Istana Hantu Jilid 08

Jilid 08

“Sudahlah, jangan sedih-sedih. Masuklah! Orang muda tidak boleh bersedih hati. Melainkan harus bersemangat! Nih lihat walaupun aku hidup seperti ini, sama seperti engkau, aku tak pernah menangisi nasib. Kalau nasib sudah begini, ya apa boleh dikata!

“Kau muda Wang Ie, masih panjang harapan. Tidak boleh muda berputus asa begitu....... masuklah....... Besok pagi-pagi kau ikut aku mencari rumput di hutan sebelah selatan itu,” berkata demikian Pek Bo mendorong Wang Ie masuk ke dalam kamarnya.

Wang Ie tersenyum dan menutup pintu rumahnya dan untuk beberapa lama, ia termenung sendiri di dalam kamar itu. Perkataan Pek Bo barusan sungguh sangat berkesan dihatinja.

Ya, untuk apa aku mesti bersedih? Kutangisi juga percuma, bisik pemuda itu dan tiba-tiba ia berjalan ke arah lemari pakaian dan mengeluarkan sebuah kitab yang sudah kuning saking tuanya.

Lalu, sambil bersila ia mulai membaca buku itu. Tak lama kemudian ia meramkan matanya dan tenggelam dalam samadhinya dalam keadaan berdiri dan menyedekapkan tangan.

Kini tubuh Wang Ie berdiri bagaikan patung, tiba-tiba ada sekira dua jam pemuda itu berdiri seperti patung dalam samadhi, tiba-tiba dari kepalanya mengepul uap putih dan bergulung-gulung ke atas dan sungguh aneh sekali, nampak di depan penuda itu, sebuah tubuh lain yang persis sekali seperti tubuh Wang Ie.

Bayangan itu lantas menggerak-gerakan tubuhnya bersilat, sementara tubuh yang satu seperti patung tenggelam dalam samadhinya. Bayangan yang satu lagi, yang serupa, bersilat terus makin lama makin cepat.

Gerakan-gerakan bayangan ini sungguh lucu dan menggelikan kalau diteliti benar-benar bayangan itu meloncat-loncat dan kadang-kadang meletakkan tangan kanannya ke atas kepala dan kadang-kadang menari-nari seperti monyet menari, namun demikian tak dapat disangkal, gerakan-gerakan bayangan yang menyerupai Wang Ie itu sangat luar biasa gesitnya.

Inilah hebat.

Inilah ilmu silat yang dinamakan sin-khauw-kun-hoat, ilmu silat yang biarpun kelihatannja aneh dan lucu, akan tetapi mempunyai dasar-dasar yang luar biasa hebatnya.

Bagaimanakah Wang Ie bisa menemukan ilmu silat monyet sakti itu?

Memang sangat kebetulan sekali bagi pemuda ini, karena sesungguhnya ilmu silat ini bukan sembarangan, melainkan salah satu ciptaan Sui-kek Siansu yang bernama Sin-khauw-kun-hoat, adalah sebuah pecahan dari ciptaan Manusia setengah Dewa dari ilmu silat dahsyat dan telah menggemparkan dunia persilatan yang bernama Thian-te-bu-tek-cin-keng.

Memang biarpun kelihatannya kacau balau dan sepintas lalu persis kayak monyet menari dan tidak teratur sekali, yang amat mengherankan sekali ialah kekacauan pergerakan ilmu silat ini mengurung dan mematikan semua gerakan ilmu silat lawan. Dan gerakan-gerakan dari sin-khauw-kun-hoat ini sangat cepat sekali dan penyerangan yang dilancarkan sungguh diluar dugaan dan dahsyat. Inilah sin-khauw-kun-hoat!

Ilmu silat iai ditemukan oleh Wang Ie tiga tahun yang lalu. Pada saat itu, ia tengah menggali lubang untuk menguburkan anjing kesayangannya di sebuah hutan kecil dekat sebuah pekuburan. Anjing itu, sebetulnya juga adalah anjing kesayangan Hong Kwi dan mati akibat penyakit yang menyerangnya.

Karena Wang Ie merasa sayang sekali dan tidak tega untuk membuangnya di hutan begitu saja, maka hati nuraninya yang merasa kasihan sekali kepada anjing kesayangan Hong Kwi ini, membuat lubang di dekat sebuah pekuburan.

Akan tetapi alangkah herannya begitu ia gali lubang yang dalamnya setengah meter itu, tiba-tiba ia merasakan suatu benda yang keras sekali. Mulanya pemuda ini menyangkanya tentu batu besar yang tertanam di dalam, maka ia terus menggali dan menggali. Sebuah benda hitam mengejutkan hatinya, buru-buru Wang Ie membongkar benda itu.

Ternyata benda yang penuh tanah merah itu adalah sebuah peti hitam. Wang Ie heran sekali, peti apakah ini.

Sambil mengamat-amati, memencet-mencet hendak membuka peti itu. Dan benar sadja ketika ia menekan sebuah tombol yang terdapat di tengah-tengah peti terbuka, dan apa yang dilihatnya?
Sebuah kitab!

Mulanya Wang Ie tidak memperhatikan kitab itu dan mimpipun ia tidak pernah, sehabis menguburkan mayat anjing kesayangannya. Peti itu dibawanya pulang. Ia simpan di kamarnya.

Pada suatu hari, karena iseng. Dibuka-bukanya buku itu. Dan alangkah tertarik hatinya apabila melihat gambar-gambar dalam kitab itu merupakan gambar orang bersilat. Amat jelas sekali gerakan orang yang bersilat dalam gambar itu.

Diam-diam dengan tanpa setahu Tiang Le dan Bwe Lan, ia melatih seorang diri. Ia membaca ilmu silat yang bernama Sin-khauw-kun-hoat (ilmu silat monyet sakti) pada bagian pertama dalam setahun ini.

Ia berhasil mempelajari isinya. Akan tetapi pada bagian kedua, mulailah terasa betapa latihan-latihan yang dijalankan teramat berat. Ia harus melatih lwekang di sebuah air terjun. Mulanya bagaikan di neraka rasanya, berkali-kali ia pingsan dalam latihan ini.

Namun berkat keuletan dan keinginan yang luar biasa akhirnya Wang Ie berhasil bertahan dalam terjangan air terjun itu, dan malah dapat bertahan pula semalam suntuk dalam keadaan tubuh bertelanjang bulat. Inilah latihan lwekang yang luar biasa!

Setelah menerima dasar-dasar ilmu silat sin-khauw-kun-hoat, bagian pertama dan kedua barulah terbuka matanya bahwa untuk mencapai ilmu silat tinggi, ia harus bertahan dan tenggelam dalam penderitaan jasmani dan rohani. Setiap malam, pemuda ini melatih diri atau tepatnya menyiksa diri menahan dingin di bawah air terjun dan untuk latihan gin-kang.

Pemuda ini harus berpuasa selama tiga bulan lamanya dan hanya dibolehkan makan sayur-sayuran dan buah-buahan saja (cia-jay), dan harus mengosongkan hati dan pikiran. Oleh sebab itulah Wang Ie jarang sekali berbicara, ia seperti orang gagu dan tidak banyak bicara.

Barulah setelah dasar-dasar ini dikuasai benar-benar Wang Ie memberanikan diri untuk pergi ke sebuah pulau yang bernama pulau monyet di mana banyak sekali monyet-monyet yang besar-besar dan galak digauli.

Menurut petunjuk kitab yang dibacanya, pemuda itu harus pergi ke sebuah gua di mana di situ terdapat seekor monyet yang sangat tua sekali usianya. Akan tetapi mempunyai gerakan-gerakan ilmu silat yang luar biasa hebatnya.

Sesungguhnya monyet ini pada puluhan tahun yang lalu adalah binatang peliharaan Sui-kek Siansu, dan orang tua setengah dewa ini berhasil mentjiptakan ilmu silat monyet sakti berdasarkan gerakan-gerakan tangan dan kaki dari monyet ini!

Tiga bulan lamanya Wang Ie berdiam di pulau monyet, dalam waktu tiga bulan itu dan berkat pimpinan kitab yang dibacanya ia berhasil menguasai pembicaraan dalam bahasa monyet, sehingga memudahkan baginya untuk mencari monyet sakti peliharaan Sui-kek Siansu itu.

Dan di tempat inilah ia benar-benar dilatih, luar biasa hebatnya! Dan di tempat ini pula Wang Ie mendapat sahabat-sahabat monyet yang luar biasa baik dan setianya.

Kalau saja Wang Ie tidak berkeinginan untuk kembali ke Tiang-pek-san menemukan suhunya Sung Tiang Le, tentu ia akan membawa monyet-monyet ini sebagai pasukan atau pengawal yang boleh dapat diandalkan!

Setelah Wang Ie menguasai bahasa monyet barulah Wang Ie mempelajari bagian keempat dan kelima dari kitab Sin-khauw-kun-hoat yang ditulis dalam bahasa monyet.

Justru itulah, setelah ia tahu bahwa suhunya tidak bersungguh-sungguh lagi untuk melatih, maka ia sengaja memilih jalan sebagai tukang kuda dengan demikian ia mempunyai banyak waktu untuk melatih diri dengan secara diam-diam dan tanpa setahu orang lain!

Melihat betapa ilmu ini malah lebih hebat dari Tok-pik-kun-hoat, pemuda ini menjadi bersungguh-sungguh dalam melatih diri!

◄Y►

Hong Kwi berlari-lari kecil menuju ke sebuah sungai kecil di kaki Tiang-pek-san. Seorang pemuda dengan senyum lebar telah menantinya dan ia telah mendengar teriakannya demikian riang dan jenaka dari gadis itu, membuat dadanya berdenyar-denyar saking girangnya hati itu.

“Wang Ie suheng, sekarang kau harus tepati janjimu! Ingat nggak akan janjimu kemaren?” datang-datang gadis-gadis itu bertanya dengan nada suara yang manja. Sepasang matanya yang lebar dan bulat bagaikan mata burung hong itu berkilat-kilat memandang si pemuda.

“Sungguhkah kau benar-benar hendak mempelajari ilmu siluman itu, Hong Kwi?”

“Tidak perduli, ilmu siluman atau ilmu setan sekalipun aku ingin mempelajarinya!” sahut Hong Kwi manja memegang tangan si pemuda: “Hayo dong bagaimana caranya? Kemarin kau dapat memetik bunga di atas itu dengan menunjuk-nunjuk segala. Sekarang aku harus bisa berbuat seperti itu.......”

“Akhirnya kau ketarik juga, Hong Kwi! Kubilang juga apa, sebelum menyaksikan, belum tertarik.”

“Sekarang aku mau mempelajarinya. Hayo kau harus ajari aku. Jangan bohong ya?”

“Duduklah di sini Hong Kwi!”

“Eh, mengapa duduk. Aku datang kesini kepingin ilmu yang kau perlihatkan kemarin, mengapa aku harus disuruh duduk. Wang Ie apakah belajar ilmunya harus duduk?” Sepasang mata jelita itu membelalak heran memandang si pemuda.

Wang Ie tersenyum lebar dan menarik tangan si gadis.

“Dengarlah omonganku Hong Kwi. Sebenarnya untuk berbuat seperti itu yang kulakukan kemarin, adalah mustahil! Mana mungkin ada orang yang menunjuk tangan saja dapat memetik bunga, kalau ia memetiknya dan mematahkan tangkainya? Seperti halnya, mana mungkin padi di sawah akan menguning kalau tidak ada pak tani yang bersusah payah menabur bibit dan memeliharanya dan bekerja?”

“Eh, mengapa kau omong begitu?”

“Omonganku benar Hong Kwi. Pikirlah dengan akal sehatmu, apakah hanya dengan menunjukkan tangan saja aku bisa mampu mengambil bunga itu. Tingginya ada lima meter, kalau aku duduk dan menunjuk ke sana, apakah mungkin aku bisa memetiknya?”

Wang Ie memandang si gadis dan tertawa lebar.

Sementara Hong Kwi memandangnya heran.

“Bukankah kemarin kau sudah memperlihatkan kemampuanmu. Begitu kau tunjuk, bunga itu jatuh…... Eh, Wang Ie pokoknya kau ajari aku supaya aku bisa seperti yang kau lakukan kemarin!”

“Ini tidak gampang kau pelajari Hong Kwi, itu hanya dari ilmu bathin dan pengerahan hawa murni untuk menaklukan pikiran dan ingatan lawan. Itulah ilmu hoat-sut!”

“Maksudmu?” Hong Kwi memandang heran .

“Ilmu hoat-sut hanya dapat dipelajari oleh orang yang sudah mempunyai ilmu bathin dan pengerahan hawa murni untuk menaklukan pikiran seseorang. Bisa juga dilakukan dengan pengerahan sin-kang tingkat tinggi. Sudahlah Hong Kwi pokoknya yang kuperlihatkan kemaren adalah ilmu hoat-sut, tentu kau tidak senang mempelajarinya bukan?”

Mendengar ini Hong Kwi bangkit berdiri dan mencak-mencakan kakinya dan memandang marah,

“Wang Ie, omonganmu bagaimana ini? Sebetulnya kau mau, apa tidak mengajariku ilmu kemaren itu? Kalau kau memang pelit untuk membagikan ilmu itu, ya sudah, aku pulang saja!”

“Eh, nanti dulu Hong Kwi. Dengarlah keteranganku! Kau belum apa-apa sudah marah!”

“Aku bukan marah, cuma dongkol!”

“Sekarang, kau perhatikan baik-baik. Ilmu yang kemarin kuperlihatkan kepadamu adalah ilmu sihir.

“Bukan karena aku mampu untuk mengambil bunga di atas itu tanpa menggerakkan tangan, namun pada waktu itu, aku telah mampu menguasai pikiran dan hatimu. Pandangan mataku sudah memerintahkan hatimu untuk menurut kehendakku, dan engkau akan berpikiran sejalan dengan pikiranku.

“Seperti misalnya, aku menghendaki bunga yang di atas itu berada di tanganku, pada ketika itu juga pandanganmu melihat bunga itu telah berada di tanganku. Berapa banyak yang kuinginkan terlihat pula olehmu, namun sesungguhnya di tanganku ini tidak ada apa-apa!

“Hanya pikiranmu itulah yang telah kukuasai, sehingga pikiranmu sejalan dengan kehendakku. Seperti kemaren engkau memukuli batang pohon itu.

“Tentu saja secara tak kau sadari engkau telah masuk ke dalam perangkapku sehingga dalam ingatanmu itu pohon yang kau lihat itu adalah aku. Padahal ya tetap pohon-pohon juga! Ingatkah kau Hong Kwi?”

Hong Kwi memandang pemuda itu. Mengerut.

““Kalau memang ilmu sihir, kau buktikanlah!” sahutnya.

Wang Ie tersenyum.

“Terus terang saja aku tidak dapat memetik bunga itu, lihat!” Wang Ie menunjuk. Akan tetapi tidak ada apa-apanya.

“Nah sekarang aku hendak menyihirmu. Kau lihatlah mataku, aku mengerahkan hawa hoat-sut. Lihatlah baik-baik, bunga ini telah berada di tanganku, seberapa banyak ku mau ia itu terwujud!”

Hong Kwi memandang ke atas pohon. Tiba-tiba ia memandang mata Wang Ie untuk beberapa lama ia menjadi terheran-heran dan tak percaya, karena tahu-tahu yang diperlihatkannya: Wang Ie menyerahkan bunga itu, dan Hong Kwi menerimanya. Lima tangkai bunga.

“Nah, sekarang kau perhatikan baik-baik bukankah yang kau pegang hanya lima batang rumput kering?”

Ajaib, begitu habis pemuda itu bicara. Betul saja yang di tangannya itu bukan bunga yang tadi diterimanya dari Wang Ie, melainkan lima helai rumput kering. Gila! Bagaikan tak percaya Hong Kwi memandang Wang Ie.

“Bagaimana percayakah kau?”

“Apakah itu yang dinamakan hoat-sut?”

“Ya, itulah hoat-sut (ilmu sihir). Kalau aku orang jahat, ilmu itu menjadi ilmu yang jahat dan keji, akan tetapi orang yang berbathin tinggi dan mempunyai pribudi, tidak akan menyesatkan ilmu ini. Aku tak hendak membawa ilmu ini untuk kejahatan, hanya untuk mengelabuimu memetik bunga kan nggak apa?”

“Setan, kau…… kau mengelabuiku!” tangan kiri Hong Kwi bergerak menampar!

Sebetulnya Wang Ie dapat menghindarkan diri dari tamparan gadis ini, namun karena ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya kepada gadis ini, maka ia membiarkan saja pipinya terkena tamparan si gadis.

“Plakkk!” panas rasanya pipi Wang Ie. Akan tetapi ia tersenyum dan berkata, “Terimakasih atas hadiah yang kau berikan kepadaku, anggaplah itu sebagai hukuman orang tukang bohong!”

“Kau memang tukang bohong. Akan tetapi aku tidak, aku sudah berjanji kepadamu untuk melatihmu. Nah, sekarang lekas kau turuti gerakanku ini!”

Sehabis berkata demikian Hong Kwi menggerak-gerakan tangannya dan bersilat. Ia memberi petunjuk ilmu silat Tok-pik-kun-hoat kepada pemuda ini. Selesai ia bersilat, ia berkata,
“Hayo, kau turuti gerakanku tadi!”

Wah, wah........ kau bersilat demikian cepat, mana bisa aku mengikuti gerakanmu.”

“Dasar kau tolol, otak udang. Hayo sekarang kau turuti gerakanku, aku akan bersilat lambat-lambat!”

Demikianlah, Hong Kwi bersilat lambat-lambat dan diikuti gerakannya oleh pemuda itu. Diam-diam dalam hati, Wang Ie tertawa geli, ia tahu bahwa gadis ini melatihnya dengan ilmu silat Tok-pik-kun-hoat yang bagian bunga-bunganya saja.

Tentu saja jurus-jurus ini sudah ia hapal benar, akan tetapi untuk tidak mengecewakan gadis tersebut, dia diam saja dan mengikuti gerakan-gerakan gadis itu. Sebenarnya bagi pemuda ini, bukan latihan-latihan dari gadis itulah yang diinginkan, melainkan ia hendak selalu berdekatan dengan Hong Kwi dan pura-pura bodoh.

Padahal ilmu yang sudah ia pelajari dari kitab sin-khauw-kun-hoat sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Jauh melampaui Hong Kwi sendiri.

Namun karena ia merasa senang berdekatan dengan gadis ini, maka seperti orang bodoh ia menuruti dan mengikuti si gadis berlatih. Sampai sebulan lebih itu, mereka selalu bertemu di tepi sungai ini dan berlatih silat bersama-sama!

Pertemuan-pertemuan itu, sangat mengesankan!

Pada suatu hari, seperti biasanya pada tiap-tiap sore, Wang Ie dan Hong Kwi berada di tepi sungai itu dan melatih diri. Tiba-tiba dari bukit berlarian banyak orang menuju ke puncak.

Hong Kwi yang terlebih dahulu melihat banyak orang mendaki ke puncak, cepat menghentikan latihannya dan berkata kepada Wang Ie.

“Wang Ie, ada orang datang! Hayo kita kembali ke puncak,” katanya sambil berkelebat.

Dan dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, gadis itu sudah berlarian naik ke puncak, dan begitu sampai di puncak, alangkah heran hatinya melihat ayah dan ibunya sudah dikurung oleh lebih duapuluh orang-orang gagah.

Dan terdengar ayahnya berkata dengan tenang:

“Cuwi sekalian, apakah maksud cuwi datang ke puncak ini dan menuduh yang bukan-bukan kepada kami?”

“Sung Tiang Le. apakah kau masih hendak menyangkal akan perbuatanmu yang berani mati itu? Kalau hanya ketua kami yang kau culik dan kemudian kami dapatkan mayatnya di hutan ini dan mendapatkan tulisan ini. Tentu kami salah mata dan boleh kau katakan kami telah menuduhmu yang bukan-bukan.

“Akan tetapi, kau sungguh sudah bosan hidup, menculik ketua Kun-lun-pay Hek Gan Taysu dan ketua Thay-san-pay Bu Beng Cu dan ketua Bu-tong-pay Thung Hay Ong. Inilah saksi-saksinya, Tiang Le. Hendak berkata apakah kau?”

Tentu saja menghadapi tuduhan ini, Tiang Le menjadi heran dan menoleh ke pada isterinya. Bwe Lan yang sudah panas hati datang-datang suaminya dituduh yang bukan-bukan telah maju selangkah dan berkata keras.

“Cuwi locianpwe, apakah buktinya bahwa suamiku menculik ketua kalian dan.... hem, mana boleh jadi, suamiku selama ini tidak pernah meninggalkan puncak!”

“Siancay......., siancay, tidak tahunya Toanio ini adalah murid Bu-tek Sianli yang kesohor di pulau bidadari itu hendak membela suaminya. Toanio apakah kami sudah sinting menuduh suamimu secara serampangan begini?

“Inilah buktinya, tulisan berdarah ini kami dapatkan di sebuah hutan di rumah tua waktu kami menemukan mayat pay-cu kami yang telah rusak oleh kekejian kalian. Nah lihatlah dan baca ini kalau tidak percaya!” berkata demikian Hay San Taysu dari Kun-lun-pay melemparkan sebuah kain bertulisan warna merah.

Diterima oleh Bwe Lan dan dibacanya,

“Sung Tiang Le menanti kedatangan kalian!"

“Gila! Siapa yang menulis ini, apa maksudn)a?” tanya Bwe Lan terheran memberikan gulungan kain merah itu kepada suaminya. Untuk beberapa lama Tiang Le diam sejenak memandang tulisan itu.

“Benar-benar Sung Tiang Le sudah melupakan persahabatan dengan dunia kang-ouw. Tindakan yang kau lakukan menganiaya dan membunuh pay-cu Bu Beng Cu, membuat kami pihak Bu-tong-pay merasa penasaran besar kalau belum menyeret orang yang melakukan perbuatan ini ke Bu-tong-pay untuk diadili.

“Biarpun kau terkenal sebagai Pendekar Lengan Buntung yang kesohor saktinya, akan tetapi kalau demikian jahatnya, Bu-tong-pay akan bertindak. Sung Tiang Le, dosamu sudah terlampau banyak, lebih baik kau lekas berlutut dan menyerah!” kata Bu Ci Goat, wakil pemimpin dari Bu-tong-pay.

Kini mengertilah Tiang Le, bahwa ada orang jahat yang telah merusak namanya dan mengadu domba, akan tetapi menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan dari partai-partai besar ini, membuat Pendekar Lengan Buntung ini menarik napas panjang, lalu bertanya:

“Selama hidup siauwte belum pernah mengunjungi Bu-tong-pay, Kun-lun-pay dan Thay-san-pay. Heran mengapa siauwte yang harus dipersalahkan dalam hal ini?”

“Sung Tiang Le, apakah kau hendak menyangkal akan perbuatanmu? Apakah masih kurang banyak saksi-saksi yang melihat sepak terjangmu? Kalau masih kurang, pinto Lung Nam Taysu dari Kun-lun-pay menjadi saksi utama. Betapa ketua kami Hek Gan Taysu sudah lenyap dari Kun-lun-pay.

“Pinto melihat bayangan sekelebatan berlengan buntung. Pinto menduga tentu perbuatan Siang Siang Tojin dari Hoa-san-pay, maka pinto bertiga dari wakil Thay-san-pay, dan Bu-tong-pay mendaki puncak Hoa-san-pay, nggak tahunya siapa kira justru Hoa-san-pay juga telah menjadi korban kekejianmu.

“Niang Pek Tojin meninggal karenamu, murid-muridnya semua terbunuh. Untung pinto selamat dan dalam setengah sadar setengah pingsan, engkau membawa pinto ke bukit Kun-lun-pay dan menulis sebuah tantangan di sebuah batu hitam, nih kau boleh lihat! Bukankah ini tulisanmu?”

Lung Nam Taysu memberi isyarat dengan tangannya dan meletakkan batu hitam di depan Sung Tiang Le. Seperti ke kain gulungan yang dibacanya tadi, tulisan ini juga merupakan tantangan kepada Kun-Lun-pay. Heran, siapakah orangnya yang menulis ini dan menggunakan nama Tiang-pek-pay.

Tiang Le maju selangkah dan menjura: “Cuwi sekalian, ketahuilah bahwa tulisan ini, bukanlah tulisanku. Harap cuwi menjadi tahu bahwa ada orang jahat yang menggunakan namaku hendak mengadu domba dengan cuwi! Aku Sung Tiang Le, tidak pernah melakukan kejahatan ini!”

“Ha-ha-ha-ha, Tiang Le, bukti-bukti sudah berbicara. Pokoknya jangan banyak cakap, kau harus menyerah dan menjadi tawanan kami untuk kami hadapkan ke partai masing-masing dan mempertanggung jawabkan perbuatan ini!” Giam-ong Ma Ek membentak dan telah melintangkan pedangnya. Siap hendak menerjang Pendekar Lengan Buntung itu.

Tiang Le tersenyum pahit.

“Cuwi sebagai pimpinan besar, kenapa bertindak seperti anak kecil datang-datang menuduhku? Kalau memang ada persoalan, mari kita berbicara baik-baik. Aku berjanji hendak membantu kalian dan menyelidiki persoalan ini, akan tetapi bukan berarti aku menyerah!”

“Lihat, cuwi sekalian……. betapa sombongnya si Buntung ini. Sudah berbuat tidak bertanggung jawab. Mau tunggu apalagi?” berkata demikian Hay Kui Taysu orang ketiga Kun-lun Sam-lo-jin ini telah mengeluarkan sepasang siang-kiamnya dan tanpa bercakap lagi telah menerjangnya hebat.

Tiang Le maklum bahwa tokoh ke tiga dari Kun-lun Sam-lo-jin ini tidak boleh di pandang enteng. Maka begitu sepasang pedang itu menyambar dekat, dengan menggerakkan sedikit kakinya Pendekar Lengan Buntung itu sudah dapat menghindarkan serangan Hay Kui Taysu.

“Sung Tiang Le, jangan kau berlagak. Lekas kau menyerah saja!” Lung Nam Taysu sudah menerjang maju dan menggunakan pedangnya menusuk dada Tiang Le.

Akan tetapi pedang itu tiba-tiba tertahan oleh sebuah sabuk sutera merah, ternyata Bwe Lan sudah turun tangan menghadang si tosu.

“Tosu keparat! Tidak boleh kau menyerang suamiku!” Bentak Bwe Lan marah.

“Lihat cuwi sekalian, bukankah si Pendekar Lengan Buntung ini bersekongkol dengan murid Bu-tek Sianli. Pantas berani bertingkah dan sudah bosan hidup! Kalau pohonnya jelek, buahnyapun busuk dan jahat!”

“Memang betul, hari ini kita harus membasmi Tiang-pek-pay sampai keakar-akarnya,” teriak Bu Ci Goat yang menjadi marah apabila teringat akan ketua mereka yang mati di tangan Pendekar Lengan Buntung ini.

Sambil menjerit keras ia sudah menerjang maju dan menggunakan pedangnya, dahsyat menyambar tubuh Tiang Le. Namun tamunya ini disambut oleh kakek bongkok A Toan, dan bersamaan dengan gebrakan Bu Ci Goat, ke duapuluh lebih orang-orang gagah dari Thay-san-pay, Bu-tong-pay dan Kun-lun-pay ini sudah bergerak maju dan merangsek Tiang Le.

Pertempuran menjadi pecah beberapa bagian.

Tiang Le dikeroyok oleh Kun-lun Sam-lo-jin, sedangkan Bu Ci Goat dan Giam-ong Ma Ek merangsek Bwe Lan yang menahan gerakan mereka yang hendak mengeroyok Tiang Le. Sudah barang tentu melihat nyonya ini yang dikenalnya sebagai murid Bu-tek Sianli membela suaminya.

Giam-ong Ma Ek dan Bu Ci Goat menjadi marah dan sengit, mereka merangsek Bwe Lan. Namun nyonya ini pernah menjadi murid kesayangan Bu-tek Sianli, sudah barang tentu kepandaiannya sangat tinggi dan sabuk sutera yang dimainkannya sangat lihai dan dapat menandingi permainan pedang di tangan Bu Ci Goat dan Giam-ong Ma Ek.

Bersamaan dengan bergebraknya tamu-tamu yang mendaki Tiang-pek-san ini, murid-murid Tiang-pek-pay juga tidak tinggal diam. Dan maju melayani murid-murid Thay-san-pay yang limabelas orang itu. Perkelahian berlangsung di atas puncak Tiang-pek-pay.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu sesosok tubuh kecil langsing telah berkelebat dan menyerang Kun-lun Sam-lo-jin yang tengah mengeroyok Tiang Le. Pukulan-pukulan tangan kiri gadis yang baru datang ini hebat bukan main, lebih ganas dari pada Tiang Le sendiri.

Memang karena Hong Kwi telah begitu marah melihat ayahnya dikeroyok bertiga oleh tosu-tosu Kun-lun-pay ini. Datangnya puteri Pendekar Lengan Buntung ini, Kun-lun Sam-lo-jin menjadi terdesak.

Pada waktu itu, Hay San Taysu, si tosu tinggi besar yang memegang tongkat itu melayani gadis ini. Alangkah terkejutnya hati tosu kedua dari Kun-lun Sam-lo-jin ini merasa ilmu silat gadis itu tidak di bawah kepandaian Tiang Le sendiri. Tahulah ia bahwa gadis ini telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayahnya yang berjulukan Pendekar Lengan Buntung yang hebat itu.

Akan tetapi Hong Kwi yang sudah dibikin marah hatinya, tak memberi kesempatan lagi kepada Hay San Taysu dan begitu tangan kirinya bergebrak menggunakan jurus-jurus Tok-pik-kun-hoat yang luar biasa itu. Tiba-tiba entah bagaimana caranya tubuh tosu yang tinggi besar terpental ke belakang dan toyanya yang besar dan berat itu terlepas dari pegangan tangannya.

Ternyata gerak tangan kilat dari gadis ini telah berhasil menerobos dari pertahanan putaran toya lawan dan begitu terkena pukulan Hong Kwi, keruan saja tosu ini menjadi meringis-ringis menahan sakit pada perutnya yang telah kena sodok tangan kecil si gadis. Saking sakit dan mulesnya dirasakan perutnya Hay San Taysu sampai mengeluarkan air mata!

“Tosu kau, berani kau menghina ayah bundaku menuduh yang bukan-bukan? Biarlah nona besarmu memberi hajaran!” Tangan kiri Hong Kwi siap diputarkan dan hendak menyerang.

Pada saat itu terdengar bentakan dari Tiang Le,

“Hong-ji, jangan kau mencelakakan orang. Mundur kau!”

“Ayah orang ini harus diberi hajaran!”

“Biarkan, jangan kau turut campur urusan orang tua,” berkata lagi Tiang Le sambil mengelak menghindarkan diri dari sabetan pedang Lung Nam Taysu.

Mendengar suara ayahnya, Hong Kwi melihat ke samping kiri. Dilihatnya A Toan dan Lie Su Hian tengah dikeroyok oleh empat orang dari Thay-san-pay.

Sekali menggerakkan tubuhnya gadis itu telah berkelebat dan sekali tangannya bergerak, dua orang murid Thay-san-pay sudah terjengkang dan mengaduh-aduh karena tulang iganya telah terpukul tangan kiri gadis ini.

Sementara itu Bwe Lan yang menghadapi tokoh dari Bu-tong-pay dan Thay-san-pay sebentar saja ia sudah dapat mendesak Giam-ong Ma Ek. Dan pada jurus kelimapuluh dua, sabuk suteranya telah berhasil membelit pedang lawan dan sekali menyentak, pedang di tangan Giam-ong Ma Ek telah terlepas dari pegangannya.

Belum lagi hilang kagetnya kedua tokoh Bu-tong-pay ini, tiba-tiba sabuk itu bagaikan ular hidup di tangan Bwe Lan meluncur cepat mengarah iga lawan. Cepat Giam-ong Ma Ek membuang diri ke belakang dan menghindarkan totokan sabuk yang lihai itu.

Namun biarpun sudah demikian cepat ia membuang diri ke samping, tetap saja sabuk di tangan Bwe Lan sudah berhasil menotok pundak Giam-ong Ma Ek. Sehingga tokoh Bu-tong-pay ini, roboh tanpa dapat menggerakkan tubuh lagi.

Bersamaan dengan itu, Bwe Lan yang sudah mempelajari ilmu gerak tangan kilat dari suaminya, telah berhasil memukul Bu Ci Goat hingga saking kerasnya benturan lengan ini, Bu Ci Goat tak kuasa lagi memegang pedangnya dan menjerit kesakitan karena lengannya dibakar oleh api yang sangat panas.

Pada saat itu, tiba-tiba dari arah gedung Tiang-pek-pay mengebul asap hitam membumbung tinggi. Murid-murid Tiang-pek-pay yang melihat gedungnya terbakar, cepat mencelat dan berusaha mematikan api yang berkobar-kobar.

Akan tetapi begitu lima orang murid Tiang-pek-pay masuk ke dalam gedung yang bagian belakangnya sudah terbakar itu, tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan dan sesosok bayangan dengan amat cepatnya berkelebat lenyap.

Tiang Le cepat mengejar bayangan itu, akan tetapi ia sudah tidak keburu lagi. Karena bayangan itu sudah lenyap dan tidak kelihatan lagi kemana larinya.

Pendekar ini menggeramkan giginya begitu melihat lima orang muridnya telah menggeletak di lantai dengan tubuh hangus terbakar dan ternyata telah mati dalam keadaan yang mengerikan.

Cepat-cepat ia keluar dan membentak keras. Suaranya yang menggunakan khikang tingkat tinggi bergema,

“Cuwi dari Kun-lun-pay, Bu-tong-pay dan Thay-san-pay. Bagus sekali perbuatan kalian. Mengapa kalian berbuat ini?”

Para orang gagah dari ke tiga partai yang melihat kajadian ini menjadi heran bukan main. Dari pihak mereka tidak ada yang begitu rendah untuk membakar rumah. Siapakah yang melakukan ini?”

“Sung Tiang Le, jangan menyalahkan kami. Pihak kami tidak begitu pengecut melakukan perbuatan itu. Entah siapa yang melakukan!”

“Habis siapa?”

“Sung Tiang Le, apakah kau menuduh kami?”

“Kalau begitu sudahlah harap cuwi lekas turun gunung dan tidak merusak rumah tangga orang,” kata Tiang Le sambil memandang ke orang-orangnya yang tengah sibuk memadamkan api.

“Enak saja kau bicara. Kami datang ke sini hendak membawamu menghadapi persidangan partai-partai besar. Sung Tiang Le, menyerahlah kau!”

Tiang Le menjadi mendongkol bukan main. Akan tetapi ia tidak menjadi gemas kepada orang-orang ini, karena ia maklum bahwa mereka ini hanya menjadi korban, dari perbuatan orang jahat yang sengaja meminjam namanya dalam perbuatan jahatnya.

Ia sekarang malah ingin sekali tahu siapakah barusan yang telah membakar gedungnya. Nyaris gedungnya lenyap ditelan api kalau tidak buru-buru muridnya memadamkan api itu.

“Cuwi sekalian, kalau cuwi berhak melakukan penangkapan atas diriku, kiranya aku yang tertuduh juga berhak untuk mengetahui siapakah antek-anteknya yang barusan hendak membakar gedungku dan membunuh lima orang muridku?”

Giam-ong Ma Ek menghela napas dan mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Hm, memang berbahaya sekali bagi orang yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, bathin belum kuat sehingga kepandaiannya hanya dipergunakan untuk melakukan perbuatan jahat dan menyombongkan dirinya.

“Sung Tiang Le, agar kau tidak penasaran menganggap bahwa pihak Bu-tong-pay itu tidak adil, baik kau dengarkan penuturanku. Ketua kami dari Bu-tong-pay telah lenyap, murid-murid kami melihat sekelebatan bayangan yang menculik ketua kami adalah seorang lengan buntung.

“Kami lantas menyelidiki dan kedapatan ketua kami telah mati dengan keadaan yang mengenaskan di dalan hutan itu, di kaki gunung Lu-liang-san. Bukti lain, ketua Kun-lun-pay dan Thay-san-pay juga telah binasa.

“Siapa lagi kalau bukan engkau yang melakukannya? Bukti tantanganmu sudah menyatakan betapa engkau begitu sombong, Sung Tiang Le. Sekarang kami telah datang untuk mengadilimu. Lekas kau menyerah!”

Tiang mengerutkan alisnya. Benar-benar hebat. Orang jahat yang sudah melakukan kejahatan-kejahatan ini sengaja memakai namanya dan mengadu domba, lagi mudah diduga bahwa orang itu tentu berilmu tinggi. Kalau tidak, masakan ia dapat menculik ketua partai-partai besar demikian mudah.

“Cuwi sekalian, dengarkanlah keteranganku. Ini tentu ada orang jahat yang hendak mengadu domba. Kalau memang cuwi percaya kepadaku berikanlah aku waktu untuk menyelidiki perkara ini……”

“Apakah kau hendak menyangkal?”

“Tentu aku menyangkal! Karena aku tidak melakukan perbuatan yang cuwi tuduhkan kepadaku, namun karena orang jahat itu sengaja mencemarkan namaku dan partai Tiang-pek-pay, sudah barang tentu, aku tidak akan tinggal diam!

“Aku akan menyelidiki persoalan ini lebih mendalam. Percayalah kepada kami, bahwa aku Sung Tiang Le bersumpah untuk membantu cuwi memecahkan persoalan yang sengaja memang dilakukan oleh orang jahat untuk merusak namaku dan mengadu domba!

“Kalau memang cuwi tidak menghadapi persoalan ini dengan kepala dingin. Baik! Aku Sung Tiang Le, akan menghadapi cuwi sekalian dan tidak mundur setapakpun. Untuk menyerah, tidak mungkin. Aku tidak bersalah, untuk apa aku menyerah!”

“Sung Tiang Le, kau benar-benar sombong sekali. Apa kau kira aku tidak sanggup menangkapmu?” Ci Goat tokoh Thay-san-pay dengan marah lalu melangkahkan kakinya maju, pedangnya dikelebatkan di depan muka Tiang Le, akan tetapi yang sungguh-sungguh menyerangnya adalah tangan kirinya mencengkeram ke pundak Pendekar Lengan Buntung itu.

Tiang Le tersenyum pahit. Tidak menangkis atau mengelak, terdengar bunyi kain robek disusul oleh seruan kaget dari Bwe Lan yang siap hendak menerjang tokoh Thay-san-pay ini. Namun belum lagi ia bergerak, Lung Nam Taysu mengangkat tangann}a memberi isyarat kepada Bu Ci Goat untuk tidak menyerang.

“Bagus Sung Tiang Le, memang sebelumnyapun kami merasa segan untuk memusuhi Tiang-pek-pay, akan tetapi kau tadi sudah bersumpah untuk menyelidiki persoalan ini dan membongkar tentang pembunuhan atas ketua-ketua partai besar. Kalau sanggup bagaimana?” tanya Lung Nam Taysu tosu dari Kun-lun-pay yang cerdik ini.

Ia tahu bahwa pihaknya belum tentu dapat mengalahkan Sung Tiang Le dan anak isterinya yang lihai-lihai ini. Maka ia mengambil siasat yang jitu.

Karena ia tahu kalau persoalan ini diambil dengan jalan kekerasan, belum tentu mereka dapat menawan Tiang Le, malah jangan-jangan dari pihaknyalah yang berjatuhan banyak korban. Tadi mendengar Tiang Le bersumpah untuk menyelidiki perkara ini, ia lantas ber kata:

“Kau sanggup menyeret pembunuh ketua partai-partai besar ini dan membawanya ke tiga partai besar untuk diadili?”

“Aku akan berusaha. Sekarang juga, aku akan turun gunung bersama-sama cuwi menyelidiki persoalan ini. Bagaimana?”

“Bagus, kalau begitu mari kita berangkat. Kau boleh menyaksikan sendiri rumah tua di dalam hutan itu dan menyelidikinya. Akan tetapi awaslah kau Tiang Le, kalau kau tidak berhasil membongkar tentang penculikan dan pembunuhan ini, kami tiga partai besar akan menyerbu Tiang-pek-pay dan menghancurkan partai ini!” seru Giam-ong Ma Ek.

“Bangsat, kau terlalu menghina kami. Kau kira kami takut menghadapi kalian?” Bwe Lan mempelototi matanya memandang tokoh Bu-tong-pay ini.

Menurut hatinya ingin sekali ia menggempur orang-orang ini, akan tetapi Tiang Le sudah berkata kepadanya,

“Lan-moay, tenanglah. Urusan ini sungguh sangat ruwet sekali. Biar aku akan turun gunung dan kau jaga Hong Kwi di sini!”

“Enak saja kau ngomong Tiang-koko, aku harus ikut, kalau kau kenapa-kenapa, tidak ada yang tahu. Biarlah aku ikut bersamamu. Biar Hong Kwi bersama A Toan dan Su Hian di puncak,” kata Bwe Lan.

Melihat betapa tak mungkin memang ia meninggalkan Bwe Lan, lalu Tiang Le berkata, “Baik! Mari kita berangkat.......”

Kemudian ia berkata kepada A Toan,

“Toan-lopek, kau pimpinlah partai kita. Sebelum aku kembali jangan turun gunung dahulu, biar Hong Kwi kutinggalkan di puncak!”

“Baik Pay-cu, mudah-mudahan perkara ini boleh beres dan dapat segera diselesaikan!”

“Ayah, aku ikut denganmu!” Hong Kwi mendatangi.

“Tidak! Kau tidak boleh turun gunung. Ayah bundamu bukan untuk berpelesiran, ada urusan yang gawat dan perlu kuselidiki. Kau tinggallah di puncak!” Sahut Tiang Le.

“Nggak mau ah, ikuttt!”

“Hong Kwi anak bengal, kubilang tidak boleh! Masuk kau ke dalam. Lekas!” kali ini yang membentak adalah Bwe Lan.

Memang hanya dengan ibunya Hong Kwi merasa segan dan takut. Maka dengan bersungut-sungut pergilah ia memasuki gedungnya.

Demikianlah, tiga hari Tiang Le dan Bwe Lan turun gunung, tahu-tahu Hong Kwi juga sudah turun gunung bersama Wang Ie dan mereka hanya menitipkan surat kepada A Toan dan Su Hian.

Sudah barang tentu, ke dua orang kakek ini hanya menghela napas berat saja karena mereka tidak dapat mencegah kepergian Hong Kwi. Lagi mereka tak perlu berkuatir karena sesungguhnya kepandaian Hong Kwi jauh lebih tinggi dari pada mereka. Karena Hong Kwi sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari ayah bundanya!

Akan tetapi yang membuat mereka heran, mengapa Wang Ie juga turun gunung? Untuk apakah anak itu. Heran! Memang sikap pemuda itu sangat aneh sekali, lebih-lebih pada akhir-akhir ini!

Demikianlah seperti yang telah diceritakan di bagian depan Wang Ie dan Hong Kwi bertemu dengan Nguyen Hoat, akhirnya Wang Ie mengambil jalan sendiri karena hatinya merasa tidak enak benar apabila mengenang sikap Hong Kwi dan Nguyen Hoat yang kelihatannya begitu akrab.

Dan, ini membuat ia merasa tidak senang melihat keakraban itu. Entah kenapa!

◄Y►

Kurang lebih duapuluh lima orang yang terdiri dari orang-orang Kun-lun-pay, Thay-san-pay dan Bu-tong-pay telah sampai di sebuah rumah tua di tengah-tengah hutan kecil itu. Tiang Le dan Bwe Lan harus mengakui bahwa rumah tua ini sangat menyeramkan sekali keadaannya.

Beramai-ramai mereka memasuki rumah tua yang amat menyeramkan itu. Rumah itu bertingkat dua, di dalamnya penuh dengan kabang-kabang dan debu yang tebal di atas meja, menandakan sebuah rumah yang tidak lagi berpenghuni. Sampai ke belakang-belakang rumah itu Tiang Le dan tokoh-tokoh partai persilatan lainnya menyelidiki keadaan rumah tua ini.

Di belakang rumah tua itu, terdapat sebuah telaga. Sunyi sekali suasana di tempat ini. Rumput-rumput dan alang-alang tumbuh tinggi dan pohon-pohon besar yang terdapat di situ penuh dengan kelalawar hitam, membuat keadaan di tempat itu sangat menyeramkan!

Air telaga yang sudah hampir mengering karena tidak turun-turun hujan, menampakkan dasarnya sudah penuh lumpur. Di atas pohon yang rimbun daunnya itu banyak sekali terdapat sarang laba-laba, daun-daun kering beterbangan di tanah. Sangat kotor sekali keadaan di tempat ini.

“Aneh, sekali....... rumah ini rupanya sudah lama tidak dihuni orang,” kata Tiang Le.

“Hemm, sekarang hendak kau katakan apakah setelah kau tiba di tempat ini Sung Tiang Le? Lihatkah kau tadi rangka-rangka manusia yang berserakan di halaman gedung itu. Ketua kami terdapat tergantung di depan rumah itu!” Bu Ci Goat memandang Tiang Le dengan curiga.

“Kalau memang kau yang melakukan semua ini, mengapa tidak mengaku saja Tiang Le? Buat apa bersandiwara seperti ini? Kau hendak menyelidiki apakah, rumah ini sudah jelas tidak berpenghuni lagi!”

“Benar! Akan tetapi kurasa orang jahat itu mempunyai hubungan dengan rumah tua ini! Entah siapa dia,” sahut Tiang Le.

Kemudian mereka berdiam diri di tempat itu. Masing-masing menyelidiki keadaan rumah tua yang sangat menyeramkan ini.

Kun-lun Sam-lo-jin, tiga orang kakek Kun-lun-pay yang masih merasa penasaran memasuki lagi rumah tua itu dengan pedang di tangan. Akan tetapi belum lama mereka masuk, tiba-tiba terdengar jeritan kematian mereka dari dalam rumah tua itu.

Mendengar ini Tiang Le dan Bwe Lan, disusul pula oleh banyak orang berkelebat masuk ke dalam. Apa yang mereka lihat?

Sungguh membuat bulu roma berdiri. Tiga orang kakek dari Kun-lun telah didapati mati dengan seluruh muka hitam dan hangus.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras mengakak seperti suara burung hantu, “Ha-ha-ha, bagus Sung Tiang Le telah berkunjung ke istana hantu. Manusia she Sung lekas kau berlutut dan menghormat kepada Thay-bengcu!”

Tiang Le dan orang-orang gagah yang lainnya menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya mereka ketika tiba-tiba tembok yang sebelah kiri itu bergetar hebat dan terbuka seperti pintu rahasia.

Tiba-tiba dari balik tembok yang penuh kabang-kabang itu muncul banyak orang yang keadaannya sangat menyeramkan!

“Sung Tiang Le, dan para tamu harap dipersilahkan masuk untuk berkunjung ke istana!” seorang yang rambutnya riap-riapan memegang tombak berkata mempersilahkan Tiang Le dan orang-orangnya untuk masuk.

Semua orang tua di situ saling pandang dengan heran. Tiang Le tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Tentu orang-orang ini yang barusan membunuh Kun-lun Sam-lojin! Akan tetapi mengapa begitu mendadak kejadiannya? Siapakah orang yang di balik tembok itu?

“Kalian siapakah dan mengapa membunuh Kun-lun Sam-lo-jin?” tanya Tiang Le memandang tajam orang yang berambut riap-riapan itu.

“Kalian telah berada di daerah Istana Hantu. Thay-bengcu Yang Mulia mengundang kalian untuk masuk ke Istana. Siapa kami tentu saja pelayan-pelayan Istana Hantu. Nah, kalian dipersilahkan masuk!”

Tiang Le memandang kepada Bwe Lan.

“Sung Tiang Le, kalau kau tidak berani masuk, biarlah aku yang masuk duluan!” teriak Bu Ci Goat mengajak orang-orangnya untuk masuk ke ruang dalam.

Tokoh dari Thay-san-pay ini merasa curiga kepada orang-orang di dalam itu. Jangan-jangan orang-orang inilah yang telah mencelakakan ketua mereka.

Siapa tahu, karena kalau diingat mereka mendapatkan mayat ketua mereka tergantung di depan rumah itu. Karena merasa curiga dan penasaran, tokoh Thay-san-pay ini sengaja berjalan duluan. Akan tetapi terlebih dahulu, Tiang Le telah mencelatnya dan mencegah tokoh Thay-san-pay ini bertindak.

“Bu-tayhiap, nanti dulu! Urusan tentang kematian ketua kalian adalah urusanku, oleh sebab itu baiklah aku yang bertanggung jawab dalam hal ini. Harap cuwi sekalian meninggalkan tempat ini dan kembali ke Kun-lun-san untuk mengabarkan kematian Kun-lun Sam-lo-jin di tempat ini,” berkata demikian Tiang Le memberikan isyarat dengan matanya.

Tentu saja Giam-ong Ma Ek yang cerdik dapat menangkap arti perkataan Pendekar Lengan Buntung ini dan lekas-lekas ia berkata,

“Benar juga perkataan Tiang Le, Bu-tayhiap! Lekas kita kembali ke puncak!” berkata demikian Giam-ong Ma Ek menarik tangan Bu Ci Goat dan memerintahkan kepada anak buahnya untuk keluar dari rumah tua ini.

Sedangkan Tiang Le dan Bwe Lan sudah mencelat maju masuk ke dalam balik tembok tua itu, yang bergeser kembali dan menutupi pintu rahasia itu.

Sampai di dalam ruangan itu, alangkah kagumnya hati Tiang Le dan Bwe Lan, ternyata mereka berada di sebuah ruangan yang sangat megah sekalian keadaannya diduga tentu inilah ruangan di bawah tanah dari rumah tua yang tadi mereka masuki. Entah gedung apa ini namanya.

Tiba-tiba sebuah tembok di depan terbuka. Nampak seorang pemuda tampan, berusia sekitar duapuluh lima tahun berdiri di atas singgasana sambil memegang sebuah tongkat yang berwarna hitam. Orang muda itu, nampak sangat berwibawa sekali.

Di kiri kanan muda itu berdiri dua orang kakek yang rambutnya riap-riapan panjang sebatas paha, yang sebelah kiri si kakek mata satu. Senjatanya terbuat dari tombak, dan seorang kakek lagi yang rambutnya juga riap-riapan menutupi mukanya, berlengan buntung. Melihat kakek ini, berdebar dada Tiang Le.

Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran ialah melihat betapa Bu-tek Sianli dan Te Thian Lomo, Thay-lek-hui-mo, dan Nakayarinta juga sudah berada di tempat itu dengan sikap yang menghormat kepada orang muda ini. Di antara mereka yang tidak berlutut hanyalah kakek Nakayarinta itu.

Tokoh ini datang dari India dan ia merasa, dirinya sendiri juga seorang raja, sedangkan di sebelah kiri orang muda yang berwajah agung dan angker itu nampak pula Kwan-tiong Tok-ong yang hanya memberi hormat seperti seorang beragama Budha memberi hormat, merangkap kedua tangan di depan dada sambil menjura, dan nampak ia berlutut dan duduk seperti orang bersila.

Orang muda itu adalah Thay-bengcu, duduk di atas kursi gading yang terbuat dari ukiran emas yang berkilauan dan indah sekali, pakaiannya juga mewah dan mentereng. Tidak jauh dari dua orang kakek itu, terdapat enam orang gadis-gadis cantik menjaga segala keperluannya.

Akan tetapi yang membuat Tiang Le dan Bwe Lan kaget setengah mati melihat betapa gadis-gadis itu berdiri di samping kanan dan kiri orang muda itu tak bergerak, nampak wajahnya sayu dan kehilangan sinar kegembiraannya.

Agak jauh dari tempat duduk Thay-bengcu berbaris pengawal yang terdiri dari orang-orang muda yang juga berkeadaan seperti patung, ada kurang lebih limabelas orang. Ada yang memegang tombak, toya dan golok ruyung dan penggada. Sikap mereka angker sekali dan berdiri tegak dalam sikap menghormat dan takut.

Di bagian ruangan yang tampak dari sini nampak pula barisan-barisan pengawal yang terdiri dari kakek-kakek tua yang berpakaian tidak keruan. Ada yang tambal-tambalan, ada yang bercelana pendek, akan tetapi mereka inipun berdiri dengan sikap yang menghormat.

Seorang dari barisan orang-orang muda yang duduk tidak jauh dari Thay-bengcu itu datang menghadap dan berlutut, “Thay-bengcu yang mulia! Sung Tiang Le dan isterinya dari Tiang-pek-san datang menghadap!”

“Bagus! Hadapkan mereka kehadapanku, orang muda itu nampak puas sekali dan matanya memancar berseri-seri.

Tiang Le dan Bwe Lan maju ke depan. Melihat keangkeran orang muda ini, hatinya menjadi terkejut sekali. Ia memperhatikan tulisan yang bertulis di atas bangku singgasana yang diduduki orang muda itu berbunyi demikian,

“Thay-bengcu”

sedangkan di sebelah kiri dan kanan masing-masing bertulisan dengan huruf-huruf emas yang indah kata-kata:

“Istana Hantu”

Begitu pandangan matanya terbentur dengan tatapan orang muda yang menamakan dirinya Thay-bengcu ini, Tiang Le dan Bwe Lan terkejut sekali. Karena dari tatapan pemuda itu, sudah nampak mencerminkan tenaga khi-kang yang luar biasa!

Thay-bengcu memandang ke arah Bwe Lan dengan kening berkerut dan lalu ia menoleh ke kiri dan bertanya kepada Bu-tek Sianli dengan suara yang penuh wibawah: “Sianli, inikah gadis bekas muridmu di Pulau Sian-li-tho?”

“Benar Paduka Hamba, dia itulah murid murtad yang telah melarikan diri dan mengikut Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le,” sahut Bu-tek Sianli dengan sikap menghormat.

Thay-bengcu menganggukkan kepalanya. Dan kini menatap Sung Tiang Le. Ia tersenyum mengejek waktu tatapannya bertemu dengan sinar mata pemuda itu.

“Sung Tiang Le, kau telah berhadapan dengan persidangan Istana Hantu dan berada di bawah kekuasaan Thay-bengcu Yang Mulia. Lekas kau berlutut dan mengakui dosa-dosamu!”

Nakayarinta si kakek muka hitam menggerak-gerakan tongkatnya memandang Tiang Le dan Bwe Lan berganti-ganti.

“Aku Sung Tiang Le dan isteri, sungguh tidak mengerti apakah artinya persidangan ini dan tidak tahu pula mengapa aku di suruh menghadap. Juga aku belum tahu siapakah orang muda yang duduk di sana itu,” kata Tiang Le menunjuk.

Tiba-tiba Bu-tek Sianli berdiri dan membentak, “Sung Tiang Le, engkau telah mengobrak abrik Sian-li-pay dan membawa lari muridku, apakah kau hendak menyangkal dihadapan Thay-bengcu Yang Mulia?”

“Bu-tek Sianli, apa maksudmu? Siapa Thay-bengcu?”

“Bocah sombong, Thay-bengcu adalah pemimpin besar kami dalam dunia persilatan, hayo kau berlutut!” berkata demikian Nakayarinta mengelebatkan tongkat ular cobranya dan menekan pundak Tiang Le untuk berlutut.

Pemuda ini mengibaskan tangannya ke arah tongkat sambil berkata:

“Aku tak mau berlutut, kau mau apa?”

“Pendekar Buntung, jangan kurang ajar!”

Baik Tiang Le maupun Nakayarinta, pemegang tongkat itu menjadi terkejut akan akibat pertemuan tongkat dengan tangan.

Tiang Le merasa tangannya bergetar, demikian besar tenaga lwekang yang disalurkan dalam tongkat tadi. Akan tetapi sebaliknya pendeta dari Anapurna ini menjadi terkejut sekali karena tongkatnya telah terpental mundur setelah kena dikibas oleh tangan Tiang Le.

Kemudian Pendeta ini maklum bahwa di dunia kang-ouw jarang ada orang yang kuat menangkis tongkatnya hanya dengan kibasan tangan belaka, maka tidak anehlah ia terheran-heran melihat tongkatnya ditangkis oleh tangan kiri Pendekar Lengan Buntung ini yang masih begini muda usianya. Namun ia menjadi penasaran dan malu maka tanpa banyak cakap ia lalu menyerang Tiang Le dengan tongkat hitamnya!

Tiang Le menjadi sibuk sekali. Dari angin pukulan tongkat, tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi.

Melihat bahwa kakek tua hitam bongkok ini sudah melancarkan serangan bertubi-tubi dan lagi ia melihat betapa Bu-tek Sianli dan Te Thian Lomo sudah bangkit berdiri siap untuk mengeroyoknya, diam-diam Pendekar ini sangat kuatir sekali akan keselamatan isterinya, menghadapi seorang kakek Nakayarinta saja sudah demikian hebatnya, apalagi bila orang-orang ini turun tangan, akan celaka dia!

“Totiang, harap tahan dulu……!” kata Tiang Le sambil mengelak dari serangan tongkat yang amat lihai itu.

“Kau kelewat sombong, perlu kuberi hajaran!” bentakan ini disusul dengan menyambarnya pedang yang berkelebat menusuk leher Tiang Le. Yang menyerang ini adalah Bu-tek Sianli.

Kini Tiang Le mengeluh benar. Apalagi ketika ia mendengar bentakan Bwe Lan yang sudah mengeluarkan senjata pula melawan Te Thian Lomo dan Thay-lek-hui-mo.

Kini baru menghadapi seorang kakek muka hitam saja ia sudah dibuat sibuk dan merupakan lawan yang cukup berat. Tiba-tiba baru saja ia bendak bergebrak dengan jurus-jurus Tok-pik-kun-hoat, terdengar suara tepukan tangan tiga kali dan tahu-tahu para penyerangnya sudah mengundurkan diri ke tempat masing-masing.

Tiang Le dan Bwe Lan saling berhadapan dengan senjata di tangan memandang ke arah orang muda yang disebut Thay-bengcu itu.

“Orang muda Sung Tiang Le, kagum hatiku melihat kepandaianmu. Memang ilmu itulah yang merupakan kegemaranku untuk bersekutu dengan para orang gagah di dunia ini. Kau adalah tamuku, akan tetapi juga setelah masuk ke Istana Hantu, kalian berdua menjadi tawananku,” kata Thay-bengcu.

“Aku Sung Tiang Le dan isteri, entah mempunyai kesalahan apa sehingga para locianpwe di sini hendak menangkap kami. Padahal kami tidak pernah mempunyai permusuhan apa-apa dengan para cianpwe di sini, sehingga kami berkehendak datang kehadapan cianpwe.

“Akan tetapi sungguh di luar daripada dugaanku rupanya para cianpwe di sini berlaku kurang adil dan tidak tahu kesopanan, menyerang seorang tamu yang telah datang menghadap dengan baik-baik!”

“Bagus, Sung Tiang Le, kau bilang telah datang menghadap secara baik-baik. Nah, sebagai seorang tamuku yang baik, mari kupersilahkan kau duduk dan terimalah sambutanku!”

Orang muda yang dipanggil Thay-bengcu tersenyum memperlihatkan sederetan gigi yang putih bersih teratur. Dalam bersenyum seperti itu, kagum juga hati Tiang Le dan Bwe Lan melihat ketampanan pemuda ini.

Entah siapa orang muda tampan ini sehingga dalam usia yang masih amat muda itu, kelihatannya sangat disegani oleh orang-orang gagah di tempat ini. Tiang Le mengangkat tangannya di depan dada seperti orang memberi hormat dan berkata,

“Terima kasih untuk kebaikan anda. Sekarang kami telah datang menghadap, ada apakah kiranya anda memanggil kami?”

Belum lagi Thay-bengcu menjawab, tiba-tiba Nakayarinta maju ke depan dan hendak mencengkeram pundak Tiang Le. Pemuda itu cepat menggeser kakinya dan mengelak. Nakayarinta membentak keras:

“Tiang Le, bocah sombong! Kedatanganmu ke tempat ini adalah untuk membuat pengakuan bahwa kau kini berada di tangan Thay-bengcu, di bawah kekuasaannya!”

“Thay-bengcu, apa itu?”

“Thay-bengcu adalah pemimpin besar kami dalam partai persilatan. Di dalam urusan dunia kang-ouw, Thay-bengcu yang mengatur dan mengepalai seluruh orang-orang gagah di seluruh Tiongkok. Dan ia mempunyai wewenang yang tinggi dan segala perintahnya tidak boleh diganggu gugat.

“Kami telah mengangkat seorang Thay-bengcu, tokoh di daerah Utara dan Selatan sudah setuju tentang pengangkatan ini. Tinggal para ciangbunjin dari partai-partai besar saja yang harus mengesahkan. Sengaja kami mengundang kemari, untuk mensahkan Thay-bengcu kita!”

Tiang Le melirik ke arah orang muda yang disebut beng-cu oleh meceka. Ia mempunyai pandangan tajam dapat menduga bahwa orang muda yang menjadi Thay-bengcu itu tentulah seorang pemuda sangat tinggi ilmu silatnya.

Dari pandangan mata yang penuh hawa sin-kang itu saja sudah menandakan bahwa orang ini mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak masakan Bu-tek Sianli, Nakayarinta dan lain-lainnya takluk kepada orang muda, ini hebat!

Kalau Bwe Lan tidak pernah tertarik akan urusan ini, adalah Tiang Le. Sungguh sebuah persoalan yang luar biasa sekali. Ia mengenal siapa-siapa berada di Istana Hantu ini.

Dari Bu-tek Sianli saja dapat dibuktikan betapa pihak ini adalah sudah menempuh jalan hitam yang telah terkenal dengan segala kejahatannya. Akan tetapi karena orang macam Bu-tek Sianli ini selalu tidak puas akan hidupnya, maka sejak partai Sian-li-pay yang dipimpinnya ambruk oleh sebab tindakan Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le maka ia lalu bersekutu dengan orang-orang segolongan dengannya, seperti Nakayarinta, Te Thian Lomo, Thay-lek Hui-mo dan keluarga Kwan-tiong Tok-ong.

Dan juga karena munculnya seorang pemuda lihai menamakan dirinya Thay-bengcu dan sebagai pay-cu Istana Hantu, maka orang-orang semacam Bu-tek Sianli ini terus saja menggabungkan diri.

Sehingga kumpulan kaum hek-to ini semakin kuat saja, dan mereka ini dengan berbagai cara sudah menaklukan orang-orang gagah untuk masuk sekutunya. Hanya beberapa partai besar saja, seperti Kun-lun-pay, Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay dan Hoa-san-pay belum mengakui berdirinya Istana Hantu ini dan diam-diam mereka menentangnya dan tidak sudi bersekutu dengan orang-orang Istana Hantu.

Sesungguhnya tujuan pergerakan Istana Hantu ini, bukan saja hendak menaklukan orang-orang gagah di seluruh daratan Tiongkok, melainkan juga mempunyai maksud yang di luar dugaan Pemerintah Mongol. Diam-diam Thay-bengcu itu menyusun kekuatan dan suatu ketika kelak, apabila kaum dunia persilatan ini sudah berada di bawah kekuasaannya, baginya betapa mudahnya meruntuhkan kerajaan Cin yang dibawah kekuasaan bangsa Mongol itu.

Oleh sebab itulah, sengaja memang Thay-bengcu ini memanggil semua orang-orang gagah dan menaklukannya, tak terkecuali Pendekar Lengan Buntung sekalipun.

“Demikianlah, Tiang Le! Thay-bengcu ini mendengar akan kehebatan ilmu silatmu, maka ia hendak mengulurkan kerja sama yang baik dan persahabatan yang erat untuk kepentingan kang-ouw dan mengusir penjajah tanah air kita. Jikalau kau telah masuk ke dalam sekutu kami mudah saja untuk bersahabat dengan partai-partai besar lainnya!”

“Hemm, jadi maksudmu hendak…… menarikku ke dalam sekutumu?” tanya Tiang Le dingin, ia dapat meraba ke mana tujuan pembicaraan Nakayarinta tadi. Ia hendak diperalat untuk menghubungi tokoh-tokoh partai persilatan.

Gila! Kalau orang-orang ini sudah menguasai seluruh orang-orang gagah di kolong langit ini. Betapa akan berbahaya sekali dan ketentraman dunia tidak akan dapat dipertanggung jawabkan. Apalagi cita-cita orang Istana Hantu ini hendak menumbangkan pemerintahan Cin, alangkah berbahayanya!

Tiang Le tersenyum pahit dan berkata, “Untuk tawaran ini, terpaksa aku menolak. Karena urusanku tentang politik yang menjadi tujuan kalian, bukanlah urusanku dan kami pihak Tiang-pek-pay tidak ingin turut campur. Akan tetapi satu hal yang sengaja memang kami datang ke tempat ini hendak bertanya,

“Apakah tentang penculikan dan pembunuhan para ketua partai Kun-lun-pay, Bu-tong-pay adalah di bawah rencana kalian?”

Berkata demikian, Tiang Le memandang tajam ke arah seorang kakek yang rambutnya riap-riapan menutupi mukanya sehingga wajah itu tidak terlihat dengan jelas akan tetapi lengan yang buntung sebatas pundak itu, membuat Tiang Le dan Bwe Lan menjadi curiga dan memandangnya dengan tajam.

Tiba-tiba kakek yang dicurigainya itu tertawa bergelak-gelak dan sepasang matanya yang tajam seperti matahari mau menyapu pandangan Tiang Le dan Bwe Lan, suaranya yang serak terdengar bergelombang.

“Ha-ha-ha Sung Tiang Le. Rupanya itu maksud kedatanganmu ke tempat ini? Aku yang berbuat memang, aku yang bertanggung jawab. Betul, aku yang menculik ketua-ketua partai Bu-tong-pay, Thay-san-pay dan Kun-lun-pay, karena mereka itu manusia-manusia sombong yang tidak mau bersekutu dengan kami.

“Dan engkau sendiri! Hemm, kalau kau bertingkah seperti Bu Beng Cu dan kawan-kawannya itu, nasibmu akan seperti mereka. Kau akan kami gantung di depan rumah tua itu dan sengaja menjadi umpan binatang buas!

“Pilihlah antara hidup dan mati di tempat ini. Kalau kau menolak, kau tidak akan dapat keluar dari Istana Hantu dalam keadaan bernyawa, dan orang-orangmu di Tiang-pek-san akan kami hancurkan!”

“Keparat! Jadi……. kau....... kau yang melakukan semua ini atas namaku. Pengecut hina!”

Akan tetapi makian Tiang Le ini disambut oleh suara ketawa dari Thay-bengcu. Suara ketawanya halus dan merdu seperti suara wanita saja, membuat Tiang Le dan Bwe Lan menoleh dan memandang marah kepada orang itu.

“Bagus! Bong Kek Cu, kau layanilah manusia lengan buntung itu. Ingin kusaksikan sampai di mana kehebatannya seperti yang diceritakan oleh Bu-tek Sianli dan Nakayarinta. Kek Cu, sambutlah tamu kita!”

Melihat Tiang Le hendak bertempur dengan kakek lengan buntung yang rambut nya riap-riapan ini, Bwe Lan mengeluarkan sabuk sutera merahnya dan siap hendak menerjang si kakek, namun suara Bu-tek Sianli terdengar bergema di ruangan itu

“Bwe Lan jangan bergerak kau!”

Bwe Lan menoleh dan membuang ludah kepada bekas gurunya ini, “Apa perdulinya denganmu, setan!”

“Ha-ha-ha! Bu-tek Sianli, ternyata kau masih sayang kepada muridmu ini?” Thay-bengcu tertawa memperlihatkan giginya yang putih rapih.

Bu-tek Sianli buru-buru berlutut dan menganggukkan kepalanya.

“Ampunkan hamba, karena mengingat hubungan hamba dengan bekas murid hamba yang sekarang menjadi isteri Sung Tiang Le!”

“Minggirlah kau, kalau wanita itu bergerak, cegah ia, aku kepingin melihat Tok-pik-kiam-hoat dari Pendekar Lengan Buntung!” suara Thay-bengcu ini biarpun terdengar nyaring dan bersih seperti suara wanita, akan tetapi sangat berwibawa dan merupakan ultimatum yang harus dipatuhi oleh orang-orang Istana Hantu ini. Bong Kek Cu sendiri berlutut dan menghampiri Tiang Le.

Tahu bahwa kakek buntung inilah yang telah menodai namanya, maka tanpa banyak cakap lagi, Tiang Le telah mengerakkan tubuhnya. Dan tanpa dapat diduga oleh Bong Kek Cu, lebih dulu ia mengirim pukulan ke arah pundak kakek buntung ini.

Kakek yang pernah mendengar akan kehebatan si Pendekar Lengan Buntung ini, tentu saja cepat mengelak ke kiri dan membalas menangkis dengan tangan kanannya dengan sekuat tenaga.

Biarpun Bong Kek Cu mengerahkan tenaga Tin-yo-kang dalam tangkisannya ini, namun tetap saja ia terhuyung beberapa langkah ketika hawa pukulan Tiang Le mendorongnya. Ia benar-benar merasa heran sekali, juga terkejut karena secara aneh sekali pemuda lengan buntung itu kembali telah menyerangnya.

“Tiang Le, jangan kau berlagak di sini!” Bu-tek Sianli yang merasa panas sekali hatinya telah membentak dari samping dan sinar hitam yang menyilaukan mata meluncur ke arah punggung Tiang Le dari belakang.

Tiang Le terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Bong Kek Cu dan membalikkan tubuh. Ia melihat serangan tongkat nenek Bu-tek Sianli hebat juga sedangkan tongkat hitam itu sendiri membikin ia agak jeri.

Tiang Le maklum bahwa tongkat yang di tangan Bu-tek Sianli itu bukanlah sembarang tongkat biasa melainkan sebuah tongkat hitam berisikan sebuah pedang pusaka yang ampuh. Pedang Pek-liong-pokiam yang ampuh sekali dan tak boleh dibuat main-main.

Datangnya serangan tongkat hitam si nenek ini iapun mengelak ke kiri dan melangkah mundur. Bu-tek Sianli mendesak, sedangkan Bong Kek Cu juga mengirimkan pukulan Tin-yo-kang dari samping bertubi-tubi.

Serangan ini sebenarnya tidak membingungkan hati Tiang Le, akan tetapi yang membikin ia gugup dan berkawatir sekali adalah begitu didengarnya Bwe Lan juga sudah bergebrak menyerang Bu-tek Sianli.

Kini melihat betapa isterinya sudah mulai bertempur, Tiang Le bersilat mendekati, ia bersiap-siap untuk menolong isterinya akan tetapi tentunya kalau hanya melayani Bu-tek Sianli, Bwe Lan memang sudah dapat menandingi Nenek ini.

Bukan saja karena memang kepandaiannya itu bersumber dari ilmu silat bekas gurunya ini, namun juga selama ini Bwe Lan sudah melatih diri dengan ilmu silat Tiang Le yang bernama Tok-pik-kun-hoat sehingga walaupun tidak selihai waktu dimainkan oleh Tiang Le, namun nyonya ini cukup membuat nenek Bu-tek Sianli menjadi terkejut dan heran!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar