Legenda Pendekar Ulat Sutera Jilid 17

Jilid 17

“Apa?” Bok-lan terkejut.

Pintu terbuka. Siau Sam Kongcu sambil menarik nafas, dia menatap Su Yan-hong:

“Sebenarnya aku tidak terlalu bodoh!”

“Kau melihat aku menaruh curiga kepada bos penginapan bukan?”

Siau Sam Kongcu mengangguk. Dia melihat Bok-lan seperti orang bodoh. Bok-lan sengaja menghindari sorot matanya dan menundukkan kepala.

Su Yan-hong melihat mereka berdua. Diam-diam keluar dan menutup pintu.

Lama Siau Sam Kongcu baru membuka suara: “Aku harus bagaimana berterima kasih padamu?”

Bok-lan menggelengkan kepala. Siau Sam Kongcu jalan ke depan dan ingin memeluk tapi Bok-lan malah mundur hingga ke sudut dinding.

Siau Sam Kongcu berhenti melangkah: “Kau sudah meninggalkan keluarga Lam-kiong jadi jangan kembali ke sana. Aku pasti akan mengurusmu. Kita jangan sampai berpisah lagi...”

“Kau tahu itu tidak mungkin bukan?”

“Tapi sepanjang jalan kau selalu mengurusku bukan?” “Aku tidak tega...”

“Apakah kau tega melihat kita berdua seumur hidup hanya sedih dan susah terus-menerus?”

“Kalau hal ini tidak dianggap menyedihkan dan susah, mana mungkin akan tumbul perasaan sedih dan susah?”

Siau Sam Kongcu terpaku. Kata Tiong Bok-lan lagi:

“Selama beberapa hari ini banyak hal sudah terjadi padaku, aku pun banyak berpikir. Walaupun belum bisa mengerti akan semuanya tapi ada sedikit yang sudah kutangkap. Aku tidak peduli apa pun yang orang lain katakan karena aku tidak melakukan apa- apa.'' “Kalau begitu, di antara kita...”

“Walaupun tidak bisa menjadi suami istri, tapi kita bisa menjadi teman baik!”

“Teman baik?” Siau Sam Kongcu terdiam.

“Coba kau pikir dulu, kalau kau menganggap itu tidak mungkin, aku tidak akan memaksamu!” Sikap Bok-lan terlihat sangat serius.

Siau Sam Kongcu dengan tatapan bingung melihatnya, lama baru mengangguk.

Hari kedua pagi. Siau Sam Kongcu, Su Yan-hong, dan Tiong Bok- lan bersama-sama meninggalkan penginapan In-lai.

Bok-lan berjalan di sisi peti mati Tiong Toa-sianseng. Terkadang menarik nafas:

“Suheng, menurutmu, apakah aku tidak pantas pergi ke Kun- lun?”

“Pertama, Siau-heng butuh orang yang mengurusnya. Kedua, sekarang ini kau tidak cocok muncul di dunia persilatan. Suhu adalah orang yang pengertian. Di dunia sana, beliau tidak akan marah padamu. Kau sudah bisa berpikir dengan jernih, untuk apa masih harus memikirkan peraturan dan kebiasaan orang-orang?”

Bok-lan mengangguk:

“Bila ingin berbakti kepada orang tua, seharus nya ketika orang tua kita masih hidup. Bila sudah meninggal, tidak bisa berbuat apa- apa lagi!”

“Sewaktu guru masih hidup, bukankah kau sudah melakukan semuanya dengan baik?” tanya Su Yan-hong, “untuk masalah kematian guru, aku pasti akan mencari tahu dengan jelas siapa pelakunya. Sampai masalah ini akhirnya menjadi terang!”

“Di belakang Hoa-san ada sebuah gubuk. Bila ada kabar, kirimkanlah ke sana!”

“Lebih bersemangat, Siau-heng!” Setelah bicara ini, Su Yan-hong segera berlalu.

Melihat kereta kuda menjauh, Siau Sam Kong-cu dan Tiong Bok- lan baru membalikkan tubuh berjalan ke arah yang berbeda.

Kaburnya Su Ceng-cau bukan pertama kalinya. Untuk sifatnya yang satu ini, Ling-ong tidak suka tapi juga sudah terbiasa. Apalagi ada masalah yang lebih berat.

Itu karena kedatangan pasukan Ong-souw-jin secara tiba-tiba.

Bersamaan kedatangan Ong-souw-jin masih ada sebuah perintah dari kaisar. Dengan alasan ada pemberontakan di bagian selatan dan memerintahkan Ong-souw-jin membawa pasukannya meredam pem berontakan dan agar lebih mudah mengatur pasukan, kaisar memerintahkan Ling-ong untuk sementara mengembalikan kekuatan pasukan di 3 propinsi ini.

Dalam hati Ling-ong sangat marah tapi di luar terlihat seperti tidak terjadi apa-apa. Dari luar dia melihat Ong-souw-jin, sepertinya dia juga tidak mengetahui pikiran Ling-ong. Setelah membacakan perintah kaaisar, dia berkata:

“Ini adalah perintah Kaisar!” “Aku tahu!” Ling-ong pura-pura tidak terjadi apa-apa.

“Negara bagian selatan sudah beberapa kali menyerang kita, melewati perbatasan, jadi keputusan ini diambil oleh Baginda karena terpaksa. Harap Ling-ong mengerti.”

“Aku mengerti! Jika Kaisar sudah mengambil keputusan seperti ini, aku pasti akan mendukung beliau!”

“Apakah Ong-ya setuju?”

“Orang-orang kerajaan harus mementingkan negara, aku pasti akan mendukungnya!”

“Terima kasih Ong-ya sudah mengerti masalah ini. Ini benar- benar suatu keberuntungan bagi semua rakyat!”

“Sekarang kita harus melihat kepandaianmu.”

“Ong-ya terlalu sungkan!” Ong-souw-jin segera berdiri, “kalau begitu, kami pamit dulu!”

“Aku tidak akan mengantar. Aku akan menye rahkan kekuatan pasukan di 3 propinsi kepada Baginda!” Ling-ong masih bisa tertawa.

Setelah Ong-souw-jin menjauh, tawa Ling-ong baru berhenti. Cu Kun-cau yang sedari tadi diam-diam mendengar semuanya di balik sekat, sekarang baru keluar.

Ling-ong tertawa dingin:

“Aku sudah menghindar hal ini sampai di Kang-lam, kau tetap saja masih mencari kerepotan dan memaksa. Kau benar-benar keterlaluan!”

“Jelas-jelas dia berniat mengikis kekuatan ayah!” Ucap Cu Kun- cau.

“Itu sudah sangat jelas! Ketiga propinsi ini adalah tempat di mana kekuasaanku juga tempat di mana pasukannya paling banyak. Jika kekuatan ini diambil alih oleh Ong-souw-jin, berarti sama dengan kedua tanganku akan patah.” “Kaisar benar-benar keterlaluan! Seharusnya Ayah mendengar kata-kataku dari awal, bawalah pasukan menyerang ke daerah utara!”

“Kau tahu tindakan seperti itu dicap memberontak!”

“Tapi kita melakukannya karena terpaksa. Ayah selalu setia kepada kerajaan tapi di sana hanya ada kaisar yang hanya tahu main dan minum. Demi kepentingan rakyat, semua terpaksa harus dilakukan!”

Ling-ong menggelengkan kepala:

“Sudah terlambat!”

“Belum terlambat! Sekarang kita mulai atur strategi, masih sempat!”

“Benarkah?” Terlihat hati Ling-ong mulai tergerak.

“Tapi ada satu titik yang Ayah harus tahu. Demi keamanan kita harus membunuh An-lek-hou terlebih dulu!”

“Membunuh Yan-hong?” Ling-ong terkejut.

“Dulu karena Liu Kun salah tafsir kekuatan An-lek-hou sampai di mana, dia gagal total!”

“Bila ingin membunuhnya, itu bukan hal mudah!” “Apakah Ayah lupa pada keluarga Lam-kiong?”

“Benar, keluarga Lamkiong!” Ling-ong segera tertawa, “bunuh dulu An-lek-hou, singkirkan orang yang menghadang, baru menguasai negara ini!”

Cu Kun-cau segera tahu kalau ayahnya bermaksud seperti ini, dia merasa sangat senang.

157-157-157

Peti mati Tiong Toa-sianseng sudah berada di Kun-lun. Di Kun- lun ada murid yang membawa pulang kabar dari dunia persilatan, tapi semua masih belum percaya. Sampai peti mati Tiong Toa- sianseng tiba, mereka baru percaya dan terkejut. Di satu pihak karena belum ada bukti. Kedua, mereka takut kepada Toan Hong-cu jadi kabar ini belum mereka sampaikan kepada Toan Hong-cu, otomatis Su Yan-hong harus yang harus menyampaikannya.

Ini semua sudah berada dalam perkiraan Su Yan-hong. Menurut sifat Toan Hong-cu, bila dia tahu kalau Tiong Toa-sianseng sudah terbunuh mana mungkin dia masih akan terus berada di Kun-lun- san, mungkin saja dia sudah turun gunung untuk membunuh. Akan menimbulkan musibah yang lebih besar lagi. Kecuali kalau dia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Gosip yang beredar di dunia persilatan belum tentu benar. Sewaktu mereka siap turun gunung uintuk mencari tahu, Su Yan- hong sudah tiba.

Su Yan-hong tahu dengan jelas. Terhadap Su Yan-hong, Toan Hong-cu selalu berhubungan baik. Berarti Su Yan-hong adalah orang yang paling tepat menyampaikan kabar ini kepada Toan Hong-cu.

Sewaktu Su Yan-hong siap-siap, murid Kun-lun membawa 2 pengawal istana yang datang membawakan perintah Kaisar.

Terhadap pengawal istana yang membawa berita cepat itu, Su Yan-hong tidak merasa aneh. Yang aneh adalah ada masalah apa sehingga Kaisar mencarinya.

Dalam perintah Kaisar, tidak dicantumkan penjelasan, hanya menyuruh Su Yan-hong segera kembali ke ibukota, ada hal yang harus dirundingkan.

Su Yan-hong tidak menanyakan hal apa hingga mencarinya, karena dia tahu seperti apa sifat Kaisar. Kalau di dalam kain perintah tidak tertulis dengan jelas, pasti tidak akan diberitahu apa penyebabnya kepada kedua pengawal itu. Yang pasti itu adalah hal penting.

Begitu bertanya, ternyata pengawal yang di kirim Kaisar mencarinya tidak hanya mereka berdua saja. Kaisar mencarinya begitu buru-buru pasti ada hal penting. Dia segera menyelesaikan masalah di Kun-lun-san langsung kembali ke ibukota. Sebelumnya kedua pengawal itu sudah kembali terlebih dulu.

Tapi kedua pengawal itu berkukuh ingin pulang bersama dengannya. Su Yan-hong tahu kalau ini pesan dari Kaisar jadi dia berpesan kepada murid Kun-lun untuk menyiapkan tempat tinggal mereka. Dia segera bertemu dengan Toan Hong-cu.

Toan Hong-cu bertapa di sebuah gua di puncak gunung. Terlihat tidak ada yang istimewa. Sebenarnya bertapa atau tidak bagi Toan Hong-cu tidak ada bedanya. Dalam kurun waktu bertapa itu, dia tetap menerima murid-murid Kun-lun, untuk mencari tahu bagaimana mengatasi ilmu silat yang mereka rasa sulit. Hanya saja semua orang tahu kalau sifatnya keras dan tidak sabaran maka seringkali tidak mau mengganggunya.

Sewaktu Su Yan-hong tiba di depan gua, dia mendengar dari dalam gua keluar suara:

“Apakah Yan-hong sudah kembali?”

“Pendengaran Susiok benar-benar hebat!” Su Yan-hong berjalan masuk.

Toan Hong-cu tertawa:

“Dari langkah seseorang, berat atau ringannya bisa membedakan ilmu silat yang dimilikinya. Murid Kun-lun yang mempunyai ilmu seperti ini hanya kau saja”

Su Yan-hong sudah berdiri di depan Toan Hong-cu.

Toan Hong-cu duduk di tengah gua kuno itu. Rambut dan janggutnya semua putih, panjang sampai ke mata kaki. Dia terlihat seperti seekor binatang aneh. Sinar matanya terpancar keluar. Orang yang mengerti akan tahu kalau dia adalah seorang pesilat yang mempunyai tenaga dalam kuat.

Melihat Su Yan-hong, dia segera tertawa:

“Bocah, 3 Hari tidak bertemu kau sudah berubah total!” “Apa kabar, Du Yan-hong?” Su Yan-hong berlutut. “Tidak sebaik dirimu. Umurmu masih muda tapi nadi Jin dan Tok-mu sudah terbuka!”

Melihat bagian luar Su Yan-hong dia sudah tahu tentang ini, hal ini benar-benar membuat Su Yan-hong kagum. Kata Toan Hong-cu:

“Aku tidak salah menilai. Di antara murid-murid Kun-lun, kau yang paling berhasil!”

“Ucapan Paman Guru terlalu berat!”

Su Yan-hong terpana, dia tampak sedang memikirkan bagaimana menyampaikan kabar ini. tapi Toan Hong-cu sudah bertanya:

“Cepat katakan, apakah telah terjadi sesuatu?”

Sifatnya benar-benar terburu-buru. Begitu melihat ekspresi di wajah Su Yan-hong, dia segera bertanya:

“Apakah telah terjadi sesuatu?”

“Setelah rapat di Pek-hoa-couw, guru meninggal!”

“Apa?!” Toan Hong-cu menggebrak meja dan berdiri. Meja terbuat dari batu itu berderak dan pecah berantakan.

Su Yan-hong terkejut, baru akan mengatakan sesuatu, Toan Hong-cu segera bertanya:

“Cepat beritahu padaku, siapa yang membunuh gurumu?”

Su Yan-hong belum menjawab, Toan Hong-cu segera berkata lagi:

“Rapat pedang di Pek-hoa-couw mencapai titik tertentu. Dengan kemampuan ilmu silat gurumu, kalau bukan karena ada yang mempunyai rencana busuk, dia tidak akan sampai terbunuh. Cepat ceritakan!”

Su Yan-hong menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Toan Hong-cu menunggu hingga cerita habis baru membuka suara:

“Melihat sifat gurumu, dia tidak akan membubuhkan racun pada pedang. Dengan kemampuan ilmu silat Coat-suthay, dia lawan gurumu. Kemenangan itu sudah pasti. Untuk apa menggunakan cara keji seperti ini?”

“Semua orang mengatakan seperti itu!”

“Gurumu terbunuh, berarti hal ini tidak ada hubungannya dengan dia. Yang patut dicurigai adalah Lu Tan dari Bu-tong-pai!”

“Semua orang mengatakan seperti itu!”

“Menurut pendapatmu, Lu Tan bukan orang seperti itu. Orang penampilan biasa tahu wajah tidak tahu isi hatinya, siapa yang bisa menjaminnya?”

Su Yan-hong terdiam. Dengan aneh dia melihat Toan Hong-cu. Menurutnya, sifat Toan Hong-cu sudah banyak berubah, dia lebih tenang.

Bertapa di tempat ini sedikit banyak pasti mempengaruhi sifat seseorang.

Kata Toan Hong-cu:

“Coat-suthay menghina Bu-tong-pai, men-bubuhkan racun di atas pedang gurumu untuk membalas dendam, itu sangat masuk akal. Tapi sam pai gurumu tidak tahu mengenai itu, sulit membuat orang percaya.”

“Aku yakin ini bukan idenya. Mungkin rencana busuk. Semua menyangkut Bu-tong-pai dan dunia persilatan.”

Su Yan-hong mengerutkan alis. Dia tidak tahu harus bagaimana membela Bu-tong-pai. Toan Hong-cu berkata lagi:

“Bu-tong dan Kun-lun selalu mempunyai hubungan seperti kakak beradik. Kali ini menggunakan cara seperti itu, terpaksa aku harus mendatangi Bu-tong-san dan menanyakan dengan jelas kepada Lu Tan. Kita harus menuntut Bu-tong-pai dan meminta keadilan!”

Su Yan-hong mengerutkan alis:

“Masalah ini menyangkut pihak sangat luas. Sampai putra yang tersisa di keluarga Lamkiong pun terbunuh. Semua sudah berjanji sebulan kemudian bersama-sama pergi ke Bu-tong-pai untuk membereskannya.”

“Baik, biar marga Lu itu hidup 1 bulan lagi!”

Su Yan-hong menarik nafas, Semua sudah terlihat sangat jelas, kecuali bisa menyerahkan Lu Tan dan dia mempunyai pesan sehingga bisa membuat semua orang merasa puas. Kalau tidak, entah bagaimana nasib Bu-tong-pai sulit dibayangkan!

Su Yan-hong baru turun dari Kun-lun-san sudah diawasi oleh orang keluarga Lamkiong. Kabar nya langsung disampaikan kepada Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim. Mereka adalah orang yang bertanggung jawab atas tindakan mereka kali ini.

Kelihatan sangat mudah, menggunakan merpati menyampaikan surat, menggunakan kuda memberi kabar. Di antara dua hal ini sudah bisa melewati tangan 20 orang lebih. Sampai di tangan Kiang Hong-sim dan Cia Soh-ciu sudah 5 hari berlalu.

Kiang Hong-sim sangat senang. Cia Soh-ciu tampak sedikit ragu.

“An-lek-hou tidak masuk ibukota. Kalau tidak, dia akan melewati jalan ini. Kita tunggu di sini agar jangan cepat lelah kemudian secara tiba-tiba mencabut nyawanya!” Di wajah Kiang Hong-sim mulai muncul kemerahan, dia semakin senang.

“Mengapa Lo-taikun harus membunuh An-lek-hou? Kalau diketahui oleh orang lain nama keluarga Lamkiong akan terjadi pengaruh besar.”

“Kekhawatiran Cia Soh-ciu bukan tidak ada alasannya, karena Su Yan-hong adalah Hou-ya.

“Demi mendapatkan obat-obatan dari Ling-ong, dia menyuruh kita melakukan semua ini, kita harus lakukan!”

“Betul juga!” Cia Soh-ciu terpaksa menanggapi seperti itu. “Sebenarnya marga Su tidak perlu mati, itu malah disayangkan!” “Mengapa?”

“Kau lupa dia dari Kun-lun. Semua murid dari perkumpulan terkenal dan lurus, apakah mereka ikut membunuh orang-orang keluarga Lamkiong, hanya dia sendiri yang tahu. Apalagi dia berada di atas. Kerajaan pasti sudah membuat banyak hal yang merugikan orang lain!”

“Tapi dia bukan orang seperti itu!” “Pejabat tidak ada yang baik!”

Cia Soh-ciu terdiam. Kata Kiang Hong-sim lagi:

“Kerajaan membiarkannya masuk Kun-lun begitu lama. Jika mengatakan dia tidak ikut membunuh keluarga Lamkiong, itu tidak mungkin!”

“Betul!” Cia Soh-ciu akhirnya mengeluarkan aura membunuh.

Perkiraan Kiang Hong-sim tidak salah. Su Yan-hong dan 2 pengawal melewati jalan itu. Saat mereka berniat mengejar, tiba- tiba terdengar suara ribut dari belakang. Ternyata sekelompok orang sedang berjalan menghampiri dan terdengar beberapa kali tawa aneh. Mereka berdua dengan cepat segera bersembunyi.

Tawa Wan-tianglo mudah dibedakan. Asalkan pernah mendengar satu kali saja akan selalu teringat padanya.

Orang seperti Wan-tianglo sangat sedikit. Tempat yang dia lewati selalu dikerumuni orang-orang, tapi dia sama sekali tidak peduli. Apa yang dia pikirkan tidak ada seorang pun yang tahu. Mungkin karena itulah dia tinggal di Sian-tho-kok dan berteman dengan kera.

Dia berjalan tidak cepat. Tangannya menarik sebuah kereta terbuat dari kayu. Di atas kereta tersimpan kurungan dari kayu dan sekelilingnya ditutup dengan tikar. Entah apa yang ada di dalam kurungan itu.

Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim bersembunyi di sudut. Setelah Wan-tianglo lewat, mereka baru berani keluar. Kiang Hong-sim dengan aneh berkata:

“Orang aneh itu kemari mau apa ya?”

Cia Soh-ciu belum menjawab, Kiang Hong-sim sudah berkata lagi: “Di dalam kurungan itu pasti ada benda penting. Kalau tidak, dia tidak akan menarik dan membawanya berjalan. Menurutmu, apakah itu?”

“Aku hanya tahu orang aneh itu sangat merepotkan, ilmu silatnya tinggi, lebih baik jangan mendekatinya!” Jawab Cia Soh-ciu.

“Betul!” Ujar Kiang Hong-sim, dia juga tidak mau mencari masalah dengan Wan-tianglo.

Wan-tianglo terus menarik kereta kayu itu, sesampainya di sebuah kuil tua yang ada di sisi kota, baru berhenti dan menyibakkan tikar. Dia juga tertawa:

“Apakah kau tahu sekarang kau berada dimana?”

Di dalam kurungan kayu itu terbaring seseorang. Dialah Siau Cu yang dibawanya dari Pek-hoa-couw. Entah ide dari mana dia menggunakan cara seperti ini membawa Siau Cu.

Siau Cu tidak bersemangat. Dia tidak menjawab, hanya melihat Wan-tianglo dengan sepasang matanya.

Melihat Siau Cu tidak bereaksi apa-apa, Wan-tianglo berteriak lagi:

“Apakah benar kau tidak tahu di mana ini?” Siau Cu menjawab tanpa nafsu:

“Tempat apa pun sama saja bagiku.”

“Tidak sama!” Wan-tianglo menggelengkan kepala, “kuil pun ada bermacam-macam. Setiap kuil memiliki keistimewaan!”

“Aku hanya tahu kemana pun aku pergi tetap akan dikurung di dalam kurangan ini!” Cetus Siau Cu dengan dingin.

Wan-tianglo sangat senang:

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena di dalam perutmu penuh dengan air jahat. Kau terlalu licik kalau tidak menggunakan cara ini, bagaimana bisa membawamu kembali ke Sian-tho-kok!”

“Apa pun yang aku katakan sama saja. Bentuk mu tidak mirip manusia jadi tidak memiliki sifat manusia!” “Kau mulai membahas sifat manusia lagi!” Wan-tianglo tertawa, “kalau aku tidak mempunyai sifat manusia, mana mungkin aku akan menutup kurungan ini dengan tikar. Maksudku adalah timbul kekhawatiran bila kau sampai dilihat orang, mereka akan merasa sedih!”

“Aku rasa kau khawatir bila ada orang yang melihatku dikurung, dan akan ada yang mengadu-kanmu ke kantor polisi!”

“Apakah orang seperti diriku bisa takut polisi?” Rambut Wan- tianglo terus melayang beterbangan:

“Dari dulu polisi yang takut padaku!”

“Memang seperti itu. Tapi orang-orang dari kantor polisi itu tetap merepotkan. Kau adalah orang yang takut dibuat repot!”

“Sembarangan bicara! Aku paling suka mencari kerepotan!” “Sehalusnya kau mengatakan kalau kau suka membuat orang

lain repot!”

Tiba-tiba Wan-tianglo tertawa:

“Dipikir-pikir memang seperti itu!”

“Aku mengenalmu tidak hanya sebentar, aku mengetahui bagaimana sifatmu!”

“Tapi orang lain tidak bisa melihatnya. Dari sini bisa diketahui kalau kita bisa akur dan dengan cepat menjadi teman baik!”

Siau Cu melotot, dia seperti baru melihat Wan-tianglo dan bertanya:

“Siapa yang mengajarimu berkata-kata seperti ini?” “Apa?” Wan-tianglo seperti tidak mengerti.

“Kita akan menjadi teman akrab?” Siau Cu menatap Wan- tianglo. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak, tawanya terdengar seperti disengaja.

“Apakah tidak akan bisa?” Tanya Wan-tianglo.

“Tidak! Karena kau tidak tahu apa yang disebut sebagai teman!” “Siapa yang bilang?' “Aku yang bilang. Kalau kau menganggap aku adalah teman, mana mungkin memperlakukanku seperti ini?”

“Apakah kau lapar? Aku akan mencari makan an untukmu!” “Aku tidak mau bicara lagi!” Siau Cu membalikkan tubuhnya. Wan-tianglo segera bergeser mencari wajah Siau Cu:

“Aku mengerti maksudmu, kau dikurung di dalam sini jangan salahkan aku. Kalau kau tidak kabur tadi dan mau mengikutiku kembali ke Sian-tho-kok, mana mungkin aku akan mengurungmu seperti ini.”

“Apa baiknya tinggal di Sian-tho-kok? Setiap hari hanya bengong di lembah. Membosankan!”

“Banyak kera yang menemanimu, mengapa kau merasa bosan?”

“Aku bukan kera. Aku hanya tahu bahasa manusia, aku tidak seperti dirimu!” Siau Cu sedang berputar-putar lalu marah kepada Wan-tianglo.

Tapi Wan-tianglo tidak menangkap maksudnya, malah berkata: “Pelan-pelan kau akan mengerti, tidak sulit kok!”

Siau Cu tutup mulut dan tidak mau bicara lagi. Tiba-tiba Wan- tianglo bertanya:

“Di mana Wan Fei-yang? Kau pasti tahu. Setelah dia meninggalkan Sian-tho-kok, dia pasti mencarimu!”

“Bicara denganmu yang tidak tahu aturan, semua juga jadi tidak ada aturan!”

Tidak lama kemudian Wan-tianglo baru berkata:

“Jika marga Wan itu tertangkap lagi akan kuberitahu kelihaianku juga akan menyuruhnya mencicipi seperti apa rasanya dikurung di kurungan kayu ini!”

“Betulkan! kau sendiri mengaku kalau dikurung di sini rasanya tidak enak!”

“Aku tidak pernah mengatakan ada banyak orang lalu aku baru membungkus kurungan ini!” Siau Cu terdiam. Kata Wan-tianglo:

“Kau benar-benar tidak tahu niat hati yang baik seperti apa!” “Orang baik! Ha ha ha!”

“Apakah kau ingin aku melepaskanmu?” “Tidak!”

“Temani aku bermain beberapa jurus, apakah kau mau?” “Tidak!”

Wan-tianglo malah tertawa. Melihat dia tertawa, Siau Cu menarik nafas. Tidak jauh di luar dugaannya, Wan-tianglo segera berkata:

“Dengan baik-baik, kau tidak mau mendengar ku, apakah harus menggunakan kekerasan!”

Kemudian dia membuka pintu kurungan dengan sepotong kayu tua dia ingin mengorek kurungan itu. Siau Cu segera berteriak:

“Aku akan keluar!”

Sambil membungkukkan tubuhnya Siau Cu merangkak keluar dan dengan malas-malasan berkata:

“Harap memberi petunjuk!” Wan-tianglo tertawa:

“Siau Cu, jangan kira aku lupa kalau aku telah menotok beberapa nadimu, kalau tidak dibuka kau tidak akan bisa mengeluarkan tenagamu!”

“Tidak perlu memakai tenaga dalam masih bisa bertarung!” “Itu namanya bukan bertarung melainkan hanya bermain-

main!”

“Kalau bukan main-main, namanya apa?”

Wan-tianglo tidak mengatakan apa-apa. Dia segera membuka totokannya, langsung melambaikan tangan:

“Cepat, cepat ke sini!” “Jalan darahku baru saja dibuka, tenaga dalam juga belum berputar dengan lancar. Untuk apa kau buru-buru?”

“Kau banyak alasan!” Kedua tangan Wan-tianglo sudah terjulur keluar untuk menyerang.

Siau Cu cepat-cepat menahannya. Dia tahu bagaimana sifat Wan- tianglo, sekali menyerang pasti sungguhan. Kalau tidak ditahan, yang rugi adalah dia sendiri.

Kaki dan tangan Wan-tianglo mulai bergerak. Perubahan yang terjadi sangat cepat dan rumit. Di dunia persilatan mungkin tidak ada orang yang bisa menahannya.

Satu per satu jurus Siau Cu dicairkan. Dia tidak sulit melayani karena sudah terbiasa dan dia memegang perubahan jurus lama Wan-tianglo. Dia tahu bagaimana mengatasi serangan Wan-tianglo.

Perubahan Wan-tianglo semakin rumit juga semakin cepat. Gerakan kedua tangan Siau Cu terpaksa menjadi semakin cepat. Ini pun berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah. Kalau tidak bisa melayani harus dipukul beberapa kali baru bisa lolos.

Setiap kali bertarung dengan Wan-tianglo, dia sangat berhati- hati dalam melihat perubahan-peru- bahannya, baru bisa mencari cara memecahkan jurus Wan-tianglo. Dia hanya berharap bisa menahan dan tidak dipukul, itu saja!

Awalnya dia mengira perubahan jurus-jurus Wan-tianglo akan ada habisnya, tapi sampai sekarang dia sadar hari ini akan terjadi hal lain.

Setiap kali pasti ada jurus yang baru malah semakin aneh dan rumit. Yang paling sulit seperti asal-asalan dan tidak terlihat jejak. Kecuali kalau kau mengikuti perubahan ini dengan cepat dan lincah seperti dia, mungkin bisa menghindari pukulan. Kalau tidak, sulit untuk ditahan.

Kali ini pun tidak terkecuali. Setelah menyerang Siau Cu dengan cepat, jurus baru segera keluar lagi. Siau Cu berusaha menahannya tapi pada akhirnya dia terpukul hingga jatuh terguling di bawah. Wan-tianglo sedang senang-senangnya. Melihat Siau Cu terjatuh, dia berteriak:

“Bangun, bangun! Main lagi, main lagi!” “Tidak, aku sudah tidak kuat!”

“Usia masih begitu muda, mengapa begitu cepat tidak bisa bertahan lagi?”

“Cepat...? Apakah kau tahu sudah berapa jurus kita lalui?”

“Apa hubungan semua ini dengan berapa jurus yang telah dilalui?”

Siau Cu tahu sulit bicara dengan orang ini, dia segera mengganti topik pembicaraan:

“Kau lupa kalau aku seharian terkurung di dalam sana. Kaki dan tanganku tidak bisa bergerak bebas, peredaran darahku juga tidak lancar. Bisa bertahan sampai sekarang itu adalah suatu mujizat!”

“Benarkah itu berpengaruh?”

“Kalau tidak percaya, coba kau masuk ke sana!” Wan-tianglo tertawa:

“Siau Cu, kau ingin dengan cara ini menipuku supaya aku masuk ke dalam kurungan itu, kau kira aku bodoh?”

Siau Cu mengangkat bahunya. Kata Wan-tianglo lagi:

“Aku akan mempunyai cara untuk membereskan hal ini tapi sampai sekarang masih belum terpikirkan!”

“Kalau sudah terpikir, beritahu padaku. Aku ingin istirahat dulu!”

“Baik, hari ini kita sampai di sini saja dulu, kembali lagi ke kurunganmu!”

Siau Cu berjalan kembali ke kurungan, baru membalikkan tubuh.

Wan-tianglo segera menotok beberapa nadinya. “Kapan kau berubah jadi begitu hati-hati?” “Lebih baik aku selalu berhati-hati!” Setelah Siau Cu masuk ke dalam kurungan kayu, Wan-tianglo segera menutup kurungan dengan tikar. Siau Cu menarik nafas:

“Aku ingin menghirup udara segar, melihat langit pun tidak sanggup!”

Wan-tianglo menggelengkan kepala:

“Tempat ini memang terpencil, tetap saja bisa ada orang yang lewat. Jika melihatmu berada di dalam kurungan, entah apa yang akan terjadi.”

“Ada kau yang menjagaku, siapa yang bisa mengeluarkanku dari kurungan ini?”

“Kalau aku terus menjagamu di sini pasti tidak perlu merasa khawatir, tapi aku ingin keluar dulu mencari makan!” Tiba-tiba Wan-tianglo menjulurkan tangannya, menotok jalan darah bisu Siau Cu.

Siau Cu sama sekali tidak menyangka terjadi hal ini, dia tidak bisa menghindar lagi. Wan-tianglo menepuk tangannya dan tertawa:

“Bila ada orang yang lewat, kau tidak akan bisa berteriak minta tolong!”

Siau Cu terpaku.

Wan-tianglo tidak bicara apa-apa. Dia bersiul aneh, bersalto keluar dari kuil. Hanya sebentar sudah menghilang.

Siau Cu yang ada di dalam kurungan hanya bisa tertawa kecut.

Terkurung di dalam ini bukan hal yang menyenangkan, Siau Cu merasa kesal. Di dalam kurungan dia terus berpikir. Memikirkan kematian gurunya Lam-touw sampai sekarang tidak mencapai titik terang. Dia juga teringat pada Beng-cu, entah kapan baru bisa bertemu lagi dengannya. Waktu itu sikap Beng-cu kepadanya berubah, hal ini membuatnya kesal.

Di dalam kurungan itu, dia berdiri karena merasa tidak nyaman, duduk pun tidak nyaman, sampai terdengar ada yang berjalan. Dia membuka sedikit tikar yang menyelubungi kurungan untuk melihat keluar.

Kurungan ditaruh di depan jendela. Dia melihat di luar jendela ada 3 perempuan yang sedang berjalan ke arah kuil. Yang kiri dan kanan mengenakan baju ketat, perempuan yang di tengah mengenakan baju berwarna merah muda. Wajahnya ditutup kain berwarna muda, hanya terlihat sepasang mata jemih.

Perempuan yang ada di kiri dan kanan juga menutupi wajah mereka, hanya terlihat 2 mata. Siau Cu tidak mengenali mereka. Mereka adalah Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim. Merasa kalau ketiga perempuan itu tidak wajar, apalagi Hen-lo-sat yang berada di tengah. Begitu melihat sorot matanya, Siau Cu merasa ada hawa dingin muncul dari dalam hatinya yang terdalam.

Dia tidak pernah melihat ada sorot mata begitu dingin dan kejam.

Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim membawa Hen-lo-sat berhenti di depan kuil, kemudian mereka berpisah ke kiri dan ke kanan lalu naik ke atas pohon, hanya tinggal Hen-lo-sat sendiri di bawah.

Hen-lo-sat memegang sepasang golok.

Siau Cu ikut melihat ke arah mereka berjalan. Tidak lama kemudian dia melihat ada 3 orang berjalan mendatangi. Dari kiri dan kanan adalah 2 pengawal yang mengenakan baju istana. Setelah melihat mereka, jantung Siau Cu hampir meloncat keluar.

Orang itu adalah Su Yan-hong!

Siau Cu pintar, dia terus berpikir. Dan mulai bisa menebak apa rencana ketiga perempuan tadi. Terlihat Su Yan-hong semakin mendekat. Dia ingin keluar untuk memberitahu padanya tapi tidak ada tenaga untuk menghancurkan kurungan. Ingin berteriak, jalan darah bisunya sudah ditotok.

Su Yan-hong mulai merasakan perbedaan Hen-lo-sat dengan orang lain. Dia juga tahu kalau Hen-lo-sat menghadang di tengah jalan adalah untuk menghadapi dia. Tapi sampai di depan Hen-lo- sat, Hen-lo-sat tidak bereaksi apa-apa. Terpaksa dia pura-pura tidak tahu dan lewat di sisi Hen-lo-sat.

Su Yan-hong tidak melihat Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim yang bersembunyi di atas pohon. Tapi Siau Cu melihat kepala Cia Soh- ciu, dia bersiap-siap meniup sebuah pipa berwarna hijau.

Siau Cu tidak tahu itu peluit yang menguasai Hen-lo-sat. Dia mengira kalau itu adalah senjata rahasia yang siap ditembakkan ke arah Su Yan-hong. Karena cemas, dia menjulurkan tangannya menggoyang-goyang jendela yang tua kuil.

Karena digoyang-goyang, jendela menjadi rusak. Su Yan-hong mendengarnya, bersamaan waktu peluit berbunyi.

Hen-lo-sat segera membawa goloknya, membacok punggung Su Yan-hong. Su Yan-hong berbalik menoleh karena mendengar suara jendela hancur dan tepat melihat ada 2 buah golok yang akan membacoknya dengan cepat dia menghindar.

Reaksi Su Yan-hong sangat cepat. Jika bukan karena Siau Cu yang mengeluarkan suara sehingga membuatnya menoleh, ingin menghindar golok yang menyerangnya tetap saja akan sulit.

Kedua pengawal dengan cepat kembali dan melihat yang terjadi.

Mereka membentak:

“Berhenti!” golok sudah dikeluarkan. Salah satu dari mereka membentak:

“Kau berani..”

Kata-katanya belum selesai, sepasang golok Hen-lo-sat sudah menepis lago. Dengan cepat mereka melayangkan golok untuk menahan.

Su Yan-hong segera membentak:

“Mundur!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar