Pendekar Sakti Welas Asih Jilid 4

Jilid 4

“apa dua jalan itu suma-gui ?” tanya Ma-liauw

“jalan pertama, pangcu dan rombongan kembali ke Yinchang malam ini juga sehingga petugas pengadilan tidak sempat menciduk pangcu.”

“lalu jalan yang kedua ?”

“jalan yang kedua kita bereskan pedagang itu malam ini dengan diam-diam.” sahut Suma-gui.

Menurutmu mana jalan yang terbaik ?” tanya Ma-liauw “menurutku kita bereskan pedagang itu dengan diam-diam, karena itu akan lebih membuat kita nyaman, sebab jalan yang kedua akan membuat kantor kita ini disita dan akan melelang kantor ini untuk ganti rugi pada pedagang itu.” sahut Suma-gui “baiklah, kalau begitu kita bereskan pedagang itu, kamu masih ingat kediamannya Tan-sun ?” sahut Ma-liauw sambil bertanya pada Tan-sun

“saya masih ingat pangcu.” sahut Tan-sun

“suma-gui, kamu yang berada dikota ini, bagaimana cara kita membereskan pedagang itu.” ujar Ma-liauw pada suma-gui “kita akan menyusup dengan memekai topeng, dan kita buat seperti perampokan.” sahut Suma-gui. “namun sebelumnya kalian harus bertemu aku dulu.” Sela suara, tiba-tiba Han-jin sudah duduk di kursi antara suma-gui dengan Tan-sun

“eh jin-sin-taihap !? “ seru mereka bertiga terkejut

“benar, saya ingin bicara baik-baik untuk kebaikan semuanya.” sahut Han-jin

“apa maksudmu Jin-sin-taihap ?” sela Ma-liauw pucat pias

“aku sudah mendengar seluruh pembicaraan kalian yang penuh rencana kejam dan kotor.”

“taihap tidak bisakah anda tidak ikut campur masalah ini ?” “pangcu ! anda ini bagaimana, kamu kira aku ini siapa ? yang bisa diajak berunding masalah kejahatan.” sahut Han-jin dengan senyum, melihat senyum Han-jin, Ma-liauw terdiam “pangcu, aku ingin bertanya dan kamu harus jawab dengan jujur, sebenarnya bagaimana beras lapuk dan rusak itu bisa kamu berikan kepada pedagang beras ?”

“heh..kenapa taihap tahu berasnya lapuk dan rusak ?” sela Tan-sun

“karena aku pergi kerumahnya dan dia menceritakannya padaku.” sahut Han-jin

“se..se…sebenarnya be..beras itu kami ganti taihap.” sahut Ma- liauw dengan gugup dan pucat

“hmh…beras yang sebenarnya dimana sekarang ?” tanya Han- jin

“be..beras itu masih tinggal di gudang kantor di kota Datong.” jawab Ma-liauw

“berapa hari bolak balik mengambilnya kesana ?” “dua minggu taihap.” sahut Ma-liauw

“ini menurut saran saya kalau kalian terima, jika tidak bagi saya tidak masalah, hanya mungkin akan lebih runyam jika tidak.” “ma.maksud taihap apa ?” tanya Ma-liauw

“selama dua minggu pedagang beras itu akan merugi karena tidak ada lagi beras yang akan dijualnya sebelum beras itu tiba disini, jadi kalian harus ganti rugi padanya pendapatan selama dua minggu, dan kalian kembalikan berasnya.”

“kalau ti..tidak bagaimana taihap ?” tanya suma-gui

“kalau tidak saya akan menyita semua harta kalian bahkan sekaligus dengan piuawkiok ini, bukankah kalian akan lebih rugi

?” sahut Han-jin

“ba.baiklah taihap kami akan ganti rugi dan bayarkan sekali harga lima belas karung beras milik pedagang itu.” ujar Ma- liauw

“baiklah kalau begitu, mari kita berhitung, berapa harga semua lima belas karung menurut surat jalan yang kalian buat.” “aduh….rincian surat jalan tidak kami bawa dan tinggal didatong, jadi kami hanya bawa surat tanda terima saja.” ujar Ma-liauw

“memang anda ini berniat curang pangcu.” sela Han-jin dengan mata tajam

“maaf..ampuni saya taihap.” sahut Ma-liauw menggigil ketakutan

“tapi saya sudah baca taihap dan saya masih ingat !” sela Tan- sun “hmh..baik berapa menurut yang twako ingat ?”

“menurut catatan Lauw-loya harga lima belas karung itu seratus lima puluh tail perak.” sahut Tan-sun

“kalau begitu keuntungan seluruh beras jika dijual empat puluh lima tail perak, sehingga kalian harus memberikan pada saya seratus sembilan puluh lima tail perak.”

“kenapa harus hal ini juga taihap ikut campur ?” sela suma-gui “karena pedagang beras itu adalah kakak ipar saya, bagaimana

?” sahut Han-jin

“ooh, begitu maafkanlah saya taihap, dan tadi saya sudah menjatuhkannya.” sela

Ma-liauw makin pucat.”

“hal itu tidak masalah, dan kakakku pasti memafkan kelakuan burukmu tadi.” sahut Han-jin

“te..terimakasih taihap.” ujar Ma-liauw menjura beberapa kali “nah disamping seratus sembilan puluh lima tail perak itu, kalian juga akan mengganti dua minggu pendapatan kakakku, menurut kalian berapakah perhari rata-rata pendapatannya ?” ujar Han-jin, ketiga piauwsu itu diam

“ba..bagaimana kalau sehari tiga tail perak ?” ujar Ma-liauw “kalau menurut saya dua tail perak.” sela Han-jin

“ti..tidak taihap saya akan bayar tiga tail perak perhari.” sahut Ma-liauw

“jangan memaksakan diri pangcu, sehingga kamu banyak rugi.” ujar Han-jin

“tidak taihap aku rela bayar tiga tail perak perhari.” ujar Ma- liauw “baiklah kalau begitu, jadi ganti rugi selama empat belas hari dikali tiga empat puluh dua tail perak, dan jika ditambah dengan seratus sembilan puluh lima maka dua ratus tiga puluh tujuh tail perak.” ujar Han-jin

“dan saya akan genapkan dua ratus lima puluh tail perak sebagai tanda meminta maafku pada kakak ipar taihap yang telah kupukul tadi pagi” ujar Ma-liauw

“baiklah terserah pangcu saja, namun pangcu mesti ingat, bahwa kita sudah pernah bertemu dengan situasi buruk, maka kali kedua jika kita bertemu dengan dalam situasi yang sama maka kita akan berurusan lebih lama.”

“ba..baik taihap, aku berjanji tidak akan mengulangi hal buruk lagi.” ujar Ma-liauw

“syukurlah kalau begitu pangcu, sekarang ambillah uang sejumlah yang pangcu katakan.” ujar Han-jin.

“suma-gui cepat ambil uangnya !” perintah Ma-liauw pada suma-gui, suma Gui dan Tan-sun langsung pergi kedalam dan kemudian keduanya keluar membawa sekantong uang yang berisi dua puluh lima tail emas.

“ini dua puluh lima tail emas sama nilainya dengan dua ratus lima puluh perak

“baik pangcu, perkara ini sudah kita selesaikan, dan semoga kita bertemu dalam situasi yang baik.” ujar Han-jing, lalu tiba- tiba hilang dari tempat itu, ketiga piauwsu itu meleletkan lidah takjub, bagi she-taihap muncul dan hilang adalah hal yang biasa, karena she-taihap menguasai ilmu “goat-koan-sim-hang” ilmu intisari dari kitab Bu-tek-cin-keng, tiga piauwsu diam termenung dengan pikiran masing-masing

“besok saya akan pulang ke Hopei.” ujar Ma-liauw pada Tan- sun

“ke Hopei, tapi cabang kita di Yichang masih baru pangcu, para anggota disana masih baru dan masih butuh dengan pangcu.” sela Tan-sun dengan bingung

“mumpung masih baru, cabang di Yichang ditutup saja, cukuplah rute sampai cabang Datong yang kamu pimpin.” sahut Ma-liauw

“jadi apakah saya ke Datong saja ?” tanya Tan-sun

“kamu pergi dulu ke Yichang untuk menutup piuwkiok kita.” sahut Ma-liauw

“baiklah pangcu kalau begitu.” ujar Tan-sun

“pangcu kapan berangkat ke Hopei ?” sela Suma-gui “besok pagi saya akan berangkat.” sahut Ma-liauw. dan kemudian merekapun masuk kekamar masing-masing.

Sesampai dirumah Bao-san, Kwaa-han-jin di sambut A-cin dengan senyum

“kongcu darimana ?” tanya A-cin heran melihat peti besar dan kecil yang dibawa Han-jin

“aku ada urusan tadi twako, mungkin besok kita akan bicara lagi, bukankah Bao-twako sudah tidur ?”

“sepertinya sudah kongcu.” sahut A-cin

“baik, aku juga mau istirahat twako.” ujar Han-jin.

“baiklah kalau begitu kongcu.” sahut A-cin dan diapun kembali meronda sekeliling rumah, dua pegawai Ba-san ini merangkap kerjanya, disamping membantu berjualan mereka juga jaga malam di sekitar rumah, dan untuk memenuhi tidur keduanya bergantian jaga, sementara A-cin jaga, A-leng sedang tidur dikamar, nanti pada saat jam ganti, A-leng yang akan jaga dan A-cin akan tidur sampai pagi.

Keesokan harinya Han-jin beserta kakak dan kakak iparnya makan pagi

“aku mendengar A-cin dan Jin-te bicara semalam, kamu darimana Jin-te ?”

“aku semalam jalan-jalan melihat keadaan kota, kota ini lumayan besar ya cici ?” jawab Han-jin

“dan bagaimana tidurmu jin-te ? apakah nyenyak ?” tanya Swat-hong

“aku nyenyak dan pulas cici.” sahut Han-jin senyum, encikyapun senyum, setelah makan mereka keruang tengah, sementara A-leng dan A-cin sudah membuka toko.

“Bao-twako urusan dengan piuawkiok sudah selesai.” ujar Han- jin

“eh adikku disuruh ngapain San-ko ?” sela Swat-hong “hehehe..hehehe…cici langsung nyelutuk aja.” sahut Han-jin “itu yang tidak bisa aku lupakan pada encikmu ini Jin-te.” sela Bao-san

“hahaha..hahaha….Bao-twako bisa saja.” sahut Han-jin

“eh..merayu yah…semakin tua semakin jadi, apa-apaan ini ?” “ya elah yang dirayu istri sendiri kok orang lain yang sewot, hehehe..hehehe..”

“ih…kamu ini kok merayuku depan adikku.” sela Swat-hong dengan muka jengah

“justrus karena ada adikmu makanya kutunjukkan cintaku padamu, supaya ia tahu bahwa aku sampai sekarang tetap cinta padamu.”

“iih..tidak mau..kau bikin aku malau san-ko.” teriak Swat-hong “sudah..sudah…mari kita dengarkan apa kata Jin-te.” sahut Bao-san

“tidak..katakan dulu apa yang terjadi !?”

“baik aku akan katakan, maka dengarlah !” sahut Bao-san “begini, piauwkiok yang membawa beras yang dikirimkan Lauw- sicu sudah datang kemarin malam, namun ternyata beras itu lapuk dan rusak.”

“eh..kok bisa begitu ?” sela Swat-hong

“itulah aku pun heran dan segera pergi besoknya ke kantor piauwkiok itu untuk menanyakan hal itu.”

“lalu apa jawab mereka ?”

“mereka bilang tidak mau tahu sih, namun aku bilang aku akan perkarakan mereka ke pengadilan, nah bagaimana akhirnya kita dengar dulu cerita Jin-te

“apakah kamu ketemu kakakmu di tempat piauwkiok itu Jin-te

?”

“benar cici, aku ketemu twako ditempat itu

“apa yang mereka lakukan pada kakakmu ?” tanya swat-hong tajam

“cici, mereka memang keterlalauan, jadi aku katakan urusan bisa diselesaikan dengan bicara, makanya aku malam itu sambil jalan-jalan melihat kota, aku mendatangi mereka untuk membicarakan urusan itu.” sahut Han-jin

“aku yakin mereka memukul kakakmu. tapi tidak apa, bukankah engkau sudah selesaikan adikku ?” sela Swat-hong

“sudah cici, tunggu sebentar, aku kekamar untuk mengambil sesuatu.” sahut Han-jin meninggalkan kakak dan cicinya. “kamu jangan marah-marah begitu dong sayang, tidak baik untuk kandunganmu.” bisik Bao-san

“iya aku tidak marah lagi San-ko, kalian demikian hebat menjaga perasaanku, sehingga pandai mengalihkan perhatianku,” sahut Swat-hong

“tapi benar loh aku suka dirimu yang nyelutuk itu.” bisik Bao-san “ih..ceriwis..” bisik Swat-hong senyum manis dan manja

“kalau begitu cium aku.”

“his..kamu kira adikku tidak dengar bisik-bisik kita ini ?” “eh..benarkah ia dengar sampai kekamarnya dibelakang ?” tanya Bao-san meragu, Swat-hong mengangguk, Bao-san terdiam sambil senyum simpul, Swat-hong menunduk main mata pada suaminya.

Han-jin datang membawa sekatong uang dan meletakkan diatas meja

“apa ini jin-te ?” tanya Bao-san heran

“ini adalah ganti rugi yang kami bicarakan semalam, menurut catatan dari she-lauw mitra Bao-twako bahwa harga

tanggungan beras itu seratus lima puluh tahil perak.” “benar Jin-te .” sela Bao-san

“nah pangcu itu setuju mengganti seharga tanggungan, dan juga saya minta keuntungan sebesar empat puluh lima tail perak.”

“yah memang sekisar itulah keuntungannya, tapi itu jarang, paling tinggi perkiraan saya empat puluh tiga tail emas.” sela Bao-san

“kemudian si pangcu juga saya minta ganti rugi selama dua minggu, karena resikonya mulai hari ini Bao-twako tidak berjualan karena kehabisan stok, dan mereka menyetujui, dan saya hitung pendapatan twako dua puluh delapan tail perak selama dua minggu itu, namun oleh si pangcu malah mau memberikan empat puluh dua tail perak, lalu kami total sehingga terjumlah dua ratus tiga puluh tujuh tail perak, dan oleh si pangcu menggenapkan menjadi dua ratus lima puluh tail perak, dan inilah uangnya sebanyak dua puluh lima tail emas.” ujar Han-jin.

“bagaimana sedetail itu kamu memperhitungkannya Jin-te, sunggguh jumlah itu melebihi harapanku.” ujar Bao-san tercenung

“sudahlah Bao-twako, kita syukuri bahwa musibah berakhir dengan baik, terlebih jika memang melebihi harapan kita.” sahut Han-jin

“kamu benar Jin-te, kalau demikian selesailah sudah perkara itu.” sela Bao-san.

”lalu sekarang apa yang hendak Bao-twako lakukan ?” tanya Han-jin “sekarang pergilah kedepan panggilkan A-cin dan A-leng.” sahut Bao-san. Han-jin berdiri dan keluar rumah memanggil A- cin dan A-leng.

“A-cin dan kamu A-leng kita harus segera mencari beras kedesa peng-kin, kamu jumpai Liu-cungcu mana tahu dia punya padi yang siap digiling, kalau ada setidaknya lima karung beras, kamu bantu dan tunggu ia menggiling padi, jika lebih itu lebih baik.” ujar Bao-san

“baik loya.” sahut A-cin

“Bao-twako saya juga ingin ikut cin-twako ke desa peng-kin.” sela Han-jin

“kamu kan baru datang Jin-te ?” sela Swat-hong

“cici, aku disini sampai keponakanku lahir, jadi bolehkan aku bekerja membantu Bao-twako.” sahut Han-jin, Swat-hong melihat suaminya

“baiklah Jin-te, berangkatlah bersama A-cin, semoga kalian dapatkan beras untuk kita jual besok.” sahut Bao-san, Han-jin tersenyum senang, lalu dia dan han-jin berangkat kedesa peng- kin dengan kereta kuda, perjalanan mereka hanya tiga jam sudah sampai kedesa Peng-kin, A-cin menemui Liu-cungcu, kepala desa peng-kin

“ada apa A-cin ?” tanya Liu-cungcu yang berumur empat puluh tahun lebih

“begini cungcu, apakah cungcu ada padi yang siap digiling ?” “ada A-cin dan saya sedang menggilingnya sekarang.” sahut Liu-cungcu “berapa banyak cungcu ?”

“hanya tiga karung beras, A-cin, kami juga sedang bingung.” “kenapa cungcu ?” tanya A-cin

“kami disini sudah panen tiga hari yang lalu, namun hari ini kami tidak bisa panen, padahal masih banyak yang harus dipanen, jika saya dapat memenen semua padi saya, maka akan dapat delapan karung beras.”

“kenapa paman tidak bisa memanen padi ?” sela Han-jin “semalam ada ular besar ditengah sawah, jadi kami takut memanen padi.” jawab Liu-cungcu

“eh..seberapa besar ularnya cungcu ?” tanya A-cin

“uihh..ularnya besar sekali, kepalanya saja sebesar kepala kerbau, tubuhnya dua pelukan orang dewasa, dan panjangnya sekitar lima tombak, kami waswas ular itu masuk kedalam kampung, maka habislah kami.” sahut Liu-cungcu “paman….dimanakah areal persawahan penduduk ?” tanya Han-jin

“dikaki bukit sana koncu.” sahut Liu-cung-cu “apa yang hendak kongcu lakukan ?” tanya A-cin

“saya akan kesana, dan kalau bisa cungcu bersiap untuk memanen padi.”

“ah..kami takut kongcu.” sela Liu-cungcu pucat “tunggulah disini, sebentar saya kesana.” ujar Han-jin.

Kwaa-han-jin keluar dari desa, lalu dengan dua lompatan luar biasa dia berlari kearah bukit yang ditunjuk Liu-cungcu, dan dalam waktu hitungan beberapa menit Han-jin sudah sampai di area persawahan, dan dia medengar desahan aneh ditengah sawah, ular besar berwarna kuning melintang ditengah persawahan yang luas, Han-jin mendekati ekor ular yang besar ekornya sebesar kelapa yang berada tepat dipematang sawah, ular itu tidak menyadari keberadaan Han-jin, dengan cengkraman yang kuat Han-jin mencengkram ekor ular dan menyentaknya sekali dengan kekuatan luar biasa berhawa “Yang”

“rek…tassss…” terdengar suara urat yang putus, ular itu langsung mati dengan keadaan gosong karena seluruh urat ditubuhnya putus dan terbakar, Han-jin menelusuri tubuh ular itu hingga mendapatkan kepalanya yang memang luar biasa besar.

“crak…” dengan sekali bacok kepala ular itu putus, dan tubuhnya dilempar Han-jin kea rah lembah yang bukan areal persawahan.

Han-jin kembali kekampung, Liu-cung-cu terkesiap melihat Han-jin sudah kembali, walhal baru setengah jam , dan ditangannya ada kepala ular yang dibicarakannya “paman…ularnya sudah mati, kalau memang hari ini bisa penen, maka panenlah !” ujar Han-jin.

“baik kongcu, saya akan bilang pada penduduk, lalu dia menyuruh anaknya untuk mengumpulkan semua penduduk, desa yang terdiri dari seratus kepala rumah tangga itu berkumpul

“sicu semua, hari ini aku hanya ingin mengatakan bahwa kita bisa panen kembali, bagi yang berkemas hendak mengungsi, batalkanlah niat kalian, karena ular yang semalam kita lihat sudah mati dan kepalanya ini.” ujar Liu-cungcu sambil membuka karung dimana kepala ular dia bungkus setelah menerima dari tanagan Han-jin.

“wah..bagaimana bisa mati dan kepalanya ada bersama cungcu ?” tanya seorang warga

“kita kedatangan tamu dari she-taihap dari Taiyuan, jadi bagaimananya hal itu tidak penting, legenda she-taihap bukan hal baru bagi kita.” ujar Liu-cungcu

“dimana she-taihap sekarang ?” tanya warga tadi

“dia berada dirumahku, dan sebenarnya mereka hendak membeli beras kesini karena Bao-sicu pedagang beras menyuruh adik iparnya dan pembantunya untuk datang kesini.” “tapi cungcu kita tidak bisa panen hari ini, karena hari sudah menjelang siang.” ujar seorang warga

“aku juga berpendapat demikian, namun kalau bisa, hasil yang kita panen dua hari ini kita giling untuk kita jual kepada Bao- sicu.” ujar Liu-cungcu.

“aku kira pendapat cungcu itu tepat, kalau memang she-bao membutuhkan beras saya, saya akan jual padanya.” sela seorang warga yang termasuk golongan tua dikampung itu, semuanya setuju.

“berapakah perkarung akan kita jual kepada Bao-sicu yang sudah menyamankan kampung kita dari ular besar itu ?” tanya Liu-cungcu

“saya setuju perkarung delapan tahil perak.” sela seorang golongan tua.” “saya setuju, walaupun biasanya Bao-sicu membeli beras saya dua belas tahil perak perkarung, tapi kali ini saya akan jual delapan tahil perak.” jawab wakil kepala desa.

“setuju..” sahut mereka serempak, lalu merekapun berbondong- bondong menggiling padi mereka.

A-cin yang mendengar semua warga mau menjual beras pada mereka bingung dan melihat Han-jin

“berapa cin-twako biasanya Bao-twako membeli beras paman- cungcu ?”

“beras warga disini sangat bagus kongcu, dan biasanya loya membayar mereka dua belas tail perak perkarung.” Jawab A- cin

“tapi kali ini semua warga akan menjual delapan tahil perak perkarung taihap.” sela Liu-cung

“eh..kenapa begitu ?” tanya Han-jin heran

“saya atas nama warga mengucapkan banyak terimakasih kepada she-taihap yang telah membuat desa kami aman kembali, jadi sebagai ungkapan terimakasih, kami akan jual perkarung delapan tahil perak kepada Bao-sicu.” sahut Liu- cungcu

“dan kami tidak panen hari ini karena hari sudah siang, dan sekarang warga beramai-ramai menggiling padinya untuk dijual pada Bao-sicu.” ujar Liu-cungcu

“uang yang kami bawa mungkin kurang Liu-cungcu.” sela A-cin “tidak masalah A-cin, besok kalian bayar, warga akan setuju, dan pakailah nanti kereta kuda milik warga untuk membawa beras itu nanti malam.” ujar Liu-cungcu.

Ketika malam tiba, para warga mendatangi kediaman cungcu sambil membawa beras yang sudah digiling, mereka bertemu dengan Han-jin dan A-cin, ungakapan rasa terimakasih mereka sampaikan pada Han-jin, dari semua beras milik warga, maka panen dua hari itu terkumpul dua ratus tujuh puluh karung “paman dan para sicu semua, kami sangat berterimakasih atas penyedian beras ini untuk dagangan kakak ipar saya, namun saya yakin kakak ipar saya tidak memeiliki modal untuk membayar ini semua, jadi kami ambil hanya sepuluh karung saja, dan itupun sebagian akan kami bayar besok.” ujar Han-jin

“she-taihap, aku Can-lung seorang warga tertua dikampung ini, apa yang telah she-taihap lakukan hari ini pada kami, seakan menyelamatkan kami dari lobang kematian, beberapa warga kami tadi pagi sudah hendak pergi dari sini untuk menyelamatkan diri, namun ternyata taihap datang dan menyelamatkan seluruh warga ini, terimaksih ini she-taihap bukan hari ini, tapi untuk selama-lamanya, karena warga kampung ini hakikatnya hidup kembali karena kehadiran taihap, jadi aku ingin sampaikan pada Bao-sicu di Taiyuan, juallah beras kami ini, jika sudah laku maka bayarlah delapan tahil perak perkarung pada kami.”

“setuju…setuju..” sahut warga serempak “bao-sicu dan she-taihap harus menerima ini untuk selamanya, sampai seratus kepala keluarga dikampung ini tidak ada lagi keturunannya.” ujar Can-lung

“bukankah itu berlebihan kakek ?” tanya Han-jin

“tidak berlebihan she-taihap, delapan tahil perak sudah lebih dari cukup bagi kami, dan ini juga adalah urusan dagang, dan kami merasa tidak dirugikan, dimanakah berlebihannya taihap

?” sahut Can-lung, Han-jin terdiam melihat kebenaran kakek itu.

“baiklah kakek dan sicu yang baik, aku akan sampaikan pada kakak iparku perjanjian dagang ini, semoga Thian memberikan balasan kebaikan kepada kita semua.” ujar Han-jin, lalu para warga pun menaikkan beras kedalam kereta, tiap kereta memuat dua puluh karung beras, sehingga kereta yang berangkat malam itu empat belas kereta kuda, tiga belas milik warga yang dikusiri tiga belas pemuda yang dipimpin oleh Liu- cungcu, dan satu millik Bao-san, menjelang pagi mereka sampai di rumah Bao-san.

Bao-san dan Swat-hong amat terkejut

“ada apa ini Liu-sicu ?” tanyanya heran sambil melihat A-cin dan Han-jin

“Bao-sicu, seluruh warga memutuskan menjual beras kepada Bao-sicu, setiap kami panen, kami akan mengirimkan beras untuk Bao-sicu jual, dan jika sudah terjual, maka warga akan menerima delapan tahil perak perkarung, dan sekarang ada dua ratus tujuh puluh karung, beberapa hari lagi kami akan panen, dan akan kami kirim kesini.” ujar Liu-cungcu “liu-sicu ini amat mengejutkan kami dan kami bingung.” sela Swat-hong

“she-taihap tidak perlu bingung, ini hanya kerjasama dagang, kami pemasok dan Baao-sicu penjual, jika laku, kami minta delapan tahil perak perkarung, bukankah itu hal tidak rumit she- taihap ?” sahut Liu-cungcu.

“aku mengerti Liu-sicu, namun kenapa bisa demikian, sehingga kami menerima anugrah yang besar ini ?”

“hehehe..hahaha… Bao-sicu, untuk itu biarlah she-taihap, adik ipar sicu yang menjelaskan,” sahut Liu-cungcu, sementara Bao- san dan Liu-cungcu bicara, tiga belas pemuda, Han-jin, A-cin dan A-leng menurunkan semua muatan kereta, setelah selesai “Bao-sicu, kami harus bersegera pulang, sehingga kami dapat sampai saat matahari terbit kekampung, dan dapat memanen padi kami.” ujar Liu-cungcu.

“baiklah kalau begitu Liu-sicu dan terimakasih banyak.” sahut Bao-san, Liu-cungcu mengangguk, dan memutar kereta kuda, iringan tiga belas kereta kuda itu meninggalkan kota Taiyuan.

Kwaa-swat-hong dan suaminya duduk bersama Han-jin diruang tengah, ketiganya saling berpandangan

“Jin-te apa yang telah terjadi, sehingga Thian memberi hal luar biasa ini pada kita.”

“sebenarnya aku hanya membunuh ular yang masuk kepersawahan mereka Bao-twako.” jawab Han-jin “ular ? sebesar apa ularnya Jin-te ?”

“ularnya memang sangat besar, dua pelukan orang dewasa dan panjangnya lebih kurang lima tombak.” jawab Han-jin, Bao- san melonggo mendengar ada ular sebesar itu.

“jadi hal ini semua ungkapan terimakasih mereka Jin-te ?” sela enciknya

“benar cici, dan karena ini merupakan dagang, aku tidak bisa bilang apa-apa.” sahut Han-jin.

Berkat kedatangan Han-jin, dagangan Bao-san semakin cepat berkembang, kampung peng-kin sebagai pemasok beras bagi Bao-san, setiap enam bulan mendapat pasokan delapan ratus karung beras sampai seribu karung beras, dan setiap karung Bao-san mendapat untung delapan tahil perak perkarung, sehingga kemungkinan untung yang didapat dalam enam bulan sebesar enam ratus empat puluh tahil emas, dan kenyataannya enam bulan kemudian, toko beras Bao-san bertambah enam toko, sehingga ia memiliki tujuh buah toko di Taiyuan, disamping rumah barunya yang besar dan megah disebelah barat kota.

Disebuah Bukoan sebelah timur Kota chang-an hari itu didatangi banyak kalangan kangowu, didepan gerbang halaman terpampang pelakat dengan tulisan indah yang bertuliskan “Tiuaw-eng-bukoan” (perguruan bayangan rajawali), kauwsu dari bukoan ini adalah phang-bai laki-laki gagah berumur lima puluh tahun, ia dijuluki “kwi-tiauw-eng” (bayangan rajawali iblis) muridnya ada sekitar seratus lebih. Phang-bai ikut menghadiri pertemuan di hutan kongciak, dan menyaksikan hal yang terjadi disana, setelah kembali keperguruannya, dia lalu mengundang rekan-rekannya sealiran daro golongan hek-to, niat ini termotipasi setelah melihat kwi- ban-ciang dan kwi-san-hengcia, undangan itu berjalan hingga sepuluh bulan, sehari sebelum hari pertemuan, para undangannya pun datang, tamunya yang pertama datang adalah tiga sahabatnya yaitu “kui-peng” (garuda siluman), “giam-ci” (si jari maut) dan seorang wanita cantik berumur empat puluh tiga tahun yang berjulukan “see-bi-kui” (siluman cantik dari barat), siangnya datang empat orang lagi, salah

satunya adalah “tai-twi” (tendangan badai) dan tiga lainnya adalah “tung-mo-san” (kipas setan dari timur), “mo-miuaw” (sikucing setan) dan “Koai-ma” (si kuda gila), menjelang sore dua orang wanita paruh baya datang, keduanya adalah “ang- mou-kui-bo” (biang iblis berambut merah) dan “tok-lian” (si teratai beracun), saat malam seorang biksu datang, tubuhnya tinggi dan kekar,umurnya lima puluh tahun, alis matanya berjuntai panjang, ia adalah “liong-kek” (naga kutub), kemudian malamnya enam tamu yang sangat diharapkannya berdatangan, yaitu “Kwi-ban-ciang”, “kwi-san-hengcia”, “kui-

thian”, “kui-tee”, “lam-liong-sian” dan “pak-giamlo-sianli”.

Setelah makan pagi, semua tamunya dibawa ke ruang lianbutia, enam belas tamunya duduk dikursi dan meja yang telah disediakan, sisi kanan dan kiri ruangan masing-masing delapan pasang kursi dan meja, aneka macam makanan dihidangkan, arak terbaik disuguhkan. “saya berbahagia sekali enam belas undangan saya, dapat diperkenankan oleh para cianpwe dan sicu semua, dan saya ucapkan selamat datang pada para cianpwe dan sicu semua.” ujar Phang-bai sambil menjura ke sisi kanan dan kiri, enam belas tamunya membalas bersamaan.

“para cianpwe dan sicu semua, saya sengaja mengundang para cianpwe dan sicu datang ketempat saya ini, tiada lain tiada bukan adalah untuk membicarakan hal sehubungan dengan pernyataan Kwi-ban-ciang cianpwe yang saat di hutan kongciak menantang golongan pek-to, oleh karena pernyataan yang gagah itu, maka saya terbetik niat untuk mengumpulkan kita semua di tempat saya ini.” ujar Phang-bai

“apa yang kamu lakukan ini kwi-tiauw-eng sangat tepat, dan dengan berkumpulnya kita disini, maka akan banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menggaungkan kembali aliram kita.” sela kwi-ban-ciang

“benar kata kwi-ban-ciang, selama ini aliran kita terbenam oleh gaung she-taihap, dan kita dibuat membisu oleh sepak terjang mereka.” sela kwi-san-hengcia

“memang demikianlah jiwi-cianpwe tujuan saya mengumpulkan kita hari ini, sedikit kami ingin minta jiwi-cianpwe menyampaikan ihwal keadaan aliran kita selama ini.” ujar Phang-bai, lalu kwi-ban-ciang berdiri

“memang perlu kita kilas balik perjalanan aliran kita, sehingga kita dapat menyusun rencana kita kedepan, jadi karena saya salah seorang paling tua pada pertemuan ini, maka saya ingin menyampaikan ihwal aliran kita selama ini.” ujar kwi-ban-ciang. “ceritakanlah cianpwe, kami akan mendengarkannya.” sela Phang-bai

“rekan-rekan semua dan sicu yang berbahagia, aliran kita sudah sangat lama tidak ada gaungnya, sejak kemunculan Kim-khong-taihap lima ratus tahun yang silam, apakah golongan ada usaha untuk keluar dari keterpurukan ? jawabanya ada, salah satunya adalah sukong kami sendiri “pah-sim-sai-jin” bahkan su-kong kami pernah berhasil membunuh banyak she-taihap di empat wilayah, bahkan luar biasanya sukong kami berhasil membunuhi she-taihap yang berada di pulau kura-kura. Saat itu aliran hek-to mulai mencuat namun ketika she-taihap yang selamat dari pembantaian di pulau kura-kura muncul dengan julukan Im-yang-sin-taihap, maka aliran kita terpuruk kembali hingga hari ini.” urai kwi-ban- ciang, lalu kemudian ia duduk kembali

“sicu semua kita sudah dengar kwi-ban-siang-cianpwe sudah menceritakan kilas balik aliran kita yang berhadapan lurus dengan she-taihap, jadi kesimpulannya bahwa jika kita ingin aliran kita bergaung kembali maka she-taihap harus kita lenyapkan.” sela Phang-bai.

“hal itu memeng benar kwi-eng-tiauw, dan kita sudah berkumpul disini, dua cianpwe juga sudah hadir, maka marilah kita bicarakan rencana kita dalam menghadapi she-taihap.” sela giam-ci “benar dan rencana yang kita susun mestilah jeli dan penuh perhitungan.” sela see-bi-kui, semuanya mengangguk setuju

“baiklah cianpwe dan sicu semua, saya akan coba menyampaikan buah pikiran, sejak pertemuan di hutan kongciak, dimana she-taihap dikeroyok oleh jiwi-cianpwe, saya melihat she-taihap terdesak hebat, itu artinya seorang she- taihap akan kalah dengan jiwi-cianpwe, kemudian tiga dari kita seperti lam-liong-sian, kui-thian, kui-tee dan pak-giamlo-sianli dapat mendesak she-taihap, maka menurut hitungan saya, empat atau lima dari kita akan mampu mendesak dan membunuh she-taihap.” ujar Phang-bai

“itu memang benar dan perhitungan kwi-eng-tiuaw tepat, namun ketika seorang she-taihap yang menunggang rajawali datang, kita tidak pungkiri bahwa enam dari pemuka kita yang ada disini hampir celaka.” sela “tai-twi”

“maksudnya Jin-sin-taihap ?” tanya “kwi-san-hengcia” “benar cianpwe.” sahut “tai-twi”

“memang jin-sin-taihap sungguh membuat kita tercengang, tapi kita tidak boleh buntu untuk menghadapinya.” ujar Kwi-san- hengcia

“jika ditilik sampai hari ini maka saya berkesimpulan bahwa kita harus bertahap menghadapi she-taihap.” sela lam-liong-sian “maksudnya bagaimana lam-liong-sian ?” tanya liong-kek “maksudnya kita harus menyusun rencana awal untuk menumpas she-taihap seperti tiga she-taihap yang berhadapan dengan kami berenam, kemudian baru rencana untuk menghadapi she-taihap seperti Jin-sin-taihap.” sahut lam-lion- sian

“benar saya sangat sependapat dengan lam-liong-sian.” sela Pak-giamlo-sianli, semuanya mengangguk menyetujui.

“jika kita sepakati, maka marilah kita susun rencana awal menghadapi she-taihap, silahkan kepada cianpwe dan sicu menyampaikan ide dan pemikirannya !” ujar Phang-bai “menurut saya yang pertama, kita harus hitung keberadaan she-taihap di empat wilayah.” sela kui-thian

“benar sehingga kita bisa membuat sterategi yang baik.” sela tok-lian

“menurut penyelidikan dari murid-murid saya, keberadaan she- taihap ada di lima titik, yakni pertama jelas pulau kura-kura, kemudian shang-hai, lokyang, shinyang, Wuhan.” ujar Phang- bai

“jika sudah demikian usaha kwi-tiuaw-eng sungguh luar biasa, dan memudahkan kita untuk melanjutkan rencana.” Sela ang- mou-kui-bo.”

“benar lalu apa rencana kita selanjutnya ?” tanya koai-ma “baik, karena kita telah mengetahui bahwa she-taihap berada di lima titik, maka kita yang ada disni akan dibagi tiga dalam satu kali aksi, dan kapan aksi akan dimulai, nanti kita bicarakan

setelah menentukan siapa bertemu siapa.” ujar lam-liong-sian.

“dan menurut saya, untuk menentukan siapa bertemu siapa, sebaiknya jiwi-cianpwe yang menentukan.” sela mo-miauw “dan sebelum penentuan siapa bertemu siapa menurut saya setelah mengetahu lima titik keberadaan she-taihap, maka titik yang masuk rencana awal hanyalah empat titik, yakni lokyang, sinyang, wuhan, dan shanghai.” sela Tok-lian

“kenapa demikian tok-lian ?” tanya phang-bai

“kita haru sadari bahwa pulau kura-kura merupakan akar she- taihao, mereka berjubel disana, kalau sudah begitu bagaimana ia masuk rencana awal ?” sahut Tok-lian

“benar juga pemikiran tok-lian, tempat itu jika kita masukkan rencana awal maka hanya kebinasaan yang kita dapatkan” sela giam-ci, semuanya mengangguk setuju

“hmh…jika demikian rencana awal menurut saya tiga titik saja.” ujar Phang-bai

“kenapa tiga titik kwi-tiuaw-eng ?” tanya liong-kek

“karena she-taihap di shinyang ada dua yakni putri sulung dan murid langsung im-yang-sin-taihap.” sahut Phang-bai

“benar, shinyang juga tidak bisa kita masukkan pada rencana awal, dan itu sudah tepat menurut saya sesuai dengan yang saya katakana tadi bahwa rencana awal kita akan dibagi pada tiga kelompok.” sela Lam-liong-sian.

“baiklah lanjutkanlah lam-liong-sian !” sela Tok-lian “nah..bagaimana tadi, apakah kita akan serahkan siapa

bertemu siapa ditetukan oleh jiwi-cianpwe ?” tanya Lam-liong- sian

“setujuuu….” jawab mereka serempak

“baik kalau begitu, untuk dua titik kami sudah dapat gambaran, hanya untuk titik ketiga kita perlukan uji coba, jadi sebaiknya kita keluar untuk melakukannya.” ujar Kwi-san-hengcia, lalu merekapun keluar, maka sebelas orang dari mereka di uji oleh Kwi-ban-ciang dan kwi-san-hengcia.

Uji coba berlansung sampai sore hari, dan malamnya setelah makan malam mereka melanjutkan pertemuan

“setelah kita adakan uji coba maka siapa bertemu siapa sudah dapat kami tentukan.” ujar Kwi-san-hengcia, semuanya dengan serius mendengarkan

“kelompok yang pertama terdiri dari tujuh orang, yakni liong- kek,ang-mou-kuibo, giam-ci, kwi-tiauw-eng, tok-lian, tai-twi, dan kui-peng, kemudian kelompok yang kedua terdiri dari enam orang yakni, lam-liong-sian, pak-giamlo-sianli, kui-thian, kui-tee, see-bi-kui, tung-mo-san, dan kelompok yang ketiga terdiri dari empat orang yakni saya sendiri, kwi-ban-ciang, mo-miauw dan koai-ma.” ujar kwi-san-hengcia, semuanya mengangguk tanda setuju

“dan kelompok pertama ke kota wuhan, kelompok kedua ke kota shanghai, dan kelompok ketiga ke lokyang, dan bagimana nama-nama she-taihap, apakah kamu mengetahuinya kwi- tiauw-eng ?” ujar kwi-san-hengcia

“she-taihap yang di wuhan bernama Kwaa-hoa-mei, yang berada di shanghai kwaa-yun-peng, dan yang ada di lokyang kwaa-sin-liong.” sahut Phang-bai.

“baik kalau demikian, tiap kelompok ingan nama sasarannya.”

Ujar kwi-san-hengcia

“lalu kapan kita akan bergerak cianpwe ?” tanya tok-lian

“kita akan berangkat dari sini menuju sasaran masing-masing besok lusa.” jawab kwi-san-hengcia

“dan juga kalian harus ingat bahwa setiap kelompok hanya mampu mengalahkan seorang dari she-taihap.” sela kwi-ban- ciang

“benar, jadi kalian harus beraksi jika she-taihap sendirian.” Kwi- sian-hengcia menambahkan, semuanya menagngguk mengerti

“baik kita sudah sepakat untuk menjalankan rencana awal, lalu kapan lagi kita bertemu untuk membicarakan rencana kedua ?” tanya Phang-bai, semuanya menoleh pada kwi-san-hengcia, kwi-san hengcia berembuk sebentar dengan kwi-ban-ciang

“kita akan membicarakan rencana kedua di tempat lam-liong- sian di Guangdong tujuh bulan didepan.” Jawab kwi-san- hengcia, merekapun mengangguk menyetujui, setekah itu acara minum-minum sambil ngalor-ngidul kesana kemari hingga larut malam.

Besok malamnya Kwi-tiuaw-eng mengadakan pesta untuk semua tamunya, nyanyian dan tarian di tampilkan, dan tentunya gadis-gadis penghibur dikota chang-an didatangkan, dan diantara mereka ada empat wanita tidak mau ketinggalan ambil jatah untuk pesta mesum, lam-liong-sian kesengsem pada see-bi-kui, ang-mou-kuibo digaet giam-ci, tung-mo-san di ajak oleh pak-giamlo-sianli, tok-lian bergulung-gulung dengan kui-peng, pesta yang amat semarak dan panas, keesokan harinya kelompok kedua berangkat yang dipimpin oleh lam- liong-sian, dua jam kemudian kelompok ketiga berangkat dipimpin oleh kwi-ban-ciang, dan setelah siang kelompok pertama berangkat yang dipimpin oleh kwi-tiuaw-eng, tujuh belas dedengkot hek-to itu meninggalkan kota chang-an untuk menjalankan misi yang terencana.

Sebelah selatan kota Wuhan, keluarga Kwee-jun-bao sedang mengadakan pesta pernikahan putri bungsunya kwee-lin yang berumur dua puluh tahun, kwee-lin dipersunting seorang pemuda anak zhang-cungcu yang bernama Zhang-feng, Kwee- jun-bao yang berumur lima puluh tiga tahun, dan istrinya Kwaa- hoa-mei yang berumur lima puluh satu tahun memiliki tiga orang anak, yang seulung bernama Kwee-hui-bi berumur dua puluh lima tahun, yang kedua Kwee-bun berumur dua puluh tiga tahun, keduanya sudah berumah tangga.

Dua hari sebelum pesta pernikahan, Kwee-hui-bi bersama suami dan anaknya tiba dari kota nanchao, dan keesokan harinya Kwee-bun dan istrinya yang sedang hamil datang dari khangshi, kemudian pada hari pesta, para undangan pun datang berbondong-bondong, para tetangga yang terlibat sebagai penyambut tamu, dengan hangat menyambut undangan yang datang, para undangan terdiri dari sahabat- sahabat Jun-bao dari kalangan kauwsu dan puluhan pendekar dari kalangan kangowu, disamping itu juga dari kalangan pemerintahan juga ikut menyemarakkan pernikahan tersebut, karena sebagai cungcu, she-zhang juga punya relasi yang banyak. Li-suhu seorang biksu yang didatangkan dari sebuah kelenteng di pusat kota memimpin upacara pernikahan, kedua pengantin disandingkan, sementara Li-suhu dan para muridnya berliangkem dan membacakan doa kepada para dewa

“sujud pada dewa langit..!” seru Li-suhu, kedua pengantinpun sujud tiga kalai

“sujud pada dewa bumi…! “seru Li-suhu. Kedua pengantin sujud kembali

“sujud pada kedua ibu bapak…!” Kedua pengantin menghadap ayah ibu mereka yang duduk dikursi, lalu keduanya sujud tiga kali, dan yang terakhir mereka sujud pada jaum kerabat dan sekaligus ucapan terimaksih pada para undangan.

Setelah upacara pernikahan selesai, dilanjutkan acara makan dan minum serta pemberian kado oleh para undangan, temu wicara, obrolan ramah tamah yang diselingi nyanyian rombongan penghibur, menjadikan suasana demikian meriah dan semarak, setelah siang berganti malam, para tamu undangan pun pamit diiringi ucapan terimakasih dari kedua mempelai dan keluarga, para undangan pun sudah pulang, yang tinggal hanya tetangga dekat dan kerabat dekat, kedua pengantin pun memasuki kamar pengantin dengan rasa bahagia.

Tiga hari setelah pernikahan Kwee-lin pun diboyong suaminya kedesa Yulan sebelah utara kota Wuhan, tangis isak Kwee-lin yang berpisah dengan kedua orang tuanya mengiringi keberangkatannya menuju rumah suaminya, Jun-bao dan istrinya melepas kepergian anaknya bungsu dengan restu dan harapan semoga keluarga yang dibina putrinya langgeng, setelah Kwee-lin berangkat, keesokan harinya kwee-hui-bi dan Kwee-bun kembali kekota masing-masing.

Kini tinggalah suami istri yang sudah berumur itu berdua bersama seorang pelayan, Jun-bao sebagai pedagang obat mulai membuka tokonya setelah tutup lebih seminggu, Jun-bao dan istrinya hanya dibantu seorang pegawai dalam menjalankan dagangannya, keluarga Jun-bao hanyalah keluarga sederhana, namun mereka sangat dihormati orang disekitarnya, demikian juga para aparat pemerintah kota Wuhan, karena keberadaan keluarga kwee tabir bagi segala tindak kejahatan, semua orang tahu bahwa Jun-bao adalah pesilat handal yang tegas pada tindak kejahatan, sejak masa mudanya ia dan kedua saudara seperguruannya menjadi pendekar yang selalu menindak kezaliman dan kesewenang- wenangan, sehingga Jun-bao dijuluki “wuhan-pek-tiauw” (rajawali putih dari wuhan).

Terlebih setelah orang mengetahui bahwa kwee-hujin adalah she-taihap, maka makin ciut nyali penjahat untuk coba-coba bertindak menyimpang di kota wuhan, Jun-bao sendiri sudah demikian hebat dan terkenal kemampuannya sejak masa muda, apalagilah setelah diketahui Kwee-hujin juga bukan orang biasa, bahkan tidak dipungkiri istri she-kwee itu lebih hebat lagi dibanding she-kwee sendiri. Hari itu dari gerbang sebelag selatan kota muncul tujuh orang yang sudah kita kenal sebagai kelompok pertama yang akan mengadakan misi pelenyapan she-taihap, kwi-tiauw-eng membawa enam rekannya memasuki sebuah likoan untuk istirahat dan menyusun strategi untuk menjalankan misi, setelah istirahat sehari semalam, tujuh orang itu mengadakan pertemuan dikamar kwi-tiauw-eng

“tempat tinggal she-taihap yang bernama Kwaa-hoa-mei tinggal diselatan kota, jadi hal yang pertama kita lakukan adalah membaca keadaan she-taihap, satu hal lagi yang mesti kita perhatikan bahwa suaminya adalah pendekar yang terkenal dikota ini dan sekitarnya.” ujar Kwi-tiauw-eng

“dari penyelidikan muridmu dulu, apakah menurutmu keberadaan suaminya merupakan hambatan bagi kita untuk membunuh she-taihap ?” tanya ang-mou-kuibo

“kalau menurut saya suaminya akan menjadi halangan bagi kita kalau keduanya langsung berhadapan dengan kita.” sahut Kwi- tiuaw-eng

“kalau begitu kita harus pasang taktik memisahkan keduanya.” sela kui-peng

“benar, hal itu harus kita pikirkan setelah membaca keadaan she-taihap.” ujar liong-kek.

“baik kalau begitu, jadi nanti siang tok-lian pergilah kesana untuk membeli obat penawar racun, dan racun apa tentunya tok-lian lebih paham.” ujar Kwi-tiuaw-eng, Tok-lian mengangguk menyanggupi. “baik nanti malam kita bertemu lagi setelah mendapat laporan dari Tok-lian.” ujar Kwi-tiuaw-eng, llau merekapun bubar, setelah makan siang, tok-lian keluar menuju toko obat she- kwee, beberapa orang pembeli sedang dilayani A-meng pegawai Jun-bao

“A-meng ! aku butuh obat luka bakar .” ujar seorang lelaki paruh baya

“ooh, sebentar kao-siok, aku akan ambilkan.” sahut A-meng, lalu menarik sebuah laci diantara banyak laci lemari yang berada ditoko itu, A-meng membungkus obat berupa serbuk, dan memberikannya kepada lelaki she-kao, lalu she-kao membayar dan segera pergi

“kouwnio, mau obat apa ?” tanya A-meng ramah

“aku mau membeli balsem.” sahut wanita wanita itu, lalu A- meng mengambil balsem, setelah membayar wanita itu pun pergi.

A-meng melihat tok-lian mendekati toko, dia menyambut dengan senyum ramah

“sicu ! apakah ada obat penawar racun ? tanya Tok-lian ”racun apakah itu kouwnio ?” tanya A-meng

“racun katak merah.” jawab Tok-lian

“maaf kouwnio obat penawar racun itu tidak ada.” ujar A-meng “maaf apakah pemilik toko ini seorang shinse ?” tanya Tok-lian “boleh dikatakan begitu, karena loya juga mengobati orang sakit.” jawab A-meng

“pernahkah loyamu mengobati orang yang kena racun ?” “pernah, yang saya tahu, loya pernah mengobati orang yang terkena racun.”

“apakah loyamu ada atau sedang keluar ?”

“loya memang sedang keluar mengambil beberapa bahan obat.”

“apakah loyamu akan lama kembalinya ?”

“biasanya nanti malam loya baru kembali.” jawab A-meng “lalu didalam rumah ada siapa saja, yang bisa saya memberi tahu saya tentang obat racun katak merah ?”

“didalam rumah hanya ada hujin, tapi hujin tidak mengerti soal pengobatan.”

“anaknya mungkin ada yang tahu ?”

“anak beliau juga tidak ada, bahkan seminggu yang lalu putri bungsu beliau sudah menikah.

“jadi dirumah hanya tinggal berdua saja ?”

“benar kouwnio, tapi kalau kouwnio mencari tabib, sebaiknya kouwnio menemui Wan-sinse, dia seorang tabib yang bagus.” sahut A-meng

“baiklah kalau begitu, terimakasih atas informasinya, saya akan coba menemui wan-sinse

“alamatnya di gang ketujuh di sebelah barat kota, kouwnio.” ujar A-meng

“baik sekali lagi terimakasih.” sahut Tok-lian.

Tok-lian kembali ke penginapan, lalu malamnya ketujuh orang itu berkumpul lagi

“bagaimana hasil penyelidikanmu Tok-lian ?” tanya ang-mouw- kuibo “she-taihap hanya berdua dengan suaminya, anak-anaknya semua sudah berkeluarga.” Jawab Tok-lian

“lalu apa selanjutnya yang kita lakukan ?” sela Tai-twi

“jika demikian kita harus memisahkan keduanya, jadi kita harus membunuh suaminya terlebih dahulu.” sahut Kwi-tiauw-eng “hal itu bisa kita lakukan, dan saya bisa meminta suaminya keluar dari rumah.” sela Tok-lian

“kalau begitu bagus, dan kita bisa membunuhnya sekarang.” ujar peng-kui

“tidak malam ini peng-kui, tapi besok saja, saya akan temui suaminya dan meminta tolong untuk mengobati seseorang.” sela Tok-lian

“lalu kemana ia akan dibawa ?” tanya lam-kek

“kita tunggu tok-lian di luar gerbang utara.” sela kwi-tiuaw-eng “baik kalau begitu, besok kita bersamaan keluar, kami akan menunggumu di luar gerbang utara tiok-lian.” sela giam-ci, lalu mereka bubar dan kembali kekamar masing-masing.

Keesokan harinya tujuh orang itu keluar, Tok-lian menuju kediaman Kwee-jun-bao dan enam rekannya menuju gerbang utara

“eh..kouwnio lagi, bagaimana apa kouwnio sudah menemui Wan-sinse ?”

“itulah masalahnya sicu, tadi pagi saya kesana, tapi wan-sinse sedang keluar, jadi saya kembali kesini, loyamu ada kan ?” “ada, sebentar saya panggilkan.” sahut A-meng, A-meng masuk kedalam rumah, dan kemudian keluar bersama Jun-bao “ada apa kouwnio ?” tanya Jun-bao ramah

“begini loya, suami saya kena racun, bisakah loya ketempatku untuk memeriksa suamiku ?”

“suami kouwnio kena racun apa ?” tanya Jun-bao

“saya juga tidak tahu, untuk itu saya minta tolong supaya loya memeriksanya.”

“tapi kouwnio mencari obat penawar racun katak merah.” sela A-meng

“benar sicu, karena kata pembantu kami yang ikut bersama suami saya ketika itu, katanya suami saya kena racun katak merah, tapi semalam adik seperguruannya datang, dan mengatakan bukan racun katak merah, dan saya tanya racun apa, sute itu mengatakan racun teratai hati.” sahut Tok-lian

“saya tidak mengerti loya, jadi tolonglah periksa dulu suami saya.” ujar Tok-lian memelas cemas dan sedih

“dimana kalian tinggal kouwnio ?” tanya Jun-bao

“kami tinggal di sebelah gerbang utara.” jawab Tok-lian “baiklah, saya akan ikut kouwnio kesana.” ujar Jun-bao “terimakasih loya, terimakasih.” ujar Tok-lian, kemudian Jun- bao masuk kedalam

“mei-moi, saya keluar sebentar untuk memeriksa seorang pasien.” ujar Jun-bao

“baiklah, dan hati-hati Bao-ko.” sahut Hoa-mei, Jun-bao mengangguk dan keluar, Tok-lian membawa jun-bao kesebelah utara kota, dan tok-lian terus berjalan ke luar gerbang kota “apakah kalian tinggal diluar gerbang kota ?” tanya jun-bao heran “benar loya, marilah tidak jauh lagi rumah saya” sahut Tok-lian, lalu Jun-bao terus mengikuti tok-lian,

“nah didalam hutan itu rumah saya, marilah loya.” ujar Tok-lian “suami kouwnio kerja apa ? sehingga kalian tinggal didalam hutan ?

“suamiku seorang pemburu, kami hanya tinggal bertiga, saya, suami saya dan seorang pembantu.” sahut Tok-lian demikian tenang dan pandainya mengelabui Jun-bao

Tiba-tiba enam orang muncul serempak mengelilingi tok-lian dan Jun-bao

“siapa kalian ?” tanya Jun-bao

“seraaang…!” teriak Tok-lian sambil membokong punggung Jun-bao, Jun-bao yang waspada, merasakan angin pukulan Tok-lian, dengan gesit ia berguling kedepan sehingga pukulan Tok-lian luput, namun tiga pukulan datang bertubi-tubi

“wuut..sing..sing…” Jun-bao mencabut pedangnya untuk menghalau pukulan

“buk..des…” tiga yang menyerangnya menarik serangan, namun saat Jun-bao berdiri, tai-twi dan peng-kui berhasil membokongnya dari belakang, sebuah pukulan dari peng-kui menghantam punggung dan sebuah tendangan tai-twi menghantam lambung, Jun-bao terhempas ketanah, ia muntah darah hingga dua kali, nafasnya sangat sesak, belum lagi ia menguasai keadaan dirinya,

“cep…wus…” tiga buah jarum teratai hati menancap di perut, dada dan kening Jun-bao, ditambah pukulan sakti hawa beracun dari Ang-mou-kuibo menerpa tubuh Jun-bao, seketika Jun-bao tewas mengenaskan dengan luka yang amat parah, racun teratai yang diserap tubuhnya ditambah hawa racun dari pukulan membuat organ dalam tubuh Jun-bao matang membiru, mulutnya mengeluarkan busa berwarna hijau kehitaman.

“bagaimana sekarang, apakah kita akan langsung kerumah she-taihap ?” tanya ang-mou-kuibo

“tidak usah, pasti dia akan datang menemui kita, jadi kita tunggu saja disini.” Jawab Kwi-tiuaw-eng

“lalu mayat ini bagaimana ?” sela giam-ci

“kita gantung dipohon ditepi hutan, sehingga ia melihatnya.” sahut kwi-tiauw-eng

“lalu sambil tertawa-tawa tai-twi dan peng-kui menggantung Jun-bao dengan kaki diatas.

Hari sudah sore Hoa-mei masih menunggu suaminya tanpa menduga macam-macam, namun ketika malam tiba hatinya mulai gelisah, lalu Hoa-mei menemui A-meng yang sedang istirahat di belakang setelah mandi

“A-meng ! kemana loya memeriksa pasien ?” tanya Hoa-mei “loya bersama perempuan itu pergi ke sebelah utara kota, hujin.” jawab A-meng

“kamu tahu alamatnya disana ?” tanya Hoa-mei “tidak tahu hujin.” Jawab A-meng meringis

“ciri-ciri wanita yang membawa loya bagaimana ?”

“wanita paruh baya berumur empat puluh tahun, wajahnya cantik berkulit putih, dan didagunya ada tahi lalat, dan rambutnya digelung dan memakai tusuk rambut dengan gagang bulat berbentuk daun teratai.” jawab A-meng

“sudah kamu jaga rumah, saya akan menyusul kesana !” ujar Hoa-mei, A-meng mengangguk, hatinya juga jadi gelisah.

Hoa-mei sampai disebelah utara kota, dia jadi bingung bagaimana menemukan suaminya di perumahan penduduk yang padat itu

“Kwee-hujin sedang apa disini ?” tanya seorang lelaki berumur empat tahun lebih

“oh…Yo-kauwsu, aku hendak mencari suamiku, untuk mengobati pasien di sini.” sahut Hoa-mei

“alamatnya apa kwee-taihap tidak memberi tahu ?” tanya Yo- kauwsu

“itulah Yo-kauwsu, makanya aku jadi bingung begini, dari tadi pagi berangkat sampai malam ini belum kembali.” ujar Hoa-mei “apa kwee-hujin tahu, dengan siapa kwee-taihap kesini ?” “dengan seorang wanita cantik berumur empat puluh tahun dan ada tahi-lalat didagunya, dan juga tusuk rambutnya berbentuk daun teratai.”

“hmh…sepertinya tidak ada wanita seperti itu disini Kwee- hujin.” sela Yo-kauwsu

“benarkah Yo-kauwsu ?” tanya Hoa-mei mulai curiga dan menduga hal yang tidak baik

“:benar Kwee-hujin, tapi tunggu sebentar, marilah kita kedalam dulu, saya akan coba tanyakan para murid mana tahu mereka mengetahui wanita itu.” ujar Yo-kauwsu

“baiklah Yo-kauwsu dan terimakasih.” sahut Hoa-mei Yo-kauwsu membawa Hoa-mei masuk kedalam rumahnya, dan memanggil semua muridnya yang berjumlah delapan puluh orang

“kalian semua, pernah tidak melihat wanita cantik berumur empat puluh tahun, dan ada tahi lalat didagunya tinggal disekitar gerbang utara ini ?” tanya Yo-kauwsu

“wanita seperti itu tidak ada tinggal disini suhu.” jawab murid utamanya, dan juga para muridnya mengangguk, tiba-tiba putri To-kauwsu yang berumur enam belas tahun menerobos masuk “eh..maaf ayah aku tidak tahu ayah sedang ada pertemuan.” ujarnya dengan memelas

“tidak apa cing-ji, ayah hanya sebentar mengumpulkan murid- murid ayah.” sahut ayahnya senyum.

“hi..hi… eh ternyata kwee-hujin sedang bertamu.” ujar Yo-sui- cing sambil menjura hormat pada Kwee-hujin

“sebenarnya kwee-hujin kesini hendak mencari kwee-pek yang tadi kesini mengobati seorang pasien.” sela Yo-kauwsu

“kwee-taihap tadi pagi saya lihat bersama seorang wanita ayah.” ujar sui-cin

“hah…kemana kamu lihat kwee-taihap dibawa perempuan itu, cin-ji ?” tanya Yo-kauwsu

“aku melihat kwee-taihap keluar gerbang kota bersama wanita itu” jawab sui-cin

“oh..kalau begitu aku harus mencarinya keluar gerbang kota, terimaksih yo-kauwsu, dan terimakasih cin-ji.” ujar Hoa-mei dengan wajah sedikit gembira. “baiklah Kwee-hujin, semoga Kwee-hujin dapat menemukan kwee-taihap.” sahut Yo-kauwsu, lalu Hoa-mei keluar dari rumah Yo-kauwsu dan berlari dengan cepat menuju keluar gerbang utara, dalam sekejap Hoa-mei sudah berada di tepi hutan yang gelap gulita, namun pandangan she-taihap ini luar biasa, dikeremangan bulan sepotong ia melihat benda menggantung dipohon

“jasad manusia.” Pikirnya, lalu ia melompat memutuskan tali ketika ia melihat wajah jasad tergantung itu dengan seksama, jantungnya berdegup, hatinya teriris, ternyata jasad itu adalah jasad suaminya, namun telinganya yang tajam sudah menangkap gerakan disampinya

“siapa kalian dan cepat keluar !” teriak Hoa-mei dengan sikap waspada dan berdiri disamping mayat suaminya, tidak lama tujuh orang pun muncul dari belukar hutan

“kamukah wanita yang membawa suami saya kesini ?” tanya Hoa-mei dengan nada dingin pada Tok-lian yang berada disamping kanannya

“benar, dan kami sengaja memancingmu datang kesini.” Jawab Tok-lian dengan tenang

“hmh…kenapa kalian membunuh suamiku ?” tanya Hoa-mei “hi..hi…hi…karena istrinya she-taihap, maka kami harus bunuh.” sela ang-mou-kuibo

“dan juga kami hendak membunuhmu.” sela lam-kek

“siapakah kalian bertujuh ?” tanya Hoa-mei

“kami adalah aliran hek-to, dan kamu tahu pasti kenapa kami harus membunuhmu.”

sahut giam-ci dengan senyum sinis.

“kalian mau maju bersama atau bagaimana ?” tantang Hoa-mei “seraang..!” teriak Lam-kek, tujuh orang itu segera menyerang Hoa-mei, Hoa-mei menyambut ketujuh lawannya dengan kekuatan dan kegesitan yang luar biasa, ilmu im-yang-sian-sin- lie berusaha menghalau dan membalas serangan-serangan tujuh dedengkot hek-to itu

“dhuar…dhuar…” dua ledakan terdengar akibat dua tenaga sakti yang beradu, hutan itu tanah diarea itu bergetar, ang-mou- kwi, kui-peng mundur lima langkah, kwi-tiauw-eng, lam-kek dan tai-twi mundur empat langkah, sementara hoa-mei kakinya melesak ketanah hingga mata kaki.

Pertempuran berlanjut dengan seru, dua ratus jurus telah berlalu, Hoa-mei mulai tertekan, lalu dengan cepat ia merubah jurusnya dengan menggunakan Im-yang-bun-sin-im-hoat, gerakan menulis yang indah dan luar biasa, lawannya laksana air bah menyerang Hoa-mei, empat orang menghadapi jurus hoa-mei tang sakti, tiga orang bersiap-siap membokong menunggu peluang dari sela-sela empat rekannya, yang selalu siap mengambil peluang adalah ang-mou-kuibo, tok-lian, dan lam-kek, ang-mou-kuibo dengan pukulan hawa beracunnya yang bernama “tok-hong-ciang” (telapak angin racun) Tok-lian dengan “sim-lian-ciam” (jarum teratai hati) dan pukulan “ho-lian- ciang” (telapak teratai api) sementara lam-kek dengan pukulan “lam-hong-swat-ciang” (telapak salju angin selatan) Hoa-mei dengan sabar dan tenang menghadapi tujuh lawan yang kosen dan memiliki kerjasama yang baik, “tin-liong-siulian” merupakan dasar ketenangannya, karena nafasnya membuat ia dalam kondisi yang prima, “siu-to-po-in” merupakan bentengnya dari serangan gelap dari tiga lawan yang mengintainya, sembari mendesak empat lawannya dengan im- yang-bun-sin-im-hoat, ketujuh lawannya meleltkan lidah melihat betapa she-taihap ini luar biasa, beberapa pukulan ang-bin- kuibo dan lam-kek sudah mengenai sasaran, namun kondisi hoa-mei masih gesit dan kokoh, sementara empat lawannya yang menghadapi jurusnya sudah mandi keringat, bahkan tai- twi sudah mendapat sebuah pukulan yang membuat ia sesak dan berhenti sesaat, tai-twi langsung bergerak ketika giam-ci menjerit merasakan totokan pada bahunya, dan untungnya daya kekuatan serangan Hoa-mei tidak membuat ia sempat terluka dalam, karena sin-kang hoa-mei yang terpecah. Dan terlebih sin-kang itu digunakan juga untuk siu-to-po-in dan tin- liong-siulian.

Giam-ci hanya merasakan nyeri sesaat, dan rasa nyeri itu dipaksakan untuk mebali mendesak Hoa-mei, she-taihap benar- benar diuji ke uletannya, tiga ratus jurus berlalu, tujuh lawannya sudah mulai kecapean, namun demi misi mereka terus berusaha merobohkan nenek tua yang luar biasa dan sakti itu, Hoa mei merubah lagi jurusnya dengan Im-yang-pat-sin-im- hoat, Hoa-mei dapat kembali memperbaiki kedudukannya, pukulan-pukulan jarak jauh dengan suara gemerisik yang lebih kentara dari Im-yang-bun-sin-im-hoat membuat empat lawannya kalang kabut, namun dua pukulan dari ang-mou- kuibo dan lam-kek menerpa tubuhnya, dan sebuah jarum dari sepuluh jarum yang dilempar tok-lian mengenai paha Hoa-mei, sin-kangnya terpaksa terpokus sesaat pada ilmu siu-to-po-in, dan malangnya empat lawannya sudah menyusulkan serangan, dengan gerakan langkah luar biasa Hoa-mei dapat mengelak, tiga senjata lawan, namun pedang pedang kwi-tiauw-eng tidak bisa dielakkan

“srat…” sebuah sabetan melukai bahu dan punggungnya.

Hoa-mei tanpa gugup dan meringis mulai lagi menyusun gerakan, pertempuran terus berlansung, hingga malam berakhir, dan suasana pagi pun datang, namun hutan itu sudah porak-poranda laksana diamuk badai, matahari belum lagi terbit, hanya safak merah yang mengarak diufuk timur, Hoa-mei dengan luar biasa bergerak, sebuah pukulan tingkat delapan dari Im-yang-pat-sin-im-hoat mengenai tubuh tai-twi, namun Hoa-mei haarus menerima tiga pukulan lagi dari tiga oraang pengintainya, hoa-mei terduduk dengan nafas sesak, tiga lawannya terus bergerak mengayun kan senjata tanpa menggubris tai-twi yang sudah tewas seketika dengan tubuh membiru kedinginan.

Hoa-mei menagkap golok peng-kui dan suling giam-ci, hoa-mei berpoksai mengindarkan tusukan kwi-tiuaw-eng, dan tiga dua pukulan dan serangkai jarum menyambutnya diudara, Hoa-mei dengan indah bergerak mengelak laksana gerakan kucing diudara, jarum tok-lian luput demikian juga pukulan lam-kek, namun pukulan ang-mou-kuibo menyerempet pundaknya, peng-kui dan giam-ci tiba-tiba mengirimkan pukulan sakti “brush..dess..” dua pukulan itu telak menerpa tubuh Hoa-mei, kekuatan siu-to-po-in kembali bergerak menahan dua hawa yang hendak menerobos.

Hoa-mei ambruk ketanah, dan lima lawanya segera memburunya dengan pukulan dan senjata, hoa-moi tersudut bersandar dipohon

“kreeek……kreekkkk..berhentiii……!” suara teriakan seekor rajawali yang disusul sebuah teriakan luar biasa membuat lima lawan itu bergetar sehingga terjungkal, namun sebuah jarum tok-lian yang meluncur menembus betis hao-mei sementara yang jarum yang lain rontok, dalam sekejap burung rajawali melintas dan sebuah tubuh manusia meluncur luar biasa ke arah pertempuran, Kwaa-han-jin berdiri tegak membekangi hoa-mei, enam lawan itu langsung melarikan diri setelah menyadari siapa yang datang, Kwaa-han-jin menghadap Hoa mei yang lemah tersandar, mata keduanya saling bertatapan, Kwaa-han-jin yang berkebetulan menuju Wuhan untuk menemui enciknya Hoa-mei, melihat pertempuran menjelang akhir itu dari atas, sama hal dengan rajawalinya, sehingga rajawali itu memekik yang disusul teriakan Kwaa-han-jin.

Kwaa-han-jin sebagaimana kita ketahui berada di Taiyuan bersama enciknya swat-hong, kehidupan Bao-san berubah drastis, saat umur kandungan swat-hong sembilan bulan, ia melahirkan anaknya di rumah baru dan megah dengan beberapa pembantu, kelahiran bayi laki-laki disambut oleh Bao- san dengan tangis bahagia, Swat-hong ternyata selamat melahirkan bayinya walaupun umurnya saat itu lima puluh tahun, Bao-san menciumi istrinya, sementara Kwaa-han-jin sedang berada disalah satu toko Bao-san dikawasan selatan, saat sore hari Kwaa-han-jin disambut Bao-san dengan wajah gembira

“Jin-te..cepat keponakanmu sudah lahir tadi siang, ayok..” seru Bao-san, secercah senyuman menghias wajah Han-jin, dengan hati bahagia ia mengikuti Bao-san kedalam kamar

“jin-te ..” seru swat-hong memanggil adiknya saat muncul dipintu, Han-jin mendekati kakaknya

“bagaimana keadaanmu cici, baik-baik, bukan ?” tanya Han-jin sambil memegang jemari kakaknya

“berkat doamu adikku, aku baik dan selamat.” Jawab Swat- hong dengan berkaca-kaca

“hehehe….hehhee..syukurlah cici, aih kepoanakan..” ujar han- jin sambil merengkuh keponakannya yang tidur disamping swat-hong

“laki-laki apa perempuan cici ?” tanya Han-jin “keponakanmu laki-laki jin-te.” sela Bao-san dengan senyum

“hahaha..heheh..hmh…harumnya keponakanku.” ujar Han-jin sambil memnciumi keponakannya

“jin-te keponakanmu belum diberi nama, saya dan encikmu sepekat supaya kamu menamainya.” ujar Bao-san.

“aku yang akan memberi nama twako ?” “benar jin-te, siapakah nama keponakanmu ?” sela Swat-hong

:hmh…sebentar aku pikir saat aku mandi.” sahut Han-jin memberikan bayi pada Bao-san, lalu ia pergi keluar dan mandi, setelah mandi Han-jin datang lagi

“sudah kamu dapat nama keponakanmu jin-te ?” tanya swat- hong

“sudah cici, aku sudah dapat nama untuk keponakanku.” “siapakah namanya Jin-te ?” sela Bao-san

“namanya adalah Bao-jin-han.” jawab Han-jin “hehehe….hahaha…nama yang bagus jin-te, itu serapan dari namamu sendiri yang dibalik.” ujar Bao-san, Han-jin mengangguk sambil senyum.

Keesokan harinya Kwaa-goat-niu dan suaminya Tang-tihu datang menjenguk kelahiran adik misannya,

“jin-siok…! seru goat-niu ketika melihat paman mudanya sedang bicara dengan pelayan

“hehehe..goat-niu kalian sudah datang.

“benar siok, bagaimana keadaan bibi hong ?” tanya goat-niu “keadaan bibimu baik, dia sedang berada dikamar beserta pamanmu Bao-twako.” sahut Han-jin, Goat-niu adalah putri sulung dari dai Kwaa-kun-bao di pulau kura-kura, suaminya Tang-yuan adalah tihu kota itu, suami istri itu masuk dan melihat bibi dan pamannya didalam kamar

“kalian sudah datang yuan-ji !?” sapa Ba-san

“benar san-siok.” sahut Tang-yuan, Goat-niu langsung mendekati bibinya swat-hong dan menggendong adik misannya “siapa nama adikku bibi-hong ?” tanya Goat-niu “pamanmu han-jin memberi nama pada adikmu Bao-jin-han.” Jawab Swat-hong sambil senyum.

Tang-yuan setelah lewat siang kembali kerumah

“jin-siok, kapan ke pulau kura-kura menemui ayah ?” tanya goat-niu

“secepatnya paman akan kesana, dan paman masih akan berada disini setelah jin-han berumur sebulan.” sahut Han-jin “jika paman menemui ayah, sampaikan paman bahwa keadaan kami baik-baik saja.” ujar

Goat-niu

“tentu niu-ji, apakah kalian akan pulang ?”

“benar jin-siok, kami pulang dulu.” sahut Goat-niu

“baik, hati-hati dijalan yuan-ji.” ujar Han-jin, lalu tang-yuan dan goat niu masuk kekereta kuda.

Kebahagiaan Bao-san dan istri semakin semarak, harta melimpah, dan juga mendapatkan anak sebagai anugrah, Kwaa-han-jin bersyukur mendapatkan kakaknya memperoleh nikmat yang luar biasa., dan sebulan kemudian, Kwaa-han-jin pemit pada Bao-san dan swat-hong untuk berangkat ke lokyang, dengan hati bahagia Swat-hong melepas adiiknya “Jin-te, sampaikan salam rindu dariku untuk liong-te, mei-cici, bao-te dan peng-te.”

“baik cici, aku akan sampaiakan jika bertemu mereka.” sahut Han-jin, kemudian ia pun meninggalkan kota Taiyuan. Dua hari kemudian Han-jin sedang melintasi sebuah lembah, dan suara teriakan datang dari angkasa, Han-jin mengongak ternyata rajawali miliknya, dengan suitan ia memanggil rajawali, rajawali itu turun mendekat, Han-jin melompat dan naik keatas punggung rajawali

“bagaimana keadaanmu pek-thouw ?” sapa Han-jin dekat kepala pek-thouw

“kreek..krekkkk…” pekik pek-thouw nyaring, kelihatan rajawali itu senang bertemu majikannya, dia membumbung tinggi dan meliuk-likkan terbangnya menunjukkan kegembiraannya, dengan tertawa Han-jin menciumi kepala rajawali.

“pek-thouw kita kesebelah sana !” ujar Han-jin sambil menunjuk kearah selatan, burung itu meliuk kearah selatan melintasi hutan, lembah dan bebukitan, dua hari kemudian perkotaan nampak dari atas

“kita kesana Pek-thouw.” ujar Han-jin sambil menjuk kota dibawah, disebuah hutan Han-jin turun

“pek-thouw kamu jangan jauh dari kota ini, aku akan memanggilmu kembali..!” teriak Han-jin

“krekkk..” sahut pek-thouw sambil membumbung tinggi, Han-jin berlari kearah kota yang dia lihat dari atas, dan ternyata kota yang besar itu adalah Lokyang, dengan hati senang Han-jin memasuki kita dan menuju selatan kota

“lopek boleh aku bertanya ?” tanya Han-jin

“ada apa anak muda ?” sela lelaki tua penjual buah

“dimanakah disini kediaman kwaa pedagang obat ?” tanya Han- jin

“ooh..she-taihap,, kamu lurus terus jalan ini, nah.., gang kedua setelah tikungan ada rumah bertingkat, itu rumah she-taihap.” jawab orang tua itu

“baik, terimakasih lopek, oh iya tolong buah leci dan melonya dibungkus lopek.” ujar han-jin, sipedagnag dengan senyum membungkus buah leci dan melon

“berapa lopek ?”

“empat ketip saja anak muda.” sahut penjual

“kalu begitu tolong dibuat jadi satu tahil tembaga.” ujar Han-jin, pedagang itu lalu membungkus lagi buah melon dan leci.

Han-jin berjalan sambil menenteng kantong berisi buah, tidak berapa lama ia pun sampai didepan rumah Kwaa-sin-liong, seorang pemuda tampan hampir sebaya dengan Han-jin datang menyambut, dia adalah Kwaa-tan-bouw

“sicu siapa ? dan hendak bertemu siapa ?” tanya Kwaa-tan- bouw

“maaf apakah ini rumah kwa-sin-liong ?” tanya Han-jin “benar sicu, dan sicu ini siapa ?” tanya Tan-bouw “aku kwaa-han-jin ingin bertemu.” Jawab Han-jin

“oh..marilah masuk, saya akan memanggil ayahku.” ujar Tan- bouw sambil mempersilahkan tamunya masuk, Han-jin masuk dan duduk diberanda rumah

Tidak lama Kwaa-sin-liong dan istrinya muncul bersama Tan- bouw, Kwaa-han-jin berdiri menyambut kedatangan kakaknya dengan senyum, Kwaa-sin-liong menatap tamu mudanya “Liong-ko mungkin heran dengan kedatanganku.” ujar Han-jin, mendengar panggilan pemuda itu padanya, membuat suami istri itu heran

“siapakah kamu anak muda ?”

“saya adalah adikmu liong-ko, nama saya Kwaa-han-jin.” Jawab Han-jin

“bagaimana bisa jin-sicu, ayahku menjadi kakakmu ?” sela Tan- bouw heran

“karena Kwaa-han-bu adalah ayahku.” jawab Han-jin “hah..ayah…oh…benarkah ?” sela Sin-liong pucat

“benar liong-ko, aku adikmu yang lahir dimasa tua ibu kwee- kim-in.”

“oh adikku. Han-jin…mari..mari jin-te bagaimanakah keadaan ayah ?” ujar Sin-liong sambil menarik adiknya masuk kedalam

“tan-bouw terkesima, demikian juga dengan ibunya

“liong-ko, ibu sudah meninggal saat melahirkan aku, dan ayah juga menyusul lebih setahun yang lalu.” ujar Han-jin, kwaa-sin- liong menunduk dan terdiam sesaat sambil memejamkan mata, kemudian mata dan pipinya yang basah diusapnya dan menatap adiknya yang masih muda itu

“jin-te kedatanganmu sungguh membuat aku dan keluarga bahagia, bouw-ji beri hormat pada siokmu !” ujar Sin-liong “siok ! aku tan-bouw memberi hormat dan maaf atas kelancangan tecu.” ujar Tan-bouw sambil berlutut

“hehehee.. bangkitlah bouwji, tidak ada yang perlu dimaafkan, kakakmu gan-bao juga sudah bertemu denganku.” “kamu sudah bertemu dengan keponakanmu gan-bao, Jin-te ?” sela Sin-liong

“sudah liong-ko, bahkan dengan kwaa-hong dan Kwaa-yang- bun.” sahut Han-jin

 imana kalian bertemu jin-te ?” tanya Kwaa-hujin

“kami bertemu di hutan kongciak soso, dan mereka telah saya bawa ketempat ayah dan ibu dimakamkan.” Jawab Han-jin “dimanakah itu jin-te ?” tanya Sin-liong

“di Qingdao tepatnya di goat-kok.” jawab Han-jin “berapa umurmu sekarang Jin-te ?” tanya sin-liong

“saat ini aku sudah berumur delapan belas tahun, aku sudah menemui eng-cici dan keluarga di Sinyang, dan aku juga sudah bertemu dengan Hong-cici dan keluarga di Taiyuan, dan setelah dari sini aku akan ke Wuhan atau ke pulau kura-kura, atau ke shanghai.”

“hehehe..hahaha..syukurlah jin-te, perjalanan muhibah ini tentu sangat mencengangkan saudara-saudaramu yang tidak menduga keberadaan dirimu.” ujar Sin-liong. Han-jin menganguk dan tersenyum

“soso aku tadi beli buah .” ujar Han-jin sambil memberikan kantong yang ada ditangannya

“hi..hi…mana jin-te, biar dibawa kebelakang.” sahut istri sin- liong, sambil tersenyum, kedatangan Han-jin sangat menyenangkan hati sin-liong dan keluarga, malam itu mereka bercerita banyak hingga larut malam, keesokan harinya Tan- bouw membawa pamannya jalan-jalan dikota lokyang, bahkan esoknya lagi Sin-liong mengajak adiknya untuk berlatih, hal yang sama dirasakan Yo-seng, dirasakan Sin-liong, dan rahasianya pun dia dapat tahu setelah diberitahu Han-jin, hari keempat Kwaa-tan-bouw juga tidak mau ketinggalan, mengajak pamannya latihan.

Hari kelima Han-jin pun pamit untuk melanjutkan perjalanan, Han-jin dilepas kakaknya dengan senyuman arif, Han-jin meninggalkan kota Lokyang, dan menurut saran kakaknya sin- liong ia menuju Wuhan, Han-jin pun memenuhi saran itu, sesampai dihutan dipinggir kota lokyang, Han-jin bersuit memanggil pek-thouw, rajawali raksasa itu pun datang melintasi hutan, beberapa warga yang melihat rajawali itu berteriak-teriak melihat rajawali raksasa itu, Han-jin dari kerimbunan hutan melenting ke atas dan duduk di punggung rajawali, sekilas ia melihat kebawah bebrapa warga yang sedang menggarap sawah di pinggir hutan itu melampai padanya karena takhubnya, Han-jin membalas sambil senyum

“pek-thouw kita kesana !” ujar Han-jin sambil menunjuk ke arah selatan dari kota lokyang, ia tahu dari kakaknya bahwa Wuhan ada di wilayah barat, dengan kecepatan luar biasa pek-thouw melesat ke wilayah barat, pekikannya yang luar biasa nyaring merobek angin dan awan yang mengambang, seminggu kemudian pada saat pagi, Han-jin melintasi hutan dimana Hoa- mei dalam pertarungan yang akan menewaskannya.

“bagaimana keadaanmu nyonya ?” tanya Han-jin pada Hoa-mei “keadaanku cukup parah taihap, dan terimakasih telah menyelamatkanku.” Jawab Hoa-mei

“dua mayat itu siapakah nyonya ?” tanya Han-jin

“yang itu mayat suamiku, aku sampai kesini untuk mencarinya, namun ternyata suamiku sudah jadi mayat, hiks..hiks..” sahut Hoa-mei dengan hati pilu dan ia pun terisak sendu, Han-jin melangkah mendekati mayat Jun-bao, dan mengangkatnya kedepan Hoa-mei yang sesugukan, lalu dengan sebuah kayu, Han-jin masuk kedalam hutan dan mencongkel tanah, dalam wakti singkat ia menggali lobang, kemudian mengangkat mayat tai-twi dan menguburkannya.

Hal itu dikerjakannya sepanjang Hoa-mei terisa, menangisi mayat suaminya

“nyonya dimanakah suami nyonya akan dikubur ?”

“taihap bawalah kami kedalam kota, kami tinggal disana, aku harus menyemayamkan suamiku beberapa hari dirumah.” sahut Hoa-mei

“marilah kegendong nyonya.” ujar Han-jin mendekati Hoa-mei, hoa-mei menatap pemuda belia itu

“kamu sungguh baik hati taihap, siapakah namamu ?” “namaku Han-jin, nyonya.” jawab Han-jin

“she-han ?” tanya Hoa-mei

“bukan, tapi she-kwaa.” sahut Han-jin

“bagaimana caramu membawa kami taihap ?” tanya Hoa-mei “nyonya naiklah keatas punggungku dan suami nyonya akan kubopong.” jawab Han-jin, Hoa-mei ngangkat tangannya, dan Han-jin menariknya dengan lembut dan Hoa-mei pun sudah berada dipunggung Han-jin. Kwaa-han-jin membopong mayat Jun-bao dan bergerak dengan cepat, lari Han-jin amat mengejuitkan hati hoa-mei, lari yang dilakukan Han-jin tidak berbeda dengan larinya, Hoa-mei diam memeluk leher Han-jin, hatinya berdegup kencang merasakan hangatnya aura pemuda yang menggendongnya “kita terus keselatan taihap, rumahku ada disana.” bisik Hoa- mei, Han-jin melintasi kota diatas atap-atap rumah penduduk, dipagi hari yang cerah karena matahari baru saja terbit, dan kemudian Han-jin sampai kedepan rumah Hoa-mei

A-meng yang gelisah disepan rumah terkejut dan berlari mendapatkan Han-jin yang menggendong tuannya “hujin apa yang terjadi ?” tanya A-meng

“sediakan air untuk minum taihap, kita masuk kedalam taihap,” ujar Hao-mei, Han-jin memasuki rumah, lalu meletakkan mayat Jun-bao di ranjang dan menurunkan Hoa-mei.

Dua jarum yang menancap di kaki Hoa-mei membuat dia tidak bisa tidak bisa bergerak

“nyonya, siapakah tabib yang harus saya temui untuk menyembuhkan luka nyonya.”

“kamu minum dulu taihap, biar A-meng yang melakukannya.” ujar Hoa-mei, tidak berapa lama ah-cen pembatu rumah Hoa- mei membawa sepoci air teh hangat dan tiga cangkir, dia terkejut bahwa loya nya sudah terbujur tewas

“tuangkanlah minumnya ah-ceng dan katakana kepada A-meng untuk menemui Wan-sinse.” ujar Hoa-mei

“baik hujin.” sahut Ah-ceng dengan buru-buru “minumlah taihap, aku hendak bersiulian sebentar.” ujar Hoa- mei, Han-jin demikian salut melihat ketenangan Hoa-mei menghadapi hal yang dialaminya, namun rasa kagum itu berubah dengan rasa terkejut, karena siulian yang dilakaukan Hoa-mei itu persis sama dengan apa yang dimilikinya, letak posisi dan semua cara menarik nafas yang terangkum dalam ilmu siu-to-po-in, Han-jin terenyuh melihat wajah yang mulai menua itu, Han-jin sudah memastikan inilah enciknya Hoa-mei, Han-jin diam membiarkan enciknya bersiulian, sementara ia membersihkan mulut kakak iparnya yang penuh bercak racun.

Bahkan ia keluar menggendong jun-bao dan memanggil Ah- ceng untuk membawakan air hangat, lalu ia menngosok bercak darah dan kotoran pada tubuh jun-bao, Ah-ceng membawakan baju bersih dan memberikannya kepada Han-jin, Han-jin membuka baju Jun-bao yang penuh noda darah, dan menggantinya dengan baju bersih, wajah pucat jun-bao sudah bersih, bebrapa tetangga datang menayakan hal apa yang terjadi, beberapa ibu-ibu terisak menangis sedih.

“paman…aku butuh peti mayat, diamanakah bisa aku dapatkan

?” tanya Han-jin pada seorang lelaki tetangga kakaknya “oh..aku akan segera mengambilnya ketempat tukang peti.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar