Nagabumi Eps 196: Mencoba Berpikir seperti Pencuri

Eps 196: Mencoba Berpikir seperti Pencuri

NYARIS tidak terdengar, kepalanya muncul perlahan-lahan dari balik permukaan sungai. Betapapun ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang mampu membedakan suara air tersibak kepala itu dari suara-suara lain. Namun pengintai ini memang cukup hati-hati, dengan bergerak amat sangat perlahan sekali.

Ia mengitari dahulu batu ini, dan baru mulai merayap naik setelah berada di arah belakangku. Setelah se luruh tubuh keluar dari air, ia berhenti dahulu dengan menempel di batu dengan ilmu c icak, kukira untuk menghabiskan tetesan air dari tubuh lebih dahulu. Namun masih kudengar napasnya, karena ia tidak bernapas melalui pori-porinya, meskipun jika ia melakukannya, masih akan kudengar pula detak jantungnya. Mungkin ia mengira segala suara di tempat ini, termasuk angin yang bernyanyi, akan menutupinya. Tentu tiada yang mengira betapa ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang bukan hanya mampu membedakan suara satu dari suara lain, tetapi bila perlu memisahkan suara-suara itu, sehingga suara yang menjadi perhatian akan terdengar lebih jelas daripada suara-suara lain.

Aku tetap berpura-pura tidur nyenyak, tidak bergerak sama sekali, tetapi kewaspadaanku sungguh amat sangat tinggi. Dengan tubuh terlentang, kaki terjuntai ke bawah, dan kedua tangan terbuka lebar di samping kiri dan kanan kepala, sebenarnyalah pertahananku tampak sangat amat terbuka, tetapi itu adalah jebakan kelemahan dalam Jurus Penjerat Naga. Jika ia bermaksud membunuhku, aku tidak siap mati sekarang dan kehilangan peluang membebaskan Yan Zi dan Elang Merah. Mereka akan mati dibunuh Mahaguru Kupu-kupu jika aku tidak muncul dengan Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam pada hari ketiga puluh. Dengan Jurus Penjerat Naga, seperti yang selalu dilakukan Pendekar Satu Jurus, siapa pun lawanku akan mati justru tepat pada saat menyerang.

Begitu tubuhnya kering ia melenting ke atas dataran batu dan hinggap tanpa suara sama sekali. Ia mendekam agak lama, dan baru setelah ditungguinya aku tidak bangun juga, maka ia pun berdiri tegak di belakang diriku yang sedang terlentang. Mungkinkah ia berpikir betapa mudahnya kini membunuhku?

Pastilah ia sedang menatapku. Lantas melangkah lebih dekat untuk melihat wajahku dengan lebih jelas. Ia diam agak lama. Pernahkah ia melihat orang berkulit sawo matang? Jika ia belum pernah ke Chang'an, atau ke kota-kota pelabuhan, mungkin sekali inilah untuk pertama kalinya ia melihat orang berkulit sawo matang. Siapakah kiranya orang ini, yang ketika semua orang di wilayah ini mengejutkan diriku dengan kemampuannya terbang, tetapi dirinya justru tahan berlama- lama di dalam air yang begitu, yang kukira bahkan siapa pun di s ini belum tentu mampu menjalaninya? Apakah ia juga seorang pengembara seperti diriku, yang mengikutiku dengan penuh rasa ingin tahu, ataukah seorang petugas rahasia bayaran yang disewa salah satu suku di sini, yang mungkin saja saling memata-matai? Meski mataku terpejam, aku dapat merasakan sesuatu yang lain, tetapi sulit kujelaskan seperti apakah kiranya sesuatu yang lain itu.

Kemudian kudengar tanpa sadar ia terkejut dan mulutnya mengeluarkan suara.

"Hhhh!"

Lantas dengan cepat, ia berjalan mundur. Dapat kurasakan bagaimana ia melayangkan tubuhnya ke belakang dan lenyap ditelan permukaan sungai nyaris tanpa suara.

Aku membuka mata, segera bangkit dan siap membuntutinya, tetapi begitu kutatap permukaan air, tahulah aku betapa sudah tidak mungkin menyusulnya lagi. Apakah aku ternyata dikenali? Dalam arti apakah ia tahu aku bukan hanya berpura-pura tidur, tetapi juga sebetulnya akan dapat membunuhnya setiap saat dia menyerangku?

AKU tidak menganggap diriku mungkin dikenali, karena dengan alasan apakah kiranya seseorang dapat mengenaliku di Negeri Atap Langit, apalagi di daerah terpencilnya seperti sekarang.

Di wilayah lautan kelabu gunung batu yang berbatasan dengan Daerah Perlindungan An Nam, aku masih bisa mengerti jika sepak terjang Amrita sebagai panglima gabungan para pemberontak menjadi perbincangan, dan aku yang selalu berada di dekatnya ikut tersebut-sebut pula. Namun tentunya tidak di daerah amat sangat terpencil seperti ini, mendekati tempat di balik dunia yang dipercaya para bhiksu Tibet sebagai tempat suci yang dalam sutra tertulis sebagai Shambala. Tidak ada sesuatu pun dariku, pikirku, yang membuat seseorang berilmu tinggi seperti itu harus menghilang begitu rupa sampai tidak dapat disusul lagi.

(Oo-dwkz-oO)

Setelah melewati kaki Gunung Laowo, dalam waktu sepuluh hari tibalah aku di kaki Gunung Gaoligong. Menuruti saran Elang Merah, aku telah menggunakan Jurus Naga Berlari di Atas Langit dengan menyusuri jalan angin, dalam hal ini yang berhembus di atas Sungai Nu, agar cepat sampai ke Tiga Sungai Sejajar. Namun aku memilih jalan angin terbawah, tempat bisa kusamarkan diriku dalam kabut, yang makin ke utara dan makin ke atas bukan lagi kabut yang berasal dari uap di permukaan sungai, tetapi karena suhu yang begitu dingin memadatkan udara kembali menjadi kelabu yang rata.

Jalan itu kupilih, untuk menghindari pertemuan yang tidak perlu dengan para manusia terbang, yang terbukti berkeliaran terlalu jauh sampai di luar wilayahnya seperti yang kusaksikan sendiri. Sengketa antarsuku yang tampaknya sedang berkecamuk, telah membuat mereka berusaha saling memata- matai melalui berbagai jalan memutar yang jauh, tetapi yang ternyata masih saling bersimpang jalan, sehingga melahirkan persoalan-persoalan baru. Jika tidak ingin menambah persoalan kepada masalahku yang juga sudah bertumpang tindih, kukira aku harus menghindar dari kemungkinan untuk terlihat dan mengendap ke bawah permukaan, dan itulah yang memang telah kulakukan sampai tiba di kaki Gunung Laowo.

Aku mengikuti jalan angin di dalam kabut di atas sungai dengan tenang, karena dengan menjulangnya lereng-lereng di samping kiri dan kanan sungai maka nyaris tiada manusia, apalagi pemukiman, yang kutemui sepanjang perjalanan. Alam yang beku, dingin, dan sunyi. Hanya terdengar suara angin bertiup dan desis kabut berjalan-jalan. Permukaan sungai semakin banyak yang membeku dan ada kalanya kulihat juga manusia, dengan tongkat dan buntalan pengembara di bahunya. Ini bukanlah alam tempat tinggal manusia, tetapi para pengembara tidak selalu puas dengan jalan yang belum pernah dilaluinya saja, karena jiwa petualangan akan membawanya keluar dari jalan peradaban dan menjelajahi alam yang belum pernah diinjak manusia.

Sembari mengalir bersama angin, kulewati mereka yang melakukan perjalanan sendirian, melangkahkan kaki satu persatu dari batu ke batu di tepi sungai, melangkah, melangkah, dan melangkah lagi, di tengah alam raya luas bagaikan tiada bertepi. Jarak mereka saling berjauhan begitu rupa bagaikan tiada kemungkinan akan saling berpapasan, sehingga memandang masing-masing mereka dari kejauhan sebagai titik-titik berjalan memberikan perasaan yang sedikit rawan.

Siapakah kiranya masing-masing mereka? Dari manakah datangnya dan sedang menuju ke mana? Apakah mereka memiliki suatu tujuan ketika berangkat, ataukah hanya berjalan dan berjalan dalam suatu pengembaraan yang akan menjadi amat sangat panjang tanpa habisnya sampai datang kematian? Ada yang sedang melangkah, ada yang sedang membuat api, ada yang sedang duduk diam di tepi jurang menatap pemandangan, ada juga yang sedang tidur melingkar seperti udang di atas batu.

Aku jadi teringat puisi Du Fu yang berjudul "Mengembara Lagi":

aku teringat kuil dan jembatan yang telah kulalui, bukit dan jeram segalanya tampak terhampar seperti menantiku; bunga-bunga

dan pohon siong begitu hangat terbuka, keindahan sambutan; menyeruak

di dataran, asap terlihat samar; cahaya terakhir matahari tertahan di pas ir hangat; lantas kekhawatiran pejalan terhenti, ketika di mana pun

tempat istirah yang lebih baik tak bisa ditemukan

NAMUN sesampainya di kaki Gunung Laowo, aku melepaskan diri dari embusan angin, melenting dari pucuk pohon yang satu ke pucuk pohon yang lain, turun lagi dengan melenting dari batu ke batu, lantas setelah kulihat suasana masih sepi tanpa manusia, maka hinggaplah aku di sebuah jalan setapak, dengan hanya disaksikan sekeluarga kambing gunung.

Mulai dari sini kuputuskan berjalan kaki sampai ke kaki Gunung Gaoligong. Mengingat tujuanku kali ini adalah mencuri Kitab I lmu Silat Kupu-kupu Hitam yang tentu telah dipindahkan, disimpan, disembunyikan, bahkan mungkin dijaga dengan ketat setelah Mahaguru Kupu-kupu hampir saja berhasil mengambilnya kembali, aku harus mulai berpikir seperti pencuri. Namun aku sama sekali belum pernah melakukan pencurian, tidak pernah ingin mencuri, dan karena itu kini agak menyesal tidak pernah memperhatikan ilmu pencurian, terutama untuk mencuri kitab ilmu silat, dengan baik. Kini aku harus membayar mahal keteledoranku itu, karena memang sebetulnya pencurian kitab ilm u silat merupakan gejala yang sangat umum dalam dunia persilatan. Meskipun selalu dikutuk dan siapa pun pencurinya jika tertangkap dianggap layak dibunuh, pencurian kitab ilmu silat masih terus dilakukan.

Bukankah pernah kuceritakan betapa di Javadvipa pun ilm u pencurian kitab ilmu silat berkembang pesat dengan segala macam siasat, sehingga kemudian dikenal adanya pekerjaan seperti pencuri kitab ilmu silat yang menerima pesanan untuk mencuri dengan bayaran yang sangat mahal? Bukankah pernah kuceritakan betapa di Javadvipa pun ilm u pencurian kitab ilmu silat berkembang pesat dengan segala macam siasat, sehingga kemudian dikenal adanya pekerjaan seperti pencuri kitab ilmu silat yang menerima pesanan untuk mencuri dengan bayaran yang sangat mahal? Mencuri kitab ilmu silat tidaklah sama dengan pencurian biasa, karena kitab ilmu silat bukan saja tersimpan di tempat yang paling aman dalam suatu perguruan, tetapi juga berada di tengah orang- orang berilmu silat yang tinggi. Mencuri kitab ilmu silat sebenarnya merupakan tindakan nekad, ibarat kata bisa masuk belum tentu bisa keluar lagi.

Sering terjadi para pencuri kitab ilmu silat ini nasibnya sungguh buruk. Hukuman gantung atau penggal kepala masih dianggap terlalu ringan. Banyak yang jika tertangkap hidup- hidup akan dikutungi anggota badannya, lantas tubuhnya yang sudah tidak berkaki dan tidak bertangan, tetapi masih berkepala, dan diusahakan masih hidup, dibuang ke dalam hutan agar dimangsa binatang buas. Namun dengan ancaman hukuman kejam seperti itu, para pencuri kitab ilmu s ilat masih berkeliaran di dunia persilatan, dan masih menerima pesanan untuk mencuri kitab ilmu silat, baik dari perguruan maupun dari ruang pustaka penyimpanan kitab kuil-kuil tua. Semakin langka kitab yang dicuri dan semakin tinggi ilm u silat yang dikandungnya, semakin tinggi bayaran yang akan diminta.

Dalam perkembangannya, seperti pernah kuceritakan pula, justru para pencuri ini yang bertindak melakukan pencurian kitab lebih dahulu, lantas menawarkannya ke dunia persilatan dengan harga tertentu, atau seperti melelangnya dan hanya akan menjualnya kepada penawar dengan harga tertinggi. Ini semua menunjukkan betapa dalam dunia persilatan terdapat kehausan atas ilmu-ilmu silat, yang bagi setiap perguruan justru merupakan ilmu rahasia yang terlarang untuk dibagikan setelah menerimanya berdasarkan sumpah setia. Seperti juga yang berlaku di Perguruan Shaolin, t idaklah mudah untuk bisa diterima di perguruan manapun, terutama perguruan- perguruan ternama dengan ilmu silat yang tinggi, karena setiap perguruan seperti berlomba menerapkan syarat yang berat.

Keadaan ini menimbulkan gagasan kepada para pencuri yang berjiwa pedagang, untuk menggandakan kitab-kitab yang dicurinya itu, dan menjualnya dengan harga lebih murah, sehingga peminat kitab-kitab ilmu silat hasil penggandaan ini pun menjadi banyak. Bahkan hasil penjualan dari penggandaan ini menjadi lebih menguntungkan daripada menjual satu saja kitab asli, meskipun harganya lebih tinggi. Bagi mereka yang ingin belajar ilmu silat tanpa harus menggosok lantai rumah perguruan, membeli kitab-kitab hasil penggandaan yang murah ini sungguh merupakan jalan pintas. Begitulah kitab-kitab ilmu silat terkadang terlihat diperjualbelikan, terkadang bahkan sebagai kitab bekas oleh seseorang yang merasa sudah menguasai ilmu silat yang berada di dalamnya.

Maka bagi perm intaan untuk mencuri kitab-kitab ilmu silat langka yang hanya terdapat satu saja di dunia ini, para pencuri kitab ini akan meminta bayaran yang amat sangat tinggi. Ternyata, permintaan untuk mencuri kitab ilmu silat ini juga tetap ada dan tetap ada pula yang bersedia melayaninya, karena dalam dunia pencurian kitab ilm u silat, bukan hanya bayaran tinggi yang membuatnya berani menempuh bahaya, melainkan karena mencuri kitab ilmu silat itu sendiri telah dihayati sebagai suatu seni.

SEMAKIN sulit dan semakin besar ancaman bahaya yang dihadapi, semakin merasa tertantang seorang pencuri untuk mengambil suatu kitab ilmu silat, bukan terutama demi bayaran yang tinggi, melainkan kebanggaan seorang pencuri.

Dengan begitu perguruan silat mana pun akan menjaga kitab ilmu s ilat yang merupakan rahas ia perguruan itu dengan penuh kerahasiaan pula, apalagi dalam hal Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam yang hampir berhasil dicuri pula. Aku bukan seorang pencuri, apalagi pencuri kitab ilmu s ilat, tetapi tanpa pengalaman apapun kini aku harus berpikir sebagai seorang pencuri. Salah satu caranya, menurut perkiraanku, adalah mendapatkan pengetahuan sebanyak- banyaknya mengenai Mahaguru Kupu-Kupu Hitam. Hanya dengan keterangan secukupnya aku bisa mempertimbangkan sesuatu tentang cara mendapatkan kitab itu. Jika ia memang terkenal di daerah ini, kurasa aku sudah bisa mulai mengumpulkan keterangan sejak mendarat di kaki Gunung Laowo sampai ke kaki Gunung Gaoligong.

Maka aku pun mulai melangkah sebagaimana layak seorang pengembara yang berjalan kaki. Telah kupatahkan dahan pohon siong yang agak lurus, dan menjadikannya sebagai tongkat pengembara dengan beban buntalan di ujungnya, yang kubuat dari lapisan bajuku yang berada di bagian dalam. Kukira aku tidak akan merasa terlalu kedinginan selama masih mengenakan baju luarku yang tebal itu. Aku masih mengenakan capingku, sekadar untuk melindungi mataku agar perbedaan dengan mata orang-orang di sini, yang kadang- kadang begitu sipit sehingga hanya merupakan suatu garis saja, tidak terlalu mengundang perhatian. Sebagai beban, kuletakkan sebuah batu pada ikatan kain buntalanku.

Setelah berjalan cukup lama dan hanya berpapasan dengan beberapa orang saja, sampailah aku ke sebuah kedai di luar sebuah kampung. Segera kupesan daging rusa bakar dan secawan arak. Hari menjelang sore. Sudah ada beberapa orang di situ. Bersama pemilik kedai, mereka semua memandangiku dengan wajah kosong. Ah! Aku lupa! Mungkin saja tidak ada yang mengetahui bahasa Negeri Atap Langit!

Namun seseorang segera mengucapkan sesuatu kepada pemilik kedai, dan pemilik kedai itu pun mengangguk. Setelah menuangnya ia segera membawa secawan arak untukku. Aku belum membuka capingku. Kudengar desis daging rusa yang sedang dipanggang dalam kayu bakar itu. Orang yang menerjemahkan kata-kataku, yang tadi duduk agak jauh mendatangiku. Ia pindah duduk di dekatku sambil juga menggenggam secawan arak. Tubuhnya tinggi besar, tetapi wajahnya ramah sekali.

''Tidak semua orang mengerti bahasa Negeri Atap Langit di sini,'' katanya dalam bahasa Negeri Atap Langit, ''kalau bahasa Tibet sebagian besar mengerti.''

''Bahasa mereka sendiri apa namanya?''

''Daku juga tidak mengerti, apakah bahasa orang Lisu, Naxi, Han, atau Y i, tetapi kampung mereka masih jauh dari sini. Kurasa bahkan orang-orang Pagan, para penyembah berhala itu, wilayah mereka berbatasan juga dengan Tibet. Tapi mungkin aku sa lah. Daku juga orang as ing di sini. Perkenalkan, daku Si Golok Karat dari Chang'an.''

Aku pernah mengetahui keberadaan orang-orang Pagan di antara pasukan pemberontak gabungan di Daerah Perlindungan An Nam, tetapi kurasa saat itu pun diriku tidak mempunyai kesempatan untuk mengenalnya. Namun jika memang benar mereka berasal dari Pagan, atau keturunan orang-orang Pagan, kurasa perpindahan mereka ke daerah dingin ini sangat jauh. Meskipun begitu, Changian yang resminya satu negeri dengan wilayah ini sebetulnya lebih jauh lagi. Kulihat ia tidak menyorenkan pedangnya di pinggang atau di punggung.

''Chang'an? Bukankah itu jauh sekali?''

Ia memandangku dengan penuh perhatian.

''Apalah artinya jarak yang jauh demi sebuah tujuan bukan? Daku telah berja lan jauh dengan tujuan mempelajari ilmu s ilat di bawah bimbingan Mahaguru Kupu-kupu Hitam...''

Belum selesai kalimatnya, aku sudah tersentak di dalam hati. Mendadak saja aku seperti mendapatkan cara penyamaran dan jalan masuk terbaik ke dalam lingkungan Mahaguru Kupu-kupu.

''....dan siapakah dikau, kiranya dari mana hendak menuju ke mana?''

''Daku hanyalah seorang pengembara tanpa nama, Tuan Golok Karat, datang jauh-jauh dari Ho-ling juga untuk mendapatkan setetes ilmu dari pengetahuan silat Mahaguru Kupu-kupu Hitam yang ternama.''

Kukira lelaki tinggi besar yang menyebut dirinya Golok Karat ini agak kurang mengerti di mana letak Ho-ling, bahkan tampak seperti belum pernah mendengarnya. Bahkan ia tidak terlalu peduli. Ho-ling baginya sama saja dengan Lisu atau Naxi yang kurang dipahaminya itu.

''AH! Jadi tujuan kita sama! Kita bisa jadi teman seperjalanan!''

Golok Karat berseru sambil menepuk-nepuk bahuku. ''Mari kita bersulang!''

Ia berkata lagi sambil mengadukan cawan arak ke cawan arak yang kupegang, lantas aku pun mengikutinya menenggak arak itu sampai habis.

''Tambah lagi!''

Golok Karat mengangkat cawannya, dan karena pemilik kedai masih memanggang daging rusa untukku, anak perempuannya yang datang dengan kendi arak itu ke tempat kami.

''Sudahlah,'' kata Golok Karat, ''tinggalkan semua di sini!''

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar