Istana Hantu Jilid 09

Jilid 09

Sementara itu Thay-bengcu yang duduk di singgasana kursi kebesaran itu sampai berdiri melihat Tiang Le dan Bwe Lan bersilat. Ia benar-benar terkejut dan heran menyaksikan betapa Pendekar Lengan Buntung itu dapat menandingi Bong Kek Cu dan Nakayarinta yang terkenal dengan tokoh-tokoh kelas berat.

Sampai hampir limapuluh jurus itu ia melihat betapa Bong Kek Cu dan Nakayarinta belum dapat mengalahkan Tiang Le. Pemuda yang menamakan dirinya Thay-bengcu ini berseri-seri wajahnya menyaksikan jalannya pertempuran yang luar biasa ini.

Para pengawal yang tadinya berdiri tegak dan gagah di kiri kanan Thay-bengcu, segera bergerak dan mengurung tempat itu. Dan merupakan pagar hidup yang kokoh kuat setiap waktu akan bergebrak turun mengeroyok Pendekar Lengan Buntung yang mengagumkan ini.

Sedangkan isteri Pendekar Lengan Buntung yang gagah ini nampak bersilat memainkan sabuk suteranya didesak oleh Bu-tek Sianli dan dua orang kakek yang telah turun gelanggang atas perintah Thay-bengcu.

Dua orang kakek yang mengeroyok Bwe Lan adalah Thian-beng Sin-kun dan seorang kawannya, yakni seorang tosu (pendeta menganut agama To) yang berambut panjang bernama Pok Siok Say-ong.

Tosu ini adalah seorang pendeta perantau dari pegunungan Go-bi-san dan ilmu silatnya juga berdasarkan ilmu silat Go-bi-pay, hanya sudah banyak berubah karena dia sesungguhnya bukanlah murid asli dari Go-bi-pay.

Pok Siok Say-ong adalah seorang tokoh dari Go-bi-pay yang telah terjun ke dunia hitam dan menganut agama sesat, yang bernama agama Ngo-kauw, (lima kepercayaan). Dua orang kakek ini Thian-beng Sin-kun dan Pok Siok Say-ong terkenal sekali akan ilmu pedang dan tongkat, mereka bergebrak maju mendesak Bwe Lan membantu Bu-tek Sianli.

Namun Liang Bwe Lan adalah isteri Pendekar Besar Sung Tiang Le yang terkenal akan ilmu silatnya yag bernama Tok-pik-kun-hoat dan Gerak Tangan Kilat yang luar biasa. Meskipun ia belum memahami seratus persen akan tetapi baru tiga bagian saja, hebatnya bukan main!

Sehingga Bu-tek Sianli menjadi penasaran dan marah, bercampur malu karena sampai hampir limapuluh jurus lebih ini ia belum mampu merobohkan bekas muridnya ini, terlalu!

Biarpun dikeroyok oleh tiga orang yang mempunyai kepandaian tingkat tinggi ini, Bwe Lan tidak merasa gentar sedikitpun. Ia mainkan sabuk suteranya laksana ular merah yang gesit dan lincah.

Kadang-kadang yang membuat ketiga lawannya ini keder dan ngeri adalah gebrakan-gebrakan tangan kiri nyonya ini yang luar biasa sekali dahsyatnya membuat tongkat hitam di tangan Bu-tek Sianli tergetar hebat apabila terserempet angin pukulan tangan kiri bekas muridnya.

Malah dalam tujuhpuluh jurus itu, Pok Siok Say-ong yang memandang ringan akan gerakan tangan kilat lawannya, membuat pendeta ini bergerak agak lambat dan pada saat itu pula sebuah sodokan tangan kiri Bwe Lan yang dimiringkan bergerak cepat menyambar lambung si pendeta.

Keruan saja menyaksikan kecepatan tangan ini, Pok Siok Say-ong terkejut sekali dan karena tidak dapat menghindarkan diri lagi, terpaksa ia mengangkat tangan kirinya menangkis.

“Plakkk!” Keruan saja tubuh Pok Siok Say-ong terpelanting ke belakang, pada saat itu sebuah sabuk sutera merah menyambar dengan dahsyatnya.

“Wess! Sabuk itu menghantam angin di atas kepala Pok Siok Say-ong, keruan saja pendeta ini mengeluarkan keringat dingin dan terasa napasnya sesak, gerakan semakin lambat.

“Dess!” Saking kerasnya pukulan tangan kiri Bwe Lan membuat tubuh si pertapa itu terjengkang ke belakang dan muntahkan darah segar.

Pada saat itu Bwe Lan menggerakkan sabuknya hendak menghabisi nyawa si pertapa sesat ini, namun sebuah gerakan yang halus dan bau anyir telah menyegat hidungnya. Tahu-tahu Kwan-tiong Tok-ong telah mempergunakan senjatanya yang dinamakan Cap-tok-mo-jiauw (Sepuluh cakar setan beracun) dan telah mulai menyerangnya!

Melihat munculnya Kwan-tiong Tok-ong ini, Tiang Le yang pernah merasai kelihaian si Raja Racun keruan saja memberi peringatan kepada isterinya sambil bergebrak menggunakan gerak tangan kilat menghantam dada Nakayarinta.

“Lan-moay, hati-hati dengan cakar setan itu!”

Tentu saja biarpun tidak diperingatkan oleh suaminya, Bwe Lan telah dapat menduga akan senjata yang aaeh ini. Dan buru-buru ia masukkan pil merah ke mulutnya untuk menghindarkan rasa amis dan muak dari sepasang senjata tangan yang berbau amis bukan main itu.

Datangnya Kwan-tiong Tok-ong ini Bwa Lan mempercepat gerakannya. Sekarang ia mainkan sabuk sutera dan tok-pik-kiam-hoat pada tangan kirinya yang kadang-kadang bagaikan geledek menyambar tangannya bergerak menggunakan jurus-jurus ilmu silat yang maha dahsyat!

Sebagai ahli silat kelas tinggi, mencium bau yang keluar dari sepasang cakar setan itu maklumlah nyonya ini bahwa ia menghadapi senjata beracun yang berbahaya dan hebat. Pula dilihat dari cara bersilat si Raja Racun ini diam-diam Bwe Lan mengeluh.

Tak disangkanya sama sekali bahwa kedatangannya ke tempat ini justru mencari kayu penggebuk dan mencari kematian sendiri. Siapa sangka justru di tempat ini muncul tokoh-tokoh kaum hek-to yang benar-benar bagaikan iblis-iblis bermunculan di siang hari. Kini menghadapi Bu-tek Sianli, Thian Beng Sin-kun dan Kwan-tiong Tok-ong.

Bwe Lan sibuk sekali. Dari angin pukulan tangan cakar setan itu saja, tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi melihat betapa kedudukkannya sekarang ini amat terjepit dan sukar untuk meloloskan diri, Bwe Lan bersilat dan mengamuk hebat!

Sementara itu Tiang Le didesak hebat oleh Nakayarinta, Bong Kek Cu dan Te Thian Lomo dan Thay-lek-hui-mo yang sudah mengurung pula, membuat ia benar-benar menjadi sasaran sibuk dan terdesak mundur. Betapapun saktinya Sung Tiang Le, kini di keroyok oleh tokoh-tokoh hitam tingkat tinggi membuat ia sukar untuk bergerak banyak.

Apalagi menghadapi tongkat di tangan pendeta dari Anapurna yang hebatnya bukan main ini membuat ia menjadi kewalahan. Dan hampir saja pundaknya terserempet tongkat di tangan Te Thian Lomo kalau saja ia tidak buru-buru mengelak dan membalas dengan pukulan gerak tangan kilat yang luar biasa dahsyatnya.

Menghadapi pukulan yang merupakan kilat menyambar ini, tak keburu bagi Te Thian Lomo untuk menangkis. Keruan saja lambungnya telah terhantam angin pukulan tangan kiri Tiang Le yang dahsyat.

“Desss!” bagaikan layang-layang putus talinya, tubuh Te Thian Lomo terpental jatuh ke dekat Thay-bengcu. Tiang Le yang merasa penasaran dan masih sakit hati oleh musuh besarnya ini, bergerak cepat berkelebat menyusul tubuh Te Thian Lomo mengirim pukulan maut untuk yang kedua kalinya.

“Desss! Desss, desss!” Tiga pukulan itu bersarang di telapak tangan kiri pemuda yang bernama Thay-bengcu itu yang telah mencelat dan menangkis pukulan Tiang Le.

Tiang Le terkejut bukan main, tiga pukulan mautnya hanya dapat ditangkis dengan tangan kiri dan tidak menimbulkan reaksi, malah dari telapak tangan yang kecil halus itu ia merasa menghantam benda yang lunak dan dingin sehingga tiga pukulannya amblas ke dasar lautan yang dalam.

Dan sikutnya terasa kesemutan. Tahulah Tiang Le bahwa orang muda ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian sin-kang luar biasa. Begitu ia menoleh, pemuda tampan tersenyum mengejek dan berkata sambil duduk kembali di bangku kebesarannya.

“Pukulan yang patut dipuji!” katanya.

Tiang Le merasa penasaran dan mendongkol bukan main. Begitu datangnya dua serangan dari Nakayarinta dan Te Thian Lomo, ia menggunakan langkah ajaib dan meloloskan diri dari kepungan lawan, langsung tubuhnya terbang menyambar pemuda mengirim pukulan dari atas dengan telapak tangan terbuka.

Akan tetapi sungguh mengagumkan sekali. Begitu melihat datangnya serangan dahsyat ini, pemuda tampan yang menamakan dirinya Thay-bengcu itu malah masih tenang-tenang saja dan mengangkat tongkatnya ke atas menggoyangkan setengah berputar.

“Weess. weess, weesss!” Tiga Putaran tongkat itu membawa angin keras yang luar biasa sehingga Tiang Le merasa dari putaran tongkat itu keluar hawa dingin yang luar biasa. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya dan menggerakkan kedua kakinya menendang dalam posisi di atas.

“Weerrr!” tubuh Tiang Le telah melayang di samping kepala Thay-bengcu.

Sungguh hebat sekali tendangan ini, angin pukulan kedua kakinya saja membuat para siuli di depannya mengangkat kedua tangan menangkis.

Dan merasakan sebuah gelombang dahsyat yang menyambar, keruan saja siuli-siuli di dekat Thay-bengcu mengundurkan diri dan telah mencabut sepasang siang-kiamnya, siap menempur Tiang Le.

“Pendekar Lengan Buntung, jangan kurang ajar terhadap Thay-bengcu, lekas berlutut!” bentakan ini disusul oleh berkelebatannya lima bayangan orang yang gerakannya luar biasa cepatnya.

Bayangan-bayangan orang ini terus menyerbu Tiang Le dengan gerakan-gerakan yang dahsyat. Tiga orang kakek rambut riap-riapan dan yang berpakaian seperti pengemis menggunakan sepasang tangannya mendorong ke arah kepala Tiang Le, sedangkan ke dua orang kakek itu adalah pemegang golok dan jepitan dapur yang telah kita kenal bernama A Kay dan A Yong.

Jepitan yang panjang dan berkarat itu hebat sekali sehingga mengeluarkan suara menciut, dan menjerit waktu jepitan itu dirapatkan menggunting.

Namun Tiang Le dengan segera telah mainkan langkah-langkah ajaib sehingga walaupun ia terkurung rapat, ia masih dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan lawan!

Akan tetapi, biarpun ia sudah bergerak cepat, tetap saja sebuah pukulan jarak jauh yang dilancarkan oleh dua orang kakek itu, meyentuh pundaknya sehingga ia terhuyung-huyung dua langkah.

“Sung Tiang Le, lekas kau menyerah dan masuk ke dalam sekutu Istana Hantu,” terdengar Nakayarinta memberi peringatan menggunakan tongkat ular cobranya mendesak.

“Betul Pendekar Lengan Buntung, lebih baik kau menyerah dan tidak mencari kematian!”

Thay-bengcu mencoba membujuk karena ia merasa kagum akan sepak terjang Pendekar Lengan Buntung ini dan merasa sayang kalau orang yang begini sakti dan hebat akan binasa di tangan para sekutunya. Lagi, biarpun orang itu berlengan buntung, namun tak dapat disangkal bahwa Sung Tiang Le mempunyai wajah yang cukup menarik dan tampan.

Oleh sebab itulah Thay-bengcu selalu memperhatikan keadaan Tiang Le.

Akan tetapi mendengar seruan-seruan lawannya yang menyuruh ia berlutut dan masuk ke dalam sekutunya, Tiang Le menjadi sengit dan marah. Tiba-tiba berkelebat sebuah sinar perak yang bergulung-gulung melindungi badannya dan membalas dengan serangan-serangan yang dahsyat.

Kini Tiang Le menunjukkan pedangnya ke arah Thay-bengcu itu, entah mengapa ia merasa penasaran dan marah bukan main kepada orang muda ganteng ini. Beberapa anak buah Thay-bengcu sudah maju menyerang, akan terapi begitu terdengar suara keras, tombak-tombak dan pedang patah dan lima orang telah roboh dengan tubuh mandi darah.

“Sung Tiang Le kau benar-benar keras kepala! Apakah kau tidak memikirkan keselamatanmu dan isterimu? Apakah kau kira dapat lolos dari Istana Hantu lebih baik menyerah dan mari kita bicara baik-baik!” Terdengar lagi suara yang begitu halus dan merdu.

Untuk beberapa lama Tiang Le meragu mendengar suara ini. Suara ini seperti suara wanita, sambil mengelak serangan Beng Kok Cu ia melirik dan alangkah terkejutnya dan heran hatinya melihat betapa Thay-bengcu tengah memandangnya dengan sinar mata kagum, mata itu demikian jelita!

Siapakah Thay-bengcu ini? Demikian Tiang Le berpikir keheranan.

Akan tetapi ia tak perlu berpikir lama-lama, karena pada saat itu golok besar dan jepitan dapur dari pelayan-pelayan Istana Hantu ini sudah berkelebat cepat dan mengurung Tiang Le, cepat Pendekar Lengan Buntung ini memutar senjatanya.

“Cring……. tring....... cring!” Golok dan jepitan di tangan kedua kakek pelayan Istana Hantu itu terpotong menjadi dua, mereka menjadi terkejut bukan main dan meloncat mundur.

Pada saat itu Nakayarinta dan Bong Kek Cu telah melancarkan serangan-serangan bertubi-tubi dan merupakan badai yang mengamuk hebat sekali. Pada saat itu Tiang Le dikejutkan oleh jeritan lirih dari Bwe Lan yang telah roboh dan pingsan akibat hawa racun yang dilancarkan oleh Kwan-tiong Tok-ong dari sepasang lengan cakar setan yang beracun itu.

Pada saat itu Tiang Le sudah lelah sekali, juga punggung yang tadi terhantam tongkat Nakayarinta terasa sakit dan nyeri. Untung saja Pendekar Lengan Buntung ini memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga pukulan tongkat kakek pertapa itu tidak meremukkan tulang pundaknya, hanya terasa sakit dan nyeri.

Namun biarpun ia sudah lelah dan sibuk dikeroyok oleh orang-orang pandai ini, akan tetapi begitu mendengar jeritan Bwe Lan, isterinya cepat sekali Tiang Le bergebrak dengaa jurus tok-pik-kiam-hoat yang terlihat menggunakan tipu Naga Sakti Menggetarkan Gunung, sehingga begitu pedang pusaka buntungnya bergebrak terdengar jeritan kaget dari Bong Kek Cu dan Nakayarinta yang mencelat mundur ke belakang.

Akan tetapi tiga orang pengeroyoknya lagi yaitu pelayan Istana Hantu yang memegang golok dan besi jepitan itu menjerit ngeri karena entah bagaimana caranya tahu-tahu sebuah sinar perak bagaikan kilat menyambar telah menabas paha dan lengan. Darah merah mengucur dari lengan A Kay dan A Tong yang mengeroyoknya.

Begitu kepungan ini mengendur, dengan gerakan gin-kang yaug luar biasa gesitnya tahu-tahu tubuh Tiang Le telah mencelat cepat dan telah menyambar tubuh Bwe Lan yang telah pingsan. Pada waktu itu Bu-tek Sianli yang sudah dibuat gemas oleh sebab muridnya yang murtad ini segera mengayunkan tongkat sekuatnya menghantam kepala Bwe Lan.

Namun sebuah kilat menyambar dari samping dan serangkum hawa pukulan yang amat dahsyat menggetarkan tongkatnya hingga menyeleweng dari sasaran. Begitu ia menengok tahu-tahu Bwe Lan telah berada dalam kempitan Pendekar Lengan Buntung yang telah jauh melompat dan dengan menggunakan kesaktiannya. Tiba-tiba tembok sebelah kiri jebol oleh terjangan tubuh Tiang Le.

Thay-bengcu berdiri dan berteriak marah,

“Kejar! Tangkap dia jangan sampai lolos!” berkata demikian Thay-bengcu telah memberi aba-aba kepada orang-orangnya untuk mencegat Tiang Le dari pintu samping. Sedangkan Nakayarinta, Bu-tek Sianli, Thay-lek-hui-mo dan Bong Kek Cu telah mencelat dan mengejar Tiang Le.

Tiang Le memasuki sebuah ruangan di bawah tanah. Ia menjadi bingung bukan main karena begitu ia mencelat ke dalam tiba-tiba ruangan yang tadinya terbuka, kini otomatis bergerak sendiri menutup jalan. Sehingga ia kini berada di sebuah jalan yang lurus ke depan dan dari depan nampak orang-orang Istana Hantu barisan panah mendatangi siap menarik gendewanya. Sedangkan dari belakang nampak Nakayarinta dan tokoh-tokoh kaum hek-to lainnya mendatangi berlarian cepat, terdengar suara Nakayarinta tertawa mengejek.

“Ha-ha-ha, Pendekar Lengan Buntung, jangan harap kau dapat meloloskan diri dari Istana Hantu. Lebih baik kau lemparkan pedangmu dan menyerah kalau kalian ingin selamat!”

“Pendeta bangsat! Kalian sungguh manusia curang dan pengecut. Kalau kau jantan hayo kau layani aku sampai seribu jurus. Jangan beraninya hanya main keroyokan!” Tiang Le memaki sengit dan berdiri dengan tegak.

Tubuh Bwe Lan ditaruh di atas punggungnya, sedangkan tangan kirinya memegang pedang buntung yang diacungkan ke depan. Siap menghadapi pertempuran!

Thay-bengcu menjadi gemas dan penasaran. Tenyata Tiang Le tidak mau lagi diajak bersekutu, maka dengan kemarahan hebat ia memerintahkan kepada anak buahnya untuk menghujani panah, dan ia sendiri sudah mencabut sepasang pedangnya yang berkeredep-keredep saking ampuh dan hebatnya sepasang pedang Liong-cu-kiam ini, dan tokoh-tokoh lainnya berdiri tegak memagari jalan. Dengan senyum dikulum Thay-bengcu berteriak,

“Hujani dengan anak panah!”

Mendengar aba-aba ini, Tiang Le menjadi tekejut dan siap dengan senjata di tangan.

Kalau tak menghadapi lawan bagaimana tangguhpun, ia masih dapat melayani. Kini menghadapi serbuan beribu-ribu anak panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya dan tanpa dapat membalas.

Duaratus anggota Istana Hantu, di depan itu menarik anak panahnya. Mereka ini adalah pasukan Istana Hantu bagian panah yang sudah terlatih.

Setelah mendengar aba-aba dari Thay-bengcu, mereka bergerak mundur dan menghujani Pendekar Lengan Buntung dengan ratusan panah.

Sungguh hebat sekali! Ternyata barisan panah bukan hanya satu jurusan, karena begitu tembok terbuka di kanan kiri dan belakang, tahu-tahu bermunculan barisan panah yang menghamburkan panah-panahnya.

Sehingga penyerangan ini berlangsung dari empat jurusan, depan, belakang samping kanan dan kiri.

“Serrr! Sert! Sertttt!” Tiang Le memutar pedangnya cepat melindungi dirinya dan tubuh istrinya di punggung.

Akan tetapi betapa terkejutnya hati Pendekar Lengan Buntung ini, karena hujan anak panah itu dibarengi pula dengan jarum-jarum beracun dari Kwan-tiong Tok-ong dan Bu-tek Sianli yang berhamburan cepat dan halus. Dan beruntun sehingga serangan anak panah dan jarum-jarum beracun tidak pernah berhenti.

“Bangsat, pengecut-pengecut rendah!” Tiang Le memaki sambil memutar terus pedangnya sehingga tubuhnya terselimut oleh putaran pedang yang luar biasa cepatnya, terbungkus oleh sinar perak yang berhasil meruntuhkan banyak anak panah dan berpuluh-pukuh jarum berbisa.

“Thay-bengcu, kau benar manusia keji dan pengecut kalau kau memang jantan hayo kita bertempur sampai tetesan darah terakhir.”

“Ha-ha-ha, Sung Tiang Le! Siapa bilang aku keji dan pengecut. Sudah kusambut secara baik-baik kau masih kurang terima. Hmm, apakah kau begitu sombong sehingga berhasil keluar dari Istanaku dalam keadaan bernyawa?”

Suara halus terdengar tergetar dan kemudian disusul oleh serangan banyak anak panah yang menyambar lagi tak berhenti-hentinya.

Sesungguhnya, sekiranya Tiang Le tidak memondong tsteri dan tidak menguatirkan keadaan isterinya ini. Ia sudah sejak tadi merangsek orang-orang pengecut ini.

Akan tetapi karena punggungnya memondong tubuh Bwe Lan, gerakannya tidak begitu leluasa dan kurang gesit sehingga dalam serangan kedua, biarpun ia sudah memutarkan pedang buntungnya sedemikan rupa, namun tetap saja tiga buah anak panah menancap di lengan kirinya yang memutar pedang.

Tiang Le menggigit bibirnya menahan rasa ngeri yang luar biasa. Ternyata ujung anak panah itu dibubuhi racun sehingga terasa gatal-gatal dan nyeri bukan main. Akan tetapi pendekar yang gagah perkasa ini terus mengamuk dan mempertahankan diri dan tidak akan menyerah!

“Aduhh!” Tiba-tiba terdengar jeritan isterinya.

Tiang Le tersentak dan menoleh. Ternyata sebuah jarum beracun sianli-tok-ciam yang dilontarkan oleh Bu-tek Sianli menyentuh pundaknya dan menancap, akan tetapi juga bersamaan dengan pundaknya yang terluka itu Bwe Lan tersadar dan mencelat dari punggung Tiang Le.

Terasa sekali punggungnya gatal bukan main, namun sekelebatan saja Bwe Lan sudah menyadari bahwa punggungnya terkena senjata Sianli-tok-ciam dari Bu-tek Sianli, maka cepat-cepat ia merogoh sakunya dan menelan sebuah pil merah, diberikan pula kepada Tiang Le. Pil merah itu adalah pil penolak racun yang pernah ia pelajari di Pulau Bidadari!

“Jahanam-jahanam keparat! Rasakanlah pembalasanku!”

Jeritan ini disusul berkelebatnya sinar merah dan begitu sabuk sutera di tangan nyonya itu bergerak, lima orang yang sedang menarik gendewa menjerit ngeri ketika sabuk merah itu tiba-tiba bagaikan ular hidup telah menyambar mereka dan melilit lehernya dan sekali sentak saja sekali gus lima orang pemanah itu terangkat ke atas dan nyawanya melayang seketika itu, juga ketika tangan kiri bergerak menyambar dahsyat!

“Desss, dukk, srattt!” Jeritan ke lima orang ini, membuat penyerang-penyerangnya yang lain mundur dan berusaha memasang kembali anak panahnya.

Akan tetapi pada saat itu Tiang Le sudah menerjang maju dan membobolkan barisan panah. Pedang Buntung itu bergerak-gerak menyambar dan terdengar jeritan-jeritan mengerikan waktu sepuluh orang Istana Hantu roboh seketika dalam keadaan tubuh mandi darah.

Tiang Le dan Bwe Lan kini benar-benar mengamuk hebat, celakalah orang-orang barisan panah Istana Hantu ini. Begitu dua orang suami isteri itu sampai ke tempat itu, bagaikan membabat rumput saja pedang dan sabuk sutera merah berkelebat bagaikan malaikat pencabut nyawa.

Bong Kek Cu dan dua orang pelayan dapur Istana Hantu yang tadi bersenjatakan jepitan dan golok besar maju menerjang.

Namun Tiang Le mengerahkan seluruh kepandaiannya, keuletan dan tenaganya untuk melindungi diri dan juga balas menyerang. Begitu munculnya dua orang pelayan Istana Hantu yang sudah terluka ini, dalam tiga gebrakan pedang di tangan kiri Tiang Le bergerak cepat dan dalam detik itu pula berturut-turut terdengar jeritan dari A Kay dan A Yong yang menggeletak roboh dengan kepala putus, sedangkan Bong Kek Cu terserempet lengannya dan menjerit kaget melompat mundur.

Pada saat itu Tiang Le sudah gemas kepada orang ini, bergerak cepat dan sekali pedang buntungnya berkelebat. Lengan kanan Bong Kek Cu putus sebatas pundak dan terdengar jeritan kakek buntung itu bagaikan babi disembelih!

Kini tokoh-tokoh Istana Hantu mulai menerjang maju. Nakayarinta, Bu-tek Sianli bergerak menerjang Tiang Le, dan dibantu oleh gerakan sepasang pedang yang luar biasa dari Thay-bengcu. Sebuah benturan yang keras membuat tangan kiri Tiang Le tergetar ketika pedang buntungnya tertangkis oleh pedang kiri Thay-bengcu, yang tersenyum mengejek.

“Belum juga menyerah, he?”

“Jahanam! Mampuslah kau!” tiba-tiba Tiang Le menyilangkan pedang buntungnya dan tangan kirinya bergerak mengeluarkan jurus gerak tangan kilat yang luar biasa itu.

Saking hebatnya pukulan gerak tangan kilat yang disertai tenaga sin-kang tinggi ini, membuat Nakayarinta yang terserempet angin pukulan tangan itu terhuyung ke samping. Akan tetapi Thay-bengcu dengan gerakan pedang yang aneh telah menggunakan siku kanannya menyambut pukulan ini.

“Dess!” Kalau Tiang Le terhuyung dua langkah, melainkan pemuda tampan yang bernama Thay-bengcu itu berteriak kaget dan kagum ketika merasa lengan kanannya menjadi lumpuh. Namun sungguh patut dipuji karena hanya sedetik itu pula, Thay-bengcu ini sudah menggerakkan kembali sepasang siang-kiamnya mendesak Tiang Le.

Melihat munculnya tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi ini, Tiang Le menjadi kewalahan bukan main. Apalagi setelah kini dirasakan lengannya menjadi nyeri dan kaku akibat tiga batang anak panah yang menancap di lengannya dan bekas pukulan dari Nakayarinta itu masih terasa nyeri di pundaknya.

Pada saat itu saking bingungnya ia, gerakannya menjadi lambat dan sebuah pedang di tangan kiri Thay-bengcu berhasil menerobos masuk dan Tiang Le menggigit bibir menahan nyeri luar biasa. Ternyata pangkal lengannya robek sampai kelihatan tulangnya.

Bukan main sakitnya dan Tiang Le merasakan kepalanya berdenyut-denyut dan ia terhuyung-huyung hendak roboh. Cepat-cepat ia mengempos hawa murni menenangkan diri.

Melirik Bwe Lan yang tengah mengamuk dikeroyok oleh banyak orang-orang, dan mengirimkan suara melalui khi-kang yang dikirimkan untuk isterinya,

“Isteriku, lekas kita membuka jalan darah. Ikuti gerakanku. Cepat!”

Sesudah berkata demikian tiba-tiba Tiang Le berhenti, bersila, dan menerima tiga buah gebukan dari Nakayarinta, Bu-tek Sianli dan Te Thian Lomo.

“Desss…… desss….. blukkkk!”

Akan tetapi sungguh hebat, Pendekar Lengan Buntung ini tidak bergeming sedikitpun. Hanya nampak dari sepasang mata itu yang berair saking hebatnya pukulan-pukulan ini.

Kalau saja ia tidak mengerahkan sin-kang di tubuhnya, tentu tubuh itu sudah hancur lebur. Akan tetapi pemuda ini, dalam keadaan pakaian atas robek-robek berdiri tegak dan pandangannya menyapu sekalian orang di situ.

Ia mengerahkan tenaga khi-kangnya berseru keras,

“Kalian manusia-manusia goblok! Lihat, mengapa aku yang kau tempur tolol. Aku Thay-bengcu pemimpin besar. Lekas serang dia itu, jangan biarkan dia lolos!” Barkata demikian Tiang Le menunjuk kepada Thay-bengcu yang bergerak hendak menyerangnya.

Akan tetapi, alangkah ajaib dan luar biasa sekali karena tiba-tiba Nakayarinta. dan Bu-tek Sianli dengan Te Thian Lomo dan banyak lagi orang-orang Istana Hantu menyerbu Thay-bengcu yang tentu saja menjadi heran dan kelabakan bukan main menghadapi penyerbuan dari para sekutunya ini.

Terpaksa ia putarkan sepasang siang-kiamnya dan mencelat mundur sambil membentak pula mempergunakan khi-kangnya berseru keras,

“Cuwi sekalian, tahan senjata!”

Suara ini biarpun terdengar nyaring dan merdu, namun dikerahkan dengan tenaga khi-kang yang tinggi sehingga merupakan suara menggeledek di angkasa, bergema di ruangan itu. Dan terdengar amat menusuk anak telinga bagi mereka yang berada di ruangan itu dan menggetarkan hati sehingga mereka yang merangsek Thay-bengcu menahan senjatanya dan memandang dengan membelalakkan matanya. Apa yang mereka lihat sesungguhnya?

Sungguh aneh tadi mereka telah menyerang Thay-bengcunya sendiri. Gila! Buru-buru mereka berlutut dengan pikiran yang tak habis herannya melihat kejadian ini.

Thay-bengcu membanting-antingkan kakinya dan berkata keras, “Kalian, goblok semua! Menangkap dua ekor tikus sawah saja tidak becus, malah hampir mencelakakan diriku. Benar-benar gila!”

“Ampunkan kami Tuan hamba Yang Mulia, sesungguhnya….. tadi….. tadi dalam pandangan kami kira Thay-bengcu adalah Sung Tiang Le!” Nakayarinta yang rupanya mempunyai tingkat tinggi dalam kedudukannya memberanikan diri berkata, namun dari suaranya terdengar mengeletar penuh rasa takut dan hormat.

Sementara yang lainnya hanya menganguk-anggukkan kepala saja seperti ayam mematuk gabah, tak berani membuka mulut dan bersuara.

Pemuda tampan yang berjuluk Thay-bengcu itu nampak mundar mandir di ruang itu dan berkata keras,

“Nakayarinta, Kwan-tiong Tok-ong dan Sian Jiu Nio-nio, aku perintahkan kalian segera mencari Pendekar Lengan Buntung dan membawanya kemari, mati atau hidup! Jikalau usaha ini gagal, kalian akan mampus ditanganku!”

“Baik Tuan Hamba, kami akan melaksanakan perintah!” sahut Kwan-tiong Tok¬ong perlahan.

“Pergilah lekas, tunggu apa lagi? Penasaran! Orang begini banyak, menangkap Pendekar Lengan Buntung saja kalian tidak sanggup. Sungguh tolol!”

Demikian Thay-bengcu memaki dan meninggalkan mereka. Inilah hebat mendengar makian pemuda tampan ini tiada seorangpun yang berani membuka mulut.

Thay-bengcu!

◄Y►

Udara masih mendung, bekas turunnya hujan. Matahari mengintip cerah setelah awan-awan hitam yang tadinya menutupi angkasa telah menumpahkan air matanya membasahi bumi yang gersang ini akibat musim kemarau yang panjang.

Hujan yang turun tadi siang, merupakan udara sejuk yang melingkupi suasana di kaki bukit Lu-liang-san. Jalan-jalan di dalam hutan itu masih becek bekas turunnya hujan yang tidak lama tadi. Daun-daun masih nampak basah, berbutir-butir air hujan menetes dari daun-daun di atas pohon itu.

Udara di dalam hutan itu sejuk sekali, walaupun matahari mulai memancarkan sinarnya kembali. Mengintip di balik segumpalan awan hitam yang hendak berlalu ditiup angin. Dan burung-burung yang tadinya bersembunyi di sarangnya, kini berterbangan kembali setelah diketahuinya bahwa hujan sudah berhenti.

Burung-burung itu ada yang bertengger di dahan yang basah dan mematuk-matukkan paruhnya, ada pula yang mencicit-cicit panjang dan terbang tinggi bergerombolan. Nampaknya burung-burung itu begitu riang terbang setinggi-tingginya di dalam udara yang lembab. 

Pada saat itu, terdengar suara orang sedang bercakap-cakap, suara seorang wanita. Suara yang merdu dan dan tampaklah dua orang wanita dari tikungan jalan sedang duduk di atas pelana kudanya.

Wanita yang di sebelah kiri, adalah seorang wanita setengah tua, berpakaian serba putih bersih dan dilihat dari wajahnya, mudah saja diduga bahwa wanita setengah tua ini adalah wanita yang cantik, garis-garis pada wajahnya yang mengerisut itu tidaklah mengurangi kecantikan dari bentuk raut muka dan mata yang demikian jelita.

Wanita setengah tua itu, sungguh patut dikasihani, karena pada lengan kirinya sudah buntung sebatas pundak, sehingga lengan baju yang tidak berlengan itu berkibar-kibar tertiup angin.

Dan yang seorang lagi. Mempunyai wajah yang hampir sama dengan wanita itu, matanya juga sama jelinya. Hanya sedikit pada hidung wanita itu agak mancung dan bagus dan mulutnya kecil, mempunyai sepasang bibir yang basah dan segar.

Usianya sekitar tujuhbelas tahun, seorang gadis remaja. Bersuara merdu dan manja.

“Ibu, masih jauhkah perjalanan ke Tiang-pek-san?” si gadis bertanya kepada wanita di sebelahnya.

Nyonya itu menoleh dan memandang kepada anaknya. Memandang dengan penuh sayang dan cinta kasih. Wanita setengah tua itu tersenyum manis dan bibirnya yang masih indah itu bergerak menjawab:

“Lily, begitu besarkah keinginanmu untuk bertemu dengan Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le?” tanyanya.

“Tentu ibu. Hendak kubuntungi lengan Pendekar Lengan Buntung. Karena dia telah menghina ibu, dan menyusahkan hatimu!” sahut si gadis yang bernama Lily itu bersemangat. Dalam berkata barusan tangannya yang kecil itu terkepal dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

Melihat ini senang sekali hati si ibu.

“Bagus Lily, kau balaskanlah sakit hati ibumu ini!”

“Ibu?”

“Hemm.”

“Apakah Pendekar Lengan Buntung itu, lebih sakti dari pada ibu?” tanya Lily.

“Memang dia lebih sakti, Lily, kalau tidak, masakan aku kehilangan lenganku!”

Lily menoleh dan merendengi jalan kudanya di samping ibunya.

“Ibu, betulkah lenganmu buntung karena Sung Tiang Le? Apakah dia yang membuntungi lengan ibu, ahh, betapa kejamnya laki-laki itu. Akan tetapi ibu, bagaimana sih sehingga lengan itu bisa buntung, apakah dalam pertempuran?

“Apakah memang ibu dianiaya olehnya? Bagaimana macamnya Pendekar Lengan Buntung itu, tentu seperti tay-ong, ya ibu, penuh cambang bauk dan mukanya....... sangat menyeramkan!”

“Eh, mengapa kau menduga ke situ Lily?”

“Iya dong, hanya orang kasar dan kejam saja yang telah melakukan perbuatan kejam dan telah membuntungi lenganmu. Tentu Pendekar Lengan Buntung seperti raja perampok yang ganas dan kejam. Kalau ketemu denganku, hendak kubuntungi lengannya!”

“Lily, kau...... belum tentu menangkan dia........”

“Apa?”

“Pendekar Lengan Buntung sangat sakti Lily, jangan kau pandang rendah orang itu. Walau bagaimana kau harus hati-hati…… dia........”

“Aku tak takut ibu! Aku sudah mewarisi kepandaian kong-kong Sin Kun Bu-tek, dan kepandaian ibu, masah sih aku tidak dapat menandinginya. Tunggu saja nanti!”

Mereka tidak bercakap-cakap lagi. Karena ibu itu tertunduk dan menarik kendali kudanya sehingga kuda berjalan lebih dulu. Dalam detik itu, bayangan bersama dengan Tiang Le melekat di ruang matanya.

Alangkah mesranya, apabila ia teringat kenang-kenangan manis di lembah Tai-hang-san itu, alangkah menggairahkan........ ahh, Tiang Le……, bibir Bwe Hwa bergerak membisiki nama itu. Sebuah nama yang amat disayangnya, dan juga paling dibenci apabila ia melihat adegan-adegan yang menyakitkan hati di pantai Po-hay.

Dan mengapa Tiang Le tidak jadi menikah dengan Pei Pei dan kawin dengan Bwe Lan, murid Bu-tek Sianli itu, mengapa? Apakah Tiang Le telah menyia-nyiakan Pei Pei, dan kawin dengan Bwe Lan, setan! Dia mata keranjang, aku benci. Benci!

Setetes air mata meloncat dari kelopak mata yang mempunyai telaga yang jernih airnya itu.

Melihat ibunya menangis, Lily terheran.

“Eh, kenapa kau menangis ibu, apa yang kau tangisi?”

“Aku....... aku....... tidak Lily, hayo cepatan jalannya. Perjalanan kita masih jauh, sekarang baru juga sampai di bukit Lu-liang-san. Kira-kira seminggu lagi kita batu sampai di Tiang-pek-san.”

“Masih begitu jauh?”

“Maksudnya, jangan ngobrol melulu, mari kita membalap!” sahut si ibu, akan tetapi belum lagi ibu itu menarik kendali kudanya, tiba-tiba Lily berkata cepat:

“Lihat ibu! Di depan sana itu kayak ada orang. Siapa dia....... sedang menuju ke mari!”

Belum habis Lily berkata, tiba-tiba pandangan Bwe Hwa yang tajam telah mengenali orang yang di depannya itu. Bibirnya berbisik gemetar.

“Sung Tiang Le……!”

“Apa.......? Dia Pendekar Lengan Buntung?” sambil menggeprak kudanya dan berlari cepat ke depan.

Tidak berapa lama ia sudah tiba di depan sana dan ia melihat seorang laki-laki lengan buntung setengah tua dan seorang perempuan cantik sepantar ibunya.

Untuk beberapa lama Lily tertegun. Ia melihat laki-laki setengah tua yang lengannya buntung sebelah kanan itu berjalan dengan muka pucat dituntun oleh seorang perempuan cantik setengah tua. Laki-laki tersebut nampak gagah dan menyeramkan berjalan terseok-seok di atas tanah yang becek dan berair.

Pakaiannya compang-camping, bajunya bernoda darah, di pundak kiri dan di punggung kelihatan tiga batang anak panah menancap, pangkal lengan kirinya terluka hebat dan dari situ mengalir darah. Dalam keadaan terluka hebat itu laki-laki lengan buntung itu nampak berjalan dipapah oleh wanita cantik yang nampaknya tengah kepayahan juga.

Lily menghentikan kudanya dan bertanya,

“Kaukah yang bernama Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le?”

Tiang Le melepaskan pegangan tangan isterinya dan menoleh ke arah gadis yang datang-datang melontarkan pertanyaan seperti itu.

“Kau siapa?”

“Setan! Aku bertanya kepadamu, mengapa bertanya lagi. Kau Pendekar Lengan Buntung ya?”

Tiang Le mengerutkan alisnya. Bukan karena pertanyaan gadis ini, akan tetapi merasakan sakit yang luar biasa pada pangkal lengannya sehingga ia menggigit bibirnya.

“Betul, aku Sung Tiang Le. Kau ini siapa, ada urusan apakah menanyakanku?” tanya Tiang Le tenang.

Ia dan isterinya sudah berhasil meloloskan diri dari Istana Hantu, akan tetapi karena keadaannya terluka, sehingga perjalanan sangat lambat sekali dan suatu ketika kelak, ia harus berhati-hati menghindarkan diri dari kejaran-kejaran orang-orang Istana Hantu. Kini melihat gadis ini datang-datang bertanya demikian, Tiang Le dan Bwe Lan menjadi curiga.

“Kebetulan sekali, Pendekar Lengan Buntung, aku dan ibu sedang mencarimu. Kau telah menghina ibu, membuntungi lengannya, kau harus mampus!”

“Eh, e, e, anak setan kau! Mengapa datang-datang memaki kami. Kau ini anak siapa sih, begitu kurang ajar. Hati-hati mulutmu nanti kutampar baru tahu rasa!” Bwe Lan membentak marah, namun Tiang Le memberi isyarat dengan pandangan matanya.

“Anak, kau siapa? Siapa yang membuntungi ibumu, siapa ibumu itu?”

“Kau lupa ya? Kau telah menghina ibu.”

“Aku telah menghina ibumu…… Siapakah ibumu?”

“Setan!! Ibuku adalah Lie Bwe Hwa yang sudah kau buntungi lengannya. Hari ini aku anaknya hendak membuntungi pula lenganmu!!!”

“Siiing…….!” Lily telah mencabut pedangnya dan berdiri tegak dengan sikap menantang kemudian berkata, “Sung Tiang Le, hayo hadapi pedangku!! Kata ibu kau sakti, hayo layani aku!!”

“Kau…… kau anaknya Bwe Hwa….. ya Tuhan…… siapakah namamu??” Tiang Le bertanya dengan suara gemetar dan gugup.

Dadanya berdebar keras. Kini teringatlah ia kepada Bwe Hwa. Bwe Hwa…….

“Kau baru ingat yaa, hayo mengaku bahwa kau telah menganiaya ibu!!” Bentak gadis itu dengan marah, dan tanpa banyak cakap lagi dia telah mengelebatkan pedangnya sambil berteriak, “Awas pedang!”

Akan tetapi sungguh diluar dugaannya gadis ini. Tiang Le tidak mengelakkannya ataupun menangkisnya. Sehingga Lily menjadi kaget dan cepat-cepat dia mengegoskan pedangnya ke kiri dan menyerempet pundak Tiang Le.

Lengan kanan laki-laki buntung itu bercucuran darah yang mengucur dari pundak kanannya. Tiang Le menggigit bibirnya menahan sakit dan memandang gadis itu dengan tidak berkedip!

“Kau! Kau sama benar dengan Bwe Hwa, benar kau anak Bwe Hwa,” Tiang Le mengeluh memegangi lukanya.

Sementara Lily yang menjadi penasaran membentak marah membantingkan kakinya ke tanah.

“Kau…… kau benar-benar sombong, mengapa kau tidak menangkis seranganku? Setan! Apa kau kira aku tidak sanggup memenggal lehermu?”

“Bocah siluman, minggirlah kau!” Bwe Lan yang telah menjadi marah melihat suaminya terluka oleh pedang gadis ini membuat gerakan mendorong ke depan.

Sebuah angin pukulan menyambar si gadis. Namun gadis ini dengan senyum mengejek mengangkat tangan kirinya dan membalas memukul.

“Dess!” Dua tenaga yang tidak kelihatan bertemu di kedua telapak tangan itu.

Diam-diam nyonya ini menjadi terkejut bukan main ketika merasa tangannya kesemutan oleh benturan telapak tangan puteri Bwe Hwa ini. Tahulah ia bahwa gadis ini telah mempunyai lwekang yang hampir mencapai sempurna.

“Lan-moay....... jangan kau bertempur, jangan ladeni gadis puteriku ini.......” suara Tiang Le tergetar dan merangkul lengan isterinya.

Pada saat itu luka Tiang Le bertambah parah, wajahnya semakin pucat. Ke dua kakinya sudah menggigil, bukan saja karena luka-luka itu yang membuat ke dua kakinya menggigil akan tetapi serangan tekanan bathin ini yang membuat ia merasa lemah bukan main. Apalagi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan, tahu-tahu Bwe Hwa telah berdiri di depan memandanginya.

“Bwe Hwa-moay.......!” Tiang Le memanggil pelan.

“Tiang Le, hari ini aku harus membuat perhitungan denganmu. Kau… kau.......?”

“Bwe Hwa-moay….. jangan… jangan kau membenciku… kau….. ahh Bwe Hwa…. kemarilah Bwe Hwa.......”

Lily maju ke depan dan berkata kepada ibunya,

“Ibu…… dia… dia inikah yang telah membuatmu menderita? Benarkah ibu....... diakah yang membuntungi lenganmu?”

Bwe Hwa tidak menjawab. Hanya ia mengangguk pelan.

“Kalau begitu, kau saksikanlah ibu…… aku akan membuntunginya pula!”

Belum lagi Bwe Hwa menyahut, Lily Sudah menerjang Pendekar Lengan Buntung. Pedang pusakanya berkelebat cepat menusuk dada Tiang Le dengan gerakan yang luar biasa gesitnya.

Akan tetapi pada saat itu Bwe Lan sudah tahu bahwa suaminya sudah payah dan tidak melayani gadis ini, segera ia mencabut tongkatnya dan menangkis pedang Lily yang bergebrak menerjang Tiang Le.

Benturan tongkat kecil itu membuat tusukan pedang si gadis tertahan dan begitu melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah wanita setengah tua itu, Lily memekik marah dan tahu-tahu ia telah menerjang Bwe Lan.

“Siluman kau! Biar kucabut nyawamu dulu.......!” bentakan Lily ini dibarengi dengan gerakan menyabet pinggang nyonya itu.

Namun dengan mengegoskan diri ke samping dan mainkan jurus langkah ajaib, nyonya Pendekar Lengan Buntung ini sudah dapat berkelit dan balas mengirimkan serangan tongkatnya pula.

“Lan-moay…… jangan....... bertempur....... sudahilah.......!”

“Ha-ha-ha! Tiang Le, lihat siapakah dia? Ia adalah anakmu! Anak kandungmu…….. ha-ha-ha! Sebentar lagi Lily akan membasmi engkau dan keturunanmu.......” suara Bwe Hwa tedengar keras menggema di hutan kecil itu.

“Bwe Hwa….. kau begitu bencikah hatimu padaku, begitu dendamkah engkau…..? Kalau kau benci bunuhlah aku, bunuhlah....... akan tetapi, jangan kau menyuruh anak kita untuk mengangkat senjata Bwe Hwa….... Kau bunuhlah aku!”

“Memang aku akan membunuhmu. Kau….. kau mata keranjang! Aku benci padamu….. aku benci!” berkata demikian Bwe Hwa mencabut Pek-hwa-kiamnya dan mendekati Tiang Le.

“Bwe Hwa-moay……,” Tiang Le mengeluh.

“Jangan panggil aku moay-moay, lagi....... Kau….. kau hidung belang, mata keranjang, kumampusin kau!” Dengan pedang di tangan Bwe Hwa mendekati selangkah ke depan Tiang Le.

Namun Pendekar Lengan Buntung ini dengan mata tidak berkedip memandang sayu kepada perempuan lengan buntung itu.

“Kau bunuhlah aku Hwa moay-moay, mati ditanganmu tidak mengapa, senang hatiku!”

“Bagus, kalau begitu mampuslah kau!” Pedang pendek putih di tangan Bwe Hwa bergerak menusuk dada Tiang Le.

Akan tetapi seperti tadi, Tiang Le sama sekali tidak menangkis atau mengelak, membiarkan dadanya tertembus pedang.

Tentu saja Bwe Hwa yang sesungguhnya tidak sampai hati menusuk dada Pendekar Lengan Buntung itu, menjadi terkejut dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya. Entah mengapa di hatinya tidak tega membiarkan Pendekar ini tertusuk pedang, gerakannya tadi juga hanya sebagai gertakan saja.

Namun sesungguhnya pendekar ini tidak menangkis pedang, malah memandangnya sayu. Terbentur oleh pandangan ini, tiba-tiba Bwe Hwa menangis dan membanting-bantingkan kakinya sengit.

“Sung Tiang Le, kau….., kau hadapilah pedangku! Mengapa kau diam saja?”

“Hwa-moay….., kau mau bunuh, bunuhlah……. Aku memang tak kuasa untuk melawan. Biarlah aku mati di tanganmu…. Akan tetapi kau........ kau cegahlah Lily supaya tidak memusuhi isteri dan anakku!”

“Hu, kau….... kau sayang isteri dan anak ya? Takut anak dan isterimu mampus di tangan Lily. biar dia mampus!”

“Bwe Hwa-moay....... jangan begitu jangan..... ahhh!” Tiba-tiba Tiang Le terhuyung-huyung dan kepadanya dirasakan berat bukan main.

Ketika Bwe Hwa melihat betapa kaki Pendekar itu menggigil dan luka di lengan itu masih tertancap oleh tiga batang anak panah, ia menjadi kasihan dan terharu. Pedang Pek-hwa-kiam yang sedianya hendak ditusukkan ke dada pemuda pendekar itu menjadi menggigil dan lunglai masuk ke dalam sarungnya.

Melihat keadaan Tiang Le yang amat mengenaskan ini, sebenarnya sejak tadipun ia merasa tidak tega untuk mencelakakan Tiang Le, namun ia mengeraskan hatinya. Dan hendak menerjang laki-laki buntung itu, siapa sangka Tiang Le tidak melayaninya malah dalam keadaan seperti ini.

Pakaian putih Pendekar itu sudah berlumuran darah bekas luka dari pedang yang diserempetkan Lily, ditambah lagi rupa-rupanya Tiang Le ini habis menghadapi pertempuran. Maka entah mengapa, perasaan dendamnya yang semula berkobar-kobar menjadi lumer seketika melihat keadaan Tiang Le seperti ini.

Ia sendiri merasa heran sekali, mengapa hatinya tiba-tiba menjadi lemah dan menaruh iba hati kepada Pendekar yang tadinya dimusuhi setengah mati, yang lebih aneh lagi, tiba-tiba perasaan iba itu naik membuat air matanya bertitik turun ketika melihat Tiang Le terhuyung-huyung hendak jatuh.

Akan tetapi segera ia maju menyambut tubuh Tiang Le, karena Pendekar yang perkasa ini sudah limbung, dan tentu akan roboh kalau saja tidak buru-buru Bwe Hwa menyambarnya. Dan Tiang Le telah jatuh pingsan dalam pelukan Bwe Hwa!

Pada saat itu tiba-tiba dari kiri kanan jalan berlompatan banyak orang mengurung tempat itu. Seorang kakek tua renta muka hitam memegang tongkat ular cobra tertawa bergelak-gelak menggetarkan suasana di dalam hutan.

“Ha-ha-ha! Bagus Toanio kau tetah menangkap Pendekar Lengan Buntung, mari serahkan kepada kami!”

Bwe Hwa yang tidak kenal orang-orang ini cepat memeluk tubuh Tiang Le yang telah pingsan dan bertanya kepada si kakek muka hitam,

“Locianpwe ini siapa?”

“He-he.. kami adalah orang-orang Istana Hantu. Pendekar Lengan Buntung ini menjadi buronan kami. Untung kau telah dapat menangkapnya, lekas serahkan kepada kami!”

“Setan! Aku tidak ada urusan denganmu. Orang ini aku yang menangkapnya, dan kalian tidak boleh menyentuh seujung rambutpun kepadanya!” Bentak Bwe Hwa yang telah melintangkan Pek-hwa-kiam siap untuk melindungi Tiang Le.

Sementara itu, Bwe Lan yang bertempur dengan Lily menjadi terkejut melihat kedatangan orang-orang Istana Hantu yang pernah ia rasai kelihaiannya ini. Cepat sekali ia menggerakkan tongkatnya merangsek Lily dan begitu ada kesempatan, tubuhnya berkelebat.

Amat cepat sekali gerakan ini, tahu-tahu Bwe Lan sudah mengirim pukulan mendorong ke arah Bwe Hwa yang tidak melihat gerakan ini. Namun begitu pegangan tangannya terlepas dari rangkulan Tiang Le, tahu-tahu Bwe Lan sudah menyambar Tiang Le dan berkelebat pergi.

“Jangan lari!” Nakayarinta mencelat pula dan mengirimkan totokan tongkatnya ke punggung nyonya ini.

Namun Bwe Lan yang tidak menghiraukan orang-orang ini, cepat mempergunakan gin-kangnya mencelat jauh dan sekali berkelebat. Ia sudah lenyap memanggul tubuh suaminya.

Nakayarinta dan Kwan-tiong Tok-ong mengejar. Namun Bwe Hwa yang sudah dibuat sengit kepada orang-orang yang dianggapnya telah membuat ia kehilangan Tiang Le menjadi marah, dan cepat tubuh Bwe Hwa berkelebat dan langsung menyerang Nakayarinta.

“Pendeta muka hitam! Kau biang keladi, sialan! Mampus kau!” sambil berteriak begitu, tubuh Bwe Hwa yang masih melayang di udara itu mengirimkan jurus-jurus berbahaya dari Pek-hwa-kiam-sut.

Tentu saja Nakayarinta yang tidak mengenal wanita buntung lengan ini memandang ringan terhadap Bwe Hwa dan ia hanya mengibaskan jubah menghadapi serangan pedang Pek-hwa-kiam.

“Singg….! Brettt…..!” bagaikan dipegang setan ditengkuk pendeta muka hitam itu, ketika merasa sambaran pedang yang luar biasa anehnya ini, dan tahu-tahu kibasan jubahnya sudah robek terbabat pedang perempuan lengan buntung ini.

Merasa bahwa yang dikejar tidak kelihatan bayangannya lagi, Nakayarinta dan Kwan-tiong Tok-ong membalikkan tubuh menghadapi Bwe Hwa.

“Toano ini siapa, mengapa menghadang kami mengejar Pendekar Lengan Buntung yang menjadi buronan kami?”

“Pendeta sialan, gara-gara engkau sehingga dia lolos dari tanganku. Kalian ini memang sungguh menyebalkan!” Pedang Pek-hwa-kiam di tangan Bwe Hwa menyerbu si kakek Nakayarinta bagaikan gelombang pasang yang luar biasa ganasnya.

Kwan-tiong Tok-ong menjadi marah dan menggereng keras dan tubuhnya tahu-tahu telah melompat ke atas dan kedua tangannya sudah memegang sepasang senjata yang mengerikan, yakni Cap-tok-ngo-jiauw dan secepat kilat ia menerjang Bwe Hwa yang sudah menggerakkan pedangnya menggempur Nakayarinta.

Sian Jiu Nio-nio berteriak nyaring, tahu-tahu rambutnya yang panjang menyambar Bwe Hwa bagaikan ribuan tongkat yang bergerak cepat mengarah sepuluh jalan darah di tubuhnya.

Melihat betapa orang-orang ini dengan cara yang curang telah mengeroyok ibunya, Lily mengeluarkan pekik panjang dan begitu tubuhnya berkelebat menyambut Sian Jiu Nio-nio dengan pedang Toat-beng-kiam di tangan.

Pada saat itu, sehabis jeritan si gadis tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan besar di atas tahu-tahu sebuah burung rajawali raksasa telah turun menggempur Kwan-tiong Tok-ong, menggunakan sayapnya menampar sepasang cakar setan yang bergerak-gerak mengancam Bwe Hwa.

Raja racun ini mengira bahwa yang datang adalah Kwan Kong Beng puteranya yang menunggang burung garuda, maka ia bersuit keras dengan girang.

“Bagus! Hui-eng, cakar perempuan buntung sialan ini!”

Akan tetapi betapa terkejutnya si Raja Racun karena burung yang disangkanya binatang peliharaannya itu tahu-tahu sudah menerjang turun dan langsung mengirimkan serangan sayap menggempur Kwan-tiong Tok-ong. Karena gerakan sayap ini demikian cepat, si Raja Racun menjadi heran dan mengangkat tangannya menangkis.

Akan tetapi alangkah heran hatinya karena burung rajawali ini seperti tahu akan keampuhan sepasang tangan itu tidak berani menyampok malah ia menggunakan sayap kanan memukul punggung Kwan-tiong Tok-ong.

“Blekkk!” Kwan-tiong Tok-ong terhuyung ke belakang. Dan mendelikkan matanya, memaki.

“Burung keparat, rasakan pembalasanku!” geramnya marah melancarkan pukulan jarak jauh ke atas.

Akan tetapi sungguh di luar dugaan karena burung ini demikian gesit dan dalam sedetik itu pula sudah dapat menghindarkan diri dari angin pukulan yang datang itu dan mencoet panjang, terbang ke atas, seakan-akan burung ini tahu bahwa hawa pukulan kakek tinggi besar itu mengandung racun yang tidak boleh dipandang ringan, maka burung yang cerdik ini siang-siang sudah terbang tinggi.

Pada saat itu, tiga batang piauw yang dilemparkan oleh seorang anggota Istana Hantu, dengan cepat sudah dapat disampok oleh cengkeraman rajawali dan tiba-tiba entah bagaimana caranya, burung yang luar biasa ini menggerakkan cakarnya yang mencengkeram tiga batang piauw ke arah penyambitnya.

Gerakan yang tidak disangka-sangkanya ini membuat tiga orang Istana Hantu dibawah tidak dapat menghindarkan diri lagi akan datangnya pisau terbang yang meluncur cepat dari atas itu. Jeritan ngeri terdengar membarengi suara tertahan dan kaget dari tiga orang Istana Hantu yang tersambar piauw menancap di punggung, senjata makan tuan!

“Burung iblis, Setan dedemit, mampus kau!” Tiba-tiba entah dari mana datangnya Kwan Kong Beng telah muncul bersama burung garudanya.

Hebat sekali perkelahian antara burung garuda dengan burung rajawali di angkasa itu. Sedangkan Kwan Kong Beng yang melihat bahwa dua orang wanita di bawah itu cukup lihai, segera ia mencelat ke bawah dan menyerang Bwe Hwa!

Ternyata biarpun Kong Beng bersikap ketolol-tololan dan ayal-ayalan, kini tahu bahwa dua orang wanita ini tidak boleh dipandang ringan. Segera ia membantu ayahnya mengeluarkan pukulan-pukulan dahsyat dengan tangan kanan yang diputar-putar memukul ke arah perempuan setengah tua yang gesit dan ganas ini.

Namun Bwe Hwa benar-benar mengamuk menghadapi orang Istana Hantu yang ternyata pernah dikenalnya ini. Ia mainkan Pek-hwa-kiam-sut dengan gerakan-gerakan bagaikan guntur memecah bumi.

Bayangan-bayangan putih dari perempuan setengah tua ini, merupakan maut yang bersiap-siap hendak mencabut nyawa, karena kemana bayangan Bwe Hwa berkelebat. Salah seorang anggota Istana Hantu yang tidak mempunyai kepandaian tinggi terluka hebat oleh terjangan pedang pendek putih Pek-hwa-kiam yang haus darah ini, membuat para pengeroyoknya yang memang tingkatnya rendah hanya mengurung tempat itu dan memandang ke arah jalannya pertempuran.

Sementara itu, Lily yang menghadapi Sian Jiu Nio-nio, si nenek berambut panjang ini, mengeluarkan pedang Toat-beng-kiamnya. Hebat sekali sepak terjang gadis ini. Pedangnya berkelebat-kelebat ganas sekali.

Memang Lily sengaja mainkan jurus-jurus Pek-hwa-kiam-sut. Yang pernah dipelajari dari ibunya, sedangkan tangan kirinya merupakan pukulan-pukulan geledek yang membuat Sian Jiu Nio-nio keder karena begitu tangan kiri gadis itu bergebrak ia merasakan lengannya menjadi lumpuh dan jantungnya sakit.

Untung saja pada saat Sian Jiu Nio-nio menerjang maju mengeroyok gadis ini dengan tongkat kecilnya yang dibantu oleh Kwan Kong Beng yang telah mengalihkan serangannya menyerang gadis yang lihai ini.

Dikeroyok empat orang ini, biarpun bagaimana lihai, akhirnya menjadi kewalahan juga. Dan gerakan-gerakan pedangnya agak terhimpit karena banyaknya tokoh-tokoh kang-ouw yang telah mengeroyoknya.

Apalagi setelah Nakayarinta, memberi aba-aba kepada orang Istana Hantu yang berjumlah tidak lebih tigapuluh orang itu untuk membantunya dan menangkap kedua perempuan ini hidup-hidup.

Begitu mendengar aba-aba ini, orang-orang Istana Hantu segera menyerbu dan sebentar saja di dalam hutan itu terjadi pertempuran hebat.

Melihat bahwa dirinya dikeroyok begini banyak orang, Lily mengeluarkan pekikan nyaring. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak-gerak lambat namun penuh hawa sin-kang tingkat tinggi.

Dan begitu tangan kiri itu bergebrak, terdengar pekik mengerikan dari sepuluh orang-orang Istana Hantu yang telah roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Inilah pukulan-pukulan maut yang dipelajari dari kakeknya Sin Kun Bu-tek yang luar biasa itu.

Melihat sepuluh orang sudah roboh mati dalam gebrakan-gebrakan tangan kiri dari gadis yang lihai ini, Sian Jiu Nio-nio dan Thung Hay Nio-nio menjadi marah bukan main. Tongkatnya bergerak luar biasa dahsyatnya, sedangkan senjata rambut itu bagaikan ratusan tombak menyerbu ke arah si gadis bergulung-gulung.

Saking repotnya Lily menghadapi serangan ini, ia tak keburu menangkis sebuah pukulan tongkat kecil Thung Hay Nio-nio pada punggungnya. Karena tadi ia berusaha keras menghindarkan diri dari sabetan-sabetan rambut yang lihai dari Sian Jiu Nio-nio yang lihai, maka terpaksa sambil mengerahkan hawa sin-kang di pundaknya menerima pukulan tongkat kecil Thung Hay Nio-nio.

“Plakkk!” Tongkat Thung Hay Nio-nio menjadi hancur menghantam tubuh yang penuh hawa sin-kang itu. Perempuan ini terkejut dan heran.

Sebaliknya Lily menjerit keras merasakan jantungnya tergetar hebat oleh serangan yang lihai ini. Cepat-cepat ia mencelat ke atas dahan pohon dan mengerahkan sin-kang melindungi jantung.

Tiba-tiba ia merasa kepalanya berdenyut-denyut begitu mendengar seruan ibunya yang menjerit lirih dan roboh di tangan Nakayarinta.

Untung pendeta dari Anapura tidak bermaksud untuk mencelakakan perempuan lengan buntung ini. Ia memang sengaja untuk menawannya saja dan dibawa ke Istana Hantu, dan maka dari itu Bwe Hwa terhindar dari serangan maut Kwan-tiong Tok-ong yang siap melancarkan pakulan mematikan.

Namun pendeta muka hitam ini telah mencegahnya.

“Tahan!”

“Eh, mengapa tidak dibunuh?” Kwan-tiong Tok-ong bertanya heran dan memandang Nakayarinta penasaran.

“Kita tidak berhasil menangkap Sung Tiang Le, tentu beng-cu akan murka. Lebih baik kita hadapkan wanita ini, karena gara-gara dia kita kehilangan Pendekar Lengan Buntung!”

Mendengar kata-kata itu, Kwan-tiong Tok-ong tidak membantah lagi. Cepat iapun berkelebat menyusul bayangan Nakayarinta yang telah memondong Bwe Hwa. Hanya ia berkata kepada isterinya,

“Nio-nio, bereskan saja gadis itu, tawan hidup-hidup hadapkan ke Istana Hantu!”

Sehabis berkata demikian si Raja racun itu sudah lenyap dan berkelebat pergi, diikuti oleh orang-orang Istana Hantu menyusul pemimpinnya kembali ke markas. Sedangkan Thung Hay Nio-nio dan Sian Jiu Nio-nio bersama Kwan Kong Beng menghadang gadis yang mencelat ke atas dahan pohon itu.

“Nona, lebih baik kau menyerah. Tak guna kau melawan orang-orang Istana Hantu, kau akan mencari kematian saja.”

“Lebih baik menyerah dan berlutut dihadapan Thay-bengcu mengakui segala kesalahan, mungkin Paduka Yang Mulia akan memberi ampun kepadamu yang masih begini muda.”

Terdengar Thung Hay Nio-nio berkata perlahan. Karena ia merasa sayang kalau gadis yang begini cantik jelita akan binasa di tangan orang-orang Istana Hantu!

Akan tetapi, sungguh di luar dugaan dari mereka. Lily mengeluarkan jeritan marah bukan main. Dan sekali berkelebat ia sudah menerjang Thung Hay Nio-nio menggunakan pedangnya menusuk nenek ini.

Namun alangkah herannya gadis ini karena begitu pedangnya tertangkis oleh tongkat nenek itu, ia merasakan tubuhnya lemas bukan main. Dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening dan terhuyung-huyung memegangi kepalanya yang terasa berat bukan main.

“Gadis ini liar dan berbahaya, harus diberi hajaran!”

Tiba-tiba Sian Jiu Nio-nio menggerakkan rambutnya yang panjang. Amat cepat sekali gerakan ini, sehingga Kwan Kong Beng yang hendak mencegah tindakan nenek ini tak keburu lagi.

Terdengar suara tulang lengan patah, tubuh Lily terlempar jauh dan gadis ini jatuh dalam keadaan terguling miring. Ternyata tulang tangan gadis itu telah patah di bagian siku membuat Lily menggeliatkan badannya menahan sakit bukan main.

Dari matanya menetes air mata saking hebatnya rasa nyeri yang menusuk-nusuk ke jantung. Gadis ini menggigit bibir dan berusaha hendak bangkit namun dirasakan tubuhnya lemas bukan main.

“Ha-ha-ha, setelah lenganmu hancur…... apakah kau bisa mainkan jurus-jurus dari kakek gila Sin Kun Bu-tek?” Sian Jiu Nio-nio tertawa bergelak sambil mengangkat muka ke atas.

“Nio-nio, jangan kau celakakan gadis itu, hadapkan ia segera ke Istana Hantu, kami pergi dulu!” Thung Hay Nio-nio menarik tangan puteranya, namun Kong Beng berkata:

“Ibu….. aku…. aku ingin gadis itu…… dia… dia.......!”

“Anak tolol, gadis itu lihai bukan main. Lekas menghadap Thay-bengcu!”

“Ibu aku....... suka dia.......!”

“Anak sinting, kepada setiap gadis kau selalu bilang suka, kau mata keranjang!”

“Ibu.......”

“Jangan cerewet, lekas kita kembali ke utara menghadap, jangan urusin tentang perempuan-perempuan!”

Tarikan Thung Hay Nio-nio ini membuat tubuh Kong Beng agak terpelanting, namun ia masih menoleh ke belakang dan berkata kepada Sian Jiu Nio-nio, “Niocu, si gadis nanti bawa ke sana ya....... kasihkan kepadaku!”

Akan tetapi Sian Jiu Nio-nio tidak menyahut. Ia masih tertawa bergelak-gelak menengadahkan mukanya ke atas.

Pikirannya yang tidak normal itu membuat penyakit lamanya kumat kembali, rambut yang panjang itu bergerak-gerak bagaikan tangan-tangan yang hendak mencekik leher si gadis.

Tiba-tiba matanya bercahaya aneh dan menyeramkan. Dari kelopak mata yang sudah tua itu menetes air mata yang berjatuhan bercampur dengan air liur yang keluar pula dari mulutnya.

Lidanya menjilat-jilat bibirnya dan begitu ia menundukkan kepalanya untuk siap menghancurkan kepala gadis itu. Tiba-tiba ia menjadi terbelalak melihat seorang pemuda tampan sederhana telah bersimpuh di samping si gadis mengurut-urut lengan yang tadi terkena pukulannya itu, sedangkan si gadis nampak seperti orang tidur tak sadarkan diri.

Pemuda ini wajahnya sangat tampan, akan tetapi dilihat dari cara berpakaiannya, agaknya orang muda ini tentu penduduk dusun yang miskin. Di sana sini pada bajunya nampak tambal-tambalan, kendati demikian pakaian yang terbuat dari kain kasar itu cukup bersih.

Orang muda itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, sepasang matanya laksana bintang pagi yang cerah menyinarkan. Pandangan tajam menusuk jantung.

Pemuda ini bersimpuh di samping si gadis yang rebah membelakangi, sedangkan ia tengah mengurut-urut pangkal lengan yang telah remuk itu. Dalam keadaan demikian pemuda sederhana itu menoleh dan tersenyum.

“Setan siapa kau?”

Pemuda sederhana itu menyembulkan senyum dan berkata tenang,

“Kalau sudah tahu aku setan, minggatlah cepat-cepat. Apa kau tidak takut akan setan?”

Dipermainkan seperti ini Sian Jiu Nio-nio menjadi semakin kalap. Tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw tidak ada yang berani mempermainkan dirinya oleh, pemuda ini.

Aneh sejak kapan pemuda ini datangnya, kenapa ia tidak tahu? Padahal ia biasanya mempunyai pendengaran telinga yang tajam.

Mengapa kali ini dia tidak tahu kedatangan pemuda itu? Kapan datangnya, dan siapa orang muda yang mempunyai pandangan tajam menembus jantung ini?

“Kau sudah bosan hidup, tidak kenal aku he?”

“Siapa kenal kau, aku tidak mempunyai kenalan seperti engkau…... nenek-nenek peot, kaya kuntilanak!”

“Setelah kau........ kau berani menghinaku. Apa kau mempunyai nyawa rangkap sehingga otakmu sudah begini bosan hidup?”

“Nenek gila, siapa bilang aku sudah bosan hidup! Engkaulah yang seharusnya patut disebut bosan hidup, kau…… kau seperti Kui-bo…… hi-hik-hik-hikkk!”

“Apa? Kau mengataiku Kui-bo…… berani kau kepadaku?”

“Memang kau seperti kui-bo (kuntilanak) mukamu jelek, rambutmu panjang penuh kutu!”

“Setan! Kau kurang ajar, kumampusin kau,” bentak Sian Jiu Nio-nio dan rambutnya bergerak menampar. Dalam kemarahannya ini ia hendak membikin sekali mampus pemuda sederhana ini dengan sekali sabet dengan rambutnya.

Inilah kelihaian Sian Jiu Nio-nio. Rambutnya yang panjang terurai sebatas pantatnya itu merupakan ribuan kawat baja yang bergerak tegang mengirimkan totokan jalan darah ke arah punggung si pemuda.

Akan tetapi sungguh di luar dugaan Sian Jiu Nio-nio yang menjadi terkejut dan heran melihat pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Serangkum pukulan rambut yang dahsyat itu diterima dengan pundaknya yang ketika itu telah membelakanginya.

Rasa penasaran dan heran ini membuat nenek itu menjadi gemas dan marah. Segera ia mengerahkan pukulan rambutnya lebih hebat lagi dengan maksud melemparkan pemuda yang dianggap sangat bodoh sekali membiarkan pundaknya terhantam pukulan rambut.

“Brettt!” Terdengar baju di pundak pemuda itu hancur terhantam pukulan rambut yang hebat itu! Untuk beberapa saat tubuh pemula itu tergetar hebat.

Sebaliknya Sian Jiu Nio-nio terkejut bukan main merasakan seluruh rambutnya seperti menyentuh besi baja yang keras dan panas, sampai ke kulit kepalanya dirasakan panas dan nyeri. Namun melihat pemuda itu tidak bergeming dan masih tetap membelakanginya seakan-akan tidak merasakan pukulan rambutnya tadi, nenek ini melangkah maju hendak mengirimkan pukulan kedua dengan tangannya yang diputar-putarkan di atas kepala.

Akan tetapi, belum lagi ia menjatuhkan pukulan tangannya. Tiba-tiba ia terbelalak melihat pemuda itu kini berdiri dan tersenyum mengejek kepadanya.

“Kui-bo, masih ada lagikah pukulan tahumu? Enak sekali rasanya, tulang belakangku yang tadinya terasa pegal-pegal itu kini lenyap.

“Pukulan rambutmu benar-benar mujijat....... akan tetapi sayang…… rambutmu yang nggak pernah dicuci itu, aujubilla….. baunya… nggak tahan. Eh Kui-bo, apa kau nggak pernah mandi?”

Sian Jiu Nio-nio memelototkan matanya. Kalau tidak mengalami sendiri pasti ia tidak percaya. Ia biasanya membanggakan pukulan rambutnya yang sudah terlatih dan dapat menghancurkan batu gunung dengan sekali tampar.

Dan pernah hanya dengan beberapa lembar rambutnya ia dapat memukul mati seekor kerbau gila yang sedang ngamuk. Malah tokoh-tokoh Istana Hantu seperti Te Thian Lomo, Thay-lek-hui-mo dan Nakayarinta, tak berani manerima pukulan rambutnya yang dahsyat ini.

Akan tetapi pemuda ini, sungguh luar biasa! Saking herannya dia, sampai untuk beberapa lama ia berdiri bengong seakan-akan ia tidak percaya melihat kejadian tadi.

Setankah orang itu? Masa menghadapi pukulan rambutnya tidak kenapa-kenapa, malah masih bisa tersenyum. Benar-benar tak masuk diakal!

Apakah ia tadi hanya kebetulan saja tidak mengerahkan lwekang di rambutnya sehingga pemuda itu tidak terluka. Atau apakah tiba-tiba tenaga lwekangnya yang tadi disalurkan ke seluruh rambutnya tiba-tiba menjadi bocor dan tidak ampuh lagi?

Sian Jiu Nio-nio mengibaskan kepalanya. Terdengar suara keras, karena batu besar yang berada di tepi jalan itu hancur berantakan dan mengeluarkan bunga api saking keras pukulan rambutnya barusan.

“Eeee, kuntilanak bau, apa kau sudah sinting. Masa batu yang nggak punya salah dipukuli. Benar-benar kau sudah gila!”

Hampir meledak rasanya kemarahan yang tersembunyi di dalam dada nenek itu, sehingga saking marahnya, ia mengeluarkan gerengan keras. Dan tahu-tahu serangkum rambut yang panjang itu sudah menyambar dahsyat ke arah si pemuda.

Ketika itu si pemuda sudah berjongkok di dekat tubuh Lily yang masih menggeletak terlentang di tanah. Dan merasa ada hawa pukulan yang menyambar dari belakang, cepat pemuda itu membalikkan tubuhnya dan memegangi kepalanya, seperti orang yang ketakutan kepalanya terkemplang rambut yang panjang dan berombak-ombak itu. Akan tetapi dalam keadaan berjongkok seperti itu tiba-tiba ia mementangkan kakinya dan membuat pasangan bhe-si yang kukuh dan kuat.

“Prakkk!” ratusan rambut yang penuh tenaga lwekang itu hertemu di atas kepala si pemuda yang ditutupi tangan, terdengar suara keras seakan-akan batok kepala si pemuda hancur berantakan.

Akan tetapi sungguh ajaib bukan kepala si pemuda itu yang hancur berantakan melainkan puluhan rambut si nenek itulah yang pada beterbangan rontok. Dan Sian Jiu Nio-nio sendiri terpental mundur, karena merasa pukulan rambutnya tadi membalik menyerang kepalanya sendiri.

Ribuan bintang berputar-putar di atas kepalanya. Seluruh rambutnya berdiri tegang dan rasa panas terasa membakar di atas kepalanya.

Sian Jiu Nio-nio memandang si pemuda dengan pandangan membelalak. Kepalanya bergoyang-goyang karena merasa pening dan telinganya mendengar bunyi mengiung yang keras.

Sian Jiu Nio-nio cepat meramkan matanya dan mengerahkan hawa murni ke atas kepala yang terasa pening bukan main. Ia merasa badannya seperti diayun-ayun dan sepasang kakinya menggigil keras.

Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan sakit, tahulah ia bahwa ia sudah terluka. Segera ia menjatuhkan diri dan bersila memusatkan tenaga sin-kang di dada.

Setelah merasa bahwa kepalanya tidak terasa pening lagi dan sesak napasnya lenyap, Sian Jiu Nio-nio membuka matanya dan menengok.

Ternyata pemuda setan itu sudah tidak kelihatan lagi, lenyap bersama gadis yang terluka tadi. Segera ia bangkit perlahan, berdiri dan memandang ke tempat di mana tadi pemuda itu berada.

Matanya celingukan ke sana kemari. Tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk oleh sebuah tulisan di batu yang tadi telah dipukul olehnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar