Warisan Berdarah Jilid 1

Jilid 1

Tiga sosok berlari gesit memasuki kota Huangsan, setelah memasuki kota ketiganya langsung menuju sebuah rumah yang tergolong besar dikota itu, rumah itu adalah milik “pek-mou-kwi” (iblis berambut putih) yang merupakan salah satu suhu ketiga orang muda tersebut, ketiga orang muda itu adalah tiga saudara seayah berlainan ibu, yang paling tua bernama Han-kwi-ong berumur dua puluh tiga tahun, yang kedua bernama Han-ok-liang berumur dua puluh satu tahun, sementara yang muda adalah Han-sai-ku berumur sembilan belas tahun, ketiganya adalah anak-anak Han-hung-fei yang dijuluki “bun-liong-taihap” (pendekar naga sastra).

Satu tahun yang lalu, ketiga saudara ini menjadi momok yang menakutkan di kota Chang-an, namun setelah saudara se ayah mereka yang paling Tua Han-Fei-Lun atau “siauw-taihap” (pendekar muda) menaklukkan mereka, ketiganya harus manut dan menghentikan kelakuan makar mereka, terlebih pada peristiwa itu, ketiga ibu mereka tewas dibunuh oleh ayah mereka sendiri, setelah “siauw-taihap” meninggalkan mereka dengan membawa ayah mereka yang kehilangan akal, ketiganya kembali kedalam rumah.

“apa yang kita lakukan selanjutnya ong-ko!?” tanya sai-ku

“kita berpisah dan mencari jalan masing-masing.” sahut kwi-ong “menurutku juga demikian.” sela ok-liang

“jika demikian sebaiknya harta yang ada kita bagi.” ujar sai-ku

“baik, harta yang ada disini dan yang yang kita pendam di Nancao kita bagi.” ujar kwi-ong. “baik, marilah kita bagi yang disini dulu.” sela ok-liang

Kemudian ketiganya membagi harta yang mereka kumpulkan, sehingga ketiganya masing-masing dapat sepuluh pundi uang emas, setelah pembagian selesai, dua bulan kemudian ketiganya berangkat ke Nan- cao, harta yang mereka pendam disana sangat banyak, sehingga dari pembagian harta itu, ketiga saudara itu masing-masing mendapatkan empat puluh pundi uang emas, setelah itu enam bulan kemudian, ketiganya berangkat ke Huang-san.

Ketigannya memasuki halaman luas rumah yang besar itu, dan ketiganya disambut oleh seorang lelaki tua yang sedang menyiram taman bunga

“selamat datang “sam-cu” (tiga majikan)” sapa lelaki itu ramah

“selamat datang…, lauw-pek! sampaikan pada Ma-bo untuk mempersiapkan makanan untuk kami!”

“baik “it-cu” (majikan pertama)” sahut pelayan itu, dan segera masuk kedalam rumah, ketiga saudara itu langsung masuk kekamar masing-masing, lalu mandi dan setelah berganti pakaian ketiganya menuju ruang makan.

Setelah selesai makan, ketiganya duduk diruang tengah “lalu rumah ini bagaimana?” tanya Ok-liang

“yang mewarisi rumah ini jelas adalah aku, karena ini adalah rumah dari suhu dari ibuku.” sahut Kwi-ong

“hmh…baiklah, lalu bagaimana dengan kitab pusaka bun-liong-taihap, siapa diantara kita yang memiliki?” sela Sai-ku, ketiganya saling pandang “bagaimana menurutmu liang-te!?” tanya kwi-ong

“kitab ini, diantara kita yang berlebih kurang, jadi tidak ada jalan bagi kita kecuali adu kekuatan untuk memilikinya.”

“saya juga sejalan dengan pikiran liang-ko.” sela Sai-ku

“jika demikian marilah kita keruang pustaka!” ujar kwi-ong, lalu ketiganya meninggalkan ruang tengan dan memasuki ruang pustaka, lalu Han-kwi-ong mengambil sebuah kitab tebal dari rak buku dan meletakkannya diatas meja.

“adu kekuatan yang bagaimana maksudmu ok-liang?” tanya kwi-ong

“siapa dalam pibu yang masih mampu berdiri akan memiliki kitab ini.” jawab ok-liang “benar, tapi bukan hak mutlak.” sela sai-ku

“maksudmu bagaimana sai-ku?” tanya kwi-ong

“boleh jadi saat ini salah seorang memenangkan pibu ini, namun tidak menutup kesempatan bagi dua yang kalah untuk mengincarnya kembali.” Jawab sai-ku

“saya setuju dengan pemikiran sai-ku.” sela ok-liang

“baik, kita akan mengadakan pibu di lianbutia nanti malam.” ujar kwi-ong sambil meninggalkan ruang pustaka, dan disusul kedua saudaranya.

Ketiga saudara itu memasuki kamar masing-masing untuk mempersiapkan diri, sai-ku melakukan siulian untuk melancarkan jalan darahnya, demikian juga kedua saudaranya, dan saat siang berganti malam, ketiganya memasuki lianbutia, dan tidak lama kemudian, tiga saudara itu saling serang, pertarungan sembraut pun berlangsung seru dan menegangkan, suara dentuman dari benturan tiga sin-kang membuat rumah itu bergetar, empat pelayan terkejut dan segera menuju lianbutia, dan mereka tercengang melihat tiga majikan mereka saling serang.

Suatu saat kwi-ong salah langkah, langsung dihantam dua saudaranya, sehingga kwi-ong terlempar dengan dada sesak, lalu sai-ku dan ok-liang saling serang, kemudian kwi-ong memasuki pertempuran dan membuat sai-ku kelabakan, dan tak ayal kedua saudaranya menfokuskan serangan padanya, sehingga sai-ku terpental sambil muntahkan darah, lalu antara kwi-ong dan ok-liang saling serang, dan sai-ku menenangkan nafasnya, dan kemudian menerjang lagi kedalam pertempuran, sehingga ok-liang tersudut, dan mendapat tekanan berat dari dua saudaranya, ok-liang bercoba bertahan, namun dia ambruk karena dua pukulan yang bersarang di tubuhnya.

Kwi-ong dan sai-ku saling hantam, tidak lama kemudian ok-liang maju dan membuat pertarungan jadi centang perenang, masing-masing tiga saudara itu, sudah berkali-kali jatuh bangun, puluhan jurus, bahkan dua ratus jurus sudah berlalu, luka dalam dan luka luar sudah sama-sama diderita ketiganya, semalaman pertarungan tanpa arah itu berlangsung, sehingga menjelang pagi, sai-ku sudah tidak mampu berdiri karena pingsan dihantam dua pukulan saudaranya, ok-liang dan kwi-ong melanjutkan pertarungan, dan ketika matahari sudah sepenggalah, ok-liang ambruk pingsan namun kwi-ong juga sudah merasa kepayahan, dan terduduk lemas, dengan nafas terengah-engah ia memandang dua saudaranya yang tergeletak pingsan.

“it-cu!?” apa dan kenapa cu-sam saling berkelahi?” tanya lauw-pek bingung

“coba kamu periksa keduanya lauw-pek!” perintah kwi-ong, lalu lauw-pek memeriksa ok-liang dan sai-ku “cu-ji sama-sama pingsan it-cu.” ujar lauw-pek

“hmh….sudah, kalau begitu cepat bawa saya kekamar!” ujar kwi-ong “lalu bagaimana dengan cu-ji!?” “biarkan saja, nanti setelah siuman baru kamu papah kekamar.” “kenapa tidak di bawa saja kekamar it-cu.” tanya lauw-pek heran

“ah…kamu ini banyak tanya, cepat bawa aku kekamar!” bentak kwi-ong, dengan hati bergetar karena takut, lauw-pek memapah kwi-ong kedalam kamar.

Menjelang siang sai-ku siuman dari pingsannya, dan melihat ok-liang masih tergeletak, dan dia melihat lauw-pek mendatanginya.

“sam-cu” sudah siuman!?” “hmh…bagaimana dengan ok-liang!?” “ji-cu masih pingsan sam-cu!”

“lalu dimana kwi-ong!?”

“it-cu sedang istirahat di dalam kamar

“aduh…agh….” Keluh ok-liang, dia membuka matanya dan menatap pada lauw-pek, kemudian melihat sai- ku yang terduduk

“kamu sudah siuman sai-ku!?”

“sudah, dan tentunya kita berdua kalah dalam pibu ini.” ujar sai-ku sambil menahan nyeri yang mendera tubuhnya.

“sudahlah, lauw-pek papah aku kekakamar!” ujar ok-liang,

“b..baik ji-cu, tunggulah sam-cu, aku papah ji-cu dulu.” ujar lauw-pek, kemudian memapah ok-liang dan membawanya kekamar, setelah itu lauw-pek kembali ke lianbutia dan memapak sai-ku kedalam kamar, malam itu tabib cia sibuk memeriksa tiga bersaudara itu, dia dibantu lauw-pek untuk meramu obat luka dan memar

“kenapa tiga majikanmu bisa terluka demikian parah lauw-sicu!?”

“ah..aku juga bingung, semalam mereka saling serang, dan paginya saya lihat tiga-tiganya sudah tergeletak, dan bahkan dua diantaranya pingsan.”

“hmh….adat orang persilatan ini aneh-aneh saja.”

“benar cia-sinse, lalu bagaimana keadaan tiga majikan saya sinse?”

“hmh….majikanmu yang paling muda itu setidaknya tiga bulan harus menjalani pengobatan.” “kalau yang paling tua, bagaimana?”

“yang paling tua setidaknya tiga minggu dia akan pulih, dan yang satunya lagi dua bulan paling tidak.” jawab cia-sinse

“baiklah, minggu depan saya akan datang lagi untuk memeriksa ketiganya, dan ini obat diminum dua kali sehari, dan jangan lupa untuk mengganti obat bubuk pada luka mereka sekali dua hari.” ujar cia-sinse

“bai..baik cia-sinse dan terimakasih…” sahut Lauw-pek, kemudian ia mengantar cia-sinse keluar rumah.

Selama dua bulan, ok-liang sudah sembuh sementara sebulan yang lalu kwi-ong sudah duluan sembuh, dan sai-ku masih menjalani pengobatan dari cia-sinse, ok-liang mengemasi pakaiannya dan membuntal hartanya, lalu ia pun keluar kamar, dan tanpa pamit dia meninggalkan dua saudaranya, setelah keluar dari gerbang utara, ok-liang mengerahkan sin-kang dan berlari sangat cepat melintasi jalan setapak, masuk hutan dan keluar hutan. Perjalanan panjang yang hampir memakan waktu satu tahun itu, membawa ok-liang memasuki kota Shinyang yang padat dan ramai, ia memasuki likoan dan menyewa kamar, pada hari ketiga ok-liang keluar likoan untuk menikmati keramaian kota, sebuah joli yang diangkat empat orang lelaki kekar melewati taman kota, orang yang lalu lalang berhenti dan memandang kearah joli, ok-liang juga tidak luput memperhatikan wajah wanita berumur dua puluh tahun yang duduk dalam joli, wajah wanita itu sangat cantik dengan seulas senyum menawan.

“siapakah wanita itu kongcu?” tanya ok-lian pada seorang pemuda di dekatnya

“namanya Bao-lan, selir muda sima-wangwe.” Jawabnya sambil senyam-senyum membayang wajah Ba- lan

“rombongan itu hendak kemana?”

“bao-lan setiap bulan mendatangi rumah besar yang di hadiahkan sima-wangwe di timur kota.” jawabnya masih dengan lamunannya

“eh…kamu siapa kongcu, apakah kamu orang baru disini?” tanyanya tiba-tiba sambil menatap wajah ok- liang

“benar, aku orang baru disini, dan namaku han-ok-liang.” jawab ok-liang dan diapun melangkah meninggalkan pemuda itu

“eh..kamu mau kemana ok-liang!?” “aku hendak menjumpai bao-lan.”

“eh…untuk apa? apa kamu tidak takut sama pengawalnya?”

“kalau kamu takut, sudah bagus kamu membayanginnya saja, tapi aku tidak mau membayangin saja, tapi aku mau mengambil dia jadi istriku.”

“eh….cari mampus kamu ok-liang!” teriak pemuda itu, namun ok-liang tidak menggubris lagi pemuda itu, dan terus mengikuti rombongan, sesampi disebuah rumah besar dan megah, wanita bernama Bao-lan itu keluar dari dalam joli, wajahnya yang ayu semakin membuat ok-liang terpana, empat orang pelayan keluar dan menyambut Bao-lan

“siauw-hujin ternyata sudah datang.” ujar seorang dari pelayan dengan senyum merekah, lalu bao-lan pun masuk kedalam rumah diiringi empat pelayan.

Ok-liang kembali ke penginapan, dengan senyum dia telah merencanakan sesuatu, dan pada malam harinya, dia mengemasi barangnya, dengan gerakan kilat ia berkelabat menuju timur kota, dan tidak lama ia sudah memasuki rumah yang megah itu, tujuh orang pengawal yang sedang berjaga, tidak sedikitpun menyadari keberadaan ok-liang, bao-lan sedang menyisir rambutnya yang hitam gemuk dan panjang, pakaiannya yang tipis membayangkan tubuhnya yang putih mulus, pemandangan dalam kamar itu membuat hati ok-liang semakin berdegup kencang.

Bao-lan naik ke atas ranjangnya, tapi tiba-tiba ia terkejut melihat ok-liang berdiri di pinggir ranjang dengan senyum menawan

“k..kamu siapa, a..apa maumu?” tanya Bao-lan dengan wajah pucat

“jangan takut lan-moi, aku tidak akan berlaku kejam kalau kamu tidak memaksaku.” “a..apa maksudmu!?”

“wajahmu sangat cantik dan mempesona, sehingga membuat aku tertarik dan menyukaimu.” “kamu siapa, dan apa yang hendak kamu lakukan?”

“saya han-ok-liang, dan saya ingin tidur bersamamu.” “ah….jangan!” bantah bao-lan cemas

“lan-moi, sekali lagi, jangan paksa aku membuat hal tidak baik padamu.” Ujar ok-liang dengan tatapan tajam, melihat mata yang berkilat itu membuat bao-lan bergetar ketakutan.

“sudah mari kita tidur!” ujar ok-liang sambil duduk dan membuka bajunya “kamu mau berbuat apa?”

“lan-moi aku ingin bercinta denganmu.”

“t..tapi aku sudah punya suami.” Jawab bao-lan gugup

“sekarang sampai seterusnya, kamu hanyalah milikku, kesinilah saying!” ujar ok-liang, melihat ok-liang hendak meraihnya, bao-lan bergeser menjauh dengan wajah pucat

“apakah harus memaksamu lan-moi!?” tanya ok-liang, bao-lan makin bingung, dia memang sangat takut dengan kemunculan pemuda gagah didepannya ini, namun cara bicara ok-liang yang penuh bujuk rayu dan terkesan sabar membuat bao-lan heran

“dimana para penjaga rumahku!?” tanyanya sekenanya “mereka berjaga diluar, marilah sayang, aku makin tidak tahan.” “t..tapi ini tidak boleh…” sahutnya memelas

“tidak ada yang bisa menghalangi hal ini, sejak saat ini akulah suamimu.” “a..aku tidak mengenal dirimu, dan kita juga tidak menikah.”

“nantinya kamu akan mengenaliku, dan malam ini kita akan menikah.” sahut ok-liang dan menangkap tangan bao-lan dan menariknya kedalam pelukan, bao-lan tidak meronta, walaupun ada sedikit keterkejutan saat tangannya ditangkap oleh ok-liang, ok-liang mengecup pipi bao-lan, bao-lan bergetar dan mencoba menjauhkan wajahnya, namun wajah tertahan oleh tangan ok-liang dan akhirnya mulutnya dilumat ok-liang.

Tubuh Bao-lan bergetar dengan perlakuan antara kasar dan lembut itu, nafasnya sesak, saat ok-liang melepaskan lumatannya, desahan bao-lan membuat ok-liang makin gemas, kembali bibirnya melumat bibir bao-lan yang sedikit terbuka, bao-lan makin lemas dan terangsang, tubuh pemuda yang memeluknya ini jauh lebih menggetarkan ketimbang tubuh sima-wangwe yang gemuk, wajah tampan ok-liang yang mengecupinya,melebihi dari wajah sima-wangwe yang tua dan keriput.

Bao-lan makin terbakar oleh birahinya, ok-liang demikian telaten meremas dan mencumbui tubuhnya, sehinga bao-lan makin menggelinjang, rasa ini tidak akan pernah didapat dari sima-wangwe yang sudah layu, bao-lan makin menggelinjang dan menuntut lebih,, tanganya sudah ikut meremas punggung ok-liang, desahan nafasnya semakin memburu seiring birahinya yang semakin menggelora.

Malam itu bagi para penjaga dan pelayan berlalu dengan normal, tapi tidak dikamar bao-lan, bao-lan seakan tidak puas mereguk nikmatnya cumbu birahi dari ok-lian yang sudah berpengalaman, dipenghujung malam itu bao-lan dengan senyum merekah tertidur dalam pelukan hangat han-ok-liang, para pelayan heran, melihat pintu kamar majikan mereka masih terkunci, untuk membangunkan mereka tidak berani.

Setelah matahari naik tinggi, ok-liang bangun dan dia mencium bao-lan sehingga membuat bao-lan bangun dan menyadari kenyataan

“ah…bagaimana ini, apa yang harus kita lakukan?” “apa yang kamu takutkan lan-moi?”

“bagaimana kalau wangwe tahu.” Ujarnya cemas “hehehe..hahahaa….tidak kau mengerti lan-moi, bahwa akulah sekarang suamimu.” “itu kan hanya kita berdua, orang luar tahu benar aku adalah selir sima-wangwe.”

“mari kita keluar…!” ajak ok-liang, dia turun dari ranjang dengan melilitkan selimut pada tubuhnya yang telanjang, hati bao-lan tercekat, karena tubuh telanjangnya tidak tertutupi.

Ok-liang membuka pintu kamar, dan berketepatan dua orang pelayan melintas dan melihat ok-liang “ih…kamu siapa?” seru keduanya terkejut

“aku dan bao-lan sudah menikah, dan sejak saat ini kami akan tetap tinggal disini. Kaliam faham!?” “i..iya siaw-ya..” jawab keduanya

“bagus, sekarang siapkan makanan untuk kami!” perintah ok-liang, dua pelayan itu segera melakukan perintah ok-liang.

“mari kita mandi lan-moi.” ajak ok-liang, tanpa berkata-kata bao-lan ikut ok-liang, dan keduanya mandi bersama, gelitikan dan jawilan tangan nakal ok-liang kembali membuat suasana dikamar mandi itu semakin romantis, dan untuk kedua kalinya, bao-lan menuntut penuntasan yang melelapkan, setelah itu, keduanya kembali membersihkan badan, lalu keduanya berganti pakaian dan keluar bersama menuju ruang makan.

Empat pelayan yang sedang kasak kusuk, langsung tertunduk setelah melihat nyonya mereka bersama ok-liang,

“kalian pergilah, nanti saya panggil lagi!” perintah bao-lan, keempat pelayan itu segera meninggalkan ruang makan sambil kasak-kusuk, keduanya pun makan malam dengan lahap

“liang-ko, jujur aku katakana, bahwa aku juga sangat suka kamu ada disampingku, tapi hatiku cemas jika ingat dengan wangwe.”

“wangwe itu urusanku lan-moi.”

“kalau aku tidak pulang dalam tiga hari, aku akan dijemputnya.”

“tidak akan ada yang menjemputmu lan-moi, karena tempatmu disini bersamaku.” “baiklah, aku percaya padamu liang-ko.” ujar bao-lan.

Saat senja keduanya keluar, dan tujuh pengawal heran dengan keberadaan ok-liang, namun mereka hanya diam saja, dan saat malam tiba

“lan-moi, aku akan keluar sebentar.”

“Kemanakah liang-ko hendak pergi?” tanya bao-lan cemas

“aku akan mengurus wangwe.” sahut ok-liang dan berkelabat dari hadapan bao-lan, bao-lan tercengang dan takjub, dia mengucek-ucek matanya untuk meyakinkan dirinya, lalu bao-lan duduk dan hatinya makin tenang, karena merasa tidak ada kendala jika ia hidup bersama ok-liang, bibirnya tersenyum bahagia membayangkan yang dialaminya sejak semalam.

Ok-liang memasuki rumah sima-wangwe, gerakannya yang cepat dan ringan dengan mudah melewati para penjaga, ok-liang masuk kedalam kamar sima-wangwe yang sedang membaca buku dalam kamarnya, ok-liang merotar belakang kepala sima-wangwe dengan hiasan tirai

“tuk….” Sima-wangwe langsung tertunduk, dan tidak lama darah mengucur dari lobang hidung dan telinganya, sima-wangwe yang berumur enam puluh itu tewas dengan bagian dalam kepala retak. Ok-liang meninggalkan rumah sima-wangwe, dan satu jam kemudian rumah-sima-wangwe gempar, karena istrinya menemukan sima-wangwe telah tewas, tidak satupun dari para penjaga mengetahui bagaimana tewasnya sima-wangwe, dan akhirnya mereka menyimpulkan bahwa sima-wangwe tewas karena penyakit, keesokan harinya bao-lian datang melayat, dari dua istri sima-wangwe, dan empat selirnya, sangat iri dengan bao-lan yang disayang oleh sima-wangwe, dengan sikap wajah sedih bao-lan memberikan penghormatan terakhir pada sima-wangwe.

Dan menjelang sore ia kembali kerumahnya, dan sejak itu, cinta bao-lan merekah pada ok-liang, walaupun keduanya tidak resmi menikah, ok-liang dan bao-lan menjalani hidup bersama, tahun pertama kebersamaan mereka, ok-liang membuka bukoan yang ia namai dengan “hek-liong” (naga hitam), bukoannya di awali dengan sepuluh murid belia.

Tahun kedua bukoannya makin dikenal, dan hal yang membuat ok-liang merasa bahagia, dimana bao-lian hamil, suami istri tidak resmi itu semakin merasa bahagia, terlebih saat anak mereka itu lahir, seorang anak perempuan yang diberi nama han-liu-ing, semakin menambah kecerian dalam rumah itu, umur ok- liang yang menginjak dua puluh lima itu, menciumi istrinya dengan rasa bangga dan bahagia.

Sebelah selatan Kota kun-ming berdiri sebuah rumah yang indah lagi megah, halaman rumah yang luas ditumbuhi aneka macam bunga, seorang pelayan laki-laki sedang merapikan bunga pagar yang mengelilingi halaman tersebut, sebuah kereta kuda berhenti didepan rumah, dan suami istri paruh baya turun dari kereta, pelayan itu segera menghampiri tamu yang datang, dan dari dalam rumah seorang wanita cantik yang sedang hamil keluar

“ayah dan ibu sudah datang!?” serunnya gembira “sudah siang-ji, suamimu mana?”

“ku-koko belum pulang dari likoan, ayah.” sahutnya, lalu membawa ayah ibunya masuk kedalam rumah.

Berselang satu jam kemudian, lelaki muda tampan berumur dua puluh tiga tahun memasuki rumah, dia tiada lain adalah Han-sai-ku

“oh….gak-hu ternyata sudah datang, sudah lama gak-hu?” sapa sai-ku “baru satu jam yang lalu, bagaimana usahamu ku-ji!?”

“berjalan baik gak-hu, dan aku membersih diri dulu.” “ya…ya…pergilah.” sahut Bu-loya.

Han-sai-ku sudah lebih kurang empat tahun menetap di kun-ming, sebelumnya sebagaimana diketahui ia sedang terbaring lemah di kota huangsan, namun setelah sebulan kepergian saudaranya ok-liang, sai-ku pun normal dan pulih kembali, sebagaimana halnya ok-liang, sai ku pun mengemasi barang-barangnya, dan meninggalkan huang-san tanpa pamit pada kwi-ong, dan kwi-ong pun tidak ambil perduli dengan urusan basa-basi itu.

Dua bulan kemudian sai-ku memasuki kota wuhan, jalanan kota yang biasa dipadati orang yang lalu lang, terlihat sepi, karena hari itu memang sangat panas terik, dan banyak orang merasa gerah dan berteduh di pinggir toko, atau masuk kedalam likoan sekedar minum dan istirahat, sai-ku segera memasuki sebuah likoan

“silahkan kongcu, kongcu mau pesan apa?” tanya pelayan ramah “sediakan makanan dan seguci arak.”

“baik kongcu, silahkan menunggu sebentar.” sahut pelayan dan segera meninggalkan sai-ku. “hmh sudah seminggu cuacanya panas ya Yap-twako!?”

“benar, dan sepertinya ini akan berlangsung lama.”

“oh ya twako..! kapan barang pesanan twako tiba disini!?” “mungkin nanti sore, barang itu di bawa han-piauwkiok dari Hopei “ah..kalau han-piauwkiok yang bawa, dijamin lancer dan tanpa hambatan.”

“benar Gak-te, perampok mana yang berani coba-coba dengan han-piauwkiok yang terkenal kepiauwan para piauwsunya.”

“bagaimana ceritanya para ki yang dibentuk aliran hek-to, pernahkan Yap-twako mendengarnya?” “sudah hampir satu tahun tidak ada lagi pergerakan organisasi menakutkan itu.”

“saya dengar juga begitu Yap-twako, sejak bengcu siauw-taihap membungkam para pimpinan hek-to, tidak ada lagi golongan itu yang berani berbuat macam-macam.” Ujar she-gak, pembicaraan dua rekanan itu berlanjut, dan sai-ku terus bersantap sambil mendengar pembicaraan dua pelanggan itu.

Kadang hati Sai-ku gemas juga dengan pembicaraan mengenai golongannya itu, tapi untuk berbuat kasar dia tidak berani, karena peringatan yang dikeluarkan saudara tua mereka Han-fei-lun, selama tiga hari Sai- ku berada dikota Wuhan , dan pagi-pagi sekali ia meninggalkan kota Wuhan, dan dua bulan berikutnya ia istirahat disebuah hutan disebelah timur kota khangsi.

“kenapa menyalahkan warna kain, jika kulit sendiri tidak ada pilihan kenapa menyalahkan orang lain, jika diri juga penuh kesalahan renungkan sendiri kedalam batin, pasti ketemu sebab dari keadaan keadaan tanpa sebab tidaklah mungkin, demikianlah liku kehidupan…”

Suara nyanyian itu demikian lantang bergema, dalam hutan, sai-ku mencari arah asal suara nyanyian, dan ia melihat lelaki paruh baya sedang mandi disumber air, hatinya heran, karena lelaki itu ia kenal

“peng-siok….!” seru sai-ku, lelaki paruh baya yang ternyata adik ibunya menoleh “kamukah itu ku-ji!”

“benar siok, siok kemana saja!”

“tunggulah! paman segera keluar.” ujar Wan-peng, wan-peng segera keluar dan mengeringkan badannya, lalu kemudian ia memakai bajunya.

“paman darimana saja, paman kenapa tidak kembali ke huangsan? kami kira paman sudah tewas.”

“nantilah paman ceritakan, sekarang marilah kita kepondok paman!” sahut Wan-peng, lalu ia mengajak sai- ku ke pondok sebelah timur hutan, yang dia buat dua tahun yang lalu

“bagaimana kabar dan keadaan ibumu kui-ji?” “hmh….paman, ibu sudah tewas dua tahun yang lalu.”

“oh……begitukah?” gumamnya dengan nada sedih dan matanya berkaca-kaca mengenang cicinya “apa yang paman lakukan disini? kenapa paman tidak kembali ke huangsan?”

“hmh….ku-ji! paman mencoba memperbaiki diri ditempat sepi ini, dan tidak mau lagi berurusan dengan kebajatan-kebejatan hek-to.”

“apa maksud paman, kenapa paman berubah seperti ini?”

“karena kita harus berubah ku-ji, ketahuilah dan sadarilah! bahwa yang kita lakukan itu meracuni dan membinasakan diri sendiri, semua yang kita lakukan adalah merupakan usaha menceburkan diri kedalam lembah kekelaman hidup, yang isinya hanya kegelisahan dan penyesalan.”

“apakah paman merasa gelisah, dan kenapa paman gelisah?” “ku-ji, jika kita tidak bisa memilih dan memilah antara salah dan benar, maka rasa dan penilaian kita akan buta. Apakah kamu sudah bisa memilih dan memilah yang namanya benar dan salah?”

“tentunya aku bisa paman, tapi bukankah itu hanya sebuah aturan yang hanya mengarahkan kita pada hal- hal yang menyempitkan gerak hidup kita?”

“sekilas memang demikianlah ku-ji, tapi sebenarnya lebih tepat jika dikatakan, bahwa aturan bertujuan membentuk kendali dalam diri kita.”

“kenapa kita harus punya kendali siok?”

“supaya kita hidup tenang dan tidak liar, ku-ji, apakah kamu tidak mau hidup tenang ku-ji?” “aku merasa tenang dengan kehidupan sekarang siok?”

“kamu membohongi dirimu anakku, tiliklah kembali pada batinmu yang dalam, benarkah engkau merasa tenang? cobalah lihat dibalik kepuasanmu setelah melakukan suatu kesalahan, apakah yang tersisa anakku” ujar Wan-peng arif, sai-ku terdiam dan merenungkan perkataan pamannya, dia merasakan setitik sesal dan melihat kebenaran apa yang dikatakan pamannya.

“paman terakhir berjumpa dengan ibumu dua tahun yang lalu, namun kebutaannya melahirkan kemarahan padaku, bagaimanakah ibumu tewas anakku?”

“hmh….ibu tewas di tangan ayah siok.hiks…hiks..” jawab sai-ku entah bagaimana di ingatkan pada ibunya, barulah saat ini ia menangisi kematian ibunya yang mengenaskan.

“berarti kamu sudah tahu siapa ayahmu ku-ji?” ujar wan-peng, sai-ku mengangguk masih dengan air mata yang berderai.

“menangislah anakku, dengan demikian kamu menghidupkan kembali rasa dalam dirimu yang telah lama mati, itu satu langkah maju dalam memperbaiki diri anakku, setelah ini kamu akan dapat menilai bagaimana engkau dibentuk selama ini”

“paman! kenapa ibu dan suhu melakukan hal itu pada kami?”

“karena hati dipenuhi dendam dan sombong anakku, jika dua hal ini menggeluti jiwa, maka segala cara pun akan dilakukan, tentunya engkau merasa bagaimana engkau hanya sebuah alat untuk melampiaskan dendam dan sombong orang lain.” sahut Wan-peng, sai-ku memejamkan mata, dan terbit rasa kasihan pada ayahnya, dan peristiwa detik-detik kematian ibunya terpampang jelas dalam benaknya, sai-ku makin sesugukan dalam tangisnya mengenang semua itu.

Lama sekali paman dan keponakan itu terdiam, hanya suara sesugukan sai-ku yang terdengar

“paman…, bagaimana paman bisa seperti ini, apa yang paman alami?” tanya sai-ku sambil mengusap dan mengeringkan air matanya.

“hati paman saat itu pada puncak rasa marah, kecewa, dan merasa terhina, setelah dikalahkan ayahmu, lalu paman mendengarkan syair yang paman nyanyikan tadi di sumber air, dari saat itulah semuanya bermula, syair itu keluar dari mulut seorang pemuda gagah yang luar biasa”

“apakah paman mengenal pemuda itu?”

“tidak…paman tidak tahu, bagi paman pemuda itu laksana dewa, kata-katanya itu laksana air yang memadamkan api kemarahan pada diri paman, inti dari syair itu amat mudah, yakni hanya kembali menilik keadaan batin, dan ternyata melakukan hal itulah yang kita alpakan selama ini, karena lalai dengan itu makanya kita enteng saja melakukan hal-hal yang kita inginkan, kita tidak sadar bahwa setiap kejahatan yang kita lakukan, akan menambah penyakit dalam hati .” ujar Wan-peng, sai-ku menyimak baik wejangan pamannya.

Selama enam bulan Sai-ku hidup dihutan itu bersama pamanya, banyak hal yang mereka bicarakan, sehingga sai-ku banyak menimba pemahaman hidup dari pamannya, dan suatu pagi “paman, apakah paman akan tetap tinggal disini?”

“benar ku-ji, dan kamu berangkatlah, binalah hidupmu di luar sana, semoga paman mendengar betapa engkau duhai anakku tidak melenceng.”

“baiklah paman, semoga wejangan paman bisa anak laksanakan, dan aku berangkat, paman” sahut sai- ku, Wan-peng mengangguk dan melepaskan keponakannya.

Setahun kemudian, Sai-ku memasuki kota kun-ming yang saat itu sedang di guyur hujan lebat, sai-ku memasuki sebuah likoan untuk makan, para tamu kebanyakan para ahli silat muda dengan perawakan lumayan tampan.

“lihat tuh “siauw-liong” (naga muda) sudah datang, celoteh seorang tamu, saat seorang pemuda tampan memasuki likoan

“eh….kalian sudah disini “pek-tiauw” (rajawali putih), “hui-kiam” (pedang terbang)?”

“sudah, emangnya kamu saja yang ingin adu peruntungan.” sahut pemuda yang berjulukan “hui-kiam” “hehehe…sudah lama kalian sampai?”

“saya siang tadi memasuki kota ini, tapi pek-tiauw sudah dari semalam.” sahut hui-kiam, lalu “siauw-liong” mengambil kursi dan duduk bersama dua kawannya.

Sai-ku yang mendengar pembicaraan itu jadi tertarik, dan saat pelayan menghidangkan pesanaannya “sobat, kenapa banyak para ahli silat yang memasuki kota ini, mau apa mereka kesini?”

“eh…saya kira kongcu memiliki niat yang sama dengan para pendekar ini.” “maaf sobat, memangnya apa niat mereka datang kesini?”

“besok pagi syembara Bu-tai-jin akan dilaksanakan.” “syembara apakah itu?” tanya sai-ku semakin tertarik

“Bu-taijin akan mengadakan syembara mencari menantu dari kalangan ahli silat.” “oh…begitu, dimanakah akan dilaksanakan syembara itu sicu?”

“akan dilaksanakan di alun-alun kota.”

“oo,,terimakasih sicu.” ujar sai-ku, dan pelayan itu pun meninggalkannya, dan sai-ku mulai menyantap makanannya.

Keesokan harinya para pendekar yang menginap di likoan itu menuju alun-alun kota, diantara mereka salah satunya adalah sai-ku, sejak semalam dia sudah berniat untuk ikut syembara, sesampai di alun-alun, sudah banyak orang menempati alun-alun, dan saat matahari naik sepenggalah, acara pun di buka oleh Coa-ciangkun

“selamat datang para hohan dan sicu taihap semua, sebagaimana dalam selebaran yang sudah beredar, bahwa hari ini syembara ini ditujukan untuk mencari suami dari putri bu-taijin yang bernama bu-siang.” ujar coa-ciangkun sambil menunjuk kea rah Bu-siang yang duduk disebelah ayahnya, semua orang menatap wajah bu-siang yang cantik mempesona.

Sai-ku tak dapat tidak menjadi terpikat melihat kecantikan Bu-siang yang luar biasa, putrid semata wayang bu-tai-jin ini memang jadi buah bibir di kota kun-ming, bahkan kecantikannya terkenal sampai kekota-kota lain, bu-siang tersenyum, sehingga semakin menambah pesona wajahnya, semua pengunjung bertepuk tangan, tidak terkecuali sai-ku sendiri yang ikut hanyut dengan perasaan hatinya yang tertawan. “nah…baiklah para hohan dan sicu taihap semua, hal yang pertama ingin kami lakukan adalah membuka pendaftaran dengan tampilnya para peserta ke atas pangung.” ujar coa-ciangkun, perkataan itu disambut dengan melayangnya enam orang ke atas panggung, diantara enam orang itu tiga orang adalah “siauw- liong”, “pek-tiauw” dan “hui-kiam:”, dan tiga yang lainnya juga tiga pemuda tampan berumur dua puluh tiga dan dua puluh empat, pemuda dengan ikat kepala putih dikenal dengan julukan “soan-hong-twi” (tendangan angina puyuh), kemudian yang mamakai topi sastrawan berjulukan, “sin-san” (kipas sakti) dan yang berpakaian dari kulit harimau berjulukan pek-houw-jiauw” (cakar harimau putih), lalu disusul seorang lelaki paruh baya bertubuh kekar dan matanya sangat cipit, dia dijuluki “seng-gan” (si mata malaikat).

Tampilnya tujuh orang itu membuat peserta lain para ciut, terlebih dengan kemunculan “seng-gan” yang terkenal dengan kesaktiannya, tapi yang membuat para peserta lebih memilih tidak ikut karena si mata malaikat ini sadis jika menghadapi musuh-musuhnya, orang cendrung bahwa syenbara ini akan berakibat kematian

“ada lagi kira-kira yang berniat menjadi peserta syembara!?” teriak coa-ciangkun, agak lama tidak ada respon dari para undangan

“baik….”

“tunggu, saya ikut!” seru suara yang ternyata Han-sai-ku memotong perkataan coa-ciangkun

“baik…silahkan anak muda, lalu yang lain apakah masih ada!?” teriak coa-ciangkun, karena tidak ada lagi yang merespons.

“baik…ternyata peserta syembara ini ada delapan orang, dan kepada delapan peserta silahkan memperkenalkan diri!” ujar Coa-ciangkun, delapan peserta pun memperkenalkan diri dan diantara delapan orang peserta, hanya Han-sai-kun yang tidak punya julukan, dan han-sai-kun sendiri tidak menyatakan julukan dirinya, setelah perkenalan peserta, coa-ciangkun mengambil.

“Selanjutnya karena peserta kita ada delapan orang,, maka siapa beretemu siapa akan kami tentukan, kepada delapan peserta, tolong diperhatikan!”

Pertandingan pertama antara “siauw-liong dengan pek-how-jiauw, setelah itu dilanjutkan pibu antara “pek- tiauw” dengan “sin-sian” lalu antara soan-hong-twi dengan seng-gan, dan yang terakhir, “hui-kiam” dengan “han-taihap” ujar coa-ciangkun dan kemudian ia kembali duduk.

Pibu antara “siauw-liong” dengan “pek-how-jiuaw” berlangsung, pertadingan luar biasa cepat dan menegangkan, suara kesiuran sin-kang menggetarkan panggung, para penonton demikian antusias mengikuti jalannya pibu, hingga dua ratus jurus berlalu, kedudukan “pek-how-jiauw” mulai terdesak, daya serang dari “siauw-liong” makin kuat menekannya, dan pada satu kesempatan

“plak…buk…” cakar “pek-houw-jiuaw” ditangkis dengan kibasan tangan “siauw-liong” dan disusul sebuah tendangan salto sehingga menghantam kepala “pek-houw-jiauw”, “pek-how-jiauw pening dan ambruk, dan dinyatakan kalah.

Pibu selanjutnya digelar, serangan-serangan pek-tiauw awal-awalnya mendominasi seakan-akan mendesak “sin-sian” tapi setelah seratus jurus berlangsung, permainan kipas “sin-sian” mulai mengancam kedudukan, gerakan “pek-tiauw” tersudut, sehingga pasa jurus ke seratus lima puluh “pek-tiauw” tidak kuasa mempertahankan kuda-kudanya, dan dia terduduk akibat ulu hatinya kena sodok gagang kipas “sin- sian” yang penuh hawa sin-kang.

Kemudian pibu antara “seng-gan” dan “soan-hong-twi” berlangsung cepat dan seru, tujuh puluh jurus barlalu, “soan-hong-twi” sudah terdesak hebat, dan tidak lama kemudian sebuah jotosan dahsyat menghantam dada “soan-hong-twi”

“duk…..hoak…” soan-hong-twi” terlempar dan terduduk di atas panggung sambil memuntahkan darah segar.

“lalu Han-sai-ku maju ketengah panggung berbareng dengan “hui-kiam” para penonton yakin bahwa pibu ini akan dimenangkan oleh “hui-kiam” dan “hui-kiam” sendiri juga yakin dengan dirinya, sehingga dengan gerakan cepat dan indah ia menyerang Han-sai-ku, dalam pandangan Sai-ku, lawannya ini sangat lambat, sehingga dengan muda ia berkelit, merasa seranganya luput, “hui-kiam” menyusulkan serangan bertubi- tubi, tapi hingga lima puluh jurus, “hui-kiam” tidak pernah berhasil menyentuh lawannya

“sobat muda! kenapa hanya mengelak?” ujar “hui-kiam” gemas

“baik..terimalah serangan ku.” sahut sai-ku, lalu dia melompat bersalto dalam rangkaian ilmu “lam-sin-pek” serangan yang luar biasa cepat, sehingga para penonton tercengang, dan “hui-kiam” mencoba mengecoh dengan bergeser kesamping dan membalas dengan tendangan

“plak…..augh…buk…hegk…” pergelangan kaki “hui-kiam” ditangkap oleh tangan Sai-ku, dan hawa panas luar biasa menyetrum kaki “hui-kiam” sehingga ia tersentak nyeri, dan tidak ayal sebuah pukulan menghantam telak dadanya.

“Hui-kiam” terjungkal dan darah mengalir dari sudut bibirnya, para penonton serasa tidak percaya bahwa “hui-kiam” ambruk dalam satu jurus serangan, walhal kalau mereka tahu siapa lawan “hui-kiam” tidak perlu mereka terkejut, karena dalam tubuh lawan “Hui-kiam” tersimpan aneka macam ilmu tingkat tinggi yang sulit didapat tandingannya, tiga pemenang yang lain juga merasa takjub dan tidak percaya.

“baik…empat pemenang sudah kita ketahui, maka pibu kedua ini saya serahkan kepada “siauw-liong” untuk mengajukan tantangan pada salah satu dari tiga pemenang.” ujar Coa-ciangkun

“saya menantang “sin-bian” untuk pibu“ teriak “siauw-liong sambil maju ketengah panggung, “sin-bian” pun mengikutinya, dan pertandingan pun berlangsung seru, decak kamugum para penonton terdengar disana- sini, gerakan “siauw-liong” sangat kuat dan kokoh, gesit dan lincah, hingga setelah dua ratus jurus “sin- bian” terpental oleh sebuah tendangan kuat, kemenangan “siauw-liong” disambut gemuruh para penonton, Bu-siang pun ikut bertepuk tangan dengan kemenangan “siauw-liong”.

Bagi Bu-siang, kalau dari sisi fisik dan wajah, delapan peserta menempati hatinya, kecuali “seng-gan” yang sudah berumur dan terlebih wajahnya tidak simpatik, tapi bila tujuh peserta dijejer, hatinya akan memilih pemuda tak dikenal yakni Han-taihap, dari sejak kemunculan Han-taihap dipanggung, matanya sudah berbinar suka, terlebih setelah demontrasi satu jurus serangan yang membuat semua terbeliak takjub, hatinya makin berbunga-bunga.

“sekarang kita berhadapan she-han!” tantang “seng-gan” dengan lantang, sehingga dalam sekejap suara gemuruh itu hening, semuanya tertuju pada dua petarung yang sudah siap siaga

“mulailah “seng-gan” aku sudah siap!” sahut sai-ku, hati Bu-siang sedikit bergetar cemas, adakah pemuda tak dikenal itu akan mampu menghadapi “seng-gan”? pertanyaan itu menggelayut cemas dalam benaknya

“seng-gan” dengan teriakan luar biasa menyerang sai-ku, serangan kilat yang luar biasa

“wut..wuut…hhshh..wut…wut…” serangan luar biasa itu ternyata mentah dihadapan sai-ku, sai-ku nampak tenang berkelit dan bergeser, hal ini membuat “seng-gan” makin marah dan gemas, hingga ia mengerahkan segenap kekuatan dan kegesitannya, hingga lima puluh jurus usaha “seng-gan” hanya kegagalan

“bangsat….! Kau merendahkanku! “ sumpah “seng-gan” makin marah, dan seranganya bertubi-tubi laksana gelombang

“perhatikan seranganku!” ujar sai-ku di sela-sela serangan “seng-gan” yang bertubi-tubi, semua penonton makin takjub, akan ketenangan sai-ku yang masih mampu berbicara ditengah serangan dahsyat yang bertubi, sai-ku membuka serangan sebagaimana pada saat menaklukkan “hui-kiam” serangan itu melesat menukik mencecar posisi “seng-gan”, “seng-gan” yang gemas memapaki serangan itu

“plak…bum…brak…aghhh….” dua tenaga dahsyat bertemu, panggung itu bergetar hebat, dan hasilnya “seng-gan” terpuruk ambrol kebawah panggung, sementara sai-ku bersalto dan mendarat ringan diatas panggung, wajahnya masih tenang.

“seng-gan” teryata pingsan dan dadanya sudah bersimbah darah, dia jauh kalah kuat jika dibandingkan dengan sai-ku, “siauw-liong” yang menyaksikan hasil benturan adu sin-kang itu meleltkan lidah, hatinya bergetar dan kecut, kenapa tidak, lawannya pada penentuan ini hanya menyerang dengan satu jurus, dan terbukti dua peserta tumbang, dan ironisnya salah satu dari peserta itu “hui-kiam” hanya sedikit selisihnya dengan dia, “siauw-liong tersadar saat dua pengawal mengangkat tubuh “seng-gan” dan meledaknya tepuk tangan riuh rendah terdengar gegap gempita.

‘Para hohan yang terhormat, sekarang tibalah kita pada penentuan, siapa diantara dua calon yan akan mempersunting putri semata wayang Bu-taijin.” Ujar coa-ciangku dengan senyum cerah dan lantang, suara tepuk tangan yang riuh rendah menyambut perkataan coa-ciangkun, hati Bu-siang makin berbinar, she- han itu demikian menakjubkan, tiada cacat cela dan sangat mengagumkan.

“baik kepada dua peserta kami persilahkan untuk memulai pibu!” ujar coa-ciangkun, para penonton hening dan memperhatikan dengan sangat pada dua petarung muda yang sama-sama tampan.

“han-taihap mulailah dan saya sudah siap!” ujar “siauw-liong” dengan nada waspada

“baiklah “siauw-liong” sahut sai-ku, dan menyerang “siauw-liong” gerakan yang begitu cepat dalam jurus pembukaan “san-swee-pek-ciang” warisan dari “lam-sin-pek” membuat hati “siauw-liong” yang sudah kecut jadi kelabakan dan gugup, dia berusaha menghindar, namun

“plak…auh…bug…oghhhh..…” satu tamparan yang mengenai wajahnya, dan sebuah pukulan pada lambungnya membuat “siauw-liong” ambruk mencium lantai panggung, para penonton berdiri sambil bertepuk tangan dengan meriah menyambut kemenangan sai-ku yang begitu singkat, tidal lebih dari satu jurus.

Para penonton geleng-geleng kepala apa yang mereka saksikan, yang awalnya menyangka bahwa she- han itu akan kalah meleletkan lidah karena takjub, acara pun ditutup oleh coa-ciangkun, bu-taijin bersama bu-siang berdiri, bu-siang segera turun dari panggung dan menaiki kereta, hatinya berdebar menunggu calon suaminya yang kriterianya memenuhi relung batinnya, sai-ku menjura didepan bu-tai-jin

“hehehe….bangkitlah Ku-ji, mari kita turun dan pulang kerumah.” ujar bu-taijin penuh tawa ceria, dari awal ia sudah melihat gelagat dari putrinya, dan ia tahu benar bahwa she-han ini telah memenuhi selera putrinya.

Sai-ku dinaikkan kekereta, dimana bu-siang telah berada didalamya, hati sai-ku berdegup kencang melihat calon istrinya yang demikian mepesona, terlebih sikapnya yang malu-malu dan bergetar menunduk, tidak lama keretapun berjalan, kedua sejoli itu terdiam seribu basa, tidak ada yang berani memulai, luar biasa tempaan batin setengah tahun yang ia terima dari pamannya, sai-ku adalah dedengkot kejahatan, berkat pertemuannya dengan pamannya telah merubah karakter yang ganas mengenaskan menjadi karakter yang lugu menggemaskan.

“siang-moi!” bisik sai-ku dengan hati berdebar

“i..iya ku-ko…” sahut bu-siang sekenanya, karena hatinya menggelepar lemas “apakah aku menempati pilihanmu?”

“ah…ku-ko…aku…aku..ah…aku sa..sangat bahagia dengan apa yang kudapatkan hari ini.” sahut bu-siang gugugp, lau sesaat keduanya terdiam

“lalu b..bagaimana denganmu ku-ko?” tanya bu-siang masih dengan menunduk malu

“aku…dari awal banyak pilihan siang-moi, aku ikut syembara karena dasarnya terpikat dengamu, wajahmu demikian menawan siang-moi.” sahut sai-ku, dan meraih jemari bu-siang, hati bu-siang makin berbunga, dan tak ayal ia bergerak dan menyembunyikan wajahnya diatas dada sai-ku, sehingga sai-ku memeluk tubuh bu-siang, hatinya begitu bahagia, harumnya rambut bu-siang membuat hatinya nyaman.

Tiga hari kemudian pernikahan sai-ku dengan bu-siang pun digelar, para tamu dari kalangan pemerintahan berdatangan, para hartawan pun tidak mau melewatkan perhelatan orang nomor satu di kota kun-ming itu, ucapan selamat berdatangan, setelah larut malam pesta pun selesai, dan kedua mempelai memasuki kamar pengantin, tidak ada ganjalan pada dua hati yang sudah terpaut, keduanya saling menginginkan, sehingga ranjang pengantin itu menjadi saksi dua mempelai yang berpilin dan menyatu dalam ketelanjangan bertatahkan erangan dan desahan nikmat sanggama yang tak terperikan. Hampir satu tahun Sai-ku dan bu-siang hidup seatap dengan Bu-tai-jin, dan setelah rumah bu-tai-jin di selatan kota selesai dibangunan, maka suami istri itu pun pindah, rumah itu adalah hadiah bu-taijin pada putri tunggalnya, dengan hati bahagia kedua pasangan muda itu memasuki rumah baru mereka.

“tidakkah sebaiknya kamu kerja dipemerintahan ku-ji!?” tanya bu-taijin

“aku tidak bisa gak-hu, dan aku sudah memiliki rencana bersama siang-moi.” “apakah rencana kalian itu?”

“aku dan siang-moi akan membuka likoan untuk menopang hidup kami.”

“Baiklah kalau begitu rencana kalian.” sahut bu-taijin, lalu bu-tai-jin meninggalkan putri dan menantunya.

Sebulan setelah menempati rumah baru, sai-ku pun mulai merintis usahanya, sebuah likoan besar dia bagun ditengah kota kun-ming dari modal harta bawaannya, peresmian likoan besar itu dihadiri banyak pejabat kota, darimana modal sai-ku tidak dipertanyakan oleh istrinya, demikian juga bu-taijin dan pejabat lainnya, areal likoan luasnya empat hektar dengan bangunan yang kuat dan terdiri dari seratus kamar dan taman-taman indah yang ditumbuhi bunga cilan, serta beberapa kolam buatan, sehingga menambah asri, kemudian pada bagian lain yang dibatasi dengan jembatan buatan terdapat ruang makan yang luas untuk para tamu, likoan itu diberi nama “ci-lan-likoan” (penginapan bunga cilan).

Setahun setelah “cilan-likoan” beroperasi, pasangan muda itu makin berbahagia, karena bu-siang merasakan gerak hidup dalam perutnya, saat bu-siang menyampaikan keadaannya pada suaminya, sai-ku merasa bahagia dan memeluk erat istrinya, menyambut kabar gembira itu sai-ku mengadakan pesta kecil bersama seluruh penghuni rumahnya yang terdiri dari empat pembantu laki-laki dan enam pembantu perempuan, dan juga tujuh puluh pegawai di likoannya.

Han-sai-ku turun dari kereta kudanya, dan melihat pengawal mertuanya sedang bercengkrama dengan seorang pembantunya

“apakah gak-hu datang!?”

“benar siauw-ya.” sahut pembantunya “sudah lamakah kalian sampai ciangbun?”

“baru dua jam han-kongcu.” Jawab can-ciangbun

“oh sudah lama juga, baiklah aku akan masuk kedalam.”

“baik..baik..kongcu.” sahut can-ciangbun, sai-ku masuk kedalam rumahnya dan diruang tengah ia disambut istrinya

“selamat sore gak-hu..gak-bo…” sapa sai-ku

“selamat sore ku-ji.” sahut bu-taijin, dan sai-ku pun duduk “bagaimana keadaan gak-hu dan gak-bo?”

“kedaan kami sehat dan baik ku-ji, lalu bagaimana usaha likoanmu?” “berkat doa gak-hu dan gak-bo usaha berjalan baik dan lancer.”

“syukurlah, kami kesini hanya berkunjung, karena gak-bo mu kangen pada siang-ji, terlebih istrimu akan menunggu hari, jadi gak-bo mu ingin menemaninya.”

“terimakasih gak-hu dan gak-bo, dan tentunya saya dan siang-moi membutuhkan kehadiran orang tua saat menghadapi kelahiran anak kami.”

“sudah..kamu pergilah membersihkan diri ku-ji!” “baik gak-hu.” sahut ku-ji dan segera meninggalkan ruang tengah diiringi bu-siang yang senyum manja “anakku bagaimana siang-moi!?” tanya sai-ku sambil meraba perut istrinya

“hihi..bagaimana apanya ku-ko?” “apakah anakku nakal seharian ini?” “hihihi…sepertinya senakal dirimu ku-ko.”

“ah…masa.” tanya sai-ku sambil membuka pintu kamar dan keduanya masuk kedalam “benar….seharian ia menedang-nendang.”

“aduhhh…kasihan ibu anakku, harus dikasih kecupan nih untuk mengganti rasa sakitnya.” ujar sai-ku sambil mengecup wajah istrinya

“hihihi…..hmh…hikk….hik sudah kamu mandilah dulu koko sayang” bisik bu-siang mesra.

Tiga hari kemudian, bu-siang pun melahirkan seorang anak perempuan, rumah besar itu makin semarak, atas rasa bahagia yang melimpah, sai-ku memberikan sepuluh tail perak pada seluruh pegawainya baik yang dirumah maupun dikikoan, dengan kelahiran Han-ci-lan seluruh pelayan mendapat limpahan rejeki, sehingga pelayan semua senyum cerah dan senang.

Jalan-jalan di Huangsan terkesan sunyi, toko-toko banyak yang tutup, roda perekonomian di huangsan lesu, hal ini berlaku sudah lama sekali, tapi lima tahun terakhir keadaan kota ini makin memburuk, hal ini ditenggarai kelakuan han-kwi-ong yang semakin menjadi-jadi, sejak kedua saudaranya meninggalkannya lima tahun yang lalu, kwi-ong mulai menata hidupnya sesuai dengan prinsipnya, sejak dulu rumah “pek- mou-kwi” memang ditakuti, tapi sejak kwi-ong menetap, dia memaksakan kehendak pada rakyat jelata, setiap pendapatan pedagang, dia kenakan pajak keamanan, tidak ada yang dapat menghalangi kemauan kwi-ong, kwi-ong mempekerjakan dua ratus lebih tukang pukul untuk memeras rakyat

Disamping pemerasan tersebut, kwi-ong juga mengumpulkan perempuan-perempuan cantik sebagai pemuas nafsunya, tujuh perempuan cantik dijadikan istrinya dan selebihnya dua puluh perempuan cantik dijadikan selir, hidup kwi-ong tak obahnya raja kecil di huangsan, sehingga dua tahun berjalan, para pedagang banyak yang bangkrut dan terpaksa menutup tokonya, dan ironisnya toko itu disita menjadi milik kwi-ong.

Setelah para pedagang banyak yang hengkang dari huangsan, kwi-ong melihat lahan baru, rakyat yang hidupnya dari bertani menjadi sasaran, dua tahun saja tanah-tanah itu sudah berpindah ketangan kepada kwi-ong, para petani itu tidak berdaya, tenaga mereka diperas untuk menggarap tanah yang sudah menjadi milik kwi-ong.

Selama lima tahun berjalan, kwi-ong mempunyai dua puluh anak dari tujuh istri dan dua puluh selir, kwi- ong semakin arogan dengan perilakunya, sehingga suatu hari tujuh orang pendekar mendatangi rumahnya

“kalian siapa!?” bentak penjaga rumah

“kami mau bertemu dengan majikanmu.” sahut seorang pendekar yang sudah berumur, dan dia dikenal dengan julukan “seng-eng” (bayangan malaikat)

“majikan kami tidak boleh diganggu,”

“kwi-ong keluarlah kamu….!” seru pendekar kedua yang paling tua diantara tujuh pendekar, ia dikenal dengan julukan “song-lo” (orang tua song).

Kwi-ong yang sedang istirahat bersama tujuh orang istrinya menjadi marah mendengar seruan itu, lalu ia keluar

“kalian ini mengganggu saja.” teriaknya dan sembari meloncat menyerang tujuh pendekar, tujuh pendekar sudah siaga dengan segala kemungkinan, dan pertarungan seru pun terjadi, kwi-ong dikurung sedemikian rupa, sehingga ruang geraknya buntu, tiga cianpwe yang mengurungnya luar biasa kuat, dia tidak menyangka akan mengalami nasib naas, karena memandang spele pada tujuh lawannya

“plak…buk..buk…des….” empat pukulan telak menghantam tubuhnya, hingga dia terlempar menghantam gapura rumahnya dan hancur.

Kwi-ong segera berdiri dan mengeluarkan ilmu-ilmunya yang luar biasa, tiga cianpwe mencoba meredam gerakan dan serangan hebat dari kwi-ong, dan perlawanan kwi-ong mulai menemukan arah, namun untuk menumbangkan tiga cianpwe tidak akan mudah baginya, kwi-ong mengeluarkan semua ilmu yang dimilikinya untuk menghadapi tujuh pendekar kosen ini, dan tidak terasa siang sudah berganti malam.

Tujuh pendekar harus mengakui bahwa kwi-ong memang luar biasa tangguh, saat malam beranjak dan digantikan pagi, tiga cianpwe sudah kelelahan, dan walaupun kwi-ong juga merasa payah, dia berusaha untuk memenangkan pertempuran itu, dan suatu ketika kwi-ong mencoba mengadu sin-kang untuk kesekian kalinya

“dhuar….” empat tenaga sakti berbenturan, tiga cianpwe yang sudah kewalahan terlempar tiga tombak, sementara kwi-ong terlempar dua tombak.

Melihat tiga cianpwe ambruk tidak bergerak empat pendekar lainnya segera membawa ketiganya meninggalkan rumah kwi-ong, kwi-ong muntah darah dan menggeloso ditanah, para pengawalnya mengangkat kwi-ong kedalam rumah

“cepat panggil tabib!” perintah kwi-ong, dua anak buahnya segera memanggil tabib, sementara tujuh pendekar istirahat dihutan sebelah selatan kota

“sudah kita berhenti disini dan coba periksa keadaan tiga cianpwe..!” ujar pendekar paruh baya dengan senjata golok, dia dikenal dengan “kim-to” (golok emas).

Mereka meletakkan tiga cianpwe, sementara dua pendekar mengumpulkan ranting untuk membuat api unggun, dan yang seorang pendekar mencari binatang buruan

“bagaimana keadaan “sin-ciang” (si tangan sakti)?” tanya “seng-eng” “sin-ciang” masih pingsan cianpwe.” sahut “kim-to”

“denyut nadinya masih ada kan?” tanya “song-lo” “masih song-cianpwe.”

“keadaan kalian bagaimana?” tanya “seng-eng” “keadaan kami baik saja cianpwe.” jawan “kim-to”

“ambilkan pel dibalik bajuku!” ujar “song-lo”, “kim-to” mengambil sebuah bungkusan berupa pel warna hijau muda

“ambilkan dua dan tarok dimulutku!” ujar “song-lo”, kim-to meletakkan dua buah pel dalam mulut “song-lo”

“kamu juga “seng-eng” makanlah dua buah.” ujar “song-lo”, “kim-to” meletakkan dua buah pel kemulut “seng-eng”

“berikan nanti pada “sin-ciang” jika sudah siuman.” ujar “song-lo”

“baik cianpwe.” sahut kim-to, dan dua cianpwe itu pun memejamkan mata.

Tiga jam kemudian kijang panggang pun matang, empat pendekar pun makan dengan lahap, sementara dua cianpwe bangun dan berusaha duduk, dan berkat obat “song-lo” amat mujarab, keduanya mampu duduk

“bagaimana dengan “sin-ciang”?” tanya “song-lo” “belum siuaman cianpwe.” sahut “kim-to”, “song-lo” mencoba bergerak mendekati tubuh rekannya, lalu memegang denyut nadinya

“hmh….”sin-ciang” sudah meninggal “seng-eng” ujar “song-lo” “selesai empat taihap makan, segeralah kuburkan jasad “sin-ciang”

“baik cianpwe.” sahut “kim-to”, lalu seorang pendekar menawarkan daging baker pada dua cianpwe “makanlah dulu cianpwe.” Tawarnya

“baik dan terimakasih Yo-taihap.” sahut “seng-eng”, kedua cianpwe makan dengan lambat, dan setelah empat pendekar selesai, maka merekapun menguburkan jasad “sin-ciang”

“bagaimana selanjutnya cianpwe?” tanya Yo-taihap

“keadaan kita tidak memungkinkan mendatangi kwi-ong.” sahut “song-lo”

“benar “song-lo” dan setidaknya kita harus memulihkan diri selama sebulan.” sela “seng-eng” “saya kira, kita harus menyampaikan sepak terjang kwi-ong pada bengcu” sela “kim-to” “demikianpun tepat “kim-to” taihap.” sahut “song-lo”

“jika demikian, sebaiknya aku yang berangkat ke kaifeng dan Yo-taihap dan dua saudara lainnya mengantar jiwi-cianpwe ke tempat masing-masing.”

“begitupun jadi “kim-to” taihap.” sela Yo-taihap.

Menjelang sore, dua cianpwe dan empat pendekar meninggalkan hutan, dan “kim-to” memisahkan diri untuk, dia berlari cepat , tujuannya adalah kekaifeng untuk bertemu dengan bengcu “siauw-taihap”, kita tinggalkan “kim-to” yang menempuh perjalanan dan mari kita lihat keadaan bengcu di kota kaifeng.

Han-fei-lun berumur tiga puluh dua tahun hidup bersahaja di kota kaifeng, dia dikarunia dua orang anak, putranya Han-liang-jin berumur delapan tahun sementara putrinya Han-bwee-hoa berumur empat tahun, sejak keberadaan bengcu aliran pek-to, gaung aliran hek-to meredup.

Sehari-hari pekerjaannya adalah membina lima puluh orang muridnya, selama delapan tahun hanya lima puluh orang yang dibinanya, dan empat murid yang sudah menyelesaikan pelajarannya, perguruan “sin- siucai” bukan tidak berkembang dengan baik, tapi karena dua bakat itu jarang dimiliki orang, sehingga yang mendaftar tidak banyak, dan memang seperti itulah tujuan Han-fei-lun mendirikan perguruannya.

malam itu Han-fei-lun sedang mengajari lima puluh muridnya di ruangan pustaka, suaranya membacakan sebuah syair

“hidup tak obahnya seperti larinya kuda sais menghentak dengan isyarat suara kekang ditarik jika mengarah bahaya kaki naik seiring ringkikan bergema”

“coba kalian pikirkan inti dari syair yang saya baca barusan!” ujar Fei-lun, semua murid hening dan berpikir “hidup mestilah terkendali, suhu ” sahut seorang murid

“benar huan-ji, nah anak-anak sekalian, gambaran kuda dan sais memiliki arti yang banyak, diantaranya kuda menjadi symbol nafsu, sais menjadi symbol pikir, tali kekang menjadi symbol nurani, lintasan symbol nasib.” ujar Fei-lun menjabarkan, sesaat menatap semua muridnya

“empat symbol ini dimiliki oleh setiap manusia, tidak ada manusia yang tidak memiliki nafsu, semua manusia dianugerahi thian dengan akal pikiran, semua manusia memiliki nurani, semua manusia mempunyai nasib, jadi anak-anakku waspadai empat khazanah ini, supaya kamu dapat selamat.” “suhu, bagaimana hubungan syair itu dengan empat khazanah yang kita miliki?”

“Kim-ji dan anak-anakku sekalian, larinya kuda cepat dan kuat, demikianlah nafsu yang dimiliki manusia, semangatnya berkobar, kemauannya gigih, asanya tinggi, jangkauannya melejit, nah..! jika kuda ini tidak diwaspadai, pastilah ketika jalanan ada tikungan, maka akan menabrak tebing atau terjungkal kedalam jurang, yang berakhir pada kebinasaan, samalah artinya, jika nafsu ini tidak diwaspadai, pastilah ketika nasib berkata lain, maka akan terbentur keputus asaan atau terjebak pada jurang kezaliman.”

“oleh karena itu, kuda ini harus ditunggangi oleh manusia, samalah artinya, nafsu ini harus ditunggangi oleh akal, namun jika penunggang kuda tidak memegang tali kekang, kuda dan penunggang akan berakhir pada kebinasaan, sebagaimana jika akal tidak menggunakan hati nurani, akan berakibat fatal pada kehancuran, jadi anak-anakku, jalanilah hidup ini dengan semangat yang menyala, gunakan akal bertatahkan nurani untuk memberi daya dan arah, sehingga ketika nasib penuh dilema, kita mampu mengedepankan dada, dan hati berkata aku mampu dan tidak akan terjerat dengan binasa, sebagaimana ketika penunggang menarik tali kekang, kuda mengangkat kaki seiring ringkikannya bergema, fahamkah kalian?”

“faham suhu.” sahut semua murid serempak.

“baik, cukuplah untuk hari ini, kalian boleh kembali ke kamar kalian!” ujar Han-fei-lun, dan semua murid berdiri dan menjura dihadapan Han-fei-lun, lalu kemudian keluar dari ruang pustaka, Han-fei-lun juga meninggalkan ruang pustaka dan menuju ruang tengah, dimana istrinya sudah menyiapkan segelas teh panas.

Keesokan harinya, kegiatan berjalan sebagaimana biasa, Han-fei-lun dengan tekun memperhatikan latihan para murid-muridnya, dan menjelang tengah hari, seorang pelayan datang melapor

“suhu, didepan ada seorang tamu hendak bertemu dengan suhu.” “suruhlah tamu kita masuk!”

“baik suhu.” sahut pelayan dan meninggalkan Han-fei-lun, Han-fei-lun segera menbersihkan muka dan mengeringkannya dengan kain lap, lalu ia pun masuk kedalam rumahnya.

“selamat bertemu bengcu!” sapa tamu yang ternyata “Kim-to”

“selamat bertemu sicu, melihat gagang golokmu, tentunya sicu adalah “kim-to” bukan?” “benar bengcu, saya adalah Li-kang yang dijuluki “kim-to” dari Hopei.”

“ada apakah Li-sicu, apa yang dapat saya Bantu?”

“begini bengcu, kedatangan saya menemui bengcu, sehubungan dengan keadaan memprihatinkan di kota Huangsan.”

“ada apa dengan kota Huangsan, Li-taihap?”

“warga kota huangsan mengalami tirani dari seorang yang sakti bernama kwi-ong.” “kwi-ong murid dari enam datuk, maksudmu Li-taihap?”

“benar bengcu.”

“apa yang dilakukannya terhadap warga Huangsan, Li-taihap?”

“warga pedagang dan petani diperas oleh kwi-ong, sehingga banyak para pedagang yang bangkrut dan terpaksa meninggalkan kota, dan juga para petani diperbudak.”

“hmh…bagaimana usaha penentangan dari tirani yang dilakukannya, Li-taihap?” “saya dan tiga cianpwe beserta tiga rekan sehaluan mencoba memperingatkannya, namun kami terbentur kenyataan bahwa kwi-ong memang luar biasa sakti, sehingga “sin-ciang” cianpwe meninggal, dan cianpwe lainnya luka parah, dan oleh karena itu, kami sepakat, bahwa saya melaporkan hal ini kepada bengcu.”

“baik dan terimakasih Li-taihap, sepak terjang kwi-ong seharusnyalah kita redam, maka besok lusa, saya akan berangkat kesana.”

“jika demikian bengcu, legalah hati kami, dan saya mohon pamit bengcu.”

“tunggu dulu, sebaiknya temanilah saya makan siang, istriku sudah menyiapkannya di ruang makan, jadi marilah Li-taihap.”

“wah, jadi merepotkan begini taihap.”

“hehehe…tidak ada yang merepotkan Li-taihap, marilah!” ujar Han-fei-lun, lalu keduanya memasuki ruang makan, diruang makan Han-hujin dan dua pelayan sudah selesai menata makanan di atas meja

“hehehe…jadi merepotkan nih bengcu-hujin.”

“ah…tidak merepotkan sicu-taihap, malah jika tamu ku tidak mencicipi masakanku, aku akan jadi uring- uringan pada suamiku, jadi sicu-taihap janganlah sungkan.” sahut Han-hujin sambil menatap suaminya yang tersenyum

“baik..baik bengcu hujin dan terimakasih.”

Han-fei-lun dan Li-taihap pun bersantap bersama, setelah selesai makan dan istirahat sebentar, “kim-to” pun pamit dan meninggalkan kaifeng untuk kembali ke hopei, dua hari kemudian Toan-meng pimpinan Han-piauwkiok di kota kaifeng, mendatangi rumah Han-fei-lun, saat itu Han-hujin sedang mengemasi perbekalan suaminya yang hendak mengadakan perjalanan ke Huangsan

“ada apakah Toan-pangcu?” tanya Han-fei-lun

“saya diperintahkan suhu, untuk menyampaikan kepada bengcu, bahwa subo sedang sakit, dan meminta supaya bengcu sekeluarga datang kekota Bicu.”

“oh, baiklah kalau begitu, kami akan segera kesana.” “jadi saya pamit dulu, bengcu.”

“baik pangcu, dan terimakasih.” sahut Han-fei-lun, lalu Toan-pangcu meninggalkan rumah Han-fei-lun.

Han-fei-lun masuk kedalam kamar dan menemui istrinya yang sedang menegmasi pakaiannya “Lian-moi, hari ini juga kita harus berangkat kekota Bicu.”

“ke kota Bicu? kenapa Lun-ko?”

“barusan Toan-pangcu kesini dan menyampaikan kabar bahwa ibu sedang sakit.” “oh…jadi apa kita semua berangkat kesana koko?”

“begitulah permintaan ibu, jadi kemasilah bekal kita, sementara saya akan menemui murid-murid.” “baiklah kalau begitu koko.” sahut Yang-lian.

Han-fei-lun keluar dari kamar, dan menuju lianbutia

“Kim-ji, pergilah kerumah suhengmu, Lu-tan, dan katakan ia datang kemari!”

“baik suhu.” sahut Tan-kim segera melaksanakan perintah suhunya, berselang satu jam kemudian, Lu-tan, salah satu dari empat muridnya yang sudah tammat datang menemuinya, Lu-tan sudah berumur dua puluh tahun. “tecu datang menghadap suhu.” ujar Lu-tan menjura dihadapan Han-fei-lu

“Tan-ji, suhu sekeluarga ada hal penting, sehingga harus segere ke kota Bicu, jadi gantikan suhu, selama tidak ada disini untuk mengajar dan melatih sute-sutemu!”

“baik suhu, saya akan laksanakan perintah.”

“kamu lanjutkan latihan, dan suhu akan membantu subomu berkemas-kemas.” ujar Han-fei-lun, dan kemudian meninggalkan Lu-tan.

Sore harinya, Han-fei-lun dan keluarga berangkat dengan memakai kereta kuda, Han-fei-lun memacu kudanya keluar dari gerbang barat, senja temaram menghias angkasa saat Han-fei-lun melintasi jalan bebukitan, disampingnya anaknya Han-liang-jin, sementara istri dan putrinya berada didalam gerobak.

“anak dengar, ayah hendak berangkat ke Huangsan, bukankah urusan disana akan tertunda, ayah?” “benar anakku, Ayah akan menunda urusan disana untuk memenuhi panggilan kong-bo mu

“ayah, apakah sakit kong-bo parah, hingga kita mendadak kesana?”

“mungkin demikianlah Jin-ji, tapi tanpa ada sesuatupun yang mendesak, jika orangtua memanggil anaknya, maka anaknya mestilah segera memenuhinya.”

“ayah, diantara dua urusan itu, apakah panggilan orang tua itu lebih utama daripada panggilan tugas?” “benar anakku, dan camkanlah itu dalam hatimu!”

“kenapa demikian ayah? bagaimana cara kita menentukan diantara dua urusan tersebut?”

“untuk menentukan diantara dua urusan, yang mana yang harus didahulukan dari yang lain adalah melihat tingkat kepentingan, dan tingkat kemaslahatan diantara keduanya.”

“bagaimanakah tingkat kepentingan dua urusan yang dihadapi ayah ini?”

“panggilan orang tua lebih penting daripada panggilan tugas, sebabnya ada dua hal, yang pertama Jin-ji, panggilan orangtua bukan pilihan, tapi kewajiban yang harus ditunaikan, yang kedua, bakti kepada orang tua diatas daripada bakti kepada negara.”

“kenapa bakti kepada orangtua diatas bakti kepada negara?”

“karena bakti kepada orangtua adalah asas, sementara bakti kepada negara adalah cabang, artinya, jika engkau berbakti kepada orangtua, sudah pasti engkau telah berbakti pada Negara, jika engkau berbakti kepada negara, belum tentu engkau berbakti kepada orangtua, dua bakti ini ibarat nampan dengan cangkir, bakti pada orangtua ibarat nampan, sementara bakti pada negara ibarat cangkir, jika nampan diangkat, maka cangkir akan ikut terangkat, tapi jika cangkir yang diangkat, maka nampan tidak akan ikut terangkat, mengertikah engkau nak!?”

“mengerti ayah, lalu bagaimana dengan tingkat kemaslahatannya, ayah?”

“mendahulukan panggilan orangtua lebih maslahat, oleh sebab dua hal, yang pertama waktu dan efek, jika ayah mendahulukan ke Bicu menemui kong-bo mu lebih cepat, karena tiba disana tugas selesai, sementara jika mendahulukan ke huangsan, tugas baru mulai, dan entah kapan selesai, yang kedua jika ayah mendahulukan kong-bo mu maka efeknya langsung dirasakan kong-bo mu, tapi jika mendahulukan ke huangsan, belum tentu efek memakan waktu yang lama, dan belum tentu juga akan dirasakan oleh warga huangsan yang ayah dengar sudah pada mengungsi, dapatkah engkau melihat kemaslahatannya Jin-ji?”

“dapat ayah, dan uraian ayah akan anak camkan dalam hati” “kong-bo sakit apa sih, yah?” tanya bwee-hoa dari dalam gerobak “ayah juga tidak tahu hoa-ji, kita doakan saja, semoga kong-bo cepat sembuh, ya.”

“iya, ayah, hoa akan berdoa.” ujar bwee-hoa, kemudian suasana hening, hanya suara roda kereta kuda yang menggilas jalan berbatu, sementara malam pun sudah tiba, dan jalanan di padang bukit itu masih terang oleh sinar rembulan dan taburan bintang yang menghiasi angkasa.

Ada apa sebenarnya dengan Liu-sian? untuk mengetahuinya, marilah kita tinggalkan perjalanan bengcu, dan melihat keadaan keluarga di kota Bicu, sebagaimana kita ketahui bahwa empat tahun yang silam, Liu- sian diboyong oleh suaminya, Han-hung-fei ke kota Bicu, dua tahun pertama kehidupan rumah tangga han-hung-fei dengan kedua istrinya berjalan dengan bahagia, Liu-sian dan Khu-lian-kim sama-sama akur menjalani hidup bersama Han-hung-fei.

Suatu hari, seorang perempuan cantik dengan menggendong seorang anak laki-laki berumur dua tahun mendatangi rumah Han-hung-fei

“apakah kouwnio mau menitipkan barang?” tanya seorang piauwsu “bukan, aku hendak bertemu dengan Han-hung-fei.”

“baik, tunggulah sebentar kounio, saya akan laporkan pada pangcu.” ujar piuawsu itu dan segera masuk kedalam, tidak berapa lama Han-hung-fei keluar.

Muka Han-hung-fei pucat seketika, setelah melihat wanita yang menjadi tamunya “ada apakah engkau kesini “siang-mou-bi-kwi” (iblis cantik rambut harum)?”

“aku hanya berkunjung dan juga ingin mengenalkan putra kita Han-bun-liong.”

“sst…..apa maksudmu dengan semua ini?” desis Han-hung-fei dengan wajah makin pucat pias, Han-hung- fei menarik Li-cing masuk kedalam kantor piauwkiok

“Li-cing, katakan maksudmu dan segera tinggalkan tempat ini!”

“baiklah fei-ko, aku tidak ingin menggangu kehidupan keluargamu, hanya perlu fei-ko ketehaui, bahwa hubungan kita saat itu ternyata membuahkan janin, dua tahun lalu aku melahirkan anak kita ini.”

“hmh….benarkah dia anakku, Li-cing?” “maksudmu, bahwa engkau tidak percaya padaku?”

“bagaimana aku bisa percaya padamu, jika melihat sepak terjangmu sebagai dedengkot hek-to”

“Tidak aku pungkiri bahwa aku memiliki tabiat menurutkan hawa nafsu, dan banyak bermain dengan lelaki yang aku suka, tapi ketahuilah, bahwa dulu aku pernah menikah saat umurku sembilan belas tahun, selama enam tahun berumah tangga aku belum mendapatkan anak, lalu kami memerikasakan ketabib, dan dari tabib itulah diketahui bahwa aku ini mandul, sejak itu suamiku mulai menelantarkanku, dia menikah lagi sehingga dua tahun berikutnya ia pun mendapatkan anak dari istrinya, akupun dibuang dan tidak dianggap, sejak itu aku meninggalkan kota dan belajar ilmu, selama lima tahun belajar, aku kembali kekotaku dan membunuh bekas suamiku untuk melampiaskan dendam, dan setelah itu fei-ko mungkin dapat membayangkan, bagaimana aku memenuhi birahiku di jalan hek-to, selama lima tahun malang melintang, aku tidak pernah hamil, dan aku yakin bahwa aku tidak akan hamil, tapi ternyata hubungan kita malam malah berkata lain.”

Han-hung-fei tercenung mendengar cerita Li-cing,

“apakah karena keyakinan bahwa dia tidak hamil, sehingga dia begitu nyaman mengatakan hubungan malam itu hanya kenangan.” gumam han-hung-fei dalam hati.

“saya tidak akan memaksa fei-ko untuk mempercayaiku, kenyataan ini sebenarnya membuat aku bahagia, aku tidak ingin bahwa keberadaan anak ini tidak engkau ketahui, maka aku datang kesini.” “hmh…apakah hanya itu, Li-cing?” “tidak, fei-ko, masih ada lagi.” “apakah itu li-cing!?”

“kami akan menjauh dari hidupmu, dan tidak akan pernah terlibat denganmu lagi, asal engkau sebagai ayah merelakan pedangmu sebagai warisan yang akan dimiliki anakku.”

“kamu ngaco Li-cing!” ujar Han-fei-lung geram

“apakah permintaan itu sulit untuk kamu perkenankan?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar