Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 348

Buku 348

“Terima kasih, Kakang,” sahut Rara Wulan, “kami ingin sekali untuk dapat ikut pergi ke Demak. Aku memang belum pernah ke Demak. Selain itu, mungkin kami akan mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Ki Saba Lintang.”

Malam itu, Rara Wulan menjadi gelisah. Ia benar-benar ingin dapat pergi ke Demak. Nalurinya mengatakan bahwa Ki Saba Lintang akan memanfaatkan pergeseran itu.

Di keesokan harinya, Agung Sedayu bersiap lebih pagi dari biasanya. Ketika ia berangkat ke baraknya, iapun berkata, “Nanti aku akan pergi ke Mataram. Mungkin aku pulang terlambat.”

“Baik, Kakang,” jawab Sekar Mirah.

Ketika Agung Sedayu berangkat, maka Glagah Putih melepasnya di regol halaman, sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan berdiri di tangga pendapa rumahnya.

Demikian Agung Sedayu sampai ke baraknya, maka iapun telah menunjuk dua orang prajuritnya untuk menyertainya pergi ke Mataram.

“Apakah Ki Lurah di panggil menghadap?”

“Tidak. Tetapi aku ingin mendengar tentang keberangkatan Pangeran Puger ke Demak.”

Demikian matahari mulai memanjat naik, maka Agung Sedayu serta dua orang prajuritnya telah memacu kudanya ke Mataram. Seperti biasanya, Agung Sedayu tidak langsung menemui para Panglima dan Senapati di Mataram, tetapi Agung Sedayu langsung menuju ke rumah Ki Patih Mandaraka.

Ketika Agung Sedayu memasuki regol halaman Kepatihan sambil menuntun kudanya, maka dilihatnya kuda Ki Patih Mandaraka sudah siap di depan pendapa.

“Ki Patih sudah akan pergi?” bertanya Agung Sedayu kepada prajurit yang bertugas, yang sudah dikenalnya dengan baik.

“Ya. Ki Patih sudah memerintahkan menyiapkan kudanya. Tetapi Ki patih sendiri belum nampak keluar.”

“Apakah masih mungkin aku menghadap?”

“Akan aku coba menyampaikan kepada petugas di dalam istana.”

Ketika lurah prajurit yang bertugas itu menemui Narpacundaka yang berada di serambi samping, maka Narpacundaka itu pun berkata, “Coba, aku sampaikan saja permohonan Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

Agung Sedayu adalah seorang prajurit yang khusus bagi Ki Patih Mandaraka. Karena itu, ketika Napacundaka itu menyampaikan kepadanya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan menghadap, maka Ki Patih itu berkata, “Bawa Ki Lurah itu keserambi. Aku akan memberikan waktu sedikit kepadanya.”

Agung Sedayu pun menyadari bahwa KI Patih tentu tidak mempunyai banyak waktu. Karena itulah maka iapun langsung kepada persoalannya, “Ki Patih, apakah Kanjeng Pangeran Puger akan segera berangkat dalam waktu dekat ini?”

“Ya. Hari ini kami akan membicarakan keberangkatan Kanjeng Pangeran Puger.”

“Apakah akan dilakukan pengawalan yang baik bagi iring-iringan keluarga Kanjeng Pangeran Puger?”

“Kenapa kau bertanya seperti itu Ki Lurah?”

“Ki Patih. Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan belum berhasil mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Ki Saba Lintang.”

Ki Patihpun mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu menceritakan dengan singkat, apa yang telah terjadi dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Glagah Putih mencemaskan bahwa Ki Saba Lintang berusaha membalas dendam atas banyak sekali kegagalannya itu, tanpa memilih sasaran. Mungkin Demak akan menjadi tempat untuk menumpahkan dendamnya. Tetapi mungkin justru di perjalanan.”

“Aku sependapat dengan kau, Ki Lurah. Aku akan menyampaikan hal ini nanti di dalam pertemuan di istana.”

“Jika Ki Patih memperkenankan, aku akan menunggu di sini, hasil pembicaraan itu. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku usulkan.”

Ki Patih Mandaraka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Patih itu pun berkata, “Kau akan ikut aku ke istana, Ki Lurah. Daripada kau menunggu di sini, maka sebaiknya kau berada di istana. Apabila perlu, kau dapat dipanggil untuk memberikan keterangan.”

“Tetapi apakah tidak sebaiknya hamba di sini saja, Ki Patih?”

“Ikutlah.”

“Jika Ki Patih memerintahkan, maka hamba akan melakukannya. Hamba akan menunggu perintah Ki Patih selanjutnya jika hamba sudah berada di istana.”

Dengan demikian, sebagaimana perintah Ki Patih Mandaraka, maka Agung Sedayu pun telah ikut pergi ke istana bersama dua orang prajurit pengawal. Di istana, Agung Sedayu bersama kedua orang prajurit pengawal Ki Patih itu menunggu di gardu di belakang regol istana yang menghadap ke barat.

Beberapa saat kemudian, Kanjeng Panembahan Hanyakrawati bersama beberapa orang pemimpin serta keluarga istana yang jumlahnya terbatas telah mengadakan pembicaraan tentang rencana keberangkatan Kanjeng Pangeran Puger ke Demak.

“Perjalanan Pangeran Puger adalah perjalanan yang panjang,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Ya, Eyang,” jawab Panembahan, “tetapi Kakangmas Pangeran Puger pergi ke tempat yang mungkin lebih baik daripada Kakangmas Pangeran Puger tetap berada di Mataram.”

“Benar, Wayah Panembahan. Namun perjalanan yang panjang itu juga memerlukan perhatian, agar Wayah Pangeran Puger sampai ke tujuan dengan selamat.”

“Eyang,” sahut Pangeran Puger, “Eyang tidak usah mencemaskan perjalanan kami. Ada beberapa orang abdi yang dapat dipercaya, yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.”

“Kakangmas Pangeran Puger sendiri adalah prajurit linuwih, Eyang. Bersama dengan abdi Kepangeranan, maka tidak akan ada yang dapat mengganggu perjalanan mereka.”

“Aku mengerti, Wayah. Tetapi ada baiknya aku menceritakan serba sedikit tentang orang yang memiliki tongkat baja putih itu.”

“Orang-orang Perguruan Kedung Jati itu?” bertanya Kanjeng Panembahan.

“Ya, Wayah.”

“Aku pernah mendengar, Eyang,” sahut Pangeran Puger, “tetapi apakah mereka cukup berbahaya?”

“Ya, Wayah,” jawab Ki Patih Mandaraka, yang kemudian telah menceritakan pertemuan Ki Saba Lintang dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat bantuan dari beberapa orang tua yang berbekal ilmu yang tinggi, namun Ki Saba Lintang itu masih dapat meloloskan diri, meskipun harus mengorbankan beberapa orang pengikutnya.

“Gerombolan yang dipimpin oleh Ki Saba lintang yang mengatasnamakan Perguruan Kedung Jati itu terdapat gerombolan-gerombolan orang jahat, yang memanfaatkan gerakan Ki Saba Lintang. Iring-iringan Wayah Pangeran Puger sekeluarga tentu bukannya sekedar membawa pedang dan tombak, sebagaimana sepasukan prajurit dalam perjalanan jauh. Tetapi tentu juga ada harta benda yang berharga. Nah, bukankah kemungkinan itu akan dapat memanggil gerombolan bercampur baur? Meskipun di antara mereka mempunyai kepentingan yang berbeda, tetapi mereka dapat memadukan cara yang mereka pakai menanggapi iring-iringan Wayah Pangeran Puger.”

“Aku mengerti maksud Eyang Mandaraka,” Kanjeng Panembahan mengangguk-angguk, “agaknya ada baiknya Kakangmas Pangeran Puger memperhatikannya.”

“Jadi, maksud Eyang?”

“Aku ingin menasehatkan agar perjalanan Wayah Pangeran Puger dikawal bukan saja oleh para abdi Kepangeranan, meskipun mereka juga prajurit. Tetapi iring-iringan itu dikawal pula oleh sekelompok prajurit Mataram.”

“Aku sependapat, Eyang,” Kanjeng Panembahan menyahut, “bukankah tidak ada salahnya Kakangmas Pangeran Puger berhati-hati? Mungkin memang tidak akan terjadi apa-apa di perjalanan. Tetapi semakin banyak kawan seperjalanan pada perjalanan panjang, rasa-rasanya akan lebih baik. Lebih banyak yang dapat diajak berbincang di saat-saat beristirahat.”

Pangeran Puger pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sama sekali tidak keberatan. Bukankah tidak ada buruknya? Justru lebih banyak baiknya. Tetapi para prajurit yang akan mengawal itu harus membawa bekal sendiri.”

Yang hadir di pertemuan itu pun tertawa. Sementara itu, beberapa orang pemimpin dan keluarga istana juga mengisyaratkan bahwa lebih baik bagi Pangeran Puger untuk membawa pengawal sekelompok prajurit.

“Jika demikian, siapakah yang akan kita perintahkan untuk mengawal Kakangmas Pangeran Puger?” bertanya Kanjeng Panembahan.

Ki Patih Mandaraka tiba-tiba saja teringat kepada Ki Lurah Agung Sedayu yang menunggunya di luar. Ia adalah pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, dengan serta-merta tanpa berpikir panjang lagi, Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Di luar ada seorang lurah prajurit yang memimpin Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Siapa?” bertanya Kanjeng Panembahan.

“Ki Lurah Agung Sedayu.”

Kanjeng Panembahan mengerutkan dahinya. Sementara itu Pangeran Puger pun bertanya, “Yang istrinya dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati?”

“Ya, Pangeran.”

“Tetapi bukankah itu tidak benar?”

“Tentu tidak. Itu hanya fitnah saja untuk menimbulkan keresahan, serta dengan sengaja membuat nama Nyi Lurah Agung Sedayu, yang kebetulan memiliki satu dari sepasang tongkat baja putih itu, menjadi buram.”

“Bagaimana menurut Kakangmas Pangeran?” bertanya Kanjeng Panembahan.

“Aku hanya menurut perintah, Dimas Panembahan. Siapapun yang akan diperintahkan untuk mengawal perjalananku, aku tidak akan menolak. Jika Dimas Panembahan serta Eyang Patih Mandaraka mempercayai orang itu, maka aku pun mempercayainya. Eyang Patih tentu akan mempertanggung-jawabkannya.”

“Ya, Pangeran. Aku akan mempertanggung-jawabkannya. Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah memerankan Ki Saba Lintang serta Nyi Lurah Agung Sedayu untuk mengimbangi fitnah yang dilancarkan oleh Ki Saba Lintang itu, adalah adik sepupu Ki Lurah Agung Sedayu, Pangeran.”

“Glagah Putih dan Rara Wulan yang Eyang ceritakan telah berhasil memancing Ki Saba Lintang dalam pertempuran, tetapi gagal merebut tongkat baja putihnya itu?”

“Ya, Pangeran.”

Pangeran Puger itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah Ki Lurah Agung Sedayu menyertai perjalananku ke Demak.”

“Agar Wayah Panembahan dapat langsung memberikan perintah, apakah aku diperkenankan memanggil Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Baiklah, Eyang. Aku ingin berbicara langsung dengan Ki Lurah. Kakangmas Pangeran Puger agaknya juga perlu berhubungan langsung dengan orang itu.”

Ki Patih Mandaraka sendiri-lah yang kemudian memanggil Ki Lurah Agung Sedayu dan dibawanya menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

Kangjeng Panembahan pun kemudian telah menuntaskan perintahnya kepada Ki Lurah Agung Sedayu untuk membawa prajurit-prajuritnya dari Pasukan Khusus, mengawal Pangeran Puger yang akan pergi sekeluarga ke Demak, karena Pangeran Puger akan memegang pimpinan pemerintahan di Kadipaten Demak.

Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu pun merasa gembira oleh perintah itu. Meskipun demikian, Ki Lurah itu masih saja tetap menundukkan wajahnya sambil menjawab, “Hamba akan menjalankan titah Kanjeng Panembahan dengan sebaik-baiknya.”

“Aku percayakan keselamatan perjalanan keluargaku kepadamu, Ki Lurah,” berkata Pangeran Puger kemudian.

“Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi hamba,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “kepercayaan Kanjeng Pangeran hamba junjung tinggi.”

“Bagus. Kau sudah mulai dapat bersiap-siap hari ini.”

“Besok kapan Kanjeng Pangeran Puger akan berangkat?”

Pangeran Puger termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Pangeran Puger itu pun bertanya, “Kapan aku harus berangkat ke Demak, Dimas?”

“Terserah saja menurut Kakangmas. Mungkin Kakangmas memerlukan saat terbaik untuk berangkat.”

“Jika demikian, aku akan berangkat pekan depan pada hari Anggara Manis.”

“Kenapa Kakangmas memilih hari Anggara Manis?”

“Bukankah itu hari kelahiranku?”

“O. ya. Aku agak lupa, Kakangmas.”

“Tentu Dimas tidak sempat mengingat-ingat hari kelahiranku, karena tugas Dimas banyak sekali.”

Kanjeng Panembahan tersenyum. Katanya, “Mungkin, Kakangmas. Tetapi mungkin aku sudah mulai pikun di usia muda.”

Pangeran Puger pun tertawa pula.

“Nah, Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Patih Mandaraka, “kau tahu bahwa Pangeran Puger akan berangkat pekan depan pada hari Anggara Manis. Dengan demikian, maka sekelompok prajuritmu yang akan kau tugaskan mengawal Pangeran Puger harus sudah siap sehari sebelumnya. Juga segala sesuatu, perlengkapan serta bekal yang akan kau bawa ke Demak.”

“Hamba, Ki Patih. Hari ini hamba akan kembali dan mempersiapkan segala sesuatunya.”

“Untuk mempersiapkan bekal dan perlengkapan, kau dapatkan berhubungan dengan Ki Tumenggung Kertuprana. Ki Tumenggung akan memerintahkan beberapa orang untuk mempersiapkan bekal dan perlengkapan serta alat-alat angkutan yang dibutuhkan. Ki Tumenggung akan memerintahkan beberapa orangnya menyertai sekelompok prajuritmu yang akan pergi ke Demak.”

“Besok lusa aku akan kembali ke Mataram untuk menghubungi Ki Tumenggung. Agaknya besok lusa perintah Ki Patih sudah akan sampai kepada Ki Tumenggung.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk sambil menjawab, “Ya. Tentu tidak sampai esok lusa. Nanti aku akan memanggil KI Tumenggung Kertaprana.”

Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun sekaligus telah minta ijin untuk membawa Glagah Putih dan Rara Wulan bersama pasukannya itu. Bahkan Sekar Mirah akan ikut pula ke Demak.

“Istriku dan Rara Wulan akan berada di antara para abdi perempuan yang akan ikut serta ke Demak. Sementara Glagah Putih biarlah berada di antara para prajurit.”

Pangeran Puger tersenyum. Katanya, “Glagah Putih masih mendendam kepada Ki Saba Lintang?”

“Bukan mendendam, Pangeran. Tetapi tugasnya untuk mengambil tongkat baja putih itu masih belum dapat dilaksanakannya. Karena itu maka ia akan ikut pergi ke Demak. Seandainya, hanya seandainya, Ki Saba Lintang mengganggu perjalanan Pangeran, Glagah Putih akan berkesempatan untuk bertemu lagi dengan orang itu.”

Pangeran Puger mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Ki Lurah yang membawanya, tentu aku tidak berkeberatan.”

“Terima kasih, Pangeran.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mohon diri.

“Hamba masih akan singgah di Kepatihan. Dua orang kawan hamba menunggu hamba di sana.”

“Baiklah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “segala sesuatunya harus segera kau persiapkan.”

Menjelang sore hari, Agung Sedayu telah memacu kudanya bersama dua orang prajurit yang menyertainya, kembali ke baraknya di Tanah Perdikan Menoreh. Ia harus segera menyampaikan perintah Ki Patih kepada prajurit-prajuritnya. Prajurit pilihan dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Demikian Agung Sedayu sampai ke baraknya, maka iapun segera mengumpulkan para pemimpin kelompok dari Pasukan Khususnya. Iapun segera menyampaikan perintah Ki Patih Mandaraka yang disampaikan kepadanya di hadapan Pangeran Puger dan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.

“Kita mendapat tugas yang berat,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada para pemimpin kelompok itu. “Kita mendapat kepercayaan untuk mengawal keluarga Pangeran Puger yang akan pergi ke Demak. Sementara itu, kekuatan dari segerombolan orang yang menyebut dirinya dari Perguruan Kedung Jati itu masih berkeliaran dimana-mana.”

“Tetapi bukankah mereka bukan murid-murid dari Perguruan itu, Ki Lurah?”

“Ya. Mereka bukan murni dari Perguruan Kedung Jati. Beberapa gerombolan telah bergabung sambil membawa kepentingan mereka masing-masing. Justru itulah yang berbahaya bagi keluarga Kanjeng Pangeran Puger.”

Para pemimpin kelompok itu merenungi perintah yang dibawa oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Mereka menyadari bahwa perintah yang harus mereka jalankan itu adalah perintah yang berat, mereka akan mempertanggung-jawabkan keselamatan Pangeran Puger berserta keluarganya.

“Persiapkan orang-orang terbaik dari kelompok kalian. Aku memerlukan enam puluh orang prajurit terbaik. Di samping pasukan kita, masih ada sekelompok abdi Kepangeranan yang akan menyertai perjalanan Pangeran Puger ke Demak.”

“Baik, Ki Lurah. Kami akan mempersiapkan orang-orang terbaik yang ada di dalam kelompok kami.”

“Nah, besok kita akan mulai dengan persiapan-persiapan yang lebih mapan. Pangeran Puger akan berangkat ke Demak hari Anggara Manis di pekan depan. Hari itu adalah hari kelahiran Pangeran Puger.”

“Cara yang paling mudah untuk memperhitungkan hari,” berkata salah seorang pemimpin kelompok. “Ayahku dahulu juga selalu memilih hari kelahirannya untuk mulai dengan kerja Apalagi kerja yang besar. Kita tidak usah menghitung-hitung berdasarkan angka hari dan pasaran.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya, Agaknya cara itu pula-lah yang dipergunakan oleh Pangeran Puger.”

Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan, maka Ki Lurah Agung Sedayu itu pun minta diri kepada para pemimpin kelompok.

“Sampai besok. Besok kita bicarakan lagi. Sementara itu kalian sudah menyiapkan nama-nama mereka yang akan ikut dalam perjalanan ke Demak.”

Dari baraknya, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah memacu kudanya pulang. Ki Lurah itu ingin segera bertemu dengan Glagah Putih, untuk mengabarkan bahwa tugas untuk mengawut Pangeran Puger itu justru dibebankan kepadanya.

Sebenarnyalah ketika berita itu disampaikan kepada Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan, maka mereka pun menjadi gembira. Apalagi ketika Ki Lurah mengabarkan bahwa bukan hanya Glagah Putih dan Rara Wulan yang diperkenankan ikut, tetapi juga Sekar Mirah.

“Sekali-sekali kita bertamasya bersama, Mbokayu,” berkata Rara Wulan.

“Tanggung jawab kita sangat berat, Rara,” sahut Glagah Putih.

“Aku tahu, Kakang. Kita mengawal dan mempertanggung-jawabkan keselamatan Kanjeng Pangeran Puger. Tetapi bukankah kita sekaligus bertamasya ke Demak?”

Sekar Mirah tertawa. Sebelum Glagah Putih yang wajahnya nampak bersungguh-sungguh menyahut, Sekar Mirah sudah mendahuluinya, “Ya. Kita akan bertamasya ke Demak, tanpa mengurangi arti dari tugas yang dibebankan di pundak kita.”

Rara Wulan mengangguk. Namun Glagah Putih pun justru urung untuk menjawab.

“Kita harus bersiap-siap,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Ilmu kita dapat diibaratkan pisau, maka pisau itu harus diasah. Waktunya tinggal beberapa hari saja. Selama itu aku sendiri harus hilir mudik untuk mempersiapkan bekal dan perlengkapan bagi prajurit-prajuritku. Aku akan membawa enam puluh orang prajurit.”

“Enam puluh?” ulang Rara Wulan.

“Ya, enam puluh. Kenapa?”

“Demikian banyaknya. Aku kira Kakang hanya akan membawa lima orang, atau sebanyak-banyaknya sepuluh orang prajurit. Bukankah ada beberapa orang abdi Kepangeranan yang juga akan berangkat, serta mempunyai kemampuan seorang prajurit?”

Yang menjawab adalah Glagah Putih, “Yang menempuh perjalanan adalah keluarga seorang Pangeran, Rara. Dalam iring-iringan itu tentu terdapat berbagai macam barang berharga. Lebih dari itu adalah keselamatan keluarga Kanjeng Pangeran Puger bersama keluarganya. Jika Kakang Agung Sedayu membawa sepasukan prajurit yang kuat, maka akibatnya tentu akan lebih baik. Jika sekelompok orang melihat pasukan yang mengawal itu kuat, maka mereka tentu akan mengurungkan niatnya untuk mengganggu perjalanan itu. Bukankah itu lebih baik daripada kita harus berkelahi sehingga mungkin akan jatuh korban?”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Jadi gelar itu pengaruhnya cukup besar. Tanpa gangguan, perjalanan kita akan menjadi semakin lancar.”

“Ya.”

“Mungkin dengan sepuluh orang pengawal, kita akan dapat mengatasi segerombolan orang yang akan merampok iring-iringan itu. Tetapi akan lebih baik jika hal itu tidak terjadi..”

“Ya,” nada suara Rara Wulan menjadi semakin tinggi.

Ketika Glagah Putih masih akan berbicara lagi, Sekar Mirah menggamitnya dan memberinya isyarat agar Glagah Putih diam. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian terdiam. Namun wajah Rara Wulan sudah terlanjur muram.

Dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya kepada Glagah Putih untuk mengalihkan pembicaraan, “Tetapi dimana Ki Jayaraga? Aku belum melihatnya.”

“Ki Jayaraga pergi ke sawah, Kakang.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Ki Jayaraga masih saja menghabiskan waktunya di sawah.”

“Ki Jayaraga tentu merasa jemu tinggal di rumah tanpa berbuat apa-apa.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan pergi ke pakiwan.”

Demikianlah, sejak saat itu Sekar Mirah dan Rara Wulan mulai mengasah ilmu mereka. Waktunya hanya beberapa hari. Namun yang beberapa hari itu akan berarti bagi ilmu mereka. Sementara itu Rara Wulan pun sempat memperlihatkan kepada Sekar Mirah ilmu yang diwarisinya dari Nyi Citra Jati, yang disebut Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Demikian Rara Wulan melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce di kaki sebuah bukit kecil, Sekar Mirah pun langsung memeluknya sambil berdesis, “Bersyukurlah, Rara. Kau telah dibekali ilmu yang tinggi. Selanjutnya tergantung kepadamu, apakah ilmu itu akan berarti bagi banyak orang atau tidak.”

Mata Rara Wulan menjadi basah. Katanya, “Ya, Mbokayu. Aku akan mencoba memberikan arti bagi ilmuku.”

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu hilir mudik pergi ke Mataram. Ditemuinya Ki Tumenggung Kertaprana untuk membicarakan bekal dan perlengkapan bagi pasukannya. Selanjutnya Ki Lurah Agung Sedayu telah menugaskan dua orang prajuritnya untuk bersama-sama empat orang prajurit yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung Kertaprana mempersiapkan bekal dan perlengkapan.

Ki Tumenggung telah mempersiapkan dua pedati dan beberapa ekor kuda beban.

“Tetapi pedati dan kuda beban itu besok harus kau bawa kembali, Ki Lurah,” pesan Ki Tumenggung Kertaprana.

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kalau Kanjeng Pangeran Puger menghendaki kedua pedati dan kuda beban itu ditinggal di Demak?”

“Kau minta Pangeran Puger membayar harganya.”

Keduanya pun tertawa.

Hari-hari pun berlalu. Kepada Ki Jayaraga, Ki Lurah Agung Sedayu menitipkan rumahnya. Perjalanan ke Demak mungkin memerlukan waktu beberapa pekan.

Sebelum Ki Lurah berangkat ke Mataram bersama pasukannya, disertai Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka memerlukan menghadap Ki Gede Menoreh untuk minta diri.

“Berhati-hatilah, Ngger. Perjalanan kalian bukan saja jauh, tetapi kalian dimuati beban yang berat. Kalian harus menjaga keselamatan Kanjeng Pangeran Puger sekeluarga. Itu adalah beban tanggung jawab yang besar.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Gede. Kami akan berhati-hati. Aku membawa prajurit cukup banyak. Bahkan mungkin berlebihan. Tetapi juga karena aku menyadari besar tanggung jawab itu.”

“Kau sudah benar, Ngger. Kau tidak boleh membiarkan akibat buruk terjadi atas iring-iringan itu. Lebih baik kau membawa prajurit berlebihan daripada akhirnya kau harus menyesal.”

“Ya, Ki Gede. Kami mohon doa restu.”

“Kami sekeluarga akan berdoa, Ngger, bagi keselamatan kalian serta keluarga Kanjeng Pangeran Puger.”

Demikianlah, maka pada saatnya, sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu berangkat ke Mataram. Mereka akan bermalam di Mataram semalam. Di keesokan harinya, mereka akan berangkat mengawal iring-iringan keluarga Kanjeng Pangeran Puger.

Malam itu, Ki Lurah Agung Sedayu serta beberapa orang pemimpin kelompok dalam pasukannya itu telah melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan beberapa pihak. Dengan Ki Tumenggung Kertaprana yang mempersiapkan bekal dan perlengkapan, serta dengan Ki Lurah Adipraya, pemimpin abdi Kepangeranan yang akan ikut pergi ke Demak. Mereka adalah abdi yang memiliki tingkat kemampuan prajurit, yang dipercaya oleh Kanjeng Pangeran Puger.

Sementara itu, bersama mereka adalah beberapa orang dayang dan abdi perempuan. Ki Lurah Agung Sedayu telah menempatkan Sekar Mirah dan Rara Wulan bersama mereka,

“Bagaimana aku membawa tongkatku?” desis Sekar Mirah.

“Titipkan saja kepada Kakang Glagah Putih,” sahut Rara Wulan.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Jika ia sendiri membawa tongkat itu di antara para dayang dan abdi perempuan, maka tongkat itu akan sangat menarik perhatian. Tetapi Sekar Mirah telah membuat selongsong kulit untuk sarung tongkat baja putihnya, sehingga ketika tongkat itu diselipkan di pinggang Glagah Putih, tidak menarik perhatian orang lain.

Menjelang tengah malam, maka segala sesuatunya telah siap. Selain enam puluh orang prajurit dari Pasukan Khusus, ikut pula lima orang prajurit yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung Kertaprana untuk melayani bekal dan perlengkapan. Empat orang prajurit yang harus mempersiapkan makan dan minum bagi para prajurit dari Pasukan Khusus itu.

Dengan demikian, maka iring-iringan itupun menjadi iring-iringan yang panjang. Kanjeng Pangeran Puger membawa beberapa buah pedati yang berisi barang-barang berharga serta pusaka-pusaka, dan senjata-senjata yang khusus.  Pedati yang lain berisi bekal dan perlengkapan. Bukan saja untuk di perjalanan, tetapi juga pada hari-hari awal berada di Demak.

Di pagi hari berikutnya, menjelang matahari terbit, maka iring-iringan itu pun telah dilepas langsung oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Memang agak berat bagi Pangeran Puger meninggalkan Mataram. Namun Pangeran Puger berharap bahwa di tempatnya yang baru, keluarganya akan mendapat kesempatan yang lebih baik.

Di paling depan, beberapa orang abdi yang terpercaya. Mereka mengenakan pakaian khusus sebagai abdi Kepangeranan. Beberapa orang bersenjata tombak pendek. Yang lain membawa pedang. Sedangkan mereka yang berjalan di sebelah-menyebelah setiap pedati adalah abdi yang bersenjata pedang dan perisai.

Kanjeng Pangeran Puger sendiri duduk di atas punggung kuda, di sebelah sebuah pedati yang berisi keluarga dekatnya. Di belakangnya adalah pedati yang berisi para dayang terdekat. Kemudian di belakangnya lagi adalah pedati yang berisi para abdi perempuan, termasuk di dalamnya Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Di belakangnya adalah pedati yang berisi barang-barang berharga dan pusaka-pusaka serta senjata-senjata yang khusus. Empat orang petugas khusus berkuda di sebelah-menyebelahnya. Beberapa buah peti yang berada di dalam pedati itu ditutup dengan kain berwarna hitam legam.

Masih ada beberapa pedati lagi yang diawasi oleh para abdi. Baru di belakang pedati yang terakhir adalah prajurit dari Pasukan Khusus. Ki Lurah Agung Sedayu duduk di atas kudanya yang besar dan tegar. Demikian pula enam orang pembawa bekal dan perlengkapan bagi para prajurit itu, yang dilayani oleh para prajurit atas perintah Ki Tumenggung Kertaprana. Sedangkan Glagah Putih ada bersama dengan mereka, duduk di atas punggung kudanya yang banyak dikagumi orang.

Bahkan di perjalanan, seorang prajurit yang kagum akan kuda itu berkata, “Aku boleh mencoba kudamu?”

“Silahkan, Ki Sanak. Silahkan.”

Glagah Putih pun segera meloncat turun, sementara orang itu dengan dada tengadah naik ke punggung kuda itu. Dilarikannya kuda itu justru ke arah yang sebaliknya dari iring-iringan itu. Kemudian diputarnya arah kudanya dan berpacu menyusul iring-iringan itu kembali.

“Kuda yang bagus sekali,” desis prajurit itu ketika ia kemudian turun. Namun ternyata kawannya yang lain ingin mencobanya pula. Namun ketika prajurit yang ketiga ingin mencobanya, maka nampaknya ia menjadi ragu-ragu.

“Kau tidak usah mencoba kuda yang besar dan tegar itu,” berkata kawannya yang juga tidak ingin mencobanya, “nanti kau dilemparkan dari punggungnya. Sebaiknya kau coba saja naik kuda beban ini. Ia tidak akan dapat berlari cepat.”

Yang mendengar gurau itu tertawa. Prajurit yang ragu ragu itu pun tertawa pula. Bahkan akhirnya iapun berkata, “Besok saja, setelah kita sampai di Demak. Aku akan mencoba kudamu di alun-alun.”

“Kau akan menjadi tontonan orang-orang Demak,” sahut kawannya yang lain.

Suara tertawa itu terdengar lagi.

Nampaknya Glagah Putih dengan cepat dapat larut dalam lingkungan para prajurit yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung Kertaprana itu. Di antara mereka terdapat pula para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Dalam pada itu, iring-iringan itu bergerak dengan lambat sekali. Pedati-pedati yang ada di dalam iring-iringan itu tidak dapat dipaksa untuk bergerak lebih cepat.

“Kita akan bermalam sedikitnya tiga malam di perjalanan,” berkata salah seorang prajurit yang berjalan di samping Glagah Putih, sementara kuda Glagah Putih berjalan tanpa penunggang di sebelah pedati yang membawa bekal dan perlengkapan bagi para prajurit, dengan mengikat kendalinya pada tiang pedati.

“Apakah kita tidak akan dapat mencapai Demak pada hari ketiga, sehingga kita hanya bermalam dua malam di perjalanan?”

Prajurit itu menggeleng. Katanya, “Dengan menyarap seperti ini, kita tidak akan dapat mencapai Demak pada hari ketiga.”

“Kau sudah pernah ke Demak?” bertanya kawannya, seorang prajurit yang duduk di bibir pedati, justru menghadap ke belakang.

“Sudah. Aku sudah beberapa kali pergi ke Demak. Ada saudaraku tinggal di Demak. Ikut istrinya. Ist rinya memang berasal dari Demak.”

“Tetapi bekal kita cukup untuk lima hari, jika terpaksa.”

“Nanti di perjalanan pulang?” bertanya Glagah Putih.

“Kita mencari bekal di Demak.”

Dalam pada itu, matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggigit kulit. Udara di dalam pedati pun terasa panas pula, sehingga mereka yang menumpang pedati pun berkeringat pula, sebagaimana mereka yang langsung dipanggang oleh panasnya matahari.

Iring-iringan itu sendiri ternyata mendapat perhatian yang sangat besar, bukan saja oleh rakyat Mataram yang melepas kepergian Pangeran Puger dengan berjejal berdiri di pinggir jalan sampai ke gerbang kota, tetapi di padukuhan-padukuhan yang dilewati, iring-iringan itu juga mendapat perhatian dan besar. Tetapi karena penghuni padukuhan itu tidak tahu siapakah yang berada dalam iring-iringan itu, maka sebagian dari mereka pun telah bertanya kepada abdi Kepangeranan yang berada di depan.

“Kami mengantar Kanjeng Pangeran Puger yang akan pergi ke Demak.”

“Kanjeng Pangeran Puger?”

“Ya.”

Para penghuni padukuhan yang berdiri di sepanjang jalan induk padukuhan mereka itu pun segera berjongkok sambil menyembah, meskipun kadang-kadang nampak sangat canggung.

Menjelang tengah hari, iring-iringan itu pun berhenti tidak terlalu jauh dari sebuah padukuhan. Dua orang berkuda yang mendahului iring-iringan itu memang bertugas untuk mencari tempat yang pantas untuk berhenti.

Ketika mereka menemukan sebuah blumbang yang airnya bening di dekat sebuah padang rumput yang merupakan tempat yang baik untuk menggembalakan kambing dan kerbau, maka mereka pun memutuskan untuk mengusulkan tempat itu menjadi tempat untuk beristirahat. Mata air di dekat blumbang itu menjadi sangat berarti bagi mereka.

Para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi para pengawal, serta para abdi Kepangeranan yang juga bertugas, segera menjadi sibuk. Namun mereka adalah orang-orang terlatih, sehingga segera menyiapkan perapian serta menyalakan api. Membersihkan beras dan kemudian menanak nasi serta membuat lauk pauk.

Sementara itu, keluarga Pangeran Puger serta para abdi pun telah turun dari pedati, dan berlindung di bawah pepohonan yang rimbun di seputar blumbang itu. Bahkan Pangeran Puger itu tidak berkeberatan jika ada di antara mereka yang ingin mandi. Namun Pangeran Puger itu memperingatkan, “Kalian memang akan merasa segar jika mandi. Tetapi nanti jika kita meneruskan perjalanan, akan terasa semakin panas.” Meskipun demikian, ada pula di antara mereka yang mandi di blumbang yang airnya sejuk itu.

Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah berpencar di seputar blumbang itu. Mereka bertanggung jawab terhadap keselamatan mereka yang berada dalam iring-iringan itu.

Terik matahari yang berada di puncak langit, terasa semakin panas. Mereka yang duduk di bayangan pepohonan yang rimbun, justru menjadi terkantuk-kantuk. Angin yang semilir mengusap tubuh yang basah oleh keringat.

Di bawah sebatang pohon preh di sebelah mata air yang memancarkan air yang bening, mereka yang bertugas menyiapkan minuman dan makanan telah bekerja keras. Beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah ikut membantu mereka, sehingga kerja mereka menjadi semakin cepat selesai.

Ketika matahari mulai meluncur turun di sisi barat, maka mereka yang berada di dalam iring-iringan itu pun telah bersiap kembali. Mereka yang semula duduk di dalam pedati, telah berada di dalam pedati lagi. Yang berkuda segera menyiapkan kuda-kuda mereka. 

Sejenak kemudian, maka segala sesuatunya telah bersiap. Mereka yang bertugas telah menyimpan barang-barang yang baru saja mereka pergunakan. Justru telah dicuci bersih.

“Kita masih dapat maju beberapa ribu tonggak,” berkata Pangeran Puger kepada Ki Lurah Agung Sedayu pada saat iring-iringan itu akan bergerak.

“Hamba, Pangeran.”

“Kita akan berhenti lagi di saat senja turun. Kita akan berhenti semalam suntuk.”

“Hamba, Pangeran.”

“Nah, siapkan pasukanmu, Ki Lurah. Kita akan berangkat.”

Pangeran Puger pun kemudian memberikan perintah kepada Ki Lurah Adipraya untuk berangkat. Berkuda Ki Lurah Adipraya bergerak ke depan. Diperintahkannya para abdi kepercayaan Pangeran Puger untuk segera berangkat.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah bergerak lagi dengan susunan seperti semula. Beberapa orang abdi kepercayaan Pangeran Puger berada di paling depan. Pangeran Puger percaya, bahwa mereka memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit. Bahkan menurut pendapat Pangeran Puger, mereka mempunyai beberapa kelebihan dari prajurit kebanyakan. Selain kemampuan, maka kesetiaan mereka benar-benar dapat dibanggakan. Jika terjadi sesuatu, mereka tidak akan beranjak dari tempatnya sampai mereka tidak lagi mampu memberikan perlawanan dan terbaring diam. Karena itu, maka Pangeran Puger sengaja menempatkan mereka di paling depan.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu sama sekali tidak merasa tersinggung meskipun pasukannya diletakkan di bagian belakang dari iring-iringan itu. Jika pasukan itu mengalami hambatan, maka prajuritnya akan dapat bergerak dengan cepat, sementara para abdi kepercayaan Pangeran Puger dapat memberikan perlindungan sementara sampai para prajurit itu memasuki arena.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah bergerak maju. Beberapa orang yang duduk di dalam pedati, tidak lagi dapat menahan kantuk. Apalagi mereka yang sempat mandi di blumbang. Mata mereka menjadi sangat berat, sehingga beberapa saat kemudian, beberapa orang pun sudah tertidur.

Pangeran Puger sendiri masih duduk di punggung kuda. Tetapi kuda-kuda yang ada di iring-iringan itu pun berjalan selangkah demi selangkah. Nampaknya kuda-kuda itu justru mengeluh karena perjalanan yang sangat lamban itu.

Tetapi lembu yang menarik pedati tidak dapat berjalan lebih cepat.

Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Puger, iring-iringan itu memang sempat maju beberapa ribu patok. Namun ketika langit menjadi buram, maka dua orang berkuda harus mendahului iring-iringan itu untuk mendapatkan tempat beristirahat yang terbaik. Kedua orang berkuda itu ternyata tidak menemukan tempat yang sesuai, selain di bulak persawahan yang baru saja dituai. Batang padinya baru saja dipotong serta dibakar di tengah-tengah bulak.

Ketika keduanya menghadap dan memberikan laporan kepada Pangeran Puger, maka Pangeran Puger pun memerintahkan keduanya untuk menemui Ki Bekel padukuhan itu, agar tidak terjadi salah paham.

Ki Bekel terkejut ketika kedua orang abdi Pangeran Puger itu memberitahukan bahwa Pangeran Puger ingin berkemah di bulak yang padinya baru saja dituai.

“Pangeran Puger dari Mataram?”

“Ya, Ki Bekel.”

“Pangeran Puger akan pergi kemana, sehingga harus bermalam di perjalanan?”

“Pangeran Puger akan pergi ke Demak, untuk selanjutnya menjabat sebagai Adipati Demak.”

“Ki Sanak. Kenapa Pangeran Puger tidak bermalam di banjar saja? Meskipun banjar kami sangat sederhana, tetapi tentu lebih rapat daripada di bulak. Di banjar, Pangeran Puger agak terlindung oleh angin malam, yang kadang-kadang tidak bersahabat.”

“Terima kasih, Ki Bekel. Tetapi iring-iringan ini terdiri dari banyak orang. Selain Pangeran Puger sekeluarga, juga ikut serta para abdi serta dayang-dayang. Selain mereka, sepasukan kecil prajurit pengawal keluarga Pangeran Puger itu pula.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin Pangeran Puger serta keluarganya saja-lah yang bermalam di banjar padukuhan.”

Seorang dari kedua orang abdi yang menghadap itu menjawab, “Terima kasih Ki Bekel. Biarlah Kanjeng Pangeran Puger berada di antara keluarga serta para abdinya di perkemahan. Dinginnya angin malam tentu tidak akan terasa. Berkemah di tengah sawah dapat memberikan kegembiraan tersendiri.”

“Baiklah, jika itu yang dikehendaki.”

Dalam pada itu, para abdi pun segera membangun perkemahan di tengah-tengah sawah yang baru saja dituai itu. Beberapa pedati ditempatkan di empat penjuru. Kemudian digelari kain yang dijadikan dinding untuk menahan angin. Para putri serta dayang-dayang akan tidur di dalam pedati. Sedangkan yang lain akan menggelar tikar di antara pedati-pedati yang berada di empat penjuru itu.

Sementara itu, para prajurit pun bertebaran di sekitar perkemahan itu.

Malam itu, beberapa orang di antara mereka yang berada di perkemahan itu tidak dapat tidur. Meskipun sudah dibuat tabir dengan kain yang digelar, namun masih terasa dinginnya menyengat tulang. Nyamuknya merubungi telinga serta menggigit kulit dimana saja. 

Berbeda dengan mereka, para prajurit yang tersebar di mana-mana, yang tidak sedang bertugas, segera tertidur nyenyak. Glagah Putih pun sempat tidur pula bersama para prajurit yang bertugas untuk mempersiapkan makan dan minuman. Besok pagi-pagi buta, Glagah Putih pun akan ikut terbangun pula bersama para prajurit yang bertugas itu, karena mereka harus mempersiapkan makan pagi.

“Kita besok akan menyiapkan makan siang sekaligus,” berkata prajurit yang bertugas itu. “Besok siang, pada saat iring-iringan ini beristirahat, kita tinggal memanasinya sedikit.”

Tidak seperti pada saat mereka berhenti di siang hari, mereka tinggal mengambil air dari mata air yang jernih, saat itu mereka harus mengambil air di padukuhan.

Tetapi dengan pengalaman yang cukup, maka segala sesuatunya segera dapat diatasi.

Ketika malam menjadi semakin malam, serta oncor pun telah dinyalakan di beberapa tempat di perkemahan, maka Ki Bekel dan beberapa orang bebahu padukuhan itu telah datang menghadap Pangeran Puger, untuk mengucapkan selamat datang di padukuhan mereka. Selain para bebahu, maka penghuni padukuhan itu yang mendengar bahwa seorang Pangeran berkemah di sawah di sebelah padukuhan mereka, maka mereka pun berduyun-duyun pergi ke bulak untuk menonton perkemahan itu.

Bulak sawah yang biasanya gelap dan hanya diterangi oleh kerlap-kerlip kunang-kunang di malam hari, nampak menjadi terang. Tetapi orang-orang padukuhan itu tidak berani mendekat, karena dimana-mana bertebaran para prajurit yang berjaga-jaga.

Ki Bekel dan para bebahu tidak lama berada di perkemahan. Meskipun Pangeran Puger menerima mereka dengan ramah, tetapi nampak bahwa Pangeran Puger itu sudah letih dan ingin beristirahat.

Meskipun Ki Bekel dan para bebahu kemudian segera mohon diri, tetapi orang-orang padukuhan masih saja menonton perkemahan itu dari kejauhan. Pemandangan di tengah bulak itu terasa sangat menarik bagi mereka. Mereka belum pernah melihat meriahnya sebuah perkemahan. Apalagi perkemahan yang diselenggarakan oleh seorang Pangeran dalam sebuah perjalanan yang jauh. Baru lewat wayah sepi wong, orang-orang padukuhan itu satu demi satu pulang ke padukuhan.

Malam itu tidak terjadi sesuatu yang dapat mengganggu perjalanan Pangeran Puger. Sebelum matahari terbit, segala sesuatunya telah siap. Semua orang di dalam iring-iringan itu telah makan pagi serta minum minuman hangat. Seperti yang direncanakan, para prajurit yang bertugas menyediakan makan itu telah menyiapkan makan sekaligus buat siang nanti, jika mereka beristirahat.

Hari itu iring-iringan itu berjalan tanpa hambatan, selain kelelahan. Mereka tidak hanya beristirahat sekali. Tetapi dua kali, sebelum mereka mencari tempat berkemah di malam harinya.

“Kita masih harus bermalam semalam lagi di perjalanan,” desis seorang pimpinan kelompok dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu.

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “tetapi tidak apa-apa, asal kita selamat sampai ke Demak.”

“Perjalanan menjadi semakin lamban.”

“Ya. Di antara mereka yang berada di iring-iringan ini adalah para putri. Mereka tentu merasa sangat letih menempuh perjalanan ini. Meskipun ada di antara mereka yang masih sempat bergurau, tetapi tertawa mereka tidak lagi memancar bening.”

Pada malam kedua, iring-iringan itu justru berhenti di sebuah padukuhan yang besar. Di padukuhan itu tersedia sebuah banjar yang besar, yang tertata rapi, seakan-akan memang sudah disediakan untuk menginap Pangeran Puger serta keluarganya. Sebenarnya Pangeran Puger tidak berniat untuk berkemah di banjar itu. Yang akan mendapat tempat yang baik hanyalah Pangeran Puger dan keluarganya, sedang yang lain akan bertebaran di halaman dan kebun belakang.

Tetapi Ki Bekel yang dengan tergesa-gesa menyongsong iring-iringan itu berkata, “Tidak, Pangeran. Ada beberapa rumah yang dapat dipergunakan oleh para pengiring.”

Pangeran Puger termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada Ki Lurah Adipraya, maka Ki Lurah pun berkata, “Biarlah hamba melihat keadaannya lebih dahulu, Pangeran.”

“Baik. Lihatlah rumah-rumah yang dikatakan itu.”

“Hamba akan melihat-lihat bersama Ki Lurah Agung Sedayu.”

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Adipraya, Ki Lurah Agung Sedayu serta dua orang abdi yang lain, mengikuti seorang bebahu padukuhan itu untuk melihat-lihat rumah sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel itu. Empat buah rumah sudah dilihat. Rumah itu nampak bersih terawat. Bahkan agaknya terasa sangat bersih.

“Nah, biarlah para abdi bermalam di rumah-rumah itu. Bahkan jika masih kurang tempat, masih ada dua rumah yang lain yang dapat dipergunakan.”

Ki Lurah Adipraya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Pangeran Puger.”

“Kalian pun tidak usah sibuk menyediakan makan bagi Pangeran Puger dan para pengiringnya. Kami sudah menyiapkannya bagi kalian.”

“Terima kasih,” berkata Ki Lurah Adipraya, “Pangeran Puger akan sangat berterima kasih pula kepada kalian.”

Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Tetapi Ki Sanak, kami sudah membawa bekal serta juru masak. Ki Sanak serta para bebahu padukuhan ini tidak perlu terlalu sibuk untuk menyediakan makan bagi kami.”

“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Bahkan Kanjeng Pangeran Puger bersedia bermalam di padukuhan ini saja, merupakan satu kehormatan yang sangat tinggi bagi kami. Karena itu, mohon jangan menolak suguhan yang akan kami siapkan.”

“Tidak usah, Ki Sanak. Biarlah kami sediakan makan dan minum kami, termasuk Kanjeng Pangeran Puger.”

Ki Lurah Adipraya memandang Ki Lurah Agung Sedayu dengan kerut di dahi. Namun ia masih menyimpan pertanyaan yang bergetar di hatinya.

“Kenapa Ki Sanak menolak hidangan yang akan kami suguhkan?”

“Kami tidak menolak, Ki Sanak. Tetapi kami tidak akan mengganggu kalian dengan kesibukan-kesibukan seperti ini. Kami pun tidak sepantasnya mengambil sebagian dari persediaan makan kalian serta rakyat padukuhan ini.”

“Padukuhan ini adalah padukuhan yang terhitung berkecukupan. Di setiap rumah terdapat lumbung yang penuh berisi padi dan jagung.”

“Terima kasih. Tetapi biarlah kami menyediakan makan kami, atau tidak akan bermalam di padukuhan ini.”

Wajah bebahu itu menjadi tegang. Namun iapun kemudian berkata.,”Baiklah. Aku akan berbicara dengan Ki Bekel.”

Ketika kemudian mereka kembali menghadap Kanjeng Pangeran Puger, maka sambil berjalan Ki Lurah Adipraya itu pun bertanya, “Kenapa Ki Lurah menolak kebaikan hati rakyat padukuhan itu?”

“Aku tidak menolak kebaikan hati mereka, Ki Lurah Adipraya. Tetapi bagiku, mereka adalah orang-orang yang terlalu baik. Yang sudah menyediakan segala-galanya bagi kita di sini.”

“Bagiku kau orang yang aneh, Ki Lurah Agung Sedayu. Seharusnya kita sangat berterima kasih kepada mereka.”

Sebelum Agung Sedayu sempat menjawab, maka mereka telah menghadap Kanjeng Pangeran Puger.

“Bagaimana Ki Lurah Adipraya?” bertanya Kanjeng Pangeran Puger.

“Kanjeng Pangeran,” Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang menyahut, “menurut pendapat hamba, biarlah Kanjeng Pangeran, seluruh keluarga Kanjeng Pangeran, para dayang dan abdi seluruhnya, berada di banjar. Kemudian para prajurit serta para abdi pengawal akan berada di halaman depan, samping dan belakang dari banjar itu.”

“Bagaimana dengan beberapa buah rumah yang sudah disediakan itu?” bertanya Pangeran Puger.

“Rumah itu cukup baik, Kanjeng Pangeran. Tetapi menurut pendapat hamba, sebaiknya keluarga Kanjeng Pangeran serta para pengawal tidak terpencar-pencar.”

Kangjeng Pangeran Puger nampak ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku menurut petunjukmu, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Terima kasih atas perkenan Kanjeng Pangeran.”

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Kenapa Ki Sanak?” bertanya Ki Bekel, “Kami sudah dengan susah payah menyediakan tempat itu, tiba-tiba saja Ki Sanak telah menolaknya.”

“Sejak kapan kalian dengan susah payah menyediakan banjar serta beberapa buah rumah itu bagi Kanjeng Pangeran Puger, yang kalian ketahui akan lewat padukuhan ini?”

“Maksudku bukan sejak kapan. Tetapi kami pun telah dengan serta merta memilih rumah terbaik bagi penginapan para abdi dan pengawal Kanjeng Pangeran Puger.”

“Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi biarlah Kanjeng Pangeran, keluarga, dayang-dayang serta para abdi yang lain tetap berada di banjar. Demikian pula semua prajurit serta pengawal, akan berada di banjar dan sekitarnya.”

“Kami menunggu perintah Kanjeng Pangeran,” berkata Ki Bekel yang masih terhitung agak muda itu.

“Aku adalah prajurit yang mendapat perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrawati untuk mengamankan perjalanan Kanjeng Pangeran Puger,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Saudara-saudara kami yang telah menyediakan rumahnya bagi keluarga, para dayang dan abdi, tentu menjadi sangat kecewa, Kangjeng Pangeran.”

“Terima kasih atas kebaikan mereka. Tetapi menurut Ki Lurah Agung Sedayu, sebaiknya kami berada di satu tempat saja.”

“Ki Bekel,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “kami memang harus berhati-hati. Kami sama sekali tidak ingin menolak. Tetapi hanya demi keamanan keluarga Kanjeng Pangeran Puger. Ketahuilah, bahwa sesuatu yang tidak terduga akan dapat terjadi setiap saat. Karena itu, maka sebaiknya kami berhati-hati. Sekali lagi kami mohon maaf, bahwa kami tidak dapat mempergunakan tempat yang sudah disediakan itu.”

“Baiklah, Kanjeng Pangeran. Segala sesuatunya terserah kepada Kanjeng Pangeran.”

“Selain bahwa Kanjeng Pangeran Puger dan keluarganya akan berada di banjar, maka aku minta Ki Bekel tidak menyediakan makanan atau minuman bagi kami. Kami sudah mempunyai juru masak kami sendiri.”

“Agaknya Ki Lurah mencurigai kami,” desis Ki Bekel.

“Aku tidak mencurigai Ki Bekel. Tetapi mungkin sekali di luar pengetahuan Ki Bekel, ada orang berniat jahat. Itulah yang harus kami jaga.”

Sebenarnyalah, maka kemudian Kanjeng Pangeran Puger serta keluarganya telah ditempatkan di banjar padukuhan yang cukup besar dan ramai itu. Banjarnya pun cukup luas bagi Pangeran Puger serta seluruh keluarganya, termasuk para dayang-dayang dan abdinya Sedangkan semua pedati telah dimasukkan ke dalam halaman banjar yang luas itu. Bahkan pedati yang berisi bekal dan alat-alat dapur pun dapat termuat di halaman banjar itu. Ada bilik tertutup dan berpintu, ada ruang dalam yang terbuka, serta pendapa di bagian depan.

Keluarga Kanjeng Pangeran Puger, terutama para putri, berada di senthong yang tertutup itu. Yang lain, serta para dayang, berada di ruang dalam. Sedangkan para abdi berada di pendapa. Sekar Mirah dan Rara Wulan juga berada di pendapa bersama para abdi perempuan yang lain.

Sementara itu para abdi pengawal, sebagian berada di serambi samping kiri dan kanan. Empat orang bertugas di pendapa. Di halaman depan, samping dan belakang, bertebaran prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Kanjeng Pangeran Puger telah memerintahkan Ki Lurah Adipraya serta dua abdi pengawal yang terpercaya untuk berada di ruang dalam. Selain untuk menjaga keselamatan keluarganya, Pangeran Puger juga membutuhkan kawan untuk berbincang.

Dalam pada itu, para prajurit yang bertugas menyiapkan makanan dan minuman pun menjadi sibuk. Ki Lurah Agung Sedayu sendiri yang menilik air yang akan dipergunakan. Dengan mencicipi air itu, Ki Lurah akan dapat mengetahui, apakah air itu beracun atau tidak.

“Air ini kami ambil dari sumur di sebelah,” berkata prajurit yang bertugas mengambil air itu.

“Baik. Kau dapat mempergunakannya.”

Malam itu, keluarga Kanjeng Pangeran Puger mendapat tempat menginap lebih baik dari malam sebelumnya. Malam sebelumnya mereka tidur di bulak yang dingin. Di atas tanah yang keras dan sedikit gatal oleh tonggak batang padi yang kering. Sedangkan malam itu, mereka berada di banjar yang bersih dan hangat.

Setelah makan malam serta pergi ke pakiwan bergantian, maka para putri pun telah berada di dalam bilik di dalam banjar itu. Para dayang berada di ruang dalam, sementara para abdi yang lain berada di pendapa.

Kanjeng Pangeran Puger sendiri masih duduk di ruang dalam bersama Ki Lurah Adipraya serta dua orang kepercayaannya.

“Ki Lurah Agung Sedayu terlalu berhati-hati,” desis Ki Lurah Adipraya, “ia tidak berpikir bahwa sikapnya itu dapat menyakiti hati orang-orang padukuhan ini, sehingga pada kesempatan yang lain, orang orang padukuhan ini akan menjadi acuh tak acuh terhadap para priyagung yang lewat.”

“Ia seorang prajurit dari Pasukan Khusus, Ki Lurah,” berkata Pangeran Puger, “sikapnya yang sangat berhati-hati itu dapat dimengerti.”

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang terbaiknya untuk memencar di sekitar banjar.

“Kalian harus berada di halaman-halaman sebelah-menyebelah banjar ini. Usahakan untuk mengetahui jika ada gerakan apapun juga. Ingat, dalam keadaan yang paling gawat, orang-orang yang berniat buruk dapat menyebarkan sirep. Kalian adalah prajurit dari Pasukan Khusus, tahu caranya mengatasi sirep.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Pengamanan bagi iring-iringan ini memang lebih mudah dilakukan jika kita berkemah di tempat terbuka.”

“Ya, Ki Lurah. Di tempat terbuka pandangan kita lepas sampai jarak yang agak jauh.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Hati-hatilah. Yang kita pertanggung-jawabkan sekarang adalah keselamatan Kanjeng Pangeran Puger serta keluarganya.”

“Baik, Ki Lurah.”

Dalam pada itu, seorang abdi telah memberitahukan kepada Pangeran Puger, bahwa Ki Bekel dan beberapa orang bebahu telah datang untuk menghadap. Pangeran Puger pun kemudian keluar dari ruang dalam dan duduk di pringgitan banjar.

“Hamba mohon maaf, Kanjeng Pangeran, bahwa para pengiring harus berdesakan di banjar ini.”

“Tidak apa-apa, Ki Bekel. Mereka justru merasa lebih hangat berkumpul yang satu dengan yang lain. Mereka sempat berkelakar di antara mereka.”

“Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan, Kanjeng Pangeran. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu itu berkeberatan untuk menerimanya.”

“Jangan dipikirkan, Ki Bekel. Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang prajurit. Sikapnya pun sikap seorang prajurit pula.”

“Hamba, Pangeran. Hamba mohon jika ada sesuatu yang perlu, jangan segan-segan memberikan perintah kepada hamba atau para bebahu.”

“Semuanya sudah cukup, Ki Bekel. Tetapi baiklah, jika aku memerlukan sesuatu, maka aku akan memberitahukan kepada Ki Bekel.”

“Hamba serta rakyat padukuhan ini mengucapkan terima kasih atas kehormatan yang telah kami terima. Pangeran telah bersedia bermalam di padukuhan kami.”

Kanjeng Pangeran Puger tersenyum. Katanya, “Kami-lah yang harus mengucapkan terima kasih, Ki Bekel.”

Untuk beberapa lama Ki Bekel masih duduk bersama Pangeran Puger di pringgitan. Namun kemudian Ki bekel itu pun berkata, “Silahkan Pangeran beristirahat. Kami mohon diri. Tetapi sekali lagi hamba sampaikan kepada Pangeran, jika Pangeran menghendaki sesuatu, hamba mohon Pangeran memberikan perintah kepada hamba atau kepada bebahu yang lain. Salah seorang di antara kami akan berada di rumah sebelah, Pangeran.”

“Terima kasih atas kebaikan Ki Bekel serta para bebahu.”

Sejenak kemudian, Ki Bekel dan para bebahu itu pun meninggalkan pringgitan, melintasi halaman di antara beberapa buah pedati. Ada yang kosong, tetapi ada yang berisi beberapa buah peti yang diselubungi dengan kain berwarna hitam. Di pedati yang berisi beberapa buah peti itu, dua orang abdi pengawal duduk terkantuk-kantuk.

Namun di pedati yang berada di sebelahnya, dua orang yang lain berjaga-jaga pula.

“Selamat malam, Ki Sanak,” sapa Ki Bekel yang lewat di sebelah pedati itu.

“Selamat malam, Ki Bekel,” jawab keempat orang itu hampir berbareng.

“Kenapa Ki Sanak tidak naik ke pendapa banjar? Bukankah tempatnya masih cukup lapang?”

Seorang di antara keempat orang itu menjawab, “Di sini malah lebih hangat, Ki Bekel. Kami alasi pedati ini dengan dami di bawah tikar kami. Lunak dan hangat.”

Ki Bekel tertawa. Katanya, “Ya. Tetapi tentu sedikit gatal.”

“Setelah terbiasa, kami tidak merasa gatal lagi, Ki Bekel.”

Ki Bekel itu tertawa. Namun iapun kemudian meneruskan langkahnya menuju ke regol halaman banjar yang luas itu.

Di sebelah regol ia melihat dua orang prajurit yang bertugas. Kepada mereka Ki Bekel itu pun menyapa pula, “Selamat malam, Ki Sanak.”

“Selamat malam,” jawab kedua orang prajurit itu

“Tugas kalian tidak terlalu berat di sini, Ki Sanak,” berkata Ki Bekel, “padukuhan ini adalah padukuhan yang aman. Bahkan jika kalian tertidur pun, tidak akan ada orang yang mengusik tempat ini.”

“Syukurlah jika padukuhan ini aman, Ki Bekel. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat tidur. Bahkan tidak bertugas pun kami kadang-kadang tidak dapat tidur.”

“Kenapa?”

“Entahlah, Ki Bekel. Kami memang dilahirkan sebagai orang yang sulit tidur.”

Ki Bekel tertawa. Katanya kemudian, “Selamat malam, Ki Sanak.”

Ki Bekel pun kemudian telah meninggalkan banjar padukuhan yang luas, di tengah-tengah halaman yang luas pula.

Ki Lurah Agung Sedayu yang berada di antara pedati-pedati yang berada di halaman itu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun mendekati kedua orang-prajurit yang berada di sebelah regol halaman sambil berdesis, “Berhati-hatilah.”

“Ya, Ki Lurah.”

Malam pun menjadi semakin malam. Di langit yang cerah bintang nampak berkedipan. Selembar awan tipis bergerak di dorong oleh angin mengalir ke utara.

Ki Lurah Agung Sedayu duduk di bagian belakang banjar itu. Glagah Putih yang berada di antara para prajurit yang bertugas menyiapkan bekal dan perlengkapan itu pun mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

“Malam terasa sangat sepi,” desis Glagah Putih.

“Apakah para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum itu sudah tidur?”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Sudah, Kakang. Besok mereka harus bangun pagi-pagi sekali menyiapkan makan pagi. Tetapi seperti kemarin, mereka sekaligus akan menyiapkan makan siang. Sehingga saat kita beristirahat, mereka tidak terlalu banyak yang harus dikerjakan, sehingga mereka dapat ikut beristirahat pula.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Kau bawa tongkat baja putih mbokayumu?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Ya, Kakang. Mbokayu Sekar Mirah menitipkannya kepadaku.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Glagah Putih, biarlah malam ini tongkat itu ada pada mbokayumu. Besok pagi kau dapat membawakannya lagi.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam iapun bertanya, “Kakang mendapat firasat buruk?”

“Mungkin hanya sekedar kecurigaan. Tetapi ada baiknya kita berhati-hati.”

“Aku pun merasakan sepinya malam ini.”

Glagah Putih pun kemudian pergi ke pendapa untuk menemui Sekar Mirah.

Ternyata Sekar Mirah masih duduk bersandar tiang pendapa ketika Glagah Putih menemuinya. Rara Wulan berbaring di sebelahnya Tetapi Rara Wulan pun masih belum tidur pula. Sementara itu, para abdi yang berada di pendapa itu sudah tidur pulas. Nampaknya mereka merasa sangat letih, sehingga mereka dengan cepat tertidur nyenyak.

“Ada apa, Glagah Putih?” bertanya Sekar Mirah.

“Kakang Agung Sedayu berpesan agar malam ini aku menyerahkan tongkat Mbokayu.”

“Kenapa?”

“Entahlah. Tetapi agaknya ada firasat agar kita berhati-hati malam ini.”

Sekar Mirah mengangguk. Diterimanya tongkat baja putihnya yang berada di dalam sarung kulit.

“Kakang Agung Sedayu juga berpesan kepada prajurit-prajuritnya agar mereka mewaspadai kemungkinan adanya sirep di banjar ini.”

“Sirep?”

“Ya, Mbokayu.”

“Kau dengar, Rara?” desis Sekar Mirah.

“Itukah sebabnya aku merasa mengantuk sekarang?”

“Tentu belum sekarang,” sahut Sekar Mirah, “tetapi baiklah. Kita harus mengatasinya jika benar ada kekuatan sirep yang dihembuskan ke banjar ini.”

“Tetapi aku ingin berbaring saja dahulu sampai kita benar-benar merasakan pengaruh sirep itu.”

“Kau akan tertidur sebelum pengaruh sirep itu benar-benar terhembus ke banjar ini. Jika itu yang terjadi, maka diperlukan waktu sehari semalam untuk membangunkanmu,” berkata Glagah Putih.

“Tentu tidak,” jawab Rara Wulan sambil bangkit duduk, “aku tahu caranya melawan pengaruh sirep.”

“Bukankah aku sekarang tidak sedang tidur?”

“Sst, sudahlah. Nanti seisi banjar itu terbangun.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Nah, kau lebih baik duduk daripada berbaring.”

Tetapi Rara Wulan justru telah menjatuhkan dirinya lagi di sisi Sekar Mirah.

Sekar Mirah pun tertawa. Katanya, “Sudahlah. Tinggalkan kami, Glagah Putih. Ia tidak akan tertidur. Jika matanya terpejam, aku akan menggelitiknya.”

Glagah Putih pun kemudian meninggalkan mereka kembali ke belakang. Didapatinya Agung Sedayu masih duduk di tempatnya. Tetapi seorang prajuritnya duduk di sebelahnya.

“Dengar, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu setelah Glagah Putih duduk di sebelahnya, “dua orang prajurit melihat bayangan bergerak di kegelapan. Namun kemudian bayangan itu telah menghilang. Karena itu, kita harus menjadi lebih berhati-hati.”

“Ya, Kakang.”

“Sebentar lagi kita akan sampai ke pertengahan malam, Ki Lurah,” berkata prajurit itu.

“Ya. Peringatkan para prajurit yang bertugas, agar mereka tidak menjadi lengah.”

“Baik, Ki Lurah.”

Prajurit itu pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu, memasuki gelapnya malam.

Sebenarnyalah sebentar kemudian terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk. Agaknya suara kentongan yang ada di rumah Ki Bekel. Suaranya bergaung memenuhi seluruh padukuhan.

“Biasanya kentongan di banjar ini tentu juga dibunyikan di tengah malam begini,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Tetapi karena malam ini Kanjeng Pangeran Puger ada di sini, maka yang dibunyikan adalah kentongan di rumah Ki Bekel.” Agung Sedayu pun berhenti sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi bunyi kentongan itu dapat juga menjadi aba-aba.”

“Ya. Agaknya memang demikian.”

Keduanya pun terdiam. Mereka menunggu apa yang akan terjadi. Tetapi bagi mereka berdua, malam itu menjadi semakin asing.

Sebenarnyalah, beberapa saat setelah suara kentongan yang memberikan pertanda waktu bahwa malam telah sampai ke puncaknya itu tidak terdengar lagi gaungnya, maka terasa angin malam bertiup perlahan-lahan melintas di atas banjar itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih masih duduk di belakang banjar. Sementara suasana di banjar itu pun menjadi semakin hening. Angin masih terasa menyentuh kulit, menyusup bersama tarikan nafas masuk ke dalam rongga paru-paru di dada.

Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Itulah sebabnya, maka iapun menjadi sangat peka terhadap ilmu yang menyentuhnya. Karena itu, ketika terasa angin yang bertiup itu menjadi semakin tajam mengusap tubuhnya serta terhirup lewat pernafasannya, maka iapun berdesis kepada Glagah Putih, “Kau rasakan angin yang semilir sejuk ini, Glagah Putih?”

“Ya, Kakang.”

“Kau rasakan, sesuatu yang hanyut bersama tiupan angin ini, Glagah Putih?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Kakang. Kecurigaan Kakang bukan sekedar sikap hati-hati seorang prajurit. Tetapi firasat Kakang memang sangat tajam. Aku mulai merasakannya, Kakang..”

“Kita harus mulai bertindak sekarang. Jangan terlambat.”

“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Kakang?”

“Hubungi mbokayumu dan Rara Wulan. Biarlah mereka pun mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan buruk ini,” katanya selanjutnya. “Aku menunggu prajurit penghubung yang sebentar lagi tentu akan merasakan pula pengaruh sirep ini. Orang itu sudah berlatih secara khusus untuk mengatasi sirep yang bagaimanapun tajamnya.”

Ketika Glagah Putih bangkit, ia melihat seorang prajurit datang menemui Agung Sedayu.

“Ki Lurah,” berkata prajurit itu, “apakah benar tanggapanku atas tiupan angin malam ini?”

“Sirep ”

“Ya.”

“Kau benar. Siapkan kawan-kawanmu. Mereka harus berjuang melawan sirep ini. Tetapi jangan berbuat apa-apa, agar mereka yang menaburkan sirep ini menduga bahwa sirep mereka berpengaruh terhadap kita.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Aku akan ke halaman depan..”

Demikianlah, maka prajurit penghubung itu segara menghubungi kawan-kawannya, agar mereka bersiap menghadapi pengaruh sirep yang agaknya mulai ditebarkan ke banjar. Sementara itu Glagah Putih dan Agung Sedayu pun telah pergi ke halaman depan. Glagah Putih langsung pergi ke pendapa untuk menemui Sekar Mirah dan Rara Wulan.

“Kau terlambat, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Apa yang terlambat?”

“Kau tentu akan membangunkan aku karena kau memerlukan waktu sehari semalam. Kau tentu akan memberitahu bahwa telah ditiupkan sirep ke banjar ini. Ternyata aku sudah bangun sekarang, dan aku pun telah tahu bahwa sirep itu telah menebar di banjar ini.”

Glagah Putih dan Sekar Mirah tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putih berkata, “Syukurlah jika aku tidak usah membangunkan kau sehingga memerlukan waktu sehari semalam.”

“Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “aku ingin melihat, apakah Ki Lurah Adipraya dan pengawal yang lain yang ada di dalam itu masih terjaga.”

“Baiklah. Tetapi Kakang minta agar kita memberikan kesan seakan-akan sirep itu mampu mencengkam kita.”

“Bagaimana dengan para prajurit?”

“Mereka mempunyai kemampuan untuk mengatasi sirep. Mereka sudah tahu bahwa telah dihembuskan sirep ke banjar ini.”

“Syukurlah.”

Sekar Mirah pun kemudian merayap ke pintu pringgitan. Perlahan-lahan ia membuka pintu pringgitan itu.

Ternyata Ki Lurah Adipraya pun telah tertidur di antara kedua orang pengawal yang lain.

Dengan cepat Sekar Mirah menemui Glagah Putih yang masih berada di pendapa. Katanya, “Beritahu kakakmu, bahwa Ki Lurah Adipraya pun telah tertidur..”

“Kenapa Mbokayu tidak membangunkannya?”

“Aku tidak begitu dikenal. Nanti akan dapat timbul salah paham. Biarlah kakangmu saja yang membangunkan.”

Glagah Putih pun segera turun ke halaman. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berada di halaman.

Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu berada di dekat pedati yang berisi beberapa buah peti serta diselubungi kain hitam itu. Ia sedang menugaskan dua orang prajurit untuk membangunkan empat orang pengawal yang tertidur.

“Sentakkan mereka lewat ibu jari kakinya. Bukankah kalian dapat melakukannya?”

“Ya, Ki Lurah.”

Namun Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Tetapi dua orang yang bertugas di regol itu tertidur, Kakang.”

“Mereka tidak tidur. Aku baru berbicara dengan mereka.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Namun Glagah Putih itu pun berkata, “Kakang. Menurut Mbokayu Sekar Mirah, Ki Lurah Adipraya justru telah tertidur.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Ki Lurah Adipraya tidak menaruh kecurigaan apa-apa, sehingga ia menjadi kurang berhati-hati. Jika saja ia mendapatkan firasat buruk dan berjaga-jaga, maka ia tentu akan dapat menghindari pengaruh sirep itu.”

“Mbokayu minta Kakang membangunkannya.”

“Kenapa mbokayumu tidak membangunkannya sendiri?”

“Mbokayu takut terjadi salah paham.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik. Aku akan masuk ke ruang dalam banjar itu.”

Setelah memberikan pesan kepada prajuritnya yang berada di halaman depan, maka Agung Sedayu pun segera masuk lewat pintu pringgitan. Ki Lurah Agung Sedayu pun segera masuk lewat pintu pringgitan. Namun, demikian ia membuka pintu dan melangkah masuk, Agung Sedayu pun segera berjongkok.

“Kanjeng Pangeran belum tidur?”

“Belum, Ki Lurah. Aku justru merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya.”

“Sirep, Pangeran. Hamba datang untuk membangunkan Ki Lurah Adipraya serta kedua pengawal yang lain.”

“Ternyata mereka tidak setangguh para prajurit dari Pasukan Khusus.”

“Bukan karena itu, Pangeran. Tetapi karena Ki Lurah Adipraya sama sekali tidak menaruh curiga, sehingga Ki Lurah tidak bersiap menghadapi kemungkinan ini.”

Kanjeng Pangeran Puger mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apa sebenarnya yang membuat kau curiga, Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Penerimaan yang terlalu baik dengan persiapan yang sangat cermat, Kanjeng, Aku pun curiga, bahwa yang disebut Ki Bekel itu bukan Ki Bekel yang sebenarnya. Demikian pula para bebahu itu.”

“Lalu dimana Ki Bekel dan bebahu yang sebenarnya?”

“Mungkin mereka justru telah disekap dan ditawan.”

“Baik. Sekarang bangunkan Ki Lurah Adipraya.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memijit ibu jari Ki Lurah Adipraya. Sebuah getar yang panas telah mengalir menusuk nadi Ki Lurah Adipraya, sehingga iapun segera terbangun. Ki Lurah Adipraya itu terkejut ketika ia melihat Kanjeng Pangeran Puger berdiri di muka pintu bilik sambil memegang sebatang tombak pendek yang sudah dilepas dari selongsongnya.

“Ki Lurah tidur nyenyak,” berkata Kanjeng Pangeran Puger.

“Ampun, Pangeran, bukankah tidak terjadi apa-apa?”

(ada halaman yang hilang)

“Hamba, Pangeran. Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Aku yakin bahwa Ki Lurah Agung Sedayu pun menjadi lebih berhati-hati karena suara burung hantu itu.”

Sebenarnyalah dua orang penghubung telah menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Mereka telah melihat dari halaman di sebelah barat halaman banjar, gerakan beberapa orang melingkari halaman sebelah.

“Bagaimana dengan kawan-kawanmu?”

“Semuanya sudah siap, Ki Lurah. Beberapa orang berada di luar dinding halaman banjar.”

“Yang di luar jangan bertindak. Biarlah mereka masuk lebih dahulu. Agaknya usaha kita menangkap mereka akan menjadi lebih mudah.”

“Baik, Ki Lurah.”

Dua orang penghubung itu pun kemudian merayap kembali menghubungi kawan-kawannya yang berada di luar dinding, agar mereka menyibak dan tidak mengganggu orang-orang yang akan memasuki dinding halaman banjar.

Dalam pada itu, semua prajurit telah terbangun, termasuk para prajurit yang bertugas mengurusi bekal dan perlengkapan, serta para prajurit yang harus mempersiapkan makan dan. minum bagi para prajurit dari Pasukan Khusus.

“Aku masih mengantuk sekali,” berkata seorang di antara para prajurit yang harus mempersiapkan makan dan minum itu.

“Dengar, kau terkena pengaruh sirep.”

“Alangkah nikmatnya tidurku. Aku belum pernah tidur senyenyak sekarang ini, meskipun aku tidur di pedati bercampur dengan karung beras.”

“Kau kena sirep,” desis kawannya sambil menarik telinganya.

“He?”

“Kau harus berusaha melawan sirep. Bukan justru menikmatinya.”

“Apakah kau tidak dapat tidur, sehingga kau menjadi iri dan mengganggu tidurku yang nyenyak?”

“Dengar,” kawannya melekatkan mulutnya di telinga kawannya, “mereka telah datang merayap memasuki halaman banjar ini. Ada yang meloncati dinding belakang. Jika kau tidak terbangun, maka jantungmu akan ditusuk. Tidak dengan tombak atau pedang, tetapi dengan ujung bambu yang diruncingkan.”

“Ha?” orang itu baru membuka matanya, “Ada apa?”

“Bangun dan sadari apa yang terjadi.”

Namun sejenak kemudian, orang itu telah sadar sepenuhnya. Dengan kemauan keras, ia berhasil mengatasi pengaruh sirep.

“Kita harus mempertahankan semuanya yang kita pertanggungjawabkan.”

“Ya. Tidak boleh sebutir beras pun jatuh ke tangan mereka.”

“Mereka tidak membutuhkan berasmu. Tetapi mereka membutuhkan perhiasan yang dipakai oleh para putri serta yang ada di dalam peti itu.”

“Bukankah peti itu sudah dijaga oleh para prajurit yang bertugas?”

“Ya.”

“Dimana Glagah Putih?”

“Ada di halaman depan.”

Prajurit-prajurit itu pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka tahu bahwa di halaman belakang banjar itu bertebaran prajurit dari Pasukan Khusus. Demikian pula di halaman samping dan halaman depan.

Selain para prajurit dari Pasukan Khusus, para abdi pengawal Pangeran Puger pun tentu sudah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah pada abdi yang memiliki kemampuan seorang prajurit, yang mempunyai landasan kesetiaan yang sangat tinggi, di bawah pimpinan Ki Lurah Adipraya.

Glagah Putih masih tetap berada di sela-sela pedati yang berada di halaman depan. Sekali-sekali ia memikirkan para prajurit yang bertugas menyiapkan makan dan minum. Di sepanjang perjalanan, seakan-akan ia tidak terpisah dari mereka.

“Mereka tentu sudah bersiap-siap di sekitar pedati mereka yang ada di halaman belakang banjar ini,” berkata Glagah Putih dalam hatinya. Pedati terutama yang membawa bekal dan perlengkapan kemudian memang telah ditarik ke halaman belakang.

Beberapa saat para prajurit dan para pengawal itu menunggu. Mereka sama sekali tidak menunjukkan kesibukan serta memamerkan kemampuan mereka mengatasi sirep yang dihamburkan ke banjar itu. Mereka justru berusaha untuk diduga, bahwa seisi banjar itu sudah tertidur nyenyak.

Dalam pada itu, di ruang dalam, Kanjeng Pangeran Puger telah berusaha tidak terkejut jika terjadi sesuatu. Meskipun agak kesulitan, namun akhirnya Pangeran Puger dapat membangunkan beberapa orang putri dan memberitahukan keadaan yang sedang menyelimuti banjar itu.

“Jangan takut,” berkata Pangeran Puger, “di sekitar kita ada para pengawal serta para prajurit dari Pasukan Khusus, yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu.”

Para putri itu memang menjadi tenang. Namun seorang di antara mereka pun bertanya, “Bagaimana dengan para dayang dan para abdi perempuan yang berada di pendapa?”

“Biar saja mereka tidur nyenyak. Para pengawal akan melindungi mereka.”

“Dimana para pengawal sekarang?”

“Di serambi sebelah menyebelah.”

“Bagaimana dengan peti-peti pusaka itu?”

“Bukankah sudah ada yang bertugas menjaganya?”

Putri itu pun mengangguk-angguk kecil. Namun di wajah para putri itu masih juga membayang kegelisahan meskipun mereka tetap bersikap tenang.

Beberapa saat kemudian, suasana di banjar itu benar-benar menjadi hening. Semuanya nampak diam. Angin yang berhembus pun telah menjadi diam pula.

Pada saat itulah, orang-orang yang mengembuskan sirep ke banjar itu merasa bahwa usaha mereka telah berhasil. Dua tiga orang yang menyusup masuk ke halaman banjar lewat regol butulan di dinding halaman belakang yang sengaja masih terbuka sejak sore hari, tidak melihat seseorang yang masih bergerak di halaman belakang. Mereka pun merayap semakin dalam. Namun segala sesuatunya bagaikan sudah tertidur.

Ketika orang-orang itu sampai di halaman depan, mereka melihat dua orang prajurit duduk bersandar regol halaman. Kepalanya tertunduk. Tombaknya bersandar dinding.

“Nampaknya prajurit itu tertidur,” desis salah seorang dari mereka yang menyusup itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Ketika mereka bergerak lagi, mereka melihat pula dua orang prajurit yang bersandar sudut dinding halaman, Demikian saja mereka duduk di atas tanah yang lembab.

Seorang di antara orang-orang yang menyusup itu pun kemudian memberi isyarat untuk melihat-lihat di antara pedati yang berhenti di halaman. Orang itu melihat dua orang prajurit tertidur bersandar roda pedati.

“Sirep Kiai Sanggawisa benar-benar tajam,” desis seorang di antara orang-orang yang menyusup itu. Namun kawannya segera memberinya isyarat untuk berdiam diri.

Ketika ketiga orang itu kemudian bergerak di sebelah pendapa, mereka melihat para abdi yang tertidur nyenyak. Sebenarnyalah bahwa mereka memang tertidur, kecuali Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun keduanya juga berbaring di antara para abdi yang tertidur itu.

“Bawa salah seorang dari perempuan-perempuan itu,” desis seorang di antara mereka yang menyusup itu.

“Sst,” desis kawannya.

“Tetapi tentu ada di antara kita yang akan membawanya. Bahkan mungkin tidak hanya satu dua.”

Kawannya yang lain berdesis, “Bodoh. Di halaman ada beberapa orang putri. Jika ada yang ingin membawa, bawa saja yang ada di dalam.”

“Ssst,” desis kawannya pula.

Orang-orang itu pun kemudian kembali ke halaman belakang. Mereka melihat kaki beberapa orang prajurit terjulur dari beberapa pedati yang berisi bekal dan peralatan.

“Mereka juga tertidur nyenyak.”

Namun mereka tidak sempat melihat beberapa orang prajurit yang justru berlindung di balik semak-semak di kebun belakang, yang tidak merasakan gatalnya nyamuk yang menggigit kulit mereka. Tetapi para prajurit itu tidak berbuat apa-apa. Mereka membiarkan orang-orang itu mempersiapkan isyarat yang akan mereka berikan kepada kawan-kawan mereka yang masih berada di luar halaman.

Orang-orang yang sudah berada di halaman belakang itu tidak lagi mempergunakan suara burung untuk memberikan isyarat kepada kawan-kawan mereka. Karena mereka yakin bahwa orang-orang yang berada di banjar termasuk halaman dan kebunnya sudah tertidur nyenyak, maka seorang di antara mereka langsung membuka dua pintu butulan pada dinding kebun belakang yang menghadap sebuah lorong kecil di ujung kanan dan kiri.

Pada saat itu pula, beberapa orang telah menyusup masuk ke kebun belakang, sementara seorang di antara mereka memberikan perintah, “Yang lain masuk lewat regol halaman depan. Para prajurit di halaman depan juga sudah tertidur nyenyak.”

Pada saat itulah, para prajurit dari Pasukan Khusus yang tersebar itu mempersiapkan diri. Sejenak lagi mereka akan menyergap orang-orang yang telah memasuki kebun dan halaman banjar itu.

“Panggraita Ki Lurah Agung Sedayu memang tajam sekali,” berkata para prajurit itu dalam hatinya.

Dalam pada itu, beberapa orang telah memasuki regol halaman depan. Namun mereka belum berbuat apa-apa. Meskipun mereka melihat prajurit yang tidur bersandar regol, namun sebelum ada aba-aba dari pemimpin mereka, mereka masih belum berbuat apa-apa.

Para prajurit itu pun kemudian menyadari, bahwa orang yang berniat jahat itu jumlahnya cukup banyak. Mereka sudah melihat para prajurit yang mengawal Kanjeng Pangeran Puger. Karena itu, maka mereka datang ke banjar dengan jumlah yang memadai. Menurut perhitungan mereka, mereka mempunyai keuntungan sempat menyerang lebih dahulu pada saat para prajurit itu masih tertidur.

Dalam beberapa saat, orang-orang yang berniat jahat itu telah berada di halaman. Mereka mulai menebar dan mengepung banjar itu. Yang lain mempersiapkan diri untuk menguasai beberapa pedati yang dianggapnya memuat benda-benda berharga, karena benda-benda berharga itu tidak diturunkan dan disimpan di banjar yang cukup luas itu.

Namun yang tidak mereka perhitungkan telah terjadi. Karena para prajurit dari Pasukan Khusus itu juga bertebaran, tanpa disengaja seseorang telah menyentuh tubuh seorang prajurit yang berada di antara semak-semak. Prajurit yang sebenarnya tidak tertidur itu tidak sempat mengelak. Karena itu dibiarkannya kakinya terinjak. Sementara prajurit itu justru bersandar pohon perdu sambil memejamkan matanya.

“Setan,” geram orang itu.

“Ada apa?” bertanya kawannya

“Ada yang tidur di sini.”

“Tikam saja jantungnya. ”

“Belum ada aba-aba.”

“Bukankah orang itu tidak akan sempat mengaduh? Ia akan tidur panjang dan tidak akan bangun lagi.”

“Aku menunggu perintah.”

“Biarlah aku yang menikam jantungnya.”

Namun sebelum orang itu melangkah mendekat, seorang lagi berkata, “Di sini juga ada prajurit yang tertidur.”

“Tentu yang lain berserakan di kebun itu. Nah, kita tusuk mereka satu demi satu. Pada saat jatuh perintah, maka lawan kita sudah tinggal sedikit..”

“Mereka tidak akan sempat bangun,” desis yang lain, “kita tunggu saja perintah.”

“Apa salahnya? Biarlah aku yang melakukannya. Aku akan menikamnya dengan tombak pendekku seperti aku melubangi tanah dengan dahan kayu untuk menanam kacang di sawah.”

Prajurit yang berpura-pura tidur itu menjadi berdebar-debar. Namun tentu saja ia tidak akan membiarkan dadanya dilubangi. Jika orang itu benar-benar akan menikamnya, maka ia harus melawan. Apalagi prajurit itu yakin bahwa kawan-kawannya semua sudah bersiap kapan saja pertempuran itu akan dimulai.

Ternyata orang yang akan menikam jantung itu tidak sekedar berbicara. Iapun mendekati seorang prajurit yang bersandar pohon perdu itu sambil berkata, “Maaf, Ki Sanak. Aku bantu membuat tidurmu nyenyak selamanya.”

Namun orang itu terkejut ketika tiba-tiba kaki prajurit itu menyapu kakinya sehingga orang itu terpelanting jatuh. Terdengar orang itu berteriak karena terkejut. Namun ketika ia berusaha untuk meloncat bangkit, maka sebilah pedang telah terayun ke pundaknya. Tombak pendek di tangannya terlepas. Luka pun segera menganga. Teriakannya itu sangat mengejutkan. Bukan saja kawan-kawannya, tetapi juga para prajurit yang berpura-pura tidur.

Karena itu, maka keributan pun segera terjadi di kebun belakang. Sebelum terdengar aba-aba, maka benturan senjata telah terjadi. Dalam pada itu, salah seorang pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus telah meneriakkan perintah pada anak buahnya untuk segera bangkit dan menyergap orang-orang yang telah memasuki halaman belakang. Pemimpin kelompok itu tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu iapun yakin bahwa segala-galanya telah dipersiapkan dengan baik.

Perintah yang diberikan oleh pemimpin kelompok itu telah disahut oleh pemimpin kelompok yang lain, yang ada di halaman samping. Kemudian oleh pemimpin-pemimpin kelompok lainnya pula.

Pada saat itu Ki Lurah Agung Sedayu berada di dalam sebuah pedati yang tidak terlau jauh dari pedati yang memuat peti-peti dan diselubungi dengan kain hitam itu. Agung Sedayu sendiri memperhitungkan, bahwa sasaran utama dari serangan itu adalah benda-benda berharga yang berada di dalam peti-peti itu. Namun Ki Lurah Agung Sedayu masih menduga-duga, apakah gerombolan ini ada hubungannya dengan Ki Saba Lintang.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu mendengar aba-aba dari para pemimpin kelompok, maka iapun segera tanggap. Tentu sesuatu yang tidak direncanakan telah terjadi. Ki Lurah pun telah mengira, bahwa orang-orang yang memasuki halaman banjar itu ada yang menginjak, atau kakinya terantuk salah seorang prajuritnya, sehingga benturan senjata telah terjadi sebelum saat yang telah mereka tentukan sebelumnya.

Dengan demikian, maka para prajurit yang berpura-pura tidur pun segera bangkit. Yang berada di regol, di sudut-sudut halaman, yang bersandar roda pedati dan yang tersebar dimana-mana, segera mempersiapkan diri. Bahkan para prajurit yang berada di luar dinding halaman banjar, telah berada di pintu regol halaman depan dan regol-regol butulan. Yang terjadi itu sangat mengejutkan orang-orang yang telah memasuki halaman dan kebun banjar itu. Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa mereka telah terjebak dalam lingkungan dinding halaman dan kebun banjar.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun segera berlari dan naik ke pendapa banjar. Sementara itu para abdi perempuan masih tertidur nyenyak. Bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan pun masih berbaring pula di antara para abdi itu.

“Dengarkan aku, Ki Sanak, saudara-saudaraku yang berniat buruk yang telah memasuki halaman dan kebun banjar ini.” Ki Lurah berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Mumpung belum terjadi kekerasan, marilah kita berbicara dengan baik. Kita akan dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa menumpahkan darah.”

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu terdiam, maka suasana pun menjadi hening pula. Tidak ada yang menyahut. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata pula, “Masih ada kesempatan untuk berbicara.”

Namun kemudian terdengar suara di antara penjaga pedati yang berada di halaman, “Tidak ada pembicaraan apa-apa, Ki Lurah. Kami akan mengambil semuanya yang kami inginkan. Kami sedang memerlukan banyak dana untuk, membangun kembali perguruan kami.”

“Bukankah kau yang mengaku sebagai Bekel padukuhan ini?”

“Ya. Aku tidak akan ingkar. Aku sudah mempersiapkan orang-orangku dengan baik. Bahkan seandainya sirep kami tidak berhasil sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Tetapi jangan mengira bahwa kami bergantung kepada keberhasilan sirep kami. Tanpa sirep, kami akan menghancurkan kalian semuanya, jika kalian tidak membiarkan kami membawa semua pedati dan barang-barang berharga serta perhiasan para putri yang ada di ruang dalam itu.”

“Ki Sanak. Perguruan apa yang akan kalian bangun itu?”

“Perguruan Kedung Jati.”

“Jadi kalian ini para pengikut Ki Saba Lintang?”

“Kami bukan pengikut Ki Saba Lintang. Tetapi kami adalah murid-murid dari perguruan yang sama.”

“Aku sudah jemu mendengar pengakuan itu, Ki Sanak. Sekelompok perampok, segerombolan penyamun, orang-orang yang tidak mempunyai tujuan selain membuat keonaran, semua mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Kalian telah berselubung nama perguruan itu untuk melakukan kejahatan dimana-mana.”

“Persetan dengan tuduhanmu itu, Ki Lurah. Tetapi aku datang dengan orang yang jauh lebih banyak dari orang-orangmu.”

“Tetapi orang-orangku jauh lebih baik dari orang-orangmu, Ki Sanak. Jika kau tidak berusaha menghindari benturan bersenjata, maka mayat akan berserakan di halaman dan di kebun banjar ini.”

“Ternyata pengalamanmu menghadapi kekuatan di luar dunia keprajuritan terlalu sempit, Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, jangan menyesal bahwa prajurit-prajuritmu akan tumpas di sini. Bahkan jika tidak bersedia menyerahkan semua yang kami kehendaki, Pangeran Puger pun akan terbunuh pula di sini.”

“Kanjeng Pangeran Puger bukan sebuah golek kayu yang tidak mampu berbuat apa-apa. Kanjeng Pangeran Puger adalah prajurit yang jarang ada tandingnya. Karena itu, jika kau memaksakan kehendakmu, maka mayat kalian akan bertimbun di kuburan esok pagi.”

“Kau terlalu sombong, Ki Lurah Agung Sedayu. Sekali lagi aku peringatkan, tarik prajurit-prajuritmu. Biarlah mereka jangan mengganggu tugas kami.”

“Jika kau tidak berkeberatan, sebut namamu, Ki Sanak..”

“Namaku Kidang Limpat. Aku adalah kepercayaan Ki Saba Lintang.”

“Apakah Ki Saba Lintang sekarang ada di sini?”

“Ki Saba Lintang hanya menangani tugas-tugas yang berat. Perkara-perkara kecil seperti ini tidak perlu ditanganinya sendiri. Besok pagi, aku akan menghadap dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini. Ki Saba Lintang akan bersedih jika aku melaporkan bahwa aku terpaksa membunuh beberapa orang. Tentu saja termasuk Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun orang yang menyebut dirinya Kidang Limpat itu justru berkata, “Kau-lah yang harus mendengarkan kata-kataku. Bukan aku yang harus mendengarkan kata-katamu.”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba saja seseorang telah melenting tinggi, seakan-akan terbang dan hinggap di atas pedati yang memuat peti-peti yang diselubungi kain yang berwarna hitam itu.

“Aku memerlukan pedati ini, Ki Lurah Agung Sedayu. Kemudian biarkan kawan-kawanku memasuki banjar itu untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Pangeran Puger. Jangan mencoba menghalangi, karena usahamu untuk menghalanginya hanya akan berakibat memperpendek umurmu. Seorang sesepuh kami hanya ingin berbicara dengan Kanjeng Pangeran Puger saja.”

“Sesepuh? Apakah yang kau maksud dengan sesepuh? Menurut tatanan urutan kekuasaan di lingkunganmu, apakah seorang sesepuh memiliki kuasa lebih tinggi dari Ki Saba Lintang?”

“Kau tidak usah mengurusinya. Aku sudah memperingatkanmu, bahwa sesepuh kami, Ki Gagak Mulat dan Ki Naga Samekta, akan bertemu langsung dengan Kanjeng Pangeran Puger.”

“Jadi kau tetap akan meneruskan niatmu, meskipun serangan licikmu yang pertama gagal?”

“Apa yang kau maksudkan?”

“Sirepmu itu. Sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kami. Meskipun demikian, sirepmu ada juga gunanya. Sirep itu dapat membantu para abdi tidur nyenyak, sehingga besok pagi, jika saatnya meneruskan perjalanan, tenaga mereka sudah menjadi segar kembali. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih.”

“Sombongmu menggapai langit, Ki Lurah. Tetapi jangan menyesali nasib burukmu. Kau akan segera mati.”

“Kidang Limpat. Masih ada waktu sekejap. Letakkan senjatamu dan tarik orang-orangmu.”

“Persetan. Aku akan menumpas orang-orangmu malam ini, termasuk kau sendiri. Adapun nasib Pangeran Puger biarlah ditentukan oleh Pangeran Puger sendiri. Jika ia bersedia bekerja bersama, maka ia akan selamat sampai tujuan. Tetapi jika tidak, maka ia akan berkubur di padukuhan ini.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Sikap Kidang Limpat sudah pasti. Karena itu, maka Ki Lurah itu pun kemudian berkata, “Baik. Kami atau kalian yang akan hancur di sini.”

Kidang Limpat itu pun kemudian meletakkan jari-jari tangan di mulutnya Terdengar suitan nyaring menggetarkan halaman dan kebun banjar padukuhan itu. Dedaunan pun rasa-rasanya telah berguncang, sedangkan dahan dan ranting pun bergoyang. Daun-daun yang menguning runtuh dan gugur di tanah.

Ki Lurah Agung Sedayu merasakan betapa orang yang mengaku bernama Kidang Limpat itu ingin menunjukkan betapa tinggi kemampuannya. Sehingga suitan yang dilontarkan mampu menggetarkan udara di atas banjar itu.

Namun ketika dedaunan masih bergoyang, maka tiba-tiba satu sosok yang lain telah melenting pula sebagaimana dilakukan oleh Ki Kidang Limpat, langsung hinggap di atas atap pedati itu pula.

“Setan kau,” geram Kidang Limpat, “siapa kau?”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Sementara orang itu menjawab, “Namaku Glagah Putih.”

“Kau sangka kau dapat menandingi aku?”

“Bagaimana kalau aku yang bertanya seperti itu?”

Kidang Limpat tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja iapun telah menyerang Glagah Putih dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi Glagah Putih sudah bersiap. Di atap pedati yang sempit itu, Glagah Putih bergeser ke samping. Namun ia tidak membiarkan Kidang Limpat itu menyerangnya pula. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mengayunkan tangannya mengarah ke kening lawannya. Tetapi Kidang Limpat pun mampu menghindarinya pula. Sambil bergeser surut sambil merendah, Kidang Limpat menyerang lambung. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih menepis serangan itu. Dengan cepat pula kakinya terjulur menyamping.

Kidang Limpat tidak sempat mengelak. Dengan menyilangkan tangannya ia melindungi dadanya. Dengan demikian telah terjadi benturan yang keras, sehingga tubuh Kidang Limpat berguncang.

Kidang Limpat tidak dapat bertahan berdiri di atap pedati. Karena itu, maka iapun segera meloncat turun. Tubuhnya melenting dan berputar sekali di udara. Kemudian kedua kakinya dengan lembut menyentuh tanah. Namun Kidang Limpat itu terkejut. Demikian ia berdiri tegak, ternyata Glagah Putih telah mulai menyerangnya pula.

“Iblis manakah yang merasuk ke dalam tubuh orang ini?” gumam Kidang Limpat.

Dalam pada itu, semua orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati itu pun telah bergerak pula. Aba-aba Kidang Limpat yang terdengar sampai ke sudut-sudut halaman dan kebun banjar, bagaikan api yang menyulut rapak kering. Api pertempuran pun segera berkobar.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak merasa perlu memberikan aba-aba kepada para prajuritnya. Ketika terdengar suitan nyaring, maka para prajurit yang telah bersiap sejak mereka mendengar perintah para pemimpin kelompok itu, tidak membuang waktu lagi. Serentak mereka pun menyergap orang-orang yang berada di dekat mereka.

Orang-orang yang memasuki kebun dan halaman banjar itu masih juga terkejut ketika tiba-tiba saja beberapa orang berloncatan di dalam gelapnya malam. Sinar oncor di serambi banjar tidak mampu menggapai sampai ke sela-sela rimbunnya pepohonan di kebun belakang. Apalagi sampai celah-celah rumpun-rumpun bambu.

Di halaman depan pun pertempuran telah terjadi dimana-mana. Ketika orang-orang yang berniat jahat itu menyusup di sela-sela pedati yang berjajar di halaman, ternyata para prajurit pun telah berada di tempat itu pula. Beberapa orang yang secara khusus ditugaskan untuk menguasai pedati yang berisi peti-peti yang diselubungi kain hitam itu, harus berhadapan dengan para pengawal yang khusus melindungi pedati itu pula. Bahkan di antara mereka terdapat pula prajurit dari Pasukan Khusus yang ditempatkan di antara para pengawal oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

Kidang Limpat sendiri sebenarnya bertugas untuk segera menguasai pedati itu. Tetapi ia tidak memperhitungkan bahwa tiba-tiba saja ia telah berhadapan dengan seorang yang ilmunya mampu mengimbanginya. Sementara Ki Lurah Agung Sedayu sendiri masih berdiri di pendapa.

Sebenarnyalah dua orang yang sudah separuh baya telah naik tangga pendapa pula. Mereka langsung mendapatkan Ki Lurah Agung Sedayu. Seorang di antara mereka pun berkata, “Ki Lurah. Kidang Limpat sudah memberimu peringatan. Biarkan aku menemui Pangeran Puger untuk berbicara langsung kepadanya.”

“Jangan berharap kalian dapat bertemu dengan Kanjeng Pangeran Puger.”

“Bukankah itu lebih baik? Jika Pangeran Puger merelakan segalanya, maka tidak akan terjadi pertumpahan darah.”

“Jangan bermimpi, Ki Sanak.”

“Aku peringatkan sekali lagi.”

“Kaukah yang bernama Ki Gagak Mulat dan Ki Naga Samekta?”

“Ya. Namaku Gagak Mulat.”

Kemudian dengan suara parau yang seorang lagi berkata, “Aku-lah Ki Naga Samekta. Minggirlah. Kau tidak perlu mengorbankan nyawamu. Bukankah benda-benda berharga itu bukan milikmu? Kau tidak akan kehilangan apa-apa jika pedati itu kami bawa. Demikian pula dengan perhiasan para putri di ruang dalam itu.”

“Aku adalah prajurit, Ki Sanak.”

“Jadi jika kau prajurit, maka kau harus mati di pertempuran tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan lain?”

“Aku sudah membuat seribu macam pertimbangan.”

“Jika demikian, kau benar-benar akan mati.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja Ki Gagak Mulat telah menyerangnya. Ki Lurah Agung Sedayu masih sempat mengelakkan serangan yang tiba-tiba itu. Bahkan kemudian Ki Lurah itu pun meloncat turun ke halaman.

Sementara itu, Ki Naga Samekta telah meloncat naik ke pendapa. Nampaknya ia tanggap akan maksud Ki Gagak Mulat. Karena itu, maka iapun langsung berlari menuju ke pintu pringgitan.

Tetapi demikian Ki Naga Samekta itu membuka pintu, maka tiga batang tombak pendek telah teracu ke dadanya, sehingga dengan serta-merta Ki Naga Samekta itu meloncat surut. Hampir saja ujung tombak Ki Lurah Adipraya mengoyak dadanya.

Tetapi Ki Naga Samekta memiliki kecepatan gerak yang tinggi, sehingga ia masih mampu menghindarinya.

“Minggirlah,” berkata Ki Naga Samekta.

Ki Lurah Adipraya sama sekali tidak menjawab. Namun bersama dengan dua orang pengawal pilihan, mereka langsung menyerang Ki Naga Samekta. Ki Naga Samekta bergeser surut. Ia tidak ingin bertempur di antara beberapa orang yang sedang tidur nyenyak, agar loncat-loncatan kakinya tidak terganggu.

Ternyata para abdi yang tertidur di pendapa itu masih saja tidak terbangun. Mereka masih saja tidur nyenyak sebagaimana beberapa orang dayang yang tidur di ruang dalam. Ki Naga Samekta yang harus bertempur melawan tiga orang itu mula-mula memang terdesak surut. Ki Naga Samekta telah meloncat turun ke halaman samping. Ia memerlukan tempat yang lebih luas untuk melawan tiga orang sekaligus.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah terjadi di kebun, di halaman depan dan di halaman samping kiri dan kanan. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu memang sempat membuat lawan-lawan mereka terkejut. Namun jumlah lawan memang lebih banyak, sehingga para prajurit itu pun harus mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka untuk menghadapi lawan mereka. Tetapi kesiagaan para prajurit serta kesempatan yang lebih baik pada awal pertempuran telah membuat mereka menjadi lebih mapan.

Dalam pada itu, para prajurit yang bertugas mengurusi bekal dan perlengkapan serta mereka yang harus mempersiapkan makan dan minum, telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun karena mereka juga prajurit-prajurit terlatih, maka mereka sama sekali tidak merasa canggung menghadapi lawan-lawan mereka.

Di halaman samping, Ki Lurah Adipraya bersama kedua orang pengawal bertempur semakin sengit menghadapi Ki Naga Samekta. Namun Ki Naga Samekta masih juga bertahan dan berusaha mengimbangi mereka bertiga. Namun tekanan Ki Lurah terasa menjadi semakin berat. Meskipun demikian, Ki Naga Samekta yang berilmu tinggi itu dengan tangkasnya berusaha mengimbangi Ki Lurah Adipraya bersama kedua orang pengawalnya.

Namun beberapa saat kemudian, dua orang pengikut Kidang Limpat telah berlari-lari mendekatinya. Kedua orang itu telah bergabung dengan Ki Naga Samekta, sehingga dengan demikian, maka Ki Lurah Adipraya tidak lagi bertempur bertiga bersama kedua orang pengawal. Tetapi kedua orang pengawal itu telah mendapatkan lawan mereka masing-masing.

Ki Lurah Naga Samekta tertawa. Katanya, “Nah, sekarang kita akan bertempur seorang melawan seorang, Ki Sanak. Aku kira ilmumu tidak seberapa tinggi, sehingga dalam waktu yang pendek, aku akan segera melumatkanmu.”

Jantung Ki Lurah Adipraya memang menjadi berdebaran. Bertiga ia tidak segera dapat mengalahkan Ki Naga Samekta. Apalagi ia harus bertempur seorang melawan seorang. Sementara itu para pengawal yang lain, yang berbeda di serambi kiri dan kanan dari banjar itu, telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah terlibat pula dalam pertempuran melawan salah seorang yang disebut sesepuh oleh Kidang Mulat. Orang yang berilmu tinggi itu dengan garangnya menyerang Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kau akan menyesali nasibmu yang buruk, Ki Sanak. Jika kau tetap berusaha menahan aku di sini, maka kau adalah orang pertama yang akan mati di halaman banjar ini.”

“Orang-orangmu-lah yang telah mati lebih dahulu,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kau yakin itu?”

“Ya. Aku yakin itu.”

“Persetan dengan keyakinanmu. Sekarang kau-lah yang akan mati.”

Serangan-serangan Ki Gagak Mulat pun menjadi semakin garang. Namun Ki Lurah Agung Sedayu benar-benar telah siap menghadapinya, sehingga karena itu maka Ki Lurah Agung Sedayu masih saja sanggup mengimbanginya.

Namun selagi keduanya bertempur dengan garangnya, maka terdengar seseorang berkata, “Ki Gagak Mulat, temuilah Kanjeng Pangeran Puger di ruang dalam. Biarlah aku mengurus orang ini.”

Ki Gagak Mulat itu pun meloncat surut untuk mengambil jarak. Ketika ia sempat berpaling, maka dilihatnya seorang yang berkumis putih, berjanggut putih serta rambutnya yang terjurai di bawah ikat kepalanya juga sudah memutih, melangkah mendekatinya.

“Ki Sanggawisa.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun tidak segera menyerang Ki Gagak Mulat yang meloncat surut. Tetapi Ki Lurah pun ikut berpaling pula ke arah orang yang sudah ubanan yang melangkah mendekatinya.

“Hati-hatilah dengan orang ini,” berkata Ki Gagak Mulat.

“Ia tidak akan dapat lepas dari racun-racunku. Setelah aku membunuh orang ini, aku akan menyusulmu menemui Kanjeng Pangeran Puger. Jika orang itu keras kepala, maka ia akan mati pula karena racunku.”

“Kau kira aku tidak dapat membunuh orang ini? Bahkan Pangeran Puger jika ia menjadi keras kepala?”

“Jangan tersinggung. Baiklah. Pergilah ke Pangeran Puger agar urusan kita segera selesai.”

Ki Gagak Mulat pun kemudian beranjak dari tempatnya. Ketika Agung Sedayu bergeser untuk menghalanginya, tiba-tiba saja Ki Sanggawisa telah menyerangnya.

“Jangan gagal seperti ilmu sirepmu,” berkata Ki Gagak Mulat.

“Lihat saja. Sebelum kau sampai ke pintu pringgitan, orang ini sudah mati.”

Ki Gagak Mulat meloncat naik ke tangga pendapa Tetapi ia berhenti sejenak, untuk menyaksikan Ki Sanggawisa yang menyerang Agung Sedayu dengan garangnya.

Ki Lurah Agung Sedayu memang terkejut menghadapi serangan Ki Sanggawisa yang datang bagaikan prahara. Orang yang sudah ubanan itu berloncatan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Seakan-akan orang itu dapat menyerang Ki Lurah Agung Sedayu dari beberapa arah sekaligus.

Ki Gagak Mulat tersenyum. Ki Sanggawisa memang mampu bergerak cepat. Namun yang sangat berbahaya pada orang yang rambutnya ubanan itu adalah racun-racunnya. Ia mempunyai serbuk racun yang dapat ditaburkan. Iapun mempunyai senjata rahasia yang mengandung racun yang sangat tajam.

Ki Gagak Mulat berharap bahwa Ki Sanggawisa akan dapat segera menghabisi lawannya, sehingga Ki Sanggawisa akan segera menyusulnya menemui Pangeran Puger. Namun ketika Ki Gagak Mulat berlari-lari kecil di antara para abdi yang masih tidur di pendapa, tiba-tiba saja kakinya terantuk kaki seseorang yang dengan sengaja mengait kakinya. Hampir saja Ki Gagak Mulat itu terjatuh, namun ia masih sempat mempertahankan keseimbangannya. Seorang abdi yang terinjak jari-jari tangannya oleh Ki Gagak Mulat, ternyata tidak terbangun dari tidurnya yang nyenyak.

“Setan alas. Siapakah yang telah berani menggangguku?” geram Ki Gagak Mulat.

Seorang perempuan muda bangkit dan bahkan kemudian berdiri sambil berkata, “Kau kurang berhati-hati, Ki Sanak.”

“Kau siapa?”

“Aku salah seorang abdi Kanjeng Pangeran Pugèr. Satu di antara beberapa orang abdi perempuan yang mendapat kehormatan untuk ikut pergi ke Demak.”

“Persetan kau,” geram Ki Gagak Mulat, “tidur sajalah. Kau tidak usah berbuat macam-macam. Aku akan memaafkanmu.”

“Ki Sanak,” berkata perempuan yang masih terhitung muda itu, “begitu tergesa-gesa, kau akan pergi kemana?”

“Aku akan berbicara dengan Kanjeng Pangeran Puger.”

“Sebaiknya kau tidak menemuinya, Ki Sanak. Kanjeng Pangeran Puger baru marah karena tingkah laku gerombolan Ki Sanak. Jika kau menemuinya juga, maka lehermu akan ditebas.”

“Omong kosong. Aku akan menemuinya.”

Tetapi perempuan yang masih terhitung muda itu berkata, “Jangan. Kau dengar?”

“Kau mencoba mencegahku?”

“Ya.”

“Siapakah kau sebenarnya?”

“Aku salah seorang abdi Kepangeranan. Namaku Rara Wulan.”

“Rara Wulan.”

“Ya.”

“Kau tentu bukan sembarang abdi. Kau mempunyai keberanian untuk mencegahku menghadap Pangeran Puger.”

“Ya. Aku memang mencegahmu. Sebaiknya kau turun saja ke halaman.”

“Sebaiknya kau jangan ikut campur, anak manis. Kita dapat berbicara panjang nanti, setelah urusanku dengan Pangeran Puger selasai.”

“Kau tidak akan pergi ke ruang dalam.”

“Kau akan mencoba menahanku?”

“Ya.”

Wajah Ki Gagak Mulat itu menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar iapun berkata, “Aku, Gagak Mulat, salah seorang sesepuh di dalam Perguruan Kedung Jati. Apakah aku harus melawan seorang perempuan yang masih ingusan?”

“Entahlah. Pokoknya kau jangan pergi ke ruang dalam.”

“Baik. Jika kau harus dilemparkan dari pendapa, aku akan melakukannya.”

“Kau tidak usah melemparkan aku dari pendapa. Kita akan turun ke halaman dan berkelahi, jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku.”

“Perempuan gila,” geram Ki Gagak Mulat. “Baik. Turunlah. Aku akan menyediakan sedikit waktu buatmu.”

“Bagus. Aku senang mendengar kesediaanmu.”

Rara Wulan pun segera meloncat turun. Namun Ki Gagak Mulat itu bertepuk beberapa kali. Seorang yang bertubuh tinggi besar berlari-lari dalam gelap. Demikian ia berdiri di hadapan Ki Gagak Mulat, maka iapun bertanya, “Ada apa, Ki Gagak Mulat?”

“Kau tentu tertarik untuk bermain-main dengan perempuan itu. Anak manis itu mencoba menahan agar aku tidak menemui Pangeran Puger yang ada di ruang dalam. Bawalah perempuan itu pergi sesukamu.”

Terdengar orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Baik, baik, Ki Gagak Mulat. Aku akan membawanya ke halaman belakang. Meskipun di belakang juga berkobar pertempuran yang sengit, tetapi masih banyak tempat untuk menyembunyikan perempuan ini.”

Sikap Ki Gagak Mulat serta laki-laki yang bertubuh raksasa itu sangat menyakitkan hati Rara Wulan. Karena itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, demikian laki-laki bertubuh raksasa itu berpaling kepadanya, maka tiba-tiba saja Rara Wulan telah menyerangnya. Sambil meloncat tangannya terjulur lurus menghantam ke arah dada.

Orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menduga bahwa perempuan itu langsung menyerang dadanya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak bersiap untuk menangkis atau mengelak. Serangan Rara Wulan pun dengan derasnya menghantam dadanya. Rasa-rasanya segumpal batu padas telah dilontarkan dari sebatang pohon yang tinggi, menimpa dadanya.

Sebelum orang itu sempat mengatasi rasa sakit di dadanya, maka kaki Rara Wulan telah menghentak perutnya, sehingga orang itu terbongkok kesakitan.

Rara Wulan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat ia menangkap kepala orang yang sedang terbongkok kesakitan itu. Dengan derasnya, Rara Wulan telah membenturkan dahi orang itu pada lututnya.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Tetapi Rara Wulan tidak melepaskannya. Beberapa kali ia membenturkan kepala itu pada lututnya, namun kemudian ia mengangkat kepala itu, sehingga wajah orang itu menengadah. Rara Wulan melepaskannya. Namun setelah mengambil ancang-ancang selangkah, maka Rara Wulan pun meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun memutar deras sekali menyambar kening orang bertubuh raksasa itu.

Orang bertubuh raksasa itu tidak sempat mengaduh. Ia terlempar dan terpelanting jatuh di tanah. Ternyata orang itu tidak segera bangkit, karena orang itu menjadi pingsan.

Rara Wulan berdiri bertolak pinggang sambil memandang Ki Gagak Mulat. Katanya, “Kau akan bertepuk tangan lagi?”

“Iblis kecil,” geram Ki Gagak Mulat, “aku tidak mengira bahwa kau mampu membuat kepercayaanku itu pingsan. Di halaman belakang, ia berhasil membebaskan dirinya dari lawan-lawannya, sehingga tidak segores luka pun melekat di tubuhnya. Tetapi di sini, seorang perempuan telah membuatnya pingsan, meskipun ada unsur kelicikan karena kau menyerang dengan tiba-tiba.”

“Sekarang, panggil orang lain, atau kau sendiri akan melawanku.”

“Kalau kau mengalahkan orang dungu itu, bukan berarti kau pantas menantangku.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

Ki Gagak Mulat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Apa boleh buat. Aku akan membuatmu pingsan dan meletakkan kau dan orang bertubuh raksasa itu di dalam kegelapan. Mudah-mudahan orang dungu itu akan sadar lebih dahulu dari kau.”

Rara Wulan meloncat surut ketika Ki Gagak Mulat turun dari pendapa. Rara Wulan yang marah itulah yang telah menyerangnya lebih dahulu. Dengan tangkasnya Rara Wulan meloncat. Kakinya terjulur mengarah ke dada Ki Gagak Mulat.

Tetapi Ki Gagak Mulat memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari orang bertubuh raksasa yang pingsan itu. Karena itu, maka kaki Rara Wulan tidak menyentuh sasarannya. Justru Ki Gagak Mulat-lah yang menjulurkan tangannya menebas lambung. Tetapi Rara Wulan pun cukup tangkas, sehingga serangan itu dapat dihindarinya.

“Luar biasa,” berkata Gagak Mulat, “kau mampu menghindari seranganku.”

Rara Wulan tidak menyahut. Tetapi ia justru meloncat menyambar kening Ki Gagak Mulat. Ki Gagak Mulat memang terkejut. Perempuan itu tidak dapat diremehkan. Karena itu, maka iapun menggeram, “Aku terpaksa membunuhmu jika kau masih menghalangi aku.”

Tetapi Rara Wulan tidak menghiraukannya. Serangan-serangannya pun datang semakin cepat, sehingga Ki Gagak Mulat harus menghadapinya dengan sungguh-sungguh.

Ki Gagak Mulat benar-benar tidak mengira, bahwa ia harus bertempur menghadapi seorang perempuan yang masih terhitung muda, namun yang ilmunya sudah mapan sebagaimana perempuan yang dihadapinya itu.

Tetapi Ki Gagak Mulat tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu iapun segera berniat untuk menghentikan perlawanan perempuan itu. Dengan demikian, maka Ki Gagak Mulat tidak merasa ragu-ragu lagi. Dengan cepat Ki Gagak Mulat pun segera meningkatkan ilmunya. Bagaimanapun juga kemampuan ilmu Rara Wulan, namun kematangan serta pengalaman Ki Gagak Mulat masih belum dapat diimbangi oleh Rara Wulan.

Karena itu, maka dalam waktu yang pendek Rara Wulan telah mulai terdesak. Beberapa kali Rara Wulan harus berloncatan mengambil jarak. Namun Ki Gagak Mulat yang tergesa-gesa itu tidak memberinya banyak peluang. Setiap kali Ki Gagak Mulat selalu memburunya. Serangan-serangannya datang seperti banjir bandang.

Tetapi Rara Wulan tidak menjadi gentar. Dikerahkannya kemampuannya untuk mengimbangi tekanan-tekanan Ki Gagak Mulat.

Namun perlawanan Rara Wulan itu membuat Ki Gagak Mulat menjadi semakin marah. Perempuan yang masih terlalu muda untuk menjadi lawannya itu masih tidak segera dapat ditundukkannya. Karena itu, maka Ki Gagak Mulat pun segera menekan Rara Wulan semakin kuat, sehingga Rara Wulan benar-benar mengalami kesulitan.

Sekar Mirah memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawan Rara Wulan itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, ia tidak ingin membiarkan Rara Wulan bertempur sendiri, meskipun Sekar Mirah menyadari bahwa Rara Wulan telah menerima warisan ilmu yang tinggi pula dari ibu angkatnya. Karena itu, ketika Rara Wulan semakin terdesak, Sekar Mirah pun segera bangkit dan meloncat turun dari pendapa.

“Menarik untuk segera ikut bermain. Meskipun tidak sedang terang bulan, tetapi menyenangkan main kejar-kejaran di halaman yang luas.”

“Mbokayu.”

“Jangan bermain sendiri. Aku kesepian di pendapa. Semuanya masih tidur. Aku sengaja tidak membangunkannya. Kita berdua sudah cukup untuk menyelesaikan orang itu. Jika yang lain bangun, maka kita tidak akan kebagian lagi.”

“Iblis betina. Kau kira kawan-kawanmu mampu mengalahkan aku betapapun tinggi ilmu mereka? Mereka tidak mampu melawan sirep. Apalagi melawan ilmuku.”

“Sebagian dari mereka tidak tidur karena sirep yang kau hembuskan ke banjar ini. Aku tidak. Adikku itu tidak. Nyi Wuni juga tidak. Ia tidak tidur sekarang. Tetapi ia malas bangun.”

“Minggirlah, perempuan-perempuan sombong.”

Tetapi Sekar Mirah justru melangkah mendekat. Katanya kepada Rara Wulan, “Jangan tersinggung jika aku ikut serta. Bukan apa-apa. Hanya sekedar mengusir kantuk.”

Ki Gagak Mulat menjadi sangat marah. Tanpa ancang-ancang iapun segera meloncat menyerang Sekar Mirah. Ki Gagak Mulat memperhitungkan bahwa serangannya itu akan langsung dapat membungkam Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Sejak semula ia sudah menduga bahwa dalam puncak kemarahannya, orang itu akan tiba-tiba saja menyerangnya.

Karena itu, maka Sekar Mirah yang juga sudah mematangkan ilmunya itu pun dengan cepat bergeser menghindar.

“Setan betina. Kau ternyata juga mampu menghindari seranganku.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Ki Sanggawisa pun sempat berteriak, “Aku ambil lawanmu agar kau segera menemui Pangeran Puger. Sekarang kau malahan bercanda dengan perempuan-perempuan. Agaknya kau masih sama saja dengan beberapa tahun yang lalu.”

“Aku tidak sedang bercanda. Tetapi aku sedang berusaha membunuh mereka.”

“Apa susahnya?”

“Kita akan berpacu, kau atau aku yang dapat membunuh lawan lebih dahulu.”

Ki Sanggawisa menggeram. Iapun telah terkecoh oleh lawannya. Ternyata Ki Sanggawisa tidak segera dapat membunuh Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Sanggawisa tidak mempunyai pilihan lain. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai macam bisa dan racun, maka Ki Sanggawisa tidak merasa banyak kesulitan untuk membunuh lawannya itu.

“Sekarang sudah saatnya aku membunuhmu,” geram Ki Sanggawisa sambil berloncatan surut. Sebenarnyalah bahwa kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat dibendungnya lagi. Setiap kali serangan Ki Lurah Agung Sedayu telah menggetarkan pertahanannya.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dengan bisa dan racun di tangan lawannya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Ki Sanggawisa telah bersiap dengan serangan-serangan racunnya. Namun penglihatan Ki Lurah Agung Sedayu yang sangat tajam, sempat melihat dua buah paser kecil yang meluncur dari tangan Ki Sanggawisa.

Dengan cepat Ki Lurah Agung Sedayu bergeser, menghindari serangan paser beracun yang meluncur dengan derasnya itu. Tetapi paser kecil milik Ki Sanggawisa tidak hanya dua buah. Ia mempunyai paser-paser kecil banyak sekali. Karena itu, demikian kedua buah pasernya tidak mengenai sasaran, maka paser berikutnya telah meluncur pula dari tangannya.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu dengan tangkasnya bergeser menghindar. Ketika paser berikutnya meluncur, Ki Lurah melenting tinggi. Kemudian menggeliat dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali.

Sebenarnyalah Ki Lurah Agung Sedayu memiliki ilmu meringankan tubuh yang mapan, sehingga betapapun derasnya serangan-serangan Ki Sanggawisa, namun Ki Lurah Agung Sedayu masih mampu menghindar. Bahkan di luar dugaan Ki Sanggawisa, Ki Lurah Agung Sedayu masih sempat juga menyerang. Ki Sanggawisa tidak tahu bagaimana terjadinya, ketika tiba-tiba saja kaki Ki Lurah Agung Sedayu telah melekat di dadanya, sehingga Ki Sanggawisa itu terdorong surut. Dan bahkan tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga Ki Sanggawisa itu jatuh terguling di tanah.

Dengan cepat Ki Sanggawisa itu melenting. Tetapi ketika ia berdiri tegak, maka ia tidak melihat Ki Lurah Agung Sedayu lagi.

“Aku di sini, Ki Sanak,” desis Ki Lurah Agung Sedayu

Ki Sanggawisa terkejut. Dengan serta merta iapun segera berputar. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu berdiri di belakangnya sambil bertolak pinggang.

“Sudahlah, Ki Sanak. Buat apa sebenarnya kau bertempur mempertaruhkan nyawamu? Aku melihat dua kemungkinan yang kau lakukan. Kau diperalat oleh Ki Saba Lintang, atau kau justru memanfaatkan ketamakan Ki Saba Lintang untuk kepentingan pribadimu. Dua-duanya sebaiknya kau hentikan. Menyerahlah. Kau tidak akan mengalami perlakuan buruk.”

“Persetan kau, Ki Lurah. Betapapun tinggi ilmumu, kau tidak akan dapat luput dari racun-racunku.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kita masing-masing mempunyai senjata yang berbeda. Jika kau mempunyai racun, maka aku mempunyai senjata yang lain. Karena itu, sebaiknya kau tidak perlu melawan.”

Ki Sanggawisa menggeram. Ketika ia sempat berpaling sesaat, ternyata Ki Gagak Mulat masih bertempur melawan dua orang perempuan. Agaknya Ki Gagak Mulat tidak segera dapat menyelesaikan kedua orang lawannya. Bahkan menghadapi keduanya, Ki Gagak Mulat sekali-sekali harus berloncatan mundur.

“Kau lihat kawan-kawanmu yang dianggap sesepuh bagi para pengikut Ki Saba Lintang itu sudah tidak berdaya, Ki Sanak. Menyerah sajalah. Aku akan menjamin keselamatanmu. Jika kau harus dihukum, maka hukumanmu tidak akan terlalu berat.”

Tetapi Ki Sanggawisa justru menjadi sangat marah. Sambil menghentakkan serangannya ia berteriak, “Kau akan segera mati!”

Tetapi serangan-serangannya tidak banyak berarti bagi Ki Lurah Agung Sedayu yang memiliki kemampuan meringankan tubuhnya. Lontaran-lontaran pasernya tidak satu pun yang menyentuh kulit Ki Lurah. Bahkan serangan-serangan Ki Lurah-lah yang semakin banyak mengenainya.

Di halaman, di antara pedati-pedati yang berjajar, Glagah Putih bertempur melawan Kidang Limpat yang garang dan memiliki kecepatan gerak yang tinggi. Namun Glagah Putih pun tidak kalah tangkasnya. Mereka berloncatan di sela-sela pedati yang diam membeku dalam keremangan cahaya lampu di pendapa. Para pengawal khusus yang menjaga pedati yang berisi beberapa buah peti yang diselubungi dengan kain hitam itu pun bertempur dengan tangkasnya pula. Mereka adalah pengawal-pengawal terpilih untuk menjaga benda-benda berharga yang ada di dalam peti-peti itu. Selain mereka, Agung Sedayu juga menugaskan beberapa orang prajuritnya dari Pasukan Khusus itu untuk membantu mengamankan peti-peti itu.

Kidang Limpat telah mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih. Kidang Limpat sendiri bertugas untuk menguasai pedati yang memuat peti-peti itu. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih tidak mudah dikalahkannya. Jika Kidang Limpat menyerang dengan cepat, maka Glagah Putih dengan tangkasnya menghindarinya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu pun telah membalas menyerangnya dengan garangnya pula.

Sekali-sekali terdengar Kidang Limpat mengumpat kasar. Namun ia masih saja tidak berhasil jangankan menundukkan Glagah Putih, bahkan mendesak pun Kidang Limpat tidak mampu melakukannya.

Sementara itu, di kebun belakang, di halaman samping dan dimana-mana di sekitar banjar itu, telah terjadi pertempuran yang sengit Para pengawal yang berada di serambi telah bertempur untuk menahan orang-orang yang sempat menyusup mendekati banjar. Namun mereka terhenti karena para pengawal Pangeran Puger telah siap rnenghadang mereka.

Ki Lurah Adipraya masih bertempur melawan Ki Naga Samekta. Sementara itu kedua orang pengawal yang lain telah terikat dalam pertempuran pula, sehingga mereka tidak dapat membantu Ki Lurah Adipraya yang semakin terdesak.

“Minggir, atau kau akan mati di sini,” geram Ki Naga Samekta.

Tetapi Ki Lurah tidak meninggalkan arena. Ia akan bertempur sampai batas kemampuannya atau sampai ujung nyawanya. Serangan-serangan Ki Naga Samekta menjadi semakin garang. Ki Lurah Adipraya yang semakin terdesak telah menggenggam pedang di tangannya Dengan tangkasnya ia memutar pedangnya seperti baling-baling.

Ki Naga Samekta yang ingin segera bertemu dan berbicara dengan Pangeran Puger telah menarik kerisnya. Keris yang jauh lebih besar dan lebih panjang dari kebanyakan keris.

“Pedangmu tidak akan dapat bertahan sepenginang,” geram Ki Naga Samekta, “kerisku adalah keris pusaka. Keris inilah yang sebenarnya bernama Kiai Naga Samekta. Tetapi aku yang memilikinya kemudian juga disebut Ki Naga Samekta.”

Ki Lurah Adipraya sempat memperhatikan keris itu. Ki Naga Samekta seakan-akan memang memberinya kesempatan memandangi kerisnya yang bagaikan membara. Sisik yang terdapat dari ujung sampai ke pangkal keris itu seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan. Sementara itu, kepala seekor naga yang terdapat pada pangkal keris itu mengenakan mahkota. Lidahnya terjulur seperti semburan nyala api

“Kau kagumi kerisku, Ki Sanak?” suara Ki Naga Samekta berat menekan.

Ki Lurah Adipraya segera terbangun dari mimpinya. Apapun yang akan terjadi, ia tidak akan beringsut. Ia adalah pemimpin pengawal dalam Kepangeranan. Apapun yang terjadi, maka ia harus bertahan untuk melindungi Kanjeng Pangeran Puger beserta keluarganya. Dengan demikian, ketika Ki Naga Samekta mulai menggerakkan kerisnya, maka Ki Lurah Adipraya telah menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus menggapai dada Ki Naga Samekta.

Ki Naga Samekta tidak menghindar. Tetapi sengaja ia membentur pedang Ki Lurah Adipraya dengan kerisnya. Dalam keremangan lampu di pendapa, nampak bunga api berloncatan pada benturan dua senjata di tangan kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun Ki Lurah Adipraya meloncat surut selangkah. Telapak tangannya terasa menjadi pedih.

Ki Naga Samekta tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat iapun memburunya. Kerisnya terayun dengan derasnya menyambar ke arah dada.

Ki Lurah Adipraya meloncat mundur. Ditepisnya serangan itu ke samping. Namun ternyata keris itu bagaikan menggeliat, justru terjulur ke arah jantung. Ki Lurah menangkis sambil bergeser ke samping. Ujung keris itu memang tidak langsung menikam jantung. Tetapi ujung keris Ki Naga Samekta telah menyentuh bahu Ki Lurah Adipraya.

Ki Lurah meloncat mengambil jarak. Ia merasa bahunya menjadi panas dan pedih. Namun Ki Samekta tidak membiarkan Ki Lurah sempat memperbaiki keadaannya. Dengan tangkasnya iapun meloncat memburunya. Pada saat Ki Lurah Adipraya sedang disengat rasa pedih dan nyeri, Ki Naga Samekta mengayunkan kerisnya dengan deras sekali mengarah ke lehernya.

Sekali lagi Ki Lurah Adipraya berusaha menangkis serangan itu. Sekali lagi terjadi benturan yang keras sekali. Keris Ki Naga Samekta memang tidak menyentuh kulit Ki Lurah Adipraya. Tetapi telapak tangan Ki Lurah terasa menjadi pedih. Bahkan kemudian, ketika Ki Naga Samekta sambil menghentakkan kaki kanannya selangkah maju, tangannya pun menghentakkan kerisnya pula.

Ki Lurah Adipraya tidak mempunyai kesempatan lain kecuali sekali lagi menangkis serangan itu. Dengan tangan yang masih pedih, Ki Lurah mencoba menepis keris lawannya yang terjulur ke dadanya itu.

Namun keris Ki Naga Samekta itu seakan-akan telah berputar. Ki Lurah Adipraya tidak mampu mempertahankan senjatanya, ketika senjatanya itu bagaikan dihisap oleh kekuatan yang besar sekali. Ki Adipraya memang sangat terkejut ketika keris lawannya seakan-akan telah membelit pedangnya dan ditarik dengan serta-merta. Ternyata bahwa Ki Lurah Adipraya benar-benar tidak dapat mempertahankannya.

Demikian pedang Ki Lurah itu terjatuh, maka dengan sepenuh tenaga Ki Naga Samekta mengayunkan kerisnya. Ia ingin sekali tebas, kepala Ki Lurah Adipraya terpisah dari tubuhnya.

Tetapi ternyata keris Ki Naga Samekta itu membentur kekuatan yang besar sekali. Bahkan tangan Ki Naga Samekta-lah yang menjadi sangat pedih. Hampir saja keris pusaka yang garang itu terlepas dari tangannya. Ketika Ki Naga Samekta berpaling, dilihatnya Kanjeng Pangeran Puger berdiri sambil tersenyum. Di tangannya tergenggam sebatang tombak pendek.

“Tenagamu besar sekali, Ki Sanak,” berkata Pangeran Puger.

Bagaimanapun juga jantung Ki Naga Samekta tergetar. Pada benturan yang pertama itu terasa, betapa besarnya tenaga Kanjeng Pangeran Puger. Justru pada saat ia mengayunkan kerisnya dengan sepenuh tenaga untuk menebas leher Ki lurah Adipraya. Jika kepala lurah pengawal itu terlepas, maka para pengawalnya tentu akan kehilangan keberaniannya.

Namun Kanjeng Pangeran Puger telah membentur kekuatan itu. Agaknya tangan Pangeran Puger sama sekali tidak tergetar karenanya. Tetapi Ki Naga Samekta itu tidak ingin menunjukkan getar di jantungnya itu. Sambil bergeser setapak iapun berkata, “Kebetulan sekali, Pangeran. Aku memang akan menemui Pangeran.”

“Kita sudah bertemu. Bersiaplah. Jangan dikira bahwa aku sama saja dengan seorang bayi yang harus mendapat perlindungan dari pemomongnya. Tetapi akupun mampu melindungi diriku sendiri.”

“Kanjeng Pangeran,” berkata Ki Lurah Adipraya, “biarlah aku menahan orang ini. Aku persilahkan Pangeran masuk ke ruang dalam.”

“Minggirlah, Ki Lurah. Sudah lama aku tidak bermain dengan tombakku ini.”

“Pangeran,” berkata Ki Naga Samekta, “aku memang ingin menemui Pangeran. Ada yang ingin aku bicarakan.”

“Tidak ada,” sahut Pangeran Puger, “kita akan berkelahi.”

“Kenapa harus berkelahi, jika kita dapat membicarakannya dengan baik-baik.”

“Tidak ada yang akan dibicarakan.”

“Ada, Pangeran.”

“Tidak. Bersiaplah. Aku akan mulai.”

“Kenapa Pangeran tergesa-gesa? Dengarlah, Aku akan bicara tidak terlalu banyak. Aku hanya ingin bertanya…”

Tetapi Pangeran Puger tidak mau mendengarkannya. Tiba-tiba saja tombaknya yang sudah merunduk mulai mematuk.

“Pangeran, dengarlah. Mungkin kita tidak perlu bertempur dan tidak perlu menitikkan darah.”

“Ki Lurah Agung Sedayu sudah menawarkannya kepada kalian. Letakkan senjata dan menyerah. Tetapi kalian tidak mau mendengarkannyanya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar