Ilmu Ulat sutera Jilid 27

Jilid 27

Kongsun Hong dan Tok ku Hong memalingkan kepalanya serentak. Tok ku Bu ti berdiri tegak. "Yang ingin mereka bunuh adalah aku, bukan kalian!" Tok ku Bu ti menoleh kembali kepada Yan Cong Tian.. "Silahkan saudara turun tangan sekarang!"

Sekali lagi Yan Cong Tian mengangkat tangannya ke atas. "Lohu akan menyempurnakan keinginanmu!"

Tok ku Bu ti membusungkan dadanya. Hong ji, minggir!" bentaknya lantang..

Tok ku Hong tidak mendengarkan kata-katanya. Dia malah maju ke depan dan berteriak, “Tia pernah mengatakan, selama Bu ti bun masih berdiri, dia tidak akan mengundurkan diri dari dunia kangouw. Sekarang Bu ti bun sudah tidak ada lagi, tentu saja ayahku sudah mempersiapkan diri untuk mengasingkan diri ke tempat yang tenang. Locianpwe adalah seorang manusia yang berbudi luhur, apakah niat ayahku yang ingin mengundurkan diri dari dunia persilatan pun tidak dapat dikabulkan?"

Yan Cong Tian tertegun. Dia menoleh ke arah Tok ku Bu ti. "Apakah Buncu memang berniat mengundurkan diri dari dunia kangouw?"

Tok ku Bu ti tidak menyahut.

"Tia, katakanlah!" seru Tok ku Hong panik.

Tok ku Bu ti tetap berdiam diri. Yan Cong Tian tertawa dingin. "Dia pasti tidak akan mengatakannya, karena dia memang tidak berniat sama sekali."

Tok ku Hong mengalirkan air mala sambil memohon. "Tia, cepat katakan!" ratapnya semakin sedih. Tok ku Bu ti menarik nafas panjang. Setelah merenung sekian lama, akhirnya dia berkata, "Setelah mengalami kehancuran kali ini, Bu ti bun sulit dibangun kembali. Hal ini lelah membuktikan Bu ti bun bukannya tidak terkalahkan. Apalagi setelah kejadian hari ini, bila aku masih ingin mengangkat nama dalam dunia persilatan juga tidak mudah lagi. Lagipula tidak ada lagi yang dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan tenagaku seorang diri. Rasanya memang lebih baik aku mengundurkan diri dan hidup dengan tenang di tempat yang terpencil."

Yan Cong Tian mendengarkan sambil menganggukkan kepalanya berulang kali. "Baik! Bila kau memang ingin memulai kehidupan baru, maka mengingat kebesaran Thian, aku akan mengampunimu untuk kali ini!" katanya.

Tok ku Hong segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Yan Cong Tian. "Terima kasih atas kebesaran budi Locianpwe."

Yan Cong Tian mendongakkan kepalanya menatap langit sembari menarik nafas panjang. "Kali ini aku melepaskan ayahmu, kemungkinan besar aku seperti melepaskan harimau kembali ke gunung. Mudah-mudahan apa yang aku lakukan tidak keliru." "Harap Locianpwe jangan khawatir."

Tok ku Hong segera memapah ayahnya. "Tia pasti akan mengundurkan diri dari dunia kangouw.." Dengan perasaan terpaksa Yan Cong Tian mengibaskan tangannya. "Baik, kalian pergilah."

Kongsun Hong juga cepat-cepat menghampiri Tok ku Bu ti dan membimbingnya. Baru saja mereka membalikkan tubuh, Wan Fei Yang sudah maju menghampiri.

"Harap Hong kouwnio tunggu sebentar, ada yang ingin aku katakan!" Tok ku Hong memandang Tok ku Bu ti.

"Kami menunggumu di luar halaman," kata Tok ku Bu ti.

Wan Fei Yang memandang Tok ku Bu ti dan Kongsun Hong keluar dari ruangan tersebut.

"Hong kouwnio, kemana tujuanmu?" tanyanya penuh perhatian.

"Kemana Tia pergi, di sanalah aku akan mengiringinya," sahut Tok ku Hong.

"Lalu kita. "

"Aku mengerti maksud hatimu." Tok ku Hong memandang Wan Fei Yang sambil menggelengkan kepalanya. "Tetapi seumur hidup Bu ti bun dan Bu tong pai merupakan musuh bebuyutan, bagaimana mungkin kita dapat bersatu?"

"Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa Bu ti bun sudah tidak ada lagi?"

"Pokoknya kita tidak mungkin bersatu Kepala Tok ku Hong menunduk semakin rendah.

"Jaga dirimu baik-baik!"

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Tok ku Hong membalikkan tubuhnya meninggalkan

mereka. Wan Fei Yang bermaksud mengejar, namun dicegah oleh Yan Cong Tian. "Siau-fei. !"

"Supek. " Wan Fei Yang seperti ingin mengatakan sesuatu

namun dibatalkannya. Yan Cong Tian menatap kepergian Tok ku Hong sampai menghilang di luar halaman.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Meskipun Hong kouwnio memang lumayan orangnya, tapi tetap tidak sesuai untukmu, lain halnya dengan Fu Hiong Kun. "

Wan Fei Yang menggelengkan kepalanya. Melihat tampang anak muda itu, kata-kata yang tadinya masih akan berlanjut terpaksa ditahan oleh Yan Cong Tian. Bayangan Tok ku Hong sudah tidak terlihat lagi. Wan Fei Yang masih berdiri

termangu-mangu di tempatnya. Wajahnya menampilkan kesan seperti orang yang kehilangan sukmanya. Matanya menatap kosong ke depan.

***

Malam sudah larut. Rembulan masih bersinar dengan terang.

Tok ku Hong berjalan mondar-mandir di depan halaman sebuah kelenteng tua. Berulangkah dia menarik nafas panjang. Tidak usah diragukan lagi, pasti Wan Fei Yang yang menggelayuti pikirannya. Selama beberapa tahun ini memang hanya bayangan Wan Fei Yang yang selalu memenuhi benaknya. Mengapa dia bisa mencintai anak muda itu? Dia sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan yang satu ini.

Padahal sudah acap kali dia menanyakan apa keistimewaan Wan Fei Yang sehingga dia tidak bisa melupakan sehari pun?

Mengapa mereka harus terlahir dalam dua partai yang bertentangan dan menjadi musuh bebuyutan? Kadang-kadang Tok ku Hong merasa seakan Thian mempermainkannya.

Meskipun sekarang Bu ti bun sudah hancur, namun apakah dengan demikian dendam ratusan tahun antara Bu Ti bun dan Bu tong pai dapat dihabiskan begitu saja? Tok ku Hong sama sekali tidak berani memastikan. Dia juga tidak dapat membayangkannya. Sejak meninggalkan bekas markas Bu ti bun Tok ku Bu ti tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia juga tidak menjawab pertanyaan apapun yang diajukan oleh Tok ku Hong. Justru karena dia diam saja, Tok ku Hong dapat merasakan kepedihan hatinya yang tidak terkatakan.

***

Cahaya rembulan tidak sampai menyoroti tubuh Tok ku Bu ti. Orang tua itu duduk bersila di sudut ruangan yang gelap.

Tampaknya dia sedang termenung, mungkin ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya.

Mimik wajahnya terus berubah-ubah. Kadang-kadang tampak sedih, kadang tampak pilu, tetapi tiba-tiba dia bisa mengembangkan senyuman. Seulas senyum yang menggidikkan hati. Dengan bibir tersenyum dia berjalan keluar dari ruangan tersebut. Sesampainya di halaman, senyumnya mendadak sirna. Dia berjalan keluar dari ruangan dan menghampiri Tok ku Hong. Gadis itu masih ada di depan halaman, tapi Tok ku Bu ti tidak melihatnya. Orang tua itu mencarinya sekali lagi dan menemukan gadis itu sedang melamun di bawah sebatang pohon yang rimbun. Tok ku Hong tidak menyadari kedatangan Tok ku Bu ti, sampai ayahnya itu memanggil namanya.

"Hongji...!"

"Tia...!" Tok ku Hong cepat-cepat mengusap air matanya. Setelah itu dia menoleh ke arah ayahnya dan memaksakan diri mengembangkan senyuman seakan tidak ada apa-apa yang terjadi dengannya.

"Kau sedang menangis?"

"Tidak. Hanya kelilipan debu. Anginnya kencang sekali malam ini." Tok ku Bu ti menggelengkan kepalanya.

"Mengapa harus berbohong? Kau kira kata katamu itu dapat mengelabui Tia?"

Kepala Tok ku Hong langsung tertunduk.

"Apakah Wan Fei Yang tidak menyukaimu lagi?" tanya Tok ku Bu ti tidak tersangka-sangka.

Tok ku Hong menggelengkan kepalanya sambil menguraikan air mata.

“Dia tidak ada keberanian untuk mempersunting dirimu?" tanya Tok ku Bu ti kembali.

Sekali lagi Tok ku Hong menggelengkan kepalanya. "Kalau ini bukan, itu bukan. Apalagi yang kau tangisi?"

"Bu tong pai dan Bu ti bun selamanya adalah musuh bebuyutan. "

"Bu ti bun sudah tiada lagi. Dari mana datangnya segala macam dendam lagi?" Tok ku Bu ti tersenyum lebar.

Tok ku Hong tertegun. Dia mendongakkan kepalanya dan memandang Tok ku Bu ti dengan pandangan kurang percaya. Tok ku Bu t i masih tersenyum simpul.

"Tia sudah pikirkan baik-baik. Kau adalah putriku satu- satunya. Sebagai orang tua bagaimana bisa tidak menyayangi putra-putrinya sendiri dan memikirkan kebahagiaanmu yang menyangkut seumur hidup ini. Seandainya kalian memang benar-benar saling mencintai, aku akan merestui hubungan kalian." Tentu saja Tok ku Hong gembira sekali mendengar kata-kata itu. Namun dia masih juga menundukkan kepalanya dengan wajah tersipu-sipu. "Tia. "

"Urusan ini serahkan saja kepada Tia," kata Tok ku Bu ti dengan bibir tersenyum. Dia mengelus-elus jenggotnya sembari menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Kelihatannya dia benar-benar berpikir demi kepentingan Tok ku Hong. Siapa yang dapat menduga bahwa sebuah balas dendam yang mengerikan justru mulai timbul dari senyumannya yang lebar?

***

Angin gunung menghembuskan harus bunga-bungaan dari jauh. Wan Fei Yang lalu mengikuti arah angin tersebut.

Rambutnya acak-acakkan tertiup angin. Malah matanya mulai perih terkena hembusan angin yang kencang itu. Namun dia tidak perduli. Seperti orang kesurupan, dia terus menerjang ke depan.

Perasaan hatinya sedang bergejolak. Dia sudah bertemu dengan Tok ku Bu ti dan mendengar keterangan orang tua itu seperti apa yang diucapkannya kepada Tok ku Hong. Wan Fei Yang juga sudah kembali menemui Yan Cong Tian. Meskipun agak sulit melunakkan hati Supeknya yang satu ini, namun akhirnya Yang Cong Tian mengalah dan mengabulkan permintaan Wan Fei Yang.

Sejak itulah dia merasakan bahwa dirinya orang yang paling bahagia di dunia ini. Dalam seumur hidupnya belum pernah dia demikian bersemangat. Dan demikian gembira. Setelah mengantar Tok ku Bu Ti, dia langsung berlari kesana kemari. Akhirnya dia berlari di atas padang rumput di hadapan bekas markas Bu ti bun. Tingkahnya seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Berulang kali dia berjungkir balik di udara. Dipetiknya segerombolan bunga putih yang terdapat di padang rumput itu. Dia sendiri tidak pernah tahu nama-nama bunga. Dia hanya berpikir bagaimana caranya memberikan bunga itu kepada Tok ku Hong. Tiba-tiba dia melihat seseorang menyelinap keluar dari gerombolan bunga-bunga itu. Orang itu ialah Kongsun Hong. Rona wajahnya tidak sedap dipandang. Mungkin begitu pula perasaan hatinya. Dia menatap Wan Fei Yang lekat-lekat.

"Bunga-bunga itu indah sekali!" katanya dengan nada dingin.

"Engkau rupanya!" Wan Fei Yang merasa di luar dugaan. "Mengapa kau bersembunyi dalam gerombolan bunga-bunga itu?"

Kongsun Hong tertawa dingin. "Aku memang di sini sejak tadi!"

"Oh?" Wan Fei Yang menggaruk-garukkan kepalanya. Untuk sesaat dia sendiri tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Selamat!" Tiba-tiba Kongsun Hong mengucapkan sepatah kata ini.

Wan Fei Yang tertegun sejenak. Kemudian dia tertawa lebar. "Apakah kau sudah mempertimbangkannya dengan baik?" Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya.

"Kau tidak akan menyesal?"

"Mengapa harus menyesal?" Wan Fei Yang malah balik bertanya.

"Sifat Sumoayku itu bukannya kau tidak tahu." "Tidak seberapa buruk. Apalagi akhir-akhir ini, dia sudah berubah banyak," sahut Wan Fei Yang.

"Kau juga tidak khawatir kalau orang-orang dunia kangouw akan mengejek dirimu yang telah mempersunting putri seorang iblis?"

"Selamanya aku paling tidak perduli apa yang dikatakan orang lain di belakang punggungku."

Kongsun Hong mendelikkan matanya lebar-lebar.

"Baik, Wan Fei Yang. Aku kagum kepadamu!" Suaranya semakin lama semakin sendu.. "Aku juga sadar tidak dapat menandingimu dalam segala hal. Tapi, aku harap kau akan memperlakukan Sumoayku baik-baik!"

Sekali lagi Wan Fei Yang tertawa lebar. Kongsun Hong tidak usah khawatir."

"Seandainya suatu hari kudapati engkau memperlakukan Sumoayku dengan semena-mena, biarpun harus kehilangan selembar nyawa ini, aku tetap akan meminta keadilan darimu!" kata Kongsun Hong tajam. Selesai berkata, dia langsung membalikkan tubuhnya dan pergi dengan cepat.

Wan Fei Yang memandangi bayangan punggung Kongsun Hong sampai menghilang. Dia masih berdiri termangu-mangu di tempat semula. Setelah beberapa saat baru dia berjalan kembali ke bekas markas Bu ti bun.

***

Sekembalinya ke bekas markas Bu ti bun, Wan Fei Yang langsung menghambur ke kamar Yan Cong Tian. Supeknya itu sedang duduk bersila di atas tempat tidur. Melihat Wan Fei Yang yang masuk ke dalam, wajahnya murung kembali. "Supek!" Gairah Wan Fei Yang telah pula kembali.

"Ada urusan apa lagi?" tanya Yan Cong Tian dengan nada enggan.

Wan Fei Yang tidak ambil hati terhadap sikap supeknya itu. "Supek, kecuali dirimu, aku tidak punya sanak famili lagi."

"Kau ingin aku menjadi walimu bukan?" Yan Cong Tian mendengus dingin. "Seandainya Fu Hiong Kun yang kau pilih, tanpa kau katakan apa-apa, aku juga akan mengatur segalanya, tapi putri Tok ku Bu ti itu "

Wan Fei Yang memandangnya dengan heran. "Bukankah Supek juga sangat menyukai Hong kouwnio?"

"Sekarang masalahnya bukan aku suka atau tidak!" Yan Cong Tian lagi-lagi mendengus dingin.

"Aku benar-benar tidak mengerti hatimu. Meskipun Hong kouwnio orangnya boleh juga, tapi bagaimana pun tidak dapat menandingi Hiong Kun. Mengapa kau tidak bisa menyukai Hiong Kun saja?"

"Fu kouwnio memang seorang gadis yang baik." "Baik sudah lebih dari cukup. !"

"Urusan cinta kasih, orang lain memang sulit mengerti. Kami juga sukar menjelaskannya. Supek, pernahkah kau menyukai seseorang dalam hidupmu?"

"Sejak usia sepuluh tahun aku sudah mulai giat berlatih ilmu silat. Seluruh perhatianku hanya dipusatkan pada ilmu silat. Aku tidak pernah mengenal cinta kasih antara pria dan wanita!" sahut Yan Cong Tian dengan nada dingin. "Itulah sebabnya, tidak aneh mengapa Supek tidak mengerti perasaanku. Selama ini aku selalu menganggap Fu kouwnio sebagai adikku sendiri. Sedangkan perasaanku terhadap Hong kouwnio. "

"Kau anggap dialah jodohmu yang sebenarnya?" tanya Yan Cong Tian sambil tertawa dingin.

Wan Fei Yang merenung sejenak.

"Bu ti bun dan Bu tong pai memang merupakan musuh bebuyutan selama ini. Meskipun sekarang Bu ti bun sudah hancur, kita belum dapat memastikan kalau anggota mereka tidak berusaha untuk membangkitkan kembali perguruan tersebut. Dengan menikahnya aku dengan Tok ku Hong, dendam antara kedua partai tentu dapat diselesaikan sampai generasi ini saja. Lagipula hati Hong kouwnio sebetulnya sangat baik. Dia pasti akan menghalangi ayahnya berbuat yang tidak menguntungkan pihak kita."

Mendengar ucapan Wan Fei Yang itu, wajah Yan Cong Tian berubah lebih lembut. Dia mempertimbangkan sejenak. "Apakah kau yakin pasti demikian halnya?"

Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya dengan yakin. Yan Cong Tian mempertimbangkan kembali. "Seandainya di dunia ini tidak ada lagi Bu ti bun, pasti kita akan merasa jauh lebih tenang daripada sekarang."

"Bagus sekali kalau Supek mulai mengerti apa yang Tecu maksudkan."

“Kau mempersunting Tok ku Hong, sebetulnya untuk dirimu sendiri atau kau memikirkan kepentingan dunia Bulim?" tarnya Yan Cong Tian tiba-tiba.

Wan Fei Yang tertegun sejenak. "Sebetulnya memang untuk diriku sendiri. Aku benar-benar menyukai Hong kouwnio." Jawabannya keluar dari hati yang tulus. Wan Fei Yang merasa tidak perlu berpura-pura di depan Yan Cong Tian.

Mata Yan Cong Tian mendelik lebar-lebar, kemudian dia menarik nafas panjang. "Aku sungguh tidak mengerti mengapa hatimu sedemikian setia kepada gadis itu?"

"Supek "

Yan Cong Tian tertawa sumbang. "Tampaknya mau tidak mau aku harus meneguk arak kebahagiaan ini juga."

Wan Fei Yang menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Yan Cong Tian. "Terima kasih atas restu Supek!"

"Aku hanya berharap setelah menikah degan Tok ku Hong, kalian berdua bisa menasehati Tok ku Bu ti baik-baik. Jangan sampai dia melakukan lagi hal yang mencelakakan orang- orang dunia kangouw."

Wan Fei Yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Murid-murid Bu tong pai yang dipaksa mengikuti Siau Yau kok semuanya masih ada di sini? Kau suruhlah mereka mengurus segalanya."

Bagaimana pun Yan Cong Tian orang yang periang. Dia tidak pernah memendam kekesalan hatinya lama-lama.

***

Untuk kedua kalinya markas Bu ti bun mengadakan pesta besar- besaran. Tentu saja para murid Bu tong pai gembira sekali Sekarang mereka sudah tahu siapa benar dan siapa yang bersalah. Sikap mereka terhadap Wan Fei Yang berubah seratus delapan puluh derajat. Demikian juga Yo Hong cs.

Mereka membantu persiapan pernikahan Wan Fei Yang dengan senang hati. Dengan sikap enggan Yan Cong Tian juga ikut turun tangan mengurus segala keperluan.

Yang paling kacau pikirannya tentu saja Kongsun Hong. Untung saja para anggota Bu ti bun sudah tersebar kocar- kacir. Sisanya hanya kaum keroco yang pasti tidak berani mengatakan apa pun di hadapannya. Hanya Tok ku Bu ti yang masih sering mengucapkan kata-kata yang membuat hati Kongsun Hong tersayat-sayat. Tapi anak muda itu tidak memandangnya sebagai kesengajaan.

Mereka sudah kembali ke bekas markas Bu ti bun. Keduanya tinggal di sebuah ruangan yang terpisah. Melihat seluruh persiapan sudah hampir selesai, Tok ku Bu ti memanggil Kongsun Hong datang menghadap.

"Sampai di mana persiapannya sekarang?"

"Urusan kartu undangan merupakan tanggung jawab Tecu dengan murid Bu Tong yang bernama Yo hong. Semuanya sudah disebarkan kepada teman-teman Bulim. Urusan tetek bengek lainnya juga sudah hampir selesai. Paling butuh waktu beberapa hari lagi," sahut Kongsun Hong tetap dengan sikapnya yang begitu hormat kepada Tok ku Bu ti.

Tok ku Bu ti menarik, nafas panjang. Entah sengaja atau tidak.

''Dibandingkan dengan pesta pernikahan yang aku persiapkan untukmu tempo hari, sekarang ini jauh lebih semarak tampaknya. "

Wajah Kongsun Hong berubah hebat. Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tok ku Bu ti baru sadar bahwa dia sudah kelepasan bicara. Cepat-cepat dia mengalihkan bahan pembicaraan. "Pasti masih banyak anggota Bu ti bun yang masih berkeliaran di mana-mana!"

"Semuanya sudah memencarkan diri..." sahut Kongsun Hong tetap dengan kepala tertunduk.

"Memang benar apa yang dikatakan oleh Ci Siong tempo hari."

Tok ku Bu ti menarik nafas panjang. "Pohon tumbang buahnya pun berserakan!"

Kongsun Hong seperti ingin mengatakan sesuatu namun dibatalkannya. Tok ku Bu ti mengibaskan tangannya.

"Uruslah pekerjaanmu!" katanya kemudian.

"Baik. " Dengan kepala tetap tertunduk Kongsun Hong

mengundurkan diri. Sesampainya di pintu luar, kebetulan dia bertemu dengan Tok ku Hong merasa serba salah bertemu dengan Kongsun Hong, tapi dia tetap menyapanya.

Kepala Kongsun Hong tertunduk semakin dalam. "Sumoay. " balasnya menyapa lalu cepat-cepat pergi

meninggalkan tempat itu.

Tok ku Hong merasa kasihan terhadapnya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Diteruskannya langkah kakinya ke dalam ruangan dan berhenti di hadapan Tok ku Bu ti.

"Hong ji, apakah ada urusan maka kau datang mencari Tia?" tanya Tok ku Bu ti.

Tok ku Hong menganggukkan kepalanya. "Anak mempunyai satu permintaan yang harap Tia dapat kabulkan.." "Katakan saja," kata Tok ku Bu ti sambil tertawa lebar. "Asal urusan yang dapat Tia lakukan, pasti Tia akan mengabulkannya."

Tok ku Hong gembira sekali mendengar ucapan ayahnya. "Anak ingin mencari ibu dan memintanya kembali ke sini."

Tok ku Bu (i tertegun. Wajahnya mulai berubah. Tetapi sesaat kemudian dia sudah pulih kembali seperti sedia kala. "Memang seharusnya demikian, tapi ibumu. "

"Anak tahu di mana ibu sekarang!" tukas Tok ku Hong cepat. "Oh?" Sinar mata Tok ku Bu ti bercahaya.

"Kalau Tia sudah setuju, anak akan segera berangkat mencari ibu. "

"Tidak bisa," sahut Tok ku Bu ti menolak. "Bukankah Tia. " Tok ku Hong menjadi panik.

"Kau salah paham. Maksud Tia, sebagai seorang pengantin mana boleh kau pergi kemana-mana sembarangan. Apalagi perjalanan jauh."

Tok ku Bu ti tertawa lebar. "Begini saja, kau katakan kepada Tia di mana ibumu berada, sekarang juga aku akan menyuruh Kongsun Hong memanggil ibumu pulang."

Barulah wajah Tok ku Hong kembali berseri-seri. Dia tersenyum manis. Sama sekali tidak curiga akan niat yang terkandung dalam hati ayahnya. Tok ku Bu ti lalu memanggil Kongsun Hong. Di depan Tok ku Hong, dia menyuruh laki-laki itu mengikuti petunjuk yang diberikan putrinya dan memanggil Sen Man Cing kembali. Hati Kongsun Hong merasa segan, namun mana berani dia membantah perintah yang diberikan oleh Tok ku Bu ti.

***

Setelah meninggalkan Tok ku Bu ti, Kongsun Hong keluar dari ruangan besar. Dia melihat kertas warna-warni telah dipajang di sekeliling halaman. Para murid Bu Tong masih sibuk mengerjakan ini itu. Hatinya semakin tidak enak. Cepat-cepat dia meneruskan langkah kakinya.

Kebetulan Yo Hong sedang menoleh ke arahnya. Melihat Kongsun Hong, dia segera menghadang di depannya. "Kami sedang membutuhkan bantuan tenaga. Hendak ke mana kau?"

"Aku menjalankan perintah Suhu untuk menjemput Suho kembali," sahut Kongsun Hong dengan nada kemalas- malasan.

"Mana boleh begitu?" Yo Hong menggelengkan kepalanya. "Di sini masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Kalau kau pergi, aku tentu kelabakan. "

"Itu urusanmu."

"Urusanku?" teriak Yo Hong. "Kau lupa Toa siocia Bu ti bun kalian yang melangsungkan pernikahan!"

"Tidak perlu kau ingatkan."

"Kalau kau tetap mau pergi, tidak apa-apa. Tapi kau harus suruh orang lain menggantikanmu!" kata Yo Hong.

Sinar mata Kongsun Hong mengedar ke sekeliling. Dia tidak menyahut. Mata Kongsun Hong mengikuti pandangan Yo Hong. Yang terlihat di sekitar tempat itu cuma murid Bu tong pai. "Apakah murid Bu ti bun sudah mati semua sehingga tidak ada satu pun yang tertinggal?" katanya tanpa sadar.

Kongsun Hong mendengus dingin.

"Kalau kau tidak mau diam di sini, aku tidak akan perduli segala macam lagi," kata Yo Hong selanjutnya.

Kongsun Hong menatap Yo Hong dengan mata menyiratkan kemarahan.

"Kalau kau tidak mau mengurusnya, panggil saja Wan Fei Yang agar mengurusnya sendiri!' Dia langsung membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu.

***

Setelah keluar dari pintu gerbang Bu ti bun, Kongsun Hong langsung naik ke atas punggung seekor kuda dan memacu kudanya melesat pergi. Hatinya kesal sekali. Dia menghentakkan pecutnya dengan keras. Karena kesakitan kuda itu lari semakin kencang. Dalam sekejap mata, pintu gerbang Bu ti bun sudah tidak terlihat lagi.

Kurang lebih setengah li, Kongsun Hong melarikan kudanya. Dia memasuki sebuah hutan yang lebat. Kecepatannya tidak dikurangi. Kongsun Hong menolehkan kepalanya. Jarak dengan Bu ti bun sudah cukup jauh. Dia baru melambatkan kudanya dan mengendarai dengan perlahan.

Pecut di tangannya dilipat dan diselipkan pada ikat pinggang. Tepat pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat di hadapannya. Seseorang muncul dari balik pepohonan dan menghadang di depannya.

"Kurang ajar!" bentak Kongsun Hong marah. Pecutnya dikeluarkan kembali. Baru saja dia berniat menyabetkan pecut itu ke depan, tiba-tiba dia menariknya kembali. Tepat pada saat itu juga, dia sudah melihat siapa yang ada di hadapannya.

"Suhu..." panggilnya tanpa sadar. Hampir saja dia melorot turun dari kudanya.

Ternyata orang yang menghadangnya adalah Tok ku Bu ti.

"Kongsun ji, mengapa kau melarikan kuda dengan tergesa- gesa?"

Ucapan Tok ku Bu ti lebih mengherankan lagi.

"Bukankah Suhu memerintahkan agar Tecu bergegas menghadap Subo kembali ke sini?" tanya Kongsun Hong bingung.

Tok ku Bu ti menggelengkan kepalanya.

"Aku hanya memerintahmu untuk menjemputnya, tapi tidak menyuruhmu tergesa-gesa menjemputnya."

"Suhu...?" Kongsun Hong semakin tidak mengerti. "Waktunya sudah tinggal sedikit hari lagi."

"Lebih baik kau kembali pada hari kedua setelah pernikahan Sumoaymu."

"Bukankah Subo tidak sempat ikut merayakan hari pernikahan Sumoay?"

"Memang aku berharap demikian." "Mengapa?" tanya Kongsun Hong penasaran. "Tidak usah banyak tanya!" Wajah Tok ku Bu ti berubah kelam. "Tapi. "

"Orang lain bergembira merayakan hari pernikahannya, apakah kau juga senang menyaksikan dari samping?" tanya Tok ku Bu ti sambil tertawa dingin.

Kongsun Hong tertegun mendengar ucapan itu. "Lakukanlah apa yang aku perintahkan. Ingat baik-baik!"

Tanpa menunggu jawaban dari Kongsun Hong, tubuh Tok ku Bu ti langsung berkelebat menerobos ke dalam hutan.

Mengapa? Kongsun Hong menatapi kepergian Tok ku Bu ti yang sulit ditebak. Cara bicaranya juga demikian misterius. Kata-katanya sangat terbalas. Biasanya dia selalu menjelaskan rencananya panjang lebar. Mau tidak mau perasaan Kongsun Hong jadi tidak dapat melepaskan diri dari pikiran yang bukan-bukan.

***

Malam semakin larut, kesunyian mencekam.

Kongsun Hong mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia menyewa sebuah kamar di penginapan yang cukup mewah. Kenangan masa lalu berputaran di benaknya. Dia teringat ketika dirinya rela menerima tujuh kati tebasan golok demi membebaskan Tok ku Hong dari hukuman kematian. Dia juga teringat sikap Tok ku Hong yang dingin terhadapnya selama ini. Hatinya semakin galau dan gelisah. Salahkah bila dia mencintai gadis itu? Patutkah gadis itu mendapat cinta kasih yang sedemikian dalam darinya? Akhirnya ternyata yang mendapatkan Tok ku Hong adalah Wan Fei Yang yang tidak pernah mengorbankan apa-apa untuk gadis tersebut.

Kongsun Hong membuka jendela kamarnya dan menatap langit. Rembulan berbentuk sabit. Laksana senjata yang siap menyayat hati Kongsun Hong. Hati laki-laki itu memang sudah hancur berkeping- keping.

***

Rembulan yang sama, perasaan hati yang berbeda.

Di dalam taman Bu ti bun, Tok ku Hong sedang menikmati indahnya rembulan Dia merasakan keberuntungan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Sejak berkenalan sampai sekarang. Wan Fei Yang memang pernah beberapa kali membuat hatinya sedih. Namun anak muda itu juga tidak pernah membuatnya kecewa. Teringat akan wajah Wan Fei Yang yang ketolol-tololan dan tidak hentinya mencari akal untuk menggembirakan hati Tok ku Hong, diam-diam gadis itu tersenyum seorang diri.

Perasaannya semakin gembira, hatinya berbunga-bunga. Senyuman yang dikembangkan merupakan lambang kebahagiaan dirinya. Dia yakin Wan Fei Yang pun mempunyai perasaan yang sama. Tiba-tiba sebuah wajah yang lembut terlintas di benaknya. Wajah seorang gadis bernama Fu Hiong Kun!

***

Pada saat yang sama. Wan Fei Yang sedang berada dalam kamar. Dia sedang mencoret-coret huruf di atas sehelai kertas. Kertas itu besar sekali, namun huruf yang dicoretnya sejak tadi hanya satu kata 'Hong' saja.

Sebetulnya dia sudah naik ke pembaringan sejak tadi, dia tetap tidak dapat pulas juga. Hatinya terlalu bahagia.

Semangatnya berkobar-kobar. Segala penderitaan dan kesedihan yang pernah dialaminya ia anggap sebagai ujian Thian untuk menuju kebahagiaan abadi. Sementara itu, Tok ku Bu ti juga sedang berdiri di bawah cahaya rembulan. Wajahnya lebih dingin dari sinar rembulan itu sendiri. Senyum di ujung bibirnya menyiratkan kelicikan dan kekejian yang berbisa. Apalagi hatinya yang memang jahat dan berlumuran kedengkian yang beracun.

Sen Man Cing, Ci Siong, putri kalian sebentar lagi akan menikah. Hal ini terjadi karena karma yang kalian lakukan. Kalian memang patut menerimanya!

Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi terjadinya peristiwa ini. Sen Man Cing, aku ingin kau menderita seumur hidup karena kejadian ini. Ci Siong, biar di alam baka pun, kau tidak akan dapat mencapai ketenangan.

Tidak ada seorang pun yang mendengar apa kata-kata yang tersirat dalam hatinya, lalu siapa yang bisa menghalangi agar peristiwa itu jangan sampai terjadi? Dapat dibayangkan betapa kejinya hati orang yang satu ini.

***

Senja hari..

Sen Man Cing berjalan mondar-mandir di depan pondok penyimpanan alat-alat penangkap ikan. Di bawah sinar mentari yang hampir tenggelam, keadaan di sekitar tampak demikian tenang. Mestinya hati Sen Man Cing juga sudah mencapai ketenangan, tapi entah mengapa tiba-tiba dia mendapat firasat yang tidak enak.

Ada apa sebetulnya?

Pada saat itu juga, dia membayangkan Tok ku Hong. Bagi seorang ibu, keselamatan anaklah yang paling diutamakan. Apabila perasaannya tidak enak, dia segera resah. Pikirannya mulai membayangkan yang tidak-tidak. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada diri putrinya? Tapi dengan didampingi oleh Wan Fei Yang dan Yan Cong Tian, rasanya tidak mungkin terjadi sesuatu pada Hong ji. Keselamatannya pasti dijaga oleh kedua orang itu.

Sen Man Cing menarik nafas panjang. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki. Dia menolehkan kepalanya. Terlihat Fu Hiong Kun menghampiri dengan sebuah kail dari batang bambu dan sebuah keranjang tempat menaruh ikan.

"Hujin, di luar angin begini kencang. Mengapa kau tidak berdiam di dalam rumah saja?"

Sebagaimana biasanya sikap Fu Hiong Kun tetap lembut dan penuh perhatian.

Sen Man Cing menggelengkan kepalanya..

"Tidak apa-apa." Matanya menatap ke arah keranjang yang dibawa Fu Hiong Kun. "Berapa ekor ikan yang kau dapat hari ini?"

Fu Hiong Kun mengangkat keranjangnya dan memperlihatkan isinya kepada Sen Man Cing. "Yang kecil-kecil sudah aku lemparkan kembali ke dalam laut. Hanya tersisa dua ekor yang paling besar saja."

Sen Man Cing tersenyum lebar. "Hal apa pun kau mengerti. Seandainya Hong ji ada setengah hari dari bakatmu saja sudah terhitung lumayan.

"Aikh," anak itu memang sejak kecil terlalu dimanjakan." Sen Man Cing menarik nafas kembali.

"Tapi ilmu silat Hong cici tinggi sekali."

"Apa gunanya ilmu silat yang tinggi bagi seorang gadis? Setiap hari berkelahi dan membunuh. Adat pun menjadi semakin keras. Tidak ada seorang pun yang bisa menasihatinya kalau dia sudah bertekad ingin melakukan sesuatu. Tempo hari beberapa kali, untung saja ada Wan Fei Yang yang turun tangan memberikan pertolongan, kalau tidak sejak dini sudah mati atau paling tidak terluka parah di tangan bocah Kuan Tiong Liu itu." Sen Man Cing menarik nafas dalam-dalam.

Mendengar ucapan Sen Man Cing dan sikapnya, Fu Hiong sudah dapat menerka sebagian isi hati wanita itu. Dia cepat- cepat menghiburnya.

"Ada Wan Toako yang menjaga Hong cici, pasti tidak akan terjadi apa-apa."

Sen Man Cing mengangguk kecil. "Mudah-mudahan," kalanya lirih.

"Wan Toako pasti tidak akan membiarkan Hong cici dihina orang." Kata-katanya ini diucapkan dengan hati terharu.

"Hiong Kun, bagaimana menurut pendapatmu pemuda bernama Wan Fei Yang itu?" Sen Man Cing mengalihkan pertanyaannya.

"Meskipun sikapnya kadang-kadang sedikit ketolol-tololan, tapi hatinya mulia sekali. Dia lebih suka dirinya sendiri yang terhina daripada temannya yang dihina."

"Tidak salah. Maka aku tidak sayang mewariskan sebagian tenaga dalamku untuk menyempurnakannya agar berhasil melatih Tian can sinkang."

"Kelak dia pasti akan membalas budi Hujin," sahut Fu Hiong kun. "Semuanya merupakan takdir Thian. Aku hanya berharap kelak dia dan Hong ji akan berbahagia untuk selamanya. "

kata Sen Man Cing dengan mata menerawang di kejauhan.

Hati Fu Hiong Kun pedih mendengar kata-kata itu. Namun dia tidak memperlihatkan perasaanya. Dia memang seorang gadis yang bijaksana serta tidak pernah dengki terhadap siapa pun.

"Wan Toako sudah menguasai semua ilmu pusaka Bu tong pai. Kelak namanya pasti akan menonjol di dunia kangouw."

Sen Man Cing merasa terharu.

"Selama hidupnya Ci Siong melatih ilmu dengan giat, toh dia hanya sanggup menguasai Bu Tong liok kiat. Untung saja ada Wan Fei Yang. Kalau tidak, mati pun dia tidak dapat memejamkan mata dengan tenang."

Dia berhenti sejenak. "Ini yang dinamakan orang baik jangan takut kehilangan generasi penerus."

"Tentu saja. Wan Toako sebenarnya memang putra Ci Siong to jin.

"Apa?" Sen Man Cing terkejut sekali. Matanya membelalak dengan lebar. "Apa yang kau katakan? Wan Fei Yang adalah putra Ci Siong tojin?"

Fu Hiong Kun menganggukkan kepalanya dengan yakin.

"Menurut cerita yang aku dengar, kejadiannya sebelum Ci Siong to jin menyucikan diri menjadi pendeta. Dia berhubungan dengan sepupunya sehingga gadis itu hamil, namun Ci Siong to jin tidak tahu. Ketika dia datang berkunjung lagi beberapa tahun kemudian, ternyata anak itu sudah mulai besar. Ibunya sendiri meninggal sehabis melahirkan Wan Toako. Ci Siong lalu membawa anaknya ke Bu tong san.

Namun karena saat itu dia sudah menjadi Ciang bun ji Bu tong pai, dia tidak dapat mengakui Wan Fei Yang sebagai anaknya. Secara diam-diam dia mengajarkan Wan Toako ilmu silat. Hal ini pulalah yang akhirnya ketahuan sehingga Wan Toako dikira sebagai pembunuh Ci Siong to jin. Salah paham pun semakin besar karena Wan Toako sendiri tidak berani mengakui di depan umum bahwa Ci Siong tojin adalah ayahnya."

Sementara mendengarkan, wajah Sen Man Cing semakin berubah. Hal ini bagaikan kilat yang menyambar di tengah hari bolong.

"Putra Ci Siong..." gumamnya seorang diri Tubuhnya terhuyung-huyung. Kepalanya pusing tujuh keliling. Dia mengulurkan tangannya bertumpu pada tembok rumah. Melihat keadaannya, Fu Hiong Kun terkejut sekali. Keranjang dan kail di tangannya cepat-cepat diletakkan di alas tanah, dia segera membimbing Sen Man Cing.

"Hujin, bagaimana keadaanmu?" tanyanya cemas. Keringat dingin mengucur deras dari kening Sen Man Cing.

"Tidak apa-apa. Rasanya tubuhku kurang sehat,” sahutnya

lirih.

"Mari aku papah Hujin masuk ke dalam rumah." "Tidak usah. "

Tiba-tiba Sen Man Cing mengajukan pertanyaan yang mengejutkan Fu Hiong Kun, "Fu kouwnio, bukankah kau juga sangat menyukai Wan Fei Yang?"

Wajah Fu Hiong Kun merah padam karena jengah.. Dia tidak menyahut pertanyaan itu. Sen Man Cing menarik nafas panjang. "Kau tidak usah khawatir. Kalau Fei Yang tahu kau begitu memperhatikannya dan secara diam-diam menyukainya, dia pasti tidak akan menyia-nyiakan engkau begitu saja."

"Hong cici dengannya barulah pasangan yang serasi," sahut Fu Hiong Kun dengan hati tersayat pilu.

"Dia. " Sen Man Cing seperti ingin mengatakan sesuatu

tetapi dibatalkannya, akhirnya dia hanya berkata: "Kelak dia hanya bisa bersanding denganmu."

Fu Hiong Kun menggelengkan kepalanya. "Lebih baik aku masuk ke dalam dan membersihkan kedua ekor ikan tadi agar dapat dimasak secepatnya."

Sen Man Cing memandangi punggung gadis itu sampai masuk ke dalam rumah. Dia masih berdiri termangu-mangu di sana.

Wan Fei Yang adalah putra kandung Ci Siong. Untung saja belum terjadi apa-apa antara diri anak muda itu dengan Hong- ji.

Sen Man Cing mengangkat tangannya dan mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya. Hatinya baru lega sedikit, namun kekhawatiran itu datang lagi.

Entah bagaimana keadaan kedua orang itu sekarang?

Semacam kengerian yang sukar dilukiskan menyelimuti hati Sen Man Cing. Sepanjang malam itu dia tidak dapat memejamkan matanya. Bayangan Wan Fei Yang dan Tok ku Hong terus berkecamuk di hatinya. Bagaimana kalau seandainya sekarang sudah terjadi sesuatu di antara mereka? Tapi Wan Fei Yang bukanlah pemuda sembarangan Sen Man Cing yakin dia pasti akan berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu. Tapi bagaimana kalau iblis merasuki hati mereka? Seperti apa yang terjadi antara dirinya dengan Ci Siong.

Sen Man Cing tidak berani membayangkan hal yang bukan- bukan.

***

Senja hari menjelang lagi. Fu Hiong Kun baru kembali dari dusun terdekat, tangannya memeluk sekarung terigu. Karung terigu itu ternyata berlubang. Isinya berceceran. Tapi Fu Hiong Kun rupanya masih tidak menyadari.

Tampaknya pikiran gadis itu sedang kacau, langkah kakinya seperti berat sekali. Cara jalannya juga seperti orang yang hilang ingatan. Setelah masuk ke dalam rumah, dia meletakkan karung berisi terigu di atas meja. Dia duduk di atas bangku panjang yang terdapat di samping meja tersebut. Sekian lama dia duduk termenung, Sen Man Cing sudah berada di sampingnya pun dia masih belum sadar.

Melihat keadaannya yang aneh, Sen Man Cing merasa heran.

"Hiong Kun. Apa yang telah terjadi?" tanyanya penuh perhatian.

Fu Hiong Kun tersentak dari lamunannya. Dia menggelengkan kepalanya dua kali. "Ti... tidak ada... apa-apa."

"Apakah tubuhmu kurang sehat?"

Sen Man Cing mengulurkan tangannya meraba kening gadis itu. Tapi tampaknya keadaan Fu Hiong Kun baik-baik saja.

Fu Hiong Kun tidak dapat menahan kepiluan hatinya lagi. Sejak kecil dia memang tidak merasakan perhatian seorang ibu. Kasih sayang Sen Man Cing membuat hatinya semakin tersayat. Dia menangis tersedu-sedu. Sen Man Cing semakin bingung melihatnya. "Hiong Kun, ada apa sebetulnya? Katakanlah padaku. Siapa tahu aku dapat membantumu menyelesaikan masalah yang menggelayut hatimu?"

Fu Hiong Kun menggelengkan kepalanya dengan air mata mengalir dengan deras. Sen Man Cing membelai-belai rambut gadis itu. Akhirnya Fu Hiong Kun mengatakan juga apa yang menyusahkan hatinya, "Wan Toako dan Hong cici akan menikah."

Rasa terkejut Sen Man Cing bukan alang kepalang. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Tiba-tiba dia menjerit dengan keras: "Tidak mungkin!"

Suara jeritannya demikian keras sehingga Fu Hiong Kun terperanjat.

"Hujin, hal ini memang kenyataan! Tokoh-tokoh Bulim di sekitar sini sudah menerima surat undangan. Mereka beramai- ramai sudah bergegas berangkat ke markas Bu ti bun."

Sen Man Cing tampaknya kalang kabut mendengar berita itu. "Kapan waktu pernikahan akan berlangsung?" desaknya.

Fu Hiong Kun malah memandang Sen Man Cing dengan terpana.

"Cepat katakan kepadaku! Kapan?" Suara Sen Man Cing lebih mirip ratapan.

"Lusa. "

Sen Man Cing langsung menghambur ke depan. Fu Hiong Kun mengejarnya. "Hujin, kemana kau akan pergi?"

"Bu ti bun!" sahut Sen Man Cing sambil menerjang ke depan dengan kalap. Fu Hiong Kun merasa heran juga khawatir, cepat-cepat dia menyusul. Tiba-tiba Sen Man Cing menolehkan kepalanya.

"Di mana aku dapat mendapatkan kuda di sekitar sini?" "Di dusun tempat kita biasa membeli segala keperluan."

***

Kuda berlari di tanah pegunungan. Tubuh Sen Man Cing menempel erat-erat di pelana kudanya. Fu Hiong Kun yang mengendarai kuda lainnya berusaha mengikuti di belakang Sen Man Cing.

Dari mula sampai berangkat, Sen Man Cing tidak mengatakan apa-apa. Fu Hiong Kun tidak jelas memahami apa yang telah terjadi. Tapi melihat kepanikan Sen Man Cing, dia dapat membayangkan bahwa urusan yang dihadapi nyonya itu pasti genting sekali. Dia juga tidak berani banyak bertanya. Dia hanya mengintil terus di belakang Sen Man Cing.

Sepanjang perjalanan, kuda tidak pernah berhenti untuk beristirahat.

***

Pagi-pagi buta, dua ekor kuda melintasi sebuah sungai kecil. Kebetulan Kongsun Hong sedang berhenti di tepi sungai, kudanya sedang beristirahat meminum air. Melihat Sen Man Cing lewat di depannya, dia segera berteriak memanggil: "Subo...!"

Kuda Sen Man Cing melesat sejauh sepuluh depa baru dapat dihentikan. Dia menolehkan kepalanya ke arah Kongsun Hong.

"Kongsun ji, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan nada tajam. "Suhu menyuruh aku menjemput Subo kembali ke Bu ti bun." "Pada saat ini kau baru sampai?"

"Aku... Tecu. "

Untuk sesaat Kongsun Hong juga tidak tahu bagaimana harus memberi jawaban kepada Sen Man Cing.

"Apakah Tok ku Bu ti yang memintamu agar tidak usah tergesa-gesa?" tanya Sen Man Cing dengan nada sinis.

"Tecu... Suhu. "

"Apa sebetulnya yang ia katakan?" bentak Sen Man Cing dengan suara keras.

"Suhu mengatakan bahwa biar Subo sampai pada hari kedua setelah pernikahan juga tidak jadi masalah." Kongsun Hong memberanikan dirinya. Karena bentakan Sen Man Cing tadi, dia tidak dapat berterus terang.

Sen Man Cing tertawa sumbang. "Bagus! Tok ku Bu ti. hatimu benar-benar berbisa!"

Tentu saja Fu Hiong Kun tidak mengerti apa maksud kata- katanya. Kongsun Hong juga tidak mengerti. Sen Man Cing juga tidak menjelaskan panjang lebar. Dia langsung menarik kudanya agar berlari dengan cepat.

Fu Hiong Kun segera mengikuti dari belakang. Kongsun Hong tertegun sejenak.. Akhirnya dia naik ke atas kudanya dan berlari menyusul. Memang sifatnya kadang-kadang berangasan, tapi dia bukan orang bodoh. Melihat tampang Subonya yang begitu marah, lagipula melarikan kuda sedemikian cepat dan panik. Dia ingat lagi mimik wajah Tok ku Bu ti dan cara bicaranya yang aneh. Kongsun Hong segera dapat merasakan bahwa sesuatu yang mengerikan pasti akan terjadi.

Tapi biar bagaimana pun memeras otaknya dia tetap tidak dapat berpikir mengenai yang akan terjadi. Kenyataannya, hal mengerikan yang akan terjadi benar-benar di luar dugaannya.

Kalau saja dia tahu sejak semula, bagaimana pun dia akan membangkang perintah suhunya yang akan menghancurkan hidup Tok ku Hong.

***

Senja hampir berakhir. Malam sebentar lagi menjelang. Tiba- tiba awan menjadi gelap. Langit mendung. Lalu disusul dengan kilat menyambar serta geledek bergemuruh. Namun pesta pernikahan tidak berhenti walaupun hujan turun dengan lebat.

Para tamu sudah hampir memenuhi tempat itu. Cahaya lentera terang benderang. Suara tambur bertalu-talu. Belum lagi pekik sorak dan tawa para hadirin. Begitu keras dan riuhnya sampai-sampai sambaran petir pun hampir tidak terdengar jelas. Peristiwa ini memang menggembirakan semua orang. Termasuk to-koh-tokoh Bulim. Dengan bergabungnya Bu tong pai dan Tok ku Bu ti, tentu orang itu akan kembali memulai hidup baru dan tidak akan menimbulkan bencana lagi bagi dunia persilatan.

Oleh karena itu, pesta pernikahan berlangsung dengan lancar. Wan Fei Yang juga gembira sekali, tapi kadang-kadang ada terselip juga kepedihan di dalam hatinya. Alangkah bahagianya seandainya ayah dan ibunya masih hidup dan dapat menyaksikan dirinya menikah.

Sedangkan Tok ku Bu ti juga sedang melamun. Mengapa ibu belum sampai juga? Hatinya sudah rindu sekali. Berulang kali ia melirik ke halaman depan.

***

Pada saat itu, Sen Man Cing masih melarikan kudanya di luar kota. Kuda yang ditungganginya saat ini adalah kuda yang kelima. Dia tidak pernah berhenti untuk mengisi perutnya selama dua hari ini. Tentu saja kudanya tidak kuat bertahan. Oleh karena itu, setiap setengah hari dia mengganti kuda yang baru. Dia sendiri bahkan tidak meminum air setitik pun.

Sen Man Cing hanya berharap tidak terlambat mencegah pernikahan antara Wan Fei Yang dengan Tok ku Hong. Angin bertiup dengan kencang. Hujan semakin deras. Petir terus menyambar. Geledek memekakkan telinga. Sen Man Cing tidak memperdulikan semuanya. Dia terus memacu kudanya menerjang ke depan. Dipeluknya kudanya erat-erat. Wajahnya basah kuyup, demikian pula sekujur tubuhnya. Entah air hujan atau air mata yang membasahi pipinya.

Fu Hiong Kun dan Kongsun Hong mengejar dari belakang. Mereka sendiri sudah seperti orang kalap. Jalanan di hadapan mereka hanya remang-remang. Entah masih berapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk mencapai Bu ti bun? Diam- diam Fu Hiong Kun mengkhawatirkan keadaan Sen Man Cing.

***

Upacara pernikahan berakhir dengan sempurna. Tok ku Bu ti sendiri yang mengantar sepasang pengantin itu masuk ke dalam kamar untuk melewati malam pertama. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum simpul atas keberhasilan rencananya yang jahat.

Yan Cong Tian duduk di ruangan besar. Hatinya galau sekali. Bagaimana pun dia tidak menyangka bahwa antara Bu ti bun dan Bu tong pai bisa menjadi besan. Apakah ini suatu keberuntungan ataukah suatu kemalangan? Dia benar-benar tidak tahu.

Tok ku Bu ti masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia melirik sekilas kepada Yan Cong Tian lalu mengangkat cawannya dari atas meja. "Yan heng, Siaute menghormatimu dengan secawan arak. Secawan arak ini sebagai tanda musnahnya permusuhan antara Bu ti bun dan Bu tong pai, juga demi ketenteraman dunia Bulim sejak sekarang," katanya.

Mulutnya memang mengucapkan kata-kata itu, tetapi sudah pasti hatinya tidak. Tentunya Yan Cong Tian tidak dapat menerka pikiran Tok ku Bu ti, dia hanya mendengar apa yang keluar dari bibirnya yang manis. Dia merasa arak yang ditawarkan oleh Tok ku Bu ti memang harus diterima.

Perasaan gagahnya terbangkit seketika. Dia mengangkat cawannya tinggi-tinggi.

"Bagus sekali! Apa yang kau katakan memang benar. Mari kita minum!"

Secawan demi secawan mereka keringkan Kadang-kadang keduanya saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. Para tamu yang masih ada juga ikut meneguk arak sebanyak- banyaknya. Hari yang berbahagia ini harus diakhiri dengan meriah. Tidak ada orang yang memperhatikan senyum licik yang tersungging di bibir Tok ku Bu ti.

Tidak seorang pun.

Di luar ruangan hujan dan kilat saling menyapa. Geledek seakan tidak mau kalah menunjukkan kewibawaannya. Setelah suara tambur berhenti, suara geledek seperti lebih berkuasa lagi memperlihatkan keangkerannya.

*** Di dalam kamar pengantin menyala sepasang lilin merah. Kerumunan orang-orang yang mengganggu sudah keluar semua. Hanya tertinggal sepasang pengantin baru yang saling berhadapan. Tok ku Hong berjalan menuju tempat tidur dan duduk di bagian ujungnya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

Tadinya dia tidak merasakan apa-apa. Sekarang kerumunan orang sudah bubar, tinggal mereka berdua. Perasaannya jengah sekali. Dia tidak berani menatap Wan Fei Yang. Hati anak muda itu sendiri sangat tegang. Maklumlah pengantin baru. Apalagi seumur hidupnya, dia belum pernah bermesraan dengan seorang gadis. Hatinya gelisah. Jantungnya berdebar- debar. Dengan tangan gemetar, dia membuka kerudung yang menutupi wajah Tok ku Hong.

Gadis itu melirik Wan Fei Yang sekilas. Pipinya merah karena malu. Dia baru bermaksud menundukkan kepalanya kembali, tetapi Wan Fei Yang sudah memegang dagunya dan mengangkatnya ke atas sedikit. Dua pasang mata saling pandang. Seribu kata-kata telah terucap dalam sinar mata keduanya. Selelah sekian lama, akhirnya Tok ku Hong juga yang mulai membuka suara. "Tolol, mengapa kau

memandang aku seperti itu?"

Sahutan Wan Fei Yang lebih tolol lagi..

"Aku baru menyadari kalau kau demikian cantik." Tok ku Hong mencibirkan bibirnya.

"Tadi kau hanya perduli meminum arak bersama para tamu. Kau bahkan tidak melirik aku sekalipun," sindirnya pura-pura marah.

".Maka dari itu sekarang aku jadi terpesona memandangmu.." Tok ku Hong mengerutkan pucuk hidungnya. Wan Fei Yang juga melepaskan pegangannya. Dia berjalan ke arah meja dan mengambil dua cawan arak.

"Jangan marah. Sekarang aku minum secawan denganmu."

"Aku tidak ingin minum," sahut Tok ku Hong sambi! memalingkan wajahnya.

"Orang mengatakan bahwa pengantin baru malah harus minum arak dari cawan yang sama. Mana boleh tidak mau minum?"

Tok ku Hong terpaksa menerima cawan arak itu dan mengeringkan isinya sekaligus. Sekejap kemudian wajahnya sudah berona merah, tetapi hal itu malah membuat kecantikannya semakin kentara.

Wan Fei Yang kemudian mengeluarkan sepotong belahan giok dari saku pakaiannya.

"Siau fei adalah orang yang melarat. Hanya ada sepotong giok ini yang dapat dihadiahkan kepadamu."

Tok ku Hong mengulurkan tangannya menerima potongan giok tersebut. Wan Fei Yang mengambil kesempatan itu untuk meraih tangan Tok ku Hong. Dalam waktu yang bersamaan, keduanya saling berpelukan dengan erat..

Tepat pada saat itu juga, tiba-tiba pintu didobrak dari luar. Sen Man Cing menerjang masuk dengan seluruh tubuh basah kuyup.

Wajahnya pucat pasi....

"Kalian tidak boleh. !" suaranya terdengar parau. Baru mengucapkan beberapa patah kata itu,

dilihatnya keadaan kedua orang itu masih berpakaian rapi. Dia menghela nafas lega, seakan baru saja terlepas dari beban yang berat.

Wan Fei Yang dan Tok ku Hong terkejut sekali. Melihat keadaan Sen Man Cing, hati mereka semakin tergetar. Sen Man Cing bertumpu pada pintu kamar. Nafasnya tersengal- sengal. Hampir saja dia jatuh terkulai.

"Ibu...!" Tok ku Hong menyapa satu kali kemudian termangu- mangu. Akhirnya dia membuka suara juga.

"Apakah ibu marah karena anak tidak memberitahu dahulu tentang pernikahan ini?"

"Hujin...!" Wan Fei Yang masih menyapa dengan panggilan yang biasa digunakan.

Tok ku Hong mengerling ke arah Wan Fei Yang sekilas. Baru saja dia hendak menegur Wan Fei Yang, Sen Man Cing sudah mencegahnya. Wanita itu menggoyangkan tangan berulang kali.

"Kalian tidak boleh menikah," katanya lirih.

Tok ku Hong hampir tidak mempercayai pendengarannya. Namun dia masih belum mengerti. Dikiranya Sen Man Cing benar-benar marah karena tidak menghadiri pesta pernikahannya.

"Ibu, Tia sudah menyuruh Suheng memanggilmu pulang. Tetapi rupanya terlambat. Kalau Ibu masih marah, biar anak menyembah dengan membenturkan kepala tiga kali untuk memohon pengampunan darimu." "Aku juga..." tukas Wan Fei Yang gugup.

Melihat keadaan kedua orang itu. Sen Man Cing tertawa getir.

"Ibu, berjanjilah bahwa kau tidak akan marah lagi," kata Tok ku Hong selanjutnya.

Wan Fei Yang baru saja bermaksud mengucapkan beberapa patah kata, tapi Sen Man Cing kembali menggelengkan kepalanya. Dia tertawa sumbang. "Nasib kalian sungguh buruk," sahutnya sambil menarik nafas panjang.

Tok ku Hong dan Wan Fei Yang semakin terpana. Air mata Sen Man Cing sudah mengalir dengan deras. Dia mendongakkan kepalanya ke langit-langit dan berkata dengan suara mantap: "Thian. Seandainya kesalahan Sen Man Cing demikian besar, juga tidak seharusnya kau menghukum kedua anak yang tidak berdosa ini. Hukumlah aku seorang!"

Tok ku Hong memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. "Ibu, apa yang kau katakan?" tanyanya kebingungan.

Wan Fei Yang menatap ke arah Tok ku Hong kemudian beralih kepada Sen Man Cing. Meskipun dia tidak mengerti apa yang diucapkan wanita itu, namun hati kecilnya membisikkan tentang sesuatu yang tak beres. Sen Man Cing menolehkan kepalanya ke arah kedua orang itu. Dia menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Bagaimana pun kalian tidak boleh menjadi suami istri...!"

"Kenapa?" teriak Tok ku Hong. Dia menghambur ke depan dan mencengkeram sepasang tangan Sen Man Cing.

Wan Fei Yang juga cepat-cepat menghampiri.

"Betul, Hujin. Apa sebabnya kami tidak boleh menikah?" tanyanya penasaran. "Karena kalian adalah abang adik seayah lain ibu," sahut Sen Man Cing sepatah demi sepatah.

Tiba-tiba kilat menyambar menerangi wajah ketiga orang itu. Tidak ada satu pun yang tidak berubah wajahnya pada saat itu. Demikian juga Sen Man Cing. Terbukti betapa besar keberanian yang harus dikumpulkan untuk mengutarakan kenyataan ini.

Wan Fei Yang tertegun. To ku Hong malah seperti orang kalap. "Mana mungkin? Siau Fei she Wan, anak she Tok ku...?"

Sen Man Cing menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya kalian berdua sama-sama she Gi. Kalian adalah putri Gi Ban li!"

Hati Wan Fei Yang tergetar. Tubuhnya sampai terhuyung- huyung. Tok ku Hong masih belum mengerti. Dia menatap Sen Man Cing keheranan....

"Bukankah Gi Ban li adalah nama asli Ci Siong tojin sebelum menjadi pendeta. Antara Tia dengan dia. "

"Tok ku Bu ti bukan ayahmu!" tukas Sen Man Cing. Dia berhenti sejenak. Kemudian duduk di samping meja dengan wajah sendu. Sekarang kejadian sudah terlanjur sedemikian rupa. Aku juga tidak perlu mengelabui kalian lagi." Matanya menerawang di kejauhan. Peristiwa itu terjadi ketika Ci Siong pertama kali bertarung dengan Tok ku Bu ti. "

Akhirnya Sen Man Cing menceritakan rahasia hatinya yang telah terpendam selama puluhan tahun.

"Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku menikah dengan Tok ku Bu ti. Usianya masih cukup muda. Namun karena cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan, dia rela mempelajari ilmu Mil kip sinkang. Sedangkan dia sendiri tahu dengan jelas, bahwa Mit kip sinkang adalah ilmu silat yang dapat merusakkan bagian kelamin kaum pria sehingga tidak dapat membuahkan anak. Tetapi Tok ku Bu ti tetap nekat. Akhirnya kami menjadi suami istri dalam pandangan orang luar saja.

Padahal kami tidak bisa melaksanakan kewajiban sebagai suami istri yang sebenarnya."

Tok ku Hong dan Wan Fei Yang mendengarkan sampai termangu-mangu.

"Pada saat itu, hal yang paling diutamakan oleh Bu ti bun adalah pertarungan yang telah ditentukan selama sepuluh tahun sekali dengan Bu tong pai. Ketika saat pertandingan tiba akhirnya Tok ku Bu ti dapat mengalahkan Ci Siong tojin dengan ilmu Mit kip sinkangnya. Sen Man Cing menarik nafas panjang. Matanya masih menerawang seakan sedang mengingat kembali peristiwa yang terjadi saat itu.

Tok ku Hong dan Wan Fei Yang menunggu dengan hati berdebar-debar.

"Sebetulnya dia bermaksud membunuh Ci Siong tojin saat itu juga. Untung saja Ci Siong tojin masih mempunyai sisa tenaga untuk melarikan diri. Tidak disangka-sangka dia justru lari ke arah Liong hong kek. Pada saat itu, Tok ku Bu ti sudah bertekad untuk menguasai dunia persilatan. Dia menutup diri dan berlatih dengan giat agar dapat mencapai taraf tertinggi Mit kip sinkang. Hatiku juga sempit saat itu. Aku seperti sengaja ingin menantangnya sampai di mana pun. Orang yang ingin dibunuhnya jatuh tidak sadarkan diri di daerah Liong hong kek. Aku justru sengaja menolong orang itu. Aku bahkan membawa Ci Siong tojin tinggal di dalam Liong hong kek. Dengan penuh perhatian aku merawatnya. Sampai lama waktu berlalu, tetap tidak terlihat bayangan Tok ku Bu ti datang berkunjung. Selama dalam perawatanku, Ci Siong to jin sering mengajarkan berbagai hal kepadaku. Seperti melukis, membaca syair, memetik harpa bahkan bermain catur. Selama itu hubungan kami masih terbatas dalam kesopanan yang sudah semestinya..” Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Wan Fei Yang memperdengarkan suara tertawa getir. Tok ku Hong justru semakin tertegun.

"Tiga bulan berlalu kembali. Akhirnya Tok ku Bu ti keluar dari ruangan di mana dia menutup diri. Namun dia tidak mengunjungi aku, hanya menyuruh salah seorang anak buah- nya membawakan secarik kertas yang isinya menyatakan bahwa dia sudah berangkat ke Thai san untuk memenuhi undangan Eng-hiong tai-hwe (pertemuan para pendekar). Dia juga menyatakan keinginannya untuk menggemparkan dunia persilatan. Kurang lebih setahun setengah baru bisa kembali lagi. Meskipun aku tahu, sebetulnya dia ingin melatih Mit kip sinkang sampai taraf yang lebih tinggi, maka dari itu dia sengaja menghindari aku agar terlepas dari ikatan cinta kasih. Aku merasa sedih dan kecewa. Malam itu aku meminum arak sebanyak-banyaknya agar melupakan kepahitan yang kuterima itu. Siapa sangka setelah benar-benar mabuk, aku melakukan kesalahan besar."

Wajah Wan Fei Yang dan Tok ku Hong semakin tidak enak dipandang. Sen Man Cing masih menangis terisak-isak.

"Setelah tersadar dari mabuk, Ci Siong dan aku merasa sedikit menyesal. Saat itu luka Ci Siong sudah hampir sembuh.

Ketika dia mengetahui aku juga mempelajari lwekang, maka dia mewariskan ilmu Tian can sinkang kepadaku. Dia berharap aku dapat menemukan kuncinya agar dapat mencapai taraf akhir ilmu tersebut. Di kemudian hari bila kami sampai mempunyai anak, dia meminta aku mewariskan ilmu itu kepada anak kami. "

Semakin lama berbicara, perasaannya semakin bergejolak. Suaranya juga semakin parau. Dengan termangu-mangu Wan Fei Yang serta Tok ku Hong menatapnya lekat-lekat. Mereka tidak mengatakan apa-apa. Air mata Tok ku Hong sudah mulai membasahi pipinya. Tanpa menunggu sampai Sen Man Cing menyelesaikan kata-katanya, air mata sudah mengalir semakin deras. Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan ber-teriak sekeras-kerasnya: "Jangan katakan lagi!"

Sen Man Cing memang tidak sanggup meneruskan kata- katanya lagi. Dengan berurai air mata dia memeluk Tok ku Hong erat-erat. Tanpa dapat menahan diri lagi, Tok ku Hong menangis tersedu-sedu.

Adatnya sangat keras. Biasanya jangan kata menangis tersedu-sedu, mengalirkan setetes air matapun tidak mudah baginya. Tapi kesedihannya sekarang sudah tidak terkatakan. Wan Fei Yang juga merasa hatinya tertekan. Dia menatap Tok ku Hong yang saling merangkul dengan Sen Man Cing dengan pandangan terpana. Air mata juga sudah membasahi pipinya.

Tepat pada saat itu juga, tiba-tiba Tok ku Hong menarik dirinya dari pelukan Sen Man Cing. Dia menghambur dari kamarnya. Di luar angin masih bertiup dengan kencang. Hujan juga masih turun dengan lebat. Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya, Tok ku Hong berlari seperti orang kalap. Sekejap saja wajah dan tubuhnya sudah basah kuyup. Tok ku Hong seperti tidak merasakannya. Dia terus menerjang ke depan.

"Hong ji...!" teriak Sen Man Cing pilu. Dia terus mengejar di belakang gadis itu.

Sesampainya di koridor panjang, terdengar kilat menyambar. Geledek bergemuruh seakan ingin memecahkan angkasa.

Hati Sen Man Cing semakin tergetar.

"Blukk!" Dia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah..

"Thian, kalau kau memang ingin menjatuhkan hukuman, biarlah aku yang menerima hukuman ini...!" ratapnya pilu. Mendengar teriakannya hati Wan Fei Yang semakin tertekan. Dengan air mata berderai, dia juga menerjang keluar dari kamar. Saat itu dia merasakan benaknya berubah menjadi kosong melompong.

Kilat masih menyambar. Geledek masih menggelegar. Sekali disusul dua kali, membuat hati orang yang mendengarnya semakin tercekam. Di bawah cahaya kilat yang menyambar, perlahan-lahan Sen Man Cing bangkit berdiri. Dengan susah payah dia menyeret langkah kakinya.

Meskipun hatinya sedih, tapi dia masih bersyukur kepada Thian. Setidaknya Thian telah menunjukkan kebesarannya dengan memberi kesempatan padanya untuk tiba pada saat yang tepat.

Hanya satu orang yang dibencinya saat ini. Kebencian yang menyusup sampai ke tulang sumsum.

Tok ku Bu ti!

* **

Angin bertiup dengan kencang. Hujan tetap mencurahkan air dengan deras. Tok ku Bu ti justru membuka jendela di ruang perpustakaannya lebar-lebar. Sambil menikmati cahaya kilat dan suara guntur, dia meneguk arak seorang diri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar