Pendekar Lengan Buntung Jilid 08

Jilid 08

Bagaikan disentak oleh ular berbisa, Tiang Le melepaskan sepasang tangan itu pada dadanya. Ia mengangkat muka memandang dan pandangannya bertemu dengan sebuah telaga yang jernih airnya meluap membanjir.

Melihat pandangan Pei Pei begitu sayu dan basah, tak tega hati Tiang Le buat menyakitinya. Menyesal ia merenggut sepasang tangan itu. Tangan yang kini berjuntai bagaikan tak bertenaga.

“Pei-moay, jangan kau mencintaiku…… aku....... aku…..”

“Koko!” Pei Pei menjerit lirih menerima tubuh Tiang Le yang rubuh pingsan. Ternyata saking hebatnya tekanan bathin yang menyerangnya dan tanpa ia dapat tolak membuat Tiang Le menjadi demikian lemah. Dan pandangannya berkunang-kunang. Tak tahu lagi ia, begitu ia tak tahu diri, Pei Pei memburu dan memeluknya sambil menangis, memapahnya ke tempat pembaringan.

Lima menit kemudian Tiang Le sadar lagi. Begitu ia membuka mata dilihatnya Pei Pei masih menangis duduk di sampingnya di pembaringan sambil tangannya mengusapi kain dingin pada keningnya.

“Pei Pei.....” Tiang Le memanggil lemah.

Pei Pei menarik tangannya. Menyusut air mata yang meleleh di pipi. Memandang pemuda itu.

“Pei Pei..... kau...... maafkanlah aku!”

Pei Pei menggeleng-gelengkan kepala, air matanya semakin membanjir membasahi dada Tiang Le.

“Jangan menangis Pei-moay...... aku tidak sengaja menyakitimu…...” tangan Tiang Le terangkat mengusap lembut pipi yang basah itu!

Pei Pei menggigit bibirnya, menahan air mata yang membucah-bucah.

Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya mengguguk perlahan.

Tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketok orang. Pei Pei menengok dari jendela kamar. Tiba-tiba ia menoleh kepada Tiang Le, wajahnya menjadi pucat seperti kertas.

“Ada apa?” Tiang Le bertanya heran.

“Celaka, jangan-jangan…… yang datang itu adalah orang-orang Hek-lian-pay….” suara Pei Pei terdengar kuatir.

“Biar aku yang sambut,” Tiang Le bangun.

Akan tetapi, Pei Pei sudah menubruknya sambil menangis: “Jangan koko, jangan kau menampakkan diri… bahaya….. bagi keselamatanmu, diamlah kau di sini koko….. biar aku yang menghadapi mereka itu…..”

“Hemm......,” Tiang Le menarik napas berat. Tubuhnya terasa masih lemah dan sakit-sakit. Ia membiarkan Pei Pei keluar, akan tetapi diam-diam ia mengikuti gadis itu.

Memang yang datang itu adalah orang orang Hek-lian-pay.

Begitu pintu dibuka, mereka menjadi melongo melihat seorang gadis cantik berkata dengan halus: “Kalian ini hendak mencari siapakah?”

Orang yang bercambang bauk dan kasar tertawa cengir kuda sambil suaranya dibuat-buat: “Eh….. anu…… kami dari Hek-lian-pay, barang kali ada….. seorang pemuda yang buntung lengannya bersembunyi di sini…... ini, hanya barangkali nona, harap jangan marah!”

Pei Pei tersenyum manis: “Pemuda buntung?”

“Ya, pemuda buntung....... semalam telah bertempur di atas tebing itu dengan orang-orang kami, akan tetapi kabarnya hilang ditelan longsor. Pay-cu kami memeriksa dusun ini!”

“Oooo, jadi kalian maksudkan pemuda buntung itu bersembunyi di sini, mana mungkin! Aku tidak pernah melihatnya!”

“Hayya, twako.......mengapa meladeni gadis ini? Periksa saja ke dalam, barang kali dia bersembunyi di dalam siapa tahu?” Orang yang satu lagi berkata ketus sambil mendorong gadis yang di depan pintu itu.

Pei Pei pucat sekali wajahnya, sepucat mayat, akan tetapi nampak demikian manis bagi pandangan orang-orang kasar ini.

“Maaf nona, kami harus memeriksa ke dalam!” berkata si cambang bauk yang memegang golok besar di tangan.

Pei Pei ingin mencegahnya, akan tetapi tak kuasa membuka mulut. Hanya wajahnya saja semakin pucat dan kuatir.

Ke tiga orang Hek-lian-pay itu memasuki ruangan dalam, pandangan matanya menyapu segala apa yang ada di situ. Sampai di depan kamar yang tertutup itu, seorang di antaranya, yang berkumis tikus bertanya pada Pei Pei: “Kamar ini……?”

“Ini kamar saya.......” sahut Pei Pei menekan suaranya yang bergetar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Melihat orang kasar itu mendorong daun pintu dan suara berderit keras memecah keheningan.

Kalau saja, ke tiga orang Hek-lian-pay itu menoleh kepada gadis di belakangnya, tentu mereka akan melihat betapa wajah Pei Pei semakin pucat dan mengigil. Akan tetapi sebentar cuma orang-orang itu melongok ke dalam. Tidak didapat yang dicari, si cambang bauk berkata hormat kepada Pei Pei, “Nona maafkan kami!”

Pei Pei tidak berkata apa-apa. Hatinya lega melihat Tiang Le tidak ada di kamarnya. Ia mengantarkan orang Hek-lian-pay sampai di depan pintu dan mengawasi orang-orang itu berjalan dengan amat cepatnya.

Terdengar orang yang berkumis tikus berkata sambil tertawa: “Ha ha ha....... twako, hari ini mujur ketemu gadis cantik, bagaimana kalau besok kita datang lagi?!”

“Huss….. jangan main-main…… kau…… inikan tugas, bukan waktunya untuk mencari pacar!”

“Ha ha ha, twako alim-alim sembuk! Cewek begitu cantik masa dilepas begitu saja….. Biar kalau twako nggak mau, nanti aku yang gantiin….. Bagaimana Ouwyang-te (adik Ouwyang)?”

“Akur beeng, ada kesempatan mengapa tidak digunakan. Nanti kalau udah direbut orang baru nyaho, betul tidak twako?” jawab orang yang bernama Ouw-yang sambil menepuk-nepuk pundak twakonya yang bercambang bauk.

Ketiganya sudah menjauh. Tak terdengar lagi oleh Pei Pei. Diam-diam ia kuatir sekali, takut orang-orang itu akan datang lagi. Dengan perasaan cemas Pei Pei menutup daun pintu dan berjalan menuju kamarnya. Dilihatnya Tiang Le tidak ada.

“Koko.......!” panggil Pei Pei

“Tiang Le koko…….” panggilnya lagi.

“Kokooo.......!” Kuatir kalau-kalau Tiang Le sudah pergi dan meninggalkan dia. Ia berlari keluar, masuk lagi ke kamar. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok tubuh yang mencelat turun dari atas langit-langit kamar. Tiang Le tertawa.

“Sudah pergi setan-setan itu?” tanyanya.

Tiang Le melihat Pei Pei tersenyum manis dan tiba-tiba gadis itu berlari merangkulnya: “Ah.... kokoo kau membuat hatiku kuatir saja… kukira kau sudah pergi!”

“Pei-moay…..”

“Kokooo...”

Kini kedua-duanya saling berangkulan, Tiang Le mengangkat sedikit dagu si gadis ke atas. Sepasang mata memandangnya sayu dan berkaca-kaca, merupakan cermin hati yang mengungkapkan perasaan cinta kasih.

Pemuda ini merasai hal yang aneh di dalam hatinya, perasaan aneh yang pernah ia rasakan ketika pada hujan-hujan lebat di dalam pondok bersama Sian Hwa waktu berpelukan, waktu untuk pertama kali ia mengecup Sian Hwa dan Sian Hwa membalasnya dengan perasaan cinta kasih.

Perasaan aneh ini kembali mengejar-ngejar waktu memandang mata Pei Pei yang basah. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Semangatnya sebagian melayang naik ke sorga, rasa nyeri di pundaknya tak terasa lagi.

Hemm, memang demikianlah adanya. cinta dapat menghilangkan rasa sakit, dapat melenyapkan kesedihan hati! Karena cinta itu merupakan kekuatan yang mujijat dalam diri manusia!

Dengan cinta orang yang berputus asa mempunyai harapan dan gairah hidup kembali, dengan cinta orang yang kuat menjadi lemah dan yang lemah menjadi kuat. Aneh!

Demikianlah sejak kejadian-kejadian itu, Tiang Le tinggal bersama-sama Pei Pei, dan lukanya di pundak semakin hari semakin sembuh. Pei Pei merawatnya ini dengan telaten dan penuh cinta kasih. Ah betapa bahagianya Tiang Le, untuk sejenak lupalah ia akan segala tugas-tugasnya.

Di samping Pei Pei dunia ini seakan-akan menjadi begitu indah. Senyum Pei Pei membawa kekuatan yang baru di hati yang hilang semangat itu.

Di tempat sunyi ini Tiang Le menemui kebahagiaan yang baru kali ini ia rasakan. Hari demi hari dilaluinya dengan sendah gurau dan bisikan-bisikan cinta kasih kepada Pei Pei. Hati Tiang Le demikian terisi, lama kelamaan hati itu penuh dengan cinta kasih kepada Pei Pei. Dan Pei Pei tidak bertepuk sebelah tangan. O, hari-hari yang dilaluinya begitu indah dan romantis!

Pada suatu hari ketika Tiang Le sedang memancing ikan di kolam tidak jauh dari rumah Pei Pei, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara tertawa parau yang datang dari rumah Pei Pei. Tiang Le menjadi tertarik dan menoleh ke belakang.

Alangkah herannya ia ketika melihat tiga orang kasar menarik-narik tangan Pei Pei dan memeluknya. Untuk yang kedua kali telinganya mendengar Pei Pei berteriak: “Tiang Le kokooo...!”

Mendengar suara ini bagaikan terbang tubuh Tiang Le mencelat dan sekali dua kakinya bergerak, tahu-tahu ke tiga orang kasar yang memegang tangan si gadis terpental dan untuk beberapa lama tidak dapat bangun saking hebatnya tendangan Tiang Le yang meloncat ke dekat Pei Pei.

“Hem, bajingan-bajingan ini hendak mengganggumu, biar kumampusin sekalian,” tangan kiri Tiang Le siap memukul ke depan. Ingin sekali saat itu ia membunuh ke tiga orang kasar yang telah mengganggu Pei Pei, entah mengapa hatinya menyadi panas dan marah.

Kalau pundaknya tidak disentuh oleh Pei Pei tentu ke tiga orang ini telah mampus oleh Tiang Le. Untungnya Pei Pei mencegahnya: “Jangan koko....... mereka itu adalah anak buah Hek-lian-pay!”

“Hemm anak buah Hek-lian-pay kek, setan neraka kek, pokoknya siapa saja yang menganggumu, tanganku ini yang akan merenggut nyawanya,” berkata Tiang Le menghampiri ke tiga orang itu.

“Anjing Hek-lian-pay, tidak lekas minggat mau tunggu kumampusin?” Kaki Tiang Le mencongkel dan tiga orang kasar itu telah berdiri dan memandangnya dengan mata mendelik.

“Siapa kau?!!”

“Twako….. ini dia pemuda buntung yang tempo hari dicari-cari oleh Pay-cu, hayo kita lapor!” Orang yang berkumis tikus berkata keder. Tak berani ia melawan pemuda buntung yang tadi sudah dirasai kelihaiannya. Orang yang dipanggil twako itu pun tidak berani lagi main-main, pandangannya berapi-api menatap Tiang Le.

Ke tiga orang inilah yang beberapa waktu yang lalu memeriksa rumah Pei Pei dan tidak disangkanya pemuda buntung yang dicari-carinya itu berada di sini. Dengan geram orang kasar yang bercambang bauk itu berkata, “Tunggu pembalasan kami buntung!”

Setelah berkata demikian ke tiga orang anggota Hek-lian-pay itu berlari terpincang-pincang, seperti anjing kena gebuk kakinya. Tiang Le hanya tersenyum mengejek,

“Celaka koko…… mereka mengetahui kau disini, jangan-jangan nanti ia akan memanggil teman-temannya!” kata Pei Pei dengan cemas dan memegang tangan kiri pemuda itu.

Tiang Le menoleh dan melihat senyum Pei Pei.

“Jangan kuatir Pei-moay, ada aku di sini……”

“Bagiku sih nggak takut koko, akan tetapi dirimu sendiri....... mudah-mudahan kau dapat mengatasi mereka, mereka itu terkenal kejam dan banyak teman-temannya.”

“Mari masuk Pei Pei!” Tiang Le menggandeng tangan Pei Pei masuk ke dalam rumah.

“Kau tidak apa-apa bukan?”

“Maksudmu?”

“Tadi kulihat kau diganggu oleh bajingan-bajingan tengik itu!”

“Ya, untung ada kau koko….., mereka itu laki-laki ceriwis mau menggangguku……. memaksa.”

“Makanya aku tadi kepingin tidak memberi ampun kepada mereka, kalau mereka itu sudah berani kepadamu tentu kepada perempuan-perempuan lain juga mereka merajalela,” Tiang Le berkata sengit!

Pei Pei menyentuh lengan pemuda itu dan menariknya masuk.

“Sudahlah koko....... kau lupakanlah itu, mari kita makan, hidangan sudah kusediakan,” Pei Pei tersenyum manis.

Tiang Le mengusap bibir itu dengan telunjuknya, mata si gadis bersinar-sinar cerah. Sungguh merupakan sepasang merpati yang ideal dan serasi. Yang lelaki meski kehilangan lengan kanannya akan tetapi nampak gagah dan tampan, dan yang perempuan, hemm, cantik jelita!

Pei Pei mengajak Tiang Le kemeja makan.

Makanan memang sudah disediakan sejak tadi.

Pei Pei menyendok nasi ke mangkok dan disodorkan kepada Tiang Le dan Tiang Le menerimanya. Kalau kita melihat kerukunan dari orang muda ini kelihatannya seperti sebuah rumah tangga yang amat rukun dan saling mencintai. Hati kita bisa iri dibuatnya. Tapi tidak dong ya? Jangan iri begitu.

Memang itu kehidupan Tiang Le dan Pei Pei yang penuh dengan madu cinta kasih, yang berkelimpahan air susu dan madu. Lain daripada kita tentunya. Sebab setiap manusia itu mempunyai kehidupan yang berlainan, mempunyai liku-liku yang berlainan pula!

Kehidupan manusia tidaklah sama sejalan dengan orang lain.

Inilah kebesaran Tuhan. Oleh sebab itu kita tak perlu iri.

Mari kita melihat Tiang Le dan Pei Pei yang tengah makan.

Sambil makan itu mereka saling lirik, saling senyum. Kadang-kadang Pei Pei menyumpit sebuah ikan atau sayuran dan sambil bersenyum sumpit yang berisi sayuran itu diletakkan di atas mangkok dan Tiang Le hanya memandang gadis ini dengan sayang!

Tiba-tiba Tiang Le menahan gerakan sumpitnya di dekat bibir. Ia menoleh keluar melalui pintu depan, suara derap kaki kuda yang didengarnya nampak mendatangi dengan amat cepatnya.

Sebentar kemudian lima orang penunggang kuda itu sudah berada di depan rumah. Meloncat turun dari kuda. Melihat ini Pei Pei menjadi terkejut dan mengikuti Tiang Le ke depan.

“Kaukah yang telah melukai anak buah Hek-lian-pai?” Orang yang di depan itu bertanya mengawasi Tiang Le, berkilat matanya memandang lengan baju yang terjubrai tanpa lengan.

“Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan ada keperluan apakah gerangan berkunjung ke pondok kami?” Tiang Le bertanya penuh selidik, ia maju selangkah. Pei Pei mengikuti di belakang Tiang Le.

“Pay-cu, pemuda buntung inilah yang telah mengacau Sian-li-pay dan yang barusan melukai tiga orang saudara Hek-lian-pay,” Orang berkumis tikus berjenggot kambing berkata menunjuk ke arah pemuda lengan buntung.

Orang yang dipanggil Pay-cu adalah seorang setengah tua, berusia hampir empatpuluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja tanpa daging sedikitpun, namun tubuhnya itu masih nampak gesit dan ini waktu kita lihat ia melompat turun dari kudanya tadi. Ia memegang sebuah tongkat hitam berkepala naga. Matanya mencorong tajam menyapu tubuh Tiang Le.

“Ooo, jadi inikah anjing buntung yang kabarnya telah membuat kacau di pulau Bidadari…… hemm, orang muda buntung, benarkah kau pernah mengacau Sian-li-pay dan barusan melukai muridku?” Suara kakek Pay-cu Hek-lian-pay itu tinggi melengking.

Tahulah Tiang Le bahwa kakek kurus ini mempunyai tenaga sin-kang yang tidak boleh dianggap remeh. Melihat bahwa yang datang ini adalah Pay-cu Hek-lian-pay sendiri, cepat Tiang Le memberi hormat menaruh lengan kiri di atas dada.

“Maaf……. kalau tidak salah siauwte berhadapan dengan Pay-cu Hek-lian-pay yang ke sohor itu. Silahkan masuk!”

“Terima kasih orang muda urusan cukup diselesaikan di sini saja. Kau tadi sudah melukai tiga orang muridku, untuk ini saja aku yang tua harus menyeretmu ke markas untuk diadili, baru setelah itu aku akan membawamu ke Sian-li-pay. Orang muda buntung, sekarang hendak berkata apa kau?”

“Locianpwe, engkau orang tua kalangan atas dan sebagai Pay-cu Hek-lian-pay yang cukup bijaksana dan berpandangan luas harap mempertimbangkan hal ini dan terlebih dahulu memeriksa ke tiga orang muridmu. Mereka itu hendak mengganggu nona Pei Pei, menyeret-nyeretnya secara kurang ajar, hemm, baiknya aku cukup sabar hati. Kalau tidak ada nona ini mencegahnya tentu siang-siang orang-orangmu itu sudah kumampusin!”

Pay-cu Hek-lian-pay yang bernama Teng Kiat dan berjuluk Hek-sin-tung Pay-cu marah bukan main. Ingin ia sekali gebuk membikin remuk kepala pemuda buntung ini, akan tetapi sebagai ketua Hek-lian-pay yang kesohor, tentu saja ia tidak mau melakukan hal yang akan merendahkan namanya. Ia hanya melotot memandang Tiang Le lalu membentak,

“Bocah setan, berani kau berkata begitu di depan Pay-cu Hek-lian-pay? Berani, kau menantangku?!”

Tiang Le menggeleng kepala, tersenyum mengejek.

“Siapa yang berani melawanmu, Pay-cu. Harap jangan panas hati dulu. Tak pantas sebagai ketua, sikapmu berangasan seperti kepala perampok. Kau tanyakan dulu kepada tiga orang muridmu, apa benar mereka itu tukang mengganggu wanita? Hem jangan-jangan muridmu itu semuanya gila perempuan, jay-hoa-cat (penjahat pemetik bunga).”

“Jadi kau hendak membela dirimu bahwa kau benar?”

“Tentu saja karena aku tidak bersalah dan muridmu itulah yang telah kurang ajar kepada nona Pei Pei. Bagaimana dapat dibilang aku yang salah, muridmu itulah yang bertingkah sok jago pengganggu perempuan!”

“Keparat berani kau menghina anak murid-muridku!” Ketua itu membentak.

“Tak perduli mereka itu anak muridmu atau anak setan. Siapa saja yang melakukan perbuatan sewenang-wenang, hem, tanganku inilah yang menghajarnya!”

“Tanganmu tinggal sebelah, hendak mengandalkan apakah kau membuka bacot di depan Pay-cu Hek-lian-pay?”

“Tanganku yang sebelah ini memang sudah tidak ada, akan tetapi yang sebelah ini…..,” Tiang Le mengacungkan tangan kirinya: “Tanganku yang satu ini masih mampu memutar batang leher anak buahmu!”

“Bocah buntung, keparat! Kau bermulut besar dan sombong. Kau menghina muridku, menghina Hek-lian-pay. Apakah kau mempunyai nyawa rangkap?”

“Nyawaku cuma satu, Pay-cu! Akan tetapi tidak gampang-gampang orang hendak mencabut nyawaku?”

Terdengar teriakan marah dan seorang yang di sebelah Pay-cu Hek-lian-pay sudah mencelat maju. Orang yang berhidung bengkok ini yang memegang toya adalah sute (adik seperguruan) dari ketua Hek-lian-pay, lihai sekali permainan toya besinya dan ia diberi julukan Tiat-pang-hek-lian (Tongkat Besi Berantai Hitam). Wataknya berangasan dan kasar, mendengar ucapan yang menantang dari Tiang Le, ia tidak mau sabar lagi.

“Bocah setan! Berani kau menghina Hek-lian-pay?” sambil berkata demikian toya besi yang berat itu menyambar kepala Tiang Le.

Cepat Tiang Le mendorong Pei Pei ke belakang dan ia sendiri menggeser kakinya mengelak. Melihat gerakan tongkat yang mengeluarkan angin berciutan ini tahulah Tiang Le bahwa lawannya mempunyai tenaga lwekang yang tak boleh dipandang ringan.

Sambil mencelat ke samping tangan kirinya mendorong ke depan, inilah pukulan Pek-lek-jiu. Kalau saja si kakek hidung bengkok ini tidak memandang rendah kepada Tiang Le tentu ia akan berlaku waspada dan siap-siap akan tetapi rupanya karena wataknya yang kasar berangasan itu lupa bahwa ia menghadapi seorang pemuda luar biasa, pemuda yang telah membuat kacau di Sian-li-pay.

Maka begitu toya hampir mengenai tubuh Tiang Le, kakek hidung bengkok tertawa senang dan menyabet pinggang lawan. Melihat gerakan toya itu amat lambat meskipun bertenaga besar, cepat Tiang Le meloncat ke atas membarengi dengan pukulan tangan kiri yang menggunakan hawa Pek-lek-jiu, suara toya berdesir di bawah kakinya akan tetapi begitu tangan kirinya bergerak, tahu-tahu tubuh si kakek hidung bengkok terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dada dan muntah darah segar.

“Sute…..!” Hek-sin-tung Pay-cu meloncat memburu sutenya. Dan menotok dada yang terluka oleh pukulan Tiang Le.

Sementara itu tiga orang kakek yang memegang pedang dan ruyung sudah mencelat mendekati Tiang Le sambil membentak: “Awas pedang!”

Dengan cepat orang tua yang berjenggot kambing yang bernama Sauw Ki membentak sambil menerjang dangan pedangnya. Gerakan pedangnya amat cepat dan kuat dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan.

Cepat Tiang Le menggerakkan kepalanya dan mencelat menghindarkan ruyung yang menyambar pula dari tangan kakek berambut putih yang bernama Jin Ho dan bersamaan dengan gerakan ini, angin pukulan bersiutan diputar-putar oleh kakek ketiga yang berkaki buntung. Kiranya kakek buntung ini sudah menggerakkan tangannya memutar-mutar merupakan angin pukulan jarak jauh. Terkejut sekali Tiang Le.

Pei Pei menjerit perlahan melihat tubuh Tiang Le terhuyung-huyung tersambar angin pukulan kakek kaki buntung yang luar biasa ini. Dikeroyok oleh tiga orang yang berkepandaian hebat ini, Tiang Le tak dapat membalas dengan pukulan.

Ia hanya dapat mengandalkan keringanan tubuhnya saja, mencelat ke sana ke mari dengan repot. Akan tetapi belum limapuluh jurus, ia sudah terdesak hebat. Pukulan-pukulan kakek kaki buntung ini demikian hebat dan mengetarkan tangannya yang menangkis.

Limapuluh jurus sudah lewat, dan ketiga orang yang mengeroyok ini menjadi penasaran malu. Masa menghadapi pemuda buntung yang hanya bisa mengelak ini saja, mereka tidak dapat robohkan.

Sauw Ki tiba-tiba mengeluarkan jeritan nyaring sekali dan pedangnya melakukan terjangan kilat. Pei Pei menutup mulutnya dan sebelum tubuhnya menegang, ia tidak dapat lagi melihat bagaimana Tiang Le mengelak dari sambaran terjangan dari kakek jenggot kambing yang demikian cepat itu apabila sebuah pukulan dari kakek buntung membuat Tiang Le terjungkal dan pada saat itulah bagaikan kilat pedang di tangan Sauw Ki mengejar dengan cepatnya menubruk.

“Desss! Ceppp!” pedang itu menancap di tanah di samping kepala Tiang Le akan tetapi tubuh Sauw Ki terlempar ke belakang dan roboh.

Ternyata pada detik yang amat berbahaya itu, Tiang Le berlaku waspada dan dengan sedikit saja ia menggeser kepalanya, pedang Sauw Ki meluncur amblas di tanah sampai ke gagang. Ketika itulah tangan kiri Tiang Le bergerak ke depan melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga Pek-in-kang. Keruan saja Sauw Ki menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang.

Sauw Ki bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba ia muntahkan darah merah. Ternyata pukulan Tiang Le dalam jarak dekat itu sudah mendatangkan luka parah di dalam dadanya. Hal ini tidak mengherankan karena Tiang Le melakukan tenaga Pek-in-kang dalam jarak yang begitu dekat dan tepat memukul dada lawan!

Pei Pei menarik napas lega melihat Tiang Le bangun dan terhuyung-huyung. Akan tetapi ia menjerit keras begitu dilihatnya kakek kaki buntung dan kakek berambut putih sudah menerjangnya dengan pukulan-pukulan dan serangan ruyung yang mengeluarkan suara bersuitan keras dan menggetar-getar.

Terkejut sekali Tiang Le, ia melompat membuang diri ke belakang, akan tetapi kurang cepat pukulan kakek kaki buntung menyerempet pundaknya. Tiang Le mengeluh dan terlempar ke belakang. Sebuah pukulan lagi tak dapat dihindarkan, segera mengerahkan sin-kang ditubuhnya! Matilah aku kali ini, pikir Tiang Le. Mengangkat tangan menangkis.

Sebaliknya kakek kaki buntung juga berseru kagum. Cepat menarik kembali lengannya yang terasa panas beradu dengan lengan kiri pemuda itu.

Pada saat itulah ruyung kakek rambut putih Jin Ho menyambar lambung Tiang Le. Pei Pei menjerit. Tubuh Tiang Le terlempar. Hebat sekali pukulan ini. Darah mengalir leget dagu pemuda itu. Pei Pei menubruk dan menangis.

“Kokoooo….. Tiang Le……!”

“Minggir perempuan geladak, biar kumampusi lelaki jobong ini!” si kakek rambut putih menarik tangan Pei Pei.

Dan si Ruyung dengan sengitnya menghantam lagi. Tiang Le menggeliat menahan sakit pada lambungnya. Tubuhnya terlempar lagi. Terbosai lagi. Entah berapa kali ia jungkir balik.

Melihat ini bercucuran air mata Pei Pei melihat penyiksaan yang menyayat hatinya, tak tahan Pei Pei melihat ini lebih lanjut, ia menubruk kakek kaki buntung yang siap hendak menghancurkan kepala Tiang Le yang sudah terkulai setengah pingsan.

“Jangan bunuh dia..... jangan bunuh Tiang Le,” Pei Pei merangkul kaki kakek buntung yang sebelah kanan, akan tetapi begitu kakek ini mendengus, tubuh Pei Pei terlempar jauh dan pingsan!

Mengingat dua orang kakak seperguruannya ini sudah terluka di tangan pemuda buntung ini, kakek rambut putih menjadi sengit bukan main, cepat ia mencabut pedang Sauw Ki yang menancap di tanah dan menyambitkan pedang itu ke arah Tiang Le.

Bagaikan orang yang setengah ingat, setengah sadar, Tiang Le bergulingan dan pedang itu menancap di sampingnya, mengeluarkan suara desingan keras dan menancap di tanah beberapa senti saja dari tubuh Tiang Le.

Sauw Ki menjadi penasaran dan marah, ruyungnya berkelebat lagi. Dibarengi pukulan jarak jauh yang menghantam belakang Tiang Le dan untuk yang kesekian kalinya tubuh Tiang Le mengulet dan jatuh terkulai lemah. Ruyung si kakek berambut putih terangkat ke atas. Pada saat itu terdengar bentakan keras:

“Tahan!”

Hek-sin-tung-paycu ketua Hek-lian-pay maju ke depan. Menghampiri Tiang Le.

“Dia sudah mati!”

“Bagus, biar dia jadi nyaho!”

“Mari kita kembali ke markas!” perintah ketua itu.

“Pemuda ini, apakah tidak dibawa untuk diserahkan kepada Pay-cu Sian-li-pay?” tanya kakek kaki buntung mencongkel tubuh Tiang Le dengan kakinya.

“Tak usah, dia sudah mati untuk apa dibawa-bawa, kecuali kalau ia masih hidup. Sudahlah, mari kita kembali!” Pay-cu Hek-lian-pay memapah sutenya yang lemah terluka dan dinaiki ke atas kuda dan kakek rambut putih mengangkat tubuh Jin Ho yang lemas setelah muntahkan darah banyak sekali.

Setelah mereka itu pergi, udara menjadi gelap. Awan hitam dengan cepatnya bergerak menaungi tempat itu dan sebentar itu pula hujan turun dengan lebatnya.

Mungkin karena tersiram air hujan, itulah yang menyadarkan Pei Pei. Ia mengeluh perlahan menyebut nama Tiang Le dan beringsut-ingsut gadis itu menghampiri Tiang Le. Hujan turun membasahi ke duanya.

“Kokooo…..!” suara gadis itu demikian menyayat hati. Tangannya menggerepe mengusap tubuh pemuda buntung itu. Mengguncangkan.

Tiang Le membuka matanya. Tersenyum dalam deraian hujan yang semakin menggila. Matanya melirik dan ia hanya melihat Pei Pei seorang. Tangan kiri Tiang Le memeluk gadis itu, ternyata Tiang Le belum mati seperti yang diduga oleh ketua Hek-lian-pay itu.

Ini karena kehebatan tenaga sin-kang Tiang Le. Karena ia tahu tak mungkin ia bertahan lagi, cepat Tiang Le mengerahkan hawa murni dan menutup jalan darah dan mematikan raga.

Demikianlah begitu pukulan-pukulan itu menyambar tubuhnya Tiang Le seakan-akan tidak merasa itu. Ia sudah mematikan raganya, ia menerima saja tubuhnya digebukin lempar sana lempar ini, sampai lawannya menduga ia sudah mati!

Dengan cara inilah ia dapat selamat. Ia dapat mengelabui mata ketua Hek-lian-pay dan orang-orangnya, sehingga mereka itu menyangka ia sudah mati. Inilah yang terbaik, coba saja kalau ia masih hidup tentu Pay-cu Hek-lian-pay akan membawanya ke markas dan untuk diserahkan kepada Sian-li-pay!

Tiang Le mengerahkan tenaganya yang hampir habis. Terasa badannya begitu sakit-sakit dan tiga kali ia batuk mengeluarkan darah. Pei Pei menangis. Tiang Le bangkit dan mengusap muka Pei Pei yang basah tersiram air hujan.

“Pei Pei..... jangan menangis aku tidak apa-apa sayang?”

“Kokooo… aku kuatir..... sekali kau kenapa-kenapa!”

“Tidak apa moay-moay, mari kita ke dalam!” Tiang Le memapah tubuh Pei Pei yang terluka dalam akibat tendangan kakek buntung. Ke duanya berangkulan! Sampai di dalam kamar itu Tiang Le, roboh dan dari bibir keluar darah merah!

“Tiang Le……!” Pei Pei mengangkat kepala Tiang Le dan direbahkannya. Ia sendiri cepat-cepat bertukar pakaian, sementara Tiang Le masih pingsan.

Tiang Le terluka parah di dalam dadanya. Sering kali ia muntahkan darah segar. Ini membuat hati Per Pei berkuatir sekali. Gadis itu menangis di samping Tiang Le.

Demikianlah selama tiga hari itu Tiang Le pingsan tak sadarkan diri. Mukanya semakin pucat pasi. Napasnya semakin lemah.

Untung pada hari yang kedua itu Pei Pei sudah agak sehat dan dapat berjalan. Dengan jalan perlahan-lahan ia menuju ke toko obat. Membelinya obat tambah darah, karena mengira tentu Tiang Le kekurangan darah karena sering muntah darah.

Pada hari ketiga ini Tiang Le tidak lagi muntah darah. Luka di dalam dadanya perlahan-lahan sembuh berkat siulan sambil tidur. Sebetulnya selama tiga hari itu, Tiang Le bukan pingsan, ia hanya siulan mengerahkan hawa murni menyembuhkan luka di dalam dada. Kalau saja tidak kuat pertahanannya, tentu siang-siang Tiang Le sudah pecah jantungnya.

Hari keempat dan kelima Tiang Le bisa makan sedikit bubur. Bisa sedikit-sedikit berbicara dengan gadis perawatnya ini. Ia tahu bahwa selama ini gadis inilah yang merawatnya dengan setia. Terharu hatinya apabila dilihatnya Pei Pei sering menangisi dirinya. Hem, di antara seratus gadis, hanya Pei Pei lah yang patut untuk dicintai!

Hari ketujuh Tiang Le sudah dapat bangkit duduk dan bercakap-cakap dengan gadis itu. Pei Pei girang sekali melihat kesehatan pemuda ini yang semakin hari semakin baik. Ia membawakan semangkok bubur untuk Tiang Le.

“Makanlah bubur ini koko!”

“Tarulah di meja dulu, aku belum lapar Pei-moay!”

“Koko, bagaimana rasanya, baikkankah?” tanya Pei Pei prihatin.

“Jangan kuatir Pei-moay, aku akan sembuh. Hanya tinggal lemasnya saja ini….. ah!”

“'Syukurlah koko……!” Pei Pei setengah berbisik, tak sengaja ia melirik ke arah lengan kanannya yang buntung.

Tiang Le menarik napas dalam: “Beginilah moay-moay setelah lenganku buntung, bukan saja aku menjadi seorang pemuda cacad, akan tetapi ahhhh……, tentu arwah suhu akan penasaran sekali, aku tak dapat membalas dendam, aku murid tak berbakti!”

Mendengar suara Tiang Le yang berputus asa, pecahlah bendungan air yang sejak tadi ditahan-tahan. Gadis itu mengeluh lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tiang Le duduk di pembaringan, memeluk kedua kaki pemuda itu dan menangis tersedu-sedu.

“Tiang Le.......kookoooo…. kau....... kau untuk apa kau melibatkan dirimu dengan permusuhan yang membahayakan dirimu saja. Biar lenganmu buntung, biar engkau menjadi pemuda tanpadaksa, aku….. mencintaimu Kokooo!”

Tak kuat hati Tiang Le, menahan air mata yang turun bertitik-titik ketika ia menunduk dan memandang kepada Pei Pei yang kusut rambutnya. Ia mengangkat kepala itu, memandang wajah yang basah itu!

“Pei-moay, kau tahu, dengan lenganku buntung, Aku…… aku tak dapat lagi mempermainkan pedang. Ahh, moay-moay baru saja aku hampir binasa oleh Pay-cu Hek-lian-pay itu, karena aku tak dapat melawan, jangankan untuk melindungimu moay-moay, setelah lenganku ini buntung, ahh, apa yang dapat kuperbuat lagi.”

Pei Pei menggigit bibirnya memandang wajah pemuda yang tengah diliputi kedukaan besar. Matanya berkaca-kaca. Mereka berpandangan melalui air mata, kemudian bagaikan besi sembrani yang saling menarik, ke duanya berangkulan dan bertangisan dalam pelukan. Dengan air mata mereka membasahi muka masing-masing.

“Pei-moay, aku menjadi orang yang tak berguna kini!”

“Koko! Begitu besar hasratmu untuk bisa bermain pedang?” Pei Pei bertanya dengan suara tersendat dalam isak.

“Tak mungkin aku bisa bermain pedang lagi, Pei-moay!”

Pei Pei tak menyahut. Air matanya bercucuran deras. Berderai jatuh dipangkuan pemuda itu. Sambil mengusap air matanya Pei Pei bangkit berdiri berjalan ke sebuah lemari besi dan mengeluarkan sebuah kitab tebal yang nampaknya sudah tua dan kotor.

“Koko, kitab ini kudapat waktu aku masih kecil, sebagian sudah terbakar, kau pelajarilah koko, barangkali berguna untukmu,” dengan mata basah menyerahkan kitab itu

Dengan dada berdebar Tiang Le menerima buku yang disodorkan oleh gadis itu, sebuah buku tebal yang sudah lapuk dan berwarna kekuning-kuningan. Dan di bagian lain nampak bekas lembaran-lembaran yang sudah terbakar. Ia heran memandang gadis di depannya ini. 

“Pei-moay!?” tanyanya tak mengerti.

Pei Pei meraih buku tua itu dari tangan Tiang Le dan berkata, “Buku tebal ini adalah milik ayah dulu, sengaja kusimpan baik-baik karena dengan buku ini mempunyai riwayat dalam hidupku. O ya, ada lagi sebuah pedang. Pedang itu adalah pedang buntung...... tunggu aku akan mengambilnya.”

Pei Pei memberikan lagi buku tebal itu kepada Tiang Le dan berlalu ke lemari besi mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus oleh kain kuning. Pei Pei membuka bungkusan kain kuning itu. Adalah sebuah pedang pendek, pedang buntung. Akan tetapi begitu dibuka oleh gadis itu dari sarungnya, nampak sebuah sinar kebiru-biruan yang memancar dari kilatan pedang yang telanjang itu.

Debaran dada Tiang Le bertambah kencang. Ia turun dari pembaringan dan menghampiri Pei Pei. Mengambil pedang buntung yang mengeluarkan cahaya kebiru-biruan itu.

“Dari mana kau mendapatkan kitab dan pedang ini Pei-moay,” Tiang Le bertanya heran.

Menimang pedang pendek. Hawa dingin yang memancar dari cahaya sinar pedang itu membuat pemuda itu memperhatikan lebih seksama. Inilah pedang pusaka buntung, yang pernah mendiang suhunya ceritakan padanya. Heran, dari mana Pei Pei mendapatkan semuanya ini?”

“Ceritanya panjang koko….. kitab dan pedang ini mempunyai riwayat hidupku. Mari kau duduklah koko....... biar sambil duduk ini kau sambil mendengarkan ceritaku,” Pei Pei menarik tangan Tiang Le memapah duduk di tempat tidur, sedang ia sendiri menyeret kursi ke dekat tepi pembaringan.

Di depan Tiang Le gadis itu bercerita.

“Ayahku dulu, pada beberapa belas tahun yang lalu adalah seorang piauwsu, pengantar barang-barang, bernama Cia Teng Kok,” demikian Pei Pei bercerita didengar oleh Tiang Le dengan penuh perhatian.

<>

Siapakah Cia Pei Pei ini?

Pada tujuh belas tahun yang lalu, gadis yang sekarang bernama Cia Pei Pei ini masih kecil dan berusia sekitar tiga tahun. Ayahnya adalah seorang Piauw-su yang gagah perkasa dan jujur, bernama Cia Teng Kok.

Karena kegagahan dan kejujuran inilah yang membuat orang she Cia ini maju di dalam usaha ekspedisi yang dipimpin olehnya. Banyak para pedagang menitipkan barang kepadanya untuk dikirim keluar daerah.

Tentu saja karena orang she Cia ini sering bepergian, maka jarang sekali ia didapati dirumahnya. Piauw-kiok (ekspedisi)nya yang terkenal itu bernama Kawan Tua. Ekspedisi ini maju pesat di bawah pimpinan Cia Teng Kok.

Pada suatu hari, ketika mereka itu melalui daerah perbatasan Fu-nian, rombongan ekspedisi ini dikejutkan oleh kedatangan seorang yang amat tua dan dalam keadaan yang terluka ia berkata memohon kepada Teng Kok, “Cia-piauwsu, tolonglah……, kutitipkan ini… kau.... kau selamatkanlah cepat!”

Orang tua yang nampaknya terluka hebat itu dengan tangan gemetar memberikan sebuah bungkusan. Teng Kok menerimanya bungkusan ini dengan heran: “Lopek..... apa maksudmu dikirim ke mana barang ini?”

Orang tua itu terengah-engah menggoyang-goyangkan tangannya, “Simpanlah....... simpanlah, ja… jangan sampai terjatuh ke dalam….. tangan orang-orang jahat……. cepat!”

Sementara suara kaki kuda terdengar mendatangi. Teng Kok yang cerdik segera memasukkan benda yang terbungkus kain kuning itu ke balik jubahnya dan orang tua yang nampaknya kelelahan itu tersenyum dan sekali gerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuh orang tua itu sudah memapaki orang berkuda, berdiri dengan tegak dan kaki terpentang.

Seorang penungang kuda yang berjambang bauk itu menudingkan goloknya, membentak: “Orang she Lim, hayo serahkan kitab dan pedang itu kalau tidak ingin nyawamu melayang!”

“Ha ha ha, Sin-kiam-ong Song Tek Hay kau sudah terkenal sebagai Raja Pedang Sakti, mengapa masih penasaran mauin pedang buntung dan kitab, untuk apa?”

“Jangan banyak cerewet, serahkan pedang itu!” Golok di tangan kiri penunggang kuda bercambang bauk menyambar diiringi sinar pedang berkelebat dari tangan kanannya. Meskipun orang tua ini nampak terluka, akan tetapi ia masih cukup gesit untuk menghindari serangan golok dan pedang mencelat ke kanan dan balas memukul dengan pukulan tangan kosong.

“Setan! Kau kepingin dimampusin?”

“Sin-kiam-ong….. kau mendesakku selalu....... terlalu! Apa kau kira pedang dan kitab itu ada di tanganku?”

“Jangan banyak cakap, hayo serahkan kitab dan pedang, kalau kau masih membangkang jangan harap Sin-kiam-ong Song Tek Hay bertindak keterlaluan kepadamu. Aku sudah cukup sabar Lim Sin Jian, kalau tidak…… hemm, aku tidak memandang mata lagi kepadamu orang tua!”

“Ha ha ha, Sin-kiam-ong……! Kau katakan tidak ingin memandang mata kepadamu, omong kosong saja kau. Buktinya kau sudah memaksaku…… aku… aku sudah terluka oleh pukulan Jiu-pek-ciangmu yang dahsyat itu....... mengapa kau mendesakku sih? Pedang dan kitab itu tidak ada di tanganku harap kau mengerti dong!”

“Tua bangka bajingan, siapa yang percaya omonganmu! Baik, kalau kau tidak juga serahkan kitab dan pedang itu, terpaksa pedangku ini berbicara!”

Amat cepat sekali gerakan si Raja pedang sakti ini sehingga sambil berseru kaget kakek Lim Sin Jian cepat mengegoskan diri ke samping, akan tetapi pedang sakti itu demikian cepatnya menyambar dan berkelebat tahu-tahu tubuh kakek she Lim itu sudah terhuyung-huyung dan....... dan terjerembab ke depan sambil memegang dada yang tersambar pedang.

“Berikan kitab dan pedang!”

“Ha ha ha….. kakek she Lim bangkit berdiri sambil memegangi dada kiri tertawa menuding ke arah Sin-kiam-ong Song Tek Hay, “Kau, kau…. jahat dan kejam dan tamak….., tak mungkin mendapatkan pedang dariku…. ha ha.”

“Sratt!” sekali pedang orang she Song itu berkelebat darah merah muncrat dari leher kakek Lim yang tertawa terbahak-bahak. Sebuah kepala menggelinding jatuh, disusul dengan robohnya tubuh tua itu berkelonjotan sebentar dan mati!

Melihat adegan ini Cia Teng Kok berseru marah dan menarik pedangnya, “Orang gila kau keji dan telengas, aku Cia Teng Kok tak dapat menerima kekejaman ini!”

Song Tek Hay menoleh kepada piauwsu ini dan tertawa:

“Ha ha ha..... kiranya Cia-piauwsu yang berada di sini, pantas si tua bangka she Lim itu tenang-tenang saja matinya. Nggak tahunya pedang dan kitab sudah diserahkan kepadamu, ya?”

“Jangan ngaco, tidak ada pedang dan kitab!”

“Kau tidak mengaku, biar aku periksa barang-barangmu ini!”

“Lancang! Siapapun tidak boleh menyentuh barang-barang kiriman ini..... disini tidak ada pedang dan kitab!” Cia Teng Kok membentak marah menghadang gerobak kiriman barang. Lima orang anak buah kepala piauwsu sudah mencabut senjatanya masing-masing.

“Aku tak ingin bertempur orang she Cia, cuma aku inginkan pedang dan kitab. Biarkanlah aku memeriksa barang-barang ini,” berkata demikian si raja pedang sakti Song Tek Hay mencelat ke atas gerobak barang dan sekali pedangnya bekerja kain terpal yang menutupi barang-barang itu sudah terobek besar.

“Kurang ajar!” Salah seorang dari ke lima piauwsu itu menerjang dengan golok di tangan.

Akan tetapi hebat memang si raja pedang sakti Song Tek Hay ini, begitu dari belakang didengarnya suara golok menyambar. Tanpa melihat ke belakang, pedangnya menyambar dan terdengar teriakan ngeri dari seorang piauwsu yang terbabat tangan kanannya dengan pedang, darah merah mengucur deras.

Melihat kekejaman orang bercambang bauk ini, marahlah hati Cia Teng Kok dan bersama-sama ke empat anak buahnya mereka menerjang maju dan mengelebatkan pedangnya menerjang orang bercambang bauk yang telah membuntungi lengan kawannya.

Akan tetapi, sama seperti tadi begitu si raja pedang bergerak. Pedangnya berputar cepat dan tahu-tahu ke empat piauwsu telah mati dengan kepala terpisah dari badannya. Darah merah membanjiri membasahi pinggiran gerobak barang.

Teng Kok terkejut bukan main melihat kelihaian pedang lawannya ini. Dengan sengit ia menerjang lagi maju sambil membentak keras: “Mampus kau!”

“Ha ha ha! Hebat juga permainan pedangmu Cia-piauwsu, akan tetapi, tetap saja kau akan kehilangan nyawa jika kau tidak menyerahkan pedang dan kitab itu.”

Teng Kok tidak menyahut, ia mainkan pedangnya. Pedangnya berkelebat cepat merupakan sambaran kilat menusuk dada si raja pedang sakti Song Tek Hay, akan tetapi begitu Tek Hay mengegoskan tubuhnya sedikit, pedang Teng Kok melesat di samping iganya dan menyusul sebuah sentilan membuat pedang Teng Kok terlepas.

Melihat bahwa lawannya ini lihay tentu saja bukannya menjadi mundur malah orang she Cia yang gagah ini menerjang lagi dengan pukulan tangan kanan kiri dan tendangan kaki. Memang Teng Kok ini pernah mempelajari ilmu silat dari cabang Bu-tong-pay, sedikitnya ia lebih lihay dari pada para piauwsu-piauwsu yang lain. Oleh sebab itu ia tidak takut menghadapi si raja pedang yang lihay ini.

Melihat kenekatan kepala piauwsu itu. Tek Hay jadi marah dan begitu pedangnya berkelebat, tahu-tahu tubuh Teng Kok terlempar dengan kaki kiri buntung. Teng Kok menjerit ngeri dan menahan sakit. Ia memandang orang bercambang bauk yang demikian lihai ilmu pedangnya ini.

Tiba-tiba pikirannya teringat kepada bungkusan kuning yang tadi diserahkan oleh orang tua she Lim itu kepadanya. Jangan-jangan di dalamnya ini adalah pedang dan kitab. Celaka kalau kitab dan pedang ini terjatuh ke dalam tangan orang yang demikian lihai dan kejam seperti Tek Hay itu. Berbahaya sekali!

Aku harus menyelamatkan benda yang tersembunyi di dalam jubahku ini, pikir Teng Kok. Ia merangkak bangun. Seluruh baju dan celananya yang putih sudah berlopotan oleh darahnya sendiri.

Si Raja pedang sakti Song Tek Hay maju menghampiri. Kakinya menendang sambil membentak: “Cia piauwsu, serahkan pedang dan kitab itu!”

Tubuh Teng Kok terlempar. Sebuah sungai mengalir deras di sampingnya. Aku harus menyelamatkan diri, pikir Teng Kok, dan dengan sekali menggerakkan tubuhnya tahu-tahu ia sudah melompat ke dalam air sungai dan terus tenggelam dengan amat cepat sekali.

“Srat srat srat!” Tek Hay terkejut sekali melihat kenekatan lawan yang tak diduga-duga mencebur ke sungai. Tiga kali tangannya bergerak pisau terbang menyambar ke dasar sungai. Nampak darah merah membubus mengalir bersama-sama air sungai. Tek Hay berdiri di pinggir sungai mengawasi air yang merah itu.

Ia mempunyai keyakinan tentu kepala piauwsu ini telah tewas, maka dengan hati kecewa dan marah ia berkelebat meninggalkan sungai itu.

Matikah Cia Teng Kok terbawa arus sungai yang deras itu?

Tidak. Biarpun orang she Cia ini sudah merasakan tubuhnya kaku dan nyeri, ia tetap mempertahankan diri. Ia pandai sekali berenang sebab itu, begitu tubuhnya menyelam ke dalam sungai, ia memberatkan tubuhnya dan berjalan di dasar sungai.

Baru setelah agak jauh, ia mumbul kembali dari permukaan sungai itu. Dan dengan napas yang terengah-engah ia naik ke atas sungai. Dan berjalan terpincang-pincang menuju rumah.

Beberapa kali ia jatuh pingsan, akan tetapi apabila ia mengingat kitab dan pedang, ia terus berjalan, jatuh bangun. Dan begitulah seterusnya menahan rasa nyeri yang hebat. Wajahnya pucat dan lemah. Kasihan sekali, betapa hebat penderitaan orang she Cia ini. Berkat semangat dan kemauan untuk sampai di rumah, akhirnya sampailah ia di rumahnya. Dan pingsan!

Cia Pei Pei, yang baru berusia tiga tahun itu menangis melihat ayahnya terguling di depan rumah. Can Mama, seorang tua pembantu rumah tangga Cia piauwsu memburu ke arah tubuh majikannya dan mengangkatnya. Akan tetapi, tubuh Cia Teng Kok sudah demikian amat lemah. Napasnya sudah payah sekali. Wajahnya sudah pucat seperti kertas.

“Ayah…..!” Pei Pei menangis mengguguk melihat keadaan ayahnya ini.

Can Mama cepat mengurut-urut dada majikannya yang sesak bernapas, pelayan tua ini menjerit kecil kaget melihat kaki majikannya sudah buntung dan membengkak.

“Loya…..! Loya (tuan) mengapa kau jadi begini…?”

“Ayah…..!” Air mata Pei Pei bercucuran. Memeluki ayahnya.

Begitu Cia Teng Kok sadar, ia batuk-batuk dan mengurut-urut dadanya dibantu Can Mama, pelayannya,

“Pei-jie (anak Pei)….., kasihan….. kau se..... setelah ibumu meninggal… kau…., kau.......”

“Ayah……. Ayah…!”

“Loya....... istirahatlah... biar aku cari obat dan panggil shinse... kau terluka berat, ah, kau jadi begini……. siapakah orangnya yang membuatmu begini?”

“Can Mama…... kau pelayan disini sudah lama, kau baik sekali…. aku terluka berat….. tak mungkin……”

“Loya… jangan berkata begitu. Kau mesti sembuh kasihan Pei Pei masih kecil…..” Can Mama mengurut-urut dada tuannya.

Cia Teng Kok batuk darah, si pelayan tua terkejut bukan main mengambil kain dan menyusut mulut tuannya yang berlumuran darah.

“Can… Ma… ma… ma aku tak tahan Pei Pei…!” tangan Teng Kok menggerepe mengusap kepala Pei Pei yang menangis mengguguk sambil menyebut-nyebut ayahnya.

Can Mama menjadi bingung sekali melihat keadaan tuannya yang amat menguatirkan ini. Ia bangkit berdiri dan hendak cepat-cepat memanggil shinse, akan tetapi tangan tuannya menggeleng-geleng mencegah.

“Tidak usah….. Can… mama....... tak usah….. kau ke marilah!” Cia Teng Kok berkata lemah terbatuk-batuk lagi.

“Aku tak dapat lama hidup, kau bawa Pei Pei pergi mengasingkan diri ke sebuah dusun sunyi dan rawatlah Pei Pei sebagai anakmu, dan kau bawa ini bungkusan. Ini jangan berikan kepada orang lain, simpan....... ahhh ughh.

“Ayahhh…..”

“Loya, loya!”

Air mata Pei Pei membanjir turun menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya di depan pemuda buntung yang memandangnya dengan dada penuh haru!

“Setelah ayahku meninggal, aku diajak Can Mama ke tempat ini, di dusun inilah aku dibesarkan oleh Can Mama, pembantu rumah tangga ayah yang baik hati.... Akan tetapi, iapun meninggal beberapa tahun yang lalu….. Bungkusan ini kusimpan…... karena bungkusan inilah yang membuat ayah mengorbankan nyawanya.

Tiang Le tertunduk membaca huruf yang tertera pada sampul kitab yang dipegangnya, “Hemm, kitab ini adalah kitab pelajaran silat……”

“Memang kitab itu adalah kitab pelajaran silat, akan tetapi aku tak pernah mempelajarinya. Can Mama melarangku untuk belajar silat. Can Mama tidak menghendaki aku membalas dendam, makanya sampai sekarang kitab dan pedang ini kusimpan saja... Koko, kalau kau berminat boleh kau coba-coba pelajari kitab ini, barang kali saja berguna bagimu.”

“Terima kasib Pei-moay, mudah-mudahan saja!”

Dengan tangan kiri Tiang Le membuka lembaran kitab itu. Ia harus hati-hati membukanya kalau tidak akan hancur kepingan-kepingan kertas yang sudah tua dan kuning. Sebagian huruf-hurufnya nampak yang tidak nyata, akan tetapi gambar-gambar yang tertera di dalamnya masih jelas betul dan mudah dimengerti.”

Tiang Le membaca tiga buah kalimat yang membagi bagian-bagian dalam buku ini, ia membaca perlahan didengar oleh Pei Pei:

“Sian-tien-jiu, gerak tangan kilat,
Tok-pik-kun-hoat, ilmu silat tangan buntung,
Ji-cap-it-sin-po, duapuluh satu langkah-langkah ajaib.”

Terkejut dan girang hati Tiang Le membaca huruf-huruf itu. Ia membuka perlahan-lahan lembaran-lembaran yang berisi gambar-gambar orang bermain silat. Ternyata cocok seperti keadaannya orang dalam gambar itu juga adalah seorang yang buntung lengan kanannya, gerakan-gerakannya itu yang menggunakan tangan kiri disebut Sian-tien-jiu (Gerak tangan kilat) dan bagian gambar-gambar yang lain memperlihatkan lukisan-lukisan orang bersilat dengan memakai pedang buntung di tangan kiri dan ilmu silat pedang itu disebut Tok-pik-kun-hoat dan Tok-pik-kiam-hoat!

Girang sekali melihat kenyataan ini. Dengan serta merta ia turun ke pembaringan dan menggerak-gerak tangannya menurut gambar yang dilihatnya. Akan tetapi Pei Pei mencegahnya: “Koko..... kuharap kau berlatih setelah kau sembuh benar.”

Tiang Le mengangkat dagu Pei Pei dan dikecupnya.

“Jangan kuatir Pei-moay..... besok juga pasti aku sudah sembuh......., besok pagi-pagi sekali aku akan berlatih.”

“Eh, mengapa secepat itu?”

“Mengapa tidak?”

“Kau masih lemah koko……” suara Pei Pei cemas.

Tiang Le tertawa, “Justru aku diam saja di ranjang ini yang membuatku lemas, tidak bergerak tubuhku. Lihat besok pasti aku akan segar bugar!”

“Betulkah koko?!”

“Mengapa aku bohong? Pei Pei badanku lemah karena aku kurang bergerak, memang selalu banyak istirahat dan tidur melulu juga nggak baik..... eh kau tahu Pei-moay, ilmu silat tangan buntung gerak tangan kilat dan langkah-langkah ajaib!”

Setitik air mata Pei Pei meloncat girang melihat kekasihnya demikian semangat untuk melatih diri dengan kitab pemberiannya. Dalam hatinya itu ia berdoa: “Koko..... mudah-mudahan kau berhasil menjadi seorang pendekar lengan buntung, seorang yang berbakti untuk masyarakat dan bangsa! Ah betapa senangnya........ hatiku, tak ada kesukaran yang besar selain melihatmu bahagia seperti ini!”

◄Y►

12

Kong Hwat benar-benar menjadi kewalahan menghadapi gadis Sian-li-pay ini. Ia seperti seorang ayah yang menghadapi seorang anak perempuan yang nakal, yang sering nyambek dan membuatnya bingung. Berkali-kali ia menyabarkan hati gadis ini, namun Sianli-eng-cu Soan Li bukannya menjadi lembut malah semakin galak.

Untung saja setelah nenyeberangi laut Po-hay, kawan-kawannya Ho Siang, Bwe Lan dan Sian Hwa berpencar. Ho Siang pergi menyelidiki keadaan Nyuk In kembali ke pulau, sedangkan Bwe Lan dan Sian Hwa diam-diam mengambil jalan masing-masing untuk mencari pemuda Lengan Buntung Sung Tiang Le, pemuda yang amat dikasihi itu.

Sedangkan Kong Hwat dibiarkan meneruskan perjalanannya bersama Han Soan Li yang selama perjalanan itu terus menerus marah-marah dan kadang-kadang mengajaknya bertempur. Kadang-kadang Soan Li ngomel memaki-maki Kong Hwat.

“Kau curang! Mengandelkan ilmu setan, menenggelamkan perahu. Coba sekarang di darat berani kau melayani permainan cambukku?”

“Nona Soan Li sudah dong jangan marah-marah, kau kenapa sih marah-marah melulu ingat, orang pemarah lekas tua!” Kong Hwat menggoda, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan tubuhnya karena tanpa bilang sesuatu apa-apa, Soan Li sudah menerjang mengirimkan pukulan tangan kiri.

“E, e, e,….. ngamuk lagi jangan gitu ah!”

“Kunyuk! Kau menyebut-nyebut namaku Soan Li, Soan Li. Emang namaku Soan Li! Aku Sianli-eng-cu dari Sian-li-pay kau tahu?” Han Soan Li merengut.

“Memang kau Sian-li-eng-cu, nona gagah perkasa dari Sian-li-pay, murid Pay-cu Bu-tek Sianli..... akan tetapi aku lebih suka memanggil namamu Han Soan Li, alangkah indahnya namamu, lebih indah dari sebutan bidadari yang turun dari langit!”

“Kau memang pengecut!” Soan Li memaki, “beraninya kau di laut dan secara curang menggulingkan perahu sehingga aku tak berdaya. Hemm kalau kau gagah, sekarang lawan aku! Kuyakin sabukku ini akan menjirat lehermu dan mampus!”

Kong Hwat menoleh. Ia berhenti. Merasa bahwa udara di siang hari ini memang agak panas terik, alangkah nyaman duduk di bawah pohon ini di antara semilir angin kering berhembus. Berpikir demikian Kong Hwat duduk di akar sebatang pohon yang menonjol memandang Soan Li yang tengah merengut.

Melihat gadis galak ini merengut dingin, bibir setengah ditarik dan pandangan mata yang berapi-api berkilau, Kong Hwat jadi terpesona memandang si gadis bagaikan orang kena hikmat. Dada pemuda itu berdebar keras memdenyar-denyar.

Sementara Soan Li jadi bertambah uring-uringan kesal dipandang seperti itu. Gadis itu membanting-bantingkan kakinya: “Kau ceriwis!”

“Nona Soan Li mengapa kau benci betul denganku?”

“Aku harus membunuh kau!!”

“Membunuh…?” Kong Hwat bertanya menudingkan jari telunjuknya ke dadanya sendiri. Alisnya terangkat naik seperti orang terperanjat kaget.

“Ya, aku harus membunuhmu. Kau pengecut curang!”

“Apanya yang curang, apanya yang pengecut! Aku? Aku pengecut?” Kong Hwat menggeleng-gelengkan kepala: “Kata pengecut tidak ada dalam kamus hatiku!”

Soan Li meloncat ke depan, sabuk merahnya bergetar di tangan,

“Bagus… kalau tidak mau dikatai pengecut, hayo lawan aku. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!!”

“Nona….., aku....... aku tidak ingin berkelahi denganmu!”

“Tapi aku harus membunubmu, aku tak senang kau berlaku curang menenggelamkan aku ke laut! Hayo hadapi aku!”

“Aku tak sengaja menenggelamkanmu, hanya…… hanya aku waktu itu ingin menaklukkanmu dan........ dan tidak ingin melukaimu!”

“Artinya kau pengecut, beraninya hanya di air, di darat kau takut, Hu, manusia pengecut! Pengecut!”

Merah wajah Kong Hwat, betapapun ia mengagumi gadis ini dan tidak ingin berkelahi, akan tetapi bagi seorang gagah seperti dia pantang dikatai pengecut, Makian ini tak boleh diterima.

Kong Hwat maju selangkah. Ia tersenyum pahit dan berkata: “Kau terlalu Soan Li, beberapa kali aku selalu mengalah terhadapmu, namun kau selalu mengataiku pengecut. Aku bukan pemuda seperti dugaanmu, aku bukan pengecut!!”

“Kalau bukan pengecut mengapa kau tidak berani bertanding denganku? Takut sabukku ini merenggut nyawamu?”

“Aku tidak takut....... seandainya aku kalah dan nyawaku melayang, aku akan pergi dengan senang hati, akan tetapi….. aku… aku tak ingin berkelahi denganmu Sianli, jangan kau mendesakku. Marilah duduk kita mengobrol di sini……”

“Setan! Aku bukan tukang ngobrol….. Siapa sudi mengobrol denganmu, ahhh….. tak perlu mengadu lidah, lihat seranganku!” Sambil membentak demikian Soan Li telah maju menerjang dengan gerakan sabuk sutera merah yang tiba-tiba meluncur menjadi kaku seperti sebatang tongkat dan menyerang dahsyat.

Akan tetapi serangan ini membuat Kong Hwat hampir berseru terkejut karena sabuk sutera yang menerjang seperti tongkat itu dengan tepat sekali menyerang ke arah jalan darahnya. Ah, tidak tahunya gadis Sian-li-pay ini adalah ahli tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) maka ia segera mengelak dengan cepat. Serangan kedua dan ketiga menyusul cepat dan semua serangan tertuju ke arah jalan darah yang berbahaya.

“Lihay!” Kong Hwat memuji dan iapun segera mencabut tongkatnya untuk mempertahankan diri karena ternyata gadis ini betul-betul hendak merobohkannya dan lagi tangguh.

Melihat bahwa pemuda itu hanya melayaninya dengan sebatang ranting kering di tangan, Soan Li bertambah marah dan terhina. Masa ia yang terkenal di Sian-li-pay sebagai murid tersayang dari Bu-tek Sianli kini hanya dihadapi oleh permainan ranting kering di tangan pemuda itu, betul-betul menghina.

Dengan menjerit keras gadis ini menerjang dahsyat, sabuk suteranya bagaikan ular merah yang menyambar-nyambar. Akan tetapi begitu terpukul oleh ranting kering di tangan Kong Hwat terkejutlah ia karena merasa telapak tangannya menjadi perih dan sakit.

Dasar Soan Li berwatak keras dan pantang menyerah, melihat bahwa lawannya benar-benar tangguh dan pandai, ia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi. Berkali-kali nampak sinar jarum beracun menyambar lembut dari tangan kiri si gadis, akan tetapi Kong Hwat dapat memukulnya runtuh atau dengan kibasan lengan bajunya!

Terkejut sekali ia karena lawannya benar-benar hendak mengambil nyawanya. Terkejut ia karena permainan sabuk di tangan gadis itu semakin dahsyat dan terpaksa Kong Hwat mainkan jurus-jurus ilmu tongkat yang pernah dipelajarinya dari suhunya Koay lojin yang bernama Fu-niu-san-tung-hoat (ilmu tongkat dari gunung Fu-niu). Maka bertempurlah mereka dengan seru!

Kong Hwat memainkan tongkat rantingnya dengan cermat dan hati-hati. Ia kagum juga melihat permainan sabuk sutera dari gadis Sian-li-pay ini.

Sabuk itu kadang-kadang seperti ular hidup yang bermata dan licin, di lain saat sabuk merah itu seperti tongkat yang keras dan kuat. Maka ia melawan dengan hati-hati dan waspada.

Sebaliknya melihat bahwa kepandaian pemuda ini demikian lihay permainan ranting kering sebagai tongkat kecil itu Soan Li menjadi kesal dan penasaran dan memainkan sabuk suteranya dengan nekat, seakan ia seorang yang telah terlanjur berbuat sesuatu kesalahan yang tak mungkin dapat dimaafkan lagi.

Memang aneh betul gadis ini, hatinya sekarang menyesal, mengapa ia mati-matian untuk memaksa pemuda lawannya ini bertempur pada hal kepandaiannya ternyata di bawah tingkat pemuda itu. Hemm, akan tetapi aku tak perlu mengalah, masakan aku kalah sama dia!

Melihat kenekatan gadis ini Kong Hwat lalu memperlihatkan kepandaiannya berkelahi dengan mempengunakan ilmu tongkat ciptaan Koay Lojin yang terlihai, sebentar saja gadis itu nampak sudah terdesak oleh serangan-serangan tongkat ranting Kong Hwat yang bertubi-tubi itu.

Si gadis bertambah marah ia mengeluarkan lengking tinggi, lengking yang biasanya untuk memanggil kawannya. Ia mengeluarkan lengkingan ini karena saking jengkelnya, permainan sabuknya berkelebat luar biasa, sementara tangan kirinya bersiap-siap melempar sianli-tok-ciam (jarum beracun bidadari).

Kong Hwat tahu. Kalau ia mau tentu ia akan dapat mengalahkan gadis ini secepat mungkin akan tetapi entah mengapa ia tak tega untuk mengalahkan gadis. Ia tahu gadis ini takkan mudah menyerah dan lagi keras hati. Bagaimana jadinya kalau ia kalahkan gadis itu, tentu Soan Li akan bertambah penasaran lagi.

Maka lebih baik ia mengalah saja dari pada Soan Li terus menerus mengamuk. Pada saat sabuk sutera yang lihai di tangan gadis itu menyambar tongkatnya, sengaja Kong Hwat menggunakan gerakan menekan ke bawah dan sebentar saja tongkatnya sudah dibelit oleh sabuk itu.

Soan Li membentak keras membetot kuat tahu-tahu tubuh Kong Hwat melayang ke atas saking kuatnya tarikan dari ujung sabuk yang dipenuhi tenaga lwekang tingkat tinggi. Pada saat tubuh pemuda itu melayang di udara itulah dua kali tangan Soan Li bergerak, puluhan jarum beracun menyambar pemuda itu.

Kong Hwat terkejut sekali melihat jarum-jarum halus menyambar ke tubuhnya. Sebetulnya ia tidak menduga sama sekali kalau Soan Li melemparkan jarum-jarumnya pada saat tubuhnya melayang di udara. Dengan kaget dan cepat Kong Hwat menggerakkan lengan bajunya menangkis, beberapa jarum runtuh ke tanah akan tetapi saking banyaknya jarum-jarum itu menyambar, dua di antaranya tepat menancap pundaknya.

Kong Hwat mengeluh dan terguling. Kedua tangannya terasa kaku dan gatal-gatal, segera Kong Hwat mengerahkan lwekang di pundak, akan tetapi ia menjerit lagi, jarum yang masuk ke bagian pundaknya demikian luar biasa, tak tahan lagi ia roboh!

Pada saat itu terdengar suara tertawa keras. “Ha ha ha, bagus, bagus sekali Sianli, pemuda inilah yang juga pernah mengacau Sian-li-pay…... hayo tangkap dia!”

Soan Li menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Thay-lek-hui-mo dan beberapa anak buah Hek-lian-pay. Seperti kita ketahui setelah Thay-lek-hui-mo ini gagal menangkap Nyuk In, dengan uring-uringan ia menyelidik ke sekitar daerah itu. Dan secara kebetulan sekali ia melihat anak buah Sian-li-pay sedang bertempur dengan pemuda yang menurut penyelidikannya pernah mengacau Sian-li-pay.

Memang Bu-tek Sanli lihay dan cerdik, ia menyebarkan berita tentang orang-orang muda yang mengacau di Sian-li-pay itu dengan cukup jelas sehingga begitu melihat cara pemuda itu memainkan tongkat rantingnya tahulah ia bahwa pemuda ini tak salah lagi tentu murid Koay Lojin salah seorang anak muda yang mengacau Sian-li-pay, maka begitu dilihatnya Kong Hwat roboh terkena jarum beracun Soan Li....... hwesio gendut ini lalu menampakkan dirinya!

Soan Li yang tidak mengenal Thay-lek-hui-mo menjadi terkejut sekali. Ia melihat tiga orang anak buah Hek-lian-pay hendak meringkus Kong Hwat. Dengan marah sekaili ia menggerakkan sabuk suteranya dan tahu-tahu ke tiga orang itu telah roboh dalam totokannya. Thay-lek-hui-mo heran sekali memandang gadis yang diduganya adalah anak buah Sian-li-pay.

“Eh, kenapa kau merobohkan anak buah Hek-lian-pay?”

“Kau siapa..... mengapa mencampuri urusanku!” bentak Soan Li marah.

Diam-diam kenapa hatinya menjadi kuatir akan pemuda yang terkena jarumnya itu. Ia menyesal sekali telah menyambitkan jarumnya melukai pemuda itu. Akan tetapi sekarang kekesalannya ini ditumplekkan kepada hwesio gendut ini.

“Nona bukankah kau murid Bu-tek Sianli dari Sian-li-pay, mengapa kau merobohkan tiga orang Hek-lian-pay?”

“Tidak ada urusannya Sian-li-pay dengan Hek-lian-pay, hayo kalian pergi, jangan mencampuri urusanku!!”

“Ha ha ha, nona keliru, pinceng betul bukan anggota Hek-lian-pay, akan tetapi baru saja tadi kami diberi perintah oleh Bu-tek Sianli untuk menangkap pemuda ini, juga orang-orang Hek-lian-pay sudah dihubungi oleh Pay-cu itu. Jadi kami berhak menawan pemuda ini untuk diserahkan kepada Pay-cu Sian-li-pay!”

Thay-lek-hui-mo maju hendak menangkap leher Kong Hwat, akan tetapi Soan Li sudah menggerakkan sabuk suteranya dan tahu-tahu tubuh pemuda itu sudah melayang jatuh ke dekatnya. Soan Li menotok pemuda itu dan mengepitnya.

“Pemuda ini aku yang merobohkannya, tak perlu kau mencampuri urusan Sian-li-pay lagi, aku hendak membawa dia ke Sian-li-pay!” Soan Li hendak meloncat pergi, Thay-lek-hui-mo berkelebat dan tahu-tahu telah berada di hadapannya.

“Ha ha ha…… enak betul kau bicara nona, mana boleh kau sendiri yang membawa pemuda itu, biarlah pinceng dan orang-orang Hek-lian-pay yang membawanya.......”

“Tidak!” Soan Li membentak marah, sementara hatinya berkuatir bukan main melihat keadaan pundak dan leher Kong Hwat sudah menghitam dan pemuda itu pingsan dalam kempitannya. Aku harus cepat menolongnya, kalau tidak bahaya sekali kalau racun Sianli-tok-ciam itu menjalar ke jantungnya. Amat berbahaya, pikir Soan Li yang tiba-tiba begitu merasa cemas hatinya. Heran mengapa ia kini cemas dan kuatir, bukankah ia sendiri yang melukainya? Aneh!

Thay-lek-hui-mo menghampiri Soan Li. “Nona harap kau tinggalkan pemuda itu!”

“Tidak, aku yang merobohkannya, aku yang berhak membawanya ke Sian-li-pay, enak saja kau…… setelah pemuda ini kurobohkan kalian hendak menangkapnya dan menyerahkan kepada Pay-cu, hem, bagus betul….. aku yang setengah mati melawannya dan merobohkan, hem, engkau yang hendak menyerahkan kepada Pay-cu, tidak!”

“Ha ha ha, kau keras kepala nona. Kalau kau sendiri tidak merobohkannya tentu tanganku ini juga yang merobohkan dan kemudian menyerahkan kepada Sian-li-pay. Sudahlah, kau mau serahkan kepadaku atau tidak?”

“Tentu saja tidak, karena aku yang bersusah payah merobohkannya, kamu ini hwesio curang....... sudah ia roboh baru kalian muncul!”

Soan Li sudah bersiap dengan cambuknya. Akan tetapi begitu merasa leher Kong Hwat demikian panas, ia terkejut bukan main! Celaka! Ia harus cepat-cepat pergi dari tempat ini dan menolongnya secepat mungkin! Berpikir demikian, Soan Li mencelat ke atas pohon.

Thay-lek-hui-mo menggerakkan jubahnya dan angin besar berpusing, menyambar Soan Li yang mencelat ke atas pohon dengan cepat sekali. Merasa ada angin yang demikian kuat menyambar ke atas, cepat Soan Li mencelat lagi berpindah pohon, demikianlah ia terus mencelat dari pohon ke pohonn yang lain.

Sementara Thay-lek-hui-mo menggerakkan tangannya ke atas, apabila tangan itu terayun terdengar suara keras pohon itu roboh dan daun bertebaran jatuh. Inilah hebat sin-kang hwesio Iblis terbang bertenaga seribu itu. Pukulan yang digerakkannya adalah pukulan-pukulan Gin-san-ciang yang luar biasa hebatnya.

Akan tetapi sebaliknya, sambil mengempit tubuh Kong Hwat, Soan Li juga memperlihatkan gin-kangnya meloncat-loncat dari atas pohon ke pohon yang lain. Tentu saja percuma sekali, ia yang telah mendapat julukan Sian-li-eng-cu atau si Bayangan Bidadari kalau saja ia tidak dapat menghindari pukulan-pukulan maut dari hwesio itu. Maka dengan berloncatan dari pohon ke pohon yang lain dalam hutan itu, sebentar saja, Thay-lek-hui-mo kehilangan jejaknya.

Hanya dari kejauhan didengarnya suara si hwesio itu memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Soan Li girang sekali bahwa lawannya kehilangan jejak, dengan cepat sekali ia melarikan diri.

Ia terus berlari ke arah selatan hutan. Semakin dalam hutan itu semakin lebat dan penuh pohon-pohon besar. Akan tetapi Soan Li tidak memperdulikan ini, ia terus berlari menjauhi suara Thay-lek-hui-mo yang memaki-maki kalang kabut. Baru setelah suara itu tak terdengar lagi, Soan Li menurunkan Kong Hwat dalam kempitannya.

Ternyata Kong Hwat sudah sadar dalam pingsannya, cuma saja ia merasa tubuhnya demikian kaku dan panas sekali seperti dibakar. Begitu Kong Hwat siuman, terheran ia begitu ia melihat dirinya di kempit oleh Soan Li dan membawanya lari dengan amat cepatnya merasa bahwa gadis itu berhenti larinya. Kong Hwat menoleh ke arah gadis yang tengah mengempitnya. Tiba-tiba merasa Kong Hwat sudah bergerak, Soan Li melemparkan kempitan itu dan keruan saja tubuh pemuda itu terbanting ke tanah.

“Turun kau, keenakan kubawa lari,” Soan Li mengomel.

Akan tetapi Kong Hwat tidak menyahut.

Ia merasakan lehernya demikian panas dan gatal-gatal. Ia meraba leher dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening bukan main. Tak tertahankan ia, dan Kong Hwat memeramkan matanya. Dirasanya kepala berayun- ayun dan di dalam kegelapan itu tampak bintang-bintang berputaran.

Soan Li mendekati pemuda itu. Mendekur di tanah dan memegang kepala Kong Hwat sambil berkata pelan: “Kau terluka oleh jarumku…... coba kuperiksa!”

Akan tetapi Kong Hwat tak mendengar perkataan lembut itu. Ia merasa dirinya berada di alam lain. Tak menyadari lagi apa yang terjadi. Tak tahu ia betapa Soan Li mengusap lehernya perlahan, membuka bajunya di bagian pundak dan menempelkan bibir itu ke pundak dan menyedotnya kuat-kuat.

Tiga kali Soan Li menyedot luka di pundak pemuda itu, tiga kali itu pula Kong Hwat mengeluh perlahan. Mulutnya berbisik: “Aduuh….. panas…… panas!”

“Diamlah…… Kong Hwat…… diamlah kau, darahmu sudah keracunan oleh jarumku sendiri, biar kubersihkan darahmu yang bercampur dengan racun itu,” Soan Li berbisik di dekat telinga pemuda yang mengeluh seperti orang mengigau. Kemudian ia menyedot lagi luka pemuda itu dan meludah ke tanah.

Darah merah menyembur dari mulut si gadis itu. Darah yang bercampur racun hijau yang terdapat pada jarum Sianli-tok-ciam. Lima kali sudah Soan Li menyedot luka itu, perlahan-lahan jarum halus yang tadi melesak ke dalam daging menyembul sedikit. Dengan kuku jarinya yang runcing, gadis itu mencabutnya.

Kong Hwat mengeluh perlahan. Waktu ia membuka matanya, alangkah herannya melihat gadis yang tadi menyerangnya mati-matian itu berjongkok di dekatnya sambil membalut luka di pundak. Tak mengerti Kong Hwat, bagaikan mimpi rasanya waktu tangan halus lembut itu meraba pundaknya dan membalut lukanya. Kong Hwat membuka matanya.

Seperti orang kaget Soan Li mencelat menjauhi dan mukanya menjadi merah untuk seketika ia tertunduk dan menekan perasaan.

“Aku telah melukaimu dengan jarum Sianli-tok-ciam,” Soan Li berkata pelan seperti ia berkata pada dirinya sendiri. Setengah berbisik.

Kong Hwat tersenyum lega. Ia kira gadis itu mencelat hendak menyerangnya, tidak tahunya Soan Li hanya berdiri tertunduk seperti orang bingung dan malu. Ia tak berani menentang pandangan pemuda itu. Ia merasa dirinya bersalah, telah bertindak keterlaluan melukai pemuda itu.

Kong Hwat menghampiri Soan Li.

“Tidak apa nona, bukankah kau sendiri yang telah merawat lukaku. Eh, seharusnya akulah yang mengucapkan terima kasih kepadamu, nona. Terima kasih!” Kong Hwat menjura.

Soan Li mengangkat mukanya. Tiba-tiba wajahnya memerah. Malu dan jengah. GILA!!! Bukankah tadi aku hendak menangkap pemuda ini, dan membawanya ke Sian-li-pay? Pikirnya. Mengingat ini ia mencabut sabuk suteranya dan meloncat ke depan.

“Bagus, kau sudah sembuh Kong Hwat, kita teruskan pertandingan kita tadi!”

Karuan saja Kong Hwat jadi terbelalak heran.

“Eeee...... kenapa jadi begitu…... mengapa kita harus bertanding lagi.” Kong Hwat memandang gadis itu dengan mata bodoh.

Si gadis mengedikkan kepalanya, matanya melirik ke arah luka di pundak si pemuda yang masih dalam balutan: “Mengapa diam saja, hayo, layani aku lagi!”

“Sudah nona, tak usah bersandiwara, kita tak perlu bertempur lagi…... bukankah kita sudah bersahabat?”

“Bersahabat?”

“Ya. Tentu kita sudah bersahabat. Kau tadi melukaiku dengan jarummu, akan tetapi kau tidak sengaja bukan? Buktinya....... kau merawat lukaku.”

“Ahhh…... jangan banyak bicara, eh, Kong Hwat…... berani tidak melawan tongkatku?”

“Tentu saja aku tidak berani melawanmu nona.......” suara Kong Hwat terdengar penuh perasaan hati.

Sejenak Soan Li terheran dan berdebar hatinya. Pemuda ini begitu lemahkah hatinya....... mudah mengalah?? Ah tidak! Aku merasa penasaran sekali!!

“Pokoknya aku belum puas kalau belum mengalahkanmu. Hayo kita bertanding lagi, biar seribu jurus akan kulayani!”

“Nona sudahlah, aku mengaku kalah, eeeh memang aku sudah kalah, buktinya aku terluka olehmu.......”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar