Nagabumi Eps 202: Membasmi Penyamun Terbang

Eps 202: Membasmi Penyamun Terbang

PENYAMUN terbang itu muncul begitu mendadak, bagaikan langsung membedah tirai langit dan menjatuhiku. Namun rupanya angin yang mendadak pula bertiup kencang kembali menerpa sayapnya begitu rupa sehingga bacokannya melewati kepalaku, bahkan ia sendiri terjerat tali pada roda tempat aku berbaring menghela diriku. Akibatnya tubuh penyamun itu menimpa tubuhku sampai pegangan tanganku pada tali tambang terlepas!

Kami bergulat di atas tali pada roda yang jadinya mundur kembali ke tengah karena peganganku terlepas itu. Tali tambang bergoyang-goyang karena pergulatan kami maupun karena angin, yang dapat menjadi sangat berbahaya bagi para peziarah pada tali tambang di sebelah utara, karena tenaga mereka yang lemah oleh perjalanan dan puasa. Penyamun itu berusaha bangkit agar bisa membacokku lagi, tetapi aku menangkap tangan kanannya yang terayun dengan tangan kiriku, berusaha membuat goloknya lepas. Namun ketika goloknya lepas, ternyata tangan kirinya sempat mengambil pisau terbang dari pinggangnya dan menusuk jantungku dengan bernafsu, tetapi tangan kananku segera memegang pergelangan tangan kirinya itu pula.

"Ggggrrrhhhh!"

Rupanya penyamun terbang yang beringas itu penasaran sekali tidak bisa segera menghabisiku. Sekilas sempat kulihat di pinggangnya terdapat sabuk pisau terbang, setidak-tidaknya terdapat dua belas pisau terbang melingkari pinggang pada sabuk semacam itu. Maka tangan kiriku bergerak cepat mengambil salah satu pisau terbang dari sabuk itu, dan menusuk perutnya yang menindih perutku tanpa sempat ditahan tangan kanannya.

"Hhhhgggh!"

Tamat sudah riwayat hidupnya dan sebelum mendorong tubuhnya kulepas dahulu sabuk pisau terbang itu, karena dalam penyamaran menghadapi para penyamun terbang yang muncul di mana-mana ini diriku tak mungkin menggunakan pukulan jarak jauh atau berkelebat melenting ke sana kemari di atas tali tambang penyeberangan ini.

Seorang penyamun terbang menyambar Golok Karat, tetapi bukan saja sambaran goloknya luput, melainkan Golok Karat berhasil menangkap pergelangan tangannya, menarik dan membantingnya, tetapi tidak me lepasnya sebelum ia pukul kepala penyamun itu dengan kepalan sampai pingsan. Penyamun itu tergelantung dengan kepala di bawah dan sayapnya yang kaku terkulai.

BUKAN hanya pisau terbang kini yang melesat, tetapi juga anak panah berujung besi yang telah direndam racun dan dilepaskan dengan busur-busur silang yang luar biasa kuat tenaga dorongnya, yang akan membuat anak panahnya bukan hanya menancap, melainkan menembusi badan!

Di tangan Golok Karat sudah terpegang golok berkaratnya yang besar, yang langsung diputarnya seperti baling-baling, tetapi aku tidak memegang senjata apapun! Dalam dunia persilatan, bertangan kosong bagiku adalah pilihan, karena dengan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, bersenjata atau tidak bersenjata tidak terlalu menentukan; tetapi semua kelebihan itu tidak mungkin kugunakan sekarang dalam penyamaran. Pisau terbang dan anak-anak panah yang dilepaskan busur-busur silang itu melesat secepat kilat siap merajam tubuhku!

Apakah yang masih dapat dilakukan kewajaran awam dalam keadaan segenting itu? Golok Karat dengan golok karatnya yang berputar seperti baling-baling merontokkan segenap pisau terbang dan anak panah yang dilepaskan busur-busur silang. Aku sendiri dengan sekuat tenaga memanfaatkan keterayunan tali tambang yang dihempaskan angin itu untuk mengangkat tubuhku ke atas kembali, bahkan sampai berputar ke bagian atas tali, sehingga segenap pisau terbang dan anak-anak panah yang dilepaskan busur silang itu tidak hanya melesat tanpa mengenai sasaran di tempat tubuhku tadi berada, melainkan dapat kuraih penyamun yang datang menyambar dengan maksud membacokku.

Penyamun itu kebingungan berkepak meninggalkan tali tambang dengan diriku bergelantungan memegang kedua batang sejajar pada alat terbang di bawah perutnya. Ketika ia mencoba membacokku lagi, dalam kacaunya keseimbangan, sekali lagi kumanfaatkan keberayunan alat terbang yang oleng untuk mengayun tubuhku berputar ke atas punggungnya yang tertutupi selaput penghubung kedua sayap. Dengan segera sambil menduduki punggungnya, kujepit pinggangnya dengan kedua kaki, sementara tangan kiriku meraih tali tambang penyeberangan di sebelah utara yang penuh peziarah.

Tali tambang itu bergoyang-goyang dalam keterayunan, kupegang tepi kerangka sayapnya dengan tangan kanan sehingga takbisa bergerak lagi, lantas dengan cepat tangan kananku itu pula yang menotok tengkuknya dari belakang. Penyamun itu terkulai pingsan, goloknya melayang jatuh, tetapi dengan hanya tangan kiri bergantung pada tali tambang seperti ini dengan beban tubuh penyamun pingsan beserta segenap peralatan terbangnya, meskipun peralatan itu ringan, kedudukanku sangat tidak menguntungkan ketika para penyamun lain datang menyambar.

"Tanpa Nama!"

Kulihat di tali tambang penyeberangan sebelah selatan Golok Karat masih bertahan dengan golok karatnya yang sudah menjadi merah dan meneteskan darah. Namun itu tidak mengurungkan niat para penyamun untuk tetap menyingkirkan siapa pun yang tampaknya berani melawan dan akan menjadi penghalang, sehingga mereka masih terus menyerang Golok Karat meski takkunjung juga bisa mereka kalahkan, sebaliknya justru pada pihak merekalah banyak jatuh korban. Penyamun terbang yang berhasil ditewaskan dengan dada terbelah dan cucuran darah segar langsung jatuh melayang ke Sungai Jinsha dengan teriakan panjang.

"Pakai sayapnya!"

Memang itulah yang akan kulakukan dengan tidak melepaskan penyamun pingsan yang membebani tangan kananku. Aku harus mengangkatnya sekuat tenaga dengan sebelah tangan dan menyangkutkannya ke dalam tali pada roda, bersama dengan segenap perlengkapannya, sebelum melucutkannya dari sana dan ganti memasukkan diriku ke dalam perlengkapan terbang itu. Namun sekarang aku ini sedang diserang! Dengan tangan kiri memegang tali tambang penyeberangan dan tangan kanan dibebani penyamun bersayap yang pingsan, aku sudah kehilangan akal mengatasi serangan ini dengan ilmu s ilat awam. Haruskah aku membuka samaranku dan mengatasinya dengan ilmu silat sebenarnya kukuasai sekarang? Penyamun terbang yang menyambar itu sudah berada di hadapanku!

Namun pada tali tambang penyeberangan di sebelah utara ternyata aku tidak sendiri, karena semua peziarah memang melewati bagian ini, dan kita t idak pernah bisa tahu s iapa saja yang berada di antara para peziarah itu. Maka suatu bayangan berkelebat di belakangku. Terdengar suara orang berdahak dan meludah.

"Cuh! Cuh!"

Kulihat wajah kejam penuh kehendak membunuh itu mendadak berteriak kesakitan karena pada kedua matanya tiba-tiba saja berkobar api!

Penyamun terbang yang meluncur ke arahku itu bahkan menabrakku! Hanya untuk merosot terpuntir-puntir bersama sayapnya yang menangkup sambil masih berteriak-teriak dalam bahasa Tibet, meski Sungai Jinsha di bawah sana akan segera membungkamnya.

AKU menoleh ke belakang. Ternyata seorang pengemis! Dialah yang rupanya telah meludahi penyamun terbang itu tepat pada matanya yang segera berubah menjadi api dan membakar mata itu!

Tangannya menyentuh tali tambang penyeberangan dengan ringan dan bergerak mendekati aku dengan gerakan seperti kera. Tanpa berbicara ia bergelantungan di sebelahku pada kakinya dan langsung meraih kerangka sayap yang kupegang itu dengan ringan pula ke atas. Tenaga dalamnya tentu tinggi sekali, tetapi pengemis, atau lelaki tua berbusana dekil dan compang-camping seperti pengemis itu, melakukannya seperti menjalankan pekerjaan sehari-hari sahaja.

Penyamun terbang yang masih pingsan lengkap dengan peralatannya itu telah tergeletak pada tali roda. Para penyamun terbang lain masih menyambar-nyambar dari segala jurusan sambil mengayunkan golok, melemparkan pisau terbang, dan melepaskan anak panah dengan busur silang. Setidak-tidaknya terdapat dua puluh lima peziarah bergelayutan pada tali roda-roda yang seharusnya meluncur di atas tali tambang, tetapi kini terhenti karena angin kencang maupun serbuan para penyamun terbang. Pengemis itu bergelantungan seperti kera sepanjang tali tambang, untuk mendorong roda-roda bertali yang ditumpangi para peziarah itu agar meluncur kembali.

Beberapa di antara mereka bahkan telah terluka, ada yang hampir jatuh, tetapi ada juga yang mampu bertahan dan menangkis, tetapi tidak ada yang membalas, karena mereka telah berada dalam peziarahan, yang berarti membebaskan diri mereka dari cara berpikir kehidupan sehari-hari. Namun para penyamun itu tidak peduli. Kepasrahan dan ketulusan para peziarah tidaklah berarti akan membuat para penyamun itu terharu dan jatuh iba, sebaliknya hanya membuat para penyamun memandang para peziarah sebagai makanan empuk. Itulah sebabnya peziarahan ke berbagai kuil dan tempat suci di wilayah Tiga Sungai Sejajar dikenal sebagai tempat terberat bagi pengujian ketabahan, karena begitu banyak marabahaya yang mengancam, baik datangnya dari manusia maupun alam.

"Tanpa Nama! Cepat! Bunuh saja! Buang!" Golok Karat tidak sabar melihat bagaimana aku bersusah payah melucutkan penyamun pingsan itu dari alat terbang. Namun tidak mungkinlah aku membuangnya ke bawah untuk ditelan kederasan arus Sungai Jinsha. Sebaliknya kuikatkan tali ke tubuhnya agar tetap berada di sana dan tidak jatuh melayang ke bawah. Lantas aku pun memasangkan diriku kepada alat terbang itu, dan melepaskan diri dari tali pada roda untuk mencoba terbang.

Aku pun segera meluncur, berkepak, dan melayang.

Semenjak diserang gerombolan penyamun terbang untuk kali pertama, sebelum akhirnya Pedang Kilat datang menolong kami, telah kuperhatikan baik-baik cara bekerja alat terbang yang meniru sayap berkepak ini. Alat ini menuntut seseorang berbaring tengkurap di angkasa, tetapi dengan alas hanya untuk dada sampai perut, karena kedua tangannya memegang pengendali sayap untuk berkepak yang terhubungkan dengan tali, sedangkan kedua kakinya bergerak naik dan turun untuk meninggi rendahkan sayap tersebut. Adapun di punggung terpasang batang kayu dari kaki sampai belakang kepala, yang ketika sampai di bahu di bawah leher terikat pada penerbang yang berada di hadapan pengendali terbang --suatu kerangka kayu melengkung seperti busur, yang didukung suatu kerangka penopang, dengan bentangan dua tali kencang ke arah kaki batang kayu di punggung penerbang. Jadi kepala penerbang bagai kepala kuda yang terikat kendali, tetapi kali ini melalui kepala yang naik turun itulah penerbangan dikendalikan.

Aku telah mengambil sabuk pisau terbang pada pinggang penyamun yang pingsan itu. Para penyamun menyesuaikan alat terbang itu dengan kebutuhan mereka sendiri, yakni merampok, menjarah, dan bertarung, sehingga tangan yang seharusnya memegang pengendali sayap harus bebas, dan karena itu pengendalian sayap dibuat agar dapat dilakukan pangkal lengan. Demikianlah kedua tanganku pun sekarang bebas, dan memegang dua bilah pisau terbang, masing- masing di tangan kiri dan tangan kanan.

Aku melayang berpapasan dengan dua belas penyamun terbang di hadapanku. Dari mana saja para penyamun terbang ini? Mereka muncul dari mana-mana dengan begitu tiba-tiba, bagaikan langsung menguak dari balik tirai langit yang biru. Melesat dan melesat, langsung menujuku. Aku terbang merendah, dua belas penyamun berkepak lewat di atasku. Aku membubung naik dan berbalik. Kedua belas penyamun itu rupanya juga membubung dan akan berbalik, tetapi aku telah meluncur seperti elang sambil melepas kedua belas pisau terbang itu serempak yang langsung menancap di setiap dahi penyamun terbang itu.

GOLOK Karat memang pernah bergabung dengan pasukan kerajaan, sehingga mengenal siasat pertempuran.

Namun saling pengertian ini juga terbentuk karena kebersamaan kami dalam perjalanan yang penuh dengan perbincangan. Maka para penyamun terbang ini memang akhirnya terjebak untuk menyerang terus menerus, dan kami tunggu saja sampai terbuka kelemahan. Seorang penyamun terbang dirontokkan sayapnya oleh Golok Karat, sementara bandul bertaliku meretakkan kening penyamun terbang lain, dan keduanya pun segera jatuh terpuntir-puntir ke bawah.

Namun para penyamun terbang ini juga bukan sembarang orang kasar. Para pemimpinnya mungkin saja bekas anggota pasukan Kerajaan Tibet yang kecewa, yang karena menyingkir keluar dari perbatasan, maka bergabung dan akhirnya bahkan merebut kedudukan sebagai pemimpin gerombolan.

Akibatnya, gerombolan penyamun yang hanya mengandalkan keberingasan pun akhirnya mengenal sedikit siasat pertempuran, yang menjadi sangat berguna untuk mengatasi perburuan pasukan Negeri Atap Langit, yang secara berkala melakukan peny isiran dan pembersihan berbagai gerombolan di perbatasan. Begitulah, rupanya siasat kami terbaca, sehingga para penyamun itu hanya terbang berputar mengepung kami, tanpa menyerang sama sekali, tetapi tetap melepaskan anak panah dari segala jurusan. Jika kedudukan terus bertahan seperti ini, keadaannya akan sangat berbahaya bagi kami, karena rupanya para penyamun terbang ini menyadari ujaran Sun Tzu yang lain dari bagian Sembilan Kedudukan.

jika ia memasuki wilayah musuh tetapi tidak dalam

ia dalam kedudukan ringan

Ini disambung lagi dengan nasihat:

dalam kedudukan ringan jangan berhenti

Dalam keadaan ini, jelas kemampuan terbang kami tidak sebanding dengan para penyamun terbang yang betapapun hidup di wilayah ini. Jika angin kencang datang kembali, niscaya kamilah yang akan ikut terbawa tanpa kemampuan mengatasinya, dan para penyamun terbang itu dengan leluasa akan segera menyambar para peziarah kembali. Maka aku pun teringat ujaran Sun Tzu sendiri:

dalam keadaan terkepung bersiasatlah

Golok Karat memandangku dan aku mengerti belaka maksudnya, karena kami memang pernah memperbincangkan bagaimana buku Seni Perang Sun Tzu yang ditujukan untuk peperangan dengan balatentara besar, dapat digunakan untuk pertarungan dengan cukup sedikit orang seperti berlangsung sekarang.

Aku pun menekuk sayapku ke atas agar dapat menukik ke bawah, dan setelah lolos dari kepungan mereka langsung melesat ke selatan; sementara Golok Karat melakukan tindakan yang sama, hanya saja lantas melesat ke utara.

Itulah memang siasat yang pernah kami bicarakan dalam perjalanan, kami pancing agar musuh terpecah menjadi dua bagian, tentu hanya untuk kami lumpuhkan satu demi satu. Jika siasat ini terbaca, seharusnya mereka tidak mengejar kami, makanya masing-masing kami sebelum lepas dari kepungan sengaja melukai penyamun terdekat agar darah mereka jadi panas.

Kebetulan sekali kami pernah membicarakan tentang pengembangan siasat-siasat Sun Tzu bagi kedudukan lemah dan terdesak, sehingga kami sama-sama sepakat betapa luka yang ditimbulkan itu haruslah luka yang menghina dan menyinggung harga diri.

Dalam hal itu Golok Karat yang meluncur cepat ke utara dengan golok karatnya telah memapas putus dua tangan seorang penyamun, tepat pada pergelangan tangannya. Darahnya mengucur seperti air cucuran atap ke pelimbahan, mengucur untuk terbawa angin tak jelas ke mana, tetapi penyamun itu masih bisa menjaga kendali alat terbangnya melalui kedua lengan.

MEMANG pemandangan yang selain menimbulkan rasa iba juga menaikkan darah, sehingga Golok Karat langsung dikejar dan diburu, seperti juga yang separuh lagi mengejarku karena sekadar telah kusabetkan bandul bertaliku ke wajah seorang penyamun, dengan tenaga terjaga agar hanya hidungnya saja yang patah, tetapi cucuran darahnya cukup banyak bagaikan mengalir ke pelimbahan jua. Demikianlah mereka mengejarku di atas Sungai Jinsha ke utara, dan kubiarkan satu persatu mendekat, karena itulah memang cara terbaik mengalahkan para penyamun terbang yang luar biasa ini.

Kudengar jeritan para korban golok karatan yang pastilah menyakitkan itu, jauh, jauh di selatan sana.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar