Kembalinya Ilmu Ulat Sutera Jilid 01

Jilid 01

BAB 01

Pagi hari, di luar gua kabut tampak masih tebal, tapi matahari sudah masuk melalui sela-sela, seperti tiang cahaya yang keluar dari kabut tebal. Suasana terasa misterius.

Di dalam gua penuh dengan bebatuan berbentuk aneh, bebatuan itu adalah batuan stalaktit. Cahaya matahari yang menyinari batuan stalaktit, menimbulkan pantulan sinar berwarna-warni.

Semakin masuk ke dalam, sinar matahari semakin sulit masuk dan suasana pun semakin gelap, batu pun semakin kehilangan warna cerahnya, memang masih ada sedikit cahaya yang masuk tapi cahaya itu membuat orang teringat pada pedang, golok, dan tombak yang tajam juga dingin.

Gua itu besar, banyak jalan lorong-lorongnya, cahaya matahari membantu orang melihat arah, tapi tetap saja membuat orang merasa gua ini sangat dalam dan jauh. Di tengah-tengah gua terdapat sebuah kolam besar, di kolam terdapat banyak batu stalaktit yang muncul dari air, terlihat tajam dan lancip, membuat kolam itu terlihat jadi sangat berbahaya.

Di tengah-tengah kolam terdapat batu besar sebesar 3-4 meter muncul ke permukaan kolam. Itu hanya satu per tiga dari tiang batu yang menyambung ke atas gua, entah mengapa tiang itu patah sekitar 3-4 meter.

Seorang yang berpenampilan aneh sedang duduk bersila di atas batu itu. Orang itu memang aneh, sekujur tubuhnya di bungkus benda seperti benang tenun, maka tidak bisa terlihat jelas bagaimana wajahnya.

Benda seperti benang tenun itu berwarna abu keputihan, memancarkan sinar aneh, banyak benang yang melewati kolam secara horisontal dan menyambung ke batu-batu stalaktit yang berada di sekeliling kolam.

Melihat keadaan itu, akan membuat siapa pun berkesan, dia seperti sebuah patung yang ada di kuil yang sudah lama tidak dibersihkan. Sampai-sampai seluruh tubuhnya tertutup oleh sarang laba-laba dan debu.

Benang-benang itu memang seperti sarang laba-laba, melihat benang itu terkumpul begitu banyak, entah berapa lama laba-laba harus menganyam sarangnya? Di tubuh seseorang melilit begitu banyak jaring sarang laba-laba, butuh berapa lama waktu untuk menjalinnya?

Tapi di sekeliling tidak terlihat ada laba-laba, selain orang itu tidak ada makhluk hidup lainnya. Mungkin orang itu pun belum tentu masih hidup karena dia hanya duduk bersila, tidak pernah bergerak sedikit pun.

Tidak ada angin, air kolam terlihat seperti mati, tidak ada riak air. Batu stalaktit yang ada di dalam gua pun tidak meneteskan air.

Di dalam gua tidak terdengar suara sedikit pun, begitu hening seperti mati. Tapi keheningan ini tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh, kerasnya benar-benar seperti suara guntur, entah datang dari mana suara itu, hanya terdengar gemanya sekali-sekali, seperti datang dari semua penjuru.

Gua pun tergetar dan bergoyang air kolam mulai terlihat ada riak, ada air muncrat.

Batu stalaktit yang ada di dalam gua seperti akan hancur, terputus lalu terjatuh.

Suara gemuruh itu tidak besar juga tidak kecil, tapi datang secara berturut-turut, setiap kali suara itu keluar sepertinya sama besar, tapi karena itu adalah gema maka terdengar semakin keras.

Orang yang duduk bersila di atas batu itu seperti tidak terpengaruh oleh suara itu.

Kalau bukan karena dia tuli pasti dia sudah terbiasa dengan suara itu, atau dia memang sudah mati, sehingga tidak ada perasaan apa pun.

Suara gemuruh berbunyi terus kemudian bertambah dengan suara lain. Suara itu seperti suara orang mengutuk.

Munculnya suara itu membuat gua ini terasa diliputi hawa jahat. Kemudian suara ke tiga muncul seperti ada sekelompok ulat sutra yang sedang merebut daun arben sebagai makanan, seperti juga banyak serangga sedang merayap.

Bersamaan itu dari batu stalaktit yang berada di tengah kolam bermunculan banyak titik hitam, semakin lama semakin banyak, titik-titik hitam itu terus bergerak. Setelah dilihat dengan teliti ternyata titik-titik itu adalah laba-laba hitam sebesar kepalan tangan.

Laba-laba hitam itu warnanya hitam mengkilap beroman seperti manusia. Seperti cerita yang ada di dalam mitos. Laba-laba beroman manusia itu tidak disangsikan lagi.

Wajah laba-laba hitam itu berbeda-beda, ada yang marah ada yang senang, ada yang mengejek, hanya dengan melihat romannya cukup membuat siapa pun yang melihat akan terkejut dan merinding.

Mereka semua seperti diatur oleh suara rutukan dan merayap ke benda seperti benang dan serat dari sarang laba-laba, juga merayap ke arah orang yang sedang duduk di atas batu di tengah kolam itu.

Cara merayap mereka terlihat lebih jelek tapi tidak seekor pun ada yang terjatuh ke dalam kolam. Dengan selamat mereka berhasil melewati benda seperti benang dan sarang laba-laba, lalu merayap ke tubuh orang ilu.

Setiap laba-laba beroman manusia itu membawa benang laba-laba yang bersinat terang, tapi setelah teijatuh di tubuh orang itu segera berubah menjadi gelap dan tidak bersinar lagi, dan menempel seperti benang katun sarang laba-laba. Tidak diragukan lagi benang itu adalah benang sutra dari laba-laba beroman manusia. Di dalam mitos diceritakan bahwa benang sutra dari laba-laba beroman manusia adalah benda paling beracun. Jangankan mulut manusia, kulit pun akan pecah jika terkena benang itu.

Orang itu jelas sudah lama dililit dan dirayapi oleh laba- laba beroman manusia, seharusnya kulitnya borok bahkan dia bisa mati, kalau dia bisa hidup, rasanya sukar dipercaya.

Memang masalah di dunia ini sering terjadi di luar dugaan semua orang, banyak hal yang tidak mungkin, akan mungkin terjadi.

Dan orang itu pun masih hidup. Laba-laba beroman manusia itu dengan cepat merayap memenuhi tubuhnya. Membuatnya menjadi benda aneh yang terbungkus oleh kulit hitam berkilau, dan terus bergetar.

Suara gemuruh, suara mengutuk, suara gema terus berbunyi semakin keras, membuat gua itu seperti akan longsor.

Diiringi suara itu terlihat benda aneh itu tiba-tiba meledak.

Banyak benang laba-laba yang menempel di tubuh orang itu yang hancur dan tertiup angin lalu beterbangan.

Orang itu berdiri dalam kepulan asap dan ditempel berhelai-helai benang laba-laba, tapi kulit orang itu tidak borok, malah terlihat sangat mulus, warna kulitnya abu keputihan dan aneh, membuat wajahnya yang tampan terlihat jahat dan kejam. Rambut dan alisnya berwarna abu keputihan terkesan licik, matanya pun tidak terkecuali.

Mengikuti gerakannya, air kolam yang ada di sekeliling batu tiba-tiba naik dan meloncat-loncat, kemudian di tengah-tengah udara berpencar seperti air hujan.

Kemudian terdengar siulan panjang, suara gemuruh dan suara mengutuknya semakin lama semakin mengecil, tapi sampai suara terakhir masih terdengar.

Terdengar suara lonceng dari kejauhan sekejap datang mendekat, saat dia menoleh ada seorang tua muncul di tepi kolam.

Orang tua berambut putih itu telinga, leher, pergelangan tangan dan kakinya diikat oleh lonceng-lonceng besar serta kecil berwarna abu-abu. Warna kulitnya seperti ikan mati, bola matanya seperti mutiara, seperti sosok pemuda yang duduk di atas batu, wajah mereka terlihat pucat karena kurang mendapat cahaya matahari.

Di pinggir kolam orang tua itu berlutut dan terus memberi hormat:

“Selamat, selamat...”

“Apakah aku berhasil?” tanya pemuda itu.

“Berhasil, tapi tenaga dalammu masih belum cukup jika ingin mengeluarkan kekuatan yang dahsyat, untuk naik lagi ke tingkat yang lebih tinggi dan mencapai puncaknya, butuh lweekang yang kuat!”

“Kalau aku berlatih mati-matian, butuh berapa lama?” “Tidak kurang dari 10 tahun, tidak lebih 20 tahun, aku rasa kau tidak akan sabar!”

“Apakah ada cara yang lebih cepat?”

“Ada...” orang tua itu mengeluarkan segulung kulit kambing dari balik dadanya, “ini adalah daftar nama-nama dari 36 pesilat tangguh di Tiong-goan, setiap orang itu mempunyai lweekang yang sangat kuat!”

“Dengan jurus Ih-hoa-ciap-bok?” (Geser bunga sambung kayu)

“Itulah cara yang paling gampang!” sikap orang tua itu terlihat bertambah jahat juga curang.

“Jika menggunakan Ih-hoa-ciap-bok, butuh berapa lama?”

“Semua harus melihat seperti apa kerajinanmu, semua ada di tanganmu?”

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak, rambutnya terus bergetar dan melayang-layang. Gema suaranya membuat gua itu bergetar, air kolam pun bergejolak, tapi orang tua itu tidak bereaksi sama sekali, tentu saja karena dia mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat.

Pemuda itu tidak mempedulikannya, dia meneliti gulungan kulit kambing itu, dia sudah memutuskan akan membuat dunia persilatan Tiong-goan jadi geger dan banjir darah.

0-0-0 Ceng Su, ketua Tiam-jong-pai.

Tiam-jong-pai adalah sebuah perguruan besar dan ketua Tiam-jong-pai dari dulu sampai sekarang selalu bernasib baik, setiap ketuanya selalu meninggal karena tua, maka sebelum meninggal mereka selalu mempunyai waktu yang cukup untuk mengajarkan ilmu silatnya kepada ketua penerusnya.

Cara mewariskan yang dilakukan adalah cara paling rahasia juga paling berbahaya. Di dunia ini memang tidak ada hal yang sempurna.

Demi menjaga rahasia ini, ketua Tiam-jong-pai berlatih bukan di di dalam kuil, melainkan di balik gunung, di sebuah rumah batu.

Ingin memasuki rumah batu itu harus melewati sebuah lorong, kedua sisi lorong itu sangat tajam, maka disebut 'It- sian-thian' (Jalan kecil menuju langit).

Di mulut lorong ada sebuah rumah batu kecil, di dalam rumah batu itu ada 4 orang murid Tiam-jong-pat tinggal di sana, semua diatur oleh ketuanya. Biasanya mereka adalah murid langsung dari ketua Tiam-jong-pai, selain bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari ketua, mereka juga menjaga keselamatan ketuanya, melarang siapa pun mengganggu gurunya yang sedang berlatih di rumah batu itu. Pekerjaan ini bisa dianggap sebagai pekerjaan paling ringan, bisa dikatakan yang dimaksud dengan ringan itu adalah membosankan.

Buktinya sampai sekarang tempat itu selalu tenang, tidak pernah ada berani menerobos masuk.

Jadi kalau ada berani menerobos, 4 murid Tiam-jong-pai yang berjaga pasti tidak akan keburu menahan.

Dan pemuda itu masuk tidak dengan cara berteriak- teriak terlebih dulu.

Pemuda itu muncul di bawah terpaaan sinar matahari terbenam, dia seperti hantu gentayangan. Saat masih di luar, bayangannya yang panjang sudah masuk ke dalam rumah batu itu.

Empat murid Tiam-jong-pai yang baru selesai membuat makan malam, tidak ada yang melihat, tiba-tiba saja mereka baru sadar kalau ada orang yang sudah masuk.

Orang pertama yang melihat pemuda itu hanya berkata: “Coba lihat siapa yang datang?” karena tempat itu sudah

lama berada dalam keadaan tenang, mereka tidak terpikir kalau bahaya sudah datang. Mereka hanya mengira yang datang adalah murid Tiam-jong-pai yang mengantarkan kebutuhan sehari-hari.

Waktunya memang sangat tidak tepat tapi mereka tidak terpikir akan hal lain, sewaktu mereka sadar semua sudah terlambat.

Pemuda itu seperti hantu gentayangan, tahu-tahu sudah masuk ke dalam. Kulitnya berwarna abu keputihan tapi sangat mulus, sewaktu tangannya terjulur keluar tampak telapaknya licin bercahaya.

Murid paling depan yang ada di rumah itu hanya merasa ada bau tidak sedap menyergap hidungnya. Belum sadar bau apa yang tercium, nafasnya sudah putus. Telapak tangan pemuda itu sudah membekas di wajah murid itu lalu berpindah ke tenggorokan murid yang lain.

Saat pemuda itu meninggalkan murid pertama yang telah dibunuhnya, dari mulut dan hidung murid pertama itu terlihat ada benang berwarna abu-abu keputihan seperti benang laba-laba.

Wajah murid itu pun berubah menjadi abu keputihan, dia menabrak murid yang lain setelah itu baru roboh.

Gerakan pemuda itu sangat cepat, begitu telapak tangannya bergerak lagi, tahu-tahu sudah berada di tenggorokan murid yang lain, tanpa sempat berteriak murid itu pun langsung roboh.

Dua orang murid Tiam-jong-pai lainnya segera mengambil pedang mereka yang tergantung di dinding.

Belum lagi murid yang di sebelah kiri maju, dia sudah merasakan ada angin keras menyerangnya. Teriakan belum selesai tubuhnya sudah melayang terbang, tapi reaksinya lumayan lincah. Di tengah-tengah udara masih dia bisa bergerak dan berusaha melancarkan serangan.

Tapi ketika dia bersiap akan melancarkan serangan, yang dilihatnya hanya sinar berkelebat, kemudian dia merasa nafasnya menjadi sesak, dan itulah saat terakhir yang dirasakannya.

Murid yang di sebelah kanan sudah memegang pedang, saat dia mengawasi pemuda itu, tampak dia sedang menarik telapaknya dan memutar tubuhnya. Saat itu adik seperguruannya melihat sinar yang berkelebat.

“Dengan senjata rahasia melukai orang bukan tindakan ksatria dan laki-laki jantan!” teriak-nya.

Telapak tangan pemuda itu dibalikkan tampak tangannya tidak memegang apa-apa, dari mana bisa ada senjata rahasia?

Murid Tiam-jong-pai yang terakhir itu melintangkan pedangnya di depan dada, dia telah melihat jelas tapi tidak punya reflek seperti itu. Dari sini dapat diketahui kalau ilmu silatnya cukup lumayan hanya pengalamannya sangat kurang.

Sebenarnya pemuda itu bisa mengambil kesempatan ini melumpuhkannya tapi dia malah tidak melakukannya. Dia menunggu murid itu tenang baru maju.

Dengan pedang di tangan, murid Tiam-jong-pai segera menyerang lawannya, ilmu pedang Tiam-jong-pai selalu mementingkan posisi menyerang, dia tahu dalam sekejab serangannya bisa mencapai 271 kali.

Pemuda itu hanya bergeser 9 langkah dan tidak pernah membalas. Sedangkan pedang murid Tiam-jong-pai itu hanya bisa 9 kali mengancam jiwanya, serangan yang lainnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuhnya. Perhitungan yang sangat tepat. Ketenangan pemuda itu benar-benar membuat siapa pun merasa terkejut.

Beberapa kali murid Tiam-jong-pai itu merasakan kalau serangannya mengenai pemuda itu, tapi terakhir dia baru sadar, pemuda itu sama sekali tidak terkena sabetan pedangnya, maka hatinya mulai terasa dingin.

Karena itu gerakan pedangnya dari cepat berubah menjadi lamban dan terakhir jurus pedang nya tampak menjadi kacau. Saat itu lah pemuda itu mulai melancarkan serangan.

Dia membentak ingin memutar pedangnya tapi telapak tangan kiri pemuda itu sudah menekan ke arah kepalanya, membuat semua jurus pedangnya jadi tertutup. Dia ingin menarik pedangnya tapi pedangnya seperti dililit sesuatu dan tidak bisa ditarik lepas. Kemudian dia melihat pemuda itu tertawa licik, tangan kanan pemuda itu diangkat, telapaknya mengeluarkan sinar menyilaukan.

Saat itu pemuda itu seperti menyodorkan sesuatu, dia ingin berteriak, tapi telapak tangan pemuda itu sudah berada di depan matanya, dia berteriak keras dan memutuskan untuk melepaskan pedang lalu kabur dari sana, tapi bersamaan waktu dia melihat tangan kanan yang memegang pedang, kelima jarinya sudah tertempel oleh sesuatu, bukan hanya tangannya tidak bisa terlepas dari pegangan pedang, untuk bergerak pun dia sudah tidak bisa.

Telapak tangan pemuda itu sudah menekan mulut dan hidungnya lalu bertanya: “Apakah sekarang kau sudah tahu bahwa itu bukan senjata rahasia?”

Murid Tiam-jong-pai tidak bisa menjawab. Sewaktu tangan kanan pemuda itu dilepaskan, dia langsung roboh, dari hidung dan mulutnya terlihat ada benang sutra dari sarang laba-laba, di 5 jari tangan kanannya pun ada benda seperti itu, punggung pedang yang tadi ditekannya pun terlihat benang itu.

Pedang berubah jadi tidak bersinar, begitu pula dengan bola matanya, tidak ada tanda-tanda terjadi perubahan perasaan.

Bola mata orang mati memang seperti itu.

Pemuda itu hanya mengatakan kalimat itu kemudian telapak tangannya dikendorkan, kakinya segera melangkah, dia melewati rumah batu menuju lorong sempit.

Semakin ke dalam, lorong semakin gelap dan menyeramkan, cahaya It-sian-thian terlihat menyilau kan.

Pemuda itu berjalan dengan tubuh tegak, dia seperti suka dengan keadaan It-sian-thian.

Sampai di ujung lorong, tampak sorot matanya baru fokus memandang wajah Ceng Su.

Ceng Su berbaju tosu panjang berwarna hijau dan berdiri di depan pintu rumah batu, terlihat wajahnya seperti tertawa, dia melihat pemuda itu berjalan menuju ke arahnya. Dia tampak kurus seperti tosu lainnya, memberikan kesan bersih dan tidak terduga apa yang terkandung di balik semua itu.

“Kabar di dunia persilatan ternyata benar!” tiba-tiba pemuda itu bicara.

“Maksudmu, tentang ilmu lweekang Tiam-jong-pai?” “Katanya ilmu itu hanya bisa dijelaskan oleh ketuanya,

tidak pernah dicatat di dalam buku mana pun!” “Itu memang benar!”

“Bagaimana jika ketuanya meninggal secara tiba-tiba, dan waktu itu tidak ada seorang pun yang akan mewarisi ilmunya, bukankah ilmu itu akan musnah?”

“Untung hal seperti itu belum pernah terjadi!”

“Karena itu lweekang Tiam-jong-pai bisa diwariskan sampai generasimu bukan?”

“Akulah Ceng Su...” Pemuda itu memotong:

“Tampaknya kau bukan tipe orang yang keras kepala dan tidak tahu diri!”

“Tapi sayang, sekarang Tiam-jong-pai harus memikirkan cara lain untuk mengajarkan ilmu lwekangnya kepada generasi penerus. Apakah harus seorang ketua baru yang bisa berlatih?”

“Ini benar-benar disayangkan!”

“Sebenarnya tadi aku sudah menggunakan alat menghitung nasib, dan aku tahu akan terjadi bencana, sayang ide tersebut belum diputuskan, aku sudah mendengar ada teriakan yang mengejutkan!”

“Waktu itu jika kau ingin melarikan diri masih ada kesempatan!”

“Di Tiam-jong-pai belum pemah terjadi ada hal yang tidak bisa dibereskan, ketua Tiam-jong-pai pun tidak pernah ada yang takut pada kematian, tidak ada seorang pun yang ketakutan seperti tikus!”

“Siapa namamu?” tanya Ceng Su lagi. “Kau akan tahu pada waktunya nanti!”

“Lucu juga! Apakah 4 murid Tiam-jong-pai di rumah batu itu dalam keadaan baik?”

“Mereka semua sudah mati!” pemuda itu tidak menutupi keadaan sebenarnya.

“Apakah Tuan datang kemari untuk membalas dendam?” wajah Ceng Su mulai terlihat tidak senang, karena ke empat muridnya itu adalah murid kesayangannya.

“Bukan, aku membunuh mereka karena tidak ada cara yang lebih baik!”

“Baiklah!” Ceng Su menarik nafas panjang. “Apa yang ingin kau jelaskan?” tanya Ceng Su.

“Tidak ada, sebenarnya tidak perlu banyak bicara!”

Ceng Su tertawa dingin, kedua telapaknya berputar, bajunya bergerak tapi tidak ada angin yang berhembus di sana. Setelah dua telapak tangannya didorong ke kanan dan ke kiri, baru terdengar deru angin topan dan guntur. Pemuda itu malah tertawa, semua terlihat oleh Ceng Su.

Dia tertawa dingin:

“Apakah kau berani beradu tenaga dalam denganku?”

Pemuda itu menjawab dengan gerakan, ke dua telapaknya bersiaga di depan dada, telapak tangan saling berhadapan, dia berjalan ke arah Ceng Su.

Melihat usianya masih muda, tenaga dalamnya pasti tidak terlalu tinggi, Ceng Su pun berpikir demikian. Tapi begitu melihat dari dekat, hatinya bergetar, tapi dia tetap ingin mencoba dulu setelah merasa puas baru tenaga dalamnya dikerahkan, ke dua telapaknya menepuk keluar.

Dia tidak terpikir sama sekali kalau pencobaannya akan membuatnya masuk dalam musibah.

Pemuda itu tidak mundur, ke dua telapaknya menyambut dua telapak Ceng Su. Di balik telapaknya tampak cahaya berkedip-kedip.

Ceng Su melihat jelas tapi belum sempat memikirkan masalah ini, kedua telapaknya sudah beradu dengan telapak pemuda itu. Ke dua telapaknya terlihat seperti tidak ada yang datang lebih dulu atau datang belakangan, tapi sebenarnya memang tidak bersamaan, maka dia bersiap- siap menghadapi segala perubahan, tapi kedua telapak pemuda itu seperti mempunyai daya hisap, hingga telapak kirinya pun tersedot.

Telapaknya menunggu terjadi perubahan, tapi telapak pemuda yang sebelah lagi sudah datang menyambut dan tersedot dengan erat. Ceng Su membentak ingin menarik telapaknya tapi sayang dengan cara apa pun menarik telapak tangannya tetap tidak bisa ditariknya, tenaga dalam segera dikerahkan supaya bisa menggetarkan kedua telapak pemuda ini, tapi tenaga dalamnya seperti air sungai Yang-ce, terus mengalir dengan deras masuk ke samudra luas, bisa pergi tidak bisa kembali.

Dia melihat pemuda itu, terlihat dia tertawa jahat dan licik, seperti memberitahukan bahwa dia telah termakan tipuannya.

Tenaga dalam dikerahkan lagi untuk menarik kedua telapaknya yang terhisap tapi keadaan masih tetap seperti itu. Yang membuatnya bertambah terkejut adalah begitu mengerahkan tenaga dalam, tenaga dalamnya medali bocor dan keluar terus, tidak bisa dihentikan lagi.

Tawa pemuda itu semakin licik dan culas. Ceng Su membentak, tenaga dalam dikerahkan lagi untuk menutupi jalan darahnya. Tenaga dalam yang keluar seperti seekor naga berjalan di kedua tangannya, tapi setelah sampai di kedua pergelangan tangan tiba-tiba kehilangan kontrol, seperti seekor kuda liar yang terlepas dari tali kekang, terus berlari keluar.

Ceng Su benar-benar terkejut, dia membentak lagi untuk menutupi jalan darah-jalan darah di keduatanganya. Memang tenaga dalam yang dilatihnya sudah mencapai pada tahap bisa dikuasai sesuai keinginan sendiri, tidak banyak orang yang bias sampai tingkat seperti dia. Dia menotok jalan darah di kedua tangan seperti memotong ke dua tangannya. Sebenarnya hal itu sangat berbahaya, tapi kecuali cara ini tidak ada cara lain lagi.

Jika ada yang tiba-tiba menyerang, berarti dia sedang menunggu kematiannya. Untung saja di sekelilingnya tidak ada orang lain.

Dia percaya jika pemuda itu melepaskan kedua telapaknya, jalan darah di kedua tangannya bisa segera terbuka, dan tenaga dalamnya tetap bisa mengalir masuk ke dalam kedua tangannya.

Tapi pemuda itu tidak melepaskan kedua telapaknya. Saat Ceng Su melihat telapak tangannya dia baru melihat kalau telapaknya dan telapak pemuda itu sudah penuh dengan benda seperti sarang sarang laba-laba, berwarna abu keputihan dan tampak berkilau.

“Kau...” Ceng Su benar-benar terkejut, akhirnya dia sadar mengapa kedua telapaknya sulit ditarik kembali.

Kata 'kau' baru keluar, tiba-tiba dia merasa 2 tenaga besar masuk melalui telapaknya menuju ke dua tangannya.

Jalan darah yang telah ditotoknya bisa mencegah agar tenaga dalamnya tidak keluar, yang pasti bisa menolak tenaga dalam dari luar masuk ke dalam aliran tenaga dalamnya, tapi tenaga dalam yang ingin masuk itu terlalu kuat. Seperti saat kita membelah bambu membuat jalan darah yang telah lertotok jadi terbuka kembali.

Tenaga dalamnya tidak bisa dihentikan lagi, terus mengalir keluar, tenaga tolakan setelah beradu, tenaga yang masuk secara tiba-tiba mundur dengan cepat, dengan tenaga dalam yang mengalir seperti sungai mengalir ke samudra di tubuh pemuda itu. Ceng Su sadar dia telah tertipu dan masuk ke dalam perangkap pemuda itu tapi dia sudah tidak bisa menguasai tenaga dalam yang keluar seperti kuda liar yang terlepas dari pingitan.

Tawa pemuda itu makin terlihat senang, wajah Ceng Su terlihat semakin terkejut dan ketakutan, keringat terus keluar dari dahinya, semua tempat di mana bisa keluar keringat tampak sudah basah kuyup.

Bajunya basah dan dia sudah setengah pingsan. Otot di wajahnya mulai terasa keram, tidak bersemangat seperti biasanya, dia persis seperti seorang tua yang tulangnya sudah keropos.

“Kau ini.... Wan Fei-yang!” tiba-tiba dia berkata dengan suara lemah.

Pemuda itu seperti terkejut, tapi dia tidak menjawab karena dia sedang mengatur tenaga dalam nya, baju dan rambutnya tampak berkibar-kibar.

Akhirnya tenaga dalam Ceng Su telah habis dan mengering, kulitnya pun ikut mengering.

Waktu itu dia merasa ada 2 tenaga kuat masuk melalui telapak tangan pemuda itu dengan cepat masuk ke dalam tubuhnya, dia mulai merasa bersemangat dan merasa nyaman.

“Apa yang kau lakukan?” suaranya mulai membesar. Pemuda itu hanya tertawa, begitu masuk ke pendengaran Ceng Su dia sadar kalau pemuda itu berniat tidak baik lagi, tapi dia tidak bisa memilih jalan lain.

Dengan cepat perasaan nyaman tadi sudah menghilang, digantikan dengan rasa sakit yang sulit ditahan.

Seperti ada jarum yang berpuluh-puluh tiba-tiba meledak di dalam tubuhnya, Ceng Su berteriak memilukan, tubuhnya terpelanting ke belakang, tapi kedua telapaknya jadi terlepas dari telapak pemuda itu.

Dia menubruk dinding gunung yang ada di belakang hingga batu terbelah. Dia terus masuk melesak ke dalam dinding batu, dia berteriak lagi.

“Wan Fei-yang, ada dendam apa antara dirimu dengan Tiam-jong-pai?” dia berteriak, mulutnya terbuka, tapi langsung tertutup oleh benda seperti benang sarang laba- laba, membuat kata-katanya tidak bisa lagi terucap keluar.

“Margaku Beng bernama Beng To!” ucap pemuda itu. “Kau adalah Wan Fei-yang, hanya Thian…” Ceng Su sudah

tidak kuat bicara, dia sudah tidak bernyawa lagi.

“Sekarang kalian menganggap aku adalah seseorang yang tidak ada apa-apa, suatu hari kalian akan mengenalku sebagai Beng To, bukan Wan Fei-yang!”

Beng To membalikkan tubuh keluar lorong.

Sarang laba-laba di wajah Ceng Su semakin banyak, wajahnya pun berubah menjadi abu-abu, seperti sudah lama tidak diketahui keberadaannya sampai laba-laba pun membuat sarang di tubuhnya. Memang benda itu seperti benang sutra tapi tidak teranyam menjadi sebuah lukisan yang indah.

Sewaktu Beng To mengeluarkan gulungan kulit kambing, hari sudah larut, dia sudah berada sejauh 10 Li dari Tiam- jong-pai.

Di depannya berkobar api unggun, dia sedang membakar seekor ayam hutan dan ayam itu belum matang, darah ayam di atas batu belum membeku.

Dengan tenang dia mengambil darah ayam hutan itu dan mencoret nama Ceng Su di atas gulungan kulit kambing.

Di depan nama Ceng Su ada 7 warna, semua nama di sana sudah dicoret. Sorot mata Beng To jatuh ke nama belakang Ceng Su.

Tong Pek-coan, juga bernama Tong Bu-tek, adalah ketua Tong-bun yang terletak di daerah Su-coan timur.

Melihat nama Tong Pek-coan, orang dunia persilatan pasti akan ingat pada banyak hal tentang Tong Pek-coan.

Beng To hanya membutuhkan nama Tong Butek sebagai ketua Tong-bun, itu sudah cukup.

Tong Pek-coan adalah seorang tua sudah 10 tahun lebih tidak pernah meninggalkan Tong-bun, tapi namanya masih sangat terkenal di dunia persilatan, dia bukan hanya mempunyai nama besar, dia juga orang berbakat selama ratusan tahun ini, satu-satunya orang yang bisa menggubah senjata rahasia Tong-bun jadi bertambah sempurna. Tong-bun terkenal di dunia persilatan karena senjata rahasia beracunnya, semua orang dimia persilatan mengetahuinya.

Sekarang senjata rahasia Tong-bun jarang dibubuhi racun, pesilat yang berasal dari Tong-bun tidak perlu memberi racun pada senjata rahasianya.

Sebab jika senjata rahasianya dibubuhi racun, Tong-bun akan menganggap itu adalah cara kurang jujur. Murid-murid Tong-bun selalu berusaha terlepas dari nama buruk walaupun senjata rahasia mereka masih beracun, itu hanya untuk persiapan saja, mungkin dipakai jika situasi memaksa.

Katanya cara melemparkan senjata rahasia Tong Pek- coan sudah berada pada taraf seratus persen tepat dan tidak pernah meleset.

Melemparkan senjata rahasia adalah ilmu yang mengandalkan kecekatan, tapi jika ingin berlatih hingga mahir dan mencapai tingkat tinggi, harus menggunakan ilmu lweekang yang sangat tinggi.

Katanya ilmu lweekang Tong-bun berasal dari India dan hanya Tong Pek-coan yang bisa menguasai hingga tingkat ke- 9.

Kabar di dunia persilatan mengatakan bahwa Tong Pek- coan tiba-tiba keluar dari persembunyiannya karena ingin berlatih tenaga dalamnya hingga tingkat ke 10, setelah mencapai tingkat ke 10, dia akan panjang umur, mungkin dia malah bisa hidup abadi. Tapi itu hanyalah gosip, kenyataan sebenarnya adalah putra tunggalnya meninggal karena sakit, hal ini membuatnya kecewa berat.

Putranya pun hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Tong Ling, hal ini membuat Tong Pek-coan merasa menyesal, untung cucu perempuannya tidak hanya cantik tapi juga pintar. Sudah dididik olehnya selama 10 tahun lebih, kecuali tenaga dalamnya yang masih kurang, ilmu senjata rahasia dan ilmu silat lainnya sudah berada pada sangat tinggi, orang-orang Tong-bun yang lain selalu kalah di tangannya.

Hal itu semakin membuat Tong Pek-coan khawatir, dia sangat tahu sifat Tong Ling yang selalu ingin menang dan fanatik. Setiap hari selalu ribut ingin berkelana di dunia persilatan. Di depan kakeknya dia tidak berani berbuat macam-macam, tapi dia sudah tua, bisa hidup beberapa tahun lagi? Jika dia meninggal, siapa yang bisa membendung Tong Ling?

Orang yang pernah berkelana di dunia persilatan akan mengetahui bahwa dunia persilatan sangat berbahaya, juga penuh dengan kekejaman.

Tinggi gunung masih ada gunung yang lebih tinggi apa lagi Tong Ling adalah seorang gadis, rasanva lebih baik dia tinggal di rumah.

Usia Tong Ling juga membuatnya khawatir sebab di Tong-bun tidak ada yang seorang pun yang disukai Tong Ling. Kadang-kadang dia berharap Tong Ling adalah seorang laki-laki, paling sedikit tidak akan membuatnya pusing 7 keliling.

Tapi walau bagaimanapun Tong Ling adalah anak yang taat dan berbakti kepada orang tua, jika ada waktu dia selalu berada di sisinya untuk menemaninya menghabiskan waktu. Murid Tong-bun yang lain, entah karena Tong Ling atau karena mempunyai sikap menghormati gurunya, mereka juga terbiasa berada di sisinya.

Dia bukan orang tua yang sulit bergaul dengan orang lain, apa lagi selama beberapa tahun ini dia senang dengan keramaian, mungkin ini adalah sifat seorang tua.

Malam ini pun tidak terkecuali.

Murid-murid Tong-bun masih berada di ruang tamu, terdengar sedang bercengkrama dengan Tong Pek-coan, lama baru bubar.

Tong Pek-coan selalu menekankan bahwa anak muda jangan tidur terlalu larut dan harus bangun pagi, sekalipun hari besar, tetap tidak terkecuali.

Itu sudah menjadi sebuah kebiasaan, tapi sekarang ini dia merasa kesepian yang belum pernah dia rasakan. Dia melihat ruang tamu itu dan menarik nafas.

“Aku sudah tua...” seperti ingin berdiri tapi duduk kembali, punggungnya bersandar pada kursi dan menarik nafas lagi.

“Benar-benar sudah tua! Kalau orang sudah tua, telinga dan mata akan melamban reaksinya, kalau tidak, mengapa baru sekarang aku tahu kalau ada seseorang yang diam-diam menyelinap masuk ke mari?”

Sorot matanya melihat ke arah sebuah tiang yang ada di sebelah kanan:

“Ada yang diam-diam menyelinap masuk ke tempat terlarang milik Tong-bun, hal ini belum pernah terjadi, semua ini di luar dugaanku.”

Seseorang berbaju hitam dan dengan wajah ditutup secarik kain keluar dari balik tiang. Tong Pek-coan melihat wajahnya dan dia menggelengkan kepala.

“Aku sudah lama tidak berkelana di dunia persilatan, sudah tidak ingat pada nama Enghiong-Enghiong!”

Jawab orang yang wajahnya ditutup:

“Aku baru berkelana di dunia persilatan, kau tidak mungkin pernah melihatku!”

Nada bicaranya sangat istimewa. Siapa pun yang pernah mendengar dia bicara, akan segera terpikir bahwa orang itu adalah Beng To.

Tong Pek-coan memang tidak pernah mendengarnya bicara, tapi dia tetap bisa mendengar nada bicaranya sangat berbeda, maka dia pun menyahut

“Apakah kau dari dunia persilatan Tiong-goan...?” “Bukan.”

“Kalau tidak salah duga, kau tentu seorang pemuda, jadi tidak mungkin aku mengenalmu!” “Murid Tong-bun sangat banyak, sekali aku menyerang, kena atau tidak, jika wajahku ketahuan, akan sangat merepotkan bukan?”

“Kalau begitu, untuk sementara kau tidak mau wajah aslimu dikenali?”

“Hanya untuk sementara!” nada bicara Beng To penuh dengan rasa percaya diri, “dengan cepat aku akan keluar dari sini dan mengakui perbuatan ku dan menerima tantangan dari siapa pun!”

Tong Pek-coan tersenyum:

“Apakah kau sedang berlatih sebuah ilmu silat aneh dan ingin cepat-cepat sukses untuk menghadapi semua pesilat- pesilat?”

“Boleh dikatakan seperti itu!”

“Ilmu silat apa yang bisa mengalahkan semua orang?” Tong Pek-coan tertawa, “maafkan aku yang sudah tua, aku pun jarang mendengar berita tentang hal ini!”

“Apa pun yang terjadi, kau tidak akan bisa melihatnya!” “Berarti kalau malam ini kau tidak mati, akulah yang

harus mati?” Tong Pek-coan sepertinya sangat senang, dia terus tertawa.

“Mungkin kita berdua tidak akan mati, tapi hal ini sangat jarang terjadi!” Beng To maju ke depan.

Sorot mata Tong Pek-coan menatap Beng To dengan aneh lalu dia bertanya:

“Ilmu silat apakah itu?” Kulit tangan Beng To terlihat abu keputihan, tapi lebih licin dibandingkan sewaktu dia membunuh Ceng Su, dia mengangkat kedua tangannya:

“Ilmu silat yang bisa membunuhmu!” Tong Pek-coan tertawa lagi:

“Itu sudah pasti, kalau kau tidak mempunyai rasa percaya diri kau tidak akan datang kemari!”

Kaki Beng To terus melangkah ke depan, memang tidak cepat tapi Tong Pek-coan mulai merasa tidak nyaman, tiba- tiba dia membentak:

“Berhenti!”

Beng To berhenti melangkah, Tong Pek-coan menarik nafas panjang:

“Aku sudah lama tidak membunuh!”

“Jika malam ini kau tidak membunuhku, kelak kau tidak akan punya kesempatan lagi!” kaki Beng To bergerak lagi.

“Jarang ada yang berani berkata seperti itu padaku, apa lagi seorang anak muda!” kata Tong Pek-coan menggelengkan kepala, “kau membuat diriku merasa ragu, apakah aku masih bisa menggunakan senjata rahasia?”

“Apakah Anda ingin membuktikannya?” kaki Beng To bergeser secara mendatar, sorot matanya terlihat berkobar terus.

“Baiklah, aku akan membuatmu roboh baru menanyakan dengan jelas dan hati-hatilah terhadap senjata rahasiaku!” Kata-katanya baru selesai, tampak ada sinar berkelebat terbang ke luar dari tubuhnya dan melesat ke arah Beng To.

Senjata rahasia itu berbentuk seperti torak, entah dari mana torak ini keluar dan dengan cara apa dilemparkan, tampak dia tetap seorang pesilat senjata rahasia yang tangguh.

Beng To pun tidak melihat dari mana datangnya senjata rahasia itu, tapi dia bisa melihat senjata rahasia itu berubah arah di udara, maka tangannya di buka dan diayunkan untuk mencengkeramnya.

Tong Pek-coan tertawa dingin. Tapi tawanya segera membeku.

Sebab ternyata Beng To sanggup menerima senjata rahasia itu, benar-benar di luar dugaan Tong Pek-coan, dia melemparkan senjata rahasia memakai 3 perubahan dengan cara khusus, setelah senjata rahasianya mengenai sasaran, masih akan melakukan 2 kali perubahan. Walaupun lawan sanggup menyambut serangan pertama tapi dua perubahan lainnya susah untuk di hindari.

Waktu itu dia melihat jelas telapak tangan Beng To tampak berkilau dan sorot matanya terlihat licik, tapi dia tidak melihat benda apa di telapak tangannya,

Beng To meloncat tinggi, dia menyerang Tong Pek-coan seperti seekor macan liar.

Ke dua tangan Tong Pek-coan terus melambai dan sinar terus berkelebat, semua senjata rahasia datang dari segala penjuru menuju ke arah Beng To, tapi kecepatan senjata rahasia itu tidak ada yang sama, suara yang keluar pun beraneka ragam, semua bercampur menjadi satu, siapa pun yang mendengar raungan senjata itu jadi terkejut.

Beng To terus berguling-guling di udara. Ke dua tangannya terus bergerak mencengkeram senjata rahasia yang datang menyerang.

Cahaya keluar lagi di tengah-tengah telapak nya, semua senjata rahasia itu tersedot oleh kedua telapaknya, seperti semut yang menempel.

Tiap senjata itu seperti diikat oleh seutas benang bercahaya, sehelai ditumpuk dengan helai lain. Hanya sekejap kedua tangannya sudah penuh dengan senjata rahasia. Tangannya jadi seperti sepasang palu yang penuh dengan bintang atau sepasang bola bercahaya.

Tong Pek-coan benar-benar terkejut, seumur hidupnya baru pertama kali dia bertemu lawan seperti ini. Pertama kalinya melihat cara menyambut senjata rahasia seperti ini.

Ini benar-benar seperti sihir, seperti tidak nyata, kalau bukan sihir lalu apa?

Tapi senjata rahasia yang dilemparkan tidak berhenti. Dia tidak memberi kesempatan pada Beng To untuk mendekat, maka kursi pun beterbangan.

Kedua tangan Beng To terus melayang, tubuhnya berputar di udara, dia tetap mengejar Tong Pek-coan dari belakang. Tong Pek-coan bersiul panjang, tubuhnya meninggalkan kursi dan kursinya melayang terus menabrak dinding yang ada di belakangnya hingga hancur lebur.

Tong Pek-coan seperti seekor kelelawar terbang ke angkasa, tiba-tiba tubuhnya seperti mengeluarkan cahaya, orang melihatnya seperti berubah jadi sebuah bola bercahaya.

Sebenarnya banyak senjata rahasia yang di keluar dari tubuhnya, kecepatannya berbeda, arahnya pun berbeda. Ada yang lurus ada yang berputar, ada yang berputar ke belakang Beng To, suara senjata itu pun terus berubah- rubah.

Senjata rahasia yang dilatih hingga mencapai taraf seperti Tong Pek-coan rasanya dalam puluhan tahun yang ini belum ada yang bisa melakukannya, maka dia jadi terkenal dan berjaya di dunia persilatan. Sekarang kalau dia muncul lagi di dunia persilatan, siapa yang bisa melawannya?

Dia sendiri pun berpikir demikian maka di dalam hatinya dia merasa puas, karena itu dia pernah meninggalkan Tong- bun untuk melakukan kegiatan yang lain.

Jurus ini adalah jurus terhebat dari Tong-bun yang dinamakan 'Boan-thian-hoa-ie' (Hujan bunga memenuhi langit). Jurus ini terdapat di dalam buku senjata rahasia Tong-bun. 180 tahun yang lalu ketua Tong-bun generasi ke-3 yang bernama Tong Jian-jiu menulisnya, tapi tidak ada seorang pun yang berhasil mencapai taraf ini. Ada yang menganggap jurus ini diciptakan hanya berdasarkan khayalannya saja, siapa pun tidak mungkin bisa mencapai taraf ini, tapi ketika sampai pada generasi Tong Pek-coan, dia mendapatkan rumus untuk mempelajari perubahan jurus ini, maka dia pun bisa menguasai jurus ini.

Tidak hanya orang Tong-bun yang merasa bangga. Tong Pek-coan sendiri pun merasa tidak sia-sia hidup dalam generasinya, tapi yang pasti jurus ini jarang digunakan.

Sebab orang yang berani datang ke Tong-bun untuk mencari gara-gara tidak banyak. Apa lagi di Tong-bun banyak pesilat tangguh. Jika pun ada musuh datang, dia sendiri tidak usah turun tangan, sudah berhasil mengatasinya.

Semua murid Tong-bun memakai jurus ini untuk dijadikan sebagai dasar berlatih, tapi tidak ada orang yang sanggup berlatih hingga mencapai taraf ini.

Untuk mempelajari jurus ini di perlukan bakat ditambah tenaga dalam, dan pengalaman yang banyak, tidak ada satu pun yang bisa dikurangi.

Tadinya Tong Pek-coan mengira jurus ini tidak dibutuhkan lagi olehnya, tapi ternyata malam ini dia mendapat kesempatan untuk menggunakannya.

Dia tidak bisa melihat perubahan ilmu silat Beng To dan dia tidak pernah menggunakan begitu banyak senjata rahasia untuk menghadapi seorang musuh. Dia mengundurkan diri dari dunia persilatan dan bersembunyi di Tong-bun, senjata rahasia yang dia gunakan jarang dipakai hingga mencapai 10 jenis. Beng To berani masuk Tong-bun, bisa dikatakan dia sangat berani, dia pun masih berani mengajak bertarung. Jika senjata rahasia yang pertama meleset, itu sudah wajar, tapi senjata rahasia berikutnya yang dilemparkan secara bertubi-tubi, ternyata tetap tidak bisa membuatnya roboh.

Sebenarnya Tong Pek-coan sudah berpikir bolak-balik hingga jurus ini dikeluarkannya, dia berharap dengan jurus ini bisa merobohkan Beng To.

Dia tahu kalau jurus ini dikeluarkan, sulit membuat lawan tetap hidup. Tapi nama baik Tong-bun lebih penting daripada mencari tahu identitas orang yang bernama Beng To. Jika Tong Pek-coan ingin tahu siapa sebenarnya Beng To, tinggal membuka kain penutup wajahnya maka semua akan terlihat jelas.

Sepuluh tahun lebih dia tidak pernah membunuh. Sebelum dia pensiun dari dunia persilatan, dia tidak pernah terlihat begitu tegang, sebenarnya jurus yang dikeluarkan sudah jauh lebih sempurna, sampai dia sendiri merasa heran, kemajuan ilmu silatnya juga tidak diduga.

Tapi cara Beng To mengatasi serangan semakin membuatnya merasa aneh. Dia melihat 2 kepalan Beng To diayunkan ke depan, kemudian tubuhnya dengan cepat maju ke depan.

Itulah satu-satunya kelemahan jurus 'Boan-thian-hoa-ie'! tapi bisa dikatakan ini juga bukan kelemahan, hanya luncuran senjata rahasianya jadi tertahan. Senjata rahasia yang dilemparkan menggunakan jurus 'Boan-thian-hoa-ie' seperti sebuah jala besar terus menutupi benda yang diburunya. Hanya terlihat sedikit celah saat Tong Pek-coan sedang melemparkan senjata rahasianya, tapi celah ini segera di tutup dengan lemparan senjata berikutnya.

Maka 18 buah senjata rahasia dilemparkan dari belakang celah ini, setiap senjata yang melesat cukup mengancam jiwa.

Tapi ilmu meringankan tubuh Beng To sangat aneh, dia bisa dengan tenang melesat ke mana saja yang dia inginkan. Senjata rahasia yang menempel di kedua telapaknya sangat membantu, membuat tangannya seperti 2 palu berkilau yang beterbangan keluar.

18 senjata rahasia itu tidak mengganggunya, karena kedua tangannya seperti 2 magnet besar, 18 senjata rahasia itu di sambut hingga terbagi menjadi 2 bagian, menempel di kedua telapaknya.

Ben To sudah keluar dari lingkupan serangan senjata rahasia, sekarang dia berbalik menyerang. Yaitu dengan senjata rahasia yang menempel di kedua tangannya.

Begitu keluar dari lingkupan senjata rahasia dia langsung menyerang Tong Pek-coan, dia tidak tahu apakah senjata rahasia itu mengalami perubahan atau tidak? Hanya mengira-ngira dia pun semakin mendekati empunya senjata rahasia itu, sudah pasti keadaannya akan lebih aman. Kecuali empunya senjata rahasia siap mati bersama dengan musuhnya.

Yang pasti Tong Pek-coan tidak mau melakukan semua itu, dia melihat Beng To bisa lolos dan lingkupan senjata rahasianya. Dia terkejut, tetapi reaksinya sangat cepat, kedua tangannya digoyangkan, dia meloncat ke atas kemudian bersalto siap melemparkan senjata rahasia lagi. Sewaktu dia akan melemparkan senjata rahasianya, dia melihat senjata rahasia yang menempel di kedua tangan Beng To seperti hujan terus keluar memburu ke arahnya.

Setiap senjata rahasia itu seperti membawa benang berkilau, maka kecepatannya jadi berkurang.

Dengan pengalaman Tong Pek-coan puluhan tahun, dia bisa memastikan senjata rahasianya tidak mungkin bisa melesat kembali ke arahnya, dia tidak mengerti kenapa begitu jelek cara yang dipakai Beng To melemparkan senjata rahasianya, dia juga mulai mengawasi benang-benang yang tembus pandang.

Akhirnya dia mengerti maksud Beng To. Senjata-senjata rahasia itu beterbangan melewati tubuhnya, tapi dia tidak merasa senjata rahasia itu mempunyai kekuatan untuk membunuh, dia hanya merasakan benang-benang di belakang senjata rahasia nya melewatinya dan mengurungnya.

Benang sutra tembus pandang itu begitu terjatuh ke atas tubuhnya segera menghilang. Tapi di kepala, wajah, dan bagian tubuh yang tidak tertutup lalu terasa ada semacam benda tajam masuk ke dalam kulitnya.

Dia tidak bisa melihat bagaimana keadaan wajahnya, tapi kedua tangannya bisa dilihat dan tidak terluka, hanya ada garis berwarna abu muda, tapi hanya sekejap sudah menghilang.

Tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu, berteriak:

“Thian-can-sin-kang..” (Ilmu sakti Ulat Sutra). Waktu itu pun Beng To sudah datang mencengkram-nya.

Senjata rahasia yang ada di tangan Tong Pek-coan sudah tentu akan dilemparkan lagi, tapi sekarang kedua tangannya seperti sudah terikat oleh sesuatu itu dan tidak bisa diangkat.

Dia segera mengatur nafas, tenaga dalamnya disalurkan, benang-benang tembus pandang itu pun muncul di permukaan kulit nya, tapi tangan Beng To sudah berada di atas kepala dan siap menekannya.

Setelah menyalurkan tenaga dalam ke tangannya, terpaksa dia menyambut tangan lawan yang datang menekan, karena tenaga dalan Tong Pek-coan terkuras oleh racun benang tembus pandang, bentur an yang terjadi membuat jantungnya bergolak keras.

Saat itu Beng To bergerak cepat, tangannya cepat menotok 7 jalan darah di tubuh Tong Pek-coan, tubuh Tong Pek-coan menjadi lemas dan terduduk di bawah.

“Maaf, sudah membuatmu susah!” “Sudah puluhan tahun aku melempar burung sekarang mataku malah dipatuk burung, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi!”

“Orang yang jujur tidak akan menipu. Orang yang menggunakan senjata rahasia belum tentu orang yang tidak jujur, tetua mempunyai ilmu dan siasat yang sangat hebat pada senjata rahasia, tapi jika bermain siasat, tetua masih kalah dariku!”

Tong Pek-coan tertawa dingin:

“Dunia ini seperti gelombang besar Tiang-kang terus mendesak gelombang yang ada di depan, anak muda sekarang memang luar biasa!”

“Tetua terlalu memuji...” tangan Beng To diangkat lagi, 3 buah jalan darah di tubuh Tong Pek-coan ditotok lagi.

Tenaga dalam Tong Pek-coan sudah terkuras, dia memang terkejut dan marah, tapi dia tetap mengagumi penglihatan Beng To yang tajam dan reaksinya yang cekatan. “Walaupun aku boleh saja membiarkan kau mengumpulkan tenaga dalam, tapi belum tentu kau bisa

terlepas dari kekuasaanku!”

“Apakah Tong-bun mempunyai perselisihan dengan Bu- tong-pai?”

“Aku tidak tahu!”

“Apakah mencariku kemari adalah idemu... Wan Fei- yang?”

Beng To tidak menjawab, tapi matanya terus berkedip, entah apa yang sedang dia pikirkan. Tong Pek-coan tidak melihat perubahan dari pandangan matanya, dia berkata:

“Aku pensiun dari dunia persilatan sudah 10 tahun lebih, kau adalah pesilat yang baru muncul. Musuh Tong-bun di dunia persilatan sangat banyak, tapi tidak ada yang bermarga Wan!”

Tiba-tiba Beng To berkata dingin.

“Kalian lebih baik jangan sembarangan bergerak, jika tanganku terkejut, aku sendiri pun tidak sanggup menguasainya lagi!”

Di ambang pintu terlihat banyak murid-murid Tong-bun, tangan mereka masing-masing memegang senjata rahasia dan siap menyerang.

Tong Ling berdiri di tengah-tengah mereka. Wajahnya terlihat dingin, dia membentak:

“Lepaskan kakekku, maka aku akan melepaskanmu!”

Suara Tong Ling terdengar dingin dan kejam, tapi suaranya sangat merdu. Hal ini membuat Beng To melihat ke arahnya, setelah melihat Tong Ling, dia pun terpaku.

Gadis secantik Tong Ling, memang jarang ada, selama ini dalam pandangan Beng To tidak pernah terpikir kata cantik atau buruk, sekarang begitu matanya melihat wajah Tong Ling yang cantik, di otaknya mulai muncul kata 'cantik'.

Tong Ling tidak memperhatikan perubahan sorot matanya, melihat Beng To masih berdiri terpaku di sana, dia membentak:

“Apakah kau tuli?” “Suruh orangmu mundur, aku jamin tidak akan melukai kakekmu!”

“Apa katamu!” Tong Ling pura-pura mau melempar senjata rahasia.

“Senjata rahasia tidak mempunyai mata!” kata Beng To sambil tertawa.

Ke dua tangan Tong Ling terpaksa diturunkan lagi:

“Aku hanya akan meminjam kakekmu dan segera akan mengantarkannya kembali.”

“Berani sekali, kau anggap apa kakekku?” Tong Ling melotot.

“Ling-ji, dengar... kakek...” begitu mendengar nada bicara Tong Pek-coan, dia merasa ada hawa dingin keluar dari hatinya yang terdalam.

“Jika aku mati, kau jadilah ketua Tong-bun, ingat apa yang aku ajarkan padamu!” nasihat Tong Pek-coan dengan wajah pucat.

“Kongkong, kau...”

Tong Pek-coan membentak:

“Thian-lo-te-bong (Jaring langit jala bumi), jangan hiraukan aku, jangan biarkan orang ini meninggalkan Tong- bun!”

Murid-murid Tong-bun saling berpandangan, Tong Ling pun terpaku di sana, tidak bisa mengambil keputusan.

Tong Pek-coan melihatnya, dia tertawa:

“Baiklah, ternyata di mata kalian, tidak ada ketua perguruan...” “Kami tidak berani...” sahut murid-murid Tong-bun. “Kalau tidak berani, cepat bertindak!” Tong Pek-coan

membentak.

“Ketua kalian berada di tanganku, jika kalian melemparkan senjata rahasia, orang yang akan terkena senjata rahasia itu adalah ketua kalian!” ancam Beng To.

“Ketua dengan nama Tong-bun, mana yang lebih penting?” bentak Tong Pek-coan.

“Thian-lo-te-bong, siapa yang tidak berani melakukannya, hukumannya akan seperti hukuman seorang pengkhianat!” bentak Tong Pek-coan lagi.

Mata Beng To tampak berputar, berkata:

“Lebih baik kau diam!” tangannya menotok jalan darah bisu Tong Pek-coan.

Sebuah senjata rahasia dilemparkan ke arah Beng To, tapi dengan gampang disambut oleh Beng To, dia melihat ke arah Tong Ling.

“Ilmu yang bagus, tidak percuma Tong Pek-coan memilih penerusnya!”

Senjata rahasia tadi ternyata dilemparkan oleh Tong Ling, dia sudah mengukur sudutnya dengan tepat kemudian dengan mengatur tenaga dia melemparkan senjata rahasia dan hampir mengenai Beng To, tapi hanya sekejab sudah disambut oleh tangan Beng To.

Beng To mengangkat tangannya, Tong Pek-coan segera mengatur nafas supaya jalan darah bisunya segera terbuka, lalu berteriak: “Thian-can-sin-kang milik Wan Fei-yang adalah ilmu yang luar biasa, kecuali Thian-lo-te-bong tidak ada cara lain lagi. Cepat...” walaupun dia sudah tua tapi sifatnya tetap keras. Tong Ling dan murid-murid Tong-bun lainnya seingat tahu hal ini, kalau perintahnya dilaksanakan akibatnya tidak ter- bayangkan. Mereka bersama-sama menjawab:

“Murid mengaku salah...” belum sempat senjata rahasia dilepaskan, Beng To sudah mengempit Tong Pek-coan dan meloncat ke atas, menerobos hancur langit-langit rumah dan masuk ke atap. Sedetik di sekeliling langit-langit hancur terkena lemparan senjata rahasia.

Tanpa menunggu senjata rahasia habis, murid-murid Tong-bun seperti sudah tahu apa hasilnya. Mereka berpencar, sebagian menerobos langit-langit mengejar Beng To, sebagian naik ke atas atap, sebagian lagi berlari ke pekarangan, mereka dengan segala cara berusaha mencegat.

Tapi kegesitan Beng To di luar dugaan mereka, begitu masuk langit-langit rumah, dia segera menghancurkan genting, kemudian terbang meninggalkan genting dan meloncat naik ke sebuah pohon.

Dia mengempit orang tapi masih bisa bergerak cepat, sebenarnya itu bukan hal gampang, apa lagi bisa naik ke atas pohon dengan tanpa ragu-ragu. Rupanya sebelum masuk dia sudah mempelajari keadaan di sana maka gerakannya begitu lancar dan tidak dipikir lagi apakah dia sanggup naik ke atas pohon itu atau tidak. Begitu cepat naik ke pohon pasti dia akan terluka, apa lagi sedang mengempit seseorang, sulit untuk menjaga keseimbangan tubuh, setiap saat dia bisa terjatuh ke bawah. Semua murid Tong-bun berpikir seperti itu, hanya Tong Pek-coan yang berbeda pendapat, sebab dia tahu kedua tangan Beng To bisa mengeluarkan benda seperti benang sutra, cukup untuk membuatnya bisa mengatasi semua

kesulitan.

Terlihat dia tidak akan bisa naik pohon itu, mungkin akan menabrak pohon, tapi tiba-tiba telapaknya dijulurkan, dia menepuk ke depan.

Tepukan ini seharusnya membuat mental dan membuat jatuh dari atas, tapi telapaknya malah menempel di pohon, seperti seekor ulat. Hanya mengandalkan telapaknya membuka dan menutup, mengembang dan menyusut, dengan cepat dia naik ke atas pohon.

Murid-murid Tong-bun yang mengejar merasa takjub dan terpaku, tapi segera mengejar lagi.

Di pekarangan pohon besar yang tumbuh berjumlah 10 batang lebih. Murid-murid Tong-bun sudah bisa menduga Beng To akan melarikan diri melalui pohon besar, maka mereka dengan cepat berlari menuju pohon-pohon itu, ilmu meringankan tubuh mereka sangat tinggi. Sepertinya mereka pun bukan untuk pertama kalinya memanjat pohon itu. Mereka menggunakan kaki dan tangan, bergerak seperti seekor kera dengan senjata rahasia siap dilemparkan, tapi sayang gerakan Beng To lebih cepat dari mereka. Beng To memanfaatkan pohon-pohon itu, sebelum sampai di ujung pohon, dia sudah meloncat ke pohon lain, begitu seterusnya. Begitu telapak tangannya mengenai batang pohon, tubuhnya segera diam, sekarang dia berada di posisi setinggi

itu senjata rahasia tidak mungkin bisa mencapainya.

Orang seperti dia terus terbang dari satu pohon ke pohon lain, baru pertama kali murid-murid Tong-bun bertemu dengan musuh seperti itu, bagaimana mereka bisa mengejarnya?

Sampai di pohon terakhir Beng To berhenti di sana, di depan sana ada tempat di mana murid-murid Tong-bun berkumpul.

Murid-murid Tong-bun banyak yang sudah datang, mereka memegang senjata rahasia dan siap membakar, mereka memasang telinga saat mendengar suara peluit dan tahu ada musuh yang datang, mereka juga sadar harus dengan sekuat tenaga menghadapi musuh tersebut.

Semenjak Tong Pek-coan mundur dari dunia persilatan, murid-murid Tong-bun jarang keluar, karena tidak ada seorang pun yang berani mencari gara-gara pada Tong-bun, maka murid-murid Tong-bun jarang punya kesempatan bertarung. Sekarang kesempatan itu telah datang, mereka merasa senang dan bersiap-siap mencoba keahliannya. BAB 02

Beng To yang berada di atas lalu melihat ke bawah, dia hanya berhenti sebentar lalu turun lagi.

Puluhan senjata rahasia langsung melesat kepadanya, hanya 3 senjata yang bisa mengancam jiwanya, yang lainnya berhasil disambutnya dengan gampang.

Murid-murid Tong-bun berniat menyerang lagi tapi setelah melihat Tong Pek-coan berada di tangannya, mereka jadi ragu-ragu, tadi mereka mendengar suara peluit tanda bahaya, tapi mereka tidak melihat seorang pun musuh yang datang, mereka tidak tahu sudah terjadi masalah begitu besar.

Tentu saja Beng To tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, dia mengempit Tong Pek-coan lalu berlari ke depan. Murid-murid Tong-bun tidak berani menyerang mereka hanya berteriak:

“Hati-hati, ketua berada di tangan musuh...”

Tong Pek-coan merasa cemas juga marah, tapi jalan darah bisunya ditotok dan ditekan jari Beng To, dengan memakai cara apa pun tidak bisa dibuka.

Beng To merasa nafas Tong Pek-coan sangat kuat dan tahu bahwa dia tidak salah menangkap orang, sebab tenaga dalam Tong Pek-coan benar-benar sangat kuat.

Dia sudah menotok beberapa jalan darah Tong Pek-coan dengan cara berat, tapi pernafasan Tong Pek-coan tetap bisa mengalir, jika ilmu Iweekang Tong-bun berbeda dari perguruan lain berarti ilmu lweekang Tong Pek-coan sudah mencapai taraf sangat tinggi maka sepanjang perjalanan dia selalu memperhatikan reaksi Tong Pek-coan.

Semua atap dengan cepat dilewati, sekarang dia sudah berada di ujung jalan. Murid-murid Tong-bun berteriak:

“Tenang saja, jalan yang dipilihnya itu adalah jalan buntu...”

Di sana memang jalan buntu, setelah melewati beberapa rumah terlihat sebuah lapangan, kemudian jurang yang dalam.

Jurang terjal itu seperti ditepis pisau, sangat tajam murid-murid Tong-bun tahu jurang itu sangat dalam, jurang yang tadinya sudah gelap sekarang bertambah gelap dan terlihat sangat menakutkan.

Tapi Beng To malah mendekati jurang dalam itu, dengan nada sangat menyeramkan dia mengejek, semua murid- murid Tong-bun mendengar suaranya.

Tentu saja murid-murid Tong-bun tidak tahu apa maksudnya, maka mereka berkumpul ingin melihat bagaimana Beng To menyeberang jurang itu.

Beng To berhenti di sisi jurang dalam itu, kemudian pelan-pelan membalikkan tubuh dan meletakkan Tong Pek- coan di depan tubuhnya. Terpaksa murid-murid Tong-bun berhenti melangkah. Tong Ling seperti seekor burung walet datang dan berhenti di depan Beng To.

“Wan Fei-yang, lepaskan Kongkongku!' Sepasang matanya Beng To menatap Tong Ling, dia tidak menjawab, bersamaan waktu Tong Ling merasa sorot mata musuh di depannya sangat aneh. Walaupun tidak mengerti tapi dia merasa bahwa orang ini tidak ingin bermusuhan dengannya, dia jadi curiga apakah lawannya benar-benar tidak berniat jahat kepadanya.

Sampai sekarang dia belum menerima laporan ada murid Tong-bun yang terluka atau mati, tapi bagaimanapun dia tidak bisa membiarkan Beng To membawa kakeknya.

Lama... Beng To tidak menjawab. Tong Ling membentak lagi:

“Tidak ada jalan lagi untukmu kabur...” Mata Beng To terlihat ada tawa.

“Kau pikir dulu sebelum mengatakan kalimat tadi!” potong Beng To.

“Apakah kau mempunyai sayap?”

“Maksudku, dalam keadaan sulit pun pasti ada jalan keluarnya!”

“Oh ya! Jalan apa?”

“Jalan menuju kematian...” setelah berkata begitu, dia mengempit Tong Pek-coan lagi dan terjun ke dalam jurang.

Semua orang terkejut, mereka melihat jelas Beng To sudah berada di pinggir jurang, asal mundur selangkah saja dia akan jatuh ke dalam jurang karena itu mereka tidak berani melangkah maju. Kalau Beng To benar-benar ingin terjun ke dalam jurang tidak ada seorang pun yang akan bisa mencegatnya. Tong Ling berteriak terkejut, tapi Beng To sudah membawa Tong Pek-coan dan menjatuhkan diri ke jurang, mereka segera tertelan oleh kegelapan.

Seorang murid Tong-bim berlari ke depan Tong Ling dan bertanya:

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Tong Ling masih dalam keadaan terkejut, dia menggelengkan kepala:

“Tidak akan terjadi apa-apa!”

Beberapa murid Tong-bun yang berusia separo baya datang menghampiri, mereka adalah pesilat tangguh Tong- bun dan kedudukan mereka lebih tinggi dari yang lain.

Mendengar kata-kata Tong Ling tadi, mereka merasa aneh juga terkejut:

“Jurang ini sangat terjal dan dalam...” Tong Ling memotong:

“Musuh bisa luput dari pengawasan orang-orang kita dan masuk ke Tong-bun, berarti dia sudah mencari tahu situasi di sini, mana mungkin dia memilih jalan yang bisa membuatnya mati? Mungkin jalan ini adalah jalan satu-satunya dia untuk kabur, mungkin juga dia masuk ke Tong-bun melalui jalan ini.”

“Tapi ini adalah jurang yang seingat dalam...”

“Jangan lupa, dia menguasai Thian-can-sin-kang, bukankah tadi di depan kita pun dia hanya memakai satu tangan saja bisa memanjat pohon begitu tinggi?” “Thian-can-sin-kang adalah ilmu rahasia dari Bu-tong. Selama ratusan tahun ini hanya Yan Cong-thian dan Wan Fei- yang yang berhasil menguasainya!”

“Yan Cong-thian sudah meninggal, berarti yang menguasai Thian-can-sin-kang hanya Wan Fei-yang!” Tong Ling terus melongok ke jurang yang dalam dan gelap.

Sampai sekarang dari dasar jurang tidak terdengar suara apa pun, dia berkata lagi:

“Tidak diragukan lagi dia adalah Wan Fei-yang, tadi Kongkong pun memanggilnya seperti itu, tidak akan salah lagi!”

“Bu-tong adalah perguruan bersih dan lurus, katanya Wan Fei-yang bersifat membela keadilan juga berhati lembut, dia adalah...”

Tiba-tiba Tong Ling tertawa dingin:

“Di dunia persilatan banyak orang yang mencari nama, karena takut orang lain akan melihat wajah aslinya, maka dia menutupi wajahnya dan diam-diam masuk ke mari!”

Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan lagi: “Kongkong tidak akan salah melihat orang!”

Murid-murid Tong-bun harus mengakui bahwa Tong Pek- coan memiliki mata yang seingat jeli dan selalu bersikap waspada. Kalau bukan karena sudah melihat, beliau tidak akan sembarang-an mengatakan hal yang salah tentang seorang pesilat terkenal. “Apakah benar atau tidak, yang penting dia tidak membunuh atau melukai seorang pun dari kita bukan?” tanya Tong Ling.

“Belum ada laporan tentang orang kita yang terbunuh atau terluka,” salah satu murid menjawab.

“Apakah dia mengalami kesulitan hingga ingin minta bantuan dari ketua? Atau meminta ketua untuk membereskan?” murid yang lain bertanya.

“Apa pun yang terjadi, tindakannya ini salah, jika dia datang secara terang-terangan, tidak masuk dengan cara seperti ini, mengapa Kongkong tidak akan setuju, mengapa harus bertarung secara sengit dengannya?” kata-kata Tong Ling memang masuk akal.

“Kalau begitu, sekarang kita harus...”

“Segera berangkat dan cari Wan Fei-yang!” perintah Tong Ling dengan dingin.

“Kecuali Wan Fei-yang sedang bersembunyi, kalau tidak, mencari seorang pesilat terkenal bukan hal yang sulit!”

Murid-murid Tong-bun setuju, dari sikap mereka bisa terlihat apa yang mereka pikirkan.

Perbuatan Beng To merupakan penghinaan terhadap Tong-bun, mereka akan berkorban untuk mencuci bersih nama baik Tong-bun.

0-0-0 “Aku bukan Wan Fei-yang!” sewaktu Beng To mengatakannya, dia sudah jauh dari Tong-bun dan berada di sebuah tempat yang sangat aman.

Walaupun berada dalam kegelapan dia bisa mengatasi jurang itu untuk melarikan diri, jalan itu dianggap sebagai jalan buntu. Tapi baginya adalah jalan keluar.

Sekarang dia sudah berada di suatu lembah di hutan, jaraknya sekitar 10 Li lebih dari Tong-bun. Baru saja kata- katanya terucap keluar, dia segera membuka penutup wajahnya yang berwarna hitam.

Hari sudah terang, walaupun jalan darah Tong Pek-coan sudah ditotok tapi sorot matanya tetap bercahaya. Dia menatap Beng To, dia tidak pernah bertemu dengan Wan Fei-yang, maka dia tidak tahu wajah Wan Fei-yang seperti apa.

Maka dia curiga apa yang Beng To katakan tadi adalah bohong. Beng To bisa membaca ekpresi wajah Tong Pek- coan, dia segera berkata lagi:

“Inilah kenyataan sebenarnya, walaupun aku tidak mempunyai bukti tapi ini memang kenyataan sebenarnya, suatu hari nanti kau akan menerimanya!”

“Bu-tong-pai benar-benar bernasib baik, selain Wan Fei- yang, masih ada murid kurang ajar seperti kau yang berhasil menguasai Thian-can-sin-kang!' Tong Pek-coan tertawa dingin. “Aku bukan murid Bu-tong-pai dan tidak ada hubungan apa pun dengan Bu-tong-pai! Ilmu yang kukuasai bukan Thian-can-sin-kang!” dengan serius Beng To menjelaskan.

“Apakah di dunia ini ada ilmu lweekang begitu mirip?” tanya Tong Pek-coan dengan dingin.

“Suatu hari kau akan jelas dan mengerti, aku yakin hari itu tidak akan lama lagi!

“Jangan banyak bicara, apa maksudmu membawaku kemari?”

“Untuk meminjam tenaga dalammu!” “Apa maksudmu?”

“Ilmu lweekang yang kulatih adalah ilmu lweekang aneh, bisa meminjam tenaga dalam dari pesilat berilmu tinggi, dengan tenaga dalam itu aku bisa meningkatkan tenaga dalamku sehingga lebih tinggi lagi!”

“Apakah kau bisa melakukannya?”

“Karena itulah aku menculikmu dan membawa kemari! kata-kata Beng To selalu sungkan.

“Meningkatkan tenaga dalam harus dilatih sendiri...” “Bagiku berlatih ilmu lweekang terlalu merepotkan dan

membutuhkan waktu yang lama, jika ada jalan pintas mengapa tidak kita jalankan saja?”

“Aku ingin melihat bagaimana caramu mencuri tenaga dalamku?”

“Aku hanya meminjam!”

“Jika empunya tenaga dalam itu tidak setuju berarti kau mencurinya,” kata Tong Pek-coan sambil tertawa. “Kalau kau memaksaku mengatakan aku mencuri, aku tidak bisa berbuat apa-apa!” kedua tangan melayang, telapak tangannya jadi berkilau.

Tong Pek-coan melihat semua itu tiba-tiba dia menarik nafas:

“Orang persilatan sebenarnya tidak boleh meninggalkan dunia persilatan terlalu lama!”

Beng To mengangguk:

“Kalau tidak, mana mungkin kau bisa salah menduga siapa aku.”

“Murid-murid Tong-bun pasti tidak curiga terhadap kesalahan ketuanya dan sekarang mereka akan mengejar Wan Fei-yang untuk membuat perhitungan, jika tidak segera diselesaikan akan membuat Tong-bun dan Bu-tong-pai saling membunuh, akibatnya sulit dibayangkan!”

“Aku memang ingin menguasai dunia persilatan, tapi aku tidak akan menggunakan cara ini dan belum waktunya!”

“Apakah kau berani mengantarkan aku kembali atau menjelaskan semuanya kepada dunia persilatan kalau ini hanya kesalahpahaman!”

“Aku akan melakukannya tapi tidak sekarang, aku berharap tidak terlalu lama, sebelum murid Bu-tong dan Tong-bun mati semua!”

“Kata-katamu tidak enak didengar!”

“Aku bukan berusaha menjelaskan semuanya, karena itu bukan hal penting!” kedua telapak Beng To dibalik, kilatannya bertambah terang. Tong Pek-coan dengan dingin menatap Beng To yang berjalan mendekat, dia tertawa dingin. Sikap tenang yang luar biasa ini membuat Beng To merasa aneh. Orang yang diculiknya sudah tahu apa maksudnya, tapi masih bisa setenang itu, sebelumnya dia tidak pernah menjumpai orang seperti ini!

“Maaf...” kedua telapaknya menekan, dari kiri dan kanan menekan nadi di dekat kepala dan telinga, serat benang sutra dari sarang laba-laba tampak berkilau di telapaknya segera menyebar menembus kulit Tong Pek-coan kemudian menghilang!

Tong Pek-coan seperti merasakan juga seperti tidak merasakan, dia hanya tertawa dingin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar