.”

Sejenak kemudian, iring-iringan itu pun mulai bergerak lagi. Para putri sudah sedikit merasa tenang, karena mereka tahu bahwa Demak memang sudah menjadi semakin dekat.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah memasuki Kota Demak.

Ternyata berita tentang kedatangan Kanjeng Pangeran Puger itu telah tersebar, sehingga ketika iring-iringan itu lewat, berdesak-desakan rakyat Demak menyambut di sepanjang jalan. Pangeran Puger yang berkuda di paling depan melambaikan tangannya kepada rakyat, yang tanpa diperintah telah berjongkok sambil menyembah, meskipun dengan cara yang kurang tertib.

Namun yang mereka lakukan adalah pertanda kesediaan mereka menerima kehadiran Kanjeng Pangeran Puger untuk menjadi pemimpin mereka. Para putri, dayang-dayang dan para abdi dalem yang letih itu menjadi sedikit terhibur melihat sambutan yang hangat itu. Sementara itu, beberapa orang laki-laki yang agaknya memang mendapat pesan, berdiri di sebelah-menyebelah jalan sambil membawa oncor.

Meskipun malam sudah turun, namun jalan-jalan yang mereka lewati menjadi terang benderang. Bahkan anak-anak pun telah membawa oncor jarak yang dirangkai dengan lidi. Justru karena anak-anak itu selalu bergerak dan bahkan berlari-lari, mereka telah membuat suasana menjadi semakin semarak. Oncor-oncor jarak yang kecil-kecil itu menjadi bagaikan kunang-kunang raksasa yang berterbangan.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah melewati alun-alun, kemudian memasuki pintu gerbang Dalem Kadipaten. Dalem Kadipaten Demak itu nampak demikian cerahnya. Dimana-mana terdapat lampu minyak dan oncor yang menyala. Para prajurit sudah bersiaga di pintu gerbang dan sudut-sudut Kadipaten.

Perlahan-lahan iring-iringan itu memasuki halaman Dalem Kadipaten. Rasa-rasanya jantung para putri, dayang dan abdi perempuan itu bagaikan disiram dengan titik-titik embun setelah berjemur di teriknya matahari, demikian mereka memasuki halaman Dalem Kadipaten.

Kanjeng Pangeran Puger masih duduk di punggung kudanya sesaat. Ki Lurah Adipraya dan para pengawal yang berkuda, demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu serta para pemimpin kelompok pasukannya, telah meloncat turun demikian mereka memasuki pintu gerbang halaman.

Terasa dada Kanjeng Pangeran Puger tergetar. Di hadapannya itu berdiri bukan saja sebuah rumah yang besar dan memiliki nilai garapan yang sangat baik, tetapi lebih dari itu. Kanjeng Pangeran Puger merasa bahwa ia sudah berada di tanah harapan yang diidamkannya.

Dalam pada itu, maka para putri, dayang-dayang dan para abdi perempuan telah berebut turun pula dari pedati. Sambil menggeliat mereka memandang Dalem Kadipaten Demak itu dengan wajah yang ceria.

Akhirnya Pangeran Puger pun turun pula dari kudanya. Sementara beberapa orang yang bertugas untuk menerima keluarga Kanjeng Pangeran Puger itu telah siap di tangga pendapa.

“Segala sesuatunya telah dipersiapkan, Kanjeng Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Gending. “Namun tidak akan sama dengan Dalem Kapangeranan di Mataram.”

“Aku mengagumi rumah ini, Ki Tumenggung,” sahut Kanjeng Pangeran Puger. “Rumah ini adalah rumah yang besar, pantas dan baik. Ciri-ciri khusus dari daerah ini nampak jelas. Ukiran yang rumit pada tiang-tiangnya, pada uleng, pada gebyok serta pintu-pintunya.”

“Terlalu sederhana dibandingkan dengan istana di Mataram.”

“Tidak, Ki Tumenggung. Rumah ini sangat baik bagiku. Sebelumnya aku pernah datang ke rumah ini. Tetapi agaknya rumah ini baru saja dibenahi, sehingga nampak jauh lebih baik dari yang pernah aku lihat sebelumnya.”

“Sekarang, kami persilahkan Kanjeng Pangeran masuk dan memeriksa ruang-ruangnya serta isinya. Mungkin ada yang tidak berkenan, sehingga sempat di geser sehingga sesuai dengan kehendak Kanjeng Pangeran serta para putri, yang akan menghuni Dalem Kadipaten ini.”

Kanjeng Pangeran Puger pun kemudian mengajak beberapa orang putri untuk naik ke pendapa dan langsung masuk ke ruang dalam.

Sementara itu para dayang dan para abdi perempuan yang merasa sangat letih, langsung menjatuhkan dirinya duduk di tangga pendapa sambil menjulurkan kaki mereka. Beberapa orang sibuk memijit-mijit kakinya sendiri yang terasa sangat tegang.

Sementara itu, Kanjeng Pangeran Puger yang melihat-lihat keadaan dan suasana di Dalem Kadipaten itu setiap kali menarik nafas panjang sambil mengangguk-angguk. Semuanya tertata dengan sangat baik. Perabot-perabot yang ternyata sudah lengkap, terletak di tempat yang menurut Kanjeng Pangeran Puger sudah mapan. Mungkin ada satu dua perabot yang masih harus digeser. Tetapi tidak terlalu banyak.

Namun para putri yang letih itu tidak begitu berminat lagi untuk melihat-lihat sampai ke bagian belakang Dalem Kadipaten itu. Kanjeng Pangeran Puger yang mengerti bahwa para putri itu sangat letih, berkata kepada Ki Tumenggung Gending, “Mereka sudah sangat letih. Mereka perlu segera beristirahat.”

“Silahkan, Pangeran. Permadani sudah digelar di ruang tengah. Atau jika ingin beristirahat di serambi samping menghadap ke longkangan, telah disediakan pula tempat yang barangkali udaranya akan terasa lebih segar.”

Demikianlah, para putri itu pun segera pergi ke serambi menghadap ke longkangan. Di bawah cahaya lampu yang terang benderang, mereka duduk di tempat yang terbuka. Udara memang terasa segar. Angin semilir menggoyang daun pohon bunga di longkangan, yang telah di garap menjadi petamanan yang asri.

Kembang soka yang berwarna merah muda yang sedang mekar di setiap ujung ranting-rantingnya, telah membayangi lembar-lembar daunnya yang hijau. Sedangkan di sudut, kembang ceplok piring yang putih bersih menyebarkan bau yang harum menusuk hidung.

Para dayang pun segera dipanggil untuk berada di serambi pula. Sementara itu para abdi perempuan masih duduk di tangga pendapa sambil memijit-mijit betis mereka yang terasa tegang. Namun mereka tidak sempat beristirahat terlalu lama. Sejenak kemudian, mereka pun telah dipanggil. Tidak untuk ikut beristirahat di serambi, tetapi mereka diminta membantu menghidangkan minuman hangat kepada para putri dan dayang-dayang yang ada di serambi.

Namun, ikut bersama mereka Sekar Mirah dan Rara Wulan. Ketika abdi perempuan yang sudah separuh baya berusaha mencegahnya. Sekar Mirah berdesis, “Biarlah aku tetap berada di antara kalian.”

Sementara itu di belakang, beberapa orang pengawal telah menghidangkan minuman pula bagi kawan-kawan mereka.

Para prajurit yang biasanya bertugas menyediakan makan dan minuman, malam itu duduk di bawah sebatang pohon sawo. Beberapa orang prajurit sibuk menghidangkan minuman hangat bagi para prajurit yang mengawal Kanjeng Pangeran Puger, termasuk para prajurit yang biasanya menyediakan minuman dan makan itu. Termasuk di antara mereka adalah para prajurit yang menyiapkan bekal dan peralatan, serta Glagah Putih.

Namun sejenak kemudian, setelah minum minuman hangat, maka Pangeran Puger pun memerintahkan para prajurit untuk mengatur pedati serta kuda-kuda mereka.

“Setelah itu kalian dapat mandi dan kemudian beristirahat.”

Ternyata mereka memerlukan waktu yang cukup lama. Baru menjelang tengah malam, segala sesuatunya telah selesai.

Di ruang dalam, para putripun telah selesai berbenah diri. Demikian pula para dayang. Para abdi yang berada di serambi belakang pun telah mandi pula.

Mereka merasakan tubuh mereka menjadi lebih segar. Yang masih merasa tidak terlalu letih, justru berada di halaman belakang, sambil melihat-lihat tanamannya yang juga teratur rapi sebagaimana petamanan di longkangan.

Sekar Mirah dan Rara Wulan ada di antara para abdi yang berada di halaman belakang itu.

“Kau tidak beristirahat?” bertanya Rara Wulan kepada seorang abdi yang masih muda.

“Aku memang letih sekali. Tetapi duduk-duduk di serambi membuat urat-urat di kakiku semakin terasa tegang.”

Sementara itu seorang abdi yang lain berbisik, “Aku tidak akan dapat tidur malam ini.”

“Kenapa? Apakah karena kau terlalu letih, justru badanmu menjadi terasa sakit?”

“Ya. Sendi-sendiku terasa nyeri. Tetapi lebih dari itu, perutku terasa lapar sekali.”

“Ah, kau,” desis emban yang sudah separuh baya, “kau harus mulai mengenal laku prihatin. Jika laku prihatin itu tidak kau rasakan hasilnya, anak cucumu kelak yang akan menuainya.”

“Apakah hidupku masih kurang prihatin? Tetapi persoalan perut agaknya memang berbeda.”

“Jangan hanya semalam. Seorang yang sedang menjalani laku prihatin kadang-kadang akan menjalani pati geni tiga hari tiga malam.”

“Aku dapat saja menjalaninya. Tetapi jika sejak semula memang sudah siap untuk menjalani laku pati geni. Tetapi sekarang aku tidak siap untuk tidak makan malam ini.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Jangan cemas. Bukankah kita lihat ada kesibukan di dapur?”

“Tetapi ini sudah tengah malam.”

“Seandainya lewat tengah malam, apakah kau akan menolak jika dihidangkan makan malam?”

“Aku tidak terbiasa makan malam lewat tengah malam.”

“Baiklah. Jika kau menolak, biarlah aku mendapatkan dua bagian, karena aku juga lapar sekali.”

“Kau akan mengambil yang bukan hakmu?”

“Hanya jika tidak kau kehendaki.”

“Siapa bilang aku akan menolaknya?”

Sekar Mirah dan kawan-kawannya pun tertawa.

Namun tiba-tiba saja abdi itu melangkah masuk ke serambi belakang sambil berkata, “Jika aku di sini, jangan-jangan aku tidak dihitung.”

Kawannya tertawa berkepanjangan, meskipun mereka berusaha menahannya.

Sedikit lewat tengah malam, makan malam memang baru dihidangkan. Ki Tumenggung Gending mohon maaf kepada Kanjeng Pangeran Puger atas kelambatan itu.

“Kami tidak tahu pasti, seberapa banyak kami harus menyediakan makam malam bagi Kanjeng Pangeran Puger beserta keluarga, para putri, para dayang serta para abdi. Juga para prajurit dan pengawal yang lain.”

“Tidak apa-apa, Ki Tumenggung. Selama di perjalanan biasanya kami menyediakan sendiri. Tetapi di sini kami tinggal menunggu. Kami justru mengucapkan terima kasih.”

“Bukan hanya malam ini kami melayani Pangeran. Untuk selanjutnya kami akan melayani Pangeran. Kami akan menjalankan segala tugas yang Pangeran perintahkan kepada kami, karena Pangeran adalah Adipati di Demak.”

Kanjeng Pangeran Puger tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Ki Tumenggung. Mungkin aku masih akan mengucapkannya berulang kali lagi.”

“Pangeran tidak perlu mengucapkan terima kasih. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami.”

Ketika makan malam sudah siap, maka Ki Tumenggung itu pun segera mempersilahkan Kangjeng Pangeran Puger serta para putri untuk makan di ruang dalam. Beberapa orang dayang sibuk melayaninya.

Baru setelah Kanjeng Pangeran Puger dan para putri selesai, maka para dayang, para abdi dan para pengawal serta prajurit pun dipersilakan untuk makan pula. Setelah selesai makan malam, maka Ki Tumenggung Gending mempersilahkan Kanjeng Pangeran Puger untuk beristirahat.

Namun Pangeran Puger masih minta waktu sedikit kepada Ki Tumenggung Gending untuk memperkenalkan keluarganya, Ki Lurah Adipraya yang memimpin para pengawalnya, serta Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit yang membantu mengawalnya ke Demak.

“Ki Lurah Adipraya akan berada di Demak bersama para pengawal,” berkata Kanjeng Pangeran Puger, “pada saatnya mereka akan mengambil keluarga mereka ke Mataram. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajurit akan kembali ke Mataram.”

Ki Tumenggung mengangguk hormat sambil berkata, “Pangeran memang tidak memerlukan kelompok prajurit itu. Biarlah mereka kembali ke Mataram. Sementara itu, para pengawal tentu mempunyai ikatan tersendiri dengan Kanjeng Pangeran, sehingga mereka pantas untuk tinggal di Demak.”

“Tetapi tanpa para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, mungkin kejadiannya akan berbeda. Aku tidak tahu, apakah malam ini aku berada di sini.”

“Jika saja Kanjeng Pangeran mengirimkan utusan kemari, kami akan menjemput Kanjeng Pangeran ke Mataram.”

Pangeran Puger menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Sekarang kami ingin beristirahat. Agaknya kami semuanya merasa letih.”

Ki Tumenggung Gending itu pun menyahut, “Silahkan, Kanjeng Pangeran . Kami sudah menyediakan tempat. Juga bagi para dayang-dayang, para pengawal dan para abdi. Sedangkan para prajurit, kami tidak dapat menyediakan tempat yang baik. Tetapi kami juga prajurit. Kami tahu, bahwa para prajurit dapat berada dimanapun juga.”

“Ya, Ki Tumenggung,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, “kami dapat berada dimanapun, sebagaimana Ki Tumenggung katakan.”

Kanjeng Pangeran Puger mengerutkan dahinya. Namun ia tidak berkata apa-apa.

Malam itu, para prajurit Mataram berada di serambi gandok yang terbuka. Dibentangkannya tikar pandan di serambi gandok kiri dan kanan. Sementara itu, bilik-bilik yang ada di gandok itu telah disiapkan dan diperuntukkan bagi para pengawal Kanjeng Pangeran Puger.

Tetapi para pengawal yang tahu diri itu, ternyata tidak ada yang berada di dalam gandok. Mereka pun ikut tidur berdesakan di serambi bersama para prajurit Mataram. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu pun ada di antara mereka pula.

Para prajurit Demak yang bertugas telah melaporkannya kepada Ki Tumenggung Panjer, bahwa para pengawal yang telah disediakan tempat di gandok, ternyata memilih tidur berdesakan di serambi gandok kanan dan kiri. Ketika Ki Tumenggung Panjer datang ke Gondok, sebenarnyalah ia melihat prajurit dan para pengawal tidur berdesakan.

Ki Tumenggung Panjer itu pun segera mencari Ki Tumenggung Gending untuk memberitahukan apa yang dilihatnya itu. Ki Tumenggung Gending pun telah pergi ke serambi gandok. Ia melihat Ki Lurah Adipraya ikut tidur di serambi itu pula, sebagaimana Ki Lurah Agung Sedayu.

Perlahan-lahan Ki Tumenggung Gending membangunkan Ki Lurah Adipraya. Ketika Ki Lurah itu terbangun, maka Ki Tumenggung pun berkata, “Ki Lurah. Kami sudah menyediakan tempat bagi para pengawal di gandok kanan dan kiri. Aku kira ruangan-ruangan di gandok itu cukup bagi para pengawal.”

“Tetapi para prajurit tidak mendapatkan tempat di gandok itu,” jawab Ki Lurah Adipraya.

“Biar saja para prajurit tidur di serambi. Bukankah mereka tidak termasuk keluarga Kanjeng Pangeran Puger?”

“Tetapi mereka adalah pelindung kami di perjalanan.”

“Sudah aku katakan, seandainya Kanjeng Pangeran Puger memberitahukan kepada kami, maka kami akan menjemputnya. Kanjeng Pangeran Puger tidak memerlukan para prajurit Mataram itu. Prajurit Demak tidak kalah tatarannya dibandingkan dengan prajurit Mataram. Sedangkan para pengawal mempunyai kedudukan yang lain dibandingkan dengan para prajurit. Karena itu, maka kami menyediakan tempat yang lebih baik bagi para pengawal.”

Tetapi Ki Lurah Adipraya menggeleng. Katanya, “Biarlah aku di sini. Jika besok para prajurit itu masih juga ditempatkan di serambi, maka kami pun masih akan tidur di serambi ini pula.”

Ki Tumenggung Gending menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Lurah Adipraya itu pun berkata, “Yang aku katakan itu tadi apa yang sudah terjadi, Ki Tumenggung. Sementara apa yang dikatakan Ki Tumenggung, seandainya prajurit Demak yang mempunyai tataran kemampuan yang setidak-tidaknya sama dengan para prajurit Mataram itu, masih belum menjadi kenyataan.”

“Ki Lurah meremehkan kemampuan prajurit Demak? Ki Lurah. Ki Lurah akan tinggal di Demak. Jika Ki Lurah tidak percaya kepada kemampuan prajurit Demak, maka Ki Lurah akan hidup dalam ketegangan, kegelisahan dan bahkan mungkin ketakutan, karena Ki Lurah merasa tidak mempunyai pelindung yang baik.”

“Bukan maksudku meremehkan prajurit Demak, Ki Tumenggung. Aku percaya akan kemampuan prajurit Demak. Tetapi bukankah yang telah terjadi, bahwa prajurit Mataram telah mengawal Kanjeng Pangeran Puger sehingga selamat sampai ke Demak? Bukankah ini kenyataan yang harus kita terima?”

Ki Tumenggung Gending menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Besok akan kami pikirkan lagi, dimana para prajurit itu akan tidur.”

Sementara itu, para prajurit yang khusus menjaga pedati yang berisi beberapa buah peti yang berisi benda-benda berharga, tidak beranjak dari pedati yang dijaganya. Mereka tidur bergantian justru di dalam pedati, berdesakan dengan peti-peti yang ada di dalam pedati itu. Bahkan seorang di antaranya yang tidak mendapat tempat, tidur sambil duduk bersandar peti-peti itu.

Dua orang di antara mereka duduk di bagian depan pedati itu sambil memeluk pedang mereka yang telanjang.

Sementara itu, para prajurit yang bertugas di perbekalan dan perlengkapan telah tidur mendengkur di serambi. Mereka tidak akan kehilangan apa-apa. Orang-orang Demak tidak akan mencuri sisa-sisa bekal mereka serta alat-alat yang mereka bawa. Demikian pula prajurit yang menyiapkan makan dan minum. Mereka justru telah dilayani makan dan minum oleh para prajurit Demak yang bertugas di dapur.

Glagah Putih yang berada di antara mereka telah tertidur nyenyak pula. Ia tidak melihat ketika Ki Tumenggung Panjer serta beberapa orang prajurit Demak mengagumi kudanya. Kuda yang memang jarang ada duanya.

Ki Tumenggung Panjer itu pun bertanya kepada seorang prajurit yang berdiri di sebelahnya, “Kuda siapa ini?”

“Aku tidak tahu pasti, Ki Tumenggung. Tetapi aku lihat yang menuntun kuda ini salah seorang prajurit yang bertugas mengurus perbekalan, atau mereka yang bertugas di dapur.”

Seorang lurah prajurit yang paling disegani di antara para prajurit yang ikut dalam tugas malam itu pun berkata, “Apakah aku harus memanggil salah seorang prajurit yang bertugas? Ada beberapa orang di antara mereka yang bertugas berjaga-jaga malam ini.”

Ki Tumenggung Panjer menggeleng. Katanya, “Tidak perlu, Ki Lurah Surawana. Besok saja usahakan untuk mengetahui kuda ini kuda siapa? Aku lihat hanya ada dua ekor kuda sebesar dan setegar kuda ini. Yang satu adalah kuda Kanjeng Pangeran Puger sendiri.”

“Jangan-jangan ini juga cadangan bagi Kanjeng Pangeran Puger.”

“Karena itu, besok kau harus mencari keterangan.”

“Jika kuda ini bukan kuda Kanjeng Pangeran Puger?”

“Cari siapa pemiliknya. Aku akan berbicara dengan orang itu.”

“Baik, Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung Panjer pun kemudian meninggalkan kuda itu untuk melihat-lihat suasana di halaman Dalem Kadipaten yang dipenuhi dengan beberapa buah pedati itu.

Ketika fajar menyingsing, maka para prajurit pun telah bersiap. Meskipun sebenarnya mereka merasa letih dan lebih senang tidur berkepanjangan, namun mereka berada dalam tugas, sehingga mereka pun telah bersiap sebagaimana seharusnya mereka lakukan.

Para abdi perempuan serta para dayang pun telah bangun pula. Bergiliran mereka pergi ke pakiwan. Sementara itu, beberapa orang putri pun telah bangun pula. Tetapi bagi mereka telah disediakan pakiwan tersendiri.

Dalam pada itu, ternyata Pangeran Puger sendiri telah bersiap pula sebagaimana para prajurit dan para pengawal. Ketika Ki Lurah Adipraya siap di pintu dalam, Kanjeng Pangeran Puger keluar dari biliknya. Ternyata Kanjeng Pangeran Puger itu pun sudah mandi dan berbenah diri.

“Hari ini aku akan memperkenalkan diri dengan para pejabat di Demak, Ki Lurah,” berkata Kanjeng Pangeran Puger.

“Hamba, Pangeran.”

“Beberapa orang di antara mereka sudah aku kenal dengan baik. Tetapi beberapa yang lain aku belum mengenalnya sama sekali.”

“Hamba, Pangeran. Tetapi apakah Pangeran sudah memberikan perintah kepada Ki Tumenggung Gending?”

“Sudah, semalam aku telah mengatakannya. Hari ini, pada wayah pasar temawon, aku minta para pejabat datang ke Kadipaten ini.”

“Apakah hamba juga harus hadir dalam pertemuan itu?”

“Ya. Ki Lurah Adipraya dan Ki Lurah Agung Sedayu aku minta hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan itu tidak akan lama Aku hanya akan sekedar memperkenalkan diri dan mengenal dengan siapa aku akan bekerja sama memimpin Kadipaten ini.”

“Hamba, Sinuhun.”

“Beritahu Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Hamba, Sinuhun.”

Ketika matahari mulai memanjat naik, beberapa orang pejabat di Demak sudah berdatangan di Dalem Kadipaten. Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer juga sudah datang pula

Pada wayah pasar temawon, maka Kanjeng Pangeran Puger telah hadir di pendapa Dalem Kadipaten. Dalam pada itu, selagi diadakan pertemuan di pendapa, Ki Lurah Surawana telah menemui beberapa orang prajurit Mataram, untuk mengetahui kuda yang besar dan tegar itu milik siapa.

“Glagah Putih,” jawab seorang prajurit yang bertugas di dapur.

“Glagah Putih?” ulang Ki Lurah Surawana.

“Ya.”

“Apakah ia prajurit dalam tugas yang sama dengan kau?”

“Tidak, Ki Lurah. Glagah Putih bukan seorang prajurit. Tetapi ia ikut dalam tugas ini.”

“Bukan prajurit? Jadi apakah ia seorang pesuruh atau tenaga kasar, yang diperbantukan kepadamu?”

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi agak bingung, kenapa tiba-tiba saja Glagah Putih berada di antara mereka.

“Begini saja, Ki Lurah. Sebaiknya Ki Lurah berbicara langsung saja dengan orang itu.”

“Tolong, panggil orang itu.”

Prajurit itu pun kemudian telah memanggil Glagah Putih, yang sudah duduk di tangga serambi gandok bersama seorang prajurit yang bertugas di dapur itu pula.

“Kau dicari, Glagah Putih,” berkata prajurit yang memanggilnya itu.

“Siapa yang mencari aku?”

“Seorang lurah prajurit dari Demak. Ia mengagumi kudamu.”

“Kudaku?” bertanya Glagah Putih. Prajurit itu mengangguk.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sudah beberapa kali terjadi perselisihan justru karena kudanya itu. Beberapa orang pernah menginginkannya. Ada yang memaksa, sehingga Glagah Putih harus mempertahankannya. Tetapi Glagah Putih itu pun bangkit berdiri. Dengan malas ia berjalan menuju ke tempat kudanya ditambatkan. Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Surawana masih menunggunya.

“Kaukah yang mempunyai kuda ini?”

“Ya, Ki Lurah.”

“Kau bernama Glagah Putih?”

“Ya, Ki Lurah.”

“Dari mana kau dapatkan kudamu itu?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya, dari mana ia mendapatkan kuda itu. Karena itu, maka iapun menjawab, “Kuda ini pemberian seorang pamanku, Ki Lurah.”

“Pamanmu? Darimana pamanmu mendapatkan kuda ini?”

“Aku tidak tahu, Ki Lurah.”

“Perhatikan. Beberapa ekor kuda yang dibawa oleh para pengawal dan para prajurit Mataram. Tidak ada yang sebesar dan setegar kudamu.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Apakah kau tidak tahu diri, sehingga kau naik kuda yang sama besar dan tegarnya dengan kuda Kanjeng Pangeran Puger?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkannya, bahwa kudanya adalah satu-satunya kuda yang menyamai besar dan tegarnya kuda Kanjeng Pangeran Puger.

Namun Glagah Putih itu pun menjawab, “Ki Lurah. Kuda ini adalah satu-satunya kuda yang aku miliki. Itu pun kuda pemberian, karena aku tidak akan mungkin dapat membeli kuda sendiri. Karena itu, maka aku tidak dapat mempergunakan kuda yang lain.”

Ki Lurah Surawana mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Glagah Putih. Ki Tumenggung Panjer ingin berbicara dengan kau.”

“Aku?”

“Ya. Ki Tumenggung ingin berbicara dengan pemilik kuda ini. Karena pemiliknya adalah kau, maka Ki Tumenggung ingin berbicara dengan kau.”

“Apakah aku harus menghadap Ki Tumenggung?”

“Ya.”

“Sekarang?”

“Tunggu sampai pertemuan di pendapa itu selesai.”

“Baik, Ki Lurah. Sekarang perkenankan aku kembali ke tangga serambi gandok. Aku sedang beristirahat di sana.”

Ki Lurah Surawana mengerutkan dahinya. Ia menjadi heran, bahwa Glagah Putih sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa di wajah dan kata-katanya. Ia tidak menjadi gelisah bahwa ia harus menghadap seorang Tumenggung, apapun persoalannya.

Glagah Putih yang tidak menunggu jawaban Ki Lurah itu telah melangkah kembali ke tangga serambi gandok. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih itu menjadi gelisah. Bukan karena ia harus menghadap seorang Tumenggung. Tetapi ia tahu, bahwa kudanya akan menimbulkan masalah lagi.

Baru saja Glagah Putih duduk, seorang prajurit telah datang memanggilnya.

“Sekarang yang ingin bertemu dan berbicara dengan kau adalah seorang Tumenggung.”

Glagah Putih harus bangkit berdiri lagi. Dengan nada rendah iapun berkata, “Tentang kuda itu lagi?”

“Ya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat beberapa orang pejabat tinggi di Demak sudah meninggalkan pendapa Nampaknya pertemuan dengan Kanjeng Pangeran Puger yang ingin memperkenalkan diri serta mengenal para pejabat di Demak itu sudah selesai.

Ketika ia sampai ke tambatan kudanya, kuda itu sudah berpindah tempat. Kuda itu sudah ditambatkan di sebatang pohon perdu.

“Kau yang bernama Glagah Putih?”

“Ya, Ki Tumenggung,” jawab Glagah Putih, yang sudah mengenal bahwa Tumenggung itu adalah Ki Tumenggung Panjer.

“Kudamu bagus sekali. Besar dan tegar. Sama seperti kuda Kanjeng Pangeran Puger.”

“Ya, Ki Tumenggung.”

“Kenapa kau tidak mempergunakan kuda yang lebih kecil dari kuda Kanjeng Pangeran Puger? Bukankah dengan mempergunakan kuda yang sama besar dan tegarnya dengan kuda Kanjeng Pangeran Puger, kau dapat dianggap deksura?”

“Kudaku hanya satu, Ki Tumenggung. Karena itu, aku tidak dapat mempergunakan kuda yang lain.”

“Aku ingin menolongmu.”

“Menolong aku?”

“Ya.”

“Maksud Ki Tumenggung?”

“Aku tukar kudamu dengan dua ekor kuda. Kau akan mempunyai dua ekor kuda, sementara itu kau tidak dapat dianggap deksura karena kau mempergunakan kuda yang sama besar dan tegar dengan kuda Kanjeng Pangeran Puger.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sudah membayang di-angan-angannya, bahwa akan terjadi masalah lagi dengan kudanya.

Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Ki Tumenggung Panjer itu pun mendesaknya lagi, “Kau tentu dapat berpikir dengan jernih, Glagah Putih. Adalah satu keberuntungan bagimu bahwa kau mendapat kesempatan ikut bersama keluarga Kanjeng Pangeran Puger ke Demak, sehingga seekor kudamu akan ditukar dengan dua ekor kuda yang tentu juga cukup baik. Aku tidak mempunyai kuda yang tidak baik.”

“Maaf, Ki Tumenggung,” jawab Glagah Putih, “aku tidak berani melakukannya.”

“Kenapa?”

“Jika Paman menanyakan kuda yang diberikan kepadaku itu, bagaimana aku harus menjawabnya?”

“Bukankah kuda itu sudah diberikan kepadamu?”

“Ya, Ki Tumenggung.”

“Jika demikian, tentu terserah kepadamu. Jika pamanmu bertanya, katakan bahwa kau tidak dapat bertindak deksura pada saat kau mendapat kesempatan mengiringi keluarga Kanjeng Pangeran Puger ke Demak.”

“Tetapi bukankah Kanjeng Pangeran Puger sudah berada di Demak?”

“Maksudmu?”

“Aku tinggal akan menempuh perjalanan pulang, Ki Tumenggung. Aku tidak akan berada dalam iring-iringan bersama Kanjeng Pangeran Puger. Bukankah dengan demikian, apakah aku berganti kuda atau tidak, tidak akan berpengaruh lagi?”

Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan suara yang berat iapun berkata, “Kau sekarang berada di Demak, Glagah Putih. Aku adalah salah seorang pemimpin Demak.”

“Aku mengerti, Ki Tumenggung.”

“Karena itu, sebaiknya kau berpikir dua kali untuk menolak kebaikan hatiku itu.”

“Sebenarnya aku tidak menolak, Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak berani melakukannya. Pamanku akan sangat marah sehingga hubunganku akan menjadi buruk. Padahal aku tahu bahwa aku harus menghormatinya. Ia sangat baik kepadaku sejak aku masih kanak-kanak.”

“Tetapi jika kuda itu diberikan kepadamu dengan ikhlas, maka ia tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi.”

“Tetapi aku harus menghormatinya. Menghormati pemberiannya itu.”

“Jadi kau berkeras untuk menolak uluran tanganku ini?”

“Aku mengucapkan terima kasih, Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak dapat melakukannya.”

Wajah Ki Tumenggung Panjer menjadi merah. Kemarahannya terasa menyengat jantungnya. Namun Ki Tumenggung masih berusaha untuk menahan diri.

Ketika ia beranjak pergi, maka iapun berkata, “Sekali lagi aku peringatkan, Glagah Putih. Kau sekarang berada di Demak.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia merasakan bahwa kata-kata itu baginya merupakan ancaman yang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka ketika Ki Tumenggung itu pergi, Glagah Putih pun segera mencari Ki Lurah Agung Sedayu dan menyampaikan persoalan kudanya itu kepadanya.

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah Glagah Putih. Ancaman itu benar-benar telah menyinggung perasaanku pula. Jika kita berada di Demak, seharusnya Ki Tumenggung Panjer menghormati kita sebagai seorang tamu. Tidak justru mengancam untuk menggunakan wewenangnya. Biarlah aku mengatakannya kepada Ki Lurah Adipraya. Jika saja Pangeran Puger mendengarnya dari laporan Ki Lurah Adipraya itu.”

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Panjer yang telah meninggalkan Glagah Putih itu pun telah berbicara dengan Ki Lurah Surawana.

“Aku harus memiliki kuda itu, Ki Lurah. Usahakan untuk membuat persoalan, sehingga Glagah Putih itu harus ditangkap dan ditahan di Demak. Lakukan apa saja yang sesuai menurut pendapatmu.”

Ki Lurah Surawana termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang tersendat iapun berkata, “Apa yang harus aku lakukan, Ki Tumenggung? Glagah Putih adalah salah seorang yang berada di dalam iring-iringan pasukan Mataram yang mengawal Kanjeng Pangeran Puger.”

“Terserah kepadamu!” bentak Ki Tumenggung, “Bukankah kau bukan anak kemarin sore yang kebingungan karena tugas yang sederhana itu? Pokoknya orang itu harus menjadi tahanan Demak. Kecuali jika kau mempunyai cara lain untuk mendapatkan kuda itu.”

Ki Lurah Surawana masih akan bertanya lagi, tetapi Ki Tumenggung telah berjalan dengan cepat meninggalkannya.

Ki Lurah Surawana itu berdiri termangu-mangu. Ia menjadi kebingungan untuk melaksanakan perintah Ki Tumenggung Panjer. Tetapi jika ia tidak melakukan perintah itu, maka Ki Tumenggung Panjer tentu tidak akan memaafkannya.

Sambil melangkah ke longkangan, Ki Lurah Surawana itu berkata di dalam hatinya, “Masih ada waktu. Tetapi apa yang harus aku lakukan?”

Ki Lurah Surawana yang bingung itu pun kemudian telah menemui seorang kawannya, juga seorang lurah prajurit yang bertugas hari itu.

Ketika Ki Lurah Surawana datang kepada lurah prajurit itu, maka lurah prajurit itu pun bertanya, “Kau belum pulang, Ki Lurah Surawana?”

“Aku terikat oleh Ki Tumenggung Panjer, sehingga aku masih harus di sini.”

“Bukankah pertemuan itu sudah selesai? Apakah Ki Tumenggung masih belum pulang?”

“Aku justru terjebak dalam tugas yang tidak aku mengerti, apa yang harus aku lakukan.”

“Tugas apa?”

Ki Lurah Surawana pun kemudian menceritakan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Ki Tumenggung Panjer.

“Aku tidak tahu, aku harus berbuat apa?”

Lurah prajurit itu pun mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya, “Kapan para prajurit Mataram itu akan kembali ke Mataram?”

“Entahlah. Tetapi tentu tidak hari ini. Bahkan tidak esok hari.”

“Baiklah. Aku akan membantu Ki Lurah Surawana. Aku akan mengamati anak itu. Tetapi tunjukkan kepadaku, yang manakah orang yang bernama Glagah Putih itu.”

“Kau akan membuat persoalan?”

“Mudah-mudahan aku menemukan cara. Jika tidak, aku akan menantangnya berkelahi tanpa sebab.”

Ki Lurah Surawana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Terima kasih atas kesediaanmu membantuku, Ki Lurah Tanumerta.”

Lurah prajurit yang disebut Tanumerta itu tersenyum. Katanya kemudian, “Sekarang, tunjukkan aku, dimana orang itu. Kemudian jika kau mau pulang, pulanglah.”

“Aku belum akan pulang sebelum aku dapat menahan orang itu karena satu sebab.”

“Baiklah. Aku akan membuat perkara dengan orang itu.”

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Surawana itu telah menunjukkan Glagah Putih kepada Ki Lurah Tanumerta.

Adalah kebetulan sekali, bahwa Glagah Putih pada waktu itu sedang duduk di tangga sebelah pintu seketheng bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah. Nampaknya mereka sedang asyik berbincang. Sekali-sekali mereka tersenyum atau bahkan tertawa.

“Siapakah kedua orang perempuan itu?” bertanya Ki Lurah Tanumerta

“Mereka adalah abdi perempuan Kanjeng Pangeran Puger. Namun Glagah Putih itu tertarik kepada salah seorang di antara kedua orang perempuan itu.”

“Tentu perempuan yang muda itu.”

Ki Lurah Tanumerta mengangguk-angguk. Katanya, “Aku punya cara yang tentu dapat memancing persoalan.”

“Apa?”

“Aku punya seorang prajurit yang bertubuh tinggi dan besar. Tenaganya melampaui tenaga seekor banteng. Biarlah ia mengganggu perempuan itu, sehingga Glagah Putih menjadi marah. Nah, akan terjadi perselisihan, sehingga kita mempunyai kesempatan untuk menangkap keduanya dan menahannya. Setelah berada di dalam tahanan, segala-galanya akan berlangsung lancar. Tetapi biarlah Ki Tumenggung Panjer yang melakukannya.”

“Bagus. Sebaiknya kau panggil prajuritmu itu.”

Ki Lurah Tanumerta itu pun kemudian memanggil seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar serta berkumis lebat. Prajurit yang paling disegani oleh kawan-kawannya sebarak, karena prajurit itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Prajurit yang bertubuh raksasa itu pun kemudian telah diberi pesan mawanti-wanti oleh Ki Lurah Tanumerta agar ia tidak melakukan kesalahan.

“Kau juga akan ditangkap dan ditahan, tetapi jangan cemas. Besok aku akan melepaskanmu, sedangkan orang Mataram itu akan ditangani oleh Ki Tumenggung Panjer.”

Raksasa itu mengangguk-angguk. Ia mengerti benar apa yang harus dilakukan. Ia hanya akan memancing persoalan sehingga terjadi keributan, sehingga orang Mataram itu ditahan. Tebusannya adalah seekor kuda.

Sejenak kemudian, maka kedua orang lurah prajurit itu pun melangkah menjauhi seketheng. Sementara orang bertubuh raksasa itu justru pergi ke seketheng.

Di depan Rata Wulan, raksasa itu berhenti. Sambil tersenyum prajurit itu pun bertanya, “Kau abdi Kanjeng Pangeran Puger, cah ayu?”

Rara Wulan menengadahkan wajahnya memandang wajah orang bertubuh raksasa itu.

“Kau bertanya kepadaku?”

“Ya. Aku bertanya kepadamu, cah ayu. Apakah kau abdi Kanjeng Pangeran Puger?”

“Ya. Aku abdi Kanjeng Pangeran Puger.”

“Kau juga ikut dalam iring-iringan dari Mataram?”

“Ya. Kenapa?”

“Kau tentu letih. Marilah, singgah ke rumahku. Aku sudah selesai tugas dan akan segera pulang.”

Rara Wulan tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa itu dengan tajamnya.

Sementara itu raksasa itu berkata pula kepadanya, “Jangan takut. Kau tidak akan dimarahi.”

Rara Wulan mulai tidak senang terhadap sikap prajurit yang bertubuh tinggi besar itu. Karena itu, maka iapun bertanya, “Apa sebenarnya yang kau kehendaki?”

“Kau bukan kanak-kanak lagi, anak manis. Kau tahu maksudku. Ketika aku dari kejauhan melihatmu, terasa jantungku bergejolak. Daripada tersiksa sepanjang hidupku, maka aku datang untuk melamarmu sekarang. Kau tidak usah menjadi abdi Kanjeng Pangeran Puger. Kau ikut aku, dan kau akan menjadi istri seorang prajurit. Bukan sekedar seorang abdi di Dalem Kadipaten ini.”

Wajah Rara Wulan menjadi merah. Rara Wulan yang kemudian bangkit berdiri itu pun berkata, “Aku sudah bersuami. Seandainya belum sekalipun, sikapmu sama sekali tidak tatanan. Pergilah.”

“O, jadi kau sudah bersuami? Benar? Atau sekedar untuk lelewa? Jika benar kau sudah bersuami, pertemukan aku dengan suamimu. Aku akan mengatakannya kepadanya, bahwa istrinya akan aku ambil.”

Prajurit itu menjadi heran, bahwa laki-laki yang bernama Glagah Putih itu sama sekali tidak menanggapi sikapnya. Apalagi ketika Rara Wulan berkata sambil menunjuk Glagah Putih, “Laki-laki itulah suamiku.”

“Laki-laki ini?” bertanya prajurit itu.

“Ya.”

“Jadi aku harus berkata kepadanya?”

“Pergi. Pergi! Jangan membuat persoalan.”

Prajurit itu tertawa. Iapun kemudian bergeser mendekati Glagah Putih sambil berkata, “Jadi kau suaminya? Apakah kalian sudah menikah atau sekedar baru melakukan pendekatan?”

“Perempuan itu adalah istriku,” jawab Glagah Putih. Tetapi ia masih saja duduk.

“Dengar, Ki Sanak,” berkata prajurit yang bertubuh raksasa itu, “aku akan mengambil istrimu. Aku tidak peduli, apakah kau rela atau tidak.”

“Bertanyalah kepadanya, apakah ia mau atau tidak.”

Rara Wulan yang sudah bangkit berdiri itu sudah menduga bahwa Glagah Putih, seperti yang pernah terjadi, akan membiarkannya menyelesaikan persoalan itu. Karena itu, maka Rara Wulan pun menyahut, “Jangan bertanya kepada suamiku. Ia mempercayai aku. Sekarang bertanya sajalah kepadaku, apakah aku bersedia atau tidak.”

“Jadi, kenapa dengan laki-laki ini? Apakah ia tidak berani melindungi istrinya, sehingga segala sesuatunya terserah kepada istrinya?”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih yang masih tetap duduk, “sebenarnya kau mau apa? Kalau persoalannya adalah istriku, maka biarlah diselesaikan oleh istriku sendiri.”

“Aku tidak mau disebut pengecut. Aku akan mengambilnya dengan cara seorang laki-laki.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar