Kembalinya Si Manuisa Rendah (Sai Jin Lu) Jilid 6

Jilid 6

“tentu taihap, akan saya bantu, namun membuatnya butuh waktu tiga hari.” “tidak mengapa, kami akan menunggunya.”

“baiklah kalau begitu, manakah emsa yang akan dilebur tersebut?” sahut Ma-wangwe, Sim-couw-peng memberikan tujuh batang emas.”

“ukuran kepala siapakah mahkota itu taihap?”

“ukuran kepala sumoi kami.” jawab Sim-couw-peng sambil menatap Kwee-kim-in, Kwee-kim-in melangkah mendekati Tio-gan.

Tio-gan mengukur kepala Kwee-kim-in

“sudah kalau begitu kembalilah she-taihap tiga hari lahi.” ujar Tio-gan

“baiklah, sekarang kami permisi.” sahut Sim-couw-peng, dan empat she-taihap pun meninggalkan kediaman Tio-gan.

Sesampai dipenginapan, ternyata Cu-kang juga sudah menunggu di penginapan “bagaimana suheng, apakah mahkota emas itu dapat kita peroleh?”

“sedang diolah dan dalam tiga hari ini akan selesai.” “bagimana dengan bunga kanoka itu Cu-sute?”

“sudah saya dapatkan dan sedang diracik oleh Wan-yokong.”

Tiga hari kemudian, she-taihap dan Wan-yokong mendatangi Tio-gan “bagaimana Tio-sicu, apakah mahkota itu sudah selesai?” tanya Sim-couw-peng

“sudah she-taihap,” jawab Tio-gan dan mengeluarkan mahkota emas, Sim-couw-peng memperhatikan mahkota yang bagian depannya berbentuk segi tiga berukiran sepasang bebek mandarin, sementara bagian lingkar berukir bunga kanoka, dan bagian penutup atas berbentuk dan berukir cangkang kura-kura.

“terimakasih Tio-sicu, dan berapakah biaya untuk pembuatan mahkota ini?”

“tidak usah she-taihap berhitung, tenaga yang dikeluarkan selama tiga hari ini tidak sebanding dengan apa yang akan dilakukan oleh she-taihap.”

“apakah Tio-sicu tahu untuk apa mahkota ini, sehingga berkata demikian?”

“awalnya saya tidak tahu taihap, namun semalam kedatangan she-taihap yang meminta emas pada Ma- wangwe terdengar oleh saya, jadi tentunya hal itu berkaitan langsung dengan kemunculan Pah-sim-sai-jin di dunia persilatan.”

“memang demikianlah Tio-sicu, kita juga sama-sama tahu betapa unik dan ganjilnya pah-sim-sai-jin.” “benar taihap, lalu apa rencana she-taihap dengan mahkota ini?” “mahkota ini dibuat atas saran Wan-yokong untuk menghadapi pah-sim-sai-jin yang berada dikota ini.” “ah…benarkah ia ada dikota ini taihap?”

“benar Tio-sicu, semoga saja mahkota ini berguna untuk menghadapinya.” Ujar Sim-couw-peng “semoga saja taihap, dan mahkota ini saya beri nama mahkota kura-kura emas.” Sahut Tio-gan.

Kemudian she-taihap meninggalkan kediaman Tio-gan dan menuju markas Lijiang-ok-sam, Lijiang-ok-sam bersama pah-sim-sai-jin berada di lianbhutia sedang berlatih

“pah-sim-sai-jin keluarlah, aku kwee-kim-in menantang kamu satu lawan satu.” teriak Kwee-kim-in, Pah-sim- sai-jin segera keluar bersama lijiang-ok-sam.

Ternyata hanya Kwee-kim-in yang mereka jumpai berdiri anggun dan gagah, mahkota kura-kura sudah dipakainya sehingga semakin wajah cantik itu semakain berkharisma.

“phuah…ternyata hanya perempuan, hmh…tapi kamu amat memikat dan cantik.”

“sudah basa-basinya pah-sim-sai-jin, jika berani bertarunglah dengan saya.” tantang Kwee-kim-in “hehehe..hehehe…boleh..boleh mau bertarung dimana cantik! sebaiknya arenanya berlanjut keranjang.” “cih…tutup mulutmu orangtua nakal dan cabul.” bentak Kwee-kim-in

“phuah sialan, ringkus perempuan ini!” teriak pah-sim-sai-jin pada lijiang-ok-sam “tunggu dulu!” teriak Kwee-kim-in sebelum lijiang-ok-sam bergerak “hehehe..hehehe…. apa lagi manis.” ejek pah-sim-sai-jin

“apakah kamu demikian pengecut pah-sim-sai-jin, sehingga menyuruh orang lain menghadapi tantanganku!”

“sial…mau cari mampus, kamu kira aku takut, mundur kalian….ciaat….” bentak pah-sim-sai-jin menerjang dengan marah.

Kwee-kim-in mendorong pukulan Im-yang-jie-lie-pat

“blam….” suara ledakan antara pertemuan dua pukulan sakti menggetarkan tempat tersebut, Pah-sim-sai-jin terlempar dua meter, sementara Kwee-kim-in melenting kebelakang, Pah-sim-sai-jin mengira Kwee-kim-in kalah tenaga, sehingga dengan semangat dia mengejar, Kwee-kim-in tidaklah kalah tenaga, itu hanya sebuah trik memancing pah-sim-sai-jin menjauhi tempat lijiang-ok-sam, Kwee-kim-in mennggunakan tenaga dorongan pah-sim-sai-jin untuk melenting kebelakang, bahkan saat pah-sim-sai-jin mengejar, Kwee-kim-in melompat menjauhi marka.

“hehehee..hehehe… jangan lari cantik, kamu telah menggoda saya, akan kulumat tubuhmu yang sintal, kuremas tubuhmu yang aduhai.” ujar pah-sim-sai-jin senyum penuh birahi mengejar Kwee-kim-in. Kwee- kim-in berhenti disebuah lembah dipinggir kota lijiang, dengan gagah sabuk warna merah miliknya sudah disandangkan, kemilau mahkota emas demikian cemerlang ditimpa sinar matahari.

Pah-sim-sai-jin terkejut dan silau oleh sinar kemilau emas dikepala Kwee-kim-in, dan ketika melihat sabuk yang tersampir dileher Kwee-kim-in membuat Pah-sim-sai-jin tercenung.

“apa hubunganmu dengan im-yang-sin-taihap!?” tanya pah-sim-sai-jin meragu

“beliau adalah suamiku.” Jawab Kwee-kim-in, sesaat pah-sim-sai-jin clingak-clinguk memperhatikan sekitarnya, ingin memastikan apakah im-yang-sin-taihap ada ditempat itu.

“majulah orangtua bejat!” tantang Kwee-kim-in, mendengar hal itu pah-sim-sai-jin langsung menerjang, Kwee-kim-in dengan akuratnya memainkan jurus im-sian-sin-lie-pat, karena hanya ini ilmu bertarung dengan jarak jauh, pertempuran luarbiasa dahsyatpun berlangsung, cepat, kuat dan menegangkan, suhu ditempat itu berobah-obah, dan bau amis pun tercium sangat santer diselingi suara gemerisik gerakan Kwee-kim-in.

Pertarungan tingkat tinggi yang jarang terjadi demikian menakjubkan hingga ratusan jurus, dari tingkat gerakan dan kekuatan Kwee-kim-in berada diatas pah-sim-sai-jin, tapi kedua hal itu mandul dihadapan keganjilan tubuh pah-simn-sai-jin, sebenarnya dalam seratus jurus lebih, sudah bisa dipastikan pah-sim-sai- jin akan roboh, namun karena tubuh pah-sim-sai-jin yang ganjil membuat tokoh yang satu ini sangat sulit untuk dirobohkan.

sudah berkali-kali lecutan ujung sabuk menghantam tubuh pah-sim-sai-jin, pah-sim-sai-jin pun menyadari hal ini, pedangnya yang menggiriskan tidak pernah mampu merobek sabuk yang penuh dengan aliran tenaga Im-yang dari bahu Kwee-kim-in, Pah-sim-sai-jin mencoba mengeluarkan pukulan Hek-hoat-bo, kuda- kuda khas pukulan itu pun dikeluarkan, Kwee-kim-in tanggap langsung mengepos tenaga mengeluarkan im- yang-pat-sin-im-hoat

“blammmm…….” tempat itu bergetar hebat, Kwee-kim-in segera menjauh kesamping untuk menghindarkan bau apek, sementara pah-sim-sai-jin terlempar empat meter dengan tubuh panas dan dingin.

Kwee-kim-in dengan tenang berdiri disamping sebuah pohon mengawasi pah-sim-sai-jin, bau apek yang menyebar tidak mempengaruhi Kwee-kim-in karena berkat pel bunga kanoka yang dimakan dan bubuk ginseng naga yang dibubuhkan dibawah hidungnya, dan usaha menghindar kesamping itu adalah satu keharusan karena daya magis hek-hoat-bo sudah dimaklumi akan meledakkan tubuh setelah terjadi pembekuan, untungnya sin-kang kwee-kim-in berada diatas pah-sim-sai-jin, sehingga daya dorong hek- hoat-bo mudah dikendalikan.

Pah-sim-sai-jin memandang Kwee-kim-in dengan mata berkilat marah, Pah-sim-sai-jin tiba-tiba bersedekap melapalkan mantra, sikap ini tidak pernah dilihat kwee-kim-in ketika pah-sim-sai-jin menghadapi suaminya, pikirannya yang cerdas segera tanggap, Kwee-kim-in segera mengerahkan sin-kang melindungi dirinya dari terpaan daya magis ilmu baru pah-sim-sai-jin

“rebahlah …! rebahlah….” teriak Pah-sim-sai-jin,

“tidak…..! tidak…..” Kwee-kim-in mengehentak suaranya, dan tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi dua, jarak kedua tubuh asli kwee-kim-in tiga puluh meter dari pah-sim-sai-jin, Kwee-kim-in ternyata mengeluarkan”san- phak-eng-coan” dan”hun-kong-coan-im”

Kedua tubuh itu bergetar hebat, suara-suara perintah dan bantahan sahut menyahut, keadaan itu berlangsung sangat lama bahkan hingga siang berganti malam, Kwee-kim-in sudah banjir keringat, nafasnya sesak, dan bantahannya semakin lemah, pah-sim-sai-jin ubun-ubunya sudah mengeluarkan asap hitam tebal, suaranya makin nyaring, untungnya mahkota kura-kura emas melindungi bagian kepala Kwee- kim-in, namun daya magis suara itu masih mendesak Kwee-kim-in, hanya karena sin-kang kwee-kim-in tiga tingkat diatas pah-sim-sai-jin, sehingga pekerjaan amat berat bagi pah-sim-sai-jin untuk menguasai Kwee- kim-in.

Suara bantahan Kwee-kim-in terdengar sebagai gumaman lirih, diselingin perintah pah-sim-sai-jin yang nyaring, Kwee-kim-in berusaha focus untuk bertahan dari desakan magis suara pah-sim-sai-jin, lutunya sudah bergetar hendak roboh, namun sampai sekian lama masih bertahan, keringat sebesar kacang kedele telah mambasahi tubuh kwee-kim-in, pakainya saja sudah basah laksana baru keluar dari sungai.

“rebahlah………….!” teriak Pah-sim-sai-jin, Kwee-kim-in langsung ambruk sementara pah-sim-sai-jin memuntahkan darah, keduanya tidak sadarkan diri, namun pada saat yang genting itu tiga bayangan berkelabat dan menyambar tubuh Kwee-kim-in dan menyingkir dari tempat tersebut dengan lari yang demikian cepat.

Bayangan itu adalah Wan-yokong, Li-wan-fu, Lauw-kun, ketiganya ketika pergantian siang dengan malam sudah berada disekitar lembah dan menonton pertarungan aneh antara pah-sim-sai-jin dan sumoi mereka, mereka tidak terpengaruh perintah pah-sim-sai-jin, karena seluruh daya magis tertuju pada kwee-kim-in yang kosen.

Setelah pah-sim-sai-jin dank wee-kim-in meninggalkan markas lijiang-ok-sam, empat she-taihap muncul dihadapan lijiang-ok-sam. “kalian siapa!?” bentak sin-ciu-sian

“kami akan mencoba menyadarkan kalian.” sahut Sim-couw-peng

“huh….” dengus sin-ciu-sian, dan kemudian menerjang sim-couw-peng, pertempuran satu lawan satu pun terjadi, sim-couw-peng dengan gerakan ilmunya luar biasa meatahkan semua serangan sin-ciu-sian, pertempuran berlangsung hebat, gerakan sin-ciu-sian sangat cepat dan tidak terduga, dia memiliki ilmu-ilmu yang sangat banyak, namun kali ini ia menghadapi penghuni pulau kura-kura.

Pertempuran seru itu berlangsung seimbang, beradunya pukulan-pukulan sakti telah membuat keduanya terluka dalam, namun karena sin-ciu-sian tidak mengenal arti sakit, gerakannya masih cepat dan nekat dan terkesan membabi buta, sehingga setelah bertempur selama dua jam dua pukulan sakti berdentum menggetarkan arena sin-ciu-sian terjengkang dengan mata mendelik tewas.

Sim-couw-peng juga mengalami hal yang sama, dia tewas dengan tulang dada remuk, kedua rekan sin-ciu- sian menerjang dan disambut Li-wan-fu dan Cu-kang, dan pertempuran dalam dua kelompok berlangsung, Lauw-kun dan Wan-yokong menonton dan memperhatikan jalannya pertempuran, pertarungan yang imbang dan seru berlangsung demikian hebat, suara beradunya pedang dan benturan tenaga sakti membuat tempat itu laksana diterpa badai.

Seratus jurus lebih sudah berlalu, namun siapakah pemenangnya belum dapat dipastikan, dua ciangbujin laksana kesetanan menyerang she-taihap, dan pada jurus kedua ratus dua pukulan sakti antara cu-kang dan lou-ciangbujin beradu, lou-ciangbujin terlempar dua meter dan namun saat terlempar Lou-ciangbujin melemparkan pedangnya dengan tenaga terakhir, pedang dengan pesat menusuk dada Cu-kang, Cu-kang ambruk dan tewas, sementara Lou-ciangbujin terhempas setelah melabrak pohon besar hingga tumbang, dan akhirnya Lou-ciangbujin juga tewas.

Bersamaan dengan kejadian iti Li-wan-fu berhasil membacok kaki song-ciangbujin hingga putus dan disusul pukulan dahsyat bertenaga penuh menghantam dada song-ciangbujin, song-ciangbujinpun ambruk dan tewas, Li-wan-fu segera duduk untuk memulihkan tenaga dan tarikan nafasnya.

Wan-yokong segera mendekati Li-wan-fu dan memberikan pel berwana hijau kepada Li-wan-fu, setelah keadaan Li-wan-fu pulih, jasad dua she-taihap dikuburkan demikian pula jasad lijiang-ok-sam, pekerjaan itu selesai saat hari sudah sore.

“kita harus cepat melihat keadaan sumoi.” Ujar Li-wan-fu, ketiganya segera menuju arah perginya Kwee- kim-in dan pah-sim-sai-jin.

Ketika sampai dipinggir kota terdengar sahut menyahut anatara pah-sim-sai-jin dan Kwee-kim-in, ketiganya segera berlari kearah suara dan ketiganya pun melihat pah-sim-sai-jin berteriak rebah, sementara bantahan tidak dari kwee-kim-in beruna gumaman lirih, pertempuran berbahaya itu terpaksa didiamkan, ketiganya mengharap bahwa Kwee-kim-in dapat mendapat celaka.

Ketika malam kian merambat pertempuran perintah dan bantahan itu masih berkutat, tiba-tiba suara pah- sim-sai-jin meninggi dan tubuh kwee-kim-in ambruk, tanpa ragu, spontan Li-wan-fu melompat diikuti Lauw- kun dan Wan-yokong, Li-wan-fu menyambar tubuh Kwee-kim-in dan segera ketiganya melarikan diri, sementara Pah-sim-sai-jin untung pingsan setelah memuntahkan darah segar.

She-taihap berhenti disebuah bukit, Kwee-kim-in diletakkan, dan Wan-yokong segera memeriksa keadaan Kwee-kim,

“kita harus segera mengobati lihap, karena bagaimanapun lihap sedikitnya lihap terpengaruh.” “bagaimana kondisinya cianpwe?” tanya Li-wan-fu

“kondisinya tidaklah parah dan akan sembuh sendiri.” “maksud cianpwe?”

“lihap tidak akan sadar setidaknya dua hari, dan jika dia sadar, dia tidak akan ingat apa-apa selama tiga hari. “lalu pengobatan yang cianpwe maksud bagaimana?”

“setelah lihap sadar, sebaiknya selama semalam siulian dibawah air terjun, sehingga tidak perlu menunggu sampai tiga hari.”

“kalau begitu sebaiknya kita cari air terjun tersebut.” sela Lauw-kun.

“benar, dan saat Kwee-lihap siuman biarkan saya yang menanganinya dan berbicara padanya” “memangnya kenapa cianpwe?”

“sebab kalau kita salah bicara akibatnya bisa fatal, dan kemungkinan kita binasa di amuk oleh kwee-lihap.” “kenapa demikian cianpwe?” tanya Li-wan-fu

“ketika kwee-lihap sadar dia tidak ingat apa-apa, dan bawaannya penuh kecurigaan dan amarah, jika amarahnya meledak dan dia menyerang kita, tentunya kita bertiga akan celaka, karena ilmu kwee-lihap jauh diatas kita bertiga.” Jawab wan-yokong, kedua she-taihap manggut-manggut.

Pada dua hari berikutnya she-taihap sudah berada di sebuah air terjun sementara Kwee-kim-in belum siuman, Lauw-kun mencari binatang buruan untuk pengisi perut, dan menjelang sore Kwee-kim-in siuman, matanya menatap sekelilingnya, ketika matanya menatap Li-wan-fu dan Wan-yokong, kontan Kwee-kim-in melompat dan siaga dengan kuda-kuda, dahi berkerinyit heran,

“kalian ini siapa, dimanakah aku ini!?”

“tenanglah lihap, sekarang makanlah dulu, nanti akan kami ceritakan siapa kami.” Jawab Yo-kong dengan lembut dan ramah, Kwee-kim-in menatap wan-yokong dengan tatapan curiga,

“aku tidak akan segan-segan membunuh kalian, jika hendak mencelakai aku!”

“kami tidak berani lihap, saya ini seorang tabib, dan saya dapatkan lihap tidak sadarkan diri.” “apa yang terjadi dengan saya?”

“persisnya saya tidak, dan lihap sudah pingsan selama dua hari.” “kenapa saya tidak ingat apa-apa sinse?”

“benarkah lihap tidak ingat apa-apa?” “benar, bahkan saya lupa nama saya.” “wah..kalau begitu harus segera diobati.” “dapatkah sinse mengobati saya?”

“saya bisa mengobati lihap, asal lihap mau diobati.” “kalau begitu tolonglah saya sinse?”

“baik, pertama-tama lihap harus makan dulu, Lauw-te sudah menyiapkan panggang ayam hutan untuk lihap. ujar Wan-yokong sambil mengangsurkan panggang ayam, Kwee-kim-in menerima ayam panggang dan memakannya dengan lahap.

Pada malam harinya Wan-yokong mulai pengobatan

“lihap bukalah mahkota yang anda pakai supaya pengeobatan kita mulai.” ujar Wan-yokong, Kwee-kim-in melepaskan mahkotanya

“lihap setelah ini kami akan turun dan berada dilembah sana.” “kenapa sinse?”

“karena lihap harus siulan dengan tanpa pakaian dibawah air terjun, tentu tidak patut bukan jika kami berada disini?” jawab Wan-yokong, Kwee-kim-in mengangguk

“nah sekarang perhatikanlah sikap siulian yang harus lihap lakukan. “saya mendengarkan sinshe.”

“sikap siulian dengan berdiri dan kedua berada disisi kedua dada dengan posisi telapak menghadap keatas, setelah lihap merasakan pening kepala yang bersangatan, lihap mengobah posisi siulian dengan sikap mengangkat kaki kiri dan tangan kanan melingakari kepala dengan posisi telapak keatas sementara tangan kiri lurus kedepan dengan posisi sedekap budha, setelah itu ketika kedua kaki terasa panas, maka lihap menukar posisi siulian dengan jungkir balik dan posisi tangan menyatu didepan dada, pada tahap ini lihap akan pingsan beberapa saat, jika sudah siuman ingatan lihap akan kembali normal.” ujar Wan-yokong menjelaskan, Kwee-kim-in mengangguk

“saya akan ikuti tahapan siulian yang disampaikan sinshe.”

“baik, sekarang kami akan turun kelembah dan ketika matahari terbit kami akan datang lagi kesini.”

Kemudian she-taihap dan Wan-yokong turun kelembah, setelah merasa ketiga orang itu jauh, Kwee-kim-in membuka seluruh pakaiannya, dan masuk kecurahan air terjun, dengan sikap siulian berdiri sesuai diajarkan wan-yokong, kwee-kim-in menjalani pengobatan, sementara dibawah dua she-taihap dan Wan- yokong membuat api unggun untuk mengusir dinginnya malam dan nyamuk

“sungguh luar biasa ilmu hitam pah-sim-sai-jin, sehingga orang seperti sumoi walaupun sudah memakai mahkota tetap saja terpengaruh.” ujar Lauw-kun

“menurut perkiraan cianpwe, apakah Kwaa-sute akan mampu mengatasi ilmu hitam pah-sim-saijin setelah melihat keadaan sumoi?”

“berapa tingkat sin-kang im-yang-sin-taihap diatas kwee-lihap?” “setidaknya dua tingkat diatas sumoi.” sela Li-wan-fu

“jika melihat kondisi kwee-lihap, tetap juga Im-yang-sin-taihap terpengaruh, walaupun kwaa-taihap memakai mahkota, setidaknya dia akan hilang ingatan satu hari satu malam, tanpa pingsan sebelumnya.”

“jelas akan tetap celaka jika tetap berdekatan dengan pah-sim-sai-jin.”

“benar she-taihap, terlebih apabila pah-sim-sai-jin sadar dari pingsannya karena muntah darah sebelum kwaa-taihap sadar, maka pah-sim-sai-jin akan mematenkan hipnotisnya pada kwaa-taihap.”

“sungguh pah-sim-sai-jin lawan yang amat menggiriskan.” sela Lauw-kun

“tapi jika kwaa-taihap memiliki dua syarat yakni mahkota dan darah bayi baru lahir, saya yakin pah-sim-sai- jin akan dapat dikalahkan.”

“mengalahkannya saja sangat sulit terlebih membunuhnya, tanpa ilmu hitamnya saja, pah-sim-sai-jin sulit untuk dibunuh walaupun ia sudah kalah mutlak dan luka luar biasa.” ujar Li-wan-fu.

“menurut saya sebenarnya kelemahan dari pah-sim-sai-jin adalah api, jika dia bisa dilemparkan pada kobaran api, maka dia akan tewas juga.”

“hmh… benar juga cianpwe, ide itu harus disampikan pada kwaa-sute, hingga jika saatnya tiba ide itu dilakukan.” sahut Lauw-kun.

Setelah larut malam ketiganya pun tidur, sementara posisi siulian Kwee-kim-in sudah berdiri satu kaki dengan tangkan melingkar dikepala, suasana malam itu memang mencekam, yang terdengar hanya suara deru air terjun yang menghantam bebatuan dibawahnya, malam terus merambat, dan Kwee-kim-in merasakan kedua kakinya panas, lalu ia pun merobah posisi dengan jungkir balik, kepalanya melekat diatas batu yang dipijak sebelumnya.

Dua jam kemudian tiba-tiba kwee-kim-in jatuh rebah dan tergeletak diatas bebatuan dipinggir air terjun, selang serengah satu jam kemudian Kwee-kim-in yang telanjang siuman, hal yang pertama diingat adalah masa kecilnya didesa kanghu bersama ibunya, kemudian suaminya, anaknya, madunya dan perjalanan ke pulau kura-kura dan pertempurannya dengan pah-sim-sai-jin.

“dimana para suheng dan Wan-cianpwe.” Pikirnya, keyika ia melihat dirinya yang telanjang spontan ia berdiri dan melompat kekubangan air dan berenang ketepian, di tepi kubangan ia melihat pakaiannya dan sebuah mahkota, Kwee-kim-in naik kedarat dan segera berpakaian, lalu mengeringkan rambutnya yang tergerai panjang.

Tidak lama kemudian matahari pun terbit, sedang asik berusaha mengeringkan rambutnya suara langkah kaki dari lembah mendekat, Kwee-kim segera melompat ketas pohon dan menatap kearah lembah tiga bayangan gesit naik keatas mengarah ketempatnya, dan ketika tiga bayangan itu dilereng bukit, kwee-kim- in sudah mengenali ketiga orang itu

“Li-suheng, Lauw-suheng, Wan-cianpwe darimana saja kalian?” teriak Kwee-kim-in sambil turun, LI-wan-fu tersenyum penuh suka cita mendengar suara sumoinya yang menandakan bahwa sumoinya telah normal kembali, ketiganya mempercepat pendakian dan beberapa saat kemudian merekapun sampai keatas dan disambut dengan senyum ceria Kwee-kim-in.

“syukurlah kwee-lihap sudah sembuh.”

“apakah aku celaka ketika melawan pah-sim-sai-jin?”

“bisa dikatakan demikianlah kwee-lihap, tapi kami masih dapat menanggulangi keadaan kwee-lihap. “apa yang terjadi padaku suheng, dan dimana Sim-suheng dan Cu-suheng?”

“mari makanlah dulu sumoi, kami sudah bawakan panggang ayam hutan, tentunya kamu sangat lapar bukan setelah berendam semalaman di air terjun.” sahut Li-wanfu. Melihat panggang ayam itu, kwee-kim-in tidak lagi dapat menahan rasa laparnya, Kwee-kim-in segera melahap makanan yang amat lezat rasanya itu.

“Sim-suheng dan Cu-sute sama-sama tewas tewas dengan Lijiang-ok-sam,” ujar Li-wanfu setelah kwee- kim-in selesai makan.

“lalu apa yang terjadi padaku dan bagaimana dengan pah-sim-sai-jin?”

“kamu lupa ingatan setelah berhadapan dengan pah-sim-sai-jin, kami segera membawamu menyingkir saat pah-sim-sai-jin masih pingsan.”

“artinya saya masih terpengaruh dengan ilmu hitam pah-sim-sai-jin.”

“benar sumoi, tapi kita bersyukur dengan keberadaan wan-yokong disamping kita.” “sebaiknya kita lanjutkan perjalanan she-taihap.” Sela wan-yokong

“baiklah dan kita akan memburu waktu agar kita tidak terlalu malam sampai dikota Lengkong. sahut Lauw- kun.

Disebuah bangunan mewah di Kota Yinchuan dihuni keluarga hartawan yang dikenal dengan Niu-wangwe, Niu-wangwe adalah seorang yang dermawan dan suka membantu para fakir miskin, terlebih ditengah kondisi daerah perbatasan dan sekitarnya sedang mengalami tekanan berat dari penguasa hitam yang berkedudukan di Hehat, sejajak kehadiran”Hehat-kui-sam” keadaan rakyat makin kacau balau, Hehat-kui- sam terdiri dari Ui-hai-sian, seng-teng-sianli dan Lie-ciangbujin.

Selama setahun keberadaan Hehat-kui-sam, tiga kawanan telah membentuk pimpinan di tiap kota untuk menindas rakyat, pimpinan sebagai perpanjangan tangan dari hehat-kui-sam di kota Yinchuan adalah”pek- mou-sin-kun” (kepalan sakti rambut putih) awalnya dia adalah pimpinan piuawkiok, namun delapan bulan yang lalu ia direkrut oleh Hehat-kui-sam dan di tugaskan di kota yinchuan.

Siang hari itu banyak para warga yang datang mengantri didepan rumah Niu-wangwe untuk menerima sekantong beras dan sejumlah uang, Niu-wangwe yang berumur enam puluh tahun itu mengambil tindakan nekat dan tidak mencemaskan keberadaan pek-mou-sin-kun dan puluhan anak buahnya.

Wargapun dengan antusias menerima bantuan Niu-wangwe, sebagian besar para warga sudah menerima bagian, namun ketika menjelang sore, sepuluh orang bertubuh kekar mendekati para anak buah Niu- wangwe yang sedang membagi-bagikan sumbangan.

“hentikan…!” teriak seorang lelaki berumur empat puluh tahunan, wajahnya merah dengan pandangan berkilat marah.

“ada apa sicu, kenapa anda kelihatan marah.”sela Niu-wangwe sambil bangkit dari tempat duduknya “kalau kamu sayang nyawa, jangan sok mau jadi pahlawan orangtua!” bentak pimpinan pengacau tersebut

“aku sudah memenuhi tuntunan upeti yang kalian tetapkan, dan aku tidak dapat menyaksikan warga yang kelaparan akibat tindasan kalian yang sewenang-wenang, lalu kenapa pula yang saya lakukan ini juga kalian larang.”

“ambil semua kantong beras dan ambil uangnya!” perintah orang itu kepada rekan-rekannya, mendengar itu kawanan pengacau itu merampasi kantong beras dari tangan tiga warga yang sudah menerima bantuan.

“tunggu dulu!” teriak sebuah suara, dan pemilik suara muncul, yang ternyata adalah Yo-hun dan istrinya. Yo-hun dan istrinya sudah dua hari sampai dikota Yinchuan, dan ketika malam keduanya sedang melintas didepan kediaman Niu-wangwe, Ui-hai-siang-liong menangkap sebuah bayangan mengendap-endap diatas atap, dengan gesit Ui-hai-siang-liongmengintai bayangan tersebut, bayangan tersebut ternyata dua orang pencuri, keduanya diam-diam telah masuk kedalam rumah, dan keluar dengan membawa buntalan dan disebelah ruangan dalam terdengar teriakan

“tolooong ada pencuri…”

Yo-hun segera menyergap kedua orang itu, kedua pencuri itu tidak menduga bahwa mereka disergap seorang yang berkecepatan kilat merampas buntalan mereka dan membuat mereka lemas hingga menggelinding jatuh dari atap dan terhempas kebawah, sementara penjaga rumah sudah mengancam mereka dengan golok dan pisau.

Yo-hun dan istrinya turun dengan ringan menjejak diatas tanah, Niu-wangwe yang sudah keluar segera mendekati Yo-hun.

“ini harta anda loya.” ujar Yo-hun sambil memberikan buntalan “terimakasih taihap.” sahut Niu-wangwe dan menerima kembali hartanya.

“taihap singgahlah dulu dan kita minum untuk rasa terimakasihku pada bantuan kalian.” “baiklah loya, semoga saja tidak merepotkan.”

“ah…tidak taihap, marilah masuk, dan kalian ikat pencuri ini dan besok bawa ke Gu-tihu untuk diperiksa.” ujar Niu-wangwe.

“sepertinya siang-taihap bukan dari kota ini.” ujar Niu-wangwe

“benar loya, kami ini suami istri yang sedang berkelana, dan kami hendak ke wilayah ketimur.” sahut Yo-hun “apakah pencurian sering terjadi disini loya?” sela Liu-kim

“akhir-akhir ini sering terjadi taihap, dan sebenarnya patut dikasihani warga disini, karena tekanan kebutuhan yang kurang, sehingga terjebak pada tindak kejahatan.” “apa yang terjadi loya?”

“sejak kemunculan hehat-kui-sam dan kaki tangannya, keadaan sangat memperihatinkan, Hehat-kui-sam dan kaki tangannya bertindak semena-mena, dan pimpinan kaki tangannya dikota ini adalah”pek-mou-sin- kun, saya rasanya ingin membantu meringankan beban kebutuhan mereka”

“kalau begitu kita mesti bertindak Hun-ko.” ujar Lui-kim “benar kim-moi, lalu apa yang hendak loya lakukan?”

“kalau saya tidak cemas akan keberadaan pek-mou-sin-kun saya ingin memberi sumbangan pada warga sekitar.”

“kalau begitu lakukanlah loya, urusan jika pek-mou-sin-kun datang mengacau, serahkan kepada kami.” ujar Yo-hun

“baiklah kalau begitu taihap, besok lusa saya akan mengadakan pembagian sumbangan.” sahut Niu- wangwe.

Dan ketika pembagian sudah berlangsung hingga sore hari, kekacauan pun datang, namun kemunculan Ui- hai-siang-liong membuat para pengacau menghentikan kebrutalan mereka

“apa kamu tidak sayang nyawa sehingga berani menentang kami!?” bentak lelaki itu dengan aksi mengancam.

“apa kalian tidak sayang nyawa sehingga berbuat kacau disini!?” balas Yo-hun

“sial… mau mampus rupanya, heaat….” Lelaki itu menerkam laksana harimau, cebgkraman kedua tangannya mengarah ganas kekepala dan pundak Yohun, namun yo-hun menangkap kedua cengkraman itu dan meremasnya

“kreekkk….auwhhh…..” lelaki itu menjerit meronta karena buku jarinya remuk dan rasa sakitnya tidak terperikan, kemudian Yo-hun melempar tubuh lelaki itu keraha gerombolan kawannya, serta merta kawannya kelabakan, dank arena tidak sigap, tiga orang terpaksa ambruk tertindih badan kekar rekannya.

Enam orang segera mengepung Yo-hun, Yo-hun dengan gesit bergerak membagi pukulan dan tamparan yang mengakibatkan enam orang itu meraung dan meringis kesakitan.

“cepat bawa kami menemui pimpinan kalian!” perintah Yo-hun pada seorang yang masih dapat berdiri, mukanya yang meringis kesakitan semakin pucat pias, lalu dengan hati ciut dia berlari dan diikuti oleh siang- taihap.

“Pek-mou-sin-kun, keluarlah!” teriak Yo-hun, seorang lelaki paruh baya keluar dengan sikap pongah “siapa yang datang mengacau dan cari perkara dengan pek-mou-sin-kun.” Sahutnya

“kami Ui-hai-siang-liong hendak memberi pelajaran pada pek-mou-sin-kun.” Tantang Yo-hun, mendengar julukan itu, kontan Pek-mou-sin-kun terdiam, wajahnya tidak segarang ketika muncul, tapi dia mencoba menutupi.

“saya tidak pernah berurusan dengan Ui-hai-siang-liong.”

“secara tidak sadar kamu telah mencari perkara dengan ui-hai-siang-liong, karena telah berani bertindak semena-mena.”

“apakah Ui-hai-siang-liong demikian usil, sehingga mau turut campur urusan orang.”

“jika kamu tidak usil dengan orang banyak, Ui-hai-siang-liong juga tidak mau usil, jadi sekarang sudah terlanjur, kamu harus berani berhadapan dengan Ui-hai-siang-liong.” sahut Yo-hun dengan nada tajam, pek- mou-sin-kun tercenung, hatinya makin gelisahm nyalinya mengkirit, dia tahu benar betapa saktinya sepasang pendekar dihadapannya ini. “seraang….” perintahnya kepada sepuluh anak buahnya, namun sepuluh anak buahnya bukannya menyerang Ui-hai-siang-liong, tapi sebaliknya malah lari tunggang langgang

“heh..! kenapa kalian lari, kembali pengecut!” terika Pek-mou-sin-kun

“hayo pek-mou-sin-kun andalkan dirimu!” ujar Yo-hun, pek-mou-sin-kun merasa jengkel, lalu diapun menyerang dan mengerahkan kemampuan terbaiknya, Yo-hun dengan tenang menyambut serangan lawan, beberapa jurus Yo-hun mengelak dan kadang hanya menghalau serangan, namun walaupun hanya menghalau Pek-mou-sin-kun harus mengakui betapa tingginya ilmu pendekar lawannya ini, hanya dengan kibasan tangan gerakanya sudah mental dan membuat nafasnya sesak.

Setelah dua puluh jurus, Yo-hun membalas serangan, dan dalam sepuluh gebrakan, Pek-mou-sin-kun terdesak dan kalang kabut, dan pada jurus berikutnya

“buk..desss..” sebuah pukulan dan tendangan telang bersarang ditubuhnya, pek-mou-sin-kun terkulai rebah sambil memuntahkan darah segar, untungnya Yo-hun tidak berniat membinasakan pek-mou-sin-kun sehingga tenaga pukulannya hanya setengah, dan itupun sin-kang pek-mou-sin-kun jebol dan menyebabkan luka dalam yang lumayan parah.

“kamu tidak akan saya bunuh, jika kamu dapat membantu saya.” “apa maksudmu taihap!?”

“saya maklum bahwa pada dasarnya kamu bukan orang jahat, kamu hanya karena tidak kuasa menentang Hehat-kui-sam-bukan?”

“be..benar taihap, lalu apa keinginan taihap saya lakukan?” “beritahukan pada saya tentang hehat-kui-sam!”

“mereka adalah Ui-hai-sian, Lie-ciangbujin dari heng-san-pai, seng-teng-sianli.” “kamu tahu kenapa seperti ketua hengsanpai berubah seperti itu?”

“tidak taihap, tapi saya akui keanehan itu berkaitan dengan pertemuan pemilihan bengcu di sinyang.”

“benar hal itu berkaitan dengan pertemuan di sinyang, jadi ketahulaih! sebab keanehan itu didalangi oleh pah-sim-sai-jin.”

“wah kalau demikian semakin gawat.”

“tidak, kalau kita mau bekerjasama menghadapi pah-sim-sai-jin.” “kerjasama bagaimana yang taihap maksud.”

“para pendekar telah dijadikan boneka oleh pah-sim-sai-jin, dan kita mempunya cara untuk mengobatinya.” “lalu bagaimana dengan pah-sim-sai-jin sendiri?”

“kalau kita bersatu kita akan dapat mengatasi pah-sim-sai-jin.”

“tapi pah-sim-sai-jin adalah orang ganjil taihap, seharusnya ia sudah tewas saat berlawanan dengan Im- yang-sin-taihap.”

“benar, dan tentunya kita harus cari cara untuk dapat menewaskannya, dan tentunya Im-yang-sin-taihap akan dapat menemukan ide menewaskannya.”

“lalu apa yang bisa saya bantu?”

“saya dengar dari Niu-wangwe bahwa disetiap kota ada kaki tangan hehat-kui-sam, jadi karena kondisimu sama dengan mereka, tentu kamu harus usahakan menarik mereka kejalan yang benar, kamu boleh katakan bahwa Ui-hai-siang-liong akan mengurus hehat-kui-sam.”

“baiklah, akan saya usahakan.” sahut Pek-mou-sin-kun

“kalau begitu kami permisi dan mungkin besok kami akan meninggalkan kota, kami akan segera kekota hehat dan saya serahkan penanganan pimpinan kaki tangan hehat-kui-sam ditiap kota kepadamu, dan jika sudah berhasil, kalian para pimpinan berangkatlah ke kota Bao, karena kita akan berkumpul disana.”

“baiklah siang-taihap, saya akan usahakan sebaik mungkin, sehingga rekan-rekan mau berubah dengan motivasi gerakan para taihap.” ujar pek-sin-kun.

In-tek-san yang yang berhawa sejuk mulai memudar seiring munculnya sinar matahari, didepan sebuah pondok dua orang sedang bertempur, perempaun itu berunur enam puluh tahun dan yang laki-laki berunur empat puluh tahun, gerakan mereka sangat cepat dan gesit, gaung kilat pedang mereka menggulung laksana ombak, teriakan-teriakan yang penuh dengan sin-kang membuat tempat itu bergetar.

Ketika matahari sudah tinggi, keduanya berhenti dengan seulas senyum dan bangga akan hasil pertempuran mereka

“Ouw-ciong! ilmu yang kita ciptakan bersama ini rasanya sudah para tarag sempurna.”

“benar Lu-cici, dan saya sangat bangga akan hasil yang kita raih merapungkan ilmu ”In-hwi-kiam” (pedang api halimun)

“kita sudah hampir enam tahun hidup dipuncak ini, bagaimana menurutmu Ouw-ciong?” “menurut saya sudah saatnya kita turun gunung.”

“apakah kamu tidak betah disini Ouw-ciong?”

“kita ini dari kalangan liok-lim, turun gunung merupakan satu kegembiraan.” “apakah kamu memiliki rencana setelah sampai didunia luar?”

“benar Lu-cici, terlebih setelah aku mendengar hal yang demikian menggembirakan.” “apa yang telah kamu dengar didunia luar sana?”

“Pah-sim-sai-jin telah kembali membuat gebrakan, kota hailar sekarang dikuasai oleh Hehat-kui-sam.” “apa kaitannya pah-sim-sai-jin dengan hehat-kui-sam?”

“Hehat-kui-sam menebar penindasan dan berbuat aniaya pada orang lain, dan menurut kaki tangannya yang ada dikota hailar, bahwa ketiganya adalah anak buah pah-sim-sai-jin.”

“apakah kamu yakin?

“saya yakin, karena dua minggu yang lalu saya turun kekaki bukit dan melihat para tuan tanah dibantai anak buah”tung-hong-kui” (siluman angin timur), ketika mereka selesai merampas harta tuan tanah, saya mengikuti mereka kemarkas.”

“apa yang kamu dapatkan di markas tung-hong-kui?”

“sesamapi disana mereka mengadakan pertemuan dan hendak mengirimkan upeti ke Hehat.” “kalian jaga markas karena saya harus segera ke Hehat membawa hasil pekerjaan kita.” “pangcu apakah pembagian ini tidak merugikan kita?”

“hush… kamu bicara apa!?” bentak tung-hong-kui “kita sudah beberapa kali mengirimkan hasil pekerjaan kita, dan kita selalu mendapat bagian yang terkecil, dan ini membuat penasaran”

“jangan kalian berpikir untuk mengubah bagian, terlambat melapor saja, kita akan dihabisi hehat-kui-sam.”

“benar apa yang dikatakan pangcu, hehat-kui-sam itu orang aneh, ketiganya hampir tidak pernah komunikasi dengan orang lain.”

“benar, kenapa demikian yah?” sela yang lain

“punca dari keberadaan mereka terkait erat dengan pemilihan bengcu di kota Sinyang.” ujar tung-hong-kui. “apakah pangcu tahu apa yang sebenarnya terjadi di Sinyang?”

“pada pertemuan itu yang menjadi bengcu adalah pah-sim-sai-jin, dan semua yang hadir ketika itu tunduk mutlak pada pah-sim-sai-jin.”

“wah….kalau demikian seharusnya kita menjumpai pah-sim-sai-jin dan mendukung misinya.” “aku pikir juga demikian Lu-cici.”

“baiklah besok kita akan turun gunung dan mencari keberadaan pah-sim-sai-jin.” ujar Lu-eng-hwa.

Keesokan harinya Lu-eng-hwa dan Ouw-ciong meninggalkan in-tek-san, sebulan kemudian keduanya sampai dikota Hehat

“kita sebaiknya bermalam beberapa hari disini untuk melihat keadaan dan sepak terjang Hehat-kui-sam.” ujar Lu-eng-hwa, kemudian merekapun masuk sebuah likoan

“silahkan tuan dan nyonya.” sambut seorang pelayan

“sediakan dulu arak terbaik.” ujar Ouw-ciong sambil duduk, seguci arak pun dihidangkan, setelah puas dari dahaga dan pulih dari kelelahan, Ouw-ciong pun memasan makanan.

Lima orang lelaki separuh baya dengan pakaian parlente memasuki likoan, prmilik likoan lansung berdiri dan menyambut dengan ramah

“aih…ternyata”hehat-liong-ngo” (lima naga hehat) silahkan..silahkan tuan-tuan.” ujar pemilik liokoan sambil menyembah-nyembah, kelima orang itu pun duduk dengan dilayani tiga orang pelayan.

Ouw-ciong dan Lu-eng-hwa menatap kelima orang yang dipanggil hehat-liong-ngo, sementara sebagian besar tamu sudah menyingkir, dan sebagian yang baru pesan makanan terpaksa makan dengan rasa cemas, semua itu tidak luput dari perhatian Lu-eng-hwa.

“Kota ini memang sudah dalam genggaman Hehat-kui-sam.” ujar Lu-eng-hwa “benar, lalu kalian siapa!?” sahut salah seorang dari hehat-liong-ngo “hik..hik… sungguh mengesankan.’ sahut Lu-eng-hwa

“apa maksudmu!?”

“kalian ini anak buah Hehat-kui-sam, sementara saya dengar bahwa Hehat adalah kaki tangan seseorang, dan kalian demikian sombong sehingga membuat hati saya terkesan.”

“Lalu kalian siapa?”

“kami adalah sahabat lama dari pimpinan ketua kalian.” “apakah kalian sahabat dari pah-sim-sai-jin?” “benar, kami adalah sahabatbya, bahkkan dulu pah-sim-sai-jin menyerahkan wilyah timur pada rekan saya ini.” sela Ouw-ciong

“kami tidak tahu menahu apa benar ada kaitan antara Hehat-kui-sam dengan Pah-sim-sai-jin, karena selama ini kami tidak pernah bertemu dengan Pah-sim-sai-jin dan ketua kami juga tidak perbah menyinggungnya.”

“terserahlah, kami juga tidak memusingkan hal itu, karena kami hanya sekedar lewat dikota ini.” “kalian hendak kemanakah?”

“itu urusan kami dan anda tidak perlu tahu!” sahut Lu-eng-hwa ketus “jangan macam-macam dengan kami, kami adalah penguasa kota ini.” “lalu kalau kalian penguasa kota, kalian mau berbuat apa?”

“kami harus tahu apa urusanmu, jika kamu tidak katakana, kalian telah berani membangkang dan kalian harus mati.”

“hik…hik… luar biasa, apakah kalian akan sanggup menghadapiku!?”

“sialan, ayok kita serang!” sela yang lain, tiga orang segera menyerang, serangkum hawa sin-kang merambat dan beradu, benturan bergaung membuat likoan itu bergetar, lalu pertempuran segit pun terjadi, Lu-eng-hwa yang kosen bergerak lincah mengelak dan membalas serangan tiga lawannya dengan tidak kalah bahayanya.

Tiiga dari hehat-liong-ngo berusaha mengerahkan seluruh kemampuan untuk merobohkan si nenek cantik, namun sepertinya sulit, karena sampai seratus jurus, jangankan untuk merobohkan, mendesdakpun mereka tidak mampu dan bahkan ketika Lu-eng-hwa memulai jurus baru yang mereka ciptakan”In-hwi-kiam” dan pada lima gebrakan saat pedang melejit seperti busur kearah dadal awan, membuat lawan kelabakan, dan disaat genting yang mengejutkan itu pedang Lu-eng-hwa smenimbulkan sinar cemerlang dan membuat pandangan serta merta terpejam karena silau

“cep…aghhh….” pedang Lu-eng-hwa pun tidak bisa dihindarkan menancap diperut lawan, suara jeritan itu menyentak keempat rekannya, dan seorang dari mereka melompat dengan amarah, cakarnya yang kokoh mengarah pada kepala Lu-eng-hwa

“plak….plak….” dua pukulan peradu, dan keduanya terlempar kebelakang, dan hanya sesaat merekapun kembali bertempur dengan hebatnya, Ouw-ciong yang menjadi penonton memperhatikan titik kelemahan ilmu ciptaan mereka saat diadu dengan ilmu lawan.

“sudah! cukup satu dari kalian yamg mati untuk membayar kebodohan kalian.” Ujar Lu-eng-hwa sambil melompat dengan tinggi dan bagaikan anak panah pedang menyerang ubun-ubun lawan, lawan yang mendongak termakan umpan, sinar kemilau pun berkilat dan menggelapkan pandangan lawan, dan ketika pedang itu akan menyate kepala, Lu-eng-hwa mennggeser pedabf

“cras…..adouuwhhh,,,,,,,,,,” teriaknya karena pedang Lu-eng-ghwa masih menyambar telinganya hiingga putus.

“ayok kita lanjutkan perjalanan Ouw-ciong.” teriak Lu-eng-hwa sambil berkelabat dari tempat itu, Ouw-ciong pun menyusul rekannya hingga mereka tiba pada sebuah klenteng yang tidak digunakan lagi.

Keduanya melewatkan malam di dalam kelenteng “Lu-cici! kira-kira dimanakah Pah-sim-sai-jin berada?”

“kita tidak tahu, namun yang pasti berada di utara, karena permulaan misinya di wilayah utara.” “Apakah mungkin ia masih berada dikota Sinyang?” “mungkin jadi masih disana, dan kota sinyang adalah tujuan kita, sudahlah mari kita tidur” sahut Lu-eng- hwa, lalu keduanya tidur berpelukan, Lu-eng-hwa walaupun sudah berumur enam puluhan, wajahnya yang dulunya cantik masih belum pudar, dan tubuhnya yang semampai walaupun nampak agak kering tapi masih memiliki body yang menerbitkan birahi, terlebih ganda harum yang dipakainya menebar aroma segar.

Ouw-ciong masih menamukan kepuasan dipelukan nenek yang sudah monopouse itu, malam itu dengan segenggam kemesraan menyibak suasana dinginnya malam dan berganti dengan panasnya birahi, langkah demi langkah pasangan tua itu mendaki puncak kepuasan hingga akhirnya terhempas nikmat yang melelapkan, membawa pada kenyamanan tidur sampai pagi hari.

Keesokan harinya pasangan tua itu melanjutkan perjalanan dan sebulan kemudian mereka sampai di kota kiang-bun, keduanya memasuki likoan untuk makan dan menginap, setelah makanan dihidangkan pelayan, pelayan tersebut segera menyambut datangnya dua orang tamu yang juga sepasang, hanya bedanya pasangan yang makannya dihidangkan, perempuyannya sudah tua sementara pasangan yang disambut amat mengagumkan dan mempesona, perempuannya cantik dan anggun mempesona.

Ui-hai-siang-liong dipersilahkan duduk dan dilayani dengan ramah, pasangan dari in-tek-san melirik dengan waspada, karena mereka masih ingat dengan pasangan yang luar biasa kosen ini, terlebih Ouw-ciong, setelah melihat Ui-hai-siang-liong tidak bisa menyimpan rasa terkejut dan gelisah diraut wajahnya.

Ui-hai-siang-liong tidak mengenali pasangan dari in-tek-san tersebut, karena Ouw-ciong walaupun musuh bebuyutan, namun dulunya tubuh dan wajah Ouw-ciong bercat warna-warni, dan sekarang Ouw-ciong tidak memakai lagi ciri khas pulau neraka tersebut

“kenapa dengan kamu Ouw-ciong?” tanya Lu-eng-hwa heran melihat perubahan muka Ouw-ciong. “dua orang yang baru datang itu adalah musuh lama.”

“mereka itu siapa?”

“mereka adalah Ui-hai-siang-liong.” “apakah kamu takut dengan mereka?”

“sepasang pendekar itu sangat kosen Lu-cici, entah kalau sekarang setelah kita menciptakan In-hwi-kiam.” “berarti kita dapat mencobanya sebagai bahan penguji ilmu kita.”

“benar, tapi kita harus hati-hati.” sahut Ouw-ciong, Lu-eng-hwa mengangguk dengan senyum penuh percaya diri.

“hik…hik….sepertinya dunia hitam akan kembali bangkit dengan kemunculan kembali pah-sim-sai-jin.” ujar Lu-eng-hwa sambil menyapu pandangan keseluruh ruangan, para tamu mendongak melihat Lu-eng-hwa.

“memang benarlah demikian, apakah ciampwe memihak pah-sim-sai-jin?” sela seorang laki-laki muda berwajah tampan, dia adalah tuan muda Gu, ayahnya adalah Gu-hak-song yang berculukan”sin-jiauw” (sicakar sakti). Sin-jiauw bekas kauwsu yang direkrut oleh Hehat-kui-sam dan ditempatkan di Kiang-bun.

“tuan muda kamu sendiri bagaimana?” tanya Ouw-ciong

“aku merasa bahwa pah-sim-sai-jin adalah dewa, dan aku kagum padanya.”

“apakah kamu tidak kagum dengan Im-yang-sin-taihap atau Ui-hai-siang-liong?” tanya Ouw-ciong sambil melirik Ui-hai-siang-liong.

“kedua julukan itu memang menggetarkan, tapi pah-sim-sai-jin melebihi kedua julukan itu dalam satu hal.” “apa itu tuan muda?” sela Lu-eng-hwa

“pah-sim-sai-jin tidak bisa mati.” “kenapa tuan muda berkata demikian?”

“menurut pengetahuanku pah-sim-sai-jin sudah berkali-kali harus binasa, namun ternyata dia muncul lagi.” “sejauh mana pengetahuanmu tentang kehidupan pah-sim-sai-jin ini tuan muda?”

“sepengetahuan saya kali pertama pah-sim-sai-jin mati adalah saat bertemu dengan enam she-taihap di kota yinchuan, namun dia kembali dan bahkan menewaskan she-taihap dipulau kura-kura, dan kali kedua pah-sim-sai-jin harus mati pada saat ia mendatangi pulau kura-kura kali pertama, namun ternyata ia datang lagi dan bahkan menewaskan penghuni pulau kura-kura.

“lalu adalagi tidak kali ketiga?”

“ada, yaitu pada saat pah-sim-sai-jin berhadapan dengan im-yang-sin-taihap, dan ternyata setahun lebih yang lalu ia muncul lagi, bahkan sekarang pah-sim-sai-jin adalah bengcu dunia persilatan.”

“darimanakah kamu ketahui hal itu tuan muda?” tanya Ouw-ciong “ayah saya memiliki pengalaman luas didunia persilatan.” “siapakah gerangan ayahmu tuan muda?”

“ayah saya adalah Gu-hak-song atau”sin-jiauw”

“mendengar pernyataan tuan muda, keluargamu termasuk kaki tangan pah-sim-sai-jin.” sela Yo-hun, Gu- siauwya menoleh menatap Yo-hun

“benar dan kota kiang-bun ini adalah mandat dari hehat-kui-sam kepada ayahku.”

“sebagai perpanjangan tangan pah-sim-sai-jin kalian telah bertindak sewenang-wenang pada rakyat jelata, demi kepuasan ego kalian telah menindas hak-hak manusia disekitar kalian, apakah hal itu patut dibanggakan oleh manusia yang masih memiliki nurani?”

“kita harus mengikuti arus supaya dapat bertahan hidup, bukankah demikian saudara?” sahut Gu-siauwya “manusia yang tidak memiliki prinsip hidup yang bertindak demikian, dan jika manusia sudah tidak memiliki prinsip, maka hilanglah jati dirinya, apakah tuan muda termasuk golongan ini?”

“kondisi tersebut merupakan pilihan, dan pilihan adalah hak kita masing-masing, tidak ada yang boleh memaksakan kehendak.”

“benar tuan muda, dan sebaiknya janganlah bagian dari orang yang memaksakan kehendak, ratusan rakyat selama setahun pergerakan hehat-kui-sam terpuruk pada pemaksaan yang kalian lakukan, lalu kenapa dalam hal prinsip anda tidak mau dipaksa, apakah anda harus berbeda dengan orang lain?”

“memang saya dan orang-orang itu berbeda.” “apa beda anda dengan orang-orang itu?”

“saya dan keluarga saya memiliki ilmu bela diri dan kami jeli dengan situasi dan kondisi.”

“baiklah, entah bagimana sin-jiauw mengajari kamu memahami hidup, namun sungguh sangat seleras dengan prinsip hidup pah-sim-sai-jin, hanya beda keluarga tuan dengan pah-sim-sai-jin adalah prinsip hidup, keluarga tuan tidak memiliki prinsip sementara pah-sim-sai-jin masih memilikinya, artinya keluarga tuan muda lebih parah ketimbang pah-sim-sai-jin.”

“perdebatan yang cukup alot, dan sebenarnya hanya buang-buang tenaga.” sela ouw-yang

“bagi sicu mungkin tidak berguna, namun bagi orang yang selalu mencari hal yang terbaik untuk dirinya bisa jadi berguna.”

“hehehe..hehehe… apakah menurutmu tuan muda itu akan mengikuti saran dan kemauanmu?” “mengingatkan orang lain adalah tanggung jawab kemanusiaan, perkara orang terima atau tidak itu bukan tujuan, dan satu hal yang pasti tuan muda, bahwa kebaikan pasti diatas kejahatan.” sahut Yo-hun sambil berpaling ke arah Gu-siauwya.”

“dan saat ini kejahatan merupakan kondisi yang harus diterima.”

“itu hanya sementara tuan mudam, karena para penentang juga akan bermunculan.” “apakah anda termasuk penentang pah-sim-sai-jin?”

“benar sekali, dan keluarga anda harus berhadapan dengan kami suami istri.”

“jangan takut tuan muda! kami ada dipihakmu, ui-hai-siang-liong adalah musuh bebuyutan kami.” sela Ouw- ciong

“saya tidak takut cianpwe, dan kalau boleh tahu siapakah kalian?” sahut Gu-siauwya “kami adalah sahabat dari pah-sim-sai-jin.”

“musuh kami memang banyak, tapi siapakah kalian yang mengaku musuh bebuyutan kami?” sela Liu-kim “anda mungkin lupa nyonya, kita pernah satu pejalanan.”

“hmh…apakah anda ouw-ciong pewaris pulau neraka?” sahut Yo-hun “benar, saya adalah ouw-ciong.”

“kalau begitu nenek disampingmu adalah salah satu dari im-kan-sian-li-sam.” Sela Lui-kim “hehehe…hehehe… benar, lalu apakah kalian masih sesumbar akan menentang pah-sim-sai-jin?” “tentu kami akan terus menentang apapun sepak terjang dari pah-sim-sai-jin.” sahut Lui-kim.

“kalau begitu majulah, biar kita dapat tentukan siapa yang hidup antara kita.” Tantang Lui-kim, Ui-hai-siang- liong lalu melompat kehalaman likoan dan disusul pasangan dari in-tek-san

Dua pasangan itu bersiap-siap dengan kuda-kuda untuk menyerang, dan pertempuran dalam dua kelompok pun terjadi, Yo-hun berhadapan dengan Ouw-ciong sementara Siangkoan-liu-kim berhadapan dengan Lu- eng-hwa, empat bayangan berkelabat dengan senjata berkeredapan mengaung mengincar tubuh lawan, Gu-siauwya keluar dari likoan untuk melihat jalannya pertempuran tingkat tinggi antara dedengkot dunia persialatan, demikian juga para tamu sangat antusias menyaksikan duel yang seru tersebut.

Yo-hun dengan gerakan pedangnya yang luar biasa mengurung Ouw-ciong, Ouw-ciong dengan ilmu In-hwi- kiam berusaha mengimbangi dan membalas, suara pedang yang kadang beradu memekakkan telingan disamping kesiuran tenaga sakti yang dikeluarkan, selam seratus jurus dua kelompok pertempuran itu masih seimbang, gulungan pedang sama-sama mengincar bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawan, trik serangan dan tipuan dikerahkan untuk merobohkan lawan.

Pada jurus ke dua ratus sinar pedang thian-te-it-kiam mulai mendesak dan menyudutkan permainan pedang in-hwi-kiam, Ouw-ciong terdesak hebat, dengan semampunya bertahan, Lu-eng-hwa yang kedudukan masih imbang dengan Liu-kim, berusaha mendekati rekannya dan mencoba membantu, dan pada satu kesempatan pasangan In-tek-san berhasil menggabungkan diri dalam permainan In-hwi-kiam, dan sungguh luar biasa sehingga membuat pedang yo-hun tertahan dan bahkan terdesak hebat.

Siangkoan-liu-kim dengan cekatan beradu punggung dengan suaminya dan membendung serangan pasangan in-tek-san

“trang..trang…. wuut…..trang…trang…” empat bilah pedang saling hantam dan mengeluarkan percik api dan, pertempuran semakin seru dan gesit, tenaga gabungan dan gerak pasangan pasangan in-tek-san dengan ilmu In-hwi-kiam memang menakjubkan, serangan datang bertubi-tubi laksana air bah mengurung Ui-hai-siang-liong. Ui-hai-siang-liong boleh dikatakan terdesak karena dahsyatnya serangan lawan, namun Ui-hai-siang-liong adalah pasangan kosen yang tidak larut dengan kepanikan, dengan kewaspadaan dan perhitungan jeli ui- hai-siang-liong bertahan sambil menanti celah untuk serangan balasan, pertempuran sudah berlangsung tiga jam, area pertempuran sudah porak-poranda karena beberepa tiang kios dan bangunan disekitarnya ambrol.

Pasangan dari In-tek-san terus mendesak dengan luar biasa, dan pada satu kesempatan Yo-hun dengan gerakan menghindar dengan poksai ternyata menukik dengan jurus pedang halilintar menyambar dan gerakan balasan yang spontan ini tidak diduga oleh Ou-ciong

“cras….breet…” pedang Yo-hun melukai bahu ouw-ciong sementara baju Yo-hun bagian perut robek disambar ujung pedang Ouw-ciong, muncratnya darah dari bahu Ouw-ciong membuat Lu-eng-hwa terpana sejenak, dan fatalnya serangan Liu-kim dengan jurus dewi kwan-im mencari mustika tidak dapat dihindarkan “cep….aghr….” perut lu-eng-hwa ditembus pedang.

Ui-hai-siang-liong tidak menunda serangan balasan ditengah ketercenungan pasangan dari in-tek-san, dalam jurus badai gurun membalik bumi dua pedang Ui-hai-siang-liong mencecar tubuh lawan “cras…cras….trang..cras…cras..” pasangan In-tek-san tidak menduga bahwa mereka harus meregang nyawa ditangan Ui-hai-siang-liong hanya karena keteledoran konsentrasi, tubuh Ouw-ciong hampir terbelah dua sementara bahu Lu-eng-hwa sampai kepinggang terbelah.

“pasangan in-tek-san tewas setelah sekian lama menyembunyikian diri, para warga yang menonton terkesima melihat tewasnya pasangan in-tek-san yang mengerikan, Gu-siuawya terbelalak dan terkesiama, melihat pertempuran tingkat tinggi yang jelas jauh diatasnya meleletkan lidah, mukanya pucat menatap Ui- hai-siang-liong.

Yo-hun   mendekati   Gu-siauwya,    Gu-siuawya    sudah    pucat    dan    ciut    bergerak    undur “bagimana menurutmu, apakah kamu dapat menerima bahwa kamu harus mati ditangan kami?” “tidak..! jangan bunuh saya …” sahut Gu-siauwya memelas dan merangkap kedua tangannya dihadapan Ui- hai-siang-liong

“kenapa? bukankah menurut pengertianmu akan situasi, sepatutnya kamu berlapang dada untuk mati ditanganku.”

“taihap…saya akan berikan harta jika taihap melepaskan saya.”

“sayang sekali tuan muda, kami tidak butuh hartamu, kami akan tetap membunuhmu karena engakau adalah adalah sampah yang tidak berguna dan membahayakan.”

“taihap…ampunilah nyawa saya, saya akan berubah dan tidak akan bertindak aniaya lagi.”

“sayang sekali tuan muda kamu ini adalah manusia yang tidak punya pendirian, kamu adalah orang munafik, tetap saja kamu harus dienyahkan dari muka bumi ini.”

“siapa yang akan dienyahkan!” teriak seorang lelaki berumur lima puluh tahun lebih

“ayah…untunlah kamu datang, dua orang ini mau membunuh saya.” sahut Gu-siauwya dengan muka berubah cerah ketika melihat ayahnya muncul dengan sepuluh orang anak buah.

“apakah kamu”Sin-jiauw”?” tanya Yo-hun “benar….dan kamu telah mengina anak saya.” “hmh….lalu apa yang hendak kamu perbuat?”

“orang yang menghina putra saya, maka dia harus mampus.”

“oo..begitu, majulah pangcu, kewajibanmu memang membela anakmu.” sahut Yo-hun, melihat ketenangan lawannya dan nada bicara yang begitu meyakinkan membuat sin-jiauw terdiam.

“apalagi yang anda tunggu, saya sudah siap menerima pelajaran dari anda.” “bangsat….mampuslah..!” teriak sin-jiauw sambil mengulurkan kedua tangan dan serangkum sin-kang berhawa panas menerpa kearah Yo-hun

“blamm…” Yo-hun menyambut dengan ilmu pek-lek-jiu, dan akibatnya sin-jiauw terjengkang ambruk sambil muntah darah, sementara Yo-hun berdiri tidak bergeming, sin-jiauw berdiri dengan payah, lalu dengan cepat dia melayang dan mengelurkan jurus cakarnya yang lumayan meghebohkan, namun sin-jiauw kali ini menghadapi bintang dunia persilatan yang telah sekian lama mengukir nama dengan kehebatan yang tidak diragukan lagi.

Dalam Dua puluh jurus Yo-hun menghindar, dan pada jurus berikutnya

“plak….krek…auhhh…plak….krekk..aghh…buk….” kedua lengan sin-jiauw patah dan hantaman terkahir dari yo-hun mengguncang dadanya dan untuk kedua kalinya sin-jiauw ambruk sambil memuntahkan darah, nafasnya sesak dan akhirnya pingsan.

“bagaimana tuan muda, situasimu makin sulit, apa yang akan kamu lakukan!?” ujar Yo-hun, Gu-siauwya makin gemetar ketakutan.

“taihap aku memang salah dan tidak berguna, berikan kesempatan bagi saya untuk memperbaiki diri.”

“kesempatan bisa jadi akan saya berikan tapi saya tidak yakin bahwa kamu akan bertahan ditengah kerap kalinya perubahan situasi yang kamu alami, besok setelah kami tinggalkan kamu, maka kamu akan berada pada situasi yang berbeda dengan hari ini.”

“taihap memang aku ini bodoh dan dan lemah.”

“kamu jangan plin-plan, bukankah tadi kamu mengatakan bahwa kamu ini jeli dan kuat karena memiliki ilmu bela diri.” sahut Yo-hun, Gu-siauwya terdiam karena merasa tersudut.

“begini saja, keadaan kota ini sudah morat-marit karena ulah kalian, warga yang kalian tindas telah terjebak pada kemiskinan dan kehinaan, bisakah kamu memperbaiki keadaan kota ini?”

“saya akan memperbaiki keadaan kota ini, dan saya berjanji pada taihap.” “baiklah, segeralah perbaiki keadaan kota ini, karena waktu anda tidak lama.” “maksud taihap apa?”

“setelah kamu perbaiki keadaan, dan jika seorang yang berjulukan pek-mou-sin-kun datang kemari kamu harus ikut dia dan meninggalkan kota.”

“baiklah taihap, aku akan ikut apa kata taihap.”

“lakukankalah apa yang menurutmu baik dalam memperbaiki keadaan, dan kami besok pagi akan meninggalkan kota.”

“bukankan sebaiknya siang-taihap bermalam dirumah kami?”

“tidak usah tuan muda, kami menginap di hotel saja, selamat bertugas.” sahut Yo-hun, lalu Yo-hun dan istrinya meninggalkan tempat itu dan mencari sebuah penginapan.

Disebuah hutan sebelah timur kota Han-zhong tiga orang sedang asik makan siang dengan dua panggang ayam hutan,”Bu-ko aku cemas memikirkan ayah, jika keadaannya seperti yang diceritakan oleh Kao-cici.” “tenanglah Cia-moi, kita akan berusaha semaksimalnya untuk memperbaiki keadaan para pendekar itu.” “menurutmu kao-cici, seperah apakah peristiwa yang dialami para peserta pertemuan di kota Sinyang?” “dari situasi ketika berhadapan dengan mereka, mereka memang tidak bisa diajak bicara, karena mungkin pengaruh hipnotis tersebut, namun saya yakin dengan apa yang diberitahu oleh Wan-yokong, kita akan dapat mengatasi keadaan, karena jika ramuan telah didapatkan dan didukung oleh sin-kang yang memadai maka para cianpwe itu akan dapat diselamatkan.” “semoga saja apa yang telah diperkirakan oleh Kao-lihap benar adanya.” sela Kwa-han-bu. “apakah kita akan bermalam disini bu-ko?”

“sepertinya demikianlah Cia-moi, apalagi senja sudah datang.”

“baiklah kalau begitu, saya ingin kebawah ketempat sumber air untuk membersihkan diri.” sela Kao-hong-li. “saya juga akan ikut, marilah Kao-cici.” sahut Cia-han-li

“kedua wanita itu meninggalkan Kwaa-han-bu dan turun kebawah, dimana sumber air berada.

Cia-han-li dan Kao-hong-li melepas pakaian dan merendamkan diri di dalam air yang jernih, Kao-hong-li menggosok tubuhnya dengan lembut, suasana hatinya semakin hangat ketika membayangkan perjalanan dengan Kwaa-han-bu, lelaki tampan dengan berjuta cinta dan sayang, lelaki dengan kharisma dan kelembutan, sudah dua bulan mereka mengadakan perjalanan, perlakuan Kwaa-han-bu pada istrinya demikian lembut dan tidak canggung, dan anehnya kao-hong-li tidak sedikitpun merasa diabaikan, setiap kemesraan yang berlangsung didepan matanya membuat dia bahagia, seakan kebahagiaan yang dialami Cia-han-li ikut juga ia merasakan.

“Kao-cici! kenapa melamun?” tanya Cia-han-li “ah…tidak…aku tidak melamun Cia-moi

“tapi pandanganmu jauh dan raut wajahmu demikian cemerlang seakan membayangkan hal yang membahagiakan.”

“ah….hanya sekedar menikmati sejuknya tempat ini dan indahnya pemandangan disini, lihatlah bunga- bunga persik yang tungun diatas sana.” sahut Kao-hong-li

”Kao-cici apa yang kamu rasakan sejak perjalanan bersama ini kita lakukan?”

“hatiku sangat senang dan bahagia Cia-moi, bukankah kamu juga merasakan demikian?” “benar sekali Kao-cici, aku juga senang melihat kamu jika merasa senang.”

“terimakasih Cia-moi, perjalanan ini demikian menyenangkan, keberadaan im-yang-sian-taihap disamping kita merupakan hal yang menggembirakan.”

“kenapa kamu merasa gembira Kao-cici?”

“jujur saya katakana Cia-moi, bersama im-yang-sin-taihap adalah harapan manis selama ini, dan dengan terwujudnya hal itu merupakan hal yang membahagiakan.”

“apakah menurut kao-cici, Bu-ko merasakan hal yang sama?”

“saya tidak tahu Cia-moi, dan tentunya kamu lebih tahu apa yang dirasakan Im-yang-sin-taihap.” “menurutku Bu-ko juga merasa bahagia Kao-cici.”

“bagaimana kamu yakin Cia-moi?”

“Bu-ko tidak canggung membawa kita berdua, hal itu menunjukkan bahwa Kao-cici dalam pandangan Bu-ko bukan orang luar, kemesraan dan curahan cintanya juga tidak sungkan walaupun berada didepan Kao-cici.”

“apakah itu artinya bahwa Im-yang-sin-taihap sedang menguji hatiku Cia-moi.”

“entahlah Kao-cici, menurutmu apakah sikap itu merupakan ujian, ataukah Bu-ko sendiri sudah tahu hati Kao-cici.”

“bagi saya itu bukan ujian, dan mungkin benar Im-yang-sin-taihap mengetahui hati saya.” “saya juga berpikiran demikian Kao-cici, karena walau bagaimanapun Kao-cici, Khu-cici dan Lauw-cici memiliki kisah yang sama saat berhadapan pertama kali dengan Bu-ko.”

“Kadang kalau di ingat-ingat sungguh aneh perasaan yang muncul saat itu, dan luar biasanya Lauw-bi-hong dan Khu-hong-in berhasil berlabuh disamping Im-yang-sin-taihap.”

“lalu apakah Kao-cici juga merasa akan dapat juga berhasil sebagaimana Khu-cici dan Lauw-cici.”

“jika didalami cinta Im-yang-sin-taihap, mungkin saya juga dapat peluang, namun bagimanakah kenyataannya nanti, saya tidak tahu.”

“selama dalam perjalanan ini, Bu-ko dan Kao-cici tidak pernah bicara hati ke hati, lalu apakah perasaan akan berjalan sesuai harapan?”

“hik..hik…. rasanya aneh jika hal itu kamu tanyakan Cia-moi, soal bagimana mencintai dan dicintai im-yang- sin-taihap bukan masalah yang sulit, yang jadi masalah adalah antara wanita yang mencintai Im-yang-sin- taihap.”

“memang tidak bisa dinafikan bahwa Bu-ko memiliki daya tarik luar biasa dimata wanita, saya sangat sependapat dengan Kwee-moi, bahwa Bu-ko lelaki bertabur cinta.”

“Dan cinta itu menghilangkan ego pada wanita yang dicintainya, menurutmu kenapa bisa demikian Cia-moi.” “menurut saya karena curahan cinta yang diterima berlimpah ruah, rasa sayang yang di terima tidak mengenal batas, perlakuan sebagai seorang wanita sesuai pada porsinya, hati tidak iri karena diperlakukan dengan alami, merasakan cinta dan sayang tiada batas, dan yang terpenting bahwa kita merasa dibutuhkan olehnya.”

“benar, berbahagialah kalian yang sudah berada dalam biduk cinta im-yang-sin-taihap.” “dan tentunya Kao-cici juga tidak akan berlama-lama menanti diluar biduk.”

“hik..hik…aku kagum dengan hati yang kamu miliki Cia-moi, jika memang aku akan diraih, aku tidak akan berpaling dan berlari mendapatkannya.”

“hik…hik… aku juga tidak dapat pungkiri bahwa hatimu juga sangat agung sehingga Bu-ko mengisyaratkan bahwa kamu adalah bagian dari dirinya.”

“sudahlah Cia-moi, mari kita kembali.” sahut Kao-hong-li, kemudian keduanya keluar dari dalam air dan mengeringkin badan, lalu berpakaian dan kembali ketempat dimana Im-yang-sin-taihap menunggu.”

“hmh….ternyata lama juga kalian mandinya, apa kalian lupa bahwa aku juga ingin mandi?” ujar Kwaa-han- bu.

“hik..hik… Bu-ko sayang, karena kami ingat dirimu maka kami berlama-lama.” “hahaha..hahaha apakah cerita tentang diriku demikian panjangnya?” “bagaimana kao-cici, apakah pendapatmu tentang diri Bu-ko?”

“benar bahwa membicarakan dirimu sama halnya bercermin melihat diri sendiri, sehingga tidak dapat tidak wanita harus menikmati keberadaannya dalam cermin.”

“terimakasih Kao-siocia, dan dandanan didalam cermin nampak indah dan agung, dan sekiranya mata yang melihat tidak alpa dan mengabaikannya.”

“hik..hik…sudahlah pembicaraan kata hati yang tersirat, sekarang pergilah mandi! sebentar lagi malam akan tiba.” sela Cia-han-li, Kwaa-han-bu dengan senyum meninggalkan keduanya dan menuju sumber air.

Seminggu kemudian Kwaa-han-bu sampai disebuah padang rumput, puluhan rampok mengepung dengan berbagai senjata “kalian berada di wilayah kami, dan segera tinggalkan harta dan dua wanita cantik ini.” bentak pimpinan rampok seorang lelaki dengan tangan yang buntung.

“hik..hik… ternyata kamu Ma-tin-bouw yang jadi rampok.” sahut Kao-hong-li “heh..kamu mengenal saya!?”

“aku masih ingat dirimu Ma-tin-bouw, murid utama Pah-sim-sai-jin.” “kamu siapa?”

“tidak perlu diingat lagi siapa saya, kamu salah mangsa jika menagkap kami, apakah kamu tidak takut dengan im-yang-sin-taihap!?”

“hehe..hehhe… ternyata Im-yang-sin-taihap, kalian sekarang berada diwilayahku, dan disini tidak ada yang aku takutkan.”

“lalu apa yang hendak kamu lakukan?”

“Im-yang-sin-taihap harus dibinasakan dan kalian akan kami tangkap untuk hiburan, seraanggg…” teriak Ma-tin-bouw

Ratusan orang menerjang dan ratusan anak panah melejit kearah rombongan Kwaa-han-bu, tapi ketiganya bergerak gesit dan mematahkan dan menghalau anak panah hingga semuanya runtuk, dan beberapa orang yang sudah mendekat melempar puluhan jala menjaring ketiganya, dan Kwaa-han-bu dengan tangkas bergerak dan menghalau jala dengan sin-kang sehingga semua jala terpental, dan pada bagian lain puluhan orang sudah terlibat pertempuran dengan Kao-hong-li dan Cia-han-li, pasukan rampok itu laksana ilalang disabit senjata dua wanita kosen itu, banyak yang sudah ambruk dengan luka-luka parah, namun ratusan rampok membanjiri pertempuran, untungnya tiga orang itu adalah bukan orang sembarangan.

Para rampok laksana anai-anai yang berterbangan dihantam pukulan-pukulan Kwaa-han-bu, namun rampok itu luar biasa banyaknya, ketiganya mundur ketempat yang lebih luas supaya leluasa bergerak, tapi ternyata mereka digiring pada sebuah jebakan, ketika ketiganya bersalto kebelakang dan mendarat, ternyata ketiganya terjerumus pada sebuah lobang.

Kwaa-han-bu masih dapat menyelamatkan diri dan melambung keatas, namun Cia-han-li dan Kao-hong-li tidak sempat sehingga keduanya meluncur kebawah, gerakan Kwaaa-han-bu semakin dahsyat memporak- porandakan ratusan rampok, padang rumput itu sudah menjadi tumpukan manusia yang sebagian tewas dan sebagian tergeletak dengan luka-luka parah.

Satu jam kemudian Cia-han-li dan Kao-hong-li sudah berada disamping Ma-tin-bouw dengan keadaan terikat.

“im-yang-sin-taihap, menyerahlah, kalau tidak dua wanita ini akan saya bunuh.” ancam Ma-tin-bouw, Kwaa- han-bu berhenti dan menoleh kearah Ma-tin-bouw.”

“apa maumu Ma-tin-bouw!” sahut Kwaa-han-bu

“hahahaa..hahaha…kamu mungkin akan dapat menghabisi kami, namun kedua wanita ini juga tidak luput dari kematian, serhkan dirimu untuk diringkus.”

“baik….saya menyerah..”

“ayok cepat ikat dia, dan kita bawa kemarkas.” teriak Ma-tin-bouw

Im-yang-sin-taihap pun ditangkap dan diikat, lalu ketiganya digiring ke markas Ma-tin-bouw, luar biasa anak buah Ma-tin-bouw ini, dia memiliki anak buah hampir tujuh ratus, markas Ma-tin-bouw berada dibalik bukit, berupa sebuah perkampungan dan dibagian tengah empat buah bangunan besar dan mewah berdiri megah, Im-yang-sin-taihap dimasukkan dalam kotak berupa sangkar besi baja yang kuat, kedua tangannya dirantai dan diikatkan pada dua buah pilar, demikian juga kedua kakinya, kemudian sangkar besi itupun di naikkan sehingga menggantung diawang, sementara dibawah Cia-han-li dan Kao-hong-li di rantai dan dimasukkan dalam penjara.

“apa selanjutnya yang akan kita lakukan pada Im-yang-sin-taihap?” tanya wakil pimpinan pada Ma-tin-bouw “kerugian kita luarbiasa hari ini pangcu.” sela kepala bagian

“hmh…berapa dari kita yang tewas dan berapa yang luka, Bu-tong?” tanya Ma-tin-bouw “yang tewas ada dua ratus orang, dan yang luka ada tiga ratus orang.”

“sialan Im-yang-sin-taihap, seharusnya kita bunuh saja ketiganya pangcu.” sela wakil pimpinan “benar…mari kita bunuh saja ketiganya…” seru yang lain serempak

“baiklah kalau begitu, mari kita ketempat tahanan, dan siapkan pasukan panah untuk menyate tubuhnya didalam jangkar besi.” sahut Ma-tin-bouw, merekapun kembali ketempat tahanan dan dua puluh orang pemanah sudah disiapkan.

Kedatangan gerombolan perampok membuat Kao-hong-li dan Cia-han-li merasa cemas, sementara Kwaa- han-bu melihat kebawah dengan tatapan tajam

“hahaha..hahaha..im-yang-sin-taihap, kami sudah sepakat akan menghabisimu hari ini, jadi bersiaplah.” ujar Ma-tin-bouw disambut tawa para anak buahnya, suasana hening dan tegang
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar