Legenda Pendekar Ulat Sutera Jilid 16

Jilid 16

Kuburan keluarga Lamkiong sangat luas dan megah. Lo-taikun dan yang lain tiba di sebuah kuburan paling besar. Ciu-ci Lojin menunggu di sana. Dia sangat tahu seperti apa pekerjaannya dan tahu kapan dan di mana harus muncul.

Dia segera membuka pintu rahasia di kuburan itu. Terlihat anak tangga muncul di hadapan semua orang.

Lo-taikun membawa semua orang berlutut, baru berpesan kepada Beng-cu:

“Kau ke sana dan buka kotak batu yang tersimpan di depan kuburan kakekmu!”

Beng-cu membuka kotak batu itu. Di sana terlihat sehelai kain putih tapi sudah menguning. Di atas kain terlihat huruf-huruf yang ditulis dengan darah. Hurufnya sudah berubah wama karena sudah lama.

“Ini adalah surat yang ditulis dengan darah sewaktu kakekmu menghembuskan nafas terakhirnya. Bacakanlah untuk semua orang!” Kata Lo-taikun dengan nada bergejolak.

“6 ketua perkumpulan melalui 6 jenis ilmu pedang. Semua mengurung kakek di gunung Coat-liong-leng. Dia terluka parah dan sadar kalau nyawanya tidak akan selamat, dengan darah dia menulis surat ini. Berharap orang-orang keluarga Lamkiong mencari tahu dan menyingkap rencana busuk 6 perkumpulan ini!” Sau per satu dibacakan oleh Beng-cu, membuat hati orang yang mendengar bergejolak.

Lo-taikun benar-benar sedih.

“Mengapa kakek bisa lari ke gunung Coat-liong-leng?” Tanya Beng-cu.

“Setelah dia menguasai 6 ilmu pedang dari 6 perkumpulan, dia sangat senang dan berkunjung pada 6 ketua perkumpulan, siap memberitahukan apa yang sudah dia pelajari kepada 6 perkumpulan ini. Tidak disangka setelah dia pergi tidak pernah kembali lagi! Karena sudah lama tidak terdengar kabarnya dan aku merasa tidak tenang, baru menyuruh Ciu-ci mencarinya. Setelah bersusah payah baru mendapatkan jejaknya di gunung Coat-liong- leng dan surat darah itu..

“Seharusnya waktu itu juga kita meminta keadilan kepada 6 perkumpulan!” Ucap Beng-cu.

Lo-taikun menggelengkan kepala:

“Hanya dengan kata-kata, kita sulit membuat orang percaya. Apalagi 6 perkumpulan ini orang-orangnya sangat banyak, keluarga Lamkiong tidak akan bisa menghadapi mereka. Jadi aku diam-diam mengirim kelima putraku mencari bukti. Bila bukti sudah cukup baru bisa mengumumkan ke dunia persilatan untuk hal ini. Tidak disangka putraku satu per satu meninggal. Po-ji sudah mempunyai sedikit bukti, tapi dia pun segera dibunuh oleh Lu Tan. Aku selalu melarang Po-ji terlalu menonjol di luar, tidak disangka diam di keluarga Lamkiong tetap saja tidak bisa lolos dari motif pembunuhan!”

Beng-cu menundukkan kepalanya. Lo-taikun melihatnya: “Ibumu tahu masalah ini dengan jelas. Hanya kau, bibi keempat,

dan bibi kelima yang tidak tahu!” “Seharusnya aku diberi tahu!” “Semua belum ada bukti, aku tidak berharap di dalam hatimu dipenuhi dendam!”

Beng-cu terdiam. Kata Lo-taikun lagi:

“Kau tidak diberi tahu karena Po-ji tidak mau kau menjadi khawatir.”

Air mata Bwe Au-siang menetes lagi:

“Bok-lan adalah putri Tiong Toa-sianseng dari Kun-lun yang terkenal.”

Kiang Hong-sim tertawa dingin:

“Putri seorang ketua perkumpulan terkenal tetap saja melakukan hal memalukan!”

Lo-taikun melayangkan tangan: “Kepergiannya belum tentu bukan hal bagus. Kita bisa memperhitungkan hutang-hutang ini. Kita akan menjadi lebih leluasa!”

“Apakah hanya mengandalkan kita-kita...” Bwe Au-siang sangat khawatir.

“Untuk ini kau tidak perlu merasa khawatir. Demi membalas dendam, keluarga Lamkiong sudah melatih pembunuh secara rahasia!”

“Pembunuh?” Bwe Au-siang dan Beng-cu terpaku. “Pembunuh perempuan yang tidak pernah merasa takut!” Dengan penuh semangat Cia Soh-ciu menambahkannya. “Mengapa tidak takut mati?” Tanya Beng-cu.

“Karena kita berhasil mendapatkan sejenis obat yang bisa membuat mereka kehilangan sifat asli dan rasa takut...”

“Bukankah itu kurang baik?”

“Tidak ada yang tidak baik. Awalnya mereka terluka dan kita yang menyelamatkan mereka. Sekarang mereka menjual nyawa mereka untuk kita. Kita tidak akan saling berhutang budi!” Terlihat Cia Soh-ciu menganggap semua ini sangat masuk akal.

Beng-cu tetap tidak suka. Tanya Bwe Au- siang: “Apakah kau tidak mau membalas dendam demi kakek dan ayahmu?”

“Bukan tidak mau, hanya saja belum mendapatkan bukti dari 6 perkumpulan ini...”

“Diam!” Cia Soh-ciu membentak, “berarti kau curiga dengan tulisan kakekmu?”

Beng-cu menundukkan kepalanya dan terdiam. Kata Lo-taikun:

“Beng-cu masih kecil. Selain melatih 4 pembunuh ini, kita masih melatih seorang pembunuh yang kemampuannya di atas 4 pembunuh ini. Tapi sayang, Ling-ong tidak mau bekerja sama dengan kita jadi belum berhasil!”

“Ling-ong?” Bwe Au-siang merasa aneh. Kare na ayahnya adalah pejabat terhadap masalah kerajaan dia tahu banyak dan tahu siapa Ling-ong.

Jawab Lo-taikun:

“Agar dengan cepat bisa tercapai tujuan kita, terpaksa menurut kepada Ling-ong. Sebenarnya bisa dikatakan saling memperalat agar masing-masing mendapat kebaikan!”

“Pantas Siau-ongya tiba-tiba datang kemari!” Kata Bwe Au- siang.

“Kali ini pada rapat Pek-hoa-couw dengan kesempatan ini sebenarnya ingin melihat kekuatan dari 6 perkumpulan. Siapa tahu karena sikap lengah Po-ji dia malah mendapat musibah. Keluarga Lam-kiong benar-benar tidak mendapatkan keberuntungan malah mendapatkan musibah. Tapi dari sini dapat diketahui kalau 6 perkumpulan masih terus menunggu kesempatan mencelakai keluarga Lamkiong.”

“Ide apa yang Lu Tan ambil?” Tanya Bwe Au- siang.

“Itu akan lebih baik. Hari ini Lu Tan tidak pergi ke Pek-hoa-couw dan tinggal di sini. Dia pasti merencanakan sesuatu, semua orang harus berhati-hati!”

“Kapan kita bisa mulai bertindak?” “Secepat mungkin! Dalam rapat Pek-hoa-couw, Heng-san-pai dan Hoa-san-pai sudah saling dendam. Coat-suthay mati karena pedang beracun jadi Bu-tong-pai dan Heng-san-pai akan seperti air dan api. Asalkan mereka tidak bekerja sama, kita bisa menyerang mereka satu per satu membuat tujuan tercapai.”

Memang sudah seperti yang Lo-taikun rencanakan, kapan pun siap bertindak.

Tujuannya adalah Tiong Toa-sianseng. Dia memperhatikan Tiong Toa-sianseng dan tahu kalau Tiong Toa-sianseng sendiri tertipu oleh orang-orang yang dia kirim, Lo-taikun sangat senang.

Kali ini dia ingin mencoba kekuatan Hen-lo-sat.

Tiong Toa-sianseng berputar ke sekeliling lalu dia kembali lagi ke wilayah keluarga Lamkiong. Dia sama sekali tidak tahu akan hal ini.

Sepanjang perjalanan mengejar dan mencari Lu Tan. Akhirnya dia bisa menemukan orang berbaju sama dan wajahnya mirip Lu Tan. Tapi dia tidak tahu orang yang dia kejar itu adalah suruhan Lo- taikun. Orang itu membuatnya mengikuti menuju jalan buntu.

Tiong Toa-sianseng tidak mengenal daerah sana, semua ini sudah diatur dengan teliti oleh Lo-taikun, membuat Tiong Toa- sianseng tidak merasa berputar-putar di wilayah sana. Lo-taikun melakukan ini dengan tujuan menghabiskan tenaganya.

Pertama dia bertarung dengan Coat-suthay kemudian bertarung dengan Wan-tianglo. Tenaga dalam Tiong Toa-sianseng sudah terkuras banyak.

Tapi dia masih berniat ingin mencari Lu Tan untuk menanyakan jelas tentang racun di pedangnya. Dia tidak terpikir harus beristirahat dulu. Setelah melihat Lu Tan di depan, yang pasti dia ingin mengejarnya.

Dia merasa aneh mengapa Lu Tan bisa ke tempat seperti ini.

Malam sudah larut, dia sampai di jalan buntu. Di depan terbentang jurang yang curam. Dinding jurang tegak lurus seperti dipahat. Bagian kiri dan kanan dinding seperti itu. Di ujung jalan adalah tempat yang dikelilingi oleh jurang.

Dia berjalan ke sana sama sekali tidak merasa tertipu, di depan selalu ada cahaya terang.

Sekarang dia melihat jelas, cahaya terang itu adalah api unggun, juga melihat jelas di bawah adalah jurang.

Api unggun dinyalakan di bawah dinding gunung. Di dinding terukir 8 huruf dengan ukuran besar “Tiong Toa-sianseng Toat- beng-yu-ci” (Tiong Toa-sianseng mati di tempat ini). Akhirnya Tiong Toa-sianseng merasa dia sudah tertipu. Tapi tetap mengira semua itu adalah rencana busuk Lu Tan.

“Lu Tan, keluarlah!” Dia berteriak, suaranya yang keras menggema dengan kuat.

Lu Tan tidak muncul. Yang terdengar suara peluit. 4 orang gadis berbaju hitam keluar dari arah kiri dan kanan. Mereka adalah 4 pembunuh bernama Bwe, Lan, Ju, dan Tiok. Mereka melayang- layang seperti 4 ekor kupu-kupu hitam besar.

Tiong Toa-sianseng mengerutkan alisnya:

“Sejak kapan Bu-tong-pai mempunyai murid perempuan?”

Dia tidak bisa melihat 4 orang pembunuh perempuan itu dari perkumpulan mana. Setelah mereka berdiri di depannya, Tiong Toa-sianseng baru bertanya:

“Siapa kalian sebenarnya?”

4 orang gadis berbaju hitam itu tidak bereaksi sedikit pun. Mata mereka yang jernih terus menatap Tiong Toa-sianseng. Hawa membunuh mulai muncul.

Melihat 4 pasang mata itu, Tiong Toa-sianseng merasa dingin. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa kalau keempat orang gadis itu bukan manusia melain kan 4 ekor binatang.

Tidak ada yang menjawab. Tiong Toa-sianseng bertanya lagi: “Apa mau kalian sebenarnya?” Suara peluit terdengar lagi. 4 orang gadis itu sama-sama mencabut pedang. Mereka mulai menyerang Tiong Toa-sianseng.

“Kalau kalian tidak bicara, jangan salahkan aku sebagai orang yang tidak mempunyai perasaan!” Pedang Tiong Toa-sianseng sudah dicabut keluar. Dia menunjuk 4 orang gadis berbaju hitam itu.

Tidak ada yang menjawab. Mereka sudah menyerang tempat- tempat penting Tiong Toa-sianseng.

Tiong Toa-sianseng mulai marah. Begitu pedang dicabut keluar, setiap jurus yang dipakai bertujuan membunuh. Niat Tiong Toa- sianseng adalah memukul pedang mereka hingga jatuh kemudian menotok nadi mereka baru bertanya lebih jelas.

Setelah beberapa kali beradu pedang, Tiong Toa-sianseng mulai merasa kalau ilmu silat keempat gadis itu tidak biasa dan merasa aneh. Usia mereka masih muda tapi mempunyai tenaga dalam yang kuat. Tapi dia tetap percaya kalau dia bisa menggetarkan pedang mereka hingga terlepas dari genggaman tangan.

Tenaga dalamnya ditambah, dialirkan ke batang pedang. Perkiraan Tiong Toa-sianseng adalah keempat gadis itu tidak akan kuat menahan pedangnya.

5 pedang saling beradu. Di dalam suara dentingan pedang, 4 tangan gadis itu tergetar hingga sobek dan mengeluarkan darah. Tapi pedang tetap dipegang dengan erat, terus menyerang Tiong Toa-sianseng.

4 pedang seperti 4 gunting, mengunci pedang panjang Tiong Toa-sianseng. Ini benar-benar di luar dugaan Tiong Toa-sianseng. Sekali pukul tidak membuat pedang mereka terlepas, itu di luar dugaan. Hal ini membuat pedangnya tidak bisa ditarik keluar, membuatnya terbunuh.

Hen-lo-sat muncul di luar dugaaan. Diiringi suara peluit, dia bergerak secepat kilat, meloncat datang. Sepasang Wan-yo-to menyerang tempat penting Tiong Toa-sianseng. Mendengar ada yang datang, Tiong Toa-sian-seng tahu bila ingin menarik pedang yang terkunci walaupun sempat tapi tubuhnya akan bergeser ke belakang. Akibatnya tidak terbayangkan. Dalam keadaan bahaya ini, dia tidak mundur malah maju dan berputar, dia juga mulai terhuyung-huyung.

Tiong Toa-sianseng bisa melindungi tempat penting, tapi punggungnya terbacok 2 kali. Itu di luar dugaan. Sudah lama dia tidak pernah terluka parah seperti ini.

Akhirnya dia sanggup mencabut pedangnya dari penguncian 4 pembunuh itu dan balik menyerang 3 kali, tapi selalu tertahan oleh Hen-lo-sat. Tangan kanan dari pergelangan tangannya tergetar hingga terbelah.

“Kau siapa?” saat kata-kata ini terucap keluar, 4 pedang dari belakang sudah menyerangnya.

Hen-lo-sat tidak bersuara. 2 Wan-yo-to sudah membacok lagi Tiong Toa-sianseng, dia benar-benar menyesal dengan kata- katanya tadi. Kalau dia tidak bertanya dia bisa lolos dari serangan 4 golok, paling sedikit dia bisa menahannya. Dalam jeda waktu sesaat dia berhenti dan bertanya, 2 golok dari 4 golok sudah membacok punggungnya.

Walaupun 2 kali bacokan tidak mengenai tempat penting, yang mengenai jalan darah penting adalah 2 golok Hen-lo-sat.

Karena dia melayangkan pedang dan ingin memutar tubuh tapi tubuhnya terkunci oleh golok yang menancap di belakangnnya. Golok panjang Hen-lo-sat sudah menepis jantungnya.

“Kalian siapa? Mengapa membunuhku?” Pertanyaan Tiong Toa- sianseng belum selesai, nafasnya sudah putus. Tentu sajaa Hen-lo- sat dan 4 pembunuh itu tidak menjawab.

Saat Su Yan-hong mencari sampai ke jalan buntu itu, itu sudah hari kedua di siang hari.

Sepanjang perjalanan Tiong Toa-sianseng selalu meninggalkan tanda. Ditambah orang keluarga Lamkiong yang membawa jalan jadi Su Yan-hong bisa tiba di tempat itu. Sebenarnya Lo-taikun ingin membunuh Su Yan-hong tapi terpikir kalau Su Yan-hong adalah Hou-ya juga terpikir mungkin dia masih bisa diperalat.

Melihat mayat Tiong Toa-sianseng, Su Yan-hong terkejut. Melihat 4 huruf yang ada di tanah dekat jari Tiong Toa-sianseng, dia bertambah bingung.

“Lu Tan membunuhku!” itu adalah 4 huruf yang ditulis Tiong Toa-sianseng di tanah. Sampai huruf terakhir, jarinya pecah dan mengeluarkan darah.

Su Yan-hong sulit percaya semua ini, tapi sebelumnya dia sudah mendapat kabar dari keluarga Lamkiong bahwa karena mengejar Lu Tan dia terbunuh.

Mengapa Lu Tan bisa seperti ini? Su Yan-hong terus berpikir, tapi tetap saja tidak ada jawabannya. Terpaksa dia membawa mayat Tiong Toa-sianseng dari sana.

Fu Hiong-kun tidak menyangka bisa begitu cepat bertemu dengan Su Yan-hong. Dia juga melihat Su Yan-hong seperti membawa sebuah kereta kuda berisi peti mati. Apalagi setelah tahu kalau Tiong Toa-sianseng sudah meninggal dan pembunuhnya adalah Lu Tan.

“Mengapa Lu Tan bisa melakukan semua ini?” Fu Hiong-kun merasa aneh.

“Racun yang ada di Liong-im-kiam, Lamkiong Po terbunuh, guruku dibunuh, semua menunjukkan hal ini dengan jelas kepadanya!”

Fu Hiong-kun tertawa kecut:

“Apakah dia mempunyai ilmu setinggi itu hingga bisa melakukannya seorang diri?”

“Itu bukan masalah, mungkin dia dibantu seseorang!” “Kau mulai percaya pada hal ini?” “Aku hanya percaya pada keadaan yang terjadi. Sebenarnya seperti apa kejadiannya, pasti suatu hari akan terungkap dengan lebar!”

“Aku berharap agar kita jangan terlambat mengerti!” Fu Hiong- kun mengelus-elus peti mati Coat-suthay.

“Kali ini kita datang ke rapat Pek-hoa-couw, diam-diam guru sudah menghitung dan hasilnya adalah cahaya sangat tidak mujur. Dia terus berpesan kepada bibi guru harus berhati-hati. Tapi bibi guru tidak mengingatnya!”

“Mengingat pun percuma. Bukankah guruku selalu berhati-hati juga?” Su Yan-hong menarik nafas.

“Bibi guruku tidak akur dengan guru. Itu karena sifat bibi guru sangat keras. Pastinya tidak bisa menjaga mulut, membuat semua orang merasa muak karenanya!”

“Tapi kadang-kadang dia tidak salah menilai orang. Dia tidak berkata Lu Tan seperti apa, hanya berkata seharusnya Bu-tong-pai tidak mengirim wakil seperti dia!”

“Orang bersifat keras tidak bisa menjaga mulut!”

“Selain Lu Tan, Bu-tong-pai masih mengirim siapa lagi?”

Fu Hiong-kun terdiam, dia tahu keadaan Bu-tong-pai dengan jelas. Beberapa kali mengalami musi bah, tidak ada pesilat tangguh yang tersisa.

“Rapat di Pek-hoa-couw memang tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Kali ini aku datang bersama guru tujuannya adalah melihat-lihat. Ini semua ide guru!” Su Yan-hong berpikir jauh, “dulu kalau bukan karena guru menganggapku berbakat dalam berlatih ilmu silat dan membawaku ke Kun-lun, mungkin sekarang aku hanya seorang pejabat.”

“Supek-bo kali ini membawaku kemari agar bisa melihat-lihat. Tidak disangka terjadi begitu banyak hal. Aku benar-benar sulit menerimanya. Setelah pulang nanti entah apa yang harus kujelaskan!” Kata Fu Hiong-kun. “Gurumu selalu masa bodoh dalam menghadapi semua masalah. Memberitahunya tidak akan sulit. Keadaanku malah lebih sulit darimu. Bila Toan Hong-cu Susiok tahu hal ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi!”

“Toan Hong-cu? Sifatnya seperti api? It-nu-ciam-thian-hong (Asal marah pelangi di langit pun akan dibacok), Toan Hong-cu?” Fu Hiong-kun terkejut, “bukankah dia sedang menutup diri...”

“Sudah 18 tahun. Dihitung-hitung sepertinya sudah sampai waktunya dia keluar.”

“Hubungan Kun-lun dengan Bu-tong-pai pasti akan memburuk!” Fu Hiong-kun khawatir.

“Lain kali kalau kita bertemu mungkin di Bu-tong-san!”

“Bu-tong-san?” Sorot mata Fu Fliong-kun seperti sedih, “setiap kali pergi ke Bu-tong-san perasaannya selalu berbeda. Tapi yang jelek selalu lebih banyak, kali ini pasti seperti itu juga.”

“Tapi semua masalah harus ada akhirnya dan menjadi jelas semua. Walaupun sifat Susioknya seper ti api, rapi aku percaya dia bukan orang yang tidak pengertian. Aku tidak mengerti mengapa Lu Tan melakukan semua ini. Mungkin di baliknya ada hal lain tapi dia benar-benar bukan orang seperti itu!”

“Kalau dia tidak keluar, waktu itu entah apa yang akan terjadi padanya.” Tarikan nafasnya terdengar, Fu Hiong-kun mengayunkan tangan menyuruh kusir terus berjalan.

Su Yan-hong ingin mengejar tapi jalan yang ditempuh tidak sama. Begitu cepat bisa bertemu dengan Fu Hiong-kun, baginya sudah cukup memuas kan.

Tidak hanya Su Yan-hong, Fu Hiong-kun dan Su Ceng-cau pun tidak percaya kalau Lu Tan adalah orang seperti itu. Di depan Cu Kun-cau dia terus membela Lu Tan.

Tapi Cu Kun-cau tetap menuduh Lu Tan pembunuh. Dia tidak mengenal Lu Tan juga tidak menyimpan dendam, tapi dia tidak suka kepadanya. Su Ceng-cau tidak membela Lu Tan. Melihat orang lain tidak melihatnya, diam-diam dia kabur ke Bu-tong-san untuk menanyakan dengan jelas pada Lu Tan.

Apakah Lu Tan berada di Bu-tong-san, dia sen diri tidak tahu, dia juga tidak terpikir hal lain. Sifatnya memang seperti itu, ingin melakukan apa langsung dikerjakan tanpa berpikir panjang.

Saat Cu Kun-cau mengetahui adiknya menghilang, dia tidak sempat menghadang, mengejar pun tidak sempat. Dia tidak menyangka kalau Su Ceng-cau akan mencari Lu Tan.

Su Ceng-cau menyukai Su Yan-hong, Cu Kun cau mengetahuinya. Su Ceng-cau tidak pernah menutupinya.

*** Malam itu juga Su Yan-hong tinggal di penginapan In-lai. Dia sulit tidur. Saai mendengar suara seruling, segera keluar untuk melihat.

Alunan suara seruling itu terdengar sangat sedih. Seperti mendengar ada sesuatu walaupun Su Yan-hong tidak ingat di mana tempat itu tiba-tiba dia teringat pada Siau Sam Kongcu.

Yang meniup suling di pekarangan itu memang Siau Sam Kongcu. Wajahnya pucat seperti baru sembuh dari sakit berat.

Su Yan-hong mendekatinya. Siau Sam Kongcu baru tersadar dan memanggil:

“Su-heng...”

“Ternyata benar Siau-heng, apa kabar?” Siau Sam Kongcu tertawa sedih:

“Lumayan! Seharusnya Su-heng berada di Pek-hoa-couw, mengapa bisa berada di sini?”

“Tampaknya Sisu-heng tidak tahu apa yang telah terjadi.” “Apa yang terjadi?”

“Rapat di Pek-hoa-couw...”

“Jika aku tidak salah tebak, seharusnya gurumu yang mendapat kemenangan pada saat terakhir.”

“Apakah benar, tidak seorang pun yang merasa yakin.” “Mengapa bisa seperti itu? Apakah terjadi sesuatu?”

“Aku tidak tahu harus menceritakannya dari mana, di mana Sumoi sekarang?”

“Kau menanyakan keadaan Bok-lan?” Siau Sam Kongcu bertambah aneh.

“Bukankah dia bersamamu?” “Mengapa dia bisa bersamaku?” “Ini tambah aneh, ke mana dia?”

Tiba-tiba Siau Sam Kongcu mencengkeram pundak Su Yan- hong:

“Cepat beritahu padaku apa yang terjadi!”

Tidak sulit menjelaskan hal ini. Su Yan-hong menceritakan apa yang sudah terjadi selama beberapa hari ini.

Mengetahui Bok-lan sudah meninggalkan keluarga Lamkiong, Siau Sam Kongcu terlihat tegang sekaligus terharu. Setelah tahu Lamkiong Po, Tiong Toa-siansengn, dan Coat-suthay meninggal, dia terkejut.

“Tidak disangka dalam waktu sehari 2 pesilat pedang terkuat meninggal!” Siau Sam Kongcu menarik nafas, “walaupun gurumu tidak suka padaku, tapi melihat ilmu silatnya aku benar-benar kagum dari dalam hatiku!”

“Suhu dan Siau-heng sebenarnya hanya salah paham...” “Sekarang kalau mengatakan kalau itu bukan salah paham,

kepergian Bok-lan dari keluarga Lam-kiong sedikit banyak aku yang

bertanggung jawab.” “Sebenarnya sebelum Bok-lan menikah dengan orang keluarga Lamkiong, kalau kau punya keberanian seperti ini sekarang pun tidak akan seperti ini!”

Siau Sam Kongcu mengangguk. Kata Su Yan-hong lagi:

“Kurasa dia belum tahu setelah rapat Pek-hoa-couw, banyak hal yang sudah terjadi!”

“Sekarang ke mana Bok-lan?” kata Siau Sam Kongcu, dia terlihat sangat khawatir, dia bertanya lagi, “apakah kalian percaya Lu Tan yang membunuh?”

“Dari luar terlihat seperti itu!”

“Aku hanya beberapa kali bertemu dengannya, tapi aku melihat dia bukan tipe orang seperti itu!”

“Rapat Bu-tong-san pasti memiliki cara untuk membereskannya.

Bagaimana lukamu?”

“Lumayan!” Siau Sam Kongcu tertawa kecut:, “terlihat kalau nasibku tidak jelek. Mungkin mati pun tidak jadi karena memiliki keberuntungan yang terus mengikutiku!”

“Oh ya?” Su Yan-hong tahu kalau Siau Sam Kongcu akan menghadiri pertemuan lain.

“Waktu itu kalian meninggalkanku, aku baru tahu kalau kantong uangku tertepis hingga jatuh. Aku hanya membawa uang kecil di saku, apalagi aku sudah terluka dan merasa lelah. Aku benar-benar merasa kewalahan, untung aku masuk penginapan ini!”

“Apakah di penginapan ini ada temanmu?”

“Tidak ada. Bos penginapan ini adalah Paman Ho dia orang yang sangat baik. Dia menyuruhku tinggal di kamar nyaman juga membawa tabib yang baik untukku. Apalagi makan juga obat- obatan diurus olehnya. Dia menahanku terus di sini sampai sembuh baru membolehkan aku meninggalkan penginapan ini!”

“Dia benar-benar orang yang baik!”

“Setelah sembuh entah harus dengan cara apa aku membalas budinya.” “Keuangan tidak menjadi masalah. Hanya hutang budi ini aku tidak bisa membantu Siau-heng untuk membalasnya.”

“Su-heng...”

“Kalau kau menganggapku teman, jangan terus bicara dengan sungkan!”

Tiba-tiba Siau Sam Kongcu menarik nafas:

“Entah di mana Bok-lan sekarang?”

“Dia berani   meninggalkan keluarga Lamkiong   dia pasti mencarimu!” Kata-kata ini terucap keluar, hatinya bergerak.

Setelah berpamitan dengan Siau Sam Kongcu, Su Yan-hong tidak segera kembali ke kamarnya. Dia langsung mencari bos penginapan.

Orang yang dipanggil paman Ho oleh Siau Sam Kongcu pasti sudah ada umur. Paman Ho berambut dan berjanggut putih. Tapi tetap terlihat bersemangat. Sewaktu Su Yan-hong mencarinya, dia sedang berada di kantor sedang menghitung pembukuan.

Dia sangat berpengalaman, begitu melihat baju dan penampilan Su Yan-hong, dia tahu kalau tamunya ini orang kaya. Begitu tahu dia adalah teman Siau Sam Kongcu, kelihatan kalau dia sangat senang.

“Tuan muda itu mengenal banyak orang. Kelihatannya kalau dia bukan orang kaya pasti orang terhormat dan Tuan ada perlu apa?”

“Aku ingin menyewa sebuah kereta!”

“Asalkan Tuan berani mengeluarkan uang, itu adalah hal yang mudah! Sekarang sudah malam, untuk apa Tuan menyewa kereta kuda? Aku takut kalau keretanya tidak ada...”

“Aku ingin membawa Siau Sam Kongcu pulang supaya bisa diobati,” jawab Su Yan-hong.

Paman Ho terpaku, kemudian berteriak: “Tidak bisa!”

“Tidak bisa?” Su Yan-hong sengaja menatapnya. Dengan gugup Paman Ho berkata lagi:

“Tuan itu sedang sakit, kalau melakukan perjalanan jauh, itu tidak baik!”

“Aku akan berhati-hati. Dia teman baikku, meninggalkan dia di sini membuatku tidak tenang.”

“Aku akan mengurusnya...”

“Dia sudah berhutang berapa kepadamu, biar aku yang melunasinya!”

“Uang tidak menjadi masalah. Sudah malam begini, mana mungkin ada kereta kuda?”

“Bukankah tadi kau mengatakan asalkan mau mengeluarkan uang, tidak akan menjadi masalah?” Su Yan-hong segera mengeluarkan satu tail perak. Dia memberikannya kepada Paman Ho:

“Aku akan segera beres-beres, carikan kereta kuda!”

Setelah itu dia segera membalikkan tubuh pergi. Paman Ho ingin memanggilnya tapi tidak dilayani. Dia seperti semut di dalam kuali terus berputar-putar. Begitu melihat di luar tidak ada seorang pun, akhirnya dia keluar.

Sesampainya di belakang penginapan, ada sebuah kamar di tempat sepi. Paman Ho melihat ke kiri dan kanan, tidak ada siapa pun, dia segera menge tuk pintu kamar itu 3 kali.

Dari dalam terdengar suara perempuan yang bertanya: “Siapa?”

“Aku!” Paman Ho tetap melihat ke kiri dan kanan.

Pintu kamar dibuka, seorang   perempuan men julurkan kepalanya. Dia adalah Tiong Bok-lan.

“Bukankah aku sudah berpesan bila tidak ada hal penting jangan mencariku!”

“Tuan yang Nona minta aku yang urus, hari ini bertemu dengan temannya dan temannya ini akan membawa tuan itu pulang!” Tiong Bok-lan terpaku:

“Kau tertipu!” Dia segera menutup pintu dan membalikkan tubuh, lalu keluar melalui jendela.

Di luar jendela terbentang halaman. Su Yan-hong sedang berdiri di sana. Dia melihat Bok-lan dan menggelengkan kepala:

“Mengapa harus seperti itu?” Bok-lan segera memanggil:

“Hou-ya!”

“Seharusnya kau memanggilku Suheng. Kau berada di dunia persilatan!”

“Mengapa Suheng di sini?”

“Hanya lewat, tidak disangka Siau Sam Kong-cu juga ada di sini.”

Begitu menyebut Siau Sam Kongcu, Tiong Bok-lan segera melihat ke sekeliling.

“Aku sendirian mencarimu!” Jelas Su Yan- hong. Bok-lan menghembuskan nafas. Kata Su Yan- hong:

“Kalau Paman Ho orang baik, tidak mungkin dia menjual arak yang dicampur dengan air.”

“Karena Suheng minum arak yang sudah dicampur air maka jadi curiga?”

“Hanya untuk lebih meyakinkan penginapan ini seperti apa dan bos penginapannya adalah orang seperti apa. Begitu masuk aku harus langsung tahu. Aku merasa tidak enak hati, juga bisa melihat tapi Siau Sam Kongcu adalah orang berpengalaman, dia tidak melihatnya.”

“Bukankah Suheng...”

Tibatiba dia teringat pada ayahnya. Su Yan-hong segera menghentikan pembicaraan:

“Di sini bukan tempat untuk bicara...” “Apakah terjadi sesuatu pada ayah?” Bok-lan terus bertanya. Su Yan-hong tidak menjawab, dia membawa Bok-lan ke tempat di mana peti mati diletakkan.

Melihat peti mati Tiong Toa-sianseng, Tiong Bok-lan terus menangis. Sambil berjalan, Su Yan-hong menceritakan apa saja yang terjadi selama beberapa hari ini. Dia memang percaya Su Yan- hong tidak akan membohonginya. Tapi karena semua hal terjadi terlalu tiba-tiba membuat dia sulit untuk menerima semuanya.

“Aku benar-benar anak tidak berbakti!” Bok-lan menangis. “Masalah datang sangat tiba-tiba!” Kata Su Yan-hong.

Bok-lan bicara sendiri:

“Tidak mendengar ucapan ayah adalah hal tidak berbakti. Meninggalkan keluarga Lamkiong dianggap tidak setia, apakah ada tempat yang bisa menampungku lagi?”

“Menurutku, Lo-taikun adalah orang yang pengertian...” Kata Su Yan-hong.

“Tidak ada gunanya. Orang keluarga Lamkiong yang lainnya tidak akan berpikir seperti itu. Tapi apa pun yang terjadi aku akan kembali setelah masalahku selesai!”

“Maksudmu, Siau Sam Kongcu?”

Bok-lan hanya diam. Tanya Su Yan-hong:

“Apakah sepanjang jalan kau selalu mengurusnya?” “Aku tidak akan membiarkan dia mengetahuinya.” “Untuk apa kau berbuat seperti itu?”

“Kau tahu aku tidak mungkin bersama dengannya tapi aku tidak tega melihat dia patah hati dan sakit, sedangkan aku hanya berpangku tangan saja!”

“Apakah kau tidak terpikir setelah kau meninggalkan keluarga Lamkiong, apa pun yang kau lakukan, orang lain tetap akan mengganggap kalau kau pergi bersama-sama Siau Sam Kongcu?”

“Mana boleh...” “Mereka hanya menebak sembarangan. Dari pada seperti itu, mengapa kau tidak mau terus terang kepada orang-orang bahwa kalian saling mencintai.”

“Aku ...”

“Siau Sam Kongcu terlihat tidak bersemangat karena dirimu. Jika kalian berpisah begitu dia sakit, mengapa kau tidak melepaskan diri darinya. Bukalah lapang dadamu...”

“Maksud Suheng?”

“Aku hanya terpikir ini dan langsung menyampaikannya padamu. Mengenai apa yang harus kau lakukan, lebih baik kau sendiri yang mengambil keputusan!”

Tiong Bok-lan terdiam. Tiba-tiba Su Yan-hong menoleh: “Mengapa Siau-heng tidak masuk?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar