Sastrawan Cantik Lembah Merak Jilid 2

Jilid 2

Sebulan kemudian mereka sampai dikota Taiyuan, mereka mamasuki sebuah likoan, han-hung-fei tidak bisa lagi mangkir untuk tidak makan, dia hanya mandah saja dibawa kemana oleh dua orang penculiknya, hingga ketika mereka memasuki kota taiyuan, mereka layaknya seperti tiga kelana yang sedang mengadakan perjalanan.

“sediakan tiga porsi makanan dengan lauk terenak yang kalian miliki !” perintah in-sin-ciang, pelayan itu mengangguk dan segera menyiapkan pesanan tiga orang tamunya.

“in-sin-ciang ! untuk sementara kita harus berpisah disini .” “kenapa kiam-ong !?” tanya in-sin-ciang sambil menyumpit makanannya

“pergilah ke lembah merak, dan sampaikan pada saudaraku bahwa misi telah berhasil, dan katakan padanya supaya menyusul ke kota hehat.”

“Baiklah jika demikian, tapi kita akan melewatkan malam ini disini kan !?” sahut in-sin-ciang dengan senyum dan kerling nakal.

“hehehe…tentu sayang !” sahut bun-liong dan merekapun melanjutkan makan dengan lahap, setelah selesai makan, mereka memesan dua kamar, malam itu Bun-liong dan Coa-kim bercinta semalam suntuk, sementara dikamar lain Han-hung-fei terbaring kaku diranjang, walaupun han-hung-fei mandah, han- bun-liong masih meragu jika ayahnya akan melarikan diri, sehingga jika ia mau berduaan dengan coa-kim, han-bun-liong selalu menotok hung-fei lebih dahulu.

Keesokan harinya setelah sarapan pagi, Han-bun-liong dan ayahnya berangkat menuju hehat sedangkan coa-kim berangkat ke Tianjin, perjalanan Coa-kim dilakukan dengan cepat, sementara Bun-liong melakukan perjalanan santai, dan mereka selalu menginap disetiap kota yang dilalui,

“kiam-ong ! apakah kamu sebenarnya adalah anakku !” tanya hung-fei tiba-tiba saat mereka istirahat disebuah kamar sebuah likoan, bun-liong menatap wajah yang menjadi ayahnya ini, kemudian ia balik bertanya

“kenapa cianpwe mengira demikian !?”

“aku merasakan bahwa engkau sebenarnya adalah anakku, dan disamping perasaan itu, kamu juga menguasai ilmu bun-liong hoat dan bun-liong kiam, kamu jelas bukan Kwi-ong, bukan Ok- liang dan juga bukan Sai-ku.”

“kalau sudah tahu bahwa aku bukan ketiga anakmu yang kamu sebut, bagaimana kamu mengatakan aku ini adalah anakmu ?” “masa laluku memang rumit, dan setelah kupikir-pikir, kemungkinan besar kamu adalah anak yang dibawa Li-cing-moi ke kota bicu.”

“siapakah li-cing itu bagimu ?” tanya Han-bun-liong

“hmh….dia seorang yang pernah dekat denganku.” sahut Hung- fei sambil menunduk mengenang wajah Li-cing.

“sudahlah, kita istirahat saja, dan tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak perlu !” ujar Bun-liong sambil merebahkan diri di atas ranjang “hal itu perlu bagiku, akuilah bahwa kamu adalah anak Li-cing, dan seingat saya waktu itu, namamu adalah Han-bun-liong.” “hmh…..ternyata kamu masih mengingat kejadian itu, aku tidak akan menyanggah bahwa benar aku adalah anak dari siang- mou-bi-kwi, lalu setelah kamu mengetahuinya, apa yang hendak kamu perbuat?”

“kamu tahu bahwa aku adalah ayahmu, lalu kenapa kamu menculikku dan membantai saudaramu ?” tanya Hung-fei dengan nada sesal

“perlukah itu kujawab, kalau kamu sendiri tidaklah lebih baik dariku, kamu ini lelaki pengecut yang tidak pernah bertanggung jawab.” sahut Bun-liong ketus dan sinis, hati hung-fei serasa tersayat mendengar ucapan anaknya, dia terdiam dengan perasaan hancur, kemudian ia berkata lirih

“aku memang tidak bertanggung jawab, tapi apa kesalahan istriku, anakku han-bu-jit dan keluarganya ?”

“mereka salah telah menopoli dirimu, sementara mereka tahu bahwa ada lagi keturunanmu disamping mereka, dan bukan saya yang menyebabkan kematian mereka, tapi karena sikap pengecut yang tidak bertanggung jawablah yang menyebakan kematian mereka” sahut Bun-liong, Han-hung-fei kembali terdiam, lalu ia mendongak dan berkata

“jika memang aku ini sangat dibenci, lalu kenapa aku tidak engkau bunuh saja, kenapa aku mesti diculik ?”

“hal itu biar ibuku saja yang memutuskannya, sekarang tidurlah

!” sahut han-bun-liong tawar, hung-fei terdiam dan hatinya makin teriris mengenang semua sepak terjangnya, dia lelaki yang tidak pernah dapat penghormatan dari keturunannya, dia lelaki yang diabaikan dimasa tuanya akibat perilakunya yang tidak memliki pendirian, mengenang semua itu hatinya menangis pilu, semua wajah wanita-wanita yang melahirkan anak-anaknya bermunculan dibenaknya, lalu wajah anak-anaknya.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan, Hung-fei tidak lagi memiliki semangat hidup, dia laksana mayat berjalan saja, akibat kekecewaan yang menderanya ia tidak lagi perduli dengan dirinya, ia tidak mau makan lagi sehingga tubuhnya semakin kurus, Bun-liong juga tidak memperdulikannya, apakah mau makan atau tidak, dan dia terus memanggul ayahnya yang kian hari kian lemah.

“biarkkanlah aku Liong-ji, aku ini tidak layak hidup.” desah Hung- fei lemah, ketika mereka sampai dikaki bukit kui-san

“janganlah banyak bicara, sebentar lagi kita akan sampai, dan kamu akan bertemu dengan ibuku.” sahut bun-liong sambil mempercepat larinya mendaki gunung, dan menjelang malam ia pun sampai disebuah bangunan tua yang berdiri kokoh dipuncak.

“ibu…! aku sudah datang !” seru Han-bun-liong, dan tidak lama dari dalam muncul Li-cing dengan wajah gembira

“kamu sudah datang Liong-ji, hmh…apakah dia yang kamu panggul itu Liong-ji ?”

“benar ibu.” sahut Han-bun-liong dan keduanya memasuki bangunan peninggalan Tan-kui, Bun-liong merebahkan Hung-fei yang lemah dan pucat diranjang

“kenapa dia lemah dan pucat Liong-ji ?” tanya Li-cing sambil menatap wajah pucat dengan rongga mata yang kosong

“dia tidak mau makan dan aku hanya bisa memaksanya minum ibu.” sahut Bun-liong, Li-cing duduk ditepi ranjang “kamu makan dan istirahatlah Liong-ji, biar ibu yang mengurusnya.” ujar Li-cing, Bun-liong mengangguk dan keluar dari kamar.

“Fei..ko..Fei-ko…” gugah li-cing lembut, Hung-fei mendesah lemah

“fei-ko..apakah kamu dapat mendengarku ?” tanya Li-cing “aku..tidak layak hidup, oh..aku mau mati saja…” desah Hung- fei, Li-cing segera keluar dan pergi kedapur untuk membuat bubur, dan satu jam kemudian ia masuk kembali kekamar dan

dengan telaten dia mencekokkan bubur kemulut Hung-fei, Hung- fei yang setengah sadar menelan lahap bubur yang dimasukkan kemulutnya, dan perlahan kekuatannya mulai pulih

“siapakah kamu dan dimanakah aku ini ?” tanyanya setelah mereguk minuman hangat

“aku Li-cing Fei-ko, dan kamu berada ditempatku.”

“Cing-moi… apa yang telah kalian lakukan ? kenapa kamu menyuruh anakku membantai saudaranya dan menculikku ?” “kamu sudah tahu bahwa Liong-ji adalah anakmu, apakah ia yang memberitahumu ?”

“ah….kamu tidak menjawab pertanyaanku Cing-moi ?” “pertanyaanmu itu tidak butuh jawaban dariku Fei-ko, karena koko sendiri yang bisa menjawabnya.”

“kamu juga sama dengan putramu, demikian telengas mempermainkan hatiku !” keluh Hung-fei

“hihihi….sudahlah koko, jangan berpikir yang macam-macam, mulai hari ini koko akan bersama saya, dan anak-anak kita.” ujar Li-cing

“apa maksudmu dengan anak-anak kita ?” “anak-anakmu yang lain akan juga datang kesini.”

“apakah anakku Fei-lun akan datang kesini ?” tanya Hung-fei penuh harap

“hihihi…apakah Fei-lun saja yang kamu ingat koko ?” “hmh..apa maksudmu kwi-ong ?”

“benar, Kwi-ong dan Ok-liang tidak lama lagi akan datang kesini.”

“bagaimana dengan anakku Sai-ku ?”

“anakmu itu sudah tapa daksa dan aku tidak tahu entah kemana rimbanya.” Jawab Li-cing sambil bangkit dari ranjang dan meletakkan mangkok bekas bubur di atas meja

“kenapa mereka datang kesini, apa yang kalian rencanakan ?” tanya Hung-fei

“sudah kamu jangan banyak bertanya, sekarang istirahatlah !” ujar Li-cing sambil menyelimuti hung-fei dan meninggalkan kamar, Hung-fei merasa sunyi dan ia berusaha untuk tidur, dan pagi harinya Li-cing memasuki kamarnya dan menyuapnya dengan bubur, setelah itu memberikan obat penguat badan, dan tiga hari kemudian Han-hung-fei sudah sehat dan kuat, dan pagi itu ia sedang duduk dibalai-balai bersama Li-cing, perlakuan li- cing kepadanya amat lembut dan mesra, dia layaknya sebagai istri bagi hung-fei, karena semalam Li-cing sudah menemaninya tidur dan memeluknya mesra.

“ibu..! aku hendak kekota hehat, apa ibu ada pesanan ?” ujar Bun-liong yang lewat didepan mereka

“ibu tidak ada pesanan, tapi belikanlah beberapa stel baju untuk ayahmu !” sahut Li-cing

“baiklah kalau begitu ibu, aku berangkat !” sahut Bun-liong, dan ia pun segera turun gunung

“Cing-moi, bagaimana Liong-ji dapat menguasai ilmu-ilmuku ?” “kitabmu yang ada pada kwi-ong dipelajarinya dengan baik, hanya dialah sepenuhnya yang menerima warisanmu, baik kitab dan pedangmu.”

“pedang ? eh…pedangku dicuri oleh orang yang berjulukan Ang- gan-kwi.” sela Hung-fei penasaran

“hihihi…Ang-gan-kwi itu juga adalah suhu dari anakku.”

“hmh…ternyata niatmu yang dulu telah kamu wujudkan melalui Ang-gan-kwi. ”

“aku tidak salah Fei-ko, sudah sewajarnya Liong-ji menerima warisan ayahnya, bukan ?” ujar Li-cing, lalu sesaat keduanya terdiam.

“sudah berapa lama kalian tinggal disini ?” tanya Hung-fei mengalihkan pembicaraan

“baru beberapa bulan, kamu senangkan tinggal bersamaku disini fei-ko ?”

“aku tidak tahu, apakah aku senang atau tidak, karena aku tidak layak senang.” sahut Fei-lun putus asa

“hihihi…kamu jangan berkata demikian koko, yang lalu itu biarlah berlalu, yang penting adalah sekarang, kamu telah berada disini dan hidup bersamaku.” hibur Li-cing

“aku akui bahwa kamu demikian lembut penuh kasih sayang Cing-moi, tapi..”

“nah koko sudah tahu dan dapat merasakannya, itu saja yang penting sekarang, yang lain tidak usah dipikirkan !” sela li-cing dengan senyum sambil meraba bibir dan dagu hung-fei, belaian itu demikian mesra, membuat hati hung-fei hangat, dan ia meraih tangan dan mengecup jemari Li-cing. Kita tinggalkan dulu Han-hung-fei dalam kelembutan ibu anaknya Han-bun-liong, sekarang mari kita lihat ketempat lain yang jauh dari kota hehat, yakni kekota kaifeng, dimana anak tertua dari Han-hung-fei bertempat tinggal, berita dibantainya keluarga Han di kota bicu dan diculiknya Han-loya atau Han- hung-fei sudah terdengar sampai ke kota Kaifeng.

Dikomplek “sin-siucai-bukoan” terlihat sepi, memang rumah besar tidak seramai dulu, sebagaimana diketahui putra bengcu yang bernama Han-liang-jin sudah menikah dengan Yap-hui- hong, dan mereka tinggal dikota shantung, kemudian putri beliau Han-bwee-hoa menikah dengan Khu-wei-lun, dan mereka tinggal dikota khangsi, lalu dirumah besar itu sekarang yang menghuni hanya Han-fei-lun, Han-hujin, dan Han-sian-hui adik Han-fei-lun.

Sore itu para murid baru saja selesai melakukan latihan, mereka kembali ke asrama untuk istirahat dan membersihkan diri, sementara Han-fei-lun setelah selesai mandi, lalu duduk santai bersama istrinya diselaras rumah, Han-fei-lun yang sudah berumur lima puluh tahun lebih nampak masih tampan dan gagah, sambil duduk Han-fei-lun berkata

“sian-moi ! hui-moi kemana ?”

“Hui-moi kepasar bersama pelayan.” jawab Han-hujin sambil menuangkan teh untuk suaminya, dan pada saat itu Han-sian- hui dan pelayan memasuki halaman rumah

“bibi, tolong bawa belanjaan kita langsung kedapur !” “baik siocia, dan pakaian ini bagaimana siocia ?”

“bibi letakkan saja di atas rak depan pintu kamar saya.” “baiklah kalau begitu socia.” sahut pelayan sambil melangkah kesebalah kanan rumah, sementara Sian-hui melangkah terus ke arah selaras untuk menemui kakak dan kakak iparnya “kamu baru datang Hui-moi ?” tanya Han-hujin

“iya, soso, dipasar ramai dan sesak sekali.” sahut Sian-hui sambil duduk dikursi yang berhadapan dengan kakaknya. “Lun-ko saya dengar bahwa ayah diculik dan keluarga di bicu dibantai oleh orang yang menamakan dirinya toat-beng-kiam- ong.” ujar Sian-hui yang sudah berumur dua puluh satu tahun,

Han-fei-lun terdiam dan memajamkan mata menerima berita mengejutkan itu, dengan menarik nafas panjang matanya dibuka dan menatap adiknya

“darimana kamu dengar berita itu Hui-moi ?”

“ketika dipasar, kami lewat rumah makan Pouw-lopek, lalu saya lapat-lapat mendengar pembicaraan beberapa tamu dirumah makan saling berbicara tentang Han-piuawkiok mengalami bencana, lalu saya pergi kekantor cabang piuawkiok ayah untuk menanyakan kebenarannya, dan dari mereka aku mendengar semuanya.” jawab Sian-hui

“sungguh mengejutkan berita itu Hui-moi, tapi aneh kamu bilang bahwa ayah diculik.”

“benar , dan kira-kira apa maksudnya Lun-ko ?”

“maksudnya bahwa pelaku itu masih memerlukan sesuatu dari ayah.”

“menurut Lun-ko apa yang pelaku perlukan dari ayah ?” “ilmunya mungkin Hui-moi atau ada maksud lain yang

tersembunyi melakukan pembantaian yang janggal itu.” “lalu apa yang harus kita perbuat Lun-ko ?”

“kamu sudah besar adikku, dan ayah kita dalam masalah.” ujar Fei-lun arif “benar Lun-ko, oleh karena itu maka saya harus pergi mencari ayah, dan meminta pertanggung jawaban orang yang mengaku membantai keluarga di Bicu.” sahut Sian-hui tegas,

“julukan “toat-beng-kiam-ong” merupakan julukan yang baru muncul di dunia kangowu, oleh sebab itu ketenangan dan kearifanmu dalam bertindak merupakan satu kemutlakan Hui- moi.” jelas Fei-lun sambil menyeruput tehnya, Sian-hui mengangguk mengerti serta mencamkan dalam hati, kemudian ia menatap kakaknya

“ tapi darimanakah saya harus mulai Lun-ko ?”

“pergilah ke lembah merak dan mulailah dari sana adikku.” sahut Fei-lun sambil meletakkan cangkirnya diatas meja

“boleh tahu kenapa Lun-ko menyarankan dari sana ?” tanya Sian-hui takzim

“karena disana ada saudara kita yang selalu membuat masalah.” jawab Han-fei-lun dengan arif

“baiklah Lun-ko, dan bolehkah saya berangkat besok ?” “baiklah dan hati-hatilah adikku, dan doaku menyertaimu.” sahut Fei-lun, Han-sian-hui beranjak meninggalkan kakaknya.

Keesokan harinya Han-sian-hui pamit pada kakak dan sosonya, wajahnya yang jelita kian menonjol dengan pakaiannya yang ringkas, dan sal warma putih yang tersampir di bahunya menambah kerupawanannya yang luar biasa, dengan hati ringan Han-sian-hui menyusuri jalan kota menuju gerbang utara, semua orang tahu belaka dengan gadis cantik jelita adik bengcu ini, senyumnya yang sumigrah membuat setiap orang senang menyapanya, pembawaannya bersahaja dan wibawanya mengikuti corak kakaknya membuat hati tunduk dan segan

“hendak kemanakah sukouw..!?” tanya seorang sastrawan berumur tiga puluh tahun sambil menjura hormat

“aku ada keperluan keluar kota Bao-sutit, bagaimanakah kabar sutit dan keluarga ?”

“kami sekeluarga baik-baik saja sukouw, semoga urusan sukouw dapat diselesaikan dengan baik dan lancar

“semoga saja Bao-sutit, doakanlah ! karena saya selalu membutuhkan itu, dan selamat tingal sutit.”

“selamat jalan sukouw..” sahut sastrawan she-bao, Han-sian-hui melanjutkan langkahnya dan keluar dari gerbang kota.

Menjelang siang Han-sian-hui sudah jauh meninggalkan kota kaifeng, larinya yang luar biasa cepat oleh karena gin-kangnya yang hebat membuat tubuhnya hanya laksana bayangan yang terbang melintas diantara pepohonan, hatinya yang lembut tidak melewatkan pemandangan alam yang ia lewati, kadang sampai setengah hari h

Han-sian-hui duduk sambil bersyair menikmati indahnya panorama alam yang terhampar didepannya, bukit dan lembah dilaluinya tanpa halangan, hingga tiga minggu kemudian Han- sian-hui memasuki propinsi Shandong yang ramai dan padat

Saat Han-sian-hui memasuki kota, banyak mata lelaki yang memandang sambil berdecak kagum, terlebih ketika Sian-hui memasuki sebuah likoan, para tamu menyempatkan diri untuk melihat gadis jelita ini

“twako, tolong sediakan nasi dan lauk berupa sayur bening dan ayam goreng serta sepoci teh hangat.” “baik siocia, lalu apakah ada lagi ?”

“aku hendak cuci muka, dimanakah twako ?”

“oo, siocia keluar dari pintu samping itu, lalu kekanan, kamar mandinya disitu siocia.”

“baik, terimakasih twako.” sahut sian-hui, lalu melangkah ke arah pintu samping, dan masuk sebuah halaman yang luas, dan masuk kesebuah kamar mandi, ia mencuci mukanya dari debu perjalanan yang melekat, lalu mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan, kemudian ia kembali kedalam dan mengambil tempat duduk.

Tidak lama pesanannya pun datang, pelayan itu dengan cekatan melatakkan hidangan di atas meja, dan dengan senyum ramah ia berkata

“silahkan siocia !” Sian-hui mengangguk tersenyum “terimakasih twako !” sahutnya, lalu dengan perlahan ia menyumpit makananya dan mengunyah dengan nikmat, beberapa tamu tidak jemu-jemunya menatap wajah rupawan yang luar biasa memikat hati itu, namun Han-sian-hui tidak memperdulikannya, akan tetapi ia fokus mengunyah dan menikmati makanannya, tamu yang datang pergi tidak begitu diperhatikannya

“silahkan kongcu ! kongcu hendak pesan apa ?” tanya seorang pelayan pada seorang tamu muda berumur dua puluh tahun yang baru saja masuk, wajah pemuda itu tampan dan gagah, pedangnya tersampir dipunggungnya menambah kegagahannya, pakaiannya berwarna hitam dengan sabuk berwarna hitam pula, ia mengikuti langkah pelayan yang membawanya kesebuah meja kosong yang berada tiga meja didepan Han-sian-hui

“silahkan duduk kongcu !” ujar pelayan dengan ramah dan sebelumnya ia melap meja dengan handuk yang tersampir dipundaknya, pemuda itupun duduk dan sesaat matanya menatap kagum pada wajah wanita tiga meja didepannya, kemudia ia berkata

“sediakan makanan dengan lauk khas kalian, dan jangan lupa seguci arak.” Pelayan itu membungkuk dan segera berbalik, pemuda gagah itu menatap sekelilingnya, dan matanya kembali tertumpu pada wajah rupawan Han-sian-hui, namun Han-sian- hui tidak menggubris tatapan yang demikian lekat menatapnya.

Tidak lama kemudian pelayan datang menghidangkan makanan, pemuda itu pun makan dengan lahap dan sesekali matanya menyambar wajah anggun didepannya, namun ia harus menelan kecewa, karena baru setengah jalan ia makan, Han-sian-hui telah selesai makan, Han-sian-hui beranjak dari kursinya dan berjalan kemeja kasir dan membayar pesanannya, lalu kemudian ia keluar untuk melanjutkan perjalanan.

Han-sian-hui keluar dari gerbang utara kota Anhui, ia dengan santai menyusuri jalan berbatu, tidak lama kemudian Han-sian- hui berlari dengan cepat melesat kedepan laksana anak panah lepas dari busurnya, dan saat malam tiba Han-sian-hui istirahat didalam sebuah hutan untuk melewatkan malam, seonggok api unggun menerangi kelamnya malam sekaligus menghangatkan dinginnya angin malam, Han-sian-hui terlelap tidur nyenyak. Saat pagi datang yang disambut kicauan burung didahan, Han- sian-hui bangun dari tidurnya, lalu ia beranjak ke tepi sungai kecil yang tidak jauh dari tempat ia bermalam, Han-sian-hui mandi dan membersihkan diri, setelah itu ia memakai baju ganti, tubuhnya nyaman dan segar, lalu ia pun menyandang buntalannya dan melanjutkan perjalanan, namun belum lagi ia keluar dari dalam hutan, pendengaran yang tajam mendengar suara orang berkelahi, Sian-hui mengenjot tubuhnya dan melesat ke arah suara pertempuran, sesampai ditempat Han- sian-hui melihat seorang kakek tua berwajah hitam mendesak dua orang yang sedang mengeroyoknya.

“kalian ini tidak tahu diri, sekarang rasakan hajaranku !” teriak kakek itu sambil menubruk dengan tangan kiri mengancam kepala seorang lawan, dan tongkat hitamnya berkiblat mengancam kaki yang seorang lagi, dua lawannya sudah terpuruk kewalahan

“buk….agh..” tongkat hitam itu menghantam paha lawan, tapi serangan berupa cengkraman itu luput, karena tiba-tiba tangan kakek tua itu lumpuh terkulai, hatinya terkejut dan geram “bangsaat…” umpatnya sambil menatap sian-hui yang sudah berdiri disampingnya, ia menyerang dengan tongkatnya yang hendak menghancurkan kepala Han-sian-hui

“wuut…” Han-sian-hui mengubah kedudukan kakinya, sehingga tongkat itu lewat dua kaki didepanya dadanya, kakek itu tercengang tidak percaya bahwa serangannya dengan mudah di elakkan gadis muda itu

“maaf cianpwe, aku lancang mencampuri karena nyawa sicu ini teracam oleh serangan cianpwe “bauh….kamu siapa sehingga berani lancang adaku !?” bentaknya marah dan mata menatap tajam

“saya Han-sian-hui cianpwe, urusan antara cianpwe dengan dua saudara ini benar aku tidak tahu, namun tangan sakti cianpwe yang hendak menghancurkan kepala saudara ini tidak bisa kubiarkan.”

“phuah…..kalau begitu nyawamulah gantinya !” teriak kekek itu sambil menyerang Sian-hui, Sian-hui berkelit dan tidak membalas, kakek itu makin marah, karena serangannya demikian mudah dihindarkan.

Kakek yang tidak lain adalah Hek-kai menyerang bertubi-tubi, sebatan tongkat yang bergerak cepat mengandung sin-kang penuh mengaung mencecar tubuh Sian-hui, namun sejauh apapun Hek-kai mengerahkan kemampuannya, tetap ia tidak mempu menyentuh Han-sian-hui yang bergerak dengan gin- kang luar biasa tanpa sedikitpun membalas serangan, sampai dua jam penuh Hek-kai berusaha namun tidak ada hasil, akhirnya ia berhenti dengan nafas sesak karena kelelahan.

“kamu terlalu menghinaku nona ! menganggap remeh padaku dengan tidak sedikitpun membalas seranganku.”

“maaf cianpwe ! bagaimana aku dapat membalas ? aku telah berlaku lancang mencampuri urusanmu dengan dua pendekar ini, jadi janganlah terlalu dimasukkan kehati cianpwe, lagian membunuh orang bukanlah perbuatan yang patut di banggakan” sahut Han-sian-hui berusaha meredakan kemarahan Hek-kai, dengan nafas sesak Hek-dan hati kecut Hek-kai berkata

“dua orang ini yang hendak cari mampus ! keduanya tiba-tiba mencegatku yang hendak mencari binatang buruan.” “dia itu adalah Hek-kai lihap, seorang pentolan hek-to.” sela seorang pendekar ketus dan tajam, Han-sian-hui menatap kedua pendekar itu dan kemudian menatap Hek-kai, dan dengan arif dia berkata

“hmh…pertentangan aliran memang tidak bisa dihindarkan, lalu bagaimana menurut cianpwe, kali ini posisi cianpwe kalah, apakah akan dilanjutkan atau cianpwe mundur.”

“sudahlah, aku pergi saja !” sahut Hek-kai dengan hati kecut tapi mendongkol, lalu ia berkelabat meninggalkan tempat itu.

“lihap ! kenapa lihap memberi hati pada orang jahat seperti dia

?” tanya pendekar itu penasaran, Han-sian-hui tersenyum dan berkata lembut

“maaf taihap, tugas kita memang memberantas kejahatan, dan memberantas tidak selalu harus membunuh, kadang mencegah juga sudah merupakan bagian dari memberantas.”

“lihap dengan membiarkannya hidup, maka ia akan berpeluang untuk melakukan kejahatan lagi.” sela pendekar yang tulang pahanya remuk, Han-sian-hui menatap pendekar itu

“bagaimana kondisimu taihap ?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan pendekar itu

“tulang pahaku remuk, dan itu tidak seberapa demi untuk memperjuangkan kebenaran.” sahut pendekar itu lantang, Han- sian-hui tersenyum dan bertanya

“siapakah kalian taihap ?”

“saya adalah Cia-liang, dan ini suteku Kam-song, kami berdua dari Hoasan-pai.” jawab pendekar itu sambil berjongkok melihat kaki sutenya

“saya adalah Han-sian-hui, sebaiknya Cia-taihap segera menemui tabib, untuk mengobati kaki Kam-taihap”

“tidak mengapa Han-lihap, lukaku tidak lah parah, dan saya masih penasaran dengan lemahnya sikap lihap pada orang jahat seperti hek-kai itu.” sela Kam-taihap, Han-sian-hui tersenyum dan mengambil tempat duduk dibawah sebuah pohon, lalu ia berkata

“Kam-taihap, orang jahat itu sama halnya dengan orang yang sedang sakit, orang jahat hatinya sedang digerogoti penyakit, dan orang sakit tubuhnya sedang digerogoti penyakit, jahat itu suatu keadaan yang bisa saja sembuh dan hilang dari seseorang.” Kam-taihap menatapnya dengan sinar penasaran “tapi jahat ada yang mengkronis, jadi daripada menyebar lebih baik langsung dihilangkan.” Han-sian-hui diam sesaat lalu berkata

“Kam-taihap, kejahatan ini merupakan urusan hati, lalu siapakah kita sehingga berani menetapkan bahwa hati tidak akan berubah

? kita tidak punya kuasa tentang itu, kita tidak bisa menetapkan perkara itu bukan ?

“benar lihap ! dan sama halnya juga kita tidak bisa menetapkan bahwa hati akan berubah bukan ? lalu kenapa kita harus berdiri pada keraguan kalau kita bisa berdiri pada hal yang meyakinkan

?” sela Cia-taihap tegas

“Cia-taihap, mungkinkah anda bisa berubah jadi orang jahat ?” tanya Han-sian-hui lembut

“mungkin saja Han-lihap, kenapa lihap bertanya demikian ?” jawab Cia-taihap dengan heran, Han-sian-hui dengan nada lembut berkata

“seandainya aku memakai prinsip jiwi-taihap, artinya aku tidak mau berdiri pada hal yang meragukan sebagaimana yang dikatakan Cia-taihap, tapi langsung memutuskan untuk hal yang meyakinkan, sehingga Cia-taihap langsung kubunuh, bagaimana menurut taihap ?” mendengar itu Cia-taihap terdiam, dan memandang sutenya yang kebetulan juga menatapnya

“daripada kejahatanku menyebar lebih baik aku mati saja.” jawab Cia-taihap tegas

“jadi taihap telah menutup peluang dan kesempatan bagi diri taihap sendiri untuk berubah, begitukah ? kenapa anda setega itu pada diri taihap sendiri ? ”

“karena demi kebaikan orang lain dari aniaya saya, bukankah sebaiknya saya mati ?” sahut Cia-taihap tegas dan mantap mempertahankan pendapatnya, dengan tawa lembut Han-sian- hui berkata

“hihihi….tahukah taihap kenapa taihap menjawab seperti itu ?” “eh….kenapa lihap tertawa, bukankah harusnya demikian ?” sahut Cia-taihap heran

“tidak demikian Cia-taihap, jawaban taihap itu terbit dari hati yang sehat, bukan dari hati yang berpenyakit.”

“lalu harusnya jawaban saya apa ?” tanya Cia-taihap dengan hati penasaran

“jawaban taihap harus terbit dari hati yang berpenyakit, jika taihap tidak tahu jawaban hati yang berpenyakit, maka jawablah menurut umum, yakni bahwa setiap manusia patut untuk mendapat kesempatan.” jawab Sian-hui, Cia-taihap tercenung mencoba mencerna jawaban yang didengarnya, lalu ia menyadari alangkah cetek pemahamannya tentang cara menyikapi keadaan baik dan jahat seseorang setelah berdebat dengan gadis muda ini, setelah lama berdiam kemudian ia bertanya

“jadi jika demikian lihap, bagaimana harusnya kita menyikapi orang yang jahat ?” Han-sian-hui dengan arif menjawab

“prinsip menyikapi orang jahat adalah tahu diri dan rendah hati.” “maksudnya bagaimana lihap ?” sela Kam-taihap

“tahu diri maksudnya mengetahui kemampuan diri dalam memberantas kejahatan orang tersebut, dalam memberantas kejahatan kita punya tiga tahapan, pertama gunakan tangan dengan kekuatanya, jika kita tidak mampu maka gunakan lidah dengan kata nasehatnya, jika kita tidak mampu maka gunakan hati dengan membeci kejahatan itu, sehingga kita tidak ikut- ikutan jahat.”

“lalu bagaimana maksud menyikapi orang jahat dengan rendah hati ?” tanya kam-taihap makin antusias

“rendah hati maksudnya, bahwa kita tidak merasa lebih dari orang jahat itu, baik kita dan orang jahat adalah setara, yakni sama-sama manusia yang mengalami satu keadaan yang serba mungkin, keadaan mungkin itu bergerak dan bukan kaku, gerak berkutat pada waktu, waktu dimiliki oleh setiap orang, dan waktu juga merupakan hak setiap orang.” ujar Han-sian-hui, dua saudara seperguruan itu terdiam mencerna uraian sian-hui, dan akhirnya mereka mengangguk mengerti.

“sungguh hikmat Han-lihap luar biasa, terbukalah mataku sekarang bahwa kami terlalu membabi buta sehingga tidak mengukur kekuatan, dan bahkan merasa lebih pantas dengan mengagulkan keadaan kami dengan menutup mata pada keadaan orang lain.” ujar Cia-taihap, Han-sian-hui mengangguk dan tersenyum lembut

“baiklah jiwi taihap, saya pamit dan segeralah luka taihap diobati.” ujar sian-hui sambil menjura

“baik lihap dan terimaksih atas percakapan yang amat

bermamfaat ini.” sahut Cia-taihap membalas menjura diikuti oleh sutenya, Han-sian-hui pun melangkah melanjutkan perjalanan, demikian juga dua saudara seperguruan itu segera meninggalkan hutan.

Sejak meninggalkan dua bersaudara itu, Sian-hui merasa ada yang mengikutinya, namun Sian-hui tidak menggubrisnya, dan ia berlari sangat cepat, orang yang mengikuitinya berusaha mengejar, namun ia jauh tertinggal, pada sore harinya Sian-hui sampai disebuah bukit yang indah dengan panoramanya yang syahdu oleh safak merah kala senja itu, Han-sian-hui duduk menikmati indahnya panorama alam didepannya, hembusan semilir angin senja menerpa wajah dan tubuhnya, dengan seulas senyum Han-sian-hui melantunkan sebuah syair

“duhai Thian yang maha agung “alam milikMU berhias lembayung “mata takjub hati tunduk tertenung “batin bergema memuji tiap relung

“duhai Thian pencipta alam raya “terhampar ciptaan didepan mata “terlukis ruwet berpadu lagi tertata “sungguh luar biasa indah tidak terkata Setelah melantunkan syair, Han-sian-hui merenggangkan kedua tangannya, ia hirup udara yang penuh aroma wangi kembang, menyejukkan paru-parunya, lalu ia duduk bersandar disebatang pohon, tidak lama kemudian malam pun tiba, Han-sian-hui menyalakan api unggun, dan membakar dendeng daging bekalnya, sian-hui makan dengan lahap ditengah malam berhias bulan separuh dan taburan bintang, Han-sian-hui melewatkan malam di bukit itu, tidurnya lelap bertatahkan rasa aman dan nyaman, seulas senyum menghias wajah indah yang nyenyak dalam tidurnya.

Keesokan harinya, setelah mandi dan membersihkan diri, Han- sian-hui melanjutkan perjalanan, dan ia kembali merasa diikuti oleh orang, Han-sian-hui berlari cepat dan orang yang mengikuti berusaha mengejar, tapi disebuah tikungan orang itu kembali kehilangan Han-sian-hui, ia clingak-clinguk mencari-cari arah, dan ketika ia hendak berlari, Han-sian-hui muncul dari balik rerimbunan hutan

“ada pakah sicu mengikuti saya ?” tanya Han-sian-hui dengan tatapan selidik

“eh….si..siapa yang mengikuti ?” sahut pemuda itu terkejut, pemuda itu adalah kongcu tampan yang melihatnya di rumah makan dikota Anhui

„lalu kenapa sicu clingak-clinguk ?” tanya Han-sian-hui “ah….tidak..aku hanya sedikit pangling dengan tempat ini.” jawab pemuda itu berdalih

“oh maaf kalau begitu, silahkan lanjutkan perjalanan sicu !” ujar Han-sian-hui sambil melangkah meninggalkan pemuda itu, pemuda itu terkejut melihat Han-sian-hui melangkah meninggalkannya, lalu dia mengejar

“tunggu dulu nona !” seru pemuda itu, Han-sian-hui berhenti dan membalikkan badan

“ada apa sicu !?” tanya Han-sian-hui lembut, pemuda itu makin salah tingkah, sejak dari kota Anhui ia berniat menyusul gadis yang penuh pesona dan telah memikat hatinya ini, namun malang semalaman ia mengejar ia tidak dapat menyusul Han- sian-hui, lalu saat Han-sian-hui keluar dari hutan setelah bercengkrama dengan kedua pendekar, ia terlihat pemuda itu, lalu ia membayanginya, namun ia harus kecewa karena harus kehilangan lagi, dan pada keesokan harinya ia kembali melihat Han-sian-hui, lalu ia kembali membayanginya, tapi ia harus kehilangan Han-sian-hui disebuah tikungan, dan malunya ia malah dipergoki oleh Han-sian-hui.

Dengan hati gelisah pemuda itu memberanikan diri menatap bola mata Han-sian-hui dan berkata sembari senyum ramah “maaf nona, bolehkah kita berkenalan ? dan kalau tidak keberatan mungkin kita dapat melakukan perjalanan bersama, kenalkan namaku Bouw-bian, nona”

“namaku Sian-hui, kenapa tiba-tiba Bian-sicu mau kenalan dan bahkan ingin berjalan bersama denganku ?”

“hehe…aku ini seorang pengelana Sian-siocia, dan ingin sekali kenal banyak orang, terlebih orang-orang kangowu.”

“kamu darimana Bian-sicu !?”

“saya dari huangsan, dan baru enam bulan saya meninggalkan rumah, dan Hui-soicia darimanakah ?”

“aku dari kota kaifeng, apakah menurutmu bagus jika kita yang tidak punya hubungan apa-apa mengadakan perjalanan bersama ?”

“apakah Hui-siocia merasa riskan ?”

“tentu Bian-sicu, orang akan menilai negatif dan memandang buruk pada kita.”

“kalau kita bisa saling menghormati, untuk apa ambil pusing dengan penilaian orang lain, bukankah semuanya tergantung pada kita berdua Hui-siocia ?”

“itu cara pandang yang salah kaprah Bian-sicu.” “eh..kenapa salah kaprah hui-sicu ?”

“cara pandang itu merupakan cara pandang yang membawa maunya sendiri dan mengabaikan orang lain, kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan orang lain tidak sepatutnya berpaham seperti itu.”

“jadi hui-siocia merasa keberatan jika kita berjalan bersama ?” “benar sekali Bian-sicu, dan maaf kita bersilang pendapat

tentang itu”

“Hui-siocia memang sangat mengagumkan, tidak hanya cantik rupawan, tapi juga tegas tidak terpatahkan.” ujar bouw-bian dengan getar hati takjub, rasa penasarannya kian hangat, wanita ini adalah wanita pilihan gema hatinya, suatu keberuntungan jika dapat memenangkan hatinya, pikir Bouw-bian dengan harap, bouw-bian menatap lekat wajah indah didepannya, Sian-hui yang mendengar pujian seiring pandangan takjub penuh binar dari wajah gagah dan tampan didepannya membuat hatinya jengah, lalu dengan senyum ia berkata

“Bian-sicu terlalu melebihkan, oh ya sebaiknya kita berpisah sicu.”

“tunggu dulu Hui-siocia, maafkan aku jika kata-kataku menyinggung perasaanmu.”

“kamu salah faham Bian-sicu, tidak ada kata-katamu yang menyingung hatiku.”

“kalau begitu aku yang terlalu perasa kalau begitu.” sahutnya dengan senyum

“hihihi….mungkin saja Bian-sicu, baik aku permisi dulu” “kamu memang luar biasa menarik hui-siocia.” puji Bouw-bian dengan hati blingsatan mendengar dan melihat tawa yang menawarkan pesona luar biasa itu, Sian-hui yang hendak berpaling tidak jadi dan menatap wajah tampan didepannya “nyata benar apa yang bergemuruh dalam hatimu Bian-sicu, terimakasih dan aku menghargainya, namun maaf kita harus berpisah, permisi !” ujar Sian-hui dan sekelabat ia sudah pergi

dari hadapan Bouw-bian, Bouw-bian kaget dan hendak menahan tapi gadis itu telah pergi, akhirnya ia melonggo ngambang, lalu seperti tersentak ia tersadar dan berteriak

“Hui-moi..! aku cinta padamu…….! dan aku akan berusaha mendapatkan cintamu…!” suaranya teriakan itu bergema seantoro hutan itu.

Han-sian-hui jelas mendengar teriakan itu, dengan mulut tersenyum ia terus berlari dengan pengerahan gin-kang yang luar biasa, hatinya memang bergetar hangat, tapi sastrawati ini tidak mudah dipermainkan perasaan, umurnya memang masih muda, namun kematangan pikir dalam tubuh muda itu sangat pekat oleh gemblengan hikmat yang sangat dalam, walaupun hatinya bergetar, wajah tampan itu memenuhi pandangan, ia tidak serta menerima, tapi juga ia tidak memutuskan harapan, karena rasa cinta hak setiap orang, berkembang dan layu butuh kesempatan dan usaha.

Sebulan kemudian Han-sian-hui sampai dikota Jinan, siang itu cuaca mendung, ia bergegas masuk kedalam kota, dan tidak lama hujan deras pun turun, dan untungnya Sian-hui menemukan sebuah likoan dan segera masuk untuk berlindung dan istirahat, seorang pelayan menyediakan pesanan untuknya, ditengah hingar bingarnya hujan Han-sian-hui menikmati makanya, hingga selesai makan hujan masih lebat, sambil menunggu reda Sian-hui minum teh hangat, sementara dibagian atas seorang lelaki tampan parlente menatapnya dengan hati takjub.

Lelaki itu adalah Pang-hui-san, anak sulung dari Pang-taijin kepala pemerintahan di kota Jinan, Pang-hui-san yang berumur tiga puluh dua tahun itu adalah orang terpandang, disamping memeiliki kekuasaan, ia juga memiliki kekayaan yang banyak, ia memang belum memilki istri, tapi haremnya dihuni sepuluh orang selir, hari itu ia berada dalam likoan bersama dua orang pengawalnya, mereka baru saja pulang dari berburu dihutan sebelah barat, mata Pang-hui-san benar-benar terpana melihat wajah Sian-hui yang sedang duduk diruang bawah.

“Tio-bun…,! kamu lihat wanita yang duduk dibawah itu ?” orang yang dipanggil she-Tio itu melenggak memandang kebawah, lalu mulutnya tersenyum dan memuji

“hehehe…wanita yang amat menakjubkan tuan.”

“gadis itu cantik sekali Tio-bun, jadi bagaimana caranya mesti kamu bawa ia kerumahku, mengerti !?” “hehehe…..beres tuan, tuan tidak usah khawatir, serahkan saja padaku.” sahut Tio-bun menyombongkan diri dan nada menjilat “wanita mana maksud siauwya..?” tanya pengawal yang lain sambil berdiri dari kursinya

“itu wanita bersal putih yang duduk di dekat tiang.” sela Tio-bun sambil menunjuk kebawah ke arah Han-sian-hui “hehehe…mata siauwaya memang luar biasa.” puji pengawal itu dan matanya tidak lepas memandang wajah anggun Han-sian- hui

“bagaimana caranya, kalian berdua harus mendapatkan wanita itu dan membawanya kerumah.” tegas Pang-hui-san

“kenapa siauwya tidak menghampirinya dan megajaknya kerumah ? hehehe…” sela pengawal itu dan kembali duduk kekursinya

“goblok kamu Bao-kun ! tuan sudah memerintahkan tetap saja kamu ngeyel tidak juntrungan.” bentak Tio-bun “hehehe…maaf siauwya, hanya bercanda.” kilah Bao-kun

“sudahlah…! aku ingin juga melakukan apa yang dikatakan oleh Bao-kun, tapi wanita itu sepertinya bukan orang sembarangan, hati saya berkata bahwa gadis itu adalah gadis kangowu, jadi harus ditundukkan dulu” ujar Pang-hui-san

“baiklah siauwya, saya akan mendapatkan gadis itu untuk siauwya.” sela Tio-bun meyakinkan.

“bagus kalau begitu, sekarang Bao-kun kamu pergilah menemui pemilik likoan untuk meminta kereta kudanya mengantar kita kerumah.”

“baik siauwya..” sahut Bao-kun, lalu ia pun segera turun, dan tidak berepa lama sebuah kereta kuda sudah disiapkan pemilik likoan, Pang-hui-san dan Bao-kun meninggalkan likoan kembali kerumahnya dibagian utara kota, sementara Tio-bun tinggal untuk melakukan perintah tuannya.

Karena hingga sore hujan tidak juga berhenti, maka Sian-hui memutuskan untuk menginap dilikoan itu, dengan senyam- senyum pelayan mengantarkannya kekamar, sesampai dikamar, Sian-hui membersihkan diri dan berganti pakaian, dan pada malam harinya hujan semakin deras dibarengi hembusan angin yang kencang, Han-sian-hui sudah tertidur pulas dibawa selimut yang hangat, tapi diatas atap bayangan Tio-bun mengendap- endap seakan tidak memperdulikan hujan dan angin yang menerpa tubuhnya, dengan hati-hati dan gerakan ringan Tio-bun turun kebawah atap, gerakannya laksana seekor cecak yang merayap, sambil menggantung laksana kalong Tio-bun mengintip kedalam kamar, lalu dengan perlahan meniupkan asap bius kedalam kamar Han-sian-hui, setelah menunggu beberapa lama ia membuka jendela dan masuk tanpa suara.

Ketika mendekati ranjang, Tio-bun kecele karena Han-sian-hui tidak lagi berada diatas ranjang, Han-sian-hui sudah menyadari gerakan Tio-sun sejak dari atap kamar yang ditempatinya, ia waspada dan menunggu kelanjutan yang diperbuat Tio-bun, ketika bambu menerobos kedalam dan asap keluar dari lobang bambu, han-sian-hui bergerak cepat keluar dari kamar, ia melihat Tio-bun masuk dan berdiri terpaku disamping ranjang “apa yang kamu lakukan didalam sicu !?” tanya Sian-hui sambil membuka pintu, Tio-bun sontak terkejut pucat dan menoleh kepada Sian-hui, walaupun hatinya kecut ia tidak mau kepalang tanggung, dan tanpa menjawab ia langsung menyerang hendak meringkus Han-sian-hui, namun hatinya kecut karena serangannya luput dan Sian-hui lenyap dari pandangannya, matanya mencari-cari ke atas

“sial…! Kemana perginya.” umpat Tio-bun hendak berpaling dan melangkah keluar, namun tiba-tiba didekatnya muncul Han-sian- hui

“apa yang kamu lakukan disini !?” bentak Han-sian-hui “hah…monyet..kadal buduk….kentut busuk….” sumpah serapah Tio-bun keluar tidak terkendali saking kagetnya, jantungnya hampir copot mendengar bentakan Sian-hui yang tiba-tiba, hati Tio-bun sudah lemah dan ciut, ia lalu bergerak dan melompat kejendela hendak lari, namun gerakan Sian-hui lebih cepat menotok punggungnya sehingga ia lemas ambruk kelantai.

Wajah Tio-bun makin pucat, dia benar-benar tidak menyangka akan dipecundangi gadis muda yang cantik ini, ia tertangkap basah, dan bahkan dipermainkan, ia hendak lari tapi nyatanya ia juga sangat mudah dirobohkan, nyalinya ciut kesombongannya sirna

“katakan siapa dan apa maksudmu masuk kekamarku !” tanya Sian-hui, Tio-bun diam tidak menjawab, karena rasa takut yang menderanya, disamping masih heran dengan apa yang ia alami “kalau kamu tidak menjawab maka aku akan mencungkil matamu !” ancam Sian-hui, makin gelisah dan takut hati Tio-bun mendengar ancaman Sian-hui

“a..aku ha…hanya iseng lihap, ma..maafkanlah aku.” pinta Tio- bun gugup

“luar biasa sekali keisengan yang kamu lakukan ini, sampai rela berbasah-basah, tapi itu adalah urusanmu, namun yang jelas keisenganmu ini harus kamu bayar dengan kedua matamu !” “aduhh….jangan lihap, maaf lihap dan ampunkan aku, aku hanya seorang suruhan !”

“suruhan ! katakan siapa kamu dan siapa yang menyuruhmu !” “sa..saya adalah Tio-bun, saya disuruh majikan saya Pang-hui- san.”

“hmh…..Pang-hui-san yang menjadi majikanmu itu siapa !?” “dia seorang kaya raya yang tampan dan juga memiliki kuasa yang besar dikota ini.”

“untuk apa ia menyuruhmu mengintai saya ? jawab dengan jujur

! kalau tidak kedua matamu aku ambil !”

“ba.baik lihap, ia sangat terpikat dengan lihap, dan ingin memperistri taihap yang cantiiknya luar biasa.”

“majikanmu ini tentu orang sombong yang suka memaksakan kehendak pada orang.”

“ampunkanlah aku lihap, aku hanya melaksanakan tugas.” keluh Tio-bun memelas

“dan kepatuhan kamu ini telah mempermudah majikanmu untuk berbuat semena-mena, dan untuk itu kamu pantas dihukum.” ancam Sian-hui, Tion-bun makin takut, matanya menatap dengan sayu memohon iba.

“tapi kali ini tidak apalah kamu saya bebaskan, tapi jika bertemu lagi dengan keadaan yang sama, mungkin kamu tidak akan kulepas lagi.”

“te…terimakasih lihap.” sahut Tio-bun dengan hati sedikit lega, Sian-hui melepaskan totokannya, Tio-bun segera berdiri dan menjura hormat

“sudah pergilah ! cepat…sebelum aku berubah pikiran !” bentak Sian-hui, Tio-bun segera melompat dari jendela dan berlari menerobos hujan yang sudah agak reda.

Pada pagi harinya, Han-sian-hui turun untuk sarapan, hujan pagi itu hanya tinggal rintik-rintik, dan seorang pelayan menghidangkan sarapan untuk Sian-hui, sebelum pelayan itu meninggalkannya, Sian-hui bertanya

“twako, apakah twako kenal dengan orang bernama Pang-hui- san ?”

“hampir semua orang kenal dengan pang-kongcu, orang kaya terpandang dikota ini, maaf kenapa siocia menanyakannya ?” “tidak apa-apa twako, dimanakah pang-kongcu ini tinggal ?” “dia tinggal tinggal di bagian utara kota.” jawab pelayan itu “baik dan terimaksih twako atas informasinya.” ujar sian-hui, pelayan itu segera berbalik dan melayani tamu yang lain.

Setelah hujan rintik-rintik berhenti, Han-sian-hui keluar likoan untuk melanjutkan perjalanannya, ia keluar melalui pintu utara, dan ketika ia baru saja keluar dari pintu gerbang, terdengar bentakan dari belakangnya

“berhenti…!” Han-sian-hui berbalik dan melihat lelaki berperawakan tinggi berumur lima puluh tahun, rambutnya pada bagian ubun-ubun putih sementara rambut bagian samping hitam, rambut dua warna itu digelung rapi menambah kegagahan lelaki itu, dan satu lagi seorang wanita berumur empat puluh tahun lebih, wajahnya putih pucat, dan matanya sangat cipit, yang laki-laki bernama Pang-sui berjulukan “jit- kiam” (pedang matahari) sedangkan yang perempuan adalah istrinya “goat-kiam” (pedang bulan) bernama Coa-bi, Pang-sui adalah paman dari Pang-hui-san. Pang-sui dan istrinya sudah dua hari bertamu dirumah keponakannya, dan ketika Tio-bun datang melapor Pang-hui-san sedang bercakap-cakap dengan suami istri itu diruang tengah, melihat wajah Tio-bun, Pang-hui-sian langsung bertanya

“eh mana gadis itu tio-bun !?”

“maaf siauwya, aku tidak berhasil meringkusnya, gadis itu ternyata sakti luar biasa.” jawab Tio-bun dengan wajah memelas “goblok….! omongan kamu saja yang besar.” bentak Pang-hui- san dengan marah

“ada apa sebenarnya Sian-ji !?” sela Pang-sui

“aku menyuruh dia ini untuk meringkus seorang gadis, tapi nyatanya ia tidak berhasil.” jawab Pang-hui-san kesal

“bagaimana kamu tidak berhasil, Tio-bun !?” tanya Pang-sui dengan nada tajam

“gadis itu memergoki saya setelah masuk kedalam kamarnya, dan saya berkelahi deengannya, namun ia sepertinya bisa menghilang, dan saya tidak menyadari sudah ditotok sehingga saya lemas, cianpwe.” jawab Tio-bun dengan wajah meringis memelas

“eh….kalau kamu sudah roboh, bagaimana kamu bisa lepas ?” sela coa-bi

“aku dilepaskannya begitu saja hujin.” jawab Tio-bun menunduk “dasar kamu tidak berguna !” bentak pang-hui-san sehingga Tio- bun tersentak, ia makin menundukkan kepalanya

“sudahlah Sian-ji, biar besok paman dan bibimu meringkus gadis itu.” ujar Pang-sui menenangkan hati keponakannya.

“sudah ! kamu pergi sana !” bentak Hui-sian, Tio-bun segera keluar “kenapa kamu menginginkan gadis itu Sian-ji ?” tanya coa-bi “gadis itu luar biasa cantik bibi, dan aku hendak menjadikannya selir, tolonglah bibi menundukkannya untukku ” jawab Pang-hui- san, memohon

“baik, kamu tenang saja, dan serahkan pada paman dan bibimu, besok dia akan kami bawa kesini.” sela Pang-sui

“sebutkan ! apa cirri-ciri gadis itu Sian-ji ?” tanya Coa-bi “gadis itu masih muda bibi, dibahunya tersampir sal berwarna putih dengan lukisan merak dari benang keemasan.” jawab Pang-hui-san

“sudah, sekarang istirahatlah, biar kami yang urus gadismu itu.” ujar Pang-sui, lalu merekapun meninggalkan ruangan tengah untuk tidur.

Keesokan harinya suami istri itu pergi ke likoan dimana Han- sian-hui menginap, namun mereka terlambat. Karena sian-hui sudah pergi, dari seorang pelayan mereka mendapat keterangan bahwa sian-hui menuju arah utara, lalu keduanya segera mengejar dan melihat sian-hui hendak keluar gerbang, dan coa- bi menyeru untuk berhenti.

“ada apa jiwi-hohan menahan dan menyuruh saya berhenti ?” tanya Han-sian-hui

“apakah benar ini orangnya bi-moi ?” tanya Pang-sui

“dari ciri-ciri yang digambarkan sian-ji, sepertinya tidak salah lagi, sui-ko” jawab Coa-bi, melihat kedua orang yang mencegatnya menatap dia penuh selidik, Han-sian-hui bertanya lagi

“apakah jiwi-hohan suruhan dari Pang-kongcu ?” “hmh….benar, dan sebaiknya kamu menurut saja, untuk kami bawa menemui pang-siauwya,” sahut coa-bi dengan nada ketus “saya tidak ada urusan dengan majikan jiwi, kenapa saya harus menemuinya ?”

“tidak usah banyak bacot nona, untungmu besar jika kamu menuruti kemauan keponakanku.” sela Pang-sui

“bagaimana jika aku tidak mau, apakah jiwi akan memaksa ?” tanya sian-hui dengan sikap yang demikian tenang, melihat sikap yang amat bersahaja dan tenang itu, membuat kedua orang itu saling bertatapan dengan heran dan kagum.

“nona..! kami ini bukan seperti orang yang kamu pecundangi semalam, jadi sebelum kamu terluka sebaiknya kamu menurut saja.” ujar pang-sui dengan tatapan tajam dan nada mengancam, mendengar nada ancaman itu Han-sian-hui tersenyum lembut

“maaf jiwi, kalian tidak ada hak untuk memaksaku, jadi jiwi kembalilah, dan aku juga hendak melanjutkan perjalananku.” Han-sian-hui berpaling dan melangkah, Pang-sui terkejut dan penasaran melihat gadis muda yang tidak sedikitpun merasa gentar, bahkan sangat tenang

“sialan…..! diberi hati malah tidak tahu diri..!” teriak Coa-bi sambil melompat hendak mencengkram bahu Sian-hui, namun ia terkejut karena serangannya luput, Han-sian-hui hanya bergeser sedikit untuk berkelit dari serangan kilat itu, Coa-bi melonggo sesaat, lalu dengan gemas Coa-bi menyusulkan serangan dengan terkaman dengan dua tangan mencengkram, tapi Han-sian-hui tidak merasa gugup menghadapi serangan kuat dan cepat itu.

“bangsat…..terimalah ini !” teriak coa-bi sambil mengibaskan tangan, dan serangkum hawa sakti meluncur ke arah Han-sian- hui, tapi Han-sian-hui melenting cepat ke atas dan pukulan itu lewat diatas kakinya dan menghantam pigura pintu gerbang hingga hancur, Coa-bi terbeliak tidak percaya, dan hatinya makin gemas, sehingga serangannya dikerahkan bertubi-tubi.

Hingga tiga puluh jurus Coa-bi belum berhasil menyentuh tubuh Sian-hui, Pang-sui segera bergerak dan membantu untuk mendesak Sian-hui, pertempuran makin ramai dan seru, tekanan sepasang suami istri itu sangat luar biasa, dua puluh jurus tanpa perlawanan membuat Sian-hui terdesak hebat, dan ketika sian- hui mendapat peluang menjauh dari serangan Pang-sui, Han- sian-hui mengeluarkan mouwpit, tangan kiri bergerak dengan jurus “in-hua-bun-pit” (pena sastra melukis mega), sementara tangan kanan yang memegang kipas bergerak dengan jurus

“kwi-hut-san-sian” (dewa kipas penakluk iblis), kini Han-sian-hui berinisiatif menyerang dan membalas serangan sepasang suami istri itu, Pang-sui dan istrinya terkejut mendapat serangan dengan senjata moupit dan kipas tersebut, gerakan Han-sian-hui demikian cepat dan kuat, sepuluh jurus kemudian suami istri merasakan perlawanan hebat dari gadis muda yang mencengangkan ini, keduanya mempergencar serangan, namun kibasan kipas yang berisi sin-kang hebat laksana badai itu membuat serangan mereka terpantal, dan lima puluh jurus kemudian, moupit sian-hui menjotos pinggul Coa-bi

“tuk….ugh…” Coa-bi meringis dan jungkir balik untuk menahan tubuhnya yang terdorong, tapi saat kakinya kembali menginjak tanah ia menjerit dan mengangkat satu kakinya, karena rasa nyeri dan ngilu dipinggulnya menyentak ulu hatinya Pang-sui tercengang tidak percaya melihat istrinya terpincang- pincang, lalu dengan marah ia menerkam dan mengayun pedangnya

„trang….tuk..auh….prang…” pergelangan tangan pang-sui kena totol moupit sian-hui, dan membuat pedangnya jatuh, ia melompat kebelakang dan muka berkerinyit menahan sakit

“kita sudahi saja urusan ini jiwi, aku hendak pergi.” ujar Han- sian-hui dan tubuhnya sudah berkelabat meninggalkan pintu gerbang, Pang-sui tercenung melihat ke arah perginya Sian-hui, lalu menatap istrinya yang juga menatapnya.

“ah..kita juga telah dipecundanginya Bi-moi.” keluh Pang-sui dengan nada jerih

“tidak disangka kita demikian mudah dikalahkannya, apa sui-ko tidak mengenal ilmu moupitnya ?”

“bagaimana aku tahu Bi-moi, selama ini kita ada di singkiang, dan kita baru saja ditempat ini.”

“lalu bagaimana, apa yang hendak sui-ko katakan pada Sian-ji

!?”

“hmh…memang memalukan kalau sudah begini, apa kamu punya ide untuk menutup malu kita ini ?”

“katakan saja pada sian-ji, bahwa gadis itu sudah meninggalkan kota dan kita tidak menemukannya.”

“hmh…marilah kita pulang, eh…bagaimana dengan kakimu !?” “kakiku sudah sembuh hanya masih ngilu saja, dan sian-ji tidak akan tahu.” sahut Coa-bi. Keduanyapun kembali kerumah Pang- hui-san.

Dua minggu kemudian Han-sian-hui sampai kelembah merak, ia berdiri gagah didepan bangunan mewah dan besar ditengah bukit, hatinya takjub melihat indahnya hamparan bunga krisan dibagian barat lembah, sementara hamparan bunga kanoka dibagian yang lain, setelah memeriksa dan mencari penghuninya, ternyata bangunan itu kosong dan tidak berpenghuni lagi, Han-sian-hui duduk dibalai-balai menikmati indahnya hamparan bunga kanoka yang indah dibawahnya, matahari yang hendak turun keperaduan demikian indah dipandang mata, warna merah menyeruak diangkasa, semilir hembusan angin yang datang dari bawah lembah membawa aroma semerbak mewangi.

Han-sian-hui beranjak dari balai-balai saat matahari sudah tenggelam, ia menyalakan semua lampion yang tergantung diluar dan didalam bangunan besar itu, dan bangunan megah itu pun terang benderang, Han-sian-hui duduk diruang tengah, dan memang selera siang-mou-bi-kwi dalam mendekorasi rumah itu amat luar biasa, cara penataan yang demikian apik membuat rasa takjub, dan tidak terkecuali Han-sian-hui yang sedang duduk santai diatas sofa lembut beralaskan kain beludru merah mengagumi dekorasi ruangan itu

“hmh…kemana mereka pergi ? kenapa mereka meninggalkan bangunan ini ?” gumam hati Sian-hui.

Setelah melihat semua seisi ruangan dalam bangunan, Han- sian-hui keluar dan kembali mengelilingi bangunan itu, Han-sian- hui berhenti dihalaman luas dibelakang bangunan, ia menatap sebuah panggung besar serta empat buah tenda besar berdiri kokoh diempat sudut panggung, sementara pada bagian depan panggung ada tempat duduk melengkung penjang dan terdiri dari tujuh tingkat, kemudian dibagian belakang panggung ada sebuah makam yang nisannya bertuliskan “makam Tan-kui-ko “Ang-gan-kwi” (iblis mata merah).

Han-sian-hui kembali masuk kedalam bangunan, hatinya sangat nyaman berada di lembah yang penuh aroma mewangi itu, Han- sian-hui masuk kedapur, alat masak masih lengkap, hanya tidak ada makanan untuk dimasak, Han-sian-hui keluar dari ruang dapur, dan memasuki sebuah kamar yang besar, ranjangnya demikian besar dengan tilam yang lembut dengan seprei berwarna kuning dan kelambunya berwarna merah, Han-sian-hui membuka buntalannya dan menyusun pakaiannya dalam lemari, kemudian dengan memakai pakaian tidur dari bahan satin, Sian- hui naik ke atas ranjang dan merebahkan badan, dan tidak lama ia pun tertidur pulas.

Keesokan harinya pagi sekali Han-sian-hui bangun dan langsung mandi, tempat ini memang sangat menarik hatinya, dan ia sudah memutuskan untuk tinggal disitu, hari itu Han-sian- hui membersihkan semua ruangan dari debu yang menempel, pekerjaan itu selesai hingga sore hari, dan sebelum malam datang, Sian-hui turun untuk mencari binatang buruan, dan seekor ayam hutan sudah didapatkannya, dia kembali dan membakar ayam tersebut di dapur, saat malam tiba ayam bakar menjadi makanan pengganjal perut yang lapar.

Keesokan harinya Han-sian-hui bangun dan pergi mandi, lalu berganti pakaian, dan setelah selesai berdandan, dan hendak menutup lemari, ia melihat tusuk rambut yang memang dibawanya dari rumahnya di kaifeng, tusuk rambut dari emas dengan hiasan kepala burung hong, serta ada sepuluh rantai berjuntai dengan bandul dari mutiara, Han-sian hui mendapatkan tusuk rambut ini tiga tahun yang lalu, dan benda itu hanya disimpannya dan tidak pernah dipakainya, dan hari itu ia melihat benda itu, dan dengan senyum sumigrah ia mencoba memakainya, dan luar biasa, keanggunan wajah nan cantik itu semakin menawan mengagumkan, sesaat ia menatap wajahnya di cermin, kemudian ia keluar dari kamar, hari itu rencananya ia mau kekota tianjin untuk membeli perbekalan, dengan langkah ringan Han-sian-hui meninggalkan lembah.

Saat siang harinya Han-sian-hui sudah kembali dengan bahan makanan untuk bekal satu minggu, dengan hati senang ia memasak nasi dan sayur, serta menggoreng ikan kering, setelah masak, Han-sian-hui menikmati makan siangnya di ruang makan, diatas meja yang besar, dan kala senja tiba Han-sian-hui duduk dibalai-balai dan menikmati panorama alam yang tehampar didepannya sembari takjub menyaksikan bola mentari yang hendak tenggelam, karena terbawa suasana lalu han-sian- hui pun melantunkan syair, suaranya yang merdu menggema di seantoro lembah berpadu dengan gemerisik dedaunan yang dibelai hembusan angin sepoi-sepoi.

Sebulan kemudian, pada pagi hari itu Han-sian-hui meninggalkan lembah untuk membeli bekal kekota Tianjin, saat matahari sudah agak tinggi, Han-sian-hui sudah masuk kekota dan membeli beberapa keperluannya, keanggunan wajah yang menarik simpatik itu menjadi buah bibir para pedagang, dan bahkan sebagian kecil dari para pedagang sudah mengetahui tempat tinggal dara cantik ini, Han-sian-hui keluar dari sebuah toko, dan berkebetulan seorang kongcu tampan yang sudah berumur sedang lewat dan menatap wajah cantik Han-sian-hui, sekilas Han-sian-hui menatap wajah si kongcu, lalu melangkah meninggalkan toko.

Si kongcu memutar kudanya dan mengikuti Han-sian-hui dengan pandangan takjub penasaran

“nona siapakah namamu ? sungguh aku tidak menyangka bahwa dikotaku ini ada wanita seanggun dan secantik dirimu.” ujar si kongcu dengan nada merayu, Han-sian-hui berhenti dan berpaling pada sikongcu, namun ia diam dan kembali melanjutkan langkahnya

“hehehe…luar biasa cantik dan indah matamu nona.” puji si kongcu makin berani, Han-sian-hui berhenti dan berkata “pujianmu terlalu berlebihan, dan maaf aku sedang buru-buru.” lalu ia melangkah lagi

“tunggu dulu nona ! dan jangan sekali-kali mengabaikanku ! saya adalah Yo-jin kungcu dari kota ini.” ujar sikongcu dengan nada memaksa, Han-sian-hui berhenti dan sedikit membungkuk hormat

“maafkan ketidak tahuan saya, ternyata saya sedang berhadapan dengan kungcu kota tianjin ini.”

“bagus nona cantik, dan sebaiknya ikutlah kerumahku, berikan kudamu zhang-ciangbun pada nona ini !” ujar yo-taijin, zhang- ciangbun segera turun dan menuntun kudanya mendekat pada Sian-hui

“maaf…., saya ini sedang belanja, haruskah saya ikut kerumah taijin ?” tolak Han-sian dengan nada halus

“benar nona dan aku tidak mau dibantah !” sahut yo-taijin tegas. “baiklah kalau begitu tuan, karena mengingat saya warga baru dikota ini.” sahut Han-sian-hui, lalu ia naik ke atas kuda, Yo-taijin tersenyum dan berkata pada pengawalnya

“zhang-ciangbun, kamu bawa semua belanjaan nona ini.” setelah itu Yo-taijin membedal kudanya, warga yang menyaksikan menatap iba pada Han-sian-hui.

Tatapan warga itu sangat beralasan, karena kungcu mereka ini sangat terkenal doyan wanita, dan suka membawakan maunya sendiri, tak ada halangan baginya untuk mendapatkan wanita yang menarik hatinya, dan memang diantara wanita-wanita yang dijadikan selirnya ada yang dengan suka rela dan merasa beruntung, tapi ada juga yang merasa terpaksa dan tertekan,

Yo-taijin yang berumur lima puluh tahun itu memiliki dua istri dan sepuluh selir.

Setiba dirumah megah Yo-taijin, dua pengawal menyambut dengan hormat, Yo-taijin turun dari kudanya dan menyerahkan kedua kuda kepada dua pengawal, dua pengawal itu menerima tali kekang kuda dan membawanya kebelakang

“mari nona, kita keruang pribadi saya !” ajak Yo-taijin, Han-sian- hui mandah dan mengikuti Yo-taijin masuk kedalam rumah. “taijin sudah datang !” seru empat orang selir Yo-taijin dengan senyum senang dan manja

“hehehe….kalian bawa nona ini keruang pribadi saya,

sementara saya hendak membersihkan diri !” perintah Yo-taijin sambil meninggalkan mereka, empat selir itu menatap Han-sian- hui dengan tatapan cemburu dan tidak senang, sian-hui menatap empat wanita cantik didepannya dengan seulas senyum ramah “cih….kamu saja yang membawanya kiu-moi !” ujar salah seorang dari mereka, lalu tiga orang wanita itu meninggalkan wanita yang dipanggil kiu-moi (adik kesembilan), kiu-moi mengangguk dan segera membawa sian-hui kedalam kamar peribadi Yo-taijin

“kalian ini siapanya taijin ?” tanya sian-hui sambil duduk dan melihat-lihat sekitar ruangan besar dan indah itu

“kami adalah selir tuan, dan saya selir kesembilan.” jawabnya “kira-kira apa maksud taijin membawaku keruangan pribadinya ini ?” tanya Sian-hui

“sebentar lagi kamu akan tahu sendiri, jadi kamu tunggu saja disini !” jawab kiu-moi sambil meninggalkan sian-hui sendirian, sian-hui kembali menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi banyak lukisan indah yang menempel didinding.

Agak lama juga Han-sian-hui menunggu dalam kamar tersebut, dan ketika Yo-taijin masuk kedalam kamar, ia menutup pintu dan menguncinya, Han-sian-hui menatap tenang tindak-tanduk sang kepala daerah, dengan senyum manis Yo-taijin duduk dihadapan Han-sian-hui 

“apa maksudnya taijin membawa saya kesini ?” tanya sian-hui dengan nada tenang, Yo-taijin menetap lekat wajah cantik didepannya, dia tidak menjawab pertanyaan sian-hui, tapi dia senyam-senyum melihat wajah sian-hui, tatapan itu bagi wanita biasa akan membuat merinding, karena tatapan itu nakal menelanjangi dan senyuman itu penuh hasrat.

“apakah taijin hendak menatap saya saja atau hendak berbicara

?” tanya sian-hui dengan nada tajam

“hehehe…siapakah namamu moi-moi, dan dimanakah kamu tinggal ?”

“namaku Han-sian-hui, taijin, dan aku tinggal di lembah merak.” jawab Han-sian-hui

“hmh…lembah merak, apakah kamu ada hubungan dengan siang-mou-bi-kwi ?”

“tidak, aku tidak kenal dengan siang-mou-bi-kwi.” “eh…bagaimana kamu bisa tinggal disana ? sementara tempat itu adalah tempat siang-mou-bi-kwi ?”

“aku mendapatkan tempat itu tidak berpenghuni dan telah ditinggalkan.” jawab Sian-hui, Yo-taijin senyum dan manggut- manggut, lalu kembali ia bertanya

“lalu kamu datang dari mana hui-moi ?”

“aku seorang pengelana yang dari kota kaifeng, taijin.” “hmh…tempat yang jauh, dan kamu seorang wanita muda nancantik mengadakan perjalanan sendiri, lalu kenapa kamu tinggal di lembah merak ?”

“maaf taijin, saya punya urusan yang tidak bisa kukatakan pada orang lain”

“sekarang aku bukan orang lain hui-moi.” ujar Yo-taijin dengan senyum

“apa maksud taijin ?” tanya sian-hui dengan menatap heran. “hehehe…..aku suka denganmu hui-moi, dan kamu akan kujadikan selir terkasihku.” jawab Yo-taijin

“hihihi….taijin tidak sedang bercanda kan ?” sela Sian-hui, sesaat Yo-taijin terdiam dan kaget mendengar tawa datar dan melihat wajah yang luar biasa tenang itu, dengan nada sedikit di kuatkan Yo-taijin menjawab “tidak sayang ! aku tidak bercanda, dan sejak hari ini kamu akan tinggal disini bersama saya.”

“hihihi…luar biasa cara taijin untuk meraih keinginan taijin, dan taijin salah jika memaksakan kehendak padaku.” ujar Sian-hui masih dengan santai dan tenang, Yo-taijin memaksa senyum walaupun hatinya tergetar melihat ketenangan Sian-hui.

“saya minta kepadamu untuk ikut apa kata saya, karena kalau tidak akan merugikan dirimu sendiri.” kata Yo-taijin benrnada mengancam

“apa yang hendak taijin lakukan, jika saya menolak ?”

“Hui-moi, kamu jangan mengira bahwa aku ini tidak sanggup memaksamu.”

“maaf taijin, pembicaraan ini sudah tidak berguna.” sahut sian- hui sambil berdiri dan melangkah ke arah pintu.

“kamu hendak kemana !?” bentak Yo-taijin dengan lompatan ringan menghalangi langkah Sian-hui yang menuju pintu.

Sian-hui mengibaskan tangannya, dan tak pelak Yo-taijin limbung kesamping dan terlempar empat tindak

“brak….” Han-sian-hui memukul pintu hingga daun pintu melayang menghantam patung singa-singaan diruang tengah, Yo-taijin dengan sigap memukul dan serangkum hawa sakti meluncur, namun Sian-hui sudah berkelit dan melayang ke ruang tengah, pukulan itu luput menjebol dinding kamar, suara hangar bingar mengundang para pengawal untuk melihat apa yang terjadi

“tangkap gadis itu ciangbun !” teriak Yo-taijin, dan tanpa pikir panjang ciangbun dan empat orang lainnya mengurung dan menyerang Sian-hui. Han-sian-hui dengan sikap tenang menyambut empat serangan yang datangnya beruntun, dan dalam empat gebrakan ciangbun dan empat orang terjungkal ambruk mencium tanah

“kuperingatkan padamu taijin untuk tidak menggangu saya !” ancam Sian-hui, Yo-taijin terbelalak, melihat lima orang anak buahnya yang merupakan pengawal pilihannya tidak berkutik, lima orang itu jika ia sendiri yang menghadapi setidaknya setengah hari baru ia meraih kemenangan, ia terpukau dengan ucapan Sian-hui yang bernada tenang itu, namun hasrat untuk mendapatkan Sian-hui lebih sangat kuat, sehingga menutup pikiran jernihnya, lalu ia melompat menyerang Sian-hui, Yo-taijin memang seorang ahli silat kelas tinggi, kali ini ia mengerahkan semua kekuatanya dengan konsentrasi penuh.

Han-sin-hui meladeninya dengan gesit, serangan Yo-taijin sangat gencar dan tangkas, namun lawannya ini adalah wanita gembelengan yang kosen, gin-kangnya yang luar biasa membuat Yo-taijin kelabakan dan bingung, tapi ia berusaha untuk terus menyerang sian-hui, tiga puluh jurus kemudian, Han- sian-hui tidak lagi memberi hati pada kepala daerah yang ngotot ini

“plak..augh..buk…buk…” tamparan keras mematahkan pundak Yo-taijin, dan dua pukulan beruntun menghantam lambung dan dan dadanya, Yo-taijin terlempar kebelakang sambil muntah darah, Yo-taijin ambruk pingsan.

Semua penghuni rumah dan para pengawal terdiam dengan hati kecut, Han-sian-hui mendekat pada zhang-ciangbun yang berdiri pucat

“zhang-ciangbun cepat kembalikan belanjaan saya !” bentak Sian-hui

“ba…..baik lihap.” sahut zhang-ciangbun sambil keluar diikuti oleh Sian-hui, Zhang-ciangbun menyerahkan kembali belanjaan Sian-hui, Sian-hui menerima kembali belanjaannya dan dengan langkah tenang ia meninggalkan kediaman Yo-kungcu dilepas pandangan takjub para pengawal.

Tiga hari kemudian kejadian tersebar keluar dinding kediaman kungcu, warga jadi heboh, ada yang merasa senang tapi ada juga yang merasa kasihan pada kungcu mereka, dan dua minggu kemudian Han-sian-hui kembali kekota untuk belanja, kedatangannya menimbulkan rasa takjub warga, orang-orang yang nongkrong di warung dan kedai membicarakan gadis menawan yang sakti itu.

“kongciak-kok-bi-siucai…!” terdengar seruan menghentak suara hiruk pikuk di pasar yang ramai itu, tiga orang lelaki tua mengurung Han-sian-hui, sian-hui menatap tiga orang tua itu heran, tiga kakek itu adalah kalangan ahli silat tinggi, baru tujuh tahun terakhir ini ketiganya muncul diwilayah utara, awalnya ketiga kakek ini adalah pertapa di lembah awan di wilayah singkiang, di wilayah singkiang mereka sangat terkenal dengan julukan in-kok-sam-lohap (tiga pertapa dari lembah awan), yang pertama bertubuh jangkung kurus dan bermata besar dipanggil hong-lohap (pertapa angin), dan yang kedua berbadan ceking pendek dengan rambut putih riap-riapan di juluki sui-lohap (pertapa air) dan yang ketiga berbadan kurus dengan kulit hitam di juluki ho-lohap (pertapa api) Tujuh tahun yang lalu, perantauan tiga pertapa ini sampai dikota Beijing, dan dua tahun kemudian mereka bertemu dengan Yo- taijin, Yo-taijin yang suka dengan ilmu silat menarik mereka menjadi guru, ketiga kakek ini menikmati hidup senang di pavilion milik Yo-taijin di kota jiangjun kota kecil sebelah utara kota tianjin, selama lima tahun Yo-taijin digembeleng tiga kakek luar biasa ini, sehingga ilmunya semakin meningkat, dan karena malunya ia dipecundangi Sian-hui, Yo-taijin mengutus dua pengawalnya untuk memanggil ketiga gurunya.

Tiga hari yang lalu mereka tiba dikota tianjin, dan mendapatkan murid mereka terbaring lemah

“siapa yang membuatmu hingga seperti ini Yo-beng !?” tanya hong-lohap

“kalau dipikir amat membuat penasaran suhu, dia hanya seorang gadis muda, tapi ilmunya luar biasa sekali suhu.”

“heh…kamu dikalahkan gadis muda !? itu memalukan sekali yo- beng !” sela ho-lohap marah

“samwi-suhu harus membalaskan sakit hatiku kepada gadis itu !” “hmh…siapa nama gadis itu dan dimana ia tinggal ?” tanya sui- lohap

“namanya Han-sian-hui, tapi warga kota ini saya dengar memanggilnya dengan kongciak-kok-bi-siucai (sastrawan cantik lembah merak), ia tinggal di lembah merak suhu.”

“bagaimana menurutmu hong-lohap !?” tanya sui-lohap kesal “ini harus dibalas, dan saya akan kelembah merak untuk menghajarnya.”

“bukan aku tidak percaya dengan kehebatan suhu, tapi sebaiknya samwi-suhu yang berangkat kesana.” ujar yo-taijin, ketiga kakek itu saling berpandangan

“kamu terlalu melebih-lebihkan lawanmu yo-beng !” sela ho- lohap tidak senang

“apa yang kukatakan ini benar suhu, kalau seorang sari suhu menghadapinya, aku tidak yakin, tapi kalau samwi suhu menghadapinya aku baru yakin dendamku dapat terbalas.” “sudah kalau memang demikian keinginan yo-beng, kita ikut saja, tapi sebaiknya kita menyatroni lembah merak setelah kita cukup istirahat.” sela sui-lohap, dua rekannya mengangguk.

Tiga hari kemudian, ma-ciangbun melapor bahwa kongciak-bi- siucai memasuki kota, dan tiga kakek itu segera keluar dan menuju pasar bersama ma-ciangbun.

“itulah gadis itu samwi-cianpwe, gadis yang memakai baju warna hijau dan bersal putih.” ujar ma-ciangbun, lalu dengan sigap ho- lohap menyeru sambil melompat dan diikuti dua rekannya.

“ada apa samwi-cianpwe, siapa yang kalian panggil tadi ?” tanya sian-hui tenang dan lembut

“kamulah yang kami maksud !” bentak Ho-lohap yang berkulit hitam

“oh begitu, lalu ada apa cianpwe ? apa yang bisa saya bantu ?” tanya Han-sian-hui tetap tenang

“sial..! kamu telah membuat malu murid kami dengan menolaknya dan bahkan mencelakakannya.” umpat Ho-kohap, Han-sian-hui menatap tiga kakek itu bergantian, lalu bertanya “siapakah murid sam-wi-cianpwe ?”

“Yo-taijin adalah murid kami, dan kau harus menerima balasan perbuatanmu !” jawab Ho-lohap dengan nada mengancam, mendengar bahwa ketiga kakek ini adalah guru Yo-taijin, Han- sian-hui tersenyum lembut dan berkata

“o… ternyata Yo-taijin yang aniaya itu, lalu samwi hendak menuntut balas begitu ?”

“benar…. dan rasakanlah ini !” sahut Ho-lohap sambil memukul dengan sin-kang, Han-sian-hui memapaki pukulan itu dengan pukulan sakti

“dhuar….” suara keras itu membuat warga yang sedang termanggu melihat perdebataan itu terkekjut, mereka berserakan lari menjauh.

Pertempuran hebat pun berlangsung, dua kakek yang lain bersedekap menonton pertarungan rekan mereka melawan gadis muda yang membuat malu murid mereka, serangan Ho- lohap diakui sangat ganas dan cepat, Han-sian-hui mengerahkan ilmu “tee-tong-pak-sian (dewa utara menggetar bumi) pertandingan ditengah pasar raya itu menyita perhatian semua orang, Han-sian-hui harus mengakui bahwa gin-kang ho- lohap seimbang dengan yang ia miliki, hanya dalam sin-kang sian-hui masih berada diatas Ho-lohap, setelah berjalan delapan puluh jurus Han-sian-hui memainkan kipasnya dalam rangkaian jurus “kwi-hut-san-sian” (dewa kipas penakluk iblis) dan dalam dua puluh jurus Ho-lohap mulai kelimpungan dan terdesak, Ho- lohap melompat menjauhkan diri dengan hati kecut tidak menyangka bahwa ilmu kipas gadis itu membuat dia kewalahan.

Setelah mengambil nafas Ho-lohap kembali menyerang dengan cambuknya, suara lecutan mengaung mengiriskan menyerang bagian-bagian berbahaya ditubuh Han-sian-hui, namun ujung cambuk selalu mental di hadang kibasan kipas Han-sian-hui, dan kadang bahkan berbalik menyerang Ho-lohap, sehingga ia jadi kerepotan sendiri, dan pada jurus ke lima puluh ujung cambuk ho-lohap mental dan berbalik arah dengan kecepatan tinggi menyerang ke arah mata Ho-lohap, hal ini membuat Ho- lohap kaget dan dengan cepat ia melengkungkan badan kebelakang sehingga perutnya sejajar, dan kedudukan yang darurat itu dimamfaatkan baik oleh Han-sian-hui, gulungan kipas yang laksana kilatan halilintar menggulung pertahanan ho-lohap, sehingga membuat dua rekannya tercengang dan melompat menyelamatkan ho-lohap terdesak,

Ho-lohap tidak jadi tumbang berkat kedua rekannya memasuki pertempuran untuk membantu rekannya, serangan Han-sian-hui terpecah, sehingga tidak lagi menekan Ho-lohap, dua kakek itu merangsak membangun serangan, sepuluh jurus Han-sian-hui tidak mampu untuk menyerang karena harus mempertahankan diri dari tekanan dua kakek luar biasa itu, dan untuk mengatasi keadaan kali ini Han-sian-hui menggabung ilmu kipasnya dengan moupit ditangan kiri, jurus “in-hua-bun-pit” (pena sastra melukis mega), dua kakek lawannya merasakan daya serang yang kuat dari balik pertahanan kokoh luar biasa, keduanya semakin gemas karena sampai sekian lama mereka belum dapat memberikan desakan berarti pada gadis yang masih muda ini.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar