Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 347

Buku 347

Wajah Ki Gerba Lamatan menegang, katanya, “Ternyata kau sombong sekali, Ki Widura.”

“Ya. Aku memang seorang yang sombong. Kau lihat senjataku? Sebuah cambuk dan sebilah parang. Kau tentu dapat membaca pertanda itu. Bahwa aku adalah orang yang sangat sombong.”

Ki Gerba Lamatan menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Kita akan bertempur. Aku tidak akan sempat berpura-pura. Kaupun tidak akan sempat mempergunakan nyawamu yang kedua.”

Ki Widura tidak menjawab. Ki Gerba Lamatan pun kemudian telah mempersiapkan diri. Ditariknya sebilah luwuk pusakanya. Luwuk yang kehitam-hitaman. Pada tubuh senjata itu nampak guratan-guratan pamor yang bagaikan bercahaya.

“Widura,” berkata orang itu, “kau dapat mempergunakan parangmu untuk melawan pengikut-pengikut Saba Lintang itu. Tetapi kau tidak akan dapat mempergunakannya menghadapi senjataku yang aku banggakan ini.”

Ki Widura tidak menjawab. Namun Ki Widura itu pun sudah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, maka Ki Gerba Lamatan pun telah meloncat menyerangnya. Luwuknya terayun-ayun mengerikan. Ki Widura pun mengakui di dalam hatinya, bahwa luwuk itu adalah luwuk yang baik. Karena itu, Ki Widura tidak berani membenturkan parangnya yang dibelinya di pasar itu untuk membentur luwuk lawannya itu. Yang mungkin dilakukannya hanya menghindar atau menebas menyamping.

Ki Gerba Lamatan nampaknya dapat melihat kelemahan senjata Ki Widura. Justru karena itu, maka Ki Gerba Lamatan itu pun berusaha menekan Ki Widura dengan serangan-serangan yang datang bagaikan banjir bandang yang tidak terbendung. Dalam kesulitan itulah akhirnya Widura tidak lagi mempunyai kesempatan menghindari benturan parangnya dengan luwuk lawannya.

Ketika Ki Widura sedang terdesak, maka Ki Gerba Lamatan itu telah mengayunkan luwuknya dengan deras sekali. Sementara itu Ki Widura tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menghindar. Ia sudah berdiri lekat sebatang pohon yang besar. Karena itu, maka Ki Widura pun tidak mempunyai pilihan lain. Dengan jantung yang berdebaran Ki Widura telah membenturkan senjatanya, menangkis serangan Ki Gerba Lamatan.

Ketika benturan yang sangat keras itu terjadi, maka parang Ki Widura yang dibelinya di pasar itu pun berderak patah. Ki Widura meloncat ke samping selangkah. Ia berdiri termangu-mangu sejenak. Yang masih berada di tangannya tinggallah hulu parangnya.

“Senjatamu telah patah,” geram Ki Gerba Lamatan, “itu adalah perlambang bahwa seranganmu pun akan dengan mudah aku patahkan.”

Ki Widura itu pun kemudian berdiam berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dilemparkannya tangkai parang yang masih di genggaman. Kemudian tangan kanan Ki Widura itu telah menggenggam tangkai cambuknya. Cambuk yang berjuntai panjang. Sekali hentak, maka cambuk Ki Widura itu meledak dengan kerasnya bagaikan membelah langit.

Ki Gerba Lamatan itu bergeser surut. Dipandanginya Ki Widura dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Ternyata kau tidak lebih dari seorang gembala kerbau. Suara cambukmu memekakkan telinga. Tetapi tidak berarti apa-apa bagi mereka yang sedikit saja mengenal ilmu kanuragan.”

Ki Widura tidak menjawab. Namun ketika sekali lagi ia menghentakkan cambuknya, maka wajah Ki Gerba Lamatan pun menjadi tegang. Cambuk Ki Widura itu tidak lagi meledak bagaikan mengoyak selaput telinga. Tetapi getaran yang tajam terasa menyentuh jantung Ki Gerba Lamatan.

“Gila orang ini,” geram Ki Gerba Lamatan.

Ki Widura yang telah mampu menyempurnakan ilmunya setelah beberapa lama berada di padepokan Orang Bercambuk, memang telah sampai pada puncak kemampuannya. Sebagai seorang pemimpin dari sebuah padepokan yang disebut padepokan Orang bercambuk, maka Ki Widura telah mematangkan ilmu cambuknya. Dengan modal ilmu yang dipelajarinya dari berbagai cabang ilmu, serta kecerahan penalarannya, maka Widura yang bekerja keras itu telah mampu menjadikan dirinya seorang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian, maka ilmu cambuknya mempunyai beberapa perbedaan ciri dengan ilmu cambuk yang diturunkan langsung dari Kiai Gringsing.

Tetapi Ki Widura tidak pernah menyangkal bahwa ia adalah murid Kiai Gringsing. Bahkan lebih muda dari murid-murid utama Kiai Gringsing yang lain. Untuk menghadapi Ki Gerba Lamatan yang menggenggam pusaka kebanggaannya itu, maka Ki Widura telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Sementara itu di sisi lain, Ki Jayaraga bertempur dengan garangnya pula. Kapak kecil di tangannya berputaran seperti baling-baling. Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang yang berkelompok menghadapinya segera mengalami kesulitan. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah terpelanting keluar arena. Sebuah luka telah menganga di pundaknya. Luka oleh kapak kecil Ki Jayaraga yang dibelinya di pasar bersama Ki Widura.

Dengan demikian, maka orang-orang yang bertempur melawannya dalam kelompok itu pun menjadi semakin berhati-hati. Seorang yang bersenjata tombak pendek berusaha memancing perhatian Ki Jayaraga. Sementara itu, kawannya yang bersenjata golok yang besar menyerang dari samping, bersama dengan kawannya yang lain yang bersenjata bindi, yang mengayunkan bindinya dari belakang mengarah ke tengkuk Ki Jayaraga.

Namun dengan tangkasnya, Ki Jayaraga berloncatan. Tidak seorangpun di antara mereka yang berhasil menyentuhnya. Namun tiba-tiba saja terdengar teriakan kesakitan berbaur dengan kemarahan yang menghentak dada.

Orang yang bersenjata golok itulah yang terlempar dari arena. Lambungnya terkoyak oleh mata kapak Ki Jayaraga yang terayun mendatar. Namun orang-orang yang bertempur dalam kelompok itu pun segera menyibak. Seorang yang bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kumisnya yang tipis mendekatinya.

“Kau memang luar bisa, Ki Sanak,” desis orang itu.

Ki Jayaraga pun melangkah surut. Dilihatnya seorang yang berdiri menatapnya. Matanya yang cekung memancarkan getar gejolak di dalam dadanya.

“Kau siapa, Ki Sanak?” bertanya orang itu.

“Namaku Jayaraga, Ki Sanak. Kau?”

“Orang memanggilku Wirasekti. Aku adalah kepercayaan Ki Saba Lintang.”

“Apakah yang kau maksud dengan kepercayaan?”

“Banyak persoalan yang dihadapi oleh Ki Saba Lintang yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkannya sendiri. Aku selalu diajak berbincang untuk mencari jalan keluar. Selain untuk memecahkan beberapa masalah, maka aku adalah orang yang dapat berbagi perasaan dengan Ki Saba Lintang. Tidak ada lagi rahasianya yang disembunyikan dari penglihatanku. Ki Saba Lintang percaya bahwa aku tidak akan membocorkan rahasia itu kepada siapapun. Ki Saba Lintang pun percaya akan kesetiaanku kepadanya.”

“Kenapa hal itu kau nyatakan kepadaku?”

“Kau akan dapat mengukur, dengan siapa kau berhadapan. Kau akan segera menyadari, bahwa apa yang kau lakukan terhadap para pengikut Ki Saba Lintang itu tidak membuatku menjadi silau.”

“Apakah kau sadari, bahwa pengakuanmu itu membuatku semakin ingin menangkapmu dan memeras rahasia Ki Saba Lintang yang kau ketahui?”

Orang yang mengaku bernama Wirasekti itu tertawa. Katanya, “Jangan terlalu sombong, Ki Sanak. Bagaimana mungkin kau berniat menangkapku? Lihat, kawan-kawanmu sudah terdesak dihantam prahara kemampuan para pengikut Ki Saba Lintang. Orang-orangmu yang tidak seberapa jumlahnya itu akan habis sampai yang terakhir.”

“Apakah penglihatanmu dan penglihatanku berbeda? Para pengikut Ki Saba Lintang palsu yang bersenjata cambuk itu nampaknya akan segera mengusai medan.”

“Jangan bermimpi, Ki Jayaraga. Kau sendiri tentu akan segera mati. Aku adalah Wirasekti. Nama itu aku dapatkan dari Ki Saba Lintang yang merasa kagum akan kesaktianku.”

“Apakah kau benar-benar sakti? Siapakah yang lebih sakti, kau atau Ki Saba Lintang?”

“Pertanyaanmu aneh. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Ki Saba Lintang.”

“He? Kau belum pernah mendengar kekalahan Ki Saba Lintang selama ini?”

“Selama aku bersamanya, aku belum pernah melihat Ki Saba Lintang kalah dalam satu pertempuran atau perang tanding.”

“Agaknya kau memang belum lama menjadi kepercayaan Ki Saba Lintang, sehingga kau belum sempat melihat bahwa di Mataram ini banyak sekali orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui Ki Saba Lintang. Apalagi kau.”

“Mimpi buruk itu harus kau tanggalkan, Ki Jayaraga.”

“Wirasekti. Jika kau belum pernah melihat Ki Saba Lintang dikalahkan, maka hari ini kau akan melihatnya. Ki Saba Lintang itu akan dikalahkan oleh Ki Saba Lintang yang palsu itu. Meskipun Ki Saba Lintang yang palsu itu masih muda, tetapi kematangan ilmunya sudah melampaui kematangan ilmu Ki Saba Lintang.”

“Demikian jauhnya khayalmu mengembara, Ki Jayaraga. Baiklah. Sekarang aku akan membangunkanmu. Kau akan segera menyadari, bahwa kau berhadapan dengan Ki Wirasekti, seorang kepercayaan Ki Saba Lintang.”

Ki Jayaraga pun segera bersiap menghadapinya. Karena ia tidak melihat kepercayaan Ki Saba Lintang itu bersenjata, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Dimana senjatamu?”

“Aku belum memerlukannya, Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga pun kemudian meletakkan kapaknya di tanggul parit di pinggir jalan sambil berkata, “Baik. Aku pun belum memerlukan pusakaku itu. Pusaka peninggalan nenek moyangku sejak jaman Singasari.”

“Jaman Singasari? Tetapi aku lihat tangkai kapakmu itu baru.”

“Aku jarang sekali mempergunakannya, Wirasekti. Kapak ini buatan jaman Singasari. Karena itu, buatannya masih nampak kasar. Tetapi kapakku ini adalah kapak yang bertuah. Jika aku mempergunakannya, maka kau tidak akan mampu bertahan sepenginang.”

Wirasekti itu mengerutkan dahinya. Diperhatikannya kapak kecil Ki Jayaraga. Namun ketika kapak itu diletakkan di tanggul parit, maka Wirasekti pun tertawa sambil berkata, “Kau mencoba menipuku. Kapak peninggalan jaman Singasari tidak akan kau letakkan begitu saja di atas tanggul parit.”

“Kau masih belum mengenal watak dan sifat kapakku yang selalu haus. Di dekat aliran parit itu, maka kesegarannya akan sedikit mengendalikan keganasan kapak kecil itu. Jika kapak itu tidak basah oleh air yang memercik di rerumputan, maka ia akan terlalu cepat menghisap darah lawan-lawanku.”

Wajah Wirasekti menegang. Sementara Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Dengan demikian maka pertempuran menjadi tidak menarik, karena hanya akan berlangsung sebentar. Karena itu, maka aku lebih senang meletakkan kapakku sekarang ini, agar kita mempunyai kesempatan yang agak lama untuk bermain.”

“Bohong!” teriak Wirasekti.

Ki Jayaraga itu pun bertanya dengan nada tinggi, “Kau tidak percaya?”

“Ki Jayaraga. Kau tidak sedang berbicara dengan kanak-kanak yang baru dapat merengek minta mainan. Tetapi kau berbicara dengan kepercayaan Ki Saba Lintang. Karena itu, kau tidak usah mengigau. Sekarang bersiaplah. Jika kau ingin mengambil dan mempergunakan kapakmu, kenapa tidak kau lakukan? Kapakmu itu hanya pantas untuk memotong dahan-dahan kayu kering dari batang-batang kayu tua yang sudah hampir roboh.”

Ki Jayaraga pun segera mempersiapkan diri. Ia justru bergeser mendekati lawannya sambil berkata, “Marilah. Kita sudah terlambat mulai.”

Wirasekti pun segera mempersiapkan dirinya. Sebagai seorang yang merasa dirinya sakti, maka Wirasekti pun terlalu yakin akan dirinya. Ia merasa bahwa dalam waktu yang pendek, ia akan segera dapat mengalahkan lawannya itu.

Keduanya pun kemudian bergeser beberapa langkah. Namun tiba-tiba serangan Wirasekti pun menyambar Ki Jayaraga dengan derasnya, mengarah langsung ke dadanya. Ki Jayaraga memang agak terkejut mengalami serangan itu. Agaknya Wirasekti memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ia dapat bergerak demikian cepatnya tanpa membuat ancang-ancang. Namun Ki Jayaraga masih mampu mengelakkan diri, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.

Wirasekti terkejut. Ia sudah memastikan bahwa pada serangannya yang pertama itu lawannya akan terlempar dan jatuh terpelanting di tanah. Jika ia masih sempat bangkit, maka nafasnya tentu mulai mengganggunya, atau bahkan tulang iganya telah menjadi retak.

Tetapi serangannya itu sama sekali luput dari sasaran. Ketika kemudian Wirasekti berdiri menghadap Ki Jayaraga dan bersiap untuk meloncat menyerang, maka Ki Jayaraga pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.

Wirasekti mulai menggerakkan tangannya. lapun bergeser selangkah ke samping. Namun kemudian Wirasekti pun meloncat selangkah sambil menjulurkan tangannya. Ki Jayaraga yang sudah bersiap itu menangkisnya ke samping, sementara tangannya yang lain bergerak dengan cepat menyambar bahu. Tetapi Wirasekti sempat memiringkan tubuhnya sambil menebas tangan Ki Jayaraga. Tetapi di luar dugaannya, Ki Jayaraga itu pun telah memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar sejalan dengan putaran tabuhnya, menghantam kening.

Ki Wirasekti terkejut. Namun kaki Ki Jayaraga itu benar-benar menyambar kening Wirasekti, sehingga Wirasekti itu terpelanting jatuh berguling di tanah.

Dengan cepat Wirasekti meloncat bangkit. Kepalanya memang terasa menjadi pening. Bahkan untuk beberapa saat matanya menjadi kabur. Tetapi Ki Jayaraga tidak memburunya dan tidak memanfaatkan keadaan lawannya itu. Bahkan Ki Jayaraga seakan-akan telah memberi kesempatan lawannya untuk memperbaiki keadaannya.

Wirasekti menggeram. Namun dengan mengerahkan segenap tenaganya, Wirasekti itu meloncat sambil menjulurkan kakinya. Dengan bergeser selangkah, Ki Jayaraga telah terhindar dari serangan itu, sementara Ki Jayaraga meloncat sambil mengayunkan tangannya.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun berlangsung semakin sengit. Serangan demi serangan meluncur dari kedua belah pihak.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi itu pun telah menebar. Mereka tidak saja bertempur di jalan bulak. Tetapi mereka telah meloncat memasuki kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelah jalan. Tanaman yang hijau telah terinjak-injak kaki, berpatahan.

Di sana-sini terdengar ledakan cambuk yang memekakkan telinga. Meskipun jumlah para pengikut Ki Saba Lintang lebih banyak dari para cantrik, namun para cantrik yang terlatih itu mampu mengimbangi mereka.

Seorang cantrik yang harus bertempur melawan tiga orang sekaligus, tidak segera merasa terdesak. Cambuknya yang berputaran, meledak-ledak dengan kerasnya. Setiap sentuhan akan berakibat sangat buruk bagi lawannya. Kulit dan dagingnya akan terkoyak, sehingga darah pun akan segera mengalir dari luka yang menganga itu.

Seorang cantrik yang harus berhadapan dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang yang garang, harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi kedua orang lawannya. Seorang lawannya bersenjata canggah bertangkai pendek. Seorang lagi membawa pedang yang punggungnya berkait nge-ri pandan. Karena itu, maka cantrik itu pun harus sangat berhati-hati. Jika canggah itu sempat menekan lehernya, maka segala-galanya akan berakhir. Sementara itu punggung pedang yang nge-ri pandan itu akan dapat mengoyak dagingnya sehingga tersayat-sayat.

Namun dalam keadaan yang gawat, cantrik itu pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Putaran cambuknya menjadi semakin cepat. Sekali-sekali cambuknya menghentak sendal pancing, namun kemudian menyambar mendatar dengan cepatnya. Seorang di antara kedua lawannya itu pun berteriak nyaring ketika ujung cambuk cantrik itu menyambar betisnya. Satu hentakan yang kuat telah mengelupas kulit dagingnya sehingga sampai ke tulang.

Orang itu jatuh tersungkur. Meskipun ia berniat untuk segera bangkit, tetapi ia sudah tidak mampu lagi. Demikian ia berusaha, maka iapun segera terjatuh kembali. Darah mengucur dari luka di betisnya, sehingga terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Seorang kawannya berusaha menolongnya. Dipapahya orang itu menepi. Diikatnya kakinya dengan ikat kepalanya untuk mengurangi darah yang mengalir.

Demikianlah, maka para cantrik itu ternyata mampu mengejutkan para pengikut Ki Saba Lintang. Senjata mereka yang khusus memang membuat para pengikut Ki Saba Lintang itu cemas. Bahkan seorang cantrik yang bertempur melawan dua atau tiga orang lawannya, masih juga sempat tiba-tiba menghentakkan cambuknya menyerang orang yang bertempur melawan cantrik yang lain. Dengan demikian, maka para pengikut Ki Saba Lintang itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka ternyata tidak segera berhasil menguasai keadaan.

Dalam pada itu, sebagian besar dari orang-orang yang berada di pasar sudah meninggalkan pasar itu dengan tergesa-gesa. Tetapi beberapa orang yang memiliki keberanian masih juga bertahan untuk menyaksikan pertempuran yang terjadi beberapa puluh langkah dari pasar itu. Namun ternyata arena pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan pasar yang sudah menjadi semakin sepi.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun menjadi sangat marah karena ia tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih. Jika Ki Saba Lintang harus bertempur dan tidak mampu mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Saba Lintang masih dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang. Tetapi setelah ia menempa diri di setiap waktu yang memungkinkan selama petualangnya, ia masih saja belum dapat dengan cepat menguasai Glagah Putih.

Sebenarnyalah bahwa ilmu Glagah Putih pun menjadi semakin matang. Ketika ia menjalani laku untuk dapat bermain-main dengan rinding sebagaimana diwariskan oleh Ki Citra Jati, maka laku yang dijalaninya telah mempengaruhi kematangan ilmu yang sudah dimilikinya pula. Tenaga dalam, ketahanan tubuh serta tataran kemampuannya telah meningkat semakin tinggi. Karena itu, maka ketika ia harus berhadapan dengan Ki Saba Lintang, Glagah Putih mampu mengimbanginya meskipun Ki Saba Lintang sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Sementara itu, Rara Wulan masih bertempur dengan sengitnya melawan Gajah Modang. Meskipun Rara Wulan bagi Gajah Modang bagaikan seorang kerdil, ternyata bahwa Gajah Modang tidak segera dapat menangkapnya. Setiap kali ia mencoba menerkam, maka Rara Wulan itu tiba-tiba saja telah menyerang Gajah Modang dari arah yang tidak diduganya.

Ketika kaki Rara Wulan yang kecil itu menghantam lambung Gajah Modang, maka rasa-rasanya kaki yang kecil itu bagaikan sebongkah batu yang berat, yang dilontarkan oleh tangan raksasa mengenai lambungnya, sehingga Gajah Modang itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping.

“Kau jangan keras kepala, perempuan cantik,” berkata Gajah Modang. “Jangan menguji kesabaranku.”

“Kau pun jangan menjadi keras kepala, gajah mabuk. Kau tidak akan berhasil menangkap aku. Tubuhmu yang besar itu membuatmu menjadi sangat lamban bergerak. Kau menjadi seekor kucing tua yang malas. Kau tidak akan dapat menangkap seekor tikus yang muda dan tangkas.”

“Tetapi sekali kukuku sempat menerkam tubuhmu, maka kau tidak akan pernah terlepas lagi.”

Gajah Modang yang belum selesai berbicara itu terkejut. Kaki Rara Wulan terayun sejalan dengan putaran tubuhnya menyambar keningnya. Gajah Modang itu terdorong beberapa langkah ke samping, matanya rasa-rasanya menjadi kabur. Kepalanya menjadi pening. Tubuhnya yang besar itu pun kemudian telah terbanting jatuh berguling di tanah. Rara Wulan sengaja tidak memburunya. Ia menunggu Gajah itu bangkit berdiri.

“Iblis betina, kau,” geram Gajah Modang, “aku tidak akan mengekang diri lagi. Aku tidak lagi berniat menangkapmu hidup-hidup.”

“Lakukan apa yang akan kau lakukan. Tetapi aku pun akan melakukan apa yang ingin aku lakukan.”

“Persetan kau, perempuan gila.”

Rara Wulan bergeser surut ketika Gajah Modang itu melangkah maju mendekat. Dengan garangnya Gajah Modang itu pun telah menyerang lawannya yang kecil itu. Ia benar-benar tidak lagi mengekang dirinya. Ia tidak lagi ingin menangkap Rara Wulan hidup-hidup, yang akan dapat dipergunakan sebagai umpan bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

“Syukur bila aku dapat menangkapnya hidup-hidup. Jika tidak, apa boleh buat. Ia tidak boleh terlepas dari tangan kami,” berkata Gajah Modang itu di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka serangan Gajah Modang pun menjadi semakin sengit. Bagaikan ombak yang bergulung-gulung menghantam bukit-bukit karang di pantai terjal.

Namun Rara Wulan tidak membentur serangan-serangan Gajah Modang, Tetapi Rara Wulan menjadikan dirinya seperti sebuah kelapa yang sudah tua yang mengambang dan terombang-ambing di permukaan. Namun sebuah kelapa yang tua tidak akan pernah ditenggelamkan oleh ombak yang betapapun besarnya.

Keringat Gajah Modang pun membasahi seluruh tubuhnya. Pakaiannya bahkan seakan-akan baru dibenamkan ke dalam air sebelum dicuci.

Sementara itu, Rara Wulan yang kecil itu berloncatan dengan tangkasnya. Sekali-sekali tubuhnya meluncur menyerang bagian-bagian terlemah dari, tubuh Gajah Modang. Gajah Modang menjadi kehabisan akal. Apapun yang dilakukan, tidak mampu mencegah perempuan itu menyakitinya. Bahkan semakin lama menjadi semakin nyeri.

Dalam pada itu, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh Ki Saba Lintang. Orang-orangnya tidak segera menguasai medan. Bahkan orang-orang berilmu tinggi yang sempat dibujuknya untuk bekerja bersamanya, tidak pula segera mengatasi lawan-lawan mereka.

“Ternyata kemampuan mereka tidak seimbang dengan nama mereka,” berkata Ki Saba Lintang di dalam hatinya. “Bahkan Gajah Modang pun tidak segera berhasil menguasai perempuan itu. Perempuan yang terlalu kecil dibandingkan dengan tubuhnya sendiri.”

Bahkan Ki Saba Lintang pun harus melihat kenyataan, bahwa para pengikutnya yang jumlahnya lebih banyak dari para pengikut Glagah Putih itu tidak segera mampu mengalahkan mereka. Bahkan orang-orangnya-lah yang telah terlempar dan terpelanting dari medan.

Tetapi Ki Saba Lintang pun melihat, bahwa orang-orangnya masih belum kalah. Belum ada pihak yang menguasai medan sepenuhnya. Bahkan Ki Saba Lintang masih melihat, orang-orangnya sempat mendesak para pengikut Glagah Putih yang jumlahnya lebih kecil.

Dalam pada itu, Gerba Lamatan pun melihat keadaan itu. Bahkan Gerba Lamatan merasa tidak telaten melihat kelambanan para pengikut Ki Saba Lintang. Dua orang muridnya ada di dalam pasukan Ki Saba Lintang itu. Ternyata kedua orang muridnya itu mampu menjadi penggerak utama bagi pasukan Ki Saba Lintang.

Namun Ki Gerba Lamatan sendiri ternyata tidak dapat segera menguasai Ki Widura. Bahkan ujung cambuk Ki Widura itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulitnya. Ujung cambuk itu mematuk bagaikan kepala ular weling yang bisanya sangat tajam. Sentuhan ujung cambuk itu sudah dapat mengoyakkan pakaiannya, serta membuat kulitnya menjadi pedih.

“Gila orang ini. Cambuknya membuat jantungku menjadi berdebar-debar.”

Sebenarnyalah bahwa ujung cambuk itu rasa-rasanya selalu memburunya kemampuan ia beringsut. Seolah-olah di ujung cambuk itu terdapat mata yang sangat tajam, yang melihat gerak dan bahkan arah gerak yang masih akan dilakukan.

Apalagi ketika Ki Widura melihat keadaan murid-muridnya yang seakan-akan terkepung oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang jumlahnya memang lebih banyak. Ki Widura itu memperhitungkan, bahwa jika ia tidak segera mampu melepaskan diri dari lawannya dan membantu murid-muridnya, maka murid-muridnya akan benar-benar terdesak. Karena itu, maka Ki Widura pun telah meningkatkan ilmunya. Ia berusaha segera mengatasi lawannya yang bersenjata sebuah luwuk yang kehitam-hitaman itu.

Namun pada saat yang bersamaan, Gerba Lamatan juga berniat untuk menghentikan perlawanan Ki Widura. Karena itu, maka luwuknya pun segera berputaran di sekitar tubuhnya, seperti perisai kabut yang kehitam-hitaman menyelimuti dirinya. Ki Widura menjadi semakin berhati-hati. Ketika tiba-tiba saja Gerba Lamatan meloncat sambil menjulurkan luwuknya, maka terasa udara menjadi panas.

Ki Widura segera meloncat mundur. Ia sadar bahwa Gerba Lamatan telah sampai ke puncak ilmunya. Ia tidak saja mengandalkan luwuk pusakanya. Tetapi pada putaran luwuk yang kehitam-hitaman itu telah terpancar ilmunya yang mampu memanasi udara di sekitarnya. Namun udara yang panas itu terasa semakin lama menjadi semakin menebar. Dengan demikian, maka Ki Widura menjadi agak kesulitan untuk mendekatinya, karena dengan demikian ia harus menerobos ke dalam udara yang mulai menjadi panas.

“Gila orang ini,” geram Ki Widura di dalam hatinya, “ternyata aku agak terlambat.”

Ketika segumpal awan yang kehitam-hitaman meluncur ke arahnya, maka Ki Widura harus segera melenting mengambil jarak. Jika kabut yang kehitam-hitaman itu sempat menyentuhnya, maka tubuhnya tentu akan terkoyak. Luka pun akan segera menganga. Sementara itu, panas udara bagaikan menghisap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Keringat pun bagaikan terperas.

“Aku tidak dapat membiarkan diriku tenggelam ke dalam kekuatan ilmunya,” berkata Ki Widura di dalam hatinya. Betapapun panasnya, aku harus mampu menggapai tubuhnya dengan ujung cambukku.”

Dengan demikian, maka Ki Widura pun segera mengambil ancang-ancang. Ia tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, jumlah lawan yang banyak itu pun rasa-rasanya mulai menekan murid-muridnya. Karena itu, maka betapapun panasnya udara yang ditimbulkan oleh kemampuan ilmu lawannya, harus ditembusnya sehingga ujung cambuknya dapat menggapai tubuh lawannya.

Sementara itu, Gerba Lamatan yang melihat Ki Widura dalam kesulitan, segera meloncat memburunya. Ia tidak ingin memberinya waktu untuk dapat melepaskan diri dari terkamannya. Namun Ki Widura tidak akan meloncat lebih jauh. Ketika Gerba Lamatan meloncat mendekatinya dengan putaran luwuknya yang bagaikan kabut yang kehitam-hitaman serta udara panas di sekitarnya, maka Ki Widura pun telah menyongsongnya. Dengan ketajaman penglihatannya, maka Ki Widura membidik pergelangan tangan Ki Gerba Lamatan yang sedang memutar luwuknya. Dalam udara yang bagaikan membakarnya, Ki Widura menghentakkan cambuknya.

Hentakan cambuk di tangan Ki Widura itu sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Tetapi justru karena itu, maka kekuatan hentakan cambuk Ki Widura yang dilandasi dengan kekuatan tenaga dalamnya yang sangat besar, serta puncak ilmu cambuknya, membuat hentakan cambuknya itu mempunyai tenaga yang luar biasa. Tetapi panas udara di sekitar tubuh Gerba Lamatan telah menyebabkan Ki Widura harus membuat jarak jika ia tidak mau hangus terbakar di dalamnya. Sehingga karena itu, maka ujung cambuknya tidak dapat membelit pergelangan tangan Gerba Lamatan. Apalagi tangan Gerba Lamatan itu bergerak dengan cepat memutar luwuknya.

Meskipun demikian, namun ujung cambuk Ki Widura itu sempat menyentuh tangan Gerba Lamatan sedikit di bawah sikunya. Terdengar Gerba Lamatan berteriak dan mengumpat kasar. Kulit tangannya, sedikit di bawah sikunya, telah terkelupas hingga sampai ke tulang. Darah pun mengalir dengan derasnya, sehingga Gerba Lamatan harus berloncatan surut mengambil jarak. Ki Widura tidak sempat memburu lawannya. Tubuhnya yang bagaikan dipanggang dalam api itu rasa-rasanya telah kehilangan tenaganya. Ki Widura harus mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk dapat masih tetap berdiri tegak.

Untuk beberapa saat pertempuran itu pun bagaikan terhenti. Ki Widura masih berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Angin yang berhembus perlahan, sedikit membuat tubuh Widura menjadi agak segar. Tetapi bagian dalam tubuhnya yang seolah-olah telah menjadi matang oleh udara panas yang dihisapnya saat bernafas, masih saja terasa nyeri. Sementara itu, Gerba Lamatan berdiri tegak sambil menggeram. Darah masih saja mengalir dari nadinya yang terputus oleh sentuhan ujung cambuk Ki Widura.

Gerba Lamatan pun kemudian memberi isyarat seorang pengikut Ki Saba Lintang mendekatinya. Agaknya Gerba Lamatan memerintahkan orang itu untuk mengikat lengannya di atas siku dengan ikat kepala, untuk mengurangi arus darah yang keluar dari lukanya. Ki Widura yang merasa tubuhnya lemah itu sempat melihat, apa yang dilakukan oleh pengikut Ki Saba Lintang itu. Bahwa seseorang berada dekat dengan Gerba Lamatan, memberikan isyarat kepadanya bahwa Gerba Lamatan tidak sedang mengetrapkan ilmu apinya.

“Mungkinkah Gerba Lamatan mampu mengatur kekuatan ilmunya sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang terbakar oleh panas apinya?”

Tetapi Ki Widura pun tidak mau melepaskan kesempatan yang mungkin akan menguntungkannya. Dengan sisa tenaganya, maka Ki Widura pun bergerak sambil mengayunkan cambuknya.

“Gila kau, Widura!” Gerba Lamatan berteriak. Didorongnya orang yang sedang mengikat tangannya itu meskipun masih belum cukup erat. Dengan cepat Gerba Lamatan mengetrapkan ilmunya yang memancarkan udara panas dari dalam dirinya. Tetapi kekuatan api itu tidak dengan serta-merta membuat udara mendidih di sekitar tubuhnya. Selagi udara merambat menjadi semakin panas, Ki Widura telah menyerang Gerba Lamatan dengan cambuknya.

Dengan tangan kirinya Gerba Lamatan menangkis serangan Ki Widura yang menghentakkan sisa-sisa tenaganya. Tetapi Gerba Lamatan terkejut ketika cambuk Ki Widura justru membelit senjatanya. Satu hentakan yang keras, ujung cambuk Ki Widura telah merenggut luwuk Gerba Lamatan yang digenggamnya dengan tangan kirinya, yang tidak sekuat tangan kanannya yang terluka.

Namun pada saat yang bersamaan, udara pun mulai terasa menjadi semakin panas. Gerba Lamatan yang kehilangan senjatanya itu sudah siap meloncat untuk menerkam Ki Widura. Gerba Lamatan berusaha melingkarkan tangan kirinya ke leher Ki Widura dan tidak melepaskannya. Apapun yang dilakukan oleh Ki Widura, namun Ki Widura akan terpanggang dalam panasnya ilmunya. Tetapi meskipun tubuhnya sudah menjadi semakin lemah, namun Widura sempat menyongsong lawannya dengan hentakan cambuknya sendal pancing.

Ujung cambuk Widura itu tepat mengenai leher Gerba Lamatan. Ujung cambuk yang dihentakkan sendal pancing itu tidak membelit leher, tetapi ujungnya bagaikan mengoyak tubuh lawan. Tidak terdengar teriakan. Tidak pula keluhan. Tubuh itu pun terbanting jatuh di tanah dan tidak bergerak lagi.

Ki Widura yang lemah setelah menghentakkan cambuknya, tenaganya bagaikan terhisap ke ujung cambuknya. Sejenak Ki Widura itu terhuyung-huyung. Untunglah seorang muridnya dengan cepat menangkap tubuhnya yang hampir terjatuh.

“Guru,” desis cantrik itu.

“Aku tidak apa-apa,” berkata Ki Widura, “aku hanya kehabisan tenaga.”

Namun ketika ia menarik nafas panjang dan dadanya terasa nyeri, maka Ki Widura itu pun sadar bahwa udara panas yang dihisapnya telah melukai bagian dalam tubuhnya.

Dipapah oleh muridnya, Ki Widura pun menepi. Ketika seorang pengikut Ki Saba Lintang mencoba menyerangnya, maka seorang cantriknya telah meloncat sambil menghentakkan cambuknya. Pengikut Ki Saba Lintang itu meloncat menghindar. Namun ujung cambuk itu bergerak mendatar menggapai kakinya. Ketika ujung cambuk itu membelitnya, maka cantrik itu menariknya dengan sekuat tenaga.

Pengikut Ki Saba Lintang itu terpelanting. Namun ketika cantrik itu berusaha untuk memburunya, maka seorang pengikut Ki Saba Lintang yang lain telah menyerangnya dengan mengayunkan goloknya. Cantrik itu dengan cepat berusaha menguraikan cambuknya, kemudian memutar cambuknya di atas kepalanya. Dengan demikian maka pengikut Ki Saba Lintang itu harus mengurungkan serangannya. Ia justru bergeser surut ketika ujung cambuk itu seakan-akan terjulur mematuknya.

Ki Widura pun kemudian duduk di bawah sebatang pohon. Seorang di antara orang-orang berilmu tinggi yang bekerja sama dengan Ki Saba Lintang telah terbunuh oleh cambuk Ki Widura.

Kematian Gerba Lamatan memang telah mengguncang medan. Gajah Modang yang bertempur melawan Rara Wulan pun menggeram, “Seorang kawanmu telah membunuh kawanku. Tidak ada pilihan lain kecuali membunuh semua orang yang telah mengacaukan rencana kami. Kaupun akan kuremas menjadi debu dan akan kutaburkan di sepanjang jalan di Tanah Perdikan Menoreh.”

Rara Wulan tidak menyahut. Namun ia melihat mata Gajah Modang itu bagaikan menyala. Dengan demikian, maka Gajah Modang pun menjadi semakin garang. Ayunan tangannya menggetarkan udara, bagaikan tiupan angin pusaran. Namun Rara Wulan bergerak semakin cepat. Tubuhnya yang seakan-akan hanyut dibawa angin pusaran, tiba-tiba saja menggeliat. Loncatan-loncatan yang cepat kadang-kadang telah mengejutkan Gajah Modang.

Yang jantungnya berguncang atas kematian Gerba Lamatan ternyata bukan hanya Gajah Modang. Tetapi Candik Sore dan Tunggak Petung pun terkejut pula. Bahkan Ki Saba Lintang sendiri telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dari lawannya. Ki Saba Lintang ingin meyakinkan dirinya, apakah Gerba Lamatan benar-benar telah mati. Ki Saba Lintang memang sempat melihat tubuh Gerba Lamatan diangkat oleh dua orang kawannya menepi. Tetapi tubuh itu sama sekali sudah tidak bergerak.

“Gila orang bercambuk itu,” geram Ki Saba Lintang.

“Jangan sesali,” sahut Glagah Putih, “kawan-kawanku menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu, maka mereka pun menjadi sangat berhati-hati.”

“Orang bercambuk yang membunuh Ki Gerba Lamatan itu juga akan mati.”

“Tidak. Orang itu berhasil memperbaiki keadaannya. Ia sempat mengatur pernafasannya. Mengembangkan daya tahannya untuk mengatasi perasaan sakit di tubuhnya.”

Namun sebenarnyalah bahwa Ki Widura masih belum dapat berbuat banyak. Dadanya masih terasa sakit. Meskipun ia sudah mencoba mengatasinya dengan mengatur pernafasannya serta mengembangkan daya tahan tubuhnya, namun nyeri di dadanya itu masih saja terasa menyengat.

“Kematian Gerba Lamatan telah membuat semua orang yang bertempur bersamaku marah. Kalian akan menyesalinya, karena aku tidak akan dapat lagi mengendalikan mereka. Mereka akan membunuh kalian semuanya sampai orang yang terakhir.”

“Itu adalah mimpimu, Ki Saba Lintang. Tetapi guru yang terluka itu membuatku marah juga. Semua cantrik akan menjadi marah, dan sahabat-sahabat guru pun akan marah pula. Bukankah itu berarti bahwa nasibmu dan kawan-kawanmu akan menjadi sangat buruk? Perintah yang aku terima dari Mataram adalah menangkapmu hidup atau mati. Karena itu, jika aku membunuhmu, aku sama sekali tidak dapat dianggap bersalah.”

“Jangan mengigau. Kau akan mati sekarang juga.”

Ki Saba Lintang pun meningkatkan ilmunya pula. Bahkan Ki Saba Lintang telah mulai mengayunkan tongkat baja putihnya. Tongkat yang sedikit lebih panjang dari tongkat baja putih yang dimiliki oleh Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi perbedaan itu tidak segera tampak oleh mata wadag.

Tongkat baja putih itu di tangan Ki Saba Lintang menjadi sangat garang. Ketika tongkat itu berputar, maka di sekeliling Ki Saba Lintang seakan-akan ditabiri dengan kabut yang keputih-putihan. Kabut yang tidak mudah untuk ditembus, karena setiap sentuhan kabut yang keputih-putihan itu berarti sentuhan dengan putaran tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar melihat putaran tongkat baja putih itu. Bahkan tiba-tiba saja tongkat baja putih itu menggeliat di tangan Ki Saba Lintang, kemudian mematuk lurus ke arah dada Glagah Putih. Glagah Putih harus berloncatan surut. Sementara itu, kabut yang keputih-putihan itu telah melingkari tubuh Ki Saba Lintang lagi.

Glagah Putih menyadari bahwa dengan tangan dan kakinya, ia tidak mungkin menembus putaran tongkat baja putih itu. Karena itu. maka sejenak kemudian Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya, yang bukan ikat pinggang kebanyakan.

Ki Saba Lintang yang melihat lawannya yang masih lebih muda daripadanya itu mengurai ikat pinggangnya, justru bergeser surut setapak. Ia sadar, jika lawannya itu mempergunakan ikat pinggangnya, maka ikat pinggang itu tentu bukan ikat pinggang sebagaimana ikat pinggang yang dipakainya.

Karena itu, maka Ki Saba Lintang pun berdesis, “Darimana kau dapatkan ikat pinggang itu?”

“Aku mendapatkannya dari seorang sesepuh di Mataram. Ikat pinggang pusaka ini akan dapat mengimbangi kelebihan tongkat baja putihmu, Ki Saba Lintang. Karena sebenarnya tongkat baja putih itu tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain hanya sebuah pertanda, bahwa siapa yang memiliki tongkat baja putih adalah mereka yang berhak memimpin Perguruan Kedung Jati. Tetapi jika Mbokayu Sekar Mirah juga memiliki pertanda seperti yang kau miliki tetapi tidak ingin memimpin Perguruan Kedung Jati, maka tidak ada orang yang dapat memaksanya.

“Tidak ada orang yang akan memaksa Sekar Mirah untuk memimpin Perguruan Kedung Jati. Tetapi tongkat baja putih itu adalah milik perguruan, yang harus kembali kepada perguruan. Ia harus dipegang oleh seseorang yang memimpin Perguruan Kedung Jati, siapapun orangnya.”

“Lupakan, Ki Saba Lintang. Kau yang justru telah menimbulkan keresahan di Mataram, maka kau-lah yang harus ditangkap dan dihadapkan kepada para pemimpin di Mataram. Apa yang akan ditrapkan kemudian kepadamu, aku tidak tahu. Keadilan ada di tangan para pemimpin di Mataram.”

“Kau memang sombong sekali. Tetapi kesombonganmu akan berakhir hari ini.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tatapi iapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah menyala kembali. Dua orang yang berilmu tinggi dengan senjata mereka yang khusus. Namun Ki Saba Lintang memang harus mengakui bahwa ikat pinggang di tangan lawannya itu bukan ikat pinggang kebanyakan. Karena itu, maka Ki Saba Lintang pun harus menghadapinya dengan sangat berhati-hati.

Tidak terlalu jauh dari Glagah Putih, Rara Wulan masih bertempur melawan Gajah Modang. Raksasa yang memiliki tenaga yang kuat sekali. Beberapa kali serangan Rara Wulan berhasil mengenainya sehingga Gajah Modang itu terlempar jauh serta berguling beberapa kali. Namun iapun segera bangkit kembali. Sejenak ia menyeringai kesakitan. Namun sejenak kemudian, seakan-akan rasa sakit itu telah hilang sama sekali. Dengan demikian, maka Rara Wulan harus mengerahkan tenaganya untuk menundukkan lawannya yang memiliki tenaga dan daya tahan yang besar sekali itu.

Sementara itu, untuk membalas dendam bahwa Ki Citra Jati telah membuat telinganya cacat, Candik Sore masih harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun Candik Sore sudah bekerja keras selama beberapa tahun untuk meningkatkan ilmunya, namun ia tidak segera dapat mengatasi lawannya.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang yang sempat pula menyimak apa yang terjadi di medan pertempuran, mulai menjadi bimbang. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, murid-murid dari perguruan bercambuk itu seakan-akan telah mengamuk sejak Ki Widura terluka.

Pertempuran itu ternyata telah bergeser. Siapapun yang mendesak dan siapapun yang terdesak, namun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan pasar. Orang-orang yang berada di pasar, benar-benar telah menyingkir keluar. Beberapa orang yang memiliki keberanian untuk menonton pertempuran itu telah menjauh pula. Mereka tidak tahu, siapakah sebenarnya yang sedang bertempur itu. Siapa melawan siapa.

Beberapa orang sempat berbisik di antara mereka, “Ternyata yang disebut Ki Saba Lintang itu palsu.”

“Lalu apa untungnya mereka memalsukan nama Ki Saba Lintang serta Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Entahlah.”

Orang-orang yang menonton pertempuran itu hanya dapat melihat orang-orang yang bertempur tanpa mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya di antara mereka. Ki Tunggak Petung yang semula meremehkan Nyi Citra Jati, ternyata harus mengakui bahwa perempuan tua itu berilmu tinggi. Beberapa kali Ki Tunggak Petung justru terlempar jatuh. Namun dengan tangkasnya Ki Tunggak Pentung pun segera bangkit kembali.

Ternyata jumlah yang lebih banyak tidak menjamin bahwa mereka akan segera mampu mengakhiri dan memenangkan pertempuran. Ternyata para pengikut Ki Saba Lintang telah membentur kekuatan yang besar meskipun jumlahnya lebih sedikit. Para cantrik yang marah pun telah menghentak-hentakkan cambuk mereka. Serangan-serangan mereka datang bagaikan angin prahara. Setiap sentuhan diiringi dengan teriakan nyaring, keluhan atau umpatan-umpatan kasar.

“Tidak ada yang dapat kalian banggakan, Candik Ala,” berkata Ki Citra Jati sambil meloncat menghindari serangan lawannya.

“Persetan kau, Citra Jati. Kau tidak akan dapat tetap berbangga dengan kemenanganmu beberapa tahun yang lalu. Hari ini kau akan melihat kenyataan, bahwa masa jayamu sudah menjadi semakin surut, dan bahkan akan berakhir di sini.”

“Menyerahlah. Mungkin kau masih mempunyai kesempatan untuk menebus segala kesalahan yang pernah kau lakukan, Candik Ala. Tetapi jika aku membunuhmu sekarang, maka semua pintu sudah tertutup bagimu. Kau akan mati sebagai seorang yang berlumur lumpur yang kotor dan yang tidak akan dapat dibersihkan lagi.”

“Yang akan mati sekarang adalah kau, Citra Jati.”

Ki Citra jati tidak menjawab. Tetapi orang tua itu pun meningkatkan serangan-serangannya, sehingga Ki Candik Sore itu pun harus berloncatan mundur mengambil jarak.

“Tidak ada gunanya, Citra Jati. Kau hanya berhasil menghentak sesaat. Tetapi sebentar kemudian, semuanya akan berhenti dan berakhir.”

Baru saja mulut Candik Sore itu terkatup, kaki Ki Citra jati yang menebas mendatar bersamaan dengan putaran tubuhnya telah menghantam dadanya, sehingga Ki Candik Sore itu terpelanting dan jatuh berguling. Ketika dengan tangkasnya Ki Candik Sore itu meloncat bangkit, maka Ki Citra Jati berdiri tegak dengan kaki renggang, sengaja menunggu lawannya itu mempersiapkan diri untuk bertempur kembali.

“Sudah aku katakan, Candik Ala. Kau tidak mempunyai kesempatan lagi.”

Ki Candik Sore tidak menjawab lagi. Dengan sepenuh tenaga, Ki Candik Sore menjulurkan kakinya ke arah dada lawannya. Namun Ki Citra jati sudah siap menghadapinya. Karena itu, demikian kaki itu terjulur, maka dengan kedua tangannya Ki Citra jati menebas kaki Ki Candik Sore menyamping. Demikian kerasnya, sehingga Ki Candik Sore itu terpelanting ke samping tanpa dapat  mempertahankan keseimbangannya.

Sekali lagi tubuh Ki Candik Sore itu roboh. Namun sekali lagi Ki Candik Sore itu meloncat bangkit. Namun dengan demikian, terasa punggungnya menjadi semakin sakit. Tetapi Ki Candik Sore bertahan untuk tidak mengaduh lagi atau mengeluh kesakitan. Bahkan ia berusaha untuk menyembunyikan kesan, betapa punggungnya mulai terasa nyeri.

Sementara itu, Tunggak Petung pun justru merasa semakin menemui kesulitan dengan kecepatan gerak Nyi Citra Jati. Perempuan itu benar-benar memiliki Ilmu yang tinggi, sehingga setiap kali Tunggak Petung harus berloncatan mengambil jarak.

Kesulitan yang dialami oleh kawan-kawannya itu sempat dilihat oleh Ki Saba Lintang. Betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hatinya, namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu.

“Nama-nama mereka hanyalah semacam perut katak pohon yang dapat menggelembung itu,” berkata Ki Saba Lintang di dalam hatinya, “tetapi gelembung itu kosong. Hanya berisi udara yang tidak berarti apa-apa.”

Ki Saba Lintang pun harus berpikir untuk mengatasinya. Cepat, tanpa ada kesempatan untuk mencari pertimbangan. Ki Saba Lintang memang sempat terkejut ketika ia melihat Gajah Modang itu terlempar beberapa langkah surut, sehingga tubuhnya menghantam sebatang pohon. Gajah Modang itu pun kemudian terjatuh di tanah sambil menyeringai menahan sakit di tubuhnya. Bahkan ia tidak lagi dengan cepat meloncat bangkit. Tetapi Gajah Modang itu bangkit perlahan-lahan.

“Perempuan itu mulai merendahkannya,” berkata Ki Saba Lintang di dalam hatinya. “Ia tidak mau memburu dan mempergunakan kesempatan baik itu untuk menghancurkan lawannya. Tetapi dengan sombong dibiarkannya Gajah Modang untuk dapat bangkit berdiri serta bersiap untuk bertempur kembali.”

Namun Rara Wulan pun yakin, bahwa seandainya kekuatan dan kemampuannya dapat dihimpunnya lagi, namun tentu tidak akan penuh sebagaimana sebelumnya. Karena itu, maka Rara Wulan pun membiarkan Gajah Modang itu menghirup udara dalam-dalam. Mengendapkannya di dalam dada kemudian dihempaskannya keluar sampai tuntas. Gajah Modang mengulanginya beberapa kali. Dibiarkannya Gajah Modang berdiri dan menarik satu kakinya ke belakang, sedikit merendah, kemudian mengangkat kedua tangannya serta menurunkannya perlahan-lahan di samping tubuhnya.

Namun Rara Wulan itu termangu-mangu sejenak melihat sikap Gajah Modang. Beberapa saat kemudian, maka iapun segera berdiri tegak. Mengangkat tangannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan merapat. Kemudian menyilangkan dan membukanya perlahan-lahan.

Tiba-tiba saja tubuh Gajah Modang itu menjadi segar kembali. Ketika ia meloncat mendekati Rara Wulan, maka tidak ada tanda-tanda bagian dalam tubuhnya terluka atau tulang belakangnya retak. Gajah Modang masih tetap seperti Gajah Modang sebelumnya.

Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia ingin membuktikan, apakah Gajah Modang itu benar-benar telah menjadi pulih kembali. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera meloncat menyerang.

Seperti sebelumnya, gerak Rara Wulan cepat, cekatan seperti burung sikatan menyambar belalang. Namun sebenarnyalah bahwa Gajah Modang telah pulih kembali. Ia sudah mampu bergerak dengan kekuatan penuh. Serangan-serangannya membuat udara bergetar.

“Gila orang ini,” geram Rara Wulan di dalam hatinya, “ilmu apakah yang telah membuatnya segera pulih kembali, meskipun tubuhnya telah diguncang oleh serangan yang keras?”

Tetapi Rara Wulan tidak sempat menduga-duga. Gajah Modang telah mulai dengan serangan-serangannya yang sangat berbahaya.

Ki Saba Lintang yang melihat Gajah Modang menjadi pulih kembali sempat tersenyum. Katanya, “Perempuan yang berperan sebagai Nyi Lurah Agung Sedayu itu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Ia akan kehabisan tenaga. Kemudian Gajah Modang akan menangkapnya. Karena perempuan itu ditangkap dalam pertempuran, maka Gajah Modang berhak memilikinya. Selain itu, perempuan itu akan dapat menjadi taruhan.”

“Sudah aku katakan. Cara itu tidak akan berhasil.”

“Aku akan mencobanya. Mungkin Nyi Lurah Agung Sedayu mempunyai pikiran lain dengan pikiranmu. Kau masih lebih muda, sehingga kau masih dibayangi oleh mimpi-mimpimu sebagai seorang pahlawan. Mungkin Nyi Lurah Agung Sedayu lebih melihat kenyataan daripada harus mengorbankan seseorang, meskipun orang itu siap menjadi pahlawan.”

“Kerjamu akan sia-sia. Jika kalian mampu membunuh, membunuhlah. Tetapi kami pun berusaha untuk membunuh kalian.”

“Mungkin kau tidak akan mengalami nasib seburuk seorang perempuan.”

“Tidak ada bedanya. Batas akhir dari perjuangan ini adalah kematian. Tetapi jika kami berhasil, maka kami-lah yang akan menebarkan kematian di antara kalian.”

Ki Saba Lintang tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara tertawanya serta suara ayunan tongkatnya, seperti suara angin yang kencang yang bertiup di atas bulak panjang. Glagah Putih pun segera berloncatan pula. Ikat pinggangnya adalah senjata yang jarang ada duanya. Karena itu maka betapapun juga serangan Ki Saba Lintang masih saja terus membentur pertahanan Glagah Putih yang kokoh. Bahkan ikat pinggang itu kadang-kadang memaksa Ki Saba Lintang berloncatan surut. Ikat pinggang itu kadang-kadang menebas seperti sebilah pedang. Namun kadang-kadang lentur membelit sasarannya.

Pertempuran yang bergeser itu menjadi semakin dekat dengan pasar. Kedai-kedai di depan pasar itu sudah menutup pintunya, serta orang-orang yang ada di dalamnya telah meninggalkan kedai-kedai itu. Orang-orang yang menonton pertempuran itu pun sudah menjadi semakin jauh. Mereka berlindung di balik gubug-gubug di dalam pasar atau sudut-sudut kedai yang berjajar di pinggir jalan depan pasar.

Dalam pada itu, Rara Wulan yang bertempur melawan Gajah Modang pun telah menjadi semakin dekat dengan kedai yang sudah menutup pintunya itu. Ketika dengan sekuat tenaganya Rara Wulan bagaikan terbang sambil mengulurkan kakinya menghantam dada Gajah Modang, maka Gajah Modang pun telah terlempar menimpa dinding kedai yang ada di ujung.

Ternyata demikian kerasnya tubuh Gajah Modang yang menimpa dinding itu, maka dinding itu pun telah terkoyak di sudutnya. Sepotong kayu tulang-tulang dinding itu menimpa tubuh Gajah Modang.

Gajah Modang menyeringai kesakitan. Dengan susah payah ia berusaha menyingkirkan kayu yang menimpanya. Kemudian berusaha untuk bangkit berdiri sambil terbongkok-bongkok.

Namun sejenak kemudian, Gajah Modang telah menarik satu kakinya ke belakang. Sedikit merendah pada lututnya, serta membuat gerakan-gerakan yang khusus, sehingga sejenak kemudian, tubuh Gajah Modang itu pun telah menjadi segar kembali. Gajah Modang itu seakan-akan sudah tidak lagi merasakan sakit di tubuhnya.

Selangkah demi selangkah iapun bergeser maju mendekati Rara Wulan sambil tertawa. Katanya, “Wajahmu menjadi merah. Tetapi kau justru menjadi bertambah cantik. Marilah, kita tuntaskan pertempuran ini. Sebentar lagi tenagamu sudah akan terkuras habis.”

Rara Wulan pun kemudian yakin, bahwa tenaga dalam serta daya tahan Gajah Modang itu sangat besar. Karena itu, maka dalam waktu yang pendek Gajah Modang sudah dapat mengesampingkan perasaan sakit dan nyeri tubuhnya. Semuanya dapat diatasinya dengan cepat, sehingga Gajah Modang itu telah menjadi segar kembali.

Sebenarnyalah bahwa tenaga Rara Wulan pun seakan-akan telah terperas. Perempuan itu harus mengerahkan tenaganya. Setiap kali ia dapat melemparkan Gajah Modang itu dari arena, maka setiap kali Gajah Modang itu pun segera bersiap untuk meneruskan pertempuran. Bahkan semakin sering Rara Wulan mengenainya dan menyakitinya, maka Gajah Modang itu seakan-akan menjadi semakin cepat pula berhasil menyingkirkan rasa sakitnya. Bahkan ketika Rara Wulan tidak memberinya waktu sama sekali, Gajah Modang itu justru seakan-akan menjadi kebal. Terdengar suara tertawa Gajah Modang itu berkepanjangan.

Nampaknya diperlukan waktu bagi Gajah Modang untuk mengetrapkan sejenis ilmu kebalnya. Jika ia dapat dipacu dengan waktu, maka keadaannya tentu akan menjudi sangat buruk. Tetapi Rara Wulan tidak menyadarinya sejak semula. Karena itu, setiap kali Rara Wulan justru seakan-akan memberikan waktu kepada Gajah Modang untuk memperbaiki keadaannya. Semakin lama, ilmunya pun menjadi semakin mapan, sehingga setelah Gajah Modang itu mampu melampaui waktu yang diperlukan, maka ia benar-benar bagaikan menjadi kebal. Serangan-serangan Rara Wulan tidak lagi dapat menyakitinya.

Rara Wulan pun mulai menjadi gelisah. Sementara itu, ia harus mengerahkan tenaganya untuk menghindari terkaman Gajah Modang. Jika saja Gajah Modang dapat menangkapnya, maka sulit bagi Rara Wulan untuk melepaskan dirinya. Dalam keadaan yang sangat sulit, terdengar suara Nyi Citra Jati yang bertempur tidak terlalu jauh dari Rara Wulan, “Jangan menunggu kau kehabisan tenaga, Wulan.”

Rara Wulan pun segera menyadari keadaannya. Ia merasa bahwa sudah berada di bawah bayangan kekuatan lawannya. Karena itu, maka ia harus segera berusaha melepaskan dirinya. Satu-satunya cara adalah berusaha menembus perisai ilmu kebalnya yang semakin lama menjadi semakin mapan.

“Aku tidak boleh menunggu sampai ilmu kebalnya tidak tertembus,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Karena itu, maka Rara Wulan pun mulai mengatur serangan-serangannya. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, maka ketika terbuka kesempatan, Rara Wulan meloncat sambil menjulurkan kakinya mengarah ke dada Gajah Modang. Demikian kerasnya, sehingga Gajah Modang itu terlempar beberapa langkah surut. Meskipun Gajah Modang itu dengan cepat dan bahkan seakan-akan tidak dengan tenggang waktu sama sekali mampu mengatasi rasa sakitnya serta sesak di dadanya, namun Gajah Modang memerlukan waktu untuk menegakkan keseimbangannya. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia melihat Gajah Modang terhuyung-huyung. Kemudian berusaha untuk tetap berdiri tegak.

Ketika Gajah Modang kemudian berdiri dengan mantap, maka Rara Wulan pun telah memusatkan nalar budinya. Demikian Gajah Modang sambil tertawa melangkah mendekatinya, maka Rara Wulan pun siap melepaskan puncak ilmunya yang diwarisinya dari Nyi Citra Jati. Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Gajah Modang terkejut melihat sikap Rara Wulan. Namun ia terlambat untuk menanggapinya. Sejenak kemudian, kekuatan Aji Pacar Wutah itu pun telah meluncur lurus mengarah ke dada Gajah Modang. Gajah Modang memang berusaha untuk menghindar. Tetapi terlambat. Ia tidak menduga, bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu sudah memiliki ilmu pada tataran yang sedemikian tinggi.

Gajah Modang masih sadar sepenuhnya ketika dadanya bagaikan tertimpa batu segunung anakan. Namun hanya sekilas. Tiba-tiba saja nafasnya terhenti, dan Gajah Modang pun tersuruk ke dalam ketiadaan. Yang nampak kemudian adalah wadagnya yang terpelanting dan kemudian terbanting jatuh berguling di tanah.

Kekuatannya yang besar serta daya tahannya yang tumbuh semakin kokoh, sehingga menjadi perisai yang melindungi tubuhnya sebagaimana ilmu kebal, ternyata tidak mampu menahan derasnya kekuatan Aji Pacar Wutah yang dilontarkan oleh Rara Wulan. Perisai yang melindungi dirinya pun telah pecah, sehingga bagian dalam dadanya pun bagaikan terbakar.

Kematian Gajah Modang telah menggemparkan arena pertempuran. Ki Saba Lintang pun tidak mengira, bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu mampu mengalahkan Gajah Modang. Bahkan membunuhnya.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang melihat akibat serangan Rara Wulan dengan berlandaskan Aji Pacar Wutah itu telah membesarkan hati mereka. Mereka bersukur, bahwa lewat Rara,Wulan, ilmu itu akan dapat memberikan arti kepada banyak orang.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun sempat berkata, “Nah, apalagi Ki Saba Lintang?”

“Persetan dengan Gajah yang lapuk itu. Ia pantas mati.”

“Kau akan berkata seperti itu pada setiap kematian. Terakhir kau pun akan berkata, bahwa kau sendiri juga pantas mati.”

Kemarahan telah membakar jantung Ki Saba Lintang. Sambil berteriak nyaring Ki Saba Lintang itu memutar tongkat baja putihnya semakin cepat. Serangan-serangannya pun melanda Glagah Putih seperti angin prahara. Tongkat baja putih itu sekali-sekali terjulur lurus menggapai dada di arah jantung. Namun ketika tongkat baja putih itu lepas dari sasaran, maka tongkat itu pun terayun ke arah kepala. Tetapi dengan tangkas pula Glagah Putih menghindar atau menangkis dengan ikat pinggangnya.

Namun yang tidak di ketahui oleh Glagah Putih serta sekelompok pendukungnya adalah teriakan nyaring Ki Saba Lintang. Glagah Putih semula mengira bahwa teriakan itu adalah teriakan kemarahan yang menghentak-hentak di dalam dada. Tetapi bagi para pengikut Ki Saba Lintang, teriakan itu mempunyai arti yang lain.

Ternyata Ki Saba Lintang tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Kematian dua orang berilmu tinggi di dalam kelompoknya, merupakan isyarat buruk baginya. Perempuan yang masih terhitung muda itu, serta orang yang berhasil membunuh Gerba Lamatan, akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya bagi para pengikutnya, dan bahkan bahwa orang-orang berilmu tinggi yang telah bersedia bekerja bersamanya akan terancam pula. Mereka akan dapat bergabung dengan kawan-kawannya untuk menghentikan perlawanan kawan-kawan Ki Saba Lintang yang berilmu tinggi. Tanpa mereka, kawan-kawannya telah menemui kesulitan menghadapi lawan-lawan mereka.

Dalam pada itu beberapa saat setelah terdengar teriakan Ki Saba Lintang, maka arena pertempuran pun seakan-akan bergejolak. Seperti permukaan air yang tiba-tiba diguncang oleh arus pusaran yang dahsyat. Para pengikut Ki Saba Lintang berusaha mengacaukan medan dengan menyerang siapa saja tanpa memilih lawan. Bahkan Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga juga mendapat serangan membabi buta.

Para cantrik yang tiba-tiba ditinggalkan oleh lawan-lawan mereka memang agak menjadi bimbang menanggapi suasana yang tidak segera dimengerti itu. Mereka melihat para pengikut Ki Saba Lintang berlari-larian. Ada di antara mereka yang melontarkan pisau-pisau belati kecil ke arah orang-orang berilmu tinggi yang bertempur di pihak Glagah Putih.

Sejenak kemudian pertempuran memang menjadi kacau. Mereka menyerang sambil berlari-larian di sela-sela kedai yang berdiri berjajar di pinggir jalan.

Glagah Putih terlambat menyadari bahwa kesengajaan untuk menimbulkan gejolak di arena pertempuran itu adalah usaha para pengikut Ki Saba Lintang melindungi para pemimpin mereka. Mereka berusaha untuk memberikan peluang kepada para pemimpin mereka untuk melarikan diri. Saat-saat yang demikian itu adalah saat-saat para pengikut Ki Saba Lintang harus bersedia mengorbankan diri. Bahkan mengorbankan hidupnya untuk keselamatan para pemimpin mereka. Jika seorang pengikut Ki Saba Lintang tidak tanggap dan tidak melakukan sebagaimana yang harus mereka lakukan, maka mereka pun akhirnya akan mengalami kesulitan pula.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, ketika Glagah Putih harus menghindari serangan-serangan dari beberapa pengikut Ki Saba Lintang yang tiba-tiba saja datang, Glagah Putih telah kehilangan lawan yang sebenarnya. Ketika para cantrik berusaha untuk menghalau para pengikut Ki Saba Lintang itu atau memaksa mereka bertempur melawan para cantrik itu, Ki Saba Lintang telah menyelinap ke balik sebuah sudut kedai di pinggir jalan itu.

Glagah Putih yang menyadari akan keadaan itu segera berusaha memburunya. Namun Glagah Putih benar-benar telah terlambat. Pertempuran yang kacau itu masih saja terjadi. Sementara para pengikut Ki Saba Lintang dengan sengaja telah menghambatnya sejauh dapat mereka lakukan, tanpa menghiraukan keselamatan mereka sendiri.

Namun ternyata yang terjadi tidak saja menghilangnya Ki Saba Lintang, tetapi Ki Wirasekti yang bertempur melawan Ki Jayaraga pun telah menghilang pula. Ki Wirasekti seakan-akan terhisap ke dalam kekisruhan di medan pertempuran itu, sehingga hilang di antara para pengikut Ki Saba Lintang yang lain.

Demikian pula Ny Citra Jati. Tunggak Petung itu bagaikan lenyap di dalam kabut yang berputaran. Yang tidak berhasil lolos adalah Ki Candik Sore. Tetapi Ki Candik Sore sendiri memang tidak berusaha untuk meninggalkan lawannya. Ketika para pengikut Ki Saba Lintang berputaran di sekitarnya, sebelum para cantrik menyusul mereka, ia justru berteriak, “Pergi! Jangan ganggu aku. Kesempatanku membalas dendam adalah hari ini. Mungkin aku tidak akan menemukan kesempatan seperti ini lagi.”

Para pengikut Ki Saba Lintang tidak dapat memaksanya. Justru Ki Citra Jati-lah yang berkata kemudian, “Jika kau tidak lari, Candik Sore, maka lawanmu akan menjadi banyak sekali.”

“Aku tidak akan gentar. Tetapi sebelumnya, aku ingin kau menghadapi aku sebagai seorang laki-laki. Sesudah kau mati, lakukan apa yang akan dilakukan oleh kawan-kawanmu. Mungkin mereka akan membunuhku beramai-ramai. Tetapi aku tidak akan ingkar dari kematian itu, setelah dendamku lunas.”

“Bagaimana jika kau tidak dapat membunuhku, tetapi yang terjadi justru sebaliknya?”

“Tidak apa-apa. Aku akan mati sebagai laki-laki.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya sambil tersenyum, “Baiklah. Kita akan berhadapan sebagai laki-laki.”

“Bagus. Sejak semula aku memang yakin bahwa kau akan menerima tantanganku. Perang tanding.”

Dengan demikian, maka Ki Citra Jati dari Ki Candik Sore itu pun segera bersiap untuk menghadapi perang tanding. Pertempuran di antara mereka yang tidak akan diganggu oleh siapapun juga. Nyi Citra Jati yang kehilangan lawannya pun hanya dapat berdiri memperhatikan apa yang akan terjadi, tanpa dapat mencampurinya.

Dalam pada itu, pertempuran pun semakin lama menjadi semakin menyusut. Sebagian dari para pengikut Ki Saba Lintang sempat melarikan diri. Namun sebagian yang lain tidak dapat lolos dari tangan para cantrik. Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga berusaha untuk dapat menemukan lawan-lawan mereka. Terutama Ki Saba Lintang. Namun agaknya Ki Saba Lintang telah menyusup ke padukuhan di sebelah pasar dan hilang di antara dinding-dinding halaman.

Beberapa saat Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga bersama beberapa orang cantrik masih berusaha. Namun Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengikutnya itu bagaikan hilang ditelan bumi. Ketika Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga yakin bahwa mereka tidak dapat menemukannya lagi, mereka pun telah kembali ke bekas arena pertempuran di depan pasar. Namun ternyata Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga terkejut. Mereka masih melihat Ki Citra Jati bertempur.

“Ibu,” desis Glagah Putih sambil mendekati Nyi Citra Jati.

“Keduanya sepakat untuk berperang tanding, Ngger. Mereka adalah musuh lama yang tiba-tiba saja bertemu di sini. Persoalan di antara mereka bahkan tidak ada hubungannya dengan Ki Saba Lintang.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Jika keduanya sudah sepakat untuk berperang tanding, maka Glagah Putih serta yang lain-lain tidak dapat mengganggu mereka. Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah berkata kepada Rara Wulan, “Rara, tolong, lihat bagaimana keadaan Ayah Widura.”

“Baik, Kakang.”

“Rasa-rasanya aku tidak dapat meninggalkan perang tanding ini.”

Rara Wulan pun segera bergeser, menemui Ki Widura yang masih duduk di tempat yang terlindung bayangan dedaunan yang rimbun.

“Bagaimana keadaan Ayah?” bertanya Rara Wulan.

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Aku sudah menjadi semakin baik, Rara. Bagaimana dengan Glagah Putih serta yang lain?”

“Mereka melarikan diri dengan licik, Ayah.”

“Kalian tidak berhasil mengejarnya?”

“Mereka menghilang seperti hantu.”

“Lalu, apa yang tersisa itu?”

“Ayah. Maksudku, Ki Citra Jati.”

“Kenapa Ki Citra Jati masih bertempur seorang diri?”

“Mereka terlibat dalam perang tanding. Agaknya Ki Citra Jati dan lawannya itu mempunyai persoalan mereka sendiri, sehingga mereka telah menempuh jalan yang mereka pilih bersama untuk menyelesaikan persoalan mereka.”

“Maksudmu?”

“Mereka memilih berperang tanding, Ayah.”

“Perang tanding?”

“Ya.”

Ki Widura menarik nafas panjang. Katanya, “Aku akan menyaksikan perang tanding itu.”

“Apakah keadaan Ayah sudah memungkinkan?”

“Aku sudah berangsur baik.”

Dibantu oleh seorang cantrik, maka Ki Widura pun bangkit berdiri. Bahkan kemudian iapun berkata, “Aku akan berjalan sendiri. Keadaanku sudah menjadi semakin baik.”

Ki Widura benar-benar berjalan sendiri ke arena pertempuran. Ketika seorang cantrik berusaha untuk membantunya, Ki Widura berkata, “Aku akan berjalan sendiri.”

Rara Wulan dan dua orang cantrik pun kemudian berjalan mengiringi Ki Widura mendekati arena, sementara yang lain menjaga para pengikut Ki Saba Lintang yang tertawan. Untuk menghindari kemungkinan yang tidak dikehendaki, maka para cantrik itu pun telah mengikat tangan para tawanan itu. Dengan tubuh yang masih lemah, Ki Widura mendekati arena perang tanding itu. Glagah Putih yang berada di pinggir arena sempat menyongsongnya dan kemudian berdiri di sebelahnya.

Sementara itu, perang tanding itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sedangkan dendam yang membara rasa-rasanya telah membuat darah Ki Candik Sore bagaikan mendidih. Beberapa tahun ia telah menempa diri meningkatkan ilmunya, agar ia dapat mengimbangi ilmu orang yang telah menghinakannya. Orang yang telah membuatnya cacat serta merendahkan derajadnya. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata Ki Citra Jati pun tidak terhenti. Meskipun umurnya menjadi semakin tua, tetapi umur itu tidak menghentikan perkembangan ilmunya.

Karena itu, maka Ki Candik Sore pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun kemampuan Ki Citra Jati tidak dapat diimbanginya. Beberapa kali Ki Candik Sore harus berloncatan mengambil jarak. Berapa kali Ki Candik Sore terdorong dan bahkan terlempar dari arena. Kemarahan Ki Candik Sore bagaikan akan meledakkan jantungnya. Ia tidak mempunyai pilihan lain. Ki Candik Sore harus melepaskan ilmu puncaknya.

Ki Candik Sore pun menyadari, bahwa Ki Citra Jati tentu memiliki pula aji pamungkas yang dibanggakan. Namun, apapun yang akan terjadi, Ki Candik Sore sudah bersiap untuk menerimanya. Bahkan apabila ia harus lebur menjadi debu.

Ki Citra Jati pun segera menyadari bahwa Ki Candik Sore akan segera mengetrapkan ilmu simpanannya. Meskipun Ki Citra Jati yakin bahwa ia akan dapat mengatasinya, setidak-tidaknya mengimbanginya, namun Ki Citra Jati tidak ingin menyelesaikan perang tanding itu sampai tuntas. Ia memang tidak ingin membunuh.

Adalah di luar dugaan, ketika tiba-tiba saja Ki Citra Jati telah melontarkan gelang-gelang baja yang bergayut pada ikat pinggangnya. Gelang-gelang baja itu meluncur dengan derasnya bagaikan lingkaran cahaya yang menyilaukan Ki Candik Sore.

Karena itu, yang tidak diduga itu pun telah terjadi. Orang yang berdiri di sekitar arena itu memperhitungkan bahwa Ki Candik Sore akan segera sampai ke kemampuan puncaknya, sebagaimana diduga oleh Ki Citra Jati. Kemudian Ki Citra Jati akan membenturnya dengan ilmu pamungkasnya pula. Benturan dua kekuatan ilmu raksasa itu tentu akan menimbulkan akibat yang buruk pada kedua belah pihak. Namun mereka memperhitungkan, setelah mereka melihat kelebihan Ki Citra Jati, bahwa Ki Citra Jati akan mampu menandingi ilmu lawannya.

Tetapi yang terjadi adalah di luar perhitungan mereka. Sebelum Ki Candik Sore bersiap untuk melepaskan ilmunya, ternyata Ki Citra Jati telah melakukannya. Tetapi bukan dengan ilmu Pacar Wutah yang telah diwarisinya bersama Nyi Citra Jati selagi mereka berguru bersama. Tetapi Ki Citra Jati telah melontarkan ilmunya yang lain.

Adalah di luar dugaan, ketika tiba-tiba saja Ki Citra Jati telah melontarkan gelang-gelang baja yang bergayut pada ikat pinggangnya. Gelang-gelang baja itu meluncur dengan derasnya bagaikan lingkaran cahaya yang menyilaukan. Ki Candik Sore pun terkejut. Bahkan terdengar desis Nyi Citra Jati, “Kakang? Apa yang telah kau lakukan?”

Namun sebelum mereka yang berdiri di sekitar arena itu mengedipkan matanya, mereka melihat Ki Candik Sore terdorong beberapa langkah surut. Sebenarnyalah bahwa Ki Candik Sore tidak menduga sama sekali atas serangan yang kesannya tiba-tiba, dan dilontarkan pada saat Ki Candik Sore sedang mempersiapkan dirinya untuk melepaskan ilmu puncaknya. Ki Candik Sore berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya. Dengan susah payah Ki Candik Sore berusaha untuk tidak jatuh terguling di tanah.

Ki Candik Sore memang tidak terpelanting jatuh. Tetapi perasaan sakit yang luar biasa telah menusuk-nusuk dadanya, sehingga Ki Candik Sore itu pun akhirnya berlutut di sebelah kakinya. Tubuhnya menjadi lemah, seakan-akan tulang-tulangnya telah menjadi lunak.

“Kau curang, Ki Citra Jati.”

“Kenapa? Bukankah kita sedang berperang tanding? Bukankah kita masing-masing sudah bersiap sejak perang tanding ini dimulai? Apakah setiap kali aku harus memberimu peringatan agar kau berhati-hati?”

“Kau menyerang dengan tiba-tiba,” suara Ki Candik Sore menjadi parau.

“Kita sudah saling menyerang sejak semula. Kenapa kau dapat mengatakan bahwa aku telah menyerangmu dengan tiba-tiba?”

“Tetapi yang kau lakukan, sama sekali tidak aku duga.”

“Itu salahmu.”

Ki Candik Sore masih akan berbicara lagi. Tetapi tiba-tiba titik-titik darah nampak di sela-sela bibirnya. Bagian dalam dada Ki Candik Sore telah terluka. Perlahan-lahan Ki Citra Jati melangkah mendekatinya. Dengan nada datar iapun berkata, “Jangan mencoba mengetrapkan ilmu pamungkasmu, apapun namanya. Hentakkan tenaga landasan ilmumu akan dapat membunuhmu. Kau terluka di bagian dalam tubuhmu.”

“Kau licik sekali.”

“Tidak, aku tidak licik.”

“Sekarang, jika kau akan membunuhku, bunuhlah. Aku memang sudah tidak berdaya untuk melawanmu.”

Ki Citra Jati justru mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian diambilnya sebutir reramuan obat-obatan dan diberikannya kepada Ki Candik Sore.

“Telanlah.”

Ki Candik Sore terkejut. Sambil berlutut pada satu kakinya, iapun berkata, “Kesombonganmu masih juga belum menyusut juga.”

“Kau masih mempunyai kesempatan untuk berbuat apa saja jika kau masih hidup. Tetapi jika kau mati, maka semuanya sudah berakhir bagimu. Tetapi tidak bagiku.”

“Setan kau, Citra Jati.”

Ki Citra Jati tidak menjawab. Namun Ki Candik Sore pun menerima sebutir obat itu dan kemudian menelannya.

“Aku tidak peduli seandainya yang kau berikan ini racun,” geram Ki Candik Sore.

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Dengan sungguh-sungguh iapun berkata, “Jika aku ingin membunuhmu, aku dapat melakukannya dengan mudah. Aku tidak perlu mempergunakan racun itu.”

“Kenapa tidak kau lakukan?”

“Sudah aku katakan. Jika kau mati, maka segala-galanya sudah berakhir.”

“Kau menganggap bahwa permainan kita masih ada kelanjutannya kelak?”

“Terserah kepadamu.”

Ki Candik Sore termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mencoba berdiri tegak.

“Obat itu akan membantumu. Sekarang, pergilah. Tinggalkan tempat ini.”

“Jadi kau benar-benar berharap bahwa kita akan dapat melanjutkan permainan kita?”

“Sudah aku katakan. Segala sesuatunya terserah kepadamu.”

“Baik,” berkata Ki Candik Sore, “aku memerlukan waktu satu tahun untuk dapat membuat ilmuku lebih tinggi dari ilmumu.”

Ki Citra Jati tidak menjawab.

Dengan langkah gontai Ki Candik Sore pun meninggalkan arena pertempuran. Beberapa pasang mata memandanginya dengan jantung yang berdebar. Namun Ki Candik Sore itu berjalan saja dengan tanpa menghiraukan mereka.

“Kenapa kau pilih cara ini, Kakang?” bertanya Nyi Citra Jati kepada suaminya.

Ki Citra Jati menarik napas panjang Katanya, “Sebenarnya aku merasa malu kepada Glagah Putih, Rara Wulan dan sanak kadang yang berada di sini.”

“Kenapa ayah?” bertanya Glagah Putih.

“Aku adalah orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Ketika semua orang berusaha untuk dapat menangkap Ki Saba Lintang, maka aku hanya mengurusi diriku sendiri. Persoalanku sendiri, yang tidak ada hubungannya dengan tongkat baja putih Ki Saba Lintang. Nampaknya Ki Saba Lintang telah berhasil melarikan diri, sehingga Glagah Putih gagal merampas tongkat baja putihnya dan membawanya ke Mataram.”

“Tetapi Ayah juga sudah melibatkan diri. Seandainya orang ini tidak berdiri berhadapan dengan Ayah, mungkin ia akan dapat mengganggu keseimbangan pertempuran di arena ini.”

“Tetapi aku menyesal bahwa aku tidak dapat membantu memburu Ki Saba Lintang. Karena itu, maka aku akhiri saja perang tanding ini tidak sampai tuntas. Biarlah persoalannya aku selesaikan sendiri pada kesempatan lain, tanpa merampas perhatian serta mengganggu tugas yang lebih besar.”

“Bukankah Ayah sebenarnya dapat menuntaskan perang tanding ini? Bagaimanapun juga perang tanding itu sudah berlangsung, Ayah,” berkata Glagah Putih.

Ki Citra Jati menarik napas panjang. Sementara itu Nyi Citra Jati pun berkata, “Jadi Kakang sengaja menunda akhir dari perang tanding ini?”

“Ya. Aku tidak mau menunggu Candik Sore mengetrapkan ilmu puncaknya.”

“Aku mengerti, Ki Citra Jati,” berkata Ki Jayaraga, “jika orang itu sempat mengetrapkan ilmu puncaknya, maka ia justru akan mati. Benturan antara ilmu puncak Ki Candik Sore dengan ilmu puncak Ki Citra Jati akan mengakhiri segala usaha Ki Candik Sore.”

“Mungkin aku memang seorang yang sombong seperti dikatakan oleh Candik Sore. Aku merasa bahwa setidak-tidaknya aku mampu mengimbangi ilmu puncaknya. Namun Jika ternyata ada selisih ilmu, salah seorang di antara kami akan mati.”

“Ya. Ki Citra Jati tentu akan membunuh Ki Candik Sore.”

“Ya. Dan Kakang tidak mau melakukannya pada saat seperti ini,” sahut Nyi Citra Jati.

“Aku justru merasa bersalah. Jika saja aku dapat ikut menangkap Ki Saba Lintang.”

“Ayah,” berkata Glagah Putih, “kita tidak dapat menyalahkan diri sendiri. Ki Saba Lintang memang memiliki kelebihan. Para pengikutnya demikian setia dan patuh menjalankan perintahnya, bahkan harus mengorbankan nyawanya sekalipun.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sekarang, setelah kita kehilangan Ki Saba Lintang, apakah yang akan kita lakukan?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa apa yang kita lakukan ini sia-sia. Kita dapat meyakinkan orang-orang Mataram, bahwa selama ini cerita tentang Nyi Lurah Agung Sedayu yang menyatukan diri dengan Ki Saba Lintang adalah ceritera bohong semata-mata. Bahkan fitnah yang keji, yang sengaja dilontarkan untuk menyudutkan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kita juga harus mencari perempuan yang selama ini mengaku sebagai Nyi Lurah Agung Sedayu?”

Tetapi Ki Jayaraga pun menggeleng. Katanya, “Kita tidak akan menemukannya sekarang. Meskipun kita dapat memaksa salah seorang pengikut Ki Saba Lintang itu berbicara, namun perempuan itu tentu sudah pergi. Ki Saba Lintang akan dapat menemui perempuan itu lebih dahulu dan membawanya pergi, sebelum kita sampai ke sarangnya.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Perbedaan yang sekejap saja telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk meninggalkan sarangnya, sementara itu kalian tertahan di sini karena aku.”

“Tidak, Ayah,” berkata Glagah Putih, “kami sudah berusaha untuk memburunya. Tetapi Ki Saba Lintang itu telah hilang. Kami tidak dapat menemukannya lagi. Baru setelah itu kami datang kemari.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

“Nah. Sebaiknya kita beristirahat lebih dahulu di depan pasar yang sudah lengang itu. Kita akan dapat menentukan, langkah apakah yang akan kita ambil,” berkata Ki Jayaraga.

Ki Citra Jati mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Agaknya kita memang memerlukan istirahat barang sejenak.”

Beberapa saat kemudian, sekelompok orang yang berpihak kepada Glagah Putih itu pun duduk beristirahat di pinggir jalan di depan pasar. Beberapa orang tawanan yang dijaga oleh para cantrik dengan tangan terikat, berada di dalam pasar yang sudah sepi itu.

Sambil duduk beristirahat, maka mereka pun telah sepakat untuk bersama-sama pergi ke Jati Anom. Mereka akan menyerahkan para tawanan itu kepada para prajurit Mataram yang berada di Anom. Baru kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi ke Mataram. Sementara Ki Jayaraga, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Demikianlah, ketika keringat mereka sudah kering, serta keadaan sudah nampak lebih tenang, maka Glagah Putih serta Ki jayaraga telah menemui Ki Bekel padukuhan yang agak besar itu.

“Atas nama Mataram, karena kami sedang mengemban perintah, maka kami serahkan korban pertempuran ini kepada Ki Bekel untuk dikuburkan.”

Ki Bekel tidak dapat menolak. Glagah Putih telah memberikan sedikit keterangan tentang tugas yang diembannya atas perintah Ki Patih Mandaraka di Mataram.

“Kami akan meninggalkan tempat ini. Kami akan berusaha menemukan orang yang bernama Ki Saba Lintang itu,” berkata Glagah Putih.

“Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Bekel, “kami tentu tidak dapat menolaknya. Kami akan melakukannya.”

“Terima kasih,” berkata Glagah Putih kemudian.

Ketika Glagah Putih dan Ki Jayaraga kembali ke pasar, maka Ki Bekel itu pun telah mengikut pula untuk berkenalan dengan beberapa orang yang telah membantu Glagah Putih.

“Kami akan membawa tawanan ini ke Jati Anom,” berkata Glagah Putih, “tetapi sudah tentu kami tidak akan membawa mereka yang telah terbunuh di pertempuran ini.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi, kami harus mengubur orang-orang yang terbunuh itu?”

“Ya.”

“Tetapi dengan demikian, apakah tidak menimbulkan persoalan dengan kawan-kawan mereka yang terbunuh itu?”

“Seharusnya mereka berterima kasih kepada Ki Bekel, bahwa kawan-kawan mereka telah kalian selenggarakan dengan baik.”

“Tetapi mungkin mereka mengira bahwa kami telah berpihak?”

“Tidak. Mereka tahu bahwa kalian tidak berpihak. Mereka tahu bahwa aku datang atas nama Mataram.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kecemasan memang nampak di wajahnya.

“Ki Bekel,” berkata Ki Jayaraga, “betapapun bengisnya seseorang, namun mereka akan menghormati orang-orang yang telah berbuat baik kepada kawan-kawannya. Jika kalian menguburkan mereka dengan baik, maka kawan-kawannya akan berterima kasih kepada Ki Bekel. Tetapi jika Ki Bekel membiarkan mayat itu terkapar tanpa berbuat sesuatu, maka akibatnya akari menjadi buruk sekali. Daerah ini akan dijauhi orang-orang. Mungkin akan menyebar penyakit menular karena mayat-mayat yang membusuk. Sementara itu pasar itu pun akan mati. Tetapi jika Ki Bekel dengan bantuan penghuni padukuhan yang besar ini menguburkan mereka, maka dalam sepekan, suasana tentu sudah akan pulih kembali di daerah ini.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti, Ki Sanak.”

“Pertempuran yang terjadi memang tidak dapat kami ingkari. Kami mendapat perintah untuk menangkap Ki Saba Lintang.”

“Ki Saba Lintang telah membuat kami kebingungan. Ada dua pasang laki-laki dan perempuan yang disebut Ki Saba Lintang serta Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Semuanya palsu. Aku dan istriku sama sekali bukan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Yang sebelumnya sering berkeliaran dan mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu pun hanyalah fitnah semata-mata. Mungkin Ki Saba Lintang itu tidak palsu. Tetapi Nyi Lurah Agung Sedayu tidak pernah berada bersamanya. Apalagi bergabung dengan Ki Saba Lintang.”

Ki Bekel menarik nafas, panjang. Sementara Glagah Putih berkata, “Nah, selamat tinggal, Ki Bekel. Untuk selanjutnya Ki Bekel tidak usah menjadi bingung karena keberadaan Ki Saba Lintang di daerah ini.”

“Ya, Ki Sanak,” Ki Bekel itu mengangguk-angguk.

Glagah Putih itu pun berkata pula, “Daerah ini akan menjadi daerah pengawasan prajurit Mataram, khususnya yang berada di Jati Anom. Jika kalian masih melihat Ki Saba Lintang berkeliaran di sini, maka kalian dapat melapor kepada para prajurit Mataram itu. Kami akan segera datang untuk kalau mungkin menangkapnya.”

“Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Bekel kemudian. Namun masih terasa keragu-raguan pada getar suaranya.

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan serta mereka yang berada di pihaknya telah meninggalkan tempat itu. Seperti yang mereka sepakati, maka mereka akan membawa para tawanan ke Jati Anom. Memang bukan jarak yang terlalu dekat. Tetapi menyerahkan para tawanan kepada para prajurit adalah jalan yang paling baik bagi mereka. Sementara itu, para cantrik yang terluka agak parah telah mendapat kesempatan untuk mempergunakan kuda yang ada. Untunglah bahwa tidak seorangpun di antara para cantrik yang terbunuh di pertempuran itu, meskipun dari sepuluh orang cantrik, tujuh orang telah terluka. Tetapi hanya dua orang yang lukanya agak berat. Sedangkan yang lain hanya sekedar tergores senjata, namun tidak berbahaya.

Kedatangan mereka di barak pasukan Mataram yang berada di Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara, memang agak mengejutkan. Namun Glagah Putih pun segera memberikan penjelasan tentang pertempuran yang terjadi melawan Ki Saba Lintang serta para pengikutnya

“Aku berniat untuk menjelajahi lereng-lereng pegunungan serta ngarai di sekitar daerah ini untuk mencarinya. Aku dapat mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di Jati Anom untuk menjelajahi empat kiblat di daerah ini.”

“Sulit untuk menemukan mereka, Kakang. Prajurit Kakang belum pernah mengenal orang yang bernama Ki Saba Lintang. Aku yang sudah lama mengenalnya, bahkan juga Rara Wulan, tentu harus mengingat-ingat barang sekejap jika kami bertemu di perjalanan. Rasa-rasanya Ki Saba Lintang itu justru menjadi semakin muda.”

“Ah, tentu daya ingatanmu yang tidak setajam kakangmu Agung Sedayu. Sekali terlintas di mata Agung Sedayu, ia tidak akan pernah melupakannya.”

“Ingatanku memang tidak setajam Kakang Agung Sedayu. Tetapi juga tidak terlalu tumpul.”

Untara mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Apalagi daerah jelajah Ki Saba Lintang itu luas sekali. Sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, seberang Pegunungan Kendeng, dan bahkan sampai ke pesisir utara.”

“Jika demikian, apa artinya kalian berdua? Apa yang dapat kalian lakukan di daerah seluas itu? Bukankah kalian berdua hanya akan membuang waktu sia-sia?”

“Karena itu, maka Pangeran Adipati Anom tidak memberikan batasan waktu kepada kami.”

“Panembahan Hanyakrawati. Pangeran Adipati Anom itu sudah bergelar Panembahan Hanyakrawati.”

“Ya. Aku masih belum terbiasa,” berkata Glagah Putih. “Wisuda itu dilakukan pada saat aku dan Rara Wulan tidak berada di Mataram.”

“Ya.”

“Kakang,” berkata Glagah Putih, “jika kami harus memburunya, maka Panembahan Hanyakrawati telah memberi kesempatan kepada kami berdua untuk mengembara. Kesempatan yang sebenarnya memang ingin kami dapatkan. Dalam pengembaraan itu, kami akan mendapat pengalaman yang luas, sehingga wawasan kami pun menjadi luas pula.”

Untara mengangguk kecil. Sementara Ki Citra Jati pun berkata, “Ki Tumenggung, mungkin kesempatan untuk melakukan pengembaraan itu diperlukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Mungkin di dalam pengembaraan itu akan ditemui berbagai macam hambatan dan bahkan bahaya yang mengancam jiwanya. Tetapi tanpa mendapatkan pengalaman serta wawasan yang luas, maka Glagah Putih dan Rara Wulan akan menjadi kerdil. Jiwanya tidak dapat tumbuh dan berkembang.”

“Aku adalah contoh yang jelas, Untara,” berkata Ki Widura. “Di masa mudaku, aku terkungkung di dalam barak prajurit. Untunglah bahwa dunia keprajuritan itu pun telah merupakan dunia pengembaraan tersendiri, sehingga meskipun bukan pengembaraan yang sebenarnya, aku mendapat pengalaman dan wawasan yang cukup. Tetapi hidup kami di barak seakan-akan sudah diatur dalam irama yang nadanya terasa datar, Kau juga seorang prajurit. Mungkin kau dapat merasakannya. Pengembaraan sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, serta yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu, telah memberikan warna yang lebih lengkap dalam kehidupan ini.”

“Aku mengerti, Paman. Tetapi kadang-kadang aku juga merasa cemas. Mungkin kecemasan seorang kakak terhadap adiknya, meskipun adik sepupu.”

“Aku mengerti, Untara. Kecemasan itu juga terdapat di hatiku, yang justru adalah ayahnya. Tetapi asalkan Glagah Putih dan Rara Wulan berhati-hati, serta tidak kendat menghubungkan diri dengan Penciptanya untuk memohon perlindungan-Nya, maka mereka akan menempuh pengembaraan dengan selamat.”

“Hati Paman ternyata lebih lapang dari hatiku.”

“Jika ia berbuat baik di pengembaraan, maka orang lain pun akan bersikap baik kepada mereka.”

Untara menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berkata, “Ya. Aku mengerti. Tetapi kalian benar-benar harus berhati-hati. Jangan sekedar menuruti perasaan. Jangan merasa diri kalian tanpa tanding.”

“Ya, Kakang.”

“Jika demikian, apakah kalian akan langsung mencari Ki Saba Lintang untuk mendapatkan tongkat baja putihnya?”

“Tidak, Kakang. Kami akan kembali dahulu ke Tanah Perdikan Menoreh. Kami ingin memastikan, apa yang terjadi pada Mbokayu Sekar Mirah.”

“Baiklah. Kau memang harus minta diri kepada kakangmu Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Mudah-mudahan apa yang telah terjadi, meyakinkan para pemimpin di Mataram yang telah termakan berita bohong tentang Sekar Mirah. Mereka akan menyesali kekerdilan jiwa mereka.”

Glagah Putih kemudian telah minta diri kepada Untara. Tetapi ia tidak langsung kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga masih akan bermalam di padepokan Orang Bercambuk.

“Glagah Putih,” berkata Untara ketika Glagah Putih sudah berada di regol halaman, “kau akan mencari sebutir pasir di tepian. Meskipun yang sebutir itu berbeda dari yang lain, tetapi kerja yang kau lakukan adalah kerja yang amat rumit.”

“Ya, Kakang. Mungkin akan makan waktu yang lama. Bahkan mungkin aku tidak akan berhasil. Tetapi aku harus melakukan tugas ini dengan sepenuh hati.”

“Tetapi agaknya Mataram tidak akan membiarkan kalian berdua mengembara tanpa akhir. Selain kau berdua, seharusnya Mataram juga mengirimkan orang lain untuk mencarinya.”

“Jarang orang yang dapat mengenali Ki Saba Lintang.”

“Para petugas sandi mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya. Namun mereka pun tidak dapat dijamin akan berhasil.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah meninggalkan barak prajurit di Jati Anom menuju padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura. Di padepokan kecil itu, Ki Widura sempat memberi beberapa pesan kepada anak laki-lakinya yang masih akan melanjutkan tugasnya, mencari tongkat baja putih. Tongkat baja putih yang sudah berada di depan hidungnya, tetapi luput untuk menggapainya.

Ternyata Glagah Putih tidak hanya bermalam semalam. Tetapi Glagah Putih bermalam di padepokan itu dua malam. Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berada di antara para cantrik. Terutama mereka yang terluka parah.

Dalam dua malam itu, keadaan Ki Widura sudah hampir pulih kembali. Tidak ada lagi rasa sakit pada tubuhnya. Bahkan Ki Widura sudah dapat berada di dalam sanggarnya lagi. Namun yang mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan adalah justru Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Ketika mereka sedang berbincang di pringgitan bangunan utama padepokan kecil itu, Ki Citra Jati pun berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih, aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat bersamamu lebih lama. Aku dan ibumu akan minta diri. Kami akan pulang untuk menemui adik-adikmu yang kami tinggalkan. Mereka tentu sudah merasa rindu kepada kami berdua. Bahkan mungkin mereka menjadi cemas, karena kami sudah terlalu lama pergi.”

“Jadi Ayah dan Ibu tidak kembali ke Tanah Perdikan lebih dahulu?”

“Terima kasih, Glagah Putih. Kami tidak ikut bersama kalian kembali ke Tanah Perdikan. Meskipun semula kami menyatakan ingin menyertai kalian kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, namun ketika aku dan ibumu berbincang sore tadi, maka kami memutuskan untuk langsung kembali ke padepokan tempat kami tinggalkan adik-adikmu. Jika kami harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, maka jarak perjalanan kami akan menjadi sangat jauh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan dengan suara yang bergetar berkata, “Kami berdua mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan hati Ayah dan Ibu selama ini.”

Nyi Citra Jati tersenyum sambil menjawab, “Aku-lah yang harus berterima kasih kepadamu. Kau akan menjadi penyambung dari kebanggaan kami terhadap ilmu kami, yang meskipun tidak banyak berarti, tetapi ilmu itu adalah warisan dari angkatan sebelum aku dan ayahmu. Mungkin sudah terdapat banyak perubahan dan pengembangan yang terdapat di dalamnya. Namun landasan utamanya masih tetap pada sumbernya.”

“Tentu kami-lah yang harus berterima kasih, Ibu,” suara Rara Wulan menjadi parau.

“Kita masih akan bersama malam ini, Wulan,” berkata Nyi Citra Jati, “besok jika kau berangkat ke Tanah Perdikan, aku pun akan berangkat menempuh perjalanan kembali.”

Kepada Ki Jayaraga dan Ki Widura, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah minta diri pula.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada Ki Widura, bahwa kami diperkenankan untuk ikut mengaku Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai anak-anak kami. Juga kepada Ki Jayaraga, yang telah lebih dahulu memberikan bekal ilmu kepada Glagah Putih.”

Ki Widura dan Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Widura menyahut, “Aku-lah yang harus mengucapkan terima kasih kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, yang telah bersedia menerima anak-anak kami sebagaimana anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sendiri. Bahkan telah mempercayai mereka, sehingga anak-anak kami itu sudah berada pada tataran yang mapan di dalam olah kanuragan.”

“Hanya sekedar menitipkan kelangsungan hidup ilmu peninggalan angkatan sebelumnya, Ki Widura,” berkata Ki Citra Jati kemudian, “mudah-mudahan ilmu itu bermanfaat bagi banyak orang.”

“Pesan yang harus diingat oleh Glagah Putih,” sahut Ki Widura.

“Ya,” berkata Ki Jayaraga pula, “ilmunya harus berarti bagi banyak orang. Bukan sebaliknya, bahwa ilmu justru merugikan orang lain.”

“Ya, Ki Jayaraga.”

“Ilmu itu seharusnya tidak hanya menguntungkan diri sendiri. Tetapi seperti minyak bagi pelita yang menyala, sinarnya harus dapat menerangi kegelapan di sekitarnya.”

“Ki Jayaraga benar. Jika ilmu itu tidak berarti bagi orang banyak, maka ilmu itu akan menjadi seperti pelita yang meskipun menyala, tetapi berada di bawah bakul yang menelungkup,” sahut Ki Citra Jati.

“Nah, kau dengar, Glagah Putih dan Rara Wulan?” berkata Ki Widura.

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan.

Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan banyak pesan-pesan dari Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, karena di keesokan harinya mereka akan berpisah.

Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan memang agak sulit untuk dapat segera tidur. Perpisahan itu agaknya telah meresahkan mereka. Rasa-rasanya baru kemarin mereka bertemu dengan kedua orang suami istri itu. Ki Citra Jati pun rasa-rasanya baru kemarin berada di sanggar bersama Nyi Citra Jati. Tetapi perpisahan itu memang harus terjadi. Kapanpun waktunya. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak seharusnya menemani Glagah Putih dan Rara Wulan selamanya, karena mereka masih mempunyai tugas-tugas yang lain. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan juga tidak selamanya dapat mengikuti kedua orangtua suami istri itu.

Menjelang dini, Glagah Putih dan Rara Wulan baru tertidur. Itu pun tidak lama. Menjelang fajar mereka harus bersiap untuk menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Jayaraga, sementara itu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati akan menempuh perjalanan ke arah yang berbeda.

Perpisahan itu memang menggetarkan jantung, terutama bagi Rara Wulan. Ketika ia memeluk Nyi Citra Jati, maka terasa titik-titik air matanya menetes di bahunya.

“Kita akan segera bertemu lagi, Wulan,” berkata Nyi Citra Jati.

“Ya, Ibu.”

“Aku berharap bahwa dalam pengembaraanmu mendatang, kau berdua akan mencari aku dan ayahmu.”

“Ya, Ibu.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun kemudian telah minta diri kepada seisi padepokan itu, termasuk para cantrik yang terluka dalam pertempuran melawan Ki Saba Lintang dan para pengikutnya.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-lah yang lebih dahulu meninggalkan padepokan itu sebelum matahari terbit. Baru kemudian Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga pun minta diri pula.

“Hati-hati di perjalanan, Glagah Putih,” pesan Ki Widura, “juga pada saat kalian meneruskan mengemban tugas dari Panembahan Hanyakrawati, untuk menemukan tongkat baja ptlih itu.”

“Ya, Ayah. Kami mohon doa restu Ayah dalam tugas-tugas kami selanjutnya.”

“Kau sendiri jangan putus-putusnya berdoa.”

“Ya, Ayah.”

Seperti Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga pun telah minta diri kepada seisi padepokan. Juga kepada mereka yang terluka, yang masih belum bangkit dari pembaringan.

Sesaat kemudian, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga itu pun telah meninggalkan padepokan itu pula. Namun Glagah Putih masih sempat berpesan kepada ayahnya, “Maaf, Ayah. Jika Ayah sempat, mohon Ayah dapat mengabarkan kepada keluarga di Sangkal Putung, bahwa nama Mbokayu Sekar Mirah telah dapat dibersihkan.”

“Baik, Glagah Putih. Kapan-kapan aku akan mengunjungi keluarga di Sangkal Putung.”

Ketika matahari kemudian terbit, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga sudah berada di perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sengaja tidak singgah di Mataram, karena mereka ingin segera sampai di Tanah Perdikan, untuk segera dapat bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu tentang perjalanan mereka.

Tidak ada hambatan di perjalanan mereka yang panjang. Terik panas matahari telah memeras keringat mereka. Sekali-sekali mereka memang harus beristirahat. Kuda-kuda mereka pun memerlukan minuman dan makan di perjalanan, seperti juga Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga sendiri.

Ketika ketiganya sampai di pinggir Kali Praga, maka matahari sudah berada di sisi barat langit. Perlahan-lahan matahari itu mulai turun. Namun justru sinarnya terasa bagaikan melecut kulit. Tidak banyak orang yang menyeberang Kali Praga. Karena itu, maka ketiganya tidak perlu menunggu. Ketika mereka sampai di tepian, sebuah rakit sudah siap untuk membawa mereka menyeberang.

Rakit itu tidak menunggu penumpang yang lain. Demikian ketiganya naik, serta seorang yang sudah lebih dahulu berada di atas rakit, maka rakit itu pun segera bergerak.

“Nampaknya sepi, Kang,” bertanya Ki Jayaraga

“Ya, Ki Sanak. Sejak pagi tidak banyak orang yang menyeberang. Tidak seperti kemarin. Kemarin aku hilir mudik lebih dari tiga kali lipat hari ini,” jawab salah seorang tukang satangnya

“Ada apa kemarin, sehingga banyak orang yang lewat di penyeberangan ini?”

“Entahlah. Yang aku tahu, banyak orang yang menyeberang ke timur, tetapi juga banyak orang yang menyeberang ke barat.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

Namun seorang tukang satang yang lain justru menjawab, “Bukankah kemarin hari pasaran di Banaran?”

“Ya,” kawannya mengangguk.

Seorang yang ada di rakit itu pun berkata, “Pasar Banaran adalah pasar yang besar, yang dikunjungi oleh orang dari mana-mana. Kemarin penyeberangan ini memang ramai.”

“Ki Sanak kemarin juga menyeberang?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Aku juga naik rakit ini.”

“Aku tidak mengingatnya,” sahut salah seorang tukang satang.

“Kemarin, bersama seorang yang membawa lembu yang masih muda berwarna putih. Yang mengotori rakitmu ini.”

“Aku ingat lembu muda putih yang mengotori rakitku ini. Tetapi aku tidak dapat mengingat mereka yang berada di rakitku. Mungkin karena aku melayani begitu banyak orang.”

“Ya,” berkata orang itu.

Beberapa saat kemudian, maka rakit itu pun telah melekat di tepian sebelah barat. Mereka yang berada di rakit itu pun segera turun setelah membayar upahnya. Di sisi barat sudah ada sebuah rakit yang menunggu. Rakit yang baru berisi dua orang laki-laki, yang masing-masing membawa dua bakul serta sebuah pikulan. Bersama mereka duduk pula seorang perempuan, juga membawa sebuah bakul. Namun ketika Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga naik ke punggung kudanya yang mulai bergerak di atas pasir tepian, mereka melihat lima orang penunggang kuda yang masih muda melarikan kuda mereka menuruni tebing sungai yang landai. Terdengar suara mereka yang riuh. Teriakan-teriakan yang ramai, memecah lengangnya tepian.

Namun tiba-tiba seorang yang berkuda di paling depan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti. Anak muda yang berkuda di paling depan itu adalah anak muda yang tubuhnya tinggi besar dan sedikit gemuk. Rambutnya yang panjang terurai di bawah ikat kepalanya yang dikenakan seenaknya saja. Bajunya terbuka di bagian dadanya, sehingga ikat pinggang kulit yang lebar nampak melingkar di lambungnya. Menilik timangnya terbuat dari emas, maka dapat diduga bahwa anak muda itu adalah anak dari keluarga yang berkecukupan. Demikian pula agaknya yang lain. Meskipun pakaian mereka nampak kotor, tetapi sebenarnya bahwa pakaian mereka adalah pakaian yang mahal. Sedang kuda mereka adalah kuda yang baik dan mahal pula.

Tiba-tiba saja anak muda yang berada di paling depan itu berteriak, “Seorang di antara mereka adalah perempuan yang cantik! Dengan mengenakan pakaian yang khusus itu, ia menjadi bertambah cantik.”

Rara Wulan yang menyadari bahwa anak muda itu menyebut tentang dirinya dan bahkan kemudian dengan terang-terangan menunjuk kepadanya, merasa tersinggung. Namun Ki Jayaraga pun berkata, “Jangan hiraukan. Nampaknya mereka sedang mabuk.”

Glagah Putih pun mengangguk. Katanya, “Ya, mereka sedang mabuk. Marilah kita tinggalkan mereka.”

Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga pun mencoba untuk tidak memperhatikan mereka. Ketiganya melarikan kuda mereka mendaki tebing yang landai itu. Ketiganya tidak mau berpapasan pada jarak yang terlalu dekat dengan mereka yang sedang mabuk itu.

Tetapi ternyata kelima orang anak muda itulah yang justru mencegat ketiga orang itu sambil berkata, “Tunggu. Jangan cepat-cepat meninggalkan kami.”

Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga terpaksa berhenti. Dengan nada berat Glagah Putih pun berkata, “Apa yang kalian lakukan itu telah mengganggu perjalanan kami.”

Anak-anak muda itu justru tertawa. Glagah Putih mencoba mengendapkan perasaannya yang bergejolak.

“Biarlah perempuan itu mengikuti kami,” berkata orang yang bertubuh raksasa itu.

“Ki Sanak. Kalian agaknya baru mabuk tuak. Bau tuak itu tercium dari sini. Karena itu pulanglah. Tidurlah. Jika kau sempat tidur, maka kau akan segera sembuh.”

Kelima orang itu tertawa semakin keras. Namun mata mereka yang merah, serta sikap mereka yang gontai, menunjukkan bahwa mereka benar-benar mabuk.

Ki Jayaraga tiba-tiba saja memberi isyarat kepada Glagah Putih dan Rara Wulan untuk melarikan kuda mereka menyusur tepian, kemudian memanjat tebing yang tidak begitu landai. Dengan cepat Glagah Putih dan Rara Wulan menghentakkan kendali kudanya, sementara Ki Jayaraga telah melarikan kudanya lebih dahulu. Ketika ketiga ekor kuda itu berlari menyusuri tepian berpasir, maka anak-anak muda itu pun berteriak-teriak keras sekali.

“Jangan lari! Tunggu!” teriak yang bertubuh tinggi besar itu.

Kelima anak muda itu pun segera menyusul. Beberapa puluh langkah kemudian, Ki Jayaraga telah melarikan kudanya naik tebing yang tidak terlalu landai. Rara Wulan pun mengikut di belakangnya. Baru kemudian Glagah Putih.

Kelima orang anak muda itu tidak sempat berpikir. Apalagi justru karena mereka mabuk, maka nalar mereka pun menjadi tumpul. Sehingga karena itu, maka kuda-kuda mereka pun telah dipacu untuk menyusul ketiga ekor kuda yang melarikan diri itu. Namun karena mereka sedang mabuk, ketika kuda mereka berusaha mendaki tebing, maka tiga orang di antara mereka telah terlempar dari kuda-kuda mereka. Tetapi dua orang di antara mereka tidak berhenti. Mereka masih berusaha mengejar Rara Wulan. Namun kemudian Rara Wulan yang berhenti, sehingga Glagah Putih dan Ki Jayaraga pun telah berhenti pula

“Aku tidak mau lari,” berkata Rara Wulan, “aku akan sedikit memberi peringatan kepada mereka.”

“Apakah ada gunanya?” berkata Ki Jayaraga

“Ada, Paman. Mudah-mudahan mereka menjadi jera.”

Kedua orang anak muda yang mengejar Rara Wulan itu pun terkejut justru karena Rara Wulan berhenti.

Orang bertubuh raksasa itu justru bertanya, “Kenapa kalian berhenti?”

Rara Wulan pun meloncat turun dari kudanya. Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah meloncat turun pula.

Orang bertubuh raksasa yang keheranan itu telah turun pula dari kudanya. Dengan lantang iapun berkata, “Apakah kalian sengaja berhenti karena kalian hendak melawan kami?”

“Ya,” sahut Rara Wulan, “tiga orang kawanmu telah terpelanting jatuh dari punggung kuda mereka. Mereka memang sedang mabuk sebagaimana kalian berdua, sehingga mereka tidak dapat duduk dengan kokoh di punggung kudanya.”

“Tidak. Bukan karena mereka mabuk. Kami semuanya tidak mabuk. Mereka bertiga memang belum pandai naik kuda.”

“Bau tuak dari mulutmu itu menebar sampai ke hidungku.”

Anak muda bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Tuak adalah lambang kejantanan. Laki-laki yang tidak berani minum tuak, adalah betina yang sepantasnya dipingit di dapur.”

“Omong kosong. Kalian adalah anak-anak muda yang merasa tidak mempunyai kepercayaan diri serta lari ke minuman keras. Di dalam mabuk, kalian menemukan apa yang tidak dapat kalian jangkau dalam kehidupan yang nyata. Tetapi apa yang kalian lakukan sama sekali bukan jalan keluar. Jika kalian menemui kesulitan dalam perjalanan hidup, maka kalian harus berusaha memecahkannya, bukan melarikan diri.”

“Cukup!” bentak orang bertubuh raksasa, “kau tidak usah menggurui aku. Kau cantik. Itu sudah cukup bagiku. Aku tidak perlu mendengar kicaumu itu.”

Namun anak muda bertubuh raksasa itu terkejut. Tiba-tiba saja terasa tangan perempuan cantik itu menampar pipinya Demikian kerasnya sehingga anak muda bertubuh tinggi dan besar itu menyeringai menahan sakit.

“Kau berani memukul aku?” bertanya anak muda yang bertubuh tinggi besar dan agak gemuk itu.

“Ya. Jika kau masih berbicara macam-macam dalam mabukmu, aku akan memukulmu lagi.”

Tetapi orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Tanganmu memang lembut.”

Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka tangan Rara Wulan sekali lagi terayun. Lebih keras lagi, sehingga anak muda bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung. Di dalam setengah mabuknya ia tidak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Sehingga karena itu, maka anak muda bertubuh raksasa itu telah terdorong jatuh. Kawannya yang telah turun pula dari punggung kudanya, dengan tergesa-gesa mendekatinya dan membantunya untuk berdiri. Tetapi orang bertubuh raksasa itu mengibaskan tangannya sambil berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku dapat berdiri sendiri.”

Kawannya itu pun telah melepaskannya. Namun hampir saja anak muda bertubuh raksasa itu terjatuh lagi. Untunglah bahwa ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya.

Namun kemarahan serasa telah membakar ubun-ubun orang bertubuh raksasa itu. Dengan suara yang bergetar oleh kemarahannya iapun berkata lantang, “Perempuan tak tahu diri! Aku akan menangkapnya. Membawamu ke sarang kami dan membunuhmu dengan cara kami.”

Namun Rara Wulan pun telah menjadi semakin marah pula. Sorot matanya yang membara itu bagaikan menembus dada orang yang bertubuh tinggi besar yang sedang setengah mabuk itu. Ketika orang bertubuh tinggi besar itu melangkah maju, kawannya ikut bergeser maju pula. Namun raksasa itu membentak, “Biar aku sendiri yang menangkapnya! Awasi kawan-kawannya. Jika mereka mencoba melibatkan diri, selesaikan saja mereka.”

Anak muda itu mengangguk.

Orang yang bertubuh tinggi besar itu melangkah semakin dekat dengan Rara Wulan, sementara kawannya hanya berdiri termangu-mangu. Rara Wulan telah bersiap menghadapi orang bertubuh raksasa yang marah itu. Karena itu, ketika orang itu menjadi semakin dekat, maka Rara Wulan langsung meloncat menyerangnya.

Orang bertubuh raksasa itu terkejut lagi. Serangan itu demikian tiba-tiba, sehingga karena itu orang bertubuh raksasa itu tidak dapat mengelak lagi ketika kaki Rara Wulan mengenai dadanya.

Orang itu terlempar lagi beberapa langkah surut, kemudian jatuh berguling di tanah berpasir. Kemarahannya tidak tertahan lagi. Ketika ia bangkit berdiri dengan gontai, maka terdengar teriakannya nyaring, seakan-akan menggetarkan seluruh tepian Kali Praga. 

Tukang satang yang berada di rakit mereka masing-masing mendengar teriakan itu. Tetapi tidak seorangpun berani mencampurinya. Mereka tahu, siapakah anak-anak muda yang berteriak itu.

Tetapi teriakan anak muda bertubuh raksasa itu pun segera terhenti pula. Ketika ia melihat Rara Wulan berdiri tegak di hadapannya, maka matanya pun bagaikan menyala. Dengan garangnya anak muda itu pun berlari menerkam Rara Wulan.

Rara Wulan tidak menyambutnya dengan serangan, tetapi ia hanya bergeser sedikit ke samping. Demikian anak muda bertubuh raksasa itu meluncur, kakinya telah mengait kaki anak muda itu.

Anak muda itu pun meluncur jatuh tertelungkup. Wajahnya tersuruk tanah berpasir. Ketika ia bangkit, maka wajahnya menjadi sangat kotor. Kulit hidung dan dahinya terluka. Matanya terasa menjadi sangat pedih oleh pasir yang masuk ke dalamnya.

Ketika anak muda bertubuh raksasa itu sibuk berusaha membersihkan matanya, kawannya akan mendekatinya. Namun Glagah Putih telah berdiri di sampingnya sambil berkata, “Biarkan saja. Anak itu harus mendapat sedikit peringatan. Kau juga akan diperlakukan seperti kawanmu itu nanti. Wajahmu juga akan disurukkan ke dalam pasir, agar segenggam pasir masuk ke dalam mata dan mulutmu.”

“Tetapi aku tidak berbuat apa-apa.”

“Kau kawannya. Kau ikut mengejar perempuan itu.”

Wajah orang itu menjadi pucat.

Sementara itu, Rara Wulan telah menyambar ikat kepala anak muda bertubuh tinggi besar itu dan membantingnya di tanah. Kemudian menginjaknya sambil berkata, “Jika kau masih mencoba berbicara kasar, maka kepalamu yang akan aku injak.”

Anak muda itu masih sibuk mengusap matanya. Namun tiba-tiba saja ia merasa tangan Rara Wulan mencengkam rambutnya sambil berkata, “Nah, apakah kau sudah merasa jera?”

Anak muda bertubuh raksasa itu mengumpat. Ia mencoba untuk melepaskan cengkeraman Rara Wulan. Namun tiba-tiba Rara Wulan telah menangkap pergelangan tangan kanan anak muda itu serta memilin tangannya ke belakang. Sementara tangan kirinya masih mencengkeram rambutnya dan menarik ke belakang, sehingga wajah anak muda itu terangkat, meskipun punggungnya harus membengkok karena tangannya yang terpilin itu.

“Jawab pertanyaanku. Apakah kau sudah menjadi jera?

Anak muda itu masih mencoba meronta. Selama ini ia terlalu percaya kepada kekuatan tenaga wadagnya. Namun ketika pergelangan tangannya dicengkam oleh tangan halus seorang perempuan, ia sama sekali tidak mampu melepaskannya. Bahkan rambutnya pun telah ditariknya pula ke belakang, sehingga bukan saja rambut di kepalanya itu terasa sakit, tetapi juga lehernya serta tangannya yang terpilin.

Namun usahanya tidak ada gunanya. Tangan perempuan cantik yang mencengkam pergelangan tangannya itu seakan-akan telah berubah menjadi jari-jari baja yang sangat kokoh. Ketika tangannya yang terpilin itu semakin menekan punggungnya, maka anak muda bertubuh raksasa itu berteriak kesakitan,

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau akan menjadi jera? Jika kau tidak merasa jera, maka aku akan mematahkan tanganmu. Kau akan menjadi cacat seumur hidupmu. Kau tidak akan dapat lagi berbuat sekehendakmu sendiri terhadap gadis-gadis.”

Orang itu berteriak semakin keras.

“Kau tidak mau menjawab pertanyaanku?” Rara Wulan hampir kehilangan kesabarannya. “Aku tidak mempunyai pilihan lagi. Aku akan mematahkan tanganmu sehingga kau akan menjadi tidak berdaya sepanjang umurmu,”

Anak muda bertubuh raksasa itu pun berteriak, “Jangan! Jangan! Jangan patahkan tanganku!”

“Jawab pertanyaanku.”

“Baik, baik. Aku sudah jera.”

“Kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Aku berkata sebenarnya.”

Perlahan-lahan Rara Wulan melepaskan tangannya. Namun Rara Wulan pun mendorong tubuh anak muda itu, sehingga anak muda itu jatuh terduduk di tanah berpasir. Anak muda itu masih menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya tangannya seakan-akan sudah benar-benar dipatahkannya

“Ingat. Aku sering lewat penyeberangan ini. Jika aku temui kalian lagi dalam keadaan mabuk seperti ini, maka aku tidak akan memaafkan kalian lagi.”

Anak muda yang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Ternyata bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Rara Wulan pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih dan kepada Ki Jayaraga sambil berdesis, “Marilah kita pergi. Biarlah anak ini sempat merenungi dirinya sendiri.”

Rara Wulan meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula Glagah Putih dan Ki Jayaraga.

“Cari ketiga kawanmu yang terpelanting dari kudanya. Mudah-mudahan mereka selamat. Jika kepala mereka membentur batu padas serta leher mereka patah, maka mereka tidak akan tertolong lagi. Jika itu yang terjadi, adalah karena kesalahan mereka sendiri.”

Rara Wulan tidak menunggu jawaban. Kudanya pun mulai bergerak, diikuti oleh Glagah Putih dan Ki Jayaraga.

Untuk beberapa saat mereka bertiga saling berdiam diri. Wajah Rara Wulan masih saja cemberut. Sikap anak muda itu membuatnya benar-benar marah.

“Mereka telah menyia-nyiakan hidup mereka,” berkata Rara Wulan kemudian.

“Ya,” sahut Ki Jayaraga, “mereka telah kehilangan hari-hari mereka yang paling berarti bagi masa depan mereka. Mereka telah menyia-nyiakan waktu serta kesempatan.”

“Mereka mereguk kesenangan dan kepuasan tanpa menghiraukan masa depan mereka,” berkata Glagah Putih

“Sekarang mereka masih dapat menggantungkan hidup mereka kepada orang tua mereka. Tetapi kemudian?” geram Rara Wulan.

“Masih ada waktu,” berkata Ki Jayaraga, “jika mereka menyadari keadaan mereka sekarang ini, maka mereka masih mempunyai waktu untuk membenahinya. Kecuali jika mereka juga menyia-nyiakan waktu yang masih tersisa itu.”

“Jika itu terjadi, adalah salah mereka sendiri. Mereka menikmati kehidupan mereka sekarang tanpa menyisakan buat masa depan mereka.”

Merekapun terdiam. Sementara itu kuda-kuda mereka pun telah berada di atas bumi Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan, maka satu dua orang yang melihat mereka pun telah menyapanya. Hampir setiap orang di Tanah Perdikan mengenal Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga. Bukan saja mereka yang masih terhitung muda, tetapi orang-orang tua pun mengenal mereka pula. Apalagi ketika mereka memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan. Maka mereka harus menjawab sapa orang-orang yang berpapasan di jalan atau mereka yang didahuluinya.

Ketika mereka tiba di rumah Agung Sedayu, jantung mereka bagaikan tersiram air embun di panasnya terik matahari. Rara Wulan yang sudah turun dari kudanya di saat memasuki regol halaman, tiba-tiba saja melepaskan kudanya dan berlari melintasi halaman, ketika perempuan itu melihat Sekar Mirah berdiri di tangga pendapa rumahnya. Sekar Mirah pun dengan tergesa-gesa menyongsongnya sambil mengembang tangannya. Rara Wulan pun segera memeluk Sekar Mirah. Terasa titik-titik air dari matanya membasahi bahu Sekar Mirah. Sekar Mirah mencoba tersenyum. Namun ternyata matanya juga menjadi basah.

“Semuanya sudah berakhir, Mbokayu. Fitnah itu sudah lewat dan tidak akan mengganggu Mbokayu lagi.”

Sekar Mirah melepaskan pelukannya. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih atas usaha kalian berdua, Ki Jayaraga, serta orang-orang yang semula tidak aku kenal. Tetapi mereka dengan tulus telah membantu membebaskan aku dari fitnah yang keji itu.”

“Sekarang Mbokayu dapat tidur dengan nyenyak.”

“Ya, Rara. Demikian kalian turun ke medan, maka orang-orang Mataram pun segera yakin bahwa aku memang tidak bersalah. Karena itu, maka aku segera diperkenankan pulang.”

“Sayang, bahwa tugas kami masih belum tuntas. Pada saat kami berhasil memancing Ki Saba Lintang serta mendapat kesempatan untuk bertempur melawannya, aku tidak mampu mengambil tongkat baja putihnya.”

“Orang itu sempat melarikan diri?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya, Mbokayu,” jawab Glagah Putih.

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun katanya kemudian, “Marilah. Masuklah.”

“Masuklah, Rara,” berkata Glagah Putih pula, “biarlah aku bawa kudamu ke belakang.”

Glagah Putih pun kemudian menuntun kuda Rara Wulan dan kudanya sendiri ke belakang. Sementara Ki Jayaraga pun langsung membawa kudanya ke belakang pula. Rara Wulan masuk ke ruang dalam bersama Sekar Mirah. Demikian ia berada di dalam, maka iapun bertanya, “Dimana Kakang Agung Sedayu?”

“Kakangmu belum pulang, Rara.”

“Kemana?”

“Ke baraknya.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya seakan-akan kepada diri sendiri, “Syukurlah. Nampaknya tidak ada persoalan lagi dengan Mataram.”

“Ya. Memang tidak ada persoalan lagi dengan Mataram.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Duduklah, Wulan.”

“Aku akan pergi ke pakiwan dahulu, Mbokayu.”

Setelah mencuci tangan dan kakinya, maka Rara Wulan, Glagah Putih dan Ki Jayaraga pun duduk di pringgitan, ditemui oleh Sekar Mirah. Rara Wulan-lah yang kemudian bercerita tanpa henti-hentinya, sehingga sama sekali tidak dapat diantarainya. Sekar Mirah hanya mendengarkan saja cerita Rara Wulan itu. Sekali-sekali Sekar Mirah tersenyum. Namun kadang-kadang Sekar Mirah itu mengerutkan dahinya dan bahkan mengangguk-angguk.

Baru setelah Rara Wulan berhenti bercerita Sekar Mirah itu pun berkata, “Kita harus mengucap syukur, bahwa segala sesuatunya dapat diakhiri dengan baik. Meskipun tugas kalian masih belum tuntas, tetapi satu dari persoalan yang kita hadapi sudah dapat teratasi.”

“Ya, Mbokayu. Sayang sekali, Ki Saba Lintang itu sudah ada di hadapan kami,” berkata Glagah Putih.

“Hanya soal waktunya saja, Glagah Putih.”

“Semoga, Mbokayu. Tetapi pada saatnya kami akan meneruskan perburuan kami. Rasa-rasanya kami masih belum dapat tidur nyenyak jika kami masih belum dapat menangkapnya.”

“Nanti kalian dapat membicarakannya dengan kakangmu Agung Sedayu.”

“Ya, Mbokayu.”

“Nah, sekarang duduk sajalah di pringgitan sambil menunggu kakangmu pulang. Biasanya pada saat-saat seperti ini kakangmu pulang. Aku akan pergi ke dapur. Air tentu sudah mendidih. Aku tadi berpesan agar Sukra merebus air.”

Tetapi ketika Sekar Mirah bangkit berdiri, Rara Wulan pun berdiri pula sambil berkata, “Aku ikut pergi ke dapur.”

“Duduk sajalah, Rara. Kau tentu letih.”

“Tidak, Mbokayu. Aku tidak letih. Tetapi aku memang haus. Karena itu, biarlah aku membantu Mbokayu membuat minuman.”

Sekar Mirah tidak mencegahnya. Bahkan Rara Wulan itu pun kemudian berpegangan lengan Sekar Mirah mengikutinya pergi ke dapur.

Di dapur, Sukra masih duduk di depan perapian. Ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan masuk ke dapur, maka iapun berkata, “Airnya sudah mendidih, Nyi Lurah.”

“Kau siapkan periuk untuk menanak nasi, Sukra.”

“Baik, Nyi.”

“Biarlah aku yang mencuci berasnya, Mbokayu.”

“Sukra melakukannya setiap hari.”

“Tetapi biarlah aku saja sekarang yang menanak nasi.”

Sekar Mirah tersenyum. Bahkan iapun berkata, “Kau tidak ingin lupa bagaimana caranya menanak nasi, Rara?”

Rara Wulan tertawa.

Beberapa saat kemudian, maka Rara Wulan telah selesai mencuci beras dan memasukkannya ke dalam periuk. Setelah diberinya air secukupnya, maka periuk itu pun diletakkannya di atas perapian yang telah disiapkan oleh Sukra. Sementara itu Sekar Mirah telah selesai menyiapkan minumannya.

“Biarlah aku bawa minuman itu ke pringgitan, Mbokayu,” berkata Rara Wulan kemudian.

Ketika Rara Wulan siap membawa minuman ke pringgitan, terdengar derap kaki kuda berhenti di depan regol halaman rumah. Sesaat kemudian, maka Agung Sedayu pun telah menuntun kudanya masuk ke halaman.

“Kakang,” Glagah Putih pun telah turun ke halaman bersama Ki Jayaraga.

“Syukurlah kau sudah datang, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu sambil berdiri di halaman. Ditambatkannya kudanya pada patok di sebelah pendapa.

“Ya, Kakang.”

“Selamat, Ki Jayaraga?” desis Agung Sedayu.

“Selamat, Ki Lurah. Bagaimana dengan Ki Lurah?”

“Kami baik-baik saja sekeluarga,” jawab Agung Sedayu. Namun iapun kemudian bertanya, “Dimana Rara Wulan?”

“Ia ada di dalam, Kakang.”

“Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa dengan kalian. Kalian telah melakukan satu tugas yang berbahaya.”

“Ya, Kakang,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Marilah, duduklah kembali.”

Ketiganya pun segera kembali naik ke pringgitan. Demikian mereka bertiga duduk di pringgitan, maka Rara Wulan pun keluar dari pintu pringgitan sambil membawa mangkuk-mangkuk minuman hangat. Sambil meletakkan mangkuk-mangkuk itu, Rara Wulan pun berdesis, “Kakang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bagaimana keadaanmu, Rara? Bukankah kau baik-baik saja?”

“Ya, Kakang. Kami bersyukur bahwa kami dapat membantu meyakinkan orang-orang Mataram tentang fitnah yang dilontarkan kepada Mbokayu Sekar Mirah.”

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”

“Tetapi tugas kami yang lain ternyata gagal, Kakang,” sahut Glagah Putih.

“Apa?”

“Tongkat baja putih. Aku sudah berhadapan dengan Ki Saba Lintang yang bersenjata tongkat baja putih itu. Tetapi aku gagal merebut dari tangannya. Ia berhasil melarikan diri. Para pengikutnya melindunginya dengan mengorbankan nyawa sendiri.”

“Untuk sementara kita dapat melupakannya.”

“Kami masih berniat memburunya, Kakang.”

“Kami siapa maksudmu?”

“Aku dan Rara Wulan.”

“Tetapi kalian tidak perlu tergesa-gesa.”

“Seperti orang yang berjalan di teriknya matahari, Kakang. Jika kita terlalu lama berhenti di bawah rimbunnya pepohonan serta semilirnya angin, akhirnya kita justru malas untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan.”

“Tetapi jika kemudian kita bangkit dan mulai melangkah, kita mendapatkan tenaga yang baru.”

Glagah Putih tersenyum. Ketika ia memandang Rara Wulan, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Kita memang akan beristirahat, Kakang. Tetapi tidak terlalu lama.”

“Sebaiknya kalian berangkat setelah persoalan yang timbul di Mataram selesai.”

“Persoalan apa?”

“Pangeran Adipati Anom yang kemudian telah diwisuda menduduki tahta Mataram, ternyata telah menghadapi persoalan dengan kakaknya, Pangeran Puger.”

“Persoalan apa, Kakang?”

“Untuk beberapa lama Pangeran Puger tidak datang menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrawati.”

“Tidak mau menghadap?”

“Bukan tidak mau. Tetapi ada keseganan pada Pangeran Puger untuk menghadap saudaranya yang lebih muda.”

“Kenapa harus segan, Kakang? Meskipun lebih muda, tetapi bukankah Panembahan Hanyakrawati sekarang penguasa tertinggi di Mataram?”

“Ya.”

“Apakah Panembahan kemudian marah kepada Pangeran Puger?”

“Tidak, Panembahan Hanyakrawati ternyata cukup bijaksana. Panembahan telah minta pertimbangan para pinisepuh di Mataram. Menurut mereka, Pangeran Puger sama sekali tidak ingin melawan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Tetapi Pangeran Puger hanya merasa segan saja. Pangeran Puger membayangkan, apa yang akan terjadi di paseban.”

“Lalu bagaimana sikap Panembahan?”

“Pangeran Puger telah dipanggil untuk hadir dalam Paseban Agung beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku juga berada di Mataram.”

“Kakang juga hadir di Paseban Agung itu?”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku hanya seorang lurah prajurit.”

“Kakang Untara?”

“Ya. Kakang Untara juga hadir.”

“Kakang Agung Sedayu mendengar dari Kakang Untara, apa yang telah berlangsung di paseban?”

“Tidak, Glagah Putih. Aku justru tidak sempat menemui Kakang Untara. Aku justru menghadap Ki Patih Mandaraka. Ki Patih-lah yang menceritakan kepadaku, apa yang telah terjadi di Paseban Agung itu.”

“Apakah ada tindakan terhadap Pangeran Puger?”

“Tidak. Panembahan yang bijaksana itu telah mengangkat Pangeran Puger menjadi Adipati di Demak.”

“Adipati di Demak?”

“Ya. Dengan demikian maka Pangeran Puger akan terpisah dari adiknya yang telah duduk di atas tahta itu. Pangeran Puger tidak harus menghadap setiap waktu. Tetapi Pangeran Pugar hanya akan menghadap setahun sekali, atau jika ada kepentingan-kepentingan yang khusus.”

“Jadi sekarang Pangeran Puger sudah berada di Demak?”

“Belum, Pangeran Puger masih belum berangkat.”

“Kapan Pangeran Puger akan berangkat?”

“Di pertengahan bulan ini. Sekarang, segala sesuatunya sedang disiapkan. Tiga orang Tumenggung telah mendahului berangkat ke Demak untuk mempersiapkan penerimaan Pangeran Puger di Demak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Ki Saba Lintang tentu juga mengetahui peristiwa ini.”

Agung Sedayu memandang adik sepupunya dengan kerut di dahi. Namun kemudian iapun berkata, “Aku tahu maksudmu. Kau tentu akan mengatakan bahwa Ki Saba Lintang dapat mengganggu hari-hari pertama Pangeran Puger di Demak.”

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi apa sebenarnya yang diinginkan oleh Ki Saba Lintang itu? Seandainya ia berhasil menguasai tongkat baja putih yang berada di tangan Mbokayu Sekar Mirah, lalu apa sebenarnya yang dimauinya? Menyatukan kembali orang-orang yang mengaku keluarga Perguruan Kedung Jati? Jika sudah menyatu kembali dan menjadi kuat, apa yang akan dilakukannya? Selama ini Ki Saba Lintang selalu bekerja sama dengan orang-orang berilmu tinggi dari perguruan yang berbeda. Bukankah mereka tidak akan pernah lebur dalam keluarga Perguruan Kedung Jati?” bertanya Rara Wulan.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah kita sudah tahu, siapa sajakah yang pernah memimpin Perguruan Kedung Jati? Tetapi kita masih dapat menghormati para pemimpin Perguruan Kedung Jati pada masa Jipang masih berada di bawah pimpinan Pangeran Arya Penangsang, meskipun pada saat itu Pajang harus berperang melawan mereka. Namun setelah para pemimpin Jipang yang juga pemimpin dari perguruan itu sudah tidak ada, maka Perguruan Kedung Jati pun bagaikan ditelan bumi. Namun tiba-tiba perguruan itu bangkit lagi. Seorang yang mengaku bernama Ki Saba Lintang menyatakan diri sebagai pemimpin Perguruan Kedung Jati yang baru. Hubungannya yang luas, kelicikannya dan nafsunya yang bergelora di dalam dadanya, telah menimbulkan banyak persoalan di Mataram sekarang ini.” 

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Jika ia menginginkan tongkat baja putih yang satu lagi, yang berada di tangan mbokayumu, itu tentu sekedar akan dipergunakan untuk mempengaruhi banyak orang, agar mereka terkesan bahwa perguruan besar Kedung Jati telah bangkit kembali. Sepasang tongkat pertanda kepemimpinannya sudah menyatu.”

“Aku sudah pernah mendengarnya, Kakang. Tetapi setelah perguruan itu bangkit dan banyak orang bergabung kembali dengan perguruan itu, lalu apa keinginan Ki Saba Lintang? Mendesak kekuasaan Mataram, dan kemudian Ki Saba Lintang itu berniat menjadi raja?”

“Orang-orang yang mengaku mempunyai darah Jipang itu mungkin saja ingin meneruskan tuntutan Pangeran Arya Penangsang,” jawab Agung Sedayu, “tetapi ternyata gerakan mereka telah berubah. Dalam keputus-asaan, Ki Saba Lintang bergerak tanpa tujuan. Ia sekedar membuat kekacauan dan keresahan. Ia cukup puas jika terjadi banyak kerusuhan di Mataram. Ia cukup puas melihat kemelut yang terjadi karena perbuatannya. Bahkan iapun berusaha membalas dendam sakit hatinya kepada mbokayumu Sekar Mirah serta Tanah Perdikan Menoreh yang pernah mengalahkannya.”

“Ya. Kegagalan demi kegagalan telah dialaminya di Tanah Perdikan ini. Usahanya dengan memaksa Mbokayu Sekar Mirah berperang tanding pun tidak berhasil. Sekarang bahkan Empu Wisanata dan Nyi Dwani justru berada di Tanah Perdikan ini,” sahut Rara Wulan.

“Ya. Semua gerakannya tidak pernah berhasil dimana-mana. Itulah yang membuatnya semakin berputus-asa. Ia tidak lagi mempunyai gegayuhan apa-apa selain membuat kekacauan.”

“Tetapi Ki Saba Lintang masih mampu membujuk banyak orang berilmu tinggi untuk berpihak kepadanya.”

“Mereka juga bukan orang-orang yang bercita-cita. Mereka memanfaatkan gerakan Ki Saba Lintang ini untuk melindungi kejahatan yang dilakukannya. Mungkin satu dua orang yang berada di pihak Ki Saba Lintang bukan penjahat. Tetapi mereka tentu orang-orang yang tamak, yang terbujuk oleh janji-janji yang muluk-muluk. Mimpi indah dengan menaklukkan Mataram. Kemudian kekuasaan akan berpindah kembali kepada jalur Pangeran Arya Penangsang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah dengan demikian ada kemungkinan Ki Saba Lintang memanfaatkan kehadiran Pangeran Puger di Demak untuk membuat keresahan di Demak? Pangeran Puger adalah bagian dari Mataram. Jika Ki Saba Lintang tidak dapat mengganggu Mataram, maka Demak dalam masa peralihan adalah sasaran yang baik bagi Ki Saba Lintang.”

“Mungkin kau benar, Glagah Putih.”

“Jika demikian, apakah kami diperkenankan ikut dalam iring-iringan saat Pangeran Puger dan keluarganya serta para pengawalnya pergi ke Demak?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku masih belum mengetahui, siapakah yang akan memimpin pasukan pengawal dari Mataram, serta kesatuan yang manakah yang akan mendapat perintah untuk mengantar Pangeran Puger sampai ke Demak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah ada para pejabat Mataram yang akan dipindahkan ke Demak?”

“Mungkin hanya dua atau tiga orang. Pengalaman yang pernah terjadi di Pajang dapat menjadi peringatan, bahwa yang terbaik, para pejabat di Demak adalah para pejabat yang sudah ada. Mungkin satu dua lingkungan tugas masih harus dibenahi, tetapi tidak berlaku umum, semuanya disingkirkan dan diganti yang baru. Karena hal itu hanya akan menumbuhkan persoalan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Aku mengerti, Kakang.”

“Kita menunggu saja berita dari Mataram. Kapan Pangeran Puger akan berangkat ke Demak, dan siapakah senapati yang harus memimpin sekelompok prajurit pengawal. Kita pun belum tahu, dari kesatuan yang manakah yang harus menjadi pengawal itu.”

“Ya, Kakang. Mudah-mudahan terbuka kesempatan bagiku untuk pergi bersama iring-iringan itu.”

“Jika aku mengenal senapati yang bertugas, serta senapati itu mempercayaiku, aku akan berusaha agar kalian dapat pergi bersama iring-iringan itu. Setidak-tidaknya keberadaanmu di dalam iring-iringan itu diketahui oleh para prajurit Mataram, sehingga tidak akan terjadi salah paham, meskipun mungkin kalian harus mengusahakan sendiri bekal dan kelengkapan perjalanan.”

“Jika kami diperkenankan membawa kuda. Seandainya kami tidak dapat naik kuda karena sebagian prajurit berjalan kaki, maka kuda kami akan dapat membawa bekal kami di perjalanan.”

“Aku akan mencobanya.”

“Terima kasih, Kakang.”

“Jika perlu, aku akan pergi ke Mataram besok. Aku akan mencari keterangan. Yang kau lakukan berdua dengan Rara Wulan selama ini akan dapat menjadi bahan pertimbangan senapati yang akan bertugas mengawal Pangeran Puger ke Demak.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar