Pendekar Sakti Welas Asih Jilid 8 (Tamat)

Jilid 8 (Tamat)

“Lauw-sicu, putraku Kwaa-yang-bun menyampaikan keinginannya pada kami, bahwa ia hendak menikahi lauw- siocia, jadi untuk itu dengan segala kerendahan hati kami mengajukan lamaran pada Lauw-sicu.” ujar Yun-peng.

“hehehe….hahaha…hasrat bun-ji itu suci she-taihap, lamaran yang taihap sampaikan sudah sampai, dan aku sendiri sangat senang mendengarnya, namun berikanlah waktu padaku, sampai aku selesai mendengar pendapat cucuku.” sahut Lauw- sinse

“tentu lauw-sicu, kami akan selalu sabar menunggu.” ujar Yun- peng, lalu Lauw-sinse pergi menemui Li-hua di halaman belakang

“Hua-ji, she-taihap tadi menyampaikan lamaran padaku, mereka ingin menikahkan putranya Kwaa-yang-bun denganmu, bagaimanakah menurutmu ?”

“kong-kong, yang-bun pemuda luar biasa, hatinya baik dan tabah, ketenangannya demikian dalam, prinsip kebenaran sangat teguh dipegang, pantaslah mereka disebut she-taihap sebagaimana yang kita dengar selama ini, namun walaupun begitu, aku akan ikut apa kata kongkong.”

“baiklah hua-ji, kakek mengerti dengan apa yang kurasakan, jadi sekarang masuklah kedalam, dan siapkan minuman untuk kakek dan mertuamu.” ujar Lauw-sinse, Li-hua terheyak hangat, hatinya berteriak bahagia, ternyata kakeknya rela dengan jalinan yanng akan dibinanya bersama Yang-bun, dengan buru- buru ia menyelesaikan pekerjaannya dan masuk kedalam, sementara Lauw-sinse kembali kebalai-balai.

“kwaa-sicu, niat suci kalian yang agung bersambut baik ditangan cucuku, aku sangat bahagia dengan jalinan ini.” ujar Lauw-sinse, kedua she-taihap haru dan gembira

“syukur pada thian, ternyata kami dipertemukan dengan Lauw- sicu yang baik dan murah hati, terimakasih Lauw-sicu.” sahut Kwaa-yun-peng.

Sekarang marilah kita masuk kedalam, calon menantumu

kwaa-sicu sedang menyiapkan minuman untuk kita.” ujar Lauw- sinse

“hehehe..ba.baik lauw-sicu.” sahut Kwaa-yun-peng dengan hati bahagia, lalu ketiganya masuk kedalam dan menuju ruang makan, Li-hua yang sedang menghidangkan minuman dengan menunduk berlari kekamarnya, Yun-peng yang melihat sikap calon mantunya tersenyum penuh iba dan bahagia.

Sambil minum teh hangat ketiganya melanjutkan pembicaraan.” “lauw-sicu, soal waktu kami hanya mengikut apa kata Lauw- sicu.” ujar Yun-peng

“hmh…baiklah Kwaa-sicu, pernikahan ini memang harus secepatnya, jika dapat sore nanti keduanya sudah dapat diresmikan.” sahut Lauw-jin

“jika demikian lauw-sicu, aku akan kekampung bawah, untuk mendapatkan biksu yang akan menjalankan upacara.” sela Han-jin.

“itu sangat tepat Kwaa-sicu, kami akan menanti kedatanganmu.” ujar Lauw-jin, Han-jin segera berangkat menuju perkampungan dibawah bukit.

Dalam sekejap Han-jin sudah memasuki kampung, seorang pemilik kedai coa-hu yang semalam dijumpai juga oleh Kwaa- han-jin menatapnya dengan heran

“hehehe…kongcu kamu datang lagi, mau menanyakan apa lagikah ?”

“hehehe…pek-coa, kali ini aku mau menanyakan keberadaan biksu, dimanakah aku dapat menjumpainya ?”

“oh,,biksu, kongcu teruslah menelusuri jalan ini sampai ke ujung desa, dan terus keluar, dari desa ini kira-kira tujuh li ada sebuah kelenteng yang bernama “goat-bio” (kelenteng bulan).” sahut Coa-hu

“terimakasih pek-coa, saya akan segera kesana.” ujar Han-jin sambil senyum, Coa-hui menagngguk ramah.

Kwaa-han-jin berlari cepat laksana kilat setelah keluar dari desa, bahkan ia nyaris hilang dari pandangan, dan jarak tujuh li itu hanya dalam satu jam setengah ia tempuh, Han-jin naik keatas bukit dimana kelenteng berdiri, dua biksu muda sedang menyapu halaman kelenteng, keduanya berhenti ketika melihat kedatangan Han-jin, keduanya mendekat

“siauw-suhu aku kwaa-han-jin hendak bertemu dengan ketua kelenteng.” ujar Han-jin sambil merangkap tangan dan menjura. “tunggulah sebentar, saya akan sampaikan pada suhu.” sahut seorang dari biksu itu dan segera masuk kedalam kelenteng “silahkan duduk sicu.” sela biksu yang satunya.

“terimakasih siauw-suhu.” Sahut Han-jin lalu duduk di sebuah bangku yang ada dihalaman kelenteng.

Tidak lama seorang biksu tua dengan perawakan kurus tinggi dan kepalanya yang botak kelimis mendekati Han-jin yang berdiri sambil menjura

“tecu Kwaa-han-jin hendak bertemu dengan suhu tetua “duduklah anak muda, saya adalah Pouw-ceng-suhu ketua kelenteng ini, apakah yang bisa kami Bantu ?” sahut Pouw- ceng-suhu

“terimakasih pouw-suhu, saya hendak meminta bantuan suhu untuk menikahkan keponakan saya.”

“dimanakah pernikahan keponakanmu anak muda ?” sela Pouw-suhu sedikit heran bahwa anak muda belia ini sudah mempunyai keponakan yang akan menikah.

“keponakanku itu akan menikah di “bian-san” suhu.” sahut Han- jin

“bian-san cukup jauh dari sini anak muda, tapi kami akan tetap akan memenuhi harapanmu, lalu apakah kamu sendirian yang menjemput kami ?”

“benar suhu, dan terimakasih banyak saya ucapkan.” sahut Han-jin, Pouw-suhu mengangguk lembut, lalu memanggil sepuluh orang muridnya

“maaf suhu, kira-kira berapa orang yang akan menyertai suhu

?”

“sebaiknya sepuluh orang, tapi karena ini jauh makan saya akan membawa tiga orang.” sahut Pouw-suhu

“kalau begitu dibawa saja semuanya suhu, saya akan mengusahakan perjalanannya.” Ujar Han-jin.”

“apa jalan yang akan kamu usahakan anak muda ?”

“suhu kalau bisa pernikahan diadakan sore ini, jadi kita harus cepat.”

“sore ini anak muda ? kamu tidak sedang bercandakan, dari sini ke bian-san mungkin baru besok baru sampai, bagaaimana kami bisa menikahkan keponakanmu nanti sore ?” ujar Pouw- suhu.

“maaf suhu jika hal ini akan mengejutkan, namun akan bisa saya usahakan, jadi losuhu dan para suhu sekalian tolong

tenang, marilah kita menuju lereng sebelah selatan kelenteng,” ujar Han-jin, Han-jin memilih sebelag selatan kelenteng, karena ia melihat ada tanah datar yang sangat luas, Pouw-suhu dan sepuluh muridnya berdiri ditanah lapang, Han-jin bersuit, dan tidak lama pek-thouw melintas, Han-jin melambai

“pek-thouw turunlah !” seru Han-jin

“kreekkk..” pekik pek-thouw, lalu terbang rendah dan hinggap mendekam di tanah lapang, para biksu semua terperangah “mari losuhu, kita akan menunggang rajawali.” ujar Han-jin,

Pouw-suhu agak meragu

“tidak apa suhu, maaf aku akan membawa suhu keatas.” ujar Han-jin dan meraih pinggang pouw-suhu, pouw-suhu sudah berada dipunggung rajawali, lalu Han-jin menaikkan murid- murid Pouw-suhu.

Han-jin hanya menaikkan lima murid pouw-suhu, sehingga beban yang akan diangkat Pek-thouw berjumlah tujuh “lima suhu tunggulah sebentar disini saya akan datang lagi untuk menjemput para suhu.” ujar Han-jin. Lima suhu itu dengan senyum dan takjub mengangguk

“pek-thouw kita berangkat !” seru Han-jin, Pek-thouw memekik dan bergerak mengepakkan sayapnya yang luar biasa besar dan panjang, tujuh orang bebannya masih sanggup dibawannya menunjukkan betapa kuatnya pek-thouw, baru kali ini pek-thouw membawa beban nyata, karena selama ia ditunggangi she-taihap, seakan ia tidak membawa beban karena gin-kang she-taihap yang luar biasa. dan kali ini bebannya adalah tubuh manusia yang memang mendoplok dengan beban rata-rata perorang delapan puluh sampai seratus kati, jika dikalikan enam orang, beban yang diangkut pek-thouw lebih kurang enam ratus kati.

Hanya dalam waktu setengah jam Han-jin sudah sampai di atas pondok Lauw-jin, Han-jin menurunkan para biksu dua-dua, dan setelah semuanya turun, Han-jin kembali ke goat-bio, untuk menjemput lima biksu lainnya, setelah sepuluh sebelas biksu sampai di tempat Lauw-jin, upacara pernikahanpun di jalankan oleh Pouw-suhu, Kwaa-Yang-bun dan Lauw-li-hua disandingkan dibalai-balai, meja altar dan dupa binting sudah dipersiapkan oleh Pouw-suhu menjadikan acara itu terkesan hikmat, pernikahan itu lebih dari cukup, karena dihadiri oleh Lauw-jin sebagai wali Lauw-li-hua, dan dipimpin Puw-ceng- suhu, serta disaksikan Kwaa-yun-peng, Kwaa-han-jin, dan sepuluh murid Pouw-ceng-suhu yang dengan khusyuk memukul alat peribadatan.

Acara yang sederhana tapi berlangsung hikmat selesai saat senja temaram, Kwaa-yun-peng, Lauw-jin serta kedua mempelai diberi selamat yang dimulai oleh Kwaa-han-jin, Pouw-ceng-suhu dan sepuluh murid, setelah itu merekapun makan dan minum dengan luapan rasa bahagia.

“Kwaa-sicu dan Lauw-sicu, baru kali ini aku menikahkan memepelai yang istimewa dan menakjubkan hatiku.” ujar Pouw- ceng-suhu

“hehehe..hahaha…Pouw-suhu sungguh pandai memuji.” sela Lauw-jin

“sungguh Lauw-sicu, perjalanan kami kesini siapapun akan takjub, bila kami ceritakan, pernikahan yang hanya dihadiri beberapa orang ini menjadi istimewa melihat keadaan kedua memepelai, rasa cinta yang suci dan pengorbanan yang dalam antara keduanya jelas terasa pada upacara yang saya lakukan ini.”

“terimakasih Pouw-suhu, ini semua dapat terlaksana berkat kebesaran hati Pouw-suhu.” sela Kwaa-yun-peng. Makan minum berlangsung sampai malam tiba, lalu Pouw-suhu minta izin untuk kembali, Han-jin dengan rasa terimakasih mengantar sebelas biksu itu kembali k eke goat-bio, setelah semua biksu sampai di goat-bio, Han-jin memberikan sepuluh tail emas kepada Pouw-ceng-sicu sebagai ucapan terimakasih dan sekedar bantuan pada keberlangsungan goat-bio, pemberian itu merupakan perintah dari kakaknya yang memang membawa bekal yang banyak dalam perjalanan ke tempat Lauw-jin, kemudian Han-jin tidak kembali ke bian-san, tapi dia bermalam di sebuah lembah bersama Pek-thouw.

Kwaa-yun-peng dan Lauw-jin duduk dibalai-balai sambil mengobrol, sementara Li-hua didalam kamar pengantin menyiapkan sesuatu, alas dipan pengantin ia lepas, sehingga dipan itu hanya tinggal alas dari bambu yang di tata,

“bun-ko, lepaslah dua bilah bamboo ini.” ujar Li-hua, Yang-bun dengan tenaga kasar merenggut dua bilah bambu sehingga keduanya lepas, kemudian Li-hua meletakkan mangkok yang berisi ramuan kapur barus dan bunga mayat yang sudah ditumbuk dibawah dipan dibagian dua bilah bambu yang sudah dilepas, Yang-bun yang melihat semuanya itu merasa haru dan hangat.

Kwaa-yang-bun dengan segenap rasa cinta mencumbu istrinya, Li-hua dengan helaan nafas yang memburu demikian menikmati cumbu rayu suaminya, semakin lama permainan suami istri itu meningkat, Yang-bun membaringkan istrinya didipan yang sebenarnya tidak nyaman, namun ada maksud dari semua itu, Li-huan meletakkan buah pinggulnya yang telanjang pada bagian dua bilah bambu yang sudah dilepas, sedikit ia mengangkat pinggulnya untuk memudahkan suaminya, terdengar desis sakit saat suaminya masuk, dengan berbisik ia menyuruh suaminya mencabut dan melihat kebawah, Yang-bun pun melakukan perintah istrinya, dan melihar darah menetes tepat masuk kedalam mangkok ramuan, setelah beberapa lama

“apakah masih menetes bun-ko ?” bisik Li-hua “sudah tidak lagi hua-moi.”

“lakukan lagi bun-ko.” desah Li-hua dengan nafas memburu, Yang-bun melakukan lagi, semakin dalam suaminya masuk, Li- hua mendesis lagi dengan ringisan sakit, lalu tanpa diperintah Yang-bun keluar dan melihat kebawah, kembali darah menetes memasuki mangkok ramuan obat..

Ada beberapa kali mereka melakukan hal yang sama, sampai Li-hua merasa dirinya plong dan robek, dalam permainan yang penuh maksud ini, Li-hua meminta suaminya untuk tidak memorsir tenaga, dan segera menyelesaikan permainan, Yang- bun juga mengerti, hanya beberapa menit saja, ia sudah menumpahkan apa yang ia miliki untuk istrinya tercinta, setelah selesai, LI-hua segera memembungkus tubuhnya dengan selimut, lalu mengambil obat dan pergi kebelakang, dia mengaduk obat dengan air hangat, tiga campuran obat itu rata dan menyatu, warna obat itu menjadi kekeuning-kuningan, setelah itu ia kembali kekamar, dengan hati mesra dan sayang luka Yang-bun dilamuri dengan obat, Yang-bun merasakan panas pada lukanya, sehinga luka itu mengeluarkan asap hitam, bau busuk pun menyebar, untungnya Li-hua telah melamuri hidungnya dan hidung suaminya dengan serbuk, sehingga aroma busuk dari asap yang hitam yang keluar tidak mengganggu.

Tubuh Yang-bun penuh keringat karena rasa panas itu sangat nyeri, namun tatapan istrinya yang bening membuat nyeri itu tidak ia rasakan Yang-bun, hanya rasa gerah karena panas yang menyebar membuat dia berkeringat, hampir satu jam asap itu mengepul dari luka Yang-bun, ketika obat itu mongering, Li- hua mengikisnya dengan sumpit, lalu kembali ia melamuri luka suaminya, rasa panas kembali menergap urat sayaraf Yang- bun, dan asap hitam kembali mengepul, tapi kali ini hanya setengah jam, obat Li-hua belum menegring asap hitam sudah berhenti

“duduklah Bun-ko !” perintah Li-hua, Yang-buh duduk sambil memeprbaiki kain yang membalut dipinggangnya, Li-hua pergi kedapur dan membawa dua teh hangat, teh untuk suaminya merupakan obat pembersih darah, dan untuknya hanya teh biasa, keduanya minum saling menatap mesra, setelah itu Li- hua mengajak suaminya tidur dilantai,Li-hua dengan hangat memeluk suaminya, ia letakkan kepalanya dibahu suaminya yang kekar dan tidur dengan pulas, yan-bun dengan lembut mendekap punggung istrinya dan harumnya rambut istrinya yang gemuk dan panjang membuat rasa nyaman tidak terperikan. Keesokan harinya Yang-bun bangun merasakan hal yang luar biasa, luka di bahunya tidak lagi terasa, denyutan nyeri hilang sama sekali, Li-hua juga terbangun, Li-hua menggelung rambutnya, kedua lengan yang terangkat itu merupakan pemandangan indah bagi mata Yang-bun, Yang-bun tidak tahan untuk mengecup ketiak istrinya yang putih berbulu halus, Li-hua memberikan kesempatan pada suaminya untuk melakukan apa yang hendak dilakukan, getaran geli menyeruak sehingga Li-hua menggelepar

“sudah..aku periksa dulu lukamu Bun-ko.” ujar lihua sambil menurunkan tangannya

“lukakku tidak sakit lagi Hua-moi.”

“syukurlah kalau begitu, coba bersihkan dan lihat.” sahut Li- hua, kemudian ia berdiri dan segera kedapur, tidak lama ia membawa sebaskom air, kemudian dengan perca kain Li-hua menggosok luka itu, dan tumpukan luka itu tersingkir, Li-hua meletakkan percaan kain kedalam tempurung, lalu dengan tangan telanjang ia memnggosok bahu dan dada suaminya yang putih, luar biasa, luka itu besih tanpa bekas.

Kwaa-yang-bun mencoba mengerahkan sin-kang, pembul darahnya bergerak cepat, urat nadinya lancer, pintu semua titik dibadanyya siap menerima aliran sin-kang, Yang-bun dengan gembira menciumis istrinya, sedu sedan muncul, isak bahagia ditumpahkannya pada wajah istrinya yang cantik

“sudah bun-ko, sekarang mari kita mandi, sebelum kakek dan ayah mertua datang.” ujar Li-hua, lalu pengantin itu pun mandi bersama di sumber air yang ada dibelakang rumah. Saat matahari sudah tinggi Kwaa-yun-peng dan Lauw-jin mendakit bukit, malam itu mereka ternyata turun keperkampungan, Lauw-jin yang tahu keadaan mengajak Yun- peng untuk turun kekampung dan bermalam dirumah sahabatnya, dan saat matahari sudah naik tinggi barulah mereka sampai kembali kepondok, dimana Yang-bun sedang bergurau mesra dengan istrinya, melihat ayah mertuanya datang LI-hua segera masuk kedalam, dan menyiapkan minuman, Yun-peng yang melihat putranya tersenyum cerah membuat ia senyum bahagia

“baikkah keadannmu Bun-ji ?” tanya Yun-peng dengan haru “aku sangat baik dan sehat ayah, terimakasih kongkong.” sahut Yang-bun penuh semangat, rasa syukur Yun-peng bertalu-talu dalam hatinya melihat kondisi putranya.

Luaw-jin dan Kwaa-yun-peng duduk dibalai-balai, lalu Li-hua datang membawa nampan berisi sepoci teh hangat dan pisang rebus

“hanya pisang rebus dan teh hangat gakhu.” ujar Li-hua menunduk hormat, Yun-peng terisak dan menarik menantunya lalu mencium kening menantunya

“ini sudah lebih dari cukup menantu, dan laur biasanya belum kucicipi sudah kurasakan kelezatannya.” sahut Yun-peng sambil mengusap matanya yang hanya sebelah.

“hahaha..hehehe…kwaa-sicu, marilah kita makan !” ujar Lauw- jin mencairkan suasana hati Yun-peng, dengan hati lapang dan senyum bahagia, Yun-peng menikmati teh hangat dan pisang rebus. Menjelang siang Kwaa-han-jin datang mendaki bukit “dimanakah kamu tidur Jin-te ?” tanya Yun-peng

“hehe..aku menemani pek-thouw peng-ko, eh bagaimana denganmu bun-ji ?” sahut Han-jin dan bertanya pada Yang-bun yang keluar dari dalam rumah

Keadaanku sangat baik siok.” sahut Yang-bun

“lalu mantu mana ? secangkir teh dari mantu sangat kuinginkan.”

“hehehe…hahaha…hahha…” tidak dinyana tubuh saja yang muda she-taihap, namun pikiran dan jiwamu amatlah matang dan bijaksana.” sela Lauw-jin takjub, Han-jin tersenyum “hehe..Lauw-twako pandai saja melebihkan.” sahut Han-jin, tidak lama Li-hua dan keluar membawakan secangkir teh pada paman mertuanya yang setahun lebih muda darinya ini. “mantu…kamu tahu apa hadiah yang akan kuberikan padamu karena teh yang nikmat ini ?” ujar Han-jin, Li-hua tersenyum dan menunduk, mukanya bersemu merah

“aku tidak tahu siok.” sahut LI-hua, lalu Han-jin memberikan kalung emas yang sangat indah dengan mainannya sebentuk mutiara hitam.

“ini adalah kalung ibu kami mantu, jadi kuberikan padamu.” ujar Han-jin sambil mengalungkannya pada Li-hua, Li-hua tidak menduga bahwa paman mertua yang muda ini akan memberikan barang seindah itu

“terimakasih siok.” sahut Li-hua “terimakasih siok.” sela Yang-bun

“hehehe..peng-ko bukankah mantu kita ini luar biasa ?” “benar jin-te, anugrah thian yang agung tiada cacat cela.” Sahut Yun-peng senyum, Li-hua tersenyum menunduk dan segera berlari kedalam.

“Peng-ko akan kemanakah kita setelah ini ?” tanya Han-jin

:”kita akan ke lokyang, saya ingin menziarahi liong-ko.” sahut Yun-peng

“bagaimana lauw-sicu, mungkin kami akan berangkat dan terimakasih yang tidak terhingga akan semua yang kami dapatkan ini.”

“hehehe..kwaa-sicu, saya juga tidak dapat melukiskan rasa bahagia yang kurasakan, cucuku sudah menjadi mantumu, maka kemutlakannya ada padamu, doaku selalu menyertai kalian.”

“baiklah lauw-sicu, nanti sore kami akan berangkat

“hua-ji kakek sekarang sudah lega, kamu dapatkan jodoh luar biasa, kamu jangan khawatirkan aku hua-ji, saat seperti ini sudah lama aku nanti, dan aku sangat bahagia Hua-ji.” ujar Lauw-jin pada cucunya, Li-hua terisak dan memeluk kakeknya. Perpisahan itu memang menyedihkan namun pertemuan dan perpisahan merupakan kenyataan mutlak dalam hidup.

Sore itu Han-jin dan Yun-peng berangkat ke Lokyang, sementara Yang-bun dan istrinya oleh Han-jin disuruh plesiran dengan pek-thouw

“Bun-ji bawalah istrimu bersama pek-thouw untuk plesiran dan setelah itu kalian berangkat kepulau kura-kura dan kita akan berkumpul disana, bukankah demikian Peng-ko ?” ujar Han-jin “benar Jin-te, jadi bun-ji lakukanlah seperti yang pamanmu katakana.” sahut Yun-peng, Han-jin bersuit, pek-thouw tidak

lama melintas, Han-jin terbang keudara, jarak itu bagi Yun-peng dan Yang-bun masih sulit untuk dijangkau gin-kang mereka, namun bagi Han-jin jarak itu sudah dapat dijangkau dengan ginkangnya.

“pek-thouw beberapa hari ini kamu akan bersama keponakanku Yang-bun dan istrinya, jadi coba dengarkan suitanya.” ujar Han- jin kemudian ia kembali melompat kebawah

“bun-ji sekarang coba kamu bersuit !” perintah Han-jin, Yang- bun-pun ber suit, lalu pek-thouw melintas.

“sekerang coba kamu pergi kesisi bukit dan bersuit.” peerintah Han-jin, Yang-bun berkelabat hampir menghilang menuju sisi lain bukit, lalu bersuit, dan tidak lama Pek-thouw muncul, lalu Yang-bun kembali ke pondok

“bagaimana Bun-ji ?” tanya Han-jin “pek-thouw melintas diatasku jin-siok.

“sekerang coba bersuit lagi !” perintah Han-jin, Yang melakukan, dan pek-thouw semakin cepata datangnya. “bagus, dan sekarang jika kalian ditempat yang luas ada bagi pek-thouw tempat mendekam, tidak masalah, tapi jika tempat itu tidak ada , carilah satu area yang bisa pek-thouw melintas yang bisa kamu jangkau sambil menggendong mantuku, hehehe…” ujar Han-jin.

“baik siok, aku akan perhatikan pesan siok.

“baik, bagaimana peng-ko kita berangkat !? tanya Han-jin “baik..marilah jin-te.” sahut Yun-peng “lauw-sicu, kami permisi !” ujar Kwaa-yun-peng sambil menjura, dan dibalas oleh Lauw-jin.

Dua she-taihap berangkat dengan gerakan gin-kang luar biasa, sementara Yang-bun dan istrinya kembali kedalam, kedua mempelai itu belum berangkat, Yang-bun dan istrinya masih menemani Lauw-jin selama tiga hari di bian-san, setelah tiga hari Li-hua pun merasa lapang meninggalkan kakeknya, Yang- bun dan Li-hua menuruni bukit, dan sebuah lembah setelah perkampungan Yang-bun bersuit, dan pek-thouw pun muncul melintas rendah, dengan mudah Yang-bun melompat kepunggung pek-thouw sambil menggendong istrinya.

Sebulan setelah kematian Kwaa-sin-liong dan putra bungsunya, Kwaa-gan-bao kembali membuka dan melanjutkan usaha ayahnya, Gan-bao sebagaimana biasa membuka toko setiap hari bersama A-sun

“siang ini panas sekali ya paman A-sun !?”

“benar siauwya, mungkin hujan mau turun.” sahut A-sun “paman A-sun pesanlah minuman kekedai paman pouw, dan suruh antar kemari !”

“baik siauwya.” sahut A-sun segera keluar dan menyebrang jalan raya menuju sebuah kekedai kecil yang menjual minuman “pek-pouw, dua cangkir minuman segar untuk saya dan siuaw- ya.”” ujar A-sun

“baik A-sun, she-taihap ternyata sudah kembali membuka toko setelah sebulan tutup.”

“benar pek-pouw dan tolong diantar ketoko yah !?” “baik, nanti akan saya suruh antar keseberang.” sahut Pouw- gan, A-sun kembali ke toko, sementara Gan-bao sedang melayani seorang pembeli.

Tidak lama kemudian seorang gadis datang membawa sebuah nampan dengan dua cangkir minuman segar yang ditutup dengan daun

“paman A-sun ! saya datang mengantar minuman yang dipesan.” ujarnya lembut, Kwaa-gan-bao terkesima melihat wajah cantik yang kulitnya putih sehingga kelihatan merah karena ditimpa terik matahari, Pouw-lan yang di pandangi begitu semakin menunduk, A-sun yang melihat tuannya terkesima senyum

“hehee..terimaksih pouw-siocia, siuawya ! kenalkan ini adalah Pouw-lan putri dari Pouw-gan

“eh..i..iya ma..maaf siocia,hehe..hehe…terimakasih, aku Kwaa- gan-bao.” sahut Kwaa-gan-bao merasa mencoba tersenyum untuk menutupi hatinya yang jengah karena ketahuan terpana melihat gadis cantik didepannya.

Minuman pun diletakkan, Pow-lan dengan hati berbinar menyeberang kembali ketokonya, wajah she-kwaa itu amat tampan, dia tidak menyangka bahwa Kwaa-tan-bouw masih punya kakak, yang sama tampannya dengan Kwaa-tan-bouw sendiri, Pouw-lan masuk kembali kedalam kedai dan naik ke tingkat atas, dari sana ia coba mengintai ketoko Kwaa-gan-bao, ia tersenyum sendiri dan mukanyya memerah karena malu sendiri dengan perlakuannya. Menjelang sore, Kwaa-gan-bao mengantar cangkir minuman ke kedai Pouw-gan, A-sung garuk kepala yang tidak gatal melihat tuan mudanya, sejak minuman itu datang, jika pembeli tidak ada, Kwaa-gan-bao mengajak A-sun bercerita tentang Pouw- lan, nampak memang tuan mudanya ini terpaut cinta pada Pouw-lan, dan umur tuannya memang sudah sangat matang, hampir dua puluh empat tahun, dan sudah patut untuk segera dapat istri

“biarlah aku antar siauw-ya !”

“aku saja yang antar paman A-sun, hehehe...hehehe… mana tahu bisa ketemu dengan Pouw-lan.”

Kwaa-gan-bao memsuki kedai Pow-gan

“hayaa…! Bao-ji kenapa repot-repot mengantar.” sela pouw-gan “tidak apa-apa paman pouw.” sahut Gan-bao sambil melirik sana-sini, namun pouw-lan tidak kelihatan

“hmh..ada yang bao-ji cari ?” sela Pouw-gan

“ah..tidak paman-pouw, saya permisi.” sahut Gan-bao, lalu Gan-bao keluar diantara Pouw-gan heran, Gan-bao sedikit kecewa, karena tidak melhat wajah Pouw-lan, sesampai dirumah Gan-bao mandi dan berganti pakaian, saat makan, sepertinya ia tidak berselera, luar biasa panah asmara yang menghantamnya siang itu

“kamu kenapa bao-ji, makanmu kok sedikit ?” tanya ibunya “hmh…aku tidak merasa enak badan ibu.” sahut Gan-bao “kalau begitu minumlah obat dan istirahatlah !” sela ibunya sedikit heran “baiklah ibu, saya akan istirahat.” sahut Gan-bao dan meninggalkan ruang makan, Gan-bao merebahkan diri diatas ranjang, bayangan wajah imun nan cantik Pouw-lan terbayang dipelupuk matanya, hatinya merasa nyaman dengan bayangan itu, hatinya hangat dan rindu, malam itu Gan-bao amat tersiksa, karena matanya tidak bisa diajak tidur, lalu Gan-bao mengerahkan tin-liong-siulian, dan dalam sekejap iapun larut dan tidur dengan pulas.

Pagi harinya dengan semangat menggebu Gan-bao berangkat kepasar bersama A-sun, A-sun merasakan ada yang janggal pada diri tuan mudanya, namun hatinya senyum maklum akan keadaan tuannya yang terjerat serat cinta, sesampai dipasar, keduanya membuka toko dan membersihkan halaman toko, mengatur dan menata aneka macam obat dalam rak, mata Gan-bao tidak lepas dari mengawasi kedai Pouw-gan, dan “sirrrr…..” darah Gan-bao tersirap, sontak tubuhnya lemah, karena melihat pujaan hati keluar dari dalam kedai dan menyapu halaman, luar biasa giirang dan bergetarnya hati Gan-bao melihat tubuh Pouw-lan yang membungkuk sambil menyapu, A-sung pura-pura tidak tahu sambil sibuk dengan pekerjaannya.

Pasar pun kian ramai, para ibu-ibu sudah berlalu-lalang belanja kepasar, para pedagang yang lain pun sudah pada membuka toko, riuh rendah suasana sebagaimana biasa terjadi dalam pasar, kali ini Gan-bao segera menuju kedai Pouw-gan, Pouw- lan yang melihat Gan-bao datang, segera bergegas masuk dengan wajah pucat karena hatinya berdegup kencang, dia tidak menduga akan kedatangan Gan-bao yang menggangu tidurnya semalam, dari balik tirai dibagian dapur ia mengintai “oh..bao-ji mau pesan apakah ?” tanya Pouw-gan dengan senyum

“paman pouw saya memesan bubur kacang hijau dan teh manis.”

“baik diantar atau makan disini bao-ji.”

“disini saja paman ! aku mau makan disini.” sahut Gan-bao “lan-ji..! suruh A-rong siapkan bubur dan teh manis, lalu antar kedepan.” teriak Pouw-gan, Pouw-lan terkesiap, hatinya berdegup kencang

“oh..dia akan makan disini.” pikir Pouw-lan, hatinya terbetik rasa senang dan mesra, namun degupannya membuat dia lemas dan berkeringat.

Pouw-lan dengan hati bergetar mengantar bubur dan minuman, dibalik tirai ia menguatkan dirinya menenangkan degupan jantungnya, lalu tirai disingkap, tatapan matanya disergap tatapan Gan-bao, nampanpun bergetar, tubuhnya lemas, dia langsung menunduk dengan wajah merona merah, sesat dia terdiam dan menarik nafas, lalu dia melangkah mendekati Gan- bao

“lan-moi…! bisik Gan-bao, Pouw-lan meletakkan nampan diatas meja seraya memejamkan mata dan lalu menatap wajah tampan yang tersenyum manis didepannya, hatinya hangat, senyuman itu demikian membuatnya nyaman, panggilan itu luar biasa mengelus batinnya “ada apakah bao-koko ?”

“tamu pun baru aku seorang, duduk dan temanilah aku !” “aku malu koko, apa kata ayah nanti ?” sahut Pouw-lan, Gan-

bao menatap Pouw-gan yang sedang membersihkan meja kasir dengan kamoceng

“tidak apa, dudulah sebentar.” sela Gan-bao berbisik, Pouw-lan lalu duduk

“nanti malam aku ingin bertemu, keluarlah dan kita jalan-jalan disekitar taman kota.”

“baiklah bao-ko, aku akan menunggumu.” sahut pouw-lan, Gan- bao memakan buburnya dan minum teh hangat, setelah itu

Bao-gan membayar makanan

“paman pouw, semangkok bubur dan teh untuk paman A-sun tolong diantar.”

“baiklah Bao-ji.” sahut Pouw-gan, Gan-gan keluar sambil mengedipkan mata pada Pouw-lan, Pouw-lan tersenyum dan menunduk malu, luar biasa perubahan rasa takut yang menimpa batinnya menjadi kenyamanan yang hangat seakan keduanya sudah sangat dekat dan lama berkenalan.

Malamnya Gan-bao dengan hati ringan keluar dari rumah menuju pasar, rumah Pouw-lan sepi, namun Gan-bao tidak lama menunggu, Pouw-lan sudah keluar, dandanannya rapid an cantik, wajahnya cerah dan aroma tubuhnya harum, lalu keduanya berjalan menelusuri jalan raya

“kemanakah kita bao-ko !?”

“kita duduk disana lan-moi.” sahut Gan-bao, lalu mereka duduk dibawah pohon persik yang tumbuh ditaman kota

“lan-moi, pertemuan kita semalam sangat membuatku terpesona dan hatiku merasa hangat.”

“aku juga demikian bao-ko, aku tidak dapat lupa, kamu selalu membayang dalam benakku, tidurpun aku tidak bisa.”

“lan-moi, perasaan kita sama, pada pandangan pertama.” “benar bao-ko, kita sama-sama cinta pada pandangan pertama, dan tindakanmu yang super cepat membuatku takut dan lemas.”

“aku tahu sayang, karena aku jelas melihatnya, dan aku tahu bahwa kamu mengintaiku dari tingkat rumahmu, dan karena itulah aku yakin dengan tindakanku, aku tidak sabar untuk meraih dirimu.” sahut Gan-bao

“oh..bao-ko tahu ?” sela Pouw-lan tertunduk malu. Gan-bao tersenyum,

“untunglah kamu bertindak seperti itu,hingga aku tidak lama tersiksa permainan perasaan.” ujar Gan-bao.

Hubungan Gan-bao dan Pouw-lan semakin erat bertaut, cinta bermekaran disetiap langkah pertemuan, hanya sebulan pacaran, Gan-bao mengajak ibunya melamar Pouw-lan kepada ayahnya, pembicaraan berlangsung sesuai harapan, cinta keduanyapun berlabuh dihamparan pelaminan, Tang-bi-wei merasa bahagia, dengan kehadiran menantunya yang baik dan cekatan, rumahnya terasa semarak, rasa kehilangan tergantikan dengan kehadiran sang menantu dirumah. Tiga bulan kemudian Tang-bi-wei merasa bahagia dengan kenyataan bahwa menantunya sedang hamil, dan berita itupun lansung didengar Pow-gan, dan malamnya Pouw-gan dan istrinya menjenguk putrinya dirumah besannya, kedatangannya disambut hangat oleh besan dan menantunya, segulung kain dihadiahkan untuk putrinya, bersamaan dengan itu dua tamu datang, A-sun yang pernah melihat Han-jin segera menyambut “selamat datang loya.” sambut A-sun

“selamat berjumpa A-sun.” sahut Han-jin

“mari, hujin dan siauwya ada diruang tegah dan kebetulan besan hujin datang berkunjung.” ujar A-sun, lalu membawa Kwaa-han-jin dan Kwaa-yun-peng keruang tamu.

Kwaa-gan-bao dan Tang-bi-wei terkejut bahagia melihat kedatangan Kwaa-han-jin, dan Tang-bi-wei terenyuh melihat adik iparnya Kwaa-yun-peng, isaknya berdarai memeluk adiknya

“peng-te, apa dan kenapa ? apa yang terjadi padamu adikku ?” tanya Tang-bi-wei disela tangisnya.

“sudah ! janganlah menangis soso, aku dengar besan kita datang, sungguh tidak baik soso, aku tidak apa-apa.” sahut Yun-peng, Tang-bi-wei mengusap air matanya.

“peng-te, jin-te, ini adalah Pow-gan besan kita, ayah mertua Bao-ji, Pouw-te dan Pouw-hujin, ini dua adik iparku Kwaa-yun- peng dan Kwaa-han-jin” ujar Tang-bi-wei memperkenalkan,

Pouw-gan dan istri menjura

“selamat datang she-taihap.” ujar Pouw-gan “selamat bertemu Pouw-twako.” sahut Yun-peng dan Han-jin bersamaan

“hehehe..kedatangan kami ini sungguh tepat, soso, bukankah demikian pouw-twako ?” sela Han-jin

“hehehe..memang benar Jin-te, kami berkunjung karena mendengar putri kami berubah badan.

“oho….hahaha….sebentar lagi kita akan menimang cucu soso.” sela Yun-peng dengan tawa berderai, Pouw-lan tertunduk,

Gan-bao senyum renyah

“alangkah bahagia hatiku peng-siok, jin-siok dengan kedatangan ji-siok.”

“kami juga bahagia bao-ji, tidak dinyana kami mendapatkan mantu, bahkan sebentar lagi seorang cucu, hehehe…” sahut Han-jin

Seorang pelayan datang dan berbisik pada Tang-bi “karena makanan sudah dihidang, jadi marilah kita makan

pouw-te, dan kalian juga peng-te dan Jin-te.” ujar Tang-bi-wei, lalu merekapun menuju ruang makan, makanan itu sebagian adalah makanan bawaan dari Pouw-gan untuk mantu dan putrinya, suasana sangat semarak dan menyenangkan, dan saat santai, mereka berkumpul semua diruang tengah

“Mei-cici kapan berangkat kepulau kura-kura soso ?” tanya Han-jin

“dua minggu setelah keberangkatanmu Jin-te.” jawab Tang-bi- wei

“bagaimana denganmu Peng-te, ceritakanlah keadaanmu padaku.” ujar Tang-bi-wei, lalu Yun-peng menceritakan keadaannya sampai pengobatan Yang-bun di bian-san, Tang- bi-wei tidak kuasa menahan isaknya, dan pouw-gan juga terheyak mendengar apa yang dialami oleh she-taihap, yang ternyata bukan hanya menimpa besannya tapi bahkan saudara- saudaranya.

“bagaimana dengan orang-orang aniaya itu, jin-te ?” tanya Tang-bi-wei

“saya belum berhasil menemukan mereka soso.” Jawab Han-jin “apa yang kita alami merupakan tantangan yang beruntun, soso, jadi syukurlah kita punya ketabahan dalam menghadapinya.” sela Yun-peng

“memang benar peng-te, Mei-cici dan saya mengalami hal yang sama, kehilangan suami, dan ternyata kamu sendiri, istrimu mengalami hal amat mengenaskan, dan dirimu sendiri mengalami cacat seperti ini.” sahut Tang-bi-wei

“dan semua ini tentu ada sebab yang harus kita sadari, keteguhan kita dalam memegang prinsip kebenaran yang kita yakini benar, kadang harus berbenturan dengan pihak yang menentang, yang walaupun kita selalu hati-hati dan berusaha bersikap adil, namun sebagai manusia tetaplah tidak sempurna, dan selalu akan menjadi konflik, sehingga pada gilirannya hari ini kita dihadapkan pada dendam kesumat orang yang merasa sakit hati pada kita.”

“yang menentang juga merasa prinsip yang ia yakini benar, lalu bagaimana kita menentukan kebenaran siapakah yang benar she-taihap ? sela Pouw-gan

“kita menentukan kebenaran diantara dua kebenaran yang di gaungkan adalah dasar dan tujuan sipencetus kebenaran tersebut

“maksudnya bagaimana she-taihap ?”

“saya menyatakan kebenaran sementara pow-twako juga menyatakan kebenaran, maka untuk menentukan kebenaran mana yang benar diantara kita adalah dasar dan tujuan kita menyatakan kebenaran itu

“umpama saya memiliki dasar kebenaran karena pikiran yang runut dengan aturan yang berlaku, bagaimana taihap ?”

“jika kebenaran yang pouw-twako demikian, maka pastilah dasar saya menyerukan kebenaran itu berdasarkan nafsu dan kemauan sendiri, dan tentunya pouw-twako telah dapat menentukan kebenaran siapa yang benar bukan ?” ujar Yun- peng, Pouw-gan mengangguk mengerti

“Hal itu sudah merupakan hukum alam, dimana kebenaran tidak pernah bersanding dengan kebatilan, dan kita tidak harus berusaha mendamaikannya, hanya karena untuk menghindarkan konflik, kita harus tetap pada keteguhan hati memegang aturan dan norma, yang walaupun aturan dan norma itu merupakan rekayasa pemikiran bijak oleh manusia, namun kenyataannya pikiran bijak itu merupakan pesan dari Thian yang mengatur kehidupan.” sela Kwaa-han-jin

“sungguh menarik she-taihap, aturan dan norma adalah rekayasa bijak manusia, selaku manusia tidaklah sempurna, jadi tentunya aturan itu akan berlaku surut dengan pola pikir manusia yang terus berkembang serunut zaman.”

“benar pouw-twako, manusia tidaklah sempurna, yang sempurna hanyalah Thian, tapi satu hal mesti diingat, bahwa pola pikir boleh berkembang, zaman boleh berubah, namun kebenaran sejati tetap merupakan landasan mutlak.” “bagaimanakah kebenaran sejati itu taihap ?”

“kebenaran sejati adalah ketetapan yang seimbang dan maslahat.” sahut Kwaa-han-jin.

“jika oleh ilah zaman dan pola pikir, keseimbangan ini hilang, dan kemaslahatan berubah menjadi kemasfadatan, maka itu artinya aturan dan norma tidak lagi rekayasa bijak, akan tetapi rekayasa nafsu, contoh membunuh, oleh rekayasa bijak manusia, membunuh dengan alasan kuat adalah benar, lalu suata zaman muncul pola pikir menetapkan bahwa membunuh adalah benar, ini adalah pola pikir yang menghasilkan rekayasa nafsu, karena akan menimbulkan pembantaian, atau pola pikir suatu zaman mengatakan, bahwa membunuh apapaun alasannya tetap salah, ini juga adalah pola pikir yang melahirkan rekayasa nafsu, dan juga akan menimbulkan pembantaian.” urai Kwaa-han-jin, Pouw-gan mengangguk mengerti

“perbedaan dua hal ini sangat tipis pouw-twako, dan terkadang tidak disadari bahwa kita telah bergeser dari landasan itu, disinilah makna sebuah perjuangan, setiap perjuangan jelas akan dihadapkan pada kendala dan tantantang, dan semua proses itu, semuanya bertujuan untuk mencapai nilai keseimbangan dan kesempurnaan yang mampu diraih oleh manusia.” sela Kwaa-han-jin. Pouw-gan manggut-manggut puas menyelami uraian kebijakan yang mendalam itu, obrolan keluarga itu makin hangat, pertemuan luar biasa itu sangat dimamfaatkan Pouw-gan untuk bertukar pikiran, karena ia tahu benar bahwa keluarga ini dikenal dengan ilmunya yang tinggi serta kebijakannya yang dalam.

Kwi-ban-ciang dan rekannya setelah dua minggu memasuki kota shang-hai, mereka langsung menuju rumah she-taihap, namun kenyataan she-taihap tidak berada ditempat dan dari keadaan perguruan yang ditutup mereka meyakini bahwa she- taihap sedang berusaha mengobati anaknya yang terluka. “bagaimana sekarang cianpwe ?” tanya koai-ma

“sebaiknya kita ke Lokyang, disana masih ada satu she-taihap yang masih hidup.” sahut Kwi-san-hengcia

“benar, dan setelah yang dilokyang selesai, kita akan ke akan ke Guangdong, karena putrid she-taihap yang dishanghai ini telah menjadi istri seorang tihu.” Sela tok-lian

“bagus kalau begitu, sambil melacak kita berburu, hahaha..hahaha..” sela kwi-ban-ciang, lalu mereka meninggalkan kota shang-hai.

Dua minggu kemudian kwi-ban-ciang dan rekanan sampai dikota zhengzhou, mereka memasuki sebuah likoan, disaat yang bersamaan seorang lelaki berumur tiga puluh tahun lebih juga memasuki likoan, wajahnya yang gagah memiliki sinar mata yang tajam penuh kharisma, ia bukanlah lelaki sembarangan, ia adalah Yo-han putra sulung dari Yo-seng dan Kwaa-thian-eng, satu-satunya she-taihap dari garis perguruan yang menguasai penuh ilmu-ilmu kelaurga Kwee dan Kwaa, Yo-han duduk di samping meja Kwi-ban-ciang dan empat rekannya.

“cianpwe she-taihap kan menyebar, bukankah sebaiknya kita buat daftar nama untuk dapat mengetahui siapa yang sudah mati atau hidup ?” ujar Koai-ma

“tidak perlu, yang penting mulai sekarang, jika bertemu seorang she-taihap, kita akan lenyapkan.” sahut kwi-ban-ciang “hehehe…nyata benar kebencian dalam ucapanmu cianpwe.” sela Yo-han

“tutup mulutmu berengsek, dan jangan ikut campur urusan orang !” bentak kwi-ban-ciang

“cianpwe umur sudah lanjut jangan emosian yang membuat cianpwe rugi sendiri.” sela Yo-han

“his…siapa sih yang mengajakmu ngomong !?” sahut tok-lian, dari tadi ia memang melirik Yo-han penuh minat, kematangan lelaki berumur itu menimbulkan fantasi seksualnya yang menggebu.

“aku mau marah dan tidak, itu urusanku, jadi sekali lagi jaga mulutmu, tok-lian ! kasih tahu lelaki itu, untuk jangan sembarangan dengan saya.” ujar kwi-ban-ciang dengan muka merah memendam amarah.

“siapakah kamu, sehingga mau tahu urusan orang ?” sela Tok- lian dengan nada sedikit lembut

“namaku Yo-han, dan kalian ini siapa yang demikian benci pada she-taihap ?”

“apakah kamu membela she-taihap ?” tanya Tok-lian sambil melangkah, lalu duduk dikursi dan berhadapan dengan Yo-han. “apakah akan ada akibat jika membela she-taihap ?” tanya Yo- han dengan tenang

“tentu, katena orang yang mebela mereka akan ikut mampus.” sela Kwi-ban-ciang.

“boleh aku tahu kenapa demikian benci kalian pada she-taihap

?”

“hehehe…she-taihap adalah ikon dari pek-to, sementara kami adalah penentang pek-to.” sela kwi-san-hengcia.

“Yo-sicu ! apakah kamu membela she-taihap ?” tanya tok-lian dengan tatapan berbinar lembut

“hehehe…hahaha….siapa yang mampu membela she-taihap ? menurutmu siapa selain she-taihap yang mampu membela she- taihap ?”

“tidak ada.” sahut Tok-lian

“nah, lalu kenapa menanyakan saya dengan pertanyaan konyol seperti itu ?” sahut Yo-han, Tok-lian terdiam, lalu menatap Yo- han dengan tajam

“tidak ada yang membela she-taihap, kecuali she-taihap sendiri, apakah kamu she-taihap ?” tanya Tok-lian, empat rekannya langsung menoleh ke arah Yo-han “hehe..hehehe…luar biasa nafsu membunuh cuwi sekalian terhadap she-taihap.”

“cepat katakan ! apakah kamu she-taihap !?” bentak kwi-san- hengcia

“hmh…benar, saya adalah she-taihap.” sahut Yo-han “mampuslah kalau begitu !” teriak Kwi-ban-ciang sambil mengirim pukulan, namun dengan gesit Yohan menghilang dan bergerak kehilang, Kwi-ban-cian dan kwi-san-hengcia yang mampu melihat kelabatan tubuh Yo-han langsung menyerang keluar, dan pertempuran pun berlansung seru, tiga rekan cianpwe langsung ikut masuk dalam pertempuran, tok-lian dengan rasa kecewa mengintai untuk meraih kesempatan melempar jarum-jarum beracunnya, demikian pula dengan lotong.

Dua-cianpwe dan koai-ma bergerak gesiti mengurung she- taihap, Yo-han dengan Im-yang-bun-sim-im-hoat menyambut setiap serangan yang datangnya bertubi-tubi, beradunya singkang merupakan trik jiti kawanan itu untuk memberi peluang pada dua rekannya menyerang she-taihap, tempat pertempuran sudah bergetar hebat, suara dahsyat akibat singkang yang diadu menggelegar luar biasa. beberapa kali serangan dua pengintai masih dapat diatasi oleh Yo-han, kekuatanya masih prima untuk berkelit dan membalas serangan.

Pertempuran sudah melampaui dua ratus jurus, warga yang menonton dengan mata tidak berkedip mencoba mengikuti pertempuran, namun pertempuran tingkat tinggi jauh dari jangakaun mata mereka, sehingga banyak dari mereka pusing dan berpaling, terlebih suara gelegar adu sin-kang membuar mereka harus menyingkir dari tempat itu, Yo-han merasakan tekanan yang laur biasa, untuk fokus merobohkan koai-ma atau dua orang pengintai selalu gagal karena kegesitan dan keuletan dua cianpwe, Yo-han mengerahkan jurus kedelapan dari Im-yang-pat-sin-im-hoat, dan lima puluh jurus kemudian, Yohan dengan tepat menghantam punggung koai-ma, sehingga Koai-ma tewas seketika, namun dua pukulan dahsyat dari dua cianpwe harus dia terima sebagai gantinya, untungnya siu-to- po-in membentengi dirinya, namun dua pengintai sudah mengirimkan serangan saat keadaan Yo-han masih bergetar, Yo-han tahu serangan, dan sekenanya ia menghindar dan menyapok, dan bersamaan dengan itu serangkum hawa meruntuhkan semua senjata dari tok-lian dan lotong.

Di hadapan mereka berdiri dua orang dan salah satunya sangat ditakuti lima kawanan itu, keduanya adalah Kwaa-yun-peng dan Kwaa-han-jin, Kwaa-han-jin dengan gerakan im-yang-sian-sin- lie mengurung empat kawanan itu, Kwi-ban-ciang dan kwi-san- hengcia hendak melarikan diri, namun kali ini sepertinya Kwaa- han-jin tidak mau melepaskan kawanan ini, dua tamparan telah im-yang-sian-sin-lie sudah membuat lo-tong dan tok-lian pening tujuh keliling, Tok-lian terhempas sambil muntah darah, lo-tong dengan nekat membalas dengan melempar tujuh buah paku beracunnya, namun saat yang bersamaan sebuah pukulan kwi- ban-ciang yang dahsyat, di elakkani Han-jin, sehingga meleset dan menyapu paku-paku kembali kepada lotong dengan kecepatan berlipat ganda

“des….hegh…” lo-tong terhempas dengan nyawa melayang seketika, Kwi-ban-ciang dengan hati mengkal melancarkan kembali serangan, namun Han-jin lebih cepat menutup peluang serangan dua lawannya, dengan gerakan yang membuat kwi- ban-ciang haarus terus mundur, dua cianpwe benar-benar kalang kabut dan terdesak hebat, usaha dua cianpwe dengan nafas memburu membendung serangan yang nyaris tidak kelihatan namun laksana ombak yang menggulung setiap gerakan dan serangan mereka.

Sementara Yun-peng yang berdiri berdampingan menonton pertandingan luar biasa yang sedang berlangsung “siapakah namamu saudara muda !?” tanya Yun-peng

“aku Yo-han cianpwe.” jawab Yo-han

“apakah putra suheng Yo-seng ?” sela Yun-peng cepat

“oh..benar cianpwe, dan siapakah cianpwe dan saudara muda itu ?”

“hehehe..aku adalah pamanmu dan demikian juga saudara muda itu adalah pamanmu.”

“paman…pamanku banyak, pamanku yang manakah, cianpwe

?”

“pamanmu yang berada di shanghai.” sahut Yun-peng “peng-susiok , apakah peng-susiok ?” sela Yo-han dengan mata berbinar gembira

“benar han-ji.” Maafkan tecu susiok, yang tidak berlaku hormat.” ujar Yo-han sambil berlutut dan merangkap tangan

“hehehe..bangkitlah han-ji.” perintah Yun-peng

“lalu..paman yang sedang bertarung pamanku yang manakah, sungguh tecu bingung, paman ini jauh lebih muda dariku susiok.” ujar Yo-han

“hehehe…ini pamanmu yang baru kita ketahui lebih kurang dua tahun ini, namun kenyataannya dia anak ayah dan ibu kwee- kim-in yang lahir pada masa tua.” sahut Yun-peng, Yo-han terkesiap dan kembali menatap pertarungan yang makin menghebat.

Hanya seratus dua puluh jurus kedua cianpwe itu mampu untuk bertahan, dua pukulan kuat dari Han-jin

“buk..plak…” dada kwi-ban-ciang kena hantam, mebuat dia kedinginan, lambung kwi-san-hengcia kena tampar, sehingga membuat dia rasa terbakar, namun kedua cianpwe ini memang luar biasa, hawa itu masih dapat mereka punahkan, dan dengan nekat menyerang dengan kekuatan penuh “dhuar…dhuar…..” suara sin-kang menggelegar, dua cianpwe terlempar dan jatuh menimpa genteng likoan, Kwi-ban-san tewas dengan tubuh menghijau kedinginan, sementara kwi-san- hengcia tewas dengan tubuh gosong terbakar.

Yo-han yang berdiri berdampingan dengan Yun-peng terkesima dengan kekuatan dan kecepatan ilmu im-yang-sian-sin-lie yang diperagakan orang yang barusan diketahuinya sebagai paman mudanya, Han-jin melangkah mendekati Tok-lian dan melihat keadaanya, Tok-lian menatap Han-jin dengan tatapan tajam, wajahnya pucat karena luka dalam yang ia rasakan, namun nyalinya tetap berkobar menantang Han-jin

“bagaimana keadaanmu siocia ?” tanya Han-jin lembut “a..aku sudah tidak berdaya, jika mau bunuh, apa lagi yang kamu tunggu ? bunuhlah saya !” sahut Tok-lian

“apakah tidak terbersit sedikit saja dalam hatimu, untuk menyesali perbuatan dan menebus kesalahan dengan melakukan hal-hal yang baik siocia ?” tanya Han-jin lembut “aku sudah tidak peduli dengan tetek bengek seperti itu, jika kamu memberi kesempatan hidup padaku maka suatu saat aku akan berusaha membunuhmu.”

“hehehe…baik saya dan kamu sebenarnya tidak bisa mengklaim nyawa seseorang, karena nyawa manusia bukan milik saya maupun anda, namun karena gelapnya kesesatan yang menyelimuti pikiranmu membuat tindakanmu nyeleneh dan ngelantur.”

“aku tidak ngelantur, aku sumpah, bahwa jika aku hidup maka aku akan selalu berusaha membunuhmu.”

“siocia sungguh mengenaskan kebutaan hati yang kamu alami, dan karena kejahilanmu yang tidak kenal diri, engkau telah bersumpah dengan sesumbar, maka pergilah siocia, aku tidaklah memberikan kesempatan padamu, dan aku juga tidak akan pernah menunggu dirimu melaksanakan sumpahmu, hari ini mungkin kebutaan hatimu berkarat gulita, tapi besok siapa

tahu, karena Thian kuasa memberikan petunjuk pada manusia.” ujar Kwaa-han-jin, kemudia ia berbalik dan melangkah mendekati kakaknya.

“tecu Yo-han menghadap jin-susiok !” ujar Yo-han sambil berlutut dihadapan Kwaa-han-jin.

“hehehe…han-ji putra seng-suheng dan eng-cici, bangkitlah nak !” sahut Kwaa-han-ji, Yo-han bangkit

“sebelum kita bicara mayat-mayat ini haruslah dikebumikan.” sela Yun-peng

“benar peng-susiok, biar tecu yang melakukannya !” ujar Yo- han, lalu empat mayat itu dipondongnya masing-masing dua orang sebelah tangan, lalu tubuhnya berkelabat kearah gerbang timur kota, Kwaa-yun-peng dan Kwaa-han-jin mengikuti dibelakangnya, beberapa warga yang masih bertahan ditempat itu keluar dan melihat Tok-lian bangkit dengan tertatih-tatih, rasa dingin yang menyergap tubuhnya membuat ia menggigil saat berdiri. Langkahnya gontai meninggalkan tempat itu.

Setelah Yo-han menguburkan empat mayat itu, dia kembali menghadap kedua susioknya

“han-ji mau kemanakah kamu sebenarnya ? kenapa meninggalkan anak mantu di chanchung ?” tannya Han-jin “saya dan keluarga datang berkunjung ke sinyang, oleh ayah saya disuruh kelokyang untuk memastikan kebenaran berita bahwa she-taihap dilokyang telah mati oleh sekawanan hek-to.” sahut Yo-han

“hmh…memang usaha mereka ini untuk melenyapkan kita sangat luar biasa, misi yang terencana dengan trik pengeroyokan terformasi dengan baik.” sela Yun-peng “jadi benarkah susiok hal yang menimpa keluarga kita di Lokyang ?” tanya Yo-han

“benar han-ji, pamanmu sin-liong dan adik sepupumu tan-bouw telah meninggal, dan bukan itu saja, bahwa bibimu juga di wuhan kematian suami, dan saya sendiri kematian istri dan cacat seperti ini.” sahut Yun-peng.

“oh…ternyata demikian mengenaskan dampak dari usaha mereka susiok.” gumam Yo-han

“benar han-ji, dan dua dalangnya sudah kita kuburkan, dan ujian ini sudah berlalu.” sela

Yun-peng

“lalu susiok mau kemanakah ?” tanya Yo-han

“kami mau ke pulau kura-kura, sebaiknya kamu juga ikutlah kami kesana.” sahut Yun-peng

“baiklah susiok, aku akan ikut susiok ke pulau kura-kura.” ujar Yo-han, lalu tiga she-taihap itu pun berangkat.

Istana pulau kura-kura yang megah dihuni dua ratus murid pat- hong-heng-te, she-taihap Kwaa-kun-bao yang berumur lima puluh empat tahun sebagai taisu mengasuh anak-anak didiknya dengan tempaan ilmu-ilmu luar biasa, istrinya Li-ceng-lin dengan penuh setia dan cinta mendampingi suaminya, dua bulan yang lalu putrinya kwaa-hong baru sampai dari perantauan, membuat hati suami istri itu semakin semarak, dan hari itu mereka keadatangan tamu dari kota Kaifeng, tamu itu adalah Tan-liang seorang kungcu bagian selatan kota kaifeng, dengan ramah Kwaa-kun-bao dan istri menyambut mereka, “kunjungan yang tiba-tiba dari tan-kungcu sangat mengejutkan dan sekaligus menyenangkan hati kami, ada apakah kungcu yang baik ?” ujar Kwaa-kun-bao

“hahaha…hahaha….maafkan she-taihap karena kami datang mendadak, ini semua karena desakan anak yang tidak dapat tidak kami harus dukung, karena keingianan itu hal yang membuat kami juga bahagia.”

“hehe..hehe…sampaikanlah kungcu, kami akan mendengarkannya.”

“she-taihap, kami tahu bahwa ada bunga semerbak yang aromanya sangat membuat hati kami nyaman, karena sanking nyamannya terbetik hasrat untuk mempersunting bunga untuk Tan-huang putra kami ini.” ujar Tan-lian sambil mengusap pundak putranya.

Tan-huang adalah putra kedua dari Tan-liang, umurnya dua puluh lima tahun, dan sudah menjabat sebagai kungcu bagian timur kota kaifeng, wajahnya lumayan tampan, dan didikasinya sebagai kungcu boleh diacung jempol, karena ketegasannya yang penuh kharisma, dia lembut merakyat tapi juga bijak dalam menetapkan peraturan, di kaifeng, kungcu muda ini terkenal dengan sebutan Gi-kungcu (pemimpin budiman), Kwaa-hong yang mendengar pembicaraan itu dari ruang dalam terkejut, lalu ia mengintai putra tan-kungcu, wajah yang tidak teralalu tampan, namun sinar mata itu amat berwibawa, sehingga walaupun tidak ganteng tapi tidak jemu mata memandangnya, Kwaa-hong merasakan hal itu, sehingga matanya lekat menatap wajah Tan-huang.

“hahaha..hahaha…sungguh kami merasa terhormat akan perhatian tan-kungcu pada bunga yang tumbuh dipulau ini, tapi apakah hanya aroma yang diketahui oleh kungcu ?”

“tentu tidak she-taihap, bunganya juga sudah putraku lihat, demikian juga aku dan istriku, bahkan kami juga tahu bunga itu baru melintasi kota kaifeng dua bulan yang lalu untuk kembali ketaman dimana ia tumbuh.”

“hahaha..hehehe…kungcu memang telaten memperhatikan, namun bunga jika akan dipindahkan ketempat lain, menurut penglihatanku tanahnya juga baik dan semerbak kesuburannya jadi buah bibir orang, penuh humus yang tidak lekang jadi pujian, tapi itu hanya penglihatanku, lalu apakah bunga itu cocok ditempat yang subur penuh humus itu ? sesuai atau tidak perlu waktu untuk menjajakinya.” ujar Kwaa-kun-bao.

“sungguh tepat apa yang she-taihap katakan, kami akan menunggu she-taihap.”

“baiklah kalau begitu, Tan-kungcu tunggulah sambil makan dan minum, kami akan masuk kedalam sebentar.” ujar Kwaa-kun- bao

“silahkan she-taihap.” sahut Tan-kungcu sambil senyum, Kwaa- kun-bao dan istrinya masuk kedalam menemui Kwaa-hong “hong-ji, tamu kita telah datang mengajukan lamaran padamu, bagaimanakah menurutmu ?” tanya Kwaa-kun-bao lembut pada anaknya, Kwaa-hong menunduk, hatinya bingung “ayah..aku baru dua bulan sampai dari perjalanan, jika menurut ayah keluarga Tan itu baik, maka anak akan ikut apa kata ayah dan ibu.”

“untuk pertimbanganmu saat ini hong-ji, ketahuilah bahwa Tan- huang itu adalah seorang kungcu muda yang memimpin wilayah selatan kaifeng, dan juga yang tidak kalah penting, warga yang dibawah naungannya amat cinta padanya karena kelembutan dan ketegasannya.” ujar Kwaa-kun-bao “sepertinya ayah dan ibu sudah sangat tahu tentang dia, jika memang ia sebagaimana yang ayah katakan, anak tidak keberatan, anak akan berusaha untuk melakukan yang terbaik, untuk tidak memalukan keluarga kita dan keluarganya.” ujar Kwaa-hong.

“baiklah hong-ji, ayah akan merestui jalinan ini, dan semoga keputusan ini juga Thian berkenan.” ujar Kwaa-kun-bao, lalu kembali keluar menuju ruang tengah

“Kedatangan Tan-kungcu dan huang-ji dengan niat baik dan suci mengajukan lamaran hendak mempersunting putrid kami, bersambut baik oleh putrid kami, dan sebagai orang tua kami juga berkenan dengan jalinan.” ujar Kwaa-kun-bao

“berkah teramat agung yang kami dapatkan dengan sambutan baik ini, bersyukur pada thian akan nikmat yang tidak terperikan, dan terimakasih yang banyak tidak terlukiskan kami haturkan pada she-taihap.”

“hehehe…yang kungcu rasakan tidak berbeda dengan kami, jadi marilah kita berembuk dengan segala sesuatunya untuk mewujudkan harapan baik kita ini.” sahut Kwaa-kun-bao, lalu kedua keluarga itupun melanjutkan pembicaraan mengenai hari baik dan pesta pernikahan. dan dipuruskan hari baik pernikahan Tan-huan dan Kwaa-hong dilaksanakan bulan depan.

Dua minggu kemudian Kwaa-hoa-mei sampai kepulau kura- kura, Kwaa-kun-hong amat gembira sekaligus sedih atas apa yang menimpa kakaknya dan keluarganya yang lain, terlebih setelah mendengar bahwa kakaknya sin-liong telah meninggal dunia bersama keponakannya, dan juga adik iparnya bao-ci-lan istri adiknya kwaa-yun-peng yang meninggal dengan cara mengenaskan, namun ketetapan Thian merupalan kemutlakan yang tidak bisa ditawar.

Tiga hari kemudian ketika para pedagang dipelantaran pulau kura-kura dikejutkan dengan munculnya rajawali yang melintas diatas pulau kura-kura, pekikakannya yang merobek angkasa membuat penghuni istana segera keluarm Kwaa-hong sangat gembira

“itu jin-siok ayah..!” seru Kwaa-hong

“benar mungkin Jin-te, mari kita lihat.” sela Hoa-mei, Kwaa-kun- bao yang mendengar akan keberadaan adik mereka yang bungsu membuat hatinya gemas-gemas penasaran, dan ketika mereka keluar.

“eh..itu bun-ji !” seru hoa-mei, Kwaa-yang-bun turun dan mendarat mulus dihalaman istana bersama istrinya Law-li-hua “tecu menghadap bibi dan paman.” ujar Yang-bun sambil berlutut dihadapan Kwaa-kun-bao, Li-ceng-lin dan Kwaa-hoa- mei

“hehehe..bangkitlah bun-ji dan siapakah yang bersamamu ini ?” “ini adalah Lauw-li-hua istri tecu paman, bibi.” sahut Yang-bun,

Kauw-li-hua kembali menjura hormat

“hahaha..menantu bangkitlah !” ujar Hoa-mei sambil menarik Li- hua, lalu memeluknya, Kwaa-hong juga memeluk Li-hua dengan hangat dan senyum yang bertabur, lalu merekapun masuk kedalam istana, pembicaraan hangat berlangsung, Yang-bun menceritakan apa yang mereka alami bersama ayahnya, dan akhirnya berita bahwa ayahnya dan pamannya Kwaa-han-jin juga akan kepulau kura-kura setelah mengunjungi keluarga mereka di lokyang, hati kwaa-kun-bao merasa suka cita bahwa perhelatan pernikahan putrinya akan dihadiri saudara-saudaranya, dan semakin penasaran ia akan wajah adik bungsunya itu, hanya dia yang belum tahu, sementara saudaranya semua sudah tahu bahkan anak-anaknya juga.

Dua hari sebelum pesta pernikahan tiga orang berlabuh di pulau kura-kura, Kwaa-yun-peng, Kwaa-han-jin dan Yo-han, kedatangan mereka dilaporkan seorang murid, semuanya bergegas keluar, yo-han segera berlutut dihadapan para orang tua, setelah itu

“selamat berjumpa bao-ko, saya Kwaa-han-jin datang menghadap.” ujar Kwaa-han-jin, mata kwaa-kun-bao berkaca- kaca melihat adiknya yang baru berusia sembilan belas tahun, ditariknya bahu Han-jin dan dipeluknya

“jin-te…kedatanganmu seperti kedatangan ayah dan ibu.” ujarnya lirih dengan sedu sedan menciumi adiknya, Kwaa-han- jin juga menitikkan air mata, pertemuan itu sangat mengharukan

Kemudian mereka masuk kedalam istana, Kwaa-han-jin terkagum-kagum melihat megahnya istana pulau kura-kura “bao-ko hong-cici dan keluargam, serta niu-ji dan keluarga menyampaikan salam pada seluruh keluarga yang berada di pulau kura-kura.” ujar Kwaa-han-jin,

“oh..bagaimanakah keadaan mereka jin-te ?” tanya Li-ceng-lin “keadaan mereka baik-baik soso, dan juga hal yang tidak kalah penting saya ingin katakana bahwa hong-cici telah memiliki

putra diusia tuanya.” ujar Kwaa-han-jin, semua yang mendengar merasa gembira dan suka cita, terlebih hoa-mei terisak menangis bahagia mendengar berita itu.

“keponakan kita itu sama dengan kamu Jin-te.” sela Kun-bao “benar bao-ko, dan oleh cicih menyuruh aku memberinya nama.”

“siapakah namanya jin-te ?” sela Yun-peng “namanya Bao-jin-han.” sahut Kwaa-han-jin senyum,

pertemuan besar keluarga itu semakin hangat dan semarak, saat mereka mempersiapkan perhelatan pesta.

Hari bahagia Kwaa-hong pun tiba, calon suaminya dengan kapal besar datang, arak-arakan pengantin sangat meriah, keluarga Tan disambut hangat keluarga Kwaa, para undangan dari kaifeng membanjiri pulau kura-kura, pulau itu terasa gegap gempita, para tukang jasa penyeberang mendapat panen yang luar biasa, pesta itu berlangsung selama tiga hari, dan tentunya yang paling bahagia adalah kedua mempelai, Tan-huang dan Kwaa-hong, malam pengantin yang kaku menjadi seni kenangan tersendiri bagi keduanya namun kekakuan menambah eratnya curahan cinta kasih diantara suami istri itu.

Kwaa-han-jin merasakan hangatnya hidup ditengah-tengah keluarganya, umurnya yang masih sembilan belas tahun namun ia termasuk golongan tua dijajaran she-taihap, dan figur itu mampu dia emban dihadapan seluruh keponakannya, didikan ayahnya yang lembut dan matang telah menunjukkan jati dirinya yang luar biasa, ia yang termuda dari golongan tua, namun ia juga membawa aura ayah dan ibunya dihadapan saudara-saudaranya.

Kwaa-hong, Kwaa-yang-bun, kwaa-gan-bao akan menatap

hari-hari depan mereka dengan lembaran binaan rumah tangga yang mereka bina, hikmah she-taihap akan terus mengalir pada generasi berikutnya, amanah she-taihap akan terus berlanjut, semua anggota keluarga itu duduk dihadapan makam Kim- khong-taihap sebagai leluhur yang mengamanahkan gelar she- taihap pada mereka.

Dengan demikian berakhirlah cerita sampai disini, semoga para pembaca yang budiman dapat mengambil mamfaat disamping bacaan yang menghibur.

Tamat
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar