Sastrawan Cantik Lembah Merak Jilid 1

Jilid 1

Hutan bagian selatan lembah merak laksana diterpa badai hebat, tanah bergetar seiring suara hingar bingar menggelegar, tiga sosok bayangan bergerak gesit, tubuh mereka hanya merupakan bayangan kilat yang saling menyambar diantara pepohonan dalam hutan yang nyaris gundul karena banyak yang sudah tumbang akibat pukulan dan hantaman ketiga

bayangan yang terlibat pertarungan hebat, suara teriakan dan hentakan mereka sahut menyahut membuat tempat itu riuh rendah, seorang wanita tua dari bukit lembah menyaksikan dengan mata terkagum-kagum menyaksikan aksi dari tiga sosok yang hanya berupa bayangan tersebut, kadang ia mengerjapkan matanya karena silau dan perih, sambil tersenyum akhirnya ia kembali masuk kedalam rumah megah yang berdiri di tengah bukit itu, sementara tiga sosok itu masih berkutat dengan aksi meraka yang dahsyat.

Saat senja datang dan syafak merah menghias dilangit, dan suasana tempat itu redup temaram, tiga sosok yang tadi berkutat di bagian lembah, kini meluncur berkelabat menuju arah bukit, hanya dengan tiga lompatan mereka sama mendarat dengan ringan di lapangan luas dibelakang bangunan megah ditengah bukit, hal itu menunjukkan betapa tingginya tingkat ginkang ketiga orang itu.

“liang-te dan liong-te, setelah makan malam kita berkumpul diruang tengah !” kata lelaki paruh baya berwajah tampan namun sayang dia buta karena kedua biji matanya sudah tidak ada

“baik…ong-ko !” sahut keduanya bersamaan, lalu ketiganya masuk kedalam rumah dan menuju kamar masing-masing, orang termuda dari tiga lelaki itu hendak masuk kedalam kamarnya, wanita tua yang tadi menonton dari atas bukit keluar dari rdalam dapur, dengan seulas senyum ia bertanya

“apakah latihannya sudah selesai liong-ji !?”

Pemuda yang sudah membuka daun pintu kamarnya menoleh “sudah ibu! sekarang aku hendak mandi, oh ya! sepertinya ong- ko akan membicarakan sesuatu setelah makan malam.”

“oh..kalau begitu segeralah pergi mandi.” ujar wanita itu sambil membalik badan melangkah kembali kedalam dapur untuk memerintahkan dua pelayan segera menyiapkan makan malam.

Penghuni lembah merak itu tentunya sudah kita kenal, yang pertama adalah Li-cing atau yang dijuluki “siang-mou-bi-kwi” (iblis cantik berambut harum), wanita tua berumur enam puluh tahun, walaupun ia sudah berumur, namun kecantikannya masih nyata, yang kedua adalah Han-kwi-ong berjulukan iblis buta, umurnya kini sudah empat puluh delapan tahun, kemudian Han- ok-liang berumur empat puluh enam tahun, sedangkan yang keempat adalah Han-bun-liong berumur dua puluh empat tahun, ia adalah putra dari li-cing, sebagimana pada cerita sebelumnya (warisan berdarah) suhu mereka tan-kui atau ang-gan-kwi tewas ditangan “siuaw-taihap”, dan karenanya meraka berazam dalam hati untuk mematangkan sin-kang dan gin-kang yang diajarkan suhu mereka, sebelum membalaskan dendam pada siuaw- taihap, siauw-taihap adalah saudara se ayah mereka, namun walaupun demikian mereka tidak akur dan siauw-taihap memang berseberangan dengan aliran mereka.

Setelah makan malam penghuni lembah merak itu berkumpul diruang tengan dan mereka duduk mengitari meja berbentuk bundar, Li-cing yang duduk diujung meja menatap Han-kwi-ong dan bertanya memulai pembicraan

“saya dengar kamu hendak membicarakan sesuatu, apa yang hendak kamu bicarakan kwi-ong !?”

Han-kwi-ong yang buta menolehkan kepala ke arah li-cing dan menarik nafas dalam, lalu berkata

“aku hendak membicarakan tantangan liong-te pada fei-lun tiga tahun yang lalu.” Li-cing menatap anaknya sejenak

“tapi siuaw-taihap tidak menjawab tantangan itu kwi-ong.” sela Li-cing mengingatkan

“benar ! tapi walaupun ia tidak menjawab, kita tidak perlu tahu apa jawabannya, karena sudah menjadi misi kita untuk melenyapkannya dari muka bumi ini.” sahut kwi-ong dengan nada tegas.

“kalau begitu, apa dan bagaimana rencana ong-ko !?” sela ok- liang, Kwi-ong menoleh ke arah Ok-liang

“hmh….sesuai pesan susiok, bahwa setelah lima tahun kita menyempurnakan ilmu, maka kita tidak perlu khawatir lagi akan kalah dari Fei-lun, maka sudah saatnya tujuan awal dari kesepakatan pertemuan para cianpwe lima tahun yang lalu kita wujudkan, dan kita harus melaksanakannya.” “benar..lalu apakah kita akan langsung kekaifeng dan menempurnya !?” sela Bun-liong

“ya..! sebagaimana saya katakan tadi, bahwa dengan keadaan kita sekarang, tidak ada yang mesti kita khawatirkan, sin-kang dan gin-kang seorang diantara kita seimbang dengannya, dan kita memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dari fei-lun, bukankah demikian menurut kalian?”

Sesaat mereka hening dalam pikiran masing-masing, lalu kemudian Li-cing berkata

“demikianlah memang menurut perkiraan Kui-ko.” “maksudmu bagaimana siang-mou!?” tanya Han-kwi-ong

“maksudku adalah, perkiraan itu tiga tahun yang lalu, dan saya sebenarnya ragu dengan perkiraan itu” dengan kening berkerenyit Kwi-ong dan Ok-liang menoleh pada Li-cing tapi dia tidak berkata apa-apa

“bagaimana kamu bisa ragu bi-kwi ?” tanya Ok-liang heran “saya hanya memperkirakan dengan melihatnya saja Ok-liang, namun Liong-ji lah yang langsung berhadapan dengan siauw- taihap saat itu, bagaimana menurutmu Liong-ji !?” tanya Li-cing dan ketiga orang itu menatap Bun-liong

“apa yang dikatakan ibu memang benar Ong-ko dan Liang-ko ! tiga tahun lalu aku menghadapi sebuah ilmunya yang luar biasa, sebuah ilmu “su-hoat” (ilmu melukis huruf) yang luar biasa, hinga aku kalah dalam sepuluh jurus.” sahut Bun-liong

“sepuluh jurus !?” seru ok-liang dan kwi-ong bersamaan dengan hati terkejut, Ok-liang mengepal tinjunya seakan tidak percaya “benar ong-ko, demikianlah memang kenyataannya.” ujar Bun- liong, sesaat mereka semua terdiam dengan pikiran masing- masing, lalu Kwi-ong menoleh pada Li-cing, ia menghela nafas dan berkata

“hmh….kalau begitu bagaimana menurutmu bi-kwi ?” Li-cing tidak langsung menjawab, namun ia berpikir sejenak sambil menatap tiga laki-laki dihadapannya yang tergolong anak baginya

“berhadapan dengan siauw-taihap sudah merupakan momok bagi golongan kita, kita sudah bersatu padu menghadapinya, namun kita tetap terbentur, saya sudah sering mendengar bagimana golongan kita mengeroyoknya, namun sampai saat ini belum juga berhasil.”

“jadi apakah kita tidak punya cara lain ibu ?” sela Han-bun-liong dengan rasa penasaran

“hmh….sendirian kita jelas kalah, mengeroyok juga sepertinya kita kalah, tapi jika melihat keadaan kalian memang patut dicoba, mungkin saja kali ini berhasil.”

“benar ! dan akan sia-sialah usaha kita selama lima tahun ini, jika kita tidak berani mencobanya.” ujar Kwi-ong dengan nada geram

“aku juga sependapat, dan sebaiknya kita cari Fei-lun dan mengajaknya bertarung habis-habisan.” sela Ok-liang penuh rasa emosi

“tapi menurutku kalau kita terus terang menantangnya, aku cenderung merasa ia tidak akan mau, Liang-ko”

“apa yang kamu katakan itu, ada juga benarnya liong-ji, karena dilihat dari sikapnya tiga tahun lalu yang tidak menggubris tantanganmu, dan jika langsung kekaifeng, kalian tidak akan bisa mengeroyoknya, karena keluarganya yang juga pewaris ilmunya tidak akan membiarkan itu terjadi.” sela Li-cing

“lalu bagaimana baiknya bi-kwi ?” tanya Kwi-ong, mereka kemudian terdiam cukup lama sambil memeras pemikiran, lalu Li-cing berkata

“bagaimana kalau kita memaksa dengan memancingnya.” “maksudmu bagaimana bi-kwi ?” sela kwi-ong dan ok-liang bersamaan

“maksudnya begini kwi-ong, kalian culiklah ayah kalian, dan usahakan supaya siauw-taihap dengar berita itu, dengan demikian ia pasti keluar untuk mencari, dan saat itu kalian akan ada peluang mengeroyoknya tanpa bantuan murid-muridnya” “apakah ia akan mau perduli bi-kwi ? kamu harus ingat ! bahwa baik kami bertiga maupun fei-lun sendiri, anak yang diketahui setelah dewasa.” sela Kwi-ong

“benar memang begitu, tapi kalian bukan siauw-taihap, rasa baktinya akan mengalahkan rasa kecil hatinya pada yaoyan- taihap, bagimanapun tidak bertanggung jawabnya ayah kalian, siauw-taihap pasti membela.” jawab Li-cing dengan tandas dan rasa percaya

“tapi kalau kita yang menculiknya, tentunya dia tidak akan was- was, karena bagaimanapun dia akan yakin, kita tidak akan mencelakakan ayah.” sela ok-liang.

“yang menculik adalah kalian, tapi namanya bukan kalian, banyak anggota kita yang bisa kita pakai namanya.”

“kalau hanya untuk memancingnya keluar, kenapa harus serumit itu ibu, kita sebar saja momok disatu tempat, dia akan datang.” “belum tentu Liong-ji, dia bisa saja mengutus murid-muridnya.” “kalau begitu, liong-te saja yang menculiknya.” sela ok-liang “benar, karena liong-te belum dikenal oleh ayah, jadi kita tidak perlu memakai nama orang.” tambah kwi-ong

“demikian juga baik.” sahut Li-cing

“jika aku sudah menculiknya, apakah ayah akan dibawa kesini ?” “tidak, tapi bawalah ke kui-san (gunung siluman), tempat pertapaan suhu kalian.”

“baik kalau begitu, dan kapan aku akan berangkat ?” “besok kamu berangkatlah Liong-te.” sela Kwi-ong “benar, dan ibu juga akan duluan ke kui-san.”

“lalu bagaimana dengan ong-ko sendiri ?” tanya Ok-liang “apanya yang bagaimana Liang-te ?”

“Liong-te akan pergi, bi-kwi juga akan pergi ke kui-san, dan menurutku aku sendiri akan kembali ke shinyang dan menanti kabar dari Liong-te, bukankah sebaiknya Ong-ko kembali ke huangsan ?”

“benar juga apa yang ok-liang katakan, dan tempat ini tidak kita butuhkan lagi.” sela Li-cing

“tidak, aku akan tetap tinggal disini sambil menunggu kabar dari Liong-te” jawab Kwi-ong tegas

“jika memang demikian keinginanmu, baiklah kalau begitu, dan sekarang sebaiknya kita istirahat !” ujar Li-cing, lalu kemudian mereka pun menuju kamar masing-masing.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Han-bun-liong mengemasi barang perbekalannya, lalu setelah sarapan pagi, ia pamit pada ibu dan kedua saudaranya, dengan langkah ringan dan mantap Han-bun-liong menuruni bukit meninggalkan lembah merak, larinya sangat cepat melintasi dataran yang banyak ditumbuhi bunga seruni yang berbaur dengan ilalang setinggi lutut, hatinya demikian gembira, karena baru kali ini ia turun gunung dan mengadakan perjalanan panjang sendirian, dan setelah lewat siang hari, ia sudah memasuki kota Tian-jin.

Dengan wajah berseri-seri pemuda tampan itu memasuki likoan yang tidak seberapa banyak pengunjungnya, seorang pelayan tua menghampirinya dengan sedikit membungkuk dan seulas senyum ramah

“silahkan kongcu, kongcu mau pesan apa ? kami banyak menyediakan masakan-masakan yang lezat.”

“hidangkan saja makanan dengan lauk terlejat kedai kalian ini !” “baik kongcu, dan bersabarlah sebentar, saya akan menghidangkan menu istimewa untuk kongcu.” sahut pelayan itu sambil membalik badan.

Han-bun-liong meletakkan buntalannya dan memperhatikan seluruh ruangan, ada enam meja yang terisi, salah satunya meja dibagian sisi tangga, yakni seorang lelaki paruh baya sedang makan dengan seorang gadis cantik, dari pembicaraan keduanya, Han-bun-liong mengetahui bahwa keduanya adalah ayah dan anak, sesaat mata wanita yang bening itu beradu pandang dengan Han-bun-liong, wanita itu segera menundukkan pandangan sambil menyumpit makanannya, mata Han-bun-liong tidak lepas menatap lekat pada wanita itu, wanita itu semakin kikuk saja dipandangi tajam seperti itu, dan ketika pelayan tua itu datang menghidangkan makanan, maka pandangan Han-bun- liong teralihkan. Han-bun-liong mulai menyumpit makanan didepannya, dan kadang matanya mengerling kearah wanita itu, dalam hati wanita itu terbit juga rasa hangat walaupun lebih cendrung pada rasa kikuk, betapa tidak wajah Han-bun-liong juga sangat enak dipandang, sehingga menimbulkan rasa simpatik dan debaran dalam hatinya, sang ayah yang duduk didepannya merasa heran melihat sikap janggal dari putrinya

“kamu kenapa Bian-ji !?” sela ayahnya, wanita terkejut mendengar teguran ayahnya, dia langsung tertunduk dan mukanya bersemu merah

“ah..ti..tidak apa-apa ayah.” sahutnya sambil menyumpit ikan goreng dan meletakkannya kedalam mangkok nasinya “kalau tidak apa-apa, cepatlah selesaikan makanmu, ayah hendak menemui kasir untuk memesan kamar.”

“baik ayah…”

“kita menginap saja semalam, dan besok kita melanjutkan perjalanan ” lanjut ayahnya, gadis itu hanya mengangguk, lalu ayahnya berdiri dan melangkah menuju kasir, wanita bernama Tan-Bian itu mempercepat makannya, dan berusaha mengalihkan pikirannya dari wajah tampan Han-bun-liong.

Han-bun-liong dengan santai mengunyah makanannya, dan sesekali melirik wanita bermata bening yang menarik hatinya, Tan-Lui dan putrinya adalah tukang akrobat jalanan, dengan mengadakan atraksi silat ditengah pasar, mereka mendapat sumbangan dari orang-orang yang takjub dan terhibur, mereka masuk kota dan keluar kota untuk melakukan atraksi hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka, awalnya Tan-Lui adalah pengawal piuawkiok, namun setelah piuwkiok tempatnya bekerja mengalami bangkrut, maka Tan-Lui beralih profesi untuk memenuhi kebutuhannya dan anak semata wayangnya.

Setelah berbicra dengan kasir, Tan-lui dan putrinya naik ke atas diantar seorang pelayan, dan diikuti pandangan Han-bun-liong, dari sudut matanya Tan-bian melirik pemuda tampan yang tidak jemu-jemu memandangnya, bibirnya tersenyum menunduk sambil melangkah dibelakang ayahnya, sesampai didalam kamar Tan-Bian merebahkan badan, wajah Han-bun-liong menari-nari dipelupuk matanya, hatinya kian berdebar mengingat tatapan tajam yang menggelisahkan hatinya

“matanya itu ceriwis sekali ! hmh…mungkinkah ia tertarik padaku

?” pikir Tan-bian

“kamu pergilah mandi bian-ji, sebentar lagi hari akan sore.” ujar ayahnya dan membuyarkan lamunannya

“baiklah ayah.” sahut Tan-bian sambil bangkit dari ranjang, ia kemudian masuk kamar kecil yang ada disudut ruangan atas, setelah beberapa lama ia keluar dengan pakaian yang sudah berganti, wajahnya segar dan tubuhnya harum, ia kembali kedalam kamar, lalu merias muka dan menyisir rambutnya yang tergerai panjang

“ayah…aku boleh keluar untuk jalan-jalan sebentar ?” tanyanya sambil menyanggul rambutnya

“boleh, tapi hati-hati, dan kembali sebelum malam tiba.” Jawab Tan-lui

“baik ayah, aku hanya sebentar saja.” Sahut Tan-bian dengan wajah senang, lalu ia segera keluar dan menuruni tangga, matanya mengerling ke arah meja dimana han-bun-liong tadi duduk, namun Han-bun-liong sudah tidak disitu lagi, wajahnya sedikit kecewa, dan ia terus melangkah keluar likoan, dan terus melangkah menyusuri jalan menuju taman kota.

Jalanan arah taman kota itu ramai oleh para pemuda dan gadis yang hendak menikmati indahnya taman kota saat sore hari, ada yang duduk santai dan ada yang sedang berjalan-jalan mengitari kolam, Ketika Tan-bian menuju jembatan ditengah taman, hatinya berdenyar kembali, karena ia melihat han-bun-liong sedang berdiri di pinggir jembatan dan bahkan sedang menatap kedatangannya, sesaat ia terdiam dan bingung hendak berbuat apa, Han-bun-liong melangkah dan menghampirinya, hati Tan- bian makin berdebar

“nona ! apakah sedang menikmati indahnya taman kota ?” “be..benar kongcu.” jawab Tan-bian gugup dan merasa jengah sambil meremas tangannya sendiri

“kebetulan kalau begitu, saya juga sedang jalan-jalan sambil menikmati indahnya kota tianjin, jadi bolehkan kita saling jalan bersama menyusri taman kota yang indah ini ?”

“oh…eh ta..tapi kita belum saling kenal.” sahut Tan-bian makin gugup

“hehehe..benar, aku adalah Bun-liong, dan siapakah namamu nona ?”

“namaku Bian, Tan-bian.” jawabnya dengan hati makin berdebar, sesaat keduanya diam terpaku dan Tan-bian makin menunduk karena gugup dan malu

“marilah Bian-moi, kita menyusuri jalan diseputar taman ini.” ajak Bun-liong dengan senyum ramah, Tan-bian mengangkat wajahnya dan melihat senyum Bun-liong dan ia pun tersenyum dan mengangguk, keduanya pun mulai melangkah berjalan dengan sedikit kikuk, tapi tidak lama kemudian gerak langkah itu makin ringan dan santai mengayun

“darimanakah asalmu Liong-twako ?” tanya Tan-bian membaranikan diri bertanya

“sebenarnya boleh dikatakan aku dari kota ini, hanya saja aku tinggal di luar tidak jauh dari gerbang kota, dan kamu nona darimanakah, dan apa yang kamu kerjakan bersama ayahmu disini ?”

“saya dari kota qingdao, ayah dan saya bekerja sebagai tukang akrobat jalanan untuk memenuhi kebutuhan”

“jadi kamu seorang ahli silat kalau begitu.”

“ahli sih tidak, saya tentu tidak sebanding dengan Liong-twako.” “eh….kenapa kamu katakan begitu, bian-moi ?”

“bukankah Liong-twako seorang pendekar kenamaan, pedang twako yang menempel dipunggung luar biasa gagahnya.”

“hehehe…aku bukan pendekar yang punya nama terkenal, Bian- moi”

“hish…,twako pasti merendah, iya kan ?” “hehehe..tidak..aku berkata yang sebenarnya.”

“ah..aku tidak percaya, pedang twako saja demikian gagah,

tentunya twako memilki ilmu pedang yang hebat dan luar biasa.” “hehehe…baik….itu ada panggung tempat duduk, kita kesana yuk.” ajak han-bun-liong, Tan-bian mengangguk, lalu melangkah menuju balai-balai tempat duduk, keduanya pun duduk di atas panggung sambil menikmati hembusan semilir angin sore yang sejuk.

Pembicaraan mereka demikian akrab dan kadang mereka tertawa dan tersenyum, hati Tan-bian semakin mabuk kepayang atas ketampanan dan keramahan han-bun-liong “Liong-twako, sebentar lagi malam, kita pulang yah ?”

“oh…baik, marilah saya antar ketempat penginapanmu.” “apa tidak merepotkanmu twako ?”

“hehe, tentu tidak, berjalan disamping gadis secantik kamu, bagaimana bisa repot.”

“ah..twako bisa saja.” sahut tan-bian dengan hati mekar berbunga mendengar pujian lelaki yang penuh daya tarik ini. keduanya lalu berdiri dan berjalan

“berapa lamakah bian-moi berada dikota ini ?” “besok saya dan ayah akan melanjutkan perjalanan.” “hendak kemakah tujuan selanjutnya ?”

“mungkin menuju kota shijajuang, ada apa, kenapa twako menanyakannya ?”

“pertemuan ini terasa singkat, karena besok kita akan berpisah.” Tan-bian berhenti menatap lekat wajah tampan didepannya, hatinya berdebar

“katakanlah twako, apa yang harusnya kita lakukan ?” ujar Tan- bian dengan nada suara bergetar dan hati yang berdegup kencang

“hehehe..tidak, tidak ada yang harus kita lakukan, bukankah sudah biasa bertemu lalu berpisah ?” sahut Han-bun-liong tawar, Tan-bian bingung dan sedikit kecewa mendengar nada suara yang bernada tawar itu, namun hatinya yang terbetot sudah kepalang basah, lalu dengan suara lembut penuh perasaan ia berkata

“ta…tapi twako, hati bergetar dan serasa tidak rela dengan apa yang akan terjadi besok.” “benarkah bian-moi.. ? sungguh aku juga merasakan hal yang sama” sahut Han-bun-liong dengan senyum, Tan-bian senyum dengan hati bergetar dan pandangan berbinar

“benarkah liong-ko, apakah liong-ko merasa seperti apa yang kurasakan ?”

“bagaimana perasaanmu bian-moi ?” bun-liong balik bertanya dengan nada bergetar

“apa maksud liong-twako !? apakah harus aku duluan mengutarakan isi hatiku ?” tanya Tan-bian dengan perasaan pahit

“pertemuan singkat ini, tentunya tidak berarti bagimu, bukan ?” tanya Han-bun-liong sehingga membuat Tan-bian penasaran dan bingung

“twako…apa yang kamu katakan ini, aku..aku tidak mengerti, kenapa twako menggantung apa yang hendak kau katakan ?”

“hmh…aku takut menyatakan apa yang kurasakan, karena bagaimanapun kita akan berpisah, bian-moi”

“ah..twako, jika hal itu yang membuatmu takut, aku bisa membujuk ayah, untuk tinggal disini.” sahut Tan-bian tandas tidak lagi memikirkan rasa malu yang menderanya karena duluan menyatakan isi hatinya pada seorang lelaki

“tidak demikian bian-moi, aku juga hendak pergi dari kota ini, tapi jika memang bian-moi punya keberanian untuk ikut denganku, hatiku akan senang sekali.” mendengar itu Tan-bian terheyak sesaat

“hendak kemanakah tujuan liong-twako ?” tanya Tan-bian tabah “aku hendak berkelana cari pengalaman, bian-moi”

“kalau begitu, liong-twako dapat ikut dengan kami.” “ah…itu akan membuatku riskan pada ayahmu.”

“twako, cintakah engkau kepadaku ?” tanya Tan-bian tandas

“cinta aku tidak tahu, tapi aku suka padamu, sudahlah ! memperpanjang pembicraan ini, rasanya menambah kalut pikiranku, dan sebaiknya aku pergi saja bian-moi.” ujar han-bun- liong sambil berbalik meninggalkan halaman likoan, Tan-bian tercenung dan bingung akan sikap han-bun-liong yang sulit diraba, hatinya kecewa merasakan betapa han-bun-liong tidak sepenuhnya menginginkannya, terbukti dari sikapnya yang plin- plan.

Tan-bian masuk kedalam likoan dengan hati mengambang, bingung dan kecewa, kenapa Han-bun-liong bersikap demikian ? aneh dan janggal memang sikap tersebut, namun jika melihat latar belakang kehidupan han-bun-liong selama ini, sepintas mungkin dapat dimaklumi, Han-bun-liong adalah orang yang penuh dengan prinsip-prinsip menyimpang, dan juga ia tidak pernah keluar dari asuhan ibu dan suhunya, ditambah lagi dia diajari untuk selalu mengabaikan perasaan, jadi boleh dikatakan perasaan yang dialaminya saat melihat Tan-bian adalah sesuatu yang asing baginya.

Ia memiliki tugas penting yang harus dikerjakan, dan ketika ia keluar dari lembah merak, hatinya terpaut dengan gadis yang menawan hatinya, gejolak yang melibatkan perasaan itu menyalahi prinsip hidupnya, memaksakan kehendak pada orang lain adalah keharusan bagi perinsip hidupnya, namun sesuatu yang tulus dan suci menyergap hatinya, sehingga dia bingung harus bagaimana bersikap didepan Tan-bian. Malam itu han-bun-liong keluar dari kota tianjin, gerakannya yang gesit laksana kelelawar malam merambah rerimbunan hutan yang pekat, dan keesokan harinya Han-bun-liong sudah jauh meninggalkan kota Tianjin, tanpa beban ia terus melanjutkan perjalanan dengan berlari cepat tanpa kenal lelah, dan seminggu kemudian ia sampai di sebuah hutan yang lebat, dan ketika ia turun menuju arah sungai yang mengalir dalam hutan, ia melihat seorang perempuan sedang mandi, kontan Han-bun-liong menyelinap dibalik pohon, lalu ia mengintai dari balik pohon, matanya nanar dan merasakan getaran lain dalam hatinya, kemudian ia duduk lalu merayap dan bersembunyi dibalik semak yang tidak jauh dari pinggir sungai, dengan hati berdebar ia kembali mengintai lekuk-lekuk tubuh telanjang didepannya, dadanya makin sesak ketika wanita itu berdiri dan menghadap ke padanya, tubuh bagian depan wanita bertubuh indah itu terpampang jelas didepannya, tubuhnya menggigil, nafasnya sesak, dan helaan nafas tidak beraturan itu sudah membongkar keberadaannya, terbukti wanita itu terkejut dan membentak

“siapa itu ! keluar kamu bangsat !” Han-bun-liong berdiri dan dan anehnya ia bahkan melompat menerkam laksana sambaran kilat ke arah wanita itu, wanita itu terkejut dan hendak memukul, namun tangannya sudah ditangkap

“ih..augh….burrr…” wanita itu sudah dipeluk oleh han-bun-liong, dengan mulut monyong han-bun-liong menyosor wajah wanita itu

“eh..agh…ka..kamu kan murid Ang-gan-kwi !?” pekik wanita itu, mendengar itu Han-bun-liong berhenti mengendus tubuh telanjang wanita itu dan menatap lekat pada wajah cantik yang sudah berumur itu.

“kamu siapa, dan apakah kita pernah bertemu ?” tanya Han-bun- liong dengan nafas masih menggebu

“hihihi…..calon bengcu yang gagah, aku adalah in-sin-ciang, kita pernah bertemu di lembah bunga dan dilembah merak.” sahut wanita yang ternyata in-sin-ciang, Han-bun-liong terdiam dan mencoba mengingat , lalu berkata dengan pandangan berbinar dan senyum sumigrah

“kamu in-sin-ciang !? kamukan yang bersama Liang-ko waktu itu

?” melihat senyum Han-bun-liong wanita itu tersenyum “benar bun-liong, eh bengcu hihhihihi….” sahut in-sin-ciang dengan tawa genit

“ah..aku tidak tahu dan pangling melihat kamu telanjang, kamu luar biasa cantik memikat.” ujar han-bun-liong melepaskan pegangannya pada tangan wanita itu

“hihihi…sudah kamu jangan sungkan anak muda yang tampan, dekaplah aku balik dan sini sayang, tuntaskan apa yang menghentak hati dan tubuhnmu, kamu remas ini dan ini juga…” ujar in-sin-ciang menuntun tangan Han-bun-liong untuk meremas-remasnya, han-bun-liong makin terpancing dan terbakar, nafasnya makin sesak dan mendengus gemas, tawa cekikian serta gelinjangan tubuh in-sin-ciang makin mengelus- elus birahi pemuda dewasa tapi masih hijau itu, dengan pandainya wanita matang itu menggelitik hasrat Han-bun-liong, kemesuman itu berlangsung dikeheningan hutan yang yang remang, hanya kelepakan permukaan sungai yang terdengar seiring dengusan nafas dan jeritan kecil kedua manusia yang saling menghentak mendaki permainan yang semakin panas. Hampir seharian in-sin-ciang menikmati panasnya birahi Han- bun-liong yang laksana erupsi gunung merapi, dan ketika sore tiba, Han-bun-liong telentang lemah tidak bertenaga, entah sudah berapa kali ia mengalami hempasan orgasme, matanya nanar melihat wajah anggun in-sin-ciang yang tersenyum penuh kepuasan

“bagaimana rasanya Bun-liong ?” tanya in-sin-ciang manja “ah…kamu luar biasa, eh siapakah namamu in-sin-ciang ?” “hihihi..namaku coa-kim bun-liong.”

“ah….coa-kim luar biasa nikmat, kamu cantik sekali Coa-kim.” “hihihi….kamu juga sangat tampan Bun-liong, dan rejanganmu yang kalap membuat aku blingsatan keeanakan, tapi sekarang aku sangat lapar Bun-liong.”

“aku juga sangat lapar coa-kim.” sahut Bun-liong sambil bangkit dan duduk, Coa-kim ikut juga duduk dan berkata

“kalau begitu carilah buruan untuk kita makan !”

“oh..iya, tunggulah sebentar aku akan mencari binatang buruan.” sahut Han-bun-liong sambil berdiri dan melangkah kesemak dimana dia tadi mengintai, sebuah buntalan yang terletak dibalik semak dia buka, dan memakai baju ganti, kemudian ia berkelabat masuk lebih jauh kedalam hutan untuk mencari binatang buruan.

Tidak lama kemudian Han-bun-liong datang dengan membawa dua kelinci, dengan cekatan ia mengulitnya ditepi sungai, lalu api yang sudah disiapkan Coa-kim di orek sehingga baranya makin menyebar, lalu dua daging kelinci itu dibakar, Coa-kim yang sudah berdandan rapi tersenyum kepadanya

“hendak kemanakah kamu Bun-liong, kenapa engkau meninggalkan lembah merak ?”

“aku ada tugas yang harus diselesaikan, dan kamu sendiri Coa- kim, apa yang kamu lakukan selama ini ?”

“hmh…sejak kita bubar dari lembah merak, aku berkelana kemana saja langkah membawa, dan karena aku teringat dan rindu pada liang-ko, jadi aku hendak ke lembah merak menemuinya.”

“sebaiknya kamu tidak usah kelembah merak, karena liang-ko tidak akan disana.”

“kenapa ? apa kalian sudah meninggalkan lembah merak ?” “tidak semuanya, Ong-ko masih ada di sana.” jawab Bun-liong sambil membalik panggang kelinci, Coa-kim heran dan mendekat

“kenapa demikian, apakah kalian bertengkar ?”

“ah…tidak, kami tidak bertengkar, dan sebenarnya kami sedang menjalankan sebuah rencana, jadi hanya aku, ibu dan liang-ko yang meninggalkan lembah merak, memang sih kami nantinya juga akan meninggalkan lembah merak” Coa-kim makin tertarik dan penasaran

“apakah rencana kalian itu, tentunya aku boleh tahu kan sayang

!? jelas aku penasaran apa rencana sedemikian penting sehingga kalian keluar dan bahkan akan meninggalkan lembah merak”

Han-bun-liong terdiam sambil membolak balik panggang kelinci yang semakin lama semakin menebarkan aroma sedap menerbitkan selera, kemudia ia berkata

“apa yang dipelajari oleh Liang-ko dan Ong-ko sudah selesai, dan sudah tiba saatnya kami akan mewujudkan apa yang menjadi misi kita yang dulu tertunda.”

“ooh begitu, jadi kemanakah ibumu dan Liang-ko pergi ?” “ibuku pergi kekui-san, sementara Liang-ko pergi ke shinyang untuk kembali pada keluarganya.”

“eh…bukankah kalian hendak melaksanakan misi yang tertunda, tapi kenapa kalian berpisah ?” tanya Coa-kim heran

“kami tidak berpisah, dan semua ini adalah rangakian dari misi tersebut.”

“oh begitu.” Coa-kim mengangguk mengerti dan lalu bertanya “lalu kamu hendak pergi kemana Bun-liong ?”

“aku akan kekota bicu, dan kamu ikutlah denganku !” jawab Bun- liong sambil menatap wajah coa-kim dengan pandangan memohon, bagi wanita berumur empat puluh dua tahun itu, pandangan itu sangat dimengerti

“hihihi…..aku senang sekali jika ikut dalam misi ini Bun-liong, berjalan bersama denganmu atau Liang-ko sama saja bagiku.” sahut coa-kim dengan kerling mata manja, Bun-liong tersenyum melihat kerlingan yang penuh daya pikat itu

“baguslah kalau begitu, perjalanan kita akan lancar, karena engkau tentunya lebih tahu letak kota bicu.”

“dan juga banyak tahu tempat-tempat yang indah dan romantis, hihihihi…”

“hehehehe….kamu membuatku gemas Coa-kim.” Han-bun-liong menarik tangan Coa-kim hingga tubuh Coa-kim jatuh kepelukan Han-bun-liong

“eh..kayaknya sudah matang, marilah kita makan, aku sudah tidak tahan lagi.” ujar Coa-kim sambil meremas bawah perut han-bun-liong, han-bun-liong menggelinjang dan dengan senyum ia memperbaiki duduknya yang tadi sempat oleng karena beban tubuh Coa-kim

“ya…marilah..” sahut han-bun-liong sambil mengangkat daging bakar dari atas bara api, lalu dengan nikmat mereka menyantap daging bakar sambil senyam senyum dan bercanda nakal, kadang Coa-kim yang duduk dipangkuan Han-bun-liong menggelinjang dan memekik manja karena ulah nakal Han-bun- liong

Malam itu mereka tidur berpelukan ditepi sungai untuk melewatkan malam, sesekali tawa nakal dan jeritan genit menggema ditengah hutan yang hanya diterangi oleh api unggun, hari itu Han-bun-liong mendapat pelajaran baru tentang gejolak yang ia rasakan, hubungan badan pertama yang ia rasakan merupakan pondasi pemahamannya tentang rasa suka pada lawan jenisnya, dan dengan apik selama perjalanan itu ia dipandu baik oleh ahlinya.

Komplek rumah Han-hung-fei seperti biasanya ramai oleh para piauwsu yang bekerja, siang itu sebuah rombongan baru saja tiba dari kota lokyang, para piuawsu yang baru saja tiba istirahat di pesanggerahan besar yang memang disediakan didalam komplek, pimpinan rombongan yang bernama Kao-huan memasuki kantor untuk melapor pada ketua yakni Han-bu-jit, Han-bu-jit yang sudah berumur empat puluh tahun sedang duduk sambil menghitung keuangan dengan sempoa, dia menghentikan pekerjaannya ketika melihat Kao-huan masuk ke ruangannya

“selamat siang pangcu !” sapa kao-huan sambil membungkuk “selamat siang, duduklah ! bagaimana perjalanan kalian ?” sahut Han-bu-jit

“perjalanan rombongan lancar dan tidak ada aral melintang, pangcu” sahut Kao-huan sambil duduk dan lalu menyodorkan sebuah kertas pada Han-bu-jit “dan ini catatan barang yang kami bawa dari kota lokyang.”

Han-bu-jit menerima catatan tersebut, dan sesaat ia membaca dan membolak balik catatan tersebut, lalu kemudian Kao-huan menyerahkan empat kantong pundi uang kepada Han-bu-jit, Han-bu-jit kemudian menyimpan pundi uang tersebut lalu berkata

“baik, sekarang pergilah istirahat dan sampaikan pada Bu-wan untuk mengantarkan barang-barang tersebut ke alamat masing- masing.”

“baik pangcu !” sahut kao-huan dan dia pun segera berdiri dan meninggalkan ruangan Han-bu-jit, dan menyampaikan pada Bu- wan untuk memimpin para piauwsu membawa barang titipan ke alamat masing-masing.

Dan pada sore harinya rombongan piuawsu dari kota Hopei tiba, rombongan itu membawa keluarga Ma yang menjabat sebagai tihu dikota Hopei, Ma-hung juga adalah adik ipar kepala daerah kota Lokyang Li-taijin, Ma-hung dan keluarganya hendak menuju kota lokyang, rombongan keluarga itu turun untuk istirahat di pesanggrahan Han-piauwkiok, mereka terdiri dari lima orang, yakni Ma-hung dan istri serta dua anaknya, kemudian keponakannya Li-yin putri bungsu dari Li-taijin yang berumur delapan belas tahun, para piauwsu yang melihat wajah Li-yin berdecak kagum, beberapa piauwsu pasang aksi demi mengambil perhatian Li-yin yang melangkah memasuki pesanggrahan, rombongan piauwsu yang mengawal keluarga itu jadi sasaran kegemasan para piauwsu yang lain, sehingga keadan sedikit ramai karena canda dan tawa para piauwsu.

“ada apa ini !?” tanya Han-bu-jit yang kebetulan keluar dari kantornya bersama Gu-long pimpinan piauwsu yang mengawal keluarga Ma

“hehehe…. tidak ada apa-apa pangcu.” sahut mereka bersamaan sambil nyengir, kemudian Han-bu-jit masuk kedalam rumah, di ruang tengah ayahnya Han-hung-fei sedang duduk dikursi goyang ditemani ibunya, kemudian istrinya datang menghampiri

“jit-ko mau mandi ?” tanya istrinya lembut

“benar, dan siapkan pakaianku untuk pertemuan dengan Tan-

taijin nanti malam !” sahut Han-bu-jit sambil melangkah kedalam, dan diikuti oleh istrinya.

Setelah mandi, Han-bu-jit duduk diruang tengah dengan pakaian indah dan mewah

“kamu mau kemana jit-ji ?” tanya ibunya sambil menuangkan minuman untuk suaminya

“malam ini empat pangcu piauwkiok hendak menemui Tan-taijin, ibu.”

“ada urusan apa sehingga kalian menemui Tan-taijin ?” sela Han-hung-fei menyeruput tehnya

“ada sedikit masalah piuawkiok yang harus diselesaikan ayah.” “apa yang terjadi jit-ji ?” tanya Han-hung-fei penasaran “ah…hanya masalah spele, ya…soal persaingan, sudah aku mau berangkat ayah, ibu” jawab Han-bu-jit lalu berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan. Sesampai di rumah Tan-taijin, tiga pangcu sudah hadir terlebih dahulu, mereka asik berbicara, namun ketika melihat kedatangan Han-bu-jit, mereka langsung diam dan tidak sedikitpun menyapa Han-bu-jit, Han-bu-jit pun tidak menggubris mereka dan duduk tanpa basa-basi, tidak lama kemudian Tan- taijin datang bersama dua stafnya, dan pertemuan itu pun dimulai

“saya selaku pemerintah di kota ini merasa senang bahwa para pangcu dapat duduk bersama untuk menyelesaikan perkara yang terjadi secara baik-baik, dan sekarang saya persilahkan Lauw-pangcu untuk bicara, sampaikanlah apa yang hendak kamu sampaikan !”

“baik taijin, sebenarnya persaingan antara sesama piuawkiok adalah sesuatu yang wajar dan lumrah, tapi jika ada piuawkiok yang melanggar kode etik, hal itu tidak bisa ditolerir.” “hmh…baik, langsung saja Lauw-pangcu, apa yang dilakukan han-piawkiok, sehingga melanggar kode etik tersebut ?”

“saya dan dua teman pangcu ini, menyadari bahwa Han- piuawkiok memiliki para piauwsu yang handal dan hebat, sehingga dari itu mereka pantas mendapat perhatian lebih dari pelanggan.”

“lalu apa masalahnya lauw-pangcu ?”

“masalahnya Han-piauwkiok bertindak tidak terpuji dengan menyebarkan bahwa tiga piauwkiok lain tidak lagi menerima jasa penitipan karena sudah bangkrut dan menyatakan bahwa berbahaya jika jasa kami dipakai pelanggan.”

“apakah Lauw-pangcu ada bukti bahwa yang menyebar pernyataan itu adalah han-piawkiok ?” “untuk bukti Lu-pangcu dapat menceritakannya, taijin.” “baik, coba ceritakan Lu-pangcu !”

“begini taijin, setengah tahun terakhir ini, piauwkiok yang saya pimpin tidak pernah lagi mendapat pelanggan, dan hal itu juga menimpa piuawkiok yang dipimpin lauw-pangcu dan Yauw- pangcu, sesaat saya berpikir ya…sudahlah, mungkin nasib memang lagi apes, lalu dua bulan yang lalu saya pergi kerumah adik saya di kota hopei untuk melihat cabang piauwkiok saya disana, keadaan piuawkiok saya disana tidak jauh berbeda dengan disini, lalu saya iseng pergi ke kantor han-piuawkiok yang berada disana, kemudian seorang piauwsu bertanya kepada saya, apakah saya hendak memakai jasa mereka, lalu saya jawab tidak, piauwsu itu dengan gencar mengatakan bahwa memakai jasa han-piuwkiok akan aman dan lancar, dalam hati saya setuju dengan promosinya, namun saya terkejut, ketika dengan lancang dia mengatakan bahwa piuawkiok saya sudah bangkrut.”

“lalu apa tindakanmu setelah mendengar hal itu ?” tanya Tan- taijin

“saya mengatakan padanya, bahwa ia itu mengada-ada, tapi luar biasanya piauwsu itu mengatakan bahwa piauwkiok saya meminjam uang pada Han-piuawkiok untuk menggaji para piauwsunya, dan bahkan bukan piaukiok saya saja, tapi piuwkiok Yauw-pangcu dan Lauw-pangcu juga telah berutang kepada Han-piuwkiok, dan saya dengan kesal meninggalkan Han- piauwkiok, lalu saya menemui wakil saya di hopei dan menanyakan hal itu kepadanya, dan ternyata wakil saya membantah dan tidak pernah meminjam uang kepada Han- piawkiok.”

“dan bukan hanya di hopei pernyataan seperti itu taijin !” sela Yaw-pangcu

“hmh…maksudnya bagaimana Yauw-pangcu ?”

“di kota lokyang juga saya mengalami dan mendengar pernyataan tersebut.” jawab Yanw-pangcu “bagaimana ceritanya Yaw-pangcu ?”

“Tiga bulan lalu saya berada di lokyang, disamping kantor piauwkiok saya ada seorang hartawan, saat saya tiba dikantor cabang saya disana, sute saya sedang berbicara pada hartawan tersebut, ceritanya dia mau mengunjungi saudaranya di chang- an, lalu sute saya menawarkan piuawkiok kami padanya, namun hartawan itu menjawab bahwa ia takut jika harta yang dibawa dirampok, maka kami tidak akan bisa mengganti rugi, saat itu saya menjawab bahwa kami akan mengganti rugi jika ada musibah itu, dan saya merasa terkejut ketika dia mengatakan, bagaimana saya bisa mengganti rugi, jika untuk gaji piuawsu saja, saya harus berutang, sute saya menjawab bahwa ia tidak berutang kepada siapapun untuk membayar para piauwsu, namun hartawan itu tidak percaya, lalu dengan penasaran saya bertanya darimana ia mendengar hal tersebut, dan jawabannya bahwa yang memberi piutang yang mengatakan padanya, dan katanya yang memberikan piutang itu adalah Han-piuwkiok.”

“penyebaran tidak bertanggung jawab seperti itu memang sudah melanggar, jadi bagaimana Han-pangcu, dari dua cerita itu melibatkan paiuwsu anda, apakah tanggapanmu?” ujar Tan-taijin sambil menatap Han-bu-jit “Tan-taijin, cerita itu adalah cerita orang yang iri dengan kebesaran piuwkiok saya, dan saya tidak percaya dengan cerita itu !” jawab Han-bu-jit dengan tegas

“apa yang telah Han-pangcu lakukan sehingga menyatakan tidak percaya ? apakah han-pangcu sudah menanyakan piuawsu anda ?” tanya Tan-taijin tajam

“Tan-taijin ! sekali lagi saya katakan, bahwa saya tidak percaya dengan cerita orang-orang yang putus asa, piauwsu saya tidak akan melakukan hal seperti itu, karena kami tidak kurang apapun dalam menjalankan pekerjaan kami.” sahut Han-bu-jit dengan nada agak tinggi.

“Han-pangcu jaga nada bicara anda, ini bukan soal percaya atau tidak, tapi apakah anda sudah menanyakan pada piauwsu anda tentang pernyataan tidak bertanggung jawab itu, sehingga anda tidak percaya, bukan malah menilai orang iri dan putus asa.” sela Kang-ciangkun dengan tegas.

“heh…ciangkun, hati-hati kalau bicara, Han-piuwkiok sudah puluhan tahun berdiri, dan dari dulu kami memiliki reputasi baik dan terpercaya dimata pelanggan.”

“benar..! tidak ada yang mengingkari itu, namun tidak ada gunanya kamu agulkan itu, karena kita bicara masalah pernyataan para piauwsumu, benar apa tidak mereka mengatakan hal tentang tiga piuawkiok dari tiga pangcu ini ? kenapa kamu sulit menjawabnya ? jika memang belum ! maka tanyakanlah dulu !” tantang Kang-ciangkun

“saya tidak perlu menanyakannya, apa kamu ciangkun mau memaksa saya !?” sahut Han-bu-jit dengan marah yang tertahan “kamu bisa diajak bicara baik-baik apa tidak sih !?” sela Yaw- pangcu sambil berdiri dengan muka merah karena marah, melihat Yaw-pangcu berdiri Han-bu-jit sontak berdiri tidak mau kalah

“beuh….yauw-pangcu ! karena saya bisa diajak bicara maka saya penuhu undangan ini, tapi jika kalian tidak percaya apa yang kukatakan, lalu kalian ini mau apa !? hah….!”

“kamu ini aneh Han-pangcu, kamu ingin kami percaya padamu, tapi kamu tidak memberikan dasar dari apa yang kamu katakan, hanya sedikit yang kami minta padamu supaya kamu menanyakan kebenarannya pada paiuwsumu, dan jika benar tolonglah tegur piauwsumu yang tidak bertanggung jawab itu, tapi kamu malah mencak-mencak tidak menentu.” sela Lauw- pangcu geram gemas melihat sikap Han-bu-jit

“taik kucing kalian semua ! jika ada yang merasa tidak terima, boleh coba-coba dengan saya !” umpat Han-bu-jit dengan marah, lalu ia berdiri dan meninggalkan tempat itu tanpa menganggap sedikitpun pada orang-orang itu, Kang-ciangkun dan rekannya berdiri dan hendak mengejar, namun dilarang Tan-taijin

“jangan dikejar ! kita harus tahu diri, bahwa kita tidak mampu, maaf tiga-pangcu, saya tidak menyangka bahwa Han-pangcu akan bersikap seperti ini.” ujar Tan-taijin dengan nada sesal “lalu apa yang kami harus lakukan taijin ?” tanya Lu-pangcu “dalam hal menentang Han-piuwkiok, kita memang tidak punya kekuatan, namun jika tiga pangcu masih ingin berurusan dengan mereka, sebaiknya bicaralah dengan bengcu di kaifeng,” jawab Tan-taijin “benar apa yang dikatakan taijin, bengcu adalah putra han-loya juga, biar bengcu yang memberikan teguran, pasti bengcu akan menghajar adiknya yang sombong itu.” sela kang-ciangbun “bagaimana menurutmu Yauw-pangcu !?” tanya Lu-pangcu “saran itu baik juga, dan jika si Bu-jit yang sombong itu mengagulkan kekuatan, maka tentunya bengcu yang dapat mengatasinya.”

“baiklah taijin, kami permisi dulu. Dan kami ucapkan terimaksih atas kerelaan taijin yang sudah berusaha menengahi permasalahan kami, dan kami maklum akan keterbatasan taijin dalam hal ini.” ujar Lu-pangcu

“baik, semoga dengan turun tangannya bengcu, maka kemelut yang kalian alami dapat diselesaikan.” sahut Tan-taijin, kemudian tiga pangcu itu pun meninggalkan kediaman tan-taijin.

Han-bu-jit berjalan memasuki komplek rumahnya, dan beberapa piauwsu sedang bersenda gurau di gardu jaga

“selamat malam pangcu !” sapa mereka serempak “selamat malam, kalian sedang apa ?”

“hehehe…sedang ngobrol-ngobrol saja pangcu.” Jawab mereka serempak

“ya sudah kalian jaga yang betul.” ujar Bu-jit sambil melangkah, dan kebetulan ia mendongakkan kepala dan matanya menatap ke atas, lalu melihat Li-yin yang sedang duduk di selaras tingkat atas pesanggrahan, wajah Li-yin yang cantik membuat Bu-jit terpana, hatinya berdebar kencang, lalu Han-bu-jit masuk ke pesanggrahan dan minta pada pelayan untuk menyiapkan arak.

Wajah molek Li-yin menari-nari dalam pikiran Bu-jit, sambil menenggak arak dia menghayalkan gadis jelita yang merenggut perhatiannya itu, setelah satu guci habis dan malampun kian larut, ia memanggil pelayan untuk membereskan mejanya “rombongan Ma-wangwe berapa kamar kalian persiapkan ?” “dua kamar pangcu di sebelah selaras atas bagian kiri.” “sudah kalau begitu, bereskanlah meja ini, aku mau masuk.”

“baik pangcu dan selamat malam.” sahut pelayan, dan Han-bu-jit keluar dari pesanggrahan dan masuk kedalam rumah induk.

Istrinya yang gemuk sudah tidur pulas, sambil menguap ia rebahkan tubuhnya, ia berusaha memajamkan mata, namun wajah Li-yin yang aduhai makin nyata dalam benaknya, hatinya gelisah sambil berbolak balik badan, karena tidak bisa tidur, lalu ia keluar kamar dan pergi ke taman belakang, ditaman belakang ia duduk dibalai-balai menikmati sejuknya hembusan angin malam , aroma wangi bunga teratai yang tumbuh dikolam besar menyentak detakan romantis dalam hatinya, dan terbitlah sepercik gairah mengingat wajah ayu milik Li-yin, nafasnya sesak, hatinya berdegup kencang, akhirnya ia dengan ringan melenting ke atap dan menuju bagian kiri pesanggarahan.

Dengan gerakan ringan ia sudah masuk kedalam kamar diamana Li-yin dan gadis remaja sepupunya tidur, dia menotok keduanya hingga tidak sadar diri, Bu-jit tidak jemu-jemunya mengelus dan menatap wajah cantik Li-yin, setelah puas mengelus dan menatap wajah li-yin, lalu Bu-jit mulai mencium dan melumat bibir Li-yin, lunak dan harumnya dua bilah bibir itu makin menggelorakan birahi Bu-jit, tangannya mulai menjelajahi dan meremas tubuh Li-yin, kemudian tangan itu menyelip kebalik pakaian, Bu-jit makin terangsang, dan dengan degupan hati seiring nafas yang menderu Bu-jit melepas pakaiannya dan menarik celana Li-yin, bu-jit yang lupa diri menyalurkan birahinya yang tidak pantas itu, Li-yin laksana jasad mati di tunggangi Bu- jit seiring letupan-letupan birahinya yang mengeletar.

Setelah malam hendak mendekati pagi, Han-bu-jit keluar dari kamar Li-yin, dengan gesit ia kembali masuk kerumah induk dari taman belakang, lalu masuk kedalam kamarnya, dan baru saja ia rebahkan badan ia sudah pulas dengan rasa nyaman, dan tidak lama kemudian istrinya bangun dan turun dari ranjang untuk pergi mandi dan melakukan tugas hariannya, sementara Li-yin dan sepupunya masih tidak sadarkan diri, Ma-hung sudah menggedor pintu kamar berkali-kali, namun tidak ada jawaban, dan saat ia menggedor daun pintu untuk kesekian kalinya tidak berapa lama Ma-hui bangun dan segera membuka pintu

“ayok cepat kalian mandi, setelah itu kita makan, ciicimu sudah bangun Hui-ji ?” ujar Ma-hung sedikit kesal pada putrinya

“saya akan bangunkan ayah.” sahut Ma-hui, lalu ayahnya pergi, Ma-hui menutup kembali daun pintu dan mendekati ranjang dan membangunkan Li-yin, dan Li-yin sadar setelah beberapa kali digugah oleh Ma-hui

“eh…aduh…aku kenapa ?” keluh Li-yin, dia berusaha duduk, dan hatinya berdegup, ketika matanya melihat tilamnya ada noda darah yang sudah kering, dan rasa nyeri dibawah perut yang ia rasakan sejak sadar membuat ia makin cemas, nyeri itu tidak hanya dibawah sana, tapi juga putting susunya

“cici kenapa ? ayoklah kita mandi !” tanya Ma-hui heran

“apa yang terjadi padaku Hui-moi ?” gumam Li-yin dengan wajah pucat dan hati gelisah, Ma-hui kembali mendekati kakak misannya

“eh…cici kok pucat, dan ini ada darah, apakah cici terluka ?” “aduh….bagaimana ini, malang benar nasibku, uuuu…uuu…” keluh Li-ying, dan ketika ia sadar sepenuhnya akan keadaan dirinya, dan terlebih adiknya mengatakan ia terluka, maka fahamlah ia, bahwa dirinya telah diperkosa orang, iapun menangis sesugukan, Ma-hui makin panik melihat cicinya menangis, saat itu ibunya mengetuk pintu, Ma-hui segera membuka pintu, Ma-hujin sudah rapi ketika mengetuk kamar putrinya

“eh..kalian kok belum mandi, apa yang kalian kerjakan !?” tanya Ma-hujin sambil masuk kedalam kamar, dan ia terkejut melihat keponakannya masih baring dengan sesugukan

“kamu kenapa Yin-ji ?” tanya Ma-hujin cemas, mendengar pertanyaan bibinya sesugukan Li-yin makin keras, lalu ia duduk dan memekuk bibinya dengan tangis yang semakin pilu “eh…kamu kenapa nak, katakan pada bibi.” bujuk Ma-hujin penasaran

“bu….sepertinya cici terluka, karena di ranjangnya ada darah.” sela Ma-hui, hati Ma-hujin terkejut, lalu ia menyingkap selimut dan noda darah itupun terlihat,

“si..siapa yang telah melakukan ini..ah….yin-ji” Ma-hujin dengan mata berkaca-kaca menegelus kepala Li-yin yang sesugukan

“ada apa ini ?” tanya Ma-hung yang tiba-tiba memasuki kamar dan melihat kepnakannya menangis

“Hung-ko, bagaimana ini ? keponakan kita memngalami hal yang memalukan.” “hah..memalukan bagaimana bisa ?” teriak Ma-hung terkejut, lalu ia menatap putrinya “Hui-ji, apa yang terjadi semalam ?” “sa..saya tidak tahu ayah, kami semalam tidur cepat, dan bangun setelah ayah bangunkan.” sahut Ma-hui dengan rasa takut karena teriakan ayahnya

“koko, apa yang harus kita lakukan ?” tanya Ma-hujin dengan hati iba pada keponakannya

“menurutmu apa yang dialami keponakan kita Lin-moi ? mungkin dugaanmu yang tidak-tidak itu salah” Ma-hujin menatap suaminya, lalu kembali memandang keponakanya, dengan lembut ia bertanya

“yin-ji, katakanlah apa yang kamu rasakan, sehingga kita tahu apa sebenarnya yang menimpamu ?”

“tubuhku nyeri bibi, huhuhu…huhuhu….hal yang memalukan telah menimpaku bibi.” Isak Li-yin semakin sesugukan

“hmh….saya akan menanyakan ini pada pimpinan disini.” sahut Ma-hung dengan hati mengkal, lalu ia keluar dari kamar dan turun ketingkat bawah dan bertemu dengan Gu-long di tingkat bawah

“apakah kita akan berangkat wangwe !?” tanya Gu-long yang baru saja duduk bersama beberapa piauwsu

“Gu-pangcu ! Han-piuawkiok telah berlaku teledor, sehingga keponakanku mengalami nasib naas semalam..”

“apa yang terjadi Ma-wangwe !?” tanya Gu-long heran “ah…..aku harus ketemu dengan pimpinanmu disini, dan kalian harus bertanggung jawab dengan kejadian ini.” sahut Ma-hung dengan rasa gemas dan marah, dia kemudian keluar dari pesanggrahan menuju kantor piuawkiok, seorang pelayan sedang membersihkan kantor “dimana Han-pangcu !?” taanya Ma-hung dengan rasa amarah yang tertahan

“sepagi ini pangcu belum keluar wangwe, dan biasanya agak siangan pangcu baru masuk kekantor.” sahut pelayan itu dengan hati heran

“ada apa sebenarnya wangwe ?” tanya Gu-long yang tiba menyusul dibelakang

“bagaimana sih pesanggrahan Han-piuawkiok yang terkenal kemana-mana bisa tidak aman ?”

“apa maksud wangwe !?” tanya Gu-long makin heran

“semalam kamar putri dan keponakanku dimasuki orang mesum, apa pertanggung jawaban kalian !?” sahut Ma-hung dengan nada keras dan kecewa

“Wangwe jangan asal menuduh, selama ini belum ada yang macam-macam dengan kami.” bela Gu-long

“heh..pangcu ! kau kira aku mengada-ada, keponakanku mengalami nasib naas dikamarnya, kamu masih meragukan keberatan saya.” sahut Ma-hung emosi

“ada apa ini !?” tanya Han-hung-fei yang keluar dituntun tongkatnya

“ini siapa pangcu, apakah ini han loya !?” tanya Ma-hung “benar…, saya Han-hung-fei, ada apa sicu ?” sela Han-hung-fei lembut

“Han-loya ! malang benar nasib yang menimpa kami saat ini, keponakanku dikamarnya semalam telah diperkosa tanpa ia menyadari.”

Sesaat Han-hung-fei terdiam mendengar berita mengejutkan sekaligus mengenaskan itu, keningnya berkerenyit “tenang dulu …..” sahut Han-hung-fei seraya berhenti karena tidak mengetahui nama tamunya

“saya Ma-hung han-loya.” sela Ma-hung

“ya tenang dulu Ma-sicu, bagaimana kamu yakin bahwa keponakanmu mengalami peristiwa tersebut, sementara kamu bilang ia tidak menyadari.”

“Han-loya, bercak darah ada di ranjang keponakanku, ia tidak terluka apa-apa, kecuali rasa nyeri pada bagian pribadinya.” “ah….sungguh membuat penasaran, walhal saya tidak mendengar hal yang mencurigakan semalam.” gumam Han- hung-fei

“jadi bagaimana Han-loya ?” tanya Ma-hung dengan nada tuntutan

“A-san ! kamu minta pada mantuku untuk membangunkan jit-ji !” perintah Han-hung-fei pada pelayannya yang datang membawa minuman, pelayan itu segera berbalik.

“duduklah dulu Ma-sicu, dan saya minta maaf dengan ketidak nyamanan ini.” ujar Han-hung-fei, Ma-hung pun duduk dengan amarah sedikit mereda, namun hatinya tetap merasa gundah dengan apa yang di alami oleh kepomakannya

“ada apa fei-ko, kenapa jit-ji kamu suruh dibangunkan ?” tanya Lian-kim yang tiba-tiba keluar

“ada hal yang memalukan telah menimpa tamu kita, Kim-moi” “memalukan ? apa yang telah terjadi sicu ?” tanya Lian-kim pada lelaki yang duduk didepan suaminya

“keponakan saya Han-hujin, kamarnya dimasuki orang mesum.”

Jawab Ma-hung resah

“heh..! Gu-long kalian tidak melihat atau mendengar hal yang mencurigakan ?” “tidak ada loya-hujin, kami tidak melihat maupun mendengar hal yang janggal semalam.” jawab Gu-long sambil membungkuk Setelah beberapa lama menungu Han-bu-jit keluar dengan mata masih kuyu, dia hanya mencuci muka dan melapnya sambil keluar dari dalam rumah

“ada apa ayah kenapa membangunkanku sepagi ini ?” mendengar anaknya datang Han-hung-fei mendongak ke arah anaknya

“Jit-ji kamu biasa tidur sampai larut malam, apa tidak ada mendengar hal yang mencurigakan semalam ?”

“memangnya ada apa ayah ?” tanya bu-jit dengan nada heran “semalam kamar keponakan Ma-sicu ini telah dimasuki orang jahat.”

“ah…..bagaimana bisa ?” tanya bu-jit pura-pura terekejut

“ya bagaimana bisa ? dan saya menjumpai para pimpinan disini untuk menanyakan hal itu.” sela Ma-hung tajam

“bagaimana Jit-ji, apa kamu semalam tidak melihat atau mendengar sesuatu ?” tanya Han-hung-fei

“tidak, saya tidak melihat dan mendengar apapun, Gu-long ikut dengan saya, kita lihat kedalam kamar, apa yang sebenarnya

terjadi.” ujar Bu-jit, lalu mereka menuju pesanggrahan dan diikuti oleh Ma-hung, sesampai didalam kamar Ma-hujin dan Li-yin terkejut melihat kedatangan mereka, mata Li-yin masih sembab oleh air mata.

“Lin-moi kamu bawa yin-ji kekamar kita, pangcu hendak melihat kamar ini !” ujar Ma-hung, Ma-hujin dan Li-yin segera keluar, sekilas mata Li-yin bertaut dengan kerlingan mata Bu-jit yang tajam. “Gu-long memeriksa semua keadaan kamar, demikian juga dengan Han-bu-jit, dia memeriksa disekitar ranjang, dan hatinya lega bahwa tidak sesuatu yang membuktikan identitasnya, sesaat matanya melihat bercak darah diatas ranjang, terlintas dalam benaknya apa yang telah ia lakukan, dan itu membuat hatinya bergetar nikmat

“ah…..sepertinya pelakunya masuk lewat atap, lihatlah Gu-long ! bagian itu sepertinya bergeser dan tidak rata.” ujar Han-bu-jit,

Ma-hung dan Gu-long mendongak keatas

“benar pangcu, waduh siapa yang begitu berani memasuki komplek ini.” gumam Gu-long penasaran.

“Ma-sicu ! kami harus mengadakan penyelidikan lebih dulu, dan semoga saja penjahatnya tertangkap.” ujar Bu-jit

“baik kami tunggu sampai tiga hari, dan kalian harus menyelesaikan ini dan menghukum pelakunya.” sahut Ma-hung, lalu ia keluar dan masuk kedalam kamarnya, Ma-hujin yang melihat suaminya masuk segera berdiri

“bagaimana Hung-ko ?” tanya Ma-hujin

“sepertinya ada orang sakti yang masuk lewat atap, dan pimpinan Han-piuawkiok akan mencari pelakunya.”

“lalu bagaimana dengan perjalanan kita ?”

“kita terpaksa menunda perjalanan, dan saya minta mereka menyelesaikan kasus ini selama tiga hari.” jawab Ma-hung sambil duduk dikursi

Pada malam harinya Han-hung-fei memanggil Han-bu-jit menemuinya di ruang tengah

“Jit-ji, apa kamu sudah dapat petunjuk setelah melihat keadaan kamar nona itu ?” “sepertinya ada orang yang masuk lewat atap ayah.”

“ada orang yang masuk komplek ini, dan tidak dari kita yang mengetahuinya, luar biasa sekali orang itu.” sela Han-hung-fei heran dan penasaran

“sudahlah ayah, biar aku sendiri yang akan menanganinya.” ujar Han-bu-jit, sesaat keduanya terdiam, lalu Han-hung-fei bertanya “iya, lalu bagaimana dengan Ma-wangwe ?”

“dia memberi waktu sampai tiga hari untuk menangkap pelakunya.”

“kamu harus kerahkan semua daya dan pikir untuk menyelesaikan kasus ini, sehingga piauwkiok kita tidak

tercemar.” pesan Han-hung-fei sambil menyeruput tehnya.

“Ma-wangwe itu asal nyablak aja, bagaimana dalam waktu tiga hari penjahatnya harus ditangkap, apa dia tidak pikir bahwa boleh jadi pelakunya telah pergi dari kota ini !?” ujar Bu-jit dengan nada kesal, Han-hung-fei mendongak dan keningnya berkerenyit heran mendengar perkataan anaknya, lalu ia menegur tajam

“kamu ini bagaimana Jit-ji, boleh saja orangnya tidak tertangkap, tapi nama dan identitas pelaku diketahui, dengan demikian Ma- wangwe tidak menganggap kita tidak bertanggung jawab.” “iya…akan aku usahakan menemukan pelaku atau identitasnya.” sahut Han-bu-jit, lalu ia keluar dan menuju pesanggrahan, ia mengumpulkan semua para piauwsunya, dan membicarakan rencana penyelidikan. Malam itu lima wakilnya yang biasa memimpin rombongan disebar diluar kota, bahkan beberapa piuawsu disebar didalam kota, sehingga hanya tinggal lima piauwsu yang berjaga didalam komplek, keadaan komplek makin sunyi, didalam kamar Li-yin tidak bisa tidur, ia gelisah dan merasa terpukul akan hal yang menimpa dirinya, malam itu ia tidur bersama bibinya yang terus menenangkannya hingga larut malam.

Malam itu Han-bu-jit bersama lima anak buahnya berada dihalaman kantor.

“kalian berjaga yang betul, dan saya akan berada didalam kantor.” ujar Han-bu-jit sambil melangkah ke arah kantor, didalam kantor han-bu-jit menghitung-hitung langkah yang terpikir dalam benaknya, tiba-tiba ia terbayang selaput dara di

atas ranjang, dan anehnya timbul keinginan untuk melakukannya lagi, dengan senyam senyum ia menggoyang kursi goyangnya.

Saat malam sudah larut, Han-bu-jit keluar dari kantor, dan ia melihat dua anak buahnya menjaga gardu, dua anak buahnya hanya menatapnya saat ia masuk kedalam rumah, ia langsung kehalaman belakang dan dengan gesit sudah melompat ke atas atap, dengan pendengaran yang tajam, ia mendengar bahwa penghuni kamar belum tidur, hati han-bu-jit kecewa, ia kembali turun dan duduk melamun di balai-balai, setelah menunggu agak lama, ia kembali melompat ke atas, dan percakapan sudah tidak ada lagi, dengan hati-hati ia menggeser genteng dan mencoba mengintip ke dalam kamar, lampu dikamar masih menyala, dia melihat ma-hujin sudah tertidur, namun Li-yin masih duduk di kursi, ia segera turun dan kembali duduk dibalai-balai. “sial…dia tidak tidur.” umpat Bu-jit dalam hati-hati, ia gelisah dan uring-uringan ditaman.

Han-bu-jit harus menelan kekecewaan karena hasratnya tidak kesampaian malam itu, ia masuk kerdalam kamar, dan tidur pulas disamping istrinya, siangnya ia bangun dan dua buah rombongan han-piaukiok sudah sampai, sehingga komplek sangat ramai, dua pimpinan melapor pada Han-bu-jit, setelah selesai dua pimpinan keluar, Han-bu-jit duduk malas didalam kantornya, wajah Li-yin makin menari-nari dalam benaknya, dan saat malam tiba, debaran jantung Han-bu-jit makin kencang, tapi ia harus bersabar sampai jauh malam.

Lima wakilnya belum kembali, dan beberapa anak buahnya kembali lagi menyebar didalam kota, saat malam sudah larut, Han-bu-jit sudah kembali naik ke atas atap, dan suasana di dalam kamar hening, Li-yin dan bibinya sudah tidur pulas, dengan perlahan han-bu-jit masuk lewat atap dan dengan ringan ia mendarat di lantai, segera ia menotok Ma-hujin dan Li-yin, lalu han-bu-jit kembali meniduri Li-yin yang terkulai tidak sadar, dan jahatnya lagi korban Han-bu-jit bukan hanya Li-yin, tapi Ma-hujin hujin yang masih cantik berumur empat puluh tahun itu ikut jadi korban nafsu iblis Han-bu-jit.

Dengan senyum puas Han-bu-jit keluar dari kamar dari atap dan menutup kembali dengan rapi, ia turun dan dengan hati ringan ia masuk kedalam kamarnya, dan pagi harinya ia dibangun paksa oleh istrinya karena dipanggil oleh ayahnya, ia dengan malas mencuci muka dan menemui ayahnya, dan di halaman Ma-hui sudah marah-marah pada ayahnya “kalian ini telah menghina kami sekeluarga ! Han-loya kejahatan kalian ini melampaui batas…!” teriak Ma-hung

“maaf Ma-sicu kamu jangan marah dulu, yang menimpa istri dan anakmu memang amat memalukan dan membuat hati gemas pemasaran, tapi kita kan sedang mencari pelakunya. “pelakunya adalah orang kalian sendiri, dan aku curiga pada anakmu Han-loya !” tandas Ma-hung berapi-api

“ada apa ini, kenapa Ma-wangwe marah-marah !?” “kamu…kamu orang tidak bermoral, akui bahwa kamu telah masuk kedalam kamar istri dan keponakanku !” bentak Ma-hung dengan emosi berapi-api

“heh jaga mulutmu Ma-wangwe, dan jangan asal menuduh !” bentak Bu-jit membalas

“bangsat..! kamu mau apa hah..mau menunjukkan betapa hebatnya dirimu !?” tantang Ma-hung, Han-bu-jit tanpa bersambat melayangkan tangan

“plak…buhg…” satu tamparan dan sebuah tendangan telah membuat Ma-hung terlempar dan ambruk ketanah

“Jit-ji kurangajar kamu, apa yang telah kamu perbuat !” bentak Han-hung-fei

“sudah ayah masuk saja, biar aku yang mengurus lelaki yang asal bacot ini.”

“diam kamu Bu-jit ! seenaknya saja kamu main pukul orang !” bentak han-hung-fei

“ayah,,kenapa ayah membela hartawan yang seenaknya buka mulut menuduh saya.”

“aku tidak membela siapa-siapa, tapi kamu tidak pantas main pukul seperti itu !” bentak han-hung-fei, lalu ia mencoba mendekati Ma-hung

“maaf Ma-sicu akan kelakuan anakku yang kurangajar.” ujar Hung-fei sambil melangkah mendekati Ma-hung yang terduduk lemah karena dadanya sesak akibat tendangan dan mulutnya perih berdarah

“semakin nyatalah betapa tidak bermoralnya anakmu Han-loya, dua malam ini kami telah diperdaya dan dijadikan permainan, ini tidak bisa saya terima, sekarang kami akan pergi, dan ingatlah kelekuan kalian ini akan kusampaikan pada bengcu !” teriak Ma- hung sambil bangkit dan meninggalkan tempat itu bersama keluarganya.

Hari itu mereka meninggalkan kota bicu bersama piuwkiok lain, sementara Han-bu-jit habis-habisan dimarahi ayahnya

“ayah jangan percaya pada hartawan itu, dia itu hanya memfitnah saya.” sahut Bu-jit membela diri

“memfitnah katamu !? lalu yang benar bagaimana ? bagaimana bisa pelaku mesum itu kembali beraksi dikamar itu dan bahkan memperkosa Ma-hujin, katakan ! katakan padaku !” teriak Hung- fei marah dan tubuhnya menggigil saking terpukul hatinya. “apakah ayah juga menuduhku yang telah melakukannya !?” teriak Bu-jit

“tadi tidak, tapi sekarang ya, dari caramu menagani kejadian ini, cendrung kamulah pelakunya !” sahut Hung-fei

“itu tidak betul ayah !” bantah Bu-jit

“tidak betul bagaimana !? sejak piauwkiok ini berdiri tidak ada orang yang macam-macam dengan kita, taroklah kemarin kita kejebolan, tapi dua kali kejebolan dalam waktu dua hari, jelas pelakunya adalah orang dalam, dan kamulah yang mampu melakukanya.” “bugh..ayah…!” hung-fei memukul pundak anaknya dengan tongkat ditangannya, kontan Bu-jit melompat sambil berteriak setelah mendapat kemplangan ayahnya.

“jangan sembarang menuduh bukan aku sendiri saja yang bisa melakukannya !” teriak Han-bu-jit, Han-hung-fei yang buta terheyak mendengar perkataan anaknya

“apa..! apa kamu bilang anak jahannam !” teriak hung-fei dengan tubuh menggigil saking marahnya mendengar perkataan anaknya, maksud perkataan itu jelas untuknya, hung-fei duduk lemas, suasana sangat tegang para piauwsu tidak ada yang berani mendekati rumah induk

“apa yang kalian ributkan !?” tanya Lian-kim yang keluar dari kamarnya mendengar perbantahan anak dan suaminya “pergi kamu dari sini anak tidak tahu diri !” ujar hung-fei tanpa menggubris pertanyaan istrinya

“heh kenapa kamu mengusir anaku !?” tanya Lian-kim heran menatap suaminya

“ibu, ayah menuduhku telah melakukan pemerkosaan pada istri dan keponakan Ma-wangwe.” sela Bu-jit

“apa kamu hendak membela anakmu yang durhaka dan kurangajar ini !?” teriak Hung-fei dan ia pun duduk lemas “apa..apa maksudmu koko, kenapa kamu demikian marahnya pada Jit-ji.”

“perkataannya telah menyakiti hatiku Kim-moi.” desisnya sedih dan hati hancur

“apa yang telah kamu katakan pada ayahmu Jit-ji ?” “ayah menuduh saya karena hanya saya seoranglah yang

mampu melakukannya, dan kujawab bukan aku saja yang bisa melakukannya”

“sudahlah, sekarang mana Ma-wangwe itu ?” tanya Han-hujin “sudah pergi ibu.” sahut Bu-jit singkat

“kamu pergi tidak dari sini kurangajar !?” bentak hung-fei “sudahlah suamiku, tidak perlu seperti itu, dan kamu pergi keluar Jit-ji !” sela Lian-kim, han-bu-jit segera keluar.

Sejak hari itu Han-hung-fei jatuh sakit karena tekanan batin, perkataan anaknya benar sangat menyakitkan hatinya, dan dia sadar bahwa perkataan itu terbit dari pengetahuan anaknya tentang sikap pada masa mudanya, benar-benar ia tidak memiliki harga diri lagi, karena setua dirinya, anggapan pada masa mudanya tetap disematkankan padanya, dan ironisnya anaknya sendiri memiliki pemikiran seperti itu.

Dua minggu kemudian Han-bun-liong dan Coa-kim tiba dikomplek han-piauwkiok, empat piuawsu yang sedang duduk di gardu pos segera keluar dan menyambut

“apa ji-wi hendak menitipkan barang ?” tanya seorang piauwsu dengan senyum ramah

“tidak, tapi aku hendak membunuh kalian !” jawab Bun-liong lantang, beberapa piauwsu langsung berlari melompat dan mengurung Han-bun-liong, Han-bu-jit yang mendapat laporan segera keluar dengan muka marah

“siapa kamu yang hendak menjual lagak disini !?” bentaknya “phuah…..kamu pimpinannya mampuslah ! “ sahut Bun-liong sambil menyerang Bu-jit, Bu-jit dengan yakin menyambut serangan. “wut….ih…plak augh..” Han-bu-jit kelabakan dan merasa tertekan saat beradu tangan dengan Bun-liong, ia tidak mengira bahwa lawan muda ini demikian hebat dan kuat, dia berusaha mempertahankan diri dengan segala kemampuannya, lima puluh jurus sudah berlalu, Han-bu-jit makin kelimpungan, beberapa pukulan telah mengenainya, namun ia berusaha gigih untuk tidak tumbang, Han-bun-liong mendesaknya dengan ilmu-ilmu suhunya Tan-kui, walaupun kalah tinggi dari ilmu Bu-jit, tapi Bu- jit tidak juga mampu mempertahankan diri, karena ia jauh kalah dibidang sin-kang dan gin-kang.

Dua puluh jurus kemudian Han-bu-jit terlempar sambil muntah darah akibat sebuah tendangan yang mengenai lambungnya, lima wakilnya segera merangsak maju, dan Bu-jit juga segera bangki dan menyerang, namun dua puluh jurus kemudian lima wakil han-bu-jit bertumbangan dengan nyawa melayang, Han- bu-jit kembali sendirian, dengan sekuat tenaga terus melawan, tiba-tiba Han-bun-liong mengeluarkan pedangnya, dan alangkah terkejutnya Han-bu-jit melihat pedang ayahnya yang sudah lama hilang dan kini berkiblat menyerangnya dengan ilmu khas keluarganya, dan dalam sepuluh jurus Han-bu-jit telah dikurung kilatan ilmu pedang luar biasa itu

“crak…crak….” dua bacokan menghabisi nyawa Bu-jit, Bu-jit ambruk dengan tangan putus dan leher juga putus, kepala itu melayang dan menggelinding kedalam rumah, Han-bun-liong menyerbu kedalam rumah, sementara Coa-kim membabat habis para piauwsu. Didalam rumah, Han-bun-liong disambut Lian-kim, namun hanya dua gebrakan pedang naga sastra telah membelah kepalanya, istri Han-bu-jit dan semua pelayan dibantai Han-bun-liong, pemandangan dalam rumah itu sangat mengerikan, Han-bun- liong menjebol beberapa kamar untuk mencari Han-hung-fei,

Han-hung-fei terkejut melihat kamarnya dijebol

“siapa..! “ teriak han-hung-fei sambil bangkit dan dengan memaksakan diri walaupun tubuhnya lemah menyerang dengan tongkatnya, pertarungan seru berlangsung dalam kamar, dua puluh jurus kemudian han-hung-fei sudah kewalahan terdesak, tubuhnya yang lemah dipaksa untuk terus mempertahankan diri, dan sepuluh jurus kemudian tongkatnya direnggut, setelah pundaknya di pukul dan kakinya dijegal, Han-hung-fei terjungkal dan ambruk kelantai

“siapa kamu yang memiliki jurus-jurusku !?” tanya Hung-fei heran sambil menahan sakit pada pinggulnya, tanpa menjawab Han-bun-liong menotok Han-hung-fei dan mengangkatnya ke atas pundak, Han-bun-liong keluar dari kamar yang sudah hancur porak poranda, diluar ia ditunggu oleh Coa-kim yang menyisakan tiga orang piuawsu

“hehehe…pimpinan kalian telah mati, dan keluarganya telah saya habisi, kecuali orang tua ini, kalian mau tahu siapa saya ? dengarkanlah ! saya adalah “toat-beng-kiam-ong” (raja pedang pencabut nyawa) “ ujar Han-bun-liong, lalu tubuhnya berkelabat meninggalkan komplek Han-piauwkiok.

Kota bicu gempar dengan kejadian itu, pembantaian sadis keluarga Han menjadi buah bibir, warga kota merinding jika mengenang kejadian naas yang menimpa keluarga hebat dan jaya selama ini, para rombongan Han-piuwkiok yang kebetulan lewat menjadi sedih dan berkabung, berita pun menyebar keluar kota bicu, julukan toat-beng-kiam-ong yang menjadi pelaku pembantaian merebak dan menggetarkan lioklim, hal itu dikarenakan cabang Han-piuwkiok sangat banyak dan menyebar diempat wilayah.

“katakan siapa kamu sebenarnya !” tanya Han-hung-fei saat tubuhnya diturunkan dan direbahkan di sebuah pohon, matanya yang buta meraba-raba tempat disekitar tempat duduknya “kamu tidak usah cemas cianpwe, kami tidak akan mencelakakanmu !” sahut In-sin-ciang

“kalian telah membantai keluargaku dan menculikku, apa sebenarnya maksud kalian !?”

“tidak usah diladeni In-sin-ciang !” sela Han-bun-liong ketus,

Han-hung-fei menoleh ke arah Bun-liong

“kamu yang telah menotokku tentu memiliki hubungan denganku, katakan darimana kamu dapatkan ilmu-ilmuku !?” tanya han-hung-fei penasaran

“sudah ! makanlah ayam bakar ini !” perintah Han-bun-liong sambil mengangsurkan sepotong ayam bakar ketangan han-fei- lun tanpa menggubris pertanyaan yang di ajukan Hung-fei “tidak..! aku tidak mau makan sebelum aku mengetahui siapa dan apa maksud kalian menculikku !”

“kalau tidak mau makan… ya sudah !” sahut Han-bun-liong sambil melahap daging bakar itu dengan nikmat, sesaat suasana hening,

“kemanakah selanjutnya tujuan kita kiam-ong !?” tanya In-sin- ciang memacah kesunyian “kita akan ke hehat, mari kita berangkat !” sahut Bun-liong, lalu ia bangkit dan mendekati Han-hung-fei, Han-bun-liong memanggul kembali ayahnya dan berlari cepat, In-sin-ciang menyusul dibelakangnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar