Ilmu Ulat sutera Jilid 13

Jilid 13

Para murid Bu tong pai menyembah dengan kepala membentur lantai. Lun Wan Ji juga ada dalam kerumunan orang banyak. Dia tidak bersuara. Air matanya masih menetes. Setelah masuk ke dalam kamar persucian, tidak ada alas an lagi untuk menyesal. Tujuh hari kemudian, resmilah Fu Giok Su menjadi Ciangbun jin Bu tong pai yang baru.

* * *

Daun-daun di Lian, san belum berubah warna menjadi merah. Air terjun masih menunjukkan keperkasaanya. Butiran air laksana butiran mutiara yang berpercikan di udara.

Dua orang laki-laki berpakaian merah berdiri di kiri kanan daratan dekat tepi air terjun.

Tangan masing-masing menggengam sebatang seruling. Mereka seperti sedang menunggu sesuatu.

“Blam?” Tiba-tiba terdengar suara mengelegar. Air terjun terkuak. Seseorang menerobos kelaur lewat air terjun tersebut. Tubuhnya melesat bagai anak panah dan melayang di atas sebuah batu besar berbentuk persegi.

Dia adalah makhluk tua yang terkurung dalam telaga dingin selama dua puluh tahun Rantai di pergelangan tanganya sudah terlepas. Pakaianya sudah diganti dengan sehelei mantel panjang yang mewah. Hanya rambut saja yang masih panjang terurai. Saura seruling terdengar melengking tinggi memecahkan kesunyian. Wajah makhluk tua berseri-seri. Dia sedang gembira sekali. Tanpak dapat menahan diri lagi, dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

Sekali lagi air terjun terkuak. Manusia tanpa wajah menerobos kelaur dan mendarat di sampingnya. Dia menjura dalam- dalam keapda dekat sebuah jalan setapak. Empat orang membungkuk hormat ke arahnya.

Pakaian hitam, bertubuh kurus seakan kapan waktu saja akan terhempas oleh angin kencang. Namun dialah “angin” kencang itu.

Pakaian merah, tangan menggenggam sebilah golok, dialah yang dipanggil “Geledek”. Pakaian putih, menyandang pedang panjang, wajah kaku dan sedingin es. Dialah si “Kilat”.

Pakaian warna wanri, bibir selalu tersenyum, ahli dalam jurus Man tiang hewe ho” (langit penuh hujan bunga), senjatanya Pek hwe cian (Jarum bunga putih) dan sempat mengemparkan orang Bu tibun karena membunuh Han ciang tiau siu. Siapa lagi kalau bukan ‘Hujan’.

Mereka adalah Angin, Geledek, Kilat dan Hujan yang menajdi buah bibir orang dunia kangouw dan berasal dari Pik lok Cik yang mana kemudian melarikan diri ke Siau yau kok. Mereka juga disebut sebagai organsiasi miterius di dunia bulim.

Pedang kilat, Hujan jarum, Golok Geledek, beserta ginkan angin. Dua puluh tahun yang lalu, nama mereka menggetarkan dunia kangouw. Sedangkan makhluk tua yang menjadi pemimpin mereka lebih mengerikan lagi. Nama asli makhluk tua sebetulnya Fu Thian Wi. Dialah pemimpin Pit lok Cik Orang-orang dunia kangouw memberi julukan Thian ti (Raja langit) pit lok cik sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Tadinya merupakan sebuah partai beraliran lurus. Tapi generasi demi generasi mulai berubah. Akhirnya Pit lok di menjadi sebuah organisasi beraliran sesat.

Mereka ingin menguasai dunia. Sayangnya nafsu besar tenaga kurang. Di dunia kangouw selain Bu tong pai masih ada Bu ti bun. Bu tongpai dikalahkan oleh Bu ti bun. Pada saat yang sama orang –orang Pit lok cik mucnul kembali di dunia kangouw. Mereka ingin bersaing dengan Bu ti bun.

Dalam suatu pertarungan, kalah menang segera terlihat. Mit kip sing kang dari Bu ti baun masih menang setingkat. Pit lok cik berhasil dikalahkan. Dan mungkin karena memang sedang apes, tokoh-tokoh dunia kangouw lainya menyerbu. Mereka terdesak sehingga melarikan diri ke sebuah lembah bernama Siau yang kok.

Thian ti merasa ilmu Pit lokcik masih jauh untuk menguasai dunia. Maka dia tidak segan-segan menyamar sebagai seorang tukang bakar kayu api didapur agar dapat mencuri pelajaran Bu ton liok kiat yang terkenal.

Kecerdasannya di atas orang biasa. Sayangnya terlalu terburu nafsu. Setelah berhasil mempelajari Bu tong liok kiat, dia masih kurang puas.Dengan berani dia berusaha mencari ilmu Tian Cankiat. Pada saat itulah, rahasianya terbongkar. Dia diringkus oleh Yan Cong Tian dan dikurung dalam telaga dingin selama dua puluh tahun. Sebetulnya ada sedikit rahasia yang terselip disini. Sebelum sempat diringkus oleh Yan Cong Tian. Thian ti pernah melakukan apa yang dilakukan oleh Fu Giok Su sekarang, yaitu membokong ciang bun jin generasi pendahulu. Ciang bun jin Bu tong pai itu juga mati oleh bokonganya. Namun Yan Cong Tian keburu dating dan menyaksikan kejadian itu.Itulah sebabnya Yan Cong Tian marah sekali dan berusaha segenap kemampuan untuk menangkapnya dan menghukum Thian ti sekejam itu. Tapi dengan nama baik Butong pai sendiri, berita ini tidak disebarkan di luar. Dunia kangowu hanya tahu Ciang bun jin Bu tong pai mati terserang penyakti yang tidak terobati.

Angin Geledek, Hujan dan Kialt yang tidak mendapatkan kabar lagi dari Thian ti segrea tahu sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada diri pemimpin mereka. Beberapa kali mereka mengira orang menyelinap ke Bu tong san untuk mencari kabarnya. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa Thian ti telah dikurung dalam telaga dingin karena rahasianya telah bocor.

Dalam keadaan putus asa mereka hanya dapat berdiam diri. Mereka menetap di Siau yau kok dan melatih ilmu silat dengan giat dan tanpa kenal lelah. Tapi kemajuan mereka tidak menggembirakan. Sedangkan Fu gik Su sudah mulai meningkat dewasa. Dia cerdas pula. Mereka memutuskan untuk menyeludupkan Fu Giok su ke dalam Bu tong san.

Tujuannya tidak lain untuk mencuri belajar Bu tong jit kiat dan sekalgis menolong pemimpin mereka.

Seluruh rencana diatur dengan rapi. Tidak segan-segan mereka menyamar sebagai anggota Bu ti bun dan mengorbankan sekian banyak anak buah mereka untuk mendapatkan kepercayaan Ci Siong to jin. Merka sudah memperkirakan dengan matang bawha Ci Siong tu jin pasti akan mengajak Fu Giok Su ke Bu tong san setelah musibah yang menimpa dugaan merka yaitu demikian pintarnaya. Fu Giok Su sampai diteriam murid oleh Ci Siong to jin sehinga mempermudah segala rencana mereka.

Padahal mereka hanya berharap Fu Giok Su dapat mengulangi sejarah yang sama dengan thian ti, yaitu mencuri belajar Bu tong liok kiat. Siapa tahu Fu giok Su yang cerdas itu malah bias menyelamatkan Thian ti kelaur dari kurunganya.

Hal ini malah menambah semangat mereka berbuat lebih keji lagi.

Dengan disambut oleh manusa tanpa wajah. Thian ti akhirnya kelaur dari Bu tong san dalam keadaan selamat. Sejak dini Angin. Geledek, Kialt dan Hujan sudah menerima berita. Itulah sebanbya mereka segera menyusul dan mengajak Thian ti kembali ke Siau yau kok.

* * *

Di belakang hutan terdapat banyak bebatuan yang bentuknya aneh. Rumah-rumah yang bentuknya juga lain pada yang lain dibangun di tengah bebatuan. Pohon dan bunga tumbuh subur. Menampilkan pemandangan yang indah tapi juga menegangkan bulu roma, ibarat pemukiman kaum siluman.

Mata Thian ti beredar. Sambil mengelus jenggot dia tersenyum-senyum.” Berapa puluh tahun ini tanmpaknya kalian sudah menggunakan segala jerih payah untuk membereskan tempat ini. Apalagi kalian sudah menggunakan segala jerih payah untuk membereskan tempat ini. Apakah kalian sudah memutuskan untuk tinggal di sini seumur hidup,” tanyanya. Hujan Angin, Geledek dan Kilat maju selangkah. Setelah membungkuk hormat, mereka menggelengkan kepala serentak. Hujan malah tertawa dingin.”Ini semua hasil jerih payah kaum ibu di lembah Siau yau kok,” sahutnya menjelaskan.

“Mereka tergolong orang yang tidak berbakat dalam ilmu silat,” tukas Angin.

“Oh? Thian ti agak heran. “Bagaimana dengan yang lain?”

“Di bawah pengawasan kami mereka selalu giat berlatih. Kalau dibandingkan dengan orang kangouw yang biasa-biasa saja, mereka boleh dicoba.” Kali ini Geledek yang mempertanyakan itu.

Thian ti menganggukkan kepalanya berulang kali. “Bagus sekali!”

Kilat maju selangkah dan menjura dalam dalam.

Tadi kami menerima berita dari kongcu lewat merpati pos,” katanya melaporkan.

“Apa katanya?” Tanya thian ti dengan alis berkerut.

“Urusan Ciang bun jin sudah berhasil dilaksanakanya. Kongcu juga meminta kita menyelidiki Wan Fei Yang. Bila bertemu harus dibunuh langsung?”

Thian ti mengembangkan senyuman bangga. “Lalu, apakah kalian ada yang tahu di mana Wan Fei yang Sekarang?”

“Masih belum ada kabar.”

“Jsutru ini hal yang paling penting sekarang. Perbanyak lagi orang-orang kita, suruh mereka memasang mata dan telinga. Segera temukan jejak Wan Fei Yang?”

Hujan,Angin, Geledek dan Kilat menganguk serentak.

“Di tempat gwakong Wan Fei Yang harus lebih diawasi lagi,” gumam Kilat dengan nada berat.

Tidak salah! Sahut Hujan setuju. “Bukankah selama ini ada orang yang selalu mengawasi tempat itu?”

Orang yang diutus Siau yau kok itu memang tidak pernah meninggalkan temapt tersebut. Oleh karena itu, baru saja Wan Fei yang melangkahkan kakinya ke dalam batas desa jejaknya sudah ketahuan.

Gambar wajahnya memang sudah dibagi-bagikan antara orang-orang Siau yau kok. Apalagi kedai arak di mana dia menanyakan jalan juga merupakan samaran orang Siau yang kok. Tapi tentu saja Wan fei Yang tidak curiga sama sekali., Pengelamanya dalam dunia kangouw memang masih terlalu sedikit lagi pula pikirannya digelayuti bermacam beban.

Meskipun sewaktu dia meninggalkan desa itu usianya masih keci, tapi setelah melihatnya kembali sekarang, banyak hal yang masih berkesan di hatinya. Ada beberapa penduduk yang seakan dikenalnya. Para penduduk itu sendiri malah yang menatapnya dengan perasaan heran.

Beberapa gadis desa mengikuti dari belakang, tangan mereka sibuk menunjuk. Tampaknya merak sangat antusais terhadap kehadiran orang orang asing. Dia sama sekali tidak memperdulikan. Sambil merenung dia melangkah terus.

Sebelum kiri terdapat tiga batang pohon Tan kui. Sebelah kanan terdapat serumpun besar pohon bamboo.

* * *

Angin bertiup menggoyangkan batang pohon bamboo. Segelombang demi segelombang. Semacam kesepian yang sulit diutarakan memenuhi bumi.

Di bawah pohon Tan kui ada sebuah batu besar berbentuk pipih persegi. Dia sana duduk bersandar seorang laki-laki lanjut usia. Tangannya memegang sebuah cangklong. Asap mengepul dari mulut laki-laki tua itu. Matanya menatap batang-batang bamboo yang tertiup angin. Ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya.

Wan Fei Yang melangkah perlahan menghampiri. Matanya menatap orang tua itu lekat-lekat. Sepasang alisnya tanpa sadar terjungkit. Orang tua itu tidak menyadari kedatangannya. Wen Fei Yang berdiri di hadapan orang tua itu. Setelah tertegun sejenak, dia berjongkok.

Akhirnya orang tua itu sadar juga akan kehadiran Wan Fei Yang. Dia mengerling sekilas, kemudian menghembuskan segulungan asap tembakaunya ke wajah anak muda itu. Wan Fei Yang merasa matanya agak perih. Dia terbatuk0-batuk beberapa kali. “Maaf..” kata orang tua itu gugup.

“Tidak apa-apa,” Wan Fei yang mengucek-ucek matanya. Dia tertawa sumbang.

Orang tua itu jgua tersenyum lembut “datang dari luar?”

Wen Fei yang menggelengkan kepalanya orang tua itu juga menggelengkan kepalanya.

“orang muda sudah belajar tidak jujur, sama sekali bukan hal yang baik,” katanya.

“Aku tidak berdusta!”

“Kalau begitu, kau tentu tahu siapa aku” “Kau.”

Baru saja sapatah kata yagn diucapkan Wan Fei yang, orang tua itu sudah menukas perkataannya.

“Kau tentu tidak tahu. Tapi orang di seluruh desa ini, mana ada yang tidak mengenali “Aku Wan lo tau (Tua Bangka Wan.”

Wan Fei yang diam saja.

“Aku juga mengenai semua penduduk di desa ini. Tapi aku belum pernah melihatmu kata orang tua itu selanjutnya.

“Sejak kapan mereka merubah panggilanmu menjadi Wan lo tau?” Tanya Wan Fei yang yang tiba-tiba. Orang tua itu tertegun mendengar pertanyaan itu. “Aku tua itu tertegun mendengar pertanyaan itu.

“Aku ingat ketika meninggalkan desa ini, seluruh penduduk mengikuti Yo cici memang ilmu Wan siangkong,” kata Wan Fei Yang.

Wan lo tau memandang WanFei Yang dengan rasa terkejut. “Sudah berapa lama kau meninggalkan desa ini?”

“Kurang lebih tiga belas tahun.” Wan Fei Yang tertawa-tawa.” Aku meninggalkan desa ini tiga belas tahun yang lalu pada hari Cengbeng (hari sembahyang orang yang sudah meningal).”

Tiga belas tahu yang lalu? Hari cengbeng,” gumam Wan lo tau beberapa kali

“Apakah kau benar-beanr tidak mengenali Siau fei lagi?”

“Siau fei?” Tiba-tiba orang tua itu melonjak sendiri.” Kau adalah Siau fei?”

Wan Fei Yang segera berlutut. Gwa kong…” panggilnya lirih. Panggilannya itu membuat air mata orang tua itu berderai.

Sepasang tangannya mendekap wajah Wan Fei Yang dan

memperhatikannya dengan seksama. Air mata Wan Fei Yang sendiri hampir menetes.

“Gwa kong, kain bungkusan merah yang kau buatkan untukku tidak sempat aku bawa, kalau tidak…”

“Kau memang Siau fei! Kau benar-benar Suau fei!” teriak Wan lo tau dengan terharu. Sepasang tangannya yang memegangi wajah Wan Fei Yang bergetar. Demikian juga suaranya. “Mari! Kita masuk ke dalam!” ajaknya.

Tangannya segera menarik Wan Fei Yang masuk ke dalam rumah. Baru memasuki pintu depan, kaki orang tua itu terhenti lagi. Tangan Wan Fei yang dilepaskan.

“Kau sudah tinggi sekali. Aku ingat ketika kau pergi…”

“Baru setinggi ini,” sahut Wan Fei Yang sambil menunjuk ke arah guratan pisau di pintu itu.

Wan lo tau tertawa terbahak-bahak.

“Kau masih ingat saja guratan pisau yang aku buat ketika kau hendak meninggalkan desa ini?”

Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya.

“Sudah tiga belas tahun,” kata Wan Lo tau terharu. Sembari mengajak Wan Fei Yang melangkah ke dalam, dia bertanya: “Ilmu silatmu pasti sudah tinggi sekali.”

Wan Fei Yang menggelengkan kepalanya, “Aku juga tidak tahu.”

“Kalau begitu kau pasti ada urusan turun gunung, dan sekalian menjenguk gwa kong?” tanya Wan lo tau. Sekali lagi Wan Fei Yang menggelengkan kepalanya. “Kau datang secara diam-diam?”

“Aku melarikan diri,” sahut Wan Fei Yang dengan kepala tertunduk.

“Apa? Melarikan diri?” Wan lo tau terkejut sekali. “Apa sebetulnya yang terjadi?” tanyanya penasaran.

“Terjadi perubahan besar di Bu tong san. Ciang bun jin dibunuh orang. Trapi seluruh murid Bu Tong menganggap akulah si pembunuh. Coba gwa kong katakan, bagaimana aku tidak melarikan diri secepatnya?”

“Apa? Mereka menuduhmu membunuh Ciang bun jin?” Wan lo tau menggelengkan kepalanya keras-keras. “Mengapa kau tidak menjelaskan kepada mereka?”

“Mereka tidak memberi kesempatan sama sekali.” Wan Fei Yang tertawa getir. “Gwa kong, aku benar-benar tidak mengerti!”

“Tidak mengerti….?”

“Aku diajak oleh Ciang bun jin sendiri naik ke Bu Tong. Tapi bagaimana pun dia tidak mau menerima aku sebagai murid, juga tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadaku. Dia hanya memberikan pekerjaan kasar kepadaku. Biar bagaimana aku memohonnya, dia tetap tak terpengaruh sedikitpun. Tapi, dia malah menyamar dengan pakaian hitam dan wajah tertutup di tempat yang terpencil dan tidak ditinggali oleh seorang pun, serta menurunkan Bu Tong liok kiat kepadaku setiap malam. Kalau bukan menjelang kematiannya, dia menyuruh aku mengambil sebilah giok di laci kamarnya, dan melihat pakaian hitam yang biasa dipakainya, sampai sekarang aku masih belum tahu kalau Ciang bun jin adalah suhu.”

Orang tua itu hanya mendengarkan. Dia tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya semakin lama semakin kelam. Akhirnya malah Wan Fei Yang merasa heran.

“Gwa kong, apa yang kau pikirkan?” tanyanya.

Wan lo tau bagai tersadar dari mimpi panjang. “Benarkah Ci Siong tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu?”

“Mengatakan tentang apa?” Wan Fei Yang semakin bingung.

Wan lo tau tidak segera menyahut. Dia membelok ke dalam kamar sebelah kanan. “Kemarilah!”

Wan Fei Yang mengikutinya. “Ini dulu kamar ibu,” katanya.

“Bagus kalau kau masih ingat!” Wan lo tau mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam.

* * *

Kamar itu sangat kecil. Perabotannya juga sederhana sekali. Tapi tataan setiap benda sangat sesuai sehingga enak dipandang. Wan Fei Yang memperhatikan sekelilingnya sejenak.

“Rasanya tidak berbeda dengan ketika aku tinggalkan dulu.” “Memang sama,” sahut Wan lo tau. Dia berhenti di depan tembok sebelah kiri.

Di atas tembok tergantung sebuah lukisan. Meskipun sudah pudar warnanya, namun masih terlihat jelas bahwa yang dilukis sepasang pria dan wanita yang duduk berdampingan. Yang laki tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik rupawan. Serasi sekali.

Jari Wan lo tau menunjuk ke arah perempuan dalam lukisan. “Siau fei… masih ingatkah kau saiapa….”

“Ibu!” sahut Wan Fei Yang spontan. Tiba-tiba sinar matanya terpaku pada pria yang ada dalam lukisan.

“Bagaimana dengan yang ini?” Jari tangan Wan lo tau beralih pada laki-laki.

“Mirip Ciang bun jin!”

“Tidak salah. Dia memang Ci Siong ketika muda,” Wan lo tau merandek sejenak. “Dia adalah ayahmu Gi Ban Li!”

“Ayahku?” Wan Fei Yang terbelalak.

“Selama tidak belas tahun ayah dan anak setiap hari bertemu tapi tidak bisa saling mengakui. Sebetulnya dia juga sangat menderita.’ Wan lo tau menarik nafas panjang.

Wan Fei Yang mendengarkan dengan terlongong-longong.

“Ibumu adalah putri tunggalku. Sejak kecil aku sangat menyayanginya. Dia juga terhitung cukup berbhakti. Pada saat usianya menjelang tujuh belas tahun, ayahmu datang mengunjungi aku. Dan tinggal pula di sini. Dia dan ibumu merupakan saudara sepupu. Sejak kecil memang sering main bersama. Karena sudah lama tidak bertemu dan berjumpa kembali, hubungan mereka semakin dekat. Pada saat itu aku juga pernah menasehati ibumu bahwa dia sudah mulai dewasa. Tidak boleh seperti anak kecil lagi. Harus ada batasnya. Tapi ibumu tidak mendengar. Akhirnya setelah ayahmu meninggalkan tempat ini belum lama, aku baru tahu bahwa dia sudah hamil. Kami tidak tahu kemana perginya ayahmu. Setiap hari ibumu menangis. Mungkin karena terlalu sedih, setelah melahirkan engkau beberapa bulan, dia jatuh sakit dan tidak tertolong lagi.”

Wan Fei Yang mendengarkan semua itu dengan terpaku.

“Enam tahun kemudian, akhirnya ayahmu kembali juga. Setelah mengetahui kejadian ini, dia sedih sekali. Dia berlutut di depan makam ibumu tidak hari tiga malam. Kemudian dia memohon padaku agar mengijinkan dia membawamu ke Bu Tong san.”

Akhirnya Wan Fei Yang tahu riwayat hidupnya. Dia memandangi lukisan Ci Siong to jin dengan mata menyorot kebencian.

“Mengapa dia tidak pernah mau mengatakannya? Dia malam mendiamkan saja aku dihina oleh para suheng dan diejek sebagai anak haram!”

Wan lo tau menarik nafas panjang.

“Pada saat itu dia sudah menjadi Ciang bun jin Bu Tong pai. Demi nama baik Bu Tong pai mau tidak mau dia harus mengeraskan hatinya. Kalau kau dipermainkan dan diejek orang lain sebagai anak haram, hatinya juga pasti sakit sekali mendengarnya.”

Wan Fei Yang menundukkan kepalanya. Dalam hatinya, dia mengakui bahwa dia memang jarang melihat Ci Siong to jin tersenyum. Sepanjang tahun wajahnya selalu bermuram durja. Wna lo tau maju beberapa langkah. Dia mengusap-usap kepala Wan Fei Yang.

“Bagaimanapun, urusan ini telah menjadi masa lampau. Kau juga sebaiknya melupakan saja,” katanya menasehati.

“Tidak!” Sepasang tinju Wan Fei Yang mengepal. “Aku harus menemukan pembunuhnya. Mencuci bersih namaku sendiri dan membalaskan dendam bagi Ciang bun… ayah!” kata- katanya tegas sekali. Hatinya pun sudah mantap.

“Balas dendam?” gumam Wan lo tau dengan kening berkerut.

* * *

Angin bertiup kencang.

Sesosok bayangan melintas menjauh beberapa depa mengikuti hembusan angin. Seperti segumpal awan meluncur ke arah tenggorokan Thian ti. Dia adalah Angin. Di dalam Siau yau kok hanya Angin yang dapat melintas secepat itu. Juga hanya dia seorang yang dapat menggerakkan pisau terbang dalam sekejap mata.

Tubuh Thian ti berkelebat untuk menghindar. Kakinya menutul beberapa kali. Jurus yang digunakannya tidak lain tidak bukan “Te hun cong” yang merupakan salah satu dari Bu Tong Liok kiat.

Mereka sedang berlatih bersama. Masing-masing menguji Thian ti yang sudah sekian lama terkurung di telaga dingin. Pertamanya, memang agak kaku, namun lama kelamaan terbiaa kembali. Bu Tong liok kiat hasil curian dilatih lagi agar matang. Hujan, Angin, Geledek maupun Kilat diamanatkan untuk bersungguh-sungguh. Sama sekali tidak boleh ragu.

Thian ti berhadapan dengan masing-masing dari mereka seperti musuh yang sesungguhnya. Dengan demikian baru dapat diketahui apakah Thian ti sudah boleh diandalkan untuk menghadapi lawan yang tangguh.

Tubuh saling berkelebat. Angin menderu-deru. Golok mengeluarkan suara bergemuruh setiap kali mengincar sasarannya. Hujan jarum memenuhi angkasa. Pedang kilat menyambar-nyambar. Thian ti puas sekali. Berkali-kali dia tertawa terbahak-bahak. Akhirnya dia mengibaskan tangan dan meminta agar mereka berhenti.

“Bagus sekali! Tampaknya ilmu silat kalian tidak mundur malah maju pesat,” katanya dengan wajah berseri-seri.

Hujan tertawa merdu. “Masih jauh kalau dibandingkan dengan kau orang tua.”

Thian ti semakin gembira. Tawanya semakin keras.

“bagaimana kalau dibandingksan dengan Bu Tong liok kiat?” tanya Geledek tiba-tiba. “Masih kalah satu tingkat.” Suara tawa Thian ti sirap seketika. “Lebih jauh lagi kalau dibandingkan dengan Tian can kiat.”

Geledek merasa kesal sekali.

“Pernahkah kalian bergabung menjadi satu barisan dan menghadapi lawan sekaligus?” tanya Thian ti.

Angin menggelengkan kepalanya.

“Belum pernah. Ilmu yang kami pelajari berasal dari aliran yang berbeda, bagaimana dapat digabungkan menjadi suatu barisan?”

“Tidak salah,” tukas Hujan. “Apalagi kalau aku melemparkan senjata rahasia, yang lain langsung menyingkir.”

Thian ti tersenyum lebar. “Apakah senjata rahasiamu itu diharuskan jatuh seperti hujan dan memercik kemana-mana?” tanyanya tenang.

Hujan semakin merenungi sesuatu. “Angin pernah mengatakan bahwa aku boleh menggunakan Jit amgi dari Bu Tong pai lalu digabungkan dengan ilmu senjata rahasia yang kupelajari untuk menutupi kekuranganku selama ini,” sahutnya.

“Apa yang dikatakan olehnya memang benar!”

Hujan tersenyum simpul. “Kalau begitu aku harus meminta petunjuk dari kau roang tua.”

Thian ti mengelus jenggotnya sambil tersenyum. “Mulai besok aku akan menurunkan Bu Tong liok kiat kepada kalian. Dan cari cara untuk membentuk sebuah abrisan yang terdiri dari Hujan, Angin, Geledek dan Kilat. Dengan demikian kita mempunyai kekuatan tersendiri dalam menghadapi musuh,” katanya dengan bangga.

Angin menganggukkan kepalanya. “Tampaknya kau orang tua sudah mempunyai rencana yang bagus. Bukan hanya sekedar berkata saja.”

Thian ti tertawa terbahak-bahak. “Selama dua puluh tahun di telaga dingin, aku selalu memikirkan cara untuk mengalahkan Bu Tong dan Bu Ti. Juga memikirkan cara untuk membangkitkan kembali Pit lok cik kita!”

Hujan menarik nafas panjang. “Kami malah baru dua tahun yang lalu teringat untuk menyelundupkan Fu Giok Su ke dalam Bu Tong pai.”

“Percaya diri bukan suatu hal yang buruk. Tapi terlalu banyak pertimbangan juga merugikan diri sendiri.” Thian ti mengelus jenggotnya. “Meskipun agak terlambat, tapi malah menguntungkan pihak kita. Bukan saja dibutuhkan keberanian juga peruntungan baik.”

“Kami sama sekali tidak menyangka bahwa kau orang tua masih disekap di Bu Tong san.”

Wajah Thian ti berubah kelam seketika.

“Kalau aku tidak dapat menggempur Bu Tong dan menjadikannya rata dengan tanah. Sakit hati ini pasti belum terlampiaskan.”

Angin tersenyum kecil. “Bu Tong san sekarang boleh dibilang sudah mati separuh badan. Ada Giok Su yang mengatur dari dalam, ingin menghancurkan Bu Tong bukan hal yang sulit. Berbeda dengan Bu ti bun…”

“Kalau ilmu silat kita sudah terlatih sehingga sempurna. Buat apa takut lagi terhadap Tok ku bu ti?” sindir Kilat tajam.

Thian ti menganggukkan kepalanya.

“Semuanya terserah kau orang tua saja,” kata Hujan menambahkan satu kata.

Thian ti semakin tertawa terbahak-bahak.”

“Sekian tahun tidak bertemu, aku tidak mengira lidahmu semakin tajam saja!”

Hujan tertawa genit. Gaya mempesona. Thian ti mengangkat alisnya tinggi.

“Wajah juga tidak berubah. Malah sekarang terlihat lebih muda dari dulu,” kata Thian ti selanjutnya.

“Kau orang tua memang paling pandai bergurau,” sahut Hujan dengan lagak dibuat-buat.

Kilat mengibaskan rambutnya yang sudah memutih. “Sam ci mempunyai resep awet muda, tapi rahasia tidak boleh disebarkan,” tukasnya. “Kau toh bukan perempuan. Buat apa ingin awet muda segala?” kata Thian ti terkekeh-kekeh.

Suara tawanya belum hilang, tiba-tiba air hujan menguak kembali, seorang gadis berpakaian hijau melangkah ke dalam. Dia adalah gadis yang dikejar-kejar oleh Ban tok sian ong tempo hari. Kemudian bertemu dengan Wan Fei Yang yang berhasil menyelamatkannya dengan membunuh Ban tok sian ong.

Thian ti segera melihatnya. Matanya mengerling beberapa kali.

“Mengapa di sini ada gadis yang demikian cantik?” tanyanya heran.

Hujan memalingkan wajahnya. Dia mendengus dingin. “Putri siapa?” tanya Thian ti kembali.

“Dia kan Hiong kun!” sahut Angin datar. “Hiong kun?”

“Adiknya Fu Giok Su. Cucu perempuan engkau orang tua,” sahut Hujan sambil mendengus dingin sekali lagi.

“Dia sangat membenci kami. Selalu berkelana seorang diri. Sepanjang tahun paling beberapa hari berdiam di dalam lembah. Katanya dia ingin belajar ilmu pengobatan agar mengerti bagaimana cara mengobati orang sakit.”

“Thian ti tidak memperdulikan sikap Hujan yang dingin. Dia menatap gadis itu lekat-lekat. Fu Hiong Kun hanya mengerling mereka sekilas kemudian menundukkan kepalanya dan melangkah ke dalam.

“Geledek tidak dapat menahan hawa amarah did adanya. “Hiong Kun!” teriaknya lantang.

Fu Hiong Kun menghentikan langkah kakinya. Dia mengerling dingin pada Geledek.

Hujan tertawa dingin. “Hiong Kun, Yayamu sudah kembali,” katanya.

“Yaya?” Mata Fu Hiong Kun mengerling ke arah Thian ti.

Thian ti mengembangkan senyuman lembut. “Kau yang bernama Hiong Kun?”

“Kau benar-benar Yayaku?”

“Apa tidak mirip?” tanya Thian ti sambil menguraikan rambutnya yang panjang.

“Kalau dengan Tia (Ayah) memang mirip.”

“Aku adalah ayah dari ayahmu, kalau tidak sama kan malah aneh,” kata Thian ti tertawa terkekeh-kekeh.

“Mengapa masih belum memanggil Yaya?” bentak Hujan. “Yaya!” Fu Hiong Kun segera memanggil.

Thian ti langsung berkelebat ke samping gadis itu. Dia merangkul bahu Fu Hiong Kun erat-erat. “Cucu baik!”

Fu Hiong Kun sama sekali tidak menunjukkan tampang takut. Dia malah merasakan kehangatan yang sulit dilukiskan.

“Kau belum pernah melihat yaya?” tanya Thian ti. Fu Hiong Kun menggelengkan kepalanya.

“Tentu saja. Sebelum kau lahir, Yaya sudah meninggalkan Siau yau kok,” kata Thian.

Kemudian dia melanjutkan kata-katanya. “Tidak disangka aku mempunyai seroang cucu perempuan yang demikian cantik.”

Wajah Fu Hiong Kun merah padam.

“Beberapa waktu yang lalu, Giok Su koko ada mengirim surat dan mengatakan bahwa Yaya terkurung dalam telaga dingin di Bu Tong san.”

“Dua puluh tahun lebih.” Nada suara Thian ti menjadi rawan.

“Apakah kaki Yaya sudah sembuh>” tanya Fu Hiong Kun kembali.

Thian ti segera merasakan kedua kakinya seperti ditusuk jarum dan nyeri.

“Orang-orang Bu Tong pai memang jahat. Kalau waktu turun gunung itu hari aku tidak membunuh sejumlah murid- muridnya, mungkin sampai hari ini aku masih kesal terus!”

Baru saja ucapannya selesai, sebagian tubuhnya terasa lumpuh. Hampir saja dia melorot dari atas kursi. Fu Hiong Kun cepat-cepat memapahnya.

“Yaya, apakah sebenarnya kedua kakimu masih belum sembuh betul?” tanyanya cemas.

“Sedikit lagi.”

“Biar aku periksa nanti…”

Thian ti tertawa terbahak-bahak.

“Kau mencari tabib pandai kemana-mana, rupanya untuk menyembuhkan penyakit Yaya,” katanya senang.

Fu Hiong Kun tidak membantah. Hujan, Angin Geledek dan Kilat pun tidak bersuara. Terhadap Thian ti, hati mereka semua menaruh hormat yang dalam. Bagi mereka, orang tua itu sangat berwibawa.

Thian ti menoleh ke arah empat orang anak buahnya.

“Besok kita bahas lagi tentang Bu Tong liok kiat. Hari ini aku ingin berbincang-bincang dengan cucu perempuanku ini,” katanya.

Baru saja kata-katanya selesai, air terjun menguak kembali. Manusia tanpa wajah melesat masuk dan berlutut di atas sebuah batu bundar. “Apakah ada berita baru?” tanya Thian ti segera. “Mengenai Wan Fei Yang!”

“Kemana bocah itu?”

“Dia ada di rumah gwa kongnya.”

“Tepat seperti dugaan kita.” Angin tertawa dingin.

“Kalau orang ini dibiarkan, kelak pasti akan membawa bencana.”

“Kita harus membabat rumput sampai ke akar-akarnya,” tukas Geledek sambul mengeluarkan golok di tangannya.

“Biar aku yang pergi,” kata Kilat. Tangan yang menggenggam pedang menonjolkan urat hijau.

“Thian ti menggelengkan kepalanya.

“Dia adalah orang Bu Tong pai. Biar aku turun tangan sendiri untuk meringkusnya!”

“Seorang Wan Fei Yang saja aku sendiri sudah cukup menanganinya,” sahut Kilat.

Baru saja Thian ti ingin mengatakan sesuatu, kedua kakinya terasa nyeri kembali. Keningnya berkerut. Dia merenung sejenak.

“Baik. Urusan ini kuserahkan kepada kalian,” katanya. “Serahkan saja kepadaku,” tukas Kilat cepat. Matanya mengerling kepada Angin dan Hujan.

Hujan tidak mengatakan apa-apa. Geledek belum sempat bicara, Angin sudah menganggukkan kepalanya.

“Sute yang pergi sendirian rasanya memang sudah cukup.”

Kilat mengerling ke arah Thian ti sekilas. Dia tertawa terbahak- bahak.

“Aku pergi!” teriaknya sambil menghentakkan kaki melesat meninggalkan tempat itu.

Manusia tanpa wajah mengikutinya dari belakang. Yang lainnya hanya memandangi saja. Dalam sekejap mata air terjun yang baru terkuak sudah pulih kembali seperti biasa.

Thian ti mengeluarkan suara tertawa yang panjang

* * *

Menjelang senja. Wan Fei Yang duduk di atas kursi bambu di halaman rumah. Kedua tangannya menopang dagu.

Pikirannay melayang-layang. Wan lao tau sudah ada di sampingnya, dia baru sadar.

“Gwa kong!” Dia berdiri dengan gugup. “Masih memikirkan urusan balas dendam?” Wan Fei Yang tidak menyahut. “Bulim memang merupakan sebuah tempat penampungan segala macam kebencian dan dendam. Hidup berkecimpung di Bulim, tidak ada ketenangan sehari pun. Ilmu silat rendah pasti pendek umur, kalau ilmu silat terlalu tinggi, pasti orang yang mencari nama banyak yang menantang. Sampai suatu hari kita benar-benar kalah. Persisi seperti ayahmu. Kalau dia tidak terlahir untuk menjadi Ciang bun jin Bu Tong pai, pasti sampai sekarang masih hidup dengan tenang bersama ibumu,” kata Wan lao tau sambil menarik nafas panjang.

Tanpa sadar Wan Fei Yang ikut menarik nafas dalam-dalam. Wan lao tau menepuk-nepuk bahunya.

“Jangan terlalu banyak berpikir. Hukum karma masih ada. Thian tidak buta. Yang jahat pasti akan mendapatkan imbalannya. Kau tinggal di sini saja menemani gwa kong. Lagi pula gwa kong juga hanya memiliki engkau seorang,” kata Wan lao tau selanjutnya.

Wan Fei Yang menatap rambut dan alis yang sudah memutih itu. Dia menganggukkan kepalanya. Wan lao tau baru bisa menghela nafas lega.

“Kau duduk saja di sini, biar aku pergi ke dapur menanak nasi.”

Wan Fei Yang segera menarik tangan kakeknya. “Gwa kong, biar aku saja….”

“Nasi dan sayur yang kau masak memang lebih enak daripada masakan gwa kong,” Wan lao tau mengerlingkan matanya. “Baik. Kau menanak nasi, gwa kong akan ke gudang mengambil kayu bakar.” Belum sempat Wan Fei Yang mencegah orang tua itu sudah melangkahkan kakinya lebar-lebar. Memandangi punggung kakeknya, hati Wan Fei yang merasa terharu.

Pintu gudang kayu tertutup rapat. Wan lao tau sudah sampai di depan pintu. Dia mengulurkan tangannya untuk mendorong. Belum sempat tangannya sampai, sebatang pedang pipih dan penjang tembus melalui apan pintu dan menusuk jantungnya.

Wan lao tau mendengus marah. Tapi nafasnya sudah putus seketika. Wan Fei Yang yang berada dalam dapur mendengar suara dengusan kakeknya, dia segera membalikkan tubuh dan berlari mendatangani. Dia langsung melihat darah segar mengalir dari punggung orang tua itu. Ujung pedang juga menembus sampai ke belakang.

“Gwa kong!” Wan Fei Yang terkejut setengah mati. Dia menjerit keras dan menghambur menghampiri.

“Blam!”

Pintu gudang tersebut beserta tubuh Wan lao tau melayang ke udara. Sedikit lagi hampir mengenai kepala Wan Fei Yang.

Seorang laki-laki berwajah pucat dan berpakaian putih dengan tangan menggenggam sebatang pedang melewat keluar bagai kilat. Dia langsung meluncurkan pedangnya mengancam tenggorokan Wan Fei Yang.

Wan Fei yang baru saja menyambut mayak kakeknya, pedang itu sudah di depan mata. Ia membalikkan tubuhnya secepat kilat dan menggeser ke samping. Namun pundak kirinya masih juga tersayat sedikit oleh pedang laki-laki berpakaian putih tersebut.

“Siapa?” hardik Wan Fei Yang. Tentu saja dia tidak mengenal orang itu. Tangannya dengan cepat meraih sebatang bambu dan dijadikannya sebagai senjata.

Serangan pedang kilat luput dari sasaran. Dia menyerang lagi tiga kali berturut-turut. Wan Fei Yang cepat-cepat meletakkan mayat kakeknya di atas tanah dan menghindarkan diri dari serangan itu. Baru saja dia bermaksud menerjang manusia berpakaian putih itu, orang tersebut sudah menghentakkan kakinya dan mencelat ke atas genting gudang kayu bakar.

Wan Fei Yang menyodokkan batang bambu di tangannya, tapi langsung putus menjadi beberapa potong tertebas pedang Kilat. Tubuh orang itu berkelebat secepat anak panah yang meluncur. Wan Fei Yang mana sudi menyudahi begitu saja.

Dia menghentakkan kakinya dan mencelat ke ata genting.

Dalam waktu yang bersamaan, manusia tanpa wajah sudah mempersiapkan diri membokong Wan Fei Yang. Anak muda itu masih belum sadar. Dia melihat tubuh Kilat melesat ke atas sebatang bambu dan berdiri tenang. Hal ini membuktikan tinggi ginkang orang itu. Wan Fei Yang mendengus satu kali. “Te hun cong” dikerahkan, tubuhnya melayang dan naik ke atas sebatang bambu dan berdiri berhadapan dengan Kilat.

Pada saat itulah, manusia tanpa wajah menusukkan pedangnya dari bawah ke atas sambil mencelat. Wan Fei Yang marah sekali. Tampaknya dia tidak mungkin menghindarkan diri lagi dari serangan yang satu itu. Namun ternyata dia masih bisa berjungkir balik dan melayang turun. Tapi bagian pinggangnya masih sempat terluka oleh pedang manusia tanpa wajah.

Tanpa menunda waktu lagi Wan Fei Yang mencelat sejauh dua depa dan mengejar Kilat. Manusia tanpa wajah tidak mengejarnya. Tubuhnya melesat dan mendarat di rimbunan batang bambu. Wan Fei Yang sendiri tidak memperdulikan manusia tanpa wajah. Dia terus mengejar Kilat.

Di ujung sana terdapat sebuaht anah kosong. Lebih jauh lagi terdapat sebuah jurang yang cukup dalam. Kilat berdiri dengan tenang di atas tanah kosong. Melihat Wan Fei Yang melayang turun, manusia tnapa wajah segera menghambur ke depan. Wan Fei Yang menghadapi dua musuh sekaligus.

Tubuhnya sudah mengalami dua buah luka pula. Matanya mendelik ke arah Kilat.

“Ada dendam apakah antara gwa kongku dengan pihak kalian? Mengapa kalian harus turun tangan sekeji ini?” tanya Wan Fei Yang.

“Orang yang ingin kami bunuh sebetulnya bukan gwa kongmu, tapi engkau,” sahut Kilat sepatah demi sepatah.

Wan Fei Yang tertegun. “Aku?”

“Memang engkau!” Tubuh dan pedang Kilat segera meluncur ke arah Wan Fei Yang. Bambu di tangan Wan Fei Yang yang digunakan sebagai senjata, dia mengerahkan salah satu jurus dari Sou hou cang dan langsung mengincar tenggorokan Kilat.

Pedang kilat sepanjang enam cun, sedangkan batang bambu di tangan Wan Fei Yang lebih panjang lagi. Sebetulnya merupakan senjata yang tepat untuk mengimbangi pedang di tangan Kilat. Sayangnya, senjata Wan Fei Yang hanya sebatang bamb. Pedang dan bambu saling berbentur, tiba belas jurus berlalu.

“Krek!” Batang bambu di tangan Wan Fei Yang kembali terpapas sebagian.

Tubuh dan pedang kilat berubah menjadi lingkaran bercahaya. Gerakannya kali ini memang hendak memapas putus batang bambu di tangan Wan Fei Yang. Melihat serangannya, anak muda itu sudah dapat meraba apa maksud hati Kilat. Dia mundur sejauh tujuh langkah.

“Serr!” Pedang di tangan manusia tanpa wajah meluncur dalam waktu yang bersamaan. Wan Fei Yang segera menggeser tubuhnya menghindar, batang mabu dikibaskan dia menangkis pedang manusia tanpa waja. Pedang dan tubuh orang itu tergetar mundur. Tapi bambunya juga patah menjadi tiga bagian. Wan Fei Yang semakin marah. Sisa batang bambu di tangannya digetarkan dan meluncur menyerang kening Kilat.

Kilat memutar pedangnya. Wan Fei Yang tidak memperdulikan. Tang bambunya terus menusuk ke depan. Dalam sekejap berubah menjadi bayangan dalam jumlah banyak.

“Bagus!” teriak Kilat lantang. Kepalanya menunduk ke bawah. Pedangnya terus menyambut datangnya batang bambu. Dia mendesak terus ke depan.. Dalam sekejap mata batang bambu tadi terbelah menjadi dua bagian.

Kilat tidak ingin kehilangan kesempatan. Pedangnya terus meluncur ke depan. Tepat pada saat itu manusia tanpa wajah juga meluncurkan pedangnya. Wan Fei Yang menarik nafas dalam-dalam. Kakinya menutul dan tubuhnya mencelat di udara. Kemudian dia melesat lagi sejauh dua depa. Dia teringat akan pedangnya yang ada di rumah. Halau saja dia tadi sempat mengambil pedangnya, tentu dia dapat menandingin kedua lawannya inu.

Tapi baik manusia tanpa wajah dan Kilat mana mau memberi kesempatan kepadanya untuk kembali ke rumah. Mereka malah mendesaknya terus. Pedang-pedang tajam mengancam dari depan dan belakang. Wan Fei Yang seperti seekor anak kelinci yang meloncat kian ke mari,. Dia tidak sadar dirinya sudah sampai di tepi jurang. Kilat tertawa dingin. Pedangnya berputar kemudian menusuk ke depan. Manusia tanpa wajah juga menggunakan kesempatan itu untuk maju dan menggetarkan pedangnya. Wan Fei Yang panik sekali, Dia segera menggeser kedua kakinya sedikit. Namun tiba-tiba dia menjerit ngeri. Kakinya terpeleset dan anak muda itu terjatuh ke dalam jurang.

“Plung!” Terdengar suara benda berat jatuh ke dalam air.

Kilat mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Jatuhnya Wan Fei Yang kali ini seandainya tidak mati pun, paling tidak tulang belulangnya akan putus dan menjadi orang cacat untuk selamanya.

* * *

Suara tabuhan genderang di Bu Tong san seakan tidak ptus- putusnya. Setiap tabuhan seperti mengandung wibawa yang dalam. Begitu juga bunyi loncengnya. Dengan diiringi tabuhan genderang, akhirnya Fu Giok Su keluar dari ruangan penyucian.

Dia menerima panji besi dari tangan Yan Cong Tian dan menghadap ke timur dan menjura dalam-dalam. Fu Giok Su sudah resmi menjadi Ciang bun jin Bu Tong pai. Yan Cong Tian juga memberinya sebuah kunci. Dengan kunci inilah dia dapat membuka kamar penyimpanan kitab-kitab pusaka Bu Tong pai. Dia tidak syak lagi, ilmu pusaka Bu Tong pai yang ketujuh, Tian can kiat juga disimpan dalam ruangan ini.

Tempat penyimpanan kitab itu tidak dilapisi besi atau pun baja. Tapi temboknya setebal tiga cun. Berhadapan dengan pintu masuk terdapat sederetan batu pualam. Setiap batu tertera dua buah hurup. Sebelah kiri bertuliskan Liong gi, Pik lek, Jit cong. Sebelah kanan bertuliskan Suang kiat, kui sua, sou hou. Dan yang ditengah-tengah itulah Tian can kiat berada.

Tujuh buah batu marmer itu rupanya semacam lemari. Di dalamnya tersimpan kitab pusaka sesuai dengan nama yang tertulis di depannya. Fu Giok Su menutup kembali pintu kamar itu rapat-rapat setelah masuk ke dalam. Hatinya tegang sekali. Kadnag-kadang bayangan wajah Lun Wan Ji yang sendu masih berkelebat di pelupuk hatinya.

Di bawah cahaya lampu, matanya terlihat menerawang. Sejenak kembali sudah pulih seperti biasa. Dingin dan keji. Dia meneruskan langkah kakinya. Dia bukan menuju ke batu pualam yang ada di sudut kiri. Dia membuka lemari batu itu satu persatu. Yang di tengah-tengah justru terakhir. Matanya menatap dengan dingin, kemudian dia tertawa terbahak- bahak. Bu Tong liok kiat baginya bukan rahasia lagi. Meskipun kematangannya belum mencapai taraf seperti Wan Fei Yang, namun sudah jauh di atas para murid Bu Ting lainnya. Untuk membunuh Pek Ciok dan Cia Peng pun bukan hal yang sulit baginya.

Dengan tertawa terbahak-bahak dia membuka lemari batu yang di tengah. Sebuah kitab yang tidak berbeda dengan Bu Tong liok kiat lainnya segera terpampang di depan mat. Di atasnya tertera tiga buah huruf “Tian can kiat:.

“Tian can kiat (Ilmu peralihan ulat sutera),” seru Fu Giok Su dengan suara bergetar. Kedua tangannya yang memegang buku itu juga bergetar.

Dengan hati-hati dia membuka halaman pertama kitab itu. Tindakannya begitu teliti seakan takut kitab itu akan terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah lalu hancur bagai sebuah vas kembang. Kakinya melangkah mendekati meja dan duduk dia tas sebuah kursi. 

Dia mulai membaca. Perhatiannya terpusat penuh. Kitab itu memang merupakan sebuah ilmu yang langka. Di dalamnya juga terdapat ebrbagai contoh gambar. Rasanya tidak begitu sulit dipelajari. Sebentar saja Fu Giok Su sudah masuk dalam keadaan lupa diri.

Isinya hanya dua puluh halaman. Pada lembaran terakhir terdapat serangkaian huruf. Tapi hurud itu bukan teori ilmu Tian can kiat yang belum diselesaikan. Juga bukan rangkaian dari jurus terakhir. Hanya ada empat baris huruf. Mencapai taraf tertinggi… Ganti tulang lahir kembali…

Penjeleasan dari Ciang bun jin….

Tidak jodoh tetap tiada guna…

“Penjelasan dari Ciang bun jin, tidak jodoh tetap tiada guna…? Bagaimana bisa demikian?” gumam Fu Giok Su tidak mengerti.

* * *

“Kalau mau diceritakan, kisah ini berawal dari empat puluh tahun yang lalu….” Yan Cong Tian menjelaskan kepada Fu Giok Su apa yang tidak dimengerti olehnya.

Terhadap Fu Giok Su yang baru keluar dari ruang penyucian diri danmenjabat sebagai Ciang bun jin lalu langsung masuk ke ruang penyimpanan kitab serta memilih Tian can kiat seketika kemudian datang menanyai apa yang tidak dimengertiny, Yan Cong Tian memang agak cemas memikirkan sifatnya yang demikian terburu nafsu, namun dia tidak sampai curiga.

“Empat puluh tahun yang lalu…” kata Yan Cong Tian selanjutnya. “Cosu Ku Bok menggetarkan dunia kangouw bersama Sia hou tiang cong dari Bu ti bun. Bu Tong pai dan Bu ti bun memang merupakan musuh bebuyutan. Tentu saja mereka mengadakan pertarungan. Pada saat itu, Dia hou tia cong sudah berhasil melatih Mit kip sin kangnya mencapai tatar keenam. Dia menyombongkan diri apsti akan meraih kemenangan. Sedangkan Cosu Ku Bok sudah berhasil melatih Tian can kiat. Akhirnya Tian can kiat berhasil mengalahkan Mit kip sin kang. Malah Sia hou tian cong terluka parah. Bu ti bun tidak breani mengadakan gerakan untuk sementara, dunia kangouw pun tenang kembali.”

Fu Giok Su sebenarnya tidak sabar mendengar bagian dari cerita itu. Tapi dia tidak berani memperlihatkannya di depan Yan Cong Tian.

“Justru karena itu pula, banyak roang dunia kangouw yang mengincar Tian can kiat. Sedangkan orang-orang Pit lok cik yang merupakan orang ketiga antara Bu Tong dan Bu Ti bun segera membuat rencana. Pemimpin mereka sendiri Thian ti atau makhluk tua yang melarikan diri itu menyelundup ke Bu Tong san dengan menyamar sebagai tukang bakar api di dapur. Dia berhasil menyusup ke dalam kamar penyimpanan kitab dengan tujuan mengambil kitab Tian can kiat.”

“Apakah dia tertangkap basah?”

“Dia kepergok oleh Cosu. Dia bukan tandingan Cosu kami dan berhasil dikalahkan. Thian ti langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Cosu dan meminta pengampunan. Dia mengatakan bahwa dia hanya disuruh orang lain. Sebagai buktinya dia membawa surat yang ditulis orang itu. Cosu tidak curiga sama sekali. Dia langsung merobek sampul surat itu.

Ternyata sampul surat tersebut sudah dibubuhkan bubuk beracun. Dan mata Cosu menjadi buta seketika. Kemudian dia dibokong lagi oleh Thian ti. Meskipun aku keburu datang serta berhasil meringkus Thian ti, tapi Cosu sudah putus nyawa. Uraian terakhir mengenai Tian can kiat pun hilang sejak saat itu.”

“Tapi…. Susiok, kau….”

“Aku melatihnya dengan memaksa diri,” Yan Cong Tian menarik nafas panjang. “Hal ini karena Tok ku Bu ti mulai membentangkan sayapnya. Dua puluh tahun yang lalu, Mit kip sin kangnya sudah dilatih sampai tingkat enam. Setelah aku merundingkan masalah ini dengan Ci Siong, suhumu, akhirnya diambil keputusan bahwa aku tetap akan mencoba berlatih Tian can kiat. Dengan harapan pada taraf terakhir, aku akan berhasil memecahkan rumusnya sampai aku berhasil dengan sempurna.”

“Apakah susiok sudah berhasil memecahkan rumus Tian can kiat?”

“Dua puluh tahun sudah berlalu,” Yan Cong Tian menggelengkan kepalanya. “Aku masih belum berhasil juga. Seandainya tidak dapat memecahkan rumus terakhir Tian can kiat, tenaga yang dilatih pun tidak dapat dikerahkan. Dua puluh tahun ini, aku hanya membuang-buang waktu saja,” keluhnya kesal.

Fu Giok Su termangu-mangu. Yan Cong Tian tertawa getir.

“Dalam Bu Tong liok kiat, kau baru mempelajari Sou hou cang. Masih ada lima macam ilmu lainnya. Itu semua sudah cukup menyita waktu. Sementara ini kau belajar dulu Bu Tong liok kiat, aku akan terus berusaha menemukan rumus terakhir itu,” kata Yan Cong Thian kemudian. Fu Giok Su juga tertawa getir. Yan Cong Tian hanya tahu bahwa Fu Giok Su baru mempelajari satu macam Sou hou cang saja. Kenaytaannya, lima macam lainnya sudah dia pelajari semua dari Thian ti.

Oleh karena itu, setlah memohon diri kepada Yan Cong Tian, Fu Giok Su tidak kembali ke kamar penyimpanan kitab. Dia langsung kembali ke kamarnya. Makin dipikir hatinya semakin mendongkol. Melihat kendi arak, rasanya dia ingin minum sampai mabuk.

Tanpa berpikir panjang lagi dia menuangkan secawan arak. Diteguknya sekaligus. Rasanya enak sekali. Dia menuang lagi cawan kedua, ketiga dan seterusnya. Pikirannya mulai mleyang-layang. Tanpa sadar dia mengeluarkan dompet kecil pemberian Lun Wan Ji.

Keharuman masih terpancar dari dompet itu. Bayangan Lun Wan Ji pun berkelebat di pelupuk matanya. Hati Fu Giok Su semakin tertekan. Dia meletakkan cawan arak di atas meja. Tangannya menggenggam dompet kecil itu erat-erat. Dirinya sudah mabuk tujuh bagian. Perasaannya juga mulai tidak terkendali. Dengan langkah terhuyung-huyung dia mendorong pintu kamar dan melangkah keluar.

Malam sudah larut. Kaki Fu Giok Su terseret-seret. Untuk sesaat dia tidak dapat menentukan arah yang hendak ditujunya. Dia berhenti sejenak. Mencoba mengingat-ingat kemana tujuannya tadi.

* * *

Lun Wan Ji belum tidur. Dia membolak-balikkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan gelisah. Wajahnya kurus pucat. Tubuhnya layu dan kesegarannya lenyap entah kemana.

“Blam!”

Sebuah suara mengejutkan Lun Wan Ji. Suara seperti ada benda berat yang menghempas pintu kamarnya. Dia segera melonjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Di luar terdengar suara nafas tersengal-sengal. Disusul dengan suara panggilan lirih.

“Sumoay… Sumoayy!”

Lun Wan Ji dapat mengenali bahwa yang memanggilnya adalah Fu Giok Su. Setelah merenung sejenak, akhirnya dia tidak dapat menahan diri juga. Dibukanya pintu kamar. Fu Giok Su tersuruk masuk. Lun Wan Ji cepat-cepat memapahnya.

“Suheng, kenapa kau?” tanyanya cemas.

Dari tubuh Fu Giok Su terpancar bau arak. Matanya sayu.

“Sumoay…Aku bersalah kepadamu…. Sumoau….” Gumamnya lirih.

Lun Wan Ji mendengar ucapoannya dengan jelas. Kesedihan merayap dalam hatinya. Pada saat itu juga, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Lun Wan Ji yang melihat keadaan Fu Giok Su segera mengerutkan alisnya. Tentu tidak lucu bila ada orang yang melihat Ciang bun jin Bu Tong pai mabuk di depan kamarnya. Cepat-cepat dia memapah Fu Giok Su ke atas kursi. Kemudian dia merapatkan pintu kamarnya. Langkah kaki dari jauh mendekat. Kemudian dari dekat menjauh kembali. Lun Wan Ji menghela nafas lega. Perlahan dia menyentuh pundak Fu Giok SU.

“Suheng, mengapa kau mabuk seperti ini?”

“Jangan Pegangi aku!” Fu Giok Su berontak. “Aku ingin mencari Wan Ji.”

Lun Wan Ji tertegun. “Suheng, aku Wan Ji!”

“Kau bukan dia.. kau bukan…!” Fu Giok Su menggelengkan kepalanya.

“Aku bersalah kepada Wan Ji. Aku menghancurkan hidupnya. Dia pasti membenci aku. Bagaimana mungkin dia masih mau meladeni aku?”

Hati Lun Wan Ji semakin perih. Air mata mengalir dengan deras.

“Suheng. Kau duduk saja istirahat di sini. Aku akan menyeduhkan the kental untukmu.”

Lun Wan Ji menarik tangan Fu Giok Su dan dengan susah payah memapahnya duduk di atas tempat tidur.

Fu Giok Su masih mabuk. Mulutnya terus memanggil Wan Ji. “Sumoay… sumoay…” Hati Lun Wan Ji semakin hancur. Dia menahan kesedihannya dan menuju meja serta menyeduhkan secangkir the kental untuk Fu Giok Su. Dia memaksa Fu Giok Su meminumnya sampai habis. Akhirnya anak muda itu agak sadar juga. Dia juga sudah melihat dengan jelas siapa yang ada di sampingnya.

“Wan Ji… Ternyata benar-benar engkau…” Lun Wan Ji menundukkan kepalanya. “Memang aku, Ciang bun suheng.”

“Jangan panggil aku Ciang bun suheng,” suara Fu Giok Su seperti terpukul.

“Aku tidak pantas jadi Ciang bun jin!” “Suheng…”

“Wan Ji… Aku membuatmu menderita.”

“Jangan berkata begitu. Istirahatlah sebentar. Nanti aku papah kau kembali ke kamar.”

“Aku tidak ingin menjadi Ciang bun jin…” Fu Giuok Su memberontak lagi.

“Aku akan mencari susiok sekarang dan menjelaskan semuanya.” Dia langsung berdiri namun tubuhnya terhuyung- huyung.

Wan Ji segera memapahnya. “Suheng, mana boleh kau berbuat demikian?”

“Mengapa tidak boleh?” Suara Fu Giok Su lebih mirip sedang memohon.

“Wan Ji, ijinkanlah aku pergi.” “Suheng, aku mohon jangan begitu!”

“Kalau begitu kita turun gunung, lari sejauh-jauhnya!” Fu Giok Su menarik tangan Lun Wan Ji seakan ingin mengajaknya melarikan diri.

Lun Wan Ji menghentakkan tangannya. “Suheng, tenang dulu. Pikirkanlah masalah ini baik-baik.”

Fu Giok Su tertegun. Kedua tangannya memegangi kepala. “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apakah kita harus sama- sama menderita seumur hidup?”

Lun Wan Ji menatap Fu Giok Su lekat-lekat. Dengan sedih dia mengalirkan air mata.

* * *

Sejenak kemudian, perlahan-lahan Fu Giok Su mendongakkan kepalanya. Dia memandangi Lun Wan Ji dengan terpana. “Mengapa kau menangis?” tanyanya lembut.

Lun Wan Ji tidak menyahut.

“Wan Ji, kau tidak bisa melupakan aku?” Fu Giok Su mengulurkan tangannya meraba air mata di pipi Lun Wan Ji. Gadis itu tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi. Dia merebahkan kepalanya ke dalam dada Fu Giok Su dan menangis terisak-isak. Fu Giok Su memeluknya erat-erat. Dia juga mengembangkan air mata.

Entah berapa lama sudah berlalu. Lun Wan Ji mengusap air matanya dan mendongakkan wajahnya memandang Fu Giok Su. Dua pasang mata yang sedang menderaikan air mata kesedihan saling bertemu.

“Wan Ji, jangan tinggalkan aku!”

Lun Wan Ji menganggukkan kepalanya dengan lemah. Perasaannya terhadap Fu Giok Su jangan ditanyakan lagi. Apalagi kesetiaannya. Kedua orang yang berlainan jenis itu saling merangkul. Perlahan-lahan tubuh mereka jatuh di atas tempat tidur.

Bunga rontok sekelopak demi sekelopak. Cahaya rembulan yuang dingin menerobos lewat jendela. Rembulan menjadi saksi segalanya.

* * *

Pagi hari seekor merpati pos terbang ke lembah Siau yau kok.

Setelah menikmati sarapan. Hujan, Angin, Geledek dan Kilat sudah berkumpul di ruang tengah. Surat yang dibawa merpati pos dibaca oleh mereka berempat, setelah itu mereka menyerahkannya kepada Thian ti.

“Meskipun Giok Su berhasil menjadi Ciang bun jin Bu Tong pai, tapi dia tidak berhasil mempelajari Tian can kiat,” kata Thian ti dengan anda kurang senang.

Dia berhenti sejenak dan memandang keempat orang bawahannya.

“Karena Tian can kiat ternyata tidak sempurna. Rumus terakhir hanya diketahui oleh Ciang bun jin pendahulu!”

Angin menganggukkan kepalanya.

“Betul! Suhu Yan Cong Tian dan Ci Siong to jin, Ku Bok justru mati di tangan engkau orang tua!”

“Huh! Kalau tahu demikian, aku tidak akan membunuhnya. Sekarang Yan Cong Tian belum berhasil mempelajari Tian can kiat.”

Hujan tertawa dingin. “Dan kita sampai sekarang baru tahu,” sahutnya.

“Rahasia ini apsti hanya diketahui oleh Yan Cong Tian dan Ci Siong to jin saja. Kalau Fu Giok Su tidak menjabat sebagai Ciang bun jin Bu Tong pai, kita masih mengira-ngira sampai dimana kehebatan Yan Cong Tian sekarang.”

“Hal ini membuktikan bahwa Thian membuka mata kita.” Thian ti tertawa sumbang.

“Apabila barisan Hujan, Geledek, Kilat dan Angin kalian digabungkan dengan kepandaianku, meskipun ilmu Yan Cong Tian lebih tinggi lagi, kita pasti masih bisa mengalahkannya.” Geledek segera maju satu langkah.

“Kalau begitu lebih baik kita serbu saja Bu Tong san sekarang!”

“Bu Tong masih ada gunanya.” Thian ti tersenyum.

“Sekarang Fu Giok Su sudah menjabat Ciang bun jin. Dia bisa memberi perintah kepad apar amurid Bu Tong, buat apa kita capaikan diri mengurusi masalah itu?”

“Tapi, satu hari saja Yan Cong Tian masih hidup, dia tetap akan menjadi masalah bagi Giok Su,” kata Angin sambil mengerutkan alisnya.

“Seandainya dia sampai tahu rahasia Giok Su…”

“Tua bangka yang tidak mampus-mampus itu tentu saja tidak boleh dibiarkan!” Mata Thian ti bersinar tajam. “Begini saja…”

“Bagaimana?” tanya keempat orang itu serentak.

“Kita sebarkan berita bahwa Wan Fei Yang sudah melarikan diri ke Sau yau kok. Biar Giok Su yang memancing Yan Cong Tian kemari.” Wajah Thian ti serius sekali.

“Sampai waktunya, aku akan membuat tua bangka itu meratap-ratap minta kematian!”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara menyehut. “Yaya, perbuatanmu itu terlalu sadis.”

Dialah Fu Hiong Kun yang berjalan masuk dengan langkah santai.

Mata Thian ti mengerling. “Kalau tidak begitu, tua bangka itu mana tahu penderitaan Yaya selama dua puluha tahun itu?”

“Tapi….”

“Jangan banyak bicara lagi!” Wajah Thian ti kurang senang. “Yayamu sendiri tidak kau bantu, kau malah mau membantu Yan Cong Tian.”

Fu Hiong kun menghentikan langkah kakinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Dia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu.

Hujan, Angin, Geledek dan Kilat menatap Fu Hiong Kun yang melangkah pergi, kemudian beralih kepada Thian ti.

“Anak ini….” Thian ti menggelengkan kepalanya. Nada suaranya tidak garang sama sekali.

* * *

Setelah keluar dari ruang tengah, Fu Hiong Kun kembali ke kamarnya. Setelah berpikir bolak-balik, hatinya semakin tertekan.

Tidak lama kemudian Thian ti masuk ke kamar itu dan duduk di samping Fu Hiong Kun.

“Cucu baik,” katanya tertawa-tawa. Fu Hiong Kun tidak meladeni. “Masih amrah kepada Yaya?” tanya Thian ti hati-hati. “Yaya tidak takut terhadap langi dan bumi, justru takut kalau kau amrah.”

“Yaya…” Fu Hiong Kun menarik nafas satu kali.

“Kau mengatakan Yaya sadis. Apakah tua bangka Yan Cong Tian itu tidak sadis? Dua puluh tahun yang lalu, kau belum lahir, Yaya sudah dikurungnya dalam telaga dingin.

Penderitaannya jangan ditanyakan lagi. Kalau dendam ini tidak dibalas, mati pun Yaya tidak bisa meram,” kata Thian ti.

Hati Fu Hiong Kun tergerak juga. Dia menatap kakeknya dengan sorot mata kasihan.

“sebetulnya, Yaya sangat menyayangimu. Bagaimana mungkin Yaya membuatmu tak senang hati?” Thian ti tertawa- tawa. “Coba kau katakan, apakah Yaya mirip orang yang sadis dn tidak berperasaan?”

Tanpa sadar Hiong Kun menggelengkan kepalanya. Tawa Thian ti semakin lebar.

“Hiong Kun, berapa usiamu sekarang?” Tiba tiba Thian ti bertanya.

“Delapan belas.”

“Sudah punya tambatan hati?”

Fu Hiong Kun tertegun. Kemudian menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.” “Benar-benar tidak ada?” Mata Thian ti seakan menyelidiki isi hati gadis itu.

Wajah Fu Hiong Kun merah padam. Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tidak sepatah katapun diucapkannya.

“Yaya tidak eprcaya,” kata Thian ti sambil mengelus jenggotnya.

“Kau begini cantik, masa tidak punya kekasih?” Matanya bersinar tajam.

“Pasti ada. Siapa?”

Kepala Fu Hiong Kun tertunduk makin rendah. “Yaya… mengapa kau bertanya demikian?”

“Nah… kan pasti ada?”

“Aku tidak tahu.” Fu Hiong Kun berdiri. Wajahnya semakin merah. Cepat-cepat dia melangkah ke depan jendela untuk menghindari tatapan kakeknya.

Thian ti tertawa terkekeh-kekeh. “Coba lihat, masa sama Yaya sendiri demikian malu? Baik… Lain kali baru aku tanyakan lagi.”

Thian ti tertawa terbahak-bahak ketika meninggalkan kamar gadis itu. Fu Hiong Kun berdiri membelakangi Thian ti.

Matanya melirik mencuri pandang. Setelah yakin Thian ti benar-benar meninggalkan kamarnya, perlahan-lahan dia membalikkan tubuh. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman tipis. Matanya menjadi sayu.

Wajah Wan Fei Yang kembali melintas di benaknya.

* * *

Saat itu, Wan Fei Yang baru tersadar. Di depan matanya terpampang sebuah tempat yang asing baginya. Bagu obat- obatan menerpa hidung.

Kamar itu tidak seberapa besar. Di temboknya tergantung berbagai macam obat-obatan. Dia berbaring di atas sebuah balai-balai yang terbuat dari rotan. Dan posisinya tepat berhadapan dengan pintu. Luka-luka tubuhnya sudah dibalut dengan rapi.

Wan Fei Yang berusaha menggerakkan tangannya. Rasa sakit segera terasa di lengan itu. Hal ini membuktikan bahwa dia masih hidup dan juga bukan sedang bermimpi.

“Tempat apa ini?” gumamnya seorang diri.

“Ini rumah Hai Liong lo jin.” Sebuah suara menyahut. Nadanya seperti orang yang sudah lanjut usia.

Wan Fei Yang mengedarkan pandangan matanya. Dia tidak melihat siapa pun.

“Mengapa hanya terdengar suara tapi tidak tampak orangnya?” gumam Wan Fei Yang kebingungan.

“Aku di sini!” Terdengar suara itu menyahut kembali. Wan Fei Yang memandang lagi sekitarnya. Tetap tidak terlihat seorang pun. Tanpa sadar bulu roma Ean Fei Yang ebrdiri.

Tepat pada saat itu, sebuah tangan kecil yang aneh terulur dari samping serta menepuk pundak anak muda itu.

Wan Fei Yang terkejut. Dia menolehkan kepaanya. Akhirnya dia melihat orang itu. Tubuhnya kecil dan pendek. Ternyata dia adalah orang kerdil. Melihat Wan Fei Yang demikian terkejut, orang itu menyurut mundur beberapa langkah. Wan Fei Yang memandangnya dengan seksama. Si kerdil semakin tersipu-sipu. Dia membalikkan tubuhnya.

“Apakah kau yang menolong aku? Tanya Wan Fei Yang.

“Bukan aku, tapi Cu jin kami,” sahut si kerdil sambil mencuri pandang sekilas.

Wan Fei Yang berusaha bangun dan duduk. “Aku bernama Wan Fei Yang. Kau?”

Si kerdil memperhatikan Wan Fei Yang. Melihat penampilannya yang tenang, dia sendiri ikut merasa tenang. “Cu jin (majikan) memanggil Sam cun (Tiga cun). Padahal tinggiku kalah tidak sampai tiga cun.”

“Kalau begitu aku juga memanggil Sam cun saja, boleh kan?” Sam cun menganggukkan kepalanya berulang kali.

“Oh ya… Tadi kau mengatakan bahwa ini rumah Hai liong lo jin. Apakah dia majikanmu?”

“Orang-orang kanouw menyebutnya demikian. Karena dia tinggal di sekitar lautan dan kegesitannya bagai hai liong (naga laut).”

“Apakah aku dibawanya dari dalam lautan?” Wan Fei Yang seakan teringat sesuatu.

“Dua hari yang lalu.”

Wan Fei Yang terkejut sekali. “Jadi aku sudah pingsan selama dua hari?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Mantab, makin seru!