Sastrawan Cantik Lembah Merak Jilid 5

Jilid 5

“aku hanya melihat dia dengan pandangan heran ayah, lalu aku dimaki-maki, hehehe…ternyata sepupuku itu cerewet sekali ya paman !”

“hehehe…memang benarlah apa yang dikatakan Bian-ji itu Ong- ko, tapi itu mungkin pembawaan karena memimpin usaha yang isinya cuma laki-laki.”

“tapi kenapa kamu heran melihat dia waktu itu ?” sela Coa-kim “iya, kenapa kamu heran Bian-ji ?” tanya ayahnya

“karena wajahnya ada kemiripan dengan gadis itu ayah.” jawab Han-bouw-bian, kening Han-kwi-ong berkerenyit

“siapa gadis yang kamu maksud Bian-ji ?” tanya Han-ok-liang “Bian-ji bertemu dengan gadis bernama Sian-hui, dan kemungkinan besar murid dari Fei-lun.” jawab Han-kwi-ong.

“eh..ngomong-ngomong, apa rencana kita hari ini, apakah kita langsung melanjutkan perjalanan atau akankah kita menginap dikota ini?” tanya Coa-kim mengalihkan topik pembicaraan “mumpung waktu belum siang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan, lagian kami sudah dua hari dikota ini, Liang-te.” “jika demikian kita lanjutkan saja perjalanan.” ujar Han-ok-liang, lalu mereka lanjutkan minum sampai dua guci arak itu tandas, setelah itu mereka keluar dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan mereka terkesan lambat, karena disetiap kesempatan Han-bouw-bian berlatih, dan nampaknya mereka memang tidak terburu-buru, hingga dua bulan kemudian mereka baru memasuki kota Hehat, dari kota hehat ke “kui-san” masih membutuhkan perjalanan sehari dengan menunggangi kuda “karena hari sudah sore, sebaiknya besok saja kita melanjutkan perjalanan.” ujar Han-ok-liang

“saya setuju denganmu Liang-ko, badanku serasa pegal semua karena tidur di alam terbuka, kali ini aku ingin tidur ditilam empuk.” ujar Coa-kim

“baiklah kalau begitu mari kita cari penginapan untuk melewatkan malam ini.” ujar Han-kwi-ong, lalu mereka memasuki sebuah likoan dan menyewa tiga buah kamar.

“paman ! sejak umur berapa piuaw-moi ditinggalkan paman ?” tanya Han-bouw-bian

“sejak umur sembilan tahun, kenapa Bian-ji? tanya Han-ok-liang “saya yakin piuaw-moi belum mewarisi dengan baik ilmu turunan keluarga kita.”

“hmh..tidak juga Bian-ji, karena selama delapan bulan, paman juga sudah melakukan seperti apa yang ayahmu lakukan padamu selama perjalanan ini.”

“oh, ternyata begitu.” ujar Han-bouw-bian sambil menytuap makananya

“apakah kamu tahu Bian-ji, kenapa kita pergi ke “Kui-san” tanya Han-ok-liang “aku tidak tahu paman, untuk apa sebenarnya kita ke “kui-san”?” “disana kita akan menunggu seorang musuh besar.”

“kenapa ayah dan paman harus menunggu di “kui-san” ? kenapa tidak langsung mendatangi musuh tersebut ? bukankah kita memiliki ilmu keluarga yang tidak terkalahkan ?” tanya Bouw- bian heran

“musuh kita ini juga memiliki ilmu yang hebat dan luar biasa.” “siapakah musuh kita ini paman ? sehingga ayah dan paman membuat rencana yang menurut saya aneh.”

“hmh….musuh itu adalah Han-fei-lun, Bian-ji.” sela Han-kwi-ong “Han-fei-lun yang ayah duga guru Sian-hui ?” tanya Bouw-bian, Han-kwi-ong mengengguk,

“pantas kalau begitu, karena ia juga bagian dari keluarga kita, dan pastinya ia juga menguasai ilmu-ilmu keluarga kita.” gumam Han-bouw-bian, lalu melanjutkan makannya,

“ayah! jika Fei-lun ini bagian dari keluarga kita, sebagai apakah ia dalam panggilan saya?”

“ia anak tertua dari anak-anak kakekmu.” jawab Han-kwi-ong “lalu siapakah yang termuda diantara anak-anak kakek ?” “pamanmu Han-bun-liong yang sekarang berada di “Kui-san” jawab Han-ok-liang

“berapa umur paman Han-bun-liong ?”

“masih muda, lebih kurang dua puluh lima tahun.” Jawab Han- ok-liang

“artinya paman Han-bun-liong ikut andil juga dalam rencana menanti kedatangan lun-pek, begutukah paman ?”

“ya, apakah kamu nantinya akan membela uwakmu, Fei-lun ?” tanya Han-ok-lian tiba-tiba, membuat Han-bouw-bian terkejut sesaat “hehehe….tentu tidaklah paman, ayah dan paman memsuhinya, tentunya aku juga akan memusuhinya.”

“hihihi….Liang-ko ini ada-ada saja pertanyaannya.” sela Coa-kim “hahaha..hahaha….yah mana tahu Bian-ji cendrung pada uwaknya.”

“ah..tidaklah paman, aku akan durhaka jika membela Fei-lun dan menentang ayahku.”

“betul apa yang kamu katakan Bian-ji.” sela Coa-kim

“sudah selesaikanlah makannya, dan kita istirahat !” ujar Han- kwi-ong, lalu merekapun segera menyudahi makan malam itu, Han-kwi-ong dan anaknya masuk kedalam kamar, sementara Han-ok-liang dan Coa-kim masuk kamar masing-masing, namun saat tengah malam, Han-ok-liang masuk kamar Coa-kim untuk bercinta, sejak dari kota taiyuan, pasangan kekasih itu menahan diri, karena kehadiran keponakan dalam perjalanan itu, malam itu gairah yang tertahan itu ditumpahkan semalam suntuk.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju “kui- san” (bukit siluman) dan menjelang sore meraka sudah tiba di tempat kediaman suhu mereka Ang-gan-kwi, mereka disambut oleh Li-cing dan Han-bun-liong

“lama sekalian kalian baru datang ong-ko !?” ujar Han-bun-liong “aku ke huangsan dulu baru kesini, bagaimana kanar kalian ? “kami baik-baik saja kwi-ong, dan siapakah pemuda ini ?”

“Bian-ji ! beri hormat pada pada nenek dan pamanmu !” perintah Han-ok-liang

“saya Han-bouw-bian menghatirkan hormat pada nenel dan paman Han-bun-liong.” ujar Han-bouw-bian sambil membungkuk dan merangkap kedua tangan “siapa yang datang cing-moi !?” tanya Han-hung-fei yang tiba- tiba keluar dari dalam rumah

“kedua anakmu sudah tiba Fei-ko.” jawab Li-cing dengan seulas senyum

“kamukah itu kwi-ong..!?” tanya Han-hung-fei

“benar ! dan aku juga bersama Liang-te.” jawab Kwi-ong

“benar, dan aku juga bersama seorang teman dan cucumu Han- bouw-bian putra dari Ong-ko.”

“sudah ! marilah kita masuk !” sela Li-cing, lalu merekapun masuk kedalam rumah dan merayakan pertemuan itu dengan jamuan makan malam.

Kita tinggalkan dulu reuni keluarga dengan segala rencana mereka, kini kita kembali kekota Hehat, seminggu setelah Han- kwi-ong dan rombongan sampai di Kui-san, seorang wanita cantik memasuki kota Hehat, dia adalah Han-liu-ing, sebagaimana kita ketahui, Han-liu-ing memimpin rombongan piuawkioknya menuju kota Liaoning, setekah keperluan dikota Liaoning selesai, Han-liu-ing bertolak kembali menuju kota shinyang, tapi ketika sampai dikota Beijing, Han-liu-ing merubah rencananya, dan berkata pada dua wakilnya setelah makan malam

“kalian kembalilah kekota shinyang, dan aku minta pada kalian berdua memngoperasikan piuawkiok selama aku tidak ada.” Bu- wei dan Cu-lai saling pandang, lalu Bu-wei bertanya

“maaf pangcu ! pangcu hendak kemanakah ?

“aku hendak kekota Hehat, ada urusan yang hendak kukerjakan disana.” jawab Liu-ing

“lalu apa yang akan kami sampaikan kepada Hujin jika beliau bertanya ?” tanya Cu-lai “katakan pada ibuku bahwa aku pergi ke kota Hehat, ibuku akan mengerti.”

“baiklah kalau begitu pangcu.” kami akan melaksanakan perintah pangcu.” Jawab keduanya bersamaan

“baik dan sekarang mari kita istirahat !” ujar Han-liu-ing sambil berdiri meninggalkan meja dan memasuki kamarnya, didalam kamar Han-liu-ing merasa sulit untuk tidur, pikirannya dipenuhi ketidak mengertiannya pada sikap ayahnya yang cendrung mengabaikan ia dan ibunya, ketidak puasan ini mengganjal benaknya sejak berangkat dari kota shinyang, terlebih anak buahnya mengatakan bahwa kepergian ayahnya setelah seorang wanita menemui ayahnya di kantor piuawkiok.

Hal itu membuat hatinya bertanya-tanya, apakah sebenarnya yang dilakukan ayahnya, kenapa sampai sekian lama mereka ditinggal, lalu tidak lama pergi lagi, bermacam-macam dugaan memenuhi benaknya, dan sebenarnya keketusannya pada Han- bouw-bian saat itu, dipicu oleh rasa kecewa kepada ayahnya, ia membayangkan petualangan ayahnya sama persis dengan apa yang ditunjukkan oleh Han-bouw-bian, apalagi ia hanya dianggap nomor dua pada perdebatan kala itu, makin benci ia pada ayahnya yang cendrung menomor duakan ibunya.

Keesokan harinya, setelah rombongan anak buahnya berangkat, Han-liu-ing meninggalkan kota Beijing, larinya cepat luar biasa, terlebih setelah ia kembali dibimbing ayahnya selama delapan bulan, sin-kang dan ging-kangnya sudah meningkat pesat, dan seminggu kemudian ia sudah sampai dikota shijajuang, Han-liu- ing memasuki sebuah likoan untuk menginap, likoan itu sangat ramai, para pengunjungnya terdiri dari kalangan kangowu “lo-pek..! sepertinya tamu-tamunya dari kalangan liok-lim, kenapa demikian, lo-pek?” tanya Han-liu-ing pada pelayan yang menghidangkan pesanannya.

“ada pesta pernikahan dibalai kota, nona” jawab pelayan “memangnya siapa yang menikah, lo-pek ?”

“putri kepala daerah menikah dengan putra ketua Hoasan-pai.” “kapan pestanya akan diadakan lo-pek ?” tanya Han-liung dengan hati tertarik

“besok pagi acara pesta akan digelar.” jawab pelayan, lalu pelayan itu pun meninggalkan meja Han-liu-ing.

Han-liu-ing memperhatikan tamu-tamu yang semakin banyak berdatangan, seorang lelaki sastrawan berumur tiga puluh tahun mengambil tempat duduk disebelah Han-liu-ing, senyumnya merekah dan mengangguk hormat saat matanya beradu pandang dengan mata Han-liu-ing, Han-liu-ing membalas tersenyum, dibahu lelaki tersampir sehelai sal warna hitam, lelaki ini tiada lain adalah Han-liang-jin putra sulung dari “siauw-taihap” Han-fei-lun, saat ia masuk sebenarnya terkejut melihat Han-liu- ing yang sedang menunduk, ia menyangka bahwa Han-liu-ing adalah bibinya Han-sian-hui, tapi karena sal warnah putih yang biasa dikenakan bibinya tidak ada, ia urung menyapa, dan untuk meyakinkan ia mengambil tempat duduk disebelah meja Han-liu- ing dan sekilas ia memandang lebih jeli seraya tersenyum, dan akhirnya ia yakin perempuan ini bukan bibinya, lalu ia segera memanggil pelayan untuk memasan makanan.

Setelah pesanannya dhidang, ia pun menyantap dan tidak lagi memperhatikan Han-liu-ing, Han-liu-ing juga tidak menghiraukannya, tapi baru beberapa suap Han-liang-jin makan, seorang lelaki tua berumur lima puluh tahun lebih berpakaian tosu warna putih menyapanya

“aha…ternyata “sin-san-siucai” (sastrawan kipas sakti) sudah sampai di sini!” Han-liang-jin mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang menyapanya, lalu dengan senyum ia menyahut “ternyata paman “pek-I-sin-tosu” (tosu sakti baju putih), silahkan duduk paman ! kita makan siang bersama!” lelaki berjulukan “pek-I-sin-tosu” adalah Lee-hauw adik kandung dari ketua Hoasan-pai , dan sebagai pendekar yang tergolong tua, ia merupakan kenalan baik dengan keluarga bengcu, terlebih ia dan istri Han-liang-jin Yap-hui-hong berasal dari kota yang sama yakni Yinchuan.

Han-liang-jin segera memanggil pelayan dan menambah pesanan, pelayan segera menyiapkan pesanan dan menghantar kemeja Han-liang-jin, sambil makan mereka bercakap-cakap “bagaimana kabar keluarga paman di Yinchuan ?” tanya Han- liang-jin

“keluargaku baik-baik saja Han-taihap, lalu bagaimana dengan Yap-hui-hong, dan anakmu sudah berapa ?” “hehehe…..istriku baik dan sehat paman, dan cucu paman sih baru dua.” jawab Han-liang-jin

“hahaha..hahaha….ada rencana mau nambah lagi ?” seloroh Lee-hauw, Han-liang-jin tertawa kecil

“hehehe…tergantung yang di atas paman.”

“hahaha..oh ya tentu kamu singgah di kaifeng, bukan? bagaimana dengan kabar bengcu!?”

“ayah dalam keadaan sehat-sehat saja.” jawab Han-liang-jin, mendengar percakapan itu, hati Han-liu-ing amat tertarik, terlebih saat ia mendengar bahwa lelaki sastrawan itu bermarga han, dan pantaslah kelihatan demikian dihormati karena lelaki sastrawan itu ternyata putra bengcu.

Han-liu-ing terkadang melihat lekat wajah gagah milik sastrawan, dan saat Han-liang-jin menyelesaikan makannya, ia mengangkat kepala dan pandangan keduanya bertemu, hal ini membuat Han- liu-ing kikuk dan malu, sehingga membuat ia tertunduk dan wajahnya memerah dan panas, Han-liang-jin dengan ramah bertanya

“apakah lihap juga hendak menghadiri undangan pernikahan Lee-ciangbujin ?”

“ti…tidak han-taihap ! saya hanya pengelana yang kebetulan lewat kota ini” jawab Han-liu-ing

“darimanakah asalmu nona ?” tanya Lee-hauw sambil minum dan menyudahi makannya

“saya dari kota shinyang cianpwe.” jawab Han-liu-ing “saya dari Kaifeng nona, dan paman ini dari Yinchuan, lalu

siapakah namamu nona ? dan kenalkan saya bernama Han- liang-jin, dan paman ini…”

“aku bernama Lee-hauw nona!” sela Lee-hauw

“nama saya Han-liu-ing cianpwe.” jawab Han-liu-ing sambil menatap Lee-hauw dan merangkap kedua tangannya

“hahaha..ternyata keluargamu Han-taihap! coleteh Lee-hauw, Han-liang-jin tersenyum menatap wajah Han-liu-ing dan bertanya lembut

“siapakah namamu orangtuamu ing-moi ?” Lee-hauw tiba-tiba menyela

“han-taihap! saya harus duluan karena secepatnya saya harus bertemu dengan san-ko dirumah song-taijin, dan terimakasih atas makan siangnya.”

“oh kalau begitu silahkan paman! dan sampai ketemu besok dib alai kota,” sahut Han-liang-jin.

“maaf Han-siocia! saya permisi dulu!” ujar Lee-hauw sambil berdiri, Han-liu-ing mengangguk sambil tersenyum, setelah Lee- hauw pergi, Han-liang-jin kembali bertanya

“siapakah nama ayahmu Ing-moi ?”

“nama ayahku Han-ok-liang twako.” jawab Han-liu-ing, mendengar nama ayah Han-liu-ing wajah Han-liang-jin langsung berubah dan tersenyum haru dan bergumam

“ternyata kamu putri paman liang, adikku.” Han-liu-ing merinding mendengar getaran suara yang penuh rasa haru itu, selama ini ia dan ibunya tidak tahu dengan keluarga pihak ayahnya, dan sekarang ia bertemu dengan orang yang mengaku keluarga ayahnya, air muka Han-liu-ing berubah pucat dan sendu karena merasakan getaran suara Han-liang-jin yang penuh haru dan rindu bercampur jadi satu, Han-liang-jin bagkit dari kursinya dan duduk dihadapan Han-liu-ing yang masih termanggu, dengan bibir bergetar Han-liu-ing bertanya

“a..apakah jin-twako kenal dengan ayah saya ?” Han-liang-jian menatapnya sendu dan dengan seulas senyum ia menjawab “walaupun kakak tidak pernah jumpa dengan ayahmu adikku! tapi aku tahu bahwa Han-ok-liang adalah pamanku.” Han-liu-ing merasa heran, bagaimana pula tidak pernah bertemu tapi tahu pikirnya, lalu ia berkata

“aku tidak mengerti twako!” senyum Han-liang-jin semakin mengembang

“twako maklum ketidak mengertianmu Ing-moi.” ujar Han-liang- jin “kalau begitu jelaskanlah padaku Jin-ko!” pinta Han-liu-ing “kakak yakin bahwa kamu tidak pernah tahu latar belakang ayahmu, bukan? ujar Han-liang-jin, Han-liu-ing mengangguk sambil menatap lekat wajah gagah didepannya

“kalau begitu dengarlah! kakak akan coba menceritakan padamu.” ujar Han-liang-jin

“baik aku akan mendengarkan Jin-ko.” sela Han-liu-ing, Han- liang-jin menarik nafas dalam dan berkata

“ketahuilah Ing-moi! keluarga kita boleh dikatakan adalah keluarga besar karena mempunyai beberapa orang ibu, kakek kita bernama Han-hung-fei dan memiliki sembilan orang anak, yang tertua adalah ayah saya Han-fei-lun, kemudian paman

Han-kwi-ong dari ibu yang lain, lalu ayahmu paman Han-ok-liang dari ibu yang lain, kemudian paman Han-sai-ku dari ibu yang lain, terus bibi Han-bi-goat, paman Han-bu-jit, paman Han-bu- seng dari ibu yang lain, kemudian Han-bun-liong dari ibu yang lain, dan terakhir bibi Han-sian-hui adik kandung ayahku.” Han- liu-ing terkesima mendengar penuturan Han-liang-jin, ia tidak menyangka akan sedemikian banyak saudara ayahnya

“kira-kira kenapa ayah tidak mau menceritakan hal itu kepadaku dan ibu ? apakah Jin-ko tahu alasannya ?”

“alasan tepatnya tentu paman liang yang punya jawaban, tapi kakak memiliki dugaan kuat sebab musababnya paman tidak mau mengungkit latar belakangnya.”

“katakanlah Jin-ko! apa dugaan kuat itu ?” tannya Han-liu-ing semakin penasaran

“diantara enam ibu yang melahirkan anak-anak kakek Han-hung- fei, hanya dua orang yang dinikahi oleh kakek, memang satu kenyataan pahit bila kita terlahir dan kemudian diabaikan.” “tentunya ayahku termasuk anak yang diabaikan ini, Jin-ko ?” tanya Han-liu-ing lirih

“demikianlah adikku! dan oleh karena perlakuan ini, jelas menimbulkan kecemburuan dan rasa tidak terima anak-anak kepada sang ayah sendiri maupun kepada anak-anak yang diakui oleh ikatan.”

“kenapa kakek tega berbuat seperti itu Jin-ko?” tanya Han-liu-ing dengan nada sesal dan menuntut

“kita harus akui bahwa kakek kita bukan orang yang waspada dengan hidup, kakek kita terperangkap kekelaman masa mudanya Ing-moi, dan akibatnya anak-anaknya tidak akur antara satu dengan yang lain ”

“ayahku pasti benci pada Lun-pek dan keturunannya, iya kan ?” ujar Han-liu-ing, Han-liang-jin mengangguk dan kemudian berkata

“jika dibolak-balik keruetan yang terjadi pada keluarga kita, boleh dikatakan pecah menjadi tiga.”

“tiga maksudnya bagaimana Jin-ko ?” tanya Han-liu-ing

“satu pihak adalah para paman yang merasa diabaikan, yakni paman kwi-ong, paman Ok-liang, paman Bun-liong, lalu satu pihak yang merasa sah diakui dan mengucilkan yang lain, mereka ini adalah bibi bi-goat, paman bu-jit dan paman bu-seng, lalu pihak yang ketiga adalah yang berusaha memperbaiki ketidak akuran yang terjadi, jadi bagaimanapun halnya, sudah merupakan suratan yang wajib mutlak diterima bahwa sembilan orang itu dan keturunannya adalah saudara.” jawab Han-liang-jin menjelaskan, Han-liu-ing tercenung mencoba mencerna cerita latar belakang keluarga ayahnya “oh ya hendak kemanakah tujuanmu Ing-moi ?” tanya Han-liang- jin dengan senyum lembut

“aku hendak ke kota Hehat Jin-ko.” jawab Han-liu-ing

“lalu apakah Ing-moi akan melanjutkan perjalanan hari ini juga ?” “karena siang juga sudah tinggi sebaiknya aku menginap di sini, dan besok baru melanjutkan perjalanan.”

“hmh…kalau Ing-moi tidak terburu-buru, bagaimana kalau besok Ing-moi ikut denganku menghadiri pesta pernikahan putri Song- taijin.”

“tapi aku tidak mengenal siapapun disana Jin-ko.” jawab Han-liu- ing meragu

“tidak mengapa, banyak juga undangan yang tidak dikenal dan datang hanya sekedar memariahkan pesta dan mengucapkan selamat pada keluarga mempelai.” jawab Han-liang-jin meyakinkan adik sepupunya

“baiklah Liang-ko! aku akan ikut kalau tidak merepotkan Jin-ko.” “hehehe…tentu tidak merepotkan Ing-moi, terlebih pertemuan kita yang tidak disangka-sangka ini amat membuat kakak senang.” ujar Han-liang jin tulus, hati Han-liang-jin terenyuh mendengar perkataan kakak sepupunya yang tampan simpatik dan baru dikenal dan diketahuinya ini.

“Baik! sebentar kakak akan memasan kamar pada pemilik likoan.” ujar Han-liang-jin seraya benagkit dan melangkah menemui pemilik likoan, tidak lama kemudian seorang pelayan mengantar mereka kekamar masing-masing,, pada sore harinya setelah mandi dan berganti pakaian, Han-lian-jin keluar dari kamar, dan melihat Han-liu-ing sedang duduk santai di teras, Han-liang-jin melangkah dan mendekati Han-liu-ing, lalu menyapa “bagaimana istirahatmu siang ini Ing-moi ?” Han-liu-ing menoleh dan dengan senyum sumigrah ia menjawab

“istirahatku cukup dan tidur siangku nyenyak Jin-ko!.”

“kamu mau disini saja atau ikut kakak jalan-jalan melihat-lihat keadaan kota?” ujar Han-liang-jin

“aku ikutlah Jin-ko.” jawab Han-liu-ing sambil berdiri dengan wajah gembira

“kalau begitu marilah kita turun!” ujar Han-liang-jin, lalu keduanya turun dan keluar dari likoan.

Banyak juga para tamu dari kalangan liok-lim yang memasuki kota untuk memenuhi pesat besar kepala daerah, dan mereka juga sedang berjalan-jalan keluar menikmati kesyahduan senja, dan hampir semua tokoh-tokoh yang berpapasan dengam Han- liang-jin menyapanya dengan hormat dan takluk, Han-liu-ing makin kagum melihat kakak misannya yang luar biasa ini, saudaranya ini bersahaja sekali, namun memiliki charisma yang kuat disamping wajahnya yang tampan dan gagah.

“apakah sal yang tersampir itu sudah merupakan ciri dari Jin- ko?” tanya Han-liu-ing heran, karena banyaknya para tokoh yang menyapanya sepanjang jalan-jalan itu, Han-liang-jin menoleh adik misannya dengan senyum, sembari menjawab

“tidak juga Ing-moi, tapi jika dikatakan ciri “sin-siucai-bukoan” benar, karena kami semua murid-murid ayah memakai sal ini.” “oj begitu! tapi saya lihat semua tokoh yang berpapasan dengan kita tadi, sangat mengenal Jin-ko dengan sebutan “sin-san- siucai” 

“hehehe….itu karena istriku menyulam kipas pada salah satu ujung sal yang aku pakai ini.” jawab Han-liang-jin sambil menunjukkan ujung sal yang dipakainya, Han-liu-ing melihat ujung sabuk dengan sulaman berbentuk kipas dari benang emas “sudah berapakah usiamu Ing-moi ?” tanya Han-liang-jin

“hampir dua puluh dua, kenapa memangnya Jin-ko?” “tahukah kamu Ing-moi, bahwa wajahmu hampir mirip dengan wajah bibi kita?

“bibi yang mana Jin-ko?” tanya Han-liu-ing heran

“adik ayahku yang bernama Han-sian-hui, dan usianya sama denganmu, Ing-moi” jawab Han-liang-jin, Han-liu-ing termanggu mendengar bahwa ia mirip dengan bibi yang belum pernah ditemuinya, dan mengingat hal kemiripan ini, ia malah teringat pada pemuda ceriwis yang ditemuinya di kota Beijing, apakah bibi ini yang dimaksud oleh pemuda itu?” pikirnya dalam hati, kemudian ia menatap sepupunya dan bertanya

“dimanakah bibi hui ini tinggal Jin-ko?”

“Bibi tinggal bersama ayah di Kaifeng, tapi ketika saya singgah di rumah ayah, bibi sedang mencari orang yang membunuh keluarga kita di kota Bicu dan juga telah menculik kakek.” “kakek diculik !?” tanya Han-liu-ing terkejut, Han-liang-jin mengangguk dan berkata

Kalau tidak salah, ayah menyuruh bibi memulai pengusutan dari lembah merak.”

“kenapa Lun-pek menyuruh bibi memulai pengusutan dari lembah merak?” tanya Han-liu-ing heran

“karena kata ayah, kita punya keluarga disana”

“loh, apa hubungan hilangnya kakek dengan keluarga dilembah merak, apa Lun-pek mencurigai keluarga dilembah merak?” tanya Han-liu-ing makin penasaran, Han-liang-jin menatap adik misannya dengan senyum lembut dan berkata “ingat tidak Ing-moi apa yang kakak sampaikan tadi, bahwa keluarga kita terpecah menjadi tiga pihak?” Han-liu-ing terdiam sejenak, lalu berkata

“ingat Jin-ko, pihak yang merasa sah, pihak yang merasa diabaikan dan pihak yang mencoba memperbaiki keadaan.” “nah! pihak yang merasa diabaikan itu berada dilembah merak, dan pihak yang merasa sah berada di Bicu, bisa kamu lihat

keterkaitannya adikku?” tanya Han-liang-jin, Han-liu-ing termanggu dan mengangguk karena jelas melihat keterkaitannya.

“Ing-moi! Usia berapa kamu ditinggalkan paman ?” tanya Han- liang-jin tiba-tiba, Han-liu-ing berhenti dan menatap saudara misannya heran, Han-lian-jin tersenyum dan mengajak adik sepupunya duduk di sebuah bangku di pingir kolam ditengah taman kota

“kenapa Ing-moi ? kenapa kamu heran?” tanya Han-liang-jin “bagaimana Jin-ko tahu bahwa aku dan ibu ditinggalkan ayah?”

Han-liang-jin dengan lembut berkata

“tentulah kakak tahu, karena kata ayah! bahwa paman kwi-ong, paman Ok-liang selama inI terjebak pada rasa tidak puas, sehingga sejak masa mudanya sampai sekarang kedua paman selalu berusaha untuk melenyapkan dua pihak yang lain, dan terakhir ayah menemui mereka dilembah merak hampir empat tahun yang lalu” Han-liu-ing baru merasa jelas sekarang tentang sikap ayahnya yang selama ini cendrung mengabaikannya dan ibunya, dan bahkan ia merasa bahwa ada hubungan hilangnya kakeknya dengan kepergian ayahnya yang mendadak. “Jin-ko, tujuan saya kekota Hehat adalah untuk mencari ayah, karena kata ibu ayah pergi ke Hehat untuk sebuah urusan penting.” ujar Han-liu-ing lirih, karena merasa ayahnya telah membabi buta karena mabuk dendam.

“oh jadi paman Ok-liang ke kota Hehat, berarti lembah merak sudah ditinggalkan kalau begitu, hmh….tapi mungkin saja bibi juga akan mengarah kesana.” gumam Han-liang-jin

“heh..! sudah hampir malam, kita kembali kepenginapan, Ing- moi!” ujar Han-liang-jin sembari berdiri, Han-liu-ing serta merta berdiri, dan merekapun buru-buru kembali ke penginapan.

Keesokan harinya, Han-liang-jin dan adik misannya menuju balai kota, para tamu dari kalangan liok-lim berbondong-bondong memasuki balai kota yang sudah didekorasi indah dan ditata dengan apik, barisan polisi kota dengan sigap dan rapi berdiri disepanjang jalan memasuki komplek pesta, lebih dari lima ratus orang yang menghadiri pesta pernikahan itu, para undangan mengantri panjang untuk menyerahkan kado dan hadiah buat kedua mempelai dan keluarga, Song-taijin dan istri dengan senyum ramah menyambut para tamu, lima orang ditugaskan untuk menerima dan mengatur kado dan cendra mata yang diberikan para tamu.

Menjelang siang acara pernikahanpun dimulai, seorang biksu dan tujuh muridnya melangkah ketengah panggung untuk membawakan acara nikah tersebut, dan satu jam kemudian acara itupun selesai, lalu disambung dengan acara petatah petitih dari keluarga dan para undangan pada kedua mempelai, dari pihak keluarga, Lee-hauw memberikan kata-kata nesehat pada keponakan dan mantunya, lalu dari pihak undangan, oleh keluarga meminta kepada Han-liang-jin untuk tampil menyampaikan kata-kata nasehat pada kedua mempelai

“kami sekeluarga, terlebih Lee-ciangbujin dari Hoasan-pai sangat mengharapkan agar kiranya “sin-san-siucai” dapat memberikan kata-kata sambutan, kepada Han-taihap kami persilahkan!” ujar pembawa acara, dan disambut gemuruh tepuk tangan para undangan, Han-liang-jin yang duduk di bagian tamu kehormatan bersama adik sepupunya dengan senyum bangkit dari kursinya, ia melangkah ketengah panggung dengan senyum ramah sambil melambaikan tangan dan disambut tepuk meriah “terimakasih saya ucapkan pada keluarga kedua mempelai, yang mana telah memberikan kesempatan pada siauwte, untuk menyampaikan sepatah dua patah kata, pada acara sakral pernikahan kedua adik yang menjadi mempelai pada pesta megah dan luar biasa meriah ini, jadi untuk itu marilah kita

sama-sama menyampaikan kionghi sebanyak tiga kali pada keduanya” ujar Han-liang-jin, lalu suara ucapan selamat pun bergemuruh sampai tiga kali.

“yang saya hormati Song-taijin yang berbahagia, Lee-ciangbujin Hoasan-pai yang saya muliakan, para sesepuh kota yang budiman, para cianpwe yang bijaksana, para sicu dan hohan serta rekan-rekan para undangan yang saya banggakan, dan tidak lupa pada kedua mempelai yang bersuka cita, perkenankan saya menyampaikan sepatah dua patah kata, semoga wejangan bermamfaat bagi kita semua.” ujar Han-liang- jin sambil merangkap tangan dan membungkuk ke empat arah, lalu sejenal ia menarik nafas dan berkata “hadirin sekalian yang saya muliakan! dua hati dijadikan menjadi satu dalam ikatan pernikahan pastilah ia punya tujuan, apakah tujuan dari pernikahan? Jawabannya adalah untuk meraih ketenangan, ketenangan merupakan hajat asasi setiap manusia, ketenangan dapat terwujud jika keinginan dapat disalurkan dan perasaan dapat dicurahkan, samalah halnya jika kita mengatakan pikir itu dapat meraih ketenangan, jika nafsu dapat disalurkan dan jiwa dapat pencurahan, dan tidak semua penyaluran nafsu maupun pencurahan jiwa akan bemuara pada ketenangan, karena ada juga penyaluran nafsu yang berakhir pada kebinasaan dan pencurahan jiwa berujung pada kehancuran, dan jika memang demikian adanya, apa syarat dari kedua hal ini supaya bermuara pada ketenangan? Jawabannya adalah benar dan seimbang, benar dan seimbang ini hanya ada pada nikah yang kita sasksikan sekarang ini, penyaluran nafsu pada insan yang terikat nikah adalah benar sehingga menerbitkan ketenangan, pencurahan jiwa pada insan yang terikat nikah adalah seimbang sehingga melahirkan

ketenangan.”

Dan kepada kedua mempelai saya ingin menegaskan, tetaplah berpegang pada tujuan nikah, yakni ketenangan, jangan lari atau menyimpang dari tujuan ini, apapun masalah dalam rumah tangga yang kalian hadapi, tetaplah tenang! karena ketenangan menjernihkan pemikiran, meredam nafsu dan melapangkan jiwa, coba kalian bayangkan! masalah apa yang tidak terselesaikan oleh pemikiran yang jernih, nafsu yang terkendali dan jiwa yang lapang? jawabannya tidak ada, jadi kalian camkanlah! bahwa keluarga dapat hancur berantakan karena lari dari prinsip nikah yang mereka lakukan, demikian saja semoga bermamfaat bagi kita semua.” Han-liang-jin merangkap kedua tangan memberi hormat pada hadirin, dan ia pun kembali ketempat duduknya diiringi tepuk tangan para undangan, pembawa acara melangkah ketengah panggung

“Han-taihap! terimakasih kami ucapkan, petuah yang disampaikan sungguh melimpah tidak berlebihan, sedikit tidak berkekurangang.” ujar pembawa acara seraya tersenyum, dan kemudian dengan teriakan penuh semangat ia berkata “dan selanjutnya….! adalah acara hiburan oleh kru sandiwara telaga selatan, mari sama-sama kita saksikan seraya dipersilahkan menyicipi hidangan yang kami sediakan!” lalu pembawa acara undur diri dan digantikan oleh para kru sandiwara dengan persembahan mereka.

Pesta meriah itu berjalan lancar dan aman hingga larut malam, setelah semua acara dijalani, para undangan pun mohon diri kembali kerumah atau kepenginapan masing-masing, Han-liang- jin dan adik sepunya juga mohon diri untuk kembali kepenginapan, malam itu Han-liu-ing merasa senang tapi gamang, dia tidak pernah menjadi perhatian dan dielu-elukan orang, malam ini barulah ia merasakan betapa marga Han yang diwarisinya mempunyai nilai lebih dimata para tokoh-tokoh senior liok-lim, dia berjalan di sisi kakak misanya dengan senyum bangga.

Keesokan harinya, Han-liang-jin dan adik misannya turun untuk sarapan pagi

“Jin-ko! setelah sarapan aku akan melanjutkan perjalanan.” ujar Han-liu-ing sambil menyuap bubur nasi kemulutnya “ya, berangkatlah ing-moi! semoga perjalananmu lancar dan dapat menemui paman disana.”

“apakah Jin-ko akan langsung kembali ke shan-tung?” “benar, dan mungkin beberapa hari singgah di kaifeng, oh ya,

jika bertemu dengan bibi-hui sampaikanlah salam takzim dariku!”

Han-liu-ing heran seraya tersenyum ia berkata

“bagaimana aku tahu bibi Hui? sementara kami tidak pernah bertemu.”

“bibi masih muda seperti kamu, dan akan mudah kamu kenali! karena bibi hui selalu memakai sal seperti saya ini, namun warnanya putih.”

“kenapa bibi-hui memakai sal warna putih? tanya Han-liu-ing “mungkin karena bibi tingkat orangtua, maka ayah dan bibi memakai sal warna putih.” jawab Han-liang-jin, Han-liu-ing manggu-manggut mengerti.

Setelah sarapan kedua saudara misan itu pun berpisah, Han-liu- ing keluar dari gerbang utara, sementara Han-liang-jin keluar dari gerbang selatan, hati Han-liu-ing terasa ringan, pertemuan dengan kakak misannya membuat hatinya terkesan, rasa sayang dan tulus yang ditunjukkan kakak misannya seakan telah mengobati keterlantaran diri yang ia rasakan selama ini, tugasnya sekarang adalah membantu bibinya yang sedang mencari kakeknya yang diculik, hatinya merasa rindu dan haru ingin cepat-cepat bertemu dengan bibi yang dikatakan hampir mirip dengannya ini, dia mempercepat larinya, tubuhnya yang ringan laksana kapas melesat melintasi lembah dan bukit.

Dua minggu kemudian Han-liu-ing memasuki kota taiyuan, langit diatas kota taiyuan ditutupi awan mendung, Han-liu-ing segera mencari-cari penginapan, dan baru saja ia duduk dan memesan makanan, suara deru hujan pun terdengar, dan pada saat yang sama sepasang suami istri berumur empat puluhan memasuki likoan, wanita paruh baya itu masih kelihatan cantik, dengan wajah sedikit masam dia mengebaskan lengan pakainnya yang kena hujan, seorang pelayan datang mendekati pasangan itu “silahkan tuan dan nyonya! dan nyonya hendak memasan apa?” tanya pelayan ramah

“dua porsi makanan dengan lauk panggang burung dara, lalu seguci arak.” jawab si nyonya sambil duduk dikursi dua meja didepan Han-liu-ing, sesaat keduanya beradu pandang, dan Han-liu-ing terkejut merasakan betapa sorot mata itu demikian tajam, dan terkesan sombong, Han-liu-ing kembali menyuap makanan kemulutnya.

Pelayan datang menghantar pesanan dari pasangan itu dan menghidangkannya di atas meja, setelah pelayan pergi, keduanya mulai makan, dan berturut-turut empat orang tamu memasuki likoan, sementara deru hujan pun makin menghebat, air hujan laksana dicurahkan saja dari langit, empat tamu itu pun mencari tempat duduk masing-masing, sehingga sepuluh meja pada penginapan itu terisi , semua tamu menikmati hidangan masing-masing, sementara tiga orang pelayan duduk dimeja belakang dengan sikap tanggap jika sewaktu-waktu mereka diperlukan para tamu, setelah suami istri selesai makan, si nyonya menyeru dan melmbaikan tangan kepada pelayan, seprang pelayan buru-buru datang mendekat sambil membungkuk ia bertanya “iya nyonya! apakah yang dapat saya bantu?”

“kami hendak menginap, tolong sediankan kamar untuk kami!” “baik nyonya, apakah sekarang saya antar atau nanti, nyonya!?” “ya, sekarang, mari koko!” pasangan pendekar itu pun meninggalkan ruang makan dan oleh pelayan keduanya di bawa ketingkat atas, melihat hujan yang masih saja lebat, Han-liu-ing juga berencana untuk menginap, lalu ia pun memesan kemar pada pelayan, seorang pelayan mengantarkanya ketingkat atas, “ini kamarnya nona, silahkan!” ujar pelayan

“baik dan terimakasih lo-pek.” sahutHan-liu-ing seraya masuk kedalam kamar, karena suasana yang sejuk dan perut yang kenyang membuat mata Han-liu-ing mengantuk, Han-liu-ing langsung baring di atas ranjang dan tidak berapa lama ia pun tertidur dengan nyenyak.

Han-liu-ing terbangun saat hari sudah malam, dan hujan hanya tinggal rintik-rintik, ia turun dari ranjang untuk pergi mandi, setelah mandi ia berganti pakaian dan berdandan, lalu kemudian turun kebawah untuk makan, dibagian bawah ia melihat suami istri itu sudah selesai makan dan meja bekas makan mereka dibersihkan seorang pelayan, Han-liu-ing duduk dan memesan makanan pada pelayan, dari mejanya, Han-liu ing merasa tertarik mendengar pembicaraan suami istri itu

“goat-moi, sebaiknya seng-te tidak terlambat sampai kesini.” “adikku itu tidak akan terlambat hung-ko, besok siang dia akan sampai disini, dan kita akan sama-sama menuju kota hehat.” “semoga saja goat-moi, sebab kita tidak tahu bagaimana keadaan gak-hu sekarang.”

“hmh…..kalau nanti aku bertemu dengan si “coa-beng-kiam- ong”! akan kupecahkan kepalanya.” ujar si nyonya itu dengan hati geram, tentunya kita sudah dapat menebak siapa suami istri ini, mereka adalah Han-bi-goat dan suaminya Kao-hun seorang pendekar jebolan gobipai.

Suami istri ini meninggalkan kediaman mereka di hopei karena sebulan yang lalu mereka mendapat surat dari adiknya Han-bu- seng yang mengatakan bahwa “coa-beng-kiam-ong” yang membantai keluarga mereka tinggal di kota Hehat, dan dalam surat itu Han-bu-seng memesankan supaya cicinya Han-bi-goat dan suaminya pergi ke taiyuan dan mereka akan berjumpa disana. lalu sama-sama berangkat kekota Hehat untuk mengadakan perhitungan dengan penculik ayah mereka sekaligus menagih nyawa keluarga mereka yangt dibantai.

Suami istri itu langsung berkemas dan meninggalkan rumah menuju kota taiyuan, dan sebulan kemudian mereka sampai di kota taiyuan dan menanti kedatangan sang adik,

“julukan “coa-beng-kiam-ong” belum pernah saya dengar, dan sepak terjangnya setelah menculik gak-hu tidak kedengaran santer, apakah itu mungkin siasat mengalihkan perhatian, sehingga kita tertipu, goat-moi?” ujar Kao-hung

“saya juga masih meragu, tapi sepertinya seng-te lebih banyak tahu, nantilah kita tanyakan padanya.” sahut Han-bi-goat.

Han-liu-ing yang mendengar percakapan hal penculikan yang dibicarakan suami istri itu, pikirannya menghubungkan kejadian- kejadian yang ia hadapi, kepergian ayahnya yang mendadak, pertemuannya dengan kakak misannya yang juga menceritakan hilangnya kakek mereka, dan sekarang ia bertemu dengan suami istri paruh baya ini, bukankah si nyonya ini dan adiknya yang hendak ditunggu adalah pihak yang merasa sah, sebagaimana uraian dari kakak misannya tentang keluarga Han? Kalau begitu bukankah nyonya itu tiada lain adalah bibinya sendiri? pikir Han-liu-ing, hati Han-liu-ing makin tertarik dan ingin melihat bagaimana pula pamannya yang bernama Han-bu-seng itu.

Keesokan harinya, saat para tamu makan siang, Han-bu-seng tiba dipenginapan dimana Han-bi-goat dan suaminya menanti “kamu sudah tiba seng-te!” sapa Kao-hung, Han-bu-seng tidak langsung menjawab karena matanya memandang Han-liu-ing yang saat itu menuruni tangga, Han-liu-ing merasa heran dipandangi dengan tajam

“heh! Kenapa kamu melihat perempuan itu!?” tegur Han-bi-goat heran, Han-bu-seng melangkah mendekati meja kakaknya, sementara Han-liu-ing melihat siapa yang menegur, hatinya berkata “ternyata suami istri itu! berarti inilah pamannya yang bernama Han-bu-seng.” Han-liu-ing terus menuruni tangga dan duduk agak jauh, tanpa merasa diperhatikan dan dibicarakan Han-liu-ing memesan makanan pada pelayan.

Han-bu-seng terkejut ketika melihat wajah Han-liu-ing, dan dia menyangka melihat adik Han-fei-lun yang pernah dijumpainya, tapi karena sal tidak ada tersampir di bahu Han-liu-ing, Han-bu- seng jadi ragu

“Seng-te pertanyaanku belum kamu jawab, kenapa kamu memandangnya seperti melihat hantu!?” tanya Han-bi-goat “hmh….saya tadi menyangka bahwa dia itu seseorang yang saya kenal, wajahnya hampir mirip, tapi ternyata tidak” jawab Han-bu-seng

“sudah kalau begitu, duduk dan makanlah! setelah itu kita akan berangkat!” perintah Han-bi-goat, Han-bu-seng duduk dan seorang pelayan datang melayani mereka.

“seng-te! apakah kamu yakin bahwa orang yang menculik gak- hu ada dikota hehat ?” tanya Kao-hung

“kenapa ? apakah Hung-ko tidak percaya ?” tanya Han-bu-seng “memang aku sedikit ragu seng-te, karena masalahnya, sepak

terjang “coa-beng-kiam-ong” tidak pernah kedengaran setelah menculik gak-hu, saya curiga bahwa penyebutan itu adalah dalih lempar batu sembunyi tangan.”

“berita yang kudapat adalah terpercaya dan ahli dalam hal-hal seperti ini.”

“maksudmu bagaimana seng-te? bagaimana kamu demikian yakin !?” tanya Han-bi-goat

“saya dibantu seorang teman saya di kota Tian-jin dan ia khusus mengerahkan tilik sandinya untuk menyelidiki hal ini, dan dari informasi yang mereka dapat, bahwa ayah berada di kui-san bersama siang-mou-bi-kwi.” jawab Han-bu-seng

“siapa pula siang-mou-bi-kwi itu seng-te !?” tanya Han-bi-goat heran

“siang-mou-bi-kwi itu dulunya tinggal di lembah merak bersama dengan kwi-ong, ok-liang dan bun-liong, kamu tahu siapa tiga orang ibi cici ?” tanya Han-bu-seng tiba-tiba, Han-bi-goat yang serius mendengarkan makin tertarik dan menjawab penasaran “tidak! memangnya siapa mereka itu !?”

mereka ini adalah anak-anak haram dari ayah.” jawab Han-bu- seng tandas, Han-bi-goat dan suaminya terkejut “berarti aku benar yang kukatakan bahwa julukan “coa-beng- kiam-ong” itu hanya julukan semu.” ujar Kao-hung

“kalau itu aku tidak tahu, tapi mungkin saja hung-ko.” ujar Han- bu-seng

“sialan! ternyata anak-anak haram itu yang telah membunuh keluarga kita di Bicu.” umpat Han-bi-goat dengan hati geram, ia tidak sadar suaranya agak sedikit tinggi dan membuat para tamu yang lain memandang ke arah mereka, Han-liu-ing yang sedari tadi konsentrasi mengerahkan pendengarannya mendengarkan pembicaraan itu ikut juga memandang

“apa lihat-lihat!” bentak Han-bi-goat dengan tatapan tajam kepada para tamu, para tamu lengsung menunduk atau mengalihkan pandangan dengan rasa hati sebal

“sudah! kita langsung berangkat saja!” ujar Kao-hung seraya berdiri, lalu merekapun keluar dari likoan dan melanjutkan perjalanan, Han-liu-ing segera bangkit dan membayar makan dan sewa penginapan, ia juga hari itu meninggalkan kota Taiyuan dan berusaha membayangi ketiga orang itu, hatinya merasa geram juga mendengar anak haram yang dilekatkan pada ayahnya, namun dia tidak mau gegabah dan menyabarkan diri, perjalanan ketiga orang itu boleh dikatakan cepat bagi tingkat Kao-hung, namun bagi tingkat Han-bi-goat dan Han-bu- seng masih tergolong lambat, oleh karena perjalanan yang tergolong lambat bagi keluarga Han, Han-liu-ing dapat membayangi mereka tanpa diketehui.

Dua minggu kemudian Han-bi-goat dan rombongan istirahat ditepi sebuah sungai sambil membakar ikan yang mereka tangkap di sungai, “cici! sepertinya dua hari ini aku merasa ada yang mengikuti kita.” ujar Han-bu-seng

“aku juga merasakan hal yang sama seng-te!, kamu coba memutar bukit itu dan pergoki orang yang coba macam-macam dengan kita.” ujar Han-bi-goat, Han-bu-seng tiba-tiba berkelabat dari tempat itu, dan tidak lama Han-bi-goat dan suaminya melanjutkan perjalanan, Han-bu-seng yang menyisir bekas perjalanan mereka, tidak menemukan orang yang mengikuti mereka, ia sudah menaiki pohon yang tinggi dan berdiam disana bebrapa jam, namun tetap saja hasilnya nihil, dengan rasa gemas dan mengkal ia berlari cepat menyusul cici dan abang iparnya.

Setelah siang berganti malam Han-bu-seng mendapatkan cicinya sedang tidur di sebuah bukit, sementara suaminya Kao- hung sedang berjaga-jaga

“eh….kamu seng-te! apakah kamu menemukan orang yang menguntit kita?”

“tidak, aku tidak menemukan seseorang pun.” jawab Han-bu- seng dengan nada kecewa

“sudahlah, mungkin perasaan kalian saja.” ujar Kao-hung, Han- bu-seng diam saja dan menyandarkan diri disebuah pohon, dan tidak lama kemudian ia pun tertidur, bagamana Han-bu-seng tidak memergoki Han-liu-ing yang sedang membayangi mereka? Hal itu dikarenakan saat mereka istirahat ditepi sungai, Han-liu- ing berbelok ke hulu sungai dan bergerak mendahului mereka, Han-liu-ing merasa tidak perlu lagi membayangi tiga orang yang tujuan jelas kekota Hehat, jadi ia berinisiatif mendahului mereka. Seminggu kemudian Han-liu-ing tiba di kota Hehat sebagaimana diketahui bahwa ayahnya baru seminggu yang lalu meninggalkan kota Hehat menuju Kui-san, Han-liu-ing mencari sebuah penginapan untuk menunggu kedatangan tiga orang yang ditinggalkannya, namun sampai tiga hari ia tidak melihat kedatangan Han-bi-goat dan rombongan, ia heran dan merasa kecewa, hingga siang itu ia hanya duduk sambil minum didalam likoan, sebenarnya rombongan Han-bi-goat sudah memasuki kota hehat dua hari setelah Han-liu-ing sampai, Han-liu-ing tidak menemui mereka karena rombongan Han-bi-goat memasuki kota saat malam, dan mereka langsung kerumah suheng Kao- hung yang bernama Lauw-ban.

Kedatangan rombongan itu membuat Lauw-ban heran dan terkejut, setelah mempersilahkan tamunya masuk Lauw-ban bertanya

“ada apa sebenarnya hung-sute? kedatangan kamu dengan adik ipar membuatku terkejut.”

“kami ada urusan penting ban-suheng, terkait dengan diculiknya gak-hu hampir dua tahun yang lalu.”

“oh begitu, lalu bagaimana sute?” tanya Lauw-ban “setelah selidik punya selidik diketahui bahwa penculiknya mungkin berada di “kui-san” suheng!”

“kui-san!? hmh…..itu tempat siang-mou-bi-kwi, apa kamu mau mengatakan bahwa yang menculik Han-cianpwe adalah “siang- mou-bi-kwi”? tanya Lauw-ban penasaran

“hal itu mungkin saja Lauw-taihap, tapi yang jelas siang-mou-bi- kwi pasti terlibat penculikan ayah kami.” sela Han-bu-seng, Lauw-ban mengangguk mengerti “lalu apa selanjutnya yang hendak kalian lakukan?” tanya Lauw- ban

“besok pagi-pagi sekali kami akan mendatangi “kui-san”!” jawab Han-bi-goat tegas

“dan mengingat musuh itu lebih dari seorang, sebaiknya Ban- suheng ikut membantu kami, bagaimana Ban-suheng?” sela Kao-hung

“tentu sute! Aku akan membantu semampuku, jadi kalian istirahatlah! dan besok kita akan berangkat ke kui-san” ujar Lauw-ban seraya tersenyum arif, lalu kemudian merekapun diantar kekamar untuk istirahat, keesokan harinya mereka berangkat menuju kui-san bersama Lauw-ban, sementara Han- liu-ing harap-harap menunggu mereka, sehingga ia memutuskan untuk pergi saja ke kui-san.

Bangunan di kui-san yang besar nampak angker berdiri ditengah-tengah hutan lebat itu, Han-hung-fei sedang duduk bersama Li-cing di balai-balai didepan rumah sambil menikmati hembusan semilir angin senja, Li-cing segera berdiri ketika melihat empat sosok bayangan tiba-tiba muncul

“ayah!” seru Han-bi-goat memanggil ayahnya, Han-hung-fei segera berdiri dan menyahut

“kamukah itu goat-ji!?” tanya Han-hung-fei

“benar ayah, saya dan seng-te datang untuk membawa ayah kembali, serta menagih nyawa orang yang membunuh ibu dan jit-te.” jawab Han-bi-goat tandas dan mata berkilat menahan marah

“hmh….kalian masuklah dulu! didalam kita bicarakan dengan baik-baik!” ujar Han-hung-fei “apa lagi yang hendak dibicarakan ayah!? sudah jelas perempuan gila ini telah menculik ayah dan mebunuh ibu!” bantah Han-bi-goat

“jangan sesumbar dan jual lagak disini!” bentak suara, dan tiba- tiba Han-bun-liong sudah berdiri bersama dua orang saudaranya “kamu ini siapa !?” balas Han-bi-goat membentak dengan tatapan tajam

“phuah..! siapa pula perempuan yang tidak tahu adat ini ibu?” tanya Han-bun-liong kesal

“liong-ji! dia itu adalah cici-mu.” jawab Han-hung-fei mencoba menengahi

“ternyata sisombong tidak tahu diri yang datang, malas berhadapan dengan cecunguk yang banyak lagak, mari ong-ko! kita masuk!” sela Ok-liang

“mari liang-te!” sahut Han-kwi-ong, dan sambil melangkah ia berkata

“liong-te! suruh mereka pergi dari sini Liong-te! jika tidak mau lempar saja kedasar jurang

“kwi-ong! Jaga mulutmu!” teriak Han-hung-fei, Han-kwi-ong berhenti dan membalik badan, dan dengan sinis ia berkata “kalau tidak mau kehilangan kedua anakmu ini. sebaiknya suruh mereka pergi!”

“apa!? apa maksudmu kwi-ong!? apa kamu hendak mencelakakan adik-adikmu!? tanya Han-hung-fei marah “hehehehe..hahahhaa…..adik? hahaha…hahaha…lucu sekali, kapan kamu punya adik liang-te?” Han-ok-liang yang ditanya tersenyum sinis dan menjawab

“adik si Fei-lun kali, ong-ko, hahaha..hahaha ” keduanya

tertawa sambil berjalan masuk kedalam rumah Han-bi-goat merasa terhina, ia ingin sekali menerkam kwi-ong, namun ia tahan karena mendengar bentakan ayahnya yang memarahi kwi-ong, hatinya merasa bingung dan marah ketika melihat betapa kemarahan ayahnya tidak digubris, bahkan ditertawakan.

“kalian sebaiknya pergi dari sini! kami hanya menunggu kedatangan Fei-lun! Bukan menunggu kalian!” ujar Han-bun- liong

“taik kucing siapapun yang kalian tunggu! kami kesini untuk menagih keluarga kami yang kalian bunuh dikota bicu.” sela Han-bu-seng tegas dan marah

“saya yang membunuh mereka semua, hayo! Kalian mau apa !?” tantang Han-bun-liong

“liong-ji! seng-ji! tidak bisakah kalian sedikit mengakui keberadaanku disini!?” bentak Han-hung-fei dengan nafas sedikit memburu

“hmh….ibu! ibu sajalah yang mengurus, buat hati sebal saja.” ujar Han-bun-liong seraya masuk kedalam rumah, dibagian belakang bangunan, Han-kwi-ong dan anaknya sedang berlatih, sementara Han-kwi-ong dan Coa-kim asik berbicara di balai- balai, melihat kedatangan Han-bun-liong, Han-ok-liang bertanya “bagaimana liong-te, apa mereka sudah pergi!?”

“biar ibu saja yang mengurus mereka.” jawab Han-bun-liong sambil duduk disamping coa-kim

“hihihi…..wajah kalian pada manyun semua, membuat aku jadi gerah begini.” seloroh Coa-kim, mendengar itu keduanya senyum, sementara dihalaman depan Han-hung-fei mencoba menenangkan kedua anaknya “maaf anak mantu! dan kamu juga Lauw-taihap, kalian terpaksa menyaksikan kejadian memalukan ini.” ujar Han-hung-fei pada Kao-hung dengan nada sesal

“tidak apa gak-hu, apakah sebaiknya aku dan suheng menunggu disini atau kami menunggu di kota hehat?”

“apa maksudmu hung-ko!?” tanya Han-bi-goat tajam “sebaiknya kamu disini saja hung-te, temani istrimu! Dan aku

akan menunggu kalian di rumah.” sela Lauw-ban, lalu dia mohon pamit pada Han-hung-fei, setelah Lauw-ban pergi, Han-hung-fei berkata

“apa yang menimpa ibumu dan jit-ji tidak perlu di ungkit-ungkit lagi, ini semua kesalahan ayah, jadi tolong maafkan ayah!” “walaupun ini kesalahan ayah, tapi mereka tidak berhak membunuh ibu dan saudaraku! sahut Han-bi-goat

“hmh dengarlah goat-ji, bersikeras menantang kakakmu tidak

ada gunanya, bahkan akan membuat kalian celaka, dan aku akan makin tercabik-cabik dengan kehilangan kalian.” ujar Han- hung-fei sedih

“sebaiknya kalian turuti apa kata ayah kalian! Sekarang kalian sudah tahu keberadaan ayah kalian yang tidak kurang satu apapun, bukankah itu sudah cukup!?” sela Lee-cing

“aku tidak tahu apa bisa melupakan kematian ibu dan jit-ko!” ujar Han-bu-seng

“Seng-ji! jika engkau mencari orang yang bersalah dalam kematian ibumu, maka akulah orangnya,

uuuu..uuuuu……semuanya ini adalah salahku, uuuu uuuu” ujar

Han-hung-fei menagis menyesal menghiba diri, Lee-cing membelai lengan dan menghibur Han-hung-fei seraya berkata “ayah kalian sudah tersiksa dengan penyesalan yang tidak bertepi ini, dan saya harap kalian sebagai anak-anaknya mengerti dan tidak menambah keperihan hatinya dengan mencoba berurusan dengan tiga saudara kalian tadi.”

“sebaiknya kita pergi saja goat-moi, seng-te!” sela Kao-hung “hari sudah hampir malam, sebaiknya besok saja kalian kembali kekota hehat! ujar Lee-cing

“bagaimana enci!? tanya Han-bu-seng

“besoklah kalian pergi nak! malam ini temanilah ayah disini.” bujuk Han-hung-fei

“apakah mereka mau kami disini!?” tanya Han-bi-goat ketus “jangan kamu hiraukan mereka, bukankah anakku tadi sudah mengatakan bahwa urusan kalian diserahkan padaku?” jawab Lee-cing, akhirnya setelah dibujuk merekapun tinggal semalam di kui-san

Besok paginya, Lee-cing mengajak mereka untuk sarapan, diruangan itu hanya ada ayah mereka dan Han-bouw-bian, kwi- ong dan yang lain-lain tidak ada

“kemana mereka dan siapa pula anak muda ini?” tanya Han-bi- goat heran karena sejak mereka masuk kedalam rumah itu, mereka hanya dijamu ayahnya dan lee-cing, dan tiga saudaranya itu tidak kelihatan batang hidungnya

“ini keponakanmu goat-ji, anak dari kwi-ong.” jawab Han-hung- fei

“lalu mereka bertiga kemana ?” kembali Han-bi-goat bertanya “saya suruh mereka pergi, supaya kamu dan adikmu merasa nyaman.” jawab Lee-cing, Han-bi-goat dan adiknya saling pandang “kita sarapan saja, nanti buburnya keburu dingin!” sela Han- hung-fei, lalu merekapun sarapan.

Setelah sarapan mereka diantar keluar oleh Han-hung-fei dan Lee-cing.

“ada yang datang!” bisik Han-hung-fei, dan tidak lama muncul sosok bayangan berdiri ditengah halaman, seorang gadis cantik berdiri gagah menatap mereka dengan heran

“kamu rupanya! kenapa kamu mengikuti kami!?” bentak Han-bu- seng pada gadis yang tiada lain adalah Han-liu-ing

“aku tidak mengikuti kalian! Aku kesini hendak mencari ayahku!” jawab Han-liu-ing, mereka saling pandang dan merasa heran “siapa ayahmu nona?” tanya Lee-cing menatap Han-liu-ing dari atas sampai kebawah

“ayahku Han-ok-liang, apakah ia ada disini?” jawab Han-liu-ing “oh..dia anak liang-ji, berarti dia adalah cucuku.” sela Han-hung- fei, Han-liu-ing menatap orang yang mengaku kakeknya itu.

“apakah cianpwe bernama Han-hung-fei ?” tanya Han-liu-ing memastikan, dengan senyum Han-hung-fei menjawab “benar…aku adalah Han-hung-fei.” dan pada saat itu terdengar seruan Han-ok-liang

“ing-ji! kenapa kamu datang kesini !?” Han-ok-liang sudah berdiri disisi anaknya, dan berturut-turut muncul Han-bun-liong dan Coa-kim

“aku penasaran dengan sikap ayah yang meninggalkan kami secara mendadak, dan ternyata ayah hanya memikirkan sakit hati dan mengabaikan kami.” jawab Han-liu-ing

“bicara apa kamu Ing-ji !?” bentak Han-ok-liang menatap tajam pada anaknya “ayah! sejak umur sembilan tahun ayah pergi meninggalkan saya dan ibu, dan baru sesaat kembali, ayah tiba-tiba pergi lagi, saya ingin tahu apa yang menyebabkan ayah menelantarkan kami?”

“ayah tidak menelantarkan kalian Ing-ji, hanya sanya ayah harus menuntaskan urusan ayah.” jawab Han-liang-jin

“siapa perempuan ini liang-te !?” tanya Kwi-ong yang tiba-tiba keluar bersama Han-bouw-bian

“ini putriku Ong-ko!” jawab Han-ok-liang singkat, Han-liu-ing melihat orang buta yang baru muncul, dan hatinya terkejut melihat Han-bouw-bian yang tersenyum padanya

“hmh…urusan sakit hati karena diabaikan, begitukan ayah! Dan karena urusan ini, ayah tidak sadar telah juga mengabaikan keluarga sendiri, urusan yang tidak pernah selesai dan hanya membuang-buang tenaga dan pikiran.”

“bicara apa anakmu ini liang-te !?” tanya Han-kwi-ong marah dan penasaran

“ing-ji! tidak patut kamu menilai apa yang ayah lakukan! jaga bicaramu nak!” ujar Han-ok-liang

“saya harap ayah, mengembalikan kakek ke kota bicu, dan kita kembali ke shinyang, urusan masa lalu yang suram dan pertikaian antara merasa anak sah dan anak yang terabaikan dicukupkan sampai disini!” ujar Han-liu-ing sambil menatap Han- bi-goat

“bangsat! siapa yang mengajarimu sehingga berani lancang terhadap ayah !?” bentak Han-ok-liang gusar, Han-bi-goat tersenyum sinis, walaupun merasa disindir “jika engkau berniat mengunjungi ayahmu, maka sebaiknya kamu masuk! Tapi jika kedatanganmu kesini hanya untuk bicara ngaco, sebaiknya kamu segera tinggalkan tempat ini!” ujar Han- kwi-ong tajam

“kakek! apakah kakek akan tinggal disini atau hendak kembali ke bicu!?” tanya Han-liu-ing pada Han-hung-fei, Han-hung-fei termanggu mendengar perkataan cucunya itu

“aku tidak perlu diselamatkan ing-ji! aku merasa nyaman disini.” jawab Han-hung-fei

“baiklah! dan bagaimana dengan ayah? bukankah urusan dengan bibi-goat dan paman seng! sudah selesai !? dan kita sudah bisa pulang sekarang, bukan?”

“kami tidak punya urusan dengan mereka ini!” sela Han-bun- liong, Han-liu-ing memandang pamannya yang masih tergolong muda ini

“paman liong! bukankah pertentangan ini adalah merupakan pertentangan antara anak yang merasa sah dengan anak yang merasa di abaikan, dan sepertinya saya lihat kedua belah pihak sudah bertemu.”

“Ing-ji! jangan buat ayah marah, ini bukan seperti apa yang kamu pikirkan!” sela Han-ok-liang, Han-liu-ing termanggu melihat ayahnya

“jika tidak seperti yang saya katakan, lalu kenapa ayah menculik kakek?” tanya Han-liu-ing

“kami hanya memancing kedatangan musuh kami, sudahlah! ini bukan urusanmu Liu-ing!” jawab Han-bun-liong, Han-liu-ing terdiam mencoba mereka-reka siapa musuh yang dimaksud, dan dari menghubung-hubungkan cerita yang ia peroleh, tiada lain musuh yang dimaksud, tentulah keluarganya di kaifeng, Han-liu- ing dengan tatapan tajam memandang semua barisan orang tua yang ada didepannya dan berkata lantang

“jika musuh yang kalian maksud adalah Lun-pek di kota kaifeng! maka saya akan menjadi tumbal pertama untuk menghadapi ayah dan para paman!”

“sialan! anak kuarangajar dan tidak tahu adat.” bentak Han-kwi- ong mencak-mencak menahan marah, Han-ok-liang merasa malu dan marah mendengar tantangan putrinya, dengan sekali lompat, ia mengayun tangan hendak memukul putrinya, namun Han-liu-ing dengan sigap mengelak, namun serangan ayahnya luar biasa cepat dan datangnya bertubi-tubi

“plak…” sebuah tamparan mengenai pipinya sehinga dari sudut bibir Han-liu-ing pecah berdarah, Han-liu-ing menggoyang kepalanya yang terasa pening, lalu dengan nekat ia menyerang, namun yang diserang ini adalah ayahnya, yang menjadi sumber dari ilmu-ilmu yang diperolehnya

“plak..buk..” sebuah tamparan kembali mengenai pipinya dan bahkan ditambah sebuah pukulan menghantam pundaknya, Han-liu-ing tersungkur ketanah, namun dengan menguatkan hati ia benagkit lagi, melihat kenekatan anaknya, Han-ok-liang mata gelap karena sebal dan marah, sehingga ia mengayunkan pukulan ke arah ubun-ubun, Han-liu-ing memajamkan matanya pasrah menerima pukulan yang akan menghabisi nyawanya

“duk….plak….” pukulan Han-ok-liang kena tangkis dan disusul sebuah pukulan, dan untungnya Han-ok-liang dengan cepat memapaki dengan pukulan, keduanya terpental kebelakang, Han-liu-ing merasa tubuhnya melayang dan segera ia membuka matanya, dan melihat orang yang menolongnya, “bibi-hui…!” bisiknya haru, gadis yang ternyata Han-sian-hui menatap wajah gadis yang yang ditolongnya dengan heran, dan ia teringat pada bao-lan

“siapakah kamu nak!? Apakah kamu anak liang-ko!?” tanya Han- sian-hui lembut, Han-liu-ing

“siapa pula pengacau ini!” bentak Han-kwi-ong “liang-ko! apa yang kamu lakukan!? Kenapa hendak mencelakakan anak sendiri!?”

“siapa kamu, dan apa hakmu ikut campur urusanku!” bentak Han-ok-liang

“aku ini bibinya Han-sian-hui! apa menurutmu aku tidak punya hak!?” jawab Han-sian-hui tegas

“hui-ji!? kamukah itu nak!” sela Han-hung-fei dengan nada sendu dan lirih

“benar ayah! dan apakah ayah baik-baik saja!?” jawab Han-sian- hui

“bagus ternyata adik si Fei-lun, sekarang mampuslah!” bentak Han-kwi-ong sambil menyerang, Han-sian-hui dengan sigap menyambut serangan hebat dan luar biasa cepat itu, sebentar saja, keduanya terlibat pertempuran sengit penuh bahaya, gemuruh sin-kang yang beradu membuat tempat itu bergeming dan bergetar, gin-kang- tingkat tinggi berkutat dalam satu pertarungan dahsyat dan menegangkan, Han-hung-fei terkesima mendengar pertarungan luar biasa cepat itu, sungguh dia tidak menyangka bahwa ilmunya yang dimainkan Han-kwi-ong membuat ia tercengang karena tidak mampu lagi mengikutinya, Han-bi-goat dan Han-bu-seng merasa kecut setelah menyaksikan dahsyat luar biasanya pertempuran itu. Mata mereka hanya menangkap lesatan bayangan putih dan hitam mengaung diangkasa.

Han-liu-ing, Han-bouw-bian, sama halnya dengan kedua paman dan bibi mereka, hati mereka takjub dan penuh tegang menyaksikan pertarungan tingkat luar biasa itu, dan yang paling rendah tingkatnya diantara para penonton ini adalah Coa-kim, Lee-cing dan Kao-hung, ketiganya menjauh karena telinga mereka terasa sakit dan jantung mereka bergetar mendengar pertempuran itu, hanya Han-ok-liang dan Han-bun-liong yang dapat mengikuti setiap detil dari pertarungan yang hanya kilatan bayangan tersebut, mata mereka tidak lepas melihat bagaimana saudara tua mereka telah mengerahkan semua tenaga menekan saudari bungsu mereka, namun mereka harus akui bahwa saudari bungsu mereka itu luar biasa alot dan tidak bisa dipandang remeh.

Seratus jurus sudah berlalu, ilmu “bun-liong-pat-hoat” terus mencecar bagian-bagian lemah dari Han-sian-hui, namun untuk menjebol pertahanan ilmu “liang-hok-bun-hoat” (jurus sastra penakluk sukma), laksana hendak menjebol didnding baja, belum lagi ia kadang disibukkan dengan serangan cepat dan terduga dari Han-sian-hui, setelah dua ratus jurus berlalu, Han- sian-hui tiba-tiba merubah jurusnya dari“liang-hok-bun-hoat” (jurus sastra penakluk sukma) kepada jurus “bun-sian-minling-ci” (jari titah dewa sastra), ilmu ini adalah ilmu ciptaan kakaknya Han-fei-lun yang diserap dari seluruh ilmu yang dimiliki Han-fei- lun, gerak langkah yang kaya akan aneka bhesi, gerak tangan dengan posisi jari telunjuk dan tengah berdiri, sementara tiga jari ditekuk saling mengikat bergerak melukis di awan dengan pola sastra yang penuh dengan kata dan makna.

Akibatnya dalam empat puluh jurus Han-kwi-ong terdesak, serangannya mati langkah, dan tak pelak dia dia menarik pedang dari tongkatnya, cahaya matahari yang sudah mencapai tengah hari itu menimpa pedang hingga berkilauan, dimulai dengan gerak khas pembukaan jurus “bun-liong-kiam-hoat” Han- kwi-ong menyerang dengan cepat

“trang…” pedang Han-kwi-ong bergetar saat sebuah sentilan jari tangan Han-sian-hui menyentuh badan pedang, Han-kwi-ong merasa terkejut, namun ia lebih terkejut lagi ketika hawa sebuah serangan mengancam lehernya, Han-sian-hui menyusulkan serangan dalam rangkaian jurus sastra dengan kata “Hauw” , Han-kwi-ong menghindar dengan menarik kepala kebelakang, namun serangan itu hanya merupakan pancingan, karena yang merupakan inti adalah serangan yang mengarah pada ulu hatinya, dan tidak ayal ulu hatinya kena hantam

“tuk…hugh…” Han-kwi-ong merasakan sekujur tubunya laksana kena strum, ia ambruk mencium tanah, Han-sian-hui tidak menurunkan tangan maut pada kakaknya ini, tapi ia melompat menjauh kedekat Han-liu-ing, Han-kwi-ong masih tergeletak dengan nafas sesak, debaran jantungnya menderu, Han-kwi-ong dan Han-bun-liong serasa tidak percaya bahwa saudara tua mereka ambruk dengan nafas tersegal-segal setelah menyerang dua puluh jurus menyerang dengan ilmu pedang, dengan geram Han-ok-liang maju dan menantang Han-sian-hui yang berdiri di sisi putrinya

“sian-hui! maju dan hadapilah saya!” Han-ok-liang mencabut pedangnya dan dengan cepat ia memasang kuda-kuda pembukaan ilmu pedang bun-liong-kiam yang penuh khas, Han- sian-hui melangkah ketengah dan kemudian memasang kuda- kuda sam-kwa, sebagaimana permulaan bhesi ilmu “bun-sian- minling-ci” (jari titah dewa sastra).

“heaah…” seru Han-ok-liang memulai serangan, kesiur angin serangan pedang Han-ok-liang menguik tajam, dan dalam sekejap keduanya telah larut dalam pertempuran hebat dan cepat, kilatan pedang berkiblat laksana ratusan pedang mencecar tubuh Han-sian-hui yang bergerak laksana burung kepinis

“trang…trang..trang…” suara pedang disentil dan bergetar dan bahkan kadang terpental, dan suaranya yang terdengar berkali- kali berakibat fatal pada orang bersin-kang lemah Coa-kim dan Lee-cing merasa gendang telinganya sakit perih menusuk, keduanya langsung lari menjauh kebawa lembah disebelah kanan halaman, Coa-kim sebelum lari meraih tubuh Han-kwi-ong dan membawanya turun, Han-bi-goat dengan rasa terkejut dan cemas melihat suaminya tiba-tiba menjerit, ia dan adiknya segera berlari kebawah mengikuti Lee-cing, tidak lama kemudian Han-liu-ing dan Han-bouw-bian menyusul, mereka menaiki pohon-pohon untuk menyaksikan pertarungan yang super dahsyat itu, hanya Han-bi-goat dan suaminya yang dibawah, karena Han-bi-goat harus segera menolong suaminya yang terluka dalam.

“ternyata ia adalah bibi sendiri!” keluh Han-bouw-bian, Han-liu- ing yang kebetulan berada dipohon dibelakang Han-bouw-bian mendengar, lau ia berkata “makanya selidiki dulu sebelum nyosor!” Han-bouw-bian menatap kebelakang sambil nyengir dan menggaruk kepala yang tidak gatal, ia tidak menyadari bahwa keluhannya terdengar semua orang yang sedang mengerahkan ketajaman pendengaran,

“hihihihi…..apa kamu terlanjur cinta pada bibi mu itu bian-ji?” sela coa-kim sehingga wajah Han-bouw-bian makin terasa panas

“hihihi..apakah kamu pernah mengatakan cinta pada bibimu?” tanya Coa-kim

“sudahlah bibi Kim, aku tidak ingin membicarakannya.” ujar Han- bouw-bian, Han-liu-ing yang tidak mengenal coa-kim merasa muak, sikap genit dan nakal jelas terlihat dalam tawanya “apakah kamu perempuan yang katanya mendatangi ayah saya di shinyang?” tanya Han-liu-ing gemas

“hihihi…benar Liu-ing, dan aku ini adalah teman dekat ayahmu.” jawab Coa-kim tandas dan terus terang, Han-liu-ing dengan hati kesal diam, tidak ada gunanya ia mencak-mencak, pikirnya, lalu ia kembali menatap ke arah pertarungan yang semakin menghebat dan sudah menginjak jurus ke seratus

“trang...” pedang Han-ok-lian untuk kesekian kalinya disentil Han-sian-hui, dan kali ini pedang itu yang tidak tahan lagi hingga patah menjadi dua, dan dalam momen mengejutkan itu Han- sian-hui kembali menunjukkan kelebihan ilmunya yang luar biasa, serangan susulan dalam hitungan detik itu membuat pertahanan Han-ok-liang jebol dan dengan kalang kabut ia berusaha menyelamatkan diri, tapi dengan patahnya pedang, daya jangkauan untuk menekan Han-sian-hui yang menyerang bertubi-tubi tidak membuahkan hasil, dan malah membuat ia makin terdesak hebat

“tuk…ihh…” sebuah jotosan mengenai paha Han-ok-liang, tubuhnya bergetar seperti tersengat listrik, dia langsung lumpuh terduduk.

Dan ironisnya, Han-sian-hui tidak akan tega melanjutkan serangan pada kakaknya yang sudah tidak berdaya, lalu ia melompat menjauh, dan saat yang Han-bun-liong dengan hati geram menyerang Han-sian-hui dari belakang, Han-sian-hui terkejut dan mencoba melenting tinggi keudara, tapi serangan pedang dalam rangkaian jurus bun-liong-kiam terlalu kuat mendesaknya

“brett…” bahu Han-sian-hui robek berdarah, Han-bun-liong tidak berhenti sampai disitu, ia terus mengejar Han-sian-hui yang bergerak mundur hingga sampai kehalaman belakang, Han-sian- hui tidak punya kesempatan memperbaiki kedudukannya, hingga untuk kedua kalinya pedang pusaka bun-liong-kiam melukai kaki Han-sian-hui, makin lemah keadaan Han-sian-hui yang terus dicecar tanpa ampun oleh Han-bun-liong.

Dengan hati tabah, Han-sian-hui mengerahkan sin-kang dan dengan untung-untungan ia mengadu sin-kang dengan Han-bun- liong

“dhuar….brak…” tubuh Han-bun-liong terpental dan menabrak dinding bangunan hingga jebol, ia langsung pingsan diantara reruntuhan bangunan, nasib Han-sian-hui juga tidak lebih baik, mungkin bahkan naas sekali, tubuhnya terpental jauh meluncur bebas kedasar jurang, dan pada saat naas itu, sebuah bayangan kilat menangkap tubuh Han-sian-hui yang melayang, bayangan itu adalah Han-hung-fei, Han-hung-fei mengikuti jalannya pertempuran dari dalam rumah, dan ia terus mengikuti hingga kebagian belakang bangunan, dan hatinya terkejut mendengar suara benturan sin-kang, refleknya bergerak cepat karena ingat bahwa ada jurang menganga di belakang, dan ia tahu posisi putrinya membelakangi jurang, tubuhnya langsung bergerak cepat meluncur kearah jurang dan menagkap tubuh putrinya.

Kedua tubuh itu meluncur cepat menuju dasar jurang, Han-hung- fei memeluk anaknya yang entah pingsan atau sudah mati, dengan hati sedih,pasrah dan sayang ia akan menjadi bantalan tubuh anaknya didasar jurang, tangannya memeluk erat anaknya “buk…prak…” tubuh belakang Han-hung-fei menghantam dasar jurang, tulangnya patah remuk dan kepalanya hancur, walaupun nyawanya sudah melayang, namun tangan itu masih memeluk tubuh anaknya yang berbantal tubuhnya yang remuk redam.

Sementara di atas jurang, Han-ok-liang dengan tertatih-tatih melangkah kebelakang bangunan dan melihat Han-bun-liong yang pingsan, tidak lama kemudian mereka yang ada dilembah naik keatas

“apa yang terjadi Ok-liang!?” tanya Lee-cing sambil mendekati anaknya yang masih pingsan

“mereka sepertinya mengadu sin-kang, dan pasti sian-hui sudah tewas didasar jurang.” jawab Han-ok-liang

“ayah dan paman curang! Kalian telah bergantian melawan bibi- hui, uuuu..uuu….bibi….! bibi…..! uuuuu…uuuu…” teriak Han-liu- ing sambil menangis dan berlari ketepi jurang memanggil- manggil bibinya

“dimana ayah!?” tanya Han-bu-seng tiba-tiba, mereka semua saling pandang “tadi ia masuk kedalam.” jawab Ok-liang, lalu meraka masuk kedalam, Han-bouw-bian mengangkat pamannya dan dibawa kedalam bangunan, tapi tiada seorangpun didalam

“ayah….!” panggil Han-bu-seng, Han-bi-goat juga memanggil dan berlari kesana kemari

“eh…ayah tidak ada disini.” gumam Han-bi-goat

“benar tadi fei-ko masuk kedalam ok-liang !?” tanya Lee-cing “benar, aku melihatnya masuk kesini.” jawab Han-ok-liang bingung

“tapi didini tidak ada, lalu kemana ayah pergi?” sela Han-bu- seng

“mungkin cianpwe pergi menjauh dari arena ini.” sela Coa-kim “hal itu mungkin saja, jadi ditunggu saja, sebentar lagi ia akan muncul.” ujar Lee-cing

“pergi kamu lihat keadaan Liu-ing!” ujar Lee-cing pada Han- bouw-bian, Han-bouw-bian segera keluar dan menuju halaman belakang, namun Han-liu-ing sudah tidak berada disitu,Han- bouw-bian memanggil-manggil, suara panggilan Han-bouw-bian mengundang keheranan mereka yang didalam, lalu mereka keluar

“aku tidak menemukan liu-ing paman!” ujar Han-bouw-bian “mungkin ia sudah pergi.” sela Coa-kim

“hmh...tidak kusangka anak itu akan menantangku seperti ini.” keluh Han-ok-liang dengan nada kecewa.

Tidak lama kemudian malampun tiba, Han-ok-liang mencoba memngerahkan sin-kang mengobati Han-bun-liong, dan akhirnya setelah hari hampir pagi Han-bun-liong siuman dan mengeluh, Lee-cing segera meminumkan obat pada anaknya “bagaimana? bagaimana dengan sian-hui?” tanya Han-bun-liong “ia sudah tewas masuk kedalam jurang.” jawab Han-ok-liang, Han-bun-liong merasa lega dan kembali memjamkan matanya dan ia pun tertidur.

Pada pagi harinya seusai sarapan bubur, mereka kembali dilanda kebingungan, karena sampai saat ini Han-hung-fei belum muncul

“apakah menurutmu yang terjadi pada ayah, seng-te?” tanya Han-bi-goat

“tidak mungkin ayah pergi menjauh dari arena pertarungan ini, dan tidak mungkin ayah pergi begitu saja.” gumam Han-bu-seng “hmh jika tidak karena kedua kemungkinan itu, artinya ia juga

mungkin melompat kejurang menyusul anaknya sian-hui.” ujar Han-kwi-ong, mereka semua saling tatap, dan hati mereka cendrung membenarkan dugaan itu.

“sudahlah! Untuk apa lagi memikirkannya, yang jelas sekarang, kita harus mempersiapkan diri, karena bisa jadi Han-fei-lun akan mencari adiknya.” ujar Han-kwi-ong

“kita tidak punya urusan lagi di sini seng-te! mari kita pulang!” ujar Han-bi-goat, Han-bu-seng mengangguk, lalu merekapun meninggalkan kui-san, setelah kepergian Han-bi-goat, penghuni kui-san kembali kedalam, dan sementara itu Han-bun-liong sudah bangun dan mencoba keluar dari dalam kamarnya

“kamu sudah bangun liong-ji!” sapa Lee-cing, lalu memapah anaknya duduk di ruang tengah, lalu Lee-cing mengambil semangkok bubur untuk anaknya, Han-bun-liong makan dengan lahap

“kemana ayah, ibu?” tanya Han-bun-liong heran “mungkin ayahmu ikut terjun kedalam jurang menyusul sian-hui.” jawab Lee-cing, sesaat Han-bun-liong termanggu

“sudah kalau begitu, lalu bagaimana menurut Ong-ko, apa yang kita lakukan selanjutnya?” tanya Han-bun-liong, Han-kwi-ong terdiam dan menarik nafas panjang

“hmh…..ternyata jika satu lawan satu, kita masih kalah, kita baru berhadapan dengan adiknya Fei-lun, tidak dinyana Sian-hui sangat luar biasa.”

“ilmu sentilan dengan pola kata-kata sastra itu amat membingungkan.” sela Han-ok-liang

“bertemu dengan sian-hui merupakan satu keuntungan bagi kita, karena dengan demikian kita akan lebih siap jika ilmu aneh itu dikeluarkan.” ujar Han-bun-liong

“jika sendirian! kalian tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan

Han-fei-lun, jadi jalan satu-satunya adalah mengeroyoknya.” sela Lee-cing, ketiga Han itu menganguk

“tidak ada yang salah dengan mengeroyok, yang penting tujuan tercapai.” ujar Han-kwi-ong, kemudian mereka tertawa, sehingga suara tawa itu bergema jauh kebawah lembah.

Han-liu-ing berlari cepat menuju kota hehat, hatinya sangat sedih dan mendongkol pada ayah serta kedua pamannya, setelah puas memangisi bibinya yang terkubur didasar jurang, ia teringat pada saudara sepupunya Han-liang-jin, aku akan mengadukan ini pada Lun-pek dan Jin-ko, pikirnya, lalu dengan cepat ia meninggalkan kui-san tanpa sepengetahuan orang- orang didalam rumah, Han-liu-ing memasuki kota hehat saat malam sudah larut sekali, disebuah bangunan tua tidak terpakai, ia istirahat menunggu pagi. Setelah pagi tiba, Han-liu-ing membeli makanan dan nasi bungkus, kemudian ia segera meninggalkan kota hehat, tujuannya adalah kota Kaifeng, dimana uwaknya Han-fei-lun tinggal, perjalanan itu dilakukan dengan cepat, Han-liu-ing hampir tidak pernah istirahat dikota yang dilaluinya, dan dua bulan kemudian, sampailah Han-liu-ing kekota Kaifeng, ia masuk kedalam sebuah kedai nasi untuk makan dan minum, seorang pelayan tua melayani dan menyiapkan pesanannya

“lo-pek! dimanakah kediaman bengcu!?” tanya Han-liu-ing

“oh...nona mau bertemu dengan bengcu, rumah bengcu hanya lima blok dari sini, ikuti saja jalan ini terus, dan nanti akan bertemu jalan bersimpang, nona ikuti jalan kekanan! dan kira- kira dua blok, nona akan bertemu sebuah komplek berpagar bambu, diatas gapura ada papan nama dengan tulisan-“sin- siucai-bukoan”, eh memang nona darumana?” Han-liu-ing tersenyum mendengar pelayan yang menerangkan alamat yang ia cari

“saya dari utara lo-pek.” jawab Han-liu-ing

“oh, jauh sekali, dan pantas tidak mengetahui rumah bengcu.” “apakah orang banyak mengetahui persis rumah bengcu!?” “benar nona, jangankan orang selatan, orang timur dan barat dari kalangan seperti nona, rata-rata tahu persis rumah bengcu.” jawab pelayan itu merasa bangga

“baik dan terimakasih lo-pek, saya permisi hendak menemui bengcu!” ujar Han-liu-ing, pelayan itu tersenyum ramah dan segera membereskan meja Han-liu-ing, setelah membayar makanan Han-liu-ing meninggalkan kedai dan berjalan mengikuti jalan yang dituturkan si pelayan, tidak lama kemudian Han-liu- ing menemui jalan simpang, lalu ia mengikuti jalan sebelah kanan, dan akhirnya ia menemukan komplek “sin-siucai- bukoan”, dengan langkah gamang, Han-liu-ing memasuki halaman, seorang pelayan paruh baya dengan senyum ramah mendekatinya dan bertanya

“ada apakah nona? Apa yang dapat saya bantu?” “paman! apakah bengcu ada!?” tanya Han-liu-ing

“Han-taijin! sedang berada di rumah Bu-tihu, mungkin saat malam baru kembali.” jawab pelayan

“oh begitu! lalu siapa yang ada didalam rumah?”

“didalam hanya ada Han-hujin, apakah nona hendak menemui Han-hujin juga?”

“bolehlah, dengan Han-hujin juga tidak apa-apa.” jawab Han-liu- ing

“baik, tunggulah dikursi itu nona, sebentar saya akan menyampaikan pada Han-hujin tentang kedatangan nona.” ujar pelayan, Han-liu-ing mengikuti pelayan dan duduk dikursi dibagian selaras rumah, pelayan itu lalu masuk kedalam, dan tidak berapa lama pelayan itu keluar bersama seorang wanita berumur lima puluh tahun, Han-hujin dengan muka cerah dan senyum ramah menyapanya
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar