Pendekar Lengan Buntung Jilid 05

Jilid 05

Mendengar perkataan Sian Hwa, pemuda cebol yang bernama Go Sin Thong itu merasa terpukul juga oleh kata-kata yang pernah dia keluarkan untuk menasehati gadis kawannya tadi. Kini kata-kata itu dipakai untuk menyerang dirinya!!

Sambil tersenyum pahit dia berkata: “Rendah diri memang tidak boleh Sian Hwa, akan tetapi dalam mengambil tindakan kita harus berlaku hati-hati dan tidak semberono, sebaiknya menyelidiki dahulu keadaannya.

“Menyelidiki apanya?? Kalau kau menang dalam sayembara itu, bukankah kau mendapat hadiah dan memboyong puterinya Lo Ban Theng? Eh!! kalau berhasil jangan lupa kartu merahnya lhoo.......”

“Aii, kau sudah ngaco sampai ke situ. Kartu merah sih gampang, bagaimana kalau puterinya Yok-ong tidak demen padaku, kan berabe!”

“Pasti demen deh, pasti cinta!!”

“Ngomong sih gampang, sudahlah Sian Hwa, lihat matahari sudah tenggelam, sebentar lagi akan gelap, hayo kita pulang kembali…...!!”

“Sin Thong, apakah kau pernah melihat puterinya Yok-ong itu??” tanya Sian Hwa sambil melompat turun, kemudian berjalan mengikuti Sin Thong berlari-lari di sepanjang sungai itu.

“Tentu aku kenal Sian Hwa, kalau tidak masakan aku mau mengikuti sayembara itu...... Aku sering disuruh suhu ke sana untuk mengambil akar obat-obatan. Tentu saja, sebagai seorang ahli pengobatan seperti suhu, ia kenal baik dengan Yok-ong Lo Ban Theng, malah sering pula aku bertemu dengan puterinya yang bernama Lo Siauw Yang. Kepandaian silatnya hebat, mungkin aku sendiri tidak dapat menandinginya!!”

“Tentunya cantik jelita, Lo Siauw Yang bukan??”

“Cantik atau tidak itu nomor dua bagiku Sian Hwa, yang terpenting, disamping kecantikan itu apakah ada rasa kasih sayangnya terhadapku. Itu nomor satu. Cinta, tanpa cinta aku tak dapat memilikinya!”

Mendengar itu Sian Hwa termenung, terkenang pula dia akan Tiang Le, mereka saling menyinta. Akan tetapi kenapa dia tidak dapat memiliki Tiang Le yang sangat dia cintai itu?? Malahan bagaimana keadaannya Tiang Le tak tahu dia.

Ingin sekali dia bertemu dengan pemuda itu, sudah lama ia merindukannya, biar buntung ia masih mencintainya. Tapi apakah Tiang Le masih hidup, Sian Hwa menjadi kuatir, jangan-jangan Tiang Le sudah diseret air sungai dan tenggelam, mati?? Ahh, kalau bagitu mana dapat lagi ia bertemu dengannya!! Tidak, seandainya Tiang Le masih hidup dan melihat wajahnya seperti ini, apakah dia masih mencintainya?

“Aku harus tahu diri,” demikianlah Sian Hwa berpikir. Ia tidak banyak berbicara lagi, dia hanya berlari? Di sebelahnya Sin Thong! Pikirannya menerawang jauh, dan tenggelam dalam lamunannya mengenang Tiang Le!

Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Thong dan Sian Hwa meninggalkan dusun. Kwa-sinshe memberi sebuah hadiah yang dititipkan pada muridnya untuk ulang tahun sahabatnya yang bernama Yok-ong Lo Ban Theng. Ia sendiri tidak dapat pergi karena ia harus memeriksa seorang pasien yang katanya kecelakaan di sungai.

Oleh sebab itu karena iapun sangat repot sekali, maka muridnyalah yang diutusnya untuk menghadiri perayaan ulang tahun sahabatnya di kota Wei An, seratus lie kira-kira jauhnya dari dusun Sian-lian-bun ini. Ia cuma memesan kepada muridnya:

“Sin Thong, wakililah gurumu ke sana memberi selamat kepada Yok-ong locianpwe yang dikenal itu dan sekedar hadiah dariku, kau berikanlah ini. Ingat, muridku! Kau harus menjaga nama baik gurumu di sana. Jangan berlaku semberono dan kabarnya disamping perayaan se-jid (ulang tahun) itu kabarnya Yok-ong akan mengadakan sayembara permainan silat untuk memilih jodoh puterinya. Kalau memang tidak perlu, tak usah kau mengikuti sayembara itu! Mengerti kau muridku?”

“Teecu (murid) akan melaksanakan pesan suhu. Akan tetapi sebetulnya teecu tertarik akan sayembara permainan silat itu. Apakah suhu mengijinkan untuk teecu turut serta?”

Kwa-sinshe menarik napas panjang. Ia menatap tajam ke arah muridnya ini. Mata yang tua itu sebentar saja sudah dapat menangkap apa yang terkandung di hati muridnya. Ia mengerti keadaan muridnya. Biarpun tak pernah muridnya mengutarakan isi hati kepadanya, namun orang tua yang berpengalaman ini sudah dapat menerka isi hati si murid.

Sejak dulupun ia sudah tahu bahwa muridnya ini tertarik dengan puteri sahabatnya. Beberapa kali apabila Sin Thong disuruhnya ke Wei An selalu ia bercerita tentang puteri itu.

Sekarang, puteri itu hendak dicarikan jodoh dengan seorang pemuda yang dapat menandingi ilmu silat keturunan Lo Ban Theng. “Gila, benar!” pikir Kwa-sinshe, “masa memilih jodoh saja harus melalui sayembara pertandingan ilmu silat. Keterlaluan!”

Akan tetapi ia mengutus juga Sin Thong!

Ada setengah hari mereka berkuda melakukan perjalanan dengan amat cepatnya, pada siang hari itu sampailah mereka di kota Wei An, sebuah kota kecil di sebelah timur Cin-an, di lembah sungai Huang-ho. Tidak berapa jauh, kira-kira duaratus lie di sebelah utara terdapat sebuah kota yang menjadi pusat wilayah pemerintahan yang bernama Kotaraja, menjurus ke sebelah timur terdapat lautan Po-hay.

Tidak jauh pula dari tempat ini di sebelah selatan terdapat kota dagang An Hui. Oleh karena kota Wei An ini begitu strategis letaknya maka tidak heran kalau kota ini ramai sekali. Karena tempat ini merupakan pelabuhan bagi perahu-perahu yang mengangkat barang hasil bumi yang hendak dilayarkan ke laut timur.

Sin Thong dan Sian Hwa memasuki kota Wei An. Hari telah siang ketika mereka memasuki kota itu.

Sin Thong yang pendek kecil berpakaian keren sekali. Pedang pemberian suhunya diselipkan dibalik jubahnya yang lebar. Ia berpakaian seperti seorang siucay (pelajar), meskipun pemuda ini pendek dan kecil akan tetapi mempunyai wajah yang cukup tampan. Alisnya tebal berbentuk golok, wajahnya putih halus.

Dan disebelahnya berjalan Sian Hwa menuntun kuda putih, mukanya tertutup kerudung sutera hitam, sehingga tidak menampakkan wajahnya yang buruk menakutkan itu. Untuk selamanya, ia selalu memakai kerudung hitam ini. Dengan demikian orang tak tahu akan cacad wajahnya! Nampak cantik sekali gadis remaja langsing itu dengan pedang terhias di punggung. Pakaiannya ketat mencetak tubuh yang langsing.

Sin Thong yang sering kali mengunjungi kota ini tak begitu sukar mencari rumah Yok-ong Lo Ban Theng. Rumah besar yang kini sudah terhias dengan hiasan-hiasan kertas dan lampu-lampu yang mentereng dan indah sekali.

Begitu mereka sampai di depan gedung Yok-ong, banyak sekali tamu-tamu yang berdatangan. Suara musik terdengar sampai ke luar sini. Di depan gedung itu terdapat sebuah panggung lui-tay (panggung khusus untuk bermain silat), akan tetapi masih sepi di bagian sana.

Tanpa sungkan lagi Sin Thong mengajak Sian Hwa memasuki halaman rumah keluarga Lo yang sudah terhias indah itu. Nampak seorang tinggi besar yang berpakaian seperti seorang pembesar berdiri menyambut tamu-tamunya. Pada saat Sin Thong berhadapan dengannya, dia menjura memberi hormat dan berkata:

“Lo Yok-ong, siauwte Go Sin Thong menghaturkan hormat dan selamat ulang tahun kepada Lo Yok-ong, semoga diberkahi umur panjang dan hidup sejahtera!!”

“Haa....... haa, Sin Thong, kenapa datang sendiri? Mana Kwa Sicu gurumu?” orang tua itu tertawa senang melihat kedatangan anak muda yang dikenalnya ini.

“Maaf Lo Yok-ong, suhu berhalangan datang dan mengirim salam selamat untuk Lo Yok-ong,” kata Sin Thong sambil memberikan hadiah dari gurunya kepada sang raja pengobatan ini.

“Haayaaa pakai antar-antaran segala!! Terima kasih....... terima kasih, sampaikan salam hormatku untuk gurumu Sin Thong. Eeh, siapa nona ini??”

“Dia kawan siauwte!” sahut Sin Thong.

“Kawanmu, silahkan duduk....... silahkan duduk siocia!” Lalu seorang penyambut tamu mengantarkan Sian Hwa ke ruangan tamu yang disediakan khusus untuk tamu-tamu wanita.

Sedangkan Sin Thong duduk di dekatnya Yok-ong Lo Ban Theng. Waktu pandangannya terbentur dengan seorang gadis cantik, berpakaian kembang-kembang merah bergaris-garis biru, hatinya Sin Thong jadi berdebar-debar.

Itulah dia puteri dari Yok-ong yang bernama Lo Siauw Yang. Cantik sekali gadis yang berpakaian kembang-kembang merah itu.

Banyak sekali tamu-tamu yang berdatangan, di antaranya juga hadir pembesar setempat dan tokoh-tokoh kang-ouw.

Mereka ini sengaja datang dari berbagai tempat untuk ikut memberi hormat dan merayakan hari ulang tahun yang kelimapuluhnya Yok-ong Lo Ban Theng, Tamu-tamu itu terdiri dari berbagai orang, misalnya seperti orang perautauan, pertapa, pelajar, guru silat dan banyak pula yang lagaknya seperti pendekar silat dan ada pula beberapa wanita, tetapi mereka itu adalah ahli-ahli silat terkenal.

Itu semua tidak heran, karena tokoh-tokoh kang-ouw manakah yang tidak mengenal Yok-ong Lo Ban Theng yang namanya sudah tersohor sejak puluhan tahun yang lalu. Orangtua she Lo ini, di samping terkenal sebagai ahli pengobatan sehingga mendapat gelar Yok-ong (raja obat), dia juga terkenal pula sebagai seorang pendekar tua yang terkenal kepandaian ilmu silatnya.

Pada waktu orang tua she Lo itu masih muda, entah berapa banyak kali ia sudah malang melintang di dunia Bulim, membasmi kaum pemberontak, menghancurkan sarang bajak laut di lautan Po-hay, dan karena sifat kependekaran yang berjiwa satria inilah sehingga keturunan obat she Lo dikenal di daratan Tiongkok, sampai ke dunia Barat.

Tentu saja di samping handai tolan, sanak famili, pembesar-pembesar undangan, di antara mereka kebanyakan adalah orang kang-ouw biasa, terdapat juga Hok-kian Sin-hauw Bi Goan, harimau sakti dari Hok-kian, Hak-san tayhiap Ong Kwi si pendekar dari Hak-san dan Kong Jin Kek yang berjuluk orang si Dewa Arak atau Ciu-sian. Mereka bertiga ini telah mendapat nama pula di dunia kang-ouw. Terkenal sebagai pendekar-pendekar sejati yang membela kebenaran.

Juga disamping itu hadir juga Wakil-wakil dari cabang-cabang Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay, dan Hoa-san-pay. Mereka ini, para locianpwe kaum tua gagah yang telah berusia sekitar setengah abad itu duduk di tempat kehormatan yang disediakan oleh tuan rumah.

Akan tetapi yang menarik perhatian para tamu dan tuan rumah adalah kedatangan Sin Thong dan Sian Hwa yang berkerudung hitam. Sebagai orang-orang tua yang banyak malang melintang di dunia kang-ouw, mereka juga mendengar akan perkumpulan hitam yang bernama Sian-li-pay (perkumpulan bidadari) yang kesemuanya terdiri dari kaum wanita muda berkerudung hitam. Entah apakah gadis yang bersama-sama laki cebol itu adalah salah seorang anggota Sian-li-pay, mau apa dia? Demikian banyak tamu yang menaruh curiga!

Akan tetapi, karena Sian Hwa sendiri tidak mengetahui hati mereka yang diam-diam menaruh curiga, maka iapun tidak ambil perduli dan acuh tak acuh. Meskipun dari pandangan matanya ia dapat melihat sikap orang-orang yang tertuju kepadanya, namun karena tidak mengerti ia tenang-tenang saja.

Duduk di bagian kaum wanita muda ia mengawasi tamu-tamu yang berdatangan itu. Banyak juga memang tamu-tamu yang berdatangan, sehingga taman bunga gedung keluarga raja obat Lo penuh dengan tamu-tamu yang duduk mengelilingi meja, kurang lebih ada duaratus orang tamu yang telah berkumpul di situ!

Pada saat itu terdengar sapaan-sapaan hormat dari para penyambut tamu di depan ketika tiga orang tua memasuki halaman taman. Yok-ong Lo Ban Theng melirik dan terkejut ia melihat kedatangan tiga orang itu.

Satu seorang tua, akan tetapi tampak gagah dan keren berpakaian seorang jenderal dengan tanda pangkat mentereng di pundak, tahulah Yok-ong bahwa yang datang itu adalah Bong-goanswe, dan Hok Losu, orang tua dari Siauw-lim-pay dan yang satunya lagi, sebaya dengan Bong-goanswe adalah Leng Ek Cu, tokoh Kong-thong-pay yang telah dikenalnya.

“Ha ha ha, Lo-kiam enghiong (situa jago pedang she Lo), kenapa tidak menyambut kedatangan kami? Mana Yok-ong Lo-kiam-enghiong.......! Ha ha, selamat ulang tahun..... kiong-hie...kiong-hie!” Bong-goanswe mengangkat ke dua tangannya menjura dengan hormat ke arah tuan rumah yang datang menyambut?

“Ayaaa…… dikirain siapa, tak tahunya Goanswe dari Kotaraja dan Hok Losu dari Siauw-lim dan sahabat Leng Ek Cu dari Kong-thong pay....... mari….. mari silakan masuk....... silakan duduk!” Yok-ong Lo Ban Theng menyambutnya dengan hormat. Ia tahu siapa orang-orang ini. Orang kepercayaan kaisar dari Kotaraja!

“Eh, Lo-kiam-enghiong....... kabarnya kau hendak mengadakan sayembara untuk perjodohan puterimu, betulkah itu?” Leng Ek Cu bertanya, sambil mengambil tempat duduk.

“Hanya sebagai selingan saja sahabat, tidak menjadi acara istimewa!” Yok-ong Lo Ban Theng menyahut perlahan.

“Hehehe, bagus, acara yang menarik juga. Biarlah pinceng berkenan untuk menonton acara pemilihan jodoh....... hahahehehe,” Hok Losu dari Siauw-lim-pay tertawa.

Suara yang bebas dan besar ini menarik perhatian para tamu-tamunya. Aneh kedengarannya, masa seorang hwesio suci berbicara sekeras itu? Akan tetapi tentunya mereka tidak berani menegur, karena mengenal Hok Losu, hwesio dari Siauw-lim yang luar biasa kepandaiannya!

Sian Hwa melihat pula kedatangan jenderal Bong itu. Diam-diam ia mengagumi akan wibawa si raja obat she Lo ini, sampai-sampai jenderal dari Kotaraja turut datang. Hebat!

Setelah semua tamu lengkap jumlahnya kecuali beberapa orang yang tidak dapat datang Yok-ong Lo Ban Theng berdiri di tengah-tengah ruangan itu sambil mengangkat tangan memberi hormat ke sekeliling kemudian membuat sambutan singkat:

“Para locianpwe (orang tua gagah), para enghiong yang terhormat dan sekalian saudara-saudara yang terhormat. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas kesediaan saudara-saudara yang telah meringankan kaki datang ke tempat ini guna menghadiri dari perayaan se-jid (ulang tahun) saya yang kelimapuluh.

“Semoga budi baik saudara-saudara mendapat berkah yang berkelimpahan dari Thian (Tuhan). Dan maafkanlah kiranya perjamuan ini kurang lengkap dan amat sederhana sekali dan maafkan pula jika penyambutan-penyambutan kami kurang memuaskan cuwi (saudara-saudara sekalian).”

Kemudian pesta dimulai dengan ramai dan gembira. Hidangan-hidangan lezat dan minuman-minuman dikeluarkan oleh para pelayan. Hingar bingar sekali suasana di tempat ini.

Tiba-tiba, di tengah-tengah pesta seorang yang duduk di bagian kaum muda berdiri mengajukan usul: “Lo-enghioag, siaute yang muda dan bodoh ini mendengar desas desus kabarnya pada hari se-jid Lo-enghiong akan diadakan sayembara permainan silat dan pemilihan jodoh sang puteri, apakah ini benar?”

Semua para hadirin melirik dan memandang kagum melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan mantap dalam berkata-kata tadi. Orang muda itu masih sangat muda, berusia sekitar sembilanbelas tahun. Kulit mukanya putih kemerahan seperti wanita. Berpakaian warna biru, gerak-geriknya halus.

Pemuda tadi berkata-kata sambil memegang kipas hitam di tangannya mengebas-ngebaskan tubuhnya yang seperti orang kepanasan. Tertarik sekali tuan rumah melihat tamu muda yang tampan dan berani mengeluarkan pendapat tadi. Entah siapakah orang muda itu?

Yok-ong Lo Ban Theng berdiri. Ke empat penjuru ia memberi hormat agak membungkukkan badannya dan berkata: “Cuwi (tuan-tuan sekalian), benarlah seperti kata-kata orang muda baju biru tadi. Memang di samping hari baikku ini, saja yang tua berkenan untuk mengadakan sayembara pertunjukan silat, sekalian untuk mencari jodoh bagi puteriku yang tunggal ini, bernama Lo Siauw Yang!”

Orang tua itu menunjuk ke arah puterinya. Siauw Yang berdiri memberi hormat. Mengangguk perlahan. Melihat gadis ini, banyak kaum muda tertarik akan kecantikan puteri Lo Ban Theng ini, diam-diam mereka hendak mengikuti sayembara ini. Siapa tahu!

“Puteriku yang bodoh itu bernama Lo Siauw Yang,” Memperkenalkan orang tua itu. “Syarat-syarat untuk mengikuti sayembara adalah sebagai berikut: Seorang pemuda, tidak lebih dari tigapuluh tahun usianya, belum mempunyai istri dan mempunyai kepandaian silat. Bagi siapa yang berminat mengikuti sayembara ini, harap mempertunjukkan permainan silatnya untuk saya nilai!!” Kemudian sambungnya:

“Sekiranya orang muda itu memenuhi syarat tadi, maka orang muda itu akan diuji melawan tiga orang pelayanku yang bernama Sam-hauw-swat-cu-eng (tiga harimau mustika salju). Apabila dapat mengalahkan ke tiga pembantuku itu, maka puteriku yang bodoh berkenan mengujinya!! Nah itulah syarat-syaratnya!”

Si dewa arak Kong Sin Khek tertawa: “Ha… haa... haa…. Yok-ong pinter sekali memilih mantu, menarik sekali acara ini, sayangnya aku sudah tua dan tentunya tidak diperkenankan menggikuti sayembara ini bukan??”

Lo Ban Theng tertawa lebar: “Hayaaa, sudah barang tentu tidak boleh bagi kita yang sudah tua ini. Tetapi saja persilahkan para locianpwee di sini untuk menjadi saksi dan sebagai jurinya!!”

“Akuur. Kami para tua bangka yang sudah pada mau mampus ini biarlah yang menjadi juri dan saksinya, he... he!” sahut Hak-san tayhiap Ong Kwie sambil melirik ke arah kaum muda yang sudah gatal tangan hendak memamerkan kepandaiannya.

Yok-ong Lo Ban Theng mengangkat alis dan pundak, katanya, “Yang diperkenankan maju hanyalah orang muda yang tidak lebih tigapuluh tahun usianya!” Lalu dengan suara keras ia memberitahu kepada semua tamu bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Semua mata para tamu tertuju ke arah panggung terbuka yang memang sejak tadi sudah disiapkan di tengah-tengah taman bunga yang berbentuk segi empat luasnya.

Sebagai acara pembukaan, putri Yok-ong Lo Ban Theng yang bernama Lo Siauw Yang meloncat ke atas panggung dengan gerakan ringan dan indah. Tepuk tangan para hadirin menyambut berkelebat bayangan merah berkembang. Ternyata Siauw Yang sudah berada di atas panggung dan dengan mengangguk tiga kali sebagai penghormatan untuk para tamu, kemudian dengan gerakan yang cepat dan mantap ia sudah memainkan jurus-jurus ilmu pedang dari keturunan Yok-ong Lo Ban Theng.

Cepat sekali gerakan-gerakan gadis ini sehingga bagi para tamu yang berkepandaian yang tidak tinggi hanya melihat sebuah bayangan merah berkelebat-kelebat di antara gulungan sinar perak. Cuma sebentar Siauw Yang memainkan ilmu pedangnya, hanya jurus-jurus kembangnya saja.

Kemudian ia menghentikan permainannya dan setelah memberi hormat dengan membungkukan badan tiga kali ia mencelat ke bawah dengan gerakan ikan lele meloncat di air, maka untuk yang terakhir nampak tiga kali bayangan merah meletik dari atas panggung berpok-say dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berdiri di samping ayahnya, Yok-ong Lo Ban Theng.

Terdengar lagi suara tamu-tamu memuji.

Hening untuk seketika. Pandangan mata tertuju ke arah panggung mengharapkan seorang yang meloncat ke arena memamerkan kepandaiannya. Tentu saja setelah gadis Siauw Yang memamerkan ilmu pedangnya, banyak hati orang muda yang tadinya hendak mencoba-coba kini menjadi ciut nyalinya. Diam menanti reaksi dari yang lain.

Ada sekitar lima menit. Tiba-tiba dari ruangan tengah mendatangi seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar duapuluh lima tahun dan dengan langkah lebar ia menghampiri lui-tay dan meloncat ke atas. Terdengar sambutan dari para tamu.

“Siauwte she Khu bernama Ho Siang. Sedikit hendak memperlihatkan kebodohan sendiri, harap para cuwi (tuan-tuan sekalian) tidak mentertawakan kebodohanku ini,” sehabis berkata demikian pemuda tinggi kurus yang memperkenalkan diri dengan nama Ho Siang mengeluarkan sebuah suling berwarna hitam. Suling ini panjangnya ada sekitar dua kaki.

Orang-orang yang melihat pemuda itu mengeluarkan suling hitam, ada yang tertawa-tawa, malah ada yang mengejek. Untuk apa pemuda tinggi kurus itu mengeluarkan suling, hendak bermain musik? Akan tetapi pandangan mereka tetap tertuju ke atas lui-tay dan memperhatikan pemuda tinggi kurus itu.

“Saja dari desa Ngingkelak di India. Karena sejak kecil saya doyan sekali main suling dan ini merupakan hobby saya, maka saja hendak mempertunjukkan kepada cuwi permainan suling hitam saja,” pemuda tinggi kurus Ho Siang, menempelkan tubuh sulingnya ke dekat bibir. Akan tetapi baru saja ia hendak meniup, terdengar suara tertawa keras.

Pemuda itu menurunkan lagi sulingnya dan menengok. Ia mengerutkan kening begitu dilihatnya yang mentertawakannya tadi adalah seorang pemuda tampan berbaju biru dan memegang kipas hitam, mengibas-ngibaskan kipasnya, seperti orang kegerahan.

“Kenapa saudara tertawakan saya?” tanya Ho Siang menurunkan suling hitamnya.

Pemuda baju biru tertawa. Bibirnya yang kecil itu menarik sekali waktu tertawa seperti itu. Diam-diam para tamu yang melihat pemuda tampan baju biru itu tertarik kagum. Siauw Yang berdebar-debar hatinya. Entah mengapa ia merasa kagum dan simpati kepada pemuda tampan baju biru itu.

Si pemuda tampan baju biru berdiri. Senyumnya yang mengejek itu mengeluarkan perkataan ketus. “Lui-tay (panggung tempat bermain silat) bukannya tempat memamerkan kepandaian meniup suling, mengapa kau begitu sinting untuk mempertunjukkan suling bututmu yang jelek itu?”

“Apa? Kau ini siapa, hemm pemuda mulut lancang. Tuan rumah sendiri tidak melarang. mengapa kau begitu melarangku?”

“Siapa yang tidak melarang? Lihat semua para hadirin sudah mengutuk kesintinganmu. Masa bukan mempertunjukan ilmu silat eh, kau bermain suling di situ. Kalau tidak punya kepandaian silat, hayo turun saja!”

“Kau menantangku?” si pemuda tinggi kurus yang bernama Ho Siang itu mendelik hendak menelan pemuda tampan ini. Diam-diam ia merasa heran mana ada pemuda demikian tampan, alisnya, matanya, bibirnya yang kecil bagus. Hemm, sangat tampan memang!

“Siapa yang takut sama suling bututmu? Dengan kipas hitamku saja kau pasti terguling!”

“Sombong! Kalau ada nyali naik kau!” Ho Siang menjadi panas hatinya.

Heran sekali dia mengapa melihat pemuda tampan ini hatinya begitu gemas! Hemm, melihat wajah tampan itu. Tak rela ia, Biasanya pemuda yang seperti ini, tentu ceriwis dan suka godain perempuan. Merayu perempuan!

Melihat dua orang muda ini sudah saling bertengkar mulut, Yok-ong Lo Ban Theng segera melerai, katanya: “Orang muda yang memegang suling! Benar kata tuan muda baju biru itu bahwa lui-thay disediakan untuk mereka yang mengerti ilmu silat. Dan bukan tempatnya untuk bermain suling!”

“'O, ah…. Maaf….. maaf!” sambil menjura begitu pemuda kurus Ho Siang. berjalan menuruni panggung. Orang-orang muda mentertawakan kesintingan pemuda kurus itu.

Malah pemuda baju biru berkata perlahan waktu ia lewat di depannya: “Apa kataku, kalau mau ngamen (mempertunjukkan) permainan suling bututmu, di pasar saja, banyak saja yang tonton dan nasib mujur ada yang melempar uang kepadamu. Di sini, bukan tempatnya!”

Ho Siang menoleh. Gemas sekali ia sama mulut pemuda tampan ini, kepingin sekali ia mencubit bibir yang menggemaskan itu. Sayang di muka umum. Awas kau nanti, kucubit bibirmu yang lemes itu! Akan tetapi ia diam saja dan duduk di tempat semula.

Sian Hwa yang duduk tidak jauh dari Sin Thong memandang dan melemparkan pandangannya ke panggung memberi isyarat untuk pemuda itu maju ke muka. Akan tetapi Go Sin Thong memberi isyarat pula menggelengkan kepalanya. Ia melirik ke arah Siauw Yang.

Siauw Yang membalasnya memandang dan tersenyum. “Seeer...mati kau!” bersambat Sin Thong menerima senyum itu. Sebetulnya ingin sekali ia mencoba-coba kepandaian gadis ini, namun segan terhadap orang tuanya!

Ia masih memberikan kesempatan itu kepada tamu-tamu lain!

Baru saja tuan rumah Yok-ong Lo Ban Theng hendak membuka suara, tiba-tiba dari luar mendatangi serombongan tamu baru yang jalan terdepan adalah seorang kakek-kakek setengah tua bersorban merah di atas kepala, berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap.

Begitu masuk ia berkata keras, “Ya, pantas Lo lo-enghiong melupakan kami, kiranya masih sibuk sekali.”

Semua orang menengok, dan Yok-ong Lo Ban Theng memandang agak tidak senang tapi terpaksa ia maju menghampiri dan menyambut mereka, “Maaf, saya orang tua menyambut agak terlambat.” Ia lalu membawa berempat ke ruang yang masih kosong.

Begitu orang setengah tua bersorban merah itu melihat Bong-goanswe ia menundukan kepala dengan penuh hormat, “Maaf kiranya Bong Bong Sianjin juga tidak ketinggalan di sini, eh, Hok Losuhu dan Leng sicu juga hadir. Wah pesta meriah sekali nih!”

“Te-thian Lomo, hayaa, baru ketemu lagi, bagaimana banyak maju?” tanya Bong-goanswe yang mulanya dikenal sebagai Bong Bong Sianjin.

Antara para tamu yang tidak mengambil perhatian di antara atas percakapan orang itu adalah sepasang mata di balik kerudung sutera hitam yang memandang terbelalak mengeluarkan sinar api. Ini tampangnya pembunuh suhu, Bong Bong Sianjin dan itu yang bersorban merah adalah Te-thian Lomo.

Hm, kebetulan sekali, pikir Sian Hwa. Ingin sekali ia menerjang musuh besarnya itu, akan tetapi mengingat tuan rumah yang tengah berulang tahun. Tak mau ia membuat kacau tempat pesta orang tua she Lo itu.

Setelah menuang arak dan menawarkan makan untuk tamu-tamu barunya itu, Yok-ong Lo Ban Theng kembali ke atas panggung dan mempersilahkan tamu mudanya untuk memperlihatkan sedikit kepandaian.

Baru saja habis tuan rumah berbicara dan hendak melompat turun, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan tahu-tahu di atas panggung itu telah berdiri seorang pemuda yang terus menjura kepada tuan rumah sambil katanya: “Locianpwee maafkan saja yang muda!”

Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum. “Silahkan orang muda!”

Kemudian ia melompat turun dan memberi kesempatan kepada orang yang baru datang itu. Orang itu adalah seorang pemuda yang berusia tigapuluh tahun, wajahnya merah seperti udang rebus, sepasang tangannya mengeluarkan otot-otot yang kuat, dadanya bidang akan tetapi tidak dapat dikatakan tampan karena hidungnya yang besar dan bibirnya yang tebal keras itu. Alisnya lebat keren, rambutnya tertutup oleh topi yang terbuat dari kain putih pula, sebelum dia berkata pemuda itu melemparkan senyum ke arah Siauw Yang yang menerimanya tanpa memberi reaksi.

“Saja bernama Tiat Hauw disebut orang si Lengan besi. Dan saja akan menunjukkan kebisaan saja.” Orang yang bernama Tiat Hauw itu kemudian bersilat dengan tangan kosong. Gerakannya mantap, tenaganya mendatangkan angin menandakan tenaga yang besar.

Dilihat dari sepintas, gerakan tangan kosong pemuda itu mirip dengan ilmu silat cabang Go-bi-pay, hanya gerakan-gerakan kaki itu yang masih nampak kaku dan menggunakan jurus-jurus menendang. Padahal ilmu silat Go-bi-pay tidak dikhususkan ilmu tendangan berantai, akan tetapi pemuda baju putih ini selalu menekankan pada gerakan menendang!

Sorak sorai tepuk tangan para hadirin menyambut pemuda itu bersilat. Akan tetapi sebentar cuma, ia berhenti dan memandang kepada tuan rumah: “Bagaimana locianpwe...... apakah ilmu silatku dapat nilai menurut pandanganmu?”

Yok-ong Lo Ban Theng yang bermata tajam itu dapat melihat betapa gerakan-gerakan pemuda Tiat Hauw itu masih mentah, meskipun kalau dilihat sepintas cukup baik. Ia tersenyum lebar dan memberi isyarat kepada salah seorang dari Sam-hauw-swat-cu-eng yang bernama Lie Bun Ceng. Orang ketiga dari Harimau Mustika Salju.

Lie Bun Ceng ini terkenal ilmu silat tangan kosong yang bsrsumber dari cabang Jiu-jit-siu dan digabung dengan ilmu silat peninggalan Yok-ong Sauw Lee, kakek dari Yok-ong Lo Ban Theng ini yang bernama ilmu silat Swat-cu-kiam-hoat atau ilmu pedang mustika salju yang terkenal ini.

Kemudian Lie Bun Ceng menghampiri Tiat Hauw yang digelar si Lengan Besi itu sambil tertawa berkata: “Nah Tiat Hauw yang gagah biarlah aku yang tua ini akan mengujimu..... Kau keluarkanlah senjatamu!”

“Saja biasa dengan tangan kosong Lo-enghiong.....”

“Kalau begitu baiklah, aku juga akan melayanimu dengan tangan kosong pula. Tiat Hauw sicu, majulah dan perlihatkan kepandaianmu!!

“Maaf aku yang muda berlaku kurang ajar!” berkata demikian Tiat Hauw yang berjuluk si Lengan Besi mengirim jotosan ke arah Lie Bun Ceng dengan gerak tipu Pay-san-to-hay (Menolak Gunung Mengeruk Laut), sebuah pukulan yang mengeluarkan tenaga besar. Tangan yang berotot itu menyambar ke arah perut Lie Bun Ceng.

Tentu saja orang tua she Lie tidak mau perutnya menjadi sasaran jotosan pemuda yang terkenal dengan julukan Si Lengan Besi, ia tahu kalau membiarkan perutnya itu dijotos tangan berotot itu akan berantakan usus-ususnya, maka sebab itu sambil berseru: “Bagus!” ia miringkan tubuhnya dan bergerak cepat menggunakan tipu Jiu-jit-su menangkap lengan itu, akan tetapi Tiat Hauw menarik lengannya, dan kini berganti dangan tendangan menyusul.

Tiat Hauw berseru keras, kakinya yang besar itu berganti-ganti menendang dengan tendangan beruntun. Melihat bahwa tendangan lawannya ini masih lemah dan nampaknya hanya luarnya saja ganas akan tetapi lemah pertahanannya, Lie Bun Ceng membiarkan tubuhnya terhantam kaki kiri Tiat Hauw.

Tiat Hauw girang sekali melihat lawannya tidak menangkis tendangannya ini sambil membentak, “robohlah!” Kaki kirinya menendang kuat dan penuh tenaga.

Akan tetapi, terdengar Tiat Hauw menjerit kaget dan tahu-tahu kakinya dijepit oleh sepasang tangan yang amat kuat, dan tanpa dapat dihindarkan lagi, waktu tangan itu bergerak mengangkat tubuh Tiat Hauw terjengkang terpelanting ke belakang dengan amat kuatnya. Tentu saja Tiat Hauw menjadi heran, gerakan apa itu demikian kuat dan yang telah berhasil menjepit tendangannya!

Ternyata Lie Bun Ceng dalam gebrakan ketiga itu telah menggunakan ilmu tangkapnya yang disebut Jiu-jit-su. Memang ini khusus menangkap dan membanting. Inilah keistimewaan Lie Bun Ceng orang tua ketiga dari tiga harimau mustika salju.

Sambil meringis karena tulang kakinya patah, Tiat Hauw menjura kepada tuan rumah dan tanpa bilang apa-apa lagi ia berkelebat lenyap di tempat itu.

Akan tetapi bersamaan dengan perginya Lengan Besi Tiat Hauw, tiba-tiba seorang perajurit kerajaan memasuki tempat itu dan berkata,

“Maaf Lo-enghiong, permisi kami hendak bertemu dengan Goanswe dari kotaraja!” kata perajurit kepada tuan rumah yang sudah berdiri menyambutnya. Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum ramah dan mempersilahkan perajurit itu bertemu dengan Bong-goanswe.

“Ada apa kau datang kemari?” Bong-goanswe bertanya keren dan mengerutkan keningnya tidak senang. Tatapan matanya tajam memandang perajurit dari kotaraja itu. Dia kenal dengan perajurit ini. Akan tetapi ia merasa lebih tinggi tingkatnya itu, tidak memperlihatkan muka yang bersahabat kepada bawahannya ini.

Perajurit itu menghormat mengangkat ke dua tangannya menjura, “Goanswe, maafkan kalau saja mengganggu!”

“Hem, ada apa? Lekas katakan!”

“Saya dari dusun Siauw-ling, melaporkan kepada Goanswe bahwa Nguyen-loya telah terbunuh oleh seorang gadis kang-ouw yang menamakan dirinya Kwan-im Sianli. Gadis muda itu mengacau Siauw-ling dan membunuh pula Nguyen kongcu dan membakar gedung, harap Goanswe menjadi tahu adanya,” demikian perajurit itu melapor.

“Pergilah, sebentar aku menyusul!”

“Baik Goanswe,” sahut prajurit itu.

Yok-ong Lo Ban Theng menghampiri tamunya dan berkata, “Ah, ada berita penting rupanya?”

Bong-goanswe berdiri dan mengangkat tangannya menjura diikuti dengan Hok Losu dan Leng Ek Cu: “Lo-kiam-enghiong, maafkan kami tak dapat berlama disini, terima kasih untuk hidangan dan sambutanmu!!”

“Oho, kenapa begitu tergesa-gesa??”

“Kami hendak ke Siauw-ling, lain kali kami mampir ke sini dan ngobrol sepuas-puasnya dengan kau orang tua. Sekarang permisi dulu Lo-kiam-enghiong.......!!”

“Terima kasih atas kunjungan sam-wie Enghiong!” kata Yok-ong Lo Ban Theng sambil menjura melepaskan ke tiga tamunya pergi.

Maka berangkatlah ke tiga orang tua itu menuju ke Siauw-ling.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bong-goanswe bertemu dengan Bwe Hwa dan Liok Kong In, dan karena hebatnya ilmu pukulannya yang disebut hui-thian-jip-te, Bwe Hwa dan Kong In tidak dapat menghindarkan pukulan yang dahsyat itu dan mereka berdua terlempar ke dalam jurang yang curam dan tidak kelihatan dasarnya.

Setelah memukul kedua orang muda itu, muncullah Sian Hwa, gadis ini melihat musuh besarnya yang bernama Bong Bong Sianjin itu meninggalkan gedung Yok-ong Lo Ban Theng, dengan diam-diam iapun menyelinap pergi dan mengikuti Bong-goanswe ini.

Akan tetapi sangat disayangkan dia terlambat sampai di hutan itu dan melihat suci dan suhengnya Bwe Hwa dan Kong In terlempar ke jurang, maka dengan kebencian yang amat hebat, Sian Hwa menerjang Bong Bong Sianjin dan karena kepandaian musuh besarnya ini jauh di atas tingkat kepandaiannya, maka iapun ditawan oleh ketiga orang tua aneh ini untuk dibawa ke pulau bidadari!

◄Y►

8

Kita kembali ke gedung Yok-ong tengah mengadakan sayembara pertunjukan silat untuk mencari jodoh bagi puterinya yang bernama Lo Siauw Yang. Setelah Tiat Hauw si lengan besi itu telah dibikin keok oleh Bun Ceng orang ketiga dari pembantu Yok-ong yang berjuluk Sam-hauw-swat-cu-eng (Tiga harimau mustika salju), maka panggung itu kembali kosong dan para tamu menanti-nanti peserta lain yang belum menampakkan dirinya.

Sebetulnya banyak sekali para pemuda yang berhasrat mengikuti sayembara ini, akan tetapi mengingat kepandaian mereka masih jauh dan belum memenuhi syarat, maka banyak mereka yang menarik kembali hasratnya itu dan menanti saja dengan hati tertarik, menonton!

Yok-ong Lo Ban Theng juga kecewa melihat keadaan ini. Ternyata dari sekian banyak pemuda yang hadir, sedikit sekali yang menaruh minat. Diam-diam ia yang sudah menaruh simpati kepada pemuda tampan baju biru. Matanya yang tajam dapat melihat akan isi anak muda itu. Berkali-kali ia melirik.

Dan Siauw Yang juga mengharapkan munculnya pemuda tampan ini. Ia percaya tentu pemuda tampan ini mempunyai simpanan yang boleh juga. Kalau tidak masakan ia berani menonjolkan diri berkali-kali malah pernah menegur pula seorang pemuda yang bernama Ho Siang itu yang semulanya pemuda itu hendak memamerkan kepandaiannya meniup suling, bukan main silat!

Go Sin Thong tak sabar lagi. Ia benar tertarik sekali dengan gadis puteri Yok-ong ini. Beberapa kali ia melirik ke arah Siauw Yang, beberapa kali itu pula dirasakannya dadanya berdebar aneh. Bergejolak riang dan penuh bahagia.

Melihat bahwa tidak ada lagi kaum muda yang meloncat ke panggung maka dengan dada berdebar dan tegang, Sin Thong berdiri dan meloncat ke atas panggung itu! Tepuk tangan menyambut munculnya seorang pemuda kecil dan tampan itu.

Yok-ong mengerutkan alisnya. Sam-hauw-swat-cu-eng memandang heran. Ketiga orang tua pembantu Yok-ong ini mengenal siapa si cebol itu. Akan tetapi mereka menjadi heran sekali melihat Sin Thong juga berkenan dalam pemilihan ini.

Sin Thong yang telah berada di atas panggung itu pertama-tama menjura hormat kepada tuan rumah dan berkata: “Lo Yok-ong, perkenankan siaute memperlihatkan sedikit kebodohan!”

Walaupun hatinya tak senang dan heran, Yok-ong mengangguk. Tentu saja orang tua ini merasa heran dan mengapa Sin Thong yang dikenalnya baik sebagai murid sahabat baiknya Kwa Shinse bermaksud pula dalam pemilihan jodoh ini?

Tak mengerti ia, dan yang aneh, secara diam-diam hati orang tua ini tidak rela anaknya berjodoh dengan Sin Thong, pemuda kecil pendek! Dan ia akan mengusahakan untuk mengalahkan Sin Thong.

Sin Thong bersilat dengan tangan kosong. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap. Ia sengaja bersilat tidak lama karena ia pikir tidak perlu mempertunjukkan silatnya di muka umum. Ada sekitar limabelas menit.

Ia menyudahi permainannya dan mengangguk kepada Yok-ong Lo Ban Theng. Orang tua itu menoleh kepada pembantunya, salah seorang dari Sam-hauw-swat-cu-eng yang kali ini orang pertama dari tiga harimau dari mustika salju itu yang menghadapi pemuda cebol untuk mengujinya.

Kali ini yang naik ke atas panggung sebagai pengujinya adalah Bong Kek Cu, terkenal dengan permainan toya besinya dari cabang Siauw-lim-pay. Bong Kek Cu ini berusia hampir empatpuluh tahun, sebagai pembantu pertama dari Yok-ong Lo Ban Theng, ilmu toyanya sudah dikenal. Oleh sebab itulah Yok-ong sekarang mengajukan jagoan-jagoan yang berwatak keras dan berangasan ini!

“Pemuda cebol, aku sudah siap, tunggu apa lagi?” datang-datang Bong Kek Cu menegur dengan perkataan yang kasar dan tanpa embel-embel sebagaimana orang hendak berlatih atau mengujinya. Toyanya yang besar itu sudah diputar-putar mengeluarkan suara mengaung saking kerasnya toya itu menyabet angin.

Melihat bahwa pengujinya ini datang-datang membawa tongkat besi yang disebut toya itu, Sin Thong juga tidak mau berlaku sungkan lagi dan dari balik bajunya ia telah meloloskan pedangnya yang berbentuk melengkung seperti samurai. Melihat pedang panjang melengkung ini diam-diam para hadirin tersenyum geli.

Pemuda cebol ini menggelikan sekali. Mana ada pedang yang bentuknya seperti itu? Tentu saja mereka tidak tahu. Pedang yang dipegang oleh Sin Thong adalah pedang pusaka yang disebut samurai!

Memang inilah yang diwariskan oleh suhunya Kwa-sinshe, ilmu silat yang bersumber dari negeri Jepang ini pernah diterima oleh suhunya dari seorang bajak laut Jepang yang pernah menguasai laut Po-hay, dan pada suatu hari bajak laut itu sakit payah dan bertemu dengan Kwa-sinshe dan tertolong nyawanya.

Merasa bahwa bajak laut Jepang itu berhutang budi dengan orang she Kwa maka sejak saat itu, Kwa-sinshe menjadi sahabatnya dan mendapat ilmu silat dari Jepang yang bernama: Karate-do dan ilmu pedang yang disebut samurai!

Tak heran kalau sekarang Sin Thong mengeluarkan pedang samurai pemberian suhunya itu. Pedang itu panjang dan melengkung. Dari sampingnya berkilat-kilat akan ketajaman pedang samurai yang tertimpah cahaya lampu.

“Locianpwe Bong Kek Cu, maaf Siauwte yang kurang ajar berlaku lancang.” Sin Thong merendah membongkokkan dirinya seperti seorang samurai Jepang yang hendak memulai pertandingan.

Melihat sikap pemuda cebol ini, Bong Kek Cu membentak, “Cerewet, hayo tandingi toyaku. Lihat serangan!”

Toya yang beratnya limaratus kati itu menyambar mengemplang kepala Sin Thong. Melihat bahwa kakek Bong Kek Cu ini tidak sabaran dan datang-datang terus mengemplang. Sin Thong mengelak dari sambaran toya di atas kepalanya dengan menundukkan sedikit kepala. Toya lewat di atas kepalanya mengeluarkan suara mengaung yang menggeletar.

Kaget sekali pemuda cebol itu, tahulah ia bahwa kakek Bong Kek Cu ini adalah seorang ahli gwakang (tenaga luar). Sambil menundukkan kepala, pedang samurai yang panjang dan melengak bergerak dari samping melibat kaki lawan, “weeert!” pedang samurai lewat di kaki Bong Kek Cu ketika kakek ini mencelat menghindarkan sabetan pedang samurai.

“Weng, weng, weng!” Tiga kali toya di tangan Bong Kek Cu berputar. Ke duanya kini berhadapan. Bong Kek Cu memegang toyanya yang besar dan berat itu dengan ke dua tangan dimiringkan ke kiri, sedangkan sama seperti kakek itu memegang toyanya, pemuda cebol itu memegang gagang samurainya dengan ke dua tangan erat-erat.

Inilah cara Sin Thong memegang samurainya. Matanya menatap tajam ke arah Bong Kek Cu.

Bong Kek Cu menggeser kedudukan kuda-kudanya dengan maju selangkah ke depan, kaki kiri di belakang. Toyanya yang besar bergoyang-goyang. Sebentar kaki miring-miring ke kanan.

Tiba-tiba Sin Thong berteriak. “Eittt... jiaaatt” Pedang samurai berkelebat cepat sekali menyabet ke kiri dan walaupun lambat gerakan itu namun penuh bertenaga. Suaranya yang besar itu mengejutkan para hadirin.

Memang sedemikianlah cara pemuda cebol ini bersilat, lalu jurus-jurus pertama disertai jeritan yang menghentakkan lawan. Tentu saja kakek Bong Kek Cu sudah mengenal pemuda cebol ini, tahu bahwa lawannya menggunakan jurus-jurus ilmu silat dari Jepang. Maka begitu saja samurai menyambar ia segera meloncat menekankan toyanya ke tanah membuat tenaga mendorong tahu-tahu tubuhnya sudah berputaran di atas dengan toya tertekan ke bawah. Menangkis samurai Sin Thong.

“Trang...!” suara keras terdengar waktu toya itu bertemu dengan samurai di tangan pemuda kecil pendek. Terkejut sekali Sin Thong ketika pedang samurainya bertemu dengan toya, si kakek Bong Kek Cu hampir saja terlepas pedang samurainya kalau tidak cepat-sepat ia mengerahkan tenaga pada ke dua lengannya yang kini terasa nyeri.

“Bagus……” Bong Kek Cu berseru dan tubuhnya meluncur turun dengan tangan kiri di dorong ke depan dengan maksud memukul pemuda itu dengan jarak jauh.

Sin Thong yang tahu akan kehebatan lawan pengujinya ini tidak berani ia beradu tenaga dengan cepat dan lincah ia sudah mengelak dari sambaran pukulan itu! Terasa angin pukulan membuat ia terhuyung-huyung saking kerasnya pukulan jarak jauh dari si kakek Bong Ek Cu itu.

“Tidak adil, tidak adil!” tiba-tiba terdengar suara dari para tamu yang duduk di tengah.

Orang-orang menoleh dan heran ia melihat yang bicara itu adalah pemuda tinggi kurus yang tadi hendak bermain suling di panggung: “Hanya untuk menguji calon mantu mengapa harus mengadu kepandaian di atas tajamnya mata pedang?

“Bukankah banyak cara untuk menilai orang dengan bermain ilmu silat tangan kosong atau dengan senjata suling sepertiku ini? Mengapa pula harus mengeluarkan toya bau dan pedang bengkung pemotong babi?

Sin Thong menoleh ke arah pemuda yang bicara itu.

Bong Kek Cu juga mendelik.

“Bocah lancang, mengapa kau mencampuri urusan orang?” Bong Kek Cu menegur. Dari atas panggung itu Sin Thong memandang orang muda tinggi kurus ini tak mengerti.

“Sahabat, apa maksudmu mencampuri urusan ini?”

“Ha ha, orang muda kecil pendek, kau tahu, aku paling benci melihat orang bermain-main pedang seperti penjagal babi dan orang yang membawa-bawa pentungan seperti centeng yang menggagahi dirinya sok pandai. Senjata yang baik adalah senjata yang tidak menakuti orang seperti sulingku ini!” si pemuda tinggi kurus mengacungkan suling hitamnya dan tertawa lebar.

Merah muka Bong Kek Cu disindir toyanya sebagai pentungan centeng. Berani benar pemuda kurus ini. “Eh, bocah sinting berani kau menghinaku?”

“Tidak menghina sobat,” berkata pemuda tinggi kurus: “Cuma saja aku hendak usulkan supaya penilaian mencari mantu ini tidak menggunakan ketajaman pedang. Mata pedang tidak bermata, bagaimana kalau sayembara ini membawa jiwa manusia melayang oleh karena pedang tak bermata!”

“Betul juga kata si kurus ini!” terdengar suara dari para hadirin yang duduk di tengah-tengah dan begitu orang-orang menengok, mereka tersenyum melihat pemuda tampan baju biru itu berkata: “Pertandingan dengan senjata tidak adil, sebaiknya diganti dengan ilmu silat tangan kosong saja, bagaimana Lo-enghiong?”

Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum.

“Pertandingan selanjutnya tidak boleh memakai senjata tajam!” katanya singkat.

“Locianpwee Bong Kek Cu, usul pemuda kurus itu baik sekali, sekarang biarlah aku menyimpan samuraiku!” demikian kata Go Sin Thong sambil menyelipkan samurainya ke balik jubahnya dan menanti reaksi dari lawannya ini. Tentu saja bagi Sin Thong ia lebih suka menghadapi lawannya ini dengan tangan kosong.

Toya Bong Kek Cu dilempar, kemudian ia berkata: “Baik, tanpa toya aku dapat menandingi bocah cebol ini, dan setelah itu aku mengundang pemuda baju biru untuk naik ke panggung, jangan cuma bisa jual lagak saja di sana!!”

“Terima kasih, kalau memang diundang kenapa aku tidak terima, eeeh kakek toya centeng, beresin dulu pemuda kate itu. Kalau kau tidak mampu mengalahkan dia, hmm apalagi mengalahkan aku!!”

“Sombong, tunggu kau pemuda cerewet. Nanti kurejeng mulutmu yang bawel itu, eeh bocah cebol, hayo kau layani kepalanku!”

“Locianpwee harap bermurah hati kepadaku yang bodoh,” Sin Thong merendah.

Akan tetapi Bong Kek Cu yang sudah dibuat jengkel oleh pemuda tampan baju biru mendengus, “Alasan, nggak usah embel-embel. Sambut pukulanku!”

Bong Kek Cu yang telah menjadi marah sekali mengirim pukulan menyerang dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah cakar setan yang pernah ia warisi dari seorang pertapa di Go-bi-pay beberapa waktu yang lalu.

Saking marahnya ia punya cakar setan itu sudah dikeluarkan tanpa memandang lagi akan siapa yang di hadapinya. Akan tetapi biarpun serangan dengan jari-jari tangan terbuka ini hebat, namun Sin Thong dapat mengelak dengan serangan yang tak kalah hebatnya.

“Iyaaaat,” tangan kanan Sin Thong menjurus ke depan dengan telapak tangan kanan dimiringkan, sedangkan tangan kiri ditekuk segi tiga di depan dada. Inilah serangan Karate yang hebat luar biasa.

“Deeess!” Tubuh Bong Kek Cu bergoyang-goyang, terhantam pukulan tangan telapak miring dari pemuda cebol ini. Saking kerasnya telapak tangan yang menggunakan jurus Karate itu membuat Bong Kek Cu yang memandang lawan enteng tadi terperanjat dan terasa sakit pada jari-jari tangannya yang tadi dipakainya mencengkeram.

“Bagus!! Kau mempergunakan karatenya si bajak laut Jepang itu!” Bong Kek Cu meringis. akan tetapi dia tidak jadi mundur malahan memasang kuda-kudanya dengan kakinya ditarik ke belakang dan agak ditekuk ke dalam.

Melihat ini Sin Thong juga mengambil posisi karatenya, tangan kanannya terangkat ke atas kepala dengan jari-jari terbuka, sedangkan tangan kiri menjurus ke depan dengan jari-jari tangan dikeraskan pula. Wajahnya dikeraskan, kakinya terpentang lebar. Inilah jurus pembukaan karatenya!

“Yaaaattttt….. eeeiitt!!” Sin Thong berseru dan ia meloncat tinggi mengirimkan tendangan maut ke arah lawannya. Hebat sekali tendangannya ini.

Bong Kek Cu mempergunakan gin-kangnya dan meloncat tinggi di udara hingga tendangan maut dari Sin Thong itu lewat di sampingnya tidak mengenai sasarannya.

Sin Thong merasa penasaran sekali dan ketika tubuhnya melayang turun dia menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan dimiringkan. Tangannya bergerak cepat dan meluncur menyabet ke arah leher lawan, kakinya menendang dengan hebat.

Bong Kek Cu terkejut sekali melihat kelihayan karatenya ini, sambil berseru keras dia menggulingkan tubuhnya ke bawah untuk menghindari gerakan istimewa ini. Tidak disangkanya ilmu karate yang pernah didengarnya itu demikian kuat dan dahsyat!

Setelah berdiri lagi, Bong Kek Cu lalu mengeluarkan ilmu silat Pat-kwa-ciang-hoat karena maklum bahwa pemuda cebol ini bukanlah seorang lemah, apalagi tadi ia disuguhi permainan jurus-jurus karate yang mengejutkan itu. Tak berani lagi ia main-main dengan pemuda ini, ia mainkan jurus-jurus Pat-kwa-ciang-hoat dari ilmu silat Siauw-lim-pay. Dan Sin Thong tercengang juga menyaksikan ilmu silat tangan kosong yang lihay ini.

Beberapa kali ia beradu lengan, ia terhuyung mundur. Tahulah ia bahwa lawan Bong Kek Cu ini mempunyai tenaga lwekang yang cukup tinggi dan menang setingkat dari padanya.

Kini ke dua orang kakek dan pemuda cebol itu bertempur dengan seru dan hebat. Jurus-jurus karate yang dimainkan Sin Thong memang aneh dan berbahaya sekali, ditekankan pada telapak tangan miring yang mengeluarkan tenaga pukulan yang amat ampuh.

Di antara para hadirin yang tartarik akan pertandingan ini, adalah seorang laki-laki setengah tua yang bersorban merah menatap tajam ke arah permainan Sin Thong. Rasanya ia pernah sekali dihadapkan dengan pukulan-pukulan dengan telapak tangan kiri miring dan kepalan yang kuat itu. Di mana? Orang bersorban itu mengerutkan kening mengingat.

Tiba-tiba ia mencelat tinggi dan sekali tangannya bergerak mendorong Sin Thong dan Bong Kek Cu terlempar jatuh mengeluarkan suara berdebuk yang keras. Bong Kek Cu terkejut sekali. Sin Thong heran. Siapa orang ini?

Orang tua bersorban merah seperti suku bangsa Tibet! Yok-ong Lo Ban Theng berdiri dari tempat duduknya melihat Te-thian Lomo datuk hitam dari barat itu telah berdiri di panggung.

Te-thian Lomo menghampiri Sin Thong dan bertanya.

“Orang muda kau murid siapa? Apa hubunganmu dengan Hiroshima, si bajak laut Jepang itu?”

“Hiroshima adalah teman baik guruku, kau mau apa?”

“Kalau begitu kau harus mampus!” Te-thian Lomo mengibaskan jubahnya dan saking kuatnya angin pukulan ini sehingga tubuh Sin Thong yang pendek kecil itu sudah terlempar tiga meter jauhnya. Merah sekali muka Sin Thong meskipun pundaknya sakit ditampar ujung jubah tadi, ia meloncat dan mengeluarkan samurainya.

“Kakek gila, mengapa kau datang-datang menyerangku?”

“He he he, anak muda cebol, kau mau tahu siapa aku. Aku adalah Te-thian Lomo (Iblis tua langit bumi) musuh besar si bajak Iaut Hiroshima, Jepang keparat itu. Tadi kau mainkan ilmu karatenya itu. Hayo perlihatkan di depanku!” Te-thian Lomo membentak.

Orang tua bersorban ini memang adalah Te-thian Lomo, si iblis langit bumi yang pada beberapa tahun yang lalu pernah bentrok dengan Hiroshima. Si bajak laut dari Jepang yang pada sepuluh tahun yang lalu pernah malang melintang di laut Po-hay dan pernah bertemu dengan Te-thian Lomo ini dan akhirnya karena pedang samurai di tangan Hiroshima dan pukulan-pukulan maut karate demikian hebat, makanya Te-thian Lomo dapat dikalahkan dan dilemparkan ke laut. Karena inilah orang tua bersorban merah ini membenci si samurai dan si karate dari Jepang.

“Kakek gila, kau kira aku Go Sin Thong takut kepadamu. Mari rasai pukulan karateku!” Go Sin Thong memasang kuda-kuda dan membentak mengeluarkan suara jeritan menyerang.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan: “Sin Thong tahan!”

Sekali berkelebat jago tua she Lo itu sudah melompat ke panggung dan berkata kepada Sin Thong: “Kau turunlah!”

Mendengar ucapan tuan rumah yang berwibawa ini, Sin Thong tak berani membantah dan ia meloncat turun. Dan duduk di tempat semula. Begitu ia melirik ke arah Sian Hwa. Heran ia, ke mana gadis itu?

Tentu saja Sin Thong tidak tahu bahwa Sian Hwa sudah lama meninggalkan tempat itu dan mengejar bayangan Bong Bong Sianjin yang meninggalkan tempat ini.

Yok-ong Lo Ban Theng menjura kepada orang tua dari Tibet dan berkata, “Harap lo-enghiong dari Tibet maafkan pemuda tadi dan tidak menaruh marah kepadanya.”

“Tidak!” Te-thian Lomo membentak, mendelikkan matanya memandang tuan rumah. “Yok-ong mengapa kau suruh dia kabur?”

“Ia adalah murid kawan baikku Kwa-sinshe, harap kau tidak membuat kacau di sini. Ingat sobat, hari ini adalah hari baikku. siapapun tidak boleh mengacau. Aku melarangnya!”

“Wertt…!” Tahu-tahu Te-thian Lomo sudah mengeluarkan cambuknya yang panjang dua-tiga kali melecut-lecut di udara. Kalau begitu sebagai gantinya. biarlah kau mewakili anak cebol itu dan layani permainan cambukku dari Barat!”

“Te-thian Lomo, apakah kehadiranmu di sini hendak membuat kacau suasana ulang tahunku?” Yok-ong Lo Ban Theng bertanya tajam.

“Ha ha ha ha! Yok-ong, kau begini tekabur dihadapanku. Hendak mengandal apakah engkau berani lancang menyuruh mengusir pemuda cebol itu? O, ya pantes dia itu murid kawan baikmu si raja obat she Kwa. Hem, cobalah dulu cicipi gebukan cambukku.”

“Sombong!” terdengar bentakan dari bawah panggung.

Orang-orang menoleh. Eh pemuda baju biru lagi yang mengeluarkan seruan “Sombong” tadi. Mau apa lagi pemuda ini?

Pemuda itu berdiri dan terkejutlah orang-orang yang hadir itu melihat pemuda tampan itu dengan ringannya tahu-tahu pemuda tampan itu telah mencelat dan berada di atas panggung, dan berkata kepada tuan rumah: “Lo-eng-hiong, biarlah untuk urusan kecil ini, siauwte yang muda membersihkan lalat-lalat hijau dari Tibet yang nyasar ke tempat ini. Memang dalam suasana pesta ulang tahun, tidak baik dikotori oleh lalat-lalat hijau menjijikkan saja.......”

Yok-ong Lo Ban Theng menatap tajam ke arah pemuda tampan baju biru dan tersenyum lebar: “Orang muda siapakah namamu? Apakah kau dapat menepuk lalat hijau yang kau katakan.”

Pemuda baju biru yang tampan itu mengeluarkan kipas hitamnya, dan seperti orang kepanasan ia mengipas-ngipaskan badannya sambil berkata; “Lo-enghiong jangan kuatir, dengan kipas hitamku ini, masakan aku tak mampu mengebut lalat hijau ini!!”

Berkata begitu ia melirik ke arah orang tua bersorban merah yang memandangnya dengan mata mendelik. Pecutnya yang panjang itu menggeletar-geletar, siap menempur pemuda itu.

“Bagus!! Apabila kau dapat mengusir lalat hijau itu, usirlah dia!!” Demikian kata Yok-ong Lo Ban Theng sambil melompat turun dan ia memberi isyarat kepada Bong Kek Cu untuk turun.

“Eh, Te-thian Lomo..... julukanmu iblis tua langit bumi ya? Hemm, kalau begitu masih pernah apa dengan kakek penjaga kuburan di Thay-hoa-thong yang bernama Kakek Setan Pencabut nyawa Giam-lo-ong?”

“Bangsat besar, lancang mulut, apa kau bosan hidup?”

“Bangsat kecil!” Si pemuda tampan memaki sambil membantingkan kakinya, “Siapa yang tidak ingin hidup? He, kakek tua iblis langit bumi apa kau sendiri sudah bosan hidup biarin deh tuan mudamu yang mewakili Giam-lo-ong mencabut nyawamu yang tak berharga itu......”

“Kunyuk! Siapa bilang nyawaku tidak berharga?”

Pemuda tampan baju biru itu tertawa dan tiba-tiba ia menoleh kepada pemuda tinggi kurus yang tadi hendak bermain suling sambil katanya. “Eh, sobat! Coba terka, nyawa apakah yang tidak berharga dan dimusuhi oleh banyak orang? Hayo jawab, bisa enggak engkau menerka teka-teki dariku!”

“Nyawa yang tidak berharga?” pemuda tinggi kurus yang bernama Ho Siang itu mengerutkan keningnya dan tertawa terbahak-bahak.

“Eh bisa enggak, kenapa jadi ketawa sinting!”

“Kau yang sinting tolol, masa ada nyawa yang berharga atau tidak, semua nyawa tentu berharga. Tak bisa dibeli dengan uang….. mana bisa dikatakan nyawa berharga atau tidak. Tentu saja semua nyawa berharga tolol!” si pemuda tinggi kurus Ho Siang mengejek pemuda tampan baju biru.

“Kau sih benar-benar otak udang! Masa tebakan segitu saja nggak mampu. Coba tanyain kepada para hadirin. Nyawa apakah yang tidak berharga? Hayo siapa yang dapat, angkat tangan!”

“Saya tahu.” Seorang kakek yang berdiri di pojok sebagai penonton saja rupanya itu mengacungkan tangannya. Si pemuda tampan baju biru tersenyum.

“Hayo tebak!”

“Jiwa yang tidak berharga adalah jiwa kecoa!” kakek itu berteriak keras.

Orang-orang pada tertawa. Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum. Akan tetapi siap siaga menjaga kemungkinan Iblis tua langit bumi itu mengamuk.

Ia mengenal nama iblis tua langit bumi yang sudah kesohor namanya sebagai datuk hitam dari selatan. Karenanya dengan tenang tuan rumah ini mengawasi panggung dengan siap siaga. Ia sudah bersiap-siap untuk membantu kalau pemuda tampan itu sudah bertanding dengan iblis tua langit bumi yang kesohor kejamnya!

Sementara itu pemuda tampan baju biru mengangguk-anggukkan kepalanya kepada kakek penonton yang menjawab teka-tekinya: “Bagus, jawabannya hampir tepat! Tapi belum seratus persen benar. Hayo yang menjawab dengan tepat dan jitu!”

Melihat tingkah laku pemuda tampan baju biru yang menggemaskan ini, Te-thian Lomo membentak: “Bocah setan, jangan berlagak di sini. Hayo, minggat!”

“Tar tar!” bentaknya itu disusul dengan suara cambuk di tangannya melecut-lecut di udara dengan amat keras.

Pemuda baju biru kaget dan melompat mundur.

“Lalat hijau….. jadi kau ini murid Dewakala, pertapa sakti dari Anapura di pegunungan Himalaya?”

“Ha ha ha,” Te-thian Lomo iblis tua langit bumi itu tertawa bergelak-gelak sementara cambuk hitamnya masih melingkar-lingkar di udara. “Awas juga matamu, bocah gila! Apakah kau tidak tahu bahwa Te-thian Lomo sudah berada di depan matamu untuk mencabut nyawamu?”

“Sraat!” sebuah kipas hitam dan pit baja terbuka dan tahu-tahu pemuda tampan baju biru ini sudah berada di depan Te-thian Lomo dengan tangan kiri memegang pit dan tangan kanan memegang kipas hitam.

“Bagus! Kiranya Te-thian Lomo yang mencari mampus di sini! Kalau begitu tak usah aku bersusah payah mencarimu. Hari ini murid Lu-liang Siucay dari Lu-liang-san menuntut balas. Iblis tua mampuslah kau!”

Suara angin keras terdengar ketika kipas di tangan kanan pemuda tampan itu bergerak mengebut. Bergidik Te-thian Lomo melihat hawa dingin datang bergelombang, Dengan cepat ia mengelak dan melecutkan cambuknya tiga kali.

“Tar tar tar...!” bagaikan ular hidup yang melingkar-lingkar menyambar-nyambar tubuh pemuda tampan itu. Akan tetapi untuk yang kedua kalinya iblis tua ini berteriak kagum dan terkejut begitu melihat tubuh pemuda itu berkelebat dengan amat cepatnya merupakan bayang-bayang lincah dan gesit.

“Bocah sinting, kau mencari mati. Hemm, rupanya kau murid si sastrawan gila dari Lu-liang-san itu, siapa namamu?”

“Iblis tua, tak perlu banyak cakap! Makan ini…..,” Pit panjang menyambar dahsyat mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya gerakan pemuda itu.

Memang hebat sekali gerakan pemuda baju biru ini. Bukan saja tubuhnya demikian lincah dan gesit laksana burung walet terbang namun setiap gerakan, tusukan pit dan sambaran-sambaran kebutan kipas hitam di tangannya selalu mengeluarkan suara angin menderu. Dari sini saja sudah dapat diduga bagaimana lihaynya pemuda tampan baju biru ini.

Akan tetapi, ia menghadapi Te-thian Lomo, iblis tua langit bumi yang sudah terkenal di kolong langit akan segala keganasannya dan ilmu kepandaiannya yang demikian dahsyat. Disamping permainan cambuknya yang lihay dan luar biasa itu, sering jubahnya bergerak-gerak merupakan pukulan-pukulan yang membuat pemuda tampan baju biru ini menjadi terhuyung-huyung dan terkejut melihat kehebatan lawan.

Melihat bahwa pemuda baju biru itu itu sudah bertempur dengan serunya dengan kakek tua Te-thian Lomo tak enak hati Yok-ong Lo Ban Theng kalau mendiamkan saja. Sekali pandang saja, tahulah ia bahwa biarpun kepandaian pemuda tampan baju biru ini demikian hebat dan aneh-aneh gerakannya, namun menghadapi Te-thian Lomo, ia masih kalah jauh dan mulai terdesak oleh pukulan-pukulan cambuk yang lihay itu.

Sekali berkelebat tahu-tahu Yok-ong Lo Ban Theng sudah berada di atas panggung dan langsung menggerakkan pedangnya menyelinap masuk sambil membentak:

“Tahan!”

Sebuah sinar putih berkilau bagaikan kilat menyambar dibarengi suara bersuit panjang dan angin berdesir menyambar. Tubuh si raja obat telah lenyap dan yang nampak hanya segulungan sinar putih menerjang laksana kilat menyambar dahsyat.

“Haaaaiittt!”pekik nyaring melengking itu keluar dari mulut Yok-ong Lo Ban Theng yang menerjang maju ke tengah-tengah pertempuran yang sedang seru-serunya itu.

Melihat sebuah bayangan putih menyambar cepat, Te-thian Lomo menyampok dengan kibasan ujung jubahnya dan dengan cambuknya berkelebat cepat mendesak pemuda baju biru dengan sabetan maut yang amat dahsyat dan mengeluarkan suara angin menderu.

“Sing breeet, krekkk!” Hebat akibatnya.

Tiga orang itu terpental ke belakang. Wajah Yok-ong Lo Ban Theng menggigil mengeluarkan keringat dingin, ke dua kakinya menggetar-getar. Matanya memandang kaget kepada Iblis tua langit bumi yang demikian hebat dan tak disangkanya.

Te-thian Lomo tersenyum mengejek. Melirik ke arah pemuda baju biru yang tadi terlempar ke belakang dan tengah mengerahkan hawa di dada.

Untung saja pemuda baju biru demikian gesit dan waktu sabetan cambuk itu menyambar pinggangnya, dengan gerakan cepat laksana kilat ia mencelat ke atas dan sambaran cambuk lewat di bawah kakinya, akan tetapi tak disangka waktu tubuhnya tengah di udara itu, gelombang pukulan dari ujung jubah lawan yang demikian dahsyat dan membentur pundaknya sehingga tidak ampun lagi ia terpental dan terasa tulang pundaknya menjadi nyeri dan sakit luar biasa. Cepat ia menyalurkan hawa sin-kang dan menyalurkan tenaga mujijat itu ke pundak dan dada yang tergetar.

Te-thian Lomo memandang ke arah Yok-ong Lo Ban Theng dan membentak: “Bagus Raja obat she Lo, hari ini iblis dari langit bumi akan menghancurkan kepalamu juga!”

“Sing sing sing, werrr!” tiga bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu dipanggung itu berdiri ke tiga orang-orang tua yang disebut Sam-hauw-swat-cu-eng dan seorang gadis cantik jelita putri tuan rumah, Lo Siauw Yang yang sudah menghunus pedang di tangan.

“Iblis tua jangan berlagak di sini!”

“Siauw Yang mundur kau! Jangan turut campur!” bentak Yok-ong Lo Ban Theng terkejut melihat anaknya telah naik ke panggung. Ia kuatir bahwa lawannya yang bernama Iblis Tua langit Bumi demikian dahsyat sekali. Ia sendiri tidak sanggup menghadapi. Apalagi Siauw Yang?

Siauw Yang memandang ayahnya dan berkata: “Tidak ayah, sebelum pedangku ini memberi hajaran kepada iblis sundelan itu, aku belum puas!”

“Siauw Yang! Turun.......!” ayahnya membentak.

“Ayah.......!”

“Turun kataku, turun! Jangan kau turut campur,” suara Yok-ong Lo Ban Theng dan ia muntahkan darah.

“Ayah!” Siauw Yang memburu ayahnya.

Yok-ong Lo Ban Theng menekan dadanya dan mengerahkan lwekang ke arah dada agar supaya tidak berbatuk lagi. Wajahnya pucat. Tahulah ia bahwa dadanya telah terluka hebat, tersambar pukulan jubah lawannya tadi.

Hebat memang iblis tua itu, sekali gebrakan saja Yok-ong Lo Ban Theng sudah terluka hebat. Akan tetapi karena ia sendiri sebagai raja obat, ia tidak menjadi kuatir.

Tangannya merogoh saku dan menelan sebuah pil pencegah keluarnya darah. Ia mendorong tubuh Siauw Yang berkata lemah, “Siauw Yang turunlah kau!”

Mendengar suara ayahnya yang tak dapat dibantah lagi, dengan air mata bercucuran Siauw Yang melompat turun dan memandang ke arah panggung itu dengan dada berdebar dan tegang!

“Ha ha ha, itulah bakti seorang anak kepada ayahnya. Akan tetapi sayang, ayahnya cuma gede mulut doang dan kepandaiannya tidak seberapa!”

“Te-thian Lomo jangan banyak cakap, lihat pedang!” Tiga orang Sam-hauw-swat-cu-eng bergebrak maju berbareng. Pedang dan tongkat, dan sepasang pedang pendek berkeredepan menyambar tubuh Te-thian Lomo dengan gerakan dahsyat dan mematikan.

Nampak tiga bayangan berkelebat dengan amat cepatnya. Akan tetapi hanya beberapa menit saja terdengar teriakan jeritan ngeri ketika tiga buah sosok manusia terlempar keluar panggung dan dalam keadaan sudah tak bernapas lagi.

Gegerlah para penonton. Tiga tubuh manusia itu adalah tiga orang yang telah mendapat julukan sebagai tiga harimau mustika salju. Dalam segebrakan tadi sudah tak bernyawa. Hebat!

Melihat kejadian ini, gegerlah para tamu! Tokoh-tokoh kang-ouw berdiri saking tegangnya. Masing-masing sudah mencabut senjata siap untuk mengurung Iblis Tua Langit Bumi yang kejam daa sadis.

Para tamu yang tidak mempunyai kepandaian, ngacir takut terkena sambaran senjata yang tak bermata itu. Malah ada yang membesarkan nyalinya cuma menonton saja dari jarak yang cukup jauh.

Sebentar saja panggung yang terletak di tengah-tengah halaman kebun bunga itu sudah terkurung oleh orang-orang gagah yang bersimpati kepada tuan rumah. Mereka bersiap-siap mengeroyok iblis tua itu.

Cui-sian Kong Sin Kek si dewa arak sudah melompat ke panggung dibarengi dengan gerakan Hak-san Tayhiap Ong Kwie yang mencelat pula naik ke atas panggung. Seorang pemuda cebol Go Sin Thong juga sudah mencelat dan berada di atas panggung.

Siauw Yang sudah tak sabar melihat pemandangan ini. Kalau saja ia tidak takut dengan pesan ayahnya, ia sudah melompat pula ke panggung. Akan tetapi ia hanya berdiri dengan tegang di bawah panggung menatap tajam dan bersiap-siap pula.

Di bawah panggung itu dikelilingi oleh seratus lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sewaktu-waktu akan mencelat ke atas dan menerjang Iblis dari Selatan ini.

Keadaan di atas panggung itu menjadi tegang dan mendebarkan hati. Te-thian Lomo memainkan cambuknya melecut-lecut di udara sambil menyapu orang-orang yang di bawah itu dengan pandangannya yang berapi-api, katanya: “Hayoo mana kawanan tikus-tikus yang hendak menangkap lalat hijau....... mana?? Hayo naik ke atas panggung untuk terima kematian!!”

“Te-thian Lomo, sebetulnya keluarga kami denganmu tidak ada permusuhan dan ganjelan hati. Akan tetapi karena kau sudah berlaku tidak memandang mata dengan keluarga Lo dan telah menjatuhkan tangan maut kepada ke tiga orang pembantuku, maka hari ini aku orang she Lo akan mengadu jiwa dengan dirimu!”

“Haaa….. haaa itu baru ucapan orang gagah. Hee, manusia she Lo, kau bilang tidak ada permusuhan apa-apa denganku, tetapi kenapa kau lancang mencampuri urusanku dengan pemuda cebol murid Kwa-sinshe temannya bajak laut Jepang si Hiroshima itu?”

“Pemuda itu adalah murid teman baikku karenanya tak boleh kau berbuat sekehendakmu sendiri. Siapapun orangnya, aku akan mencegahnya!” kata Yok-ong Lo Ban Theng sambil menekan dadanya yang sakit.

“Kalau begitu kau mencari mampus sendiri orang she Lo, kalau kau bosan hidup dan kepingin mampus, biarlah tanganku yang akan mengirim ke neraka,” berkata demikian pecut itu menyambar dan menerjang si raja obat she Lo.

Biarpun Lo Ban Theng sudah terluka akan tetapi ia masih gesit mengelak dan balas menerjang dengan tusukan pedang yang tak kalah hebatnya. “Wertt!” Suara cambuk bergetar dan menyapu kaki Lo Ban Theng. Dengan cepat orang she Lo ini mencelat ke atas dan membalas dengan tusukan pedang tiga kali sehingga menimbulkan suara mendenting keras waktu pedangnya beradu dengan cambuk lawan yang menangkis dengan amat kuatnya.

“Yaaatt, eiitt!” Raja obat meloncat ke atas dan dengan gerakan memutar ia menendang punggung lawan yang terbuka itu.

Akan tetapi, begitu terdengar “wertt!” ujung jubah Te-thian Lomo sudah menangkis dan saking kuatnya hawa pukulan datuk hitam dari selatan ini membuat si Raja Obat Lo Ban Theng terhuyung-huyung ke belakang tiga tindak, terasa luka di dadanya semakin nyeri dan sakit.

Namun ia tidak gentar dan cepat ia menubruk lagi kakeknya yang terkenal dengan sebutan Sin-kiam-yok-ong (si Raja obat pedang sakti) yang pada puluhan tahun pernah menggemparkan dunia kang-ouw oleh sebab kelihayan ilmu pedangnya. Selihay-lihay ilmu keturunan Yok-ong ini menghadapi si Iblis dari Selatan, Yok-ong Lo Ban Theng menjadi kewalahan sekali. Beberapa kali ia menjadi terhuyung-huyung tertampar sambaran ujung jubah yang dahsyat itu.

Pecut atau cambuk di tangan Te-thian Lomo menggeletar-geletar amat kuat dan melingkar-lingkar laksana ular hidup yang ganas mencari mangsa. Kadang-kadang cambuk itu merupakan lingkaran kecil yang berusaha hendak membelit pedang, akan tetapi juga kadang-kadang dari gulungan sinar cambuk menyambar kilatan-kilatan sinar hitam merupakan totokan maut yang sukar untuk dihindarkan lawan. Ketika kilatan hitam itu meluncur lurus menusuk iga Yok-ong Lo Ban Theng, dengan mengelak ke kiri si raja obat menyabetkan pedang menangkis dengan amat kuatnya.

“Krakkk!” patahlah pedang di tangan Yok-ong Lo Ban Theng. Belum lagi hilang rasa kagetnya tahu-tahu cambuk itu menyambar cepat dan membelit tangan si raja obat. Terdengar seruan-seruan tegang ketika tubuh Yok-ong Lo Ban Theng melayang turun dan terbanting dengan amat kerasnya. Siauw Yang memburu ayahnya dan menjerit.

“Ayah........!!”

“Siauw Yang….., aku tidak apa-apa. Tak usah kuatir. Aduh……,” Yok-ong Lo Ban Theng mengeluh perlahan merasakan dadanya semakin nyeri. Ia mendekap dadanya dan memandang ke atas panggung. Siauw Yang membantu membangunkan ayahnya dan memapah mendekati panggung.

“Lo-enghiong...... kau sudah terluka, harap jangan naik ke panggung, berbahaya sekali,” yang berkata begitu adalah pemuda tinggi kurus Ho Siang. Orang muda itu memegang sulingnya. Dan sekali berkelebat, ia sudah mencelat ke atas panggung. Menudingkan sulingnya, memaki:

“Te-thian Lomo ganas dan keji! Terpaksa aku turun tangan!”

Te-thian Lomo membalikkan tubuhnya dan begitu melihat pemuda tinggi kurus yang kelihatannya lemah dan ketololan ia tertawa terbahak-bahak, mengejek,

“Ha ha ha, bocah gila, apa kau bosan hidup?”

“Te-thian Lomo engkau sama saja dengan gurumu, Dewakala itu, sama-sama jahat dan berhati iblis. Sayang sekali pada dua tahun yang lalu itu, guruku pernah mengampuni jiwa anjingmu. Menyesal semakin diberi hati semakin jahat engkau! Boleh jadi guruku telah berlaku murah hati kepadamu. Tapi aku tidak!”

“Bocah gila, anak sedeng! Kau siapa, dan siapa gurumu?” Te-thian Lomo bertanya dengan pandangan matanya menyelidik orang muda tinggi kurus yang memegang suling.

Melihat pemuda ini demikian tenang dan tidak gentar terhadapnya, ia semakin berhati-hati. Apa lagi melihat suling hitam di tangan pemuda itu Mengingat ia kepada seoarang di India beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi ia tidak gentar menghadapi pemuda bersuling hitam itu.

Mengapa ia mesti gentar? Nama Te-thian Lomo sudah amat terkenal dan banyak disegani lawan sebagai Iblis ganas yang pernah merajalela di selatan.

“Kau bertanya siapa aku? Hm, mungkin kau lupa dengan guruku Nakaryavia dari India yang telah memberi ampun kepadamu oleh karena memandang mata dengan gurumu si Dewakala di Anapurna. Akan tetapi sekarang berhadapan denganku tak ada ampun lagi bagimu.”

“Ooo, kalau begitu kau murid si pendeta Nakarjavia. Hem, bocah gila, apa kau kira aku takut kepadamu! Memang aku pernah dikalahkan oleh gurumu dan karena lagi ia orang tua maka aku banyak mengalah terhadapnya. Tetapi, terhadapmu bocah masih ingusan begini? Hahahoho…… jangan mencari penyakit dan kematian hey, orang muda! Lebih baik kau minggat sebelum naik darahku dan menghajarmu! Hayo pergi!”

“Te-thian Lomo…… kau jahat dan tersesat jauh sebagai pendeta yang seharusnya mensucikan diri di puncak dan mempelajari kebathinan, akan tetapi sayang, iblis-iblis rupanya telah membelenggu hidupmu dan sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka bersama dengan tabiatmu yang jelek.”

Keduanya sudah saling menghampiri, keadaan menjadi tegang. Yok-ong Lo Ban Theng, Siauw Yang, Hak-san tayhiap Ong Kwie, si Dewa Arak Cui-sian Kong Sin Kek dan tokoh-tokoh lainnya yang di bawah panggung merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Tadi mereka terkejut mendengar pemuda tinggi kurus yang bernama Ho Siang itu pemuda yang memegang suling hitam ternyata adalah murid dari Nakayarvia dari India.

Tentu saja meskipun mereka belum pernah bertemu dengan pendeta dari India itu, akan tetapi nama Nakayarvia sudah terkenal sampai jauh ke daratan Tiongkok dan sebagai pendeta yang amat sakti. Akan tetapi diam-diam mereka bersangsi dapatkah pemuda itu melawan Te-thian Lomo yang lihay dan terkenal dengan kekejamannya!

Hanya pemuda tampan baju biru itu yang menaruh kepercayaan akan kesaktian pemuda bersuling yang kelihatannya masih tenang-tenang saja memandang ke arah lawannya dengan tatapan tajam.

“Bocah gila! Kau mencari mampus...... Kau terimalah ini!” Bersamaan dengan kata-katanya cambuk di tangan Te-thian Lomo menerjang maju merupakan ular hidup bergerak dengan amat cepatnya menyambar pergelangan tangan Ho Siang.

Pemuda ini kaget sekali melihat keccpatan ujung cambuk yang tahu-tahu sudah membelit pergelangan tangannya. Cepat-cepat ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk merenggut lepas tangannya yang terbelit cambuk, namun sia-sia belaka, karena saat itu ia telah dibetot oleh tenaga luar biasa melalui cambuk.

Betapapun ia mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga pada sepasang kakinya, Ho Siang tidak mampu mempertahankan dirinya dan ia terhuyung. Tiba-tiba cambuk terlepas dari tangannya dan hampir saja Ho Siang terguling roboh kalau saja ia tidak cepat melompat ke samping mematahkan tenaga dorongan tadi.

“Bagus!” tanpa terasa Ho Siang berseru memuji. Tiga kali tangan kanannya bergerak, seruling hitam di tangannya bergerak ke atas dan amat cepat sekali gerakan itu, sehingga orang-orang di bawah panggung hanya melihat tiga buah gulungan sinar hitam menyerbu ke tiga bagian jalan darah di tubuh Te-thian Lomo.

Bagi pandangan mata yang tajam, suling Ho Siang itu bergerak merupakan huruf‘ yang berbunyi THIAN (Langit) dan hebat akibatnya. Gulung sinar hitam yang berbentuk Thian itu melingkar membentur cambuk hitam Te-thian Lomo dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu Te-thian Lomo mencelat mundur dan mengeluarkan keringat dingin!

Hampir jalan darah tay-ie-hiat di tubuhnya tersentuh sinar hitam memancar dari suling itu kalau tidak cepat-cepat ia melompat mundur dan mengelak dari sambaran kilatan hitam yang memanjang! Iblis! jurus apa itu? pikirnya.

“Bocah setan! Kau bilang murid Nakayarvia…… kenapa kau mainkan jurus itu?” bertanya Te-thian Lomo heran.

“Hemm, iblis laknat jahanam! Rapanya kau takut mati juga ya? Memang jurus yang kumainkan tadi bukan warisan dari guru Nakayarvia, akan tetapi……. hemm, tak perlu kuberitahukan kepadamu…… mau tahu, jurus-jurus dari guru Nakayarvia….. nih!” Sambil berkata demikian Ho Siang merendahkan ke dua kakinya setengah berjongkok dan tahu-tahu kedua tangannya memukul ke depan.

Inilah pelajaran dari pertapa Nakayarvia yang bernama Menyembah Budha Mematikan Raga, begitu tubuhnya yang setengah jongkok dan mengulurkan tangan. Angin dingin menyambar Te-thian Lomo, tentu saja Iblis Langit Bumi ini tahu bahwa lawannya tengah mempergunakan pukulan jarak jauh. Oleh karenanya dengan tertawa mengejek ia lalu mengangkat tangan menangkis pukulan yang dikirim dari jarak jauh oleh Ho Siang.

“Dess!” Tubuh Ho Siang bergetar bertemu pukulan tangkisan dari Te-thian Lomo, sebaliknya iblis tua inipun melompat ke belakang merasa angin pukulan yang amat hebat menerjangnya.

Kalau saja ia tidak cepat-cepat melompat tinggi ke belakang tadi, niscaya tubuhnya akan hancur terhantam pukulan jarak jauh Ho Siang yang mempengunakan jurus Menyembah Budha Mematikan Raga ini sebabnya mengapa Ho Siang hanya bergetar-getar saja tubuhnya, dan tidak terdorong roboh oleh pukulannya Te-thian Lomo yang menangkisnya barusan??

Sebabnya, dengan tenaga sin-kangnya dia sudah mematikan raga sehingga tubuh itu bagaikan batang pohon yang kuat, tidak roboh diterjang angin badai pukulannya Te-thian Lomo!!

“Hee….... hee… hebat juga kau bocah…... akan tetapi menghadapi diriku, hii…… hii mukamu sudah pucat kepingin mampus, lebih baik kau minggat dari sini dan jangan lagi-lagi kau mencampuri urusanku kalau mau selamat. Nah pergilah…..!” Bentak Te-thian Lomo sambil melompat maju, cambuknya menyambar, diikuti gerakan jubah yang dikibaskan ke arah leher Ho Siang.

Serentetan ular hitam menyambar dan agaknya pemuda tinggi kurus itu akan celaka apabila pada saat itu tidak nampak sinar yang menyilaukan berkelebat, dan tahu-tahu segulung angin besar menyambar jubah Te-thian Lomo dan melibat cambuk dengan pit panjang.

Kiranya yang bergerak tadi adalah pemuda tampan yang sekali bergebrak sudah dapat mematahkan serangan Te-thian Lomo, tampak Te-thian Lomo mendelikkan matanya memandang pemuda tampan baju biru sambil membentak keras, tahu-tahu hanya sedetik cambuk itu menegang dan entah bagaimana caranya tubuh pemuda tampan baju biru melayang ke atas dan telah terjerat cambuk hitam di lengannya.

Terdengar jeritan kaget Ho Siang mencelat mengirim serangan suling hitamnya ke arah Te-thian Lomo, amat cepat sekali gerakan suling di tangan Ho Siang sehingga tak keburu bagi Te-thian Lomo untuk menghindarkan serangan suling yang amat dahsyat itu, maka diapun mengangkat tangan kirinya memapaki suling yang naenyambar dadanya.

“Kraak! Deess!” Suling patah menjadi beberapa potong. Ho Siang terlempar sejauh tiga meter dengan terhuyung-huyung. Kagum sekali hatinya melihat kelihayan musuhnya yang dalam bergebrak tadi telah dapat mematahkan sulingnya dan sekaligus mengirim serangan ujung jubah menyambar pundaknya.

Tentu saja Ho Siang yang memandang jubah lawan membiarkan pundaknya dan menekan serangan sulingnya ke iga lawan, akan tetapi betapa kagetnya dia begitu sulingnya bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat, dan belum lagi habis herannya, ia sudah terlempar oleh pukulan tangan kiri Te-thian Lomo. Ho Siang segera mengerahkan lweekangnya, terasa nyeri pada pundak kanannya.

Sementara itu, pemuda baju biru yang terlibat cambuk Te-thian Lomo bisa melepaskan pergelangan tangannya dari libatan cambuk tersebut, akan tetapi entah bagaimana, tiba-tiba cambuk terlepas pergi dan ia merasa ada sambaran hawa panas lewat di atas kepalanya. Tentu saja ia tak mau kepalanya menjadi korban pukulan dahsyat itu, dengan cepat ia membuang diri ke belakang dan pada saat itulah ia menjerit lirih ketika ikat kepalanya terlepas dan nampak seuntai rambut panjang hitam itu menarik perhatian orang-orang yang di bawah panggung.

Siauw Yang terkejut dan betapa herannya ia ketika mengetahui bahwa pemuda tampan itu adalah seorang wanita, seorang wanita rambut panjang yang demikian cantik dan manis setelah rambutnya terlepas. Pantas pemuda tadi demikian tampan dan gerak geriknya seperti perempuan!

Ho Siang yang terpukul pundaknya oleh Te-thian Lomo menoleh ke kiri. Dilihatnya pemuda baju biru itu tersenyum kepadanya kemaluan sambil katanya: “Aku tak apa-apa!”

“Serrr......” terasa dada Ho Siang berdesir melihat pemuda tampan itu tersenyum. Dan waktu bibir itu berkata, “Aku tidak apa-apa!” O, alangkah merdunya suara pemuda tampan itu, eh, gadis itu! Akan tetapi ia terpaksa meringis menahan nyeri. Ia memandang ke bawah dan suling hitam yang hancur berantakan itu, tak dapat lagi dipergunakan sebagai senjata!

“Ha ha ha, sungguh memalukan. Sungguh menyebalkan mengapa hanya bocah-bocah ini yang berani menghadapiku, mana tuan rumah yang kesohor sebagai raja obat dan para Locianpwe yang katanya mendapat kehormatan sebagai orang tua gagah, sungguh memalukan bersembunyi di belakang dua orang muda yang masih hijau dan nggak becus apa-apa!” Te-thian Lomo mengejek.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar