Kembalinya Si Manuisa Rendah (Sai Jin Lu) Jilid 3

Jilid 3

Seminggu setelah percakapan itu, rombongan dari kota Bao menemui Cia-peng, rombongan itu adalah rombongan The-kungcu, Cia-peng dan perangkat desa menyambut dengan hangat dan ramah

“sungguh mengejutkan kunjungan taijin kali ini, adakah yang luar biasa penting untuk disampaikan kepada kami taijin?” tanya Cia-peng

“cia-cungcu, kunjungan ini tidaklah kunjungan pemerintahan, akan tetapi kunjungan pribadi.” Jawan The- taijin, Cia-peng menatap The-taijin dan kemudian enam orang perangkat desanya yang juga hadir. “Jika demikian taijin, terimalah sambutan kami atas nama seluruh warga desa, dan mari kita cicipi hidangan ala kadarnya.” ujar Cia-peng, kemudian acara penyambutan the-kungcupun dilangsungkan, dua tiga buah hiburan pun disuguhkan, bahkan beberapa atraksi kegiatan pemuda desa, acara itu demikian meriah.

Setelah acara selesai, para warga pun meninggalkan kediaman Cia-peng, begitu juga dengan para perangkat desa, dan kesempatan itu hal yang pribadi itupun diajukan oleh The-taijin

“Cia-cungcu, memang amat mengejutkan kedatangan kami, tapi ini karena permintaan anak satu-satunya.” “ada apakah gerangan taijin?”

“begini Cia-cungcu, anak kami The-sin-ma sudah berumur dua puluh tiga tahun, dan sudah cukup umur untuk berumah tangga, dan kami tahu bahwa Cia-cungcu mempunya seorang putri yang cerdas dan cantik, dan anak kami juga katanya sudah pernah melihat dan hatinya terpikat, oleh karena itulah Cia-cungcu kami datang hendak mengajukan lamaran.” ujar The-taijin, Cia-peng terdiam sejenak dan kemudian menatap mata istrinya.

“Taijin yang mulia, sungguh niat itu amat baik, dan kami sangat berterimakasih atas perhatian taijin dan keluarga kepada kami, namun tai-jin putri kami sudah mengikat janji dengan seseorang, dan kami pun sudah merestuinya, sehingga niat baik taijin dan keluarga terpaksa tidak dapat kami terima.” ujar Cia-peng dengan nada tegas dan hati-hati, The-taijin berubah air mukanya

“Cia-cungcu, jawabanmu sungguh mengecewakan kami, ketahuilah Cia-cungcu, anak kami tidak ada kuranganya, dia seorang pemuda yang rupawan, terpelajar dan juga punya masa depan yang cemerlang.” “kami tidak mengingkari hal itu taijin, namun demikianlah jawaban kami, semoga taijin dapat mengerti.” sahut Cia-peng

“Cia-peng, apakah penolakanmu sudah kamu pikirkan matang-matang!?”

“apakah maksud taijin dengan bertanya seperti itu?” tanya Cia-peng membalikkan pertanyaan dengan tegas “Cia-peng, penolakanmu ini akan berakibat tidak baik pada keluargamu.” ancam The-taijin

“taijin dalam setiap tindakan ada resiko, maka kami siap menerima resiko tersebut.” sahut Cia-peng dengan lantang.

“baiklah jika demikian Cia-peng, kami akan kembali ke kota Bao hari ini juga.” ujar The-taijin dengan ketus, kemudian rombongan itu bergegas meninggalkan desa Kanghu.

Dikediaman Cia-peng anak beranak itu berkumpul

“apakah yang akan dilakukan oleh kungcu itu Peng-ko?” tanya istrinya “entahlah Lian-moi, kita tunggu saja apa yang akan terjadi.” “memangnya hal apakah yang telah terjadi ayah?” sela Cia-sian-li

“The-taijin mengajukan lamaran padamu anakku, dan kami telah menolaknya, dan sepertinya The-taijin hendak memaksakan keinginannya kepada kita.” sahut Cia-peng

“alangkah tidak benarnya sikap tai-jin tersebut ayah.”

“memang benar anakku, jadi karena ketidak tepatan itu, kita harus berani menerima resiko buruk yang akan terjadi.” sahut Cia-peng.

Sebulan kemudian rombongan ciangkun dari Kota Bao mendatangi kediaman Cia-Peng, para perangkat desa ikut di kumpulkan

“kepada Cia-cungcu dan segenap perangkat desa, kami diutus oleh The-kungcu kota Bao untuk menyampaikan bahwa untuk memperbaiki kinerja para jajaran pemerintahan, maka telah diadakan rotasi dan penggantian perangkat pemerintahan, sebagian ada yang yang di rotasi dan ada yang diganti, dan adapun cungcu desa Kang-hu oleh The-taijin telah mengganti Cia-peng dengan Gu-liong, selanjutnya kepada Cia-peng agar meninggalkan desa Kang-hu karena tindakan tidak setia pada taijin.” Ciangkun yang membaca surat The-kungcu dengan lantang

“saya harap apa yang tertulis dalam surat The-taijin supaya ditaati.”

“Ciangkun yang terhotmat soal pergantian jabatan dikalangan pemerintahan hal yang sah-sah saja, namun soal pengusiran Cia-sicu dari desa ini karena tidak setia, kami merasa janggal dan aneh.” sela seorang sesepuh desa

“hal ini telah diputuskan dan tidak dapat diganggu gugat, terserah pada Cia-peng, apakah akan taat atau mungkir.” Sahut ciangkun dengan tegas.

“sicu sekalian, apa yang dituliskan dan diputuskan tentu kita taat, walaupun kadang keputusan itu tidak dapat kita pertanyakan, dan saya juga tidak akan mempertanyakan apa dan bagaimana keputusan itu dapat seperti itu.”

“tapi Cia-sicu, tuduhan tidak setia itu harus ada pembuktian, dan kami yang selama ini bersama Cia-sicu tidak pernah merasa bahwa Cia-sicu tergolong pada tuduhan itu.”

“Lauw-lopek defenisi setia setiap manusia tidaklah sama, bagi yang menggantungkan pemikiran pada nafsunya maka makna kesetiaan dapat dibolak balik, jadi mendebatnyapun tiada guna.”

“kami hanya menjalankan perintah, dan mengawal pelaksanaan keputusan yang terteta pada surat.” sela ciangkun

“baiklah ciangkun, berapa harikah tempo yang diberikan kepada kami?” “saya hanya bisa memberikan tempo selama tiga hari.”

“hmh…jika demikian, kami akan berkemas, dan tolong semua bubar dari depan rumah saya.” sahut Cia- peng, para peserta pertemuan tidak dapat membantah, lalu merekapun bubar

“apakah ketidak adilan ini akan didiamkan ayah?” tanya Cia-sian-li

“Li-ji mengharapkan keadilan dari orang-orang yang ditunggangi nafsu ingin menang sendiri tidak ada gunanya.” Jawab Cia-peng

“tapi ayah, jika kita tidak membantah maka tuduhan itu akan menjadi sebuah kebenaran.”

“Li-ji untuk mendapatkan kebenaran dari orang yang tidak memehami kebenaran, biarkan saja orang dengan penilaiannya, orang berpikir akan dapat merasakan kenyataan, dan kenyataan itu yang menjadi pegangan kita.”

“lalu apa selanjutnya rencana ayah, kemana kita akan pindah?”

“Li-ji saya dan ibumu akan kembali ke kun-lun-san dan berusaha untuk mendirikan kembali Kunlun-pai, sementara kamu anakku jadilah seorang lihap yang mengawal kebenaran disepenjang perjalanan kamu di dunia luar.”

“apakah ayang akan melepas saya untuk berkelana?”

“benar Li-ji dan matangnya sebuah ilmu, pengalaman dan cara pandang jika sudah terjun kedunia ramai, dan ayah ingin kamu bagian dari dinamika dunia kangowu, hal itu perlu bagimu, karena jika Thian berkenan bahwa kamu menjadi bagian dari she-taihap, tugas-tugas seperti itu adalah bagian hidup para she-taihap.” sahut Cia-peng, Cia-sian-li tertunduk diam

“apa yang dikatakan ayahmu benar sekali Li-ji, jadi janganlah ragu dan bimbang, kita ini keleuarga rimba persilatan, jadi tak obahnya kita hanya kembali ke lingkungan kita.” sela Tang-siulian.

Dua hari kemudian Cia-sian-li meninggalkan desa Kanghu untuk memulai perantauan, dan keesokan harinya Cia-peng dan istrinya berangkat menuju Kunlun-san, Cia-sian-li mengadakan perjalanan ke wilayah timur, perjalanannya dilakukan dengan santai, dan waspada, disetiap kesempatan jika ia mendengar tindakan sewenang-wenang dari beberapa bukoan, piauwkiok dan rampok disepenjang perjalanan, tanpa sungkan Cia-sian-li memberantas ke zaliman dan melenyapkan tindasan pada orang-orang lemah, dalam setahun perjalanannyanya dunia kangowu mengenalnya dengan julukan Yan-gan-lihap” (pendekar wanita bermata walet)

Demikianlah ketika Yan-gan-lihap sampai di kota Hanzhong dan lewat gang dimana Lauw-bi-hong dan Ui- hai-sian sedang berbantah masalah penuntasan dendam, dan dia mendengar bahwa si wanita tidak ingin melayani si kakek, namun si kakek terus memaksa, sehingga terjadi pertempuran, Yan-gan-sianli menontot pertempuran itudan bergerak tangkas dengan melempar pedangnya ketika Lauw-bi-hong terancam senjata roda dari Ui-hai-sian

“hmh..artinya kamu seorang lihap, tahukah kamu siapa yang kamu bantu itu?”

“saya tidak tahu siapa cici itu, namun yang saya dengar bahwa cici itu tidak ingin meladeni urusan kalian yang tidak tuntas, dari hal itu saja, saya tahu pihak mana yang memaksakan kehendak.”

“dia itu adalah murid dari Im-kan-kok-sianli, dia ini pentolah penjahat musuh para taihap dan lihap.”

“cianpwe aku tidak bagimana jalan pemikiran cianpwe dalam usaha memberantas kejahatan, saya melihat cici itu berupaya tidak melayani kamuan cianpwe urusan balas dendam, dari sikap cici itu aku melihat peluang bahwa cici itu pada saat ini tidak keukeuh dengan prinsip kejahatan, dan sebaliknya saya malah melihat prinsip kejahatan itu cianpwe yang menepati posisi tersebut, yakni memelihara dendam.”

“nona aku tidak butuh pemahamanmu tentang kejahatan, dan jangan mengajari saya tentang baik dan jahat, karena pengalaman saya tentang itu sudah karatan.”

“tidak dipungkiri cianpwe melihat umur cianpwe yang sudah tua, namun saya hanya sekedar mengingatkan.”

“sialan, heh nona apa kamu merasa lebih pandai dari saya.”

“tidak cianpwe, saya yakin kepandaian cianpwe diatas saya dan cici itu.” “lalu kenapa kamu sesumbar didepan saya sehingga berani mendikte saya.”

“cianpwe sekali lagi aku hanya mengingatkan, dan soal sesumbar, apakah kebenaran dan kejahatan hanya di monopoli oleh orang-orang yang sudah tua, jika demikian bukankah itu artinya bahwa orangtua hanya mau benar sendiri?” sahut Cia-sian-li, Ui-hai-sian makin bouwhat, dan kalah argumentasi, sehingga membuat wajahnya merah karena marah, dan juga serba salah, kemudian dengan hati mengkal Ui-hai-sian meninggalkan keduanya.

“terimakasih siauwmoi atas bantuannya.” ujar Lauw-bi-hong

“ah… tidak pantas aku mendapatkan ucapan itu cici, karena aku tidak juga bisa berbuat apa-apa, karena cianpwe itu jauh diatas kepandaian saya, seandainya dia ingin, tentu kita akan dapat dicelakainya.”

“siauwmoi, membuat Ui-hai-sian jadi serba salah dan mati kutu sudah merupakan perbuatan, dan hasilnya kita selamat dari tangannya.”

“apakah dia itu Ui-hai-sian?” tanya Cia-sian-li

“benar siauw-moi, apakah engakau pernah mendengarnya sebelum ini?”

“namaku Cia-sian-li, benar aku setengah tahun yang lalu aku mendengar julukan itu.”

“namaku Lauw-bi-hong, julukannya muncul delapan tahun yang lalu, bersamaan dengan julukan Im-yang- sin-taihap atau Ui-hai-liong-siang, namun tidak setenar Im-yang-sin-taihap atau Ui-hai-liong-siang.”

“Hong-cici, benarkah engkau murid dari Im-kan-kok-sianli-sam?”

“benar Li-moi, dan kenyataan itu memang tidak dapat dirubah walaupun disesali.” “sungguh berbahagialah orang yang mendapat penerangan dan berusaha memperbaiki diri.” “Li-moi darimanakah engkau dan hendak kemanakah tujuanmu?”

“saya dari wilayah utara dan hendak keselatan.”

“wah sepertinya kita punya tujuan yang sama, aku juga hendak keselatan.” “hmh…kalau begitu alangkah bagusnya jika kita melakukan perjalanan bersama.” “benar Li-moi, saya juga merasa senang.”

“baiklah kalau begiti Hong-cici, marilah kita berangkat.” sahut Cia-sian-li.

Keduanyapun keluar dari pintu gerbang selan kota Hanzhong, perjalanan yang akrab dan ramah, selama sebulan perjalanan yang mereka lakukan, Cia-sian-li amat takjub dengan tindak tanduk Lauw-bi-hong yang memang berbeda, walhal Lauw-bi-hong sebagaimana diketahu adalah dedengkot dunia hitam.

Ketika mereka sampai disebuah hutan disebelah timur kota Kun-leng, mereka istirahat dan memanggang binatang buruan

“Hong-cici, duniamu sebelum ini tentu sarat dengan berbagai tindakan menyimpang, sudah berapa lamakah cici, mendapat anugrah sehingga mampu merubah diri dari tata cara hidup dan prinsip hek-to.”

“Li-moi, aku tidak tahu apakah sudah benar dasar perubahan hidup ini, aku sudah menjalani keadaan ini sudah hampir lima tahun, dan masih mampu untuk bertahan dari godaan.”

“apakah maksud Hong-cici dasar perubahan, dan apakah dasar perubahan itu?”

“LI-moi awalnya kami ini tiga bersaudara perguruan, selama dalam bawahan Hek-te yang dikomandoi oleh Pah-sim-sai-jin, kami bisa dan biasa berlaku sewenang-wenang, dan menurutkan keinginan, dan itulah diajarkan oleh ketiga guru kami. Lalu ketika kami bertiga bertemu dengan Im-yang-sin-taihap, ada hal yang memicu kami untuk berubah.”

“hal apakah itu Hong-cici?” tanya Cia-sian-li dengan dada bergemuruh, karena kekasih pujaannya disebut- sebut dalam rangkaian perubahan wanita didepannya.

“Kita tahu bahwa she-taihap adalah figur yang luar biasa melekat dihati setiap orang, baik kalangan pendekar atau penjahat, sebelum bertemu Im-yang-sin-taihap, kami bertiga mempunyai bayangan birahi terhadapnya, karena kepastian bahwa she-taihap adalah turunan rupawan yang menggemaskan.”

“lalu bagaimana ketika ketiga cici berjumpa dengan Im-yang-sin-taihap?”

“ketika kami berjumpa dengannya, memang bayangan kami itu memenuhi harapan birahi yang selam ini kami nikmati, dan ketika kami tidak kuasa menghadapinya, dan kami ditundukkan muncul sebuah ketaklukan mutlak dihadapannya, takluk akan kesaktiannya, takluk akan kerupawanannya.”

“lalu apa yang terjadi cici?”

“saudaraku Khu-hong-in menyatakan keinginannya didepan Im-yang-sin-taihap dengan sangat terbuka, namun Im-yang-sin-taihap menjawab bahwa cinta kami itu hanya karena birahi, dan menyuruh kami pergi dengan harapan bertemu dalam kondisi yang lebih baik, dan jawaban itu membuat aku berpikir, bahwa Im- yang-sin-taihap tidak sepenuhnya menolak kami, kami tertolak hanya karena dasar yang tidak tepat, jadi karena itu selama ini aku berpikir bahwa jika cintaku akan diterima jika dasarnya benar, dan kondisi yang lebih baik itu bagi saya merupakan celah harapan yang di ungkapkan oleh Im-yang-sin-taihap.”

“jadi artinya dasar perubahan ini hanya karena cinta kepada Im-yang-sin-taihap.”

“benar Li-moi, aku tidak tahu akan kokohkah perubahan ini dengan dasar cinta, apakah kamu punya pendapat Li-moi?” “saya juga tidak tahu Hong-cici, namun saya cendrung dasar itu kokoh.” “bagaimana kamu bisa mengatakan seperti itu, Li-moi?”

“Hong-cici, she-taihap adalah figur kebenaran, jika cici mencintai she-taihap maka itu artinya cici mencintai kebenaran, dan bukankah mencintai kebenaran adalah dasar yang kuat, hanya sanya bagaimana jika cinta itu tidak terwujud.”

“hmh..benar, itulah yang membuatku gamang dengan dasar tersebut.”

“Hong-cici, cinta yang bagaimana yang engkau harapkan dari Im-yang-sin-taihap?” tanya Cia-sian-li tiba- tiba, Lauw-bi-hong serta merta menoleh Cia-sian-li.

“cinta bahwa aku diperistiri oleh Im-yang-sin-taihap dan aku menjadi bagian hidupnya, dan hal yang tidak terperikan saya harapkan adalah, saya dapat melahirkan keturunan she-taihap.”

“bagaimana kalau seandainya Im-yang-sin-taihap sudah beristri?”

“jika harapan diperistri tidak terpenuhi, setidaknya aku ingin mengandung anaknya, maka aku sudah merasakan bahwa aku adalah orang terbahagia.” jawab Lauw-bi-hong sambil memejamkan mata menikmati harapannya, Cia-sian-li menatap wajah yang menyimpan sejuta pengharapan, kemudian keduanya saling pandang

“eh..kenapa denganmu Li-moi, kenapa engkau meneteskan air mata?” tanya Lauw-bi-hong heran karena Cia-sian-li sesugukan berurai air mata

“aku sangat terharu dengan cintamu itu Hong-cici, dan aku doakan semoga cici dapat diperistri oleh Im- yang-sin-taihap.”

“kamu sungguh baik Li-moi, kamu ini masih muda namun cara pandangmu demikian arif.”

“jika Hong-cici merasakan kearifan itu, hal itu juga muncul dari gejolak pesona seseorang yang nyaman jika dibayangkan, kharismanya sekaligus memotivasi aneka kebaikan yang tersurat maupun tersirat.”

“luarbiasa sekali Li-moi.” “benar, dia memang luarbiasa.”

“hmh...,kita ini sudah berada diselatan, kemanakah lagi tujuanmu, Li-moi?” “aku hendak kekota kaifeng Hong-cici, dan kalau cici hendak kemanakah?” “saya belum menentukan kemananya.”

“jika demikian kita ke kaifeng saja Hong-cici.”

“demikianpun baik, dan aku sangat senang masih bisa berjalan bersama denganmu Li-moi.” “saya juga Hong-cici, sangat senang dengan perjalanan yang kita lakukan ini.”

“kalau begitu marilah kita lanjutkan perjalanan!” ujar Lauw-bi-hong dan Cia-sian-li mengangguk sambil berdiri, kemudian keduanya dengan santai melangkah keluar dari hutan sambil bercengkrama dengan akrab, pembicaraan mereka ada saja, seakan keduanya banyak hal yang mau dibagi dan disampaikan.”

Jim-kok (lembah unggas) yang sejuk karena tiupan angin mengandung hawa air dari telaga yang menghampar teduh dipandang mata, terlebih sore itu hembusan angin agak kuat sehingga permukaan telaga beriak bergelombang, sungguh panorama yang indah bagi mata yang memandang.

Tidak jauh dari telaga ada sebuah bangunan besar dan kokoh, halamannya demikian asri penuh tanaman cilan warna putih, seorang wanita berumur tiga puluh lebih sedang menyirami tanaman di sore hari itu, wajahnya merona merah mengkilat karena basahnya keringat, wajah tirus bujur telur dengan kulit kuning langsat, tubuhnya yang semampai dengan sanggul yang digulung rapi, menambah daya tarik disamping wajahnya nancantik jelita, persisis seperi ratu dari sebuah kerajaan.

Perempuan itu adalah Can-hang-bi yang berjulukan”Biciong-bi-moli” (setan cantik tidak berperasaan) dia adalah murid utama dari Pah-sim-sai-jin sehingga ilmunya tergolong rentetan tingkat atas di rimba persilatan, didalam bangunan itu hanya Can-hang-bi dengan tiga pembantu wanita yang berumur lima puluhan tahun.

Setelah selesai menyiram taman bunga dihalamannya, Can-hang-bi masuk kedalam, dan air mandi hangat sudah disiapkan dua wanita pembantunya, Can-hang-bi pun mandi membersihkan badan, kedua pembantu meninggalkan Can-hang-bi setelah mempersiapkan baju ganti, dengan santai Can-hang-bi menggosok tubuhnya dengan binar mata yang ayu, sesaat dia pejamkan mata sambil bersandar di pinggiran bak mandi.

Bibirnya yang mungil basah mereka mengulum senyum membayang sesuatu yang membuat hatinya menggeliat bahagia, wajah seorang pemuda rupawan jelas membayang dalam benaknya yang syahdu, wajah Im-yang-sin-taihap yang tampan rupawan, kharisma yang kuat, pendekar pujaan hatinya yang telah lima tahun meninggalkannya ditempat itu dengan sebuah harapan manis, Can-hang-bi hidup dengan harapan itu, semangat hidupnya menyala hangat dengan kenangan Im-yang-sin-taihap

“Bu-ko kekasihku..” bisiknya mesra dengan seulas senyum yang indah, dan tidak lama kemudian Can-hang- bi bangkit dan keluar dari bak mandi dan mengeringkan tubuh, lalu memakai baju ganti yang indah, hangat dan harum.

Tidak lama malampun tiba, Can-hang-bi dan ketiga pembantunya duduk semeja untuk makan malam, ketiga pembantunya sudah empat tahun bekerja ditempat itu, dan ketiganya sangat hormat dan sayang kepada majikan mereka ini, karena mereka diperlakukan dengan baik, sepertinya julukannya itu tidak lagi sepadan disematkan kepadanya, karena demikian harmonisnya ia dengan tiga pembantunya.

Memang benar, Can-hang-bi yang dulunya dedengkot hek-to yang sadis, sejak lima tahun yang silam sudah berubah seratus delapan puluh derajat, hatinya tidak lagi tidak berperasaan tapi malah sebaliknya penuh cinta dan welas asih pada sesama, ini berkat pertemuannya dengan Im-yang-sin-taihap yang telah menundukannya lahir dan batin, sejak pertemuan itu cita-citanya hanya satu yakni mengimbangi prinsip hidup pujaan hatinya yang terkenal kebaikan dan kebijakannya, dia mesti menjadi air yang mengalir jernih, sesuai dengan nasehat kekasihnya.

“can-siocia, sepertinya perbekalan sayur dan lauk kita sudah habis.” Ujar seorang pembantunya setelah selesai makan

“hmh…kalau begitu Ma-siokbo, aku akan kekota Bao besok untuk membeli persedian kita.” sahut Can- hang-bi, pembantunya mengangguk

“apakah ada lagi yang mungkin sam-siokbo titip untuk saya beli nanti dikota?” “kalau sempat Can-siocia, belikanlah beberapa helai kain untukku.” sahut she-Ma

“kalau saya Can-siocia, kalau dapat belikan juga sepaket riasan wajah.” sela she-Sim “bagaimana dengan Kao-siokbo, apakah ada yang mau dititip?”

“tidak ada Can-siocia.” jawab she-Kao

“baiklah kalau begitu, sekarang istirahatlah sam-siok-bo!” ujar Can-hang-bi, kemudian ketiga pembantunya berdiri dan membersihkan meja makan dan mengangkati mangkok bekas makanan.

Keesokan harinya Can-hang-bi berangkat kekota Bao, perjalanan hanya memakan satu hari sampailah ia di kota Bao, persedian sayur dan lauk serta titipan dua pembantunyapun dibeli, ketika hendak pulang, seorang pemuda buntung menegurnya

“selamat bertemu Bi-sumoi!” tegur lelaki itu dan empat temannya juga ikut menjura kepada Can-hang-bi “hmh… ternyata Bouw-suheng, apa kabarmu suheng?” sahut Can-hang “kabarku baik-baik saja sumoi, dimanakah sekarang engkau tinggal, sumoi?” “aku berdiam di Jim-kok suheng, marilah singgah di tempatku!”

“baiklah, mari si-sute kita singgah di tempat sumoi.” sahut Ma-tin-bouw, kemudian merekapun bergerak dengan mengerahkan lari cepat, sehingga keesokan harinya sampailah mereka di kediaman Can-hang-bi, mereka disambut tiga pembantu Can-hang-bi.

Ma-tin-bouw dan keempat sutenya heran melihat kehidupan rekan seperguruan mereka yang terkesan sepi, setelah makan siang mereka duduk di ruang tengah

“tempatmu ini sangat indah sumoi, namun kemanakah saudara-saudara kita yang lain?”

“saudara-saudara yang lain tidak tinggal disini suheng, dan hanya saya dan tiga pembantu saya yang menghuni tempat ini.”

“kenapa demikian sumoi, bukankah seratus dari adik seperguruan kita ada pada tanggunganmu?”

“benar suheng, namun lima tahun yang lalu mereka sudah saya bubarkan, setelah beberapa orang tewas di tangan sumoinya Im-yang-sin-taihap.”

“lalu kenapa yang lain sumoi bubarkan?” tanya Ma-tin-bouw dengan nada tidak senang

“karena aku tidak mau lagi terikat dengan mereka, dan saya sudah cuci tangan dari apa yang selama ini saya lakukan.”

“cuci tangan? apakah kamu mendurhakai prinsip suhu thian-te-ong?” “benar suheng, saya tidak mau lagi mengikuti prinsip hidup Thian-te-ong.” “sungguh engkau mengecewakan sekali sumoi!” tegur Ma-tin-bouw keras

“suheng, ini adalah keputusan yang telah ku ambil, dan aku harap suheng tidak ikut campur dalam hal ini.”

“kurangajar, kamu telah menghianati suhu, dan humumannya hanya kematian!” bentak Ma-tin-bouw

“suheng, pelankan suaramu, hak hidupku tidak ada yang boleh mencampuri sekalipun suhu sendiri.” sahut Can-hang-bi lantang

“Can-hang-bi, tidak kusangka kamu akan menjadi seperti ini, kamu tahun, kita ini harapan dari suhu, kenapa engkau berbuat seperti ini, apa sebabnya!?”

“sebabnya tidak perlu suheng ketahui, yang jelas aku telah mengambil dan memutuskan jalan hidupku, terserah bagimana penilaian suheng, tapi tolong jangan merusak pertemuan kita ini dengan hal yang tidak baik, saya masih menghormati ikatan perguruan yang ada.”

“kamu adalah murid durhaka, kamu pantas dihukum, dan saya akan mewakili suhu untuk menghukummu!”

“suheng, jika rasa hormat saya ini anda putuskan seperti demikian, maka saya tidak akan undur.” tantang Can-hang-bi

“kalau begitu terimalah ini!” teriak Ma-tin-bouw sambil menyerang Can-hang-bi, Can-hang-bi dengan gesit berkelit dan melayang keluar rumah, lima saudaranya mengejar dan langsung mengurung Can-hang-bi, ketiga pembantu Can-hang-bi keluar rumah untuk melihat keadaan dengan wajah pucat dan takut

Can-hang-bi dikeroyok oleh lima saudara seperguruannya, dengan gigih Can-hang-bi melawan keroyokan yang dahsyat dan berbahaya, serangan Ma-tin-bouw demikian gencar dan bertubi-tubi ditambah lagi empat sutenya yang tidak boleh dipandang ringan, dengan tenang dan mantap Can-hang-bi menerima segala kemungkinan, hatinya tetap untuk menerima segala resiko dari langkah yang diambilnya. Seratus jurus sudah berlalu, Can-hang-bi sudah terdesak hebat, beberapa sabetan pedang telah melukai tubuhnya, namun Can-hang-bi tidak mengeluh dan tetap melawan sedaya upaya, kalau hanya Ma-tin-bouw yang menyerangnya, kemungkinan besar keadaan akan seimbang, namun karena Ma-tin-bouw mengeroyoknya dengan empat sute mereka, Can-hang-bi harus rela menjadi bulan-bulanan keroyokan saudara-saudaranya.

“mampuslah kamu murid durhaka!” bentak Ma-tin-bouw sambil memutar pedang dengan sebelah tangannya dan dengan cepat mengayun kearah pinggang Can-hang-bi, Can-hang-bi berkelit dengan melempar diri kebelakang

“cep…” pedang seorang saudaranya menancap dibahunya dan sebelum pedangnya jatuh, Can-hang-bi melempar pedangnya sehingga menancap diperut seorang pengeroyoknya, sehingga tubuhnya berkelonjotan dan tewas seketika, Can-hang-bi sempoyongan memegang pundaknya yang bersimbah darah, dan kemudian sebuah sabetan pedang mengancam lehernya, Can-hang-bi berusaha menghindar dengan menggelinding dan

“cep…prak…” sebuah pedang lain meusuk pahanya, darah muncrat, namun orang yang menusuknya kepalanya pecah di hantam pukulan Can-hang-bi dan tewas seketika, Can-hang-bi berusaha bergerak menjauh menyeret tubuhnya, Ma-tin-bouw melangkah mendekatinya

“Can-hang-bi kembalilah pada prinsip guru, sebelum nyawamu kami habisi!”

“Ma-tin-bouw, aku sudah tidak berdaya, jika engkau mau bunuh, maka bunuhlah, jangan harap aku akan mengotori diriku dengan kebusukan prinsip kalian.” sahut Can-hang-bi mantap.

“sialan, apa yang harus kita lakukan suheng!?” tanya sutenya dengan kesal dan gemas

“hmh….apakah kamu sudah demikian bodoh Hang-bi!?” sela Ma-tin-bouw dengan nada marah, Can-hang- bi diam tidak menjawab, keadaan itu sepi dan tegang

“apakah aku harus membunuhmu Can-hang-bi!?

“Ma-tin-bouw lakukankah, apa yang hendak kamu lakukan, Bu-ko…kekasihku…. aku akan tetap menjadi aliran sungai yang jernih walaupun nyawaku jadi tebusannya.” sahut Can-hang-bi sambil meneriaki kekasihnya, senyumnya mereka dan matanya menatap kelangit

“sudahlah suheng, bunuh sajalah, apalagi yang hendak ditunggu, dua saudara kita telah tewas ditangannya.” sela saudaranya

“hmh…apakah Bu-ko mu itu Kwaa-han-bu Im-yang-sin-taihap!?” tanya Ma-tin-bouw gemas, Can-hang-bi tidak menggubris dan hanya diam, hal ini membuat Ma-tin-bouw makin kesal

“bangsat sialan, baiklah, kamu tidak akan mati tapi akan ku buat cacat dan kurobek wajamu, sehingga kamu merasa menyesal, karena kekasihmu akan enggan melihat wajah dan cacatmu.” ancam Ma-tin-bouw, Can- hang-bi memejamkan matanya, dan

“crak…sssst…ssttttt..sstttt….crak…” sebelah tangan Can-hang-bi bunting sebatas siku, wajahnya tiga kali disayat pedang, dan sebelah kakinya buntung sebatas lutut, Can-hang-bi dengan mengeram sakit hingga pingsan, darah bersimbah memancur dari luka tebasan dan sayatan.

“mari kita pergi dari sini!” ujar Ma-tin-bouw berkelabat dari tempat itu, dua sutenya menyusul, mereka meninggalkan jasad dua sutenya yang tewas disamping Can-hang-bi yang pingsan dengan keadaan mengerikan, ketiga pembantu Can-hang-bi menjerit histeris mendapatkan Can-hang-bi yang pingsan, ketiganya segera mengangkat Can-hang-bi dan membersihkan luka yang membuat perut mual.

Pada hari ketiga Can-hang-bi siuman dari pingsannya yang sudah dua hari, segera she-Ma menyuap bubur hangat untuk mengisi perut Can-hang-bi yang kosong, Can-hang-bi mencoba bergerak, rasanya seluruh tubuhnya nyeri

“janganlah terlalu banyak bergerak social, lukamu sangat parah dan darahmu banyak yang keluar, dan baru semalam kering, dan sudah diobati dan dibalut.” sela pembantunya she-Kao. Muka Can-hang-bi dibalut oleh pembantunya she-Ma dengan total hanya bagian mata dan mulut yang kelihatan, begitu juga sebelah tangan dan sebelah kaki Can-hang-bi, keadaan Can-hang-bi memang memperihatinkan dan mengenaskan, namun luar biasanya hati demikian lapang menerima keadaannya, walhal disela sela nyeri yang ia rasakan benaknya dihiasi oleh wajah kekasih hatinya Im-yang-sin-taihap, dan kenyataannya bayangan itu membuat hatinya nyaman dan lapang.

setiap tiga hari she-ma menukar pembalut luka Can-hang-bi, dan tiga bulan kemudian, luka sayatan diwajahnya tidak lagi dibalut, bekasnya sungguh mengerikan, batang hidung yang dulunya cantik sekarang sudah sompal, dua alis mata yang dulu nyata sekarang sudah kelimis bergurat sampai kepipi kanan dan dikiri, dan bibir bagian bawah robek besar sehingga giginya tidak bisa lagi tertutup. sungguh wajah itu sekarang mengerikan.

Tiga pembantunya yang setiap hari menyaksikan wajah itu memandangnya penuh iba. “pa..u..gis a-bo? tanya can-hang-bi, ketika melihat she-Ma menangis?

“siocia, alangkah hebatnya derita yang kamu alami, sungguh saudaramu itu iblis durjana.”

“lah…a-bo…ngan.. dih, ngan..at..ku..di…mah.” sahut Can-hang-bi, she-ma semakin sesugukan untuk merangkai kata-kata Can-hang-bi.

Pulau kura-kura sekarang sudah ramai kembali, bukoan Pat-hong-heng-te telah dibuka kembali, dipimpin oleh delapan kauwsu, dalam jangka setahun setelah taisu mereka menikah, murid-murid Pat-hong-heng-te sudah berjumlah seratus lima puluh yang terdiri dari seratus pemuda belia berumur lima belas sampai delapan belas tahun, dan lima puluh wanita belia.

Perguruan Pat-hong-heng-te memiliki dua ilmu yangan kosong yang sudah disaring oleh Im-yang sin-taihap, yakni”lo-sian-ciang-pat” (Delapan pukulan dewa tua) ilmu ini rangkuman dari empat ilmu yang dikuasai oleh delapan kauwsu yang diciptakan Kim-khong-taihap pada mulanya, kemudian”Sian-po-kun-pat” (delapan pukulan langkah dewa) ilmu rangkuman Im-yang-sin-taihap akan enam ilmu ciptaan Kim-khong-taihap akan intisari keenam istrinya.

Kemudian satu ilmu pedang yang disaring oleh Im-yang-sin-taihap dari dua ilmu pedang pathong-heng-te dan dan digabung dengan ilmu pedang keturunan she-kwee, dan diberi nama Lo-sian-pat-lui-kong-kiam” (pedang kilat delapan dewa tua), kemudian satu ilmu yang menggunakan sabuk dan kipas, yang diberi nama”sin-kin-sian-san” (kipas dewa sabuk sakti).

Malam itu Im-yang-sin-taihap mengumpulkan delapan suhengnya di runga tengah istana pulau kura-kura

“pat-suheng yang saya muliakan, besok saya dan istri akan kedaratan besar, untuk mengurus beberapa hal disamping berkelana memantau kondisi liok-lim.”

“sute yang baik, untuk hal urusanmu di daratan besar tentu kami tidak patut ikut campur, hanya untuk kondisi liok-lim, hal apakah yang ingin sute lakukan?” tanya Coa-ban-kui

“Kui-suheng, sebagaimana dulu saya katakan bahwa Pah-sim-sai-jin belumlah tewas, oleh karena itu saya akan memantau keberadaan dan kemunculannya.”

“hmh…jika demikian sute, kami pun merasa tepat dengan rencana sute, untuk menjelajah daratan besar, semoga saja tugas sute ini dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan apa yang kita harapkan.”

“semoga dengan restu para suheng, Thian memberikan kemudahan bagi kami dalam mengemban tugas.” sahut Im-yang-sin-taihap, kemudian pembicaraan malam itu banyak nasehat dan harapan-harapan yang dibicarakan sehingga larut malam.

Keesokan harinya Im-yang-sin-taihap dan istrinya Kwee-kim-in bertolak dari pulau kura-kura menuju daratan besar, sesampai di kota Kaifeng, Kwaa-han-bu dan istrinya singgah untuk melewatkan malam di sebuah likoan

“dari arah manakah kita mulai Bu-ko perjalanan ini?” “kita akan mulau dari sini kewilayah timur, dan kita akan singgah dulu di kota Kun-leng untuk melihat keadaan rumah disana.”

“apakah rumah disana ada yang menjaganya?”

“entahlah In-moi, jadi karena itu kita perlu melihatnya kesana.” jawab Kwaa-han-bu sambil membuka baju luar dan Kwee-kim-in menerima baju itu dari tangan suaminya dan menggantungnya.

“sekarang marilah kita istirahat!” ajak Kwaa-han-bu, Kwee kim-in mengikuti suaminya keranjang dan baring manja disampingnya.

Sambil berpelukan sepasang sejoli itu terlelap dalam tidur, keesokan harinya keduanya melanjutkan perjalanan menuju kota Kun-leng, ketika sampai di kota Kicu keduanya memasuki likoan, pengunjung likoan itu lumayan padat, seorang pelayan mendatangi mereka

“sicu pelayan tolong dihidangkan dua porsi makanan nasi dan lauknya serta sepoci teh hangat.” ujar Kwee- kim-in

“baik kouwnio, silahkan duduk dan sabar, kami akan segera menghidakannya.” sahut pelayan ramah.

Kwaa-han-bu memperhatikan para tamu yang sedang makan, dan matanya bertemu pandang dengan seorang lelaki tua, lelaki tua itu juga memandang kepadanya, Kwaa-han-bu mengangguk sambil tersenyum, lelaki tua itu kemudian melanjutkan makannya.

Tidak lama kemudian makanan yang dipesanpun datang dan dihidangankan pelayan, Kwaa-han-bu dan istri makan dengan lahap

“Im-yang-sin-taihap, setelah selesai makan aku ingin bicara denganmu di pintu gerbang utara kota.” sela lelaki tua itu sambil lalu dari depan Kwaa-han-bu

“baik cianpwe, aku akan menemui cianpwe di sana.”

“siapakah cianpwe itu Bu-ko?”

“dia adalah Ui-hai-sian, seorang yang dulunya pemburu pusaka pulau es.” “hmh… apakah maksudnya mengundang Bu-ko untuk bertemu?”

“tidak tahu, nanti juga akan kita ketahui.” “kelihatannya dia bangga dengan ketuaannya, Bu-ko.”

“benar, dan memang dia adalah golongan tua, dan patut kita hormat padanya.” “tapi dari nada bicaranya, membuat kesan jelek dalam pandanganku Bu-ko.”

“berprasangka baiklah In-moi, karena itu lebih baik dan lebih selamat.” tegur Kwaa-han-bu, Kwee-kim-in menunduk dan mengangguk patuh pada suaminya.

Setelah selesai makan, Kwaa-han-bu dan istri berangkat ke gerbang utara kota, sesampai disana, Ui-hai- sian sedang duduk menantinya di pinggir hutan

“selamat bertemu cianpwe Ui-hai-sian!” sapa Kwaa-han-bu “selamat bertemu Im-yang-sin-taihap.” sahut Ui-hai-sian “cianpwe ini adalah istri saya Kwee-kim-in.”

“selamat bertemu Kwaa-hujin.” sapa Ui-hai-sian sambil menjura, dan dibalas ramah oleh Kwee-kim-in “ada apakah cianpwe sehingga mengundang saya, apakah yang ingin cianpwe bicarakan?”

“Im-yang-sin-taihap, kamu sepertinya tidak tuntas melenyapkan Pah-sim-sai-jin, karena menurut yang saya dengar, kamu membiarkan dia melarikan diri.”

“memang benar cianpwe, lalu hubungannya apa cianpwe?”

“she-taihap, jika Pah-sim-sai-jin masih hidup, ada kemungkinan besar dia akan kembali membuat kejahatan.”

“hal itu memang sangat mungkin cianpwe, oleh karena itu kita harus tetap waspada.” “sayang sekali she-taihap, pekerjaanmu kepalang tanggung.”

“maaf loncianpwe, kemampuan saya hanya sapai disitu, karena saya juga tidak habis pikir tentang kegaanjilan tubuh Pah-sim-sai-jin.

“maaf cianpwe, jika cianpwe ada saat itu ketika kami berhadapan dengan Pah-sim-sai-jin, mungkin usaha kita dapat maksimal, tapi kemanakah cianpwe saat itu?” sela Kwee-kim-in tajam, Ui-hai-sian menetap Kwee-kim-in dengan air muka berobah

“karena orang-orang menyandarkan harapan hanya pada she-taihap, makanya saya hanya memperhatikan.”

“bukankah itu sikap kekanak-kenakan cianpwe, tidak seharusnya cianpwe mengambil sikap seperti itu, kita ini menghadapi tirani, dan tirani adalah tanggung jawab kita semua untuk melenyapkan.”

“sudahlah In-moi dan cianpwe Ui-hai-sian, tak guna memperdebatkan hal seperti itu, yang penting sekarang, mengatasi jika kemungkinan Pah-sim-sai-jin akan kembali menebar tirani, apakah usul cianpwe dalam masalah ini?” ujar Kwaa-han-bu menengahi ketegangan antara Ui-hai-sian dan istrinya.

“saya punya ide, jika kemungkinan itu terjadi.” “apakah ide itu cianpwe?” tanya Kwaa-han-bu

“kita harus kembali mengadakan pemilihan bengcu sebagai batu penjuru dari kekuatan pendekar.” “hmh… ide yang bagus cianpwe, apakah cianpwe mau memprakarsai perhelatan tersebut?” “tentu aku siap untuk itu.” jawab Ui-hai-sian

“jika demikian, cianpwe lakukankanlah, kami akan sangat suka menghadirinya untuk kemaslahatan kita semua.

“bagaimana cianpwe memulainya, dan seperti apa rencana perhelatan itu?” sela Kwee-kim-in

“saya akan menyampaikan undangan ini atas nama she-taihap, dan rencana saya, bahwa perhelatan itu akan di adakan tahun depan pada musim cun di kota Sinyang.”

“demikian pun bagus cianpwe, kami juga akan membantu cianpwe untuk menyampaikan kedunia liok-lim.” sela Kwaa-han-bu.

“baiklah kalau begitu, kita berpisah disini dan tahun depan kita berjumpa kembali.”

“baik cianpwe kami akan usahakan untuk menghadirinya kalau tidak aral melintang.” sahut Im-yang-sin- taihap, Ui-hai-sin berkelabat dari tempat itu, dan Im-yang-sin-taihap dan istri juga segera melanjutkan perjalanan.

Disebuah hutan dua wanita cantik sedang menikmati panggang kelinci, keduanya adalah Lauw-bi-hong dan Cia-sian-li, sedang lahpanya mekan, tiba-tiba gerombolan perampok muncul dan mengurung tempat itu “hehehe…ada dua mangsa mungil twako, kalau tidak ada barang bawaan, tubuh mereka bukan tidak berharga.” ujar seorang perampok dengan mata berkedip mengkilat

“hahaha..hahah.. memang kamu sute, pantang melihat wanita cantik.” sahut yang dipanggil twako.

“saya minta kalian tidak memancing urusan dengan kami, demi untuk kebaikan kalian.” ujar Lauw-bi-hong lantang

“hah…sialan, malah kita dipandang remeh, heh..! kami ini penguasa wilayah daerah ini, dan siapa yang coba-coba menantang kami, maka itu pertanda akhir dari hidupnya.”

“sekali lagi aku katakana, enyahlah kalian dari sini, jika tidak kalian akan menyesal telah membuat urusan dengan kami.” sahut Lauw-bi-hong

Bangsat badebah, ringkus dua wanita tidak tahu diri ini!” teriak pimpinan rampok, serta merta dua puluh menyerang dan yang lain berjaga-jaga, Lauw-bi-hong bergerak cepat memapaki banjir serangan itu, gerakannya sangat cepat dan menyalip diantara ayunan dan sabetan senjata lawan

“trang…tranggg..trangg….trangg..” empat pedang lawan beradu dengan pedang Lauw-bi-hong kemudian disusul dengan sebuah serangan

“crak.,..cep…crak….crak…” empat lawannya terjungkal tewas bermandikan darah, gerakan itu masih memburu lawan-lawannya, sehingga kontan sisa perampok yang mengeroyok undur tiga tindak

“serang… jangan takut!” teriak pimpinan rampok sambil bergerak menyerang ke arah Lauw-bi-hong, Lauw- bi-hong dengan cekatan melayani serangan pimpinan dan para anak buahnya, sementara Cia-sian-li diam berdiri menonton pertempuran tersebut, dia selalu waspada jika keadaan mendesak Lauw-bi-hong, namun sampai sejauh itu Lauw-bi-hong masih ibarat benteng ketaton yang memporak-porandakan keroyokan lawannya, dan terbukti lima orang ambruk tidak berdaya dengan luka-luka yang tidak ringan.

“pimpinan rampok makin kesal dan marah, anak buahnya terus diteriaki untuk merangsak maju, namun setiap mereka maju semakin bertambah korban dari pihak mereka, sudah ada dua puluh orang dari mereka yang tergeletak, sebagian besar tewas dan yang lainnya luka parah, mereka tinggal lima belas orang, mereka hanya mengurung sementara empat pimpinan mereka berusaha menundukkan Lauw-bi-hong.

Lauw-bi-hong dengan ilmunya yang luar biasa membalas serangan-serangan empat lawannya, gerakan pedangnya yang laksana gelombang membuat empat lawannya tergetar, perubahan-perubahan gerakan yang luar biasa gesit membuat keempatnya harus ekstra hati-hati, dan pada jurus keseratus, dua dari mereka terpaksa menerima binasa, karena tidak sanggup berkelit dari tusukan berantai dari Lauw-bi-hong, yang mengancam jantung, keduanya ambruk tewas seketika

Dua pimpinan yang lain segera melompat dan ambil langkah seribu, mnelihat dua pimpinan mereka menyingkir, konta lima belas orang itu membalik badan dan melarikan diri, Lauw-bi-hong dan Cia-sian-li tidak mengejar

“hmh.. membikin tempat ini jadi tidak nyaman, marilah Li-moi kita ketempat lain.” Ujar Lauw-bi-hong, keduanya berkelebata ke bagian timur hutan, ketika mereka berhenti, mereka melihat bayangan menuruni lembah dan mengendap-endap diantara pepohonan, keduanya menuruni lembah untuk melihat apa yang ingin dilakukan orang tersebut.

Dibawah lembah ternyata ada sebuah sungai yang jernih, dan ditengah sungai itu seorang lelaki sedang mandi, sementara di pinggir suungai seorang wanita cantik sedang memanggang binatang buruan.

“hmh… ternyata kita dia mengintip pasangan itu.” bisik Cia-sian-li memalingkan wajahnya, namun Lauw-bi- hong tetap melihat penuh perhatian pada lelaki yang sedang mandi.

“cici, apa yang kamu lihat, alangkah memalukan perbuatan kita ini.” ujar Cia-sian-li sambil memandang kearah lain.

“lelaki itu she-taihap, bayangan yang selalu menghiasi hari-hariku.” sahut Lauw-bi-hong lirih dengan nada bergetar, mendengar nada suara yang bergetar dan panggilan she-taihap memmbuat darah Cia-sian-li tersirap dan tubuhnya bergetar, dengan spontan dia menoleh kembali dan jelaslah baginya lelaki yang mandi itu adalah Im-yang-sin-taihap, kemudian Cia-sian-li melihat wanita di pinggir sungai, hati berteriak, karena wanita itu adalah Kwee-kim-in.

Cia-sian-li memandang kepada Lauw-bi-hong yang juga memandangnya, wajah keduanya pucat, dan itu membuat Lauw-bi-hong heran

“kamu kenapa Li-moi?”

“tidak..tidak apa-apa Hong-cici, apa yang harus kita lakukan?” sahut Cia-sian-li

“hmh…apakah menurutmu kita akan turun dan mendatangi mereka, siapakah wanita itu?” ujar Lauw-bi- hong

“wanita itu adalah sumoinya cici.”

“heh..kenalkah engkau dengan wanita itu, siapakah namanya?” “aku kenal keduanya cici, sumoinya itu bernama Kwee-kim-in.” “apakah kalian pernah bertemu?”

“pernah cici, dulu ketika mereka singgah didesa kami.”

“kalua begitu kita harus menemui mereka.” ujar Lauw-bi-hong dan bergerak menuruni lembah ke arah sungai, Cia-sian-li mengikuti Lauw-bi-hong

Kwaa-han-bu bangkit dari air dan tiga bayangan hampir bersamaan sampai ketepi diseberang sungai, dan tak pelak mereka melihat seluruh bagian tubuh Im-yang-sin-taihap, Im-yang-sin-taihap spontan membenamkan dirinya kedalam sungai, Kwee-kim-in yang melihat tiga bayangan itu melotot dan berteriak

“heh…siapa kalian, apa kalian tidak punya sopan santun!?”

“maaf In-moi dan Bu-ko.” sahut Cia-sian-li sambil menunduk dalam dengan muka jengah dan malu, Lauw- bi-hong juga menunduk dan matanya melirik kesamping pada orang ketiga, ternyata orang ketiga adalah Khu-hong-in

“apakah itu kamu Li-moi!?” tanya Kwaa-han-bu

“benar Bu-ko, ini aku Cia-sian-li.” sahut Cia-sian-li tetap menunduk “she-taihap, aku Lauw-bi-hong.”

“dan aku Khu-hong-in, taihap, maafkan kami.” sela Khu-hong-in

“hahaha..hahaha…kalian sungguh membuat aku malu, kalian berbaliklah dulu, aku mau berpakaian.” ujar Kwaa-han-bu, mendengar suara tawa itu, ketiganya menjadi tersenyum, entah bagaimana rasa malu itu hilang seketika, dan mereka membalik badan dengan senyum terkulum.

“sudah kalian datanglah kesini!” ujar Kwaa-han-bu, ketiganya langsung bergerak melompat keatas bebatuan yang tersembul dari dalam sungai yang jernih, dan dengan tiga kali lompatan mereka sudah sampai ke dekat Kwee-kim-in.

“maaf bu-ko, sungguh kami tidak kuasa menahan untuk bertemu.” ujar Cia-sian-li

“hik..hik… Li-cici, tidak kusangka kita akan bertemu disini.” sela Kwee-kim-in sambil memeluk Cia-sian-li “dan dua cici ini siapakah?” tanya Kwee-kim-in

“mereka juga adalah teman kita In-moi, itu adalah Lauw-bi-hong dan yang ini adalah Khu-hong-in.” jawab Kwaa-han-bu “selamat bertemu Hong-cici dan In-cici, saya adalah Kwee-kim-in istri dari Bu-ko.” ujar Kwee-kim-in sambil menjura, mendengar bahwa Kwee-hong-in yang ramah ini adalah istri Im-yang-sin-taihap ketiganya melengak terdiam seribu basa

“duduklah Bi-hong dan Hong-in, kamu juga Li-moi, dan makanlah bersama In-moi, sebentar saya akan kembali lagi.” Ujar Kwaa-han-bu dan tubuhnya menghilang dari tempat itu.

“sepertinya kedatangan sam cici, mempunyai tujuan yang sama yakni ingin bertemu dengan Bu-ko.” ujar Kwee-kim-in, ketiganya saling pandang

“bisa dikatakan demikianlah In-moi, tapi sejauh perjalanan yang kami tempuh, saya tidak tahu apakah Li- moi juga demikian.” jawab Lauw-bi-hong

“memang hal niat saya tidak saya sampaikan pada Hong-cici, sementara apa yang terniat dihati Hong-cici, saya ketahui, dan saat ini saya katakana, memang awalnya saya mau menumui Bu-ko, tapi setelah mengetahui bahwa Bu-ko telah mengambil In-moi jadi istri, maka saya ingin bertemu dan berbagi rasa dengan In-moi.” sela Cia-sian-li

“bagaimana dengan Khu-cici?” tanya Kwee-kim-in

“saya sama tujuan dengan rekanku Lauw-bi-hong, dan saya tidak menyangka bahwa kami berdua akan bertemu dalam kondisi seperti ini.”

“kondisi seperti apakah maksud Khu-cici?”

“In-moi, jujur kami akui, bahwa kami telah bertemu dengan Im-yang-sin-tai-hap, kami bertiga seperguruan mempunyai ketertarikan yang sama pada Im-yang-sin-taihap, suami In-moi.”

“bolehkah aku tahu apa tujuan menemui suamiku?”

“In-moi, kamu mungkin memiliki pemikiran untuk menolak apa yang ingin kami sampaikan, tapi karena kamu berhak mengetahuinya, maka akan kami sampaikan juga.”

“sampaikanlah Li-cici, jujur aku melihat ada kesepakatan tidak tertulis antara sam-cici dengan suami saya,” “maaf In-moi, saya dan Im-yang-sin-tai-hap tidak ada kesepakatan.” sela Lauw-bi-hong

“demikian juga dengan saya.” sela Khu-hong-in “bagaimana dengan Li-cici?”

“saya dan Bu-ko, pada hari engkau tinggalkan kami berdua, kamu mengikat janji, tapi aku berbesar hati apapun keadaan Bu-ko sekarang ini, jika memang Bu-ko akan menepati janjinya pada saya sungguh aku bahagia dengan itu, namun jika janji itu tidak dapat Bu-ko penuhi, aku akan tetap hidup dengan itu walaupun sampai hayat aku hidup dengan bayangan Bu-ko.”

“perihal Li-cici, memang telah aku ketahui, dan saya juga mengharapkan bahwa Bu-ko memenuhi janjinya kepada Li-cici, dan perjalanan kami ini salah satunya adalah untuk tujuan itu, meminta cici kepada paman Cia.” sahut Kwee-kim-in, Cia-sian-li menatap Kwee-kim-in dengan lembut dan sesaat matanya berkaca- kaca

“In-moi, apakah kamu rela membagi tempat dengan saya disamping Bu-ko?”

“benar Li-cici, dalam cinta bukan aku yang pertama menawan hati Bu-ko, akan tetapi dirimulah Li-moi, jadi sungguh tidak patut aku menghalangi ikatan janji suci itu, dan terlebih cintaku pada Bu-koko tidak ingin melihat Bu-ko mengingkari janjinya, aku hanya cinta pada Bu-koko, bagiku aku mendapatkan cinta Bu-koko cukuplah bagiku.” ujar Kwee-kim-in, Lauw-bi-hong dan Khu-hong-in tercenung meresapi kata-kata Kwee- kim-in.

“satu bentuk rasa yang luarbiasa apa yang aku dengar In-moi, dan juga engkau Li-moi, aku tidak menyangka bahwa engkau juga menyimpan rasa kepada Im-yang-sin-taihap, namun dengan rapi engkau menyimpan perasaan itu walaupun aku demikian mesra membayangkan Im-yang-sin-taihap disampingmu selama kita dalam perjalanan.” ujar Lauw-bi-hong

“Hong-cici, bagiku sama hal dengan In-moi, mendapatkan cinta Bu-ko cukuplah bagiku, Bu-ko adalah sandaran kokoh dan hangat bagi setiap wanita yang mencinta, jadi tidak benar aku menghalangi kaumku untuk mendapatkan apa yang ingin kudapatkan.” Sahut Cia-sian-li

“sungguh kalian sangat tepat mendampingi Im-yang-sin-taihap, dan kalian demikian terbuka dalam hal ini, sehingga aku melihat betapa luas peluang untuk meraih cinta Im-yang-sin-taihap, ji-moi, menurut kalian apakah aku tepat menjadi bagian dari kalian?” sela Khu-hong-in

“Khu-cici, tepat dan tidak tepat tergantung type cinta apa yang hendak cici persembahkan kepada Bu-ko, dan menurut saya, siapapun wanita itu, jika Bu-ko mengambilnya pasti sudah layak berbagi tempat denganku disamping Bu-ko.” sahut Kwee-kim-in.

“terimakasih atas kelapangan hati In-moi, semoga Thian menetapkan takdirku ada diantaramu In-moi, namun sebagaimana kata Li-moi, aku akan lega dengan apapun keputusan dari Im-yang-sin-taihap.” sela Lauw-bi-hong

“benar sekali Bi-hong, karena kharisma Im-yang-sin-taihap kita berubah, dan sekarang cinta kita akan diuji, boleh jadi selama ini kita bertahan karena hangat dan indahnya bayangan cinta Im-yang-sin-taihap, dan setelah bertemu kenyataan bahwa beliau telah memiliki istri, hati kita juga lega dengan kenyataan itu, tidak ada rasa kecewa maupun sakit dalam hatiku akan kenyataan ini, lalu bagaimana nanti keputusan Im-yang- sin-taihap, tidak sabar aku ingin mengetahui apa yang kurasakan.”

“Khu-cici, alangkah tegarnya perasaan cinta yang kamu tunjukkan pada suamiku, saya juga mendoakan kepada Thian, semoga cinta yang sedemikian besar mendapat pelabuhan yang sesuai harapan cici.” “terimakasih In-moi, sungguh ungkapanmu membuat aku haru dan bahagia.” sahut Khu-hong-in sambil memeluk Kwee-kim-in.

“suamiku meminta kita makan panggang kelinci ini.”

“In-moi, walaupun aku belum menerima keputusan Im-yang-sin-taihap, namun jika beliau menyuruhku makan mendahuluinya, rasanya tidak mungkin aku dapat telan, rasa takluk dan salutku padanya membuat aku bersikap demikian.” ujar Lauw-bi-hong

“aku juga demikian Hong-cici, aku mengerti sekali dengan sikap cici, kita berempat mencintai Bu-ko, jadi tentu kita punya perasaan yang sama.” sahut Kwee-kim-in, keempat sepakat melalui rasa untuk menunggu Im-yang-sin-taihap.

Setengah jam kemudian Kwaa-han-bu datang membawa seekor kijang yang sudah disembelih

“kenapa kalian belum makan?” tanya Kwaa-han-bu sambil melihat dua panggang kelinci yang masih teronggok diatas daun pisang.

“Bu-ko, saya dan sam cici sepakat menunggumu untuk makan bersama.” jawab Kwee-kim-in.

“jika demikian tunggulah sebentar, aku akan menguliti kijang ini, siapkanlah bumbunya In-moi!” ujar Kwaa- han-bu

Hanya dalam lima belas menit kijang telah selesai dikuliti, dan panggang guling kijangpun mulai menebar aroma yang menerbitkan selera,

“Bu-ko karena nampaknya hari ini kita akan makan besar, aku akan mengambil beberapa helai daun untuk alas makan kita.”

“benar aku akan menemani In-moi.” sela Khu-hong-in

“demikian juga aku, ranting untuk daging panggang besar ini kelihatannya kurang, aku akan mencari tambahan ranting.” sela Lauw-bi-hong, kemudian ketiganya meninggalkan Kwaa-han-bu dan Cia-sian-li Cia-sian-li merasa kikuk dan jengah setelah berduaan dengan Kwaa-han-bu, Kwaa-han-bu menatap wajah yang tertunduk itu

“Li-moi, bagaimana kabar paman di Kanghu?”

“Bu-ko kami tidak lagi di Kanghu, ayah dan ibu pindah ke Kun-lun-san sementara aku mengadakan perjalanan ke selatan.”

“kenapa paman pindah Li-moi?”

“kami diusir oleh The-kuncu, karena sakit hati lamarannya kami tolak.” “lalu kenapa kamu tidak ikut paman ke Kun-lun-san?”

“hal kita telah diketahui oleh ayah, dan ayah menyarankan aku untuk berkelana untuk membaktikan kebaikan di rimba persilatan, dan harapan mereka sebagaimana harapanku tentang ikatan diantara kita.” jawab Cia-sian-li, sejenak keduanya terdiam

“Bu-ko, aku melihat bahwa In-moi sudah menjadi istrimu, sungguh aku merasa bahagia dengan kenyataan itu, dan hatiku selalu berharap bahwa aku dapat hidup disampingmu, sebagai apakah aku, tidak masalah bagiku, hidup dengan melihat engkau ada didekatku, merupakan kebahagian dan tujuan hidupku.” ujar Cia- sian-li, Kwaa-han-bu berdiri dan meraih tangan Cia-sian-li, betapa gugupnya Cia-sian-li merasakan tarikan tangan Kwaa-han-bu yang mengajaknya berdiri, setelah Cia-sian-li berdiri, sebelah tangan Kwaa-hanbu memeluk pinggang Cia-sian-li, makin gemetar tubuh Cia-sian-li

Li-moi, apa yang kamu harapkan sama dengan harapanku, aku juga merindukan dan mencintaimu, aku akan menikahimu sayang.” bisik Kwaa-han-bu mesra, Cia-sian-li merasa terbang keawang-awang, terlebih sebuah lumatan mesra pada bibirnya membuat dia megap-megap tidak berdaya, tangannya melingkar dileher Kwaa-han-bu dan menikmati lumatan hangat pada bibirnya.

Keduanya saling melepas lumatan panjang dan nafas mereka saling memburu, Cia-sian-li menunduk malu dan bahagia, tidak lama Lauw-bi-hong datang membawa ranting kayu

“Hong-cici, dimanakah In-moi dan Khu-cici?” “mungkin masih mencari daun disebelah hilir sungai.”

“bu-ko aku akan menyusul mereka.” ujar Cia-sian-li sambil tersenyum mesra dan pandangan lembut. “baiklah, dan cepatlah kalian kembali.” sahut Kwaa-han-bu, Cia-sian-li segera meninggalkan keduanya

Lauw-bi-hong meletakkan ranting didekat perapian, dan menambah ranting untuk menambah bara api, dirinya tidak kuasa menatap Kwaa-han-bu, suasana hening

“Bi-hong, kemanakah engakau selama ini?” tanya Kwaa-han-bu memecah kesunyian “aku hanya berkelana di timur sambil memperbaiki diriku.”

“lalu apa yang kamu rasakan selama ini dalam usaha memperbaiki diri itu?”

“sungguh nikmat she-taihap, berbuat baik kepada orang menimbulkan kebahagian tersendiri, walaupun pada awalnya perubahan diri itu dipicu karena hatiku yang mencinta dirimu.”

“tidakkah kamu tahu bahwa aku sudah berisitri? tentu kamu kecewa bukan?”

“aku tidak kecewa taihap, malah sebaliknya aku merasa tidak patut, istrimu sungguh luar biasa, cintanya demikian besar dan murni padamu, sementara aku wanita yang terjebak pada kenistaan hidup, aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk dirimu, namun hati ini dengan tidak mengenal malu tetap ingin dekat denganmu, aku akan berusaha bertahan pada kebaikan ini walaupun aku tidak pantas disampingmu.”

“kamu demikian baik Bi-hong, cintamu telah membawa kebaikan yang luarbiasa, ketahuilah Bi-hong, harapan orang baik, Thian selalu perkenankan, aku tidak tahu apakah cintaku dapat memenuhi kecintaanmu yang luar biasa itu.” ujar Kwaa-han-bu, mendengar itu serta merta Lauw-bi-hong menatap wajah Kwaa-han-bu.

“she-taihap, sungguh engkau telah menyanjungku sedemikian rupa, dan membuatku malu akan diriku.”

“Bi-hong, cintamu merupakan anugrah besar, aku bangga dengan dirimu, tidak bisa ku ingkari bahwa aku juga mencintaimu, memberikan bagian belahan jiwaku ini untukmu apakah pantas dan mencukupi bagi besarnya cintamu.”

“she-taihap, jawabanmnu saja telah memenuhi rongga batinku, sungguh sangat melimpah kurasakan jika aku dapat menjadi bagian dari belahan jiwamu.” sahut Lauw-bi-hong dengan nada bergetar, Kwaa-han-bu mendekati Lauw-bi-hong dan mengajaknya berdiri, Lauw-bi-hong merasa debaran hati yang bertalu-talu ketika jemari Kwaa-han-bu meraih tubuhnya, begitu dekat wajah Kwaa-han-bu, sehingga merasakan hembusan nafas membelai pipinya

“menikahlah denganku Bi-hong.” bisik Kwaa-han-bu, Kwaa-han-bu langsung lemas dan mandah saja ketika tubuhnya dipeluk erat Kwaa-han-bu, saat Lauw-bi-hong merasakan kenyataan kepalanya bersandar lekat didada Kwaa-han-bu, hatinya haru bahagia, dan tidak terasa air matanya mengalir deras menikmati hangatnya pelukan itu.

Tidak lama kemudian Kwee-kim-in beserta yang yang lain “apakah sudah matang hong-cici?” Tanya Kwee-kim-in

“sudah In-moi, marilah kita hidangkan pesta kecil kita ini.” jawab Lauw-bi-hong, kemudian merekapun duduk melingkar menyantap daging panggang kijang yang harum dan lezat

Khu-hong-in melirik Kwaa-han-bu penuh hati berdebar, karena ketika mereka sedang mencari daun bersama Kwee-kim-in

“bagimana ceritanya saat Khu-cici pertemuan dengan Bu-koko?” “pertemuan yang amat janggal sebenarnya In-moi

“maksudnya bagaimana cici?”

“kami bertiga sejak mendengar bahwa musuh kami adalah she-taihap, perasaan salut dan birahi kami muncul, dan dalam usaha untuk meringkus she-taihap, kami bertiga dirundung oleh perasaan hangat yang bergejolak.”

“lalu bagaimana Khu-cici?”

“saat pertemuan itu untungnya tidak terjadi pertempuran, disebabkan hati kami yang memang sudah takluk, dan she-taihap memilih menasehati kami dengan kata-kata dari pada memukuli kami.”

“lalu apa selanjutnya yang terjadi Khu-cici?”

“mendengar nasehat itu kami tahu bahwa terus menentang she-taihap akan celaka, sementara hati kami kian bergolak cinta pada paras dan kewibawaannya, saat itu aku dengan tidak malu-malu menawarkan apa yang kurasakan pada she-taihap, namun she-taihap menyatakan bahwa cintaku itu berdasarkan birahi sesaat.”

“terus bagaimana cici?”

“setelah she-taihap meninggalkan kami, kami bertiga berpisah untuk mengambil jalan masing-masing, hatiku selama tiga bulan bertanya-tanya benarkah cintaku berlandaskan birahi, kemudian aku singgah disebuah likoan di kota changchung dan bertemu dengan seorang lelaki tampan anak seorang hartawan, selama tiga hari akupun lupa dengan she-taihap, suatu malam aku bermimpi setelah selesai melakukan hubungan dengan lelaki yang menjadi kekasihku itu.”

“apakah mimpimu itu Khu-cici?” “aku bermimpi melihat diriku jatuh dan terhempas kedalam Lumpur, badanku kotor sekali, kemudian aku mencari sumber air untuk mencuci badanku yang kotor, namun berhari-hari aku mencari sumber air tidak aku dapatkan, dan anehnya setiap aku berhenti selalu ada rawa kotor disampingku.”

“lalu bagaimana selanjutnya cici?”

“setelah esoknya aku meninggalkan kekasihku itu, dan anehnya selama tiga hari aku berturur-turut mengalami mimpi yang sama, kemudian kuputuskan untuk menyendiri disebuah hutan di sebelah utara kota changchung, aku mau jadi pertapa saja, selama dua tahun aku menyendiri, keadaanku baik-baik saja, namun pada tahun ketiga aku teringat pada she-taihap, dan hatiku yang lain berkata bahwa aku ini tidak pantas, semakin aku berusaha melupakan she-taihap semakin besar kerinduanku padanya.”

“selanjutnya bagaimana cici?”

“sejak itu aku tidak lagi kuasa menghindar dari bayang-bayang she-taihap, akhirnya aku sakit karena rindu, saat sakit itu aku berpikir biarlah aku mati saja, namun apa yang kuharapkan tidak terjadi, aku bahkan sebulan kemudian sehat kembali, semakin kerinduanku itu menyesak dan melemahkan timbul kenyamanan yang tiada tara yang kurasakan.”

“kemudian bagaimana cici?”

“aku pun keluar dari hutan dan hendak menuju keselatan, disepanjang perjalanan aku malu pada diriku, karena mengingat kebejatan yang aku lakukan, jika aku memberikan bantuan pada orang, semakin diriku merasa tidak pantas dengan orang kurindukan.”

“lalu selanjutnya bagaimana cici?”

“oleh karena perasaan tidak pantas itu aku mencoba menghilangkan perasaan itu, tapi tidak bisa, kemudian aku berpikir bahwa jika ada seorang pendekar yang mencintaiku, tentu aku dapat melupakan she-taihap, demikianlah ketika aku sampai di kota Sinyang, aku melihat Ui-hai-liong-siang, dia adalah pendekar kenamaan, memiliki pribadi yang kuat, lalu aku mendatanginya dan berusaha untuk membujuknya, aku tahu ia juga sudah menikah, aku hanya minta sedikit dari cintanya, aku bangga dengan perasaan itu, bahwa cintaku saat itu bukan didorong keinginan birahi tapi didorong keinginan bertahan pada kebaikan.”

“lalu bagaimana tanggapan Ui-hai-liong-siang?”

“dia menolak, dan menyarankan bahwa perasaanku itu bukan untuknya tapi kepada she-taihap, bahkan dia mengatakan bahwa she-taihap akan melihat apa yang kuperjuangkan dalam cinta itu akan diketahui oleh she-taihap tanpa kuutarakan.”

“hmh…lalu bagaimana setelah bertemu dengan Bu-ko?”

“entahlah In-moi, hatiku makin sayang padanya, hatiku haru dan gembira melihatnya, dan kenapa aku gembira dan hari itupun tidak kuketahui, tidak ada sedikitpun terbersit dalam hatiku bahwa cintaku tidak bersambut, mungkinkah karena sikapmu In-moi?”

“mungkin saja Khu-cici, marilah kita kembali, nanti kita akan ketahui bagimana jadinya.”

Setelah selesai makan, empat wanita itu membersihkan tempat bekas makan, kemudian keempatnya duduk dihadapan Kwaa-hanbu

“In-moi, bagimana pandanganmu terhadap ketiga lihap ini?”

“Bu-ko, Li-cici orang yang pertama menawan hatimu, dan dua cici ini adalah dua wanita yang luarbiasa yang demikian ulet mencari nilai cinta yang mereka rasakan, cinta mereka menghasilkan kebaikan, jadi mengabaikan cinta pertama apakah hasilnya? menelantarkan kebaikan apa pulakah yang tersisa, tentu pertanyaan ini hanya Bu-ko yang dapat memberi jawaban.”

“In-moi-ku sayang, jawabanmu sungguh membuat aku takluk, syukur kepada Thian akan anugrah yang telah memberikan dirimu padaku.” sahut Kwaa-han-bu “baiklah dan dengarkanlah, kita semua akan ke Kunleng dan disana perasaan cinta akan diikatkan, Khu- hong-in, kamu adalah wanita yang tidak sungkan dengan perasaanmu, kamu demikian terbuka, usahamu selama ini dalam memahami cintamu demikian ulet, matamu jelas menunjukkannya padaku, cintamu juga akan berlabuh dipantai pengharapan yang selalu kamu impikan sayang, cintaku juga berlimpah padamu.” ujar Kwaa-han-bu, mendengar itu ketiga wanita itu menangis sesugukan dan tiba-tiba ketiganya memeluk Kwee-kim-in, Kwee-kim-in tidak kuasa ikut juga menangis bahagia menyambut pelukan dari tiga rekannya dalam mencintai Kwaa-han-bu

Sesampai mereka di Kun-leng, Kwaa-han-bu menemui pek-peknya Kwaa-tang-kui “Kui-pek, selamat bertemu kembali.”

“hmh….siapakah?” tanya lelaki tua keluar dari kedainya “Kui-pek, saya adalah Han-bu.”

“Han-bu, anak bungsu anak bungsu Lun-te!?” “benar Kui-pek.”

“ya..thian …. ternyata kamu selamat dari makar Pah-sim-sai-jin di pulau kura-kura, ayok mari masuk, A-hok gantikan aku melayani pembeli.” Ujar Kwaa-tang-kui, kemudian merekapun masuk dan disambut keluarga pamannya

“kemana saja kamu selama ini Bu-ji?”

“maaf Kui-pek setelah keluar dari Pulau kura-kura aku langsung menyibukkan diriku dengan tugas-tugas didunia persilatan sampai bertemu dengan Pah-sim-sai-jin.”

“jadi Im-yang-sin-taihap itu ternyata kamu Bu-ji.”

“benar paman, dan kenalkan ini adalah Kwee-kim-In, putri dari paman Kwee-thian, dan sekarang ia adalah istri saya.” sahut Kwaa-han-bu, Kwaa-tang-kui dan keluarga manggut-manggut dan menyambut dengan senyum ketika Kwee-kim-in menjura hormat pada mereka.

“dan ini adalah Cia-sian-li, Lauw-bi-hong dan Khu-hong-in, ketiganya adalah calon istriku yang aku ingin mengikat pernikahan disini Kui-pek.”

“demikiankah Bu-ji!?” “benar Kui-pek.”

“jadi kapan rencanamu menikahi ketiga calon istrimu ini?” “setelah kami memasuki rumah yang ditinggalkan ayah Kui-pek.”

“rumah itu masih berdiri kokoh, hanya tidak terawat, jadi harus kita bersihkan dulu.”

“benar paman, bagaimana baiknya saya serahkan pada Kui-pek sebagai pengganti orangtua saya.”

“baiklah kalau begitu, besok kita akan melihat keadaan rumahmu dan membersihkan serta merenovasi yang perlu.” sahut Kwaa-tang-kui

Keesokan harinya rumah peninggalan orang tua Kwaa-han-bu pun di renovasi dan dibersihkan, dua minggu pekerjaan itupun selesai, rumah besar itu pun asri kembali, catnya yang baru demikian cemerlang ditengah kota yang lumayan besar itu, warga kota pun merasa senang dengan kedatangan Im-yang-sin-taihap, seorang pendekar yang luar biasa, merupakan kebanggan tersendiri bagi warga kota karena bagaimanapun she-taihap adalah asli dari bagian warga kota Kun-leng.

Terlebih ketika undangan pernikahan Im-yang-sin-taihap disebar, warga kota berduyun-duyun menghadirinya, termasuk Gak-kungcu dan para hartawan, ketiga wanita yang disandingkan dengan Kwaa- han-bu merasakan bahagia yang tidak terlukiskan, terlebih Kwee-kim-in merasa bahagia melihat ketiga kebahagiaan ketiganya ditambah perutnya yang semakin besar karena hamilnya sudah genap empat bulan dan gerakan jabang bayi she-taihap menambah suka citanya.

“Cia-sian-li, Lauw-bi-hong dan Khu-hong-in dengan iba dan bahagia melayani suami mereka mereguk madunya jalinan suami istri, limpahan cinta dan kemesraan Kwaa-han-bu demikian melelapkan hati mereka, selama sebulan madu asmara itu bertubi-tubi tak terlukiskan.

Kwaa-han-bu dan keempat istrinya berdiam di Kun-leng, kebahagiaan mereka makin lengkap saat Kwee- kim-in melahirkan anak pertamanya, ditambah Khu-hong-in diketahui hamil, anak kwee-kim-in seorang perempuan dan diberi nama Kwaa-thian-eng, sungguh keluarga itu damai dan harmonis, hari-hari dilalui dengan indahnya kebersamaan diantara mereka, Khu-hong-in demikian menikmati masa-masa hamilnya demikian juga disusul oleh Cia-sian-li dan yang terakhir kehamilan Lauw-bi-hong ketika hamil Khu-hong-in genap sembilan bulan, dan melahirkan anak perempuan yang diberi nama Kwaa-hoa-mei.

Kota Yinchuan sebagimana biasa ramai dan sibuk, seorang lelaki berumur hampir lima puluh tahun memasuki kota, wajahnya burik dan perawakannya tinggi, dia adalah Lu-koai atau Pah-sim-sai-jin, setelah lima tahun berada di kota Dali belajar dibawah asuhan Hoatsut-sian.

Selama melalui beraneka macam tapa dan pemenuhan syarat, Pah-sim-sai-jin dengan gigih memahamkan ilmu sihir yang dipelajarinya, sehingga dalam jangka empat tahun Pah-sim-sai-jin sudah dapat mengimbangi Hoatsut-sian, Pah-sim-sai-jin mempelajari dua jenis ilmu dari Hoatsut-sian, yakni”Giamlo-seng-hoatsut” (sihir malaikat maut) dan”Bong-pai-khai” (membuka nisan).

“sekarang kamu keluarlah dari sini, dan rajut kembali cita-citamu yang telah di hancurkan she-taihap!” “baik, apakah Hoatsut-sian masih tetap disini atau ikut saya kedunia ramai?”

“hehehe…hehe… tidak perlu, aku lebih suka disini.”

“hmh…baik kalau begitu aku berangkat.” sahut Pah-sim-sai-jin sambil berkelabat dari depan Hoatsut-sian.

Semua orang dalam likoan terkesima melihat wajah yang tidak asing itu, Pah-sim-sai-jin balas menatap dan spontan orang-orang itu tertunduk

“aku mau makan cepat kalian sediakan makanan enak untukku!” teriak Pah-sim-sai-jin, pemiliki likoan segera memerintahkan anak buahnya menyediakan dan menghidangkan makanan, setelah makanan terhidang Pah-sim-sai-jin makan dengan lahap

“siapa diantara kalian dari kalangan kangowu segera mendekat kesini.” teriak Pah-sim-sai-jin sambil mengunyah makanannya, tidak ada seorangpun yang bergerak

“apa kalian tidak mendengar perintahku!” bentak Pah-sim-sai-jin, lima orang bergerak hendak melarikan diri, namun sekali kibas beberapa butir nasi telah menghantam tubuh kelimanya sehingga mereka kaku.

“kalian seret lima orang itu kesini!” teriak Pah-sim-sai-jin, orang-orang yang dilanda ketakutan itu segera bergerak mengangngkat lima orang itu kedepan Pah-sim-sai-jin, kelima orang itu wajahnya pucat sekali karena takutnya

“kalian ceritakan keadaan dunia persilatan sekarang!”

“tidak ada kejadian yang menonjol kecuali hanya berita pertemuan yang akan diadakan di kota Sinyang yang disponsori Ui-hai-sian atas nama she-taihap.”

“hmh..kapan pertemuan itu akan dilaksanakan?” “pertemuan itu akan dilangsungkan dua bulan lagi.” “hal apa yang mau dibicarakan pada pertemuan itu?” “pemilihan bengcu tuan.”

“hmh…sekarang kalian cari lima gadis cantik untuk melayaniku.” “tuan di tempat bordil banyak wanita cantik dan tuan akan dilayani dengan baik.”

“sialan, aku tidak ingin wanita-wanita seperti itu, carikan aku lima gadis perawan, kalian harus dapatkan sampai siang nanti, cepat!” bentak Pah-sim-sai-jin, kelima orang itu makin keder ketakutan.

Kelima orang itu pun keluar dari likoan, disebuah gang mereka berhenti “bagaimana menurut sicu, apakah kita akan melakukan perintah Pah-sim-sai-jin?”

“aku tidak mau, lebih baik menghindar selagi ada kesempatan.” sela seorang dari mereka dan segera berkelabat dengan cepat keluar kota, empat yang lain serta merta menyusul melarikan diri.

Pada siang harinya, kelima orang itu tidak muncul, sementara Pah-sim-sai-jin sedang rebahan diranjangnya yang empuk, dengan senyum sinis Pah-sim-sai-jin duduk dan sejenak matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit melafalkan mantra, setelah selesai terjadi keanehan pada kelima orang yang sedang melarikan diri.

Kelima orang itu sudah sampai di tengah hutan yang jauh dari gerbang utara kota “heh… kita istirahat dulu!” seru seorang dari mereka

“ya..kita istirahat dulu, aduh aku rasanya capek sekali.” sela yang lain, kemudian merekapun istirahat, setelah serengah jam seorang dari mereka berkata

“heh..bukankah kita tadi sudah melewati gundukan tanah itu dan pohon tumbang ini?” keempat rekannya melihat gundukan tanah dan pohon tumbang yang ditunjuk temannya

“hmh…. sepertinya benar juga.” Sela yang lain

“tapi mungkin saja areal yang kita lalui tadi sama dengan tempat ini.” sahut seorang dari mereka

“sudahlah mari kita lanjutkan, supaya nanti sore kita sudah keluar dari hutan ini.” ujar yang lain, lalu merekapun bergerak mengerahkan tenaga sakti untuk berlari.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar