Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 343

Buku 343

Dengan demikian, maka rasa-rasanya Ki Citra Jati dan keluarganya menjadi agak tergesa-gesa. Setelah membayar harga minuman dan makanan, maka mereka pun meninggalkan perempuan tua penjual makanan itu.

Anak muda itu masih saja menyertai Ki Citra Jati sekeluarga. Namun anak muda itu pun kemudian berkata, “Sebaiknya aku memisahkan diri. Aku banyak dikenal di sini. Meskipun mereka sudah menduga bahwa Paman adalah tamu penginapan tempat aku bekerja, tetapi sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri.”

“Bagaimana dengan ceritamu?”

“Besok pagi aku bertugas. Aku akan menceritakan lebih banyak.”

“Terima kasih,” desis Ki Citra Jati.

Demikianlah, maka mereka pun segera berpisah. Anak muda itu berjalan menyusup di antara mereka yang berada di depan pasar. Sementara Ki Citra Jati dan keluarganya pun berjalan menjauh dari pintu gerbang pasar.

“Marilah kita kembali ke penginapan,” berkata Ki Citra Jati kemudian.

Ketika mereka berjalan lewat simpang tiga tidak jauh dari pasar, mereka melihat tiga orang yang bukan orang kebanyakan. Dua orang yang berdiri beberapa langkah di hadapan mereka. Namun Ki Citra Jati segera dapat mengenal orang itu, karena orang yang menyapa mereka dengan akrab, “Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Kebayan nampaknya ingin menghangatkan diri di pasar.”

Seorang di antara mereka yang berkumis lebat menjawab sambil tertawa pendek, “Ah, aku hanya ingin melihat. Kami baru saja mendapat laporan ada orang berkelahi.”

“Di sebelah sana, Ki Demang.”

Dengan suara yang tidak berkesan apa-apa, Ki Demang itu menjawab, “Ya. Sudah ditangani Ki Jagabaya.”

“Keduanya ditangkap?”

“Keduanya mati.”

“Sampyuh?”

“Tidak. Yang satu mati dibunuh lawannya. Yang lain mati dicekik Ki Jagabaya.”

“Dicekik Ki Jagabaya?”

“Bertanyalah kepada Ki Jagabaya.”

“Sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya. Aku akan menangkapnya. Tetapi orang itu menolak, bahkan berusaha melawan, Aku sudah memperingatkannya, bahwa perlawanan akan sia-sia. Tetapi ia justru mulai mencoba menusuk perutku. Aku tidak mempunyai pilihan. Aku cekik lehernya.”

“Sampai mati?”

“Baru saja tanganku lekat di lehernya, orang itu sudah mati. Aku sama sekali tidak bermaksud membunuhnya.”

Orang yang berbicara dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Kebayan itu tertawa. Katanya, “Jari-jari Ki Jagabaya tajamnya melampaui kuku-kuku burung elang.”

“Jangan memuji. Aku tidak akan memberimu uang kali ini.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Ki Jagabaya, Ki Demang dan Ki Kebayan berhutang kepadaku.”

“Hutang apa?” berkata Ki Jagabaya sampai membelalakkan matanya.

“Sekali pujian. Biasanya sekali pujian, aku dapat membeli minuman semangkuk dan sepotong jadah dan sepotong jenang alot.”

“Aku juga ingin mencekikmu pada satu kali,” geram Ki Jagabaya.

Orang itu tertawa saja. Tetapi iapun melangkah pergi.

Ki Citra Jati dan keluarganya memang tidak berhenti untuk menonton pembicaraan itu. Mereka berjalan terus perlahan-lahan. Tetapi mereka mendengar pembicaraan itu dengan jelas.

“Mereka adalah bebahu Kademangan Wirasari,” desis Nyi Citra Jati.

“Ya. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang meyakinkan. Ketika aku pergi ke Wirasari sebelumnya, aku belum pernah melihat para bebahu itu,” berkata Ki Citra Jati sambil berjalan kembali ke penginapan.

“Hanya orang-orang yang meyakinkan saja-lah yang pantas untuk ditetapkan menjadi bebahu di daerah seperti ini,” berkata Nyi Citra Jati.

“Daerah di persimpangan seperti Wirasari ini memang mempunyai watak yang khusus.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Tanah Perdikan Menoreh terhitung satu tempat yang ramai pula. Tetapi jauh berbeda dengan Wirasari. Demikian pula Kademangan Sangkal Putung. Watak lingkungannya sangat berbeda.

Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki pintu regol halaman penginapan. Pintu regol masih terbuka lebar. Beberapa orang masih nampak duduk di serambi yang terang. Yang lain ada yang duduk di pendapa dan pringgitan.

Anak muda yang bertugas mengangguk hormat, “Sampai kemana saja, Paman?”

“Kami melihat-lihat isi pasar itu sebentar,” jawab Ki Citra Jati.

“Sempat duduk minum-minuman hangat?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Ya. Sempat.”

“Nah, silahkan beristirahat, Paman.”

“Terima kasih.”

Ki Citra Jati itu pun kemudian membawa keluarganya masuk ke pondok kecil yang telah mereka sewa sebagai tempat bermalam.

Untuk beberapa lama mereka masih duduk berbincang. Namun ketika kemudian malam menjadi semakin larut, maka Ki Citra Jati pun berkata kepada Glagah Putih, “Bergantian kita berjaga-jaga. Peringatan anak muda petugas di penginapan ini di pasar tadi, perlu mendapat perhatian kita.”

“Ya, Ayah.”

“Sekarang, aku sudah mengantuk. Biar aku tidur dulu.”

Nyi Citra Jati pun menyambung, “Sekarang biarlah ayahmu tidur, kau berjaga-jaga, Glagah Putih. Nanti lewat tengah malam, ganti kau yang berjaga-jaga, ayahmu tidur.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa serentak. Namun Ki Citra Jati yang telah membaringkan dirinya itu menyahut, “Aku tidak mendengar, karena aku sudah tidur.”

Nyi Citra Jati pun tertawa pula. Sejenak kemudian, maka Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun telah berbaring pula. Ruangan yang tidak ada sekatnya itu memang terasa kurang nyaman. Tetapi bagi mereka berempat sudah cukup memadai.

Pondok kecil itu memang lebih tenang daripada banjar padukuhan yang menjadi ribut oleh anak-anak muda yang sedang mabuk. Rasa-rasanya tiap orang telah tertidur di bilik mereka masing-masing serta tidak saling mengganggu. Sementara yang lain tidur, Glagah Putih duduk di bibir amben yang agak besar itu bersandar dinding. Terasa betapa sepinya malam yang semakin lama menjadi semakin dingin.

Di tengah malam, di pendapa penginapan itu telah dibunyikan kentongan dengan irama dara muluk. Tidak terlalu keras. Maksudnya bukan untuk membangunkan orang tidur. Tetapi mereka yang masih terbangun yang ingin tahu ancar-ancar waktu, akan mendengar suara kentongan yang tidak terlalu keras itu.

“Satu pelayanan yang baik dari pemilik penginapan,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. “Selain orang-orang yang menginap mengetahui waktu, rasa-rasanya juga menjadi tenang, karena petugas penginapan tidak tidur saja. Setidak-tidaknya ada yang bangun untuk mengawasi keadaan.”

Namun ternyata bahwa malam itu tidak terjadi sesuatu. Glagah Putih sengaja tidak membangunkan Ki Citra Jati sampai jauh lewat tengah malam.

Tetapi di dini hari Ki Citra Jati bangun sendiri. Ketika ia kemudian bangkit dan duduk di bibir amben, iapun bertanya, “Kenapa tidak kau bangunkan aku?”

Yang menyahut adalah Nyi Citra Jati, tanpa membuka matanya, “Kakang tentu menyesal bahwa Kakang telah terbangun.”

“He, kenapa bukan kau yang berjaga-jaga sekarang?”

“Itu tugas laki-laki,” sahut Nyi Citra Jati.

“Tugas kita semua.”

“Di rumah, tugasku mencuci pakaian Ki Citra Jati.”

Ki Citra Jati tidak menjawab. Tetapi terdengar Rara Wulan tertawa tertahan. Ternyata Rara Wulan terbangun pula karenanya.

Glagah Putih-lah yang kemudian berbaring dan memejamkan matanya, sementara Ki Citra Jati bangkit berdiri dan berjalan ke sudut ruangan. Di sudut ruangan itu Ki Citra Jati duduk di sebuah dingklik kayu yang agak tinggi sambil bersandar dinding.

Malam pun kembali menjadi sepi. Sejenak kemudian, Glagah Putih pun telah tertidur. Demikian pula Nyi Citra Jati dan Rara Wulan telah tidur lagi.

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya ketika ia mendengar desir langkah kaki orang. Tidak hanya seorang. Tetapi dua orang.

Namun Ki Citra Jati pun kemudian mendengar dua orang itu berbicara perlahan-lahan. Ternyata mereka adalah petugas penginapan yang sedang mengelilingi lingkungan penginapan itu.

Demikian kedua orang itu lewat, maka suasana pun kembali menjadi senyap.

Tetapi seperti sebelumnya, di dini hari itu pun tidak terjadi sesuatu di penginapan itu. Seperti yang dikatakan oleh anak muda yang bertugas, pada penginapan itu tidak sering terjadi keributan. Para petugas selalu mengatasi keadaan.

Pagi-pagi sekali, seisi pondok kecil itu sudah bangun. Bergantian mereka pergi ke pakiwan. Ketika matahari terbit, maka mereka sudah siap untuk berjalan-jalan keluar.

“Aku akan pergi menemui Ki Darmareja bersama Glagah Putih. Rasanya tidak enak jika ia tahu sejak kemarin kita berada di sini, tetapi masih belum menengoknya.”

“Baiklah, Kakang. Aku dan Rara Wulan akan pergi ke pasar. Mungkin ada yang menarik.”

“Baiklah. Tetapi kalian harus hati-hati.”

“Ayah,” berkata Glagah Putih, “untuk kepentingan tugasku, biarlah aku mempergunakan nama lain. Warigalit misalnya. Wulan biar disebut Wara Sasi. Jika namaku sendiri disebut dan didengar oleh pengikut Ki Saba Lintang, mungkin mereka akan mengetahui bahwa anak Ki Citra Jati berasal dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Baik, baik. Agaknya itu akan lebih baik bagimu dan Rara Wulan. Aku nanti akan memperkenalkanmu dengan nama Warigalit. Aku juga akan menyebut bahwa kau datang bersama istrimu yang bernama Wara Sasi. Begitu, kan?”

“Ya, Ayah.”

“Baik. Agar tidak ada orang yang menyebut Glagah Putih di sini, karena Ki Saba Lintang dan mungkin beberapa orang pengikutnya pernah mendengar namamu di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya, Ayah. Dengan demikian Ki Saba Lintang tidak tahu bahwa aku ada di sini. Ada beberapa kemungkinan terjadi. Setelah Ki Saba Lintang tahu bahwa aku berada di sini, ia tidak akan datang lagi kemari, atau justru ia datang bersama beberapa orang untuk mencekik leherku.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Baik, baik. Namamu sendiri tidak akan disebut-sebut lagi. Setidak-tidaknya di hadapan orang lain.”

Demikianlah, mereka berempat pun kemudian meninggalkan penginapan untuk tujuan yang berbeda. Ketika mereka berada di halaman, mereka melihat beberapa orang berdagang yang keluar dari penginapan itu pula.

“Mereka tentu yang mengadakan pertemuan di ruang dalam penginapan itu,” desis Ki Citra Jati.

“Ya. Tetapi tidak banyak.”

“Tentu hanya lingkungan tertutup yang saling mempercayai.”

Orang-orang yang keluar dari penginapan itu memang tidak saling memperhatikan. Mereka tidak menghiraukan Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih, dan Rara Wulan yang melangkah di halaman menuju ke pintu gerbang.

“Kemana, Paman?” anak muda yang kemarin bertugas itulah yang agaknya bertugas pula pagi itu.

Ki Citra Jati termangu-mangu. Di luar sadarnya iapun bertanya, “Dongengmu belum selesai.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ya. Tetapi bukankah Paman akan pergi?”

“Tidak lama. Aku akan segera kembali.”

“Jadi pondok kecil itu kosong sekarang?”

“Ya. Kami semuanya pergi. Tetapi arahnya berbeda. Aku dan anakku laki-laki ini akan pergi ke seorang kenalan baik. Sedangkan Bibi dan anakku perempuan ini akan pergi ke pasar.”

“Baik, Paman. Nanti jika Paman kembali ke penginapan, aku akan menemui Paman. Tetapi aku tetap ingin berpesan, hati-hatilah dengan keenam orang yang berhubungan dengan Ki Kuda Sembada itu. Mudah-mudahan mereka sudah melupakan Paman sekeluarga. Jika mereka masih marah, mungkin saja mereka berbuat sesuatu yang tidak disangka-sangka, dalam hubungannya dengan Ki Kuda Sembada.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Kami akan berhati-hati.”

Demikianlah, maka mereka berempat pun segera keluar dari halaman penginapan itu, Tetapi mereka pun segera berpisah. Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun langsung menuju ke pasar. Mereka mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan, sehingga mereka sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang berjalan seiring ataupun yang berpapasan.

Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di pasar yang ramai. Memang jauh berbeda dengan pasar itu yang mereka lihat semalam. Yang pagi itu digelar di pasar itu sebagian besar adalah bahan makanan, hasil bumi, kain tenun dan barang-barang kerajinan. Di pinggir pasar terdapat tiga kelompok pande besi yang sedang sibuk membuat alat-alat pertanian.

Di sisi yang lain. terdapat sekelompok penjual sayur-sayuran yang segar. Juga ikan, yang nampaknya baru saja ditangkap malam atau pagi itu di belumbang, di kali atau di parit-parit.

“Pasar yang ramai,” desis Nyi Citra Jati.

“Ya, Ibu. Nampaknya banyak pula terdapat pedagang dari daerah lain. Mungkin mereka akan mencari dagangan, tetapi ada pula yang menjual dagangan.”

Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Tidak terlalu jauh dari pasar itu, terdapat beberapa buah pedati. Di sisi lain terdapat beberapa ekor kuda yang tertambat di patok-patok yang sudah disediakan, ditunggui oleh orang-orang yang memang bertugas untuk itu. Nyi Citra Jati dan Rara Wulan melihat berkeliling pasar itu. Mereka pun kemudian berhenti di tempat para penjual kain tenun menggelar dagangannya.

Nampaknya Nyi Citra Jati tertarik pada selembar kain lurik berwarna coklat. Diamatinya kain itu sambil bertanya kepada Rara Wulan, “Apakah aku pantas memakai kain lurik warna coklat seperti ini?”

“Pantas, Ibu. Kulit ibu kuning keputih-putihan. Tentu serasi sekali dengan warna coklat.”

“He, siapa yang mengatakan bahwa kulitku kuning keputih-putihan? Jika aku disebut kuning, lalu seperti apakah kulit yang disebut hitam?”

Rara Wulan tertawa. Namun akhirnya ia menjawab, “Seperti kulitku.”

“Macam-macam saja kau, Wulan, eh, Sasi. Tetapi sebaiknya kau juga melihat selembar kain lurik. Yang mana? Yang hijau pupus atau yang hijau tua, atau yang mana?”

“Aku tidak membeli, Ibu.”

“Bukankah tidak pantas jika ibunya membeli kain baru, anaknya tidak dibelikannya? Ayo, pilih yang mana? Aku masih mempunyai berapa keping uang.”

“Aku besok saja, Ibu. Sekarang ibu sajalah yang membeli.”

“Jika kau tidak mau memilih, aku tidak mau pergi dari sini. Aku akan menunggui kain coklat itu agar tidak dibeli orang lain. Tetapi aku terpaksa memilih kain pula.”

Rara Wulan termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. lapun terpaksa memilih kain pula. Hijau lumut.

“Nah, aku tidak akan disebut sebagai seorang ibu yang mementingkan diri sendiri,” desis Nyi Citra Jati.

Namun demikian Nyi Citra Jati membayar harga dua lembar kain, maka dua orang perempuan telah berdiri di samping mereka.

Seorang di antara mereka dengan kasar berkata, “Pantas, kau berani mendahului kami menyewa bilik di penginapan yang terhitung mahal itu. Agaknya kau memang mempunyai banyak uang.”

“O,” Nyi Citra Jati bergeser, “marilah. Silahkan, Ki Sanak. Aku sudah selesai.”

“Kau telah mendahului aku lagi. Aku tertarik kepada kain berwarna coklat itu. Kenapa kau tidak membeli yang lain saja?”

“Bukankah masih banyak yang lain? Juga yang berwarna coklat.”

“Kau kira aku mau menyamai warna pilihanmu?”

Nyi Citra Jati tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian beringsut meninggalkan penjual kain itu.

“Jika saja aku tidak mendapat pesan dari penunggu penginapan untuk menghidari perselisihan,” desis Nyi Citra Jati.

“Nampaknya mereka masih marah kepada kita, Ibu. Tetapi bukankah tidak perlu dihiraukan lagi?”

Nyi Citra Jati tersenyum sambil mengangguk. Katanya, “Ya. Kita memang tidak perlu menghiraukan mereka lagi.”

Dalam pada itu, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan masih beberapa saat lamanya berkeliling di pasar itu. Mereka masih melihat-lihat berbagai barang yang manarik. Anyaman bambu yang rumit, serta berbagai macam keba yang terbuat dari pandan dengan warnanya yang beraneka.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka rasa-rasanya seluruh isi pasar sudah dilihatnya. Karena itu, maka Nyi Citra Jati pun berkata, “Marilah, Sasi. Kita sudah lama berada di pasar. Marilah, kita kembali saja ke panginapan.”

“Mari, Ibu,” jawab Rara Wulan.

Keduanya pun kemudian segera keluar dari pintu gerbang pasar, yang rasa-rasanya menjadi semakin berjejal. Namun keduanya terkejut, ketika kedua orang perempuan yang marah kepada mereka itu tiba-tiba saja sudah berjalan di sebelah-menyebelah mereka.

“Jangan ribut,” berkata seorang di antara mereka, “kalian harus ikut bersama kami.”

“Kemana?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Dengar dan ikuti perintah kami,” berkata yang lain.

“Tetapi kami tentu ditunggu oleh suamiku,” berkata Nyi Citra Jati.

“Aku tidak peduli,” jawab perempuan itu, “aku peringatkan sekali lagi, jangan ribut. Kami bukan perempuan kebanyakan. Tetapi kami adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan dari Ki Kuda Sembada.”

“Siapakah Ki Kuda Sembada itu?”

“Kau tidak perlu tahu. Tetapi ia orang peting di Wirasari. Kalian harus ikut bersama kami menghadap Ki Kuda Sembada.”

“Tetapi bukankah kau sedang mencari orang yang bernama Ki Pugut?”

Kedua orang perempuan itu tertawa. Katanya, “Kau dengar pertanyaan kami di kedai itu?”

“Ya.”

“Sudahlah. Ki Kuda Sembada tentu akan bergembira bertemu dengan kau, perempuan muda. Siapa namamu?”

Rara Wulan tidak segera menjawab, sehingga perempuan yang berjalan di sisinya mengguncang lengannya, “Siapa namamu, he?”

“Kau bertanya kepadaku?”

“Ya. Aku bertanya kepadamu.”

“Namaku Wara Sasi.”

“Nama yang baik.”

“Tetapi kenapa Ki Kuda Sembada akan bergembira bertemu dengan aku?”

“Kedua orang perempuan itu tertawa pula. Berkepanjangan, sehingga beberapa orang yang melihatnya berpaling kepada mereka.

Tetapi seorang di antara mereka segera memperingatkan, “Sekali lagi aku peringatkan. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan diri kalian berdua.”

“Tetapi kami tidak kenal dengan orang yang bernama Kuda Sembada,” berkata Nyi Citra Jati.

“Anakmu terlalu cantik, Nyi,” sahut seorang di antara kedua orang perempuan itu.

“Nyi,” bertanya Nyi Citra Jati, “apakah maksudmu orang yang bernama Kuda Sembada itu menyenangi perempuan cantik?”

“Ya.”

“Jika demikian, jangan anakku, Nyi. Anakku sudah bersuami. Suaminya akan menjadi sangat sedih, jika kau bawa anakku kepada orang yang bernama Ki Kuda Sembada.”

“Jangan takut, Nyi. Anak perempuanmu akan segera dilepaskan. Selambat-lambatnya esok malam. Anakmu akan mendapat uang banyak. Tetapi kau harus menungguinya, karena kau akan dapat bercerita pada suamimu dan kepada menantumu. Mereka akan dapat mendatangkan keonaran. Namun jika hal itu terjadi, maka umur mereka pun tidak akan sampai esok malam.”

“Nyi, tetapi aku tidak mau,” berkata Wara Sasi.

“Jangan bodoh. Hanya sampai esok malam. Kau akan dapat membeli perhiasan apa saja yang kau inginkan. Kalung emas bermata berlian? Subang sebesar pemukul gender? Gelang emas permata? Pokoknya apa saja yang kau inginkan.”

“Aku tidak inginkan apa-apa, Nyi. Aku ingin pulang kepada suamiku. Aku mohon, Nyi.”

“Jangan cengeng. Jika kau menangis hingga menarik perhatian orang, maka kau akan kami lecut seperti kerbau.”

“Tetapi kami akan dibawa kemana?”

“Ikut saja kami.”

Perempuan yang berjalan di sebelah Rara Wulan telah memegang lengannya dan mengajaknya berjalan lebih cepat. Sekilas Rara Wulan dan Nyi Citra Jati melihat anak muda yang bertugas di penginapan semalam. Bukan anak muda yang akan bercerita tentang Ki Saba Lintang.

“Mudah-mudahan ia berbicara kepada kawannya itu,” berkata Nyi Citra Jati di dalam hatinya.

Nyi Citra Jati dan Rara Wulan harus mengikut kemana kedua orang perempuan itu membawanya. Ketika Rara Wulan bertanya, “Apakah kami harus ikut ke penginapan kalian?”

“Diam kau! Kemanapun kalian kami bawa, kalian tidak akan dapat mengelak.”

Dengan nada cemas Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Nyi, aku akan ikut bersama kalian. Tetapi berjanjilah bahwa kami tidak akan kau sakiti. Anakku tidak akan diperlakukan tidak baik dan tetap dihormati.”

Tetapi jawab perempuan yang berjalan di sebelah Nyi Citra Jati menjawab dengan kasar, “Jangan banyak bicara. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau tidak dapat mengusulkan apa-apa. Kami akan melakukan apa yang ingin kami lakukan.”

“Kau harus menghargai kebebasan orang lain.”

“Aku akan mengoyak mulutmu nanti, jika kau masih bicara terus.”

Nyi Citra Jati terdiam. Namun dengan demikian Rara Wulan pun tanggap. Agaknya Nyi Citra Jati sengaja membiarkan dirinya ikut bersama kedua orang perempuan itu.

Dengan demikian, Rara Wulan pun harus menyesuaikan dirinya. Namun Rara Wulan pun menyadari, bahwa yang mereka lakukan itu sangat berbahaya. Mereka akan dibawa masuk ke kandang singa yang mungkin kelaparan dan menjadi buas serta liar.

Tetapi Rara Wulan meyakini kemampuan Nyi Citra Jati, sehingga karena itu maka iapun berdiam diri saja.

Perempuan yang berjalan di sebelah Rara Wulan masih memegangi lengannya dan mendorongnya berjalan mengikuti arah yang dikehendakinya.

Beberapa saat mereka menyusuri jalan ramai di Wirasari. Namun kemudian mereka pun berbelok mengikuti jalan yang lebih kecil, masuk ke dalam lingkungan padukuhan. Namun agaknya padukuhan yang terletak di lingkungan yang ramai itu pun nampak lebih baik dari padukuhan-padukuhan kebanyakan. Jalannya nampak lebar. Dinding halaman pun nampak lebih tertata rapi. Demikian pula regolnya. Halaman depan rumah di sebelah-menyebelah jalan itu pun nampak rapi pula.

Di depan regol sebuah rumah yang berhalaman luas, mereka berhenti. Perempuan yang memegangi lengan Rara Wulan itu menariknya memasuki regol halaman rumah yang luas itu.

Rara Wulan memang mencoba untuk meronta. Tetapi tangan perempuan itu terasa mencekam lengannya. Dengan geram perempuan itu berkata, “Sudah aku peringatkan, jangan berbuat aneh-aneh. Nasibmu akan menjadi semakin buruk. Jika seharusnya kau akan menjadi santapan seorang raja, maka kau akan dilemparkan kepada budak-budaknya yang kotor, kumal dan berpenyakitan.”

Rara Wulan tidak melawan lagi. Perempuan yang memegangi lenganya itu pun menyeretnya memasuki regol halaman rumah yang luas itu. Sedangkan perempuan yang satu lagi telah mendorong Nyi Citra Jati untuk memasuki regol itu pula.

Demikian mereka hilang dari jalan padukuhan itu, maka seorang anak muda yang mengawasi mereka dengan tergesa meninggalkan tempatnya bersembuyi. Sebuah pohon yang besar, yang banyak tumbuh di sepanjang jalan. Terutama pohon gayam.

Ketika anak muda itu sampai di penginapan tempatnya bekerja, meskipun ia tidak sedang bertugas, maka diceritakannya apa yang dilihatnya kepada kawan-kawannya.

“Mereka adalah orang-orang yang menginap di penginapan ini.”

Seorang petugas yang sudah lebih tua berkata, “Kita hanya melindungi mereka jika terjadi sesuatu di penginapan ini.”

“Meskipun yang terjadi itu di luar penginapan, tetapi tentu akan menyangkut nama baik penginapan kita. Dalam persaingan seperti sekarang ini di antara penginapan yang ada, kita harus memberikan pelayanan dan kenyamanan yang sebaik-baiknya.”

“Apakah kita harus mencari mereka? Aku kira, tugas kita tidak akan sampai sedemikian jauhnya. Apalagi jika orang yang membawanya adalah orang yang dilindungi oleh orang-orang berilmu tinggi.”

“Kedua orang perempuan itu tentu perempuan yang marah karena kedatangan mereka di penginapan ini sudah didahului oleh keluarga kedua orang perempuan yang diculiknya itu.”

“Apakah mereka kemarin juga datang kemari?”

“Ada dua orang perempuan dan empat orang laki-laki,” jawab anak muda yang menerima kedatangan Ki Citra Jati.

Namun temannya pun berkata, “Tetapi kau yakin, bahwa kedua orang perempuan yang menginap di sini itu ikut karena terpaksa?”

“Ya. Aku melihat gelagat itu. Aku melihat salah seorang perempuan itu mencengkam lengan perempuan muda yang menginap di sini, sedangkan yang lain mendorong perempuan yang lebih tua.”

“Tentu usaha penculikan. Agaknya mereka datang ke Wirasari dengan niat buruk.”

“Apa yang harus kita lakukan?’ bertanya yang lebih tua.

“Kita memang tidak dapat berbuat lebih jauh di luar penginapan ini. Tetapi setidak-tidaknya kita dapat memberitahukan kepada suami perempuan yang lebih tua itu serta anak laki-lakinya.”

“Jika kedua orang perempuan yang menculiknya mendapat perlindungan orang-orang berilmu tinggi?”

“Kita tidak dapat berbuat lebih banyak. Kita hanya dapat menganjurkan agar mereka melaporkannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya.”

“Apakah Ki Demang akan bertindak?”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata, “Aku juga tidak tahu, apakah Ki Demang akan bertindak. Bahkan aku tidak tahu, persoalan yang manakah yang dianggap penting untuk ditangani dan yang mana yang tidak.”

Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun orang yang lebih tua itu pun berkata, “Pokoknya kita memberitahukan kepada kelurganya. Dengan demikian kita sudah berusaha membantu mereka. Kau telah melakukan lebih banyak dari yang seharusnya kau lakukan, dengan mengikuti mereka dan mengetahui kemana kedua orang perempuan itu dibawa.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun ia kemudian berdesis, “Tetapi kemana keluarganya itu pergi?”

“Mereka memang pergi ke arah yang berbeda. Kedua orang perempuan itu pergi ke pasar, sedang ke dua orang laki-laki itu pergi ke arah lain.”

“Mudah-mudahan keluarganya itu segera kembali.”

Demikianlah, para petugas itu kembali ke tempat mereka masing-masing. Namun anak muda yang akan bercerita itu masih saja gelisah. Jika keluarga kedua perempuan yang diculik itu terlalu lama pergi, maka mungkin sekali mereka terlambat. Mungkin kedua orang perempuan itu telah dibawa ke tempat lain pula.

Namun beberapa saat kemudian, Ki Citra Jati dan Glagah Putih pun telah kembali ke penginapan. Namun mereka temui pondok kecil yang mereka sewa itu masih kosong. Anak muda yang berjanji untuk bercerita itu segera menemui mereka.

“Ada apa?” bertanya Ki Citra Jati, ketika ia melihat wajah anak itu menjadi tegang.

Anak muda itu pun segera menceritakan apa yang telah terjadi dengan keluarga mereka. Kedua orang perempuan yang datang bersama mereka.

“Jadi istri dan anak perempuanku telah diculik?”

“Menurut penglihatan kawanku memang demikian. Bukankah tidak ada keluarga Paman yang tinggal di sini? Menurut dugaanku, kedua orang perempuan yang membawa Bibi dan anak perempuan Paman itu tentu kedua orang perempuan yang marah itu. Tetapi mungkin persoalannya bukan sekedar marah karena penginapan ini. Kemarahan mereka hanyalah sekedar pemicu untuk langkah-langkah berikutnya yang lebih buruk lagi.”

“Tunjukkan, istri dan anakku itu dibawa kemana.”

Anak muda itu pun segera memberi ancar-ancar sebagaimana dikatakan kawannya yang tidak sedang bertugas. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi hati-hatilah, Paman. Jika mereka berada di lingkungan orang berilmu tinggi.”

“Ya. Karena itu, aku ingin melaporkannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya, yang nampaknya memiliki wibawa yang tinggi di daerah ini.”

“Mudah-mudahan Ki Demang mempedulikan laporan Paman.”

“Jika bukan Ki Demang atau Ki Jagabaya, lalu siapa lagi yang akan memberikan perlindungan di daerah ini?”

“Ya. Seharusnya memang demikian.”

“Baiklah. Sekarang aku akan pergi menemui Ki Demang atau Ki Jagabaya.”

Anak muda itu pun telah memberikan ancar-ancar pula di mana rumah Ki Demang Wirasari.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Demang, maka Ki Demang sedang duduk di pringgitan rumahnya beserta dua orang bebahu. Tetapi Ki Jagabaya tidak ada di antara mereka.

“Marilah, Ki Sanak,” Ki Demang pun mempersilahkan.

Ki Citra Jati dan Glagah Putih pun segera naik dan duduk pula di pringgitan.

“Maaf, siapakah Ki Sanak berdua?”

Ki Citra Jati pun memperkenalkan diri dan memperkenalkan pula anaknya laki-lakinya, Warigalit.

Ki Demang dan para bebahu itu mengangguk-angguk. Dengan kerut di keningnya Ki Demang pun bertanya, “Apakah Ki Sanak mempunyai keperluan?”

“Ya, Ki Demang. Kami ingin memberikan laporan.”

“Laporan tentang apa?”

Ki Citra Jati pun kemudian menceritakan bahwa istrinya dan anak perempuannya telah diculik orang.

“Kau yakin?”

“Ya, Ki Demang. Ada saksi yang dapat menjelaskan peristiwa ini.”

“Ada saksi?”

“Ya, Ki Demang. Saksi itu akan dapat menunjukkan, kemana istri dan anak perempuanku itu dibawa.”

“Kapan terjadinya?”

“Isteri dan anakku pergi ke pasar untuk melihat-lihat. Mereka pulang kira-kira pada wayah pasar temawon.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan menyelidikinya. Tetapi sayang sekali, kau terlalu lambat melapor, sehingga mungkin istri dan anakmu itu sudah dibawa pergi.”

“Bagaimana jika kita sekarang melihat ke rumah itu? Mungkin mereka masih ada di sana.”

“Aku menunggu Ki Jagabaya. Nanti aku dan Ki Jagabaya akan pergi ke rumah itu.”

“Bukankan itu berarti bahwa kita akan menjadi semakin terlambat?”

“Tetapi aku harus menunggu Ki Jagabaya. Jika kau tadi datang sebelum Ki Jagabaya pergi, mungkin kami akan dapat menangani persoalanmu lebih dahulu.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Demang. Istri dan anak perempuanku itu berada dalam keadaan yang gawat. Bukankah sebaiknya kita pergi ke rumah tempat istri dan anakku disembunyikan? Mungkin mereka sekarang masih ada di sana.”

“Ki Sanak. Pekerjaanku itu tidak hanya melayani kau dan keluargamu. Ki Jagabaya juga sedang menangani persoalan yang penting. Karena itu, seperti yang aku katakan, jika kau tadi datang lebih dahulu, mungkin persoalanmu yang ditanganinya lebih dahulu.”

“Sekarang, bagaimana dengan Ki Demang?”

“Aku? Maksudmu, aku sendiri terjun untuk mencari istri dan anakmu?”

“Apakah bukan seharusnya demikian?”

“Tugasku tidak hanya menangani persoalan-persoalan yang menyangkut keselamatan, ketenangan dan ketentraman hidup orang se-kademangan. Tetapi aku juga mengurusi bendungan. Jika air tidak sampai ke tanaman padi yang sedang bunting di bulak sebelah selatan, maka akan timbul bencana di dua padukuhan. Nah, sekarang aku sedang berbicara tentang parit yang pecah tanggulnya. Selain kesejahteraan, aku juga harus menangani semua sisi kehidupan di kademangan ini.”

“Tetapi ini masalah nyawa dua orang perempuan, Ki Demang,” berkata Ki Citra Jati.

“Parit itu menyangkut nyawa orang dua padukuhan. Yang ditangani Ki Jagabaya sekarang juga menyangkut nyawa sebuah keluarga, yang rumahnya dikepung oleh beberapa orang yang berusaha untuk menumpas keluarga itu. Orang banyak menuduh laki-laki dan perempuan yang tinggal di rumah itu sering memasang tenung untuk membunuh orang lain. Mereka menerima upah untuk melakukan pembunuhan itu. Tetapi ini baru tuduhan. Nah, Ki Jagabaya ada di sana sekarang untuk menyelamatkan keluarga itu.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

“Nah, bandingkan persoalanmu dengan persoalan yang sekarang ditangani Ki Jagabaya. Jika kau sabar menunggu, kau tunggu Ki Jagabaya di sini. Jika tidak, kau dapat melakukan sendiri untuk menyelamatkan istri dan anakmu itu.”

Ki Citra Jati termenung sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Demang. Pada dasarnya aku menunggu Ki Jagabaya. Tetapi rasa-rasanya hatiku tidak dapat tenang tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, biarlah aku mencoba mengawasi rumah itu. Nanti aku akan kembali menghubungi Ki Demang dan Ki Jagabaya di sini.”

“Terserah kepadamu. Tetapi jika ada persoalan lain yang harus ditangani oleh Ki Jagabaya, sementara kau belum datang, maka persoalanmu akan tertunda lagi.”

“Aku hanya sebentar, Ki Demang,” jawab Ki Citra Jati.

Ki Citra Jati dan Glagah Putih pun kemudian minta diri. Demikian mereka keluar dari rumah Ki Demang, Ki Citra Jati pun berkata, “Aku sudah mengira bahwa penanganannya tentu lamban. Mungkin sore nanti Ki Jagabaya baru selesai.”

Tetapi langkah mereka terhenti. Beberapa langkah dari regol, mereka mendengar seseorang bertepuk tangan. Ternyata salah seorang bebahu yang tadinya duduk bersama Ki Demang.

Ki Citra Jati dan Glagah Putih pun berhenti menunggu bebahu yang menyusul mereka dengan tergesa-gesa.

“Ki Sanak,” berkata bebahu itu, “Ki Demang memberikan jalan yang barangkali dapat kau tempuh.”

“Maksud Ki Demang?”

“Ada sekelompok orang yang mungkin dapat membantu Ki Sanak, tanpa menunggu Ki Jagabaya.”

“Jadi? Apakah aku harus menghubungi mereka?” bertanya Ki Citra Jati dengan nada tinggi.

“Tetapi karena mereka bukan bebahu kademangan, maka Ki Sanak diminta untuk mengerti, bahwa mereka perlu mendapat imbalan sekedarnya.”

Ki Citra Jati menarik nafas panjang.. Namun kemudian iapun berkata dalam nada rendah, “Sayang sekali, Ki Sanak. Kami tidak mempunyai uang.”

“Jangan terlalu berhemat. Kau menginap di penginapan yang terhitung sewanya mahal. Bukankah itu berarti bahwa kau mempunyai uang?”

“Sudah aku perhitungkan. Uangku yang ada, sewa penginapan, makan dan keperluan lain-lain. Uangku tidak tersisa.”

“Kau dapat pindah ke penginapan yang lebih murah.”

“Jika saja aku tidak bersama dua orang perempuan, aku merasa dapat menginap dimana saja. Tetapi aku harus menghormati martabat istri dan anakku perempuan.”

“Terserah saja kepadamu. Jika yang martabatnya kau hormati itu tidak kembali kepadamu? Buat apa kau menyewa penginapan mahal?”

“Ki Sanak, aku akan menunggu Ki Jagabaya saja.”

“Terserah kepadamu. Aku hanya memberikan satu kemungkinan untuk menyelamatkan istri dan anak perempuan itu.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Aku percaya bahwa Ki Jagabaya akan dapat menanganinya. Rumah yang mereka gunakan untuk menyembuyikan istri dan anakku itu jelas letaknya.”

“Tetapi jangan menyesal dan menyalahkan kami jika kau terlambat menyelamatkan istri dan anak-anakmu.”

“Mudah-mudahan tidak terlambat, Ki Sanak.”

Bebahu itu memandang Ki Citra Jati dengan tajamnya. Dengan nada tinggi iapun berkata, “Terserah kepadamu. Aku sudah memberikan jalan terbaik kepadamu. Tetapi agaknya kau lebih sayang kepada uangmu daripada kepada istri dan anakmu.”

“Bukan begitu Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak punya uang lagi. Harapanku tertumpah kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang.”

Tanpa berbicara sepatah kata lagi, bebahu itu pun segera masuk kembali ke pintu regol halaman rumah Ki Demang.

Ki Citra Jati dan Glagah Putih pun kemudian dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah yang disebut oleh anak muda petugas di penginapan itu.

“Ibumu dan istrimu akan dapat mengatasi keadaan,” berkata Ki Citra Jati.

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih.

“Aku hanya ingin tahu sikap Ki Demang dan para bebahu Wirasari. Mereka memang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak yakin bahwa mereka benar-benar mengabdi kepada kademangan yang ramai ini. Bahkan melindungi orang-orang yang sedang berada di Wirasari ini, siapapun mereka.”

“Mereka ternyata sangat mengecewakan, Ayah.”

“Mereka lebih mengedepankan kepentingan pribadi dari pada pengabdian mereka.”

“Wirasari dapat membuat mereka menjadi kaya.”

“Mereka justru memeras orang-orang yang dalam kesulitan. Terutama orang yang dianggap asing. Bukan penghuni Kademangan Wirasari.”

“Ya. Agaknya selama ini mereka memang berhasil.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah. Yang penting, kita temukan ibumu dan istrimu.”

Kedua orang itu pun kemudian telah menyusuri jalan sebagaimana disebut oleh petugas di penginapan itu. Mereka berbelok melewati sebuah jalan yang melintas di tengah-tengah sebuah padukuhan. Namun padukuhan yang terletak di sebuah kademangan yang ramai itu, nampaknya dihuni oleh orang-orang yang berkecukupan pula. Agaknya mereka mendapat keuntungan dari keramaian pada kademangan mereka.

“Menurut anak muda itu, kita sudah berada dekat dengan regol halaman rumah tempat ibumu dan istrimu disembunyikan.”

“Ya, Ayah.”

“Anak itu bersembunyi di belakang pohon gayam ini, yang ciri-cirinya sebagaimana dikatakannya. Dekat tikungan, sebuah batu hitam yang besar berada di bawahnya. Pohonnya agak condong ke jalan.”

“Ya, Ayah.”

“Nah, sekarang tinggal mengetahui, apakah ibumu dan istrimu masih ada di rumah itu.”

“Bagaimana kita mengetahuinya?”

“Bukankah aku seorang yang pandai bermain rinding?”

“Mungkin Ibu mendengarnya dan mengetahui bahwa Ayah ada di sini. Tetapi bagaimana kita tahu bahwa Ibu masih ada di rumah itu?”

“Jika saja ibumu mempunyai kesempatan membunyikan rindingnya.”

“Ibu juga dapat bermain rinding?”

“Ya. Ibumu juga pandai bermain rinding. Tetapi ia tidak begitu suka melakukannya. Tetapi dalam keadaan yang gawat, ia akan bermain sebuah lagu yang ngelangut.”

“Dimana kita akan bermain? Di sini? Bagaimana jika orang-orang yang berada di rumah itu melihat kita?”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita duduk di atas batu hitam itu ,di belakang pohon itu. Kita bermain wajar, sebagaimana orang kebanyakan bermain rinding.”

“Tetapi apakah Ibu dapat mendengarnya?”

“Kita beri tenaga sedikit saja, agar tidak menarik perhatian orang lain. Bahkan mungkin orang berilmu tinggi di rumah itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Citra Jati pun duduk di atas batu hitam yang besar itu, membelakangi jalan. Sementara Glagah Putih berdiri bersandar pohon gayam yang besar itu di arah belakang.

Sejenak kemudian terdengar suara rinding yang dibunyikan oleh Ki Citra Jati. Tetapi untuk mencapai jarak pendengaran sampai ke rumah di seberang jalan, maka Ki Citra Jati telah mempergunakan tenaga dalamnya untuk mendorong getar suara rindingnya. Tetapi hanya sebentar saja, sedangkan seterusnya bunyi rindingnya tidak ubahnya dengan suara rinding yang dibunyikan oleh orang-orang kebanyakan.

Ternyata cara itu membawa hasil. Getar yang untuk sesaat didorong oleh tenaga dalam itu, telah sampai ke telinga Nyi Citra Jati dan Glagah Putih.

“Ayahmu ada di sekitar tempat ini, Sasi,” desis Nyi Citra Jati.

“Ya, Ibu. Tetapi sentuhan suaranya itu tentu terasa pula oleh orang-orang yang berada di ruang dalam.”

“Hanya sesaat yang pendek. Mungkin terasa. Tetapi karena kemudian tidak lagi, mereka tentu tidak menghiraukannya.”

“Apalagi dorongan itu lemah sekali, Ibu,” desis Rara Wulan.

“Ya.”

“Sekarang, bagaimana kita menjawabnya?”

Sambil mengangguk-angguk Nyi Citra Jati itu pun menjawab, “Ya. Aku kira kita perlu memberitahukan bahwa kita masih berada di sini.”

“Tetapi bagaimana Ayah tahu bahwa kita ada di sini?”

“Tentu anak muda petugas di penginapan itu. Agaknya anak muda itu sempat mengikuti kita dan melihat kita dibawa masuk ke tempat ini.”

“Ya. Agaknya para petugas di penginapan itu benar-benar bertanggung jawab terhadap orang-orang yang menginap. Tentu saja sejauh kemampuan mereka.”

“Sasi,” berkata Nyi Citra Jati, “Aku juga akan membunyikan rinding sebagaimana ayahmu. Karena jarak kita dengan orang-orang yang berada di ruang dalam itu terlalu dekat, mungkin mereka merasakan getar yang berbeda dari suara rinding itu, sehingga mereka akan segera mengambil tindakan. Tetapi dalam keadaan yang gawat, kita akan membela diri.”

“Ya, Ibu.”

“Jika kita berada di sini, sebenarnya kita ingin tahu jalur yang terkait pada orang-orang ini.”

“Ibu juga akan membunyikan rinding?”

“Ya. aku juga dapat bermain rinding seperti ayahmu. Tetapi aku tidak terlalu sering melakukannya.”

“Justru terbalik.”

“Apa yang terbalik?”

“Biasanya perempuan yang senang bermain rinding.”

Nyi Citra Jati tertawa tertahan.

Tetapi sebelum Nyi Citra Jati mengambil rinding yang disimpannya di bawah stagennya, maka pintu bilik itu pun terbuka.

Nyi Citra Jati dan Rara Wulan terkejut, sehingga mereka pun bergeser menjauhi pintu.

Dua orang perempuan yang membawa Nyi Citra Jati dan Rara Wulan ke rumah itu, memasuki ruangan itu lebih dahulu. Kemudian seorang laki-laki yang mengenakan pakaian yang baik dan rapi dan terbuat dari bahan yang mahal. Di belakang, di luar pintu, beberapa orang laki-laki berdiri termangu-mangu.

Nyi Citra Jati dan Rara Wulan sempat memandangi wajah orang yang berpakaian rapi itu. Wajahnya nampak bersih dan terhitung tampan.

Sambil tersenyum iapun bertanya kepada salah seorang perempuan itu, “Inikah perempuan yang Bibi maksudkan?”

“Ya, Ngger. Perempuan ini sangat merindukan Angger. Ia datang dari jauh bersama ibunya.”

“Bukankah Bibi menjemputnya ke Grobogan?”

“Ya.”

“Bibi agaknya terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa anak itu sangat merindukan aku. Bagaimana ia dapat merindukanku jika ia belum pernah melihatku?”

“Memang belum, Ngger. Tetapi ia pernah mendengar nama Angger Raden Kuda Sembada. Agaknya perempuan itu telah membayangkan ujud dan sikap Angger Kuda Sembada, sehingga setiap saat ia selalu bertanya, kapan ia dapat bertemu dengan Raden Kuda Sembada, sehingga keinginan itu dibawanya ke dalam tidurnya. Beberapa kali ia bermimpi bertemu dengan Raden Kuda Sembada.”

Raden Kuda Sembada itu tersenyum. Tiba-tiba saja ia bertanya kepada Rara Wulan, “Benarkah kata Bibi itu?”

Jawab Rara Wulan memang mengejutkan. Katanya, “Bohong, perempuan itu menculik aku dari pasar Wirasari.”

Tiba-tiba saja tangan perempuan itu menampar mulut Rara Wulan, sehingga Rara Wulan itu terdiam.

Namun kemudian perempuan itu tersenyum sambil melangkah semakin mendekati Rara Wulan sehingga tubuhnya hampir melekat, “Jangan malu mengakuinya, anak manis. Tidak apa-apa. Sebaiknya kau tidak munafik. Jika kau ingin berhubungan dengan Raden Kuda Sembada, maka sekarang adalah saatnya.” Namun perempuan itu kemudian menggeram perlahan, “Aku bunuh kau.”

Rara Wulan tidak menjawab. Mulutnya justru terkatup rapat.

“Katakan yang sebenarnya. Kau tidak usah malu. Raden Kuda Sembada adalah orang yang baik.”

“Tidak. Aku tidak mau,” Rara Wulan hampir berteriak.

Sekali lagi tangan perempuan itu menamparnya. Namun Raden Kuda Sembada kemudian mencegahnya, “Tidak usah, Bibi. Bibi tidak usah menyakitinya. Aku senang kepada perempuan yang berani seperti perempuan itu. Aku justru muak menghadapi perempuan yang ketakutan dan membiarkan dirinya terbenam dalam lumpur tanpa perlawanan.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah Raden berkata sebenarnya?”

“Ya. Aku senang menangkap kuda liar daripada kuda di kandang.”

“Jika demikian, terserah saja kepada Raden.”

“Baik, Bibi. Aku senang kepada perempuan itu. Nampaknya ia cukup gigih dan berani. Bawa perempuan itu ke Kepuh. Sebelum senja, perempuan itu harus sudah berada di sana.”

“Baik, Raden. Tetapi bukankah kita dapat berbicara sebentar tentang masalah kami?”

Raden Kuda Sembada tertawa. Katanya, “Jangan sekarang. Nanti malam kita berbicara di Kepuh. Atau barangkali lebih baik esok pagi. Jangan ganggu aku sampai malam nanti. Aku akan menangani kuda.”

Kedua orang perempuan itu tidak berani mendesak. Seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah, Raden. Tetapi keikutsertaan kami dalam Perguruan Kedung Jati merupakan tujuan akhir dari segala laku yang kami jalani sekarang ini.”

“Baik, baik. Tetapi kau jangan menganggap bahwa setelah kalian berada di dalam lingkungan perguruan yang akan menebar dan akhirnya berkuasa di Tanah ini, kalian akan langsung sampai ke batas mimpi-mimpi kalian. Kalian justru harus bekerja keras dan barangkali bertaruh segala-galanya.”

“Kami tahu itu, Raden.”

“Baiklah. Besok kita akan berbicara lagi. Dua tiga hari mendatang, aku akan pergi. Jika perjalananku beruntung, aku akan bertemu dengan Ki Saba Lintang.”

“Raden akan kemana?”

Raden Kuda Sembada itu tertawa. Katanya, “Pertanyaan yang bodoh.”

Kedua orang perempuan itu tersipu. Terasa wajah mereka menjadi panas.

“Nah,” berkata Raden Kuda Sembada, “aku akan pergi. Bawa Perempuan itu ke Kepuh. Jangan lupa. Aku senang melihat sikapnya. Aku yakin, ia akan memberikan perlawanan.”

Kedua orang perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara Raden Kuda Sembada tertawa. Selangkah ia maju mendekati Rara Wulan. Tetapi ketika tangannya terjulur, Rara Wulan menepisnya.

Suara tertawanya berkepanjangan. Namun Raden Kuda Sembada itu pun kemudian beranjak dari tempatnya sambil berkata, “Sampai sore nanti di Kepuh. Jika kalian sulit mengusai kedua perempuan itu dalam perjalanannya, bawa saja pakai pedati. Ikat tangan dan kakinya dengan tiang-tiang pedati itu.”

Raden Kuda Sembada tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah keluar pintu. Beberapa orang laki-laki di luar pintu itu pun menyibak. Namun mereka pun kemudian mengikutinya.

Dalam pada itu, di bawah pohon gayam, Ki Citra Jati dan Glagah Putih masih menunggu. Semakin lama mereka pun menjadi semakin gelisah. Mereka mulai mengira bahwa Nyi Citra Jati dan Rara Wulan telah dibawa pergi oleh orang-orang yang menculiknya.

“Mereka dapat menolak,” desis Glagah Putih.

“Ya. Tetapi ibumu itu selalu ingin tahu. Jika saja ibumu dan istrimu benar-benar terjerumus ke dalam sarang orang-orang berilmu tinggi, maka mereka akan mengalami kesulitan.”

Namun keduanya segera berlindung di balik pohon gayam itu ketika beberapa ekor kuda dan penunggangnya keluar dari regol halaman rumah yang sedang mereka awasi itu. Ki Citra Jati dan Glagah Putih menyaksikan beberapa orang berkuda melarikan kuda mereka. Sementara itu, dua orang laki-laki berdiri di depan pintu regol halaman itu. Sejenak kemudian, maka kedua orang laki-laki itu pun telah hilang lagi di balik regol.

“Dua orang itu adalah dua orang di antara ampat orang laki-laki yang berada di kedai bersama-sama dengan kedua orang perempuan itu,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Aku kira ibu dan istrimu masih berada di rumah itu.”

“Kita akan menunggu.”

Ki Citra Jati pun kemudian kembali duduk di atas batu di bawah pohon gayam itu. Dua orang yang lewat di jalan itu sama sekali tidak menghiraukan mereka yang berada di bawah pohon gayam itu, sebagaimana orang-orang lain yang lewat di jalan itu pula.

Sementara itu, perempuan yang membawa Rara Wulan dan Nyi Citra Jati agaknya masih terbakar oleh kemarahannya. Sambil memegangi leher Rara Wulan, salah seorang di antara kedua orang perempuan itu berkata, “Untunglah Raden Kuda Sembada menyelamatkan nyawamu. Ia lebih senang mendapatkan seorang perempuan yang liar daripada seorang penurut. Kalau saja ia menjadi kecewa karena perbuatanmu, maka kau akan aku lempar ke kandang serigala yang kelaparan. Kau akan menyesali dirimu untuk waktu yang panjang, sehingga serigala-serigala itu membunuhmu kelak.”

Rara Wulan tidak menjawab.

“Nah, lakukan apa yang ingin kau lakukan. Itu akan menyenangkan Raden Kuda Sembada. Sebentar lagi, kau akan kami bawa dengan pedati ke Kepuh. Tidak begitu jauh, tetapi agaknya memang lebih aman membawamu dengan pedati daripada berjalan kaki. Kau akan diikat pada tiang-tiang pedati sepanjang perjalananmu.”

Rara Wulan masih tetap berdiam diri. Perempuan itu pun kemudian melepaskan Rara Wulan sambil mendorongnya. Namun Nyi Citra Jati sempat menahannya.

Kedua orang perempuan itu pun kemudian melangkah keluar, menutup pintu dan menyelaraknya dari luar.

“Sebenarnya aku ingin merontokkan giginya,” berkata Rara Wulan. “Ia menyakiti aku. Dua kali ia menampar pipiku.”

“Bersabarlah,” berkata Nyi Citra Jati.

“Apakah kita akan ikut sampai ke Kepuh?”

Nyi Citra Jati termangu mangu sejenak. Katanya kemudian, “Biarlah aku membunyikan rinding untuk menjawab isyarat ayahmu.”

Ketika Nyi Citra Jati mengambil rindingnya dari bawah stagennya, maka sekali lagi Nyi Citra Jati dan Rara Wulan mendengar sekilas suara rinding, yang tentu dibunyikan pula oleh Ki Citra Jati atau oleh Glagah Putih.

Sejenak kemudian, maka Nyi Citra Jati pun telah membunyikan rindingnya. Lewat lubang-lubang pada dinding bambu, suara rinding Nyi Citra Jati itu memancar keluar. Sekilas, Nyi Citra Jati melepaskan getar suara rindingnya dengan dorongan tenaga dalamnya. Namun kemudian, suara rinding itu pun kembali dalam getar wajarnya

Agaknya suara rinding Nyi Citra Jati itu pun didengar oleh kedua orang perempuan yang membawa mereka masuk ke dalam bilik itu. Untunglah bahwa getar yang menajam sekilas itu tidak mereka perhatikan. Ketika jantung mereka berdesir, hanya sesaat, mereka tidak segera menghubungkan desir di jantung mereka itu dengan suara rinding itu.

Salah seorang laki-laki yang ada di rumah itu pun bertanya, “Kalian dengar suara rinding itu?”

“Ya.”

“Berasal dari bilik kedua orang perempuan yang harus dibawa ke Kepuh itu?”

“Ya.”

“Kenapa tidak kalian hentikan? Mungkin mereka sengaja memberi isyarat kepada keluarganya.”

“Suara rinding itu tidak akan terdengar dari jalan. Kau dengar, bahwa suaranya hanya perlahan saja?”

“Meskipun demikian, hentikan suara itu.”

Kedua orang perempuan itu pun segera bangkit. Seorang di antara mereka telah membuka selarak pintu bilik itu. Nyi Citra Jati pun menghentikan permainan rindingnya.

“Jika kau bunyikan lagi rindingmu, maka aku akan memukulmu dengan selarak pintu ini,” geram perempuan yang memegangi selarak pintu itu.

Nyi Citra Jati tidak menjawab. Tetapi ia memang menyimpan rindingnya di bawah stagennya.

Ketika keduanya keluar dari bilik itu, serta selarak pintunya sudah dipasang lagi, maka Nyi Citra Jati pun berkata, “Nampaknya mereka tidak mendengar ketika Ki Citra Jati atau Glagah Putih membunyikan rindingnya.”

“Suara yang dapat mencapai tempat ini hanya sekilas pendek, Ibu. Agaknya mereka tidak memperhatikannya.”

Nyi Citra Jati menarik nafas panjang.

Sebenarnyalah isyarat pendek itu dapat ditangkap oleh Ki Citra Jati dan Glagah Putih. Hampir berbareng mereka pun berkata, “Mereka masih berada di rumah itu.”

Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Bukankah kita akan menunggu kesempatan untuk menemui mereka?”

“Ya. Kita menunggu kesempatan. Biarlah kita di sini untuk sementara.”

Dalam pada itu, mereka yang berada di rumah itu pun telah bersiap-siap untuk membawa Rara Wulan dan Nyi Citra Jati ke Kepuh, sebagaimana dikatakan oleh Raden Kuda Sembada. Dua orang laki-laki telah menyiapkan sebuah pedati. Mereka akan merasa lebih aman untuk membawa Rara Wulan dengan pedati, karena mereka dapat mengikat Rara Wulan dengan tiang-tiang pedati.

Namun agaknya Rara Wulan dan Nyi Citra Jati telah sepakat untuk tidak bersedia di bawa ke Kepuh. Meskipun Nyi Citra Jati ingin tahu siapa saja yang berada di Kepuh, namun mereka pun memperhitungkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.

“Mungkin ada sekelompok orang-orang berilmu tinggi di Kepuh,” berkata Nyi Citra Jati, “sehingga kita akan mendapat kesulitan untuk mengatasinya. Meskipun barangkali ayahmu dan suamimu akan mengikuti pedati yang akan membawa kita ke Kepuh, tetapi persoalannya memang tidak terlalu sederhana.”

“Ya, Ibu,” jawab Rara Wulan.

“Sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang ada di Kepuh itu. Tetapi aku tidak boleh sekedar mengikuti keinginan tanpa pertimbangan-pertimbangan nalar.”

“Aku sependapat, Ibu. Kita melepaskan diri di sini saja.”

“Ya. Jika kita mengalami kesulitan, di sini ada ayah dan suamimu. Mereka akan dapat membantu kita. Kita tidak tahu, siapa saja yang berada di rumah ini. Tentu tidak hanya kedua orang perempuan itu. Ada beberapa orang laki-laki. Ada yang pernah kita lihat, tetapi ada yang belum.”

Keduanya pun kemudian tinggal menunggu. Namun rasa-rasanya waktu pun berjalan sangat lamban.

Ketika pedati sudah siap di halaman, maka orang-orang yang berada di rumah itu pun sudah siap pula untuk berangkat. Karena itu, maka salah seorang di antara kedua orang perempuan itu pun berkata, “Sudah waktunya. Kita siapkan segala sesuatunya. Aku akan membawa kedua orang perempuan itu. Seorang di antaranya akan diikat pada tiang pedati itu. Dalam keadaan yang memaksa, perempuan itu dapat berbuat di luar dugaan. Ia memang seorang yang berani. Tetapi untunglah bahwa Raden Kuda Sembada justru menyukainya.”

“Semua sudah siap,” jawab seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, “pedati pun sudah siap. Tali ijuk juga sudah siap.”

“Gila kau. Buat apa tali ijuk?”

“Bukankah salah seorang dari kedua orang perempuan itu akan diikat?”

“Tetapi tidak dengan tali ijuk. Tali ijuk dapat melukai kulitnya. Raden Kuda Sembada akan dapat menjadi marah kepada kita.”

Laki laki bertubuh tinggi besar itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, “Jadi, kita akan mengikatnya dengan apa?”

“Dengan selendang. Dua atau tiga lembar selendang. Atau lebih. Kedua tangannya akan kita ikat dengan tiang pedati. Mulutnya akan kita sumbat. Jangan menimbulkan kecurigaan di perjalanan.”

“Kita ikat saja tangan dan kakinya. Kita baringkan perempuan itu di dalam pedati. Kalian berdua menungguinya. Agar perempuan itu tidak berteriak-teriak, sumbat saja mulutnya dengan kain.”

Kedua orang perempuan itu pun kemudian pergi ke bilik yang tertutup rapat dan diselarak dari luar. Di dalam bilik itu Nyi Citra Jati dan Rara Wulan duduk menunggu dengan gelisah. Hampir saja mereka kehabisan kesabaran.

Namun pada saat-saat Rara Wulan berniat untuk keluar dari bilik itu dengan caranya, terdengar langkah kedua orang perempuan yang pergi ke pintu bilik itu.

“Jadi kita akan melepaskan diri di sini, Ibu?”

“Ya. Kita sudah tahu serba sedikit tentang orang yang bernama Kuda Sembada itu.”

“Jika kita beruntung, maka bukan kita yang akan menelusuri tempatnya, tetapi orang itu akan mencari kita.”

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Ya. Semakin liar seorang perempuan, akan semakin menarik hatinya.”

“Aku harus berhasil memperagakan keliaran itu.”

“Apakah ada gunanya? Di sini tidak ada Kuda Sembada.”

“Tetapi kedua orang perempuan itu dapat menceritakannya.”

“Jika kita harus bertempur sampai ke batas? Maksudku, jika ternyata keduanya jika berilmu tinggi, sehingga kita tidak mempunyai peluang selain mengakhiri perlawanan mereka dengan akibat yang paling jauh?”

“Tentu ada yang tersisa di antara mereka.”

Nyi Citra Jati menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi bukan maksud kita melakukannya.”

“Atau sebaliknya, perlawanan kita-lah yang mereka hentikan.”

Nyi Citra Jati mengangguk. Katanya, “Setidak-tidaknya kita mempunyai kemungkinan yang sama dengan mereka.”

Pembicaraan mereka pun terhenti. Kedua orang perempuan itu agaknya sudah sampai di depan pintu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian pintu bilik itu pun terbuka.

Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun bergeser menjauhi pintu. Mereka berdiri melekat dinding yang berseberangan dengan pintu yang sudah terbuka itu.

“Bersiaplah,” berkata salah seorang dari kedua orang perempuan itu.

“Untuk apa?” bertanya Rara Wulan.

“Bukankah kau dengar, bahwa kita harus pergi ke Kepuh?”

“Aku tidak mau.”

“Sikapmu itulah yang disukai Raden Kuda Sembada. Tetapi kami berdua tidak suka kepada sikapmu itu.”

“Tetapi aku tidak mau pergi ke Kepuh.”

“Di sini sekarang tidak ada Raden Kuda Sembada. Tidak ada orang yang akan membelamu jika aku memukulimu.”

“Kau tidak akan melakukannya.”

“Kenapa?”

“Jika kau sakiti aku, Raden Kuda Sembada akan menjadi sangat marah kepada kalian.”

Wajah kedua orang perempuan itu menegang. Mereka tidak mengira bahwa perempuan itu akan memberikan jawaban seperti itu.

“Bukan jawaban seorang perempuan lugu,” berkata kedua orang perempuan itu di dalam hati mereka.

Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Raden Kuda Sembada tidak melihat apa yang kami lakukan di sini.”

“Aku dapat mengatakannya.”

“Ia tidak akan percaya. Ia tahu kau perempuan liar.”

Sikap Rara Wulan benar-benar mengejutkan mereka. Tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun tertawa. Katanya, “Jangan memaksa, Nyi. Sudah aku katakan, bahwa aku dan ibuku tidak mau pergi ke Kepuh, Bukankah itu sudah cukup jelas?”

Seorang dari kedua orang perempuan itu tiba-tiba saja meloncat menerkam Rara Wulan. Perempuan itu langsung memegang rambut Rara Wulan dan menariknya. “Kau tidak dapat menolak. Ikut kami. Kau akan diikat dengan tiang-tiang pedati.”

“Jangan paksa aku!” teriak Rara Wulan.

Orang yang menarik rambut Rara Wulan itu membungkam mulurnya sambil menggeram, “Jika kau mencoba berteriak, aku cekik lehermu. Jika kau mati, aku akan mengatakan kepada Raden Kuda Sembada bahwa kau berusaha melawan. Aku masih sanggup mencari perempuan lain yang tidak seliar kau.”

“Kau menyakiti aku.”

“Aku tidak peduli. Ikut kami.”

Seorang yang lain pun segera menggapai tangan Nyi Citra Jati dan menariknya ke arah pintu bilik itu yang masih terbuka.

“Jangan,” berkata Nyi Citra Jati, “jangan bawa aku ke Kepuh. Jangan pula bawa anakku.”

Keduanya tidak peduli. Seorang menarik tangan Nyi Citra Jati, Yang lain menarik rambut Rara Wulan.

Demikian Nyi Citra Jati diseret keluar dari bilik itu, iapun berkata kepada Rara Wulan, “Ikut saja, Nduk. Sampai ke halaman.”

Perempuan yang menyeretnya itu justru berhenti. Dengan kasar perempuan itu bertanya, “Apa maksudmu, he?”

“Aku ingin memberitahu kepada anak perempuanku agar ia tidak bertahan. la akan kesakitan, karena rambutnya itu.”

“Jika anakmu tidak terlalu liar, aku tidak akan menyakitinya,” sahut perempuan yang menarik rambut Rara Wulan.

Namun Rara Wulan tanggap pernyataan ibunya. Nyi Citra Jati ingin melepaskan diri setelah mereka berada di halaman. Agaknya Nyi Citra Jati memilih tempat yang lebih luas dari ruangan di dalam rumah itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah keluar dari pintu butulan rumah itu. Di halaman itu telah siap sebuah pedati yang akan dipakai untuk membawa Rara Wulan ke Kepuh.

“Kau harus naik ke pedati itu. Tangan dan kakimu akan diikat. Jika kau meronta atau berteriak, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk bagimu.”

Rara Wulan yang masih dipegang rambutnya itu mengikut saja sampai ke belakang pedati itu. Namun tiba-tiba ia berkata, “Nyi. Sudah aku katakan, aku tidak mau pergi ke Kepuh. Jangan paksa aku.”

“Diam! Kau tidak mempunyai pilihan.”

Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ia sudah menahan diri sampai jantungnya hampir meledak. Tiba-tiba saja sikunya telah menghantam lambung perempuan yang menarik rambutnya itu.

Serangan itu benar-benar tidak terduga. Karena itu, maka perempuan itu pun terdorong surut. Dengan serta-merta tangannya yang memegangi rambut Rara Wulan pun terlepas.

Rara Wulan melangkah surut selangkah. Dibenahinya rambutnya yang berderai.

“Kau gila, perempuan liar,” geram perempuan yang lambungnya kesakitan. “Kau mencoba melawan, he?”

Rara Wulan justru tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku sudah siap melakukannya di bilik itu. Tetapi ibuku lebih senang kita bermain-main di tempat yang lebih luas. Karena itu aku biarkan kau menarik rambutku sampai ke halaman ini. Tetapi apa yang kau lakukan itu sudah cukup. Kau kira aku tidak merasa sakit dengan tingkahmu? Bukan hanya badanku, tetapi juga hatiku.”

Perempuan itu benar-benar heran melihat sikap Rara Wulan. Apalagi pada saat yang bersamaan, Nyi Citra Jati telah merenggut tangannya pula sambil berkata, “Sudahlah. Biarkan kami pergi. Jangan ganggu kami lagi.”

“Pergi? Begitu saja kau akan pergi?” bertanya perempuan yang telah menyeret Nyi Citra Jati

“Ya. Kami berdua akan pergi. Kenapa?”

“Apakah kau juga sudah gila seperti anakmu? Kami bawa kau berdua kemari dalam rangkaian kerja yang kami lakukan. Begitu enaknya kau akan pergi?”

“Kau umpankan anakku kepada iblis yang bernama Kuda Sembada itu agar kau dan kawan-kawanmu dapat menjadi keluarga dari Perguruan Kedung Jati yang besar itu? Itu satu mimpi buruk, Nyi. Setelah umpan yang kau berikan diterima oleh Kuda Sembada, maka kau akan dilempar ke tempat sampah.”

“Gila. Kau tahu apa tentang perguruan Kedung Jati?”

“Kau kira aku tidak mengenal Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang yang memiliki tongkat baja putih itu?”

“Dari mana kau tahu?”

“Sudahlah. Biarkan kami pergi.”

Tiba-tiba saja perempuan itu bersuit nyaring. Nampaknya ia telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang ada di rumah itu.

Selain dua orang laki-laki yang berdiri dekat pedati itu, beberapa orang laki-laki telah keluar dari rumah intu Ternyata dua di antara empat laki-laki yang datang bersama kedua orang perempuan itu ada pula di rumah itu. Selebihnya beberapa orang laki-laki yang tidak dikenal oleh Nyi Citra Jati dan Rara Wulan.

“Kedua orang perempuan ini menjadi gila,” geram salah seorang perempuan itu, “mereka berniat untuk melawan atau lari. Karena itu, jaga agar keduanya tidak dapat lari. Kami berdua akan memberi mereka sedikit peringatan, agar mereka tidak mencoba untuk melawan kehendak kami.”

Rara Wulan tertawa pula. Katanya, “Ternyata kalian berdua masih juga mempunyai harga diri, Nyi. Kalian tidak minta bantuan kawan-kawanmu untuk beramai-ramai menangkap aku dan ibuku. Tetapi kalian berdua-lah yang akan mencobanya.”

“Setan betina. Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Kau akan aku lempar ke sarang serigala lapar.”

“Kau tidak akan berani melakukannya. Kuda Sembada senja nanti akan datang dan menyeret kalian berdua untuk dilemparkan ke sarang macan kumbang.”

Kedua perempuan itu menjadi tidak sabar lagi. Mereka segera bersiap untuk memaksa Rara Wulan dan Nyi Citra Jati.

Tetapi Rara Wulan dan Nyi Citra Jati pun telah bersiap pula. Disingsingkannya kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya, ternyata keduanya mengenakan pakaian khusus mereka.

“Perempuan-perempuan gila,” geram perempuan yang menarik rambut Rara Wulan, “siapakah sebenarnya kalian berdua, he?”

Rara Wulan-lah yang menjawab, “Bukankah aku perempuan dari Grobogan? Yang sengaja kau jemput karena aku sangat merindukan Raden Kuda Sembada, meskipun aku belum pernah melihat wajahnya?”

“Cukup!” bentak perempuan itu, “Katakan, siapa namamu.”

Rara Wulan tertawa. Namun iapun menjawab, “Namaku Wara Sasi. Kau pernah mendengar?”

“Namamu tidak ada artinya.”

“Tetapi bukankah kau bertanya tentang namaku itu?”

“Ya. Dan siapa nama ibumu itu?”

Nyi Citra Jati-lah yang menyebut, “Namaku tidak ada artinya. Buat apa kau menanyakannya?”

“Aku hanya ingin tahu, siapakah nama perempuan yang telah aku bunuh di tempat ini. Pedati itu akan membawa mayat kalian berdua dan akan kami lemparkan ke padang perdu, agar menjadi makanan binatang buas serta burung-burung pemakan bangkai.”

Tetapi Rara Wulan pun menyahut, “Bagaimana menurut pendapatmu, jika kalian berdua saja-lah yang dimuat di pedati itu?”

“Cukup!” bentak perempuan yang menyeret Nyi Citra Jati, “Sekarang bersiaplah untuk mati.”

Rara Wulan dan Nyi Citra Jati tidak menjawab lagi. Tetapi mereka pun segera mempersiapkan diri. Kedua orang perempuan yang menculik Rara Wulan dan Nyi Citra Jati it upun segera bergeser. Tiba-tiba saja seorang dari mereka telah meloncat menyerang Rara Wulan.

Dengan tangkasnya Rara Wulan menghindari serangan itu. Tangan perempuan yang terjulur mengarah ke dada Rara Wulan itu tidak menyentuh sasaran. Rara Wulan sempat mengelak dengan bergeser ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Namun dalam pada itu, kaki Rara Wulan-lah yang telah terjulur.

Lawannya tidak menduga sama sekali bahwa Rara Wulan mampu bergerak demikian cepat. Karena itu, maka perempuan itu terlambat menghindar. Kaki Rara Wulan pun telah mengenai lambung perempuan itu hingga terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja perempuan itu kehilangan keseimbangan. Namun untunglah bahwa ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya.

Sementara itu Nyi Citra Jati pun tertawa sambil berkata, “Nah, dalam sekilas kau dapat melihat, apa yang akan terjadi dengan kau dan perempuan itu.”

“Iblis kau. Seandainya benar kau memiliki ilmu yang tinggi, apakah kau tidak melihat orang-orang yang mengelilingimu? Mereka akan membantaimu seperti membantai kucing sakit-sakitan.”

“Bukankah kau mempunyai harga diri sehingga kau akan turun ke arena seorang melawan seorang?”

“Persetan kau!”

Nyi Citra Jati tidak sempat menjawab. Perempuan yang marah itu telah meloncat menyerangnya. Kakinya terjulur lurus mengarah Iangsung ke wajah Nyi Citra Jati.

“Serangan yang bagus,” Nyi Citra Jati hampir berteriak.

Namun Nyi Citra Jati itu sempat merendahkan dirinya, sehingga serangan kaki itu sama sekali tidak mengenainya. Namun perempuan itu pun bergerak dengan cepat pula. Kakinya yang tidak mengenai tubuh lawannya itu pun segera berputar. Demikian kaki itu menyentuh tanah, maka kakinya yang satu lagi segera terangkat. Tubuh perempuan itu membelakangi Nyi Citra Jati, sementara kedua tangannya bertumpu di tanah.

Tetapi Nyi Citra Jati melihat serangan itu pula. Sekali lagi ia bergeser ke samping, sehingga serangan lawannya itu pun tidak mengenainya pula. Namun demikian lawannya itu berdiri tegak, maka Nyi Citra Jati telah meloncat dengan tangkasnya. Tubuhnya berputar, sementara kakinya terayun dengan derasnya.

Terdengar jerit tertahan. Kaki Nyi Citra Jati telah menyambar kening perempuan itu, sehingga perempuan itu terpelanting jatuh berguling di tanah.

Kecepatan gerak Nyi Citra Jati sangat mengejutkan lawannya dan bahkan orang-orang yang menyaksikannya. Ternyata kedua orang perempuan yang diculik di pasar itu bukan perempuan kebanyakan. Mereka adalah perempuan yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Bahkan kedua orang perempuan yang telah menculiknya itu segera mengetahui, bahwa kedua orang perempuan itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi.

Karena itu maka keduanya tidak mau terlambat. Mereka juga tidak mau terlalu banyak kehilangan waktu, karena mereka harus segera sampai di Kepuh.

“Perempuan ini benar-benar liar,” berkata kedua orang perempuan yang menculiknya itu di dalam hati. Namun mereka justru ingin tahu, apakah dengan demikian Raden Kuda Sembada akan semakin senang karenanya.

Karena itu. maka perempuan yang menyeret Nyi Citra Jati keluar dari bilik itu pun segera memberikan aba-aba, “Jangan biarkan kedua orang perempuan liar ini terlalu lama bertingkah. Raden Kuda Sembada tentu telah menunggu.”

Beberapa orang laki-laki yang berada di halaman itu pun segera bergerak. Mereka pun menyadari bahwa kedua orang perempuan itu bukan perempuan kebanyakan. Tetapi mereka bersama-sama tentu tidak akan mengalami kesulitan menangkapnya.

Dalam pada itu, Rara Wulan dan Nyi Citra Jati yang melihat beberapa orang laki-laki bergerak mendekati mereka dari segala arah itu pun segera mempersiapkan diri pula. Bagaimanapun juga jumlah mereka yang terlalu banyak itu harus dihadapi dengan hati-hati. 

Sejenak kemudian, maka Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun telah terkepung. Dua orang perempuan, dua orang laki-laki yang menyiapkan pedati, serta empat orang laki-laki yang keluar dari dalam rumah itu, termasuk dua orang laki-laki yang pernah dilihat oleh Nyi Citra Jati dan Rara Wulan sebelumnya.

“Delapan orang,” desis Nyi Citra Jati yang berada di dalam kepungan bersama Rara Wulan.

“Ya, Ibu,” desis Rara Wulan.

“Kita hadapi mereka berpasangan. Kita tidak usah mengambil jarak.”

“Baik, Ibu.”

Namun sebelum mereka terlibat dalam pertempuran selanjutnya, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan melihat dua orang laki-laki berdiri sejenak di regol halaman rumah itu. Bahkan beberapa saat kemudian, keduanya telah melangkah masuk.

Orang-orang yang mengepung Nyi Citra Jati dan Rara Wulan itu pun melihat mereka pula. Seorang di antara beberapa orang laki-laki yang mengepung Nyi Citra Jati dan Rara Wulan itu pun bertanya, “Siapakah kalian, he?”

Tetapi dua orang di antara beberapa orang laki-laki itu telah pernah melihat mereka. Mereka adalah keluarga kedua orang perempuan yang ada di dalam kepungan itu.

“Jadi kalian akan ikut campur?” bertanya salah seorang dari kedua orang laki-laki itu. “Nasib kalian semuanya ternyata memang buruk. Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami harus membunuh kalian semuanya. Berempat, agar untuk selanjutnya kalian tidak akan mengganggu kami lagi.”

“Kau kenal mereka?” bertanya kawannya.

“Tidak. Tetapi aku pernah melihat mereka. Aku tahu mereka adalah keluarga kedua orang perempuan liar ini.”

“Jika demikian, kita harus membinasakan mereka pula.”

“Mereka tentu akan melibatkan diri jika kita bunuh kedua orang perempuan ini. Kecuali jika mereka pengecut.”

Namun Ki Citra Jati itu menjawab, “Kami tidak akan ikut campur, Ki Sanak. Kecuali jika keadaan memaksa.”

“Apa maksudmu?” bertanya laki-laki yang bertubuh raksasa.

“Dua orang perempuan itu akan dapat mengatasi kesulitan mereka. Aku datang sekedar untuk menonton.”

“Gila. Kau terlalu sombong. Kau akan melihat akibat kesombonganmu itu.”

Ki Citra Jati tertawa. Namun kemudian Ki Citra Jati itu justru berdiri bersandar sebatang pohon di halaman, sementara Glagah Putih berdiri di sebelahnya.

Nyi Citra Jati yang berada di dalam kepungan itu pun berdesis, “Ayahmu mulai mengganggumu, Sasi. Nampaknya suamimu pun dijalari sikap ayahmu itu.”

Rara Wulan sempat tersenyum. Katanya, “Tetapi kehadiran mereka membuat hatiku semakin tenang, Ibu.”

Nyi Citra Jati itu pun tersenyum. Katanya, “Marilah kita tunjukkan kepada ayah dan suamimu, bahwa kita dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa mereka.”

Rara Wulan tertawa pendek.

“Apa yang kalian tertawakan?” teriak perempuan yang menarik rambut Rara Wulan.

Jawab Rara Wulan ternyata menyakiti hatinya. “Kau. Kau justru menjadi kebingungan.”

Perempuan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Jantungnya yang bagaikan disengat api itu telah membuatnya semakin marah. Karena itu maka iapun berteriak, “Tangkap! Hidup atau mati!”

“Kalau kau bunuh aku, berarti kau tantang Kuda Sembada.”

“Aku tidak peduli!”

Orang-orang yang mengepung Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun segera berloncatan menyerang. Namun Nyi Citra Jati dan Rara Wulan sudah siap. Bahkan mereka ingin menunjukkan kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih, bahwa mereka berdua dapat menyelesaikan lawan-lawannya, meskipun mereka harus mengerahkan kemampuan mereka.

Nyi Citra Jati dan Rara Wulan menyambut serangan-serangan itu dengan kemampuan mereka yang tinggi. Dengan cepat keduanya menyerang kedua orang perempuan yang bersama-sama beberapa orang laki-laki mengepungnya.

Serangan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan datang begitu tiba-tiba. Tangan Rara Wulan telah menghentak dada, sementara kaki Nyi Citra telah mengenai lambung.

Kedua orang perempuan itu terkejut sekali sehingga mereka tidak mampu mengelak sama sekali. Karena itu, serangan-serangan itu telah mengguncang pertahanan mereka. Perempuan yang lambungnya dikenai kaki Nyi Citra Jati itu terdorong beberapa langkah surut. Betapapun ia berusaha untuk bertahan, namun akhirnya perempuan itu pun telah terjatuh pula. Meskipun ia berhasil dengan cepat melenting berdiri, tetapi lambungnya telah tersengat perasaan nyeri.

Dalam pada itu, maka beberapa orang laki-laki yang berdiri mengepung kedua orang perempuan itu telah bergerak hampir serentak. Sebagian dari mereka menyerang Nyi Citra Jati. Sebagian lagi menyerang Rara Wulan.

Pertempuran menjadi semakin sengit. Baik Nyi Citra Jati maupun Rara Wulan harus bertempur melawan beberapa orang. Masing-masing di antara lawan mereka terdapat seorang perempuan.

Untuk melawan beberapa orang bersama-sama, maka Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak lagi dapat bermain-main. Mereka benar-benar harus meningkatkan ilmu mereka. Beberapa orang laki-laki dan perempuan itu bukannya orang yang tidak berilmu. Mereka merasa bahwa ilmu mereka sudah cukup memadai untuk dapat bergabung dalam sebuah perguruan besar yang disebut Perguruan Kedung Jati.

Rara Wulan harus berloncatan dengan cepat untuk menghindari serangan-serangan yang datang susul-menyusul seperti ombak di lautan. Namun tubuh Rara Wulan seakan-akan menjadi semakin ringan. Kakinya bagaikan tidak berpijak di atas tanah.

Rara Wulan tidak hanya sekedar berloncatan menghindar. Tetapi sekali-sekali, Rara Wulan pun telah menyerang lawannya pula. Lawan-lawannya sama sekali tidak membayangkan, bahwa perempuan yang diculik di pasar tanpa perlawanan itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Mereka pun kemudian menyadari, bahwa perempuan itu dengan sengaja membiarkan diri mereka dibawa ke rumah itu untuk mengetahui, siapakah yang telah berusaha menculik mereka itu.

Tetapi kesadaran itu datang terlambat. Perempuan muda itu telah terlanjur menyingsingkan kain panjangnya dan bertempur dengan gerak yang sangat cepat, seperti seekor burung sikatan yang berburu belalang di rerumputan.

Perempuan yang telah menarik rambut Rara Wulan itu menjadi semakin kesulitan. Rasa-rasanya ia tidak lagi mempunyai ruang gerak, Meskipun beberapa orang laki-laki membantunya, namun setiap kali serangan Rara Wulan telah mengenai tubuhnya.

Rara Wulan sendiri tidak dapat menghindari semua serangan dari  lawannya. Sekali-sekali serangan lawannya telah menyentuh tubuhnya. Tetapi daya tahan Rara Wulan yang tinggi mampu mengatasi sentuhan-sentuhan serangan itu, sehingga ia tidak merasa terlalu kesakitan. Sekali-sekali Rara Wulan menyeringai menahan nyeri. Namun kemudian rasa sakit itu pun mampu diatasinya.

Perempuan yang telah menarik rambutnya itu benar-benar mengalami kesulitan. Ia tidak sempat menghindari serangan Rara Wulan yang keras sekali menghantam pundaknya, sehingga tubuh perempuan itu bagaikan diputar pada sumbunya, kemudian terlempar jatuh di tanah. Hampir saja kepalanya membentur batang pohon yang dipergunakan Ki Citra Jati untuk bersandar. Ki Citra Jati dengan tangkasnya menyambar kepala dan meletakannya di atas tanah.

“Hati-hati sedikit, Nyi,” berkata Ki Citra Jati, “jika kepalamu membentur pohon itu. maka tamatlah riwayatmu. Sekeras-keras tulang kepala, tentu masih lebih keras batang pohon itu.”

Wajah perempuan itu menjadi panas bagaikan terpanggang di atas api. Dengan cepat ia mencoba melenting berdiri. Namun ternyata ia harus berdesah menahan sakit di pundaknya.

“Kalau kau sudah letih, beristirahatlah, Nyi.”

Perempuan itu menggeram. Dengan serta merta iapun menyerang Ki Citra Jati. Namun serangannya tidak menyentuh apa-apa. Perempuan itu menjadi semakin marah. Namun kemarahannya akan ditumpahkannya kepada perempuan muda yang telah diculiknya itu.

“Perempuan binal itu akan mati.”

Ki Citra Jati tidak menjawab. Iapun tidak menghalangi ketika perempuan itu berlari-lari kecil, kembali memasuki lingkaran pertempuran.

Sementara itu Nyi Citra Jati pun telah membuat lawan-lawannya mengalami kesulitan. Setiap kali, berganti-ganti lawannya terlempar dari arena dan jatuh berguling di tanah. Namun mereka pun segera bangkit lagi dan memasuki arena pertempuran kembali. Namun serangan-serangan mereka tidak banyak berarti bagi Nyi Citra Jati yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Setiap kali serangan serangan Nyi Citra Jati justru telah mengenai lawannya.

Tetapi Nyi Citra Jati itu seakan-akan menunggu, apa yang akan di lakukan oleh Rara Wulan yang menjadi sasaran langsung dari orang-orang yang menculiknya itu.

Namun dalam pada itu, mereka yang bertempur di halaman itu tidak menyadari bahwa seorang laki-laki telah keluar lewat pintu butulan dengan diam-diam, menuntun seekor kuda. Namun Ki Citra Jati dan GIagah Putih masih sempat mendengar derap kaki kuda yang berlari, menyusuri jalan sempit di sebelah dinding halaman rumah itu.

“Kau dengar derap kaki kuda, Glagah Putih?” bertanya Ki Citra Jati.

“Ya, Ayah.”

“Ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian.”

“Ya, Ayah. Mungkin pertempuran ini akan berkembang.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis, “Padukuhan ini agaknya sebuah padukuhan yang aneh, Glagah Putih.”

“Kenapa?”

“Atau mungkin karena padukuhan ini terletak di Kademangan Wirasari, maka setiap orang tidak menghiraukan keadaan orang lain. Mereka tidak ingin terlibat ke dalam kesulitan dengan mencampuri persoalan yang bukan persoalannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Rasa-rasanya memang tidak ada yang menghiraukan. apa yang telah terjadi di halaman rumah itu. Mungkin karena halaman rumah itu luas, sehingga tetangga-tetangganya tidak mendengar apa yang telah terjadi. Apalagi di sebelah kanan rumah itu terdapat sebuah jalan kecil yang bermuara pada jalan yang lebih besar di depan rumah itu. Atau seperti yang dikatakan oleh Ki Citra Jati, orang-orang padukuhan itu tidak peduli, atau sengaja tidak mau mencampuri persoalan orang lain karena berbagai macam alasan.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di halaman rumah itu pun menjadi semakin sengit. Ki Citra Jati dan Rara Wulan menjadi semakin garang bagi lawan-lawannya. Setiap kali terdengar keluhan tertahan, umpatan kasar dan teriakan kesakitan. Lawan-lawan mereka pun jatuh bangun oleh serangan-serangan kedua orang perempuan itu.

Semakin lama keadaan lawan-lawan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun menjadi semakin sulit. Serangan-serangan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan semakin lama menjadi semakin berbahaya.

Sebenarnyalah Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun akhirnya menjadi muak melihat orang-orang yang bertempur bersama melawan mereka berdua. Karena itu maka serangan-serangan mereka pun menjadi semakin menentukan.

Seorang laki-laki yang bertubuh kekurus-kurusan, telah terpelanting dan membentur bebatur rumah. Kepalanya terasa menjadi pening. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka rasa-rasanya semuanya pun berputar. Kepalanya terasa nyeri dan darahnya yang hangat pun meleleh dari luka di kepalanya.

Belum lagi orang itu mampu memperbaiki keadaannya serta turun kembali ke arena, seorang laki-laki yang bertubuh agak gemuk dengan ototnya yang menonjol di permukaan kulitnya, berteriak kesakitan. Rara Wulan yang meloncat sambil memutar tubuhnya, kakinya telah terayun menghantam kening.

Laki-laki itu terlempar ke samping beberapa langkah. Namun kemudian iapun jatuh berguling. Laki-laki itu tidak segera mampu bangkit berdiri. Tulang punggungnya terasa seakan-akan telah menjadi retak.

Demikianlah, seorang demi seorang lawan-lawan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun berjatuhan. Namun ternyata Rara Wulan sengaja masih membiarkan perempuan yang menarik rambutnya memberikan perlawanan. Nyi Citra Jati pun melihat, bahwa Rara Wulan agaknya dengan sengaja membiarkan perempuan itu masih tetap bertempur di antara lawan lawannya yang tersisa, sehingga Nyi Citra Jati pun masih juga membiarkan perempuan itu bertempur terus.

Nyi Citra Jati pun akhirnya mengetahui maksud Rara Wulan. la ingin membiarkan perempuan yang menarik rambutnya itu menjadi satu-satunya lawannya yang masih mampu berlahan, untuk berhadapan seorang melawan seorang.

Nyi Citra Jati pun akhirnya juga memutuskan di dalam hatinya untuk melemparkan lawan-lawannya yang lain, kecuali seorang perempuan, dari arena pertempuran.

Sebenarnyalah laki-laki yang bertubuh raksasa itu pun akhirnya terpelanting juga dari arena. Ketika dengan serta merta ia bangkit berdiri, maka kaki Nyi Citra Jati terjulur lurus ke dadanya.

Terdengar laki-laki bertubuh raksasa itu mengaduh. Rasa-rasanya dadanya telah tertindih oleh segumpal batu hitam yang dilemparkan dari teritisan rumah itu ke dadanya.

Ketika laki-laki itu sekali lagi terbanting jatuh, maka dirasanya nafasnya seakan-akan telah terputus. Demikian pula lawan Rara Wulan. Satu demi satu mereka terlempar dari arena dan tidak bangkit lagi.

Yang tinggal kemudian adalah dua orang perempuan. Seorang yang menarik rambut Rara Wulan, sedangkan yang seorang lagi yang telah menyeret Nyi Citra Jati keluar dari ruangan.

“Nah, kita berhadapan lagi seorang dengan seorang,” geram Rara Wulan, “kita akan membuat perhitungan khusus. Kau atau aku yang akan terbaring di halaman ini.”

Wajah perempuan yang menarik rambutnya itu menjadi pucat. Keringat dingin mengalir dari seluruh tubuhnya.

Sementara Nyi Citra Jati pun berkata kepada perempuan yang masih bertempur melawannya, “Nah, kita pun tidak akan diganggu oleh siapa-siapa lagi. Marilah, arena ini akan menjadi milik kita berdua. Sementara anakku biar membawa lawannya menyingkir, menjauhi arena yang akan kita pergunakan untuk bertempur sampai batas akhir.”

Perempuan itu pun tidak menjawab pula. Tetapi terasa darahnya seakan-akan menjadi semakin sendat.

“Kau tidak mempunyai pilihan,” berkata Nyi Citra Jati. “Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan menghancurkan pertahananmu. Kau dan perempuan itu telah menculik aku dan anak perempuanku. Sekarang, kau dan perempuan itu harus bertanggungjawab. Sampai berapa tinggi ilmu kalian sehingga kalian berani menculik kami berdua, dan mengumpankan anak perempuanku kepada orang yang menyebut dirinya Kuda Sembada itu.”

Tubuh perempuan itu mulai gemetar. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Dosa kalian jauh lebih besar dari semua laki-laki yang sudah terbaring, tidak dapat bangkit lagi. Apalagi memberikan perlawanan.”

Kedua orang perempuan itu merasa tidak mempunyai harapan lagi. Melawan pun mereka tidak akan mampu. Bersama-sama beberapa orang laki-laki, keduanya tidak dapat mengalahkan ibu dan anak perempuannya yang mereka culik dari pasar Wirasari.

Penyesalan yang dalam telah mengguncang jantung mereka. Tetapi semuanya sudah terlambat. Kedua orang perempuan yang telah mereka culik itu nampaknya benar-benar mendendam kepada mereka berdua. Justru karena itu, maka dalam pertempuran itu mereka berdua telah disisakan.

Beberapa saat lamanya kedua orang perempuan yang menculik Nyi Citra Jati dan Rara Wulan itu berdiri dengan tegangnya. Mereka tinggal menunggu, akhir dari permainan mereka yang gagal.

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan pun berkata, “Jika kalian berdua bersedia minta maaf kepada kami, maka kami akan memaafkan kalian. Tetapi dengan janji, bahwa kalian tidak akan melakukan hal yang sama. Aku tidak berkeberatan kalian menyatakan diri masuk ke dalam lingkungan Perguruan Kedung Jati, jika Ki Saba Lintang menyetujuinya. Tetapi tingkah laku kalian, cara kalian untuk masuk ke dalam Perguruan Kedung Jati, adalah cara yang paling buruk yang aku ketahui sampai sekarang.”

“Siapakah kalian sebenarnya, Ki Sanak?” bertanya salah seorang perempuan itu dengan suara yang bergetar. “Kami berdua minta maaf atas kelancangan kami. Kami sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk melawan kalian berdua.”

“Bagaimana dengan kau?” bertanya Rara Wulan kepada perempuan yang seorang lagi.

“Aku juga minta maaf.”

“Satu cara yang baik untuk melepaskan diri. Apapun yang kau lakukan jika kau kami bebaskan, tentu akan lebih baik daripada jika kami membunuh kalian.”

“Kami berjanji,” berkata seorang di antara mereka dengan nada suara yang sangat dalam.

Tetapi Rara Wulan tertawa. Katanya, “Orang-orang seperti kalian ini tidak akan pernah menepati janji. Meskipun demikian, kali ini kami akan melepaskan kalian. Kami akan pergi. Kami akan menunggu apa yang kalian lakukan kemudian.”

Namun tiba-tiba saja seorang di antara kedua orang perempuan itu bertanya, “Apakah kalian berdua dari Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang?”

“Kalian melihat bagaimana aku bertempur melawan, kalian? Apakah kalian tidak melihat unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati?”

Kedua orang perempuan itu termangu-mangu. Namun seorang yang bertubuh kekurus-kurusan, berusaha untuk bangkit berdiri. Dengan suara yang berat iapun berkata, “Ya. Aku melihat unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati. Meskipun aku tidak terlalu memahaminya, tetapi aku melihatnya.”

Tiba-tiba saja seorang di antara kedua orang perempuan itu berlutut di hadapan Rara Wulan sambil berkata, “Aku mohon ampun. Aku tidak tahu dengan siapa kami berhadapan.”

Rara Wulan justru bergeser surut ketika perempuan yang lain pun berlutut pula di hadapannya. Kepada Nyi Citra Jati, Rara Wulan itu pun berkata, “Marilah. Kita pergi, Ibu.”

Nyi Citra Jati membenahi kain panjangnya sejenak, demikian pula Rara Wulan. Kemudian kepada kedua orang perempuan itu iapun berkata, “Ingat, namaku Wara Sasi. Jika kau bertemu dengan Ki Saba Lintang, katakan bahwa kami belum dapat menemuinya. Pada kesempatan lain, kami akan datang kepadanya.”

Seorang dari kedua orang perempuan itu pun berkata, “Kami akan mengatakannya. Tetapi apakah kami akan pernah mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Saba Lintang?”

“Bukankah itu urusan Kuda Sembada?”

Kedua orang itu tidak menjawab lagi.

Demikianlah, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan melangkah meninggalkan kedua orang perempuan itu. Beberapa orang laki-laki yang terbaring kesakitan, mencoba untuk bangkit berdiri.

“Nah. bukankah kami tidak perlu menyeret kalian ke dalam pertempuran itu?” berkata Nyi Citra Jati ketika keduanya menghampiri Ki Citra Jati dan Glagah Putih.

Keduanya tertawa. Katanya, “Ya. Kalian mampu menyelesaikannya sendiri.”

“Kami memang ingin memberi kesempatan kalian untuk sekedar menjadi penonton.

“Sekarang. Tetapi nampaknya persoalannya masih belum selesai. Agaknya persoalan ini masih akan berekor.”

“Kenapa.”

“Seorang dari para penghuni rumah ini berhasil meninggalkan halaman rumah ini berkuda.”

“Kenapa tidak kalian hentikan?”

“Kami mendengar derap kaki kuda di jalan sebelah. Kami tidak melihat orangnya. Mungkin orang itu sedang berusaha menghubungi siapapun.”

“Mungkin orang itu telah pergi ke Kepuh.”

“Kepuh?”

“Ya. Kami berdua akan dibawa ke Kepuh. Pedati itu disiapkan untuk membawa kami berdua. Sasi akan diikat tangannya dengan tiang-tiang pedati itu. Tetapi kami memutuskan untuk tidak pergi ke Kepuh.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah kau tahu, siapakah yang berada di Kepuh itu, Nyi?”

“Ki Kuda Sembada. Salah seorang dari Perguruan Kedung Jati. Kedua perempuan itu ingin Kuda Sembada membawa mereka ke Perguruan Kedung Jati. Agaknya bersama beberapa orang laki-laki itu. Salah satu umpan yang diberikan adalah perempuan.”

“Menarik, Nyi.”

“Sebenarnya aku ingin pergi ke Kepuh. Tetapi aku mempunyai banyak pertimbangan. Terutama tentang Wulan.”

Ki Citra Jati mengangguk. Katanya, “Kau benar Nyi. Kau tidak dapat membawa Sasi dan suaminya, yang sedang mengemban tugas.”

“Ya, Kakang. Karena itu, aku urungkan niatku untuk mengajak Sasi ke Kepuh.”

“Jika demikian, marilah kita tinggalkan tempat ini.”

Keempat orang itu pun telah bergeser melangkah ke pintu ketika terdengar derap kaki beberapa ekor kuda.

Ki Citra Jati ternyata terlambat meninggalkan halaman itu. itu. Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan terpaksa bergeser surut ketika mereka melihat empat orang berkuda memasuki halaman itu tanpa turun dari kudanya.

Salah seorang dari mereka adalah Raden Kuda Sembada, Baru ketika kudanya berhenti di halaman, di dekat pedati yang telah dipersiapkan itu, keempat penunggang kuda itu meloncat turun. Seorang di antara mereka pun kemudian menerima kendali kuda Raden Kuda Sembada dan mengikatnya pada tonggak-tonggak di dekat pendapa.

Raden Kuda Sembada melangkah mendekati Rara Wulan sambil tersenyum. Katanya, “Kau benar-benar seorang perempuan yang liar. Tetapi sudah aku katakan, semakin liar kau, tentu akan semakin menarik bagiku. Karena itu, ketika seseorang memberitahukan kepadaku bahwa kau telah berusaha untuk melepaskan diri, aku dengan tergesa-gesa datang kemari. Aku tidak mau kau terlepas. Justru perempuan seperti kau-lah yang aku inginkan.”

Jantung Glagah Putih-lah yang bagaikan meledak. Tetapi ketika ia bergeser, maka Ki Citra Jati telah menggamitnya. Di telinga Glagah Putih Ki Citra Jati berbisik, “Yang paling menyakitkan bagi laki-laki seperti itu adalah jika ia dikalahkan oleh seorang perempuan.”

“Maksud Ayah?”

“Biarlah Rara Wulan mengakhiri kegilaannya. Rara Wulan memang tidak harus membunuhnya. Jika ilmunya lebih tinggi?”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Raden Kuda Sembada itu pun berkata pada Rara Wulan, “Anak manis, dengarlah. Aku ingin membawamu ke Kepuh. Pedati sudah tersedia. Nah, kau boleh melawan dengan keliaranmu. Tetapi akhirnya aku akan mengikat tangan dan kakimu pada tiang-tiang pedati itu dan membawamu ke Kepuh.”

“Aku tidak mau pergi ke Kepuh,” jawab Rara Wulan.

“Tentu kau tidak mau pergi ke Kepuh. Kau harus tidak mau. Jika kau menurut saja, maka seleraku akan hilang.”

Rara Wulan memang menjadi bingung, apa yang akan dikatakannya. Karena itu. untuk beberapa saat Rara Wulan justru terdiam.

“Nah,” berkata Raden Kuda Sembada, “marilah, ikut aku. Kita akan menemukan satu saat yang paling menyenangkan di dalam hidup kita.”

Rara Wulan masih belum dapat menjawab. Namun terasa jantungnya telah bergetar.

Dalam pada itu, Kuda Sembada itu pun berkata kepada kawan-kawannya, “Jaga ketiga orang itu. Nampaknya mereka adalah keluarga perempuan ini. Jaga agar mereka tidak mengganggu permainanku dengan perempuan ini. Jika ada yang keras kepala, kita tidak mempunyai waktu untuk bergurau dengan mereka. Aku hanya ingin bermain dengan perempuan ini.”

Ketiga orang itu pun segera bergerak mendekati Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Glagah Putih. Dengan kasar seorang di antara mereka berkata, “Jangan berbuat aneh-aneh, agar kami tidak membunuh kalian. Jangan menganggap kami sekedar mengancam. Kami ingin benar-benar melakukannya jika kalian tidak mau mendengarkan peringatanku ini.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Glagah Putih tidak menjawab. Sementara ketiga orang itu telah berpencar mengitari mereka. Menurut penglihatan Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Glagah Putih, ketiga orang itu memang berbeda dengan beberapa orang laki laki yang sudah terbaring di halaman, yang seorang demi seorang mulai bangkit.

“Nampaknya mereka mempunyai bekal yang cukup,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sementara itu, Raden Kuda Sembada telah melangkah semakin mendekati Rara Wulan. Karena itu, Rara Wulan tidak mempunyai pilihan lain, selain bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sekali lagi ia menyingsingkan kain panjangnya, sehingga Raden Kuda Sembada melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dikenakannya di bawah kain panjangnya itu.

Langkah Raden Kuda Sembada terhenti ketika ia melihat pakaian khusus yang dikenakan oleh Rara Wulan. Sementara seorang yang yang bertubuh agak gemuk berteriak, “Hati-hati, kedua perempuan itu lebih liar dari seekor kucing hutan.”

Rara Wulan sempat memandang laki-laki yang bertubuh gemuk yang telah bangkit berdiri meskipun nampaknya dadanya masih kesakitan. Yang menjadi bingung adalah dua orang perempuan yang telah menyatakan janjinya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Ketika Raden Kuda Sembada dan kawan-kawannya datang, maka rasa-rasanya mereka berdua pun akan dapat bangkit pula. Tetapi mereka sudah terlanjur mengucapkan janji mereka di hadapan kedua orang perempuan ibu dan anak itu.

Dalam pada itu, setelah tertegun sejenak, Raden Kuda Sembada justru tertawa. Katanya, “Kau benar-benar seorang perempuan yang selama ini aku cari. Kau benar-benar menarik bagiku. Mungkin kuku-kukumu akan mencakar dan melukai kulitku. Tetapi justru perempuan yang seperti itulah yang aku inginkan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi kata-kata Raden Kuda Sembada itu membuat jantangnya berdebar. Apalagi ketika Rara Wulan melihat bibir Raden Kuda Sembada yang tertawa.

“Marilah, anak manis,” desis Raden Kuda Sembada, “sejauh mana kau mampu menunjukkan keliaranmu. Aku akan melayanimu bermain sampai kau berhenti sendiri karena kelelahan. Nah, kau tidak akan dapat menolak lagi.”

Gejolak di dada Rara Wulan terasa semakin mengguncang jantung. Sikap dan wajah Raden Kuda Sembada membuatnya muak, tetapi juga membuatnya sangat gelisah.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Glagah Putih melihat suasana hati Rara Wulan menghadapi laki-laki yang licik itu. Mereka melihat bahwa sikap laki-laki itu sangat mempengaruhi perasaan Rara Wulan.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Citra Jati tertawa sambil berkata, “Ki Sanak. Apakah kau seorang penari topeng?”

Raden Kuda Sembada berpaling kepada Ki Citra Jati dengan kerut di dahi. Dengan suara yang bergetar Raden Kuda Sembada itu pun bertanya, “Apa maksudmu?”

“Kau seakan-akan sedang memerankan Klana Sabrangan, yang sedang merayu Dewi Candrakirana.”

“Setan kau,” geram Raden Kuda Sembada, “jika kau mencampuri permainanku, maka kawanku itu akan mengoyak mulutmu.”

“Kau aneh. Biasanya seorang penari tidak menghiraukan sikap penontonnya. Mungkin penontonnya memujinya, tetapi satu ketika penonton dapat saja mencela. Jangan marah. Lanjutkan permainanmu. Permainanmu tidak terlalu jelek, hanya agak cengeng.”

“Diam! Atau kawanku benar-benar akan mengoyak mulutmu.”

Ki Citra Jati justru tertawa berkepanjangan. Sementara Nyi Citra Jati dan Glagah Putih pun tanggap akan siap Ki Citra Jati, sehingga mereka pun segera menyesuaikan diri.

“Jangan marah-marah, Klana Kala Dursila. Jangan pula memaksa jika Candrakirana menolak lamaranmu.”

Ternyata yang menjadi marah bukan saja Raden Kuda Sembada. Tetapi seorang kawannya yang berkumis tebal, salah seorang dari tiga orang yang menyertainya, tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil mengayunkan tangannya untuk menampar mulut Ki Citra Jati.

Tetapi yang terjadi adalah di luar perhitungan mereka. Selagi tangan orang itu masih terayun, maka telapak tangan Ki Citra Jati telah mendahuluinya, menapak dada orang itu.

Akibatnya pun sangat terpelanting jatuh terlentang. Meskipun dengan cepat orang itu meloncat bangkit, tetapi terasa dadanya menjadi nyeri. Nafasnya agak tersendat, seakan-akan dadanya terhimpit batu.

Raden Kuda Sembada juga terkejut menyaksikannya. Kawannya yang berkumis tebal itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun demikian mudahnya ia didorong sehingga jatuh terlentang.

Namun Raden Kuda Sembada itu menganggap bahwa yang terjadi adalah satu kebetulan, karena kawannya itu lengah. Kawannya tentu menganggap orang tua itu tidak akan mampu berbuat banyak, meskipun sikapnya sangat menjengkelkan.

“Seharusnya ia lebih berhati-hati,” berkata Raden Kuda Sembada di dalam hatinya. “Sikap orang tua itu menunjukkan, bahwa ia tentu memiliki bekal untuk berbuat demikian.”

Namun peristiwa itu seakan-akan telah membangunkannya Rara Wulan dari mimpi buruknya. Orang yang berdiri di hadapannya itu tidak lagi dianggapnya sebagai hantu yang memuakkan, tetapi sebagai seorang laki-laki yang akan merendahkan derajadnya sebagai seorang perempuan.

Dengan demikian, maka perasaan Rara Wulan pun menjadi mapan. Iapun sadar sepenuhnya, apa yang harus dilakukannya terhadap orang yang bernama Raden Kuda Sembada itu. Tanpa menghiraukan apa yang terjadi dengan Ki Citra Jati, maka Rara Wulan telah benar-benar bersiap lahir dan batinnya untuk menghadapi Raden Kuda Sembada.

Ketika Rara Wulan bergeser, maka Raden Kuda Sembada telah bergeser pula. Ternyata Rara Wulan tidak menunggu lagi, justru Rara Wulan-lah yang telah menyerang laki-laki itu lebih dahulu, meskipun serangannya masih sekedar untuk memancing lawannya.

Namun dengan demikian, maka keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, sejak mereka terlibat dalam pertempuran yang sebenarnya, maka Rara Wulan dengan sengaja telah menunjukkan ciri-ciri unsur-unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati yang dipelajarinya dari Sekar Mirah.

Raden Kuda Sembada semula tidak begitu mengamati unsur-unsur gerak lawannya. Yang ingin dilakukan oleh Raden Kuda Sembada adalah segera menyelesaikan pertempuran itu. Memaksa perempuan yang dianggapnya liar itu tunduk kepadanya dan menurut semua perintahnya. Dengan demikian, maka perempuan itu akan segera terikat pada tiang-tiang pedati yang sudah disiapkan itu serta di bawa ke Kepuh.

Namun ternyata perempuan itu tidak mudah ditundukkan. Bahkan untuk menarik perhatian Raden Kuda Sembada atas unsur-unsur gerak ilmunya, Rara Wulan pun berkata, “Jadi kau benar-benar orang dari Perguruan Kedung Jati, Kuda Sembada.”

“Apa pedulimu?”

“Aku mengenali unsur-unsur gerakmu meskipun kau berusaha untuk menyembunyikannya.”

“Apa yang kau ketahui tentang Perguruan Kedung Jati?”

“Aku kira kau tidak terlalu dungu untuk dapat mengenalnya, Kuda Sembada.”

Raden Kuda Sembada meloncat surut untuk mengambil jarak. Barulah ia sadar bahwa ia mengenal unsur-unsur gerak perempuan yang dianggapnya liar itu. Unsur-unsur gerak dan Perguruan Kedung Jati. Untuk meyakinkannya, maka Raden Kuda Sembada itu pun meningkatkan ilmunya. Geraknya menjadi semakin cepat. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya.

Rara Wulan pun harus meningkatkan ilmunya pula. Dengan sengaja ia berusaha untuk memperlihatkan, bahwa iapun menguasai unsur-unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati.

Raden Kuda Sembada pun kemudian melihat kenyataan yang dihadapinya. Perempuan yang dianggapnya liar itu ternyata perempuan yang menguasai ilmu dari Perguruan Kedung Jati pula. Bahkan tataran ilmu perempuan itu terhitung tinggi, karena Raden Kuda Sembada tidak segera dapat menguasainya.

“Menyerahlah,” berkata Rara Wulan, “aku telah mendapat tugas khusus untuk menangkapmu, karena kau telah menodai Perguruan Kedung Jati.”

Suara Rara Wulan yang dalam dan meyakinkan itu memang membuat jantung Raden Kuda Sembada berdesir. Dengan suara yang bergetar, hampir di luar sadarnya Raden Kuda Sembada itu pun bertanya, “Apa salahku?”

“Kau masih bertanya apa salahmu? Sementara kesalahan itu masih kau lakukan sekarang ini juga?”

“Apa maksudmu?”

“Aku adalah petugas khusus yang dikirim oleh Ki Saba Lintang untuk meyakinkan, apakah benar bahwa kau, Raden Kuda Sembada, sering mendapatkan umpan seorang perempuan dengan menyalahgunakan nama Perguruan Kedung Jati. Sementara itu, unsur-unsur gerak yang kau tunjukkan adalah unsur-unsur gerak terburuk dari orang-orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati.”

Raden Kuda Sembada menjadi semakin gelisah. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Karena itu, menyerahlah. Aku akan membawamu kepada Ki Saba Lintang. Kemudian keputusan apa yang akan diambil oleh Ki Saba Lintang, itu bukan persoalanku lagi.”

“Dimana Ki Saba Lintang sekarang?”

“Pertanyaan yang sangat bodoh. Kau tidak mau menjawab pertanyaan yang serupa dari kedua perempuan itu. Kau menganggap pertanyaan mereka adalah pertanyaan yang bodoh. Sekarang kau bertanya di hadapan mereka. Bahkan di hadapan banyak orang. Bukankah pertanyaanmu itu pertanyaan yang lebih bodoh lagi?”

Raden Kuda Sembada menggeram. Sementara itu Rara Wulan pun berkata, “Tidak ada gunanya kau melawan Wara Sasi, kepercayaan Ki Saba Lintang. Aku memang datang untuk memancing agar aku dapat membuktikan, betapa kau telah mengkhianati nama baik Perguruan Kedung Jati. Karena itu maka tidak ada pilihan lain bagiku, kecuali menangkap kau dan membawamu menghadap Ki Saba Lintang.”

Wajah Kuda Sembada itu menjadi sangat tegang. Sementara itu Rara Wulan berkata selanjutnya, “Dengar, Kuda Sembada. Jika aku gagal membawamu menghadap Ki Saba Lintang, maka perintahnya, kau harus dibunuh.”

“Persetan dengan kau, perempuan liar. Aku tidak peduli. Aku harus menangkapmu dan membawamu ke Kepuh. Atau jika tidak mungkin dilakukan, maka aku akan membunuhmu.”

“Aku adalah utusan pilihan dari Ki Saba Lintang. Jika kau dapat membunuhku, maka kau akan mendapatkan apapun yang kau inginkan dari Ki Saba Lintang.”

“Jangan membual saja. Tubuhmu akan terkapar di halaman ini.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tiba-tiba saja Raden Kuda Sembada itu menyerangnya sejadi-jadinya, seperti pusaran angin prahara yang menghentak, mengalir dengan derasnya ke arah gunung. Tetapi ternyata gunung itu sama sekali tidak menjadi goyah. Ia tetap berdiri dengan mantap, kokoh dan tidak tergoyahkan.

Raden Kuda Sembada semakin menjadi gelisah. Serangan-serangannya tidak berhasil menguak pertahanan Rara Wulan yang kokoh dan rapat.

Dengan demikian maka pertempuran antara Raden Kuda Sembada melawan Rara Wulan itu menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Semakin lama semakin tinggi. Ternyata Raden Kuda Sembada juga seorang yang berilmu tinggi. Ia memang mempunyai bekal untuk menyombongkan dirinya sebagai seorang murid yang mempunyai kedudukan penting di antara para murid dari Perguruan Kedung Jati.

Namun lawannya bukan saja memiliki ilmu tertinggi dari Perguruan Kedung Jati yang diwarisinya lewat Sekar Mirah, salah seorang yang memiliki tongkat kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati yang jumlahnya hanya sepasang itu. Tetapi Rara Wulan telah menyadap ilmu dari Agung Sedayu, dari suaminya, Glagah Putih, bahkan yang terakhir dari Nyi Citra Jati yang telah mengangkatnya menjadi anaknya.

Dengan demikian, meskipun Raden Kuda Sembada telah mengerahkan kemampuannya, tetapi tidak mudah baginya untuk menundukkan perempuan yang disebutnya sebagai perempuan liar itu. Namun yang ternyata telah mewarisi ilmu dari Perguruan Kedung Jati pula, justru pada tataran tertinggi.

Meskipun demikian, Kuda Sembada tidak ingin menyerah. Apalagi kepada seorang perempuan. Meskipun seorang perempuan yang menyebut dirinya sebagai utusan terpercaya dari Ki Saba Lintang. Karena itu, maka Kuda Sembada itu pun berusaha untuk mengerahkan segenap ilmunya untuk menguasai keadaan.

Tetapi usahanya itu ternyata sia-sia. Setiap kali bukan serangan-serangannya yang berhasil mengenai sasarannya, menembus pertahanan Rara Wulan dan mengenai tubuhnya. Tetapi justru serangan-serangan Rara Wulan-lah yang berhasil mengenainya.

Ketika Kuda Sembada itu melihat kesempatan terbuka, maka dengan serta-merta ia meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar mengarah ke dada lawannya. Namun ternyata Kuda Sembada itu salah hitung. Dengan tangkasnya Rara Wulan bergeser ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Demikian kaki Kuda Sembada terayun sejengkal di depan dadanya, dengan cepat Rara Wulan meloncat sambil menjulurkan tangannya. Telapak tangannya yang terbuka dengan kerasnya menapak ke dada Raden Kuda Sembada yang masih belum mapan.

Raden Kuda Sembada tidak sempat menghindarinya. Telapak tangan Rara Wulan yang mengenai dadanya itu terasa seperti hentakan sebongkah batu padas. Raden Kuda Sembada terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah Kuda Sembada itu berusaha untuk tetap berdiri.

“Menyerahlah,” berkata Rara Wulan yang sengaja tidak memburunya.

Wajah Raden Kuda Sembada menjadi panas. Kesetiaannya kepada Perguruan Kedung Jati tidak dapat menindas harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Karena itu, maka Raden Kuda Sembada itu pun menggeram, “Siapapun kau, tetapi kau hanya seorang perempuan. Sudah aku katakan, bahwa semakin liar seorang perempuan, maka ia semakin menarik bagiku. Karena itu, tunjukkan kepadaku betapa liarnya kau, agar kau semakin menjadi penting bagiku.”

“Kau sudah berani melawan perintah Ki Saba Lintang.”

“Aku tidak mau dihina oleh seorang perempuan.”

“Jika demikian, maka kau akan segera mendekati saat saat kematianmu.”

Raden Kuda Sembada menggeram. Dikerahkannya segenap kemampuannya, tenaga dalamnya serta daya tahan tubuhnya.

“Aku akan membunuhnya,” Kuda Sembada itu mengeram.

Namun Rara Wulan yang telah merasa direndahkan oleh Kuda Sembada itu pun ingin menunjukkan, bahwa seorang perempuan tidak harus tunduk kepada seorang laki-laki. Karena itu, maka Rara Wulan pun telah mengerahkan tenaga dalamnya pula.

Setelah menjajagi kekuatan dan tenaga lawannya beberapa lama, maka Rara Wulan pun yakin bahwa ia akan dapat mengatasi kekuatan dan tenaga Kuda Sembada. Karena itu, ketika Raden Kuda Sembada meloncat sambil mengayunkan tangannya dilambari segenap kekuatannya, Rara Wulan sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Bahkan Rara Wulan dengan sengaja telah meloncat pula untuk membentur serangan Kuda Sembada itu.

Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Dua kekuatan dilambari oleh tenaga dalam dari dua orang yang berilmu tinggi.

Ternyata Rara Wulan tergetar surut beberapa langkah. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Rara Wulan berusaha untuk menjaga keseimbangannya, sehingga Rara Wulan tidak jatuh terbanting di tanah. Meskipun Rara Wulan terhuyung huyung, namun ia masih mampu untuk tetap berdiri di atas kedua kakinya.

Meskipun demikian terasa dadanya menjadi nyeri. Nafasnya terengah-engah, sementara tangannya yang membentur serangan lawannya terasa sakit sekali.

Namun sementara itu, Kuda Sembada terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terbanting di tanah dan berguling beberapa kali. Seluruh tulang-tulang di tubuhnya bagaikan berpatahan. Tetapi Kuda Sembada itu pun dengan serta merta berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun sambil menyeringai menahan sakit, namun Kuda Sembada itu dapat berdiri tegak.

“Iblis betina,” geram Kuda Sembada, “aku benar-benar akan membunuhmu. Aku biarkan tubuhmu terbaring di tenngah-tengah simpang empat, agar semua orang yang lewat melihat dan menghinamu.”

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Kau tidak usah bermimpi dalam keadaan seperti ini. Kau tidak mempunyai kesempatan. Sudah aku katakan, kau adalah murid dari Perguruan Kedung Jati yang paling buruk. Bukan saja tataran ilmumu, tetapi juga kelakuanmu, yang dapat mencemarkan nama baik Perguruan Kedung Jati.”

Raden Kuda Sembada itu memandang Rara Wulan dengan matanya yang bagaikan menyala. Rara Wulan melihat bibir orang itu bergerak-gerak. Tetapi ia tidak mendengar sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

“Apakah yang diucapkannya ?” bertanya Rara Wulan di dalam hatinya.

Namun sejenak kemudian, Kuda Sembada itu berdiri tegak sambil menggeram. “Waktumu sudah habis, setan betina. Kau akan mati terkapar di halaman ini. Aku tidak akan membawamu ke Kepuh, karena Kepuh tidak akan dapat menerimamu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Kuda Sembada itu pun kemudian berteriak, “Tangkap dan bunuh ketiga orang itu! Aku akan membunuh perempuan liar itu.”

Ketiga orang yang datang bersama Raden Kuda Sembada itu pun segera bersiap. Sementara itu, beberapa orang laki-laki yang terpelanting ketika melawan Rara Wulan telah bangkit berdiri pula. Sementara kedua orang perempuan yang menculik Rara Wulan dan Nyi citra Jati termangu-mangu kebingungan

“Cepat! Kita akan selesai bersama-sama. Kemudian kita tinggalkan tempat ini.”

Orang-orang itu pun mulai bergerak. Yang telah bangkit pun telah bergeser pula mendekati ketiga orang yang datang bersama Raden Kuda Sembada. Ketiga orang itu adalah orang-orang yang dianggap berilmu tinggi, sehingga bersama-sama dengan mereka, maka orang-orang yang masih saja kesakitan itu tidak akan mengalami tekanan yang terlalu berat. Tetapi kedua orang perempuan yang menculik Rara Wulan dan Nyi Citra Jati itu masih berdiri di tempatnya.

“Cepat, lakukan perintahku!” teriak Raden Kuda Sembada.

Tetapi kedua orang perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya.

Dalam pada itu, sebelum kedua orang perempuan yang bingung itu mengambil keputusan, Rara Wulan pun berkata, “Kau sudah menyita waktuku terlalu banyak. Sekarang segera menyerahlah.”

“Aku bunuh kau, setan betina!”

Raden Kuda Sembada tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dengan cepat. Dua pisau belati kecil telah meluncur dari kedua tangannya itu.

Rara Wulan memang sudah menduga, bahwa Raden Kuda Sembada itu masih memiliki senjata rahasia. Ternyata di ikat pinggangnya yang tertutup oleh bajunya, terdapat beberapa buah pisau belati kecil-kecil. Namun pisau kecil-kecil itu jika dilontarkan dengan kekuatan yang besar mengenai dada seseorang, maka pisau kecil itu akan menyusup dan menggapai jantung.

Dengan tangkasnya Rara Wulan menghindari pisau-pisau yang meluncur itu. Sambil meloncat ke samping Rara Wulan memiringkan tubuhnya serta menggeliat.

Pisau belati kecil itu memang tidak mengenainya. Tetapi Raden Kuda Sembada benar-benar menguasai senjata-senjata rahasianya itu. Ketika kedua buah pisau belatinya tidak mengenai sasaran, maka dua pisau berikutnya telah meluncur pula.

Rara Wulan terkejut. Demikian cepatnya lontaran kedua itu menyusulnya. Namun demikian, Rara Wulan masih sempat menghindarinya. Namun Rara Wulan pun sadar, bahwa serangan-serangan berikutnya pun akan datang beruntun dengan cepat pula, sehingga pada satu saat, ia akan kehilangan kesempatan untuk menghindar.

Karena itu, maka Rara Wulan pun memutuskan tidak hanya sekedar berloncatan menghindar, tetapi ia harus menghentikan serangan-serangan itu.

Tetapi Rara Wulan tidak akan mempunyai kesempatan untuk menyerang dari jarak yang dekat. Jika ia berusaha bergeser lebih dekat lagi, maka pisau-pisau kecil itu akan menyusup di tubuhnya. Jika pisau-pisau kecil itu mengenai dadanya, maka ujungnya akan dapat menyentuh jantung. Tetapi jika pisau itu mengenai perutnya, maka pisau itu akan hilang dan tenggelam ke dalam perutnya itu.

Dengan demikian, maka Rara Wulan pun harus menyerang orang itu dari tempatnya berpijak. Serangan yang dapat mencapai sasaran dengan tanpa sentuhan kewadagan.

Itulah sebabnya, maka Rara Wulan pun segera berusaha memusatkan nalar budinya. Beberapa kali ia masih harus berloncatan. Namun kemudian Rara Wulan itu pun tidak dapat menunda lebih lama lagi. Ketika dua buah pisau belati meluncur, Rara Wulan masih sempat menghindar. Namun kemudian Rara Wulan pun telah meluncurkan ilmunya yang diwarisinya dari Nyi Citra Jati, ibu angkatnya.

Tetapi justru pada saat Rara Wulan siap meluncurkan ilmunya, maka dua buah pisau belati masih juga meluncur ke arahnya. Rara Wulan beringsut selangkah. Ia berhasil menghindar dari satu di antara kedua pisau belati itu. Tetapi yang satu lagi ternyata masih juga mengenai pundaknya.

Rara Wulan memekik meneriakkan kemarahan. Bersamaan dengan itu, maka kekuatan aji pamungkasnya telah meluncur pula mengarah ke dada Raden Kuda Sembada.

Raden Kuda Sembada pun terkejut sekali melihat sinar yang bagaikan memancar dan menebar mengarah ke dadanya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat. Raden Kuda Sembada pun terlambat mengerti, bahwa lawannya adalah seorang perempuan yang berilmu sangat tinggi.

Yang terdengar kemudian adalah teriakan Raden Kuda Sembada. Sementara itu tubuhnya pun tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Tubuh itu pun akhirnya terpelanting jatuh terlentang di tanah.

Bersamaan dengan itu, maka beberapa orang yang menyerang Ki Citra Jati, Glagah Putih dan Nyi Citra Jatipun telah terlempar pula dari arena. Beberapa orang menjadi pingsan. Tetapi ada di antara mereka yang tidak akan pernah bangun kembali.

Raden Kuda Sembada itu pun terbaring diam di tanah. Kedua orang perempuan yang menculik Rara Wulan dan Nyi Citra Jati dari pasar Wirasari itu dengan ragu-ragu mendekat. Seorang di antara mereka pun berjongkok di sebelah tubuh Kuda Sembada yang terbaring diam. Dirabanya dada Raden Kuda Sembada, kemudian lehernya. Sambil menggeleng perempuan itu berkata kepada perempuan yang seorang lagi, “Ia sudah meninggal.”

Perempuan yang seorang lagi itu pun ikut berjongkok pula. Namun keduanya pun terdiam kebingungan.

Sementara itu, Glagah Putih telah berlari-lari mendapatkan Rara Wulan, diikuti oleh Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Ternyata pisau belati kecil itu menancap di pundak Rara Wulan.

“Marilah, Rara. Duduklah di bawah pohon itu.”

Rara Wulan tidak mengelak ketika Glagah Putih memapahnya ke bawah pohon yang rindang di halaman rumah itu.

“Pisau ini terbenam cukup dalam, Ayah,” berkata Glagah Putih.

“Pisau itu harus dicabut, Glagah Putih,” sahut Ki Citra Jati.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Nyi Citra Jati-lah yang kemudian berkata, “Bersandarlah pada tubuhku, Ngger. Biarlah pisau itu dicabut dari pundakmu. Tentu akan terasa sakit. Tetapi itu lebih baik daripada pisau itu terlalu lama menancap di pundakmu. Ayahmu akan mengobatimu.”

Rara Wulan tidak membantah. Nyi Citra Jati pun kemudian duduk di tanah, sementara Rara Wulan menyandarkan tubuhnya. Dengan hati-hati Nyi Citra Jati mendekap tubuh Rara Wulan sambil berkata, “Kerahkan daya tahan tubuhmu, Wulan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Sementara itu Ki Citra Jati pun berkata kepada Glagah Putih, “Cabutlah pisau kecil itu dengan hati-hati.”

Glagah Putih memang merasa ragu. Ia sadar bahwa Rara Wulan akan merasa sangat kesakitan. Tetapi Glagah Putih pun tahu, bahwa pisau itu harus segera dicabut dari pundak Rara Wulan. Karena itu, maka Glagah Putih pun mengatupkan giginya.

Dengan sangat hati-hati di pegangnya tangkai pisau itu. Terdengar Rara Wulan berdesah kesakitan. Meskipun ia telah mengerahkan daya tahan tubuhnya, tetapi rasa sakit itu masih menyengat.

Demikian pisau kecil itu tercabut, maka darah pun mengalir semakin deras. Dengan cepat Ki Citra Jati telah menaburkan obat di atas luka yang berdarah itu. Rara Wulan merasa lukanya sangat pedih. Namun ia tahu, bahwa obat itu justru mulai bekerja.

Tubuh Rara Wulan menggeliat di luar sadarnya oleh perasaan sakit dan pedih. Tetapi Nyi Citra Jati mendekap Rara Wulan semakin merapat di tubuhnya.

“Tahankan, Ngger. Lukamu akan segera sembuh.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tatapi mulutnya masih menyeringai menahan sakit. Rara Wulan memang tidak menangis. Meskipun demikian, matanya menjadi basah. Beberapa saat Rara Wulan masih tetap bersandar di tubuh Nyi Citra Jati.

Sementara itu, kedua orang perempuan yang berjongkok di sebelah tubuh Raden Kuda Sembada itu pun masih saja berjongkok di tempatnya. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Sementara itu, tiga orang laki-laki yang terkapar lagi di dekat roda pedati, telah mulai sadar pula. Ketika mereka bangkit untuk duduk, dilihatnya keempat orang yang tidak dapat dikalahkan itu masih ada di halaman itu pula.

Namun pada saat itu Glagah Putih telah menolong Rara Wulan berdiri, sementara Nyi Citra Jati pun berdiri pula.

Kepada kedua orang perempuan yang masih saja berjongkok di sisi tubuh Kuda Sembada, Ki Citra Jati pun berkata, “Ajak kawan-kawanmu yang masih dapat bangun kembali untuk menyelenggarakan tubuh kawan-kawanmu yang terbunuh. Kami memang bukan pembunuh yang dengan sengaja membunuh mereka. Tetapi dalam pertempuran, kecelakaan itu dapat saja terjadi. Apalagi kami harus melawan kawan-kawanmu yang jumlahnya lebih banyak.”

Kedua orang perempuan itu tidak menjawab. Sementara itu, Glagah Putih pun dengan hati-hati membimbing Rara Wulan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, setelah obat yang ditaburkan oleh Ki Citra Jati memampatkan darahnya yang mengalir dari lukanya.

Ketika mereka turun ke jalan di depan regol halaman rumah itu, mereka masih juga merasa heran. Tidak ada seorang pun yang tertarik mendengar hiruk pikuk pertempuran itu.

Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Katanya, “Inilah Wirasari, Ngger. Sebelumnya aku tidak begitu memperhatikan keadaan sejauh ini.”

“Ya, Ayah,” sahut Glagah Putih, “memang agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan di kademangan lain. Atau bahkan padukuhan di Kademangan Wirasari yang terletak agak jauh pun berbeda pula keadaannya.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

Demikianlah, mereka berjalan perlahan-lahan menuju ke penginapan yang jaraknya tidak terlalu dekat. Sementara itu Rara Wulan yang terluka, masih harus dibantu oleh Glagah Putih.

Orang-orang yang berpapasan di jalan memang berpaling kepada mereka. Sekilas mereka memperhatikan keadaan Rara Wulan. Namun kemudian mereka pun tidak menghiraukannya lagi, meskipun mereka melihat baju perempuan itu bernoda darah.

“Orang-orang di Wirasari telah kehilangan perhatian mereka terhadap sesamanya,” berkata Nyi Citra Jati.

“Ya. Tidak ada yang mempersoalkan kedua orang yang semalam berkelahi di dekat pasar,” sahut Ki Citra Jati.

Ketika mereka memasuki gerbang penginapan, maka anak muda yang bertugas di penginapan itu pun dengan tergesa menyongsong mereka. Sambil memperhatikan Rara Wulan, anak muda itu pun bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

“Sedikit keributan,” jawab Ki Citra Jati, “tetapi sudah teratasi.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, “Apakah ia benar-benar diculik oleh dua orang perempuan yang marah itu?”

“Ya.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengkuti Glagah Putih yang memapah Rara Wulan sampai di pondok kecil itu.

“Aku harus memberitahukan kepada kawan-kawan serta pemilik penginapan ini.”

“Kenapa?”

“Jika persoalannya nanti berkembang dan mengkaitkan penginapan ini, kami harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.”

Sejenak kemudian anak muda itu pun meninggalkan pondok kecil itu sambil berpesan, “Jangan ada yang kemana-mana.”

“Baik, anak muda,” jawab Citra Jati

Ketika anak muda itu pergi, maka Rara Wulan pun segera berbaring di amben yang besar itu. Glagah Putih mengambil minuman yang masih ada di dalam mangkuk di atas geledeg bambu.

“Minumlah, Rara,” desis Glagah Putih.

Dengan hati-hati Rara Wulan bangkit duduk dan minum beberapa teguk. Kemudian iapun telah berbaring kembali.

“Bagaimana keadaanmu, Ngger?” bertanya Ki Citra Jati.

“Keadaanku sudah menjadi semakin baik, Ayah.”

“Kau harus minum obat. Bukan sekedar obat yang ditabur di atas lukamu.”

Glagah Putih pun kemudian pergi ke dapur penginapan itu untuk minta air putih yang sudah direbus, untuk mencairkan serbuk obat yang dibawa oleh Ki Citra Jati.

“Obat ini akan memacu kesembuhan serta memulihkan kekuatanmu,” berkata Ki Citra Jati pula.

Rara Wulan mengangguk. Betapapun pahitnya obat itu, tetapi Rara Wulan harus menelannya.

Dalam pada itu, ternyata dalam waktu singkat pemilik penginapan telah berada di pondok kecil itu dan bertemu dengan Ki Citra Jati.

“Apa yang terjadi, Ki Sanak?” bertanya pemilik penginapan itu.

“Kami terpaksa berselisih dengan beberapa orang yang marah karena mereka merasa tersinggung.”

“Kenapa?”

Yang diceritakan oleh Ki Citra Jati adalah persoalan penginapan itu. Orang-orang itu tidak mau didahului oleh Ki Citra Jati dan keluarganya, meskipun akhirnya mereka juga tidak mau menyewa pondok kecil itu.

“Jadi apa mau mereka?” bertanya pemilik penginapan itu kepada anak muda yang sedang bertugas.

“Aku tidak tahu.”

Pemilik penginapan itu pun mengangguk-angguk.

“Kita harus berjaga-jaga. Mudah-mudahan persoalan ini tidak berkembang. Wirasari adalah daerah persimpangan, sehingga watak lingkungan sulit untuk dikenali.”

“Ya, Ki Sanak,” desis Ki Citra Jati.

“Baiklah. Kami akan berada di depan,” berkata pemilik penginapan itu.

Ternyata anak-anak muda yang bekerja di penginapan itu telah berada di penginapan. Demikian cepat mereka dihubungi. Agaknya rumah mereka tidak terlalu jauh. Yang sedang bertugas maupun yang tidak sedang bertugas, semuanya telah berkumpul di penginapan itu.

“Nampaknya pemilik penginapan ini serta mereka yang bertugas, bertanggung jawab penuh atas tamu-tamunya,” desis Glagah Putih.

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mereka agaknya berusaha bersungguh-sungguh untuk melindungi para tamunya. Tetapi semuanya itu juga dilakukan bagi kepentingan mereka sendiri pula.”

“Kenapa kepentingan mereka sendiri, Ayah ?” bertanya Glagah Putih.

“Mereka tidak ingin penginapan ini kehilangan pasaran. Dengan berusaha melindungi orang-orang yang menginap di sini, maka penginapan ini akan mendapat nama baik. Orang-orang yang pernah menginap di penginapan ini akan mengatakan kepada kawan-kawannya, kepada tetangga-tetangganya, dan kepada siapa saja yang akan pergi ke Wirasari, bahwa penginapan ini melindungi orang-orang yang menginap dengan sungguh-sungguh. Tentu saja sejauh kemampuan mereka.”

“Jangan terlalu berprasangka, Kakang,” sahut Nyi Citra Jati.

“Tidak. Aku tidak berprasangka buruk. Yang mereka lakukan itu adalah tindakan yang wajar. Bagaimanapun juga penginapan ini akan menjadi lebih baik daripada sekedar menyediakan tempat untuk menginap. Persaingan di antara penginapan-penginapan menjadi semakin ketat sekarang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, maka seorang pelayan penginapan itu telah menghidangkan minuman hangat. Sedangkan hari pun merangkak mendekati senja.

Setelah mandi, Ki Citra Jati pun pergi melihat-lihat halaman depan penginapan itu. Ada beberapa orang yang duduk di serambi. Mereka berbincang tentang berbagai macam persoalan. Persoalan hidup mereka sehari-hari. Tetapi ada juga yang berbicara dengan sungguh-sungguh. Agaknya mereka membicarakan persoalan-persoalan yang penting. Mungkin tentang putaran perdagangan mereka. Tetapi mungkin juga tentang gejolak yang sering terjadi di Wirasari.

Ki Citra Jati pun kemudian berdiri di luar pintu gerbang, melihat orang yang berlalu lalang di jalan di depan penginapan itu.

Namun Ki Citra Jati itu terkejut ketika ia melihat Ki Demang dan dua orang bebahu berjalan menuju ke pintu gerbang penginapan itu. Dengan cepat Ki Citra Jati berusaha untuk berdiri di belakang orang yang juga berdiri melihat orang-orang yang lewat. Tanpa berpaling Ki Demang dan kedua orang bebahu langsung masuk ke pintu gerbang penginapan.

“Selamat sore, Ki Demang,” sapa seorang anak muda yang bertugas, yang kebetulan berada di halaman.

Ki Demang memandang anak muda itu sejenak. Tanpa menjawab sapa anak muda itu, Ki Demang pun bertanya, “Kau petugas di penginapan ini?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar