Pendekar Lengan Buntung Jilid 12

Jilid 12

Wajah Bwe Hwa semakin pucat karena banyak darah yang dari lukanya. Akan tetapi dengan bibir memucat ia masih juga tersenyum.

“Suheng, jangan harap kau dapat mengganggu seujung rambutpun kepada Tiang Le. Kalau kau membunuh dia, langkahilah dahulu mayatku!” Bwe Hwa membentak.

Pucat wajah Kong In.

Tiang Le menjadi bingung.

“Sumoay, kau minggirlah, lukamu…….”

“Koko....... aku akan melindungimu sampai aku mati, tak seorangpun boleh mengganggumu!!”

“Jangan begitu Bwe Hwa, aku masih sanggup menandingi Kong In,” bantah Tiang Le.

“Koko, kau mundurlah, jangan kau bikin cemas hati Pei Pei, dia amat mencintaimu koko…… Biar aku hadapi Kong In!”

Kata-kata Bwe Hwa disambut oleh ketawa keras Kong In: “Haaa....... haa, Bwe Hwa moay, kau sudah tergila-gila sama Tiang Le, kau hendak membelanya? Baik mari kita lanjutkan pertandingan kita, siapa di antara kita yang unggul, haa....... haa.”

“Kong In, kau menghinaku bangsat, hari ini kau harus mampus di tanganku!” saking marahnya, Bwe Hwa bagaikan harimau luka dia menubruk maju, pedangnya menyambar membabat leher Kong In.

Akan tapi sambil tertawa keras Kong In dengan mudah mengelak dan tangan kirinya mendorong tubuh Bwe Hwa. Segera Bwe Hwa miringkan tubuhnya dan balas menyerang dengan pedangnya.

Kong In terus tertawa. Menghindari tusukan pedang Bwe Hwa. Suara ketawanya seperti orang hendak menangis, air matanya bercucuran selagi dia tertawa.

Kasihan sekali pemuda ini. Sesungguhnya biarpun Kong In berwatak kasar dan berangasan, akan tetapi mendengar perkataan Bwe Hwa yang amat menusuk-nusuk hatinya tadi, membuat ia melampiaskan kekecewaan hatinya itu dengan tertawa.

Akan tetapi, ia tak menyadari bahwa perbuatannya itu di luar dari sadarnya. Ia terus tertawa-tawa, sementara hatinya menangis.

Bwe Hwa yang merasa ditertawai oleh Kong In menjadi panas dan pedangnya berkelebat mengirim serangan bertubi-tubi. Hanya Tiang Le yang dapat menyelami perasaan itu suhengnya! Ia tahu sekali, betapa kecewa hati suhengnya, karena dengan terang-terangan Bwe Hwa menyatakan cintanya kepadanya, melindunginya, malah bersedia mati untuknya!

Ah, Bwe Hwa....... mengapa kau mencintaiku mengapa? Mengapa kau tidak membalas kasih sayang it-suheng? Pikiran Tiang Le kalut sekali. Cemas melihat Kong In masih tertawa-tawa seperti orang gila. Sementara Bwe Hwa semakin bernafsu untuk merobohkan Kong In! 

Pada saat itu itu, entah dari mana datangnya, terdengar bentakan keras dan sesosok tubuh berkelebat menyambar tubuh Kong In dan Bwe Hwa yang tengah bertempur. Terdengar suara pedang beradu dan beberapa detik kemudian, Kong In dan Bwe Hwa mencelat mundur.

Ke duanya memandang ke arah tubuh yang sudah berlumuran darah, seorang gadis berkerudung hitam telah menggeletak di tanah sambil memegangi dadanya yang rupanya terkena tusukan pedang Bwe Hwa dan Kong In!

“Suci....... suheng....... me....... mengapa kalian bertempur….. aduhh....... Ti....... Tiang Le…… kokooo.......!”

“Sian Hwa……!” Tiang Le dan Kong In berseru hampir berbareng, memburu ke arah gadis kerudung hitam itu. Dengan gerakan cepat tangan kiri Tiang Le membuka kerudung hitam si gadis.

“Kau....... kau....... kau Sian Hwa?” Tiang Le dan Kong In terperanjat melihat sebuah wajah yang hitam gesang seperti pantat kuali. Wajah itu penuh dilumuri air mata yang berjatuhan bertitik-titik. Wajah itu memang wajah Sian Hwa!

“Kokooo....... aku... aa... mengapa.... su... ci dan su... heng bertempur....... aduh…..!” Sian Hwa menekan dadanya yang berlumuran oleh darah. Pandangannya menatap saja ke arah Tiang Le, Kong In dan Bwe Hwa.

Tak tahan lagi Bwe Hwa melihat keadaan Sian Hwa seperti ini, ia maju menubruk dan menangis: “Sian Hwa, kau…… kau. Kau…… ampuni........ aku...... aku telah membunuhmu....... Sian Hwa!”

“Suci....... kau ja.......jangan bertempur la....... lagi, su........ suheng jangan kau membenci suci……. aahhg.......”

“Sian Hwa moay....... aku bersalah kepadamu…….. kau ampuni aku, aku berdosa kepadamu, Hwa-moay, kau bunuhlah aku……. kau bunuhlah aku!” Kong In menangis, merenggut-renggut rambut kepalanya. Ia merasa menyesal bukan main, pedangnya ini telah menusuk dada Sian Hwa!”

“Aku harus mampus, aku harus mampus!”

“Suheng! Kau gila, diamlah....... suheng, kasihan Sian Hwa,” Tiang Le berkata membentak Kong In. Sementara Cie Lay yang sudah dibebaskan dari totokan Tiang Le memandang Sian Hwa dengan air mata yang bercucuran.

“Sian Hwa moay…….” Cie Lay memanggil.

Sian Hwa menoleh kepada Cie Lay. Wajah si gadis yang bermuka hitam itu semakin pucat.

“Cie Lay su…… suheng!”

Cie Lay berjongkok. Mengelus kening hitam Sian Hwa. Setitik air mata Cie Lay berjatuhan di atas kepala si gadis.

“Sumoay mengapa kau jadi begini…… mengapa sumoay?”

Sian Hwa menggelengkan kepala. Sementara napasnya semakin lemah. “Mukaku…… terkena pukulan Jing-tok-ciang….. ahhh su….. suheng…… Tiang Le…… aaaduhhh!”

“Sumoay…… kau hendak mengatakan apa katakanlah……!” pandangan mata Tiang Le basah, dia mengusap pipi Sian Hwa.

Sian Hwa mengangkat tangan Tiang Le yang mengusap dan ditekankan ke arah dada yang terluka:

“Kokooo…… aaaa… ku…… cin….. cinta padamu……!”

“Sian Hwa……!”

“Kokooo....... iinnniii…. aduuuuh........ Bawalah surat....... iniii....... kkkaasih…… Hong-siang (kaisar),” dengan gerakan yang amat lemah Sian Hwa mengeluarkan sepucuk surat bersampul kuning. Ia memandang Tiang Le, lama…… lama sekali gadis itu menatap wajah Tiang Le.

Akhirnya tak kuat lagi ia menahan penderitaan yang menusuk-nusuk tengah merenggut nyawanya. Pada pandangan yang terakhir, dengan gerakan yang amat lemah tangan Sian Hwa mengangkat tangan Tiang Le, menciumnya dan tangan itu terkulai bersamaan dengan perginya arwah Sian Hwa ke alam lain.

“Sian Hwa……!!”

“Hwa-moay........ Hwa-moay…..” Cie Lay menjerit dan menubruk Sian Hwa sambil menangis. Tubuh Sian Hwa diguncang-guncang oleh pemuda itu. Sian Hwa....... mengapa kau tinggalkan aku, mengapa..... ahh, Sian Hwa! Mengapa kau tidak berbicara banyak kepadaku…… mengapa, mengapa?”

Tiang Le mengelus pundak suhengnya.

“Suheng........ sudahlah….. Sian Hwa sudah pergi... lihat, suheng dan kalian sumoay dan It-suheng, Sian Hwa diakhir ayatnya memberikan surat ini. Ia berjiwa patriot, ia pahlawan bangsa. Surat ini adalah surat pengkhianatan Jenderal Bong kepada pemerintah, surat perjanjian kepada tentara Mongol untuk menghancurkan negara Song. Surat ini, menentukan mati hidupnya rakyat Tiongkok! Entah dari mana Sian Hwa mendapatkan surat ini…… “

“Tiang Le…... aku telah dibutakan oleh nafsu, kau maafkanlah aku yang hampir saja hendak membunuhmu....... benar. Sian Hwa adalah satu-satunya murid mendiang suhu yang telah mengorbankan nyawanya untuk bangsa dan negara. Tiang Le kau teruskanlah surat itu kepada Hong-siang, biar aku akan mencari musuh-musuh suhu dan mari kita berlomba siapa paling dulu yang berhasil membasmi musuh-musuh mendiang suhu!”

Kong In berkata dengan suara keras. Ia memandang ke arah jenazah Sian Hwa.

“Mari kita makamkan Sian Hwa....... tanpa menanti saudara-saudaranya yang lain, Kong In segera menggerakkan pedangnya dan menggali tanah, dibantu oleh Tiang Le dan Cie Lay. Sedangkan Pei Pei melepaskan jubah baju luarnya dan menutupi kepala Sian Hwa.

Demikianlah dengan amat sederhana sekali, selesailah sudah penguburan jenazah Sian Hwa.

Tiang Le, Kong In, Cie Lay, Bwe Hwa dan Pei Pei memberi penghormatan yang terakhir kepada Sian Hwa. Untuk tanda pada kuburan Sian Hwa, Cie Lay meletakkan batu gunung di depan gundukan tanah itu dan menulisnya dengan guratan tangannya:

“Disinilah tempat yang abadi dan tenteram bagi sumoay Liem Sian Hwa.......”

Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang berloncatan di antara batu-batu gunung yang besar dan terjal. Yang seorang adalah Hok Losu yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam. Orang kedua dan ketiga adalah seorang jenderal tinggi tegap yang telah kita kenal sebagai Bong-goanswe (Jenderal Bong) atau lebih tepatnya kita katakan ia itulah Bong Bong Sianjin, seorang pertapa sesat yang menuju jalan hek-to (jalan hitam), sedangkan yang seorang lagi adalah seorang tokoh Kong-thong-pay yang bernama Leng Ek Cu.

Bayangan ke tiga orang laki-laki itu disusul kemudian berkelebatnya bayangan lain yang amat gesit dan lincah mengurung lembah Tai-hang-san. Dibarengi kemudian munculnya banyak perwira kerajaan Mongol dan Song yang berbaris dengan amat rapinya menaiki puncak Tai-hang-san bagai semut yang hendak menuju ke sarang.

Sebuah anak panah berapi menyambar ke atas. Diiringi oleh sorak-sorak perwira kerajaan yang telah mengangkat senjata menyambut perwira-perwira Mongol dan tak lama kemudian terdengar suara senjata beradu, suasana perang dinyatakan oleh tiupan terompet dari kanan dan kiri puncak!

Perwira Song melawan dengan sengit dan berbagai senjata berkelebat menyambut lawan-lawan dari kanan dan kiri yang berpakaian seperti perwira Mongol. Hebat sekali pertempuran ini, tubuh-tubuh manusia menggeletak dari pihak Song dan Mongol, lebih-lebih lagi ketika munculnya barisan pengemis baju kembang yang menyerbu bangsanya sendiri dengan amat ganas dan keji, sehingga barisan Song menjadi kacau dan mulai bergerak mundur.

Sepasukan perwira Mongol merapat lagi dan terus mendesak perwira Song dengan hebat dan bersemangat, apa lagi setelah munculnya pengemis-pengemis baju kembang yang lihai dan sakti. Sebentar saja perwira Song telah banyak yang mandi darah dan mati disabet oleh kemplangan-kemplangan tongkat Hwa-ie-kay-pang yang lihai itu dan kemudian disambut oleh tusukan dan bacokan-bacokan golok dari perwira Mongol.

Suara pedang dan golok menyambar, darah merah muncrat dari dada dan pundak perwira Song yang tak berdaya. Teriakan semangat dari tentara Mongol membuat hati kecut bagi perwira-perwira Song yang lainnya, akan tetapi di antara perwira Song yang mulai kalut itu nampak sesosok tubuh berkelebat dengan amat ganasnya merangsak musuh, mulutnya berteriak-teriak memberi semangat kepada temannya.

“Maju terus, hancurkan penjajahan Mongol, pertahankan pemerintah Song!”

Perwira itu sudah tua, berpakaian perwira dengan pedang di tangan ia mengamuk dengan dahsyatnya, merangsek tentara Mongol yang merapat itu. Mulutnya tak henti-henti mengeluarkan bentakan nyaring yang menyaingi suara dentingan senjata beradu.

Orang tua gagah yang berpakaian jenderal itu adalah Gubernur Ie Yen, orang tua gagah yang berjiwa patriotik ini maju terus sambil mengelebatkan pedangnya mendesak musuh.

Apabila pedang itu berkelebat, nampak sinar perak merenggut nyawa musuh dan tanpa ampun lagi kepala tentara Mongol menggelinding tersambar pedang gubenur Ie Yen, hebat sekali sepak terjang gubernur ini, membuat tentara Song yang tadinya kehilangan semangat kini mulai maju kembali sambil berteriak,

“Ganyang orang Mongol penjajah jahanam, pertahankan kejayaan Negara Song!

“Sikat terus perwira-perwira Mongol keparat!”

Teriakan-teriakan perwira ini disambut oleh datangnya serombongan tentara kerajaan berkuda. Berbareng dengan itu muncul berkelebat beberapa sosok tubuh yang terus saja mengamuk, mengelebatkan pedangnya dan dua orang perwira Mongol menjerit keras waktu pedang itu menyambar lengan berteriak kesakitan melepaskan senjatanya.

“Bagus, Sin Tek Sicu, mari kita hancurkan musuh-musuh kita ini!” seru gubernur Ie Yen dengan girang sambil mengelebatkan pedangnya ke sana ke mari bagai harimau terluka mencari mangsa.

Sementara Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek menoleh kepada gubernur itu dan berkata, “Ciangkun, jangan kuatir pasukan Kim-coa-pay sudah menyerbu di sebelah selatan dan sebentar lagi akan mendesak ke mari!”

“Haa haa haa, baik sekali sicu, mari kita mencari pengkhianat-pengkhianat bangsa itu. Hendak kupenggal kepala jenderal Bong jahanam!” ia berkata demikian saking sengitnya gubernur Ie Yen, sehingga pedangnya berkelebat ganas dan tubuh perwira Mongol yang tak kuasa untuk menangkis atau berkelit, sudah tersambar pedang Ie Yen dan terdengar jeritannya menyayat hati.

Kini dengan munculnya barisan dari Kotaraja, tentara Mongol mulai kacau dan terdesak mundur. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek tak memberi ampun kepada perwira-perwira musuh ini, sepasang pedangnya berkelebat ganas dan lihai!

Sebentar saja lima orang perwira Mongol terjungkal ke belakang oleh terjangan pedang Sin Tek yang bertubi-tubi ganas dan lihai, memang orang tua ini paling benci akan segala penjajah. Karena mendengar, tentara Mongol menyerbu dan hendak menghancurkan pemerintahan Song, segera saja ia mengerahkan anak buahnya dan sebentar saja mereka sudah mendesak musuh dengan amat sengit dan bernafsu!

Pada saat itu, tiga bayangan berkelebat dengan amat cepatnya, terdengar bentakan keras dari seorang hwesio muka hitam: “Sin Tek, berlutut kau untuk menerima hukuman!”

“Ha ha ha, hwesio murtad, penghianat bangsa. Kau kira aku manusia apa sudah berlutut dihadapanmu. Engkau yang sudah bersekutu dengan bangsa Mongol, hari ini, Aku, Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek akan menyabung nyawa denganmu, hwesio keparat!”

“Bocah nggak tahu diri, kalau begitu biarlah tangan pinceng yang akan mencabut nyawamu! Sambutlah!” jubah Hok Losu bergerak cepat.

Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar Sin Tek dengan kekuatan yang luar biasa. Tahu bahwa hwesio muka hitam ini tidak boleh dipandang ringan, cepat Sin Tek menggeser kakinya dan berkelit dari serangan pukulan jubah Hok Losu, akan tetapi entah bagaimana caranya, tahu-tahu pundaknya telah ditepuk orang dan tahu-tahu tubuhnya telah lumpuh dan pedangnya terlepas.

Belum lagi hilang rasa kagetnya pangcu Kim-coa-pay ini, sebuah pukulan kedua Hok Losu menyambar kepala Sin Tek. Tentu saja dalam keadaan yang sudah tertotok ini, bagi Sin Tek tak ada jalan lain untuk menghindarkan diri, cepat ia mengangkat tangan menangkis.

“Krakkk!” tubuh pangcu Kim-coa-pay terlempar jauh seperti layangan putus. Tulang tangannya yang tadi diangkat menangkis hancur disambar angin pukulan jubah hwesio muka hitam.

Sin Tek meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat menusuk tangannya. Ia mempelototkan hwesio berjubah muka hitam itu dan membentak kalang kabut: “Hwesio jahanam, hwesio curang....... keparat!”

“Bangsat besar! Berani kau memaki pinceng?” Dalam kemarahannya yang meluap-luap ini, Hok Losu tak dapat mengendalikan rasa marah yang meledak, dengan amat cepat tongkat hitamnya meluncur cepat ke arah kepala Sin Tek.

“Krakk,” kepala Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek pecah dan isi kepalanya hancur berarakan ketika tongkat Hok Losu melayang dan menghantam kepalanya. Hok Losu yang berhati keras dan telengas tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Melihat Pat-jiu-koay-hiap telah mati di tangan hwesio muka hitam yang ganas itu, gubernur Ie Yen membentak marah, “Hwesio muka hitam, sungguh keji sekali perbuatanmu…… keji melebihi iblis, hmm, tak patut kau memakai jubah kuning. Pura-pura suci, padahal hatimu penuh dengan iblis-iblis jahanam!”

“Ie Yen, lancang mulutmu…… berani kau menghina pinceng. Kurobek mulutmu, bangsat!”

“Ah, ini yang disebut seorang hwesio? Pantas mukamu hitam menjijikan tidak tahunya hatimu kotor dan bercabang. Hwesio tua, mengapa sebagai seorang hwesio kau ini demikian jahat?”

“Jangan banyak bacot, mampus kau!” Bentakan yang mengguntur ini dibarengi dengan serangan tongkat hitam yang cepat luar biasa.

Tentu saja Ie Yen tidak sudi kepalanya hancur seperti Sin Tek tadi, cepat ia berkelit ke samping dan membabatkan pedangnya membentur tongkat Hok Losu, akan tetapi alangkah herannya dia, karena begitu pedangnya membentur tongkat hitam itu, ia berseru kaget begitu terasa pedangnya melekat kuat menjadi satu dengan tongkat hitam itu. Segera ia mengerahkan lweekangnya menarik. Akan tetapi sambil tertawa-tawa menyeramkan jubah Hok Losu menyambar lagi.

“Duuk!” Tubuh Ie Yen terpental setombak lebih, dari mulutnya keluar darah merah. Namun gubernur Ie Yen ini benar-benar hebat.

Tanpa memperlihatkan rasa sakit ia menggerakkan pedangnya lagi menerjang si hwesio dengan tusukan dari atas. Terdengar suara keras dan tubuh Ie Yen terlempar diiringi jeritan mengerikan waktu tongkat hwasio itu menggeprak kepala lawan. Ie Yen roboh dengan kepala pecah.

Melihat gubernur Ie Yen dan Pay-cu Kim-coa-pay sudah gugur, pasukan Song menjadi keder hatinya. Mereka berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi begitu jubah si hwesio bergerak, lima perwira Song terjungkal dan roboh dengan dada hangus terkena pukulan jarak jauhnya Hok Losu.

Teriakan penuh semangat dari perwira-perwira Mongol bergema di sana sini menyambut kehebatan hwesio muka hitam yang membantunya. Dengan semangat mereka mendesak terus perwira kerajaan yang berkuda. Hebat dan seru sekali perkelahian di tempat ini. Ada duaratus lebih mayat bergelimpangan dari pihak Mongol dan Song.

Hok Losu amat ganas sekali melempar-lempar tentara Song dengan kebutan ujung jubahnya. Setiap perwira kerajaan yang terkena tamparan angin pukulan ini pasti terjungkal dan mati. Sementara suasana perang masih berjalan dengan amat serunya.

Pada saat itu, entah darimana datangnya tahu-tahu sesosok tubuh kurus kering telah berdiri di depan Hok Losu. Hwesio itu sudah kelihatan tua sekali, usianya hampir delapanpuluh tahun, tubuhnya kurus kering bagai tinggal kulit membungkus tulang, kepalanya yang gundul kelimis seperti tengkorak saking kurusnya, jenggot yang putih berjuntai ke bawah. Sepasang mata menatap Hok Losu dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang.

“Omitohud, Hok sute, menjauhkan diri dari segala kejahatan menyempurnakan segala perbuatan baik, menyucikan pikiran....... itulah ajaran semua Budha....... Setelah merasakan nikmatnya kesucian dan nikmatnya ketenangan seorang terbebas dari ketakutan dan belenggu dosa, sambil mereguk kebahagiaan hidup di dalam Dharma! Hok sute, sudah baik-baik kau bertapa di Siauw-lim....... mengapa menuruti nafsu hati dan tergoda oleh gemerlapan dunia?”

“Suheng....... harap kau tidak mencampuri urusanku, kali ini biarkanlah aku mencari jalan sendiri....... jangan kau menghalangiku suheng….” suara Hok Losu nampak keder dan takut melihat hwesio tua di hadapannya. Hwesio tua itu tak lain adalah ketua Siauw-lim-pay Thian Thian Losu.”

“Hok sute, sudah lama aku mencarimu. Senang sekali hari ini pinceng bertemu denganmu, Marilah kembali ke kuil, mencari jalan terang, menjauhkan segala kericuhan dunia ini. Mari kita memperdalam mengalahkan si Aku yang selalu menunggangi hidup ke arah jalan yang tak baik. Sute, ikutlah denganku…….”

“Tidak suheng. Kau pulanglah dulu. Kelak aku akan menyusul ke Siauw-lim-sie. Sekarang biarlah aku mencari jalanku sendiri. Percayalah suheng, setelah itu aku akan kembali ke Siauw-lim-sie menemui kau orang tua!”

“Omitohud….. Hok Sute, mengapa setelah melakukan jalan sesat baru hendak bertobat.... sekarang inilah masanya untuk bertobat dan menyucikan diri, jangan tunggu esok atau nanti. Sute…. ikut pinceng selama masih ada kesempatan untuk bertobat, bertobatlah….. 

“Hok Sute, di antara segala jalan. Delapan jalan utamalah yang paling baik di antara segala kebenaran, empat. Kenyataan Mulialah yang paling baik, di antara segala kebajikan, kebebasan dari ikatan adalah yang paling baik. Di antara manusia orang yang memiliki pandangan teranglah yang paling baik. Inilah jalannya, tiadalah satupun jalan lainnya yang menuju ke arah pemurnian pandangan terang. Kau ikutilah jalan ini. Jalan ini untuk mololoskan diri dari Mara (Penggoda nafsu).......”

“Aku mengerti suheng……!”

“Bagus sute, sekarang kau ikuti pinceng.

“Tidak! Nanti saja aku menemuimu di Siauw-lim-sie, kau tinggalkanlah aku!” berkata demikian Hok Losu sudah mencelat ke depan menghantam kepala seorang perwira Song yang bertempur dengan tentara Mongol.

Angin berciutan. Akan tetapi begitu Thian Thian Losu mengangkat tangannya, tahu-tahu tubuh Hok Losu terlempar ke belakang dan pukulannya tadi meleset menghantam batu gunung sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk.

“Suheng kau....... kau…!”

“Sute, selama masih ada kesempatan untuk mencari jalan terang, marilah kita berlindung kepada Budha.......”

Akan tetapi Hok Losu telah menjadi marah sekali. “Suheng....... pergilah, sebelum aku panas hati dan membunuhmu!” Kali ini ucapan Hok Losu terdengar kasar dan mengandung ancaman. Tongkatnya bergetar-getar. Siap hendak digerakkan!

“Sute menurut hawa nafsu, sama saja membiarkan penyakit yang lambat laun akan membawamu ke arah kematian. Sabarlah sute, ingatlah ajaran-ajaran Sang Budha!”

“Ahh....... jemu aku. Sudah, kau pergilah, minggat!” Tongkat Hok Losu bergerak dengan amat cepatnya. Angin keras menyambar ke arah dada Thian Thian Losu.

Nampak hwesio tua itu tidak mengelak atau menangkis, membiarkan dadanya terhantam pukulan tongkat yang akan meremukkan dadanya. Baju hwesio tua itu bergetar-getar. Akan tetapi, bukan si ketua hwesio Siauw-lim-pay itu yang roboh, melainkan Hok Losu itulah yang terhuyung-huyung mundur dan dari mulutnya keluar darah segar.

“Sute….. ahh kau terlalu……” suara Thian Thian Losu perlahan, tetapi merupakan api yang membara di dada Hok Losu dengan menggereng keras, hwesio muka hitam itu menerjang maju mencengkram kepala Thian Thian Losu.

“Omitohud…… sute….. kau mencari jalan kematian saja,” berkata demikian tongkat butut si hwesio Thian Thian Losu terangkat ke atas. Menangkis terjangan tangan kiri Hok Losu yang telah menggunakan jurus Menyembah Budha Mematikan Raga yang ia tahu terkenal akan kedahsyatannya ini.

Begitu tongkatnya terangkat terdengar jeritan kematian dari Hok Losu. Tubuh hwesio muka hitam itu menggigil. Dan tak lama kemudian roboh dalam keadaan sudah tak bernyawa.

Terdengar hwesio itu menarik napas panjang, menghampiri mayat Hok Losu dan berkata pelan: “Hok Sute, mengapa kau keras kepala? Mengapa jalan kematian yang kau pilih....... ya, Tuhan semoga engkau mengampuni hambamu!”

Suara Hok Losu terdengar seperti orang berdoa, dan sekali tangannya bergerak menyambar Hok Losu, tahu-tahu ketua Siauw-lim-pay yang sakti itu sudah lenyap dari pandangan mata!

Hanya sayup-sayup dari kejauhan sana terdengar suara Thian Thian Losu seperti orang yang sedang mengeluh, “Perang........ engkau hanya membawa pengorbanan dan pembinasaan yang merusak isi dunia....... banyak jalan yang menuju kepada kehidupan, akan tetapi sedikit sekali manusia yang menuju ke sana!”

Peperangan semakin berkobar. Mayat manusia bergelimpangan di antara genangan darah yang mulai membasahi bumi. Suara hiruk pikuk terdengar di sana sini diringi dengan bentakan dan suara senjata beradu. Di lembah Tai-hang-san banyak sudah perwira Song yang berjatuhan, tak jauh dari situ banyak juga tentara Mongol yang roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Korban telah berjatuhan di kedua belah pihak. Di antara mayat yang bergelimpangan, empat sosok manusia mengamuk bagaikan harimau luka.

Tiang Le dengan pedang buntungnya mendesak dua orang lawan yang mengeroyoknya. Kedua orang itu adalah Sianli Ku-koay dan seorang pengemis tua yang kita kenal sebagai pangcu Hwa-ie-kay-pang sekutu dari Sian-li-pay yang bergabung dengan tentara Mongol.

Hebat sekali pertarungan ini. Akan tetapi Tiang Le benar-benar luar biasa, walaupun hanya berlengan satu ia masih sanggup mendesak nenek sakti Sianli Ku-koay dan melancarkan serangan maut dari jurus-jurus ilmu pedang Tok-pit-kiam-hoat yang hebat.

Menghadapi serangan-serangan yang sangat dahsyat ini, Nenek Sianli Ku-koay menjadi terkejut dan gentar. Gerakan-gerakan Tiang Le sukar diikuti dan diduga, kadang-kadang dengan amat cepatnya laksana kilat tangan kiri Tiang Le menyelipkan pedang dan berganti dengan pukulan Sian-tian-jiu yang mendatangkan angin panas bergelombang membuat tongkat Sianli Ku-koay terpental oleh pukulan tangan kiri yang luar biasa itu.

Di lain pihak, juga pangcu Hwa-ie-kay-pang yang berbaju kembang-kembang dan bertubuh kurus kering dan bongkok itu mulai sibuk memainkan ilmu tongkatnya menghadapi pemuda lengan buntung yang amat lihay ini, maka ia mencurahkan perhatiannya dan berlaku waspada terhadap pedang buntung yang bagaikan geledek siap memenggal lehernya!

Pedang buntung yang ampuh dan dahsyat ini merupakan bagian yang penting bagi Tiang Le dan membuat kedua orang yang mengeroyoknya menjadi gentar. Beberapa kali tongkat dan pedang itu berbentur, terdengar seruan Sianli Ku-koay kaget dan terkejut melihat tongkatnya sudah putus terbabat pedang buntung yang ampuh ini, maka ia tak berani beradu tongkat dengan pedang lagi malah membuat pertahanan dengan memutarkan tongkatnya melindungi tubuhnya!

Akan tetapi Tiang Le yang sudah mengenal akan Sianli Ku-koay yang pernah menyerbu Tiang-pek-pay dan membunuh suhunya membuat ia mainkan jurus-jurus Tok-pik-kiam-sut (ilmu silat tangan buntung) dengan cepat luar biasa. Waktu tongkat Sianli Ku-koay menyambar lewat lehernya, ia menangkis dengan pedangnya dan membuat gerakan menempel, akan tetapi begitu cepat gerakan ini membuat Sianli ku-koay berteriak kaget merasa hawa dingin telah menyentuh lambungnya, cepat ia menangkis dengan mendorong tangan kiri membalas memukul.

“Dess!” Tubuh Nenek Sianli Ku-koay bergetar. Terhuyung-huyung, ke belakang dan roboh dalam keadaan dada hangus tersambar pukulan gerak tangan kilat Tiang Le yang luar biasa itu.

Melihat salah seorang musuh besarnya telah mati, Tiang Le mencelat tinggi menghindarkan serangan tongkat pangcu Hwa-ie-kay-pang dan telah berdiri di atas batu gunung yang tinggi, menengadah ke atas: “Suhu....... terimalah kematian Sianli Ku-koay....... tenangkanlah hatimu!”

Sehabis berkata demikian, cepat Tiang Le mencelat turun dan membentak kepada ketua Hwa-ie-kay-pang, “Lokay! Karena engkau tidak ada permusuhan apa-apa denganku, maka aku tidak membunuhmu, nah minggatlah!”

“Anjing buntung, bangsat! Kaaa kira aku takut kepadamu? Terimalah ini tongkat hitam,” ketua Hwa-ie-kay-pang menyambar dahsyat mengeluarkan suara angin menderu.

Akan tetapi Tiang Le yang tak mau lagi membuang waktu, telah melakukan jurus Tok-pik-kun-hoat dan Sien-tian-jiu berbareng. Terdengar jeritan keras karena tubuh ketua pengemis baju kembang sudah terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi karena tulang pundaknya patah terhantam pukulan tangan kiri Tiang Le yang dahsyat!

Dan sekali menggerakkan tubuh, tahu-tahu lima orang anggota pengemis baju kembang terjungkal oleh dorongan tangan kiri Tiang Le dan tidak dapat bangun lagi. Hebat sekali Tiang Le ini. Melihat Cie Lay dikeroyok oleh banyak orang-orang Hek-lian-pay dan nampak terdesak, Tiang Le segera mencelat dan menggerakkan tangan kirinya menggunakan jurus gerak tangan kilat. Dua orang kakek Hek-lian-pay yang tak keburu menangkis terpental dengan tulang pundak patah-patah oleh sambaran tangan kiri Tiang Le.

Melihat kehebatan pemuda lengan buntung ini, yang pernah dikenalnya, keruan saja ketua Hek-lian-pay yang bernama Hek-sin-tung Pay-cu Teng Kiat, menjadi marah dan membentak:

“Bagus! Anjing buntung, kau belum mati juga he? Biarlah tuanmu hari ini mengirim kau ke neraka!”

“Ha ha ha Pay-cu, siapa bilang aku sudah mampus? Kalianlah yang goblok mudah saja kukelabui dengan pura-pura mati, akan tetapi penglihatan matamu buta tidak melihat aku sudah mati apa belum. Pay-cu karena Thian memberikan nyawa rangkap kepadaku, maka hari ini aku hendak mencabut nyawamu dan mengirim kau ke neraka!

“Keparat, engkaulah yang harus kumampusin dan mengirim kau ke neraka!” bentakan ketua Hek-lian-pay ini, diiringi gerakan tongkat sakti yang luar biasa kuatnya.

Tiang Le cepat menggeser kakinya berkelit ke kiri dan menggerakkan tangannya memukul ke depan. Dua tenaga dahsyat membuat ketua Hek-lian-pay meloncat mundur dan tergetar kuda-kudanya.

Ia mengawasi pemuda lengan buntung itu dengan heran. Bagaimana boleh jadi dalam segebrakan itu ia telah dibuat tergempur kuda-kudanya. Tiga tahun yang lalu ia kenal benar dengan ilmu pedang pemuda ini, bagaimana sekarang pemuda lengan buntung ini demikian lihai. Tak masuk diakal.

Dengan rasa penasaran yang hebat ia menerjang maju lagi, menggerakkan tongkatnya dengan sabetan yang kuat dan mengeluarkan suara angin berdesing keras. Akan tetapi begitu Tiang Le menundukkan kepalanya dan menggerakkan tangan kiri mencelat ke atas, tahu-tahu tubuh Hek-sin-tung Teng Kiat telah terlempar roboh dengan dada terluka.

Teng Kiat memandang terbelalak kepada Tiang Le. Ia berusaha hendak bangun dan terhuyung-huyung beberapa tindak ke belakang. Akan tetapi, terasa kepalanya menjadi pening dan ia telah roboh tak ingatkan diri lagi!

Sementara itu Bwe Hwa dan Kong In mengamuk hebat bukan main seakan-akan keduanya saling berlumba untuk menjatuhkan musuh. Sepasang pedang iblis yang bernama Hek-pek-hwa-siang-kiam (sepasang pedang bunga hitam putih) berkelebat bagaikan guntur menyambar dari angkasa.

Setiap kali tangan kanan Bwe Hwa dan Kong In bergerak tentu dua-tiga orang perwira Mongol telah terpental dalam keadaan tubuh sudah mandi darah. Ganas sekali perbuatan gadis ini, sedang Pek-hwa-kiam di tangan kanannya yang tak pernah memberi ampun kepada lawan, meskipun kini gadis itu bersilat dengan tangan kanan saja, akan tetapi hebatnya, luar biasa!

Menghadapi Jing-tok-siang-lomo, A Thiong, A Mey, dan dibantu oleh tokoh Kong-thong-pay Leng Ek Cu, pedang kilatan putih Bwe Hwa menyambar dahsyat, diseling berkelebat sinar hitam memanjang luar biasa merupakan guntur memecah bumi membuat Leng Ek Cu menjadi keder hatinya. Dan bersilat dengan mundur-mundur.

Akan tetapi Bwe Hwa yang tidak memberi ampun lagi kepada lawannya, dia sudah menggunakan jurus Pek-hwa-kiam-sut yang terlihai dan dalam detik selanjutnya pedangnya sudah menerobos masuk menyentuh iga tokoh Kong-thong-pay dan sekali pedang Pek-hwa-kiamnya ditarik ke atas, terdengar pekik mengerikan Leng Ek Cu, tubuhnya roboh ke tanah dengan mandi darah. Matanya mendelik memandang Bwe Hwa seperti melihat setan saja, kemudian mata itu tertutup rapat, tak bergerak lagi, mati!!

Pada saat yang bersamaan pedang hitam Kong In juga sudah berhasil menyerbu ke dua orang kakek dan nenek gila, pedangnya berkelebat bagaikan maut hendak men cabut nyawa! Dahsyat sekali gerakan yang aneh ini. Dengan bernafsu sekali Kong In menggerakkan pedangnya menusuk, membarengi pukulan tangan kiri yang luar biasa.

“Desss....... ceepp…..!” Pukulan tangan kiri Kong In dibarengi oleh berkelebatnya sinar hitam menabas leher. Darah merah muncrat dari leher itu dan tubuh Jing-tok-siang-lomo A Thiong mati, pada saat itu juga dengan kepala terpisah dari tubuhnya!!

Si nenek A Mey menggereng keras, meraung bagaikan harimau kehilangan anaknya, menggerakkan tangan kanannya memukul ke depan menggunakan Jing-tok-ciang yang ganas dan keji. Sambil tertawa mengejek Kong In menyambut dengan tangan kirinya dan mengerahkan tenaga sepenuhnya. Inilah kesalahan Kong In, begitu tangannya beradu dengan tangan si nenek Amey yang penuh dengan hawa Jing-tok, segera dia menjerit dan lompat ke belakang.

Begitu dilihatnya tangannya sudah hangus, ia jadi marah dengan menggunakan Hek-hwa-kiam-sut ia menyerang. Sinar hitam berkelebat, amat cepat gerakan ini. Jing-tok-siang-moli A Mey menangkis serangan pedang hitam dengan kebutan jubahnya.

“Breeet!” Jubah itu robek dan sebuah pukulan tangan kiri Kong In menyusul dengan menggunakan hawa Hek-in-kang yang pernah ia pelajari di Tiang-pek-san dari mendiang suhunya Swie It Tianglo. Amat cepat sekali tangan kiri Kong In menyambar lambung si nenek. 

“Desss!” Tubuh si nenek Jing-tok-siang-moli A Mey terlempar jauh dan tidak dapat bangun lagi.

Kong In yang berwatak berangasan mencelat ke atas, menusukkan pedangnya ke dada si nenek, akan tetapi selagi tubuhnya masih di udara dan siap hendak menusukkan pedangnya ke dada si nenek, tahu-tahu serangkum angin pukulan yang kuat membuat tubuhnya terlempar ke belakang dua tombak jauhnya,

“Keparat, siapakah kau?” Kong In bertanya.

“Ha ha ha, anak muda, kepandaianmu cukup hebat dan lumayan. Pantas untuk melayani aku yang tua. namaku Bong Bong Sianjin. Pernah kau mendengarnya?”

“Bong Bong Sianjin?” Kong In dan Bwe Hwa serentak berkata membelalakan matanya memandang ke arah seorang tua berpakaian jenderal. Bong-goanswe atau yang kita kenal sebagai Bong Bong Sianjin!

“Ha ha ha, anak muda, mendengar namaku saja kalian sudah pucat ketakutan…… hayo berlutut kau!” Dengan sombongnya Bong Bong Sianjin, bertolak pinggang, tersenyum mengejek ke arah Kong In dan Bwe Hwa!

“Bagus! Kau binatang Bong Bong Sianjin, hari ini aku Lie Bwe Hwa, murid mendiang Swie It Tianglo hendak mencabut nyawamu!” bentak Bwe Hwa mengelebatkan pedangnya di depan dada.

Kasihan gadis ini, wajahnya semakin pucat. Banyak tenaga yang keluar membuat luka di lengan kirinya bertambah parah, rasa nyeri yang menyerang ke ulu hati dan jantung tak dirasanya lagi oleh Bwe Hwa. Benar-benar hebat gadis ini.

“Bangsat tua Bong Bong Sianjin, kebetulan hari ini adalah hari kematianmu. Aku Liok Kong In, akan menyabung nyawa denganmu!”

Kata-kata Kong In disambut oleh suara ketawa keras dari Bong Bong Sianjin, “Bagus, hari ini Bong Bong Sianjin membasmi murid-murid Swie It Tianglo sampai keakar-akarnya!”

“Singgg!” suara pedang terdengar ditarik oleh Bong Bong Sianjin.

Kong In mengeluarkan bentakan keras dan pedang hitamnya meluncur ke arah dada Bong Bong Sianjin. Sambil tertawa mengejek Bong Bong Sianjin mengelebatkan pedangnya menangkis pedang lawan. Suara pedang terdengar beradu bunga api memercik.

Pada saat itu serangkum hawa pukulan dari tangan kiri Kong In menyambar ke arah Bong Bong Sianjin dibarengi dengan sabetan pedang Pek-hwa-kiam dengan gerakan yang luar biasa sekali, suara pedang berdesing panjang. Kaget sekali Bong Bong Sianjin, cepat ia menggerakkan pedangnya menahan sabetan pedang Bwe Hwa dan menggunakan tangan kiri pula mendorong pukulan tangan kiri Kong In.

Akan tetapi begitu tangannya terangkat, sebuah pukulan yang kuat membuat ia terhuyung-huyung. Segera Bong Bong Sianjin mencelat ke samping dan menoleh, dilihatnya seorang pemuda lengan buntung berdiri sambil tersenyum mengejek:

“Jahanam She Bong, hari ini adalah hari kematianmu. Hayo kau berlutut meminta ampun kepada mendiang suhu Swie It Tianglo!” bentak Tiang Le.

Sementara Kong In dan Bwe Hwa sudah menerjang lagi, menggerakkan pedangnya menusuk dada Bong Bong Sianjin yang cepat menghindarkan diri dengan berkelit ke samping, akan tetapi begitu tangan kiri Tiang Le bergerak menggunakan jurus Sian-tian-jiu atau tangan kilat, tahu-tahu tubuh tinggi besar dari Bong Bong Sianjin sudah terpental dua tombak jauhnya dan pada ketika itulah hampir terbang Kong In dan Bwe Hwa melayang menerkam Bong Bong Sianjin dengan gerakan menusuk dan amat cepat sekali gerakan ini, karena dadanya terasa sakit dan lumpuh oleh pukulan gerak tangan kilat Tiang Le tak keburu Bong Bong Sianjin menghindarkan diri.

Sepasang pedang Iblis Hek-pek hwa-siang-kiam meluncur dengan amat cepatnya seakan-akan pedang di tangan Bwe Hwa dan pedang di tangan Kong In saling mendahului menusuk ke arah dada itu. Terdengar jeritan kematian dari Bong Bong Sianjin tatkala dalam detik itu juga sepasang pedang hitam dan putih sudah terbenam di dada Bong Bong Sianjin yang terus berkelojotan dan mati!

Akan tetapi bersamaan dengan matinya Bong Bong Sianjin, pada saat itu muncul beratus-ratus anak buah Hwa-ie-kay-pang dan Sian-li-pay telah mengurung tempat itu. Akan tetapi yang membuat Tiang Le kaget setengah mati adalah Cia Pei Pei itu yang telah berada di depan Bu-tek Sianli dengan telah dihadapkan di depan pedang Bu-tek Sianli!

Terdengar suara Nenek itu mengakak keras.

“Ha ha ha, orang muda buntung....... menyerahlah kalian untuk kami tawan ke Sian-li-pay!”

“Bangsat Bu-tek Sianli, aku harus mengadu nyawa denganmu!”

“Ha ha ha, orang muda, berani melawanku? He he, he setindak saja engkau menggerakkan kakimu, niscaya kekasihmu ini akan kehilangan kepalanya oleh pedangku!”

“Bangsat tua! Lepaskan Pei Pei!”

“Ha ha ha, menyerah dulu, baru kulepaskan gadis ini!”

Kong In dan Bwe Hwa menjadi marah sekali. Dengan gerakan yang tak diduga Bwe Hwa sudah mencelat ke arah Bu-tek Sianli dan menggerakkan pedangnya ke arah leher, pada saat si nenek Bu-tek Sianli menggerakkan pedangnya menangkis pedang Bwe Hwa, sebuah bayangan berkelebat dan tahu-tahu Pei Pei telah berada di tangan Tiang Le di atas sebuah puncak batu karang yang amat tinggi.

Akan tetapi nenek Bu-tek Sianli yang menjadi marah bukan main kepada gadis ini menggerakkan tangannya menggunakan jurus maut kepalan dewa tanpa tandingan. Tangan si nenek bergerak memukul, akan tetapi Bwe Hwa yang sudah menjadi nekat ini menggerakkan pula pedangnya membabat pukulan tangan si nenek.

“Trakkk, desss!” Tubuh Bwe Hwa terlempar ke samping. Gadis itu meringis menahan rasa nyeri pada dadanya dan beberapa saat kemudian ia telah roboh sambil muntahkan darah segar.

Hebat sekali pukulan Bu-tek Sianli tadi. Pukulan itu ialah menyerang jantung Bwe Hwa dan ia terluka dalam. Akan tetapi, sebaliknya, Bu-tek Sianli sendiri terkejut bukan main melihat kehebatan gadis ini. Kalau orang biasa yang terkena pukulannya tentu akan hancur berantakan isi dada itu dan mati seketika, akan tetapi gadis ini sungguh luar biasa!

Lima orang kakek pengemis baju kembang mencelat ke depan dan membentak keras: “Bocah gila, berani kau bermain-main dengan Pay-cu?”

“Bangsat, aku harus mengadu nyawa dengan kalian!” Bentak Bwe Hwa diiringi dengan berkelebat tubuhnya dan sebentar saja ia sudah merangsek kakek pengemis baju kembang!

Tiang Le memandang pertempuran yang masih berlangsung dari atas puncak batu karang itu. Ia menoleh kepada Pei Pei, “Pei-moay, berani kau berdiri di sini sementara aku menggasak tikus-tikus Sian-li-pay itu?”

Pei Pei tersenyum manis. Memandang ke bawah. Ngeri bukan main kalau ia terjatuh dari tempat yang amat tinggi ini, akan tetapi dalam senyumnya itu ia berkata kepada Tiang Le: “Koko, mengapa tidak berani, lekaslah bantu cici Bwe Hwa……. hati-hati kau koko!”

Tiang Le menyentuh bahu si gadis dan sekali tubuhnya berkelebat turun, tahu-tahu dua orang pengemis baju kembang sudah terjungkal oleh gerak tangan kilat Tiang Le. Bu-tek Sianli menjadi marah bukan main kepada pemuda lengan buntung yang telah turun membantu ini, segera dia memberi isyarat dengan tangannya maka terjunlah lima belas gadis Sian-li-pay yang berkepandaian tinggi itu!

Sebetulnya, ingin sekali Tiang Le mengeluarkan pedang buntungnya akan tetapi, melihat bahwa yang mengeroyoknya adalah gadis Sian-li-pay yang masih begini muda dan cantik tak tega Tiang Le untuk membunuh. Ia memainkan jurus ilmu silat tangan buntung dan mengikuti jurus duapuluh satu langkah-langkah ajaib, maka bagaikan bayangan saja tubuh Tiang Le berkelebat ke sana ke mari, mengirim totokan kepada para pengeroyoknya. Hebat sekali sepak terjang Tiang Le ini begitu tubuhnya berkelebat dua orang pengeroyoknya roboh dalam keadaan sudah tertotok!

Di lain pihak, Cie Lay menghadapi ratusan tentara Mongol yang mengeroyoknya. Sudah berpuluh-puluh orang ia robohkan akan tetapi, semakin banyak saja tentara Mongol ini mengurung tempat itu. Apalagi kini setelah munculnya seorang tinggi besar berpakaian jenderal tentara Mongol yang berkepandaian tinggi dan kelihatannya pandai mengatur barisan gerilya ini.

Diam-diam Cie Lay mulai terdesak dan saking banyaknya musuh-musuh tentara Mongol yang mengeroyoknya, akhirnya lama kelamaan Cie Lay menjadi lemah bukan main. Gerakan pedang Hong-san-kiam menjadi lemah dan pada suatu saat, seorang tentara Mongol, dengan jaring di tangan sudah dapat meringkuk Cie Lay dan menotok pemuda itu.

Terdengar orang tinggi besar berpakaian Jenderal Mongol itu berkata-kata kepada anak buahnya dengan bahasa asing yang tak dimengerti oleh Cie Lay, orang itu kemudian mengangguk-angguk saja dan tanpa berkata apa-apa lagi Cie Lay sudah dibelenggu pada kakinya. Kemudian, dibawanya ia menuruni bukit.

Terkejut sekali pemuda Hong-san ini, begitu mendengar bahwa yang menawannya adalah Panglima Ku Bilay Khan sendiri yang bertubuh tinggi tegap dan gagah.

Pantas saja kepandaiannya demikian lihai! Apabila mendengar dari laporan anak buah tentara Mongol yang mengatakan bahwa pasukan Mongol sudah menyerbu Kotaraja, betapa terkejutnya Cie Lay, segera ia memutar otaknya. Ia sendiri sudah tak berdaya ditawan oleh tentara Mongol maka pada suatu kesempatan, waktu rombongan tentara Mongol yang menawannya berhenti di lereng bukit, segera tangan pemuda ini menulis di batu karang:

“Pergilah! Kotaraja terancam!”

Sementara itu, Bwe Hwa dan Kong In mengamuk hebat. Pedang iblis Hek-pek-hwa-siang-kiam berkelebat ke sana ke mari laksana kilat menyambar. Banyak sudah tubuh si kakek pengemis baju kembang yang telah roboh oleh keganasan pedang di tangan Bwe Hwa dan Kong In, akan tetapi, karena Kong In sudah terluka oleh pukulan si nenek A Mey yang mempergunakan hawa Jing-tok-ciang, maka dengan amat cepatnya hawa racun ular hijau itu menjalar ke jantungnya!

Gerakannya semakin lemah, semakin kacau, akhirnya ia tak tahan lagi, kepalanya menjadi pening. Pada saat itulah sebuah tongkat di tangan salah seorang anggota Hwa-ie-kay-pang berhasil menggebuk pundaknya. Keruan saja tubuh Kong In terjungkal dan sebuah pedang lagi dari salah seorang perwira Mongol berkelebat menyambar.

“Ceppp!” Pedang itu terbenam di dada Kong In menembus sampai ke belakang.

Akan tetapi dengan gerakan yang amat kuat tahu-tahu tangannya bergerak dan pedang Hek-hwa-kiam meluncur dengan amat cepatnya. Tiga orang perwira Mongol dan kakek pengemis baju kembang menjerit keras, begitu pedang Hek-hwa-kiam bagaikan terbang menancap jadi satu di dada ke empat orang lawannya.

Kong In tertawa puas melihat hasilnya. Akan tetapi ia sendiri menjadi terkulai lemah dan napasnya putus oleh tusukan pedang yang menembus dadanya itu.

“Suheng.......” Bwe Hwa, berseru. Ia menggerakkan pedangnya dengan kuat dan ganas. Akan tetapi begitu Bu-tek Sianli menyambar dan menggerakkan pukulan, tubuh Bwe Hwa terlempar jauh dan jatuh di dekat kaki Tiang Le yang sedang mengamuk dikeroyok oleh kakek pengemis Hwa-ie-kay-pang dan gadis-gadis Sian-li-pay.

Melihat jatuhnya tubuh Bwe Hwa di dekat kaki pemuda lengan buntung, keruan saja seorang pengemis baju kembang menggeprak kepala si gadis. Akan tetapi Tiang Le dengan cepat menggerakkan tangannya dan terdengar suara keras waktu pukulan Tiang Le menghantam lambung si kakek pengemis baju kembang!!

“Dess!” Tubuh kakek itu terlempar dan tidak dapat bangun lagi, sementara Tiang Le cepat menyambar tubuh Bwe Hwa yang terkulai lemah. Meletakkan tubuh si gadis di atas punggungnya, dan dengan gerak tangan kilat ia memutar lengan kirinya.

Lima orang gadis Sian-li-pay yang menerkamnya terpental dan seorang kakek pengemis baju kembang muntah darah dihantam pukulan Tiang Le. Pemuda lengan buntung ini mengamuk hebat, tangannya bergerak-gerak laksana badai yang menyapu, sebentar saja limapuluh anak buah Hwa-ie-kay-pang sudah roboh tak dapat bangun lagi.

Pada saat itu terdengar suitan keras. Tiba-tiba saja gadis Sian-li-pay yang tadi mengeroyoknya sudah hilang bagaikan ditelan bumi, sedangkan dari kejauhan terdengar seruan Bu-tek Sianli,

“Tiang Le, kalau kau gagah dan mempunyai nyali, datanglah ke pulau Bidadari untuk menyelamatkan kekasihmu ini. Jikalau dalam waktu dua hari ini engkau tidak datang, jangan harap kekasihmu dapat hidup pula!!”

Suara itu terdengar amat jauh sekali. Cepat Tiang Le melirik ke atas batu karang dimana Pei Pei tadi menunggu, akan tetapi dia menjadi terkejut begitu dilihatnya Pei Pei sudah tidak ada lagi di sana. Tahulah ia, Pei Pei telah ditawan oleh Bu-tek Sianli yang licik dan curang itu dan mengundangnya ke Sian-li-pay!!

Suasana menjadi sunyi dan mati setelah rombongan Sian-li-pay pergi. Beratus-ratus mayat manusia menggeletak di sana sini membasahi lembah Tai-hang-san. Serombongan burung gagak menggoak panjang terbang di atas. Sementara langit di atas menjadi suram, seakan-akan yang di atas itu tidak tega melihat pemandangan di bumi yang mengenaskan hati!!

Tiang Le cepat berkelebat lenyap dari tempat itu!!

Sementara, dari belahan awan hitam sebuah guntur menggelegar memecah isi bumi. Dinding-dinding gunung bergetar oleh suara guntur yang menggelegar mengejutkan. Dan awan hitam merunduk dan menyebarkan air mata yang bertambah deras membasahi bumi, tersedu keras angin bertiup menggoyangkan pepohonan dan daun-daun. Sebentar kemudian hujanpun bertambah deras dan suasana semakin hitam, sehitam jelaga!

◄Y►

17

Sebuah kilat menyambar berkeredep menerangi pondok di dalam Tiang Le meletakan tubuh Bwe Hwa pada sebilah dipan kayu dan manotok jalan darah Tay-hi-hiat di dekat leher Bwe Hwa. Gadis itu mengerang perlahan. Ia sadar dari pingsannya.

Pertama-tama dilihatnya, seorang lelaki lengan buntung berdiri didekatnya. Bibir Bwe Hwa bergerak perlahan, “Kokoo!”

“Hwa-moay....... kau terluka dalam yang cukup parah, istirahatlah....... sebentar hujan akan reda, aku akan membawamu mencari seorang sin-she di kaki gunung….. kuatkanlah hatimu....... Hwa-moay.......” Tiang Le berkata pelan.

Tangannya membetulkan balutan pada lengan gadis yang sudah penuh dengan darah. Ia napas panjang. Hatinya menjadi terharu melihat Bwe Hwa seperti ini, tanpa ia sadari tangannya mengusap pipi si gadis dengan sentuhan-sentuhan mesra.

Untuk beberapa saat Bwe Hwa meramkan matanya. Mata yang penuh dengan linangan air mata itu perlahan-lahan membanjiri meleleh di kedua pipinya.

“Hwa-moay....... jangan kau menangis….. jangan kau membikin hatiku, sedih. Kau harus sembuh Hwa-moay, harus, biarlah aku akan membawamu kepada sin-she....... Sayang aku tidak mengerti pengobatan untuk mengobati lukamu....... kau....... kau kuatkanlah hatimu Bwe Hwa!” Suara Tiang Le tenggelam dalam isaknya.

Pada waktu pandangannya terbentur lengan kiri si gadis yang telah buntung, Tiang Le tak kuasa menahan keharuan hatinya. Ia memandang ke depan membuang muka untuk menjatuhkan beberapa butir air mata yang hendak meloncat riuh. Pemuda itu mengerutkan keningnya dan pandangannya semakin basah.

Di luar pondok hujan masih turun merinai. Kenangan pada Sian Hwa di padang rumput dalam hujan yang menggila seperti ini membayang di ruang matanya. Teringat akan Sian Hwa yang telah meninggal dunia karena tusukan pedang Kong In dan Bwe Hwa, hati Tiang Le serasa diiris-iris.

Sungguh malang sekali nasib sumoaynya Sian Hwa. Ia mengorbankan nyawanya untuk melerai pertempuran yang terjadi antara Kong In dan Bwe Hwa. Dan sekarang Bwe Hwa menderita seperti ini, tak kuasa ia memandang kepada Bwe Hwa.

Hatinya teramat kasihan. Gadis itu telah membuntungi lengannya. Sesungguhnya ia tidak menaruh marah atau dendam akan tetapi mengapa gadis itu membuntungi lengan kirinya sendiri. Bwe Hwa, mengapa kau lakukan mengapa? Ahh, Bwe Hwa hati Tiang Le menjerit tak keruan rasa.

“Tiang Le kokooo....” suara yang lemah terdengar memanggil namanya.

Tiang Le menggerakkan kepalanya. Memandang Bwe Hwa. Dilihatnya wajah gadis itu semakin memucat. Bibirnya digigit menahan rasa nyeri yang amat lebat di dalam dadanya. Sementara air mata si gadis berderai-derai memandang Tiang Le dengan tatapan yang penuh cinta kasih.

“Kokooo.......” bibir si gadis bergerak lagi memanggil.

Tiang Le mengangkat tangan kirinya mengusap pipi Bwe Hwa dengan usapan halus, semakin berderai air mata si gadis merasakan sentuhan tangan pemuda itu pada pipinya. Ia menggigit bibir lagi menahan rasa nyeri dan pilu memandang ke arah lengan kanan yang buntung itu. Tiba-tiba Bwe Hwa bangun dan menciumi lengan buntung Tiang Le sambil menangis mengguguk:

“Tiang Le kokoo....... aku....... aku… berdosa kepadamu....... aku membuntungi lenganmu… aduuuh kokoo…… kau……. kau kasihan sekali, lenganmu…... kokoo....... biarlah aku membuntungi lenganku yang satu ini....... kokoo kau… ampunilah aku....... jangan kau marah padaku…” suara Bwe Hwa terputus putus.

Tiba-tiba gadis itu menjerit lirih dan mendekapkan tangan kanannya pada dada yang terasa sakit bukan main. Darah segar menyembur dari mulutnya, bibir gadis itu digigit keras-keras sampai mengeluarkan darah, sementara wajahnya semakin pucat seperti mayat.

Tiang Le cepat menyusut darah merah yang membasahi dada Bwe Hwa. Dan menotok dada itu menghentikan keluarnya darah. Pandangan Bwe Hwa semakin sayu dan redup, bibirnya bergetar mengucapkan kata-kata yang tak terucapkan oleh lidah yang tiba-tiba menjadi kelu dan sukar untuk bernapas. Mulut gadis itu terbuka.

Tiang Le terkejut sekali melihat keadaan gadis ini. Cepat ia menyalurkan hawa lweekang di pundak Bwe Hwa dan berkata pelan: “Cepat kau salurkan hawa murni di perutmu dan salurkan ke dada. Hati-hati jangan sampai menyerang pernapasanmu……”

Bwe Hwa tidak menyahut. Ia merasakan hawa hangat menyentuh pundaknya. Tiba-tiba segumpalan darah hitam keluar dari mulutnya.

“Kokoooo….!” Bwe Hwa menjerit. Ia merasa sakit yang membuat semua uratnya perih dan kepalanya pening, lalu jatuh terkulai di pangkuan Tiang Le.

“Bwe Hwa…..!!”

Tiang Le memeluk gadis itu. Tak memperdulikan lagi darah hitam yang telah menodai bajunya, tubuh Bwe Hwa didekapnya, sementara Tiang Le menjerit keras,

“Bwe Hwa…... Hwa-moay jangan kau mati… jangan kau mati Bwe Hwa....... duh….! Bagaimana ini, ya Tuhan, tolonglah Bwe Hwa….... bagaimana ini…... Bwe Hwa?”

Tiang Le menjadi panik. Ia memang tak mengenal ilmu pengobatan, dan tidak tahu bagaimana caranya mengobati luka dalam dan begitu dilihatnya keadaan gadis, sumoaynya ini sangat mencemaskan hatinya dan membuat pikirannya menjadi kalut dan tidak tahu apa yang mesti ia perbuat. Ia tak tahan melihat kepergian Bwe Hwa ke alam lain dalam keadaan mengenaskan hati seperti ini.

Saking tegangnya urat syaraf Tiang Le dan tak tahu apa yang mesti ia perbuat tiba-tiba ia merasakan seluruh alam ini menjadi gelap dan tertutup kelam kabut. Di alam sadarnya ia melihat Bwe Hwa melayang tinggi. Amat tinggi sekali gadis itu terbang dan Tiang Le tak kuasa menjangkau tangan gadis itu yang menggapai-gapai kepadanya. Memanggil namanya, menjerit meminta tolong padanya.

Akan tetapi iapun hanya membalas dengan teriakan kuat dan menjerit memanggil-manggil nama si gadis, “Bwe Hwa… Bwe Hwa jangan kau pergi….. jangan kau tinggalkan aku....... aku akan menyusulmu, aku akan menyusulmu….. tunggulah Bwe Hwa!”

Tiang Le merasakan sebuah geledek menyambar di atas kepalanya. Seluruh alam menjadi putih, matanya menjadi silau oleh keputihan yang seperti salju, ia merasa sebuah tangan menghempasnya kuat-kuat dan jatuh ke bumi membuat kepalanya demikian sakit dan nyeri. Jeritan panjang menyebut nama Bwe Hwa menghantar ia ke alam sadar di dalam pondok.

Pertama-tama dilihatnya, hujan masih meriak di luar pondok. Kabut di luar melayang-layang disiram gerimis dan kekelaman menjelang sore hari. Sebuah kilat menyambar, berkeredep menerangi ruangan di dalam pondok kecil.

Sesosok tubuh bersila di depan seorang gadis yang telah duduk meramkan matanya. Perlahan-lahan muka gadis itu menjadi merah. Sebuah tangan manusia terlekat di pundak si gadis.

Orang tua itu terdengar menghela napas panjang: “Bukalah matamu…… Bwe Hwa, lihatlah alam sekeliling ini demikian indahnya, kuatkanlah hatimu. Berbahagialah orang yang tabah hati menghadapi segala kesakitan. Hanya sabar dan ketabahan hati dan pasrah kepada Ilahi, ia itulah obat yang maha mujarab untuk menghilangkan segala sakit dan penyakit.

“Tubuh ini adalah ciptaan Yang Maha Kuasa, ia pula yang menentukan mati dan hidupnya seseorang. Bangunlah Bwe Hwa, belum waktunya Thian memanggilmu....... Kuatkanlah bathinmu, lupakanlah tubuh jasmanimu jangan hiraukan sakit di tubuhmu. Berkatalah pada dirimu: “AKU PASTI SEMBUH, KARENA AKU AKAN HIDUP!”

Bwe Hwa membuka matanya. Menjatuhkan diri kepada orang tua di hadapannya dan berlutut sambil menangis: “Locianpwe, terima kasih untuk nasihatmu. Dada saya tidak terasa sakit lagi, tubuh saya serasa enteng dan ringan. Kakek, aku berhutang budi kepadamu....... memang aku harus sembuh, aku harus hidup!”

Bwe Hwa menangis mengguguk dihadapan si kakek.

Kakek itu sudah nampak tua sekali. Ia bersila dihadapan si gadis. Kedua kakinya sudah buntung, wajahnya dengan keriput dan semua rambutnya putih, berjenggot putih pula, berpakaian dengan kain putih sederhana terbuat dari kain yang kasar akan tetapi nampak bersih, akan tetapi mempunyai pandangan yang sejuk dan membawa ketenangan dan kedamaian bagi siapa saja yang menatap mata tua itu!

Tiang Le bagaikan orang baru sadar dari mimpi yang amat buruk memandang kepada kakek buntung yang membelakanginya, akan tetapi alangkah heran dan girang hatinya melihat Bwe Hwa sudah dapat duduk di depan kakek itu.

Cepat Tiang Le berlutut dihadapan kakek itu, di samping Bwe Hwa.

“Locianpwe... hamba yang rendah, hamba yang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sumoay hamba yang terluka berat ini, sekarang menghaturkan banyak terima kasih kepada kau orang tua yang telah menolong Bwe Hwa sumoay……..”

“Namamu Sung Tiang Le, bukan? Sudah kusaksikan sepak terjangmu kemarin siang itu waktu menghadapi orang-orang Bu-tek Sianli, kepandaianmu hebat bukan main, mengingat aku kepada sucouw Sui-kek Siansu. Eh, Tiang Le, dari mana kau dapat mainkan ilmu silat Tok-pik-kiam-hoat, Sian-tian-jiu dan langkah-langkah ajaib itu?” si kakek kaki buntung bertanya dengan pandangan yang penuh diliputi oleh kesabaran dan ketenangan bathin.

“Locianpwee saja yang bodoh........ pernah mempelajari dari sebuah kitab kuno yang dapat saja ketemui dari nona Cia Pei Pei........ kalau boleh saja tahu, siapakah locianpwee ini?”

Si kakek kaki buntung menarik napas panjang. Ia meraba jenggotnya yang putih panjang sebatas dada, suaranya pelan dan lembut menyejukkan.

“Siapa aku, sebetulnya hanya sebuah nama yang kosong saja, orang muda! Nama manusia akan segera lenyap dan dilupakan orang, apabila tubuh ini akan masuk ke dalam kubur. Untuk apa aku perkenalkan kepadamu? Akan tetapi karena kau telah mewarisi kitab peninggalan sucouw Sui-kek Siansu, maka baiklah kuperkenalkan diriku yang tak berarti ini.

“Dulu namaku Lim Heng San, kemudian orang-orang menyuluki Sin-kun-bu-tek, akan tetapi aku sudah tidak memakai nama itu lagi. Pernah pada puluhan tahun yang lalu, aku diberi sedikit pelajaran ilmu silat tangan kosong dari kakek tua renta Sui-kek Siansu, manusia setengah dewa, yang kabarnya telah meninggal, akan tetapi sering kali ia muncul bagaikan malaikat turun ke bumi.

“Dua kali saja aku pernah bertemu dengan Sui-kek Siansu itu pada puluhan tahun yang lalu, pernah aku mendengar akan kitab silat tangan buntung yang ditulisnya. Orang muda beruntung sekali kau berjodoh mendapatkan kitab itu!”

“Locianpwe, aku yang bodoh mohon petunjukmu!”

Si kakek kaki huntung meramkan matanya. Menghela napas panjang dan melirik ke arah Bwe Hwa yang ketika itu tengah menundukkan kepalanya. Bibir kakek itu bergerak perlahan seperti orang membaca doa, tidak terdengar kata-kata yang terucapkan oleh si kakek, akan tetapi anehnya, bibir yang bergerak itu merupakan bisikan perlahan kepada Tiang Le dan tidak terdengar oleh Bwe Hwa:

“Tiang Le, ketahuilah olehmu bahwa sumoaymu ini mengalami luka dalam yang sangat parah. Menyesal sekali aku hanya dapat menolongnya pada batas yang tertentu. Gadis itu telah mengalami tekanan batin dan guncangan jantung yang cukup hebat.

“Ia menderita sakit jantung dan kanker dada yang pada saat itu belum ada obatnya. Apabila jantungnya bergoyang, apabila ia mengalami shock dalam hidupnya ia pasti akan muntah darah lagi. Kau kasihanilah dia, kau hiburlah, dan senangkanlah hatinya, karena ia hanya bertahan hidup hanya dalam beberapa bulan lagi saja. Tiang Le, jangan bikin ia bersedih hati........

“Hemm, kalau tidak salah bagi penglihatan mataku yang sudah tua ini, ia sangat mencintaimu....... Mudah-mudahan, ia tidak akan mengalami kekecewaan dalam hatinya. Nah, itulah pesanku! Jangan kau katakan apa-apa kepadanya tentang ini.

“Tiang Le, surat dari seorang gadis kerudung hitam sumoaymu yang telah meninggal itu sudah berada di tanganku, biar nanti kuteruskan kepada Kaisar. Nah! Hanya itu pesanku dan…….”

Kakek itu tidak meneruskan kata-katanya, ia memandang Tiang Le melihat lengan kanan yang telah buntung sebatas pundak, senyum kakek itu menghias pada bibirnya yang tua.

“Beruntung sekali kau mempunyai lengan buntung, karena itu adalah syarat utama bagi pelajaran ilmu silat tangan buntung yang telah kau kuasai dengan baik……!” akan tetapi si kakek menggerakkan tangannya.

“Ke marilah Tiang Le, biar aku akan memberikan sedikit tenaga tuaku ini bagi kau orang muda yang sangat memerlukan lweekang tinggi. Dekatlah ke sini Tiang Le!”

Tiang Le segera menggeser ke depan. Terasa kedua tangan si kakek menyentuh pundaknya di kanan dan di kiri.

Dan terdengar suara si kakek berkata pelan:

“Tiang Le aku akan memindahkan sebagian tenaga lweekangku ini untukmu. Pusatkan hawa tan-tian di dalam tubuhmu dan salurkan hawa Yang-kang dan Im-kang yang akan kukirim berganti-ganti dari kedua tanganku ini. Nah, terimalah!”

Tiang Le menuruti pesan si kakek. Ia mengerahkan hawa murni di pusar dan menahan napas, menerima tenaga panas yang membanjir ke tubuhnya melalui pundak sebelah kiri, bagaikan aliran listrik tubuh Tiang Le bergetar.

Hawa panas mendesak dengan amat kuatnya, hampir saja Tiang Le mencelat ketika merasakan seluruh tubuhnya menjadi panas seperti dibakar. Akan tetapi karena ia menaruh kepercayaan penuh kepada si kakek kaki buntung yang pada puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Sin-kun-bu-tek Lim Heng San, ia memasrahkan dan membiarkan tubuhnya menjadi merah seperti udang direbus. Wajahnya merah membara. Keringat sudah membasahi tubuhnya.

Dan begitu tangan kiri kanan si kakek terangkat, tahu-tahu bagaikan segumpalan es yang menyentuh pundak kanannya tiba-tiba tubuh Tiang Le menggigil kedinginan. Hawa panas yang tadi terasa memanggang dirinya, kini berganti dengan hawa dingin yang luar biasa.

Cepat Tiang Le mengatur pernapasannya dan mengerahkan tenaga sin-kang membantu jalannya hawa im-kang yang membanjir tubuhnya. Saking dinginnya sampai Tiang Le mengkerotkan giginya yang berbunyi gemeretuk dan wajahnya menjadi biru dan seluruh rambut di kepalanya menjadi berdiri kaku laksana kawat berduri!

Bwe Hwa yang melihat pemindahan tenaga sin-kang yang luar biasa ini menjadi heran dan terkejut. Akan tetapi diam-diam ia menjadi girang bukan main melihat wajah Tiang Le bertambah segar dan merah kembali. Ia menatap wajah pemuda itu dengan pandangan sayu dan penuh cinta kasih.

Tidak lama kemudian, ada sekitar dua jam, kakek kaki buntung itu menarik ke dua tangannya dari pundak Tiang Le dan berkata,

“Tenaga sin-kang di tubuhmu bertambah berlipat ganda. Oleh karena itu, kuharapkan gerak tangan kilat yang pernah kau pelajari boleh menjadi bagian ilmu silat yang maha sakti, akan tetapi ingatlah Tiang Le, janganlah sembarangan engkau menjatuhi tangan maut kepada lawanmu. Perhatikanlah ini jikalau engkau menuruti nafsu hati, percayalah engkau akan menemui segala penderitaan dalam hidupmu.”

Dalam keadaan tubuh yang masih terasa lemah sekali, akan tetapi terasa ringan dan enteng, Tiang Le berlutut,

“Terima kasih atas budi baik dan petunjuk Locianpwe!”

“Nah, Tiang Le, oleh karena tiada ada apa-apa lagi yang dapat kuberikan kepadamu, maka aku bermohon diri dan ingatlah pesanku tadi…… untuk sumoaymu, selamat tinggal!”

Sekali tubuh si kakek buntung itu berkelebat. Tahu-tahu telah lenyap dari hadapan Tiang Le dan Bwe Hwa. Diam-diam mereka menjadi terkejut bukan main akan kehebatan kakek kaki buntung yang pada puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat tangan kosongnya yang bernama kepalan dewa tanpa tandingan! Hebat!

“Sumoay syukur kau telah sembuh....... O ya, masih sakitkah dadamu?” tanya Tiang Le begitu menengok kepada Bwe Hwa yang memandangnya sambil tersenyum dan mengangguk.

“Kakek kaki buntung itu yang menolongku, koko, ia hebat entah dengan cara apa ia menyembuhkan lukaku di dada. Hanya begitu kusadar, aku mendengar bisikan-bisikan perlahan yang amat mengejutkan isi hati dan menghilangkan rasa nyeri yang tadinya menyerang dadaku. “O ya, koko, aku kuatir sekali....... kenapa kau tertidur begitu lama? Sampai seharian itu kau tidur menggeletak di situ, tadinya ingin kubanguni engkau akan tetapi, kakek kaki buntung itu mencegahnya.”

O ya, teringatlah kini Tiang Le. Ia memang tidak sadar diri lama, akan tetapi mengapa mimpinya itu amat menakutkan? Ia bermimpi melihat Bwe Hwa naik ke langit sambil menggapai-gapaikan tangannya. Ia menjerit memanggil Bwe Hwa. Rasanya dalam mimpi yang amat buruk itu, ia takut sekali kehilangan Bwe Hwa. Entah mengapa?

“Koko.......?”

Tiang Le menoleh, namanya disebut begitu mesra oleh Bwe Hwa dan gadis itu tersenyum sambil berkata manja: “Koko....... aku pasti sembuh, jika badan ini mengatasi nyawa....... aku akan sembuh dan ingin hidup…... koko Tiang Le jangan kau tinggalkan aku lagi ya?”

Air mata si gadis berlinang-linang menatap pemuda di depannya. Tiba-tiba ia menjatuhkan kepalanya dan menangis di dada Tiang Le.

“Koko....... aku….. aku tak ingin mati koko....... aku tak ingin berpisah denganmu.......” suara Bwe Hwa terdengar terisak.

Tiang Le mengusap rambut di kepala si gadis. Membelainya dengan mesra dan penuh perasaan. Pandangannya menatap keluar pondok, di luar memang sudah gelap. Embun menurun dari puncak.

Sementara suara air hujan masih mengericak turun dari atas atap pondok, angin dingin sangat dingin berhembus menerpa ke dua orang muda di dalam pondok itu. Api unggun yang rupanya telah dinyalahi oleh si kakek kaki buntung masih bernyala bergoyang-goyang lidah api itu ditampar angin yang berhembus dari luar.

Pada saat si gadis menangis di dadanya, Tiang Le teringat kepada perkataan si kakek yang tadi didengarnya. “Kau kasihanilah dia, hiburlah dia dan senangkanlah hatinya....... karena ia hanya bertahan hidup, hanya untuk beberapa bulan saja, Tiang Le. Jangan bikin ia bersedih hati……!”

Bagaikan diiris-iris hati Tiang Le, ia mendekapkan tangan kirinya menyentuh pundak si gadis. Bertambah keras tangis Bwe Hwa merasakan kasih sayang usapan tangan kiri pemuda itu. Ia menangis mengguncang-guncangkan bahunya.

“Tiang Le……. koko....... alangkah bahagia hatiku....... akhirnya....... aku….. aku mendapatkan hatimu…… kau mencintaiku juga…… aku….. ahh…… koko……!”

“Hwa moay…… jangan menangis….. jangan bersedih hati. Aku kini berada di sampingmu….. mengapa kau bersedih? Hwa-moay, kau tidak boleh menangis, tidak boleh bersedih…... mengertikah kau?”

Bwe Hwa mengangkat wajahnya. Sebuah pandangan yang redup membuat dada Tiang Le berdebar-debar. Tak tahan. Setitik air mata Tiang Le meloncat jatuh menimpah wajah si gadis.

“Koko……. kau menangis?”

“Hwa-moay……. aku menangis karena bahagia…… kau….. aku……”

“Koko mengapa kau bahagia ini, karena akukah?”

Tiang Le mengangkat dagu si gadis. Mengecup bibirnya lembut.

“Hwa-moay aku…… aku bahagia karenamu! Aku….. entah mengapa aku sangat menyayangimu Bwe Hwa, nah, sekarang kau tidak boleh bersedih. Ingat, kalau kau menangis, aku pasti akan menangis!”

Bwe Hwa mengusap matanya dengan tangan kanannya.

Sebuah senyuman menghias di atas sepasang mata yang berlinang air mata yang hendak meruntuh, akan tetapi apabila anak sungai kecil itu melintas di pipi si gadis, tangan kiri Tiang Le menyentuh lembut dan berkata: “Kau tidak boleh bersedih, Bwe Hwa……!”

Aneh sekali, suara Tiang Le begitu tergetar. Apabila ia teringat akan perkataan si kakek kaki buntung. Hatinya merenyuh pilu dan ingin ia menghibur gadis ini, memeluknya, mengatakan cinta kepadanya. Oo, Tiang Le…… hatimu begitu lemah, begitu tak tega melihat ambang kematian yang hendak menjemput Bwe Hwa!

Tiang Le mengangkat lagi dagu si gadis. Menundukkan wajahnya dan mengecup dalam bibir si gadis yang menyedotnya dengan panjang dan penuh gairah cinta.

Sebuah petir menyambar berkeredep merupakan lidah api yang menerangi atap pondok itu. Api unggun bergoyang-goyang disapu terpaan angin malam. Suara binatang gunung meningkahi datangnya malam hari yang gelap. Udara bertambah dingin, apabila embun bertambah tebal berkeliaran dan menyelimuti ruang di dalam pondok.

Udara bertambah dingin.

Akan tetapi sepasang manusia. Antara seorang pria dan wanita muda cantik. Bertambah ketat tenggelam dalam pelukan-pelukan yang menimbulkan gairah dan rangsangan keinginan untuk memiliki satu sama lain.

Mereka tenggelam dalam impian yang begitu amat indah dan mengesankan. Akhirnya, apabila sebuah guntur menggelegar bagaikan hendak membelah bumi dan kilat menerangi alam ini, dua sosok tubuh roboh dalam keadaan lemas dan tiada daya dan keinginan lagi.

Hujan gerimis turun di antara kekelaman malam.

Bwe Hwa dan Tiang Le terlena di dalam pondok dalam keadaan letih lunglai. Tangan kanan Bwe Hwa mengusap dada Tiang Le yang hanya tertutup oleh gelapnya malam.

Sebuah senyum si gadis menyungging kepuasan rasa hati yang tenggelam dalam alam bahagia yang begitu mengasyikkan dan penuh khayalan-khayalan tinggi jauh pada awang-awang di atas.

Sementara telinga Tiang Le menggema jeritan-jeritan si gadis yang tadi didengarnya amat menusuk-nusuk perasaan hatinya. Sebuah jeritan Bwe Hwa yang dipersembahkan kepadanya sebagai lambang cinta kasih yang hanya terjalin pada kesunyian-kesunyian lembah Tay-hang-san yang sunyi membisu!

Akan tetapi, apabila kesadaran itu datang pada pagi-pagi harinya, Tiang Le melonjak dari tidurnya ketika dirasakannya badannya begitu malas dan cepat ia menyambar pakaiannya yang berserakan di dalam pondok dan sekali menggerakkan tubuhnya, di luar pondok itu ia cepat-cepat berpakaian.

Wajahnya menjadi merah seperti dibakar. Telinganya menjadi panas. Matanya menjadi pedas melihat pemandangan-pemandangan barusan yang membuat ia bergidik melihat tubuh yang begitu polos dan menyeramkan tak berbalut sehelai benangpun!

Teringatlah ia akan pengalaman-pengalamannya semalam dengan Bwe Hwa, “Gila! Apa yang pernah kulakukan terhadap gadis itu. Ya, Tuhan! Sudah gilakah aku? Betul aku sudah gila! Tiang Le kau sudah gila.......!”

Da1am keadaan hati yang tidak keruan ini, pemuda itu membentur-benturkan kepalanya dengan batu gunung dan nampak darah merah melele dari kepala Tiang Le yang pecah oleh hantaman pada batu gunung yang keras itu. Hatinya menyesal bukan main.

Ia menjambak rambutnya. Membenturkan kepalanya.

Pada ketika itulah sebuah jeritan lirih mengiringi berkelebat tubuh Bwe Hwa yang terus memeluk Tiang Le. “Koko…… kau....... kau....... kenapa kau jadi begini…… koko.......?”

Dengan pandangan mata merah, pemuda buntung itu menoleh kepada Bwe Hwa dan melepaskan rengutan pada pelukan si gadis.

“Bwe Hwa....... apa….. apa yang telah kulakukan kepadamu, apa yang terjadi sesungguhnya....... Ya Tuhan, Bwe Hwa kau bunuhlah aku….. bunuhlah aku!”

Tangan kiri Tiang Le menampar kepalanya. Darah merah membanjir dari kepala itu. Bwe Hwa menubruk pemuda itu dan menangis.

“Koko....... kenapa kau jadi begini?”

“Bwe Hwa! Kau katakanlah…… aku…… aku........ ahh mengapa aku jadi begini, Bwe Hwa....... aku telah….. telah me….. me....... ahh sebaiknya aku mampus!”

“Koko…… mengapa kau. Kau menyesal atas perbuatan kita semalam? Ya, kau tentu menyesal koko....... ka....... rena….. koko….. katakanlah mengapa kau menyesal, mengapa?”

Tiang Le memandang Bwe Hwa.

Bwe Hwa mencucurkan air mata.

Bwe Hwa menangis dengan amat sedihnya. Bahunya bergoyang-goyang menahan isak tangis. Hidungnya berkembang kempis dan pipi itu telah menjadi basah, memandang Tiang Le.

Pada ketika itu, terngiang sebuah kata-kata dari kakek kaki buntung yang semalam didengarnya: “…….kau hiburlah dia, senangkan hatinya, jangan membikin ia bersedih hati, kasihanilah dia, karena ia hanya bertahan hidup hanya untuk beberapa bulan saja. Tiang Le ketahuilah olehmu bahwa sumoay ini mengalami luka dalam yang amat parah, ia menderita sakit jantung dan kanker dada yang sampai saat ini belum ada obatnya. Apabila jantung bergoyang dan mengalami shok dalam hidupnya, ia akan muntahkan darah lagi……”

“Bwe Hwa…….!”

“Kokooooo…..!”

Tiang Le menubruk gadis itu dan merangkulnya dan berkata dengan suara yang tertahan-tahan: “Hwa-moay….. aku…… telah berdosa kepadamu….. aku….. membuat engkau…….”

Jari telunjuk Bwe Hwa menekan mulut si pemuda.

“Tidak koko….. aku tidak menyesal. Malahan aku merasa bahagia sekali koko…… Tiang Le koko aku sudah menganggap kau sebagai suamiku…..”

“Bwe Hwa…..!”

“Menyesal kau?”

Tiang Le menggigit bibirnya. Bwe Hwa mengusap kepalanya yang berdarah bekas ia benturkan tadi itu. Kedua pasang mata saling menatap dan saling berpandangan.

Ketika hati Tiang Le merenyuh. Perih sekali dan terharu melihat keadaan Bwe Hwa. Apakah dia teringat akan nasib si gadis. Ia ingin sekali memeluknya, menghiburnya dan mengusap butir butir air mata itu. Akan tetapi apabila teringat akan perbuatan semalam, suatu perbuatan yang semestinya tak boleh ia lakukan.

Memalukan! Ingin sekali saat itu bumi yang dipijaknya amblas dan menguburnya hidup-hidup! Tak tahan ia mengingat itu!

Akan tetapi, ia tak tega membuat Bwe Hwa bersedih. Tak mau membuat gadis itu cepat-cepat menuju ke jalan kematian.

Bwe Hwa tak boleh mati!

◄Y►

Sementara itu peperangan terjadi di mana-mana. Pasukan pasukan Mongol berkeliaran di daratan Tionggoan (pedalaman Tiongkok). Dan mereka bergerak ke arah Kotaraja dengan teriakan-teriakan menggemuruh. Sambil berjalan itu mereka melakukan perampokan dan perkosaan-perkosaan dan membakari rumah-rumah penduduk, serta membunuhi banyak lelaki lelaki bangsa Han dan menculik perempuan-perempuan cantik.

Kerusakan-kerusakan terjadi dimana-mana. Jeritan-jeritan kematian dari aniaya pasukan Mongol penjajah menjulang setinggi langit. Suasana perang terjadi di mana-mana. Orang-orang gagah dan yang berjiwa patriot telah menggabungkan diri merupakan kelompok-kelompok kaum pejuang melawan tentara Mongol dengan penuh gigih dan bertekad mempertaruhkan nyawa.

Pintu gerbang kotaraja selalu tertutup dan dijaga oleh pasukan-pasukan tentara Song dengan ketat. Barisan panah dan api bersiap jaga di atas tembok kota apabila sewaktu-waktu pasukan penjajah menerobos masuk. Suasana di dalam kotaraja begitu tegang dan mendebarkan hati. Di mana-mana pasukan Song mengadakan penjagaan dengan ketat dan teratur secara bergilir.

Karena tentara Mongol sudah hampir mendekati tapal batas kotaraja, maka hubungan kotaraja untuk sementara waktu terputus dari dunia luar. Bangsa Han tidak diperbolehkan keluar dari kotaraja kecuali pasukan-pasukan Song yang hendak dikirim untuk menghancurkan tentara Mongol dan membantu perjuangan para orang gagah di luar kotaraja.

Jauh di luar kotaraja, di sekitar padang rumput yang amat subur terdapat sebuah telaga, di tempat inilah pasukan Mongol yang dipimpin oleh Khu Bilay Khan, menjadikan markas besar untuk sementara, sambil menunggu bala bantuan dari tokoh-tokoh dunia barat. Di sini terdapat telaga yang banyak airnya, dan di tempat ini terdapat tempat yang amat subur pula, sedangkan daerah itu sebagian besar terdiri dari padang pasir yang gundul.

Selain itu, dari telaga dapat pula melakukan perjalanan air sampai ke sungai Kuning dan ke sebelah tenggara kotaraja, sehingga tempat inilah yang tengah direncanakan oleh Khu Bilay Khan untuk menggempur kotaraja!!!

Akan tetapi, tentu saja Khu Bilay Khan takkan menjadi orang besar kalau tidak mempunyai siasat kepemimpinan yang amat cerdik. Di luar saja kelihatan markas itu merupakan markas besar, namun pada hakekatnya, markas besarnya di pecah-pecah dan berada di mana-mana.

Khu Bilay Khan yang licik ini dengan secara diam-diam bersekutu dengan seorang jenderal kepercayaan dari Kotaraja yang bernama Bong Bang Sianjin dan atas siasatnya, Khu Bilay Khan menantang tentara Song untuk mengadakan pertempuran di pegunungan Tai-hang-san. Tentu saja kaisar menerima tantangan ini, dan dengan segera ia mengerahkan perajurit-perajurit pilihan Kotaraja dalam pimpinan Bong Bong Sianjin atau dikenal di Kotaraja dengan sebutan Bong-goanswe (jenderal Bong).

Justru pengerahan secara besar-besaran menggempur tentara Mongol di pegunungan Tai-hang-san inilah yang membuat pertahanan di Kotaraja menjadi lumpuh dan lemah, karena begitu pasukan pilihan meninggalkan Kotaraja atas pimpinan jenderal Bong, masuklah tentara Mongol dengan teriakan-teriakan bergemuru menyerbu Kotaraja!

Kaisar menjadi terkejut sekali! Ia menjadi tertipu oleh jenderal Bong yang telah membujuknya untuk membawa pasukan pilihan ke Tai-hang-san! Sedangkan Kotaraja menjadi lemah dan lumpuh!

Banjir darah terjadi di Kotaraja. Tentara Mongol dengan ganasnya memasuki Kotaraja. Perang tanding yang tidak sesuai pada saat ini berjalan dengan amat cepatnya. Darah merah dari pasukan Song yang tidak mempunyai kekuatan lagi membasahi jalan Kotaraja.

Pasukan-pasukan tentara Mongol yang dipimpin oleh Khu Bilay Khan mengadakan penyembelihan secara besar-besaran terhadap laki-laki bangsa Han. Wanita menjerit, menangisi suaminya yang telah mati dipenggal oleh golok bangsa Mongol yang tak memberi ampun kepada bangsa Han ini.

Kaisar Song Cu Ling kedapatan telah membunuh diri akibat kebodohannya sendiri yang mudah saja tertipu oleh Jenderal Bong yang berkhianat kepada bangsanya. Dengan darahnya sendiri kaisar itu menulis di atas tembok singgasana kerajaan yang berbunyi demikian:

“Mati karena kebodohan!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar