Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 346

Buku 346

Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun demikian, di wajahnya nampak keragu-raguannya.

Beberapa saat Glagah Putih terdiam. Namun kemudian Ki Jayaraga-lah yang berbicara, “Ki Lurah, ada baiknya di samping usaha para petugas sandi untuk mengamati keadaan, kita berusaha untuk menemukan perempuan yang mengaku bernama Nyi Lurah Agung Sedayu itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Ki Saba Lintang telah mengenal kita. Karena itu, tidak mudah bagi kita untuk menemukannya.”

“Tetapi kita tidak sendiri di lingkungan ini, Ki Lurah. Di sini ada kita. Di Jati Anom ada Ki Widura, ada Ki Untara, sedangkan di Sangkal Putung ada Angger Swandaru. Mereka tentu tidak berkeberatan membantu kita menemukan dua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku memiliki sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang dapat melakukannya. Tetapi agar tidak terjadi benturan dengan para petugas sandi yang dikirim langsung oleh Mataram, aku harus membicarakannya dengan para pemimpin di Mataram.”

“Baik, Kakang. Jika demikian, kita besok pergi ke Mataram. Kita sampaikan niat kita itu, sekaligus untuk memberikan kesaksian bahwa orang-orang yang menganggap bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu telah menyatukan diri dengan Ki Saba Lintang itu adalah sekedar desas-desus yang tidak terbukti kebenarannya. Ternyata mereka tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya orang yang bernama Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang itu. Sehingga siapa saja, seorang laki-laki dan seorang perempuan, dapat mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Besok kita pergi ke Mataram. Jika hari ini aku pulang, karena ketika aku pergi aku masih belum sempat memberikan pesan dan membagikan tugas-tugas keprajuritan kepada anak buahku.”

“Kakang akan pergi ke barak?” bertanya Gagah Putih.

“Aku tadi sudah singgah di barak. Selain memberikan tugas-tugas kepada mereka, aku juga minta bantuan mereka.”

“Bukankah mereka yakin bahwa yang berkeliaran itu bukan Nyi Lurah?”

“Mereka yakin. Mereka mengenal Sekar Mirah dengan baik.”

“Syukurlah.”

“Mereka pun tidak menganggap aku orang gila, sehingga aku membiarkan istriku melakukannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan berhubungan dengan Kakang Untara, dengan Ayah di padepokan, dan dengan Kakang Swandaru di Sangkal Putung.”

“Sayangnya, kakangmu Swandaru dikenal dengan baik oleh Ki Saba Lintang, sehingga geraknya akan menjadi sangat terbatas. Adi Swandaru pernah memberikan pengakuan kepadaku pada saat ia tergelincir menghadapi kaki tangan Ki Saba Lintang.”

“Kita akan mendapatkan cara, Kakang,” berkata Glagah Putih dengan nada berat.

Ki Citra Jati yang hanya berdiam diri saja mendengarkan pembicaraan itu, tiba-tiba menyela, “Ki Lurah, jika kami diberi kesempatan, maka aku dan istriku akan dapat membantu, asal kami mendapatkan petunjuk-petunjuk seperlunya.”

“Terima kasih, Ki Citra Jati. Kami akan merasa senang sekali dengan bantuan Ki Citra Jati berdua. Tetapi saat ini kami masih belum tahu, apa yang sebaiknya kami lakukan.”

“Kami akan menunggu, Ki Lurah. Jika diperkenankan, kami akan menumpang di sini selama kami menunggu kemungkinan untuk melibatkan diri dalam persoalan ini.”

“Tentu, Ki Citra Jati. Kami akan senang sekali jika Ki Citra Jati berdua bersedia tinggal di sini. Kami tentu akan sangat memerlukan bantuan Ki Citra Jati berdua.”

“Tetapi apa yang dapat kami lakukan tentu hanya sangat terbatas, Ki Lurah. Meskipun demikian, kami akan mencobanya.”

“Sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Citra Jati berdua membantu kami.”

Namun demikian, Ki Lurah masih belum dapat menyebut langkah-langkah apakah yang akan diambilnya, sebelum ia esok pagi pergi ke Mataram bersama Glagah Putih.

Dalam pada itu, ketika malam turun, seisi rumah itu pun telah dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berhenti di depan regol halaman rumah. Seorang laki-laki dan seorang perempuan kemudian memasuki regol halaman sambil menuntun kuda mereka.

Glagah Putih-lah yang tergesa-gesa menyongsong mereka. Dengan nada tinggi iapun menyapa, “Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi.”

Keduanya tersenyum. Dengan nada datar Swandaru pun bertanya, “Kakangmu ada?”

“Ada, Kakang. Mari, silahkan naik.”

Setelah mengikat kudanya, maka keduanya pun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.

Ketika Agung Sedayu diberitahu bahwa yang datang adalah Swandaru dan Pandan Wangi, maka dengan tergopoh-gopoh Agung Sedayu pun pergi menemui mereka di pringgitan.

“Kalian berdua selamat di perjalanan, Di? Dan bagaimana keadaan keluarga di Sangkal Putung?”

“Selamat, Kakang. Keluarga di Sangkal Putung pun baik baik saja. Bagaimana dengan keluarga di sini?”

“Kami semuanya dalam keadaan baik, Di. Meskipun ada sedikit persoalan yang kami hadapi.”

“Itulah yang kami dengar, Kakang.”

“Apa yang kalian dengar?”

“Sekar Mirah telah berkhianat. Menurut berita yang kami dengar, Sekar Mirah telah terbujuk oleh Ki Saba Lintang untuk berpihak kepadanya. Keduanya akan bersama-sama memimpin kebangkitan kembali Perguruan Kedung Jati, serta mengambil kembali wahyu keraton dari Istana Mataram. Karena menurut orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, Panembahan Senapati tidak berhak menjadi raja dan memerintah Tanah ini.”

“Ya, Di. Memang ada berita semacam itu tersebar di sekitar Mataram.”

“Tetapi dimana Sekar Mirah sekarang? Apakah ia benar-benar berkhianat?”

“Tidak, Di. Sekar Mirah tidak berbuat apa-apa. Yang tersebar itu adalah fitnah semata-mata.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pandan Wangi pun berkata, “Jadi berita itu tidak benar, Kakang?”

“Tentu tidak.”

“Tetapi sekarang dimana Sekar Mirah?” bertanya Swandaru.

“Sekar Mirah berada di Mataram.”

“Di Mataram? Ada apa?”

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi dengan Sekar Mirah. Ia harus membuktikan kebersihannya dengan tinggal untuk beberapa lama di Mataram.

“Itu memang salah satu cara. Tetapi tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa Sekar Mirah akan dapat membersihkan namanya. Jika keberadaannya di Mataram itu diketahui oleh Ki Saba Lintang yang cerdik dan licik itu, kegiatannya untuk berkeliaran dan mengambil hati banyak orang di sekitar Mataram akan dihentikannya pula.”

“Ya. Tetapi menurut para petugas sandi di Mataram, tentu tidak akan ada pengikut Ki Saba Lintang yang menyusup di lingkungan para pejabat di Mataram.”

“Mudah-mudahan, Kakang.”

Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi pun telah diperkenalkan pula dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Keduanya adalah orang tua angkat Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya telah bersedia untuk melibatkan diri dalam persoalan yang menyangkut nama baik Sekar Mirah itu.

“Syukurlah,” desis Swandaru, “semakin banyak kawan, maka kita akan menjadi semakin banyak jalan. Terima kasih.”

“Namun segala sesuatunya masih harus menunggu esok,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kenapa?”

“Besok aku dan Glagah Putih akan pergi ke Mataram. Kami akan membicarakan langkah-langkah yang dapat kita ambil kemudian, agar tidak terjadi benturan dengan para petugas sandi Mataram yang memantau persoalan ini terus-menerus. Terutama apakah perempuan itu masih berkeliaran bersama Ki Saba Lintang.”

Malam itu rumah Ki Lurah Agung Sedayu terkesan lebih ramai dari biasanya. Selain Glagah Putih dan Rara Wulan telah pulang, maka di rumah itu bermalam Swandaru dan Pandan Wangi, serta Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Namun meskipun rumah Agung Sedayu tidak terlalu besar, tetapi di rumah itu terdapat gandok kiri dan kanan. Swandaru dan Pandan Wangi mendapat bilik di gandok sebelah kiri. sedangkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dipersilahkan mempergunakan bilik di gandok sebelah kanan.

Ketika malam menjadi semakin dalam, serta para tamu sudah berada di dalam bilik mereka masing-masing, maka Glagah Putih sempat menemui Sukra di dapur.

“Kau belum tidur?” bertanya Glagah Putih yang duduk di lincak panjang yang berada di dapur.

“Sebagaimana kau lihat, bukankah aku belum tidur?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Lidahmu masih tetap menyengat. He, bagaimana dengan latihan-latihanmu?”

“Bagaimana ilmuku dapat meningkat tanpa ada orang yang memberikan petunjuk-petunjuk?”

“Bukankah kau sudah menguasai dasar olah kanuragan? Jika kau rajin berlatih, maka ilmumu tentu akan meningkat meskipun perlahan-lahan. Tetapi untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu, kau tidak memerlukan siapa-siapa setelah kau kuasai dasar-dasarnya.”

“Ki Lurah Agung Sedayu ternyata berbaik hati untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepadaku. Tetapi kau tahu waktunya terlalu sempit. Ia hanya dapat memberikan waktu sepekan sekali, menjelang wayah sepi bocah.”

“Itu sudah cukup. Nah, ilmumu tentu sudah meningkat jauh sekarang.”

“Belum apa-apa. Sekali-sekali aku mencoba berlatih dengan Nyi Lurah. Tetapi seluruh tubuhku menjadi sakit semuanya. Kulitku menjadi merah biru di beberapa tempat. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu lebih telaten dari Nyi Lurah.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Besok kita masuk ke dalam sanggar.”

“Bukankah besok kau akan pergi ke Mataram bersama Ki Lurah? Apakah kau akan segera kembali?”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Besok aku akan pergi ke Mataram.”

“Besok malam, setelah kau pulang dari Mataram.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Baik. Setelah aku pulang dari Mataram.”

Glagah Putih pun kemudian meninggalkan Sukra di dapur. Malam telah menjadi semakin larut. Di kejauhan terdengar suara-suara malam yang memecahkan keheningan. Derik belalang dan irama suara katak yang saling bersahutan.

Di keesokan harinya, menjelang matahari terbit, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap. Setelah berbincang sejenak dengan Ki Jayaraga, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta Glagah Putih minta diri kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, serta Swandaru dan Pandan Wangi.”

“Pagi ini kami akan menghadap Ki Gede,” berkata Swandaru.

“Silahkan, Di. Ki Gede tentu sudah rindu kepada kalian.”

Demikianlah, maka ketika matahari terbit, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun meninggalkan regol halaman rumahnya. Kudanya berlari menyusuri jalan utama padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun keduanya tidak langsung pergi ke Mataram. Ki Lurah Agung Sedayu masih merasa perlu singgah di baraknya untuk memberikan pesan-pesan kepada para prajuritnya.

Baru kemudian setelah matahari sepenggalah, keduanya pun melarikan kuda mereka menuju ke Mataram.

Di penyeberangan, Glagah Putih berharap dapat bertemu dengan orang yang membawa sepasang bakul di pikulannya. Tetapi orang itu tidak berada di tepian penyeberangan.

“Di sini aku bertemu dengan orang itu,” berkata Glagah Putih, “jika orang itu menganggap aku dan Rara Wulan sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, bukankah berarti bahwa orang-orang yang mendengar dan kemudian menebarkan desas-desus itu tidak mengenal siapakah Nyi Lurah itu sebenarnya?”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Sebagian besar para pemimpin di Mataram percaya.”

“Kesaksianku akan menghilangkan keragu-raguan mereka. Yang disebut Nyi Lurah Sekar Mirah yang berpihak kepada Ki Saba Lintang itu dapat saja perempuan yang manapun juga, dengan mengenakan pakaian khusus dan membawa tongkat baja putih tiruan. Bahkan laki-laki yang berkeliaran bersamanya di atas kuda itu pun belum tentu kalau Ki Saba Lintang yang sebenarnya.”

“Ya. Agaknya memang demikian. Tidak banyak atau bahkan hampir tidak ada orang kebanyakan yang mengenal langsung Ki Saba Lintang.”

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin tinggi, panasnya mulai terasa menggatalkan kulit. Keringat mulai membasahi punggung, sementara kuda mereka tidak dapat berlari lebih cepat lagi, karena semakin banyak orang yang turun ke jalan.

Di tengah hari, keduanya pun memasuki gerbang kota. Keduanya langsung menuju ke Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka, yang kebetulan sudah pulang dari istana.

Ketika mereka mendekati pintu gerbang Kepatihan, Glagah Putih pun bertanya, “Apakah Kakang tidak menghadap Ki Tumenggung Wiradilaga?”

“Ki Tumenggung Wiradilaga-lah yang telah memanggil aku dan mbokayumu. Tetapi sekarang aku ingin berbicara lebih dahulu dengan Ki Patih Mandaraka. Ki Tumenggung Wiradilaga termasuk seorang pemimpin Mataram yang merasa ragu atas kebersihan mbokayumu Sekar Mirah.”

“Apakah Ki Tumenggung tidak tahu apa yang pernah terjadi, serta usaha Mbokayu Sekar Mirah mempertahankan tongkat baja putihnya?”

“Ki Tumenggung Wiradilaga adalah seorang Tumenggung yang baru diangkat. Semula ia adalah seorang Rangga yang bertugas di daerah Salam. Karena pengabdiannya yang panjang, maka Ki Rangga Wiradilaga telah diangkat menjadi seorang Tumenggung, serta bertugas di Kotaraja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sebabnya, maka ia tidak mengenal keluarga Kakang Agung Sedayu dengan baik. Tetapi apakah para pemimpin yang lain tidak dapat meyakinkannya bahwa Nyi Lurah itu tidak akan mungkin berkhianat? Apakah ia tidak berpikir bahwa Kakang Agung Sedayu sendiri akan sanggup mengekang agar kemungkinan seperti itu tidak terjadi?”

“Entahlah. Tetapi agaknya Ki Tumenggung Wiradilaga ingin menunjukkan bahwa ia telah berbuat sesuatu, demikian ia berada di Kotaraja.”

Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh. Mereka berdua telah berada di depan pintu gerbang Kepatihan. Sejenak kemudian, keduanya pun telah meloncat turun dari kuda dan menuntunnya memasuki pintu yang dijaga oleh dua orang prajurit.

Tetapi para prajurit itu sudah mengenal Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu tidak tertahan di pintu gerbang.

Keduanya pun kemudian mengikat kuda mereka pada patok kayu di sebelah gardu para prajurit yang bertugas di Kepatihan. “Apakah Ki Patih ada?” bertanya Agung Sedayu.

“Ada, Ki Lurah. Ki Patih baru saja kembali dari istana.”

“Aku ingin menghadap.”

“Silahkan duduk. Biarlah kami memberitahukan kehadiran Ki Lurah kepada petugas di dalam.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menunggu beberapa saat. Baru kemudian seorang prajurit menemuinya dan mempersilahkannya masuk ke serambi samping.

Baru saja Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk, Ki Patih Mandaraka pun keluar dari ruang dalam.

Demikian Glagah Putih melihat Ki Patih Mandaraka, maka dahinya pun telah berkerut. Baru beberapa lama ia tidak melihat Ki Patih Mandaraka, namun tiba-tiba saja Ki Patih itu nampaknya demikian cepat bertambah tua.

Tetapi Glagah Putih pun kemudian menundukkan wajahnya.

“Kau sudah kembali dari pengembaraanmu, Glagah Putih?”

“Ampun, Ki Patih. Perjalanan hamba tidak membawa hasil apa-apa. Hamba pulang dengan tangan hampa.”

“Bukan salahmu. Yang kau cari adalah seseorang yang hidup, yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika kau pergi ke utara, orang itu justru sedang pergi ke selatan.”

“Hamba, Ki Patih.”

“Kemarin, kakakmu masih belum mengatakan bahwa kau telah kembali.”

“Baru kemarin hamba kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Patih. Ketika di pengembaraan kami, kami mendengar orang yang kami cari itu justru sedang membidik Tanah Perdikan Menoreh. Namun kemudian yang kami dengar pada saat kami mendekati Tanah Perdikan, justru fitnah terhadap Mbokayu Sekar Mirah.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, “Coba katakan, apa yang kau dengar tentang Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Ampun, Ki Patih. Hamba mendengar bahwa Mbokayu Sekar Mirah telah berbalik dan berpihak kepada Ki Saba Lintang, justru untuk menggabungkan sepasang tongkat baja putihnya, sehingga secara bersama-sama mereka akan dapat memimpin Perguruan Kedung Jati.”

Ki Patih itu pun tersenyum. Katanya, “Ya. Dongeng itulah yang merebak di Mataram dan sekitarnya.”

“Tetapi seperti yang Ki Patih katakan, semuanya itu hanya dongeng. Bahkan fitnah.”

“Ya. Aku juga berpendapat demikian. Tetapi tidak semua orang berpendapat seperti itu.”

“Hamba dapat memberikan kesaksian sebagaimana yang pernah hamba alami di penyeberangan Kali Praga.”

“Apa yang kau alami?”

Glagah Putih pun kemudian menceritakan dengan singkat, pertemuannya dengan orang yang agaknya menganggap bahwa para pemimpin Perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan dari orang lain.

“Bukankah dengan demikian, siapapun asal seorang laki-laki dan seorang perempuan, dapat didesas-desuskan sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu?”

Ki Patih pun tersenyum. Katanya, “Aku percaya kepadamu, Glagah Putih. Tetapi tentu tidak semua orang percaya sebagaimana aku mempercayaimu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, Ki Patih Mandaraka pun berkata kepada Agung Sedayu, “Ki Lurah. Aku merasa perlu untuk menyampaikan kepadamu, laporan dari beberapa orang petugas sandi yang mendapat tugas untuk memantau dongeng tentang Nyi Lurah Agung Sedayu yang menyeberang itu.”

“Apa kata mereka, Ki Patih?”

“Beberapa orang di antara mereka melaporkan, bahwa sejak beberapa hari yang lalu Ki Saba Lintang tidak nampak bersama dengan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Itu tentu laporan orang gila,” geram Glagah Putih.

“Glagah Putih,” potong Ki Lurah Agung Sedayu, “dengan siapa kau berbicara?”

“Ampun, Ki Patih, Hamba mohon ampun.”

Ki Patih Mandaraka hanya tersenyum saja. Bahkan kemudian iapun berkata, “Aku juga pernah muda seperti Glagah Putih.”

“Laporan itu dapat menyesatkan, Ki Patih,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi belum tentu bahwa para petugas sandi itulah yang bersalah. Tetapi memang ada orang-orang Ki Saba Lintang yang menyusup di lingkungan para pemimpin Mataram. Mereka telah membocorkan rahasia keberadaan Nyi Lurah di Mataram, sehingga Ki Saba Lintang yang cerdik dan licik itu dengan sengaja menyebarluaskan desas-desus, bahwa sejak beberapa hari Nyi Lurah Agung Sedayu tidak bersamanya,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, Kakang. Tetapi laporan itu akan dapat memberatkan kecurigaan beberapa orang pemimpin Mataram kepada Mbokayu Sekar Mirah.”

“Memang sasaran itulah yang ingin mereka capai. Jika hal itu terjadi, maka mereka akan merasa berhasil.”

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “aku ingin menyampaikan satu gagasan kepadamu dan kepada Glagah Putih.”

“Hamba akan menjalankan apa saja yang dapat membersihkan nama Mbokayu Sekar Mirah, Ki Patih,” sahut Glagah Putih dengan serta merta.

“Apakah Ki Lurah tidak berkeberatan jika Nyi Lurah tetap berada di Mataram untuk beberapa hari lagi?”

“Jika dengan demikian namanya dapat dibersihkan, hamba tidak berkeberatan, Ki Patih,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Selama ini, Ki Saba Lintang tentu dengan sengaja membuat dongeng bahwa Nyi Lurah tidak ada bersama Ki Saba Lintang. Apakah yang berkeliaran itu benar-benar Ki Saba Lintang, atau seorang yang memerankannya dalam lakon yang mendebarkan ini?”

“Ya, Ki Patih.”

“Untuk mengimbangi lakon yang disusun oleh Ki Saba Lintang, maka Ki Lurah harus membuat lakon yang lain, lengkap dengan pemeran pemerannya.”

“Maksud Ki Patih?”

“Biarlah Glagah Putih melanjutkan perburuan yang dilakukan. Tetapi dengan cara yang lain. Biarlah ia memerankan tokoh Ki Saba Lintang. Sedang istrinya, Rara Wulan, akan menjadi Nyi Lurah Agung Sedayu. Mereka akan berkeliaran di sekitar Mataram. Maka kesan bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu tidak nampak dalam beberapa hari ini, justru pada saat Nyi Lurah berada di Mataram, akan berubah. Para petugas sandi akan memberikan laporan bahwa Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah masih tetap berkeliaran, justru pada saat Nyi Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya berada di Mataram, yang ternyata telah dibocorkan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Dengan demikian maka mereka yang ragu-ragu akan kebersihan nama Nyi Lurah Agung Sedayu akan dapat diyakinkan.”

“Tetapi apakah para petugas sandi tidak akan mengambil tindakan terhadap Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu, sehingga akan dapat mengakibatkan benturan kekerasan?”

“Tidak. Perintah kepada para petugas sandi tidak untuk menangkap mereka. Tetapi pada tahap pertama, untuk meyakinkan siapakah mereka sebenarnya. Yang mungkin akan terjadi benturan kekerasan adalah pemeran Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu dengan Ki Saba Lintang yang sebenarnya, atau orang yang mula-mula memerankannya.”

“Hamba mengerti, Ki Patih. Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang itu mungkin akan datang kepadaku tanpa kita harus bersusah payah mencarinya.”

“Tetapi kau harus yakin akan dapat mengimbangi ilmunya. Mungkin Ki Saba Lintang itu tidak hanya berdua. Mungkin ia membawa beberapa orang pengikutnya.”

“Jika kami juga tidak hanya berdua?”

“Tidak apa. Berceritalah kepada orang-orang yang kalian temui di manapun, bahwa kalian adalah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, serta pengikut-pengikutnya yang terdekat.”

“Terima kasih, Ki Patih. Hamba akan melakukannya dengan senang hati, jika Kakang Agung Sedayu tidak berkeberatan.”

“Gagasan yang menarik. Kau dapat mencobanya, Glagah Putih. Aku setuju. Tetapi kau dan Rara Wulan harus benar-benar siap.”

“Kami sudah siap, Kakang. Kami sudah siap sejak kami berangkat melaksanakan perintah untuk menemukan tongkat baja putih itu.”

“Bagus. Kita akan segera mulai dengan lakon yang menarik ini.”

Terasa dada Glagah Putih bergejolak. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu untuk memerankan sosok orang yang dibencinya itu, menurut lakon yang disusun oleh Ki Patih Mandaraka. Namun Ki Patih itu masih juga berpesan, “Tetapi biarlah kita bertiga saja yang mengetahui permainan ini. Bagaimanapun juga, aku merasa curiga bahwa ada di antara para pemimpin atau petugas di Mataram yang berpihak kepada Ki Saba Lintang. Meskipun mungkin orang itu justru ingin memperalat Ki Saba Lintang bagi kepentingannya sendiri.”

“Ya, Ki Patih,” Glagah Putih mengangguk, “hamba mengerti.”

“Kau dapat segera mulai dengan permainan ini, Glagah Putih. Semakin cepat semakin baik, agar kecurigaan terhadap Nyi Lurah Agung Sedayu itu pun segera dapat disingkirkan.”

“Hamba, Ki Patih. Hamba segera mohon diri.”

“Glagah Putih,” desis Agung Sedayu, “kita masih harus menghadap Ki Tumenggung Wiradilaga.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “Ki Tumenggung Wiradilaga termasuk salah seorang yang masih harus diyakinkan bahwa Nyi Lurah tidak pernah berhubungan dengan Ki Saba Lintang. Karena itu, berhati-hatilah berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradilaga. Ia terhitung seorang pejabat baru yang mungkin ingin menunjukkan bahwa ia telah berbuat sesuatu.”

“Ya, Ki Patih.”

“Pergilah. Aku lihat Tumenggung Wiradilaga tadi juga sudah pulang dari istana. Jika ia tidak singgah kemana-mana, ia tentu sudah ada di rumahnya. Bukankah kau sudah tahu dimana letak rumahnya?”

“Ya, Ki Patih.”

“Untuk sementara ia tinggal di rumah mertuanya. Rumahnya sendiri baru dibangun, di sebelah rumah mertuanya itu.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera minta diri. Namun kedua belah pihak telah menyesuaikan rencana mereka masing-masing untuk menyelamatkan nama baik Nyi Lurah Agung Sedayu.

Beberapa saat kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah menghadap Ki Tumenggung Wiradilaga. Sebelum Glagah Putih mulai dengan permainan yang disusun oleh Ki Patih, ia mencoba meyakinkan Ki Tumenggung Wiradilaga dengan menceritakan peristiwa yang dialaminya di tepian Kali Praga.

“Lalu apa hubungannya dongengmu itu dengan kebersihan nama Nyi Lurah Sekar Mirah?”

“Ki Tumenggung,” berkata Glagah Putih, “aku ingin mengatakan bahwa sesungguhnya yang disebut Nyi Lurah Sekar Mirah dalam desas-desus itu, tentu bukan Nyi Lurah yang sebenarnya. Ki Saba Lintang dapat melahirkan sosok Nyi Lurah itu dengan peraga siapa saja, asal ia seorang perempuan dalam pakaian yang khusus, dengan membawa tongkat besi yang berwarna putih.”

“Tetapi setelah Nyi Lurah itu berada di Mataram, para petugas sandi yang dikirim oleh Mataram telah menangkap berita bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu itu tidak lagi nampak berkeliaran bersama Ki Saba Lintang. Nah, setiap orang yang dapat mempergunakan nalarnya dengan baik, akan dapat mengambil kesimpulan.”

Glagah Putih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia berusaha untuk menjaga agar mulutnya tidak mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan Ki Tumenggung yang baru itu.

Namun Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Tetapi Ki Patih sudah memerintahkan, agar Nyi Lurah jangan diijinkan pulang lebih dahulu. Ki Patih Mandaraka masih ingin meyakinkan bahwa yang disebut Nyi Lurah Agung Sedayu itu benar-benar Nyi Lurah Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya, Ki Tumenggung,” desis Agung Sedayu.

“Para petugas sandi pun masih mendapat perintah untuk terus menerus memantau keadaan.”

“Ya, Ki Tumenggung.”

“Kita akan menunggu beberapa hari lagi.”

“Selama ini, aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, agar tugasku tidak terbengkalai.”

“Tetapi harus kau sadari, Ki Lurah. Jika kami mendapat keyakinan bahwa istrimu telah melakukan perbuatan yang melanggar paugeran, maka kau pun tentu akan terpercik juga.”

Terasa jantung Glagah Putih tergetar. Tetapi ia masih menyadari, bahwa ia harus menjaga dirinya untuk tidak terlepas dari kendali nalarnya.

“Sebenarnya aku merasa heran,” berkata Ki Tumenggung kemudian, “bagaimana Ki Lurah telah kehilangan pengawasan terhadap istrinya sendiri. Mungkin Ki Lurah sibuk di barak Pasukan Khusus itu. Meskipun demikian, bukankah setiap hari Ki Lurah pulang? Bagaimana mungkin Ki Lurah tidak mengetahui bahwa Nyi Lurah telah berhubungan dengan Ki Saba Lintang?”

“Ki Tumenggung,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, “apakah itu berarti bahwa Ki Tumenggung sudah menetapkan istriku bersalah? Bahwa yang berkeliaran bersama Ki Saba Lintang itu benar-benar istriku yang sekarang berada di Mataram ini?”

Ki Tumenggung tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku merasa kasihan kepadamu, Ki Lurah. Bahwa kau masih saja tidak dapat meyakini kesalahan istrimu. Tetapi baiklah. Akhirnya yang salah akan diketahui juga. Pada suatu saat kau harus melihat kenyataan pahit itu. Tetapi kau sudah terlambat.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu darah di jantung Glagah Putih terasa bagaikan bergejolak.

Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Agaknya tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Untuk beberapa hari lagi, biarlah istrimu tetap berada di Mataram. Bukankah ia mendapat perlakuan baik selama ini? Istrimu masih belum diputuskan bersalah. Karena itu, maka ia masih diperlakukan sebagai seorang tamu.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, yang kemudian telah minta diri. “Ki Tumenggung, perkenankanlah kami berdua mohon diri.”

“Setelah sepekan, sebaiknya kau datang lagi kepadaku. Mungkin ada perkembangan baru yang dapat aku sampaikan kepadamu tentang istrimu. Mudah-mudahan tidak membuatmu terkejut.”

“Ya, Ki Tumenggung. Sepekan lagi aku akan datang menghadap. Mudah-mudahan selama ini para petugas sandi dapat menangkap keadaan yang sesungguhnya.”

Ki Tumenggung itu tersenyum. Katanya, “Ya. Selama ini mereka masih tetap memantau keadaan.”

Keduanya pun kemudian meninggalkan rumah Ki Tumenggung Wiradilaga. Ketika Ki Lurah bertanya apakah sebaiknya mereka singgah di rumah Ki Patih atau tidak, Ki Tumenggung pun berkata, “Apakah kau mempunyai keperluan khusus dengan Ki Patih?”

“Tidak. Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung-lah yang mempunyai keperluan yang harus kami sampaikan kepada Ki Patih.”

“Ki Patih mempunyai banyak kesibukan, Ki Lurah. Ia tidak akan mempunyai cukup banyak waktu untuk menerima Ki Lurah dan sepupu Ki Lurah itu. Jika Ki Lurah singgah, mungkin sekali Ki Patih tidak sempat menemui Ki Lurah.”

“Jika demikian, kami tidak perlu untuk singgah.”

Sebenarnyalah keduanya memang tidak merasa perlu untuk singgah di Kepatihan, karena mereka sudah berada di Kepatihan, sebelum menghadapi Ki Tumenggung Wiradilaga.

“Malam nanti aku akan berangkat, Kakang,” berkata Glagah Putih.

“Berangkat kemana?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Kemana saja. Aku dan Rara Wulan akan mengembara di kaki Gunung Merapi di sisi selatan sampai ke sisi timur. Kemudian menelusuri Kali Opak ke selatan, di sebelah pegunungan Baka, sampai ke tempuran, terus menyusuri pantai Lautan Kidul.”

“Tetapi sebaiknya kau berada lebih banyak di kaki Gunung Merapi daripada di pantai Lautan Kidul. Berita kehadiran Ki Saba lintang lebih keras bertiup di kaki Gunung Merapi.”

“Apakah sebaiknya aku bertemu dan berbicara dengan Kakang Untara, agar tidak terjadi salah paham dengan prajurit-prajuritnya di Jati Anom?”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Sebaiknya kau singgah di Jati Anom. Tetapi biarlah Kakang Untara tidak terlalu banyak mencampuri persoalan ini. Orang-orang Mataram tidak akan mempercayainya sepenuhnya. Apalagi orang-orang baru yang selalu mencurigai siapapun saja, atau mereka yang ingin dengan cepat mendapat pujian.”

Glagah Putih mengangguk pula sambil berdesis, “Ya, Kakang. Tetapi bagaimana dengan Kakang Swandaru?”

“Biarlah kakangmu Swandaru tidak mencampuri persoalan ini. Justru karena ia adalah kakak mbokayumu Sekar Mirah. Kesaksian yang dikemukakannya tentu dianggap sekedar untuk memperingan kesalahan adik perempuannya.”

Glagah Putih terdiam. Kudanya berlari di sebelah kuda Agung Sedayu. Jika saja Glagah Putih ingin berpacu lebih dahulu, maka kuda Glagah Putih adalah kuda yang sangat baik.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Derap kaki kuda mereka terdengar bagaikan dua ekor kuda yang saling berkejaran.

Sedikit lewat senja, keduanya telah memasuki regol halaman rumah Agung Sedayu. Ki Jayaraga, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyongsong mereka di halaman.

Rara Wulan yang berada di dapur, segera berlari-lari ke halaman depan ketika ia mendengar ringkik kuda Glagah Putih. Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah duduk di pringgitan, sementara Sukra menuntun kuda mereka ke belakang. 

“Bagaimana dengan Mbokayu Sekar Mirah?” Rara Wulan tidak sabar lagi.

“Menurut Ki Tumenggung Wiradilaga, ia dalam keadaan baik.”

“Kakang berdua tidak menengok Mbokayu?”

“Tidak hari ini, Rara,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kenapa?”

“Baru kemarin aku menemuinya. Biarlah besok atau besok lusa. Jika aku terlalu sering menemuinya, orang-orang Mataram yang mencurigainya akan menjadi semakin curiga.”

“Apakah kesaksian Kakang Glagah Putih dapat meyakinkan mereka, bahwa yang disebut Sekar Mirah yang bersama-sama dengan Ki Saba Lintang itu orangnya dapat siapa saja?”

Ki Lurah Agung Sedayu menggeleng lemah. Katanya, “Sayang. Mereka tidak yakin karenanya.”

“Lalu apa yang akan Kakang lakukan?” desak Rara Wulan yang semakin menjadi gelisah itu.

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun bertanya, “Dimana Adi Swandaru dan istrinya?”

“Mereka masih berada di rumah Ki Gede. Agaknya malam ini mereka akan bermalam di sana,” jawab Ki Jayaraga.

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun Rara Wulan pun kemudian telah mendesaknya pula, “Apa yang akan Kakang lakukan?”

“Kami sudah mempunyai rencana, Rara. Tetapi biarlah kami mandi dahulu. Nanti, kita akan berbicara. Mungkin sebuah pembicaraan yang panjang.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Kakang. Biarlah aku menyediakan minuman serta makan malam.”

Ketika Rara Wulan dan Sukra sibuk di dapur, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah sempat mandi dan berbenah diri.

Malam itu, sambil makan malam, mereka pun berbicara tentang rencana untuk mengimbangi tindakan licik Ki Saba Lintang.

Ki Lurah Agung Sedayu telah menceritakan pertemuannya dengan Ki Patih Mandaraka. Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menjelaskan rencana permainan yang akan dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Satu gagasan yang menarik,” sahut Rara Wulan dengan serta-merta. “Kapan kami harus melakukannya, Kakang?”

“Secepatnya, Rara. Selagi mbokayumu masih di Mataram, serta perhatian para petugas sandi masih utuh terhadap persoalan ini. Jika kalian hadir di sekitar Mataram, justru setelah para petugas sandi tidak lagi mempunyai greget untuk memantaunya, maka kehadiran kalian akan sia-sia.”

“Aku siap berangkat malam ini,” berkata Rara Wulan.

“Tidak usah malam ini. Besok saja kalian berangkat. Singgah sebentar menemui Kakang Untara untuk menjelaskan persoalannya, agar tidak terjadi salah paham dengan prajurit-prajuritnya. Kemudian aku akan minta kakangmu Swandaru untuk tidak dengan tergesa-gesa melibatkan diri. Justru karena Adi Swandaru adalah kakak Sekar Mirah. Apapun yang dikatakannya tidak akan dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang Mataram. Karena Adi Swandaru akan dianggap berusaha untuk menyelamatkan nama baik adiknya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Jika saja kami tidak terlalu tua,” berkata Ki Citra Jati sambil tersenyum.

Ki Jayaraga pun tertawa. Namun kemudian Ki Jayaraga itu pun bertanya, “Bukankah mungkin sekali Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu disertai para pengikutnya?”

“Mungkin sekali.”

“Jika demikian, kami bertiga dapat ikut serta dalam permainan yang menarik ini,” berkata Ki Jayaraga.

“Ya. Jika kami boleh ikut, maka kami akan dengan senang hati melakukannya.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah, agaknya tidak ada keberatannya. Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang memiliki sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu berkeliaran bersama beberapa orang pengikutnya. Tetapi usahakan agar kalian tidak berada terlalu lama di suatu tempat. Mungkin beberapa orang yang pernah bertemu dan melihat Ki Saba Lintang dengan perempuan yang disebutnya Nyi Lurah Agung Sedayu akan memperbandingkan dengan kehadiran kalian.”

“Baik, Kakang. Kami akan hadir di satu tempat seperti bayangan, yang segera mengilang agar tidak dapat diperbandingkan dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, jika mereka pernah hadir di satu tempat yang akan kami datangi.”

“Baiklah. Malam ini aku dan Glagah Putih akan menemui Adi Swandaru di rumah Ki Gede.”

Demikianlah, setelah selesai makan malam, serta setelah duduk-duduk di serambi sambil berbincang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun minta diri untuk pergi ke rumah Ki Gede. Selain untuk menemui Swandaru dan istrinya yang bermalam di rumah Ki Gede, mereka pun akan memberikan laporan tentang persoalan yang menyangkut Sekar Mirah.

Ketika Pandan Wangi mendengar rencana yang akan dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka iapun berkata, “Bukankah rencana itu lebih tepat jika aku dan Kakang Swandaru yang melakukannya?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Para pengikut Ki Saba Lintang sudah banyak yang mengenal Swandaru dan istrinya. Bahkan Swandaru pernah terjerumus ke dalam perangkap Ki Saba Lintang, sehingga kehadiran mereka di dalam permainan ini akan cepat diketahui oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Sebaliknya, meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan juga sudah dikenal, tetapi tidak terlalu jauh sebagaimana Swandaru, yang justru telah dikenal terlalu dalam.

Namun sudah tentu Agung Sedayu tidak dapat mengucapkannya. Yang dikatakannya adalah justru karena Swandaru adalah kakak Sekar Mirah, maka persoalannya akan dapat menjadi lain.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi itu pun bertanya, “Apakah kau sudah benar-benar siap, Glagah Putih?”

“Sudah, Mbokayu.”

“Berhati-hatilah. Kau berhadapan dengan orang yang licik tetapi cerdik.”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Ya, Mbokayu. Jika kami menghadapi kesulitan dalam tugas kami, maka kami akan menemui Kakang Swandaru jika aku berada di sekitar Sangkal Putung. Jika aku dekat dengan Jati Anom, maka aku akan menyampaikannya kepada Kakang Untara atau kepada Ayah di padepokan kecil itu.”

“Baiklah,” berkata Swandaru, “kami akan selalu bersiap membantu jika kau mengalami kesulitan di sekitar Kademangan Sangkal Putung.”

“Terima kasih, Kakang.”

“Kapan kau akan mulai dengan permainanmu, Glagah Putih?” bertanya Ki Gede.

“Besok pagi, Ki Gede. Kami akan singgah di Jati Anom, memberi laporan kepada Kakang Untara, agar tidak terjadi salah paham dengan prajuritnya.”

“Tugas yang berat. Mudah-mudahan kau dapat melakukannya dengan selamat, Glagah Putih. Seperti pesan mbokayumu Pandan Wangi, berhati-hatilah.”

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih pun mohon diri. Sekali lagi Glagah Putih mohon doa restu kepada Ki Gede agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan selamat dan berhasil sebagaimana diharapkan.

Malam itu adalah malam yang gelisah bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka sama sekali tidak menjadi cemas oleh tugas yang harus mereka jalankan itu, tetapi yang mereka cemaskan adalah justru Sekar Mirah. Jika mereka terlambat, maka Sekar Mirah akan dapat ditetapkan bersalah.

Karena itu, rasa-rasanya malam pun menjadi sangat panjang. Bahkan waktu pun seakan-akan tidak bergerak. Namun akhirnya mereka pun sampai juga pada saat menjelang fajar. Gagah Putih dan Rara Wulan pun segera bersiap. Demikian pula Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga.

Tetapi mereka tidak akan menempuh perjalanan bersama-sama. Mereka sepakat untuk bertemu di Jati Anom, di padepokan Orang Bercambuk. Setelah singgah untuk menemui Untara, maka Gagah Putih dan Rara Wulan akan langsung pergi ke padepokan Orang Bercambuk, sementara Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga telah lebih dahulu sampai di padepokan itu.

Sebelum matahari terbit, maka semuanya telah bersiap. Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga berangkat lebih dahulu. Sejenak kemudian, maka Gagah Putih dan Rara Wulan pun menyusul pula. Tetapi mereka tidak akan melalui jalan yang sama. Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga akan menyeberang di penyeberangan sebelah utara, sedangkan Gagah Putih dan Rara Wulan akan menyeberang di penyeberangan sebelah selatan.

Ki Lurah Agung Sedayu melepas mereka dengan jantung yang berdebaran. Sebelumnya ia tidak mengira sama sekali bahwa Sekar Mirah akan difitnah oleh orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati, sehingga Sekar Mirah harus berada di Mataram untuk beberapa lama.

Tetapi Agung Sedayu pun yakin bahwa di lingkungan para pemimpin di Mataram, tentu ada orang-orang yang bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.

Dalam pada itu, maka Gagah Putih dan Rara Wulan pun melarikan kuda mereka menempuh perjalanan panjang. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga untuk menyeberang, maka matahari telah merambat naik. Tetapi panasnya masih belum terasa menggigit kulit.

Sebenarnyalah Gagah Putih ingin bertemu dengan orang yang pernah menyapanya sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi orang itu tidak menyeberang hari itu.

Gagah Putih dan Rara Wulan yang sudah berada di tepian itu tidak langsung naik ke atas rakit yang sudah siap menyeberang. Bukan karena rakit itu sudah tidak muat lagi, tetapi Gagah Putih dan Sekar Mirah memang menunggu rakit yang agak besar, yang pernah membawa orang dengan pikulan dan sepasang bakul itu menyeberang, mendahului rakit yang kemudian membawa Gagah Putih dan Rara Wulan.

Baru sejenak kemudian, rakit itu merapat di sisi sebelah barat. Beberapa orang turun, sementara Gagah Putih dan Rara Wulan pun naik sambil menuntun kuda mereka.

Beberapa saat mereka masih menunggu beberapa orang penumpang yang berlari-lari di tepian, agar tidak ditinggal oleh rakit yang merapat itu.

Demikian rakit itu bergerak, maka Gagah Putih pun bertanya kepada salah seorang tukang satang, “Ki Sanak. Bukankah kemarin lusa, seorang yang membawa pikulan berisi reramuan obat-obatan itu menyeberang dengan rakitmu ini?”

Tukang satang itu mengerutkan dahinya. Sambil mengayuh rakitnya iapun kemudian bertanya, “Maksudmu Ki Kayuracik?”

“Aku belum tahu namanya, Ki Sanak. Tetapi orangnya agak kekurus-kurusan, berkumis jarang dan membawa sepasang bakul dengan sebuah pikulan.”

“Ya. Ia seringkali hilir mudik lewat jalan penyeberangan ini. Kami sering mendapat sebungkus reramuan obatnya. Katanya akan dapat membuat tubuh kami semakin kuat.”

“Adakah kalian merasakan khasiat obatnya itu?”

“Ya. Aku menjadi semakin sehat. Aku menjadi jarang sakit.”

Gagah Putih mengangguk-angguk. Sementara tukang satang itu berkata pula, “Sebelumnya aku kurang bernafsu makan. Tetapi sekarang aku makan tanpa henti. Bahkan di rakit ini selalu tersedia ketela rebus, atau ubi, gembeli atau bahkan garut. Pokok apa saja, karena rasa-rasanya perutku selalu lapar.”

“Kawan-kawanmu juga?”

“Tidak semuanya mau minum reramuan jamu itu. Rasanya memang pahit sekali. Lebih pahit dari akar ketela gentung gerandel. Bahkan daun bratawali.”

“Tetapi kau memang nampak sehat sekali.”

“Kawanku yang di ujung itu tidak mau minum reramuan jamu yang pahit. Ia telah mencobanya beberapa kali. Tetapi ia selalu muntah.”

“Tetapi ia juga nampak sehat.”

“Setiap pagi ia minum jamu yang diramunya sendiri. Telur ayam dan serbuk merica.”

“Jamu yang mahal.”

“Itulah sebebnya ia memelihara beberapa ekor ayam, agar setiap pagi ia mendapatkan telur.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sedangkan tukang satang itu masih juga melanjutkan, “Hampir semua tukang satang di sini mengenalnya. Ia memang baik hati. Hampir semuanya mendapat reramuan jamunya, kecuali yang memang tidak mau.”

Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu rakit itu pun sudah menjadi semakin merapat ke tepian.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah turun ke tepian setelah memberikan upah penyeberangannya. Kemudian, keduanya pun melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Mereka tidak menyusuri jalan ke Mataram, tetapi mereka telah mengambil jalan simpang.

“Apa yang harus kita lakukan, Kakang? Apakah kita harus bertemu lebih dahulu dengan Kakang Untara, baru kita mulai dengan tugas kita?”

“Tidak usah menunggu lagi, Rara. Nanti jika kita singgah di kedai, maka kita sudah mulai akan memperkenalkan diri kita. Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu kesempatan untuk menyebut keberadaan mereka.

Di tengah hari, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang besar, justru di arah selatan dari Mataram. Keduanya pun kemudian berhenti di sebuah kedai dekat sebuah pasar yang terhitung ramai. Pasar Gumulan.

Setelah mengikat kuda-kuda mereka, maka mereka pun segera memasuki kedai itu dengan dada tengadah. Keduanya pun kemudian duduk di tengah-tengah ruangan kedai yang tidak terlalu panas itu. Sementara di dalam kedai itu sudah ada beberapa orang yang lebih dahulu masuk. Rara Wulan pun kemudian telah memesan minuman dan makan bagi mereka berdua.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu bangkit berdiri dan berjalan mendekati tiga orang yang duduk beberapa langkah darinya. “He, kenapa kau memilih kedai ini? Bukan ada kedai di sebelah kiri atau kanan kedai ini?”

Orang itu menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Dipandangnya kawan-kawannya dengan wajah yang tegang.

“Kenapa, he? Apakah kau tuli? Atau bisu?”

“Hanya kebetulan saja, Ki Sanak,” jawab orang itu, “aku juga sering berada di kedai sebelah-menyebelah. Bahkan juga kedai di ujung itu. Tidak tentu, Ki Sanak.”

“Dan hari ini kau berada di sini mendahului aku dan Nyi Lurah itu, he?”

“Tidak, Ki Sanak. Tidak. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Ki Sanak akan memasuki kedai ini. Bahkan aku tidak tahu siapakah Ki Sanak berdua ini.”

“Kau belum tahu siapa kami berdua?”

“Belum, Ki Sanak.”

“Kau orang-orang dungu. Namaku Ki Saba Lintang, dan perempuan ini adalah Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Orang-orang itu pun saling berpandangan. Mereka memang belum pernah mendengar nama itu.

“Ingat. Namaku Ki Saba Lintang, dan perempuan ini adalah Nyi Lurah Agung Sedayu. Kami adalah pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang terkenal, yang sekarang sedang menyusun kekuatannya kembali.”

Orang-orang itu masih saja saling berpandangan.

“Jadi kalian juga belum pernah mendengar nama Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Belum, Ki Sanak.”

“Kalian sudah pernah mendengar nama Perguruan Kedung Jati?”

“Juga belum, Ki Sanak.

“Kalian memang orang-orang yang picik. Seperti seekor katak yang bersembunyi di bawah tempurung yang menelungkup, kalian tidak tahu apa-apa.”

Orang itu terdiam. Demikian pula yang lain.

“Nah, katakan kepada semua orang yang kau kenal, bahwa Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu sekarang sedang berada di daerah ini. Kami berdua terus akan bergerak ke timur.”

Orang itu masih saja termangu-mangu. Glagah Putih pun kemudian meninggalkan orang itu dalam kebingungan, sementara yang dipesan oleh Rara Wulan telah dihidangkan pula.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah selesai. Rara Wulan pun kemudian mendekati pemilik kedai yang menjadi cemas melihat sikap perempuan itu. Namun Rara Wulan pun telah mengambil uang dari saku ikat pinggangnya yang besar, dan diberikannya kepada pemilik kedai itu.

“Ini berlebihan,” berkata pemilik kedai itu.

“Ambil lebihnya. Orang-orang dari Perguruan Kedung Jati bukan orang-orang yang kikir. Pada suatu saat, jika kami memegang pemerintahan di Mataram, maka kesejahteraan terutama harus dinikmati banyak orang.”

Pemilik kedai itu memandanginya sambil termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, “Terima kasih, Ki Sanak.”

“Sebut namaku, Nyi Lurah Agung Sedayu. Laki-laki yang bersamaku itu adalah Ki Saba Lintang.”

“Baik, Nyi Lurah.”

“Sebut, Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah melanjutkan perjalanan mereka dengan meninggalkan kesan tersendiri kepada orang-orang yang berada di kedai itu. Bahkan setiap kali Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti dimana pun, mereka selalu berusaha untuk menyebut nama Ki Saba Lintang dan Sekar Mirah atau Nyi Lurah Agung Sedayu.

Tetapi Rara Wulan itu sempat juga bertanya, “Apakah usaha ini akan ada artinya, Kakang? Di daerah ini tidak dikenal Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Mereka tidak akan pernah membicarakannya, sehingga para petugas sandi dari Mataram tidak akan pernah mendengarnya.”

“Kita harus meninggalkan jejak dimana-mana, Rara. Besok atau besok lusa kita akan melingkari Mataram, nanti malam kita akan bermalam di Jati Anom. Tidak di barak Kakang Untara, tetapi di padepokan Orang Bercambuk.”

Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata lebih lanjut, “Mungkin kita dapat membuat permainan tersendiri dengan Kakang Swandaru. Kakang Swandaru merasa tersinggung karena Nyi Lurah Agung Sedayu, adik perempuannya, telah berkhianat, sehingga Kakang Swandaru berusaha untuk menangkap Nyi Lurah itu. Mungkin pula permainan yang lain dengan Kakang Untara. Pokoknya apapun juga dapat kita lakukan untuk menarik perhatian.”

“Aku sependapat, Kakang. Tetapi tentu tidak di daerah selatan ini. Bukankah Kakang Agung Sedayu juga berpesan agar kita lebih banyak bergerak di daerah utara?”

“Bukankah prajurit Mataram itu tersebar dimana-mana? Di Ganjur ada sepasukan prajurit. Jika kehadiran Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang dari Perguruan Kedung Jati mereka dengar, maka tentu akan ada laporan ke Mataram.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Kedatangan keduanya di padepokan Orang Bercambuk tidak mengejutkan Ki Widura. Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga telah berada di padepokan itu. Ternyata mereka bertiga juga telah melepaskan jejak Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu di sepanjang jalan.

“Kami terpaksa berkelahi di sebuah kedai,” berkata Ki Jayaraga, “seseorang telah mencerca bersatunya kembali sepasang tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Mencerca bagaimana?”

“Mereka menganggap bahwa manunggalnya kedua tongkat pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu hanya akan menimbulkan kekacauan saja. Aku menjadi marah. Sebagai seorang pengikut dari Perguruan Kedung Jati yang setia, maka aku tantang orang itu berkelahi.”

“Luar biasa. Pengabdian Ki Jayaraga tidak akan dilupakan oleh Ki Saba Lintang.”

“Ternyata orang itu pun mengatakan, bahwa manunggalnya sepasang tongkat baja putih itu sekarang sudah pecah lagi.”

“Kenapa?”

“Menurut orang itu, sekarang Ki Saba Lintang hanya berkeliaran seorang diri lagi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang sejenak. Dengan nada datar Rara Wulan pun berkata, “Tentu ada orang Perguruan Kedung Jati yang menyusup ke dalam Istana Mataram. Bahkan mungkin orang itu telah berhasil mencapai tataran kepemimpinan yang berarti. Orang itu tentu telah memberitahukan bahwa Mbokayu Sekar Mirah berada di Mataram.”

“Nampaknya memang begitu, Rara,” sahut Ki Widura, “karena itu maka permainan yang kalian lakukan adalah permainan yang baik sekali. Kalian harus berterima kasih kepada Ki Patih dengan gagasannya itu.”

“Ya, Ayah,” desis Rara Wulan.

Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Tetapi aku sudah membantah berita itu. Aku katakan, bahwa baru saja aku bersama Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Yang mendengarnya tertawa berbareng. Ki Citra Jati pun menyambung, “Ki Jayaraga memukuli lawannya sampai giginya terlepas dua buah.”

“Sebagai seorang pengikut dari Perguruan Kedung Jati, aku harus bertindak tegas. Tidak ada orang yang boleh merendahkan perguruanku. Apalagi mencela dan menghina pemimpinku.”

Rara Wulan tertawa berkepanjangan. Sementara itu Ki Jayaraga pun meneruskan, “Nampaknya mereka percaya, bahwa aku baru saja berpisah dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Kenapa Ki Jayaraga dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka mempercayainya?”

“Seorang yang lain telah bertanya, apakah desas-desus tentang keberadaan Nyi Lurah Agung Sedayu di Mataram itu benar.”

“Apakah jawab Ki Jayaraga?” bertanya Rara Wulan.

“Bohong, aku berteriak seperti orang kesurupan. Nyi Lurah Agung Sedayu masih tetap bersama Ki Saba Lintang. Dongeng tentang Nyi Lurah Agung Sedayu yang berada di Mataram itu telah ditebarkan dengan sengaja oleh orang-orang Mataram, yang kebingungan menghadapi kenyataan bersatunya sepasang tongkat baja putih dari Perguruan Kedung Jati, yang merupakan pertanda akan bangkitnya kembali kekuatan yang merupakan jalur yang sebenarnya dari alur kekuasaan yang bersumber dari Demak.”

Rara Wulan tertawa semakin panjang, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia senang mendengar cerita Ki Jayaraga yang berhasil mengelabuhi beberapa orang yang ditemuinya di perjalanannya.

Malam itu mereka semuanya bermalam di padepokan Orang Bercambuk. Baru di pagi hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan menemui Ki Untara dan menceritakan tentang tugas yang diembannya.

“Aku akan berkeliaran bersama dengan tiga orang yang sudah memasuki usia lanjut. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yang telah memberikan warisan ilmu kepadaku dan kepada Rara Wulan, Kakang.”

“Baiklah,” berkata Untara, “aku akan memerintahkan bahwa prajurit-prajurit hanya dapat memantau berita tentang keberadaan Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang, tanpa mengambil tindakan apa-apa. Segala sesuatunya akan ditangani langsung dari Mataram.”

“Terima kasih, Kakang. Dengan demikian tidak akan timbul salah paham.”

“Tetapi berhati-hatilah dengan permainanmu itu, Glagah Putih. Permainan itu sangat menarik, tetapi berbahaya. Kau akan menjadi sasaran bagi orang-orang Perguruan Kedung Jati yang marah karena ada orang lain yang mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Sementara itu, mereka dengan sengaja menyebarkan berita bahwa untuk beberapa hari terakhir Nyi Lurah Agung Sedayu tidak nampak bersama Ki Saba Lintang. Karena mereka dengan sengaja ingin menunjukkan kepada para petugas dari Mataram, bahwa sebelum itu, perempuan yang berkeliaran bersama Ki Saba Lintang itu benar-benar Nyi Lurah Agung Sedayu. Demikian Nyi Lurah Agung Sedayu disekap di Mataram, maka perempuan yang berkeliaran itu pun tidak lagi nampak.”

“Ya, Kakang. Kami akan berhati-hati.”

“Kau tahu bahwa Ki Saba Lintang mempunyai kepandaian untuk menghimpun orang-orang berilmu tinggi. Entah darimana saja asalnya, tiba-tiba saja beberapa orang berilmu tinggi telah berhimpun dan mendukung gerakan-gerakan yang dilakukannya.”

“Kecerdikan dan kelicikannya memang pantas mendapat pujian, Kakang.”

“Nah, baiklah. Aku akan mengendalikan prajurit-prajurit agar mereka tidak mengambil langkah-langkah, kecuali sekedar memantau perkembangannya.”

“Terima kasih, Kakang.”

“Dalam keadaan yang sulit kau atasi, beritahu aku,” berkata Untara selanjutnya.

“Ya, Kakang. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera minta diri untuk mulai dengan permainannya yang berbahaya.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih singgah lebih dahulu di padepokan Orang bercambuk. Mereka kemudian mulai berkeliaran bersama Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga.

Di hari pertama itu, mereka mulai merayap ke barat. Hari itu juga orang-orang di Prambanan dikejutkan oleh munculnya Ki Saba Lintang bersama Nyi Lurah Agung Sedayu. Di hari pertama itu pula, mereka telah menjumpai beberapa orang yang mengaku belum pernah bertemu dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi mereka pernah mendengar namanya dari orang-orang yang dikenalnya.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lama berada di Prambanan. Hari itu juga mereka telah menghilang. Tidak seorangpun tahu, kemana Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu pergi.

“Kuda-kuda itu berlari ke utara,” berkata seorang, “kami tidak tahu, mereka akan pergi ke mana.”

Sejak hari itu, setiap kali Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu sering muncul di satu tempat. Namun kemudian segera menghilang lagi.

Namun dengan demikian, maka hampir setiap orang mulai membicarakannya lagi. Mereka yang mendengar kabar bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu telah disekap di Mataram, telah menganggap bahwa kabar itu adalah kabar bohong. Sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih, maka orang-orang itu pun mengatakan bahwa kabar itu sengaja disebarkan oleh para pemimpin Mataram yang menjadi kebingungan, karena sepasang tongkat baja putih telah bergabung sehingga akan dapat menjadi sarang wahyu keraton.

Para petugas sandi pun mulai menangkap cerita baru tentang Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Seorang petugas sandi berkata kepada kawannya yang juga seorang petugas sandi, ternyata Nyi Lurah Agung Sedayu muncul di beberapa tempat, namun segera menghilang kembali. Menurut orang itu, keduanya sedang berusaha menemui orang-orang penting dari Perguruan Kedung Jati untuk segera berhimpun. Saatnya sudah tiba bagi mereka untuk bergerak lagi setelah mengalami kegagalan beberapa kali. Tetapi kali ini, setelah kedua tongkat lambang kepemimpinan itu menjadi satu, maka mereka merasa bahwa mereka tidak akan gagal lagi.

“Kita harus segera memberikan laporan.”

Bahkan bukan saja para petugas sandi. Berita munculnya Glagah Putih dan Rara Wulan, yang mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, di pasar Gumulan dan beberapa daerah disekitarnya, telah menarik perhatian pula. Meskipun banyak orang yang tidak mengenal siapakah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, namun sikap mereka serta apa yang mereka katakan, telah membuat orang-orang yang mendengar menjadi berdebar-debar.

“Apa yang akan mereka lakukan?” bertanya yang orang yang menaruh perhatian atas kehadiran keduanya.

Akhirnya, para prajurit Mataram yang berada di Ganjur pun telah mendengar pula. Sanak kadang mereka pun menceritakan kedua orang itu yang bersikap aneh dengan pernyataan yang aneh pula.

Ternyata para pemimpin di Ganjur telah memberikan laporan tentang desas-desus itu kepada para pemimpin di Mataram.

“Jadi, Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu berada di selatan pula?”

“Mungkin mereka hanya lewat, karena kemudian mereka tidak terlihat lagi di Gumulan dan sekitarnya.”

Sementara itu, para petugas sandi pun telah memberikan laporan yang berbeda dengan laporan mereka beberapa hari yang lalu.

“Ternyata Nyi Lurah Agung Sedayu masih saja berkeliaran bersama Ki Saba Lintang.”

“Omong kosong!” bentak seorang Rangga yang berwajah garang dan berkumis lebat.

Ki Tumenggung Wiradilaga akhirnya memanggil beberapa orang petugas sandi. Ki Tumenggung ingin mendengar laporan yang sebenarnya yang berhasil di pantau oleh para petugas sandi itu.

“Jika kalian berbohong, maka kalian akan digantung di Alun-alun,” geram Ki Rangga Dipasana yang berkumis lebat itu, yang sempat ikut dalam pembicaraan antara Ki Tumenggung Wiradilaga dengan para petugas sandi.

“Setidak-tidaknya aku tidak berbohong,” berkata seorang lurah prajurit yang menjadi salah seorang petugas sandi. “Aku sendiri bertemu dengan dua orang yang menyebut dirinya Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi aku tidak sempat menemuinya langsung, apalagi berbicara. Tetapi aku melihat keduanya berkuda bersama dengan tiga orang yang sudah agak tua. Seorang di antara mereka adalah perempuan. Ketiganya adalah pengikut-pengikut Ki Saba Lintang.”

“Aku tidak percaya. Mungkin saja Ki Saba Lintang berkeliaran. Tetapi tentu tidak bersama Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Aku yakin, Ki Rangga.”

“Apakah kau pernah mengenal Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Belum, Ki Rangga.”

“Kenapa kau dapat mengatakan bahwa kedua orang itu Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Orang-orang yang sebelumnya merasa melihat Ki Lurah Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, yang kemudian dikatakan bahwa Nyi Lurah tidak lagi bersama Ki Saba Lintang, juga belum pernah melihat Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi mereka agaknya lebih dipercaya.”

“Tetapi sekarang tidak mungkin Nyi Lurah Agung Sedayu itu berkeliaran. Nyi Lurah berada di sini.”

Para petugas sandi itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka pun berkata, “Ada dua kemungkinan. Nyi Lurah Agung Sedayu yang sekarang ini palsu, atau Nyi Lurah Agung Sedayu itu memang palsu sejak semula.”

Wajah Ki Rangga Dipasana menjadi merah. Tetapi iapun kemudian menyahut, “Ada orang yang ingin menyelamatkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Ki Tumenggung Wiradilaga termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis, “Atau sebaliknya, ada orang yang ingin mencemarkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Telinga Ki Rangga Dipasana bagaikan tersentuh api. Namun sebelum ia menyahut, Ki Tumenggung Wiradilaga itu pun berkata pula, “Selama ini aku yakin bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu benar-benar telah menyatu dengan Ki Saba Lintang. Semua keterangan dan laporan telah mendukungnya. Tetapi ternyata sekarang ada laporan lain yang menggugurkan keyakinanku itu.”

“Belum tentu, Ki Tumenggung,” sahut Ki Rangga Dipasana, “semua masih harus diteliti kebenarannya.”

“Aku akan memimpin sendiri pengamatan atas kebenaran laporan tentang keberadaan Nyi Lurah Agung Sedayu di sekitar Mataram bersama Ki Saba Lintang. Semua laporan yang semula aku anggap sebagai satu kebenaran itu sekarang sudah gugur. Seandainya Nyi Lurah Agung Sedayu yang sekarang ini palsu, maka yang terdahulu pun dapat juga palsu. Setelah beberapa kali aku bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah Agung Sedayu, maka keyakinanku pun berubah. Bukan watak Ki Lurah untuk membiarkan istrinya berkeliaran bersama Ki Saba Lintang. Namun yang kemudian ketika istrinya itu pulang, diterimanya dengan baik. Padahal Ki Lurah Agung Sedayu adalah pemimpin Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah Ki Tumenggung berpendapat bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu dapat diterima lagi dengan baik oleh Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ya.”

“Belum tentu, Ki Tumenggung.”

“Siapa yang mengantar Nyi Lurah itu kemari?”

“Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Jika Ki Lurah Agung Sedayu mengetahui bahwa istrinya telah pergi untuk beberapa hari, serta dikabarkan berkeliaran bersama Ki Saba Lintang, apakah ia akan bersedia mengantar istrinya itu kemari?”

Wajah Ki Rangga Dipasana menjadi semakin tegang. Sementara Ki Tumenggung berkata selanjutnya, “Aku terlambat menyadari kebodohanku. Kapan-kapan jika Ki Lurah datang kemari, maka aku harus minta maaf kepadanya. Aku terlanjur berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu bahwa aku merasa kasihan kepadanya, karena ia tidak percaya bahwa istrinya telah berkeliaran bersama Ki Saba Lintang. Aku mengatakan kepada Ki Lurah, bahwa pada saat ia menyadari kesalahan yang dilakukannya, maka semuanya sudah terlambat.”

“Jangan terlalu cepat minta maaf, Ki Tumenggung. Aku mohon Ki Tumenggung memerintahkan prajurit Mataram untuk menangkap orang yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu itu.”

“Tidak ada gunanya. Buat apa kita harus menangkapnya?”

“Kita akan meyakini bahwa perempuan itu bukan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Kau jangan terlalu bodoh. Tanpa menangkap pun kita tahu bahwa perempuan itu tentu palsu, karena Nyi Lurah ada di sini.”

“Lewat perempuan itu kita akan dapat menelusuri, apa maksud mereka sebenarnya dengan mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang.”

“Kenapa kau baru mengusulkannya sekarang? Kenapa tidak sejak berita tentang perempuan yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu itu berkeliaran bersama orang yang mengaku Ki Saba Lintang? Apakah karena pada waktu itu kau masih belum berkepentingan?”

Terasa jantung Ki Rangga Dipasana bagaikan membara. Tetapi Ki Rangga itu justru terdiam.

Sebenarnyalah dari hari ke hari, berita tentang munculnya Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu menjadi semakin meluas. Namun orang-orang Mataram pun menjadi yakin bahwa berita itu sama sekali tidak benar, karena Nyi Lurah yang sebenarnya berada di Mataram.

“Panggil Ki Lurah Agung Sedayu,” perintah Ki Patih Mandaraka, “Nyi Lurah jangan terlalu lama berada di Mataram. Ia seorang perempuan yang bersuami. Sudah sepantasnya ia berada di rumahnya bersama suaminya.”

“Baik, Ki Patih. Aku akan memerintahkan dua orang prajurit untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Ki Tumenggung Wiradilaga.

Namun dalam pada itu, justru para pengikut Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah menjadi gempar. Usaha mereka untuk mencemarkan nama baik Nyi Lurah Agung Sedayu tidak berhasil. Sebenarnyalah bahwa para pengikut Ki Saba Lintang sudah mencoba untuk bekerja dengan teliti. Mereka sudah memperhitungkan kemungkinan Nyi Lurah akan disimpan di Mataram untuk membuktikan apakah yang berkeliaran itu benar-benar Nyi Lurah Agung Sedayu. Demikian para pengikut Ki Saba Lintang mendapat keterangan bahwa Nyi Lurah berada di Mataram, maka Nyi Lurah itu pun tidak pernah muncul lagi bersama Ki Saba Lintang, untuk memberikan kesan jika Nyi Lurah berada di Mataram, maka ia tidak dapat lagi berkeliaran. Namun tiba-tiba ada Nyi Lurah yang lain, yang berkeliaran justru bersama Ki Saba Lintang.

Berita tentang Nyi Lurah itu telah memaksa Ki Saba Lintang untuk menyelenggarakan sebuah pertemuan. Ki Saba Lintang sendiri telah memimpin pertemuan itu. Pertemuan antara beberapa orang yang dapat dihimpun Ki Saba Lintang pada saat-saat terakhir.

Sebenarnyalah bahwa Ki Saba Lintang yang cerdik tetapi licik itu mempunyai hubungan yang luas. Ia memiliki banyak akal untuk membujuk orang-orang berilmu tinggi berpihak kepadanya. Bahkan Ki Saba Lintang masih juga mampu membujuk orang-orang yang kecewa karena pergeseran kekuasaan dari Demak ke Pajang, dan kemudian dari Pajang ke Mataram. Ki Saba Lintang mampu mengungkit dendam yang sudah terkubur dalam-dalam. Bahkan meneteskan dendam dari orang tua kepada anak-anaknya, dan bahkan kepada cucunya.

“Apa kerja Rangga Dipasana, sehingga ia tidak dapat memberikan keterangan yang lengkap dan benar?” bertanya seorang yang berkumis putih.

“Bukan salah Rangga Dipasana,” sahut orang yang lebih muda tetapi nampak sangat garang, “ia sudah memberikan keterangan yang benar, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu itu berada di Mataram.”

“Kenapa cerita tentang Nyi Lurah itu menjadi bersimpang siur?”

“Ada pihak lain yang ikut campur. Ada orang yang berusaha menyelamatkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Siapa?”

“Itulah yang masih harus dicari.”

Orang yang berkumis putih itu pun kemudian menggeram, “Kita tidak dapat menunggu tanpa berbuat apa-apa. Kenapa kita tidak turun ke lapangan dan memburu perempuan yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu itu?”

“Ya,” Ki Saba Lintang mengangguk-angguk, “aku sependapat. Perempuan yang mengaku Nyi Lurah Agung Sedayu yang berkeliaran bersama-sama Ki Saba Lintang itu diikuti oleh tiga orang tua. Seorang di antaranya adalah perempuan.”

“Dari siapa Ki Saba Lintang mengetahuinya?”

“Banyak orang yang sempat melihatnya, meskipun mereka itu muncul dan hilang seperti bayangan. Kadang-kadang hanya sekejap mereka hadir di suatu tempat.”

“Maksudnya jelas. Untuk menyembunyikan kepalsuan mereka.”

“Aku setuju. Tetapi juga untuk menghindari usaha pihak lain menangkap mereka.”

“Siapakah yang kau maksud pihak lain?”

“Mataram.”

“Selama ini Mataram tidak berbuat apa-apa.”

“Ki Rangga Dipasana memang mengusahakannya. Tetapi setelah rencana kita gagal, maka seharusnya Ki Rangga Dipasana mengusahakan agar Mataram memburu dan menangkap mereka, karena Mataram pun sudah mengetahui bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu itu adalah hanya sekedar buah permainan. Mataram pun tentu mengambil kesimpulan bahwa kepalsuan itu tentu sudah sejak semula.”

Namun orang berkumis putih itu pun berkata pula, “Tetapi kita akan memburu mereka. Setidak-tidaknya kita akan membawa sejumlah orang, sama dengan jumlah mereka, atau bahkan lebih banyak.”

“Jangan menimbulkan gejolak. Kita harus merunduk mereka seperti seekor harimau merunduk mangsanya.”

Sebenarnyalah bahwa Ki Saba Lintang pun telah menyusun sebuah kelompok kecil untuk memburu Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang yang palsu itu, dipimpin oleh Ki Saba Lintang sendiri.

Untuk meyakinkan agar mereka berhasil menangkap mereka yang telah mengacaukan rencana mereka itu, Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah membawa serta lima orang yang berilmu tinggi, yang akan menjadi inti kekuatan kelompok itu. Namun mereka lebih banyak mempergunakan gelar seekor laba-laba. Mereka menunggu di tempat-tempat yang sering dilewati oleh Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang.

Tetapi tidak selamanya mereka berkeliaran berlima. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang belum dikenal oleh Ki Saba Lintang, justru sering berdua saja berada di tempat-tempat yang ramai, untuk melihat kemungkinan apakah Glagah Putih dan Rara Wulan perlu muncul atau tidak.

Kehadiran mereka dalam ujud orang kebanyakan itu memang sama sekali tidak menarik perhatian Ki Saba Lintang dan para pengikutnya. Namun justru ketajaman penglihatan kedua orang suami istri itulah yang dapat menangkap isyarat, bahwa beberapa orang telah menebar menunggu kehadiran Nyi Lurah Agung Sedayu dan Ki Saba Lintang.

“Mereka membawa sekelompok orang, Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati yang mencium gelagat di sebuah pasar.

“Mereka masih berada di sana, Ayah?”

“Ya.”

“Baiklah. Aku akan lewat. Aku mohon Ayah, Ibu dan Guru berada di pasar. Mudah-mudahan mereka tidak sempat menghentikan aku berdua.”

“Lalu, maksudmu?”

“Besok kami akan lewat lagi. Tetapi dengan persiapan yang lebih baik.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga mengerti maksud Glagah Putih. Ia hanya ingin mengikat perhatian orang-orang yang sedang mencari dan ingin menyergap mereka. Sedangkan di hari berikutnya, Glagah Putih-lah yang akan menjebak sekelompok orang dari Perguruan Kedung Jati itu.

Sebenarnyalah, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga pun telah mendahului pergi ke pasar. Namun Ki Jayaraga telah memisahkan diri. Ia harus berhati-hati, mengenakan caping bambu yang agak lebar serta memikul beban. Ia berharap bahwa ia tidak dapat dikenali oleh Ki Saba Lintang atau orang-orangnya yang pernah melihatnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bersiap dengan kuda mereka. Beberapa saat kemudian, setelah menurut perhitungan mereka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga berada di pasar, keduanya pun segera meloncat ke punggung kudanya dan melarikan kudanya menuju ke pasar.

“Jika terpaksa terjadi benturan, aku harap Ayah, Ibu dan Guru dapat membantu kita,” berkata Glagah Putih.

“Bukankah kita hanya akan lewat saja?”

“Mungkin sekali mereka akan memburu kita. Biarlah Ayah, Ibu, dan Guru nanti menghalangi mereka.”

“Jika itu terjadi, kita juga harus melibatkan diri.”

“Ya. Kita akan melibatkan diri.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mendekati pasar. Seperti seekor laba-laba Ki Saba Lintang telah memasang jaring. Jika orang yang menyebut diri Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu masuk ke dalam jaring mereka, maka Ki Saba Lintang pun akan segera menerkam mereka.

Tetapi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun segera tanggap. Karena itu, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah berdiri di pinggir jalan yang akan dilalui oleh Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, sebelum mereka mendekati pintu gerbang pasar.

Baru beberapa saat kemudian, dua orang penunggang kuda melarikan kuda mereka mendekati pasar yang masih cukup ramai itu. Namun kedua orang penunggang kuda itu berhenti beberapa puluh langkah dari gerbang pasar. Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati pun mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Beri kami uang.”

“Maksud Ayah?”

“Beri kami uang. Bukankah Ki Saba Lintang seorang yang murah hati?”

Glagah Putih pun segera tanggap. Ketika ia memandang ke pasar, maka dilihatnya orang-orang yang berada di depan pintu gerbang pasar itu memandanginya.

Seperti yang diminta oleh Ki Citra Jati, maka Glagah Putih pun segera mengambil uang dari kantong ikat pinggangnya dan diberikannya kepada Ki Citra Jati.

“Terima kasih, terima kasih,” Ki Citra Jati itu pun membungkuk-bungkuk. Namun iapun kemudian berkata, “Beberapa langkah dari pintu gerbang pasar ada jalan simpang. Ambil jalan simpang itu dan menjauhlah dari pasar. Sekelompok orang dari Perguruan Kedung Jati ada di pasar itu. Aku tidak tahu apakah di antara mereka terdapat Ki Saba Lintang. Sebaiknya kau memang menghindar hari ini. Besok kita dapat membuat persiapan yang lebih baik.”

“Baik, Ayah,” jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, “Kami minta diri, Ayah dan Ibu.”

“Hati-hatilah,” pesan Nyi Citra Jati.

Demikianlah, maka kedua ekor kuda itu pun berlari lagi ke arah pintu gerbang pasar. Tidak terlalu kencang.

Beberapa langkah dari pintu gerbang memang terdapat jalan simpang. Seperti pesan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mengambil jalan simpang itu, berbelok ke kiri. Di simpang tiga keduanya berhenti sejenak. Keduanya melambaikan tangan mereka.

Namun Gagah Putih pun kemudian telah mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya sambil berteriak-teriak, “Ambil uang itu! Besok aku akan kembali lagi!”

Kedua orang penunggang kuda itu kemudian telah melarikan kuda mereka menyusuri jalan yang lebih sempit.

Ki Saba Lintang dan orang-orangnya melihat kedua orang itu. Tetapi mereka tidak segera dapat memburunya, bahkan seandainya mereka mempergunakan kuda mereka. Simpang tiga itu pun segera penuh dengan remaja dan anak-anak muda yang berebut keping-keping uang, yang disebarkan oleh orang yang mereka anggap sebagai Ki Saba Lintang serta Nyi Lurah Agung Sedayu itu.

“Orang-orang gila,” geram Ki Saba Lintang, “jaraknya terlalu jauh untuk mengenalinya. Tetapi rasa-rasanya aku pernah melihat mereka.”

“Bukankah besok mereka akan kemari lagi? Kau dengar orang itu berteriak, besok mereka akan datang lagi.”

“Ya, besok mereka akan datang lagi.”

“Apa yang tadi diberikan kepada laki-laki dan perempuan tua yang berdiri di pinggir jalan itu?”

“Uang, tentu uang.”

“Aku akan menemuinya,” berkata seorang pengikut Ki Saba Lintang.

Ki Saba Lintang mengangguk. Katanya, “Baik. Bertanyalah sesuatu. Mungkin ia mengetahui beberapa hal tentang kedua orang berkuda itu.”

Seorang pengikut Ki Saba Lintang itu pun kemudian telah mendekati Ki Citra Jati yang masih berdiri di pinggir jalan. “Apa yang tadi diberikan oleh kedua orang berkuda itu kepadamu, Kek?”

Ki Citra Jati yang memang sudah tua itu membuat dirinya semakin tua. Sambil tertawa iapun menjawab, “Rejeki, Ngger. Rejeki. Menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu adalah pasangan yang baik hati. Pemurah dan suka memberi kepada siapa saja yang membutuhkan. Aku diberi uang, Ngger.”

Ki Citra Jati pun kemudian menunjukkan beberapa keping uang yang digenggamnya.

“Bukankah keduanya juga menebarkan uang di simpang tiga itu, sehingga anak-anak dan remaja sampai berebutan?”

“Apakah kau kenal mereka, Kek?” bertanya pengikut Ki Saba Lintang.

“Tentu. Aku mengenal mereka dengan baik. Akhir-akhir ini hampir setiap hari keduanya melewati jalan ini. Sekali-sekali mereka berkuda terus mengikuti jalan ini. Tetapi tadi aku lihat ia berbelok ke kiri.”

“Kemana saja mereka perginya?”

“Kemana? Tentu aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa ia akan menyebar kemurahan hatinya.” Ki Citra Jati berhenti sejenak. Tiba-tiba ia bertanya, “Kau kenal mereka, Ki Sanak?”

“Aku justru bertanya kepadamu.”

“Mereka adalah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Perempuan itu bukan istrinya. Tetapi perempuan itu meninggalkan suaminya.”

“Dari siapa kau mengetahui, Kek?”

“Orang-orang sepasar mengatakannya. He, apakah kau tidak pernah mendengarkan mereka berbicara tentang kedua orang itu? Hari ini aku mencobanya, apakah benar kedua orang itu murah hati. Ternyata cerita tentang mereka itu benar. Aku diberi uang, Ki Sanak. Anakku sakit. Ia membutuhkan pengobatan.”

“Kau pernah bertemu dan melihat Ki Saba Lintang?”

“Bukankah baru saja aku bertemu?”

“Maksudku Ki Saba Lintang yang sebenarnya.”

“Yang sebenarnya? Apakah maksud Ki Sanak?”

“Orang tua dungu. Keduanya bukan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.”

“He?”

“Sudahlah. Nikmati uang pemberiannya.”

“Aku tidak mengerti, Ki Sanak.”

“Bagaimana kau dapat mengerti. Sudahlah. Kehadiran keduanya memang bukan urusanmu.”

Pengikut Ki Saba Lintang itu pun kemudian meninggalkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu di pinggir jalan.

“Mereka tidak mengenali kita, Kakang,” desis Nyi Citra Jati.

“Maksudmu?”

“Mereka tidak mengenali tiga orang yang sering mengikuti Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu itu.”

“Tentu tidak. Para pengikut Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu seperti juga Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, bagaikan bayangan saja. Datang dan menghilang.”

“Ya. Tidak banyak orang yang sempat mengenali wajah-wajah mereka.”

“Apalagi sekarang kita mengenakan pakaian yang berbeda sekali. Apalagi kau, Nyi.”

Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Bukankah kita sudah dapat pergi? Glagah Putih dan Rara Wulan tentu akan segera ke persembunyian kita.”

“Dimana Ki Jayaraga sekarang?”

“Agaknya ia melihat kita yang berada di tempat terbuka ini. Jika kita pergi, maka iapun akan segera menyusul.”

Sejenak kemudian, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun berjalan perlahan-lahan, sebagaimana orang-orang tua, menyusuri jalan yang panjang. Semakin lama semakin jauh dari pasar yang menjadi semakin lengang.

Sementara itu, Ki Jayaraga masih tetap berada di pasar. Ia sempat mengamati Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengikutnya meninggalkan pasar itu. Bahkan Ki Jayaraga itu sempat mendengarkan para pengikut Ki Saba Lintang itu mengatakan, bahwa besok mereka harus lebih mempersiapkan diri lagi, agar kedua orang berkuda itu tidak sempat lolos.

“Tiga orang pengikut mereka sering menyertai mereka,” berkata salah seorang dari para pengikut Ki Saba Lintang itu.

Demikian Ki Saba Lintang dan pengikutnya meninggalkan pasar, maka Ki Jayaraga pun telah pergi pula menyusul Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Beberapa saat kemudian, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Jayaraga telah berkumpul lagi dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, di sebuah lekuk yang sempit antara dua buah gumuk kecil. Mereka mulai membicarakan rencana untuk esok pagi menemui Ki Saba Lintang dengan para pengikutnya.

“Jumlah mereka cukup banyak,” berkata Ki Jayaraga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan menemui Ayah di Jati Anom.”

“Untuk apa?” berkata Ki Citra Jati.

“Ada beberapa orang cantrik yang berilmu tinggi. Aku akan minta bantuan mereka besok pagi. Di samping Ayah, Ibu dan Guru, maka aku akan minta sepuluh orang cantrik yang dapat diandalkan. Mereka sudah menguasai landasan ilmu Orang Bercambuk sebagaimana dikatakan oleh Ayah Widura. Meskipun ilmu itu tidak murni lagi karena Ayah juga memiliki warisan ilmu dari perguruan Ki Sadewa, dalam saat-saat terakhir Ayah telah mematangkan ilmunya yang tidak hanya beralaskan satu sumber saja. Pengalamannya dalam dunia keprajuritan juga memberikan bekal cukup banyak, sehingga Ayah berada pada tataran ilmu yang sekarang ini. Dengan demikian, maka murid-murid dari perguruan Orang Bercambuk itu pun memiliki bekal yang cukup pula. Meskipun ilmu yang diturunkan dalam Perguruan Orang Bercambuk tidak lagi sebagaimana ilmu itu dalam watak aslinya.”

“Jika kau yakin, maka tidak ada keberatannya, Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga.

“Biarlah kami berdua, aku dan Rara Wulan, pergi ke Jati Anom. Meskipun sampai jauh malam, aku akan kembali. Aku akan minta para cantrik itu langsung pergi ke pasar. Mereka sudah mengenal Guru, sehingga seorang di antara mereka akan menghubungi Guru.”

“Aku akan berada di sebelah gubug tempat pandai besi di sudut pasar. Aku akan mengenakan caping bambu yang besar dan berwarna kuning.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah memacu kuda mereka, pergi ke Jati Anom. Mereka akan menemui Ki Widura di padepokan kecil Orang Bercambuk.

Di padepokan kecil itu, Ki Widura dalam usianya yang semakin tua, menjalani laku. Dengan modal dasar-dasar ilmunya yang ada di dalam dirinya, bekerja keras serta penalaran yang terang, maka Ki Widura pun mencapai tataran yang tinggi.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menyampaikan permohonan bantuan kepada Ki Widura untuk menangkap Ki saba Lintang dan mengambil tongkat baja putihnya, maka dengan serta-merta Ki Widura pun menyahut, “Baik, Glagah Putih, aku akan membantumu. Aku sendiri bersama sepuluh orang cantrik terbaik akan pergi menemui Ki Jayaraga serta kedua orang tua angkatmu itu.”

“Terima kasih, Ayah. Mudah-mudahan kita berhasil menangkap dan mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Ki Saba Lintang.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Semoga. Dengan demikian, maka kau dapat menyelesaikan tugasmu dengan baik.”

“Baiklah, Ayah. Aku akan segera mohon diri. Aku harus kembali menemui Ki Citra Jati dan Ki Jayaraga.”

“Kau dan Rara Wulan akan menjadi sangat letih. Padahal besok kalian akan menghadapi tugas yang berat.”

“Mudah-mudahan ada waktu untuk beristirahat, Ayah.”

“Baiklah. Tetapi sebaiknya kau membawa bekal dari padepokan ini. Kau sudah tidak akan menjumpai kedai yang buka lagi di wayah seperti ini.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun Ki Widura pun berkata, “Rara Wulan tentu mengerti, bahwa bekal bagi kalian bukan masalah yang tidak penting. Besok tenaga kalian mungkin sekali diperlukan dalam batasan tertinggi. Karena itu, kalian tidak boleh menjadi lemah karena unsur kewadagan kalian.”

“Baiklah, Ayah,” berkata Rara Wulan, “aku akan membawanya.”

Para cantrik pun kemudian telah menyediakan bekal bagi Glagah Putih, Rara Wulan serta ketiga orang yang menunggu mereka.

Dengan demikian, maka rencana Glagah Putih untuk menjebak Ki Saba Lintang telah dimatangkan. Mudah-mudahan sepuluh orang cantrik terpilih di padepokan Orang Bercambuk bersama Ki Widura sendiri akan cukup memadai.

“Lawan kita cukup kuat, Rara,” desis Glagah Putih.

“Menurut Kakang Agung Sedayu, ilmu para cantrik di padepokan Orang Bercambuk itu pun cukup tinggi.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah melarikan kuda mereka kembali untuk menemui Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati serta Ki Jayaraga.

“Kita dapat melaksanakan besok pagi, Ki Jayaraga,” berkata Glagah Putih demikian ia sampai di persembunyian mereka.

“Bagus,” berkata Ki Jayaraga, “mudah-mudahan Ki Saba Lintang tidak luput dari tangan kita.”

“Mudah-mudahan bukan kami berdua yang justru jatuh ke tangan mereka.”

“Kita semuanya berdoa, Glagah Putih.”

“Ya, Guru,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Namun bagaimanapun juga kita harus sangat berhati-hati. Agaknya Ki Saba Lintang pun tentu akan meningkatkan kekuatan jaring-jaringnya dalam gelar laba-labanya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya kepada kemampuan para cantrik di padepokan Orang Bercambuk, sebagaimana juga diakui oleh Kakang Agung Sedayu.”

Ki Jayaraga pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Masih ada waktu sedikit untuk beristirahat. Beristirahatlah kalian berdua. Kami pun akan beristirahat. Besok tenaga kita sepenuhnya akan diperlukan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat membagi bekal mereka. Sambil tersenyum Nyi Citra Jati pun berkata, “Bedanya seorang perempuan, Glagah Putih, istrimu masih ingat untuk membawa bekal bagi kami. Jika kau sendiri, kau tidak akan ingat tentang bekal itu. Bahkan seandainya kau diberi bekal seperti sekarang ini, mungkin kau akan segan membawanya.”

Glagah Putih tertawa pendek. Katanya, “Ya, Ibu. Seandainya aku tidak pergi bersama Rara Wulan, agaknya aku memang tidak akan membawanya.”

Di sisa malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat beristirahat. Demikian pula Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Tetapi Ki Jayaraga tidak lagi berbaring. Katanya, “Aku tadi sudah sempat tidur. Aku akan berjaga-jaga sampai menjelang pagi.”

Ketika matahari terbit, maka semuanya sudah bersiap. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati telah berangkat ke pasar. Sebentar kemudian menyusul Ki Jayaraga.

Ternyata Ki Saba Lintang dan para pengikutnya telah berada di pasar pula. Bahkan pengikut Ki Saba Lintang yang di hari sebelumnya menemui Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, tidak melupakannya.

Demikian orang itu melihat Ki Citra Jati, iapun segera bertanya, “Apalagi yang kau lakukan di sini, Kek?”

“Bukankah Ki Saba Lintang akan datang pula hari ini? Aku masih memerlukan uang buat anakku yang sakit. Mudah-mudahan Ki Saba Lintang yang baik hati itu dapat mengerti keadaanku.”

Pengikut Ki Saba Lintang itu menggeram. Namun kawannya justru menyahut, “Ya, Kek. Ki Saba Lintang memang seorang yang baik hati.”

“Ya. Kemarin aku telah diberinya uang beberapa keping. Tetapi ternyata masih kurang.”

“Kau termasuk orang-orang yang tamak itu, Kek. Berapapun kau diberi uang, tentu masih saja selalu kurang.”

“Tetapi anakku sakit, Ngger. Anakku sakit. Kau akan merasakan, betapa susahnya seseorang yang anaknya menderita sakit.”

“Kau kira aku tidak punya anak? Tetapi anakku itu tidak pernah sakit. Anakmu tentu sakit-sakitan seperti kau dan istrimu itu.”

Ki Citra Jati dengan gaya tuanya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku dan istriku memang sakit-sakitan. Itu sebabnya aku akan menemui Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu.”

Para pengikut Ki Saba Lintang itu tidak menyahut lagi. Namun mereka pun kemudian telah berkumpul dengan beberapa orang kawannya. Di antara mereka memang terdapat Ki Saba Lintang sendiri.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati segera dapat mengenali orang yang bernama Ki Saba Lintang itu. Seorang yang memimpin sekelompok orang yang menunggu itu dengan tongkat baja putih di tangannya.

“Mereka benar-benar tidak mau kehilangan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu itu,” desis Nyi Citra Jati.

“Ya. Mereka membawa kekuatan yang cukup besar. Mudah-mudahan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu tidak datang terlambat.”

Namun dalam pada itu, Ki Widura ternyata sudah sempat menghubungi Ki Jayaraga yang berada di dekat gubug tempat para pande besi bekerja di sudut pasar. Seperti yang dijanjikan, Ki Widura telah datang dengan sepuluh cantrik terpilih, di samping Ki Widura sendiri.

“Mudah-mudahan kita berhasil,” desis Ki Widura, yang kemudian duduk saja di tanah di depan para pande besi yang sedang bekerja itu, sambil melihat-lihat alat-alat pertanian yang sedang dibuat oleh para pande besi itu.

“Kapan Glagah Putih dan Rara Wulan akan lewat?” bertanya Ki Widura.

“Sedikit lewat pasar temawon,” jawab Ki Jayaraga, “mudah-mudahan pasar ini tidak menjadi kacau balau. Sedikit lewat wayah pasar temawon, orang-orang di pasar ini mulai menyusut. Sementara itu, Glagah Putih sudah memastikan bahwa Ki Widura telah berada di pasar ini.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Agaknya masih ada waktu sedikit baginya untuk duduk-duduk sambil mengamati hasil kerja para pande besi itu.,

“Aku akan membeli parang pembelah kayu. Nampaknya cukup baik untuk bermain-main dengan para pengikut Ki Saba Lintang,” berkata Ki Widura.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Aku juga akan membeli kapak kecil itu. Aku juga ingin mempergunakannya.”

Keduanya tertawa. Tetapi keduanya benar-benar membelinya. Ki Widura membeli sebuah parang dan Ki Jayaraga membeli sebuah kapak kecil.

Dalam pada itu, pasar pun menjadi semakin ramai. Pada saat puncak keramaian, di wayah pasar temawon, pasar itu memang terasa menjadi sempit.

Dalam pada itu, para pengikut Ki Saba Lintang mulai menjadi gelisah. Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu masih belum lewat.

Namun ternyata para cantrik pun mulai merasa terlalu lama menunggu. Mereka sudah berada di pasar sejak matahari mulai naik.

Tetapi Ki Widura sendiri masih saja berada di dekat para pande besi itu bekerja. Mereka melihat perapian dengan lidah api yang melonjak-lonjak oleh ububan yang menghembuskan angin tanpa henti.

Ki Widura itu berpaling ketika seseorang berjongkok di belakangnya, yang ternyata salah seorang di antara para cantrik yang mengikutnya.

“Ada apa?” bertanya Ki Widura.

“Mereka sudah nampak, Guru.”

“Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, maksudmu?”

“Ya, Guru.”

“Baik. Siapkan kawan-kawanmu. Aku akan ke pintu gerbang pasar.”

Cantrik itu pun segera meninggalkan Ki Widura dan Ki Jayaraga, yang sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Mereka masih saja dengan tenang berjalan meninggalkan tempat para pande besi itu bekerja. Ki Widura membawa sebuah parang baru, sedangkan Ki Jayaraga membawa sebuah kapak kecil yang juga masih baru.

Ketika mereka melangkah di antara banyak orang yang berada di pasar itu, maka Ki Jayaraga berkata, “Jika harus terjadi benturan kekerasan, hendaknya terjadi agak jauh dari pasar ini.”

“Ya. Tetapi apakah Glagah Putih dan Rara Wulan mempertimbangkan? Mereka masih terlalu muda untuk berpikir lebih jauh dari memanjakan gejolak perasaannya saja,” sahut Ki Widura.

“Sebelum kami berangkat, kami sudah membicarakannya. Mudah-mudahan keduanya atau salah seorang di antara mereka ingat, dan mencoba berusaha memancing benturan kekerasan jika harus terjadi, tidak terlalu dekat dengan pasar yang nampaknya masih belum menyusut orangnya ini.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka pun melihat beberapa orang yang bergerak di depan pintu gerbang pasar.

“Mereka itulah para pengikut Ki Saba Lintang.”

“Ya. Ki Saba Lintang sendiri ada di antara mereka.”

Ki Jayaraga dan Ki Widura itu pun kemudian telah berada di luar pintu gerbang. Mereka melihat, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilakukan kemarin.

“Orang tua itu sangat menjengkelkan,” geram salah seorang pengikut Ki Saba Lintang.

“Jangan menunggu lagi. Mungkin mereka akan berbelok lagi ke kiri atau bahkan melarikan kuda mereka berbalik.”

“Aku akan mendekati mereka,” berkata seorang yang lain.

“Jangan berjalan kaki. Pakai kudamu. Ajak dua orang kawanmu. Jangan berkesan sengaja menemui mereka. Kalian seolah-olah para pedagang yang pulang dari pasar. Karena itu, jangan kau larikan kudamu terlalu kencang.”

Sejenak kemudian, tiga orang pengikut Ki Saba Lintang telah mengambil kuda mereka yang terikat di tempat penitipan kuda di samping pasar. Bertiga mereka berkuda ke arah orang yang menyebut diri mereka Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi mereka tidak melarikan kuda mereka terlalu kencang, sehingga tidak menarik perhatian.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berbicara dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Seperti kemarin, Glagah Putih telah memberikan beberapa keping uang kepada Ki Citra Jati yang berdiri di pinggir jalan.

“Jangan mendekat lagi, Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati.

“Kenapa, Ayah?” bertanya Glagah Putih.

“Ada sekelompok pengikut Ki Saba Lintang di pasar itu, justru dipimpin oleh Ki Saba Lintang sendiri.”

“Bukankah kita memang ingin bertemu dengan mereka?”

“Jika terjadi pertempuran yang terlalu dekat dengan pasar, nanti dapat menimbulkan keributan.”

“Maksud Ayah, kami menunggu di sini?”

“Ya. Mereka akan datang kemari.”

“Apakah Ayah Widura sudah berada di pasar?”

“Sudah. Bersama para cantriknya.”

“Mudah-mudahan kita dapat mengimbangi kekuatan Ki Saba Lintang.”

“Aku masih berpengharapan, Ngger. Kita berdoa saja agar kita mendapat perlindungan-Nya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sementara itu, mereka melihat tiga orang penunggang kuda yang menuju ke arah mereka. Tetapi ketiga penunggang kuda itu sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Kudanya berlari-lari kecil menyusuri jalan berdebu. Melewati simpang tiga dan menjadi semakin dekat dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ketika ketiga orang penunggang kuda itu lewat di sebelah Glagah Putih dan Rara Wulan, maka seorang di antara mereka pun berkata, “Kau mengganggunya lagi, Kek.”

“Aku perlu uang, Ki Sanak.”

“Apakah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu memberimu lagi?”

“Hanya dua keping. Aku minta lima keping.”

“Orang tua ini agak memaksa, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih.

Seorang yang lain dari antara ketiga orang berkuda itu pun berkata, “Bukankah kau seorang yang baik hati? Bukankah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu seorang yang belas kasihan kepada orang lain yang kekurangan?”

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Karena itu, beri mereka seberapapun mereka minta.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Terasa getar yang berbeda pada kata-kata orang berkuda itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun menjadi lebih berhati-hati. Katanya, “Kek. Aku tidak sependapat dengan Ki Sanak ini. Jika aku memberimu seberapa saja yang kau minta, maka esok, lusa dan seterusnya kau akan selalu menggangguku. Karena itu, aku sekarang tidak dapat memberimu lebih dari dua keping.”

“Anakku sakit, Ki Saba Lintang.”

“Sejak kemarin kau katakan bahwa anakmu sakit. Sekarang pergilah. Aku akan memberikan uangku kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Mungkin juga orang tua. Mungkin kanak-kanak.”

“Beri aku tiga keping lagi, Ki Saba Lintang. Aku akan mendoakan agar Ki Saba Lintang panjang umur.”

Seorang dari ketiga orang berkuda itu berkata, “Ki Saba Lintang tidak akan berbuat sebagaimana kau lakukan itu. Apalagi hanya tiga keping uang. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, semua uangnya akan diberikannya.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku tidak percaya ada orang yang demikian baik hatinya. Aku memang selalu memberi. Tetapi aku melakukannya dengan wajar. Tidak berlebihan dan tidak dibuat-buat, sekedar untuk mendapatkan pujian.”

“Sikapmu tidak seperti sikap Ki Saba Lintang yang aku bayangkan. Ki Saba Lintang yang pernah muncul di daerah ini sebelumnya berbeda dengan sikapmu sekarang. Karena itu, aku menjadi ragu-ragu, apakah kau memang Ki Saba Lintang.”

“Ragu-ragu? Kenapa kau ragu-ragu? Jika aku bukan Ki Saba Lintang, lalu siapakah aku ini? Jika perempuan ini bukan Nyi Lurah Agung Sedayu, lalu siapakah perempuan ini?”

“Sudahlah. Jangan ingkar. Kami akan menangkap kalian berdua yang telah berani memalsukan diri sebagai Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Apakah kami ini palsu?”

Seorang di antara ketiga orang itu tiba-tiba telah mengangkat tangannya dan melambaikan sebuah kelebet kecil.

“Jangan berusaha melarikan diri,” geram orang itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Dua orang di antara ketiga orang berkuda itu telah melintangkan kuda mereka di belakang kuda Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sementara itu sekelompok orang berlari-lari dari arah pasar.

“Siapakah mereka?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Sanak,” berkata seorang di antara ketiga orang berkuda itu, “kau akan segera bertemu dengan Ki Saba Lintang yang sebenarnya. Ki Saba Lintang yang sebenarnya itu berada di antara mereka yang datang kemari itu.”

“O, jadi kami berdua ini pasangan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu?”

“Persetan dengan kau berdua. Permainanmu yang kasar itu sudah selesai. Sekarang kalian berdua harus menyerah. Akan segera tersebar berita tentang Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang palsu itu tidak baru sekarang ini. Tetapi sejak semula, sejak orang berbicara tentang Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu itu berkeliaran, mereka adalah palsu.”

“Kau tidak mengenal mereka yang sebenarnya. Mereka adalah Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya.”

“Kau yang tidak mengenal mereka yang sebenarnya. Setidak-tidaknya Nyi Lurah Agung Sedayu, karena Nyi Lurah ada bersamaku.”

Dalam pada itu, sekelompok orang yang berlari-lari dari pasar itu menjadi semakin dekat. Namun yang semakin menarik perhatian, di belakang mereka sekelompok orang yang lain telah berlari-lari pula menyusul kelompok yang pertama.

Sebelum ketiga orang itu menjawab, maka Glagah Putih pun bertanya, “Apakah Ki Saba Lintang membawa dua kelompok pengikutnya untuk menangkap aku?”

Ketiga orang itu memang menjadi bingung. Yang mereka ketahui, ada sekelompok kawan-kawan mereka yang berada di pasar itu untuk menangkap orang yang mengaku Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Namun ternyata ada dua kelompok orang yang berlari-lari dari pasar.

“Siapakah mereka?” bertanya salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Entahlah,” jawab kawannya, “mungkin Ki Saba Lintang telah memerintahkan sekelompok orang dari lingkungan yang lain pula.”

“Jika demikian kita tentu diberi tahu.”

Kebimbangan yang semakin dalam nampak di wajah orang-orang itu. Sementara itu, kawan-kawannya menjadi semakin dekat. Yang paling depan di antara mereka adalah Ki Saba Lintang sendiri.

“Selamat bertemu kembali, Ki Saba Lintang,” sapa Glagah Putih yang masih duduk di punggung kudanya.

Dahi Ki Saba Lintang pun berkerut melihat Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di punggung kudanya.

Ketiga orang berkuda yang lebih dahulu datang menemui Glagah Putih itu pun terkejut. Seorang di antara mereka bertanya, “Kau kenal Ki Saba Lintang?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Bukankah aku lebih tahu dari kalian? Aku mengenal Ki Saba Lintang. Aku pun mengenal Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Jadi kau-lah yang telah memalsukan namaku?” geram Ki Saba Lintang.

“Kita adalah pemeran-pemeran terbaik dari satu lakon yang sangat menarik, Ki Saba Lintang.”

“Kenapa kau berani memalsukan namaku, dan bahkan dengan sengaja memfitnah aku?”

“Pertanyaan yang sama dapat juga aku katakan. Kenapa kau dengan keji memfitnah Mbokayu Sekar Mirah?”

“Aku tidak memfitnahnya. Ia memang datang kepadaku dan menyatakan kesediaannya bersama-sama memimpin Perguruan Kedung Jati yang agung.”

“Kau dapat berkata seperti itu kepada orang lain. Tetapi tentu tidak kepadaku. Kau tahu itu, Ki Saba Lintang. Meskipun kau bermain dengan baik, menyembunyikan pemeran Mbokayu Sekar Mirah ketika Mbokayu Sekar Mirah yang sebenarnya berada di Mataram, tetapi sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi.”

“Persetan kau, bocah edan. Apapun yang pernah kau lakukan, tetapi kau dan perempuan itu akan menyesal. Seharusnya kalian tidak ikut dalam permainan ini Meskipun kalian berdua masih terlalu muda untuk mati, namun tidak ada jalan lain yang dapat kau tempuh sekarang ini.”

“Jika kalian berhasil membunuh kami, maka kematian kami tidak akan merubah citramu di hadapan para pemimpin di Mataram. Mereka akan tetap mengetahui, bahwa kau telah memalsukan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Tetapi itu akan lebih baik daripada aku membiarkan kalian berdua berkeliaran.”

Ketika suasana menjadi semakin tegang, tiba-tiba Ki Citra Jati pun bertanya, “Jadi siapakah yang sebenarnya Ki Saba Lintang yang baik hati itu?”

“Bukan aku, Kek,” jawab Glagah Putih.

“O. Itulah sebabnya kau hanya memberi aku dua keping uang,” sahut Ki Citra Jati, yang kemudian berkata kepada Ki Saba Lintang, “jika kau adalah Ki Saba Lintang yang sebenarnya, beri aku lima keping uang. Anakku sakit.”

Ki Saba Lintang yang darahnya mulai panas itu telah membentaknya, “Diam kau, kakek tua! Pergi! Atau kau akan diusir seperti anjing.”

Adalah di luar dugaan ketika Ki Citra Jati itu pun kemudian bertanya kepada salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang datang lebih dahulu dengan menunggang kuda, “Ki Sanak. Ternyata orang inilah yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa ia bukan seorang yang baik hati seperti yang kau katakan? Yang memberi apa saja kepada orang yang memintanya? Jangankan lima keping uang, bahkan semua apa yang dipunyainya akan diberikannya.”

Orang berkuda itu menjawab dengan garangnya, “Kalau kau tidak mau diam, aku bungkam mulutmu dengan hulu pedangku.”

“Kenapa kau tiba-tiba menjadi garang?”

“Kau tentu dapat melihat suasana. Kau tentu tahu apa yang sedang terjadi. Jika kau tidak mau pergi, maka kau akan terinjak-injak dalam arena kekerasan yang bakal terjadi.”

“Apakah akan terjadi kekerasan?”

“Ya. Karena itu pergilah.”

“Tidak. Jika akan terjadi kekerasan, aku tidak akan pergi. Aku lebih senang menonton di sini.”

Wajah orang berkuda itu menjadi merah. Namun yang menyahut adalah Ki Saba Lintang, “Setan tua. Jadi kau-kah yang sering berkeliaran bersama orang yang telah mencemarkan nama baikku ini?”

“Berkeliaran bersama keduanya memang benar. Tetapi mereka tidak sedang mencemarkan nama baik Ki Saba Lintang. Mereka hanya berusaha membersihkan nama baik Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Aku bunuh kau, setan tua,” geram orang berkuda itu.

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih. Kita adalah pemeran-pemeran terbaik dari satu lakon yang sangat menarik yang terjadi di bumi Mataram sekarang ini.”

Ki Saba Lintang menggeram. Namun ia tidak ingin menunda-nunda lagi. Karena itu, maka iapun segera memberi isyarat kepada para pengikutnya untuk bergerak.

Tetapi seorang kepercayaannya mendekatinya sambil berkata, “Ada sekelompok orang yang berada di belakang kita.”

“Aku sudah melihat. Mereka tentu pengikut bocah edan itu.”

Seorang yang berkumis dan berjanggut pendek yang telah menjadi kelabu berkata, “Kita tuntaskan pekerjaan kita kali ini. Jangan ada yang tersisa.”

“Ya, Ki Gerba Lamatan. Mereka harus dibinasakan sampai orang yang terakhir.”

“Jumlah mereka tidak sebanyak orang-orang kita,” berkata kepercayaan Ki Saba Lintang itu pula.

Sebenarnyalah jumlah para cantrik yang hanya sepuluh orang itu masih belum dapat mengimbangi jumlah para pengikut Ki Saba Lintang.

Karena itu, maka Ki Saba Lintang dan pengikutnya merasa bahwa tugas mereka akan dapat mereka selesaikan dengan baik. Menangkap dan sekaligus membinasakan orang yang telah merusakkan rencana mereka.

Seorang yang bertubuh raksasa, yang telah menyatakan kesediaannya membantu Ki Saba Lintang sebagaimana Ki Gerba Lamatan, menggeram, “Mereka datang untuk membunuh diri.”

“Gajah Modang,” berkata Ki Saba Lintang, “jika mungkin, tangkap perempuan itu hidup-hidup. Perempuan itu akan dapat dipergunakan untuk menjadi umpan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Laki-laki itu?”

“Bunuh saja. Tetapi aku sendiri yang akan menanganinya.”

“Kedua orang tua itu? Mereka tentu orang-orang yang berilmu. Nampaknya mereka terlalu yakin akan diri mereka.”

“Aku akan membereskan laki-laki dan perempuan tua itu,” berkata seorang yang berkepala botak, “aku akan meremas mereka hingga menjadi ampas.”

“Kau selalu merendahkan orang lain. Raba telingamu yang terpotong itu. Juga karena kau merendahkan orang lain, maka kau hampir mati waktu itu,” berkata Ki Saba Lintang.

“Jangan menghinaku.”

“Ki Candik Sore, ajak kawanmu yang bongkok itu.”

“Pemalas yang tidak tahu diri.”

“Dengarkan aku!” bentak Ki Saba Lintang, “Sebelum kepalamu terpenggal.”

Orang yang disebut Candik Sore itu terdiam. Sementara itu, seorang yang agak bongkok telah berdiri di sampingnya, “Setelah tugas kita selesai, kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang tidak tahu diri.”

“Cukup, Ki Tunggak Petung. Tidak ada waktu untuk berbicara macam-macam. Kita akan segera mulai.”

Sementara itu, sepuluh orang cantrik dari Perguruan Orang Bercambuk itu pun telah menebar. Ki Widura sengaja memerintahkan mereka untuk mempergunakan senjata ciri perguruan mereka. Sepuluh orang serta Ki Widura sendiri telah mengurai senjata cambuk mereka.

Sebelas buah cambuk itu benar-benar menarik perhatian Ki Saba Lintang serta para pengikutnya. Namun Ki Saba Lintang pun kemudian berteriak, “Jangan hiraukan! Hancurkan mereka! Mereka ingin menutupi kekurangan mereka dengan pertunjukan yang tidak menarik itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat mengikat kudanya di pinggir jalan. Namun mereka pun segera bersiap untuk menghadapi orang-orang Ki Saba Lintang yang mulai menebar pula.

Terdengar sebuah teriakan nyaring. Kepercayaan Ki Saba Lintang yang sudah mendapat isyarat dari Ki Saba Lintang segera meneriakkan aba-aba.

Orang-orang Ki Saba Lintang itu pun segera menghambur, menyerang orang-orang yang bersenjata cambuk yang telah menebar pula.

“Bagus,” desis Ki Citra Jati, “dengan ciri itu, kita tidak akan keliru. Yang manakah para cantrik dari Jati Anom dan yang manakah para pengikut Ki Saba Lintang.”

“Agaknya hal itu sudah terpikir oleh Ki Widura,” sahut Nyi Citra Jati.

Namun keduanya pun terkejut ketika ada dua orang yang bergegas mendekati mereka. Seorang berkepala botak, yang mengenakan ikat kepalanya sekenanya saja sehingga sengaja atau tidak, botaknya nampaknya jelas. Seorang lagi agak bongkok.

“He, Kek,” berkata orang yang berkepala botak, “menyerah sajalah. Jika kau menyerah, maka kau akan tetap hidup.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah orang itu dengan seksama. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa telingamu itu, he?”

“Sst,” Nyi Citra Jati menggamitnya, “sempat juga kau perhatikan telinganya.”

Tetapi orang berkepala botak itu justru tertawa. Katanya, “Aku bangga dengan telingaku. Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah perkelahian, lawanku sempat membabatkan pedangnya. Maksudnya tentu untuk menebas leherku. Tetapi yang kena hanya telingaku saja, sehingga telingaku terkoyak.”

“Tidak. Lawanmu waktu itu tidak ingin menebas lehermu. Ia memang ingin memotong telingamu.”

“Ah, tentu tidak.”

“Ya. Bukankah waktu itu kau bertempur di dekat tempuran Kali Uter dan Kali Gandu Kulon?”

“Darimana kau tahu?”

“Setelah telingamu terpotong, kau mengamuk seperti orang gila tanpa kendali, sehingga kau membuat banyak kesalahan Bukankah waktu itu kau hampir mati jika tidak karena belas kasihan lawanmu yang semula kau remehkan?”

“Darimana kau tahu, he? Darimana?”

“Buka matamu lebar-lebar, Candikala. Siapakah aku, he?”

“Namaku bukan Candikala. Namaku Candik Sore.”

“Aku lebih senang menyebutmu Candikala.”

Ki Candik Sore termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ingatannya mulai meraba masa lalunya yang panjang. Pertempuran di dekat tempuran Kali Uter dan Kali Gandu Kulon.

Beberapa langkah dari Ki Widura, Ki Jayaraga berdiri sambil menggenggam tangkai kapak kecilnya. Dengan kapak kecilnya itu, Ki Jayaraga telah siap bertempur melawan para pengikut Ki Saba Lintang.

Ki Saba Lintang sendiri dengan wajah yang geram melangkah mendekati Glagah Putih. Sedangkan seorang yang bertubuh tinggi besar berjalan dengan langkah pasti mendekati Rara Wulan. Jantung Rara Wulan memang berdesir melihat orang yang tiga kali lipat besarnya dari dirinya sendiri.

“Bukan main.”

Rara Wulan bahkan surut selangkah ketika melihat orang itu tertawa. Giginya nampak menyeringai mendebarkan. Rasanya giginya itu nampak sebesar kapak-kapak kecil yang ditata berjajar. Namun yang sudah lama tidak tersentuh, sehingga seakan-akan menjadi berkarat.

“Siapa namamu perempuan cantik?” bertanya orang itu. Jantung Rara Wulan berdegup semakin cepat. Sementara itu, Glagah Putih tidak sempat mendekati istrinya, karena Ki Saba Lintang telah berdiri di hadapannya.

“Kau cerdik, Glagah Putih,” berkata Ki Saba Lintang, “kau berhasil menyelamatkan nama Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi ternyata tebusannya mahal sekali.”

“Sama sekali tidak. Aku tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Juga karena kehadiranmu di sini.”

“Kau memang sombong sekali, Glagah Putih. Kau dan orang-orangmu akan terkapar mati di sini, kecuali perempuan itu. Ia akan ditangkap hidup-hidup. Perempuan itu akan dapat menjadi umpan untuk mengail orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Dengan perempuan itu, aku akan dapat memanggil Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Aku akan menukarkan perempuan itu dengan tongkat baja putih yang berada di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Kau tidak akan berhasil menangkap perempuan itu hidup-hidup. Seandainya kau atau orang-orangmu berhasil, namun Mbokayu Sekar Mirah tidak akan mau menukarnya dengan tongkat baja putih. Perempuan itu memang akan dapat menjadi korban. Tetapi untuk mempertahankan hak, kadang-kadang kita memang harus berkorban.”

“Luar biasa. Jika benar yang kau katakan itu, betapa mulianya hati mereka yang bersedia mengorbankan nyawanya. Kesetiaannya jarang ada bandingnya.”

“Itulah watak kami. Ciri dari seorang yang berjuang untuk mempertahankan hak-haknya.”

“Tetapi korbannya selalu orang lain. Orang yang menurut pendapat kami, matinya justru sia-sia. Mereka hanya harus puas dengan sebutan seorang pejuang. Seorang pahlawan. Tetapi yang akan menikmati hasil yang sebenarnya, katakanlah yang akan tetap memiliki haknya, adalah orang lain.”

“Bukan orang lain, Ki Saba Lintang. Kami adalah bagian dari pemilikan hak itu.”

“Omong kosong. Apa untungmu dan apa untung perempuan itu, jika hak itu tetap berada di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu, selain kematian serta gelar pahlawan itu? Apa pula artinya gelar yang bertimbun sekalipun, jika orang itu harus mati?”

“Otak kami tidak sekerdil otakmu, Ki Saba Lintang. Jika kami mempertahankan hak Nyi Lurah Agung Sedayu, bukan semata-mata bagi kepentingan Nyi Lurah. Tetapi kami tahu, seandainya tongkat itu ada di tangan orang lain yang akan bersamamu memimpin sebuah perguruan besar sebagaimana Perguruan Kedung Jati, maka akibatnya akan buruk sekali bagi banyak orang. Jika kami harus berkorban untuk mempertahankan hak itu pada Mbokayu Sekar Mirah, maka kami sudah menyelamatkan banyak orang yang akan mengalami akibat yang buruk sekali itu. Sebaliknya, kami telah ikut pula mempertahankan hak itu untuk kepentingan perlindungan bagi banyak orang yang memerlukan. Nah, bukankah pengorbanan yang harus kami berikan, seandainya hal itu harus terjadi, bukan semata-mata bagi keuntungan Mbokayu Sekar Mirah?”

“Kau adalah orang-orang yang mabuk pujian, yang tidak dapat melihat kenyataan yang terbentang di hadapan hidungmu. Semua itu omong kosong. Tongkat di tangan Nyi Lurah Agung Sedayu itu gunanya juga untuk memeras orang lain.”

“Kau mulai kehilangan arah bicaramu. Sebaiknya kau tidak berbicara lebih banyak. Semakin banyak kau berbicara, akan semakin jelas bagiku, betapa kerdilnya otak di kepalamu.”

“Jadi kau benar-benar ingin disebut pahlawan?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “kenapa aku harus takut disebut pahlawan? Bukankah itu berarti bahwa kau sudah merendahkan arti kepahlawanan itu sendiri? Tetapi aku tidak akan menundukkan kepalaku dan membiarkan kepala itu kau penggal, hanya karena aku menghindari cemoohan atas sebutan pahlawan itu.”

Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Dengan geram iapun berkata, “Aku memang akan membunuhmu. Tetapi aku sudah berpesan kepada kawanku untuk menangkap perempuan itu hidup-hidup.”

“Kita sudah cukup lama berbicara. Semuanya sudah terlibat dalam pertempuran.”

“Bagus,” geram Ki Saba Lintang.

Sejenak kemudian, keduanya pun sudah terlibat dalam pertempuran pula. Ki Saba Lintang telah mengembangkan tangannya seperti sayap-sayap yang terlepas dari perlindungan induknya.

Namun Glagah Putih pun telah bersiap sepenuhnya. Ketika elang itu menukik dan menyambar, maka Glagah Putih tidak melarikan diri seperti anak ayam yang ketakutan. Tetapi sebagai seekor ayam jantan yang tegar, Glagah Putih menyambut serangan Ki Saba Lintang.

Ki Saba Lintang terkejut. Ia tidak mengira bahwa pada serangannya yang pertama, Glagah Putih langsung membenturnya. Karena itu, ketika terjadi benturan, maka Ki Saba Lintang pun tergetar surut.

“Kau bangga dengan kemenangan kecil pada benturan ini, Glagah Putih?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Tidak. Aku tahu bahwa kau tidak mengira bahwa aku akan membentur seranganmu. Karena itu kau telah tergetar surut. Kemenangan kecil ini tidak berarti apa-apa bagiku dan bagimu, tetapi penting bagi orang-orangmu. Mereka yang sempat melihat, kau telah tergetar surut dalam benturan yang terjadi.”

“Kau licik.”

“Tidak. Aku tidak licik. Aku tidak menyerangmu dari arah punggung pada saat kau tidak menyadarinya. Atau menusuk dadamu pada saat kau tidur.”

Sebenarnyalah, Ki Gajah Modang yang menghadapi Rara Wulan terkejut melihat Ki Saba Lintang tergetar surut. Demikian pula beberapa orang yang kebetulan melihat benturan itu.

“Orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu ternyata berilmu sangat tinggi. Ia mampu mendorong Ki Saba Lintang surut dalam sebuah benturan kekuatan,” berkata Ki Candik Sore pula di dalam hatinya.

Bukan hanya Ki Candik Sore. Tetapi beberapa orang yang lain pun beranggap demikian pula.

Agaknya Ki Saba Lintang mengerti pula akibat buruk dari benturan yang pertama itu. Karena itu, maka iapun segera berusaha mendesak Glagah Putih untuk menambah kepercayaan orang-orangnya.

Tetapi Glagah Putih menyadari akan hal itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun berusaha untuk memberikan kesan yang lain. Dengan meningkatkan ilmunya, maka Glagah Putih bertahan untuk tidak terdesak surut selangkah pun. Dengan tangkasnya ia menghindari serangan-serangan Ki Saba Lintang yang berbahaya. Tetapi dengan cepatnya Glagah Putih pun menyerangnya di tempat-tempat yang paling lemah pada tubuh Ki Saba Lintang, sehingga dengan demikian maka Ki Saba Lintang tidak berhasil dengan segera mendesak Glagah Putih. Ketika Ki Saba Lintang meningkatkan ilmunya selapis, maka Glagah Putih pun melakukannya pula, sehingga kemampuan mereka pun masih saja tetap seimbang.

Sementara itu, raksasa yang bernama Gajah Modang itu pun telah mulai berusaha untuk menangkap Rara Wulan hidup-hidup. Gajah Modang tidak menyerang Rara Wulan dengan tangan atau kakinya, tetapi tangannya terjulur menjangkau lengan Rara Wulan.

Rara Wulan melangkah surut. Sambil melangkah maju Gajah Modang berkata, “Kau masih belum menjawab, siapa namamu?”

“Ki Saba Lintang tentu sudah menyebut namaku.”

“Ya. Tetapi aku lupa. Katakan, siapa namamu. Kesannya tentu akan berbeda jika kau sendiri yang mengucapkannya.”

“Namaku Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Namun Rara Wulan itu bergeser surut ketika ia mendengar orang bertubuh raksasa itu tertawa keras-keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Kau ternyata pintar juga bergurau, perempuan cantik. Aku senang dengan perempuan yang memiliki rasa yang cerah dan terang seperti kau. Perempuan yang pandai bergurau dan tidak dikungkung oleh kebiasaan buruk sebagaimana kebanyakan perempuan yang hanya tahu menghidupkan api di dapur.”

“Terima kasih, raksasa buruk. Tetapi siapa namamu?”

“Itulah yang menarik. Sebelum kau sebut namamu, kau sudah bertanya siapa namaku.”

“Katakan. Namamu tentu menarik seperti ujudmu.”

“He? Apakah ujudku menurut pendapatmu menarik?”

“Ya. Jika kau datang di sebuah padukuhan, tentu banyak anak-anak yang mengerumunimu. Kau tentu dikira salah seorang penari topeng yang terpisah dan kawan-kawanmu.”

Di luar dugaan Rara Wulan, orang itu sama sekali tidak marah. Bahkan ia tertawa semakin keras. Tubuhnya yang besar itu berguncang-guncang.

“Benar juga, kenapa Ki Saba Lintang memerintahkan aku menangkap perempuan ini hidup-hidup, sementara laki-laki yang mengaku Ki Saba Lintang itu harus dibunuhnya.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, “Aku yang akan menangkapmu hidup-hidup. Kau akan menjadi sangat menarik untuk dipertontonkan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jangan begitu, perempuan cantik. Tetapi siapa namamu?”

“Sebut dahulu namamu.”

“Baik. Namaku Gajah Modang. Nah, sekarang sebut namamu.”

“Namaku Rara Wulan.”

“Ya. Rara Wulan. Nama yang cantik seperti wajahmu. Kau memang cantik seperti bulan.”

“Ya. Kau pun tampan seperti Gajah yang mengenakan ikat kepala.”

“Kenapa?”

Rara Wulan bahkan harus menahan tertawanya. Katanya kemudian, “Modang adalah salah satu corak ikat kepala. Nah, barangkali kau adalah satu-satunya gajah yang memakai ikat kepala.”

Gajah Modang itu justru tertawa berkepanjangan. Katanya, “Aku senang mendengarnya. Nah, sekarang menyerah sajalah. Aku akan menangkapmu hidup-hidup. Kau akan sangat berarti bagi kami. Di antara semua orang yang melawan kami sekarang ini, kau adalah satu-satunya orang yang akan tinggal hidup.”

“Sudah aku katakan, aku-lah yang akan menangkapmu hidup-hidup.”

“Jangan begitu. Jangan memaksaku untuk mempergunakan kekerasan.”

“Aku sama sekali tidak memaksamu. Tetapi aku tidak mau ditangkap hidup-hidup.”

“Rara Wulan. Kau hanyalah seorang perempuan. Betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan dapat lolos dari tanganku.”

“Bersiaplah. Kita akan mulai. Jangan tuduh aku licik karena aku menyerangmu sebelum kau bersiap.”

“Jadi kau benar-benar tidak mau menyerah?”

“Tidak.”

“Baik. Jika demikian, aku akan memaksamu menyerah.”

Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ketika ia memandang berkeliling, maka semua orang telah terlibat dalam pertempuran. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati juga sudah bertempur. Sementara itu ledakan cambuk terdengar susul-menyusul. Namun di antara cambuk yang meledak-ledak itu, terdengar sekali dua kali hentakan cambuk yang tidak melontarkan ledakan sebagaimana yang lain. Bunyi hentakan cambuk yang hanya bagaikan desah itu justru merupakan hentakan cambuk yang sangat berbahaya.

“Ternyata tanpa Kiai Gringsing, Ayah mampu meniti ilmu sampai ke puncak,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun ketika ia sempat memperhatikan Ki Widura yang sedang bertempur itu, ternyata Ki Widura masih saja bersenjata sebilah parang. Namun cambuknya berada di tangan kirinya. Tangan kirinya-lah yang telah menghentakkan cambuk pada tataran puncak ilmu Perguruan Orang Bercambuk.

Sebenarnyalah hentakkan cambuk yang tidak menimbulkan bunyi yang meledak itulah yang justru telah merisaukan beberapa orang berilmu tinggi yang bertempur di pihak Ki Saba Lintang.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran melawan orang bertubuh raksasa itu. Di hadapan lawannya, Rara Wulan bagaikan seorang kerdil yang meloncat-loncat. Namun gerak Rara Wulan ternyata cukup cepat, sehingga raksasa itu tidak segera dapat menangkapnya.

“Jika saja aku berhasil menangkap pinggangmu,” berkata Gajah Modang.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan memang harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindari terkaman raksasa itu.

Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan raksasa itu berusaha menangkapnya seperti seekor kucing yang memburu tikus. Karena itu, ketika kedua tangan Gajah Modang itu terjulur untuk menggapainya, maka Rara Wulan pun melenting tinggi. Namun ia bukan saja melenting untuk menghindarkan diri, tetapi sambil memutar tubuhnya, kaki Rara Wulan terayun mendatar menyambar kening raksasa itu.

Terdengar Gajah Modang mengaduh tertahan. Orang bertubuh tinggi kekar itu terhuyung beberapa langkah surut. Sambil memegangi keningnya yang terasa sakit sekali, Gajah Modang itu pun berdesis, “Bukan main. Kau berhasil mengenai keningku.”

Rara Wulan berdiri beberapa langkah di hadapannya sambil sedikit merendah. Perempuan itu telah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Kau akan menyesali tingkah lakumu itu, Rara Wulan.”

Rara Wulan masih tetap diam. Selangkah ia bergeser ke samping.

Gajah Modang yang marah itu pun kemudian meloncat tidak saja menerkam Rara Wulan, tetapi ia telah mengayunkan tangannya menyerang ke arah dada.

Namun dengan tangkasnya Rara Wulan meloncat menghindar, sehingga serangan Gajah Modang itu tidak mengenainya. Bahkan Rara Wulan telah meloncat dengan cepat. Sedikit merendah sambil memiringkan tubuhnya. Dengan kerasnya, kakinya terjulur mengenai lambung Gajah Modang.

Ternyata Gajah Modang yang bertubuh raksasa itu tergetar, bahkan kemudian bergeser selangkah surut.

“Kekuatan iblis manakah yang telah merasuk ke dalam dirimu?” geram Gajah Modang, “Ternyata kau mampu menggetarkan daya tahanku.”

Rara Wulan masih saja diam. Namun perempuan itu telah bergeser selangkah.

Gajah Modang mulai menjadi benar-benar marah. Karena itu iapun menggeram, “Aku tidak lagi akan menahan diri. Aku memang berusaha menangkapmu hidup-hidup. Tetapi jika terpaksa, aku harus membunuhmu pula.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit antara Gajah Modang itu melawan Rara Wulan, yang meskipun nampak jauh lebih kecil, tetapi ternyata bahwa Rara Wulan mampu bergerak lebih cepat dari lawannya. Rara-rasanya serangan Rara Wulan itu datang dari segala penjuru.

Sementara itu, Nyi Citra Jati telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Tunggak Petung. Ternyata bahwa Tunggak Petung telah keliru menilai kemampuan lawannya. Tunggak Petung mengira bahwa ia akan dapat dengan cepat menguasai lawannya, seorang perempuan tua. Namun ternyata bahwa perempuan tua itu mampu bertempur dengan tangkasnya. Nyi Citra Jati mampu bergerak dengan cepat, berloncatan seperti burung sikatan memburu belalang di rerumputan.

“Ternyata kau telah kerasukan iblis betina,” geram Ki Tunggak Petung.

“He? Iblis betina? Kenapa?”

“Kau yang sudah menjadi tua dan jelek itu masih mampu bertempur dengan tangkas. Kau masih mampu berloncatan demikian cepatnya.”

“Aku tidak saja kerasukan iblis betina. Tetapi aku mampu mengalahkan iblis betina itu.”

“Sombongnya kau, perempuan tua. Tetapi betapapun kau berbangga akan dirimu, tetapi sebentar lagi kau akan mati. Suamimu akan mati. Semuanya akan mati di sini.”

“Itu angan-angan yang bermain di kepalamu. Tetapi apa yang sesungguhnya terjadi, tentu tidak seperti angan-anganmu itu.”

Tunggak Petung tidak segera menjawab. Tetapi serangannya menjadi semakin cepat dan keras.

Tetapi Nyi Citra Jati tidak segera terdesak. Ia masih saja mampu mengimbangi lawannya meskipun lawannya itu sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Beberapa langkah dari Nyi Citra Jati, Ki Citra Jati bertempur melawan musuh lamanya yang telinganya telah menjadi cacat. Dendam di jantung Ki Candik Sore rasa-rasanya bagaikan meledakkan dadanya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan laki-laki yang telah membuat telinganya menjadi cacat. Cacat itu sendiri tidak banyak berpengaruh terhadap hidup dan kehidupannya. Namun kekalahan yang pernah dideritanya itulah yang sangat menyakitkan. Apalagi penghinaan yang diterimanya pada saat itu, bahwa Ki Citra Jati telah berbelas kasihan dan membiarkannya hidup.

“Salahnya sendiri, kenapa ia tidak membunuhku waktu itu,” berkata Ki Candik Sore di dalam hatinya, “sekarang aku-lah yang akan membunuhnya.”

Dengan garangnya, Ki Candik Sore menyerang Ki Citra Jati. Semakin lama kemampuan Ki Candik Sore pun rasa-rasanya menjadi semakin tinggi.

Tetapi Ki Citra Jati pun telah meningkatkan ilmunya pula. Geraknya menjadi semakin cepat. Tubuhnya seakan-akan menjadi semakin ringan.

Ki Citra Jati yang tua itu, ternyata tidak menjadi semakin lamban. Ketuaannya membuatnya semakin matang, sehingga Ki Candik Sore mulai menjadi berdebar-debar. Setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi, ternyata Ki Citra Jati masih belum terdesak karenanya. Bahkan Ki Citra Jati masih saja dapat tersenyum sambil berkata, “Ilmumu memang menjadi semakin matang, Candikala.”

“Diam kau, setan tua,” geram Ki Candik Sore. Dengan garangnya ia melenting, memutar tubuhnya sambil mengayunkan kakinya mendatar, mengarah ke kening.

Tetapi Ki Citra Jati dengan cepat merendah, sehingga kaki Ki Candik Sore sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan Ki Citra Jati yang merendah itu sempat membalas serangan Ki Candik Sore. Kakinya yang terjulur lurus, justru telah menyambar lambung.

Ki Candik Sore itu terdorong ke samping. Hampir saja ia terpelanting jatuh. Namun dengan tangkasnya Ki Candik Sore bergeser, sehingga sempat mempertahankan keseimbangannya.

Ki Citra Jati tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Candik Sore memperbaiki keadaannya.

“Apakah kau sudah siap?” bertanya Ki Citra Jati.

“Kau memang sombong sekali, Citra Jati. Tetapi kali ini kau akan menyesali kesombonganmu itu. Kau tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Aku akan segera membunuhmu.”

Ki Citra Jati tidak menjawab. Tetapi ia bergeser selangkah maju.

“Sekian tahun aku menempa diri. Kesempatan seperti inilah yang aku tunggu. Aku tidak akan melepaskannya.”

“Kita bertemu secara kebetulan, Candik Sore. Kita akan menyelesaikan persoalan di antara kita sampai tuntas, agar kita tidak perlu mencari kesempatan lain di kemudian hari.”

“Bagus, Citra Jati. Kita akan menuntaskan pertempuran kita kali ini. Dengan demikian maka aku akan dapat tidur dengan nyenyak di malam-malam mendatang.”

Ki Citra Jati tidak menjawab lagi. Namun ia merasakan gelombang serangan Ki Candik Sore yang meningkat semakin cepat dan semakin keras. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin sengit pula.

Dalam pada itu, meskipun pertempuran itu terjadi tidak terlalu dekat dengan pasar, namun orang-orang di dalam pasar itu pun menjadi resah dan bahkan ketakutan. Beberapa orang dengan serta-merta telah meninggalkan pasar itu. Namun ada pula yang harus mengemasi dagangannya lebih dahulu. Namun ada pula di antara mereka yang sempat menonton pertempuran itu.

Beberapa saat kemudian pertempuran menjadi semakin sengit. Ledakan-ledakan cambuk bagaikan mengguncang dahan pepohonan dan menggugurkan daun-daun yang mulai menguning.

Ki Gerba Lamatan yang marah melangkah mendekati seseorang yang rambutnya sudah berbaur putih. Yang menggenggam cambuk di tangan kirinya dan membawa parang di tangan kanannya.

“Kau mengamuk seperti seekor banteng yang terluka. Kau siapa, Ki Sanak?” bertanya Gerba Lamatan.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Namaku Widura. Aku adalah pengikut setia Ki Saba Lintang.”

“Sudahlah. Permainan sudah berlalu. Kita sudah mulai menanggalkan topeng-topeng kita.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Kau tentu tahu maksudku. Aku adalah pengikut pemeran Ki Saba Lintang yang ternyata jauh lebih pantas dari Ki Saba Lintang sendiri.”

“Ya. Aku setuju. Orang itu lebih muda. Lebih tampan, dan sinar matanya nampak lebih tajam. Aku kira orang itu lebih cerdik dari Ki Saba Lintang sendiri.”

“Sekarang keduanya sedang bertempur.”

“Ya. Tetapi sayang, bagaiamanapun juga orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu tentu kalah pengalaman. Jika saja ilmu mereka seimbang, maka Ki Saba Lintang yang sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman, keberanian bertindak dan tidak ragu-ragu untuk menghancurkan lawannya. Jika saja orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu juga seorang yang sedikit liar seperti Ki Saba Lintang yang sebenarnya, maka pertempuran di antara mereka akan menjadi sangat seru.”

“Jika menurut pendapatmu Ki Saba Lintang itu sedikit liar, kenapa kau bersedia menjadi pengikutnya?”

Ki Gerba Lamatan itu tertawa, Katanya, “Tidak ada alat sebaik Ki Saba Lintang.”

“Ternyata kau lebih cerdik dari Ki Saba Lintang.”

“Kau kira Ki Saba Lintang tidak menyadari keadaannya? Pada saat-saat terakhir, setelah kami kehilangan lawan, maka kami akan mencari lawan di antara kami sendiri.”

“Demikian bengiskah watak Ki Saba Lintang dan bahkan kalian semuanya?”

“Ya. Kami adalah orang-orang selicik serigala. Jika kami kehabisan mangsa, maka siapa yang berdarah di antara kami, akan dikoyak-koyak oleh kelompoknya sendiri.”

“Kau sadari itu?”

“Ya. Kau heran? Semua orang di antara kami menyadarinya. Namun kami pun berharap bahwa kami akan tetap mempunyai kepentingan sejalan sampai tahap akhir.”

“Apakah artinya tahap akhir?”

“Jika kami sudah merasa perjuangan kami selesai. Jika kami sudah dapat berdiri di atas keinginan kami.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Sekarang kau akan bertempur dengan mempertaruhkan nyawamu?”

“Ya.”

“Kenapa kau tidak berpura-pura saja bertempur? Biarlah orang lain mati. Kau akan tetap hidup.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Satu gagasan yang baik. Tetapi aku ingin menyempurnakan gagasan itu.”

Ki Widura tidak bertanya. Sementara orang itu berkata lebih lanjut, “Bagaimana jika kau bantu aku agar tidak ada orang yang tahu bahwa aku hanya berpura-pura?”

“Apa yang dapat aku bantu?” bertanya Widura.

“Kau biarkan aku membunuhmu.”

Darah Ki Widura tersirap. Sementara orang itu sambil tertawa berkata, “Jika kau biarkan aku membunuhmu, maka kawan-kawanku akan menyangka bahwa aku sudah bersungguh-sungguh.”

Namun Ki Widura segera dapat menguasai perasaannya. Sambil tersenyum iapun berkata, “Kau berhasil menyempurnakan gagasanku. Sayang, aku tidak dapat mati. Aku mempunyai nyawa rangkap seratus. Sampai nafasmu putus, kau tidak akan berhasil menghabiskan nyawaku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar