Legenda Pendekar Ulat Sutera Jilid 12

Jilid 12

“Kau harus pulang! Apa janjimu kepadaku, sepanjang jalan tidak akan buat masalah. Kalau membuat masalah, kau akan pulang sendiri!”

“Maksud guru mengusirku?” “Karena kita sudah ada perjanjian!”

“Lain kali aku tidak akan melakukan hal seper ti ini lagi!” “Sudah berapa kali kau ucapkan kalimat ini? Setiap kali ada

kedua kalinya, bahkan sampai sekarang juga! Maka lebih baik

perjalananmu sampai di sini saja agar tidak repot!”

“Sebenarnya kau tidak suka karena ilmu silat ku tidak bagus, juga tidak bisa membantu!” suara Su Ceng-cau semakin keras, “Aku tidak membencimu. Semua ini kau sendiri yang membuatnya, jangan salahkan orang lain!”

“Kau serius?” suara Su Ceng-cau makin keras.

Siau Sam Kongcu mengangguk. Su Ceng-cau menghentakkan kaki dan berlari keluar.

Tadinya Siau Sam Kongcu ingin memanggilnya, tapi akhirnya dia mengurungkan niatnya. Dia melihat Su Ceng-cau menghilang di jalan yang panjang.

Siau Sam Kongcu terpaku, saat mau meninggalkan tempat, Su Ceng-cau kembali lagi.

“Guru!” Dia berhenti di depan Siau Sam Kong cu, menundukkan kepala, seperti sedih karena disalahkan.

“Untuk apa kau kembali lagi?” Siau Sam Kongcu tidak mau melihat dia.

“Aku yang salah! Adatku jelek! Sepanjang jalan membuat masalah, membuat guru jadi repot!”

“Kembalilah ke rumah!”

“Tadinya aku ingin diam-diam mengikuti guru, tapi setelah dipikir-pikir jika berlaku seperti itu akan membuat konsentrasi guru terpecah dan mengganggu guru. Maka aku mengambil keputusan untuk lebih baik kembali ke Ling-ong-hu!”

“Oh!” Siau Sam Kongcu merasa terkejut karena pertama kali dia mendengar Su Ceng-cau berkata seperti itu.

“Tapi guru boleh tenang. Dengan ilmu silatku, bila tidak membuat masalah di sepanjang jalan, aku akan baik-baik saja!”

Siau Sam Kongcu tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia sudah terbiasa dengan sifat Su Ceng-cau yang berteriak-teriak, perubahan Su Ceng-cau sekarang ini malah membuat dia menjadi bingung.

“Guru, jaga dirimu baik-baik, aku pergi!” Sete lah Su Ceng-cau berpamitan, dia baru pergi. “Di jalan harus hati-hati!”

“Aku akan berhati-hati!” Su Ceng-cau berlari. Siau Sam Kongcu terpaku lagi.

Setelah belok dua kali dan melihat Siau Sam Kongcu tidak mengejar, Su Ceng-cau baru benar-benar kecewa. Dia menghentakkan kaki dan marah:

“Aku sudah tahu kau tidak ingin aku ikut ke Pek-hoa-couw. Kau tidak mau aku pergi, aku sengaja ingin ke sana. Aku akan ke sana untuk menunggumu sampai waktunya apa yang ingin kau lakukan!”

Setelah mengambil keputusan, tawa memenuhi wajahnya kembali.

IAU CU dan Lu Tan berada di dalam kerumunan orang. Lu Tan tidak melihat ke kiri atau kanan, sebaliknya mata Siau Cu sangat sibuk melihat kesana kemari, mulutnya

juga tidak bisa diam, Siau Cu tidak henti-hentinya makan dan berbicara. Dari kecil dia mengikuti Lam-touw berkelana di dunia persilatan. Mereka menjual sulap di mana-mana dan kebanyakan berada di tempat yang ramai, maka Siau Cu sangat menyukai tempat ramai.

Dia tidak melupakan Lu Tan, baru berjalan sebentar, dia segera menepuk pundak Lu Tan:

“Melihatmu seperti ini, aku sulit mempercayai kau tumbuh besar di ibukota!”

“Apa maksudmu?” tanya Lu Tan.

“Tempat ini begitu ramai, mengapa kau sama sekali tidak tertarik?”

“Mungkin karena tumbuh besar di tempat ramai!” kata Lu Tan lagi, “apakah ada tempat yang lebih ramai daripada Sin-sa-hai?”

Begitu mendengar kata Sin-sa-hai, Siau Cu segera teringat Lamkiong Beng-cu, jawabnya:

“Sepertinya tidak ada!”

“Itu sangat sederhana. Mengapa kau tanyakan penyebabnya?” kata Lu Tan. “Tapi kau tidak pernah melihat pada perempuan yang lewat di jalan. Kau juga tidak mau berbicara denganku!”

“Bila memang perlu, aku pasti akan berbicara. Sedangkan masalah perempuan yang lewat di jalan, apa bedanya melihat mereka atau tidak?”

“Apa betul kau ingin menjadi pendeta?” “Aku sudah menjadi pendeta!”

“Apakah tidak siap kembali ke dunia awam? Betulkah kau mau keluarga Lu tidak berketurunan?”

“Jangan katakan tentang ini!” kata Lu Tan.

“Tiga atau empat hari lagi kita akan sampai ke keluarga Lam- kiong, apakah kau kira tidak akan ber temu dengan dia?”

“Siapa?” Lu Tan merasa aneh. “Murid Siau Sam Kongcu!”

“Kau selalu suka berbicara seperti ini. Dia sudah kembali ke Ling- ong-hu, mana mungkin muncul di keluarga Lamkiong.”

“Siapa yang berani berkata tidak mungkin. Kalau kalian bertemu, apa yang akan terjadi?”

“Tapi kukira kami tidak akan bertemu lagi!”

“Jangan begitu yakin, ada jodoh yang bisa mempertemukan orang!” Siau Cu teringat Lamkiong Beng-cu lagi.

Lu Tan masih ingin melanjutkan kata-katanya, tapi tiba-tiba seorang laki-laki terjatuh ke arahnya. Siau Cu bereaksi dengan lebih cepat, dia mencengkeram Lu Tan. Laki-laki itu terjatuh dan terguling di depan Lu Tan. Hidung dan wajahnya bengkak. Setelah berguling beberapa kali dia baru merangkak bangun.

Siau Cu dan Lu Tan melihat ke sekeliling mereka, terlihat oleh mereka rumah makan 'Cung-goan-lou' yang berantakan, dan kembali lagi seorang laki-laki terlempar dari sana.

Lu Tan ingin menjemput laki-laki yang terlempar itu tapi Siau Cu sudah mendahuluinya. “Dari penampilan mereka sepertinya bukan orang baik-baik, untuk apa kita menjemput dia?” kata Siau Cu.

Baru saja Siau Cu selesai berkata, seorang gadis muncul di balkon lantai atas rumah makan Cung-goan-lou, sambil marah- marah dia berteriak:

“Kalian bajingan! Jika bertemu lagi, akan aku cabut nyawa kalian!”

Lu Tan dan Siau Cu sontak terkejut mendengar suara ini, segera melihat ke arah gadis yang berteriak. Gadis di balkon adalah Su Ceng-cau.

“Lu Tan!” Su Ceng-cau meloncat bangun.

Dua laki-laki yang terlempar tadi tergesa-gesa kabur. Su Ceng- cau berlari dan menghampiri Siau Cu dan Lu Tan:

“Siau Cu, kau juga di sini!”

“Kukira kau sudah tidak ingat aku lagi.”

“Ingatanku tidak sejelek itu! Mengapa bisa kebetulan bertemu kalian di sini?”

“Itu namanya kita berjodoh!” Siau Cu melihat Lu Tan.

Lu Tan merasa malu, belum lagi buka suara. Su Ceng-cau melihatnya:

“Sejak kapan kau menjadi pendeta?” Siau Cu yang menjawab:

“Dia hanya pura-pura, hanya untuk menutup mata dan telinga orang, kau tidak perlu khawatir. Bila sampai waktunya nanti, dia akan kembali seperti semula.”

Lu Tan hanya bisa tertawa kecut.

Setelah tahu Siau Cu dan Lu Tan juga akan pergi ke keluarga Lamkiong, Su Ceng-cau sangat senang. Dia memang tidak takut berjalan sendiri, tapi dengan mempunyai dua teman, itu akan lebih baik dari pada sendirian, karena Su Ceng-cau orang yang suka keramaian. Su Ceng-cau diam-diam pergi ke keluarga Lamkiong tanpa memberi tahu Siau Sam Kongcu. Siau Cu dan Lu Tan tidak merasa terkejut karena mereka sudah tahu sifat Su Ceng-cau, jika Su Ceng- cau yang menyebabkan terjadinya musibah besar, itupun tidak aneh.

Malam itu, mereka memesan dua kamar di suatu penginapan. Tapi setelah makan malam, Su Ceng-cau terus berada di kamar Siau Cu dan Lu Tan. Dia tidak habis-habisnya berbicara, sampai Siau Cu merasa terheran-heran dengan kata-katanya yang bisa begitu banyak.

Siau Cu menyandar di sudut dinding agar Lu Tan bisa mendapatkan kesempatan berbicara, tapi Lu Tan yang di depan Su Ceng-cau hanya tampak seperti orang bodoh. Dia hanya bisa mendengar perkataan Su Ceng-cau, tapi tidak satu patah kata pun yang diucapkannya. 

Su Ceng-cau tidak peduli. Dia terus menceritakan kisah perjalanannya, dari pulang ke Ling-ong-hu sampai diusir oleh Siau Sam Kongcu.

“Kukira perjalanan ikut guru adalah paling membosankan, siapa tahu berjalan sendiri ternyata lebih bosan. Untung bertemu kalian, maka sepanjang jalan nanti akan lebih baik.”

“Aku tidak merasa akan lebih baik!” kata Siau Cu.

Su Ceng-cau tidak memperhatikan Siau Cu. Tapi dia seperti baru sadar Lu Tan dari tadi tidak bicara, tiba-tiba dia bertanya:

“Mengapa kau selalu diam?” “Aku mendengarkan kau bicara.”

“Bagaimana bisa ada orang yang tidak melihat kalau orang lain ingin berbicara!” Siau Cu mengomel.

“Siau Cu, apa maksudmu?” tanya Su Ceng- cau.

“Tidak ada!” Reaksi Siau Cu sangat cepat. “Mengapa kau tidak bergabung kemari?”

“Aku takut mengganggu pembicaraan kalian.” “Kau tidak suka berbicara denganku? Apakah karena kau masih ingat aku pernah memecahkan piring sulapmu di Sin-sa-hai?”

“Siapa yang masih ingat hal-hal kecil seperti itu?”

“Tapi aku mengingatnya, dan kau juga seperti bukan orang yang gampang melupakan!”

Siau Cu cepat-cepat berkata:

“Demi menunjukkan aku benar tidak peduli hal-hal kecil seperti itu, maka terpaksa aku kemari!”

“Menurut kalian, apakah An-lek-hou akan ikut datang meramaikan di Pek-hoa-couw kali ini?”

“Hou-ya adalah murid Tiong Toa-sianseng, seharusnya dia akan datang.” kata Siau Cu.

Su Ceng-cau segera meloncat kegirangan. Begitu merasa sudah kelepasan, dia segera mencoba menutupi:

“Sangat baik! Pada waktu itu teman-teman kita di ibukota bisa berkumpul lagi!”

“Tapi sayang guruku Lam-touw tidak bisa menunggu sampai hari itu!”

Lu Tan dan Su Ceng-cau terdiam. Terhadap kepergian Lam- touw, mereka merasa kehilangan.

Diamnya mereka membuat Lu Tan mendengar ada orang yang bergerak di atas genteng, dia berkata:

“Apa yang terjadi dengan gurumu?”

Siau Cu merasa aneh dengan pertanyaan Lu Tan, dia melihat Lu Tan. Mata Lu Tan memberi isyarat ke atas. Siau Cu sangat pintar. Dia segera mengerti apa yang terjadi. Pada waktu yang ber-samaan dia juga mendengar pergerakan di atas, dia berkata:

“Guruku sudah meninggal!”

Ketika Siau Cu mengucapkan kata-kata ini, Lu Tan sudah mengeluarkan pedang dari sarung. Dia meloncat dan memecahkan genteng untuk keluar ke atas genteng. Siau Cu pun keluar melalui jendela.

Di luar jendela ada kebun penginapan. Siau Cu kemudian meloncat lagi ke atas genteng.

Ada asap yang muncul dan menyebar di atas genteng. Siau Cu melindungi nadi-nadi penting dengan dua telapak tangannya. Dia meloncat ke atap bangunan lain, tapi yang terlihat olehnya hanya asap, tidak ada orang.

Lu Tan dan Su Ceng-cau sudah berada di atas atap. Pedang Lu Tan dimasukkan ke sarung. Tidak terlihat ada darah, berarti tidak ada yang terkena serangan. Walaupun tiba-tiba tapi Lu Tan tidak berhasil melukai orang yang tadi berada di atas genteng.

Su Ceng-cau tidak berpengalaman. Begitu melihat asap, baru tahu ada orang di atas atap.

“Siapa mereka itu?” tanya Su Ceng-cau.

“Di atas atap kita hanya melihat asap putih. Tapi selain orang- orang Pek-lian-kau, siapa lagi yang mencari kita?”

“Betul! Kelak kita harus lebih hati-hati!” kata Lu Tan.

“Kita tidak mencari mereka untuk membalas dendam tapi mereka malah mencari kita. Awas bila bertemu lagi!” Siau Cu marah.

“Lebih baik begitu, perjalanan kita menjadi tidak sepi!” Begitu teringat kemungkinan terjadi persengketaan di jalan, Su Ceng-cau bersemangat.

Mereka tahu itu bukan orang-orang Pek-lian-kau pada siang di hari kedua.

Matahari bersinar terik. Dalam keadaan yang panas seperti ini, paling nyaman bila masuk ke dalam hutan. Maka Lu Tan, Siau Cu dan Su Ceng-cau bertiga begitu masuk ke dalam hutan, langkah mereka menjadi pelan.

Angin sepoi-sepoi bertiup. Siau Cu berjalan paling depan. Dia membuka baju dibagian dadanya untuk menyejukkan tubuhnya. Dalam hembusan angin sepoi-sepoi, Siau Cu mendengar ada suara senjata rahasia yang men datangi mereka. Siau Cu segera berteriak:

“Hati-hati!” Dia meloncat ke atas sebuah pohon besar.

Senjata rahasia ada yang berbentuk seperti salib, ada yang seperti kincir air, datang dari semua penjuru menyerang Lu Tan dan Siau Cu.

Lu Tan mencabut pedang untuk menahan senjata rahasia. Dia juga mundur ke sisi Su Ceng-cau dengan maksud melindungi Su Ceng-cau. Tapi belum sampai di sisi Su Ceng-cau, serangan senjata rahasia sudah berhenti.

Siau Cu tidak seberuntung dia. Waktu senjata rahasia terus mengejarnya, dia berguling-guling tiga kali dan sampai di depan sebuah pohon besar. Seketika itu sebatang pohon terbang menerjang punggung Siau Cu.

Setelah belajar ilmu silat dari Wan Fei-yang, kepandaian Siau Cu maju pesat. Dengan lincah Siau Cu menghindari terjangan batang pohon. Tapi berikutnya serangan datang lagi, kali ini serangan golok.

Bagian tengah batang pohon ternyata sudah kosong. Ada seorang samurai bersembunyi di sana. Waktu batang pohon menerjang Siau Cu, si samurai mengeluarkan golok katana dari sarung dan menepis seperti kilat.

Saat Siau Cu berhasil menghindari serangan batang pohon, golok katana sudah sampai padanya. Siau Cu berkelit dari serangan golok katana dengan perubahan langkah-langkah kaki yang asalnya dari Wan-tianglo, kemudian diubah oleh Wan Fei-yang, hingga lebih sempurna lagi.

Samurai itu tidak menyangka tepiannya akan meleset, dia jadi terpaku. Siau Cu segera menendang perut si samurai yang membuat dirinya terpelanting.

Dari semak-semak muncul lagi seorang samurai, dia berguling ke depan, dengan golok katana menepis kedua kaki Siau Cu. Siau Cu terus menghindar tepisan golok katana berturut-turut tiga kali, kemudian samurai itu meloncat ke atas dan menepis lagi.

Siau Cu menahan serangan katana dengan golok pendek yang berada di tangannya. Samurai yang tadi ditendang Siau Cu kembali datang menyerang dari belakang. Dia mengayunkan golok, sedikit pun tidak takut. Dia melewati sepasang golok dan berlari ke arah Lu Tan dan Su Ceng-cau.

Lu Tan tidak selincah Siau Cu. Dia tidak bisa melayani samurai yang tiba-tiba datang menyerang.

Dari semak-semak di dekat jalan, keluar lagi seorang samurai, dia segera mengambil kesempatan ini menepis.

Lu Tan tidak bisa menghindar, pahanya terkena tepisan golok. Walaupun terluka ringan tapi tetap terganggu. Seorang samurai turun lagi dari atas. Serangan golok katana membuat Lu Tan kerepotan.

Su Ceng-cau yang berada di samping tentu saja tidak mau berpangku tangan. Tapi dua samurai itu bisa berpindah-pindah ke tempat yang tidak terjangkau oleh Su Ceng-cau dan kemudian menyerang Lu Tan.

Begitu melihat penampilan mereka, Su Ceng-cau langsung tahu mereka berasal dari Jepang, dan teringat It-to-cian yang akan menggantikan Siau Sam menjadi guru pedang. Setelah beberapa kali serangan nya tidak mengenai mereka, Su Ceng-cau segera membentak:

“Siapa yang menyuruh kalian kemari!”

Samurai-samurai itu mungkin tidak mengerti bahasa Su Ceng- cau. Mereka sama sekali tidak mendengar dan terus menyerang Siau Cu dan Lu Tan.

Siau Cu berlari ke arah Lu Tan, dua samurai juga mengejar Siau Cu datang. Mereka bergiliran menyerang Siau Cu dan Lu Tan, tidak hanya dengan senjata, mereka juga menggunakan senjata rahasia. Mereka sangat kompak. Mereka seperti tidak menganggap Su Ceng- cau, hanya menyerang Siau Cu dan Lu Tan. Su Ceng-cau juga tidak bisa membantu, dengan tangan memegang pedang, dia sangat cemas.

Cara empat samurai menyerang sangat berbeda dengan cara menyerang orang-orang persilatan Tionggoan. Siau Cu terus melindungi Lu Tan dan Su Ceng-cau. Keadaan benar-benar sulit.

Di matanya, empat samurai selalu menyerang Su Ceng-cau dengan golok katana. Sama sekali berbeda dengan perasaan Su Ceng-cau yang merasa bersalah. Itu adalah kesengajaan empat samurai yang bertujuan untuk memecah konsentrasi Siau Cu dan Lu Tan.

Selain dengan senjata rahasia, masih ada tali terbang. Dua tali terbang tiba-tiba keluar dari dua tangan samurai. Tali melilit tangan dan satu lengan Lu Tan, kemudian mereka menarik tali dengan kencang sehingga membuat gerakan Lu Tan tidak bebas.

Melihat keadaan bahaya, Siau Cu segera ingin menolong tapi dicegat oleh seorang samurai. Sangat jelas samurai ini sengaja menghadang Siau Cu menolong Lu Tan. Senjata rahasia datang terus-menerus, membuat Siau Cu terhadang.

Su Ceng-cau juga dihadang oleh samurai yang lain.

Dua samurai yang lain dengan sekuat tenaga menarik tali, juga mengayunkan golok katana membacok Lu Tan.

Terlihat Lu Tan tidak akan bisa menghindari bacokan dua golok katana. Dia siap membunuh salah satu dari mereka. Tiba-tiba ada cahaya berkelebat. Dua tali yang melilit kaki dan tangan Lu Tan sama-sama ditepis putus. Seorang nikoh tua berbaju abu-abu turun seperti seekor bangau.

Setelah tali putus, dua samurai menjadi kacau. Mereka berputar, mengarahkan golok menunjuk pada nikoh yang baru datang.

Nikoh itu tertawa dingin:

“Orang Jepang tidak tahu diri, berani sekali kau berbuat kejahatan di sini!” Dua samurai itu seperti tidak mengerti perkataan nikoh. Mereka membentak, dua samurai yang tadi menghadang Siau Cu dan Su Ceng-cau segera meninggalkan mereka dan berlari datang, dengan golok katana menunjuk kepada nikoh tua itu.

Mereka sudah melihat nikoh itu adalah orang yang paling kuat di antara mereka.

Nikoh itu melihat Lu Tan dan membentak:

“Cepat pergi!”

Lu Tan mundur. Siau Cu segera mendekat:

“Apakah kau mengenal nikoh ini?” “Tidak!”

Siau Cu jadi terkejut, sebab dia melihat Fu Hiong-kun berdiri di sana. Fu Hiong-kun dengan tertawa sedang melihat mereka. Tidak perlu ditanya lagi, nikoh ini pasti ada hubungan dengan Fu Hiong- kun.

Empat samurai membentuk serangan dan mengayunkan golok membacok. Baru saja cahaya golok katana berkelebat, cahaya pedang sudah sampai menepis golok katana yang dipegang mereka. Empat golok katana tidak ada yang terkecuali, semua putus ditepis pedang nikoh.

Golok ini bukan terbuat dari besi biasa tapi dengan mudah ditepis putus. Tentu pedang nikoh ini adalah pedang pusaka yang sangat keras dan kuat, yang bisa menepis besi seperti menepis tahu.

Empat samurai terkejut dan mundur. Tapi pedang nikoh sudah menepis salah satu samurai yang bergerak paling lambat. Dia hampir membelah orang itu menjadi dua bagian.

Tiga samurai sudah masuk ke dalam hutan. Nikoh mengejar tapi tiga samurai itu sudah menghilang. Kedua alis nikoh terangkat, sambil membawa pedang dia terus berjalan.

Belum berjalan tiga langkah, dua tali tiba-tiba terbang dari semak-semak ke atas kepala nikoh, terlihat tali itu hampir akan terjatuh di atas kepala nikoh. Tangan kiri nikoh diangkat, tali sudah berada di tangannya, kemudian ditariknya. Samurai yang tadi melempar tali ke kepala nikoh yang sedang ber sembunyi di semak- semak tertarik keluar dan dilempar oleh nikoh.

Tubuh samurai baru terlempar, nikoh sudah berlari ke depannya. Golok katana belum bergerak, pedang sudah menepis tenggorokannya. Darah muncrat, samurai itu pun roboh.

Pada waktu yang bersamaan, seorang samurai keluar dari semak-semak di bawah nikoh, kemudian dengan golok katana berusaha membacok pinggang nikoh.

Dia mengira bacokan ini pasti akan mengenai sasaran, tapi yang dibacok ternyata pedang pusakanya. Pedang pusaka berputar, golok katana tertepis patah lagi.

Reaksi samurai benar-benar lincah. Dia segera lari. Nikoh tidak mengejarnya, tapi pedang di tangan sudah terbang seperti kilat mengejar samurai itu.

Mendengar ada suara pedang, si samurai segera mundur 7 depa. Tubuh samurai tidak bergerak, tapi pedang sudah datang menghujam ke jantungnya. Karena tenaga pedang yang besar datang menerjang, tubuh samurai mundur sejauh tiga meter dan memaku dia di sebuah batang pohon.

Nikoh itu tidak melihat samurai yang terpaku di pohon, tapi dia mengawasi ke sebuah semak-semak. Samurai yang bersembunyi di semak-semak merasa tidak bisa bersembunyi lagi, maka dia melepaskan senjata rahasia, kemudian keluar dari semak-semak, dan saat itupun ada asap kabut yang meledak di depan.

Nikoh itu seperti seekor bangau abu-abu melewati asap-asap, mengejar di belakang samurai.

Saat si samurai keluar dari hutan. Dia hampir menabrak seorang hweesio tua. Dia terkejut, begitu melihat itu adalah La-cai, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tongkat La-cai sudah menghantam kepalanya.

Tongkat itu kelihatan seperti rapuh, kalau dipakai memukul mungkin akan patah. Tapi begitu memukul, ternyata tongkatnya tidak patah, malah kepala samurai yang pecah. Samurai itu berteriak memilukan, kemudian roboh.

Nikoh melihatnya, dia berhenti dan terpaku.

La-cai menyatukan sepasang telapak tangannya, membaca ayat- ayat suci:

“Budha maha baik, maafkan murid sudah membunuh. Sekelompok samurai dari Jepang ini sembarang melakukan kejahatan, mati juga tidak menyesal!”

Nikoh berbaju abu-abu melihat La-cai dari atas ke bawah, katanya:

“Siapa kau?”

“Seorang hweesio. Apakah Suci tidak melihat baju hweesio yang kupakai, tasbih yang tergantung di leher, dan bacaan Budha yang kubacakan?”

“Seorang hweesio harus berbaik hati, mengapa tiba-tiba membunuh orang?”

“Kita berdua sama!”

“Samurai-samurai Jepang sudah lama mendatangkan musibah di Tionggoan, kalau tidak bertemu tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi begitu bertemu harus dibunuh, bertemu satu harus membunuh satu, bertemu dua membunuh sepasang!”

“Maksud Pinceng juga begitu, maka Pinceng membunuhnya agar Suci bisa menghemat tenaga!” kata La-cai seperti serius.

“Baik! Harus dibunuh. Suheng berasal dari perkumpulan mana...”

“Pinceng selalu berkelana, sudah lupa berada di perkumpulan mana, Pinceng masih ada perlu, tidak bisa berlama-lama, mohon pamit!”

“Pinni tidak mengantar!” nikoh berkata dengan malas.

Sambil membaca bacaan Budha, La-cai pergi dengan cepat.

Nikoh tidak menghadang. Baru Lu Tan datang, lalu memberi hormat:

“Bu-tong Lu Tan, berterima kasih atas budi Lo-cianpwee!” “Tidak perlu sungkan!”

Siau Cu memberanikan diri bertanya:

“Lo-cianpwee adalah...” “Heng-san Coat!”

“Coat-suthay!” Siau Cu dan Lu Tan berteriak.

Di Heng-san ada Coat, dan ada Ku. Nama Coat-suthay selalu berada di atas Ku-suthay, karena perbuatan Coat-suthay sangat bengis dan tidak peduli apa yang dikatakan orang, dia juga tidak menyesal.

Fu Hiong-kun dan Su Ceng-cau mendekat. Pedang Coat-suthay yang dilemparkan tadi sudah dicabut oleh Fu Hiong-kun. Dengan dua tangan dia mengantar pedang ke depan Coat-suthay.

Pada pedang tidak terlihat bekas darah. Membunuh orang dengan pedang tanpa terlihat bekas darah di pedang, itu adalah keistimewaan pedang pusakanya.

“Pedang yang bagus!” kata Lu Tan.

Coat-suthay menerima kembali pedangnya:

“Pedang bagus bila jatuh ke tangan orang yang tidak punya ilmu silat yang baik, tetap saja tidak berguna. Hanya di tangan seorang pesilat tangguh baru bisa mengeluarkan kewibawaannya!”

Belum lagi Lu Tan menjawab, Siau Cu sudah berkata:

“Melihat Lo-cianpwee membunuh tiga samurai tadi benar-benar puas!”

“Tidak juga!” Coat-suthay merasa masih ada kekurangan.

Lu Tan mengerti. Samurai terakhir tidak mati oleh pedangnya, dia berkata:

“Munculnya hweesio tua itu pantas dicurigai!” “Betul! Kalau aku tidak salah lihat, hweesio tua itupun bukan orang Tionggoan. Mungkin dia sekelompok dengan samurai itu. Dia membunuh samurai itu untuk menutup mulutnya!”

“Sepertinya ilmu silatnya sangat tinggi!”

“Bisa membuat samurai itu mati dalam sekali pukul, paling sedikit tenaganya sangat besar!”

“Mengapa Lo-cianpwee tidak menahannya?” tanya Siau Cu. Hanya dia orang yang tidak peduli pada semua hal. Orang yang bebas baru berani berkata seperti itu kepada Coat-suthay.

Tanpa ragu lagi, Coat-suthay juga adalah orang yang lepas. Dia menjawab:

“Karena hweesio tua itu penuh dengan aura membunuh. Dia bukan orang sederhana. Pedang tidak ada di tanganku saat itu. Untuk menang darinya dengan tangan kosong belum tentu bisa ku lakukan, maka terpaksa membiarkan dia pergi. Kelak bila bertemu lagi, tidak semudah itu!”

“Tapi nanti Boanpwee belum tentu bisa melihat dengan mata kepala sendiri!”

“Ilmu silatmu lumayan bagus!”

“Hanya begitu saja. Bila dibandingkan dengan Lo-cianpwee masih terlalu jauh!”

Siau Cu bisa berkata sungkan juga.

Pertemuannya dengan Wan-tianglo dan Wan Fei-yang di Sian- tho-kok berpengaruh besar terhadap Siau Cu. Dia mulai mengerti, di atas orang kuat masih ada orang yang lebih kuat. Dirinya masih bukan siapa-siapa.

Begitu mendengar kata-kata Siau Cu, Coat-suthay bertambah suka pada Siau Cu. Dia mengangguk:

“Kalau kau mau rajin, kau juga bisa mempunyai ilmu silat yang bagus!”

Su Ceng-cau meihat samurai yang mati, dia berteriak: “Untung aku tidak ikut Suhu, kalau tidak mana mungkin bisa mendapatkan kejadian seramai dan menarik seperti ini?”

“Siapa gurumu?” tanya Coat-suthay. “Hoa-san Siau Sam Kongcu!”

“Tingkatan dia masih di bawahku!” kata Coat-suthay sambil tertawa. Dia bertanya lagi kepada Siau Cu, “mengapa samurai itu menyerang kalian?”

“Aku tidak jelas!” Siau Cu melihat Su Ceng- cau.

Sebenarnya Su Ceng-cau pernah menceritakan tentang It-to- cian. Apakah samurai itu ada hubungan dengan It-to-cian, Siau Cu belum yakin.

Su Ceng-cau juga terdiam. Dia tidak menyukai sikap Coat- suthay. Jika sifat buruknya keluar, sekalipun diancam dengan golok di lehernya, Su Ceng-cau tetap tidak akan bicara.

Siau Cu sangat mengerti sifatnya, maka tidak banyak bertanya.

Coat-suthay juga tidak peduli. Dia hanya berkata:

“Mungkin samurai-samurai ini mempunyai hati ingin berkuasa di Tionggoan dan bermusuhan dengan orang-orang Tionggoan!”

Di sepanjang jalan tidak lagi muncul samurai, mungkin karena ada Coat-suthay. Sepanjang jalan jadi sangat aman.

Su Ceng-cau malah tidak suka. Yang membuat dia tidak suka, Siau Sam Kongcu sudah sampai lebih awal. Melihat kedatangannya, Siau Sam Kongcu tidak menunjukkan reaksi apa-apa.

Kelihatannya Siau Sam Kongcu juga baru sampai, dia duduk di ruangan tamu. Teh yang disuguhkan di atas meja masih mengeluarkan uap panas. Melihat Coat-suthay, dia segera berdiri dan memberi hormat.

Melihat sikap Siau Sam Kongcu begitu hormat kepadanya, wajah Coat-suthay berseri-seri:

“Siau Sam, kau harus berterima kasih padaku. Aku mengawal muridmu ini di sepanjang jalan!” “Merepotkan Lo-cianpwee!” Siau Sam Kongcu tetap penuh hormat.

“Guru!” Su Ceng-cau terpaksa menyapa. Siau Sam Kongcu melihat, tidak menyapa.

Su Ceng-cau merasa tidak enak, dia lebih memilih Siau Sam Kongcu memarahinya.

Coat-suthay bertanya kepada Lamkiong Po:

“Di mana Tai-kun?”

“Di belakang kebun melihat bunga dengan An-lek-hou dan Tiong Toa-sianseng. Tapi Boanpwee sudah menyuruh orang ke sana untuk memberi tahu!”

“Baik!” Coat-suthay tertawa dingin. Waktu itu dia seperti teringat sesuatu.

Di kebun belakang, yang menemani An-lek- hou dan Tiong Toa- sianseng selain Lo-taikun juga ada lima menantu leluarga Lamkiong dan Lamkiong Beng-cu. Mereka bukan sedang melihat bunga, me- lainkan sedang menceritakan masa lalu Pek-hoa- couw.

“Dulu kita yang menjadi Siaupwee begitu angkat bicara tentang Pek-hoa-couw, bertukar pikiran tentang pedang, semua sangat menghormati!” kata Tiong Toa-sianseng:

“Semua orang berpendapat bahwa bisa turut serta dalam rapat Pek-hoa-couw adalah hal yang membanggakan!”

“Anak muda sekarang yang masih ingat dengan rapat Pek-hoa- couw tidak banyak!” Lo-taikun merasa terharu.

“Itu karena ada hubungannya dengan Tokko Bu-ti!' “Keluarga Lamkiong semakin menurun, satu generasi lebih lemah dari generasi sebelumnya!” Lo-taikun menarik nafas, “pada rapat Pek- hoa-couw yang pertama kali, yang paling menonjol adalah keluarga Lamkiong. Sesudah itu, tidak ada lagi pesilat pedang yang menonjol.”

“Selain ilmu pedang, banyak ilmu keluarga Lamkiong yang berada di atas masing-masing perkumpulan.” kata Su Yan-hong. “Itu hanya sedikit, jangan dibicarakan!”

“Lo-taikun terlalu merendahkan diri!” Su Yan-hong sangat serius, “teman-teman dunia persilatan begitu membicarakan keluarga Lamkiong, tidak ada orang yang menganggap remeh. Aku merasa beruntung bisa ikut dalam rapat Pek-hoa-couw kali ini. Benar-benar hidup ini tidak sia-sia!”

“Hou-ya benar-benar pintar bicara!” kata Lo-taikun tertawa. “Yang kusayangkan adalah Wan Fei-yang dari Bu-tong-san.

Waktu ilmu silatnya berada di puncak, dia malah mundur dari dunia

persilatan dan tidak mengikuti rapat Pek-hoa-couw kali ini!” kata Su Yan-hong.

Tiong Toa-sianseng mengangguk:

“Anak muda ini mengalahkan Tokko Bu-h, juga mengalahkan Put-lo-sin-sian. Boleh dikatakan dialah seorang yang sangat berbakat dalam bidang ilmu silat. Jika dia ikut rapat kali ini, pasti akan bertambah ramai!”

“Dia mundur dari dunia persilatan, benar-benar merugikan dunia persilatan!”

Lo-taikun tertawa:

“Banyak orang berbakat di dunia persilatan. Kata pepatah, gelombang Tiang-kang selalu mendorong ke depan. Seperti Hou-ya, keberhasilanmu sudah berada di atas Wan Fei-yang!”

“Lo-taikun bicara terlalu melebihkan.” “Yang tidak lebih tidak perlu dikatakan lagi.” “Rapat Pek-hoa-couw belum di mulai.”

“Memang belum mulai, tapi menang kalah sudah sangat jelas!” “Oh?” kata Su Yan-hong.

“Pemenang yang muncul pasti Tiong Toa-sianseng atau Coat- suthay!” kata Lo-taikun yakin.

“Lo-taikun, masih ada Hoa-san Siau Sam Kongcu, Bu-tong-pai Lu Tan...” Lo-taikun mencegat:

“Umur Lu Tan masih terlalu muda dan tidak berpengalaman. Ilmu silatnya seperti apa, semua orang sudah tahu. Walaupun sudah lama tidak bertemu, kecuali ada mujizat, jika tidak kita jangan menaruh harapan terlalu tinggi!” Kemudian Lo-taikun melanjutkan, “tentang Hoa-san Siau Sam Kongcu, Toan-cang-kiam memang bagus. Tapi tetap masih kurang. Bila bertemu Tiong Toa- siansengn dan Coat-suthay yang berpengalaman, dia tidak akan bisa mengambil keuntungan!”

“Lo-taikun memang benar!”

“Kau berkata seperti itu, memutar-mutar untuk memuji Suhu. Apakah kau tidak takut Lo-taikun menertawakanmu?” Tiong Toa- sianseng meng-gelengkan kepala.

Hal ini membuat Lo-taikun dan yang lain tertawa. Kiang Hong- sim segera berkata:

“Sebenarnya Siau Sam Kongcu sudah mewarisi ilmu silat Hoa- san-pai dengan lengkap, tapi karena terlalu banyak pikiran, dia terlibat oleh cinta, itu sangat disayangkan. Adik Bok-lan, apakah betul kata-kataku?”

Tiong Bok-lan terpaku. Dia menjawab dengan kata-kata yang tidak menyambung maksud Kiang Hong-sim:

“Terhadap ilmu pedang aku hanya mengerti sedikit, apalagi perubahan pedang aku lebih-lebih tidak tahu lagi.”

“Kata-kataku tidak ada hubungannya dengan pedang! Adik Bok- lan tidak berkonsentrasi mendengar!” kata Kiang Hong-sim.

Wajah Tiong Bok-lan berubah. Mata Kiang Hong-sim masih terus berputar, terlihat dia masih ingin mendesak agar Tiong Bok- lan mengeluarkan kejelekannya.

Tiong Toa-sianseng melihat hal ini, baru saja mau membela putrinya, pelayan sudah datang mela por bahwa Siau Sam Kongcu dan yang lain sudah sampai.

Lo-taikun segera menyambut. Tiong Toa-sianseng dan Su Yan-hong juga ikut keluar. Tiong Bok-lan dengan sangat alami mendekat pada Tiong Toa-sianseng. Kata Su Yan-hong:

“Melihat sikap guru, dia pasti ingin menyampaikan sesuatu kepada putrinya!” Maka dia mempercepat langkahnya.

“Bok-lan! Hubungan antara kau dan Siau Sam dulu, apakah keluarga Lamkiong sudah tahu?”

“Sebelum menikah dan masuk ke keluarga Lamkiong, hubungan kami sudah putus!”

“Kalau begitu, itu paling bagus. Aku percaya kau juga melihat sikap Kiang Hong-sim tadi. Jika kau berbuat kesalahan, seumur hidup namamu akan rusak!”

“Ayah! Percayalah kepada putrimu!”

“Kata-katamu membuat ayah lebih tenang!”

Tiong Bok-lan menundukkan kepala. Matanya berkaca-kaca, maksudnya meminta Tiong Toa-sianseng mempercayai dirinya, tapi dia sendiri juga tidak percaya kepada diri sendiri.

Lo-taikun berjalan paling depan. Diam-diam dia berpesan kepada Cia Soh-ciu:

“Kau segera ke Ciu-ci-tong. Dengan merpati kirim surat beritahu Ling-ong bahwa Tiang-lek Kuncu berada di keluarga Lamkiong, dan minta petunjuk apa yang harus kita lakukan.”

Cia Soh-ciu segera mundur ke pinggir.

Tidak disangka, keluarga Lamkiong diam-diam berhubungan dengan Ling-ong. Yang pasti itu adalah suatu hubungan rahasia, di dalamnya pasti ada hal-hal yang penting.

Melihat Lo-taikun, Siau Sam Kongcu, Fu Hiong-kun dan lain-lain selalu sungkan. Hanya Coat-suthay yang melihat Lo-taikun dengan dingin lalu tertawa:

“Apakah Lo-taikun masih ingat dengan orang lama?” “Ilmu pedang Heng-san-pai sangat bagus dan orang berbakat terus muncul dari sana. Rapat Pek-hoa-couw tidak bisa kekurangan mereka!” kata Lo-taikun tertawa.

“Aku sudah tua, seharusnya tidak pantas bertarung, Tapi Lo- taikun yang mengundang, mana mungkin aku menolak, hanya saja apakah ada kesempatan mengundang Lo-taikun untuk memberi sedikit ilmu?”

Lo-taikun tertawa:

“Rapat Pek-hoa-couw datang dari keluarga Lamkiong. Kali ini keluarga Lamkiong hanya mengikuti peraturan dulu menjadi tuan rumah. Tentang pedang, nenek tua ini sudah lama menaruhnya maka aku tidak bisa bersaing dengan kalian!”

“Bila Lo-taikun tidak maju, apakah ada orang lain yang mewakili keluarga Lamkiong?”

Wajah Lamkiong Po berubah, maju selangkah:

“Memang Boanpwee tidak berbakat, tapi demi keluarga Lamkiong aku pasti akan berusaha sekuat tenaga!”

“Baik!” Coat-suthay mengangguk, lalu berkata kepada Lo-taikun, “betulkah Lo-taikun tidak mau memberi petunjuk? Aku benar- benar merasa kecewa!”

Lo-taikun tertawa:

“Kalau begitu maksud Suthay, orang-orang seperti Tiong Toa- sianseng dan Siau Sam Kongcu tidak pantas bersaing dengan Suthay?”

Coat-suthay terpaku. Tapi dia segera berkata:

“Apakah Lo-taikun sudah melupakan masalah 30 tahun yang lalu?”

Lo-taikun terdiam. Kata Coat-suthay kemudian:

“Waktu kau dan aku bertarung di Tong-teng-ouw, aku kalah oleh pedangmu karena ilmuku tidak bagus. Waktu itu pedangku terlepas dari tangan dan terjatuh ke dalam danau. Sampai sekarang aku merasa kejadian itu seperti baru terjadi kemarin!” “Karena waktu itu Suthay sengaja mengalah. Bukankah Suthay sudah mendapatkan Ceng-hong-kiam dari Heng-san-pai?”

“Apa yang dikatakan Lo-taikun waktu itu? Kau menyuruhku pulang dan menikah kemudian mempunyai anak dan jangan masuk ke dunia persilatan untuk menjadi bahan tertawaan orang lain!”

“Itu!” Lo-taikun menarik nafas. Coat-suthay berkata lagi:

“Jurusmu yang bernama 'Po-in-kian-jit' (Menyingkap awan melihat matahari) itu benar-benar lihai. Aku berpikir selama 57 hari lamanya baru mendapatkan cara untuk memecahkan jurus ini. Apakah Lo-taikun tertarik untuk mencobanya?”

Lo-taikun menggelengkan kepala:

“Dulu aku masih muda, bisa berkata seperti itu. Tidak disangka 30 tahun kemudian Suthay masih terus mengingatnya!”

“Jurus Giok-lie-kiam ke-44 dari Heng-san-pai itu bagaimana?” “Giok-lie-kiam-hoat di dunia persilatan sudah punah. Kali ini

yang   menjadi   angkatan   muda   bisa   melihatnya,   benar-benar

kesempatan yang bagus!”

“Untuk apa kau bicara kanan kiri, akhirnya kau menganggap remeh aku yang pernah kalah denganmu dan tidak mau bertarung untuk kedua kali?”

“Suthay berkata terlalu berat!”

“Orang-orang tua di dunia persilatan pasti tahu dulu Lo-taikun adalah orang yang sangat kejam dan sangat sombong.”

“Maka 30 tahun ini aku jarang keluar. Di rumah aku membaca kitab Budha juga sembahyang kepada Budha. Kau adalah orang Budha, seharusnya lebih mengerti!”

“Tujuanku menjadi nikoh adalah untuk membersihkan kesalahan dan kejahatan di dunia reinkarnasi sebelumku. Kau tidak ingin masuk ke dunia persilatan lagi, apakah sudah membuat kesalahan yang fatal?” “Suthay!” Lo-taikun mulai marah.

“Orang-orang keluarga Lamkiong sekarang sangat sedikit.

Apakah ada hubungannya denganmu?” tanya Coat-suthay.

“Supek-bo!” Fu Hiong-kun merasa Coat-suthay sudah bicara keterlaluan.

“Kita semua sulit bisa berkumpul. Aku mengusulkan lebih baik kita ke belakang gunung melihat pemandangan Kang-lam yang indah!” kata Tiong Toa-sianseng.

“Aku sudah cukup melihat pemandangan di sepanjang jalan. Aku jauh-jauh datang kemari mengira keluarga Lamkiong sudah beres mengatur tempat untuk tamu-tamu!” kata Coat-suthay dingin.

“Memang kamar sudah siap. Bok-lan, bawa jalan untuk Suthay!” kata Lo-taikun.

Tiong Bok-lan sedang menghindari sorotan mata Siau Sam Kongcu. Begitu mendengar pesan Lo-taikun, itu yang benar-benar dia harapkan.

Dari awal sampai akhir Tiong Bok-lan tidak pernah melihat Siau Sam Kongcu. Setelah dia pergi, Siau Sam Kongcu menarik nafas dan melihat Su Ceng-cau. Tapi Su Ceng-cau terus melihat Su Yan-hong. Begitu merasa Siau Sam Kongcu melihatnya, wajahnya segera jadi merah.

“Suhu!” Dia segera tertawa, “kalau Suhu mau marah kepadaku pasti sudah mengeluarkan kata-kata. Sampai sekarang guru belum marah, berarti belum memaafkan!”

“Kau benar-benar terlalu menuruti keinginan sendiri, kalau sikapmu tidak berubah, pada suatu hari kau pasti akan tertimpa bencana..

“Di sini ada bencana tidak apa-apa karena ada guru, ada kakak sepupu, masih ada guru sepupu... begitu banyak pesilat tangguh di sini. Mereka tidak akan membiarkan aku celaka!”

“Apakah kau sengaja mau membuat musibah di sini?” “Tentu saja tidak!” Tapi melihat sikapnya, benar-benar membuat orang tidak yakin apa yang dia katakan.

Pada waktu itu Lo-taikun berkata:

“Kalian datang dari tempat jauh, seharusnya beristirahat dulu!”

Tidak ada yang menolak karena kata-kata Coat-suthay tadi membuat semua orang menjadi canggung.

Ada Tiong Bok-lan, Coat-suthay tidak berkata apa-apa lagi. Yang pasti karena dia adalah putri Tiong Toa-sianseng, tapi setelah Tiong Bok-lan pergi, dia baru mengeluarkan unek-uneknya.

“Mengapa dia bisa berubah seperti itu?”

“Maksud Supek-bo, Lo-taikun?” tanya Fu Hiong-kun.

“30 tahun yang lalu, perempuan ini sangat sombong, bukan seperti sekarang ini!”

“30 tahun itu waktu yang lama!”

“Kata pepatah, gunung dan sungai bisa di geser tapi sifat manusia sulit dirubah. Dia tidak akan bisa berubah begitu cepat. Tadi aku sengaja terus berkata menyakitinya, tapi dia bisa menanggapinya dengan biasa-biasa!”

“Lo-taikun yang sekarang adalah penanggung jawab keluarga Lamkiong. Dia harus merubah sikapnya yang jelek itu!”

Coat-suthay berpikir dan berkata:

“Tapi sifatku sampai sekarang masih seperti dulu. Apakah aku benar-benar tidak bisa bersaing dengan perempuan ini?”

Fu Ffiong-kun tidak bisa berkata apa-apa. Dia bukan takut kepada Coat-suthay, melainkan dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara Coat-suthay dan Lo-taikun. Dia juga tidak tahu seperti apa sifat mereka.

Setelah Lo-taikun kembali ke kamar, dia tetap tidak marah, duduk di pinggir ranjang. Dia melihat Tong Goat-go, Kiang Hong- sim, lalu Cia Soh-ciu. Di dalam kamar hanya ada empat orang. Yang duduk dengan tidak tenang dan tidak konsentrasi adalah Cia Soh-ciu.

“Ada apa?” Lo-taikun bertanya.

“Beng-cu bersama Siau Cu lagi!” kata Cia Soh-ciu.

“Siau Cu benar-benar pintar!” Kiang Hong-sim tertawa dingin. “Mengapa dia datang kemari? Apakah untuk mencari tahu

penyebab kematian gurunya?” Tong Goat-go khawatir.

“Bukan. Aku sudah bertanya dengan jelas, dia datang dengan Lu Tan dari Bu-tong-pai!” Cia Soh-ciu lebih teliti.

“Bagaimana dengan Beng-cu dan Siau Cu?” tanya Lo-taikun. “Menurutku, kita segera cegah hubungan mereka!”

“Beng-cu masih muda, kita jangan bicara terlalu berat!” kata Lo- taikun.

Cia Soh-ciu mengangguk. Kiang Hong-sim menyela:

“Siau Cu masih tidak menjadi masalah, Coat-suthay yang lihai.” “Dia keterlaluan!” kata Tong Goat-go.

“Aku adalah tuan rumah, dia adalah tamu. Di depan banyak orang harus membiarkan dia. Kita tunggu kesempatan sampai matang waktunya nanti. Hei, hei!” kata Lo-taikun.

Dia tidak berkata apa-apa. Cia Soh-ciu dan lain-lain juga tidak bertanya kapan baru matang waktunya. Mereka seperti sudah tahu! Masih ada tujuh hari menjelang rapat Pek-hoa-couw, tapi demi menghargai rapat ini dan juga untuk mengambil waktu mengenal lingkungan, maka setiap anggota yang mengikuti rapat Pek-hoa- couw datang lebih awal. Mereka bukan ingin mendapat nama, tapi karena mewakili masing-masing perkumpulan maka mereka harus berusaha dengan sekuat tenaga.

Karena itu, begitu ada waktu mereka selalu bersemedi. Mereka berharap tubuh dan pikiran mereka bisa berada dalam kondisi yang paling baik.

Terkecuali Coat-suthay, yang dilakukannya hanya mengamati lingkungan keluarga Lamkiong. Dari awal ketika tiba di keluarga Lamkiong, dia sudah mengawasi Lo-taikun.

Hal ini sungguh di luar dugaan Lo-taikun tapi dia tidak peduli. Dengan ilmu Coat-suthay, benar-benar sulit mengetahui dia sedang mengejar.

Yang melayani Lo-taikun hanya Cia Soh-ciu.

Lingkungan keluarga Lamkiong sangat luas, hanya dengan melihat bentuk bangunannya, tidak sulit membayangkan keluarga Lamkiong ketika berjaya. Sekarang di keluarga Lamkiong masih terdapat banyak tempat kosong.

See Ynn Tjin Djin 598 Setelah sampai di belakang gunung, keadaan bertambah sepi. Lo-taikun dan Cia Soh-ciu segera berpisah, yang satu ke kiri dan satunya lagi ke kanan.

Tentu saja Coat-suthay mengikuti Lo-taikun. Di matanya, Cia Soh-ciu tidak berharga untuk diikuti.

Tapi kenyataannya bukan seperti itu.

Sebenarnya tempat yang dituju Cia Soh-ciu adalah tempat yang paling misterius di keluarga Lamkiong. Tapi dia bukan mencari orang tua untuk menanyakan sesuatu.

Dia mendorong sebuah rak kayu di ruangan sebelah kanan, di sana ada sebuah pintu jalan rahasia yang menuju ke penjara bawah tanah.

Jalan rahasianya tidak panjang tapi penjara bawah tanah sangat luas. Di sekelilingnya tergantung tirai yang berhiaskan mutiara. Masuk ke dalam, kalau tidak hati-hati akan tersesat. Di tengah-tengah penjara bawah tanah terdapat empat peti mati, masing-masing menghadap ke empat arah yang berbeda. Cia Soh- ciu mendorong masing-masing tutup peti. Setelah melihat dengan teliti, baru dengan hati-hati menutup kembali petinya.

Kemudian dia masuk lagi melewati tirai berhiaskan mutiara. Di sana ada satu peti mati yang lain. Dari luar peti ini terlihat tidak ada bedanya dengan empat peti tadi, tapi waktu Cia Soh-ciu menggeser tutup peti ini, dia lebih berhati-hati.

Melihat ke dalam juga dengan lebih teliti.

Di dalam peti mati terbaring seorang gadis berbaju merah muda. Dia sangat cantik, sampai kulitnya juga berwarna merah muda. Dilihat dari sudut manapun gadis ini tidak mirip orang mati, tapi dia memejamkan mata berbaring di dalam peti mati.

Kalau Fu Hiong-kun atau Wan Fei-yang yang melihat gadis ini, mereka pasti akan terkejut. Dia adalah adik atau kakak angkat Fu Hiong-kun, dan adik perempuan Wan Fei-yang dari ayah yang sama tapi ibu yang berbeda.

Dia bukan orang lain, dia adalah Tokko Hong. Waktu itu Fu Giok- su ingin menangkap dia hidup-hidup dan mengancam Wan Fei- yang untuk membocorkan rumus ilmu ulat sutra, tapi dia memilih mati dengan meloncat ke jurang yang dalamnya ratusan tombak.

Fu Giok-su mengira dia sudah mati, tapi sebenarnya dia masih hidup dan tinggal di keluarga Lamkiong.

Dari tutup peti dibuka sampai ditutup kembali Tokko Hong tidak menunjukkan reaksi apapun, tapi Cia Soh-ciu malah terlihat puas.

Apakah yang terjadi? Hanya orang keluarga Lamkiong yang baru mengerti.

Di keluarga Lamkiong, tempat ini disebut Siau-hun-lo (Penjara mencairkan jiwa).

Lo-taikun melalui jalan yang semakin sepi tapi tidak misterius, setelah berputar di sebuah dataran tinggi, dia sampai di depan sebuah kolam. Di atas kolam ada jembatan yang berliku-liku. Lo-taikun berjalan ke jembatan di atas kolam, setelah berbelok empat kali, dia berhenti dan pelan-pelan membalikkan tubuh:

“Siapa itu?”

“Aku!” Coat-suthay tidak bisa bersembunyi lagi, dia keluar dari belakang sebuah pohon.

“Suthay terus mengikuti aku kemari, ada urus an apa?” “Caraku membuntutimu memang kurang terang-terangan, tapi

kalau tidak dengan cara ini mana mungkin bisa mendapatkan

kesempatan yang begitu cocok untuk bertarung beberapa jurus.” “Kau tetap bermaksud bertarung?”

“Kekalahan dulu masih terasa sampai sekarang, itu harus ada penjelasan. Kalau tidak, mati juga tidak akan bisa menutup mata!” Coat-suthay ikut terbang ke atas jembatan, “deharusnya kau mengerti sifatku!”

Lo-taikun menarik nafas.

“Kau berubah menjadi seperti ini, benar-benar di luar dugaanku. Tapi apapun yang terjadi, pertarungan antara aku dan kau tidak akan bisa dihindari!”

“Aku tidak akan bertarung denganmu!”

“Kau tidak bisa memilih.” Coat-suthay sudah mulai menyerang dengan telapaknya.

Lo-taikun menghindar, di atas udara, Coat-suthay sudah merubah jurusnya tujuh kali. Dia terus menyerang, Lo-taikun tetap menghindar, kemudian dia meloncat keluar sejauh 3 depa lebih.

Coat-suthay terus mengejar. Pedang sudah dikeluarkan. Seperti terbang di dalam kegelapan.

Lo-taikun harus tiga kali merobah gerakan, baru bisa menghindar, Coat-suthay berteriak:

“Gunakan jurus Po-in-kian-jit yang kau pakai dulu untuk mengalahkan aku.” Memang dia sudah mendapatkan cara mencairkan jurus ini. Demi bisa lebih yakin terhadap cara mencairkan jurus yang dia temukan, dia harus menyuruh lawan menggemakan jurus ini. Kalau tidak, dia tidak merasa puas.

Lo-taikun tetap menghindar. Walaupun sedikit memalukan, tapi dia tetap menghindar. Hal ini membuat Coat-suthay bertambah marah. Pedangnya terus mengejar untuk menutup ruang mundurnya.

Akhirnya Lo-taikun membalas serangan juga. Tongkat kepala naga yang tadinya hanya untuk mem bela diri, diubah Lo-taikun untuk memecahkan jurus Coat-suthay, lalu dia meloncat ke genteng rumah.

Coat-suthay terpaku, waktu dia mau bertanya, Lo-taikun menggelengkan kepala:

“Giok-lie-kiam-hoat Suthay sudah dilatih sede mikian rupa.

Malam ini aku terima kekalahan dari dalam hati!” “Apa maksudmu?”

“Kali ini Suthay pasti akan bisa mengalahkan semua pendekar- pendekar di sini!”

“Apa maksudmu?”

“Hari sudah malam, aku harus pergi!” Lo-taikun sudah berlari pergi dari atas genteng.

“Berhenti! Kau sama sekali belum kalah..

Tapi Lo-taikun sudah pergi jauh. Coat-suthay tidak mengejarnya juga tidak berteriak, otaknya penuh dengan perasaan aneh, dan dia tenggelam dalam pikirannya.

Pertarungan antara Coat-suthay dan Lo-taikun tampaknya tidak diketahui oleh siapa pun. Hari kedua di keluarga Lamkiong tetap begitu tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Maka pada hari kedua waktu Fu Hiong-kun disuruh Coat-suthay untuk mengundang Lamkiong Po, Lamkiong Po merasa tidak terkejut dan tidak ada reaksi apapun. Dia tidak bertanya kepada Fu Hiong-kun. Fu Hiong-kun juga tidak tahu mengapa Coat-suthay mencari Lamkiong Po, Coat-suthay sendiri yang ingin berbicara dengan Lamkiong Po.

Dengan sikap Coat-suthay seperti itu, orang-orang Lamkiong Po pasti tidak suka kepadanya. Lamkiong Po juga mempunyai perasaan seperti itu, tapi dia tidak menolak ketika dipanggil.

Sampai di depan pintu kamar Coat-suthay, dia mengetuk pintu, dengan hormat berkata:

“Boanpwee Lamkiong Po mohon bertemu dengan Suthay!” “Masuk!” Suthay menjawab dari dalam.

Lamkiong Po mendorong pintu dan masuk, tapi Coat-suthay tidak terlihat berada di dalam. Saat dia merasa heran, Coat-suthay tiba-tiba berkelebat keluar dari balik pintu. Dengan dua telapaknya Coat-suthay menyerang nadi penting Lamkiong Po. Lamkiong Po bereaksi sangat lincah. Walaupun tergesa-gesa dia bisa menyambut serangan Coat-suthay.

Melihat Coat-suthay seperti itu, dia merasa aneh. Namun dia tidak sempat bertanya. Coat-suthay mulai melancarkan serangan telapak yang bertubi-tubi, sehingga sama sekali tidak ada waktu untuk ber bicara dengannya. Terpaksa Lamkiong Po harus menghadapinya dengan segala cara.

Setelah Coat-suthay menyerang sebanyak 18 jurus, dia mengeluarkan jurus terakhirnya yang mem buat Lamkiong Po mundur 10 langkah dan terduduk di sebuah kursi.

Kaki dan tangan Lamkiong Po tidak bisa bergerak lagi. Dia memanggil:

“Suthay, ada apa?”

Sebelum dia berbicara, Coat-suthay sudah mundur dan membalikkan tangan menutup pintu. Dia duduk berhadapan dengan Lamkiong Po.

“Kau tidak perlu takut atau terkejut. Aku tidak mempunyai niat jahat! Aku hanya ingin melihat langkah-langkah gerakan kaki keluarga Lamkiong. Dengan ilmu silatmu, kau sudah termasuk pesilat tangguh!”

“Oh, tidak, tidak! Boanpwee hanya ingin tahu mengapa Suthay ingin melihat gerakan tubuh dan langkah ilmu silat keluarga Lamkiong. Apa tujuan Suthay?”

Coat-suthay tidak menjawab. Dia malah bertanya: “Siapa yang mengajarimu ilmu silat?” “Almarhum ayahku!”

“Siapa lagi?”

“Di keluarga Lamkiong ada peraturan, mulai dari usia 6 tahun laki-laki harus belajar ilmu silat dari nenek moyang. Pada usia 10 tahun harus belajar ilmu pedang, kebanyakan belajar sendiri!”

“Kalau tidak mengerti, apakah boleh bertanya kepada yang lebih tua?”

“Boleh!” Lamkiong Po menjawab dengan sungguh-sungguh dan tidak seperti sedang berbohong.

“Siapa yang kau tanyai?”

“Pertama, bertanya kepada almarhum ayah. Jika tidak ada ayah, aku bertanya kepada kakak ipar yang paling tua!”

“Tidak pernah bertanya kepada Tai-kun?”

“Bertanya kepada kakak ipar tertua adalah ide Tai-kun!” “Apakah Lo-taikun pernah mengajarkan ilmu silat kepadamu?” “Tidak pernah! Dia juga tidak pernah  bertanya  ilmu  silatku

sudah sampai tahap mana.”

“Oh?” Coat-suthay diam. Akhirnya Lamkiong Po bertanya:

“Apakah Suthay menemukan sesuatu?”

“Mengapa kau bertanya seperti itu?” Coat-suthay malah balik bertanya. Lamkiong Po terpaku, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkan. Coat-suthay tertawa:

“Kau tidak perlu menjawab. Sekarang aku pun tidak bisa memberitahukan apa-apa kepadamu. Bila sampai waktunya, aku pasti akan memberitahu kepadamu!”

“Terima kasih Suthay!” Lamkiong Po memberi hormat.

“Aku tidak salah mencari orang!” Coat-suthay melihat Lamkiong Po dan bertanya:

“Ke mana Hiong-kun pergi?”

“Sewaktu dia meninggalkan tempatku tadi, dia bertemu dengan An-lek-hou!”

“Baik!” Coat-suthay menarik nafas. Nikoh tua ini memang bersifat tergesa-gesa, tapi kadang-kadang dia teliti juga, dia seperti tahu tentang semua hal.

Fu Hiong-kun mengatakan pada Su Yan-hong bahwa Coat- suthay mencari Lamkiong Po, karena dia merasa Su Yan-hong adalah orang yang bisa dipercaya.

Su Yan-hong tidak bertanya mengapa Coat-suthay mencari Lamkiong Po. Dia hanya berkata:

“Coat-suthay sudah cukup berumur, seharusnya bisa menguasai diri!”

“Aku curiga Coat-suthay bersikap seperti itu karena punya tujuan tertentu terhadap Lo-taikun!” kata Fu Hiong-kun.

“Lamkiong Po orangnya jujur dan rendah hati. Suthay tidak salah mencari orang!”

“Apakah kau tahu apa yang terjadi?”

“Aku tidak tahu, tapi aku percaya itu bukan masalah pribadi!” kata Su Yan-hong.

“Tampaknya kau sudah lama mengenal bibi guru!”

“Aku percaya seseorang yang percaya kepada Budha tidak akan sembarangan melakukan sesuatu, seperti guruku!” “Di mana Tiong-sianseng berada?”

“Sedang berlatih pedang di belakang gunung! Kelihatannya dia sangat serius dengan rapat Pek-hoa-couw ini!”

“Dengan ilmu silat Tiong-sianseng, kali ini dia pasti akan menang!”

“Bukankah Giok-lie-kiam-hoat milik Coat-suthay belum pernah terkalahkan?”

“Siapapun yang menang sama saja, aku hanya khawatir akan merusak keakraban!” Fu Hiong-kun sedikit khawatir, “bagaimana dengan Lan-lan?”

“Aku meninggalkan Lan-lan di ibukota. Memang tidak leluasa membawa dia berkelana di dunia persilatan. Kalau ibunya masih ada, aku bisa lebih tenang!”

“Ternyata kalian berada di sini!” tiba-tiba terdengar teriakan memanggil mereka.

Begitu mendengar teriakan ini, Su Yan-hong langsung mengenali suara Su Ceng-cau, dia segera melihat ke arah Su Ceng- cau yang sedang berlari datang.

“Mengapa kau tidak datang mencariku? Kau tahu aku kabur dari Ong-hu karena aku tahu kau pasti datang ke Pek-hoa-couw ini!”

Su Yan-hong dengan sedikit malu berkata:

“Kita semua adalah tamu keluarga Lamkiong, kita tidak boleh sembarangan berjalan kesana kemari!”

Su Ceng-cau menunjuk Fu Hiong-kun:

“Bagaimana dengan dia? Apakah boleh datang menemuimu?” “Kita kebetulan bertemu!”

“Begitu kebetulan?”

Fu Hiong-kun tertawa kecut:

“Supek-bo pasti sudah mencariku. Aku pergi dulu!”

Tadinya Su Yan-hong ingin menahan, tapi Su Ceng-cau malah berkata: “Baik! Untung kau tahu diri!” Dia segera menarik Su Yan-hong ke pondok yang ada di pinggir dan berkata, “apakah kau tahu saat aku kemari, aku hampir saja terbunuh oleh samurai...”

Su Yan-hong terpaksa tertawa kecut.

Fu Hiong-kun sampai di kamar Coat-suthay. Lamkiong Po sudah pergi, hanya tinggal Coat-suthay sendiri terpaku di sana. Melihat Fu Hiong-kun datang, dia segera berkata:

“Apakah kau tahu mengapa aku memanggil Lamkiong Po kemari?”

Fu Hiong-kun menggelengkan kepala.

“Aku ingin membuktikan satu hal melalui diri nya!” “Hal apa?”

“Ilmu silat Lo-taikun! Semalam aku memaksa Lo-taikun bertarung..”

Fu Hiong-kun terpaku, Coat-suthay melanjutkan:

“Dia menolak bertarung denganku. Aku harus memaksa dia baru mau melayani aku beberapa jurus, kulihat ilmu silatnya semalam dan 30 tahun yang lalu berbeda sekali. Jurus-jurus yang dipakainya juga bukan ilmu silat keluarga Lamkiong.”

Fu Hiong-kun merasa aneh, namun dia mempercayai pandangan Coat-suthay.

“Bukti sudah ada. Ilmu silat atau langkah-langkah Lamkiong Po berbeda jauh dengan dia. Apalagi jurus terakhir yang dia gunakan untuk melarikan diri, jurusnya sangat aneh, aku belum pernah melihat nya. Masih ada lagi, sifatnya yang dulu sombong tapi semalam dia mau mengaku kalah dan pergi dengan tergesa-gesa...”

“Supek-bo siap...”

“Sebelum mendapatkan bukti yang nyata, aku tidak akan bertindak!” Sikap Coat-suthay tampak sangat serius. “Jangan kau bicarakan hal ini dengan orang lain. Kau mengerti?”

Fu Hiong-kun mengangguk, hatinya mulai terasa berat. 141-141-141

Ketika menerima surat yang tertulis bahwa Su Ceng-cau berada di keluarga Lamkiong, Ling-ong tidak merasa terkejut. Sebab ini sudah sesuai dengan dugaannya. Dia juga tidak marah malah karena tahu Su Ceng-cau sudah sampai dengan selamat, dia jadi lebih tenang.

“Anak ini!” dia menaruh surat sambil menggelengkan kepala dan tertawa kecut.

“Adik memang pemberani, ayah tidak perlu khawatir dan marah!” kata Cu Kun-cau yang berada di samping Ling-ong.

“Seharusnya dia membicarakannya denganku. Untung kita selalu mempunyai hubungan dengan keluarga Lamkiong, maka kita bisa tahu keberadaan nya sekarang!”

“Apakah kita perlu segera menangkapnya kembali?”

“Dia berada di keluarga Lamkiong dan ada Siau Sam Kongcu di sana melindunginya, seharusnya tidak akan ada masalah.”

“Siau Sam Kongcu?” Cu Kun-cau marah di dalam hati, dia menoleh dan melihat It-to-cian.

It-to-cian terlihat terkejut, dia menduga sebelum Siau Sam Kongcu sampai di keluarga Lamkiong, La-cai sudah bertindak. Dengan ilmu silat La-cai, sudah pasti tidak akan gagal.

Ling-ong tidak memperhatikan ekspresi mereka, dia berkata: “Tiong Toa-sianseng dari Kun-lun-pai dan Su Yan-hong juga

berada di sana, tidak perlu khawatir dia tidak ada teman. Keluarga

Lamkiong begitu cepat memberitahukan kabar ini, tujuan mereka bukan kese lamatan Ceng-cau!”

“Mereka menginginkan barang itu?” Cu Kun-cau baru mengerti. Ling-ong mengangguk:

“Apakah kita berikan pada mereka?”

“Pasti kita berikan, walaupun belum ada ke untungan tapi kita selalu bekerja sama dengan baik. Lebih baik kau pergi ke keluarga Lamkiong untuk melihat-lihat jalannya rapat Pek-hoa-cauw. Hitung-hitung untuk mencari pengalaman, sekalian membawa barang ini pada mereka.”

“Baik!” Cu Kun-cau setuju, memang dia juga ingin melihat apa yang dilakukan La-cai.

Ling-ong segera berpesan kepada Liu Hui-su dan Cia Ceng-hong: “Kalian berdua layani Siau-ongya. Sepanjang jalan harus berhati-

hati, jangan seperti Soat Boan-thian yang mati tanpa sebab!”

Mayat Soat Boan-thian dimasukkan ke dalam peti mati untuk diantar kembali ke Ling-ong-hu. Tentu saja hal itu membuat Ling- ong-hu geger.

La-cai melakukan tindakan seperti itu karena disuruh oleh Cu Kun-cau dan It-to-cian. Tujuannya agar orang lain bisa tahu kelihaiannya.

Liu Hui-su melihat Cia Ceng-hong dan Hoa Pie-li, dia tertawa: “Melakukan perjalanan bersama dengan Siau-ongya, dengan

rejeki Siau-ongya yang besar, pasti tidak akan terjadi apa-apa.”

Mereka adalah orang-orang yang pintar. Ling-ong melihat mereka dan mengangguk, dia berkata kepada It-to-cian dan Hoa Pie-li:

“Kalian berdua tinggal di sini, bertanggung jawab terhadap keselamatan Ling-ong-hu.”

It-to-cian tidak berkata apa-apa. Hoa Pie-li juga demikian. “Kapan berangkat?” tanya Cu Kun-cau.

“Semakin cepat semakin baik. Kalau tidak, mana mungkin bisa datang tepat waktu pada rapat Pek-hoa-couw,” kata Ling-ong, “sekarang kau ikut denganku mengambil barang itu!”

Barang itu disimpan di dalam ruangan rahasia pada sebuah kotak yang terbuat dari kayu wangi.

“Apakah kita memberikan semua kepada mereka?” Cu Kun-cau tidak sengaja bertanya. Ling-ong membuka kotak itu dan mengeluarkan satu botol giok: “Yang ini ditinggal dulu!”

Cu Kun-cau merasa terkejut:

“Kukira ayah akan meninggalkan sebagian barang ini.”

“Barang itu dan barang-barang yang disimpan di botol ini lebih mahal dari botol ini!”

“Melihat jumlah barang yang mereka butuhkan, untuk apa mereka butuh begitu banyak barang ini? Apakah ada orang yang sudah kecanduan?”

“Mungkin!” Ling-ong tertawa, “kalau orang yang kecanduan ini adalah Lo-taikun, itu lebih baik dan mudah!”

Menguasai Lo-taikun berarti sudah menguasai keluarga Lamkiong.

Yang mereka maksudkan dengan barang itu sebenarnya adalah 'madat'. Waktu itu namanya 'Hu-souw-kao' (Panjang umur dan jeli).

Sebelum Cu Kun-cau sampai di keluarga Lam kiong, di sana telah terjadi sesuatu. Tapi itu ada-lah hal yang baik. Tiong Toa-sianseng dan Su Yan-hong telah melihat bahwa Siau Cu menyukai Beng-cu, maka mereka bersama-sama melamar pada keluarga Lamkiong.

Siau Cu sedang lesu karena tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan Beng-cu. Ini dikarenakan Cia Soh-ciu yang melarang Beng- cu bertemu dengannya. Siau Cu tidak tahu gurunya Lam-touw mati di tangan keluarga Lamkiong.

Karena itu Cia Soh-ciu selalu menghalangi Siau Cu berhubungan dengan Beng-cu. Dia memberi penjelasan kepada Beng-cu sehingga Beng-cu mengira yang membuat mereka tidak setuju adalah karena latar belakang Siau Cu.

Siau Cu juga berpikir demikian. Su Yan-hong pun tidak mengetahui ada sebab yang lain. Maka mereka berencana untuk menjadikan Siau Cu sebagai murid Tiong Toa-sianseng, kemudian mengangkat Siau Cu menjadi anak angkatnya. Setelah itu, dengan identitas kakak seperguruan baru melamar Lamkiong Beng-cu.

Cia Soh-ciu yang pertama menolak lamaran itu, satu-satunya sebab yang dia sampaikan adalah bahwa Beng-cu masih kecil. Tanpa diduga, Lo-taikun menyetujui lamaran ini.

Walaupun Cia Soh-ciu adalah ibu kandung Beng-cu, tapi di keluarga Lamkiong semua keputusan ditentukan oleh Lo-taikun. Kalau Lo-taikun sudah setuju, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi sedikit banyak dia bisa menebak Lo-taikun pasti mempunyai tujuan tertentu.

Dia berharap agar Beng-cu tidak digunakan sebagai umpan. Tapi pengaturan Lo-taikun membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Lo-taikun sudah setuju, Siau Cu tidak bisa menutupi rasa senangnya, maka dia sering menjadi bahan tertawaan semua orang.

Semua orang merayakan keberhasilan lamaran ini, kecuali Su Ceng-cau. Dengan kata-kata dingin dia bertanya kepada Su Yan- hong, mengapa tidak ada rencana untuk dirinya? Su Yan-hong mengerti apa maksud Su Ceng-cau, tapi dia pura-pura tidak mengerti. Hal ini membuat Su Ceng-cau marah dan pergi.

Su Yan-hong pura-pura tidak melihat, orang lain juga tidak melihatnya. Hanya Lu Tan yang berdiri di sisi melihatnya.

Orang yang berada di sisi mampu melihat dengan lebih jelas, kata pepatah ini tidak salah. Seka rang Lu Tan sudah melihat Su Ceng-cau sebenarnya menyukai Su Yan-hong, maka dia seperti bingung.

Setelah Su Ceng-cau keluar, dia kembali lagi menemui Siau Sam Kongcu. Dia memohon kepada Siau Sam Kongcu dan Su Yan-hong agar Cu Kun-cau tidak membawanya pulang ke Ling-ong-hu.

Cu Kun-cau, Liu Hui-su dan Cia Ceng-hong sudah sampai. Su Yan-hong dan Siau Sam Kongcu juga mengira dia datang karena diperintahkan oleh Ling-ong untuk mencari Su Ceng-cau. Melihat Su Ceng-cau begitu panik dan berpikir Su Ceng-cau juga sudah terlanjur berada di keluarga Lamkiong, maka mereka sama-sama meminta agar Su Ceng-cau bisa tinggal sampai selesainya rapat Pek- hoa-couw.

Mungkin Siau Sam Kongcu tidak dipandang, tapi Su Yan-hong pasti bisa. Apalagi di sana banyak orang-orang tua dunia persilatan. Di depan mereka, Cu Kun-cau mungkin bisa menyetujui Su Ceng- cau tinggal dulu di keluarga Lamkiong.

Tapi Cu Kun-cau tidak angkat bicara tentang Su Ceng-cau. Hal ini di luar dugaan mereka. Cu Kun-cau datang hanya untuk mewakili Ling-ong-hu meng ikuti rapat Pek-hoa-couw. Itupun di luar dugaan semua orang.

Yang pasti keluarga Lamkiong menyambut baik, mereka mengundang Cu Kun-cau menjadi tamu kehormatan.

Dari luar sebenarnya tidak ada yang salah. Satu-satunya yang membuat orang-orang merasa risih adalah sorotan mata cabul Cu Kun-cau yang terus melihat Tiong Bok-lan.

Dia benar-benar menyukai Tiong Bok-lan tapi Tiong Bok-lan bukan orang seperti itu. Dia tidak seperti Kiang Hong-sim.

Melihat Cu Kun-cau seperti itu, Kiang Hong-sim tahu. Dengan keluwesan dan seorang Siau-ongya mana mungkin dia tidak tertarik?

Yang paling khawatir adalah Siau Sam Kong-cu. Bukan karena Cu Kun-cau suka kepada Tiong Bok-lan melainkan dia sangat tahu siapa Cu Kun-cau ini.

Malam itu akhirnya Siau Sam Kongcu bisa bertemu dengan Tiong Bok-lan. Selain memperingatkan dia akan Cu Kun-cau, sekali lagi dia mengungkapkan cintanya. Dia meminta setelah rapat Pek- hoa-couw nanti Tiong Bok-lan pergi dengannya dan tinggal di gunung atau hutan, keluar dari dunia persi latan.

Tiong Bok-lan sangat mengerti kesetiaan Siau Sam Kongcu. Pada waktu itu hatinya kacau, akhirnya dia tetap memilih untuk kabur pulang. Tujuan Siau Sam Kongcu datang ke keluarga Lamkiong adalah untuk melihat Tiong Bok-lan. Dia sama sekali tidak tertarik dengan rapat Pek-hoa-couw karena tahu dia tidak akan menang.

Cinta membuatnya sampai pedang putus pun tidak mau diganti. Maka dengan cara apapun dia berlatih, ilmu pedangnya tidak akan sempurna. Selain itu, bagaimana dia bisa bersaing dengan Tiong Toa-sianseng dan Coat-suthay.

Waktu itu Cu Kun-cau mengantarkan kotak kayu wangi ke kamar Lo-taikun. Hanya dia sendiri yang datang ke sana.

Dan di kamar hanya ada Lo-taikun sendiri.

Setelah membuka kotak melihat Hu-souw-kao, Lo-taikun segera tertawa:

“Membuat Hu-souw-kao memang sulit. Jika bukan karena Ong- ya mempunyai uang banyak, maka untuk mendapatkan begitu banyak Hu-souw-kao bukan hal yang sulit baginya!”

“Iya!” Cu Kun-cau menjawab santai.

Setelah melihat obat di dalam kota, tawa Lo-taikun segera menghilang, dia bertanya:

“Masih ada obat yang bernama Liong-sian-hiang (Air liur naga), mengapa tidak terlihat di sini?”

“Liong-sian-hiang?” Cu Kun-cau tidak tahu.

“Liong-sian-hiang lebih bagus daripada Hu-souw-kao, hanya Ong-ya yang memiliki...”

“Tapi ayah tidak berkata apa-apa!” Lo-taikun berkata dingin:

“Mana mungkin? Apakah sampai sekarang Ong-ya belum percaya kepada Keluarga Lamkiong?”

“Lo-taikun berkata terlalu berat!”

“Bila ingin masalah ini cepat selesai, dalam bekerja sama harus saling jujur!” “Ayahku begitu, tujuannya hanya meminta jaminan yang lebih baik. Liong-sian-hiang akan sampai di keluarga Lamkiong kapanpun!”

“Ong-ya menaruh terlalu banyak kecurigaan!” Lo-taikun tertawa dingin.

“Sebenarnya ayahku tidak pernah bertanya kepada keluarga Lamkiong untuk apa obat-obatan ini!”

“Karena dari awal kedua pihak sudah bersepakat tidak saling bertanya!”

“Betul! Singkatnya, Liong-sian-hiang pasti akan diantar kemari. Semua orang harus bersatu men capai tujuan. Pada waktu itu keluarga Lamkiong akan menjadi nomor satu di dunia. Kekayaan dan kemakmuran tidak akan habis-habisnya!” kata Cu Kun-cau.

Lo-taikun hanya bisa menarik nafas.

Setelah mengantar pulang Cu Kun-cau, Lo-taikun diam-diam meninggalkan kamar. Dia membawa kotak kayu wangi, berjalan ke Ciu-ci-tong dan memberikannya kepada Ciu-ci Lojin.

Mereka segera masuk ke jalan rahasia. Masuk ke Siau-hun-lo di pinggir sebuah kamar rahasia. Di sana penuh dengan obat-obatan dan kompor juga membuat orang merasa malas dan tidak bertenaga. Memasuki ruangan ini, Lo-taikun merasakan perasaan yang seperti itu.

Sebaliknya, ketika Ciu-ci Lojin masuk ketem-pat ini dia malah bersemangat, tubuhnya terasa bertenaga. Dengan cepat dia membagi obat-obat di dalam kotak. Dia mencampur obat yang sudah ada dari tadi, kemudian dengan cepat dan ahli dia membuat obat-obat butiran berwarna putih dan merah. Kemudian dimasukkan ke dalam sebuah wadah dan dimasak.

Sorot mata Lo-taikun seperti sedikit tegang tapi Ciu-ci Lojin bertindak dengan mudah dan ahli, juga tidak tegang. Dalam waktu hanya setengah jam, di tangan Ciu-ci Lojin sudah ada dua mangkuk butiran berwarna putih dan merah, masing- masing mangkuk berisi obat merah juga putih.

Lo-taikun mendatangi empat peti mad, kemu dian berhenti di depannya. Dengan tongkat kepala naga dia membuka tutup peti.

Pada setiap peti mati terbaring seorang gadis. Wajahnya tidak jelek tapi pucat seperti dipulas oleh debu. Kedua mata gadis terpenjam, mereka berbaring di sana seperti orang mati.

Ciu-ci Lojin membuka mulut mereka dan memasukkan sebutir obat berwarna merah.

Tidak lama kemudian, wajah empat gadis ini berubah menjadi warna merah muda dan bercahaya. Ciu-ci Lojin mengangguk kepada Lo-taikun.

Dengan tenang Lo-taikun mengeluarkan sebu ah peluit giok dan meniupnya.

Suara peluit tidak keras tapi tinggi dan jelas, seperti sebatang jarum menusuk ke dalam jantung.

Empat gadis segera membuka mata. Mata mereka begitu jernih dan bersih, terang dan indah, tapi entah mengapa mata mereka membuat orang merasa itu bukan mata manusia.

Bila Siau Cu, Lu Tan dan Fu Hiong-kun melihat mata ini, mereka pasti akan teringat malam itu ketika mereka kabur dari Ling-ong- hu dan dikepung oleh Pek-lian-kau, yang membantu mereka keluar dari kepungan adalah empat orang yang memakai penutup wajah dan bermata seperti empat gadis.

Begitu membuka mata, empat gadis segera duduk. Begitu mendengar suara peluit dari peluit giok, mereka segera meloncat keluar dari peti mati dan membentuk barisan berdua dari saling berhadapan kemudian berputar menjadi saling memunggungi. Mereka mencabut pedang dari sarung kemudian membentuk barisan pedang. Jurus pedang terus dikeluarkan dengan ganas dan kejam seperti malam itu ketika membacok orang-orang Pek-lian-kau.

Peluit Lo-taikun ditiup lagi dua kali. Barisan empat gadis berbaju hitam berganti dua kali. Setiap kali perubahan sangat lincah dan semakin ganas dan kejam.

Lo-taikun terus mengangguk. Terakhir dia meniup dengan suara yang sangat pendek. Tubuh empat gadis segera berhenti. Kemudian Lo-taikun melayangkan tangan. Mereka segera meloncat kembali ke dalam peti mati dan berbaring terlentang.

Ciu-ci Lojin datang, dari botol yang berwarna putih dia mengeluarkan empat butir obat putih, masing-masing ditaruh di dalam mulut empat gadis itu.

Wajah ke empat gadis berubah setelah obat putih ditelan, wajahnya menjadi pucat tapi bukan seperti dipoles debu. Di dalam kepucatan ada sedikit cahaya kehidupan.

Lo-taikun menutup peti mati kembali. Dia melihat ke tempat yang bertirai dan berkata:

“Aku ingin melihat Hen-lo-sat!” (Pembunuh merah muda) Yang dia maksudkan dengan Hen-lo-sat adalah Tokko Hong. Kulit tubuh Tokko Hong sudah ber warna merah muda. Setelah makan obat pemberian Ciu-ci Lojin yang berwarna merah muda, dengan cepat wajah berubah menjadi merah seperti api.

Lo-taikun membalikkan peluit itu, meniup dengan suara yang berbeda buat Tokko Hong.

Tokko Hong segera keluar dari peti mati. Kecepatannya di atas empat gadis berbaju hitam, dia segera menyerang Lo-taikun. Wan- yo-to dikeluarkan dari sarung dan dia membacok dengan gila.

Lo-taikun tergesa-gesa menghindar, dia mundur sejauh tiga depa, baru tongkat kepala naga mendapatkan kesempatan menotok jaan darah di ping gang Tokko Hong. Tapi Tokko Hong seperti tidak sadar, dia masih terus menyerang. Terpaksa Lo-taikun menghindar lagi. Ini terlihat sangat kerepotan dan memalukan. Akhirnya Ciu-ci Lojin berlari dari belakang. Dia menotok beberapa jalan darah di punggung dan pundak Tokko Hong, sehingga gerakan Tokko Hong menjadi pelan. Lo-taikun segera menahan dua golok dari Tokko Hong. Ciu-ci Lojin segera memasukkan obat berwarna putih ke dalam mulut Tokko Hong.

Melihat wajah Tokko Hong sudah berubah, baru Ciu-ci Lojin membuka jalan darah yang sudah ditotok.

Lo-taikun sekali lagi meniup peluit dan Tokko Hong kembali berbaring ke dalam peti mati. Akhirnya Lo-taikun berkata:

“Baik!”

Ciu-ci Lojin menggelengkan kepala. Lo-taikun tidak peduli, dia berkata:

“Tanpa Liong-sian-hiang kita tetap bisa sukses membuat obat.

Ling-ong kau telah salah mengira!”

“Bagaimana bisa sukses?” Tiba-tiba Ciu-ci Lojin membuka suara.

Ternyata dia tidak bisu, melainkan hanya pura-pura bisu.

Menjadi bisu dan tuli bukan hal yang mudah. Jangankan perlu melakukan hal yang lain, memerlukan kesabaran sebesar itupun sudah cukup menakutkan.

“Oh?” Lo-taikun terpaku:

“Bukankah mereka sangat patuh dengan suara peluit ini?” “Betul!”

“Tadi kau sudah lihat, setelah makan obat ilmu silat mereka terus bertambah. Apalagi Hen-lo-sat yang membuat aku hampir tidak bisa menahan serangannya.”

“Obat ini bernama Kiu-kiu-thian-pa-ong-wan, khasiatnya adalah memaksa orang mengeluarkan ilmu silat yang dia rahasiakan. Melihat keadaan tadi, ilmu silat mereka belum keluar semua. Sedangkan Hen-lo-sat, setelah menotok nadinya kita masih tidak bisa menghentikan dia dan hanya bisa membuat dia lebih lamban. Reaksi yang paling ideal adalah bila dia tidak ada reaksi sama sekali dan bisa melihat yang mana musuh dan yang mana orang sendiri. Kalau tidak percaya kau bisa mencoba. Walaupun kau meniup peluit, dia tetap akan menyerangmu!”

Lo-taikun diam. Ciu-ci Lojin menarik nafas:

“Masih ada! Setelah selesai, mereka harus mengandalkan makan obat. Walaupun obat ini telah kuubah dan pikiran mereka tidak terlalu kacau, tapi reaksi buruk masih tetap ada.”

“Jadi benar-benar tidak bisa kalau tanpa Liong-sian-hiang?” “Tidak bisa!” Ciu-ci Lojin menjawab dengan tegas.

“Maka aku harus mengerahkan segala upaya, apapun yang terjadi harus mendapatkan obat ini!”

“Kalau obat berhasil, empat pembunuh perem puan adalah pembunuh nomor satu. Apalagi seorang Hen-lo-sat, cukup untuk menguasai semua dunia persilatan!”

“Baik! Aku ingin lihat Ling-ong yang licik atau aku yang kejam!” Ciu-ci Lojin tertawa. Lo-taikun melihat Ciu-ci Lojin.

“Waktu rapat Pek-hoa-cauw, dalam keluarga Lamkiong ada banyak pesilat tangguh, kau harus hati-hati!”

“Setiap waktu aku selalu berhati-hati!”

“Untung orang lain tidak seperti Coat-suthay, mengurus masalah yang tidak berhubungan dengannya. Tapi aku sudah menyuruh orang untuk selalu mengawasi dia siang dan malam!”

“Suatu hari nanti, aku akan menunjukan kelihaianku kepada dia!” Lo-taikun marah.

Mengetahui malam ini Coat-suthay berada di dalam kamar, Lo- taikun lebih tenang. Selain Coat-suthay, Lo-taikun memperkirakan tidak ada orang lain yang tertarik dengan gerakannya.

Tapi malam ini yang menguntit dia adalah Lamkiong Po. Semua orang pasti akan merasa terkejut. Lamkiong Po sangat mengenal lingkungan keluar ga Lamkiong, maka lebih mudah baginya untuk menguntit daripada Coat-suthay. Setelah melihat Liu-tai-kun meninggalkan Ciu-ci-tong, Lamkiong Po merasa aneh. Bagi dia, gerakan Lo-taikun sangat misterius tapi dia tidak masuk ke Ciu-ci-tong karena bukan waktu yang tepat.

Lo-taikun kembali ke dalam kamar, pas saat Kiang Hong-sim keluar. Melihat Lo-taikun, Kiang Hong-sim langsung bersembunyi. Tapi mana mungkin bisa menipu Lo-taikun, dia membentak. Terpaksa Kiang Hong-sim keluar dari semak-semak.

Malam begini dia masih berpenampilan seperti itu. Dari luar sudah kelihatan sangat tidak pantas. Lo-taikun melihat dia dari atas ke bawah dan menggelengkan kepala:

“Malam sudah larut, kemana kau mau pergi?”

“Hanya jalan-jalan!” Kiang Hong-sim tahu dia tidak bisa berbohong tapi apa boleh buat.

“Sekarang di keluarga Lamkiong adalah tempat pesilat-pesilat tangguh. Di waktu rapat ini, aku harap kau bisa menahan diri dan lebih berhati-hati!”

Dengan malu Kiang Hong-sim menundukkan kepala. Lo-taikun segera kembali ke kamar. Terlihat dia tidak hanya tahu siapa Kiang Hong-sim dan juga bisa menebak ke mana Kiang Hong-sim akan pergi, tapi dia tidak melarangnya.

Maka Kiang Hong-sim pura-pura tidak tahu. Setelah Lo-taikun masuk ke dalam kamar, dia tetap pergi melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia ingin menggoda Cu Kun-cau.

Dengan sifat Cu Kun-cau yang suka main perempuan, yang pasti tidak akan membuat Kiang Hong-sim kecewa.

Sebenarnya rapat Pek-hoa-couw tidak boleh kurang Bu-tong-pai dan Kong-tong-pai, hanya saja It-im taysu dari Kong-tong-pai sudah mati terbunuh. Satu-satunya penerus Koan Tiong-liu juga tidak ikut, maka sampai sekarang belum ada murid Kong-tong-pai yang membereskan. Sementara Kong-tong-pai menghilang. Setelah Siauw-lim-pai diserang oleh Put-lo-sin-sian maka kekuatannya belum pulih. Mereka membalas surat mengatakan tidak akan mengikuti rapat ini, maka murid Siauw-lim tidak ada yang datang.

Jadi yang datang hanya Bu-tong, Kun-lun, Hoa-san, Heng-san tapi murid yang datang tidak banyak, maka boleh dikatakan rapat ini tidak ramai.

Yang mewakili keluarga Lamkiong adalah Lamkiong Po. Dia terlihat sedang banyak pikiran.

Hari kedua dia muncul di Ciu-ci-tong. Lo-taikun dan Ciu-ci Lojin semalam tiba-tiba menghilang di Ciu-ci-tong, membuat dia terpikir tentu ada kamar rahasia di sana. Maka dia pura-pura mencari sesuatu, tapi sebenarnya sedang mencari pintu masuknya.

Tapi hanya sebentar, Ciu-ci Lojin sudah muncul di hadapannya. “Aku hanya datang melihat-lihat!” Lamkiong Po takut orang tua

ini curiga.

Ciu-ci Lojin memberitahu Lamkiong Po ada orang mencari dia. Setelah beberapa tahun, dia sudah mengerti bahasa isyarat tangan orang tua ini.

Setelah Lamkiong Po keluar dari Ciu-ci-tong, wajah orang tua itu segera ditekuk, terlihat dia sudah melihat apa yang di inginkan Lamkiong Po.

Yang mencari Lamkiong Po adalah Coat-suthay. Coat-suthay menunggunya di jembatan berliku-liku, tempat dia bertemu dengan Lo-taikun.

“Mengapa Suthay berada di sini?” tanya Lamkiong Po aneh. “Tadinya aku mau ke Ciu-ci-tong.” Coat-suthay terus melihat

Lamkiong Po.

“Ciu-ci-tong?” Lamkiong Po bertambah aneh: “Ada apa ke Ciu-ci-tong?”

“Ada apa kau pergi ke Ciu-ci-tong?” Coat-suthay balik bertanya. “Ingin mengetahui satu hal!”

“Sama halnya dengan aku. Semalam aku berada di daerah Ciu- ci-tong sangat jelas melihat gerakanmu, hanya tidak leluasa menyapa!” kata Coat-suthay.

Lamkiong Po terpaku. Coat-suthay tertawa:

“Walaupun Lo-taikun sudah memasang orang untuk mengawasi aku dari pagi sampai malam di tempat tinggalku, tapi mereka masih belum biasa menghadangku!”

Coat-suthay bertanya lagi:

“Apakah kau sudah memikirkan kata-kataku sebelumnya?” Lamkiong Po mengangguk:

“Apa yang Suthay curigai, apakah bisa beri tahu kepadaku?” Coat-suthay menarik nafas:

“Orang yang percaya pada Budha sulit menga takan ini bila tidak ada bukti karena akan menimbulkan kesalahpahaman!”

“Apakah bukti ini bisa Coat-suthay dapat?”

“Kata pepatah, tidak ada hal yang sulit di dunia ini. Apapun yang terjadi, sebelum meninggalkan keluarga Lamkiong aku akan mencarimu untuk berbicara!”

“Pasti!” Lamkiong Po menarik nafas, “besok di rapat Pek-hoa- couw aku hanya mewakili keluarga Lamkiong meramaikan rapat ini!”

“Kau masih muda. Dengan bakatmu, kelak akan jadi yang terbaik! Keluarga Lamkiong menunggumu untuk kau kembangkan!”

Lamkiong Po mendengar itu adalah kata-kata untuk menghiburnya, tapi dadanya tetap tidak terasa dapat ditegakkan. Darah yang mengalir di tubuhnya tetap adalah darah Keluarga Lamkiong. Coat-suthay kembali ke kamar. Fu Hiong-kun sudah menunggu di sana. Dia tidak berkata apa-apa dan segera duduk memejamkan mata untuk berpikir.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar