Pendekar Sakti Welas Asih Jilid 2

Jilid 2

Angin berkesiuran dari setiap gerakan yang mengandung sin- kang, dan kadang suara benturan keras terdengar ketika kedua pukulan berhawa sakti beradu, sampai sekian lama keduanya masih seimbang walhal sudah lebih dari seratus jurus, ternyata alot juga pertempuran yang terjadi, namun ketika Lou-beng-ho mencaput pedangnya dan Liem-hung menggunakan cambuknya, empat puluh jurus kemudian, pedang Lou-beng- hong telah memetuskan cambuk Liem-hung, sehingga Liem- hung terdesak hebat, ayunan pedang dalam rangkaian jurus “kwi-ban-lui-kong-kiam” demikian gencar mengurung gerak Liem-hung.

“crak…aghh…wut….cep…” Liem-hung menjerit ketika tangannya buntung sehingga darah memancur, dan gerakan susulan yang mematikan dimana ujung pedang Lou-beng-ho menancap kedada Liem-hung dan menyate jantungnya, tanpa bersambat Liem-hung tewas seketika.

Murid-murid Liem-hung terpana melihat tewasnya guru mereka “hehehe..hehe…. guru kalian telah tewas, siap yang mau mengiringnya keneraka silahkan maju.” tantang Lou-beng-ho sambil mengangkat pedangnya yang masih merah oleh darah Liem-hung, para murid tidak ada yang berani bergerak, tiba-tiba istri Liem-hung dan putrinya yang berumur dua belas tahun menjerit mendapatkan jasad Liem-hung.

“hmh…kalian mau mati atau hidup bersamaku !?” tanya Lou- beng-ho dengan senyum menyeringai.

“bunuh saja aku.. !” teriak Liem-hujin

“baik jika itu mauamu….crak…aghhh…”” sahut Lou-beng-ho dan pedangnya menebas leher Liem-hujin, terdengar jerit terputus Liem-hujin, para murid tak kuasa melihat pembantaian sadis tersebut, sementara Liem-cu putri Liem-hung yang melihat ibunya ambruk tanpa kepala menjerit histeris, lalu menerjang Lou-beng-ho, namun

“buk…” terjangan Liem-cu disambut tendangan dahsyat dari Lou-beng-ho, tubuh gadis remaja itu melayang dua tombak dan ambruk dengan nyawa melayang karena dadanya remuk.” “hahaha….hahaha…sekali lagi siapa yang ingin mengiringi kauwsu kalian segeralah maju !” teriak Lou-beng-ho sambil tertawa jumawa.

“baik…sejak hari ini kalian harus ikut perintahku, bukoan ini akan saya ambil alih, dan kalian akan kuajari ilmu-ilmuku yang luar biasa, sekarang kalian bersumpah setia padaku.” ujar Lou- beng-ho, lalu enam puluh murid itu terpaksa manut dan ikut setia pada Lou-beng-ho ketimbang harus kehilangan nyawa. “perguruan ini akan dirunah namanya dengan “kwi-ban- sinciang” (telapak selaksa iblis)” ujar Lou-beng-ho, dengan mengambil nama ilmu tangan kosong yang dimilikinya.

Sejak itu Lou-beng-ho menjadi kauwsu dan mengajari enam puluh anak muridnya dengan ilmu-ilmu yang luar biasa, empat tahun kemudian muris-muridnya sudah mencapai dua ratus orang, dan mereka adalah perguruan yang ditakuti di kota Huangsan, semua bukoan takluk pada bukoan yang satu ini yang terkenal kebuasan dan kekejamanya.

Suati hari Lou-beng-ho sedang bersantai diruang tengah sambil dengan dilayani empat gadis cantik, tiba-tiba dua orang muridnya menghadap

“suhu..tecu hendak menyampaikan berita penting.” “ada apa cepat katakan !”

“kami mendengar informasi bahwa enam bukoan yang lain sedang mencari sebuah kitab yang bernama “liang-jiu-po” (kitab lengan-sukma)”

“hmh…mereka mencari kemana ?”

“katanya kitab itu berada di “kiam-teng” (puncak pedang) “apa memang kitab itu ada ?”

“Sepuluh tahun lalu hal itu pernah tersebar dikalangan persilatan, namun karena puncak itu tinggi jadi tidak ada yang berhasil mencapainya.”

“kalau begitu saya akan kesana untuk mencoba

mendapatkannya.” ujar Lou-beng-ho dengan wajah berbinar, keesokan harinya Lou-beng-hong bersama dua murid tertuanya menuju daerah pantai dimana Kiam-teng menjulang tinggi laksana pedang tegak, lereng puncak itu terdiri dari batu-batu hitam licin dan banyak jurang menganga dibawahnya, ketika Lou-beng-ho sampai dikaki puncak empat orang kauwsu dari bukoan lain sedang memandangi puncak

“untuk apa kalian kesini !?” tanya Lou-beng-ho tiba-tiba, empat orang itu terkejut dan menoleh

“eh..ternyata ”kwi-ban-ciang” (telapak selaksa iblis) sahut mereka dengan hormat, Lou-beng-ho dijuluki dengan nama perguruannya.”

“benar…kalian kalau tidak ada urusan segera enyah dari sini !” bentak Lou-beng-ho dengan sikap meremehkan, empat kauwsu itu segera menyingkir, setelah empat orang itu pergi

“kalian tunggu disini ! jika sampai malam aku belum turun, kalian pulang saja, dan jaga perguruan selama saya tidak ada.” “baik suhu…” sahut dua orang muridnya, kemudian Lou-beng- ho berkelabat dan berlari manaiki ke arah puncak, dengan gin- kangnya yang tinggi Lou-beng-ho melintasi jurang dan tebing yang licin, dia terus mendaki hingga sampai kelereng tertinggi, dan ditempat ini banyak para pendekar yang gagal, karena untuk dapat naik lebih keatas harus menyeberangi jurang yang sangat lebar.

Lou-beng-ho memperhatikan areal yang sulit itu mencoba memikirkan jalan keluar untuk sampai keseberang, tidak ada jalan kecuali memang harus melompati mulut jurang tersebut, Lou-beng-ho memperkirakan jarak antara tempatnya dengan tebing diseberang sekitar dua belas tombak, itu artinya tiga kali lompatannya, dan jika dia lakukan lompatan dari tempat ia berdiri maka hasilnya sebelum mencapai kemungkinan besar ia mendarat di dinding tebing tiga tombak dibawah permukaan tebing, dan dinding tebing itu dari batu hitam yang padas, cendrung kemungkinannya ia akan jatuh hancur didasar jurang, samabil mengelus jenggotnya ia terus berpikir, sementara hari sudah senja, sebentar lagi malam akan tiba.

Lou-beng-jo mendongak keatas melihat pepohonan yang tumbuh disekitarnya, lalu ia coba memanjat pohon yang paling tinggi kira-kira sepuluh tombak, setalah sampai diatas Lou- beng-ho berpikir, kalau dari atas dahan ini ia melompat setidaknya ia mampu hanya dua tombak melayang, jadi itu artinya enam lompatan, pas pikirnya, lalu ia turun kembali dan mempersiapakan enam potongan kayu sepanjang lengan, kemudian ia kembali naik keatas pohon, setelah merasa siap, Lou-beng-ho melompat dari saat tubuhnya melayang sebuah kayu dilempar sebagai injakan kakinya untuk melompat kembali, demikian terus dilakukan hingga enam kali lompatan dan akhirnya ia mendarat mulus di permukaan tebing.

Tanpa menunda waktu, Lou-beng-ho melanjutkan pendakian, namun ketika sampai di leher puncak, tempat itu berupa tebing lurus dengan bongkahan batu, tapi hanya dapat dinaiki oleh jejakan kaki setinggi enam tombak, dan enam tombak diatasnya adalah batu licin, Lou-beng-ho berhenti dibawah tebing yang tinggal enam tombak, sementara malam sudah merambat jauh, Lou-beng-ho terpaksa turun dan istirahat ditempat yang datar.

Keesokan harinya setelah mengisi perut dengan binatang buruan di huitan, dan ia dapatkan hanya sebesar jempol kaki, namun itu sudah cukup dibuat menjadi sate bakar ular, sambil minum air dari kendi yang diikatkan dipinggangnya Lou-beng- ho menatap puncak, kemudian ia kembali menaiki bagian yang penuh bongkahan batu, sesampai dibawah pada bagian yang licin ia kembali berhenti, dia coba menusuk tebing batu dengan pedangnya, namun hanya suara dentingan yang terdengar dan ujung pedang tidak mampu menembus dinding batu, andai dia paksakan pedangnya yang akan patah.

Lou-beng-ho kembali duduk dan berpikir, dan tiba-tiba ia mendapat ide, lalu ia segera mengitari puncak dan ternyata disisi lain ada bekas cakaran pada dinding batu, Lou-beng- hong takjub dengan orang yang telah mencakar patu padas itu layaknya seperti tahu, Lou-beng-hong dengan gembira menaiki tebing dengan memasukkan jemarinya pada bekas cakaran tersebut, dan ia pun memanjat tebing, dengan hati-hati ia terus merayap keatas, dan akhirnya sampai ke permukaan puncak, diatas puncak anginnya sangat kencang dan luas permukaan puncak hanya seluas sepuluh tombak kali sepuluh tombak.

Diatas permukaan puncak ada sebuah nisan dan tidak ada lagi yang lain, lalu Lou-beng-ho menggali nisan itu dengan pedangnya, dan didalam galian terdapat sebuah peti yang didalamnya hanya ada sebuah peta

“sialan…” gerutu Lou-beng-ho, namun peta itu disimpanya dan dia pun turun kembali, setelah dua hari ia sampai kekaki puncak, dengan berlari cepat Lou-beng-hong kembali kekota Huangsan, dia disambut murid-muridnya

“bagaimana suhu ? apakah suhu berhasil ?” tanya muridnya yang tertua

“disana tidak ada apa-apa, tapi mulai besok aku akan meninggalkan kalian untuk sementara, kalian jaga baik-baik tempat ini selama saya pergi.”

“kemanakah suhu akan pergi ?”

“hal itu tidak perlu kalian tahu.” jawab Lou-beng-hong, para murid pun terdiam.

Keesokan harinya Lou-beng-hong meninggalkan perguruannya, dari pantai ia berlayar menuju kea rah matahari terbit, sehari semalam ia mendayung, dua buah pulau nampak, dan dalam gambar pulau berbentuk punggung kapal yang harus dia cari, dia menyusuri pulau-pulau yang berada disekitar perairan itu, dan setelah tiga hari pulau dalam gambar peta pun kelihatan, segera Lou-beng-ho mengarahkan perahunya ke pulau tersebut, sesampai dipantai, Lou-beng-ho istirahat di pinggir hutan sambil membakar ikan untuk pengganjal perut.

Kemudian Lou-beng-ho masuk kedalam hutan belukar, dan menjelang sore ia melihat gua yang dimaksud dalam peta, dengana hati-hati ia memsuki lorong goa yang pajang, dan akhirnya titik pencariannya berupa nisan yang sama bentuknya dengan nisan yang yang ada di “kiam-tek”, Lou-beng-hong menggali nisan tersebut dan dia menemukan peti yang cukup besar, dengan tidak sabar ia membuka peti dan untungnya ia bergerak cepat mengibaskan pedangnya hingga tiga anak panah yang meluncur dari dalam peti jatuh patah dua, dan satu menancap didinding goa.

Lou-beng-ho mengambil isi peti berupa dua buah kitab lusuh, satu kitab berisi pelajaran ilmu tangan kosong dengan nama “liang-jiu-po” dan satu lagi berisi kitab pelajaran ilmu pedang yang bernama “liang-lo-kiam” (pedang pengacau sukma), dengan hati gembira Lou-beng-ho mempelajari dua kitab tersebut, siang malam ia membaca dan memahami dua kitab, sehingga tidak sadar waktu telah berjalan cukup panjang, sepuluh tahun ternyata sudah berlalu, Lou-beng-ho sudah berumur lima puluh dua tahun. Lou-beng-ho meninggalkan pulau dan kembali ke kota Huangsan, kehadirannya membuat gembar kembali kota Huangsan, perguruannya selama sepuluh tahun ternyata kandas di habisi oleh seorang pendekar yang berjulukan “Nanjing-kim-houw” (harimau emas dari Nanjing) tiga tahun yang lalu, tentunya hal ini menjengkelkan “Kwi-ban-ciang” lalu kembali mengumpulkan bekas murid-muridnya, yang tersisa hanya empat puluh orang, setahun kemudian “kwi-ban-ciang- bukoan” kembali beroperasi.

Dua bulan kemudian lou-beng-ho berangkat ke nanjing untuk menemui pengacau perguruannya, sebulan kemudian Lou- beng-ho sampai dikota Nanjing

“silahkan totiang, totiang mau makan apa ?”

“sediakan nasi dan panggang bebek, dan juga seguci arak !” ujar Lou-beng-ho, sipelayan hendak beranjak namun

“heh tunggu dulu, dimana saya bisa berjumpa dengan nanjing- kim-houw?” tanya Lou-beng-ho

“Nanjing-kim-houw selalu berkelana, dan sepertinya ia sedang tidaka ada dalam kota.”

“dia tinggal dimana kalau kembali kesini ?” “pendekar itu adalah putra Ma-tihu.” “dimana rumah Ma-tihu ?”

“Ma-tihu tinggal di sebelah utara.”

“sudah kalau begitu, cepat pesanan saya di siapkan,”

“baik totiang.” sahut pelayan segera meninggalkan Lou-beng- hong Lou-beng-hong memasuki rumah Ma-tihu, dua orang pengawal datang mendekat, namun sebelum mereka bertanya, Lou-beng- ho bergerak, dan kedua pengawal itu sudah ambruk tewas dengan tubuh kaku dan mata melotot, dengan sadis Lou-beng- hong menggunakan “liang-ci-hoat” (jurus jari sukma) salah satu daru jurus lengan sukma yang baru ia dapatkan.

“Nanjing-kim-houw..” keluar kamu dan cepat hadapi saya !” teriak Lou-beng-ho, para pengawal bermunculan dengan senjata ditanga

“kamu siapa ?” tanya kepala pengawal “cepat suruh Nanjing-kim-houw keluar !”

“tuan muda tidak berada disini, dan kamu sudah lancang membunuh dua pengawal.” bentak kepala pengawal

“hahaa..hahhaa… ternyata kamu tidak sabaran, kesini kau supaya saya kirim cepat keneraka “ tantang Lou-beng-hong, lalu ia melompat laksana naga terbang, kepala pengawal mengayunkan tombaknya

“krekkk…” mata tombak diremas oleh Lou-beng-ho, dan pecahan mata tombak disambitkan kemuka kepala pengawal “cep…cep…auuuuhhh….” Kepala pengawal itu terjunkal dengan dua pecahan besi menancap di kening dan pipinya, pasukan pengawal segera menyerang dan mengeroyok Lou- beng-hong.

Tapi pasukan itu laksana membentur dinding baja, siapa dekat langsung terjungkal untuk tidak bangkit lagi, luar biasa gerakan tangan Lou-beng-ho yang sudah melatih ilmu luar biasa Liang- jiu-hoat” dua puluh orang telah meregang nyawa dihalaman rumah Ma-tihu, yang tersisa ada sepuluh lagi dengan sikap meragu mengurung Lou-beng-ho, Lou-beng-ho melangkah memasuki rumah, dan diikuti dari jarak aman oleh para pengawal.

Ma-tihu dan istrinya meringkuk dikamar dengan wajah pucat ketakutan

“brak…” daun pintu hancur berkeping-keping dihantam kepalan Lou-beng-ho, Ma-tihu dengan pedang ditangan yang bergetar diacungkan, namun sebuah gerakan kibasan, pedang ditangan Ma-tihu terlempar, Ma-tihu makin menggigil, sementara istrinya menggigil keyakutan sambil memeluk kaki suaminya, dengan lompatan gesit Lou-beng-ho telah meremas tenggerokan Ma- tiuhu, laksana ayam disembelih Ma-tihu mengelepar dan darah muncrat dari lehernya yang hancur, lalu Lou-beng-ho mencengkram engkuk Ma-hujin dan sekali lempar tubuh Ma- hujin terhempas kedinding dan jatuh dengan kepala pecah.

“hahaha..hahaha… kalian sampaikan pada Nanjing-kim-houw, ini baru bunga akibat perbuatannya mengacau di Kwi-ban- ciang-bukoan, jika ia hendak membalas kematian keluarganya, segera ia datang ke huangsan untuk menemui saya “Kwi-ban- ciang” hahaha,,hahha… kamu harus mati ditanganku nanjing- kim-houw..” teriak Lou-beng-ho sambil tertawa dan kemudian dengan kecepatan kilat ia telah berkelabat dari tempat itu. Sepuluh pengawal itu membariskan jenazah pembantaian kwi- ban-ciang, lalu warga bergotong royong menggali kuburan bagi keluarga Ma-tihu, sebulan kemudian Ma-ceng-fu yang lebih dikenal dengan Nanjing-kim-houw pulang kerumahnya, pemuda dua dua tahun itu terkejut mengetahui keluarganya telah binasa, dua puluh pengawal ayahnya tewas, dengan menggebrak meja dan mata melotot karena dendam amarah “brak….siapa orangnya yang telah membuat aniaya keluargaku

!” teriaknya

“tuan muda, orang itu berjulukan kwi-ban-ciang dari Huangsan.” ujar seorang pengawal

“apa !? Kwi-ban-ciang…” sela nanjing-kim-houw dengan suara menggeledek

“benar tuan muda.” sahut pengawal.

Ma-ceng-fu mengingat-ingat nama yang disebutkan dengan kejadian masa lalu, dengan muka merah ia menggerutu “hmh….bangsat perguruan tersebut !” lalu ia keluar rumahnya dan segera berlari cepat meninggalkan kota nanjing menuju Huangsan, dan dua minggu berikutnya, ia pun mendatangi perguruan yang empat tahun lalu ia hancurkan.

“Kwi-ban-ciang…! Keluar kamu , aku Nanjing-kim-houw datang hendak menagih nyawamu.”

“hahaha..hahaha… bagus ternyata kamu cepat juga datangnya untuk mengantar nyawa.” sambut Lou-beng-ho dan berdiri tegap dihadapan Ma-ceng-fu

“ bangsat sialan…terimalah pembalasanku !” teriak Ma-ceng-fu sambil menerjang Lou-beng-ho, Lou-beng-ho malayani seranagan Ma-veng-fu sambil tersenyum, grakannya yang luar biasa mengatasi kecepatan serangan Ma-ceng-fu, dengan jurus kwi-ban-ciang ia memapaki jurus-jurus Ma-ceng-fu, pada jurus tangan kosong ini nampak Lou-beng-ho terbentur, lalu ia coba dengan ilmu pedang warisan suhunya Ma-tin-bouw, sementara Ma-ceng-fu menggunakan senjata goloknya yang bergagagang emas.

Pertempuran dengan senjata pun berlangsung dengan seru, kali ini Lou-beng-ho dapat mendesak ilmu golok Ma-ceng-fu, dengan lincah Lou-beng-ho terus mendesak kedudukan Ma- ceng-fu, Ma-ceng-fu walaupun terdesak masih berusaha dengan gigih untuk mencari celah menyerang, akibat amarah yang menguasai kekuatan Ma-ceng-fu bertambah hebat, namun terkesan membabi buta, dan Lou-beng-ho yang sudah berada diatas angin dengan cekatan meruntuhkan semua serangan Ma-ceng-fu, hingga

“crak..crak…augh,,,,,crak….aghh….” tiga bacokan mengenai tubuh Ma-ceng-fu dibagian perut, bahu dan leher dan dada.

Ma-ceng-fu ambruk bersimbah darah , dan tidak lama kemudian nyawanyapun melayang, sorak-sorai murid-murid Kwi-ban-ciang menyambut kemenangan suhu mereka. “buang mayat orang itu kejurang, biar menjadi makanan binatang di sana.” perintah Lou-beng-ho, empat orang muridnya segera menagngkat jasad Ma-ceng-fu dan membuangnya di areal belakang perguruan yang merupakan hutan dan dibagian dalam hutan ada jurang yang terjal, mayat Ma-ceng-fu dilempar jatuh kedalam jurang.

Lo-beng-ho sejak itu konsentrasi membina murid-muridnya yang kian bertabah hingga lima tahun kemudian perguruannya menjadi momok menakutkan dunia persilatan, dan hari itu ia dengan langkah kelihatan lunglai memasuki hutan merak, sementara pemuda dibelakangnya juga bukan orang biasa, pemuda berumur dua puluh dua tahun itu adalah Kwaa-yang- bun anak dari Kwaa-yun-peng yang tinggal di kota shanghai.

She-taihap muda ini sedang melakukan perjalanan panjang, karena ayahnya Kwaa-yun-peng menyuruhnya untuk meluaskan pengalaman, sebagaimana kita ketahui Kwaa-yun- peng menikah dengan Bao-ci-lan, dan memegang perguruan “pek-lek-twi” milik mertuanya, dengan kehadiran she-taihap maka perguruan Pek-lek-twi makin terkenal, makin banyak murid yang mendaftar, karena tidak ada lagi yang meragukan akan khzanah ilmu yang akan ditimba diperguruan tersebut, suhu mereka adalah she-taihap yang sudah terkenal kehebatannya yang luar biasa, ikon dunia persilatan sejak ratusan tahun yang silam, seluruh perguruan tunduk dan takluk pada Pek-lek-twi-bukoan, bahkan tiga tahu kemudian Kwaa- yun-peng menciptakan jurus khas tendangan yang diambil dari intisari perguruan, memang tidak dipungkiri berkat ilmu bu-tek- cingkeng, semua keturunan Kim-khong-taihap memeiliki kelebihan berupa daya cipta pada ilmu silat, Kwaa-yun-peng menciptakan jurus “pek-lek-sian-twi” (tendangan dewa halilintar) dan juga menciptakan “pok-pek-lek- tin” (barisan halilintar menyambar) yang terdiri dari enam orang, setiap perayaan pibu di kota shanghai perguruan Pek-lek-twi sudah dijamin menang, namun akan tetap diselenggarakan untuk membina hubungan baik antar perguruan, sejak Pek-lek- twi memiliki nama besar, kota shanghai semakin aman dan tenang, tidak ada para pengacau yang berani coba-coba membuat kerusuhan di shanghai.

Saat umur Kwaa-yang-bun lima tahun, Bao-ci-lan pun melahirkan anak yang kedua, seorang bayi perempuan yang cantik, Kwaa-yun-peng memberi nama putrinya Kwaa-hang-bi mengambil nama ibu kandung Kwaa-yun-peng Can-hang-bi, Kwaa-yang-bun sejak usia lima tahun sudah mulai belajar Bun dan bu, dalam asuhan ayah ibunya Kedua anak itu tumbuh dengan nilai-nilai yang diajarkan ayahnya, tentunya kedua anak ini mewarisi semua ilmu leluhurnya, umur sepuluh tahun Kwaa- yang-bun sudak tidak bisa dikalahkan oleh para suhengnya.

Saat usia Kwaa-yang-bun dua puluh tahun, di suatu malam Kwaa-yun-peng memanggil putranya

“Bun-ji… ayah ingin supaya engakau keluar untuk menjelajahi dunia persilatan, disamping untuk meluaskan pengalaman dan mendarma baktikan apa yang telah kamu milki untuk kebaikan dan kemaslahatan, kamu juga berkunjunglah ketempat saudara-saudaramu.”

“kemana-kemanakah aku akan berkunjung ayah ?” “dari rute perjalananmu maka tempat pertama yang kamu kunjungi pulau kura-kura di perairan kota Kaifeng, sampaikan kirim salam ayah kepada pek-pekmu kwaa-kun-bao, kemudian ke kota kun-leng.”

“aku akan bertemu dengan kongkong dan kong-bo ayah.” “benar anakku, setelah itu kamu menuju lokyang, untuk mengunjungi pek-pekmu Kwaa-sin-liong, dan jika engkau melewati kota Bao, istirahatlah di jim-kok untuk menjiarahi makam kong-bo mu ibu kandung ayah. 

“terus kemana lagi ayah ?”

“selanjutnya kamu terus kota sinyang untuk mengunjungi supek dan pekbo mu Yo-seng dan Kwaa-thian-eng, dan setelah itu terserah kemana langkahmu selanjutnya, namun juga jangan lupa kamu berkunjung ke Wuhan menemui pek-bo mu Kwaa- hoa-mei, dan waktu yang ayah berikan selama tiga tahun kamu sudah kembali kesini.”

“baiklah ayah, anak akan melakukankannya, dankapankah anak akan berangkat ayah ?”

“kamu berangkat besok pagi, dan ingatlah anakku, bahwa dunia luar penuh dengan batu ujian, yang semuanya itu untuk mengasah dan mematangkan kejiwaanmu, yang penting anakku jangan hilang kendali akan jati dirimu, kamu tidak lebih hanya seorang manusia lemah yang harus mempertahankan martabat kemanusiaan, jika tersalah anakku maka sebaik-baik manusia adalah yang cepat menyadarinya dan berubah dari kesalahan itu.” “pesan ayah akan anak ingat, restu ayah semoga dalam bayangan langkah perjalanan anak.”

“baiklah Bun-ji, kamu berkemaslah “ ujar Kwaa-yun-peng, lalu merekapan bubar untuk istirahat, malam itu Kwaa-yang-bun mengemasi perbekalan berupa baju dan uang yang diberikan ibunya sebagai bekal perjalanan.

Keesokan harinya Kwaa-yang-bun berangkat meninggalkan kota shanghai, hatinya demikian gembira, perjalananan ini adalah perjalanan untuk menguji dirinya baik fisik maupun mental, dua bulan kemudian Kwaa-yang-bun sampai dikota shuzou, daerah pesisir yang ramai dengan penduduk, Yang- bun mencari penginapan untuk bermalam, kemudian ia memasuki penginapan yang masih buka.

“lopek…saya ingin menyewa kamar, apakah masih ada kamar yang kosong.”

“oh ada kongcu, marilah masuk.”

“terimakasih lopek, namun sebelumnya saya ingin makan dulu.” “kalua begitu duduklah kongcu, kongcu mau makan apa ?” “tolong lopek sediakan nasi dan lauk yang masih ada.”

“lauk yang masih ada ikan bakar, ayam goreng dan ikan gulai.” “kalau begitu ikan gulai saja lopek.”

“baiklah, tunggu sebentar saya akan ambilkan.” ujar pelayan dan segera meninggalkan Yang-bun.

Tidak lama kemudian pesanan yang-bun pun datang dan pelayan dengan cekatan menghidangkan diatas meja Yang-bun “silahkan kongcu..!” ujar pelayan “terimakasih lopek..” sahut Yang-bun, lalu ia pun makan dengan lahap, tapi tiba-tiba hatinya tertarik mendengar percakapan dua nelayan di seberang mejanya

“kalau terus begini bisa-bisa kita tidak melaut lagi, Bao-twako” “benar Zao-te, lalu kita bisa berbuat apa ? bajak itu menguasai perairan yang banyak ikannya, belum lagi jika kita berjumpa dengan mereka, tentu kita akan dihabisi.”

“nasib kita para nelayan ini sungguh tertekan betul.” Keluh she-

Bao

“Jiwi-lopek bolehkah aku tahu hal apa yang menimpa para nelayan ?”

“ah anak muda sungguh hanya membuat sakit hati jika di ingat- ingat.” sahut she-zao

“ceritakanlah padaku paman, semoga saja aku dapat membantu.”

“anak muda polisi dan pasukan kungcu saja dipecundangi.” keluh she-zao

“jiwi-lopek, menceritakan padaku tentu tidak ada ruginya bukan

? aku memang bukan orang sini, namaku Kwaa-yang-bun.”

“anak muda kami para nelayan sudah dua tahun kesulitan mendapat ikan tangkapan, karena perairana yang biasa banyak ikannya ditempati bajak laut “hek-liong” (naga hitam), akhirnya nelayan banyak yang hilang pekerjaan, coba bayangkan bagaimana kami akan menghidupi keluarga kami jika mata pencaharian kami dicaplok.”

“benar sekali lopek.” sahut Yang-bun “Lauw-kungcu memang sudah mengerahkan pasukan untuk menghabisi para bajak, namun sayang, pasukan itu tewas semuanya ditelan laut.

“lopek…jika kita berlayar dari pantai kea rah manakah tempat bajak itu ?”

“apa maksudmu anak muda, apa kamu akan mendatangi bajak itu ?”

“mungkin iya lopek, saya juga tidak yakin, tapi saya ingin tahu tempat bajak itu.”

“jika dari pantai terus berlayar , dan dalam waktu setengah hari, akan ada sebuah pulau yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, nah dibalik pulau itulah sarang mereka, dan juga perairan yang banyak ikannya.”

“ooh…jadi disekitar pulau yang banyak pohon kelapanya, lalu, jika saya hendak berlayar, apakah ada yang menyewakan perahu ?”

“apakah kamu akan benar-benar ke tempat berbahaya itu anak muda ?”

“sepertinya iya lopek, saya jadi penasaran.”

“kalau memang kamu anak muda mau kesana, nampaknya tidak ada yang akan menyewakan perahu, karena bisa jadi perahunya tidak akan kembali.”

“kalau begitu susah juga ya lopek, untuk membeli perahu saya tidak punya uang untuk itu, tap tidak apalah lopek, terimakasih telah besedia bercakap-cakap dengan saya.” ujar Yang-bun, kedua nelayan itu mengangguk, lalu merekapun berdiri dan membayar makanan mereka. Yang-bun naik kelantai dua memasuki kamar yang telah disediakan, sebentar saja Yang—bun rebah ia pun sudah tertidur, namun saat menjelang pagi, dan haripun masih gelap, Yang-bun bangun dan ia keluar dari kamarnya lewat jendela karena ruangan pintu gerbang penginapan belum dibuka, dinihari yang sejuk dan kuatnya hembusan angina, bayangan Yang-bun laksana burung alap-alap melintasi atap-atap rumah menuju pantai, dengan sebilah papan alas ranjangnya Yang- bun meluncur dipermukaan laut, sebelah kakinya sesekali mendayung, dan sekali dayung papan itu laksana busur melesat kedepan.

Hari masih samara-samar, namun pulau dengan bayangan tumbuhan kelapa sudah kelihatan oleh Yang-bun, hanya dengan empat kali dayung Yang-bun sudah sampai didekat pulau, lalu Yang-bun mengitari pulau itu, dan yang-bun melihat dua kapal besar ditengah laut, sementara puluhan perahu berjejer ditepi pantai, yang-bun melangkah kepantai, dan hendak masuk kedalam hutan menuju perkampungan bajak laut, namun puluhan bajak ternyata sudah bangun dan berduyun-duyun ketepi pantai

“kamu siapa !?” bentak seorang bajak, dan tang lain-lain pasang aksi mengancam

“apa kalian bajak laut yang telah menyengsarakan nelayan dikota shuzou ?”

“bangsat ditanya malah balik bertanya, serangg..!” teriak bajak itu, lima orang bajak segera menyerang dengan berbagai senjata, Yang-bun dengan tenang berkelit dan membagi-bagi tamparan yang tidak mematikan, tapi cukup membuat mereka pening dan tumbang, rombongan bajak makin marah, sepuluh orang maju, sepuluh orang ambruk tumbang

“berhenti….!” Teriak seorang lelaki umur lima puluhan, dengan perawakan besar dan bercambang lebat, namun kepalanya botak kelimis, dia adalah Coa-ciang, pimpinan bajak hek-liong “siapa pengacau yang tidak tahu diri ini !” bentak lelaki itu yang ternyat pimpinan bajak, hatinya sedikit ciut melihat dua puluh anak buahnya sudah malang melintang pingsan hanya dalam beberapa gebrakan, namun dia mencoba menutupi kecemasannya

“saya hendak mencegah kalian berbuat aniaya terhadap para pelayan.” sahut Yang-bun dengan tenang.

“apa kamu punya nyawa rangkap sehingga berani mendatangi tempat ini !?” bentak Coa-ciang

“urusan nyawa itu urusan Thian, jangan sembrono seakan engkau yang memberikan nyawa padaku.” sahut Yang-bun tegas

“sial…bunuh pemuda berengsek ini !” teriak Coa-ciang, amak buahnya segera menyerang, namun sebagaimana pada pertempuran pertama, berapa orang mendekat, langsung sempoyongan dan tumbang, Coa-ciang jengkel dan marah, lalu dengan dua senjata pisaunya menyerang yang-bun, namun kali ini Coa-ciang ketemu batunya, selama lima puluh jurus semua serangannya luput, tapi pada jurus berikutnya, ia sudah jadi bulan-bulanan oleh tamparan Yang-bun yang bertubi-tubi mendera tubuhnya, dia menjerit-jerit karena merasa kulitnya panas dan nyeri.

Anak buahnya yang masih banyak berdiri disekitar pertempuran tanpa dikomando membantu pemimpin mereka, namun mereka seperti laron menyerang api, dekat langsung jatuh, Yang-bun dengan ilmu Im-yang-sian-sin-lie tanpa menggunakan sabuk telah membuat puluhan bajak laut kalang kabut dan bergelimpangan, akhirnya ketika matahari terbit para bajak laut menyerah, Coa-ciang tubuhnya sudah lemas matang membiru, rasanya seluruh tubuhnya sakit dan nyeri, mukanya juga lebam bengkak membiru.”

:”hari ini saya masih memberikan hajaran pada kalian, itupun kalau kalian mau merubah diri dan tidak menjadi bajak laut yang kerjanya menindas orang lemah, ayok berikan alas an pada saya untuk tidak melukai kalian lebih parah lagi bahkan mungkin tewas.” ujar Yang-bun dengan nada tegas.

“ampun taihap….kami akan berhenti dari pekerjaan ini.”

“bagus kalau begitu, jadi saya minta beberapa dari kalian untuk pergi membakar dua kapal kalian itu.” ujar Yang-bun sambil menunjuk dua kapal yang parkir ditengah laut.”

“tapi tuan bagaimana kami akan ke suzou jika kapal itu dibakar, kami akan terpencil disini.”: sela seorang bajak.

“ini ada puluhan perahu, yang bisa kalian gunakan untuk pindah ke shuzou, tiga empat kali kalian sudah terangkut semua, cepat bakar kedua kapal itu sebelum pikiran saya berubah.” sahut Yang-bun, enam orang segera menaiki perahu dan mendayung kea rah dua kapal mereka, dan sesampai dikapal, merekapun membakar dua kapal tersebut.

Setelah itu puluhan perahu dengan dua belas penumpang tiap masing-masing perahu berlayar menuju shuzou, dan memang benar dalam empat kali bolak-balik semua bajak sudah terangkut dan itu membutuhkan waktu sampai dua hari, sementara Yang-bun pada keberangkatan pertama sudah meninggalkan pulau dengan sebilah papan yang dibawanya, sosok perkasa yang mendayung kakinya diatas sebilah papan itu membuat para bajak meleltkan lidah saking takjubnya, dan sebagian mulut yang banyak celoteh memberi julukan pada Yang-bun dengan sebutan “Liong-san-taihap” (pendekar penakluk naga).

Saat matahari naik tinggi Yang-bun masuk kembali kedalam kamarnya, pemilik pengunapan tidak menyadari apa yang telah dilakukan oleh Yang-bun, mereka mengira Yang-bun baru bangun ketika turun untuk sarapan, namun siang harinya daerah pantai gempar melihat iringan puluhan perahu mendarat dipantai, terlebih hal itu berlangsung dua hari, dan dari pantai julukan “Liong—san-taihap” menyebar dan jadi buah bibir di kedai dan pasar-pasar, she-zhou dan she-bao terheyak mendengar berita yang hangat dibicarakan itu, merekapun ikut aktif menyebar berita bahwa pemuda yang mereka ajak bicara itu adalah she-kwaa bernama Yang-bun dengan julukan “Liong- san-taihap” Kwaa-yang-bun melanjutkan perjalanan, dan sebulan kemudian ia sampai kepulau kura-kura,

“sicu siapa dan hendak bertemu siapa ?” tanya seorang murid. “saya hendak bertemu kauwsu, saya Yang-bun she-kwaa.” “oh…ternyata suheng, mari kita masuk kedalam !” sahut si murid sambil menjura hormat, lalu Yang-bun pun memasuki istana dan disambut KWaa-kun-bao dan keluarga

“anak Kwaa-yang-bun dari shang-hai datang menghadap pek- pek dan pek-bo.”

“hahaha..hahaha…ternyata putra dari peng-te, bagaimana keadaan ayah ibumu Bun-ji ?”

“ayah, ibu dan keluarga dalam keadaan baik dan keduanya menitip salam untuk pek-pek dan keluarga.”

“syukurlah kalau begitu, dan bangkitlah Bun-ji dan duduklah !” ujar Kwaa-kun-bao.

Kwaa-kun-bao menikahi sutitnya LI-ceng-lin, setahun setelah menikah Kao-kun-bao memperoleh anak perempuan yang diberi nama Kwaa-goaat-niu, kemudiaan dua tahun kemudian lahir pula anak kedua yang juga perempuan, Kwaa-kun-bao memebri nama dengan Kwaa-hong, sebagai pemegang guru besar Pat-hong-heng-te, Kwaa-kun-baao sarat dengan pembinaan fisik dan mentak murid-miridnya yang berjumlah ratusan, demikian juga dengan kedua anak perempuannya.

Kedua anaknya tumbuh dengan binaan baik dari kedua orang tuanya, dan saat kedatangan Kwaa-yang-bun, kedua putri pamannya itu tidak ada di pulau kura-kura, karena Kwaa-goat- niu, sudah tiga tahun menikah dengan putra Tang-kungcu Kaifeng yang bernama Tang-yuan dan sekarang menetap dengan suaminya di Taiyuan, karena suaminya sebagai pejabat pemerintahan sebagi Tihu kota Taiyuan, sementara putri kedua beliau Kwaa-hong sudah berumur dua puluh satu tahun, satu tahun lebih tua dari Kwaa-yang-bun.

Kwaa-hong ternyata keluar pulau kuara-kura setahun yang lalu, sebagaimana halnya kwaa-yang-bun, Kwaa-kun-bao sangat senang dengan kunjungan keponakannya itu, namun karena perjalanan Kwaa-yang-bun masih panjang, jadi Kwaa-yang-bun hanya selama dua minggu berada di pulau kura-kura, dan melanjutkan perjalanan kekota Kun-leng.

Kwaa-yang-bun memasuki kota Kun-leng setelah dua minggu kemudian, namun rumah kakeknya ternyata kosong, dia hanya menemui dua keluarga dari dua orang pelayan kakeknya yan sudah berumur tujuh puluh tahun lebih.

“sejak kapankah kakek meninggalkan kota kun-leng, paman ?” tanya Yang-bun pada putra seorang pelayan

“tepatnya sudah dua puluh satu tahun loya dan nyonya meninggalkan rumah dan sampai sekarang belum pernah pulang.” jawab putra pelayan kakeknya, Kwaa-yang-bun tercenung mendengar berita itu, lalu tiga hari kemudian Yang- bun meninggalkan rumah kakeknya. Kwaa-yang-bun terus menuju Lokyang untuk menjumpai pek- peknya Kwaa-sin-liong, Kwaa-sin-liong menikah dengan Tang- bi-wei, Kwaa-sin-liong mempunyai tiga orang anak dua laki-laki, anak sulungnya perempuan bernama Kwaa-lian-bi sudah menikah dengan putra seorang kauwsu dikota Lokyang bernama Kam-ci-han, dan keduanya tinggal di rumah she-kam di bagian barat kota lokyang, lalu anak keduanya Kwaa-gan- bao seumur dengan Yang-bun, dan sedang berkelana di dunia persilatan, dan anak yang ketiga Kwaa-tan-bouw berumur enama belas tahun, saat kedatangan Kwaa-yang-bun disambut hangat oleh pek-peknya Kwaa-sin-liong.

Kwaa-yang-bun tinggal seminggu di kota lokyang dan selama itu Kwaa-yang-bun akrab dengan saudara misannya Kwaa-tan- bouw yang sangat periang dan humoris, sehingga waktu seminggu itu berlalau tanpa terasa, karena ada saja bahan yang dibicarakan Tan-bouw sejak dari bicara tempat-tempat penting di lokyang, sampai bicara masalah ilmu silat, keduanya sempat juga saling mengukur, dan kakak misan mudanya itu sangat cekatan dan membannggakan sebagai she-taihap.

Dan kenyataan bahwa kakeknya sudah dua puluh tahun lebih meninggalkan Kun-leng sudah diketahui oleh pek-peknya dari informasi Kwaa-hong yang berkunjung ke lokyang kurang lebih setahun yang lalu, dan sebulan setelah keberangkatan Kwaa- hong, putranya Kwaa-gan-bao ditugaskan ayahnya untuk mencari keberadaan kakek dan neneknya, dan Kwaa-sin-liong menyarankan Kwaa-yang-bun untuk ikut andil mencari kakek dan neneknya sebagaimana juga dipesankannya pada Kwaa- hong saat itu.

Kwaa-yang-bun berangkat menuju Sinyang, dan sepuluh bulan kemudian Kwaa-yang-bun sampai kerumah supeknya Yo-seng dan pekbonya Kwaa-thian-eng, Yo-han putra sulung Yo-seng sudah berumur tiga puluh tahun dan hidup dengan keluarganya di kota changcun, dua adik yohan yang keduanya perempuan Yo-bian dan Yo-lian juga sudah berumah tangga, jadi yang tinggal di lokyang hanya Yo-seng yang sudah berumur lima puluh lima tahun dan Kwaa-thian-eng yang berusia lima puluh tahun.

Dan Yo-seng juga sudah mengeatahui bahwa suhunya atau ayah mertuanya tidak berada di kun-leng dan tidak diketahui dimana rimbanya dari cerita Kwaa-hong yang berkunjung ke sinyang, Kwaa-yang-bun tinggal di sinyang selama seminggu, dan setelah itu melanjutkan perjalanannya sambil mencari informasi tentang keberadaan kakek dan neneknya.

Setahun kemudian ketika ia sampai di kota Guiyang, pertemuan penetapan bengcu ia dengar dan hatinya tertarik karena kemungkinan kakek dan neneknya akan dapat beritanya dari kalangan pendekar yang akan banyak hadir disana, lalu ia pun memasuki hutan kong-ciak, sementara dua lelaki dibelakanya adalah lelaki yang cukup menggemparkan karena mereka dijuluki “kui-thian” (siluman langit) dan “kui-te” (siluman bumi) Kedua siluman itu adalah she-Gu, Kui-thian bernama Gu-mao putra dari Gu-siang dan Kui-tee bernama Gu-long putra dari Gu-liang, keduanya dari kota Taiyuan tepatnya di perguruan ayah mereka yang kembar “sian-siang-bukoan” (perguruan Dewa kembar). Kedua orang tua mereka meninggalkan keduanya saat berumur empat belas tahun dan membentuk perserikatan Kwi-sian-pat, namun empat tahun kemudian mereka mendengar kwi-sian-pat telah hancur di tangan she- taihap, dengan dendam kesumat yang besar kepada she- taihap, keduanya berkelana untuk memperdalam ilmu disamping ilmu yang telah diajarkan oleh ayah mereka.

Lima tahun perkelanaan, akhirnya mereka sampai di kota Hailar, di In-teksan keduanya berguru pada seorang pertapa sakti yang berjulukan “im-kan-kui-hengcia” (pederi siluman dari akhirat) dan berguru padanya, dengan ketekunan yang kuat dan kemauan yang gigih oleh sebeb dilatari dendam kesumat terhadap she-taihap yang terkenal sakti, keduanya menyerap ilmu-ilmu luar biasa dari suhunya, dan untuk menyempurnakan semua ilmu yang mereka pelajari , hingga tidak disadari sudah sepuluh tahun sudah berlalu.

Setelah menammatkan pelajaran, keduanya turun gunung pada usia tiga puluh tiga tahun, dan dalam masa dua tahun kesadisan dan kebrutalan mereka membuat wilayah wilayah timur berguncang dan sebagian wilayah utara, nama mereka merupakan kecemasan bagi orang yang mendengarnya, dan pagi itu kedunya memasuki hutan kong-ciak dibelakang Liong- san-taihap yang berada dibelakang Kwi-ban-ciang.

Setelah matahari naik tinggi empat orang tokoh itu pun sampai dilapangan yang sangat luas ditengah hutan kon-ciak, para pendekar sudah banyak berkumpul di areal tersebut, delapan ciang bujin perguruan besar juga sudah mengambil tempat masing-masing, rata usia delapan ciangbujin enam puluh tahun, Tan-hui dari shaolin-pai, Bao-han dari thaisan-pai, Bu- hong dari hengsan-pai, Lu-bong dari butong-pai, Can-ceng dari kotong-pai, Zhang-kui dari Gobi-pai, Lui-kong dari kunlun-pai, Lie-seng dari Hoasan-pai.

Disamping itu ada juga perkumpulan besar seperti Kam-han pimpinan tertinggi Hwa-I-kaipang (pengemis baju kembang) yang berjulukan “Eng-bu-sin-kai” (pengemis sakti tanpa bayangan) sekaligus seponsor perhelatan akbar tersebut, kemudian Lou-gan pimpinan tertinggi “Hek-I-kaipang” (pengemis baju hitam) yang berjulukan “Koai-kai” (pengemis aneh), dan kemudian Jiang-lung pimpinan tertinggi “ang-kin- kaipang” (pengemis sabuk merah) yang berjulukan “seng-tung- sin-kai” (pengemis sakti tongkat malaikat).

Dibagian lain ada barisan para piauwsu dengan bendera dan seragamnya masing-masing, dan diantara sekian piauwkiok kita hanya menyebutkan tiga yang terbesar dan terkenal yakni ekpedisi “hong-,liong” (naga angin) yang bersal dari kota Hopei dengan pimpinan Ma-liauw dengan julukan “Thian-liong” (naga langit), kemudian Tio-tang pangcu dari ekpedisi “hek-ma” (kuda hitam) dengan julukan “ma-bin-sin-seng” (malaikat sakti muka kuda) dan yang ketiga Cia-keng pangcu dari ekpedisi “lam- soan-hong” (angin puyuh dari selatan) yang berjulukan “tai-twi” (tendangan badai).

Dan diantara para pendekar yang banyak berdiri dan duduk disisi lain ada ada tiga orang yang harus diperkenalkan, yaitu seorang kakek berumur lanjut, kakek itu adalah Tio-huang salah satu murid dari Ma-tin-bouw yang dipecundangi oleh dua she-taihap, sehingga ia dan rekannya lou-beng-ho melarikan diri.

Setelah berpisah dengan Lou-beng-ho, Tio-huang berkelana sampai ke “mo-san” (gunung iblis) sebelah selatan kota Yinchuan, dia menjadi perampok tunggal yang ditakuti para piauwkiok, sehingga ia dijuluki “mo-san-hengcia” (paderi jahat gunung iblis), banyak sudah para pendekar dan rombongan piauwsu yang mati ditangannya, kesaktian Ti-han sangat luar biasa, karena didamping ilmunya yang dipelajari dari Ma-tin- bouw, di gunung iblis Tio-han mendapatkan warisan ilmu dari seorang pertapa yang sakti dengan julukan “boanpai-kwi-sim” (suara iblis kuburan).

Ilmu-ilmu yang dikuasai terdiri dari ilmu hipnotis tingkat tinggi, kemudian “jiangshi-lek-kun” (pukulan gaib mayat hidup) dan “jiangshi-Hudtim” (kebutan mayat hidup), selama lima belas tahun Tio-huang baru dapat menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan sempurna, setelah itu Tio-huang tetap berada di kwi- san menjadi rampok tunggal dan menikmati hasil jarahannya baik berupa harta atau wanita, “Mo-san-hengcia” adalah sosok angker di kalangan penduduk Yinchuan.

Mo-san-hengcia turun gunung ketika mendengar pesta penetapan bengcu selatan, dan hari itu ia berdiri angker ditengah kerumanan orang dari berbagai daerah, dan kegembiraannya bertambah saat bertemu dengan sahabat lamanya Kwi-ban-ciang yang barusan sampai dan mengambil tempat disebelah kerumunannya, kedua kakek itu saling berpelukan dan berbagi pengalaman sambil menunggu waktu.

Kemudian seorang gadis berumur dua puluh dua tahun, dia adalah putri tercinta Kwaa-kun-bao yang bernama Kwaa-hong, sudah dua tahun ia meninggalkan pulau kura-kura, selama perjalanan tempat-tempat yang ia lalui, jika terjadi penindasan dan ketidak adilan, dia sangat ringan tangan untuk menyelesaikan masalah bahkan jika kejahatan itu perlu dibinasakan, tanpa tedeng aling-aling gerombolan atau individu itu dikipas habis oleh Kwaa-hong, sehingga dua tahun perjalanannya Kwaa-hong dijuluki orang dengan julukan “kim- kin-sianli” (dewi bersabuk emas) hal ini sesuai dengan jurus Im- yang-sian-sin-lie” yang sering disaksikan oleh para lawan- lawannya.

Selanjutnya disamping Kwaa-hong ada pemuda tampan berumur dua puluh dua tahun, pemuda itu adalah Kwaa-gan- bao putra dari Kwaa-sin-liong, sebulan setelah keberangkatan Kwaa-hong, Kwaa-gan-liong ditugaskan ayahnya untuk mencari keberadaan kakek dan neneknya, hampir dua tahun perjalananya, sama halnya dengan Kwaa-hong, selalu mendarma baktikan apa yang dimilikinya untuk menindak kejahatan, namun dia tidak sekeras Kwaa-hong, para pelaku kejahatan jarang yang tewas, yang paling berat hanya luka parah.

Kwaa-gan-bao dalam pencaharian keberadaan kakek dan neneknya sampai ke wilayah Tibet, dan orang-orang wilayah barat itu menjulukinya dengan “Lam-sin-siucai” (sastrawan sakti dari selatan), dan sekembalinya dari barat, Kwaa-gan-bao mendengar perhelatan akbar dunia persilatan untuk menetapkan bengcu di kota Guiyang, Kwaa-gan-bao segera menuju kota Guiyang dengan harapan dapat mendengar kabar kakek dan neneknya.

Saat menginap di kota Guiyang, Kwaa-gan-bao bertemu dengan Kwaa-hong, dan keduanya dengan merasa gembira dengan pertemuan tidak terduga itu, dan niat keduanya menghadiri perhelatan itu adalah untuk mengetahui keberadaan kakek dan nenek mereka, dua malam menginap di Guiyang, keduanya saling bercerita pengalaman perjalanan mereka, lalu saat hari pertemuan digelar keduanya sama-sama berangkat ke hutan kong-ciak. Saat semua sedang sibuk dengan hal masing-masing, rombongan “Lam-liong-sian” Tio-cun datang, semua yang hadir menatap iring-iringan dibelakang Tio-cun, hampir semua orang yang yang sudah berada di areal itu mengenal betul orang yang satu ini, setelah Tio-cun mengambil tempat, tidak lama muncul rombongan enam gadis-gadis cantik, dipimpin seorang wanita cantik dengan baju luar biasa indah, wajahnya cantiknya terkesan sinis karena garis senyumnya yang sinis.

“aku suma-hoa dari wilayah utara, dan ingin melihat siapa yang akan menjadi bengcu selatan, dan tentunya aku juga ingin belajar kenal nantinya.” ujarnya dengan wibawa tinggi dan memandang rendah semua orang, lalu Eng-bu-sin-kai melangkah ketengah lapangan, dan menjura ke empat penjuru.

“yang terhormat para cianpwe, hohan, taihap, laihap, kauwsu, pangcu dan sicu yang berhadir, saya eng-bu-sin-kai pimpinan Hwa-i-kaipang sebagai sponsor pertemuan ini mengucapkan selamat datang pada sicu semua, pertemuan ini jelas tujuan sudah kita ketahui, yakni memilih dan menetapkan bengcu selatan, kenapa bengcu selatan ? hal ini jelas jadi pertanyaan bagi para sicu, walhal bengcu yang kita tahu adalah bengcu yang menguasai dan mengayomi empat wilayah.”

“benar sin-kai, kami ingin tahu apa latar penetapan bengcu selatan.” sela Bao-han dari thaisan-pai

“para sicu sekalian, saya pribadi tidak mampu untuk melangkahi she-taihap di pulau kura-kura, karena sudah ratusan tahun, sejak leluhur mereka dipilih menjadi bengcu, sampai sekarang gelar itu sangat melekat kuat pada diri mereka, sehingga tanpa diadakan pemilihan pun nurani manusia cendrung mengatakan she-taihap adalah bengcu dunia persilatan didelapan penjuru angin. Jadi oleh karena itu tanpa mengurangi hormat pada she-taihap ide bengcu selatan saya munculkan.” jawab Eng-bu-sin-kai.

“baik ide itu dapat diterima dan kita sudah hadir semua disini, bahkan “pak-giam-lo-sian-li” (dewi maut dari utara) juga berkesempatan hadir, lalu bagaimanakah formasi penetapan bengcu selatan ini ?” sela “koai-kai”

“penetapan tetap mengacu pada hal yang mendasar, yakni kesaktian dan kebijakan.”

“tidak bisa begitu, untuk kriteria kebijakan, hal itu adalah sesuatu yang ambigiu dan abstrak, dan saya saya setuju jika yang tersakti lah yang akan menjadi bengcu.” sela Lam-liong- sian”

“setuju….., benar…..betuulll..” sahut tiga perempat orang yang hadir, sehingga gemuruh suara menderu jauh kesekitar hutan kong-ciak.

“tunggu dulu, jika kebijakan kita tiadakan maka penetapan bengcu ini akan menjadi ajang perebutan golongan, kami tidak pungkiri bahwa dari golongan hek-to juga ada yang memiliki kebijakan, maksudnya mungkin dalam hal urusan yang menyangkut dirinya ia akan berutal dan sadis, namun jika menyangkut hal yang tidak menyangkut dirinya ia bisa memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah.” ujar Lu-bong dari butong-pai

“tidak setuju….” sahut gemuruh suara dari para pendukung Lan-liong-sian, kemudian tiba-tiba Kwi-ban-ciang dan kwi-san- hengcia masuk ketengah lapangan

“tujuan saya datang kesini bukan untuk memilih bengcu tapi ingin mengikis habis golongan yang menamakan dirinya pek-to, saya Kwi-ban-ciang dari hek-to menantang siapa saja dari pek- to.” ujar Lou-beng-ho

“demikian juga saya “Kwi-san-hengcia” dari golongan hek-to menantang orang yang menamakan dirinya pek-to

“hidup hek-to..hidup hek-to..” sambuat gemuruh suara, tiba-tiba dua orang she-Gu juga tampil, kami Kui-thian dan Kui-tee ikut menantang orang-orang pek-to, dan bahkan jika ada dari she- taihap pulau kura-kura majulah untuk menghadapi kami.” ujar Gu-long,

“hidup hek-to tumpas seluruh turunan pulau kura-kura…!” teriak mereka dengan lantang.

“Jika demikian halnya pertemuan ini, maka saya pak-giam-lo- sian-li” ikut dibarisan hek-to menantang pek-to.” ujar suma hoa sambil melompat melayanag ketengah lapangan dan berdiri empuk di samping Gu-mao

“hahaha..hahaha…hehehe…lam-liong-sian juga tidak mau ketinggalan dalam pesta luar biasa ini.” ujar Tio-cun dengan lompatan yang indah melayang ketengah lapangan., para pendukung hek-to makin hangar bingar melihat enam orang yang berdiri gagah ditengah lapangan, para pendekar terdiam dan tidak merasa tidak puas akan pengkudetaan tujuan pertemuan tersebut, namun melihat enam orang yang berada di tengah lapangan, tentunya ciut juga nyali para pendekar, terlebih Lam-liong-sian ada dibarisan itu,

“sepertinya niat baik ini akan menjadi pemicu kegelapan dunia persilatan, jika memang harus demikian maka selembar nyawa saya akan saya gadaikan.” sahut Lu-bong melompat ketengah lapangan, lalu disusul ketujuh cianbujin lainnya,

“cianpwe ciangbujin, saya akan ikut menghadapi kemelut yang akan terjadi ini.”: sela Eng-bu-sin-kai dan berdiri disamping ciangbujin, kemudian barisan ciangbujin tampil seng-tun-sin-kai, sementara Koai-kai memihak barisan hek-to

TIga dari piuawkiok yang kita sebut, “tai-twi” dan Thian-liong memihak hek-to, sementara “ma-bin-sin-seng” memihak barisan ciang bujin, barisan ciangbujin berjumlah sebelas tokoh berhadapan dengan sembilan hek-to

“hahaha..hahaha…. apakah kita siap membantai sebelas orang ini ?” ujar Kwi-ban-ciang kepada orang-orang didekatnya “sangat siap, dan bahkan aku tidak sabat lagi.” sahut Lam- liong-sian

“tapi sayang tidak ada dari she-taihap yang muncul.” sela Gu- mao

“hahaha..hehehe.. she-taihap sudah tidak ada lagi, biarlah mereka hidup dengan legenda mereka.” sahut Lam-liong-sian. “hahaha..hahha… sungguh manusia picik yang selalu ingin menegakkan akara murka, kalian ini berusaha menegakkan benang basah, tiadalah kebenaran akan dapat terbenam oleh kejahatan.” ujar Kwaa-gan-bao sambil melangkah dan berdiri persis ditengah antara dua kubu yang berhadapan dengan menghadap kesamping.

“kamu dari kubu mana anak muda, jangan banyak bacot dihadapanku !” bentak Kw-san-hengcia

“kami dari kubu yang tidak senang dengan pertentangan ini.” sahut Kwaa-hong dan mengambil tempat disisi Kwaa-gan-bao “siapa kalian ini !?” tanya Lam-liong-sian jengkel

“kami berdua dari keluarga yang jelas ditantang saat ini.” sahut Kwaa-hong

“apa kalian she-taihap pulau kura-kura ?” tanya Gu-mao “benar, kami datang dari pulau kura-kura.” sahut Kwaa-gan-bao “bagus kalau begitu, bersiaplah untuk mampus !” teriak Gu-long “tunggu dulu, dua saudaraku tentu membutuhkanku untuk melawan tirani yang hendak unjuk gigi.” sela Kwaa-yang-bun, kedua she-taihap menoleh kearah Kwaa-yang-bun.”

“Kwaa-yang-gun dari shanghai” bisik Kwaa-yang-gun senyum, kedua she-taihap ikut tersenyum setelah mengetahu bahwa pemuda sebaya ini adalah anak paman mereka.

“para ciangbujin dan rekan sekalian yang budiman, tirani didepan mata menggonggong memperlihatkan taringnya, kumpulan mereka amatlah banyak, jadi perkenankan kami she- taihap yang menjajal lebih dahulu, jika kami tewas kalian sevagai saksinya bahwa kami telah melakukan tugas amanah leluhur kami.” ujar Kwaa-yang-bun, memang setelah terjadi dua kubu, peserta yang hadir otomatis terbagi dua, dari kubu ciangbujin hanya seratus orang, sementara kubu hek-to hampir tiga ratus orang.

“sam-wi she-taihap, apapaun yang nantinya terjadi, barisan ini akan ikut mengiringi sam-wi-taihap.” sahut Eng-bu-sin-kai.

Tiga she-taihap berbaris membelakangi kubu ciangbujin dan menghadap kubu hek-to

“hahaha..hahaha… kwi-ban-ciang mari kita buat sejarah baru dalam dunia persilatan, she-taihap sebagai tumbal pertama.” teriak Kwi-san-hengcia, lalu keduanya menerjang kwaa-yang- bun dan kwaa-gan-bao, karena hanya dua kakek itu yang maju maka Kwaa-hong menyingkir kesamping, namun Gu-mao tiba- tiba menyerang kwaa-hong.

Tiga kelompok pertempuran terjadi, suatu tontonan yang luar biasa dan jarang terjadi, tiga she-taihap dengan tenang dan melayani semua serangan dan juga tidak melepaskan peluang untuk balas menyerang, ilmu-ilmu she-taihap demikian agung dan mempesona ditampilkan ketiga she-taihap, keuletan dan ketangkasan luar biasa membuat yang menonton terpukau, namun tiga lawan she-taihap juga adalah orang-orang kosen luar biasa, serangan mereka demikian dahsyat dan trik pancingan berbahaya, ilmu “jiangshi-lek-kun” menebarkan aroma bangkai yang memuakkan, belum lagi senjata kebutan yang luar biasa dalam rangkaian jurus “jiangshi-hudtim” mengancam jalan darah, yang apabila kena, akan mengakibatkan pendarahan permanen bagi sin-kangnya dibawah kwi-san-hengcia.

Demikian pula Kwi-ban-ciang dengan ilmu “liang-jiu” membuat sekali bergerak membuat empat bayangan tangan yang keempatnya memiliki kekuatan yang menggetarkan, didamping dengan sambaran pedangnya dalam rangkaian “liang-lo-kiam” yang dari setiap gerakan sangat kuat mempengaruhi lawan, Gu-mao juga menunjukkan betapa tantangannya pada she- taihap bukanlah tantangan sumbang, hal ini dibuktikan dengan ilmunya yang hebat dan dahsyat.

Dalam menghadapi Kwaa-hong, Gu-mao mengeluarkan jurus pamungkasnya yakni “hok-te-koai-liong” (naga siluman mendekam) disamping itu senjatanya yang berupa thi-pian (cambuk besi dengan bola berduri) dengan rangkaian jurus “ho- kui-pian” (cambuk siluman api) sangat luar biasa mengancam nyawa.

Tiga she-taihap awalnya mengeluarkan jurus “Im-yang-sian-sin- lie” namun sepertinya belum cukup untuk merobohkan lawan, lalu ketiganya mengeluarkan jurus Im-yang-bun-sin-im-hoat, dan dalam jurus ini dua kekek masih alot dan ulet, bahkan masih mampu membuat serangan berbahaya, tapi bagi Tee- kui, gerakannya sudah terbentur, walaupun ia tidak terdesak, namun ia tidak lagi mampu menyusun serangan berarti, lalu

ketiganya mencoba gabungan antara “san-phak-eng-coan” dengan “Im-yang-pat-sin-im-hoat” dimana ketiga she-taihap menjadi enam dan menyerang ketiga lawan dengan jurus im- yang-pat-sin-im-hoat.

Seluruh yang menyaksikan pertempuran itu berdecak kagum dan bahkan karena saking ayiknya dan terkesimanya menyaksikan pertarungan tingkat tinggi luar biasa itu sebagian besar dari tidak menggubris malam yang kian larut, untungnya orang-orang yang silau dan pening membuat api unggun yang besar disisi tempat mereka duduk sehingga di areal itu menyaala delapan api unngun yang besar, sehingga membuat lapangan pertempuran itu terang benderang, ditambah lagi sinar rembulan yang terang.

Sesaat ketiga orang lawan she-taihap terdesak hebat, dan bahkan Tee-kui, terlempar dengan tubuh menggigil, dan kwi- ban-ciang terpapar satu tombak karena sebuah pukulan menghantam lambungnya, sementara Kwi-san-hengcia terpaksa melompat mundur untuk menyelamatkan diri dari sebuah pukulan jarak jauh, setelah melihat keadaan barulah Kwi-san-hengcia menyadari bahwa mereka melawan bayangan sakti luar biasa, lalu Kwi-san-hengcia berteriak

“hilang tidak berbekas…. !” serta merta tiga bayangan itu hilang, namun efeknya Kwi-san-hengcia memuntahkan darah segar, sementara tiga she-taihap bergetar, kemudian pertarungan kembali dilanjutkan.

Pada jurus im-yang-pat-sin-im-hoat ini Kwaa-hong berada diatas angin, Tee-kui tidak kuasa membendung dahsyatnya serangan Kwaa-hong

“buk..des….” dua pukulan bersarang telak diperut dan didada Tee-kui, badannya nyeri minta ampun, hawa im dan yang mempengaruhi tubuhnya, namun berkat sin-kangnya yang luar biasa, dia masih bisa bangkit untuk melanjutkan pertarungan, dan kali ketiga sebuah tendangan akan menghantam perutnya, thian-kui langsung datang menerjang dengan sebuah pukulan dalam rangkaian ilmu pamungkasnya “thian-lo-in-koai” (siluman mega mengacau langit).

Kwaa-hong yang merasakan serangan gelap menarik tendangan dan menyambut pukulan ganas Thian-kui “dhuar…” ledakan keras terdengar, Thian-kui terlempar dua tombak, sementara Kwaa-hong terlempar satu tombak, namun kwaa-hong sibuk mengelak dari serangan balasa Tee-kui, dan terlebih dengan masuknya Thian-kui, kwaa-hong terdesak, walaupun kwaa-hong terdesak, bukan hal yang mudah bagi kedua siluman itu merobohkannya, pertahanan she-taihap dengan langkah-langkah garudanya luar biasa unik dan menakjubkan.

Sementara dua kakek saat menghadapi jurus lihai ini, keduanya sibuk bertahan sehingga jurus-jurus dua she-taihap menyudutkan mereka pada posisi bertahan, kedua kakek dengan serangan-serangan mengecoh mencoba melepaskan diri dari kelihaian jurus dua she-taihap, waktu terus berlalu sehingga malam pun berganti pagi, pagi menjelang siang, dua kakek sudah ngos-ngosan, nafas mereka sudah senin kamis, sementara dua she-taihap masih dalam kondisi yang prima, satu kelebihan ilmu she-taihap yang diakui oleh Tio-huang dan Lou-beng-ho.

Dan untung bagi kedua kakek “lan-liong-sian” dan “pak-giam-lo- sianli” masuk pada pertempuran dan mengambil alih, sehingga keadaan mereka yang terdesak hebat dapat mengambil nafas, setelah merasa pulih keduanya kembali masuk dalam pertempuran, dua she-taihap dikeroyok, pertempuran terus berlangsung sampai menjelang sore, kali ini bukan saja kwaa- hong yang terdesak, tapi dua saudaranya juga terdesak hebat, namun kegigihan dan keuletan turunan she-taihap ini patut diacungkan jempol, karena ironisnya kubu ciangbujin tidak mampu untuk mencampuri pertempuran yang jauh diatas mereka.

Beberapa pukulan hebat telah diterima ketiga she taihap, namun untuk roboh tunggu dulu, mereka ini adalah she-taihap yang kesaktiannya melegenda selama hampir lima ratus tahun, kubu ciangbujin penuh kecemasan, ingin membantu tidak kuasa, dibiarkan tiga she-taihap sebentar lagi akan terkapar, ditengah kecemasan yang menggelisahkan itu sebuah teriakan terdengar dari langit

“kreeeekkkk…krekkkkkk…” benda hitam dari langit turun seekor rajawali, penungganganya seorang pemuda tampan umur tujuh belas tahun, dengan gerakan menukik dia melayanag tangannya mengembang lalu berputar

“dhuar,,,,dhuar… dhuar….” tiga ledakan keras mengguncang hutan kong-ciak, tiga she-taihap melompat mundur sementara enam lawan mereka juga melakukan hal yang sama, sembilan petarung itu merasakan dada mereka sesak akibat hawa luar biasa dahsyat yang membentur tiga kelompok pertarungan.

“apa yang kalian lakukan ini sungguh memalukan, pengeroyokan ini sungguh tidak adil.” tegur kwaa-han-jin menatap enam orang dihadapannya

“dua cianpwe kenapa demikian telengas pada tiga orang muda, bukankah seharusnya sikap jantan yang harus dimunculkan sekalipun keinginan untuk menang dan menguasai itu demikian besar, apa kepuasan batin yang cianpwe dapatkan dengan megeroyok, tidak ada kecuali hanya bukti kepengecutan.” “tutup mulutmu bocah tengik, untuk apa kamu ikut campur.”

Ujar Kwi-san-hengcia

“hahaha..hahaha..cianpwe yang miskin hati, aku sadari aku boleh dikatakan masih bocah bilah dibandingkan dengan kalian semua, namun tolong merasa malulah disaat pengalaman hidup sudah berkarat, pemikiran juga sudah amat matang, tapi berbuat layaknya bocah, cianpwe aku yang bocah merasa malu, lalu kenapa anda tidak, tidakkah cianpwe berdua melihat kejanggalan ini.

“kami tidak butuh komentar bodohmu itu bocah sialan, enyah kamu dari hadapan saya !” bentak Kwi-ban-ciang

“maafkan aku cianpwe, aku tidak akan pergi dari sini sebelum kalian mampu melakukan keadilan dalam pertarungan ini.” “jadi apa maksudmu bocah bau kencur !?” tantang Kui-thian “maksudku jelas mencegah terjadinya ketidak adilan kalau memang pertarungan harus dilanjutkan.”

“lagi-lagi ketidak adilan yang kau bicarakan, mari kita tunjukkan keadilan kita pada bocah tidak tahu diri ini.” ujar Kwi-ban-ciang, dan tanpa diduga enam orang kosen barisan hek-to itu menyerang Kwaa-han-jin, ketiga she-taihap hendak bergerak “tiga sicu jangan memaksakan diri.” teriak Kwaa-han-jin sambil bergerak super cepat menghindari terjangan enam lawannya, tiga she-taihap saling pandang dan memperhatikan gerakan yang sulit di tangkap mata itu, dan ketiganya terpana karena pemuda itu menghadapi enam keroyokan itu dengan im-yang- bun-sin-im-hoat yang digabung dengan “san-phak-eng-coan” dua tubuh Kwaa-han-jin melawan enam orang, dan keenam lawan merasa jengkel karena gerakan lawan mereka ini sangat membingungkan karena sulit ditangkap mata.

Tio-huang terkejut karena ilmu ini juga milik ketiga she-taihap yang barusan mereka hadapi, lalu dengan sikap jumawa dia berteriak

“hilang tanpa bekas..!”

“duk…tuk….tuk…hoak…hoak…” sebuah pukulan menghantam lan-liong-sian sehingga terpapar satu tombak, dan dia terduduk karena nafasnya sesak, kemudian dan ketukan jari yang merupakan ganti dari mouwpit menghantam dada kwi-ban- ciang dan menghantam perut Kwi-san-hengcia, sehingga ia terjungkal sambil memuntah isi perutnya dan bahkan muntahan kedua bercampur darah. Kwi-san-hengcia hendak memunahkan ilmu san-phak-eng- coan, namun tenaganya jauh dibawah Kwaa-han-jin yang masih muda, tentunya ia tidak tahu bahwa she-taihap muda ini memiliki inti ilmu “Wei-si-sin-siulian” getaran teriakan yang mengandung sin-kang itu mental kembali menyerangnya, lalu disusul jotosan pada perutnya, hingga dia pun terjungkal dengan luka dalam yang cukup parah.

“apakah cianpwe terluka parah ?” tanya Kwaa-han-jin tiba-tiba, dan pertanyaan ini membuat enam lawannya terkesima, demikian juga tiga she-taihap dan semua penonton yang mendengarnya.

kwi-san-hengcia merasa jengkel dan emosinya meledak sebab karena merasa dipandang rendah

“bangsat….jika aku terluka kamu mau apa hah..!?” “cianpwe kendalikan emosi yang hanya merugikan dirimu.” sahut Kwaa-han-jin

“peduli apa kamu, jangan dikira aku sudah kalah !” teriak Kwi- san-hengcia

“tidak ada yang sanggup mengalahkanmu cianpwe, tidak juga aku melainkan hanya dirimu sendiri yang dapat mengalahkanmu dengan mencoba mengambil sikap mengalah.” sahut Kwaa-han-jin.

“sudahlah…! hari ini merupakan hari tertunda, sebab lain waktu kalau kamu tidak mampus jangan sebut aku kwi-san- hengcia…!” ujar Kwi-san-hengcia dengan hati mengkal, karena jawaban-jawaban yang didengarnya tidak sedikitpun mengandung ejekan dan kebencian

“terimakasih ciannpwe, jika menyudahi sementara perkara ini, dan itu lebih baik daripada membabi buta yang akan merugikan diri sendiri.” sahut Kwaa-han-jin, Kwi-san-hengcia segera berkelabat dari tempat itu dan disusul oleh lima orang lainnya, dan bahkan kubu hek-to mengikuti enam orang yang menjadi pentolan mereka.

Tinggallah para kubu ciang-bujin yang seluruhnya seratus orang bersama tiga she-taihap

“terimakasih she-taihap, kami hendak undur diri.” ujar Tan-hui “silahkan cianpwe..” sahut Kwaa-gan-bao, lalu merekapun meninggalkan hutan kong-ciak, sehingga tinggallah she taihap dilapangan itu

“sam-wi sicu belum berangkat ?”

“tentunya kami juga akan pergi sicu muda, namun ada hal yang harus kami bicarakan dengan sicu sendiri.” sahut Kwaa-gan- bao

“hal apakah itu sicu ?” tanya Kwaa-han-jin

“sicu muda kami bertiga ini adalah saudara, kami she-kwaa, saya adalah Gan-bao, dan ini adalah Hong-moi, serta yang ini adalah yang-bun-te

“ooh..sam-wi sicu ternyata she-kwaa, sama dengan saya, saya juga adalah she-kwaa, nama saya Han-jin.” sahut Kwaa-han-jin

“saya sudah menduga bahwa sicu adalah she-kwaa.” “darimana sicu menduga demikian ?”

“karena ilmu yang digunakan sicu adalah ilmu she-kwaa, jadi untuk itu kami mohon dijelaskan, tentunya ada pertalian diantara kita, terlebih kita berempat adalah she-kwaa.” “memang benarlah demikian sicu, jadi saya akan katakan bahwa ayah saya adalah Kwaa-han-bu dan ibu saya… ” “maaf kelancangan kami siok-siok, kami keponakanmu tidak berlaku hormat.”

“hahaha..hahaha..tidak ada hukum bagi orang tidak tahu, tapi bagaimana kalian menyebut aku paman kalian ?”

“jin-siok, saya adalah putri Kwaa-kun-bao putra dari kongkong kwaa-han-bu.” sahut Kwaa-hong

“dan saya adalah putra dari Kwaa-sin-liong anak dari kongkong Kwaa-han-bu

“saya adalah putra dari kwaa-yun-peng putra dari kongkong kwaa-han-bu

“ooh, begitukah ? tidak kusangka bahwa aku memiliki tiga saudara tua, dan bahkan bertemu dengan kalian keponakanku.”

“hal ini sungguh menggembirakan jin-siok.” sahut Kwaa-hong “Jin-siok, dimanakah kongkong ? karena selama ini kami kehilangan beliau.” tanya Kwaa-gan-bao

“kongkong kalian sudah meninggal beberapa bulan yang lalu demikian juga dengan kong-bo kalian setelah melahirkan paman, marilah ketempat paman untuk menjiarahi makam keduanya” jawab Kwaa-han-jin,”

“kalau begitu marilah siok-siok..” saut Kwaa-yang-bun “mari kita menunggangi pek-touw.”

“pek-touw tiga orang ini adalah keponakanku, jadi mari kita pulang ke goat-kok.” Ujar Kwaa-han-jin dan kemudian melompat kepunggung rajawali, lalu ketiga keponakannya juga melompat, pek-thouw mengepakkan sayap besarnya dan membumbung keangkasa, empat she-taihap mampu dibawa pek-thouw tentunya bukan hal yang sulit, karena walaupun empat orang, empat she-taihap itu laksana kapas ringannya.

Saat malam tiba merekapun sampai di goat-kok, Han-jin membawa tiga keponakannya ke makam Im-yang-sin-taihap dan Kwee-kim-in, setelah upacara sembahyang mereka masuk kedalam pondok

“paman tidak punya apa-apa sam-ji, hanya air untuk malam ini.” “tap aku lapar Jin-siok, bukankah sebaiknya sebentar dicari ditengah hutan ?”

“benar..biar saya yang akan berburu.” sahut Yang-bun sambil berdiri dan keluar pondok, tidak lama seekor rusa dipanggul Yang-bun.

“setengah saja untuk kita, dan setengahnya berikan pada Pek- thouw, bun-ji !” perintah Han-jin

“baik siok-siok.” sahut Yang-bun kemudian ia mengambil dua bagian kaki rusa, dan sisanya diberikan pada Pek-thouw, dua paha rusa pun dibakar dan bumbunya sudah diracik oleh Kwaa- hong, aroma sedappun tercium, setelah matang, empat she- taihap pun makan dengan lahap.

“jin-siok, alangkah senangnya ayah jika siok dapat mengunjunginya.” ujar Kwaa-hong

“tenu saya akan mengunjungi orang tua kalian sam-wi-ji, siapakah yang tertua saudara pamanmu ini Hong-ji ?” “yang tertua adalah pek-bo Kwaa-thian-eng yang berada di kota Sinyang, lalu pek-bo kwaa-hoa-mei yang berada di kota Wuhan, kemudian ayah Bao-koko, Kwaa-sin-liong, lalu ayahku Kwaa-kun-bao, kami tinggal dipulau kura-kura Jin-siok.”

“dan pulau kura-kura Jin-siok adalah tempat leluhur she-kwaa.” sela Kwaa-yang-bun

“sebenarnya bukan she-kwaa bun-te.” bantah Kwaa-hong. “lalu yang benar apa hong-cici ?” tanya Kwaa-yang-bun “yang benar adalah pulau kura-kura adalah leluhur perguruan

kita, pulau-kura-kura itu adalah leluhur she-kwee, karena kong- bo kwee-kim-in adalah buyut langsung dari pendiri Pat-hong- heng-te, yang bergelar Kim-khong-taihap” jawab Kwaa-hong menjelaskan

“oo..begitu rupanya, jadi leluhur kita dimana kalau begitu Hong- cici ?” tanyakKwaa-yang-bun

“leluhur kita itu ada di kota Kun-leng bun-te.” sahut Kwaa-hong, Kwaa-gan-bao dan Kwaa-yang-bun manggut-manggut “darimana hong-moi dapat keterangan seperti itu ?” tanya Kwaa-gan-bao

“saya dapat cerita itu dari kongkong Li-tan-hua, dan faktanya pemakaman yang ada dipulau kura-kura hampir semua she- kwee, sejak buyut kim-khong-taihap

“jadi artinya pulau kura-kura adalah leluhur luar dan kota kun- leng leluhur dalam.” sahut kwaa-gan-bao.

“benar bao-ko.” sahut Kwaa-hong sambil mengangguk tegas. “sekarang sudah jelas bagi paman, jadi oleh karena itu sudah merupakan keharusan bagi paman untuk mengunjungi orang tua kalian dan kerabat yang lain, dan tentunya paman pertama sekali akan ke kota Sinyang, ketempat eng-cici.”

“benar jin-siok, terlebih pek-bo cemas karena saat saya berkunjung kesana, saya mengatakan bahwa Kongkong dan kongbo tidak berada di Kun-leng.” sela Kwaa-hong

“dengan kedatangan jin-siok kesana akan melegakan hati pek- bo.” sela Kwaa-yang-bun

“baiklah, sekarang kita istirahat, dan besok paman akan berangkat, terserah kalian apakah kalian akan langsung melanjutkan perjalanan atau masih ingin tetap disini.” ujar Han- jin, ketiga keponakannya itu mengangguk, tidak lama kemudian goat-kok berubah sepi dan sunyi, hanya desiran angin malam yang membelai dedaunan yang terdengar, sang raja malam mutlak menguasai saat itu dengan kegelapan dan kekelaman.

Keesokan harinya, empat she-taihap bangun, Kwaa-han-jin sudah siap dengan buntalannya yang berisi pakaian, dengan menunggang pek-thouw Kwaa-han-jin meninggalkan goat-kok dilepas pandangan ketiga keponakannya, Kwaa-hong dan Kwaa-gan-bao hari itu juga meninggalkan goat-kok, tapi Kwaa- yang-bun masih ingin berdiam di goat-kok yang memiliki pemandangan yang indah.

Kwaa-han-jin melintasi angkasa diatas punggung pek-thouw, dua hari kemudian Kwaa-han-jin sampai diatas kota Tianjin “pek-thouw kita kehutan sana !” perintah Han-jin, Pak-thow memekik keras seakan mengiyakan perintah majikannya, pek- thouw menukik kebawah, dan kemudian terbang rendah mengitari hutan belantara

“pek-thouw dari sini akan berjalan, dan kamu kembalilah ke goat-kok, mungkin dari tiga keponakanku masih ingin tinggal disana, temani dan layani mereka.”

“kreek..kreekkkk..” pekik pak-thouw, lalu tubuhnya pun kembali membumbung tinggi dan lenyap dibalik awan.

Kwaa-han-jin menelusuri hutan belukar dan dalam waktu sepeminum teh ia sudah keluar dari hutan dan menapaki jalan besar, Han-jin istirahat disebuah kedai makanan dipinggir jalan, kedatangannya jadi perhatian lima orang yang sedang makan, pemilik kedai yang sedang melap meja buru-buru menyambutnya, pemilik kedai itu dipanggil Ciu-siok

“silahkan kongcu, mau pesan apa ?” “tolong sepoci teh dan makanan yang ada.”

“baiklah kongcu, tunggu sebentar akan saya persiapkan.” sahut ciu-siok dan masuk kedalam kedainya, Han-jin duduk dan menatap lembah yang ada dibelakangnya, dan sekilas tatapan lima orang itu bersilang dengan tatapan Han-jin

“apakah kongcu dari shijazhuang ?” tanya ciu-siok sambil menghidangkan makanan

“tidak paman, aku dari qingdao hendak ke kota yang terdekat dari sini.”

“oo..maksud kongcu kota Tianjin.” sela ciu-siok, Han-jin mengangguk

“saya kira dari shijazhuang.” ujar ciu-siok “tidak paman, memangnya kalau dari shijazhuang kenapa paman ?”

“kalau dari shijazhuang akan dapat informasi tentang keadaan kota itu ?”

“apa ada masalah dikota itu paman ?

“benar kongcu, sesuatu yang sangat mengerikan, karena itu banyak orang yang mengungsi darisana ke kota Tianjin, silahkanlah makan kongcu” sahut ciu-siok

“baik paman dan terimakasih.” jawab Han-jin dan kemudian menyantap makanannya, baru saja Han-jin menyelsaikan makannyam serombongan wanita dan orang tua melintasi jalan, mereka berkumpul disekitar kedai tanpa dinding itu, dan sebagian duduk istirahat diseberang jalan dan berteduh dipinggir hutan.

Ciu-siok menawarkan makan dan minuman yang disediakannya, dan tiga orang lelaki diatas lima puluh tahun terngiur dan duduk dimeja, pelayan itu dengan senang hati menghidangkan makanan pada pelanggan tersebut

“sam-wi-sicu dari shijazhuang ?” ciu-siok mulai bertanya “benar sicu, dan kami lelah betul.”

“bagaimana sekarang keadaan kota itu sicu ?”

“makin kacau dan menyedihkan, karena pada hari kami tinggalkan sudah ada empat puluh orang yang tewas mengenaskan, ah….betul-betul kejam”

“oh iya silahkan makan sam-wi-sicu.” ujar Ciu-siok sambil melap meja disamping meja tiga orang pengungsi itu, tiga lelaki itu pun memakan makanannnya.

“siapa sih sebenarnya yang melakukan hal tersebut sicu ?” kembali ciu-siok bertanya

“segerombolan perampok yang disebut rampok “houw-tek” (bukit harimau), gerombolan itu turun dari bukit dan masuk shijazhuang empat bulan yang lalu, dan mereka dengan terang- terangan merampoki warga.”

“lalu apa tindakan para polisi dan kungcu kota itu ?”

“mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka sendiri di rampok habis-habisan oleh gerombolan itu, bahkan tihu, ciangbun polisi kota tewas saat mereka rampok, pokoknya kota itu telah dikuasai oleh gerombolan perampok.”

“maaf paman…, saya sudah selesai dan berapa harga makanan saya ?” sela Kwaa-han-jin

“oh… satu setengah tail kongcu.” sahut ciu-siok, Kwaa-han-jin membayar makanan, dan Kwaa-han-jin meninggalkan kedai dan berjalan kearah ia datang

“kongcu..! kamu salah jalan, kekota Tian-jin kearah sana.” seru ciu-siok

“terimakasih paman, sekarang aku hendak kekota shijazhuang.” sahut Kwaa-han-jin, Ciu-siok terkejut

“aneh…katanya mau ke tianjin tapi kok malah ketempat berbahaya.” Ujar ciu-siok lirih

“mungkin dia itu pendekar baru turun gunung.” sela seorang dari lima orang yang duduk sebelum kedatangan Han-jin “benar, namun sayang dia hanya akan mengantar nyawa saja.” sela rekannya yang lain, selagi mereka menomentari kenekatan Han-jin, mereka tidak sadar bahwa Han-jin sudah sangat jauh meninggalkan areal kedai Ciu-siok.

Kwaa-han-jin dengan kecepatan larinya yang luar biasa menuju kota shijazhuang, hanya dalam tempo dua hari Kwaa-han-jin sudah sampai di kota shijazhuang yang hampir menjadi kota mati ditinggalkan penduduknya, jalanan dalam kota sepi, banyak rumah, toko dan likoan yang rusak berat, di sisi kanan kiri jalan, nyaris seluruh rumah pintunya tertutup baik yang dijalan besar maupun digang-gang perumahan, Kwaa-han-jin berjalan tenang sambil memperhatikan sudut-sudut kota.

Dari sebuah gang dua puluh orang berpakaian serba merah dengan sikap garang melangkah mendekati Han-jin

“hehehe..satu lagi pendekar picisan mau mampus.” ujar lelaki besar dengan cambang lebat disekitar mukanya, dia merupakan orang kelima setelah pimpinan rampok, dan gelarnya adalah “ngo-houw” (harimau kelima)

“sepertinya para twako yang telah membuat kota ini hampir binasa.” ujar Kwaa-han-bu dengan sikap tenang.

“hahaha..hahaha…kalau tahu begitu kenapa tidak langsung gulung ekor dan lari dari hadapan kami !?” sahut ngo-houw sambil tertawa, dan dua puluh bawahannya juga ikut tertawa.

“twako…kalian ini sungguh keterlaluan sehingga membuat penduduk ini menjalani kehidupan yang sengsara.” tegur Kwaa- han-jin

“beuh..hahaha…hahaa… lalu kenapa jika memang demikian ?” “mungkin pemuda bau kencur ini ingin jadi pahlawan ngo-

twako.” sela anak buahnya

“hahaha..hahaha… heh.. pemuda goblok! apa kamu ingin jadi pahlawan ya sehingga berani mati masuk kelota ini ?” ujar ngo- houw dengan nada sinis.

“twako, janganlah lagi membuat orang lain mederita, sungguh tidak baik, kejahatan yang kalian lakukan ini hanya akan merugikan dan membinasakan kalian sediri.”

“ahhh…bocah tengik ini banyak bacot ngo-twako, sebaiknya kita gorok saja lehernya.” sela sela seorang anak buah ngo- houw sambil melangkah dua tindak dan mengayunkan pedangnya ke arah leher Han-jin. “egh…tuk…adouwhhhh…” pedang perampok itu tiba-tiba

berhenti dan gagang pedang bergeser dari genggamannya dan menyodok dadanya dengan kuat, sehingga ia menjerit kesakitan, para kawanan perampok terkejut, karena mereka jelas melihat pemuda dihadapan mereka ini tidak membuat gerakan apapun.

“hmh…ternyata kamu ada isi juga bocah, rasakan ini !” ujar ngo-houw sambil melompat menerjang Han-jin, namun dia

terkejut karena tubuh Han-jin menghilang, dia menengok kanan kiri, dan ketika dia berpaling kebelakang

“aaa..setan buduk..” teriaknya sambil melompat dengan wajah terkejut karena Han-jin sangat dekat dibelakangnya, tubuhnya merinding ketika Han-jin hilang dan seluruh anak buahnya tiba- tiba melotot kaku kecuali satu anak buahnya yang tadi hendak menebas batang leher Han-jin.

Ngo-houw terkesima dan kemudian matanya mencari-cari Han- jin, namun pemuda itu tidak dilihatnya

“apakah twako mencari saya ?” sapa suara yang amat dekat ditelinganya, dia cepat berpaling dan untuk kedua kalinya ia terkejur pucat

“ka…kamu hantu apa manusia ?” tanya ngo-houw gagap. “twako aku ini manusia bukan hantu.”

“ta..tapi kenapa kamu menghilang, apa yang kamu perbuat dengan anak buah saya ?”

“aku tidak menghilang, hanya karena mata twako yang sudah rabun oleh sesuatu, dan anak buah twako hanya saya totok.” Jawab Han-jin sabar dan tenang, ngo-houw makin ciut nyalinya.

“twako…bukankah sebaiknya kamu meninjau kembali dengan harimau-harimau yang lain, bahkan dengan pimpinan harimau tentang keterlanjuran perbuatan aniaya kalian ini ?” “phuah…tunggulah disini bocah sialan ! aku akan akan panggil pimpinan kami.” sahut ngo-houw berubah sikap karena sesaat ia lupa bahwa ia lupa dengan keadaannya saking bingung dan takutnya, dan saat Han-jin mengatakan harimau-harimau lain dan pimpinan harimau, ia jadi ingat bahwa ia tidak sendirian, masih ada empat twako dan pimpinan tertinggi mereka. “baiklah twako, aku akan menunggu disini.” jawab Han-jin. Ngo-houw berlari meninggalkan Han-jin beserta anak buahnya yang kaku

“apa dadamu masih sakit twako ?” tanya Han-jin pada orang yang pertama menyerangnya, ditanya seperti itu dia terkesima, tapi dengan terbatuk-batuk ia melarikan diri menyusul pimpinannya ngo-houw, Ngo-houw menuju sebuah rumah yang sangat megah dan luas, rumah itu adalah milik seorang hartawan yang sudah di bunuh kawanan perampok itu

“ngo-twako kamu kenapa ? kenapa buru-buru ?” tanya seorang perampok yang menjaga pintu gerbang

“aku mau bertemu suhu, kalian harus berkumpul semua di halaman ini, kita menghadapi orang sakti.” Sahutnya sambil berjalan buru-buru menaiki tangga rumah, dipintu masuk ia bertemu dua orang lelaki kurus, yang satu tinggi dan yang kedua lebih pendek

“ngo-houw ada apa kamu kelihatan buru-buru !?”

“gawat ji-twako, seorang pemuda luar biasa ada di jalanan masuk pintu gerbang, kita harus sampaikan pada suhu.”

“hahaha..hahaha… jangan panik begitu ngo-houw, kalau hanya seorang pemuda untuk apa suhu yang mengurus, mari bawa saya kehadapan pemuda itu.” sahut lelaki kurus panjang
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar